PERGESERAN HUKUM WARIS ADAT...

98
PERGESERAN HUKUM WARIS ADAT MINANGKABAU (Jual Beli Harta Pusako Tinggi di Kecamatan Banuhampu Kabupaten Agam Sumatera Barat) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah ( S. Sy) Oleh: MUHAMMAD HAFIZZ NIM: 109044100047 KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1434 H/2013 M

Transcript of PERGESERAN HUKUM WARIS ADAT...

PERGESERAN HUKUM WARIS ADAT MINANGKABAU

(Jual Beli Harta Pusako Tinggi di Kecamatan Banuhampu

Kabupaten Agam Sumatera Barat)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi

Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah ( S. Sy)

Oleh:

MUHAMMAD HAFIZZ

NIM: 109044100047

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1434 H/2013 M

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang

berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, April 2013

Muhammad Hafizz

i

ABSTRAK

Muhammad Hafiz

Pergeseran Hukum Waris Adat Minangkabau ( Jual Beli Harta Pusako Tinggi

di Kecamatan Banuhampu Kabupaten Agam Sumatera Barat)

Kearifan Manusia yang bertitel sebagai khalifah di bumi, sudah dibekali dengan

berbagai cara terbaik dalam menjaga kelestarian keturunannya. Manusia sebagai

makhluk sosial dalam kesehariannya tentu banyak keperluan untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya, salah satu dari cara terbaik yang untuk melestarikan keturunan

dan menjaga eksistensi keturunannya adalah dengan bermodal harta. Karena dalam

posisi ini harta menjadi bagian vital dari kelangsungan kehidupan itu sendiri.

Tata cara pembagian harta warisan dalam Islam telah diatur dengan sebaik-baiknya.

Al-Qur’an menjelaskan dan merinci detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak

kewarisan tanpa mengabaikan hak seorangpun, pembagian masing-masing ahli waris

telah ada ketentuannya dalm al-Qur’an.

Sementara masyarakat yang memilki sistem matrilineal seperti Minangkabau

mempunyai memiliki kewarisan tersendiri, ketentuan adat Minangkabau mengenal

dua macam harta yang diwariskan yaitu harta pusako tinggi dan harta pusako

rendah, dan sistem pewarisan harta tersebut juga berbeda yakni harta pusako tinggi

adalah harta yang diturunkan dari mamak ke kemenakan sedangkan harta pusako

rendah dibagi menurut pewarisan hukum Islam (Faraidh).

Harta pusako tinggi ini pada dasarnya menurut adat di Minangkabau adalah harta

yang hanya boleh digadaikan dan tidak boleh untuk diperjual-belikan. Namun seiring

dengan beriringnya zaman dan kondisi sosial masyarakat Minangkabau khususnya

masyarakat Kecamatan Banuhampu Kab. Agam Sumatera Barat, harta tersebut telah

ada dan banyak yang diperjual-belikan.

Penelitian ini untuk mengetahui dan mengungkap faktor apa saja yang melatar

belakangi masyarakat Minangkabau khususnya masyarakat Kecamatan Banuhampu

Kab. Agam Sumatera Barat memperjual-belikan harta pusako tinggi tersebut. Selain

itu juga untuk mengetahui eksistensi harta pusako tinggi di masyarakat tersebut serta

mengetahui pemanfaatan perbandingan harta pusako menurut hukum Islam dan

hukum adat Minangkabau.

Dengan menganalisis aspek agama, adat, sosial dan budaya masyarakat

Minangkabau, harta pusako tinggi adalah harta bersama yang bisa diperjual-belikan

ketika adanya kesepakatan bersama dari kaum di keturunan/suku tersebut. Keturunan

yang punah, generasi yang terputus dan krisis yang berkepanjangan dari kaum yang

sasuku dan saparuik juga adalah faktor yang membuat harta tersebut layak dan boleh

untuk diperjual-belikan.

ii

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis panjatkan kepada junjungan

kita yakni Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang

senantiasa berkorban menyebarkan dakwah Islam kepada seluruh umat sampai hari

kiamat.

Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar strata 1

( S.1) di Universitas Islam Negeri ( UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Membahas dan

menyusun skripsi ini bukan hal yang mudah, dibutuhkan semangat, kesungguh-

sungguhan dan kerja keras .

Di samping itu, penulis juga banyak mendapatkan motivasi, petunjuk dan

bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung

sehingga penyelesaian skripsi ini dapat berjalan dengan baik dan lancar. Oleh karena

itu, penulis senantiasa mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan Fakultas Syariah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA selaku Ketua Program Studi Hukum

Keluarga dan Ibu Hj. Rosdiana, MA selaku Sekretaris Program Studi Hukum

Keluarga.

iii

3. Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag selaku dosen pembimbing skripsi yang

senantiasa meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan serta

koreksi yang sangat berarti dalam kelancaran penulisan skripsi ini.

4. Ibu Sri Hidayati M.Ag selaku dosen pembimbing akademik yang senantiasa

megarahkan penulis di bangku perkuliahan dan juga dalam penyelesaian skripsi

ini.

5. Bapak Sekretaris Camat, Inyiak Wali Nagari Taluak IV Suku, para Alim Ulama

Cadiak Pandai dan Pemuka adat di Kecamatan Banuhampu khususnya Taluak IV

suku yang senantiasa memberikan ilmu dan informasi yang berhubungan dengan

skripsi ini sehingga penelitian yang penulis lakukan berjalan dengan lancar.

6. Para dosen yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, semoga ilmu yang

diberikan bermanfaat serta menjadi berkah bagi penulis, serta para pimpinan dan

staf perpustakaan baik perpustakaan utama maupun perpustakaan Fakultas Syariah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas

untuk mengadakan studi perpustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

7. Penulis haturkan terima kasih yang sebanyak – banyak nya untuk kedua orang tua

penulis, kepada ayahanda Surefdi Rivai dan ibunda Fauziah Bahar tercinta yang

telah mendidik penulis dengan penuh perhatian dan kasih sayang yang tak

terhingga dan do’a beliau dan untuk kakak Miftahul Jannah yang telah

memberikan penulis dorongan dan motivasi.

iv

8. Seluruh keluarga besar Enek Roslina dan Enek Adisah yang selalu memberikan

dukungan dan motivasi baik itu berupa moril maupun materil sehingga penulis

dapat menyelesaikan studi ini dengan lancar.9

9. Sahabat-sahabat tercinta, Muhammad Hanafi, Muhammad Nur Hady, Rahmat

Fajri, Fazri, Ishaq, Rahma Fitra, Rahmi Fadhila, Mentary Putry Rendy, dan teman

teman Ikatan Keluarga Mahasiswa Minangkabau dan teman-teman KKN Tuah

Sakato serta teman-teman seperjuangan Peradilan Agama A dan B angkatan 2009

terkhusus buat Mufti, Yusuf, Ahdi yang telah meluangkan waktunya tempat

penulis bertanya dan berbagi informasi selama perkuliahan.

Demikianlah ucapan terima kasih yang penulis haturkan atas semua bantuan

baik itu moril maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi ini. Mudah- mudahan Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah

diberikan. Amin.

Jakarta, 12 April 2013

Penulis

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK ............................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................ v

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah....................................... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 9

D. Metode Penelitian..................................................................... 10

E. Studi Review ............................................................................ 11

F. Sistematika Penulisan .............................................................. 12

BAB II : KEWARISAN HARTA PUSAKO

A. Harta Pusako Menurut Hukum Islam ...................................... 14

B. Harta Pusako Menurut Hukum Adat Minangkabau ................. 25

BAB III : KONDISI OBJEKTIF KECAMATAN BANUHAMPU

A. Tinjauan Umum dan Sejarah Singkat ...................................... 52

B. Geografis dan Demografis ....................................................... 54

C. Agama ...................................................................................... 55

D. Pendidikam ............................................................................... 58

E. Sosial Budaya dan Adat Istiadat .............................................. 60

vi

F. Nagari Taluak IV Suku Kecamatan Banuhampu Sebagai

Sampel Penelitian ..................................................................... 61

BAB IV : PERAN HARTA PUSAKO TINGGI

A. Peran Pusako Tinggi ................................................................ 62

B. Faktor-faktor dan Penyebab Bergesernya Hukum Waris Adat

Minangkabau ............................................................................ 64

C. Analisa Penulis ........................................................................ 68

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................. 72

B. Saran ....................................................................................... 73

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 74

LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kearifan manusia yang bertitel sebagai khalifah di bumi, sudah dibekali

dengan berbagai cara terbaik dalam menjaga kelestarian keturunannya. Manusia

sebagai makhluk sosial dalam kesehariannya tentu banyak keperluan untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya, salah satu dari cara – cara terbaik yang untuk

melestarikan keturunan dan menjaga eksistensi keturunannya adalah dengan

bermodal harta. Karena dalam posisi ini harta menjadi bagian vital dari

kelangsungan kehidupan itu sendiri.

Peradaban manusia sejak dahulu kala di dalam kitab-kitab sejarah sudah

menjelaskan bagaimana cara untuk mempertahankan kelangsungan keturunannya

dengan mempersiapkan lahan pertanian atau harta benda yang bisa diwariskan

bagi keturunan anak cucunya kelak agar bisa menikmati kehidupan yang lebih

baik. Pembagiannya lebih menurut kepada ketua suku, kepala keluarga atau

keputusan bersama diantara keluarga atau suku tersebut. Kebiasaan ini lambat

laun menjadi ajaran-ajaran adat pada suku-suku tertentu.

Dari segi pembagiannya, cara pembagian adat lebih dititik beratkan

kepada norma-norma adat atau kebiasaan leluhur yang kesemuanya merujuk

2

kepada hak otoritas kepala suku apakah itu laki-laki ataupun perempuan, klan

matriarki atau patriarki.1

Dalam masyarakat patriarki, sislsilah keturunan ditentukan melalui jalur

ayah dan peran lebih besar diberikan kepada laki-laki, baik dalam urusan rumah

tangga maupun dalam urusan masyarakat luas. Sebaliknya perempuan

mendapatkan peran yang tidak menonjol di dalam masyarakat. Di dalam

masyarakat ini, jenis kelamin laki-laki memperoleh keuntungan secara budaya,

sedangkan perempuan mengalami beberapa pembatasan dan tekanan.

Islam lahir tidak terlepas dari budaya-budaya sosial yang lebih dulu ada,

seperti misalnya masalah kewarisan. Di zaman Arab dulu karena perempuan tidak

diperhitungkan sehingga berefek pada ketidak layakan perempuan dalam posisi-

posisi penting termasuk dalam hal harta dan kewarisan.

Sejarah menginformasikan bahwa sebelum turunnya al-Qur’an terdapat

sekian banyak peradaban seperti Yunani, Romawi, India dan Cina. Dunia juga

mengenal agama-agama seperti Yahudi dan Nasrani, Budha, Zoroaster di Persia

dan sebagainya.2

1 Patriarki (Inggeris, Patriarchy) sudah menjadi istilah umum di dalam berbagai tulisan umum

di dalam berbagai tulisan ilmiah di Indonesia. Patriarki diartikan sebagai sistim masyarakat yang

menelusuri garis keturunan melalui pihak bapak (suami). Sebaliknya matriarki, kelompok masyarakat

yang menelusuri garis keturunan melalui pihak ibu (istri). Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan

Jender Perspektif al-Qur’an, (Jakarta : Paramadina, 2001), cet II, h. 128.

2 Bermula dari sejarah Yunani Kuno yang menempatkan perempuan sebagai tahanan istana,

sedangkan kalangan bawahnya memperlakukan perempuan sebagai dagangan yang diperjual belikan.

Sebelum kawin perempuan berada di bawah kuasa ayahnya, setlah menikah berada ditangan suami.

Kekuasaan suami ini mutlak, termasuk menjual, mengusir, memukul menganiaya bahkan

membunuhnya. Fakta tersebut berlangsung hingga abad ke-6 Masehi. Di masyarakat Hindu pra-abad

3

Dalam rumusan Islam terkesan lebih sistematis, demokratis dan lebih adil

dalam pembagian harta dan kewarisan. Terlepas apakah tokoh sekarang ini mulai

banyak mempertanyakan keadilan sistim waris Islam tersebut karena menilai

bagian perempuan dirasa lebih sedikit dari bagian lai-laki. Namun, sistem waris

Islam ini pada masanya merupakan sebuah terobosan besar dalam sistem

pembagian harta dan warisan. Bahkan, lebih jauh agama pertama yang

mengusung hak-hak perempuan di saat peradaban-peradaban dan agama lain tidak

memandang atau tidak menghargai perempuan sebagai manusia yang seutuhnya.3

Tata cara pembagian harta warisan dalam Islam telah diatur dengan

sebaik-baiknya. Al-Qur’an menjelaskan dan merinci detail hukum-hukum yang

berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorangpun. Pembagian

masing-masing ahli waris baik itu laki-laki maupun perempuan telah ada

ketentuannya dalam al-Qur’an. Firman Allah SWT : “ surat an-nisa ayat 11”.

ke-7 Masehi seringkali menjadikan wanita sebagai sesajen bagi para dewa. Hak hidup istri berakhir

saat suaminya meninggal: istri harus dibakar hidup-hidup saat mayat suaminya dibakar. Ajaran Budha,

memastikan perempuan selalu tunduk pada laki-lakibahkan seorang ibu mesti tunduk kepada anak

laki-lakinya. Jika istri mandul maka ia akan diceraikan begitu saja, sebab perempuan diperlukan hanya

untuk melahirkan saja. Perempuan digambarkan sebagai makhlut jahat, kotor dan dipergunakan

sebagai alat saja. Dalam peradaban Cina, terdapat petuah-petuah yang tidak memanusiakan

perempuan. Ajaran Yahudi menuduh perempuan sebagai sumber laknat dan fitnah karena Hawa

menjadi penyebab Adam terusir dari surge. Dan anak perempuan boleh dijual jika si ayah tidak

memiliki anak laki-laki. Tradisi nasrani tidak jauh berbeda, dalam konsili yang diadakan pada abad ke-

5 Masehi dinyatakan, bahwa perempuan tidak memiliki ruh yang suci. Selanjutnya, pada abad ke-6

Masehi Konsili menyimpulkan bahwa perempuan adalah manusia yang semata-mata diciptakan untuk

melayani laki-laki. Lihat Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an. (Bandung: Mizan, 1966), cet ke-II, h.

296-297., dan Jeanne Becher, Perempuan, Agama, dan Seksualitas Studi tentang Pengaruh Berbagai

Ajaran Agama Terhadap Perempuan, (Jakarta: P.T. BPK Gunung Mulia, 2004), cet. Ke-2, h. 214.

3 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta:

Paramadina, 2001), cet II, h. 94.

4

Sementara masyarakat yang memakai sistem matrilineal seperti

Minangkabau; warisan diturunkan kepada kemenakannya, petitih adat

Minangkabau mengatakan “dari niniak mamak, dari mamak ke kamanakan” (dari

nenek ke mamak, dari mamak ke kemenakan). Pengertian nenek (moyang), sudah

tentu berdasarkan sistim matrilinial, yaitu dari mamak, dari mamak ke kemenakan

ialah turunnya hak waris dari sako dan pusako (saka dan pusako).4

Berdasarkan sistem kekerabatan Minangkabau yang matrilinieal tersebut,

seorang lelaki Minangkabau dalam fungsinya sebagai mamak (saudara laki-laki

ibu) mempunyai tanggung jawab untuk memelihara anak-anak dari saudara

perempuannya. Bahkan dapat dikatakan hubungan seorang mamak dengan para

kemenakan (anak dari saudara perempuannya) secara adat jauh lebih kuat dari

hubungan seorang ayah dengan anak-anaknya. Hal ini dapat dilihat dari aturan

adat yang menetapkan para kemenakanlah yang nantinya mewariskan harta

warisan dan kedudukan adat sako dan pusako seorang mamak.5

Adat Minangkabau mempunyai bentuk kewarisan tersendiri, ketentuan

adat Minangkabau mengenal dua macam harta yang akan diwariskan, yaitu:

Harta Pusako Tinggi dan Harta Pusako Rendah. Harta pusako tinggi diwariskan

secara turun temurun kepada suatu kaum, sedangkan harta pusako rendah adalah

hasil pencaharian seseorang dan diwariskan menurut hukum Islam (Faraidh).

