Pneumothorax

43
PRESENTASI KASUS PNEUMOTHORAX DEXTRA PADA BEKAS TB PARU e.c PPOK Pembimbing : dr. Indah Rahmawati, Sp.P Disusun oleh : Dhyaksa Cahya P. G4A013036 Alfian Tagar Aditya P. G4A013039 SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO

description

pneumothorax

Transcript of Pneumothorax

PRESENTASI KASUS

PNEUMOTHORAX DEXTRA PADA BEKAS TB PARU e.c PPOK

Pembimbing :

dr. Indah Rahmawati, Sp.P

Disusun oleh :

Dhyaksa Cahya P. G4A013036 Alfian Tagar Aditya P. G4A013039

SMF ILMU PENYAKIT DALAMRSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2014

LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul :

PNEUMOTHORAX DEXTRA PADA BEKAS TB PARU e.c PPOK

Pada tanggal, Juni 2014

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti

program profesi dokter di Bagian Ilmu Penyakit Dalam

RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun oleh :

Dhyaksa Cahya P. G4A013036 Alfian Tagar Aditya P. G4A013039

Mengetahui, Pembimbing

dr. Indah Rahmawati, Sp.P

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Tn. S

Usia : 65 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Suku/bangsa : Jawa

Pekerjaan : 10 tahun terakhir hanya beraktifitas di rumah

Alamat : Segaralangu, RT 6/II Cipari, Cilacap

Tanggal/Jam Masuk : 14 Juni 2014, Pukul 01.20 WIB

Tanggal Pemeriksaan : 16 Juni 2014, Pukul 15.00 WIB

No CM : 00763596

II. SUBJEKTIF

1. Keluhan Utama

Sesak nafas

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluh sesak nafas berat sejak tanggal 2/6/2014, 7 hari setelah

pasien pulang dirawat inap di Puskesmas Cipari oleh sebab batuk, pilek, dan

demam. Sepulang dari rawat inap di Puskesmas kondisi pasien membaik, pasien

mampu beraktifitas di rumah seperti biasa selama + 1 minggu. Oleh sebab yang

tidak diketahui, pasien mengeluhkan sesak nafas berat yang tidak disertai bunyi

ngik-ngik, dirasakan seperti ada sesuatu yang berat yang menindih dadanya hingga

terasa sulit untuk menarik dan menghembuskan nafas serta berlangsung terus

menerus, sehingga oleh pihak keluarga pasien dibawa kembali ke Puskesmas

Cipari namun oleh pihak Puskesmas dirujuk ke RSUD Majenang dan dirawat

selama 12 hari.

Selama menjalani perawatan di RSUD Majenang, pasien mengaku keluhan

sesak nafas berkurang setelah diberikan terapi penguapan dan memposisikan

dirinya setengah duduk menggunakan bantal tinggi. Akan tetapi, pada 3 hari

terakhir perawatan di RSUD Majenang keluhan sesak nafas dirasakan memberat

dan mengganggu tidur malam sehingga oleh pihak RSUD Majenang pasien dirujuk

ke RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo (RSMS) Purwokerto pada tanggal 14/6/14.

Pasien mengaku sudah merasa sesak nafas sejak 10 tahun yang lalu, namun

keluhan sesak nafas dirasakan hilang timbul dan tidak mengganggu aktifitas. Sesak

nafas dirasakan terutama setelah pasien melakukan aktifitas yang cukup berat dan

mereda ketika beristirahat dan memposisikan diri setengah duduk. Oleh sebab itu,

pasien menghentikan kegiatannya bertani dan hanya beraktifitas di rumah saja.

Pasien mengaku tidak pernah mengalami bengkak-bengkak di kaki dan nyeri dada.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

a. Riwayat keluhan yang sama : Pasien sudah merasa sesak nafas sejak 10 tahun

yang lalu, namun keluhan sesak nafas dirasakan hilang timbul dan tidak

mengganggu aktifitas. Sesak nafas dirasakan terutama setelah pasien

beraktifitas yang cukup berat dan mereda ketika beristirahat dan memposisikan

diri setengah duduk. Riwayat bengkak di kaki serta nyeri dada disangkal.

