PERENCANAAN INTERPRETASI BERBASIS KONSERVASI BAMBU
SEBAGAI BAHAN BAKU ANGKLUNG
DI SAUNG ANGKLUNG UDJO
PANCA OKTAWIRANI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perencanaan Interpretasi
Berbasis Konservasi Bambu di Saung Angklung Udjo adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2013
Panca Oktawirani
NIM E 352100031
ABSTRAK
PANCA OKTAWIRANI. Perencanaan Interpretasi Berbasis Konservasi Bambu
di Saung Angklung Udjo. Dibimbing oleh E.K.S. HARINI MUNTASIB dan
ERVIZAL A.M. ZUHUD.
Saung Angklung Udjo, salah satu pusat pelestarian angklung di Jawa Barat,
berkepentingan untuk menjaga kelestarian keempat jenis bambu (bambu Hitam,
bambu Gombong, bambu Temen, dan bambu Tali) sebagai bahan baku angklung
sekaligus menyampaikan informasi kepada pengunjung untuk mengenal sumber
daya tersebut. Penelitian ini bertujuan menyusun rencana interpretasi yang
berbasis konservasi bambu sebagai bahan baku angklung di Saung Angklung
Udjo. Metode yang dikembangkan menggunakan metode deskriptif kualitatif
dengan pendekatan perencanaan interpretasi Sharpe yaitu menuliskan tujuan,
mengumpulkan informasi, menganalisa, memadukan alternatif yang ada,
pelaksanaan program, evaluasi, dan perbaikan. Data yang dikumpulkan berupa
data primer dan data sekunder yang meliputi jenis dan karakteristik bambu, proses
pengolahan bambu menjadi alat musik angklung, dan upaya konservasi yang
dapat melibatkan pengunjung di Saung Angklung Udjo. Data dikumpulkan
melalui observasi, studi literatur, dan wawancara dengan tiga informan dan 50
responden. Kondisi kawasan dan data yang diperoleh digunakan sebagai bahan
untuk membuat perencanaan interpretasi di Saung Angklung Udjo. Terdapat
empat jenis bambu yang digunakan sebagai bahan baku angklung yaitu bambu
hitam (Gigantochloa atroviolaceae), bambu gombong (Gigantochloa
pseudoarundinaceae), bambu temen (Gigantochloa atter), dan bambu tali
(Gigantochloa apus). Keempat jenis bambu tersebut memiliki sifat fisik dan
anatomi yang cocok sebagai angklung. Pengadaan bambu sebagai bahan baku
angklung masih diperoleh melalui pengambilan dari alam dan belum dilakukan
budidaya yang intensif. Kondisi ini mempengaruhi keberadaan keempat jenis
bambu yang semakin sulit ditemukan. Konservasi jenis bambu sebagai bahan
baku angklung perlu dilakukan sebagai upaya mempertahankan keberadaan jenis
bambu dan kesenian angklung. Pengelola dan mitra petani (pemanen) perlu
melakukan upaya konservasi bambu. Salah satu upaya yang dapat dilakukan
pengelola Saung Angklung Udjo yaitu menyampaikan informasi terkait jenis dan
karakteristik bambu, upaya pengolahan bambu menjadi angklung serta upaya
konservasi bambu kepada pengunjung yang datang ke Saung Angklung Udjo.
Bentuk perencanaan interpretasi yang dikembangkan berupa program dan fasilitas
interpretasi berbasis konservasi bambu sebagai bahan baku angklung. Program
dan papan interpretasi yang dikembangkan diarahkan untuk meningkatkan
apresiasi pengunjung terhadap konservasi bambu sebagai bahan baku angklung.
Kata kunci: interpretasi, konservasi bambu, saung angklung udjo
ABSTRACT
PANCA OKTAWIRANI. Interpretive Planning Based on Bamboo Conservation
as Angklung Raw Material at Saung Angklung Udjo. Supervised by E.K.S.
HARINI MUNTASIB and ERVIZAL A.M. ZUHUD
Saung Angklung Udjo is one of the conservation of angklung where focused
in West Java, It concerned to preserve the four types of bamboo (Black bamboo,
Gombong bamboo, Temen bamboo, and Tali bamboo) which identified as
angklung raw materials also to communicate information to visitors to get to
know these resources. This study aims to develop a conservation plan based
interpretation of bamboo as a raw material at Saung Angklung Udjo. The method
was developed using qualitative descriptive methods to approach the
interpretation of Sharpe is make objective, collection information, analysing,
synthesis, plan, implementation, evaluation & revision, and feedback. Data were
collected in the form of primary and secondary data including the type and
characteristics of bamboo, bamboo processing into a musical instrument
angklung, and conservation efforts that may involve visitors in Saung Angklung
Udjo. Data were collected through observation, study of literature, and interviews
with three informants and 50 respondents. The data obtained is used to make
planning interpretation at Saung Angklung Udjo. There are four types of bamboo
used as angklung raw materials namely black bamboo (Gigantochloa
atroviolaceae), gombong bamboo (Gigantochloa pseudoarundinaceae), temen
bamboo (Gigantochloa atter), and Tali bamboo (Gigantochloa apus). Fourth
bamboo has physical properties and anatomy suitable as an angklung musical
instrument. Procurement bamboo as angklung raw material was obtained by
taking from nature and has not done the intensive cultivation. This condition
affects the existence of four types of bamboo are increasingly rare. Conservation
bamboo species as angklung raw material needs to be done in order to maintain
the existence and type of angklung art. Business partners and farmer (harvesters)
have bamboo conservation efforts. One effort can to do Saung Angklung Udjo
managers through the delivery of information related to the type and
characteristics of bamboo, bamboo processing effort into conservation efforts
bamboo to the visitor. Forms of interpretation that was developed in the form of
plans and programs based interpretation facilities conservation angklung bamboo
as raw material. Program and interpretation boards are developed to enhance the
appreciation of visitors directed to the conservation of bamboo as angklung raw
material.
Keywords:conservation of bamboo, interpretation, saung angklung udjo
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan
PERENCANAAN INTERPRETASI BERBASIS KONSERVASI
BAMBU SEBAGAI BAHAN BAKU ANGKLUNG
DI SAUNG ANGKLUNG UDJO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PANCA OKTAWIRANI
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012 ini ialah
Perencanaan Interpretasi, dengan judul Perencanaan Interpretasi Berbasis
Konservasi Bambu sebagai Bahan Baku Angklung di Saung Angklung Udjo.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr E.K.S Harini Muntasib
dan Bapak Prof Dr Ir Ervizal A.M. Zuhud selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir
Naresworo Nugroho selaku dosen penguji. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada pengelola Saung Angklung Udjo yang telah membantu selama
pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu,
suami, teman-teman MEJ 2010, serta seluruh kerabat, atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2013
Panca Oktawirani
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ....................................................................................................... i
DAFTAR TABEL ............................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iv
1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
Latar Belakang ............................................................................................. 1
Perumusan Masalah ..................................................................................... 2
Tujuan Penelitian ......................................................................................... 2
Manfaat Penelitian ....................................................................................... 2
Kerangka Teori ............................................................................................ 3
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 4
Pengertian Interpretasi ................................................................................ 4
Perencanaan Interpretasi ............................................................................. 5
Teknik Interpretasi ...................................................................................... 6
Program Interpretasi .................................................................................... 7
Makna Konservasi ....................................................................................... 8
Tri Stimulus AMAR Konservasi Bambu untuk Angklung .......................... 9
3. METODE PENELITIAN ............................................................................. 21
Waktu dan Lokasi ....................................................................................... 21
Alat dan Bahan ............................................................................................ 21
Metode Penelitian ....................................................................................... 21
4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ....................................... 26
Sejarah Saung Angklung Udjo (SAU) ........................................................ 26
Letak, Luas, dan Status SAU ...................................................................... 27
Aksesibilitas SAU ....................................................................................... 27
Profil Pengelola SAU .................................................................................. 28
5. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 31
Program Wisata di Saung Angklung Udjo .................................................. 31
Profil Pengunjung ....................................................................................... 33
Proses Pengolahan Bambu menjadi Angklung ........................................... 35
Upaya Konservasi Bambu sebagai Bahan Baku Angklung ......................... 42
6. PERENCANAAN INTERPRETASI BERBASIS KONSERVASI
BAMBU SEBAGAI BAHAN BAKU ANGKLUNG ................................ 44
Tujuan dan Sasaran Interpretasi ................................................................... 44
Program Interpretasi ..................................................................................... 47
Obyek, Tema dan Materi Interpretasi .......................................................... 47
Teknik Interpretasi ....................................................................................... 49
7. CONTOH PROGRAM INTERPRETASI: MENGENAL BAMBU
SEBAGAI BAHAN BAKU ANGKLUNG ................................................. 49
Program Pengenalan Bambu sebagai Bahan Baku Angklung ..................... 50
Program Pengenalan Jenis dan Karakteristik Bambu sebagai Bahan
Baku Angklung ............................................................................................ 56
8. CONTOH RENCANA PENGEMBANGAN FASILITAS ........................ 58
Pusat Informasi ............................................................................................ 58
Papan Interpretasi ........................................................................................ 58
Arboretum Bambu ..................................................................................... 59
ii
Media Publikasi ........................................................................................... 59
9. SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 59
Simpulan ...................................................................................................... 59
Saran ........................................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 60
iii
DAFTAR TABEL
1. Perbedaan Sifat Bambu Hitam (G. atroviolaceae Widjaja) Bambu
Temen (G. atter Hassk) Bambu Tali (G. Apus (J.A&J.H Schultes Kurz)
dan Bambu Gombong (G. Pseudoarundinaceae) ...................................... 18
2. Jenis Data Penelitian ................................................................................... 22
3. Stratifikasi Responden ................................................................................ 24
4. Saung Angklung Udjo dari waktu ke waktu ................................................ 26
5. Perencanaan Interpretasi Berbasis Konservasi Bambu sebagai Bahan
Baku Angklung di Saung Angklung Udjo ................................................... 46
6. Obyek, Tema, dan Materi Interpretasi di Saung Angklung Udjo ................ 48
7. Skenario Cerita ............................................................................................. 51
iv
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka Teori Penelitian ........................................................................ 4
2 Fase Perencanaan Interpretasi (Berdasarkan Bardley 1982 dalam
Sharpe, 1982) ............................................................................................. 5
3 Diagram Alir “tri stimulus amar pro-konservasi”: stimulus, sikap, dan
perilaku aksi konservasi ............................................................................. 10
4 Bambu Hitam (G. atroviolaceae) .............................................................. 14
5 Bambu Temen (G. atter)............................................................................ 15
6 Bambu Tali (G. apus) ................................................................................ 16
7 Morfologi Rebung Bambu Gombong (G. pseudoarundinaceae) .............. 17
8 Bambu Gombong (G. pseudoarundinaceae) ............................................. 17
9 Angklung Buncis ....................................................................................... 19
10 Lokasi Penelitian ....................................................................................... 21
11 Bagan Perencanaan Interpretasi berbasis Konservasi Bambu sebagai
Bahan Baku Angklung ............................................................................... 25
12 Papan Nama SAU yang berada di muka Jalan Padasuka .......................... 27
13 Struktur Organisasi Saung Angklung Udjo ............................................... 29
14 Bale Karesmen ........................................................................................... 30
15 Buruan Sari Asih........................................................................................ 31
16 Fasilitas yang ada: (a) Saung, Tempat Alternatif untuk Berkumpul
Bersama Keluarga , dan (b) Pusat Produksi Angklung ............................. 31
17 Beberapa Rangkaian Acara: (a) Wayang Golek dan (b) Helaran ............. 32
18 Motivasi Pengunjung ke SAU ................................................................... 33
19 Program Wisata yang dipilih Pengunjung ................................................. 33
20 Pemahaman Pengunjung terhadap Proses Pembuatan Angklung ............. 34
21 Pemahaman Pengunjung terhadap Jenis Bambu sebagai Bahan Baku
Angklung ................................................................................................... 34
22 Pemahaman Pengunjung mengenai Konservasi Bambu ........................... 35
23 Bambu yang baru dipanen ........................................................................ 37
24 Ilustrasi Pengawetan dan Pengeringan Bambu dengan Metode
Pengasapan ................................................................................................ 37
25 Proses Pengawetan Bambu dengan Metode Perendaman ......................... 38
26 Pengeringan Bambu Secara Vertikal ......................................................... 39
27 Bakalan Angklung ..................................................................................... 39
28 Tabung Angklung ...................................................................................... 40
29 Proses Perakitan Angklung ........................................................................ 40
30 Angklung yang telah distem ...................................................................... 41
31 Finishing Tabung Angklung ...................................................................... 42
32 Arah Program Interpretasi (Interpretive Direction) .................................. 51
33 Skema Program Interpretasi ...................................................................... 52
34 Morfologi Angklung .................................................................................. 54
35 Jenis Bambu sebagai Bahan Baku Angklung ............................................ 54
36 Rencana Papan Interpretasi........................................................................ 59
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Angklung merupakan alat musik multitonal (bernada ganda), terbuat dari
bambu dan dibunyikan dengan cara digoyangkan. Angklung berkembang dan
menjadi salah satu filosofi hidup masyarakat Jawa Barat. Menurut karuhun urang
sunda/sejarah masyarakat Sunda, kehidupan manusia diibaratkan seperti tabung
angklung. Angklung bukanlah sebuah angklung apabila ia hanya terdiri dari satu
tabung saja, layaknya manusia yang tidak dapat hidup sendiri melainkan harus
bersosialisasi (Sejarah Angklung 2012). Angklung menjadi populer sejak
November 2010, ketika terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan
Nonbendawi Manusia (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of
Humanity) oleh UNESCO.
Bambu sebagai bahan baku angklung belum mendapatkan perhatian secara
intensif dari pengguna bambu yang memanfaatkannya sebagai bahan baku
angklung khususnya dalam konservasi bambu. Bambu yang digunakan sebagai
bahan baku angklung masih diperoleh dari alam dan belum dibudidayakan secara
massal. Diantara berbagai jenis bambu, Bambu Hitam (Gigantochloa
atroviolaceae Widjaja), Bambu Gombong (Gigantochloa pseudoarundinacea
(Steud) Widjaja), Bambu Temen (Gigantochloa atter (Hassk.) Kurz, dan Bambu
Tali (Gigantochloa apus (J.A. & J.H. Schultes) Kurz tercatat memiliki
karakteristik yang sesuai untuk dijadikan sebagai bahan baku angklung (Nuriyatin
2000).
Saung Angklung Udjo (SAU) merupakan salah satu lokasi yang
mengembangkan budaya dan kesenian angklung di Jawa Barat. Sejak berdiri
tahun 1966, Saung Angklung Udjo terus berupaya memperkenalkan angklung
kepada masyakat luas bahkan sudah mencatatkan diri dalam Guiness World of
Record karena memainkan angklung sebanyak 5.182 buah dengan peserta multi-
bangsa. Jumlah pengunjung di Saung Angklung Udjo terus meningkat dari tahun
ke tahun. Selain menawarkan pertunjukan angklung, Saung Angklung Udjo juga
memproduksi angklung untuk dijual hingga ke mancanegara.
Saung Angklung Udjo sudah memiliki manajemen terkait pelayanan
pengunjung namun belum mengembangkan suatu pelayanan yang berguna untuk
mengarahkan dan meningkatkan rasa keingintahuan pengunjung dalam mengenal
dan memahami peranan bambu sebagai bahan baku utama angklung khususnya
dalam aspek pelestarian bambu.
Interpretasi didefinisikan sebagai suatu kegiatan atau suatu usaha
menciptakan pemahaman serta menunjukkan arti dan hubungan antara seseorang
dengan alam lingkungannya dengan menggunakan obyek yang terdapat
dikawasan tersebut dengan menggunakan media ilustratif serta melalui
pengalaman langsung dilapangan (Tilden 1977; Alderson&Low 1985;
Moscardo1998). Beragam penelitian mengenai program interpretasi tidak hanya
mendukung upaya konservasi dan pengelolaan kawasan melainkan juga
meningkatkan kepuasan dan kenyamanan pengunjung (Moscardo 1998;
Pearce&Moscardo 2007; Povey&Rion2002; Wiles 2005). Oleh karena itu perlu
2
disusun suatu perencanaan interpretasi yang berbasis pada konservasi bambu
sebagai bahan baku angklung di Saung Angklung Udjo.
Perumusan Masalah
Sebagai salah satu lokasi wisata budaya di Bandung Timur, pengelolaan
Saung Angklung Udjo masih terbatas pada penyediaan paket pertunjukan dan
kesenian angklung. Paket kunjungan tersebut berupa aktivitas menyaksikan
pertunjukan angklung yang dimainkan oleh anak-anak binaan Saung Angklung
Udjo yang dinamakan Bamboo Afternoon/Bambu Petang. Bamboo Afternoon
merupakan atraksi wisata yang terdiri dari tari-tarian, pertunjukan angklung
hingga pelibatan pengunjung dalam memainkan angklung.
Pengadaan bambu sebagai bahan baku angklung masih diperoleh secara
langsung dari alam dan belum dilakukan budidaya bambu secara intensif. Kondisi
ini menjadikan keempat jenis bambu semakin sulit ditemukan. Konservasi jenis
bambu sebagai bahan baku angklung perlu dilakukan sebagai upaya
mempertahankan keberadaan jenis dan kesenian angklung. Pengelola Saung
Angklung Udjo mempunyai kewajiban untuk melestarikan jenis bambu yang
digunakan sebagai bahan baku angklung sekaligus mengajak dan memberikan
pemahaman kepada pengunjung yang datang untuk memahami pentingnya
konservasi jenis bambu untuk angklung.
Interpretasi merupakan jembatan untuk menyampaikan keistimewaan
bambu sebagai sumber daya khususnya sebagai bahan baku angklung kepada
pengunjung. Informasi terkait karakteristik, proses pengolahan bambu menjadi
angklung, dan upaya konservasi bambu dapat disampaikan melalui interpretasi
yang dapat diwujudkan dalam bentuk program dan papan interpretasi. Pengelola
Saung Angklung Udjo belum menyiapkan informasi dan program wisata yang
berkaitan dengan bambu sebagai bahan baku utama angklung. Kenyataan tersebut
merupakan peluang bagi pengelola untuk mengenalkan dan meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang konservasi bambu sebagai bahan baku utama
angklung sekaligus memberikan pengalaman yang berkualitas bagi pengunjung
Saung Angklung Udjo.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menyusun rencana interpretasi yang berbasis
konservasi bambu sebagai bahan baku angklung.di Saung Angklung Udjo.
Manfaat Penelitian
1. Menjadi salah satu contoh pengelolaan lokasi wisata yang berbasis pada
konservasi sumber daya
2. Memberi pengetahuan dan pengalaman yang berkualitas kepada pengunjung
di Saung Angklung Udjo akan peranan bambu terhadap angklung.
3. Membangun keterlibatan pengunjung untuk ikut melestarikan sumber daya
bambu.
3
4. Bahan masukan bagi pengelola dalam mengoptimalkan manajemen di Saung
Angklung Udjo agar tercapai pemanfaatan dan pengelolaan bambu jangka
panjang
Kerangka Teori
Tingginya permintaaan bambu, khususnya jenis Bambu Hitam (G.
atroviolaceae), Bambu Gombong (G. pseudoarundinacea), Bambu Temen (G.
atter), dan Bambu Tali (G. apus) berdampak pada pemanenan bambu dari alam
(Fathony 2011; Irawan et al. 2006; Jonkhart 2011). Di sisi lain, penanaman
bambu lebih diutamakan jenis Bambu Duri (Bambusa blumeana) dan Bambu
Betung (Dendrocalamus asper) untuk industri pulp dan sumpit (Widjaja 1990).
Oleh sebab itu, perlu adanya upaya konservasi jenis-jenis bambu sebagai bahan
baku angklung dalam upaya menjamin keberadaan angklung sebagai warisan
dunia.
Sebagai destinasi wisata dan lokasi workshop angklung, Saung Angklung
Udjo merupakan salah satu pihak yang berkewajiban untuk melestarikan bambu,
khususnya jenis bambu sebagai bahan baku angklung. Sebagian besar pengunjung
Saung Angklung Udjo datang untuk melihat pertunjukan angklung sehingga
potensi dan peranan bambu sebagai bahan baku angklung belum banyak diketahui
pengunjung. Pihak pengelola berperan untuk menyampaikan peranan bambu dan
pentingnya upaya konservasi bambu sebagai bahan baku angklung kepada
pengunjung. Untuk itu perlu upaya memperkenalkan peranan bambu dalam
kesenian angklung melalui sebuah interpretasi. Melalui perencanaan interpretasi,
bambu dapat disusun menjadi materi program wisata yang bermanfaat dan
mendidik pengunjung. Berikut kerangka teori penelitian yang tersaji pada Gambar
1 berikut ini.
