PJBL peneumonia
-
Upload
nurul-kamajaya -
Category
Documents
-
view
37 -
download
4
description
Transcript of PJBL peneumonia
1. Definisi
Di dalam buku “Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA untuk
Penanggulangan pada Balita”, disebutkan bahwa pneumonia merupakan salah
satu penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) yang mengenai bagain
paru (jaringan alveoli). (Depkes RI, 2004).
Pertukaran oksigen dan karbon dioksida terjadi pada kapiler-kapiler
pembuluh darah di dalam alveoli. Pada penderita pneumonia, nanah (pus) dan
cairan akan mengisi alveoli tersebutsehingga terjadi kesulitan penyerapan
oksigen. Inilah yang menyebabkan kesukaran bernafas. (Depkes RI, 2007)
Definisi lai menyebutkan bahwa pada pneumonia, terjadi peradangan
pada salah satu atau kedua organ paru yang disebabkan oleh infeksi.
(Ostapchuk dalam Machmud, 2006)
Peradangan tersebut menyebabkan jaringan paru terisi oleh cairan dan
tak jarang mengalami kematian serta timbul abses. (Prabu, 1996)
Penyakit ini pada umumnya menyerang anak-anak dengan cirri-ciri
adanya demam, batuk disertai nafas cepat (takipnea) atau sesak nafas.
Penyakit ini pertmakali diperkenalkan oleh WHO pada tahun 1989. Selain itu,
gambaran klinis pneumonia ditunjukkan dengan adaya pelebaa cuping
hidung, ronkhi, dan retraksi dingding dada atau sering disebut tarikan dinding
dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing). (Wahab, 2000)
Pneumonia juga seringkali datang bersamaan dengan terjadinya infeksi
akut pada bronkusyang disebut bronkopneumonia. (Depkes RI, 2004)
2. Etiologi
Etiologi pneumonia dibedakan berdasarkan agen pnyebab infeksi, baik
itu bakteri, virus, maupun parasit. Pada umumnya terjadi akibat adanya
infeksi bakteri pneumokokus (Streptococcus pneumoniae). Beberapa
penelitian menemukan bbahwa penyakit ini mneyebabkan pneumonia hampir
di semua kelompok umur dan paling banyak terjadi di negara-negara
berkembang. (Machmud, 2006)
3
Bakteri lain seperti Staphylococcus, Pneumococcus, dan Haemophylus
influenza, serta virus dan jamur juga sering menyebabkan pneumonia. (Prabu,
1996)
Akan tetapi, dari pandangan yang berbeda didapatkan bahwa penyebab
pneumonia dapat diketahui berdasarkan umur pnederita. Hal ini terlihat
dengan adanya perbedaan agen penyebab penyakit, baik pada bayi maupun
balita. Ostapchuk menyebutkan kejadian pneumonia pada neonatus lebih
banyak disebabkan oleh bakteri Streptococcus dan Gram negative enteric
bacteria (Eschericia coli). Hal ini dijelaskan pula oleh Correa, bahwa bakteri
Streptococcus pneumonia sering menyerang neonatus usia tiga minggu
hingga tiga bulan. (Machmud, 2006)
Sedangkan pneumonia pada anak-anak balita lebih sering disebabkan
oleh virus, salah satunya oleh Respiratory syncytial virus. (Ostapchuk dalam
Machmud, 2006)
Beberapa keadaan seperi gangguan nutrisi (malnutrisi), usia muda,
kelengkapan imunisasi, kepadatan hunian, defisiensi vitamin A, defisiensi Zn,
paparan asap rokok secara pasif dan factor lingkungan (polusi udara)
merupakan factor resiko untuk terjaidnya pneumonia. Factor predisposisi
yang lain adalah adanya kelainan anatomi konginetal (contoh fistula
trakeasofagus, penyakit jantung bawaan), gangguan fungsi imun (penggunaan
sitostatika dan steroid jangka panjang, gangguan sitem imun berkaitan
penyakit tertentu seperti HIV), campak pertusis, gangguan neiromuskular,
kontaminasi perintal dan gangguan klirens mucus/sekresi seperti fibrosis
kistik, aspirasi benda asing atau disfungsi silier.
