Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

82
“ PERILAKU MASYARAKAT SEHUBUNGAN DENGAN KESEMERAWUTAN KOTA BOGOR DITINJAU DARI ANTROPOLOGI HUKUM “ Disusun oleh : MOHAMAD IRFAN 01 01 06 056 1

description

TUGAS MAKALAH MATA KULIAH ANTROPOLOGI HUKUM - FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PAKUAN

Transcript of Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

Page 1: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

“ PERILAKU MASYARAKAT SEHUBUNGAN DENGAN KESEMERAWUTAN KOTA BOGOR DITINJAU DARI

ANTROPOLOGI HUKUM “

Disusun oleh :

MOHAMAD IRFAN01 01 06 056

FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS PAKUAN

BOGOR2008

1

Page 2: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan Kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat

dan hidayahNya kami dapat menyelesaikan penulisan makalah mengenai ”

Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor

Ditinjau Dari Sosiologi Hukum ”

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas daripada

Mata Kuliah Antropologi Hukum semester V (lima). Tidak lupa kami

mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Basariah S.H dan Ibu Soendari S.H

selaku Dosen mata kuliah Antropoloi Hukum yang telah memberikan banyak

masukan dan bimbingan kepada kami.

Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna.

Tapi kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Januari 2008

Mohamad Irfan

2

Page 3: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB IPENDAHULUAN1.1. Latar Belakang............................................................................................1

1.2. Identifikasi Masalah....................................................................................3

1.3. Maksud dan Tujuan.....................................................................................3

1.4. Kerangka Pemikiran ...................................................................................5

BAB IITINJAUAN UMUM2.1. Ruang Lingkup Kota Bogor

2.1.1. Sekilas Kota Bogor......................................................................6

2.1.2. Tata Ruang Kota Bogor...............................................................6

2.1.3. Populasi Penduduk Kota Bogor...................................................7

2.2. Ruang Lingkup Antropologi Hukum

2.2.1. Kebudayaan Hukum.....................................................................8

2.2.2. Budaya Hukum............................................................................9

2.2.3. Seni Hukum.................................................................................10

2.2.4. Hukum Dalam Perspektif Antropologi........................................10

2.3. Ruang Lingkup Permasalahan

2.3.1. Kondisi Bogor Saat Ini ................................................................16

2.3.2. Perilaku Masyarakat ....................................................................18

2.3.3. Penyimpangan Sosial ..................................................................22

BAB IIIPEMBAHASAN

3.1. Tiga Masalah Krusial

3

Page 4: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

3.1.1. Isu Transportasi Dan Kemacetan.................................................24

3.1.2. Isu Kebersihan ...........................................................................26

3.1.3. Isu Pedagang Kaki Lima .............................................................27

3.2. Sosialisasi Upaya Peningkatan Pengetahuan dan Kesadaran Hukum........40

BAB IVANALISA ..............................................................................................................43

BAB VPENUTUP

5.1. Kesimpulan.................................................................................................47

5.2. Saran dan kritik...........................................................................................48

DAFTAR PUSTAKA

4

Page 5: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

BAB IPENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Louis Wirth dalam JW Schoort yang mendefinisikan kota sebagai suatu

pemukiman permanen yang cukup besar, padat, heterogen, dan selalu

mengedepankan perubahan demi kemajuan warganya, dimana sebuah kota mau

tidak mau harus menerima setiap perubahan yang terjadi. Saat ini semakin banyak

kota-kota besar di Indonesia yang semakin berkembang seiring tuntutan jaman.

Dengan keadaan yang terus berubah, pertumbuhan penduduk pun semakin

meningkat dengan adanya peningkatan pertumbuhan penduduk tersebut maka

secara otomatis kebutuhan penduduk akan tempat tinggal juga akan semakin

mendesak, selain itu juga meningkatnya kebutuhan untuk fasilitas umum dan

fasilitas khusus sebagai sarana pendukung. Fasilitas umum dan fasilitas khusus

merupakan salah satu faktor penggerak untuk pertumbuhan suatu kota. Suatu

strategi terhadap masalah struktur massa perkotaan dan struktur ruang perkotaan

perlu diarahkan secara konkret atau nyata pada tiga aspek yaitu memperkuat,

mentransformasikan, dan memperkenalkan. Dalam strategi ini elemen-elemen

perkotaan yang sudah ada didalam suatu kawasan perlu diperkuat supaya kawasan

itu lebih jelas dalam realitasnya. Selain itu strategi ini elemen-elemen perkotaan

yang masih berbenturan didalam suatu kawasan perlu ditransformasikan supaya

kawasan itu lebih mendukung realitasnya, serta dalam strategi ini elemen-elemen

perkotaan yang belum ada dalam suatu kawasan perlu diperkenalkan supaya

kawasan itu lebih berarti dalam realitasnya.

Kota Bogor sebagaimana lazimnya kota-kota lain di Indonesia, memiliki

perkembangan yang cukup pesat dalam berbagai hal, pembangunan pun berjalan

hampir di segala bidang, baik pembangunan secara fisik maupun non fisik. Dari

waktu ke waktu kota Bogor memperlihatkan tingkat perkembangan pembangunan

5

Page 6: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

yang semakin pesat. Pembangunan terjadi pada berbagai areal kota yang secara

bisnis strategis, termasuk pada areal ataupun bangunan yang bersifat komersil.

Wilayah kota Bogor memiliki beberapa keunikan yang cukup memberi pengaruh

kepada perkembangan tersebut. Ciri khusus yang disandang oleh kota Bogor

tersebut dikarenakan oleh adanya kota Bogor yang memiliki fungsi-fungsi

pelayanan yang menjangkau secara keseluruhan, yang digunakan sebagai pemenuh

kebutuhan penduduk kota Bogor itu sendiri. Adapun salah satu keunikan yang

cukup memberi pengaruh adalah pembagian wilayah atau zona etnis yang

sebagaimana diatur dalam peraturan wilayah pada jaman kolonial Belanda.

Pembagian zona etnis tersebut dibuat karena adanya peraturan sistem penyerahan

hasil bumi kepada kompeni melalui bupati. Disebabkan oleh hal inilah kota Bogor

terbagi menjadi beberapa bagian wilayah, karena adanya kemajuan jaman seiring

dengan berkembangnya pembangunan secara pesat wilayah-wilayah tersebut

lambat laun melebur sehingga ciri suatu zona dari etnis tertentu makin lama

semakin memudar akan tetapi masih juga terdapat beberapa wilayah etnis yang

terlihat masih memiliki fungsi yang berkesinambungan dengan fungsi awalnya.

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Bogor dapat dikatakan sebagai daerah

pinggiran dari pusat Ibukota Indonesia yaitu Jakarta. Oleh karenanya banyak

masyarakat yang berbondong-bondong mencari penghasilan dikota Jakarta

tersebut dan tidak sedikit juga dari mereka itu diantaranya yang bertempat tinggal

di Bogor. Hal ini menyebabkan semakin banyaknya masyarakat pendatang yang

mengakibatkan kepadatan penduduk serta kesemerawutan di kota Bogor karena

ada kemungkinan bahwa di Jakarta sudah tidak sanggup untuk membendung

kepadatan penduduk yang akhirnya tumpah ruah ke kota – kota yang bersebelahan

seperti Bogor. Dengan adanya pendatang tersebut secara langsung dan tidak

langsung dapat mempengaruhi perilaku masyarakat asli daerah terhadap

masyarakat pendatang. Selain itu juga akan memberikan dampak (negatif dan

positif) bagi perkembangan tata kota Bogor karena banyak pendatang yang

berdampak sosial, budaya, politik serta hukum itu sendiri.

6

Page 7: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

Tidak sedikit pendatang dan masyarakat asli Bogor yang mencari

penghasilan untuk menutupi segala kebutuhannya dengan cara berdagang di

pinggiran jalan seperti di sekitar Kebun Raya Bogor, Pusar Grosir Bogor, dan

ditrotoar-trotoar sekitar pusat kota. Selain itu juga banyak yang menjadi supir

angkutan umum dari berbagai trayek. Jika meninjau lebih jauh lagi bahwa supir

angkutan umum ini banyak macamnya. Pertama ada supir yang memiliki surat

izin mengemudi (A), dan juga tidak memiliki surat izin mengemudi (A). Kedua

ada yang disebut supir tembak, artinya didalam satu mobil angkutan umum

memiliki dua supir dengan cara bergantian. Dan ini nyata ada dikehidupan sekitar

kita. Semua ini dilakukan karena semakin berkembang pesatnya kota Bogor juga

semakin meningkatnya nilai dan harga kebutuhan masyarakat. Seperti kebutuhan

sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan, kenyamanan, dan lain-

lain.

1.2. Identifikasi Masalah

Melihat perkembangan kota Bogor yang cukup pesat dari berbagai hal dan

semakin banyak penduduk Bogor yang beraneka ragam, maka tidak menutup

kemungkinan akan menimbulkan masalah-masalah vertical dan horizontal.

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan oleh sebab itu kami

mengidentifikasikan masalah sebagai berikut :

1. Penyimpangan apa saja yang terjadi terkait kesemarawutan atau

ketidakdisiplinan di kota bogor ?

2. Apa penyebab terjadinya kesemerawutan kota Bogor, jika ditinjau dari

segi Sosiologi Hukum ?

3. Upaya hukum seperti apa yang digunakan apabila terjadi penyimpangan

sosial ?

1.3. Maksud dan Tujuan

Bertitik tolak dari latar belakang dan identifkasi masalah yang telah

dikemukakan diatas, secara khusus maka maksud dari karya tulis ini adalah untuk

7

Page 8: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

meneliti sehingga memperoleh data dan informasi mengenai seberapa besar

pengaruh hukum terhadap perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Dan

secara umum maksud dan tujuan karya tulis ini adalah :

1. Agar adanya pemahaman dan penggambaran tentang realitas perilaku yang

dilakukan masyarakat.

2. Agar dapat membantu program pencegahan atau pengurangan tingkat

kesemarwutan atau ketidakdisiplinan di kota Bogor.

3. Dan sebagai masukan-masukan dalam program pembinaan hukum

terhadap masyarakat Bogor umumnya, agar terciptanya suatu kondisi yang

kondusif seperti yang dicita-citakan oleh masyarakat Bogor.

4.

8

Page 9: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

1.4. Kerangka Pemikiran

9

Page 10: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ruang Lingkup Kota Bogor

2.1.1 Sekilas Kota Bogor

BOGOR - Kota Bogor mempunyai sejarah yang panjang dalam

Pemerintahan, mengingat sejak zaman Kerajaan Pajajaran sesuai dengan bukti-

bukti yang ada seperti dari Prasasti Batu Tulis, nama-nama kampung seperti

dikenal dengan nama Lawanggintung, Lawang Saketeng, Jerokuta, Baranangsiang

dan Leuwi Sipatahunan diyakini bahwa Pakuan sebagai Ibukota Pajajaran terletak

di Kota Bogor. Pakuan sebagai pusat Pemerintahan Pajajaran terkenal pada

pemerintahan Prabu Siliwangi (Sri Baginda Maharaja) yang penobatanya tepat

pada tanggal 3 Juni 1482, yang selanjutnya hari tersebut dijadikan hari jadi Bogor,

karena sejak tahun 1973 telah ditetapkan oleh DPRD Kabupaten dan Kota Bogor

sebagai hari jadi Bogor dan selalu diperingati setiap tahunnya sampai sekarang.

Pada masa setelah kemerdekaan, yaitu setelah pengakuan kedaulatan RI

Pemerintahan di Kota Bogor namanya menjadi Kota Besar Bogor yang dibentuk

berdasarakan Udang-undang Nomor 16 Tahun 1950.

