Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kasus Pencemaran Lingkungan

26
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM KASUS PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP (Studi Kasus Perdagangan Limbah Medis Rumah Sakit Saiful Anwar Malang Oleh Tersangka Daryono, S.K.M, M. Kes Dkk) I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Lingkungan hidup merupakan aset penting bagi terlaksananya proses pembangunan. Dengan posisi lingkungan hidup sebagai reservoir terjadinya berbagai proses ekologi yang merupakan satu kesatuan yang mantap dimana proses tersebut merupakan mata rantai atau siklus penting yang menentukan daya dukung lingkungan hidup terhadap pembangunan. Lingkungan dan pembangunan merupan dua hal yang saling terkait sehingga kajian terhadap permasalahan lingkungan dan pembangunan memiliki sifat interdependensi yang berimplikasi sulitnya memperlakukan permasalahan lingkungan sebagai sektor yang terisolasi dalam dunia tersendiri. Pemanfaatan lingkungan oleh manusia dangan melakukan pengolahan terhadap alam beserta segala isinya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup merupakan salah satu dari dimensi kualitas kehidupan. Kualitas kehidupan tersebut yang menjadi salah satu tolok ukur pembangunan. Dengan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya tersebut, manusia menghasilkan suatu end product, by-product dan waste product. End-product adalah segala sesuatu yang diinginkan oleh manusia untuk dipenuhi sebagai kebutuhan hidupnya, by- product merupakan segala sesuatu yang terjadi dengan

description

Pertanggungjawaba Pidana Korporasi Dalam Perkara Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup dengan Modus Operandi Perdagangan Limbah Medis oleh Oknum Rumah Sakit Saiful Anwar MAlang atas Nama Tersangka Daryono, Dkk.

Transcript of Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kasus Pencemaran Lingkungan

Page 1: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kasus Pencemaran Lingkungan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASIDALAM KASUS PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP

(Studi Kasus Perdagangan Limbah Medis Rumah Sakit Saiful Anwar Malang Oleh Tersangka Daryono, S.K.M, M. Kes Dkk)

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Lingkungan hidup merupakan aset penting bagi terlaksananya proses

pembangunan. Dengan posisi lingkungan hidup sebagai reservoir terjadinya

berbagai proses ekologi yang merupakan satu kesatuan yang mantap dimana

proses tersebut merupakan mata rantai atau siklus penting yang menentukan

daya dukung lingkungan hidup terhadap pembangunan. Lingkungan dan

pembangunan merupan dua hal yang saling terkait sehingga kajian terhadap

permasalahan lingkungan dan pembangunan memiliki sifat interdependensi yang

berimplikasi sulitnya memperlakukan permasalahan lingkungan sebagai sektor

yang terisolasi dalam dunia tersendiri.

Pemanfaatan lingkungan oleh manusia dangan melakukan pengolahan

terhadap alam beserta segala isinya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya. Kebutuhan hidup merupakan salah satu dari dimensi kualitas

kehidupan. Kualitas kehidupan tersebut yang menjadi salah satu tolok ukur

pembangunan. Dengan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh manusia dalam

pemenuhan kebutuhan hidupnya tersebut, manusia menghasilkan suatu end

product, by-product dan waste product. End-product adalah segala sesuatu

yang diinginkan oleh manusia untuk dipenuhi sebagai kebutuhan hidupnya, by-

product merupakan segala sesuatu yang terjadi dengan sendirinya selama

proses pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan waste product adalah sisa

atau limbah yang dihasilkan dari rangkaian pemenuhan kebutuhan hidup

manusia. Seluruh hasil dari proses pemenuhan kebutuhan hidup manusia

tersebut dapat menjadi bahan pencemar terhadap lingkungan hidup manusia.

Oleh karena itu maka proses pembangunan seharusnya didahului oleh

perencanaan dengan analisis tentang manfaat-manfaat yang dapat dicapai dari

pelaksanaan proses pembangunan tersebut. Hal tersebut selaras dengan isu

global saat ini dalam pelaksanaan pembangunan yaitu tentang konsep

pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Menurut Bruntland

dalam Supardi (1994), menyatakan bahwa pembangunan yang berkelanjutan

Page 2: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kasus Pencemaran Lingkungan

didefinisikan sebagai pembangunan untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa

mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi

kebutuhan hidup mereka.

Dalam pemenuhan kebutuhan terhadap kesehatan, masyarakat saat ini tidak

dapat lepas dari keberadaan pusat pelayanan kesehatan publik berupa rumah

sakit. Rumah sakit selain berfungsi sebagai sarana bagi manusia dalam

mendapatkan pelayanan di bidang kesehatan, namun dalam pelaksanaan

berbagai kegiatan fungsionalnya tersebut juga memberikan ekses tersendiri bagi

lingkungan berupa limbah.

Seiring dengan kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang

kedokteran, ada dampak positif yang ditimbulkandi dunia medis berupa

penggunaan peralatan medis yang canggih disukung metode pemeriksaan

secara biokimia untuk melakukan berbagai diagnosa terhadap elemen tubuh

manusia. Namun, dampak negatifnya adalah bahan-bahan berupa zat-zat kimia

atau bahan obat-obatan dan bahan radioaktif (bahan pencemar) yang

digunakan dalam proses medis tersebut terlepas ke alam sekitarnya. Ditambah

lagi konsekuensi rumah sakit sebagai pusat layanan medis selalu bersentuhan

dengan resiko penyebaran sumber penyakit dari para pengguna jasanya dalam

hal ini adalah orang-orang yang menderita penyakit. Oleh karena itu dalam

pelaksanaan operasional kerjanya, rumah sakit selalu harus memilik tatanan

kerja, prosedur kerja tetap dan aturan lainnya yang harus dipatuhi oleh pihak-

pihak yang berkompeten di dalamnya. Tujuan dari semua itu adalah untuk

mencegah terjadinya permasalahan yang diakibatkan aliran bahan-bahan

pencemar dimaksud. Dalam hal ini pemerintah telah memberikan regulasi

khusus yaitu Keputusan Menteri Kesehatan RI No. : 1204/Menkes/SK/X/2004

tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.