3. Epidemiologi
Pneumonia diperkirakan hampir selalu menjadi penyebab utama
kematian pada manusia sejak jutaan tahun yang lalu. Meskipun sudah ada
vaksinasi, antibiotik yang poten, perawatan yang lebih baik pada pasien kritis,
pneumonia tetap menjadi pembunuh yang menakutkan (Murray, 2010).
Pneumonia bukan saja dikenal dengan angka morbiditas yang tinggi, dengan
angka kesakitan 4 juta kasus per tahun, mengenai 12 orang dewasa per 1000
4
orang dewasa per tahun, dengan lebih dari 600 ribu penderita rawat inap
pertahun dan kerugian material sebesar 23 milyar dolar namun juga angka
mortalitasnya yang sebesar 1 per 1000 per tahun. Diduga bahwa 60% dari
kasus pneumonia akan membutuhkan perawatan rumah sakit. Di antara
pasien rawat inap ini 45% diperhitungkan akan masuk perawatan intensif
(masuk ICU) dan kematian akan terjadi pada 49% di antaranya. Ini baru pada
pneumonia komunitas (community acquired pneumonia). Risiko kematian
akan lebih tinggi pada pasien pneumonia rumah sakit (hospital acquired
pneumonia) karena disebabkan oleh mikroorganisme yang lebih sulit
dikendalikan. Risiko kematian pada pneumonia lebih tinggi lagi pada pasien
dengan daya tahan tubuh rendah (pneumonia in immunocompromised
patient) termasuk pada pengguna napza (narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif lain) dan HIV. (Rasmin, 2008)
Ada dua populasi yang perlu diperhatikan karena berada pada
kelompok risiko tinggi. Kelompok pertama adalah usia lanjut dan individu
dengan penyakit penyerta seperti gagal jantung, keganasan dan kondisi kronik
lainnya. Kelompok kedua adalah anak-anak dengan usia sangat muda.
Pneumonia merupakan pembunuh nomor 1 di dunia pada bayi dan anak-anak
usia < 5 tahun . Diperkirakan menyebabkan sekitar 2 juta kematian (1
kematian setaip 15 detik) dari 9 juta kematian setiap tahunnya pada usia
tersebut. Pneumonia mengancam jiwa terjadi pada anak usia muda
dimanapun di seluruh dunia, setiap 1 kematian anak di negara maju terjadi
200 kematian anak di negara berkembang. Pneumonia membunuh anak-anak
usia muda lebih banyak disbanding malaria, AIDS dan measles. Kematian
anak karena pneumonia terasa tragis karena bukan hanya usia yang muda
tetapi semestinya semua itu dapat dicegah. Oleh karena itu, pada tanggal 2
November 2009, Global Coalition Against Child Pneumonia mencanangkan
pertama kali hari pneumonia sedunia (World Pneumonia Day), untuk
meningkatkan kepedulian dan mobilisasi dalam melawan infeksi pembunuh
nomor 1 di dunia pada anak-anak usia muda. (Murray, 2010)
5
Grafik 1. Proporsi penyebab kematian pada umur 1-4 tahun
Sumber: Riskesdas 2007
6
4. Patofisiologi
7
5. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis pneumonia diklasifikasikan menjadi dua kelompok.
Pertama, gejala infeksi umum seperti demam , sakit kepala, gelisah, malaise,
nafsu makan berkurang, gejala gastrointestinal seperti mual, muntah atau
diare. Kedua, gejala gangguan respiratorik seperti batuk, sesak napas, retraksi
dada atau tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing),
takipnu, napas cuping hidung, air hunger, dan sianosis pada infeksi yang
berat. Chest indrawing ini terjadi karena gerakan paru yang berkurang atau
decreased lung compliance akibat infeksi pneumonia yang berat. (Depkes RI,
1993).
