Tobacco Initiative Bab 6-Peningkatan Cukai Dan Harga Rokok.doc

27
Peningkatan Cukai dan Harga Rokok 6.1. Dampak Peningkatan Cukai Tembakau 6.1.1. Dampak Peningkatan Cukai Tembakau terhadap Konsumsi Rokok dan Penerimaan Negara Beberapa studi dengan menggunakan data Indonesia, menyimpulkan bahwa peningkatan 10% cukai tembakau akan menurunkan konsumsi rokok sebesar 1% - 3% dan meningkatkan penerimaan negara dari cukai tembakau sebesar 7% – 9%. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan akan rokok bersifat inelastis, dimana besarnya penurunan konsumsi rokok lebih kecil daripada peningkatan harganya. Hal ini juga memperlihatkan bahwa rokok adalah barang yang menimbulkan kecanduan bagi pemakainya. Di samping itu, penurunan konsumsi rokok akan meningkatkan penerimaan negara dari cukai tembakau. Hasil studi ini membuktikan bahwa peningkatan harga rokok melalui peningkatan cukai tembakau adalah win win solution karena dia akan menurunkan konsumsi rokok, walau bersifat inelastis, dan pada saat yang sama akan berpotensi meningkatkan penerimaan negara dari cukai tembakau. Tabel 6.1 Dampak Peningkatan 10% Cukai Tembakau Terhadap Konsumsi Rokok Dan Penerimaan Negara dari Cukai Tembakau Studi % Penurunan Konsumsi % Kenaikan Penerimaan De Beyer and Yurekli, 2000 2,0 8,0 Djutaharta et al, 2005 0,9 9,0 Adioetomo et al, 2005 3,0 6,7 Sunley, Yurekli, Chaloupka, 2000 2,4 7,4 6.1.2. Dampak Peningkatan Cukai Tembakau terhadap Jumlah Perokok, Kematian yang Terkait dengan Konsumsi Rokok dan Penerimaan Cukai Tembakau Barber et.al (2008), melakukan penghitungan mengenai dampak peningkatan cukai tembakau sampai pada tingkat yang diperbolehkan Undang-Undang No. 39 tahun 2007 yaitu sebesar 57% terhadap perubahan Peningkatan Cukai dan Harga Rokok | 77 6

description

tobacco

Transcript of Tobacco Initiative Bab 6-Peningkatan Cukai Dan Harga Rokok.doc

Peningkatan Cukai dan Harga Rokok

6.1. Dampak Peningkatan Cukai Tembakau

6.1.1. Dampak Peningkatan Cukai Tembakau terhadap Konsumsi Rokok dan Penerimaan Negara

Beberapa studi dengan menggunakan data Indonesia, menyimpulkan bahwa peningkatan 10% cukai tembakau akan menurunkan konsumsi rokok sebesar 1% - 3% dan meningkatkan penerimaan negara dari cukai tembakau sebesar 7% 9%. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan akan rokok bersifat inelastis, dimana besarnya penurunan konsumsi rokok lebih kecil daripada peningkatan harganya. Hal ini juga memperlihatkan bahwa rokok adalah barang yang menimbulkan kecanduan bagi pemakainya. Di samping itu, penurunan konsumsi rokok akan meningkatkan penerimaan negara dari cukai tembakau. Hasil studi ini membuktikan bahwa peningkatan harga rokok melalui peningkatan cukai tembakau adalah win win solution karena dia akan menurunkan konsumsi rokok, walau bersifat inelastis, dan pada saat yang sama akan berpotensi meningkatkan penerimaan negara dari cukai tembakau.

Tabel 6.1

Dampak Peningkatan 10% Cukai Tembakau Terhadap Konsumsi Rokok Dan

Penerimaan Negara dari Cukai Tembakau

Studi% Penurunan Konsumsi% Kenaikan Penerimaan

De Beyer and Yurekli, 20002,08,0

Djutaharta et al, 20050,99,0

Adioetomo et al, 20053,06,7

Sunley, Yurekli, Chaloupka, 20002,47,4

6.1.2. Dampak Peningkatan Cukai Tembakau terhadap Jumlah Perokok, Kematian yang Terkait dengan Konsumsi Rokok dan Penerimaan Cukai Tembakau

