Permukiman Kumuh

7

Click here to load reader

Transcript of Permukiman Kumuh

Page 1: Permukiman Kumuh

Saat ini, jumlah penduduk perkotaan dunia semakin mengalami peningkatan. Dalam 50 tahun terakhir penduduk perkotaan dunia telah bertambah sebanyak 6 kali lipat, sementara Indonesia mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi, yaitu bertambah sekitar 7 kali lipat. Adanya peningkatan penduduk ini juga diiringi dengan adanya proses unbanisasi yaitu perpindahan penduduk dari desa ke kota.

Proses urbabisasi ini sanagt dirasakan negara-negara di Kawasan Asia. Hal ini dapat terlihat dari perbandingan antara persentase penduduk yang tinggal di kota di Asia, dengan total populasi penduduk secara keseluruhan yang terus meningkat. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang di Asia juga merasakan dampak dari adanya proses urbainsasi ini, terutama di kota metropolitan Jakarta. Pada tahun 2005 saja tercatat bahwa penduduk Kota Jakarta mencapai 13,22 juta jiwa. Angka ini merupakan angka tertinggi ke-6 di Asia setelah Kota Tokyo, Mumbai, Delhi, Shanghai, dan Kolkota.

Tingginya arus urbanisasi ini menjadikan kota yang sudah padat menjadi semakin padat dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat. Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan semakin tingginya jumlah permintaan lahan permukiman, yang pada akhirnya akan merdampak pada meningkatnya nilai suatu lahan permukiman.

Tingginya harga lahan menyulitkan kalangan masyarakat berpendapatan rendah dan kaum miskin untuk memperoleh perumahan formal yang layak sebagai tempat tinggal. Di perkotaan Indonesia, pemerintah tidak mampu memenuhi kebutuhan perumahan kaum miskin. Oleh karenanya, kaum miskin membangun rumah secara swadaya di lahan yang rawan bencana atau di daerah pinggiran kota dengan kemampuan ekonomi yang ala kadarnya, tanpa adanya pendampingan dalam perencanaan, pelayanan dasar, legalitas kepemilikan lahan atau pengakuan dari aparat. Rumah-rumah tersebut kemudian tumbuh menjadi sebuah permukiman masyarakat yang berkembang secara sporadis dan biasanya memiliki pola pembangunan yang tidak teratur dan biasa disebut sebagai permukiman informal. Permukiman informal sendiri dapat didefinisikan sebagai suatu areal permukiman di suatu kota yang dihuni oleh masyarakat yang sangat miskin yang tidak mempunyai kepemilikan lahan yang legal.

Banyaknya permukiman informal merupakan suatu cerminan tentang kemiskinan di perkotaan. Ketidakmerataan ekonomi di Indonesia, meningkatnya jumlah pengangguran, meningkatnya jumlah kemiskinan merupakan pendorong munculnya permukiman informal ini. Masyarakat yang tidak mampu menjangkau harga perumahan yang ditawarkan dalam pasar formal akhirnya memilih perumahan informal sebagai tempat tinggal mereka. Ketidakmampuan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah untuk mendapatkan rumahyang layak dan terjangkau serta memenuhi standar lingkungan permukiman yang responsif sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan) disebabkan karena terbatasnya akses terhadap sumber daya kunci termasuk informasi, terutama yang berkaitan dengan pertanahan dan pembiayaan perumahan.

Seperti pada kota-kota besar lainnya, di Semarang juga terdapat berbagai lokasi permukiman kumuh. Sebagai kota besar yang merupakan ibukota provinsi Jawa Tengah menjadikan kota Semarang sebagai daerah tujuan kaum urban dari daerah-daerah hinterlandnya. Hal ini

Page 2: Permukiman Kumuh

menyebabkan berbagai permasalahan, salah satunya yaitu munculnya permukiman informal di Kota semarang, terutama pada wilayah pusat kota yang memiliki banyak lapangan kerja dengan kebutuhan tenaga kerja berpendidikan rendah dalam jumlah yang banyak. Disamping itu, beberapa lahan marginal yang terbengkalai dan tidak jelas statusnya di wilayah pusat kota menjadi faktor pendorong kuta bagi para urban untuk mendirikan hunian di area tersebut.. Permukiman informal di Kota semarang sendiri antara lain yaitu berada di Kecamatan Semarang barat yaitu di Kelurahan Gisikdrono, (di bawah jalan tol RE Martadinata), dan Kecamatan Utara yang berada di Kelurahan Tanjungmas (di sepanjang Tambak), dan Kelurahan Purwosari (dekat rel kereta api dan di Bekas Pasar Grobogan).