Pada usia 3 bulan, kejadian pneumonia didahului dengan penyakit
seperti otitis media, conjungtivitis, laryngitis, dan pharyngitis. (Gotz dalam
Machmud, 2006)
Manifestasi klinis pada penyakit pneumonia pada balita menurut umur
dibagi menjadi dua seperti yang ada dalam tabel.
Tabel 1. Klasifikasi klinis pneumonia pada balita menurut kelompok umur
Kelompok Umur Kriteria Pneumonia Gejala Klinis
2 bulan - < 5 tahun
Batuk bukan
pneumonia
Tidak ada nafas cepat dan
tidak ada tarikan dinding
bagain bawah.
Pneumonia
Adanya nafas cepat dan
tidak ada tarikan dinding
dada bagain bawah ke
dalam
Pneumonia beratAdanya tarikan dinding
dada bagian dalam
< 2 bulan Bukan pneumonia Tidak ada nafas cepat dan
tidak ada tarikan dinding
dada bagain bawah ke
dalam yang kuat.
8
Pneumonia berat
Adanya nafas cepat dan
tarikan dinding dada bagian
bawah ke dalam yang kuat.
Sumber: Ditjen P2PL, Depkes RI, 2007. Bimbingan Keterampilan Pneumonia Balita.
Kriteria nafas cepat berdasarkan frekuensi pernafasan dibedakan
menurut umur anak. Untuk umur kurang dari 2 bulan , dikatakan nafas cepat
jika frekuensi nafas 60 x/menit, sedangkan untuk umur 2 bulan smapai <12
bulan jika >50 x/menit, dan umur 12 bulan sampai <5 tahun jika >40 x/menit.
(Depkes RI, 2007)
Peningkatan frekuensi nafas terjadi pada pnederita penuemonia sebagai
akibat dari reaksi fisiologis terhadap keadaan hipoksia (kekurangan oksigen)
atau dapat pula terjadi pada anak yang gelisah atau takut. (Depkes RI, 1993)
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Radiologi
Diagnosis pneumonia utamanya didasarkan klinis, sedangkan
pemeriksaan foto polos thoraks perlu untuk menunjang diagnosis selain
untuk melihat luasnya kelainan patologi secara lebih akurat. Foto posisi
anteroposterior (AP) dan lateral (L) diperlukan untuk menentukan
luasnya lokasi anatomi dalam paru, luasnya kelainan, dan kemungkinan
adanya komplikasi pneumothoraks, pneumomediastinum, pneumatokel,
abses paru, dan efusi pleura.
Infiltrat paling sering sering dijumpai pada pasien usia bayi.
Pembesaran kelenjar hilus sering terjadi pada pneumonia karena
Haemophilus influenza dan Staphylococcus aureus, tapi jarang terjadi
pada pneumonia yang disebabkan oleh Streptococcus pneumonia.
Kecurigaan terhadap infeksi Staphylococcus aureus apabila pada foto
polos dada dijumapi adanya gambaran pneumatokel, abses paru,
empiema, dan piopneumothoraks serta usia pasien dibawah 1 tahun.
Pada umumnya, foto polos dada akan normal kembali dalam waktu 3-4
minggu. Pemeriksaan radiologis tidak perlu diulang lagi kecuali jika
9
didapati adanya pneumatokel, abses, efusi pleura, empiema,
pneumothoraks, atau komplikasi lainnya.
Pemeriksaan radiologis tidak dapat menunjukkan perbedaan yang
nyata antara infeksi virus dengan bakteri.pneumonia virus umunya
menunjukkan gambaran infiltrat intersitial difus, hiperinflasi atau
atelektasis. Pada sindroma aspirasi, infiltrat akan tampak di lobus
superior kanan pada bayi, tetapi pada anak yang lebih besar akan tampak
di bagain posterior atau basal paru.
b. Laboratorium
Leukosit >15.000/UL seringkalo dijumpai. Leukosit >30.000/UL
dengan dominasi neutrofil mengarah ke pneumonia streptococcus dan
staphylococcus. Laju endap darah dan C-reaktif protein (CRP)
merupakan indicator yang tidak khas sehingga hanya sedikit membantu.
