PERENCANAAN INTERPRETASI BERBASIS KONSERVASI … · Bentuk perencanaan interpretasi yang...

85
PERENCANAAN INTERPRETASI BERBASIS KONSERVASI BAMBU SEBAGAI BAHAN BAKU ANGKLUNG DI SAUNG ANGKLUNG UDJO PANCA OKTAWIRANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Transcript of PERENCANAAN INTERPRETASI BERBASIS KONSERVASI … · Bentuk perencanaan interpretasi yang...

PERENCANAAN INTERPRETASI BERBASIS KONSERVASI BAMBU

SEBAGAI BAHAN BAKU ANGKLUNG

DI SAUNG ANGKLUNG UDJO

PANCA OKTAWIRANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perencanaan Interpretasi

Berbasis Konservasi Bambu di Saung Angklung Udjo adalah benar karya saya

dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun

kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip

dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2013

Panca Oktawirani

NIM E 352100031

ABSTRAK

PANCA OKTAWIRANI. Perencanaan Interpretasi Berbasis Konservasi Bambu

di Saung Angklung Udjo. Dibimbing oleh E.K.S. HARINI MUNTASIB dan

ERVIZAL A.M. ZUHUD.

Saung Angklung Udjo, salah satu pusat pelestarian angklung di Jawa Barat,

berkepentingan untuk menjaga kelestarian keempat jenis bambu (bambu Hitam,

bambu Gombong, bambu Temen, dan bambu Tali) sebagai bahan baku angklung

sekaligus menyampaikan informasi kepada pengunjung untuk mengenal sumber

daya tersebut. Penelitian ini bertujuan menyusun rencana interpretasi yang

berbasis konservasi bambu sebagai bahan baku angklung di Saung Angklung

Udjo. Metode yang dikembangkan menggunakan metode deskriptif kualitatif

dengan pendekatan perencanaan interpretasi Sharpe yaitu menuliskan tujuan,

mengumpulkan informasi, menganalisa, memadukan alternatif yang ada,

pelaksanaan program, evaluasi, dan perbaikan. Data yang dikumpulkan berupa

data primer dan data sekunder yang meliputi jenis dan karakteristik bambu, proses

pengolahan bambu menjadi alat musik angklung, dan upaya konservasi yang

dapat melibatkan pengunjung di Saung Angklung Udjo. Data dikumpulkan

melalui observasi, studi literatur, dan wawancara dengan tiga informan dan 50

responden. Kondisi kawasan dan data yang diperoleh digunakan sebagai bahan

untuk membuat perencanaan interpretasi di Saung Angklung Udjo. Terdapat

empat jenis bambu yang digunakan sebagai bahan baku angklung yaitu bambu

hitam (Gigantochloa atroviolaceae), bambu gombong (Gigantochloa

pseudoarundinaceae), bambu temen (Gigantochloa atter), dan bambu tali

(Gigantochloa apus). Keempat jenis bambu tersebut memiliki sifat fisik dan

anatomi yang cocok sebagai angklung. Pengadaan bambu sebagai bahan baku

angklung masih diperoleh melalui pengambilan dari alam dan belum dilakukan

budidaya yang intensif. Kondisi ini mempengaruhi keberadaan keempat jenis

bambu yang semakin sulit ditemukan. Konservasi jenis bambu sebagai bahan

baku angklung perlu dilakukan sebagai upaya mempertahankan keberadaan jenis

bambu dan kesenian angklung. Pengelola dan mitra petani (pemanen) perlu

melakukan upaya konservasi bambu. Salah satu upaya yang dapat dilakukan

pengelola Saung Angklung Udjo yaitu menyampaikan informasi terkait jenis dan

karakteristik bambu, upaya pengolahan bambu menjadi angklung serta upaya

konservasi bambu kepada pengunjung yang datang ke Saung Angklung Udjo.

Bentuk perencanaan interpretasi yang dikembangkan berupa program dan fasilitas

interpretasi berbasis konservasi bambu sebagai bahan baku angklung. Program

dan papan interpretasi yang dikembangkan diarahkan untuk meningkatkan

apresiasi pengunjung terhadap konservasi bambu sebagai bahan baku angklung.

Kata kunci: interpretasi, konservasi bambu, saung angklung udjo

ABSTRACT

PANCA OKTAWIRANI. Interpretive Planning Based on Bamboo Conservation

as Angklung Raw Material at Saung Angklung Udjo. Supervised by E.K.S.

HARINI MUNTASIB and ERVIZAL A.M. ZUHUD

Saung Angklung Udjo is one of the conservation of angklung where focused

in West Java, It concerned to preserve the four types of bamboo (Black bamboo,

Gombong bamboo, Temen bamboo, and Tali bamboo) which identified as

angklung raw materials also to communicate information to visitors to get to

know these resources. This study aims to develop a conservation plan based

interpretation of bamboo as a raw material at Saung Angklung Udjo. The method

was developed using qualitative descriptive methods to approach the

interpretation of Sharpe is make objective, collection information, analysing,

synthesis, plan, implementation, evaluation & revision, and feedback. Data were

collected in the form of primary and secondary data including the type and

characteristics of bamboo, bamboo processing into a musical instrument

angklung, and conservation efforts that may involve visitors in Saung Angklung

Udjo. Data were collected through observation, study of literature, and interviews

with three informants and 50 respondents. The data obtained is used to make

planning interpretation at Saung Angklung Udjo. There are four types of bamboo

used as angklung raw materials namely black bamboo (Gigantochloa

atroviolaceae), gombong bamboo (Gigantochloa pseudoarundinaceae), temen

bamboo (Gigantochloa atter), and Tali bamboo (Gigantochloa apus). Fourth

bamboo has physical properties and anatomy suitable as an angklung musical

instrument. Procurement bamboo as angklung raw material was obtained by

taking from nature and has not done the intensive cultivation. This condition

affects the existence of four types of bamboo are increasingly rare. Conservation

bamboo species as angklung raw material needs to be done in order to maintain

the existence and type of angklung art. Business partners and farmer (harvesters)

have bamboo conservation efforts. One effort can to do Saung Angklung Udjo

managers through the delivery of information related to the type and

characteristics of bamboo, bamboo processing effort into conservation efforts

bamboo to the visitor. Forms of interpretation that was developed in the form of

plans and programs based interpretation facilities conservation angklung bamboo

as raw material. Program and interpretation boards are developed to enhance the

appreciation of visitors directed to the conservation of bamboo as angklung raw

material.

Keywords:conservation of bamboo, interpretation, saung angklung udjo

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains

pada

Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan

PERENCANAAN INTERPRETASI BERBASIS KONSERVASI

BAMBU SEBAGAI BAHAN BAKU ANGKLUNG

DI SAUNG ANGKLUNG UDJO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

PANCA OKTAWIRANI

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Naresworo Nugroho MS

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang

dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012 ini ialah

Perencanaan Interpretasi, dengan judul Perencanaan Interpretasi Berbasis

Konservasi Bambu sebagai Bahan Baku Angklung di Saung Angklung Udjo.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr E.K.S Harini Muntasib

dan Bapak Prof Dr Ir Ervizal A.M. Zuhud selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir

Naresworo Nugroho selaku dosen penguji. Di samping itu, penghargaan penulis

sampaikan kepada pengelola Saung Angklung Udjo yang telah membantu selama

pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu,

suami, teman-teman MEJ 2010, serta seluruh kerabat, atas segala doa dan kasih

sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2013

Panca Oktawirani

i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ....................................................................................................... i

DAFTAR TABEL ............................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iv

1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

Latar Belakang ............................................................................................. 1

Perumusan Masalah ..................................................................................... 2

Tujuan Penelitian ......................................................................................... 2

Manfaat Penelitian ....................................................................................... 2

Kerangka Teori ............................................................................................ 3

2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 4

Pengertian Interpretasi ................................................................................ 4

Perencanaan Interpretasi ............................................................................. 5

Teknik Interpretasi ...................................................................................... 6

Program Interpretasi .................................................................................... 7

Makna Konservasi ....................................................................................... 8

Tri Stimulus AMAR Konservasi Bambu untuk Angklung .......................... 9

3. METODE PENELITIAN ............................................................................. 21

Waktu dan Lokasi ....................................................................................... 21

Alat dan Bahan ............................................................................................ 21

Metode Penelitian ....................................................................................... 21

4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ....................................... 26

Sejarah Saung Angklung Udjo (SAU) ........................................................ 26

Letak, Luas, dan Status SAU ...................................................................... 27

Aksesibilitas SAU ....................................................................................... 27

Profil Pengelola SAU .................................................................................. 28

5. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 31

Program Wisata di Saung Angklung Udjo .................................................. 31

Profil Pengunjung ....................................................................................... 33

Proses Pengolahan Bambu menjadi Angklung ........................................... 35

Upaya Konservasi Bambu sebagai Bahan Baku Angklung ......................... 42

6. PERENCANAAN INTERPRETASI BERBASIS KONSERVASI

BAMBU SEBAGAI BAHAN BAKU ANGKLUNG ................................ 44

Tujuan dan Sasaran Interpretasi ................................................................... 44

Program Interpretasi ..................................................................................... 47

Obyek, Tema dan Materi Interpretasi .......................................................... 47

Teknik Interpretasi ....................................................................................... 49

7. CONTOH PROGRAM INTERPRETASI: MENGENAL BAMBU

SEBAGAI BAHAN BAKU ANGKLUNG ................................................. 49

Program Pengenalan Bambu sebagai Bahan Baku Angklung ..................... 50

Program Pengenalan Jenis dan Karakteristik Bambu sebagai Bahan

Baku Angklung ............................................................................................ 56

8. CONTOH RENCANA PENGEMBANGAN FASILITAS ........................ 58

Pusat Informasi ............................................................................................ 58

Papan Interpretasi ........................................................................................ 58

Arboretum Bambu ..................................................................................... 59

ii

Media Publikasi ........................................................................................... 59

9. SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 59

Simpulan ...................................................................................................... 59

Saran ........................................................................................................... 60

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 60

iii

DAFTAR TABEL

1. Perbedaan Sifat Bambu Hitam (G. atroviolaceae Widjaja) Bambu

Temen (G. atter Hassk) Bambu Tali (G. Apus (J.A&J.H Schultes Kurz)

dan Bambu Gombong (G. Pseudoarundinaceae) ...................................... 18

2. Jenis Data Penelitian ................................................................................... 22

3. Stratifikasi Responden ................................................................................ 24

4. Saung Angklung Udjo dari waktu ke waktu ................................................ 26

5. Perencanaan Interpretasi Berbasis Konservasi Bambu sebagai Bahan

Baku Angklung di Saung Angklung Udjo ................................................... 46

6. Obyek, Tema, dan Materi Interpretasi di Saung Angklung Udjo ................ 48

7. Skenario Cerita ............................................................................................. 51

iv

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Teori Penelitian ........................................................................ 4

2 Fase Perencanaan Interpretasi (Berdasarkan Bardley 1982 dalam

Sharpe, 1982) ............................................................................................. 5

3 Diagram Alir “tri stimulus amar pro-konservasi”: stimulus, sikap, dan

perilaku aksi konservasi ............................................................................. 10

4 Bambu Hitam (G. atroviolaceae) .............................................................. 14

5 Bambu Temen (G. atter)............................................................................ 15

6 Bambu Tali (G. apus) ................................................................................ 16

7 Morfologi Rebung Bambu Gombong (G. pseudoarundinaceae) .............. 17

8 Bambu Gombong (G. pseudoarundinaceae) ............................................. 17

9 Angklung Buncis ....................................................................................... 19

10 Lokasi Penelitian ....................................................................................... 21

11 Bagan Perencanaan Interpretasi berbasis Konservasi Bambu sebagai

Bahan Baku Angklung ............................................................................... 25

12 Papan Nama SAU yang berada di muka Jalan Padasuka .......................... 27

13 Struktur Organisasi Saung Angklung Udjo ............................................... 29

14 Bale Karesmen ........................................................................................... 30

15 Buruan Sari Asih........................................................................................ 31

16 Fasilitas yang ada: (a) Saung, Tempat Alternatif untuk Berkumpul

Bersama Keluarga , dan (b) Pusat Produksi Angklung ............................. 31

17 Beberapa Rangkaian Acara: (a) Wayang Golek dan (b) Helaran ............. 32

18 Motivasi Pengunjung ke SAU ................................................................... 33

19 Program Wisata yang dipilih Pengunjung ................................................. 33

20 Pemahaman Pengunjung terhadap Proses Pembuatan Angklung ............. 34

21 Pemahaman Pengunjung terhadap Jenis Bambu sebagai Bahan Baku

Angklung ................................................................................................... 34

22 Pemahaman Pengunjung mengenai Konservasi Bambu ........................... 35

23 Bambu yang baru dipanen ........................................................................ 37

24 Ilustrasi Pengawetan dan Pengeringan Bambu dengan Metode

Pengasapan ................................................................................................ 37

25 Proses Pengawetan Bambu dengan Metode Perendaman ......................... 38

26 Pengeringan Bambu Secara Vertikal ......................................................... 39

27 Bakalan Angklung ..................................................................................... 39

28 Tabung Angklung ...................................................................................... 40

29 Proses Perakitan Angklung ........................................................................ 40

30 Angklung yang telah distem ...................................................................... 41

31 Finishing Tabung Angklung ...................................................................... 42

32 Arah Program Interpretasi (Interpretive Direction) .................................. 51

33 Skema Program Interpretasi ...................................................................... 52

34 Morfologi Angklung .................................................................................. 54

35 Jenis Bambu sebagai Bahan Baku Angklung ............................................ 54

36 Rencana Papan Interpretasi........................................................................ 59

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Angklung merupakan alat musik multitonal (bernada ganda), terbuat dari

bambu dan dibunyikan dengan cara digoyangkan. Angklung berkembang dan

menjadi salah satu filosofi hidup masyarakat Jawa Barat. Menurut karuhun urang

sunda/sejarah masyarakat Sunda, kehidupan manusia diibaratkan seperti tabung

angklung. Angklung bukanlah sebuah angklung apabila ia hanya terdiri dari satu

tabung saja, layaknya manusia yang tidak dapat hidup sendiri melainkan harus

bersosialisasi (Sejarah Angklung 2012). Angklung menjadi populer sejak

November 2010, ketika terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan

Nonbendawi Manusia (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of

Humanity) oleh UNESCO.

Bambu sebagai bahan baku angklung belum mendapatkan perhatian secara

intensif dari pengguna bambu yang memanfaatkannya sebagai bahan baku

angklung khususnya dalam konservasi bambu. Bambu yang digunakan sebagai

bahan baku angklung masih diperoleh dari alam dan belum dibudidayakan secara

massal. Diantara berbagai jenis bambu, Bambu Hitam (Gigantochloa

atroviolaceae Widjaja), Bambu Gombong (Gigantochloa pseudoarundinacea

(Steud) Widjaja), Bambu Temen (Gigantochloa atter (Hassk.) Kurz, dan Bambu

Tali (Gigantochloa apus (J.A. & J.H. Schultes) Kurz tercatat memiliki

karakteristik yang sesuai untuk dijadikan sebagai bahan baku angklung (Nuriyatin

2000).

Saung Angklung Udjo (SAU) merupakan salah satu lokasi yang

mengembangkan budaya dan kesenian angklung di Jawa Barat. Sejak berdiri

tahun 1966, Saung Angklung Udjo terus berupaya memperkenalkan angklung

kepada masyakat luas bahkan sudah mencatatkan diri dalam Guiness World of

Record karena memainkan angklung sebanyak 5.182 buah dengan peserta multi-

bangsa. Jumlah pengunjung di Saung Angklung Udjo terus meningkat dari tahun

ke tahun. Selain menawarkan pertunjukan angklung, Saung Angklung Udjo juga

memproduksi angklung untuk dijual hingga ke mancanegara.

Saung Angklung Udjo sudah memiliki manajemen terkait pelayanan

pengunjung namun belum mengembangkan suatu pelayanan yang berguna untuk

mengarahkan dan meningkatkan rasa keingintahuan pengunjung dalam mengenal

dan memahami peranan bambu sebagai bahan baku utama angklung khususnya

dalam aspek pelestarian bambu.

Interpretasi didefinisikan sebagai suatu kegiatan atau suatu usaha

menciptakan pemahaman serta menunjukkan arti dan hubungan antara seseorang

dengan alam lingkungannya dengan menggunakan obyek yang terdapat

dikawasan tersebut dengan menggunakan media ilustratif serta melalui

pengalaman langsung dilapangan (Tilden 1977; Alderson&Low 1985;

Moscardo1998). Beragam penelitian mengenai program interpretasi tidak hanya

mendukung upaya konservasi dan pengelolaan kawasan melainkan juga

meningkatkan kepuasan dan kenyamanan pengunjung (Moscardo 1998;

Pearce&Moscardo 2007; Povey&Rion2002; Wiles 2005). Oleh karena itu perlu

2

disusun suatu perencanaan interpretasi yang berbasis pada konservasi bambu

sebagai bahan baku angklung di Saung Angklung Udjo.

Perumusan Masalah

Sebagai salah satu lokasi wisata budaya di Bandung Timur, pengelolaan

Saung Angklung Udjo masih terbatas pada penyediaan paket pertunjukan dan

kesenian angklung. Paket kunjungan tersebut berupa aktivitas menyaksikan

pertunjukan angklung yang dimainkan oleh anak-anak binaan Saung Angklung

Udjo yang dinamakan Bamboo Afternoon/Bambu Petang. Bamboo Afternoon

merupakan atraksi wisata yang terdiri dari tari-tarian, pertunjukan angklung

hingga pelibatan pengunjung dalam memainkan angklung.

Pengadaan bambu sebagai bahan baku angklung masih diperoleh secara

langsung dari alam dan belum dilakukan budidaya bambu secara intensif. Kondisi

ini menjadikan keempat jenis bambu semakin sulit ditemukan. Konservasi jenis

bambu sebagai bahan baku angklung perlu dilakukan sebagai upaya

mempertahankan keberadaan jenis dan kesenian angklung. Pengelola Saung

Angklung Udjo mempunyai kewajiban untuk melestarikan jenis bambu yang

digunakan sebagai bahan baku angklung sekaligus mengajak dan memberikan

pemahaman kepada pengunjung yang datang untuk memahami pentingnya

konservasi jenis bambu untuk angklung.

Interpretasi merupakan jembatan untuk menyampaikan keistimewaan

bambu sebagai sumber daya khususnya sebagai bahan baku angklung kepada

pengunjung. Informasi terkait karakteristik, proses pengolahan bambu menjadi

angklung, dan upaya konservasi bambu dapat disampaikan melalui interpretasi

yang dapat diwujudkan dalam bentuk program dan papan interpretasi. Pengelola

Saung Angklung Udjo belum menyiapkan informasi dan program wisata yang

berkaitan dengan bambu sebagai bahan baku utama angklung. Kenyataan tersebut

merupakan peluang bagi pengelola untuk mengenalkan dan meningkatkan

kesadaran masyarakat tentang konservasi bambu sebagai bahan baku utama

angklung sekaligus memberikan pengalaman yang berkualitas bagi pengunjung

Saung Angklung Udjo.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun rencana interpretasi yang berbasis

konservasi bambu sebagai bahan baku angklung.di Saung Angklung Udjo.

Manfaat Penelitian

1. Menjadi salah satu contoh pengelolaan lokasi wisata yang berbasis pada

konservasi sumber daya

2. Memberi pengetahuan dan pengalaman yang berkualitas kepada pengunjung

di Saung Angklung Udjo akan peranan bambu terhadap angklung.

3. Membangun keterlibatan pengunjung untuk ikut melestarikan sumber daya

bambu.

3

4. Bahan masukan bagi pengelola dalam mengoptimalkan manajemen di Saung

Angklung Udjo agar tercapai pemanfaatan dan pengelolaan bambu jangka

panjang

Kerangka Teori

Tingginya permintaaan bambu, khususnya jenis Bambu Hitam (G.

atroviolaceae), Bambu Gombong (G. pseudoarundinacea), Bambu Temen (G.

atter), dan Bambu Tali (G. apus) berdampak pada pemanenan bambu dari alam

(Fathony 2011; Irawan et al. 2006; Jonkhart 2011). Di sisi lain, penanaman

bambu lebih diutamakan jenis Bambu Duri (Bambusa blumeana) dan Bambu

Betung (Dendrocalamus asper) untuk industri pulp dan sumpit (Widjaja 1990).

Oleh sebab itu, perlu adanya upaya konservasi jenis-jenis bambu sebagai bahan

baku angklung dalam upaya menjamin keberadaan angklung sebagai warisan

dunia.

