POLA ASOSIASI ANTARA KOMUNITAS LAMUN …repository.unpas.ac.id/11870/2/JURNAL SKRIPSI INDRI.pdf ·...
-
Upload
vuongnguyet -
Category
Documents
-
view
239 -
download
4
Transcript of POLA ASOSIASI ANTARA KOMUNITAS LAMUN …repository.unpas.ac.id/11870/2/JURNAL SKRIPSI INDRI.pdf ·...
1
POLA ASOSIASI ANTARA KOMUNITAS LAMUN DENGAN
ALGA DI PANTAI SINDANGKERTA KECAMATAN
CIPATUJAH, KABUPATEN TASIKMALAYA
Indri Lestari, Yusuf Ibrahim, Suhara
Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP),
Universitas Pasundan Bandung.
ABSTRAK
Lamun merupakan tumbuhan yang beradaptasi penuh untuk dapat hidup di
lingungan laut. Selain itu, lamun banyak berasosiasi dengan spesies makroalga.
Penelitian yang dilakukan bulan April 2016 ini bertujuan untuk mengetahui pola
asosiasi yang terjadi antara komunitas lamun dengan makroalga. Berdasarkan
parameter yang diamati pada setiap stasiun, di antaranya: komposisi jenis,
frekuensi, kerapatan, persen penutupan, dan koefisien asosiasi. Adapun faktor
abiotik (climate factor) meliputi, suhu air, pH air, salinitas, DO (Disolved Oxygen),
dan substrat pasir. Metode pengumpulan data menggunakan metode Belt Transect
dan Hand Sorting. Sampling dilakukan di enam stasiun, setiap stasiun terdiri dari
lima kuadran, dengan menggunakan kuadran berukuran 1 x 1 m2, tersusun atas
kotak-kotak kecil berukuran 10 x 10 cm2, bertempat di zona litoral Pantai
Sindangkerta Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya. Hasil identifikasi
yang didapatkan dari tumbuhan lamun yang terdiri atas satu ordo, satu family, satu
genus dan satu spesies. Sedangkan dari makroalga terdiri atas 12 spesies, tiga class,
dua subclass, tujuh ordo, 10 family, dan 10 genus. Hasil penelitian menunjukan
terdapat 12 spesies makroalga yang berasosiasi dengan tumbuhan lamun, secara
keseluruhan peluang asosiasi negatif lebih besar dari pada asosiasi positif dengan
perbandingan 7 : 5. Hal ini merupakan indikasi bahwa spesies makroalga yang
berinteraksi dengan komunitas lamun umunya dapat beradaptasi lebih baik
dibandingkan dengan tumbuhan lamun. Secara keseluruhan perbandingan Indeks
Nilai Penting (INP) peranan makroalga lebih besar dari pada tumbuhan lamun.
Dengan demikian, asosiasi negatif lebih cenderung ke arah persaingan dalam
penggunaan sumber daya (substrat dan nutrien) yang sama dan terbatas. Sedangkan
asosiasi positif lebih cenderung ke arah organisme yang satu diuntungkan dan
organisme yang lain tidak terpengaruh (komensalisme).
Kata kunci : Lamun, Makroalga, Pola Asosiasi, INP, Pantai Sindangkerta.
2
ABSTRACT
Indri Lestari. 2016. Patterns Associations Between Seagrass Community with
Algae in Sindangkerta Beach, Cipatujah, Tasikmalaya. Under the guidance of
Drs. Yusuf Ibrahim, M.Pd., M.P and Drs. Suhara, M.Pd.
Seagrass is a plant that is fully adapted to live in the marine environment. In
addition, many seagrass associated with macroalgae species. Research conducted
in April 2016 aims to determine patterns of association that occur between seagrass
communities with macroalgae. Based on the parameters were observed at each
station, including: the composition of the type, frequency, density, percent closure,
and the coefficient of association. The abiotic factors (climate factor) covers, water
temperature, water pH, salinity, DO (Disolved Oxygen), and a sand substrate.