Berdasarkan hasil studi oleh negara-negara maju, dinyatakan tentang

bagaimana gawatnya limbah rumah sakit dapat dibayangkan dari berapa jumlah

limbah yang dihasilkan suatu rumah sakit setiap tahunnya. Di Negara maju rata-

rata  3,8 kg limbah per tempat tidur per hari atau sampai 25.000 ton per tahun

(8,11); dan setiap 4 kg limbah rumah sakit maka 1 kg-nya pasti infeksius,

sebagaimana pernyataan yang ditulis Alvim-Ferraz MC, Afonso SA dalam

bukunya Incineration of different types of medical wastes: emission factors for

particulate matter and heavy metals tahun 2003.

2

Page 3: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kasus Pencemaran Lingkungan

Limbah yang dihasilkan dari kegiatan medis di rumah sakit bukan berarti tidak

memiliki nilai ekonomis, limbah medis seperti bekas botol infus, selang infus,

spuit (alat suntik) dan botol obat-obatan tenyata dapat dijadikan sebagai bahan

komoditas, namun tentu saja melalui prosedur-prosedur yang telah ditetapkan

sesuai peraturan yang berlaku. Komersialisasi limbah medis yang hanya

berorientasi terhadap nilai ekonomis tanpa memperhatikan aspek lingkungan

tentunya tidak dapat dibenarkan.

Terungkapnya kasus perdagangan limbah medis yang dilakukan oknum

Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar (RSSA) Malang oleh penyidik Subbag Reskrim

Polwil Malang pada tanggal 11 Desember 2008 sontak menyita perhatian publik

baik lokal Malang maupun nasiona melalui pemberitaan di media massa. Dari

pengungkapan kasus tersebut didapatkan fakta bahwa oknum RSSA yaitu

Daryono, S. K. M. M. Kes selaku Kepala Instalasi Penyehatan Lingkungan (IPL)

RSSA dan stafnya Rudy Sutijo Pramono selaku Koordinator Pengelolaan Limbah

Padat pada IPL RSSA telah melakukan praktek penjualan limbah medis infeksius

RSSA untuk kepentingan pribadinya. Kedua oknum tersebut tidak menjalankan

tanggung jawabnya yang seharusnya untuk melakukan pengelolaan limbah

sesuai prosedur namun justru menyalahgunakan kewenanganannya.

Latar belakang penulis sebagai KBO Reskrim Polresta Malang pada saat

pengungkapan kasus tersebut terlibat dalam proses penyelidikan gabungan

beserta para penyidik Subbag Reskrim Polwil Malang dikarenakan terungkapnya

kasus tersebut berawal dari adanya informasi masyarakat kepada Kapolwil

Malang dan Kapolresta Malang melalui surat tertulis. Namun proses penyidikan

terhadap perkara dimaksud selanjutnya dilakukan oleh penyidik Subbag Reskrim

Polwil Malang.

Fenomena perdagangan limbah medis secara ilegal tersebut menjadi

menarik disebabkan masih jarangnya pengungkapan kasus serupa bahkan di

Polda Jatim pun belum pernah ada kesatuan yang menangani kasus serupa.

Disamping itu, proses penetapan tersangka yang hanya menyentuh Tersangka

Daryono, S. K. M. M. Kes selaku Kepala Instalasi Penyehatan Lingkungan (IPL)

RSSA dan stafnya Rudy Sutijo Pramono selaku Koordinator Pengelolaan Limbah

Padat pada IPL RSSA oleh penyidik Subbag Reskrim Polwil Malang juga

menarik untuk dianalisa mengingat sebenarnya terdapat fakta hukum yang dapat

menjerat Direktur RSSA yang pada saat terjadinya kasus tersebut sedang dijabat

oleh Dr. Pawik Supriadi-saat ini menjabat sebagai Kepala Dinas Kesehatan

3

Page 4: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kasus Pencemaran Lingkungan

Propinsi Jawa Timur-sebagai tersangka pula dalam kasus itu, namun faktanya

tidak demikian dimana justru Dr. Pawik Supriadi seolah tak tersentuh oleh hukum

dengan hanya dijadikan saksi dalam perkara dimaksud. Oleh karena menjadi

daya tarik sendiri bagi penulis untuk menganalisis lebih jauh tentang proses

penyidikan kasus tersebut khususnya dalam hal pembuktiannya sehubungan

dengan dikategorikannya kasus dimaksud sebagai kasus tindak pidana

lingkungan hidup serta lebih jauh lagi terkait dengan pertanggungjawaban pidana

korporasi dalam perkara dimaksud.

2. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, permasalahan yang akan

dibahas dalam penulisan ini adalah ”Bagaimana upaya pembuktian tindak pidana

lingkungan hidup dalam kasus pencemaran lingkungan hidup beserta

pertanggungjawaban pidana korporasinya (dengan studi kasus perdagangan

limbah medis RSSA Malang oleh tersangka Daryono, S.K.M, M. Kes Dkk) ?