Adanya CRP yang postif dapat mengarah kepada infeksi bakteri. Kadar
CRP yang lebih tinggi ditemukan pada pasien dengan pneumonia
interstitial. Begitu pula pada kasus pneumonia yang disebabkan oleh
Streptococcus penumoniae akan menunjukkan kadar CRP yang lebih
tinggi secara signifikan disbanding non pneumococcal penumoniae.
Biakan darah merupakan cara yang spesifik untuk diagnostik tapi
hanya positif pada 10-15% kasus terutaama pada anak kecil. Kultur darah
sangat membantu pada penanganan kasus pneumonia dengan dugaan
penyebab staphylococcus dan pneumococcus yang tidak menunjukkan
respon baik terhadap penanganan awal. Kultur darah juga
direkomendasikan pada kasus peneumonia yang berat dan pada bayi usia
kurang dari tiga bulan.
Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (CPR) bermanfaat untuk
diagnosis Streptococcus penumoniae dan infeksi karena mikroplasma.
Pemeriksaan CPR mahal, tidak tersedia secara luas serta tidak banyak
berpengaruh terhadap penanganan awal pneumonia/ karena itu tidak
direkomendasikan.
10
Pemeriksaan aspirat nasofaringeal untuk pemeriksaan imunoflurese
virus dan deteksi antigen virus akan membantu untuk mengidentifikasi
virus tetapi hanay mempunyai sedikit pengaruh untuk penangan awal
pasien. Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas yang tinggi dan sangat
membantu diagnosis anak dengan infeksi RSV.
Bila fasilitas memungkinkan , pemeriksaan analisis gas darah
meunujukkan keadaan hipoksemia (kareana ventilation perfusion
mismatch). Kadar Pa CO2 dapat rendah, normal, atau meningkat
tergantung kelaiananya. Dapat terjadi asidosis respiratorik, asidosis
metabolic, dan gagal nafas.
7. Penatalaksanaan
Dalam hal penaalaksanaan pneumonia, maka para klinisi akan dihadapkan
pada beberapa masalah:
- Apakah penanganan pneumonia membutuhkan antibiotic atau tidak?
Idealnya, tata laksana pneumonia sesuai dengan peneybabnya.
Namun karena berbagai kendala diagnostic etiologi, untuk semua pasien
pneumonia diebrikan antibiotika secara empiris. Walaupun pneumonia
viral dapat ditata laksana tanpa antibiotic, tetapi pasien tetap diberikan
antibiotic krena kesulitan dalam menentukan infeksi virus dengan
bakteri, kesulitan diagnosis virology dan kesulitan dalam isolasi
penderita, disamping itu kemungkinan infeksi bakteri sekunder idak
dapat disingkirkan.
- Jika diputuskan untuk menggunakan antibiotic, apakah menggunakan
antibiotika spectrum sempit atau luas?
Golongan beta laktam (penisilin, sefalosporin, karbanepam, dan
monobaktam) merupakan jenis-jenis antibiotika yang sudah dikenal cukup
luas. Biasanya digunakan untuk terapi pneumonia yang disebabkan oelh
bakteri seperti Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, dan
Staphylococcus aureus. Pada kasus yang berat diberikan golongan
sefalosporin sebagai pilihan, terutama bila penyebabnya belum diketahui.
Sedangakn pada kasus yang ringan dipilihka golongan penisilin.
11
Streptokokus dan pneumokokus merupakan bakteri gram negative
yang dapat dicakup oleh ampisilin dan kloramfenikol. Dengan demikian
keduanya dapat dipaakai sebagai antibiotika lini pertama untuk kasus
pneumonia anak tanpa komplikasi. Pada pasien pneumonia yang
community acquired, umumnya ampisilin dan kloramfenikol masih
sensitive. Pilihan berikutnya adalah obat golongan sefalosporin.
