PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga...

64
VI. MASALAH INSTITUSI PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN ALAM PRODUKSI Berdasarkan kepada hasil penelitian pada bab-bab terdahulu dapat diperoleh pengetahuan situasi institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan produksi alam, yaitu cita-cita perubahan yang dikehendaki, respon pemerintah dalam membangun struktur, respon perusahaan dalam bentuk pilihan perilaku dan kinerja. Bagaimana interaksi antara situasi yang satu dengan situasi lainnya, dan bagaimana hal tersebut dapat terjadi akan dibahas dalam bab ini. 6.1. Arah Perubahan Yang Dikehendaki Undang-Undang Perubahan UU, peraturan pemerintah, dan peraturan menteri yang terbit antara tahun 1999 sampai dengan 2007 dicirikan oleh perubahan orientasi yang belum di aktualisasikan kedalam kebijakan kehutanan secara utuh, mempunyai hirarkhi yang tidak konsisten dan mengandung unsur-unsur yang menyebabkan institusi tidak efektif. Situasi ini menimbulkan berbagai masalah dan direspon oleh perusahaan secara rasional, berikut ini disampaikan analisanya. 6.1.1. Tujuan Pengelolaan Hutan Perubahan UU. Pokok Kehutanan no. 5 tahun 1967 menjadi UU. Kehutanan no. 41 tahun 1999, pada intinya dimaksudkan untuk mengubah orientasi pengelolaan hutan yang berorientasi kayu menjadi berorientasi sumberdaya hutan secara menyeluruh, dan dari orientasi pada kelompok tertentu menjadi berorientasi keadilan. Untuk itu tujuan pengelolaan hutan adalah menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi dan

Transcript of PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga...

Page 1: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

VI. MASALAH INSTITUSI PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN ALAM PRODUKSI

Berdasarkan kepada hasil penelitian pada bab-bab terdahulu dapat diperoleh

pengetahuan situasi institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan produksi alam, yaitu

cita-cita perubahan yang dikehendaki, respon pemerintah dalam membangun struktur,

respon perusahaan dalam bentuk pilihan perilaku dan kinerja. Bagaimana interaksi

antara situasi yang satu dengan situasi lainnya, dan bagaimana hal tersebut dapat

terjadi akan dibahas dalam bab ini.

6.1. Arah Perubahan Yang Dikehendaki Undang-Undang

Perubahan UU, peraturan pemerintah, dan peraturan menteri yang terbit antara

tahun 1999 sampai dengan 2007 dicirikan oleh perubahan orientasi yang belum di

aktualisasikan kedalam kebijakan kehutanan secara utuh, mempunyai hirarkhi yang

tidak konsisten dan mengandung unsur-unsur yang menyebabkan institusi tidak

efektif. Situasi ini menimbulkan berbagai masalah dan direspon oleh perusahaan

secara rasional, berikut ini disampaikan analisanya.

6.1.1. Tujuan Pengelolaan Hutan

Perubahan UU. Pokok Kehutanan no. 5 tahun 1967 menjadi UU. Kehutanan no. 41

tahun 1999, pada intinya dimaksudkan untuk mengubah orientasi pengelolaan hutan

yang berorientasi kayu menjadi berorientasi sumberdaya hutan secara menyeluruh,

dan dari orientasi pada kelompok tertentu menjadi berorientasi keadilan. Untuk itu

tujuan pengelolaan hutan adalah menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi dan

Page 2: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

179

mendistribusikan manfaat yang optimal secara berkeadilan. Yang dimaksudkan

dengan hutan yang berkualitas tinggi adalah apabila fungsi-fungsi ekologi, ekonomi

dan sosial dapat berjalan, sehingga hutan bukan hanya memproduksi kayu saja tetapi

hutan juga menghasilkan produk-produk lain seperti hasil hutan bukan kayu, plasma

nuftah, dan jasa-jasa lingkungan (paragraf 7 dan 8 penjelasan umum UU. 41.1999) .

Dengan kata lain bahwa pengelolaan hutan dimaknai sebagai kegiatan untuk

memproduksi multiproduk (dan jasa) hasil hutan yang optimal.

Produksi multiproduk di hutan alam dicirikan oleh hubungan ketergantungan

antara produk yang satu dengan lainnya, seperti keberadaan beberapa spesies

tumbuhan maupun satwa tertentu bergantung dari keberadaan spesies lainnya,

sebagaimana dikemukakan oleh Hamilton (1993). Hubungan interdependensi

memungkinkan adanya faktor produksi yang non-allocable (Beattie dan Taylor,

1985), sebagai contoh produksi jasa lingkungan yang berupa tata air tidak dapat

dipisahkan dari proses produksi kayu. Jasa lingkungan bergantung pada kualitas

tegakan hutan yang dibangun melalui pengelolaan hutan untuk produksi kayu, faktor-

faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan jasa lingkungan sama dengan

faktor-faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan tegakan yang baik.

Sebagaimana dikemukakan oleh Beattie dan Taylor (1985) bahwa untuk

menghasilkan manfaat optimal melibatkan proses pengambilan keputusan untuk

menentukan tingkat produksi multiproduk yang menghasilkan keuntungan (manfaat)

maksimal. Keputusan tersebut melibatkan perhitungan dalam rangka minimisasi

biaya produksi dan maksimasi keuntungan. Proses ini memerlukan syarat-syarat

yang harus dipenuhi untuk melakukan optimasi. Pertama optimasi dapat dilakukan

Page 3: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

180

apabila terdapat unit analisis atau unit produksi yang jelas, kedua terdapat berbagai

pilihan kombinasi produk yang dikehendaki, ketiga diketahui nilai keuntungan setiap

produk yang merupakan selisih antara pendapatan dan biaya produksi. Undang-

undang no. 41 /1999 mengenal tiga tingkatan unit pengelolaan hutan, yaitu

pengelolaan hutan wilayah provinsi, pengelolaan hutan wilayah kabupaten dan

pengelolaan hutan tingkat unit manajemen. Pembagian wilayah administrasi

pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota sudah jelas batas-batasnya, dengan

demikian kepastian tentang batas-batas wilayah pengelolaan hutan tingkat unit

manajemen menjadi suatu hal yang harus dipastikan keberadaannya. Wilayah

pengelolaan tingkat unit ini dalam undang-undang dikenal sebagai Kesatuan

Pengelolaan Hutan (KPH), jika KPH tidak tersedia maka optimasi tidak dapat

dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2007 belum

tersedia satupun KPH yang telah dilengkapi dengan organisasi dan sarananya.

Optimasi manfaat dapat dilakukan apabila di dalam setiap unit tersebut memiliki

potensi lebih dari satu produk atau manfaat yang dapat diproduksi. Dalam konsep

optimasi yang terjadi adalah mengkombinasikan upaya-upaya pengelolaan hutan

untuk menghasilkan berbagai macam produk atau manfaat sehingga diperoleh total

nilai produk akhir secara maksimal. Hutan mempunyai kemampuan untuk

menghasilkan berbagai manfaat, oleh sebab itu untuk melakukan optimasi, pada

setiap unit pengelolaan hutan harus ditetapkan terlebih dahulu jenis-jenis produk atau

manfaat yang akan diproduksi sebagai tujuan pengelolaan hutan.

Optimasi pada tingkat unit pengelolaan (KPH) berbeda dengan optimasi

pengelolaan tingkat wilayah kabupaten dan wilayah provinsi. Pengelolaan hutan

Page 4: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

181

tingkat kabupaten dan provinsi, merupakan agregasi dari berbagai KPH (produksi,

lindung, konservasi), jenis-jenis status hutan (hutan negara, adat, dan hutan hak).

Optimasi pada tingkat ini dimaksudkan untuk mendukung misi pengurusan hutan

tingkat kabupaten/kota dan tingkat provinsi (pasal 10 dan pasal 18). Pengelolaan pada

tingkat wilayah ini dilakukan oleh pemerintah, sehingga permerintah perlu membuat

perhitungan optimasi manfaat hutan tingkat wilayah, menetapkan tujuan pengelolaan

hutan secara spesifik dan menetapkan kebijakan-kebijakan publik untuk memfasilitasi

upaya para pihak dalam mencapai tujuan pengelolaan hutan yang menghasilkan

manfaat optimal di wilayahnya. Optimasi tingkat wilayah ini berkaitan dengan

indikator kinerja utama organisasi makro dan meso yang berupa kecukupan hutan,

penutupan hutan dan peran sektor kehutanan yang dikehendaki (lihat lampiran 6).

Optimasi memerlukan nilai sebagai dasar untuk mengukur manfaat yang

diproduksi dan mengukur biaya untuk memproduksinya. Sebagaimana telah diketahui

bahwa hutan mempunyai karakteristik disamping menghasilkan produk-produk privat

yang dapat diperdagangkan, hutan juga menghasilkan barang-barang publik dan

eksternalitas. Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2001), pengertian eksternalitas

dinyatakan sebagai pengaruh aktivitas produksi dan konsumsi yang tidak

dicerminkan di dalam pasar. Eksternalitas dapat berupa eksternalitas negatif

manakala tindakan salah satu pihak menimbulkan beban kepada pihak lain, atau

berupa eksternalitas positif manakala tindakan salah satu pihak memberikan manfaat

kepada pihak lain. Aktifitas pengelolaan hutan dapat mengandung kedua jenis

eksternalitas ini, sebagai contoh eksternalitas positif dapat terjadi ketika pengelola

hutan melakukan tindakan-tindakan yang menghasilkan hutan yang sehat sehingga

Page 5: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

182

dapat berfungsi secara maksimal, ketika hutan berfungsi dengan baik, maka hutan

memberikan pengaruh terhadap stabilitas iklim, fungsi tata air, habitat bagi berbagai

macam kehidupan, keindahan alam dan fungsi-fungsi lain yang dinikmati oleh pihak-

pihak lain yang tidak turut membiayai pengelolaan hutan tersebut. Sementara

eksternalitas negatif terjadi terutama pada saat dilakukan penebangan pohon dalam

rangka produksi kayu, dampak dari penebangan tersebut dapat berupa erosi yang

menimbulkan sedimentasi sungai, gangguan tata air, hilangnya habitat satwa dan lain-

lain akibat yang ditanggung oleh pihak lain, sementara pihak lain itu tidak turut

menikmati manfaat dari penebangan pohon tersebut.

Sedangkan barang publik oleh Pindyck dan Rubinfeld (2001) dinyatakan bahwa

barang publik mempunyai dua karakter yaitu non-rival dan non-exclusive. Barang

publik yang dihasilkan hutan bersifat non-rival yaitu ketika hutan telah berfungsi

maka penambahan jumlah pengguna manfaat hutan tidak akan menambah biaya

produksi barang tersebut. Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat non-

ekslusif sebagai contoh adalah oxigen, tidak ada yang bisa mencegah orang untuk

mengkonsumsi oksigen yang diproduksi dari hutan yang dikelolanya dan pengguna

produk tersebut tidak dapat dikenai biaya. Manfaat hutan lebih banyak dinikmati

oleh pengguna tidak langsung, dalam pengertian Dye (1995) merupakan hal yang

tergolong kedalam urusan publik.

Dengan memperhatikan karakteristik hutan sebagaimana tersebut di atas, untuk

melakukan optimasi pengelolaan hutan diperlukan adanya ukuran yang

mencerminkan nilai kemanfaatan dari produk yang dihasilkannya, dan ukuran yang

dapat mencerminkan biaya produksi, serta tersedia mekanisme yang menghubungkan

Page 6: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

183

antara perolehan pendapatan dengan pembiayaan oleh pengelola hutan. Terhadap

produk yang dapat diperdagangkan, pasar telah menyediakan mekanisme hubungan

tersebut, sedangkan terhadap eksternalitas dan barang-barang publik diperlukan

kebijakan publik yang dapat menghubungkan antara biaya dan pendapatan.

Untuk melakukan koreksi pasar atas keberadaan eksternalitas (Pindyck dan

Rubinfeld, 2001), terdapat beberapa pilihan kebijakan yaitu standardisasi emisi, pajak

emisi, perdagangan ijin emisi atau daur ulang. Standar emisi adalah aturan yang

menetapkan tingkat emisi yang masih diperbolehkan terjadi, pelanggaran atas batas

ini dapat dikenakan denda atau hukuman kriminal. Sedangkan pajak emisi adalah

biaya yang dikenakan atas setiap satuan emisi yang dihasilkan oleh seseorang atau

perusahaan. Pada perdagangan ijin emisi, setiap pelaku diharuskan mempunyai ijin

emisi yang menunjukkan jumlah emisi yang diperbolehkan, mereka yang

memproduksi emisi lebih besar dari ijinnya dapat membeli ijin emisi dari pihak yang

memproduksi emisi lebih kecil dari ijinnya. Sedangkan koreksi pasar atas

keberadaan barang publik dilakukan dengan kebijakan subsidi oleh pemerintah.

Pemerintah di beberapa negara mempunyai kebijakan pemberian subsidi sebagai

insentif kepada untuk membangun hutan, pemerintah Findlandia menanggung biaya

pembangunan hutan hingga mencapai 25% dari total biaya dengan nilai rata-rata

setara dengan Rp. 550 Milyard pertahun (APHI, 2004). Sementara itu di tingkat dunia

sedang berkembang mekanisme perdagangan karbon yang merupakan bentuk upaya

koreksi terhadap keberadaan eksternalitas pada pengelolaan hutan. Berbagai

mekanisme pembayaran jasa lingkungan (Payment on Environmental Services / PES)

telah banyak didiskusikan oleh berbagai lembaga internasional.

Page 7: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

184

Dalam perkembangannya, kehendak undang-undang belum dapat diterjemahkan

dengan baik oleh aturan-aturan pelaksanaannya. Peraturan pemerintah yang mengatur

pengelolaan dan pemanfaatan hutan produksi yaitu Peraturan Pemerintah nomor 34

tahun 2002, Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah

nomor 6 tahun 2007 serta peraturan-peraturan menteri tidak mengarahkan perubahan

tujuan pengelolaan hutan dari orientasi kayu menjadi orientasi produksi multiproduk,

peraturan-peraturan tersebut mengatur pemanfaatan multiproduk dengan tidak

memberi perhatian yang cukup pada manajemen produksi multiproduk. Peraturan

Pemerintah no. 44 tahun 2004 maupun Peraturan Menteri Kehutanan no.

P.28/Menhut-II/2006 tidak menjelaskan dan tidak mengatur tentang proses-proses

optimasi fungsi maupun produksi/manfaat. Mandat undang-undang untuk

mewujudkan manfaat optimal masih diterima sebatas retorika, belum ditejemahkan

ke dalam kebijakan dan peraturan.

Berdasarkan peraturan yang telah diterbitkan pemerintah, disimpulkan bahwa

belum ada kebijakan publik yang secara eksplisit dimaksudkan untuk melakukan

koreksi atas masalah eksternalitas dan barang publik yang terjadi pada pengelolaan

hutan produksi alam. Selain itu KPH sebagai unit analisa belum disiapkan, oleh sebab

itu perubahan orientasi belum dapat dilaksanakan.

