Perubahan sosial dan dinamika pemerintahan

11
Tugas Makalah PERUBAHAN SOSIAL DALAM PERSPEKTIF BUDAYA (Makalah ini digunakan untuk memenuhi tugas mata kuliah Perubahan Sosial dan Dinamika Pemerintahan) Dosen Pengampu : Bambang Eka Cahya W, S.IP, M.Si Oleh : Nama : Canang Bagus Prahara Umpu No. Mhs : 98520164 JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKRTA 2003

Transcript of Perubahan sosial dan dinamika pemerintahan

Page 1: Perubahan sosial dan dinamika pemerintahan

Tugas Makalah

PERUBAHAN SOSIAL DALAM PERSPEKTIF BUDAYA

(Makalah ini digunakan untuk memenuhi tugas mata kuliah

Perubahan Sosial dan Dinamika Pemerintahan)

Dosen Pengampu : Bambang Eka Cahya W, S.IP, M.Si

Oleh :

Nama : Canang Bagus Prahara Umpu

No. Mhs : 98520164

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKRTA

2003

Page 2: Perubahan sosial dan dinamika pemerintahan

PERUBAHAN SOSIAL DALAM

PERSPEKTIF BUDAYA

I. Pendahuluan

Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan-perubahan. Perubahan yang

mana dapat berupa perubahan yang tidak menarik dalam arti kurang mencolok.

Ada pula perubahan-perubahan yang pengaruhnya terbatas maupun yang luas.

Ada pula perubahan-perubahan yang berjalan sangat lambat sekali, akan tetapi

ada pula perubahan yang berjalan dengan cepat. Perubahan-perubahan hanya

akan dapat diketemukan oleh seseorang yang sempat meneliti susunan dan

kehidupan suatu masyarakat pada kurun waktu tertentu dan membandingkan

dengan masa yang lampau. Seseorang yang tidak sempat menelaah susunan dan

kehidupan masyarakat desa di Indonesia misalnya, akan berpendapat bahwa

masyarakat tersebut statis, tidak maju dan tidak berubah. Pernyataan demikian

hanya pada pandangan sepintas yang tentu saja tidak mendalam dan teliti.

Karena tidak ada suatu masyarakatpun yang berhenti pada suatu titik tertentu

sepanjang masa. Orang-orang desa sudah mengenal perdagangan, alat transport

modern, bahkan sudah dapat mendengar radio dan melihat televisi yang dulu

belum dikenalnya sama sekali.

Perubahan masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma

sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-

lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain

sebagainya.1

Perubahan dalam masyarakat memang telah ada dari zaman dahulu.

Namun dewasa ini perubahan-perubahan tersebut berjalan dengan sangat

cepatnya sehingga sering membingungkan manusia yang mengalaminya.

Perubahan-perubahan sering berjalan secara konstan, akan tetapi tetap memiliki

keterikatan dengan waktu dan tempat.

II. Pembahasan

Perubahan sosial adalah suatu perubahan yang terjadi pada sistem sosial

yang mencakup tata nilai sosial, sikap, dan pola perilaku kelompok. Perubahan

sosial merupakan perubahan kelembagaan masyarakat. Menurut Kingsley Davis

1 Soerjono Soekanto, “Sosiologi Suatu Pengantar”,Rajawali Press, Jakarta, 1990, hal 333.

Page 3: Perubahan sosial dan dinamika pemerintahan

perubahan sosial merupakan bagian perubahan kebudayaan.2 Perubahan dalam

kebudayaan mencakup semua bagiannya yaitu : kesenian, ilmu pengetahuan,

teknologi, filsafat dan lain sebagainya, bahkan perubahan-perubahan dalam

bentuk serta aturan-aturan organisasi sosial. Sebagai contoh dikemukakannya

perubahan pada logat suku Aria yang terpisah dari induknya. Akan tetapi

perubahan itu tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya.

