KMK No. 364 ttg Pedoman Penanggulangan Tuberkolosis (TB)_2.pdf
SKRIPSI PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM ...digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital...Fitriani...
Transcript of SKRIPSI PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM ...digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital...Fitriani...
i
SKRIPSI
PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PERUSAHAAN TAMBANG
TERHADAP PENCEMARAN SUMBER AIR UNTUK PERTANIAN
OLEH:
FITRIANI
B111 13 364
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
ii
HALAMAN JUDUL
PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PERUSAHAAN TAMBANG
TERHADAP PENCEMARAN SUMBER AIR UNTUK PERTANIAN
OLEH:
FITRIANI
B111 13 364
SKRIPSI
Sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana
Pada Departemen Hukum Keperdataan Program Studi Ilmu Hukum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
iii
iv
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Diterangkan bahwa skripsi mahasiswa:
Nama : Fitriani
NIM : B111 13 364
Bagian : Hukum Keperdataan
Judul Skripsi : Pertanggungjawaban Hukum Perusahaan Tambang
Terhadap Pencemaran Sumber Air Untuk Pertanian
Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi pada
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Makassar, Februari 2018
Disetujui oleh,
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H. Dr. Harustiati A. Moein, S.H., M.H. NIP. 1963 04 19 198903 1 003 NIP. 1954 01 06 198003 2 001
v
vi
ABSTRAK
Fitriani (B111 13 364), Pertanggungjawaban Perusahaan Tambang Terhadap Pencemaran Sumber Air Untuk Pertanian, dibimbing oleh Abrar Saleng dan Harustiati A. Moein.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan tanggung jawab lingkungan perusahaan PT Semen Bosowa Maros terhadap sumber air untuk pertanian dan juga untuk mengetahui pertanggungjawaban perusahaan tersebut terhadap masyarakat yang mengalami kerugian akibat pencemaran air untuk pertanian. Lokasi penelitian dilakukan di Desa Baruga Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros, tempat ditemukannya permasalahan tersebut.
Tipe penelitian ini menggunakan tipe penelitian Empiris. Teknik penelitian menggunakan teknik penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan yang lebih konkrit dengan melakukan wawancara langsung dengan pihak-pihak yang terkait serta data sekunder berupa data yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan yang terkait, buku-buku, tulisan atau makalah, dan dokumen atau arsip serta bahan lain yang menunjang dalam penulisan skripsi ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pelaksanaan tanggung jawab lingkungan PT Semen Bosowa Maros (PT SBM) belum maksimal dalam pelaksanaannya. Karena perizinan lingkungan terkait air limbah belum indahkan oleh pihak perusahaan, juga melanggar larangan untuk tidak mendirikan bangunan yang dapat mengganggu fungsi saluran irigasi dengan membangun drainase pembuangan air limbah yang masuk ke saluran irigasi, yang dalam penelitian ini ada kemungkinan air tersebut berasal dari limbah hasil penambangan tanah liat dan juga hasil pengoperasian PLTD seperti yang diperkirakan dalam AMDAL. Adanya kerugian yang dialami masyarakat dapat ditempuh melalui jalur litigasi (pengadilan) dan juga jalur non litigasi. Kerugian akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkugan dapat digugat berdasarkan Pasal 87 UUPPLH. Prosedur pengajuan gugatan melalui jalur litigasi (pengadilan) yang dapat diajukan melalui class action, legal standing, dan gugatan instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggungjawab di bidang lingkungan hidup.
Kata Kunci: Tanggung Jawab Lingkungan,Pertanggungjawaban, Perusahaan, Pertambangan, Pencemaran Lingkungan, Sumber Air, Pertanian.
vii
ABSTRACT
Fitriani (B111 13 364), Mining Company Liability Towards Agricultural Water Source Pollution, advised by Abrar Saleng and Harustiati A. Moein.
The purpose of this research was to determine the implementation of environmental liability of PT Semen Bosowa Maros towards agricultural water source and the company liability towards the people who suffered losses caused by agricultural water pollution. This research took place in Baruga Village, Bantimurung District, Maros Regency, where the problem occurred.
This research used empirical method with library research and field research by holding direct interviews with related parties and secondary data in the form of regulations, books, articles or papers, and documents or files and other supporting materials for writing this thesis.
The results of this research showed that determine the implementation of environmental liability of PT Semen Bosowa Maros has not been maximized. The environmental permits related to wastewater have not been complied by the company. It also violated the prohibition against buildings which can interfere with irrigation channel function by building drainage of wastewater disposal that entered the irrigation channel, which in this research a possibility of that water came from waste of clay mining and operation of PLTD as predicted in AMDAL was found. The losses suffered by the community can be reached through litigation (court) and also non-litigation paths. Losses caused by pollution and/or environmental damage can be claimed based on Article 87 UUPPLH. The procedure of filing a lawsuit through litigation (court) can be done through class action, legal standing, and claim of government agency and local government responsible for the environment.
Keyword: Environmental Liability, Liability, Company, Mining, Environmental Pollution, Water Source, Agriculture.
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji
bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam. Atas segala rahmat dan hidayah-
Nya yang senantiasa membimbing langkah penulis agar mampu
menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat tugas akhir pada
jenjang studi Strata Satu (S1) Program Studi Ilmu Hukum di Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin. Salam serta shalawat kepada Rasulullah
Muhammad S.A.W. rahmat bagi seluruh alam, dan menjadi teladan agar
setiap langkah dan perbuatan selalu berada di jalan kebenaran dan
bernilai ibadah di sisi Allah SWT.
Segenap kemampuan telah penulis curahkan dalalm penyusunan
skrispi ini. Namun demikian, penulis sangat menyadari bahwa
kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Sebagai makhluk ciptaan-Nya,
penulis memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, segala bentuk saran
dan kritik kontruktif penulis harapkan agar kedepannya tulisan ini menjadi
lebih baik.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih tak
terhingga kepada kedua orang tua penulis, kepada Ayahanda tercinta
Almarhum Muhammad Ali Sese yang telah senantiasa membimbing
ananda sedari kecil khususnya dalam akhlak dan ilmu agama. Kepada
Ibunda terkasih Hj. Nurhayati yang telah mengorbankan harta dan
kesehatannya untuk anak-anaknya, wanita kuat yang senantiasa menjadi
ix
motivasi penulis untuk selalu melakukan yang terbaik. Kepada saudara
penulis. Muhammad Chaidar yang telah memberi ujian kesabaran kepada
penulis terlebih dalam penyusunan skripsi ini. Selain itu, penulis juga
mengucakan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A., selaku Rektor Universitas
Hasanuddin dan segenap jajarannya;
2. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin dan segenap jajaran Wakil Dekan
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin;
3. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah
membimbing dan memberikan ilmu, nasihat, serta motivasi kepada
penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin;
4. Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H.,M.H., selaku Pembimbing I yang
telah membimbing dan memotivasi penulis ditengah kesibikan dan
aktivitasnya dalam penyusunan skripsi ini;
5. Dr. Harustiati A. Moein, S.H.,M.H., selaku Pembimbing II yang
senantiasa menyempatkan waktunya untuk membimbing penulis
untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini;
6. Dewan Penguji, Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H.,M.H., Dr. Kahar Lahae,
S.H, M.H., dan Dr. Sri Susyanti Nur, S.H.,M.H., atas segala saran
dan masukannya yang sangat berharga dalam penyusunan skripsi
ini;
x
7. Seluruh pegawai dan karyawan di Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin;
8. Birkah Latief, S.H., LLM., Ahmad Tjolli,S.H.,M.H., dan seluruh
dosen, serta rekan asisten di lingkup Klinik Hukum FH-UH. Terima
kasih atas bantuan, kerjasama, nasihat, dan semangat, serta
kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk bergabung dan
belajar di Klinik Hukum FH-UH;
9. Sri Wahyuni,S.H., atas segala bimbingan dan arahannya dalam
penyusunan skripsi ini;
10. Sahabat-sahabat yang tergabung dalam Becce On Campus, Adzah
Rawaeni,S.H., Fenny Afrianti,S,H., A.Trimayasari Tahir, S,H.,
Rusyaid Abd, S.H., dan teman pejuang skrpsi Ayu Nasriani Saputri,
atas segala bantuan, semangat, dan pelajaran hidup yang
diberikan;
11. Sahabat-Sahabat ZONK, Hasrudin,S.H, Abdul Amin, S.H,
Nurhalisa, S.H., Jemmi, S,H., dan Lisa Yusnita, yang memberi
motivasi, semangat, dan memberikan warna tersendiri dalam
kehidupan di kampus;
12. Teman-teman curahan hati penulis, Melisa,S.H., sepupu sekaligus
sahabat yang senantiasa mendengar keluh kesah dan sebagai
motivator penulis. Kepada Rahmi mutiah, sahabat sedari SMU yang
senantiasa memberikan semangat, motivasi, dan tetap menemani
dikala suka dan duka;
xi
13. Hj. Marwaty, Sumarlin,S.E., Abdullah, Mantasia dg Jai, Hj. Rukia
Dg. Lunga, serta seluruh keluarga yang senantiasa membantu baik
materil maupun immateril selama penulis menitih pendidikan;
14. Keluarga Besar Asian Law Students’ Association (ALSA), Local
Chapter Unhas. Kepada Zulkurnawan Akbar,S.H., Asaat
Rizkallah,S.H., Rafi Iriansyah S.H., Atira Bunyamin, S.H., Addinul
Haq,S.H., Muhammad Irsyad,S.H., Maya Soraya,S.H., Khaiffah
Khairunnisa,S.H., Afdal Yanuar,S.H., Zulham Arief,S.H., Yanneri
Andreas,S.H., dan seluruh pengurus ALSA LC Unhas Periode
2014-2015 yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, serta Alumni
ALSA LC Unhas. Terima kasih atas kepercayaan dan pengetahuan
berorganisasi yang diberikan kepada penulis;
15. Teman-teman MCC Tim 5 SKS, Zara Dwilistya,S.H., Ummu
Nurdawati,S.H., Caecilia Birani,S.H., Nidhaul Khasanah,S.H.,
Taufik Akbar,S.H., Febri Maulana,S.H., Gusti Ngurah Rai, Muliadi
Irwan,S.H., Dirwansyah Tahir,S.H., Eko Satriawan, Muhammad
Mubarak C P, Nulin, Dinul Haq Qayyim,S.H., dan Kanda Maulana
Arif Nur,S.H, yang telah memberikan pelajaran berharga selama
berMCC;
16. Abdul Mufti Radja, S.T., M.T., Ph.D, selaku supervisor Kuliah Kerja
Nyata (KKN) Kecamatan Biringkanaya. Terima kasih kepada Krena
Parannuan, Nurul Damasih, Muhammad Zufar, Raehana, Shindy
Rima Putri, M.Yusuf Anwar, teman seposko penulis yang telah
xii
membantu menjalankan berbagai proker KKN. Terima kasih
kepada Arief Rahman Adi Nugraha, Korlur yang aktif membantu
menjalan proker kecamatan dan selalu membantu penulis tanpa
diminta sekalipun. Serta seluruh teman-teman KKN yang
membantu penulis dalam pelaksanaan proker KKN;
17. Teman-teman dan adik-adik kampus penulis, kepada Hendri, adik
sekaligus kakak yang selalu ada disaat penulis butuhkan. Abrar,
teman diskusi dan pengingat skripsi. Pimen, Kak Rani, dan teman-
teman lain yang telah membantu dan memberikan semangat
pengerjaan skripsi kepada penulis;
18. Saudara-saudara ASAS 2013, terima kasih atas hari-hari yang
dilalui bersama selama di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Semoga Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan yang telah
diberikan dengan penuh rahmat dan hidayah-Nya. Akhir kata, semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua, terutama dalam perkembangan
hukum di Indonesia. Wassalamu Alaikim Warahmatullahi Wabarakatuh.
Makassar, 20 Februari 2018
Penulis
xiii
DAFTAR ISI
Halaman Sampul ................................................................................ i
Halaman Judul ................................................................................... ii
Lembar Pengesahan Skripsi ............................................................. iii
Lembar Persetujuan Pembimbing .................................................... iv
Lembar Persetujuan Menempuh Ujian Skripsi ................................ v
Abstrak ............................................................................................... vi
Abstrack ............................................................................................. vii
Kata Pengantar ................................................................................... viii
Daftar Isi ............................................................................................. xiii
Daftar Tabel ........................................................................................ xvi
Daftar Gambar .................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian .................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 10
A. Perusahaan ............................................................................... 10
1. Pengertian Perusahaan ....................................................... 10
2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan ............................ 15
B. Pertanggungjawaban ............................................................... 18
xiv
1. Pengertian Pertanggungjawaban ......................................... 18
2. Pertanggungjawaban dalam Perbuatan Melawan Hukum ... 19
C. Hukum Lingkungan Keperdataan .............................................. 24
1. Pengertian Hukum Lingkungan Keperdataan ...................... 24
2. Tanggung Gugat dan Beban Pembuktiannya ...................... 26
D. Pertambangan ........................................................................... 36
1. Hukum Pertambangan ......................................................... 36
2. Penggolongan Bahan Galian ............................................... 40
E. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan ................................... 43
F. Pencemaran Lingkungan .......................................................... 48
1. Pencemaran Air ................................................................... 50
2. Pengendalian Pencemaran Air ............................................ 51
3. Izin Pembuangan Air Limbah ............................................... 54
G. Irigasi......................................................................................... 55
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................... 57
A. Lokasi Penelitian ....................................................................... 57
B. Populasi dan Sampel ................................................................ 57
C. Jenis dan Sumber Data ............................................................. 57
D. Teknik Pengumpulan Data ........................................................ 58
E. Analisis Data ............................................................................. 59
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................... 60
A. Pelaksanaan Tanggung Jawab Lingkungan Perusahaan
PT Semen Bosowa Maros Terhadap Sumber Air untuk
xv
Pertanian di Desa Baruga ......................................................... 60
1. Kegiatan PT Semen Bosowa Maros (Tahap Operasional) .. 62
2. Kajian AMDAL Terkait Dampaknya Terhadap Kualitas Air .. 67
3. Pelaksanaan Tanggung Jawab Lingkungan
PT Semen Bosowa Maros Terhadap Kualitas Air ................ 80
B. Pertanggungjawaban Perusahaan Tambang Terhadap
Masyarakat yang Mengalami Kerugian Akibat
Pencemaran Air untuk Pertanian .............................................. 88
BAB V PENUTUP ................................................................................ 96
A. Kesimpulan ............................................................................... 96
B. Saran......................................................................................... 97
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Dampak Potensial dan Dampak Penting Hipotetik
Terhadap Air .............................................................................. 67
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1: Tabel matriks RKL PT SBM Periode Januari-Juni 2017 ......... 77
Gambar 2: Tabel matriks RPL PT SBM Periode Januari-Juni 2017 ......... 79
Gambar 3: Banjir pada persawahan yang terjadi pada Bulan
Desember 2017 ..................................................................... 81
Gambar 4: Drainase pembuangan air limbah PT SBM yang terhubung
Ke saluran irigasi ................................................................... 82
Gambar 5: Izin yang terkait AMDAL pada Laporan Hasil Pelaksanaan
RKL-RPL Juni 2017 PT SBM ................................................... 83
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, baik yang
dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui. Potensi alam
yang begitu banyak, seyogyanya masyarakat Indonesia telah sejahtera.
Ditegaskan dalam Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) bahwa “Bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Penggunaan
Pasal 33 Ayat (3) ini dilakukan dengan pendekatan bahwa sumber daya
alam dikuasai oleh negara dan merupakan milik bersama (common
property) bangsa-bangsa (nations) yang ada di Indonesia dan digunakan
untuk kesejahteraan dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dari satu
generasi ke generasi selanjutnya secara berkelanjutan1.
Salah satu potensi sumber daya alam ialah sumber daya mineral
yang dalam bahasa keseharian masyarakat dikenal sebagai bahan
tambang atau bahan galian. Bahan galian merupakan sumber daya alam
yang tidak terbaharukan (unrenewble resource). Mengingat sumber daya
alam bahan galian sifatnya tidak dapat diperbaharui (unrenewable), maka
1 Abrar Saleng, 2013, Kapita Selekta: Hukum Sumberdaya Alam, Membumi Publishing,
Makassar, hlm.31.
2
pengusahaannya harus dapat memberikan manfaat bagi generasi
sekarang dan generasi yang akan datang.2
Pada awalnya pertambangan dilakukan semata-mata untuk
pembangunan negara dan kesejahteraan rakyat seperti yang tercantum
pada Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945, akan tetapi pada kenyataannya
perusahaan pertambangan kebanyakan hanya meraup keuntungan
pribadinya sendiri tanpa memikirkan lingkungan sekitarnya yang masih
jauh dari kesejahteraan.3
Setiap perusahaan pertambangan diwajibkan melakukan upaya
meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positifnya.
Seiring dengan perkembangan teknologi yang dimulai sejak masa revolusi
industri hingga sekarang, industri seringkali menimbulkan dampak positif
dan negatif sekaligus. Dampak positifnya, terjadi pembangunan ekonomi
yang menghasilkan kemajuan dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Dampak negatifnya antara lain dapat diamati secara ekologis
dengan melihat kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh teknologi.