Barber et.al (2008), melakukan penghitungan mengenai dampak peningkatan cukai tembakau sampai pada tingkat yang diperbolehkan Undang-Undang No. 39 tahun 2007 yaitu sebesar 57% terhadap perubahan banyaknya jumlah perokok, jumlah kematian yang terkait dengan konsumsi rokok dan banyaknya penerimaan cukai tembakau pemerintah. Penghitungan yang dibuat didasarkan pada beberapa skenario peningkatan cukai dan beberapa tingkat elastisitas harga terhadap permintaan rokok. Mereka menyimpulkan bahwa jika tingkat cukai tembakau ditingkatkan sampai menjadi 57% dari harga jual eceran maka diperkirakan jumlah perokok akan berkurang sebanyak 6,9 juta orang, jumlah kematian yang berkaitan dengan konsumsi rokok akan berkurang sebanyak 2,4 juta kematian, dan penerimaan negara dari cukai tembakau akan bertambah sebanyak Rp. 50,1 Trilliun (penghitungan ini didasarkan pada asumsi elastisitas harga terhadap permintaan rokok sebesar -0,4). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan cukai tembakau memiliki peran yang signifikan dalam peningkatan kesehatan masyarakat dan peningkatan penerimaan negara. Oleh karena itu, peningkatan cukai tembakau adalah win-win solution. Disamping itu, mereka juga memprediksi bahwa jika tingkat cukai maksimal diberlakukan (57% dari Harga Jual Eceran untuk semua jenis produk tembakau) maka masih ada 50 juta penduduk dewasa yang merokok (turun dari 56,9 juta perokok), hal ini berlangsung dalam jangka panjang. Ini menunjukkan bahwa konsumsi rokok bersifat adiktif (menimbulkan kecanduan). Tabel 6.2Dampak Kenaikan Tarif Cukai Tembakau terhadapKematian Akibat Rokok dan Penerimaan NegaraNo.KeteranganKondisi SekarangSkenario Kenaikan Tarif Cukai

(1)(2)(3)

1.% tarif cukai terhadap harga jual actual37%50%64%70%

2.% tarif cukai terhadap HJE yang ditetapkan pemerintah a31%43%57%64%

3.Jumlah Perokok56,9 juta orang

Jumlah Perokok yang Berkurang (juta)

Elastisitas Harga b-0,291,857,3

-0,42,56,910

-0,674,111,516,8

4.Perkiraan kematian akibat merokok28,45 juta orang

Kematian yang terhindarkan (juta)

Elastisitas Harga b-0,290,61,72,5

-0,40,92,43,5

-0,671,445,9

Kematian Terhindarkan (%)

Elastisitas Harga b-0,292%6%9%

-0,43%8%12%

-0,675%14%21%

Jumlah Perokok yang Tersisa (juta)

Elastisitas Harga b-0,2955,151,9 49,6

-0,454,450,0 46,9

-0,6752,845,4 40,1

5.Penerimaan Cukai TembakauRp 41,8 triliun

Tambahan Penerimaan Cukai (Rupiah Triliun)

Elastisitas Harga b-0,2925,159,3 75,8

-0,42350,1 59,3

-0,6718,129,1 23,8

Sumber : Barber et al 2008

Catatan:

a HJE diestimasi sebagai proporsi dari harga jual

b Elastisitas harga rendah, menengah, dan tinggi adalah -0,29, -0,4, dan -0,67 berdasarkan urutan estimasi hasil studi yang terbaik: Lihat Guindon et al., Djutaharta et al., dan Adioetomo et al.

c Nilai penerimaan diestimasi menggunakan target penerimaan 2008, dengan asumsi bahwa 95 persen dari penerimaan cukai berasal dari produk tembakau.

6.1.3. Dampak Peningkatan Harga Rokok pada Kelompok Termiskin

Ahsan dan Tobing (2008), dengan menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2004 mengestimasi dampak peningkatan harga terhadap konsumsi rokok menurut kelompok pengeluaran. Mereka menggunakan model two part untuk melihat dampak peningkatan harga rokok terhadap partisipasi merokok dan konsumsi rokok secara terpisah. Penelitian mereka menyimpulkan bahwa peningkatan 10% harga rokok akan menurunkan konsumsi rokok perokok termiskin (kuintil 1) sebanyak 16%. Sementara itu, konsumsi rokok perokok terkaya (kuintil 4) hanya akan turun 6%. Hasil estimasi ini menunjukkan bahwa perokok termiskin lebih sensitif terhadap harga dibandingkan dengan perokok terkaya. Sehingga kebijakan peningkatan harga rokok melalui peningkatan cukai tembakau akan melindungi penduduk termiskin dari kecanduan dan perangkap akibat konsumsi rokok.