Ada lima bentuk perubahan sosial, yaitu :3

1. Perubahan evolusioner.

2. Perubahan revolusioner.

3. Perubahan dialektikal.

4. Perubahan dipaksakan

5. Perubahan terkendali.

Sedangkan perubahan bentuk perubahan budaya adalah:

1. Alkulturasi.

2. Asimilasi.

3. Difusi.

4. Sinkretisme.

Dalam konteks pengelolaan lingkungan, masyarakat tradisional lebih

bersandar pada penyesuaian masyarakat pada lingkungannya. Sedangkan

masyarakat modern mengandung lebih banyak unsur yang berkaitan dengan

mengatasi atau merubah kendala lingkungan hidup. Sedangkan faktor-faktor

yang mempengaruhi perubahan dapat dibagi dalam 2 sifat yaitu perubahan

endogenik (perubahan dari dalam), dan perubahan exogenik (dari luar).

Pada umumnya perubahan dari luar akan mempunyai dampak yang lebih

besar, dan lebih banyak berhubungan dengan aspek pembangunan, serta bersifat

revolusioner. Walaupun demikian tidak berarti bahwa perubahan dari dalam

tidak bisa serius. Di dalam suatu masyarakat yang sedang membangun, perlu

terjadi suatu perubahan sosial yang diberi nama modernisasi. Modernisasi dapat

diartikan sebagai penerapan pengetahuan ilmiah yang ada pada semua aktifitas,

semua bidang kehidupan, atau semua aspek-aspek masyarakat.

Untuk mendukung modernisasi perlu suatu tata nilai modern pada

individu, yang mencakup kualitas pribadi dan tersebarnya pengetahuan ilmiah

serta keterampilan teknis. Tata nilai modern pada individu harus melembaga

2 Kingdsley Davis, “Human Society”, Cetakan ke-13, The Macmillan.

3 Selo Soemardjan,”Setangkai Bunga Sosiologi”, Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia, Jakarta, 1964, 486-497.

Page 4: Perubahan sosial dan dinamika pemerintahan

pula pada suatu kelembagaan sosial yang modern. Mana yang menjadi unsur

utama, para akhli masih belum ada kesepakatan.

Sejak terbitnya buku Max Weber "Religious Sociology", perhatian

terhadap adanya hubungan antara keyakinan religius dan perilaku ekonomi

menjadi semakin menarik, baik dalam sejarah ekonomi mapun dalam sosiologi

agama. Karena hubungan tersebut sering dianggap terlalu luas, seringkali

perhatian tersebut kemudian dibatasi kepada keyakinan religius tertentu dan

perilaku ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa adanya hubungan timbal balik

antara struktur sosial dan agama atau sistem keagamaan untuk semua peradaban

selama perjalanan sejarahnya.

Agama, dalam hal ini, tidaklah diartikan sebagai sesuatu yang dengan

keniscayaannya, memiliki kebenaran absolut dan berada dalam ruang dan waktu

transendennya. Akan tetapi, agama diartikan sebagai bentuk pemahaman

manusia terhadap apa yang mereka lihat dalam kitab-kitab suci mereka. Kitab

suci sendiri merupakan wujud awal pendegradasian keniscayaan kebenaran

absolut di atas agar ia dapat ditangkap, dipahami, dan diamalkan oleh mereka

yang mempercayainya dalam batas-batas relativitas yang disebabkan

keterbatasan immanensi mereka.4

Batas-batas relativitas tersebut tampak semakin nyata manakala wujud

agama telah berubah menjadi fenomena sosiologis yang tentu saja lokal dan

temporal. Oleh karena itu, ditemukan banyak kesulitan untuk menjelaskan

pandangan pandangan Weber di atas ketika ia tidak dibatasi oleh waktu dan

tempat tertentu. Hal ini berarti adanya keharusan untuk membatasi fenomena

sosiologis yang hendak dijelaskan tersebut. Dengan demikian, analisis yang

diberikan mesti ditujukan kepada hal-hal yang lebih khusus, seperti unit-unit

sosial yang lebih kecil dan dalam kurun waktu tertentu.

Namun demikian, Durkheim mengatakan bahwa perubahan sosial itu

dimotori oleh kemajuan ilmu dan teknologi serta dasar moralitas yang kuat.

Dasar moralitas bagi anak rabbi Yahudi ini bukannya wahyu, tetapi akal.