Tidak sebatas itu, secara sosial kerusakan lingkungan telah menimbulkan
konflik dalam masyarakat. Konflik itu mulai dari yang kecil hingga konflik
yang besar. Konflik kecil tersebut seperti keluhan masyarakat yang tinggal
di sekitar kawasan industri karena gangguan kerusakan lingkungan yang
2 Abrar Saleng, 2004, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta, Hlm. 111 3 Dita Natalia Damopoli, “Tanggung Jawab Perusahaan Pertambangan Terhadap
Lingkungan Pascapengelolaannya”, Jurnal Lex et Societatis, Vol.1, No. 5, September 2013, Hlm. 6.
3
disebabkan oleh limbah kawasan industri dan konflik yang besar seperti
bentrok antara kedua pihak.4
Sebagai kegiatan yang berhubungan dengan bentang alam, tentu
kegiatan pertambangan akan terkait dengan lingkungan hidup.5 Kegiatan
pertambangan dan lingkungan hidup adalah dua hal yang tidak dapat
terpisahkan, bahkan ada ungkapan “Tiada kegiatan pertambangan tanpa
perusakan/pencemaran lingkungan”.6
Dewasa ini, sumber penurunan kualitas lahan pertanian yang
disebabkan oleh kegiatan non pertanian didominasi oleh pengembangan
industri, pertambangan, dan pembakaran hutan baik dalam bentuk
pencemaran maupun perusakan lingkungan. Masih banyaknya kegiatan
industri, dan pertambangan yang tidak berwawasan lingkungan menjadi
faktor penyebab utama timbulnya perusakan dan pencemaran lingkungan.
Hal ini terlihat dari data Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan
(Proper) dalam pengelolaan lingkungan yang diumumkan oleh Menteri
Negara Lingkungan Hidup dari tahun 2002-2015 menunjukan bahwa
persentase ketaatan industri dalam pengelolaan lingkungan berkisar
antara 60%-74%.7
4 Dian Kurnia Anggreta, “Perjuangan Hak Ekologis Komunitas Petani”, Jurnal Ilmu Sosial
Mamangan, STKIP PGRI Padang, Vol. 1, No.1, Tahun 2012, Hlm. 23. 5 Ahmad Redi, 2017, Hukum Penyelesaian Sengketa Pertambangan Mineral dan Batu
Bara, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 37. 6 Abrar Saleng, 2004, Loc.cit. 7 Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan, Data
diakses dari http://proper.menlh.go.id/portal/pubpdf/PUBLIKASI%20PROPER%202015.pdf, pada tanggal 13 September 2017.
4
Petani menjadi salah satu komunitas yang memperoleh dampak
negatif dari adanya aktivitas penambangan. Sebagai petani yang
menggantungkan mata pencahariannya di bidang pertanian,
berkurangnya produksi atau bahkan tidak lagi dapat berproduksinya lahan
pertanian menjadi masalah serius yang dapat menimbulkan dampak bagi
kehidupan ekonomi petani. Kerusakan lahan akibat pertambangan dapat
terjadi selama kegiatan pertambangan maupun pasca pertambangan.
Dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan akan berbeda
pada setiap jenisnya, tergantung pada metode dan teknologi yang
digunakan. Untuk meminimalisir dampak negatif yang dirasakan oleh para
petani, maka sangat diperlukan peran hukum dalam menjalankan
fungsinya untuk memberikan keteraturan terkait dengan hal tersebut.
Penegakan hukum lingkungan hidup adalah satu elemen penting
dalam upaya mencapai tujuan Indonesia. Tujuan negara tertuang dalam
Pembukaan UUD NRI 1945 yaitu,
Melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pada batang tubuh UUD NRI 1945 setelah amandemen,
penegakan hukum lingkungan hidup diletakkan dalam pasal-pasal yang
berkaitan dengan hak asasi manusia, yaitu Pasal 28H angka 1 bahwa
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
5
memperoleh pelayanan kesehatan”. Pasal ini menjadi landasan bahwa
lingkungan hidup harus menjadi hal yang penting dalam konteks
perlindungan hak asasi manusia.
Selanjutnya pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) diatur pula
hak-hak dan kewajiban masyarakat maupun orang yang melakukan usaha
dan/atau kegiatan. Pada Pasal 65 undang-undang ini dijelaskan beberapa
hak masyarakat yaitu (1) Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
sebagai bagian dari hak asasi manusia; (2) Hak mendapatkan pendidikan
lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan
dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat; (3) Hak
mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau
kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap
lingkungan hidup; (4) Hak untuk berperan dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-
undangan; (5) Hak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup. Terkait dengan hal tersebut, maka
setiap kegiatan yang berkaitan dengan usaha pertambangan wajib
memperhatikan hak-hak masyarakat. Namun, hingga saat ini masih
terdapat perusahaan yang mengabaikan hak masyarakat tersebut.
Berdasarkan hasil prapenelitian penulis, salah satu hal yang menjadi
masalah terkait dengan lingkungan hidup adalah pencemaran sumber air
6
bagi lahan pertanian yang menjadi dampak dari kegiatan pertambangan
oleh PT. Semen Bosowa Maros.
PT. Semen Bosowa Maros merupakan anak perusahaan Bosowa
Corporation di bidang usaha semen yang melakukan aktivitas
penambangan. Perusahaan tersebut telah memiliki 2 unit pabrik semen di
Desa Baruga dan Desa Tukamasea Kecamatan Bantimurung Kabupaten
Maros yaitu Pabrik Unit 1 didirikan pada Tahun 1994 dan Pabrik Unit 2
didirikan pada Tahun 2012. Sejak pendirian Pabrik Unit 1 pada Tahun
1994 berbagai permasalahan muncul, mulai dari sengketa pertanahan
hingga permasalahan lingkungan.
Berdasarkan Sosialisasi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (AMDAL) PT Semen Bosowa Unit 2 yang dihadiri oleh pemrakarsa,
panitia penilai AMDAL, dan juga masyarakat yang berkepentingan pada
Tahun 2011 membahas rencana-rencana dan juga dampak dari
pembangunan Pabrik Unit 2. Pembahasan dalam sosialisasi tersebut
menghasilkan beberapa kesimpulan dari tanggapan berbagai pihak.
Beberapa terkait dengan pencemaran air dan penurunan hasil pertanian.8
Berdasarkan penuturan warga Desa Baruga pada saat
prapenelitian penulis, hasil panen padi dirasakan semakin berkurang.
Penurunan hasil panen ini diperkirakan oleh warga karena air yang
tercemar oleh limbah pabrik unit 1 yang digunakan warga untuk mengairi
8 Berdasarkan data KA-ANDAL PT Semen Bosowa Maros untuk pembangunan pabrik unit
2 pada tahun 2011
7
lahan pertanian mereka.9 Ketika musim hujan, warga kerap mengalami
banjir karena besarnya debit air yang keluar dari pabrik PT Semen
Bosowa Maros. Hal tersebut dalam hal ini, memberikan kegelisahan bagi
warga Desa Baruga yang berada di sekitar pabrik PT Semen Bosowa
Maros, serta memberikan indikasi yang nyata adanya pelanggaran
terhadap hak konstitusional warga negara yakni hak atas lingkungan yang
baik dan sehat.
Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa perlunya mengkaji dan
meneliti mengenai pelaksanaan tanggung jawab lingkungan PT Semen
Bosow Maros khususnya terkait sumber air untuk pertanian di Desa
Baruga dan juga bagaimana pertanggungjawabannya terhadap
masyarakat yang mengalami kerugian. Hal inilah yang melatarbelakangi
penulis untuk menyusun tugas akhir ini yang berjudul
Pertanggungjawaban Hukum Perusahaan Tambang Terhadap
Pencemaran Sumber Air untuk Pertanian.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat ditarik beberapa
rumusan masalah yang nantinya akan menjadi batasan pada
pembahasan sebagai berikut:
9 Ibid
8
1. Bagaimana pelaksanaan tanggung jawab lingkungan
perusahaan PT Semen Bosowa Maros terhadap sumber air
untuk pertanian di Desa Baruga?
2. Bagaimana pertanggungjawaban PT Semen Bosowa Maros
terhadap masyarakat yang mengalami kerugian akibat
pencemaran air untuk pertanian?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitiannya
dapat dinyatakan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan tanggung jawab lingkungan
perusahaan PT. Semen Bosowa Maros terhadap sumber air
untuk pertanian di Desa Baruga;
2. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban PT Semen
Bosowa Maros terhadap masyarakat yang mengalami kerugian
akibat pencemaran air untuk pertanian.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini dapat dibedakan menjadi berapa hal,
yaitu secara teoritis dan praktis sebagai berikut:
a. Secara teoritis
1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam
9
bidang ilmu hukum terutama yang berkaitan dengan
masalah sumber daya alam dan lingkungan.
2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi
penelitian-penelitian sejenis pada masa mendatang.
b. Secara Praktis
1) Bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat
menambah wawasan pengetahuan dalam bidang ilmu
hukum, utamanya terkait dengan lingkungan.
2) Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi jalan keluar terhadap permasalahan yang dihadapi.
3) Bagi instansi/pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan masukan yang berguna dalam
memberikan pertimbangan untuk pengambilan kebijakan,
khususnya yang berkaitan dengan lingkungan.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perusahaan
1. Pengertian Perusahaan
Perusahaan adalah istilah ekonomi yang dipakai dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan perundang-undangan di
luar KUHD. Namun, dalam KUHD sendiri tidak dijelaskan pengertian resmi
istilah perusahaan itu. Definisi perusahaan secara resmi dirumuskan
dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib
Daftar Perusahaan. Sebelum undang-undang ini, tidak dijumpai definisi
perusahaan. Oleh karena itu, para penulis hukum berusaha merumuskan
definisi perusahaan berdasarkan pengetahuan yang mereka peroleh
secara empiris. 10
Menurut Molengraaff (1966), perusahaan adalah keseluruhan
perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus, bertindak keluar, untuk
memperoleh penghasilan, dengan cara memperdagangkan atau
menyerahkan barang atau mengadakan perjanjian perdagangan.11
Polak (1935) memandang perusahaan dari sudut komersial, artinya
baru dapat dikatakan perusahaan apabila diperlukan perhitungan laba dan
10 Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm. 7. 11 Ibid.
11
rugi yang dapat diperkirakan dan dicatat dalam pembukuan. Di sini Polak
menambahkan unsur “pembukuan” pada unsur lain, seperti yang telah
dikemukakan oleh Molengraaff. Polak mengakui ada unsur-unsur lain, itu
terbukti dari penjelasannya bahwa apakah suatu perusahaan dijalankan
menurut cara yang lazim atau tidak, dapat diketahui dari keteraturan
menjalankan perusahaan itu dan bukan dijalankan secara gelap. Jika
unsur-unsur ini tidak ada, hilanglah sifat perusahaan dari aspek hukum
perusahaan. 12
Pasal 1 huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang
Wajib Daftar Perusahaan dijelaskan, bahwa:
Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus-menerus dan didirikan, bekerja, serta berkedudukan dalam wilayah Negara Indonesia dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka dalam definisi
perusahaan terdapat 2 (dua) unsur pokok, yaitu:
1) Bentuk usaha yang berupa organisasi atau badan usaha, yang
didirikan, bekerja, dan berkedudukan dalam wilayah negara
Indonesia. Dalam bahasa Inggris disebut company atau enterprise.
2) Jenis usaha yang berupa kegiatan dalam bidang perekonomian
(perindustrian, perdagangan, perjasaan, dan pembiayaan),
dijalankan oleh badan usaha secara terus-menerus, dalam bahasa
Inggris disebut business.
12 Ibid., hlm. 8.
12
Apabila definisi ini dibandingkan dengan definisi Molengraaff dan
Polak, ternyata definisi ini lebih sempurna karena dengan adanya bentuk
usaha (badan usaha) yang menjalankan jenis usaha (kegiatan dalam
bidang perekonomian), unsur-unsur lain terpenuhi juga. Berdasarkan
undang-undang yang berlaku, walaupun kegiatan dalam bidang ekonomi
dilakukan terus-menerus dan terang-terangan, terhadap pihak ketiga,
dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba, jika tidak
mempunyai bentuk usaha (badan usaha), itu bukan perusahaan,
melainkan hanya pekerjaan. Setiap orang yang menjalankan perusahaan
disebut pengusaha. Pengusaha ini dapat terdiri atas satu orang
(individual), beberapa orang yang berupa persekutuan (partnership),
ataupun badan hukum (corporate body).13
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1997 tentang Dokumen Perusahaan, bahwa:
Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus-menerus dengan memperoleh keuntungan dan atau laba, baik yang diselenggarakan oleh orang perorangan maupun badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
Abdulkadir Muhammad dalam bukunya mengenai Hukum
Perusahaan Indonesia, merumuskan definisi perusahaan, yaitu:
Perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan dalam bidang perekonomian secara terus menerus, bersifat tetap, dan terang-terangan dengan tujuan memperoleh
13 Ibid., hlm.9.
13
keuntungan dan atau laba yang dibuktikan dengan catatan (pembukuan).
Perusahaan memiliki macam-macam bentuk, namun dalam
penulisan ini, yang dimaksudkan penulis dengan perusahaan ialah badan
usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Perseroan terbatas
merupakan badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian untuk
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi
dalam saham, serta mematuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
undang-undang dan peraturan pelaksananya. Kegiatan usaha dari
perseroan harus sesuai dengan maksud dan tujuan didirikannya
perseroan, serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, ketertiban umum, dan atau kesusilaan.14
Perseroan terbatas merupakan subjek hukum yaitu pemangku hak
dan kewajiban, termasuk menjadi pemilik dari suatu benda atau harta
kekayaan tertentu. Hanya subjek hukum yang merupakan individu orang
perorangan yang dinilai memiliki kecakapan melakukan perbuatan hukum
serta mempertahankan haknya di dalam hukum, juga badan hukum yang
merupakan artificial person, yaitu sesuatu yang diciptakan oleh hukum
untuk memenuhi perkembangan kebutuhan kehidupan masyarakat.
Ketentuan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 519 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang bahwa “Ada barang yang
14 Frans Satrio Wicaksono, 2009, Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi, dan
Komisaris Perseroan Terbatas, Visimedia, Jakarta, hlm. 2.
14
bukan milik siapa pun, barang lainnya adalah milik negara, milik
persekutuan atau milik perorangan”.15
Sebagai subjek hukum, perseroan adalah artifial person, tidak
mungkin tidak memiliki kehendak dan karenanya tidak dapat melakukan
kehendaknya sendiri. Untuk membantu perseroan dalam melakukan
tugasnya, dibentuklah organ-organ, yang secara teoritis disebut sebagai
organ theory16.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007, Organ Perseroan adalah rapat umum pemegang saham
(RUPS), direksi, dan dewan komisaris. RUPS adalah organ perseroan
yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang
segala wewenang yang tidak diserahkan kepada direksi atau dewan
komisaris. Direksi adalah organ perseroan yang bertanggung jawab penuh
atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta
mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai
dengan ketentuan anggaran dasar. Dewan komisaris adalah organ
perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau
khusus serta memberikan nasihat kepada direksi dalam menjalankan
perseroan.17
15 Ibid. 16 Npslawoffice.com, organ perseroan terbatas. 17 Abdulkadir Muhammad, Op.cit., hlm. 115.
15
2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan
Berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, dijelaskan dalam Pasal 1 butir 3 bahwa:
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan Terbatas sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.
Kemudian dijelaskan dalam Pasal 74 Ayat (1) bahwa “Perseroan
Terbatas yang menjalankan kegiatan di bidang dan/atau kegiatan dengan
sumber daya alam wajib untuk melaksanakan Tanggung Jawab Sosial
dan Lingkungan”.
Landasan pemikiran diaturnya Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, bertujuan
mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan
kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi perseroan
terbatas itu sendiri, komunitas setempat, dan masyarakat pada umumnya.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendukung terjalinnya hubungan
perseroan terbatas yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan
lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat, maka
ditentukan bahwa Perseroan Terbatas yang kegiatan usahanya di bidang
dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Untuk melaksanakan kewajiban
Perseroan Terbatas tersebut, kegiatan Tanggung Jawab Sosial dan
16
Lingkungan harus dianggarkan dan diperhitungkan dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Kegiatan tersebut dimuat dalam
laporan tahunan Perseroan Terbatas. Dalam hal Perseroan Terbatas tidak
melaksanakan Tanggung Jawan Sosial dan Lingkungan maka Perseroan
Terbatas yang bersangkutan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.18
Berdasarkan ketentuan Pasal 74 Ayat (4) Undang-Undang
Perseroan Terbatas bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah. Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012
tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas
mulai berlaku sejak tanggal 4 April 2012. Pada Peraturan Pemerintah ini
diatur mengenai:19
1. Tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dilakukan oleh
Perseroan Terbatas dalam menjalankan kegiatan usahanya di
bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam
berdasarkan undang-undang.
2. Pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan dilakukan
di dalam dan di luar lingkungan Perseroan Terbatas.
3. Tanggung jawab sosial dan lingkungan dilaksanakan
berdasarkan rencana kerja tahunan yang memuat rencana
kegiatan dan anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaannya.
18 Binoto Nadapdap, 2014, Hukum Perseroan Terbatas, Aksara, Jakarta, Hlm. 137-138 19 Ibid., Hlm. 153.
17
4. Pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan disusun
dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
5. Pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan wajib
dimuat dalam laporan tahunan Perseroan Terbatas untuk
dipertanggungjawabkan kepada RUPS.
6. Penegasan pengaturan pengenaan sanksi Perseroan Terbatas
yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial dan
lingkungan.
7. Perseroan Terbatas yang telah berperan dan melaksanakan
tanggung jawab sosial dan lingkungan dapat diberikan
penghargaan oleh instansi yang berwenang.
Alexander Dahlsrud, 2008 (dalam Lingkar Studi CSR, 2013)
merangkum lima dimensi tanggung jawab sosial perusahaan, yaitu:
ekonomi, sosial, lingkungan, pemangku kepentingan, dan sifat voluntari.20
Menurut ISO 26000:2010 (dalam Lingkar Studi CSR, 2013), tanggung
jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan menekankan pada empat
subjek inti, yaitu:21
1. Pencegahan polusi;
2. Penggunaan sumber daya yang berkelanjutan;
3. Mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim;
20 Jacobus Rico Kuntag,”Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan”, diakses dari
https://www.academia.edu/10156540/Tanggung_Jawab_Sosial_dan_Lingkungan_TJSL_Perusahaan_di_Indonesia , pada tanggal 25 Juli 2017.
21 Ibid.
18
4. Proteksi lingkungan dan keragaman hayati dan restorasi habitat.
B. Pertanggungjawaban
1. Pengertian Pertanggungjawaban
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tanggung jawab adalah
keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa
boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya)22. Ada dua
istilah Dalam kamus hukum yang menunjuk pada pertanggungjawaban,
yakni liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang
luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab,
yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin meliputi semua karakter
hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian,
ancaman, kejahatan, biaya, atau kondisi yang menciptakan tugas untuk
melaksanakan undang-undang. Responsibility berarti hal yang dapat
dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk keputusan,
keterampilan, kemampuan, dan kecakapan meliputi juga kewajiban
bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan. Pengertian
dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada
pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang
dilakukan oleh subjek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk
pada pertanggungjawaban politik.23
22 www.kbbi.web.id diakses pada tanggal 07 Mei 2017 23 Ridwan H.R., 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 335
19
Menurut Purbacaraka, tanggung jawab hukum bersumber atau lahir
atas penggunakaan fasilitas dalam penerapan kemampuan tiap orang
untuk menggunakan hak dan/atau melaksanakan kewajibannya. Lebih
lanjut ditegaskan, setiap pelaksanaan kewajiban dan setiap penggunaan
hak baik yang dilakukan secara tidak memadai maupun yang dilakukan
secara memadai pada dasarnya tetap harus disertai dengan
pertanggungjawaban, demikian pula dengan pelaksanaan
kekuasaannya.24
2. Pertanggungjawaban dalam Perbuatan Melanggar Hukum
Perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad, unlawful action)
diatur dalam buku III Bab III KUHPerdata tentang Perikatan yang
bersumber dari undang-undang. Pasal 1352 KUHPerdata menentukan
bahwa perikatan yang bersumber dari undang-undang terjadi karena
ketentuan undang-undang sendiri dan karena perbuatan orang. Perbuatan
orang, antara lain perbuatan melanggar hukum, yang merugikan orang
lain, dan diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang sama rumusanya
dengan Pasal 1401 Burgerlijk Wetboek (BW) Belanda.25
Menurut ketentuan Pasal 1401 BW Belanda, setiap perbuatan
melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain,
mewajibkan orang yang karena kesalahannya menimbulkan kerugian itu
mengganti kerugian tersebut. Perbuatan melanggar hukum meliputi
24 Purbacaraka, 2010, Perihal Kaedah Hukum, Citra Aditya, Bandung, hlm. 37 25 Abdulkadir Muhammad, Op.cit., 509.
20
berbuat atau tidak berbuat bertentangan dengan undang-undang, atau
norma kesusilaan dan kepatutan atau sikap hati-hati yang hidup dalam
masyarakat, baik terhadap barang maupun diri orang lain. Kesalahan
meliputi, baik karena sengaja maupun karena lalai. Kerugian merupakan
akibat yang secara nyata timbul dari perbuatan, baik kerugian materiil
maupun immateriil. Pelaku perbuatan melanggar hukum bertanggung
jawab mengganti kerugian kepada pihak yang dirugikan.26
Berdasarkan ketentuan Pasal 1401 BW, seseorang melakukan
perbuatan melanggar hukum yang merugikan orang lain dapat dituntut
pertanggungjawabannya apabila memenuhi empat unsur berikut:27
a. Perbuatan itu harus melanggar hukum (onrechtmatige, unlawful),
artinya berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan
undang-undang, atau norma kesusilaan dan kepatutan, atau sikap
hati-hati yang hidup dalam masyarakat.
b. Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan (schuld,fault),
artinya baik karena sengaja atau lalai.
c. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian (schade, damage), baik
kerugian materiil atas benda/kekayaan orang lain karena rusak,
hancur, atau lenyap, maupun kerugian immateril atas diri orang lain
(nama baik, kehormatan) karena tercemar.
26 Ibid. 27 Ibid., Hlm. 510.
21
d. Antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan
langsung secara kausalitas (causaliteit, causality). Menurut Von
Kries dalam teorinya adequate veroorzaking, yang dianggap sebab
adalah perbuatan yang menurut pengalaman manusia normal
sepatutnya dapat diharapkan menimbulkan akibat, dalam hal ini
kerugian. Karena perbuatan itu, timbul kerugian.
Perbuatan melanggar hukum secara yuridis mempunyai
konsekuensi terhadap pelaku maupun orang-orang yang mempunyai
hubungan hukum dalam bentuk pekerjaan yang menyebabkan timbulnya
perbuatan melawan hukum. Jadi, akibat yang timbul dari suatu perbuatan
melawan hukum akan diwujudkan dalam bentuk ganti kerugian terhadap
korban yang mengalami. Penggantian kerugian sebagaimana akibat dari
adanya perbuatan melanggar hukum, dapat berupa penggantian kerugian
materiil dan immateriil. Lazimnya dalam praktik penggantian kerugian
dihitung dengan uang, atau disetarakan dengan uang disamping adanya
tuntutan penggantian benda atau barang-barang yang dianggap telah
mengalami kerusakan/perampasan sebagai akibat adanya perbuatan
melanggar hukum pelaku.28
Jika dicermati perumusan ketentuan Pasal 1365 KUHperdata,
secara limitatif menganut asas hukum bahwa penggantian kerugian dalam
hal terjadinya suatu perbuatan melanggar hukum bersifat wajib. Bahkan
28 Lukman Santoso, 2016, Hukum Perikatan: Teori Hukum dan teknis Pembuatan
Kontrak, Kerja Sama, dan Bisnis, Setara Press, Malang, hlm. 81.
22
dalam berbagai kasus yang mengemuka di Pengadilan, hakim seringkali
secara ex-officio menetapkan penggantian kerugian meskipun pihak
korban tidak menuntut kerugian yang dimaksudkan.29
Secara teoritis, penggantian kerugian sebagai akibat dari suatu
perbuatan melawan hukum diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu
kerugian yang bersifat aktual dan kerugian yang akan datang. Dikatakan
kerugian yang bersifat aktual adalah kerugian yang mudah dilihat secara
nyata atau fisik, baik yang bersifat materiil maupun immateriil. Kerugian ini
didasarkan pada hal-hal kongkrit yang timbul sebagai akibat adanya
perbuatan melanggar hukum dari pelaku. Sedangkan kerugian yang
bersifat di masa mendatang adalah kerugian-kerugian yang dapat
diperkirakan akan timbul di masa mendatang akibat adanya perbuatan
melanggar hukum dari pihak pelaku. Ganti kerugian di masa mendatang
ini haruslah didasarkan pula pada kerugian yang sejatinya dapat
dibayangkan di masa mendatang akan terjadi secara nyata.30
Pelaku perbuatan melanggar hukum bukan hanya bertanggung
jawab karena perbuatannya sendiri, melainkan juga bertanggung jawab
karena perbuatan orang lain yang berada di bawah kekuasaannya atau
tanggung jawabnya, serta karena barang yang berada di bawah
29 Ibid. 30 Ibid.
23
pengawasannya (Pasal 1367 KUHPerdata). Pelaku perbuatan melanggar
hukum itu dapat berupa manusia perseorangan ataupun badan hukum.31
Perbuatan melanggar hukum dari badan hukum adalah ditujukan
pada badan usaha, biasanya berkaitan dengan keteledoran perusahaan
yang melibatkan organ perusahaan, misalnya adalah pengurus (direksi),
komisaris, dan rapat para pemegang saham. Dengan demikian, organ
adalah perwakilan yang mempunyai fungsi esensial dalam struktur badan
hukum dan kedudukannya diatur dalam anggaran dasar atau peraturan-
peraturan. Oleh sebab itu, tidak setiap perbuatan organ dapat
dipertanggungjawabkan pada badan hukum, dalam hal ini harus ada
hubungan antara perbuatan dengan lingkungan kerja dari organ
tersebut.32
Adapun perbuatan melanggar hukum dari organ dapat dianggap
sebagai perbuatan melanggar hukum dari badan hukum, apabila organ
tersebut bertindak untuk memenuhi tugas yang dibebankan kepadanya.
Sebagaimana yang tercantum pada Pasal 1367 KUHPerdata,
Seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Orangtua dan wali bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh anak-anak yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orangtua atau wali. Majikan dan orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan oleh pelayan
31 Abdulkadir Muhammad ,Op.cit., hlm. 515. 32 Neng Yani Nurhayani, 2015, Hukum Perdata, Pustaka Setia, Bandung, hlm. 261.
24
atau orang-orang itu. Guru sekolah atau kepala tukang bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh murid-muridnya atau tukang-tukangnya selama waktu orang-prang itu berada di bawah pengawasannya. Tanggung jawab yang disebutkan di atas berakhir, jika orangtua, guru sekolah atau kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka masing-masing tidak dapat mencegah perbuatan itu atas nama mereka seharusnya bertanggung jawab.
Dengan demikian, perbuatan melanggar hukum yang dilakukan
oleh organ badan hukum, pertanggungjawabannya didasarkan pada Pasal
1365 KUHPerdata. Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
seorang wakil badan hukum yang mempunyai hubungan kerja dengan
badan hukum, dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan Pasal 1367
KUHPerdata. Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
organ yang mempunyai hubungan kerja dengan badan hukum,
pertanggungjawabannya dapat dipilih antara Pasal 1365 KUHPerdata dan
Pasal 1367 KUHPerdata.
C. Hukum Lingkungan Keperdataan
1. Pengertian Hukum Lingkungan Keperdataan
Secara umum hukum lingkungan keperdataan menurut Munadjad
Danusaputro mengandung ketentuan-ketentuan yang mengatur tatanan
masyarakat orang-seorang berikut badan-badan hukum perdata dan
hubungan yang melandasi orang-seorang berikut badan-badan hukum
perdata satu sama lain, begitu pula yang melandasi hubungan hukum
orang-seorang berikut badan-badan hukum perdata berhadapan dengan
badan-badan negara, manakala badan-badan negera tersebut bertindak
25
sebagai badan hukum perdata dalam menyelenggarakan hak dan
kewajibannya.33 Pendapat ini masih bersifat umum, karena hanya
menekankan pada pengaturan tatanan hubungan keperdataan dalam
bidang lingkungan hidup. Hubungan keperdataan dalam bidang
lingkungan akan terkait dengan pemenuhan hak dan kewajiban antar
individu atau kelompok mengenai lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Jika hak salah satu pihak dirugikan, maka ia dapat meminta segera
dihentikannya perbuatan yang menimbulkan kerugian itu dan sekaligus
menuntut ganti kerugian serta pemulihan hak-hak yang dirugikan.
Pendapat lain yang lebih tegas mengenai pengertian hukum
lingkungan keperdataan dikemukakan Siti Sundari Rangkuti, bahwa
hukum lingkungan keperdataan terutama mengatur perlindungan hukum
bagi korban pencemaran dan/atau perusakan lingkungan akibat perbuatan
pencemar yang menimbulkan kerugian bagi korban dan menyebabkan
penderita berhak mengajukan gugatan ganti kerugian terhadap
pencemar.34
Menurut Muhammad Akib dalam bukunya berpendapat, bahwa
hukum lingkungan keperdataan secara substansial memuat ketentuan
yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak keperdataan seseorang,
kelompok orang, dan badan hukum perdata dalam kaitannya dengan
33 Munadjat Danusaputro, 1985, Hukum Lingkungan Buku I: Umum, Binacipta, Bandung,
hlm. 110. 34 Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional,
Universitas Airlangga Press, Surabaya, hlm. 261.
26
lingkungan hidup yang baik dan sehat. Jika hak-hak keperdataan ini
dirugikan oleh salah satu pihak, misalnya karena terjadi pencemaran atau
perusakan lingkungan, maka dalam upaya perlindungan hukumnya
digunakan sarana hukum lingkungan keperdataan. Perlindungan
lingkungan bagi korban pencermaran dan/atau kerusakan lingkungan
diberikan dengan cara memberikan hak kepada penggugat untuk
mengajukan gugatan ganti kerugian atau tindakan pemulihan lingkungan
terhadap pencemar.35
2. Tanggung gugat dan Beban Pembuktiannya
Tanggung gugat lingkungan mengandung arti bahwa seseorang
atau badan hukum perdata wajib bertanggung gugat untuk membayar
ganti rugi atau melakukan tindakan tertentu akibat perbuatan dan kerugian
yang mereka lakukan, baik secara sendiri-sendiri maupun secara
bersama-sama. Istilah “tanggung gugat” ini cenderung digunakan oleh
para pakar hukum perdata dalam menerjemahkan aansprakerlijkheid atau
liability. Hal ini dimaksudkan untuk membedakannya dari pengertian
verantwoordelijkheid atau responsibility yang dikenal dalam hukum pidana
dengan istilah “tanggung jawab”.
Ada berapa konsep atau doktrin tanggung gugat yang dikenal
dalam hukum perdata, baik dalam sistem hukum Eropa Kontinental (civil
35 Muhammad Akib, 2014, Hukum Lingkungan: Perspektif Global dan Nasional, Rajawali
Pers, Jakarta, hlm. 180.
27
law system) maupun sistem Anglo-Amerika (common law system). Berikut
ini diuraikan beberapa jenis konsep atau doktrin tanggung gugat
dimaksud36:
a) Tanggung Gugat Berdasarkan Kesalahan
(Schuldaansparakelijkheid, Liability Based on Fault)
Tanggung gugat berdasarkan kesalahan yang dalam sistem
hukum Eropa Kontinental disebut schuld aansprakelijkheid atau
dalam sistem Anglo-Amerika dikenal dengan nama liability based
on fault atau tort liability, merupakan jenis tanggung gugat yang
sudah sangat tua dan dapat dikatakan berasal dari zaman romawi.
Konsep tanggung gugat bersadarkan kesalahan ini mengandung
makna bahwa tergugat bertanggung gugat apabila ia dapat
dibuktikan bersalah. Sebaliknya, jika tergugat tidak berhasil
dibuktikan bersalah maka ia dibebaskan dari pertanggunggugatan
perdata. Dalam hal ini gugatan ganti rugi akibat pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan misalnya, maka tergugat
dinyatakan bertanggung gugat untuk membayar ganti rugi jika ia
terbukti karena kesalahannya melakukan perbuatan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan dan berakibat menimbulkan
kerugian pada penggugat atau korban.
36 Ibid., hlm. 181
28
Dalam hukum perdata, konsep tanggung gugat ini tertuang
dalam Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan
hukum, yang sebenarnya mengandung persamaan dengan Pasal
1401 BW. Ketentuan ini telah diadopsi baik dalam UUPPLH Tahun
1997 (Pasal 34 Ayat 1) maupun UUPPLH tahun 2009 (Pasal 87
Ayat 1).
