POLITIK MURAL: MEDIA RESISTENSI RAKYAT...
Transcript of POLITIK MURAL: MEDIA RESISTENSI RAKYAT...
POLITIK MURAL: MEDIA RESISTENSI RAKYAT
PALESTINA PADA MASA INTIFADHA
Skripsi
Dilaksanakan sebagai Salah Satu Tugas Akademik untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
Oleh:
Anto Langgeng Prayogo
1110022000007
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
POLITIK }ILRAL : },IEDIA RESISTEI{SI R4.KYAT PALESTITiA PADA
}.IASA tr{TIFADHA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakuitas Adab dari F{umaniora untuk lv{emenuhi Persl'aratan
I\,{emperoieh Gelar Sarj ana Human icra (S.Hum)
Oleh:
Antc Langgeng Prayogo
(1 1 10822000007)
Pernbimbing I Pembirnbing II
Dr. H. L{.Muslih Idris.I-e.}'fA
I'IIF: 19520903 t 986031001 NIP: 195907211997 &31081
PROGR.{NI STUDI SEJAR,{I{ DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HI.II{AT\IORA
L]-N-I VERS ITA S IS LA il{ NE GERI SYARIF }IIDAYATULLAH
JAICARTA
1136 H./2015 M.
H. Nurhasan. M.A
P E}{GE SAI"TA]{ PAIVITIAN UJIA}I
Skripsi dengan juciul PoLrrIK MURAL: NfEDIA RESISTEI.{SI RAKYATPALESTINA PADA I'IAsA I]\rrIFA]I{A teiah diujil<an dalam sidangt]runaqasvali Faktrltas Acjab dan FIun-ianiora Universitas Islam Negeri SvarifI{idavatullah Jakarta pada 13 N4aret 2015. Skripsi ini telah diterirna sebagai salah
s31u s,\'arat mer:tperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) pada program studiSejarah dan Kebudavaan Islam.
Jakarta. 13 Maret2015
Sidang h{unaqas3,ah
Sekretaris N4erangkap Anggota
NiP: 19690724 19970:^ | A01
Anugota
Penguii II
Arvaiia Rahraa. Ir4A
}.JIP: I 971A621 20Ci i2 2 0C1
Pembimbing
Pembirrbins I
Ketua Anguota
H. Nurhasan- l\4A
t9750117 200501 2 AA7
PengLrjil
bdul Haki
NIP: 19590203 1989903 I 003
Pembimbi
Dr. H \flA,luslih Idri
\iP: 19,.10901 193503 l00l NIP: 19694724 199701 i 0i)l
LEMBARAN PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli dari saya sendiri yang diajukan untuk
memenuhi syarat dalam memperoleh gelar Sarjana jenjang Strata Satu (Sl) di
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarla.
2. Sumber yang saya gunakan dalam ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli atau
merupakan hasil jiplakan karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta,5 Maret 2015
Anto Langgeng Prayogo
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Tidak ada untaian kata yang pantas penulis ucapkan untuk pertama kalinya
selain rasa syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat pada setiap
hamba-Nya berupa kecerdasan, seperti memudahkan penulis dalam membuat
skripsi ini. Dengan anugerah tersebut mudah-mudahan dapat menjadi manfaat
bagi kehidupan di dunia maupun akhirat. Dan tidak ketinggalan pula sholawat
serta salam penulis limpahkan kepada kekasih-Nya, Nabi Muhammad Shalallahu
‘Alaihi Wassalam, seorang Revolusioner yang telah menenggelamkan era
kejahiliyahan menuju tatanan kehidupan penuh kemuliaan dalam bendera Islam.
Dalam membuat sebuah karya skripsi, penulis membutuhkan waktu dan
suasana sebagai usaha untuk mencari inspirasi serta mood guna mengerjakan
skripsi ini dengan baik. Alunan musik dari salah satu band favorit L’arc~en~Ciel
dipilih sebagai partner dalam menemani setiap dentuman ketikan serta sebagai
langkah meningkatkan mood penulis. Walaupun demikian, pastinya dalam proses
pembuatan skripsi terdapat suatu kendala berupa kemalasan yang terkadang
menghantui diri penulis, namun pada akhirnya, sikap malas tersebut dapat penulis
atasi. Akan tetapi hal tersebut dapat dilakukan apabila kita mempunyai kemauan
serta niat yang kuat, dan diimbangi dengan usaha nyata. Sehingga atas adanya
sikap tersebut terciptalah target penulis, one day one page. Mengingat hal itu, kini
tidak terasa usaha yang dijalankan selama beberapa bulan tersebut telah
menghasilkan sebuah karya yang patut penulis banggakan, seakan waktu dan
tenaga yang telah digunakan tidak terbuang sia-sia.
Selain itu penulis juga mengucapkan rasa terima kasih kepada mereka
yang telah membantu, membimbing dan menemani penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini:
1. Bapak Prof. Dr. Oman Faturahman M.Hum, selaku Dekan Fakultas Adab
dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
ii
2. Bapak H. Nurhasan, M.A, selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan
Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah menyetujui dan
menerima judul skripsi ini sebagai tugas akhir penulis.
3. Ibu Sholikatus Sa’diyah, M.Pd, selaku Sekertaris Jurusan Sejarah
Kebudayaan Islam, yang selalu memberikan pelayanan kepada
mahasiswanya dengan baik.
4. Bapak Dr. H. M. Muslih Idris, Lc, M.A dan Bapak H. Nurhasan, M.A,
selaku dosen pembimbing yang telah menyempatkan waktu luangnya
untuk siap direpotkan serta dengan sabarnya memberikan arahan dan
masukan kepada penulis dalam membantu menyelesaikan penulisan
skripsi ini dengan baik.
5. Ibu Awalia Rahma, M.A, selaku ibunda penulis selama di kampus yang
telah memberikan nasehat, motivasi, dan masukan atas segala kegalauan
serta kegundahan penulis pada masa pencaharian judul skripsi.
6. Bapak Dr. Saidun Derani, M.A, selaku Dosen Pembimbing Akademik
yang dengan penuh perhatiannya telah membantu penulis dalam
merumuskan proposal skripsi, sehingga penulis mampu melanjutkan
tulisan ini pada tahap berikutnya.
7. Bapak dan Ibu Dosen yang selalu memberikan bimbingan dan pelajaran
selama penulis mengikuti perkuliahan.
8. Seluruh Staff Fakultas Adab dan Humaniora, yang telah memberikan
pelayanannya dengan baik dan tidak mempersulit penulis dalam usaha
mengumpulkan setiap syarat-syarat yang diperlukan.
9. Para karyawan/karyawati Perpustakaan Utama, khususnya Amcore yang
telah menyediakan fasilitas mendownload jurnal-jurnal online, sehingga
semakin mempermudah penulis mendapatkan bahan-bahan untuk skripsi
ini.
10. Kedua orang tua penulis, Ayahanda tersayang Bapak Sriyoto dan Ibunda
tercinta Ibu Lainah, yang secara tidak langsung telah membantu proses
penyeselaian skripsi ini. Penulis yakin Ayah dan Ibu pasti selalu
menyempatkan memberikan do’anya pada penulis, yang dengan do’a itu
telah memberikan kekuatan terhadap diri penulis. Semoga Allah SWT,
iii
selalu memberikan rahmat serta kasih sayang-Nya kepada Ayahanda dan
Ibunda tercinta. Maaf penulis belum bisa memberikan yang terbaik hingga
saat ini, terima kasih untuk semuanya. Semoga penulis yang sedang
mengenyam pendidikan ini bisa bermanfaat dan juga dapat mewujudkan
cita-citanya sehingga dapat melihat senyum bahagia dari kedua bibir Ayah
dan Ibu.
11. Nenek tercinta, Mbah Sidem yang selalu memberikan masakan-masakan
yang terbaik dan tanpa lelah rela bangun setiap sepertiga malam untuk
memulai aktivitas, sehingga hal tersebut menambah motivasi serta rasa
semangat penulis dalam mengerjakan tugas akhir ini.
12. Teman-teman, Endi, Nana, Hanafi, Hanifah, Agung, Iwan, Ela, Irna, Okta,
Lidya, Dian, dalam membantu menterjemahkan sebahagian teks yang
penulis tidak terlalu mamahaminya, serta kepada teman-teman satu
perjuangan SKI 2010 yang secara tidak langsung memberikan motivasi
dan semangat ketika penulis melihat kalian juga bekerja keras dalam
menyelesaikan tugas akhir ini. Tidak ketinggalan pula penulis
berterimakasih kepada teman-teman KKN Ceria 2013 (Desa Pabuaran -
Bogor) yang telah memberikan pengalaman serta cerita menarik selama
kita mengemban tugas sosial, dan kepada teman-teman LDK Syahid (An-
najm) yang hampir setiap harinya kita bertemu di PU untuk mengerjakan
skripsi bersama.
Semoga semua pihak yang membantu dan menyelesaikan Skripsi ini akan
selalu diberi pertolongan, meskipun penulis belum mampu membalas segala jasa
mereka, mudah-mudahan Allah swt selalu memberikan pintu berkah untuk
mereka, salut untuk mereka semua.
Jakarta, 5 Maret 2015
Anto Langgeng Prayogo
iv
ABSTRAK
Dalam sejarah perlawanan bangsa Palestina, perjuangan seperti perang fisik
ataupun diplomasi, telah marak diketahui publik global. Akan tetapi, tidak banyak
yang mengetahui tentang eksistensi mural sebagai media perlawanan Palestina.
Mural secara tersirat ataupun tersurat mempunyai makna di dalamnya, sehingga
mural dimanfaatkan kelompok pemuda untuk memobilisasi perjuangan rakyat
Palestina melawan cengkraman Israel. Penulis sebagai mahasiswa Sejarah
Kebudayaan Islam dengan konsentrasi Timur Tengah khususnya mengenai
Palestina, sangat tertarik terhadap pembahasan ini, dikarenakan dari berbagai
sumber tertulis belum ada yang menyinggung secara jauh tentang keberadaan
fenomena mural pada masa Intifadha. Jadi, studi ini bertujuan untuk menjelaskan
bagaimana fenomena perjuangan Intifadha melalui media mural. Penulis
menggunakan pendekatan antropologis dan teori terpaan media, di mana
pandangan seseorang diterpa secara terus menerus oleh isi pesan yang secara tidak
langsung akan menarik perhatian mereka. Melalui pendekatan serta teori tersebut
penulis menemukan bahwa mural memiliki peranan yang signifikan sebagai
bahasa protes dan perlawanan sebuah bangsa ketika dalam keadaan tertekan. Di
Palestina keberadaan mural telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan, karena
mural selalu hadir dalam mewarnai setiap langkah perjuangan bangsa Palestina.
Kata Kunci: Mural, Media, Perlawanan, Rakyat Palestina, Intifadha, Israel.
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
ABSTRAK ................................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Permasalahan....................................................................................... 5
1. Identifikasi Masalah ..................................................................... 5
2. Pembatasan Masalah ..................................................................... 5
3. Rumusan Masalah ........................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 6
D. Manfaat Penelitian .............................................................................. 6
E. Metode Peneltian ................................................................................. 7
F. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 9
G. Landasan Teori .................................................................................... 13
H. Sistematika Penulisan ......................................................................... 14
BAB II POLITIK MURAL ......................................................................... 16
A. Sejarah Mural ..................................................................................... 16
B. Mural di Beberapa Negara ................................................................. 19
1. Mural di Jerman ........................................................................... 20
2. Mural di Amerika Serikat ............................................................ 23
3. Mural di Irlandia Utara ................................................................. 25
4. Mural di Palestina ........................................................................ 31
BAB III BENTUK BARU RESISTENSI PALESTINA ........................... 34
A. Palestina ............................................................................................. 34
B. Konflik Palestina – Israel ................................................................... 35
C. Perlawanan Non Kekerasan Palestina ................................................ 38
D. Bentuk Non Kekerasan Palestina 1967-1987 ...................................... 40
E. Intifadha ............................................................................................. 44
BAB IV DINAMIKA POLITIK MURAL SEBAGAI MEDIA RESISTENSI
RAKYAT PALESTINA PADA MASA INTIFADHA ............................... 47
A. Munculnya Politik Mural di Palestina .............................................. 47
B. Mural Intifadha .................................................................................. 53
1. Mural pada Intifadha Pertama ..................................................... 54
vi
2. Mural pada Periode Oslo ............................................................. 63
3. Mural pada Intifadha Kedua ........................................................ 65
C. Makna dari Simbol Teks dan Gambar .............................................. 68
1. Teks Dinding .............................................................................. 69
2. Gambar Dinding ......................................................................... 71
D. Tema-tema Mural Intifadha .............................................................. 73
1. Tahanan Palestina ....................................................................... 74
2. Kesyahidan ................................................................................. 75
3. Nakba Day .................................................................................. 76
E. Dampak Mural .................................................................................. 78
1. Bagi Rakyat Palestina ................................................................. 79
2. Sikap dan Respon Tentara Israel ................................................ 80
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 84
A. Kesimpulan ......................................................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 86
LAMPIRAN-LAMPIRAN .......................................................................... 91
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Membahas mengenai media khususnya di era modern seperti sekarang ini,
hampir dipastikan pikiran seseorang akan tertuju pada bentuk media seperti;
internet, televisi, radio, dan surat kabar. Hal itu dikarenakan bahwa media-media
tersebut telah menjadi bagian dari kehidupan umat manusia, baik dalam urusan
berkomunikasi atau sekedar mendapatkan informasi. Namun, bentuk media tidak
hanya sebatas pada media cetak dan elektronik semata, tetapi juga melalui sebuah
karya seni, dalam hal ini mural.1 Mural merupakan lukisan besar yang terpajang
pada dinding ruang publik.2 Pada era modern, mural sangat dikenal dengan
konten-konten berbau pesan kritik sosial dan politik terhadap pemerintahan di
suatu wilayah tertentu. Pada hakikatnya mural terbentuk melalui tangan para
pemuda yang dinilai anarkis oleh sebagian masyarakat umum, oleh sebab itu
maka tidak jarang mural disebut sebagai polusi pemandangan. Namun, perlu
dicatat bahwa sesungguhnya aksi mencoret-coret dinding di sebagian wilayah
dunia yang sedang mengalami konflik, merupakan tindakan kritis. Sehingga
dalam lanskap tersebut, mural tidak hanya sebatas penghias mata (baca: visual),
1Mural merupakan salah satu karya visual dengan bermodelkan penuh warna, motif, dan
komposisinya terdapat pada ruang publik. Lihat Mikke Susanto, Diksi Rupa, (Yogyakarta:
Kanisius, 2002, h.77). 2Secara teknis mural memang terlihat berbeda dengan graffiti yang hanya berfokus pada
aksara kata atau kalimat tertentu. Namun, secara garis besar mural dan graffiti sama-sama
menggunakan medium dinding, sehingga menjadikan keduanya masih dalam lingkaran kesatuan
seni jalanan. Dalam kasus di Palestina kemunculan mural hampir selalu dibarengi dengan
kehadiran graffiti di sisinya sebagai penguatan arti yang disampaikan lukisan dinding tersebut.
Jadi, dengan demikian hadirnya mural di Palestina tidak dapat dipisahkan dari graffiti. Lihat Julie
Peteet. “The Writing on the Walls: the Graffiti of the Intifada”, Cultural Anthropology, Vol. 11,
no. 2, (1996), h. 147.
2
tetapi juga penuh unsur pesan di dalamnya, sebagai langkah untuk memobilisasi
massa. Alasannya, karena mural yang terbentuk di wilayah berkonflik lebih
efektif daripada wilayah dengan status damai, hal tersebut dikarenakan audiens
merasa ikut terjebak di dalamnya. Dengan demikian, sangat tidak aneh apabila
para pelaku pembuat mural selalu berhadapan dengan aksi pemukulan serta
penangkapan oleh aparat penegak hukum.
Dalam sejarahnya mural telah memainkan peranannya di berbagai belahan
negara atau wilayah yang sedang mengalami konflik seperti di Amerika Serikat,
Irlandia Utara, dan Tembok Berlin Jerman.3 Namun yang lebih menariknya,
penampakkan mural ternyata juga terlihat pada wilayah yang selama ini dianggap
kaku seperti Timur Tengah, dan Palestina telah menjadi bangsa yang membantah
anggapan tersebut.
Di Palestina, kehadiran mural diakibatkan karena efek gerakan Intifadha
yang muncul pada tahun 1987. Intifadha berasal dari bahasa Arab (nafadha) yang
berarti kebangkitan, mengguncang, dan revolusi.4 Istilah ini digunakan untuk
3Tembok Berlin menjadi batas pemisah antara Jerman Barat dan Jerman Timur selama
masa Perang Dingin (1961). Segala perbedaan antar kedua wilayah tersebut menjadi tampat yang
sempurna bagi setiap orang untuk mengekspresikan pendapat mereka, khususnya tentang
keinginan dan penolakan yang dituangkan melalui dinding-dinding tersebut. Sehingga Tembok
Berlin bagian barat memiliki karya seni yang sepenuhnya menutupi dinding, sementara pada sisi
Berlin bagian Timur dijaga untuk selalu bersih dari warna-warni cat mural, karena masyarakat
tidak diizinkan untuk melukis apapun oleh pemerintah di sana. Namun setelah runtuhnya Tembok
Berlin pada tahun 1989, sekelompok seniman internasional diundang untuk membuat mural pada
sisi bagian Timur Tembok sebagai reaksi mereka atas runtuhnya Tembok tersebut. Akhirnya,
mural-mural di Tembok Berlin menjadi populer dikalangan seniman dari seluruh dunia dan objek
menarik bagi para wisatawan. Sebagian konteks lukisan mural tersebut adalah refleksi historis,
untuk mengingatkan mereka tentang peristiwa yang pernah dialami Jerman. Lihat Miglena
Ivanova, “Graffiti and the Symbolic Dismantling of the Berlin Wall”, (Anthropology of Culture,
Vol. 02/2013, h. 157). 4Dr Fathi Ibrahim Shaqaqi, Sekjen pertama Gerakan Jihad Islam Palestina mengatakan,
“Dalam sejarah revolusi dan perjuangan, kata intifada memiliki latar belakang yang panjang. Akan
tetapi dari sisi makna, intifada berarti kebangkitan menggantikan masa kevakuman. Intifada adalah
tahap pendahulu bagi sebuah revolusi. Misalnya, di Iran, terjadi kebangkitan di madrasah Feiziyah
Qom. Kebangkitan itu kita namakan intifada, sebab gerakan itu pada tahun 1979 membuahkan
3
menggambarkan pemberontakan rakyat Palestina melawan pemerintahan
pendudukan Israel. Namun bangsa Barat memandang Intifadha sebagai suatu
pemberontakan dengan kekerasan.5 Sedangkan menurut dunia Arab, Intifadha
adalah bentuk sah dari sebuah pemberontakan dan menjadi salah satu cara untuk
mencapai kemerdekaan sehingga terlepas dari penindasan Israel.
Gerakan Intifadha dikenal dengan kecepatan dan kekuatan yang muncul
secara tiba-tiba.6 Padahal saat dekade 1980-an, rakyat Palestina tidak memiliki
sarana dan fasilitas apapun untuk memperjuangkan kebebasan negeri mereka
melawan tentara Israel. Namun, keterbatasan akses tersebut tidak menyurutkan
langkah rakyat Palestina dalam bertindak, dan faktanya secara serentak rakyat
Palestina berani bangkit untuk melawan walaupun hanya bermodalkan batu
sebagai senjata pembelaan diri.
Berbicara mengenai konteks Intifadha, memang tidak dapat dipisahkan
antara Intifadha dengan batu, karena batu dalam Intifadha merupakan perangkat
revolusioner. Dewasa ini, telah menjadi rahasia umum bahwa gambaran seorang
remaja sedang melempar batu mendominasi presentasi publik terhadap Intifadha.
Akan tetapi kali ini, batu dapat berfungsi lebih dari sekedar senjata pertahanan,
dengan menjadikannya sebagai senjata cetak, dalam hal ini dinding. Dengan
dominasi sebuah batu dan dinding, maka lanskap yang diciptakan telah tersedia,
kemenangan revolusi. Apa yang terjadi saat ini di Palestina tak lain adalah tahap bagi sebuah
revolusi. Kita tak pernah membayangkan gerakan kebangkitan ini akan berjalan secara luas dan
universal seperti ini. Kita namakan gerakan ini dengan nama intifada. Karena itu, kami di Gerakan
Jihad Islam menyebut kebangkitan ini sebagai intifada dan revolusi.” Sumber:
http://beritapalestina.com/sejarah-intifada-palestina-kami-lawan-zionis/, (akses 2/2/15). 5Robert A. Pape, James K. Feldman. Cutting the Fuse: The Explosion of Global Suicide
Terrorism and How to Stop It, (Universityof Chicago Press, 2010), h. 219. 6Orang Palestina menyebut Intifadha seperti seekor kalajengking yang muncul secara
tiba-tiba di tangan anda dan secara reflex anda akan menggoyang-goyangkannya dengan agresif.
Lihat Gary M. Burge, Palestina milik siapa?, (Surabaya: BPK Gunung Mulia, 2003, h. 56)
4
yaitu sejata yang mudah diakses; berawal dari mengajak berkomunikasi, menjadi
menyerang, dan sekaligus bertahan (baca: mural).
Selama masa-masa Intifadha, mural telah mewarnai setiap perjuangan
rakyat Palestina, mereka hadir untuk memobilisasi masyarakat agar ikut terlibat
ke dalam aksi solidaritas menentang pendudukan Israel. Dalam setiap harinya
mural selalu muncul bahkan konten mereka selalu berubah-ubah dalam setiap
waktunya, baik pagi, sore, dan malam hari, sesuai dengan kondisi tertentu.
Sehingga tidak mengherankan jika lanskap budaya yang paling mencolok mata
dari terjadinya aksi Intifadha pada tahun 1987 adalah banyaknya penampakkan
mural di setiap dinding Palestina.7
Namun sayangnya, dari berbagai literatur yang membahas mengenai
masalah Palestina, sedikit sekali yang mangkaji lebih jauh mengenai keberadaan
fenomena mural. Padahal faktanya, mural telah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari Intifadha, sebagai media mobilisasi massa terkait keterbatasan
akses. Dengan latar belakang ini, penulis sangat tertarik membahas lebih jauh
tentang eksistensi mural di Palestina. Dengan sumber-sumber tertulis yang penulis
dapatkan, penulis menelaah bahwa keberadaan mural di setiap wilayah yang
sedang berkonflik merupakan bentuk dari identitas: seni, nasionalisme,
perlawanan, kebanggaan, harga diri, dan semangat. Dan secara tidak langsung,
mural seperti halnya sebuah cerita tentang suatu rakyat yang hidup dengan penuh
tekanan, namun berusaha melawan dengan kelemahan mereka.
7Julie Peteet. “The Writing on the Walls: the Graffiti of the Intifada”, Cultural
Anthropology, Vol. 11, no. 2, (1996), h. 139.
5
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Dengan melihat latar belakang di atas, ada sejumlah masalah yang dapat
diidentifikasi antara lain:
1. Media-media perlawanan;
2. Terciptanya mural;
3. Seni mural menjadi sarana politik;
4. Pandangan masyarakat terhadap mural;
5. Afiliansi pembuat mural kepada faksi-faksi politik;
6. Perkembangan politik mural;
7. Peran fungsi yang dibawakan;
8. Dampak keberadaan mural.
2. Pembatasan Masalah
Dari beberapa identifikasi masalah di atas, maka penulis batasi tulisan
sesuai dengan judul studi ini di antaranya:
1. Mural sebagai media perlawanan Palestina;
2. Mural selama masa Intifadha (1987-1993 dan 2000-2005).
3. Rumusan Masalah
Rumusan pokok masalah dari studi ini adalah bagaimana fenomena
keberadaan mural di Palestina bagi rakyatnya selama masa Intifadha?
Adapun sub pertanyaan pokoknya adalah sebagai berikut:
6
1. Bagaimana perkembangan mural di Palestina pada masa Intifadha?
2. Tema besar apa saja yang selalu muncul pada pembahasan mural
selama terjadinya Intifadha?
3. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari fenomena mural bagi rakyat
Palestina ataupun bagi tentara Israel?
C. Tujuan Penelitian
Sebagaimana mestinya sebuah penelitian, penelitian ini pun memiliki
tujuan untuk menjelaskan peran mural terhadap perjuangan rakyat Palestina pada
masa Intifadha. Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui bagaimana perkembangan mural di Palestina pada
masa Intifadha.
2. Mengetahui bagaimana peran fungsi mural di Palestina.
3. Serta mengetahui dampak yang ditimbulkan mural bagi rakyat
Palestina.
D. Manfaat Penelitian
Selain tujuan, dalam penelitian ini pun diharapkan memiliki manfaat.
Untuk itu, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Bagi penulis, skripsi ini diharapkan dapat diterima sebagai prasyarat
kelulusan penulis untuk mendapatkan gelar S. Hum.