b. Riwayat penyakit darah tinggi: disangkal

c. Riwayat asma disangkal : disangkal

d. Riwayat penyakit jantung : disangkal

e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal

f. Riwayat kencing manis : disangkal

g. Riwayat alergi : disangkal

h. Riwayat pengobatan OAT : diakui, pernah mengkonsumsi OAT dari BP4

Karangjengkol selama 6 bulan pada tahun 1996

i. Riwayat mondok di RS : 1 kali di RSUD Ajibarang pada tanggal 2-

14/6/2014 dengan keluhan sesak nafas, 1 kali di Puskesmas Cipari pada

tanggal 22-25/5/2014 dengan keluhan batuk, pilek, dan demam

4. Riwayat Penyakit Keluarga

a. Riwayat keluhan serupa : disangkal

b. Riwayat mondok : disangkal

c. Riwayat hipertensi : disangkal

d. Riwayat penyakit ginjal : disangkal

e. Riwayat kencing manis : disangkal

f. Riwayat asma : disangkal

g. Riwayat alergi : disangkal

h. Riwayat pengobatan OAT : disangkal

5. Riwayat Sosial Ekonomi

a. Community

Pasien tinggal di lingkungan pedesaan, tidak padat penduduk. Rumah satu

dengan yang lain tidak berjauhan. Hubungan antara pasien dengan tetangga dan

keluarga dekat baik. Sebelum sakit, pasien hanya beraktifitas di rumah dan

cukup sering berinteraksi dengan tetangganya. Pasien mengakui tidak memiliki

tetangga yang sering batuk-batuk dan keluhan yang sama dengan pasien.

b. Home

Pasien tinggal satu rumah bersama istri, dua anak, 1 menantu, dan 2 orang

cucu. Rumah pasien berukuran 10x8 m2 dengan 4 kamar di dalamnya. Ventilasi

dan sinar yang masuk ke dalam rumah dirasa cukup karena jendela sering

dibuka di pagi hari. Keluarga pasien memiliki 1 dapur dan memasak

menggunakan kompor gas

c. Occupational

Sebelum sakit, pasien bekerja sebagai petani untuk membiayai kebutuhan

keluarganya. Akan tetapi, 10 tahun terakhir pasien menghentikan pekerjaannya

sebagai petani dan memilih beraktifitas di rumah karena mengaku kelelahan

dan kadang muncul sesak nafas apabila beraktifitas cukup berat. Di lingkungan

kerja pasien tidak ada yang mengeluhkan keluhan yang sama dengan pasien.

Teman-teman pasien adalah perokok aktif sama seperti pasien.

d. Personal habit

Pasien merupakan perokok aktif sejak usia 20 tahun hingga mengaku telah

berhenti merokok sejak tahun 2004 oleh karena mulai merasakan gejala sesak

nafas. Selama + 35 tahun merokok, rata-rata menghabiskan 2 bungkus rokok

per hari. Indeks Brinkman 840 (berat).

e. Diet

Pasien mengaku memiliki pola makan hidup sederhana. Keseharian pasien

makan dengan lauk tahu tempe terkadang ayam atau ikan serta sayur-sayuran.

Pasien tidak memiliki pantangan ataupun alergi terhadap jenis makanan

tertentu.

f. Drug

Pasien pernah mendapatkan pengobatan yang membuat air kencingnya

berwarna merah dan mengkonsumsinya secara rutin selama 6 bulan pada tahun

1996.

III. OBJEKTIF

1. Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan Umum : sedang

b. Kesadaran : compos mentis

c. BB : 47 kg

d. TB : 165 cm

e. IMT : 17, 26 (kurang)

f. Vital sign

- Tekanan Darah : 110/80 mmHg

- Nadi : 88 x/menit

- RR : 24 x/menit

- Suhu : 36,5 oC (axillar)

Status Generalis

1) Kepala

- Bentuk : mesochepal, simetris

- Rambut : warna putih, mudah dicabut,

Distribusi merata, rontok

- Nyeri tekan : (-)

2) Mata

- Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)

- Konjungtiva : anemis (-/-)

- Sclera : ikterik (-/-)

- Pupil : reflek cahaya (+/+),isokor

- Exopthalmus : (-/-)

- Lapang pandang : tidak ada kelainan

- Lensa : keruh (-/-)

- Gerak mata : normal

- Tekanan bola mata : nomal

- Nistagmus : (-/-)

3) Telinga

- otore (-/-)

- deformitas (-/-)

- nyeri tekan (-/-)

4) Hidung

- nafas cuping hidung (-/-)

- deformitas (-/-)

- discharge (-/-)

5) Mulut

- bibir sianosis (-)

- bibir kering (-)

- lidah kotor (-)

6) Leher

- Trakhea : deviasi trakhea (-)

- Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)

- Kelenjar thyroid : tidak membesar

- JVP : nampak, 5+2 cm

7) Dada

a) Paru

- Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),

retraksi (-), jejas (-)

- Palpasi : vocal fremitus kanan < kiri

ketinggalan gerak kanan = kiri

- Perkusi : hipersonor pada lapang paru kanan, sonor pada lapang

paru kiri

- Auskultasi : suara dasar vesikuler kanan < kiri

Suara inspirasi < ekspirasi, suara tambahan rhonki

basah kasar (-), rhonki basah halus (-) di kedua lapang

paru, tidak ditemukan wheezing parahiler.

b) Jantung

- Inspeksi : pulsasi ictus cordis nampak di SIC V 2 jari medial LMCS,

Tidak terdapat pulsasi parasternal dan epigastrial

- Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial LMC sinistra,

tidak kuat angkat

- Perkusi : Batas jantung kanan atas : SIC II LPSD

Batas jantung kiri atas : SIC II LPSS

Batas jantung kanan bawah : SIC IV LPSD

Batas jantung kiri bawah : SIC V 2 jari medial LMCS

- Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)