3. Persoalan-persoalan

a. Bagaimana proses terjadinya perdagangan limbah medis RSSA oleh

tersangka Daryono, S.K.M, M. Kes Dkk ?

b. Bagaimana ketentuan normatif berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku tentang pengelolaan limbah medis rumah sakit ?

c. Bagaimana upaya penyidik Subbag Reskrim Polwil Malang dalam melakukan

pembuktian kasus perdagangan limbah medis RSSA ?

d. Bagaimana penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam kasus

perdagangan limbah medis RSSA oleh tersangka Daryono, S.K.M, M. Kes

Dkk ?

II. PEMBAHASAN

1. Posisi Kasus Tersangka Daryono, S.K.M, M. Kes Dkk

Penyidik gabungan Subbag Reskrim Polwil Malang dan Sat Reskrim Polwil

Malang mulai melakukan penyelidikan terhadap dugaan kasus perdagangan

limbah medis RSSA sejak tanggal 15 September 2008 berdasarkan laporan

masyarakat melalui surat a.n. SUPENO (anonim) kepada Kapolwil Malang dan

Kapolresta Malang. Setelah melakukan proses obsevasi sasaran penyelidikan,

penyidik melakukan undercover buy limbah medis kepada tersangka Daryono

dan Rudy. Dalam undercover buy tersebut, penyidik berhasil membeli limbah

medis berupa : 1) 57,5 kg botol infus dengan harga Rp. 9000,- per kg; 2)

50 kg botol obat-obatan dengan harga Rp. 400,- per kg; 3) 60 kg selang

4

Page 5: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kasus Pencemaran Lingkungan

infus dengan harga 2000,- per kg; dan 4) 29 kg spuit tanpa jarum

dengan harga 5.500,- per kg. Limbah medis berupa botol infus, selang

infus dan spuit tersebut sebelum dijual kepada para pembelinya, hanya

dibersihkan dengan cara merendamnya ke dalam larutan air dengan

kaporit selama kurang lebih tiga menit, sedangkan limbah medis berupa

botol obat-obatan tidak dibersihkan sama sekali.

Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut, selanjutnya penyidik Subbag

Reskrim Polwill Malang meningkatkan status penanganan kasus

dimaksud ke tahap penyidikan dengan tersangka utama Daryono dan

Rudy. Pasal yang dipersangkakan dalam perkara dimaksud adalah pasal

43 ayat (1) UU RI No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup (UUPLH), yaitu “Barang siapa yang dengan melanggar ketentuan

perundang-undangan yang berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat,

energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas

atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan

impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut,

menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat

beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan

pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan

kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara

paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga

ratus juta rupiah)”.

Terhadap limbah medis yang berhasil dibeli saat undercover buy tersebut,

telah dilakukan penyitaan dan dilakukan pemeriksaan di Labfor Polri Cabang

Surabaya dengan hasil yang menyatakan bahwa limbah medis RSSA

tersebut termasuk dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun

(B3) sebagaimana ketentuan PP RI No. 85 tahun 1999 tentang Perubahan

atas PP RI No. 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3. Barang bukti

lain yang disita penyidik adalah : 1) 1 lembar daftar penjualan sampah daur

ulang di TPS dan Insinerator RSSA; dan 2) 1 lembar Surat Keterangan Angkut

Barang Bekas RSSA. Disamping itu, Tersangka Daryono menerangkan kepada

penyidik bahwa perbuatannya memperdagangkan limbah dimaksud dilakukan

atas perintah lesan Dr. Pawik Supriadi bahkan sebagian uang hasil penjualan

limbah tersebut juga masuk ke “kantong pribadi” Dr. Pawik Supriadi, namun

hingga kini Dr. Supriadi belum pernah dilakukan pemeriksaan sebagai

5

Page 6: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kasus Pencemaran Lingkungan

tersangka oleh penyidik Subbag Reskrim Polwil Malang. Tahap penyidikan

perkara dimaksud sampai dengan saat ini yaitu bahwa perkara dimaksud

sudah dinyatakan lengkap hasil penyidikannya oleh JPU Kejari Malang dan

terhadap Tersangka Daryono dan Rudy beserta barang buktinya telah

dilakukan penyerahan oleh penyidik Subbag Reskrim Polwil Malang kepada

JPU Kejari Kota Malang.

Berdasarkan hasil wawancara tertutup penulis dengan salah satu penyidik

perkara dimaksud, didapatkan fakta bahwa tidak dilakukannya pemeriksaan Dr.

Pawik Supriadi tersebut dikarenakan adanya beberapa alasan sebagai berikut :

a. Sebenarnya terhadap Dr. Pawik Supriadi telah ditetapkan sebagai

tersangka dalam perkara dimaksud dan telah dilakukan pemanggilan

sebagai tersangka, namun dikarenakan Dr. Pawik Supriadi “menghadap”

kepada salah satu atasan penyidik tersebut dan selanjutnya atasan

penyidik tersebut memerintahkan kepada penyidik untuk tidak melakukan

pemeriksaan terhadap Dr. Pawik Supriadi sebagai tersangka dalam

perkara dimaksud melainkan sebagai saksi. Penetapan status tersangka

kepada Dr. Pawik dimaksud hanya sebatas pemahaman penyidik tentang

pertanggungjawaban pidana secara perseorangan.

b. Alat bukti yang dimiliki penyidik untuk menjerat Dr. Pawik Supriadi sebagai

tersangka hanya berupa keterangan tersangka, yaitu keterangan

Tersangka Daryono.

b. Penyidik tidak memahami tentang pertanggungjawaban pidana korporasi

dalam perkara tindak pidana pencemaran lingkungan hidup.