2.1.2 Tata Ruang Kota Bogor

Kota Bogor memiliki luas wilayah 11.850 Ha. Lima jenis penggunaan

lahan yang dominan adalah sebagai berikut :

Permukiman : 69,88 %

Pertanian : 10,05 %

Jalan : 5,31%

Perdagangan dan jasa : 3,52 %

Badan sungai/ situ/ danau : 2,89 %

Sesuai dengan karakteristik perkotaan khusus, kondisi tersebut berfungsi

sebagai kota pemukiman serta perdagangan dan jasa. Selain itu juga Kota Bogor

dibagi ke dalam beberapa bagian, yaitu :

10

Page 11: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

Batas – batas administratif Kota Bogor adalah sebagai berikut :

Sebelah utara : Kecamatan Sukaraja, Kec. Bojong Gede dan Kecamatan

Kemang, Kabupaten Bogor.

Sebelah barat : Kecamatan Ciomas dan Kecamatan Dramaga, kabupaten

Bogor.

Sebelah selatan : Kecamatan Cijeruk, dan Kecamatan Caringin,

Kabupaten

Bogor.

Sebelah timur : Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi, Kabupaten

Bogor.

2.1.3 Populasi Penduduk Kota Bogor

Jumlah penduduk di Kabupaten Bogor tahun 2002 sebesar 3. 826.315 juta

jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata mencapai 1.065 jwa per km2. Laju

pertumbuhan penduduk pertahun selama periode tahun 1990-1999 adalah 1,76 %

dan mengalami penurunan tahun 1999 menjadi 1,37 %. Namun dilihat dari table

dibawah bahwa pada tahun 1999-2002 terjadi peningkatan jumlah penduduk yang

masih dapat disebut normal.

Tabel Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten BogorThun 1990-2002

No. Tahun Jumlah PendudukPertumbuhan

( % )Kepadatan(jiwa/km2)

1. 1990 3736870 11472. 1991 3386350 -9,38 10393. 1992 3689431 8,95 11334. 1993 3667774 -0,59 11265. 1994 3724694 1,55 11436. 1995 4415195 18,54 13557. 1996 3592646 -18,63 11028. 1997 4344800 20,94 13339. 1998 4750420 9,34 145810. 1999 4843590 1,96 148711. 2000 3489746 -27,95 106512. 2001 3551862 -0,48 108613. 2002 3826315 1,61 1174

11

Page 12: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

Sumber : Kabupaten Bogor dalam Angka, BPS, 2002

Sekitar 28,92 % penduduk Kabupaten Bogor merupakan kelompok umur 0

- 14 tahun dengan jumlah 1 009 785 jiwa, penduduk usia 15 - 65 tahun adalah

66,76 % dengan jumlah 2 332 972 jiwa, sedangkan kelompok usia > 65 tahun

sekitar 4,32 % dengan Status Kualitas Lingkungan (SoE) Kabupaten Bogor 8

Kabupaten Bogor Jumlah 153 719 jiwa. Bila dilihat dari rata-rata laju

pertumbuhan penduduk menurut struktur umur ini terlihat bahwa usia tenaga kerja

produktif ini mempunyai laju pertumbuhan yang cukup besar.

2.2. Ruang Lingkup Antropologi Hukum

2.2.1. Kebudayaan Hukum

Menurut kamus umum Kebudayaan berasal dari kata “Budaya”. Budaya

yang dalam bahasa Inggris disebut “cultural” merupakan kata sifat, kalau

kebudayaan bahasa Inggrisnya Culture merupakan kata benda.

C. Kluckholn

Kebudayaan adalah seluruh cara hidup suatu masyarakat, yang terdiri dari

beberapa unsur dan yang oleh ilmu Antropologi disebut dengan cultural universal

yaitu bahwa unsur-unsur itu bersifat universal, dengan kata lain ada dan bisa

didapatkan didalam semua kebudayaan dan semua bangsa dimana pun didunia ini.

C. Kluckholn dalam bukunya ” Universal Categores of Cultural ”(1953), bahwa

cultural universal terdiri dari unsure-unsur :

Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (sandang, pangan, papan)

Mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan,

perdagangan, sistem produksi dan distribusi)

Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, sistem hukum, sistem

perkawinan)

Bahasa (Lisan dan Tulisan)

Kesenian (seni rupa, seni gerak, dll)

Sistem pengetahuan

Religi

12

Page 13: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

Jadi Kebudayaan Hukum adalah Pedoman kehidupan dari masyarakat yang

digunakan atau aspek-aspek yang dipergunakan dari masyarakat oleh kekuasaan

masyarakat untuk mengatur anggota-anggota masyarakat agar tidak melanggar

kaidah-kaidah dalam masyarakat yang bersangkutan.

2.2.2. Budaya Hukum

Ialah tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap gejala

– gejala hukum. Jadi mengenai budaya-kebudayan dalam masyarakat ini

mengandung sistem nilai-nilai yang sangat mempengaruhi, seperti apabila hendak

menegakan hukum harus disesuaikan dengan aturan-aturan yang berlaku dalam

masyarakat.

Menurut Prof Parsudi Suparian, Budaya hukum adalah kekuatan –

kekuatan social yang ada dalam masyarakat yang sangat besar pengaruhnya

terhadap bekerja atau tidak bekerjanya suatu substansi hukum. Kemampuan

budaya hukum dapat :

a. menggerogoti hukum, apabila masyarakat tidak menerima hukum tersebut

karena dianggap tidak memberikan keadilan, sehingga ada desakan –

desakan untuk merivisi atau mengandemenkan hukum tersebut

Misalnya : UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diganti

dengan UU No 32 tahun 2004

b. mendukung atau membangun hukum, bila hukum tesebut memberikan

keadilan dan dapat mengakomodir kepentingan – kepentingan masyarakat,

namun sulit sekali mencari hukum yang benar – benar ideal yang diterima

dan didukung oleh masyarakat.

Budaya hukum yang merupakan kekuatan social, terdiri dari :

norma-norma

kebiasaan-kebiasaan

standar

pandangan tentang sesuatu dalam masyarakat

13

Page 14: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

2.2.3. Seni Hukum

Ialah ungkapan budaya hukum yang bersifat seni yang penjelmaannya

dalam bentuk kata – kata atau seni kata ataupun benda.

Menurut Herbert Read, seni hukum adalah rasa keindahan hukum yang

timbul dari pikiran dan dinyatakan dalam bentuk penjelmaan kata-kata yang

bersifat rasa estetika.

2.2.4. Hukum Dalam Perspektif Antropologi

Melalui studi-studi antropologi mengenai sistem pengendalian sosial

(social control) di berbagai komunitas masyarakat di dunia, kalangan ahli

antropologi memberi kontribusi yang sangat  penting dan bermakna dalam

pengembangan konsep hukum yang secara nyata berlaku dan dioperasikan dalam

kehidupan masyarakat.

Anthropologist have focussed upon micro processes of legal action and

interaction, they have made the universal fact of legal pluralism a central element

in the understanding of the working of law in society, and they have self-

consciously adopted  a comparative and historical approach and drawn the

necessary conceptual and theoritical conclusion from this choice (Griffiths,

1986:2).

Hal ini karena para ahli antropologi mempelajari hukum bukan semata-

semata sebagai produksi dari hasil abstraksi logika sekelompok orang yang

diformulasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, tetapi lebih

mempelajari hukum sebagai perilaku sosial (Llewellyn dan Hoebel, 1941; Hoebel,

1954; Black & Mileski, 1973; Moore, 1978; Cotterrel, 1995).

Hukum dalam perspektif antropologi dipelajari sebagai bagian yang

integral dari kebudayaan secara keseluruhan, dan karena itu hukum dipelajari

sebagai produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh aspek-aspek

kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, ideologi, religi, dll. (Pospisil,

1971); atau hukum dipelajari sebagai proses sosial yang berlangsung dalam

kehidupan masyarakat (Moore, 1978). Karena itu, hukum dalam perspektif

14

Page 15: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

antropologi bukan semata-mata berwujud peraturan perundang-undangan yang

diciptakan oleh Negara (state law), tetapi juga hukum dalam wujudnya sebagai

peraturan-peraturan lokal yang bersumber dari suatu kebiasaan masyarakat

(customary law/folk law), termasuk pula di dalamnya mekanisme-mekansime

pengaturan dalam masyarakat (self regulation) yang juga berfungsi sebagai sarana 

pengendalian sosial (legal order). Studi-studi antropologis mengenai hukum

diawali dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan mendasar: apakah hukum itu ?;

dan apakah hukum itu terdapat dalam setiap bentuk masyarakat ? (Nader, 1965:4;

Bohannan, 1967:4; Hoebel, 1967:187; Roberts, 1979:17).

Untuk menjawab pertanyaan di atas menjadi menarik untuk

mengungkapkan diskusi dari dua ahli antropologi ternama, yaitu A.R. Radcliffe-

Brown dan Bronislaw Malinowski, yang memberikan pandangannya masing-

masing mengenai hukum, sebagaimana diuraikan dalam Nader (1965:4-5);

Koentjaraningrat (1989:28-9); Moore (1978:218-223)  seperti berikut : 

1. Di satu sisi, hukum dalam pandangan Radcliffe-Brown adalah suatu

sistem pengendalian sosial yang hanya muncul dalam kehidupan

masyarakat yang berada dalam suatu bangunan Negara, karena hanya

dalam suatu organisasi sosial seperti Negara terdapat pranata-pranata

hukum seperti polisi, pengadilan, penjara dan lain-lain. sebagai alat-

alat Negara yang mutlak harus ada untuk menjaga keteraturan sosial

dalam masyarakat. Karena itu, dalam masyarakat-masyarakat 

bersahaja yang tidak terorganisasi secara politis sebagai suatu Negara

tidak mempunyai hukum. Walaupun tidak mempunyai hukum,

ketertiban sosial dalam masyarakat tersebut diatur dan dijaga oleh

tradisi-tradisi yang ditaati oleh warga masyarakat secara otomatis-

spontan (automatic-spontaneous submission to tradition).

2. Di sisi lain, Malinowski berpendapat, bahwa hukum tidak semata-

mata terdapat dalam masyarakat yang terorganisasi suatu Negara,

tetapi hukum sebagai sarana pengendalian sosial (legal order)

terdapat dalam setiap bentuk masyarakat. Hukum dalam kehidupan

15

Page 16: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

masyarakat bukan ditaati karena adanya tradisi ketaatan yang bersifat

otomatis-spontan, seperti dikatakan Radcliffe-Brown, tetapi karena

adanya prinsip timbal-balik (principle of reciprocity) dan prinsip

publisitas (principle of publicity). Sistem pertukaran sosial yang

berkembang dalam masyarakat Trobriand menjadi pengikat sosial

dan daya dinamis  yang menggerakkan kehidupan ekonomi dan sosial

masyarakat melalui prinsip resiprositas atau timbal-balik dalam

bentuk pertukaran benda dan tenaga, menggerakkan hubungan-

hubungan ekonomi, pertukaran jasa antar kerabat, menggerakkan

kehidupan kekerabatan, sistem pertukaran mas kawin, dan juga

menggerakkan hubungan antar kelompok dalam bentuk upacara-

upacara yang berlangsung dalam kehidupan bersama. 

Dari  pandangan 2 ahli antropologi di atas dapat dikatakan, bahwa apabila

hukum diberi pengertian yang sempit, hanya sebagai sistem pengendalian sosial

yang diciptakan oleh lembaga legislatif dan diterapkan oleh aparat penegakan

hukum seperti polisi, pengadilan, jaksa, atau penjara dalam kehidupan organisasi

negara, maka hukum diartikan bahwa masyarakat-masyarakat sederhana yang

tidak terorganisasi sebagai suatu Negara tidak memiliki hukum. Tetapi, kalau

hukum diberi pengertian yang lebih luas, yaitu sebagai proses-proses pengendalian

sosial yang didasarkan pada prinsip resiprositas dan publisitas yang secara empiris

berlangsung dalam kehidupan masyarakat, maka semua bentuk masyarakat

betapapun sederhananya memiliki hukum dalam bentuk mekanisme-mekanisme

yang diciptakan untuk menjaga keteraturan sosial atau sebagai sarana

pengendalian sosial  (Nader, 1965:4; Radfield, 1967:3; Pospisil, 1967:26;

Bohannan, 1967:48). Wacana antropologis mengenai hukum dalam perkembangan

selanjutnya memperoleh elaborasi dari kalangan antropolog yang lain. Konsep

hukum yang dikemukakan Malinowski memperoleh komentar dan kritik dari

Bohannan (1967:45-9), yang pada pokoknya menyatakan seperti berikut :   

16

Page 17: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

1. Mekanisme resiprositas  (reciprocity) dan publisitas  (publicity)

sebagai kriteria untuk mengatur hak dan kewajiban dalam kehidupan

masyarakat pada dasarnya bukanlah merupakan hukum seperti

dimaksudkan Malinowski, tetapi hanya merupakan suatu kebiasaan

(custom) yang digunakan masyarakat untuk menjaga keteraturan

sosial.

