Pit Pogi Xii Di Palembang

5
PIT POGI XII Tanggal 1 – 4 Juli 2001, di Palembang Pada tanggal 1 hingga 4 Juli yang lalu berlangsung Pertemuan Ilmiah Tahunan dari Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) yang XII di Palembang. Menurut dr Tunggal Linggarjati, ada beberapa hal menarik yang dibicarakan di sana antara lain: 1. Endometriosis Endometriosis merupakan salah satu kelainan ginekologis yang paling sering dijumpai. Insidens tertinggi ditemukan pada wanita usia reproduktif. Dalam dua dekade terakhir terlihat adanya peningkatan insidens endometriosis, terutama setelah meluasnya penggunaan laparoskopi baik sebagai pemeriksaan penunjang/penegak diagnosis di bidang ginekologi umumnya maupun pada kasus infertilitas khususnya. Prevalensinya sekitar 495 (59,8 %) dari 828 wanita infertil yang menjalani pemeriksaan laparoskopi (Moeloek FA, 2000). Endometriosis dijumpai pada kurang lebih 10% populasi wanita usia reproduksi. Endometriosis ini memberikan keluhan klinis terutama rasa nyeri dan infertilitas. Evers (1996) mendapatkan angka kejadian endometriosis ini pada 60-80% penderita dismenore, 30-50% penderita nyeri perut, 25-40% penderita dispareunia, 30-40% pasutri infertilitas, dan 10-20% pada penderita dengan siklus menstruasi yang kacau. Samsulhadi (1999) dari 1018 pasangan infertilitas yang dikerjakan laparoskopi diagnosis antara tahun 1996-1998 di Lab/SMF Obstetri & Ginekologi FK Unair / RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, mendapatkan angka kejadian endometriosis ini sebesar 50,49%. Angka kejadian endometriosis yang cukup tinggi ini, menempatkan endometriosis menjadi masalah reproduksi yang dominan. Endometriosis adalah penyakit kronik, yang tidak pernah sembuh. Pengobatan hormonal, atau pembedahan sangat efektif dalam hal mengontrol perjalanan penyakit dan gejalanya, tetapi belum merupakan cara untuk memecahkan masalah, karena angka rekurensinya sangat tinggi, yaitu 50% dalam waktu 5 tahun. Dewasa ini banyak sekali konsep pengobatan pada endometriosis yang telah diterapkan, seperti penekanan aktivitas endometriosis melalui penekanan fungsi estrogen, ataupun dengan cara pembedahan. Pengobatan hormonal memang dapat megurangi lesi endometriosis secara siknifikan, tetapi begitu pengobatan dihentikan dan pasien mendapat haid teratur kembali, lesi-lesi endometriosis tersebut tumbuh lagi seperti keadaan semula. Sebelum diberikan terapi hormonal, perlu diketahui terlebih dahulu apakah endometriosis tersebut aktif atau non aktif. Hanya endometriosis

description

pogi

Transcript of Pit Pogi Xii Di Palembang

Page 1: Pit Pogi Xii Di Palembang

PIT POGI XII Tanggal 1 – 4 Juli 2001, di Palembang

Pada tanggal 1 hingga 4 Juli yang lalu berlangsung Pertemuan Ilmiah Tahunan dari Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) yang XII di Palembang. Menurut dr Tunggal Linggarjati, ada beberapa hal menarik yang dibicarakan di sana antara lain:

1. EndometriosisEndometriosis merupakan salah satu kelainan ginekologis yang paling sering dijumpai. Insidens tertinggi ditemukan pada wanita usia reproduktif. Dalam dua dekade terakhir terlihat adanya peningkatan insidens endometriosis, terutama setelah meluasnya penggunaan laparoskopi baik sebagai pemeriksaan penunjang/penegak diagnosis di bidang ginekologi umumnya maupun pada kasus infertilitas khususnya. Prevalensinya sekitar 495 (59,8 %) dari 828 wanita infertil yang menjalani pemeriksaan laparoskopi (Moeloek FA, 2000).

