PEREMPUAN SASAK DALAM EKSPRESI VISUAL
Transcript of PEREMPUAN SASAK DALAM EKSPRESI VISUAL
i
PEREMPUAN SASAK DALAM EKSPRESI VISUAL
(PEREMPUAN SEBAGAI PENYANGGA KELUARGA,
PENJAGA TRADISI, DAN PELAKU SENI)
DISERTASI
Program Doktor Penciptaan dan Pengkajian Seni
Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Minat Utama Penciptaan Seni Rupa
Lucky Wijayanti
1230092511
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA
2019
i
PEREMPUAN SASAK DALAM EKSPRESI VISUAL
(PEREMPUAN SEBAGAI PENYANGGA KELUARGA,
PENJAGA TRADISI, DAN PELAKU SENI)
DISERTASI
Program Doktor Penciptaan dan Pengkajian Seni
Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Minat Utama Penciptaan Seni Rupa
Lucky Wijayanti
1230092511
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA
2019
ii
PEREMPUAN SASAK DALAM EKSPRESI VISUAL
(PEREMPUAN SEBAGAI PENYANGGA KELUARGA,
PENJAGA TRADISI, DAN PELAKU SENI)
DISERTASI
Untuk memperoleh Gelar Doktor
Dalam Program Penciptaan dan Pengkajian Seni
Minat Utama Penciptaan Seni Rupa
Pada Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Telah dipertahankan di hadapan
Panitia Ujian Doktor Terbuka
Pada hari : Jumat
Tanggal : 5 April 2019
Jam : 09.00 – 11.00 WIB
Oleh :
Lucky Wijayanti
1230092511
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA
2019
iii
iv
Telah diuji Ujian Tahap I (Tertutup)
Tanggal : 15 Februari 2019
Dan disetujui untuk dilanjutkan ke Ujian Tahap II (Terbuka)
PANITIA PENGUJI DISERTASI
Ketua : 1. Prof. Dr. Djohan, M.Si
Anggota : 2. Prof. Dr. Setiawan Sabana, M.F.A
3. Dr. Suastiwi, M.Des
4. Kurniawan Adi Saputro, Ph.D
5. Dr. St. Sunardi
6. Dr. Suwarno Wisetrotomo, M.Hum
7. Wiwik Sushartami, Ph.D
8. Prof. Dr. M. Agus Burhan, M.Hum
9. Dr. Gr. Lono Lastoro Simatupang, MA
Ditetapkan dengan Surat Keputusan
Direktur PPs Institut Seni Indonesia Yogyakarta
No:142/IT4.4.1/KP/2019
Tanggal 6 Februari 2019
v
vi
PRAKATA
Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT, Sang pemilik ilmu dan
pemberi manfaat kepada mahkluk yang dikehendaki-Nya. Yang telah memberi
kesempatan kepada saya untuk menyelesaikan laporan Disertasi Penciptaan Seni
dengan judul Perempuan Sasak dalam Ekspresi Visual (Perempuan sebagai
Penyangga Keluarga, Penjaga Tradisi, dan Pelaku Seni). Disertasi ini dibuat
sebagai persyaratan dalam mengikuti program studi Penciptaan Seni, Program
Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Penulisan ini sebagai bagian
dalam perkuliahan dan merupakan pertanggungjawaban ilmiah terhadap
penciptaan karya seni rupa yang dapat terwujud berkat bimbingan dan bantuan
dari berbagai pihak, dengan mengucapkan terima kasih kepada: Prof. Dr.
Setiawan Sabana, MFA selaku Promotor, dan Dr. Suastiwi, M.Des, selaku
Kopromotor. Demikian pula kepada para pembimbing dan penguji: Prof. Dr.
Djohan, M.Si., Prof. Dr. M. Agus Burhan, M.Hum., Prof. M. Dwi Marianto,
MFA.Ph.D., Prof. Drs. Gustami M.Hum., Prof. Drs. Soeprapto Soedjono MFA.
Ph.D., Prof. Sugiyono, Dr. St. Sunardi, Dr.H. Suwarno Wisetrotomo, Kurniawan
Adi Saputro Ph.D., Wiwik Sushartami, Ph.D., Dr. Gr. Lono Lastoro Simatupang,
MA., Dr. Prayanto Widyo Harsanto, M.Sn., Dr. Fortunata Tyasrinestu, M.Si.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada para narasumber yang telah
bersedia memberikan informasi yang sangat berguna: Agus Fathurahman,
Dhyani Hendranto, Dolorosa Sinaga, Hanny Winotosastro, Hunaeni, Kurnain, L.
Suryadi Mulawarman, Mawar, Marni, Nia Fliam, Noor Sudiyati, Nurhadi,
Nurhaeni, Rahmat, Pariyoni.
Pimpinan, para dosen Fakultas Seni Rupa-Institut Kesenian Jakarta, dan
sahabat baik yang telah mendukung studi lanjut penulis: Ki Slamet Rahardjo
Djarot, Prof. Sapardi Djoko Damono, Dr. Wagiono Sunarto, Dr. Seno Gumira
Adjidharma, Prof. I. Bambang Soegiarto, Dr. Indah Tjahjawulan, Dr. Iwan
Gunawan.
Kerabat dan sahabat baik yang setia menemani dalam diskusi: Dr. Yuke
Ardhiati, Dr. Indro, Dr. Bing, Dr. Andrian, Dr. Bedjo, Dr. Devi, Dr. Naam, Dr.
vii
Sriti, Dr. Noor, Dr. Supriyatini, Dr. Kun, Dr. Miroto, Dr. Denny, Dr. Koes
Yuliadi, Dr. Yan Yan, Dr. Mita. Sahabat baik yang menemani dalam perjuangan:
jeng Inty, Noni, Ciasyam, mas Sinthu, Mukhsin, Tony, Adityayoga, Suko, Nicko,
dan lainnya.
Untuk keluarga yang sangat mencintai, mendukung, dan selalu dalam
do‟a, (alm) Zulaicha Marzuki, (alm) T. Soediarto, (alm) Ahmad Mirza Julistia,
ananda Ahmad Raihan, dan Ahmad Farizi.
Persembahan hasil pencarian ilmu, tugas dan usaha dikerjakan agar dapat
memberi manfaat. Penulis menyadari sepenuhnya masih ada kekurangan dan
dapat disempurnakan lebih lanjut, maka saya menerima masukan sebagai langkah
menuju kesempurnaan. Terimakasih.
Yogyakarta, 5 April 2019
Lucky Wijayanti Ryanthi Soediarto.
viii
ABSTRACT
Artwork as part of cultural heritage, is the result of perceived thoughts and
feelings that are thought of as expressions of intellectual artists who can explore
and produce new works of art. The background in this investigation is the Sasak
women and their work in the social structure of the Sasak culture which will be
visualized as works of art through textiles, especially weaving.
The method of creation uses the type of artistic research, that is, artists as
researchers practice or work based on the results of investigations in the field in
order to produce new works in the form of texts, discourses, and works of art. The
creative process in realizing the work is divided into three parts, namely: (i) The
process of collecting data, using the term underwater, namely “underwater”, (ii)
The process of selecting data, using “critical” terms, and (iii) Creative processes,
using dancing terms with soul, “dance ot the soul”.
The visualized work through weaving along 15 (fifteen) meters is an
exploration of "rasa" and essence as a woman who processes in building a family.
Cotton yarn material and cotton flowers, the growth results of cotton plants that
are well maintained, such as children in the family will grow and develop
normally, if they live in a good family environment.
Artwork as an embodiment of women in preserving tradition, shows
motives that are formed due to abstract colored warp threads. Visualized motives
become dynamic, magical, and centered. This is a metaphor of the nature of
women, being transparent, floating, and meditative, in situations of magical and
dramatic atmosphere.
Artwork as a manifestation of women carrying out cultural arts, visualized
from the realization of women's characteristics, becomes: playing, dimensioning,
festive, dynamic, attractive and giving rise to new forms. Embodiment through a
variety of weaving techniques with a blend of material that shows the results of
old and new cultures so that they are dynamic and attractive.
Keywords: femininity, Sasak culture, rasa, and weaving.
ix
ABSTRAK
Karya seni sebagai bagian warisan budaya, merupakan hasil pikiran yang
dirasakan dan perasaan yang dipikirkan sebagai ungkapan intelektual seniman
yang dapat mengeksplorasi dan memproduksi karya seni baru. Latar belakang
dalam penyelidikan ini adalah perempuan Sasak dan pekerjaannya dalam struktur
sosial budaya Sasak yang akan divisualkan menjadi karya seni melalui medium
tekstil khususnya tenun.
Metode penciptaan menggunakan tipe penelitian artistic research, yaitu
seniman sebagai peneliti melakukan praktik atau proses berkarya berdasarkan
hasil penyelidikan di lapangan dalam rangka memproduksi karya baru berupa
teks, wacana, dan karya seni. Proses kreatif dalam mewujudkan karya terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu: (i) Proses pengumpulan data, menggunakan istilah
tahap di bawah air, yaitu underwater, (ii) Proses penyeleksian data, menggunakan
istilah kritis, dan (iii) Proses kreatif, menggunakan istilah menari dengan jiwa,
dance of the soul.
Karya tervisualkan melalui tenun sepanjang 15 (lima belas) meter
merupakan eksplorasi “rasa” dan esensi sebagai perempuan yang berproses dalam
membangun keluarga. Material benang kapas dan bunga kapas, hasil pertumbuhan
dari tanaman kapas yang dipelihara dengan baik, seperti anak-anak dalam
keluarga akan tumbuh dan berkembang normal, bila hidup pada lingkungan
keluarga yang baik.
Karya seni sebagai perwujudan perempuan dalam menjaga tradisi,
memperlihatkan motif yang terbentuk karena benang lungsi yang berwarna
abstrak. Motif tervisualkan menjadi dinamis, magis, dan terpusat. Hal ini
merupakan metafora dari sifat perempuan, menjadi transparan, melayang, dan
meditatif, pada situasi suasana magis dan dramatik.
Karya seni sebagai perwujudan perempuan menjalankan seni budaya,
tervisualkan dari pemetaforaan sifat perempuan, menjadi: bermain-main,
berdimensi, festive, dinamis, atraktif dan memunculkan bentuk-bentuk baru.
Perwujudan melalui keragaman teknik tenun dengan perpaduan material yang
memperlihatkan hasil budaya lama dan baru sehingga berkesan dinamis dan
atraktif.
Kata kunci: keperempuanan, budaya Sasak, rasa, dan tenun.
x
PEREMPUAN SASAK DALAM EKSPRESI VISUAL (PEREMPUAN SEBAGAI PENYANGGA KELUARGA, PENJAGA
TRADISI, DAN PELAKU SENI)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN iii
PRAKATA v
ABSTRACT viii
ABSTRAK ix
DAFTAR ISI x
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR xiii
DAFTAR SKEMA xiii
DAFTAR ISTILAH xxiii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Ide Penciptaan 2
B. Rumusan Masalah Penciptaan 10
C. Estimasi Karya dan Metode Penciptaan 10
D. Tujuan dan Manfaat Penciptaan 11
II. TINJAUAN PUSTAKA, KARYA-KARYA
TERDAHULU, DAN TEMUAN TEORETIKAL
A. Tinjauan Pustaka 13
B. Tinjauan Objek Penelitian 27
C. Tinjauan Karya-Karya Terdahulu 33
1. Tenun Sasak 34
2. Konsep Seni Batik Karya Nia Fliam 38
3. Konsep Estetik Karya Linda Banks Hansee 40
4. Keramik Karya Noor Sudiyati 42
5. Asesoris Karya Dhyani Hendranto 43
6. Patung Karya Dolorosa Sinaga 44
D. Temuan Konsep Penciptaan 46
1. Temuan Konseptual Perempuan Sasak 47
dengan Pekerjaannya
2. Temuan Konseptual Perempuan Sasak 49
dalam Proses Kreatif
3. Temuan Material, Alat, Struktur Tenun,
dan Visual Karya 54
xi
Resume 58
III. PROSES PENCIPTAAN 61
A. Pengolahan Gagasan (Rasa dan Esensi) 69
B. Olah Visual dan Transformasi Bentuk (Kontras) 71
C. Struktur Tenun dan Proses Perwujudan Karya
(Pemetaforaan) 76
D. Penyajian Karya Tenun (Visualisasi) 88
Resume 91
IV. ANALISIS DAN SINTESIS
A. Analisis Karya Tenun Tentang Perempuan 94
B. Sintesis Proses Berkarya 108
Resume 123
V. PENUTUP
A. Kesimpulan 124
B. Saran 127
KEPUSTAKAAN xiv
DAFTAR ISTILAH xxiii
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Relasi budaya, perempuan, jenis pekerjaannya 49
dan ekspresi visual
Tabel 2.2. Struktur bentuk, fungsi tenun, dan peran perempuan 56
Tabel 3.3. Model penelitian hubungan antara 61
praktek seni dan penelitian
Tabel 3.4. Kombinasi Proses kreatif dari Mihaly 67
dan operasional proses kreatif peneliti
Tabel 3.5. Relasi estetika rasa dengan representasi karya 69
Tabel 3.6. Temuan pola tenun 72
Tabel 3.7. Transformsi sketsa tenun Perempuan Penyangga 73
Keluarga dan temuan rancangan
Tabel 3.8. Transformsi sketsa tenun Perempuan Penjaga 74
Tradisi dan temuan rancangan
Tabel 3.9. Transformsi sketsa tenun Perempuan Pelaku 75
Seni dan temuan rancangan
Tabel 3.10. Elemen rupa dan visual pada tenun 77
Tabel 3.11. Perwujudan Sketsa Tenun 79
Tabel 3.12. Proses visualisasi simbol perempuan 80
Tabel 3.13. Relasi teknik tenun dengan keperempuanan 82
Tabel 3.14. Proses penciptaan karya Perempuan 84
Penyangga Keluarga
Tabel 3.15 Proses penciptaan karya Perempuan 86
Penjaga Tradisi
Tabel 3.16 Proses penciptaan karya Perempuan 88
Pelaku Seni
Tabel 4.17 Analisis Penyajian Karya Perempuan 95
Penyangga Keluarga
Tabel 4.18 Analisis Struktur Tenun Perempuan 97
Penyangga Keluarga
Tabel 4.19 Analisis Penyajian Karya Perempuan 98
Penyangga Keluarga
Tabel 4.20 Analisis Penyajian Karya Perempuan 99
Penjaga Tradisi
Tabel 4.21. Analisis Struktur Tenun Perempuan 101
Penjaga Tradisi
Tabel 4.22. Analisis Penyajian Karya Perempuan 102
Penjaga Tradisi
Tabel 4.23. Analisis penyajian karya Perempuan 104
Pelaku Seni
Tabel 4.24. Analisis Struktur Tenun Perempuan 106
Pelaku Seni
Tabel 4.25. Analisis Penyajian Karya Perempuan Pelaku Seni 107
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Kain tenun Umba‟ 36
Gambar 2.2. Karya tekstil Nia Fliam 39
Gambar 2.3. Karya tenun Linda Banks Hansee 41
Gambar 2.4. Karya keramik Noor Sudiyati 42
Gambar 2.5. Karya asesoris Dhyani Hendranto 44
Gambar 2.6. Display pameran karya patung Dolorosa Sinaga 45
Gambar 3.7. Denah pameran 89
Gambar 3.8. Arena pameran karya 89
Gambar 4.9. Karya Perempuan Penyangga Keluarga 96
Gambar 4.10. Karya Perempuan Penjaga Tradisi 100
Gambar 4.11. Karya Perempuan Pelaku Seni 105
Gambar 4.12. Relasi Tenun Sasak dengan Karya Tenun Baru 121
DAFTAR SKEMA
Halaman
Skema 2.1. Posisi budaya pada masyarakat 18
Skema 2.2. Temuan konsep penciptaan 60
Skema 3.3. Relasi antara konsep estetika rasa dengan 92
representasi karya
Skema 3.4. Interprestasi simbolik keperempuanan pada 93
wujud karya
Skema 4.5. Tahapan Refleksi Proses Kreatif 119
1
PEREMPUAN SASAK DALAM EKSPRESI VISUAL
(PEREMPUAN SEBAGAI PENYANGGA KELUARGA,
PENJAGA TRADISI, DAN PELAKU SENI)
DISERTASI
Untuk memperoleh Gelar Doktor
Dalam Program Penciptaan dan Pengkajian Seni
Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Minat Utama Penciptaan Seni Rupa
Oleh:
Lucky Wijayanti
1230092511
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA
2019
2
I. PENDAHULUAN
Karya seni yang lahir dari hasil penyelidikan merupakan pengejawantahan
sebuah pemikiran, perenungan dan pemaknaan baru berdasarkan nilai-nilai artistik
yang diekspresikan melalui medium seni rupa. Latar belakang dalam penyelidikan
ini adalah tentang Perempuan Sasak dan peran pekerjaannya dalam struktur sosial
budaya Sasak yang akan divisualkan menjadi karya seni melalui medium tekstil,
khususnya tenun. Objek yang akan diteliti merupakan realita sehari-hari yang
dijumpai penulis sehingga menjadi pengalaman yang sangat berharga.
A. Latar Belakang Ide Penciptaan
Perjalanan dalam menjalani proses kreatif sebagai seorang seniman ke Tanah
Toraja sampai ke Nusa Tenggara Barat, menjadi bagian tak terpisahkan dari
kehidupan penulis, yaitu perjalanan dalam menemui dunia keperempuanan yang
spesifik dan luar biasa. Perenungan atas perjalanan tersebut menjadi titik balik
pemikiran ulang tentang peran perempuan dan pekerjaannya. Posisi perempuan
diamati melalui sudut pandang sosiologis dan budaya berdasarkan aktivitas
pekerjaan yang dilakukannya.
Penulis seorang perempuan, istri, dan ibu yang berprofesi sebagai
seniman, serta bekerja dalam dunia pendidikan yang kerap kali melakukan
perjalanan ke berbagai tempat, antara lain: Indramayu, Pekalongan, Solo,
Yogyakarta, Toraja, Kupang, dan Lombok. Perjalanan tersebut menghasilkan
interaksi dengan perempuan pekerja, seperti: para perajin, pedagang sayur, kuli
3
angkat batu, kondektur bus, dan lain sebagainya, hal ini menjadi referensi yang
nyata dalam penyelidikan selanjutnya.
Diri perempuan, secara alami memiliki struktur anatomi tubuh dengan alat
reproduksi khas yang membuat dirinya lebih kuat pada saat proses kehamilan,
kelahiran, dan menyusui seorang bayi. Hal ini pun terkait dengan tanggung jawab
yang berbeda dari seorang laki-laki. Konsekuensi ini membawa ciri yang unik,
sehingga tubuhnya memiliki estetika yang khas. Keindahan ini memuat cita rasa
estetis yang spesifik. Segala sesuatu yang dikenakan dan terjadi pada tubuh
perempuan akan dikaitkan dengan keindahan. Tubuh dapat dimaknai berdasarkan
objektif dan subjektif. Tubuh dengan makna objektif, secara anatomis tersusun
dari bagian-bagian biologis yang kompleks, mengagumkan, rumit, dan sebagai
media untuk meneruskan keberlangsungan hidup manusia. Secara subjektif tubuh
perempuan diagungkan dalam kegiatan ritual manusia dan dimaknai secara
simbolik melalui karya seni. Estetika tubuh sebagai karya seni alami dan bagian
keindahan.
Sementara di luar tubuh itu sendiri terdapat aturan yang harus dijalani,
terlepas dari aturan tersebut disetujui atau tidak. Banyak persoalan yang harus
dihadapi untuk mencapai tingkat kebijaksanaan sebagai perempuan. „Perempuan‟
berasal dari kata „empu‟ yang berarti „yang dituankan sebagai berkemampuan‟.
Perempuan diterjemahkan sebagai orang yang memiliki otoritas atas diri dan
tubuhnya (Sutrisno, 2005). Kecerdasan intelektual yang melengkapi keterampilan
serta ketelitiannya, menjadikan perempuan dapat mengasuh anak dan bekerja
secara bersamaan dalam memperjuangkan kehidupannya.
4
Wacana tentang perempuan diatur berdasarkan struktur sosial, bahkan
dikonstruksi dalam pekerjaan, status sosial, keluarga dan budaya. Hal ini
berakibat pada penempatan posisi; menjadi istimewa dan baik atau hanya sebagai
objek dari kekuasaan. Banyak hal di luar dirinya, disadari atau tidak, dipengaruhi
oleh faktor internal dan eksternal. Seorang perempuan dewasa akan memilih
untuk tetap menjadi diri sendiri atau bersanding di pelaminan, menjadi bagian dari
sebuah keluarga. Mulai dari dua individu yang saling mendukung, suami dan istri,
bersama-sama membangun suatu komitmen untuk membentuk keluarga serta
menghadirkan anak-anak. Tujuan keluarga adalah untuk membentuk karakter
anggota keluarga menjadi baik, ideal, dan mewujudkan cita-cita. Berdua
mendidik, menafkahi, dan mengantarkan anak-anak sampai ke jenjang
pembentukan keluarga kembali, demikian seterusnya. Itu adalah sebuah
kehidupan yang baik dan ideal. Namun dapat terjadi, seorang istri berpisah
dengan pasangannya, yang berakibat pada seorang perempuan harus menanggung
seluruh kebutuhan keluarga.
Perempuan beraktivitas dengan pekerjaannya dan bergulat dengan
persoalan kehidupan sehari-hari. Rutinitas pekerjaan itu membuat posisi
perempuan berada dalam dua arena; arena pertama yang baik, benar, dan sesuai,
dan arena kedua yang tidak baik, salah, dan tidak tepat berdasarkan harga dirinya.
Untuk mengamati persoalan itu diperlukan jarak dalam melihat agar realita yang
ada dapat ditinjau secara objektif dan rasional. Objektivitas dan rasionalitas
tersebut sangat penting karena berfungsi untuk memaknai jati diri perempuan dan
memposisikan perempuan pada struktur sosial dan budaya. Perempuan sebagai
5
pencari nafkah dapat saja berprofesi sebagai pelaku industri, pegawai, buruh pada
perusahaan, seniman yang menjalankan tradisi budaya, dan sebagai pengelola
rumah tangga dalam keluarga. Penyelidikan ini akan membahas persoalan tentang
peran perempuan dalam pekerjaan untuk memenuhi nafkah hidupnya.
Saat ini, bagi masyarakat yang terpinggirkan dan tinggal di desa, seorang
istri berperan pula untuk mencari nafkah. Sementara itu, terdapat pandangan
dalam masyarakat kelas menengah bahwa peran pencari nafkah adalah suami,
sedangkan istri menjadi pengelola rumah tangga. Namun, timbul pertanyaan,
“pada saat istri tinggal sendiri, siapakah yang akan mencari nafkah untuk
menjalankan kehidupan selanjutnya?” Setelah suami tidak ada, semua
permasalahan harus ditanggung oleh diri perempuan sendiri. Persoalan tersebut di
atas, kerap kali berkelindan dalam pikiran penulis.
Pada Juni 2012, penulis melakukan perjalanan ke Lombok dalam rangka
penyelenggaraan acara pesta Budaya Sasak. Sesampainya di Desa Taman Ayu
Gunung Malang, penulis melihat para perempuan di desa ini melakukan kegiatan
sehari-hari, seperti: menganyam, menari, memasak, menenun, berkebun, dan
menanam padi. Sedangkan kaum pria melakukan kegiatan membaca lontar,
membuat perkakas, berkebun, dan beternak. Penemuan yang menarik adalah,
hampir semua perempuan – baik tua maupun muda – melakukan kegiatan
menenun di halaman depan rumahnya dengan alat tenun jenis gedhogan, yaitu alat
tenun tradisional Sasak. Situasi dan suasana di desa ini menggerakkan penulis
untuk mengetahui lebih lanjut tentang persoalan perempuan dan aktivitasnya
dalam budaya masyarakat Sasak di Lombok.