Methods of data collection was Hand Sorting and Belt Transect methods. The
sampling was conducted at six stations, each station consists of five quadrants, each
quadrant measuring 1 x 1 m2, made up of small squares measuring 10 x 10 cm2,
housed in the littoral zone of the District Cipatujah Sindangkerta Beach,
Tasikmalaya. The identification results obtained from plants seagrass consisting of
one order, one family, one genus and one species. While macroalgae consist of 12
species, three classes, two subclasses, seven orders, 10 family and 10 genera. The
results showed that there are 12 species of macroalgae associated with seagrass
plants, the overall chances of negative associations is greater than the positive
association with a ratio of 7: 5. The result showed that macroalgae species that
interact with seagrass communities can generally adapt better than seagrass plants.
The comparison of macroalgae Indeks Nilai Penting (INP) is greater than the
seagrass plants. Therefore, the negative associations are more inclined towards
competition in the use of the equal and limited resources (substrates and nutrients).
While the positive associations are more inclined towards first organism got
benefits and the other organism is unaffected (commensalism).
Keywords: Seagrass, Macroalgae, Association Pattern, INP, Sindangkerta
Beach.
A. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu
negara kepulauan terbesar di dunia
yang memiliki jumlah pulau yang
sangat banyak dan dilintasi garis
khatulistiwa. Wilayah Indonesia yang
mayoritas adalah daerah perairan juga
memberikan andil yang besar pula
terhadap kekayaan alam Indonesia.
Selain itu, laut juga menghiasi alam
Indonesia. Aneka biota laut,
khususnya ikan dan berbagai macam
jenis maupun ukuran menghiasi
kekayaan laut. Indonesia juga
memiliki banyak pantai, salah satunya
adalah Pantai Sidangkerta yang
terletak di Kecamatan Cipatujah
3
Kabupaten Tasikmalaya. Secara
astronomis Koordinat Pantai
Sindangkerta yaitu, 70 46, 043’S 1080
4,463’E kurang lebih empat km dari
Pantai Cipatujah (Disparbud, 2011).
Selain dijadikan tempat rekreasi
Pantai Sindangkerta juga memiliki
kekayaan flora dan fauna laut. Salah
satunya lamun dan beranekaragam
jenis makroalga. Ekosistem lamun
memberikan habitat bagi
mikroorganisme dan makroorganisme
laut. Ekosistem lamun juga merupakan
salah satu ekosistem penting di laut,
disamping terumbu karang dan
mangrove sebagai pendukung
kehidupan biota. Kelimpahan dan
keanekaragaman organisme yang
hidup di padang lamun umumnya
tinggi di banding dengan habitat lain
(Kikuchi & Peres, 1997) dalam
(Asriyana, 2012 h. 111). Lamun
(seagrass) merupakan satu – satunya
tumbuhan berbunga (Angiospermae)
yang memiliki rhizoma, daun, dan
akar sejati yang hidup terendam di
dalam air laut dan umunya membentuk
padang lamun yang luas di dasar laut
yang masih dapat dijangkau oleh
cahaya matahari yang memadai bagi
pertumbuhannya (Hutomo & Kiswara,
1988) dalam (Asriyana, 2012 h. 104).
Alga merupakan tumbuhan laut
yang tidak dapat dibedakan antara
bagian akar, batang, dan daun. Semua
bagian dari tumbuhan alga disebut
thallus. Alga laut berdasarkan
ukurannya dibedakan menjadi dua
golongan yaitu mikroalga yang hanya
bisa dilihat dengan menggunakan
bantuan alat mikroskop dan makroalga
yang bisa dilihat dengan kasat mata.
Klasifikasi alga laut khsusunya
makroalga, terdiri dari tiga divisio
yaitu Rhodophyta (alga merah),
Phaeophyta (alga coklat) dan
Chlorophyta (alga hijau). Tiap kelas
memiliki karakteristik dan penyebaran
di zona litoral yang membedakan satu
jenis dengan jenis lainnya. Dengan
wilayah kelautan Indonesia yang luas
maka algae laut dapat ditemukan di
beberapa daerah di pantai Indonesia.