Penanganan pneumonia pada neonates serupa dengan penanganan
infeksi neonates pada umunya. Antibiotika yang diberikan harus dapat
mencakup bakteri kokus gram negative terutama Eschericia coli dan
Proteus mirabilis digunakan untuk golongan aminoglikosida. Kominasi
klolsasilin dan gentamisin efektif untuk terapi pneumonia dibawah 3
bulan karena dapat mencakup Staphylococcus aureus. Umur kehamilan,
berat badan bayi, dan umur bayi akan menentukan dosis dan pemberian
obat khususnya khususnya untuk golongan amoniglikosida. Sefalosporin
generasi 3 dapat diguankan jika ada kecurigaan penyebab bakteri batang
gram negative.
Mengenai penggunaan makrolid pada pneumonia atipik yang
diduga disebabkan oleh klamidia dan mikoplasma, telah banyak
dilaporkan. Pemberian azitromisin dan klaritromisin sama efektifnya
dengan pemberian amoksisilin asam klavulanik. Pemberian azitromisin
toleratibilitasnya cukup baik serta efek sampingnya minimal bila
dibandingkan dengan amoksisilin asam klavulanik. Pemberian azitromisin
sekali sehari selama 3 hari, efektivitasnya sama dengan pemberian
amoksisilin asam klavulanik selama 10 hari. Penggunaan klaritromisin
secara multisenterpada pneumonia mendapatkan hal yang cukup baik
dalam hal efektivitas dan efek samping.
Evaluasi pengibatan dilakukan 48-72 jam. Bila tidak ada perbaikan
klinis dilakukan perubahan pemberian antibiotika sampai anak dinyatakan
sembuh. Lama pemberian antibiotic tergantung pada kemajuan klinis
penderita, hasil labotaris, foto polos dada, dan jenis kuman penyebab. Jiak
kuman penyebab adalah staphylococcus, diperlukan pemberian terapi 6-8
minggu secara parental. Jika penyebab Haemophillus influenza dan
12
Streptococcus pneumonia pemberian terapi secara parental cukup 10-14
hari. Secara umum pengobatan antibiotic untuk pneumonia diberikan 10-
14 hari.
Pada keadaan imunokompromis (gizi buruk, penyakit jantung
bawaan, gangguan neuromuscular, keganasan, pengobatan kortikosteroid
jangka panjang, fibrosis kistik, infeksi HIV), pemberian antibiotic harus
segera dimulai saat tanda awal pneumonia didapatkan dengan pilihan
antibiotic sefalosporin generasi 3.
Dapat juga dipertimbangkan pemberian:
Kotrimoksasol pada pneumonia pneumokistik karinii
Anti viral (asiklovir, gansiklovir) pada pneumonia karena
sitonegalovirus
Anti jamur (amphotericin B, ketokenazol, fukonazol) pada
pneumonia karena jamur.
Pemberian immunoglobulin.
- Pemakaian antibiotic apakah secara oral atau parental?
WHO menyarankan untuk pengobatan pneumonia (adanya nafas
cepat tanpa penarikan dinding dada) sebaiknya dirawat secara
poliklikinisdenagn menggunakan antibiotic oral. Pilihan antibiotic yang
digunakan adalah amoksilin, ampisilin, trimetoprim/sulfametoksazol atau
penisilin prokain selama 5 hari. Tetapi ketika didiagnosis dengan
pneumonia berat (dengan chest indrawaing) maka pasien dirawat inapkan
dan diberikan antibiotika secara parental seperti benzylpenisilin atau
ampisilin. Kloramfenikol juga adapat diberikan, di mana pada beberapa
daerah tertentu dapat diberikan secar intramuscular. Pada bayi usia kurang
dari 2 bualn, WHO merekomendaiskna pemberian penisiln dan
gentamsin. Dengan penrapan criteria WHO ini, terjaid penurunan angka
kematian karena infeksi saluran nafas di Negara-negara berkembang.
- Kappa pasien harus dirawat inap?