2. Ketentuan Pengelolaan Limbah Medis

Ketentuan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur secara

khusus tentang pengelolaan limbah medis rumah sakit adalah Keputusan

Menteri Kesehatan RI No. : 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan

Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Dalam poin IV. A peraturan dimaksud,

dijelaskan tentang definisi dan kategorisasi tentang limbah rumah sakit secara

umum dan spesifik. Limbah rumah sakit didefinisikan sebagai semua limbah

yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit dalam bentuk padat, cair, dan gas,

yang secara lebih lanjut diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Limbah padat rumah sakit adalah semua limbah rumah sakit yang

berbentuk padat sebagai akibat kegiatan rumah sakit yang terdiri dari

limbah medis padat dan non-medis.

6

Page 7: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kasus Pencemaran Lingkungan

b. Limbah medis padat adalah limbah padat yang terdiri dari limbah

infeksius, limbah patologi, limbah benda tajam, limbah farmasi, limbah

sitotoksis, limbah kimiawi, limbah radioaktif, limbah kontainer bertekanan,

dan limbah dengan kandungan logam berat yang tinggi.

c. Limbah padat non-medis adalah limbah padat yang dihasilkan dari

kegiatan di rumah sakit di luar medis yang berasal dari dapur, perkantoran,

taman, dan halaman yang dapat dimanfaatkan kembali apabila ada

teknologinya.

d. Limbah cair adalah semua air buangan termasuk tinja yang berasal dari

kegiatan rumah sakit yang kemungkinan mengandung mikroorganisme,

bahan kimia beracun dan radioaktif yang berbahaya bagi kesehatan.

e. Limbah gas adalah semua limbah yang berbentuk gas yang berasal dari

kegiatan pembakaran di rumah sakit seperti insinerator, dapur,

perlengkapan generator, anastesi, dan pembuatan obat citotoksik.

f. Limbah infeksius adalah limbah yang terkontaminasi organisme patogen

yang tidak secara rutin ada di lingkungan dan organisme tersebut dalam

jumlah dan virulensi yang cukup untuk menularkan penyakit pada manusia

rentan.

g. Limbah sangat infeksius adalah limbah berasal dari pembiakan dan stock

bahan sangat infeksius, otopsi, organ binatang percobaan dan bahan lain

yang telah diinokulasi, terinfeksi atau kontak dengan bahan yang sangat

infeksius.

h. Limbah sitotoksis adalah limbah dari bahan yang terkontaminasi dari

persiapan dan pemberian obat sitotoksis untuk kemoterapi kanker yang

mempunyai kemampuan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan

sel hidup.

Berdasarkan keterangan ahli di bidang kesehatan dari Dinas Kesehatan

Kota Malang dan ahli di bidang lingkungan hidup dari Bapedal Kota Malang

yang diperiksa oleh penyidik didapatkan fakta bahwa limbah RSSA yang

diperdagangkan oleh tersangka Daryono dan Rudy termasuk dalam kategori

limbah medis padat yang bersifat infeksius dan patologis dikuatkan lagi dengan

hasil pemeriksaan Labfor bahwa limbah dimaksud termasuk dalam kategori B3.

Berdasarkan ketentuan Menteri Kesehatan tersebut, limbah medis RSSA

yang sebagaimana yang diperdagangkan tersangka Daryono dan Rudy

seharusnya dilakukan pengelolaan dengan cara melakukan minimasi limbah

7

Page 8: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kasus Pencemaran Lingkungan

yaitu upaya yang dilakukan rumah sakit untuk mengurangi jumlah limbah yang

dihasilkan dengan cara mengurangi bahan (reduce), menggunakan kembali

limbah (reuse) dan daur ulang limbah (recycle). Namun hal tersebut harus

dilakukan oleh instansi yang yang sudah mendapat ijin dari Menteri Negara

Lingkungan Hidup. Sedangkan dalam kasus ini RSSA bukan termasuk instansi

dimaksud.

Pengelolaan terhadap limbah infeksius dan benda tajam sesuai ketentuan

Menteri Kesehatan dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Limbah yang sangat infeksius seperti biakan dan persediaan agen

infeksius dari laboratorium harus disterilisasi dengan pengolahan panas dan

basah seperti dalam autoclave sedini mungkin. Untuk limbah infeksius

yang lain cukup dengan cara disinfeksi.

b. Benda tajam harus diolah dengan insinerator bila memungkinkan, dan

dapat diolah bersama dengan limbah infeksius lainnya. Kapsulisasi juga

cocok untuk benda tajam.

c. Setelah insinerasi atau disinfeksi, residunya dapat dibuang ke tempat

pembuangan B3 atau dibuang ke landfill jika residunya sudah aman.

3. Pembuktian Kasus Perdagangan Limbah Medis RSSA

Teknis pembuktian yang dilakukan oleh penyidik Subbag Reskrim Polwil

Malang dalam penyidikan kasus perdagangan limbah medis RSSA mengacu

pada ketentuan sistem pembuktian yang dianut KUHAP, yaitu harus

terpenuhinya minimum dua alat bukti yang sah guna membuktikan kesalahan

seorang terdakwa (prinsip batas minimum pembuktian) yang secara implisit

disebutkan dalam pasal 183 KUHAP.

Dalam perkara tindak pidana terdapat beberapa aspek yang harus

diperhatikan guna menentukan indikasi terjadinya peristiwa yang dikategorikan

sebagai pencemaran atau perusakan lingkungan hidup maupun yang

membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, yaitu : aspek

kejadian atau prosesnya, aspek penyebab atau pelakunya dan aspek

akibatnya.