6
Penulis mengadakan pendekatan melalui penyelidikan secara langsung
dengan cara mendatangi beberapa desa, agar dapat memahami keberadaan
Perempuan Sasak dan mempelajari budaya etnis (bangse) Sasak. Penyelidikan dan
penelusuran dilakukan di beberapa desa, di antaranya: Taman Ayu Gunung
Malang, Banyumulek, Bayan, Sade, dan Nyurbaye. Penulis hidup dan tinggal
selama tiga bulan pada tahun 2013 bersama satu keluarga di Mataram.
Selanjutnya penyelidikan dilakukan secara bertahap selama satu minggu tinggal di
Mataram dan kembali ke Jakarta, demikian terus dilakukan selama rentang waktu
tiga tahun hingga tahun 2018. Penyelidikan ini dilakukan untuk berkomunikasi
dengan masyarakat setempat, bertemu dan berdiskusi, mendapatkan keterangan,
pengalaman, dan „rasa‟ sebagai Perempuan Sasak.
Berdasarkan aturan budaya Sasak, seorang perempuan harus pandai
menenun, dan menjalankan ritual adat budaya. Peran Perempuan Sasak dimulai
sejak masa anak-anak, menjadi gadis yang terampil menenun, dilanjutkan dengan
menikah, dan menjadi ibu serta memiliki anak. Selanjutnya, menjadi perempuan
tua yang menuju perempuan suci. Jadi, Perempuan Sasak harus pandai membuat
kain tenun sebelum memasuki usia pernikahan. Setelah menikah dan menjadi ibu,
dia akan menenun kain untuk anak dan suaminya. Kain tersebut dibuat dengan
serangkaian ritual yang akan digunakan sebagai media upacara kelahiran bayi.
Upacara berikutnya yaitu ketika anak laki-laki dikhitan dan pada saat kematian.
Keseluruhan upacara-upacara tersebut merupakan simbol siklus kehidupan
manusia dan masih dilakukan secara turun temurun hingga kini.
7
Artinya, dapat disimpulkan bahwa betapa pentingnya proses pembuatan
kain tenun tersebut serta kain tenun Sasak itu sendiri. Dapat dikatakan bahwa
budaya Sasak terbentuk salah satunya dikarenakan peran perempuan dalam
aktivitas menenun. Permasalahan itu penulis anggap sangat penting sehingga
memilih medium tenun sebagai perwakilan dari Budaya Sasak melalui peran
perempuan dalam keluarga dan masyarakat.
Persoalan ini menjadi kuat dan berpengaruh ketika penulis berada di lokasi
penelitian dan mengalami suatu keadaan yang membuat jati diri penulis sebagai
perempuan menjadi bergetar, merasakan cinta yang dalam, menemukan hakekat
kehidupan, dan merasakan energi kehidupan. Terpesona pada ketangguhan
perempuan, ada „rasa‟ yang sama ketika berhadapan dengan perempuan tua yang
sedang menenun. Suasana yang sama ketika penulis sedang menenun yaitu
merasakan halus dan kasarnya benang, menyusun benang pada bilah bambu
sebagai pakan, menyusun benang lungsi, mengatur jalinan benang, menahan kayu
alat tenun, demikian seterusnya hingga menjadi sehelai kain. Perempuanlah yang
membuat karya tenun sehingga adat istiadat Budaya Sasak masih berlangsung
hingga saat ini.
Mereka menjalankan aturan adat istiadat Sasak sebagai jalan kehidupan
sehari-hari (way of life), dengan tujuan menjadi pribadi yang baik dan makhluk
berbudaya. Hal tersebut merupakan konstruksi sosial yang diatur berdasarkan adat
budaya Sasak; perempuan sebagai ibu dalam keluarga, perempuan yang
melaksanakan dan menjalankan adat istiadat di lingkungan sosial, dan dapat
beraktivitas menjalankan acara seni budaya. Namun di sisi lain, terdapat fakta
8
sosial yang berseberangan dengan kondisi ideal tersebut. Didapati temuan yang
memperlihatkan kehidupan perempuan dengan kondisi lingkungan hidup yang
sangat sederhana; tingginya angka kemiskinan, sulitnya akses kesehatan dan
pendidikan untuk perempuan dan anak-anak, tingginya angka perceraian dan
jumlah perempuan tanpa suami, serta rendahnya angka perempuan dengan
intelektual yang baik dan memadai. Persoalan inilah yang menjadi pemicu untuk
direspon lebih lanjut.
Peran Perempuan Sasak menjadi inspirasi bagi penulis dalam menciptakan
karya seni yang merupakan refleksi diri dan representasi tentang perempuan
dalam kehidupan sehari-hari serta membuka wacana tentang keperempuanan.
Pengalaman penulis sebagai seniman dalam berkarya dapat dilihat pada proses
kreatif sebelumnya, yaitu pada saat pembuatan karya seni tekstil dengan teknik
batik untuk kostum para penari pada pementasan seni pertunjukan tari
kontemporer berjudul “Shima, Kembalinya Sang Ratu Adil” di Gedung Kesenian
Jakarta tahun 2013. Kajian sejarah Kerajaan Kalingga dilakukan untuk
mendapatkan gambaran pemerintahan pada zaman Ratu Shima (Lombard, 2005).
Artefak yang dapat ditelusuri berasal dari relief Candi Bima, Arjuna, dan
Gatotkaca di Dataran Tinggi Dieng. Penyelidikan lapangan dilakukan untuk
mendapatkan bentuk motif yang digunakan pada masa itu. Motif yang banyak
terdapat pada relief candi adalah bentuk bunga lotus tampak atas dan samping.
Karakter batuan yang terdapat pada permukaan relief sangat spesifik dan
memperlihatkan sifat kokoh, kuat, rapuh, berpori, dan lampau.
9
Transformasi dari relief candi ke atas permukaan kain merupakan proses
kreatif yang menggunakan aturan konsep estetika; rasa, esensi, dan perubahan
yang cukup radikal diwujudkan dalam pembuatan batik Shima. Suasana
(ambience) candi harus dapat dirasakan di atas panggung pada saat pertunjukan,
sehingga karakter kostum yang akan dipakai para penari disesuaikan dengan
karakter batu candi. Batik dibuat secara khusus dengan desain yang
memperlihatkan karakter batuan candi, sehingga mendapat kesan kokoh, lampau,
dan mapan. Karakter batik dihasilkan dari cap yang terbuat dari material akrilik
dan kayu, sehingga memunculkan efek tertentu seperti bentuk motif dengan
karakter jelas dan buram, serta menampilkan kesan artistik. Eksplorasi teknik
pengecapan dan pewarnaan batik pada bahan katun dan sutera menampilkan
karakter khusus yang memperlihatkan volume, tekstur, bentuk, dan gradasi,
sehingga memberi kesan tegas, buram, kokoh, dan „melayang‟ yang
merepresentasikan efek batu, lampau dan kuno. Komposisi warna dan motif
terlihat energik dan dinamis sehingga memunculkan energi. Aura yang
ditampilkan menciptakan ruang-ruang piktorial, yang memberi imajinasi baru,
yaitu memindahkan nuansa relief dari batuan candi dengan medium tekstil ke atas
panggung.
Penjelasan latar belakang tentang Perempuan Sasak dan pengalaman
penulis dalam berkarya dapat dipertajam untuk menentukan permasalahan pada
proses penciptaan karya yang akan diwujudkan berdasarkan peran perempuan dan
material yang digunakan.
10
B. Rumusan Masalah Penciptaan
Keterpesonaan penulis terhadap ketangguhan Perempuan Sasak menjadi alasan
mendasar untuk melakukan penciptaan seni dengan tema Perempuan Sasak.
Berdasarkan persoalan jati diri perempuan dan proses ekspresi dalam karya seni,
maka disusun rumusan masalah penciptaan, yaitu:
1. Bagaimana peran perempuan dalam struktur sosial budaya Sasak pada
wilayah pekerjaannya?
2. Bagaimana mengekspresikan peran Perempuan Sasak melalui medium tenun?
3. Mengapa karya tenun sebagai produk penciptaan dapat mengekspresikan
keperempuanan?
C. Estimasi Karya dan Metode Penciptaan
Estimasi karya dalam studi penciptaan ini adalah prakira wujud karya yang akan
dicapai melalui serangkaian proses sejak awal hingga akhir penciptaan, meliputi:
metode, eksplorasi teknik, dan penyajian karya menjadi rangkaian yang utuh
tentang proses pembentukan karya seni dan representasi tentang keperempuanan.
Berdasarkan penjabaran latar belakang dan wacana keperempuanan maka disusun
estimasi atau prakira karya yang mencakup tiga aspek pokok, yaitu:
1. Tema karya adalah Perempuan Sasak yang memiliki ketangguhan dalam
mempertahankan hidupnya melalui aktivitas berkesenian.
2. Visualisasi atau perwujudan karya dengan medium tekstil melalui teknik tenun.
Eksplorasi pada pengolahan elemen seni rupa menjadi susunan pola tenun yang
11
dapat mewakili sifat-sifat perempuan dan memiliki ciri khas Budaya Sasak
melalui material yang digunakan.
3. Pembaharuan alat tenun yang digunakan dalam proses kreatif berdasarkan
perhitungan ergonomi tubuh perempuan.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dalam mewujudkan karya
dengan berprinsip pada penggunaan pembagian proses kreatif yang merupakan
hasil eksplorasi teknik dan material. Setiap tahapan proses akan di rekam secara
tertib dan jelas dalam bentuk tekstual baik dalam teks maupun gambar agar dapat
dipertanggungjawabkan secara akademik dan dapat menjadi sumber rujukan bagi
penelitian selanjutnya.
D. Tujuan dan Manfaat Penciptaan
1. Tujuan Penciptaan
Ide atau gagasan penciptaan akan melahirkan sebuah konsep penciptaan yang
memiliki tujuan penciptaan, yaitu:
a. Untuk mendapatkan pengetahuan tentang makna dan peran perempuan
pekerja dalam struktur budaya Sasak.
b. Mewujudkan karya seni tenun berdasarkan pembagian proses kreatif.
c. Menemukan cara menguraikan hubungan antara tenun dengan sifat
Perempuan Sasak.
d. Menemukan hubungan proses kreatif antara seniman dengan budaya yang
masih berkembang.
12
2. Manfaat Penciptaan
a. Bagi penulis yang notabene sebagai dosen, peneliti, dan desainer tekstil,
studi penciptaan ini bermanfaat dalam hal merumuskan gagasan persoalan
perempuan yang memiliki kedalaman (depth) makna kehidupan.
b. Bagi rekan seprofesi, temuan dan hasil penyelidikan dapat bermanfaat dan
memperkaya wawasan dalam ranah pembelajaran ilmu pengetahuan seni.
c. Bagi ilmu penciptaan, proses kreatif dalam penciptaan karya dapat
memperkaya metode dan tahapan kerja kreatif berdasarkan metode
akademis, sehingga produk karya seni dapat dipertanggungjawabkan secara
logis.
d. Bagi institusi pendidikan, penciptaan karya seni membuka wawasan dan
wahana baru yang dapat diaplikasikan dalam proses belajar mengajar,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
e. Bagi lembaga pengambil kebijakan, dapat mendokumentasikan hasil
penelitian dan mendapatkan pemetaan hasil pendidikan perguruan tinggi
dalam membangun bangsa dan negara.
f. Bagi masyarakat, perajin dan dunia usaha, akan merasakan langsung
dampak hasil penelitian ini, sehingga dapat membuka wawasan, apresiasi
terhadap temuan baru, dan membantu mempermudah kehidupan sehari-hari.
g. Bagi masyarakat umum, penciptaan ini memberi alternatif cara ungkap baru
dalam bentuk visual yang memperbincangkan ketangguhan perempuan
dalam mempertahankan hidup dan pemaknaan baru terhadap posisi
perempuan pada status sosial budaya.
13
II. TINJAUAN PUSTAKA,
KARYA-KARYA TERDAHULU, DAN TEMUAN TEORETIKAL
Perempuan Sasak sebagai ekspresi karya seni tenun dalam konstelasi penciptaan
seni rupa diawali dengan penelusuran literatur yang berasal dari penelitian
terdahulu dan sumber pustaka. Kajian sumber dipilih sesuai dengan topik
penciptaan, yaitu pemahaman tentang budaya, estetika rupa, ekspresi artistik, serta
analisis tentang peran dan posisi perempuan dalam struktur masyarakat Sasak.
A. Tinjauan Pustaka
Kebudayaan dapat dilihat sebagai kata benda dan sebagai hasil dari produk
kreativitas yang ditandai dengan sejumlah benda artefak yang dapat diamati dan
diselidiki lebih lanjut. Adapun kebudayaan sebagai kata kerja, dengan istilah
membudaya, memiliki arti proses budaya yang bertumbuh dan berkembang terus
sebagai ekspresi dari tindakan manusia yang dilakukan dengan sadar dalam
mengelola lingkungannya. Hal ini menjadikan kebudayaan bersifat dinamis,
bertubuh, aktif, dan kreatif. Kebudayaan merupakan manifestasi daya kreatif
kegiatan manusia sebagai pribadi, yang membawa konsekuensi logis bahwa aktor
pelakunya adalah manusia sebagai subjek yang menonjolkan kepentingannya
dalam proses pembudayaan. Pada saatnya, perubahan budaya tersebut akan
ditentukan oleh segala kepentingan dan eksistensi diri manusia yang membuatnya
selaku aktor budaya.
Penyelidikan ini menggunakan kerangka pikir dari beberapa ahli di
bidangnya; pemahaman tentang budaya atau culture merujuk pada pendapat
14
Raymond Williams, kajian estetika merujuk pada teori aturan universal estetika
dari V.S. Ramachandran tentang „rasa‟, analisis estetika rupa menggunakan
konsep Edmund Burke Feldman, dan wacana tentang perempuan merujuk pada
pendapat Mansour Fakih yang membahas tentang peran dan fungsi perempuan,
ditambah dengan beberapa referensi tentang kajian wanita yang terkait dengan
budaya.
Budaya adalah kegiatan yang terlihat pada bentuk seni dan karya
intelektual manusiawi. Karya seni itu sendiri sudah merupakan sebuah kategori
sosio-kultur dengan signifikansi tertinggi yang dapat diidentifikasi melalui
kontemplasi. Identifikasi pada kategori ini dapat diurai dengan praktek-praktek
manual menggunakan indra manusia yang berbeda-beda tingkatannya, misalnya
menggunakan indra penglihatan ke pendengaran saja, indra penciuman ke
perabaan dan sebagainya. Namun identifikasi seperti ini juga harus diperhatikan
jika terdapat atribut lain yang menentukan jenis karya seni. Estetika pada karya
seni bergerak memasuki bidang-bidang pikiran dan wacana manusia – nilai,
kebenaran, ide, observasi, laporan – dalam kondisi hasil persepsi estetika yang
kemungkinan masih sangat relevan. Hal ini belum dapat dipastikan sebagai
sebuah ketentuan atau ketetapan yang pasti. Kebanyakan di antara kita ingin
menyatakan bahwa „kebenaran‟ sebuah karya seni sama nilainya bahkan lebih dari
„keindahan‟ karya semata.
Pengertian rasa budaya yang dimaksud adalah budidaya pikiran manusia
yang aktif, yaitu: 1) Kondisi pikiran manusia yang terus berkembang menjadi
„orang yang berbudaya‟ dan menjadi „seorang budayawan‟, 2) Proses
15
pengembangan budaya terlihat pada „kegiatan budaya‟, dan 3) Kegiatan budaya
tersebut terlihat pada bentuk „seni‟ dan „karya intelektual manusiawi‟ (Williams,
1981).
Williams memosisikan budaya agar dapat dilihat melalui sudut pandang
idealis dan materialis. Idealis merupakan sebuah ilustrasi dan klarifikasi dari
„pemberi pesan‟, yang terkait dengan gaya seni dan jenis karya intelektual yang
termanifestasi, dalam kaitannya dengan lembaga dan kegiatan lain, dengan
kepentingan utama yang terpusat pada suatu nilai „masyarakat/komunitas‟.
Materialis sebagai peninggalan budaya yang dianggap sebagai „pemberi pesan‟
yang dapat dipelajari secara intensif sebagai hubungan antara aktivitas budaya dan
bentuk-bentuk kehidupan sosialnya. Budaya dapat dilihat sebagai sistem
penandaan dari suatu tatanan sosial yang dapat dikomunikasikan, direproduksi,
dialami dan dieksplorasi dengan cara lain. Reproduksi dalam arti genetik yang
dimaksud adalah membuat „organisme‟ atau bentuk baru meskipun dari jenis yang
sama, tetapi yang penting tidak menduplikasinya.
Proses reproduksi yang sedang berlangsung adalah sebuah tradisi. Sebuah
tradisi adalah warisan kultur yang secara pasti merupakan sebuah proses yang
kontinu. Kadang kala tradisi merupakan materi yang terus-menerus
direpresentasikan kembali sehingga menyerupai sistem pendidikan atau
pengetahuan yang direstui dan secara efektif dikehendaki oleh relasi sosial umum
yang eksis. Koordinasi kelompok dalam proses produksi sangat diperlukan
berdasarkan keahlian masing-masing individu sehingga secara tidak langsung
akan terbentuk kelompok-kelompok kerja sejenis sesuai pada profesionalisasi
16
serta secara tidak langsung mengacu pada bentuk manajemen dasar yang memiliki
korespodensi dengan sebuah tahapan baru yang efektif dalam memproduksi karya
seni. Terkait dengan proses-proses spesifik, maka diperlukan alat khusus atau
teknologi agar dapat berkembang, yang berakibat pada pembagian tugas secara
profesional dan sesuai dengan tugas golongan.
Kategori tentang „budaya‟ terdiri dari tiga lapisan, yaitu: 1) budaya yang
hidup, 2) budaya yang direkam, dan 3) budaya yang terseleksi dari tradisi. Perlu
dibedakan ketiga tingkat budaya ini dalam definisi yang paling umum. Ada
budaya yang hidup dari waktu dan tempat tertentu, yang hanya dapat diakses
sepenuhnya oleh mereka yang tinggal di waktu dan tempat yang sama. Ada
budaya yang tercatat/terdokumentasikan, dari setiap jenis aktivitas seni hingga
fakta sehari-hari atau budaya dalam suatu periode. Ada juga sebagai faktor
penghubung antara budaya yang hidup dan budaya massa (bersifat permukaan),
yang terselektif karena kebutuhan manusia. Penjelasan bagian 1 dan 2 sudah jelas,
namun bagian 3, budaya yang terseleksi dari tradisi (culture of the selective
tradition), maksud tradisi bukanlah pewarisan atau transmisi sistem utuh,
melainkan proses seleksi dan interpretasi terus menerus atas apa yang diwariskan
dari generasi ke generasi. Struktur masyarakat secara keseluruhan, dalam
kegiatan tradisi budaya dapat dilihat sebagai seleksi terus-menerus dan pemilihan
kembali dari leluhurnya. Garis-garis keturunan (pewarisan) khusus akan ditarik,
seringkali selama seabad, dan kemudian tiba-tiba dengan beberapa tahap baru
dalam pertumbuhan ini akan dibatalkan atau dilemahkan, selanjutnya garis-garis
baru akan ditarik, sehingga saat ini dapat dilihat sebagian besar pekerjaan lampau
17
melalui pengalaman kita sendiri pada saat ini, tanpa berusaha untuk menelusuri
pada aslinya (Williams,1961).
Persoalan budaya juga terkait dengan „perasaan‟ (structure of feeling),
bahwa struktur perasaan adalah makna dan nilai-nilai ketika mereka secara aktif
hidup dan melakukan. Hal ini kurang lebih seperti struktur pengalaman, yaitu
karakteristik hasrat yang mendorong, penekanan diri, dan suasana (ambience),
yang merupakan hubungan antara elemen afektif, perasaan, atau emosi, dengan
kesadaran. Perasaan tidak menentang pikiran, tetapi merupakan „pikiran yang
dirasakan dan perasaan sebagai pikiran‟. Sehingga, kesadaran praktis pada saat ini
merupakan bagian kontinuitas yang hidup dan saling terkait (Williams, 1977).
Posisi budaya pada masyarakat dan posisi seniman terhadap budaya yang
diresponnya menghasilkan pemikiran bahwa seorang seniman mendapatkan
warisan sebuah budaya yang men-tradisi, maka akan dieksplorasi dan
memproduksi karya seni dengan metode yang khas. Produk karyanya merupakan
hasil pikiran yang dirasakan dan perasaan yang dipikirkan sebagai ungkapan
intelektual seniman, yang kemudian direpresentasikan menjadi karya baru dan
dikomunikasikan kepada masyarakat saat ini. Berikut adalah bagan posisi dan
hasil produk budaya pada masyarakat.
18
Sistem
penanda
dikomunikasikan
diproduksi
Seorang
dialami seniman
dieksplorasi yang
diwariskan
1.Pikiran
manusia
Manusia yang
berbudaya
Organisasi
sosial yang
terkait
Profesionalisasi Pembagian
tugas
berdasarkan
golongan
tradisi
akan
mengeksplo
rasi dan
BUDAYA
2.Proses
pengembangan
budaya
Kegiatan
/aktivitas budaya
Proses
„reproduksi
kultural‟
Tradisi / proses
kontinuitas
Proses / cara
yang spesifik
mem
produksi
karya seni
dengan
metode
3.Karya
intelektual
manusia
Bentuk seni Identifikasi
dengan indera
manusia
Produksi karya
seni
Alat atau
teknologi
khas dan nilai
ekonomi yang
spesifik
yang khas.
Karya seni
ini
merupakan
hasil pikiran
yang
„Pemberi
pesan‟
1.Idealis Karya
intelektual
yang
termanifestasi
pada lembaga
dirasakan
dan
perasaan
yang
dipikirkan,
sebagai
2.Materialis Aktivitas
budaya dan
bentuk
kehidupan
sosialnya
ungkapan
intelektual
kepada
masyarakat
saat ini.
Skema 2.1 Posisi budaya pada masyarakat
Sumber: disarikan dari Culture (Williams, 1981)
Selanjutnya, kajian tentang ekspresi estetik merujuk pada pemikiran
Vilayanur S. Ramachandran, seorang dokter ahli bidang syaraf dan otak. Sebagai
titik awal untuk mencoba menemukan universal dalam seni berdasarkan
pengetahuan tentang ilmu saraf, dan ilmu saraf visual khususnya. Ramachandran
BUDAYA
19
telah mengusulkan sepuluh prinsip seni (delapan diantaranya berasal dari makalah
yang ditulisnya bersama William Hirstein, “The Science of Art”, tahun 2000).
Menurut Ramachandran, ada hubungan antara syaraf otak dengan
penglihatan sehingga berdampak pada hubungan antara cara kerja otak dengan
seni. Ramachandran membuat sembilan aturan universal tentang sirkuit saraf otak
terkait persoalan „rasa‟. Sembilan aturan universal estetika ini dibagi berdasarkan
sistem visual yang cenderung mengelompokkan elemen atau fitur serupa dalam
gambar ke dalam kelompok, memiliki struktur logis (fungsi biologis), dan
bagaimana sifat atau hukum yang dimediasi oleh mesin saraf di otak. Seperti
dijelaskan dalam bukunya The Tell – Tale Brain (2012), yaitu: 1) grouping,
pengelompokan berdasarkan warna serupa, dengan objek yang berbeda, 2) peak
shift (pergeseran puncak), tulisan Sansekerta kuno tentang estetika sering
menggunakan kata „rasa‟, yang diterjemahkan menjadi „menarik esensi dari
sesuatu‟, 3) contrast (kontras), membahas tentang kontras pencahayaan, kontras
warna, kontras tekstur, atau bahkan kontras kedalaman, 4) isolation (isolasi), otak
hanya peduli pada bentuk garis, maka sketsa itu lebih efektif, 5) peekaboo
(pemecahan masalah perseptual), menciptakan citra yang menghasilkan sinyal
kecil untuk menggemakan visual, 6) abhorrence of coincidences (kebencian
terhadap kebetulan dan kebohongan), otak selalu mencoba menemukan
interpretasi generik yang masuk akal dan logis untuk menghindari „kebetulan‟ itu,
7) orderliness (ketertiban), keteraturan, jelas penting dalam seni dan desain,
estetika visual tidak lengkap tanpanya, 8) symmetry (simetri), adalah penanda,
20
atau tanda, untuk kesehatan yang baik, merupakan indikator keinginan, dan 9)
metaphor (metafora).