8) Abdomen

- Inspeksi : datar, tidak ada benjolan, striae (-)

- Auskultasi : bising usus (+) normal

- Perkusi : tympani,tes pekak sisi (-), pekak beralih (-)

- Palpasi : hepar dan lien tidak teraba

9) Ekstrimitas

- Superior : deformitas (-), jari tubuh (-/-), edema (-/-), KM 5/1

- Inferior : deformitas (-), jari tubuh (-/-), edema (-/-), KM 5/1

2. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan darah lengkap (dilakukan di RSMS) 14/6/2014

Pemeriksaan Hasil Nilai RujukanDarah Lengkap

Hemoglobin 17.1 g/dL 14 - 18 gr/dl

Leukosit 27260/uL (H) 4.800 –10.800/µL

Hematokrit 53% (H) 42- 52%

Eritrosit 5,9 x 10ˆ6/uL 4.7 – 6.1 juta/µL

Trombosit 558.000 /uL 150.000 -450.000/µL

MCV 89,2 79 – 99 fL

MCH 25,8 pg 27 – 32 pg

MCHC 32,3 % 33 – 37 gr/dL

RDW 14.3 % 11.5 – 14.5 %

MPV 9,8 7.2-11.1

Hitung JenisBasofil 0.1 % 0 – 1 %

Eosinofil 0.0 % 1 – 3 %

Batang 1.3 % 2 – 6 %

Segmen 93.2 % (H) 50 – 70 %

Limfosit 2.1 % (L) 20 – 40 %

Monosit 3.3 % 2 -8 %

Kimia Klinik

SGOT 48 u/L (H) 15-37

SGPT 61 u/L 10-65

Ureum darah 86,7 mg/dL (H) 14,98-38,9

Kreatinin darah 0,89 mg/dL 0,68-1,30

Glukosa sewaktu 189 mg/dL <=200

Natrium 132 mmol/L (L) 138-145

Kalium 5,6 mmol/L 3,5-5,1

Klorida 96 mmol/L 96-107

b. Pemeriksaan Radiologi foto Thorax PA di RSUD MAJENANG (12/6/2014)

Kesan: - Corakan bronkovaskuler menghilang pada bagian thorax kanan, paru kanan kolaps

- Cor dalam batas normal

RESUME

1. Anamnesis

a. Sesak nafas berat dirasakan muncul 12 hari sebelum masuk RSMS, 7 hari

setelah pulang dari perawatan di Puskesmas selama 4 hari oleh karena batuk,

pilek, dan demam. Selama 12 hari dirawat di RSUD Majenang, keluhan

berkurang dengan posisi setengah duduk dan pemberian nebulizer. 3 hari

sebelum masuk RSMS keluhan sesak memberat sehingga mengganggu

istirahat malam.

b. Sesak nafas pertama kali muncul sejak 10 tahun terakhir, namun hanya

bersifat kambuh-kambuhan, muncul setelah beraktifitas berat, serta tidak

mengganggu aktifitas.

c. Pasien adalah mantan perokok aktif selama + 35 tahun dan teman-teman di

lingkungan kerja dan tempat tinggalnya juga perokok aktif. Pasien berhenti

merokok sejak 10 tahun terakhir.

2. Pemeriksaan Fisik

Ku/ Kes : Sedang / CM

Vital Sign

- Tekanan Darah : 110/80 mmHg

- Nadi : 88 x/menit

- RR : 24 x/menit

- Suhu : 36,5 oC (axillar)

Paru- Inspeksi : dada simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (-), jejas (-)

- Palpasi : vocal fremitus kanan < kiri

Tidak ada ketinggalan gerak, kanan = kiri

- Perkusi : hipersonor di lapang paru kanan, sonor pada lapang paru kiri

- Auskultasi : suara dasar vesikuler kanan < kiri

Suara inspirasi < ekspirasi, suara tambahan rhonki basah kasar

(-), rhonki basah halus (-) di kedua lapang paru, tidak

ditemukan wheezing parahiler.

RO thorax:

- Corakan bronkovaskuler menghilang pada bagian thoraks kanan, paru kanan

kolaps

- Kesan cor dalam batas normal

ASSESSMENT

1. Diagnosis Klinis:

Pneumothorax dextra pada bekas TB paru

PPOK

CAP (Community Acquired Pneumonia)