4
Gambar 1 KerangkaTeori Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Interpretasi
Penggunaan interpretasi sebagai bentuk komunikasi dalam kegiatan wisata
telah umum dijumpai di berbagai negara sepanjang abad kedua puluh. Akar dari
bidang interpretasi dapat ditelusuri dan ditemukan di Amerika dan Eropa pada
abad kesembilan belas. Hal ini diikuti dengan pertumbuhan dalam studi mengenai
sumber daya alam, perencanaan wisata melalui penggunaan pusat informasi alam
dan taman naturalis (Sharpe 1982).
Penyediaan informasi merupakan hal yang umum dalam mendukung
pengelolaan dan pengembangan wisata. Umumnya penyampaian informasi
terdapat di museum, kebun binatang, lokasi bersejarah hingga kawasan konservasi
(Muntasib 2003). Proses penyampaian informasi atau mendidik pengunjung dapat
didefinisikan sebagai interpretasi (Moscardo 1998). Interpretasi telah dikenal
sebagai layanan kepada pengunjung (Pearce&Moscardo 2007), dan pendekatan
untuk komunikasi (Ham 1992). Archer&Wearing (2003) mendefinisikan
interpretasi sebagai kegiatan menjelaskan dan merancang informasi tentang
sumber daya lokal bagi pengunjung dengan cara yang menarik. Veverka (1994)
Bambu sebagai Bahan Baku Angklung
(Prosea (1995) dalam Nuriyatin (2000)
Proses Pengolahan dan
Pemanfaatan Bambu menjadi
Angklung (stimulus manfaat)
Pengelola
Karakteristik Fisik, Biologis, Mekanik
Akustik Bambu (Widjaja 2001a+b)
(stimulus alamiah)
Tri Stimulus AMAR Konservasi Bambu
(Zuhud et al. 2007)
Perencanaan Interpretasi Berbasis
Konservasi Bambu sebagai Bahan
Baku Angklung
Pengunjung
5
juga menyatakan bahwa interpretasi adalah proses komunikasi yang dirancang
untuk mengungkapkan makna dan hubungan budaya dan warisan alam kepada
masyarakat (pengunjung) melalui tangan pertama pengalaman dengan obyek,
artefak, lanskap, atau lokasi.
Meski kedatangan pengunjung ke tempat rekreasi untuk berwisata dan
atau mencari inspirasi tetapi pengunjung juga mempunyai keinginan untuk
mengenal tempat yang dikunjungi. Poo (1993) dalam Moscardo (1998)
menyatakan perubahan trend menunjukkan bahwa program yang berbasis pada
pendidikan, konservasi, dan meningkatkan pengalaman dan pengetahuan
pengunjung lebih diminati. Interpretasi dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran
yang lebih luas terhadap lingkungan (Archer&Wearing 2003). Belajar hal-hal
yang baru dan meningkatkan pengetahuan menjadi motivasi terbesar yang
diminati dan dipilih pengunjung. Jika pengunjung semakin mencari unsur
pendidikan dalam aspek perjalanannya, maka interpretasi menjadi bagian integral
yang harus ada di lokasi wisata (Moscardo 1998).
Perencanaan Interpretasi
Komponen penting bagi perencanaan program interpretasi adalah 1)
pengunjung, 2) prosedur penyampaian informasi (Sharpe 1982). Komponen
pengunjung meliputi latar belakang, perilaku dan sikap, dan karakteristik spesial
pengunjung. Karakteristik spesial pengunjung meliputi umur, tingkat pendidikan,
dan ketertarikan khusus. Interpretasi mampu mengakomodasi berbagai
karakteristik spesial dari pengunjung. Berdasarkan Sharpe (1982) dalam
menyusun sebuah interpretasi, perlu perencanaan yang spesifik. Proses
perencanaan harus interaktif dan terus menerus. Langkah-langkah dalam
merencanakan sebuah interpretasi terdapat pada Gambar 2 di bawah ini.
Gambar 2 Fase Perencanaan Interpretasi (Bradley dalam Sharpe 1982)
Fase perencanaan interpretasi terdiri dari menuliskan tujuan,
mengumpulkan informasi, menganalisa, memadukan alternatif yang ada,
pelaksanaan program, evaluasi dan perbaikan (Sharpe 1982). Penjabaran dari
tahap tersebut adalah:
Masukan
Umpan
Balik
Tujuan Inventarisasi &
Pengumpulan
Data
Analisis Sintesis Peren
canaan Penerapan
Evaluasi&
Revisi
6
a. Tujuan
Tujuan adalah panduan untuk melakukan tindakan spesifik yang diperlukan
dalam sebuah perencanaan. Perumusan tujuan merupakan sasaran yang ingin
dicapai dalam perencanaan interpretasi
b. Inventarisasi
Tahap inventarisasi adalah tahap mengidentifikasi lokasi untuk menemukan
sumber daya serta kekhasan dari lokasi tersebut yang meliputi aspek fisik,
biologis, dan sosial budaya. Inventarisasi yang baik sangat diperlukan untuk
memberikan sebuah data dasar dalam perencanaan interpretasi.
c. Analisis
Data yang diperoleh dalam inventarisasi harus menggambarkan kondisi yang
ada di lokasi. Data kemudian dianalisis secara deskriptif dengan penyajian
dalam bentuk tabulasi. Dalam analisis data, informasi yang didapatkan harus
diuji dan dievaluasi sehingga menghasilkan potensi, permasalahan, dan
pemecahan masalah yang dilanjutkan pemilihan obyek interpretasi serta lokasi
interpretasi (site) untuk pengembangan rencana interpretasi yang disusun.
d. Sintesis
Tahap ini merupakan tahap memadukan berbagai alternatif kegiatan dan
mengidentifikasi implikasinya. Rencana interpretasi mengadopsi potensi
sumber daya dengan kebutuhan pengunjung.
e. Perencanaan
Pada tahap ini merupakan tahap melengkapi semua aspek dan rencana yang
diperoleh sekaligus pendugaan dan dampak implementasi.
f. Evaluasi dan Perbaikan Rencana
Kegiatan monitoring dan pemantauan diperlukan untuk melihat potensi
keberhasilan dan keberlanjutan suatu rencana yang dibuat sehingga tujuan
yang diinginkan dapat tercapai. Evaluasi dilakukan terkait dampak program
terhadap para pengguna dan dampak fasilitas yang dibangun terhadap sumber
daya.
Beberapa prinsip untuk merancang interpretasi yang efektif antara lain: (1)
merancang pengalaman interpretasi yang berbeda, (2) menyediakan komunikasi
personal dengan pengunjung, (3) melatih partisipasi pengunjung, (4) menciptakan
konten yang jelas, (5) memungkinkan untuk pengunjung alternatif yang bukan
sasaran utama (Knapp&Benton 2004; Muscardo 1998). Ham (1992)
mengemukakan empat ide utama yang menjadi pendekatan dalam interpretasi
yaitu: (1) pleasurable atau menyenangkan, (2) relevant atau menghubungkan, (3)
organized atau mengatur, dan (4) has a theme atau mempunyai tema.
Teknik Interpretasi
Veverka (1998) mengklasifikasikan teknik interpretasi menjadi beberapa
jenis. Teknik interpretasi tidak selalu berupa guided tour, namun dapat berupa
ucapan, musik pengiring kedatangan pengunjung, pola-pola ubin, penataan
ruangan hingga hal-hal yang meningkatkan ketertarikan pengunjung serta
menciptakan ikatan (bonding) antara pengunjung dengan destinasi. Beberapa
teknik intrepretasi antara lain : Visitor Center, Education Center, Display and
Exhibits, Publication, Website, Self guided trails.
7
Sharpe (1982) menyampaikan interpretasi terdiri dari dua teknik yaitu (1)
Teknik secara langsung (attended service), dan (2) Teknik secara tidak langsung
(unattended service).
1. Teknik secara langsung (Attended Service)
Teknik secara langsung (attended service) yaitu kegiatan interpretasi yang
melibatkan langsung antara interpreter dan pengunjung dengan obyek interpretasi
yang ada sehingga pengunjung dapat secara langsung melihat, mendengar atau
bila mungkin mencium, meraba dan merasakan obyek-obyek intrepretasi yang
dipergunakan dan biasanya dengan tahap-tahap pelaksanaan sebagai berikut:
Informasi; pengunjung akan mendapatkan informasi tentang obyek yang akan
dikunjungi.
Rencana kegiatan pelaksanaan program akan dijelaskan pada suatu sentra
pengunjung, jadi pengunjung sudah lebih dulu mengetahui program
interpretasi yang dipilih dan garis besar rencana perjalanannya.
Penyampaian uraian-uraian; dilakukan oleh interpreter pada saat
melaksanakan program interpretasinya.
Dengan adanya kontak antara pengunjung dengan interpreter maka
terdapat suatu komunikasi langsung sehingga peran interpreter sangat besar untuk
dapat mengungkapkan semua potensi dalam suatu kawasan secara menarik.
Interpreter yang baik harus dapat membuat suasana yang santai sehingga
pengunjung akan dapat bebas bertanya ataupun dapat mengutarakan keluhan-
keluhannya. Pengunjung akan merasa penting jika dilibatkan dalam suatu program
interpretasi (Knapp&Benton 2004).
2. Teknik secara tidak langsung (Unattended Service)
Teknik secara tidak langsung (unattended service) yaitu kegiatan
interpretasi yang dilaksanakan dengan menggunakan alat bantu dalam
memperkenalkan obyek interpretasi. Interpretasi disajikan dalam suatu program
slide, video, film, ataupun rangkaian gambar-gambar. Program ini biasanya
diselenggarakan terutama untuk kawasan yang sangat luas sehingga tidak semua
potensi alam mudah dinikmati atau didatangi (daerahnya rawan, satwa liar masih
banyak) sehingga walaupun tidak dapat mengunjungi semua lokasi tetapi
pengunjung dapat mengetahui dan menikmati kekayaan alam yang ada di
kawasan tersebut. Program interpretasi secara tidak langsung ini juga harus
dibuat menarik dan dapat mewakili potensi alam yang ada di tempat tersebut.
Kedua teknik diatas sebenarnya tidak dapat dipisahkan begitu saja karena
biasanya pengunjung yang datang ke suatu kawasan yang mempunyai potensi
besar dan luas ingin melihat dulu secara keseluruhan potensi alam yang ada
ditempat-tempat tersebut, baru setelah itu melihat salah satu atau beberapa
program interpretasi yang ditawarkan.
Program Interpretasi
Menurut Sharpe (1982), program interpretasi adalah pengetahuan dari
seluruh usaha interpretasi, yaitu mencakup personil, fasilitas, dan seluruh kegiatan
interpretasi, kelembagaan serta tempat wisata tersebut. Menurut Ditjen PHPA
(1988), program interpretasi merupakan suatu pola pelaksanaan interpretasi
menurut waktu dan skenario cerita tertentu pula. Skenario cerita interpretasi
8
adalah garis-garis besar cerita yang mencakup materi interpretasi sebagai bahan
yang digunakan untuk menyusun suatu program interpretasi dan menjadi isi dan
maksud dari program interpretasi tersebut.
Program interpretasi yang disusun haruslah informal dan dalam suasana
yang santai (Ham 1992). Program membantu pengunjung untuk menyelaraskan
kebutuhan rekreasi dan ekspetasi akan sumber daya yang ada sekaligus memberi
dampak terhadap tingkah laku pengunjung secara langsung. Hal ini menunjukkan
bahwa interpretasi memberi makna secara langsung (Wearing 2009). Manfaat dari
segi pendidikan bagi pengunjung adalah kesempatan untuk belajar, meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman akan lingkungan serta mendorong penemuan
personal (self discovery).
Dalam merancang suatu program interpretasi ada beberapa prinsip yang
harus diperhatikan, seperti yang telah dikemukakan oleh Tilden (1977) sebagai
berikut :
1. Suatu interpretasi yang tidak ada kaitannya antara yang diperagakan dengan
apa yang diuraikan akan merupakan suatu hal yang sia-sia
2. Informasi atau penerangan bukanlah interpretasi. Interpretasi adalah suatu
ungkapan berdasarkan informasi-informasi. Dalam interpretasi dimasukkan
unsur-unsur informasi
3. Interpretasi adalah suatu seni yang menggabungkan bermacam-macam seni,
baik bersifat ilmiah, sejarah atau arsitektur, suatu seni yang pada suatu
tingkatan tertentu dapat dianjurkan kepada orang lain
4. Cara menyampaikan interpretasi bukan dengan perintah tetapi pancingan atau
persuasi (dorongan)
5. Interpretasi bermaksud menunjukkan sesuatu secara keseluruhan dan bukan
potongan-potongan informasi
6. Interpretasi bagi anak-anak bukan penyederhanaan bagi orang dewasa.
Makna Konservasi
Konservasi berasal dari conservation yang terdiri atas kata con (together)
dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian “upaya memelihara apa yang
kita punya (keep/save what you have) namun secara bijaksana (wise use). Konsep
ini pertama kali dikemukakan oleh Theodore Roseevelt (1902) dalam Model Desa
Konservasi (2009) yang merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan
tentang konsep konservasi. Konservasi dalam pengertian sekarang diterjemahkan
sebagai the wise use of nature resources (pemanfaatan sumber daya alam secara
bijaksana). Makna konservasi merupakan pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan yang bertanggungjawab, berkelanjutan, dan berkeseimbangan (Zuhud
2011).
Azas konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya adalah pelestarian
kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara
serasi dan seimbang. Tujuan dari konservasi adalah terpeliharanya proses ekologis
yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Kegiatan konservasi meliputi tiga hal,
yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan jenis tumbuhan dan
9
satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
(Departemen Kehutanan 1990).
Pemanfaatan dan konservasi bambu telah menjadi perhatian bagi negara-
negara di Asia, khususnya Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Tenggara (Wong,
2004). Konservasi bambu seperti halnya dengan konservasi pada tanaman lain
didasarkan pada spesies yang memiliki manfaat ekonomi dan spesies yang
tergolong langka dan endemik. Seiring dengan meningkatnya penggunaan bambu,
penebangan bambu terus meningkat. Pemanenan yang dilakukan secara tidak
beraturan dikhawatirkan akan menyebabkan kerusakan. Pengambilan secara terus
menerus tegakan alami bambu tanpa penanaman kembali berdampak pada
kepunahan. Oleh karena itu diperlukan adanya usaha konservasi bambu, baik di
lokasi tumbuh alaminya (in-situ) maupun di luar lokasi pertumbuhannya (ex-situ)
(Widjaja 2001).
Pemerintah telah menyiapkan strategi dan rancang tindak untuk
melindungi dan melestarikan potensi serta fungsi keanekaragaman hayati bambu
dan jasa lingkungan yang tersedia secara berkelanjutan (Untung et al. 1998).
Upaya mendorong program pengelolaan bambu dengan menjamin keseimbangan
antara pelestarian keanekaragaman hayati bambu dan pemanfaatannya secara in-
situ dan ex-situ. Pelestarian bambu dilakukan melalui kegiatan penanaman di
hutan alam dan kebun koleksi untuk mempertahankan keberadaan berbagai jenis
bambu baik yang endemik maupun yang eksotik dengan semua sumber
genetiknya.
Salah satu konsep mengenai pengelolaan konservasi jangka panjang
disampaikan oleh Zuhud (2008) yaitu konsep tri stimulus AMAR konservasi.
Konsep tristimulus AMAR konservasi terdiri dari tiga nilai yang menstimulus
seseorang atau suatu pihak untuk melakukan upaya konservasi. Tiga nilai tersebut
adalah nilai Alamiah, nilai MAnfaat, dan nilai Rela-religius. Stimulus alamiah
didefinisikan nilai-nilai kebenaran alam, fakta-fakta, fenomena-fenomena dan
sinyal-sinyal alam yang harus disikapi serta diperlakukan sesuai dengan karakter
setiap spesies sumberdaya alam hayati. Stimulus MAnfaat diartikan nilai-nilai
kepentingan untuk manusia, terutama berguna bagi keberlanjutan hidup fisiologis
manusia, diantaranya manfaat ekonomi, sandang, obat dan sebagainya. Adapun
stimulus Rela-religius bermakna nilai-nilai kebaikan terutama yang ganjarannya
dipercaya dan diyakini anugerah dari Sang Pencipta Alam. Stimulus ini antara
lain: nilai spiritual, nilai agama yang universal, dosa, pahala, norma, etika,
termasuk kearifan sosial budaya masyarakat tradisional. Stimulus ini mampu
mendorong masyarakat untuk rela berkorban melakukan aksi konservasi dan
mencegah aksi yang bertentangan dengan konservasi. Konservasi akan terwujud
dengan syarat apabila ketiga kelompok stimulus sudah mengkristal menjadi
pendorong sikap dan aksi masyarakat untuk konservasi.
Tri Stimulus AMAR Konservasi Bambu untuk Angklung
Dalam konteks sistem nilai, terdapat tiga kelompok stimulus pro konservasi, yaitu
Alamiah, MAnfaat, dan Religius-rela yang merupakan kristalisasi dari nilai
kebenaran, kepentingan, dan kebaikan (Zuhud 2011). Kristalisasi tersebut
menjadi penggerak, penyeimbang, dan pengendali terwujudnya sikap dan perilaku
untuk aksi konservasi yang berkelanjutan secara konkret. Gambar berikut
10
menunjukkan diagram alir tiga kelompok stimulus sebgai pendorong sikap pro-
konservasi masyarakat.
Gambar 3 Diagram alir „tri stimulus amar pro-konservasi”: stimulus, sikap, dan
perilaku aksi konservasi (Zuhud, et al 2007)
Bio-Ekologi Bambu (Stimulus Alamiah)
Morfologi Bambu
Bambu merupakan tumbuhan dengan batang berbentuk buluh, beruas,
bercabang dan berimpang (Alamendah 2011). Bambu telah menjadi penghuni
bumi sejak 200.000.000 tahun yang silam. Jumlah jenis bambu yang ada di
seluruh dunia belum diketahui secara pasti. Menurut Widjaja (2001a) ada 1.200-
1.300 jenis bambu ada di dunia. Dari jumlah tersebut, ada 160 jenis bambu yang
tumbuh di Indonesia (Fathony 2011). Di Pulau Jawa diperkirakan hanya ada 60
jenis, 14 jenis diantaranya hanya tumbuh di Kebun Raya Bogor dan Cibodas
sedangkan 9 jenis merupakan endemik pulau Jawa (Widjaja 2001b).
Bambu menjadi bagian dari kehidupan dan budaya bangsa Asia (Wong,
2004). Bagi para botanist, keanekaragaman bambu menjadi sumber penelitian
yang mengagumkan,sedangkan fokus perhatian agronom yaitu membudidayakan
bambu, bagi pengelola sumber daya memastikan bambu dilestarikan dan diketahui
dengan baik, sedangkan keberadaan dan kelimpahan bambu menjadi fokus
perhatian para rimbawan. Bambu adalah salah satu jenis tumbuhan yang cepat
Tri-Stimulus Amar Prokonservasi
1. Stimulus Alamiah
Nilai-nilai kebenaran dari alam,
kebutuhan keberlanjutan sumber
daya alam hayati sesuai dengan
karakter biologisnya (jenis,
morfologi, habitat, usia, pola
pemanenan, proses pengawetan
bambu)
2. Stimulus Manfaat
Nilai-nilai kepentingan untuk
manusia: manfaat ekonomi, manfaat
sosial, budaya, ekologis
(angklung, bahan bangunan, rebung,
kertas)
3. Stimulus Religius-rela
Nilai-nilai religius, kebaikan, nilai
spiritual, kearifan budaya, kepuasan
batin
Sikap
Konservasi
Cognitive
Persepsi,
pengetahuan,
pengalaman,
pandangan,
keyakinan
Affective
Emosi, cinta
Overt action
Kecenderungan
bertindak
Perilaku
Pro
Konservasi
Konservasi
terwujud di
dunia nyata
11
tumbuh dan dapat mencapai ketinggian maksimum 30 meter dalam waktu 2-4
bulan dengan rata-rata pertumbuhan harian sekitar 20-100 cm dan diameter 5-15
cm (Bamboo the Giant Grass 1991; Ueda (1960) dalam Jonkhart 2011). Dalam
beberapa bulan, batang bambu mampu mencapai pertumbuhan maksimal. Rata-
rata waktu pertumbuhan bambu untuk mencapai usia dewasa sekitar 3-6 tahun
(Xingcui 2011).
Bambu memiliki batang yang tumbuh di dalam tanah yang disebut
rimpang (rhizome) dan buluh (culm) untuk bagian rimpang yang tumbuh ke atas
membentuk rebung (Widjaja 2001; Wong 2004). Rimpang membentuk sistem
percabangan yang dapat dipakai untuk membedakan kelompok bambu. Ada dua
macam sistem percabangan rimpang yaitu pakimorf (dicirikan oleh rimpangnya
yang simpodial), leptomorf (dicirikan oleh rimpangnya yang monopodial). Di
Indonesia jenis-jenis bambu asli umumnya mempunyai sistem rimpang pakimorf,
yang dicirikan oleh ruasnya yang pendek dengan leher yang pendek juga
(Bamboo Terminology 1991).
