POLITIK PENCITRAAN

14
POLITIK PENCITRAAN : Runtuhnya Ideologi Partai Oleh Rum Rosyid, Untan-Pontianak Pendahuluan Sebagai penulis disertasi, yang terlibat langsung pada hari- hari politik menyulitkan fenomena survival partai Golkar menurut Akbar Tanjung melalui pendekatan kelembagaan. Ia menganalisis dari konteks kesisteman, nilai (ideologi) dan kultur, kemandirian (otonomi), hingga pencitraan partai. Berubahnya sistem politik Indonesia, harus direspons secara tepat oleh Golkar. Respons tersebut didukung sepenuhnya oleh konteks nilai-nilai dan kultur organisasi. Berbeda dengan partai-partai politik pada umumnya yang bersifat sektarian, Golkar bercorak catch all. Paradigma Baru yang dirumuskan, berupaya meyakinkan bahwa Golkar selaras dengan reformasi. Sementara dalam konteks otonomi organisasi, Partai Golkar merespons perubahan dengan melakukan restrukturisasi kepengurusan dengan memastikan berjalannya mekanisme demokrasi internal partai. Tidak ada lagi struktur Dewan Pembina yang otoritatif di dalamnya. Secara kelembagaan Partai Golkar “menentukan dirinya sendiri”, termasuk kebijakan dalam menentukan calon presiden dan juga memilih koalisi. Terkait dengan citra partai dan pengenalan masyarakat, kasus Partai Golkar juga menarik. Kiprah dan citra Partai Golkar telah dibangun dalam waktu yang panjang. Luasnya jangkauan jaringan organisasi dan difusinya yang demikian ekspansif baik dari sisi wilayah maupun tingkatan sosial mengakibatkan Partai Golkar dikenal secara luas. Sama dengan pragmatisme, politik citra juga lahir dari sebuah landasan teoritik yang menganggap tindakan manusia didorong oleh stimulus atau rangsangan-rangsangan simbolis yang sering sekali tidak menggambarkan substansi. Pola bertindak seperti ini akan sangat efektif ketika masyarakat masih hidup dalam sistem kesadaran naif yang memuja tampilan fisik, simbol-simbol dan realitas kasat mata yang mudah ditangkap oleh indera. Paradigma berfikir seperti ini

Transcript of POLITIK PENCITRAAN

Page 1: POLITIK PENCITRAAN

POLITIK PENCITRAAN : Runtuhnya Ideologi PartaiOleh Rum Rosyid, Untan-PontianakPendahuluanSebagai penulis disertasi, yang terlibat langsung pada hari-hari politik menyulitkan fenomena survival partai Golkar menurut Akbar Tanjung melalui pendekatan kelembagaan. Ia menganalisis dari konteks kesisteman, nilai (ideologi) dan kultur, kemandirian (otonomi), hingga pencitraan partai. Berubahnya sistem politik Indonesia, harus direspons secara tepat oleh Golkar. Respons tersebut didukung sepenuhnya oleh konteks nilai-nilai dan kultur organisasi. Berbeda dengan partai-partai politik pada umumnya yang bersifat sektarian, Golkar bercorak catch all. Paradigma Baru yang dirumuskan, berupaya meyakinkan bahwa Golkar selaras dengan reformasi.

Sementara dalam konteks otonomi organisasi, Partai Golkar merespons perubahan dengan melakukan restrukturisasi kepengurusan dengan memastikan berjalannya mekanisme demokrasi internal partai. Tidak ada lagi struktur Dewan Pembina yang otoritatif di dalamnya. Secara kelembagaan Partai Golkar “menentukan dirinya sendiri”, termasuk kebijakan dalam menentukan calon presiden dan juga memilih koalisi.Terkait dengan citra partai dan pengenalan masyarakat, kasus Partai Golkar juga menarik. Kiprah dan citra Partai Golkar telah dibangun dalam waktu yang panjang. Luasnya jangkauan jaringan organisasi dan difusinya yang demikian ekspansif baik dari sisi wilayah maupun tingkatan sosial mengakibatkan Partai Golkar dikenal secara luas.

