Perkembangan Initiative vs Guilty

7
Perkembangan Prakarsa (initiative) vs Rasa Bersalah (guilty) Masa kanak-kanak awal yang terentang saat usia anak menginjak 3 sampai 5 tahun ini biasa disebut tahap bermain. Masa ini merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar memperluas penguasaannya terhadap tantangan dunia luar. Dalam diri anak tumbuh keinginan untuk mempelajari kemampuan-kemampuan baru, sehingga tumbuhlah kemampuan untuk berinisiatif atau berprakarsa. Menurut Erik Erikson, inti dari tahap ini adalah keharusan untuk berhadapan dengan perasaan tentang diri yang bertentangan yaitu inisiatif versus rasa bersalah. Konflik yang kemudian muncul yaitu dari tumbuhnya sense of purpose--yang memungkinkan anak untuk merencanakan aktivitas dan melaksanakannya, dengan pertumbuhan rasa bersalah (berupa kata hati)--yang mungkin dimiliki oleh seseorang anak terhadap rencana tersebut. Pada masa ini anak belajar memiliki keberanian untuk melakukan sesuatu (mencapai tujuan tertentu), tanpa takut dihukum dan dihalangi perasaan bersalah. Dengan kata lain penting sekali untuk mendorong anak agar mencapai tujuan tertentu dan memberikan pujian ketika ia berhasil melakukannya. Karena hal ini sangat berguna untuk menumbuhkan motivasi internal si anak. Menurut Erikson, kalau seorang anak diberikan kebebasan untuk memilih kegiatan yang disukainya, maka ia akan mengembangkan pandangan yang positif terhadap dirinya sendiri. Sehingga ia pun lebih bertendensi untuk menyelesaikan kegiatan tersebut. Sebaliknya apabila orang tua tidak memberikan kesempatan anak untuk menyelesaikan tugas-tugasnya atau terlalu

Transcript of Perkembangan Initiative vs Guilty

Page 1: Perkembangan Initiative vs Guilty

Perkembangan Prakarsa (initiative) vs Rasa Bersalah (guilty)

Masa kanak-kanak awal yang terentang saat usia anak menginjak 3

sampai 5 tahun ini biasa disebut tahap bermain. Masa ini merupakan masa

di mana seorang anak ingin belajar memperluas penguasaannya terhadap

tantangan dunia luar. Dalam diri anak tumbuh keinginan untuk mempelajari

kemampuan-kemampuan baru, sehingga tumbuhlah kemampuan untuk

berinisiatif atau berprakarsa.

Menurut Erik Erikson, inti dari tahap ini adalah keharusan untuk

berhadapan dengan perasaan tentang diri yang bertentangan yaitu inisiatif

versus rasa bersalah. Konflik yang kemudian muncul yaitu dari tumbuhnya

sense of purpose--yang memungkinkan anak untuk merencanakan aktivitas

dan melaksanakannya, dengan pertumbuhan rasa bersalah (berupa kata

hati)--yang mungkin dimiliki oleh seseorang anak terhadap rencana tersebut.

Pada masa ini anak belajar memiliki keberanian untuk melakukan

sesuatu (mencapai tujuan tertentu), tanpa takut dihukum dan dihalangi

perasaan bersalah. Dengan kata lain penting sekali untuk mendorong anak

agar mencapai tujuan tertentu dan memberikan pujian ketika ia berhasil

melakukannya. Karena hal ini sangat berguna untuk menumbuhkan motivasi

internal si anak.

Menurut Erikson, kalau seorang anak diberikan kebebasan untuk

memilih kegiatan yang disukainya, maka ia akan mengembangkan

pandangan yang positif terhadap dirinya sendiri. Sehingga ia pun lebih

bertendensi untuk menyelesaikan kegiatan tersebut. Sebaliknya apabila

orang tua tidak memberikan kesempatan anak untuk menyelesaikan tugas-

tugasnya atau terlalu banyak menggunakan hukuman verbal atas inisiatif

anak, maka anak akan tumbuh sebagai pribadi yang selalu takut salah.

Selain itu akan timbul perasaan pasif dimana anak lebih cenderung

membiarkan orang lain untuk mengambil keputusan untuknya.

Jadi, untuk mengembangkan inisiatif anak pada masa ini, diharapkan

orang tua dapat memberikan kesempatan dan dukungan terhadap keinginan

Page 2: Perkembangan Initiative vs Guilty

dan ide-ide dari anak. Sehingga anak dapat belajar menguasai kemampuan-

kemampuan baru tanpa banyak melakukan kesalahan.