Endometriosis dijumpai pada kurang lebih 10% populasi wanita usia reproduksi. Endometriosis ini memberikan keluhan klinis terutama rasa nyeri dan infertilitas. Evers (1996) mendapatkan angka kejadian endometriosis ini pada 60-80% penderita dismenore, 30-50% penderita nyeri perut, 25-40% penderita dispareunia, 30-40% pasutri infertilitas, dan 10-20% pada penderita dengan siklus menstruasi yang kacau. Samsulhadi (1999) dari 1018 pasangan infertilitas yang dikerjakan laparoskopi diagnosis antara tahun 1996-1998 di Lab/SMF Obstetri & Ginekologi FK Unair / RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, mendapatkan angka kejadian endometriosis ini sebesar 50,49%. Angka kejadian endometriosis yang cukup tinggi ini, menempatkan endometriosis menjadi masalah reproduksi yang dominan.

Endometriosis adalah penyakit kronik, yang tidak pernah sembuh. Pengobatan hormonal, atau pembedahan sangat efektif dalam hal mengontrol perjalanan penyakit dan gejalanya, tetapi belum merupakan cara untuk memecahkan masalah, karena angka rekurensinya sangat tinggi, yaitu 50% dalam waktu 5 tahun.

Dewasa ini banyak sekali konsep pengobatan pada endometriosis yang telah diterapkan, seperti penekanan aktivitas endometriosis melalui penekanan fungsi estrogen, ataupun dengan cara pembedahan. Pengobatan hormonal memang dapat megurangi lesi endometriosis secara siknifikan, tetapi begitu pengobatan dihentikan dan pasien mendapat haid teratur kembali, lesi-lesi endometriosis tersebut tumbuh lagi seperti keadaan semula. Sebelum diberikan terapi hormonal, perlu diketahui terlebih dahulu apakah endometriosis tersebut aktif atau non aktif. Hanya endometriosis yang aktif saja yang memiliki respon yang baik terhadap terapi hormonal.

Pengobatan medikamentosa yang dilakukan sampai saat ini adalah dengan menggunakan hormon gestagen, GnRH analog, dan kontrasepsi oral. Pengobatan endometriosis dengan GnRH analog merupakan pengobatan yang dewasa ini paling banyak dipakai. Secara umum angka kesembuhan nyeri pelvik dan nyeri haid mencapai 80 – 90 %, sedangkan angka kehamilan mencapai rata-rata 52 %. Angka kejadian residif lebih rendah bila dibandingkan dengan penggunaan turunan gestagen. Pada endometriosis berat, pemberian GnRH agonis maupun gestagen angka kejadian residifnya cukup tinggi, yaitu berkisar antara 50 – 75 % dalam waktu 5 tahun. Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya residif maka pengobatan endometriosis harus dilakukan sedini mungkin. Pengobatan yang paling

Page 2: Pit Pogi Xii Di Palembang

efektif adalah kombinasi antara pembedahan per laparoskopi dengan pemberian GnRH analog selama 6 bulan.

Terdapat 2 jenis analog, yaitu agonis dan antagonis. Sebelum dikenal antagonis, jenis analog yang paling banyak dipakai adalah GnRH agonis (i.e Leuprorelin). Pemberian agonis menimbulkan flare up, yaitu pada awal pemberian terjadi pengeluaran LH dan FSH dalam jumlah besar, sehingga terjadi pula pengeluaran estrogen dan progesteron dari ovarium. Hal ini kurang begitu disukai, karena dapat menimbulkan perdarahan beberapa hari setelah pemberian agonis. Agonis bekerja dengan cara menurunkan sensitivitas hipofisis (down regulation), dan ikatan reseptornya pun sangat kuat (slow reversibility), sehingga meskipun pengobatan telah selesai dilakukan, pengaruh obat tersebut terhadap pasien masih tetap ada, misalnya haid tidak segera datang, keluhan klimaterik masih saja dirasakan.

Gn-RH antagonis generasi pertama dan kedua begitu kurang memuaskan, karena menimbulkan reaksi lokal pada kulit akibat pelepasan histamin, serta tidak mudah larut dalam bentuk depo, dan khasiat biologiknya rendah. Dewasa ini telah berhasil diproduksi Gn-RH antagonis generasi ketiga (i.e Ganirelix) dengan pemberian secara subcutan. Cara kerjanya adalah dengan menduduki reseptor aksis hipofisis-hipotalamus, tidak memiliki efek down regulation, dan supresi gonadatropin tidak berlangsung lama (rapid reversibility). Tidak pernah terjadi flare up.