(Suantika, dkk, 2007, h. 49)
Terdapatnya komunitas padang
lamun dan makroalga yang ada di
Pantai Sindangkerta sangat
memungkinkan adanya asosiasi yang
terbentuk dari keduanya. Menurut
Sukla dan Chandel (1982 dalam
Fachrul, 2007, h. 31), komunitas
4
tumbuhan sering disebut asosiasi
tumbuhan, dapat dikatakan satuan
dasar dunia tumbuh-tumbuhan atau
vegetasi. Komunitas tumbuhan atau
asosiasi tumbuhan mungkin
mempunyai jumlah jenis tumbuhan
yang relatif sedikit atau banyak.
Biasanya formasi atau tipe vegetasi
juga memiliki nama yang khas sesuai
dengan jenis tumbuhan yang terdapat
di dalamnya yang bersifat menonjol
atau predominan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pola
asosiasi apakah yang terbentuk antara
komunitas lamun dengan alga.
A. KERANGKA PEMIKIRAN
Pantai Sindangkerta memiliki
keanekaragaman jenis biota laut, salah
satu jenis biota lautnya yaitu,
komunitas lamun dan makroalga.
Kehidupan suatu organisme
dipengaruhi oleh faktor lingkungan
diantaranya yaitu, suhu, pH, salinitas,
DO (Disolved Oxygen), dan substrat
pasir. Ketika dalam suatu ekosistem
terdapat suatu komunitas yang saling
berinteraksi satu sama lain membentuk
suatu pola asosiasi atau pola interaksi.
Salah satu biota laut yang ada di
Pantai Sindangkerta adanya komunitas
lamun dan makroalga, hal tersebut
sangat dimungkinkan adanya interaksi
di dalamnya. Pola interaksi (asosiasi)
tersebut di analisis meliputi komposisi
jenis, kerapatan, kerapatan relatif,
frekunsi, frekuensi relatif, penutupan,
penutupan relatif yang nantinya akan
di akumulasi dengan Indeks Nilai
Penting (INP) suatu perbandingan
antara komunitas manakah yang lebih
besar perannya dalam suatu ekosistem,
semakin tinggi INP suatu spesies maka
semakin besar peran spesies tersebut
(Fachrul, 2007, h. 154). Untuk
mengetahui koefisien asosiasi
digunakan tabel kontingensi untuk
mempermudah pengoprasian rumus.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan
menggunakan metode pencuplikan
Belt Transek dan Hand Sorting.
Jumlah individu dalam setiap spesies
atau jenis struktural di dalam suatu
kuadran atau sekat baris transek
(Michael, 1984, h. 57). Transek dibuat
dengan cara membentangkan tali
sepanjang 50 meter. Sebelumnya, tali
yang digunakan dibagi menjadi lima
kuadran dengan panjang masing-
masing 10 meter, peletakan kuadran
pada setiap stasiun zig-zag. Untuk
menghitung jumlah tumbuhan lamun
5
dan makroalga yang tercuplik,
digunakan kuadran 1 x 1 m dan
didalamnya terdapat kotak-kotak kecil
berukuran 1 x 1 cm untuk
mempermudah penghitungan
tumbuhan lamun dan makroalga.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Komposisi Jenis Lamun dan Makroalga
Untuk mengetahui komposisi jenis dilakukan dengan membandingkan
antara jumlah individu jenis tumbuhan lamun dengan makroalga yang ditemukan
(Fachrul, 2007, h. 152).