Rebung merupakan bambu muda yang muncul dari permukaan dasar
rumpun atau rizhom. Pada awalnya berbentuk tunas yang pertumbuhannya lambat
dan dalam perkembangannya berbentuk kerucut yang merupakan bentuk
permulaan dari perkembangan batang. Rebung muncul pada musim hujan yang
laju pertumbuhannya sangat tergantung dari jenis bambunya (Bamboo
Terminology 1991; Environmental Bamboo Foundation Holland1996). Rebung
tumbuh dari kuncup akar rimpang di dalam tanah atau dari pangkal buluh tua.
Rebung selalu ditutupi oleh pelepah buluh yang juga tumbuh memanjang
mengikuti perpanjangan ruasnya (Widjaja 2001b).
Buluh berkembang dari rebung, tumbuh sangat cepat dan mencapai tinggi
maksimum dalam beberapa minggu. Buluh terdiri atas ruas dan buku-buku. Selain
berbeda dalam panjang buluhnya beberapa jenis tertentu mempunyai diameter
buluh yang berbeda. Marga Dendrocalamus mempunyai diameter buluh tebesar
diikuti oleh jenis-jenis dari marga Gigantochloa dan Bambusa (Widjaja 2001).
Buluh memiliki pelepah yang merupakan hasil modifikasi daun yang menempel
pada setiap ruas. Pelepah buluh sangat penting fungsinya yaitu menutupi buluh
ketika muda. Saat buluh tumbuh dewasa dan tinggi pada beberapa jenis bambu
pelepahnya luruh tetapi jenis lain pelepahnya tetap menempel (Widjaja 2001).
Pelepah buluh terdiri atas daun pelepah buluh, kuping pelepah buluh dan ligula
(sambungan antara pelepah buluh).
Batang bambu terdiri atas tiga bagian yaitu kulit, kayu dan bagian
empulur. Kulit bambu adalah bagian terluar dari penampang lintang dinding
batang, empulur adalah bagian batang yang berdekatan dengan rongga bambu
yang tidak mengandung ikatan vaskular. Bagian kayu pada bambu adalah bagian
diantara kulit dan empulur (Widjaya 2001b).
Percabangan pada umumnya terdapat di atas buku-buku. Cabang dapat
digunakan sebagai ciri penting untuk membedakan marga bambu. Pada marga
Bambusa, Dendrocalamus dan Gigantochloa sistem percabangan memiliki satu
cabang yang lebih besar daripada cabang lainnya yang lebih kecil. Cabang lateral
bambu yang tumbuh pada batang utama, biasanya berkembang ketika buluh
mencapai tinggi maksimum.
Daun pada tanaman bambu diasumsikan dalam dua bentuk dengan fungsi
berbeda. Daun yang berwarna hijau dan berperan dalam fotosintesis dan selubung
12
daun (culm sheaths) yang berfungsi membungkus ruas batang yang masih muda
dan umumnya akan berubah warna dari hijau menjadi coklat kekuningan
(Bamboo Terminology 1991; Wong 2004). Helai daun bambu mempunyai tipe
pertulangan yang sejajar seperti rumput, dan setiap daun mempunyai tulang daun
utama yang menonjol. Daunnya biasanya lebar, tetapi ada juga yang kecil dan
sempit seperti pada bambu cendani (Bambusa multiplex) dan bambu siam
(Thyrsostachys siamensis). Helai daun dihubungkan dengan pelepah oleh tangkai
daun.
Siklus Hidup Bambu
Bambu mampu tumbuh di cuaca yang panas seperti di Kepulauan Nusa
Tenggara hingga iklim yang bercurah hujan tinggi seperti Bandung (Sulthoni,
1994). Semakin tinggi curah hujan, semakin beragam jenis bambu yang tumbuh.
Bambu juga mampu tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 2.000 m dpl.
Bahkan bambu dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah (Sutiyono2006).
Siklus hidup tanaman bambu dimulai seperti tanaman lain, bertunas dari
biji dan mengeluarkan pucuk pertamanya untuk membentuk suatu batang. Seperti
kebanyakan rerumputan, bambu tumbuh dan berbunga, menghasilkan biji dan
mati. Cabang tunas ini nantinya akan membantuk akar dan menghasilkan rizoma
dan batang bambu baru. Batang bambu memiliki rongga dan dibatasi oleh node
(buku) tempat tumbuhnya ranting dan daun bambu. Batang tersebut mengeluarkan
daun untuk memulai proses fotosintesis. Batang pertama dari suatu rumpun
ukurannya dibatasi oleh kapasitas fotosintesis dari rumpun baru. Pada proses
fotosintesis ini, batang-batang yang lebih kecil hingga yang sudah cukup besar
membantu batang-batang yang baru mencapai ketinggian maksimal (Sutiyono
2006).
Pola Pertumbuhan Bambu
Bambu secara umum dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok
menyebar (running) dan merumpun (clumping). Jenis yang merumpun (clumping)
menyebarkan tunas – tunas barunya dekat dengan tangkainya (culm), sementara
kelompok yang menyebar (running) menyebarkan tunasnya sejauh 30 meter dari
tangkainya (culm), biasanya sejauh tingginya batang. Kebanyakan spesies tropis
seperti yang ditemukan di Indonesia adalah kelompok yang merumpun
(clumping), sementara kelompok yang menyebar (running) hanya terbatas di
daerah yang lebih dingin seperti di Cina (Sutarno 1996 dalam Erizal 1997).
Penanaman Bambu
Bambu dapat tumbuh melalui biji, pemotongan atau pembagian rumpun.
Karena bambu sangat jarang berbunga, biasanya dikembangbiakkan secara
vegetatif dan kultur jaringan. Bambu jenis menjalar, biasanya dikembangkan
dengan potongan rizomanya. Sedangkan bambu rumpun biasanya
dikembangbiakkan dengan potongan batang bambu yang menyertakan ruas yang
memiliki bakal tunas. Spesies bambu mempunyai waktu yang lama untuk
berbunga dan susah bertunas dari biji (tingkat pertumbuhan hanya dibawah 1%).
Jenis tanaman bambu yang kecil (diameter < 5 cm) ditanam dengan memisahkan
rumpun sedangkan jenis yang lebih besar (> 15 cm) dengan metode pemotongan.
13
Cara yang paling umum dalam penyebaran spesies bambu besar adalah
dengan memotong dan dikubur (burying cuttings) secara horizontal, dimana 3
atau 4 bongkol bambu dengan panjang sekitar 6 inci dikubur dibawah tanah pada
permulaan musim hujan. Lubang – lubang dipotong ditengah antara bongkol, dan
setiap segmen diisi dengan air sebelum dikubur. Tunas-tunas baru kemudian akan
terbentuk dari setiap tangkal bongkol (nodal joints) (Sutiyono 2006).
Jenis dan Karakteristik Bambu untuk Angklung
Bambu yang dipergunakan sebagai bahan baku angklung sebagai berikut :
Bambu Gombong(G. Pseudoarundinacea)
Bambu Hitam atau Awi Hideung(G. Atroviolacea)
Bambu Temen atau Awi Temen(G. Atter)
Bambu Tali atau Awi Tali(G. Apus)
Keempat jenis bambu tersebut merupakan bambu yang paling baik sebagai
bahan baku angklung karena keempat bambu tersebut memiliki pola distribusi
serabut yang lebih merata. Kelemahan bambu antara lain :
a. Elastisitas bambu/sifat menyusut dan mengembang
Pengaruh cuaca atau iklim setempat dapat menyebabkan perubahan nada
yang telah terbentuk pada Angklung. Nada yang dihasilkan dapat menjadi lebih
tinggi apabila bambu mengerut dan menjadi rendah apabila bambu mengembang.
Besar kecilnya elastisitas bambu tergantung kepada kepadatan bambu yang
bersangkutan. Apabila bambu itu kurang padat, maka elastisitasnya akan menjadi
lebih besar dan mudah sekali berubah karena pengaruh iklim. Namun jika bambu
memiliki distribusi serat yang cukup padat, maka elastisitasnya akan kecil
Perubahan elastisitas dapat diperbaiki dengan melakukan penyeteman kembali.
b. Bambu menjadi retak/pecah karena perubahan iklim yang drastis
Perubahan suhu berpengaruh terhadap kerusakan bambu. Bambu akan
mudah retak bahkan pecah jika berada pada suhu lingkungan yang tinggi.
Sedangkan pada suhu yang dingin, bambu akan mengerut sehingga
mempengaruhi nada yang telah ditala.
c. Bambu menjadi hancur karena dimakan organism perusak
Rayap adalah hama alami dari segala jenis tumbuhan bambu. Rayap
memakan zat selulosa yang terdapat pada bambu. Rayap menyerang bagian kulit
dalam dan kulit luar bambu. Rayap yang menyerang bambu dapat berasal dari
larva yang terdapat di dalam bambu ataupun rayap yang berasal dari luar. Hama
yang menyerang bambu adalah serangga bubuk kering dan rayap kayu kering
(Nandika et al. 1994). Penanganan rayap secara alami adalah dengan cara
menghilangkan/mengurangi kandungan zat selulosa yang terdapat didalam
bambu. Proses pengasapan dan perendaman pada sungai yang memiliki arus yang
deras merupakan cara yang diyakini dapat mengurangi kandungan zat selulosa
yang terdapat pada bambu. Dengan perkembangan teknologi, beragam obat anti
rayap diyakini dapat membunuh rayap dengan efektif.
Bambu Hitam (G. atroviolacea)
Bambu Hitam umum dikenal dengan pring wulung (Jawa), awi hideung
(Sunda). Sinonim dari G. verticillata tersebar hanya di Pulau Jawa, namun telah
14
diintroduksi dibeberapa tempat di luar Jawa. Habitat bambu hitam di daerah
kering dan tanah berkapur (Widjaja 2001).
Ciri Bambu Hitam memiliki batang berwarna hitam sampai hitam
keunguan seperti yang terlihat pada gambar 4. Di beberapa tempat juga sering
dijumpai warna hitam/ ungunya agak bercampur dengan hijau. Ruas-ruas sedikit
membengkok pada buku. Percabangan dimulai dari buku bagian tengah sampai
ujung, terdapat akar-akar aereal di buku-buku bagian bawah. Tinggi batang dapat
mencapai 12 meter dengan diameter 11 cm. Deskripsi klasifikasi Bambu Hitam
adalah sebagai berikut:
kingdom : Plantae (Tumbuhan).
subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
super divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
sub kelas : Commelinidae
ordo : Poales
famili : Poaceae (suku rumput-rumputan)
genus : Gigantochloa
spesies : Gigantochloa atroviolacea
Gambar 4 Bambu Hitam (G. atroviolaceae) (Sumber :Gigantochloa
atroviolaceae 1991)
15
Bambu Temen (G. atter)
Sinonim dari Bambusathouarsii Kunth memiliki nama lokal awi temen
(Sunda) atau pring Legi (Jawa). Bambu Temen atau Ater tumbuh tersebar di Jawa
dan daerah lain di Indonesia. Bambu Temen tumbuh baik di habitat dengan
kondisi yang lembab, namun masih dapat tumbuh di dataran rendah maupun
dataran tinggi.
Gambar 5 Bambu Temen (Sumber: Gigantochloa Awi Temen 1991)
Rebung berwarna hijau dan tertutup oleh bulu hitam seperti tersaji pada
Gambar 5. Umumnya digunakan untuk membuat angklung calung. Selain sebagai
alat musik bambu, bambu temen juga digunakan untuk membuat sumpit, tusuk
gigi dan tiang penyangga pada rumah bambu (Widjaja 2001). Klasifikasi dari
Bambu Temen sebagai berikut:
kingdom : Plantae (Tumbuhan)
subkingdom :Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
super divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
sub kelas : Commelinidae
ordo : Poales
famili : Poaceae (suku rumput-rumputan)
genus : Gigantochloa
spesies : Gigantochloa atter
Bambu Tali (G. apus)
Bambu Tali (Gambar 6) atau umum dikenal dengan pring apus (Jawa) atau
awi tali (Sunda) tumbuh di seluruh Jawa, namun tumbuh meliar di Taman
Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Meru Betiri (Widjaya 1990).
Kegunaan Bambu Tali untuk kerajinan tangan, bahan baku industri papan serat
serta kesenian angklung. Klasifikasi dari Bambu Tali sebagai berikut :
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
super divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
16
divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
sub kelas : Commelinidae
ordo : Poales
famili : Poaceae (suku rumput-rumputan)
genus : Gigantochloa
spesies : Gigantochloa apus
Gambar 6 Bambu Tali (Sumber:Gigantochloa apus 1991)
Bambu Gombong (G. pseudoarundinacea)
Bambu Gombong (G. pseudoarundinacea) adalah salah satu jenis bambu
yang banyak terdapat di Indonesia. Bambu Gombong berukuran besar berwarna
hijau kekuningan hingga hiijau muda, diameter rata-rata adalah 12 cm, tetapi
ukurannya bisa mencapai lebih besar dari itu. Ukurannya yang besar
menjadikannya sebagai bambu yang paling banyak dipergunakan sebagai “tiang”
pada konstruksi rumah, saung, bangsal dan lain-lain bangunan dengan komponen
utama bambu. Tinggi Gombong rata-rata adalah 12 meter dan bisa lebih dari itu,
tergantung usia dan kesuburan tanaman.
Klasifikasi dari Bambu Gombong (G. pseudoarundinacea) sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
super divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
sub kelas : Commelinidae
ordo : Poales
famili : Poaceae (suku rumput-rumputan)
genus : Gigantochloa
spesies : Gigantochloa pseudoarundinacea
17
Gambar 7 Morfologi Rebung Bambu Gombong(G. pseudoarundinacea)
(sumber: Gigantochloa pseudoarundinacea 1991)
Rebung bambu Gombong berwarna coklat karena diselimuti oleh bulu
(Gambar 6), tinggi bambu gombong mencapai 7-30 m (batang berbulu tebal dan
tebal dinding batang hingga 2 cm), jarak buku hingga 40- 45 cm (Gigantochloa
pseudoarundinacea (Steudel) Widjaja 2010).
Bambu Gombong tumbuh di habitat tanah liat berpasir/tanah berpasir
dengan ketinggian hingga 1200 m di atas permukaan laut dengan curah hujan per
tahun 2350-4200 mm, temperatur 20-32 derajat C dengan tingkat kelembaban
relatif sekitar 70% (Gambar 8).
Gambar 8 Bambu Gombong (G. pseudoarundinacea) (Sumber:
Gigantochloa pseudoarundinaeceae 1991)
18
Pemanfaatan Bambu sebagai Bahan Baku Angklung
Ditinjau dari segi pemanfaatannya, bambu dapat dipergunakan untuk
berbagai keperluan baik langsung maupun tidak langsung yang secara
keseluruhan mencerminkan tingkat variasi yang cukup tinggi (Nuriyatin, 2000).
Akar bambu dimanfaatkan menjadi ukiran, buluh bambu digunakan sebagai bahan
bangunan, jembatan, kerajinan tangan, keranjang, meubel, alat pertanian, pipa air,
kertas, sumpit, tusuk gigi hingga tusuk sate (Widjaja, 2001b). Masyarakat di
Indonesia mempergunakan bambu untuk konstruksi, perabotan, bahan baku
kertas, obat-obatan, tanaman penghijauan hingga alat musik.
Menurut Prosea (1995) dalam Nuriyatin (2000), jenis bambu yang cocok
dipergunakan untuk kepentingan peralatan musik terutama angklung adalah
Bambu Hitam (G. atroviolaceae/G. verticillata), Bambu Temen (G. atter),
Bambu Tali (G.apus), Bambu Gombong (G. pseudoarundinaceae), dan Bambu
Mayan (G. robusta/G. verticillata). Tidak semua jenis bambu dapat dipergunakan
sebagai bahan baku angklung. Hal ini disebabkan potensi/sifat-sifat dasar yang
dimiliki setiap jenis bambu berbeda. Sifat-sifat yang menentukan kegunaan
bambu sebagai angklung didasarkan pada sifat anatomi dan fisik dari bambu
tersebut.
Sifat fisik meliputi kadar air, berat jenis, susut lebar, susut tebal.
Sedangkan sifat anatomi didasarkan pada dimensi pori, tipe dan distribusi ikatan
vaskuler, dan panjang serabut (Tabel 1). Hal ini diperkuat dengan penelitian
Nuriyatin (2000) yang menyebutkan bahwa hasil pengolahan data ketiga bambu
dengan menggunakan metode Kruskal-Walis memberikan hasil bahwa bambu
Hitam (G. atroviolaceae Widjaja/G. verticillata) memiliki kualitas suara terbaik,
sedangkan bambu Tali (G. apus) menempati urutan kedua, dan bambu Temen (G.
atter) menempati urutan terakhir. Ketiga jenis bambu tersebut merupakan bambu
yang cocok sebagai bahan baku angklung karena memiliki pola distribusi serabut
yang lebih merata dibandingkan dengan bambu lain.
Bambu Hitam (G. atroviolaceae Widjaja/G. verticillata (Willd.) Munro)
memiliki ketebalan yang relatif lebih tipis dibanding dua jenis bambu yang lain.
Bambu Hitam (G. atroviolaceae/G. verticillata) juga memiliki kerapatan yang
tinggi dan ukuran serabut yang relatif lebih besar dibanding bambu lain. Hal ini
berdampak terhadap kualitas suara yang dihasilkan oleh Bambu Hitam yang lebih
nyaring.
Tabel 1 Perbedaan sifat Bambu Hitam (G. atroviolacea), Bambu Temen (G.
Atter), Bambu Tali (G. apus), Bambu Gombong (G. peudoarundinacea)
Sifat Bambu Bambu Hitam Bambu Temen
Bambu Tali&
Bambu
Gombong
Berat jenis 0,5 0,45 0.47
Kadar air kering udara 12,45 % 12,40 % 12, 38%
% Serabut 35 18 25
Pola penyebaran
kepadatan bahan (luar,
tengah, dalam)
Seragam Bagian luar dan tengah
seragam, sedangkan bagian
dalam lebih padat
Seragam
Sumber : Nuriyatin 2000
19
Alat Kesenian Angklung (Stimulus Manfaat)
Sejarah Perkembangan Angklung
Angklung adalah alat musik populer dari Jawa Barat. Tabung Suara,
kerangka dan dasar adalah tiga elemen dari alat musik Angklung. Secara
etimologis, Angklung berasal dari kata “angka” yang berarti nada dan “lung”
yang berarti putus atau hilang sehingga Angklung merujuk nada yang pecah atau
nada yang tidak lengkap sehingga memerlukan grup untuk dapat memainkan
sebuah lagu dengan angklung (Ganjar 2003).
Angklung dalam bentuk yang masih sederhana sudah dikenal masyarakat
Sunda sejak masa kerajaan. Angklung digunakan sebagai penyemangat dalam
pertempuran. Mitos kepercayaan keberadaan Nyai Sri Pohaci sebagai lambang
Dewi Kehidupan dianggap sebagai sejarah terciptanya angklung. Adanya bukti
tertulis pada tahun 1908, menunjukkan bahwa permainan angklung menjadi
bagian dari misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand(Sejarah Angklung 2012)
Ada beragam jenis angklung yang ada di Indonesia. Masyarakat Sunda
mengenal angklung Buncis yang digunakan dalam ritual penghormatan Dewi Padi
atau Nyai Pohaci seperti pada gambar 9. Masyarakat Baduy mengenal Angklung
Buhun atau lebih dikenal dengan angklung Kanekes. Kanekes merupakan desa
dimana upacara tradisonal dengan memainkan angklung dilaksanakan. Angklung
Dogdog Lonjor terdapat di daerah Sekitar Gunung Halimun Salak. Angklung ini
dimainkan setiap upacara seren tahun oleh masyarakat kasepuhan (Sejarah
Angklung 2012).
Gambar 9 Angklung Buncis (Sejarah Angklung 2012)
Filosofi Angklung
Angklung Gubrag yang dibuat di Jasingan Bogor merupakan angklung
tertua di Indonesia berusia 400 tahun. Menurut sejarah, Angklung Gubrag
digunakan untuk memikat Dewi Sri turun dari langit (bahasa Sunda = ngagubrag)
agar memberi berkah kesuburan pada padi. Karena itulah angklung ini dinamakan
Angklung Gubrag. Angklung ini dibuat pada abad ke-17 di Jasinga, Bogor. Pada
saat ini, beberapa angklung dari zaman dahulu masih tersimpan di Museum Sri
Baduga, Bandung.