4 A.A. Navis, Alam Takambang Jadi Guru: Adat Kebudayaan Minangkabau, (Jakarta: Grafiti

Pres, 1984), h. 160-161.

5 A.A Navis, Alam Takambang Jadi Guru: Adat Kebudayaan Minangkabau, h. 161.

5

Beberapa azas pokok kewarisan Minangkabau itu akan dituangkan dalam

penjelasan sebagai berikut:6

1. Azas/Prinsip Unilateral

Unilateral yang dimaksud di sini adalah hak kewarisan hanya berlaku

dalam satu garis kekerabatan, dan satu garis kekerabatan di sini ialah garis

kekerabatan melalui ibu. Harta pusako yang diterima dari nenek moyang

hanya diturunkan kepada pihak perempuan, tidak ada yang melalui garis laki-

laki baik ketas maupun kebawah. Dengan demikian, maka yang dianggap

keluarga adalah kelompok tertentu yang disebabkan oleh kelahiran

perempuan. Susunan keluarga menurut pemahaman ini adalah, ibu nenek ; ke

atas lagi yaitu ibunya nenek. Ke samping ialah laki-laki dan perempuan yang

dilahirkan oleh ibu, dan laki-laki dan perempuan yang dilahirkan oleh ibunya

ibu. Ke bawah adalah anak, baik laki-laki atau perempuan dan seterusnya.

2. Azas Kolektif

Azas ini mengandung maksud bahwa yang berhak atas harta pusako

bukanlah orang perorang, melainkan suatu kelompok secara bersama-sama.

Merujuk kepada azas ini, maka harta tidak dibagi perorangn, hanya diberikan

kepada kelompoknya dalam bentuk utuh (tidak terbagi).

3. Azas Keutamaan

Maknanya, dalam penerimaan harta pusako atau menerima peranan

untuk mengurus harta pusako, ada tingkatan-tingkatan hak yang menyebabkan

6 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat

Minangkabau (Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo, 1982), h.75

6

suatu pihak lebih berhak dibandingkan dengan yang lain, dan selama yang

lebih berhak itu maka yang lain akan belum menerimanya.

Dalam ketentuanya pewarisan Harta pusako tinggi di Minangkabau jika

ibu meninggal, maka yang mendapatkan warisan adalah anak perempuannya saja.

Sedangkan jika yang meninggal itu adalah sang bapak, maka yang menjadi ahli

waris bukanlah anak kandungnya, melainkan anak-anak saudara wanita si bapak

tersebut atau para kemenakannya ynag perempuan.

Jadi dalam sistem pewarisan menurut adat Minangkabau harta pusako

tinggi anak lelaki tidak mendapatkan bagian harta warisan. Pada masyarakat

Minangkabau, dengan mengingat bahwa sistem pewarisannya adalah kolektif,

maka harta warisan itu adalah harta milik dari satu keluarga atau kelompok.

Barang-barang yang demikian hanya dapat dipakai saja (ganggam bauntuak)7

oleh segenap warga keluarga yang bersangkutan, dan tidak dapat dimiliki oleh

warga keluarga itu secara individual. Jadi, para anggota keluarga itu hanya

mempunyai hak pakai saja.8

Harta pusako tinggi ini tidak boleh diperjual - belikan dan hanya boleh

digadaikan. Menggadaikan harta pusako tinggi hanya dapat dilakukan setelah ada

permusyawarahan diantara petinggi kaum, diutamakan digadaikan kepada suku

yang sama tetapi dapat juga digadaikan kepada suku yang lain.

7 Ganggam Bauntuak (genggam Beruntuk), merupakan istilah yang dipakai orang

Minangkabau dalam perihal kewarisan yang artinya, harta itu dimilik secara bersama-sama dan tidak

boleh dibagi untuk pribadi kaum.

8 Amir Syarifudidin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat

Minangkabau, (Jakarta: PT Midas Surya Grafindo, 1982), h. 269.

7

Tergadainya harta pusako tinggi ini karena 4 hal yaitu : “Gadih gadang

indak balaki, Mayik tabujua diateh rumah, Rumah gadang katirisan,

Mambangkik batang tarandam”. ( Perawan tua yang tidak bersuami, mayat

terbujur di atas rumah, rumah besar bocor, membongkar kayu terendam).

Kemudian yang menjadi pertanyaan, dewasa ini seiring berjalannya waktu

kedudukan harta pusako tinggi tidak hanya digadaikan namun sudah ada yang

diperjual belikan. Kenapa harta pusako tinggi ini diperjual belikan?, apakah orang

Minangkabau sudah tidak lagi menjunjung adat istiadat budaya Minangkabau

yang mana harta pusako tinggi itu tidak boleh diperjualbelikan? Apakah yang

melatarbelakangi sebagian masayarakat Minangkabau memperjual belikan harta

pusako tinggi? Apakah ada titik temu atas permasalahan jual beli harta pusako

tinggi? Atau mungkin masyarakat Minangkabau sudah melupakan adat istiadat

Minangkabau yang mana harta pusako tinggi hanya boleh digadaikan dan tidak

boleh untuk diperjualbelikan?

Dari berbagai penjelasan dan pertanyaan di atas penulis tertarik untuk

mengangkat tema besar tersebut kedalam sebuah skripsi dengan judul:

”Pergeseran Hukum Waris Adat Minangkabau (Jual Beli Harta Pusako

Tinggi di Kecamatan Banuhampu Kabupaten Agam Sumatera Barat)”

8

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Untuk menhindari melebarnya pembahasan, penulis merasa perlu

untuk memberikan batasan dan perumusan masalah terhadap objek yang

dikaji. Lingkup masalah penelitian ini terbatas pada masalah jual beli harta

pusako tinggi yang telah dipaparkan pada latar belakang di atas dan hanya

terfokus pada masyarakat Minangkabau yang berdomisili di Kecamatan

Banuhampu, dengan sampel penelitian di Nagari Taluak IV Suku Agam

Sumatera Barat.

Adapun yang menjadi fokus penelitian di sini adalah apakah

masyarakat Minangkabau tersebut masih tetap menggunakan kewarisan adat

Minangkabau dalam menyelesaikan masalah kewarisannya?, dan untuk

kewarisan adat Minangkabau ini, penulis membatasinya pada permasalahan

pewarisan harta pusako tinggi.

2. Perumusan Masalah

Pada dasarnya menurut teori dalam hukum Islam Tata cara pembagian

harta warisan dalam Islam telah diatur dengan sebaik-baiknya. Al-Qur’an

menjelaskan dan merinci detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak

kewarisan tanpa mengabaikan hak seorangpun. Pembagian masing-masing

ahli waris baik itu laki-laki maupun perempuan telah ada ketentuannya dalam

al-Qur’an. Firman Allah SWT : “ surat an-nisa ayat 11”. Sedangkan dalam

sistem kewarisan adat Minangkabau pembagian warisan itu dibedakan

9

menjadi harta pusako rendah dan harta pusako tinggi yang mana harta pusako

rendah dibagi menurut kewarisan yang ditentukan dalam al-Qur’an sedangkan

harta pusako tinggi mempunyai aturan tersendiri yaitu hanya diwariskan

kepada pihak perempuan dan tidak boleh di perjual belikan. Akan tetapi

dalam prakteknya khususnya dalam hal harta pusako tinggi ini dalam

perkembangannya telah banyak yang diperjual belikan

Rumusan tersebut dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan sebagai

berikut :

a. Bagaimana pemanfaatan Harta Pusako di masayarakat Minangkabau

menurut hukum Islam dan hukum adat Minangkabau?

b. Bagaimana eksistensi hukum kewarisan harta pusako tinggi adat

minangkabau di masyarakat Minangkabau Nagari Taluak IV suku

Kecamatan Banuhampu Sumatera Barat?

c. Faktor apa saja yang mempengaruhi pergeseran hukum kewarisan adat

Minangkabau di Nagari Taluak IV suku Kecamatan Banuhampu Sumatera

Barat?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian, adalah :

1. Mengetahui pemanfaatan perbandingan harta pusako menurut hukum Islam

dan hukum adat Minangkabau

2. Mengetahui eksistensi harta pusako tinggi di masyarakat nagari tersebut.

10

3. Mengungkap hal-hal apa saja yang melatar belakangi pergeseran hukum adat

di Minangkabau khususnya dalam kewarisan harta pusako tinggi.

Manfaat Penelitian, adalah :

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kejelasan bagaimana hukum

waris dalam ketentuan hukum Islam dan hukum adat di Minangkabau.

2. Untuk memberikan kontribusi positif dari akademisi dalam rangka

memberikan solusi terhadap pergeseran hukum waris adat Minangkabau

khususnya kewarisan harta pusako tinggi.

3. Sebagai bentuk khazanah kelimuan dan kewarisan bagi siapa saja

yangmembaca hasil penelitian ini.

D. Metode Penelitian

1. Jenis dan Metode Penelitian

Jenis penelitian yang akan penulis lakukan adalah penelitian kualitatif, yakni

dengan menggunakan instrument penelitian lapangan. Sedangkan metode

yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yakni berusaha

menyajikan fakta-fakta yang objektif sesuai dengan kondisi dan situasi yang

sebenarnya terjadi pada saat penelitian dilakukan.

Di samping itu peneliti juga menggunakan instrument penelitian kepustakaan,

yaitu penelitian dengan jalan menelaah buku-buku ilmiah, meneliti buku-buku

para ulama dan faktor penunjang yang melandasi dasar-dasar teoritis.

2. Lokasi Penelitian

11

Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi di Nagari Taluak IV Suku

Kecamatan Banuhampu Kabupaten Agam Sumatera Barat.

3. Sumber Data

a. Data Primer

Merupakan data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat.

Data ini meliputi interview dengan pemuka adat, tokoh agama dan

beberapa tokoh masyarakat yang dianggap mengetahui tentang pergeseran

hukum waris adat Minangkabau.

b. Data Sekunder

Merupakan data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi

kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah

yang diajukan yang memberikan penjelasan tentang bahan dan data

primer. Dokumen-dokumen ini adalah al-Qur’an, Hadist, buku-buku

ilmiah, buku-buku yang berhubungan dengan adat Minangkabau, literatur-

literatur fikih serta sumber lainnya yang mendukung dalam penulisan ini

E. Review Kajian Terdahulu

Dari beberapa literatur skripsi yang berada di perpustakaan fakultas

syariah dan hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta penulis mengambilnya untuk

dijadikan sebuah perbandingan dengan skripsi yang akan ditulis di antaranya :

12

Nama

Penulis/Judul/Tahun

Hengki

Afrizal/Eksistensi

Penerapan Hukum

Waris Adat

Minangkabau Pada

Masyarakat Minang

Kecamatan Cileungsi

Kabupaten Bogor/2009

Mardiono/Pembagian

Harta Waris (Studi

Komparatif Penafsiran

Surat Al-Nisa’ ayat 11-

12 dengan Adat di

Minangkabau/2010

Substansi

Peninjauan terhadap

Eksistensi Hukum Waris

Adat Minangkabau pada

Masyarakat Minang

Kecamatan Cileungsi

Kabupaten Bogor

Perbandingan Antara

Hukum Waris Adat

Minangkabau dengan

Penafsiran Surat Al-

Nisa’ ayat 11-12

Keterangan

Pembahasan Tentang

Pemahaman Masyarakat

Minang di Rantau

terhadap Hukum Waris

Adat Minangkabau

Pembahasan Hukum

Waris adat dan

Pembahasan Hukum

Waris Menurut

Penafsiran Surat Al-

Nisa’ ayat 11-12

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam

bentuk bab dan sub bab yang secara logis saling berhubungan dan merupakan

13

suatu dari masalah yang akan diteliti. Adapun system penulisan skrispi ini sebagai

berikut :

Bab pertama : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,

pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, metode penelitian dan tekhnik penulisan,

review kajian terdahulu dan sistematika penulisan.

Bab kedua : Tinjauan Umum Tentang Kewarisan harta pusako yang

meliputi; Kewarisan menurut hukum Islam, kewarisan

menurut adat Minangkabau, dan Pemanfaatan harta pusako

Bab ketiga : Kondisi Objektif Kecamatan Banuhampu yang meliputi;

Tinjauan Umum dan Sejarah Singkat, Geografis dan

Demografis, Agama, Pendidikan, Sosial Budaya dan Adat

Istiadat dan Nagari Taluak IV Suku Kecamatan Banuhampu

sebagai sampel penelitian.

Bab keempat : Posisi Harta Pusako Tinggi di Masyarakat Nagari Taluak IV

Suku Kecamatan Banuhampu Kabupaten Agam Sumatera

Barat, Peranan Harta Pusako tinggi, Faktor-faktor dan

Penyebab Bergesernya Harta Pusako Tinggi, dan Analisa

Penulis terhadap Pergeseran kewarisan Harta Pusako Tinggi.

Bab Lima : Bab Penutup, dalam bab ini penulis berupaya menyimpulkan

dari analisa dan pembahasan di bab-bab sebelumnya, terakhir

beberapa saran atau rekomendasi.

14

14

BAB II

KEWARISAN HARTA PUSAKO TINGGI

A. Kewarisan Menurut Hukum Islam

1. Pengertian

Dalam hukum islam, kewarisan dikenal dengan istilah ilmu faraidh

atau dengan ilmu mirast. Dalam bahasa arab, kata faraidh menunjukkan jamak

dari bentuk bentuk tunggal faridah yang berarti satu ketentuan atau bagian-

bagian tertentu. Sedangkan kata al-miraasts dalam bahasa arab merupakan

bentuk masdar dari kata waratsa-yaritsu-irtsan-wamiiraatsan. Secara

epistimologi miraasts berarti berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada

orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain (sesuatu ini bersifat umum),

bisa bersifat harta atau ilmu keluluhan.1

Sedangkan secara terminology memiliki beberapa defenisi pula, di

antaranya :

a. Hak-hak kewarisan yang jumlahnya telah ditentukan secara pasti dalam al-

Qur’an dan sunnah nabi.

b. Pengetahuan tentang pembagian warisan dan tata cara menghitung yang

terkait dengan pembagian harta waris dan pengetahuan tentang bagian

yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak waris.2

1 M. Ali. Ash Shabuniy, Hukum Waris Islam, ( Surabaya: Al-Ikhlas, t.th), h. 1

2 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-zhar, Hukum Waris Terlengkap, ( Jakarta: CV

Kuwait Media Gressindo), h. 13

15

c. Pemindahan harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia

kepada yang masih hidup baik mengenai harta yang ditinggalkannya,

orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan tersebut, bagian-

bagian masing-masing ahli waris, maupun cara penyelesaian harta

peninggalan tersebut.

Kewarisan merupakan bentuk dasar dari kata waris yang mendapatkan

imbuhan ke- dan akhiran –an. Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin di dalam

bukunya hukum kewarisan islam, hukum kewarisan islam adalah seperangkat

peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Nabi tentang hal ihwal

peralihan harta atau berujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup

yang diakui dan diyakini berlaku dengan mengikat untuk semua yang beragama

islam.

2. Dasar Hukum

Al-Qur’an menjelaskan ketentuan-ketentuan faraidh ini jelas sekali, Allah

berfirman dalam Surat An-Nisa ayat 7 yang berbunyi :

Artinya : Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak

dan kerabatnya dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan

ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah

ditetapkan. (An-Nisa: 7)3

3 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ( Semarang: PT Kumudasmoro

Grafindo, 1994), h. 116

16

Sedangkan sumber hukum kewarisan islam dari Al-Hadist yang

diriwayatkan Ibnu Abbas r.a :

4

Artinya: Dari Ibnu Abbas berkata: bersabda Raulullah Saw, bagilah

harta warisan diantara ahli waris sesuai dengan ketentuan kitabullah. ( HR.

Muslim).