IV. PLANNING

1. Diagnosis Kerja:

Pneumothorax dextra pada bekas TB paru

PPOK

CAP

2. Terapi

a. Farmakologi

- O2 4 LPM NK

- Nebuliser ventolin + fluoxetide/12 jam

- IVFD RL 20 tpm

- Inj ceftriaxon 1 x 2 gram

- Inj rantin 2 x 50 mg

- Inj ketorolac 2 x 30 mg

- po fartolyn syr 60 ml, 3 x 1 cth

- po laxadyn syr 60 ml, 1 x 2 cth

b. Dekompresi dengan pemasangan WSD (dapat dilanjutkan dengan continous

suction)

c. Non Farmakologi

- Bed rest, menghindari aktifitas berat seperti mengangkat beban

- Edukasi agar tidak batuk, bersin dan mengejan terlalu keras agar tidak

menambah buruk kondisi pneumothoraks

- Edukasi tentang PPOK, menghindari pencetus atau faktor risiko seperti zat-

zat kimia seperti asap rokok, asap hasil pembakaran (sampah, kayu bakar,

dll), polusi udara yang merupakan faktor resiko yang dapat memperberat

PPOK

- Pengenalan tanda-tanda eksaserbasi (batuk atau sesak bertambah, produksi

dahak bertambah atau berubah warna)

- Minum dan makanan bergizi. Memperbanyak konsumsi buah dan sayuran

berserat agar memperlancar defekasi, mengurangi konsumsi makanan

berlemak dan berminyak untuk meminimalisasi risiko penyakit akibat

kelainan jantung dan pembuluh darah mengingat kondisi pasien dengan usia

lanjut.

3. Monitoring

a. Keadaan umum dan kesadaran

b. Tanda vital

c. Gejala klinis

d. Fungsi paru

e. Respon terapi

f. Nutrisi

4. Prognosis

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad fungsionam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad malam

BAB II

PEMBAHASAN

PNEUMOTHORAKS

A. DEFINISI

Pneumothoraks adalah suatu kondisi dimana terjadi akumulasi udara pada cavum

pleura yang dapat terjadi secara spontan atau pasca traumatik (Patel dan Gwilt, 2008).

B. ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI

Pneumothorax diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis berdasarkan beberapa

kriteria sebagai berikut (Alsagaf dan Pradjoko, 2010):

1. Berdasarkan Terjadinya

a. Pneumothorax spontan

Pneumothorax yang terjadi tiba-tiba tanpa adanya suatu penyebab trauma

atau kecelakaan. Terdiri dari pneumothorax spontan primer, dimana

pneumothorax terjadi tanpa adanya penyakit paru yang mendasari dan

pneumothorax spontan sekunder, dimana pneumothorax disebabkan oleh adanya

penyakit paru yang mendasari seperti TB paru, PPOK, asma bronkiale,

pneumonia, tumor paru, dll (Hisyam dan Budiono, 2009).

b. Pneumothorax traumatik

Pneumothorax yang terjadi akibat suatu trauma, baik trauma penetrasi atau

kontusio yang dapat menyebabkan robeknya pleura, dinding dada, ataupun paru.

Berdasarkan kejadiannya, pneumothorax traumatik dibedakan menjadi

pneumothorax traumatik non iatrogenik yang disebabkan oleh jejas kecelakaan

dan pneumothorax traumatik artifisial yang disebabkan adanya tindakan tertentu

atau memang disengaja dilakukan untuk tujuan tertentu (Hisyam dan Budiono,

2009).

2. Berdasarkan Lokasi

a. Pneumothorax parietalis

b. Pneumothorax mediastinalis

c. Pneumothorax basalis

3. Berdasarkan Derajat Kolaps

a. Pneumothorax totalis

b. Pneumothorax parsialis

Derajat kolaps paru pada pneumothorax dapat dinyatakan dalam persen dan

dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

Luas hemithorax (A x B) – Luas paru yang kolaps (a x b) : (A x B) x 100 %

( A x B )−(a xb)A x B

x100 %

4. Berdasarkan Jenis Fistel

a. Pneumothorax terbuka

Pneumothorax terbuka merupakan suatu pneumothorax dimana terdapat

hubungan antara rongga pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari

dunia luar. Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara

luar, sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan

pernafasan. Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu

ekspirasi tekanan menjadi positif.

b. Pneumothorax tertutup

Pada pneumothorax tertutup, rongga pleura dalam kondisi tertutup sehingga

udara di dalam rongga pleura tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar.

Pada awalnya, tekanan intra pleura dapat positif, namun lama kelamaan dapat

menjadi negatif akibat udara yang mengandung oksigen diserap oleh jaringan

paru. Pada saat inspirasi maupun ekspirasi, tekanan intrapleural tetap negatif.

c. Tension pneumothorax

Tension pneumothorax merupakan pneumothorax dengan tekanan

intrapleura yang positif dan semakin lama semakin membesar karena adanya

fistel di pleura visceralis yang bersifat ventil. Pada saat inspirasi, udara masuk

melalui bronkus dan percabangannya selanjutnya terus menuju cavum pleura

melalui fistel yang terbuka. Akan tetapi, pada saat ekspirasi udara di dalam

rongga pleura tidak dapat keluar sehingga berakibat tekanan intrapleural

meningkat. Kondisi ini merupakan kondisi gawat darurat yang harus segera

ditangani.