Di perbatasan Cirebon dan Indramayu, tepatnya di Desa Bungko, terdapat
angklung yang diberi nama angklung Bungko. Angklung Bungko diyakini telah
20
berusia 600 tahun dan masih terawat dan dipelihara meskipun tidak lagi
digunakan. Angklung Bungko diciptakan oleh Syeh Bentong atau Ki Gede
Bungko, yaitu seorang pemimpin agama yang menggunakannya sebagai media
penyebaran agama Islam (Sejarah Angklung 2012)
Angklung merupakan manifestasi bahwa manusia sebagai makhluk sosial
harus bersosialisasi. Permainan angklung juga mengajarkan angklung akan
menghasilkan suara indah jika digerakkan bersama-sama. Bagian angklung yang
terdiri dari satu tabung tinggi dan satu tabung rendah merupakan metamorfosis
kehidupan manusia yang tumbuh dan berkembang. Kedua bagian tabung juga
mencirikan bahwa untuk menciptakan harmonisasi, kedua tabung harus
dibunyikan beriringan seperti halnya dengan manusia yang memerlukan kerja
sama dan saling mendukung untuk menciptakan kehidupan yang harmonis
(anneahira 2000; the marketers 2013).
Jenis-Jenis Angklung
Jenis angklung ada dua macam angklung yaitu angklung yang bertangga
nada pentatonik, dan angklung yang bertangga nada diatonik (Supardiman 2007).
Kedua jenis angklung tersebut sekaligus menunjukkan perbedaan bentuk dan
fungsinya. Angklung pentatonik adalah angklung tradisional, biasanya terdiri atas
dua atau tiga buah ruas (tabung) yang disusun/disatukan berjajar. Masing-masing
tabung mempunyai ketinggian sendiri dan berdiri pada lubang tabung bambu
bagian bawah, kemudian dikuatkan oleh dua buah tiang di kiri-kanan dan palang
yang menusuk bagian atas tabung.
Untuk memperkokohnya, pertemuan antara tiang dan palang diikat oleh
tali dari rotan. Ujung tiangnya ada yang berupa palang yang diratakan, dan ada
juga yang dilengkungkan disertai hiasan rumbai dari daun pelah. Jika angklung itu
memiliki dua tabung, maka tabung yang satu bernada lebih tinggi dan satunya
lebih rendah. Misalnya, tabung yang satu itu bernada a, maka tabung kedua
bernada a 1(oktav). Tabung yang lebih tinggi bernada tinggi, dan sebaliknya.
Angklung yang tersebar di berbagai wilayah Jawa Barat mempunyai latar
belakang dan fungsinya masing-masing. Oleh karena itu dikenal banyak sebutan
angklung, seperti angklung sered, angklung gubrag, angklung badeng, angklung
bungko, angklung buncis, angklung badud (Ganjar Kurnia 2003).
Angklung diatonik adalah angklung hasil modifikasi dari angklung
tradisional. Pemrakarsanya adalah Daeng Sutigna. Pada tahun 1938, Daeng
Soetigna, seorang guru Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Kabupaten
Kuningan, Jawa Barat melakukan modernisasi Angklung dari yang berskala
tangga nada pentatonis menjadi Angklung kompleks yang berskala tangga nada
diatonis. Angklung ini kemudian dikenal dengan nama Angklung Daeng atau
biasa disebut Angklung Padaeng dengan tangga nadanya mengacu pada tangga
nada musik Barat yaitu do, re, mi, fa, so, la, ti (Sejarah Angklung 2012).
Perbedaan Angklung tradisional dengan Angklung Daeng terdapat pada
skala tangga nada dan cara memainkannya. Angklung tradisional merupakan
Angklung renteng yang dimainkan oleh seorang pemain saja, sedangkan
Angklung Daeng dibuat untuk dimainkan bersama, di mana setiap pemain
memainkan hanya satu nada saja. Angklung Daeng lebih dikenal oleh masyarakat
dan identik dengan angklung nasional. (SejarahAngklung 2012).
21
3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan di Saung Angklung Udjo, Jalan Padasuka 116,
Bandung. Waktu penelitian dilakukan selama empat bulan yaitu mulai bulan
Februari-Mei 2012. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 10 di bawah ini.
Gambar 10 Lokasi Penelitian(Visit Us, 2012)
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: alat tulis,
kamera, panduan wawancara, Panduan Identifikasi Bambu di Indonesia yang
berupa Buku “Identikit jenis-jenis Bambu di Jawa” oleh Widjaja.
Metode Penelitian
Penelitian menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan
perencanaan interpretasi. Perencanaan interpretasi tersebut terdiri dari beberapa
tahap yaitu inventarisasi atau pengumpulan data, analisis data, sintesis dan
penetapan rencana interpretasi (Sharpe 1982).
22
Inventarisasi Data
Inventarisasi data dilakukan dengan mengumpulkan data yang berupa data
primer dan data sekunder.
Jenis Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua
jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah seluruh data yang
diperoleh dari kegiatan pemeriksaan (verifikasi), pengamatan di lapangan dan
wawancara. Data sekunder meliputi seluruh informasi yang berhubungan dengan
penelitian yang berasal dari studi literatur. Data primer yang diambil berupa data
mengenai jenis dan karakteristik bambu sebagai bahan baku angklung, proses
pemanfaatan bambu menjadi angklung, keterlibatan pengelola terkait pengelolaan
dan pelestarian bambu, pemahaman pengunjung mengenai jenis, proses
pemanfaatan bambu serta upaya pelestarian bambu sebagai bahan baku angklung.
sedangkan data sekunder berupa data kondisi umum Saung Angklung Udjo
sebagai lokasi penelitian. Secara lengkap, data yang telah dikumpulkan dalam
penelitian ini tersaji pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Jenis data penelitian
No. Kelompok Data Bentuk Data
Jenis Data Metode
Pengumpulan
Data
Primer Sekunder
1. Kondisi umum
lokasi penelitian
Letak dan luas
Sejarah dan status
Aksesbilitas
x
x
x
Studi Literatur
2. Bioekologi
Bambu (Stimulus
Alamiah)
Jenis bambu
Habitat bambu
Karakteristik fisik & biologis
bambu (bagian bambu yang
digunakan, sifat anatomi, fisik,
mekanik)
Asal bambu
x
x
x
x
x
x
x
x
Observasi,
Wawancara dan
Studi Literatur
3. Pemanfaatan
bambu sebagai
bahan baku
angklung (
Stimulus Manfaat)
Produksi bambu
Pemanenan (umur, proses)
Pengolahan
Budidaya
x
x
x
x
x
x
x
x
Observasi,
Wawancara dan
Studi Literatur
4. Persepsi
Masyarakat
terhadap
pelestarian bambu
Pengelola
Visi Misi
Program interpretasi yang
sudah ada
Program wisata yang terkait
dengan bambu
Sarana dan prasarana, obyek
yang menarik
Upaya pelestarian bambu
Upaya mengajak keterlibatan
pengunjung
Pengunjung
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
Wawancara dan
Studi Literatur
23
No. Kelompok Data Bentuk Data
Jenis Data Metode
Pengumpulan
Data
Primer Sekunder
Tujuan berkunjung
Preferensi program wisata
Pemahaman mengenai
angklung
Pemahaman terhadap bambu
Pemahaman konservasi
lingkungan
Kesediaan terlibat dalam
program konservasi
x
x
x
x
x
Metode Inventarisasi Data
Inventarisasi atau pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan 3 prosedur pengumpulan data yaitu studi literatur,
pemeriksaan (verifikasi) dan observasi, dan wawancara. Data primer diperoleh
dari observasi dan wawancara yang dilakukan kepada pihak pengelola Saung
Angklung Udjo dan pengunjung, sedangkan data sekunder diperoleh dari studi
literatur.
Studi Literatur
Studi literatur dilakukan untuk memperoleh data yang diperlukan dalam
penelitian yang berupa informasi mengenai lokasi, visi dan misi Saung Angklung
Udjo, Rencana Pengelolaan, peta, aksesbilitas, data jumlah pengunjung, sarana
dan prasarana interpretasi, aspek sejarah kawasan.
Pemeriksaan (verifikasi) dan Observasi
Metode ini bertujuan untuk memeriksa kesesuaian antara data sekunder
dengan kondisi dilapangan sekaligus mengamati dan mencatat segala sesuatu
yang dapat dipergunakan dalam penyusunan skenario interpretasi. Kegiatan
pemeriksanaan dan pengamatan langsung yang dilakukan yaitu verifikasi sarana
dan prasarana interpretasi alam, verifikasi obyek yang menarik, dan program
interpretasi yang sudah ada serta pengambilan dokumentasi (foto) sarana dan
prasarana dan program yang sedang berjalan.
Observasi lapangan merupakan pengumpulan data primer dengan
mengamati ciri bambu yang dijadikan bahan baku angklung, mengidentifikasi
jenis bambu sebagai bahan baku angklung, mengamati proses pengolahan bambu
menjadi angklung serta program wisata di Saung Angklung Udjo.
Wawancara
Wawancara dilakukan secara terstruktur dengan mengajukan beberapa
pertanyaan yang telah disusun sebelumnya, kepada pihak pengelola dan pekerja
Saung Angklung Udjo dan pengunjung. Dalam penelitian ini, responden akan
dipilih secara purposive sampling, yaitu menyesuaikan dengan tujuan penelitian,
kemampuan biaya dan waktu yang dimiliki oleh peneliti (Kusmayadi 2004 dalam
Heriyaningtyas et al 2009). Dalam melakukan wawancara kepada pengunjung
Saung Angklung Udjo (SAU), langkah pertama adalah menentukan strata
pengunjung menurut kelompok umur yaitu anak-anak, remaja, dewasa, usia lanjut
24
yang dapat diajak berkomunikasi dengan baik serta memberikan informasi yang
diperlukan sesuai dengan tujuan perencanaan interpretasi. Secara lengkap, data
responden berdasarkan strata yang telah dibuat, tersaji pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3 Stratifikasi responden
Kelompok Umur Proporsi Sampel Jumlah Sampel
Anak-anak (<12 tahun) 20 % 10
Remaja (13-19 tahun) 20 % 10
Dewasa (20-60 tahun) 20 % 20
Tua (>60 tahun) 20 % 10
Jumlah 100 % 50
Wawancara kepada responden dilakukan dengan menggunakan panduan
wawancara yang berisi daftar pertanyaan yang terdiri dari tiga topik pertanyaan
yaitu pertanyaan mendasar seputar motivasi pengunjung datang, pemahaman
pengunjung mengenai bambu dan proses pengolahannya menjadi angklung dan
pentingnya upaya pelestarian bambu. Daftar pertanyaan terdapat pada Lampiran 1.
Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan akan dianalisis secara deskriptif dengan
pengelompokan dan tabulasi data. Data berupa karakteristik dan jenis bambu yang
digunakan sebagai bahan baku angklung, proses pengolahan bahan baku menjadi
angklung (pemanenan-pengemasan), program wisata di Saung Angklung Udjo,
peran dan kontribusi pengelola terhadap konservasi bambu sebagai bahan baku
utama produksi angklung, serta aspek pemahaman pengunjung mengenai bambu
dan angklung.
Sintesis
Sintesis adalah tahap memadukan seluruh unsur yaitu data sumber daya
bambu (jenis, ciri bambu), proses pengelolaan bambu menjadi angklung, aspek
sumber daya manusia (pengelola), program wisata yang ada, aspek karakteristik
pengunjung menjadi sebuah konsep rencana interpretasi yang berbasis konservasi
sumber daya bambu.
Perencanaan Interpretasi
Mengacu pada perencanaan interpretasi Sharpe (1992), data yang telah
dikumpulkan dianalisis secara deskriptif dengan pengelompokan dan tabulasi
data. Data berupa karakteristik bambu yang digunakan sebagai bahan baku
angklung, proses pengolahan bahan baku menjadi angklung (pemanenan-
pengemasan), kontribusi bambu terhadap program wisata di SAU, peran dan
kontribusi pengelola terhadap konservasi bambu sebagai bahan baku utama
produksi angklung, serta aspek pemahaman pengunjung mengenai bambu dan
angklung. Hasil penelitian berupa sifat bambu, ciri khas sebagai bahan baku
angklung serta proses pengolahan bambu menjadi angklung disusun menjadi
materi interpretasi. Analisis data karakteristik pengunjung menjadi bahan untuk
menyusun rencana interpretasi yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan
karakteristik pengunjung yang datang ke SAU. Tema yang terpilih kemudian
dibuat menjadi beberapa program interpretasi yang disesuaikan dengan durasi
25
waktu dan karakteristik pengunjung. Selain itu juga dilakukan pengoptimalan
lokasi dengan pengembangan fasilitas yang ada berupa pembuatan papan
interpretasi pada beberapa lokasi yang dapat menarik perhatian pengunjung untuk
mengenal lebih jauh mengenai karakteristik bambu sebagai bahan baku angklung
dan pelestariannya. Gambar 11 berikut ini adalah bagan perencanaan interpretasi
modifikasi dari Sharpe (1982) yang akan dibuat di SAU.
Gambar 11 Bagan perencanaan interpretasi berbasis konservasi bambu sebagai
bahan baku angklung
SAUNG ANGKLUNG UDJO
Konservasi Bambu Pengelola & Pengunjung
Karakteristik Bambu
Pengolahan dan Pemanfaatan
bambu
Budidaya Bambu
Visi Misi SAU
Program interpretasi di SAU
Identitas Pengunjung
Pemahaman terkait Bambu
dan Angklung
Keterlibatan dalam Program
Konservasi
ANALISIS
Obyek Interpretasi
Karakteristik Pengunjung
SINTESIS
Rencana Interpretasi
RENCANA INTERPRETASI
Program Interpretasi
Fasilitas Interpretasi
26
4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Sejarah Saung Angklung Udjo (SAU)
Di tahun 50-an, ada sebuah keluarga yang menempati kawasan Jalan
Padasuka Bandung, bapak Udjo Ngalagena (alm) dan istri ibu Uum Sumiati (alm)
sepasang suami-istri yang telah dikaruniai 10 orang anak, memulai perjalanan
mereka untuk mendirikan sebuah paguyuban kesenian Sunda yang unik. Ide
dasarnya adalah menjadikan bambu sebagai elemen yang memberikan banyak
karakter yang mendominasi, karena itu, banyak benda yang dihasilkan dari
bambu, seperti kursi pertunjukan, alat musik hingga panggung pertunjukannya.
Udjo mulai membangun Saung Angklung yang berawal dari sebuah rumah
tinggal sederhana dengan pekarangan sempit di tahun 1958. Saung yang berarti
rumah kecil, pondok, dangau/gubuk diharapkan menjadi tempat berkumpulnya
masyarakat belajar angklung dan melestarikannya. Dengan bantuan dan dorongan
Daeng Soetigna dan bantuan dari Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat,
Saung Angklung Udjo resmi didirikan pada Januari 1966. Saung Angklung Udjo
merupakan sanggar seni yang terdiri dari pertunjukan musik bambu, pagelaran
kesenian Jawa Barat seperti wayang golek, Rampak Kendang, Pencak silat,
Sendratari, Drama Sunda, Tari Topeng khas Cirebonan, hingga kegiatan pengrajin
memproduksi barang kerajinan khas dan alat alat musik bambu.
Sanggar seni Saung Angklung tersebut kemudian dikembangkan menjadi
yayasan Saung Angklung. Secara de facto, Yayasan Saung Angklung mulai
didirikan pada tanggal 1 Januari 1967. Yayasan Saung Angklung sendiri mulai
didaftarkan pada tanggal 14 September 1973. Berbekal struktur manajemen yang
lebih profesional, Saung Angklung Udjo (SAU) berhasil meningkatkan kualitas
perusahaan. SAU menunjukkan potensi yang menjanjikan lewat unit–unit
usahanya.
Diawali dari sebuah paguyuban kesenian Sunda dan workshop Angklung,
SAU kini menjadi salah satu tujuan utama wisata budaya di Jawa Barat.
Kronologi sejarah perkembangan SAU dari waktu ke waktu dapat dilihat pada
Tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4 Saung Angklung Udjo (SAU) dari waktu ke waktu
No. Episode/ Tahun Perkembangan
1. Episode 1
Dengam sistem manajemen yang sangat sederhana, Udjo Ngalagena
mengelola SAU dengan semangatnya yang tak kenal lelah.
1950-an
Angklung dimainkan dalam sebuah peristiwa akbar yang bersejarah,
yaitu Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955, saat itu Udjo Ngalagena
menjadi salah satu konduktor orkestra.
Beberapa tahun kemudian, hasratnya pada Angklung mendorong Udjo
untuk mengajak masyarakat sekitar berkontribusi secara aktif untuk
mengembangkan kerajinan Angklung dan berpartisipasi dalam
pertunjukan kesenian Sunda.
Mulai memproduksi Angklung sendiri.
1966
Udjo Ngalagena dan istrinya Uum Sumiati mendirikan SAU.
SAU memperkuat reputasinya dengan tampil dalam beberapa acara
besar, diantaranya adalah peringatan ke 5 Konferensi Asia Afrika dan
28
Papan tersebut memberikan informasi bahwa lokasi SAU berada 250 m
dari muka jalan. Wisatawan yang berasal dari Jakarta dapat mencapai lokasi SAU
dengan menggunakan kendaraan umum yang berupa bus umum, atau
menggunakan penyedia bus (travel agent) yang bekerja sama dengan SAU. Dari
Jakarta, wisatawan dapat melewati tol Pasteur menuju Cicaheum. Dari Kota
Bandung, wisatawan bisa menggunakan taksi atau Angkot (Angkutan Umum
Perkotaan) untuk mencapai lokasi SAU.
Profil Pengelola SAU
Pada awal berdirinya, SAU merupakan sebuah yayasan yang hanya
berfungsi sebagai cagar budaya Sunda. Dalam perjalanannya, SAU berkembang
menjadi sebuah perusahaan modern dengan pengelolaan cagar budaya yang
semakin profesional. Sampai dengan saat ini, SAU membagi pengelolaan ke
dalam dua wadah, yaitu Yayasan SAU dan PT. SAU.
Pengelolaan yang dilakukan oleh Yayasan SAU (Saung Angklung Udjo
Foundation) terfokus pada pelestarian budaya, dimana yayasan ini menjadi rel
agar SAU tetap patuh pada visi dan misi awal, yaitu menjadi kawasan budaya
Sunda, khususnya Bambu, serta melestarikan dan mengembangkan budaya.
Adapun bentuk Perseroan Terbatas (PT) adalah kendaraan SAU yang fokusnya
berientasi komersil untuk mendapatkan keuntungan (profit).
Struktur Organisasi
SAU memiliki bagan stuktur organisasi yang terdiri dari President
Director, Bussiness&Development Director, Operational Director. Divisi
Corporate Secretary SAU berada dalam naungan Operational Director.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Manajer Komunikasi Perusahaan,
SAU memiliki dua unit bagian yaitu Unit bisnis dan Unit Pendukung. Kedua unit
tersebut masing- masing memiliki konsultan.
A. Unit Bisnis, yang terdiri dari :
E-Marketing: Bagian Marketing bertangggung jawab atas pemasaran,
pemesanan tempat serta penjualan segala produk dan layanan dari Saung
Angklung Udjo.
Departement Performance : Bagian ini bertugas atas pertunjukan, kreativitas,
kemasan serta inovasi seni dan budaya yang akan ditampilkan dalam
pertunjukan seni. Mereka juga bertanggung jawab untuk membuka
pendaftaran pemain baru yang ingin bermain angklung di Saung Angklung
Udjo dan mengatur penjadwalan para pemain pertunjukan.
Production Group: Bagian ini bertanggung jawab atas produksi serta
pengolahan Angklung dan mengawasi ketersediaan bahan baku utama
Angklung yaitu bambu. Selain itu juga bekerja sama dengan para pengrajin
Angklung di sekitar daerah Padasuka untuk memproduksi angklung.
B. Unit Pendukung, yang terdiri dari:
Finance and Accounting Group: Bagian ini bertanggung jawab atas keuangan
perusahaan secara keseluruhan serta mengatur keuangan perusahaan.
29
Human Capital Group: Bagian ini bertanggung jawab atas kegiatan serta
bidang kepegawaian SAU.
Stuktur organisasi SAU dapat dilihat pada Gambar 13 di bawah ini.
Gambar 13 Struktur organisasi SAU
Comercial
Group
Dept.
Performance
Dept.
Banquet &
GM
Dep.
Training
Dept
Product
E-Marketing
Finance &
Accounting
Group
Dept
Finance
Dept
Accounting
Research &
Development
Presiden
Director
Business &
Development Dir
Corp
Secretary
Operational
Dir
Human
Capital
Group
Dept HRD
Dept
General
Service
Dept Legal
Production
Group
Dept.
Performance
Dept.
Banquet &
GM
Dep.
Training
Dept
Product
30
Sarana dan Prasarana
SAU memiliki suasana taman belakang yang rindang dan menyenangkan.