Berdasarkan sistem pembuktian menurut KUHAP dan dengan

memperhatikan aspek-aspek indikasi tindak pidana lingkungan hidup, maka

langkah-langkah yang telah ditempuh oleh penyidik Subbag Reskrim dalam

pembuktian perkara dimaksud dilakukan sesuai dengan teknis dan taktis

8

Page 9: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kasus Pencemaran Lingkungan

penyidikan fungsi Reskrim Polri yang disesuaikan dengan karakteristik tindak

pidana lingkungan hidup itu sendiri, yaitu sebagai berikut :

a. Tahap Penyidikan (Pra Penyidikan-Penyidikan-Pasca Penyidikan)

Pada tahap ini penyidik telah melakukannya dengan maksimal mulai proses

observasi, undercover buy sampai dengan penindakan (upaya paksa).

Sehingga taraf penyelidikan dapat ditingkatkan ke taraf penyidikan.

Pemeriksaan terhadap para saksi, ahli dan tersangka serta didukung

dengan hasil pemeriksaan Labfor terhadap barang bukti secara

keseluruhan membentuk keterkaitan yang menjadikan perkara dimaksud

cukup bukti memenuhi unsur-unsur dalam pasal yang dipersangkakan,

yaitu pasal 43 ayat (1) UUPLH.

b. Proses Pengumpulan Alat Bukti dan Barang Bukti

1) The Prime Facie & ABIDI BASIAKMO

Pada proses ini penyidik telah mendapatkan fakta-fakta yang lengkap

dan kuat yang kemudian dituangkan dalam berkas perkara tersangka

Daryono dan Rudy. Proses Pulbaket (pengumpulan bahan-bahan

keterangan) juga dilakukan sesuai teknis penyelidikan yang

profesional melalui observasi selama kurang lebih tiga bulan sampai

dengan pelaksaan undercover buy, sehingga lengkaplah informasi

tentang fakta-fakta yang diperoleh penyidik, yaitu : kasus apa yang

sedang terjadi (A=Apa) adalah tindak pidana lingkungan hidup;

tempus delictie (BI=Bilamana) adalah sejak tahun 2004 sampai

dengan terungkapnya kasus tersebut; locus delictie (DI=Dimana)

adalah di RSSA Malang; modus operandi (BA=Bagaimana) dengan

cara memperdagangkan limbah medis infeksius; tersangka pelaku

tindak pidana (SI=Siapa) adalah Daryono dan Rudy; akibat dan korban

(AK=Akibat dan Korban) dalam hal ini terkait pasal 43 ayat (1)

termasuk kategori delik formil maka belum terjadi akibat dan belum

ada korban; dan motif tersangka melakukan tindak pidana (MO=Motif)

adalah untuk mendapatkan keuntungan materi secara pribadi.

2) Penentuan Alat-Alat Bukti dan Barang Bukti yang Relevan

Alat-alat bukti yang didapat oleh penyidik untuk digunakan dalam

pembuktian di persidangan (vide pasal 184 ayat (1) KUHAP) berupa

keterangan saksi sebanyak 4 orang, keterangan ahli sebanyak 2

orang, alat bukti surat berupa 1 lembar daftar penjualan sampah daur

9

Page 10: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kasus Pencemaran Lingkungan

ulang di TPS dan Insinerator RSSA dan 1 lembar Surat Keterangan

Angkut Barang Bekas RSSA serta surat hasil pemeriksaan barang

bukti oleh Labfor Polri, alat bukti petunjuk berupa kesesuain

keterangan para saksi dengan tersangka serta alat bukti terdakwa

yang pada tahap penyidikan adalah keterangan tersangka Daryono

dan Rudy.

Sedangkan barang bukti yang didapat telah memiliki relevansi

terhadap perkara yang sedang dilakukan penyidikan.

3) The Chain of Custody (The Continous of Evidence Sampling)

Pada proses ini telah dilakukan kegiatan penanganan barang bukti

sesuai dengan prosedur yang berlaku mulai proses olah TKP,

penyitaan, pengambilan sampel untuk pemeriksaan Labfor,

pembungkusan/penyegelan dan penyimpanan barang bukti yang

keseluruhannya tertuang dalam Berita Acara “pro justitia”. Sehingga

mata rantai proses penanganan barang bukti dapat dijamin kualitasnya

dalam proses pembuktian kasus dimaksud.

Dengan bukti-bukti yang telah diupayakan secara maksimal oleh penyidik

dalam kasus perdagangan limbah medis tersebut, diharapkan tidak terjadi

kendala dalam proses pembuktiannya di dalam persidangan nantinya. Namun

tetap perlu diwaspadai terhadap karakteristik tindak pidana lingkungan hidup

terkait dengan proses penyimpan barang bukti oleh penyidik mengingat bahan

pencemar (pollutant) berupa zat-zat kimia maupun bahan radioaktif serta

material infeksius berupa kuman, bakteri, jamur bahkan virus yang terkandung

dalam barang bukti memiliki resiko cepat berubah bahkan cepat hilang

ditambah adanya resiko sumber penyakit yang mungkin menyebar dari barang

bukti dimaksud sehingga memerlukan penanganan secara khusus dan tepat.