Perkembangan Hubungan Dengan Orang Tua

Selama tahun-tahun prasekolah, hubungan dengan orang tua atau

pengasuhnya merupakan dasar bagi perkembangan emosional dan

perkembangan sosial anak. Sejumlah ahli mempercayai bahwa kasih sayang

orang tua atau pengasuh pada masa kanak-kanak awal, merupakan kunci

utama perkembangan sosial anak sehingga meningkatkan kemungkinan

anak memiliki kompetensi secara sosial dan penyesuaian diri yang baik pada

tahun-tahun prasekolah dan sesudahnya.

Salah satu aspek penting dalam hubungan dengan orang tua dan anak

adalah gaya pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua. Terdapat tiga tipe

pengasuhan yang dikaitkan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam

tingkah laku sosial anak, yaitu Otoritatif, Otoriter, dan Permisif.

Pengasuhan otoritatif (authoritative parenting) adalah gaya

pengasuhan yang memperlihatkan pengawasan ekstra ketat tehadap

tingkah laku anak-anak, tetapi mereka juga bersikap responsive, menghargai

dan menghormati pemikiran, perasaan, serta mengikutsertakan anak dalam

pengambilan keputusan. Anak-anak dalam model asuhan ini cenderung lebih

percaya pada diri sendiri, pengawasan diri sendiri, dan mampu bergaul baik

dengan teman sebayanya. Pengasuhan otoritatif juga diasosiasikan dengan

rasa harga diri yang tinggi, memiliki moral standar, kematangan psikososial,

kemandirian, sukses dalam belajar, dan bertanggung jawab secara sosial.

Pengasuhan otoriter (authoritarian parenting) adalah gaya pengasuhan

yang membatasi dan menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah

orang tua. Orang tua menetapkan batasan-batasan yang tegas dan tidak

member peluang yang besar bagi anak untuk mengemukaakan pendapat.

Orang tua yang otoriter juga cenderung bersikap sewenang-wenang dan

tidak demokratis dalam membuat keputusan, memaksakan peran dan

pandangan kepada anak atas dasar kemampuan dan kekuasaan sendiri,

serta kurang mengahrgai persaan dan pemikiran mereka.Anak dengan

pengasuhan seperti ini cenderung bersisfat curiga pada orang lain dan

Page 3: Perkembangan Initiative vs Guilty

merasa tidak bahagia dengan dirinya sendiri, merasa canggung

berehubungan dengan teman sebaya, canggung menyesuaikan diri pada

awal masuk sekolah dan memiliki prestasi belajar yang rendah dibandingkan

dengan anak-anak lain.

Pengasuhan permisif (permissive parenting) dapat dibedakan dalam

dua bentuk. Pertama, pengasuhan permissive-indulgent yaitu gaya

pengasuhan di mana ornagtua sangay terlibat dalam kehidupan anak, tetapi

menetapkan sedikit batas atau kendali atas mereka. Pengasuhan model ini

diasosiasikan dengan kurangnya kemampuan pengendaliann diri anak,

katrena orang tua cenderung membiarkan anak-anak mereka melakukan

apa saja yang mereka inginkan, dan akibatnya anak-anak tidak pernah

belajar mengendalikan perilaku mereka sendiri dan selalu mengharapkan

agar semua kemauannya dituruti. Kedua, pengasuhan permissive-indifferent

yaitu pengasuhan di amana ornag tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan

anak. Anak-anak dalam pengasuhan ini cenderung kurang percaya diri,

pengendalian diri yang buruk dan rasa harga diri yang rendah.

Perkembangan Moral

Perkembangan moral merupakan perkembangan yang berkaitan

dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukanoleh

manusia dalam interaksinya dnegan orang lain. Ketika dilahirkan anak-anakk

tidak memiliki moral (imoral). Atetapi didalam dirimya terdapat potensi

moral yang siap dikembangkan. Melalui pengalamannya berinteraksi dengan

orang lain, anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik/ boleh

dikerjakan dan mana yang buruk.

Dalam teori psikoanalisa dikenal struktur kepribadian berupa superego,

yang terdiri atas aspek sosial yang berisikan sistem nilai dan moral. Menurut

teori psikoanalisa Freud, semua orang mengalami konflik Oedipus yang

kemudian akan menghasilkan superego. Ketika anak mengatasi konflik

Oedipus ini, maka perkembangan moral dimulai. Struktur superego ini

mempunyai dua komponen, yaitu ego ideal dan kata hati (conscience). Kata

hati menggambarkan bagian dalam kehidupan mental seseorang baik

Page 4: Perkembangan Initiative vs Guilty

mengenai peraturan-eraturan masyarakat, hukum, kode, etika, dan moral.