Dikelilingi oleh tanaman khas Sunda, suasana serta angin yang alami serta
sebagai rumah bagi beragam jenis burung liar. Dengan luas area sekitar 1000
meter persegi yang terdiri dari rumput yang hijau, pengunjung dapat melakukan
beragam aktivitas hingga menampung lebih dari 150 orang. Sarana dan prasarana
yang dimiliki di SAU meliputi:
1. Gerbang Pintu Masuk Utama
2. Guest House Angklung
3. Area/ Tempat Parkir
4. Guest House Arumba
5. Toko Cinderamata
6. Kantor
7. Pusat Produksi Angklung
8. Bale Karesmen
9. Tepas Udjo
10. Warung Hawu
11. Buruan Sari Asih dan Panggung Serbaguna
12. Kantor
13. Studio Musik
14. Perpustakaan
15. Sentra Penyuluhan Kehutanan
Gambar 14 Bale Karesmen
Bale Karesmen seperti yang ditunjukkan pada Gambar 14 merupakan
sebuah bangunan gaya klasik dengan struktur atap Sunda dan ampiteater di
dalamnya, dengan ukuran 225 meter persegi terdapat kursi kayu yang disusun
pada tiga sisi, serta terdapat panggung untuk Pangrawit (Karawitan) yang
menemani pengunjung saat pertunjukan. Bale Karesemen ini dapat menampung
hingga 400 orang.
31
Gambar 15 Buruan Sari Asih
Beragam hewan ternak, unggas serta sarang belasan jenis burung liar
terdapat di SAU. Anak-anak dapat belajar mengenali alam sekitar dengan
beragam jenis hewan dan burung liar serta bermain permainan tradisional ala
SAU. Buruan Sari Asih (Gambar 15) menjadi salah satu tempat alternatif bagi
pengunjung yang ingin menikmati suasana kampung Sunda. SAU juga memberi
kesempatan bagi pengunjung untuk melihat proses pembuatan Angklung tersebut
secara keseluruhan.
Gambar 16 Fasilitas yang ada : (a) Saung, Tempat Alternatif untuk Berkumpul
Bersama Keluarga, dan (b) Pusat Produksi Angklung
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Program Wisata di Saung Angklung Udjo
Sejak didirikan pada tahun 1966 oleh Udjo Ngalagena, Saung Angklung
Udjo berpinsip harus mengenalkan angklung kepada semua orang (Syafiii 2009).
Inovasi yang dilakukan oleh Udjo yaitu memproduksi angklung untuk dijual
sebagai souvenir, mengadakan pelatihan memainkan angklung serta pertunjukan
32
kesenian. Hal ini didasari sebagai bentuk pendidikan dini kepada anak-anak
terhadap musik angklung. Ciri khas paket kunjungan di Saung Angklung Udjo
adalah bamboo afternoon (Gambar 17). Program wisata ini khusus dirancang
untuk keperluan wisatawan mancanegara yang memiliki kesempatan/waktu yang
singkat. Dinamakan Bamboo Afternoon atau bambu petang karena dipentaskan
setiap sore. Rangkaian acara ini meliputi:
1. Pemberian cinderamata (kalung angklung), sinopsis pertunjukan dan segelas
minuman jahe kepada pengunjung yang baru datang.
2. Demontrasi wayang golek yaitu boneka kayu yang dipakaikan kostum
menyerupai manusia. Hal ini karena pertunjukan wayang golek sesungguhnya
berdurasi 7 jam. Demonstrasi hanya menampilkan bagaimana wayang golek
berbicara, menari dan berkelahi di pertempuran. Hal yang menarik pada
pertunjukan di Saung Angklung Udjo ketika papan penutup kaki Dalang di
buka menjelang berakhirnya sandiwara wayang, Hal ini bertujuan agar
penonton dapat melihat gerak kaki Dalang dalam memainkan wayang.
3. Helaran merupakan arak-arakan upacara tradisional dengan memainkan
angklung yang dilakukan ketika khitanan ataupun panen padi. Angklung yang
digunakan merupakan angklung dengan nada salendro/pentatonik, berupa
nada asli angklung yang terdiri dari nada da, mi, na, ti, la, da.
4. Tari Tradisional
Tari Topeng. Penyajian tari topeng di pertunjukan merupakan cuplikan dari
pola tarian klasik topeng Kandaga, sebuah rangkaian tari topeng gaya
parahyangan yang menceritakan ratu Kencana Wungu yang dikejar oleh prabu
Menakjingga. Tari kedua adalah tari merak, merupakan pengejawantahan
burung merak dengan keindahan bulunya.
5. Calung. Permainan calung merupakan permainan bambu.
6. Arumba. Arumba merupakan singkatan dari alunan rumpun bambu. Band
dengan alat musik bambu alat musik tradisonal dengan nada diatonik yang
diciptakan oleh Udjo Ngalagena.
7. Angklung mini
Pertunjukan angklung yang dilakukan oleh anak-anak usia 2 hingga 13 tahun
dengan menggunakan angklung yang berukuran kecil.
Gambar 17 Beberapa rangkaian acara : (a) Wayang Golek, dan (b) Helaran
(Pertunjukan Bambu Petang 2012)
33
Profil Pengunjung
Motivasi Kunjungan
Motivasi pengunjung menjadi informasi penting dalam perencanaan
interpretasi. Dalam rangka mengetahui motivasi, persepsi, dan aktivitas
pengunjung di Saung Angklung Udjo, maka dilakukan wawancara semi
terstruktur dengan pengunjung. Umumnya pengunjung cukup antusias dan
bersedia berpartisipasi dalam wawancara. Sayangnya waktu yang dimiliki sangat
minim untuk menjawab seluruh pertanyaan yang diberikan.
Gambar 18 Motivasi pengunjung ke SAU
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengunjung seperti yang terlihat
pada Gambar 18 di atas dapat diketahui bahwa 60% pengunjung bertujuan untuk
melihat pertunjukan angklung, 26% bertujuan mempelajari angklung dan 11%
memperkenalkan kesenian angklung kepada keluarga, khususnya putra putrinya.
Salah satu responden mengatakan kunjungan ke Saung Angklung Udjo sebagai
bentuk pendidikan dini bagi generasi muda. Keinginan berkunjung didasari untuk
mengenal angklung dan tertarik dengan angklung sejak angklung dinobatkan
menjadi bagian dari warisan dunia.
Program Wisata yang dipilih Pengunjung
Terdapat tiga paket kunjungan di Saung Angklung Udjo yaitu pertunjukan
bambu dan kesenian sunda, program setengah hari di Saung Angklung Udjo, dan
mengenal alam di Saung Angklung Ujo. Pertunjukan bambu dan kesenian sunda
menjadi program wisata yang dipilih oleh 43 orang sedangkan 7 orang memilih
mengenal alam di Saung Angklung Udjo. (Gambar 19).
Gambar 19 Program wisata yang dipilih pengunjung
30 Orang 13 Orang
7 Orang
43
Orang
7 Orang
34
Pemahaman Pengunjung terhadap Proses Pembuatan Angklung
Gambar 20 menunjukkan bahwa dari 50 orang responden, sebanyak 34%
responden sudah mengetahui proses pembuatan angklung. Pengetahuan tersebut
diperoleh dari kunjungan ke Saung Angklung Udjo sebelumnya sedangkan 66%
belum mengetahui proses pembuatan angklung.
Gambar 20 Pemahaman pengunjung terhadap proses pembuatan Angklung
Pemahaman Pengunjung terhadap Jenis Bambu sebagai Bahan Baku Angklung
Dari 50 responden yang diwawancarai terkait jenis bambu sebagai bahan
baku angklung, sebanyak 33 orang mengetahui bahwa bambu merupakan bahan
baku angklung namun tidak mengenal jenis bambu yang digunakan. Sedangkan
17 responden menjawab bambu yang digunakan sebagai bahan baku angklung
adalah awi wulung/bambu hitam (G. atrovioleacea). Gambar 21 di bawah ini
menunjukkan pemahaman pengunjung terhadap jenis bambu sebagai bahan baku
Angklung.
Gambar 21 Pemahaman pengunjung terhadap jenis bambu sebagai bahan baku
Angklung
Pemahaman Pengunjung mengenai Konservasi Bambu
Hasil wawancara kepada pengunjung mengenai konservasi Bambu dapat
dilihat pada Gambar 22. Dari 50 orang responden, 90% menyatakan perlunya
pelestarian bambu, salah satunya melalui penanaman bambu secara massal.
Sedangkan 10% upaya pelestarian bambu belum diperlukan karena jumlah bambu
masih cukup besar. Mereka menganggap bambu mudah didapatkan dan tumbuh
liar dimanapun. Dari upaya konservasi yang telah dilakukan sebesar 66%
pengunjung mengaku terlibat dalam upaya konservasi lingkungan berupa gerakan
33
Orang
17
Orang
33
Orang
17
Orang
35
penanaman pohon di lingkungan tempat tinggalnya sedangkan 34% responden
menjawab belum pernah melakukan upaya konservasi lingkungan. Namun dari
seluruh responden, belum ada satupun yang terlibat dalam upaya pelestarian
bambu.
Gambar 22 Pemahaman pengunjung mengenai konservasi Bambu
Kesediaan Pengunjung Terlibat dalam Program Konservasi Bambu di SAU
Kebutuhan program atau fasilitas yang memperkenalkan bambu sebagai
bagian penting dari alat musik angklung disampaikan oleh 80% responden atau
sebanyak 40 orang. Keingintahuan dan ketertarikan pengunjung untuk mengenal
bambu sebagai bahan baku angklung didasari bahwa upaya pelestarian bambu
berarti juga melestarikan angklung.
Proses Pengolahan Bambu Menjadi Angklung
Pengadaan Bahan Baku
Saung Angklung Udjo memproduksi angklung dengan menggunakan
bahan baku berupa jenis bambu Hitam (G. atroviolacea), sebagai bahan tabung,
Bambu Temen (G. atter) sebagai tabung dasar dan bambu Tali (G. apus) untuk
bahan kerangka (jejer dan palang gantung). Hal ini diperkuat oleh penelitian dari
Rifai (1994) yang menyatakan bahwa kondisi lingkungan dan habitat akan
mempengaruhi dari tipe dan distribusi ikatan vaskuler buluh bambu. Berdasarkan
penelitian, rumpun bambu yang tumbuh di Jawa Tengah memiliki garis tengah
buluh lebih besar sehingga lebih cocok untuk kebutuhan perabotan dibandingkan
sebagai bahan tabung angklung.
Tipe dan distribusi ikatan vaskuler mempengaruhi penghantaran getaran
yang berdampak pada kualitas suara yang dihasilkan (Nuriyatin 2000). Kualitas
suara yang dihasilkan dari masing-masing jenis bambu dipengaruhi oleh sifat
mekanik akustik bambu. Melalui pori-pori, bagian dari energi akustik yang masuk
kedalam bambu diserap oleh massanya. Massa mengubah energi akustik menjadi
energi termal atau lebih dikenal dengan absorp sound. Berdasarkan wawancara
dengan pengelola Saung Angklung Udjo ada dua persyaratan yang harus dipenuhi
untuk mendapatkan Angklung dengan kualitas suara yang baik, yaitu persyaratan
fisik meliputi tinggi ruas bambu minimal 8 - 51 cm, diameter bambu minimal 1,5
- 4,5 cm serta ketebalan bambu minimal 3,3 mm - 1,5 cm. bambu harus cukup tua
dan kering sehingga kadar air rendah serta volume serat padat dan kompak. Hal
tersebut mendukung proses perambatan getaran sehingga relatif bersifat konstan.
45 Orang
5 Orang
36
Permintaan angklung dari dalam negeri maupun mancanegara terus
bertambah. Hal ini berdampak terhadap permintaan bahan baku yang tinggi.
Kurangnya suplai bahan baku dengan spesifikasi dan kualifikasi yang sesuai
sebagai angklung di sekitar Saung Angklung Udjo mengakibatkan pengadaan
bahan baku dipenuhi dari luar Bandung (Garut, Sukabumi, Subang dan
Kuningan). Pengadaan bambu masih mengandalkan pengambilan dari alam
sehingga berdampak pada semakin sedikitnya habitat bambu liar.
Berdasarkan wawancara dengan pengelola, Saung Angklung Udjo
melakukan kerja sama dengan mitra penyedia bahan baku. Mitra atau dikenal
dengan vendor memiliki tanggung jawab berupa pemanenan, pengeringan,
penyimpanan hingga distribusi ke Saung Angklung Udjo. Pemesanan/pembelian
bahan baku dilakukan secara berkala menurut periode produksi dengan
memperhatikan kualitas bahan baku, proses pasca pemanenan (sebelum
melakukan kerja sama, pihak pengelola melakukan survei lokasi). Lokasi milik
mitra harus memenuhi syarat terkait pemanenan hingga penyimpanan. Beberapa
syarat terjadinya kerja sama adalah pihak mitra memiliki lahan yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan bambu dalam satu kali masa panen, yaitu kurang lebih
10.000 batang. Pengetahuan akan pemilihan bambu yang cocok sebagai bahan
baku angklung merupakan pengetahuan yang wajib dimiliki oleh pengelola
khususnya staff Produksi.
Karakteristik bambu yang digunakan sebagai bahan baku angklung sangat
spesifik. Pemilihan bambu dilakukan berdasarkan usia bambu yang tidak terlalu
tua dan tidak terlalu muda. Bambu yang paling cocok untuk angklung berusia 3-4
tahun. Jika dibawah 3 tahun, serat belum kompak dan rapat sehingga suara yang
dihasilkan tidak maksimal. Nada yang dicapai tidak mampu melengking dan
kencang. Apabila bambu yang dipanen lebih dari usia 4 tahun, akan
mempengaruhi kualitas nada yang dihasilkan.
Pengolahan Bahan Baku
Pemanenan
Selama ini bambu yang dipanen (Gambar 23) merupakan hasil dari
pengambilan secara langsung di alam. Petani tidak melakukan penanaman/
budidaya bambu. Sejauh ini bambu yang digunakan sebagai bahan baku angklung
diambil dari lokasi di Jampang Kulon, Sukabumi, Cianjur hingga Kuningan.
Waktu pemanenan bambu antara bulan Juli-Oktober, ketika musim kemarau
sehingga bambu yang dihasilkan lebih kering dan tidak dimakan organisme
perusak. Sebelum melakukan kontrak kerja sama, pengelola melakukan survey
terhadap cara pemanenan bambu yang dilakukan oleh calon mitra. Bambu yang
baik adalah bambu yang dipanen pada pukul 09.00 wib hingga pukul 15.00 wib.
Hal didasarkan pada waktu fotosintesis bambu sehingga meminimalisasi serangan
serangga bubuk kering. Hama tersebut dapat menyebabkan munculnya bubuk
putih di dalam ruas sehingga berpengaruh terhadap kualitas suara dari bambu
tersebut. Apabila calon mitra tidak melakukan pemanenan dengan aturan standar
dari Pihak Saung Angklung Udjo, maka Pengelola melakukan pelatihan dan
pengenalan metode pemanenan yang tepat terhadap calon mitra.
37
Gambar 23 Bambu yang baru dipanen
Pengawetan dan Pengeringan
Bambu mudah diserang oleh mikroorganisme. Tahap selanjutnya adalah
pengawetan (Gambar 24). Usaha pengawetan bambu secara tradisional sudah
dikenal oleh masyarakat pedesaan. Pengawetan dilakukan dengan merendam
bambu di dalam air mengalir, air tergenang, lumpur atau melalui metode
pengasapan.
Gambar 24 Ilustrasi pengawetan dan pengeringan bambu dengan metode
pengasapan (Membuat angklung 2012)
Selain itu juga dapat dilakukan dengan diangin-anginkan di tempat yang
teduh atau disimpan dalam gudang hingga 3-4 bulan. Tahap selanjutnya adalah
pemilihan bambu yang utuh tanpa adanya hama. Saat ini pengawetan sudah
menggunakan bahan kimia antara lain boraks, campuran kapur barus dengan
minyak tanah dan berkembang dengan menggunakan boron dan pestisida
pengawet kayu.
Bambu yang sudah dikeringkan kemudian direndam selama kurang lebih
seminggu (Gambar 25). Hal ini untuk menghilangkan hama-hama yang masih
38
terdapat di dalam ruas. Bambu juga diasapi dan disemprot dengan obat pembasmi
hama. Namun hal ini membutuhkan waktu dan bambu menjadi tidak aman bagi
manusia. Karena obat pembasmi hama terbukti menyebabkan efek samping gatal-
gatal.
Bambu yang sudah dikeringkan kemudian dikirim ke Bandung, tepatnya di
lokasi Saung Angklung Udjo. Sesampai di lokasi, bambu yang rusak selama
perjalanan akan dijadikan sebagai bahan baku souvenir dan perabotan. Sedangkan
bambu yang masih baik, akan didistribusikan kepada mitra pembuat Angklung.
Saung Angklung Udjo memiliki tiga mitra dalam pembuatan angklung. Mitra
pertama pembuat tabung, penyetelan nada pada tabung resonansi angklung dan
merakit, mitra kedua membuat rangka.
Gambar 25 Proses pengawetan bambu dengan metode perendaman
Proses pengeringan dibutuhkan untuk menjaga stabilitas dimensi bambu,
perbaikan warna permukaan, serta pelindung terhadap serangan jamur dan bubuk
basah. Pengeringan bambu dilakukan dengan cara pengasapan ataupun tungku
(Gambar 26). Pengeringan yang terlalu cepat mengakibatkan bambu mudah pecah
namun pengeringan yang terlalu lambat akan berakibat pada warna bambu yang
suram, bulukan dan menjadi gelap.
Kekuatan bambu juga akan bertambah seiring keringnya bambu.
Pengeringan bambu harus dilaksanakan secara hati-hati, karena apabila dilakukan
terlalu cepat (suhu tinggi dengan kelembaban rendah) atau suhu dan kelembaban
yang terlalu berfluktuasi akan mengakibatkan bambu menjadi pecah, kulit
mengelupas, dan kerusakan lainnya. Sebaliknya bila kondisi pengeringan yang
terlalu lambat akan menyebabkan bambu menjadi lama mengering, bulukan dan
warnanya tidak cerah atau menjadi gelap.
39
Gambar 26 Pengeringan Bambu secara vertikal
Pembuatan Kerangka Angklung
Kriteria bambu yang memenuhi syarat memiliki ruas sepanjang mungkin,
diameter bambu tidak lebih dari 6 cm, ringan dan memiliki serat yang padat.
Bambu yang sudah dikeringkan kemudian diseleksi untuk diolah lebih lanjut
menjadi angklung (Gambar 27). Selanjutnya bambu dipotong menjadi bakalan
sesuai dengan ukuran tabung, rangka atau tiang.
Gambar 27 Bakalan Angklung
40
Bakalan ini kemudian diolah menjadi nada sora, yaitu menyesuaikan
panjang tabung dan tinggi lubang. Pekerjaan ini membutuhkan keterampilan dan
keahlian tersendiri, sehingga dapat dihasilkan bunyi yang nyaring dengan cara
dipukul dan ditiup. Bambu Hitam dan Bambu Tali untuk tabung suara dan tabung
dasar sedangkan untuk bambu Gombong dan bambuTemen untuk tiang rangka
angklung (Gambar 28).
Gambar 28 Tabung Angklung
Perakitan
Tahap perakitan (Gambar 29) merupakan tahap dimana tabung bambu dan
kerangka diikat dengan rotan. Pekerjaan ini tidak terlalu susah namun juga
membutuhkan kecepatan dan ketelitian. Bagi pekerja yang sudah terbiasa
menggabungkan tabung dan kerangka dengan rotan hanya membutuhkan waktu
sekitar 10 menit. Umumnya pekerjaan ini dilakukan oleh mitra pembuat tabung.
Mitra pembuat tabung akan mengambil kerangka dari mitra lain untuk dirakit
menjadi angklung.
Gambar 29 Proses perakitan angklung
41
Penyeteman/ Penyetelan Nada
Saung Angklung Udjo menerapkan prinsip bahwa konsumen yang
membeli angklung tidak hanya membeli alat musik bambu melainkan membeli
suara. Oleh karena itu penyeteman menjadi proses yang sangat diperhatikan
dalam pembuatan angklung. Setiap angklung yang diproduksi merupakan sebuah
totalitas mutu Saung Angklung Udjo. Setelah bambu dipilih, bambu tersebut baru
dapat digunakan sebagai bahan pembuatan angklung. Pembuatan angklung yang
paling penting adalah membentuk nada dasar dari tabung bambu. Suara bambu
ada dua yaitu suara kayu bambu ketika beradu dengan benda lain dan suara yang
dihasilkan ketika tabung ditiup. Alat penyeteman/penyesuaian nada yang
digunakan untuk menentukan nada dasar adalah Berrina. Kemudian setelah
dihasilkan nada dasar dilakukan finishing dengan penyeteman dengan
Autochromatic Tuner (Gambar 30 dan Gambar 31). Dahulu penyeteman angklung
hanya menggunakan botol-botol yang diisi air dan diberi tanda pada bagian
luarnya, saat ini penyeteman selain menggunakan suling, gamelan, dan juga telah
menggunakan alat elektronik yaitu Autochromatic Tuner. Proses akhir rangka dan
tabung diikat dengan tali rotan.