Seniman menggambarkan sensasi melalui penggunaan banyak perangkat
dan menggabungkan unsur gerakan dan energi yang tampaknya bertentangan
untuk menyampaikan rasa keabadian. Pemikiran ini akan digunakan sebagai
konsep dari tahapan ekspresi artistik yang pada pelaksanaan setiap tahapnya akan
direkam dan didokumentasikan. Hal ini sangat diperlukan apabila karya tersebut
akan diproduksi kembali atau dipelajari lebih lanjut untuk dikembangkan.
Dalam tahapan proses kreatif, digunakan elemen visual sebagai tata bahasa
dalam seni. Gambar merupakan wujud, berasal dari hasil kerja cahaya yang jatuh
pada retina mata, kemudian dibawa ke otak, dicerna, diterjemahkan dengan
persepsi dari fungsi otak, tubuh, dan pikiran sehingga wujud tersebut bermakna.
Gambar tersebut dapat diurai menjadi elemen visual yang terdiri dari: 1) garis, 2)
bentuk, 3) terang dan gelap, 4) warna, dan 5) tekstur (Feldman, 1992).
Garis merupakan elemen visual paling ekspresif, karena garis sebagai
identitas seniman digunakan untuk; menulis dan menggambar, sebagai alat untuk
berbicara dari seniman, mengarahkan gerak dan arah mata pemirsa, dan
melambangkan pikiran seniman. Bentuk terjadi karena hubungan antara wujud
garis. Bentuk dapat dianggap sebagai area atau siluet. Berdasarkan bentuk di
alam, wujud dapat digolongkan menjadi: bentuk geometrik, organik, biomorfik,
dan cekungan (seperti relief). Terang dan gelap, merupakan manipulasi cahaya
untuk menciptakan ilusi bentuk pada permukaan dua dimensi. Terang dan gelap
dapat diartikan sebagai simbol yin dan yang, laki-laki dan perempuan,
21
kekontrasan hingga menjadi positif dan negatif atau bayangan hitam, nilai tingkat
warna kearah terang atau gelap, dan efek ekspresi fotorealisme. Cahaya dan gelap
menyampaikan kesan kuat dari klimaks emosional dan dramatik.
Warna dalam karya seni berfungsi mewakili ide, perasaan, dan informasi
artistik dari wujud karya. Warna memiliki identitas dan bersifat intelektual karena
terdapat nilai, intensitas, warna lokal, komplementer, analog, sifat kehangatan,
sejuk, dan nada (tone). Warna sebagai bahasa seni bersifat independen, mewakili
emosi, psikologi manusia, dan terkait simbolik dalam masyarakat. Tekstur adalah
bentukan dari permukaan suatu bidang yang dirasakan dengan cara menyentuh
dan mengandalkan indra perabaan. Tekstur diperlukan untuk memberi sensasi
pada pandangan visual dan kesan pertama pada karya seni. Tekstur dapat dilihat
pada bidang dua dimensi dan permukaan halus, serta dapat dirasakan pada
permukaan kasar. Hal ini merupakan ide menarik untuk mengksplorasi permukaan
material.
Elemen bahasa rupa tersebut harus diorganisasikan sehingga dapat
dikomunikasikan kepada pemirsa sebagai komposisi: 1) kesatuan, 2)
keseimbangan, 3) irama, dan 4) proporsi. Kesatuan adalah pengaturan karya seni,
sehingga bagian dari karya itu menjadi satu kesatuan yang baik jika dilihat secara
keseluruhan. Cara utama melakukan ini dengan memperhatikan „dominasi dan
subordinasi‟. Seniman mengamati sebuah peristiwa visual secara berurutan dan
mewujudkannya menjadi karya dengan memperhatikan nilai visual, makna, dan
komposisi (bentuk, warna, tekstur, dan bidang).
22
Keseimbangan dalam bahasa seni adalah kondisi optik (dipengaruhi oleh
penglihatan), seperti: berat, stres, ketegangan, dan stabilitas – kata-kata yang
dipinjam dari fisika atau teknik – mengambil makna perseptual. Sebenarnya yang
dimaksud bukan 'berat' namun 'imajinasi tentang sesuatu yang berat'.
Keseimbangan dapat terjadi berdasarkan situasi: simetri, asimetri, berat karena
gravitasi, dan minat psikologis. Irama atau "ritme" biasa dipakai untuk seni musik,
tari, dan puisi. Seniman menciptakan ritme visual dengan mengontrol urutan
bentuk, pemanfaatan bidang dua dan tiga dimensi dan pengulangan bentuk. Jenis
ritme dalam medium visual misalnya: pengulangan (variasi), alternatif, progresif
(kejutan), dan mengalir (pergantian halus). Proporsi adalah sejumlah aturan
memperlihatkan interval yang „menyenangkan‟ dalam karya seni. Proporsi yang
paling abadi adalah proporsi tubuh manusia dengan pembagian Golden Section,
atau Golden Mean. Proporsi yang baik berarti memiliki bagian-bagian tubuh yang
lengkap. Pemahaman tentang estetika bahasa visual dengan elemen rupa, akan
digunakan pada tahapan analisis produk budaya dan proses kreatif dari
manifestasi „rasa‟ Perempuan Sasak menjadi karya seni melalui pemetaforaan
keperempuanan.
Persoalan perempuan diawali dengan peninjauan secara kodrati, bahwa
Tuhan menciptakan manusia (laki-laki dan perempuan) secara terhormat dengan
segala konsekuensi keniscayaan bagi setiap individu atau kelompok manusia yang
memandangnya sebagai makhluk mandiri, bebas dan dalam posisi yang setara
serta berperilaku adil dan proporsional. Sementara itu sesuai dengan konsep
gender (konstruksi sosial), perempuan dikonstruksikan menjadi: lemah lembut,
23
cantik, emosional, atau keibuan. Adapun laki-laki dikonstruksikan menjadi: kuat,
rasional, jantan, dan perkasa. Ciri itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat
dipertukarkan. Artinya, ada laki-laki yang memiliki sifat emosional, lemah
lembut, dan halus, sementara ada juga perempuan yang kuat, rasional, perkasa,
serta tangguh.
Identifikasi peran dan fungsi perempuan pada struktur sosial sebagai
berikut: a) perempuan menjadi diri pribadi sebagai makhluk ciptaan Tuhan
dengan hak kemerdekaan atas dirinya, b) memiliki struktur anatomi tubuh dengan
alat reproduksi khas perempuan, c) menjalani sistem kekeluargaan yang dipakai
oleh tiap keluarga, d) menjalani tata aturan nilai agama atau kepercayaan, dan e)
menerima struktur sosial yang disepakati dan diterapkan pada diri perempuan
(Fakih, 2016).
Tubuh perempuan merupakan perpanjangan dari alam, karena peristiwa
melahirkan dan menyusui bayi yang dilahirkan, artinya memberi kehidupan pada
mahluk yang baru hadir di bumi. Sehingga tak dapat dihindari bahwa peran
perempuan berhubungan denga alam, kehidupan, lingkungan, dan budaya
(Ortner,1972: 15, 28).
Tubuh perempuan memiliki seluruh potensi besar kemanusiaan.
Perempuan memiliki jiwa yang membuatnya bisa melukis dan menari-nari, akal-
intelektual membuatnya bisa mencipta dan menggagas dunia ideal, hati nurani
yang membuatnya bisa mencinta dan merindu, dan energi fisik membuatnya
selalu memberi dan mengabdi tanpa lelah untuk kehidupan dan bekerja bagi tanah
air (Muhammad, 2013).
24
Perempuan di Indonesia dalam konteks pembangunan negara merupakan
makhluk yang secara intelektual dan estetis memiliki otoritas atas tubuhnya;
perempuan adalah seorang wanita, isteri dan ibu yang akan membahagiakan
suaminya dan anak-anaknya. Perempuan memiliki padang kehormatan dengan
melahirkan anak, cinta, dan intelektual (Soekarno, 1963).
Ada pendapat spesifik tentang perempuan dalam kebudayaan Sasak yang
telah disepakati oleh masyarakatnya yaitu posisi perempuan sebagai penguasa dan
memegang peranan penting. Hal itu ditunjukkan pada keberadaan istilah bumi
nina atau gumi nina yaitu bumi perempuan atau ibu pertiwi. Inen bale, sistem
hukum waris, menjamin bahwa bagian inti rumah sebagai tempat berproses dalam
keluarga akan menjadi milik perempuan pada saat pembagian hak waris (sesuai
kesepakatan antar dua pihak keluarga). Selain itu dalam perhitungan arsitektur
rumah adat Sasak, telapak kaki perempuan dipakai sebagai patokan dalam
perhitungan ukuran bagian-bagian bangunan rumah. Sistem kepercayaan yang
terkait dengan perempuan masih diselenggarakankan di beberapa desa, di
antaranya Desa Taman Ayu Desa Gunung Malang (Lombok Barat), Bayan
(Lombok Utara), Kecamatan Pujut (Lombok Tengah), Kecamatan Sembalun
(Lombok Timur), dan Kecamatan Jonggat (Lombok Tengah) (Kun, 2008).
Beberapa pemikiran tersebut di atas hampir sepaham, menyatakan bahwa
pemilik tubuh perempuan adalah dirinya sendiri. Pandangan kritis penulis
terhadap pernyataan Fakih yang menyatakan “menerima struktur sosial yang
disepakati dan diterapkan pada diri perempuan” menjadi titik balik pada
kesadaran akan kepemilikan dirinya dan peran perempuan dalam masyarakat.
25
Perempuan mengenali tubuhnya, berarti tahu cara memperlakukan
tubuhnya. Kesadaran ini menjadi modal dasar bagi perempuan untuk mengontrol
tubuh, hati, batin, dan pikiran, menjadi kesadaran yang logis. Sementara itu,
berdasarkan realita yang sesungguhnya, posisi perempuan banyak yang tidak
sesuai dengan kondisi perempuan itu sendiri. Posisi perempuan kadang terpasung
pada aturan adat yang diberlakukan pada dirinya. Oleh karena itu, kesadaran
bahwa ada potensi yang dimiliki perempuan dalam kegiatan berkesenian, akan
memunculkan eksistensi dirinya.
Selanjutnya eksistensi diri Perempuan Sasak dalam struktur sosial akan
mempengaruhi terbentuknya budaya baru pada lingkungan yang terus bertumbuh.
Adat Sasak memiliki konsep Subawe, yaitu pemahaman konsep energi oleh
bangse Sasak seperti energi alam yang dirasakan oleh seseorang untuk dapat
mendatangkan suatu keberuntungan, kebaikan, keamanan, kenyamanan atau
sebaliknya. Energi alam dapat memberikan suasana hati seperti kekuatan abstrak,
baik yang bersifat positif maupun negatif. Subawe positif merangsang masyarakat
untuk menjadi produktif, sementara subawe negatif menyebabkan seseorang
menjadi malas dan tidak nyaman. Subawe membangun semangat untuk dapat
mengelola sumber daya kehidupan dengan baik. Hal ini tergantung pada
kemampuan seseorang untuk menangkap energi psikis dan spiritual untuk sampai
ke inti berdasarkan intensitas kesadaran ruang.
Letak Pulau Lombok yang dikelilingi oleh gunung, hutan, laut, dan bukit,
melahirkan Budaya Sasak yang khas. Pemikiran kosmologis berkaitan dengan
gunung, laut, tanah, air, api, dan angin, melahirkan nilai adat sehingga terdapat
26
aktivitas ritual. Masyarakat tradisi mengenal nilai yang dibutuhkan dengan cara
melakukan ritual. Ritual ini melahirkan sejumlah aspek, seperti: aspek teknis yaitu
menenun, mantera yaitu sastra, dan canang yaitu sesajen. Semua ini
membutuhkan pelaku-pelaku yang akan melahirkan sistem sosial yaitu: kaum elit,
masyarakat menengah, dan masyarakat umum (Fathurrahman, 2007).
Berdasarkan beberapa pendapat tentang perempuan dan kebudayaan, maka
dapat dipetakan peran struktur sosial pada diri perempuan, yaitu: kebudayaan
merupakan perkembangan intelektual, spiritual, dan estetis dari seorang
perempuan, kelompok atau masyarakat dengan menyatakan kegiatan intelektual
dan artistiknya yang menghasilkan produk-produk seni sehingga dikenal dengan
„kesenian‟. Karya seni tersebut secara visual menggambarkan tentang cara hidup,
kegiatan, keyakinan, adat istiadat, dan kebiasaan kelompok atau masyarakat.
Budaya adalah suatu mekanisme yang berasal dari hasil pemikiran
manusia. Ilmu kognitif dan etno-estetika mengeksplorasi penggunaan bahasa lokal
untuk mengidentifikasi prinsip-prinsip penataan bahasa dan seni. Beberapa artefak
melintasi batas-batas sosial. Terbukti, „kekuatan leluhur‟ dapat diubah dari
kekuatan aktif menjadi cerita menarik, eksotik dan estetis (Svasek, 2007).
Kekuatan artefak tenun Sasak akan berpengaruh pada proses penciptaan
karya baru yang berbasis pada material. Kain tenun selain menjadi artefak juga
sebagai produk seni yang tergolong sebagai seni tekstil. Tekstil, dikenal juga
dengan istilah 'kain' yang mengandung pengertian 'benang tenun' seperti cita, kain
putih, dan bahan pakaian. Tekstil dalam bahasa Latin adalah texere artinya
'menjalin', seuatu yang dihasilkan dari proses tenun, rajut, atau tekanan. Tekstil
27
berasal dari serat alami atau buatan, atau benang yang digunakan untuk membuat
kain yang terdiri dari serat alam seperti linen dan katun, dan yang berasal dari
serat hewan seperti wol dan sutera. Ada juga jenis tekstil buatan yang berasal dari
material sintetis seperi polyester dan rayon.
B. Tinjauan Objek Penelitian
Hasil penyelidikan yang diperoleh dari lokasi penelian dapat dilihat pada potret
pertama, yaitu perempuan pembuat gerabah di Desa Banyumulek. Desa ini
merupakan dataran rendah dengan cuaca cenderung panas. Hampir semua
perempuan di desa ini membuat gerabah, mengerjakan pekerjaan rumah, dan
mengurus anak. Terdapat pula kaum perempuan kalangan menengah yang bekerja
menjadi pegawai atau berdagang. Seorang perajin gerabah bernama Hunaeni,
berusia 30 tahun, memiliki dua orang anak. Dia bekerja pada sebuah galeri sejak
pukul 8.00 pagi hingga pukul 16.00. Upah yang diterima sekitar Rp. 200.000,- per
bulan. Produk yang dihasilkan berupa benda kebutuhan sehari-hari, seperti wadah
mangkuk, piring, gentong, celengan, dan lain sebagainya. Hunaeni belajar
membuat gerabah sejak sekolah di SMP sampai sekarang, diajarkan oleh ibunya.
Dia bekerja sambil mengurus anaknya. Bahan baku berupa tanah liat berasal dari
desa-desa sekitarnya. Jika ada tamu yang datang ke galeri dan belajar membuat
gerabah maka Hunaeni kadang mendapatkan upah dari tamu karena
keramahannya mengajarkan atau sekedar memperlihatkan cara pembuatan
gerabah. Jika dia tidak bekerja maka tidak ada pemasukan keuangan untuk
28
keluarganya. Dengan demikian dia harus tetap bekerja demi pemenuhan
kebutuhan hidupnya (wawancara dilakukan pada Desember 2012).
Potret kedua; Desa Taman Ayu Gunung Malang dan Bayan, merupakan
daratan yang berbukit bukit dan banyak ditemui tanaman kapas. Kaum perempuan
di desa ini terampil menenun dan sudah menjadi mata pencaharian mereka, setiap
rumah memiliki alat tenun, dan dikerjakan di bagian depan halaman rumah. Para
perempuan mulai dari gadis, ibu, dan lanjut usia menenun kain selendang atau
sarung. Kegiatan ini dilakukan setelah membereskan rumah, seraya merawat anak.
Penenun Nurhaeni, 25 tahun, menenun sejak di SMP hingga saat ini.
Keterampilan menenun diajarkan oleh ibunya.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada Desember 2012, Untuk
menyelesaikan satu helai selendang dengan ukuran 50 cm x 200 cm dibutuhkan
waktu sembilan hari kerja, sementara harga satu helai selendang Rp. 125.000,-
dan kain untuk sarung seharga Rp. 200.000,-. Mereka bekerja mulai pukul 10:00
sampai 16:00. Mereka kadang kala membeli bahan baku berupa benang katun di
kota, cenderung memilih benang dengan warna cerah seperti: kuning, jingga,
merah, hijau, dan biru. Produk yang dihasilkan adalah kain tenun berupa
selendang (dodot) dengan motif garis-garis, biasanya digunakan untuk kaum
perempuan. Sedangkan kain tenun dengan perpaduan warna shade, seperti cokelat
tua, merah tua, hijau tua, biasanya digunakan untuk kaum laki-laki.
Potret ketiga; Desa Nyurbaya terletak di dataran tinggi dan dikelilingi
hutan. Temperatur di daerah ini cenderung dingin. Keadaan alamnya
menghasilkan jenis tanaman seperti rotan, yaitu ketak (Lygodium Circinatun)
29
yang tumbuh di pinggir hutan. Selanjutnya, ketak menjadi bahan baku untuk
produk anyaman. Kaum perempuan di desa ini pandai dan terampil menganyam.
Mereka mulai bekerja menganyam setelah pekerjaan membereskan rumah selesai
sambil menjaga anak atau bersosialisasi dengan sesamanya. Kegiatan ini
dilakukan di halaman rumah.
Ibu Mawar, 30 tahun, menganyam sejak di SMA. Berdasarkan wawancara
yang dilakukan pada 2012, studio tempatnya bekerja berfungsi sebagai galeri dan
memiliki beberapa orang pekerja. Mereka bekerja mulai pukul 10:00 hingga pukul
16:00. Satu buah tas berukuran 25 cm x 25 cm x 8 cm diselesaikan dalam waktu
enam hari, sesuai dengan model pesanan para pelanggan. Para pekerja selama satu
bulan mendapatkan upah sekitar Rp. 500.000,-. Produk anyaman terbuat dari rotan
untuk bagian dalam dan dililit dengan kulit batang ketak untuk bagian luar. Bahan
baku yang dipakai yaitu kulit tanaman ketak yang dikeringkan kemudian diraut
menjadi helaian tipis agar mudah dianyam. Galeri ini memproduksi sejumlah
besar barang-barang sebagai pesanan konsumen dari Bali dan Jepang. Pembagian
pekerjaan diatur sedemikan rupa menjadi; pekerjaan menyiapkan peralatan,
pembuatan rangka hingga menganyam dikerjakan oleh kaum perempuan,
sementara bahan baku yang berasal dari kebun atau pinggir hutan disiapkan oleh
anak-anak setelah pulang sekolah.
Untuk memahami kondisi sosial Perempuan Sasak di lingkungan tempat
tinggalnya, penulis juga melakukan pengamatan terhadap sistem pembagian
ruangan pada rumahnya; a). Ruang inti yang terdiri dari ruang kamar tidur dan
ruang tamu dan disebut sebagai Bale dalem ibu atau wastu citra (pusat kosmos
30
rumah), merupakan ruang istirahat untuk ibu, Bale dalem isi, tempat menyimpan
pusaka atau ruang tidur anak, ruang produksi merupakan tempat bagi ibu untuk
bekerja atau menenun, dan ruang istirahat merupakan tempat istirahat bapak, dan
b) Ruang luar yang terdiri dari dapur, untuk ibu beraktifitas memasak makanan
menggunakan kayu bakar, peralatan memasak terbuat dari gerabah dan sendok
kayu, terdapat lumbung untuk menyimpan beras, tempat air, mandi dan cuci, di
bagian depan terdapat Berugaq, tempat untuk menerima tamu. Rumah di desa ini
terbuat dari kayu, dibangun di atas pondasi tanah yang ditinggikan, tiang
penyangga diletakkan di atas batu. Bagian depan halaman rumah terdapat
berugaq, yaitu bangunan beratap limas terbuat dari kayu yang dilapisi dengan
jalinan daun rumbia atau lontar (Borassus flalelifer). Lingkungan masyarakat di
desa hampir sama dengan desa lainnya, kondisi jalan dari tanah, pagar rumah
terbuat dari tanaman yang diatur seperti pagar, sangat menarik dan alami.
Pembagian ruang merupakan simbolisasi bahwa perempuan adalah pusaka
yang harus dilindungi; sebagai pemilik rumah (epen bale) dan penakluk sang
waktu. Sementara kaum laki-laki adalah; pemilik ruang luar (ruang publik) dan
penakluk ruang.
Penyelidikan lebih lanjut, secara intensif dilakukan pada Oktober 2014,
fokus pada kehidupan perempuan dan pekerjaannya serta hal-hal yang terkait
dengan keberadaan perempuan itu sendiri seperti: jenis pekerjaan, jenis
keterampilan, kebiasaan sehari-hari, kondisi keluarga, kondisi anak-anak, bentuk
rumah, dan lingkungan tempat tinggal.
31
Peran perempuan dikonstruksikan menjadi sedemikian penting
berdasarkan adat budaya Sasak; ibu yang menjaga anak-anaknya secara lahir dan
batin. Perlindungan secara lahir dilakukan dengan cara mendidik dan menjaga
secara fisik, sedangkan perlindungan secara batin terikat pada kepercayaan
dengan mengadakan upacara adat istiadat yang dilaksanakan mulai dari kelahiran
hingga kematian. Perempuan menjadi figur utama dalam upacara tradisi daur
hidup manusia, menjadi penjaga keberlangsungan sebuah keluarga agar aktivitas
kehidupan tetap berlanjut dan bermakna keberadaannya.
Peran adat budaya sangat berpengaruh pada aktivitas perempuan dalam
bekerja sehingga memberikan karakter yang berbeda berdasarkan keterampilan
dan material yang digunakan dalam membuat produk serta ketersediaan bahan
baku dilingkungannya. Hal ini terlihat pada kegiatan sehari-hari para perempuan
di Desa Taman Ayu Gunung Malang sebagai penenun yang bekerja menggunakan
alat tenun tradisional jenis gedhogan. Penenun duduk di bawah (lantai), di bagian
tengah alat tenun, kakinya berselonjor ke depan untuk menahan rangkaian benang
lungsi yang disusun pada kayu. Kemudian, tangannya memasukkan benang pakan
yang digerakkan dari kanan ke kiri dalam rangkaian benang lungsi. Proses
menenun ini terus dilakukan hingga menjadi sehelai kain.
Penghasilan dari penjualan kain ini cukup untuk membeli beras, biaya
sekolah anak, dan kebutuhan sehari-hari. Sebenarnya mereka menghasilkan kain
tenun hanya untuk kebutuhan ritual atau dipakai sendiri, namun kain tersebut
dapat dijual jika ada orang lain yang menginginkannya. Perempuan di Desa
Taman Ayu Gunung Malang bekerja untuk mengisi waktu luang setelah mereka
32
pulang bekerja dari sawah atau ladang. Mereka bekerja bukan sebagai buruh,
melainkan menjadi tuan atas dirinya sendiri.