4. Analisis Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Berdasarkan analisis penulis terhadap posisi kasus dimaksud, maka

penulis berpendapat bahwa dalam perkara dimaksud telah terjadi tindak pidana

korporasi, sehingga terhadap Dr. Pawik Supriadi selaku Direktur RSSA Malang

saat itu (saat ini menjabat sebagai Kadinkes Provinsi Jatim) maupun RSSA

Malang (badan usaha milik Pemprov Jatim) sendiri dalam kapasitas keduanya

sebagai satu kesatuan korporasi seharusnya dapat dikenai

pertanggungjawaban pidana korporasi. Adanya pertanggungjawaban pidana

korporasi dimaksud juga bermanfaat dalam menutupi kelemahan alat bukti

10

Page 11: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kasus Pencemaran Lingkungan

yang dimiliki penyidik untuk menjerat Dr. Pawik Supriadi sebagai tersangka

dalam perkara dimaksud dalam rangka mempertanggungjawabkan pidana

secara perseorangan dikarenakan alat bukti yang ada hanya berupa

keterangan Tersangka Daryono. Selanjutnya penulis akan menguraikan

analisis pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara dimaksud

berdasarkan UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

(UUPLH) dan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup (UUPPLH). Analisis berdasarkan UUPLH dimaksudkan

dengan pertimbangan bahwa analisis tersebut seyogyanya dapat digunakan

ketika masih berlakuknya UUPLH dimaksud khususnya saat pelaksanaan

penyidikan perkara dimaksud oleh penyidik Subbag Reskrim Polwil Malang

(bukan saat ini karena UUPLH sudah tidak berlaku mengingat adanya azas

Lex posteriori derogat Lex inferiori). Sedangkan analisis berdasarkan UUPPLH

dimaksudkan manakala penyidik Subbag Reskrim Polwil Malang hendak

melakukan penyidikan lanjutan terhadap perkara dimaksud dengan melakukan

splitsing terhadap berkas perkara Dr. Pawik Supriadi dalam posisi sebagai

tersangka dalam suatu kerangka pertanggungjawaban pidana korporasi atas

perkara dimaksud maupun sebagai analisis terhadap pembebanan

pertanggungjawaban pidana korporasi bagi RSSA Malang serta bagi

Tersangka Daryono dan Rudy pada saat penuntutan dan penjatuhan vonis

oleh hakim PN Malang-dikarenakan saat terjadinya pengadilan perkara

dimaksud sudah berlaku UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup. Analisis penerapan pertanggungjawaban

korporasi dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam UU No. 23

Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) dapat

dianalisis sebagai berikut :

1) Dalam pasal 1 butir ke-24 UUPLH dinyatakan bahwa “Orang adalah

orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan

hukum”. Hal tersebut berarti bahwa terdapat ketentuan yang

menyatakan bahwa UUPLH menganut pendirian bahwa yang

menjadi subyek atau pelaku tindak pidana bukan hanya orang

perseorangan dan/atau kelompok orang (manusia atau natural

person), namun juga termasuk badan hukum (legal person). Artinya,

posisi Dr. Pawik Supriadi dapat dijadikan tersangka, baik dalam

11

Page 12: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kasus Pencemaran Lingkungan

kapasitas perorangan maupun kelompok orang, yaitu bersama

dengan Tersangka Daryono dan Rudy. Kapasitas Dr. Pawik Supriadi

bersama dengan Tersangka Daryono dan Rudy sebagai kelompok

orang termasuk dalam pengertian korporasi dalam hukum pidana

sebagaimana pendapat Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH, MH

dalam bukunya “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, 2007, hal.

45.

2) Dalam pasal 45 UUPLH dinyatakan bahwa “Jika tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama

suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau

organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan

sepertiga”. Menurut pendapat penulis, posisi RSSA Malang dapat

dikategorikan termasuk dalam pengertian “organisasi lain”. Alat bukti

yang dapat digunakan untuk membuktikan bahwa tindak pidana yang

dilakukan oleh Tersangka Daryono, Tersangka Rudy dan Dr. Pawik

Supriadi adalah atas nama organisasi, dalam hal ini RSSA Malang,

yaitu : 1 lembar daftar penjualan sampah daur ulang di TPS dan

Insinerator RSSA; dan 2) 1 lembar Surat Keterangan Angkut Barang

Bekas RSSA. Alat bukti dimaksud membuktikan bahwa dalam

melakukan tindak pidana tersebut, para pelaku telah menggunakan

fasilitas RSSA Malang sehingga dengan kata lain pelaku bertindak

atas nama RSSA Malang dalam melakukan tindak pidana tersebut.

Fakta tersebut berarti bahwa benar telah terjadi tindak pidana

korporasi dalam perkara dimaksud.

3) Dalam pasal 46 ayat (2) UUPLH dinyatakan bahwa “Jika tindak

pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau

atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau

organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar

hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak

dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan

atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana

dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang

bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang

tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan

lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama”.

12

Page 13: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kasus Pencemaran Lingkungan

Pasal ini mempertegas bahwa posisi Dr. Pawik Supriadi sangat layak

dijadikan tersangka dalam perkara dimaksud karena adanya fakta-

fakta yang memenuhi unsur-unsur dalam pasal dimaksud, khususnya

posisi Dr. Pawik Supriadi baik selaku yang memberi perintah untuk

melakukan tindak pidana dimaksud ataupun sebagai pemimpin dari

Tersangka Daryono dan Rudy.

4) Bagian terpenting dalam analisis pertanggungjawaban pidana

korporasi berdasarkan UUPLH yaitu terkait dengan penerapan

doctrine of strict liability (ajaran tanggung jawab mutlak)

sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 35 UUPLH, yaitu :

a) Pasal 35 Ayat (1) UUPLH : “Penanggung jawab usaha dan/atau

kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak

besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang

menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau

menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun,

bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang

ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara

langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran

dan/atau perusakan lingkungan hidup”. Berdasarkan ketentuan

pasal 35 ayat (1) UUPLH tersebut, maka Tersangka Daryono

dan Rudy serta Dr. Pawik Supriadi, dalam kapasitas sebagai

kelompok orang (korporasi) dapat dibebani

pertanggungjawaban secara mutlak atas perbuatan yang telah

dilakukannya (actus reus) dengan dikuatkan adanya alat bukti

keterangan ahli di bidang kesehatan dari Dinas Kesehatan Kota

Malang dan ahli di bidang lingkungan hidup dari Bapedal Kota

Malang yang diperiksa oleh penyidik Subbag Reskrim Polwil

Malang yang menyatakan bahwa limbah RSSA yang

diperdagangkan oleh tersangka Daryono dan Rudy termasuk

dalam kategori limbah medis padat yang bersifat infeksius dan

patologis serta dikuatkan lagi dengan hasil pemeriksaan Labfor

bahwa limbah dimaksud termasuk dalam kategori B3.