Gambar 30 Angklung yang telah distem
Pengecekan dan Pengemasan
Tahap pengecekan merupakan tahap terakhir sebelum angklung dikemas.
Pengecekan atau lebih dikenal quality control merupakan mekanisme
pemeriksaan kerangka, suara angklung setelah distem. Selanjutnya dilakukan
42
pengemasan angklung dengan menggunakan kardus sebelum angklung dikirim ke
tempat tujuan. Pengemasan dilakukan ketika angklung telah mengalami masa uji
lulus yang ditunjukkan dengan tidak adanya hama yang terdapat pada angklung.
Gambar 31 Finishing tabung Angklung
Upaya Konservasi Bambu sebagai Bahan Baku Angklung
Saung Angklung Udjo sebagai pihak yang mengembangkan angklung
membutuhkan sumber daya bambu jangka panjang memiliki kewajiban untuk
mengelola bambu secara alam maupun melalui penanaman bambu.Semakin
langkanya jenis bambu untuk angklung merupakan kendala yang dihadapi Saung
Angklung Udjo. Menurut Pengelola, jumlah bambu yang sesuai untuk bahan baku
angklung akan habis dalam waktu 10 tahun mendatang khususnya bambu Hitam
sebagai bahan baku utama tabung angklung. Permintaan yang tinggi terhadap
jenis bambu Hitam menjadikan bambu Hitam lebih banyak dicari oleh mitra
petani. Kebutuhan bambu yang terus meningkat mengakibatkan permintaan
bambu tidak dapat dipenuhi dari wilayah Bandung, melainkan harus mencari
bambu Hitam hingga ke Sukabumi dan Kuningan. Permintaan bambu yang tinggi
tidak disertai dengan budidaya bambu yang intensif sehingga berdampak terhadap
keberadaan dan kebutuhan bambu jangka panjang.
Len Muller (1996a, 1998b) dalam Wong (2004) menyampaikan “the
possible roleof selection in maintaining useful bamboo clones”. Konservasi
spesies bambu menjadi perhatian banyak pihak. Tidak adanya manajemen bambu
yang baik membuat proses pemanenan bambu di hutan dilakukan dengan cara
menebang habis seluruh tanaman, praktek ini sangat tidak ekologis dan
merupakan pemborosan karena banyak batang bambu yang semestinya dapat
dimanfaatkan. Upaya mendorong program pengelolaan bambu dengan menjamin
keseimbangan antara pelestarian keanekaragaman hayati bambu dan
pemanfaatannya melalui pelestarian bambu secara in-situ dan ex-situ dilakukan
melalui kegiatan penanaman di hutan bambu alam yang masih ada dan pembuatan
kebun koleksi untuk mempertahankan keberadaan berbagai jenis bambu baik yang
endemik maupun yang eksotik dengan semua sumber genetiknya.
43
Kesadaran berkonservasi timbul dari terpenuhinya stimulus alamiah
(karakteristik bambu sebagai bahan baku angklung, habitat, sifat fisik yang
dimiliki oleh bambu sebagai bahan baku angklung) dan stimulus manfaat dari
bambu sebagai bahan baku angklung. Stimulus manfaat dari bambu berupa
produk angklung sebagai alat kesenian tradisional (nilai sosial budaya) yang dijual
sebagai cinderamata (nilai ekonomi). Jenis bambu yang digunakan sebagai tabung
angklung berpengaruh terhadap harga angklung. Harga seperangkat angklung di
SAU berkisar antara Rp 1.500.000 hingga Rp 2.000.000. Harga tersebut
tergantung pada jenis bambu yang digunakan. Angklung berbahan dasar bambu
Hitam memiliki harga yang lebih tinggi dibanding angklung dengan bahan baku
bambu Tali. Pemahaman bahwa semakin sulitnya mencari bahan baku bambu
Hitam berpengaruh pada kesadaran masyarakat (pengguna) untuk melakukan
konservasi dengan cara penanaman jenis bambu sebagai bahan baku angklung
untuk menjaga ketersediaan bahan baku serta melakukan upaya pengelolaan
pemanenan dengan menggunakan metode yang meminimalisasi kerusakan
lingkungan.
Pengelolaan bambu yang memperhatikan konservasi bamboo dilakukan
untuk menjaga ketersediaan sumber daya bambu jangka panjang melalui budidaya
dan pengelolaan bambu yang tepat. Salah satu pengelolaan yang perlu dilakukan
yaitu yaitu pemanenan bambu dengan metode tebang habis diganti dengan metode
tebang pilih. Kualitas bambu yang dipanen dengan metode tebang pilih juga lebih
baik dibanding metode tebang habis. Pada metode tebang habis, semua batang
bambu ditebang baik yang tua maupun yang muda, sehingga kualitas batang
bambu yang diperoleh bercampur antara bambu tua dan muda. Selain itu metode
ini juga menimbulkan pengaruh terhadap sistem perebungan bambu, sehingga
kelangsungan tanaman bambu terganggu, karena sistem perebungan bambu
dipengaruhi juga oleh batang bambu yang ditinggalkan. Pada beberapa jenis
tanaman bambu metode tebang habis menyebabkan rumpun menjadi kering dan
mati, tetapi pada jenis yang lain masih mampu menumbuhkan rebungnya tetapi
dengan diameter rebung tidak besar dan jumlahnya tidak banyak. Metode tebang
pilih pada tanaman bambu adalah menebang batang-batang bambu berdasarkan
umur tumbuhnya. Metode ini dikembangkan dengan dasar pemikiran adanya
hubungan batang bambu yang ditinggalkan dengan kelangsungan sistem
perebungan bambu.
Manfaat bambu yang beragam perlu diimbangi dengan perlindungan akan
keberadaan bambu baik dari segi jenis, lahan/tempat penanaman (in situ dan ex
situ), produk, hingga pengrajin. Data-data peneliti terkait sebaran dan potensi
bambu khususnya jenis bambu sebagai bahan baku angklung perlu disampaikan
kepada mitra dan pengelola sebagai pengguna dan pihak yang berinteraksi
langsung dengan tanaman bambu. Pengelolaan bambu sebagai upaya pemanfaatan
yang berkelanjutan perlu disebarluaskan dan disampaikan kepada masyarakat.
Upaya konservasi bambu perlu dimasyarakatkan sehingga kegiatan penanaman
bambu menjadi icon seperti layaknya kegiatan penanaman pohon.
44
6 PERENCANAAN INTERPRETASI BERBASIS KONSERVASI
BAMBU SEBAGAI BAHAN BAKU ANGKLUNG
Seperti yang disampaikan oleh Muscardo (1998) peran interpretasi dalam
mendukung kegiatan wisata meliputi meningkatkan pengalaman berkualitas bagi
pengunjung, meningkatkan kualitas hidup pengelola dan masyarakat,
menyampaikan pentingnya keberlanjutan sumber daya bambu, perlindungan
keanekaragaman biodiversitas bambu (jenis-jenis bambu yang digunakan sebagai
bahan baku angklung), pemeliharaan ekosistem bambu melalui metode
pemanenan tebang pilih serta melakukan penanaman bambu in-situ maupun ex-
situ yang menjamin keberadaan angklung sebagai warisan dunia baik dari segi
sumber daya maupun produk secara berkelanjutan.
Program wisata yang terdapat di Saung Angklung Udjo masih sebatas
pada kebudayaan/kesenian alat musik angklung sehingga belum menyentuh
sumber daya bambu sebagai bahan baku utama pembuatan angklung. Perencanaan
interpretasi yang dibuat berupa interpretasi berbasis konservasi sumber daya
bambu sebagai bahan baku angklung.
Keberlanjutan usaha (produksi angklung) dan kelestarian kesenian dan
budaya angklung yang dilakukan oleh pihak pengelola Saung Angklung Udjo
sangat tergantung pada sumber daya bambu sebagai bahan baku pembuatan
angklung. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara alat musik angklung
(sebagai produk/komoditas) dan sumber daya bambu (sebagai bahan baku).
Perencanaan interpretasi merupakan salah satu upaya pengenalan sumber daya
bambu yang diharapkan dapat meningkatkan pengertian dan pemahaman,
kesadaran, serta apresiasi masyarakat (pengelola dan pengunjung) terhadap
sumber daya bambu sebagai bahan baku utama angklung yang jumlahnya
terbatas.
Pentingnya upaya konservasi dalam menjaga keberadaan sumber daya
bambu jangka panjang disampaikan dalam bentuk interpretasi. Pengadaan bahan
baku, kegiatan produksi angklung merupakan atraksi yang dapat dikemas menjadi
program interpretasi. Topik bambu sebagai obyek interpretasi dijabarkan menjadi
beberapa tema, antara lain: pengenalan jenis-jenis bambu, memahami siklus hidup
bambu, manfaat bambu, filosofi bambu dan konservasi sumber daya bambu.
Beberapa rumpun tanaman bambu yang tumbuh di area Saung Angklung Udjo
menjadi obyek penting yang dapat menjelaskan karakteristik bio-ekologis bambu
sebagai sumber daya (bahan baku) utama pembuatan angklung.
Obyek Angklung tidak dapat dipisahkan dari obyek bambu sebagai bahan
baku pembuatannya. Topik angklung dapat dijabarkan menjadi beberapa tema
yang berkaitan dengan obyek bambu antara lain: filosofi angklung, proses bambu
menjadi angklung (pemanenan, perakitan, hingga pengemasan), bentuk-bentuk
angklung yang mengalami modifikasi dari jaman dahulu hingga masa kini,
karakteristik tabung-tabung angklung yang menghasilkan nada yang berbeda-
beda.
Tujuan dan Sasaran Interpretasi
Tujuan interpretasi berbasis konservasi sumber daya bambu di Saung
Angklung Udjo dibangun di atas empat pilar utama yaitu understanding and
45
appreciation; sustainability; authenticity and relevancy; danbest practices.
Sasaran interpretasi menurut Sharpe (1982) ada tiga hal yaitu: (1)
mengembangkan kesadaran dan memperkaya pengetahuan pengunjung, (2)
meningkatkan pendayagunaan sumber daya, dan (3) menjadi sarana promosi agar
masyarakat mengetahui nilai sejarah, konservasi dari obyek yang dimaksud.
Implementasi dari tujuan yang mengintegrasikan dari keempat pilar
tersebut diharapkan menjadi pilihan terbaik dalam perencanaan interpretasi di
Saung Angklung Udjo. Sejalan dengan apa yang telah dikemukakan oleh Tilden
(1977) bahwa “Interpretation is an educational activity which aims to reveal
meanings and relationships through the use of original objects, by firsthand
experience, and by illustrative media, rather than simply to communicate factual
information”, maka tujuan dan sasaran perencanaan interpretasi di Saung
Angklung Udjo dijabarkan sebagai berikut:
1. Meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan penghargaan (apresiasi)
masyarakat (pengunjung) mengenai bambu dan angklung.
a. Menjadi pusat informasi dan konservasi bambu di Jawa Barat.
b. Mewujudkan pendekatan yang seimbang antara sumber daya alam
(bambu) dan budaya (angklung).
c. Mengembangkan komunikasi dua arah antara pengunjung dan Saung
Angklung Udjo.
2. Mencapai kelestarian sumber daya bambu dan angklung, serta keberlanjutan
usaha Saung Angklung Udjo.
a. Terwujudnya kelestarian sumber daya alam (bambu).
b. Terwujudnya relevansi sosial melalui pemberdayaan masyarakat sekitar
dan kerjasama kemitraan.
c. Terwujudnya program rutin dengan lembaga pendidikan dan pihak
lainnya.
d. Mewujudkan Saung Angklung Udjo sebagai model interpretasi yang ideal,
asli, khas dan relevan bagi semua pengunjung.
Tujuan ini meliputi aktifitas pendidikan lingkungan melalui penggalian
dan penyampaian informasi mengenai sumber daya bambu dan angklung melalui
program interpretasi. Dengan memperhatikan pelaksanaan interpretasi yang
autentik, relevan dan eksklusif bagi pengunjung, agar memperoleh makna dan
nilai dari sumber daya bambu dan angklung dan menciptakan kepedulian
(awareness) yang tinggi terhadap bambu. Dari tujuan tersebut, interpretasi
diharapkan dapat mencapai tujuan yang menjamin keseimbangan antara
kelestarian sumber daya dan keberlanjutan usaha bagi pihak pengelola Saung
Angklung Udjo.
Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Veverka (1994), bahwa
“objectives are specific and measurable steps that outline actions to achieve
goals. Tujuan, sasaran dan strategi perencanaan interpretasi berbasis konservasi
bambu di Saung Angklung Udjo dikembangkan berdasarkan rencana interpretasi
yang merupakan hasil sintesis dari inventarisasi dan analisis data penelitian (tabel
5). Strategi yang dikembangkan ini diharapkan juga dapat menarik pengunjung
baik pengunjung baru maupun pengunjung yang pernah datang ke Saung
Angklung Udjo sehingga tertarik untuk melakukan kunjungan kembali secara
rutin.
46
Tabel 5 Perencanaan Interpretasi Berbasis Konservasi Bambu sebagai Bahan
Baku Angklung di Saung Angklung Udjo
No. Tujuan Sasaran/ Indikator Strategi
1. Meningkatkan
pengetahuan,
pemahaman dan
penghargaan
(apresiasi)
masyarakat
(pengunjung)
mengenai bambu
dan angklung
a. Menjadi pusat informasi dan konservasi
bambu di Indonesia.
b. Mewujudkan pendekatan yang seimbang
antara sumber daya alam (bambu) dan budaya
(angklung).
c. Mengembangkan komunikasi dua arah antara
pengunjung dan Saung Angklung Udjo.
Membangun
arboretum bambu
dan pusat konservasi
bambu
Meningkatkan
penekanan program
wisata pada sumber
daya bambu dan
angklung
Mengintegrasikan
interpretasi bambu
dengan angklung
Memberi peluang
bagi pengunjung
berperan dalam
kegiatan interpretasi
(menjadi
guide/informan
mengenai bambu,
menjadi salah satu
pemain pertunjukan)
Memfasilitasi
pengunjung untuk
berperan dalam
pengelolaan
interpertasi bambu
(volunteer)
Membangun media
komunikasi secara
online (website)
Pengunjung bisa mengenal bambu dan
habitatnya
Pengunjung mengetahui jenis-jenis bambu
yang menjadi bahan baku angklung
Pengunjung mengerti dan memahami
pentingnya konservasi bambu
Pengunjung mengetahui proses pengolahan
bambu sebagai bahan baku angklung
Pengunjung bisa merasakan pengalaman
secara langsung proses pembuatan angklung
2. Mencapai
kelestarian
sumber daya
bambu dan
angklung, serta
keberlanjutan
usaha Saung
Angklung Udjo
a. Terwujudnya kelestarian sumber daya bambu
b. Terwujudnya keberlanjutan produksi
angklung
c. Mewujudkan Saung Angklung Udjo sebagai
model interpretasi yang ideal, asli, khas dan
relevan bagi semua pengunjung.
Menggali dan
mengembangkan
nilai-nilai budaya
masyarakat lokal
Meningkatkan
kepedulian publik
terhadap konservasi
sumber daya bambu
Menerapkan hasil
riset untuk
mendukung
pengelolaan
Mengembangkan
pusat produksi
angklung.
Membangun
arboretum bambu
dan pusat konservasi
bambu
Membangun stasiun
penelitian dan
pembibitan bambu
Pengunjung dapat menerima pesan
konservasi dan tertarik untuk ikut serta
(berpartisipasi) dalam kegiatan konservasi
bambu untuk melestarikan kesenian alat
musik angklung
Meningkatnya kepedulian publik terhadap
konservasi sumber daya bambu
47
Program Interpretasi
Dari tujuan, sasaran dan strategi perencanaan interpretasi seperti yang
telah dijabarkan sebelumnya, selanjutnya ditetapkan beberapa program
interpretasi di Saung Angklung Udjo.
Dalam menentukan program interpretasi, ada beberapa hal yang menjadi
dasar pertimbangan, seperti yang telah disarankan oleh Lewis (1980) yaitu: (1)
orang belajar terbaik dari pengalaman pertama, (2) orang belajar lebih baik ketika
mereka aktif terlibat dalam proses pembelajaran, (3) orang belajar lebih baik
ketika mereka menggunakan berbagai sensasi yang tersedia, (4) pengunjung
belajar tentang apa yang paling bernilai untuk mereka diwaktu kini, (5)
menggunakan berbagai variasi pendekatan dan pembelajaran, dan (6)
pembelajaran baru adalah membangun pondasi akan pengetahuan sebelumnya.
Dengan memperhatikan prinsip-prinsip interpretasi yang telah dikemukakan oleh
Tilden (1977), pendekatan interpretasi oleh Ham (1992), dan saran-saran dari
Lewis (1980), maka beberapa program interpretasi yang dipilih di Saung
Angklung Udjo adalah :
1. Program pengenalan sumber daya bambu
2. Program pengenalan bahan baku angklung
Program-program tersebut di atas merupakan program interpretasi berbasis
konservasi sumber daya bambu sebagai bahan baku utama pembuatan angklung.
Dalam program ini, pengunjung tidak hanya diberi informasi mengenai jenis-jenis
bambu dan upaya konservasi bambu yang menjadi bahan baku utama pembuatan
angklung, tetapi mereka diajak untuk berpartisipasi dalam kegiatan konservasi
tersebut baik secara langsung maupun secara tidak langsung sehingga dapat
memperkaya pengalaman pengunjung. Mengajak pengunjung melihat langsung
obyek interpretasi, memahami keterkaitan dan hubungan obyek interpretasi
dengan lingkungan melalui pengalaman langsung lewat panca indera, penglihatan,
pendengaran, perasaan, penciuman, ataupun perabaan. Aspek yang terlibat dalam
sebuah penyampaian interpretasi tidak hanya ranah kognitif, melainkan juga ranah
afektif dan psikomotorik. Parameter ranah afektif berupa perasaan dan emosi yang
berpengaruh signifikan terhadap persepsi dan perilaku pengunjung khususnya
terkait isu lingkungan (Povey&Rion 2002).
Obyek, Tema dan Materi Interpretasi
Dalam perencanaan interpretasi berbasis konservasi bambu ini, semua data
penelitian yang telah dikumpulkan dari berbagai sumber, baik data primer
maupun data sekunder digunakan untuk merumuskan dan mendukung
pengembangan tema interpretasi. Perumusan dan pengembangan tema interpretasi
seperti yang dikemukakan oleh Veverka (1994) memberikan langkah-langkah
perencanaan interpretasi yang meliputi enam elemen yaitu What, Why, Who, How/
When/Where (Story Development Forms), Implementation and Operation, So
What. Pada elemen pertama, Veverka (1994) memberikan penjelasan bahwa What
berisi tentang “The resources, theme, and sub-theme to be interested”, dengan
demikian What memberikan gambaran mengenai sumber daya yang akan menjadi
obyek interpretasi.
48
Ham (1992) menyatakan bahwa “The topic of a presentation is simply its
subject matter, whereas the theme of the presentation is the specific message
about the subject we want to communicate to the audience”. Sesuai dengan
pernyataan yang dikemukakan oleh Ham (1992) tersebut, maka bambu sebagai
obyek interpretasi di Saung Angklung Udjo telah dipilih menjadi topik interpretasi
yang merupakan dasar dalam pengembangan tema interpretasi berbasis konservasi
bambu sebagai bahan baku pembuatan angklung.
Dalam merumuskan tema interpretasi, Mullins (1979) menetapkansuatu
formula yaitu “Theme = Topic + Recurring Message Element”. Pada penelitian
ini, formulasi tema interpretasi dapat dirumuskan sebagai “Tema = Topik (
Obyek) + Pesan berulang (pesan bagi pengunjung). Berdasarkan formula tersebut,
maka dapat dirumuskan sebuah tema utama yang terbagi menjadi 3 (tiga) sub
tema dalam perencanaan interpretasi berbasis konservasi sumber daya bambu
sebagai bahan baku pembuatan angklung yaitu bambu, angklung, dan saung
angklung udjo.
Tema utama interpretasi berbasis konservasi sumber daya bambu sebagai
bahan baku pembuatan angklung di Saung Angklung Udjo. Banyak penelitian
yang menganggap bahwa sangat penting untuk menciptakan program dengan
tema yang jelas dan sesuai dengan tujuan (Knapp&Benton 2004). Tema-tema
tersebut merupakan pernyataan ide penting yang mengatur pesan-pesan yang akan
disampaikan kepada pengunjung Saung Angklung Udjo. Pesan yang diturunkan
dari tema-tema interpretasi merupakan materi yang berupa informasi yang akan
disampaikan kepada pengunjung Saung Angklung Udjo. Materi ini secara
komprehensif meliputi seluruh obyek yang terdapat di Saung Angklung Udjo
dengan berbasis pada konservasi sumber daya bambu sebagai bahan baku
angklung. Dengan tema-tema ini diharapkan mampu menginspirasi, menggugah
kesadaran, kepedulian dan penghargaan pengunjung terhadap obyek interpretasi.