Tabel 6.3Dampak Peningkatan Harga Rokok terhadap Konsumsi Rokok menurut Kelompok Pendapatan KeteranganKelompok Pendapatan (Kuintil)

IIIIIIIVV

Elastisitas Harga dari Partisipasi Merokok -1,696*-1,069*-0,713*-0,384*-0,409*

Elastisitas Harga terhadap Permintaan Rokok -0,304*-0,065***0,058-0,411*-0,292*

Prevalensi Perokok 0,2370,2940,2870,2970,251

Elastisitas Harga Total -1,598-0,821-0,451-0,681-0,598

Sumber: Ahsan dan Tobing 2008

Catatan: *p < 1%, ** p< 5% dan ***p 2 Milyar > 66029044> 660310477%3

630 - 66028043630 - 660300477%3

600 - 63026042600 - 630280468%3

II 2 Milyar > 43021049> 4302305310%5

380 - 43017543380 - 4301954811%5

374 - 38013536374 - 3801554115%5

Sigaret

Putih

Mesin

(SPM)I> 2 Milyar >60029048>600310527%3

450 - 60023044450 - 6002755220%9

375 - 45018545375 - 4502255522%10

II 2 Milyar >30017057>3002006718%10

254 - 30013549254 - 3001656022%11

217 - 2548034217 - 2541054531%11

Sigaret

Kretek

Tangan

(SKT) /

Sigaret

Putih

Tangan

(SPT)I> 2 Milyar >59020034>590215368%3

550 - 59015026550 - 5901652910%3

520 - 55013024520 - 5501452712%3

II>500 Juta 2 Milyar >3799024>3791052817%4

349 - 3798022349 - 379952619%4

336 - 3497522336 - 349902620%4

III 500 Juta 2344017234652863%11

Sigaret

Kretek

Tangan

Filter

(SKTF) /

S Putih TFI> 2 Milyar >66029044>660310477%3

630 - 66028043630 - 660300477%3

600 -63026042600 -630280468%3

II 2 Milyar >43021049>4302305310%5

380 - 43017543380 - 4301954811%5

374 - 38013536374 - 3801554115%5

Rata-rata 384415%5

Berdasarkan analisis dari Barber et.al (2009), terlihat bahwa dari tahun 2007-2009 tingkat cukai terendah terjadi pada SKT untuk semua golongan dengan peningkatan cukai yang kecil. Hal ini menunjukkan keberpihakan pemerintah pada industri ini. Di samping itu, ada peningkatan beban cukai tembakau yang drastis pada SPM golongan III dan SKM golongan III pada periode yang sama. Sebagai tambahan, selama periode ini beban cukai tembakau untuk SKM golongan I relatif tidak berubah. Ini juga menunjukkan bahwa pemerintah masih memprioritaskan SKM golongan I dibandingkan jenis dan golongan sigaret yang lain.

Gambar 6.2

Sumber: Barber et al, 20096.2.4.Implikasi dari Sistem Cukai Hasil Tembakau Sistem cukai tembakau yang rumit diperkirakan akan menimbulkan beberapa implikasi seperti:

a) Timbulnya pabrik rokok skala kecil yang dikenai cukai paling rendah. b) Praktek subkontrak dari perusahaan rokok besar ke perusahaan kecil. c) Tertahannya tingkat produksi rokok di skala yang lebih kecil yang dikenai cukai lebih rendah.d) Lebarnya rentang harga jual eceran di tingkat konsumen.

Keempat implikasi ini akan mengurangi efektifitas kebijakan cukai tembakau dalam mengendalikan konsumsi rokok.