Pada anak dengan pneumonia, penentuan rawat inap dapat
diputuskan apabaila terdapat:
13
Penderita tampak toksik
Umur kurang dari 6 bulan
Distress pernafasan berat
Hipoksemia (saturasi O2 kurang dari 93-94 % pada konsdisi ruangan)
Dehidrasi atau muntah
Tampak efusi pleura atau abses paru
Kondisi inumokompromis
Ketidakmampuan orang tau untuk merawat
Didapatkan pneyakit penyerta lain
Pasien membutuhkan antibiotika secara parental
Terapi supportif yang diberikan pada penderita pneumonia:
a. Pemberian okseigen melalui kateter hidung atau masker. Jia
penyakitnya berat dan sarana tersedia, alat bantu nafas mungkin
diperlukan terutama bila terdapat gagal nafas.
b. Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Cairan rumatan yang
diberikan mengandung gula dan elektrolit yang cukup. Jumplah
cairan sesuai berat badan, kenaikan suhu, dan status hidrasi. Pasien
yang mengalami sesak yang berat dapat dipuasakan, tetapi jika sesak
sudah mereda asupan oral segera diberikan. Pemberian asupan oral
diberiakn secara bertahap melalui NGT (selang nasogastrik) drip susu
atau makanan cair. Dapat dibenarkan pemberian retraksi cairan 2/3
dari kebutuhan rumatan, untuk mencegah edema paru dan edema otak
akibath SIADH (Sydrome of Inappropriate Anti Diuretic Hormone).
c. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan normal
salin untuk memperbaiki transpor mukosiliar
d. Koreski kelaianan elektrolit atau metabolik yang terjadi mislanya
hipolikemia, asidosis metabolik.
e. Menagtasi penyakit penyerta seperti kejang demam, diare, dan
lainnya. Seta komplikasi bial ada.
Pencegahan
14
Pemberian imunisasi memberikan arti yang sangat penting dalam
pencegahan pneumonia. Penumoia diketahui dapat sebagai komplikais dari
campak, pertusis, dan varisela sehingga imunisasi dengan vaksin yang
berhubungan dengan pneyakit tersebut akan membantu menurunkan insiden
pneumonia.
Pada bualn Februari 2000, vaksin pneumokokal hepatven telah
dilisensikan penggunaannya di USA. Vaksin ini memberikan perlindungan
terhadap penyakit yang umum disebabkan tujuh serotype Streptococcus
pneumonia. Penggunaan vaksin ini menurunkan insiden invasive
pneumococcal disease.
Penggunaan vaksin pneumokokal heptavalent secara rutin di USA
ternyata mampu menurunkan bakteremia secara keseluruhan pada populasi
anak 3 bulan – 3 tahun.
The American Academic of Pediatric (AAP) merekomendasikan
vaksinasi influenza untuk semua anak dengan resiko tinggi yang berumur 6
bualn dan orang tua. Untuk memberikan perlindungan terhadap komplikasi
influenza termasuk di dalamnya adalah pneumonia, AAP juga
merekomendasikan vaksinasi untuk semua naka usia 6 bulan hingga 23 bulan
jika kondisi ekonomi memungkinkan.
8. Komplikasi
- Efusi pleura
- Empisema
- Pneumothoraks
- Piopneumothoraks
- Penumatosel
- Abses paru
- Sepsis
- Gagal nafas
- Ileus paralitik fungsional
9. Asuhan Keperawatan
15
Pengkajian
Nama : An. S
Umur : 2 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status pernikahan : belum menikah
Pekerjaan : -
Alamat : -
Tanggal MRS : -
- Keluhan utama : batuk pilek sejak 5 hari yang lalu.
- Riwayat sekarang : anak rewel, tidak mau makan, suhu kemarin
malam mencapai 40o C, muntah 3x, diare 4x, perut tampak distended.
- Riwayat lalu : -
- Riwayat psikososial: -
- Pemeriksaan fisik :
• Kesadaran umum : sadar, GCS 456, tampak lemah
• Penginderaan : Mata √ Lidah √
Mulut √ Hidung √
Telinga √
• Respirasi : dispnea, nafas cepat dan dangkal, RR 35
x/menit, pernafasan cuping hidung, retraksi pada daerah
supraklavikular, ruang interkostalis, dan sternokledomatoideus.