Keberatan mendasar Durkheim terhadap wahyu adalah karena ketika

dihadapkan kepada perubahan zaman, ia bersifat prapengalaman. Wahyu telah

dianggap benar sebelum dibuktikan, sebagaimana corak doktrin gereja abad

pertengahan. Baginya, moralitas bukanlah sesuatu yang deduktif, melainkan

4 Wibert E Moore,”Sosial Change”, Utrecth, Antwepen, 1965, hal 10

Page 5: Perubahan sosial dan dinamika pemerintahan

sesuatu yang berangkat dari kenyataan empiris. Dengan kata lain, moralitas

yang ilmiah bercorak pasca pengalaman.5

Dalam konteks ke-Indonesiaan, wahyu dan akal dapat dijadikan landasan

moralitas secara bergandengan dengan ilmu dan teknologi sebagai motor

perubahan sosial. Oleh karena itu, agama akan tetap dirasakan urgensinya,

seperti dikatakan Mukti Ali. Dengan alasan, agama memberikan penghargaan

positif dan kedudukan tinggi bagi akal. Dalam kerangka ilmu sosial, agama

haruslah kembali seperti pada awal kelahirannya dan bersifat profetik dalam arti

menggerakkan perubahan-perubahan masyarakat. Tidak kemudian, seperti

dalam perjalanannya setelah melembaga, agama kemudian menjadi rutinitas

dari sejumlah ritus dan bahkan menjadi kekuatan konservatif, seperti dikatakan

Koentowijoyo. Dalam hal itu, ia menilai, seperti dikatakan Dawam Raharjo,

ilmu-ilmu sosial sekarang sedang mengalami kemandegan. Ilmu-ilmu sosial

akademis maupun ilmu-ilmu sosial kritis sekarang ini fungsinya hanya terbatas

pada memberi penjelasan terhadap gejala-gejala sosial saja. Hal seperti ini

tidaklah cukup. Ilmu-ilmu sosial, di samping menjelaskan juga harus dapat

memberi petunjuk ke arah transformasi. Inilah operasionalisasi konsep amar

ma'ruf nahyi munkar (Ali Imran : 110).6

Ada dua fenomena di antara sejumlah fenomena sosiologis di Indonesia

yang dapat dengan relatif mudah dijadikan contoh diskursus agama dan

perubahan sosial. Contoh pertama adalah lembaga pesantren. Lembaga ini

dipilih karena di dalamnya dipelajari sumber-sumber informasi mengenai

keniscayaan kebenaran absolut (kitab suci, sabda-sabda nabi, dan karya tulis

para ulama sebagai pemegang akses otoritatif terhadap sumber-sumber

tersebut). Dalam hal itu, pesantren adalah sebuah lembaga yang memainkan

peranan penting dalam masyarakat. Hal itu bisa dilihat dari kenyataan bahwa

pesantren selalu dijadikan contoh dan panutan dalam segala hal yang dilakukan

atau dianjurkan untuk dilaksanakan oleh masyarakat.

Seperti dikatakan Abdurrahman Wahid, pesantren juga berperan sebagai

pembimbing spiritual masyarakat, dalam arti adanya sejumlah anggota

masyarakat yang datang ke pesantren dengan maksud menanyakan masalah

yang sedang dihadapinya, seperti dalam soal-soal perdata-agama; masalah-

masalah keluarga, seperti hukum perkawinan, waris, dan wakaf, seringkali

5 Robert A Dahl,”Modern Political Analysis”,New Jersey, Prientice Hall, 1965, hal 150.

6 Koentowijoyo,”Masyarakat Desa di Indonesia Dewasa Ini”,Yayasan Badan Penerbit Fakultas

Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1964, hal 412.

Page 6: Perubahan sosial dan dinamika pemerintahan

diajukan masyarakat kepada pesantren untuk diketahui bagaimana status

hukumnya. Bahkan, masalah yang lebih dari itu pun bisa saja diajukan ke

pesantren. Seperti ketika menghadapi pemilu beberapa waktu yang lalu, meski

dilakukan dengan berbisik-bisik, ada sekelompok masyarakat yang bertanya

mulai dari apakah harus ikut berpartisipasi dalam pemilu atau tidak, sampai

kepada partai apa yang harus dipilih (atau partai apa yang didukung pesantren

tersebut).