6.1.2. Hirarkhi Organisasi Kehutanan

Undang-undang Kehutanan mengatur hirarkhi organisasi dan kebijakan ke dalam

tiga tingkatan yaitu pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan. Pengaturan hirarkhi

ini berkaitan dengan hirarkhi organisasi dan kebijakan yang terdiri dari makro, meso

Page 8: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

185

dan mikro. Sedangkan dari konteks kebijakan pengaturan hirarkhi juga mempunyai

kesesuaian dengan kuadran kebijakan yang memposisikan kebijakan publik,

kebijakan privat dan quasi publik. Pengurusan hutan adalah hirarkhi tingkat makro

yang berhubungan dengan pengaturan hal-hal yang bersifat umum dan mencakup

wilayah luas, pengurusan hutan juga merupakan domain kebijakan publik yang

berupa tugas pemerintah yang menyangkut kepentingan bersama. Pengelolan hutan

dibagi kedalam tiga tingkatan yaitu wilayah provinsi, kabupaten/kota dan tingkat unit

manajemen atau disebut sebagai KPH, masing-masing berada pada tingkat makro,

meso dan mikro. Sejalan dengan karakteristik hutan yang juga memproduksi

ekternalitas dan barang publik maka pengelolaan hutan termasuk dalam ranah

kebijakan publik dan quasi publik. Pada tingkat makro dan meso pengelolaan hutan

termasuk dalam kebijakan publik karena mencakup wilayah luas dan mengatur

kepentingan bersama masyarakat di dalam wilayahnya, sedangkan pengelolaan hutan

pada tingkat KPH dapat dikategorikan sebagai quasi publik karena KPH sebagai unit

managemen terkecil adalah sebuah entitas individual yang mempunyai otoritas untuk

melakukan tindakan-tindakan manajemen atas kawasan hutan negara yang

dikelolanya, tetapi KPH juga melaksanakan pekerjaan pemerintah dalam

memproduksi barang publik dan mengelola eksternalitas hutan, dua hal terakhir ini

yang dipercaya menyebabkan kegagalan pasar. Sepanjang tidak dilakukan koreksi

atas keberadaan barang publik dan ekternalitas pada pengelolaan hutan, maka peran

pemerintah masih diperlukan. Pemanfaatan hutan adalah hirarkhi tingkat mikro dan

merupakan wilayah privat, dimana pemanfaatan hutan adalah aktifitas memanfaatkan

hasil produksi multiproduk dari pengelola hutan (KPH). Hubungan-hubungan

Page 9: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

186

transaksi antara pengelola hutan (KPH) dangan pengguna (pemanfaat) adalah

hubungan transaksi individual. Hubungan struktur organisasi kehutanan yang diatur

oleh Undang-Undang 41/1999 adalah seperti Tabel 45.

Tabel 45. Hubungan Hirarkhi Organisasi Kehutanan Menurut UU. 41/1999

Organisasi Kehutanan Hirarkhi Institusi Kuadran Kebijakan

Pengurusan Makro Publik Pengelolaan 1. Wilayah Provinsi Makro Publik 2. Wilayah Kab/Kota Meso Publik 3. Unit Pengelolaan (KPH) Mikro Quasi Publik Pemanfaatan Mikro Privat

Berdasarkan ketentuan undang-undang, transaksi antara pengelola dengan

pengguna dilakukan melalui mekanisme ijin-ijin usaha. Berdasarkan hirarki yang

ditentukan oleh undang-undang, apabila organisasi pengelola tingkat unit telah ada

maka kedudukan ijin usaha berada pada lapisan yang paling rendah, seperti pada

gambar 21. Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa ijin usaha yang terjadi dalam

konteks hubungan antara pengelola dengan pengguna adalah bentuk transaksi

pemanfaatan hasil produksi yang merupakan wilayah privat, harus dibedakan dengan

ijin usaha yang berupa ijin pendirian usaha yang merupakan kewenangan publik

karena adanya persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi demi melindungi

kepentingan publik. Ijin usaha dalam konteks pemanfaatan hasil hutan adalah

hubungan transaksi produk hasil hutan antara pengelola dengan pengguna, hubungan

transaksi ini seperti yang terjadi antara Perum Perhutani dengan pembeli kayu, antara

pengelola hotel dengan penyewa ruang pamer atau pengguna kamar, antara pengelola

kebun binatang dengan penyewa toko cindera mata yang ada di dalamnya dan

Page 10: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

187

transaksi pengelola stadion dengan pengunjung yang membeli karcis ijin masuk.

Hubungan-hubungan transaksional individu ini memerlukan ijin dari pengelola untuk

mengambil manfaat.

Aturan pelaksanaan yang berupa peraturan pemerintah dan peraturan menteri tidak

konsisten melaksanakan struktur organisasi kehutanan yang dikehendaki oleh

undang-undang. Penyimpangan ini dapat dilacak dari pengaturan perencanaan

pengelolaan hutan dan perijinan usaha pemanfaatan dalam Peraturan Pemerintah no.

34 tahun 2002. Wewenang penyusunan dan pengesahan rencana pengelolaan hutan

(RPH) yang merupakan rencana tingkat unit (KPHP) yang merupakan rencana

individual dan mikro, didistribusikan kepada institusi tingkat meso dan makro dengan

meniadakan peran institusi mikro. RPH jangka satu tahun disusun oleh instansi

kehutanan (tanpa disebut identitasnya) dan disahkan oleh Gubernur, RPH jangka 5

tahun disusun oleh instansi kehutanan provinsi dan disahkan oleh Menteri, RPH 20

tahun disusun oleh instansi kehutanan provinsi dan disahkan oleh Menteri.

Pengaturan ini menyebabkan Menteri, Gubernur dan Bupati melaksanakan urusan-

urusan yang bersifat mikro

Di bidang perijinan juga berlaku hal yang serupa, bupati, gubernur dan menteri

mempunyai peran dalam pemberian ijin-ijin usaha pemanfaatan, sedangkan ijin usaha

pemanfaatan hasil hutan kayu menjadi wewenang menteri. Dalam terminologi

Schlager dan Ostorm (1992) perijinan adalah exclusion right maka dengan

diambilnya hak ekslusi oleh birokrasi maka definisi hak pengelolaan pada KPH

menjadi tidak lengkap, dan KPH sebagai unit pengelolaan tidak dapat menjalankan

fungsinya sebagai pengelola.

Page 11: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

188

48

Pengurusan Hutan

Pengelolaan Provinsi

Pengelolaan Kabupaten

Pengelolaan Unit

Blok

Pemanfaatan

Petak

Ijin Usaha Pemanfaatan Gambar 21. Kedudukan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dalam Hirarki Organisasi Kehutanan

Akibat dari pilihan organisasi yang tidak membedakan hirarki makro, meso mikro,

dan tidak membedakan domain publik dan privat membawa pemerintah terlibat

langsung dalam aktivitas operasional sehingga pemerintah menjalankan peran

regulator, penegak aturan dan pemain. Kedudukan dan peran para pihak menjadi

bercampur-baur tanpa hirarki yang jelas (Gambar 22). North (1990) telah

mengingatkan bahwa agar institusi ekonomi berjalan secara efektif harus ada

pemisahan antara pembuat aturan dan pemain, dan menurut Sewel (1992) peran

pemerintah diposisikan pembuat aturan dan penegak peraturan. Mengapa pemisahan

ini diperlukan, Giddens (1979,1984) dan Sewel (1992) di dalam Scoot (2008),

memberikan alasan bahwa mereka yang memegang kekuasaan atas sumberdaya

memerlukan wewenang dan legitimasi. Namun demikian berdasarkan pemahaman

Skocpol (1985) dan North (1990) di dalam Scott (2008), bahwa dalam prakteknya

Page 12: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

189

negara membangun kepentingannya sendiri dan menjalankannya secara otonomi dan

terpisah dari aktor-aktor social lainnya.

Organisasi Kehutanan Hirarkhi Institusi Kuadran Kebijakan

Pengurusan Pengelolaan 1. Wilayah Provinsi 2. Wilayah Kab/Kota 4. Unit Pengelolaah (KPH Pemanfaatan

Gambar 22. Hirarki yang Berlaku di Kehutanan

Keterlibatan pemerintah secara langsung pada urusan mikro pada situasi hirarki

yang tidak terstruktur dengan baik menimbulkan kesulitan untuk memposisikan

perannya dalam fungsi publik dan privat. Perannya sebagai regulator, wasit dan

sekaligus pemain, menghasilkan aturan-aturan yang mengandung konflik kepentingan

seperti peraturan mengenai sanksi yang berimbas pada kepentingan langsung

pemerintah, kebijakan SILIN dan penurunan batas diameter yang mengutamakan

kepentingan jangka pendek daripada tujuan optimasi manfaat adalah contoh dari

adanya konflik kepentingan tersebut. Sebagai pemegang kekuasaan, maka untuk

mendapatkan kepentingannya, pemerintah melakukan perversi yaitu mengambil

keuntungan atas beban pihak lain melalui peraturan yang dibuatnya, pemindahan

tanggung jawab pengelolaan hutan kepada perusahaan, pembebanan biaya penilaian

kinerja kepada perusahaan, pembebanan biaya informasi dan lain sebagainya adalah

contoh aturan yang bersifat perversif.

Page 13: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

190

Salah satu negara yang telah menerapkan pengelolaan hutan yang bertujuan untuk

memperoleh manfaat multiguna, dan menerapkan hirarki secara konsisten adalah

Swedia. Swedia juga pernah mengalami kerusakan hutan yang serius pada masa yang

lalu dan akibat perang, namun telah berhasil mengembalikan kondisi hutannya

dengan sangat baik hasil inventarisasi hutan nasional pada 1990 menunjukkan bahwa

stok hutan meningkat 50% dan produksi kayu terus meningkat, jika pada tahun 1982

produksi kayu mencapai 64,5 jutan m3 maka pada tahun 1999 meningkat menjadi

72,4 juta m3

Aspek

jauh melampaui produksi kayu Indonesia. Tabel 46 menyampaikan

perbandingan pengaturan institusi hutan negara antara Indonesia dan Swedia.

Tabel 46. Perbandingan Pengaturan atas Hutan Negara di Indonesia dengan Hutan Negara di Swedia

Indonesia Swedia(1)

Landasan Peraturan

Undang-Undang Kehutanan Republik Indonesia nomor 41 tahun 1999

Undang-Undang Kehutanan Swedia tahun 1993

Filosofi Hutan karunia Tuhan Yang Maha Esa sebagai salah satu sumber penyangga kehidupan, harus disyukuri dan dikelola dengan sebaik-baiknya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Hutan adalah suatu sumber-daya nasional harus dikelola sehingga memberi manfaat maksimal yang lestari dan menjamin pelestarian keaneka-ragaman hayati.

Tujuan Pengelolaan

Menghasilkan hutan berkualitas tinggi dengan beragam produk dan manfaat yang optimal dan terdistribusi secara berkeadilan

Menghasilkan produktivitas hutan yang tinggi yang memproduksi multiguna

Instrumen teknologi untuk mencapai tujuan

Belum jelas pengaturannya Mengubah orientasi mono-kultur menjadi hutan campuran, dan memadukan sistem silvikultur dengan konservasi sumberdaya hutan secara sederajad.

Peran Pemerintah

1. Pengurusan Regulator Memberikan petunjuk;

Page 14: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

191

Aspek Indonesia Swedia(1)

Inventarisasi hutan;

Pengukuhan hutan;

Penatagunaan hutan;

Pembentukan wilayah pengelolaan hutan;

Litbang, Diklat, Penyuluhan;

Pengawasan;

Informasi Kehutanan

Memberikan hibah kepada

pemilik hutan yang

memenuhi kontrak;

Inventarisasi hutan;

Informasi kehutanan;

Urusan lingkungan (ekologi) tertentu;

Pengaturan timber scaling;

Statistik Kehutanan dan Peramalan tren sektor kehutanan

2. Pengelolaan Menentukan pilihan teknologi, volume produksi, rencana usaha, dan rencana karya tahunan, mengalihkan tanggung jawab pelaksanaan praktek pengelolaan hutan kepada peru-sahaan IUPHHK,

Memiliki 51% saham pada Perusahaan Negara Kehutanan “Assidoman”, 49% saham di jual di bursa saham Tidak ada pembatasan umur ijin

3. Pemanfaatan Memberikan ijin-ijin usaha pada kawasan hutan negara;

Mengesahkan rencana-rencana usaha dan rencana karya tahunan;

Mengawasi pelaksanaan kewajib-an pengelolaan hutan oleh perusa- haan IUPHHK;

Memberikan sanksi administrasi atas pelanggaran kewajiban perusahaan.

Bersama-sama dengan Dewan Kehutanan Nasional (Skog-svardsforbund) menetapkan traget produksi tahunan; Melalui kantor kehutanan daerah memberikan petunjuk atas renca-na penebangan yang diajukan oleh pemilik/pengelola hutan; Memberikan penilaian atas kinerja produksi, dan merenca-nakan pemberian subsidi penanaman kembali.

Kecenderungan Kinerja Pembangunan Stok Hutan

Negatif (laju deforestasi positif) Positif (Stok tegakan hutan terus meningkat)

Sumber : Skogsstyrelsen. 1994

Page 15: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

192

Swedia mengaktualisasikan perubahan orientasi kayu menjadi orientasi

sumberdaya hutan dengan mengubah pilihan teknologi pengelolaan hutan, yaitu

dengan memadukan teknik silvikultur dan teknik konservasi sumberdaya hutan.

Sementara pemerintah tidak terlibat langsung dalam kegiatan operasional, dengan

menyerahkan operasional pengelolaan hutan kepada perusahaan kehutanan

Assidoman/Domansverket, sehingga pemerintah berkonsentrasi pada kebijakan

publik.

Pemerintah Swedia selain mengambil jarak untuk menghidari keterlibatannya

secara langsung dalam aktivitas tingkat mikro, juga membangun mekanisme kontrol

yang melekat (built in control mechanism) dengan melibatkan publik melalui pasar

modal.

Hasil studi Hirakuri (2003) mendukung teori tentang perlunya pemerintah tidak

terlibat langsung pada urusan tingkat mikro. Studi yang membandingkan praktek

pengelolaan hutan di Brazil dan Finlandia, menunjukkan bahwa pemerintah Brazil

yang banyak mengatur aspek-aspek administratif dan hal-hal detail lainnya, pada

akhirnya kehilangan tingkat kepatuhan yang berakibat kerusakan hutan lebih tinggi

dibandingkan dengan Findlandia yang mengatur hal-hal pokok, dan menyerahkan

keputusan pengelolaan hutan kepada organisasi tingkat mikro, sementara pemerintah

berkonsentrasi pada kebijakan publik memberikan hasil bahwa tingkat kepatuhan

sangat tinggi dan produktivitas hutan lebih tinggi.

