Perkembangan Initiative vs Guilty
-
Upload
qimmatul-khoiroh -
Category
Documents
-
view
226 -
download
6
Transcript of Perkembangan Initiative vs Guilty
Perkembangan Prakarsa (initiative) vs Rasa Bersalah (guilty)
Masa kanak-kanak awal yang terentang saat usia anak menginjak 3
sampai 5 tahun ini biasa disebut tahap bermain. Masa ini merupakan masa
di mana seorang anak ingin belajar memperluas penguasaannya terhadap
tantangan dunia luar. Dalam diri anak tumbuh keinginan untuk mempelajari
kemampuan-kemampuan baru, sehingga tumbuhlah kemampuan untuk
berinisiatif atau berprakarsa.
Menurut Erik Erikson, inti dari tahap ini adalah keharusan untuk
berhadapan dengan perasaan tentang diri yang bertentangan yaitu inisiatif
versus rasa bersalah. Konflik yang kemudian muncul yaitu dari tumbuhnya
sense of purpose--yang memungkinkan anak untuk merencanakan aktivitas
dan melaksanakannya, dengan pertumbuhan rasa bersalah (berupa kata
hati)--yang mungkin dimiliki oleh seseorang anak terhadap rencana tersebut.
Pada masa ini anak belajar memiliki keberanian untuk melakukan
sesuatu (mencapai tujuan tertentu), tanpa takut dihukum dan dihalangi
perasaan bersalah. Dengan kata lain penting sekali untuk mendorong anak
agar mencapai tujuan tertentu dan memberikan pujian ketika ia berhasil
melakukannya. Karena hal ini sangat berguna untuk menumbuhkan motivasi
internal si anak.
Menurut Erikson, kalau seorang anak diberikan kebebasan untuk
memilih kegiatan yang disukainya, maka ia akan mengembangkan
pandangan yang positif terhadap dirinya sendiri. Sehingga ia pun lebih
bertendensi untuk menyelesaikan kegiatan tersebut. Sebaliknya apabila
orang tua tidak memberikan kesempatan anak untuk menyelesaikan tugas-
tugasnya atau terlalu banyak menggunakan hukuman verbal atas inisiatif
anak, maka anak akan tumbuh sebagai pribadi yang selalu takut salah.
Selain itu akan timbul perasaan pasif dimana anak lebih cenderung
membiarkan orang lain untuk mengambil keputusan untuknya.
Jadi, untuk mengembangkan inisiatif anak pada masa ini, diharapkan
orang tua dapat memberikan kesempatan dan dukungan terhadap keinginan
dan ide-ide dari anak. Sehingga anak dapat belajar menguasai kemampuan-
kemampuan baru tanpa banyak melakukan kesalahan.
Perkembangan Hubungan Dengan Orang Tua
Selama tahun-tahun prasekolah, hubungan dengan orang tua atau
pengasuhnya merupakan dasar bagi perkembangan emosional dan
perkembangan sosial anak. Sejumlah ahli mempercayai bahwa kasih sayang
orang tua atau pengasuh pada masa kanak-kanak awal, merupakan kunci
utama perkembangan sosial anak sehingga meningkatkan kemungkinan
anak memiliki kompetensi secara sosial dan penyesuaian diri yang baik pada
tahun-tahun prasekolah dan sesudahnya.
Salah satu aspek penting dalam hubungan dengan orang tua dan anak
adalah gaya pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua. Terdapat tiga tipe
pengasuhan yang dikaitkan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam
tingkah laku sosial anak, yaitu Otoritatif, Otoriter, dan Permisif.