Sama dengan pragmatisme, politik citra juga lahir dari sebuah landasan teoritik yang menganggap tindakan manusia didorong oleh stimulus atau rangsangan-rangsangan simbolis yang sering sekali tidak menggambarkan substansi. Pola bertindak seperti ini akan sangat efektif ketika masyarakat masih hidup dalam sistem kesadaran naif yang memuja tampilan fisik, simbol-simbol dan realitas kasat mata yang mudah ditangkap oleh indera. Paradigma berfikir seperti ini menjadi trend yang terus-menerus direproduksi, bahkan oleh sistem politik yang seharusnya menempati level tertinggi institusi perubahan bangsa. Dalam realitas politik hal itu terwujud dalam perilaku pemilih dalam momentum-momentum pemilihan umum di Indonesia, dimana simbol-simbol politik pencitraan direproduksi dan dikonsumsi secara masif oleh masyarakat.

Dalam sebuah sistem politik modern, kedua paradigma tersebut layak-layak saja digunakan oleh seluruh institusi politik terutama oleh partai politik yang salah satu tujuannya adalah meraih sebesar mungkin suara rakyat. Instrumen-instrumen yang mendukung paradigma tersebut terbukti mampu memobilisasi kekuatan dalam rangka memperoleh kekuasaan. Namun persoalannya, perilaku pragmatis dan politik pencitraan kemudian meruntuhkan peluang bagi tumbuhnya konsistensi, komitmen dan basis nilai politik yang bersifat ideologis. Padahal paradigma politik yang berbasis ideologi merupakan landasan moral dan perilaku politik yang mendorong terjadinya perubahan struktural yang substantif.

Partai dengan pimpinan, pengurus dan warga partai yang cenderung pragmatis tentu saja akan mudah dan cepat terjebak dalam sebuah sistem yang sedang berlaku. Keterjebakan

Page 2: POLITIK PENCITRAAN

tersebut terjadi karena partai politik tersebut berada dalam sebuah ruang sistem rasional yang sarat dengan pertimbangan-pertimbangan kontraktual, sedangkan pertimbangan kontraktual biasanya sangat realistis dan tergantung pada peta pasar politik. Keuntungan atau manfaat, biaya (cost) atau kerugian, konsekuensi negatif/positif maupun orientasi hasil yang terus mengalami dinamika dapat mengombang-ambingkan eksistensi partai politik. Posisi di tengah peta pasar politik tersebut tak akan pernah menghasilkan perubahan-perubahan jangka panjang yang sebenarnya berkontribusi terhadap terbentuknya kesetiaan konstituen. Dengan kata lain, rakyat yang selama ini memiliki sisi pragmatisme juga sebenarnya memiliki kepentingan dan menghargai sisi-sisi konsistensi dan prinsip-prinsip jangka panjang dari sebuah partai. Akhirnya, dalam jangka waktu tidak begitu lama, partai seperti ini akan cepat ditinggalkan oleh rakyat.

Sama halnya dengan pragmatisme, partai politik yang mengandalkan politik pencitraan juga mengalami nasib yang sama karena larut dalam sebuah struktur simbolis yang cenderung mengalami perubahan secara cepat. Penilaian terhadap citra cepat luntur karena cenderung mengabaikan substansi. Pada waktu tertentu citra akan efektif karena memberi makna lebih daripada citra sebelumnya, namun degradasi terhadap citra terjadi ketika citra lebih indah, dan populis telah muncul. Pencitraan dalam partai politik juga tak melahirkan kader di dalam partai karena berisi para penunggang bebas (free rider) berorientasi pragmatis di dalam partai. Pola seperti ini jelas manipulatif karena dikemas oleh media sebagai sumber produksi hyperrealitas.