Hasil studi Yin (2003), menggambarkan bahwa campurtangan pemerintah yang

minimal mampu meningkatkan partisipasi masyarakat secara nyata dalam

membangun hutan di China. Reformasi yang dilakukan di China bagian utara, yang

Page 16: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

193

mengubah sistem komunal menjadi sistem tanggung jawab keluarga (household

responsibility system), yang dikombinasikan dengan perubahan pasar dari sistem

quota produksi dengan mekanisme pasar mampu meningkatkan rasio luas hutan dari

5% menjadi 12.5 %. Sebaliknya di China bagian selatan dimana hutan-hutan dikelola

negara menunjukkan bahwa produktifitas hutannya lebih rendah.

6.2. Arti Penting Kepemilikan Hutan Negara

Mengapa berkembang aturan main yang mempunyai ciri tanpa hirarki, konflik dan

perversif ? Penelitian ini tidak secara khusus meneliti tentang motivasi para pihak

dalam membuat aturan, sehingga tidak memberi jawaban dari sisi motivasi.

UU memberikan “pesan” yang mengambang tentang status kepemilikan hutan

negara, disatu sisi dikatakan bahwa status hutan terdiri dari hutan negara dan hutan

hak, namun di sisi lain diatur bahwa pengertian “dikuasai” tidak berarti “dimiliki”

(pasal 4: 1), pengaturan ini memberikan ketidak pastian tentang siapa pemilik hutan

negara. Ketidak pastian tentang kepemilikan ini menyebabkan definisi tentang hak

properti atas hutan negara tidak lengkap sehingga klasifikasi hak sebagaimana

dikemukakan oleh Schlager dan Ostorm (1992) tidak dapat dilakukan. Hak kelola,

hak sewa dan hak guna adalah hak-hak yang dapat ada kalau jelas pemiliknya. Jika

hak-hak tersebut diberikan tanpa dilandasi dengan ijin dari pemiliknya, maka telah

terjadi tindak kejahatan. Status kepemilikan atas hutan negara yang tidak terdefinisi

dengan lengkap, menyebabkan pemerintah tidak dapat memposisikan kepemilikan

atas asset tegakan di hutan negara dan tidak dapat mengidentifikasikan dirinya dalam

menata hubungan-hubungan tentang hak-hak properti.

Page 17: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

194

6.2.1. Dasar Menentukan Status Asset Tegakan Hutan

Berbeda dengan pengelolaan sumberdaya alam lainnya, pengelolaan hutan

melibatkan pembiayaan untuk menghasilkan tegakan hutan, sehingga biaya-biaya

tersebut tersimpan di dalam stok tegakan hutan itu sendiri. Pada pengelolaan tambang

biaya yang dikeluarkan tidak berhubungan dengan pembuatan stok bahan tambang,

demikian pula dengan perikanan tangkap biaya yang dikeluarkan tidak berhubungan

dengan pembentukan populasi ikan di laut. Pengelolaan atas dua jenis sumberdaya

alam tersebut tidak perlu secara eksplisit mengatur kepemilikan atas barang tambang

dan ikan di laut, melainkan cukup dengan penguasaan yang efektif.

Undang-undang kehutanan tidak secara spesifik mengatur tentang status asset

tegakan hutan, demikian pula aturan-aturan yang dibangun oleh pemerintah juga tidak

menyinggung status ini. Pengakuan tegakan hutan sebagai asset memerlukan

kejelasan tentang pengaturan definisi hak properti secara lengkap, sehingga dapat

ditentukan siapa pemilik asset tersebut. Undang-undang dan aturan-aturan yang tidak

secara eksplisit menentukan pemilik hutan negara, menimbulkan kesulitan untuk

menentukan siapa yang menjadi pemilik atas stok tegakan hutan alam yang berstatus

sebagai hutan negara.

Pengalaman masyarakat Ejidos di Mexico sebagaimana disampaikan oleh Van den

Berg (2001), bahwa 100 tahun yang lalu pemerintah setempat mengubah kebijakan

properti lahan komunal (community land right), menjadi hak pengelolaan kepada

keluarga yang dapat diwariskan kepada anak-anaknya dan berlaku selama masih

digunakan untuk produksi hasil tanaman. Hak tersebut kembali ke negara bila yang

bersangkutan tidak bekerja sebagai penggarap lahan tersebut. Dari segi keamanan

Page 18: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

195

atas hak, skema ini cukup aman, tetapi tidak ada pengakuan atas asset tegakan yang

ditanam. Meskipun keluarga tersebut telah mengeluarkan banyak biaya untuk

menanam pepohonan, namun ketika keluarga itu beralih profesi atau pindah tempat

tinggal, investasinya tidak terakumulasi sebagai asset yang bisa ditransaksikan,

akibatnya seluruh biaya yang sudah ditanamkan menjadi beban tetap (fix cost) bagi

pergantian profesinya.

Kegiatan yang dilaksanakan dalam IUPHHK adalah kegiatan bisnis dengan tujuan

untuk memaksimumkan keuntungan. Menurut Hampton (1989), untuk

memaksimumkan keuntungan perusahaan akan meningkatkan likuiditas dengan

mengkonversi aset menganggur (idle) menjadi uang tunai (cash) dan dengan cara

meminimumkan biaya produksi. Di dalam Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu,

status asset tegakan merupakan hal yang sangat penting, mengingat bahwa ketidak

jelasan statusnya dapat menimbulkan persepsi sebagai asset menganggur dan

mendorong perusahaan untuk menjadikannya tunai. Hasil penelitian Kartodiharjo

(1998), menyimpulkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan perusahaan HPH

tidak termotivasi untuk melaksanakan pengelolaan hutan lestari adalah akibat dari

tidak adanya pengakuan dan pencatatan tegakan sebagai asset.

Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk membangun hutan diperlakukan sebagai

biaya yang “hilang sia-sia” karena nilai tesebut tidak tersimpan di dalam tegakan dan

tidak menjadi kekayaan perusahaan maupun pemerintah, tegakan hutan tidak ada

yang memiliki. Van den Berg (2001) mengemukakan bahwa pengakuan asset

memberikan lebih banyak pilihan, karena asset dapat diakumulasikan sebagai alat

penyimpan kekayaan, yang dapat dikonversikan ke dalam jenis asset lainnya atau

Page 19: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

196

dikonsumsi sejalan dengan perkembangan kebutuhan, sehingga memberikan insentif

terhadap inovasi dan investasi. Siapapun yang membiayai dan mencurahkan

kemampuannya untuk membangun hutan tidak akan kehilangan nilai usahanya karena

nilai itu tersimpan di dalam tegakan sebagai asset, dan apabila ia memerlukan atau

akan berganti usaha asset tersebut dapat diubah ke jenis asset lainnya dengan cara

bertransaksi kepada pihak yang ingin melanjutkan usaha pembangunan hutan.

Dengan mentransaksikan asset tegakan memungkinkan masuknya perusahaan lain

yang lebih kompeten untuk melanjutkan usaha, dibandingkan dengan

mempertahankan perusahaan yang lama. Sementara apabila tidak diakui sebagai

asset, maka perusahaan-perusahaan kehutanan yang menanamkan uangnya dalam

bentuk tegakan akan terjebak di dalamnya dan tidak dapat keluar dari bisnis ini, jika

ia beralih bidang usaha seluruh biaya yang dikeluarkan untuk membangun tegakan

harus direlakan sebagai biaya tetap atas pergantian usaha.

Pengakuan tegakan sebagai asset juga mengurangi resiko finansial apabila

didukung dengan kebijakan untuk meniadakan batas umur ijin dan menggantikannya

dengan kriteria kinerja fungsi hutan. Sanksi pencabutan dan umur ijin memberi

ketidak-pastian usaha, karena sewaktu-waktu asset dapat beralih menjadi milik

negara, sehingga lembaga keuangan tidak tertarik untuk membiayai proyek

pembangunan hutan (Ferreira, 2004) . Pengakuan dan jaminan keamanan asset serta

transferabilitasnya dapat meningkatkan bankabilitas proyek pembangunan hutan

(Mendelshon, 1990 di dalam Ferreira, 2004).

Jika pengakuan sebagai assset diintegrasikan dengan neraca sumberdaya hutan,

maka akan diperoleh ukuran moneter atas kekayaan hutan. Dengan adanya ukuran

Page 20: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

197

moneter, pembangunan kehutanan dapat dikomunikasikan dalam bahasa yang lebih

mudah dimengerti oleh otoritas fiskal. Dengan demikian kebijakan kehutanan dapat

difasilitasi untuk masuk ke dalam arus utama (main stream) kebijakan ekonomi.

Pengaturan gaya Ejidos tergolong lebih maju daripada IUPHHK karena tiga hal

yaitu ada kejelasan strata hak yang diberikan berupa hak kelola, ada kepastian jangka

panjang berupa kepastian hak sepanjang masih digunakan sesuai kontrak, dan hak

tersebut dapat diwariskan. Berbeda dengan IUPHHK yang diberikan hak

pemanfaatan, dibatasi jangka waktu ijinnya dan tidak dapat diwariskan. Mekanisme

ini bukan saja menimbulkan beban tetap terhadap perusahaan yang akan berganti

bidang usahanya, melainkan juga memberikan ketidak pastian usaha. Adanya sanksi

pencabutan, jangka waktu ijin dan ketentuan bahwa asset tidak bergerak menjadi

milik negara, menyebabkan hutan tidak dapat dijadikan agunan sehingga sulit

mendapatkan layanan investasi dari perbankan.

Ketidak jelasan status kepemilikan hutan negara, menimbulkan kesulitan untuk

mendudukkan status tegakan hutan sebagai asset karena pengakuan asset memerlukan

kejelasan pemiliknya. Tegakan hutan tidak dapat menjadi alat penyimpan asset,

biaya-biaya yang dikeluarkan untuk membangun hutan alam menjadi biaya yang

hilang karena tidak disimpan sebagai kekayaan, dan bisnis kehutanan sulit mendapat

dukungan perbankan oleh sebab itu perilaku rasional tidak akan membelanjakan

uangnya untuk membangun hutan.

Sama seperti pada bagian terdahulu, pemerintah tidak melakukan perubahan yang

nyata, disamping kemungkinan adanya motivasi untuk memperkuat kekuasaan dan

adanya resistensi namun terdapat kemungkinan bahwa respon ini karena mereka

Page 21: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

198

terhalang oleh aturan yang ada, baik formal maupun informal, (Scott, 2008). Dalam

hal ini birokrasi terikat oleh aturan PSAK-32 yang kewenangan regulasinya tidak

langsung berada di Departemen Kehutanan, tetapi pada Ikatan Akuntan Indonesia.

6.2.2. Dasar Menata Hubungan Hak Properti

Pengakuan atas kepemilikan hutan negara akan memudahkan pengaturan strata

hak properti atas hutan secara baik, dapat diketahui siapa pemilik, siapa pengelola,

siapa penyewa dan siapa pengguna. Masing-masing aktor dapat mengidentifkasikan

dirinya, sehingga dapat menjalankan peran masing-masing sesuai dengan

kedudukannya. Kemampuan identifikasi ini akan memfasilitasi pengaturan hirarki

institusi.

Sebagai pembanding dapat diperhatikan pengaturan hak-hak properti hutan negara

yang berlaku di Swedia, data perbandingan ini disajikan pada Tabel 47. Hak

kepemilikan atas hutan diakui secara jelas, sehingga terdapat hutan negara, hutan

milik perorangan, hutan milik perusahaan, dan hutan milik komunitas (Nilsson,

1990). Terhadap hutan yang dimiliki oleh negara, sejak tahun 1993 pemerintah

memberikan hak pengelolaan atas hutan negara kepada perusahaan kehutanan

“AssiDoman”, pemerintah memiliki saham sebesar 51 % dan sisanya 49% dijual ke

pasar modal (Borealforest, 2010). Pemerintah sebagai salah satu pemilik hutan tidak

terlibat langsung dalam urusan-urusan mikro. Pemerintah berkonsentrasi pada

kebijakan publik untuk memajukan kehutanan di seluruh wilayah negaranya. Tugas-

tugas pemerintah dalam rangka menjalankan undang-undang berupa : pemberian

nasehat; distribusi hibah pemerintah kepada pemilik hutan yang berhasil memenuhi

Page 22: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

199

kontrak, inventarisasi hutan, aktifitas informasi, urusan-urusan ekologik tertentu,

pengaturan timber scaling, statistik kehutanan dan peramalan sektor kehutanan.

(Skogsstyrelson, 1994).

Selanjutnya undang-undang kehutanan swedia juga mengatur bahwa setiap orang

yang akan melakukan penebangan hutan harus menyampaikan rencana

penebangannya kepada pemerintah setempat untuk diberikan petunjuk apabila

terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan, dan apabila dalam 15 hari tidak ada

petunjuk maka penebangan dapat langsung dilaksanakan. Berdasarkan rencana

tersebut pemerintah memeriksa dan menilai kondisi setelah penebangan, jika hasilnya

memenuhi kriteria kinerja yang berlaku, maka pemerintah merencanakan besarnya

hibah atau subsidi yang akan diberikan kepada yang bersangkutan untuk membiayai

penanaman kembali. Hal-hal yang bersifat teknis tidak diurus oleh pemerintah secara

langsung melainkan didevolusikan kepada para pemilik/pengelola hutan. Para

pemilik/pengelola hutan membentuk Federasi Pemilik Hutan Swedia (Skogsagarnas

Riksforbund) untuk meningkatkan pendapatan finansial para anggotanya. Tujuan

tersebut dicapai dengan mengkoordinasikan perdagangan kayu dan memberikan

bantuan kepada pemilik tentang teknik-teknik logging dan silvikultur.

Undang-undang kehutanan swedia juga mengatur hak-hak tradisional masyarakat

Swedia yang berupa akses kehutan (right of common acces) setiap orang berhak

melewati hutan milik siapapun, berhak menikmati lanskap, memungut jamur dan

buah berry, dengan cara-cara yang bertanggung jawab. Aktivitas berkendaraan dan

berkemah yang melampaui 24 jam diharuskan mendapat ijin dari pemilik/pengelola

hutan.

Page 23: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

200

Apabila kepemilikan hutan negara dinyatakan dengan jelas seperti yang telah

dilakukan oleh pemerintah Swedia, maka klasifikasi hak sesuai metoda Schlager dan

Ostorm (1992) dapat dilakukan atas properti hutan negara menjadi sebagai berikut :

pemilik hutan negara adalah negara mewakili warga negara Indonesia, yang

dilaksanakan oleh pemerintah melalui kewenangan pengurusan hutan; pengelola

adalah pemerintah pusat dan daerah dalam kaitannya dengan pengelolaan tingkat

provinsi dan kabupaten/ kota, sedangkan pengelola tingkat unit adalah KPH pada

hutan negara dan masyarakat adat terhadap hutan adat serta pihak lain yang diberikan

wewenang pengelolaan; termasuk dalam kelompok penyewa adalah penerima ijin

usaha pemanfaatan kawasan dan penerima ijin usaha jasa lingkungan wisata alam

yang memerlukan areal tertentu untuk mengembangkan produk wisatanya; terakhir

dapat digolongkan sebagai pengguna adalah penerima ijin-ijin usaha pemanfaatan

kayu, bukan kayu, produk jasa lingkungan dan penerima ijin pemungutan hasil hutan.