2. Pengertian Hukum harus dibedakan dengan tradisi (tradition) atau 

kebiasaan (custom), atau lebih spesifik  norma hukum mempunyai

pengertian yang berbeda dengan kebiasaan. Norma hukum adalah

peraturan hukum yang mencerminkan tingkah laku yang seharusnya

(ought) dilakukan dalam hubungan antar individu. Sedangkan,

kebiasaan merupakan seperangkat norma yang diwujudkan dalam

tingkah laku  dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama.

Kadangkala kebiasaan bisa sama dan sesuai dengan peraturan-

peraturan hukum, tetapi  kebiasaan bisa juga bertentangan dengan

norma-norma hukum. Ini berarti, peraturan hukum dan kebiasaan

adalah dua institusi yang sama-sama terwujud dalam bentuk norma-

norma yang mengatur perilaku masyarakat dalam hubungan antar

individu, dan juga sama-sama berfungsi sebagai sarana pengendalian

sosial dalam kehidupan masyarakat.

3. Kendatipun kebiasaan dan peraturan hukum saling berbeda satu sama

lain, karena  kebiasaan terwujud sebagai institusi non hukum dan

peraturan merupakan institusi hukum, tetapi dalam masyarakat selalu

ditemukan kedua bentuk  institusi tersebut (institusi hukum dan

institusi non hukum). Norma-norma hukum dalam masyarakat

cenderung mengabaikan atau menggusur atau bahkan sebaliknya

memfungsikan keberadaan kebiasaan-kebiasaan sebagai institusi non

hukum dalam penyelesaian kasus-kasus sengketa yang terjadi dalam

masyarakat.

17

Page 18: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

4. Peraturan-peraturan hukum juga mengembangkan kebiasaan-

kebiasaan sebagai institusi hukum melalui  proses pelembagaan ulang

(reinstitutionalized) dan dinyatakan ulang (restated), sehingga

peraturan hukum juga dikatakan sebagai suatu kebiasaan yang telah

dilembagakan kembali untuk tujuan-tujuan yang ingin dicapai hukum

tersebut. Dengan demikian, apabila dihubungkan dengan pengertian

hukum yang dikemukakan Malinowski, maka peraturan hukum

diartikan sebagai seperangkat kewajiban yang dipandang sebagai hak

warga masyarakat dan kewajiban bagi warga masyarakat yang lain,

yang telah dilembagakan ulang menjadi institusi hukum, untuk suatu

tujuan agar kehidupan  masyarakat secara terus menerus dapat

berlangsung dan berfungsi dengan  keteraturan yang dikendalikan

oleh institusi hukum. Karena itu, dikatakan bahwa resiprositas berada

pada basis kebiasaan, tetapi kebiasaan yang telah dilembagakan

sebagai norma hukum melalui tahapan yang disebut double

institutionalization of norms (Bohannan, 1967:48). 

Lebih lanjut, konsep mengenai hukum yang dikemukakan Malinowski

juga  memperoleh komentar dan kritik dari Pospisil (1967: 25-41; 1971:39-95),

yang pada pokoknya menyatakan seperti berikut :

1. Pengertian hukum yang dikemukakan Malinowski dipandang terlalu luas,

sehingga hukum yang dimaksudkan juga mencakup pengertian

kebiasaan-kebiasaan (customs), dan bahkan semua bentuk kewajiban-

kewajiban yang berhubungan dengan aspek religi dan juga kewajiban-

kewajiban  yang bersifat  moral dalam kehidupan masyarakat.

2. Hukum pada dasarnya adalah suatu aktivitas kebudayaan yang

mempunyai fungsi sebagai alat untuk menjaga keteraturan sosial atau

sebagai sarana pengendalian sosial (social control) dalam masyarakat.

Karena itu, untuk membedakan peraturan hukum dengan norma-norma

lain, yang sama-sama mempunyai fungsi sebagai sarana pengendalian

18

Page 19: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

sosial dalam masyarakat, maka peraturan hukum dicirikan mempunyai 4

atribut hukum (attributes of  law), yaitu :

(1) Atribut Otoritas (Attribute of Authority), yaitu peraturan hukum

adalah keputusan-keputusan dari pemegang atoritas untuk

menyelesaikan sengketa atau ketegangan sosial dalam

masyarakat, karena adanya ancaman terhadap keselamatan warga

masyarakat, keselamatan pemegang otioritas, atau ancaman

terhadap kepentingan umum.

(2) Atribut dengan Maksud untuk Diaplikasikan secara Universal

(Attribut of Intention of Universal Aplication), yaitu keputusan-

keputusan dari pemegang otoritas tersebut dimaksudkan  sebagai

keputusan-keputusan yang juga akan diaplikasikan terhadap

peristiwa-peristiwa yang sama secara universal.  

(3) Atribut Obligasio (Attribute of Obligatio), yaitu keputusan-

keputusan dari pemegang otoritas tersebut mengandung suatu

pernyataan bahwa  pihak  pertama memiliki hak untuk  menagih

sesuatu dari pihak kedua, dan pihak kedua mempunyai kewajiban

untuk  memenuhi hak pihak pertama tersebut sepanjang mereka

masih hidup.

(4) Atribut Sanksi (Attribute of Sanction), yaitu keputusan-keputusan

dari pihak pemegang otoritas tersebut juga disertai dengan

penjatuhan sanksi-sanksi,  baik berupa sanksi yang bersifat fisik

seperti hukuman badan dan penyitaan harta benda, atau sanksi

non fisik seperti dipermalukan di depan orang banyak, diasingkan

dari pergaulan sosial, dibuat menjadi ketakutan, dan lain-lain.

Konsep hukum yang menekankan atribut otoritas dan atribut sanksi juga

dikemukakan oleh Hoebel (1954) untuk membedakan antara norma hukum dengan

norma-norma lain yang juga mempunyai fungsi sebagai alat pengedalian

19

Page 20: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

masyarakat (social control). Basis peraturan hukum adalah norma-norma sosial,

dan norma-norma sosial akan berubah menjadi norma hukum apabila setiap

pelanggaran atas norma sosial tersebut secara reguler dijatuhi sanksi fisik

berdasarkan keputusan pemegang otoritas yang secara sosial diberi wewenang

khusus untuk menjatuhkan sanksi tersebut. 

A social norm is legal if its neglect or infraction is regularly met, in threat

or in fact, by the application of phisical force by an individual or group possesing

the socially recognized previlege of so acting (Hoebel, 1954:28).

 Dalam konteks hukum adat di Indonesia, konsep hukum yang semata-mata

berdasarkan pada atribut otoritas seperti dimaksud di atas diperkenalkan oleh Ter

Haar, dikenal sebagai teori Keputusan (Beslissingenleer/Decision Theory), yang

pada pokoknya menyatakan bahwa hukum didefinisikan sebagai keputusan-

keputusan kepala adat terhadap kasus-kasus sengketa dan peristiwa-peristiwa yang

tidak berkaitan dengan sengketa (Hoebel, 1979:33-4; F. von Benda Beckmann,

1979:31; Slaats & Portier, 1992: 14-5).

2.3. Ruang Lingkup Permasalahan

2.3.1. Kondisi Bogor Saat Ini

Kondisi Bogor saat ini semakin lama semakin semerawut karena ada

banyak hal yang sampai sekarang belum diatasi secara baik dan sempurna hingga

kian masalah tersebut mengakar menjadi masalah krusial. Berangkat dari masalah

ekonomi, karena ini merupakan tuntutan hidup tiap masing-masing individu dalam

memenuhi kebutuhannya maka banyak dari masyarakat yang berlomba-lomba

untuk memenuhinya sekalipun dengan cara yang tak lazim atau dilarang oleh

hukum yang berlaku, dalam hal memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan

untuk menyambung kelangsungan hidup manusia terkadang sering berbenturan

dengan kepentingan-kepentingan pribadi dari individu lain. Hal ini juga sama

dengan upaya penegakan hukum yang selalu tidak sesuai dengan kebutuhan,

kepentingan, kesinambungan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Kedua,

20

Page 21: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

adalah karena rendahnya sumber daya manusia itu sendiri, yakni yang

menyebabkan manusia dalam menyambung hidupnya tidak ada pilihan lain selain

menjadi pedagang kaki lima ataupun supir angkutan umum. Sumber daya manusia

yang bagus akan menghasilkan hasil yang bagus pula itulah yang dikatakan oleh

Hery D. Kurniawan dalam bukunya “Pemberdayaan Komunitas Pedesaan”.

Ketiga, manusia dalam berperilaku akan menghasilkan kebiasaan atau adat yang

dapat memberikan kontribusi atau masukan terhadap manusia yang lain, oleh

karenanya patut ditanamkan bagi tiap-tiap individu manusia untuk berprilaku

sopan-santun, baik. Dalam arti kebiasaan atas nilai yang baik atau seyogyanya

maka akan menghasilkan produk hukum yang sempurna. Keempat, ini

menyangkut tingkat kesadaran masyarakat terhadap hukum.

Dari keempat penjelasan tersebut, maka jika dikaitkan dengan kondisi

Bogor saat ini yang semerawut merupakan hasil dari ketidakdisiplinan perilaku

manusia dalam menyeimbangi keempat hal tersebut.

Misalnya, di Bogor; pedagang kaki lima yang ada di sekitar Stasiun,

Jembatan Merah, Taman Topi dan di sekitar kawasan Air Mancur. Dari hasil

observasi lapangan yang telah dilakukan, maka dapat ditemukan bahwa hampir

seluruh pedagang mengemukakan alasan yang sama yaitu untuk memenuhi

kebutuhan untuk hidup. Bahkan ada pedagang kaki lima di sekitar Jembatan

Merah yang mengaku berdagang sejak Tahun 1965 dan sampai sekarang sudah

tiga generasi. Hal ini sempat menjadi pusat perhatian pemerintah kota Bogor untuk

menanggulangi ataupun mengalokasikan para pedagang kaki lima tersebut ke

tempat untuk berdagang yang lebih layak, dengan maksud mengembalikan fungsi

daripada trotoar atau bahu jalan sebagai sarana untuk pejalan kaki. Namun

nyatanya ini hanya sebagai gertakan sambal saja bagi para pedagang kaki lima

tersebut, karena mereka berpandangan berdagang dipinggiran jalan lebih efisien

dan efektif bagi pembelinya. Ketimbang harus berdagang di dalam ruko-ruko atau

supermarket ; dimana mereka harus menyewa tempat dengan biaya mahal.

Dibanding berdagang dipinggir jalan, yang dengan hanya membayar iuran murah,

21

Page 22: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

dengan itu barang atau jasa yang mereka jualpun murah harganya. Mengapa para

PKL ini masih tetap berdagang dipinggiran jalan ?. Ini menjadi PR (pekerjaan

rumah) bagi pemerintah kota Bogor dan bagi masyarakatnya juga.

Dengan contoh tersebut penulis mengamati bahwa ini adalah salah satu

yang menyebabkan kesemerawutan kota Bogor, karena berdagang di bahu-bahu

jalan sudah menjadi kebiasaan daripada perilaku para pedagang tersebut. Perilaku

masyarakat tersebut ada yang menjadi nilai hukum, nilai norma, nilai aturan yang

desepakati oleh individu untuk mencapai keteraturan di masyarakat itu sendiri

sehingga meninggkatkan kualitas hidup individu atau masyarakat kelompok

tersebut. Untuk lebih jelas mengenai bahasan perilaku, agar dapat di baca dibawah

ini.