Gelombang Pragmatisme Partai PolitikBanyak partai berdiri, lembaga-lembaga menjamur, bahkan tokoh yang dulunya sama sekali tidak tenar menjadi sedemikian booming. Ada yang booming karena keunikannya dalam berimprovisasi, juga ada yang booming karena ketahuan melakukan tindak pindana korupsi. Era ini sudah benar-benar terbuka, dan ini jelas dimanfaatkan oleh para mantan aktivis mahasiswa. Banyak yang bergabung ke Partai Politik, ada yang jadi caleg di posisi atas atau sekedar untuk belajar dan memenuhi kuota sehingga dimasukkan namanya di nomor-nomor buntut. Di era keterbukaan dengan puluhan partai ini membuat orang begitu mudah menjadi wakil rakyat dengan membawa-bawa nama rakyat. Tak peduli pernah sarjana atau tidak, cukup dengan mengeluarkan berlembar-lembar dana dapatlah dia ijazah. Walau sebusuk apapun dia, kalau media telah memainkan perannya, tulisan, bahkan biografi dibuat, yang busuk tadi pun seketika harum. Maka tak heran muncullah calon wakil rakyat yang karakter politiknya “nggak jelas”, pragmatis, cacat moral, juga hukum.

Anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arif Mudatsir Mandan berpendapat saat ini kepercayaan masyarakat terhadap partai politik menurun sangat tajam akibat perilaku para politisinya. Salah satu sebabnya adalah perubahan orientasi yang hanya diabdikan untuk modal. “Ideologi kita sangat pragmatis, hampir tak ada sesuatu yang diperjuangkan untuk yang akan datang,” katanya dalam seminar yang diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA PMII) di Jakarta, Kamis (17/7/08). Hal ini berbeda dengan para politisi di masa lalu yang masih memiliki ideologi politik yang diperjuangkan, yang menjadikannya memiliki sebuah visi bagaimana Indonesia ke depannya.

Page 3: POLITIK PENCITRAAN

Pemilu 2009 ternyata menjadi “kuburan” bagi partai politik Islam. Meski ada satu partai yang sedikit meningkat perolehan suaranya, akan tetapi secara keseluruhan mereka mengalami penurunan, bahkan kegagalan karena adanya peraturan ambang batas untuk bisa duduk di parlemen (parliamentary threshold) membuat beberapa di antaranya gagal ke Senayan. Parpol Islam yang dimaksud di sini adalah parpol yang menjadikan Islam sebagai asas partai. Mereka adalah PKS, PPP, PBB, PKNU, PBR, PMB, dan PPNUI. Merujuk hasil final perhitungan KPU, perolehan suara mereka cuma sebesar 18,17%, turun sekitar 3,17% dari akumulasi suara parpol Islam (PKS, PPP, PBB, PBR, dan PPNUI) pada pemilu 2004 yang mencapai 21,34%. Jika kita bandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya, perolehan parpol Islam 2009 termasuk yang buruk (lihat Tabel).

Tabel Jumlah Suara Partai-partai Berasaskan Islam pada Pemilu di IndonesiaTahun Nama Partai Prosentase

suara19551971197719821987199219971999

20042009

Masyumi, NU, PSII, PertiNU, Parmusi, PSII, PertiPPPPPPPPPPPPPPPPPP, PBB, PK, PNU, PSII, PKU, Masyumi, PUI, PSII 1905, Masyumi BaruPBB, PPP, PPNU, PKS, PBRPKS, PPP, PBB, PKNU, PBR, PMB, PPNUI

43,5027,1229,2927,7815,9717,0122,4316,25

21,3718,17

(Diolah dari berbagi sumber)

Membaca fenomena tersebut, Pemilu 2009 adalah episode lanjutan, meminjam Abdul Munir Mulkhan, runtuhnya mitos politik santri. Jika pada Pemilu 1955 akumulasi suara parpol Islam masih bisa digjaya dengan 43,5% tetapi terus turun sampai titik terendah saat kekuasaan puncak otoritarian Soeharto pada Pemilu 1987 (15,97%) dan 1992 (17,01%). Mengapa ini bisa terjadi? Didukung oleh kekuatan represif, Soeharto berhasil melakukan proyek kuningisasi (baca: Golkar-isasi) yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya deideologisasi Islam.