Klasifikasi menurut Schlager dan Ostorm (1992) tersebut dapat membantu untuk

memposisikan KPHP dan pihak-pihak lainnya dengan lebih jelas dan lebih baik

dibandingkan dengan penataan menurut peraturan pemerintah yang ada. Dengan

memanfaatkan klasifikasi Schlager dan Ostorm, maka hubungan-hubungan tersebut

dapat diatur menjadi sebagaimana Tabel 48.

Negara sebagai perwakilan seluruh rakyat Indonesia dapat diposisikan sebagai

“pemilik” hutan negara, yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah melalui

kewe-nangan pengurusan hutan. Negara sebagai pemilik hutan mempunyai strata hak

yang paling lengkap, termasuk hal alienation yaitu hak untuk memindah tangankan

seluruh atau sebagian dari hutan tersebut kepada pihak lain. Melalui kewenangan

Page 24: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

201

pengurusan, pemerintah dapat melakukan tindakan alih fungsi hutan produksi

termasuk mengubah status hutan menjadi bukan hutan, tukar menukar kawasan, dan

ijin pinjam pakai. Pemerintah mempunyai pilihan untuk mengaktualisasikan hak-hak

atas kepemilikannya dengan cara melaksanakan sendiri atau dengan cara memberikan

kepada pihak lain kepada pengelola, penyewa dan atau pengguna sesuai dengan strata

hak yang diberikan.

Agar efektif batasan hak properti harus lengkap dan tepat, oleh karenanya setiap

pilihan mengandung implikasi pendelegasian hak-haknya. Jika pemilik memilih

menjalinj hubungan dengan pengelola, maka hak-hak access and withdrawal,

management, dan exclusion, harus didevolusikan kepada pengelola, sementara hak

allienasion tetap menjadi hak pemeili8k untuk melaksanakannya. Demikian pula jika

pemilik menjalin hubungan dengan pengguna, maka hak yang diberikan adalah

access and withdrawal, sehingga strata hak yang lainnya menjadi tanggung jawab

pemilik untuk melaksanakannya.

Situasi yang berlaku saat ini, pemerintah juga tidak dapat membuat definis hak-

hak properti atas hutan negara secara lengkap dan jelas, kedudukan pemilik,

pengelola, penyewa dan pengguna (pemanfaat) tidak terdifinisi dengan baik, sehingga

terjadi kerancuan pengaturan. Dalam kasus IUPHHK, pengguna diposisikan sebagai

pengelola dengan memberikan beban kewajiban-kewajiban pengelolaan. Pemerintah

tidak mampu mengidentifikasikan dirinya, akibatnya tidak dapat mengidentifikasi

peran diri sendiri dan aktor-aktor lain dalam menjalin hubungan kontraktual

dengannya. Oleh sebab itu sejalan dengan pendapat Titienberg (1992) hak-hak

properti atas hutan tidak dapat dilaksanakan secara efektif.

Page 25: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

Tabel 47. Perbandingan Penggunaan Strata Hak Pada Hutan Negara di Indonesia dan Swedia Strata Hak Indonesia Swedia

Pemilik Pengelola Penyewa Pengguna Pemilik Pengelola Penyewa Pengguna Access and withdrawal

Diatur pemerintah

Tidak Jelas pelaku dan pengaturannya

Tidak Jelas pelaku dan pengaturannya

Mendapat ijin usaha dari pemerintah dengan dibebani kewajiban pengelolaan

Negara menyerahkan kewenangannya kepada pengelola, Perusahaan Negara Kehutanan (Assidoman)

(Assidoman) Berwenang melaksanakan

Atas ijin pengelola

Dijamin oleh undang-undang sebagi right of common access. Seijin pengelola jika melampaui batas 24 jam

Management

Diatur pemerintah

na Berwenang melaksanakan

Atas ijin pengelola

na

Exclusion Diatur pemerintah

na Na Berwenang melaksanakan

na Na

Alienation Diatur pemerintah

na na na Menjualan saham di bursa saham

na na na

Page 26: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

203

Tabel 48. Pengaturan Hak-hak Properti yang Berlaku pada KPHP, Berdasarkan Klasifikasi Schlager dan Ostorm

Strata Hak

PEMILIK (Owner)

PENGELOLA (Proprietor)

PENYEWA (Claimant)

PENGGUNA (Autorized

User)

Negara KPH, Hutan Adat, Hutan

Desa IUPK, IUPJL

IUPHHK, IUPHHBK,

IUPHH, IUPJL

Access and Withdrawal X X X X

Management X X X Exclusion X X Alienation X

Kerancuan dalam mendefinisikan hak properti menyulitkan pemerintah dalam

memposisikan hirarkhi institusi dan kebijakan secara jelas menyebabkan pemerintah

pusat dan daerah memasuki wilayah-wilayah mikro yang merupakan domain urusan

individu, hal seperti ini tidak terjadi di Swedia. Ijin-ijin usaha pemanfaatan hasil

hutan kayu yang merupakan hubungan transaksi individu ditangani langsung oleh

Menteri Kehutanan dengan rekomendasi Bupati/Walikota dan Gubernur. Menteri

juga terlibat langsung dalam memutuskan pilihan teknologi yang digunakan pada

pengelolaan hutan tingkat KPH. Sedangkan Bupati/walikota dan Gubernur juga

mengambil alih peran yang dapat dilakukan oleh KPH, sehingga terlibat langsung

dalam transaksi pemanfaatan kawasan, hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan dan

pemungutan hasil hutan, yang merupakan urusan tingkat mikro. Pilihan manajemen

yang memposisikan Menteri, Gubernur dan Bupati/walikota terlibat dalam urusan

tingkat mikro memerlukan penguasaan informasi yang detail dan kapasitas

pengendalian dan pengawasan yang kuat. Penguasaan informasi secara cepat menjadi

Page 27: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

204

semakin penting jika dikaitkan dengan misi pemerintah untuk mengoptimalkan fungsi

hutan, dimana karakterisitik tegakan hutan disamping sebagai produk, ia juga

berperan sebagai “pabrik” sehingga jika terjadi kesalahan akan berdampak jangka

panjang. Oleh sebab itu informasi yang cepat dapat memberikan arahan untuk

mengambil tindakan secara cepat guna menghindari dampak buruk yang meluas.

PP no. 34/2002 dan PP no. 6/2007 mempunyai bias terhadap hutan negara. Hal-hal

yang diatur lebih tepat diberlakukan untuk pengelolaan dan pemanfaatan hutan

negara, sedangkan undang-undang memerintahkan pengaturan terhadap seluruh status

hutan, sehingga pembentukan KPH, penunjukan pengelola dan prosedur perijinan

tidak tepat diberlakukan pada hutan hak, hutan adat, hutan desa yang menurut

undang-undang diberikan kewenangan pengelolaan. Bias pengaturan ini dapat terjadi

karena logika tata urutan penetapan tidak diikuti, undang-undang membangun logika

urutan penetapan dimulai dari status hutan, fungsi hutan, wilayah pengelolaan,

pemanfaatan dan terakhir perijinan.

6.3. Respon Pemerintah

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat tiga respon pemerintah

yaitu mengosongkan pranata pengelolaan hutan tingkat unit, memindahkan tanggung

jawab pengelolaan hutan dan kapasitas penegakan aturan yang lemah.

6.3.1. Kekosongan Pranata Pengelolaan Hutan Tingkat Unit.

Definisi hak properti atas hutan negara yang tidak lengkap, tegakan yang tidak

diakui sebagai asset dan hirarki yang rancu, memberikan pilihan kepada pemerintah

Page 28: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

205

untuk tidak segera membentuk pengelolaan tingkat unit (KPH). Data yang diperoleh

menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2007 tidak ada satupun unit manajemen

KPHP yang telah dilengkapi dengan organisasi yang beroperasi di lapangan. Luas

KPHP yang telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan data tersebut baru

mencapai 4% dari luas hutan negara yang ditetapkan sebagai hutan produksi. Dengan

demikian tidak ada orgaisasi yang bekerja untuk melaksanakan tugas pengelolaan

hutan negara, atau terjadi kekosongan pranata pengelola hutan tingkat unit.

Kekosongan pranata ini diisi dengan cara memindahkan tanggung jawab pengelolaan

hutan dari pemerintah kepada perusahaan-perusahaan penerima IUPHHK dan dengan

mengambil wewenang melaksanakan hubungan transaksional pemanfaatan hasil

hutan dari pengelola oleh pemerintah pusat dan daerah. Kekosongan pranata ini telah

terjadi sejak dimulainya sistem pengusahaan hutan pada tahun 1970 dan berlangsung

sampai sekarang.

Hak pengelolaan yang efektif berdasarkan Schlager dan Ostorm (1992) harus

dilengkapi dengan strata hak (1) access and withdrawal, (2) management, dan (3)

exclusion. Strata hak management dan exclusion masih dipegang oleh pemerintah,

oleh sebab itu pemberian kewajiban pengelolaan kepada perusahaan tidak

menghilangkan situasi kekosongan pranata. Dengan demikian pilihan kebijakan ini

memiliki peluang gagal yang tinggi terutama jika tidak didukung oleh penguasaan

informasi dan kapasitas pengawasan yang tinggi oleh pemerintah. Adalah tugas

pemerintah untuk mengubah ketidak-pastian menjadi resiko yang dapat

diperhitungkan melalui kebijakan publik sehingga memfasilitasi perusahaan untuk

memasuki bisnis dan mengambil resiko itu, bukan tindakan yang sebaliknya.

Page 29: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

206

KPHP yang diharapkan dapat diperankan sebagai pengelola yang dilengkapi

dengan strata hak access and withdrawl, management, dan exclusion pada akhirnya

tidak dapat menjalankan peran tersebut karena hak management, dan exclusion

diambil alih oleh pemerintah. Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 yang telah

menjabarkan tugas dan tanggung jawab kepala KPH belum dapat memposisikan

KPHP secara baik. Dengan pengambil-alihan kedua strata hak-hak tersebut, maka

kepala KPHP hanya berperan sebagai pekerja pelaksana dari pemegang wewenang

pengelolaan yang sesungguhnya.

6.3.2. Salah Pilih (adverse selection)

Tujuan pemerintah melakukan seleksi perusahaan penerima IUPHHK baik melalui

mekanisme lelang maupun pengajuan permohonan adalah agar diperoleh mitra kerja

yang berkualitas tinggi dan kompeten untuk melaksanakan pekerjaannya dan

kewajiban yang diberikan kepadanya untuk mengelola hutan. Akan tetapi hasil

penelitian menunjukkan bahwa perusahaan yang mendapat kualifikasi baik dari 40

perusahaan contoh hanya sekitar 10 %, populasi, sedangkan perusahaan yang tidak

berkualifikasi baik lebih dominan. Dengan demikian mekanisme yang dijalankan oleh

pemerintah tidak berhasil memilih perusahaan yang baik, pemerintah telah salah

pilih. Bagaimana hal ini terjadi dapat dijelaskan sebagai berikut :

Mekanisme seleksi kualifikasi yang dilakukan oleh Menteri terdistorsi oleh

prosedur yang mengharuskan perusahaan yang lulus seleksi mendapatkan

rekomendasi bupati dan gubernur. Subyektifitas bupati dan gubernur menjadi penentu

pemilihan calon perusahaan yang akan menerima IUPHHK. Selain itu masing-

Page 30: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

207

masing perusahaan lebih mengetahui kapasitasnya atau keinginannya untuk

memenuhi aturan main atau kewajiban yang diterima apabila ijin diberikan

dibandingkan dengan pengetahuan pemerintah. Diasumsikan bahwa terdapat dua

jenis perusahaan yang mengikuti proses lelang, yaitu perusahaan yang “baik” yaitu

perusahaan yang mempunyai komitmen pada pengelolaan hutan lestari, ia telah

menginternalisasikan kewajiban-kewajiban kedalam bisnisnya sebagai bagian nilai-

nilai perusahaan dalam mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Perusahaan ini

melaksanakan kewajiban-kewajiban itu sesuai dengan standard dan ketentuan yang

berlaku. Jenis perusahaan kedua adalah perusahaan “buruk” adalah perusahaan-

perusahaan yang memposisikan kewajiban sebagai beban exogenus yang tidak

berhubungan dengan kepentingan usahanya. Ia akan meminimumkan biaya

menjalankan kewajiban, termasuk dengan cara melaksanakan kewajiban dibawah

standar aturan yang berlaku. Jenis perusahaan “baik” akan memiliki kurva permintaan

yang tajam, sedangkan perusahaan “buruk” akan mempunyai kurva permintaan yang

lebih landai. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Darusman, et all (2003) yang

menunjukkan bahwa biaya perunit output perusahaan yang menerapkan PHL sedikit

lebih tinggi dari biaya perusahaan non-PHL meskipun perbedaan tersebut tidak

signifikan.

Di dalam setiap unit ijin melekat satu set kewajiban untuk mewujudkan PHL,

dengan demikian dapat dianalogikan bahwa unit ijin setara dengan set kewajiban.

Kemiringan kurva permintaan ijin menurun karena setiap penambahan satu set

kewajiban menyebabkan utilitas marginalnya menurun, dan sampai batas tertentu

nilai marginal utilitasnya sama dengan nol. Sementara itu kurva suplai yang

Page 31: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

208

menggambarkan seperangkat kewajiban mempunyai kemiringan mendatar karena

hanya ada satu set kewajiban pada setiap ijin dan nilai biaya perunit dianggap tetap.

Pemerintah pada prinsipnya melakukan penawaran ijin (set kewajiban) kepada

pelaku bisnis, dan pelaku bisnis memberikan permintaan ijin (set kewajiban) maka

hubungan transaksional keduanya dapat diilustrasikan pada gambar 23.

Gambar 23. Adverse Selection pada Perijinan Pemanfaatan Kayu

Jika S adalah kurva penawaran set kewajiban, dan MB adalah kurva permintaan

set kewajiban perusahaan “baik”, dan MB1 adalah kurva permintaan set kewajiban

perusahaan “buruk” , Q adalah jumlah ijin dan jika diasumsikan setiap ijin dimiliki

oleh satu perusahaan maka Q juga mencerminkan jumlah perusahaan, sedangkan UC

adalah beban perunit yang timbul sebagai konsekwensi pelaksanaan kewajiban.