2.3.2. Perilaku Masyarakat

Perilaku manusia digambarkan sebagai suatu totalitas dari gerak motoris,

persepsi dan fungsi kognitif dari manusia. Salah satu unsur dari perilaku tersebut

adalah apa yang disebut sebagai gerak sosial yang pada hakikatnya merupakan

sistem yang mencakup suatu hierarki pengaturan. Perihal perilaku manusia

tersebut secara analistis akan dapat dibedakan antara perilaku belaka dengan

perilaku etis (Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto 1979:24, 25).

22

Page 23: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

Misalnya : - Tidur siang. Ini merupakan perilaku belaka

- Melakukan Jual-Beli. Ini merupakan perilaku etis.

Perilaku

Kemudian mengenai perilaku etis oleh Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto

diberikan penjabaran sebagai berikut :

A. Sikap tindak atau perikelakuan ajek, yang mencakup :

1. Sikap tindak atau perikelakuan pribadi dalam bidang-bidang :

a. Kepercayaan

b. Kesusilaan

2. Sikap tindak atau perikelakuan antara pribadi dalam bidang bidang :

a. Kesopanan

b. Hukum

B. Sikap tindak atau perikelakuan yang unik, yang mencakup :

1. Sikap tindak atau perikelakuan pribadi :

a. Kepercayaan

b. Kesusilaan

2. Sikap tindak atau perikelakuan antar pribadi :

a. Kesopanan

b. Hukum

Dari kerangka tersebut di atas, yang penting untuk ditelaah lebih lanjut

adalah, perilaku antar pribadi, yang secara teknis biasanya disebut interaksi sosial.

Mengapa terjadi interaksi sosial yang melibatkan perilaku beberapa pihak, di mana

kemudian mungkin terjadi proses saling pengaruh mempengaruhi antar kedua

belah pihak ?

Interaksi sosial antar pribadi-pribadi, kadang-kadang juga disebut sebagai

hubungan interpersonal. Intinya adalah adanya hubungan antara manusia dengan

manusia, yang didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan tertentu. Kebutuhan

interpersonal, yakni kebutuhan untuk mengadakan hubungan dengan orang lain,

23

Page 24: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

yang apabila tidak terlaksana akan menghasilkan gangguan atau keadaan yang

tidak menyenangkan bagi pribadi yang bersangkutan.

Masyarakat

Masyarakat berasal dari kata ”syaraka” (Arab) yang berarti ikut serta atau

berpartisipasi. Sedangkan kata “musyarakat” berarti saling bergaul Basrowi, dkk.

2002. Dalam bahasa lain disebut dengan society, atau community. Dalam berbagai

literature sosiologi, terdapat banyak sekali pengertian konsep masyarkat, namun

bila dikaji secara mendalam hanya terdapat lima pengertian pokok, yaitu sebagai

berikut :

1. Masyarakat adalah sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup

bersama dan bekerjasama, sehingga mereka dapat mengorganisasikan

dirinya sebagai salah satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.

2. Masayarakat adalah kelompok manusia yang terbesar, yang mempunyai

kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama.

3. Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut

suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh

rasa idenditas bersama.

4. Masyarakat berbeda dengan komunitas, tetapi komunitas adalah

masyarakat. Komunitas memiliki ciri khusus, yakni terikat oleh lokasi dan

kesadaran wilayah, sedangkan masyarakat bersifat lebih umum.

5. Masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang memiliki budaya sendiri

dan bertempat tinggal pada wilayah territorial tertentu. Tiap anggota

masyarakat memiliki rasa persatuan dan menganggap mereka memiliki

rasa identitas tersendiri.

Teori – teori tentang masyarakat pada intinya adalah berisi tentang gagasan

mengenai bagaimana susunan sebuah masyarakat dan bagaimana ia memelihara

kesatuan dan kelangsungannya. Apakah masyarakat sebagai tempat yang hidup

merupakan sebuah kebersamaan yang penting dan membantu untuk mencapai

24

Page 25: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

tujuan – tujuan pribadi tertentu? Ataukah ada kenyataan sosial yang lebih

mendasar di mana manusia tidak bisa hidup diluar sebuah kelompok sosial?

Sekalipun manusia meyakini bahwa pandangan tentang masyarakat itu penting,

tetapi didasari bahwa masyarakat tetap merupakan sebuah fenomena yang

membingungkan.

Sejumlah besar orang yang kebetulan terkumpul dalam lokasi yang sama

tak akan dapat membentuk sebuah masyarakat. Untuk membentuk masyarkat, para

individu mesti berhubungan dengan cara tertentu, di antaranya dengan

berkomunikasi satu sama lain dan melakukannya secara terus-menerus dalam

jangka waktu tertentu. Dengan demikianlah gilirannya akan terbentuk suatu

masyarakat.

Kebutuhan Interpersonal

Pada setiap manusia, ada tiga Kebutuhan Interpersonal :

1. Kebutuhan Inklusi, yaitu suatu kebutuhan untuk mengadakan serta

mepertahankan hubungan yang memuaskan dengan pihak lain. Dari

kebutuhan Inklusi ini menghasilkan perilaku yang cenderung

menyesuaikan diri dengan pihak lain, sehingga ada rasa kebersamaan atau

menjadi bagian dari suatu kelompok.

2. Kebutuhan Kontrol, yaitu suatu kebutuhan untuk mengadakan dan

mempertahankan hubungan dengan pihak lain, untuk memperoleh

pengawasan kekuasaan. Dari kebutuhan Kontrol ini menghasilkan perilaku

yang bertujuan untuk mempengaruhi pihak lain, memimpinnya ataupun

mengaturnya, serta bahkan mendominasi pihak lain tersebut.

3. Kebutuhan Afeksi, yaitu suatu kebutuhan untuk mengadakan serta

mempertahankan hubungan dengan pihak lain, untuk memperoleh dan

memberikan cinta, kasih saying, serta afeksi. Kebutuhan afeksi ini akan

menghasilkan pola perilaku, seperti saling menyukai yang menimbulkan

persahabatan, cinta dan seterusnya.

25

Page 26: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

Walaupun kebutuhan-kebutuhan interpersonal tersebut di atas

menghasilkan perilaku yang beraneka ragam coraknya, akan tetapi manusia pada

dasarnya mempunyai hasrat untuk hidup teratur. Akan tetapi mengenai keteraturan

yang menjadi hasratnya itu. Apabila keadaan tersebut dibiarkan, maka akan timbul

ketidakaturan, oleh karena masing-masing akan berpegang pada pandangannya

mengenai keteraturan tersebut, sesuai dengan kepentingan masing-masing.

Apabila ditinjau kenyataan yang digambarkan di muka, maka agar dicapai suatu

keteraturan di dalam pergaulan hidup, diperlukan suatu pedoman atau patokan.

Menurut Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto Pedoman atau patokan

tersebut, memberikan suatu wadah bagi aneka pandangan mengenai keteraturan

yang semula merupakan pandangan pribadi. Pedoman atau patokan tersebut

dinamakan kaidah atau norma. Kaidah atau norma yang menjadi pedoman

hubungan antar pribadi, dibedakan antara kaidah atau norma kesopanan dengan

hukum. Kaidah kesopanan bertujuan untuk mencapai kedamaian.

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa perilaku manusia berkembang

dari dasar-dasar tertentu, di mana kaidah atau norma sebenarnya merupakan suatu

abstraksi dari perilaku yang pada akhirnya menjadi pedoman atau patokan bagi

perilaku manusia.

2.3.3. Penyimpangan Sosial

Penyimpangan sosial atau perilaku menyimpang, sadar atau tidak sadar

pernah kita alami atau kita lakukan. Penyimpangan sosial dapat terjadi dimanapun

dan dilakukan oleh siapapun. Sejauh mana penyimpangan itu terjadi, besar atau

kecil, dalam skala luas atau sempit tentu akan berakibat terganggunya

keseimbangan kehidupan dalam masyarakat. Suatu perilaku dianggap

menyimpang apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang

berlaku dalam masyarakat atau dengan kata lain penyimpangan (deviation) adalah

segala macam pola perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri (conformity)

terhadap kehendak masyarakat. Manusia hidup di dalam suatu lingkungan yang

beraneka ragam, antara komponen satu dengan komponen lainnya di dalam

26

Page 27: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

lingkungan dan manusia itu sendiri terjalin hubungan yang komplek satu dengan

yang lain yang membentuk sumber daya yang berupa sistem aturan perilaku yang

dapat mengatur hubungan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya dan

antara manusia dengan lingkungannya. Ini biasa disebut juga hukum.

Hubungan timbal balik tersebut senantiasa mengarah kepada bentuk

keseimbangan yang disebut keseimbangan perilaku. Artinya dalam diri manusia

itu sendiri harus seimbang antara sifat egoisme dengan altruisme, yaitu dapat

dikatakan bahwa dalam kehidupan sehari haruslah seimbang dalam mementingkan

diri sendiri dengan mementingkan orang lain.

27

Page 28: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

BAB IIIPEMBAHASAN

3.3. Tiga Masalah Krusial

3.3.1. Isu Transportasi Dan Kemacetan

Seperti telah sama - sama kita ketahui bahwa tidak ada kota yang bebas

macet di Indonesia sekarang ini. Pemandangan keseharian di Kota Bogor

menunjukkan adanya perubahan Kota yang cukup mencolok. Angkutan kota dan

kendaraan pribadi memenuhi jalan jalan protokol di Kota Bogor,. Pemandangan

keseharian yang terlihat di Kota Bogor. Itu bukti dari pesatnya pertumbuhan

perekonomian dan pembangunan di Kota Bogor, sehingga hawa dan udara Kota

Bogor telah berubah menjadi panas dan sumpek. Memang sudah sejak lama isu

transportasi merupakan persoalan besar yang dihadapi Kota Bogor. Bahkan sejak

tahun 1984 lalu, saat Kota Bogor dipimpin Wali Kota Ir. H. Muhammad, telah

mendapatkan perhatian yang serius. Pada saat itu sudah direncanakan

pembangunan sub-sub terminal di 6 wilayah perbatasan Kota dan Kabupaten

Bogor yakni di Bubulak, Kedunghalang, Cimahpar, Pamoyanan, dan Cibadak

Namun dari rencana pembangunan enam sub terminal itu, yang baru berhasil

dibangun yaitu Terminal Bubulak. Penempatan sektor transportasi sebagai

pekerjaan rumah (PR) utama yang harus dituntaskan Pemkot Bogor dibawah

komando pasangan Wali Kota H. Diani Budiarto dan Wakil Wali Kota H.M.

Sahid. Bahkan Gubernur Jabar H. Danny Setiawan ketika melantik pasangan H.

Diani Budiarto dan H.M. Sahid menjadi Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bogor

awal Maret 2004 menegaskan, bahwa persoalan transportasi adalah "PR" Wali

kota dan Wakil Wali kota Bogor yang baru.

Disatu pihak kita tidak dapat menyalahkan masalah transportasi kepada

Pemda terutama DLLAJ (Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan) yang tidak

membatasi izin trayek. Padahal sebetulnya tidak mungkin izin trayek dikeluarkan

dan ditambah terus. Dari hasil iterview yang kami lakukan dengan salah satu

bandar angkutan umum trayek Ciheuleut – Ramayana bahwa pernah ada

28

Page 29: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

Peremajaan angkutan umum yang dilakukan oleh pihak DLLAJ. Dalam arti ketika

angkutan umum tersebut sudah tidak layak pakai maka oleh pihak DLLAJ

diperbaiki setelah diperbaiki lalu seolah-olah angkutan umum itu seperti baru

kemudian dikeluarkan dengan trayek yang berbeda dengan trayek awalnya.

