Perkembangan Ekonomi Indonesia Terkini - bahana.co.id filePerkembangan Ekonomi Indonesia Terkini...
Transcript of Perkembangan Ekonomi Indonesia Terkini - bahana.co.id filePerkembangan Ekonomi Indonesia Terkini...
Jakarta, 24 Agustus 2015
Perkembangan Ekonomi Indonesia Terkini
Memasuki Semester II 2015, kami menilai kejatuhan pasar modal dan nilai tukar rupiah lebih dipengaruhi oleh
faktor eksternal ketimbang internal. Secara internal, pemerintah nampaknya mulai berhasil memacu
pengeluaran belanja yang dianggap melandasi perlambatan ekonomi selama Semester I 2015 sehingga equity
investor cenderung hengkang.
Secara eksternal, dunia
menghadapi tantangan
bersama mulai dari krisis
utang Yunani, ketidakpastian
jadwal normalisasi suku
bunga Fed hingga currency
wars menyusul keputusan
China mendevaluasikan yuan.
Seperti terlihat pada tabel,
keputusan China tersebut
terbukti berdampak global
mengingat perlambatan ekonomi China bakal menurunkan impor dari banyak negara termasuk Indonesia.
Akibatnya, kecemasan itu tidak hanya terus memukul harga komoditas, energi, nilai tukar, harga obligasi negara
dan saham di negara berkembang. Bahkan indeks saham S&P500 (SPX) tajam. Terlihat hanya indeks NKY dan
Eropa SX5E yang sepanjang tahun berjalan masih positif.
Pasar modal Indonesia terbilang menderita penurunan paling dalam. Ketika ulasan ini disiapkan, IHSG sepanjang
tahun berjalan telah jatuh sekitar 19% atau terjungkal 25% dari angka tertinggi 5523 pada medio April 2015.
Sementara yield SUN bertenor 10 tahun melewati 9%, suatu angka menarik bagi investor domestik mengingat
proyeksi inflasi tetap rendah selama harga komoditas terpangkas.
Tidak Seperti Krisis 1997
Yang paling banyak mendapat perhatian adalah
pelemahan tajam rupiah yang melewati paras
14.000 per dollar. Seperti terlihat pada tabel, kurs
rupiah sepanjang tahun berjalan sudah melemah
12,4%. Selama tiga tahun terakhir, rupiah
melemah 32,7%. Silakan bandingkan dengan yen,
lira Turki dan rubel Russia.
Dengan membandingkan angka nominal kurs
rupiah terhadap angka tertinggi sejarah, banyak
pihak yang mengkuatirkan Indonesia sedang
menuju krisis seperti tahun 1997.
Kami menyakini kekuatiran tersebut tidak
beralasan. Sebab yang terjadi sekarang adalah
penguatan dollar temporer ditengah pelemahan
ekonomi global ketika sistem pengelolaan
makroekonomi Indonesia jauh lebih baik
ketimbang 1997.
Mohon cermati kata kunci yang dicetak tebal diatas. Kami berani menyimpulkan penguatan dollar bersifat
temporer mengingat Amerika Serikat sendiri selama dua dekade terakhir sudah menciptakan likuiditas dollar
melebihi kebutuhan ekonominya. Mohon bersabar memahami landasan teori yang sangat penting berikut.
Nilai tukar adalah harga mata uang asing didalam mata uang domestik. Negara yang ingin memperlemah mata
uangnya dapat menciptakan likuiditas yang melebihi kebutuhan di dalam negeri. Secara konvensional,
penciptaan likuiditas ini dapat dilakukan dengan menurunkan suku bunga yang jauh lebih rendah dibanding
proyeksi inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Sedangkan secara inkonvensional dilakukan melalui pembelian secara masif oleh bank sentral atas surat
berharga negara dan korporasi. Aksi ini dikenal sebagai quantitative easing yang ditunjukkan oleh peningkatan
rasio total asset bank sentral terhadap GDP.
Ekspansi moneter yang melebihi kebutuhan kemudian dapat dipantau melalui trend penurunan rasio GDP
nominal terhadap M2. GDP nominal mewakili aktivitas sektor riil yang membutuhkan likuiditas. Sedang di sisi
lain, statistik moneter M2 mencerminkan akumulasi pasokan jumlah uang beredar. Rasio GDP nominal dan M2
ini dikenal sebagai velocity of money. Trend penurunan velocity of money ini menandakan pasokan uang
melimpah melebihi kebutuhan. Inilah dasar utama currency wars. Sebagai akibatnya, harga uang secara
fundamental menurun yang dicirikan oleh pelemahan kurs mata uang.