Ijma dan ijtihas para sahabat imam-imam mazhab dan mujtahid-mujtahid

kenamaan mempunyai peranan yang tidak kecil sumbangannya terhadap

pemecahan-pemecahan masalah waris yang belum dijelaskan oleh nash-nash yang

sharih, misalnya:

a. Status saudara-saudara yang mewarisi sama-sama dengan kakek. Dalam al-

Qur’an hal ini tidak dijelaskan yang dijelaskan adalah status saudara-saudara

bersama-sama dengan ayah atau bersama-sama dengan laki-laki yang dalam

keadaan ini mereka tidak mendapat apa-apa lantaran hijab kecuali dalan

kalalah mereka mendapatkan. Menurut kebanyakan pendapat sahabat dan

imam-imam mazhab yang mengutip pendapat Zaid bin Tsabit, saudara-

saudara tersebut mendapat pusako secara muqasamah dengan kakek.

b. Status cucu yang ayahnya lebih dulu mati daripada kakek yang bakal diwarisi

yang mewarisi bersama-sama dengan saudara-saudara ayah. Menurut

4 Abu Husain Muslim Ibnu Al-hajjaj Al-husyairy Al-naisabury, Sahih Muslim, Juz III.

(Indonesia: Maktabah Daklan, t.th) h.1234

17

ketentuan mereka tidak mendapat apa-apa lantaran terhijab oleh saudara

ayahnya, tetapi menurut kitab undang-undang Wasiat Mesir yang

mengistinbatkan dari ijtihad para ulama mutaqaddimin, mereka diberi bagian

berdasarkan atas wasiat wajibah.5

3. Rukun dan Syarat Kewarisan Islam

a. Rukun Kewarisan

Dalam masalah pembagian harta waris ini terdapat rukun-rukun yang

harus dipenuhi yaitu:

a. Muwaris (orang yang member warisan), yaitu orang yang meninggal

dunia baik meninggal dunia secara hakiki atau karena keputusan hakim

dinyatakan mati berdasarakan beberapa sebab. Harta peninggalan yang

ditinggalkan berhak dipusakai oleh orang lain.

b. Waris, (penerima waris), yaitu orang yang mempunyai hubungan dengan

orang yang telah meninggal dengan suatu sebab dia mendapatkan harta

pusaka, baik hubungan itu karena hubungan kekeluargaan atau

perkawinan.

c. Maurus, (benda yang diwariskan), yaitu harta peninggalan si mayit yang

akan dipusakai setelah dikurangi biaya perawatan, hutang piutang, zakat

dan setelah digunakan untuk wasiat.6

5 Abid Bisri Mostafa, Terjemah Sahih Muslim, Jilid III, (Semarang: Asy Sifa, 1993), h. 146

6 Teuku M. Habsyi As- Shidiqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h.

33-34

18

b. Syarat Kewarisan7

Selain harus memnuhi rukun waris yang telah disebutkan, kewarisan

itu juga memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

1) Matinya Pewaris

Seseorang diketahui sebagai pewaris apabila ia telah mati. Kematiannya

dapat diketahui secara pasti melalui informasi yang didukung oleh fakta

atau mungkin melalui proses hukum, apabila alternatif ini tidak dapat

dipenuhi maka calon pewaris masih dinyatakan hidupnya.

2) Hidupnya Ahli Waris Disaat Kematian Pewaris

Para ahli waris yang benar-benar hidup disaat kematian pewaris berhak

mewarisi harta peninggalannya. Kedua syarat pusaka mempusakai

sebagaimana diterangkan di atas menimbulkan problem-problem antara

lain pusaka mafqud, pusaka anak dalam kandungan, pusaka orang yang

mati berbarengan. Problem ini harus dipecahkan karena adanya keraguan

tentang atau matinya mereka disaat kematian orang yang mewariskan.

3) Tidak Ada Penghalang-Penghalang Kewarisan

Walaupun kedua syarat di atas telah ada pada pewaris dan ahli waris,

namun salah satu dari mereka tidak dapat mewariskan harta

peninggalannya kepada yang lain atau mewarisi harta peninggal dari yang

lain selama masih terdapat dari salah satu empat penghalang kewarisan

yaitu perbudakan, pembunuhan, perbedaan agama dan perbedaan Negara.

7 Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Grafindo Persada, 1995). h.

19

Adapun yang dimaksud penghalang mewarisi adalah tindakan atau hal-hal

yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mempusakai beserta

adanya sebab-sebab dan syarat-syarat mempusakai.

Hal-hal yang menyebabkan terhalangnya waris antara lain adalah sebab

membunuh pewaris, sebab berlainan agama, sebab perbudakan.8

4. Sebab-sebab Kewarisan Dalam Islam

Hal-hal yang menyebabkan terjadinya saling waris mewarisi adalah

sebagai berikut:

a. Sebab perkawinan

Hubungan perkawinan adalah suami istri yang saling mewarisi karena mereka

melakukan akad perkawinan yang sah. Perkawinan baru dikatakan sah apabila

nikah yang telah dilakukan sesuai dengan rukun dan syarat perkawinan serta

bebas dari halangan perkawinan.

Dengan demikian suami istri dapat menjadi ahli waris dari istrinya maupun

sebaliknya. Walaupun suami istri tersebut belum melakukan hubungan suami

istri (wataha), asal nikah mereka sah mereka dapat mewarisi. Dalilnya adalah

surah An-Nisa ayat 12. Pewarisan karena hubungan akan tetap berlaku

sepanjang suami istri yang wafat masih dalam batas-batas kewajaran, yakni ia

masih dalam talak raj’I dan ahli waris antara keduanya masih ada.9

8 Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Grafindo Persada, 1995). h. 66

9 Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Grafindo Persada, 1995). h. 67

20

b. Sebab keturunan dan nasab

Adanya kata nasab ini ditimbulkan karena adanya perkawinan atau

merupakan kelanjutan dari adanya hubungan perkawinan. Perlu ditegaskan di

sini bahwa yang dimaksud nasab di sini adalah nasab haqiqi, yakni kerabat

yang sebenarnya. Sebab Sayid Sabiq menyebut sebab wala dengan sebab

nasab secara hukmi.

Sah hubungan nasab, bukan saja karena telah terjadi akad perkawinan, akan

tetapi harus pula terjadi akan hubungan biologis antara suami istri. Meskipun

begitu bisa juga tanpa terjadinya hubungan biologis dari suami istri tersebut.

Hubungan nasab atau kekerabatan, yang lebih berhak menerima warisan

adalah kerabat yang lebih dekat dengan pewaris tanpa ada yang menghijab,

hubungan kekerabatan dengan ini selain dapat disebabkan oleh unsure

kelahiran juga melalui alat bukti pengakuan.10

c. Sebab memerdekakan budak (wala)

Adapun yang dimaksud mewarisi dengan sebab hubungan wala’ adalah

seseorang menjadi ahli waris karena ia telah memerdekakan budak.

Kewarisan dengan sebab wala’ syaratnya masih hidupnya bekas tuan, telah

wafatnya budak yang telah dimerdekakan dan ada harta yang ditinggalkan

oleh budak itu. Jadi bekas tuan adalah ahli waris dari bekas budaknya dan

dapat berkedudukan ssebagai asabah apabila ia telah memiliki keturunan.11

10

Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Grafindo Persada, 1995). h. 68 11

Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Grafindo Persada, 1995). h. 68

21

5. Pembagian Warisan Menurut Al-Qur’an (Al- Furudl Muqaddarah)

Al-Furudl Muqaddarah adalah bagian-bagian tertentu yang telah

ditetapkan syara’ bagi ahli waris dalam pembagian harta warisan. Berdasarkan

beberapa dalil baik dalam al-Qur’an maupun Hadis Nabi Muhammad Saw

dapatlah diketahui bahwa al-furudl muqaddarah itu ada 6 macam yaitu:

2/3;1/2;1/4;1/8;1/3;dan1/6.12

Menurut al-Qur’an surah An-Nisa ayat 11, 12 dan 176 adalah waris yang

mendapat saham tertentu berjumlah (9) Sembilan orang, dengan perincian sebagai

berikut:

a. Surah An-Nisa ayat 11, adalah ahli waris itu adalah anak perempuan, ayah,

dan ibu.

b. Pada surah An-Nisa ayat 12, ahli waris itu adalah suami, istri, saudara laki-

laki seibu dan saudara perempuan seibu.

c. Pada surah An-Nisa ayat 176, ahli waris itu adalah saudara perempuan

sekandung dan seayah.

Adapun bagian Ashabul Furudh yang berjumlah Sembilan orang yang

telah ditentukan dalam al-Qur’an adalah sebagai berikut:

a. Bagian anak perempuan

Dalam Surah An-Nisa ayat 11 dinyatakan:

…..

12

Abd Latif Wahid, Materi Kuliah Fikih Mawaris A, (Banjarmasin: Departemen Agama IAIN

Antasari Fakultas Syariah, 2003), h. 48

22

Artinya: …..dan jika anak itu semuanyaperempuan lebih dari dua,

maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; Jika anak

perempuan itu satu orang saja, maka ia memperoleh separo harta….(QS. An-

Nisa: 11).13

Menurut Mufassirin, ayat ini menghendaki bahwa seorang anak

perempuan bagiannya setengah. Akan tetapi berbeda pendapat tentang kata

اْثَنَتْيِن َفْوَق apakah dua orang atau tiga orang ketas yangberhak mendapat bagian

dua pertiga (2/3), Al-Maraghi meninformasikan bahwa jumhur ulama

menafsirkan kata اْثَنَتْيِن َفْوَق dengan dua anak perempuan.14

b. Bagian ayah dan ibu

Surah An-Nisa ayat 11 menyatakan:

Artinya:…Dan untuk dua orang ibu bapak bagi masing-masingnya

seperenam dari harta yang ditinggalkan; jika yang meninggal itu mempunyai

anak. Jika yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu

bapaknya (saja) maka ibu mendapat sepertiga (1/3), jika yang meninggal itu

mempunyai beberapa saudara maka ibunya mendapat seperenam…

Dari ayat tersebut dapat diketahui, ayah dan ibu masing-masing

mendapat seperenam apabila ada anak, akan tetapi apabila tidak anak dan ahli

warisnya ibu bapaknya saja maka ibu mendapat sepertiga dan sisanya untuk

ayah.

13

Dahlan Shaleh, M.D. Dahlan, Ayat-ayat Hukum Tafsir dan Uraian Perintah-perintah

Dalam al-Qur’an, (Bandung: CV Diponegoro, 1990), cet II, h. 129

14

Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, (Beirut: Darul Fiqr, 1973), h. 196

23

c. Bagian saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu

Dalam surah An- Nisa ayat 12 yang berbunyi:

Artinya:..Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang

tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai

saudara laki-laki (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis

saudara itu seperenam harta, tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari

seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga itu…

Ayat di atas dapat dipahami, bahwa saudara laki-laki dan saudara

perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam apabila ia sendiri.

Akan tetapi apabila dua orang atau lebih saudara laki-laki seibu, ia mendapat

sepertiga. Apabila seorang saudara laki-laki seibu bersama-sama seorang

saudara perempuan seibu mereka membagi 2:1 dari bagian 1/3.15

Menurut al-Maragy, saham yang sama antara saudara laki-laki dan

saudara perempuan seibu karena keduanya menggantikan kedudukan ibu

konsekuensinya ia mendapat saham sesuai dengan saham ibu.16

d. Bagian saudara perempuan sekandung

Bagian saudara perempuan sekandung dapat dipahami dari surah An-

Nisa ayat 176 yang berbunyi:

15

Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Beirut: Darul Fiqr, 1973), h. 109.

16

Ibid, h. 109

24

...

..

Artinya:…Jika seseorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai

saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua

dari harta yang ditinggalkan, dan saudaranya yang laki-laki mempusakoi

(seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika

saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari

harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu

sendiri) dari saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bahagian dari

saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang perempuan… (QS. An-Nisa:

176).

Penjelasan ayat ini adalah apabila seorang saudara perempuan maka

baginya 1/2 , akan tetapi apabila bersam-sama dengan saudara laki-laki maka

bagiannya adalah 2:1.

e. Bagian saudara perempuan ayah

Dasar hukum saudara perempuan kandung seayah menjadi ahli waris

adalah sama dengan saudara perempuan sekandung yaitu surah An-Nisa ayat

176. Dengan demikian bagiannya juga sama kecuali menurut Rasyid Ridha

apabila saudara perempuan sekandung, maka saudara perempuan seayah

mendapat 1/6 sebagai pelengkap.

f. Bagian suami istri

Hal ini ditegaskan dalam surah An-Nisa ayat 12. Dalam surat tersebut

dikatakan, suami mendapat bagian ½ apabila tidak ada anak, jika ada anak

25

suami mendapat bagian ¼ jika tidak ada anak isteri mendapat bagian 1/4, dan

jika ada maka istru mendapat 1/8.

Dalam pembahasan Furudul Muqaddarah disebutkan juga ahli waris

yang berhak mendapatkan warisan apabila tidak terhijab, baik laki-laki

maupun perempuan yang berjumlah tujuh belas (17) orang. Sepuluh (10) di

antaranya adalah laki-laki dan tujuh (7) orang perempuan.

Ahli waris laki-laki terdiri dari anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak

laki-laki terus kebawah, ayah, kakek terus ketas, saudara laki-laki, anak

saudara laki-laki, paman, anak paman, suami, orang yang memerdekakan

budak. Sedang ahli waris perempuan ialah; anak perempuan, cucu perempuan

dari anak laki-laki, ibu, nenek, saudara perempuan, istri, orang perempuan

yang memerdekakan budak.

Jika ketujuh belas ahli waris itu ada, dalam hal pembagian harta

warisan, maka yang berhak menerima warisan hanya lima orang yakni; ayah,

ibu, anak laki-laki, anak perempuan, suami/istri. Hal ini disebabkan karena

kelima ahli waris tersebut yang paling dekat dengan pewaris dan ahli waris

tersebut tidak bisa terhijab dengan hijab hirman.

B. Harta Pusako Menurut Hukum Adat Minangkabau

1. Masyarakat dan Problematika Adat Minangkabau

Secara struktural orang minang selalu menjadikan adat minangkabau

menjadi dasar bangunan kehidupan mereka. Adat biasanya dipahami sebagai

26

kebiasaan setempat yang mengatur interaksi masyarakat dalam suatu

komunitas. Adat yang merupakan kompleksitas, norma-norma, kepercayaan

dan etika mempunyai arti ganda. Satu sisi adat berarti kumpulan kebiasaan

setempat, disisi lain adat juga dianggap sebagai keseluruhan sistem struktural

masyarakat. Dalam konteks ini, adat adalah seluruh sistem nilai, dasar dari

keseluruhan penilaian etis dan hukum, dan juga dipahami sebagai sumber dan

harapan sosial yang mewujudkan pola perilaku ideal.

a. Letak Geografis dan Demografis Tradisional Masyarakat Adat di

Minangkabau

Sebelum dinamakan propinsi Sumatera Barat, kawasan ini jauh

sebelumnya sudah dihuni oleh orang Minangkabau. Wilayah

Minangkabau lama lebih luas dari wilayah propinsi Sumatera Barat

sekarang. Waktu itu meliputi wilayahnya: Provinsi Sumatera Barat,

Provinsi Riau, dan sebagian Provinsi Jambi.17

Dalam tulisan ini masalah

yang menyinggung Provinsi Riau dan Jambi tidak akan dibicarakan.