2. Memberikan hasil karya penelitian sebagai bahan bacaan teman-teman
Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora khususnya, terlebih lagi
kepada teman-teman Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah secara
umum terkait tema yang diambil tentang mural di Palestina.
7
3. Skripsi ini penulis harapkan dapat meneruskan penelitian untuk studi
S2 tentang mural di Palestina.
E. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode historis, yaitu sebuah
metode yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis peristiwa-
peristiwa masa lampau yang bertumpu pada empat langkah di antaranya,
heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi.8
Ada pun sistematika yang dilakukan dalam metode historis, di antaranya
sebagai berikut:
1. Heuristik
Heuristik merupakan tahap pertama, yakni kegiatan pengumpulan data
atau sumber. Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data-data sebagai bahan
penulisan dengan melakukan penelitian kepustakaan (Library Research), merujuk
pada sumber-sumber yang berhubungan dengan tema skripsi penulis, dapat
berbentuk buku, jurnal, buletin, koran, foto, dan sebagainya. Dalam upaya
mendapatkan bahan-bahan tersebut, penulis mengunjungi beberapa perpustakaan,
seperti; Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Adab
dan Humaniora, Perpustakaan UI Depok, Perpusnas (Perpustakaan Nasional).
Selain melakukan penelitian kepustakaan, penulis juga melakukan search online
dengan mengunjungi American Corner di Perpustakaan Utama UIN Jakarta guna
mendapatkan jurnal-jurnal online. Penulis juga mengunjungi beberapa situs
pemberitaan online dari media lokal maupun internasional seperti, Kompas.com,
8Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah, cet II, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2007), h. 54.
8
Republika.com, Al-Jazeera.com, The Guardian.com, Al-Monitor.com dan
CNN.com.
2. Kritik Sumber
Kritik sumber merupakan tahap yang kedua setelah melakukan
pengumpulan data. Dalam tahap ini penulis menganalisis dan mengkiritisi
sumber-sumber yang didapat serta melakukan perbandingan terhadap sumber-
sumber yang didapat agar mendapatkan sumber yang valid dan relevan dengan
tema yang dikaji penulis.
3. Interpretasi
Setelah sumber-sumber yang didapat dianalisis dan dikritisi, tahapan
selanjutnya yang dilakukan ialah penulis mencoba menafsirkan terhadap sumber
yang telah dikritisi dan melihat serta menafsirkan fakta-fakta yang didapat oleh
penulis, sehingga mendapatkan pemecahan atas permasalahannya.
4. Historiografi
Terakhir penulis menuliskan pemikiran dari penelitian serta memaparkan
hasil dari penelitian sejarah secara sistematik yang telah diatur dalam pedoman
skripsi, sehingga penelitian ini bukan hanya baik dari segi isi tetapi juga baik
dalam metode penulisannya. Tahapan terakhir ini disebut dengan historiografi.9
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan antropologi.
Antropologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan tata
cara kehidupan serta proses perjalanan manusia itu sendiri. Sartono Kartodirdjo
9Hariyono, Mempelajari Sejarah Secara Efektif, (Yogyakarta: Pustaka Jaya, 1995), h. 109
9
mengatakan, pendekatan antropologi mengungkapkan nilai-nilai, status dan gaya
hidup, sistem kepercayaan dan pola hidup yang mendasari perilaku seseorang.10
Antopologi dan sejarah pada hakikatnya memiliki objek kajian yang sama, ialah
manusia dan pelbagai dimensi kehidupannya. Kedua disiplin ilmu tersebut dapat
dikatakan hampir tumpang tindih, sehingga seorang antropolog terkemuka, Evans-
Pritchard, menyatakan bahwa ”antropologi adalah sejarah”.11
Dalam hal ini,
pendekatan antropologi digunakan penulis pada studi ini adalah untuk melihat
bagaimana sikap dan perilaku masyarakat Palestina terhadap fenomena
keberadaan mural di wilayahnya.
F. Tinjauan Pustaka
Dari hasi penelusuran penulis, penulis menemukan beberapa skripsi dari
Mahasiswa jurusan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang membahas Palestina. Beberapa skripsi tersebut menjadi tinjauan
pustaka dalam penulisan ini di antaranya:
1. Skripsi yang berjudul Konflik Arab-Israel: Pengusiran Etnis Palestina dan
Diaspora Etnis Palestina, ditulis oleh Rian Yuliana (2011). Dalam skripsi
tersebut ia menjelaskan tentang konflik Arab-Israel yang berujung pada
terdiasporanya penduduk Palestina ke berbagai wilayah. Dimulai setelah
Perang Dunia I usai, dan turki merupakan pihak yang kalah, sedangkan
Zionis menjalin hubungannya dengan Inggris yang menggantikan posisi
Turki sebagai penguasa Palestina. Inggris mendukung Zionisme dengan
10
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodelogi Sejarah, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 4. 11
Takako Yoshikawa, Evans Pritchard's humanism and the development of anthropology,
(Durham: Durham University), h. 41.
10
maksud agar kekuasaan mereka di Timur Tengah tetap terjamin. Hal
tersebut ditambah dengan keluarnya surat dari Menteri Luar Negeri
Inggris, Arthur James Balfour, kepada para tokoh Zionis tentang kesediaan
Inggris mendukung Zionis, sehingga kaum zionis mendapatkan angin
segar, dan orang-orang Yahudi yang tersebar di seluruh dunia mulai
bermigrasi ke Palestina. Atas kejadian ini Palestina dibagi menjadi dua
bagian, yaitu 55 persen untuk orang-orang Israel dan 45 persen untuk
orang Palestina. Dan akibatnya orang-orang Palestina dengan terpaksa
pergi dari wilayahnya menuju kamp-kamp pengungsian yang tersebar di
berbagai wilayah bahkan di beberapa negara tetangga seperti Yordania,
Suriah, dan Libanon,
2. Skripsi yang berjudul, Pandangan Abdurrahman Wahid terhadap Konflik
Palestina Israel, dibuat oleh Johan Wahyudi (2011). Skripsi ini
menjelaskan bahwa konfli Palestina-Israel telah mengundang banyak
perhatian tokoh intelektual muslim dunia, termasuk Abdurrahman Wahid
(Gus Dur). Dalam pandangan Gus Dur, dari konflik ini harus ada kerelaan
dari kedua belah pihak untuk hidup berdampingan sebagai dua negara
yang berbeda. Walaupun sebagian kaum muslim menganggap perdamaian
merupakan sebuah hal yang tabu, namun dibantah dengan tegas olehnya,
karena upaya menerima perdamaian adalah langkah kongkret untuk
menyelesaikan masalah tersebut.
3. Sedangkan skripsi berikutnya berjudul, Kebijakan Politik Palestina pada
masa Presiden Yaseer Arafat (1994-2004) yang ditulis oleh Ashabul Kahfi
Saparudin (2014), skripsi tersebut menjelaskan tentang beberapa
11
kebijakan-kebijakan pemerintahan Yaseer Arafat dalam usahanya
memerdekakan Palestina secara de jure. Yaseer Arafat merupakan tokoh
sekaligus pemimpin yang sangat berpengaruh dan kontroversial. Disebut
kontroversial karena perjuangan yang ia lakukan melalui proses kebijakan-
kebijakan perundingan, padahal kala itu perlawanan fisik seolah menjadi
satu-satunya jalan bagi kemerdekaan bangsa Palestina.
4. Selanjutnya skripsi yang berjudul, Gerakan Intifada dan Dampaknya
terhadap Perjuangan Palestina, ditulis oleh Gustin Aryani (2010). Skripsi
ini menuliskan tentang hadirnya Intifadha merupakan sebuah periode
kebangkitan rakyat Palestina untuk melawan rezim zionis Israel.
Terjadinya Intifada ini menyusul dari semakin kerasnya aksi terror yang
dilakukan Israel. Di samping itu rakyat palestina juga telah berputus
harapan atas bantuan dari pemerintahan Barat dan organisasi-organisasi
intern Palestina yang pada hakikatnya tidak dapat membebaskan Palestina
dari cengkraman Israel. Dampak dari Intifada adalah melahirkan sebagian
gerakan-gerakan yang berjuang melalui senjata seperti Hamas ataupun
Brigade al-Qassam, sebagai langkah untuk mengusir keberadaan Israel
dari tanah Palestina.
5. Penulis juga menemukan satu skripsi yang membahas mengenai Palestina
namun ditulis oleh Mahasiswa jurusan Ilmu Politik, Ubaidallah dengan
judul, Pengaruh Gerakan Jihad Izzudin Al Qassam terhadap Perjuangan Rakyat
Palestina Sebelum dan Sesudah Berdirinya Negara Israel. Dalam skripsi ini,
Izzuddin al-Qassam merupakan seorang ulama yang identik dengan jihadnya.
Seluruh kehidupannya difokuskan pada pembebasan umat Islam dari belenggu
penjajahan, baik dari tanah kelahirannya atau Palestina. Kedatangan Izzuddin ke
12
Palestina adalah untuk berjihad di medan perang. Perjuangannya ia tuangkan
dalam sebuah organisasi, yang kemudian hari dinamakan organisasi jihad. Motif
kedatangannya hanya untuk berjihad memerangi Inggris dan mengusir kaum
Yahudi. Dalam organisasi ini Izzuddin al-Qassam menuangkan idenya, baik dari
sistem perekrutan, pengkaderan, program organisasi, dan lainnya. Titik
perjuangannya adalah berjihad dengan mengangkat senjata. Perjuangan Izzudin
telah memberikan motivasi sekaligus tamparan bagi rakyat Palestina yang
seharusnya perjuangan tersebut dilakukan oleh mereka. Akibatnya, ide dan
aktivitas Izzuddin memberikan dampak yang signifikan terhadap perjuangan
rakyat Palestina, baik sebelum atau sesudah berdirinya Israel.
Dari beberapa judul yang telah diuraikan di atas, secara keseluruhan
pembahasan mereka mengenai Palestina. Akan tetapi, dari semua uraian tersebut
sama sekali tidak ada yang menyinggung masalah mural di Palestina pada masa
Intifadha. Penulis hanya menemukan sebuah skripsi dari Gustin Aryani yang
merupakan mahasiswa SKI, dengan judul Gerakan Intifada dan Dampaknya
terhadap Perjuangan Palestina. Namun, walaupun tema yang dibawakan sama-
sama membahas Intifadha, tetapi pada bagian ini perbedaan penulis dengan
skripsi tersebut adalah pada aspek kajian, yaitu mengenai fenomena mural pada
masa Intifadha, sehingga hal ini menjadi pembeda antara skripsi penulis dengan
pembahasan skripsi sebelumnya.
13
G. Landasan Teori
Pada penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan teori Media
Exposure (Terpaan Media).12
Terpaan media diartikan sebagai suatu kondisi di
mana orang diterpa oleh isi media atau bagaimana isi media menerpa audiens.
Kelompok pergerakan Palestina percaya bahwa target (audiens) perlu
mendapatkan bombarder exposure agar pesan perjuangan dapat
mempengaruhinya. Pesan bertubi-tubi yang datang melalui lukisan mural sangat
penting karena memiliki potensi untuk mendapatkan perhatian dari audiens. Hal
tersebut dikarenakan manusia tidak dapat terlepas dari sifat alaminya dalam
melihat. Perilaku ini menurut Blumler dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti:
1. Surveillace, yaitu kebutuhan individu untuk mengetahui
lingkungannya.
2. Curiosity, yaitu kebutuhan individu untuk mengetahui peristiwa-
peristiwa menonjol di lingkungannya.
3. Diversion, yaitu kebutuhan individu untuk lari dari perasaan tertekan,
tidak aman, atau untuk melepaskan ketegangan jiwa.
4. Personal identity, yaitu kebutuhan individu untuk mengenal dirinya
dan mengetahui posisi keberadaannya di masyarakat.13
Sissors dan Bumba mendefinisikan bahwa terpaan media lebih dari
sekedar mengakses media. Terpaan media tidak hanya menyangkut apakah
seseorang secara fisik cukup dekat dengan kehadiran media massa, tetapi apakah
12
Joseph Straubhaar, Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology,
(Cengage Learning, 2011), h. 134. 13
J. G. Blumler, & E. Katz. The Uses of Mass Communications: Current Perspectives on
Gratifications Research, (Beverly Hills: Sage, 1974), h. 19-20.
14
seseorang itu benar-benar terbuka terhadap pesan-pesan media tersebut (baca:
terpengaruh). Terpaan media merupakan kegiatan mendengarkan, melihat, dan
membaca pesan media massa atau mempunyai pengalaman dan perhatian terhadap
pesan tersebut yang dapat terjadi pada individu atau kelompok.14
Pada penelitian ini, pesan politik perjuangan Palestina menggunakan
sebuah seni mural sebagai bahan medianya. Media tersebut tidak hanya berisi
tulisan atau gambar tanpa makna, akan tetapi mereka mengandung unsur
pengalaman rakyat Palestina sendiri sehingga dengan hanya melihat dan
membaca, para audiens Palestina mengerti apa yang disampaikan pada layar
dinding. Hal tersebut juga ditambah dengan adanya terpaan dari mural yang
membuat mereka tidak dapat terlepas dari daya tarik yang dimunculkan dari
lukisan atau gambar tersebut.
H. Sistematika Penulisan
Skripsi ini akan terdiri atas lima Bab pembahasan dengan rincian:
Bab I (pertama), membahas tentang signifikansi tema yang diangkat,
pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, pendekatan dan
metode penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori serta sistematika penulisan.
Bab II (kedua), membahas tentang sejarah mural serta keberadaannya
dibeberapa negara.
14
Jack Sissors dan Lincoln Bumba. Advertising Media Planning, (Indiana: Contemporary
Pubishing Company, 1995), h. 69.
15
Bab III (ketiga), membahas tentang bentuk perlawanan nonfisik Rakyat
Palestina.
Bab IV (keempat), membahas tentang dinamika politik mural sebagai
media resistensi rakyat palestina pada masa intifadha.
Bab V (kelima), berisi kesimpulan, tentang segala pertanyaan yang
diajukan penulis.
16
BAB II
POLITIK MURAL
A. Sejarah Mural
Mural1 menurut Susanto, merupakan lukisan besar yang berguna untuk
mendukung ruang arsitektur, jika didefinisikan lebih lanjut maka mural tidak dapat
dilepaskan dari tata ruang bangunan dalam hal ini dinding.2 Dinding dipandang tidak
hanya sebagai pembatas ruang pada sebuah bangunan rumah dan gedung, namun
dapat juga sebagai medium guna memperindah ruangan.
Mural termasuk salah satu bentuk dari seni visual. Mural bukan seni yang
berdiri tanpa adanya makna, melainkan ia berdiri dengan ribuan pesan yang
terkandung di dalamnya. Mural merupakan seni visual tertua yang pernah hidup di
dunia, dan diperkirakan telah ada jauh sebelum peradaban modern lahir yaitu sekitar
30.000 tahun SM. Sejak ditemukannya sejumlah gambar prasejarah pada dinding gua
di Lascaux, selatan Perancis. Gambaran tersebut melukiskan aksi-aksi berburu dan
aktivitas religius, sehingga acapkali hal ini disebut sebagai bentuk awal dari seni
mural.3 Pada zaman tersebut mural digunakan sebagai sarana mistik maupun spiritual
untuk membangkitkan semangat berburu. Mural dilukiskan dengan cara mengukir,
1Mural berasal dari bahasa latin Murus yang berarti dinding. Dalam KBBI online Mural
berarti lukisan pada dinding. Sumber : http://kbbi.web.id/mural (akses: 20/9/14) 2Mikke Susanto. Diksi Rupa, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 76
3P. G. Bahn, The Cambridge Illustrated History of Prehistoric Art, (Cambridge: Cambridge
University Press, 1997), h. 33
17
menatah, dan melukis menggunakan cat air yang terbuat dari sari buah limun, dan
biasanya berbentuk manusia atau hewan.
Seiring perkembangan zaman dan peradaban manusia, mural mengalami
transformasi dari sebuah media ritual menjadi salah satu kaya seni pelengkap elemen
ruang seperti; dinding, langit-langit, dan permukaan datar lainnya. Seni pelengkap
elemen ini digadang-gadang telah muncul pada Loggia4 di kota Pompeii, yaitu suatu
ruang terbuka yang berada di dalam badan ruang bangunan.
Pada masa kerajaan Romawi, mural menjadi salah satu identitas keindahan
dari segi arsitektur bangunan. Selain sebagai identitas, mural juga melambangkan
semangat spiritualitas kaum Katolik Roma. Mural yang bersifat spiritual
menghidupkan imajinasi dari adanya kehidupan setelah kematian.5
Seni mural mulai berkembang sebagai seni modern yang bersifat sosial politik
di tahun 1920-an di Mexico, saat itu pelopornya adalah Diego Rivera, Jose Clemente
Orozco dan David Alfaro6. Namun, Cikal bakal mural politik yang dibuat pada
4Loggia merupakan ruang atau gedung dengan sisi terbuka yang membentang di sepanjang
bagian depan atau di samping bangunan. (sumber: http://artikata.com/arti-109045-loggia.html, akses
20/9/14). 5Mario Sironi. Manifesto of Mural Painting. Art in Theory 1900-1990: Anthology of
Changing Ideas. Eds Charles Harrison and Paul Wood. (Oxford: Blackwell Publishing, 2007), h.107. 6Diego Rivera yang lahir pada tahun 1886 ini adalah salah satu tokoh pemimpin gerakan
mural di Mexico tahun 1920-an. Ia seorang anggota Partai Komunis di Mexico. Karya mural
politiknya sangat terkenal di Mexico. Sasaran yang biasa dituju dari karyanya tersebut adalah semacam
penguasa, gereja, dan kapitalisme.
Jose Clemente Orozco lahir pada tahun 1883, lebih muda tiga tahun dari Diego Rivera. Ia
seorang pelukis dari Mexico yang terkenal berani dalam membuat karyanya. Ia juga dikenal sebagai
muralis yang kompleks, tema yang lebih disukai adalah tentang penderitaan manusia tetapi kurang
realistik dan lebih tertarik dengan apa yang dibuat oleh Diego Rivera.
David Alfaro Squeiros lahir dengan nama baptis José de Jesús Alfaro Siqueiros pada 29
Desember 1896. Merupakan tokoh muralis paling muda di antara Rivera dan Jose. Ia seorang pelukis
realis sosial Mexico yang karyanya lebih dikenal dengan mural besar pada ruangan terbuka. Dan ia
18
dinding terbuka muncul ketika Pablo Picasso telah menyelesaikan lukisan yang
berjudul Guernica7 dengan menggunakan media berupa sebidang kanvas yang
besarnya menyerupai dinding, dan di dalam lukisan tersebut, bercerita tentang perang
sipil di Spanyol.8 Namun, lukisan yang menyuarakan tentang kritik sosial dan politik
ini dibawakan dengan gambar yang humoris, sehingga kesan yang tergambarkan
bersifat sindiran ataupun ejekan. Hal ini dilakukan sebagai cara untuk menghindari
bentrokan dengan otoritas setempat.9
Lukisan tersebut menjadi titik awal cikal bakal munculnya mural politik.
Sejak saat itulah beberapa negara yang sedang mengalami konflik menggunakan
media mural sebagai bentuk penyampaian sebuah pesan yang mengandung kritik
ataupun sebagai alat propaganda kepada audiens yang menyaksikannya. Beberapa
negara yang menggunakan mural sebagai media untuk menyampaikan pesan kritik
ataupun propaganda politik, seperti; tembok Berlin di Jerman, Amerika Serikat,
Indonesia, Irlandia Utara, dan Palestina.
juga merupakan anggota dari Stalinis dan Partai Komunis di Mexico. Lihat Folgarait Leonard, Mural
Painting and Social Revolution in Mexico, 1920-1940: Art of the New Order. (Cambridge University
Press, 1998), h. 7-18.
Mereka bertiga adalah tokoh pendiri Mexican Muralism. 7Guernica adalah lukisan karya Pablo Picasso yang diciptakan untuk menanggapi pemboman
di Guernica, nama sebuah desa di wilayah Basque, Spanyol Utara, oleh pesawat tempur Jerman dan
Italia atas perintah pasukan Nasionalis Spanyol, selama perang saudara Spanyol pada tahun 1937. 8Rudolf Arnheim. The Genesis of a Painting: Picasso's Guernica, (London: University of
California Press, 1973), h. 43. 9 Bruce Campbell. Mexican Murals in Times of Crisis, (Tucson, Ariz : The University of
Arizona Press, 2003), h. 54. Lihat lampiran 2.2.
19
B. Politik Mural di Beberapa Negara
Seperti yang telah penulis katakan di atas bahwa mural merupakan salah satu
genre dari seni visual. Seni selalu dihubungkan dengan estetika pada setiap kajiannya.
Di dalam estetika ini, seni sering mencangkup nilai elok, molek, cantik, anggun,
bagus, lembut, utuh, seimbang, padu, hening, terang, hampa, suram, dinamik, kokoh,
hidup, gerak, dan tragis. Pada intinya nilai estetika ini ingin mengisyaratkan bahwa di
dalam seni tersebut terdapat sebuah persentuhan selera, pemahaman, dan kepekaan
untuk membedakan serta mengapresiasikan makna dari suatu karya manusia yang
mengakibatkan tumbuhnya perasaan-perasaan bagi para audiens yang melihatnya.10
Seni dalam hal ini mural, telah banyak digunakan sepanjang sejarah hidup
manusia sebagai media untuk mengekspresikan keadaan sosial, keyakinan, maupun
yang berhubungan dengan politik dan pemberontakan. Semua ekspresi tersebut
sengaja ditunjukkan untuk tampil di hadapan publik. Mural yang dibuat sebagai
bentuk kritik atau perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, dinilai lebih
efektif sebagai media komunikasi dua arah yakni, visual-verbal terhadap masyarakat.
Alasannya karena media semacam ini lebih terlihat menarik untuk disaksikan
ketimbang dengan membacanya pada sebuah artikel koran yang mungkin bagi
sebagian orang menjenuhkan.
Di era modern seperti sekarang, mural dapat kita ibaratkan sebagai sebuah
status pada jejaring sosial yang berguna untuk menuliskan segala macam ekspresi hati
10
Budi Susanto. Politik dan Postkolonialitas di Indonesia. (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h.
323
20
dan perasaan yang bersifat resistensi, penghentian blokade atau perang, pemenuhan
hak, rasisme, dan lain-lain yang bersifat pengaduan terhadap fenomena ketidakadilan.
Beberapa negara yang menggunakan mural sebagai media resistensi rakyat antara
lain:
1. Mural di Jerman
Tembok Berlin di Jerman adalah salah satu tembok di dunia yang banyak
menyimpan sejarah. Inilah bukti dari kebebasan terhadap dinding pembatas. Tidak
hanya menyimpan sejarah, namun tembok ini juga menjadi sarana kreativitas
masyarakat. Tidak heran jika tembok ini dijuluki East Side Gallery. Hal ini karena
berbagai mural warna-warni dan graffiti yang menggambarkan kehidupan politik,
ketegangan, serta pengorbanan manusia di masa lalu menyelimuti setiap sudut
dinding.
Tembok Berlin menjadi dikenal sebagai dinding mural, gambar dan lukisan di
tembok Berlin muncul di sisi barat pada periode antara tahun 1960-an dan 1980-an.
Beberapa gambar mural cenderung berisikan tentang cinta ataupun penghinaan.
Tembok Berlin terbuat dari dinding beton yang pada dasarnya didirikan pada tahun
1961 oleh Republik Demokratik Jerman (GDR)11
yang memisahkan Berlin Barat dan
11
Jerman Timur atau secara resminya German Democratic Republic (GDR). Republik
Demokratik Jerman didirikan di zona Soviet, sementara Republik Federal (Jerman Barat) didirikan di
zona Barat. Kata Timur sering digambarkan sebagai negara satelit Uni Soviet, sejak otoritas
pendudukan Soviet dimulai. Setelah pengalihan tanggung jawab administratif kepada para pemimpin
komunis Jerman pada tahun 1948, setahun kemudian GDR mulai berfungsi sebagai sebuah negara
yaitu pada tanggal 7 Oktober 1949. Lihat David Childs. The Fall of the GDR, (London: Longman,
2001), h. 9.