Perempuan di Desa Banyumulek, membuat barang-barang gerabah sebagai
keperluan rumah tangga dan perlengkapan interior rumah. Di sini, banyak
perempuan yang berstatus sebagai janda, baik ditinggal hidup maupun mati. Para
ibu hidup bersama anak-anaknya. Keterampilan yang dimiliki hanya membuat
gerabah dari tanah liat yang dibakar dengan suhu rendah. Pekerjaan ini dilakukan
di tanah lapang secara berkelompok. Mereka bekerja sebagai buruh dengan
penghasilan yang hanya cukup untuk makan dan keperluan sekolah anak-anaknya.
Kedudukan kaum perempuan di desa ini adalah sebagai buruh atau pekerja dengan
bayaran rendah.
Perempuan pekerja di Desa Nyurbaya yang terampil menganyam
menghasilkan produk berupa tas, perlengkapan interior rumah, dan perlengkapan
rumah tangga. Rancangan produk mengikuti selera pasar sehingga mendapat
pesanan dari luar Lombok bahkan luar negeri. Karena harga produk termasuk
mahal, maka penghasilan yang diterima cukup baik, sehingga dapat membiayai
hidup sehari-hari dan menabung. Mereka bekerja sebagai buruh toko atau galeri
dengan upah mingguan atau bulanan. Posisi perempuan di desa ini adalah buruh
yang terampil.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, pekerjaan perempuan sangat
terkait dengan keadaan alam dan lingkungannya yang menghasilkan bahan baku
sebagai material untuk dikreasikan menjadi produk seni sehingga dapat
dikelompokkan menjadi: a) Perempuan di Desa Taman Ayu Gunung Malang,
33
sebagai penenun, membuat kain tenun sebagai sarana ritual. Peran ini sangat
penting karena para perempuan meneruskan aktivitas budaya Sasak, sehingga
tetap terjaga, b) Perempuan di Desa Banyumulek, merupakan potret kehidupan
perempuan dalam mempertahankan hidupnya dan menjalankan peran sebagai ibu,
dan c) Perempuan di Desa Nyurbaya yang memperlihatkan perkembangan proses
kreatif dalam menghasilkan produk seni.
C. Tinjauan Karya-Karya Terdahulu
Artefak secara aktif mengekspresikan ide, memiliki kekuatan untuk membentuk
dan mengubah kehidupan sosial. Hal ini sangat penting dan berdampak pada
dimensi politik dan sosial. Artefak digunakan oleh seniman atau kelompok
masyarakat sebagai alat pragmatis untuk merangsang, memikat, memanipulasi
perasaan sendiri dan orang lain serta perilaku yang dihasilkannya (Svasek, 2007).
Seniman dalam melihat hasil budaya tidak hanya memproduksi dan
menggunakan artefak, tetapi juga terpesona, terpikat, termotivasi dan
termanipulasi oleh objek artefak tersebut. Objek material tersebut menjadi
instrumen komunikatif yang kuat dan aktif membangkitkan tanggapan emosional
untuk menghasilkan tindakan sosial bahkan kegiatan berpolitik.
Kain tenun Sasak, sebagai artefak budaya, beserta karya-karya para
seniman kontemporer yang bertema keperempuanan memberi inspirasi pada
penulis dalam proses kreatif. Hal ini membuka dialog antar seniman dalam
pemilihan teknik, pemetaforaan material, pemilihan ide, dan sebagainya dengan
tujuan untuk menemukan keunikan dari masing-masing karya.
34
Seniman seperti Nia Fliam, awalnya warga negara Amerika Serikat,
mengalami proses berkesenian hingga melakukan perjalanan sampai ke
Yogyakarta dan menemukan dunia seninya. Proses kontemplasi membuat
batinnya terus berkembang dan menemukan jiwanya. Budaya Jawa menjadi
inspirasi dalam setiap karyanya. Perupa perempuan ini melakukan perjalanan ke
tempat-tempat yang memberi inspirasi pada karyanya. Mereka keluar dari zona
nyaman sebagai perempuan yang tinggal di kota besar untuk mencari dan
menemukan makna hidup dan kesejatian berseni. Hal yang sama dilakukan
penulis dalam proses kreatif untuk penciptaan karya. Seniman lainnya seperti:
Linda Banks Hansee mengulas tentang konsep estetis; Noor Sudiayati, seniman
yang menggunakan material tanah liat; Dhyani Hendranto, menggunakan material
logam, dan ; Dolorosa Sinaga, menggunakan alumunium foil pada karyanya.
Karya-karya ini digunakan sebagai pembanding dan memperkaya wawasan
berkarya tentang keperempuanan. Kegiatan mengamati dan mempelajari karya-
karya terdahulu sangat berguna untuk mendudukkan karakteristik karya penulis
dalam peta karya sejenis. Karya-karya tersebut adalah:
1. Tenun Sasak
Kain tenun yang ada di Nusa Tenggara Barat ini berasal dari sebaran pengaruh
Bali Utara (Gringsing). Kain ini memiliki nilai ritual dan nilai pakai untuk sehari-
hari. Berawal dari kain yang ditenun oleh ibunya, digunakan untuk upacara
potong rambut bayi (kuris), kemudian dipakai oleh anaknya sebagai ikat pinggang
35
atau sabuk, hingga dewasa. Ketika anak ini meninggal dunia, kain tenun tersebut
dipotong sebagian dan ditutupkan ke wajahnya, disebut kain usap.
Kain ini memiliki nama berdasarkan motifnya seperti bajak sari, umbak
kombong, dan lain-lain. Kain kombong, yaitu kain tenun yang dipakai sebagai
pelengkap upacara, berasal dari benang kapas berwarna putih-krem. Benang-
benang ini kemudian diberi warna menggunakan pewarna alam ramah
lingkungan. Warna pada kain memiliki makna simbolis, seperti: putih simbol dari
tulang yang artinya 'kehidupan', merah simbol dari darah yang artinya juga
'kehidupan', kuning simbol daging yang artinya 'kekuasaan', dan hitam simbol
dari tulang yang sudah hancur yang artinya 'kematian'.
Kain tenun umba berwarna merah, kuning, dan hitam dengan motif garis-
garis karena teknik tenun, terbuat dari benang kapas, berukuran lebar 10 sampai
20 cm, panjang 1 sampai 1,5 meter. Kain-kain lainnya dipakai untuk kegiatan
sehari-hari, di antaranya sabuk anteng, kain untuk para perempuan dipakai
sebagai angkin, yaitu kain yang dililitkan di pinggang. Ada juga kain dodot atau
selendang yang digunakan untuk upacara adat, nyongkolan, yaitu prosesi jalan
beriringan mendampingi pengantin yang merupakan salah satu bagian upacara
prosesi pernikahan. Selain itu, kain gaet yang memakai dua warna benang,
ditenun untuk kaum laki-laki, dan biasanya berwarna lebih gelap seperti coklat
tua, merah tua, dan hijau tua.
Bahan baku kain berasal dari serat alam, yaitu tumbuhan kapas. Bunga
kapas diolah menjadi benang kemudian dikelompokkan berdasarkan besaran
diameter. Awalnya, benang ini berwarna putih dan krem. Kemudian benang ini
36
diberi warna dengan cara mencelup benang ke dalam zat pewarna ramah
lingkungan atau zat kimia. Pengolahan lebih lanjut dilakukan dengan cara serabut
kapas dipelintir dan ditarik hingga panjang dan digulung menjadi benang.
Selanjutnya, proses menenun dimulai dengan menyiapkan alat tenun, memasang
benang lungsi pada kayu sipe (tempat benang lungsi), dan menenun hingga
menjadi kain. Teknik tenun dengan pola anyam datar dan teknik sungkit (songket)
diterapkan untuk membentuk pola geometrik. Pola garis-garis terbentuk karena
perpaduan warna kontras, seperti kuning, jingga, merah, hijau, dan biru secara
berdampingan, sehingga memberi kesan jelas, tegas, cerah, dan dinamis (Indah,
Handayani Usri, et al., 2000).
Berdasarkan wawancara dengan penduduk di Desa Bayan pada Maret
2015, agar kain tenun tetap stabil, maka benang harus dilumuri nasi supaya agak
keras, sehingga kain menjadi renggang dan kuat. Proses ini dikerjakan secara
manual dengan memanfaatkan sisa nasi yang tersedia, sehingga tidak ada polusi
atau sampah yang terbuang.
Gambar 2.1 Kain tenun Umba’
Sumber: Dokumentasi Wijayanti, 2015.
37
Sabuk anteng dan selendang yang biasa dipakai oleh kaum perempuan
menggunakan komposisi warna kontras, sehingga tercipta motif garis-garis yang
tegas, kuat, dan lurus. Kesan yang ditampilkan oleh kain ini adalah dinamis,
cerah, semarak, dan bersifat festive. Hal ini sesuai dengan fungsi kain tersebut
yang selalu dipakai pada pesta rakyat atau perayaan budaya. Masyarakat Sasak
menyatakan bahwa kemewahan tercipta melalui warna-warna yang cerah dan
semarak. Warna putih, merah, kuning, dan hitam, merupakan warna simbolis yang
digunakan Masyarakat Sasak sebagai pernyataan siklus kehidupan manusia.
Warna memiliki hubungan dengan pengalaman hidup manusia dan budaya
di mana mereka berada. Warna digunakan sebagai simbol ekspresi dari ide, nilai,
kesucian, keagamaan, nilai kebaikan, dan kesopanan (Van Leeuwen, 2011, h. 49).
Hasil intepretasi karakteristik visual tenun Sasak merupakan tafsiran dari
makna, pesan, atau nilai yang dikandungnya. Setiap penafsiran justru dapat
mengungkapkan hal-hal yang berhubungan dengan pernyataan di balik struktur
bentuk, misalnya unsur psikologis, latar belakang sosial budaya, gagasan,
abstraksi, pendirian, pertimbangan, hasrat, kepercayaan, serta pengalaman tertentu
senimannya (Feldman, 1967, h. 479).
Kain tenun sebagai ekspresi subjektif, merupakan kain hasil produksi
seniman sebagai cara ungkap dan pernyataan tentang segala hal yang menjadi
obsesi. Secara visual terwujudnya kain melalui teknik tenun, emosi „rasa‟, struktur
jalinan tenun, komposisi warna, dan material, dapat mewakili perasaan seniman.
Karya tenun sebagai ekspresi merupakan memori yang tersimpan pada material,
merupakan media meditasi dan doa kepada Sang Pencipta, dan sebagai curahan
38
rasa cinta kepada keluarga melalui aktivitas berkesenian. Maka, ekspresi visual
tenun ditentukan oleh teknik dan struktur tenun, warna benang, dan sisipan atau
objek aksesoris yang melekat pada struktur tenun.
2. Konsep Seni Batik karya Nia Fliam
Kajian sumber terhadap karya Nia Fliam didasari pada pengamatan karya dan
wawancara pada September 2012. Fliam seorang warga negara Amerika yang
sudah lama tinggal di Yogyakarta, menikah dengan Agus Ismoyo, pria
Yogyakarta dan dikaruniai seorang anak. Fliam tertarik pada batik sejak 1983.
Bersama Ismoyo, Fliam mendirikan galeri sekaligus tempat kerja pada 1985, dan
diresmikan pada 1995. Fliam selalu merasa seperti anak kecil di taman kanak-
kanak yang haus akan ilmu pendidikan, khususnya batik, dan tak pernah puas
serta ingin terus menggali kemungkinan-kemungkinan yang didapat dari proses
eksperimen batik.
Karyanya dapat digolongkan dalam wilayah finer art atau commercial
work bergaya abstrak. Fliam melakukan eksplorasi teknik secara maksimum
menggunakan simbol-simbol ornamen batik, seperti motif parang dan kawung.
Motif batik dianggap sebagai simbol siklus kehidupan manusia Jawa yang
mewakili rasa dan pikiran sehingga pada akhirnya memberikan pencerahan jiwa.
Konsep dari proses kreatif Fliam adalah „mengolah rasa hingga memiliki perasaan
damai‟. Menurutnya, batik disempurnakan oleh Bangsa Indonesia karena
masyarakat Jawa dapat mengolah rasa dan keseimbangan. Dapat dikatakan bahwa
Fliam telah menjalani proses „keempuan’ dan menemukan sesuatu pada batik,
39
yaitu semakin murni dikerjakan maka semakin memiliki sesuatu yang intangible
untuk dimanfaatkan hingga akan tercipta resonansi (getaran) dari karya tersebut.
Menurutnya, karya seni beresonansi adalah karya yang memiliki getaran,
semacam cahaya, sehingga orang melihat karya itu akan menyukainya. Karya
akan memberi efek resonansi bila sang seniman menjalani peristiwa agony. Salah
satu karyanya bercerita tentang „perempuan menuju jalan keempuan’ dengan cara
membersihkan diri. Bagi Fliam, perempuan memiliki tiga peran; perawan, ibu,
dan hyang. Hyang inilah yang dimaksud dengan keempuan, tempat terakhir tujuan
para perempuan. Pengalaman batin yang sangat kaya didapatinya setelah ia
sebagai orang Amerika melakukan perjalanan ke tanah Jawa, berpindah
kewarganegaraan untuk mengeksplorasi batik. Ia mempelajari spirit dan budaya
Jawa lewat batik. Sikap dan pandangan hidupnya mencerminkan kecintaan dan
penghargaannya pada budaya (Jawa) yang notabene bukan warisan leluhurnya.
Gambar 2.2 Karya tekstil yang terinspirasi dari motif Kawung, teknik batik cap dan tulis,
sutera, naphtol, © Nia Fliam, 2010.
Sumber: dokumentasi oleh Wijayanti, 2010.
Fliam mengksplorasi karya tekstilnya pada bagian permukaan kain, yaitu
dengan memadukan dua helai kain yang terdapat pada bagian bentuk kawung
sehingga tampak menyatu. Dalam karya ini, dua helai kain bermotif kawung
berwarna kuning pada bagian atas dengan merah pada bagian bawah dipadukan.
40
Perpaduan warna, dan teknik menjahit memberi efek artistik pada permukaan
kain. Detail bagian permukaan kain memperlihatkan keahliannya dalam menjahit
dengan cara manual.
3. Konsep Estetik karya Linda Banks Hansee
Linda Banks Hansee adalah seorang seniwati yang bermukim di New York.
Hansee membuat karya, biasanya dalam bentuk hiasan dinding, menggunakan alat
tenun. Hansee memasukkan objek-objek alami seperti daun, ranting, kerang dan
rumput ke dalam struktur tenun, dan menenun menggunakan empat rangka
penyangga tempat memasang benang lungsi dan menganyam benang pakan yang
terbuat dari sutera, rayon, katun, dan wool. Konsep dari karya tenunnya adalah
„berkreasi dengan benda-benda alami yang terinspirasi dari keindahan alam‟.
Hansee memanfaatkan hasil alam seperti warna asli pada material, tekstur serat,
dan elemen lain yang muncul dari alam.
Hansee menggunakan found object, baik yang alami atau buatan manusia
(man made), yang dapat ditemukan (atau dibeli) oleh seniman (Linda Banks
Hansee) dan dijaganya/disimpannya karena ketertarikan seniman terhadap objek
tersebut. Ada kemungkinan bahwa seniman mengambil dan mengolah objek
tersebut sebagai bagian dari karya seni yang dibuat. Objek yang ditemukan
kadang dimodifikasi dan dipresentasikan sebagai karya seni. Perpaduan antara
objek temuan dengan kreativitas seringkali memunculkan keindahan artistik dan
tak terduga. Kadangkala objek temuan yang dipakai juga dapat dikreasikan
menjadi kekuatan atau cerita puitis yang mengeksplorasi aspek sosial atau sejarah.
41
Gambar 2.3. Karya tenun, Nautilus Shell with Green and Lavender
Teknik tenun, benang mohair, warna gradasi hijau, biru dan ungu muda, benang
wool putih dan rayon. 22 x 28 inci Sumber: www.lindabankshansee.com
Tampaknya Hansee memiliki kesan atau memori khusus terhadap found
objects berupa kerang-kerang. Hal ini terlihat pada komposisi sejumlah karyanya
yang menggunakan kerang dalam berbagai ukuran dan warna alami. Kekuatan
karyanya terlihat dalam pemilihan bentuk dan komposisi berbagai ukuran kerang,
yang memberikan narasi tentang alam. Kombinasi benang yang ditenun menjadi
kekuatan artistik dan memberikan nuansa tertentu pada kerang tersebut sehingga
tampak seperti puisi yang indah dan alami.
Aksen dibentuk dengan menyisipkan material pada permukaan kain tenun.
Material yang disisipkan ini juga memunculkan memori pada suatu suasana
tertentu. Objek yang disisipkan tersebut berupa berbagai jenis cangkang kerang,
yang akan membangun ingatan pelihat pada alam laut atau suasana pantai. Di sisi
lain, karya-karya Hansee mengingatkan penulis pada produk kriya yang dibuat
oleh perempuan di Desa Nyurbaya menggunakan ketak sebagai sisipan dengan
teknik anyam yang memperlihatkan hasil budaya Sasak.
42
4. Keramik karya Noor Sudiyati
Noor Sudiyati adalah seorang seniman keramik yang berkarya dengan material
tanah liat. Karya-karyanya menggunakan motif batik dan bertemakan flora, seperti
bentuk kelopak bunga, daun yang bertumbuh, berlimpah, dan bertumpuk yang
bergerak mencari sinar matahari. Melalui wawancara pada Agustus 2013, didapati
konsep berkarya Noor Sudiyati, yaitu bahwa citra bertumbuh dan menjalar
diciptakan sebagai energi bumi, anggun, cantik, kokoh, dan menjalar. Eksplorasi
yang dilakukan pada bentuk anatomi tumbuhan, seperti bunga dan kelopaknya,
daun dengan tulang-tulangnya, sehingga tampak natural, hidup, tergerai dan
panjang menjuntai. Setiap kelopak bunga dan daun dibuat sangat artistik melalui
ekplorasi material tanah yang tampak berwarna hitam hangus dan putih porselin.
Ornamen tekstur terlihat melalui teknik toreh, pilin, pitching, tempel, dan slab.
Gambar 2.4. Gerak Dalam Hidup, 50 x 37 cm, teknik pinch, keramik
Sumber: © Noor Sudiyati, 2018.
Berdasarkan kerangka Weisberg (1993), seniman dapat menciptakan karya
berdasarkan pengalaman batin yang telah dialaminya, sehingga menjadi dorongan
kuat untuk mentransformasi dan mengobjektifikasikan segala hal yang imajiner
43
menjadi mewujud. Sementara, untuk mewujud, karya tersebut membutuhkan
material agar dapat mewakili ide tersebut. Hal ini merupakan suatu proses
metafora yang diperlihatkan oleh seniman pada sebuah karya.
Seorang perempuan dengan pengalaman hidup yang panjang cenderung
untuk memperlihatkan sifat keperempuanannya melalui material yang digunakan.
Di tangannya, tanah liat diolah menjadi berirama, lembut, elegan, dan mapan
sehingga karya yang dihasilkan terasa menjadi lebih hidup, bergerak dan
bertumbuh. Sifat itu tampak pada karyanya yang berupa kelopak bunga berbahan
keramik dengan bentuk organis membentuk lengkungan kelopak bunga. Hal ini
pun akan terlihat pada karya tenun dengan tema Perempuan Penjaga Tradisi yang
memperlihatkan kerapuhan, melayang, dan bertumbuh sebagai pemetaforaan sifat
perempuan.
5. Aksesoris karya Dhyani Hendranto
Dhyani Hendranto lahir di Indonesia dan telah menghabiskan sebagian hidupnya
di Eropa, Asia, Australia dan di tanah kelahirannya sendiri. Pengalamannya
tinggal di mancanegara memperkaya proses kreatifnya, terlihat pada karyanya
yang beragam, dan memiliki karakteristik unik. Proses kreatif tersebut merupakan
hasil kontemplasi dari berbagai latar belakang budaya yang telah dialami.
Dhyani menggunakan teknik dan proses pengolahan material khusus yang
telah dipelajari di Jerman dan India. Karya-karya yang diciptakan terbuat dari
bahan logam, berupa asesoris perhiasan tubuh hingga perhiasan yang mematung.
Hendranto kerap menggunakan mixed media dengan menggabungkan beragam
44
medium seni yang bersumber dari hasil olah gerak dan video art. Karyanya
terinspirasi dari persoalan pengalaman perempuan, pesan-pesan tentang
kesetaraan gender, dan intervensi-urban.
Karya-karya Hendranto memperlihatkan karakter perempuan dan
diwujudkan melalui material logam yang diolah sedemikian rupa sehingga tampak
berirama, lembut, cantik, dan cerdas. Karya aksesoris yang „mematung‟ memberi
kesan monumental dan invidual. Material logam yang kuat dan kokoh dapat
tampil bergelombang, meliuk, dan menari. Sementara pada karya tenun dengan
tema Perempuan Pelaku Seni ekspresi meliuk dan menari dimetaforakan dengan
material benang.
Gambar 2.5. ‘Milky Weg’
Brass, sea coral, stainless steel, 75 x 70 x 55 cm Sumber: © Dhyani Hendranto, 2017.
6. Patung karya Dolorosa Sinaga
Salah satu pematung yang mengangkat tema perempuan dengan segala
persoalannya adalah Dolorosa Sinaga. Ia berkarya melalui medium patung dengan
material lilin, lempung, bronze, alumunium dan yang terakhir plastik. Karya-
45
karyanya memperlihatkan kekuatan bentuk (shape) sebagai perwakilan dari
bahasa tubuh (body language) dan gestur figur perempuan.
Dolorosa menangkap segala „persoalan‟ yang dialami oleh para
perempuan dalam menjalani hidupnya, menangkap esensi kehidupan sehingga
menjadikan dia resah, galau, bahkan tertekan, seperti misalnya peristiwa Mei
1998, bencana Tsunami Aceh, yang semua itu tertuang pada gestur tubuh
perempuan yang dipatungkannya. Dolorosa sangat menyukai karakter dari
material yang digunakannya. Warna yang tampil pada patung-patungnya berasal
dari material yang dipakai sehingga ambience atau atmosfer yang dibangun
tampak kuat dan dominan. Hasil kerja tangannya seperti mengaliri ruh atau spirit
kehidupan sehingga wujud karyanya tampak bermakna, bukan hanya sekedar
seonggok perunggu atau plastik. Spirit tertentu juga tampak pada guratan-guratan
di permukaan perunggu atau plastik, guratan penuh dengan tekanan dan emosi
bahkan “rasa” di mana dia mengalami segala sesuatu dengan instrumen material
untuk karya patungnya, seperti ingin membebaskan dari belenggu.
Gambar 2.6. Display pameran karya patung Dolorosa Sinaga, tema tentang
‘keseharian’ perempuan sebagai tarian kehidupan, TIM – Jakarta.
Sumber : dokumentasi Wijayanti, 2013.
46
Dolorosa meninggalkan jejak pada karya patungnya, melalui guratan-
guratan emosi dan „rasa‟ pada permukaan material alumunium yang
memperlihatkan kelembutan, irama, kehangatan, ketangguhan dan kekuatan
seorang perempuan yang tengah berjuang.
D. Temuan Konsep Penciptaan
Berdasarkan pengamatan di tiga desa tersebut, dapat diketahui kondisi pekerja
perempuan di dalam komunitas masyarakat Sasak. Hampir semua perempuan di
Desa Banyumulek menjadi pembuat gerabah dan mayoritas menjadi buruh
berpenghasilan minim. Perempuan dengan status „ditinggal suami‟ hidup
sederhana dan bertanggungjawab menjalankan pekerjaan untuk menghidupi anak-
anaknya. Kondisi seperti ini menjadikan posisi Perempuan Sasak sebagai
penyangga kebutuhan ekonomi keluarga. Hanya perempuan itu sendiri yang harus
menyelematkan kehidupan diri dan anak-anaknya.