Seperti terlihat pada peraga dibawah ini, Amerika Serikat sendiri menjadi biang utama currency wars sebab
velocity of money sudah turun drastis sejak tahun 2000. Krisis moneter 1997 yang menerpa Asia dilatari
gelombang besar trend velocity of money AS yang positif yang menjadi fundamenal penguatan dollar. Menjadi
sangat berbahaya bagi negara berkembang meminjam dana valas berjangka pendek untuk berinvestasi di dalam
mata uang domestik yang masih menganut sistem nilai tukar tetap.
Secara teori sebetulnya nasib dollar cenderung melemah. Namun operasi quantitative easing yang sangat masif
dilakukan pemerintahan Sinzho Abe telah menyebabkan ratio total asset BoJ terhadap GDP melambung hingga
65% GDP. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding 30% baik untuk the Fed dan ECB – yang juga melakukan
quantitative easing sejak akhir tahun 2014 lalu. Lihat peraga dibawah ini, total asset Bank of Japan berwarna
hijau berbintik, merah untuk ECB dan biru untuk the Fed.
Kami cermati velocity of money Jepang menurun jauh lebih pesat ketimbang Amerika Serikat. Sebagai
akibatnya, yen cenderung melemah. Selama tiga tahun terakhir, kurs yen terhadap dollar telah anjlok melebih
rupiah. Lihat kembali tabel. Yang menarik, berdasarkan pengalaman 20 tahun terakhir, bursa Nikkei cenderung
melesat seiring dengan pelemahan kurs yen seperti terlihat pada peraga dibawah. Hal inilah yang melandasi
pemikiran kami bahwa yang sekarang memicu currency wars bukan China melainkan Jepang.
Indeks dollar DXY semakin menguat (super dollar) sejak pertengahan tahun 2014 setelah euro juga turut
melemah menyusul aksi quantitative easing ECB sementara prospek pemulihan ekonomi masih terbatas.
Sementara itu, limpahan pasokan minyak mentah baik terkait revolusi shale-gas dan kompetisi negara Timur
Tengah yang membutuhkan dana paska gejolak politik serta perlambatan ekonomi global memicu kejatuhan
tajam harga minyak. Seperti terlihat pada peraga dibawah ini, kombinasi saat ini berbeda dibanding 2008 yang
ditandai oleh penguatan harga minyak dan kejatuhan dollar.
Penurunan harga minyak memicu tantangan berat bagi Indonesia. Tidak hanya mempersulit pemulihan harga
komoditas substitusi minyak seperti batu-bara dan karet alam (saingan karet sintetis sebgai produk turunan
minyak) yang menurunkan pendapatan masyarakat. Walau kejatuhan harga minyak menurunkan defisit neraca
minyak, namun hal itu juga menurunkan penerimaan bagi hasil kontrak pengelolaan minyak bagi pemerintah.
Itu sebabnya pemerintah berusaha meningkatkan penerimaan dari pajak.
Dilain sisi, penguatan dollar secara tiba-tiba sejak pertengahan tahun 2014 memperberat beban neraca
perusahaan Indonesia yang selama tiga tahun terakhir banyak memanfaatkan pinjaman dolar yang dianggap
lebih murah ketimbang bunga kredit perbankan nasional.
Boleh dibilang Indonesia kini sedang “dihukum” oleh equity investor yang kecewa dengan perlambatan
ekonomi Indonesia. Harus dihindari Indonesia lalu dihukum oleh Foreign Direct Investor (FDI). Jelas Indonesia
membutuhkan percepatan pertumbuhan yang berfocus pada penguatan kapasitas memanfaatkan penguatan
dollar. Butuh stimulus masif baik secara moneter maupun fiskal.
Indonesia harus mempercepat transformasi industri yang meningkatkan nilai tambah ekspor, tidak lagi
mengandalkan sektor ekstraktif primer seperti batu-bara, karet dan CPO. Memanfaatkan demografi yang muda
dan lebih murah ketimbang China, Indonesia harus memacu ekspor industri padat karya terutama ke Amerika
Serikat.