Sebagai destinasi wisata dan lokasi workshop angklung, Saung Angklung

Udjo merupakan salah satu pihak yang berkewajiban untuk melestarikan bambu,

khususnya jenis bambu sebagai bahan baku angklung. Sebagian besar pengunjung

Saung Angklung Udjo datang untuk melihat pertunjukan angklung sehingga

potensi dan peranan bambu sebagai bahan baku angklung belum banyak diketahui

pengunjung. Pihak pengelola berperan untuk menyampaikan peranan bambu dan

pentingnya upaya konservasi bambu sebagai bahan baku angklung kepada

pengunjung. Untuk itu perlu upaya memperkenalkan peranan bambu dalam

kesenian angklung melalui sebuah interpretasi. Melalui perencanaan interpretasi,

bambu dapat disusun menjadi materi program wisata yang bermanfaat dan

mendidik pengunjung. Berikut kerangka teori penelitian yang tersaji pada Gambar

1 berikut ini.

4

Gambar 1 KerangkaTeori Penelitian

2 TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Interpretasi

Penggunaan interpretasi sebagai bentuk komunikasi dalam kegiatan wisata

telah umum dijumpai di berbagai negara sepanjang abad kedua puluh. Akar dari

bidang interpretasi dapat ditelusuri dan ditemukan di Amerika dan Eropa pada

abad kesembilan belas. Hal ini diikuti dengan pertumbuhan dalam studi mengenai

sumber daya alam, perencanaan wisata melalui penggunaan pusat informasi alam

dan taman naturalis (Sharpe 1982).

Penyediaan informasi merupakan hal yang umum dalam mendukung

pengelolaan dan pengembangan wisata. Umumnya penyampaian informasi

terdapat di museum, kebun binatang, lokasi bersejarah hingga kawasan konservasi

(Muntasib 2003). Proses penyampaian informasi atau mendidik pengunjung dapat

didefinisikan sebagai interpretasi (Moscardo 1998). Interpretasi telah dikenal

sebagai layanan kepada pengunjung (Pearce&Moscardo 2007), dan pendekatan

untuk komunikasi (Ham 1992). Archer&Wearing (2003) mendefinisikan

interpretasi sebagai kegiatan menjelaskan dan merancang informasi tentang

sumber daya lokal bagi pengunjung dengan cara yang menarik. Veverka (1994)

Bambu sebagai Bahan Baku Angklung

(Prosea (1995) dalam Nuriyatin (2000)

Proses Pengolahan dan

Pemanfaatan Bambu menjadi

Angklung (stimulus manfaat)

Pengelola

Karakteristik Fisik, Biologis, Mekanik

Akustik Bambu (Widjaja 2001a+b)

(stimulus alamiah)

Tri Stimulus AMAR Konservasi Bambu

(Zuhud et al. 2007)

Perencanaan Interpretasi Berbasis

Konservasi Bambu sebagai Bahan

Baku Angklung

Pengunjung

5

juga menyatakan bahwa interpretasi adalah proses komunikasi yang dirancang

untuk mengungkapkan makna dan hubungan budaya dan warisan alam kepada

masyarakat (pengunjung) melalui tangan pertama pengalaman dengan obyek,

artefak, lanskap, atau lokasi.

Meski kedatangan pengunjung ke tempat rekreasi untuk berwisata dan

atau mencari inspirasi tetapi pengunjung juga mempunyai keinginan untuk

mengenal tempat yang dikunjungi. Poo (1993) dalam Moscardo (1998)

menyatakan perubahan trend menunjukkan bahwa program yang berbasis pada

pendidikan, konservasi, dan meningkatkan pengalaman dan pengetahuan

pengunjung lebih diminati. Interpretasi dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran

yang lebih luas terhadap lingkungan (Archer&Wearing 2003). Belajar hal-hal

yang baru dan meningkatkan pengetahuan menjadi motivasi terbesar yang

diminati dan dipilih pengunjung. Jika pengunjung semakin mencari unsur

pendidikan dalam aspek perjalanannya, maka interpretasi menjadi bagian integral

yang harus ada di lokasi wisata (Moscardo 1998).

Perencanaan Interpretasi

Komponen penting bagi perencanaan program interpretasi adalah 1)

pengunjung, 2) prosedur penyampaian informasi (Sharpe 1982). Komponen

pengunjung meliputi latar belakang, perilaku dan sikap, dan karakteristik spesial

pengunjung. Karakteristik spesial pengunjung meliputi umur, tingkat pendidikan,

dan ketertarikan khusus. Interpretasi mampu mengakomodasi berbagai

karakteristik spesial dari pengunjung. Berdasarkan Sharpe (1982) dalam

menyusun sebuah interpretasi, perlu perencanaan yang spesifik. Proses

perencanaan harus interaktif dan terus menerus. Langkah-langkah dalam

merencanakan sebuah interpretasi terdapat pada Gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2 Fase Perencanaan Interpretasi (Bradley dalam Sharpe 1982)

Fase perencanaan interpretasi terdiri dari menuliskan tujuan,

mengumpulkan informasi, menganalisa, memadukan alternatif yang ada,

pelaksanaan program, evaluasi dan perbaikan (Sharpe 1982). Penjabaran dari

tahap tersebut adalah:

Masukan

Umpan

Balik

Tujuan Inventarisasi &

Pengumpulan

Data

Analisis Sintesis Peren

canaan Penerapan

Evaluasi&

Revisi

6

a. Tujuan

Tujuan adalah panduan untuk melakukan tindakan spesifik yang diperlukan

dalam sebuah perencanaan. Perumusan tujuan merupakan sasaran yang ingin

dicapai dalam perencanaan interpretasi

b. Inventarisasi

Tahap inventarisasi adalah tahap mengidentifikasi lokasi untuk menemukan

sumber daya serta kekhasan dari lokasi tersebut yang meliputi aspek fisik,

biologis, dan sosial budaya. Inventarisasi yang baik sangat diperlukan untuk

memberikan sebuah data dasar dalam perencanaan interpretasi.

c. Analisis

Data yang diperoleh dalam inventarisasi harus menggambarkan kondisi yang

ada di lokasi. Data kemudian dianalisis secara deskriptif dengan penyajian

dalam bentuk tabulasi. Dalam analisis data, informasi yang didapatkan harus

diuji dan dievaluasi sehingga menghasilkan potensi, permasalahan, dan

pemecahan masalah yang dilanjutkan pemilihan obyek interpretasi serta lokasi

interpretasi (site) untuk pengembangan rencana interpretasi yang disusun.

d. Sintesis

Tahap ini merupakan tahap memadukan berbagai alternatif kegiatan dan

mengidentifikasi implikasinya. Rencana interpretasi mengadopsi potensi

sumber daya dengan kebutuhan pengunjung.

e. Perencanaan

Pada tahap ini merupakan tahap melengkapi semua aspek dan rencana yang

diperoleh sekaligus pendugaan dan dampak implementasi.

f. Evaluasi dan Perbaikan Rencana

Kegiatan monitoring dan pemantauan diperlukan untuk melihat potensi

keberhasilan dan keberlanjutan suatu rencana yang dibuat sehingga tujuan

yang diinginkan dapat tercapai. Evaluasi dilakukan terkait dampak program

terhadap para pengguna dan dampak fasilitas yang dibangun terhadap sumber

daya.

Beberapa prinsip untuk merancang interpretasi yang efektif antara lain: (1)

merancang pengalaman interpretasi yang berbeda, (2) menyediakan komunikasi

personal dengan pengunjung, (3) melatih partisipasi pengunjung, (4) menciptakan

konten yang jelas, (5) memungkinkan untuk pengunjung alternatif yang bukan

sasaran utama (Knapp&Benton 2004; Muscardo 1998). Ham (1992)

mengemukakan empat ide utama yang menjadi pendekatan dalam interpretasi

yaitu: (1) pleasurable atau menyenangkan, (2) relevant atau menghubungkan, (3)

organized atau mengatur, dan (4) has a theme atau mempunyai tema.

Teknik Interpretasi

Veverka (1998) mengklasifikasikan teknik interpretasi menjadi beberapa

jenis. Teknik interpretasi tidak selalu berupa guided tour, namun dapat berupa

ucapan, musik pengiring kedatangan pengunjung, pola-pola ubin, penataan

ruangan hingga hal-hal yang meningkatkan ketertarikan pengunjung serta

menciptakan ikatan (bonding) antara pengunjung dengan destinasi. Beberapa

teknik intrepretasi antara lain : Visitor Center, Education Center, Display and

Exhibits, Publication, Website, Self guided trails.

7

Sharpe (1982) menyampaikan interpretasi terdiri dari dua teknik yaitu (1)

Teknik secara langsung (attended service), dan (2) Teknik secara tidak langsung

(unattended service).

1. Teknik secara langsung (Attended Service)

Teknik secara langsung (attended service) yaitu kegiatan interpretasi yang

melibatkan langsung antara interpreter dan pengunjung dengan obyek interpretasi

yang ada sehingga pengunjung dapat secara langsung melihat, mendengar atau

bila mungkin mencium, meraba dan merasakan obyek-obyek intrepretasi yang

dipergunakan dan biasanya dengan tahap-tahap pelaksanaan sebagai berikut:

Informasi; pengunjung akan mendapatkan informasi tentang obyek yang akan

dikunjungi.

Rencana kegiatan pelaksanaan program akan dijelaskan pada suatu sentra

pengunjung, jadi pengunjung sudah lebih dulu mengetahui program

interpretasi yang dipilih dan garis besar rencana perjalanannya.

Penyampaian uraian-uraian; dilakukan oleh interpreter pada saat

melaksanakan program interpretasinya.

Dengan adanya kontak antara pengunjung dengan interpreter maka

terdapat suatu komunikasi langsung sehingga peran interpreter sangat besar untuk

dapat mengungkapkan semua potensi dalam suatu kawasan secara menarik.

Interpreter yang baik harus dapat membuat suasana yang santai sehingga

pengunjung akan dapat bebas bertanya ataupun dapat mengutarakan keluhan-

keluhannya. Pengunjung akan merasa penting jika dilibatkan dalam suatu program

interpretasi (Knapp&Benton 2004).

2. Teknik secara tidak langsung (Unattended Service)

Teknik secara tidak langsung (unattended service) yaitu kegiatan

interpretasi yang dilaksanakan dengan menggunakan alat bantu dalam

memperkenalkan obyek interpretasi. Interpretasi disajikan dalam suatu program

slide, video, film, ataupun rangkaian gambar-gambar. Program ini biasanya

diselenggarakan terutama untuk kawasan yang sangat luas sehingga tidak semua

potensi alam mudah dinikmati atau didatangi (daerahnya rawan, satwa liar masih

banyak) sehingga walaupun tidak dapat mengunjungi semua lokasi tetapi

pengunjung dapat mengetahui dan menikmati kekayaan alam yang ada di

kawasan tersebut. Program interpretasi secara tidak langsung ini juga harus

dibuat menarik dan dapat mewakili potensi alam yang ada di tempat tersebut.

Kedua teknik diatas sebenarnya tidak dapat dipisahkan begitu saja karena

biasanya pengunjung yang datang ke suatu kawasan yang mempunyai potensi

besar dan luas ingin melihat dulu secara keseluruhan potensi alam yang ada

ditempat-tempat tersebut, baru setelah itu melihat salah satu atau beberapa

program interpretasi yang ditawarkan.

Program Interpretasi

Menurut Sharpe (1982), program interpretasi adalah pengetahuan dari

seluruh usaha interpretasi, yaitu mencakup personil, fasilitas, dan seluruh kegiatan

interpretasi, kelembagaan serta tempat wisata tersebut. Menurut Ditjen PHPA

(1988), program interpretasi merupakan suatu pola pelaksanaan interpretasi

menurut waktu dan skenario cerita tertentu pula. Skenario cerita interpretasi

8

adalah garis-garis besar cerita yang mencakup materi interpretasi sebagai bahan

yang digunakan untuk menyusun suatu program interpretasi dan menjadi isi dan

maksud dari program interpretasi tersebut.

Program interpretasi yang disusun haruslah informal dan dalam suasana

yang santai (Ham 1992). Program membantu pengunjung untuk menyelaraskan

kebutuhan rekreasi dan ekspetasi akan sumber daya yang ada sekaligus memberi

dampak terhadap tingkah laku pengunjung secara langsung. Hal ini menunjukkan

bahwa interpretasi memberi makna secara langsung (Wearing 2009). Manfaat dari

segi pendidikan bagi pengunjung adalah kesempatan untuk belajar, meningkatkan

pengetahuan dan pemahaman akan lingkungan serta mendorong penemuan

personal (self discovery).

Dalam merancang suatu program interpretasi ada beberapa prinsip yang

harus diperhatikan, seperti yang telah dikemukakan oleh Tilden (1977) sebagai

berikut :

1. Suatu interpretasi yang tidak ada kaitannya antara yang diperagakan dengan

apa yang diuraikan akan merupakan suatu hal yang sia-sia

2. Informasi atau penerangan bukanlah interpretasi. Interpretasi adalah suatu

ungkapan berdasarkan informasi-informasi. Dalam interpretasi dimasukkan

unsur-unsur informasi

3. Interpretasi adalah suatu seni yang menggabungkan bermacam-macam seni,

baik bersifat ilmiah, sejarah atau arsitektur, suatu seni yang pada suatu

tingkatan tertentu dapat dianjurkan kepada orang lain

4. Cara menyampaikan interpretasi bukan dengan perintah tetapi pancingan atau

persuasi (dorongan)

5. Interpretasi bermaksud menunjukkan sesuatu secara keseluruhan dan bukan

potongan-potongan informasi

6. Interpretasi bagi anak-anak bukan penyederhanaan bagi orang dewasa.

Makna Konservasi

Konservasi berasal dari conservation yang terdiri atas kata con (together)

dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian “upaya memelihara apa yang

kita punya (keep/save what you have) namun secara bijaksana (wise use). Konsep

ini pertama kali dikemukakan oleh Theodore Roseevelt (1902) dalam Model Desa

Konservasi (2009) yang merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan

tentang konsep konservasi. Konservasi dalam pengertian sekarang diterjemahkan

sebagai the wise use of nature resources (pemanfaatan sumber daya alam secara

bijaksana). Makna konservasi merupakan pengelolaan sumber daya alam dan

lingkungan yang bertanggungjawab, berkelanjutan, dan berkeseimbangan (Zuhud

2011).

Azas konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya adalah pelestarian

kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara

serasi dan seimbang. Tujuan dari konservasi adalah terpeliharanya proses ekologis

yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Kegiatan konservasi meliputi tiga hal,

yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan jenis tumbuhan dan

9

satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya

(Departemen Kehutanan 1990).

Pemanfaatan dan konservasi bambu telah menjadi perhatian bagi negara-

negara di Asia, khususnya Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Tenggara (Wong,

2004). Konservasi bambu seperti halnya dengan konservasi pada tanaman lain

didasarkan pada spesies yang memiliki manfaat ekonomi dan spesies yang

tergolong langka dan endemik. Seiring dengan meningkatnya penggunaan bambu,

penebangan bambu terus meningkat. Pemanenan yang dilakukan secara tidak

beraturan dikhawatirkan akan menyebabkan kerusakan. Pengambilan secara terus

menerus tegakan alami bambu tanpa penanaman kembali berdampak pada

kepunahan. Oleh karena itu diperlukan adanya usaha konservasi bambu, baik di

lokasi tumbuh alaminya (in-situ) maupun di luar lokasi pertumbuhannya (ex-situ)

(Widjaja 2001).

Pemerintah telah menyiapkan strategi dan rancang tindak untuk

melindungi dan melestarikan potensi serta fungsi keanekaragaman hayati bambu

dan jasa lingkungan yang tersedia secara berkelanjutan (Untung et al. 1998).

Upaya mendorong program pengelolaan bambu dengan menjamin keseimbangan

antara pelestarian keanekaragaman hayati bambu dan pemanfaatannya secara in-

situ dan ex-situ. Pelestarian bambu dilakukan melalui kegiatan penanaman di

hutan alam dan kebun koleksi untuk mempertahankan keberadaan berbagai jenis

bambu baik yang endemik maupun yang eksotik dengan semua sumber

genetiknya.

Salah satu konsep mengenai pengelolaan konservasi jangka panjang

disampaikan oleh Zuhud (2008) yaitu konsep tri stimulus AMAR konservasi.

Konsep tristimulus AMAR konservasi terdiri dari tiga nilai yang menstimulus

seseorang atau suatu pihak untuk melakukan upaya konservasi. Tiga nilai tersebut

adalah nilai Alamiah, nilai MAnfaat, dan nilai Rela-religius. Stimulus alamiah

didefinisikan nilai-nilai kebenaran alam, fakta-fakta, fenomena-fenomena dan

sinyal-sinyal alam yang harus disikapi serta diperlakukan sesuai dengan karakter

setiap spesies sumberdaya alam hayati. Stimulus MAnfaat diartikan nilai-nilai

kepentingan untuk manusia, terutama berguna bagi keberlanjutan hidup fisiologis

manusia, diantaranya manfaat ekonomi, sandang, obat dan sebagainya. Adapun

stimulus Rela-religius bermakna nilai-nilai kebaikan terutama yang ganjarannya

dipercaya dan diyakini anugerah dari Sang Pencipta Alam. Stimulus ini antara

lain: nilai spiritual, nilai agama yang universal, dosa, pahala, norma, etika,

termasuk kearifan sosial budaya masyarakat tradisional. Stimulus ini mampu

mendorong masyarakat untuk rela berkorban melakukan aksi konservasi dan

mencegah aksi yang bertentangan dengan konservasi. Konservasi akan terwujud

dengan syarat apabila ketiga kelompok stimulus sudah mengkristal menjadi

pendorong sikap dan aksi masyarakat untuk konservasi.

Tri Stimulus AMAR Konservasi Bambu untuk Angklung

Dalam konteks sistem nilai, terdapat tiga kelompok stimulus pro konservasi, yaitu

Alamiah, MAnfaat, dan Religius-rela yang merupakan kristalisasi dari nilai

kebenaran, kepentingan, dan kebaikan (Zuhud 2011). Kristalisasi tersebut

menjadi penggerak, penyeimbang, dan pengendali terwujudnya sikap dan perilaku

untuk aksi konservasi yang berkelanjutan secara konkret. Gambar berikut

10

menunjukkan diagram alir tiga kelompok stimulus sebgai pendorong sikap pro-

konservasi masyarakat.

Gambar 3 Diagram alir „tri stimulus amar pro-konservasi”: stimulus, sikap, dan

perilaku aksi konservasi (Zuhud, et al 2007)

Bio-Ekologi Bambu (Stimulus Alamiah)

Morfologi Bambu

Bambu merupakan tumbuhan dengan batang berbentuk buluh, beruas,

bercabang dan berimpang (Alamendah 2011). Bambu telah menjadi penghuni

bumi sejak 200.000.000 tahun yang silam. Jumlah jenis bambu yang ada di

seluruh dunia belum diketahui secara pasti. Menurut Widjaja (2001a) ada 1.200-

1.300 jenis bambu ada di dunia. Dari jumlah tersebut, ada 160 jenis bambu yang

tumbuh di Indonesia (Fathony 2011). Di Pulau Jawa diperkirakan hanya ada 60

jenis, 14 jenis diantaranya hanya tumbuh di Kebun Raya Bogor dan Cibodas

sedangkan 9 jenis merupakan endemik pulau Jawa (Widjaja 2001b).

Bambu menjadi bagian dari kehidupan dan budaya bangsa Asia (Wong,

2004). Bagi para botanist, keanekaragaman bambu menjadi sumber penelitian

yang mengagumkan,sedangkan fokus perhatian agronom yaitu membudidayakan

bambu, bagi pengelola sumber daya memastikan bambu dilestarikan dan diketahui

dengan baik, sedangkan keberadaan dan kelimpahan bambu menjadi fokus

perhatian para rimbawan. Bambu adalah salah satu jenis tumbuhan yang cepat

Tri-Stimulus Amar Prokonservasi

1. Stimulus Alamiah

Nilai-nilai kebenaran dari alam,

kebutuhan keberlanjutan sumber

daya alam hayati sesuai dengan

karakter biologisnya (jenis,

morfologi, habitat, usia, pola

pemanenan, proses pengawetan

bambu)

2. Stimulus Manfaat

Nilai-nilai kepentingan untuk

manusia: manfaat ekonomi, manfaat

sosial, budaya, ekologis

(angklung, bahan bangunan, rebung,

kertas)

3. Stimulus Religius-rela

Nilai-nilai religius, kebaikan, nilai

spiritual, kearifan budaya, kepuasan

batin

Sikap

Konservasi

Cognitive

Persepsi,

pengetahuan,

pengalaman,

pandangan,

keyakinan

Affective

Emosi, cinta

Overt action

Kecenderungan

bertindak

Perilaku

Pro

Konservasi

Konservasi

terwujud di

dunia nyata

11

tumbuh dan dapat mencapai ketinggian maksimum 30 meter dalam waktu 2-4

bulan dengan rata-rata pertumbuhan harian sekitar 20-100 cm dan diameter 5-15

cm (Bamboo the Giant Grass 1991; Ueda (1960) dalam Jonkhart 2011). Dalam

beberapa bulan, batang bambu mampu mencapai pertumbuhan maksimal. Rata-

rata waktu pertumbuhan bambu untuk mencapai usia dewasa sekitar 3-6 tahun

(Xingcui 2011).