Kaum perempuan di Desa Taman Ayu Gunung Malang bekerja menenun
lebih tanpa „paksaan‟. Mereka menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Salah satu peran
perempuan di desa ini yaitu menjalankan upacara tradisi yang melibatkan proses
pembuatan kain tenun. Secara tidak langsung peran itu menjadikan perempuan di
Desa Taman Ayu Gunung Malang memegang posisi penting, sebagai penjaga adat
budaya Sasak.
Perempuan di Desa Nyurbaya, bekerja membuat produk yang selain
bernilai budaya juga memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Mereka
memproduksi barang kerajinan baru yang mempertimbangkan selera pasar.
47
Kondisi tersebut sangat membantu dalam menjalankan ekonomi masyarakat dan
menaikkan pendapatan daerah. Kaum perempuan di desa ini dapat dianggap
sebagai agen perubahan dan pelaku seni.
1. Temuan konseptual perempuan Sasak dengan pekerjaannya
Relasi antara: budaya, perempuan, jenis pekerjaan, dan ekspresi visual dapat
terlihat pada hubungan teks dari pernyataan Williams, Ramachandran, Feldman,
dan Fakih. Tahap riset dan temuan konseptual dari masing-masing konsep
tersebut seperti yang disarikan dalam tabel 2.1.
No Konsep Pernyataan Relasi dengan perempuan
pekerja Sasak dan visual
1 Culture (budaya)
(R. Williams)
Kegiatan budaya dapat
dilihat pada bentuk seni
dan karya intelektual
manusiawi
Reproduksi budaya
membuat organisme atau
bentuk baru dari jenis
yang sama
Pembentukkan kelompok
kerja berdasarkan keahlian
individu
Budaya yang terseleksi
dari tradisi (culture of the
selective tradition)
Hubungan antara elemen
afektif/ perasaan/ emosi
dengan kesadaran yaitu
pikiran yang dirasakan dan
perasaan sebagai pikiran.
Wacana perempuan sebagai
makhluk intelektual dan
mandiri
Temuan alat kerja, alat tenun
bukan mesin yang dapat
membuat varian baru,
Pengelompokkan pekerjaan
perempuan berdasarkan
keterampilannya:
1) Perempuan terampil
membuat gerabah
2) Perempuan terampil
menenun
3) Perempuan terampil
menganyam
Hubungan keterampilan,
emosi, dan karya seni
keperempuanan menjadi
wacana:
(1) Karya tenun perempuan
penyangga keluarga,
(2) Karya tenun perempuan
penjaga tradisi,
(3) Karya tenun perempuan
48
pelaku seni,
Menghasilkan pemikiran
kritis dan analitis
Menjaga jarak antara
subjektif dan objektif, agar
dapat mereproduksi budaya
2 Rasa
(V.S. Ramachandran)
Sembilan aturan estetika:
1) grouping
(pengelompokkan)
2) peak shift (rasa,
menarik esensi dari
sesuatu)
3) contrast (kontras)
4) isolation (bentuk garis
yang efektif)
5) peekaboo (pemecahan
masalah perseptual)
6) abhorrence of
coincidences (akal logis
untuk menghindari
kebetulan)
7) orderliness (ketertiban)
8) symmetry (simetri)
9) metaphor (metafora)
Empat unsur proses kreatif
dapat dirangkum menjadi
tahapan-tahapan, yaitu:
1) Estetika „rasa‟ dan esensi,
adalah proses pengamatan
peneliti terhadap objek
perempuan dan budaya Sasak
2) Kontras, merupakan proses
kreatif dalam menentukan
material, teknik, desain, dan
perwujudan karya dengan
intensitas yang berbeda
3) Pemetaforaan, merupakan
persepsi, menerima, dan
menganalisis kode-kode
objek penelitian, menjadi
uraian yang dapat divisualkan
dengan cara baru
4) Visualisasi, merupakan
proses kreatif, perwujudan,
dan penyajian karya yang
mewakili peran perempuan,
- Memasuki bidang sosial,
- Menghasilkan pengalaman
artistik „menjadi‟ bagian dari
budaya Sasak.
3
Elemen visual
sebagai tata bahasa
seni
(E.B. Feldman)
Elemen visual bahasa rupa
yang terdiri dari: garis,
bentuk, terang- gelap,
warna, dan tekstur.
Organisasi elemen visual
dilihat dan
dikomunikasikan melalui
komposisi: kesatuan,
keseimbangan, irama, dan
proporsi.
Analisis karya seni yang
menggunakan
- struktur bentuk
- fungsi produk (fisik,
sosial, dan personal)
Visual kain Sasak:
1) komposisi: stabil, introvert
2) warna: merah, hitam,
putih, biru, kuning
3) tone warna dominan
4) pewarnaan dengan
mencelup benang
5) struktur tenun polos
/ anyam datar
6) bentuk tenun: rapat, kuat,
kokoh, stabil
Fungsi tenun:
a) media upacara/ritual
b) simbol siklus kehidupan
manusia
49
- gaya seni(imitasi,abstrak,
dan representasional)
- interaksi media dan
makna denotasi, konotasi,
dan interpretasi simbolik
Membuat komposisi dan
irama pada karya, seperti
„menari‟ dengan jiwa
keperempuanan.
4 Peran dan fungsi
perempuan,
Mansour Fakih
Perempuan pada struktur
sosial:
a) perempuan sebagai
makhluk ciptaan Tuhan
dengan hak kemerdekaan
atas dirinya
b) memiliki anatomi
reproduksi khas
c) menjalani aturan sistem
kekeluargaan, sosial,
agama, dan kepercayaan
Perempuan dengan
intelektualnya dapat bekerja
secara mandiri
Perempuan yang menjalani
kehidupan dengan
membentuk keluarga,
menjalani ritual, menjaga
tradisi, serta memproduksi
budaya, dengan menjalankan
acara seni budaya secara
kontinu.
Tabel 2.1. Relasi budaya, perempuan, jenis pekerjaannya dan ekspresi visual
Sumber: hasil ringkasan pemikiran penulis tentang konsep budaya, estetika, dan wacana
perempuan.
2. Temuan Konseptual Perempuan Sasak dalam Proses Kreatif
Tahapan proses kreatif yang telah dilakukan penulis didasarkan pada intisari dari
konsep budaya, estetika rasa, bahasa visual, dan keperempuanan, sehingga
menjadi: a) penyelidikan dan pengamatan Perempuan Sasak, b) pengorganisasian
data, dan c) produksi karya baru.
Berdasarkan pengamatan pada tiga desa tersebut, dapat dilihat kondisi
pekerja perempuan pada komunitas masyarakat Sasak, yaitu: (a) Perempuan di
Desa Banyumulek, menjadi pembuat gerabah, mayoritas sebagai buruh
berpenghasilan minim yang menjadikan posisi perempuan sebagai „penyangga
kebutuhan ekonomi keluarga‟ dan diri sendirilah yang harus menyelamatkan
kehidupannya, (b) Perempuan di Desa Taman Ayu Gunung Malang, bekerja
menenun, menjadi tuan bagi dirinya sendiri, menjadikan posisi perempuan di desa
ini sebagai „penjaga tradisi adat istiadat budaya Sasak‟, dan c) Perempuan di Desa
50
Nyurbaya yang bekerja membuat produk estetis bernilai budaya serta ekonomi
yang sesuai dengan kebutuhan konsumen, menjadikan posisi perempuan di desa
ini sebagai „pelaku seni‟.
Pengamatan yang mendalam ini merupakan keadaan realita para
Perempuan Sasak yang sebenarnya. Hal ini tidak akan tampak jika tidak
menelusuri lebih dalam dan jauh tentang kehidupan keseharian Perempuan Sasak
di pedesaan. Keadaan yang menggugah emosi dan psikologis tentang perjuangan
seorang perempuan untuk keluarga, kepercayaan, dan dirinya, bukan potret
perempuan dalam kondisi mapan, berkecukupan, dan memadai dalam sosial
masyarakat saat ini. Peristiwa pengamatan ini dapat dianalogikan seperti
„menyelam di bawah air‟.
Pada permukaan air, terlihat air yang tenang dan bergelombang indah
sehingga jika menyelam ke bawah permukaan laut diharapkan ada pemandangan
biota laut atau terumbu kerang yang indah mempesona. Namun pada
kenyataannya, dapat terlihat suasana bawah laut yang porak poranda dan hal ini
akan menguras emosi. Pernyataan Ramachandran tentang menggunakan „rasa‟
dan empati dirasa tepat untuk mengggambarkan situasi dan keadaan di bawah air
(underwater) tersebut.
„Underwater‟ dapat dianalogikan sebagai fenomena gunung es; realita
yang terlihat di permukaan tidak sebesar di bawahnya dan realita yang sebenarnya
berada di bawah air. Maka, penulis menamakan tahap pertama sebagai
Underwater, bertujuan untuk melihat realita yang sesungguhnya, mendapatkan
data yang sebenarnya, merasakan ativitas keseharian, dan mendapatkan energi
51
yang esensial. Tahap ini dilakukan penulis ketika mengalami peristiwa „menjadi‟
Perempuan Sasak. Fisik, batin, dan pikiran lepas dari keseharian untuk merasakan
„menjadi‟ Perempuan Sasak. Penulis menyelami wilayah realita pekerjaan
Perempuan Sasak. Penulis secara sadar mengalami, menjalani, mengetahui, dan
mendapatkan segala hal tentang ke-Sasak-an.
Konsep tentang wacana Perempuan Sasak dan estetika rasa tersebut dapat
dibuat lebih jelas dan esensial. Tahap ini masuk pada kondisi „kritis‟ dan analitis
dengan menggunakan pemikiran dari Williams tentang pembagian pekerjaan.
Metode yang dilakukan yaitu dengan cara membuat kategori jenis pekerjaan
perempuan sesuai dengan keterampilannya, pengorganisasian data, serta memilih
dan memilah elemen rupa sesuai dengan kebutuhan perwujudan karya yang akan
diproduksi sehingga terbentuk wacana perempuan berdasarkan jenis
pekerjaannya. Hasil dari kategorisasi tersebut adalah: 1) perempuan penyangga
keluarga, 2) perempuan penjaga tradisi, dan 3) perempuan pelaku seni. Wacana
tersebut akan divisualisasikan menggunakan unsur „rasa‟ dan esensi, kontras,
pemetaforaan, dan visualisasi. Unsur tersebut digunakan menjadi metode atau
bagian dalam proses kreatif panduan karya tenun sebagai representasi
keperempuanan.
Karya bertema „keluarga‟ memperlihatkan peran perempuan sebagai
penyangga keluarga dan pencari nafkah, dengan mengedepankan sifat perempuan
yang memiliki rasa cinta dan kasih sayang kepada suami dan anak-anak, serta
kelenturan dalam mengasuh serta mendidik keluarga. Terkadang nilai-nilai
52
tersebut rapuh dan lentur, namun harus tetap bertahan dalam menjalani kehidupan
bermasyarakat agar keluarga menjadi kuat dari segala cobaan kehidupan.
Karya bertema tradisi mewakili peran perempuan sebagai penjaga tradisi
budaya. Perempuan harus memiliki jiwa dan pandangan hidup mapan, agar kuat
dan kokoh dalam menjalani dan memaknai hidup. Memiliki pikiran bersih dan
suci batin agar kemurnian pikiran tetap terjaga. Bersikap anggun dan magis, agar
tampak terhormat. Bertindak sakral dan meditatif agar dapat melihat hal baik dan
buruk dalam kehidupan.
Karya selanjutnya mewakili profesi perempuan sebagai pelaku seni atau
perempuan yang memproduksi karya seni sebagai jalan hidupnya. Perempuan ini
harus bersifat dinamis, fleksibel, dan lentur dalam menjalani dan memaknai hidup
melalui karya seninya. Perempuan harus memiliki emosi „meriah‟ agar karya-
karyanya memberi inspirasi bagi pelihat dan memiliki „rasa‟ dan sensasi agar
karyanya berjiwa. Perempuan mengekspresikan sisi ekstrovert agar dapat
merespon hal-hal yang terjadi dalam masyarakat. Menggunakan pikiran pada
persoalan emosi, empati, dan kesadaran, yaitu pikiran yang dirasakan dan
perasaan sebagai pikiran. Pernyataan Williams dirasa tepat untuk
mengggambarkan situasi dan keadaan kritis tersebut.
Perempuan memiliki jiwa merdeka, seperti yang dinyatakan oleh Fakih
dan divisualkan melalui bahasa seni dari Feldman menggunakan garis, bentuk,
warna, bidang, dan tekstur kain yang masing-masing mewakili keperempuanan.
Peristiwa ekstasi, trans, sublim, dan agony yang terjadi pada diri penulis dapat
dirasakan melalui perabaan tekstur benang, penciuman serat alami, dan visual
53
warna-warna alam menyatu membentuk jalinan yang mewujud. Merasakan
empati terhadap ketangguhan perempuan, hingga membayangkan bentuk-bentuk
yang dapat mewakili keperempuanan, menyebabkan relung-relung otak menjadi
tegang, berkembang, dan membuat loncatan-loncatan pikiran jauh ke depan.
Tubuh bergerak, tangan memegang kayu pakan, mengangkat, menari, dan
menurunkan benang-benang lungsi, dengan irama lembut, pelan, kadang cepat,
kuat dan menghentak, namun harus kembali lemah, dan pelan, sampai benang
terputus. Menjalin dan membentuk anyaman, hingga tangan mengalami kelelahan
yang sangat, dan tubuh terasa remuk redam. Istirahat sejenak, menghirup udara,
meluruskan, dan melemaskan badan dalam irama ketukan kayu tenun. Bekerja
seperti tubuh yang „menarikan‟ kehidupan. Tarian dilanjutkan lagi, kali ini tubuh
lebih segar, tarian lebih dinamis, tangan lebih kokoh, dan kaki lebih kuat, terus
menghentak berirama. Tubuh terus bekerja, hingga benang-benang pakan dan
lungsi terjalin menjadi jalinan kain yang kuat dan kokoh, seperti jiwa perempuan
yang terbang dan melayang merasakan kebebasan hidup, berkehendak,
memberikan hidup pada sang anak, menyusui sang bayi, berkuasa atas rumahnya,
menjadi ratu di istananya, dan menjadi berpasangan dengan pendampingnya.
Demikianlah hidup dan tarian jiwa seorang perempuan.
Jadi temuan konseptual tentang perempuan Sasak dalam proses kreatif
berkarya diawali pada tahapan Underwater, menghasilkan pengamatan terhadap
fenomena perempuan dan pekerjaannya. Tahap „Kritis‟ menghasilkan pemilihan
dan penyeleksian data, dilanjutkan dengan tahap „Dance of the Soul’ yang
54
menghasilkan proses kreatif berkarya untuk menghasilkan dan menyajikan karya
baru.
3. Temuan Material, Alat, Struktur Tenun, dan Visual Karya
Material yang digunakan dalam proses berkarya sangat terkait dengan lingkungan
dan merupakan simbol artefak yang mewakili budaya Sasak. Material tersebut
merupakan perwakilan karakter perempuan dan found object seperti: 1) kapas,
merupakan bahan utama pembuatan benanga yang di mana bunga kapas ini
tumbuh dari tanaman kapas (Gossypium), 2) koin berbentuk lingkaran dengan
lubang berbentuk segi empat di bagian tengah yang memiliki aksara Jawa Kuno
atau aksara Cina, 3) kulit kerang dari jenis nautilus mutiara atau nautilus berkamar
(Nautilus pompilius), yang diperoleh dari sekitar pesisir Lombok, Makassar, dan
Kep. Ambon, 4) bagian kulit batang dari Ketak (Lygodium Circinatun) yang
berasal dari tanaman merambat dan tumbuh di hutan dekat Desa Nyurbaya, 5)
keramik, yang merupakan perwakilan dari produk masyarakat Desa Banyumulek
yang membuat gerabah sebagai perlengkapan rumah tangga, 6) padi, yang
merupakan bahan makanan pokok masyarakat Sasak dan banyak diproduksi di
Lombok, 7) Aksesoris renda, yang identik dengan perempuan feminin, cantik,
lembut, dan berdandan, dan 8) Aksesoris kancing yang terbuat dari kerang,
berfungsi sebagai penghubung bidang satu dengan yang lain.
Secara ergonomis, postur badan ketika bekerja memperlihatkan posisi
kerjasama antara tangan, kaki, dan badan. Hal ini dapat memberikan atau
menambahkan kekuatan atau tenaga, dan kenyamanan ketika bekerja dalam waktu
55
lama. Posisi ini juga dapat dihubungkan dengan kebiasaan masyarakat di Asia
yang menyelenggarakan upacara atau ritual dengan posisi di atas tanah, tikar, atau
alas, karena terhubung langsung dengan energi bumi atau tanah. Selain itu, hal ini
juga disebabkan karena pertimbangan etika dan kesopanan.
Tidak semua perempuan yang beraktivitas atau bekerja saat ini dapat
bekerja dengan cara duduk di lantai. Banyak perempuan telah terbiasa bekerja
dengan duduk di kursi dan menggunakan meja, sehingga untuk bekerja menenun
dengan posisi nyaman dan mempertimbangkan faktor ergonomi, dibutuhkan alat
tenun bukan mesin yang dirancang khusus untuk postur dan ukuran tubuh
perempuan (Indonesia) sehingga nyaman bekerja untuk waktu lama.
Tenun yang dihasilkan perempuan seyogyanya merupakan hasil kreativitas
yang diolah dengan rasa dan pikiran yang intensif, bukan dari sikap pasrah seperti
perempuan buruh. Kreativitas „menari‟ di atas tenun merupakan aktivitas
menenun dalam berkarya, terlihat pada keunikan struktur tenun yang berbeda satu
sama lain. Jalinan antara bagian vertikal (benang lungsi) dan horizontal (benang
pakan) menunjukkan relasi antara sifat perempuan dengan struktur tenun.
Hubungan antara tenun Sasak dengan karya tenun baru dianalisis melalui struktur
bentuk, fungsi tenun, dan peran perempuan yang dijabarkan pada tabel 2.2.
No Elemen tenun Kain tenun
terdahulu (Sasak) Kain tenun yang akan dibuat
1 Struktur Bentuk
Komposisi:
Stabil, introvert
Komposisi:
Dinamis, extrovert
Warna:
Merah, hitam,
putih, biru, kuning
Warna:
Gradasi merah, jingga, hitam, abu-abu,
coklat tua, gradasi putih, biru, kuning
56
Tone warna:
Dominan
Tone warna:
Gradasi
Teknik pewarnaan:
Pewarnaan dengan
mencelup benang
Teknik pewarnaan:
Pewarnaan dengan melukis benang
dan celup zat kimia
Struktur tenun:
Polos, anyam datar
Struktur tenun:
Polos, anyam datar, dekorasi sisipan
Visualisasi tenun:
Rapat, kuat, kokoh,
stabil
Visualisasi tenun:
Tebal, renggang, berbelit-belit, tipis,
ringan, lentur, transparan, halus
2 Fungsi Tenun
Media upacara
(ritual)
Ekspresi personal
3
Peran
Perempuan dan
Kelompok Kerja
Simbol siklus
kehidupan manusia
Simbol artefak
budaya, berupa
benda pendukung
kegiatan adat yang
mewakili budaya
Sasak
Simbol peran perempuan saat ini:
Penyangga: kuat, makmur, lentur,
cinta, bertahan, tangguh, kasih sayang.
Digambarkan dengan komposisi tenun
yang fleksibel, kuat, rapuh, lembut,
dan renggang.
Penjaga: mapan, suci, tua, anggun,
sakral, magis, meditatif, mendalam.
Digambarkan dengan komposisi tenun
yang rapat, masif, dan stabil.
Pelaku: dinamis, atraktif, festive,
sensasi, dan extrovert.
Digambarkan dengan komposisi tenun
yang dinamis, bergerak, bervolume,
dan bergelombang.
Tabel 2.2 Struktur bentuk, fungsi tenun, dan peran perempuan
Sumber: disarikan dari hasil riset Wijayanti, 2017.
Rancangan karya akan divisualkan dari hasil pengolahan „rasa‟ atau
keindahan yang bernarasi dan berkontemplasi pada persoalan keperempuanan.
Karya akan diwujudkan dalam medium tekstil, berupa kain tenun dengan material
benang kapas dan teknik tenun yang mengeksplorasi detil pada struktur tenun.
57
Karya akan dibagi menjadi tiga bagian sesuai dengan tema dan objek pendukung
artefak sebagai atribut etnis ke-Sasak-an.
Karya tenun akan tampak perbedaannya pada jenis material dan elemen
rupa. Material yang akan digunakan terdiri dari benang kapas dengan berbagai
ukuran diameter berwarna merah, kuning, biru, cokelat, hitam, dan putih, untuk
mendapatkan komposisi „kontras‟ dan berirama, sehingga berdampak pada indra
penglihatan dan perabaan. Karya diwujudkan dengan mengolah elemen rupa,
struktur anyam, dan teknik tenun yang akan disesuaikan dengan tema perempuan.
Hal ini merupakan proses „pemetaforaan‟ dari nilai-nilai keperempuanan.
Visualisasi merupakan proses pembentukan, presentasi, dan penyajian
karya agar dapat dinikmati oleh pengamat. Bagian yang sudah dirancang
berdasarkan konsep ide gagasan akan diwujudkan melalui proses kreatif tertentu
agar mewujud dan memiliki arti serta makna baru. Material benang atau warna
tidak lagi mewakili materi itu sendiri namun sudah memiliki makna baru terkait
dengan tema karya. Teknik menenun merupakan ruang kreatif seniman; eksplorasi
material, cara menenun, dan memadukan jenis-jenis benang. Proses ini akan
menghasilkan jejak pada permukaan tenun, sehingga apa yang diperlihatkan dapat
dicerna berdasarkan cara kerja otak dan mendapatkan suatu informasi, memori,
atau persepsi tentang keperempuanan dan karakter budaya Sasak.
58
Resume
Pemahaman tentang budaya atau culture merujuk pada pendapat Raymond
Williams, yaitu posisi budaya pada masyarakat dan posisi seniman terhadap
budaya yang diresponnya merupakan warisan budaya yang mentradisi, dapat
dieksplorasi, dan diproduksi menjadi karya seni dengan metode yang khas. Karya
seni merupakan hasil pikiran yang dirasakan dan perasaan yang dipikirkan sebagai
ungkapan intelektual seniman yang direpresentasikan menjadi karya baru dan
dikomunikasikan kepada masyarakat saat ini.
Kajian estetika merujuk pada teori aturan universal estetika dari hasil
penelitian V.S. Ramachandran, yaitu: 1) grouping, 2) peak shift (pergeseran
puncak), „rasa‟, „menarik esensi dari sesuatu‟, 3) contrast (kontras), 4) isolation
(isolasi), 5) peekaboo, 6) abhorrence of coincidences, 7) orderliness (ketertiban),
8) symmetry (simetri), dan 9) metaphor (metafora).
Analisis estetika rupa menggunakan konsep Edmund Burke Feldman,
yang menyatakan elemen bahasa rupa terdiri dari: garis, bentuk, terang-gelap,
warna, dan tekstur, yang harus diorganisasikan sehingga dapat dikomunikasikan
kepada pemirsa. Bentuk komunikasi tersebut dapat dilihat pada komposisi,
kesatuan, keseimbangan, irama, dan proporsi.
Wacana tentang perempuan merujuk pada Mansour Fakih, yang
menyatakan tentang peran dan fungsi perempuan pada struktur sosial sebagai : a)
perempuan menjadi diri pribadi sebagai makhluk ciptaan Tuhan dengan hak
kemerdekaan atas dirinya, b) memiliki struktur anatomi tubuh dengan alat
reproduksi khas perempuan, c) menjalani sistem kekeluargaan yang dipakai oleh
59
tiap-tiap keluarga, d) menjalani tata aturan nilai agama atau kepercayaan, dan e)
menerima struktur sosial yang disepakati dan diterapkan pada diri perempuan.