Dengan demikian angkutan umum yang sebenarnya sudah tidak layak pakai lalu

dipakai kembali, hal ini akan menimbulkan polusi udara yang tidak baik bagi

udara dikota Bogor khususnya. Selain itu masalah kemacetan lalu lintas di Kota

Bogor tidak terlepas keberadaan angkot Kabupaten Bogor yang masuk ke dalam

Kota. Padahal menurut aturan harus berhenti dibatas kota.

Selain itu juga dikarenakan tidak tertibnya para supir angkutan umum

ketika menaikan maupun menurunkan penumpang serta para pengguna jalan kaki

yang ingin menyeberang. padahal sudah jelas diatur dalam Pasal 13 (ayat 4 dan 5)

Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 6 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Lalu

Lintas Dan Angkutan Jalan

Pasal 13

(4) Fasilitas pejalan kaki sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri dari :

a. trotoar;

b. tempat penyeberangan berupa marka jalan dan atau rambu-rambu;

c. jembatan penyeberangan atau terowongan penyeberangan.

29

Page 30: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

(5) Fasilitas pemberhentian angkutan umum sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) terdiri dari :

a. halte;

b. shelter;

c. tempat pemberhentian angkutan umum yang dinyatakan dengan

marka jalan dan atau rambu-rambu.

Kalau berbicara perkotaan, di manapun kota dunia selalu dihadapkan tiga

masalah perkotaan yang sangat krusial. Ketiga permasalahan yang dihadapi

termasuk persoalan yang dihadapi oleh Kota Bogor yakni manajemen tata ruang

terhadap pedagang kaki lima, kebersihan kota dan transportasi. Hanya saja

walaupun persoalan yang dihadapinya sama dengan kota- kota lainnya di dunia

yang membedakan eskalasi dan persentasenya masalahnya tergantung dari

kemampuan yang ada di masing-masing. Bogor menjadi kota macet bukan dari

keinginan kita. Tapi, itu merupakan kondisi eksisting yang terbentuk dari beberapa

komponen sehingga menjadi kota. Jadi, karena kita adalah kota menghadapi tiga

permasalahan itu, ditambah satu persoalan yang dihadapi yaitu masalah

kemiskinan.

3.3.2. Isu Kebersihan

Penanganan prioritas yang kedua adalah permasalahan kebersihan yang

mengakibatkan terganggunya kebersihan dan keindahan kota. Permasalahan

sampah yang terjadi adalah akibat dari timbulan sampah yang belum sepenuhnya

dapat terangkut atau dimusnahkan di TPA (baru terangkut sekitar 68% dari jumlah

produksi sampah/hari atau sebanyak 1.457 m3/hari dari 2.124 m3 timbulan

sampah  perharinya ). Hal ini disebabkan :

1. Ketersediaan armada angkutan baik dilihat dari kuantitas (52 dump truck,

17 amroll) dengan kondisi yang masih baik 52% , 46% kurang baik dan 2%

rusak berat), serta keterbatasan kemampuan alat berat di TPA yang hanya

didukung oleh 2 unit buldozer (1 unit dalam kondisi baik, dan 1 unit

30

Page 31: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

rusak), 1 unit truck loader (kurang baik), 1 unit wheel loader (baik) dan 1

unit excavator (baik), padahal untuk mengelola sampah sebanyak 1.457

m3/hari idealnya 5 unit alat berat tersebut mempunyai kemampuan yang

sama baiknya.

2. Keterbatasan tenaga operasional petugas kebersihan (pengumpul, penyapu,

petugas angkut dan TPA) hanya ada 578 orang bila dibandingkan dengan

kebutuhan 2 orang/penduduk.

3. Tidak adanya kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada

tempatnya dan membayar retribusi.

4. Keterbatasan dalam penyediaan sarana pewadahan (tong/bak sampah ) dan

pengumpulan (gerobak) ke seluruh wilayah.

5. Belum memasyarakatnya budaya pengurangan sampah sejak dari

sumbernya dan pengelompokkan sampah organik dan anorganik.

6. Keberadaan TPA Galuga yang statusnya sangat tergantung kepada

Pemerintah Kabupaten Bogor setelah tahun 2005 nanti.

3.3.3. Isu Pedagang Kaki Lima

Dari tahun ke tahun, Kota Bogor semakin tambah semrawut. Angkutan

kota memenuhi jalan–jalan di Kota Bogor, pedagang kaki lima semakin tak

terbendung. Trotoar, jembatan, dan badan jalan "diduduki" untuk menggelar

dagangannya di pagi hari, sore, malam, dan subuh hingga matahari terbit.

Sedangkan rumah toko dan mal tumbuh subur di sudut-sudut kota. Itu semua

membuat kemacetan di mana-mana. Kota Bogor kini tidak hanya dikenal sebagai

"Kota Sejuta Angkot", melainkan juga "surga" bagi PKL. Sebab, di Kota Bogor

para PKL mulai dari yang jual sayuran, pakaian, buah-buahan, VCD bajakan,

makanan dan minuman, serta kebutuhan sehari-hari lainnya, sangat padat. Tidak

kurang dari 10.000 PKL mencari nafkah di Kota Bogor, mulai yang hanya

menggelar dagangannya sampai yang bertenda. Padatnya PKL dan angkot

membuat Kota Bogor saat ini tidak nyaman lagi2. Berkaitan dengan tulisan ini,

trotoar selalu menjadi ruang konflik. Esensi maknanya sebagai obyek menjadi

hilang karena munculnya peristiwa-peristiwa tambahan yang justru mendominasi

31

Page 32: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

kegiatan utamanya. Padahal, trotoar adalah salah satu elemen fisik yang penting

untuk menjalin hubungan emosional antara warga dengan bentukan fisik kawasan.

Jika trotoar merupakan sebuah ruang konflik dalam kawasan, maka sulit untuk

mengharapkan terciptanya hubungan emosional antara warga dengan kawasannya.

Keberadaan kawasan Kebun Raya sebagai pusat tentu menghasilkan laju populasi

kawasan yang meningkat. Bentukan fisik ruang kegiatan dan elemen kawasan

ternyata tidak mampu mewadahi kegiatan atau praktek sosial masyarakat yang

berlangsung. Dalam tulisan ini, kami berusaha memaparkan bahwa adanya

kesenjangan struktur dan elemen fisik kawasan dengan praktek sosial masyarakat

yang berlangsung.

Fenomena Kaki lima: Apa dan Bagaimana

Definisi pedagang kaki lima, menurut Pemerintah Indonesia adalah

seseorang yang menjalankan usaha perorangan yang melakukan penjualan barang-

barang dengan menggunakan bagian jalan/trotoar dan tempat-tempat untuk

kepentingan umum serta tempat lain yang bukan miliknya. Secara garis besar,

Pemerintah Indonesia menganggap bahwa keberadaan pedagang kaki lima

mengganggu kenyamanan pengguna kota atau kawasan karena melakukan

kegiatan ekonomi di kepentingan umum. Namun demikian, Pemerintah Indonesia

melalui Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah menyatakan

bahwa perlu adanya pemberdayaan usaha mikro dan penataan sektor informal. Hal

ini bertujuan untuk memperkuat keberadaan, serta peran usaha mikro dan sektor

informal terutama pedagang kaki lima, sehingga dapat meningkatkan penyerapan

tenaga kerja dan penanggulangan kemiskinan. Dengan demikian sebenarnya

pemerintah mengakui keberadaan pedagang kaki lima dan perannya untuk

memperkuat masyarakat ekonomi lemah. Dalam mengembangkan peran tersebut,

pemerintah sebenarnya sudah membentuk undang-undang yang menyatakan

bahwa perlunya menentukan peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian

lokasi di pasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri dan lokasi yang wajar bagi

pedagang kaki lima. Dengan demikian, sulit untuk menghilangkan keberadaan

kegiatan perdagangan informal dari jalan atau ruang publik karena keberadaannya

32

Page 33: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

didukung oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal adalah kondisi

ekonomi makro negara yang belum pulih sejak Krisis Moneter tahun 1997 dan

budaya yang tertanam sejak jaman pendudukan Belanda. Faktor internal, menurut

kami, muncul dari pemenuhan kebutuhan pokok individu dengan dapat mengatur

jumlah pendapatan dan waktu bekerja. Hal ini tentunya berkaitan dengan kondisi

dasar manusia, terutama kondisi fisik tubuhnya. Dengan memperbaiki kondisi

kerjanya, maka individu tersebut mampu menaikkan tingkat pendapatan dan taraf

hidupnya. Berdasarkan pemaparan di atas, sudah seharusnya sector informal

seperti pedagang kaki lima, diakui keberadaannya dan perannya sebagai kegiatan

penunjang antar kegiatan. Sejalan dengan pendapat Jacobs yang menyatakan

bahwa keragaman kegiatan dan kelompok masyarakat merupakan satu-satunya

cara menghidupkan sebuah kawasan atau kota secara keseluruhan.

Fenomena Kakilima: Sebuah Peristiwa

Pasar, sebagai salah satu ruang kegiatan ekonomi, merupakan tempat

berkumpul untuk memenuhi kebutuhan pokok setiap individu dalam masyarakat.

Pasar lalu berkembang menjadi pusat kegiatan sosial. Hal ini yang menyebabkan

pasar sebuah pusat dan menyebar dari pusat tersebut. Sebagai tempat berkumpul,

pasar pun berkembang menjadi ruang kesempatan. Individu dari berbagai kelas

sosial berusaha untuk memenuhi kebutuhan dengan melakukan pertukaran dalam

pasar atau sekitarnya. Pemenuhan kebutuhan tersebut, selain untuk memenuhi

kebutuhan hidup, juga untuk memperbaiki kondisi manusianya. Kehadiran

pedagang kakilima, sebagai salah satu elemen keberadaan gaya sentripetal, telah

berlangsung sejak jaman pemerintahan Belanda. Proses terciptanya fenomena kaki

lima disebabkan oleh adanya konsep involution yang dikembangkan oleh

33

Page 34: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

Pemerintah Belanda. Pertumbuhan penduduk yang sangat pesat mengakibatkan

bertambahnya kebutuhan lapangan pekerjaan. Pemerintah kolonial mengambil

inisiatif untuk membuka sistem ekonomi bazaar bagi penduduk pribumi. Dengan

demikian, pemenuhan lapangan pekerjaan dan kebutuhan pokok dapat diatasi.

Setelah pendudukan kolonial, sistem ekonomi bazaar ini terus berkembang dan

tidak terkendali sehingga munculnya fenomena pedagang kakilima di perkotaan.

Cross menyatakan bahwa kegiatan perdagangan informal seperti kakilima sulit

dihentikan karena adanya perbedaan yang mencolok antara daya beli masyarakat

dengan harga jual komoditas yang dihasilkan oleh kegiatan perdagangan formal.

Geertz menilai bahwa kegiatan perdagangan jenis ini berusaha menjalin hubungan

jual-beli secara personal melalui harga komoditas yang fleksibel. McGee

menambahkan, selain faktor perbedaan tersebut, penyebab utama berkembangnya

jenis perdagangan informal karena kebebasan pedagang untuk menentukan

pendapatannya dan waktu bekerja. Perbedaan tidak dapat dihindari karena

polarisasi dalam masyarakat terjadi atas dasar perbedaan tingkat ekonominya.

Keberadaan perbedaan ini memang tidak dapat disatukan namun harus diwadahi

agar dapat terjalin hubungan simbiosis-mutualisme, bukan simbiosis parasitisme.

Masalah kegiatan ekonomi masyarakat Indonesia juga muncul oleh adanya

dualisme prinsip perdagangan. Bocke menyatakan bahwa prinsip kapitalisme

modern yang bertujuan mencari keuntungan maksimal dan prinsip ekonomi

tradisional seperti tidak terlalu memperhatikan tingkat keuntungan karena kegiatan

perdagangan juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan sosial, digunakan secara

bersamaan oleh masyarakat Indonesia. Dualisme inilah yang menyebabkan para

34

Page 35: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

pelaku kegiatan perdagangan terus mencari pasaran yang menguntungkan

(bergerak dinamis) dengan membawa komoditas ke tangan konsumen terakhir.