Bambu memiliki batang yang tumbuh di dalam tanah yang disebut

rimpang (rhizome) dan buluh (culm) untuk bagian rimpang yang tumbuh ke atas

membentuk rebung (Widjaja 2001; Wong 2004). Rimpang membentuk sistem

percabangan yang dapat dipakai untuk membedakan kelompok bambu. Ada dua

macam sistem percabangan rimpang yaitu pakimorf (dicirikan oleh rimpangnya

yang simpodial), leptomorf (dicirikan oleh rimpangnya yang monopodial). Di

Indonesia jenis-jenis bambu asli umumnya mempunyai sistem rimpang pakimorf,

yang dicirikan oleh ruasnya yang pendek dengan leher yang pendek juga

(Bamboo Terminology 1991).

Rebung merupakan bambu muda yang muncul dari permukaan dasar

rumpun atau rizhom. Pada awalnya berbentuk tunas yang pertumbuhannya lambat

dan dalam perkembangannya berbentuk kerucut yang merupakan bentuk

permulaan dari perkembangan batang. Rebung muncul pada musim hujan yang

laju pertumbuhannya sangat tergantung dari jenis bambunya (Bamboo

Terminology 1991; Environmental Bamboo Foundation Holland1996). Rebung

tumbuh dari kuncup akar rimpang di dalam tanah atau dari pangkal buluh tua.

Rebung selalu ditutupi oleh pelepah buluh yang juga tumbuh memanjang

mengikuti perpanjangan ruasnya (Widjaja 2001b).

Buluh berkembang dari rebung, tumbuh sangat cepat dan mencapai tinggi

maksimum dalam beberapa minggu. Buluh terdiri atas ruas dan buku-buku. Selain

berbeda dalam panjang buluhnya beberapa jenis tertentu mempunyai diameter

buluh yang berbeda. Marga Dendrocalamus mempunyai diameter buluh tebesar

diikuti oleh jenis-jenis dari marga Gigantochloa dan Bambusa (Widjaja 2001).

Buluh memiliki pelepah yang merupakan hasil modifikasi daun yang menempel

pada setiap ruas. Pelepah buluh sangat penting fungsinya yaitu menutupi buluh

ketika muda. Saat buluh tumbuh dewasa dan tinggi pada beberapa jenis bambu

pelepahnya luruh tetapi jenis lain pelepahnya tetap menempel (Widjaja 2001).

Pelepah buluh terdiri atas daun pelepah buluh, kuping pelepah buluh dan ligula

(sambungan antara pelepah buluh).

Batang bambu terdiri atas tiga bagian yaitu kulit, kayu dan bagian

empulur. Kulit bambu adalah bagian terluar dari penampang lintang dinding

batang, empulur adalah bagian batang yang berdekatan dengan rongga bambu

yang tidak mengandung ikatan vaskular. Bagian kayu pada bambu adalah bagian

diantara kulit dan empulur (Widjaya 2001b).

Percabangan pada umumnya terdapat di atas buku-buku. Cabang dapat

digunakan sebagai ciri penting untuk membedakan marga bambu. Pada marga

Bambusa, Dendrocalamus dan Gigantochloa sistem percabangan memiliki satu

cabang yang lebih besar daripada cabang lainnya yang lebih kecil. Cabang lateral

bambu yang tumbuh pada batang utama, biasanya berkembang ketika buluh

mencapai tinggi maksimum.

Daun pada tanaman bambu diasumsikan dalam dua bentuk dengan fungsi

berbeda. Daun yang berwarna hijau dan berperan dalam fotosintesis dan selubung

12

daun (culm sheaths) yang berfungsi membungkus ruas batang yang masih muda

dan umumnya akan berubah warna dari hijau menjadi coklat kekuningan

(Bamboo Terminology 1991; Wong 2004). Helai daun bambu mempunyai tipe

pertulangan yang sejajar seperti rumput, dan setiap daun mempunyai tulang daun

utama yang menonjol. Daunnya biasanya lebar, tetapi ada juga yang kecil dan

sempit seperti pada bambu cendani (Bambusa multiplex) dan bambu siam

(Thyrsostachys siamensis). Helai daun dihubungkan dengan pelepah oleh tangkai

daun.

Siklus Hidup Bambu

Bambu mampu tumbuh di cuaca yang panas seperti di Kepulauan Nusa

Tenggara hingga iklim yang bercurah hujan tinggi seperti Bandung (Sulthoni,

1994). Semakin tinggi curah hujan, semakin beragam jenis bambu yang tumbuh.

Bambu juga mampu tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 2.000 m dpl.

Bahkan bambu dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah (Sutiyono2006).

Siklus hidup tanaman bambu dimulai seperti tanaman lain, bertunas dari

biji dan mengeluarkan pucuk pertamanya untuk membentuk suatu batang. Seperti

kebanyakan rerumputan, bambu tumbuh dan berbunga, menghasilkan biji dan

mati. Cabang tunas ini nantinya akan membantuk akar dan menghasilkan rizoma

dan batang bambu baru. Batang bambu memiliki rongga dan dibatasi oleh node

(buku) tempat tumbuhnya ranting dan daun bambu. Batang tersebut mengeluarkan

daun untuk memulai proses fotosintesis. Batang pertama dari suatu rumpun

ukurannya dibatasi oleh kapasitas fotosintesis dari rumpun baru. Pada proses

fotosintesis ini, batang-batang yang lebih kecil hingga yang sudah cukup besar

membantu batang-batang yang baru mencapai ketinggian maksimal (Sutiyono

2006).

Pola Pertumbuhan Bambu

Bambu secara umum dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok

menyebar (running) dan merumpun (clumping). Jenis yang merumpun (clumping)

menyebarkan tunas – tunas barunya dekat dengan tangkainya (culm), sementara

kelompok yang menyebar (running) menyebarkan tunasnya sejauh 30 meter dari

tangkainya (culm), biasanya sejauh tingginya batang. Kebanyakan spesies tropis

seperti yang ditemukan di Indonesia adalah kelompok yang merumpun

(clumping), sementara kelompok yang menyebar (running) hanya terbatas di

daerah yang lebih dingin seperti di Cina (Sutarno 1996 dalam Erizal 1997).

Penanaman Bambu

Bambu dapat tumbuh melalui biji, pemotongan atau pembagian rumpun.

Karena bambu sangat jarang berbunga, biasanya dikembangbiakkan secara

vegetatif dan kultur jaringan. Bambu jenis menjalar, biasanya dikembangkan

dengan potongan rizomanya. Sedangkan bambu rumpun biasanya

dikembangbiakkan dengan potongan batang bambu yang menyertakan ruas yang

memiliki bakal tunas. Spesies bambu mempunyai waktu yang lama untuk

berbunga dan susah bertunas dari biji (tingkat pertumbuhan hanya dibawah 1%).

Jenis tanaman bambu yang kecil (diameter < 5 cm) ditanam dengan memisahkan

rumpun sedangkan jenis yang lebih besar (> 15 cm) dengan metode pemotongan.

13

Cara yang paling umum dalam penyebaran spesies bambu besar adalah

dengan memotong dan dikubur (burying cuttings) secara horizontal, dimana 3

atau 4 bongkol bambu dengan panjang sekitar 6 inci dikubur dibawah tanah pada

permulaan musim hujan. Lubang – lubang dipotong ditengah antara bongkol, dan

setiap segmen diisi dengan air sebelum dikubur. Tunas-tunas baru kemudian akan

terbentuk dari setiap tangkal bongkol (nodal joints) (Sutiyono 2006).

Jenis dan Karakteristik Bambu untuk Angklung

Bambu yang dipergunakan sebagai bahan baku angklung sebagai berikut :

Bambu Gombong(G. Pseudoarundinacea)

Bambu Hitam atau Awi Hideung(G. Atroviolacea)

Bambu Temen atau Awi Temen(G. Atter)

Bambu Tali atau Awi Tali(G. Apus)

Keempat jenis bambu tersebut merupakan bambu yang paling baik sebagai

bahan baku angklung karena keempat bambu tersebut memiliki pola distribusi

serabut yang lebih merata. Kelemahan bambu antara lain :

a. Elastisitas bambu/sifat menyusut dan mengembang

Pengaruh cuaca atau iklim setempat dapat menyebabkan perubahan nada

yang telah terbentuk pada Angklung. Nada yang dihasilkan dapat menjadi lebih

tinggi apabila bambu mengerut dan menjadi rendah apabila bambu mengembang.

Besar kecilnya elastisitas bambu tergantung kepada kepadatan bambu yang

bersangkutan. Apabila bambu itu kurang padat, maka elastisitasnya akan menjadi

lebih besar dan mudah sekali berubah karena pengaruh iklim. Namun jika bambu

memiliki distribusi serat yang cukup padat, maka elastisitasnya akan kecil

Perubahan elastisitas dapat diperbaiki dengan melakukan penyeteman kembali.

b. Bambu menjadi retak/pecah karena perubahan iklim yang drastis

Perubahan suhu berpengaruh terhadap kerusakan bambu. Bambu akan

mudah retak bahkan pecah jika berada pada suhu lingkungan yang tinggi.

Sedangkan pada suhu yang dingin, bambu akan mengerut sehingga

mempengaruhi nada yang telah ditala.

c. Bambu menjadi hancur karena dimakan organism perusak

Rayap adalah hama alami dari segala jenis tumbuhan bambu. Rayap

memakan zat selulosa yang terdapat pada bambu. Rayap menyerang bagian kulit

dalam dan kulit luar bambu. Rayap yang menyerang bambu dapat berasal dari

larva yang terdapat di dalam bambu ataupun rayap yang berasal dari luar. Hama

yang menyerang bambu adalah serangga bubuk kering dan rayap kayu kering

(Nandika et al. 1994). Penanganan rayap secara alami adalah dengan cara

menghilangkan/mengurangi kandungan zat selulosa yang terdapat didalam

bambu. Proses pengasapan dan perendaman pada sungai yang memiliki arus yang

deras merupakan cara yang diyakini dapat mengurangi kandungan zat selulosa

yang terdapat pada bambu. Dengan perkembangan teknologi, beragam obat anti

rayap diyakini dapat membunuh rayap dengan efektif.

Bambu Hitam (G. atroviolacea)

Bambu Hitam umum dikenal dengan pring wulung (Jawa), awi hideung

(Sunda). Sinonim dari G. verticillata tersebar hanya di Pulau Jawa, namun telah

14

diintroduksi dibeberapa tempat di luar Jawa. Habitat bambu hitam di daerah

kering dan tanah berkapur (Widjaja 2001).

Ciri Bambu Hitam memiliki batang berwarna hitam sampai hitam

keunguan seperti yang terlihat pada gambar 4. Di beberapa tempat juga sering

dijumpai warna hitam/ ungunya agak bercampur dengan hijau. Ruas-ruas sedikit

membengkok pada buku. Percabangan dimulai dari buku bagian tengah sampai

ujung, terdapat akar-akar aereal di buku-buku bagian bawah. Tinggi batang dapat

mencapai 12 meter dengan diameter 11 cm. Deskripsi klasifikasi Bambu Hitam

adalah sebagai berikut:

kingdom : Plantae (Tumbuhan).

subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

super divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil)

sub kelas : Commelinidae

ordo : Poales

famili : Poaceae (suku rumput-rumputan)

genus : Gigantochloa

spesies : Gigantochloa atroviolacea

Gambar 4 Bambu Hitam (G. atroviolaceae) (Sumber :Gigantochloa

atroviolaceae 1991)

15

Bambu Temen (G. atter)

Sinonim dari Bambusathouarsii Kunth memiliki nama lokal awi temen

(Sunda) atau pring Legi (Jawa). Bambu Temen atau Ater tumbuh tersebar di Jawa

dan daerah lain di Indonesia. Bambu Temen tumbuh baik di habitat dengan

kondisi yang lembab, namun masih dapat tumbuh di dataran rendah maupun

dataran tinggi.

Gambar 5 Bambu Temen (Sumber: Gigantochloa Awi Temen 1991)

Rebung berwarna hijau dan tertutup oleh bulu hitam seperti tersaji pada

Gambar 5. Umumnya digunakan untuk membuat angklung calung. Selain sebagai

alat musik bambu, bambu temen juga digunakan untuk membuat sumpit, tusuk

gigi dan tiang penyangga pada rumah bambu (Widjaja 2001). Klasifikasi dari

Bambu Temen sebagai berikut:

kingdom : Plantae (Tumbuhan)

subkingdom :Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

super divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil)

sub kelas : Commelinidae

ordo : Poales

famili : Poaceae (suku rumput-rumputan)

genus : Gigantochloa

spesies : Gigantochloa atter

Bambu Tali (G. apus)

Bambu Tali (Gambar 6) atau umum dikenal dengan pring apus (Jawa) atau

awi tali (Sunda) tumbuh di seluruh Jawa, namun tumbuh meliar di Taman

Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Meru Betiri (Widjaya 1990).

Kegunaan Bambu Tali untuk kerajinan tangan, bahan baku industri papan serat

serta kesenian angklung. Klasifikasi dari Bambu Tali sebagai berikut :

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

super divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

16

divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil)

sub kelas : Commelinidae

ordo : Poales

famili : Poaceae (suku rumput-rumputan)

genus : Gigantochloa

spesies : Gigantochloa apus

Gambar 6 Bambu Tali (Sumber:Gigantochloa apus 1991)

Bambu Gombong (G. pseudoarundinacea)

Bambu Gombong (G. pseudoarundinacea) adalah salah satu jenis bambu

yang banyak terdapat di Indonesia. Bambu Gombong berukuran besar berwarna

hijau kekuningan hingga hiijau muda, diameter rata-rata adalah 12 cm, tetapi

ukurannya bisa mencapai lebih besar dari itu. Ukurannya yang besar

menjadikannya sebagai bambu yang paling banyak dipergunakan sebagai “tiang”

pada konstruksi rumah, saung, bangsal dan lain-lain bangunan dengan komponen

utama bambu. Tinggi Gombong rata-rata adalah 12 meter dan bisa lebih dari itu,

tergantung usia dan kesuburan tanaman.

Klasifikasi dari Bambu Gombong (G. pseudoarundinacea) sebagai

berikut:

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

super divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil)

sub kelas : Commelinidae

ordo : Poales

famili : Poaceae (suku rumput-rumputan)

genus : Gigantochloa

spesies : Gigantochloa pseudoarundinacea

17

Gambar 7 Morfologi Rebung Bambu Gombong(G. pseudoarundinacea)

(sumber: Gigantochloa pseudoarundinacea 1991)

Rebung bambu Gombong berwarna coklat karena diselimuti oleh bulu

(Gambar 6), tinggi bambu gombong mencapai 7-30 m (batang berbulu tebal dan

tebal dinding batang hingga 2 cm), jarak buku hingga 40- 45 cm (Gigantochloa

pseudoarundinacea (Steudel) Widjaja 2010).

Bambu Gombong tumbuh di habitat tanah liat berpasir/tanah berpasir

dengan ketinggian hingga 1200 m di atas permukaan laut dengan curah hujan per

tahun 2350-4200 mm, temperatur 20-32 derajat C dengan tingkat kelembaban

relatif sekitar 70% (Gambar 8).

Gambar 8 Bambu Gombong (G. pseudoarundinacea) (Sumber:

Gigantochloa pseudoarundinaeceae 1991)

18

Pemanfaatan Bambu sebagai Bahan Baku Angklung

Ditinjau dari segi pemanfaatannya, bambu dapat dipergunakan untuk

berbagai keperluan baik langsung maupun tidak langsung yang secara

keseluruhan mencerminkan tingkat variasi yang cukup tinggi (Nuriyatin, 2000).

Akar bambu dimanfaatkan menjadi ukiran, buluh bambu digunakan sebagai bahan

bangunan, jembatan, kerajinan tangan, keranjang, meubel, alat pertanian, pipa air,

kertas, sumpit, tusuk gigi hingga tusuk sate (Widjaja, 2001b). Masyarakat di

Indonesia mempergunakan bambu untuk konstruksi, perabotan, bahan baku

kertas, obat-obatan, tanaman penghijauan hingga alat musik.

Menurut Prosea (1995) dalam Nuriyatin (2000), jenis bambu yang cocok

dipergunakan untuk kepentingan peralatan musik terutama angklung adalah

Bambu Hitam (G. atroviolaceae/G. verticillata), Bambu Temen (G. atter),

Bambu Tali (G.apus), Bambu Gombong (G. pseudoarundinaceae), dan Bambu

Mayan (G. robusta/G. verticillata). Tidak semua jenis bambu dapat dipergunakan

sebagai bahan baku angklung. Hal ini disebabkan potensi/sifat-sifat dasar yang

dimiliki setiap jenis bambu berbeda. Sifat-sifat yang menentukan kegunaan

bambu sebagai angklung didasarkan pada sifat anatomi dan fisik dari bambu

tersebut.

Sifat fisik meliputi kadar air, berat jenis, susut lebar, susut tebal.

Sedangkan sifat anatomi didasarkan pada dimensi pori, tipe dan distribusi ikatan

vaskuler, dan panjang serabut (Tabel 1). Hal ini diperkuat dengan penelitian

Nuriyatin (2000) yang menyebutkan bahwa hasil pengolahan data ketiga bambu

dengan menggunakan metode Kruskal-Walis memberikan hasil bahwa bambu

Hitam (G. atroviolaceae Widjaja/G. verticillata) memiliki kualitas suara terbaik,

sedangkan bambu Tali (G. apus) menempati urutan kedua, dan bambu Temen (G.

atter) menempati urutan terakhir. Ketiga jenis bambu tersebut merupakan bambu

yang cocok sebagai bahan baku angklung karena memiliki pola distribusi serabut

yang lebih merata dibandingkan dengan bambu lain.

Bambu Hitam (G. atroviolaceae Widjaja/G. verticillata (Willd.) Munro)

memiliki ketebalan yang relatif lebih tipis dibanding dua jenis bambu yang lain.

Bambu Hitam (G. atroviolaceae/G. verticillata) juga memiliki kerapatan yang

tinggi dan ukuran serabut yang relatif lebih besar dibanding bambu lain. Hal ini

berdampak terhadap kualitas suara yang dihasilkan oleh Bambu Hitam yang lebih

nyaring.

Tabel 1 Perbedaan sifat Bambu Hitam (G. atroviolacea), Bambu Temen (G.

Atter), Bambu Tali (G. apus), Bambu Gombong (G. peudoarundinacea)

Sifat Bambu Bambu Hitam Bambu Temen

Bambu Tali&

Bambu

Gombong

Berat jenis 0,5 0,45 0.47

Kadar air kering udara 12,45 % 12,40 % 12, 38%

% Serabut 35 18 25

Pola penyebaran

kepadatan bahan (luar,

tengah, dalam)

Seragam Bagian luar dan tengah

seragam, sedangkan bagian

dalam lebih padat

Seragam

Sumber : Nuriyatin 2000

19

Alat Kesenian Angklung (Stimulus Manfaat)

Sejarah Perkembangan Angklung

Angklung adalah alat musik populer dari Jawa Barat. Tabung Suara,

kerangka dan dasar adalah tiga elemen dari alat musik Angklung. Secara

etimologis, Angklung berasal dari kata “angka” yang berarti nada dan “lung”

yang berarti putus atau hilang sehingga Angklung merujuk nada yang pecah atau

nada yang tidak lengkap sehingga memerlukan grup untuk dapat memainkan

sebuah lagu dengan angklung (Ganjar 2003).

Angklung dalam bentuk yang masih sederhana sudah dikenal masyarakat

Sunda sejak masa kerajaan. Angklung digunakan sebagai penyemangat dalam

pertempuran. Mitos kepercayaan keberadaan Nyai Sri Pohaci sebagai lambang

Dewi Kehidupan dianggap sebagai sejarah terciptanya angklung. Adanya bukti

tertulis pada tahun 1908, menunjukkan bahwa permainan angklung menjadi

bagian dari misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand(Sejarah Angklung 2012)

Ada beragam jenis angklung yang ada di Indonesia. Masyarakat Sunda

mengenal angklung Buncis yang digunakan dalam ritual penghormatan Dewi Padi

atau Nyai Pohaci seperti pada gambar 9. Masyarakat Baduy mengenal Angklung

Buhun atau lebih dikenal dengan angklung Kanekes. Kanekes merupakan desa

dimana upacara tradisonal dengan memainkan angklung dilaksanakan. Angklung

Dogdog Lonjor terdapat di daerah Sekitar Gunung Halimun Salak. Angklung ini

dimainkan setiap upacara seren tahun oleh masyarakat kasepuhan (Sejarah

Angklung 2012).

Gambar 9 Angklung Buncis (Sejarah Angklung 2012)

Filosofi Angklung

Angklung Gubrag yang dibuat di Jasingan Bogor merupakan angklung

tertua di Indonesia berusia 400 tahun. Menurut sejarah, Angklung Gubrag

digunakan untuk memikat Dewi Sri turun dari langit (bahasa Sunda = ngagubrag)

agar memberi berkah kesuburan pada padi. Karena itulah angklung ini dinamakan

Angklung Gubrag. Angklung ini dibuat pada abad ke-17 di Jasinga, Bogor. Pada

saat ini, beberapa angklung dari zaman dahulu masih tersimpan di Museum Sri

Baduga, Bandung.