Pada pasien dengan endometriosis minimal ringan (ASF I-II), pemberian hormonal ataupun tidak, angka kehamilan sama saja, sehingga apakah perlu pengobatan diberikan pada stadium ini, masih kontroversi. Pada pasien dengan endometriosis aktif, dengan terapi tiga tahap ditemukan angka kehamilan yang tinggi. Yang dimaksud dengan terapi tiga tahap adalah, pertama laparoskopi diagnostik, kedua dilanjutkan dengan pemberian Gn-RH analog 6 bulan, dan ketiga dilakukan laparoskopi operatif.

Pada pasien dengan endometriosis sedang berat (AFS III-IV), yaitu yang disertai dengan infertilitas, perlekatan genitalia intern hebat, dan pada ovarium uni/bilateral dijumpai kista coklat, maka pada saat laparoskopi sebaiknya dilakukan biopsi kista, atau lesi endometriosis terlebih dahulu. Tindakan operatif baru dilakukan setelah diberikan pengobatan dengan GnRH analog selama 6 bulan.

2. Terapi Sulih Hormon pada wanita menopause, kapan (siapa) dan bagaimanaPada dasarnya pemberian TSH bertujuan untuk:Pengobatan, terutama ditujukan kepada wanita menopause yang menderita gangguan vasomotor.Pencegahan, terutama ditujukan untuk penyakit kardiovaskuler dan osteoporosis.

TSH sebagai pengobatan jelas sekali manfaatnya bagi wanita yang menderita gangguan vasomotor. Lama pemberian TSH untuk keperluan ini sangat bervariasi, tergantung individu dan jenis gangguan yang diderita.

Indikasi TSH untuk pencegahan penyakit kardiovaskulerDisarankan harus pada wanita yang sedang menderita penyakit KV.Disarankan pada wanita yang mempunyai risiko tinggi penyakit KV.Tidak ada indikasi pada wanita tanpa risiko penyakit KV.

Indikasi TSH untuk mencegah osteoporosis

Page 3: Pit Pogi Xii Di Palembang

Harus diberikan pada wanita yang telah atau sedang mengalami osteoporosis.Sebaiknya diberikan pada wanita dengan risiko tinggi untuk terjadinya fraktur akibat osteoporosis.Disarankan pada wanita dengan kadar estrogen yang tidak adekuat.

Ada beberapa cara pemberian TSH, tergantung kebutuhan dan keadaan pasien (Peter Kenemasi). Pemberian dengan estrogen murni (Unopposed Oestrogen Therapy – ERT), disarankan hanya untuk wanita yang telah dilakukan histerektomi. Pemberian ERT pada wanita yang masih mempunyai uterus ditakutkan dapat menimbulkan kanker endometrium. ERT harus diberikan secara teratur, tanpa henti dengan dosis yang tepat.

Cara pemberian TSH berikutnya, adalah dengan kombinasi antara estrogen dan progesteron (Oestrogen Combined with Progesteron – CHRT), yang dibagi menjadi cara sekuensial (Sequentially Combined HRT – SCHRT) dan cara kontinyu (Continously Combined HRT – CCHRT).

SCHRT adalah dengan memberikan estrogen secara terus menerus dengan ditambahkan progesteron selama 10-14 hari setiap bulan. Ada yang memberikan progesteron setiap tiga bulan selama 12-14 hari. SCHRT menyebabkan perdarahan lucut (withdrawl bleeding), yang menjadi salah satu penyebab utama rendahnya angka kepatuhan (compliance) para pengguna TSH.Pemberian kontinyu (CCHRT), estrogen dan progesteron diberikan terus bersama-sama. Tujuan utama dari cara ini, agar supaya terjadi amenore. Akan tetapi kadang-kadang dapat terjadi perdarahan bercak (breakthrough bleeding), Hal ini harus diinformasikan sebagai konseling sebelum memulai TSH.