21
Berlin Timur serta daerah Jerman Timur lainnya sehingga membuat Berlin Barat
terlihat seperti enklave.12
Dinding pemisah tersebut menjadikannya simbol dari
Perang Dingin. Tembok pembatas ini juga dibarengi dengan pendirian menara
penjaga yang dibangun sepanjang tembok, terdapat pula sebuah daerah terlarang
yang diisi dengan ranjau anti kendaraan. Jerman Timur beralasan bahwa tembok ini
dibangun untuk melindungi para warganya dari elemen-elemen fasis yang dapat
memicu gerakan-gerakan besar, sehingga mereka dapat membentuk pemerintahan
komunis di Jerman Timur. Meski begitu, dalam praktiknya ternyata tembok ini
digunakan untuk mencegah semakin besarnya pelarian penduduk Berlin Timur ke
wilayah Berlin Barat, yang berada dalam wilayah Jerman Barat.13
Pemerintah kota Jerman Barat pada kesempatannya acapkali mengatakan
bahwa Tembok Berlin adalah Tembok Memalukan, sebutan tersebut dicetuskan oleh
Walikota Willy Brandt untuk mengutuk keberadaan tembok ini karena membatasi
kebebasan bergerak.14
Gerakan protes dari para mahasiswa di akhir tahun 1960-an
menjadikan awal dari peran dinding tersebut sebagai media protes sosial. Pada
awalnya permukaan dinding tersebut masih tidak rata, sehingga pada saat itu bagi
sebagian orang yang ingin mencoba menulis di Tembok Berlin tidak dapat berbuat
banyak, melainkan hanya dapat membuat sebuah tulisan atau gambar yang sangat
12
Menurut KBBI oneline enklave adalah negara atau bagian negara yang dikelilingi oleh
wilayah dari suatu negara lain. (sumber: http://kbbi.web.id/enklave ,akses: 22/9/14). 13
David Childs. The Fall of the GDR, (London: Longman, 2001), h. 44. 14
Mary Beth Stein. “The Politics of Humor: The Berlin Wall in Jokes and Graffiti”, Western
Folklore, Vol. 48, No. 2 (April, 1989), h. 97.
22
sederhana.15
Renovasi yang dilakukan oleh pemerintah GDR di pertengahan tahun
1970-an, sehingga mengubah sisi permukaan tembok tersebut benar-benar terlihat
halus ibarat sebuah kanvas yang memudahkan seseorang untuk membuat semacam
goresan, khususnya permukaan tembok bagian Barat. Dan pada saat yang sama,
goresan tersebut menjadi simbol akan jendela kebebasan Barat dan monumen
kesaksian memalukan dari dekadensi Barat.16
Kreutzberg, merupakan wilayah yang paling dekat dengan tembok dan
terkenal akan muralnya. Pada periode kemunduran perang dingin, wilayah tersebut
secara bertahap ditinggal pergi oleh penduduk aslinya. Akibatnya, wilayah tersebut
dihuni oleh seniman tunawisma, punk, dan massa anarkis sebagai gantinya. Mereka
biasa membuat mural di tembok tersebut dan meninggalkan pesan pribadi berupa
slogan-slogan politik dan gambar.17
Pada tahun 1970-an dan 1980-an terdapat beberapa kompetisi untuk proyek-
proyek seni lukis yang terorganisir. Banyak karya seni yang diusulkan pada
kompetisi tersebut, dengan mempopulerkan gambar simbolis perlawanan terhadap
dinding seperti; tangga, lubang, ritsleting, dan bahkan figur manusia yang sedang
melompati tembok.18
Meskipun kompetisi ini dilakukan oleh para seniman
profesional, namun aksi ini tidak mempunyai tujuan sebagai bentuk penghias tembok
15
Kuzdas Heinz. Berliner Mauer Kunst: Berlin Wall Art, (Berlin: Elefanten Press, 1999), h.
10. 16
Ladd Brian. The Ghosts of Berlin: Confronting German History in the Urban Landscape,
(Chicago: the University of Chicago Press, 1997), h. 27. 17
Ladd Brian. The Ghosts of Berlin: Confronting German History in the Urban Landscape, h,
41. 18
Greverus Maria, “Poetics with Politics. Towards an Anthropology of the Own”,
Anthropological Journal of European Cultures, vol. 8, The Politics of Anthropology, (2000), h. 128.
23
melainkan sebagai bentuk kritik dan protes terhadap keberadaan tembok yang
membatasi hak keberadaan rakyat untuk berpindah tempat. Mural tersebut seakan
memberikan saran dan cara bagi seseorang yang ingin melewati dinding, yaitu
dengan cara melompatinya, menggali lubang, atau bahkan terbang di atasnya.19
Kini tembok sepanjang 1,3 kilometer tersebut menjadi saksi bisu atas sejarah
kebebasan bangsa Jerman di masa lalu. Tidak hanya sebagai saksi dari sebuah
sejarah, Tembok Berlin pun kini telah menjadi objek wisata yang banyak dikunjung
oleh para wisatawan mancanegara.
2. Mural di Amerika Serikat
Mural modern mulai dikenal di Amerika Serikat sebagai sebuah budaya seni
visual ketika orang pertama kali melihat bahwa seseorang sedang menulis kata
“TAKI 183”20
di setiap subway stop di New York sekitar tahun 1970.21
Namun
sebelumnya, sekitar akhir tahun 1960-an mural sudah diperkenalkan di Amerika
Serikat. Mural pada saat itu digunakan sebagai bentuk ekspresi jiwa aktivis politik,
dan juga sebagai penanda wilayah oleh beberapa kelompok seperti Savage Skulls, La
Familia, dan Savage Nomans.
19
Baker Frederick, The Berlin Wall P. Ganster & D. E. Lorey (eds.) Borders and Border
Politics in a Globalizing World, (Oxford: SR Books, 2005), h. 34. 20
Taki 183 adalah salah satu penulis grafiti paling berpengaruh dalam sejarah. “Tag”-nya
adalah sebuah singkatan dari kata Demetraki, yang berasal dari bahasa Yunani yaitu Demetrius, dan
nomor 183 berasal dari alamatnya , Jalan 183 di Washington Heights. Lihat Joel Siegal, “When TAKI
Ruled Magik Kingdom”, (Daily News, April 9, 1989). 21
Boland Jr. “Taking TAKI’s Tag”, (The New York Times, 15 Juni, 2003).
24
Pada akhir tahun 1960-an telah terjadi kerusuhan tragis terhadap kaum kulit
hitam. Akibatnya, terjadilah penjarahan di pemukiman orang-orang kulit hitam
Amerika Serikat. Pada saat itu dinding pemisah antara kulit putih dan kulit hitam
begitu terasa. Hak-hak sipil sulit diterima oleh penduduk minoritas Amerika Serikat
khususnya warga kulit hitam, karena itu sebagian dari mereka berinisiatif untuk
melakukan perlawanan demi merebut kembali hak-hak mereka. Lima puluh tokoh
blues, jazz, dunia teater, politikus, agamawan, sastrawan, dan olahragawan,
umumnya dipilih untuk menjadi karakter dari beberapa kelompok seniman fotografer
dan pelukis.
William Walker dan OBAC Association22
menjadi salah satunya, dengan
menjadikan sebuah bangunan menjadi dinding aspirasi masyarakat kulit hitam untuk
menyatakan kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah. Bangunan tersebut
diberi nama Wall of Respect, yang bertujuan untuk mendefinisikan kembali dan
memberitahukan beberapa kejadian ketidakadilan yang dialami orang kulit hitam di
Amerika Serikat.
Ketegangan politik dan sosial yang berjalan tinggi di pemukiman orang-orang
kulit hitam, menjadikan Wall of Respect menjadi tren positif masyarakat sebagai
sebuah media baru. Dengan segera dinding tersebut menunjukkan korelasi langsung
dengan perjuangan hak-hak sipil. Wall of Respect juga menjadi obyek wisata yang
22
William Walker lahir di Birmingham, Alabama pada tahun 1927 Meskipun lahir di Selatan,
ia dibesarkan di Chicago. William Walker adalah muralis terkenal di Chicago. Dia adalah salah satu
pendiri Organisasi for Black American Culture (OBAC) dan salah satu pemimpin dalam proyek Wall
Of Respect. Dia juga salah satu pendiri penting dari gerakan mural di Chicago pada 1960-an. Lihat
http://www.chicagoreader.com/chicago/back-to-the-walls/Content?oid=906406 (akses 14/03/15).
25
dikunjungi oleh ratusan orang yang penasaran untuk berbagi pandangan mereka
dengan para seniman. Dinding tersebut didukung dan dilindungi langsung oleh geng
di lingkungan setempat. Dinding menjadi tempat yang netral, simbol kebanggaan
menjadi hitam, tempat pertemuan di mana orang mengajarkan anak-anaknya sejarah
kulit hitam Amerika Serikat.23
Selain Wall of Respect, di tahun 1969 juga terdapat kasus yang sama. Yaitu
sebuah bangunan tua yang disulap menjadi dinding aspirasi, dikenal dengan nama
Wall of Truth. Gambar dari mural di Wall of Truth memperihatkan kondisi
masyarakat tentang kelaparan, kemiskinan, kekerasan xenophobia24
, perjuangan, dan
solidaritas etnis.25
3. Mural di Irlandia Utara
Mural telah menjadi simbol Irlandia Utara, yang menggambarkan perpecahan
politik dan agama dari dulu hingga sekarang. Irlandia Utara merupakan salah satu
bagian dari Britania Raya. Konflik Irlandia Utara memiliki latar belakang yang
sangat panjang secara historis. Etnis Kelt yang mendiami kepulauan Britania
termasuk pulau Irlandia, saat itu dikuasai oleh kekaisaran Romawi kemudian bangsa
Romawi mewariskan peradaban dan kebudayaannya kepada orang-orang Kelt di
23
Laetitia Espanol. The Chicago Mural Group, Art society, (Boston: Editions L’Harmattan,
2006), h, 55. 24
Xenofobia adalah perasaan ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang-orang dari negara
lain, atau yang dianggap asing. Beberapa definisi menyatakan xenofobia terbentuk dari keirasionalan
dan ketidak masuk akalan. Berasal dari bahasa Yunani xenos, artinya orang asing, dan phobos, artinya
ketakutan. Lihat Guido Bolaffi. Dictionary of race, ethnicity and culture, (London: SAGE
Publications, 2003). h. 332. 25
Mary Lackritz Gray. A Guide to Chicago's Murals, (Chicago: University Of Chicago Press,
2001), h. 25. Lihat lampiran 2.3.
26
kepulauan Britania, termasuk agama Katolik Roma. Pada abad ke-5 kekaisaran
Romawi runtuh dan menyebabkan mereka pergi meninggalkan kepulauan Britania,
setelah itu kemudian bangsa Anglo menginvasi kepulauan Britania. Itulah awal
terjadinya permusuhan yang berujung pada konflik etnis, antara Kelt dan Anglo.
Kepulauan Britania yang telah diwarisi oleh peradaban dan kebudaan Romawi,
akhirnya secara perlahan tersingkirkan oleh kebudayaan Anglo.26
Etnis Kelt yang tersebar di kepulauan Britania secara perlahan menjadi
terpusat di wilayah pulau Irlandia. Dari cikal bakal itulah maka etnis Kelt lahir
menjadi orang-orang Irish, sementara etnis Anglo menjadi cikal bakal lahirnya
orang-orang English.
Pada tahun 1592 kerajaan Inggris memutuskan untuk keluar dari struktur
Gereja Katolik Roma dan kemudian membuat Gereja Nasional. Namun, orang-orang
Irlandia tidak lantas mengikuti hal tersebut karena orang-orang Kelt masih banyak
terpengaruh oleh kebudayaan Romawi. Maka ketika terjadinya penutupan gereja-
gereja Katolik Roma akibat kebijakan kerajaan Inggris, orang-orang Katolik Roma
yang berada di Irlandia menjadi tidak simpatik terhadap Inggris, hal tersebut
berujung pada tindakan diskriminasi terhadap orang-orang Irlandia. Oleh sebab itu
orang-orang Irlandia menjadikan agama Katolik Roma mereka sebagai bentuk dan
sikap anti Inggris. Berawal dari alasan ini, maka lahirnya konflik yang bersifat
26
Keogh Dermot. Northern Ireland and the Politics of Reconciliation, (Cambridge:
Cambridge University Press, 2008), h. 55.
27
sentimen agama atau sektarianisme,27
ditambah lagi pada tahun 1690 William of
Orange (Protestan) memenangkan pertempuran terhadap James II (Katolik)28
,
membuat kebencian mereka semakin kuat.
Hingga abad ke-19 kerajaan Inggris tetap memegang kekuasaan dan orang-
orang Katolik terus mengalami diskriminasi. Maka pada pertengahan abad ke-19
muncul benih-benih nasionalisme pada masyarakat Irlandia di mana nilai
kebanggaan kebangsaan masa lalu dikobarkan untuk bersatu melawan dominasi
Inggris. Pada tahun 1921 Inggris memutuskan untuk menyetujui didirikannya Irish
Free State (Negara Irlandia Merdeka), akan tetapi Inggris tetap berkuasa atas
sebagian pulau Irlandia dengan tetap menguasai Ulster (wilayah Irlandia bagian
utara) dengan dalih untuk melindungi hak rakyat yang tetap menginginkan berada di
bawah kekuasaan Inggris, karena wilayah tersebut merupakan tempat bermukimnya
orang-orang keturunan Inggris. Hal tersebut membuat peluang konflik menjadi
semakin besar, konflik antara orang-orang Nasionalis Irlandia yang menginginkan
pulau Irlandia merdeka secara penuh dan membebaskan Ulster dari Inggris, dengan
orang-orang Ulster yang bersikeras ingin tetap bergabung bersama Inggris.29
27
Richard Jenkins. Rethinking Ethnicity: Arguments and Explorations, (London: SAGE
Publications, 1997) h. 120 28
Kemenangan Pangeran William menyebabkan James II melepaskan tanggung jawab dan
melarikan diri ke Perancis pada akhir tahun. Hal tersebut memberikan efek mendalam bagi orang
Irlandia. Penduduk asli Irlandia pada abad kemudian menjadi sasaran sistem hukum yang kejam.
Sistem hukum tersebut mengakibatkan terjadinya pemblokiran kemajuan politik, ekonomi mereka dan
membuat kaum tani tetap dalam kemiskinan. Lihat Richard Jenkins, Rethinking Ethnicity: Arguments
and Explorations, (London: SAGE Publications, 1997) h. 141 29
Alasannya terjadinya perbedaan dua kubu tersebut karena mereka menganggap dirinya
berbeda secara budaya, etnis dan kepercayaan dengan orang-orang asli Irlandia, bahkan secara agama
pun mereka mayoritas menganut Protestan. Lihat Richard Jenkins, Rethinking Ethnicity: Arguments
and Explorations, h. 149.
28
Puncaknya, pada tahun 1966 terjadilah konflik di Irlandia Utara. Konflik
tersebut dipicu karena orang-orang Katolik yang tinggal di Irlandia Utara
diperlakukan secara diskriminatif, baik sosial, politik, dan ekonomi, oleh orang-
orang pemerintahan (Protestan). Irlandia Utara merupakan wilayah yang
mayoritasnya penganut paham Protestan dan orang-orang yang loyal terhadap
Inggris (Unionis), sementara orang-orang Katolik yang menginginkan Irlandia Utara
bebas dari Inggris (Nasionalis) menjadi minoritas di wilayah ini.30
Konflik sengit antara orang-orang Protestan dan Katolik di Irlandia Utara
dikenal dengan nama The Troubles. Konflik yang berlangsung beberapa dekade
tersebut memunculkan gambar-gambar dan slogan-slogan yang dibuat pada dinding-
dinding kota dan daerah pemukiman.31
Kemunculan lukisan-lukisan dinding di Irlandia berawal setelah seratus tahun
pertempuran Boyne, ketika sebuah organisasi dibentuk untuk merayakan
kemenangan Pangeran William. Beberapa pawai digunakan sebagai bentuk
penghormatan terhadap jasa Pangeran William yang mereka anggap sebagai sosok
manusia taat, mulia dan abadi, karena ia telah memberikan agama Protestan di
Irlandia. Kebebasan, agama, dan hukum adalah saksi keberhasilan Pangeran William
yang menjadikan kebanggaan orang-orang Protestan di Irlandia. Biasanya pawai
dilakukan oleh semua golongan Protestan di Irlandia, pawai tersebut berisi barisan
marching band dan spanduk. Spanduk dilukis dengan sangat cermat oleh para
30
Gordon Gillespie, Historical Dictionary of the Northern Ireland Conflict, (Amerika Serikat:
scarecrow press), h. 250 31
Sumber: http://www.bbc.co.uk/history/troubles, (Akses:12/1/15).
29
seniman. Lukisan tersebut menunjukkan pemandangan kekuasaan kekaisaran
Inggris, cerita dari Alkitab, dan lainnya. Tapi gambar yang paling dominan adalah
sosok Raja Billy yang sedang menyeberangi Boyne dengan penuh kasih sayang di
atas kudanya.32
Pada awal abad ke-20 gambar-gambar tersebut mulai dipindahkan ke gable
dinding, di mana semua orang dapat melihat gambar tersebut setiap waktu bukan
hanya sekali dalam setahun pada saat hari perayaan. Beberapa tema lain juga dibuat,
seperti pertempuran Somme atau tenggelamnya kapal Titanic yang digambar di
Belfast. Tetapi gambar dari sosok Raja Billy tetap menjadi yang utama. Setiap
wilayah yang dihuni oleh kalangan Protestan selalu bersaing untuk menggambar
sosok Raja Billy dan Boyne.33
Sebelum terjadi partisi pada tahun 1921, mereka menaruh perhatian khusus
terhadap penduduk Unionis di Irlandia Utara yang sedang melakukan perayaan
sebagai bentuk solidaritas, setelah negara Irlandia Utara terbentuk dari pertumpahan
darah dan dibangun di atas diskriminasi. Mural telah menjelma menjadi sesuatu yang
sangat penting bagi masyarakat Unionis.
Tetapi di Irlandia Utara pada kuartal terakhir abad ke-20 merupakan tempat
yang sangat berbeda dari apa yang telah terjadi sebelumnya. Diskriminasi yang terus
dilakukan terhadap orang-orang Katolik, membuat para kaum Nasionalis (Katolik)
32
Bill Rolston. The War of The Walls: Political Murals in Northern Ireland. (Belfast:
University of Ulster, 2003), h. 39. 33
Bill Rolston. The War of The Walls: Political Murals in Northern Ireland, h. 40.
30
melakukan aksi demonstrasi tentang hak-hak sipil. Namun, beberapa aktifis
kampanye hak-hak sipil dipukuli di jalanan, dan beberapa tentara Inggris juga
turunkan sebagai bentuk dari legitimasi negara runtuh. Administrator Inggris
menuntut politisi dan birokrat lokal bertindak adil dan inklusif, organisasi militer
yang loyal terhadap Inggris seperti Ulster Defence Association (UDA) dan Ulster
Volunteer Force (UVF) membantai penduduk Katolik dan Irish Republican Army
(IRA).34
Akibat dari kejadian itu aktivis pro-Irlandia menyatakan sikap perang
terhadap institusi Inggris di Irlandia. Mural yang pada awalnya berisikan gambar
Raja Billy untuk beberapa waktu digantikan dengan gambar hiasan bendera,
mahkota, Alkitab, dan simbol mati lainnya.35
Setelah IRA mengambil alih Irlandia Utara pada akhir tahun 1970-an, lukisan
mural dari pro-Irlandia (Nasionalis) mulai bermunculan. Mural tersebut muncul
untuk memperjuangkan suara politik yang lebih besar dan menyerukan bersatunya
kembali Republik Irlandia. Mural-mural yang dibuat oleh kaum Nasionalis lebih
bersifat perlawanan dan lebih mempunyai variasi genre yang beragam seperti, aksi
mogok makan dan lukisan para tokoh tahanan sebagai korban sistem pemerintahan
Inggris. Namun selain berisikan masalah internal, kaum Nasionalis juga membuat
mural yang bertemakan internasional. Tema tersebut berisikan dukungan dan rasa
simpatik mereka terhadap penderitaan berbagai kelompok global yang sedang
mengalami penindasan. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk solidaritas mereka
34
Bill Rolston. The War of The Walls : Political Murals in Northern Ireland, h, 41 35
Kerr R. Republican Belfast: A Political Tourists Guide, (Belfast: MSF Press, 2008). h, 60
31
terhadap negara atau kelompok yang juga sedang mengalami konflik.36
Mural
internasional berkaitan dengan peristiwa di Afrika Selatan, Nikaragua, dan Palestina,
serta lukisan mural dengan ikon tokoh global terkenal seperti Che Guevara, Nelson
Mandela, Martin Luther King, dan Malcolm X.37
Berbagai tema menunjukkan bahwa mural produksi kaum Nasionalis
merupakan karya dari masyarakat pro-Irlandia yang meliputi kelompok-kelompok
komunitas, aktifis politik dan aktifis militer. Tidak seperti mural Unionis yang hanya
diperintahkan oleh kelompok sipil bersenjata yang mendominasi daerah setempat.
Selain itu, mural produksi kaum Nasionalis juga banyak berisikan opini publik dari
para muralis.
Sejak saat itulah mural kaum Nasionalis Irlandia Utara telah berkembang
menjadi simbol keyakinan, bahwa waktu berada di pihak mereka. Meskipun
merupakan pendatang baru dalam proses pembuatan mural, namun mural mereka
lebih memiliki visi dan keyakinan akan terjadinya sebuah perubahan yang tidak
dapat dihindarkan, sehingga menampilkan sikap kepercayaan diri dan kegembiraan
yang terlihat jelas.
4. Mural di Palestina
Beberapa kasus di negara-negara tersebut merupakan contoh bagaimana seni
mural memainkan peran lebih dari sekedar pengantar pesan singkat yang sederhana.
36
Bill Roston. “The Brothers on The Walls : International Solidarity and Irish Political
Mural”, Jurnal of Black Studies, vol 39, no.3, (Northern Ireland : University of Ulster, 2009), h. 451 37
Bill Roston. The Brothers on The Walls : International Solidarity and Irish Political Mural,
h. 458.
32
Mural menunjukkan tampilan aspek budaya dan sejarah dengan cara komunikasi dua
arah antara gambar dengan audiens. Di Palestina sendiri, selama Intifadha pertama
mural telah mengubah dinding-dinding jalan dan bangunan menjadi monumen
kesaksian atas pergolakan yang terjadi selama masa pendudukan Israel.
Perlawanan Israel terhadap perjuangan nasionalisme Palestina telah muncul
sejak 1967 silam. Di wilayah pendudukan, mereka membuat kebijakan untuk tidak
mentolerir tanda-tanda visual nasionalisme Palestina. Salah satu metode efektif yang
digunakan rakyat Palestina selama intifada adalah dengan menggunakan dinding.38
Ini merupakan cara untuk mengedarkan informasi dan melambangkan perlawanan.
Israel mencoba menekan tindakan seperti ini, mereka memerintahkan warga Palestina
agar tidak melukis dinding dengan tema nasionalistik. Dunia pers melihat insiden
tentara Israel ini dinilai menarik, rakyat Palestina akan berada di bawah todongan
senjata Israel untuk mengecat ulang dinding yang telah dilukis.39
Ini merupakan
gambaran bahwa sebuah pemerintahan yang demokratis akan merasa terancam oleh
gambar visual yang diekspresikan melalui mural.
Kepemimpinan Palestina percaya akan keefektifan dari seni jalanan tersebut,
selanjutnya gerakan bawah tanah memberikan perintah kepada anggotanya untuk
menggerakkan para pemuda Palestina melakukan kampanye lukisan bendera
Palestina pada setiap dinding pada bangunan-bangunan di wilayah pendudukan yang
secara simbolis hal ini menandakan sebagai wilayah Palestina.
38
Julie Peteet. “The Writing on the Walls: The Graffiti of the Intifada”, Cultural
Anthropology, Vol. 11, No. 2. May, 1996) h. 139. 39
Abdul Jawad Saleh. Israel’s Policy of De-Institutionalization. (London: Jerusalem Center
for Development Studies, 1987), h. 89.
33
Selang beberapa waktu ketika perlawanan graffiti mulai popular di kalangan
rakyat Palestina, mereka selanjutnya mengembangkan dinding menjadi seperti sistem
media massa. Pembahasan isu serta dengungan peringatan, mewarnai bentuk
perlawanan nonfisik ini dan keberadaan mereka pun dapat membuat Israel merasa
terusik. Akibatnya, Israel berusaha menutupi layar dinding tersebut. namun secepat
mereka menutupinya, secepat itu pula mural baru kembali muncul.40
Menjelang masa intifadha pertama berakhir, dinding selain sebagai bentuk
perlawanan nasional dan media massa, juga sebagai media pembaca konflik
kepemimpinan internal Palestina. suatu organisasi Islam seperti Hamas dan organisasi
nasionalis seperti PLO atau Fatah, saling serang menyerang masalah ideologi serta
kepemimpinan Palestina. Mereka menggunakan dinding sebagai sumber sirkulasi
informasi kepada khalayak luas. Terlepas dari hal itu, dalam menilai seni jalanan
selama Intifadha, adanya respon Israel telah membuktikan keefektifan perlawanan
non-fisik tersebut. Namun, strategi non-fisik bukan menjadi hal baru bagi rakyat
Palestina. Pada periode sebelum Intifadha dimulai, perlawanan non-fisik telah turut
mewarnai perjuangan Palestina untuk melengserkan pendudukan Israel.
40
Julie Peteet. “The Writing on the Walls: The Graffiti of the Intifada”, Cultural
Anthropology, Vol. 11, No. 2. May, 1996) h. 140.