Batas alam atau luas wilayah Minangkabau dapat ditemukan dalam

literaratur tradisionilnya seperti tambo atau kaba.18

Wilayah dan bagian-

bagian Minangkabau meliputi dari Riak Nan Badabua, Sehiliran Pasia

17

Taufik Bey Sutan Permato, Rao-Rao Katitiran Diujung Tunjuk Adat dan Kebudayaan, (t.t:

t.p,t.th), h. 15

18

Tambo merupakan salah satu warisan Minangkabau, ia juga merupakan kisah yang

disampaikan secara lisan oleh tukang kaba yang diucapkan oleh juru pidato pada upacara adat, A.A

Navis, Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, (Jakarta: Grafiti Press,

1984), h. 45

27

Nan Panjang: dari Bayang ka Sikiliang Aia Bangih, Gunuang Malintang

Hilia: Pasaman, Rao, dan Lubuak Sikapiang, kemudian Batu Basurek,

Sialang Balantak Basi, Gunuang Patah Sambilan, sampai ke Durian

ditakuak Rajo. Mengkonkritkan batas-batas wilayah Minangkabau yang

disebut di atas, Ahmad Dt. Batuah dan A. Dt. Madjoindo dalam Tambo

Minangkabau dan adatnya, memaparkan batas wilayah Minangkabau dari

utara sampai Sekilang Aia Bangih yaitu perbatasan Sumatera Barat. Timur

sampai Taratak Aia Hitam (Indragiri), sialang Balantak Basi (batas dengan

Riau). Tenggara sampai sipisok-pisok Pisau hanyuik, durian ditakuak

Rajo, tanjung simaledu, ketiganya adalah bagian barat Propinsi Jambi dan

lauik Nan Sadidiah yaitu Samudera Hindia.19

Sementara itu Minangkabau asli dipaparkan oleh de Jong yaitu

yang disebut darek, terdiri dari tiga luhak.20

. Luhak Tanah Datar sekarang

Kabupaten Tanah Datar, Luhak Agam – Kabupaten Agam, Luhak Lima

Puluah Koto – Kabupaten Lima Puluh Kota. Sedangkan daerah

Rantau21

merupakan perluasan perluasan berbentuk koloni dari setiap

luhak. Wilayah rantau Luhak Tanah Datar meliputi Kubang Tigobaleh,

Pasisia Barat, Pasisia Selatan dari Padang sampai Indra Pura dan Muara

19

Taufik Bey Sutan Parmato, Rao-Rao Ranah Katitiran Diujung Tunjuk, Adat dan

Kebudayaan, (t.t: t.p, t.th), h. 15

20

Luhak adalah nama kawasan pemerintahan di Minangkabau zaman dahulu yang kini setara

dengan kabupaten dibawah keresidenan, tetapi di atas nagari.

21

Rantau adalah wilayah Minangkabau yang terletak di luar wilayah Luhak nan Tigo.

28

Labuah. Rantau Luhak Agam, dari Pesisir Barat, sejak dari Pariaman

sampai Aia Bangih, Lubuk Sikapiang dan Pasaman. Rantau Luhak Limo

Puluah Koto meliputi Bangkinang, Lambah Kampar Kiri, Kampar Kanan

dan Rokan.22

Dalam tambo Minangkabau daerah Luhak Nan Tigo inilah yang

disebut dengan alam Minangkabau. Menurut tambo dan dipercayai orang

Minangkabau sampai sekarang, pada Luhak Nan Tigo inilah dahulu nenek

moyang orang Minangkabau mula-mula mendirikan Koto, Dusun dan

Nagari23

sampai menjadi Luhak Nan Tigo.

Daerah Sumatera Barat yang berada antara Luhak Nan Tigo

dengan daerah Rantau, seperti daerah Sawahlunto Sijunjuang di sebelah

Timur, daerah Solok – Muara Labuah di sebelah Tenggara, daerah

Sicincin – Lubuk Alung di sebelah Barat dinamakan daerah peralihan dari

daerah Minangkabau asli dengan daerah rantau. Penduduk di daerah itu

masih dapat mengkaji kembali asal-usulnya ke daerah Luhak Nan Tigo,

yang nantinya bisa menjadi kebanggaan bagi mereka, lebih-lebih yang

22

Mochtar Naim, Pola Migrasi Suku Minangkabau, ( Yogyakarta: Gdjah Mada University

Press, 1979), h. 14-15.

23

Koto berasal dari bahasa sankskerta kota, yang atinya benteng. Dulunya koto terletak di

luar lingkungan nagari dan merupakan pemukiman yang berfungsi sebagai benteng pusat pemerintahan

nagari. Sedangkan Nagari merupakan pemukiman yang telah mempunyai alat kelengkapan

pemerintahan yang sempurna. Didiami sekurang-kurangnya empat suku penduduk dengan penghulu

pucuk atau penghulu tua selaku pimpinan pemerintahan tertinggi. A. A Navis, Alam Takambang Jadi

Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, h. 94

29

teryata asal usul mereka berasal dari golongan yang terpandang didaerah

asalnya itu.24

b. Sistem Kekerabatan Matrilineal

Sistem hubungan atau sistem kekerabatan matrilineal yaitu

kekerabatan yang bertumpu pada garis keturunan ibu, dewasa ini satu-satunya

hanya terdapat di kalangan etnis Minangkabau, sedangkan pada etnis-etnis

atau suku-suku bangsa lain selain Minangkabau di Indonesia menggunakan

sistem kekerabatan Patrilineal. Seperti Aceh, Batak, Sunda, Jawa, Bugis dan

sebagainya. Artinya asal-usul anak dikaji dari keturunan berdasarkan ayah.25

Dasar untuk menetapkan kapan sistem matrilineal itu mulai dijalankan

di Minangkabau tidak dapat ditentukan sejarahnya yang tepat, sebab tidak

ditemukannya bagaimana pembukuan atau konsep awal dari sistem awal

tersebut, yang menyebabkan sulitnya membandingkan perubahan apa yang

telah terjadi sepanjang sistem tersebut dilaksanakan.

Merujuk pada tambo alam Minangkabau, sistem matrilineal telah

bermula semenjak Datuk Katumanggungan pendiri sistem kelarasan Koto

Piliang dan Datuk Perpatih nan Sabatang pendiri keselarasan Bodi Caniago.

Kedua orang ini mempunyai ibu yang sama, yaitu Puti Indo Jalito, tetapi

berlainan ayah. Kedua orang bijaksana ini memerintah kekerajaan

24

Amir MS, Adat Minangkabau, Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, ( Jakarta: PT.

Mutiara Sumber Widya, 2001 ), h. 132

25

H. Chaidir N. Latief Dt. Bandaro dkk, Minangkabau yang Gelisah: Mencari Strategi

Sosialisasi Pewarisan Nilai-Nilai Adat dan Budaya Minangkabau untuk Generasi Muda, ( Bandung:

CV. Lubuk Agung, 2004 ), h. 311

30

Minangkabau dengan dua sistem yang disebut “laras’’. Di dalam berbagai

tatanan dan hukum kedua kelarasan tersebut tersebut mempunyai perbedaan,

tetapi basis tetap sama: tanah sabingkah lah bauntuak, rumpuik sahalai lah

babagi, malu nan alun kababagi. Atau dikatakan juga: malu urang koto

piliang, malu urang bodi caniago.26

Sistem ini dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai sekarang,

bahkan selalu disempurnakan sejalan dengan usaha menyempurnakan sistem

adatnya. Terutama dalam mekanisme penerapannya di dalam kehidupan

sehari-hari. Oleh karena itu peranan seorang penghulu atau ninik mamak,

dalam kaitan bermamak sangatlah penting.

Bahkan peranan penghulu dan ninik mamak itu boleh dikatakan faktor

penentu dan juga sebagai indikator, apakah mekanisme sistem matrilineal itu

berjalan dengan semestinya atau tidak. Jadi keberadaan sistem ini tidak hanya

terletak pada kedudukan dan peranan kaum perempuan saja, tetapi punya

hubungan yang sangat kuat dengan institusi ninik mamaknya di dalam sebuah

kaum, suku atau klan.

c. Sistem Kemasyarakatan Kaum dan Pesukuan

Suku adalah unit utama dari struktural social masyarakat

Minangkabau, betapa pentingnya arti sebuah suku bagi kehidupan masyarakat

Minangkabau sehingga ia di tempatkan menjadi suatu identitas yang mutlak,

26

A. A Navis, Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, ( Jakarta:

Grafiti Press, 1984), h. 54

31

penentu bagi eksistensi apakah seseorang dianggap orang Minang atau tidak.

Artinya seseorang tidak dapat dipandang sebagai orang Minang, jika dia tidak

mempunyai suku.

Suku bagi orang Minang lebih bersifat eksogamis ( perkawinan di luar

suku), kecuali bila tidak dapat ditelusuri lagi hubungan keluarga antara dua

buah suku yang senama, tetapi terdapat di kampung yang berlainan. Lantaran

orang dari suku yang sama biasanya menempati lokasi yang sama, maka suku

bisa berarti geneologis dan territorial. Berbeda dengan kampung, tanpa

dikaitkan ke salah satu suku tertentu, maka kampung hanyalah bersifat

territorial semata. Masing-masing suku biasanya terdiri dari beberapa paruik

yang dikepalai oleh seorang kapalo paruik atau tungganai, sedangkan paruik

dibagi lagi kedalam jurai, dan jurai kedalam samande.27

2. Pergumulan Adat dan Agama di Minangkabau

Sejarah telah mencatat bahwa dalam kurun waktu yang cukup panjang,

Minangkabau telah tersusun rapi di bawah kekuasaan penghulu dengan

pemerintahan adatnya. Masyarakat Minangkabau sudah ada sejak 5.000 tahun

yang lalu ( lebih kurang 3000 tahun sebelum masehi). Sejak itu pula masyarakat

Minangkabau telah beradat. Akan tetapi sangat sulit untuk mengungkap kepastian

munculnya Minangkabau ini. Hal ini disebabkan suramnya sejarah Minangkabau

dan tidak ada satu tulisan pun yang mengindikasikan kemunculan Minangkabau.

27

Mochtar Naim, Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau, ( Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 1979), h. 18

32

Akan tetapi bisa sedikit diketahui dari cerita-cerita tambo, kaba dan berbagai

sumber lainnya. Namun demikian melihat dari cerita-cerita tambo dan temuan

beberapa peneliti bisa disimpulkan Minangkabau telah ada sebelum masehi.28

Seperti biasa diketahui oleh banyak orang bahkan orang non Minang

bahwa suku Minangkabau sangat identik dengan Islam. Mengingat begitu kuat

dan mengakarnya Islam dalam kehidupan masyarakat Minang, seluruh sistem

masyarakat adalah implementasi dari ajaran-ajaran Islam. Hal ini tertuang dalam

falsafah orang Minang “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”.

Untuk sampai pada Islam dijadikan ideology, Minangkabau melewati

proses yang cukup lama dan mengorbankan banyak fikiran, tenaga dan nyawa,

salah satunya terjadinya perang paderi antara tahun 1821 – 1837.29

a. Kondisi Minangkabau Sebelum Masuk Islam

Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa sebelum Islam bahkan

sebelum masuknya Budha dan Hindu ke Minangkabau, sesungguhnya

Minangkabau telah mempunyai peradaban. Peradaban yang membentuk

karakter manusianya. Pada masa-masa awal, masyarakat Minangkabau

menjadikan alam sebagai sumber inspirasi dan dasar dari falsafahnya. Sebagai

bukti dari peradaban yang pernah ada di ranah Minang, dapat dilihat dari

berkembangnya pertanian dan pertukangan sebagai sumber kehidupan.

28

Amir MS, Tonggak Tuo Budaya Minang, h.206

29

Gusti Asnan, Kamus Sejarah Minangkabau, (Padang: Pusat Pengkajian Islam dan

Minangkabau, 2003), h.40

33

Koentjaningrat mengatakan: sebagian besar orang Minangkabau hidup

dari tanah. Di daerah yang subur dan cukup air, kebanyakan orang

mengusahakan sawah, sedangkan pada daerah subur yang tinggi, banyak

orang menanam sayur-sayur untuk perdagangan, seperti kubis, tomat dan

sebagainya.30

Hal ini ditandai dengan telah adanya irigasi untuk pengairan, juga

orang Minang telah bisa membuat keris seperti suku-suku lain di Indonesia,

sebagaimana adat sendiri berkata:

Lah batanam nan bapucuak Sudah ditanam yang berpucuk

Lah mamaliaro nan banyao Sudah memelihara yang bernyawa

Basawah gadang satampang baniah Punya sawah yang luas seikat bibit padi

Dengan fatwa adat di atas bahwa sebelum Islam masuk ke

Minangkabau, ranah Minang telah berkembang.31

b. Kedatangan Islam Sebagai Penyempurna Adat di Minangkabau

Kedatangan Islam ke tanah Minangkabau telah membawa perubahan

yang signifikan dalam struktural adat masyarakat Minangkabau, ajaran Islam

akhirnya ditempatkan sebagai sumber kebenaran tertinggi. Pepatah ideologis

Minangkabau pada mulanya berbunyi “adat basandi alur jo patuik” (adat

bersendikan alur dan patut), setelah kedatang Islam, pepatah tersebut berubah

menjadi “Adat basandi alur, syara’ basandi dalil” (adat bersendikan alur,

30

Koentjaningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, ( Jakarta: Jembatan, 1999), h. 253

31

H. DJ. Bandao LB Sati, Alam Minangkabau: Tutua Nan Badanga Warih Nan Bajawek,

1988, h. 70

34

syariat bersendikan dalil Al-Qur’an). Pepatah tersebut menunjukkan bahwa

keduanya setara dan independen. Kemudian pepatah tersebut dimodifikasi

menjadi “Adat basandi syara’, syara’ basandi adat” ( adat bersendikan

syariat, syariat bersendikan adat). Modifikasi ini mengekspresikan kesetaraan

keduanya tetapi juga saling ketergantungan attau sama lainnya. Pepatah ini

sekali lagi mengalami perubahan menjadi “Adat basandi syara’, syara’

basandi kitabullah, syara’ mangato, adat mamakai” ( adat Minangkabau

bersendikan syariat, syariat bersendikan kitab suci Al-Qur’an, syariat

menetapkan, adat memakai). Pepatah ini sangat jelas sekali menunjukkan

bahwa posisi syariat lebih tinggi dari adat. Pepatah yang terakhir ini yang

secara umum digunakan oleh masyarakat Minangkabau kontemporer.32

Bagi adat Minangkabausebelum datangnya Islam hanya mampu

menjangkau hal-hal yang nyata saja. Kendatipun di atas dikatakan bahwa adat

Minagkabau tidak mengenal ajaran kosmologis – okultisme secara ekspliosit,

namun secara implicit orang Minang sesuai dengan ajaran adatnya pasti akan

berhubungan dengan masalah yang ghaib. Adat Minangkabau mengatakan:

Panakiak pisau sirauik Panakik pisau siraut

Ambiak galah batang lintabuang Ambil galah batang lintabung

Salodang ambiak ka niru Selodang jadikan nampan

Nan satitiak jadikan lauik Yang setitik jadikan laut

Nan sakapa jadikan gunuang Yang segenggam jadikan gunung

Alam takambang jadi guru Alam terkembang jadi guru

32

Azyumardi Azra, Surau Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi (

Jakarta: Logos Wacana Ilmu Press, 2003), h. 63

35

Pepatah ini mengajarkan bahwa salah satu sendi atau pondasi dari adat

Minangkabau adalah prrinsip “alua jo patuik”. Prinsip alur dan patut ini

dijadikan oleh orang Minang sebagai panutan dalam kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya adat mengajarkan:

Manarah manuruik alua Meratakan menurut alur

Nan baukua na dikarek Yang diukur yang dipotong

Nan babarih nan bapaek Yang digaris yang dipahat

Baru pada abad XVI33

setelah Islam masuk ke Minangkabau dan

kerajaan diperintah oleh sultan Alif raja Minangkabau pertama yang

menganut Islam pada tahun 1580. Adat Minangkabau semakin menemukan

identitasnya. Hal ini ditandai dengan berubahnya struktur kerajaan yang

semakin nyata fungsinya, sebelumnya kerajaan hanyalah sebagai simbol –

simbol, yang memegang kekuasaan adalah penghulu masing-masing suku,

dari studi Imran Manan tentang birokrasi pemerintahan Minangkabau

menyimpulkan bahwa semenjak abad XVI awal Islam berpengaruh di

Minangkabau dan pemerintahan kerajaan selalu dipimpin oleh “ Rajo Nan

Tigo Selo”, yaitu:

1) Yang di pertuan Rajo Alam berkedudukan di pusat pemerintahan

Pagaruyuang, Raja Alam adalah representasi kekuasaan tertinggi yang

menyatukan adat dan agama.

2) Raja Adat di Buo adalah otoritas tertinggi dibidang adat.

33

Sebagian pendapat mengatakan bahwa Islam masuk ke Minangkabau pada abad ke- 7 dari

daerah timur melalui pedagang-pedagang dari timur tengah

36

3) Raja Ibadat berpusat si Sumpur Kudus, pemegang puncak tertinggi di

bidang agama.