Pergerakan tersebut merupakan wujud prinsip kapitalisme modern dan pertukaran

artifak dengan konsumen terakhir sebagai wujud penjalinan hubungan sosial

dengan sesamanya. Selain itu, Jacobs menyatakan bahwa teori invisible hands

yang dicetuskan oleh Adam Smith juga berlaku bahkan terkadang mampu

mengendalikan nilai pasar. Hal ini yang menyebabkan keberadaan sektor ekonomi

informal semakin kuat dalam struktur kota atau kawasan. Bahkan tidak jarang

terjalin hubungan simbiosis mutualisme antara sector ekonomi formal dan

informal.

Pemaparan di atas secara tersirat menunjukkan bahwa pertentangan atau

munculnya faktor tarik sebenarnya merupakan wujud perebutan ruang sebagai

faktor mediasi. Ruang, sebagai faktor mediasi, menjadi komoditas karena memiliki

nilai guna dan tukar yang tinggi. Namun faktor nilai guna dan tukar ruang sebagai

35

Page 36: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

komoditas, juga ditentukan oleh factor-faktor eksternal seperti nilai nominalnya

dan kebutuhan manusia. Hal ini yang turut mempengaruhi munculnya konflik

ruang. Konflik urban yang terjadi di dunia ketiga, secara umum, terjadi karena

adanya persimpangan antara represi penguasa dan pemberontakan komunitas.

Namun demikian, secara umum persimpangan kepentingan tersebut terjadi karena

adanya pertentangan kepentingan ekonomi masing-masing pihak. Peristiwa-

peristiwa tambahan berpa jual-beli pada trotoar menimbulkan konflik, karena tidak

ada lagi keselarasan antara ruang yang tercipta dengan peristiwa yang

berlangsung. Selain itu, pergerakan dinamis tersebut bertujuan untuk menciptakan

peristiwa jual-beli di lokasi yang strategis. Biasanya, para pedagang bergerak

menuju simpul kawasan teramai. Tanpa adanya sebuah bentuk organisasi antar

pedagang, menyebabkan keberadaan mereka tak terpola.

Kini 51 titik di pusat Kota Bogor menjadi prasarana kepentingan tertentu,

dengan kata lain menjadi sebuah tempat privat yang dilengkapi dengan proteksi

dari berbagai kepentingan untuk memanfaatkan pusat kota. Munculnya PKL

sesungguhnya merupakan wujud dualisme pola dan struktur umum kota-kota di

Indonesia, yaitu wujud desa-kota. PKL adalah komponen dari pola dan struktur

36

Page 37: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

tadi. PKL menjadi jembatan yang akhirnya menjadi stimulus bagi tumbuhnya

evolusi personalisasi ruang bagi banyak pihak. Tumbuhnya personalisasi ruang,

baik dari PKL maupun aparat pemerintahan, mendudukkan fenomena PKL sebagai

implikasi dari pranata sosial yang lahir secara wajar karena konsekuensi politik,

ekonomi, dan sosial budaya. Politisasi berbagai masalah mengakibatkan sistem

perilaku yang terjadi menjadi sangat terinstitusi dan kompleks. Seperti halnya

dalam biaya transaksi yang harus di keluarkan oleh para PKL sangat beragam,

tergantung lokasi, jenis komoditi dan waktu berjualan dan minimal adalah Rp

5.000 per hari, yang dikoordinir oleh ketua kelompok kemudian disetorkan kepada

masing-masing oknum, dalam bentuk iuran ilegal, hingga praktis untuk masing-

masing ruas jalan minimal Rp 12.750.000,00 per hari dana masyarakat yang

termanfaatkan oleh oknum yang kita kenal dengan Rent Seeker (mereka tanpa

kerja menikmati uang hasil keringat asam para PKL dan mereka membangunan

bentuk hubungan Patron-Klien).

Aspek pragmatis di sisi positif menunjukkan derajat fleksibilitas yang

tinggi dan di sisi negatif menunjukkan kecenderungan yang tidak bertanggung

jawab. Kesetiakawanan dan toleransi berdampingan dengan rasa sungkan untuk

menegur dan tidak taat aturan untuk saling berinterferensi. Hal inilah yang makin

menguatkan terjadinya personalisasi ruang di pusat kota Bogor. Proses hubungan

pada PKL di Kota Bogor, dilakukan karena dianggap penting sebagai sarana untuk

tolong menolong dalam menghadapi kesukaran hidup yang tidak sanggup

diselesaikan secara mandiri, terutama untuk memenuhi kebutuhan hidup

khususnya pangan, sandang dan papan. Hubungan-hubungan yang telah dibangun

oleh PKL di sekitar stasiun Kereta Api Bogor, dilakukan untuk dapat tetap

bertahan di ruang publik dengan bentuk hubungan persahabatan/pertemanan,

perantara dan patron klien yang secara operasional dapat mempertahankan tempat

berdagang dan menikmati fasilitas dagang lainnya. Hubungan tersebut dilakukan

dengan rekan-rekan pada satu lokasi, bersamaan waktu berjualan, satu atau

berbeda komoditi serta hubungan dengan preman atau berbagai oknum yang dapat

membuat para PKL tetap bertahan untuk berjualan di lokasi tersebut.

37

Page 38: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

Di Kota Bogor yang merupakan Hinterland dari Ibu Kota Jakarta

mempunyai persoalan serius tentang keberadaan PKL yang setiap tahunnya

mengalami pertambahan jumlah dan terbatasnya lahan untuk menempatkan PKL

tersebut. Salah satu contoh di sekitar stasiun kereta api Bogor yang merupakan

tempat strategis dan masyarakat kota Bogor yang pulang – pergi dari Bogor ke

Jakarta dan Sukabumi menjadi salah satu lokasi yang sangat diminati oleh PKL,

sehingga ruang publik di sekitar stasiun kereta api Bogor dimanfaatkan oleh PKL.

Ruang publik di sekitar stasiun kereta Bogor yang dimanfaatkan oleh PKL yaitu

badan jalan, bahu jalan, trotoar, tempat parkir, emperan toko, emperan kantor dan

fasilitas umum lainnya. Istilah lain yang digunakan oleh Prof. Parsudi Suparlan

tentang pemanfaatan ruang publik ini lebih pada penyerobotan ruang-ruang publik

yang menyebabkan terjadinya alih fungsi penggunan ruang kota yang berakibat

menimbulkan kesemrawutan, kemacetan lalu lintas, mengurangi keindahan kota

dan 50 titik atau kawasan PKL lain termasuk di sekitar Stasiun Kereata Api, Pasar

Bogor, Lawang Saketeng, Pedati, Tanjakan Empang, MA. Salmun-Dewi Sartika,

dan lain-lain. Ruang publik yang termasuk fasilitas umum didefinisikan sebagai

tempat warga kota melakukan kontak sosial.

Keberadaan ruang publik di sekitar stasiun, jembatan merah, MA. Salmun -

Dewi Sartika, Lawang Saketeng, Jalan Roda, jalan Pedati dan lokasi lainnya yang

beralih fungsi karena ditempati PKL diantaranya adalah trotoar tidak bisa

digunakan sebagai sarana umum untuk berjalan kaki, bahu dan badan jalan hanya

dapat dilewati satu jalur kendaraan, tempat parkir di depan stasiun kereta api yang

tidak berfungsi lagi sebagai tempat parkir, dan emperan toko yang telah dipenuhi

PKL sehingga sulit untuk berjalan menuju toko, dan pada jalur tempat menungu

kereta api (peron), jalur masuk – keluar pintu stasiun dan tempat menunggu

angkuta kota (selter) di depan stasiun tidak berfungsi sebagaimana mestinya dan

sebagian besar dimanfaatkan oleh PKL. Ruang publik yang digunakan kegiatan

PKL sudah membentuk koridor berlapis tiga sampai lima, sehingga dapat

mempersulit pejalan kaki untuk menuju ke stasiun kereta dan atau sebaliknya.

Begitu juga yang terjadi pada 50 lokasi lain, kondisinya tidak jauh lebih baik dari

38

Page 39: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

kondisi di stasiun kereta api. Kegiatan PKL yang terdapat di 51 lokasi yang

menempati ruang publik, menurut Perda Nomor 1 Tahun 1990 tentang K-3

(kebersihan, Keindahan dan Ketertiban), pada pasal 5 dan pasal 8, yaitu badan

jalan, trotoar, selokan dan taman tidak diperbolehkan bagi kegiatan lain.

Pemberlakuan dan penetapan Peraturan Daerah sudah berlangsung lama,

seiring dengan itu keberlangsungan PKL juga terjadi bahkan penambahan jumlah

PKL terus meningkat yang berakibat semakin banyaknya ruang publik yang

beralih fungsi menjadi ruang kegiatan PKL. Keberlangsungan kegiatan PKL dari

waktu ke waktu menunjukkan adanya proses pemantapan menduduki dan

menempati ruang publik tersebut, sehingga pada kondisi sekarang menjadi mantap

dan dapat dikatakan permanen, hal ini ditandai dengan adanya pembangunan fisik

tempat berdagang yang dahulunya hanya menggelar di lapak sekarang sudah

berlantai semen dan ditutup atapnya dengan seng atau awning. Secara sepintas

pada bentuk bangunan PKL ada yang mirip seperti kios-kios pertokoan yang

dibatasi dengan dinding papan bahkan ada yang ditembok dan dilapisi bahan

bangunan, kemudian dicat dengan rapi dan menggunakan pengaman pintu roling.

Untuk peralatan berdagangnya telah menggunakan rak-rak yang terbuat dari kaca

dan alumunium dengan roda yang dapat digeser sesuai kebutuhan dan keinginan

penataan ruang tempat berjualan.

Kondisi dan keadaan tersebut menandakan adanya proses pemantapan para

PKL dengan menempati ruang-ruang publik dan sudah mencirikan adanya kondisi

kemantapan PKL menempati ruang-ruang publik perkotaan di sekitar stasiun

kereta api, jalan M.A. Salmun- Dewi Sartika, Jalan Jembatan Merah, Lawang

Saketeng, Jalan Roda, Jalan Pedati, Jalan Bina Marga, Jambu dua dan lain-lain.

Kondisi kemantapan PKL pada 51 lokasi yang ada sangat dimungkinkan adanya

keterkaitan dengan prinsip berdagang, yaitu para PKL mencari keuntungan yang

sebesar-besarnya dengan menghitung resiko kerugian yang sekecil-kecilnya dan

dapat berlangsung dalam waktu yang lama. Bagi PKL apapun akan dilakukan

selama kegiatan itu akan membawa manfaat bagi dirinya dan kelompoknya,

walaupun hal tersebut menyimpang dari peraturan yang ada. Bertahannya PKL

39

Page 40: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

menempati ruang publik sebagai konsekuen adanya kelonggaran terhadap

pelaksanaan Peraturan Daerah dan kurangnya pengawasan terhadap aparat

pemerintah Kota Bogor, dan beberapa oknum polisi dan militer serta partai politik

dan lain-lain, sehingga memungkinkan terjadinya negosiasi-negosiasi melalui

komunikasi antara PKL dengan aparat dan pengelola yang menguasai ruang

publik, sehingga terbangun interaksi dan hubungan sosial antara PKl dengan

aparat, dan oknum-oknum serta lingkungan sekitarnya.

