Perkembangan Ekonomi Indonesia Terkini - bahana.co.id filePerkembangan Ekonomi Indonesia Terkini...

7
Jakarta, 24 Agustus 2015 Perkembangan Ekonomi Indonesia Terkini Memasuki Semester II 2015, kami menilai kejatuhan pasar modal dan nilai tukar rupiah lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal ketimbang internal. Secara internal, pemerintah nampaknya mulai berhasil memacu pengeluaran belanja yang dianggap melandasi perlambatan ekonomi selama Semester I 2015 sehingga equity investor cenderung hengkang. Secara eksternal, dunia menghadapi tantangan bersama mulai dari krisis utang Yunani, ketidakpastian jadwal normalisasi suku bunga Fed hingga currency wars menyusul keputusan China mendevaluasikan yuan. Seperti terlihat pada tabel, keputusan China tersebut terbukti berdampak global mengingat perlambatan ekonomi China bakal menurunkan impor dari banyak negara termasuk Indonesia. Akibatnya, kecemasan itu tidak hanya terus memukul harga komoditas, energi, nilai tukar, harga obligasi negara dan saham di negara berkembang. Bahkan indeks saham S&P500 (SPX) tajam. Terlihat hanya indeks NKY dan Eropa SX5E yang sepanjang tahun berjalan masih positif.

Transcript of Perkembangan Ekonomi Indonesia Terkini - bahana.co.id filePerkembangan Ekonomi Indonesia Terkini...

Jakarta, 24 Agustus 2015

Perkembangan Ekonomi Indonesia Terkini

Memasuki Semester II 2015, kami menilai kejatuhan pasar modal dan nilai tukar rupiah lebih dipengaruhi oleh

faktor eksternal ketimbang internal. Secara internal, pemerintah nampaknya mulai berhasil memacu

pengeluaran belanja yang dianggap melandasi perlambatan ekonomi selama Semester I 2015 sehingga equity

investor cenderung hengkang.

Secara eksternal, dunia

menghadapi tantangan

bersama mulai dari krisis

utang Yunani, ketidakpastian

jadwal normalisasi suku

bunga Fed hingga currency

wars menyusul keputusan

China mendevaluasikan yuan.

Seperti terlihat pada tabel,

keputusan China tersebut

terbukti berdampak global

mengingat perlambatan ekonomi China bakal menurunkan impor dari banyak negara termasuk Indonesia.

Akibatnya, kecemasan itu tidak hanya terus memukul harga komoditas, energi, nilai tukar, harga obligasi negara

dan saham di negara berkembang. Bahkan indeks saham S&P500 (SPX) tajam. Terlihat hanya indeks NKY dan

Eropa SX5E yang sepanjang tahun berjalan masih positif.

Pasar modal Indonesia terbilang menderita penurunan paling dalam. Ketika ulasan ini disiapkan, IHSG sepanjang

tahun berjalan telah jatuh sekitar 19% atau terjungkal 25% dari angka tertinggi 5523 pada medio April 2015.

Sementara yield SUN bertenor 10 tahun melewati 9%, suatu angka menarik bagi investor domestik mengingat

proyeksi inflasi tetap rendah selama harga komoditas terpangkas.

Tidak Seperti Krisis 1997

Yang paling banyak mendapat perhatian adalah

pelemahan tajam rupiah yang melewati paras

14.000 per dollar. Seperti terlihat pada tabel, kurs

rupiah sepanjang tahun berjalan sudah melemah

12,4%. Selama tiga tahun terakhir, rupiah

melemah 32,7%. Silakan bandingkan dengan yen,

lira Turki dan rubel Russia.

Dengan membandingkan angka nominal kurs

rupiah terhadap angka tertinggi sejarah, banyak

pihak yang mengkuatirkan Indonesia sedang

menuju krisis seperti tahun 1997.

Kami menyakini kekuatiran tersebut tidak

beralasan. Sebab yang terjadi sekarang adalah

penguatan dollar temporer ditengah pelemahan

ekonomi global ketika sistem pengelolaan

makroekonomi Indonesia jauh lebih baik

ketimbang 1997.

Mohon cermati kata kunci yang dicetak tebal diatas. Kami berani menyimpulkan penguatan dollar bersifat

temporer mengingat Amerika Serikat sendiri selama dua dekade terakhir sudah menciptakan likuiditas dollar

melebihi kebutuhan ekonominya. Mohon bersabar memahami landasan teori yang sangat penting berikut.