Di perbatasan Cirebon dan Indramayu, tepatnya di Desa Bungko, terdapat

angklung yang diberi nama angklung Bungko. Angklung Bungko diyakini telah

20

berusia 600 tahun dan masih terawat dan dipelihara meskipun tidak lagi

digunakan. Angklung Bungko diciptakan oleh Syeh Bentong atau Ki Gede

Bungko, yaitu seorang pemimpin agama yang menggunakannya sebagai media

penyebaran agama Islam (Sejarah Angklung 2012)

Angklung merupakan manifestasi bahwa manusia sebagai makhluk sosial

harus bersosialisasi. Permainan angklung juga mengajarkan angklung akan

menghasilkan suara indah jika digerakkan bersama-sama. Bagian angklung yang

terdiri dari satu tabung tinggi dan satu tabung rendah merupakan metamorfosis

kehidupan manusia yang tumbuh dan berkembang. Kedua bagian tabung juga

mencirikan bahwa untuk menciptakan harmonisasi, kedua tabung harus

dibunyikan beriringan seperti halnya dengan manusia yang memerlukan kerja

sama dan saling mendukung untuk menciptakan kehidupan yang harmonis

(anneahira 2000; the marketers 2013).

Jenis-Jenis Angklung

Jenis angklung ada dua macam angklung yaitu angklung yang bertangga

nada pentatonik, dan angklung yang bertangga nada diatonik (Supardiman 2007).

Kedua jenis angklung tersebut sekaligus menunjukkan perbedaan bentuk dan

fungsinya. Angklung pentatonik adalah angklung tradisional, biasanya terdiri atas

dua atau tiga buah ruas (tabung) yang disusun/disatukan berjajar. Masing-masing

tabung mempunyai ketinggian sendiri dan berdiri pada lubang tabung bambu

bagian bawah, kemudian dikuatkan oleh dua buah tiang di kiri-kanan dan palang

yang menusuk bagian atas tabung.

Untuk memperkokohnya, pertemuan antara tiang dan palang diikat oleh

tali dari rotan. Ujung tiangnya ada yang berupa palang yang diratakan, dan ada

juga yang dilengkungkan disertai hiasan rumbai dari daun pelah. Jika angklung itu

memiliki dua tabung, maka tabung yang satu bernada lebih tinggi dan satunya

lebih rendah. Misalnya, tabung yang satu itu bernada a, maka tabung kedua

bernada a 1(oktav). Tabung yang lebih tinggi bernada tinggi, dan sebaliknya.

Angklung yang tersebar di berbagai wilayah Jawa Barat mempunyai latar

belakang dan fungsinya masing-masing. Oleh karena itu dikenal banyak sebutan

angklung, seperti angklung sered, angklung gubrag, angklung badeng, angklung

bungko, angklung buncis, angklung badud (Ganjar Kurnia 2003).

Angklung diatonik adalah angklung hasil modifikasi dari angklung

tradisional. Pemrakarsanya adalah Daeng Sutigna. Pada tahun 1938, Daeng

Soetigna, seorang guru Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Kabupaten

Kuningan, Jawa Barat melakukan modernisasi Angklung dari yang berskala

tangga nada pentatonis menjadi Angklung kompleks yang berskala tangga nada

diatonis. Angklung ini kemudian dikenal dengan nama Angklung Daeng atau

biasa disebut Angklung Padaeng dengan tangga nadanya mengacu pada tangga

nada musik Barat yaitu do, re, mi, fa, so, la, ti (Sejarah Angklung 2012).

Perbedaan Angklung tradisional dengan Angklung Daeng terdapat pada

skala tangga nada dan cara memainkannya. Angklung tradisional merupakan

Angklung renteng yang dimainkan oleh seorang pemain saja, sedangkan

Angklung Daeng dibuat untuk dimainkan bersama, di mana setiap pemain

memainkan hanya satu nada saja. Angklung Daeng lebih dikenal oleh masyarakat

dan identik dengan angklung nasional. (SejarahAngklung 2012).

21

3 METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan di Saung Angklung Udjo, Jalan Padasuka 116,

Bandung. Waktu penelitian dilakukan selama empat bulan yaitu mulai bulan

Februari-Mei 2012. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 10 di bawah ini.

Gambar 10 Lokasi Penelitian(Visit Us, 2012)

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: alat tulis,

kamera, panduan wawancara, Panduan Identifikasi Bambu di Indonesia yang

berupa Buku “Identikit jenis-jenis Bambu di Jawa” oleh Widjaja.

Metode Penelitian

Penelitian menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan

perencanaan interpretasi. Perencanaan interpretasi tersebut terdiri dari beberapa

tahap yaitu inventarisasi atau pengumpulan data, analisis data, sintesis dan

penetapan rencana interpretasi (Sharpe 1982).

22

Inventarisasi Data

Inventarisasi data dilakukan dengan mengumpulkan data yang berupa data

primer dan data sekunder.

Jenis Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua

jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah seluruh data yang

diperoleh dari kegiatan pemeriksaan (verifikasi), pengamatan di lapangan dan

wawancara. Data sekunder meliputi seluruh informasi yang berhubungan dengan

penelitian yang berasal dari studi literatur. Data primer yang diambil berupa data

mengenai jenis dan karakteristik bambu sebagai bahan baku angklung, proses

pemanfaatan bambu menjadi angklung, keterlibatan pengelola terkait pengelolaan

dan pelestarian bambu, pemahaman pengunjung mengenai jenis, proses

pemanfaatan bambu serta upaya pelestarian bambu sebagai bahan baku angklung.

sedangkan data sekunder berupa data kondisi umum Saung Angklung Udjo

sebagai lokasi penelitian. Secara lengkap, data yang telah dikumpulkan dalam

penelitian ini tersaji pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Jenis data penelitian

No. Kelompok Data Bentuk Data

Jenis Data Metode

Pengumpulan

Data

Primer Sekunder

1. Kondisi umum

lokasi penelitian

Letak dan luas

Sejarah dan status

Aksesbilitas

x

x

x

Studi Literatur

2. Bioekologi

Bambu (Stimulus

Alamiah)

Jenis bambu

Habitat bambu

Karakteristik fisik & biologis

bambu (bagian bambu yang

digunakan, sifat anatomi, fisik,

mekanik)

Asal bambu

x

x

x

x

x

x

x

x

Observasi,

Wawancara dan

Studi Literatur

3. Pemanfaatan

bambu sebagai

bahan baku

angklung (

Stimulus Manfaat)

Produksi bambu

Pemanenan (umur, proses)

Pengolahan

Budidaya

x

x

x

x

x

x

x

x

Observasi,

Wawancara dan

Studi Literatur

4. Persepsi

Masyarakat

terhadap

pelestarian bambu

Pengelola

Visi Misi

Program interpretasi yang

sudah ada

Program wisata yang terkait

dengan bambu

Sarana dan prasarana, obyek

yang menarik

Upaya pelestarian bambu

Upaya mengajak keterlibatan

pengunjung

Pengunjung

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

x

Wawancara dan

Studi Literatur

23

No. Kelompok Data Bentuk Data

Jenis Data Metode

Pengumpulan

Data

Primer Sekunder

Tujuan berkunjung

Preferensi program wisata

Pemahaman mengenai

angklung

Pemahaman terhadap bambu

Pemahaman konservasi

lingkungan

Kesediaan terlibat dalam

program konservasi

x

x

x

x

x

Metode Inventarisasi Data

Inventarisasi atau pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan

dengan menggunakan 3 prosedur pengumpulan data yaitu studi literatur,

pemeriksaan (verifikasi) dan observasi, dan wawancara. Data primer diperoleh

dari observasi dan wawancara yang dilakukan kepada pihak pengelola Saung

Angklung Udjo dan pengunjung, sedangkan data sekunder diperoleh dari studi

literatur.

Studi Literatur

Studi literatur dilakukan untuk memperoleh data yang diperlukan dalam

penelitian yang berupa informasi mengenai lokasi, visi dan misi Saung Angklung

Udjo, Rencana Pengelolaan, peta, aksesbilitas, data jumlah pengunjung, sarana

dan prasarana interpretasi, aspek sejarah kawasan.

Pemeriksaan (verifikasi) dan Observasi

Metode ini bertujuan untuk memeriksa kesesuaian antara data sekunder

dengan kondisi dilapangan sekaligus mengamati dan mencatat segala sesuatu

yang dapat dipergunakan dalam penyusunan skenario interpretasi. Kegiatan

pemeriksanaan dan pengamatan langsung yang dilakukan yaitu verifikasi sarana

dan prasarana interpretasi alam, verifikasi obyek yang menarik, dan program

interpretasi yang sudah ada serta pengambilan dokumentasi (foto) sarana dan

prasarana dan program yang sedang berjalan.

Observasi lapangan merupakan pengumpulan data primer dengan

mengamati ciri bambu yang dijadikan bahan baku angklung, mengidentifikasi

jenis bambu sebagai bahan baku angklung, mengamati proses pengolahan bambu

menjadi angklung serta program wisata di Saung Angklung Udjo.

Wawancara

Wawancara dilakukan secara terstruktur dengan mengajukan beberapa

pertanyaan yang telah disusun sebelumnya, kepada pihak pengelola dan pekerja

Saung Angklung Udjo dan pengunjung. Dalam penelitian ini, responden akan

dipilih secara purposive sampling, yaitu menyesuaikan dengan tujuan penelitian,

kemampuan biaya dan waktu yang dimiliki oleh peneliti (Kusmayadi 2004 dalam

Heriyaningtyas et al 2009). Dalam melakukan wawancara kepada pengunjung

Saung Angklung Udjo (SAU), langkah pertama adalah menentukan strata

pengunjung menurut kelompok umur yaitu anak-anak, remaja, dewasa, usia lanjut

24

yang dapat diajak berkomunikasi dengan baik serta memberikan informasi yang

diperlukan sesuai dengan tujuan perencanaan interpretasi. Secara lengkap, data

responden berdasarkan strata yang telah dibuat, tersaji pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3 Stratifikasi responden

Kelompok Umur Proporsi Sampel Jumlah Sampel

Anak-anak (<12 tahun) 20 % 10

Remaja (13-19 tahun) 20 % 10

Dewasa (20-60 tahun) 20 % 20

Tua (>60 tahun) 20 % 10

Jumlah 100 % 50

Wawancara kepada responden dilakukan dengan menggunakan panduan

wawancara yang berisi daftar pertanyaan yang terdiri dari tiga topik pertanyaan

yaitu pertanyaan mendasar seputar motivasi pengunjung datang, pemahaman

pengunjung mengenai bambu dan proses pengolahannya menjadi angklung dan

pentingnya upaya pelestarian bambu. Daftar pertanyaan terdapat pada Lampiran 1.

Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan akan dianalisis secara deskriptif dengan

pengelompokan dan tabulasi data. Data berupa karakteristik dan jenis bambu yang

digunakan sebagai bahan baku angklung, proses pengolahan bahan baku menjadi

angklung (pemanenan-pengemasan), program wisata di Saung Angklung Udjo,

peran dan kontribusi pengelola terhadap konservasi bambu sebagai bahan baku

utama produksi angklung, serta aspek pemahaman pengunjung mengenai bambu

dan angklung.

Sintesis

Sintesis adalah tahap memadukan seluruh unsur yaitu data sumber daya

bambu (jenis, ciri bambu), proses pengelolaan bambu menjadi angklung, aspek

sumber daya manusia (pengelola), program wisata yang ada, aspek karakteristik

pengunjung menjadi sebuah konsep rencana interpretasi yang berbasis konservasi

sumber daya bambu.

Perencanaan Interpretasi

Mengacu pada perencanaan interpretasi Sharpe (1992), data yang telah

dikumpulkan dianalisis secara deskriptif dengan pengelompokan dan tabulasi

data. Data berupa karakteristik bambu yang digunakan sebagai bahan baku

angklung, proses pengolahan bahan baku menjadi angklung (pemanenan-

pengemasan), kontribusi bambu terhadap program wisata di SAU, peran dan

kontribusi pengelola terhadap konservasi bambu sebagai bahan baku utama

produksi angklung, serta aspek pemahaman pengunjung mengenai bambu dan

angklung. Hasil penelitian berupa sifat bambu, ciri khas sebagai bahan baku

angklung serta proses pengolahan bambu menjadi angklung disusun menjadi

materi interpretasi. Analisis data karakteristik pengunjung menjadi bahan untuk

menyusun rencana interpretasi yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan

karakteristik pengunjung yang datang ke SAU. Tema yang terpilih kemudian

dibuat menjadi beberapa program interpretasi yang disesuaikan dengan durasi

25

waktu dan karakteristik pengunjung. Selain itu juga dilakukan pengoptimalan

lokasi dengan pengembangan fasilitas yang ada berupa pembuatan papan

interpretasi pada beberapa lokasi yang dapat menarik perhatian pengunjung untuk

mengenal lebih jauh mengenai karakteristik bambu sebagai bahan baku angklung

dan pelestariannya. Gambar 11 berikut ini adalah bagan perencanaan interpretasi

modifikasi dari Sharpe (1982) yang akan dibuat di SAU.

Gambar 11 Bagan perencanaan interpretasi berbasis konservasi bambu sebagai

bahan baku angklung

SAUNG ANGKLUNG UDJO

Konservasi Bambu Pengelola & Pengunjung

Karakteristik Bambu

Pengolahan dan Pemanfaatan

bambu

Budidaya Bambu

Visi Misi SAU

Program interpretasi di SAU

Identitas Pengunjung

Pemahaman terkait Bambu

dan Angklung

Keterlibatan dalam Program

Konservasi

ANALISIS

Obyek Interpretasi

Karakteristik Pengunjung

SINTESIS

Rencana Interpretasi

RENCANA INTERPRETASI

Program Interpretasi

Fasilitas Interpretasi

26

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Sejarah Saung Angklung Udjo (SAU)

Di tahun 50-an, ada sebuah keluarga yang menempati kawasan Jalan

Padasuka Bandung, bapak Udjo Ngalagena (alm) dan istri ibu Uum Sumiati (alm)

sepasang suami-istri yang telah dikaruniai 10 orang anak, memulai perjalanan

mereka untuk mendirikan sebuah paguyuban kesenian Sunda yang unik. Ide

dasarnya adalah menjadikan bambu sebagai elemen yang memberikan banyak

karakter yang mendominasi, karena itu, banyak benda yang dihasilkan dari

bambu, seperti kursi pertunjukan, alat musik hingga panggung pertunjukannya.

Udjo mulai membangun Saung Angklung yang berawal dari sebuah rumah

tinggal sederhana dengan pekarangan sempit di tahun 1958. Saung yang berarti

rumah kecil, pondok, dangau/gubuk diharapkan menjadi tempat berkumpulnya

masyarakat belajar angklung dan melestarikannya. Dengan bantuan dan dorongan

Daeng Soetigna dan bantuan dari Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat,

Saung Angklung Udjo resmi didirikan pada Januari 1966. Saung Angklung Udjo

merupakan sanggar seni yang terdiri dari pertunjukan musik bambu, pagelaran

kesenian Jawa Barat seperti wayang golek, Rampak Kendang, Pencak silat,

Sendratari, Drama Sunda, Tari Topeng khas Cirebonan, hingga kegiatan pengrajin

memproduksi barang kerajinan khas dan alat alat musik bambu.

Sanggar seni Saung Angklung tersebut kemudian dikembangkan menjadi

yayasan Saung Angklung. Secara de facto, Yayasan Saung Angklung mulai

didirikan pada tanggal 1 Januari 1967. Yayasan Saung Angklung sendiri mulai

didaftarkan pada tanggal 14 September 1973. Berbekal struktur manajemen yang

lebih profesional, Saung Angklung Udjo (SAU) berhasil meningkatkan kualitas

perusahaan. SAU menunjukkan potensi yang menjanjikan lewat unit–unit

usahanya.

Diawali dari sebuah paguyuban kesenian Sunda dan workshop Angklung,

SAU kini menjadi salah satu tujuan utama wisata budaya di Jawa Barat.

Kronologi sejarah perkembangan SAU dari waktu ke waktu dapat dilihat pada

Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4 Saung Angklung Udjo (SAU) dari waktu ke waktu

No. Episode/ Tahun Perkembangan

1. Episode 1

Dengam sistem manajemen yang sangat sederhana, Udjo Ngalagena

mengelola SAU dengan semangatnya yang tak kenal lelah.

1950-an

Angklung dimainkan dalam sebuah peristiwa akbar yang bersejarah,

yaitu Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955, saat itu Udjo Ngalagena

menjadi salah satu konduktor orkestra.

Beberapa tahun kemudian, hasratnya pada Angklung mendorong Udjo

untuk mengajak masyarakat sekitar berkontribusi secara aktif untuk

mengembangkan kerajinan Angklung dan berpartisipasi dalam

pertunjukan kesenian Sunda.

Mulai memproduksi Angklung sendiri.

1966

Udjo Ngalagena dan istrinya Uum Sumiati mendirikan SAU.

SAU memperkuat reputasinya dengan tampil dalam beberapa acara

besar, diantaranya adalah peringatan ke 5 Konferensi Asia Afrika dan

27

28

Papan tersebut memberikan informasi bahwa lokasi SAU berada 250 m

dari muka jalan. Wisatawan yang berasal dari Jakarta dapat mencapai lokasi SAU

dengan menggunakan kendaraan umum yang berupa bus umum, atau

menggunakan penyedia bus (travel agent) yang bekerja sama dengan SAU. Dari

Jakarta, wisatawan dapat melewati tol Pasteur menuju Cicaheum. Dari Kota

Bandung, wisatawan bisa menggunakan taksi atau Angkot (Angkutan Umum

Perkotaan) untuk mencapai lokasi SAU.

Profil Pengelola SAU

Pada awal berdirinya, SAU merupakan sebuah yayasan yang hanya

berfungsi sebagai cagar budaya Sunda. Dalam perjalanannya, SAU berkembang

menjadi sebuah perusahaan modern dengan pengelolaan cagar budaya yang

semakin profesional. Sampai dengan saat ini, SAU membagi pengelolaan ke

dalam dua wadah, yaitu Yayasan SAU dan PT. SAU.

Pengelolaan yang dilakukan oleh Yayasan SAU (Saung Angklung Udjo

Foundation) terfokus pada pelestarian budaya, dimana yayasan ini menjadi rel

agar SAU tetap patuh pada visi dan misi awal, yaitu menjadi kawasan budaya

Sunda, khususnya Bambu, serta melestarikan dan mengembangkan budaya.

Adapun bentuk Perseroan Terbatas (PT) adalah kendaraan SAU yang fokusnya

berientasi komersil untuk mendapatkan keuntungan (profit).

Struktur Organisasi

SAU memiliki bagan stuktur organisasi yang terdiri dari President

Director, Bussiness&Development Director, Operational Director. Divisi

Corporate Secretary SAU berada dalam naungan Operational Director.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Manajer Komunikasi Perusahaan,

SAU memiliki dua unit bagian yaitu Unit bisnis dan Unit Pendukung. Kedua unit

tersebut masing- masing memiliki konsultan.

A. Unit Bisnis, yang terdiri dari :

E-Marketing: Bagian Marketing bertangggung jawab atas pemasaran,

pemesanan tempat serta penjualan segala produk dan layanan dari Saung

Angklung Udjo.

Departement Performance : Bagian ini bertugas atas pertunjukan, kreativitas,

kemasan serta inovasi seni dan budaya yang akan ditampilkan dalam

pertunjukan seni. Mereka juga bertanggung jawab untuk membuka

pendaftaran pemain baru yang ingin bermain angklung di Saung Angklung

Udjo dan mengatur penjadwalan para pemain pertunjukan.

Production Group: Bagian ini bertanggung jawab atas produksi serta

pengolahan Angklung dan mengawasi ketersediaan bahan baku utama

Angklung yaitu bambu. Selain itu juga bekerja sama dengan para pengrajin

Angklung di sekitar daerah Padasuka untuk memproduksi angklung.

B. Unit Pendukung, yang terdiri dari:

Finance and Accounting Group: Bagian ini bertanggung jawab atas keuangan

perusahaan secara keseluruhan serta mengatur keuangan perusahaan.

29

Human Capital Group: Bagian ini bertanggung jawab atas kegiatan serta

bidang kepegawaian SAU.

Stuktur organisasi SAU dapat dilihat pada Gambar 13 di bawah ini.

Gambar 13 Struktur organisasi SAU

Comercial

Group

Dept.

Performance

Dept.

Banquet &

GM

Dep.

Training

Dept

Product

E-Marketing

Finance &

Accounting

Group

Dept

Finance

Dept

Accounting

Research &

Development

Presiden

Director

Business &

Development Dir

Corp

Secretary

Operational

Dir

Human

Capital

Group

Dept HRD

Dept

General

Service

Dept Legal

Production

Group

Dept.