UC

Pi

Pe

MB MB1

S

S1

Q1 Q2 Q3 Q

Page 32: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

209

Pemerintah hanya mempunyai satu tarif (set kewajiban) yang dibayar secara tunai

dalam bentuk iuran ijin usaha (IIU), dana reboisasi (DR) dan provisi sumberdaya

hutan (PSDH) dan dibayarkan tidak dalam bentuk tunai yang berupa kewajiban-

kewajiban pengelolaan hutan lestari. Tidak ada pembedaan tarif untuk perusahaan

“baik” dan perusahaan “buruk”. Pada tingkat penawaran S maka biaya perunit adalah

merupakan tarrif yang ditentukan pemerintah sebesar Pe, maka jumlah perusahaan

atau jumlah ijin yang ditransaksikan adalah Q2 yang terdiri dari perusahaan baik

sebanyak Q1 dan perusahaan buruk sebanyak (Q2 – Q1). Apabila pemerintah

mengubah aturan mainnya yang mengakibatkan beban perunitnya meningkat hingga

> Pi, maka hanya perusahaan buruk yang memasuki bisnis kehutanan sebanyak Q3.

Jika data hasil penilaian kinerja tersebut diterapkan pada gambar 22, maka Q1

adalah perusahaan yang mempunyai nilai baik sebesar lebih-kurang 10 %, perusahaan

yang tidak masuk dalam kategori baik adalah (100% - 10%) atau sebanyak 90%.

Adanya adverse selection menghadirkan lebih banyak perusahaan tidak dalam

kategori baik yang memasuki usaha kehutanan. Dalam penelitian ini ditunjukkan

oleh jumlah perusahaan yang tergolong baik hanya berkisar 10%, dan perusahaan

yang menjalankan visi dan misinya dengan baik tidak lebih dari 5% saja. Mengingat

bahwa salah satu kriteria penting yang digunakan dalam proses seleksi adalah

pernyataan visi dan misi, namun kenyataan menunjukkan bahwa hanya 5 % yang

menjalankannya, dan hanya 10 perusahaan penerima IUPHHK tergolong sebagai

perusahaan yang mencapai nilai akhir baik. Kenyataan ini mengkonfirmasi adanya

masalah salah pilih.

Page 33: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

210

6.3.3. Penegakan Lemah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas dalam mengendalikan

pelaksanaan kewajiban teknis dan administrasi perusahan (urusan mikro) adalah

rendah, didukung dengan kemampuan menguasai informasi yang rendah pula, serta

adanya peraturan-peraturan yang mengandung konflik kepentingan secara bersama-

sama membuat penegakan aturan lemah. Hubungan keterkaitan dari berbagai masalah

yang timbul dari berbagai peraturan yang dibuat oleh pemerintah diilustrasikan pada

gambar 24.

Pengidentifikasian pengguna yang diposisikan sebagai pengelola dan adanya

kekosongan pranata pengelola hutan, menimbulkan konflik kepentingan para pihak

yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan kayu. Keterlibatan

pemerintah pada urusan mikro dan inkonsistensi dalam penempatan kewenangan

menyebabkan kebijakan-kebijakan pemerintah menjadi sangat rumit.

Kompleksitas ini menimbulkan peluang dibuatnya peraturan-peraturan yang

mengandung konflik kepentingan. Ketentuan tentang sanksi administrasi yang berupa

penghentian pelayanan, penghentian kegiatan di lapangan dan pencabutan ijin, akan

berdampak kepada kepentingan pemerintah. Penerapan sanksi-sanksi tersebut secara

konsisten akan berpengaruh kepada penurunan produksi, dan pemerintah

berkepentingan atas kinerja produksi hasil hutan.

Konflik ini mendorong pemerintah memberikan toleransi-toleransi dalam

penegakan aturan, signal ini menunjukkan adanya ruang negosiasi terhadap sanksi

pelanggaran administrasi, maka berlakukah apa yang disebutkan oleh Wiliamson

(1985) terdahulu, bahwa situasi ini membuka peluang kolusi antara pengawas dan

Page 34: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

211

perusahaan. Kebiasaan perusahaan yang lebih banyak mengembangkan manajemen

lobi daripada manajemen profesional (Abeng, 1996), juga mendukung terjadinya

pelemahan kapasitas pemerintah dalam menegakkan aturan. Jika dibandingkan

dengan hasil penelitian Kartodihardjo (1998) maka situasi yang berlaku pada masa

HPH masih belum berubah dimana pemerintah dan pengusaha terjebak dalam

perilaku opportunistik.

Gambar 24. Hubungan antara Struktur tidak Efektif dengan Kapasitas Penegakan

Kapasitas pemerintah yang lemah dalam penegakan aturan ditunjukkan oleh data

hasil penelitian bahwa jumlah perusahaan yang termonitor dikenakan sanksi dalam

bentuk peringatan maupun eksekusi terlalu rendah jika dibandingkan dengan jumlah

perusahaan yang mendapat nilai buruk. Mengingat bahwa penilaian yang dilakukan

oleh Lembaga Penilai Independen dilakukan dengan membandingkan antara

KesalahanIdentifikasi

PeranPemerintahPengusaha

KonflikAturan

KonflikKepentingan

SulitDitegakkan

Asymmetric Information

LobbyTransaksi

KapasitasPenegakan

AturanLemah

KesalahanIdentifikasi

PeranPemerintahPengusaha

KonflikAturan

KonflikKepentingan

SulitDitegakkan

Asymmetric Information

LobbyTransaksi

KapasitasPenegakan

AturanLemah

Page 35: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

212

peraturan dan pelaksanaannya maka nilai buruk memberikan indikasi pelanggaran,

namun tidak semua pelanggaran dikenakan sanksi oleh pemerintah.

Berdasarkan hasil nilai pada verifier-verifier pada keempat kelompok indikator

diketahui adanya kecenderungan bahwa hanya sebagian kecil perusahaan yang

melaksanakan peraturan yang ditunjukkan oleh jumlah perusahaaan yang mencapai

nilai baik pada verifier-verifier tersebut rata-rata berada dibawah 10%. Pada Tabel 49

disampaikan aturan (verifier) yang paling banyak dilanggar yang ditunjukkan oleh

jumlah perusahaan yang tidak mendapat nilai baik pada verifier / indikator yang

bersangkutan.

Selama periode tahun 2004-2009 pemerintah telah menjatuhkan sanksi pencabutan

ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu sebanyak 59 ijin yang mendekati 20% dari

jumlah ijin yang diberikan dan berlaku pada periode tersebut. Pencabutan ini

sebagian besar (76%) dilakukan terhadap perusahaan yang telah beroperasi selama

lebih dari 10 tahun. Sebanyak 20 ijin dicabut karena perusahaan tidak mendapatkan

rencana produksi tahunan (RKT) selama tiga tahun berturut-turut, dari jumlah ini

sebanyak 17 perusahaan (85 %) adalah perusahaan yang telah bekerja lebih dari 10

tahun. Sebanyak 17 ijin dicabut karena diserahkan kembali oleh pemilik ijin kepada

pemerintah, penyerahan tersebut dilakukan oleh perusahaan baru maupun perusahaan

lama. Terdapat 8 perusahaan yang telah menerima IUPHHK selama lebih dari lima

tahun dicabut ijinnya karena meninggalkan areal kerjanya.

Pencabutan terhadap 20% dari ijin yang diterbitkan, tidak menggambarkan

kemampuan pemerintah dalam menegakkan aturan. Berdasarkan data sanksi yang

diberikan oleh pemerintah baik dalam bentuk peringatan pertama, peringatan kedua,

Page 36: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

213

peringatan ketiga dan eksekusi atas sanksi diketahui bahwa jumlah perusahaan yang

mendapatkan sanksi berbanding terbalik dengan perusahaan yang tidak mendapat

nilai baik. Jika diperhatikan Tabel 49 jumlah perusahaan yang tidak menjalankan

aturan penggunaan tenaga kerja mencapai 97,5 % namun jumlah perusahaan yang

mendapat sanksi peringatan pada tahun 2008-2009 sebanyak 3 perusahaan (+ 1%).

Diantara 40 perusahaan yang diambil sebagai contoh terdapat 1 (2.5%) perusahaan

yang mendapat sanksi peringatan, selebihnya tidak mendapat sanksi dari pemerintah.

Mengingat bahwa pemerintah mengatur urusan mikro, maka sangat banyak aturan

yang harus ditegakkan. Data tersebut memberikan gambaran bahwa kapasitas dalam

menegakkan aturan tergolong lemah, pemerintah hanya mempunyai kiemampuan

terbatas untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian kontrak dengan penerima IUPHHK

Tabel 49. Daftar 9 Ketentuan yang Paling Banyak Dilanggar Berdasarkan Nilai Verifier Hasil Penilaian LPI pada 40 Perusahaan Tahun 2008- 2009

No Verifier Jumlah perusahaan tidak bernilai baik (%)

1 Realisasi secara fisik pembinaan dan perlindungan hutan (BIN)

95

2 Keberadaan tenaga professional kehutanan (SDM) 97.5

3 Implementasi SOP seluruh tahapan silvikultur (SIL) 97.5

4 Kesesuaian realisasi tebangan dengan rencana tebangan tahunan (RAS)

97.5

5 Kesesuaian realisasi tebangan dengan riap (RIA) 97.5

6 Pengelolaan dan pemantauan dampak terhadap tanah dan air (E 3.3)

97.5

7 Ketersediaan prosedur dan implementasi untuk mengidentifikasi spesies flora dan fauna langka, dilindungi, endemic

100

8 Pengelolaan flora langka, dilindungi dan endemic 100

9 Pengelolaan Fauna langka, dilindungi, endemic 97.5

Page 37: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

214

6.4. Respon Perusahaan

Perusahaan merspon peraturan yang diberlakukan oleh pemerintah dan sekaligus

juga merespon perilaku pemerintah, oleh sebab itu penting disini untuk memahami

bagaimana sistem yang dibangun bekerja dilapangan.

6.4.1. Cara Kerja Sistem Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan

Definisi hak properti yang tidak lengkap, kekosongan pranata dan pemindahan

tanggung jawab pengelolaan hutan dari pemerintah kepada perusahaan IUPHHK-HA,

membatasi kemampuan pemerintah untuk mengatur perlakuan akuntansi atas biaya-

biaya yang timbul pada pengelolaan hutan sebagai asset. Pilihan kebijakan yang

pertama mempengaruhi perilaku pemerintah dalam menentukan pilihan-pilihan

kebijakan selanjutnya. Hubungan-hubungan tersebut diilustrasikan seperti gambar 25.

Struktur peraturan yang tidak secara tegas mengakui tegakan hutan alam sebagai

asset dan penjelasan undang-undang yang menyatakan bahwa pengertian negara

“menguasai” seluruh hutan di Indonesia tidak berarti “memiliki” menimbulkan

kendala bagi pemerintah untuk memposisikan kepemilikan hutan negara sejajar

dengan kepemilikan hutan hak oleh individu, meskipun pengertian tersebut

dimaksudkan untuk menghindari penafsiran perampasan hak kepemilikan warga

negara atas hutan hak oleh negara bukan dimaksudkan sebagai larangan bagi negara

untuk memiliki hutan negara. Tidak adanya penegasan tentang kepemilikan hutan

negara dan tidak adanya pengakuan tegakan hutan alam sebagai asset mempengaruhi

definisi hak properti atas hutan negara, sehingga menghasilkan aturan yang tidak

mendefinisikan hak properti secara lengkap.

Page 38: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

215

Gambar 25. Keterkaitan Unsur-unsur Penyebab Institusi Tidak Efektif

Pilihan kebijakan seperti yang diatur atau sengaja tidak diatur dalam peraturan-

peraturan pemerintah tersebut, membawa implikasi kepada peraturan-peraturan

tingkat menteri yang menyebabkan banyaknya urusan-urusan pemerintah di tingkat

mikro. Seperti telah dingatkan oleh berbagai ahli (Douglas C North, Oliver C

Williamson, Joseph E Stiglitz dan Hendix Van den Berg) bahwa peran pemerintah

sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan bisnis yang bersaing, namun

kekuasaan yang besar pada pemerintah dapat membahayakan kelangsungan ekonomi.

Oleh karenanya tidak diharapkan pemerintah mencampuri urusan-urusan individual

kegiatan usaha, pemerintah sebagai regulator dan wasit penegak aturan sebaiknya

tidak dalam waktu yang bersamaan berperan sebagai pemain. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa lebih dari 56 % kewenangan urusan-urusan pengelolaan dan

Definisi Hak PropertiTidak lengkap &

inkonsistensi hirarkhiwewenag makro,

meso, mikro

Investasi tidakmenghasilkan asset Perversi

Kekuasaan

Informasiasimetrik

KonflikAturan

KesalahanIdentifikasiIUPHHK :

Penggunasebagai

Pengelola

Biaya Transaksi Tinggi

Definisi Hak PropertiTidak lengkap &

inkonsistensi hirarkhiwewenag makro,

meso, mikro

Investasi tidakmenghasilkan asset Perversi

Kekuasaan

Informasiasimetrik

KonflikAturan

KesalahanIdentifikasiIUPHHK :

Penggunasebagai

Pengelola

Biaya Transaksi Tinggi

Definisi Hak PropertiTidak lengkap &

inkonsistensi hirarkhiwewenag makro,

meso, mikro

Investasi tidakmenghasilkan asset Perversi

Kekuasaan

Informasiasimetrik

KonflikAturan

KesalahanIdentifikasiIUPHHK :

Penggunasebagai

Pengelola

Biaya Transaksi Tinggi

Page 39: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

216

pemanfaatan hutan ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi dari yang seharusnya

sementara 44% urusan-urusan yang diatur dalam peraturan menteri telah ditempatkan

pada posisi yang sebenarnya. Banyak urusan-urusan tingkat mikro yang diposisikan

pada tingkat meso dan makro, demikian pula terdapat urusan tingkat meso yang

kewenanganya diposisikan pada tingkat makro. Masih terdapat kecenderungan

sentralisasi kekuasaan yang berupa mengangkat urusan tingkat yang lebih rendah ke

tingkat yang lebih tinggi.

Struktur yang demikian dan adanya kendala-kendala lain yang dimiliki pemerintah

yang menyebabkan pemerintah tidak segera memberdayakan KPH, mendorong

pemerintah untuk memposisikan pengguna hak/pemanfaat hutan alam sebagai

pengelola melalui pengaturan pemberian beban kewajiban pengelolaaan hutan dan

ancaman sanksi-sanksi termasuk pencabutan ijin kepada penerima HPH/IUPHHK.

Posisi perusahaan penerima HPH/IUPHHK yang lemah dihadapan pemerintah dan

adanya kondisi informasi yang tidak simetrik merupakan insentif bagi pembuatan

aturan-aturan yang mengandung perversi kekuasaan, yaitu kebijakan atau tindakan

yang menguntungkan satu pihak atas beban pihak lain. Sebaliknya perversi kekuasaan

memberikan kemampuan untuk menciptakan kebijakan atau tidak membuat kebijakan

yang menimbulkan informasi tidak simetrik.

Struktur yang diciptakan melalui cara-cara di atas menimbulkan kerumitan

administrasi dan manajemen, akibat dari kompleksitas ini lahirlah peraturan-peraturan

yang mengandung konflik kepentingan. Dengan struktur yang banyak mengandung

masalah ini menimbulkan biaya transaksi tinggi termasuk dengan memberikan

peluang kepada pencari rente dan free riders.