Hal seperti itu telah menunjukkan cukup terbukanya peluang pesantren

untuk turut serta menciptakan dinamika masyarakat. Artinya, pengaruh

pesantren terhadap masyarakat di sekitarnya yang cukup besar itu, tinggal

dimanfaatkan sebagi-baiknya sehingga bisa saja pesantren berfungsi sebagai

tranformer nilai-nilai ideal pada masyarakat tersebut. Yang pada akhirnya akan

mewujudkan suatu proses dinamisasi sinergis kontinu yang terjadi pada

masyarakat pedesaan itu.

Selanjutnya Gus Dur mengatakan, dalam batas identifikasi sosiologis,

pesantren juga merupakan sebuah subkultur. Hal tersebut dapat dilihat dari

aspek-aspek kehidupan dalam pesantren itu sendiri. Di antara aspek kehidupan

tersebut adalah: eksistensi pesantren sebagai sebuah lembaga kehidupan, meski

pesantren berada di tengah masyarakat, sedikit banyak berbeda dari pola

kehidupan masyarakat pada umumnya; terdapatnya sejumlah penunjang yang

menjadi tulang punggung kehidupan pesantren; berlangsungnya proses tata nilai

yang tersendiri dalam pesantren lengkap dengan simbol-simbolnya, adanya

daya tarik ke luar sehingga memungkinkan masyarakat sekitarnya menganggap

pesantren sebagai alternatif ideal bagi sikap hidup masyarakat itu; dan

berkembangnya suatu proses pengaruh mempengaruhi antara pesantren dan

masyarakat di sekitarnya yang akan berkulminasi pada pembentukan nilai-nilai

baru yang secara universal dapat diterima kedua belah pihak.7

Demikian halnya pesantren dipandang sebagai sebuah subkultur karena di

dalamnya telah terdapat realitas subkultur yang apabila disederhanakan, dapat

terlihat sebagai mana berikut ini: pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti;

cara hidup yang dianut, dan hierarki kekuasaan intern tersendiri yang ditaati

sepenuhnya. Dari uraian tersebut, paling tidak, terdapat dua hal yang menarik

untuk di tempatkan dalam kerangka diskursus agama dan perubahan sosial.

7 Kompas, 15 Januari 1999.

Page 7: Perubahan sosial dan dinamika pemerintahan

Pertama : Pesantren adalah sebuah lembaga yang dapat berfungsi sebagai media

untuk memunculkan dinamika masyarakat yang ada di sekitarnya. Hal

ini terlihat dari aspek-aspek kehidupan subkultur di atas. Hal inilah

yang kemudian melandasi pemikiran bahwa harus adanya

refungsionalisasi pesantren dari hanya sekadar lembaga pendidikan

agama menjadi salah satu pusat penting pembangunan masyarakat

secara keseluruhan. Dengan posisi dan kedudukannya yang khas

inilah, menurut Azyumardi Azra, pesantren diharapkan menjadi suatu

alternatif model pembangunan pada skala yang lebih besar yang

berpusat pada masyarakat itu sendiri (people centered developmentt)

karena pesantren berada di tengah masyarakat dan sekaligus sebagai

pusat pengembangan pembangunan masyarakat yang berorientasi pada

nilai (value oriented development).8

Kedua : Dari realitasnya sebagai sebuah subkultur, mekanisme kehidupan

pesantren sebetulnya terletak pada pimpinannya yang kemudian

terlihat pada pandangan dan cara hidup yang bersumber pada nilai-

nilai yang terdapat pada pesantren itu. Di lain pihak, pimpinan

pesantren itu pun seringkali memiliki karisma yang begitu besar di

mata masyarakat. Dengan demikian, dua hal itu bisa diformulasikan

dalam wujud sinergi-sosiologis untuk melahirkan dinamika

masyarakat yang berada di sekitar pesentren tersebut dengan nilai-nilai

kehidupan ideal yang menjadi titik awal pembentukannya.