Beberapa materi interpretasi dari masing-masing tema dideskripsikan pada Tabel
6 di bawah ini.
Tabel 6 Obyek, Tema dan Materi Interpretasi di SAU
No. Obyek Tema Pesan/ Materi
1. Sumber daya
bambu
Bioekologi bambu
menjadi dasar konservasi
sumber daya bambu
Klasifikasi, morfologi serta anatomi bambu
Habitat dan penyebaran bambu
Pengenalan jenis-jenis bambu
Memahami siklus hidup bambu
Manfaat bambu
Tema Pendukung :
1. Karakteristik bambu
merupakan tulang
punggung (backbone)
Saung Angkung Udjo
Filosofi bambu
Karakteristik bambu
Sifat fisik dan mekanik bambu
Jenis bambu yang menjadi bahan baku
pembuatan angklung ( tidak semua jenis
bambu dapat dijadikan bahan baku
angklung)
2. Konservasi sumber
daya bambu Prinsip pengelolaan bambu
Arboretum bambu di SAU
Pembibitan dan penanaman bambu di SAU
49
Teknik Interpretasi
Untuk menyampaikan pesan yang berupa materi interpretasi berbasis
konservasi sumber daya bambu kepada pengunjung dengan baik, maka diperlukan
teknik interpretasi. Sesuai dengan penjelasan Sharpe (1982), maka teknik
interpretasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan/materi interpretasi di
Saung Angklung Udjo terdiri dari dua teknik yaitu (1) Teknik secara langsung
(attended service), dan (2) Teknik secara tidak langsung (unattended service).
1. Teknik secara langsung (attended service)
Penyampaian materi interpretasi berbasis konservasi sumber daya bambu
kepada pengunjung dilakukan secara langsung oleh seorang interpreter (guide)
yang telah ditunjuk oleh pihak pengelola Saung Angklung Udjo. Interpreter
tersebut bertugas memberikan penjelasan mengenai obyek interpretasi dengan
berdasarkan pada tema dan materi yang telah ditentukan sebelumnya sehingga
pengunjung merasa tertarik terhadap obyek tersebut. Proses penyampaian
informasi yang berupa materi ini berlangsung didekat obyek interpretasi, sehingga
pengunjung dapat melihat dan merasakan obyek seperti bambu dan angklung
secara langsung. Pada saat dibutuhkan, interpreter akan mendemonstrasikan suatu
aktifitas seperti memainkan angklung, mengidentifikasi jenis bambu dengan
indera peraba dan penciuman. Pengunjung juga diberi kesempatan untuk
mempraktekkan apa yang telah dijelaskan dan diperagakan oleh interpreter
tersebut. Dalam proses komunikasi ini, juga diselingi dengan tanya jawab dan
diskusi. Pengunjung yang tertarik, biasanya akan menanyakan sesuatu yang belum
diketahui dan ingin penjelasan yang lebih detil.
Khusus pada program pertunjukan bambu, interpreter juga bertugas
sebagai pembawa acara (host) yang memandu acara pertunjukan dari awal sampai
akhir pertunjukan. Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia dan Bahasa
Inggris, karena pengunjung bukan hanya berasal dari dalam negeri, namun juga
berasal dari luar negeri.
2. Teknik secara tidak langsung (unattended service)
Teknik penyampaian informasi/ materi interpretasi secara tidak langsung
(unattended service) juga dilakukan di Saung Angklung Udjo. Penyampaian
materi dilakukan tanpa kehadiran interpreter, namun dengan menggunakan alat
bantu yang berupa media atau sarana interpretasi dalam memperkenalkan obyek
interpretasi (Pradini 2002). Media atau sarana interpretasi yang digunakan adalah
papan informasi, papan tanda atau penunjuk arah, peta interpretasi, video, galeri
foto, website, dan leaflet serta booklet yang berisi materi interpretasi berbasis
konservasi sumber daya bambu.
7 CONTOH PROGRAM INTERPRETASI: MENGENAL BAMBU
SEBAGAI BAHAN BAKU ANGKLUNG
Dari perencanaan interpretasi yang telah diuraikan pada bab sebelumnya,
maka ditentukan dan dipilih sebanyak 2 (dua) contoh program interpretasi
prioritas dalam rangka interpretasi berbasis konservasi sumber daya bambu
sebagai bahan baku utama pembuatan Angklung di Saung Angklung Udjo.
Program interpretasi tersebut adalah (1) program pengenalan bambu sebagai
bahan baku Angklung, dan (2) program pengenalan jenis dan karakteristik bambu
50
yang menjadi bahan baku utama pembuatan Angklung. Target audiensi program
adalah pengunjung yang datang ke Saung Angklung Udjo.
Program Pengenalan Bambu sebagai Bahan Baku Angklung
Program interpretasi yang menjadi prioritas di Saung Angklung Udjo
adalah program pengenalan bambu sebagai bahan baku Angklung. Program
interpretasi ini akan dijelaskan dalam bentuk tabel, uraian deskriptif, visualisasi
gambar, serta video interaktif.
Judul Program : Mengenal Bambu Sebagai Bahan Baku Utama Angklung
Teknik : Interpretasi secara langsung : Interpretive Talk and Workshop
Target : Pengunjung (untuk semua umur)
Durasi : 30 Menit
Lokasi : Ruang Produksi Angklung
Topik/ Obyek : Sumber Daya Bambu dan Angklung
Tema : Bambu sebagai bahan baku utama pembuatan angklung
Pesan/ Materi : Bambu dalam Angklung :
Morfologi Angklung : Bagian-bagian Angklung
Bahan baku pada setiap bagian Angklung
Jenis bambu yang menjadi bahan baku utama Angklung
Tujuan : Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pengunjung
mengenai bambu dan angklung.
Sasaran : Pengunjung mengetahui jenis-jenis bambu yang menjadi
bahan baku angklung
Pengunjung bisa merasakan pengalaman secara langsung
proses pembuatan angklung
Pengunjung mengerti dan memahami pentingnya
konservasi bambu
Program interpretasi ini dilakukan di ruang produksi yaitu pusat produksi
angklung, dengan pemanduan seorang petugas (pegawai) yang disediakan oleh
pihak pengelola Saung Angklung Udjo. Dalam program interpretasi ini, petugas
berperan sebagai interpreter sekaligus memandu pengunjung yang datang ke
Saung Angklung Udjo. Bandung. Materi utama yang menjadi pesan dalam
program pengenalan bambu sebagai bahan baku Angklung ini adalah informasi
mengenai bagian-bagian Angklung yang berasal dari bambu sebagai bahan baku
utama pembuatan Angklung. Secara ringkas, skenario cerita program pengenalan
bambu sebagai bahan baku Angklung di Saung Angklung Udjo tersaji pada Tabel
7 di bawah ini.
51
Tabel 7 Skenario Cerita
No Kegiatan Lokasi/ Ruang Durasi Waktu
1 Kedatangan pengunjung di SAU Pintu Gerbang -
2 Pengunjung Berkumpul Area Parkir -
3 Perkenalan Interpreter dan Peserta Ruang Penerimaan/
Pusat Informasi 10 Menit
4 Pemaparan Materi, Workshop dan Diskusi 20 menit
Jumlah Durasi 30 Menit
Arah program interpretasi (interpretive direction) dan skema alur
pengunjung dalam program pengenalan bambu sebagai bahan baku Angklung
(Gambar 32 dan Gambar 33) menunjukan bahwa program ini merupakan salah
satu dari beberapa program yang ada di Saung Angklung Udjo.
Gambar 32 Arah program interpretasi (interpretive direction)
Masuk (Entry)
Bambu
& Angklung
Interpretasi
&Experience
Interpreter
Keluar (out)
Media
Komitmen
Masuk
Mengetahui
&
Memahami
Pengetahuan
& Kesadaran
meningkat
Pengetahuan
(Knowledge)
Kesadaran
(Awarness)
53
Dari uraian dan penjelasan gambar di atas, maka skenario cerita dalam
program pengenalan bambu sebagai bahan baku Angklung ini adalah sebagai
berikut :
1. Pengunjung masuk ke dalam kawasan Saung Angklung Udjo melalui pintu
gerbang utama.
2. Pengunjung berkumpul di area parkir mempersiapkan diri untuk menuju ruang
penerimaan
3. Seorang petugas menyambut kedatangan pengunjung.
Dengan panduan petugas SAU, pengunjung menuju ke Pusat Informasi
dan memilih program interpretasi/ paket wisata. Petugas SAU dan pengunjung
melakukan komunikasi dan perkenalan, petugas mendata identitas, jumlah dan
asal pengunjung. Petugas SAU memberikan informasi mengenai program
interpretasi yang ada di SAU, pengunjung menerima penjelasan secara lisan dari
petugas/ pemandu. Aktifitas ini berlangsung selama kurang lebih 10 menit.
Setelah menerima informasi, pengunjung memilih paket wisata di SAU. Salah
satu paket wisata yang telah dipilih oleh pengunjung adalah program interpretasi
pengenalan sumber daya bambu sebagai bahan baku angklung. Dengan dipandu
oleh petugas SAU, pengunjung berjalan menuju ke ruang produksi Angklung.
4. Program interpretasi pengenalan bambu sebagai bahan baku Angklung
berlangsung di ruang produksi Angklung.
Pengunjung menuju ke ruang produksi Angklung dengan berjalan kaki.
Selama perjalanan yang membutuhkan waktu kurang lebih 2 menit, pengunjung
menikmati suasana area Saung Angklung Udjo yang sejuk dan asri, pengunjung
bisa melihat tata hijau tanaman bambu yang tumbuh di area Saung Angklung
Udjo. Setelah tiba di ruang produksi Angklung, pengunjung bisa melihat secara
langsung proses perakitan kerangka angklung dan pengecekan serta pengemasan/
pengepakan Angklung yang siap dipasarkan.
Program interpretasi pengenalan sumber daya bambu sebagai bahan baku
Angklung dimulai dengan pemaparan yang dilakukan oleh seorang pemandu yang
sekaligus bertugas sebagai interpreter. Interpreter menggunakan teknik secara
langsung (attended service). Tema program interpretasinya adalah Bambu sebagai
bahan baku utama pembuatan Angklung. Materi interpretasi disampaikan secara
lisan (pemaparan) oleh interpreter kepada pengunjung. Materi tersebut berupa
Bambu dalam Angklung:
Morfologi Angklung: Bagian-bagian Angklung
Bahan baku pada setiap bagian Angklung,
Jenis bambu yang menjadi bahan baku utama Angklung
Pemaparan materi interpretasi oleh interpreter dilakukan secara informal
dan dengan bahasa yang komunikatif seperti layaknya kedua pihak sedang
bercakap-cakap. Pengunjung bisa langsung bertanya bila ada sesuatu yang belum
dia mengerti. Aktifitas ini berlangsung selama kurang lebih 20 menit.
Dalam melaksanakan interpretasi ini, petugas menggunakan obyek yang
berupa Angklung secara langsung untuk memperkenalkan alat musik Angklung
dan bahan baku pembuatan Angklung. Setelah selesai memberikan pemaparan,
petugas memberikan waktu untuk diskusi. Diskusi dilakukan dengan tanya jawab,
dimana pengunjung dapat mengajukan pertanyaan yang kemudian akan dijawab
dan dijelaskan oleh petugas. Selain itu, pengunjung juga bisa mendapatkan
informasi dengan membaca papan informasi yang ada di area.
54
Gambar 34 Morfologi Angklung
Gambar 35 Jenis Bambu sebagai Bahan Baku Angklung
Angklung terdiri dari beberapa bagian :
1. Tabung sora yang terdiri dari 2 Tabung
a. Tabung kecil terletak di sebelah kiri dan,
b. Tabung besar yang berada di sebelah kanan
2. Ancak yaitu bagian rangka Angklung yang dibagi
menjadi beberapa bagian :
c. Jejer bagian dari ancak (rangka angklung)
d. Tabung dasar (bawah)
e. Palang Gantung sebagai penyangga tabung sora
Sumber Daya Bambu :
1. Bambu Gombong
Tali pengikat, terbuat dari
Rotan
Sumber Daya Bambu :
2. Bambu Temen
3. Bambu Gombong
Sumber Daya Bambu :
4. Bambu Hitam
5. Bambu Tali
Sumber Daya Bambu :
6. Bambu Hitam
7. Bambu Tali
55
Dalam pemaparan materi interpretasi (interpretive talk) yang berupa
bagian-bagian Angklung, interpreter menggunakan dan memperagakan bagian-
bagian Angklung secara langsung agar pesan yang ingin disampaikan dapat
diterima dan dipahami oleh pengunjung secara mudah. Selama berlangsungnya
pemaparan, pengunjung juga diberi kesempatan untuk memegang langsung obyek
Angklung, sambil mendengarkan penjelasan dari interpreter. Penjelasan bagian-
bagian Angklung oleh interpreter, diikuti pemaparan dan penjelasan bahan baku
sebagai bahan baku utama pembuatan Angklung (Gambar 34 dan Gambar 35).
Pada program interpretasi ini, fokus penyampaian materi atau pesan interpretasi
dititikberatkan pada jenis-jenis bambu yang menjadi bahan dasar/baku dari
bagian-bagian Angklung tersebut.
Setelah pemaparan selesai dilakukan, diharapkan pengunjung senang dan
memahami mengenai sumber daya bambu yang menjadi bahan dasar pembuatan
Angklung. Pengunjung dapat melakukan pengamatan terhadap para pekerja yang
sedang merakit dan mengecek Angklung di dalam workshop pembuatan
Angklung, bahkan pengunjung diperbolehkan untuk mencoba melakukan aktifitas
pembuatan angklung, sambil mengamati bambu yang siap dirakit menjadi
angklung. Selanjutnya pengunjung dapat meninggalkan lokasi (ruang produksi
Angklung) untuk mengikuti aktifitas/program-program yang lainnya.
Dengan membawa informasi dan mendapatkan pengalaman dan
pengetahuan baru, pengunjung kembali ke tempat istirahat dan melihat ruang
display lain. Pengunjung yang merasa senang dan puas, tentu akan
menginformasikan pengalaman dan pengetahuannya ke teman-temannya yang lain
atau masyarakat lainnya.
Kegiatan interpretasi lain ialah membedakan bambu yang baru di panen
dengan bambu yang siap untuk untuk diproses menjadi angklung. Dalam kegiatan
ini, pengunjung akan diajak untuk menggunakan indera peraba, penglihatan dan
penciumannya dalam membedakan usia bambu seusai pemanenan. Bambu yang
baru dipanen memiliki bau, warna, dan karakteristik yang khas. Kegiatan ini tentu
memberi pengetahuan baru bagi pengunjung dalam mengenali bambu yang baru
dan sudah lama dipanen. Ciri-ciri bambu yang dijadikan alat musik adalah bambu
dengan usia yang relatif tua yang berkadar air rendah serta volume serat padat dan
kompak (Nuriyatin 2000). Ciri tersebut mendukung proses perambatan getaran
relatif konstan.
Saung Angklung Udjo menjadi salah satu objek wisata yang sangat
menarik pengunjung. Dengan perencanaan program interpretasi yang berjudul
mengenal bambu sebagai bahan baku angklung, pengunjung dapat mengetahui
dan mengenal lebih dalam mengenai bahan baku angklung. Di samping itu,
pengunjung akan merasa senang dan puas serta mempunyai keinginan untuk
datang lagi. Program interpretasi juga akan membentuk komitmen pengunjung
untuk ikut memelihara dan melestarikan bambu dan angklung sehingga dapat
bermanfaat bagi anak cucu di masa mendatang. Pengunjung juga akan
menginformasikan pengalaman dan pengetahuannya ke teman-temannya yang lain
atau masyarakat lainnya.
Perencanaan interpretasi di Saung Angklung direncanakan sebagai berikut:
1. Pengunjung yang datang akan disambut dengan gemerisik rumpun bambu yang
terletak di area parkir. Pengunjungkemudian dibagi menjadi kelompok dengan
jumlah anggota 5-10 orang dengan didampingi oleh satu interpreter.
56
2.Seluruh kelompok akan diarahkan ke amphiteater yang sudah disiapkan sound
system dan layar lebar. Pengunjung akan diputarkan film berdurasi 5-7 menit yang
terdiri dari 5-7 slide. Slide pertama menggambarkan rumpun bambu dan
filosofinya. Keistimewaan bambu sebagai tanaman yang tumbuh bergerombol,
memperkuat akar terlebih dahulu sebelum menumbuhkan batang, tumbuh lurus ke
atas dan memiliki sifat fleksibel namun kuat dipaparkan lewat slide presentasi.
Slide kedua mendeskripsikan mengenai manfaat bambu dari akar hingga daun,
kehidupan masyarakat yang tidak terlepas dari tanaman bambu dari mulai lahir
hingga meninggal dunia. Slide ketiga menjelaskan mengenai filosofi angklung
sehingga dinobatkan oleh Unesco sebagai World Heritage. Slide keempat
menjelaskan proses pembuatan angklung secara singkat, dan slide kelima
mendeskripsikan rusaknya hutan akibat pengambilan bambu di alam dan dengan
menggunakan metode pemanenan tebang pilih.
Dari perencanaan tersebut, pengunjung diajak untuk mengenal dan
memahami bambu sebagai tanaman dan sebagai produk angklung. Konsep
konservasi yang ditunjukkan lewat slide audio visual diharapkan mampu
menggugah sikap pengunjung akan pentingnya pelestarian bambu sebagai salah
satu perlindungan jenis bambu sebagai bahan baku angklung. Beberapa upaya
konservasi bambu disampaikan di akhir presentasi untuk mengajak pengunjung
terlibat secara langsung dalam program konservasi bambu.
Program Pengenalan Jenis dan Karakteristik Bambu Sebagai Bahan Baku
Angklung
Program interpretasi berbasis konservasi sumber daya bambu sebagai
bahan baku utama pembuatan Angklung yang menjadi prioritas di Saung
Angklung Udjo adalah program pengenalan jenis dan karakteristik bambu sebagai
bahan baku Angklung. Program interpretasi ini akan dijelaskan dalam bentuk
tabel, uraian deskriptif, dan visualisasi gambar.
Judul Program : Mengenal Jenis dan Karakteristik Bambu sebagai Bahan Baku
Angklung
Teknik : Interpretasi secara langsung dan tidak langsung
Target : Pengunjung Saung Angklung Udjo (usia dewasa 20-60 tahun)
Durasi : 30 Menit
Lokasi : Ruang Konservasi Bambu
Topik/ Obyek : Sumber Daya Bambu
Tema : 1. Karakteristik bambu merupakan tulang punggung
(backbone) Saung Angkung Udjo
2. Konservasi sumber daya bambu
Pesan/ Materi : Karakteristik bambu:
Filosofi bambu
Karakteristik bambu
Sifat fisik dan mekanik bambu
Jenis bambu yang menjadi bahan baku pembuatan
angklung : tidak semua jenis bisa digunakan
57
Kondisi dan status bambu yang menjadi bahan baku
pembuatan angklung
Konservasi sumber daya bambu :
Prinsip pengelolaan bambu
Kebijakan konservasi bambu
Upaya pelestarian bambu oleh SAU
Arboretum bambu di SAU
Pembibitan dan penanaman bambu di SAU
Tujuan : Meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran
(awareness) pengelola mengenai konservasi bambu.
Sasaran : Pengunjung mengetahui jenis-jenis bambu yang menjadi
bahan baku angklung.
Pengunjung mengerti, memahami dan menyadari
pentingnya konservasi bambu.
Pengunjung melakukan upaya konservasi sumber daya
bambu.
Program interpretasi ini dilaksanakan dengan menggunakan teknik
langsung dan tidak langsung (unattended service) atau self guide interpretive.
Teknik tidak langsung merupakan penyampaian materi yang dilakukan tanpa
kehadiran interpreter, namun dengan menggunakan alat bantu yang berupa media
atau sarana interpretasi dalam memperkenalkan obyek interpretasi. Media atau
sarana interpretasi yang digunakan adalah papan informasi dan galeri foto dan
poster, yang berisi materi jenis-jenis bambu yang menjadi bahan baku utama
pembuatan Angklung dan konservasi sumber daya bambu. Media atau sarana
interpretasi ini diletakkan pada kantor pengelola Saung Angklung Udjo, dipasang
di depan rumpun bambu yang tumbuh di Saung Angklung Udjo sesuai kebutuhan.
Dengan program interpretasi ini, diharapkan akan meningkatkan pengetahuan,
pemahaman dan kesadaran (awareness) pengunjung mengenai konservasi bambu.
Pengelola akan mencintai sumber daya bambu sehingga akan diikuti dengan
upaya konservasi/ pelestarian sumber daya bambu yang menjadi tulang punggung
usaha Saung Angklung Udjo.