Strukur kepemimpinan ini memperlihatkan bahwa masuknya Islam

member warna bagi sistem Pemerintahan dengan masuknya Raja Ibadat ke

dalam struktural kekuasaan, dari struktural ini pulalah kemudian barangkali

muncul istilah kepemimpinan tali tigo sapilin, tungku tigo sajarang, yaitu

penghulu, alim ulama dan cadiak pandai, yang menggambarkan bahwa di

Minangkabau aturan yang berlaku adalah aturan adat, agama dan

pemerintahan. Ini terbukti dari bertambahnya syarat fisik pendirian nagari

seperti yang tertuang dalam tambo Minangkabau yang dikutip oleh A. A

Navis:

Babalai bamusajik Punya balai dan mesjid

Basuku banagari Punya suku dan nagari

Bajorong bakampuang Punya jorong dan kampuang

Balabuah batapian Punya jalan dan tepian

Bahuma baladang Punya rumah dan bendang

Bahalaman bapamenan Punya halaman dan lapangan

Bapandam bapusaro Punya pendam dan pusara

Babalai bamusajik masksudnya mempunyai balai adat dan balairung34

sebagai tempat mengatur pemerintahan nagari, dan mesjid tempat beribadah.

Semenjak berkembangnya Islam terjadilah proses asimilasi sedemikian rupa

sehingga pada akhirnya terjadi hubungan timbal balik yang harmonis diantara

34

Balai datau balairung didirikan pada suatu lapangan luas. Lapangan itu dapat menampung

seluruh kegiatan masyarakat, seperti mengadakan keramaian dan tempat berjualan yang diadakan

sekali seminggu. Dalam kaitan ini arti kata ke balai sama dengan ke pekan, yaitu pergi ke pasar, yang

lazim diadakan sekali seminggu.

37

keduanya. Pada tahap ini, hubungan antara adat dan agama diibaratkan seperti

aur dan tebing, saling dukung dan menguatkan. Jadi dengan uraian tambo ini

dapat dipahami bahwa setelah Islam ke Minangkabau, Islam langsung

dijadikan sebagai ideologi dan pegangan hidup bagi masyarakat

Minangkabau.

Pada tahap berikutnya, yaitu setelah perang paderi, hubungan antara

adat Minangkabau dan agama islam dipertegas dengan ungkapan yang sampai

saat ini menjadi pegangan bagi masyarakat Minangkabau: Adat basandi

syara’, syara’ basandi kitabullah, syara’ mangato, adat mamakai. Perang

paderi merupakan aia gadang yang merubah tapian tampek mandi masyarakat

Minangkabau dengan menempatkan syariat Islam sebagai sumber ajaran

membimbing dan mengatur semua segi kehidupan.35

.

Sampai saat ini secara formal prinsip adat basandi syara’, syara’

basandi kitabullah masih menjadi pegangan dan acauan badi masyarkat

Minangkabau. Dalam konsep ini, diyakini dan diterima oleh masyarakat

Minang bahwa adat dalam semua pengertian, harus bersumber dan tunduk

kepada syariat Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan sunnah rasul. Segala

keputusan adat tidak boleh lebih dari pada menifestasi dari ajaran Islam

didalam kehidupan sehari-hari. Prinsip inilah yang menyebabkan adat lakang

ndak lapeh, tak lapuak dek hujan ( tidak akan lapuk oleh hujan dan tak akan

lekang oleh panas).

35

Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat Lintas Historis Islam di Indonesia ( Jakarta:

Yayasan Obor, 1987), h. 119

38

Keabadian itu bukan karena statis atau baku, melainkan karena

kemampuannya menyesuaikan diri dengan keadaan yang senantiasa berubaah,

sebagaimana alam itupun senantiasa berubah pula, tetapi hakikatnya akan

tetap abadi.

c. Pertemuan antara Adat dan Agama di Minangkabau

Sebagian orang berpendapat bahwa adat dan agama di Minangkabau

itu bertentangan. Namun kalau dikaji lebih dalam, pada dasarnya agama Islam

datang untuk menyelesaikan masalah yang belum tertuang dalam adat.

Semenjak kedatangan Islam barulah orang Minang mengenal ghaib,

kehidupan setelah mati, dan lain sebagainya.

Prof. Dr. Nasroen menegaskan:

“ Bahwa adat dan agama tidaklah bertentangan, didalam kitab suci al-

Qur’an banyak ayat – ayat yang menjelaskan bahwa tuhan banyak

memberikan perumpamaan – perumpamaan kepada alam supaya manusia

dapat berfikir. Isyarat ini di tangkap oleh nenek moyang orang Minangkabau

dan menjadikan alam sebagai dasar dalam menyusun falsafahnya. Islam

merupakan rahmat bagi Minangkabau”.36

Sejak masuknya Islam, maka mulailah terjadi pergumulan antara adat

dan agama di Ranah Minang. Sehingga melahirkan kesaksian adat basandi

syara’, syara’ basandi kitabullah. Untuk sampai kepada kesaksian ini ada

beberapa fase yang dilalui:

1) Fase pertama: Rumah basandi batu, adat basandi alua patuik. Artinya: dasar

falsafah Minang pada fase ini murni dari alam dengan landasan rasio dan akal.

36

M. Nasroen, Dasar Falsafah Adat Minangkabau, ( Jakarta: Pasaman, 1957), h. 22

39

2) Fase kedua: Adat basandi syara’, syara’ basandi basandi adat, bak aua jo

tabiang, sanda manyanda kaduonyo. Artinya: pada fase ini Islam sudah mulai

berpengaruh tetapi baru setengah – setengah.

3) Fase ketiga: Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Artinya: pada

fase ini antara adat dan agama tidak ada lagi perbedaan. Orang Minangkabau

telah menyadari bahwa Islam hadir untuk mereka sebagai rahmat dari tuhan.

Menurut penulis, fase – fase perubahan ini mengindikasikan terjadinya

pergumulan antara ketentuan adat dan agama dalam mengatur masyarakat

Minangkabau. Pergumulan itu merupakan suatu proses penyesuaian antara adat

dan agama dan bukan suatu proses saling menyingkirkan. Karena kedua aturan

tersebut sama-sama dianggap baik dan berguna oelh masyarakat Minangkabau.

d. Beberapa Faktor yang Menyebabkan Islam diterima di Minangkabau

Ada beberapa faktor yang menyebabkan Islam dapat diterima di

lingkungan adat Minangkabau, di antaranya adalah:

1) Islam datang dengan cara damai

2) Adanya kesamaan tujuan antara adat dan agama untuk menjadikan manusia

sebagai orang yang berbudi, bijaksana dan bertaqwa

3) Islam tidak mengenal kasta-kasta, hal ini sama dengan pandangan orang

Minang yang tidak membedakan manusia atau sama lain, tagak samo tinggi,

duduak samo randah ( tegak sama tinggi, duduk sama rendah).

Dengan masuknya Islam, maka semua ini tinggal menyesuaikan, kerna

hukum alam itu ternyata adalah sunatullah, karena tidak satupun yang harus

40

berbeda ddengan hukum alam terkembang jadi guru pra Islam dengan sunatullah

itu.

e. Pembagian Harta Waris dalam Adat Minangkabau

Sebelum penulis masuk kepada praktek pembagian harta waris yang

dilaksanakan adat Minangkabau, penulis tegaskan kembali bahwa garis keturunan

orang Minang menurut garis ibu, maka harta warisnya di wariskan kepada

kemenakannya menurut garis keturunan ibu: Dari niniak ka mamak, dari mamak

turun ka kamanakan ( dari nenek moyang turun ke mamak, dari mamak turun ke

kemenakan). Pengertian nenek moyang, sudah tentu berdasarkan sistem

matrilineal itu, yaitu mamak dari mamak, mamak merupakan saudara laki-laki

ibu.

Ada beberapa aspek yang menjadi pedoman dalam pembagian harta waris

di Minangkabau:

1) Pengaturan Harta Pusako

Harta pusako dalam terminology Minangkabau disebut harato jo

pusako. Harato adalah sesuatu milik kaum yang tampak dan wujud secara

material seperti sawah, lading, rumah gadang, ternak dan sebagainya. Pusako

adalah sesuatu milik kaum yang diwarisi secara turun temurun baik yang

tampak maupun yang tidak tampak. Oleh karena itu di Minangkabau dikenal

pula dua kata kembar yang artinya sangat jauh berbeda yaitu sako dan

pusako.37

37

H. Masoed Abidin bin Zainal Abidin Jabbar “ Sistem Kekeluargaan Matrilineal”, artikel

diakses pada tanggal 22 Mei 2011 dari http:// www.cimbuak.com

41

2) Sako

Sako adalah milik kaum secara turun menurun menurut sistem

matrilineal yang tidak berbentuk material, seperti gelar penghulu, kebesaran

kaum, tuah dan penghormatan yang diberikan masyarakat kepadanya. Sako

merupakan hak laki – laki didalam kaumnya. Gelar demikian tidak dapat

diberikan kepada perempuan walaupun dalam keadaan apapun juga.

Pengaturan warisan gelar itu terletak atau terfokus kepada sistem kelarasan

yang dianut atau kaum itu.

3) Pusako

Pusako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem

matrilineal yang berbentuk material, seperti sawah, ladang, rumh gadang dan

lainnya. Pusako dimanfaatkan oleh perempuan di dalam kaumnya. Hasil

sawah, lading menjadi bekal hidup perempuan dengan anak-anaknya. Rumah

gadang menjadi tempat tinggalnya, laki-laki berhak untuk mengatur tetapi

tidak berhak untuk memiliki.

Karena itu di Minangkabau kata hak milik bukanlah kata kembar,

tetapi dua kata ynag satu sama lainnya berbeda artinya tetapi berada dalam

konteks yang sama, hak dan milik. Laki – laki punyak hak terhadap pusako

kaum, tetapi dia bukan pemilik pusako kaumnya. Dalam pengaturan

pewarisan pusako, semu harta yang akan diwariskan harus ditentukan dulu

42

kedudukannya. Kedudukan harta pusako ini terbagi dalam pusako tinggi dan

pusako randah.38

4) Pusako Tinggi

Yang dimaksud dengan harta pusako tinggi ialah segala harta pusako

kaum yang diwarikan secara turun temurun dari beberapa generasi

berdasarkan garis keturunan ibu.

Babirik birik tabang ka sasak Babirik- birik terbang ke sasak

Dari sasak turun ka halaman Dari sasak turun ke halaman

Dari niniek turun ka mamak Dari buyut turun ke mamak

Dari mamak turun ka kamanakan Dari mamak turun ke kemenakan

Proses pemindahan kekuasaan atas harta pusako dari mamak ke

kemenakan ini dalam adat Minangkabau disebut juga dengan “Pusako

Basalin”. Bagi harta pusako tinggi berlaku keturunan adat sebagai berikut:

Babirik- birik tabang ka lansek Babirik- birik terbang ke lansek

Dari lansek ka tunggak tuo Dari lansek ke tonggak tua

Ka tunggak tuo kayu batareh Tonggak tua kayu berteras

Tareh nan dari tapak tuo Teras yang dari tapak tuan

Dari niniak turun ka gaek Dari nenek buyut turun ke buyut

Dari gaek turun ka uo Dari buyut turun ke nenek

Dari uo turun ka mande Dari nenek turun ke ibu

Dari mande turun ka puan Dari ibu turun ke perempuan39

Dari keterangan di atas tampaklah bagaimana silsilah harta pusako

tinggi yang selama ini dikenal dalam ketentuanadat Minangkabau.

38

A. A Navis, Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, ( Jakarta:

Grafiti Press, 1984), h. 163

39

Amir M. S, Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, ( Jakarta: PT.

Mutiara Sumber Widya, 2001), h. 94

43

Pusako tinggi hanya boleh digadaikan bila keadaan sangat mendesak

hanya untuk 4 hal, yaitu:40

a) Mayik tabujua di tangah rumah ( mayat terbujur di tengah rumah)

Setiap orang yang meninggal biasanya akan disemayamkan

dirumah duka, tidak terkecuali laki-laki dalam adat Minangkabau. Meski

menetap di rumah atau lingkungan istri, tetapi jika seorang laki- laki (

mamak, niniak mamak, penghulu) meninggal, maka akan dibawa

(disemayamkan) di rumah gadang kaum atau sukunya untuk kemudian

dikubur di pandam pekuburan kaum atau sukunya. Apabila tidak ada

biaya untuk menyelenggarakan mayat tersebut, barulah harta pusako

tinggi tersebut boleh digadaikan.

b) Mangakkan gala pusako ( mendirikan gelar pusako)

Di dalam adat Minangkabau, garis keturunan yang biasa disebut

suku harus mempunyai seorang penghulu. Penghulu menjadi simbol

tegaknya adat dalam suatu suku. Bila suatu suku tidak memiliki penghulu

maka suku itu akan dipandang “kurang”, masyarakat akan menganggap

suku itu tidak beradat karena aspirasi anak kemenakan tidak tersampaikan

dibalai adat, pada akhirnya keberadaan suku tidak dihargai lagi di tengah

masyarakat. Dengan dmikian, bila gelar pusako ( penghulu) sudah lama

40

A. A Navis, Alam Takambang jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, ( Jakarta:

Grafiti Press, 1984), h. 167

44

hilang karena tidak cukup biaya untuk upacara batagak gala penghulu,

maka harta pusako tinggi itu boleh digadaikan.

c) Gadih gadang indak balaki ( anak gadis yang belum bersuami)

Dalam tradisi Minangkabau dulu, anak perempuan yang sudah

berumur tujuh belas tahun sudah pantas dinikahkan atau bersuami, jika

belum ada yang mempersunting atau belum punya calon suami, maka

menjadi tugas mamak, niniak mamak untuk mencarikan jodoh bagi anak

kemenakannya. Anak kemenakan perempuan yang sudah cukup umur atau

lebih ( sudah tua dalam ukuran adat setempat) belum bersuami, maka

seluruh kaum atau suku akan mendapat malu, apalagi dia anak tunggal

atau anak perempuan satu- satunya karena dia akan menjadi penerus suku.

Jika jodoh sudah didapat namun uang untuk memperhelatnya tidak ada,

maka dilakukan gadai terhadap harta pusako.

d) Rumah gadang katirisan ( rumah gadang ketirisan)

Rumah gadang berfungsi sebagai tempat berkumpul dalam rapat

atau upacara adat serta sebagai tempat tinggal bagi perempuan dalam satu

kaum. Jika seorang laki-laki dalam sebuah kaum berkeluarga, maka dia

harus keluar dari rumah gadang dan menetap di rumah atau lingkungan

keluarga istrinya. Apabila rumah tersebut bocor atau rusak dan perlu

diperbaiki, sedangkan simpanan suku tidak ada, maka untuk itu sawah

atau harta kaum boleh digadaikan untuk memperbaiki rumah gadang

tersebut, sebab rumah gadang adalah lambing dari eksistensi suku.

45

Aturan di atas mengisyaratkan bahwa menggadaikan sawah atau

lading hanya boleh dilakukan pada keadaan yang sangat mendsak, di mana

tidak ada cara lain yang dapat dilakukan selain dari cara tersebut, untuk

memetuskan gadai ini harus dengan kesepakatan dari seluruh anggota kaum

atau suku itu.

Adanya harta pusako tinggi berkaitan dengan sejarah lahirnya

kampuan dan koto yang diikuti dengan membuka sawah lading sebagai

sumber kehidupan. Pembukaan tanah untuk sawah lading ini sebagai hasil

galuah taruko oleh pendiri kampung dan koto. Hasil usaha nenek moyang

inilah yang diwarisi oleh generasi sekarang dan paling kurang setelah lima

generasi disebut sebagai harta pusako tinggi.

5) Pusako Randah

Yang dimaksud harta pusako randah dalam pembahasan ini adalah

segala harta yang didapat selama perkawinan antar suami dan istri. Pusako ini

disebut juga dengan harta bawaan, artinya modal dasarnya berasal dari

masing- masing kaum. Pusako randah diwariskan kepada anak, isteri dan

saudara laki-laki berdasarkan hukum waris Islam.

Namun dalam berbagai kasus di Minangkabau, umumnya pusako

randah ini juga diserahkan oleh laki-laki pewaris kepada adik perempuannya,

tidak dibagikan menurut hukum waris Islam. Karena setiap laki-laki pewaris

pusako randah yang diterima anak laki-laki boleh saja “dihibahkan” pada

46

keluarga isteri, tetapi pada umumnya justru dipasrahkannya kepada

saudaranya yang wanita untuk menambah harta pusako kaumnya sendiri.