Kawasan permukiman informal sendiri berkembang di luar kendali kebijakan dan system penataan ruang kawasan perkotaan. Oleh sebab itu, keberadaan permukiman ini tidak didukung dengan fasilitas yang memadai. Sarana dan prasarana yang ada dibangun secara spontan oleh warga, itupun dalam keadaan jauh di bawah Standar Nasional Indonesia (SNI). Keadaan jalan yang sempit, berlubang, dan rusak terlihat di seluruh area permukiman informal. Prasarana drainase sangat tidak sesuai standar, sehingga sering terjadi banjir ataupun rob di permukiman informal. Kondisi fasilitas sanitasi juga sangat memprihatinkan. Kebanyakan warga tidak memiliki toilet pribadi dan cenderung menggunakan toilet komunal. Fasilitas lain seperti daya listrik dan supply air bersih juga sebagian besar diperoleh secara komunal. Hanya ada beberapa orang saja yang memiliki toilet maupun listrik secara pribadi.

Selain adanya fasilitas yang tidak memadai, kondisi rumah yang mereka tinggali juga sanagt memprihatinkan. Material untuk membangun rumah sebagian besar menggunakan bahan semi permanen, seperti : seng, kayu, bamboo, dan triplek. Beberapa syarat rumah sehat seperti ventilasi udara juga masih belum dapat terpenuhi. Oleh karena itu, masyarakat permukiman informal sangat rentan terhadap bahaya penyakit.

Dalam banyak kasus, masyarakat yang bermukim di permukiman informal selalu dihadapi dengan isu terkait dengan ketidakpastian status hukum penguasaan dan penggunaan lahan. Masyarakat permukiman informal tinggal di lahan illegal milik pemerintah maupun instansi pemerintah, sebagian besar dari mereka hanya mendapatkan ijin hak sewa dari pemilik lahan sehingga mereka tidak memiliki hak milik lahan dan dapat digusur kapan saja saat tanah tersebut dibutuhkan oleh pemiliknya. Seperti pada permukiman informal di Semarang misalnya. Masyarakat permukiman informal yang berada di kelurahan Gisikdrono, Kelurahan Purwosari, dan kelurahan Tanjungmas tidak memeiliki hak kepemilika lahan karena lahan yang mereka gunakan bukanlah milik mereka melainkan milik pemerintah maupun instansi pemerintah. Pada permukiman informal di Kelurahan Gisikdrono yang berada di bawah jembatan layang R.E.Martadinata lahan yang digunakan adalah milik pemerintah. Warga hanya mendidrikan rumahnya di bawah jembatan tersebut karena lahan di bawah jembatan tersebut merupakan lahan kososng yang tidak dimanfaatkan. Berbeda dengan permukiman informal di Kelurahan Gisikdrono, permukman informal di Kelurahan Purwosari dan Kelurahan Tanjungmas didirikan pada lahan milik instansi pemerintah yaitu masing-masing PT.KAI dan Dinas Pengairan. Warga yang tinggal di lokasi tersebut telah diberikan hak sewa untuk menempati lahan tersebut oleh dinas terkait dengan membayarnya dengan harga yang cukup murah. Namun, meskipun telah membayar hak sewa

Page 3: Permukiman Kumuh

tersebut, masyarakat juga tidak luput dari adanya penggusuran yang sewaktu-waktu akan terjadi jika lahan dibutuhkan oleh pemiliknya.

Dalam pembangunan perkotaan, pemerintah memang cenderung melihat permukiman kumuh sebagai kesalahan pembangunan dan harus dihilangkan. Biasanya penggusuran merupakan solusi yang digunakan untuk mengatasi masalah permukiman informal. Tentu saja permukiman yang padat, kotor dan tidak terencana bukanlah tempat tinggal yang ideal, dengan kualitas rumah , infrastruktur yang buruk dan tidak adanya jaminan kepemilikan lahan. Adanya permukiman informal juga sangat mengganggu keindahan dan ketertiban kota. Tetapi sebetulnya, keberadaan permukiman informal tersebut dapat menyediakan keamanan, sumber harapan dan perkembangan bagi masyarakat miskin. Kondisi lingkungannya memang di bawah standar, akan tetapi permukiman semacam ini menjadi jaringan pendukung yang dibutuhkan oleh kaum miskin dalam memenuhi berbagai kebutuhannya dan membantu mereka keluar dari kemiskinan.