Bertahan dan menjadi mantapnya para PKL dengan menempati ruang-

ruang publik di 51 titik di seluruh kota Bogor terjadi karena berkembangnya corak

kebudayaan pasar setempat. Menurut Prof. Parsudi Suparlan (2003) , Corak

kebudayaan pasar mencirikan egaliter dan tawar menawar, yaitu tawar menawar

pada barang, jasa, uang dan kekuatan atau power. Tawar menawar berlaku antara

pembeli dan penjual, antara oknum atau preman dengan penjual atau pemilik

lapak/toko, antara pemilik toko atau pebisnis dengan pejabat untuk memperoleh

fasilitas bisnis yang memadai. Bagi PKL gejala corak kebudayaan pasar nampak

kuat sekali dengan dimanfaatkannya ruang publik dan fasilitas umum, hal ini

sudah memasuki pranata pemerintahan, keluarga dan seluruh kehidupan suku

bangsa pada umumnya. Kebudayaan pasar berlaku secara lokal , dan muncul

karena adanya kebutuhan untuk melakukan transaksi ekonomi dan sosial, yang

diwujudkan dalam bentuk pasar, pertokoan, jalan, kendaraan umum, taman dan

lain-lain, yang kemudian berkembang sebagai konvensi-konvensi sosial yang

dibakukan menjadi pranata sosial yang berpedoman pada nilai-nilai budaya yang

berlaku di tempat-tempat umum tersebut.

Fungsi kebudayaan dalam kehidupan manusia adalah sebagai pedoman

bagi kehidupan manusia dalam menghadapai dan memanfaatkan lingkungan

beserta isinya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai manusia. Sebagai

pedoman, kebudayaan berisi pengetahuan dan keyakinan-keyakinan atau nilai-nilai

budaya yang menjadi acuan bagi tindakan-tindakannya dan yang menyelimuti atau

menjadi inti dari tindakan-tindakannya sehingga secara estetika, etika, dan moral

tindakan-tindakan tersebut masuk akal dan benar. Kebudayaan dapat dijadikan

40

Page 41: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

acuan untuk memperlihatkan perbedaan antara satu golongan sosial dengan

golongan sosial lainnya dan antara satu kelompok sosial dengan kelompok sosial

lainnya, yang secara arbriter diakui batas-batas yang menyebabkan keberadaan

dari perbedaan-perbedaan tersebut. Batas-batas sosial-budaya tersebut terwujud

dalam kaitannya dengan hasil interaksi yang terjadi antara para pelaku atau orang

perorangan, berbagai pranata sosial atau golongan sosial atau kelompok sosial

terutama dalam berbagai kepentingan sosial, ekonomi dan politik.

Kebudayaan pasar merupakan pedoman yang berlaku bagi tindakan-

tindakan di tempat umum, ada dalam wilayah masyarakat sukubangsa, dalam

wilayah antar sukubangsa, antar bangsa. Kebudayaan pasar berlaku dalam wilayah

budaya yang mencakup pasar, pertokoan, jalan, trotoar, kendaraan umum, tempat-

tempat untuk fasilitas umum, tempat-tempat hiburan dan pertamanan. Walaupun

tempat-tempat tersebut telah ditentukan fungsinya melalui berbagai peraturan

perundangan yang dibuat oleh pemerintah kota sesuai dengan fungsinya masing-

masing, tetapi dalam kenyataannya aturan-aturan tersebut telah berubah sesuai

dengan konvensi sosial yang berlaku dari waktu ke waktu atau karena kebijakan

dari pejabat yang menguasai kota (Suparlan, 2003). Untuk kasus PKL di Kota

Bogor menunjukkan pemanfaatan ruang publik oleh PKL seperti trotoar, bahu

jalan, badan jalan, tempat parkir, peron stasiun, koridor pintu masuk di jalan Nyi

Raja Permas, Jalan Roda, Lawang Saketeng, M.A. Salmun Dewi Sartika, Pasar

Bogor, Jembatan Merah, dan pintu masuk dan keluar stasiun kereta, emperan toko,

dan emperan stasiun kereta.

Pemanfaatan ruang publik oleh PKL tersebut, mengakibatkan perubahan

fungsi ruang kota, hal ini terjadi dan dapat berkembang karena adanya corak dari

kebudayaan pasar. Berbeda dengan kebudayaan nasional atau sukubangsa. Prinsip

yang dianut dan ada dalam kebudayaan pasar adalah egaliter atau tawar menawar

antara pembeli dan penjual terhadap barang, jasa, uang dan kekuatan. Tawar

menawar berlaku antara pembeli dan penjual, antara oknum, preman dengan

penjual atau pemilik toko, antara pemilik toko atau pebisnis dengan pejabat untuk

memperoleh fasilitas bisnis dan sebagainya. Di tempat-tempat umum dan mengacu

41

Page 42: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

pada kebudayaan pasar yang berlaku setempat, dan berbagai transaksi hasil tawar

menawar yang dilakukan oleh oknum dengan oknum, antara oknum dengan

pejabat, antara preman dengan PKL, atau antara pemilik kios, warung dan pemilik

pertokoan dan tempat hiburan. Di tempat umum juga bisa berlangsung tawar

menawar dari berbagai kekuatan diantara pengguna tempat-tempat umum, dan

antara pejalan kaki dengan pengendara sepeda motor dan mobil. Menurut

Suparlan, 2003, hal ini berkembang karena pada dasarnya adalah kebudayaan

pasar yang berkembang dan meluas dalam besaran-besaran wilayah budaya yang

memasuki pranata pemerintah, pranata keluarga dan kehidupan sukubangsa pada

umumnya.

Ketiga masalah krusial tersebut sangat bertentangan dengan Peraturan

Daerah Kota Bogor Nomor 8 TAHUN 2006 Tentang Ketertiban Umum yang

terdapat dalam pasal 6, sebagai berikut :

Pasal 6

Setiap orang dan/ atau badan dilarang :

a. mengotori dan atau merusak jalan, trotoar, jalur hijau, taman serta fasilitas

umum lainnya;

b. membuang dan atau membongkar sampah di jalan, trotoar, jalur hijau, taman

dan fasilitas umum lainnya;

c. menumpuk, menaruh, membongkar bahan bangunan dan atau barang-barang

bekas bangunan di jalan dan trotoar yang dapat mengganggu lalu lintas lebih

dari 1 X 24 jam, kecuali atas izin Walikota;

d. membuang air besar (hajat besar) dan buang air kecil (hajat kecil) di jalan,

trotoar, jalur hijau, dan taman;

e. menjemur, memasang, menempelkan atau menggantungkan benda-benda di

jalan, jalur hijau, taman dan tempat umum lainnya kecuali di tempat yang telah

diizinkan oleh Walikota;

f. membuat tempat tinggal darurat, bertempat tinggal, atau tidur di jalan, jalur

hijau, taman dan tempat-tempat umum lainnya;

42

Page 43: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

g. menebang, memotong, mencabut pohon, tanaman, dan tumbuh-tumbuhan di

sepanjang jalur hijau, taman-taman rekreasi umum, kecuali atas izin Walikota;

h. menempelkan selebaran, poster, slogan, pamflet, kain bendera atau kain

bergambar, spanduk dan yang sejenisnya pada pohon, rambu-rambu lalulintas,

lampu-lampu penerangan jalan, taman-taman rekreasi, telepon umum, dan

pipa-pipa air kecuali di tempat yang telah diizinkan oleh Walikota;

i. mencoret atau menggambar pada dinding bangunan pemerintah, bangunan

milik orang lain, swasta, tempat ibadah, pasar, jalan raya, dan pagar;

j. bermain layangan, ketapel, panah, senapan angin, melempar batu dan benda-

benda lainnya di jalan, trotoar, dan taman;

k. mempergunakan jalan, trotoar, jalur hijau, dan taman selain untuk

peruntukkannya tanpa mendapat izin Walikota;

l. membuka, mengambil, memindahkan, membuang dan merusak penutup riul,

rambu-rambu lalu lintas, pot-pot bunga, tanda-tanda batas persil, pipa-pipa air,

gas, listrik, papan nama jalan, lampu penerangan jalan dan alat-alat semacam

itu yang ditetapkan oleh Walikota;

m. mengangkut muatan dengan kendaraan terbuka yang dapat menimbulkan

pengotoran jalan;

n. mengotori dan atau merusak jalan akibat dari suatu kegiatan proyek;

o. membakar sampah atau kotoran di jalan, trotoar, jalur hijau, dan taman yang

dapat mengganggu ketertiban umum;

p. berdiri, duduk, menerobos pagar pemisah jalan, pagar pada jalur hijau dan

pagar di taman;

q. mencuci mobil, menyimpan, menjadikan garasi, membiarkan kendaraan dalam

keadaan rusak, rongsokan memperbaiki kendaraan dan mengecat kendaraan di

daerah milik jalan;

r. mengotori, merusak, membakar atau menghilangkan tempat sampah yang telah

disediakan;

s. memarkir kendaraan bermotor di atas trotoar;

43

Page 44: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

t. membuat pos keamanan di jalan, trotoar, jalur hijau, taman dan fasilitas umum

lainnya tanpa seizin Walikota.

3.4. Sosialisasi Upaya Peningkatan Pengetahuan dan Kesadaran

Hukum

McQuail (2000:503) merinci pelbagai definisi sosialisasi, antara lain

sebagai ‘pengajaran nilai-nilai dan norma-norma yang dibangun dengan cara

memberikan ganjaran dan imbalan simbolik untuk pelbagai jenis perilaku.

Sosialisasi dimaksudkan pula sebagai proses pembelajaran di mana kita semua

belajar bagaimana berperilaku dalam situasi-situasi tertentu dan mempelajari

harapan-harapan yang seiring dengan suatu peran atau status tertentu dalam

masyarakat. Jadi sesungguhnya, seperti diungkapkan Potter (2001:284), sosialisasi

adalah “... a life-long process ...” Proses yang berlangsung seumur hidup.

Sosialisasi dalam hal ini adalah pemberian/peningkatan pengetahuan bagi

aparat pemerintahan yang akan menjalankan aturan adalah hal yang mutlak.

Ketentuan ini merupakan satu kesatuan dengan materi aturan itu sendiri. Keduanya

adalah sebuah rangkaian yang tidak dipisahkan, karena pemahaman yang jelas

tentang aturan akan membawa pada pelaksanaan yang lebih efektif dan efisien.

Mengenai pengetahuan aparat ini, sering menjadi masalah, karena tingkat

pengetahuan yang berbeda, serta materi aturan yang umumnya memerlukan

penafsiran lebih lanjut. Sosialisasi ini adalah merupakan salah satu yang efektif

untuk bernteraksi langsung meningkatkan pengetahuan dan memberi kesadaran

hukum terhadap masyarakat. Selanjutnya dalam hal kesemerawutan ini sosialisasi

sebaiknya dilakukan kepada masyarakat Bogor langsung dengan cara

mengelompokan masyarakat, misalnya masyarakat pedagang dan pengusaha dari

pedagang kecil sampai dengan pengusaha besar, dengan seperti ini apa yang

dimaksudkan dari sosialisai atau pembekalan mengenai hukum yang berlaku akan

terarah langsung kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhan yang dibutuhkan.

44

Page 45: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

Secara ringkas untuk sosialisasi dalam upaya peningkatan pengetahuan dan

kesadaran aparat dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Melakukan pelatihan-pelatihan teknis sesuai bidang tugas secara

komprehensif dan berkelanjutan. Pelatihan ini difokuskan pada pemahaman

terhadap materi-materi perundang-undangan dan konsep sustainable

development.

2. Melakukan sosialisasi berupa dialog dan pertemuan dengan warga

masyarakat dan para stakeholder secara rutin dan komprehensif.

Pendekatannya adalah dialogis untuk menumbuhkan partisipasi semua

kalangan. Harus ditekankan ketentuan-ketentuan pengaturan diri sendiri yang

menunjang kelestarian lingkungan.

3. Melakukan sosialiasi secara lintas departemen dan instansi, terutama yang

berkaitan dengan kota Bogor. Pendekatannya tidak sektoral, sehingga akan

muncul rasa tanggung jawab dari semua pihak yang terlibat.

4. Melibatkan para tokoh masyarakat serta pengusaha dalam sosialisasi

peraturan perundang-undangan. Keterlibatan mereka berada di posisi kunci,

sehingga muncul sikap tanggung jawab untuk melaksanakan peraturan.

Secara tegas diatur pula, jika mereka tidak terlibat akan ada sanksi yang

tegas dan jelas.