34
BAB III
BENTUK BARU RESISTENSI PALESTINA
A. Palestina
Palestina (Arab: Filastin) merupakan wilayah yang terletak di kawasan Asia
Barat, di antara laut Mediterania dan laut Yordan. Palestina di dalam ajaran Yahudi
disebut dengan istilah “Tanah yang dijanjikan” atau ada juga yang menyebutnya
“Tanah suci”, karena Palestina merupakan tempat dari tiga agama besar di dunia
yaitu: Islam, Kristen dan Yahudi. Secara historis wilayah ini juga dikenal dengan
nama-nama seperti; Kanaan, Suriah Selatan dan Kerajaan Yerusalem.1 Palestina juga
terletak di daerah yang amat strategis yaitu antara Mesir, Suriah dan Jazirah Arab.
Karena lokasinya terletak di pertengahan negara-negara Arab, Palestina membentuk
kombinasi geografis yang natural dan humanistik bagi medan terestrial yang luas.
Tanah Palestina mempunyai keistimewaan dibanding dengan daerah lain,
karena Palestina merupakan bagian dari tempat bercokolnya semua agama samawi,
tempat di mana peradaban kuno muncul, menjadi jembatan aktivitas komersial dan
tempat penyusupan ekspedisi militer di sepanjang era bersejarah yang berbeda.
Lokasi strategis yang dinikmati Palestina memungkinkannya untuk menjadi faktor
penghubung antara berbagai benua : Asia, Afrika dan Eropa.2 Palestina juga menjadi
tempat yang dijadikan pintu masuk bagi perjalanan ke negara-negara tetangga. Ia
1Simon S. Montefiore. Jerusalem: The Biography. (New York: Alfred A. Knopf, 2011), h. 33.
2Kemal H. Karpat. Studies on Ottoman Social and Political History: Selected Articles and
Essays. (Boston: Brill, 2002), h. 313.
35
menjadi jembatan penghubung bagi manusia sejak dahulu, sebagaimana ia juga
menikmati lokasi sentral yang memikat sebagian orang untuk bermukim dan hidup
dalam kemakmuran.
Namun dibalik letaknya yang strategis, bukan rahasia umum lagi bahwa dari
dahulu hingga kini wilayah Palestina selalu menjadi perebutan. Palestina telah
dikuasai oleh berbagai bangsa, yaitu : Mesir Kuno, bangsa Kanaan, Bani Israil,
Assyiria, Babilonia, Farsi, Yunani Kuno, Romawi, Romawi Timur, Kekhalifahan
Arab Sunni, Kekhalifahan Fatimiyah Syi’ah, Salibi, Ayyubiyah, Mamluk, Turki
Utsmani, Britania (Inggris Raya) dan yang terkini Pendudukan tanah Palestina oleh
bangsa Israel, yang menyatakan berhak atas tanah Palestina.
B. Konflik Palestina – Israel
Konflik antara orang Arab Palestina – Israel merupakan sebuah fenomena
modern yang muncul sejak akhir abad ke-19 Masehi. Meskipun kedua kelompok
memiliki kepercayaan yang berbeda (Palestina: Muslim, Kristen, dan Druze),
perbedaan agama bukanlah penyebab perselisihan.3 Sebab konflik dimulai dengan
alasan kepemilikan hak atas tanah, sehingga terjadilah perebutan terhadap tanah
tersebut.
Konflik berawal ketika gerakan Zionisme atau nasionalisme Yahudi yang
dipopulerkan oleh seorang jurnalis berkebangsaan Austria bernama Theodore Herzl,
3Charles D Smith. Palestine and the Arab Israel Conflict, (Indiana: Bedford, 2007), h. 24.
36
mulai marak di Eropa sebelum tahun 1920-an.4 Gerakan ini menyebabkan terjadinya
perpindahan masyarakat Yahudi dari Eropa ke kawasan Timur Tengah. Sementara
pada saat itu, kawasan Timur Tengah termasuk wilayah Israel atau Palestina (pada
saat ini) masih berada di bawah kekuasaan Turki Utsmani. Eksistensi kekuasaan
Turki Utsmani di kawasan Timur Tengah berakhir setelah mengalami kekalahan pada
Perang Dunia I. Kekalahan tersebut tidak hanya disebabkan oleh Inggris atau
Perancis, melainkan juga oleh bangsa Arab sendiri. Bangsa Arab yang berada di
bawah kekuasaannya (baca: Turki Utsmani) melakukan pemberontakan kepada
pemerintahannya sendiri. Hal tersebut dilakukan dengan dalih janji Inggris, bahwa
Inggris akan membantu mereka untuk membentuk sebuah pemerintahan Arab yang
independen apabila mereka mau melawan pemerintahan Turki Utsmani. Janji Inggris
kepada bangsa Arab ini tertuang dalam korespondensi antara Sir Mac Mahon (pejabat
Inggris di Kairo) dengan Sharif Hussein (tokoh bangsa Arab) yang dikenal dengan
Hussein-Mac Mahon Correspondence.5
Akan tetapi, janji Inggris terhadap bangsa Arab tersebut tidak segera
diwujudkan. Inggris bersama dengan Perancis justru membuat perjanjian bilateral
yang membagi eks-wilayah pemerintahan Turki Utsmani untuk negara-negara Eropa.
Perjanjian ini dikenal dengan sebutan Sykes-picot Agreement. Dalam perjanjian
tersebut, Inggris mendapatkan Yordania, Irak, dan sebagian wilayah Haifa, sedangkan
Perancis mendapatkan wilayah Turki, Irak bagian utara, Suriah dan Lebanon.
4R. Garaudy, The Case of Israel: a Study of Political Zionism, (London: Shorauk, 1983), h. 4
5Howard Morley Sachar. The Course of Modern Jewish History – The Classic History of the
Jewish People, From the Eighteenth Century to the Present Day. (New York City: Dell Publishing,
1977), h. 370.
37
Sementara itu, negara-negara Eropa lain dibebaskan untuk memilih wilayah yang
ingin dikuasainya.6 Dalam Sykes-picot Agreement, wilayah Palestina belum
diserahkan kepada negara manapun, sehingga Palestina menjadi sebuah wilayah
internasional yang dikelola bersama oleh negara-negara pemenang perang.
Terdapatnya Sykes-picot Agreement membuat bangsa Arab tidak mendapatkan
eks-wilayah kekuasaan Turki Utsmani dan tidak mungkin dapat membentuk
pemerintahan Arab yang independen. Namun di saat bersamaan, Inggris justru
berjanji mendukung pendirian negara Yahudi di Palestina.7 Dukungan Inggris
tersebut tertuang dalam dokumen Balfour Declaration yang menjadi landasan bagi
gerakan Zionisme untuk membentuk sebuah negara Yahudi di Palestina. Terdapatnya
janji-janji Inggris, baik kepada pihak Arab ataupun Yahudi telah membuat kedua
bangsa ini merasa berhak atas wilayah Palestina dan merasa mendapat dukungan dari
Inggris.8 Hal ini yang kemudian melatarbelakangi terjadinya konflik panjang antara
Arab – Yahudi hingga merubahnya menjadi konflik Palestina – Israel seperti
sekarang ini.
Selama konflik antara Palestina-Israel, lanskap perlawanan mereka khususnya
Palestina lebih sering terlihat melalui jalur fisik yang dilakukan oleh faksi-faksi
politiknya serta perlawanan non fisik yang dilakukan oleh Otoritas Palestina melalui
negosiasi-negosiasi perdamaiannya. Namun terlepas dari hal itu, peran rakyat sipil
6David Fromkin. A Peace to End All Peace: The Fall of the Ottoman Empire and the Creation
of the Modern Middle East, (New York: Owl, 1989), h. 283. 7Sahar Huneidi. A Broken Trust: Sir Herbert Samuel, Zionism and the Palestinians, (London:
I.B. Tauris, 2001), h. 261. 8David Fromkin. A Peace to End All Peace: The Fall of the Ottoman Empire and the Creation
of the Modern Middle East, h. 290.
38
Palestina tidak dapat dipisahkan dari perjuangan bangsa tersebut. Mereka tidak
berjuang menggunakan senjata, akan tetapi dengan keterbatasannya, rakyat Palestina
melakukan aksi-aksi pembangkangan sipil yang cukup merugikan pihak Israel. Aksi
tersebut dikenal dunia dengan istilah Nonviolent Resistance.
C. Perlawanan Non Kekerasan Palestina
Nonviolent Resistance atau sebagaimana Mahatma Gandhi kerap sebut
dengan perlawanan tanpa tindak kekerasan, adalah praktik untuk mencapai tujuan
tertentu melalui protes simbolik, pembangkangan sipil, menolak bekerjasama baik
sektor ekonomi maupun politik, atau metode lain tanpa menggunakan kekerasan.
Pada dasarnya istilah ini acapkali diidentikkan dengan perlawanan sipil, namun hal
itu merupakan sebuah kekeliruan. Masing-masing istilah (perlawanan non kekerasan
dan perlawanan sipil) memiliki karakter serta konotasi berbeda.9
Aksi non kekerasan bukan berarti menunjukkan sikap lemah atau pasif. Pada
dekade abad lalu, di beberapa negara, gerakan rakyat telah menggunakan metode-
metode non kekerasan yang berhasil menggulingkan rezim penindas, menggagalkan
kudeta militer dan membela Hak Asasi Manusia. Dari tahun 1966 sampai 1999,
perlawanan sipil tanpa kekerasan memainkan peran penting pada sebuah transisi
dalam otoritarianisme. Terakhir, perlawanan tanpa kekerasan telah menyebabkan
Revolusi Rose di Georgia dan Revolusi Orange di Ukraina,10
termasuk perlawanan
9Scott Bennett. Radical Pacifism: The War Resisters League and Gandhian Nonviolence in
America, 1915-1963, (Syracuse : Syracuse University Press, 2003), h. 6 10
Judith Hand, A Future Without War: The Strategy of a Warfare Transition, (San Diego, CA:
Questpath Publishing, 2006), h. 22
39
mahasiswa Indonesia saat menumbangkan Orde Baru menuju Orde Reformasi.
Banyak gerakan yang mengadopsi metode non-kekerasan sebagai cara yang efektif
untuk mencapai tujuan sosial dan politik. Mereka menggunakan taktik perlawanan
non kekerasan seperti: perang informasi, pawai, demonstrasi, leafleting, komunitas
pendidikan guna meningkatkan kesadaran, menolak membayar pajak, aksi boikot,
general strike, protes melalui musik dan protes melalui seni.11
Aksi non-kekerasan
berbeda dari pasifisme, karena mereka berpotensi menjadi proaktif dan intervensi.
Pada kasus di Palestina, kisah perlawanan mereka dengan bentuk fisik telah
sangat dikenal, sementara hal yang sama pentingnya juga terjadi pada perlawanan
non-fisik Palestina yang hampir tak terhitung jumlahnya. Perlawanan non-fisik
dimulai semenjak periode mandat, ketika Inggris melakukan kontrol kolonial atas
Palestina yang dikenal dengan General Strike pada tahun 1936. General strike
dipanggil untuk memprotes kebijakan kolonial Inggris yang mengesampingkan
masyarakat lokal dari proses pemerintahan. Aksi pemogokkan tersebut berlangsung
selama enam bulan, sehingga menjadikan aksi pemogokkan umum terpanjang dalam
sejarah modern. Untuk mempertahankan aksi pemogokkan selama berbulan-bulan,
diperlukan sebuah kerjasama yang besar dan sistem perencanaan yang baik pada
tingkat lokal. Hal ini juga melibatkan pembentukkan lembaga alternatif oleh Palestina
untuk menyediakan kebutuhan ekonomi.12
Pemogokkan serta tindakan yang
menyertainya, akhirnya menemui dilema yang kemudian dihadapi oleh banyak
11
Jamal Dajani. Deporting Gandhi from Palestine. The World Post, 06/16/2010. (Sumber:
http://www.huffingtonpost.com/jamal-dajani/deporting-gandhi-from-pal_b_540270.html, akses,7/2/14) 12
Michael Bröning, The Politics of Change in Palestine. State-Building and Non-Violent
Resistance. (London: Pluto Press, 2011), h. 43.
40
gerakan perlawanan non-kekerasan Palestina. Mereka ditindas secara brutal oleh
pemerintah Inggris dan banyak dari para pemimpin pemogokkan itu akhirnya tewas,
dipenjara, atau diasingkan. Akan tetapi, represi ini tidak mencegah pengalaman serta
inspirasi dari general strike dan tindakan-tindakan lain terhadap pembangkangan sipil
untuk menjadi model perlawanan bagi generasi masa depan aktifis Palestina.13
Satu generasi melihat upaya ini berguna untuk membangun bentuk-bentuk
baru perlawanan terhadap tindak penindasan, dan generasi berikutnya harus
menggunakan memori sejarah yang telah disediakan dalam perjuangan sebelumnya
untuk memulai kembali serta menciptakan strategi baru perlawanan Palestina.
D. Bentuk Non Kekerasan Palestina 1967-1987
Selama perang 1967, Israel telah menduduki Tepi Barat termasuk Yerusalem
Timur, bersama dengan dataran tinggi Golan, Jalur Gaza, dan semenanjung Sinai.
Namun, perdebatan terjadi di dalam masyarakat Israel sendiri. Mereka
memperdebatkan bagaimana cara mengontrol wilayah yang baru saja ditaklukkan.
Karena bagi beberapa orang Israel, situasi ini merupakan keuntungan permanen dan
sebagai bagian dari keinginan mereka untuk mengontrol sejarah Palestina dan
menciptakan Israel Raya. Hal ini menyebabkan periode pendudukan di Palestina
mengalami pergeseran, militer Israel, dan pemerintahan sipil.
Lebih dari 1.400 aturan dan perintah militer, bersamaan dengan peraturan
darurat British yang tersisa dari periode mandat dan hukum Turki Utsmani, menjadi
13
Michael Bröning, The Politics of Change in Palestine. State-Building and Non-Violent
Resistance, h. 50.
41
dasar pemerintahan militer atas rakyat Palestina yang tinggal di Gaza dan Tepi Barat.
Akibatnya, kekerasan dan penindasan merupakan bagian yang konsisten dari
pengalaman tersebut. Pemerintah militer Israel telah menangkap dan menahan lebih
dari setengah rakyat Palestina di wilayah pendudukan.14
Sekitar tahun 1967 – 1987
telah lebih dari 2.000 warga Palestina dideportasi dari wilayah pendudukan, lebih dari
1.560 rumah warga Palestina dihancurkan, dan segala bentuk kebebasan pendidikan
dan kebudayaan yang erat dibatasi: sekolah secara rutin ditutup, dan lebih dari 1.600
buku dilarang oleh pemerintah Israel di wilayah Pendudukan.15
Dalam menghadapi keadaan umum dari represi tersebut, tindakan sederhana
dari kehidupan sehari-hari seperti, bekerja, pergi ke sekolah, serta merawat seorang
keluarga (akses rumah sakit ditutup oleh militer Israel, mereka tidak diizinkan beroperasi),
menjadi tindakan pembangkangan sipil. Istilah sumuod (kesabaran atau keteguhan)
merupakan kata yang sering didengungkan pada perjuangan sehari-hari untuk
bertahan hidup dalam menghadapi pendudukan. Namun bagaimana pun, rakyat
Palestina terus mencari outlet kreatif sebagai bentuk resistensi terhadap tindak
kekerasan pendudukan.16
14
Menurut pakar hukum Lisa Hajjar pada tahun 1967-1987 jumlah penduduk Palestina yang
tinggal di wilayah Gaza dan Tepi Barat sekitar 1,5 juta jiwa. Dalam artikel, Joel Beinin dan Lisa
Hajjar, Palestine, Israel and the Arab Conflict A Primer. (The Middle East Research and Information
Project, 2014), h. 2. 15
Periode tersebut muncul bersamaan dengan kebijakan pemukiman, agresif dilakukan
pemerintah Israel. pada tahun 1967 hingga 1987, sekitar 135 pemukiman dengan total 175.000
pemukim, dibangun di Tepi Barat, bersamaan dengan 12 pemukiman dengan jumlah penduduk lebih
dari 2.000 pemukim di Jalur Gaza. Disamping itu, kehadiran militer secara besar-besaran diperlukan
untuk membuat pemukiman ini menjadi legal. Para pemukim sendiri mewakili paramiliter besar di
wilayah pendudukan. Lihat, Joel Beinin dan Lisa Hajjar, Palestine, Israel and the Arab Conflict A
Primer, h. 7. 16
Rashid Khalidi. Palestinian Identity. (New York: Columbia University Press, 1998), h. 108
42
Bentuk besar dari perlawanan Palestina selanjutnya adalah dengan
mengembangkan institusi dan kepemimpinan alternatif pada tahun 1970-an.17
Sepanjang periode ini, sejumlah organisasi akar rumput yang berbeda juga muncul
untuk menyediakan institusi dan kepemimpinan alternatif. Institusi muncul sebagai
upaya melengkapi institusi resmi Palestina yang sedang berjuang memberikan
pendidikan, perawatan kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya untuk rakyat Palestina
yang tinggal di wilayah Pendudukan. Proyek perlawanan non-fisik semakin terlihat
bergerak dari strategi protes, non-kerjasama, dan kesabaran, menuju strategi yang
dirancang untuk membangun sesuatu kehidupan yang layak bagi Palestina. Berikut
lembaga-lembaga yang muncul pada periode ini:
1. Komite Perempuan : Gerakan perempuan telah aktif dalam politik
Palestina sejak awal abad ke-20 (kongres pertama perempuan Arab yang
diadakan di Yerusalem pada tahun 1929), gerakan ini mengambil peran
penting dalam protes terhadap kolonial inggris dan ikut serta pada aksi
general strike 1936.18
Namun, aksi brutal yang dilakukan Inggris
membuat gerakan ini terpaksa dibubarkan. Dan pada tahun 1965, Gerakan
Union Perempuan Palestina kembali dibentuk. Tetapi gerakan tersebut
mulai berperan aktif pada tahun 1970-an. Gerakan ini bekerja berdasarkan
17
Terkadang hal ini membutuhkan semacam formulir resmi. Misalnya, dalam pemilihan
daerah yang diselenggarakan pada tahun 1976, rakyat Palestina sangat banyak memilih anggota partai
nasionalis untuk ditempatkan pada posisi kepala daerah. Meskipun demikian, banyak tokoh tersebut
yang selanjutnya dipenjara atau diasingkan oleh pasukan Israel. Pada tahun 1981, badan-badan politik
lokal membuat semacam lembaga baru, Lajnat al Tawjih (Komite Bimbingan), sebagai langkah
menyediakan kepemimpinan nasional untuk melakukan perlawanan terhadap pendudukan. Akan tetapi,
sekali lagi Israel banyak menangkap anggota dari kelompok ini. Lihat Awad Mubarak, “Non-Violent
Resistance: A Strategy for the Occupied Territories,” Journal of Palestine Studies 13 (University of
California Press, Summer 1984, h. 34). 18
Selengkapnya lihat lampiran 3.1
43
penguatan terhadap peran perempuan dalam perjuangan melawan
pendudukan. Tujuan dari komite ini adalah untuk meningkatkan nilai
produktifitas pendidikan bagi kaum perempuan.
2. Serikat Buruh dan Relawan Komite Kerja : Peran serikat buruh mulai
tumbuh setelah tahun 1970-an, khususnya mengingat kesulitan yang
dihadapi para pekerja Palestina. Serikat buruh berjuang untuk
mendapatkan hak asuransi kesehatan, upah dan kondisi kerja yang lebih
baik, serta hak untuk arbitrase bagi pekerja di wilayah Pendudukan. Upaya
ini dilakukan untuk memperluas aktivitas serikat buruh untuk masyarakat
Palestina yang bekerja di Israel, namun hal itu ditentang oleh serikat buruh
Israel, Histadrut. Sementara itu, Komite Relawan Kerja dibentuk secara
kolektif di seluruh wilayah pendudukan untuk menyediakan pemuda
Palestina dengan memberikan kesempatan guna turut ambil bagian dalam
proyek-proyek komunitas.
3. Pergerakan Pemuda dan Mahasiswa serta Organisasi Narapidana :
Basis pergerakan mahasiswa Palestina yang terorganisir dapat ditelusuri
dari tahun 1950-an dengan pembentukan Federation of Palestinian
Students di Kairo dan pengorganisasian mahasiswa di Gaza. Pada awal
tahun 1980-an, mahasiswa berada di garis depan dalam pengorganisasian
politik. Mahasiswa memperluas gerakan pemuda untuk ikut terlibat ke
dalam kegiatan sosial dan mayarakat, klub, olahraga, dan permainan
44
dengan pesan-pesan politik yang eksplisit. Mereka juga mulai mengatur
protes spontan dan demonstrasi menentang pendudukan. Pemenjaraan
seringkali terjadi pada aktifis mahasiswa, dengan alasan pelanggaran
keamanan selama demonstrasi. Pemuda Palestina merupakan sebagian
utama dari populasi tahanan politik, mereka juga memberikan kontribusi
terhadap pergerakan perlawanan di antara para tahanan. Tindakan besar
tersebut meliputi aksi mogok makan para tahanan, serta melakukan protes
terhadap kondisi penjara mereka yang mencakup penggunaan sistematis
penyiksaan.19
Awalnya pemerintah Israel tidak menunjukkan tanda-tanda dalam
menghadapi perlawanan non-fisik, seperti yang terjadi pada respons Inggris terhadap
General Strike pada tahun 1936. Akan tetapi pada periode berikutnya, ratusan warga
Palestina termasuk pemimpin wilayah, profesor universitas, dan pemimpin organisasi
perempuan, serta serikat buruh, dideportasi dari daerah pendudukan karena terlibat
dalam kegiatan non-kekerasan selama periode menjelang demonstrasi Intifadha
Pertama. Aksi unjuk rasa, pemogokkan kerja, distribusi petisi, memajang bendera
Palestina dan aksi serupa, secara sistematis ditekan.20
E. Intifadha
Intifadha muncul pada bulan Desember 1987, penduduk Palestina di Gaza dan
Tepi Barat mulai melakukan pemberontakan masal terhadap pendudukan Israel. Aksi
19
Mubarak E. Awad. “Non-Violent Resistance: A Strategy for the Occupied Territories”,
Journal of Palestine Studies. Vol. XIII, no. 2 (1984), h. 48-52. 20
Ali Abunimah. “On Violence and the Intifada”. (The Electronic Intifada, 22 January 2003).
45
pemberontakan tersebut melibatkan ratusan ribu orang dan sebagian dari mereka
hampir tidak pernah memiliki pengalaman dalam aksi resistensi sebelumnya,
termasuk anak-anak dan remaja. Menariknya, taktik Intifadha tidak dimulai atau
diatur oleh kepemimpinan PLO (pada saat itu merupakan organisasi paling dominan
di Palestina). Sebaliknya, mobilisasi berasal dari inisiatif aktivis setempat serta
institusi dan organisasi-organisasi lokal yang telah berkembang di bawah
pendudukan.21
Mereka bertindak atas instruksi yang diturunkan oleh kelompok-
kelompok perlawanan terkemuka, seperti sekuler dan Islam.
Selama tahun-tahun Intifadha, bentuk dari budaya perlawanan Palestina
semakin berkembang dan yang paling dominan adalah semakin beragamnya bentuk
pembangkangan sipil tanpa kekerasan, seperti menyebarkan leaflet,22
demonstrasi
besar-besaran, pemogokkan umum, menolak untuk membayar pajak, boikot produk
Israel serta pendirian sekolah underground (sebab sekolah regular ditutup oleh militer
Israel sebagai pembalasan bagi pemberontakan).23
Taktik tanpa kekerasan tersebut
merupakan dasar-dasar dari upaya untuk menyingkirkan represi pendudukan Israel.
Taktik ini disebut juga dengan strategi ju-jitsu, karena konsep utama dari perlawanan
tersebut adalah menggunakan kekuatan penuh lawan, di mana kekuatan itu akan
21
Institusi dan organisasi tersebut terdiri dari komite perempuan, serikat buruh, kelompok
mahasiswa, komite kerja medis, pendidikan, dan pertanian. Lihat, Mubarak E Awad. (Non-Violent
Resistance: A Strategy for the Occupied Territories), h. 34. 22
Selengkapnya lihat lampiran, 3.2 23
Penny Johnson. “Palestinian Universities under Occupation: 15 August-15 November”.
Journal of Palestine Studies 18, no. 2, (1989), h. 93.
46
dikembalikan kembali kepada dirinya dan sekaligus menjadi titik lemahnya.24
Ketika
awal Intifadha pertama, sebagian besar warga sipil Palestina tak bersenjata
menghadapi pasukan bersenjata Israel, hal ini mengungkapkan perbedaan kekuatan
yang besar antara sipil dan pendudukan, sehingga tampilan tersebut membuat
pasukan militer Israel terlihat memalukan.