Pengunjung diajak menuju arboretum bambu dan diminta
mendeskripsikan perbedaan antara bambu Hitam (G. atrovioalaceae), bambu
Temen (G. atter), bambu Tali (G. Apus) dan Bambu Gombong (G.
pseudiarundinaceae). Deskripsi bambu meliputi batang, ruas, daun, warna batang.
Aktivitas untuk pengunjung anak-anak (usia <12 tahun) ialah meningkatkan
kemampuan kognitif dan psikomotoriknya melalui:
Permainan ilmiah : Mencocokkan gambar bambu Hitam, bambu Temen,
Bambu Tali dan Bambu Gombong dengan kartu yang bertuliskan nama latin
dari ketiga bambu tersebut
Permainan lima perbedaan : menyebutkan lima perbedaan dari Bambu Hitam,
Bambu Temen, Bambu Tali dan Bambu Gombong berdasarkan tipe daun, tipe
buluh, warna buluh dan bentuk akar.
Membuat herbarium daun Bambu dan mengkreasikan sehingga menjadi
pembatas buku yang cantik.
58
Aktivitas meningkatkan kemampuan afektif adalah melalui aktivitas
menonton bersama video pemanenan bambu di alam.
Pengunjung diajak untuk membedakan secara langsung berbagai jenis
bambu yang ada. Karakterisik batang, daun dan ciri khusus dari masing-masing
jenis bambu akan diperkenalkan kepada pengunjung sebagai bentuk edukasi.
Aktivitas menggambar beragam daun bambu atau mengawetkannya menjadi
herbarium juga dapat dijadikan aktivitas untuk memperkenalkan morfologi
bambu. Hasil herbarium dapat dibawa pulang sebagai bentuk penghargaan dan
apresiasi bagi peserta. Aktivitas penutup dari program ini adalah melakukan
penanaman bambu sebagai bentuk pelestarian kesenian angklung.
8 CONTOH RENCANA PENGEMBANGAN FASILITAS
Fasilitas yang akan dikembangkan direncanakan sarat dengan nuansa
alam, khususnya sumber daya bambu. Hal ini untuk memperkuat ikatan (bonding)
pengunjung dengan bambu. Saung Angklung Udjo yang sudah memiliki
kelengkapan fasilitas cukup dikembangkan dengan nuansa dan ciri khas bambu.
Fasilitas yang akan dikembangkan antara lain: penyediaan papan interpretasi,
leaflet, peta jalur interpretasi.
Pusat Informasi
Ruang ini menjadi pusat bagi pengunjung dalam memperoleh informasi
mengenai obyek dan tema interpretasi yang terdapat di Saung Angklung Udjo.
Pusat informasi dilengkapi dengan peta lokasi Saung Angklung Udjo, peta zona
kegiatan, leaflet dan booklet mengenai sejarah angklung, jenis bambu yang ada di
lokasi serta sebuah perpustakaan mini dimana pengunjung dapat membaca
beragam pustaka mengenai bambu dan angklung. Dalam suatu pusat
informasi/pusat display perlu ditunjukkan perkembangan dan sejarah angklung
dari jaman dulu hingga masa kini. Nada asli hingga nada gubahan dari Daeng
Soetigna yang sekarang menjadi nada dari angklung Saung Udjo. Selain itu perlu
ditunjukkan jenis bambu yang digunakan dalam membuat angklung jaman dulu
hingga masa kini, proses produksi hingga upaya konservasi bambu.
Papan Interpretasi
Papan Interpretasi menjadi salah satu bagian yang menarik pengunjung
untuk mengetahui lebih jauh suatu obyek. Papan interpretasi yang akan dibuat
antara lain adalah papan informasi dan papan penunjuk arah. Papan informasi
yang akan dibuat tidak hanya menyebutkan nama dan nama latin dari suatu jenis
bambu namun akan ditambahkan dengan kegunaan dan asal dari bambu tersebut
(gambar 36). Ada jenis bambu tertentu yang lebih cocok untuk dijadikan bahan
bangunan karena memiliki serabut yang tebal. Hal ini akan memacu pengunjung
untuk mengenali dan mencari tahu lebih jauh mengenai hal tersebut.
Papan interpretasi memuat materi yang terdiri dari 2 tema interpretasi
yaitu: (1) Karakteristik bambu merupakan tulang punggung (backbone) Saung
59
Angkung Udjo, dan (2) Konservasi sumber daya bambu. Kedua tema tersebut
selanjutnya dijabarkan dalam bentuk pesan yang akan disampaikan kepada
pengunjung.
Gambar 36 Rencana Papan Interpretasi
Arboretum Bambu
Arboretum bambu di Saung Angklung Udjo berfungsi sebagai konservasi
ex-situ yang bertujuan menjaga dan membudidayakan semua jenis bambu yang
menjadi bahan baku utama pembuatan angklung untuk memberikan informasi
pengetahuan dan pendidikan bagi pengunjung.
Media Publikasi
Media publikasi yang dikembangkan berupa leaflet, brosur dan poster
yang memperkenalkan bambu dan fungsinya dengan bahasa yang mudah
dimengerti dan menarik perhatian pengunjung. Brosur dan leaflet akan tersedia
ditempat-tempat strategis seperti tempat pertunjukan, saung-saung hingga di
mushola. Poster mengenai bambu juga akan ditempatkan di ruang souvenir.
9 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Perencanaan interpretasi yang dibuat di Saung Angklung Udjo ialah
interpretasi berbasis konservasi bambu sebagai bahan baku angklung.
Ketertarikan pengunjung untuk mengenal lebih jauh tentang program interpretasi
60
berbasis konservasi bambu di Saung Angklung Udjo merupakan potensi bagi
pengelola untuk mengembangkan program wisata berbasis konservasi bambu
sebagai bahan baku angklung. Program interpretasi ini diarahkan untuk
meningkatkan apresiasi pengunjung terhadap konservasi dan keberadaan bambu
sebagai bahan baku angklung.
Perlu adanya integrasi perencanaan interpretasi wisata konservasi bambu ke
dalam rencana pengelolaan Saung Angklung Udjo sehingga dapat
mengoptimalkan pengenalan bambu sebagai bahan baku utama angklung.
Peningkatan promosi dan informasi terkait program wisata konservasi bambu
sebagai bahan baku angklung untuk memaksimalkan pengelolaan bambu sebagai
bahan baku angklung dengan tetap memperhatikan kelestariannya diharapkan
menjadi bagian dari bentuk sosialisasi meningkatkan pemahaman pengunjung
yang datang ke Saung Angklung Udjo
Saran
Perencanaan interpretasi di Saung Angklung Udjo merupakan interpretasi
yang berbasi pada konservasi bambu sebagai bahan baku angklung. Salah satu
bentuk konservasi bambu dengan upaya budidaya bambu khususnya jenis bambu
untuk angklung serta penggunaan metode tebang pilih untuk pengelolaan bambu
yang berkelanjutan. Sebagai pengelola, pihak Saung Angklung Udjo perlu
mengintegrasikan perencanaan interpretasi wisata konservasi bambu kedalam
rencana pengelolaan Saung Angklung Udjo sekaligus mendukung pemberdayaan
stakeholder dalam pelaksanaan perencanaan interpretasi wisata konservasi bambu
sebagai bahan baku angklung.
DAFTAR PUSTAKA
Alamendah Blog. 2011. Jenis-jenis Bambu di Indonesia. [internet]. [Diacu 2012
Mei 4]. Tersedia di: http://alamendah.org/2011/01/28/jenis-jenis-
bambu-di-indonesia/.
Alderson.W.T & Low S.P. (1985) Interpretation of Historic Site. Nashville, TN:
American Association for State and Local History.
Anneahira.com. 2000. Angklung Kanekes. [internet]. [Diacu 2013 Mei
29].Tersedia di http://www.anneahira.com/angklung-kanekes.htm.
Archer. D& Wearing S. 2003. Self, Space, and Interpretive Experience: The
Interactionism of Environmental Interpretation. Journal of
Interpretation Research Vol 8 No 1: Pages 7-23
Bamboo the Giant Grass. 1991.[internet]. [Diacu 2013 Februari 6]. Tersedia di
http://www.bambooland.com.au/Information/Bamboo-the-giant-grass
Bamboo Terminology. 1991. [internet].[Diacu 2013 Maret 5]. Tersedia di
http://www.bambooland.com.au/Information/Bamboo-terminology
Departemen Kehutanan, 1990. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Direktorat Jenderal PHPA. 1988. Pedoman Interpretasi Taman Nasional.Proyek
Pengembangan Taman Nasional dan Hutan Wisata. Bogor
61
Environmental Bamboo Foundation Holland, 1996.Bamboo : The Alternative for
Tropical Timber. The Environmental Bamboo Foundation Journal
No.1.
Environmentally Fiendly. 1991. [internet]. [Diacu 2013 Maret 12]. Tersedia di
http://www.bambooland.com.au/Information/Environmentally-
friendly
Fathony, T.2011. Research and Development on Bamboo and Other NTFPs in
The Ministry of Forestry, Indonesia. Gintings, A.Ng., Wijayanto, N.
(Eds.). Proceedings of International Seminar: Strategies and
Challenges on Bamboo and Potential Non Timber Forest Products
(NTPs) Management and Utilization. 23-24 November 2011, Bogor,
Indonesia.Bogor (ID): Centre for Forest Productivity Improvement
Research and Development. hlm 1-10
Ganjar, K. 2003. Deskripsi Kesenian Jawa Barat. Bandung (ID): Dinas
Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung.
Gigantochloa apus. 1991. [internet]. [Diacu 2013 Januari 3]. Tersedia di
http://www.bambooland.com.au/Bamboo/Gigantochloa-apus
Gigantochloa pseudoarundinacea (Steudel) Widjaja. 2010. [internet]. [Diacu
2012 Mei 6].Tersedia
dihttp://www.bambubos.com/index.php?page=gigantochloa-
pseudoarundinacea-steudel-widjaja.
Gigantochloa atroviolaceae. 1991. [internet]. [Diacu 2013 Januari 14]. Tersedia
di http://www.bambooland.com.au/Bamboo/Gigantochloa-
atroviolaceae
Gigantochloa Awi Temen. 1991. [internet]. [Diacu 2013 Juni 18]. Tersedia di
http://www.bambooland.com.au/Bamboo/Gigantochloa-Awi-Temen
Ham, S.H. 1992. Environmental Interpretation :A Practical guide for People with
Big Ideas and Small Budgets. Fulcrum Publishing Golden, Colorado.
Heriyaningtyas. 2009. Metode Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta.
Irawan B, Rahayuningsih S.R, Kusmoro J. 2006. Keanekaragaman Jenis Bambu
di Kabupaten Sumedang Jawa Barat. Universitas Padjajaran.
Bandung
Jonkhart, J. 2011. Importance of Bamboo and Rattan in International Market:
Strategy and Challenges on Bamboo and Potential Non Timber Forest
Product Management and Utilization. Gintings, A.Ng., Wijayanto, N.
(Eds.). Proceedings of International Seminar: Strategies and
Challenges on Bamboo and Potential Non Timber Forest Products
(NTPs) Management and Utilization. 23-24 November 2011, Bogor,
Indonesia.Bogor (ID). Centre for Forest Productivity Improvement
Research and Development. hlm 11-44
Knapp D, Benton G. M. 2004. Elements to Successful Interpretation: A Multiple
Case Study of Five National Parks.Journal of Interpretation, Volume
9, Number 2.
Lewis, W.1980.Interpreting for Park Visitors. USA: Eastern Acorn Press.
Mary, A.H. 1997. Workbook for Planning Interpretive Projects in California State
Parks. Interpretation Section, Parks Service Division, California State
Parks, www.parks.ca.gov.
62
Membuat Angklung. 2012. [internet]. [Diacu 2012 Agustus 15]. Tersedia di
http://www.angklung-udjo.co.id/id/angklung/making-angklung/
Model Desa Konservasi. 2009. [internet]. [Diacu 2012 Juni 18]. Tersedia di
http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/5107
Moscardo, G.1998. Interpretation and Sustainable Tourism: Function, examples,
and principles. The Journal of Tourism Studies Vol 9 No1. May 1998
:Pages 1-12.
Mullins, G.W. 1979. Plan Ahead for Interpretation. Environmental Interpretation
Workshop, TVA/Murray State University. Golden Pond, Kentucky.
Muntasib, E.K.S.H. 2003. Interpretasi Wisata Alam. Institut Pertanian Bogor.
Nandika D, Matangaran J.R, Darma I.G.K.T. 1994. Keawetan dan Pengawetan
Bambu. Didalam: Widjaya E, Rifai M, Subiyakto B, Nandika D,
editor. Strategi Penelitian Bambu Indonesia.Sarasehan Penelitian
Bambu Indonesia ; 1994 Juni 21-22; Serpong, Indonesia. Serpong
(ID): Yayasan Bambu Lingkungan Lestari. hlm 112-116
Nuriyatin, N. 2000. Studi Analisa Sifat-Sifat Dasar Bambu pada Beberapa
Tujuan. Tesis. Institut Pertanian Bogor.
Pearce P.L, Moscardo G. 2007. An Action Research Appraisal of Visitor Center
Interpretation and Change.Journal of Interpretation, Volume 12,
Number 1
Pearce, P.L. 2004.The Function and Planning of Visitor Centers in Regional
Tourism.The Journal of Tourism Studies Vol 15 No 1.May 2004:
Pages 1-10
Povey K.D, Rios J. 2002. Using Interpretive Animals to Deliver Affective
Messages in Zoos. Journal of Interpretation Volume 7 Number 2.
Pertunjukan Bambu Petang. 2012. [internet]. [Diacu 2012 Maret 14]. Tersedia di:
http://www.angklung-udjo.co.id/id/attraction/art-performance/.
Pradini, S. 2002. Perencanaan Interpretasi Biota Air di Suaka Margasatwa Muara
Angke. Tesis. Institut Pertanian Bogor.
Rifai, M.A. 1994. Ke Arah Keterpaduan Penelitian Bambu di Indonesia. Makalah
yang disampaikan pada Sarasehan Penelitian Bambu Indonesia,
Serpong 21-22 Juni 1994: 16-28.
Sharpe, G.W. 1982. Interpreting the Environment (2nd edition). John Willey
&Sons, Inc.
Sejarah Angklung. 2012. [internet]. [Diacu 2012 April 16]. Tersedia di
http://www.angklung-udjo.co.id/id/angklung/history-of-angklung/.
Sulthoni, A.1994.Permasalahn Sumber Daya Bambu di Indonesia.Didalam:
Widjaya E, Rifai M, Subiyakto B, Nandika D, editor. Strategi
Penelitian Bambu Indonesia.Sarasehan Penelitian Bambu Indonesia;
1994 Juni 21-22; Serpong, Indonesia. Serpong (ID): Yayasan Bambu
Lingkungan Lestari. hlm 30-35
Supardiman, B. 2007.Angklung.[internet]. [Diacu 2012 Februari 23].Tersedia di
http://angklung-web-institute.com/content/view/177/74/lang,en/.
Sutiyono.2006. Koleksi Jenis-jenis Bambu Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hutan dan Konservasi Alam Bogor di Stasiun Penelitian Hutan
63
Arcamanik,Bandung. Makalah Penunjang disajikan pada Ekspose
Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi
SumberdayaHutan. Padang, 20 September 2006. Padang (ID).
Syafii, S. 2009. Udjo : Diplomasi Angklung. Bandung (ID): Grasindo
Untung K,Widjaja E, Garland L, Gustami, Indraningsih W.1998. Strategi
Nasional dan Rancang Tindak Pelestarian Bambu dan
Pemanfaatannya Secara Berkelanjutan di Indonesia.
Veverka, J. A. 1998. Planning Truly "Interpretive" Panels.In Interpretation –
theJournal for the Society of the Interpretation of Britain‟s Heritage.
February, 2008
Veverka, J.A.1994. Interpretive Master Planning: For parks, historic sites,
forests, zoos, and related tourism sites, for self-guided interpretive
services, for interpretive exhibits, for guided programs/tours. Falcon
Press
Tilden, F. 1977. Interpreting Our Heritage.3rd
Edn. Chapel Hill.The University of
North Carolina Press. New York.
TheMarketers.com. 2013. Marketing 3.0 Dibalik Filosofi Angklung.
[internet].[Diacu 2013 Mei 29]. Tersedia di http://the-
marketeers.com/archives/marketing-3-0-dibalik-filosofi-
angklung%E2%80%A6-2.html
Widjaya, E.A 1990. Pemanfaatan Sumber daya Bambu di Indonesia :Prospek
Penelitian dan Pengembangannya dalam Sastrapradja, D., Alfian,
Rifai, M.A & Kahar (Penyunting). Risalah Kongres Ilmu Pengetahuan
Nasional Iv. Buku III. Dimensi Sumber Daya alam :99-116
Widjaja, E. A. 2001(a). Identikit Jenis-jenis Bambu di Kepulauan Sunda Kecil.
Puslitbang Biologi LIPI. Bogor.
Widjaja, E. A. 2001(b). Identikit Jenis-jenis Bambu di Jawa. Puslitbang Biologi
LIPI. Bogor.
Widjaja, E. A., N. W. Utami dan Saefudin. 2004. Panduan Membudidayakan
Bambu. Puslitbang Biologi LIPI. Bogor.
Wiles R, Hall T.E.2005. Can Interpretive Messages Change Park Visitors‟Views
on Wildland Fire?Journal of Interpretation, Volume 10, Number 2.
Winter, P.L. 2006.The Impact of Normative Message Types on Off-Trail Hiking.
Journal of Interpretation, Volume 11, Number1.
Wong, KM. 2004. Bamboo The Amazing Grass : A Guide to Diversity and Study
of Bamboos in Southeast Asia. Malaysia: International Plant Genetic
Resources Intitute.
Xingcui, D. 2011. Bamboo cultivation and Processing Industries in China.
Gintings, A.Ng., Wijayanto, N. (Eds.). Proceedings of International
Seminar: Strategies and Challenges on Bamboo and Potential Non
Timber Forest Products (NTPs) Management and Utilization. 23-24
November 2011, Bogor, Indonesia. Bogor (ID). Centre for Forest
Productivity Improvement Research and Development. hlm 45-70
64
Zuhud, E.A.M. 2008. Mengembangkan Multisistem Silvikultur dengan
Pendekatan Holistik Tri Stimulus AMAR (Alamiah, Manfaat, Religius)
Pro Konservasi. IPB.
Zuhud, E.A.M. 2011. Pengembangan Desa Konservasi Hutan Keanekaragaman
Hayati untuk Mendukung Kedaulatan Pangan dan Obat Keluarga
(POGA) Indonesia dalam Menghadapi Ancaman Krisis Baru Ekonomi
Dunia di Era Globalisasi. Orasi Ilmiah Guru Besar dalam rangka Dies
Natalis IPB ke -48. IPB Press. Bogor. Indonesia
Zuhud Eam, K Sofyan, Lb Prasetyo, H Kartodihardjo. 2007. Sikap Masyarakat
dan konservasi, Suatu Analisis Kedawung (Parkia timoriana (DC)
Merr.) sebagai stimulus tumbuhan Obat bagi Masyarakat , Kasus di
Taman Nasional Meru Betiri. Media Konservasi, Jurnal Ilmiah Bidang
Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Lingkungan. Vol XII/No. 2
September 2007.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banyuwangi pada tanggal 5 Oktober 1986 sebagai
anak sulung dari pasangan Pitoyono M.Pd dan Wiwik Nuryati S.Pd. Pendidikan
sarjana ditempuh di Program Studi Biologi dan Pendidikan Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang, lulus pada
tahun 2009. Kesempatan untuk melanjutkan ke program master di Program Studi
Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan pada Program Pascasarjana IPB
diperoleh pada tahun 2010.
Penulis bekerja di Perusahaan Swasta yang bergerak di bidang investasi
Pengelolaan Pariwisata Alam di Kawasan Konservasi milik Kementerian
Kehutanan. Penulis pernah menjadi volunteer World Ecotourism Conference yang
dilaksanakan di Sihanoukville, Kamboja 3-5 Oktober 2011. Penulis juga aktif
dalam keorganisasian BEST (Bogor Ecotourism and Sustainable Tourism).
Artikel yang berjudul Perencanaan Interpretasi Berbasis Konservasi Bambu
sebagai Bahan Baku Angklung di Saung Angklung Udjo sedang dalam proses
review oleh Tim Redaksi Jurnal Masyarakat, Kebudayaan, Politik Unair. Karya
ilmiah yang berjudul Interpretive Planning Based on Bamboo Conservation as
Angklung Raw Material at Saung Angklung Udjo sedang dalam proses review
untuk disajikan dalam 3rd
Regional Conference of Tourism Research di Langkawi,
Malaysia pada bulan Oktober 2013. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari
program S-2 penulis.
Top Related