5. Memasukkan klausul keharusan pemberian sosialisasi dan peningkatan

pengetahuan aparat ke dalam materi perundang-undangan. Aturan mengenai

jangan hanya masuk dalam peraturan teknis, namun ditegaskan dalam

peraturan utama, untuk menjaga terjadinya proses yang diharapkan.

Rekomen Kota Bogor di atas harus dilakukan sejalan dengan perbaikan pada

materi perundang-undangan, dimana ketentuan-ketentuan tersebut

dimasukkan sebagai bagian dari revisi peraturan perundang-undangan.

Wilayah Kota Bogor akan dianggap sebagai fokus kajian dengan melibatkan

semua stakeholder dan para tokoh masyarakat. Ini menjadi penentu dalam

keberhasilan program yang akan dilakukan.

45

Page 46: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

BAB IVANALISA

Pada dasarnya manusia ingin memliki rasa aman, nyaman dan tentram.

Namun terkadang untuk memperolehnya harus melewati lika-liku yang

46

Page 47: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

merumitkan daripada perbuatan manusia itu sendiri. Dalam tulisannya, Salingaros

mengajurkan keberadaan simpul yang sangat heterogen untuk meninggikan

dinamika sebuah kawasan. Adanya jalan yang memadai untuk menghubungkan

setiap simpul dalam kawasan akan meninggikan tingkat heterogenitas sebuah

kawasan sehingga ‘kematian’ beberapa tempat dalam sebuah kawasan dapat

dihindari. Namun Gehl menyatakan bahwa secara psikologis, manusia

membutuhkan batas dalam menyusuri sebuah jalan. Hal ini disebabkan oleh

kebutuhan rasa aman manusia saat berjalan di ruang publik. Dengan demikian,

masing-masing elemen tersebut di atas dapat saling menunjang untuk membentuk

citra mental warga kota atau kawasan. Adanya konflik perebutan ruang di jalan

menyebabkan terkadang berbagai pihak pengguna kehilangan rasa aman untuk

mengunakan jalan karena harus terus menerus berebut hak penggunaan ruang

jalan.

Pemahaman terhadap interaksi sosial yang dilakoni PKL akan sangat

berguna untuk memahami berbagai permasalahan sosial yang dihadapi oleh para

PKL dalam kehidupan bersama. Interaksi sosial merupakan kunci dari semua

kehidulpan sosial yang dijalani para PKL dan menjadi syarat utama terjadinya

aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan aspek perilaku. Dalam interaksi sosial

tersebut harus memenuhi dua unsur yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi.

Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (Cooperations), persiangan

(Competitive) dan pertentangan/pertikaian (Conflict). Ketiga bentuk interaksi

sosial secara khusus akan menjadi pedoman untuk mengetahui hubungan patron –

klien. Hubungan patron – klien mempunyai ciri khusus yang berbeda dari corak

hubungan-hubungan sosial lainnya, seperti hubungan pertemanan (friendship) dan

hubungan perantara (Brokerage). Perbedaan kedua hubungan tersebut terutama

ditandai oleh adanya hubungan timbal balik antara patron dan klien yang tidak

seimbang dalam mempertukarkan barang dan jasa. Ketidakseimbangan ini

menghasilkan adanya hubungan ketergantungan klien kepada patron.

Ketergantungan tersebut berupa ikatan-ikatan yang meluas dan melentur serta

47

Page 48: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

bersifat pribadi melampaui batas-batas hubungan yang semula melanda

tersujudnya hubungan diantara keduanya.

Selanjutnya James Scott (1997) yang dikutip Parsudi Suparlan

menyebutkan bahwa “Seorang klien adalah seorang yang menjamin hubungan

saling tukar enukar benda dan jasa secara tidak seimbang dengan patronnya,

dimana klien tidak mampu membalasnya secara penuh. Klien terlibat dalam suatu

hutang budi yang telah mengikat pada patronnya”.

Lebih lanjut Parsudi Suparlan menyatakan bahwa hubungan patron-klien

tersebut disebabkan oleh adanya unsur-unsur: interaksi tatap muka diantara pelaku

yang bersangkutan, adanya pertukaran barang dan jasa yang relatif tetap

berlangsung diantara para pelaku, adanya ketidaksamaan dan ketidakseimbangan

dalam pertukaran benda dan jasa, dan ketidakseimbangan dan ikatan yang bersifat

meluas dan melentur diantara patron dengan klien. Seorang patron mempunyai

kelebihan ekonomi dan kekuatan sosial dibandingkan dengan kliennya, karena

memiliki kedudukan struktur dalam masyarakat luas. Oleh karena itu muncul

adanya hubungan yang tidak seimbang yaitu patron memberikan perlindungan

(jasa atau harta) yang dapat digunakan oleh kliennya untuk menolong dirinya dari

keterbatasan-keterbatasan karena kimiskinan. Sebaliknya klien tidak dapat

mengembalikan benda atau jasa yang telah diperoleh dari patronnya secara penuh.

Karena itu klien berada hubungan hutang atau lebih tepat hutang budi kepada

patronnya yang sewaktu-waktu dapat ditagih oleh patron. Yang dituntut oleh

patron adalah kesetiaan dan pengabdian tenga kerja klien. Sebagai tenaga kerja,

dalam beberapa kasus imbalan yang dituntut patron untuk diberikan oleh kliennya

adalah uang dan benda.

Hubungan patron-klien sebenarnya dapat dilihat sebagai adanya

perwujudan hubungan dan pengelompokan kekuatan sosial yang fungsional dalam

mengarahkan pendapat umum. Pendapat umum adalah pendapat para klien yang

mengutarakan kesetiaan mereka terhadap patronnya. Dari sisi ini patron dapat

dilihat sebagai tokoh informal yang muncul dari dan dalam hubungan-hubungan

sosial yang berlaku. Patron inilah sebenarnya yang dapat disebut sebagy Key

48

Page 49: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

Person atau pemimpin informal yang menjadi tempat sandaran atau panutan para

kliennya. Dalam jaringan sosial, patron dilihat sebagai star atau pusat jaringan

sosial yang ada. Hubungan patron-klien sebenarnya baru ada atau muncul dalam

masyarakat pada saat norma-norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut

menuntut adanya hubungan tawar menawar dan saling tukar-menukar benda dan

jasa yang dilakukan secara spontan dan pribadi diantara pelaku, yaitu diantara

patron dan kliennya.

Beberapa kondisi dalam masyarakat yang mendukung kelestarian

hubungan patron-klien antara lain sebagai berikut:

a) Adanya perbedaan menyolok dalam kekayaan, status dan kekuatan sosial

menurut pandangan warga yang bersangkutan,

b) Tidak adanya pranata-pranata sosial yang dapat menjamin tetap

dipertahankannya status, kekayaan, kekuatan sosial dan keamanan

sejumlah warga masyarakat, dan

c) Masyarakat tersebut tidak hidup dalam sistem kekerabatan yang berfungsi

sebagai sarana untuk enjamin keamanan dan ketertiban serta kesejahteraan

hidup pribadi para warganya (Suparlan, 1991).

Dalam kondisi masyarakat sebagaimana tersebut di atas, seorang patron

dapat mempertahankan eksistensinya dan mengembangkan kekuatan sosialnya

dengan cara menambah jumlah kliennya. Kondisi lain yang perlu dimiliki oleh

seorang patron agar tetap eksis adalah penguasaan atas sumber daya meliputi

pengetahuan dan keahlian, pemilikan atas sumber daya ekonomi dan sosial,

pemilikan kekuasaan yang secara moral dan sosial diakui atas orang-orang yang

dikontrolnya secara langsung, yaitu orang-orang yang berada dalam struktur-

struktur hubungan yang lain di luar struktur patron klien yang dimilikinya.

BAB VPENUTUP

5.3. Kesimpulan

49

Page 50: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

Seperti berkali-kali diungkapkan Wali Kota Diani, mulai tahun 2005 harus

sudah melangkah seperti halnya pembenahan masalah transportasi yang telah

disusun konsepnya. Walaupun untuk menuntaskan permasalahan lalu lintas belum

bisa diselesaikan satu sampai dua tahun, bahkan mungkin dalam jangka waktu 5

tahun tidak akan selesai, begitu pula dengan masalah lainnya seperti PKL

(pedagang kaki lima) dan masalah kemiskinan. Persoalan kemacetan lalu lintas

sebenarnya ada empat "pemain" di dalamnya yaitu masyarakat, pengusaha

angkutan yang tidak disiplin, sopir angkot, pemilik angkot dan aparat sendiri

termasuk DLLAJ, polisi dan instasi terkait lainnya. Oleh karena itu untuk bisa

lepas dari persoalan ini, keempat pemainnya harus dibenahi. Kalau kita hanya

membenahi aparatnya saja tidak akan menyelesaikan masalah. Jadi, harus

bersama-sama membenahinya. Artinya, kesemuanya akan dimulai dari

pembenahan-pembenahan mulai dari dalam, mekanisme prioritas, sehingga

setahap demi setahap Kota Bogor diharapkan akan bisa lepas dari segala

permasalahan kemacetan.

Diketahui bahwa di dalam masyarakat ada yang dinamakan Kebudayaan

Hukum, Budaya Hukum, dan Seni Hukum. Dimana ketiga elemen ini sangat

penting untuk pembentukan norma hukum yang dibutuhkan oleh masyarakat

dalam menerapkan nilai hukum yang sesuai Undang – Undang Dasar 1945.

Bertahannya PKL menempati ruang publik sebagai konsekuen adanya

kelonggaran terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah dan kurangnya pengawasan

terhadap aparat pemerintah Kota Bogor, dan beberapa oknum polisi dan militer

serta partai politik dan lain-lain, sehingga memungkinkan terjadinya negosiasi-

negosiasi melalui komunikasi antara PKL dengan aparat dan pengelola yang

menguasai ruang publik, sehingga terbangun interaksi dan hubungan sosial antara

PKl dengan aparat, dan oknum-oknum serta lingkungan sekitarnya Menjadi

sebuah keniscayaan apabila ruang publik menjadi ajang perebutan kekuasaan

diantara berbagai oknum yang sangat berperan di dalam ruang kota. Seakan kota

menjadi tidak bertuan, dan pemerintah daerah menjadi semakin lemah karena

digerogoti oleh berbagai pihak yang menggunakan kekuasaan yang melekat pada

50

Page 51: Perilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Kesemerawutan Kota Bogor Ditinjau Dari Antropologi Hukum

masing-masing lembaga. Kota Bogor menjadi ladang premanisme baik yang

berdasi maupun tidak, dan semua ruang publik seakan-akan menjadi lahan

pertaruhan bagi berbagai pihak, yang menjadi becking bagi tumbuh suburnya PKL

di Kota Bogor. Mereka menari diatas penderitaan dan cucuran keringat yang selalu

membasahi tubuh para PKL , yang sejak pagi hingga malam bergelut dengan

panas dan dinginnya cuaca di Kota Hujan yang kita cintai.

5.4. Saran dan kritik

Berdasarkan hasil penjelasan diatas oleh karena itu Pemkot Bogor tidak

usah berkecil hati dalam menghadapi persoalan kemacetan lalu -lintas. Namun

demikian bukan berarti Pemkot Bogor harus berdiam diri, tanpa mencari solusi

pemecahannya. Tapi harus diupayakan dalam mengadapi persoalan yang sangat

rumit itu antara lain dilakukan dengan membangun infrastruktur yang dibutuhkan

tanpa mengesampingkan perilaku hukum pada masyarakat. Artinya segala sesuatu

yang akan dilakukan haruslah hasil dari keinginan masyarakat yang baik. Menjadi

suatu keharusan bagi pemerintah dan masyarakat, agar praktek premanisme dalam

penggunaan ruang publik dapat dieliminer untuk memberikan kenyamanan bagi

masyarakat, dan himbauan bagi PKL agar mau ditata demi kelancaran lalu lintas,

kebersihan, ketertiban, keamanan dan keindahan kota tanpa mengurangi aktivitas

ekonomi yang ada.

51