Pengasuhan otoritatif (authoritative parenting) adalah gaya
pengasuhan yang memperlihatkan pengawasan ekstra ketat tehadap
tingkah laku anak-anak, tetapi mereka juga bersikap responsive, menghargai
dan menghormati pemikiran, perasaan, serta mengikutsertakan anak dalam
pengambilan keputusan. Anak-anak dalam model asuhan ini cenderung lebih
percaya pada diri sendiri, pengawasan diri sendiri, dan mampu bergaul baik
dengan teman sebayanya. Pengasuhan otoritatif juga diasosiasikan dengan
rasa harga diri yang tinggi, memiliki moral standar, kematangan psikososial,
kemandirian, sukses dalam belajar, dan bertanggung jawab secara sosial.
Pengasuhan otoriter (authoritarian parenting) adalah gaya pengasuhan
yang membatasi dan menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah
orang tua. Orang tua menetapkan batasan-batasan yang tegas dan tidak
member peluang yang besar bagi anak untuk mengemukaakan pendapat.
Orang tua yang otoriter juga cenderung bersikap sewenang-wenang dan
tidak demokratis dalam membuat keputusan, memaksakan peran dan
pandangan kepada anak atas dasar kemampuan dan kekuasaan sendiri,
serta kurang mengahrgai persaan dan pemikiran mereka.Anak dengan
pengasuhan seperti ini cenderung bersisfat curiga pada orang lain dan
merasa tidak bahagia dengan dirinya sendiri, merasa canggung
berehubungan dengan teman sebaya, canggung menyesuaikan diri pada
awal masuk sekolah dan memiliki prestasi belajar yang rendah dibandingkan
dengan anak-anak lain.
Pengasuhan permisif (permissive parenting) dapat dibedakan dalam
dua bentuk. Pertama, pengasuhan permissive-indulgent yaitu gaya
pengasuhan di mana ornagtua sangay terlibat dalam kehidupan anak, tetapi
menetapkan sedikit batas atau kendali atas mereka. Pengasuhan model ini
diasosiasikan dengan kurangnya kemampuan pengendaliann diri anak,
katrena orang tua cenderung membiarkan anak-anak mereka melakukan
apa saja yang mereka inginkan, dan akibatnya anak-anak tidak pernah
belajar mengendalikan perilaku mereka sendiri dan selalu mengharapkan
agar semua kemauannya dituruti. Kedua, pengasuhan permissive-indifferent
yaitu pengasuhan di amana ornag tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan
anak. Anak-anak dalam pengasuhan ini cenderung kurang percaya diri,
pengendalian diri yang buruk dan rasa harga diri yang rendah.
Perkembangan Moral
Perkembangan moral merupakan perkembangan yang berkaitan
dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukanoleh
manusia dalam interaksinya dnegan orang lain. Ketika dilahirkan anak-anakk
tidak memiliki moral (imoral). Atetapi didalam dirimya terdapat potensi
moral yang siap dikembangkan. Melalui pengalamannya berinteraksi dengan
orang lain, anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik/ boleh
dikerjakan dan mana yang buruk.
Dalam teori psikoanalisa dikenal struktur kepribadian berupa superego,
yang terdiri atas aspek sosial yang berisikan sistem nilai dan moral. Menurut
teori psikoanalisa Freud, semua orang mengalami konflik Oedipus yang
kemudian akan menghasilkan superego. Ketika anak mengatasi konflik
Oedipus ini, maka perkembangan moral dimulai. Struktur superego ini
mempunyai dua komponen, yaitu ego ideal dan kata hati (conscience). Kata
hati menggambarkan bagian dalam kehidupan mental seseorang baik
mengenai peraturan-eraturan masyarakat, hukum, kode, etika, dan moral.
Pada usia 5 tahun perkembangan superego secara khas akan menjadi
sempurna, dengan begitu suara hati terbentuk.
Teori belajar sosial melihat tingkah laku moral sebagai respons atas
stimulus, Dalam hal ini proses-proses penguatan, penghukuman, dan
peniruan digunakan untuk menjelaskan perilaku moral anak-anak. Bila anak
diberi hadiah atas perilaku yang sesuai dengan aturan dan kontrak sosial,
mereka akan mengulamgi perilaku tersebut. Sebaliknya bila mereka
dihukum atas perilaku yang tidak bermoral, maka perilaku itu akan
berkurang atau hilang.