6.2.5. Keterjangkauan Rokok

Guindon et al (2003), melakukan studi tentang kemampuan membeli rokok di beberapa negara. Keterjangkauan dihitung dengan cara membagi harga tembakau di setiap negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita. Apabila indeks bernilai di atas 100 artinya harga tembakau semakin tidak terjangkau. Hal tersebut terjadi di Selandia Baru, dimana harga riil tembakau meningkat tiga kali lipat antara tahun 1980 dan 2000, yang menyebabkan tembakau semakin tidak terjangkau (Gambar 6.3). Sebaliknya, bila indeks bernilai kurang dari 100 artinya tembakau menjadi semakin terjangkau. Rokok di Indonesia menjadi 50 persen lebih terjangkau antara tahun 1980 dan 2000, sama seperti di Srilanka dan India.

Gambar 6.3Keterjangkauan Rokok di Beberapa Negara, 1980 2000Sumber : Guindon et al 20036.3. Penerimaan Pemerintah dari Cukai Tembakau

6.3.1. Penerimaan Pemerintah dari Cukai Tembakau Penerimaan cukai hasil tembakau dari tahun 1990-2008 telah meningkat 29 kali lipat dari Rp. 1,7 Trilliun pada 1990 menjadi Rp. 49,9 Trilliun pada tahun 2008. Penerimaan cukai hasil tembakau yang meningkat ini juga membuktikan bahwa peningkatan tingkat cukai yang dilakukan pemerintah efektif untuk meningkatkan penerimaan negara dari cukai tembakau. Dengan fakta ini pula, mitos yang mengatakan bahwa peningkatan cukai tembakau akan mengurangi penerimaan negara dari cukai tembakau terbantahkan. Jika dibandingkan dengan total penerimaan pemerintah selama periode yang sama, penerimaan cukai hasil tembakau menyumbang 4 - 7,7%. Sumbangan cukai hasil tembakau terhadap penerimaan negara terbesar terjadi pada tahun 2002-2004 (7,7%), namun setelah itu sumbangan penerimaan cukai tembakau terus menurun sampai 2008 hanya menyumbang 5,2%. Hal ini menunjukkan bahwa laju peningkatan penerimaan pemerintah dari cukai tembakau masih lebih kecil dari penerimaan pemerintah yang lainnya. Tabel 6.8Penerimaan Cukai Hasil Tembakau, 1990-2008, IndonesiaTahunCukai Hasil Tembakau

(Rp. Triliun)Total Penerimaan Pemerintah

(Rp. Triliun)% Cukai hasil tembakau terhadap total penerimaan Pemerintah

1990/19911,7142,194,1

1991/19921,742,584

1992/19932,1248,864,3

1993/19942,4756,114,4

1994/19952,6566,424

1995/19963,4573,014,7

1996/19974,0687,64,6

1997/19984,89108,184,5

1998/19997,45152,874,9

1999/200010,11142,25

200013,8205,346,7

200118,3301,086,1

200223,08298,67,73

200326,4341,47,73

200428,64407,97,02

200532,65493,96,61

200636,96636,25,81

200743,48706,16,16

200849,92959,55,2

Sumber : Nota Keuangan 1990-2007 dan Bea Cukai 20096.3.2. Penerimaan Pemerintah dari Cukai

Penerimaan pemerintah dari cukai tembakau selama ini didominasi oleh penerimaan dari cukai hasil tembakau. Sebagaimana kita tahu bahwa terdapat tiga barang yang terkena pungutan cukai yaitu hasil tembakau, ethil alkohol dan minuman mengandung ethil alkohol. Untuk periode 2003-2008, 98% penerimaan cukai dihasilkan dari cukai hasil tembakau. Di samping itu, penerimaan cukai hasil tembakau selama periode ini selalu lebih tinggi ditargetkan, kecuali untuk tahun 2006. Bahkan pada tahun 2008 realisasi penerimaan cukai hasil tembakau 10% lebih besar dari targetnya.Tabel 6.9