Beberapa preparat estrogen yang sering dipakai untuk TSH adalah :17BetaEstradiol Oral 1-2 mgtrandermal 50-100 micro grsubcutaneous 25 mgConjugated Estrogen E 0,625 mgEstradiol Valerat 1-2 mgEthinyl estradiol 15-2- micro grEstropitate 0,625 mg

Progesteron yang disarankan untuk sekuensial (SCHRT) atau yang kontinyu (CCHRT) adalah:Progesteron SCHRT CCHRTCyproterone Acetate 1 mg 1 mgDydrogesterone 10-20 mg 10 mgLevonorgestrel 75 micro gr 30 micro grMPA 10 mg 2,5 mgNorethisterone 0,7-1 mg 0,35 mgNergestrel 150 micro gr ?Progesterone 300 mg 100 mg

Obat-obat lain selain estrogen yang dapat dipakai sebagai TSH adalah :Tamoxifen Tibolone 2,5 mgSERM (Raloxifen) 60-150 mg

3. Asam folat, from vitamin to drugDi daerah tropis, defisiensi asam folat banyak terdapat pada ibu hamil. Selama perkembangan janin memerlukan banyak asam folat, sehingga seorang ibu yang memulai kehamilan kebutuhan asam folat perlu untuk diperhatikan. Anemia

Page 4: Pit Pogi Xii Di Palembang

megabloblastik pada kehamilan biasanya timbul pada trimester akhir dari kehamilan tersebut. Namun studi epidemiologi akhir-akhir ini banyak menunjukkan bahwa asam folat sangat dibutuhkan sebelum dan minggu pertama kehamilan. Hal ini dapat menurunkan risiko terjadinya neural tube defects (NTD). Badan riset Inggris pada tahun 1991 mendapatkan bahwa 72% ibu hamil yang melahirkan anak dengan NTD berkorelasi dengan defisiensi asam folat sebelum dan selama kehamilan, di Amerika Serikat tahun 2001 mencapai 30%. Studi lain di Hongaria menunjukkan bahwa adanya peningkatan NTD pada anak yang dilahirkan dari ibu yang pada saat hamil mendapat suplementasi vitamin dan mineral tetapi tidak mengandung asam folat.

Disisi lain Butterworth dan Potischman tahun 1993 mengatakan bahwa adanya hubungan antara beberapa nutrien dengan timbulnya kanker serviks. Mereka mengatakan asam folat merupakan satu-satunya nutrien yang berperan dan bersifat protektif pada lesi displasia serviks, tetapi tidak berkaitan dengan risiko karsinoma in situ atau stadium invasif kanker serviks. Sampai saat ini belum banyak diketahui dengan pasti penyebab tunggal kanker serviks tetapi beberapa faktor risiko dapat dikaitkan seperti aktivitas seks, merokok, kontrasepsi oral dan faktor makanan.

Di Amerika dan Inggris serta beberapa negara telah merencanakan suatu suplementasi asam folat dan fortifikasi asam folat kedalam makanan. Mereka memahami bahwa dalam suatu masyarakat luas untuk menekan risiko NTD asam folat perlu direkomendasikan.

Angka kecukupan asam folat yang dianjurkan untuk Indonesia menurut Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 1998 untuk ibu hamil 300 g/hari. Sedangkan untuk ibu menyusui tergantung usia anak/lama menyusui.

Angka kecukupan Gizi yang dianjurkan untuk Asam FolatGolongan/Umur AKG (g)Wanita (Umur dalam tahun)10-12 10013-15 13016-19 15020-45 15046-59 150

60 150Hamil + 150Menyusui 0-6 bulan + 507-12 bulan + 40

Ibu dengan usia reproduksi dianjurkan untuk mengkonsumsi asam folat untuk persiapan bila terjadi kehamilan yang tidak terencana. Mungkin sudah saatnya di Indonesia mencontoh sejumlah negara maju yang telah melaksanakan program fortifikasi asam folat pada makanan pokok atau program pemberian asam folat 0,4-0,5 mg dengan dosis harian pada wanita usia reproduksi.

Mengingat adanya kemungkinan interaksi gen-gen dan faktor lingkungan yang belum dapat diketahui, pemberian asam folat pada wanita usia reproduksi bersamaan vitamin B12 dan B6 mungkin perlu dipertimbangkan untuk pencegahan terjadinya kehamilan dengan NTD.