2. Frekuensi dan Frekuensi Relatif
Frekuensi merupakan suatu peluang suatu jenis ditemukan pada titik
tertentu pada suatu kuadran pengamatan, sedangkan frekuensi relatif yaitu
perbandingan antara frekuensi jenis ke-i dan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis
(Fachrul, 2007, h. 152-153), tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1 data Frekuensi dan Frekuensi Relatif
No Nama Spesies Frekuensi
Frekuensi
R
1 Acanthophora spicifera 0,06 0,01
2 Anadyomene stellata 0,30 0,08
3 Boergesenia forbesii 0,40 0,10
4 Ceratodictyon intricatum 0,16 0,04
5 Chaetomorpha crassa 0,10 0,02
6 Gracilaria arcuata 0,03 0,01
7 Gracilaria edulis 0,10 0,02
3% 1% 3% 9%2%
0%
0%
7%
16%
11%
3%2%
43%
Gambar 1
Diagram Persentase Jumlah IndividuAcanthophora spiciferaAnadyomene stellataBoergesenia forbesiiCeratodictyon intricatumChaetomorpha crassaGracilaria arcuataGracilaria edulisGracilaria salicorniaLaurencia papillosaPadina minorSargassum polycystumTricleocarpa fragilisThalassia hemprichii
6
Berdasarkan data yang diuraikan di atas, organisme yang memiliki kisaran
nilai frekuensi dan frekuensi relatif berasal dari tumbuhan makrolaga, masing-
masing pada kisaran 0,73 dan 0,20. Spesies tumbuham makroalga yang memiliki
kisaran nilai frekuensi relatif tinggi adalah Laurencia papillosa (C.Agardh)
Greville, masing-masing pada kisaran 0,73 dan 0,20. Sedangkan nilai frekuensi dan
frekuensi relatif dari tumbuhan lamun yaitu Thalassia hemprichii (Ehrenberg)
Ascherson masing-masing pada kisaran 0,23 dan 0,06. Menurut Odum (1993, h.
228), hasil tersebut belum diketahui apakah ada hubungan sebab akibat antara
pertumbuhan individu dengan pertumbuhan populasi, walaupun terdapat beberapa
kesaamaan di dalam polanya.
3. Kerapatan dan Kerapatan Realtif
Kerapatan yaitu jumlah total individu dalam suatu unit yang di ukur,
sedangkan kerapatan relatif yaitu perbandingan antara jumlah individu jenis dan
jumlah total individu seluruh jenis (Fachrul, 2007, h. 153-154), tersaji pada Tabel
2.
Tabel 2 data Kerapatan dan Kerapatan Relatif
No Nama Spesies Kerapatan Kerapatan
R
1 Acanthophora spicifera 15,30 0,03
2 Anadyomene stellata 5,00 0,01
3 Boergesenia forbesii 14,80 0,03
4 Ceratodictyon intricatum 44,00 0,09
5 Chaetomorpha crassa 6,70 0,01
6 Gracilaria arcuata 0,03 0,01
7 Gracilaria edulis 0,16 0,01
8 Gracilaria salicornia 33,50 0,07
9 Laurencia papillosa 75,60 0,10
10 Padina minor 53,40 0,11
11 Sargassum polycystum 12,50 0,02
12 Tricleocarpa fragilis 8,83 0,01
8 Gracilaria salicornia 0,46 0,12
9 Laurencia papillosa 0,73 0,20
10 Padina minor 0,63 0,17
11 Sargassum polycystum 0,33 0,09
12 Tricleocarpa fragilis 0,10 0,02
13 Thalassia hemprichii 0,23 0,06
TOTAL 3,63 1,00
7
13 Thalassia hemprichii 202,60 0,42
TOTAL 472,42 1,00
Berdasarkan uraian tabel di atas menunjukan bahwa frekuensi dan frekuensi
relatif tertinggi berasal dari tumbuhan lamun yaitu Thalassia hemprichii dengan
kisaran masing-masing 202,6 ind/m2 dan 0,42 ind/m2. Spesies makroalga yang
memiliki kisaran nilai kerapatan dan kerapatan relatif tertinggi terdapat pada
spesies alga merah (Rhodophyta) yaitu Laurencia papillosa, masing-masing pada
kisaran 75,6 ind/m2 dan 0,16 ind/m2. Hal ini merujuk pada penelitian Azkab (1999,
h. 1-16) bahwa kerapatan lamun di Jawa Barat yang tinggi disebabkan karena
kecepatan pertumbuhan Thalassia hemprichii sekitar 4,9mm/hari. Selain itu,
menurut Wong dan Phang (2004, dalam Kadi, 2009, h. 49-54) menyatakan bahwa
kerapatan makroalga sangat di pengaruhi oleh pergantian musim dan kondisi
susbtrat dasar paparan terumbu karang yang labil dan cenderung akan
menyebabkan penyebaran jenis rendah serta adanya individu yang dominan, sesuai
dengan hasil penelitian bahwa Laurencia papillosa cenderung mendominasi dan
ditemukan pada setiap stasiun.