Karya bertema keluarga, perempuan berperan menjadi penyangga keluarga
dengan bekerja mencari nafkah. Perempuan yang memiliki rasa cinta kepada
suami dan anak-anak, harus mempertahankan dan menjalani kehidupan
bermasyarakat agar menjadi keluarga yang kuat dari segala cobaan kehidupan.
Karya bertema tradisi mewakili peran perempuan sebagai penjaga tradisi
budaya. Perempuan harus memiliki jiwa dan pandangan hidup mapan, memiliki
pikiran bersih dan suci, bersikap anggun dan magis, berlaku sakral dan meditatif,
agar batin menjadi kuat dan kokoh dalam menjalani dan memaknai hidup.
Karya bertema profesi perempuan sebagai seniman diwakili oleh peran
perempuan sebagai pelaku seni dalam menjalani hidupnya. Perempuan harus
memiliki pikiran atraktif, bersifat dinamis, memiliki emosi meriah, memiliki
„rasa‟ dan sensasi, dan berjiwa ekstrovert, agar dapat fleksibel dan lentur dalam
menjalani dan memaknai hidup.
Temuan konseptual tentang Perempuan Sasak dalam proses kreatif terbagi
dalam tiga bagian, yaitu (i) Underwater, disarikan dari pernyataan Ramachandran,
(ii) „Kritis‟, disarikan dari pernyataan Williams, dan (iii) „Dance of the soul’,
disarikan dari Feldman, sedangkan tema disarikan dari Fakih. Ketiga bagian
tersebut merupakan tahapan proses kreatif yang menghasilkan karya baru untuk
disajikan kepada masyarakat. Skema 2.2 menunjukkan proses pembentukan
temuan konseptual dari proses penciptaan karya.
60
Skema 2.2 Temuan Konsep Penciptaan
Sumber: Wijayanti, 2019.
61
III. PROSES PENCIPTAAN
Kreativitas dalam bidang kriya adalah orang-orang yang bersedia „terlibat‟ untuk
mendapatkan kepuasan, larut dalam pekerjaan, dan menyerap perhatian karena
mental dan fisik orang-orang lain yang terlibat di dalamnya. Para kriyawan sering
terpesona pada citra pekerjaan yang mandiri dan kreatif, sehingga tercipta
komunikasi dua arah. Pertama adalah memperjelas konsep metafora pekerjaan,
dan kedua adalah kekaguman terhadap karya kriya tersebut (Dormer, 2008).
Model penelitian dalam bidang seni yang dilakukan seniman akan
berpengaruh pada hasil yang akan dicapai. Terdapat beberapa model penelitian
yang menunjukkan hubungan antara praktik seni dan penelitian sebagai berikut.
Research
types
Relation
between
research and
practice
Subjective
relation
Research object
or object
Types of
produced
knowledge
Research
output
Academic
(Scientific
research)
Research
about
practice
Researcher ≠
author
(producer)of
artwork
Artwork,
processes, ideas
produced by
other persons
Ideas, theories,
methods, new
data (art history
and theory
Text
Practice –
led
research
Research is
based on
practice
Author (producer)
of artwork =
researcher
Artwork
(artworks)
produced by
researcher
Artwork
(artworks) and
documentation of
its production
Artwork
and text
Research
–led
practice
Practice is
based on
research
Researcher =
author
(producer)of
artwork
Production of
artwork and
new knowledge
New
technological
solution, methods
and theory
Artwork
and text
Art –
based
research
Practice as
field
research
Researcher is not
necessarily
author (producer)
of artwork
Effect caused by
artwork(s) on
social
environment
Ideas, theories,
methods. New
data (social
sciences)
Text
Artistic
research
Practice and
research are
inseparable
Author (producer)
–researcher
Artistic practice Artwork and ideas
and theories
Artwork
and text
Tabel 3.3 Model penelitian hubungan antara praktek seni dan penelitian
Sumber: A. Teikmanis, Share Handbook for Artistic Research Education, (2013, h. 164).
62
Berdasarkan tabel model penelitian di atas, penulis menggunakan tipe
penelitian ke-5, yaitu artistic research. Ciri kerja tipe artistic research adalah
memperlihatkan hubungan antara peneliti dengan praktik atau proses berkarya
sebagai hubungan yang tidak dapat dipisahkan dan bekerja secara simultan. Hasil
penelitian yang dilakukan selanjutnya menjadi acuan untuk membuat karya.
Karya yang dibuat merupakan hasil dari pemikiran kritis atas penelitian yang
dilakukan terhadap objek yang diteliti. Sehingga, objek yang diteliti menjadi
sebuah bagian dari proses atau praktik artistik. Terkait hasil penelitian, jenis
pengetahuan yang dihasilkan adalah karya seni, ide atau wacana, dan teori atau
konsep.
Untuk mewujudkan karya cipta, seorang seniman akan melakukan tahapan
kerja dengan membuat alur kerja atau tata kerja sehingga segala kegiatan yang
dilakukan akan terekam dan terdokumentasikan dengan baik. Hal ini sangat
diperlukan apabila karya tersebut akan diproduksi kembali atau dipelajari lebih
lanjut untuk dikembangkan. Penulis melakukan proses penciptaan karya seni yang
dilakukan secara bertahap dengan mengacu pada tahapan proses kreativitas
Mihaly (1996., h. 79), yaitu: persiapan, masa inkubasi, pencerahan, pencetusan
ide, evaluasi, dan pengembangan. Guna melengkapi tahapan proses kreativitas,
dapat ditambahkan tiga sistem komponen, yaitu: 1) tatanan budaya dan
pemahaman kreatif dalam ranah seni rupa, 2) para ahli di bidangnya yang
berkompeten, dan 3) tenaga praktisi yang membantu dalam melakukan eksplorasi
pada proses kreatif.
63
Seorang seniman, saat melakukan aktivitas kreatifnya, seringkali
mengikuti atau mengkondisikan perasaannya agar nyaman dalam bekerja. Pada
proses pengamatan, misalnya, tiba-tiba secara otomatis tangan melakukan
coretan-coretan yang membentuk figur. Hal ini terus dilakukan dan
membiarkannya hingga mendapatkan rasa terbaik dan menghasilkan beberapa
pencitraan. Setelah itu, sang seniman kembali lagi berkontemplasi untuk membuat
kesimpulan pertama yang merujuk pada konsep dengan merekayasa material dan
teknik yang akan digunakan. Proses ini terus mengalir seperti spiral mulai dari
tahapan eksplorasi, perancangan, hingga menuju ke tahap perwujudan.
Model artistic research yang diterapkan pada tahapan proses kreatif,
terdapat beberapa perubahan pada pembagian aktivitas berkarya yang disesuaikan
dengan objek penyelidikan, cara berkreasi dan perwujudan karya, sehingga
menghasilkan konsep proses kreatif yang terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a. Bagian operasional pencarian ide dan data yang akan menghasilkan data
riset berupa teks dan produk seni. Bagian ini terdiri dari: pencarian ide
gagasan di lokasi, peleburan diri „menjadi‟, eksplorasi realita, operasional
informasi, dan pengolahan data. Produk yang dihasilkan berupa konsep
karya dan data visual.
b. Bagian operasional penyeleksian data, berupa pemilihan material dan
teknik, pengaturan proses berkarya, penentuan karya, dan evaluasi. Produk
yang dihasilkan berupa sistem proses berkarya, temuan material, teknik,
dan alat.
64
c. Bagian operasional proses kreatif terdiri dari: proses perwujudan karya,
analisis karya, presentasi, finishing, dan penyajian. Bagian ini
menghasilkan teks dan karya seni.
Ketiga bagian proses kreatif dapat diuraikan berdasarkan aspek metafora
(sesuai penjelasan pada Temuan Konseptual Perempuan Sasak dalam Proses
Kreatif dalam Bab II), yaitu: 1) proses pengumpulan data, menggunakan istilah
tahap di bawah air, yaitu underwater, 2) proses penyeleksian data, menggunakan
istilah Kritis, dan 3) proses kreatif, menggunakan istilah Dance of the Soul
(menari dengan jiwa). Masing-masing bagian, pada saat operasional
menggunakan kerangka estetika; rasa dan esensi, kontras, pemetaforaan, dan
visualisasi. Sehingga, operasional pada tahapan proses kreatif terbagi menjadi:
a. Rasa dan esensi, menjadi bagian dari Underwater, yang digunakan pada
saat pengolahan gagasan ketika penulis berinteraksi langsung dengan
sumber gagasan pada kehidupan tradisional Perempuan Sasak.
b. Kontras, menjadi bagian Kritis yang digunakan untuk pengolahan bentuk
visual seperti: pemilihan material, warna, ukuran, aksesoris, dan
pembuatan sketsa struktur tenun.
c. Pemetaforaan, menjadi bagian dari Dance of the Soul yang digunakan
pada saat transformasi sifat perempuan menjadi struktur tenun.
d. Visualisasi menjadi bagian Dance of the Soul, yang digunakan pada saat
pembentukan karya, presentasi, dan penyajian karya.
65
Keempat unsur tersebut merupakan tahapan proses kreatif yang pada
pelaksanaannya dilakukan secara berurutan, yaitu: a) pengolahan gagasan, b)
pengolahan bentuk visual, c) transformasi, dan d) visualisasi. Proses kreatif dalam
penyelidikan di Lombok, selanjutnya disusun pada log book yang berisi tentang:
a. Hasil survei di Desa Taman Ayu Gunung Malang, Desa Banyumulek, dan
Desa Nyurbaya. Berisi wawancara dari narasumber, dokumentasi foto
tentang kegiatan perempuan yang sedang bekerja, dan data pekerja
perempuan di setiap desa dengan keterampilannya masing-masing.
b. Proses kreatif, eksperimen teknik, material, dan hasil karya seni. Berisi
tentang tahapan proses kreatif peneliti, yaitu: proses desain, eksplorasi
teknik, material, pembuatan sketsa, model, dan rekayasa penyajian karya.
c. Laporan hasil penelitian dan karya cipta.
d. Kegiatan pameran karya seni. Presentasi hasil penelitian dalam bentuk
karya kepada masyarakat untuk mendapatkan apresiasi dari pelihat dan
diskusi tentang karya.
e. Presentasi materi hasil penelitian untuk kebutuhan masyarakat atau
instansi pemerintah yang berkaitan dengan peningkatan ekonomi keluarga
dan tata ruang lingkungan wilayah di daerah.
f. Materi hasil penelitian untuk seminar nasional dan internasional.
Presentasi hasil penelitian sebagai bentuk pertanggungjawaban akademis
di hadapan peneliti dan kalangan akademis lainnya.
g. Analisis dan komparasi dengan karya lain berdasarkan material.
66
Berikut adalah tabel tahapan proses kreatif dalam pemetaforaan,
operasional, aktivitas dan capaian yang dihasilkan.
No Proses Kreatif
dalam Metafora Teknis Operasional Aktivitas
Hasil Teks dan
Produk Seni
1
Underwater
(proses
pengumpulan
data)
1. Pencarian ide
dan gagasan di
lokasi
2. Peleburan diri
(„menjadi‟)
3. Eksplorasi
realita
4. Operasional
informasi
5. Pengolahan data
- Menemukan dan menentukan
objek penelitian (Perempuan
Sasak dan pekerjaannya)
- Wawancara
- Dokumentasi foto dan video
- Mencari dan menemukan
material yang sesuai tema
- Pendalaman konsep „rasa‟
dan sensasi
-„Menjadi‟ Perempuan Sasak
Data riset
Teori dan konsep
Literatur
Hasil wawancara
Hasil
dokumentasi
2
Kritis
(proses
penyeleksian
data)
1. Penyeleksian
Data
2. Pemilihan
material dan
teknik
3. Pengaturan
proses berkarya
4. Penentuan
Karya
5. Evaluasi pada
praktik proses
kreatif
- Menyusun hasil riset tentang
perempuan dan pekerjaannya
- Presentasi hasil riset tentang
klasifikasi perempuan
berdasarkan pekerjaan dan
keterampilan
- Penentuan teknik, material,
dan warna
- Penyajian karya berdasarkan
hasil penyelidikan
- Menentukan desain
- Proses pembuatan karya di
kertas dan kain
- Improvisasi teknik tenun dan
material benang
- Eksplorasi teknik dan material
- Pengalaman artistik proses
kreatif pembuatan karya
Proses berkarya
Temuan material
Temuan teknik
Temuan alat
finishing
3
Dance of the
soul
(proses kreatif
dan penyajian)
1. Proses kreatif
berkarya
2. Analisis
3. Presentasi
4. Finishing dan
Evaluasi
5. Penyajian
- Presentasi dan diskusi karya
- Percobaan dan evaluasi pada
alat tenun sederhana
- Evaluasi karya tenun
- Menyusun tulisan proses
kreatif
- Pembuatan alat tenun baru
- Presentasi karya tenun
- Penyempurnaan karya dan
tulisan
- Evaluasi hasil tenun
- Perbaikan tulisan dan konsep
berkarya
- Pembuatan karya tenun
dengan material sesuai tema
- Penyajian karya
Proses dan hasil
kreasi
Penyajian teks
dan artwork
67
- Penyusunan tulisan proses
penciptaan karya
- Pameran karya dan pendukung
- Diskusi proses kreatif
pembuatan tenun
Tabel 3.4 Kombinasi Proses Kreatif (Csikszentmihalyi, 1996, h.79) dan operasional
proses kreatif peneliti.
Sumber : diolah dari hasil penelitian
Bagian pertama adalah Underwater. Berpedoman pada tahap pengolahan
gagasan dengan langkah pertama, penulis mewawancarai beberapa narasumber
dan riset ke lokasi secara langsung. Guna merasakan aura budaya Sasak, maka
penulis melaksanakan tahap ini dengan pendekatan etnografis, di antaranya
melalui proses emik; hidup beberapa saat bersama masyarakat di Kota Mataram
dan desa di sekitar, mewawancarai narasumber dan budayawan di Lombok, dan
mengumpulkan benda atau artefak terkait dengan sumber penelitian.
Teknik wawancara dan penyelidikan tersebut bertujuan untuk mencari,
menelusuri, dan mengumpulkan data serta membuat dokumentasi, guna
mempelajari kondisi sebenarnya tentang perempuan pekerja, seperti: mengetahui
penenun ketika sedang bekerja menggunakan kedua tangannya menggulung
benang; mengoperasionalkan alat tenun dengan cermat dan tangkas, material yang
digunakan, teknik menenun dan variasinya, menelusuri sistem produksi tenun
mulai dari benang sampai menjadi kain tenun, mengetahui kondisi rumah dengan
pembagian ruangnya, mencermati peralatan atau perabotan rumah tangga yang
terbuat dari gerabah dan kayu, dan mendapatkan data jumlah pekerja perempuan.
Seluruh kegiatan pada tahap ini dicatat dalam buku kerja (lihat Log book) sebagai
data utama. Selanjutnya, data tersebut dikonfirmasi ke narasumber lain sehingga
68
lengkap. Data ini kemudian dipelajari dan diolah menjadi gagasan dalam
penciptaan karya.
Bagian kedua adalah Kritis, meliputi pengolahan bentuk visual dan
transformasi dengan pengumpulan dan pemilihan material untuk berkarya,
seperti: benang kapas, koin, kulit kerang, kulit ketak keramik, padi, aksesoris
renda, dan aksesoris kancing. Pengolahan bentuk sebagai perwujudan sifat
perempuan, diawali dengan pembuatan sketsa transformasi teks menjadi wujud
bentuk, yaitu merekayasa bentuk agar sepadan dengan teks yang dimaksud.
Wujud tersebut merupakan bentuk esensi dari sifat kuat, sayang, dan cinta, yang
terwakilkan melalui elemen rupa, seperti garis, bidang, tekstur, warna, dan
komposisi, menjadi struktur tenun. Transformasi merupakan proses perwujudan
sketsa dengan teknik tapestry menjadi model struktur tenun. Pola anyam datar
dapat dikembangkan menjadi beberapa variasi dengan menyisipkan benang pada
lajur pakan dan teknik sungkit sehingga mendapatkan tampilan beragam. Struktur
tenun berupa rangkaian tenun yang padat, berbelit-belit, simetris, asimetris,
renggang, tipis, transparan, dan halus.
Bagian ketiga, Dance of the Soul, adalah tahap visualisasi karya dengan
mewujudkan objek yang dipilih menjadi terlihat. Perwujudan bentuk yang dipilih
menjadi objek „dominan‟ dan memperlihatkan „esensi‟ dari segala hal terkait
dengan teks yang dimaksud. Tahap ini bertujuan agar pengamat memiliki
gambaran tentang objek yang dilihat sesuai dengan pengalaman penulis. Relasi
antara estetika rasa dengan representasi karya dapat dilihat pada tabel 3.5.
69
1. Karya Perempuan Penyangga Keluarga
Estetika Rasa Representasi Karya Tenun
Pengolahan Gagasan Kuat, makmur, lentur, cinta, bertahan, tangguh, kasih sayang
Pengolahan Bentuk
Visual
Material: kapas
Warna: putih, krem, coklat
Komposisi: garis (pakan)
Struktur tenun: polos anyam datar, dekorasi sisipan kapas
Pemetaforaan Benang, kapas, gerabah, ketak, alat penggulung benang
Visualisasi Komposisi tenun: kuat, fleksibel, rapuh, lembut, renggang
2. Karya Perempuan Penjaga Tradisi
Estetika Rasa Representasi Karya Tenun
Pengolahan Gagasan Mapan, suci, tua, anggun, sakral, magis, meditatif, mendalam
Pengolahan Bentuk
Visual
Material: kapas
Warna: merah, hitam, coklat, emas
Motif: garis (lungsi), abstraksi brush stroke
Struktur tenun: polos, anyam datar, sisipan koin, padi
Pemetaforaan Dulang, padi, kepeng bolong, sirih, pinang, benang kapas
Visualisasi Komposisi tenun: rapat, masif, stabil
3. Karya Perempuan Pelaku Seni
Estetika Rasa Representasi Karya Tenun
Pengolahan Gagasan Dinamis, atraktif, festive, ornamental, sensasi, extrovert
Pengolahan Bentuk
Visual
Material: kapas
Warna: merah, jingga, biru, hijau, ungu, biru, kuning, coklat,
abu-abu
Motif: garis (pakan), abstraksi brush stroke
Struktur tenun: polos, anyam datar, sisipan koin, padi,
dimensi
Pemetaforaan Sabuk anteng, dodot, perhiasan penari, tas anyam ketak,
benang
Visualisasi Komposisi tenun: dinamis, bergelombang, bergerak,
bervolume Tabel 3.5. Relasi estetika rasa dengan representasi karya
Sumber : diolah dari data penelitian.
A. Pengolahan Gagasan (Rasa dan Esensi)
Pengolahan gagasan pada karya pertama, Perempuan Penyangga Keluarga,
berasal dari pengamatan pada stuktur bangunan rumah yang terdiri dari pondasi,
dinding, dan atap. Penggunaan aturan estetika rasa pada pengamatan akan
70
mendapatkan hal-hal yang esensial seperti garis horizontal, vertikal, dan diagonal.
Sebuah keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Kaum perempuan, yang
memiliki peralatan tenun di rumahnya, merupakan simbol dari kebebasan
perempuan dalam aktivitas seni. Seorang ayah divisualkan oleh benang lungsi,
garis vertikal. Seorang ibu divisualkan dengan benang pakan, garis horizontal.
Anak-anak divisualkan dengan garis panjang melengkung berirama.
Menggunakan estetika rasa, garis-garis dibentuk dengan teknik brush stroke agar
memperlihatkan sifat dan karakter sifat ketegasan, kekuatan, kelembutan,
keceriaan dan keharmonisan sebuah keluarga. Hasil dari pembentukan seorang
perempuan yang berperan sebagai istri dan ibu.
Gagasan karya kedua, Perempuan Penjaga Tradisi, bersumber dari
karakter perempuan suci yang sedang memintal kapas untuk menjadi benang,
selanjutnya akan ditenun menjadi kain. Alat pintal berbentuk lingkaran menjadi
center of point atau penekanan, sehingga bentuk lingkaran menjadi fokus dalam
pembentukan pola tenun. Potret perempuan sedang melakukan ritual,
menampakkan sikap meditatif, terpusat, dan menyatu. Imaji tersebut identik
dengan peran perempuan sebagai penghubung, penjaga, pelengkap, dan pengatur
jalannya aktivitas kehidupan dan bermasyarakat. Rasa tersebut harus dapat
terpolakan pada visualisasi bentuk lingkaran dan garis vertikal dengan teknik
brush stroke pada benang lungsi.
Gagasan karya ketiga, Perempuan Pelaku Seni, bersumber pada para
perempuan yang menganyam dengan pola anyam yang beragam dan perempuan
muda yang melakukan kegiatan seni melalui aktivitas menari dalam pesta budaya
71
dengan penampilan dan hiasan yang cukup mencolok dan kontras. Gambar yang
tampak dapat dilihat esensinya sehingga bentuk-bentuk dominan akan muncul
seperti: garis vertikal, horizontal, setengah lingkaran, spiral, draperi, dan persegi.
Elemen ini dapat menjadi pola tenun yang mewakili sifat-sifat dinamis, ceria,
festive, mengalir, dan ekstrovert. Berhias merupakan kegiatan perempuan untuk
memelihara fisik dan batin agar memiliki energi positif. Energi baik ini sangat
diperlukan untuk aktivitas berseni dan melahirkan karya-karya yang dapat
dinikmati oleh pengamat. Hal ini sesuai dengan karakter perempuan dalam
menjalani aktivitas seni sehingga energi yang dimiliki dapat memancar dan
memberi kesan baik pada ruang di sekelilingnya.
B. Olah Visual dan Transformasi Bentuk (Kontras)
Bagian ini adalah tahap pembentukan yang menggunakan tahapan proses kreasi
estetika rasa pada efek kontras, yaitu proses transformasi yang dilakukan untuk
mengurai sifat-sifat perempuan menjadi pola tenun, misalnya sifat atau karakter
pada perempuan sebagai penyangga keluarga harus „kuat‟, maka kata sifat „kuat‟
ini dapat ditransformasikan menjadi pola yang terlihat kuat, rapat, dan kokoh pada
pola tenun yang dibentuk oleh material benang. Efek kontras diperlihatkan
melalui karakter material yang mewakili masing-masing tema karya. Kombinasi
sifat dan pola dapat disusun menjadi pola anyam sebagai berikut.
72
Pola Struktur Tenun
Anyam polos/datar 1. Anyam polos kombinasi
renggang
2. Anyam polos Simetris
3. Anyam polos
Asimetris
4. Anyam polos kombinasi
sisipan benang pakan
5. Anyam polos
renggang, tebal
6. Anyam polos, renggang
transparan, halus
7. Anyam polos, berbelit-
belit, tebal, renggang
8. Anyam polos, sungkit,
motif geometrik
Tabel 3.6. Temuan pola tenun
Sumber : rekayasa oleh Wijayanti, 2017.
Proses perwujudan sketsa menjadi pola anyam, dapat dilakukan dengan
modul atau bentuk pola yang divariasikan pengulangannya seperti: perputaran,
perbesaran, pengecilan, dan pengabstrakan bentuk yang sesuai dengan sifat
perempuan yang akan dimetaforakan. Bentuk-bentuk ini dapat dilihat menjadi
karakter tiap peran perempuan.
73
Transformasi Perempuan Penyangga Keluarga
Sumber penciptaan:
Temuan Rancangan pola tenun 1 :
Tabel 3.7 Transformasi sketsa tenun Perempuan Penyangga Keluarga dan temuan
rancangan
Sumber : rekayasa oleh Wijayanti, 2017.