Pada usia 5 tahun perkembangan superego secara khas akan menjadi

sempurna, dengan begitu suara hati terbentuk.

Teori belajar sosial melihat tingkah laku moral sebagai respons atas

stimulus, Dalam hal ini proses-proses penguatan, penghukuman, dan

peniruan digunakan untuk menjelaskan perilaku moral anak-anak. Bila anak

diberi hadiah atas perilaku yang sesuai dengan aturan dan kontrak sosial,

mereka akan mengulamgi perilaku tersebut. Sebaliknya bila mereka

dihukum atas perilaku yang tidak bermoral, maka perilaku itu akan

berkurang atau hilang.

Sedangkan menurut Piaget, perkembangan moral digambarkan melalui

aturan permainan. Karena itu, hakikat moralitas adalah kecenderungan

untuk menerima dan menaati sistem peraturan. Berdasarkan hasil

observasinya, Piaget menyimpulkan bahwa pemikiran anak-anak tentang

moralitas dapat dibedakan atas dua tahap. Pertama, heteronomous morality

(morality of constraint) terjadi pada anak usia 6 hingga 9 tahun, Dlam tahap

ini anak-anak menghormati ketentuan-ketentuan suatu permainan sebagai

sesuatu yang bersifat suci dan tidak dapat diubah, karena berasal dari

otoritas yang dihormatinya. Anak-anak menjadi yakin akan keadilan

immanen, yaitu konsep bahwa bila suatu aturan dilanggar, hukuman segera

dijatuhkan. Kedua, autonomous morality (morality of cooperation) terjadi

pada usia 9 hingga 12 tahun. Pada tahap ini anak mulai sadar bahwa aturan-

aturan dan hukum-hukum merupakan ciptaan manusia, dan dalam

menerapkan suatu hukuman atas suatu tindakan harus mempertimbangkan

maksud perilaku serta akibatnya. Anak juga meninggalkan penghormatan

sepihak kepada otoritas dan mengembangkan penghormatan kepada teman

sebayanya. Mereka Nampak membandel kepada otorita, serta lebih menaati

peraturan kelompok sebaya atau pimpinannya.

Teori perkembangan moral Kohlberg merupakan perluasan teori

Piaget. Kohlberg setuju dengan Piaget bahwa moral bukan hasil sosialisasi

atau pelajaran yang diperoleh dari pengalaman, melainkan terjadi dari

aktivitas spontan anak-anak. Kohlberg berorientasi mengungkapkan moral

Page 5: Perkembangan Initiative vs Guilty

yang hanya ada dalam pikiran dan dibedakan dengan tingkah laku moral

(perbuatan nyata).

Tingkat Tahap

1. Prakonvensional Moralitas

Anak mengenal moralitas berdasar

dampak yang ditimbulkan suatu

perbuatan. Anak tidak melanggar

aturan karena takut akan ancaman

hukuman dari otoritas

1. Orientasi Kepatuhan dan hukuman

Pemahaman tentang baik dan

buruk ditentukan otoritas.

Kepatuhan terhadap atruan yaitu

untuk menghindari hukuman dari

otoritas

2. Orientasi Hedonistik-Instrumental

Perbuatan dinilai baik bila

berfungsi sebagai instrument

untuk memenuhi

kebutuhan/kepuasan diri

2. Konvensional

Suatu perbuatan dinilai baik oleh

anak, bila mematuhi harapan

otoritas atau kelompok sebaya

3. Orientasi anak yang baik

Tindakan berorientasi pada orang

lain. Suatu perbuatan dinilai baik

bila menyenangkan bagi orang

lain.

4. Orientasi keteraturan dan otoritas

Perilaku yang dinilai baik adalah

menunaikan kewajiban,

menghormati otoritas, dan

memelihara ketertiban sosial

3. Pasca Konvensional

Aturan dan institusi dari

masyarakat tidak dipandang

sebagai tujuan akhir, tapi

diperlukan sebagai subjek. Anak

menaati aturan untuk menghindari

hukuman kata hati

5. Orientasi kontrol sosial-legalistik

Ada semacam perjanjian antara

dirinya dan lingkungan sosial.

Perbuatan dinilai baik bila sesuai

dengan perundang-undangan yang

berlaku

6. Orientasi kata hati

Kebenaran ditentukan oleh kata

Page 6: Perkembangan Initiative vs Guilty

hati, sesuai dengan prinsip-prinsip

etika universal yang bersifat

abstrak dan penghormatan

terhadap martabat manusia