4. Penutupan dan Penutupan Relatif
Penghitungan luas area penutupan (%) tumbuhan lamun dan makroalga
dapat dilakukan dengan cara menghitung jumlah kotak-kotak kecil yang tertutupi
oleh tumbuhan lamun dan makroalga pada setiap kotak kuadran (10x10cm). Tersaji
pada Tabel 3.
Tabel 3 data Penutupan dan Penutupan Relatif
No Nama Spesies
Penutupan
(%)
Penutupan
R
1 Acanthophora spicifera 1,53 0,04
2 Anadyomene stellata 0,83 0,02
3 Boergesenia forbesii 1,23 0,03
4 Ceratodictyon intricatum 2,00 0,06
5 Chaetomorpha crassa 0,70 0,02
6 Gracilaria arcuata 0,03 0,01
7 Gracilaria edulis 0,16 0,01
8 Gracilaria salicornia 2,23 0,07
9 Laurencia papillosa 7,56 0,24
10 Padina minor 3,36 0,10
8
11 Sargassum polycystum 1,76 0,05
12 Tricleocarpa fragilis 0,46 0,01
13 Thalassia hemprichii 10,13 0,32
TOTAL 31,98 2,00
Berdasarkan uraian tabel di atas, organisme yang memiliki kisaran nilai
penutupan dan penutupan relatif tertinggi berasal dari tumbuhan lamun, yaitu
Thalassia hemprichii (Ehrenberg) Ascherson masing-masing pada kisaran 10,13
%/m2 dan 0,32 %/m2. Sedangkan nilai penutupan dan penutupan relatif
makroalga yang relatif tinggi terdapat pada spesies alga merah (Rhodophyta)
yaitu Laurencia papillosa (C.Agardh) Greville, masing-masing pada kisaran
7,56 %/m2 dan 0,24 %/m2. Menurut Dahuri et al (2004, dalam Widyorini, 2012,
h. 1-7) penutupan pada tumbuhan lamun dan makroalga dapat dipengaruhi
ketersediaan nutrient substrat yang tidak merata sehingga lamun dan makrolaga
hanya bisa hidup pada titik-titik tertentu.
5. Indeks Nilai Penting (INP)
INP ditentukan oleh frekuensi relatif, kerapatan relatif, dan penutupan
relatif. Tersaji pada Tabel 4 Indeks Nilai Penting.
No Nama Spesies INP
1 Acanthophora spicifera 0,14
2 Anadyomene stellata 0,11
3 Boergesenia forbesii 0,17
4 Ceratodictyon intricatum 0,32
5 Chaetomorpha crassa 0,13
6 Gracilaria arcuata 0,03
7 Gracilaria edulis 0,03
8 Gracilaria salicornia 0,26
9 Laurencia papillosa 1,13
10 Padina minor 0,03
11 Sargassum polycystum 0,41
12 Tricleocarpa fragilis 0,06
13 Thalassia hemprichii 1,03
TOTAL 4,00
INP digunakan untuk menghitung dan menduga secara keseluruhan dari
peranan satu spesies di dalam suatu komunitas. Semakin tinggi nilai INP suatu
spesies relatif terhadap spesies lainnya maka semakin tinggi peranan spesies
9
tersebut pada komunitasnya (Brower et al, 1989, dalam Widyorini, 2012, h. 1-7).