74
Transformasi Perempuan Penjaga Tradisi
Sumber penciptaan:
Temuan rancangan pola tenun 2:
Tabel 3.8 Transformasi sketsa tenun Perempuan Penjaga Tradisi dan temuan
rancangan
Sumber: rekayasa oleh Wijayanti, 2017.
75
Transformasi Perempuan Pelaku Seni
Sumber penciptaan:
Temuan rancangan pola tenun 3:
Tabel 3.9 Transformasi sketsa tenun Perempuan Pelaku Seni dan temuan
rancangan
Sumber: rekayasa oleh Wijayanti, 2017.
76
C. Struktur Tenun dan Proses Perwujudan Karya (Pemetaforaan)
Bagian kedua dari proses kreatif adalah aktivitas seleksi data yang dilakukan
berdasarkan pedoman estetika; rasa dan esensi, kontras, pemetaforaan, dan
visualisasi. Analisis melalui elemen seni rupa menghasilkan empat aspek yang
harus dicermati, yaitu: a) struktur bentuk, meliputi unsur seni dan komposisi, b)
fungsi produk, mencakup fungsi fisik, sosial, dan personal, c) gaya seni meliputi
gaya imitasi, representasional, dan abstrak, d) interaksi media dan makna
denotasi, konotasi, dan intepretasi simbolik (Feldman, 1967).
Analisis dilakukan dengan membandingkan teknik dan struktur tenun
Umba’ Sasak dengan eksplorasi teknik tenun yang akan diterapkan pada
perwujudan karya baru. Tabel 3.10 menjelaskan pembagian tenun Umba‟.
Hasil analisis tentang bagaimana elemen dasar rupa diolah menjadi varian
baru berupa garis, bentuk, warna, tekstur, komposisi struktur tenun, dan struktur
tenun. Garis terbentuk karena teknik tenun dan benang lungsi dapat dibuat
menjadi garis natural dengan teknik brush strokes dan sisipan tenun. Bentuk
bidang segi empat memanjang dapat dibuat lebih bervariasi dengan
memanfaatkan benang pada bagian tepi kain. Warna, yang di mana perpaduannya
dapat disesuaikan dengan tema karya. Tekstur, dapat disesuaikan dengan sifat
keperempuanan. Komposisi struktur tenun dapat berirama sesuai dengan tema
karya. Struktur tenun, dapat dieksplorasi untuk memperlihatkan karakter benang
yang mengekspresikan sifat dan kesan manusiawi.
77
Visual kain tenun umba’ Analisis
Garis, motif garis-garis yang terjadi
karena susunan benang lungsi pada alat
tenun gedhogan.
Bidang, bentuk kain tenun dengan bidang
dua dimensi, ukuran 50 cm x 1500 cm.
Bentuk, kain berbentuk lingkaran,
sebelum dipakai untuk upacara.
Bagian benang lungsi akan di potong
menjadi dua bagian pada saat upacara
berlangsung.
Benang lungsi yang akan di potong
hitam berarti kematian
biru berarti urat nadi
putih berarti tulang
krem dari kapas atau serat
merah berarti darah
kuning dan krem berarti daging
Komposisi warna pada kain tenun Sasak
sebagai simbol kehidupan
Tekstur kain tenun kasar, kaku, keras,
dan kering, struktur pola anyam datar
Struktur tenun, padat, kuat, dan jarang,
Tabel 3.10 Elemen rupa dan visual pada tenun
Sumber: diolah dari data penelitian.
78
Berdasarkan analisis yang dilakukan, dibuat rekayasa pola tenun yang
disesuaikan dengan jenis material, warna, dan komposisi pada struktur tenun baru
dengan menggunakan teknik tapestri, yaitu menyisipkan dan menyilangkan
benang pakan di antara benang lungsi. Sketsa tenun diterjemahkan ke dalam
jalinan benang sehingga mendapatkan bentuk-bentuk tenun baru. Tabel 3.11
memperlihatkan pola anyam dan wujud tenun dengan teknik tapestri.
No Pola Anyam Wujud tenun dengan teknik tapestri
1
Anyam polos/datar
2
Anyam polos kombinasi renggang
3
Anyam polos Asimetris
4
Anyam polos Simetris
5
Anyam polos kombinasi sisipan pakan
79
6
Anyam polos renggang, Tebal
7
Anyam polos, renggang,transparan,halus
8
Anyam polos, berbelit-belit, tebal,
renggang
9
Anyam polos, sungkit, motif geometrik
Tabel 3.11 Perwujudan Sketsa Tenun
Sumber : rekayasa oleh Wijayanti, 2017.
Proses visualisasi atau perwujudan karya dilandasi atas relasi simbol
perempuan menjadi wujud tenun berdasarkan material dan struktur anyam. Proses
penciptaan menggunakan kerangka „visualisasi‟ pada saat pembentukan karya,
presentasi, dan penyajian karya. Tahapan visualisasi ini mengikuti pola kerja: a)
Interprestasi simbolik keperempuanan, menjelaskan peran perempuan dalam
struktur sosial Sasak, b) Prinsip rupa, menjelaskan bahasa seni, c) Elemen rupa,
menjelaskan warna sebagai simbolik, d) Struktur tenun, menjelaskan teknik tenun
yang mewakili sifat manusiawi, dan e) Wujud karya tenun, menjelaskan karakter
tenun sebagai simbol keperempuanan (pemetaforaan).
80
Interpretasi
simbolik
keperempuanan
Prinsip rupa Elemen rupa:
Material dan Warna
Struktur tenun
Teknik pola
datar
Wujud karya
tenun
Perempuan sebagai
penyangga
Kuat, tangguh,
makmur, lentur,
cinta, kasih sayang,
rapuh dan bertahan.
Kesatuan,
Ke seimbangan,
ritme,
keselarasan
- benang kapas
- warna: putih,
krem, cokelat
- sisipan kapas
rapat, tebal,
padat, renggang
rapat, tipis,
transparan, kiri
dan kanan tidak
padat,datar/tertu
tup, sungkit
stabil, kokoh,
simetris,
asimetris
lembut, lentur,
dan kerapatan
Perempuan sebagai
penjaga tradisi
Mapan, suci, tua,
anggun, magis,
mendalam.
Kesatuan,
pusat perhatian,
penekanan
- benang kapas
- warna: merah tua,
hitam, cokelat tua,
emas, abu-abu
- sisipan koin dan padi
rapat, ringan,
padat
lungsi diberi
warna teknik
brush strokes,
rapat, stabil,
ringan, magis,
dramatik
Perempuan sebagai
pelaku seni.
Dinamis, atraktif,
dekoratif, festive,
sensasi, ekstrovert.
Irama,
Proporsi,
Gradasi,
Penekanan,
pusat perhatian
- benang kapas
- warna: merah, ungu
jingga, kuning,
biru, hijau, putih
- sisipan: koin, kancing
keramik, ketak, renda
rapat renggang
renggang,
asimetris,
renggang,
transparan,
sisipan sungkit.
Dinamis,
bergerak,
kontras,
bergelombang,
aksen
Tabel 3.12 Proses visualisasi simbol perempuan
Sumber : Wijayanti, 2017.
Proses pemilihan dan penafsiran material menjadi instrumen yang
bertujuan untuk memberi interpretasi serta memunculkan dan pengkonstruksian
simbol sosok perempuan. Hal ini dapat terwujud melalui eksperimen teknik tenun.
Teknik tenun tersebut tidak bisa dilakukan seperti biasanya perajin menenun,
namun harus dibuat estimasi wujud tenun yang akan mewakili sifat-sifat
keperempuanan, seperti diperlihatkan pada tabel 3.13. tentang relasi teknik tenun
dengan sifat keperempuanan.
No Eksperimen Teknik
Tapestri Teknik Tenun
Sifat
Keperempuanan
1
Anyam polos/datar
Struktur tenun: Rapat, tebal,
padat,rapat, datar/ tertutup.
Kuat, tangguh,
makmur, lentur,
cinta, kasih sayang,
rapuh dan bertahan.
81
2
Anyam polos kombinasi
renggang
Struktur tenun: Renggang, tipis,
transparan, kiri dan kanan tidak
padat,datar/ tertutup.
Lentur, cinta, lembut,
kasih sayang, dan
rapuh .
3
Anyam polos Asimetris
Struktur tenun: Renggang, tipis,
transparan, kiri dan kanan tidak
padat, datar/tertutup, sungkit.
Lentur, cinta, lembut,
kasih sayang, dan
rapuh
4
Anyam polos Simetris Struktur tenun: Tebal, padat,
renggang, transparan, kiri dan
kanan tidak padat, datar/ tertutup.
Kuat, tangguh,
makmur, lentur,
cinta, kasih sayang,
rapuh dan bertahan.
5
Anyam polos kombinasi
Sisipan
Struktur tenun: Rapat, tebal, padat,
renggang rapat, kiri dan kanan
tidak padat, datar/tertutup, sungkit.
Kuat, tangguh,
makmur, lentur,
cinta, kasih sayang,
rapuh dan bertahan.
6
Anyam polos renggang
tebal
Struktur tenun: Tebal, padat,
renggang, transparan, kiri dan
kanan tidak padat, datar/tertutup,
sungkit.
Kuat, tangguh,
makmur, lentur,
cinta, kasih sayang,
rapuh dan bertahan.
7
Anyam polos, renggang,
transparan, halus
Struktur tenun: Renggang, tipis,
transparan, kiri dan kanan tidak
padat, datar/tertutup, sungkit.
Lentur, cinta, lembut,
kasih sayang, dan
rapuh
82
8
Anyam polos, berbelit-
belit, tebal, renggang
Struktur tenun:Rapat, asimetris,
sisipan
Dinamis, atraktif,
festive, sensasi,
ekstrovert.
9
Anyam polos, sungkit,
membentuk motif
geometrik
Struktur tenun: Rapat, ringan,
Padat lungsi diberi warna teknik
brush strokes, sungkit.
Mapan, suci, tua,
anggun, sakral,
magis, meditatif,
mendalam.
Tabel 3.13 Relasi teknik tenun dengan keperempuanan
Sumber : rekayasa oleh Wijayanti, 2017.
Gaya penyajian karya dengan pendekatan rekonstruktif, memperlihatkan
objek-objek sebagai sesuatu yang memiliki arti secara etnografis dan
merepresentasikan budaya sebagai latarnya. Proses perwujudan karya secara
bertahap terdiri dari: a) ide penyajian tema karya, b) sketsa penyajian karya, c)
elemen pendukung karya, d) mood board, e) material, f) pola tenun, dan g)
struktur tenun. Secara rinci, proses perwujudan setiap karya masing-masing
dijabarkan pada tabel 3.14., 3.15., dan 3.16.
1. Tahap Perwujudan Karya: Perempuan Penyangga Keluarga
Tahap Visual Keterangan
a
Ide penyajian tema Berawal dari bentuk rumah
yaitu berugaq, merupakan
simbol sebuah keluarga yang
terdiri dari ayah, ibu, dan
anak-anak. Berugaq
menggunakan bambu untuk
tiang penyangga. Keluarga
yang diatur oleh seorang
perempuan sebagai istri dan
ibu, sebagai pengelola
jalannya fungsi keluarga.
83
b
Sketsa penyajian karya Komposisi bambu ini
menjadi ide untuk penyajian
karya seperti sketsa yang
ditampilkan, kain tenun akan
dipasang pada tiang-tiang
bambu.
Kaum ibu akan bekerja
membuat kain tenun untuk
keluarganya seperti pakaian
dan keperluan rumah tangga.
c
Elemen pendukung Seler, gerabah, benang,
kapas.
Menenun dengan benang
kapas yang berwarna: putih,
krem, dan cokelat,
merupakan simbol dari
awalnya kehidupan. Warna
tanaman kapas, yaitu: putih,
krem, cokelat dan hijau.
Ketiga warna tersebut
sebagai simbol dari awalnya
kehidupan bermasyarakat
yaitu sebuah keluarga.
d
Mood board Memperlihatkan perempuan
dengan pekerjaannya,
material, teknik menenun,
warna-warna benang, bentuk
kain tenun, bentuk rumah
dan suasana lingkungan
tempat tinggal keluarga
Sasak.
e
Material - ketak,
- kulit kerang,
- bunga kapas, dan
- benang kapas.
84
f
Pola Tenun
- anyam polos / datar,
- anyam polos –renggang,
- anyam polos-sisipan,
- anyam polos, renggang,
transparan, halus,
- anyam polos, berbelit,
tebal, renggang,
- anyam polos sungkit.
g
Struktur Tenun : - kuat
- fleksibel
- lembut, dan renggang
- sisipan kapas, struktur
tenun rapat dan padat
- renggang
- sungkit dan aplikasi kulit
kerang
- struktur tenun asimetris dan
renggang
Tabel 3.14. Proses penciptaan karya Perempuan Penyangga Keluarga
Sumber : berdasarkan hasil riset Wijayanti, 2017.
2. Tahap Perwujudan Karya: Perempuan Penjaga Tradisi
Tahap Visual Keterangan
a
Ide penyajian tema Masyarakat Sasak akan
memulai upacara adat
dengan berjalan berurutan
membentuk lingkaran dan
membawa hasil bumi untuk
upacara adat istiadat
85
b
Sketsa penyajian karya Ilustrasi pada saat upacara
terdapat kain tenun yang
akan dipersembahkan untuk
acara potong rambut bayi.
Warna putih, abu-abu,
merah, merah tua, cokelat
tua, dan hitam, serta
material merupakan simbol
peran perempuan sebagai
penjaga tradisi.
c
Elemen pendukung Peralatan lainnya seperti:
dulang, kain tenun, padi,
kapas, air dan kepeng
bolong disertakan sebagai
pelengkap upacara.
d
Mood board atau papan
visual Bernarasi tentang upacara
adat, memperlihatkan
perempuan yang sedang
melakukan ritual. Material,
dan perlengkapan lainnya
yang digunakan terdiri dari:
benang kapas, kepeng
bolong, padi dan kulit
kerang. Terdapat sketsa pola
tenun sebagai dasar struktur
tenun, bagian-bagian tenun
diperlihatkan lengkap
dengan artefak pendukung
budaya Sasak.
e
Material - benang kapas,
- kepeng bolong,
- padi,
- kulit kerang.
86
f
Pola Tenun - anyam polos/ datar,
- anyam polos- renggang,
- anyam polos, sungkit.
g
Struktur Tenun - rapat dan berwarna
- renggang dan berwarna
- tenun sungkit
Tabel 3.15 Proses penciptaan karya Perempuan Penjaga Tradisi
Sumber : berdasarkan hasil riset Wijayanti, 2017.
3. Tahap Perwujudan Karya: Perempuan Pelaku Seni
Tahap Visual Keterangan
a
Ide penyajian tema Pesta budaya Sasak selalu
dilakukan setiap tahun, hal
ini sebagai ungkapan rasa
syukur atas berkah dan
limpahan tanah yang subur.
Masyarakat kaum muda
laki-laki dan perempuan ikut
merayakan dengan
mengadakan acara festival
budaya Sasak. Pada saat
pesta para remaja membawa
tas anyaman ketak sebagai
pelengkap busana.
Perpaduan busana modern
dan etnik, lama dan baru,
tua dan muda, kombinasi
tenun lama dan baru
menjadi lebih dinamis dan
festive.
87
b
Sketsa penyajian karya Perempuan sebagai pelaku
seni membuat tenun untuk
dipakai sehari atau acara
adat dan bersifat komersil.
Perpaduan warna: putih,
abu-abu, kuning, merah,
merah tua, cokelat tua, biru,
hijau, menjadi simbol
perempuan yang melakukan
kegiatan berkesenian.
c
Elemen pendukung Asesoris dan busana sebagai
atribut budaya Sasak lebih
bervariasi dan bebas. Hal itu
merupakan kedinamisan
dalam kehidupan dan
representasi dari
keperempuanan masa kini
yang dapat disajikan.
d
Mood board atau papan
visual Memperlihatkan gambar
kaum muda perempuan dan
laki-laki sedang merayakan
pesta budaya Sasak,
berbusana kain tenun lama
dan baru, berkain kebaya
dan berhias, asesoris emas
dan perak pun dikenakan
laki-laki dan perempuan.
Material dan perhiasan yang
dipakai memberi kesan
dinamis dan semarak.
e
Material - benang kapas,
- kain tenun sabuk anteng,
- keramik,
- rempah,
- ketak,
- benang
- benang polyester,
- renda,
- kancing kerang
88
f
Pola Tenun
- anyam polos / datar,
- anyam polos –renggang,
- anyam polos simetri,
- anyam polos asimetri,
- anyam polos sisipan,
- anyam polos renggang,
berbelit, tebal,
- anyam polos sungkit.
g
Struktur Tenun : - rapat
- renggang-padat dan sisipan
- rapat dan sisipan
- rapat dan berwarna
- renggang dan asimetris
- rapat dan asimetris
Tabel 3. 16 Proses penciptaan karya Perempuan Pelaku seni
Sumber : berdasarkan hasil riset Wijayanti, 2017.
D. Penyajian Karya Tenun (Visualisasi)
Presentasi karya merupakan jejak akademis yang dilakukan dalam menjalani
serangkaian tahapan penyelidikan untuk mendapatkan data pendukung subject
matter. Presentasi karya dilakukan agar pengamat mengerti maksud dan tujuan
hasil penelitian, serta merupakan usaha agar pengamat dapat memasuki wilayah
kreatif melalui karya-karyanya. Karya yang dipamerkan terbagi menjadi tiga
bagian: eksperimen, dokumentasi, dan representasi. Setiap bagian didukung oleh
objek artefak budaya Sasak dan poster ilmiah. Penyajian karya dan sirkulasi
pengamat diilustrasikan seperti pada gambar 3.7. dan 3.8.
89
Gambar 3.7. Denah pameran
Sumber : rekayasa oleh Wijayanti, 2017.
Keterangan :
Gambar 3.8. Arena pameran karya
Sumber : rekayasa oleh Wijayanti, 2017.
Keterangan : - Arena karya eksperimen
- Arena dokumentasi
- Arena poster ilmiah
- Arena karya representasi
90
Pameran ditujukan untuk „membawa‟ atmosfer atau suasana keseharian
pedesaan Lombok ke ruang pameran, dan diterapkan melalui pemilihan elemen
rupa yang menjadi pendukung penyajian pameran, yaitu dengan menggunakan
bambu dan tali yang dililit, dijemur, dan digantung, sesuai dengan karakter kain,
guna memberikan kesan kokoh, melintir, dan melayang. Hal ini merupakan
metafora dari sifat perempuan yang diusung pada tema setiap karya. Secara
keseluruhan, penyajian karya merupakan arena untuk menyampaikan maksud dan
tujuan penulis dalam bentuk informasi melalui panel pameran yang berisi: judul
utama, sub judul, gambar karya, teks, foto, dan keterangan karya secara grafis.
Presentasi karya tersusun berdasarkan proses kreatif, yaitu:
a) Konsep penciptaan, berupa presentasi poster ilmiah
b) Artefak budaya Sasak, terdiri dari: kain tenun, gerabah, perlengkapan
menenun, dulang, padi, kepeng bolong, dan sesajen
c) Karya eksperimen, terdiri dari:
- Karya Pekerja Perempuan sebanyak 4 lembar,
- Karya Visual budaya Sasak sebanyak 5 lembar,
- Karya Batik 1 lembar,
- Karya Batik Torso sebanyak 4 lembar,
- Karya Figur Torso 1 buah,
- Karya prototype: sketsa kertas, tapestry, batik, cap batik,
- Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM)
d) Karya dokumentasi, berupa film dokumentasi berdurasi 1 jam.
e) Karya representasi, terdiri dari:
- Karya tenun Perempuan Penyangga Keluarga, terdiri dari 1 paket,
- Karya tenun Perempuan Penjaga Tradisi, terdiri dari 1 paket,
- Karya tenun Perempuan Pelaku Seni, terdiri dari 1 paket.
91
Resume
Metode penciptaan menggunakan tipe penelitian artistic research, yang memiliki
ciri-ciri: hubungan antara peneliti dengan praktik atau proses berkarya yang tidak
dapat dipisahkan, relasi subjektif antara peneliti sebagai pembuat karya, objek
yang diteliti merupakan proses atau praktik artistik, tipe yang dihasilkan adalah
karya seni, wacana/ide, dan konsep atau teori, dan hasil penelitian berupa karya
seni dan wacana. Proses kreatif dalam mewujudkan karya terbagi menjadi tiga
bagian, yaitu: 1) proses pengumpulan data, menggunakan istilah tahap di bawah
air, yaitu Underwater, 2) proses penyeleksian data, menggunakan istilah Kritis,
dan 3) proses kreatif, menggunakan istilah Dance of the Soul (menari dengan
jiwa). Relasi aturan estetika „rasa‟ dari Ramachandran dengan tahapan proses
kreatif adalah sebagai berikut: a) rasa dan esensi, digunakan pada saat pengolahan
gagasan, b) kontras, digunakan untuk pengolahan bentuk visual, c) pemetaforaan,
digunakan pada saat transformasi sifat perempuan menjadi struktur tenun, dan d)
visualisasi, digunakan pada saat pembentukan karya, presentasi, dan penyajian
karya. Skema 3.3. menjaslaskan proses visualisasi secara rinci.
92
1. Karya Perempuan Penyangga Keluarga
2. Karya Perempuan Penjaga Tradisi
3. Karya Perempuan Pelaku Seni
Skema 3.3 Relasi antara konsep estetika rasa dengan representasi karya
Sumber: disarikan dari hasil riset Wijayanti, 2018.
Pengolahan gagasan
kuat, makmur, lentur, cinta, kasih sayang, bertahan, tangguh
Pengolahan bentuk visual
material kapas, warna: putih, krem, cokelat
komposisi: garis (pakan)
struktur tenun : polos, anyam datar, dekorasi sisipan kapas
Pemetaforaan
benang, kapas, gerabah, ketak, alat penggulung benang.
Visualisasi
komposisi tenun kuat, fleksibel, rapuh, lembut, dan renggang
Pengolahan gagasan
mapan, suci, tua, anggun, sakral, magis, meditatif, mendalam
Pengolahan bentuk visual
material kapas, warna: merah, hitam, cokelat, emas, komposisi motif: garis-garis (lungsi), abstraksi brush stroke, struktur tenun polos, anyam datar, sisipan koin, padi
Pemetaforaan
dulang, padi, kepeng bolong, sirih, pinang, benang kapas
Visualisasi
komposisi tenun yang rapat, masif, dan stabil
Pengolahan gagasan
dinamis, atraktif festive, ornamental, sensasi, ekstrovert
Pengolahan bentuk visual
material kapas , warna: merah, jingga, biru, hijau, ungu, biru, kuning, cokelat, kelabu komposisi motif: garis-gari(pakan), abstraksi brush stroke struktur tenun:polos, anyam datar, sisipan koin, padi, ketak, berdimensi
Pemetaforaan
sabuk anteng, dodot, perhiasan busana penari, dan benang
Visualisasi
komposisi tenun yang dinamis,bergelombang, bergerak, bervolume
93
Relasi simbol perempuan menjadi wujud tenun berdasarkan material dan
struktur anyaman dapat disusun berdasarkan: Interpretasi simbolik
keperempuanan; prinsip seni rupa; elemen rupa (material dan warna); struktur
tenun (teknik pola); dan wujud karya tenun.
Skema 3.4 Interprestasi simbolik keperempuanan pada wujud karya
Sumber: disarikan dari hasil riset Wijayanti, 2018.
1. Interpretasi simbolik
keperempuanan
2. Prinsip seni rupa
3. Elemen rupa : material dan
warna
4. Struktur tenun (teknik pola
datar )
5. Wujud karya tenun
94
IV. ANALISIS DAN SINTESIS
Perempuan Sasak dalam interpretasi menjadi tenun dengan karakteristik visual
baru merupakan tafsiran dari makna, pesan, atau nilai yang dikandungnya. Setiap
penafsiran merupakan ungkapan hal-hal yang berhubungan dengan pernyataan di
balik struktur bentuk, seperti: unsur latar belakang sosial budaya, psikologis
penciptaan karya, gagasan, abstraksi, pendirian, pertimbangan, hasrat,
kepercayaan, serta pengalaman tertentu dari seniman.