Disamping itu, posisi RSSA Malang selaku subyek atau pelaku

tindak pidana dimaksud juga turut dikenai pertanggungjawaban

secara mutlak karena termasuk dalam pengertian “kegiatan

13

Page 14: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kasus Pencemaran Lingkungan

usaha” dalam pasal 35 ayat (1) UUPLH tersebut. Besaran ganti

rugi tergantung dari pasal yang dipersangkakan serta

berdasarkan vonis hakim.

b) Pasal 35 ayat (2) UUPLH : “Penanggung jawab usaha dan/atau

kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan

dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan

lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini: a.

adanya bencana alam atau peperangan; atau b. adanya

keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau c. adanya

tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya

pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.”. Dalam

perkara dimaksud tidak terdapat fakta-fakta yang termasuk

dalam kategori unsur pasal 35 ayat (2) UUPLH tersebut

sehingga tidak ada “alasan pemaaf” bagi Tersangka Daryono,

Tersangka Rudy maupun Dr. Pawik Supriadi serta RSSA

Malang dalam melakukan perbuatan pidana pada perkara

dimaksud.

c) Pasal 35 ayat (3) UUPLH : “Dalam hal terjadi kerugian yang

disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) huruf c, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti

rugi.”. Dalam perkara dimaksud, kerugian bukan disebabkan

pihak ketiga, justru disebabkan oleh pihak kesatu yaitu Dr.

Pawik Supriadi selaku yang memberi perintah dan pihak kedua

yaitu Tersangka Daryono dan Tersangka Rudy selaku yang

diberi perintah.

5) Berdasarkan analisis pasal 1 butir ke-24, pasal 35, pasal 45 dan

pasal 46 ayat (2) UUPLH tersebut diatas, maka penulis berpendapat

bahwa terhadap Dr. Pawik Supriadi maupun RSSA Malang dalam

kapasitas pertanggung jawaban pidana korporasi atas perkara

dimaksud dapat ditetapkan statusnya sebagai tersangka / pelaku

tindak pidana dengan penerapan pasal 43 ayat (1) UU RI No. 23

tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH).

14

Page 15: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kasus Pencemaran Lingkungan

b) Penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam UU No. 32

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

(UUPPLH) dapat dianalisis sebagai berikut :

1) Dalam pasal 1 butir ke-32 UUPPLH dinyatakan bahwa “Setiap orang

adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan

hukum maupun yang tidak berbadan hukum”. Hal tersebut berarti

bahwa terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa UUPPLH

menganut pendirian bahwa yang menjadi subyek atau pelaku tindak

pidana bukan hanya orang perseorangan (manusia atau natural

person), namun juga termasuk badan usaha, baik yang berbentuk

badan hukum maupun tidak berbadan hukum (legal person). Artinya,

menurut ketentuan tersebut, disamping posisi Dr. Pawik Supriadi

dapat dijadikan tersangka dalam kapasitas orang perseorangan

sebagaimana Tersangka Daryono dan Rudy, posisi RSSA Malang

juga dapat dijadikan sebagai subyek atau pelaku tindak pidana pada

perkara dimaksud dalam kerangka pertanggungjawaban pidana

korporasi karena RSSA Malang termasuk dalam kategori badan

usaha yang bentuknya tidak berbadan hukum.

2) Dalam pasal 88 UUPPLH dinyatakan bahwa “Setiap orang yang

tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,

menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang

menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup

bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu

pembuktian unsur kesalahan.”. Berdasarkan ketentuan pasal

tersebut berarti bahwa UUPPLH menganut doctrine of strict liability

sehingga terhadap Tersangka Daryono, Tersangka Rudy, Dr. Pawik

Supriadi, baik dalam kapasitas orang perseorangan maupun sebagai

korporasi serta RSSA Malang sendiri yang juga sebagai korporasi

dapat secara mutlak dibebani pertanggungjawaban pidana

berdasarkan actus reus yang terbukti dari fakta-fakta hasil penyidikan

bahwa telah terjadi tindak pidana pencemaran lingkungan hidup

yang diakibatkan oleh perbuatan para pihak tersebut dalam

memperdagangkan limbah medis RSSA Malang. Sehingga dengan

berdasarkan pasal tersebut, unsur mens rea tidak perlu dibuktikan

lagi.

15

Page 16: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kasus Pencemaran Lingkungan

3) Dalam pasal 116 UUPPLH dinyatakan bahwa :

a) Ayat (1) : “Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan

oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan

sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. badan usaha; dan/atau b.

orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana

tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan

dalam tindak pidana tersebut.”.

b) Ayat (2) : ”Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang

berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain

yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana

dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam

tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana

tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.”.