Anak lelaki Minangkabau tidak mau membawa harta apapun dari harta

apapun dari harta kaumnya karena merupakan aib baginya. Karena itu tugas

dan tanggung jawab pria Minangkabau sangat berat dan mulia. Dia harus

bekerja keras untuk mmebrikan jaminan hidup bagi anak dan isterinya dan

sekalian harus membantu saudara dan kemenakannya sendiri di pesukuan.

Masyarakat Minangkabau mengimplementasikan dari pepatah adat

sebagai berikut:

Anak dipangku Anak dipangku/ gendong

Kamanakan dibimbiang Kemenakan dibimbing

Urang kampuang dipatenggangkan Orang kampung di tenggangkan

Sesuai dengan filosofis adat Minangkabau yang dinamis, maka kurang

tepat pria Minangkabau diberikan warisan apalagi mengharapkan warisan dari

kedua orang tuanya. Sebab dengan demikia, watak tegarnya sebagai laki- laki

akan berkurang dan semangat merantaunya akan menurun bahkan akan

hilang. Mereka terbiasa hidup menunggu dan mengharapkan warisan.

Wataknya akan lemah, dinamika hidupnya akan lenyap dan mereka akan

merosot menjadi pria yang “penuntut” dan :peminta- minta” dalam

keluarganya.

47

Selanjutnya saudara perempuan itu mewariskan pula kepada anak

perempuannya, begitu seterusnya. Akibatnya, pusako randah pada mulanya

dalam 2 atau 3 generasi berikutnya menjadi pusako tinggi pula.41

Harta pusako randah ini dapat dibedakan menjadi harta susuk42

di

masa datang dan sangat memegang peranan yang besar untuk menambah

pusako tinggi di Minangkabau, yang akan menjamin kesejahteraan rakyat baik

di ranah apalagi di rantau.

Pusako randah yang telah diuraikan di atas adalah harta pencaharian

orang tua yang diwariskan kepada anak- anaknya, baik laki- laki maupun

perempuan, serta pemberian dari mamak ( saudara laki-lalki ibu). Pewarisan

harta pencaharian dilakukan menurut ketentuan Islam. Di mana laki- laki

memeperoleh dua kali lebih banyak dari masing- masing anak perempuan.

Contoh kalau anak itu terdiri dari satu orang anak laki- laki dan 4 orang anak

perempuan, maka anak dihitung seluruhnya seperti enam orang yaitu satu

anak laki- laki dihitung dua bagian dan wanita bersama- sama empat bagian.

f. Asas- asas Kewarisan Adat Minangkabau

Adat Minangkabau mempunyai asas-asas tertentu dalam kewarisan, asas-

asas itu banyak bersandar kepada sistem kekerabatan dan keharta - bendaan,

karena hukum kewarisan suatu masyarakat ditentukan oleh struktur

41

Amir MS, Tonggak Tuo Budaya Minang, (t,t: t,p, t.th), h. 156-157

42

Harta susuk adalah harta yang disipkan kedalam harta pusako tinggi yang diperoleh dari

harta pencaharian bapak, ibu dan mamak

48

kemasyarakatan tersebut. Dalam ketentuan adat Minangkabau, kekeluargaan dan

perkawinan menentukan bentuk sistem kekerabatan43

. Sistem kewarisan dalam

adat ini berdasarkan kepada pengertian keluarga karena kewarisan itu adalah

peralihan sesuatu baik berupa benda dari suatu generasi dalam keluarga kepada

generasi berikutnya.

Beberapa asas pokok kewarisan Minangkabau itu akan dituangkan dalam

penjelasan berikut ini44

1) Asas/ prinsip Unilateral

Unilateral yang dimaksud di sini adalah hak kewarisan hanya berlaku

dalam suatu garis kekerabatan, dan garis kekerabatan di sini adalah garis

kekerabatan melalui ibu. Harta pusako yang diterima dari nenek moyang

hanya diturunkan kepada pihak perempuan, tidak ada untuk garis keturunan

laki- laki baik keatas mapun ke bawah. Dari sana akan dianggap keluarga

adalah kelompok tertentu yang disebabkan oleh kelahiran perempuan.

Susunan keluarga menurut paham ini adalah; ibu, nenek, ke atas lagi yaitu

ibunya nenek. Ke samping ialah laki- laki dan perempuan yang dilahirkan ibu

serta laki- laki dan perempuan yang dilahirkan ibunya ibu. Ke bawah adalah

anak, baik laki- laki maupun perempuan. Anak dari anak perempuan, baik

laki- laki maupun perempuan dan seterusnya anak- anak dari cucu perempuan.

43

Hadzarin, Hendak kemana Hukum Islam, ( Jakarta: Tintamas, 1976), h. 14

44

Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat

Minangkabau, ( Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo, 1982), h. 233

49

Kelompok yang bertalian inilah yang disebut dengan keluarga dalam

ketentuan adat Minangkabau.

2) Asas Kolektif

Asas ini mengandung maksud bahwa yang berhak atas harta

pusako bukanlah orang perorang, melainkan suatu kelompok secara bersama-

sama. Merujuk pada asas ini, maka harta tidak dibagi perorangan hanya hanya

diberikan kepada kelompoknya dalam bentuk utuh ( tidak berbagi).

3) Asas Keutamaan

Maknannya, dalam penerimaan harta pusako atau penerimaan peranan

untuk mengurus harta pusako, ada tingkatan- tingkatan hak yang

menyebabkan suatu pihak lebih berhak disbanding yang lainnya, dana selama

yang lebih berhak itu masih ada maka yang lain belum akan menerimanya.

g. Praktek Pembagian Harta Waris Menurut Adat Minangkabau

Pewarisan yang dimaksud dalam bab ini adalah peralihan harta dari

pewaris kepada ahli waris, dalam pengertian adat di Minangkabau lebih banyak

berarti proses peralihan peranan dari pewaris kepada ahli waris menyangkut

penguasaan harta pusako. Mengenai peralihan ini lebih tergantung pada jenis hrta

yang dibagikan.

Seperti yang dijelaskan dalam bagian sebelumnya, harta menurut adat

Minangkabau terbagi beberapa macam. Bila dilihat tinjauan tentang bermacam-

macam harta pusako di Minangkabau, tampaknya yang berkaitan dengan perihal

mempusakoi atau pewarisan ialah harta pusako yang ditinjau sari segi asalnya dan

50

menyangkut perihal suami isteri sebagaimana si mayit sampai ke tangan ahli

warisnya. Dalam hal ini akan dibahas tentang pewarisan harta pusako tinggi dan

harta pusako randdah.

Dalam prasarannya ketika menghadiri seminar hukum adat di

Minangkabau di Padang, Jahja S. H mengemukakan”

“ harta kaum dapat dibedakan yaitu antara harta pusako tinggi, pusako randah

dan juga harta pencaharian. Harta pusako tinggi adalah turun temurun dari

beberapa generasi. Sedangkan harta pusako rendah adalah harta turun dari

suatu generasi. Dan harta pencaharian adalah harta yang diperoleh melalui

pembelian atau taruko dan lain- lain.”45

Kewarisan sangat dipengaruhi oleh struktur masyarakat yang ada,

termasuk di dalamnya mengenai harta pusako di dalam lingkungan masyarakat

tersebut. Demikian juga halnya dengan masyarakat Minangkabau, bagi mereka

perbedaan harta pusako dipengaruhi oleh sistim kekerabatan yang mereka anut

yaitu kekerabatan matrilineal yang menganut sistem kekerabatan kolektif.

Harta pusako di Minangkabau tidak dapat ditentukan bagian masing-

masing oleh anggota kaum dan tidak pula dapat dibagi anggota kaum tersebut,

namun harta pusako merupakan hak bersama yang kepemilikannya secara

ganggam bauntuak.46

45

Mukhtar Naim, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau, ( t.t Studies

Press, 1968), h. 84

46

Ganggam baruntuak ( genggam beruntuk) merupakan istilah yang dipakai orang

Minangkabau dalam perihal kewarisan yang artinya: harta itu dimilki secara bersama- sama dan tidak

boleh dibagi untuk pribadi kaum

51

1) Pewarisan harta pusako tinggi

Mengenai pembagian harta pusako tinggi, seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya, harta ini tidak bisa dibagi- bagi namun hanya dipergunakan

untuk diambil hasilnya.

Seperti yang juga telah diterangkan dalam bahasan sebelumnya, dalam

peralihan anak perempuan adalah ahli waris utama untuk mengelola harta

pusako tinggi tersebut, sedangkan anak laki- laki bukanlah ahli waris dari

harta pusako tinggi tersebut, melainkan hanya ditugaskan untuk menjaganya.

Dalam hal ini, tidak ada larangan bagi anak laki- laki untuk mempergunakan

mengambil hasil dari harta pusako tinggi tersebut.

Pewarisan harta pusako tinggi ini selalu diteruskan oleh keturunan

yang perempuan, jika keturunan perempuan sudah tidak ada lagi maka ini

disebut dengan istilah putus waris. Maka warisan itu akan jatuh ke tangan

orang yang berhak selanjutnya. Yaitu ahli waris menurut adat yaitu

kemenakan sesuku tidak datu ranji.

2) Pewarisan harta pusako randah

Sedangkan untuk harta pusako randah, sama halnya dengan harta

pencaharian yang dimaksud dalam Islam. Cara pembagiannya dengan

memakai hukum faraidh. Namun kebanyakan masyarakat Minangkabau lebih

memilih untuk memusyawarahkannya terlebih dahulu. Mufakat yang di dapat

tidak berpaling dari unsusr agama Islam, terlebih dahulu masing- masing ahli

waris mengetahui bagiannya masing- masing maka barulah setelah itu dibagi

menurut hasil musyawarah yang didapat.

52

BAB III

KONDISI OBJEKTIF KECAMATAN BANUHAMPU

A. Tinjauan Umum dan Sejarah Singkat

Kecamatan Banuhampu pada masa penjajahan Belanda berada di bawah

wilayah kekuasaan Sariak IV Koto dan beribu kota di Koto Tuo (Kecamatan IV

Koto sekarang) dengan pimpinan pemerintahannya disebut “Asisten Demang”. Di

bawah Asisten Demang adalah “Nagari” yang dipimpin oleh seorang Wali

Nagari.1

Pada era kemerdekaan wilayah Sariak IV Koto dibagi menjadi dua

Kecamatan, yaitu Kecamatan IV Koto dan Kecamatan Banuhampu Sungai Puar.

Sebagai pemimpin kecamatan dipilih seorang camat militer yang dalam

melaksanakan roda pemerintahannya dibantu oleh sebuah badan yang disebut

Musyawarah Pemerintah Rakyat Kecamatan (MPRK). Ibu kota kecamatan pada

waktu itu adalah Aia Kaciak. Setelah Agresi Militer Belanda II kantor camat

Banuhampu Sungai Puar pindah ke Sungai Buluah.2

Setelah berakhirnya era pemerintahan Orde Baru dan diganti oleh

Pemerintahan reformasi, maka lahirlah Undang-undang No. 22 Tahun 1999

tentang pemerintahan daerah sebagai pengganti UU No. 5 Tahun 1974 dan UU

No. 5 Tahun 1979 serta diringi lahirnya Peraturan daerah Provinsi Sumatera Barat

1 Koordinator Statistik Kecamatan Banuhampu

2 Koordinator Statistik Kecamatan Banuhampu

53

No. 9 tahun 2000 tentang Pemerintahan Nagari dan seiring dengan itu

Pemerintahan Desa digantikan dengan Pemerintahan Nagari. Berdasarkan Perda

Kabupaten Agam No. 31 tahun 2001, Perwakilan Kecamatan Pembantu

Banuhampu Sungai Puar didefenisikan menjadi Kecamatan Sungai Puar sehingga

Kecamatan Banuhampu Sungai Puar menjadi Kecamatan Banuhampu dan

Kecamatan Sungai Puar. Kecamatan Banuhampu dengan luas 34,81 km2, dengan

letak 100º 22º – 100º 25º Bujur Timur dan 0º 77º – 0º 21º Lintang Selatan.

Memiliki ketinggian rata-rata dari atas permukaan laut adalah 901 – 1500 meter,

temperature udara sekitar 15,3º C – 24,4º C, serta kelembaban udara sekitar

81,6% - 90,6%19.3

Kecamatan Banuhampu pada masa kanagarian terbagi menjadi 6 Nagari

yaitu:

1. Nagari Pakan Sinayan

2. Nagari Padang Lua

3. Nagari Cingkariang

4. Nagari Ladang Laweh

5. Nagari Taluak IV Suku

6. Nagari Kubang Putiah

7. Nagari Sungai Tanang4

3 Koordinator Statistik Kecamatan Banuhampu

4 Iprizal S.SOS (Sekretasis Camat Banuhampu, Wawancara, Kecamatan Banuhampu).

54

B. Geografis dan Demografis

Kecamatan Banuhampu adalah salah satu wilayah adat atau lingkungan

adat yang terletak di Kabupaten Agam Sumatera Barat. Kecamatan Banuhampu

sebagai suatu lingkungan adat, meliputi wilayah administrative Tujuh (7)

Kenagarian di Kabupaten Agam yaitu Nagari Pakan Sinayan, Nagari Padang Lua,

Nagari Cingkariang, Nagari Ladang Laweh, Nagari Taluak IV Suku, Nagari

Kubang Putiah, Nagari Sungai Tanang.

Dilihat dari sisi perdagangan, daerah kecamatan Banuhampu merupakan

suatu wilayah penting di Kabupaten Agam, karena daerah yang menjadi daerah

lalu lintas perdagangan antara Provinsi Sumatera Barat dengan Provinsi-provinsi

yang ada di Pulau Sumatera. Keadaan tersebut dimugkinkan, Kecamatan

Banuhampu merupakan daerah yang berada atau terletak disekitar atau

disepanjang jalan lintas timur Sumatera. Luad daerah dan jumlah penduduk

kecamatan Banuhampu dapat dilihat dari tabel di bawah ini5:

Tabel I

Luas Daerah dan Jumlah Penduduk Kecamatan Banuhampu6

No. Nama Nagari Luas Daerah Jumlah Penduduk

1

2

3

Nagari Pakan Sinayan

Nagari Padang Luar

Nagari Cingkariang

5.21 Km

3.42 Km

5.07 Km

4.657 Jiwa

5.962 Jiwa

4.818 Jiwa

5 Iprizal S.SOS (Sekretasis Camat Banuhampu, Wawancara, Kecamatan Banuhampu).

6 Iprizal S.SOS (Sekretaris Camat Banuhampu, Wawancara, Kecamatan Banuhampu).

55

4

5

6

7

Nagari Ladang Laweh

Nagari Taluak IV Suku

Nagari Kubang Putiah

Nagari Sungai Tanang

4.43 Km

3.41 Km

5.22 Km

1.70 Km

5.457 Jiwa

5.467 Jiwa

7.789 Jiwa

2.063 Jiwa

Jumlah 82.46 Km 36.113 Jiwa

Kecamatan Banuhampu merupakan daerah yang terletak dikawasan

pegunungan, berbukit, landai dan curam sedikit sekali yang datar, sehingga rata-

rata mata pencahariaan penduduk Kecamatan Banuhampu adalah adalah bertani.

Karena itu, sektor pertanian menjadi andalan masyarakat di daerah ini, di samping

sector lainnya.