Dalam konflik yang tidak simetris ini, metode perlawanan tanpa kekerasan
dapat digunakan untuk membalikkan perbedaan kekuatan tersebut.25
Namun, di balik
semua metode perlawanan non kekerasan lainnya, terdapat satu kebudayaan baru
yang paling mencolok mata, yaitu mural. Mural mampu mencangkup semua
perlawanan tersebut dengan menggunakan taktik mobilisasi yang terlukiskan pada
seluruh dinding di wilayah palestina guna merangkul masanya. Akibatnya, resistensi
berbasis luas ini telah menarik perhatian dunia internasional, sebab model tersebut
belum pernah dilakukan pada situasi yang dihadapi Palestina bahkan dunia Arab
sebelumnya.
24
Maria J. Stephan. “People Power In The Holy Land: How Popular Nonviolent Struggle Can
Transform The Israelipalestinian Conflict”, Journal of Public and International Affairs, Vol. 14,
(2003), h. 6. 25
Maria J. Stephan. People Power In The Holy Land: How Popular Nonviolent Struggle Can
Transform The Israelipalestinian Conflict, h. 7.
47
BAB IV
DINAMIKA POLITIK MURAL SEBAGAI MEDIA RESISTENSI
RAKYAT PALESTINA PADA MASA INTIFADHA
Di tengah-tengah konflik berkepanjangan antara Palestina-Israel, ternyata
menyimpan fakta yang menarik tentang perjuangan rakyat Palestina. Bukan
dengan senjata laras panjang ataupun granat sebagai bentuk resistensi, melainkan
lebih ke arah seni dalam hal ini mural. Rakyat Palestina menggunakan mural
untuk tujuan politik, sosial, informatif, dan estetika. Mural telah menjadi
pemandangan yang wajar, terlebih sejak terjadinya Intifadha Pertama. Selama
Intifadha Pertama, mural adalah media yang berhubungan langsung dengan
khalayak publik guna menyebarkan informasi, dan dengan cepat ditutup-tutupi
oleh tentara Israel. Karena mural merupakan simbol perlawanan terhadap otoritas
Israel dan juga sebagai bentuk pembangkangan sipil. Memang dengan demikian
rakyat Palestina tidak merasa bersuara, tetapi mereka dapat berbicara melalui
mural.
A. Munculnya Politik Mural di Palestina
Dinding-dinding di wilayah Palestina telah disulap menjadi kanvas raksasa
oleh para pemuda Palestina. Dinding dalam perspektif seni jalanan, dapat menjadi
ruang publik ketika struktur bangunan menghadap keluar dan dapat diakses
publik. Kini di Palestina, ruang publik telah menjadi galeri terbuka bagi lukisan-
48
lukisan mural dan dapat dinikmati oleh para audiens dengan mudah sebagai
bagian dari perlawanan, namun melalui jalur kreatif.
Istilah creative resistance sangat cocok dialamatkan kepada mural, dengan
mengacu pada cara pandang media untuk melawan ketidakadilan khususnya di
Palestina. Menurut Norman, “rakyat Palestina harus mengembangkan seni strategi
kreatif lainnya untuk memengaruhi publik dan pemerintah Israel juga
internasional”.1 Namun, dalam hal ini tidak hanya nilai kreativitas yang
diperhitungkan, tetapi juga fakta bahwa sebuah seni dapat disederajatkan dengan
senjata. Creative resistance melibatkan unsur tulisan dan gambar untuk
mendokumentasikan cerita rakyat Palestina. Gambar dan narasi merupakan saksi
atas tindakan pendudukan Israel terhadap rakyat Palestina sekaligus sebagai
bentuk pengecaman terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia dan untuk
mengubah realitas rakyat Palestina.2
Munculnya mural Palestina dilatarbelakangi oleh kelompok pro-Irlandia
(Irish Republican Army/IRA) yang menjalin hubungan dengan otoritas PLO di
Palestina sekitar tahun 1970-an. Relasi tersebut terjalin karena kelompok Irlandia
Utara merasa memiliki kesamaan nasib dengan penduduk Arab Palestina yang
terjajah dan terusir di tanah sendiri. Tidak hanya itu, relasi yang terjalin antara
IRA – PLO juga mencakup pertukaran informasi, pelatihan, finansial, hingga
persenjataan.
1J. Norman. The Second Palestinian Intifada: Civil Resistance, (London: Routledege,
2010), h. 12. 2Kurasawa. “A Message in a Bottle: Bearing Witness as a Mode of Transnational
Practice”, Theory, Culture and Society Vol. 26 (2009), h. 94.
49
Menurut Rory Miller dalam buku yang berjudul Ireland and The Palestine
Question, mengatakan bahwa ada beberapa alasan mengapa Irlandia menaruh
perhatian sendiri mengenai konflik Palestina – Israel, di antaranya:
I. Persamaan Historis : Sebelum awal abad ke-20, Irlandia merupakan
bagian dari wilayah jajahan Inggris atau Britania Raya. Pasca peristiwa
tahun 1916 di Dublin yang diikuti perjuangan bersenjata menjadikan
upaya Irlandia untuk terlepas dari Inggris semakin mendekati
kenyataan. Melalui traktat Anglo – Inggris pada tahun 1920,
menyebabkan Inggris menyetujui untuk memberikan kemerdekaan
kepada sebagian besar wilayah Irlandia, namun wilayah Irlandia Utara
tetap menjadi bagian dari Inggris Raya. Kebijakan yang dibuat Inggris
dalam traktat tersebut dipandang kaum Nasionalis Irlandia sebagai
tindakan pembagian paksa yang bertentangan dengan keinginan
mayoritas rakyat Irlandia.
Hal tersebut menyebabkan Irlandia menilai Inggris tidak memberikan
kemerdekaan secara utuh karena perjanjian pembagian wilayah
dianggapnya berat sebelah. Dengan melihat kesamaan historis tersebut,
Irlandia memiliki opini tersendiri tentang isu pembagian wilayah yang
juga dialami Palestina. Pada tahun 1937, Irlandia menolak proposal
pembagian tanah dalam sidang Liga Bangsa Bangsa (LBB). Dalam
salah satu buletin terbitan Kementrian Hubungan Luar Negeri Irlandia
pada tahun 1938 menyatakan secara implisit bahwa Inggris ingin
membagi wilayah Palestina, sama seperti yang dilakukannya pada
Irlandia beberapa tahun sebelumnya.
50
II. Hubungan dengan Vatikan : Sebagai negara yang mayoritasnya
adalah beragama Katolik dan berdiri dengan pondasi negara Katolik
sekuler, bukan hal yang rumit jika Irlandia memiliki hubungan yang
erat dengan Vatikan sebagai pusat dari umat Katolik seluruh dunia.
Alasan itulah yang menyebabkan Irlandia dalam kebijakan luar
negerinya juga berusaha menyelaraskan diri dengan pandangan
Vatikan yang menyerukan internasionalisasi Yerusalem sejak tahun
1948. Setahun berikutnya, menteri luar negeri Irlandia Sean MacBride
mengatakan bahwa tempat-tempat suci Yerusalem harus dilindungi
dan berada di bawah kendali internasional.
III. Cara Pandang Kelompok Irlandia terhadap Kaum Yahudi dan
Israel : Pada awalnya Irlandia menaruh simpati terhadap kaum Yahudi
dalam usaha mendirikan negara dan menentukan nasibnya sendiri. Hal
tersebut karena kesamaan rasa sebagai bangsa yang terusir dan
terdiskriminasi dari tanahnya sendiri. Sejak runtuhnya kerajaan mereka
akibat serangan Kekaisaran Romawi beberapa abad sebelum Masehi,
kaum Yahudi terdiaspora dan kebanyakan dari mereka mengalami
tindakan diskriminasi di negara-negara tempat mereka tinggal. Tidak
sedikit pula dari mereka yang menjadi sasaran pembantaian; pogrom,
holocaust, dan inkuisisi.3
3Pogrom (kehancuran) adalah serangan penuh kekerasan besar-besaran yang terorganisasi
atas sebuah kelompok tertentu, etnis, keagamaan, atau lainnya. Secara historis istilah ini digunakan
untuk mengacu pada tindakan kekerasan beasar-besaran, baik secara spontan ataupun terencana
terhadap orang Yahudi. Lihat Stephen M Berk. Year of Crisis, Year of Hope: Russian Jewry and
the Pogroms of 1881–1882, (New York : Greenwood, 1985, h. 55).
Holocaust (seluruh atau terbakar) dan dikenal pula dengan Shoah (bancana atau
kehancuran), adalah genosida terhadap enam juta penganut Yahudi Eropa selama Perang Dunia II.
Suatu program pembunuhan sistematis yang didukung oleh Nazi. Secara khusus lebih dari satu
juta anak Yahudi tewas , serta sekitar dua juta wanita dan tiga juta jiwa pria Yahudi tewas dalam
51
Namun seiring berjalannya waktu, opini masyarakat Irlandia terutama
kelompok Nasionalis terhadap kelompok Zionis Yahudi berubah
drastis. Sejak kelompok Zionis menerima kebijakan pembagian tanah
Palestina, kelompok Nasionalis Irlandia memandang Israel tidak lebih
sebagai kelompok kolonial yang merampas tanah pribumi. Pasca
berdirinya negara Israel pada tahun 1948, mereka beranggapan bahwa
berdirinya Israel yang diprakarsai oleh Inggris merupakan bentuk
pembungkaman nasionalisme Arab di wilayah tersebut. Sama seperti
pendirian Irlandia Utara yang bersebrangan dengan kepentingan kaum
nasionalis Irlandia yang ingin wilayahnya merdeka seutuhnya.4
Dukungan masyarakat Katolik Irlandia terhadap Palestina dapat terlihat
pada lanskap pemukiman kelompok Katolik Irlandia di wilayah Derry dan Belfast
yang merupakan dua kota terbesar di Irlandia Utara. Wilayah tersebut merupakan
lokasi terjadinya konflik etnis antara kelompok Katolik (pro-Irlandia) dengan
Unionis Protestan (pro-Inggris) yang dikenal sebagai The Troubles.
Selama konflik The Troubles di Irlandia Utara, beragam bentuk mural
muncul sebagai wujud visualisasi dan pengobar semangat, baik dari pihak
Nasionalis ataupun Unionis. Tema-tema yang diangkat pada mural tersebut di
kasus Holocaust. Lihat Donald L Niewyk, The Columbia Guide to the Holocaust. (Columbia
University Press, 2000, h. 45).
Inkuisisi merupakan pengadilan Gereja abad pertengahan yang ditunjuk untuk mengusut
bid’at, disebut demikian karena menentang kesalahan dan tradisi Gereja Roma (diperintahkan oleh
Uskup atau Paus). Pada tahun 1487, Paus Innocentius VIII menunjuk rahib Dominikan Spanyol,
Tomas de Torquemada, sebagai pelaksana Inkuisisi Agung. Di bawah kekuasaannya, ribuan orang
Kristen, Yahudi, Muslim, “penyihir”, serta orang-orang lainnya terbunuh dan disiksa. Orang-orang
yang berada dalam bahaya terbesar karena Inkuisisi adalah kaum Alumbrados (penganut mistik di
Spanyol) dan Protestan. Lihat Henry Charles Lea, A History of The Inquisition of Spain, (New
York: AMS Press Inc, 1988, h. 47). 4Rory Miler and Allan Shatter. Ireland and the Palestine Question 1948-2004, (Irlandia :
Irish Academic Press, 2005), h. 28.
52
antaranya tentang; kelompok bersenjata, tokoh yang memiliki pengaruh, peristiwa
penting, serta opini dari suatu kelompok. Mural yang bertemakan sikap solidaritas
Irlandia dengan Palestina juga turut terlihat. Hal tersebut dikarenakan, kasus
Palestina dianggap mirip dengan kasus Irlandia pada masa Inggris.5
Pada tahun 1982 di Belfast, terdapat mural kelompok Nasionalis yang
sangat terkenal. Mural tersebut menampilkan gambar pejuang PLO dengan IRA
yang sedang mengangkat senjata RPG (Rocket Propelled Grenade) secara
bersama-sama. Di bagian bawah terdapat tulisan one struggle (satu perjuangan),
suatu kalimat simbolik yang menyatakan bahwa PLO dan IRA sama-sama
berjuang untuk memerdekakan masing-masing wilayahya (Lihat gambar 4.5).
Sikap dan hubungan antara kedua negara tersebut disinyalir merupakan salah satu
alasan mengapa seni mural ikut terbawa dan menjadi budaya baru dalam
perjuangan bangsa Palestina yang membuat lanskap dinding menjadi penuh warna
di setiap tempat.
Coretan dinding di Palestina sesungguhnya telah ada sejak akhir tahun
1970-an, walaupun mayoritas coretan tersebut masih berbentuk tulisan sederhana
dan diproduksi oleh para pemuda sebagai pelampiasan kekecewaan atas
pendudukan Israel. Namun dengan munculnya Intifadha Pertama tahun 1987, aksi
mereka telah menarik perhatian segenap gerakan politik Palestina dan membuat
seni dinding menjadi upaya legal dalam perjuangan mereka.6 Legalitas tersebut
muncul karena sebelumnya Israel menguasai semua berita dan saluran informasi
di jalur pantai, akibatnya tidak ada akses televisi maupun radio Palestina. Di Gaza
5Rory Miler and Allan Shatter. Ireland and the Palestine Question 1948-2004, , h. 28.
6Mia Gröndahl, Gaza Graffiti: messages of love and politics. (Cairo : The American
University in Cairo Press, 2009), h. 4.
53
sendiri tidak memiliki koran harian lokal, dan Israel selalu memberikan
pengawasan terhadap koran-koran Palestina yang datang dari Yerusalem.
Akibatnya untuk pertama kali rakyat Palestina tidak dapat menyebarkan informasi
atau sekedar mengatakan apa yang sedang terjadi.7 Karena itulah dengan adanya
pengalaman serta hubungan dengan IRA telah menjadikan dinding menjadi
saluran alternatif komunikasi dan sebagai tempat memproduksi surat kabar yang
dapat menjangkau semua khalayak Palestina.8
Dalam politik mural, para aktifis Intifadha telah menemukan cara untuk
menginformasikan kepada rakyat Palestina tentang situasi yang sedang terjadi.
Dinding seolah-olah menceritakan mereka yang telah berpartisipasi dalam
pertempuran, memanggil mereka untuk mengambil bagian dalam aksi unjuk rasa
baru, dan mendorong mereka untuk terus melawan. Dengan demikian mural telah
menjadi alat untuk memecahkan ketakutan, menambah motivasi, serta panggilan
mereka untuk bangkit.
B. Mural Intifadha
Salah satu ciri yang paling mencolok dari lanskap budaya akibat
pendudukan Israel di Palestina pada masa Intifadha Pertama, di akhir tahun 1980-
an hingga awal tahun 1990-an, adalah goresan pada dinding.9 Sebab, sepasang
mata akan segera tertuju pada coret-coretan mural yang hampir memenuhi setiap
dinding batu di Palestina. Sebagai hasil budaya ciptaan mereka (baca: artefak),
sifat mural tidak pasif atau mati. Karena melihat dan membaca merupakan
7Mia Gröndahl, Gaza Graffiti: messages of love and politics, h. 6.
8Sumber: http://www.aljazeera.com/focus/gazaoneyearon/009/12/20, (akses:23/9/14).
9Selengkapnya lihat lampiran, 4.1.
54
perilaku aktif sehari-hari manusia, sedangkan fungsi dari gambar dan bahasa
adalah sebagai pembawa hubungannya. Oleh karena itu mural diproduksi secara
sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan tentara Israel. Sebab, tentara Israel akan
segera menindaklanjuti aksi tersebut, hingga menyebabkan kekerasan fisik
terhadap pelakunya.10
Namun sebagai balasannya, tindakan tersebut mendapat
apresiasi tinggi oleh rakyat Palestina, karena dalam pandangan mereka sebagai
pembaca, mural yang dihasilkan terkandung nilai emosi, keberanian, semangat,
dan tekat.
Menurut Edward Said, “dalam sebuah coretan dinding, tidak ada yang
menulis untuk dirinya sendiri, selalu ada yang lainnya dan mau tidak mau hal ini
mengubah interpresi dinding menjadi kegiatan sosial”.11
Membaca dan menyerap
pesan mural terjadi karena didasari oleh arena historis dan budaya. Karena ketika
mereka membaca mural dan graffiti tidak terlepas dari kondisi serta konten
mereka.
1. Mural pada Intifadha Pertama
Selama masa Intifadha Pertama, Mural mengambil tempat terhadap
konstelasi12
taktik perlawanan untuk melakukan intervensi dengan otoritas
pendudukan. Karena tindakan menulis dan membaca dapat menganggu hubungan
pendudukan Israel – sipil Palestina dalam berbagai cara. Munculnya goresan pada
dinding secara tiba-tiba dan serentak di setiap wilayah Gaza dan Tepi Barat selalu
10
Julie Peteet. “The writing on the walls: the graffiti of the intifada”, Cultural
Anthropology, Vol. 11, no. 2, (1996), h. 139. 11
Edward Said. Opponents, Audiences, Constituencies, and Community. In The Politics of
Interpretations. (Chicago: University of Chicago Press, 1983) h. 9. 12
Konstelasi menurut KBBI Online adalah 1. keadaan, tatanan (Politik Eropa) 2. Bangun,
bentuk, susunan, kaitan, 4. gambaran. Sumber : http://kbbi.web.id/konstelasi
55
menjadi media pengingat akan kisah ketidaknormalan hidup di bawah
Pendudukan Israel maupun pemberontakan massa setiap harinya.
Para pemuda Palestina menuliskan mural mereka di sebuah dinding
pertahanan serta yang lebih berani pada kendaraan lapis baja milik IDF (Israel
Denfense Force).13
Penampakan mural tersebut merupakan bentuk resistensi atas
tindakan akuisisi Israel terhadap wilayah Palestina, sekaligus bentuk celaan bagi
mereka.14
Mural adalah salah satu media terkecil, mereka sering memunculkan
tanda-tanda (kode), tulisan atau gambar dalam waktu cepat,15
berani, dan
fragmentaris, seperti gerakan Intifadha itu sendiri.16
Mural-mural Intifadha
biasanya sangat sederhana dengan menampilkan beragam kata dengan simbol
terbatas yang bertujuan untuk mengekspresikan kondisi sosial-politik mereka.
Berkaitan dengan konteks Intifadha Pertama yang muncul sebelum adanya
jaringan Internet, menulis di dinding menjadi media pilihan terakhir para pemuda
Palestina. Hal tersebut karena adanya lembaga sensor yang diberlakukan Israel,
sehingga memperlemah dan bahkan mematikan akses media lokal Palestina, baik
cetak maupun elektronik.17
Akibatnya, rakyat Palestina tidak mendapatkan
sumber informasi tentang perkembangan kondisi politik mereka. Namun dengan
munculnya mural pada setiap dinding di wilayah Palestina, telah mengubah
13
Jonathan Matusitz. Symbolism in Terrorism: Motivation, Communication, and
Behavior. (Lanham: Rowman & Littlefield, 2014), h. 125. 14
Jonathan Matusitz. Symbolism in Terrorism: Motivation, Communication, and
Behavior, h. 126. 15
Yang dimaksud “cepat” di sini adalah, malam hari diproduksi dan pada pagi harinya
mural baru telah muncul. 16
Intifadha bersifat: cepat, tiba-tiba, berani (menghadapi tentara Israel hanya dengan
bermodalkan batu), dan fragmentaris (berupa bagian-bagian/aksinya tidak berfokus pada satu
bagian, namun terpecah-pecah dalam artian menyebar di setiap tempat). 17
Jonathan Matusitz. Symbolism in Terrorism: Motivation, Communication, and
Behavior. (Lanham : Rowman & Littlefield, 2014), h. 127.
56
kondisi keterbatasan informasi tersebut. Mural kini menjadi satu-satunya media
yang dapat menghindari pengaturan sensor Israel dan membuat hubungan
langsung dengan publik, sehingga mengundang respons aktif dari pembaca atau
audiens.
Mural adalah cara termudah bagi para pemuda Palestina untuk
menyuarakan aspirasi, ide, gagasan serta pesan orang tua mereka. Sebuah genre
graffiti memperlihatkan seorang ibu yang membawa pesan pengorbanan, “jika
seorang teman kembali tanpa aku, ibu akan menangis, namun setiap tetesan air
mata yang jatuh merupakan bahan bakar kobaran api cahaya kebebasan”.18
Menulis di dinding merupakan cara yang egaliter (baca: merakyat) dan
mampu memberikan semangat juang rakyat Palestina di tengah ruang publik.
Dinding memungkinkan setiap orang untuk menyuarakan protes ataupun
penolakan mereka. Para pemuda Palestina bermaksud agar masyarakat luas
mengetahui ide gagasan mereka, sehingga mural layaknya sebuah billboard
(papan iklan) bagi rakyat Palestina. Namun pada kesempatan lain, mural tersebut
dimanfaatkan oleh pihak Israel sebagai alat pengawas dan sebagai celah untuk
mendeteksi terjadinya aksi serta mengontrol segalanya. Dalam hal ini,
pemberlakuan sensor sangat dibutuhkan Israel agar tidak terjadi komunikasi
dengan masyarakat lokal maupun global mengenai situasi di Palestina, karena
mural mampu mempengaruhi dan merespons aktif para pembacanya. Dan yang
paling penting, mural merupakan bagian dari repertoar19
tindakan pembangkangan
18
Julie Peteet. “The Writing on the Walls: The Graffiti of the Intifada”, Cultural
Anthropology, Vol. 11, No. 2 (1996), h. 154. 19
Repertoar adalah daftar rencana permainan sandiwara, opera, balet, komposisi musik,
lagu, atau peran yang telah dipersiapkan dan dipelajari oleh artis, grup musik, orkestra, atau
57
sipil. Sikap yang paling menonjol adalah menolak membayar pajak, pemboikotan
barang Israel, dan mengibarkan bendera Palestina. Sebagai hasil budaya tangan
manusia, mural merupakan usaha dalam mengekspresikan ide gagasan mereka
secara global untuk menggulingkan hierarki kekuasaan Israel.
Sejak kemunculannya, mural adalah salah satu cara untuk melawan
pendudukan Israel dengan mengiringi strategi mobilisasi massa, mulai dari
mengunjungi, mengajak, dan akhirnya ikut terlibat ke dalam konfrontasi. Dengan
demikian mural mencoba memberikan sugesti dan menyerukan kepada audiens
agar menolak kehadiran pendudukan Israel serta mengambil tindakan.20
Oleh
sebab itu, mereka yang memproduksi mural dengan genre dramatis dan
mengakibatkan aksi massa, dapat dianggap sebagai tindakan ilegal bagi tentara
Israel. Bahkan pada kesempatan lain tidak sedikit pemuda yang tewas ketika
menulis dan menggambar di dinding. Selain itu, tentara Israel juga akan menahan
siapa pun yang kedapatan memiliki bercak cat di tangan mereka.
Namun, aksi kekerasan yang dilakukan tentara Israel tidak mengurangi
langkah pemuda Palestina untuk terus aktif memploklamirkan goresan dinding.
Dinding-dinding seperti toko, rumah, dinding publik, serta telepon umum tidak
terlepas dari goresan campur aduk mural. Setiap lokasi memiliki beberapa koleksi
mural dan graffiti, kuantitas merupakan barometer dari simbol ketidakpuasan dan
kelompok sandiwara sebelum mengadakan pertunjukan di depan penonton. Lihat Yus Badudu.
Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia, (Kompas, 2003). h. 302. 20
Strategi tersebut diberi nama days of confrontations dengan otoritas pendudukan yang
dibentuk oleh pemimpin wilayah. Days of Confrontations merupakan hari di mana orang-orang
didorong untuk mengambil bagian pada aksi yang dirancang untuk melibatkan tentara dalam
konfrontasi, seperti pelemparan batu atau menyiapkan barikade. Mural dimaksudkan untuk
memicu mobilisasi massa, menarik orang agar keluar dari rumahnya dan kehidupan sehari-hari
berubah menjadi pergulatan aksi perlawanan. Lihat Julie Peteet, “The Writing on the Walls: The
Graffiti of the Intifada”, Cultural Anthropology, Vol. 11, No. 2 (1996), h. 142.
58
perlawanan rakyat. Pada satu kesempatan, dinding rumah sipil beserta tempat
bisnis dikerahkan secara formal. Hal tersebut, sebagai aksi dukungan serta
perlawanan mereka dengan Israel. Namun, pengambialihan dinding milik pribadi
ini merupakan salah satu tindakan mobilisasi dari gerakan politik internal
Palestina, sebab seniman mural tidak terlepas dari afiliansi gerakan politik di
Palestina. Karenanya para pemilik dinding akan berhadapan dengan tentara Israel
yang menuntut penghapusan dan pembayaran denda sebesar 700 Shekel Israel
(sekitar $350).21
Dengan adanya sanksi tersebut, membuat beberapa pemilik dinding
mengingkari kerjasama dengan para muralis. Pada satu kesempatan ketika terjadi
huru-hara antara sipil Palestina dengan tentara Israel, beberapa pemilik dinding
mencoba menutup penuh mural tersebut dengan cat untuk menyelamatkan diri
mereka dari denda dan penghinaan penghapusan di bawah mata tentara Israel.