Kelemahan gugatan lingkungan adalah sulitnya
membuktikan unsur perbuatan melawan hukum tersebut, terutama
unsur kesalahan dan hubungan kausal antara perbuatan dengan
kerugian yang ditimbulkan, apalagi beban pembuktian ada pada
pihak korban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1865
KUHperdata bahwa:
Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membentuk sesuatu hak orang lain, menunjuk pada peristiwa diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
Konsep tanggung gugat yang dikaitkan dengan pembuktian
unsur-unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 1865 KUHPerdata tersebut sangat menyulitkan
penggugat yang umumnya awam tentang hukum dan secara sosial
ekonomi berada pada posisi yang lemah dibandingkan dengan
pengusaha sebagai pencemar dan/atau perusak lingkungan. Oleh
karena itu, gugatan ganti rugi dengan dasar perbuatan melawan
29
hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
sebagaimana diatur dalam Pasal 87 Ayat (1) UUPPLH jo. Pasal
1365 KUHPerdata cenderung gagal di Pengadilan.
Berbagai kesulitan inilah timbul pemikiran tentang konsep
tanggung gugat berdasarkan kesalahan dengan beban pembuktian
terbalik.
b) Tanggung Gugat Berdasarkan Kesalahan dengan Beban
Pembuktian Terbalik (Schukdaansprakelijkheid met Omkering
van de Bewijslats, Shifting the Burden of Proof)
Konsep tanggung gugat ini termasuk jenis tanggung gugat
yang dipertajam, yaitu dengan membalik kewajiban beban
pembuktian. Pengguggat tidak perlu membuktikan kesalahan
tergugat, tetapi sebaliknya tergugat yang harus membuktikan
bahwa dia cukup berupaya untuk berhati-hati, sehingga dia tidak
dapat dipersalahkan. Tanggung gugat ini menekankan kepada
beban pembuktian terbalik bagi tergugat (defendant).
Konsep tanggung gugat ini tertuang dalam Pasal 1367 Ayat
(2) jo. Ayat (5) KUHPerdata tentang tanggung gugat orang tua dan
wali, dan Pasal 1368 KUHperdata tentang tanggung gugat pemilik
binatang. Konsep tanggung gugat ini tidak diatur dalam perundang-
perundangan lingkungan. Pasal 87 Ayat (1) UUPPLH Tahun 2009
dan Pasal 1365 KUHPerdata jo. Pasal 1865 KUHPerdata tidak
30
menganut beban pembuktian terbalik. Oleh karena itu,
penggugatlah yang harus membuktikan kesalahan tergugat, yang
tentunya bukan sesuatu yang mudah, bahkan sangat sulit sehingga
peluang keberhasilan gugatan sangat kecil. Atas dasar kesulitan
inilah maka dikembangkan konsep tanggung gugat mutlak atau
yang dalam sistem hukum Anglo-Amerika dikenal sebagai asas
atau doktrin “strict liability”.
c) Tanggung Gugat Mutlak (Risico Aansprakelijkheid,Strict
Liability)
Tanggung gugat mutlak mengandung makna bahwa
tanggung gugat timbul seketika pada saat terjadinya perbuatan,
tanpa mempersoalkan kesalahan tergugat. Namun demikian, tidak
semua kegiatan dapat diterapkan asas strict liability, melainkan
diperuntukkan bagi kasus-kasus tertentu yang besar dan
membahayakan lingkungan. Sejak pertengahan abad ke-19 strict
liability ini mulai diperkenalkan diberbagai negara sebagaimana
dikatakan Lummert “Since the middle of the nineteenth century,
stict liability has been intriduced in all countries, at least for
particular types of cases, a large number of which are connected to
enviromental hazards.37
37 Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Environmental Disputes
Resolution),Airlangga University Press, Surabaya, hlm. 28
31
Di Prancis, strict liability diterapkan untuk instalasi yang
berbahaya. Demikian halnya di Belanda, Jerman, Switzerland, dan
Swedia, konsep strict liability sudah dianut dalam perudang-
undangan sebagai prinsip umum untuk kegiatan yang sifatnya
berbahaya. Di negara-negara yang menganut sistem common law,
perkembangan strict liability dimulai dari Inggris melalui kasus
Ryland vs Fletcher 1868.
Konsep atau doktrin strict liability diterapkan untuk kasus-
kasus yang sifatnya “abnormally dangerous activites”, dapat
membantu dalam menangani kasus-kasus yang berbahaya bagi
lingkungan dan biasanya doktrin ini didampingi dengan doktrin
pembuktian terbalik, sehingga tanggung gugat timbul tanpa
mempersoalkan kesalahan tergugat, sebagaimana ditegaskan
James E. Krier: 38
Finally, the doctrine of strict liability for abnormally dangerous activities can be of assistance in many cases of environmental damege, strict liability is, of course, more than a burden-shifting doctrine, since is nor only relieves the palintiff of the obligation to prove fault but forecloses the defendant from proving the absence of fault.
Penerapan doktrin strict liability ini biasanya didampingi
dengan ketentuan tentang beban pembuktian terbalik, kewajiban
asuransi dan penetapan “plafond”, yaitu batas maksimum ganti
kerugian. Indonesia pertama kali menerapkan strict liability melalui
38 Siti Sundari Rangkuti, Op.cit., hlm. 281
32
Kepres No. 18 Tahun 1978 tentang Pengesahan International
Convention on Civil Liability for Oil Damage (CLC) 1969. Article III
CLC menentukan:
Except as provided in paragraphs 2 and 3 of this article, the owner of a ship at the time of an incident or where the incident concist of a series of occurrences at the time of the first such occurrence shall be liable for any pollution damage caused y oil which has escaped or been discharged from the ship as a result of the incident.
Pengaturan strict liability dalam undang-undang lingkungan
sudah ada sejak UULH 1982 dalam Pasal 21. Ketentuan ini diatur
kembali dalam Pasal 35 UUPLH 1997, dan terakhir diatur dalam
Pasal 88 UUPPLH 2009 yang menentukan:
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung hawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
d) Tanggung Gugat Bersama (Hoofdelijk Aansprakelijkheid, Jointly
and Severally Liability)
Konsep ini diterapkan dalam hal gugatan terdiri dari
beberapa orang atau badan hukum dan penggugat tidak dapat
secara spesifik menunjuk pelaku pencemaran-perusakan
lingkungan. Dalam UUPPLH Tahun 2009 konsep tanggung gugat
bersama tidak ditemukan pengaturannya.
33
Dalam hal pencemaran minyak di laut wilayah, tanggung
gugat diatur dalam Article IV CLC. Tanggung gugat bersama juga
dianut dalam Pasal 30 Ayat (1) UU No. 10 Tahun 1997 tentang
Ketenaganukliran.
e) Tanggung Gugat Berdasarkan Andilnya dalam Pencemaran
(Vervuilersaandeel Aansprakelijkheid, Pollution Share Liability)
Dalam kasus-kasus yang sulit mengungkapkan hubungan
kausal prinsip-prinsip “kausalitas” dan “tanggung gugat” tradisional
dari perbuatan melanggar hukum mulai ditinggalkan dan timbullah
teori atau konsep “market share liability” atau tanggung gugat
berdasarkan andil di pasaran. Beberapa pakar di Amerika dan
Nederland berpendapat bahwa market share liability dapat
diterapkan pada perkara-perkara kerugian lingkungan yang
disebabkan oleh sejumlah besar pencemar. Konsep ini
meringankan beban pembuktian bagi korban yang tidak mungkin
mampu menunjukkan hubungan kausal antara kerugiannya dengan
si pembuat kerugian tertentu. 39
Konsep atau teori ini pada awalnya diperkenalkan oleh
seorang mahasiswa fakultas hukum dalam tulisannya di Fordham
Law Review (1978), yang kemudian diadopsi oleh pengadilan
negara bagian California Tahun 1980 dalam kasus product liability
39 Siti sundari rangkungti, Op.cit., hlm. 15
34
Sindell v. Abott Laboratories. Putusan Supreme Court of California
dalam kasus ini antara lain menetapkan:
Each defendant will be held liable for the proportion of the judgment repsented by its share of that market, unless it demonstrates that it could not have made the product which caused plaintiff’s injuries.
Dari putusan ini timbul “maket share liability” yang
didampingi oleh beban pembuktian terbalik. Dalam hal pencemaran
lingkungan, konsep ini pun dipergunakan dengan menetapkan
bahwa setiap tergugat bertanggung gugat terhadap bagian
kerugian yang timbul sesuai dengan andilnya dalam pencemaran
itu. Pandangan ini juga dikenal dengan “pollution share liability”.
Tergugat yang mampu membuktikan bahwa mereka tidak mungkin
bertanggung gugat, karena mereka bukan yang menimbulkan
kerugian itu, dibebaskan dari tanggung gugatnya. Pencemar
selebihnya wajib bertanggung gugat terhadap bagian yang
seimbang atas kerugian yang diwujudkan oleh “share of
pollutionnya”-nya.40
Hukum lingkungan keperdataan bertujuan untuk memberikan
perlindungan hukum bagi korban pencemaran lingkungan dengan cara
mengajukan gugatan sengketa lingkungan di peradilan umum untuk
mengganti kerugian. Penyelesaian sengketa lingkungan diartikan sebagai
40 Ibid.
35
gugatan ganti kerugian atas dasar perbuatan melawan hukum di bidang
lingkungan keperdataan oleh korban pencemaran lingkungan.41
Terjadi sengketa (termasuk didalamnya sengketa lingkungan)
merupakan suatu yang tidak dikehendaki namun apabila terjadi maka
harus diselesaikan dengan cara yang memadai. Para pihak yang
bersengketa dapat memilih berbagai mekanisme penyelesaian sengketa
lingkungan yang menguntungkan, yaitu memilih cara penyelesaian
sengketa lingkungan yang tepat, praktis, efektif, efisien, pragmatis,
kooperatif, serta prospektif.42
Terdapat beberapa alternatif cara penyelesaian sengketa
lingkungan. Pertama, melalui lembaga peradilan negara, kedua diluar
lembaga peradilan. Pada cara yang pertama lembaga peradilan sebagai
institusi negara, berwenang menjalankan kekuasaan kehakiman dalam
menerima, memeriksa, serta memutus perkara atau sengketa hukum
yang diajukan kepadanya. Sedangkan cara yang kedua, penyelesaian
sengketa lingkungan di luar pengadilan berdasarkan pilihan dan
kesepakatan para pihak sebagai wujud aktualisasi peran serta masyarakat
untuk menyelesaikan sengketa secara kooperatif.43
41 Gebriella Jacqueline Pondaag,” Pertanggungjawaban Secara Perdata Dari
Badan Usaha Pertambangan Terhadap Pencemaran Lingkungan Hidup”. Lex Privatum.Vol.1 No.2, 2013, Hlm. 124-125.
42 A’an Efendi, 2012, Penyelesaian Sengketa Lingkungan,Mandar Maju, Bandung, Hlml.16.
43 Ibid.
36
D. Pertambangan
1. Hukum Pertambangan
a) Sejarah
Sebelum Indonesia merdeka, kolonial Belanda menyadari akan
melimpahnya sumber daya alam yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, baik
yang berada di atas bumi terlebih lagi yang berada pada perut bumi yaitu
bahan galian atau tambang. Maka pada Tahun 1989 dengan staatblad
1989 Nomor 214 diundangkan Indische Mijn Wet (IMW) berupa
Mijnordonantie yang diberlakukan mulai Tanggal 1 Mei 1907 yang
mengatur tentang keselamatan kerja pertambangan (tercabtum dalam
Pasal 365 sampai dengan Pasal 612). Kemudian Mijnordonantie dicabut
dan diperbarui menjadi Mijnordonantie 1930 dan berlaku mulai 1 Juli
1930, yang mana tidak lagi mengatur tentang pengawasan keselamatan
kerja pertambangan tetapi diatur sendiri dalam Mijn Polite Reglemen
dengan Staablad 1930 Nomor 314.44
Setelah Indonesia merdeka, ditetapkan peraturan pengelolaan
bidang pertambangan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) Nomor 37 Tahun 1960 tentang Pertambangan
yang mengakhiri berlakunya Indische Mijn Wet (IMW) 1989. Masih dalam
kurun waktu yang sama yaitu pada tahun 1960, juga diterbitkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 44 Tahun 1960
tentang Minyak dan Gas Bumi.
44 Abrar Saleng, 2004, hlm.64.
37
Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Secara tersirat juga
menyatakan tentang bahan galian atau tambang, yang dalam Pasal 1
Ayat (2) bahwa “seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia,
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang
angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”.
Guna mempercepat terlaksananya pembangunan ekonomi nasional
dengan tetap berpegangan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dipandang perlu mencabut Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 37 Tahun 1960 tentang
Pertambangan dan kemudian diganti dengan Undang-Undang Pokok
Pertambangan yang baru yang sesuai dengan kenyataan saat itu yaitu
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan yang terdiri atas 12 Bab dan 37 Pasal ini mulai
berlaku pada Tanggal 2 Desember 1967.
Selanjutnya pada Tanggal 23 November 2001 ditetapkan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2001 yang khusus mengatur tentang minyak
dan gas bumi. Berselang 42 tahun barulah pada Tanggal 12 Januari 2009
disahkan undang-undang terbaru yang dianggap lebih sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi kekinian di bidang pertambangan khususnya
tentang pertambangan umum yang terdiri atas 26 bab dan 175 pasal yaitu
38
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batu Bara.
b) Pengertian Hukum Pertambangan
Istilah hukum pertambangan merupakan terjemahan dari bahasa
Inggris, yaitu mining law. Hukum pertambangan adalah “hukum yang
mengatur tentang penggalian atau pertambangan bijih-bijih dan mineral-
mineral dalam tanah”. Defini lain dalam Blacklaw Dictionary. Mining law
adalah: “the act of appropriating a mining claim (paercel of land containg
precious metal in its soil or rock) according to certain established rule”.
Salim HS dalam bukunya Hukum Pertambangan Indonesia
mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan hukum pertambangan
adalah:
Keseluruhan kaidah hukum yang mengatur kewenangan negara dalam pengelolaan bahan galian (tambang) dan mengatur hubungan hukum antara negara dengan orang dan atau badan hukum dalam pengelolaan dan pemanfaat bahan galian (tambangan).
c) Asas-Asas Hukum Pertambangan
Adapun asas-asas hukum pertambangan sebagaimana tercantum
dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Yaitu:45
45 Gatot Supramono, 2012, Hukum Pertambangan Mineral dan Batu Bara di Indonesia,
Jakarta, hlm. 7
39
1. Asas Manfaat, Keadilan dan Keseimbangan
Asas manfaat adalah asas yang menunjukkan bahwa dalam
melakukan penambangan harus mampu memberikan keuntungan dan
manfaat sebesar-besarnya bagi peningkatan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat.
Asas Keadilan bermaksud bahwa dalam melakukan penambangan
harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama secara
proporsional bagi seluruh warga negara tanpa ada yang dikecualikan.
Asas Keseimbangan bermaksud bahwa dalam melakukan kegiatan
penambangan wajib memerhatikan bidang-bidang lain terutama yang
berkaitan langsung dengan dampaknya.
2. Asas Keberpihakan kepada Kepentingan Bangsa
Asas ini bermaksud bahwa dalam melakukan kegiatan
pertambangan harus berorientasi kepada kepentingan bangsa bukan
kepada kepentingan individu atau golongan.
3. Asas Partisipatif, Transparansi, dan Akuntabilitas
Asas Partisipatif adalah asas yang menghendaki bahwa dalam
melakukan kegiatan pertambangan dibutuhkan peran serta
masyarakat dalam penyusunan kebijakan, pengelolaan, pemantauan
dan pengawasan terhadap pelaksanaannya.
40
Asas tranparansi adalah asas yang mengamanatkan adanya
keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur dalam
penyelenggaraan kegiatan pertambangan.
Asas akuntabilitas adalah asas yang mana dalam kegiatan
pertambangan dilakukan dengan cara-cara yang benar sehingga dapat
dipertanggungjawabkan.
4. Asas Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan
Asas berkelanjutan dan berwawasan lingkungan adalah asas yang
secara terencana mengintegrasikan dimensi ekonomi, lingkungan dan
sosial budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral dan
batu bara untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan masa
mendatang.
2. Penggolongan Bahan Galian
Penggolongan bagan galian menurut Undang-Undang No. 11
Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, dibagi
menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu:
a. Bahan galian golongan A, yaitu bahan galian golongan
strategis. Yang dimaksud strategis adalah trategis bagi
pertahanan/keamanan negara atau bagi perekonomian
negara;
41
b. Bahan galian golongan B, yaitu bahan galian vital, adalah
bahan galian yang dapat menjamin hajat hidup orang
banyak;
c. Bahan galian galian C, yaitu bahan galian yang tidak
termasuk golongan A dan B.
Bahan galian apa saja yang termasuk ke dalam masing-masing
golongan tersebut diatur berdasarkan kerentuan pengelompokan lebih
rinci, dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1980, yaitu:
1. Bahan galian golongan A atau bahan galian strategis, yang
terdiri dari:
1) Minyak bumi, bitumen cair, lilin bumi, dan gas alami;
2) Bitumen padat, aspal;
3) Antrasit, batu bara, batu bara muda;
4) Uranium, radium, thorium, dan bahan-bahan radio aktif
lainnya;
5) Nikel, kobalt;
6) Timah.
2. Bahan galian golongan B atau bahan galian vital, terdiri dari:
1) Besi, mangan, molibdenum, khrom, walfran, vanadium.
Titanium;
2) Bauksit, tembaga, timbal, seng;
3) Emas, platina, perak, air raksa, intan;
4) Arsen, antinom, bismut;
42
5) Yttrium, rhutenium, crium, dan logam-logam langka
lainnya;
6) Berrilium, korudum, zirkon, kristal kwarsa;
7) Kriolit, flouspar, barit;
8) Yodium, brom, khlor, belerang.