Liberalisasi Modal : menata system rekrutmen kepemimpinanUmat Islam yang pada Pemilu 1955 berhasil diyakinkan oleh para politisi Islam akan pentingnya kekuatan politik Islam, maka pada era kekuasaan Soeharto berbalik diyakinkan bahwa tidak ada relevansi antara Islam dengan politik. Maka urusan politik betul-betul menjadi profan dan sebaliknya Islam hanya dipenjara pada urusan sakral, ritual. Deideologisasi Islam ini dilakukan sampai ke akar-akanya. Sehingga siapa saja yang memperjuangkan Islam politik, maka akan masuk bui. Bahkan secara intelektual, proyek ini pun diselaraskan dengan wacana “Islam Yes, Partai Islam No” dan ide sekularisasi lainnya yang digagas Nurcholish Madjid.

Page 4: POLITIK PENCITRAAN

Keyakinan-keyakinan yang ideal dalam masyarakat dunia, sampai saat ini tidak membawa hasil yang memuaskan. Ia yang awalnya,diharapkan membawa pembebasan dan jalan keselamatan,ternyata malah membawa kita menuju jurang pertikaian yang menelan banyak korban. Revolusi Perancis,civil war di Amerika, pembantaian oleh Nazi Jerman, rezim Stalin di Rusia,rezim Pol Pot di Kamboja, tragedi PKI di Indonesia, dan seterusnya adalah sebagian bukti-bukti yang menggiring pemahaman masyarakat bahwa ideologi berarti pembantaian antar manusia atas nama cita-cita luhur dan gagasan yang agung. Ideologi sebagai bagian dari peradaban manusia memang menampilkan wajah ganda. Hingga kini, ia dianggap sebagai sebuah kesadaran palsu. Ini seperti yang pernah dikatakan Karl Marx, kaum elit mendominasi pandangan awam tentang dunia yang kemudian menghasilkan kesadaran palsu. Tetapi menariknya ia juga seperti candu. Beberapa kali kita menyaksikan ideologi dipuja bagai sebuah agama sehingga penganutnya sanggup berjuang hingga meregang nyawa.

Bagaimanapun pertarungan ideologi ini tetap berlangsung. Kaum kapitalis dan sosialis membawa dialektika dalam keseharian hidup sosial kita. Di sisi lain,kaum sosialis pun,tak kalah “gertakan”. Karl Marx,mempelopori untuk menelanjangi keserahan kaum kapitalis melalui teori Materialisme dialektika-historis, Althusser dengan teori Strukturalis, Antonio Gramsci dengan Hegemoni, hingga teori “kritis”oleh Max Hokreimer dan para penerusnya yang mengajukan kembali konsep dasar Marx, yakni pembebasan manusia dari segala belenggu penindasan dan penghisapan, tetapi secara kritis dan antidogmatis sebagai antitesis dari teori-teori pembangunan. Mereka berlomba mencipta teori-teori baru untuk meyakinkan masyarakat dunia, bahwa ini adalah jalan menuju masa depan yang baik. Para teoritis kapitalis, misalnya,melahirkan teori-teori modernisasi, antara lain: teori pembangunan,teori tabungan dan investasi, dan sebagainya. Teori kaum ini yang mutakhir adalah ide tentang Neoliberalisme melalui gerakan globalisasi dan pasar bebas. Sebagai pintu masuk berbagai produk perundang-undangan yang memperluas kesempatan masuknya para investor global.