Page 40: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

217

Disamping itu, cara pengaturan yang berupa pemindahan tanggung jawab

pengelolaan hutan dan perolehan informasi pelaksanaan perjanjian dari pemerintah

kepada perusahaan adalah bentuk pengaturan yang mengandung konflik kepentingan.

Selain itu kebijakan penggunaan teknik silvikultur intensif (SILIN) yang berdasarkan

laporan Heriansyah (2008) menimbulkan kerusakan hutan yang lebih besar dan

kehilangan sumberdaya genetik, dan demikian pula Peraturan Menteri Kehutanan no

P.11/Menhut-II/2007 yang menurunkan batas diameter yang dapat ditebang, adalah

peraturan yang mengandung konflik kepentingan pemerintah. Keputusan-keputusan

ini diambil karena desakan kebutuhan meningkatkan produksi jangka pendek,

sementara kepentingan jangka panjang pengelolaan hutan multiproduk harus

dikorbankan. Konflik kepentingan ini terjadi karena pemerintah berperan sebagai

regulator, wasit dan pemain, bangun institusi yang seperti ini akan cenderung tidak

stabil, mudah berubah bergantung kepada kekuatan kelompok kepentingan yang

bermain.

Bangunan institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan alam produksi, melibatkan

pemerintah dalam urusan-urusan tingkat mikro, rancang bangun institusi seperti ini

memerlukan dukungan informasi yang kuat. Kapasitas pemerintah dalam penguasaan

informasi tentang hutan, hasil hutan, perusahaan, dan tentang perbuatan perusahaan di

lapangan tergolong lemah. Data dan informasi tentang kondisi hutan yang dimiliki

oleh pemerintah adalah data yang memiliki resolusi rendah dan tidak aktual.

Kebutuhan pemerintah atas data beresolusi tinggi dalam rangka menjalankan

wewenangnya bergantung dari data informasi milik perusahaan. Situasi penguasaan

Page 41: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

218

informasi yang lemah masih belum berubah jika dibandingkan dengan situasi pada

masa HPH (Kartodihardjo, 1998)

Dalam menjalankan pengawasan terhadap pelaksanaan perjanjian IUPHHK,

pemerintah memperoleh informasi dari perusahaan yang bersangkutan. Prosedur

evaluasi keberlanjutan ijin usaha yang dilakukan dengan mengundang perusahaan

(direksi dan komisaris) untuk mempresentasikan laporannya didepan kelompok kerja

adalah bentuk paling kongkrit dari ketergantungan ini. Sementara itu penilaian

kinerja yang dilakukan oleh lembaga penilai independen yang dibiayai oleh

perusahaan IUPHHK yang dinilai, terutama pada penilaian kedua dan seterusnya,

adalah modifikasi dari cara evaluasi tersebut diatas.

Hubungan kontraktual yang berlaku dalam sistem pengusahaan hutan /HPH tidak

berbeda dengan sistem ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu/IUPHHK (periksa

Lampiran 3). Pada kedua sistem tersebut mempunyai kemiripan dalam proses-proses

perencanaan, pelaksanaan dan pengawasannya banyak melibatkan peran pemerintah

pusat dan daerah sampai pada tingkat mikro, demikian pula dengan kewajiban-

kewajiban yang menjadi beban perusahaan. Meskipun terdapat perbedaan dalam

proses perolehannya, dimana dalam sistem HPH hubungan koneksitas antara

pemohon dengan pemerintah sangat kuat, sedangkan dalam mekanisme IUPHHK

perolehan dilakukan dengan mekanisme “lelang” namun mekanisme yang

mengharuskan adanya rekomendasi bupati/walikota dan gubernur masih memberikan

adanya hubungan koneksitas yang mempengaruhi sistem. Dalam penelitian

Kartodihardjo (1998), diketahui bahwa institusi yang bekerja pada sistem

pengusahaan hutan (HPH) menimbulkan transaksi biaya tinggi. Sedangkan penelitian

Page 42: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

219

Mardipriyono (2004) dan Darusman dan Bahruni (2003) pada Tabel 44 menunjukkan

bahwa institusi yang bekerja pada sistem IUPHHK juga menimbulkan transaksi biaya

tinggi, termasuk di dalamnya teridentifikasi biaya-biaya transaksi yang merugikan

dan illegal. Kedua penelitian tersebut dilakukan pada dua rejim institusi yang

berbeda, namun kedua-duanya menyimpulkan terjadinya biaya transaksi tinggi,

merugikan dan illegal. Oleh sebab itu terdapat indikasi bahwa institusi yang bekerja

pada sistem pengelolaan dan pemanfaatan hutan belum terbebas dari transaksi biaya

tinggi, transaksi merugikan dan transaksi illegal

Hasil penelitian ini menunjukkan respon perusahaan yang berbeda dengan respon

layak yang diharapkan. Jumlah perusahaan yang mempunyai nilai akhir baik hanya

berkisar 10 % dari 40 perusahaan yang diambil sebagai contoh, ini mengindikasikan

bahwa hanya sedikit perusahaan yang menempatkan kegiatan pengelolaan hutan

lestari sebagai kegiatan prioritas perusahaan. Bagian terbesar dari penerima IUPHHK

tidak tertarik untuk melaksanakan pengelolaan hutan lestari yang juga diindikasikan

secara kuat oleh banyaknya perusahaan yang tidak melaksanakan visi dan misinya

(95%), perilaku ini adalah respon dari struktur dan akibat dari salah pilih.

Perhitungan korelasi antara umur, luas konsesi dan dukungan modal perusahaan

induk dengan capaian nilai kinerja menunjukkan bahwa ketiga variabel tersebut tidak

berhubungan dengan capaian nilai akhir kinerja pengelolaan hutan pada tingkat unit

manajemen. Umur atau lamanya kepemilikan ijin oleh perusahaan yang tidak

berkorelasi dengan capaian nilai akhir kinerja, menunjukkan perilaku bahwa

perusahaan tidak mengalami proses belajar untuk mengelola hutan secara lestari.

Diantara 10% perusahaan yang mempunyai nilai akhir baik terdapat perusahaan baru

Page 43: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

220

dan perusahaan lama, demikian pula masih banyak perusahaan yang telah lama

beroperasi namun mempunyai nilai yang tidak termasuk dalam kategori baik.

Sedangkan tidak ada korelasi antara luas konsesi dengan nilai akhir menjelaskan

bahwa kedudukan perusahaan IUPHHK sebagai pengguna, tidak mempunyai

kepentingan langsung dengan keberhasilan pengelolaan hutan, oleh sebab itu ia tidak

memiliki kepentingan langsung dengan luas ijin. Data hasil penelitian menunjukkan

bahwa semua variabel-variabel yang berupa kewajiban-kewajiban yang dimaksudkan

untuk menghasilkan STOK mempunyai korelasi yang tidak nyata dengan potensi

hutan dan rentabilitas. Korelasi yang tidak nyata menunjukkan bahwa aktivitas

perusahaan tidak sedang membangun stok tegakan melainkan sedang melakukan

produksi jangka pendek.

Kedudukannya sebagai pengguna menyebabkan perusahaan tidak memiliki hak

mengeksklusi atas manfaat dan biaya, dan tidak memiliki hak mengelola hutan,

sehingga luas konsesi tidak dapat menggambarkan efektifitas penggunaan hak-hak

tersebut melainkan hanya sebagai informasi untuk memperkirakan manfaat yang

dapat ia terima dalam jangka waktu tertentu.

Pada penilaian indikator prasyarat, berdasarkan 6 indikator yang termasuk sebagai

indikator fokus yaitu yang mempunyai peranan penting dalam mencapai pengelolaan

hutan lestari, jumlah perusahaan yang mencapai nilai baik pada setiap indikator

berkisar pada angka 10%, apabila masing-masing berbobot sama maka rata-rata

jumlah perusahaan yang mencapai nilai baik adalah 8,3%. Sebagian besar perusahaan

tidak mampu memenuhi atau mewujudkan prasyarat pengelolaan hutan lestari.

Informasi ini menjelaskan bahwa struktur institusi pengelolaan dan pemanfaatan

Page 44: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

221

hutan tidak memberikan insentif untuk mengarahkan perilaku perusahaan dalam

mewujudkan prasyarat pengelolaan hutan lestari.

Pada indikator produksi, berdasarkan rata-rata jumlah perusahaan yang mencapai

nilai baik pada setiap indikator diperoleh nilai rata-rata jumlah perusahaan yang

mencapai nilai baik adalah 8,9 persen, nilai sedang sebanyak 59,6 persen dan 31

persen buruk. Indikator-indikator ini mencerminkan perilaku perusahaan dalam

menjalankan aktifitas produksi kayu, sebagian besar berperilaku tidak termasuk

dalam kategori baik dan 31 persen nyata-nyata berperilaku buruk. Untuk memahami

makna dari hasil nilai ini, sebagai contoh digunakan indikator (P.2.1) sebagaian besar

perusahaan mempunyai nilai sedang dan buruk, ini menunjukkan bahwa dokumen

perencanaan yang terkait dengan perencanaan blok dan petak tebangan terdapat

ketidak sesuaian antara isi dokumen dengan kondisi lapangan, dan sebagian dokumen

tersebut hanya formalitas untuk memenuhi syarat administrasi saja. Sementara itu

pada indikator (P.2.2) dimana perusahaan yang mendapatkan nilai buruk sebesar

52.5%, berarti bahwa terdapat verifier yang bernilai buruk yang menunjukkan bahwa

ada ketentuan yang tidak dilaksanakan. Meskipun produksi adalah tujuan utama

perusahaan IUPHHK, namun institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan tidak dapat

mengarahkan perilaku perusahaan untuk memberikan prioritas pada cara-cara

menjalankan produksi yang lestari.

Jumlah perusahaan yang mencapai nilai baik pada kelompok indikator ekologi

sangat sedikit, jika diambilkan rata-ratanya hanya sebesar 3,4%. Pada indikator

(E.3.4) ketersediaan prosedur identifikasi dan implementasi flora-fauna langka,

dilindungi dan endemik, dan indikator (E.3.5) tentang pengelolaanya, tidak ada

Page 45: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

222

satupun dari contoh perusahaan dalam penelitian ini yang mempunyai nilai baik.

Perusahaan tidak sungguh-sungguh memperhatikan indikator ekologi, karena produk

tindakan-tindakan pengelolaan ekologi adalah berupa barang publik dan atau

eksternalitas, sementara itu pemerintah tidak menyediakan mekanisme insentif

sebagai koreksi atas adanya persoalan tersebut.

Pada indikator sosial, terdapat 9 % perusahaan yang mendapatkan nilai baik, 81 %

sedang dan 10 % buruk. Mengingat bahwa indikator sosial berhubungan dengan

kepentingan masyarakat sekitar, maka terdapat tuntutan langsung dari masyarakat

terhadap pelaksanaan aktivitas yang diukur dalam kelompok indikator sosial.

Sebanyak 81 persen perusahaan mencapai nilai sedang, adalah nilai sedang yang

tertinggi diantara kelompok indikator lainnya. Capaian ini juga dapat dimaknai

sebagai indikasi kapasitas negosiasi masyarakat dengan perusahaan, tuntutan

masyarakat atas kebutuhan ekonominya dapat mempengaruhi keputusan pilihan

perilaku perusahaan sampai kepada batas ruang negosiasi yang tersedia.

6.4.2. Keberadaan Principal-Agent Problems

Pindyck, et al (2001) Principal Agent Problems adalah masalah yang muncul

apabila manager (agen) tetap berbuat untuk mencapai tujuannya meskipun ketika

perbuatan ini dilakukan menurunkan keuntungan pemilik (principal). Masalah ini

akan terjadi pada situasi pengaturan hubungan dimana prestasi atau kesejahteraan

seseorang (pemilik) bergantung kepada perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain

(agen). Jika pemilik tidak mempunyai cukup informasi, atau biaya untuk

Page 46: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

223

mendapatkan informasi tersebut terlalu mahal, maka pemilik kehilangan kendali atas

perjanjian yang disepakati.

Bahwa pemerintah tidak mempunyai cukup informasi baik untuk kepentingan

perencanaan maupun kepentingan pengawasan pelaksanaan kewajiban telah

dijelaskan sebelumnya. Mengingat bahwa aturan yang dibuat pemerintah adalah

aturan-aturan teknis opersional lapangan, maka akan memerlukan biaya yang besar

oleh sebab itu pemerintah melalui peraturan yang dibuatnya menyerahkan

pembiayaan penilaian (evaluasi) atas pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada

perusahaan yang bersangkutan. Oleh sebab itu pemerintah telah kehilangan kendali

atas perjanjian yang menjadi dasar perikatannya dengan perusahaan penerima

IUPHHK. Situasi ini masih menunjukkan situasi yang sama jika dibandingkan

dengan hasil penelitian Kartodihardjo (1998).

Apakah kesejahteraan atau keberhasilan misi pemerintah (principal) bergantung

kepada perbuatan perusahaan penerima IUPHHK (agent) ? Jawabnya adalah ya.

Pertama kesejahteraan pemerintah yang berupa penerimaan pendapatan negara bukan

pajak tergantung kepada hasil kerja perusahaan dalam memproduksi kayu. Semakin

besar volume produksi kayu semakin besar pula pendapatan pemerintah. Kedua

produksi kayu di hutan alam dapat dilakukan dengan cara-cara non-PHL yang

menimbulkan kerusakan hutan lebih besar dari yang seharusnya, jika hal ini terjadi

maka pemerintah menanggung beban yang lebih besar, bukan saja beban langsung

yang berupa biaya pemulihan potensi hutan, namun juga beban tidak langsung yang

timbul karena terjadinya eksternalitas negatif.

Page 47: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

224

Dengan demikian institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang bekerja saat

ini, menyebabkan pemerintah kehilangan kendali atas perjanjian IUPHHK karena

pemerintah tidak dapat menguasai informasi yang diperlukan untuk mengawasinya.

Institusi juga memberi insentif kepada perusahaan untuk melakukan tindakan-

tindakan untuk mencapai keuntungan meskipun tindakan-tindakannya menyebabkan

peningkatan beban pemerintah sebagai dampak dari perbuatannya. Problem

principal-agent terjadi bukan semata-mata keinginan perusahaan untuk melakukan

tindakan menyimpang, melainkan karena struktur yang diberlakukan memberi

peluang untuk tindakan tersebut sebagai pilihan rasional.

6.4.3. Keberadaan Moral Hazard Problems

Pindyck, et al (2001), menjelaskan problem moral hazard terjadi bila satu pihak

yang tindakannya tidak dapat diamati mempengaruhi peluang atau sifat pembayaran

hal yang terkait dengan peristiwa. Jika satu pihak (pertama) dalam mendapatkan hak

pihak lain (kedua) disertai syarat atau kewajiban kepada pihak kedua, dan pihak lain

tersebut tidak dapat diawasi perilakunya yang berkaitan dengan syarat atau kewajiban

tersebut oleh pihak kedua, maka pihak pertama akan melakukan tindakan-tindakan

yang menyebabkan resiko atau peluang beban pihak kedua semakin besar.