Akibatnya, sikap tersebut membuat para seniman geram, dan untuk mengontrol
hal tersebut, maka sikap tegas ditunjukkan lewat mural yang bertuliskan, “Don't
paint over graffiti voluntarily. First Warning!”, sebuah instruksi yang ditujukan
kepada warga Palestina agar menahan diri dari sikap main hakim sendiri demi
keuntungan otoritas pendudukan.22
Mural memang memiliki kemampuan untuk
mengubah hubungan internal dan memanfaatkan mereka melakukan tindakan
perlawanan.
21
Julie Peteet. “The Writing on the Walls: The Graffiti of the Intifada”, Cultural
Anthropology, Vol. 11, No. 2 (1996), h. 143. 22
Namun, pada tahun 1991, Unified National Leadership (UNL) mengeluarkan instruksi
dalam bayan (leaflet) yang melarang menulis grafiti di dinding milik pribadi. Karena menanggap
Israel telah mengumpulkan terlalu banyak pendapatan dari denda pemilik dinding yang dipenuhi
mural. Lihat Julie Peteet. “The Writing on the Walls: The Graffiti of the Intifada”, Cultural
Anthropology, Vol. 11, No. 2 (1996), h. 144.
59
Gerakan Intifadha pada hakikatnya merupakan perlawanan kaum muda
Palestina. Sama dengan kasus Intifadha secara umum, aksi mural juga
mengerahkan sebagian besar pemuda. Sehingga aksi tersebut dapat dikatakan
seperti ritual kedua menuju kedewasaan. Sebab, bagi mereka yang ingin
tergabung ke dalam barisan keanggotaan sebuah organisasi politik, menggores
dinding menjadi salah satu syarat.23
Singkatnya, tindakan yang membuat dinding
berbicara tersebut merupakan salah satu syarat untuk memperoleh mandat
revolusioner guna memasuki status keanggotaan dalam ranah politik atau afiliasi
di Palestina.
Tema tulisan dan gambar dinding pada dasarnya diarahkan oleh para
pemimpin di masing-masing wilayah. Dan umumnya mural diproduksi pada
malam hari lalu diblok (dihapus dengan cat) Israel pada siang hari. Karenanya,
wajah dinding akan selalu berubah-ubah dalam setiap waktu, baik pagi, sore, dan
malam hari. Isi konten mural sendiri selalu seragam dan riuh, sebanyak terjadinya
pemberontakan. Retorika mereka sangat dituntut untuk menandakan
persimpangan batas terlarang antara Palestina-Israel.24
Melalui mural, suara rakyat Palestina secara luas mampu terwakilkan.
Kehadiran suara pada sebuah ruang publik Palestina yang lolos dari sensor Israel
dan bernada berani muncul bersamaan dengan tagging faksi politik untuk
mengobarkan semangat perlawanan rakyat Palestina yang bertuliskan, ”Kematian
23
Menulis mural merupakan tugas pertama yang dilakukan seorang calon jika ingin
tergabung dalam barisan. Selain itu, kesiapan dan mentalitas calon juga menjadi prioritas utama,
dilihat dari komitmennya yang ikut terlibat ke dalam aksi perlawanan dan juga kapasitasnya dalam
menghadapi bahaya. Julie Peteet. “The Writing on the Walls: The Graffiti of the Intifada”,
Cultural Anthropology, Vol. 11, No. 2 (1996), h. 144. 24
Ghazi Hamad, “Writings on the wall”, Palestine Report, vol. 10, no. 22, (2003), h. 179.
60
bagi pemukim di mana pun mereka berada – PFLP” (Popular Front for the
Liberation of Palestine).25
“Kami adalah orang-orang kuat terhadap semua model
penyiksaan yang ada – PFLP”; “Cepat kembalikan kemerdekaan kami!! – UNL”
(Unified National Leadership), “Tidak untuk penjajahan”. Selain memberikan
semangat perjuangan, mural juga mengarahkan rakyat untuk melakukan aksi
pembangkangan terhadap Otoritas Pendudukan. “Tidak membayar pajak adalah
kewajiban nasional dan tindakan perjuangan – UNL”. “Generasi yang bangkit di
dalam ruang interogasi di bawah tongkat polisi menciptakan partai rakyat dan
semua kamerad26
- PCP” (Palestine Communist Party).27
Kebanyakan dari mural memang menampilkan kalimat-kalimat dan makna
yang tergolong tegas. Namun di balik semua itu, terdapat pula ilustrasi tulisan
yang terlihat humoris, akan tetapi tetap pada koridor perjuangan. “Penjara adalah
tempat relaksasi, kebijakan deportasi adalah pariwisata, melempar batu adalah
olahraga – UNL”.28
Tulisan tersebut, selain sebagai langkah untuk menunjukkan
kapasitas mereka dalam menantang sanksi hukum Israel juga sebagai bentuk
ketegasan akan sebuah cerita, bahwa rutinitas yang mereka jalani sehari-hari
merupakan sesuatu yang menyenangkan. Pesan terhadap sikap keberanian yang
25
PFLP, Fatah, UNL, Hamas, PCP, dan QD umumnya digunakan dan akronim yang
dituliskan semuanya muncul sebagai tanda tangan di akhir graffiti atau mural. PFLP singkatan
Front Populer untuk Pembebasan Palestina, kelompok oposisi utama di PLO. Fatah, merupakan
faksi terbesar dan paling kuat di PLO, sebagai sebuah kata, Fatah berarti “penaklukan” atau
“pembukaan”. UNL mengacu pada Kepemimpinan Nasional Bersatu, merupakan pimpinan bawah
tanah intifadha. Hamas adalah akronim dari Harakat al-Muqawama al-lslamiyya; sebagai sebuah
kata, Hamas berarti semangat, gigih, sabar. PCP mengacu pada Partai Komunis Palestina (Party
Comunist Palestine), dan QD singkatan Pasukan Mogok (Quwwat al-Darb). 26
Dalam KBBI Online, istilah Kamerad adalah panggilan sesama anggota Partai
Komunis. Sumber : http://kbbi.web.id/kamerad, (akses: 7/2/14). 27
Juliee Peteet. “The Writing on the Walls: The Graffiti of the Intifada”, Cultural
Anthropology, Vol. 11, No. 2 (1996), h. 145. 28
Julie Peteet. “The Writing on the Walls: The Graffiti of the Intifada”, h. 146.
61
terbilang lugu tersebut merupakan sarana untuk mempersiapkan diri anak-anak
muda Palestina akan kemungkinan pengalamannya menjadi tahanan.
Secara keseluruhan graffiti dan mural selalu bersandingan dengan tagging
dari gerakan politik, akan tetapi tidak jarang pula muncul tagging individu.
Namun, rakyat Palestina lebih melihat goresan dinding yang muncul dengan
tagging gerakan politik. Sebab, hal tersebut lebih membawa makna kebersamaan
dan sikap nasionalisme serta menegaskan pembaca ikut terlibat ke dalam ruang
lingkup politik. Itulah sebabnya Israel sangat responsif terhadap goresan dinding.
Bagi tentara Israel tulisan atau gambar yang dibuat terburu-buru (baca: singkat)
lebih penting daripada isi kandungan yang sebenarnya.
Tentara Israel menanggapi praktik sosial tersebut serta dampak
kemungkinan dari arahan mural yang dapat menimbulkan pembaca
mengeksplorasi dan menegaskan identitas kolektif. Aksi penghapusan disertai
tindak kekerasan menjadikan catatan akan ketakukan Israel terhadap kedua
komunitas, yang memproduksi dan mensirkulasikan informasi, serta pengalaman
dan sentimen yang ditulis dan dishared kepada masyarakat luas tanpa harus
melalui kontak langsung atau face to face.29
Di bawah pemerintahan tentara Israel, kehidupan sehari-hari masyarakat
Palestina sangat diatur oleh izin, hampir pada setiap kegiatan, mulai dari
membangun rumah, membawa buku-buku ataupun sekedar menanam pohon.
Lebih dari 1.500 perintah tentara Israel mengatur kehidupan sehari-hari rakyat
Palestina. Melukis dan menulis di dinding yang tidak memiliki izin didefinisikan
29
Sirkulasi sentimen dapat menimbulkan hasutan. Lihat Julie Peteet, “The Writing on the
Walls: The Graffiti of the Intifada”, Cultural Anthropology, Vol. 11, No. 2 (1996), h. 146
62
sebagai tindakan illegal.30
Jadi tentara Israel akan bergegas untuk memastikan
bahwa mural dan graffiti telah diblok. Sebagian besar tentara Israel tidak dapat
memahami isi sebenarnya, namun mereka menanggapinya hanya dengan melihat
bahwa mencoret dinding merupakan sebuah praktik sosial dari aksi
pembangkangan. Ikon yang paling dikenal, umumnya seperti; palu dan arit dari
Partai Komunis Palestina, kepalan tangan dari QD atau Masjid of Rock Dome dari
Hamas yang tidak memerlukan keaksaraan dalam bahasa Arab.
Kondisi mural yang dilukis dan ditulis adalah inti untuk menemukan
makna dan keberhasilan mereka. Mural merupakan cara menghindari penolakan
terhadap suara mereka. Ia merupakan satu-satunya cara untuk mematahkan aturan
yang membatasi mereka bersuara dan menjadi sarana utama dalam komunikasi
kepada publik. Adanya penolakan akses media cetak oleh tentara Israel, membuat
orang turun ke dinding guna menciptakan media cetak dari batu dan sekaligus
pembaca batu. Dengan demikian mural merupakan bukti tentang upaya untuk
mengembalikan suara dan fashion ruang publik, di mana arena seperti opini dapat
dibentuk.31
Akan tetapi, diakhir tahun 1980-an hingga awal tahun1990-an, dinding
telah berubah dari yang berisi resistensi terhadap Israel menjadi media persaingan
politik internal Palestina, baik berupa isu gender maupun konsep negara Palestina.
30
Hilterman menyatakan bahwa aturan Orde atau pasal Militer 101 (1967), mengenai
larangan aksi penghasutan dan propaganda, mencangkup pelarangan seperti kepemilikan dan
distribusi bahan illegal, mengibarkan bendera Palestina, dan keanggotaan dalam organisasi yang
dianggap illegal. Berdasarkan Orde Militer 101,“No publications can be brought in, sold, printed,
or kept in someone's possession in the West Bank unless a permit has been obtained for them”,
terjemahan bebas : “tidak ada publikasi yang dapat dibawa, dijual, dicetak, atau disimpan dalam
kepemilikan seseorang di Tepi barat kecuali izin telah diperoleh mereka”. Lihat Joost Hiltermann,
Behind the Intifada. Labor and Women's Movements in the Occupied Terri-tories, (Princeton, NJ :
Princeton University Press, 1991, h. 105-106). 31
Layoun mengatakan bahwa gagasan Habermas tentang ranah publik sebagai "pidato
yang ideal, situasi di mana komunikasi diskursif berlangsung. Lihat Mary Layoun, Telling Spaces:
Palestinian Women and the Engendering of National Narra-tives. In Nationalisms and Sexualities.
(New York: Routledge, 1992, h. 422).
63
Namun demikian, lanskap perlawanan terhadap Israel masih tetap terlihat,
walaupun pada intensitas yang rendah.
Setelah terjadinya perjanjian damai Oslo pada tahun 1993, sebuah
instruksi keluar dengan mengatakan bahwa mural dan graffiti harus dicat (baca:
hapus) sebelum kedatangan presiden Arafat. Instruksi tersebut sesuai dengan salah
satu isi dari perjanjian damai Oslo.32
Akibatnya, warna-warni dinding di setiap
wilayah harus disapu bersih dari noda-noda coretan mural.33
Pada masa ini tidak
ada satupun kritik terhadap proses perdamaian yang terlihat di dinding, meskipun
demikian, kritikan terus berkembang tanpa henti selama tahun 1990-an.
2. Mural pada Periode Oslo
Perlawanan rakyat Palestina selama Intifadha Pertama menyebabkan
terjadinya negosiasi perdamaian serta perjanjian Oslo di tahun 1993. Namun
selama periode Oslo dari tahun 1993-2000, pendudukan Israel yang berkelanjutan
terus membatasi ekonomi dan pembangunan nasional Palestina. Akan tetapi,
dalam periode ini, rakyat Palestina diizinkan untuk mendirikan media penyiaran
mereka sendiri di wilayah pendudukan. Ini merupakan kesempatan bagi rakyat
Palestina untuk mengembangkan media-media dalam bidang lainnya.34
Otoritas
Palestina mendirikan Voice of Palestina, sebuah stasiun radio dan Televisi
Palestina pada tahun 1994. Palestina khususnya di Gaza, telah memiliki surat
32
Dasar dari munculnya instruksi tersebut adalah karena tentara Israel selalu terprovokasi
oleh hiasan yang muncul pada dinding-dinding Palestina. sehingga tidak jarang tentara Israel
menggunakan kekerasan untuk menghentikan aksi tersebut. Lihat Mia Gröndahl, Gaza Graffiti:
messages of love and politics. (Cairo : The American University in Cairo Press, 2009, h. 10). 33
Pada pertengahan 1990-an, secara menyeluruh mural dilukis untuk memperingati acara-
acara nasional atau internasional di bawah pengawasan organisasi sipil. Lihat Asmaa Al-Ghoul
“Palestinians in Gaza Express Love, Politic with Graffiti”. (Al-monitor : 23 Oktober 2013). 34
Amal Jamal. Media, Politics and Democracy in Palestine. (Sussex : Academic Press.
2005), h. 89.
64
kabar sendiri untuk pertama kalinya sejak pendudukan Israel dimulai. Selain itu
palestina juga mulai menggunakan proyek berita melalui internet.35
Teknologi serta perkembangan politik telah berubah menjadi
madiascapes36
pada tahun 1994 – 2000, sehingga menghasilkan perkembangan
besar terhadap media resmi non-aparat, salah satunya media Islam yang
diprakarsai oleh Hamas. Publikasi Islam mulai beredar lebih luas dan bebas.37
Media Islam membahas mengenai masalah agama dan sosial, namun fokus utama
mereka adalah politik. Mereka memanfaatkan hal ini untuk menyampaikan
wacana propaganda perlawanannya terhadap ideologi sekuler, seperti; hak asasi
aanusia, pluralism, dan kritik terhadap otoritas resmi Palestina. Karena
pemberitaan yang terus menerus mengkritik pemerintah, menyebabkan media
kelompok Islam tersebut resmi dibatasi dan dilarang bila kedapatan ilegal. Untuk
mencegah hal tersebut, Otoritas Palestina membagun lembaga sensor serta
melakukan aksi terjun langsung dalam mengontrol institusi media. Dengan
demikian persaingan antara Hamas dan Fatah (Otoritas Palestina) semakin
terlihat.38
Selama periode Oslo, legalitas atas media elektronik dan cetak telah
membuat budaya dinding berbicara tersingkirkan. Namun perlu dicatat, pada
periode ini media Palestina tidak dapat konsisten dalam mendorong percakapan
35
Amal Jamal. Media, Politics and Democracy in Palestine, h. 92. 36
Mediascapes adalah distribusi kapabilitas elektronik untuk menghasilkan dan
menyebarkan informasi (koran, majalah, televisi, studio pembuat film). 37
Amahl Bishara. “New Media and Political Change in the Occupied Palestinian
Territories”, Middle East Journal of Culture and Communication. Tufts University (2005), h. 69. 38
Amahl Bishara. “New Media and Political Change in the Occupied Palestinian
Territories”, h. 71.
65
yang hidup dengan audiens terkait isu-isu Politik, ditambah sumber daya
keuangan yang kurang menjadi faktor penyebabnya.39
3. Mural pada Intifadha Kedua
Intifadha Kedua dimulai pada September 2000, pada aksi Intifadha kali ini
mengambil bentuk yang sangat berbeda dari Intifadha Pertama karena konstelasi
yang berbeda antara pemerintahan Israel dan Palestina.40
Selain itu, legalitas atas
penggunaan akses media menjadi sebuah hal yang paling menonjol. Namun hal
tersebut tidak berlangsung lama, karena Israel kembali mengawasi akses media
Palestina, seperti pada saat Intifadha Pertama. Bahkan aksi pelarangan media
dibarengi dengan tindakan yang lebih brutal dari tentara Israel dengan
menargetkan kantor media, baik milik pemerintah Palestina ataupun independen
sebagai lokasi sasaran militer. Akibatnya, pada tahun 2000 pula Israel mengebom
pemancar radio Voice of Palestine milik Otoritas Palestina.41
Dengan demikian
rakyat Palestina kembali mengalami krisis media, baik sebagai sumber informasi
ataupun alat propaganda politik.
39
Akibatnya, media cetak seperti koran jarang mengirim wartawan ke lokasi kejadian.
Dan sekitar 55 persen konten surat kabar merupakan terjemahan atau diterbitkan dari media
internasional lainnya. Lihat Amahl Bishara, “New Media and Political Change in the Occupied
Palestinian Territories: Assembling Media Worlds and Cultivating Networks of Care”, Middle
East Journal of Culture and Communication, Tufts University, (2010), h. 70. 40
Tidak seperti Intifadha Pertama, ketika aksi protes terhadap pendudukan Israel yang
secara geografis tersebar luas di wilayah perkotaan, baik besar maupun kecil. Selama masa
Intifadha Kedua, bentrokan tidak lagi berlangsung di dalam wilayah tersebut karena adanya
administrasi Otoritas Palestina. Bentrokan tersebut justru terjadi di perbatasan kota dan di jalan
bypass, sedangkan Israel mengontrol tempat Ibadah. Lihat Amahl Bishara, “New Media and
Political Change in the Occupied Palestinian Territories: Assembling Media Worlds and
Cultivating Networks of Care”, Middle East Journal of Culture and Communication, Tufts
University (2010), h. 71. 41
Aksi tersebut terus berlanjut, pada musim dingin 2001-2002 tentara Israel menyita
peralatan media dan kemudian meledakkan bom di gedung pemerintah dan penyiaran TV Palestina
Israel juga menggeledah salah satu stasiun televisi perdana milik independen, Al-Quds Television,
dan stasiun independen lainnya. Lihat Amahl Bishara, “New Media and Political Change in the
Occupied Palestinian Territories: Assembling Media Worlds and Cultivating Networks of Care”,
Middle East Journal of Culture and Communication, Tufts University, (2010), h. 73.
66
Di awal abad millennium tahun 2000, perkembangan teknologi khususnya
komunikasi menjadi media yang sangat dimanfaatkan, terlebih di Palestina. Alat
komunikasi tersebut dimanfaatkan sebagai media pengganti mural dan graffiti
dalam menyebarkan semangat perjuangan dan mengajak rakyat Palestina agar ikut
terlibat ke dalam aksi Intifadha Kedua. Namun pada situasi ini, signal telepon
merupakan hambatan dan resiko terbesar terhadap rakyat Palestina. Sebab,
kekuatan signal akan memungkinkan militer Israel untuk mencari para pejuang.
Akhirnya, opsi non-digital atau pesan lukis dinding datang kembali untuk
melayani rakyat Palestina sebagai media short message service alternatif di masa
Intifadha Kedua. Mural dan graffiti kembali menjadi media penting terhadap
elemen perlawanan dengan alasan yang sama seperti sebelumnya; mobilisasi,
resistensi, dan memorialisasi.42
Akan tetapi, pada kesempatan kali ini budaya dari
seni jalanan muncul dengan kekuatan penuh. Aktivis dan seniman lebih bebas
dalam menarik mata audiens melalui eksistensi dinding di kota Gaza dan Tepi
Barat. Kebebasan ini telah memicu bentuk baru dari gambar yang lebih modern
dan berwarna.
Namun, setelah terjadinya pembagian kekuasaan di wilayah Palestina
pasca dibangunnya tembok pemisah antara Gaza dan Tepi Barat pada tahun 2002,
di mana Hamas menguasai sepenuhnya wilayah Gaza sedangkan Fatah di Tepi
Barat, mengakibatkan terjadinya perbedaan parsial di masing-masing wilayah, tak
terkecuali mengenai dinding.
42
Sejak awal mula, mural Palestina telah melayani sejumlah fungsi utama: menentang
pendudukan dan penindasan Israel, memvalidasi perlawanan rakyat palestina, termasuk melakukan
perlawanan bersenjata, mengumpulkan penduduk untuk ikut berpartisipasi ke dalam aksi
perlawanan, dan mengumumkan pejuang yang tewas dalam konflik tersebut. Mia Gröndahl, Gaza
Graffiti: messages of love and politics, (Cairo: The American University in Cairo Press, 2009), h.
8.
67
Di Tepi Barat, Fatah memegang kendali atas munculnya mural dan graffiti
terutama di area yang dikontrol oleh Otoritas Palestina seperti di kota Nablus dan
Jenin, serta kamp-kamp pengungsi seperti Aida dan Dheisheh. Tema goresan
dinding pun masih sama seperti sebelumnya. Akan tetapi pada Intifadha Kedua,
mural mayoritas berisi tentang gugurnya seseorang, hal itu menunjukkan bahwa
resistensi rakyat Palestina masih terus berjalan. Namun isi goresan dinding tidak
jarang pula yang berisikan kecaman terhadap keberadaan dinding pemisah.
Sementara itu, sebelum Hamas memegang kendali atas wilayah Gaza pada
masa Intifadha Kedua, mural dan graffiti terlihat lebih banyak berisi kritikan
terhadap Fatah yang merupakan bagian dari Otoritas resmi Palestina. Mereka
menilai terjadinya Intifadha Kedua adalah bukti bahwa perundingan damai
bukanlah jalan keluar untuk memerdekakan Palestina secara penuh, seperti yang
terkandung dalam graffiti, “Hentikan negosiasi dengan musuh…!!”.43
Kritikan
Hamas yang selalu muncul pada dinding di wilayah Gaza, menyebabkan pihak
Otoritas Palestina yang pada saat itu masih menguasai penuh seluruh tanah air,
kembali menerapkan sensor terhadap agresifitas mural-mural Hamas. Namun
setelah pengambilalihan kekuasaan oleh pihak Hamas, dinding menjadi kontrol
Hamas. Hamas hanya mengizinkan satu tema untuk digoreskan pada dinding, hal
tersebut menjadikan keanekaragaman graffiti dan mural menghilang. Tetapi dalam
situasi seperti ini, seniman Hamas memiliki ruang untuk melukis mural dan
graffiti secara terbuka. Di sisi lain, faksi Fatah yang berada di Gaza terdegradasi
ke posisi kecil dalam kehidupan politik, mereka hanya diizinkan melukis mural
terkait dengan tema peringatan kesyahidan atau ucapan untuk hari besar Islam,
43
Mia Gröndahl, Gaza Graffiti: messages of love and politics, (Cairo: The American
University in Cairo Press, 2009), h. 11.
68
“Kami dari Fatah berharap semua orang merayakan Idul Fitri – Selamat hari
libur”.44
Pada satu waktu ketika pelukis Fatah ingin melukis pesan politik, maka
mereka harus bekerja dengan cara yang relatif rahasia. Sebab jika tidak demikian,
polisi Hamas akan memenjarakan mereka.45
C. Makna dari Simbol Teks dan Gambar
Hampir setiap goresan dinding di Palestina selalu disertakan dengan tanda
tangan, atau dalam seni jalanan disebut tagging. Tagging adalah simbol yang
sering dipakai untuk menciptakan ketenaran seseorang atau kelompok. Semakin
banyak graffiti atau mural yang disertakan dengan tagging serupa, maka semakin
terkenal pula nama pembuatnya. Oleh sebab itu, tagging merupakan hal yang
tidak dapat dipisahkan dari seni dinding.
Di Palestina tagging merupakan standarisasi lukisan dinding yang telah
terdaftar dalam afiliansi suatu faksi, dengan demikian akan dianugerahi otentisitas
dan legitimasi. Selama terjadinya gerakan Intifadha Pertama, seluruh elemen
kelompok pergerakan mempunyai seniman mural sendiri-sendiri. Masing-masing
dari mereka mempunyai ciri khas untuk menandakan keberadaan atas mural
tersebut. Tagging yang sering terlihat adalah akronim Fatah, simbol PFLP (peta
Palestina dilalui oleh panah horizontal yang diarahkan ke barat), simbol Partai
Komunis (palu merah dan sabit), akronim Hamas, UNL, dan aksara Arab dari
44
Mia Gröndahl, Gaza Graffiti: messages of love and politics, h. 53 45
Polisi Hamas sering memenjarakan seniman Fatah yang tertangkap sedang
memproduksi mural politik, hal ini terjadi semenjak pengambilalihan Gaza oleh pihak Hamas.
Lihat Bill Roston, Messages of allegiance and defiance: the murals of Gaza, (London: Institute of
Race relation, h. 50).