Target dan Realisasi Penerimaan Cukai Tembakau, Indonesia, 2003-2008TahunTarget cukaiRealisasiPencapaian% Cukai

tembakau

Hasil

TembakauNon Hasil

TembakauTotal

200326,11425,92846826,397101,0898,23

200428,44228,63653629,172102,5798,16

200532,24532,65159933,250103,1298,20

200638,52337,06270437,76698,0498,14

200742,03443,5421,12244,663106,2597,49

200845,71849,9261,32551,252112,1197,41

Sumber : Bea Cukai 20096.3.3. Perbandingan Penerimaan Pemerintah dari Cukai Tembakau dan Penerimaan Lainnya Jika dibandingkan dengan penerimaan pajak lainnya maka terlihat bahwa penerimaan cukai tembakau lebih rendah dari penerimaan pajak pertambahan nilai dan pajak penghasilan. Dibandingkan dengan pajak pertambahan nilai (PPN), dari 1994-2008 terlihat bahwa penerimaan cukai tembakau hanya berkisar antara 16% (1994) sampai 27% (2008) dari PPN. Sementara itu, jika dibandingkan dengan pajak penghasilan (PPH), penerimaan cukai tembakau pada periode yang sama hanya sebesar 14% (1994) sampai 16% (2008) dari PPH. Melihat fakta ini, seharusnya mengoptimalkan penerimaan dari cukai tembakau dengan cara meningkatkan tingkat cukainya.

Penerimaan negara dari cukai tembakau sebenarnya disumbangkan oleh para perokok. Walaupun perusahaan membayar terlebih atas pita cukai yang mereka pesan, namun pada akhirnya biaya cukai tersebut akan ditambahkan dalam harga jual eceran yang harus dibayar oleh perokok. Oleh karena itu, pernyataan bahwa perusahaan rokok berkontribusi terhadap penerimaan negara dalam hal cukai tidaklah berdasar.

Di samping itu, upaya untuk membandingkan penerimaan negara dari cukai tembakau dengan penerimaan dari sektor-sektor yang lain seharusnya lebih hati-hati untuk dilakukan. Hal ini karena cukai hanya dikenakan terhadap produk-produk tertentu yaitu hasil tembakau, etil alkohol dan minuman mengandung etil alkohol. Nilai cukai tembakaupun tercatat dalam penerimaan negara. Sementara itu, sumbangan sektor lain sebagian besar dalam bentuk pajak. Oleh karena itu, yang bisa dibandingkan hanyalah pajak perusahaan (corporate tax) yang dibayar oleh perusahaan rokok, seperti terlihat pada Tabel 6.10. Keterangan1994/

19951995/

19961996/

19971997/

19981998/

19991999/

2000200020012002200320042005200620072008

Total Penerimaan

Pemerintah

(Rp. Triliun)66,4273,0187,60108,18152,87142,20205,34301,08298,6341,4407,9493,9636,2706,1959,5

% Cukai tembakau3,994,734,634,524,877,116,726,087,737,737,026,615,816,165,20

Penerimaan pajak

(Rp. Triliun)44,4448,6957,3470,93102,39125,95115,91185,57210,09242,05280,56347,03409,20491,00592,00

% Cukai tembakau5,967,097,086,897,288,0311,919,8610,9910,9110,219,419,038,868,43

Penerimaan pajak

dalam negeri

(Rp. Triliun)40,4145,4754,6867,8195,46120,92108,88176,00199,51230,93267,82331,79395,97470,10570,00

% Cukai tembakau6,567,597,437,217,808,3612,6710,4011,5711,4310,699,849,339,258,76

Pajak penghasilan (Rp. Triliun)18,7621,0127,0634,3955,9472,7357,0794,58101,87115,02119,51175,54208,83238,40306,00

% Cukai tembakau14,1216,4215,0014,2213,3213,9024,1819,3522,6622,9523,9618,6017,7018,2416,31

Pajak pertambahan

nilai (Rp. Triliun)16,5418,5220,3525,2027,8033,0935,2356,0065,2077,1087,60101,30123,00154,50187,60

% Cukai tembakau16,0218,6319,9519,4126,8030,5639,1732,6835,4034,2432,6932,2330,0528,1426,61

Pajak bumi dan

bangunan (Rp. Triliun)1,651,892,412,6435,6541,0744,565,206,208,8011,8016,2020,9023,7024,20

% Cukai tembakau160,87182,16168,24185,1620,9024,6130,97351,92372,32300,00242,71201,54176,84183,46206,28

Penerimaan cukai

tembakau

(Rp. Triliun)2,653,454,064,897,4510,1113,8018,3023,0826,4028,6432,6536,9643,4849,92