Ketidak berfihakan para pemimpin bisa dilihat dari sejumlah produk Undang-Undang (UU) yang lebih memenuhi kepentingan asing seperti UU Penanaman Modal dan UU tentang pengelolaan sumber daya air yang sangat merugikan kepentingan para petani sebagai pengguna terbesar air. “Kita tidak bisa menghentikan, juga tak bisa menyetop liberalisasi modal, tetapi minimal negera harus bisa membatasi modal. Sekarang ini kapitalisasi modal justru diteguhkan oleh negara,” terangnya

Kondisi ini semakin memprihatinkan dikarenakan partai adalah produsen utama para pemimpin di Indonesia. Karena itu menurut ketua IKA PMII ini, menjadi penting untuk mengingatkan para generasi muda di bawah umur 40 tahun yang nantinya menjadi para pemimpin tentang pentingnya keberfihakan pada rakyat kecil. Arief berpendapat, perlawanan memang dilakukan, tetapi tertelan oleh arus yang kuat. Masih diperlukan waktu yang panjang untuk membesarkan kelompok yang mampu melawan ini. Untuk saat sekarang kesabaran politik sangat diperlukan guna menata sistem rekrutmen kepemimpinan dimasa mendatang. Wakil Ketua Partai Demokrat Prof Dr Mubarok mengakui saat ini kualitas pemimpin yang ada hanyalah ‘pas-pasan’ karena itu

Page 5: POLITIK PENCITRAAN

diperlukan dukungan dan kerjasama semua fihak guna mendukung pemimpin tersebut serta kesabaran politik.

Tahun 2005, beberapa partai politik (parpol) menggelar hajatan besar mereka, berupa kongres atau pun musyawarah nasional (munas), pada bulan Desember Partai Golkar melaksanakan munasnya. Catatan apa yang menarik untuk diberikan pada parpol-parpol Indonesia. Tentu saja, pertama kali, perlu diuraikan kondisi obyektif sekaligus catatan bernada penilaian atas eksistensi dan kiprah parpol-parpol Indonesia pasca Orde Baru.

KEPUSTAKAANAchmad An'am Tamrin Demokrasi “voorskot”: strategi resistensi terhadap politik uang, Wednesday, 01 April 2009 20:44, http://www.jakartabeat.net/politikaAchwan, Rochman, "Good Governance": Manifesto Politik Abad Ke-21 , google 2010Administrator, Peran Pemuda Terjebak Pragmatisme Sesaat , 05 August 2009, http://www.hmifebugm.comAdmin, Pragmatisme Partai Ancam Bangsa, 08 Apr 2010 admin on Sun, 02/15/2009, Hak Asasi Manusia dalam Bayang-bayang Pragmatisme, Litbang Kompas, http://cetak.kompas.com/read/Admin(2008), Politik yang Berorientasi Nilai: Kuliah Umum Akbar Tandjung di SSSJakarta, 7 Juni 2005 Akbar Tandjung Chairman Akbar Tandjung Institute.Ahmad Suaedy(2008) Peta Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia:Masa Depan Islam Indonesia, http://www.gusdur.netAlfan Alfian, Dilema Golkar, Dilema Jusuf Kalla, Selasa, 06 November 2007ariedjito, Orde (paling) Baru   , Wednesday, 07 May 2008 Budi Mulyana, Pragmatisme Polugri Indonesia, google 2010.Chazizah Gusnita , Artis Jadi Caleg, Politik Indonesia Pragmatis, detikNews, Kamis, 17/07/2008 08:49 WIBDimas Bagus Wiranata Kusuma , Pragmatisme Politik Pemuda, Thursday, 15 October 2009 09:11 Duesseldorf, Nov 8, '06 4:13 AM, http://ediwahyu.multiply.com/journal/Dodi Ambardi, IDEOLOGI, KONSTITUEN, DAN PROGRAM PARPOL, Bukit Talita, 27 Februari - 1 Maret 2009freedom.institute.org/idEdiwahyu, Mendayung Diantara Dua Karang: Pemuda, Nasionalisme dan Pragmatisme, ediwahyu.multiply.com/journalEndrizal, MA, Century, Koalisi dan Pragmatisme Politik, 02 Maret 2010 | BP Erlangga Ida Fauziah , Julia Perez Wujud Pragmatisme, Selasa, 06/04/2010Iwan Januar , BAHAYA PRAGMATISME, Friday, 01 May 2009, KapanLagi.comMakmur Keliat, Peta Kekuasaan dan Kemiskinan, 2009 08 Tuesday, 31 March:01 KompasMarinus W, Koalisi Pragmatisme Vs Koalisi Deontologisme, . (Artikel April, 2009)Masdiana, Sarana Pragmatisme Politik, 06 april 2009 ,http://m.suaramerdeka.com/Max Regus , "Pragmatisme Religius", Menuju Sinkretisme Destruktif? , : http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0410/15/opini/1262288.htm M. Fadjroel Rahman, 2001 Pelopor dan Pengawal Revolusi Demokrasi: Gerakan Mahasiswa Sebagai Gerakan Politik Nilai, PSJ, 2001.