Pada pasien ini pneumothorax terjadi bukan karena sebab traumatik, namun

pneumothorax terjadi secara spontan karena pasien memiliki riwayat penyakit PPOK

yang mendasarinya.

C. PATOGENESIS

Pada fisiologi pernafasan normal, pada waktu inspirasi tekanan intrapleura lebih

negatif daripada tekanan intrabronkial sehingga paru mengembang mengikuti gerakan

dinding dada yang mengakibatkan udara luar akan masuk melalui bronkus hingga ke

alveolus. Sedangkan pada saat ekspirasi dinding dada menekan rongga dada sehingga

tekanan intrapleura akan lebih tinggi daripada tekanan udara luar maupun intrabronkial

sehingga menyebabkan udara tertekan keluar melalui bronkus (Alsagaf dan Pradjoko,

2010).

Tekanan intrabronkial akan meningkat apabila ada tahanan pada saluran pernapasan,

tekanan ini akan lebih meningkat pada permulaan batuk, bersin, atau mengejan. Apabila

terjadi peningkatan tekanan intrabronkial disertai kelemahan bagian perifer bronkus atau

alveolus, maka kemungkinan akan terjadi robekan alveolus maupun bronkus (Alsagaf

dan Pradjoko, 2010).

Dugaan terjadinya pneumothoraks dapat dijelaskan melalui adanya mekanisme

kebocoran di bagian paru yang berisi udara melalui robekan pleura yang pecah dimana

bagian yang pecah ini berhubungan dengan bronkus. Pelebaran alveolus dan septa-septa

alveolus yang pecah kemudian dapat membentuk suatu bula berdinding tipis di dekat

daerah yang terdapat proses radang nonspesifik atau fibrosis granulomatosa (Alsagaf

dan Pradjoko, 2010).

Alveolus disangga oleh kapiler yang mempunyai dinding lemah dan mudah robek,

apabila alveolus melebar dan tekanan intraalveolar meningkat, maka udara dengan

mudah menuju ke jaringan peribronkovaskuler. Gerakan nafas yang kuat, infeksi, dan

obstruksi endobronkial merupakan beberapa faktor presipitasi yang memudahkan

terjadinya robekan, selanjutnya udara yang terbebas dari alveolus dapat mengoyak

jaringan fibrotik peribronkovaskuler. Robekan pleura yang berlawanan arah dengan

hilus akan menimbulkan pneumothorax, sedangkan robekan yang mengarah ke hilus

dapat menyebabkan pneumomediastinum. Di antara organ-organ mediastinum terdapat

jaringan ikat longgar sehingga mudah ditembus udara. dari leher, udara menyebar

merata di bawah kulit leher dan dada sehingga timbul emfisema subkutis (Alsagaf dan

Pradjoko, 2010).

D. PENEGAKAN DIAGNOSIS

Keluhan utama pasien pneumothoraks spontan adalah sesak nafas, bernafas terasa

berat, nyeri dada, dan batuk. Sesak sering mendadak dan semakin lama semakin berat.

Nyeri dada dirasakan pada sisi yang sakit, rasa berat, tertekan, dan terasa lebih nyeri

pada saat gerakan pernapasan. Pada pneumothoraks spontan, sebagai pencetus adalah

batuk keras, bersin, mengangkat barang-barang berat, kencing, atau mengejan. Penderita

mengeluhkan munculnya gejala dirasakan setelah melakukan hal-hal tersebut. Pada

pneumothoraks traumatik, gejala-gejala pneumothoraks tersebut muncul setelah terjadi

peristiwa yang menyebabkan trauma pada thoraks (Alsagaf dan Pradjoko, 2010).

Pada pemeriksaan fisik pasien dengan pneumothoraks akan muncul tanda berikut

(Alsagaf dan Pradjoko, 2010):

1. Tampak sesak ringan sampai berat, tergantung pada kecepatan udara yang masuk

serta ada tidaknya klep. Penderita bernapas tersengal, pendek-pendek dengan mulut

terbuka.

2. Sesak nafas dengan atau tanpa sianosis

3. Badan tampak lemah dan dapat disertai syok, pada pneumothoraks dengan onset

akut dapat pula disertai keringat dingin.

4. Nadi cepat dan pengisian masih cukup baik pada sesak nafas ringan. Pada sesak

nafas berat, nadi menjadi cepat dan lemah disebabkan waktu pengisian kapiler

berkurang.