Performance

Dept.

Banquet &

GM

Dep.

Training

Dept

Product

30

Sarana dan Prasarana

SAU memiliki suasana taman belakang yang rindang dan menyenangkan.

Dikelilingi oleh tanaman khas Sunda, suasana serta angin yang alami serta

sebagai rumah bagi beragam jenis burung liar. Dengan luas area sekitar 1000

meter persegi yang terdiri dari rumput yang hijau, pengunjung dapat melakukan

beragam aktivitas hingga menampung lebih dari 150 orang. Sarana dan prasarana

yang dimiliki di SAU meliputi:

1. Gerbang Pintu Masuk Utama

2. Guest House Angklung

3. Area/ Tempat Parkir

4. Guest House Arumba

5. Toko Cinderamata

6. Kantor

7. Pusat Produksi Angklung

8. Bale Karesmen

9. Tepas Udjo

10. Warung Hawu

11. Buruan Sari Asih dan Panggung Serbaguna

12. Kantor

13. Studio Musik

14. Perpustakaan

15. Sentra Penyuluhan Kehutanan

Gambar 14 Bale Karesmen

Bale Karesmen seperti yang ditunjukkan pada Gambar 14 merupakan

sebuah bangunan gaya klasik dengan struktur atap Sunda dan ampiteater di

dalamnya, dengan ukuran 225 meter persegi terdapat kursi kayu yang disusun

pada tiga sisi, serta terdapat panggung untuk Pangrawit (Karawitan) yang

menemani pengunjung saat pertunjukan. Bale Karesemen ini dapat menampung

hingga 400 orang.

31

Gambar 15 Buruan Sari Asih

Beragam hewan ternak, unggas serta sarang belasan jenis burung liar

terdapat di SAU. Anak-anak dapat belajar mengenali alam sekitar dengan

beragam jenis hewan dan burung liar serta bermain permainan tradisional ala

SAU. Buruan Sari Asih (Gambar 15) menjadi salah satu tempat alternatif bagi

pengunjung yang ingin menikmati suasana kampung Sunda. SAU juga memberi

kesempatan bagi pengunjung untuk melihat proses pembuatan Angklung tersebut

secara keseluruhan.

Gambar 16 Fasilitas yang ada : (a) Saung, Tempat Alternatif untuk Berkumpul

Bersama Keluarga, dan (b) Pusat Produksi Angklung

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Program Wisata di Saung Angklung Udjo

Sejak didirikan pada tahun 1966 oleh Udjo Ngalagena, Saung Angklung

Udjo berpinsip harus mengenalkan angklung kepada semua orang (Syafiii 2009).

Inovasi yang dilakukan oleh Udjo yaitu memproduksi angklung untuk dijual

sebagai souvenir, mengadakan pelatihan memainkan angklung serta pertunjukan

32

kesenian. Hal ini didasari sebagai bentuk pendidikan dini kepada anak-anak

terhadap musik angklung. Ciri khas paket kunjungan di Saung Angklung Udjo

adalah bamboo afternoon (Gambar 17). Program wisata ini khusus dirancang

untuk keperluan wisatawan mancanegara yang memiliki kesempatan/waktu yang

singkat. Dinamakan Bamboo Afternoon atau bambu petang karena dipentaskan

setiap sore. Rangkaian acara ini meliputi:

1. Pemberian cinderamata (kalung angklung), sinopsis pertunjukan dan segelas

minuman jahe kepada pengunjung yang baru datang.

2. Demontrasi wayang golek yaitu boneka kayu yang dipakaikan kostum

menyerupai manusia. Hal ini karena pertunjukan wayang golek sesungguhnya

berdurasi 7 jam. Demonstrasi hanya menampilkan bagaimana wayang golek

berbicara, menari dan berkelahi di pertempuran. Hal yang menarik pada

pertunjukan di Saung Angklung Udjo ketika papan penutup kaki Dalang di

buka menjelang berakhirnya sandiwara wayang, Hal ini bertujuan agar

penonton dapat melihat gerak kaki Dalang dalam memainkan wayang.

3. Helaran merupakan arak-arakan upacara tradisional dengan memainkan

angklung yang dilakukan ketika khitanan ataupun panen padi. Angklung yang

digunakan merupakan angklung dengan nada salendro/pentatonik, berupa

nada asli angklung yang terdiri dari nada da, mi, na, ti, la, da.

4. Tari Tradisional

Tari Topeng. Penyajian tari topeng di pertunjukan merupakan cuplikan dari

pola tarian klasik topeng Kandaga, sebuah rangkaian tari topeng gaya

parahyangan yang menceritakan ratu Kencana Wungu yang dikejar oleh prabu

Menakjingga. Tari kedua adalah tari merak, merupakan pengejawantahan

burung merak dengan keindahan bulunya.

5. Calung. Permainan calung merupakan permainan bambu.

6. Arumba. Arumba merupakan singkatan dari alunan rumpun bambu. Band

dengan alat musik bambu alat musik tradisonal dengan nada diatonik yang

diciptakan oleh Udjo Ngalagena.

7. Angklung mini

Pertunjukan angklung yang dilakukan oleh anak-anak usia 2 hingga 13 tahun

dengan menggunakan angklung yang berukuran kecil.

Gambar 17 Beberapa rangkaian acara : (a) Wayang Golek, dan (b) Helaran

(Pertunjukan Bambu Petang 2012)

33

Profil Pengunjung

Motivasi Kunjungan

Motivasi pengunjung menjadi informasi penting dalam perencanaan

interpretasi. Dalam rangka mengetahui motivasi, persepsi, dan aktivitas

pengunjung di Saung Angklung Udjo, maka dilakukan wawancara semi

terstruktur dengan pengunjung. Umumnya pengunjung cukup antusias dan

bersedia berpartisipasi dalam wawancara. Sayangnya waktu yang dimiliki sangat

minim untuk menjawab seluruh pertanyaan yang diberikan.

Gambar 18 Motivasi pengunjung ke SAU

Berdasarkan hasil wawancara dengan pengunjung seperti yang terlihat

pada Gambar 18 di atas dapat diketahui bahwa 60% pengunjung bertujuan untuk

melihat pertunjukan angklung, 26% bertujuan mempelajari angklung dan 11%

memperkenalkan kesenian angklung kepada keluarga, khususnya putra putrinya.

Salah satu responden mengatakan kunjungan ke Saung Angklung Udjo sebagai

bentuk pendidikan dini bagi generasi muda. Keinginan berkunjung didasari untuk

mengenal angklung dan tertarik dengan angklung sejak angklung dinobatkan

menjadi bagian dari warisan dunia.

Program Wisata yang dipilih Pengunjung

Terdapat tiga paket kunjungan di Saung Angklung Udjo yaitu pertunjukan

bambu dan kesenian sunda, program setengah hari di Saung Angklung Udjo, dan

mengenal alam di Saung Angklung Ujo. Pertunjukan bambu dan kesenian sunda

menjadi program wisata yang dipilih oleh 43 orang sedangkan 7 orang memilih

mengenal alam di Saung Angklung Udjo. (Gambar 19).

Gambar 19 Program wisata yang dipilih pengunjung

30 Orang 13 Orang

7 Orang

43

Orang

7 Orang

34

Pemahaman Pengunjung terhadap Proses Pembuatan Angklung

Gambar 20 menunjukkan bahwa dari 50 orang responden, sebanyak 34%

responden sudah mengetahui proses pembuatan angklung. Pengetahuan tersebut

diperoleh dari kunjungan ke Saung Angklung Udjo sebelumnya sedangkan 66%

belum mengetahui proses pembuatan angklung.

Gambar 20 Pemahaman pengunjung terhadap proses pembuatan Angklung

Pemahaman Pengunjung terhadap Jenis Bambu sebagai Bahan Baku Angklung

Dari 50 responden yang diwawancarai terkait jenis bambu sebagai bahan

baku angklung, sebanyak 33 orang mengetahui bahwa bambu merupakan bahan

baku angklung namun tidak mengenal jenis bambu yang digunakan. Sedangkan

17 responden menjawab bambu yang digunakan sebagai bahan baku angklung

adalah awi wulung/bambu hitam (G. atrovioleacea). Gambar 21 di bawah ini

menunjukkan pemahaman pengunjung terhadap jenis bambu sebagai bahan baku

Angklung.

Gambar 21 Pemahaman pengunjung terhadap jenis bambu sebagai bahan baku

Angklung

Pemahaman Pengunjung mengenai Konservasi Bambu

Hasil wawancara kepada pengunjung mengenai konservasi Bambu dapat

dilihat pada Gambar 22. Dari 50 orang responden, 90% menyatakan perlunya

pelestarian bambu, salah satunya melalui penanaman bambu secara massal.

Sedangkan 10% upaya pelestarian bambu belum diperlukan karena jumlah bambu

masih cukup besar. Mereka menganggap bambu mudah didapatkan dan tumbuh

liar dimanapun. Dari upaya konservasi yang telah dilakukan sebesar 66%

pengunjung mengaku terlibat dalam upaya konservasi lingkungan berupa gerakan

33

Orang

17

Orang

33

Orang

17

Orang

35

penanaman pohon di lingkungan tempat tinggalnya sedangkan 34% responden

menjawab belum pernah melakukan upaya konservasi lingkungan. Namun dari

seluruh responden, belum ada satupun yang terlibat dalam upaya pelestarian

bambu.

Gambar 22 Pemahaman pengunjung mengenai konservasi Bambu

Kesediaan Pengunjung Terlibat dalam Program Konservasi Bambu di SAU

Kebutuhan program atau fasilitas yang memperkenalkan bambu sebagai

bagian penting dari alat musik angklung disampaikan oleh 80% responden atau

sebanyak 40 orang. Keingintahuan dan ketertarikan pengunjung untuk mengenal

bambu sebagai bahan baku angklung didasari bahwa upaya pelestarian bambu

berarti juga melestarikan angklung.

Proses Pengolahan Bambu Menjadi Angklung

Pengadaan Bahan Baku

Saung Angklung Udjo memproduksi angklung dengan menggunakan

bahan baku berupa jenis bambu Hitam (G. atroviolacea), sebagai bahan tabung,

Bambu Temen (G. atter) sebagai tabung dasar dan bambu Tali (G. apus) untuk

bahan kerangka (jejer dan palang gantung). Hal ini diperkuat oleh penelitian dari

Rifai (1994) yang menyatakan bahwa kondisi lingkungan dan habitat akan

mempengaruhi dari tipe dan distribusi ikatan vaskuler buluh bambu. Berdasarkan

penelitian, rumpun bambu yang tumbuh di Jawa Tengah memiliki garis tengah

buluh lebih besar sehingga lebih cocok untuk kebutuhan perabotan dibandingkan

sebagai bahan tabung angklung.

Tipe dan distribusi ikatan vaskuler mempengaruhi penghantaran getaran

yang berdampak pada kualitas suara yang dihasilkan (Nuriyatin 2000). Kualitas

suara yang dihasilkan dari masing-masing jenis bambu dipengaruhi oleh sifat

mekanik akustik bambu. Melalui pori-pori, bagian dari energi akustik yang masuk

kedalam bambu diserap oleh massanya. Massa mengubah energi akustik menjadi

energi termal atau lebih dikenal dengan absorp sound. Berdasarkan wawancara

dengan pengelola Saung Angklung Udjo ada dua persyaratan yang harus dipenuhi

untuk mendapatkan Angklung dengan kualitas suara yang baik, yaitu persyaratan

fisik meliputi tinggi ruas bambu minimal 8 - 51 cm, diameter bambu minimal 1,5

- 4,5 cm serta ketebalan bambu minimal 3,3 mm - 1,5 cm. bambu harus cukup tua

dan kering sehingga kadar air rendah serta volume serat padat dan kompak. Hal

tersebut mendukung proses perambatan getaran sehingga relatif bersifat konstan.

45 Orang

5 Orang

36

Permintaan angklung dari dalam negeri maupun mancanegara terus

bertambah. Hal ini berdampak terhadap permintaan bahan baku yang tinggi.

Kurangnya suplai bahan baku dengan spesifikasi dan kualifikasi yang sesuai

sebagai angklung di sekitar Saung Angklung Udjo mengakibatkan pengadaan

bahan baku dipenuhi dari luar Bandung (Garut, Sukabumi, Subang dan

Kuningan). Pengadaan bambu masih mengandalkan pengambilan dari alam

sehingga berdampak pada semakin sedikitnya habitat bambu liar.

Berdasarkan wawancara dengan pengelola, Saung Angklung Udjo

melakukan kerja sama dengan mitra penyedia bahan baku. Mitra atau dikenal

dengan vendor memiliki tanggung jawab berupa pemanenan, pengeringan,

penyimpanan hingga distribusi ke Saung Angklung Udjo. Pemesanan/pembelian

bahan baku dilakukan secara berkala menurut periode produksi dengan

memperhatikan kualitas bahan baku, proses pasca pemanenan (sebelum

melakukan kerja sama, pihak pengelola melakukan survei lokasi). Lokasi milik

mitra harus memenuhi syarat terkait pemanenan hingga penyimpanan. Beberapa

syarat terjadinya kerja sama adalah pihak mitra memiliki lahan yang cukup untuk

memenuhi kebutuhan bambu dalam satu kali masa panen, yaitu kurang lebih

10.000 batang. Pengetahuan akan pemilihan bambu yang cocok sebagai bahan

baku angklung merupakan pengetahuan yang wajib dimiliki oleh pengelola

khususnya staff Produksi.

Karakteristik bambu yang digunakan sebagai bahan baku angklung sangat

spesifik. Pemilihan bambu dilakukan berdasarkan usia bambu yang tidak terlalu

tua dan tidak terlalu muda. Bambu yang paling cocok untuk angklung berusia 3-4

tahun. Jika dibawah 3 tahun, serat belum kompak dan rapat sehingga suara yang

dihasilkan tidak maksimal. Nada yang dicapai tidak mampu melengking dan

kencang. Apabila bambu yang dipanen lebih dari usia 4 tahun, akan

mempengaruhi kualitas nada yang dihasilkan.

Pengolahan Bahan Baku

Pemanenan

Selama ini bambu yang dipanen (Gambar 23) merupakan hasil dari

pengambilan secara langsung di alam. Petani tidak melakukan penanaman/

budidaya bambu. Sejauh ini bambu yang digunakan sebagai bahan baku angklung

diambil dari lokasi di Jampang Kulon, Sukabumi, Cianjur hingga Kuningan.

Waktu pemanenan bambu antara bulan Juli-Oktober, ketika musim kemarau

sehingga bambu yang dihasilkan lebih kering dan tidak dimakan organisme

perusak. Sebelum melakukan kontrak kerja sama, pengelola melakukan survey

terhadap cara pemanenan bambu yang dilakukan oleh calon mitra. Bambu yang

baik adalah bambu yang dipanen pada pukul 09.00 wib hingga pukul 15.00 wib.

Hal didasarkan pada waktu fotosintesis bambu sehingga meminimalisasi serangan

serangga bubuk kering. Hama tersebut dapat menyebabkan munculnya bubuk

putih di dalam ruas sehingga berpengaruh terhadap kualitas suara dari bambu

tersebut. Apabila calon mitra tidak melakukan pemanenan dengan aturan standar

dari Pihak Saung Angklung Udjo, maka Pengelola melakukan pelatihan dan

pengenalan metode pemanenan yang tepat terhadap calon mitra.

37

Gambar 23 Bambu yang baru dipanen

Pengawetan dan Pengeringan

Bambu mudah diserang oleh mikroorganisme. Tahap selanjutnya adalah

pengawetan (Gambar 24). Usaha pengawetan bambu secara tradisional sudah

dikenal oleh masyarakat pedesaan. Pengawetan dilakukan dengan merendam

bambu di dalam air mengalir, air tergenang, lumpur atau melalui metode

pengasapan.

Gambar 24 Ilustrasi pengawetan dan pengeringan bambu dengan metode

pengasapan (Membuat angklung 2012)

Selain itu juga dapat dilakukan dengan diangin-anginkan di tempat yang

teduh atau disimpan dalam gudang hingga 3-4 bulan. Tahap selanjutnya adalah

pemilihan bambu yang utuh tanpa adanya hama. Saat ini pengawetan sudah

menggunakan bahan kimia antara lain boraks, campuran kapur barus dengan

minyak tanah dan berkembang dengan menggunakan boron dan pestisida

pengawet kayu.

Bambu yang sudah dikeringkan kemudian direndam selama kurang lebih

seminggu (Gambar 25). Hal ini untuk menghilangkan hama-hama yang masih

38

terdapat di dalam ruas. Bambu juga diasapi dan disemprot dengan obat pembasmi

hama. Namun hal ini membutuhkan waktu dan bambu menjadi tidak aman bagi

manusia. Karena obat pembasmi hama terbukti menyebabkan efek samping gatal-

gatal.

Bambu yang sudah dikeringkan kemudian dikirim ke Bandung, tepatnya di

lokasi Saung Angklung Udjo. Sesampai di lokasi, bambu yang rusak selama

perjalanan akan dijadikan sebagai bahan baku souvenir dan perabotan. Sedangkan

bambu yang masih baik, akan didistribusikan kepada mitra pembuat Angklung.

Saung Angklung Udjo memiliki tiga mitra dalam pembuatan angklung. Mitra

pertama pembuat tabung, penyetelan nada pada tabung resonansi angklung dan

merakit, mitra kedua membuat rangka.

Gambar 25 Proses pengawetan bambu dengan metode perendaman

Proses pengeringan dibutuhkan untuk menjaga stabilitas dimensi bambu,

perbaikan warna permukaan, serta pelindung terhadap serangan jamur dan bubuk

basah. Pengeringan bambu dilakukan dengan cara pengasapan ataupun tungku

(Gambar 26). Pengeringan yang terlalu cepat mengakibatkan bambu mudah pecah

namun pengeringan yang terlalu lambat akan berakibat pada warna bambu yang

suram, bulukan dan menjadi gelap.

Kekuatan bambu juga akan bertambah seiring keringnya bambu.

Pengeringan bambu harus dilaksanakan secara hati-hati, karena apabila dilakukan

terlalu cepat (suhu tinggi dengan kelembaban rendah) atau suhu dan kelembaban

yang terlalu berfluktuasi akan mengakibatkan bambu menjadi pecah, kulit

mengelupas, dan kerusakan lainnya. Sebaliknya bila kondisi pengeringan yang

terlalu lambat akan menyebabkan bambu menjadi lama mengering, bulukan dan

warnanya tidak cerah atau menjadi gelap.

39

Gambar 26 Pengeringan Bambu secara vertikal

Pembuatan Kerangka Angklung

Kriteria bambu yang memenuhi syarat memiliki ruas sepanjang mungkin,

diameter bambu tidak lebih dari 6 cm, ringan dan memiliki serat yang padat.

Bambu yang sudah dikeringkan kemudian diseleksi untuk diolah lebih lanjut

menjadi angklung (Gambar 27). Selanjutnya bambu dipotong menjadi bakalan

sesuai dengan ukuran tabung, rangka atau tiang.

Gambar 27 Bakalan Angklung

40

Bakalan ini kemudian diolah menjadi nada sora, yaitu menyesuaikan

panjang tabung dan tinggi lubang. Pekerjaan ini membutuhkan keterampilan dan

keahlian tersendiri, sehingga dapat dihasilkan bunyi yang nyaring dengan cara

dipukul dan ditiup. Bambu Hitam dan Bambu Tali untuk tabung suara dan tabung

dasar sedangkan untuk bambu Gombong dan bambuTemen untuk tiang rangka

angklung (Gambar 28).

Gambar 28 Tabung Angklung

Perakitan

Tahap perakitan (Gambar 29) merupakan tahap dimana tabung bambu dan

kerangka diikat dengan rotan. Pekerjaan ini tidak terlalu susah namun juga

membutuhkan kecepatan dan ketelitian. Bagi pekerja yang sudah terbiasa

menggabungkan tabung dan kerangka dengan rotan hanya membutuhkan waktu

sekitar 10 menit. Umumnya pekerjaan ini dilakukan oleh mitra pembuat tabung.

Mitra pembuat tabung akan mengambil kerangka dari mitra lain untuk dirakit

menjadi angklung.

Gambar 29 Proses perakitan angklung

41

Penyeteman/ Penyetelan Nada

Saung Angklung Udjo menerapkan prinsip bahwa konsumen yang

membeli angklung tidak hanya membeli alat musik bambu melainkan membeli

suara. Oleh karena itu penyeteman menjadi proses yang sangat diperhatikan

dalam pembuatan angklung. Setiap angklung yang diproduksi merupakan sebuah

totalitas mutu Saung Angklung Udjo. Setelah bambu dipilih, bambu tersebut baru

dapat digunakan sebagai bahan pembuatan angklung. Pembuatan angklung yang

paling penting adalah membentuk nada dasar dari tabung bambu. Suara bambu

ada dua yaitu suara kayu bambu ketika beradu dengan benda lain dan suara yang

dihasilkan ketika tabung ditiup. Alat penyeteman/penyesuaian nada yang

digunakan untuk menentukan nada dasar adalah Berrina. Kemudian setelah

dihasilkan nada dasar dilakukan finishing dengan penyeteman dengan

Autochromatic Tuner (Gambar 30 dan Gambar 31). Dahulu penyeteman angklung

hanya menggunakan botol-botol yang diisi air dan diberi tanda pada bagian

luarnya, saat ini penyeteman selain menggunakan suling, gamelan, dan juga telah

menggunakan alat elektronik yaitu Autochromatic Tuner. Proses akhir rangka dan

tabung diikat dengan tali rotan.