Nova Kurniawan, Pragmatisme Politik ‘09, Maret 26, 2009, Nova Kurniawan's Weblog

Page 6: POLITIK PENCITRAAN

NU Online , Ideologi Modal Jadikan Pragmatisme Politik , Kamis, 17 Juli 2008 Pandu Oscar Siagian , Koalisi dalam Ruang Pragmatisme Elit, Redaksi on Mei 5th, 2009 Peter G. Riddel, "The Diverse Voices of Political Islam in Post-Suharto Indonesia", Islam and Christian - Muslim Relations, Vol. 13, No. 1, 2002, hlm. 65 – 83Redaksi(2008), Maklumat Politik Indonesia, 11 Aug , http://swaramuslim.net/Utama Manggala(2007), Memilih Demokrasi untuk Indonesia, October 8.Sanusi Uwes PR(2009), Pragmatisme Partai Politik dan Bendera Islam , Thursday, 15 October.Todung Mulya Lubis(2008), Negara Pragmatis, Thu Nov 20.VIVAnews , Politik Kartel Atau Dinasti? Indonesia pasca reformasi bergerak ke arah format poltik baru. Perlu kritik dan refleksi. Dari Diskusi P2D, Senin, 26 Oktober 2009, 10:05 WIBWishnugroho akbar(2010), Birokrasi Harus Steril dari Kepentingan Politik, JakartaWemmy al-Fadhli , Fenomena Koalisi Pragmatis, Monday, 27 April 2009 20:33 Woodward, M., (Summer-Fall 2001), "Indonesia, Islam and the Prospect of Democracy" SAIS Review Vol. XXI, No. 2, hlm. 29-37. Zaenal Abidin EP, Majelis Ulama Indonesia: Pelanggeng Pragmatisme Religius, 24 Pebruari 2006M Ismail Yusanto: Pragmatisme Menggusur Idealisme Islam, Monday, 10 August 2009Afan Gaffar. Javanese Voters: A Case of Election Under A Hegemonic Party System, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.A. S. Hikam. Demokrasi dan Civil Society, LP3S, Jakarta,1996Burhanuddin (Editor), Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia, INCIS, Jakarta 2003. Carl J. Friedrich. Constitutional Governt and Democracy: Theory and Practice in Europe and America, Waltham, Mass : Blaisdell Publishing Company, 1967.Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1988.Jakob Oetama.Perspektif Pers Indonesia?, LP3S, Jakarta 1987.Max Webwr. Wirschaft und Gesellschaft, Tuebingen, JCB Mohr, 1956. (khususnya pada Bab I)Ignas Kleden. Budaya Politik atau Moralitas Politik, (Artikel), Harian Kompas, 12 Maret 1998.Ben Anderson. The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1945 (Disertasi) pada Universitas Cornell Amerika Serikat, 1967.Frans Neumann (Ed). Politische Theorien und Ideologien, Baden-baden, Signal-Verlag.Idrus Marham, Pemuda dan Jebakan Penjara Pragmatisme, Artikel dalam Jurnal Resonansi, volume 1 nomor 2 tahun 2003.Anderson, Benedict dan Audrey Kahin (eds.),  Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contribution to the Debate. New York: Cornell Modern Indonesia Project, 1982.Booth, Anne dan Peter McCawley (eds.), Boediono  (penerjemah),   Ekonomi Orde Baru: The Indonesian Economics During the Soeharto Era Jakarta: LP3ES, 1981. Crouch, Harold, The Army and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1978.Hill, Hal (ed), Indonesia’s New Order: The Dynamics of Socio-Economic Transformation.Honolulu: University of Hawaii Press, 1994.Karim, Muhammad Rusli, Peranan ABRI dalam Politik dan Pengaruhnya Terhadap Pendidikan