5. Pada pemeriksaan fisik thoraks ditemukan:

Inspeksi

- Hemithoraks yang sakit dapat lebih cembung dibandingkan hemithoraks sehat

- Gerakan nafas tertinggal pada bagian thoraks yang sakit

- Trakhea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat

Palpasi

- Pada sisi yang sakit, SIC dapat normal atau melebar

- Ictus cordis terdorong ke arah sisi thoraks yang sehat

- vocal fremitus melemah atau menghilang pada sisi yang sakit

Perkusi

- Pada sisi yang sakit didapatkan suara hipersonor dan tidak menggetar

- Batas jantung terdorong ke arah thoraks yang sehat, apabila tekanan intrapleural

tinggi

Auskultasi

- Pada bagian yang sakit, suara dasar nafas melemah sampai menghilang

- Suara nafas terdengar amforik bila ada fistel bronkopleurayang cukup besar pada

pneumothoraks terbuka

- suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negatif

- dapat pula dilakukan coin test dengan menggunakan ketukan 2 koin logam yang

satu ditempelkan di dada dan yang lain diketokkan pada koin pertama, kemudian

akan terdengar bunyi metalik pada punggung.

Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu penegakan diagnosis pneumothoraks

antara lain foto rontgen thoraks PA yang memperlihatkan gambaran hiperlusen, corakan

bronkovaskuler menghilang, paru mengempis, dan trakhea terdorong ke arah

hemithoraks yang sehat. Analisis gas darah arteri memberikan gambaran hipoksemia,

namun pemeriksaan ini kadang tidak diperlukan. Pada pneumothoraks kiri dapat

menimbulkan perubahan aksis QRS dan gelombang T precordial pada gambaran EKG

dan seringkali ditafsirkan sebagai Infark Myokard Akut (IMA). Selain itu, dapat pula

dilakukan CT scan thorax pada pasien yang diagnosisnya belum tegak setelah dilakukan

foto rontgen. pemeriksaan ini lebih spesifik untuk membedakan emfisema bulosa dan

pneumothoraks, batas antar udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner, serta dapat

membedakan pneumothoraks spontan primer atau sekunder (Hisyam dan Budiono, 2009)

E. PENATALAKSANAAN

Tindakan pengobatan pneumothorax tergantung dari luasnya pneumothoraks,

tujuannya untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura dan meminimalkan risiko

kambuh lagi. British Thoracic Society dan American College of Chest Physicians telah

memberikan rekomendasi untuk penanganan pneumothoraks, yaitu (Hisyam dan

Budiono, 2009):

1. Observasi dan pemberian tambahan oksigen

2. Aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi dengan atau

tanpa pleurodesis

3. Torakoskopi dengan pleurodesis dan penanganan terhadap adanya bleb atau bula

4. Torakotomi

Pada pneumothoraks tertutup dengan paru kolaps minimal dan tekanan intrapleural

masih negatif, hanya dilakukan tindakan observasi apakah gejala klinis menetap atau

bertambah berat dengan diberikan terapi oksigenasi. Apabila keluhan sesak memberat,

dapat dicurigai sebagai pneumothoraks terbuka atau bahkan tension pneumothoraks

sehingga selanjutnya diperlukan tindakan dekompresi atau membuat hubungan rongga

pleura dengan dunia luar dengan menggunakan infus set, jarum abbocath, atau

pemasangan pipa Water Sealed Drainage (WSD). Apabila diperlukan, dapat pula dibantu

dengan continous suction agar tekanan intrapleural cepat kembali menjadi negatif.

Tindakan pembedahan yang mungkin dilakukan antara lain dengan pembukaan dinding

thoraks melalui operasi, dicari lubang yang menyebabkan pneumothoraks kemudian

dijahit. Apabila ditemukan penebalan pleura yang mengganggu pengembangan paru,

dapat dilakukan reseksi. Pilihan terakhir yang dapat dilakukan adalah dengan

pleurodesis, yaitu dilakukan penjahitan setelah masing-masing pleura dikerok atau

lapisan tebal dibuang, selanjutnya kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel

(Alsagaff dan Pradjoko, 2010).

Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan untuk

menangani penyakit paru yang mendasarinya. Selain itu, pasien dengan pneumothoraks

dilarang melakukan kerja keras, batuk dan bersin terlalu keras, dan mengejan. Untuk

mencegah obstipasi dan memperlancar defekasi, dapat diberikan laksan ringan untuk

mengurangi mengejan terlalu keras pada saat defekasi (Alsagaff dan Pradjoko, 2010).

Pencegahan Pneumothoraks (Alsagaff dan Pradjoko, 2010)

1. Pada penderita PPOK, diberikan pengobatan yang adekuat terutama jika pasien

batuk-batuk berkepanjangan. Pilihan obat yang dapat diberikan adalah bronkodilator

dan antitusif ringan, ditambah dengan edukasi agar pasien tidak batuk dan mengejan

terlalu keras serta menghindari aktifitas berat.

2. Pada penderita TB paru, harus dilakukan terapi OAT hingga tuntas. Prognosis pasien

pneumothoraks dengan TB paru lebih baik pada pasien yang lesinya masih minimal.

Rehabilitasi (Alsagaff dan Pradjoko, 2010)

1. Pasien yang telah sembuh dari pneumothoraks harus dilakukan pengobatan secara

baik untuk penyakit paru yang mendasarinya.