Gambar 30 Angklung yang telah distem

Pengecekan dan Pengemasan

Tahap pengecekan merupakan tahap terakhir sebelum angklung dikemas.

Pengecekan atau lebih dikenal quality control merupakan mekanisme

pemeriksaan kerangka, suara angklung setelah distem. Selanjutnya dilakukan

42

pengemasan angklung dengan menggunakan kardus sebelum angklung dikirim ke

tempat tujuan. Pengemasan dilakukan ketika angklung telah mengalami masa uji

lulus yang ditunjukkan dengan tidak adanya hama yang terdapat pada angklung.

Gambar 31 Finishing tabung Angklung

Upaya Konservasi Bambu sebagai Bahan Baku Angklung

Saung Angklung Udjo sebagai pihak yang mengembangkan angklung

membutuhkan sumber daya bambu jangka panjang memiliki kewajiban untuk

mengelola bambu secara alam maupun melalui penanaman bambu.Semakin

langkanya jenis bambu untuk angklung merupakan kendala yang dihadapi Saung

Angklung Udjo. Menurut Pengelola, jumlah bambu yang sesuai untuk bahan baku

angklung akan habis dalam waktu 10 tahun mendatang khususnya bambu Hitam

sebagai bahan baku utama tabung angklung. Permintaan yang tinggi terhadap

jenis bambu Hitam menjadikan bambu Hitam lebih banyak dicari oleh mitra

petani. Kebutuhan bambu yang terus meningkat mengakibatkan permintaan

bambu tidak dapat dipenuhi dari wilayah Bandung, melainkan harus mencari

bambu Hitam hingga ke Sukabumi dan Kuningan. Permintaan bambu yang tinggi

tidak disertai dengan budidaya bambu yang intensif sehingga berdampak terhadap

keberadaan dan kebutuhan bambu jangka panjang.

Len Muller (1996a, 1998b) dalam Wong (2004) menyampaikan “the

possible roleof selection in maintaining useful bamboo clones”. Konservasi

spesies bambu menjadi perhatian banyak pihak. Tidak adanya manajemen bambu

yang baik membuat proses pemanenan bambu di hutan dilakukan dengan cara

menebang habis seluruh tanaman, praktek ini sangat tidak ekologis dan

merupakan pemborosan karena banyak batang bambu yang semestinya dapat

dimanfaatkan. Upaya mendorong program pengelolaan bambu dengan menjamin

keseimbangan antara pelestarian keanekaragaman hayati bambu dan

pemanfaatannya melalui pelestarian bambu secara in-situ dan ex-situ dilakukan

melalui kegiatan penanaman di hutan bambu alam yang masih ada dan pembuatan

kebun koleksi untuk mempertahankan keberadaan berbagai jenis bambu baik yang

endemik maupun yang eksotik dengan semua sumber genetiknya.

43

Kesadaran berkonservasi timbul dari terpenuhinya stimulus alamiah

(karakteristik bambu sebagai bahan baku angklung, habitat, sifat fisik yang

dimiliki oleh bambu sebagai bahan baku angklung) dan stimulus manfaat dari

bambu sebagai bahan baku angklung. Stimulus manfaat dari bambu berupa

produk angklung sebagai alat kesenian tradisional (nilai sosial budaya) yang dijual

sebagai cinderamata (nilai ekonomi). Jenis bambu yang digunakan sebagai tabung

angklung berpengaruh terhadap harga angklung. Harga seperangkat angklung di

SAU berkisar antara Rp 1.500.000 hingga Rp 2.000.000. Harga tersebut

tergantung pada jenis bambu yang digunakan. Angklung berbahan dasar bambu

Hitam memiliki harga yang lebih tinggi dibanding angklung dengan bahan baku

bambu Tali. Pemahaman bahwa semakin sulitnya mencari bahan baku bambu

Hitam berpengaruh pada kesadaran masyarakat (pengguna) untuk melakukan

konservasi dengan cara penanaman jenis bambu sebagai bahan baku angklung

untuk menjaga ketersediaan bahan baku serta melakukan upaya pengelolaan

pemanenan dengan menggunakan metode yang meminimalisasi kerusakan

lingkungan.

Pengelolaan bambu yang memperhatikan konservasi bamboo dilakukan

untuk menjaga ketersediaan sumber daya bambu jangka panjang melalui budidaya

dan pengelolaan bambu yang tepat. Salah satu pengelolaan yang perlu dilakukan

yaitu yaitu pemanenan bambu dengan metode tebang habis diganti dengan metode

tebang pilih. Kualitas bambu yang dipanen dengan metode tebang pilih juga lebih

baik dibanding metode tebang habis. Pada metode tebang habis, semua batang

bambu ditebang baik yang tua maupun yang muda, sehingga kualitas batang

bambu yang diperoleh bercampur antara bambu tua dan muda. Selain itu metode

ini juga menimbulkan pengaruh terhadap sistem perebungan bambu, sehingga

kelangsungan tanaman bambu terganggu, karena sistem perebungan bambu

dipengaruhi juga oleh batang bambu yang ditinggalkan. Pada beberapa jenis

tanaman bambu metode tebang habis menyebabkan rumpun menjadi kering dan

mati, tetapi pada jenis yang lain masih mampu menumbuhkan rebungnya tetapi

dengan diameter rebung tidak besar dan jumlahnya tidak banyak. Metode tebang

pilih pada tanaman bambu adalah menebang batang-batang bambu berdasarkan

umur tumbuhnya. Metode ini dikembangkan dengan dasar pemikiran adanya

hubungan batang bambu yang ditinggalkan dengan kelangsungan sistem

perebungan bambu.

Manfaat bambu yang beragam perlu diimbangi dengan perlindungan akan

keberadaan bambu baik dari segi jenis, lahan/tempat penanaman (in situ dan ex

situ), produk, hingga pengrajin. Data-data peneliti terkait sebaran dan potensi

bambu khususnya jenis bambu sebagai bahan baku angklung perlu disampaikan

kepada mitra dan pengelola sebagai pengguna dan pihak yang berinteraksi

langsung dengan tanaman bambu. Pengelolaan bambu sebagai upaya pemanfaatan

yang berkelanjutan perlu disebarluaskan dan disampaikan kepada masyarakat.

Upaya konservasi bambu perlu dimasyarakatkan sehingga kegiatan penanaman

bambu menjadi icon seperti layaknya kegiatan penanaman pohon.

44

6 PERENCANAAN INTERPRETASI BERBASIS KONSERVASI

BAMBU SEBAGAI BAHAN BAKU ANGKLUNG

Seperti yang disampaikan oleh Muscardo (1998) peran interpretasi dalam

mendukung kegiatan wisata meliputi meningkatkan pengalaman berkualitas bagi

pengunjung, meningkatkan kualitas hidup pengelola dan masyarakat,

menyampaikan pentingnya keberlanjutan sumber daya bambu, perlindungan

keanekaragaman biodiversitas bambu (jenis-jenis bambu yang digunakan sebagai

bahan baku angklung), pemeliharaan ekosistem bambu melalui metode

pemanenan tebang pilih serta melakukan penanaman bambu in-situ maupun ex-

situ yang menjamin keberadaan angklung sebagai warisan dunia baik dari segi

sumber daya maupun produk secara berkelanjutan.

Program wisata yang terdapat di Saung Angklung Udjo masih sebatas

pada kebudayaan/kesenian alat musik angklung sehingga belum menyentuh

sumber daya bambu sebagai bahan baku utama pembuatan angklung. Perencanaan

interpretasi yang dibuat berupa interpretasi berbasis konservasi sumber daya

bambu sebagai bahan baku angklung.

Keberlanjutan usaha (produksi angklung) dan kelestarian kesenian dan

budaya angklung yang dilakukan oleh pihak pengelola Saung Angklung Udjo

sangat tergantung pada sumber daya bambu sebagai bahan baku pembuatan

angklung. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara alat musik angklung

(sebagai produk/komoditas) dan sumber daya bambu (sebagai bahan baku).

Perencanaan interpretasi merupakan salah satu upaya pengenalan sumber daya

bambu yang diharapkan dapat meningkatkan pengertian dan pemahaman,

kesadaran, serta apresiasi masyarakat (pengelola dan pengunjung) terhadap

sumber daya bambu sebagai bahan baku utama angklung yang jumlahnya

terbatas.

Pentingnya upaya konservasi dalam menjaga keberadaan sumber daya

bambu jangka panjang disampaikan dalam bentuk interpretasi. Pengadaan bahan

baku, kegiatan produksi angklung merupakan atraksi yang dapat dikemas menjadi

program interpretasi. Topik bambu sebagai obyek interpretasi dijabarkan menjadi

beberapa tema, antara lain: pengenalan jenis-jenis bambu, memahami siklus hidup

bambu, manfaat bambu, filosofi bambu dan konservasi sumber daya bambu.

Beberapa rumpun tanaman bambu yang tumbuh di area Saung Angklung Udjo

menjadi obyek penting yang dapat menjelaskan karakteristik bio-ekologis bambu

sebagai sumber daya (bahan baku) utama pembuatan angklung.

Obyek Angklung tidak dapat dipisahkan dari obyek bambu sebagai bahan

baku pembuatannya. Topik angklung dapat dijabarkan menjadi beberapa tema

yang berkaitan dengan obyek bambu antara lain: filosofi angklung, proses bambu

menjadi angklung (pemanenan, perakitan, hingga pengemasan), bentuk-bentuk

angklung yang mengalami modifikasi dari jaman dahulu hingga masa kini,

karakteristik tabung-tabung angklung yang menghasilkan nada yang berbeda-

beda.

Tujuan dan Sasaran Interpretasi

Tujuan interpretasi berbasis konservasi sumber daya bambu di Saung

Angklung Udjo dibangun di atas empat pilar utama yaitu understanding and

45

appreciation; sustainability; authenticity and relevancy; danbest practices.

Sasaran interpretasi menurut Sharpe (1982) ada tiga hal yaitu: (1)

mengembangkan kesadaran dan memperkaya pengetahuan pengunjung, (2)

meningkatkan pendayagunaan sumber daya, dan (3) menjadi sarana promosi agar

masyarakat mengetahui nilai sejarah, konservasi dari obyek yang dimaksud.

Implementasi dari tujuan yang mengintegrasikan dari keempat pilar

tersebut diharapkan menjadi pilihan terbaik dalam perencanaan interpretasi di

Saung Angklung Udjo. Sejalan dengan apa yang telah dikemukakan oleh Tilden

(1977) bahwa “Interpretation is an educational activity which aims to reveal

meanings and relationships through the use of original objects, by firsthand

experience, and by illustrative media, rather than simply to communicate factual

information”, maka tujuan dan sasaran perencanaan interpretasi di Saung

Angklung Udjo dijabarkan sebagai berikut:

1. Meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan penghargaan (apresiasi)

masyarakat (pengunjung) mengenai bambu dan angklung.

a. Menjadi pusat informasi dan konservasi bambu di Jawa Barat.

b. Mewujudkan pendekatan yang seimbang antara sumber daya alam

(bambu) dan budaya (angklung).

c. Mengembangkan komunikasi dua arah antara pengunjung dan Saung

Angklung Udjo.

2. Mencapai kelestarian sumber daya bambu dan angklung, serta keberlanjutan

usaha Saung Angklung Udjo.

a. Terwujudnya kelestarian sumber daya alam (bambu).

b. Terwujudnya relevansi sosial melalui pemberdayaan masyarakat sekitar

dan kerjasama kemitraan.

c. Terwujudnya program rutin dengan lembaga pendidikan dan pihak

lainnya.

d. Mewujudkan Saung Angklung Udjo sebagai model interpretasi yang ideal,

asli, khas dan relevan bagi semua pengunjung.

Tujuan ini meliputi aktifitas pendidikan lingkungan melalui penggalian

dan penyampaian informasi mengenai sumber daya bambu dan angklung melalui

program interpretasi. Dengan memperhatikan pelaksanaan interpretasi yang

autentik, relevan dan eksklusif bagi pengunjung, agar memperoleh makna dan

nilai dari sumber daya bambu dan angklung dan menciptakan kepedulian

(awareness) yang tinggi terhadap bambu. Dari tujuan tersebut, interpretasi

diharapkan dapat mencapai tujuan yang menjamin keseimbangan antara

kelestarian sumber daya dan keberlanjutan usaha bagi pihak pengelola Saung

Angklung Udjo.

Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Veverka (1994), bahwa

“objectives are specific and measurable steps that outline actions to achieve

goals. Tujuan, sasaran dan strategi perencanaan interpretasi berbasis konservasi

bambu di Saung Angklung Udjo dikembangkan berdasarkan rencana interpretasi

yang merupakan hasil sintesis dari inventarisasi dan analisis data penelitian (tabel

5). Strategi yang dikembangkan ini diharapkan juga dapat menarik pengunjung

baik pengunjung baru maupun pengunjung yang pernah datang ke Saung

Angklung Udjo sehingga tertarik untuk melakukan kunjungan kembali secara

rutin.

46

Tabel 5 Perencanaan Interpretasi Berbasis Konservasi Bambu sebagai Bahan

Baku Angklung di Saung Angklung Udjo

No. Tujuan Sasaran/ Indikator Strategi

1. Meningkatkan

pengetahuan,

pemahaman dan

penghargaan

(apresiasi)

masyarakat

(pengunjung)

mengenai bambu

dan angklung

a. Menjadi pusat informasi dan konservasi

bambu di Indonesia.

b. Mewujudkan pendekatan yang seimbang

antara sumber daya alam (bambu) dan budaya

(angklung).

c. Mengembangkan komunikasi dua arah antara

pengunjung dan Saung Angklung Udjo.

Membangun

arboretum bambu

dan pusat konservasi

bambu

Meningkatkan

penekanan program

wisata pada sumber

daya bambu dan

angklung

Mengintegrasikan

interpretasi bambu

dengan angklung

Memberi peluang

bagi pengunjung

berperan dalam

kegiatan interpretasi

(menjadi

guide/informan

mengenai bambu,

menjadi salah satu

pemain pertunjukan)

Memfasilitasi

pengunjung untuk

berperan dalam

pengelolaan

interpertasi bambu

(volunteer)

Membangun media

komunikasi secara

online (website)

Pengunjung bisa mengenal bambu dan

habitatnya

Pengunjung mengetahui jenis-jenis bambu

yang menjadi bahan baku angklung

Pengunjung mengerti dan memahami

pentingnya konservasi bambu

Pengunjung mengetahui proses pengolahan

bambu sebagai bahan baku angklung

Pengunjung bisa merasakan pengalaman

secara langsung proses pembuatan angklung

2. Mencapai

kelestarian

sumber daya

bambu dan

angklung, serta

keberlanjutan

usaha Saung

Angklung Udjo

a. Terwujudnya kelestarian sumber daya bambu

b. Terwujudnya keberlanjutan produksi

angklung

c. Mewujudkan Saung Angklung Udjo sebagai

model interpretasi yang ideal, asli, khas dan

relevan bagi semua pengunjung.

Menggali dan

mengembangkan

nilai-nilai budaya

masyarakat lokal

Meningkatkan

kepedulian publik

terhadap konservasi

sumber daya bambu

Menerapkan hasil

riset untuk

mendukung

pengelolaan

Mengembangkan

pusat produksi

angklung.

Membangun

arboretum bambu

dan pusat konservasi

bambu

Membangun stasiun

penelitian dan

pembibitan bambu

Pengunjung dapat menerima pesan

konservasi dan tertarik untuk ikut serta

(berpartisipasi) dalam kegiatan konservasi

bambu untuk melestarikan kesenian alat

musik angklung

Meningkatnya kepedulian publik terhadap

konservasi sumber daya bambu

47

Program Interpretasi

Dari tujuan, sasaran dan strategi perencanaan interpretasi seperti yang

telah dijabarkan sebelumnya, selanjutnya ditetapkan beberapa program

interpretasi di Saung Angklung Udjo.

Dalam menentukan program interpretasi, ada beberapa hal yang menjadi

dasar pertimbangan, seperti yang telah disarankan oleh Lewis (1980) yaitu: (1)

orang belajar terbaik dari pengalaman pertama, (2) orang belajar lebih baik ketika

mereka aktif terlibat dalam proses pembelajaran, (3) orang belajar lebih baik

ketika mereka menggunakan berbagai sensasi yang tersedia, (4) pengunjung

belajar tentang apa yang paling bernilai untuk mereka diwaktu kini, (5)

menggunakan berbagai variasi pendekatan dan pembelajaran, dan (6)

pembelajaran baru adalah membangun pondasi akan pengetahuan sebelumnya.

Dengan memperhatikan prinsip-prinsip interpretasi yang telah dikemukakan oleh

Tilden (1977), pendekatan interpretasi oleh Ham (1992), dan saran-saran dari

Lewis (1980), maka beberapa program interpretasi yang dipilih di Saung

Angklung Udjo adalah :

1. Program pengenalan sumber daya bambu

2. Program pengenalan bahan baku angklung

Program-program tersebut di atas merupakan program interpretasi berbasis

konservasi sumber daya bambu sebagai bahan baku utama pembuatan angklung.

Dalam program ini, pengunjung tidak hanya diberi informasi mengenai jenis-jenis

bambu dan upaya konservasi bambu yang menjadi bahan baku utama pembuatan

angklung, tetapi mereka diajak untuk berpartisipasi dalam kegiatan konservasi

tersebut baik secara langsung maupun secara tidak langsung sehingga dapat

memperkaya pengalaman pengunjung. Mengajak pengunjung melihat langsung

obyek interpretasi, memahami keterkaitan dan hubungan obyek interpretasi

dengan lingkungan melalui pengalaman langsung lewat panca indera, penglihatan,

pendengaran, perasaan, penciuman, ataupun perabaan. Aspek yang terlibat dalam

sebuah penyampaian interpretasi tidak hanya ranah kognitif, melainkan juga ranah

afektif dan psikomotorik. Parameter ranah afektif berupa perasaan dan emosi yang

berpengaruh signifikan terhadap persepsi dan perilaku pengunjung khususnya

terkait isu lingkungan (Povey&Rion 2002).

Obyek, Tema dan Materi Interpretasi

Dalam perencanaan interpretasi berbasis konservasi bambu ini, semua data

penelitian yang telah dikumpulkan dari berbagai sumber, baik data primer

maupun data sekunder digunakan untuk merumuskan dan mendukung

pengembangan tema interpretasi. Perumusan dan pengembangan tema interpretasi

seperti yang dikemukakan oleh Veverka (1994) memberikan langkah-langkah

perencanaan interpretasi yang meliputi enam elemen yaitu What, Why, Who, How/

When/Where (Story Development Forms), Implementation and Operation, So

What. Pada elemen pertama, Veverka (1994) memberikan penjelasan bahwa What

berisi tentang “The resources, theme, and sub-theme to be interested”, dengan

demikian What memberikan gambaran mengenai sumber daya yang akan menjadi

obyek interpretasi.

48

Ham (1992) menyatakan bahwa “The topic of a presentation is simply its

subject matter, whereas the theme of the presentation is the specific message

about the subject we want to communicate to the audience”. Sesuai dengan

pernyataan yang dikemukakan oleh Ham (1992) tersebut, maka bambu sebagai

obyek interpretasi di Saung Angklung Udjo telah dipilih menjadi topik interpretasi

yang merupakan dasar dalam pengembangan tema interpretasi berbasis konservasi

bambu sebagai bahan baku pembuatan angklung.

Dalam merumuskan tema interpretasi, Mullins (1979) menetapkansuatu

formula yaitu “Theme = Topic + Recurring Message Element”. Pada penelitian

ini, formulasi tema interpretasi dapat dirumuskan sebagai “Tema = Topik (

Obyek) + Pesan berulang (pesan bagi pengunjung). Berdasarkan formula tersebut,

maka dapat dirumuskan sebuah tema utama yang terbagi menjadi 3 (tiga) sub

tema dalam perencanaan interpretasi berbasis konservasi sumber daya bambu

sebagai bahan baku pembuatan angklung yaitu bambu, angklung, dan saung

angklung udjo.