Page 7: POLITIK PENCITRAAN

Politik di Indonesia (1965-1979), Jakarta: Yayasan Idayu, 1981.Liddle, R. William,   Cultural and Class Politics in New Order Indonesia. Singapore, Institute ofSoutheast Asian Studies, 1977.Mas’oed, Mohtar, Negara, Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1994.Pabottinggi, Mochtar Sihbudi, Syamsuddin Haris, Riza (eds),Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru. Jakarta: PPW-LIPI Yayasan Insan Politika, 1995.Sanit, Arbi,  Sistem Politik Indonesia: Penghampiran dan Lingkungan. Jakarta: Yayasan Ilmu-IlmuSosial & FIS-UI, 1980.Van Der Kroef, J.M.,  Indonesia after Sukarno. Van Couver: Univ. of British Columbia Press, 1971.Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi.              Bandung: Simbiosa Rekatama Media.Effendy, Onong Uchjana. 1989. Kamus Komunikasi. Bandung: Mandar              Maju, hlm 264. Kam. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke-3 – Cetakan 1.           Jakarta: Balai Pustaka, hlm 828. Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study: A  Biographical Approach. New York:The Free Press.West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Pengantar teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Buku 1 edisi ke-3. Terjemahan. Maria Natalia            Damayanti Maer. Jakarta: Salemba Humanika. Wiryanto. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Cetakan ke-3. Jakarta: PT.             Grasindo-Gramedia Widiasarana Indonesia.Afan Gaffar. “Javanese Voters: A Case of Election Under A Hegemonic Party System”, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.A. S. Hikam. “Demokrasi dan Civil Society”, LP3S, Jakarta,1996Burhanuddin (Editor), “Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia”, INCIS, Jakarta 2003. Carl J. Friedrich. “Constitutional Governt and Democracy: Theory and Practice in Europe and America”, Waltham, Mass : Blaisdell Publishing Company, 1967.Miriam Budiardjo. “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, Gramedia, Jakarta, 1988.Jakob Oetama.“Perspektif Pers Indonesia”, LP3S, Jakarta 1987.Max Weber. “Wirschaft und Gesellschaft”, Tuebingen, JCB Mohr, 1956. (khususnya pada Bab I)Ignas Kleden. “Budaya Politik atau Moralitas Politik?”, (Artikel), Harian Kompas, 12 Maret 1998.Ben Anderson. “The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1945” (Disertasi) pada Universitas Cornell Amerika Serikat, 1967.Frans Neumann (Ed). ”Politische Theorien und Ideologien”, Baden-baden, Signal-Verlag.Idrus Marham, “Pemuda dan Jebakan Penjara Pragmatisme”, Artikel dalam Jurnal Resonansi, volume 1 nomor 2 tahun 2003.Harry Truman, Golkar Dalam Pusaran Politik Indonesia, Mar 22, '07 10:24 AMhttp://adetaris.multiply.comBerger, Arthur Asa. 1991. Media Analysis Techniques. California:Sage Publication