Nilai tukar adalah harga mata uang asing didalam mata uang domestik. Negara yang ingin memperlemah mata

uangnya dapat menciptakan likuiditas yang melebihi kebutuhan di dalam negeri. Secara konvensional,

penciptaan likuiditas ini dapat dilakukan dengan menurunkan suku bunga yang jauh lebih rendah dibanding

proyeksi inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Sedangkan secara inkonvensional dilakukan melalui pembelian secara masif oleh bank sentral atas surat

berharga negara dan korporasi. Aksi ini dikenal sebagai quantitative easing yang ditunjukkan oleh peningkatan

rasio total asset bank sentral terhadap GDP.

Ekspansi moneter yang melebihi kebutuhan kemudian dapat dipantau melalui trend penurunan rasio GDP

nominal terhadap M2. GDP nominal mewakili aktivitas sektor riil yang membutuhkan likuiditas. Sedang di sisi

lain, statistik moneter M2 mencerminkan akumulasi pasokan jumlah uang beredar. Rasio GDP nominal dan M2

ini dikenal sebagai velocity of money. Trend penurunan velocity of money ini menandakan pasokan uang

melimpah melebihi kebutuhan. Inilah dasar utama currency wars. Sebagai akibatnya, harga uang secara

fundamental menurun yang dicirikan oleh pelemahan kurs mata uang.

Seperti terlihat pada peraga dibawah ini, Amerika Serikat sendiri menjadi biang utama currency wars sebab

velocity of money sudah turun drastis sejak tahun 2000. Krisis moneter 1997 yang menerpa Asia dilatari

gelombang besar trend velocity of money AS yang positif yang menjadi fundamenal penguatan dollar. Menjadi

sangat berbahaya bagi negara berkembang meminjam dana valas berjangka pendek untuk berinvestasi di dalam

mata uang domestik yang masih menganut sistem nilai tukar tetap.

Secara teori sebetulnya nasib dollar cenderung melemah. Namun operasi quantitative easing yang sangat masif

dilakukan pemerintahan Sinzho Abe telah menyebabkan ratio total asset BoJ terhadap GDP melambung hingga

65% GDP. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding 30% baik untuk the Fed dan ECB – yang juga melakukan

quantitative easing sejak akhir tahun 2014 lalu. Lihat peraga dibawah ini, total asset Bank of Japan berwarna

hijau berbintik, merah untuk ECB dan biru untuk the Fed.

Kami cermati velocity of money Jepang menurun jauh lebih pesat ketimbang Amerika Serikat. Sebagai

akibatnya, yen cenderung melemah. Selama tiga tahun terakhir, kurs yen terhadap dollar telah anjlok melebih

rupiah. Lihat kembali tabel. Yang menarik, berdasarkan pengalaman 20 tahun terakhir, bursa Nikkei cenderung

melesat seiring dengan pelemahan kurs yen seperti terlihat pada peraga dibawah. Hal inilah yang melandasi

pemikiran kami bahwa yang sekarang memicu currency wars bukan China melainkan Jepang.

Indeks dollar DXY semakin menguat (super dollar) sejak pertengahan tahun 2014 setelah euro juga turut

melemah menyusul aksi quantitative easing ECB sementara prospek pemulihan ekonomi masih terbatas.

Sementara itu, limpahan pasokan minyak mentah baik terkait revolusi shale-gas dan kompetisi negara Timur

Tengah yang membutuhkan dana paska gejolak politik serta perlambatan ekonomi global memicu kejatuhan

tajam harga minyak. Seperti terlihat pada peraga dibawah ini, kombinasi saat ini berbeda dibanding 2008 yang

ditandai oleh penguatan harga minyak dan kejatuhan dollar.

Penurunan harga minyak memicu tantangan berat bagi Indonesia. Tidak hanya mempersulit pemulihan harga

komoditas substitusi minyak seperti batu-bara dan karet alam (saingan karet sintetis sebgai produk turunan

minyak) yang menurunkan pendapatan masyarakat. Walau kejatuhan harga minyak menurunkan defisit neraca

minyak, namun hal itu juga menurunkan penerimaan bagi hasil kontrak pengelolaan minyak bagi pemerintah.

Itu sebabnya pemerintah berusaha meningkatkan penerimaan dari pajak.

Dilain sisi, penguatan dollar secara tiba-tiba sejak pertengahan tahun 2014 memperberat beban neraca

perusahaan Indonesia yang selama tiga tahun terakhir banyak memanfaatkan pinjaman dolar yang dianggap

lebih murah ketimbang bunga kredit perbankan nasional.

Boleh dibilang Indonesia kini sedang “dihukum” oleh equity investor yang kecewa dengan perlambatan

ekonomi Indonesia. Harus dihindari Indonesia lalu dihukum oleh Foreign Direct Investor (FDI). Jelas Indonesia

membutuhkan percepatan pertumbuhan yang berfocus pada penguatan kapasitas memanfaatkan penguatan

dollar. Butuh stimulus masif baik secara moneter maupun fiskal.