2. Pasien diberikan edukasi agar menghindari batuk dan mengejan terlalu berat, derta

menghindari beraktifitas berat seperti mengangkat beban.

3. Apabila mengalami kesulitan defekasi, dapat diberikan laksan ringan

4. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama jika ada keluhan batuk dan sesak

nafas.

F. KOMPLIKASI

Tension pneumothoraks dapat menyebabkan kegagalan respirasi akut, empyema,

hidro-pneumothoraks, hematothoraks, pneumomediastinum dan emfisema subkutis,

hingga henti jantung paru dan kematian. Selain itu, pneumothoraks dapat pula

menyebabkan terjadinya pneumothoraks simultan bilateral (insidensi + 2 %) dan

pneumothoraks kronik, bila tetap ada selama waktu lebih dari 3 bulan (insidensi + 5 %)

(Hisyam dan Budiono, 2009)

G. PROGNOSIS

Pasien dengan pneumothoraks spontan hampir separuhnya akan mengalami

kekambuhan, baik setelah sembuh dari observasi maupunsetelah pemasangan tube

thoracostomy. Pasien-pasien yang penatalaksanaannya cukup baik, umumnya tidak

dijumpai komplikasi. Pasien pneumothoraks spontan sekunder prognosisnya tergantung

dari penyakit paru yang mendasaarinya (Hisyam dan Budiono, 2009).

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)

A. DEFINISI

PPOK adalah penyakit paru yang ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak

sepenuhnya reversible, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi

paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya, disertai efek ekstraparu

yang berkontribusi terhadap berat derajat penyakit.

B. FAKTOR RISIKO

1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting,

jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya.

Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :

a. Riwayat merokok

- Perokok aktif

- Perokok pasif

- Bekas perokok

b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah

rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :

- Ringan : 0-200

- Sedang : 200-600

- Berat : >600

2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja

a. Polusi di dalam ruangan: asap kompur (tungku)

b. Polusi di luar ruangan: gas buangan kendaraan bermotor, debu jalanan

c. Polusi tempat kerja: bahan kimia, zat iritasi, gas beracun

3. Hipereaktiviti bronkus

4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang

5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia. 1

6. Stress oksidatif

7. Sosial ekonomi

8. Gen

9. Tumbuh kembang paru

Pada pasien ini, didapatkan faktor risiko, yaitu paparan asap rokok (sebagai

perokok aktif).

C. PENEGAKKAN DIAGNOSIS

Anamnesis pada pasien dimulai dari penemuan faktor resiko dan gejala yang

muncul pada pasien. Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan),

dan adanya riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polusi

tempat kerja (PDPI, 2003). Gejala klinis yang dapat ditemui pada pasien PPOK antara

lain batuk kronis, batuk berdahak, dan juga sesak nafas. Batuk kronik adalah batuk

hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan.

Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk.

Selain itu, Sesak napas merupakan gejala yang sering dikeluhkan pasien terutama pada

saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak

napas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan (GOLD,

2009).

Pemeriksaan fisik pada PPOK  dimulai dari inspeksi dapat berupa bentuk dada

seperti tong (barrel chest), terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang

meniup), terlihat penggunaan dan hipertrofi otot-otot bantu napas, pelebaran sela iga,

dan bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat distensi vena jugularis dan edema

tungkai. Pada perkusi biasanya ditemukan adanya hipersonor. Pemeriksaan auskultasi

dapat ditemukan fremitus melemah, suara napas vesikuler melemah atau normal,

ekspirasi memanjang, ronki, dan mengi (PDPI, 2003). Laboratorium darah rutin yang

sebaiknya diperiksa pada penderita PPOK adalah Haemoglobin, Hematocrit, dan

Leukosit (PDPI, 2003). 

Pemeriksaan penunjang pada PPOK antara lain Spirometri, Radiologi,

Laboraturium darah rutin, Analisa Gas Darah, dan Mikrobiologi sputum. Pada spirometri

(VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP), obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1

prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%). VEP1 merupakan parameter yang paling umum

dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Apabila

spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang

tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore,

tidak lebih dari 20% (PDPI, 2003).

 Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru berupa hiperinflasi

atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler meningkat, jantung

pendulum, dan ruang retrosternal melebar. Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan

radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi

juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan

diagnosis banding dari keluhan pasien (GOLD, 2009).

Diagnosis PPOK pada pasien ini ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan foto thoraks PA.

1. Anamnesis

1) Sesak nafas pertama kali sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, dan dirasa

terus menerus dan semakin memberat hingga mengganggu aktivitas sejak 2 hari

sebelum masuk rumah sakit

2) Batuk berdahak warna putih kental, demam hilang timbul, pilek dengan cairan

hidung berwarna putih encer, nafsu makan menurun dan pusing

3) Pasien adalah perokok aktif, dan teman-teman di lingkungan kerjanya juga

perokok aktif.

4) Riwayat memasak dengan menggunakan tungku.