Hubungan kontrak antara pemerintah dengan perusahaan penerima IUPHHK

dibuat dengan perjanjian bahwa pihak penerima harus melaksanakan kewajiban-

kewajiban yang dikehendaki oleh pihak pemberi. Jenis kewajiban yang diatur dalam

perjanjian IUPHHK adalah kewajiban yang bersifat teknis operasional pengelolaan

hutan di lapangan. Model perjanjian yang disertai dengan syarat menjalankan

Page 48: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

225

kewajiban hanya akan efektif jika pemerintah mempunyai kapasitas untuk mengawasi

dan mengendalikan pelaksanaannya. Menurut Wiliamson (1985), adanya informasi

yang tidak berimbang dapat melahirkan kesepakatan yang melanggar aturan atau

kolusi antara pengawas dan pelaksana dalam mengambil keputusan diterima atau

tidaknya hasil pekerjaan atau hasil pelaksanaan kewajiban.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak cukup menguasai

informasi, dan kapasitas pemerintah untuk mengawasi pelaksanaan kewajiban dan

menegakkan aturannya adalah lemah. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa

berdasarkan 40 perusahaan yang digunakan sebagai contoh terdapat 8.3 % yang

mendapat nilai baik pada kelompok indikator prasyarat, sedangkan untuk kelompok

indikator produksi, ekologi dan sosial jumlah perusahaan yang mendapat nilai baik

beruturt-turut adalah 8.92%, 3.75% dan 9.00%. Hasil ini menunjukkan bahwa

sebagian besar perusahaan tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik.

Tindakannya yang menjalankan proses produksi dengan tidak mengikuti aturan

tersebut telah menimbulkan kerusakan hutan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

hanya 12.5 % perusahaan dalam contoh yang mendapatkan nilai baik pada verifier

kerusakan tegakan tinggal, dengan kata lain aktivitas sebagian besar perusahaan

menimbulkan kerusakan hutan yang lebih besar dari yang diperbolehkan dalam

perjanjian.

Tindakan perusahaan yang tidak melaksanakan kewajiban dengan baik,

menimbulkan beban kepada pemerintah untuk mengembalikan potensi hutan.

Problem moral hazard terjadi sebagai respon atas institusi yang dikembangkan oleh

Page 49: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

226

pemerintah. Potensi kerusakan hutan yang timbul akibat bekerjanya institusi yang

menyebabkan problem moral hazard dijelaskan pada gambar 26.

Gambar 26. Moral Hazard pada Sistem Produksi Kayu di Hutan Alam

Gambar 26 memberi ilustrasi moral hazard dalam kaitannya dengan produksi,

pemerintah tidak mempunyai informasi yang cukup terhadap kapasitas perusahaan

dalam memenughi persyaratan produksi sehingga perusahaan cenderung memberi

informasi kapsitas yang lebih besar, disamping itu pemerintah juga tidak mengetahui

potensi yang benar sehingga perusahaan menggunakan peluang untuk memperbesar

volume potensi hutan. Jika S sebagai kurva penawaran pemerintah yang berupa nilai

kewajiban perunit volume atau unit luas pemanenan yang dijinkan, dan MB adalah

UC

Pe

MB MB1

S

Q1 Q2 Q

Page 50: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

227

kurva permintaan perusahaan-perusahaan yang melaksanakan pengelolaan hutan

lestari, maka tingkat kesetimbangan produksi lestari berada pada Q1.

Jika terjadi moral hazard perusahaan-perusahaan hanya melaksanakan sebagaian

kewajiban atau melakukan tindakan-tindakan penyuapan atau kulusi untuk

mempengaruhi penilaian pemerintah atas pelaksanaan kewajiban oleh pemerintah

sehingga biaya perunit menjadi lebih rendah, maka kurva permintaan akan bergeser

menjadi MB1. Akibatnya jumlah yang dipanen menjadi Q2 yaitu lebih besar dari

yang seharusnya. Volume yang dipanen lebih tinggi mempercepat kerusakan hutan

dari Q1 menjadi Q

Penelitian ini tidak secara spesifik meneliti motivasi dari para penyelenggara

negara, tetapi bahwa peluang adanya alasan-alasan tersebut sangat dimungkinkan.

Akan tetapi disamping hal tersebut di atas layak untuk dipertimbangkan alasan-alasan

berdasarkan pendekatan kesejarahan institusi (historical institutionalism). Para

pengambil kebijakan adalah birokrat yang telah lama bekerja di Departemen

2 .

6.5. Resistensi pada Perubahan

Mengapa pemerintah tidak dapat merealisasikan perubahan yang dikehendaki oleh

UU. North (1990) menyampaikan alasan bahwa resistensi terjadi karena sistem

politik cenderung tidak membuat institusi yang efisien demi melindungi kepentingan

tertentu. Sementara Van den Berg (2001) beralasan bahwa birokrasi menggunakan

peraturan untuk memperkuat kekuasaannya. Sedangkan Jepperson (1991) dan Scott

(2008), menyatakan bahwa birokrasi cenderung resisten karena perubahan tersebut

menyangkut tatanan sosial yang cenderung dipelihara diwariskan, dan direporduksi.

Page 51: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

228

Kehutanan, dan telah menjalani karier sebagai pejabat pelaksana kebijakan di daerah.

Dua hal ini layak dipertimbangkan sebagai alasan yang mewarnai kebijakannya.

Pertama, konsep hubungan pemerintah dengan swasta dalam memanfaatkan hasil

hutan yang paling banyak dikenal adalah konsep Hak Pengusahaan Hutan (HPH).

Konsep ini merupakan konsep yang lahir sebelum konsep-konsep hubungan

kontraktual yang lainnya dibuat. Aplikasi yang luas pada masa itu, dan dinilai

berhasil dalam kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi yang ditunjukkan oleh

sumbangan devisa terbesar kedua setelah minyak dan gas, dan berkembangnya

industri kehutanan yang pesat dibandingkan dengan industri lainnya, menjadikan

HPH sebagai satu-satunya konsep institusi yang sangat dikenal dan di kagumi. Oleh

karenanya dapat dikatakan bahwa semua konsep hubungan kontraktual antara

pemerintah dengan pihak swasta (pengusaha) dibuat dengan menggunakan model

HPH., tabel berikut ini sebagai gambarannya

Tabel 50. Perbandingan Model Institusi HPH dan Bentuk Perijinan Lain di Kehutanan

Substansi HPH HPHTI HPHKm HP-

WA

IUPHHK

Syarat Administrasi X X X X X

Syarat Teknis X X X X X

Umur Ijin X X X X X

Kewajiban-kewajiban

Teknis

X X X X X

Pengesahan Rencana Karya X X X X X

Sanksi-sanksi X X X X X

Perpanjangan ijin X X X X X

Page 52: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

229

Substansi yang diatur mempunyai kemiripan struktur, yang membedakan adalah

komoditasnya, ukuran-ukuran (luas, volume, biaya, dll). Sebagai sebuah model yang

paling dikenal, dapat mempengaruhi pendekatan dan cara berfikir yang diikuti oleh

banyak pihak dan menjadi kepercayaan bersama yang cenderung diwariskan.

Pewarisan kultur juga dapat menyebabkan cara berfikir yang terkungkung oleh

batas-batas imaginer yang dibuat sendiri, keterkungkungan ini yang membatasi

kemampuan menghasilkan perubahan. Konsep berfikir yang digunakan masih

bergantung kepada batas-batas kebiasaan yang berlaku umum, rujukan-rujukan yang

terbatas, dan pengetahuan yang terbatas. Berfikir keluar dari kerangka yang umum

berlaku dianggap sebagai hal yang salah atau tidak baik. Gambar 27 berikut ini biasa

digunakan dalam test psikologi, dapat membantu menjelaskannya.

Jika pada gambar 27 (a) diajukan perintah “Hubungkan kesembilan titik dengan

menggunakan empat buah garis”!, maka orang yang berfikir terkungkung (Gambar

27.b) akan membatasi pikirannya pada batas imaginer di titik-titik terluar yang

mengakibatkan mereka tidak pernah dapat menyelesaikan perintah itu, selalu ada

kekurangan satu garis. Sedangkan mereka yang membebaskan diri dari kungkungan

dapat menjawab secara kreatif menembus batas-batas imaginer (Gambar 27.c).

(a). Perintah (b). Terkungkung (c). Kreatif

Gambar 27. Konsep Berfikir Terkungkung dan Kreatif

Page 53: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

230

Kecenderungan bahwa kebijakan-kebijakan publik juga terjadi dalam pola berfikir

terkungkung pantas untuk dipertimbangkan sebagai penyebab resistensi, pertama

dalam banyak kasus kebijakan publik bidang kehutanan dilakukan melalui proses

konsultasi publik dengan harapan bahwa dominasi kepentingan kelompok tertentu

dapat dihilangkan, namun pada kenyataanya masih terdapat peraturan yang

mengandung perversi. Kedua sistem pengusahaan hutan telah berlangsung selama 40

tahun merupakan pengetahuan yang paling banyak diketahui oleh komunitas

kehutanan, dan komunitas ini adalah pihak yang terlibat dalam perumusan kebijakan

termasuk dalam konsultasi publik. Ketiga birokrat kehutanan di pusat dan daerah

tebiasa berkerja sebagai pelaksana peraturan, dan terbiasa membuat kebijakan teknis

yang berupa aturan-aturan mikro. Hal seperti ini menjadi media yang cocok bagi

berkembangnya kultur berfikir terkungkung, yaitu cara-cara berfikir yang terbatas

pada hal-hal yang telah menjadi kebiasaan dan dianggap sebagai kebenaran, dan tabu

untuk melakukan hal-hal yang tidak biasa.

Dalam hal penegakan aturan, Scott (2008) membangun institusi dengan tiga pilar,

salah satunya adalah pilar regulatif berupa konsep regulasi yang meliputi kepasitas

untuk membuat aturan, memeriksa kepatuhan pihak lain terhadap aturan, dan jika

diperlukan memberikan sanksi – penghargaan atau hukuman - dalam rangka

mempengaruhi perilaku kedepan selanjutnya. Pemaksaan, sanksi dan respon yang

layak adalah inti dari pilar regulatif, tetapi mereka sering terhalang oleh aturan yang

ada, baik formal maupun informal. Sedangkan oleh North (1987) berpendapat bahwa

“ Adalah politik yang akan menentukan dan memaksakan (enforces) aturan ekonomi

Page 54: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

231

dari suatu permainan”. Pendapat-pendapat ini juga layak untuk dipertimbangkan

sebagai hal yang memberi kontribusi pada kesulitan melakukan perubahan.

Alasan kedua adalah bahwa Pemerintah bias pada hutan negara sehingga logika

penetapan kebijakannya melompat dan mengabaikan hutan hak. Undang-undang

mengembangkan logika pengurusan hutan dimulai dengan penetapan status hutan,

fungsi hutan, wilayah / unit pengelolaan, pemanfaatan dan perijinan. Penerapan

logika pengurusan hutan menurut Undang-undang akan menghasilkan pranata seperti

Tabel 51.

Tabel 51. Logika Pengurusan Hutan berdasarkan Undang-Undang dan Pranata yang Dihasilkan

No. Urutan Logika Pranata yang Dihasilkan

1

Status Kepemilikan Hutan

(Pasal 5) Hutan Negara Hutan Hak

Pengelola

(Pasal 5,)

Pemerintah/BUMN Pemilik atau Pengelola yang ditunjuk

Masyarakat Adat Pemerintah Desa Pengelola Khusus

2 Fungsi Pokok

(Pasal 6, Pasal 7)

Lindung (L) Lindung (L) Konservasi (K) Konservasi (K) Produksi (P) Produksi (P)

3

Unit Pengelolaan

(KPH)

(Pasal 8, Pasal 17)

KHdTK

KHdTK

4 Perijinan Pemanfaatan Pemilik Pemilik Pengelola Pengelola

L K

P

L K

P

Page 55: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

232

Kewajiban pemerintah untuk menetapkan status hutan merupakan perintah

pertama yang diberikan oleh undang-undang, hal ini dilakukan untuk memberikan

kepastian dan perlindungan hak properti atas hutan baik pada hutan negara maupun

pada hutan hak atau hutan rakyat (Pasal 5). Kepastian tentang kepemilikan ini akan

menjadi dasar untuk menentukan pihak-pihak yang berhak untuk mengelola hutan

(penjelasan pasal 5). Selanjutnya berdasarkan status kepemilikannya tersebut,

pemerintah ditugaskan untuk menetapkan fungsi pokok pada hutan-hutan tersebut

berdasarkan fungsi yang dominan (pasal 6 dan 7). Kemudian pada pasal 8 dan pasal

17 pemerintah diberi mandat untuk membentuk unit-unit pengelolaan (KPH)

termasuk Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHdTK). Apabila pada hutan hak

difungsikan sebagai hutan lindung dan/atau konservasi pemerintah berkewajiban

memberikan kompensasi (penjelasan pasal 36). Berdasarkan unit-unit pengelolaan

tersebut dilakukan pemanfaatan hutan melalui pemberian ijin-ijin oleh pihak yang

berwenang sesuai dengan status kepemilikan hutannya.

Undang-undang mengatur urutan tersebut secara sistemik, namun ditinjau dari

sejarah kelahiran peraturan pelaksanaannya aturan yang pertama lahir adalah

peraturan pemerintah yang berkaitan dengan perijinan pemanfaatan, yang dalam

urutan undang-undang merupakan urutan terkahir. PP. 34/2002 lahir secara

premature, yaitu ketika perangkat-perangkat lainnya belum tersedia, seperti

organisasi pengelola hutan tingkat unit, mekanisme kompensasi, perencanaan dan

konsep hubungan transaksional yang sesuai dengan kehendak perubahan. Sedangkan

peraturan yang lahir lebih awal cenderung dijadikan sebagai rujukan bagi peraturan-

peraturan yang lahir kemudian, oleh sebab itu bias pada PP. 34/2002 terus terbawa

Page 56: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

233

dan mempengaruhi rumusan-rumusan peraturan dan kebijakan lainnya sehingga

biasnya juga terus berkembang. Birokrasi yang bekerja saat ini terjebak oleh aturan

yang ada, sebagaimana pernyataan Scott (2008) bahwa kapasitas birokrasi untuk

melakukan perubahan sering dibatasi oleh aturan formal dan informal.