3. Bahan galian golongan C atau bahan galian industri, terdiri
dari:
1) Niktrat, phosphate, garam batu;
2) Asbes, talk, mika, grafit, magnesit;
3) Yorosit, leusit, tawas (alam), oker;
4) Batu permata, batu setengah permata;
5) Pasir kwarsa, kaolin, feldspar, gips, bentonite;
6) Batu apung, teras, obsidian, perlit, tanah diamote;
7) Marmer, batu tulis;
8) Batu kapor, dolomit, kalsit;
9) Granit, andesit, basal, trakkit, tanah liat, dan pasir.
Sedangkan penggolongan bahan galian berdasarkan UU No. 4
Tahun 2009 lebih menitikberatkan pada aspek teknis, yaitu berdasarkan
pada kelompok atau jenis bahan galian yang penggolongannya terbagi
dalam 4 (empat) golongan. Penggolongan bahan galian diatur
berdasarkan pada kelompok usaha pertambangan, sesuai Pasal 4, yaitu:
1. Usaha pertambangan dikelompokkan atas:
43
a. Pertambangan mineral;
b. Pertambangan batu bara.
2. Pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
huruf a digolongkan atas:
a. Pertambangan mineral radio aktif;
b. Pertambangan mineral logam;
c. Pertambangan mineral bukan logam;
d. Pertambangan batuan.
E. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), yang dalam
bahasa Inggris diistilahkan dengan Environmental Impact Analysis, telah
secara luas digunakan oleh banyak negara sebagai suatu instrumen
hukum lingkungan untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan
dari suatu fasilitas. Misalnya, Amerika Serikat melalui National
Environmental Impact Statement Sebagai salah satu instrumen hukum
lingkungan untuk penaatan.46
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah suatu
studi yang mendalam tentang dampak negatif dari suatu kegiatan. AMDAL
mempelajari dampak pembangunan terhadap lingkungan hidup dan
dampak lingkungan terhadap pembangunan terhadap lingkungan hidup
46 Sukanda Husin, 2009, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakrta,
Hlm. 96.
44
dan dampak lingkungan terhadap pembangunan yang didasarkan pada
konsep ekologi, yaitu ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara
manusia dengan lingkungan hidup. Oleh karena itu, konsep AMDAL dapat
dikatakan sebagai konsep ekologi pembangunan dengan lingkungan
hidup. 47
Kebijakan AMDAL secara yuridis lahir sejak diundangkannya
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 (UULH-1982), yang kemudian
diatur lebih lanjut dengan PP No.29 Tahun 1986 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan. UULH-1982 telah dicabut dan diganti
dengan UUPLH-1997 dan terakhir diganti lagi dengan UUPPLH-2009.
Sementara PP No.29 Tahun 1986 telah dicabut dan diganti dengan PP
No.51 Tahun 1993, kemudian diganti lagi dengan PP No. 27 Tahun 1999
dan terakhir diganti dengan PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan. 48
Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan AMDAL adalah:
Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut AMDAL, adalah kajian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
47 Otto Sumarwoto, 1988, Analisis Dampak Lingkungan, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, Hlm. 43. 48 Muhammad Akib, 2014, Op.Cit, hlm. 118.
45
Dengan demikian, tidak semua rencana kegiatan wajib Amdal,
kecuali yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan. Hal ini
selaras dengan ketentuan Pasal 22 Ayat (1) UUPPLH-2009, bahwa
“Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap
lingkungan hidup wajib memiliki Amdal”. Kriteria dampak penting
ditentukan dalam Pasal 22 Ayat (2) UUPPLH yang meliputi:
a. Besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana
usaha dan/atau kegiatan;
b. Luas wilayah penyebaran dampak;
c. Intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. Banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena
dampak;
e. Sifat kumulatif dampak;
f. Berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau
g. Kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.49
Penyusunan dokumen AMDAL menurut PP No. 27 Tahun 2012
dituangkan dalam tiga dokumen, yaitu: Kerangka Acuan, Analisis Dampak
Lingkungan (Andal), dan Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana
Pemantauan Lingkungan (RKL-RPL). Kerangka Acuan menjadi dasar
penyusunan Andal dan RKL-RPL.50
49 Ibid., hlm. 119 50 Ibid., hlm. 121.
46
Sejak Tahun 1982 pada Konferensi Bumi di Rio de Jeneiro,
pembangunan berkelanjutan menjadi tema umum pembangunan di
seluruh negara di dunia. Pembangunan berkelanjutan memadukan tiga
pilar pembangunan yaitu bidang ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan
hidup secara proporsional. Salah satu kegiatan yang berkaitan dengan
pilar lingkungan hidup adalah melaksanakan kegiatan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) atau Environmental Impact
Assessment (EIA).
Kegiatan AMDAL merupakan kegiatan untuk menilai suatu kegiatan
yang akan dilaksanakan tidak berdampak merugikan lingkungan (flora,
fauna, tanah, air, tataguna lahan, ekonomi, sosial, budaya, kesehatan
masyarakat dan komponen lingkungan lainnya. Kegiatan AMDAL ini
merupakan kegiatan yang sangat penting dan strategis dalam
pengelolaan sumber daya dan lingkungan dan merupakan bagian penting
dalam pembangunan berwasasan lingkungan.
Kegunaan AMDAL khususnya dalam usaha menjaga kualitas
lingkungan adalah:
a. Mencegah agar potensi sumber daya alam yang dikelola tidak
rusak, terutama sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui;
b. Menghindari efek samping dari pengolahan sumber daya terhadap
sumber daya alam lainnya, proyek-proyek lain dalam masyarakat
agar tidak timbul pertentangan-pertentangan;
47
c. Mencegah terjadinya perusakan lingkungan akibat pencemaran,
misalnya timbulnya pencemaran air, udara, tanah, kebisingan dan
sebagainya. Sehingga tidak mengganggu kesehatan, kenyamanan
dan keselamatan masyarakat;
d. Agar dapat diketahui manfaat yang berdaya guna dan berhasil
guna bagi masyarakat, bangsa dan negara.
Proses penyusunan AMDAL, melibatkan beberapa pihak dalam
pelaksanaannya. Pihak-pihak yang terlibat adalah Komisi Penilai AMDAL,
pemrakarsa, dan masyarakat yang berkepentingan. Komisi Penilai
AMDAL adalah komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL. Di tingkat
pusat berkedudukan di Kementerian Lingkungan Hidup, di tingkat Propinsi
berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengelola lingkungan hidup Propinsi,
dan di tingkat Kabupaten/Kota berkedudukan di Bapedalda/lnstansi
pengelola lingkungan hidup Kabupaten/Kota. Unsur pemerintah lainnya
yang berkepentingan dan warga masyarakat yang terkena dampak
diusahakan terwakili di dalam Komisi Penilai ini. Tata kerja dan komposisi
keanggotaan Komisi Penilai AMDAL ini diatur dalam Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup, sementara anggota-anggota Komisi Penilai
AMDAL di propinsi dan kabupaten/kota ditetapkan oleh Gubernur dan
Bupati/Walikota.
Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang
bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang
akan dilaksanakan. Masyarakat yang berkepentingan adalah masyarakat
48
yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL
berdasarkan alasan-alasan seperti kedekatan jarak tinggal dengan
rencana usaha dan/atau kegiatan, faktor pengaruh ekonomi, faktor
pengaruh sosial budaya, perhatian pada lingkungan hidup, dan/atau faktor
pengaruh nilai-nilai atau norma yang dipercaya. Masyarakat
berkepentingan dalam proses AMDAL dapat dibedakan menjadi
masyarakat terkena dampak, dan masyarakat pemerhati.
F. Pencemaran Lingkungan
Bahaya yang senantiasa mengancam kelestarian lingkungan dari
waktu ke waktu ialah pencemaran dan perusakan lingkungan.51
Menurut RTM. Sutamihardja, 52 pencemaran adalah penambahan
bermacam-macam bahan sebagai hasil dari aktivitas manusia ke
lingkungan dan biasanya memberikan pengaruh yang berbahaya
terhadap lingkungan itu.
Stephanus Munadjat Danusaputro53 merumuskan pencemaran
lingkungan sebagai berikut:
Pencemaran adalah suatu keadaan, dalam mana suatu zat dan atau energi diintroduksikan ke dalam suatu lingkungan oleh kegiatan menusia atau oleh proses alam sendiri dalam konsentrasi sedemikian rupa, hingga menyebabkan terjadinya perubahan dalam keadaan termaksud yang mengakibatkan lingkungan itu tidak berfungsi seperti semula dalam arti kesehatan, kesejahteraan, dan keselamatan hayati.
51 Muhammad Erwin, 2009, Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijaksanaan
Pembangunan Lingkungan Hidup, Refika Aditama, Bandung, hlm. 35 52 Ibid., hlm. 36. 53 Ibid., hlm. 36.
49
Pencemaran lingkungan menimbulkan kerugian dan kerugian itu
dapat terjadi dalam bentuk:54
a. Kerugian ekonomi dan sosial (economic and social injury);
b. Gangguan sanitair (sanitary hazard).
Sementara menurut golongannya pencemaran itu dapat dibagi
atas:55
a. Kronis, dimana kerusakan terjadi secara progresif tetapi
lambat;
b. Kejutan atau akut, kerusakan mendadak dan berat, biasanya
timbul dari kecelakaan;
c. Berbahaya, dengan kerugian biologis berat dan dalam hal
ada radioaktivitas terjadi kerusakan genetis;
d. Katastrofis, di sini kematian organisme hidup banyak dan
mungkin organisme hidup itu menjadi punah.
1. Pencemaran Air
Air adalah sumber daya alam yang mutlak diperlukan bagi hidup
dan kehidupan manusia. Sumberdaya (resources) merujuk kepada
apakah sesuatu (sumber-sumber alam) itu dapat diberdayakan dan
memiliki nilai ekonomi serta dapat memenuhi kebutuhan manusia.56
54 Ibid. 55 Ibid. 56 Abrar Saleng, 2013, Op.Cit, hlm. 165.
50
Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang
Pengairan ada rumusan pengertian tentang air, sumber-sumber air, dan
pengairan yakni:
a) Air adalah semua air yang terdapat di dalam dan atau
berasal dari sumber-sumber air, baik yang terdapat di atas
maupun di bawah permukaan tanah, tidak termasuk dalam
pengertian ini air yang terdapat di laut;
b) Sumber-sumber Air adalah tempat-tempat dan wadah-
wadah air, baik yang terdapat di atas, maupun di bawah
permukaan tanah;
c) Pengairan adalah suatu bidang pembinaan atas air,
sumber-sumber air, termasuk kekayaan alam bukan hewani
yang terkandung di dalamnya baik yang alamiah maupun
yang telah diusahakan oleh manusia.
Pasal 1 butir 11 PP No. 82 Tahun 2001 merumuskan pengertian
pencemaran air, yaitu” Masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup,
zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia,
sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
air tidak berfungsi sesuai dengan peruntukannya”.
Pada Tahun 2002, Komite Hak Ekonomi Sosial dan Ekonomi Sosial
dan Budaya PBB dalam komentar umum nomor 15 memberikan
penafsiran yang lebih tegas terhadap Pasal 11 dan 12 Konvensi Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya dimana hak atas air tidak bisa dipisahkan
51
dari hak-hak asasi manusia lainnya, dengan air sebagai hak asasi
manusia, menjadikan penyediaan layanan air dikategorikan sebagai
essentials services atau pusat dari kontrak sosial antara pemerintah dan
masyarakat. Dengan kata lain, jaminan atas air bagi masyarakat
merupakan tanggung jawab pemerintah.57
2. Pengendalian Pencemaran Air
Upaya pengendalian pencemaran air di Indonesia mula-mula diatur
dalam PP No. 20 Tahun 1990. Pada Tanggal 14 Desember 2001
Pemerintah telah mengundangkan PP No. 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air yang
mencabut berlakunya PP No. 20 Tahun 1990.58 Pada Peraturan
Pemerintah tersebut memuat pengertian-pengertian tentang beberapa
konsep yang berhubungan dengan pengendalian pencemaran air, yaitu:
air, pengelolaan kualitas air, pengendalian pencemaran air, kriteria mutu
air, baku mutu air, beban pencemaran, daya tampung beban
pencemaran.59
Pasal 1 Ayat (3) PP No. 82 Tahun 2001 merumuskan pengertian
pengelolaan kualitas air adalah “Upaya pemeliharaan air sehingga
tercapai kualitas air yang diinginkan sesuai peruntukannya untuk
menjamin agar kualitas air tetap dalam kondisi alamiahnya. Pasal 1 Ayat
57 Redaksi Informan, Hak Rakyat atas Air, diakses pada sitrus Informan.co.id, pada tanggal 3 Agustus 2017.
58 Takdir Rahmadi, 2012, Hukum Lingkungan di Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 136.
59 Ibid.
52
(4) merumuskan pengertian pengendalian pencemaran air yaitu “Upaya
pencegahan dan penanggulanagan pencemaran air serta pemulihan
kualitas air agar menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air”.
Sedangkan baku mutu air dijelaskan dalam pasal yang sama bahwa
“Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat,
energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur
pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air”.
Klasifikasi dan kriteria mutu air sangat penting untuk menentukan
peruntukannya. Pasal 8 PP No. 82 Tahun 2001 menetapkan klasifikasi
mutu air dalam empat kelas, yaitu:
a. Kelas satu adalah air yang peruntukannya dapat digunakan
untuk air baku air minum dan/atau peruntukan lain yang
mensyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
b. Kelas dua adalah air yang peruntukannya dapat digunakan
untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air
tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan/atau
peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama
dengan kegunaan tersebut;
c. Kelas tiga adalah air yang peruntukannya dapat digunakan
untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk
mengairi pertanaman, dan/atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut;
53
d. Kelas empat adalah air yang peruntukannya dapat digunakan
untuk mengairi pertanaman dan/atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut.
PP No. 82 Tahun 2001 memuat ketentuan-ketentuan yang
mengikat badan-badan usaha atau penanggungjawab usaha. Kewajiban-
kewajiban itu adalah memberikan informasi yang benar dan akurat
tentang pelaksanaan pengelolaan kualitas air, dan pengendalian
pencemaran air, meyampaikan laporan tentang penataan persyaratan izin
aplikasi air limbah ke tanah, menyampaikan laporan tentang penaatan
persyaratan izin pembuangan air limbah ke sumber air dan
menyampaikan laporan-laporan sekurang-kurangnya sekali dalam tiga
bulan.60
Mengenai ganti kerugian juga dibahas dalam PP No. 82 Tahun
2001 Pasal 50, Ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap perbuatan melanggar
hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang
menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup,
mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar
ganti kerugian dan/atau melakukan tindakan tertentu”. Pasal (2) “Selain
pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas
setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut”.
60 Ibid., hlm.141.
54
3. Izin Pembuangan Air Limbah
Izin pembuangan air limbah didasarkan pada Peraturan
Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air Pasal 40 Ayat (1), bahwa “Setiap usaha
atau kegiatan yang akan membuang air limbah ke air atau sumber air
wajib mendapat izin tertulis dari Bupati/Walikota.” Ketentuan Pasal 40 Ayat
(2) selanjutnya ditegaskan, bahwa permohonan izin pembuangan air
limbah didasarkan pada hasil kajian Amdal bagi industri yang wajib Amdal
atau kajial UKL-UPL bagi kegiatan yang tidak wajib Amdal. 61
Menurut PP No. 82 Tahun 2001, izin pembuangan air limbah
memuat persyaratan berikut:
a. Kewajiban untuk mengolah limbah;
b. Persyaratan mutu dan kuantitas air limbah yang boleh dibuang
ke media lingkungan;
c. Persyaratan cara pembuangan air limbah;
d. Persyaratan untuk mengadakan sarana dan prosedur
penanggulangan keadaan darurat;
e. Persyaratan untuk melakukan pemantauan mutu dan debit air
limbah;
f. Persyaratan lain yang ditentukan oleh hasil proses Amdal;
61 Ibid, hlm. 133.
55
g. Larangan pembuangan secara sekaligus dalam satu saat atau
pelepasan dadakan;
h. Larangan untuk melakukan pengencaran;
i. Kewajiban melakukan swapantau dan melaporkan hasil
swapantau kepada pejabat yang berwenang.
G. Irigasi
Sawah merupakan suatu usaha pertanian yang dilakukan pada
tanah basah dan membutuhkan air untuk irigasi. Jenis tanaman yang
ditanam pada sawah adalah padi.62 Air merupakan salah satu faktor
penentu dalam proses produksi pertanian. Oleh karena itu investasi irigasi
menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka penyediaan air untuk
pertanian. Dalam memenuhi kebutuhan air untuk berbagai keperluan
usaha tani, maka air irigasi harus diberikan dalam jumlah, waktu, dan
mutu yang tepat, jika tidak maka tanaman akan terganggu
pertumbuhannya yang pada gilirannya akan memengaruhi produksi
pertanian.63
Peraturan tentang irigasi diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 77 Tahun 2001 tentang Irigasi. Pengertian Irigasi dalam Pasal 1
butir 3 yaitu “irigasi adalah usaha penyediaan dan pengaturan air untuk
menunjang pertanian, yang jenisnya meliputi irigasi air permukaan, irigasi
air bawah tanah, irigasi pompa, dan irigasi tambak.” Irigasi
62 Argoteknologi.web.id, Jenis-Jenis Sawah Berdasarkan Sumber Air yang
Didapatkannya. 63 Sahriruddin, “Analisis Kebutuhan Air irigasu Untuk Daerah Irigasu Cimanuk Kabupaten
Garut”, Jurnal Irigasi, Vol.13 No.1 2014. Hal. 1-2.