Indonesia harus mempercepat transformasi industri yang meningkatkan nilai tambah ekspor, tidak lagi

mengandalkan sektor ekstraktif primer seperti batu-bara, karet dan CPO. Memanfaatkan demografi yang muda

dan lebih murah ketimbang China, Indonesia harus memacu ekspor industri padat karya terutama ke Amerika

Serikat.

Kami menilai Indonesia tidak terlibat dalam currency wars walaupun BI nantinya menurunkan bunga untuk

memacu pertumbuhan ekonomi. BI rate sekarang masih lebih tinggi dari proyeksi inflasi dan pertumbuhan

ekonomi. Pelemahan rupiah selama ini sendiri terjadi akibat defisit neraca berjalan menyusul kejatuhan harga

komoditas primer yang masih menjadi andalan ekspor Indonesia.

Kondisi defisit juga dialami negara seperti Russia, Brazil dan Malaysia yang lebih mengandalkan ekspor minyak

bumi sehingga mata uang mereka lebih anjlok ketimbang Indonesia. Negara-negara inipun tidak dapat

digolongkan memicu currency wars.

Upaya mempertahankan mata uang dengan melakukan intervensi ternyata cenderung sia-sia bila yang terjadi

adalah penguatan dollar. Contoh kasus nyata untuk ini adalah Malaysia. Seperti terlihat pada peraga dibawah

ini, kurs ringgit Malaysia melemah drastis sejak pertengahan tahun lalu. Bahkan pelemahan selama tahun

berjalan lebih dalam ketimbang rupiah. Upaya mempertahankan ringgit melalui intervensi pelepasan cadangan

devisa nampak tidak membuahkan hasil. Cadangan devisa Malaysia terus merosot hingga menjadi $86 milyar

atau lebih rendah dibanding Indonesia.

Belajar dari pengalaman krisis moneter 1997 yang bermula di Thailand, Bank Indonesia sangat serius

memperhatikan perkembangan ekonomi Malaysia. Apalagi Malaysia termasuk investor yang cukup besar dalam

surat utang negara Indonesia. Namun kami cukup yakin kita dapat melalui gejolak ini. Sebab berbeda dibanding

1997, flexible exchange rate sejauh ini dapat terbilang bermanfaat untuk meredam kecenderungan berutang

luar negeri. Selain memiliki kecukupan modal diatas standard internasional, bank sekarang lebih berhati-hati

dalam penyaluran kredit. Risiko kredit macet relatif sudah diantisipasi melalui pencadangan (provisi). Indonesia

juga memiliki undang-undang yang membatasi defisit anggaran maksimum tiga persen GDP. Malah masalah

yang kita hadapi adalah kesulitan mempercepat realisasi anggaran tetap dibawah batasan itu. Selain itu, revisi

APBN-15 menjadi tonggak agar alokasi pengeluaran lebih sehat, termasuk sistem subsidi berorietasi orang

bukan barang serta alokasi yang lebih besar untuk infrastruktur.

Jepang Pemicu Currency Wars: Yen Paling Kompetitif

Mengingat suatu negara memiliki banyak mitra dagang dengan menggunakan mata uang berbeda, real effective

exchange rate (REER) digunakan sebagai indikator daya saing. Pada dasarnya indeks ini menggabungkan

berbagai kurs bilateral (seperti rupiah terhadap dollar, terhadap euro dan terhadap yen) dan kemudian

disesuaikan dengan perbedaan inflasi domestik dan berbagai mitra dagang. Negara yang mata uangnya

melemah dan mampu mengendalikan inflasi dinilai berpeluang menikmati peningkatan daya saing ekspor.

Bank for International Settlement

(semacam bank sentral untuk bank

sentral) secara rutin mempublikasikan

REER berbagai negara. Acuannya

adalah suatu negara dinilai kompetitif

bila indeks REER dibawah 100. Peraga

Bloomberg berikut ini menggambarkan

perkembangan REER untuk China

(132,12), Indonesia (90,16), Jepang

(69,07) untuk bulan Juli 2015. Kurs

rupiah masih terbilang kompetitif yang

berada diantara Yuan (kurang kompetitif) dan yen (sangat kompetitif). Cermati divergensi antara Yen dan Yuan

terjadi sejak akhir 2012 sejalan dengan quantitative easing Bank of Japan.