Kami menilai Indonesia tidak terlibat dalam currency wars walaupun BI nantinya menurunkan bunga untuk
memacu pertumbuhan ekonomi. BI rate sekarang masih lebih tinggi dari proyeksi inflasi dan pertumbuhan
ekonomi. Pelemahan rupiah selama ini sendiri terjadi akibat defisit neraca berjalan menyusul kejatuhan harga
komoditas primer yang masih menjadi andalan ekspor Indonesia.
Kondisi defisit juga dialami negara seperti Russia, Brazil dan Malaysia yang lebih mengandalkan ekspor minyak
bumi sehingga mata uang mereka lebih anjlok ketimbang Indonesia. Negara-negara inipun tidak dapat
digolongkan memicu currency wars.
Upaya mempertahankan mata uang dengan melakukan intervensi ternyata cenderung sia-sia bila yang terjadi
adalah penguatan dollar. Contoh kasus nyata untuk ini adalah Malaysia. Seperti terlihat pada peraga dibawah
ini, kurs ringgit Malaysia melemah drastis sejak pertengahan tahun lalu. Bahkan pelemahan selama tahun
berjalan lebih dalam ketimbang rupiah. Upaya mempertahankan ringgit melalui intervensi pelepasan cadangan
devisa nampak tidak membuahkan hasil. Cadangan devisa Malaysia terus merosot hingga menjadi $86 milyar
atau lebih rendah dibanding Indonesia.
Belajar dari pengalaman krisis moneter 1997 yang bermula di Thailand, Bank Indonesia sangat serius
memperhatikan perkembangan ekonomi Malaysia. Apalagi Malaysia termasuk investor yang cukup besar dalam
surat utang negara Indonesia. Namun kami cukup yakin kita dapat melalui gejolak ini. Sebab berbeda dibanding
1997, flexible exchange rate sejauh ini dapat terbilang bermanfaat untuk meredam kecenderungan berutang
luar negeri. Selain memiliki kecukupan modal diatas standard internasional, bank sekarang lebih berhati-hati
dalam penyaluran kredit. Risiko kredit macet relatif sudah diantisipasi melalui pencadangan (provisi). Indonesia
juga memiliki undang-undang yang membatasi defisit anggaran maksimum tiga persen GDP. Malah masalah
yang kita hadapi adalah kesulitan mempercepat realisasi anggaran tetap dibawah batasan itu. Selain itu, revisi
APBN-15 menjadi tonggak agar alokasi pengeluaran lebih sehat, termasuk sistem subsidi berorietasi orang
bukan barang serta alokasi yang lebih besar untuk infrastruktur.
Jepang Pemicu Currency Wars: Yen Paling Kompetitif
Mengingat suatu negara memiliki banyak mitra dagang dengan menggunakan mata uang berbeda, real effective
exchange rate (REER) digunakan sebagai indikator daya saing. Pada dasarnya indeks ini menggabungkan
berbagai kurs bilateral (seperti rupiah terhadap dollar, terhadap euro dan terhadap yen) dan kemudian
disesuaikan dengan perbedaan inflasi domestik dan berbagai mitra dagang. Negara yang mata uangnya
melemah dan mampu mengendalikan inflasi dinilai berpeluang menikmati peningkatan daya saing ekspor.
Bank for International Settlement
(semacam bank sentral untuk bank
sentral) secara rutin mempublikasikan
REER berbagai negara. Acuannya
adalah suatu negara dinilai kompetitif
bila indeks REER dibawah 100. Peraga
Bloomberg berikut ini menggambarkan
perkembangan REER untuk China
(132,12), Indonesia (90,16), Jepang
(69,07) untuk bulan Juli 2015. Kurs
rupiah masih terbilang kompetitif yang
berada diantara Yuan (kurang kompetitif) dan yen (sangat kompetitif). Cermati divergensi antara Yen dan Yuan
terjadi sejak akhir 2012 sejalan dengan quantitative easing Bank of Japan.
Menarik untuk mencermati kinerja perdagangan internasional kedua negara tersebut terhadap Amerika Serikat
yang dianggap ekonomi yang paling kuat saat ini. Selama semester pertama tahun 2015 ini, Jepang mencatat
surplus terhadap AS senilai $34,7 milyar yang ternyata secara tahunan tidak bertumbuh. Pada periode yang
sama, surplus China mencapai $173,2 milyar dan tumbuh 15,9% YoY. Lebih lanjut, pada kelompok mesin dan
alat transportasi yang secara tradisional menjadi andalan Jepang mencatat surplus $39 milyar namun turun
3,7%. Sebaliknya China menikmati surplus $100,6 milyar dan tumbuh 12,6%.