56
diselenggarakan dengan tujuan mewujudkan kemafaatan air yang
menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan, serta untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani.64
Dalam pengamanan jaringan irigasi, salah satu pasalnya tercantum
larangan mendirikan, mengubah ataupun membongkar bangunan-
bangunan lain yang berada di dalam, di atas, maupun yang melintasi
saluran irigasi, kecuali dengan izin Pemerintah Daerah yang
bersangkutan. Jenis bangunan yang diizinkan adalah bangunan-
bangunan yang menurut pertimbangan teknis tidak mengganggu fungsi
jaringan irigasi.65
64 Pasal 2 UU No. 77 Tahun 2001 65 Pasal 34 Ayat (3) UU No. 77 2001 beserta penjelasannya.
57
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Baruga Kecamatan Bantimurung
Kabupaten Maros, PT. Semen Bosowa Maros, Balai Pengamanan dan
Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPHLHK)
Sulawesi di Makassar, dan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi
Selatan.
B. Populasi dan Sampel
Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah warga yang
mengalami kerugian atas pencemaran air yang berdampak pada lahan
pertanian di Desa Baruga Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros.
Dari populasi tersebut, selanjutnya ditarik sampel dengan
menggunakan teknik Purposive Sampling, yaitu pemilihan sampel
berdasarkan kriteria dan tujuan tertentu. Jumlah responden bukan hal
utama melainkan kedalaman informasi yang diberikan oleh setiap
responden.
C. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah:
1. Data Primer
58
Data Primer merupakan data yang diperoleh secara langsung
melalui wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan penulisan
skripsi ini. Pihak-pihak yang terkait yang dimaksud ialah masyarakat Desa
Baruga Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros, narasumber dari PT.
Semen Bosowa Maros, narasumber dari Balai Pengamanan dan
Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPHLHK)
Sulawesi di Makassar, dan narasumber dari Wahana Lingkungan Hidup
(WALHI) Sulawesi Selatan.
2. Data Sekunder
Data Sekunder merupakan data yang diperolah melalui studi
kepustakaan, internet, surat kabar, aturan perundang-undangan, dan
dokumen yang diperoleh dari instansi tempat penelitian penulis.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah teknik pengumpulan data dengan cara sebagai berikut :
a. Interview (wawancara) yaitu suatu teknik pengumpulan data
yang dilakukan dengan tanya jawab langsung maupun tidak
langsung pada pihak-pihak terkait yakni:
1) Masyarakat di sekitar Pabrik PT. Semen Bosowa Maros
59
2) Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (BPPHLHK)
3) Wahana Lingkungan Hidup (WALHI)
4) PT. Semen Bosowa Maros
b. Observasi, yaitu berupa pengamatan yang dilakukan pada
lokasi ditemukannya masalah.
c. Studi Dokumen (documentary studies), yaitu mencari data yang
berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,
notulen rapat, legger, agenda, dan sebagainya.
E. Analisis Data
Analisis data adalah sebuah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikan ke dalam pola, kategori, dan kesatuan uraian dasar.
Data yang diperoleh melalui wawancara dan studi dokumen akan
dianalisis secara kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif yaitu
dengan menguraikan, menjelaskan dan menggambarkan permasalahan
yang erat kaitannya dengan penelitian ini.
60
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Tanggung Jawab Lingkungan Perusahaan PT.
Semen Bosowa Maros Terhadap Sumber Air untuk Pertanian di
Desa Baruga
Tanggung jawab sosial dan lingkungan yang lebih dikenal dengan
istilah Corporate Social Responsibility (CSR) adalah sebuah kewajiban
yang dapat mengubah pandangan maupun perilaku usaha, sehingga CSR
dimaknai bukan sekedar tuntutan moral, tetapi sebagai suatu kewajiban
perusahaan yang harus dilaksanakan. Sebagaimana diatur dalam Pasal
74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(UUPT) bahwa “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di
bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan”. Jika tidak dilakukan, maka
perseroan tersebut dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dimensi lingkungan untuk perusahaan yang bertanggungjawab
sosial, didefinisikan sebagai kewajiban perusahaan terhadap dampak
lingkungan yang dihasilkan dari operasi dan produk, menghilangkan emisi
dan limbah, mencapai efisiensi maksimum dan produktivitas tergantung
pada sumber daya yang tersedia, dan penurunan praktik yang dapat
61
berdampak negatif terhadap negara dan ketersediaan sumber daya
generasi berikutnya. Perusahaan harus menyadari semua aspek
lingkungan langsung dan tidak langsung yang berhubungan dengan
kinerja usahanya, penyerahan jasa, dan manufaktur produk. Hal ini juga
harus menggunakan standar tertentu untuk belajar tentang aspek
lingkungan yang mengakibatkan dampak untuk dapat secara efektif
meningkatkan kinerja lingkungannya. Standar tertentu seperti yang
ditetapkan oleh perusahaan itu sendiri harus komprehensif dan tetap.
Kesemuanya juga harus didokumentasikan melalui laporan tertulis untuk
meningkatkan kinerja fungsional lingkungan.66
Unsur-unsur utama dari tanggung jawab lingkungan meliputi:67
1) Mengadopsi kinerja lingkungan spesifik, aturan dan standar
pengkuran untuk operasi dan manajemen, yang dikenakan derajat
perlindungan lingkungan maksimal;
2) Memfasilitasi lingkungan teknologi pengembangan, konversi dan
alat angkut;
3) Mempromosikan kesadaran lingkungan;
4) Membuka saluran negosiasi dengan pihak terkait, dan
berkomunikasi dengan pihak-pihak tersebut tentang masalah
lingkungan.
66 Totok Mardikanto, 2014, CSR (Corporate Social Responsibility) (Tanggung Jawab Sosial
Korporasi), Alfabeta, Bandung, hlm. 149-150. 67 Ibid., hlm. 150.
62
PT Semen Bosowa Maros (PT SBM) merupakan perusahaan
industri semen yang menggunakan batu gamping dan tanah liat sebagai
bahan bakunya. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di
bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib
melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan sehingga PT SBM
dalam hal ini sebagai perusahaan yang wajib melaksanakan tanggung
jawab sosial dan lingkungan.
1. Kegiatan PT Semen Bosowa Maros (Tahap Operasional)
Perusahaan PT Semen Bosowa Maros (SBM) tergolong
perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang industri semen jenis
Portland Composit Cement (PCC) dan Ordinary Portland Cement (OPC)
dengan kapasitas produksi terpasang 4,3 juta ton pertahun.
Areal konsesi penambangan secara administratif masuk dalam
wilayah Desa Baruga dan Desa Tukamasea, areal ini seluas 1.100 ha
yang terdiri dari wilayah pengambilan bahan baku batu kapur dan tanah
liat seluas 1.000 ha. Lokasi pabrik seluas 60 ha dan perumahan karyawan
seluas 40 ha.
Pusat kegiatan industri dan penambangan dihubungkan oleh jalan
industri dalam lokasi pabrik, sedangkan pusat produksi semen dengan
Pelabuhan Makassar dihubungkan oleh jalan industi serta jalan poros
Provinsi Makassar – Pare-pare.
63
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada tahap operasional secara
umum adalah:
1. Kegiatan Penambangan
a. Penambangan Batu Kapur
Kegiatan penambangan batu kapur rata-rata mencapai
10.339 ton per hari dengan target mencapai 3.686.529 ton per
tahun. Target produksi ini untuk memenuhi kebutuhan bahan
baku semen dengan produksi semen portland 4,3 juta ton per
tahun. Lokasi penambangan dipilih mulai dari lokasi terdekat
dengan lokasi pabrik semen. Sistem penambangan dilakukan
dengan tambang terbuka yang melalui tahapan sebagai berikut:
1) Stripping (pengkulitan)
Menghilangkan tanah dan pepohonan serta rerumputan
yang terdapat pada permukaan batu.
2) Drilling (pengeboran)
Membuat lubang dengan menggunakan mesin bor.
3) Blasting (peledakan)
Meledakkan batu kapur dengan bahan peledak ANFO
(Amonium Nitrat Fuel Oil), dinamit, dan peledak listrik
(electric detonator).
Sistem pengangkutan material tambang dilakukan dengan
menggunakan Dump Truck ke bagian penghancuran (crushing
plant) sampai pada ukuran lebih kecil, kemudian diangkut ke
64
lokasi penyimpanan limestone. Dengan bantuan Belt Conveyor,
bahan baku limestone diangkut ke penampungan (mix storage)
selanjutnya ke Raw Mill.
b. Penambangan Tanah Liat (Clay)
Penambangan tanah liat dilakukan dengan penambangan
terbuka di luar kawasan lindung takni Desa Tukamasea.
Diproyeksikan penambangan tanah liat setiap tahunnya
mencapai 494.656 ton. Produksi tersebut diharapkan mampu
memenuhi kebutuhan bahan baku pabrik semen portland 2,3
juta ton per tahun. Kegiatan penambangan lempung dimulai
dengan pembersihan tegakan penutup tanah, peralatan dan
pemindahan bongkahan tanah.
Kegiatan penambangan yang diawali dengan kegiatan
pembersihan lokasi sekitar areal yang akan ditambang akan
berpengaruh terhadap keberadaan jenis flora dan fauna,
terjadinya erosi dan sedimentasi akibat aliran permukaan serta
berkurangnya sumber mata air.
2. Pengoperasian Pabrik Semen
Proses pembuatan semen meliputi pengadaan bahan baku
dalam jumlah besar, pemecahan, penghalusan, dan pengeringan
bahan baku, serta pembakaran material pada temperatur tinggi
sampai mencapai 1.500 oC dan kemudian penghalusan klinker
untuk menghasilkan semen.
65
a. Penampungan Bahan Baku
Bahan baku utama yang digunakan adalah batu kapur, clay,
pasir besi, gypsum, dan batu bara. Batu kapur dan clay
diperoleh dengan cara menambang pada area konsesi PT SBM
yang berjarak sekitar 1 (satu) km dari pabrik, sedangkan pasir
besi, gypsum dan batu bara didatangkan dari luar. Semua
bahan baku tersebut ditampung di lokasi sekitar pabrik yang
mudah diambil pada saat akan digunakan.
b. Proses Preblending
Batu kapur ditimbun dengan cara close circular stockpile.
Penimbunan dilakukan dengan Stacker. Dengan reclaimer
bahan baku dipindahkan memakai sistem belt conveyor ke bak
penampungan untuk dimasukkan ke dalam mesin raw mill.
Proses yang sama dilakukan terhadap clay dan pasir besi.
c. Proses Penggilingan Bahan Baku
Bahan baku hasil penambangan biasanya masih
mengandung kadar air yang cukup tinggi. Hal ini tidak
menguntungkan terutama untuk proses pengeringan.
Pengeringan ini biasanya memanfaatkan panas dari gas buang
yang berasal dari Suspension Preheater (SP). Bahan baku yang
sudah dikeringkan kemudian digiling untuk memperkecil ukuran.
Sesudah mendapatkan bahan yang halus, kemudian
66
dipompakan ke homogenizing silo untuk mendapatkan
homogenisasi pencampuran pada blending silo.
d. Proses Pembuatan Klinker
Proses pembuatan klinker menggunakan rotary kiln terdiri dari
proses penguapan air, pemanasan awal, kalsinasi, sintering,
pendinginan klinker. Gas panas yang keluar dari sistem
preheater masih dapat digunakan pada proses di raw mill dan
coal mill. Setelah melalui preheater, material yang berupa bubuk
halus dimasukkan ke dalam rotary klin untuk proses
pembakaran sampai temperatur 1.350oC – 1.500oC hingga
berbentuk klinker. Bahan bakar yang digunakan adalah IDO
(solar) sebagai bahan pembakar pertama kemudian IDO diganti
dengan bahan bakar batu bara. Klinker didinginkan melalui kisi-
kisi pendingin dan selanjutnya disimpan di silo klinker dengan
menggunakan Pan Conveyor.
e. Proses Penggilingan Akhir
Dengan pan conveyor. Klinker dibawa dari clinker silo dan
gypsum dari stock pile melalui suatu timbangan untuk mengatur
proporsi klinker dan gypsum, perbandingan klinker dan gypsum
adalah 96:4. Gypsum berfungsi sebagai retarder. Untuk
menjaga agar air hidratnya tidak hilang, yaitu dengan cara
mempertahankan suhu dalam mill tidak lebih dari 120oC. Oleh
sebab itu cement mill harus dilengkapi dengan water spray
67
yang dipasang pada kedua ujung mill. Pada proses
penggilingan akhir ini kedua bahan tersebut termasuk klinker
dan gypsum digiling menjadi semen. Selanjutnya disalurkan ke
cement silo dengan bantuan pneumatic pump.
2. Kajian AMDAL Terkait Dampaknya Terhadap Kualitas Air
Berdasarkan KA-ANDAL PT SBM Tahun 2011, adapun beberapa
hal yang diperkirakan dapat timbul atau berdampak pada lingkungan
khususnya dalam pembahasan ini terkait kualitas maupun kuantitas air
akibat dari kegiatan tersebut. Agar lebih mudah dalam menganalisanya,
dibuatkan tabel sebagai berikut:
Tabel 1. Dampak Potensial dan Dampak Penting Hipotetik Terhadap
Air
No. Kegiatan Dampak Potensial Dampak Penting Hipotetik
1 penambangan batu kapur
- meningkatnya aliran permukaan akibat kegiatan pembersihan permukaan lahan pada areal penambangan batu kapur dilaksanakan
- meningkatnya aliran permukaan akibat kegiatan pembersihan permukaan lahan pada areal penambangan batu kapur dilaksanakan. Namun karena intensitas dampaknya akan rendah dan luas persebaran dampaknya akan sempit maka dampak ini bersifat negatif dan tergolong
68
- meningkatnya laju
erosi dan sedimentasi akibat hilangnya penutup tanah pada saat penambangan dilaksanakan
- menurunnya kualitas
air akibat masuknya sedimen hasil erosi ke dalam badan air
- perubahan pola
aliran akibat kegiatan penambangan batu kapur yang akan menutup alur-alur anak sungai kecil dalam areal penambangan
dampak tidak penting (-TP)
- meningkatnya laju
erosi dan sedimentasi akibat hilangnya penutup tanah pada saat penambangan dilaksanakan. Intensitas dampaknya akan rendah karena aliran air akan lebih banyak mengalir ke bawah permukaan kars sehingga dampak ini bersifat negatif dan tergolong dampak tidak penting (-TP)
- menurunnya kualitas
air akibat masuknya sedimen hasil erosi ke dalam badan air. Intensitas dampaknya akan rendah dan jumlah penduduk yang akan terkena dampak adalah sedikit sehingga ini bersifat negatif dan tergolong dampak tidak penting (-TP)
- perubahan pola
aliran akibat kegiatan penambangan batu kapur yang akan menutup alur-alur anak sungai kecil dalam areal penambangan. Oleh karena aliran
69
permukaan akan mengalir ke arah bawah permukaan lahan kars maka perubahan pola aliran tidak akan signifikan. Dapak ini bersifat negatif dan tergolong dampak tidak penting (-TP)
2 penambangan tanah liat
- meningkatnya aliran permukaan akibat kegiatan pembersihan permukaan lahan pada areal penambangan tanah liat
- meningkatnya laju
erosi dan sedimentasi akibat kegiatan pembersihan permukan lahan dan penambangan pada areal penambangan tanah liat
- menurunnya kualitas
air akibat masuknya sedimen ke dalam badan air
- tidak ada penjelasan - tidak ada penjelasan - menurunnya kualitas
air akibat masuknya sedimen ke dalam badan air. Intensitas dampaknya akan tinggi dan akan berlangsung lama sehingga dampak ini bersifat negatif dan tergolong dampak penting hipotetik (-P)
3 pengoperasial PLTD
- penurunan kualitas air pada saat
- penurunan kualitas air akan terjadi akibat
70
pengoperasian PLTD
- limbah cair yang keluar dapat mengalir dan menurunkan kualitas air permukaan dan badan air
dicemari oleh limbah cair PLTD yang mengalir ke lingkungan dan menurunkan kualitas air badan air disekitarnya. Parameter kualitas air yang diduga akan terpengaruh adalah kendungan minyak, TDS, BOD, COD, kekeruhan dan kandungan logam. Dampak ini bersifat negatif dan tergolong dampak penting hipotetik (-P)
Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat 3
(tiga) kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap air.