69
QWM (Al-Qiyadi Al-Wataniyya Muwahhida), simbol dari pasukan mogok QD
(Quwwat Al-Darb).46
Tulisan mural biasanya dibuat dengan warna hitam, namun pada
kesempatan lain mereka muncul dengan beragam warna. Hamas menggunakan
warna hijau yang dianggap warna suci Islam, Partai Komunis dan PFLP
menggunakan warna merah, sedangkan Fatah, UNL, dan QD menggunakan warna
hitam. Simbol kelompok memiliki rasa sentimen, tagging, dan warna menyatakan
keberadaan dan kontrol dalam wilayah tersebut.47
Politik melalui teritolialisasi
bukan hanya memiliki kemampuan untuk membaca tanda-tanda yang disandikan
tetapi juga memobilisasi kaum muda di suatu daerah untuk melakukan tindakan
beresiko, seperti melukis dan menulis di dinding.
Banyak cara dan bentuk yang dilakukan pemuda dalam menyebarkan
pesan dinding kepada para audiens, baik menggunakan teks kalimat atau hanya
menggunakan sebuah gambar tanpa kalimat.
1. Teks Dinding
Pada awalnya, jenis goresan dinding pada masa Intifadha Pertama
berbentuk tulisan sederhana. Karena aksi dinding mayoritas diisi oleh para
pemuda yang hanya ingin mengekspresikan kekesalannya terhadap pendudukan.
Namun aksi tersebut telah menarik perhatian segenap kelompok gerakan politik di
Palestina dan kemudian menjadikannya sebagai anggota. Walaupun demikian,
pada kenyataanya hanya Hamas yang serius menggunakan seni jalanan sebagai
46
Selengkapnya lihat lampiran 4.2. 47
Jonathan Matusitz. Symbolism in Terrorism: Motivation, Communication, and
Behavior. (Lanham: Rowman & Littlefield, 2014), h. 124.
70
alat penyebar pesan perlawanan. Upaya keseriusan Hamas tersebut terlihat, ketika
mereka memberikan pelatihan kepada para pemuda untuk membuat mural dengan
model kaligrafi Arab. Hamas berasumsi bahwa dinding sangat dibutuhkan untuk
mengumpulkan orang-orang serta memberi mereka kekuatan dalam melawan
pendudukan, karena tulisan dinding memiliki efek psikologis yang besar.
Asumsi tersebut lahir karena dengan model penyampaian dari kualitas
mural kaligrafi yang mana hal tersebut merupakan bentuk penghormatan bahasa
Arab sebagai bahasa suci Al-Qur’an, dapat membuat maknanya semakin kuat.
Serta ditambah dengan kalimat bernada profokatif, semakin menjadikan seseorang
merasa memiliki power untuk melakukan perlawanan.48
Pada kesempatan lain tidak jarang mural muncul dengan tulisan Allah
yang berada di setiap sudut atau bagian-bagian tersembunyi.49
Makna tulisan
tersebut mampu membakar semangat perjuangan rakyat Palestina, dan tulisan
Allah dianggap sebagai sumber kekuatan mereka di saat lemah serta membuat
keberadaan-Nya terasa lebih dekat bahkan menyatu. Kepercayaan inilah yang
menjadi kekuataan atas tindakan politis selama gerakan Intifadha.
Selain berisi kalimat, mural teks juga terkadang muncul dengan model
ringan seperti bentuk matematika sebagai kalimat sandi yang simpel namun
memiliki makna dalam, “Fahd+Assad= Mouse”, dan “1948+1967= Palestine”.50
48
Pada zaman pra-Islam terdapat kepercayaan yang meyakini bahwa dalam setiap tulisan
dapat mengandung unsur magis serta inspirasi atau kekuatan. 49
Selengkapnya lihat lampiran, 4.3. 50
Jonathan Matusitz. Symbolism in Terrorism: Motivation, Communication, and
Behavior. (Lanham : Rowman & Littlefield, 2014), h. 127.
71
Pada model pertama kata Fahd merupakan arti dari panther dan merupakan
nama dari Raja Arab Saudi. Sedangkan Assad berarti singa yang merupakan nama
dari Presiden Suriah. Persamaan ini untuk mengingatkan rakyat Palestina bahwa
mereka seharusnya mendapatkan bantuan dari bangsa Arab, namun mereka
menutup mata akibat ketakutannya terhadap Israel. Kata Fahd dan Assad yang
mempresentasikan kekuatan, pada kenyataanya mereka lemah dan tidak memiliki
kekuatan, yang diibaratkan seperti tikus.
Di model kedua, angka 1948 dan 1967 mengacu pada memori sejarah
Palestina. angka 1948 mengingatkan bahwa di tahun tersebut lebih dari 700.000
penduduk Palestina telah diusir dari wilayahnya sendiri yang disebut dengan
peristiwa Nakbah. Sementara 1967 mengingatkan tentang perebutan wilayah
teritorial Palestina oleh Israel. Sandi mural tersebut seolah-olah mengatakan
kepada rakyat Palestina bahwa semua yang diambil Israel adalah milik bangsa
Palestina dan harus direbut kembali.51
2. Gambar Dinding
Di samping tagging yang digunakan sebagai kode suatu faksi Palestina dan
teks kalimat untuk membawa pesan, simbol gambar juga turut hadir guna
memaknai serangkaian undangan perlawanan rakyat sekaligus penanda eksistensi
faksi (baca: ikon). Gambar hadir sebagai pesan singkat tanpa kalimat. Gambar-
gambar yang sering muncul adalah kepalan tangan, tanda V, senapan, bendera
Palestina, peta Palestina, kunci dan Masjid Dome of Rock. Kepalan tangan dan
tanda V telah menjadi simbol yang dapat dikenali secara global sebagai aksi
51
Jonathan Matusitz. Symbolism in Terrorism: Motivation, Communication, and
Behavior, h. 128.
72
pemberontakan dan perlawanan selama beberapa dekade hingga kini. Simbol
kepalan tangan dilambangkan dengan arti kuat, tak tergoyahkan, hingga sikap
keras, sedangkan tanda V, memiliki arti Peace.52
Terkadang gambar muncul bersama tagging, seperti mural dengan makna
nasionalisme dan perlawanan yang terlihat pada salah satu gambar dengan tagging
FTH (Fatah) yang melintasi gambar peta Palestina, bagian utara peta diubah
menjadi sosok manusia yang membawa bendera Palestina serta mural berbentuk
bendera Palestina dengan penuh warna (putih, merah, hijau, dan hitam) terlihat
dan ditagging oleh qd. Bagi rakyat Palestina, warna bendera mereka memiliki arti:
1. Warna Putih melambangkan kedamaian,
2. Warna Merah melambangkan darah para syuhada,
3. Warna Hijau mewakili kesuburan Palestina (bagi umat Muslim merupakan
warna Islam),
4. dan Warna Hitam mengacu pada penjajah.53
Dengan demikian dilihat dari sudut pandang umum, makna warna bendera
tersebut melontarkan pesan ke khalayak publik tentang pembenaran tehadap aksi
Intifadha. Berbeda dengan mereka, di Gaza, beberapa mural Hamas berfungsi
sebagai badan pengawas terhadap warga sipil Palestina, seperti gambar jari
telunjuk dengan tangan mengepal ke arah langit. Gambar tersebut memiliki
52
Jonathan Matusitz. Symbolism in Terrorism: Motivation, Communication, and
Behavior, h. 129. 53
Julie Peteet. “The writing on the walls: the graffiti of the intifada”, Cultural
Anthropology Vol. 11, no. 2, (1996), h. 141.
73
makna untuk mempresentasikan penanda wilayah sekaligus peringatan Hamas
terhadap warganya yang menyimpang dari jalan Islam.54
D. Tema-tema Mural Intifadha
Selama berlangsungnya Intifadha dari tahun 1987 hingga 1993 dan
muncul kembali pada abad millennium 2000, dinding-dinding di Palestina telah
berubang fungsi, dari yang hanya sebagai elemen memperkokoh bangunan
menjadi elemen pembantu perjuangan. Secara fisik, mural memang tidak
bergantung kepada kemajuan teknologi, karena potensi goresan cat dapat timbul
di mana saja selama memiliki akses ruang kosong. Akan tetapi, sifat interaktif
dengan audiens merupakan hal wajib, sebagai platform komunikasi ke khalayak
luas. Dengan demikian, mural dialamatkan langsung kepada setiap orang untuk
menarik perhatian akan sebuah cerita yang tidak terhitung, sehingga tanpa rasa
malu, mural telah menjadi bagian dari media protes dan perlawanan yang
dimaksudkan untuk menciptakan propaganda.55
Di Palestina, mural telah banyak ditekan sebagai akibat dari adanya
pendudukan. Para pemuda Palestina melukiskan gambar terkait dengan tema
perlawanan terhadap kekuatan imperialisme, rasisme, dan penindasan Israel.
Dalam konteks ini, dinding telah mengambil peran sebagai seorang pendongeng
yang menceritakan kisah tentang masyarakat tertindas sejak Israel datang.
54
Selengkapnya lihat lampiran 4.4. 55
Pada hakikatnya mural memang indentik dengan seni protes. Protest art atau seni protes
merupakan sebuah istilah yang mengacu pada sikap kepedulian melalui karya kreatif yang
diproduksi oleh aktifis atau gerakan sosial. Mereka menghasilkan karya untuk menyampaikan
pesan dari kejadian tertentu dan karya tersebut muncul sebagai panggilan kepada khalayak luas
guna menunjukkan seseorang atau kelompok yang sedang termarjinalkan dapat dilihat dan
didengar. Lihat Jean Robertson. Themes of Contemporary Art - Visual Art after 1980, (New York :
Oxford University Press, Inc. 2005), h. 42.
74
Akibatnya, seni visual mendapat perhatian lebih karena memiliki peran yang
menonjol dari bentuk ekspresi diri terhadap perlawanan rakyat Palestina.
Sebagai media komunikasi, relasi, dan interaksi, mural berusaha
menguraikan pesan kecaman dan perlawanan terhadap agresi militer Israel dengan
mempresentasikan secara luas gambaran dramatis para korban.56
Namun, selain
berisi tema-tema tentang sebuah aksi protes dan perlawanan, mural Palestina juga
selalu menyajikan tema-tema besar lain yang selalu muncul selama masa-masa
Intifadha Pertama ataupun Kedua, di antaranya:
1. Tahanan Palestina
Selama Perang Enam Hari pada tahun 1967 dan Intifadha Pertama, telah
diperkirakan sekitar 600.000 rakyat Palestina dipenjarakan.57
Pada akhir
Desember 2012, perkiraan tersebut meningkat menjadi 800.000 orang, seperlima
dari populasi penduduk Palestina dan mayoritas tanpa melalui pengadilan.58
Menurut Kementerian Tahanan dan Eks-tahanan Palestina, Israel menangkap
sekitar 10.000 anak-anak Palestina pada dekade awal Intifadha Kedua.59
Mengingat statistik ini, tidaklah mengherankan bahwa pembebasan tahanan sering
menjadi tema pembahasan dalam setiap mural Palestina sebagai bentuk dukungan
terhadap mereka.
56
Bill Roston. Messages of allegiance and defiance: the murals of Gaza. (London:
Institute of Race relation, 2014), h. 55. Lihat lampiran 4.5 57
Statistik penangkapan, pemenjaraan, dan penyiksaan, Palestinian Centre for Human
Rights. http://www.pchrgaza.org/arrests_torture_stat.html, (akses: 28/2/15) 58
Mohammed Mar’i, Israeli Forces arrested 800.000 Palestinians since 1967, (Saudi
Gazette: 12 Desember 2012). http://www.saudigazette.com.sa/index.cfm?method, (akses: 28/2/15). 59
Mohammed Mar’I, Israel arrested 10.000 Palestinian Children since 2000, (Saudi
Gazette: 30 September 2013). http://www.saudigazette.com.sa/index.cfm?method=20130930,
(akses: 28/2/15).
75
Hal ini merupakan aksi kampanye sekaligus bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran rakyat Palestina terhadap penderitaan para tahanan serta
membangun rasa solidaritas terhadap perjuangannya dan mengupayakan
kebebasan mereka.60
2. Kesyahidan
Dinding memberikan laporan tentang korban tewas, sebagai langkah untuk
membangkitkan sentimen masyarakat serta perasaan kehilangan.61
Namun, sebuah
kehormatan yang tinggi apabila nama para korban tercantum pada dinding, sebab
mereka akan diangkat statusnya sebagai seorang syuhada secara nasional (baca:
pahlawan), hal ini mengindikasikan bahwa gerakan Palestina memiliki kekuatan
dan legitimasi untuk memutuskan siapa yang menjadi syahid62
dan pengorbanan
serta kematian mereka perlu dikenang.63
Selain itu, munculnya daftar korban
tewas pada dinding menunjukkan adanya hari berkabung bagi rakyat Palestina.
Peringatan 40 harian untuk orang yang telah meninggal, merupakan
kebiasaan di kalangan Muslim Palestina. Namun hal itu diperpanjang menjadi
peringatan tidak terbatas untuk berkabung kepada para syuhada Intifadha. Dari
awal Intifadha, serangkaian anjuran terhadap perilaku rakyat Palestina telah
dicantumkan dan sebagian besar ditaati, seperti; tidak ada pesta dan tidak ada
60
Lihat lampiran 4.6. 61
Pada awalnya Hamas sempat melarang adanya potret para pejuang yang gugur di
dinding. Namun atas nasihat para pemimpin Islam Palestina yang mengatakan, “seseorang
mungkin telah keliru menganggap nama tersebut adalah sosok yang kudus”, banyak mural di
seluruh Gaza menggambarkan seorang pria bersenjata yang tewas dalam aksi. Mereka
mengenakan seragam dan senjata, dengan bangga saat mereka terlihat seperti memandang
langsung ke arah audiens. Bersama simbol kelompok militer mereka (Hamas, Jihad Islam atau
Fatah). Lihat Bill Roston. Messages of allegiance and defiance: the murals of Gaza. (London:
Institute of Race relation, 2014, h. 42). 62
Syuhada merupakan istilah agama dan bagi bangsa Palestina sebutan tersebut menunjuk
kepada siapa saja yang berjuang dan menolak pendudukan Israel. 63
Selengkapnya lihat Lampiran 4.5.
76
yang menari. Para perempuan dianjurkan untuk tidak berpakaian mewah atau
dengan make up yang berlebihan, bahkan acara pernikahan harus berlangsung
dengan sangat sederhana. Singkatnya, rakyat Palestina tidak diperkenankan
memanjakan diri dalam bentuk kesenangan yang berlebihan, upaya demikian
dilakukan untuk menghormati para syuhada.64
Dinding sebagai media memorialisasi para korban dan syuhada bertujuan
untuk menimbulkan rasa empati, dorongan, dan identifikasi dengan orang-orang
yang telah kehilangan nyawa. Dinding juga memberikan perasaan bersalah kepada
para korban serta refleksi diri, karena ketika seseorang melihat nama-nama korban
di dinding, mereka akan merasa seperti tidak memberikan kontribusi yang cukup
untuk negaranya sendiri.65
Bukan hanya sekedar media memorialisasi atau batu nisan semata, namun
berdirinya mural tersebut merupakan contoh dan panutan bagi orang lain, tentang
arti sikap pengorbanannya dalam membangun bangsa, dan membuat sebutan mati
syahid menjadi terlihat heroik bagi generasi sekarang dan masa depan rakyat
Palestina dalam memperjuangkan kemerdekaannya.66
3. Nakba Day
Ruang memori publik rakyat Palestina tersusun di sekitar peristiwa Nakba,
hal itu karena Nakba terikat secara temporal dan spasial. Nakba day, atau Yaum
Nakba yang dalam bahasa Indonesia berarti hari malapetaka, merupakan hari
peringatan atas didirikannya negara Israel dari sudut pandang bangsa Palestina.
64
Julie Peteet. “The writing on the walls: the graffiti of the intifada”, Cultural
Anthropology, Vol. 11, no. 2, (1996), h. 153. 65
Julie Peteet. “The writing on the walls: the graffiti of the intifada”, h. 154. 66
Lihat Lampiran 4.7.
77
Proklamasi pendirian Israel pada tanggal 14 Mei 1948 bagi orang-orang Zionis
merupakan perwujudan cita-cita bersejarah kaum Yahudi yang tersebar di
berbagai negara dan menginginkan adanya persatuan di suatu wilayah atau negara.
Namun bagi bangsa Palestina, hari tersebut menjadi tonggak pengusiran ratusan
ribu orang Arab Palestina. Pengusiran tersebut terus berlangsung hingga kini,
diperkirakan sekitar lima juta orang Palestina hidup terusir dan menyebar ke
berbagai wilayah atau menjadi pengungsi di dalam wilayah Palestina. Mayoritas
dari mereka masih memegang kunci dan sertifikat rumah yang sebagian telah
dihancurkan atau ditempati warga Israel. Dengan demikian, Nakbah menjadi
peristiwa yang tidak dapat dilupakan dari memori rakyat Palestina.
Namun tidak hanya sebagai situs memori, Nakba juga menjadi simbol dari
semua yang telah hilang. Dan lukisan mural menjadi salah satu media yang paling
aktif menyuarakan peristiwa tersebut. Mural bertansformasi menjadi ruang masa
lalu di mana lanskap visual mengajak para audiens berdialog tentang kenangan
mereka. Peristiwa Nakba diidealisasikan terhadap kerasnya kenyataan
pengalaman warga Palestina di tenda pengasingan, sehingga memori publik
tersebut seperti sebuah dialog yang membangkitkan beberapa kenangan pribadi
mereka.67
Secara bersamaan, diskursif tersebut menyediakan dorongan yang kuat
terhadap identitas mereka di masa sekarang serta mendefinisikan daerah asal
mereka yang sebenarnya dan berdampak pada ambisi seseorang untuk kembali
pulang.
67
Wacana popular yang mengiringi tema tersebut adalah tentang gambaran desa hijau
yang indah serta masyarakat dengan kehidupan damai di tanah air, sampai puncak bencana rakyat
Palestina datang pada peristiwa Nakba. Kehidupan mereka yang sempurna hilang, serta munculnya
tindakan ketidakadilan yang dilakukan terhadap mereka. Wacanan tersebut dilakukan sebagai
upaya untuk membakar semangat rakyat Palestina tentang usaha mereka kembali ke desa asalnya
di Palestina. Lihat Bill Roston. Messages of allegiance and defiance: the murals of Gaza,
(London: Institute of Race relation, 2014, h. 60).
78
E. Dampak Mural
Munculnya mural pada dinding merupakan isyarat keberhasilan para
pemuda Palestina mengalahkan pengawasan Israel. Penampakan mural tersebut
sering terlihat di dinding-dinding ruang publik seperti; jalan umum, lapangan, dan
area komersial padat.68
Akan tetapi, membaca mural tidak seperti membrowsing di
sebuah perpustakaan atau toko buku untuk memilih tema bacaan, karena mereka
tidak memiliki alokasi khusus dalam menentukan masing-masing tema pada
setiap wilayah. Namun, dinding tidak diproduksi dan dikemas sebagai genre yang
berbeda dari sebuah buku atau surat kabar, mereka juga tidak membentuk
perbedaan estetika dengan pembaca. Satu-satunya modal yang harus dimiliki
untuk membaca dinding adalah mengerti huruf Arab, karena pada dasarnya mural
dihiasi oleh tulisan Arab. Akan tetapi, pada kesempatan lain hal tersebut tidak
terlalu diperlukan, karena seseorang akan membacakanya dan menyebarkan
bacaan tersebut ke orang lain. Dengan demikian, konten mural tersebut ditujukan
untuk audiens internal.
Sebagai praktek sosial, membaca dinding didasarkan pada posisi serta
pengalaman Palestina di bawah payung kekuasaan pendudukan Israel. Dinding
diartikan sebagai bentuk kesatuan sentimen dan identitas, serta panggilan untuk
melakukan tindakan. Sedangkan bagi masyarakat Israel di wilayah pendudukan,
mural dianggap sebagai bentuk pembangkangan dan prilaku anarkis tanpa hukum.
Tetapi menurut analisa tentara Israel, hal tersebut adalah sebuah pelanggaran
68
Jonathan Matusitz. Symbolism in Terrorism: Motivation, Communication, and
Behavior. (Lanham : Rowman & Littlefield, 2014), h. 123.
79
hukum, karena munculnya mural merupakan penanda bahwa mereka akan segera
berhadapan dengan konfrotasi masa.
1. Bagi rakyat Palestina
Mural dapat mensugesti audien untuk melakukan tindakan, hal ini
mengacu kepada rakyat Palestina yang secara kolektif menolak keberadaan
pendudukan di wilayah mereka. Dalam kategori sebagai pembaca, mereka dapat
dianggap sebagai komunitas interpretif dan konstitutif. Radway
mengatakan,”sebagai pembaca, mereka disatukan oleh tujuan umum, preferensi
dan prosedur penafsiran”.69
Membaca mural sama seperti membaca teks, tidak
terjadi dalam “ruang hampa”, tetapi terdapat persoalan yang menyangkut tentang
masalah bersejarah, tempat, dan pengalaman mereka.
Keberadaan mural yang merata dan menyeluruh, membuat mereka sulit
menghindari pandangannya dari warna warni hiasan dinding. Akibatnya, rakyat
Palestina selalu memberi perhatiannya kepada goresan dinding tersebut. Tidak
berhenti sampai di sana, mereka juga memahami arti dari kemunculan mural pada
dinding. Setiap pagi hari saat melihat mural baru yang hadir, mereka dapat
menyimpulkan bahwa perlawanan masih terus berlanjut. Asumsi tersebut
memunculkan penafsiran bahwa ada seseorang yang sedang mempertaruhkan
hidupnya dan menyatakan keberadaan mereka tinggal di wilayah ini.
Beberapa rakyat Palestina, menganggap dinding seperti layaknya headline
news pada sebuah koran. Karena pada umumnya, mural diproduksi ketika terjadi
69
Janice Radway. Interpretive Communities and Variable Literacies: The Functions of
Romance Reading. In Rethinking Popular Culture: Contemporary Perspectives in Cultural
Studies, (Berkeley: University of California Press, 1991), h. 470.
80
sesuatu yang “panas” atau memberitakan peristiwa yang sedang terjadi. Mereka
telah memahami bahwa mural tersebut tidak akan bertahan lama dan biasanya
akan diblok beberapa hari setelahnya. Untuk itu, ketika sedang berjalan dan
melihat corat-coret mural, mereka dengan segera mendatanginya untuk
mengetahui apa yang baru saja dituliskan. Bahkan terkadang, rakyat Palestina
sengaja mendatangi dan berdiri di depan mural untuk dibacanya sebagai sarana,
baik hanya untuk mendapatkan informasi berita atau bahkan himbauan melakukan
aksi. Akibatnya, isi mural tersebut sering dibawa pulang untuk dijadikan tema
pembahasan yang memicu diskusi sosial politik, baik di kelompok-kelompok
kecil seperti keluarga dan kerabat, atau di suatu perkumpulan masyarakat
Palestina.70
2. Sikap dan Respons Tentara Israel
Tindak kekerasan yang sering dilakukan tentara Israel tidak hanya
dialamatkan kepada seorang pembuat mural semata, namun juga pembaca mural.
Sikap tersebut merupakan langkah antisipasi tentara Israel, karena mereka
beranggapan bahwa mural pasti menyerukan provokasi dan mensugesti audiens
untuk melakukan perlawanan. Tindakan radikal Israel adalah bukti pengakuan
akan bahaya yang ditimbulkan dari praktik sosial tersebut. Adanya pemberlakuan
sensor oleh Israel, semakin memperjelas pengakuan tentang bahaya yang
ditimbulkan dari sifat dasar sosial seperti membaca.
70
Seorang wanita yang sudah tua di wilayah Yerusalem, graffiti sering menjadi titik tolak
untuk diskusi politik dengan anak-anaknya. Dia menemukan informati graffiti dari sikap berbagai
faksi perlawanan. Setelah membaca grafiti tertentu ia akan meminta anak-anaknya berpendapat
tentang sikap yang diambil di dalamnya. Lihat Julie Peteet, “The writing on the walls: the graffiti
of the intifada”, Cultural Anthropology, Vol. 11, no. 2, (1996), h. 159.
81
Dinding pada umumnya dilukis pada larut malam ataupun dini hari,
namun tentara Israel seringkali mengadakan patroli malam dan terkadang
mendapati para pemuda yang sedang beraksi. Walaupun di lain waktu, membaca
mural tidak menimbulkan efek terhadap audiens, namun tetap saja Israel
menganggap hal tersebut merupakan sebuah pelanggaran. Sebab, menggambar
dan menulis dengan tujuan untuk disebarluaskan kepada khalayak umum tanpa
melalui izin badan sensor Israel adalah tindakan ilegal. Dan disuatu waktu tentara
Israel terkadang menggunakan kekerasan dengan memukuli atau bahkan
menembak para pemuda Palestina yang sedang beraksi membuat mural.71
Seperti permainan “kucing-kucingan” antara pemuda Palestina dengan
tentara Israel, namun kali ini dengan resiko kematian. Bentuk mural seringkali
berubah-ubah dalam setiap waktu pada tempat yang sama. Suatu ketika mural
muncul dan pada waktu berikutnya ia diblok dengan cat hitam oleh tentara Israel,
namun selang kemudian muncul kembali. Hal tersebut terkadang membuat Israel
meradang, sehingga tentara Israel semakin serius menanggapi fenomena dinding
yang “berbicara” ini.