Page 8: POLITIK PENCITRAAN

Bignell, Jonathan. 2001. Media Semiotics, An Introduction. London: Manchaster University PressChomsky, Noam dan Edward S. Herman, 1988. Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media. New York:PantheonCurrant, James and Michael Gurevitch. 1991. Mass Media and Society .London :Edward ArnoldCurran, James and Richard Collins, 1986. Media, Culture and Society: A Critical Reader. London:Sage PublicationDenzin, Norman K. (eds). 2000. Handbook of Qualitative Research. California:Sage PublicEriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisa Teks Media. Yogyakarta:LKISFairclough, Norman. 1998. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London:LongmanFairclough, Norman. 1995. Media Discourse. New York:Edward ArnoldFiske, John. 1982. Introduction of Communication Studies. London:RoutledgeGuba, Egon. G,. 1990. The Paradigm Dialog. New York:Sage BooksHall, Stuart. 1992. Culture, Media dan Language. London:RoutledgeHardiman, Budi Francisco, 1990. Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta:KanisiusKolakowski, Leszek. 1978. Main Currents of Marxisme III. Oxford:Clarendon PressLatif, Yid dan Idi Subandy Ibrahim (eds). 1996. Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Jakarta:MizanLittlejohn, Stephen. 2002. Theories of Human Communication. California:Wadsworth Publishing CompanyLull, James. 1998. Media, Komunikasi, Kebudayaan; Suatu Pendekatan Global. Jakarta:YOIMagnis-Suseno, Franz. 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta:KanisiusMagnis-Suseno, Franz. 1991. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral dan Dasar Kenegaraan modern. Jakarta:GramediaMannheim, Karl. 1979. Ideologi dan Utopia. An Introduction to the Sociology of Knowledge. London:RoutledgeMcdonnell, Diane. 1986. Theories of Discourse: An Introduction. Oxford:Basil BlackwallMcquail, Dennis (ed). 2002. McQuail’s Reader in Mass Communication Theory. London:Sage PublicationsMills, Sara. 1991. Discourse. London:RoutledgeNeuman, Lawrence W. 2000. Social Research Methods. London:Allyn and BaconRaboy, Marc dan Bernard Dagenais (eds). 1995. Media, Crisis and Democracy: Mass Communication and the Disruption of Social Order. London:Sage PublicationReese, Stephen D,. 2001. Framing Public Life. New Jersey:Lawrence Earlbaum PublisherRiggins, Stephen H,. 1997. The Language and Politics of Exclusion: Others in Discourse. London:Sage PublicationRogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study. New York:The Free PressSaverin, Werner. 1997. Communication Theories: Origins, Methods and Uses in the Mass Media. New York:Longman

Page 9: POLITIK PENCITRAAN

Sen, Krishna dan David T. Hill. 2001. Media, Budaya dan Politik di Indonesia. Jakarta:PT Media Lintas Inti NusantaraShoemaker, Pamela cs (eds). 1991. Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content. London:Longman GroupShoemaker, Pamela cs (eds). 1996. Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content. London:Longman GroupSobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung:PT. Remaja RosdakaryaWimmer, Roger D. 2000. Mass Media Research: An Introduction. Singapore:Wadsworth PCVatikionis, Michail R.J. 1993. Indonesian Politics under Soeharto, Order, Development and Pressure for Change. New York:RoutledgeAlmond, Gabriel A. and G Bingham Powell, Jr.,Comparative Politics: A Developmental Approach . New Delhi, Oxford & IBH Publishing Co, 1976Anderson, Benedict, R. O’G., Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia . Ithaca: Cornell University Press, 1990.Emmerson, Donald,  K., Indonesia’s Elite: Political Culture and Cultural Politics. London: Cornell University Press, 1976.Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,  Pokok-pokok pikiran sekitar penyelenggaraan pemilu 1987: Laporan  Kedua, Bagian I, Transformasi Budaya Politik. Jakarta: LIPI, 1987.Rosenbaum, Wolter, A., Political Culture, Princeton. Praeger, 1975.Suryadinata, Leo,  Golkar dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik . Jakarta: LP3ES, 1992.Widjaya, Albert, Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: LP3ES, 1982