Tabel 6.10 Penerimaan Pemerintah dari Pajak menurut Jenisnya, Indonesia, 1994-2008Sumber : APBN 2009 dan Nota Keuangan 2009

6.4. Rata-rata Pengeluaran Rumah Tangga untuk Tembakau

6.4.1. Pengeluaran Rumah Tangga untuk Tembakau Meningkat

Berdasarkan data Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2003-2006, pengeluaran rata-rata Rumah Tangga yang ada perokoknya untuk membeli rokok meningkat. Secara nominal pengeluaran rumah tangga untuk membeli rokok meningkat dari Rp. 103.356 per bulan pada tahun 2003 menjadi Rp. 117.624 pada tahun 2006.

Gambar 6.4Rata-rata Pengeluaran Rumah Tangga untuk Tembakau, Indonesia, 2003-2006

Sumber : BPS 2003-20066.4.2. Proporsi Pengeluaran Rumah Tangga Miskin untuk Tembakau

Proporsi pengeluaran tembakau / rokok pada rumah tangga perokok termiskin pada 2003-2006 stabil di kisaran 12%. Pengeluaran untuk rokok menempati ke dua dalam struktur pengeluaran rumah tangga perokok termiskin. Dia hanya lebih rendah dari pengeluaran untuk padi-padian. Pengeluaran untuk rokok menyebabkan kesempatan yang hilang diukur dari kebutuhan utama. Pada tahun 2006, Pengeluaran untuk rokok pada rumah tangga periokok termiskin 17 kali lebih banyak daripada pengeluaran untuk daging, 15 kali lebih banyak daripada pengeluaran untuk biaya kesehatan, 9 kali lebih banyak daripada pengeluaran untuk biaya pendidikan, 5 kali lebih banyak daripada pengeluaran untuk susu dan telur dan 2 kali lebih banyak daripada pengeluaran untuk ikan, seperti terlihat pada Gambar 6.5. Gambar 6.5Proporsi Pengeluaran Tembakau pada Rumah Tangga Perokok Termiskin (q1), Indonesia, 2003-2006

6.4.3. Proporsi Pengeluaran Rumah Tangga untuk Tembakau 2007a) Pengeluaran rata-rata untuk tembakau meningkat menjadi Rp. 136.534 per bulan

b) Semakin miskin rumah tangga perokok, maka semakin besar beban konsumsi rokoknya. RT perokok terkaya menghabiskan 7% pendapatannya untuk rokok sementara RT perokok termiskin menghabiskan 12%.

c) Pengeluaran untuk rokok pada rumah tangga perokok termiskin masih berada pada posisi ke dua pada tahun 2007. Ini membuktikan bahwa upaya pengendalian tembakau belum berhasil mengubah pola konsumsi RT perokok termiskin.

Tabel 6.11Proporsi Pengeluaran Tembakau pada Rumah Tangga Perokok Termiskin di Indonesia Q1Q2Q3Q4Q5Rumah Tangga Perokok

Rata-rata/

bulan (Rp)(%)Rata-rata/

bulan (Rp)(%)Rata-rata/

bulan (Rp)(%)Rata-rata/

bulan (Rp)(%)Rata-rata/

bulan (Rp)(%)Rata-rata/

bulan (Rp)(%)

Pengeluaran Pangan

Padi-padian 103.866,9 21,7144132,819,0169482,215,8186923,812,0 198.782,1 6,1165039,011,3

Umbi-umbian 5.362,7 1,16285,70,86970,70,67609,80,5 9.315,7 0,37206,80,5

Ikan 23.654,7 4,940216,95,358056,65,481836,75,3 120.360,8 3,767004,24,6

Daging 3.063,2 0,67267,31,013826,51,326764,81,7 64.493,2 2,023610,61,6

Telur dan Susu 9.806,5 2,019054,62,530768,82,951211,33,3 105.800,4 3,244463,83,1

Sayuran 27.252,6 5,737007,84,946884,94,459398,03,8 78.268,7 2,451021,63,5

Kacang-kacangan 16.392,6 3,421104,02,824471,22,328060,11,8 34.951,8 1,125508,81,8