Kegiatan tersebut yaitu penambangan batu kapur, penambangan tanah
liat, dan pengoperasian PLTD. Namun, dari beberapa yang berpotensi
menimbulkan dampak, 2 (dua) diantaranya berdampak penting hipotetik,
yaitu penambangan tanah liat dan pengoperasian PLTD.
Hasil evaluasi dampak penting tersebut digunakan sebagai dasar
pertimbangan dalam menyusun Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL).
71
• Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) Rencana Industri Semen,
Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan68
1. Kegiatan penambangan tanah liat
a. Jenis Dampak dan Sumber Dampak Penting
Dampaknya terhadap kualitas air. Sumber dampak adalah
penambangan bahan baku tanah liat.
b. Tolak Ukur Dampak
Baku mutu parameter kualitas air menurut SK Gubernur Prov.
SulSel No. 14 Tahun 2003.
c. Tujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan
Meminimalkan penurunan kualitas air pada badan air dan
sungai.
d. Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pendekatan Teknologi
- Membatasi pembukaan vegetasi penutup lahan pada areal
yang sesuai dengan izin konsesi penambangan
- Menempatkan material tanah liat hasil penambangan pada
tempat yang aman dan reatif jauh dari badan air atau
sungai
- Menutup tumpukan tanah liat hasil penambangan dengan
plastik atu terpal untuk mencegah pencucian dan mengalir
bersama aliran permukaan
68 Ringkasan Eksekutif AMDAL PT. Semen Bosowa Maros, Tahun 2011.
72
- Mengalirkan dan menampung sehingga langsung masuk ke
badan air atau sungai.
e. Lokasi Pengelolaan Lingkungan
Pada lokasi penambangan tanah liat dan sekitarnya.
f. Periode Pengelolaan Lingkungan Hidup
Selama kegiatan penambangan tanah liat pada tahap
operasional dilaksanakan.
2. Pengoperasian PLTD
g. Jenis Dampak dan Sumber Dampak Penting
Dampaknya terhadap kualitas air. Sumber dampak adalah
pengoperasian PLTD dalam areal industri Semen Bosowa.
h. Tolak Ukur Dampak
Baku mutu parameter kualitas air menurut SK Gubernur Prov.
SulSel No. 14 Tahun 2003.
i. Tujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan
Meminimalkan penurunan kualitas air pada badan air dan
sungai oleh limbah padat dan cair akibat pengoperasian PLTD.
j. Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pendekatan Teknologi
- Pembuatan bak kontrol jebakan minyak (oil catcher) yang
berfungsi sebagai penampung ceceran bahan bakar oli
yang tumpah.
73
- Limbah cair berupa oli yang tercampur dengan air dialirkan
ke oil catcher, kemudian ditampung di drum-drum yang
telah disiapkan untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai
campuran bahan bakar minyak untuk pemanas awal
pembakaran klinker, sedangkan yang tidak tertampung
dialirkan ke oil trape.
- Menampung limbah padat pada tempat penyimpanan
sementara untuk selanjutnya dibakar atau dibuang ke
tempat pembuangan sampah akhir.
- Menampung limbah cair sisa air cucian pembersihan dan
pemeliharaan pada kolam pengendapan untuk memisahkan
minyaknya.
- Menampung limbah cair berupa oli bekas, sisa gemuk dan
sisa solar pada suatu tempat penampungan untuk
selanjutnya diproses untuk dapat digunakan kembali.
Pendekatan Sosial
- Melaksanakan pemeliharaan sarana dan prasarana PLTD
secara kontinyu termasuk fasilitas jebakan minyak.
Pendekatan Institusional
- Koordinasi Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten
Maros.
k. Lokasi Pengelolaan Lingkungan
74
Pada lokasi PLTD dalam areal Industri Semen Bosowa.
l. Periode Pengelolaan Lingkungan Hidup
Selama kegiatan pengoperasian PLTD dalam areal Industri
Semen Bosowa.
• Rencana Pemantuan Lingkungan (RPL) Rencana Industri Semen,
Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan69
1. Kegiatan Penambangan Tanah Liat
a. Jenis Dampak Penting yang Dipantau
Penurunan kualitas air badan air atau sungai
b. Parameter Lingkungan yang Dipantau
Parameter kualitas air menurut SK Gubernur Prov. SulSel No.
14 Tahun 2003.
c. Tujuan Pemantauan Lingkungan
Mengetahui nilai parameter kualitas air pada badan air/sungai.
d. Pemantauan Lingkungan Hidup
Metode pemantauan adalah pengukuran dan pengambilan air
untuk dianalisis dilaboratorium. Analisis dilakukan secara
deskriptif kuantitatif.
e. Lokasi Pemantauan
Pada badan air atau sungai yang terkena hanyutan sedimen
dari lokasi penambangan tanah liat.
69 Ringkasan Eksekutif AMDAL PT. Semen Bosowa Maros, Tahun 2011.
75
f. Jangka Waktu dan Frekuensi Pemantauan
1 kali 6 bulan selama kegiatan penambangan tanah liat
dilaksanakan.
2. Kegiatan Pengoperasian PLTD
a. Jenis Dampak Penting yang Dipantau
Penurunan kualitas air permukaan.
b. Parameter Lingkungan yang Dipantau
Parameter kualitas air menurut SK Gubernur Prov. SulSel No.
14 Tahun 2003.
c. Tujuan Pemantauan Lingkungan
Mengetahui nilai parameter kualitas air pada badan air dan
sungai oleh limbah padat dan cair akibat pengoperasian PLTD.
d. Pemantauan Lingkungan Hidup
Metode pemantauan adalah pengukuran dan pengambilan
sampel air untuk dianalisis di laboratorium. Analisis dilakukan
secara deskriptif kuantitatif.
e. Lokasi Pemantauan
Pada lokasi badan air atau sungai yang terkena limbah cair dan
padat PLTD.
f. Jangka Waktu dan Frekuensi Pemantauan
1 kali 6 bulan selama kegiatan pengoperasian PLTD
dilaksanakan.
76
Laporan atas RKL-RPL dilakukan setiap 6 (enam) bulan sekali.
Berikut Laporan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana
Pemantaun Lingkungan (RPL) bulan Januari-Juni 2017 terhadap jenis
dampak kualitas air perairan:
- Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
a. Jenis Dampak
Salah satu jenis dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan
operasional pabrik dan sarana penunjangnya adalah penurunan
kualitas air, badan air sebagai penerima air limbah dan
terganggunya kehidupan biota pada badan air sebagai penerima air
limbah.
b. Sumber Dampak
Sebagai sumber dampak adalah:
• Kegiatan penambangan
• Air limbah dari lingkungan kerja pabrik
c. Tolak Ukur Pengelolaan
Peraturan Gubernur Sulsel No. 69 Tahun 2010 tentang Baku Mutu
dan Kriteria Kerusakan Lingkungan Hidup.
d. Metode Pengelolaan
Pengelolaan dampak penting kualitas air perairan dilakukan
dengan beberapa cara antara lain:
• Pembuatan kolam pengendapan
77
• Mempertahankan zona hijau untuk mengurangi erosi dan
sedimentasi.
• Air dari lingkungan kerja pabrik dialirkan ke instalasi
pengelolaan air limbah (IPAL).
e. Lokasi Pengelolaan
Lokasi pengelolaan air perairan adalah outlet saluran air limbah
dan drainase dalam lokasi pabrik.
f. Waktu Pengelolaan
Waktu pengelolaan dilakukan setiap saat dan 6 (enam) bulan sekali
untuk analisis laboratorium.
Gambar 1: Tabel matriks RKL PT. SBM Periode Januari-Juni 2017
78
• Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)
a. Jenis Dampak
Salah satu jenis dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pabrik
semen adalah penurunan kualitas air pada badan air penerima air
limbah.
b. Sumber Dampak
Sebagai sumber dampak adalah:
• Kegiatan penambangan
• Air limbah dari lingkungan kerja pabrik
c. Parameter pemantauan
Parameter pemantauan mengacu pada Baku Mutu Limbah Cair
berdasarkan Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 69
Tahun 2010 tentang Baku Mutu dan Kriteria Kerusakan Lingkungan
Hidup.
d. Metode Pemantauan
Dilakukan dengan pengambilan sampel air limbah untuk dianalisis
di laboratorium, selanjutnya dibandingkan dengan baku mutu
limbah cair yang dibolehkan untuk kegiatan industri. Parameter
limbah cair tersebut dianalisa oleh pihak eksternal Balai Besar
Industri dan Hasil Perkebunan Makassar, tabel hasil pengukuran
terlampir.
79
e. Lokasi Pemantauan
Lokasi pemantauan adalah outlet saluran air limbah yang
berasal dari lingkungan kerja pabrik semen.
f. Waktu Pemantauan
Waktu pemantauan dilakukan setiap 6 (enam) bulan sekali.
Gambar 2: Tabel matriks RPL PT. SBM Periode Januari-Juni 2017
Dari hasil analisa penulis, bahwa terdapat perbedaan antara RKL-
RPL Tahun 2011 dengan RKL-RPL Tahun 2017 yang terdapat pada
sumber dampaknya. Pada RKL-RPL 2011, adanya penurunan kualitas air
selain bersumber dari penambangan tanah liat, juga bersumber dari
pengoperasian PLTD seperti yang terdapat dalam KA-ANDAL Tahun
2011.
80
3. Pelaksanaan Tanggung Jawab Lingkungan PT Semen Bosowa
Maros Terhadap Kualitas Air
Penulis telah melakukan penelitan terhadap beberapa masyarakat
Desa Baruga dengan menggunakan metode wawancara. Berdasarkan
hasil wawancara tersebut, menyatakan bahwa warga yang berprofesi
sebagai petani kerap mengalami gagal panen ketika musim hujan karena
air membanjiri persawahan mereka. Kerugian-kerugian yang dialami
petani berupa kurangnya hasil pertanian dan juga bertambahnya biaya
perawatan sawah. Sedangkan beberapa warga juga menyatakan bahwa
kerap mengalami banjir di rumah mereka.
Menurut informasi yang diperoleh penulis, bahwa drainase PT SBM
terhubung ke saluran irigasi pertanian warga sehingga pada musim hujan,
air pada saluran drainase dan irigasi meluap baik ke sawah pertanian
maupun juga permukiman warga. Terkadang juga air meluap ke
persawahan warga dari drainase PT SBM yang terjadi karena
pendangkalan sedimen. Warga meyakini bahwa air tersebut tercemar,
karena warna airnya berbeda, lebih keruh. Warga pun tidak mengetahui
kandungan apa yang terdapat dalam air limbah tersebut. Karena tidak
adanya informasi dari PT SBM mengenai kandungan yang terdapat dalam
limbah tersebut, sehingga persepsi-persepsi warga muncul. Mulai dari
warna gelap pada air limbah tersebut yang perkirakan warga sebagai
bekas batu bara hingga kandungan minyak yang diyakini sebagai ceceran
oli.
81
Dalam pernyataan salah satu warga, bahwa pernah dilakukan
tuntutan ke PT SBM, dari beberapa tuntutan, salah satunya adalah ganti
rugi atas rusaknya lahan persawahan. Dari beberapa tuntutan tersebut,
yang terlaksana hanya tuntutan atas pembuatan jalan paving blok.
Tuntutan tersebut berdasar bahwa di desa tersebut memiliki perusahaan
besar namun masih ada jalanan yang tidak bagus. Hingga terjadi
kesepakatan yaitu uang ganti rugi dialihkan sebagian ke pembuatan jalan
paving blok selebihnya dibagikan ke warga yang terkena rugi. Namun,
pembuatan jalan paving blok ini pun tidak sampai selesai, hanya pada
tahap 3 (tiga) dan masih ada 1 (satu) tahap yang tidak terlaksana. Berikut
gambar yang diperoleh penulis ketika melakukan observasi lapangan:
Gambar 3: Banjir pada persawahan yang terjadi pada bulan Desember 2017
Berdasarkan Pasal 34 Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 77
Tahun 2001 tentang Irigasi bahwa “Dilarang mendirikan, mengubah
82
ataupun membongkar bangunan-bangunan lain yang berada di dalam, di
atas, maupun yang melintasi saluran irigasi, kecuali dengan izin
Pemerintah Daerah yang bersangkutan”. Dalam penjelasannya, jenis
bangunan yang diizinkan adalah bangunan-bangunan yang menurut
pertimbangan teknis tidak mengganggu fungsi jaringan irigasi. Menurut
penulis, pembangunan drainase PT SBM mengganggu fungsi jaringan
irigasi tersebut yang artinya melanggar peraturan tersebut.
Gambar 4: Drainase pembuangan air limbah PT SBM yang
terhubung ke saluran irigasi
Selain itu juga, penulis menemukan fakta bahwa PT SBM tidak memiliki
Izin Pembuangan Air Limbah. Hal ini dapat dilihat pada Laporan Hasil
Pelaksanaan RKL-RPL Januari-Juni 2017 seperti yang telah di
dokumentasikan oleh penulis di bawah ini:
83
Gambar 5: Izin yang terkait AMDAL pada Laporan Hasil Pelaksanaan RKL-
RPL Juni 2017 PT SBM
Berdasarkan Pasal 20 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa:
Setiap orang diperbolehkan membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan: a. Memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan b. Mendapat izin dari Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota
sesuai dengan wewenangnya.
84
Upaya yang telah dilakukan masyarakat perihal saluran drainase
yang menumpang pada saluran irigasi tersebut pun pernah disampaikan
warga pada saat sosialisasi AMDAL untuk pabrik line 2 PT SBM, agar
kiranya membuat saluran pembuangan tersendiri dan tidak lagi
menumpang di saluran irigasi warga. Ini pun telah disampaikan kepada
aparat desa, dan aparat desa pun juga membenarkan bahwa pernah
mendapat keluhan masyarakat terkait hal tersebut. Pemerintah desa
menindak lanjuti dengan melakukan koordinasi dengan pihak PT SBM
terkait hal tersebut. Keluhan tersebut diterima oleh pihak PT SBM dengan
tindak lanjut melakukan pengangkatan sedimen dan pembersihan pada
drainase PT SBM. Menurut pemerintah setempat, kondisi air yang keluar
dari pabrik berminyak, kondisi ini biasa terjadi ketika pabrik melakukan
pembersihan.
Untuk memverifikasi pernyataan-pernyataan warga, penulis telah
berupaya untuk melakukan penelitian di PT SBM, tapi tidak ada respon
balik atas surat penelitian penulis. Namun penulis sempat terlibat
percakapan dengan karyawan bagian Community Development
(Comdev). Menurut karyawan tersebut, air yang keluar melalui drainase
tersebut bukan cuma air yang berasal dari pabrik namun juga dari jalanan.
Industri ini tidak menghasilkan limbah cair, jadi tidak membutuhkan Izin
Pembuangan Limbah Cair (IPLC). Adapun limbah yang dihasilkan
hanyalah limbah domestik hasil MCK, dapur, dan sebagainya. Adapun
85
dari aktifitas pabrik disalurkan lagi ke danau yang berada dalam wilayah
pabrik PT SBM, begitu pun dengan air limbah penambangan, langsung
menuju danau. 70
Terkait kejadian pada Tahun 2013 (banjir dan juga terdapat
ceceran oli), adalah kondisi yang tidak disengaja. Adapun ceceran oli
bukanlah berasal dari pabrik melainkan berasal dari lantai bengkel luar
yang terdapat sisi-sisa oli, hingga tidak adal limbah pabrik PT SBM yang
mengarah ke penduduk. Adanya komplain, karena pemikiran masyarakat
bahwa airnya berasal dari pabrik PT SBM padahal bukan. Namun agar
prosesnya cepat terselesaikan, maka diberikanlah kompensasi. Setelah
ada komplain pada tahun 2013 tersebut, PT SBM menambah tinggi lagi
drainase hingga lebih tinggi dari rumah penduduk hingga banjir lagi di
rumah penduduk, tapi itu karena ada pendangkalan drainase. Jadi tanah
(sedimen) pada drainase diangkat. Hingga pada musim hujan baru-baru
ini tidak ada lagi komplain. Namun ketika pendangkalan dan meluap lagi
airnya dilakukan pengangkatan sedimen. Perawatan drainase tersebut
tetap kami yang bertanggung jawab. Adapun pernyataan karyawan
tersebut, bahwa sebenarnya drainase tersebut pernah mau ditutup, tapi
warga tidak mau karena pada musim kemarau lahan pertanian kering
70 Wawancara dengan karyawan bagian Comdev PT SBM Pada Tanggal 14 November
2017.
86
sehingga air yang keluar pada drainase tersebut dapat digunakan warga
untuk mengairi lahannya. 71
Penulis pun melakukan penelitian pada Wahana Lingkungan Hidup
(WALHI) sebagai salah satu organisasi lingkungan non profit di Indonesia.