Kemudian lainnya adalah optimalisasi pendayagunaan ZIS (zakat, infak,

dan sadaqah). Masalah ini didasarkan pada pemikiran bahwa pemberdayaan

masyarakat pada hakikatnya merupakan usaha mendorong masyarakat

miskin/masyarakat prasejahtera menjadi masyarakat sejahtera. Di Jawa Barat,

juga di provinsi lain di Indonesia, masyarakat miskin pada umumnya adalah

penduduk daerah pedesaan. Namun demikian, di daerah perkotaan pun dewasa

ini sering ditemukan lokasi atau wilayah dengan kelompok masyarakat miskin

ditemukan. Persoalan anak jalanan, tuna wisma, dan fenomena sosiologis

lainnya, telah menjadi bagian potret masyarakat perkotaan. Hal ini berarti,

persoalan kemiskinan masyarakat telah menjadi persoalan regional, bahkan

nasional karena sebarannya tampak merata, mulai dari pedesaan hingga

perkotaan.

8 Kompas, 22 Agustus 1999

Page 8: Perubahan sosial dan dinamika pemerintahan

Jika jumlah penduduk di Jawa Barat tahun ini diperkirakan sekitar 50 juta

jiwa, sementara dilaporkan bahwa hingga tahun 1990 jumlah penduduk miskin

di provinsi ini adalah 4.786.478 jiwa dan dengan adalnya krismon jumlah ini

dipastikan bertambah, diperkirakan lebih dari 10 % penduduk Jawa Barat hidup

dalam keadaan miskin. Sementara dari jumlah tersebut juga dilaporkan bahwa

98%-nya adalah beragama Islam sehingga persoalan kemiskinan di Jawa Barat

ini adalah persoalan ummat Islam.

Islam, dengan ajarannya yang universal, telah menawarkan solusi untuk

memecahkan masalah tersebut. Zakat, infak, sadaqah, dan term-term

sosioreligius lainnya adalah wujud solusi tersebut, yang dipadukan dengan

semangat-semangat keagamaan lainnya secara historis telah berhasil mengubah

kehidupan masyarakat Arab pada masa awal Islam yang pada umumnya mereka

hidup di bawah garis kemiskinan. Jika semangat religiohistoris tersebut ditarik

ke dalam kehidupan masa kini, tidaklah mustahil, zakat, infak, dan sadaqah itu

akan menjadi problem solver yang efektif.

Dengan asumsi bahwa validitas laporan angka-angka tersebut dapat

dipertanggungjawabkan, maka terdapat tiga puluh juta jiwa lebih muzakki-fitrah

per tahun dan dengan perhitungan satu kepala keluarga sama dengan lima jiwa,

maka terdapat enam juta keluarga muzakki nonfitrah. Jika ditambah dengan

infak, sadaqah, dan aksi-aksi religio-expenditure lainnya, potensi agama sebagai

problem solver semakin tampak terlihat. Untuk zakat fitrah saja, perkiraan

angka yang bisa diperoleh adalah (misalnya) 30.000.000 jiwa x Rp 6000,00 =

Rp 180.000.000.000,00. Persoalannya sekarang, di samping mekanisme

pengumpulannya yang terletak pada upaya optimalisasi pengelolaannya,

langkah awalnya adalah memformulasikan sistem dan pola penggalian potensi

sumber-sumber zakat, infak, dan sadaqah tersebut.

Di Provinsi Jawa Barat terdapat dua sektor besar di luar zakat fitrah yang

dinilai berpotensi sebagai sumber ZIS, yaitu :9

1. Sektor Ekonomi Langsung.

Yang dimaksud dengan sektor ekonomi langsung, seperti dikatakan

Endang Sortari Ad, adalah sektor-sektor yang berkaitan langsung

dengan perusahaan, perdagangan, dan jasa. Sektor ini meliputi

industri, perhotelan, hiburan, restoran, ekspor impor, kontraktor,

percetakan, penerbitan, swalayan, usaha, perkebunan, perikanan,

9 Ibid.

Page 9: Perubahan sosial dan dinamika pemerintahan

peternakan, konsultan, notaris, travel biro, salon, transportasi,

pergudangan, perbengkelan, perbankan, akuntan, dokter, rumah sakit,

dan lain-lain. Sektor ini berada di bawah tema besar zakat al-tijarah.