Buah-buahan 6.567,6 1,411212,51,516115,11,524491,31,6 50.013,5 1,522184,01,5

Minyak 18.941,4 4,025634,33,431161,42,937204,32,4 45.780,8 1,432538,92,2

Bahan Minuman 20.483,1 4,327564,43,633457,63,139926,62,6 49.014,6 1,534933,32,4

Bumbu-bumbuan 11.059,7 2,314333,21,916626,61,519166,91,2 23.028,6 0,717205,51,2

Mie, Krupuk 10.406,4 2,216602,12,222503,02,130157,21,9 44.301,5 1,425550,11,8

Makan&minuman 30.654,4 6,455349,17,383587,17,8122201,97,8 256.491,3 7,9112379,17,7

Minuman beralkohol 281,8 0,1561,20,1905,20,11376,60,1 1.931,9 0,11052,40,1

Tembakau & sirih 56.188,7 11,788749,411,7121926,811,4162648,010,4 232.461,3 7,1136534,59,4

Total Pengeluaran

Pangan 343.982,6 71,9515075,368,0676743,763,1878977,456,4 1.314.996,1 40,3766232,652,7

Pengeluaran Non Pangan

Kontrak rumah 40.429,2 8,461014,88,087509,78,2140777,49,0 367.697,8 11,3141241,89,7

Listrik, telpon &gas 45.666,2 9,566397,28,893342,08,7143365,69,2 303.093,8 9,3132696,49,1

Perbaikan rumah 416,6 0,1982,70,12775,10,36323,00,4 28.914,2 0,97879,30,5

GOODS 22.938,0 4,845486,76,077261,77,2129903,48,3 335.716,2 10,3124620,28,6

Pendidikan 5.185,8 1,116057,52,131863,23,066261,34,3 297.694,7 9,183569,25,7

Kesehatan 8.415,9 1,824411,63,249933,04,792569,05,9 235.259,8 7,284064,35,8

Pakaian 5.889,6 1,217099,52,331626,92,953981,83,5 115.463,6 3,546210,73,2

DURABLE 1.858,3 0,44352,40,68532,30,821970,01,4 142.086,1 4,435330,32,4

Pajak,asuransi,PBB 2.232,9 0,53964,00,56792,20,612056,70,8 41.320,4 1,313377,80,9

Keperluan pesta 1.676,0 0,43136,00,46326,10,612176,50,8 77.503,9 2,419966,01,4

Total Pengeluaran Non Pangan 134.708,6 28,1242902,332,0395962,036,9679384,543,6 1.944.750,6 59,7688956,047,3

Total Pengeluaran RT 478.691,2 757.977,6 1.072.705,7 1.558.361,9 3.259.746,6 1.455.188,5

6.5. Isu-isu yang Terkait dengan Cukai Tembakau

6.5.1.Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai mengamanatkan adanya dana bagi hasil bagi pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten atau kota. Menurut Pasal 66 UU No. 39 tahun 2007, penerimaan negara dari cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2% yang digunakan untuk:

a) mendanai peningkatan kualitas bahan baku,b) pembinaan industri, c) pembinaan lingkungan sosial,d) sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/ataue) pemberantasan barang kena cukai ilegal.Kepentingan kesehatan masyarakat hanya terakomodir dalam alokasi nomer 3 yaitu pembinaan lingkungan sosial. Dimana rincian penggunaan untuk alokasi ini adalah:

a) Pembinaan kemampuan dan keterampilan kerja masyarakat di lingkungan industri hasil tembakau dan/atau daerah penghasil bahan baku industri hasil tembakau; b) Penerapan manajemen limbah industri hasil tembakau yang mengacu kepada analisis dampak lingkungan (AMDAL); c) Penetapan kawasan tanpa asap rokok dan pengadaan tempat khusus untuk merokok di tempat umum;