Ketentuan pasal 116 UUPPLH dimaksud adalah terkait tentang

sistem pertanggungjawaban pidana korporasi yang dianut dalam

UUPLH yaitu memberlakukan pertanggungjawaban pidana korporasi,

baik terhadap pengurus maupun korporasi itu sendiri dimana

keduanya dianggap sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula

yang harus memikul pertanggungjawaban pidana (Prof. Dr. Sutan

Remy Sjahdeini, SH, MH, dalam Pertanggungjawaban Pidana

Korporasi, 2007, hal. 59). Dalam perkara dimaksud berarti baik

terhadap Tersangka Daryono, Tersangka Rudy, Dr. Pawik Supriadi

dan RSSA Malang termasuk dalam kategori sebagai pelaku tindak

pidana dimaksud.

4) Dalam pasal 117 UUPPLH dinyatakan bahwa : “Jika tuntutan pidana

diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman

pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat

dengan sepertiga.”. Pasal ini merupakan ketentuan tentang

persyaratan pemberatan hukuman pidana bagi pihak pemberi

perintah atau pemimpin dalam suatu tindak pidana, artinya dalam hal

ini terhadap Dr. Pawik Supriadi berpotensi dijatuhi pidana lebih berat

sepertiga dari ancaman pidana terhadap Tersangka Daryono

16

Page 17: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kasus Pencemaran Lingkungan

maupun Rudy jika nantinya terhadap Dr. Pawik Supriadi telah

ditetapkan statusnya sebagai tersangka dan diajukan ke pengadilan.

5) Dalam pasal 118 UUPPLH dinyatakan bahwa : “Terhadap tindak

pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a,

sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh

pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan

sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku

fungsional.”. Pasal ini menyatakan tentang teknis sistem

pertanggungjawaban pidana korporasi apabila dijatuhkan kepada

badan usaha tertentu maka sanksi pidana bagi korporasi tersebut

diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili korporasi dimaksud

sehingga dalam perkara perdagangan limbah medis RSSA Malang

tersebut maka Dr. Pawik Supriadi selain dapat dijadikan tersangka

dalam kapasitas perorangan maupun korporasi, juga dapat mewakili

sebagai penerima sanksi pidana bagi RSSA Malang.

6) Berdasarkan analisis pasal 1 butir ke-32 dan pasal 88 UUPPLH,

maka dalam perkara dimaksud dapat diterapkan pasal 103 UUPLH,

yaitu : “Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak

melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan

paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak

Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal tersebut dapat

didakwakan terhadap Daryono dan Rudy pada saat persidangan

mengingat pasal yang dipersangkakan pada tahap penyidikan sudah

tidak berlaku. Demikian juga terhadap Dr. Pawik Supriadi, maka jika

akan dimulai penyidikan lanjutan atas perkara dimaksud, maka dapat

dipersangkakan pasal tersebut, baik dalam kapasitas perorangan

maupun korporasi. Begitu pun juga terhadap RSSA Malang selaku

badan usaha dapat dikenakan pasal tersebut.

III. KESIMPULAN

Tindakan tersangka Daryono dan Rudy yang melakukan perdagangan limbah

medis infeksius RSSA merupakan termasuk dalam kategori tindak pidana

lingkungan hidup sesuai dengan rumusan pasal 43 ayat (1) UUPLH. Dampak dari

perbuatan kedua tersangka tersebut terhadap lingkungan sekitar dan masyarakat

17

Page 18: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kasus Pencemaran Lingkungan

sungguh membahayakan dikarenakan pada limbah medis infeksius terdapat

kandungan kuman, bakteri bahkan virus yang merupakan sumber penyakit yang

membahayakan kesehatan manusia dan mengandung zat-zat kimia maupun bahan

radioaktif yang beresiko merusak lingkungan hidup.

Oleh karena itu diperlukan kontrol dari berbagai pihak yang terkait dalam upaya

pengelolaan limbah rumah sakit. Ketentuan berupa peraturan perundang-udangan

tidak akan berguna atau efektif manakala fungsi kontrol terhadapnya tidak

terlaksana. Dalam hal ini campur tangan pemerintah, masyarakat maupun elemen

Sistem Peradilan Pidana sangat dibutuhkan sehingga tidak terjadi lagi kasus-kasus

perdagangan limbah medis rumah sakit lainnya di kemudian hari.

Polri selaku penegak hukum yang memiliki wewenang penyidikan terhadap

tindak pidana lingkungan hidup harus dijalankan secara maksimal sehingga turut

memberikan sumbangsih dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup. Dalam

menjalankan peran dimaksud perlu diperhatikan tentang karakteristik khusus dari

tindak pidana lingkungan hidup dimana dalam proses pembuktiannya melibatkan

sejumlah barang bukti yang mengandung bahan-bahan kimia dan sejenisnya serta

memerlukan teknis pembuktian yang akurat sehingga para pelaku tindak pidana

lingkungan hidup tidak dapat lolos dari jerat hukum.

Disamping itu, penyidik Polri seharusnya dapat melakukan penyidikan terhadap

suatu perkara secara lebih profesional dengan melakukan penyidikan terhadap

aspek pidana korporasi dalam suatu perkara tindak pidana lingkungan hidup.

Sehingga sebagaimana yang terjadi dalam perkara perdagangan limbah medis

RSSA Malang tersebut, dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana korporasi,

baik terhadap Dr. Pawik Supriadi selaku direktur RSSA Malang maupun terhadap

RSSA Malang sendiri. Pertanggungjawaban pidana secara korporasi tersebut

ditujukan agar pertanggungjawaban pidana tidak hanya dibebankan kepada orang

perseorangan sementara korporasinya sendiri tidak menanggung akibat dari actus

reus yang merugikan tersebut.

Jakarta, 20 Desember 2009Penulis

HANDIK ZUSENNO. MHS. 6877

18