Sianosis di sekitar mulut dan hidung, batuk produktif. Secret tidak
dapat dikelurakn. suara napas bronchial, ronkhi basah halus,
bronkofoni.
• Kardiovaskular : N 110 x/menit reguler, T 39,5o C
• Pencernaan : muntah 3x, diare 4x, perut tampak
distended
• Urogenital : -
• Integumen : -
• Muskuloskeletal : -
16
• Endokrin : -
- Pemeriksaan penunjang
• Radiologi : Rontgen thoraks gambaran multiple
infiltrate pada paru sebelah kanan.
• Laboratorium : Laukosit 46000/mm3, LED 53 mm/jam
- Terapi
• IV lines NaCl 0,9% 10 tetes/menit
• Penisillin 100 mg IV 3 x/hari
• O2 nasal 2 lpm
Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
1. DO:
- Batuk produktif
dengan secret
tidak dapat
dikeluarkan
- Suara nafas
brondchial
- Ronkhi basah
halus
- Bronkofoni
- sianosis
DS:
- Batuk
- Pilek
Infeksi saluran nafas
bagian bawah
bronchiolus alveolus
peningkatan produksi
sekret obstruksi jalan
nafas gangguan
ventilasi bersihan jalan
nafas tidak efektif
Bersihan jalan
nafas tidak efektif
2. DO:
- RR 35 x/mnt
- Perfanafasan
cuping hidung
- Dispnea
- nafas cepat,
dangkal
Infeksi saluran nafas
bagian bawah
bronchiolus alveolus
peningkatan produksi
sekret obstruksi jalan
nafas gangguan
ventilasi bersihan jalan
Ketidakefeketifan
pola nafas
17
- retraksi pd
aderah
suprakalvikular,
rg interkostalis,
strenokleimatod
ius
DS: (-)
nafas tidak efektif pola
nafas tidak efektif
3. DS:
- T 40o C (tadi
malam sebelum
ke RS)
DO:
- T 39,5o C
- Leukosit
46000/mm3
- LED 53
mm/jam
Infeksi saluran nafas
bagian bawah
bronchiolus alveolus
reaksi radang pada
bronchus stimulasi
chemoreseptor
hipothalamus set point
bertambah respon
menggigil reaksi
peningkatan peningkatan
panas tubuh
Hipertermi
Hipertermia
4. DS:
- Tidak mau
makan
- Muntah 3x
- Diare 4x
- Perut tampak
distended
DO:
- Tampak lemah
Infeksi saluran nafas
bagian bawah
bronchiolus alveolus
peningkatan produksi
sekret akumulasi secret
rangsangan batuk
distensi abdomen
muntah nutrisi kurang
dari kebutuhan
Gangguan nutrisi:
kurang dari
kebutuhan
5. DS:
- T 40o C (malam
sebelum ke RS)
- Diare 4x
Infeksi saluran nafas
bagian bawah
bronchiolus alveolus
reaksi radang pada
Resiko kekurangan
volume cairan
18
DO:
- T 39,5o C
bronchus stimulais
chemoresptor reaksi
peningkata panas tubuh
hipertermi evaporasi
meningkat + diare
cairan tubuh berkurang
defisit volume cairan
Diagnosa
- Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d
- Ketidakefektifan pola nafas b.d
- Hipertermia b.d infeksi penyakit
- Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d
- Resiko kekurangan volume cairan
Intervensi
1) Diagnosa : Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
Tujuan : SaO2 dalam batas normal, mudah bernapas, tidak ada
dispnea/sianosis/gelisah, temuan sinar X dada dalam rentang yang
diharapkan, pertukaran CO2 atau O2 alveolar untuk memertahankan
konsentrasi gas darah arteri
Kriteria Hasil : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4x24 jam,
pasien akan:
Mempunyai jalan napas paten
Dapat mengeluarkan sekret secara efektif
Irama dan frekuensi napas dalam rentang normal
Mempunyai fungsi paru dalam batas normal
Intervensi :
- Evaluasi tingkat kedalaman nafas dan suara.