Proses penggusuran bukanlah hal yang dilakukan untuk penyelesaian masalah permukiman informal. Penggusuran bukanlah satu-satunya solusi untuk mengatasi permukiman informal. Untuk itu diperlukan upaya memahami permukiman informal ketimbang melakukan penggusuran. Penggusuran justru menambah keberadaan permukiman kumuh dan informal tetap melaju, selain itu juga tidak menyelesaikan masalah warga yang digusur tersebut. Pemahaman terhadap permukiman informal memiliki potensi dalam penanggulangan kemiskinan kota karena sifatnya yang dikembangkan secara swadaya, partisipatif, dan sedikit investasi publik, memberi kontribusi persediaan rumah (housing stock) dan terjangkau oleh masyarakat miskin.

Rencana pembangunan yang berpotensi menyebabkan penggusuran bukanlah sesuatu yang sama sekali tidak bisa diubah. Perencanaan kota adalah proses yang sangat politis: setiap aspek di dalam rencana tersebut dapat dinegosiasikan, dan hampir semua penggusuran serta kesengsaraan yang disebabkannya dapat dihindari. Alternatif terhadap penggusuran terletak pada kemampuan untuk menghasilkan solusi di mana semua keluar sebagai pemenang (“win-win solution”), yaitu dengan tetap memungkinkan kota untuk berkembang namun sekaligus memungkinkan semua lapisan masyarakat mendapatkan manfaat dari perkembangan tersebut. Ada beberapa alternatif lain selain penggusuran, yaitu:

1. Keamanan bermukim (secure tenure) dan perbaikan permukiman setempat

Secure tenure diberikan kepada masyarakat permukiman informal sebagai jaminan akan kepastian hokum dari lahan yang mereka tinggali. Secara umum, ada dua aspek penting dari keamanan bermukim, yaitu pertama, adanya keamanan pemanfaatan tanah (secure land tenure) untuk bertempat tinggal dan pengakuan adanya hak perumahan (housing right) yang layak bagi semua warga masyarakat (shelter for all). Selain adanya keamanan bermukim juga dilakukan perbaikan permukiman denagn peningkatan kualitas permukiman untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. cara ini merupakan cara yang lebih baik daripada menggusur. Banyak program perbaikan kampung berskala besar yang menunjukkan bahwa pemerintah kota dan warga miskin dapat bekerjasama dalam memberikan kepastian hukum dan memperbaiki permukiman kumuh. Ini adalah cara yang lebih manusiawi dan ekonomis dalam menjaga dan memperbaiki

Page 4: Permukiman Kumuh

jumlah rumah layak dan terjangkau dibanding penggusuran yang justru mengurangi ketersediaan rumah. Perbaikan kampung juga dapat memperbaiki hubungan antara pemerintah kota dan komunitas miskin yang cenderung antagonistic.

2. Resettlement

Selain pemberian kepastian hokum program pemukiman kembali (resettlement), merupakan salah satu contoh penanganan permukiman informal (liar). Proyek percontohan dapat dilakukan di berbagai lokasi permukiman liar seperti di bantaran sungai, bantaran rel kereta api, di tanah negara maupun di tanah lembaga tertentu. Resettlement ini bisa dilakukan di lokasi awal (in situ resettlements) jika lokasi awal berada pada lahan yang tidak rentan maupun di lokasi yang berbeda atau relokasi (ex situ resettlements) jika lokasi awal berada pada lahan yang rentan. Relokasi ini bias dengan program RUSUNAWA maupun perumahan biasa.

Dalam penanganan permukiman informal di Indonesia, program relokasi ini sudah sering dilakukan. Akan tetapi, relokasi tidak pernah menjadi proses yang mudah, dengan segala kerumitannya, biayanya yang tinggi, serta dampak negatifnya terhadap keberlangsungan hidup dan sistem pendukung komunitas yang ada.

Kebanyakan dalam hal relokasi, kaum miskin digusur secara paksa dan dipindahkan ke lahan di pinggir kota, tanpa adanya kompensasi yang memadai untuk membangun kembali kehidupan mereka. Padahal, bila mereka dilibatkan di tiap tahap dalam proses pemukiman kembali, relokasi dapat memberikan kesempatan untuk meningkatkan kondisi ekonomi dan kapasitas mereka. Seharusnya dalam relokasi, pemerintah juga perlu menyediakan lahan beserta tempat tinggal yang layak bagi masyarakat miskin, sehingga masyarakat bisa secara langsung menempatinya dengan biaya yang murah dan terjangkau bagi mereka.