Sedangkan menurut Piaget, perkembangan moral digambarkan melalui
aturan permainan. Karena itu, hakikat moralitas adalah kecenderungan
untuk menerima dan menaati sistem peraturan. Berdasarkan hasil
observasinya, Piaget menyimpulkan bahwa pemikiran anak-anak tentang
moralitas dapat dibedakan atas dua tahap. Pertama, heteronomous morality
(morality of constraint) terjadi pada anak usia 6 hingga 9 tahun, Dlam tahap
ini anak-anak menghormati ketentuan-ketentuan suatu permainan sebagai
sesuatu yang bersifat suci dan tidak dapat diubah, karena berasal dari
otoritas yang dihormatinya. Anak-anak menjadi yakin akan keadilan
immanen, yaitu konsep bahwa bila suatu aturan dilanggar, hukuman segera
dijatuhkan. Kedua, autonomous morality (morality of cooperation) terjadi
pada usia 9 hingga 12 tahun. Pada tahap ini anak mulai sadar bahwa aturan-
aturan dan hukum-hukum merupakan ciptaan manusia, dan dalam
menerapkan suatu hukuman atas suatu tindakan harus mempertimbangkan
maksud perilaku serta akibatnya. Anak juga meninggalkan penghormatan
sepihak kepada otoritas dan mengembangkan penghormatan kepada teman
sebayanya. Mereka Nampak membandel kepada otorita, serta lebih menaati
peraturan kelompok sebaya atau pimpinannya.
Teori perkembangan moral Kohlberg merupakan perluasan teori
Piaget. Kohlberg setuju dengan Piaget bahwa moral bukan hasil sosialisasi
atau pelajaran yang diperoleh dari pengalaman, melainkan terjadi dari
aktivitas spontan anak-anak. Kohlberg berorientasi mengungkapkan moral
yang hanya ada dalam pikiran dan dibedakan dengan tingkah laku moral
(perbuatan nyata).
Tingkat Tahap
1. Prakonvensional Moralitas
Anak mengenal moralitas berdasar
dampak yang ditimbulkan suatu
perbuatan. Anak tidak melanggar
aturan karena takut akan ancaman
hukuman dari otoritas
1. Orientasi Kepatuhan dan hukuman
Pemahaman tentang baik dan
buruk ditentukan otoritas.
Kepatuhan terhadap atruan yaitu
untuk menghindari hukuman dari
otoritas
2. Orientasi Hedonistik-Instrumental
Perbuatan dinilai baik bila
berfungsi sebagai instrument
untuk memenuhi
kebutuhan/kepuasan diri
2. Konvensional
Suatu perbuatan dinilai baik oleh
anak, bila mematuhi harapan
otoritas atau kelompok sebaya
3. Orientasi anak yang baik
Tindakan berorientasi pada orang
lain. Suatu perbuatan dinilai baik
bila menyenangkan bagi orang
lain.
4. Orientasi keteraturan dan otoritas
Perilaku yang dinilai baik adalah
menunaikan kewajiban,
menghormati otoritas, dan
memelihara ketertiban sosial
3. Pasca Konvensional
Aturan dan institusi dari
masyarakat tidak dipandang
sebagai tujuan akhir, tapi
diperlukan sebagai subjek. Anak
menaati aturan untuk menghindari
hukuman kata hati
5. Orientasi kontrol sosial-legalistik
Ada semacam perjanjian antara
dirinya dan lingkungan sosial.
Perbuatan dinilai baik bila sesuai
dengan perundang-undangan yang
berlaku
6. Orientasi kata hati
Kebenaran ditentukan oleh kata
hati, sesuai dengan prinsip-prinsip
etika universal yang bersifat
abstrak dan penghormatan
terhadap martabat manusia