Upaya keseriusan Israel dalam menanggapi fenomena praktek sosial yang
semakin marak ini kian terlihat ketika mereka membentuk sebuah badan operasi
khusus The Arabized Samson Unit. Badan tersebut bertugas untuk mencari dan
mengejar para pembuat mural serta memaksa keluarga mereka membersihkan
71
Dalam berita yang dilansir oleh Reuters (sebuah kantor berita yang bermarkas di
London, Inggris. Dan didirikan pada tahun 1851), pada tanggal 5 desember 1992, dari camp
pengungsi Khan Younis di daerah Jalur Gaza melaporkan bahwa bentrokan antara pasukan Israel
dan warga Palestina yang menyebabkan seorang anak tewas dan 13 orang terluka, ketika tentara
mulai mengejutkan sebuah kelompok yang terdiri atas lima orang pria bertopeng sedang
menyemprotkan mural.
82
mural pada dinding-dinding Palestina, bahkan terkadang Israel memaksa semua
orang yang tinggal di suatu gang untuk membersihkan dinding secara bersama-
sama. Pada suatu kesempatan dengan menggunakan mobil Jeep, tentara Israel
membawa dan mengumpulkan lima hingga enam orang pemuda yang berbaris di
bawah todongan senjata untuk segera memblok mural tersebut dengan cat hitam.72
Langkah keseriusan tentara Israel terhadap mural juga terlihat ketika
mereka melarang adanya penjualan cat di setiap toko, namun hal itu gagal.
Kegagalan kebijakan tersebut tidak membuat Israel berputus asa, sebagai upaya
untuk meredam aksi mencorat-coret dinding, mereka mulai menggunakan
kendaraan khusus yang dapat menyemprotkan tar hitam guna menghapus mural
pada dinding. Penyemprot otomatis tersebut dipasang pada badan truk Israel,
sehingga secara instan ia mampu memblok mural bahkan yang letaknya tinggi.73
Dengan demikian, terlihatlah perbedaan “kekuatan” antara sipil Palestina dan
tentara Israel. Sama seperti perlawanan yang tersaji pada lanskap Intifadha ketika
rakyat Palestina melawan tentara Israel dengan menggunakan batu, lalu direspon
dengan menggunakan peluru tajam oleh Israel, sehingga hal tersebut
memperlihatkan bentuk ketimpangan kekuatan teknologi antara Palestina dan
Israel.
Akan tetapi, Budaya mencoret dan menghapus telah menyisakan sebuah
cerita dibalik “permainan” yang berlangsung pada setiap harinya. Mengambil dari
72
Militer order no. 1.260, diresmikan pada bulan November 1988. “pemilik properti yang
bertanggung jawab atas graffiti di dinding mereka dan wajib untuk menghapusnya. Lihat Al-Haq,
“A Nation under Siege”, Al-Haq Annual Report on Human Rights in the Occupied Palestinian
Territories, (1989), h. 257-258. 73
Seperti mural di Irlandia Utara yang menimbulkan respons teknologi serupa dari tentara
Inggris, disebut “paint-bombed” mural PLO/IRA. Lihat Bill Rolston, Politics, Painting and
Popular Culture: The Political Wall Murals of Northern Ireland. (Media, Culture and Society
1987, h. 23).
83
kemunculan serta kuantitas, permainan dinding tersebut seperti sebuah
perlombaan dengan makna, siapa yang akan memiliki kata-kata terakhir.74
Walaupun dalam pertempuran dinding selalu dimenangkan oleh pihak Israel.
Namun pada saat yang sama, para pemuda menyatakan rasa bangga bahwa
ternyata pesan mereka cukup kuat untuk memprovokasi para tentara Israel,
sehingga mereka mengambil tindakan.
74
Mia Gröndahl, Gaza Graffiti: messages of love and politics. (Cairo: The American
University in Cairo Press, 2009), h. 152.
84
PENUTUP
BAB V
A. Kesimpulan
Kemunculan mural di Palestina ditandai dengan ditutupnya akses media oleh
Israel, sehingga rakyat Palestina untuk pertama kalinya tidak mendapatkan akses
informasi atau bahkan sekedar mengatakan apa yang sedang terjadi, terkait
perkembangan mereka di bawah rezim pendudukan Israel. Selama masa-masa
Intifadha Pertama, kehadiran mural bukan sebagai elemen penghias ruang, melainkan
sebagai media mobilisasi massa terkait ajakan untuk melakukan aksi-aksi
perlawanan. Akan tetapi, menjelang tahun-tahun berakhirnya Intifadha Pertama yang
bertepatan dengan perjalanan menuju Perjanjian Oslo, lanskap mural mulai terlihat
berubah dari yang berkutat pada isu perjuangan melawan Israel, menjadi kisruh
persaingan politik internal Palestina. Puncaknya setelah Perjanjian Oslo, fenomena
keberadaan mural mulai menghilang, hal tersebut karena isi konteks Perjanjian Oslo
yang mengatakan bahwa keberadaan mural harus disapu bersih, sehingga era warna-
warni dari mural mulai meredup. Pada masa ini Palestina mulai membangun kembali
media-media yang sebelumnya “dimatikan” Israel. Namun pada tahun 2000, ketika
Palestina kembali bergejolak, Israel sekali lagi menutup akses media Palestina.
Sehingga dengan demikian, Palestina kembali kehilangan akses medianya. Dan
akhirnya, opsi pesan dinding kembali hadir dengan kekuatan penuh, di mana mural-
85
mural muncul lebih bewarna dan bervariasi dibandingkan pada saat Intifadha
Pertama.
Secara garis besar, tema pembahasan yang selalu hadir pada mural di
Palestina selama masa Intifadha adalah tentang perlawanan. protes, tahanan Palestina,
kesyahidan, dan peristiwa Nakba day. Mural tersebut terbentuk bukan tanpa sebuah
makna, akan tetapi mereka hadir sesuai dengan keadaan dan kondisi nyata rakyat
Palestina.
Keberadaan mural telah memberi dampak terhadap aktifitas keseharian kedua
belah pihak, baik sipil Palestina maupun tentara Israel. Bagi Palestina, mengartikan
mural seperti layaknya koran, mereka akan meluangkan waktunya untuk sekedar
berdiri dan melihat apa yang tertuangkan pada dinding. Sedangkan Israel
menganggap keberadaan mural merupakan suatu pelanggaran, karena menulis dan
menyebarkan ke khalayak luas tanpa melalui izin badan sensor Israel merupakan
sesuatu yang ilegal. Sehingga tentara Israel selalu mencari cara untuk meredam aksi
mural, mulai dengan cara memberi denda, penyerangan, ataupun menggunakan mobil
khusus yang dapat menyemprotkan tar hitam guna menutupi keberadaan mural. Pada
akhirnya, terciptalah pertarungan baru yang muncul dari konflik Israel – Palestina,
yaitu lanskap menulis dan menghapus.
86
DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar, Anwar. Hamas Kenapa Dibenci Israel. (Jakarta: Hikmah, 2008).
Bahn, P. G. The Cambridge Illustrated History of Prehistoric Art, (Cambridge:
Cambridge University Press, 1997).
Brian, Ladd. The Ghosts of Berlin: Confronting German History in the Urban
Landscape. (Chicago and London: the University of Chicago Press, 1997).
Bröning, Michael. The Politics of Change in Palestine. State-Building and Non-
Violent Resistance. (London: Pluto Press, 2011).
Burge, M. Gary. Palestina Milik Siapa?. (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2010).
Campbell, Bruce. Mexican Murals in Times of Crisis. (Tucson Ariz : The University
of Arizona Press, 2003).
Dudung, Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
2009).
Fromkin, David. A Peace to End All Peace: The Fall of the Ottoman Empire and the
Creation of the Modern Middle East. (New York: Owl, 1989).
Garaudy, R. The Case of Israel: a study of political Zionism. (London: Shorauk,
1983).
Heinz, Kuzdas. Berliner Mauer Kunst/Berlin Wall Art. (Berlin: Elefanten Press,
1999).
J.R, Hiltermann. Behind the Intifada. Labor and Women's Movements in the
Occupied Territories. (Princeton, NJ : Princeton University Press, 1991).
Jamal, Amal. Media, Politics and Democracy in Palestine. (Sussex : Academic Press.
2005).
87
Jawad, Saleh Abdul. Israel’s Policy of De-Institutionalization. (London: Jerusalem
Center for Development Studies, 1987).
Judith, Hand. A Future Without War: The Strategy of a Warfare Transition. (San
Diego, CA: Questpath Publishing, 2006).
Kerr, R. Republican Belfast: A Political Tourists Guide. (Belfast: MSF Press, 2008).
Khalidi, Rashid. Palestinian Identity. (New York: Columbia University Press, 1998).
Loren, D. Lybarger. Identity and Religion in Palestine: The Struggle Between
Islamism and Secularism in the Occupied Territories. (California: Princeton
University Press, 2007).
Matusitz, Jonathan. Symbolism in Terrorism: Motivation, Communication, and
Behavior. (Lanham : Rowman & Littlefield, 2014).
Miler, Rory dan Allan Shatter. Ireland and the Palestine Question 1948-2004.
(Irlandia : Irish Academic Press, 2005).
Mishal, Shaul. The Palestinian Hamas: Vision, Violence, and Coexistence. (New
York: Columbia University Press, 2006).
Moscovitz, Talia. Through the Wall: The West Bank Wall as Global Canvas.
(Northeastern University, Boston : College of Arts & Sciences, 2007).
Nimer, Mohammed Abu. Nirkekerasan dan Bina-Damai dalam Islam: Teori dan
Praktik. (Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 2010).
Norman, Julie M. The Second Palestinian Intifada: Civil Resistance. (London:
Routledege, 2010).
Ramadan, Adam. A Refugee Landscape: Writing Palestinian Nationalisms in
Lebanon. (London: University of Oxford, 2008).
88
Robertson, Jean. Themes of Contemporary Art - Visual Art after 1980. (New York :
Oxford University Press, Inc. 2005).
Rolston, Bill. “Messages of Allegiance and Defiance: the Murals of Gaza”. (London:
Institute of Race Relations, 2014).
Rolston, Bill. Politics, Painting and Popular Culture: The Political Wall Murals of
Northern Ireland. (Media, Culture and Society 1987).
Rolston, Bill. The War of The Walls: Political Murals in Northern Ireland. (Belfast:
University of Ulster, 2003).
Schiff, Ze’ev dan Ehud Ya’ari, Intifada: The Palestinian Uprising -- Israel’s Third
Front. (New York: Simon and Schuster, 1990).
Setem, I Wayan. Seni Mural Sebagai Media Penyampaian Aspirasi Rakyat : Sebuah
Kajian Politik Identitas. (Denpasar : Institut Seni Indonesia Denpasar, 2011).
Smith, D. Charles. Palestine and The Arab Israel Conflict. (Indiana: Bedford, 2007).
Susanto, Budi. Politik dan Postkolonialitas di Indonesia. (Yogyakarta : Kanisius,
2003).
Susanto, Mikke. Diksi Rupa. (Yogyakarta: Kanisius, 2002).
Artikel :
Beinin, Joel dan Lisa Hajjar. “Palestine, Israel and the Arab Conflict A Primer”, The
Middle East Research and Information Project, (2014), h. 1-16.
Bishara, Amahl. “New Media and Political Change in the Occupied Palestinian
Territories”, Middle East Journal of Culture and Communication, Vol. 3, No.
1, (2005), h. 63-81.
Budeiri, Musa K. “The Nationalist Dimension of Islamic Movements in Palestinian
Politics”, Journal of Palestinian Studies, Vol. 24, No. 3, (1995), h. 89-95.
89
Hammami, Rema. “Women, the Hijab and the Intifada”, Middle East Report, No.
164/165, Intifada Year Three, (Mei - Ags, 1990), h. 24-78.
Litvak, Meir. “The Islamization of the Palestinian-Israeli Conflict: The Case of
Hamas”, Middle Eastern Studies, Vol. 34, No. 1, (1998), h. 148-163.
Munson, Henry. “Islam, Nationaism, and Resentment of Foreign Domination”,
Middle East Policy, Vol. 10, No. 2, (2003), h. 40-53.
Peteet, Julie. “The Writing on the Walls : The Graffiti of the Intifada”. Cultural
Anthropology, Vol. 11, No. 2, (May 1996), h. 139-159.
Roston, Bill. “The Brothers on The Walls : International Solidarity and Irish Political
Mural”, Jurnal of Black Studies, vol. 39, no.3, (2009), h. 446-470.
Stephan, Maria J. “People Power In The Holy Land: How Popular Nonviolent
Struggle Can Transform The Israeli palestinian Conflict”, Journal of Public
and International Affairs, Vol 14, (2003), h. 1-26.
Yair, Gad dan Khatab, Nabil. “Changing of the Guards: Teacher-Student Interaction
in the Intifada”. Sociology of Education, Vol. 68, No. 2 (Apr 1995), h. 99-115.
Koran:
Al-Ghoul, Asmaa. “Palestinian in Gaza Express Love, Politics With Graffiti”, Al-
Monitor, (11 Oktober 2013).
Al-Zahar, Mahmoud. “No Peace without Hamas”, The Electronic Intifada, (17 April
2008).
Barrows, Nora. “Activists Face Broad PA Crackdown in West Bank”, The Electronic
Intifada, (22 September 2010).
Break the Silence Mural Project. “Israeli Army stops West Bank Mural Project,
Citing Gaza Disengagement”, The Electronic Intifada, (31 Agustus 2005).
90
Gray, Melissa. “Palestinian Graffiti Spreads Message of Peace”, CNN, (20 April
2009).
Grondahl, Mia. “Gaza’s Writing on the Wall”, Al-Jazeera, (29 Desember 2009).
Isabel, Kershner. “Palestinians May Exhume Arafat After Report of Poisoning”, The
New York Times, (8 Desember 2012).
J. R, Boland. “Taking TAKI’s Tag”, The New York Times, (15 Juni, 2003).
Manneh, Suzanne. “Palestinian Mural Finally Inaugurated”. The Arab American
News, (12 Februari 2007).
Murray, Eoin. “The Art of War”, The Electronic Intifada, (13 Januari 2005).
Niva, Steve. “Israel’s Assassination Policy Triggers Latest Suicide Bombings”, The
Electronic Intifada, (2 September 2003).
Odgaard, Lena. “Palestinian Street Artists Take to Walls With New Zeal”, Al-
Monitor, (27 Agustus 2012).
Wiles, Rich. “Palestinian Graffiti: Tagging' Resistance Palestinian Graffiti is Still a
Key Means of Communication and an Integral Voice against Israel's
Occupation”, Al-Jazeera, (26 November 2013).
91
LAMPIRAN LAMPIRAN
Lampiran 2.1
Gambar 2.1. Gua Lascaux di Perancis, terdapat sekitar 600 lukisan berupa gambar
hewan yang dibuat pada masa Paleolitik.1
Lampiran 2.2
Gambar 2.2. Pameran galeri Reina Sophia di Madrid, Spanyol. Pengunjung
menikmati lukisan paling terkenal Pablo Picasso, Guernica.2
1Sumber : http://photography.nationalgeographic.com/photography/enlarge/lascaux-cave-
walls-photography.html (akses:20/9/14) .
92
Lampiran 2.3
The Wall of Truth.3
2sumber:http://ngm.nationalgeographic.com/ngm/photocontest/2012/entries/160795/view/,
(akses 20/9/14). 3Sumber: http://www.phillyfreedom.org/wall-of-truth/, (Akses 20/9/14).
93
Lampiran 3.1
General Strike
Aksi general strike pertama kali yang dilakukan bangsa Arab Palestina (1936)
untuk memprotes Zionis-Inggris. Aksi ini merupakan pemberontakkan massal yang
bertujuan untuk mengirim pesan keras kepada pemerintahan Inggris bahwa rakyat
Palestina secara menyeluruh merupakan kesatuan nasional yang mampu bertindak
tegas dan penuh percaya diri.4
4Sumber foto: http://www.internationalpeaceandconflict.org/photo/palestine-the-uprising,
(akses: 2/2/15).
94
Lampiran 3.2
Leaflet
Aktifis Palestina membagikan leaflet-leaflet kepada penduduk Palestina,
sebagai upaya mereka untuk mengajak masyarakat melakukan aksi pemboikotan
produk-produk Israel.5
5Sumber foto: http://www.gettyimages.com/detail/news-photo/palestinian-activist-hands-out-
a-leaflet-calling, (akses, 2/2/15).
95
Lampiran 4.1
Palestinian Liberation Organization dan Irish Republican Army: One Struggle.6
Lampiran 4.2
Lanskap coret-coretan mural terlihat pada setiap dinding-dinding bangunan
Palestina. para warga Palestina berkumpul untuk menyaksikan para pejuang-
pejuangnya berbaris mengumpulkan massa untuk melakukan aksi.7
6Mural, Beechmount Avenue, Belfast, 1982. "PLO-IRA : One Struggle"; anggota Tentara
Republik Irlandia dan anggota PLO dengan satu tangan memegang senapan dan di tangan satunya lagi
memegang RPG secara bersamaan, di belakang tubuhnya terdapat bendera Irlandia dan bendera
Palestina. dilukis oleh Gerakan Pemuda Republik Irlandia. Sumber :
http://redwedgemagazine.com/creativity/brits, (akses, 14/10/14). 7Sumber foto: http://a-amira-ana-blr.tumblr.com/image/102449537495, (akses: 2/2/15).
96
Lampiran 4.2
Mural PFLP
Tagging gerakan PFLP dalam aksara Arab.8
Mural Hamas
Tagging dari gerakan Hamas dengan aksara Arab.9
8Sumber foto: http://flickrhivemind.net/Tags/israel,pflp/Interesting, (akses: 2/2/15).
9Sumber foto: http://jihadintel.meforum.org/identifier/25/hamas-graffiti, (akses: 2/2/15).
97
Mural Fatah
Mural dengan tagging Fatah, muncul dengan kalimat-kalimat perjuangan10
10
Sumber foto: https://www.flickr.com/photos/michaelimage/2941769879/in/set-72, (akses:
2/2/15).
98
Lampiran 4.3
Mural Masjid Kubah Batu
Mural dengan tema Masjid Kubah Batu muncul dengan kalimat-kalimat Allah pada
setiap sudutnya.11
11
Sumber foto: http://www.al-monitor.com/pulse/originals/2013/07/gaza-youth-clubs.html,
(akses: 2/2/15).
99
Lampiran 4.4
Mural “Peringatan” Hamas
Para pemuda Palestina di Jalur Gaza, melukiskan mural Hamas dengan model
mengacungkan telunjuk ke atas dengan sebuah kalimat, laa ilaaha ilallah, sebagai
simbol peringatan tauhid dari Hamas.12
Mural Hamas juga terlihat di kota Ramallah, Tepi Barat.13
12
Sumber foto: http://www.gettyimages.com/detail/news-photo/palestinian-youth-writes-pro-
hamas-graffiti-on-the-wall-of-news-photo/2868378, (akses : 2/2/15). 13
Sumber foto: http://www.theguardian.com/world/2008/may/30/middleeast, (akses: 2/2/15).
100
Lampiran 4.5
1. Penderitaan Palestina
Mural tersebut berupaya ingin menunjukkan bahwa gambaran ini merupakan
pemandangan yang terjadi ketika tentara Israel menyerang Palestina. Terlihat pada
langit-langit kota dipenuhi ledakan bom, sedangkan seorang ibu menangisi kematian
anak-anaknya di kamp pengungsian yang telah dibanjiri oleh genangan darah para
korban. Banjir darah tersebut mampu menenggelamkan seseorang, akan tetapi dalam
situasi ini siapapun tidak dapat menolongnya, karena mereka pun juga akan menjadi
korban selanjutnya (lihat belenggu rantai dan sedikit ilusi petir di antara kedua
lengan). Di saat yang sama seorang wanita dengan berkalungkan sebuah kunci di
lehernya,14
terlihat dipenuhi perasaan khawatir dan takut. Terakhir, sebuah mata
14
Kunci adalah simbol kerinduan rakyat Palestina untuk kembali ke rumah atau desa mereka
yang telah hancur dalam peristiwa Nakba.
101
muncul dengan penuh air mata sebagai ungkapan kepedihan atas pemandangan yang
terjadi.15
2. Perlawanan Palestina
Mural di dinding Ayda Kamp, Tepi Barat. Mural tersebut seolah-olah sedang
menceritakan aksi perlawanan para pemuda Palestina yang hanya bermodalkan batu
dan ketapel. Namun, mereka yakin Palestina akan mendapatkan kemenangan, sesuai
tulisan yang berdiri kokoh di atas gambar tersebut dengan penuh warna merah
menyala, sebagai lambang pengorbanan.16
15
Sumber gambar, Bill Roston, Messages of allegiance and defiance: the murals of Gaza,
(London: Institute of Race relation), h. 52. 16
Sumber foto: http://tlv1.fm/full-show/2015/01/16/palestinian-students-and-the-struggle-for-
nationhood-the-tel-aviv-review/ (akses: 20/3/15).
102
Lampiran 4.6
1. Tahanan Palestina
Pada gambar ini mural memperlihatkan daftar nama warga Palestina yang
ditahan oleh pihak Israel. Sedangkan pada lanskap selanjutnya mural melukiskan
gambaran dengan beberapa tahanan yang sedang menanti datangnya kebebasan
mereka dan satu orang tahanan terlihat dengan wajah penuh harapan. Sementara di
sisi luar penjara terlihat gelombang massa Palestina yang berupaya merusak tembok
sel penjara, seakan mendesak, “Kebebasan untuk semua tahanan”. Pada saat mural
menceritakan rusaknya tembok atau terbukanya pintu penjara, hal itu
mengilustrasikan bahwa sebuah kebebasan dapat menjadi kenyataan. Dalam banyak
kasus burung merpati digambarkan sebagai simbol kebebasan.17
17
Sumber gambar, Bill Roston, Messages of allegiance and defiance: the murals of Gaza,
(London: Institute of Race relation), h. 58.
103
2. Tahanan Palestina
Pada gambar kedua ini, mural mengilustrasikan seorang pejuang Palestina
sedang menyeret seorang tentara Israel yang menjadi tawanan, seolah-olah
mengatakan, “Kami hanya dapat membebaskan tahanan dengan menangkap tentara
Israel”. Sementara seorang tahanan Palestina melalui jeruji penjara yang sedikit
terbuka, terlihat sedang berteriak gembira menyambut kedatangannya.18
18
Sumber gambar, Bill Roston, Messages of allegiance and defiance: the murals of Gaza,
(London: Institute of Race relation), h. 55.
104
Lampiran 4.7
Kesyahidan
Daftar para korban yang tewas dalam aksi perlawanan rakyat Palestina.19
19
Sumber Foto: http://www.thedailybeast.com/articles/2012/12/18/the-first-intifada-in-
retrospect.html, (akses: 2/2/15).
105
Mural untuk mengenang empat pejuang yang telah gugur memorialisasi mural
muncul dengan sosok seorang pria berseragam yang sedang memegang sejata laras
panjang, di jalan Omar al-Mokhtar, Gaza. Terdapat teks yang bertuliskan, “Ini adalah
peringatan para syuhada laut, para putra Gerakan Pembebasan Nasional Palestina,
Fatah, Brigade al-Aqsha. Dirgahayu hari jadi kesyahidan yang pertama para raksasa
laut”.20
20
Bill Roston. Messages of allegiance and defiance: the murals of Gaza. London: Institute of
Race relation , 2014, h. 58.
106
Lampiran 4.8
Peristiwa Nakba Day
Mural ini sedang menceritakan tentang kisah para pengungsi. Sebuah
rombongan pengungsi dipimpin oleh satu orang pria yang memegang kunci berjalan
meninggalkan tenda (kamp pengungsian), secara bersamaan hal tersebut
melambangkan keadaan pengungsi yang telah kehilangan rumah. Di lanskap
selanjutnya terdapat gambar sebuah kunci beserta angka dengan teks yang
menyertainya, “Kami akan kembali”, hal ini menunjukkan bahwa pengasingan akan
segera berakhir pada waktunya. Dan sebuah angka menjelaskan tentang kurun waktu
mereka terusir sejak peristiwa Nakba terjadi.21
21
Bill Roston. Messages of allegiance and defiance: the murals of Gaza. London: Institute of
Race relation , 2014, h. 60.
107
Lampiran 4.9
Agen Israel
Tanpa atribut lengkap, tentara Israel menyamar sebagai waga sipil Palestina dan
menangkap beberapa warga yang diduga terlibat ke dalam aksi “pembangkangan
sipil”.22
22
Sumber foto: https://desertpeace.wordpress.com/2013/02/21/a-profile-of-israeli, (akses:
2/2/15).