Sebagai implikasi dari kelahiran yang premature tersebut, dalam menjalankan

undang-undang pemerintah telah bias dengan membuat aturan yang hanya mengurus

kepentingannya sendiri yaitu mengurus hutan negara. Scokpol (1985) didalam Van

den Berg (2001) menyatakan bahwa karena negara sebagai pihak yang membuat

aturan membangun kepentingannya sendiri dan menjalankannya secara otonomi dan

terpisah dari aktor-aktor sosial lainnya, hal ini telah terbukti terjadi. Demikian pula

Stiglitz (2000) yang mengemukakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan

kegagalan adalah karena lemahnya kontrol politik, pemerintah diberikan kewenangan

untuk membuat aturan pelaksanaan yang dapat tidak sejalan dengan keinginan

undang-undang. Tuntutan undang-undang yang berupa optimasi pengelolaan hutan

memerlukan organisasi dan mekanisme baru yang berbeda dengan konsep HPH,

namun sebelum konsep baru ini ada, telah dilahirkan PP. 34/2002 yang melanjutkan

konsep HPH dengan mengubah nama menjadi IUPHHK.

Peraturan Pemerintah no. 34/2002 dan Peraturan Pemerintah no. 6/2007 adalah

peraturan yang hanya mengatur urusan-urusan pemerintah terhadap hutan negara,

keberadaan hutan hak terabaikan karena belum ada peraturan yang setara yang

berkaitan dengan hutan hak. Akibat dari bias pemerintah pada hutan negara, maka

kebijakan-kebijakan publik untuk meningkatkan partisipasi publik dalam membangun

hutan masih kurang mendapat perhatian demikian pula pasal 36 UU. 41/1999.

Page 57: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

234

6.6. Kinerja Pengelolaan Hutan dan Pemanfaatan Hutan Alam Produksi

Tujuan pengelolaan hutan adalah untuk menghasilkan hutan yang berkualitas

tinggi untuk memproduksi multiproduk secara optimal. Berdasarkan indikator-

indikator yang digunakan dalam penilaian kinerja pengelolaan hutan di perusahaan

IUPHHK pada unit manajemen, indikator yang dapat menunjukkan kualitas hutan

adalah indikator Potensi hutan. Oleh sebab itu pada penelitian ini sebagai proxi atas

capaian kinerja pengelolaan hutan dalam menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi

digunakan nilai capaian kinerja potensi hutan. Sedangkan usaha pemanfaatan hutan

adalah aktivitas bisnis yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan, untuk itu

sebagai proxi atas indikator kinerja usaha digunakan nilai capaian rentabilitas

perusahaan.

Berdasarkan hasil penilaian terhadap indikator potensi tegakan diperoleh informasi

bahwa jumlah perusahaan yang mempunyai nilai baik adalah 15 %, nilai sedang 45 %

dan nilai buruk 40%. Berdasarkan kriteria yang digunakan nilai sedang diberikan jika

potensi sama dengan standard dan baik jika lebih tinggi dari standar, dengan

demikian jumlah perusahaan yang mempunyai kondisi tegakan hutan layak untuk

diproduksi mencapai 60%. Dapat dimaknai bahwa 60% perusahaan yang menerima

IUPHHK mempunyai kondisi hutan yang berkualitas baik, dan 40 % mempunyai

kondisi kualitas hutan yang buruk. Berdasarkan aturan yang berlaku, maka hanya

60% dari total ijin usaha yang ada yang dapat diberikan jatah tebangan, jika

pemerintah menjalankan aturan dengan konsisten maka 40% perusahaan yang

mempunyai kondisi hutan buruk tidak diijinkan menebang, namun dari 40 perusahaan

yang dinilai seluruhnya mendapat ijin penebangan. Informasi ini mendukung hasil

Page 58: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

235

penelitian yang menunjukkan bahwa kapasitas pemerintah menjalankan aturan adalah

lemah.

Hasil uji korelasi 24 variabel dengan potensi hutan menunjukkan bahwa variabel-

variabel yang berupa kewajiban yang dimaksudkan untuk membangun hutan,

mempunyai korelasi yang tidak nyata terhadap potensi hutan. Ini menunjukkan bahwa

IUPHHK konsisten menjalankan kedudukannya sebagai pengguna yang mempunyai

kepentingan produksi jangka pendek, perusahaan tidak sedang membangun hutan.

Pengalihan kewajiban pengelolaan hutan dari pemerintah kepada perusahaan tidak

dapat menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi. Potensi hutan yang ada bukan

merupakan kinerja perusahaan melainkan hasil dari faktor lain.

Argumen ini diperkuat oleh korelasi yang tidak nyata antara kerusakan tegakan

tinggal dengan kewajiban-kewajiban membangun hutan, baik-buruknya tegakan

tinggal hanya dipengaruhi oleh kesesuaian areal dengan fungsi produksi, pengakuan

unit manajemen oleh para pihak dan ketersediaan modal.

Berdasarkan capaian nilai rentabilitas, terdapat 15 % perusahaan mendapatkan

nilai baik, 45% mendapat nilai sedang dan 40 % mendapat nilai buruk. Hasil uji

korelasi 24 variabel bahwa dengan memperhatikan perilaku perusahaan yang

cenderung tidak memperhatikan hasil akhir atas praktek-praktek pengelolaan hutan

dan hasil perhitungan korelasi antara variabel-variabel dengan potensi hutan, maka

korelasi positif yang terjadi dengan rentabilitas dapat dipahami sebagai korelasi atas

tujuan jangka pendek kegiatan usaha. Rentabilitas yang diperoleh bukan merupakan

hasil kinerja pengelolaan hutan dalam membangun hutan yang berkualitas baik,

melainkan semata-mata karena aktivitas produksi / pemanfaatan.

Page 59: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

236

Variabel-variabel yang berkorelasi nyata adalah variabel-variabel yang

berhubungan dengan produksi baik yang terkait dengan persyaratan penerbitan

Rencana Karya Tahunan (RKT) maupun yang berkaitan dengan modal kerja untuk

produksi. Variabel yang terkait dengan RKT adalah realisasi tata batas (TAT),

kondisi pal batas di lapangan (PAL), kesesuaian produksi dengan riap (RAS),

penerapan silvikultur (SIL) dan investasi kembali ke hutan (RIV), sedangkan variabel

yang terkait dengan perolehan modal kerja untuk produksi adalah solvalitas (SOL).

Sementara itu korelasi yang tidak nyata antara rentabilitas dengan potensi hutan,

mengkonfirmasi bahwa hubungan-hubungan yang positif tersebut berorientasi jangka

pendek dan menjelaskan bahwa perolehan keuntungan perusahaan tidak

menjadikannya sebagai insentif untuk mengelola hutan dengan baik. Terdapat

pemisahan yang tegas antara kepentingan perusahaan yang dalam rancang bangun

institusi diposisikan sebagai pengguna, dengan kepentingan pengelolaan hutan.

Perusahaan dalam statusnya sebagai pengguna tidak mempunyai kepentingan

terhadap keberhasilan pengelolaan hutan, melainkan berkepentingan terhadap

rentabilitas.

Kepentingan pengelolaan hutan harus diletakkan secara baik kepada pengelola

hutan, kebijakan yang memindahkan tanggung jawab pengelolaan hutan kepada

pengguna (pemanfaat) hasil hutan terbukti tidak dapat mengarahkan perilaku

perusahaan maupun perilaku pemerintah untuk mempraktekkan pengelolaan hutan

lestari dalam rangka mewujudkan tujuan pengelolaan hutan yaitu produksi

multiproduk yang memberikan manfaat optimal.

Page 60: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

237

6.7. Masalah Mendasar Institusi Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Alam Produksi

Hasil penelitian diatas mengonfirmasi bahwa ada kontribusi atas adanya masalah

institusional pengelolaan dan pemanfaatan hutan terhadap penurunan kinerja makro

sektor kehutanan, melalui laju deforestasi yang masih positif sehingga mempengaruhi

kualitas hutan dan produksi hasil hutan. Kualitas hutan yang terus menurun terjadi

karena institusi yang dibangun tidak dapat mengarahkan perilaku para pihak yang

terkait untuk menjalankan prinsip-prinsip dan praktek-praktek pengelolaan hutan

alam produksi dalam rangka menghasilkan multiproduk hutan secara lestari dan

berkeadilan sebagaimana yang dikehendaki oleh undang-undang kehutanan.

Berdasarkan pengetahuan dari hasil penelitian ini, dapat diketahui bahwa masalah

institutional pengelolaan dan pemanfaatan hutan meliputi sumber masalah yang

berhubungan dengan deforestasi dan penurunan kualitas hutan, masalah langsung dan

masalah mendasar atau masalah pokok, yaitu

Sumber masalah yang berhubungan dengan kerusakan hutan dan penurunan

produktivitas hutan adalah perilaku pemerintah dan perusahaan atas kebijakan-

kebijakan yang diambil dan tindakannya dilapangan. Kebijakan pemerintah berupa

pilihan teknologi silvikultur intensif (SILIN) terbukti mendongkrak produksi kayu

tetapi juga menimbulkan kerusakan hutan yang lebih besar, demikian pula kebijakan

penurunan batas diamater yang dapat ditebang melalui Peraturan Menteri Kehutanan

berpotensi meningkatkan kerusakan hutan. Demikian pula konsisten terhadap

penerapan aturan dalam keputusan pemerintah (daerah) menetapkan/mengesahkan

RKT akan berdampak langsung pada kualitas hutan. Perilaku pemerintah dalam

Page 61: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

238

mengambil keputusan untuk bertindak atau tidak bertindak, menjatuhkan sanksi atau

tidak menjatuhkan sanksi atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh

perusahaan, memberikan signal tentang batas-batas normatif yang dipertimbangkan

oleh perusahaan untuk mengambil keputusan tentang apa yang akan ia lakukan. Hasil

penelitian yang mengindikasikan pemerintah lemah dalam menegakkan aturan

mengisayaratkan bahwa pemerintah cenderung memberi toleransi pada pelanggaran-

pelanggaran yang terjadi, tersedia ruang negosiasi. Kemungkinan tindakan negosiasi

ini bisa terjadi, Abeng (1996) di dalam Nugroho (2008) menyatakan bahwa

pengusaha Indonesia dan banyak pengusaha asing yang bekerja di negara

berkembang membiasakan diri untuk mengembangkan manajemen lobi daripada

manajemen profesional. Keputusan dan perilaku pemerintah direspon oleh

perusahaan dengan melakukan perbuatan yang tidak menjadikan kepentingan

pengelolaan hutan lestari sebagai prioritas, dan tidak melaksanakan peraturan-

peraturan dengan baik. Sesuai dengan kepentingan utamanya, perusahaan lebih

memperhatikan produksi kayu jangka pendek dari pada optimasi dan produktivitas

hutan jangka panjang.

Masalah langsung adalah kelahiran premature PP.34/2002 yang menimbulkan

berbagai masalah termasuk kekosongan pranata pada pengelolaan hutan tingkat unit

manajemen. Masalah ini terkait dengan pengorganisasian aktivitas pengelolaan hutan

di lapangan. Unit-unit pengelolaan hutan yang dirancang untuk memproduksi

multiproduk seperti yang diharapkan oleh undang-undang belum tersedia, secara

mencukupi. Adapun terhadap unit KPHP yang telah ditetapkan batas-batasnya belum

dilengkapi dengan organisasi pelaksana yang bertanggung atas keberhasilan

Page 62: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

239

pengelolaan hutan di KPHP yang bersangkutan. Kekosongan pranata ini disikapi

dengan berbagai cara-cara yang cenderung pragmatis menyetarakan areal IUPHHK

sebagai KPHP, mengalihkan tanggung jawab pengelolaan hutan dari pemerintah

kepada perusahaan IUPHHK, meletakkan wewenang managemen (right to manage)

pada hirarkhi institusi meso dan makro, dan meletakkan wewenang pemberian ijin-

ijin transaksi multiproduk (right to exclude) pada hirarkhi yang lebih tinggi.

Keputusan penyelesaian masalah secara pragmatis ini menyebabkan tidak ada

akuntabilitas pengelolaan hutan. Tidak ada satu pihakpun yang dapat memikul

tanggung jawab secara langsung atas kinerja pengelolaan hutan. Perusahaan tidak

dapat dimintakan pertanggung jawabannya karena hak yang diberikan adalah hak

memanfaatkan hasil hutan, sementara pelaksanaan kewajiban-kewajiban itu ia

pertanggung jawabkan kepada pemberi kewajiban, sehingga yang ia pertanggung

jawabkan adalah pelaksanaan aturan bukan kinerja pengelolaan hutan, dimana

pemerintah telah mengatur pedoman hingga petunjuk teknisnya. Sementara

pemerintah berdalih bahwa pengelolaan hutan menjadi kewajiban perusahaan

penerima IUPHHK.

Masalah pokok atau mendasar adalah berkaitan dengan masalah struktural berupa

rancang bangun institusi yang tidak efektif. Definisi hak properti atas hutan tidak

dapat dilakukan karena tidak ada penegasan tentang status kepemilikan hutan negara.

Pasal 4 Undang-Undang no 41/1999 mengatur bahwa semua hutan wilayah negara

Republik Indonesia termasuk kekayaan alamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-

besar kemakmuran rakyat, dan pasal 5 membagi status hutan di Indonesia menjadi

hutan hak dan hutan negara. Penjelasan atas pasal ini yang menyebutkan bahwa

Page 63: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

240

pengerian “dikuasai” tidak berarti “dimiliki”, menimbulkan penafsiran bahwa negara

tidak mempunyai hak memiliki atas hutan, pada hal di dalam penjelasan pasal 5 juga

menyebutkan adanya hutan desa dan hutan rakyat. Pemerintah tidak berbuat untuk

mempertegas status kepemilikan hutan negara melainkan membiarkan pengertian

yang mengambang tersebut dan mengambil langkah-langkah kebijakan berdasarkan

status kepemilikan hutan negara yang tidak jelas. Didukung oleh undang-undang

yang juga tidak mengatur secara jelas status asset tegakan hutan, pemerintah tidak

dapat mendefinisikan hak properti atas hutan negara secara lengkap, definisi yang

tidak lengkap ini membuat hak properti atas hutan menjadi tidak efektif. Dihadapkan

pada kenyataan ini dan situasi dimana pemerintah tidak menguasai informasi atas

hutan, pemerintah membangun institusi dan kebijakan yang rumit dan mengandung

unsur-unsur yang membuat institusi yang tidak efektif. Hirarkhi organisasi tidak

dibuat dengan batas-batas jurisdiksi yang jelas, pemerintah banyak memasuki urusan-

urusan tingkat mikro yang menyebabkan pemerintah memegang peran sebagai

regulator, wasit dan sekaligus pemain. Peran ini mengandung unsur konflik

kepentingan, sehingga kekuasaannya sebagai regulator dapat melahirkan aturan-

aturan yang mengandung konflik kepentingan, mengandung perversi dan

menimbulkan biaya transaksi tinggi dan merugikan. Sementara kewenangannya

sebagai wasit yang harus menegakkan aturan tidak dapat dilaksanakan secara efektif

akibat adanya konflik kepentingan, peraturan yang konflik antara satu dengan

lainnya, penguasaan informasi yang lemah, sehingga secara keseluruhan

menyebabkan kapasitas pemerintah dalam menegakkan aturan menjadi lemah.

Hubungan-hubungan permasalahan kelembagaan ini ditunjukkan pada gambar 28.

Page 64: PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola

241

Gambar 28