C. Agama

Secara faktual kehidupan agama di kecamatan Banuhampu berjalan

dengan lancer. Hal ini dapat diperhatikan dalam realita kehidupan masyarakat

yang aman, damai, dan sejahtera. Dalam masalah agama didaerah ini, terutama

penduduk asli, 100% beragama Islam, sedangkan yang beragama non Islam hanya

sebagian kecil masyarakat pendatang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada

tabel di bawah ini7:

7 Iprizal S.SOS (Sekretasis Camat Banuhampu, Wawancara, Kecamatan Banuhampu).

56

Tabel 2

Jumlah Pemeluk Agama di Kecamatan Banuhampu8

No Nama Nagari Islam Kristen Budha/Hindu

1

2

3

4

5

6

7

Nagari Pakan Sinayan

Nagari Padang Luar

Nagari Cingkariang

Nagari Ladang Laweh

Nagari Taluak IV Suku

Nagari Kubang Putiah

Nagari Sungai Tanang

4.291 Jiwa

6.719 Jiwa

4.669 Jiwa

4.682 Jiwa

4.862 Jiwa

7.127 Jiwa

2.063

-

7

-

-

4

-

-

-

-

-

-

1

-

-

Jumlah 36.113 Jiwa 11 Jiwa 1 Jiwa

Sumber: Kantor Camat Banuhampu

Masyarakat Kecamatan Banuhampu termasuk penganut agama yang taat,

hal ini dapat dilihat bahwa hampir setiap kampung atau Nagari mempunyai

beberapa mesjid dan mushalla yang dijadikan sebagai tempat ibadah dan upacara-

upacara keagamaan lainnya. Masjid dan Mushalla juga berfungsi sebagai tempat

pertemuan dan musyawarah dalam membicarakan perbaikan kampung setempat.

Jumlah masjid dan mushalla di Kecamatan Banuhampu dapat dilihat pada tabel di

bawah ini9:

8 Iprizal S.SOS (Sekretaris Camaat Banuhampu, Wawancara, Kecamatan Banuhampu)

9 Iprizal S.SOS (Sekretasis Camat Banuhampu, Wawancara, Kecamatan Banuhampu).

57

Tabel 3

Komposisi Jumlah Sarana Ibadah di Kecamatan Banuhampu10

No. Nama Nagari Mesjid Mushalla

1

2

3

4

5

6

7

Nagari Pakan Sinayan

Nagari Padang Luar

Nagari Cingkariang

Nagari Ladang Laweh

Nagari Taluak IV Suku

Nagari Kubang Putiah

Nagari Sungai Tanang

2 Buah

2 Buah

5 Buah

5 Buah

4 Buah

8 Buah

2 Buah

12 Buah

6 Buah

5 Buah

8 Buah

3 Buah

11 Buah

3 Buah

Jumlah 28 Buah 48 Buah

Sumber: Kecamatan Banuhampu

Pembangunan sarana ibadah ini pada umumnya merupakan hasil swadaya

masyarakat, dan hanya sebagian kecil yang mendapat bantuan dari lembaga

pemerintahan seperti Departemen Agama dan Pemerintahan Daerah TK II

ataupun Pemerintahan TK I Sumatera Barat.

Kuatnya agama di daerah ini, terbukti banyaknya sekolah-sekolah agama,

seperti MDA, MTS, serta ada dua pesantren yang santrinya bukan saja berasal

dari daerah setempat, bahkan banyak yang yang berasal dari luar kecamatan

Banuhampu ada juga yang berasal dari luar Provinsi Sumatera Barat. Dari tabel di

10

Iprizal S.SOS (Sekretaris Camat Banuhampu, Wawancara, Kecamatan Banuhampu)

58

bawah ini dapat dilihat jumlah lembaga pendidikan agama di Kecamatan

Banuhampu.

Tabel 4

Komposisi Jumlah Sarana Pendidikan Agama di Kecamatan Banuhampu11

No. Nama Nagari MDA/TPA MTs MA

1

2

3

4

5

6

7

Nagari Pakan Sinayan

Nagari Padang Luar

Nagari Cingkariang

Nagari Ladang Laweh

Nagari Taluak IV Suku

Nagari Kubang Putiah

Nagari Sungai Tanang

4

4

3

4

2

4

2

-

-

-

1

-

1

-

-

-

-

1

-

-

-

Jumlah 23 2 1

Sumber: Kantor Camat Banuhampu

D. Pendidikan

Pendidikan mempunyai peran yang sangat penting bagi Bangsa dan

merupakan sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan manusia.

Untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, maka pendidikan

merupakan factor yang sangat penting untuk ditingkatkan, baik oleh pemerintah

maupun oleh masyarakat secara keseluruhan. Pembangunan yang sedang

11

Iprizal S.SOS (Sekretaris Camat Banuhampu, Wawancara, Kecamatan Banuhampu)

59

dilaksanakan di Indonesia, tidak akan terwujud bila sumber daya manusianya

tidak disiapkan dengan baik. Di sisi lain, pendidikan merupakan sarana yang

ampuh dalam memepersiapkan tenaga kerja yang professional. Dengan tingkat

pendidikan yang semakin baik, setiap orang akan dapat secara langsung

memperbaiki tingkat kehidupan yang layak, sehingga kesejahteraan masyarakat

akan semakin cepat diwujudkan.

Sarana pendidikan yang tersedia di daeraah ini, mulai dari pendidikan

taman kanak-kanak (TK) sampai tingkat menebgah, baik yang berstatus negeri,

maupun yang dikelola oleh swasta, dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5

Komposisi Jumlah Sarana Pendidikan di Kecamatan Banuhampu12

No. Nama Nagari TK SD SLTP MTs SLTA MA PT

1

2

3

4

5

6

7

Nagari Pakan Sinayan

Nagari Padang Luar

Nagari Cingkariang

Nagari Ladang Laweh

Nagari Taluak IV Suku

Nagari Kubang Putiah

Nagari Sungai Tanang

1

1

1

2

2

2

1

5

4

4

4

3

4

2

-

2

-

-

-

-

-

-

-

-

1

-

1

-

-

2

-

1

-

2

-

1

1

-

1

-

2

-

-

-

-

1

-

1

-

Jumlah 10 27 2 2 5 5 2

Sumber: Kantor Camat Banuhampu

12

Iprizal S.SOS (Sekretaris Camat Banuhampu, Wawancara, Kecamatan Banuhampu)

60

E. Sosial Budaya dan Adat Istiadat

1. Sosial Budaya

Semenjak agama Islam diterima di Minangkabau khususnya di

Kecamatan Banuhampu, banyak hal-hal yang berdasarkan ajaran Islam

dilaksanakan. Surau yang semula tempat berkumpul dan bermalam anak-anak

muda suku, berubah menjadi tempat pengajian. Gelanggan atau adu ayam

diubah menjadi gelanggang tempat belajar keterampilan olahraga pencak-

silat. Dalam pergaulan hidup sehari-hari, aktivitas kehidupan bermasyarakat

dipraktekkan sesuai dengan tata nilai dan norma yang berlaku, baik norma

adat maupun norma agama. Walaupun diketahui yang mayoritas beragama

Islam. Namun, kedua norma tersebut tetap dijalani secara bersamaan.

2. Adat Istiadat

Di samping menganut agama Islam, masyarakat Kecamatan

Banuhampu juga terikat oleh aturan-aturan adat yang mereka warisi dari

nenek moyang dahulu. Adat atau hukum adat itu merupakan suatu hukum atau

norma tang tidak terkofivikasi (tidak tertulis), disampaikan secara lisan, turun

temurun dan tetap diakui serta ditaati oleh masyarakat.

Dalam hal penyelesaian persoalan dan perkara yang terjadi tersebut,

prinsip musyawarah untuk mufakat tetap didepankan, mereka tidak

dibenarkan seenaknya saja mengambil tindakan atau keputusan suatu

permasalahan antara satu suku dengan suku lainnya, tanpa mengedepankan

61

azas musyawarah. Sehingga, dalam masyarakat adat Banuhampu jarang

diketemukan terjadinya perkelahian atau perang antar suku.13

F. Nagari Taluak IV Suku Kecamatan Banuhampu Sebagai Sampel Penelitian

Seiring dengan lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang

pemerintahan daerah sebagai pengganti UU No. 5 tahun 1974 dan UU No. 5

tahun 1979 serta diiringi lahirnya Peraturan daerah Provinsi Sumatera Barat No. 9

tahun 2000 tentang Pemerintahan Nagari dan seiring dengan itu pemerintahan

desapun digantikan dengan Pemerintahan Nagari.

Nagari Taluak IV suku ini bersebelahan dengan Kota Bukittinggi di

sebelah utara, dengan Ladang Laweh di sebelah selatan, dengan Kubang Putiah di

sebelah timur dan Guguak disebelah barat.

Nagari Taluak IV suku terbagi kepada 3 (tiga) jorong yaitu jorong Taluak

dengan luas 139 Ha, Jorong Jambu Aia dengan luas 223 Ha, dan Jorong Kapeh

Panji dengan luas 136 Ha, jadi total keseluruhan dari Nagari Taluak IV Suku

adalah 498 Ha. Jumlah penduduk di Nagari ini adalah 5467 Jiwa, laki-laki 2731

Jiwa dan Perempuan 2736 Jiwa. Jika dilihat dari mata pencaharian penduduk

Nagari Taluak IV suku banyak yang bekerja di bidang pertanian dan juga

perdagangan.14

13

Iprizal S.SOS (Sekretasis Camat Banuhampu, Wawancara, Kecamatan Banuhampu).

14

M. Risman St. Sinaro ( Wali Nagari Taluak IV Suku, Wawancara, Kecamatan Banuhampu)

62

BAB IV

POSISI HARTA PUSAKO TINGGI

A. Peran Harta Pusako Tinggi

Harta pusako tinggi mempunyai peranan yang sangat penting bagi

masyarakat Minangkabau karena harta tersebut harta yang diturunkan secara

turun temurun dari suatu kaum berdasarkan sistem garis keturunan ibu.

Babirik birik tabang ka sasak Babirik- birik terbang ke sasak

Dari sasak turun ka halaman Dari sasak turun ke halaman

Dari niniek turun ka mamak Dari buyut turun ke mamak

Dari mamak turun ka kamanakan Dari mamak turun ke kemenakan

Harta pusako tinggi ini adalah warisan dari nenek moyang kaum

pemegang harta tersebut yang mana pada dasarnya harta tersebut tidak untuk

diperjual-belikan dan hanya boleh digadaikan dengan 4 (empat) syarat yang telah

dipaparkan.

Harta pusako itu adalah pemersatu dalam jurai, kaum, suku dan bagi

masyarakat Minang pada umumnya, sekaligus untuk mengetahui nan sa asa

sakaturunan1 menurut jalur adat. Harta tersebut juga harta cadangan bagi suatu

kaum, jika ada salah seorang anak kemenakan yang hidupnya agak susah maka

uruslah harta tersebut.

H. Abdul Malik Karim Abdullah yang melihat harta pusako tinggi ini itu

sama keadaanya dengan wakaf atau harta musabalah yang pernah diperlakukan

Umar bin Khattab atas harta yang didpatkannya di khaybar yang telah dibekukan

1 Satu asal satu keturunan

63

tasarrufnya dan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Penyamaan

harta pusako tinggi ini dengan harta wakaf tersebut walau masih ada

perbedaannya, adalah untuk menyatakan bahwa harta tersebut tidak dapat

diwariskan. Karena tidak dapat diwariskan maka terhindarlah harta tersebut dari

kelompok harta yang harus diwariskan menurut hukum faraidh; artinya tidak

salah kalau padanya tidak berlaku hukum faraidh. Pendapat beliau ini diikuti oleh

ulama lain diantaranya Syekh Sulaiman ar Rasuli.2

Mengenai tentang sistem pewarisan adat atas harta pusako tinggi ini harta

tersebut dikuasai oleh perempuan tertua di rumah itu dan hasilnya dipergunakan

untuk manfaat seisi rumah. Pengawasan penggunaan harta itu berada ditangan

mamak rumah, bila mamak rumah sudah tiada maka beralih kepada kemenakan

yang laki-laki. Bila perempuan tertua dirumah itu sudah tiada, maka peranan

penguasaan dan pengurusan beralih kepada perempuan yang lebih muda. Dalam

hal ini tidak ada peralihan harta.

Penerusan peranan dalam sistem kewarisan adat adalah ibarat silih

bergantinya kepengurusan suatu badan yayasan yang mengelola suatu bentuk

harta. Kematian pengurus itu tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap status

harta, karena yang mati hanya sekedar pengurus. Berbeda dengan pewarisan

dalam hukum Islam yang berarti peralihan dari yang sudah tiada ke yang masih

hidup.

2 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Pewarisan Islam Dalam Adat Minangkabau. H. 278

64

Ciri khas dari dari harta pusako tinggi ini adalah harta tersebut bukan

milik perorangan dan bukan milik siapa-siapa secara pasti, yang memiliki harta

itu ialah nenek moyang yang mula-mula memperoleh harta itu secara memancang

melatah. Harta itu ditujukan untuk dana bersama bagi anak cucunya dalam bentuk

yang tidak terbagi-bagi. Setiap anggota dalam kaum dapat memanfaatkannya

tetapi tidak dapat memilikinya.3

Harta pusako tinggi ini harta yang hanya boleh digadaikan dengan 4

(empat syarat) yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya. Namun karena

Zaman lah baraliah, Tahun lah bakisah, Gadang lah balega maka harta tersebut

sudah ada yang dperjual-belikan karena beberapa faktor.

B. Faktor-faktor dan Penyebab Begesernya Hukum Waris Adat Minangkabau

Dari beberapa faktor dan penyebab bergesernya Hukum Waris Adat

Minangkabau khusunya jual - beli harta pusako tinggi ini terdapat beberapa faktor

dan penyebab kenapa harta pusako tinggi ini diperjual-belikan diantaranya :

1. Keturunan yang punah ( Terputusnya generasi)

a. Keturunan perempuan satu-satunya yang terakhir di kaum yang sasuku

saparuik dan sapayuang

Harta pusako tinggi adalah suatu hal yang harus diwariskan dari generasi

ke generasi selanjutnya dari niniak ka mamak dari mamak ka kamanakan.

3 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Pewarisan Islam Dalam Adat Minangkabau, H. 269-

270

65

Mengenai harta pusako tinggi kuasa dimiliki oleh pihak laki-laki

sedangkan kuasa di pihak perempuan. Harta ini harus terus berlanjut dari

generasi terdahulu ke generasi selanjutnya atau generasi di bawahnya.

Namun ketika generasi tersebut tersebut terputus di pihak perempuan

terakhir dan tak ada lagi generasi perempuan lainnya yang akan menguasi

harta pusako tinggi maka harta tersebut boleh diperjualbelikan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku yaitu adanya musyawarah mufakat dan

kesepakatan dari semua orang yang berada di kaum tersebut, kaum yang

sasuku saparuik dan sapayuang. Maksudnya kaum yang satu keturunan

nenek moyang keatasnya.

b. Terputusnya generasi di pihak laki-laki terakhir di kaum yang sasuku

saparuik sapayuang.

Sama seperti keterangan di atas, hal ini juga pernah terjadi di kenagarian

Taluak IV Suku yang mana keturunan tersebut terputus di pihak yang laki-

laki dan tak ada lagi keturunan perempuan yang mewarisi harta pusako

tinggi tersebut. Pihak laki-laki hanya memiliki kuasa terhadap harta

tersebut namun yang mempunyai hak adalah pihak perempuan. Jadi harta

tersebut boleh diperjual - belikan sesuai ketentuan di atas.

2. Harta pusako tinggi ini jikalau ada wasiat dari pewaris untuk

menghibahkannya ke Nagari atau dihibahkan ke sesuatu yang mendatangkan

manfaat terhadap si pewaris dan para sesepuh nenek moyang mereka

terdahulu maka ini boleh dilakukan ketika sudah ada kesepakatan dari

66

musyawarah mufakat yang terjadi antara orang-orang yang berada di kaum

yang sasuku dan saparuik tersebut. Ketika harta tersebut telah berganti

kedudukan menjadi milik si penerima hibah maka si penerima hibah boleh

memperjual-belikan harta tersebut. Atau dengan kata lain, ketika status harta

pusako tinggi ini telah berganti dan telah dialihkan kepada pihak ketiga maka

pihak ketiga boleh untuk memperjual-belikannya karena harta tersebut telah

menjadi hak milik dari pihak ketiga tersebut.

3. Dalam suatu kasus yang pernah terjadi di Nagari Taluak IV Suku ini, pernah

suatu kali dalam suatu keturunan kaum yang sasuku saparuik ini yang mana

generasi perempuan atau pihak perempuan yang akan menerima harta pusako

tinggi ini tidak ada lagi dengan kata lain terputus di generasi yang laki-laki.