2. Sektor Ekonomi Tak Langsung.

Yang dimaksud dengan sektor ini adalah orang-orang yang pendapatan

atau penghasilannya telah mencapai nisab. Sektor ini merupakan

gradasi langsung dari sektor pertama karena yang terlibat langsung

dalam sektor pertama tersebut tentu saja orang-orang atau manusia

yang dikategorikan sebagai salah satu faktor prodroduksinya. Dengan

demikian, sektor ini merupakan akumulasi orang-orang yang terdiri

dari para pengusaha, pegawai (negeri atau swasta), dan lain-lain.

Sektor ini berada di bawah tema besar zakat profesi.

III. Kesimpulan

Sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari, acapkali tidak mudah untuk

menentukan letak garis pemisah antara perubahan sosial dan perubahan budaya.

Karena tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan dan begitu pula

tidak mungkin ada kebudayaan yang terbentuk dalam suatu hubungan sosial

masyarakat. Sehingga secara teoritis dan analisis pemisahan antara pengertian-

pengertian tersebut dapat dirumuskan, namun dalam kehidupan nyata, garis

pemisah tersebut sukar dapat dipertahankan. Yang jelas perubahan sosial dan

perubahan kebudayaan mempunyai satu aspek yang sama yaitu kedua-duanya

bersangkut-paut dengan suatu penerimaan cara-cara baru.

Namun demikian -menurut uraian di atas- paling tidak sampai hari ini.

Kemiskinan yang tampak secara kasat mata, pada satu sisi, merupakan realitas

kehidupan yang harus segera diselesaikan secara serius melalui penanganan

yang komprehensif. Di sisi lain, terlihat sejumlah potensi ZIS yang dianggap

bisa menjadi problem solver alternatif bagi kemiskinan tersebut. Akan tetapi,

potensi ZIS tersebut tampak belum digali secara optimal.

Contoh-contoh di atas adalah sebagian kecil fenomena sosioreligius

yang dapat dilihat eksistensinya pada masyarakat. Contoh-contoh lain dapat

dilihat dan diformulasikan kerangka analisisnya sesuai dengan tempat dan

waktu munculnya fenomena tersebut. Intinya, agama memang memiliki potensi

untuk dijadikan pemecah masalah yang dihadapi masyarakat di samping juga

bertugas untuk menciptakan dinamisasi masyarakat itu sendiri.

Page 10: Perubahan sosial dan dinamika pemerintahan

Dinamisasi masyarakat pada dasarnya mencakup dua buah proses, yaitu

penggalakan kembali nilai-nilai hidup positif yang telah ada di samping

mencakup pula penggantian nilai-nilai lama itu dengan nilai-nilai baru yang

dianggap lebih sempurna (al-muhafazhah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi

al-jadid al-ashlah').

***

Daftar Pustaka

Buku

• Davis, Kingsley, “Human Society”, Cetakan ke-13, The Macmillan.

• Dahl, A, Robert,”Modern Political Analysis”,New Jersey, Prientice Hall,

1965.

• Koentowijoyo,”Masyarakat Desa di Indonesia Dewasa Ini”,Yayasan Badan

Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1964.

• Moore, E, Wibert,”Sosial Change”, Utrecth, Antwepen, 1965.

• Soemardjan, Selo,”Setangkai Bunga Sosiologi”, Yayasan Badan Penerbit

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1964.

• Soekanto, Soerjono, “Sosiologi Suatu Pengantar”, Rajawali Press, Jakarta,

1990.

Surat Kabar

• Kompas, 15 Januari 1999.

• Kompas, 22 Agustus 1999.

Page 11: Perubahan sosial dan dinamika pemerintahan

Tugas Makalah

PERUBAHAN SOSIAL DALAM PERSPEKTIF BUDAYA

(Makalah ini digunakan untuk memenuhi tugas mata kuliah

Perubahan Sosial dan Dinamika Pemerintahan)

Dosen Pengampu : Bambang Eka Cahya W, S.IP, M.Si

Oleh :

Nama : Canang Bagus Prahara Umpu

No. Mhs : 98520164

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKRTA

2003