3. Land Sharing

Land sharing adalah strategi kompromi antara kaum miskin yang menempati lahan illegal dan pemerintah ataupun swasta pemilik lahan. Melalui proses negosiasi yang panjang, perjanjian dibuat untuk membagi penggunaan lahan. Terdapat bagian lahan yang dihibahkan, dijual atau disewakan bagi kaum miskin, dan sebagian lain dikembalikan ke pemilik untuk dikembangkan sesuai dengan keinginannya. Pemukim informal mungkin mendapat ruang yang lebih sempit dibanding sebelumnya tetapi lebih memiliki kepastian hukum, sementara pemilik lahan tidak memperoleh kembali seluruh lahannya masih dapat mengembangkan sebagian dan mendapat keuntungan. Sehingga semua pihak tidak dirugikan satu sama lain. Kunci sukses dari pendekatan “land-sharing” ini adalah kemampuan untuk mentransformasikan kebutuhan dan kepentingan yang berbeda ke dalam solusi kompromi yang diterima semua.

http://kelompokenam.multiply.comhttp://www.pwk.undip.ac.idhttp://www.undip.ac.id

Permasalahan Banjir dan Rob di kawasan Kaligawe

Page 5: Permukiman Kumuh

Semarang, salah satu kota besar dan merupakan ibu kota provinsi Jawa Tengah. Wilayah kota Semarang terdiri dari dua bagian yaitu Semarang atas di sebelah Selatan dan Semarang bawah di sebelah utara, terutama daerah pantai dan kawasan Kaligawe, yang bisa digolongkan menjadi kawasan paling bawah dari kota Semarang sendiri.

     Kota Semarang dilalui jalur transportasi pantai utara (Pantura) yang sangat vital dalam perekonomian pulau Jawa, terutama kota Semarang. Kawasan Kaligawe merupakan salah satu jalur utama pantura dan sekaligus gerbang masuk utama kota Semarang dari arah timur. Pada akhir Januari dan awal Februari lalu, lalu lintas di jalur ini lumpuh karena mengalami banjir / rob. Hingga saat ini, lalu lintas di kawasan ini juga selalu kemacetan terutama pada jam-jam sibuk. Di samping kemacetan lalu lintas, banjir juga menggenangi kawasan Kaligawe secara keseluruhan sehingga mengakibatkan kerusakan infrastruktur, lingkungan industri, perkantoran, pendidikan, rumah sakit, dan pemukiman. Kerugian yang disebabkan adanya banjir / genangan rob semakin serius dan meningkat dari waktu ke waktu, sehingga mengakibatkan kemacetan, kerusakan infrastruktur jalan, lingkungan dan gangguan aktivitas ekonomi.

     Sebelumnya mari kita bahas apa perbedaan banjir dan rob itu. Banjir dapat terjadi karena hujan yang terus menerus dan saluran tidak dapat menampung air tersebut dan akhirnya meluap. Namun banjir dapat disebabkan pula oleh pasang air laut yang masuk wilayah daratan, banjir genangan inilah yang disebut dengan Rob. Air laut masuk melalui sungai pada saat pasang dan selanjutnya mengalir ke pemukiman setelah melewati saluran drainase.

     Dari beberapa artikel diatas, dapat diketahui bahwa kawasan Kaligawe sangat berpotensi terkena banjir / rob. Keadaan geografis, serta beberapa faktor alam seperti pasang surut air laut dan curah hujan merupakan, penyebab utama terjadinya banjir / rob, serta sistem drainase yang tidak kunjung diperbaiki juga menjadi masalah penyebabnya.

Solusi . . . . . . . . .Disini kami akan mengemukakan pendapat kami, solusi yang menurut kami bisa mengatasi masalah banjir / rob di kawasan Kaligawe ini :

Perlunya dibangun sistem drainase / saluran yang efektif dalam menampung volume air dari efek pasang dan curah hujan yang tinggi.

Dibangun sebuah pintu air , pintu yang mengatur pasang surut (masuknya air) ke sungai-sungai besar di kawasan Kaligawe yang rawan meluap

Penempatan infrastruktur yang efektif, guna mencegah ketidakstabilan dengan saluran air yang ada.

Peran serta masyarakat atau kesadaran akan bahaya banjir, karena ulah mereka sendiri. Peran utama pemerintah kota Semarang dalam mencegah, mengelola, dan mengatasi

masalah banjir dan rob di kawasan Kaligawe ini.