Untuk mengetahui sejauh mana sumbatan jalan nafas dan
mempermudah proses intervensi dan evaluasi.
- Tinggikan posisi kepala
19
Peninggian posisi kepala dapat mempermudah pasien untuk
bernafas.
- Suction (nasal, tracheal, oral), jika diindikasikan. Gunakan ukuran
kateter yang sesuai untuk anak-anak atau dewasa.
Untuk membersihkan jalan nafas ketika jalan nafas terblokir oleh
sekret, pasien tidak mampu batuk atau batuk tidak efektif, serta
infant yang tidak bisa mendapat asupan oral karena sekret
- Catat kemampuan dan keefektifan batuk.
- Catat jumlah dan tipe secret.
Melihat pekembangan pasien, mempermudah intervensi dan
evaluasi.
- Berikan lingkungan yang bersih, bebas asap rokok, debu, dll
Menghindari alergi dan polutan yang memperburuk keadaan pasien.
- Beri ekspektoran (kolaborasi)
2) Diagnosa : Ketidakefektifan pola nafas
Tujuan : Pergerakan udara masuk dan keluar paru
Kriteria Hasil : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam,
pasien diharapkan menunjukkan status pernapasan: ventilasi tidak
terganggu ditandai dengan:
Napas pendek tidak ada
Tidak ada penggunaan otot bantu
Bunyi napas tambahan tidak ada
Intervensi :
- Pantau adanya pucat atau sianosis
Mengetahui keadaan pasien apabila dia kekurangan supply oksigen.
- Pantau kecepatan, irama, kedalaman dan usaha respirasi
Untuk mempermudah intervensi dan evaluasi
- Perhatikan pergerakan dada, kesimetrisannya, penggunaan otot bantu
serta retraksi otot supraklavikular dan interkostal
- Pantau respirasi yang berbunyi
Menunjukkan adanya sumbatan dalam jalan nafas
20
- Pantau pola pernapasan: bradipnea, takipnea, hiperventilasi, pernapasan
Kussmaul, pernapasan Cheyne-Stokes
- Pantau kegelisahan, ansietas, dan tersengal-sengal
- Catat perubahan pada saturasi oksigen dan nilai gas darah arteri
Memantau kemungkinan kegagalan pertukaran gas
- Ajarkan pada pasien dan keluarga tentang teknik relaksasi untuk
meningkatkan pola napas. Spesifikan teknik yang digunakan, misal:
napas dalam
Membantu mengeluarkan sumbatan yang mempengaruhi pola nafas
- Ajarkan cara batuk efektif
- Berikan tindakan(misal pemberian bronkodilator) sesuai program
terapi
Memudahkan pasien bernafas
- Berikan nebulizer dan humidifier atau oksigen sesuai program atau
protokol
- Pertahankan oksigen aliran rendah dengan nasal kanul, masker,
sungkup. Spesifikkan kecepatan aliran.
3) Diagnosa : Hipertermia
Tujuan :
Kriteria Hasil :
- Suhu tubuh dalam rentang normal
Intervensi :
- Monitor suhu sesering mungkin
Mempermudah proses intervensi dan evaluasi
- Monitor tekanan darah, nadi dan RR
Mempermudah proses intervensi dan evaluasi
- Monitor penurunan tingkat kesadaran
Pengawasan jika tiba-tiba pasien tidak sadarkan diri
- Monitor WBC, Hb, dan Hct
- Monitor intake dan output
Menjaga agar pasien tidak dehidrasi
- Berikan anti piretik
21
Sebagai penurun demam
- Berikan pengobatan untuk mengatasi penyebab demam
Sebagai penurun demam
- Berikan cairan intravena
Mengganti cairan yang hilang karena evaporasi
- Tingkatkan sirkulasi udara
Agar pasien tidak lebih kepanasan
10. SAP
22