Dalam hal ini, harta pusako tinggi ini bisa jatuh ke tangan anak dari kaum

laki-laki yang telah berbeda sukunya terhadap kaum yang aslinya. Lalu ketika

si anak dari anak laki-laki ini hendak memperjual-belikan harta pusako tinggi

ini boleh saja ketika ada kesepakatan dari musyawarah mufakat yang telah

terjadi, walaupun ia berbeda suku dengan suku bapaknya, karena sistem

kekerabatan di Minangkabau adalah menurut garis keturunan ibu bukan bapak

(Matrilineal).

4. Harta pusako tinggi juga boleh diperjual-belikan ketika di kaum tersebut

memang terjadi krisis yang memaksa harta tersebut untuk diperjual-belikan.

Maksudnya, didalam tubuh kaum yang sasuku dan saparuik tersebut tidak ada

67

lagi atau tidak ada lagi harta yang bisa menjamin kelangsungan hidup kaum

tersebut, maka harta tersebut boleh untuk diperjual belikan.

5. Kesepakatan dari hasil musyawarah mufakat yang sasuku saparuik

Harta pusako tinggi boleh diperjual belikan ketika adanya kesepakatan dari

hasil musyawarah mufakat yang sasuku saparuik. Karena pada dasarnya adat

itu adalah kesepakatan. Jadi ketika ada kesepakatan dari seluruh kaum yang

ada di suku tersebut maka harta tersebut boleh untuk duperjual-belikan.

Adat adalah hasil dari kesepakatan, yang bersendikan kepada syara‟.4

Sejalan dengan itu, Inyiak Syekh Imam Muzakkir menyebutkan bahwa

harta pusako tinggi pada awalnya tidak boleh untuk diperjual-belikan karena harta

pusako tinggi ini adalah harta yang tidak dikenal awal kepemilikannya yang

diwariskan menurut jalur keturunan ibu. Harta tersebut tidak boleh untuk

diperjual-belikan sebab jika dikembalikan kepada hukum Islam “Milkut Tam”

(Kejelasan/Asal usul Harta) tersebut tidak jelas. Namun jika ada alasan lain yang

menyebabkan harta pusako tinggi ini bisa dan harus diperjual-belikan maka boleh

untuk diperjual-belikan “Ar-ridha Sayyidul Hukmi”. Mengenai apa saja faktor

yang boleh untuk diperjual-belikannya harta pusako tinggi tersebut, Inyiak Syekh

Imam Muzakkir sependapat dengan pendapat dengan faktor dan alasan yang

dikemukakan oleh Inyiak H. Rusdi Burhan St. Bandaro Sati.5

4 Wawancara pribadi dengan Inyiak H. Rusdi Burhan St. Bandaro Sati

5 Wawancara pribadi dengan Inyiak Syekh Imam Muzakkir

68

Kemudian H. Tasrif St. Zainuddin B.A Selaku Saksi penghibahan dan jual

beli harta pusako tinggi di Nagari Taluak IV Suku menyebutkan : “Generasi yang

terputus adalah salah satu diantara banyak alasan untuk bisa diperjual-belikannya

harta pusako tinggi tersebut, baik terputusnya generasi dipihak perempuan

maupun dipihak laki-laki. Dan jikalau kita menemukan kasus seperti hal tersebut

maka pihak penerima warisan harta pusako tinggi tersebut berhak untuk

memperjual belikan harta tersebut atau mungkin juga harta tersebut juga berhak

untuk dihibahkan ke mesjid, nagari ataupun yang mendatangkan manfaat terhadap

si pewaris. Itu kembali kepada si pewaris ingin memperjual-belikan harta tersebut

atau menghibahkannya, tapi apapun yang akan dilakukan si pewaris itu adalah

hak dia sebagai pewaris. Namun ada juga pewaris yang mana harta tersebut

sebahagian diperjual - belikan dan sebahagian lagi dihibahkan.”

C. Analisa Penulis

Falsafah hidup orang Minangkabau yaitu adat basandi syara‟, syara‟

basandi kitabullah. Melihat persoalan harta pusako tinggi di dalam adat

Minangkabau sebenarnya mengenai status harta tersebut telah terjadi perbedaan

pendapat sejak dari Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawy, malah beliau

mengarang sebuah kitab berjudul “Ad Doi‟ al Masmu‟ fil Raddi‟ala Tawarisi

al‟ikwati wa Awadi al Akawati ma‟a Wujud al usuli wa al furu‟i” yang artinya

dakwah yang didengar tentang penolakan atas pewarisan pewarisan saudara dan

69

anak saudara di samping ada orang tua dan anak. Kitab itu ditulis di Mekkah pada

akhir abad ke XIX.6

Namun pendapat beliau berbeda dengan pendapat H. Abdul Malik Karim

Abdullah ( HAMKA) yang mana melihat harta pusako dalam bentuk yang sudah

terpisah dari harta pencaharian. Beliau berpendapat bahwa harta pusako itu sama

kedudukannnya dengan harta wakaf atau harta musabalah yang pernah

diperlakukan Umar Bin Khattab atas harta yang didapatnya di Khaybar yang telah

dibekukan tassarufnya dan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum.

Penyamaan harta pusako dengan harta wakaf tersebut walaupun masih ada

perbedaannya adalah untuk menyatakan bahwa harta tersebut tidak dapat

diwariskan seperti pewarisan yang berlaku hukum Faraidh atasnya.

Ahli waris dalam pewarisan menurut adat Minangkabau ini, yaitu turun

dari mamak ke kemenakan atau dari ibu turun ke anak perempuan tertua, tanpa

melupakan pewarisan ini bersifat kolektif dan satu hal lagi yang diwariskan

bukanlah harta itu sendiri namun hanya pengawasan dan pengelolaannya saja.

Dalam kajian usul fiqh pun terdapat kajian tentang hukum adat yang

terpadu dalam materi al u‟rf. Dalam bukunya “ilmu ushul fiqh”, Abdul Wahab

Khalaf menjelaskan pengertian al- „urf adalah apa yang saling diketahui dan

saling dijalankan orang berupa perkataan, perbuatan ataupun meninggalkan

kebiasaan dan dinamakan adat.7

6 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Pewarisan Islam Dalam Adat Minangkabau, H. 275

7 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, ( Kairo : Dar Al- kautyatiyah, 1959), h. 89

70

Al- „urf dapat dibedakan ke dalam dua bentuk yaitu al- „urf sahih yang

berarti adat kebiasaan di masyarakat yang tidak bertentangan dengan syariat islam

dan membawa mashlahat bagi umat, dan al- „urf fasid yaitu kebiasaan di

masyarakat yang bertentangan dengan syariat islam yamng menimbulkan

mafsadat ( kerusakan) bagi umat.8

Dapat dipetik kesimpulan dari defenisi defenisi di atas bahwa persyaratan

hukum adat boleh atau bisa dijalankan bila memenuhi syarat komulatif yaitu:

1. Tidak bertentangan dengan syariat

2. Membawa mashlahat

3. Tidak menimbulkan mafsadat (kerusakan)

4. Tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib dan

sebaliknya.

Dikatakan kewarisan adat Minangkabau tidak menyalahi syariat islam,

karena apa yang ditentukan dalam hal waris adat Minangkabau tidak menyalahi

syariat Islam, karena apa yang ditentukan dalam hal waris adat Minangkabau

bukanlah sesuatu yang menyalahi syariat, menghalalkan yang haram ataupun

mengharmkan yang halal.

Ketika dikaji tujuan nenek moyang masyarakat Minangkabau dalam hal

mempusakoi warisan kepada cucunya yaitu untuk kelangsungan dan memelihara

kehidupan mereka di kemudian hari. Jadi ketentuan kewarisan itu mendatangkan

mashlahat bagi umat.

8 Muhammad Abu Zahra, Ushul Al- Fiqh, ( Kairo : Dar- Fikr, t, th), h. 216-217

71

Mengenai persoalan Jual-beli harta pusako tinggi di dalam adat

Minangkabau yang pada awal mulanya hanya boleh digadaikan, namun melihat

pendapat para pakar di atas tentang latar belakang diperbolehkannya memperjual-

belikan harta pusako tinggi tersebut maka penulis menyimpulkan dan menarik

beberapa faktor diperbolehkannya jual-beli harta pusako tinggi yaitu :

1. Keturunan yang punah (generasi yang terputus)

Ketika keturunan yang punah baik berkahir di pihak laki-laki maupun

perempuan maka harta tersebut berhak dan boleh untuk diperjual-belikan.

2. Pergantian status harta

Ketika harta tersebut telah berganti status dari harta pusako tinggi menjadi

harta hibah, maka pihak ke tiga yang menerima harta tersebut boleh dan

berhka untuk memperjual belikannya.

3. Kaum yang sangat kekurangan dan tidak mampu

Harta pusako tinggi boleh diperjual-belikan dengan faktor bahwa di kaum

tersebut terjadi krisis yang berkepanjangan yang mana kaum itu sangat

kekurangan dan tidak mampu. Dan salah satu manfaat yang diterima ketika

harta tersebut diperjual belikan yaitu untuk melanjutkan kelangsungan

keturunan dan sebagianya.

4. Kesepakatan dari hasil musyawarah mufakat

Ketika adanya kesepakatan dari hasil musyawarah mufakat di kaum yang

sasuku saparuik untuk memperjual-belikan harta tersebut, maka harta tersebut

boleh dan layak untuk diperjual-belikan. Karena suara teringgi adalah ketika

sudah ada kesepakatan dari seluruh anggota kaum.

72

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, maka penulis

memberikan kesimpulan yang berhubungan dengan rumusan masalah dan tujuan

penelitian skripsi ini. adapaun kesimpulan yang dipaparkan adalah:

1. Harta pusako tinggi adalah harta bersama yang mana ketika hendak diperjual-

belikan pun harus ada kesepakatan bersama dari kaum yang sasuku saparuik.

Harta tersebut bisa dan boleh boleh diperjual-belikan ketika adanya

kesepakatan dari hasil musyawarah muafakat yang sasuku dan saparuik.

Karena adat itu adalah hasil kesepakatan.

2. Keturunan yang punah, generasi yang terputus, dan krisis yang

berkepanjangan dari kaum yang tidak mampu itu juga adalah beberapa faktor

yang membuat harta pusako tinggi itu layak dan boleh untuk diperjual

belikan.

3. Tidak ada sanksi adat ketika melakukan jual-beli harta pusako tinggi ketika

adanya kesepakatan dari kaum yang sasuku saparuik.

4. Pandangan hukum islam pun membolehkan hal tersebut jika jual-beli tersebut

sesuai dengan ketentuan rukun dan syarat jual beli yang telah diatur dalam

hukum islam.

73

B. Saran

Berdasarkan pembahasan skripsi ini secara keseluruhan, ada beberapa

saran yang ingin penulis sampaikan sebagai penutup dalam karya ilmiah ini,

yaitu:

Kepada seluruh mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta,

diharapkan memperkaya wawasan dan pengetahuannya terutama dalam sisi

hukum kewarisan dan khususnya kewarisan adat Minangkabau, sehingga

nantinya kepada mahasiswa yang ingin melanjutkan penelitian mengenai

pergeseran pergeseran hukum waris adat Mianangkabau tidak hanya sekedar

mengetahui namun benar-benar memahami isi dan adat secara keseluruhan. Baik

dilihat dari perspektif hukum islam maupun adat di Minangkabau.

Bagi para peneliti yang berminat mengkaji masalah keminangkabauan,

penulis menyarankan dalam mengkaji hal-hal yang berhubungan dengan

Minangkabau hendaklah melihat Minangkabau sebagai sesuatu yang integral dan

menyeluruh kemudian melihat kepada kondisi objektifnya supaya dalam

mengkaji hal-hal yang berhubungan dengan Minangkabau khususnya harta waris

agar tidak terjadi kekeliruan. Dan agar tidak terjadi apa yang disebut adat “ cupak

didapek dek rang manggaleh, jalan dialiah dek urang lalu”, maksudnya

masyarakat Minangkabau dapat menerima pengaruh budaya dari luar, akan tetapi

pengaruh dari luar itu jangan sampai merusak sendi-sendi adat yang telah dianut

dan jangan sampai menghancurkan budaya yang diterima secara turun temurun

dari nenek moyang.

74

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul Karim.

Abdullah, Taufik. Sejarah dan Masyarakat, Lintasan Historis Islam di Indonesia,

Jakarta: Yayasan Obor, 1987.

Ahmad Dt. Batuah. Tambo Minangkabau dan Adatnya, Jakarta: Balai Pustaka, 1956 .

Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail Abu Abdullah. al-Jami’ Shahih al-Bukhari Kairo,

Dar wa Mathba’ al-Sya’biy, juz IV.

Ali, Chidir. SH Hukum Adat Minangkabau Dalam Yurisprudensi Indonesia. Jakarta :

Pradya Paramita. 1984.

Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al Maraghi. Beirut: Darul Fiqr. 1973.

Al-Thabari, Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-

Qur’an, Ttp: Syarikah Iqamah al-Din, tth, Jilid III.

Al-Zarqani, Muhammad Abd al-Azhim, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Quran, Kairo:

Isa al-Baby al-Halaby, tth.

As- Shidiqy, Muhammad Habsy. Fiqh Mawaris. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 1997.

Ash Shaubuny, Muhammad Ali. Hukum Waris Islam. Surabaya: Al-Ikhlas. t.th.

Asnan, Gusti. Kamus Sejarah Minangkabau. Padang: Pusat Pengkajian Islam dan

Minangkabau. 2003.

Asril Dt. Panduko Sindo. Jalan Kok Dialiah Anak Cucu, Cupak Kok Dituka

Kamanakan, Makalah, 2004.

Azra, Azyumardi. Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan

Modernisasi. Jakarta: Logos Wacana Ilmu Press. 2003.

B J. O, Schriek, Pergolakan Agama di Sumatera Barat, Jakarta : Bhratara, 1973.

Hadikusuma, Hilman. Hukum Waris Adat, Bandung, Penerbit Alumni, 1983, cet ke dua.

Hadzairin, Hendak Kemana Kamu Hukum Islam. Jakarta: Tintamas. 1976

Ibn Katsir, Abu Fida Ismail. Tafsirul Quranil ‘Azim, Beirut: Dar al-Fikr, 1986 Jilid I.

75

Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Kairo: Dar Al- Kautyatitah. 1959.

Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jembatan. 1999.

Komite Fakultas Syariah Universitas Al- Azhar. Hukum Waris Terlengkap. Jakarta: CV

Kuwait Media Gressindo. t. th.

Latief, H. Chaidir N. Dt Bandaro dkk. Minangkabau yang Gelisah: Mencari Strategi

Sosialisasi Pewarisan Nilai- Nilai Adat dan Budaya Minangkabau untuk Generasi

Muda. Bandung: CV. Lubuk Agung. 2004.

M.S Amir. Adat Minangkabau Pola Dan Tujuan Hidup Orang Minang. Jakarta : PT.

Mutiara Sumber Widya. 2001.

Mubarak, Jaih. Kaidah Ushul Fiqh: Sejarah dan Kaidah Asas. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada. 2002.

Naim, Mochtar, Merantau : Pola Migrasi Suku Minangkabau, Padang : PT. Bina

Ilmu, 1980.

Navis, A.A, Adat Berkembang Jadi Guru : Adat dan Kebudayaan Minangkabau,

Padang : Grafindo. 1978.

Parman, Ali. Kewarisan Dalam Al- Qur’an. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1995.

Perangin, Effendi, Hukum Waris, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005.

Rahman, Fatchur. Ilmu Waris. Bandung: Al- Ma’arif. 1975.

Shalih, Subhi, Mabahits fi ‘Ulum al-Quran, Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, tth

Syarifuddin, Amir. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat

Minangkabau. Jakarta: PT Midas Surya Grafindo. 1982.

Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Jender Perpektif Al- Qur’an. Jakarta:

Paramadina. 2001.

Waawancara pribadi dengan H. Tasrif St. Zainuddin. Bukittinggi. Tanggal 15

Februari 2013.

Wawancara pribadi dengan Inyiak H. Rusdi Burhan St. Bandaro Sati. Bukittinggi.

Tanggal 13 Februari 2013.

Wawancara pribadi dengan Inyiak Syekh Imam Muzakkir. Bukittinggi. Tanggal 14

Februari 2013.