Tema utama interpretasi berbasis konservasi sumber daya bambu sebagai

bahan baku pembuatan angklung di Saung Angklung Udjo. Banyak penelitian

yang menganggap bahwa sangat penting untuk menciptakan program dengan

tema yang jelas dan sesuai dengan tujuan (Knapp&Benton 2004). Tema-tema

tersebut merupakan pernyataan ide penting yang mengatur pesan-pesan yang akan

disampaikan kepada pengunjung Saung Angklung Udjo. Pesan yang diturunkan

dari tema-tema interpretasi merupakan materi yang berupa informasi yang akan

disampaikan kepada pengunjung Saung Angklung Udjo. Materi ini secara

komprehensif meliputi seluruh obyek yang terdapat di Saung Angklung Udjo

dengan berbasis pada konservasi sumber daya bambu sebagai bahan baku

angklung. Dengan tema-tema ini diharapkan mampu menginspirasi, menggugah

kesadaran, kepedulian dan penghargaan pengunjung terhadap obyek interpretasi.

Beberapa materi interpretasi dari masing-masing tema dideskripsikan pada Tabel

6 di bawah ini.

Tabel 6 Obyek, Tema dan Materi Interpretasi di SAU

No. Obyek Tema Pesan/ Materi

1. Sumber daya

bambu

Bioekologi bambu

menjadi dasar konservasi

sumber daya bambu

Klasifikasi, morfologi serta anatomi bambu

Habitat dan penyebaran bambu

Pengenalan jenis-jenis bambu

Memahami siklus hidup bambu

Manfaat bambu

Tema Pendukung :

1. Karakteristik bambu

merupakan tulang

punggung (backbone)

Saung Angkung Udjo

Filosofi bambu

Karakteristik bambu

Sifat fisik dan mekanik bambu

Jenis bambu yang menjadi bahan baku

pembuatan angklung ( tidak semua jenis

bambu dapat dijadikan bahan baku

angklung)

2. Konservasi sumber

daya bambu Prinsip pengelolaan bambu

Arboretum bambu di SAU

Pembibitan dan penanaman bambu di SAU

49

Teknik Interpretasi

Untuk menyampaikan pesan yang berupa materi interpretasi berbasis

konservasi sumber daya bambu kepada pengunjung dengan baik, maka diperlukan

teknik interpretasi. Sesuai dengan penjelasan Sharpe (1982), maka teknik

interpretasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan/materi interpretasi di

Saung Angklung Udjo terdiri dari dua teknik yaitu (1) Teknik secara langsung

(attended service), dan (2) Teknik secara tidak langsung (unattended service).

1. Teknik secara langsung (attended service)

Penyampaian materi interpretasi berbasis konservasi sumber daya bambu

kepada pengunjung dilakukan secara langsung oleh seorang interpreter (guide)

yang telah ditunjuk oleh pihak pengelola Saung Angklung Udjo. Interpreter

tersebut bertugas memberikan penjelasan mengenai obyek interpretasi dengan

berdasarkan pada tema dan materi yang telah ditentukan sebelumnya sehingga

pengunjung merasa tertarik terhadap obyek tersebut. Proses penyampaian

informasi yang berupa materi ini berlangsung didekat obyek interpretasi, sehingga

pengunjung dapat melihat dan merasakan obyek seperti bambu dan angklung

secara langsung. Pada saat dibutuhkan, interpreter akan mendemonstrasikan suatu

aktifitas seperti memainkan angklung, mengidentifikasi jenis bambu dengan

indera peraba dan penciuman. Pengunjung juga diberi kesempatan untuk

mempraktekkan apa yang telah dijelaskan dan diperagakan oleh interpreter

tersebut. Dalam proses komunikasi ini, juga diselingi dengan tanya jawab dan

diskusi. Pengunjung yang tertarik, biasanya akan menanyakan sesuatu yang belum

diketahui dan ingin penjelasan yang lebih detil.

Khusus pada program pertunjukan bambu, interpreter juga bertugas

sebagai pembawa acara (host) yang memandu acara pertunjukan dari awal sampai

akhir pertunjukan. Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia dan Bahasa

Inggris, karena pengunjung bukan hanya berasal dari dalam negeri, namun juga

berasal dari luar negeri.

2. Teknik secara tidak langsung (unattended service)

Teknik penyampaian informasi/ materi interpretasi secara tidak langsung

(unattended service) juga dilakukan di Saung Angklung Udjo. Penyampaian

materi dilakukan tanpa kehadiran interpreter, namun dengan menggunakan alat

bantu yang berupa media atau sarana interpretasi dalam memperkenalkan obyek

interpretasi (Pradini 2002). Media atau sarana interpretasi yang digunakan adalah

papan informasi, papan tanda atau penunjuk arah, peta interpretasi, video, galeri

foto, website, dan leaflet serta booklet yang berisi materi interpretasi berbasis

konservasi sumber daya bambu.

7 CONTOH PROGRAM INTERPRETASI: MENGENAL BAMBU

SEBAGAI BAHAN BAKU ANGKLUNG

Dari perencanaan interpretasi yang telah diuraikan pada bab sebelumnya,

maka ditentukan dan dipilih sebanyak 2 (dua) contoh program interpretasi

prioritas dalam rangka interpretasi berbasis konservasi sumber daya bambu

sebagai bahan baku utama pembuatan Angklung di Saung Angklung Udjo.

Program interpretasi tersebut adalah (1) program pengenalan bambu sebagai

bahan baku Angklung, dan (2) program pengenalan jenis dan karakteristik bambu

50

yang menjadi bahan baku utama pembuatan Angklung. Target audiensi program

adalah pengunjung yang datang ke Saung Angklung Udjo.

Program Pengenalan Bambu sebagai Bahan Baku Angklung

Program interpretasi yang menjadi prioritas di Saung Angklung Udjo

adalah program pengenalan bambu sebagai bahan baku Angklung. Program

interpretasi ini akan dijelaskan dalam bentuk tabel, uraian deskriptif, visualisasi

gambar, serta video interaktif.

Judul Program : Mengenal Bambu Sebagai Bahan Baku Utama Angklung

Teknik : Interpretasi secara langsung : Interpretive Talk and Workshop

Target : Pengunjung (untuk semua umur)

Durasi : 30 Menit

Lokasi : Ruang Produksi Angklung

Topik/ Obyek : Sumber Daya Bambu dan Angklung

Tema : Bambu sebagai bahan baku utama pembuatan angklung

Pesan/ Materi : Bambu dalam Angklung :

Morfologi Angklung : Bagian-bagian Angklung

Bahan baku pada setiap bagian Angklung

Jenis bambu yang menjadi bahan baku utama Angklung

Tujuan : Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pengunjung

mengenai bambu dan angklung.

Sasaran : Pengunjung mengetahui jenis-jenis bambu yang menjadi

bahan baku angklung

Pengunjung bisa merasakan pengalaman secara langsung

proses pembuatan angklung

Pengunjung mengerti dan memahami pentingnya

konservasi bambu

Program interpretasi ini dilakukan di ruang produksi yaitu pusat produksi

angklung, dengan pemanduan seorang petugas (pegawai) yang disediakan oleh

pihak pengelola Saung Angklung Udjo. Dalam program interpretasi ini, petugas

berperan sebagai interpreter sekaligus memandu pengunjung yang datang ke

Saung Angklung Udjo. Bandung. Materi utama yang menjadi pesan dalam

program pengenalan bambu sebagai bahan baku Angklung ini adalah informasi

mengenai bagian-bagian Angklung yang berasal dari bambu sebagai bahan baku

utama pembuatan Angklung. Secara ringkas, skenario cerita program pengenalan

bambu sebagai bahan baku Angklung di Saung Angklung Udjo tersaji pada Tabel

7 di bawah ini.

51

Tabel 7 Skenario Cerita

No Kegiatan Lokasi/ Ruang Durasi Waktu

1 Kedatangan pengunjung di SAU Pintu Gerbang -

2 Pengunjung Berkumpul Area Parkir -

3 Perkenalan Interpreter dan Peserta Ruang Penerimaan/

Pusat Informasi 10 Menit

4 Pemaparan Materi, Workshop dan Diskusi 20 menit

Jumlah Durasi 30 Menit

Arah program interpretasi (interpretive direction) dan skema alur

pengunjung dalam program pengenalan bambu sebagai bahan baku Angklung

(Gambar 32 dan Gambar 33) menunjukan bahwa program ini merupakan salah

satu dari beberapa program yang ada di Saung Angklung Udjo.

Gambar 32 Arah program interpretasi (interpretive direction)

Masuk (Entry)

Bambu

& Angklung

Interpretasi

&Experience

Interpreter

Keluar (out)

Media

Komitmen

Masuk

Mengetahui

&

Memahami

Pengetahuan

& Kesadaran

meningkat

Pengetahuan

(Knowledge)

Kesadaran

(Awarness)

52

Gambar 33 Skema program interpretasi

53

Dari uraian dan penjelasan gambar di atas, maka skenario cerita dalam

program pengenalan bambu sebagai bahan baku Angklung ini adalah sebagai

berikut :

1. Pengunjung masuk ke dalam kawasan Saung Angklung Udjo melalui pintu

gerbang utama.

2. Pengunjung berkumpul di area parkir mempersiapkan diri untuk menuju ruang

penerimaan

3. Seorang petugas menyambut kedatangan pengunjung.

Dengan panduan petugas SAU, pengunjung menuju ke Pusat Informasi

dan memilih program interpretasi/ paket wisata. Petugas SAU dan pengunjung

melakukan komunikasi dan perkenalan, petugas mendata identitas, jumlah dan

asal pengunjung. Petugas SAU memberikan informasi mengenai program

interpretasi yang ada di SAU, pengunjung menerima penjelasan secara lisan dari

petugas/ pemandu. Aktifitas ini berlangsung selama kurang lebih 10 menit.

Setelah menerima informasi, pengunjung memilih paket wisata di SAU. Salah

satu paket wisata yang telah dipilih oleh pengunjung adalah program interpretasi

pengenalan sumber daya bambu sebagai bahan baku angklung. Dengan dipandu

oleh petugas SAU, pengunjung berjalan menuju ke ruang produksi Angklung.

4. Program interpretasi pengenalan bambu sebagai bahan baku Angklung

berlangsung di ruang produksi Angklung.

Pengunjung menuju ke ruang produksi Angklung dengan berjalan kaki.

Selama perjalanan yang membutuhkan waktu kurang lebih 2 menit, pengunjung

menikmati suasana area Saung Angklung Udjo yang sejuk dan asri, pengunjung

bisa melihat tata hijau tanaman bambu yang tumbuh di area Saung Angklung

Udjo. Setelah tiba di ruang produksi Angklung, pengunjung bisa melihat secara

langsung proses perakitan kerangka angklung dan pengecekan serta pengemasan/

pengepakan Angklung yang siap dipasarkan.

Program interpretasi pengenalan sumber daya bambu sebagai bahan baku

Angklung dimulai dengan pemaparan yang dilakukan oleh seorang pemandu yang

sekaligus bertugas sebagai interpreter. Interpreter menggunakan teknik secara

langsung (attended service). Tema program interpretasinya adalah Bambu sebagai

bahan baku utama pembuatan Angklung. Materi interpretasi disampaikan secara

lisan (pemaparan) oleh interpreter kepada pengunjung. Materi tersebut berupa

Bambu dalam Angklung:

Morfologi Angklung: Bagian-bagian Angklung

Bahan baku pada setiap bagian Angklung,

Jenis bambu yang menjadi bahan baku utama Angklung

Pemaparan materi interpretasi oleh interpreter dilakukan secara informal

dan dengan bahasa yang komunikatif seperti layaknya kedua pihak sedang

bercakap-cakap. Pengunjung bisa langsung bertanya bila ada sesuatu yang belum

dia mengerti. Aktifitas ini berlangsung selama kurang lebih 20 menit.

Dalam melaksanakan interpretasi ini, petugas menggunakan obyek yang

berupa Angklung secara langsung untuk memperkenalkan alat musik Angklung

dan bahan baku pembuatan Angklung. Setelah selesai memberikan pemaparan,

petugas memberikan waktu untuk diskusi. Diskusi dilakukan dengan tanya jawab,

dimana pengunjung dapat mengajukan pertanyaan yang kemudian akan dijawab

dan dijelaskan oleh petugas. Selain itu, pengunjung juga bisa mendapatkan

informasi dengan membaca papan informasi yang ada di area.

54

Gambar 34 Morfologi Angklung

Gambar 35 Jenis Bambu sebagai Bahan Baku Angklung

Angklung terdiri dari beberapa bagian :

1. Tabung sora yang terdiri dari 2 Tabung

a. Tabung kecil terletak di sebelah kiri dan,

b. Tabung besar yang berada di sebelah kanan

2. Ancak yaitu bagian rangka Angklung yang dibagi

menjadi beberapa bagian :

c. Jejer bagian dari ancak (rangka angklung)

d. Tabung dasar (bawah)

e. Palang Gantung sebagai penyangga tabung sora

Sumber Daya Bambu :

1. Bambu Gombong

Tali pengikat, terbuat dari

Rotan

Sumber Daya Bambu :

2. Bambu Temen

3. Bambu Gombong

Sumber Daya Bambu :

4. Bambu Hitam

5. Bambu Tali

Sumber Daya Bambu :

6. Bambu Hitam

7. Bambu Tali

55

Dalam pemaparan materi interpretasi (interpretive talk) yang berupa

bagian-bagian Angklung, interpreter menggunakan dan memperagakan bagian-

bagian Angklung secara langsung agar pesan yang ingin disampaikan dapat

diterima dan dipahami oleh pengunjung secara mudah. Selama berlangsungnya

pemaparan, pengunjung juga diberi kesempatan untuk memegang langsung obyek

Angklung, sambil mendengarkan penjelasan dari interpreter. Penjelasan bagian-

bagian Angklung oleh interpreter, diikuti pemaparan dan penjelasan bahan baku

sebagai bahan baku utama pembuatan Angklung (Gambar 34 dan Gambar 35).

Pada program interpretasi ini, fokus penyampaian materi atau pesan interpretasi

dititikberatkan pada jenis-jenis bambu yang menjadi bahan dasar/baku dari

bagian-bagian Angklung tersebut.

Setelah pemaparan selesai dilakukan, diharapkan pengunjung senang dan

memahami mengenai sumber daya bambu yang menjadi bahan dasar pembuatan

Angklung. Pengunjung dapat melakukan pengamatan terhadap para pekerja yang

sedang merakit dan mengecek Angklung di dalam workshop pembuatan

Angklung, bahkan pengunjung diperbolehkan untuk mencoba melakukan aktifitas

pembuatan angklung, sambil mengamati bambu yang siap dirakit menjadi

angklung. Selanjutnya pengunjung dapat meninggalkan lokasi (ruang produksi

Angklung) untuk mengikuti aktifitas/program-program yang lainnya.

Dengan membawa informasi dan mendapatkan pengalaman dan

pengetahuan baru, pengunjung kembali ke tempat istirahat dan melihat ruang

display lain. Pengunjung yang merasa senang dan puas, tentu akan

menginformasikan pengalaman dan pengetahuannya ke teman-temannya yang lain

atau masyarakat lainnya.

Kegiatan interpretasi lain ialah membedakan bambu yang baru di panen

dengan bambu yang siap untuk untuk diproses menjadi angklung. Dalam kegiatan

ini, pengunjung akan diajak untuk menggunakan indera peraba, penglihatan dan

penciumannya dalam membedakan usia bambu seusai pemanenan. Bambu yang

baru dipanen memiliki bau, warna, dan karakteristik yang khas. Kegiatan ini tentu

memberi pengetahuan baru bagi pengunjung dalam mengenali bambu yang baru

dan sudah lama dipanen. Ciri-ciri bambu yang dijadikan alat musik adalah bambu

dengan usia yang relatif tua yang berkadar air rendah serta volume serat padat dan

kompak (Nuriyatin 2000). Ciri tersebut mendukung proses perambatan getaran

relatif konstan.

Saung Angklung Udjo menjadi salah satu objek wisata yang sangat

menarik pengunjung. Dengan perencanaan program interpretasi yang berjudul

mengenal bambu sebagai bahan baku angklung, pengunjung dapat mengetahui

dan mengenal lebih dalam mengenai bahan baku angklung. Di samping itu,

pengunjung akan merasa senang dan puas serta mempunyai keinginan untuk

datang lagi. Program interpretasi juga akan membentuk komitmen pengunjung

untuk ikut memelihara dan melestarikan bambu dan angklung sehingga dapat

bermanfaat bagi anak cucu di masa mendatang. Pengunjung juga akan

menginformasikan pengalaman dan pengetahuannya ke teman-temannya yang lain

atau masyarakat lainnya.

Perencanaan interpretasi di Saung Angklung direncanakan sebagai berikut:

1. Pengunjung yang datang akan disambut dengan gemerisik rumpun bambu yang

terletak di area parkir. Pengunjungkemudian dibagi menjadi kelompok dengan

jumlah anggota 5-10 orang dengan didampingi oleh satu interpreter.

56

2.Seluruh kelompok akan diarahkan ke amphiteater yang sudah disiapkan sound

system dan layar lebar. Pengunjung akan diputarkan film berdurasi 5-7 menit yang

terdiri dari 5-7 slide. Slide pertama menggambarkan rumpun bambu dan

filosofinya. Keistimewaan bambu sebagai tanaman yang tumbuh bergerombol,

memperkuat akar terlebih dahulu sebelum menumbuhkan batang, tumbuh lurus ke

atas dan memiliki sifat fleksibel namun kuat dipaparkan lewat slide presentasi.

Slide kedua mendeskripsikan mengenai manfaat bambu dari akar hingga daun,

kehidupan masyarakat yang tidak terlepas dari tanaman bambu dari mulai lahir

hingga meninggal dunia. Slide ketiga menjelaskan mengenai filosofi angklung

sehingga dinobatkan oleh Unesco sebagai World Heritage. Slide keempat

menjelaskan proses pembuatan angklung secara singkat, dan slide kelima

mendeskripsikan rusaknya hutan akibat pengambilan bambu di alam dan dengan

menggunakan metode pemanenan tebang pilih.

Dari perencanaan tersebut, pengunjung diajak untuk mengenal dan

memahami bambu sebagai tanaman dan sebagai produk angklung. Konsep

konservasi yang ditunjukkan lewat slide audio visual diharapkan mampu

menggugah sikap pengunjung akan pentingnya pelestarian bambu sebagai salah

satu perlindungan jenis bambu sebagai bahan baku angklung. Beberapa upaya

konservasi bambu disampaikan di akhir presentasi untuk mengajak pengunjung

terlibat secara langsung dalam program konservasi bambu.

Program Pengenalan Jenis dan Karakteristik Bambu Sebagai Bahan Baku

Angklung

Program interpretasi berbasis konservasi sumber daya bambu sebagai

bahan baku utama pembuatan Angklung yang menjadi prioritas di Saung

Angklung Udjo adalah program pengenalan jenis dan karakteristik bambu sebagai

bahan baku Angklung. Program interpretasi ini akan dijelaskan dalam bentuk

tabel, uraian deskriptif, dan visualisasi gambar.

Judul Program : Mengenal Jenis dan Karakteristik Bambu sebagai Bahan Baku

Angklung

Teknik : Interpretasi secara langsung dan tidak langsung

Target : Pengunjung Saung Angklung Udjo (usia dewasa 20-60 tahun)

Durasi : 30 Menit

Lokasi : Ruang Konservasi Bambu

Topik/ Obyek : Sumber Daya Bambu

Tema : 1. Karakteristik bambu merupakan tulang punggung

(backbone) Saung Angkung Udjo

2. Konservasi sumber daya bambu

Pesan/ Materi : Karakteristik bambu:

Filosofi bambu

Karakteristik bambu

Sifat fisik dan mekanik bambu

Jenis bambu yang menjadi bahan baku pembuatan

angklung : tidak semua jenis bisa digunakan

57

Kondisi dan status bambu yang menjadi bahan baku

pembuatan angklung

Konservasi sumber daya bambu :

Prinsip pengelolaan bambu

Kebijakan konservasi bambu

Upaya pelestarian bambu oleh SAU

Arboretum bambu di SAU

Pembibitan dan penanaman bambu di SAU

Tujuan : Meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran

(awareness) pengelola mengenai konservasi bambu.

Sasaran : Pengunjung mengetahui jenis-jenis bambu yang menjadi

bahan baku angklung.

Pengunjung mengerti, memahami dan menyadari

pentingnya konservasi bambu.

Pengunjung melakukan upaya konservasi sumber daya

bambu.

Program interpretasi ini dilaksanakan dengan menggunakan teknik

langsung dan tidak langsung (unattended service) atau self guide interpretive.

Teknik tidak langsung merupakan penyampaian materi yang dilakukan tanpa

kehadiran interpreter, namun dengan menggunakan alat bantu yang berupa media

atau sarana interpretasi dalam memperkenalkan obyek interpretasi. Media atau

sarana interpretasi yang digunakan adalah papan informasi dan galeri foto dan

poster, yang berisi materi jenis-jenis bambu yang menjadi bahan baku utama

pembuatan Angklung dan konservasi sumber daya bambu. Media atau sarana

interpretasi ini diletakkan pada kantor pengelola Saung Angklung Udjo, dipasang

di depan rumpun bambu yang tumbuh di Saung Angklung Udjo sesuai kebutuhan.

Dengan program interpretasi ini, diharapkan akan meningkatkan pengetahuan,

pemahaman dan kesadaran (awareness) pengunjung mengenai konservasi bambu.