Mencermati data itu nampaknya kurang beralasan bila devaluasi yuan menjadi tindakan untuk meningkatkan
daya saing. Malah ada risiko Jepang terus melemahkan mata uangnya sebagai upaya untuk menaikkan kinerja
ekspor. Pelemahan yuan diyakini sebagai dampak penerapan mekanisme pasar yang diminta oleh IMF. Seperti
kita ketahui, China memperjuangkan yuan dimasukkan dalam mata uang internasional IMF berupa special
drawing right (SDR).
Mengadu Jepang dan China
Prospek pemulihan dan kestabilan rupiah sendiri tetap dipengaruhi oleh keberhasilan Indonesia menurunkan
defisit neraca berjalan. Sejauh ini, surplus neraca perdagangan baru dimungkinkan oleh penurunan impor yang
lebih pesat. Pemerintah harus efektif memacu ekspor non-migas khususnya manufaktur padat karya ke negara
maju khususnya Amerika Serikat. Selain ekspor, pemerintah harus memacu pariwisata yang lebih luas, tidak
sebatas Bali dan Lombok, untuk memperkuat neraca jasa.
Selain memacu ekspor dan pariwisata, Indonesia harus memanfaatkan pertarungan geo-politik regional. Boleh
dibilang China dan Jepang adalah negara yang punya barang dan uang, tetapi kurang pasar. Sebaliknya kita
punya pasar namun kurang barang dan uang. Ada titik temu yang harus dikelola dengan seksama agar
menguntungkan Indonesia. Dapat kita saksikan pertarungan sengit antara Jepang dan China memperebutkan
banyak proyek infrastruktur di Indonesia. Indonesia harus menikmati peningkatan perbaikan infrastruktur yang
berkualitas yang dipasok dan dibiayai oleh pinjaman kedua negara tersebut dengan ongkos yang paling murah.
Selain suku bunga, pemerintah juga perlu mempertimbangkan risiko penguatan mata uang kreditur terhadap
rupiah. Peraga Bloomberg dibawah ini mengindikasikan selama 10 tahun terakhir depresiasi rupiah terhadap
yuan (warna merah) jauh lebih besar ketimbang rupiah terhadap yen (coklat), walau yen cenderung lebih
volatile. Dengan memanfaatkan konsep velocity of money Jepang yang terus turun, kami duga yen akan
cenderung melemah. Sehingga ada pertimbangan memanfaatkan dana Jepang terlebih dengan suku bunga
yang lebih rendah ketimbang penawaran China.
Peluang Masuk Untuk Investor Domestik
Kami di Bahana mengedukasi investor bahwa ada acuan untuk cuan. Yield SUN bertenor 10 tahun yang saat ini
berkisar 9% sangat menarik. Selain mengamankan diri dari risiko gagal bayar (credit risk) yang sejalan dengan
perlambatan ekonomi, yield tersebut memadai untuk mengcover inflation risk. Ditengah penurunan harga
komoditas, tentunya tidak cukup alasan untuk menyakini inflasi Indonesia akan mencapai rata-rata 9% per
tahun selama 10 tahun mendatang.
Terbuka juga peluang capital gain bila pada akhirnya BI menurunkan bunga untuk menggerakkan ekonomi lebih
gegas. Timing penurunan ini, nampaknya setelah the Fed untuk pertama kali menormalisasikan bunga tahun ini
yang kami nilai sudah priced-in oleh bond investor. Current account deficit sendiri membaik dengan cepat,
sekitar 2,1% GDP atau lebih rendah dari kekuatiran semula lebih dari 3%, melalui penurunan tajam impor.
Tentunya kita berharap ada upaya yang lebih efektif untuk memacu ekspor sehingga pasokan valas dapat
meningkat.
Dari sisi equity investing kami menilai koreksi IHSG telah overshoot dengan acuan total return (gabungan capital
gain dan dividen) selama lima tahun terakhir sudah lebih rendah dibanding ROI, suku bunga kredit, GDP nominal
growth dalam jangka panjang yang semua indikator ini sebagai proxy fundamental ekonomi Indonesia. Silakan
cermati tabel diatas. Walaupun memang untuk hasil yang optimal berinvestasi di dalam saham diperlukan
strategy stock picking dengan thema yang tepat seperti infrastruktur.
Salam
Budi Hikmat
Chief Economist and Director for Investor Relation