Spesies makroalga Laurencia papillosa memiliki peranan lebih tinggi
dibandingkan dengan komunitas lamun Thalassia hemprichii.
6. Pola Asosiasi
Pola asosiasi merupakan pola yang terbentuk ketika suatu organisme hidup
dalam suatu komunitas dan menggunakan sumber daya yang sama dan terbatas
(Nyabakken, 1992, h. 376). Tersaji pada Tabel 5 Pola Asosiasi.
Thalassia hemprichii (Ehrenberg) Acherson
No Nama Spesies Tipe Asosiasi Koefisien
Asosiasi
1 Acanthophora spicifera (M.Vahl)
Børgesen
- 0,14
2 Anadyomene stellata (Wulfen)
C.Agardh
- 0,02
3 Boergesenia forbesii (Harvey)
Feldman
+ 0,48
4 Ceratodictyon intricatum (C.Agardh)
R.E.Noris
- 0,24
5 Chaetomorpha crassa (C.Agardh)
Kützing
+ 0,07
6 Gracilaria arcuata Zanardini + 0,30
7 Gracilaria edulis (S.G.Melin)
P.C.Silva
- 0,14
8 Gracilaria salicornia (C.Agardh)
E.Y.Dawson
- 0,07
9 Laurencia papillosa (C.Agardh)
Greville
+ 0,15
10 Padina minor Yamada + 0,41
11 Sargassum polycystum C.Agardh - 0,22
12 Tricleocarpa fragilis (Linnaeus)
Huisman & R.A.Townsend
- 0,17
Hasil perhitungan seluruh pasangan asosiasi menemukan kenyataan
berikut (Tabel 4.13) yaitu : (a) Pasangan spesies yang memiliki nilai frekuensi
tinggi tidak selalu menghasilkan asoasiasi positif contohnya antara Thalassia
10
hemprichii (Ehrenberg) Ascherson dengan Gracilaria salicornia (C.Agardh)
E.Y.Dawson; (b) Pasangan spesies yang memiliki nilai frekuensi rendah tidak
selalu menghasilkan asosiasi negatif contohnya antara Thalassia hemprichii
(Ehrenberg) Ascherson dengan Gracilaria arcuata Zanardini. Dengan demikian,
hasil perhitungan koefisien asosiasi tentu memperkuat kesimpulan hasil
perhitungan pada tabel kontingensi. Komunitas tumbuhan seringkali juga
disebut asosiasi tumbuhan dan dapat dikatakan merupakan satuan dasar dunia
tumbuh-tumbuhan atau vegetasi. Suatu asosiasi tumbuhan dapat mempunyai
jumlah jenis tumbuhan yang relatif banyak atau sedikit. Sesuai dengan
pernyataan diatas bahwa dalam penelitian ini lebih besar peluang asosiasi negatif
ke arah kompetisi yang berkaitan dengan niche atau relung atau tempat hidup
(Widyatmoko et al (2013, h. 239-247). Sedngkan menurut Nyabakken (1992, h.
380-384) semua fila yang berasosiasi positif terutama komensalisme di daerah
perairan pasang surut banyak memanfaatkan satu atau organisme lainnya dalam
hal distribusi makanan atau nutrisi.
Selain itu terdapat faktor lingkungan yang mempengaruhi terhadap pola
asosiasi. Di antaranya suhu, pH, salinitas, DO (Disolved Oxygen), dan substrat
pasir. Dimana kelima faktor lingkungan tersebut sangat cocok untuk tumbuhan
lamun dan makroalga tumbuh. Masing-masing pada kisaran 29 – 350C untuk
suhu, 31 – 40 0/00 untuk salinitas, 8,9 – 10,4 untuk pH, 1 – 3,3 mg/L untuk DO,
dan kisaran nilai komposisi substrat pasir di setiap stasiunnya adalah pada
kisaran : pasir sangat kasar = 3,84 – 49,72%; pasir kasar = 10,07 – 89,54%; pasir
sedang = 0,87 – 62,98%; pasir halus= 0,06 – 5,79%.
D. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian pola asosiasi antara komunitas lamun dan
makroalga di Pantai Sindangkerta, dapat di simpulkan sebagai berikut :
a. Dari 12 jenis makroalga yang ditemukan terdapat tujuh spesies yang
berasosiasi negatif dengan komunitas lamun Thalassia hemprichii. Sedangkan
spesies makroalga yang berasosiasi negatif dengan komunitas lamun Thalassia
hemprichii terdapat lima spesies. Hal tersebut dimungkinkan asosiasi negatif
11
lebih ke arah persaingan tempat hidup atau relung atau niche, sedangkan
asosiasi positif lebih ke arah komensalisme, dimana salah satu menjadi
distributor makanan dan nutrisi.
b. Berdasrkan penghitungan Indeks Nilai Penting, nilai INP makroalga lebih
tinggi dibandingkan dengan tumbuhan lamun, artinya peranan makrolaga lebih
besar dalam ekosistem tersebut.
2. Saran
a. Perlu dilakukan analisis lebih lanjut mengenai pola asosiasi yang terjadi pada
setiap jenis tumbuhan lamun dan makroalga.
b. Sebaiknya dilakukan analisis lebih lanjut mengenai jenis substrat terhadap
setiap habitat tumbuhan lamun dan makroalga.
E. DAFTAR PUSTAKA
Algaebase. (2016). Algae Classification. (online): http://www.algaebase.org/ (11
Mei 2016)
Asriyana dan Yuliana. (2012). Produktivitas Perairan. Jakarta: Bumi Aksara
Azkab, M.H. (1999). Pedoman Inventatarisasi Lamun. Ocean. Volume XXIV,
Nomor 1 : 1-16 (E-Jurnal).
Azkab, M.H. (2006). Ada Apa Dengan Lamun. Jakarta: Bidang Sumberdaya Laut,
Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI. Volume XXXI, Nomor 3. (E-Jurnal).
Budiman, A.F. (2015). Pola Hubungan Tumbuhan Lamun dengan Makrolagae di
Pantai Karapyak Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Skripsi Unpas
Bandung: Tidak diterbitkan.
Campbell, N.A., Reece, J.B., Uriurry, L.A., et al. (2008). Biologi. Edisi 8.
Penerjemah Wulandari Tyas. Jakarta: Erlangga
Dahuri, R, dkk. (2013). Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan
Secara Terpadu. Jakarta: PT Balai Pustaka (Persero)
Disparbud, (2011). Pantai Sindangkerta Penetasan Penyu. Diunduh di
http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php tanggal 20
Februari 2016
Disparbud, (2016). Pantai Sindangkerta Tetangganya Pantai Cipatujah. Diunduh
di http://www.disparbud.jabarprov.go.id./pantai-sindangkerta-tetangganya-
pantai-cipatujah/ tanggal 13 Mei 2016
Fachrul, M.F. (2007). Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara
Grolier. (2000). Ilmu Pengetahuan Populer. Jakarta: PT Widyadara
Heru, T. (2012). Ilmu Kelautan-Ekosistem Lamun (Seagrass). Diunduh di
http://kuliahkelautan.blogspot.co.id/2012/10/ilmu-kelautan-ekosistem-
lamun-seagrass.html tanggal 4 Mei 2016
Hohenstein, Klaus.Mueller., Schulze, Ernst-Detlef., and Erwin Beck. (2005). Plant
Ecology. Heidelberg, Germany: Springer Berlin.
12
Hutabarat, S dan Evan, S.M. (2014). Pengantar Oseanografi. Jakarta: UI-Press
Irwan, Z.D. (2007). Prinsip-prinsip Ekologi, Ekosistem, Lingkungan, dan
Pelestariannya. Jakarta: Bumi Aksara
Kadi, A. (2009). Makroalga di Paparan Terumbu Karang Kepulauan Anambas.