Pengelola akan mencintai sumber daya bambu sehingga akan diikuti dengan

upaya konservasi/ pelestarian sumber daya bambu yang menjadi tulang punggung

usaha Saung Angklung Udjo.

Pengunjung diajak menuju arboretum bambu dan diminta

mendeskripsikan perbedaan antara bambu Hitam (G. atrovioalaceae), bambu

Temen (G. atter), bambu Tali (G. Apus) dan Bambu Gombong (G.

pseudiarundinaceae). Deskripsi bambu meliputi batang, ruas, daun, warna batang.

Aktivitas untuk pengunjung anak-anak (usia <12 tahun) ialah meningkatkan

kemampuan kognitif dan psikomotoriknya melalui:

Permainan ilmiah : Mencocokkan gambar bambu Hitam, bambu Temen,

Bambu Tali dan Bambu Gombong dengan kartu yang bertuliskan nama latin

dari ketiga bambu tersebut

Permainan lima perbedaan : menyebutkan lima perbedaan dari Bambu Hitam,

Bambu Temen, Bambu Tali dan Bambu Gombong berdasarkan tipe daun, tipe

buluh, warna buluh dan bentuk akar.

Membuat herbarium daun Bambu dan mengkreasikan sehingga menjadi

pembatas buku yang cantik.

58

Aktivitas meningkatkan kemampuan afektif adalah melalui aktivitas

menonton bersama video pemanenan bambu di alam.

Pengunjung diajak untuk membedakan secara langsung berbagai jenis

bambu yang ada. Karakterisik batang, daun dan ciri khusus dari masing-masing

jenis bambu akan diperkenalkan kepada pengunjung sebagai bentuk edukasi.

Aktivitas menggambar beragam daun bambu atau mengawetkannya menjadi

herbarium juga dapat dijadikan aktivitas untuk memperkenalkan morfologi

bambu. Hasil herbarium dapat dibawa pulang sebagai bentuk penghargaan dan

apresiasi bagi peserta. Aktivitas penutup dari program ini adalah melakukan

penanaman bambu sebagai bentuk pelestarian kesenian angklung.

8 CONTOH RENCANA PENGEMBANGAN FASILITAS

Fasilitas yang akan dikembangkan direncanakan sarat dengan nuansa

alam, khususnya sumber daya bambu. Hal ini untuk memperkuat ikatan (bonding)

pengunjung dengan bambu. Saung Angklung Udjo yang sudah memiliki

kelengkapan fasilitas cukup dikembangkan dengan nuansa dan ciri khas bambu.

Fasilitas yang akan dikembangkan antara lain: penyediaan papan interpretasi,

leaflet, peta jalur interpretasi.

Pusat Informasi

Ruang ini menjadi pusat bagi pengunjung dalam memperoleh informasi

mengenai obyek dan tema interpretasi yang terdapat di Saung Angklung Udjo.

Pusat informasi dilengkapi dengan peta lokasi Saung Angklung Udjo, peta zona

kegiatan, leaflet dan booklet mengenai sejarah angklung, jenis bambu yang ada di

lokasi serta sebuah perpustakaan mini dimana pengunjung dapat membaca

beragam pustaka mengenai bambu dan angklung. Dalam suatu pusat

informasi/pusat display perlu ditunjukkan perkembangan dan sejarah angklung

dari jaman dulu hingga masa kini. Nada asli hingga nada gubahan dari Daeng

Soetigna yang sekarang menjadi nada dari angklung Saung Udjo. Selain itu perlu

ditunjukkan jenis bambu yang digunakan dalam membuat angklung jaman dulu

hingga masa kini, proses produksi hingga upaya konservasi bambu.

Papan Interpretasi

Papan Interpretasi menjadi salah satu bagian yang menarik pengunjung

untuk mengetahui lebih jauh suatu obyek. Papan interpretasi yang akan dibuat

antara lain adalah papan informasi dan papan penunjuk arah. Papan informasi

yang akan dibuat tidak hanya menyebutkan nama dan nama latin dari suatu jenis

bambu namun akan ditambahkan dengan kegunaan dan asal dari bambu tersebut

(gambar 36). Ada jenis bambu tertentu yang lebih cocok untuk dijadikan bahan

bangunan karena memiliki serabut yang tebal. Hal ini akan memacu pengunjung

untuk mengenali dan mencari tahu lebih jauh mengenai hal tersebut.

Papan interpretasi memuat materi yang terdiri dari 2 tema interpretasi

yaitu: (1) Karakteristik bambu merupakan tulang punggung (backbone) Saung

59

Angkung Udjo, dan (2) Konservasi sumber daya bambu. Kedua tema tersebut

selanjutnya dijabarkan dalam bentuk pesan yang akan disampaikan kepada

pengunjung.

Gambar 36 Rencana Papan Interpretasi

Arboretum Bambu

Arboretum bambu di Saung Angklung Udjo berfungsi sebagai konservasi

ex-situ yang bertujuan menjaga dan membudidayakan semua jenis bambu yang

menjadi bahan baku utama pembuatan angklung untuk memberikan informasi

pengetahuan dan pendidikan bagi pengunjung.

Media Publikasi

Media publikasi yang dikembangkan berupa leaflet, brosur dan poster

yang memperkenalkan bambu dan fungsinya dengan bahasa yang mudah

dimengerti dan menarik perhatian pengunjung. Brosur dan leaflet akan tersedia

ditempat-tempat strategis seperti tempat pertunjukan, saung-saung hingga di

mushola. Poster mengenai bambu juga akan ditempatkan di ruang souvenir.

9 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Perencanaan interpretasi yang dibuat di Saung Angklung Udjo ialah

interpretasi berbasis konservasi bambu sebagai bahan baku angklung.

Ketertarikan pengunjung untuk mengenal lebih jauh tentang program interpretasi

60

berbasis konservasi bambu di Saung Angklung Udjo merupakan potensi bagi

pengelola untuk mengembangkan program wisata berbasis konservasi bambu

sebagai bahan baku angklung. Program interpretasi ini diarahkan untuk

meningkatkan apresiasi pengunjung terhadap konservasi dan keberadaan bambu

sebagai bahan baku angklung.

Perlu adanya integrasi perencanaan interpretasi wisata konservasi bambu ke

dalam rencana pengelolaan Saung Angklung Udjo sehingga dapat

mengoptimalkan pengenalan bambu sebagai bahan baku utama angklung.

Peningkatan promosi dan informasi terkait program wisata konservasi bambu

sebagai bahan baku angklung untuk memaksimalkan pengelolaan bambu sebagai

bahan baku angklung dengan tetap memperhatikan kelestariannya diharapkan

menjadi bagian dari bentuk sosialisasi meningkatkan pemahaman pengunjung

yang datang ke Saung Angklung Udjo

Saran

Perencanaan interpretasi di Saung Angklung Udjo merupakan interpretasi

yang berbasi pada konservasi bambu sebagai bahan baku angklung. Salah satu

bentuk konservasi bambu dengan upaya budidaya bambu khususnya jenis bambu

untuk angklung serta penggunaan metode tebang pilih untuk pengelolaan bambu

yang berkelanjutan. Sebagai pengelola, pihak Saung Angklung Udjo perlu

mengintegrasikan perencanaan interpretasi wisata konservasi bambu kedalam

rencana pengelolaan Saung Angklung Udjo sekaligus mendukung pemberdayaan

stakeholder dalam pelaksanaan perencanaan interpretasi wisata konservasi bambu

sebagai bahan baku angklung.

DAFTAR PUSTAKA

Alamendah Blog. 2011. Jenis-jenis Bambu di Indonesia. [internet]. [Diacu 2012

Mei 4]. Tersedia di: http://alamendah.org/2011/01/28/jenis-jenis-

bambu-di-indonesia/.

Alderson.W.T & Low S.P. (1985) Interpretation of Historic Site. Nashville, TN:

American Association for State and Local History.

Anneahira.com. 2000. Angklung Kanekes. [internet]. [Diacu 2013 Mei

29].Tersedia di http://www.anneahira.com/angklung-kanekes.htm.

Archer. D& Wearing S. 2003. Self, Space, and Interpretive Experience: The

Interactionism of Environmental Interpretation. Journal of

Interpretation Research Vol 8 No 1: Pages 7-23

Bamboo the Giant Grass. 1991.[internet]. [Diacu 2013 Februari 6]. Tersedia di

http://www.bambooland.com.au/Information/Bamboo-the-giant-grass

Bamboo Terminology. 1991. [internet].[Diacu 2013 Maret 5]. Tersedia di

http://www.bambooland.com.au/Information/Bamboo-terminology

Departemen Kehutanan, 1990. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Direktorat Jenderal PHPA. 1988. Pedoman Interpretasi Taman Nasional.Proyek

Pengembangan Taman Nasional dan Hutan Wisata. Bogor

61

Environmental Bamboo Foundation Holland, 1996.Bamboo : The Alternative for

Tropical Timber. The Environmental Bamboo Foundation Journal

No.1.

Environmentally Fiendly. 1991. [internet]. [Diacu 2013 Maret 12]. Tersedia di

http://www.bambooland.com.au/Information/Environmentally-

friendly

Fathony, T.2011. Research and Development on Bamboo and Other NTFPs in

The Ministry of Forestry, Indonesia. Gintings, A.Ng., Wijayanto, N.

(Eds.). Proceedings of International Seminar: Strategies and

Challenges on Bamboo and Potential Non Timber Forest Products

(NTPs) Management and Utilization. 23-24 November 2011, Bogor,

Indonesia.Bogor (ID): Centre for Forest Productivity Improvement

Research and Development. hlm 1-10

Ganjar, K. 2003. Deskripsi Kesenian Jawa Barat. Bandung (ID): Dinas

Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung.

Gigantochloa apus. 1991. [internet]. [Diacu 2013 Januari 3]. Tersedia di

http://www.bambooland.com.au/Bamboo/Gigantochloa-apus

Gigantochloa pseudoarundinacea (Steudel) Widjaja. 2010. [internet]. [Diacu

2012 Mei 6].Tersedia

dihttp://www.bambubos.com/index.php?page=gigantochloa-

pseudoarundinacea-steudel-widjaja.

Gigantochloa atroviolaceae. 1991. [internet]. [Diacu 2013 Januari 14]. Tersedia

di http://www.bambooland.com.au/Bamboo/Gigantochloa-

atroviolaceae

Gigantochloa Awi Temen. 1991. [internet]. [Diacu 2013 Juni 18]. Tersedia di

http://www.bambooland.com.au/Bamboo/Gigantochloa-Awi-Temen

Ham, S.H. 1992. Environmental Interpretation :A Practical guide for People with

Big Ideas and Small Budgets. Fulcrum Publishing Golden, Colorado.

Heriyaningtyas. 2009. Metode Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta.

Irawan B, Rahayuningsih S.R, Kusmoro J. 2006. Keanekaragaman Jenis Bambu

di Kabupaten Sumedang Jawa Barat. Universitas Padjajaran.

Bandung

Jonkhart, J. 2011. Importance of Bamboo and Rattan in International Market:

Strategy and Challenges on Bamboo and Potential Non Timber Forest

Product Management and Utilization. Gintings, A.Ng., Wijayanto, N.

(Eds.). Proceedings of International Seminar: Strategies and

Challenges on Bamboo and Potential Non Timber Forest Products

(NTPs) Management and Utilization. 23-24 November 2011, Bogor,

Indonesia.Bogor (ID). Centre for Forest Productivity Improvement

Research and Development. hlm 11-44

Knapp D, Benton G. M. 2004. Elements to Successful Interpretation: A Multiple

Case Study of Five National Parks.Journal of Interpretation, Volume

9, Number 2.

Lewis, W.1980.Interpreting for Park Visitors. USA: Eastern Acorn Press.

Mary, A.H. 1997. Workbook for Planning Interpretive Projects in California State

Parks. Interpretation Section, Parks Service Division, California State

Parks, www.parks.ca.gov.

62

Membuat Angklung. 2012. [internet]. [Diacu 2012 Agustus 15]. Tersedia di

http://www.angklung-udjo.co.id/id/angklung/making-angklung/

Model Desa Konservasi. 2009. [internet]. [Diacu 2012 Juni 18]. Tersedia di

http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/5107

Moscardo, G.1998. Interpretation and Sustainable Tourism: Function, examples,

and principles. The Journal of Tourism Studies Vol 9 No1. May 1998

:Pages 1-12.

Mullins, G.W. 1979. Plan Ahead for Interpretation. Environmental Interpretation

Workshop, TVA/Murray State University. Golden Pond, Kentucky.

Muntasib, E.K.S.H. 2003. Interpretasi Wisata Alam. Institut Pertanian Bogor.

Nandika D, Matangaran J.R, Darma I.G.K.T. 1994. Keawetan dan Pengawetan

Bambu. Didalam: Widjaya E, Rifai M, Subiyakto B, Nandika D,

editor. Strategi Penelitian Bambu Indonesia.Sarasehan Penelitian

Bambu Indonesia ; 1994 Juni 21-22; Serpong, Indonesia. Serpong

(ID): Yayasan Bambu Lingkungan Lestari. hlm 112-116

Nuriyatin, N. 2000. Studi Analisa Sifat-Sifat Dasar Bambu pada Beberapa

Tujuan. Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Pearce P.L, Moscardo G. 2007. An Action Research Appraisal of Visitor Center

Interpretation and Change.Journal of Interpretation, Volume 12,

Number 1

Pearce, P.L. 2004.The Function and Planning of Visitor Centers in Regional

Tourism.The Journal of Tourism Studies Vol 15 No 1.May 2004:

Pages 1-10

Povey K.D, Rios J. 2002. Using Interpretive Animals to Deliver Affective

Messages in Zoos. Journal of Interpretation Volume 7 Number 2.

Pertunjukan Bambu Petang. 2012. [internet]. [Diacu 2012 Maret 14]. Tersedia di:

http://www.angklung-udjo.co.id/id/attraction/art-performance/.

Pradini, S. 2002. Perencanaan Interpretasi Biota Air di Suaka Margasatwa Muara

Angke. Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Rifai, M.A. 1994. Ke Arah Keterpaduan Penelitian Bambu di Indonesia. Makalah

yang disampaikan pada Sarasehan Penelitian Bambu Indonesia,

Serpong 21-22 Juni 1994: 16-28.

Sharpe, G.W. 1982. Interpreting the Environment (2nd edition). John Willey

&Sons, Inc.

Sejarah Angklung. 2012. [internet]. [Diacu 2012 April 16]. Tersedia di

http://www.angklung-udjo.co.id/id/angklung/history-of-angklung/.

Sulthoni, A.1994.Permasalahn Sumber Daya Bambu di Indonesia.Didalam:

Widjaya E, Rifai M, Subiyakto B, Nandika D, editor. Strategi

Penelitian Bambu Indonesia.Sarasehan Penelitian Bambu Indonesia;

1994 Juni 21-22; Serpong, Indonesia. Serpong (ID): Yayasan Bambu

Lingkungan Lestari. hlm 30-35

Supardiman, B. 2007.Angklung.[internet]. [Diacu 2012 Februari 23].Tersedia di

http://angklung-web-institute.com/content/view/177/74/lang,en/.

Sutiyono.2006. Koleksi Jenis-jenis Bambu Pusat Penelitian dan Pengembangan

Hutan dan Konservasi Alam Bogor di Stasiun Penelitian Hutan

63

Arcamanik,Bandung. Makalah Penunjang disajikan pada Ekspose

Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi

SumberdayaHutan. Padang, 20 September 2006. Padang (ID).

Syafii, S. 2009. Udjo : Diplomasi Angklung. Bandung (ID): Grasindo

Untung K,Widjaja E, Garland L, Gustami, Indraningsih W.1998. Strategi

Nasional dan Rancang Tindak Pelestarian Bambu dan

Pemanfaatannya Secara Berkelanjutan di Indonesia.

Veverka, J. A. 1998. Planning Truly "Interpretive" Panels.In Interpretation –

theJournal for the Society of the Interpretation of Britain‟s Heritage.

February, 2008

Veverka, J.A.1994. Interpretive Master Planning: For parks, historic sites,

forests, zoos, and related tourism sites, for self-guided interpretive

services, for interpretive exhibits, for guided programs/tours. Falcon

Press

Tilden, F. 1977. Interpreting Our Heritage.3rd

Edn. Chapel Hill.The University of

North Carolina Press. New York.

TheMarketers.com. 2013. Marketing 3.0 Dibalik Filosofi Angklung.

[internet].[Diacu 2013 Mei 29]. Tersedia di http://the-

marketeers.com/archives/marketing-3-0-dibalik-filosofi-

angklung%E2%80%A6-2.html

Widjaya, E.A 1990. Pemanfaatan Sumber daya Bambu di Indonesia :Prospek

Penelitian dan Pengembangannya dalam Sastrapradja, D., Alfian,

Rifai, M.A & Kahar (Penyunting). Risalah Kongres Ilmu Pengetahuan

Nasional Iv. Buku III. Dimensi Sumber Daya alam :99-116

Widjaja, E. A. 2001(a). Identikit Jenis-jenis Bambu di Kepulauan Sunda Kecil.

Puslitbang Biologi LIPI. Bogor.

Widjaja, E. A. 2001(b). Identikit Jenis-jenis Bambu di Jawa. Puslitbang Biologi

LIPI. Bogor.

Widjaja, E. A., N. W. Utami dan Saefudin. 2004. Panduan Membudidayakan

Bambu. Puslitbang Biologi LIPI. Bogor.

Wiles R, Hall T.E.2005. Can Interpretive Messages Change Park Visitors‟Views

on Wildland Fire?Journal of Interpretation, Volume 10, Number 2.

Winter, P.L. 2006.The Impact of Normative Message Types on Off-Trail Hiking.

Journal of Interpretation, Volume 11, Number1.

Wong, KM. 2004. Bamboo The Amazing Grass : A Guide to Diversity and Study

of Bamboos in Southeast Asia. Malaysia: International Plant Genetic

Resources Intitute.

Xingcui, D. 2011. Bamboo cultivation and Processing Industries in China.

Gintings, A.Ng., Wijayanto, N. (Eds.). Proceedings of International

Seminar: Strategies and Challenges on Bamboo and Potential Non

Timber Forest Products (NTPs) Management and Utilization. 23-24

November 2011, Bogor, Indonesia. Bogor (ID). Centre for Forest

Productivity Improvement Research and Development. hlm 45-70

64

Zuhud, E.A.M. 2008. Mengembangkan Multisistem Silvikultur dengan

Pendekatan Holistik Tri Stimulus AMAR (Alamiah, Manfaat, Religius)

Pro Konservasi. IPB.

Zuhud, E.A.M. 2011. Pengembangan Desa Konservasi Hutan Keanekaragaman

Hayati untuk Mendukung Kedaulatan Pangan dan Obat Keluarga

(POGA) Indonesia dalam Menghadapi Ancaman Krisis Baru Ekonomi

Dunia di Era Globalisasi. Orasi Ilmiah Guru Besar dalam rangka Dies

Natalis IPB ke -48. IPB Press. Bogor. Indonesia

Zuhud Eam, K Sofyan, Lb Prasetyo, H Kartodihardjo. 2007. Sikap Masyarakat

dan konservasi, Suatu Analisis Kedawung (Parkia timoriana (DC)

Merr.) sebagai stimulus tumbuhan Obat bagi Masyarakat , Kasus di

Taman Nasional Meru Betiri. Media Konservasi, Jurnal Ilmiah Bidang

Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Lingkungan. Vol XII/No. 2

September 2007.

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banyuwangi pada tanggal 5 Oktober 1986 sebagai

anak sulung dari pasangan Pitoyono M.Pd dan Wiwik Nuryati S.Pd. Pendidikan

sarjana ditempuh di Program Studi Biologi dan Pendidikan Biologi, Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang, lulus pada

tahun 2009. Kesempatan untuk melanjutkan ke program master di Program Studi

Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan pada Program Pascasarjana IPB

diperoleh pada tahun 2010.

Penulis bekerja di Perusahaan Swasta yang bergerak di bidang investasi

Pengelolaan Pariwisata Alam di Kawasan Konservasi milik Kementerian

Kehutanan. Penulis pernah menjadi volunteer World Ecotourism Conference yang

dilaksanakan di Sihanoukville, Kamboja 3-5 Oktober 2011. Penulis juga aktif

dalam keorganisasian BEST (Bogor Ecotourism and Sustainable Tourism).

Artikel yang berjudul Perencanaan Interpretasi Berbasis Konservasi Bambu

sebagai Bahan Baku Angklung di Saung Angklung Udjo sedang dalam proses

review oleh Tim Redaksi Jurnal Masyarakat, Kebudayaan, Politik Unair. Karya

ilmiah yang berjudul Interpretive Planning Based on Bamboo Conservation as

Angklung Raw Material at Saung Angklung Udjo sedang dalam proses review

untuk disajikan dalam 3rd

Regional Conference of Tourism Research di Langkawi,

Malaysia pada bulan Oktober 2013. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari

program S-2 penulis.