d) Peningkatan derajat kesehatan masyarakat dengan penyediaan fasilitas perawatan kesehatan bagi penderita akibat dampak asap rokok; e) Penguatan sarana dan prasarana kelembagaan pelatihan bagi tenaga kerja industri hasil tembakau; dan/atau f) Penguatan ekonomi masyarakat di lingkungan industri hasil tembakau dalam rangka pengentasan kemiskinan mengurangi pengangguran, dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, dilaksanakan antara lain melalui bantuan permodalan dan sarana produksi. g) Peruntukan bagi hasil cukai tembakau yang diharapkan. Alokasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau tersebut ditetapkan berdasarkan realisasi penerimaan cukai hasil tembakau pada tahun berjalan. Sebagai tambahan, gubernurlah yang mengelola dan menggunakan dana bagi hasil cukai hasil tembakau dan mengatur pembagiannya kepada bupati/walikota di daerahnya masing-masing berdasarkan besaran kontribusi penerimaan cukai hasil tembakaunya. Pembagian dana bagi hasil ini dilakukan dengan persetujuan Menteri Keuangan, dengan komposisi 30% untuk provinsi penghasil, 40% untuk kabupaten/kota daerah penghasil, dan 30% untuk kabupaten/kota lainnya. Untuk tahun 2009, pembagian dana bagi hasil cukai tembakau adalah sebagai berikut:

Tabel 6.12

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau menurut Propinsi

Berdasarkan PMK No. 85/PMK.07/2009NoPropinsiDana Bagi Hasil Cukai Tembakau% dari total

1Jawa Timur599,357,180,00062,1

2Jawa Tengah282,458,370,00029,3

3Jawa Barat70,560,260,0007,3

4DI Yogyakarta8,447,860,0000,9

5Sumatera Utara3,978,330,0000,4

Total964,802,000,000100,0

Beberapa isu yang mengemuka mengenai DBHCT ini antara lain:

penggunaan DBHCT yang tidak sepenuhnya untuk kepentingan kesehatan. Padahal dampak rokok terhadap kesehatan sangatlah besar. Alokasi no 1 (mendanai peningkatan kualitas bahan baku) dan no 2 (pembinaan industri) pada dasarnya adalah untuk membantu industri rokok. Sementara alokasi no 4 (sosialisasi ketentuan di bidang cukai) dan no 5 (pemberantasan barang kena cukai ilegal) sebenarnya sudah menjadi tugas pokok dan fungsi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Hanya alokasi no 4 (Pembinaan Lingkungan Sosial) yang sejalan dengan kepentingan kesehatan.

daerah penerima DBHCT dimana hanya 5 propinsi saja menerimanya. Padahal dampak buruk rokok terhadap kesehatan menimpa seluruh perokok aktif dan perokok pasif yang tersebar di seluruh Indonesia.

6.5.2.Pajak Rokok Daerah Di dalam Undang-undang no. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tercantum mengenai adanya pajak rokok daerah di bagian enam (pasal 26-31).

Pasal 26 menyebutkan bahwa objek pajak rokok adalah konsumsi rokok yang meliputi sigaret, cerutu dan rokok daun. Sementara yang dikecualikan dari objek pajak rokok adalah rokok yang tidak dikenai cukai berdasarkan UU Cukai.

Pasal 27, menyatakan bahwa subjek pajak rokok adalah konsumen rokok dan wajib pajak rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki ijin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC). Pajak rokok ini akan dipungut oleh instansi pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok. Kemudian, pajak rokok akan di setor ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.

Pasal 28, dasar pengenaan pajak rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap rokok.

Pasal 29, tarif pajak rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.

Pasal 31, penerimaan pajak rokok baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.

Pasal 94, ayat 1c, hasil penerimaan pajak rokok diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 70%.

Pasal 181, ketentuan pajak rokok akan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2014.

Sebagai estimasi, jika pajak rokok ini diberlakukan pada tahun 2009 dengan asumsi penerimaan negara dari cukai rokok sebesar Rp. 50 triliun maka besarnya pajak rokok adalah Rp. 5 triliun dimana Rp. 2,5 triliun (50%) akan didedikasikan untuk mendanai pelayanan kesehatan dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang di seluruh kabupaten/kota dan provinsi se Indonesia. Diprediksi besaran akan meningkat pada tahun 2014. Ini merupakan kesempatan yang baik untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat di Indonesia.

6

PAGE 77Peningkatan Cukai dan Harga Rokok |

Tingkat Cukai Maksimum (% HJE) untuk 3 Jenis Hasil Tembakau menurut Golongan Produksi, 2007-2009

SPM: Machine-made white cigarettes( 7% sales)

SKM: Machine-made kretek (>70%)

SKT: Hand-made kretek(20%)

9