Menarik untuk mencermati kinerja perdagangan internasional kedua negara tersebut terhadap Amerika Serikat

yang dianggap ekonomi yang paling kuat saat ini. Selama semester pertama tahun 2015 ini, Jepang mencatat

surplus terhadap AS senilai $34,7 milyar yang ternyata secara tahunan tidak bertumbuh. Pada periode yang

sama, surplus China mencapai $173,2 milyar dan tumbuh 15,9% YoY. Lebih lanjut, pada kelompok mesin dan

alat transportasi yang secara tradisional menjadi andalan Jepang mencatat surplus $39 milyar namun turun

3,7%. Sebaliknya China menikmati surplus $100,6 milyar dan tumbuh 12,6%.

Mencermati data itu nampaknya kurang beralasan bila devaluasi yuan menjadi tindakan untuk meningkatkan

daya saing. Malah ada risiko Jepang terus melemahkan mata uangnya sebagai upaya untuk menaikkan kinerja

ekspor. Pelemahan yuan diyakini sebagai dampak penerapan mekanisme pasar yang diminta oleh IMF. Seperti

kita ketahui, China memperjuangkan yuan dimasukkan dalam mata uang internasional IMF berupa special

drawing right (SDR).

Mengadu Jepang dan China

Prospek pemulihan dan kestabilan rupiah sendiri tetap dipengaruhi oleh keberhasilan Indonesia menurunkan

defisit neraca berjalan. Sejauh ini, surplus neraca perdagangan baru dimungkinkan oleh penurunan impor yang

lebih pesat. Pemerintah harus efektif memacu ekspor non-migas khususnya manufaktur padat karya ke negara

maju khususnya Amerika Serikat. Selain ekspor, pemerintah harus memacu pariwisata yang lebih luas, tidak

sebatas Bali dan Lombok, untuk memperkuat neraca jasa.

Selain memacu ekspor dan pariwisata, Indonesia harus memanfaatkan pertarungan geo-politik regional. Boleh

dibilang China dan Jepang adalah negara yang punya barang dan uang, tetapi kurang pasar. Sebaliknya kita

punya pasar namun kurang barang dan uang. Ada titik temu yang harus dikelola dengan seksama agar

menguntungkan Indonesia. Dapat kita saksikan pertarungan sengit antara Jepang dan China memperebutkan

banyak proyek infrastruktur di Indonesia. Indonesia harus menikmati peningkatan perbaikan infrastruktur yang

berkualitas yang dipasok dan dibiayai oleh pinjaman kedua negara tersebut dengan ongkos yang paling murah.

Selain suku bunga, pemerintah juga perlu mempertimbangkan risiko penguatan mata uang kreditur terhadap

rupiah. Peraga Bloomberg dibawah ini mengindikasikan selama 10 tahun terakhir depresiasi rupiah terhadap

yuan (warna merah) jauh lebih besar ketimbang rupiah terhadap yen (coklat), walau yen cenderung lebih

volatile. Dengan memanfaatkan konsep velocity of money Jepang yang terus turun, kami duga yen akan

cenderung melemah. Sehingga ada pertimbangan memanfaatkan dana Jepang terlebih dengan suku bunga

yang lebih rendah ketimbang penawaran China.

Peluang Masuk Untuk Investor Domestik

Kami di Bahana mengedukasi investor bahwa ada acuan untuk cuan. Yield SUN bertenor 10 tahun yang saat ini

berkisar 9% sangat menarik. Selain mengamankan diri dari risiko gagal bayar (credit risk) yang sejalan dengan

perlambatan ekonomi, yield tersebut memadai untuk mengcover inflation risk. Ditengah penurunan harga

komoditas, tentunya tidak cukup alasan untuk menyakini inflasi Indonesia akan mencapai rata-rata 9% per

tahun selama 10 tahun mendatang.

Terbuka juga peluang capital gain bila pada akhirnya BI menurunkan bunga untuk menggerakkan ekonomi lebih

gegas. Timing penurunan ini, nampaknya setelah the Fed untuk pertama kali menormalisasikan bunga tahun ini

yang kami nilai sudah priced-in oleh bond investor. Current account deficit sendiri membaik dengan cepat,

sekitar 2,1% GDP atau lebih rendah dari kekuatiran semula lebih dari 3%, melalui penurunan tajam impor.

Tentunya kita berharap ada upaya yang lebih efektif untuk memacu ekspor sehingga pasokan valas dapat

meningkat.

Dari sisi equity investing kami menilai koreksi IHSG telah overshoot dengan acuan total return (gabungan capital

gain dan dividen) selama lima tahun terakhir sudah lebih rendah dibanding ROI, suku bunga kredit, GDP nominal

growth dalam jangka panjang yang semua indikator ini sebagai proxy fundamental ekonomi Indonesia. Silakan

cermati tabel diatas. Walaupun memang untuk hasil yang optimal berinvestasi di dalam saham diperlukan

strategy stock picking dengan thema yang tepat seperti infrastruktur.

Salam

Budi Hikmat

Chief Economist and Director for Investor Relation