2. Pemeriksaan Fisik

1) Suara ekspirasi memanjang, suara tambahan rhonki basah kasar (-), rhonki

basah halus (+) di kedua lapang paru,

3. Foto thorax PA

1) Emfisematous lung dengan infiltrat di kedua lapang paru terutama paracardial

sinistra dengan air broncogram prominen

2) Cor dalam batas normal

D. KLASIFIKASI PPOK

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2007,

dibagi atas 4 derajat (Antonio et all, 2007):

a. Derajat I: PPOK ringan

Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan aliran udara

ringan Volume Ekspirasi Paksa Detik 1 (VEP1) /Kapasitas Vital Paksa(KVP)< 70%;

VEP1> 80% Prediksi). Pada derajat ini, orang tersebut mungkin tidak menyadari

bahwa fungsi parunya abnormal.

b. Derajat II: PPOK sedang

Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%; 50% < VEP1<

80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Dalam tingkat ini pasien

biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena sesak nafas yang dialaminya.

c. Derajat III: PPOK berat

Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin memburuk (VEP1

/ KVP < 70%; 30% < VEP1 < 50% prediksi). Terjadi sesak nafas yang semakin

memberat, penurunan kapasitas latihan dan eksaserbasi yang berulang yang

berdampak pada kualitas hidup pasien.

d. Derajat IV: PPOK sangat berat

Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 < 30%

prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya gagal nafas kronik dan

gagal jantung kanan.

E. PATOGENESIS PPOK

Gambar 2. Patogenesis PPOK

F. ALOGARITMA PENATALAKSANAAN PPOK

Gambar 3. Alogaritama Penatalaksanaan PPOK Stabil Ringan

Gambar 4. Alogaritma Penatalaksanaan PPOK Stabil Sedang-Berat

G. KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :

1. Gagal napas

a. Gagal napas kronik : Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60

mmHg, dan pH normal, penatalaksanaan :

1. Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2

2. Bronkodilator adekuat

3. Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur

4. Antioksidan

5. Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing

b. Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai dengan:

1. Sesak napas dengan atau tanpa sianosis

2. Sputum bertambah dan purulent

3. Demam

4. Kesadaran menurun

2. Infeksi berulang

Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni

kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imuniti

menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.

3. Kor pulmonal

Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal jantung

kanan

BAB III

KESIMPULAN

1. Pneumothoraks adalah suatu kondisi dimana terjadi akumulasi udara pada

cavum pleura yang dapat terjadi secara spontan atau pasca traumatik.

2. Pneumothoraks dapat terjadi baik secara spontan dengan atau tanpa kelainan

paru yang mendasari, maupun pasca proses traumatik.

3. PPOK adalah penyakit paru yang ditandai oleh hambatan aliran udara yang

tidak sepenuhnya reversible, bersifat progresif dan berhubungan dengan

respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya,

disertai efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap berat derajat penyakit.

4. Faktor resiko terbesar terjadinya PPOK adalah dari gaya hidup dan lingkungan,

dengan perubahan gaya hidup seperti berhenti merokok dan menggunakan

masker pada tempat berasap dan berpolusi akan meringankan gejala dan

progresifitas PPOK.

5. Pada pasien ini, penanganan pneumothoraks dilakukan dengan cara

dekompresi menggunakan WSD dilanjutkan dengan continous suction,

melakukan pemantauan terhadap kondisi paru dan respon terapi, dan edukasi

mengenai pneumothoraks dan PPOK sebagai penyakit yang mendasarinya.

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaf, Hood dan Isnu Pradjoko. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010. Surabaya: FK Unair

Hisyam, Barnawi dan Eko Budiono. 2009. Pneumothoraks Spontan, dalam Buku Ajar

Ilmu penyakit Dalam, edisi V jilid II. Jakarta : Interna Publishing

Patel, Harish dan Catherine Gwilt. 2008. Crash Course: Respiratory System, 3rd edition. London: Elseiver

PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia). 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : PDPI

Valentina L, Brashers. 2007. Aplikasi Klinis Patofisiologi: Pemeriksaan dan Manajemen. Jakarta : EGC

Lampiran resep

dr. Margono Soekarjo

SIP. 08/2014/DU/BMS

Jl. Cendana 116 Purwokerto

0281 606060

Purwokerto, 20 Juni 2014

R/ Ceftriaxone inj vial 1 g no II Add spuit inj 5 cc no I Add aquabidest 5cc no II S i.m.m

R/ Rantin inj amp 50 mg no II Add spuit inj 5 cc no II

S i.m.m

R/ Ketorolac inj amp 30 mg no II Add spuit inj 5 cc no II S i.m.m

R/ Fartolyn syr 60 ml fl no I S 3 dd I cth p.c

R/ Laxadyn syr 60 ml fl no I S 1 dd II cth p.c.

Pro: Tn. S

Usia: 65 tahun

Alamat: Segaralangu RT 06/II Kec. Cipari, Cilacap