Jurnal Natur Indonesia 12(1) : 49 – 53
Kadi dan Handayani. (2007). Keanekaragaman dan Biomassa Algae di Perairan
Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di
Indonesia – LIPI. Volume 33 : 199 – 211
Langoy, M., dkk. (2011). Dekripsi Alga Makro di Taman Wisata Alam Batu Putih,
Kota Bitung. Jurnal Imliah Sains Vol.2 (2) : 220 – 224
Mauseth, J.D. 1998. Botany: An Introduction to Plant Biology, 2/e, Multimedia
Enhanced Edition. UK: Jones and Bartlett Publishers
Michael, P. (1984). Ecological System Method For File and Laboratory
Investigation. New Delhi: Tata Mcgraw-Hill Publishing Company Limited.
Michael, P. (1995). Metode Ekologi untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium.
Penerjemah Yanti R. Koestoer. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press)
Mulyaningsih, A. (2015). Komposisi dan Kerapatan Jenis serta Pola Penyebaran
Lamun di Perairan Teluk Tomini Desa Wonggarasi Timur Kecamatan
Wanggarasi Kabupaten Pohuwato. Gorontalo: Program Studi Ilmu Perikanan
dan Kelautan Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan (E-Jurnal).
Nainggolan, P. (2011). Distribusi Spasial dan Pengelolaan Lamun (Seagrass) di
Teluk Bakau, Kep. Riau. Bogor: Departemen Manajemen Sumberdaya
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. (E-
Jurnal).
Nontji, A. (1987). Laut Nusantara. Jakarta : Djambatan
Nyabakken, J.W. (1984). Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis, Penerjemah
H. Muhammad Eidman et al. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Nyabakken, J.W. (1992). Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis, Penerjemah
H. Muhammad Eidman et al. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Odum, E.P. (1993). Dasar – Dasar Ekologi Edisi Ketiga. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Pallalo, A. (2013). Distribusi Makroalga pada Ekosistem Lamun dan Terumbu
Karang di Pulau Bonebatang, Kecamatan Ujung Tanah, Kelurahan Barrang
Lompo, Makassar. Makassar: Progam Studi Ilmu Kelautan, Jurusan Ilmu
Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hassanudin. (E-
Jurnal).
Short , Frederick T. Coles, Robert G. (2006). Global Seagrass Research Methods.
Eastbourne: Antony Rowe Ltd
Singh dan Kumar. (1979). A Text Book On Algae. First Macmillan International
College Edition. Hong Kong: The Macmillan Press LTD
Suantika, G., dkk. (2007). Biologi Kelautan. Bandung: Universitas Terbuka.
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sukmadinata, N.S. (2007). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT REMAJA
ROSDAKARYA
13
Suroto, T., Amelia, E., Marianingsih, P. (2013). Inventarisasi dan Identifikasi
Makroalga di Perairan Pulau Untung Jawa. Prosiding Semirata. FMIPA
Universitas Lampung
Romimohtarto dan Juwana. (2009). Biologi Laut Ilmu Pengetahuan tentang Biota
Laut. Jakarta: Djambatan
Trono Jr, G.C dan Reine, W.F. (2002). Plant Resources of South-East Asia. Bogor:
Prosea Foundation
Widyatmoko, D., dkk. (2013). Pola Penyebaran, Kelimpahan, dan Asosiasi Bambu
Pada Komunitas Tumbuhan di Taman Wisata Alam Gunung Baung Jawa
Timur. Jurnal Berita Biologi (12) 2 : 239 – 247
Widyorini, N., dkk. (2012). Kerapatan dan Distribusi Lamun (Seagrass)
Berdasarkan Zona Kegiatan yang Berbeda di Perairan Pulau Pramuka,
Kepulauan Seribu. Journal of Management of Aquatic Resources : 1 -7
Wowor, R.M., dkk. (2015). Struktur Komunitas Makroalga di Pantai Desa Mokupa
Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah
Platax Vol (3):01 : 30 - 35