Salah satu kegiatan WALHI yaitu melakukan advokasi. Menurut sejarah
pengadvokasian WALHI di Desa Baruga, pada tahun 1991 warga
melakukan diskusi dengan WALHI terkait rencana pembangunan Pabrik
PT SBM terkait dampak pada lingkungan yang berpotensi mengganggu
kehidupan masyarakat. Adapun dampak penambangan batu gamping
pada lingkungan yaitu sumber air akan hilang dan juga udara yang tidak
sehat dari hasil pembakaran semen. Tahun 2007, warga kembali
melakukan pengaduan pada WALHI mengenai hilangnya mata air
(sumber air) dan tidak produktifnya lahan pertanian masyarakat. Tindakan
selanjutnya WALHI yaitu melakukan penguatan pada masyarakat dengan
mengajak melakukan penelitan/riset mengenai jumlah mata air yang
hilang dan jumlah lahan yang tidak dialiri air serta jumlah warga yang
merasa kerugian atas hilangnya sumber air. Sejak berdirinya perusahaan
tambang tersebut, sebagian besar lahan pertanian tidak produktif lagi dan
pada akhirnya berakhir ke pekerjaan lain seperti berdagang dan lain-lain.
Adapun sumber air dari pertanian warga yaitu dari air irigasi yang
bersumber dari mata air kars dan juga air hujan. Dari wawancara tersebut
71 Ibid.
87
disimpulkan mengenai masalah pencemaran irigasi dan banjir belum
melibatkan WALHI.72
Selanjutnya penulis juga melakukan penelitian di Balai
Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(BPPHLHK) Sulawesi, yang merupakan unit pelaksanaan teknis di bidang
pengamanan dan penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan
yang berada di bawah dan bertanggungjawab Direktur Jenderal
Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tugasnya
melaksanakan kegiatan penurunan gangguan, ancaman dan pelanggaran
hukum lingkungan hidup dan kehutanan. Berdasarkan keterangan yang
diperoleh dari narasumber, bahwa masyarakat Desa Baruga sendiri belum
pernah melaporkan terjadinya pencemaran maupun perusakan lingkungan
yang terjadi di sekitar pabrik PT SBM khususnya yang terkait dengan
drainase pembuangan air limbah PT SBM. Pihak BPPHLHK sendiri
memberi fasilitas/wadah yang tentunya melalui prosedur-prosedur yang
telah ditetapkan jika masyarakat mengetahui terjadinya suatu pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan. Terkait drainase pembuangan air limbah
yang menumpang pada saluran irigasi, tentunya setiap perusahan
diharuskan mengelola limbahnya sendiri. Jika limbah tersebut melebihi
baku mutu itu pun dikenakan hukuman/sanksi.
72 Hasil wawancara dengan pihak WALHI pada tanggal 7 November 2017.
88
B. Pertanggungjawaban Perusahaan Tambang Terhadap Masyarakat
yang Mengalami Kerugian Akibat Pencemaran Air untuk
Pertanian
Pertanggungjawaban dalam hukum perdata terbagi atas dua, yaitu
pertanggungjawaban kontraktual dan pertanggungjawaban perbuatan
melawan hukum. Perbedaan antara tanggung jawab kontraktual dengan
tanggung jawab perbuatan melawan hukum adalah dalam hubungan
hukum tersebut terdapat perjanjian atau tidak. Apabila terdapat perjanjian,
tanggung jawabnya adalah tanggung jawab kontraktual. Sementara
apabila tidak ada perjanjian namun terdapat suatu pihak merugikan pihak
lain, pihak yang dirugikan dapat menggugat pihak yang merugikan
bertanggungjawab dengan dasar perbuatan melawan hukum.
Dalam UUPPLH, proses penegakan hukum lingkungan melalui
prosedur perdata diatur dalam Bab XIII Pasal 84 sampai dengan Pasal 93.
Aspek-aspek keperdataan yang tercantum dalam pasal-pasal tersebut
berisikan tentang penyelesaian sengkata lingkungan hidup yang dapat
ditempuh melalui jalur litigasi maupun jalur non litigasi berdasarkan pilihan
para pihak yang bersengketa baik berdasarkan kesepakatan para pihak
maupun menggunakan jasa mediator dan/atau arbiter. Gugatan melalui
jalur litigasi (gugatan pengadilan) baru dapat ditempuh jika upaya
penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berhasil dilakukan.
89
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air sendiri telah mengatur
mengenai penegakan hukum perdata terhadap pencemaran air yang
senada dengan Pasal 87 Ayat (1) UUPPLH yang mengatur, bahwa:
Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegitan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti tugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.
Dalam ketentuan pasal tersebut, maka terdapat beberapa unsur, yakni:
a. Adanya perbuatan melawan hukum;
b. Adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan;
c. Adanya kerugian pada orang lain atau lingkungan;
d. Adanya penanggung jawab kegiatan membayar ganti rugi dan/atau
melakukan tindakan tertentu.
Berdasarkan unsur-unsur di atas, dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbuatan yang bersifat melawan hukum berdasarkan kesalahan
dan akibatnya menimbulkan kerugian bagi pihak lain, dan perbuatan ini
bersifat khusus, yakni di bidang lingkungan hidup, yang pada prinsipnya
sama dengan perbuatan melawan hukum berdasarkan kesalahan yang
termaktub dalam dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Tiap perbuatan
melanggar hukum, yang membawa kerugian bagi orang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian, mengganti kerugian
90
tersebut”. Untuk dapat dituntut pertanggungjawabannya berdasarkan
Pasal 1365 KUHPerdata, suatu perbuatan harus memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:
1. Adanya perbuatan melawan hukum
2. Adanya unsur kesalahan
3. Adanya kerugian
4. Adanya hubungan sebab akibat yang menunjukkan bahwa adanya
kerugian disebabkan oleh kesalahan seseorang
Dapat dikatakannya perbuatan tersebut suatu perbuatan melawan
hukum jika terdapat unsur-unsur berikut:
a. Bertentangan dengan hak orang lain
b. Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri
c. Bertentangan dengan kesusilaan
d. Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam
pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda.
Unsur-unsur tersebut pada dasarnya bersifat alternatif, artinya
untuk memenuhi suatu perbuatan melawan hukum, tidak harus dipenuhi
semua unsur tersebut. jika suatu perbuatan dapat memenuhi satu unsur
saja, maka perbuatan tersebut dapat dikatakannya sebagai perbuatan
melawan hukum.
Bertolak dari yang telah dikemukakan di atas, penulis berpendapat
bahwa perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PT SBM adalah
91
yang bertentangan dengan hak orang lain dan bertentangan dengan
kewajiban hukumnya sendiri.
Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PT SBM menurut
penulis adalah perbuatan yang bertentangan dengan Pasal 34 Ayat (3)
Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2001 tentang Irigasi bahwa
“Dilarang mendirikan, mengubah ataupun membongkar bangunan-
bangunan lain yang berada di dalam, di atas, maupun yang melintasi
saluran irigasi, kecuali dengan izin Pemerintah Daerah yang
bersangkutan”. Hal mana larangan tersebut dilanggar oleh PT SBM
dengan membangun saluran drainase air limbah yang masuk ke saluran
irigasi dan dapat mengganggu fungsi saluran irigasi.
Selain itu, pada faktanya juga PT SBM tidak memiliki Izin
Pembuangan Air Limbah yang menurut penulis telah bertentangan
dengan peraturan-peraturan berikut:
1) Pasal 20 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa:
Setiap orang diperbolehkan membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan:
c. Memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan d. Mendapat izin dari Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota
sesuai dengan wewenangnya.
2) Pasal 40 Ayat (1) bahwa “Setiap usaha dan/atau kegiatan yang
membuang air limbah ke air atau sumber air wajib mendapat izin
tertulis dari Bupat/Walikota”.
92
Tercemar atau rusaknya lingkungan secara kasat mata dapat
dilihat dari adanya perubahan warna air, bau air, matinya makhluk yang
hidup di air atau biota air, berakibat bahaya bagi manusia seperti gatal-
gatal, kulit melepuh keracunan dan sebagainya. Tentunya akurasi tentang
telah tercemar atau rusaknya lingkungan perlu melalui laboratorium yang
telah ditetapkan oleh masing-masing gubernur.73
Jika seperti yang diyakini warga, bahwa terdapat pencemaran air
yang dapat dilihat secara kasat mata seperti perubahan warna air dan
sebagainya, maka dapat juga dikenai pasal-pasal terkait pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan.
Seperti dalam Pasal 1365 KUHPerdata, Pasal 87 UUPPLH juga
menganut beban pembuktian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1865
KUHperdata bahwa:
Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membentuk sesuatu hak orang lain, menunjuk pada peristiwa diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
Konsep tanggung gugat yang dikaitkan dengan pembuktian unsur-
unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal
1865 KUHPerdata tersebut sangat menyulitkan penggugat yang
umumnya awan tentang hukum dan secara sosial ekonomi berada pada
posisi yang lemah dibandingkan dengan pengusaha sebagai pencemar
73 Andi Hamzah, 2008, Penegakan Hukum Lingkugan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.227.
93
dan/atau perusak lingkungan. Walaupun dalam UUPPLH juga menganut
konsep strict liability yang mengandung makna bahwa tanggung gugat
timbul seketika pada saat terjadinya perbuatan, tanpa mempersoalkan
kesalahan tergugat. Namun demikian, tidak semua kegiatan dapat
diterapkan asas strict liability, melainkan diperuntukkan bagi kasus-kasus
tertentu yang besar dan membahayakan lingkungan.74 Ketentuan
tersebut diatur dalam Pasal 88 UUPPLH, bahwa:
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung hawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
Salah satu unsur yang harus terpenuhi agar dapat dimintakan
pertanggungjawaban adalah adanya pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan. Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan sendiri baru
dapat dikatakan demikian jika telah melampaui ambang batas baku mutu
lingkungan yang diperbolehkan dilepaskan ke media lingkungan.
Dalam mempertahankan hak-hak keperdataan di bidang
lingkungan, UUPPLH telah mengatur tata cara atau prosedur pengajuan
gugatan melalui jalur litigasi (pengadilan) yang dapat diajukan melalui
class action, legal standing, dan gugatan instansi pemerintah dan
pemerintah daerah yang bertanggungjawab di bidang lingkungan hidup.
74 Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Environmental Disputes
Resolution),Airlangga University Press, Surabaya, hlm. 28
94
Class action (gugatan perwakilan kelompok) atau dalam UUPPLH
disebutkan sebagai hak gugat masyarakat. Dasar hukum class action
diatur dalam Pasal 91 UUPPLH, yang mengatur bahwa:
(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atu untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.
(2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atua peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.
(3) Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Legal standing, yang diatur dalam UUPPLH mengenai hak gugat
organisasi lingkungan hidup dalam Pasal 92, mengatur:
(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepnetingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
(2) Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
(3) Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi persyaratan: a. Berbentuk badan hukum; b. Menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa
organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
c. Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.
Hak gugat pemerintah dan pemerintah daerah. Hak gugat tersebut
diatur dalam pasal 90 UUPPLH, yang mengatur bahwa:
(1) Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan
95
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
96
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan pembahasan hasil penelitian penulis, maka penulis
dapat menyimpulkannya bahwa pelaksanaan tanggung jawab
lingkungan PT Semen Bosowa Maros (PT SBM) belum maksimal
dalam pelaksanaannya. Karena perizinan lingkungan terkait air
limbah belum indahkan oleh pihak perusahaan, juga melanggar
larangan untuk tidak mendirikan bangunan yang dapat
mengganggu fungsi saluran irigasi dengan membangun drainase
pembuangan air limbah yang masuk ke saluran irigasi, yang dalam
penelitian ini air tersebut berasal dari limbah hasil penambangan
tanah liat dan juga hasil pengoperasian PLTD seperti yang
diperkirakan dalam AMDAL. Pada musim hujan, masyarakat kerap
mengalami banjir akibat peluapan di drainase PT SBM dan saluran
irigasi yang diyakini warga karena besarnya debit air yang keluar
dari pabrik PT SBM. Masyarakat juga meyakini bahwa air yang
keluar dari drainase tersebut tercemar. Kerugian materil yang
dialami masyarakat berupa berkurangnya hasil panen hingga gagal
panen. Upaya yang telah dilakukan masyarakat berupa komplain
langung ke PT SBM dan juga ke Pemerintah Desa.
97
2. Adanya kerugian yang dialami masyarakat dapat ditempuh melalui
jalur litigasi (pengadilan) dan juga jalur non litigasi. Kerugian akibat
pencemaran dan/atau perusakan lingkugan dapat digugat
berdasarkan Pasal 87 UUPPLH, yang pada prinsipnya sama
dengan yang termaktub dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
B. Saran
1. Pemerintah sebagai pelaksana sekaligus pengawas pelaksanaan
aturan kiranya lebih jeli dalam pengawasan. Misalnya laporan RKL-
RPL tidak hanya sebagai formalitas pelaporan tiap semesternya,
tetapi juga sebagai acuan dalam mengambil tindakan. Agar kiranya
juga diharapkan pemerintah melakukan sosialisai mengenai
prosedur jika terjadinya pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan di daerah-daerah yang rentan terjadinya hal tersebut.
2. Sekiranya masyarakat yang mengalami kerugian baik materil dan
immateril, melakukan upaya-upaya non litigasi dulu dengan pihak
yang bersangkutan sebelum menempuh jalur litigasi. Agar pihak
yang bersangkutan dapat melakukan tindakan tertentu terkait
masalah yang dihadapi.
DAFTAR PUSTAKA
Abrar Saleng. 2013. Kapita Selekta: Hukum Sumberdaya Alam. Membumi Publishing. Makassar.
---------------2004. Hukum Pertambangan. UII Press. Yogyakarta.
Ahmad Redi. 2017. Hukum Penyelesaian Sengketa Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Sinar Grafika. Jakarta.
A’an Efendi. 2012. Penyelesaian Sengketa Lingkungan. Mandar Maju. Bandung.
Binoto Nadapdap. 2014. Hukum Perseroan Terbatas. Aksara. Jakarta.
Daud Silalahi. 2003. Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pengelolaan Sumber Daya yang Berwawasan Lingkungan di Bidang Pertambangan. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI. Jakarta.
Frans Satrio Wicaksono. 2009. Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas. Visimedia. Jakarta.
Gatot Supramono. 2012. Hukum Pertambangan Mineral dan Batu Bara di Indonesia. Jakarta.
Kurniatmanto. 2007. Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Kerusakan Tanah Pertanian Akibat Penggunaan Teknologi. Badan Pembinaan Hukum Nasioanal Departemen Hukum dan HAM RI. Jakarta.
Lukman Santoso. 2016. Hukum Perikatan: Teori Hukum dan teknis Pembuatan Kontrak, Kerja Sama, dan Bisnis. Setara Press. Malang.
Muhammad Akib. 2014. Hukum Lingkungan: Perspektif Global dan Nasional. Rajawali Pers. Jakarta.
Muhammad Erwin. 2009. Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, Refika Aditama. Bandung.
Munadjat Danusaputro. 1985. Hukum Lingkungan Buku I: Umum. Binacipta. Bandung.
Purbacaraka. 2010. Perihal Kaedah Hukum. Citra Aditya. Bandung.
Nandang Sutrajat. 2010. Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia Menurut Hukum. Pustaka Yustisia. Yogyakarta.
Neng Yani Nurhayani. 2015. Hukum Perdata. Pustaka Setia. Bandung.
Otto Sumarwoto. 1988. Analisis Dampak Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Ridwan H.R.. 2006. Hukum Administrasi Negara. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Siti Sundari Rangkuti. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Universitas Airlangga Press. Surabaya.
Sukanda Husin. 2009. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta.
Suparto Wijoyo. Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Environmental Disputes Resolution). Airlangga University Press. Surabaya.
Takdir Rahmadi. 2012. Hukum Lingkungan di Indonesia. Rajagrafindo Persada. Jakarta.
Dita Natalia Damopoli. 2013. Tanggung Jawab Perusahaan Pertambangan Terhadap Lingkungan Pascapengelolaannya. Jurnal Lex et Societatis. Vol. 1 No. 5.
Dian Kurnia Anggreta. 2012. Perjuangan Hak Ekologis Komunitas Petani. Jurnal Ilmu Sosial Mamanga STKIP PGRI Padang. Vol. 1 No.1.
Gebriella Jacqueline Pondaag. 2013. Pertanggungjawaban Secara Perdata Dari Badan Usaha Pertambangan Terhadap Pencemaran Lingkungan Hidup. Jurnal Lex Privatum .Vol.1 No.2.
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
NPS Law Office. 2016. Organ Perseroan Terbatas. Diakses dari http://www.npslawoffice.com/organ-perseroan-terbatas-2 (pada tanggal 25 Juli 2017)
Jacobus Rico Kuntag. 2014. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Diakses dari https://www.academia.edu/10156540/ Tanggung_Jawab_Sosial_dan_Lingkungan_TJSL_Perusahaan_di_Indonesia (pada tanggal 25 Juli 2017)
Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan. Diakses dari http://proper.menlh.go.id/portal/pubpdf/PUBLIKASI %20PROPER%202015.pdf, pada tanggal 13 September 2017.
Redaksi Informan. 2016. Hak Rakyat atas Air. Diakses dari http://www.Informan.co.id/2016/12/18/hak-rakyat-atas-air (pada tanggal 3 Agustus 2017).
www.kbbi.web.id
LAMPIRAN