Untuk mengkomunikasikan kepada masyarakat, seniman menggunakan
bahasa seni melalui elemen rupa berdasarkan: a) struktur bentuk, meliputi unsur
seni dan komposisi, b) fungsi produk, mencakup fungsi fisik, sosial dan personal,
c) gaya seni, meliputi gaya imitasi, representasional, dan abstrak, dan (d) interaksi
media dan makna denotasi, konotasi, dan intepretasi simbolik, (Feldman, 1967., h.
479).
Kain tenun sebagai ekspresi, merupakan produk hasil kreasi seniman
sebagai cara ungkap tentang segala hal yang menjadi obsesinya, sebagai ekspresi
dari pesan-pesan yang tersimpan dalam material. Maksud dan tujuan karya
tersebut dapat dibaca melalui elemen rupa yang digunakan.
A. Analisis Karya Tenun Tentang Perempuan
Analisis karya dengan judul Perempuan Penyangga Keluarga, Perempuan Penjaga
Tradisi, dan Perempuan Pelaku Seni akan diuraikan berdasarkan penyajian karya,
deskripsi karya, dan analisis elemen seni pada karya.
95
1. Karya "Perempuan Penyangga Keluarga"
a). Penyajian karya
Analisis 1. Karya tenun, representasi dari Perempuan Penyangga Keluarga 2. Foto panel detil karakter tenun
3. Artefak sebagai representasi budaya Sasak, Lombok
4. Tiang bambu dan alas kayu, representasi dari tiang berugaq dan rumah.
Tabel 4.17. Analisis Penyajian Karya Perempuan Penyangga Keluarga
Sumber : diolah dari data penelitian.
b). Deskripsi karya
Material dan warna yang digunakan dalam karya ini adalah: kapas berwarna putih
dan benang kapas berwarna krem, kulit kerang berwarna putih gading dan
berkilau, serta ketak berwarna cokelat menjadi sisipan tenun. Benang kapas
ditenun dengan beberapa pola tenun, sehingga memperlihatkan rangkaian jalinan
benang yang tersusun padat, dan rapat, hal ini memperlihatkan kesan kuat dan
kokoh. Beberapa bagian tersusun menjadi jalinan yang renggang dan tipis
1
2
3
4
96
sehingga memberi kesan transparan, rapuh, dan melayang. Material kulit kerang
mutiara, disusun dan dijahit, menjadi hiasan berciri khas kriya Lombok. Kain
tenun berukuran 50 x 150 cm ditata di atas tiang bambu sehingga menjadi
rangkaian berirama seperti juntaian kain yang sedang terjemur.
Gambar 4.9. Karya Perempuan Penyangga Keluarga
Kapas, benang kapas, kulit kerang - Seni serat - Putih gading, krem, coklat muda
50 cm x 1500 cm - Tenun Bukan Mesin, kolase. Sumber: © Wijayanti, 2017.
c). Analisis elemen seni pada karya
Relasi teks dengan konteks karya adalah tafsiran seniman dalam menyampaikan
sifat keperempuanan melalui pemilihan material dan warna. Transformasi sifat
perempuan melalui material dan teknik tenun memunculkan beragam karakter
jalinan benang yang terhubung dengan sifat perempuan, terlihat pada struktur pola
tenun. Secara rinci, analisis struktur tenun dijelaskan di tabel 4.18. sedangkan
analisis penyajian karya dijelaskan di tabel 4.19.
97
Bagian Struktur Tenun Keterangan Struktur Tenun
Material sebagai metafora keperempuanan:
benang kapas
kulit kerang
renda
Teknik tenun pola asimetris,
tenun rapat dan renggang ditenun
bergradasi, metafora dari sifat perempuan
Sasak sebagai ibu yang terkadang kuat,
kadang lemah.
Benang kapas dan jute,
tenunan jarang, sehingga tampak ringan,
melayang, dan rapuh. Seperti halnya sifat
perempuan Sasak sebagai istri yang suci,
kasih, cinta, kadang rapuh.
Benang kapas
Tenunan rapat, dan kuat, serta sisipan
bunga kapas. Memperlihatkan kesan kuat,
mapan, dan natural.
Sesuai dengan perempuan tua Sasak yang
memperlihatkan kemapanan, tua,
berpengalaman dan alami.
Benang berdiameter besar, rotan, dan jute
dengan tenunan kombinasi jarang- rapat,
dan asimetris, sehingga tampak kuat,
kokoh, dan dramatik. Seperti halnya sifat
perempuan yang kuat, lentur, dan dinamis.
Benang kapas berdiameter besar dengan
tenunan kombinasi jarang- rapat, dan
asimetris, sehingga tampak riang dan
bergelombang. Seperti halnya sifat
perempuan Sasak yang dinamis dan
atraktif.
Tabel 4.18. Analisis Struktur Tenun Perempuan Penyangga Keluarga
Sumber : diolah dari data penelitian
98
Penyajian Karya Keterangan pemetaforaan
Sisipan bunga kapas dan struktur tenun
rapat memperlihatkan kesan kuat,
mapan, dan natural. Sesuai dengan
perempuan tua Sasak yang
memperlihatkan kemapanan, tua,
berpengalaman dan alami.
Tenunan benang berdiameter besar,
rotan, dan jute dengan tenunan
kombinasi jarang- rapat, dan asimetris,
sehingga tampak kuat, kokoh, dan
dramatik. Seperti halnya sifat
perempuan yang kuat, lentur, dan
dinamis.
Benang kapas dan jute, dengan
tenunan jarang, tampak ringan,
melayang, dan rapuh. Seperti sifat
perempuan Sasak sebagai istri yang
suci, kasih sayang, cinta, kadang
rapuh.
Kombinasi tenunan jarang- rapat dan
asimetris pada benang kapas
berdiameter besar, sehingga tampak
riang dan bergelombang, seperti
halnya sifat perempuan Sasak yang
dinamis dan atraktif.
Tenun rapat dan renggang dengan pola
asimetris, ditenun bergradasi, metafora
dari sifat perempuan Sasak sebagai ibu
yang terkadang kuat, kadang lemah.
Tabel 4.19. Analisis Penyajian Karya Perempuan Penyangga Keluarga
Sumber : diolah dari data penelitian.
Karya berjudul Perempuan Penyanga Keluarga berfokus pada peran
perempuan yang berfungsi sebagai istri dan ibu dalam sebuah keluarga dalam
mengelola jalannya aktivitas keluarga. Gagasan karya ini muncul setelah
mengamati perjalanan Perempuan Sasak. Pada diri perempuan yang bermula
seorang anak kecil, tumbuh menjadi gadis remaja, kemudian menjadi istri dan
99
seorang ibu dalam keluarga, diisi dengan pekerjaan menenun untuk membuat
sandang (pakaian) bagi keluarga. Karya tenun sepanjang 15 meter ini adalah
eksplorasi terhadap rasa dan esensi seorang perempuan yang berproses dalam
membangun keluarga. Karya yang tervisualkan melalui tenun dengan material
benang kapas dan bunga kapas berwarna putih ke arah krem adalah hasil dari
tanaman kapas yang terpelihara dengan baik. Sama halnya dengan anak yang akan
tumbuh dan berkembang baik jika hidup pada lingkungan keluarga yang baik.
2. Karya "Perempuan Penjaga Tradisi"
a). Penyajian Karya
Analisis : 1. Karya tenun, representasi dari Perempuan penjaga tradisi,
2. Foto detil panil karakter tenun sebagai representasi sifat perempuan,
3. Artefak, tenun Sasak sebagai representasi budaya Sasak, Lombok 4. Karya pendukung
Tabel 4.20. Analisis penyajian karya Perempuan Penjaga Tradisi
Sumber : diolah dari data penelitian.
1
2
3
4
100
b). Deskripsi karya:
Karya Perempuan Penjaga Tradisi menggunakan warna putih, abu-abu, merah,
merah tua, cokelat tua, dan hitam, sementara material menggunakan benang kapas
yang ditenun dengan ukuran 700 x 50 cm, bermotif geometrik dan abstrak
ditambah aplikasi kulit kerang sebagai aksen. Karya tenun baru disajikan
berdampingan dengan tenun Umba‟, membentang ke bawah mendekati wadah
dulang berisi padi, benang, kepeng bolong, dan air sebagai perlengkapan upacara.
Gambar 4.10. Karya Perempuan Penjaga Tradisi
Benang kapas, kulit kerang, koin kepeng bolong – Seni serat – Putih, abu-abu,
merah, merah tua, cokelat tua, hitam, 40 cm x 700 cm – Tenun Bukan Mesin,
kolase – 2017
Sumber: Wijayanti, 2017.
c). Analisis elemen seni pada karya
Relasi teks dengan konteks karya diamati melalui penggunaan material dan warna
yang digunakan untuk menggambarkan transformasi sifat perempuan melalui
101
struktur tenun. Pemilihan material dan teknik penenunan yang sesuai serta ragam
karakter jalinan benang dapat memunculkan sifat perempuan, terlihat pada
struktur pola tenun, seperti yang dijabarkan pada tabel 4.21. dan 4.22.
Struktur tenun Keterangan
Struktur tenun datar, dengan motif abstrak
dihasilkan dari sapuan kuas, sehingga
menghasilkan kesan: kuat, kokoh, lampau,
dan dramatik.
Teknik tenun, kombinasi tenun rapat dan
renggang ditenun bergradasi, metafora dari
sifat perempuan Sasak sebagai ibu yang
menjalankan tradisi, kadang teguh dan
mampu, kadang rapuh dan lelah.
Tenun dengan motif geometrik, teknik
sungkit. Tampak masif, kokoh, dan elegan.
Seperti halnya sifat perempuan Sasak
sebagai perempuan mapan penjaga adat
budaya Sasak.
Motif lingkaran dari benang kapas, kulit
kerang, dan kepeng bolong, berkesan
bergerak dan memusat sebagai metafora
perempuan Sasak yang dinamis dan
mengikuti zaman.
Tabel 4.21. Analisis Struktur Tenun Perempuan Penjaga Tradsi
Sumber : diolah dari data penelitian.
102
Karya Keterangan
pemetaforaan
Teknik tenun sungkit yang
membentuk motif geometrik,
memperlihatkan kesan mapan,
dan elegan. Hal ini sesuai dengan
perempuan tua Sasak yang
memperlihatkan kemapanan, tua,
berpengalaman dan alami.
Tenun rapat dan renggang dengan
pola asimetris, ditenun
bergradasi, metafora dari sifat
perempuan Sasak sebagai ibu
yang terkadang kuat, kadang
lemah.
Wadah dulang, benang kapas,
padi, kepeng bolong, sebagai
atribut Sasak dan perlengkapan Upacara.
Tabel 4.22. Analisis Penyajian Karya Perempuan Penjaga Tradisi
Sumber : diolah dari data penelitian.
Fokus penting dalam mengamati persoalan perempuan pada karya berjudul
Perempuan Penjaga Tradisi adalah visual perempuan tua yang melakukan ritual
adat. Perempuan tua tersebut dianggap suci. Perempuan tersebut menenun kain
untuk upacara adat potong rambut bayi atau anak kecil yang saat ini masih
dilakukan pada saat acara besar seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad
SAW. Acara ini diselenggarakan sesuai kesepakatan masyarakat desa, sehingga
biaya yang dikeluarkan dapat ditanggung bersama secara gotong royong.
Material lain sebagai kelengkapan acara tersebut terlihat di dalam wadah
dulang yaitu: beras kuning, benang kapas, padi, uang kepeng bolong, pinang, dan
103
air putih. Narasi dari karya ini adalah "seorang ibu telah melahirkan bayi". Bayi
yang lahir akan dibuatkan sebuah upacara yang dihadiri oleh masyarakat. Dibuka
oleh pemuka agama dengan berdoa, rambut bayi akan dipotong sedikit. Orang tua
sang bayi selanjutnya berkeliling menggendong bayi mengitari para tamu untuk
menggunting sedikit rambut bayi. Selanjutnya kain yang sudah ditenun oleh Ibu,
masih berbentuk lingkaran, dimasukkan ke dalam air dan diusapkan ke kepala
bayi sambil berdoa memohon keselamatan dan kesehatan. Kemudian kain tersebut
digunting pada bagian benang lungsi sehingga kain menjadi persegi panjang.
Selanjutnya, doa-doa dipanjatkan untuk keselamatan bayi dan kedua orang
tuanya. Kain akan dipakai oleh anak saat remaja dan semasa hidupnya, dan ketika
ajal menjelang, wajahnya akan ditutupi oleh kain tersebut.
Karya seni sebagai perwujudan keperempuanan dalam menjaga tradisi,
diperlihatkan melalui tenun dengan menggunakan material seperti atribut yang
dibutuhkan dalam upacara. Warna merah, hitam, dan cokelat, adalah simbol dari
darah dan kehidupan manusia; kemapanan, misterius, dan religius. Karya ini
memperlihatkan motif yang terbentuk dari benang lungsi dan diberi warna dengan
teknik sapuan kuas. Motif divisualisasikan menjadi dinamis, magis, dan terpusat.
Teknik tenun ditampilkan dengan struktur padat, kuat, dan renggang. Hal ini
adalah metafora sifat perempuan; transparan, melayang, dan meditatif. Warna
tersebut akan dilihat dan diterjemahkan otak sehingga memberi informasi bahwa
situasi yang disampaikan adalah suasana magis dan dramatik.
104
3. Karya "Perempuan Pelaku Seni"
a). Penyajian Karya
Analisis 1. Karya tenun, representasi dari Perempuan pelaku seni
2. Foto detil karakter tenun sebagai representasi sifat perempuan
3. Artefak, tenun Sasak sebagai representasi budaya Sasak, Lombok.
Tabel 4.23. Analisis penyajian karya Perempuan Pelaku Seni
Sumber : diolah dari data penelitian
b). Deskripsi karya:
Tenun dengan perpaduan warna: kuning, merah, merah tua, cokelat tua, biru,
hijau, putih, dan abu-abu menjadi komposisi warna yang atraktif dan
menimbulkan kesan bergerak, berirama, ornamental dan dinamis. Teknik
menenun lebih bervariasi dan lebih bebas, misalnya dengan melukiskan warna-
warna pada benang lungsi, membentuk tenun menjadi tiga dimensi, dan
perpaduan kain tenun sabuk anteng dengan karya baru. Artefak budaya Sasak
1
2
3
105
diletakkan di dekatnya seperti: kain tenun sabuk anteng, tas anyam ketak, benang
aneka warna, dan perhiasan perak, sebagai perlengkapan dalam acara pesta
budaya Sasak.
Gambar 4.11. Karya Perempuan Pelaku Seni
Benang kapas, polyester, kulit kerang, koin, kepeng bolong, kawat, renda katun, kancing,
kerang, keramik, rempah-rempah- Seni serat – Putih, abu-abu, kuning, merah, merah tua,
cokelat tua, biru, hijau, 50 x 700 cm (merah-biru), 40 x 700 cm (kuning) – Tenun Bukan
Mesin – kolase 2017.
Sumber: Wijayanti, 2017.
c). Analisis elemen seni pada karya
Transformasi sifat perempuan melalui struktur tenun tampak pada relasi teks
dengan konteks karya yang diperlihatkan melalui material dan warna, tampak
pada beragam struktur tenun dan jalinan benang. Secara rinci hal ini dijabarkan
pada tabel 4.24 dan 4.25.
106
Struktur tenun Keterangan
Teknik tenun, kombinasi tenun rapat pada
benang pakan tunggal dan ganda sehingga
memunculkan warna gradasi, sisipan
keramik, ketak, renda, dan kancing,
menjadi metafora dari sifat perempuan
Sasak masa kini dalam menjalankan seni
budaya.
Struktur tenun datar yang rapat, renggang,
dan sisipan, sehingga menghasilkan kesan:
dinamis, dan atraktif, sisipan rempah dan
ketak memberi ciri khas pada
keperempuanan sebagai aksen dan kesan
artistik.
sisipan rempah
Teknik tenun renggang, dan asimetris.
Tampak bergerak, tipis, dan melayang.
Seperti halnya sifat perempuan Sasak
sebagai perempuan yang bergerak, dan
dinamis dalam berkesenian.
struktur tenun tipis dan melayang
struktur tenun renggang
Perpaduan kolase kain tenun Sasak, renda
dengan karya menjadi metafora perempuan
Sasak saat ini, yang melakukan kegiatan
seni dengan memadukan unsur tradisi dan
kebutuhan sehari-hari sesuai perkembangan
zaman.
Perpaduan unsur lama dan baru
Tabel 4.24. Analisis Struktur Tenun Perempuan Pelaku Seni
Sumber : diolah dari data penelitian.
107
Penyajian Karya Keterangan pemetaforaan
Teknik tenun membentuk pola
simetris, asimetris, rapat,
renggang, dan sisipan,
memperlihatkan kesan dinamis,
dan atraktif. Sesuai dengan
perempuan Sasak saat ini yang
memperlihatkan kesegaran,
kemandirian, dinamis, dan
atraktif.
Tenun rapat dan renggang pola
asimetris, sisipan, ditenun
bergradasi, metafora dari sifat
perempuan Sasak sebagai
perempuan mandiri dan dinamis.
Wadah dulang, benang kapas
aneka warna, kain tenun sabuk
anteng, perhiasan perak, tas
anyam, sebagai atribut pesta
budaya Sasak. Tabel 4.25. Analisis Penyajian Karya Perempuan Pelaku Seni
Sumber : diolah dari data penelitian.
Pengamatan pada persoalan perempuan melalui karya tenun Perempuan
Pelaku Seni, diperlihatkan melalui gambar perempuan muda yang sedang
merayakan pesta adat budaya Sasak. Seorang perempuan muda memakai pakaian
tradisional; perpaduan antara kain tenun songket, kebaya, dan ikat pinggang sabuk
anteng, dilengkapi dengan tas anyam ketak, perhiasan perak pada rambut, gelang,
anting, dan ikat pinggang. Perpaduan busana ini memperlihatkan perkembangan
budaya lama yang sudah mentradisi di tengah-tengah perkembangan zaman.
Demikian halnya pada karya, memperlihatkan perpaduan kain Sasak sebagai
sisipan pada struktur tenun karya. Suasana „perpaduan‟ ini juga dapat diperoleh
saat pesta budaya adat yang sampai saat ini masih dilakukan setiap tahun dan
108
diikuti oleh masyarakat Sasak di Lombok dan para wisatawan asing sehingga
acara ini mencerminkan akulturasi budaya.
Karya seni sebagai perwujudan perempuan yang menjalankan kegiatan
seni budaya diperlihatkan melalui pola tenun dan sisipan anyam dengan material
bercirikan keperempuanan seperti ketak, renda, dan kancing kerang. Motif
divisualisasikan menjadi dinamis dan atraktif. Teknik tenun yang ditampilkan
merupakan metafora dari sisi karakter perempuan yang bermain-main,
berdimensi, dan memunculkan bentuk-bentuk baru. Bentuk menjadi bagian utama
yang dapat langsung diterima oleh penglihatan, kemudian diterjemahkan otak,
sehingga suasana bermain-main, festive, dinamis, dan atraktif dapat terlihat.
Demikian representasi konteks keperempuanan dari ketiga karya tenun
melalui pemetaforaan yang telah diurai melalui analisis bentuk dan fungsi.
Reproduksi budaya sebagai pewarisan tradisi diungkap dalam wujud varian dan
pemaknaan baru dalam konteks keperempuanan saat ini pada ruang dan waktu
yang berbeda.
B. Sintesis Proses Berkarya
Sintesis merupakan penggabungan pemikiran dan pengalaman tentang seluruh
tahap penciptaan, diawali dengan pencarian informasi, pengolahan data,
menemukan pola, menguraikan proses kreatif dan menyajikan karya secara
sistematis untuk dijadikan renungan filosofis yang bermakna bagi pengalaman
kemanusiaan. Presentasi ini menghasilkan beberapa pikiran baru untuk:
memperkenalkan karya seni kepada masyarakat, memperlihatkan hubungan antara
109
karya seni dengan lokasi penelitian/tempat sumber ide, konsep estetika, wacana
keperempuanan, dan perkembangan teknologi (disiplin ilmu lainnya). Hingga
pada akhirnya menemukan pencerahan dalam proses penciptaan dan pembacaan
makna baru terhadap karya seni.
Sintesis merupakan penjelasan alasan tentang refleksi diri penulis selama
berproses kreatif penciptaan karya yang bertemakan perempuan, hingga
menemukan pernyataan perempuan sebagai penyangga keluarga, penjaga tradisi,
dan pelaku seni. Pernyataan yang telah diobjektifikasikan menjadi karya tenun,
merupakan proses transformasi yang meminjam wilayah sifat-sifat perempuan dan
persoalan teknik menjadi tafsir baru dari keperempuanan melalui karya tenun
yang disajikan.
Sebagai seniman yang hidup pada era modern, penulis juga merespon
persoalan yang sama pada dirinya; seorang perempuan yang bekerja dalam bidang
seni, menggunakan sudut pandang baru, dan memberikan interpretasi terhadap
perempuan melalui karya seni yang didukung oleh teknologi dan eksplorasi
beragam media. Penghayatan sebagai seniman dalam mengarungi perjalanan
kehidupan memberikan nilai-nilai kebenaran yang murni dan hakiki, sehingga
menjadi pembelajaran pada pola pikir, bertindak, dan memutuskan segala hal
dalam menjalani kehidupan sehari-hari dengan mendesain jalan hidup untuk
mencapai keempuan sebagai seorang perempuan.
Rangkaian proses ini berawal dan berpusat pada diri perempuan yang
mengalami suatu peristiwa dan menjadi pemicu pada kesadaran akan keberadaan
dirinya. Kesadaran dalam akal budi atau imanen akan muncul di saat yang tepat
110
dan akan mendominasi segala pikiran dan perasaanya. Moment ini menjadi energi
untuk melakukan aktivitas berseni. Pada saat itulah diri perempuan memiliki
„ruang pembebasan‟, yang akan diekspresikan dalam bentuk energi kehidupan
dengan bertanggungjawab. Ruang pembebasan tersebut seperti terlihat dari para
perempuan yang menenun dan melakukan pekerjaan lainnya melalui aktivitas
berseni sebagai mata pencaharian utama. Apa yang mereka lakukan merupakan
usaha pemenuhan kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidupnya, serta membuat
dan menjaga eksistensi dirinya sebagai individu merdeka.
Melalui tiga bagian proses kreatif yang ditemukan dan telah dilakukan,
yaitu: Underwater, Kritis, dan Dance of the soul, terwujudlah karya-karya baru
dengan penjelasan sebagai berikut. Pertama, Underwater, pengertiannya adalah:
dipakai, dilakukan, atau beroperasi di bawah permukaan air, berada di bawah
garis air kapal, memiliki, dan „berhubungan dengan‟. Sementara pengertian
aktivitasnya „di bawah permukaan air‟ adalah kondisi tubuh kita berada di dalam
air, dengan pandangan yang terhalang molekul air, sehingga yang terlihat adalah
bayang-bayang objek di dalam air. Kondisi di bawah air laut, akan memperjelas
objek-objek biota laut, akan terlihat jelas kerang-kerang, terumbu karang, tanaman
laut, dan penghuni laut lainnya. Kondisi di bawah air pada saat aktivitas berenang,
penglihatan mata kita akan tertuju garis batas permukaan air, yang akan kita
tembus untuk mencari oksigen. Pada situasi tersebut tentu seseorang akan terus
berusaha mencapai garis batas, untuk mendapatkan oksigen dan menghirup
dalam-dalam mengisi paru-paru, agar dapat berenang sampai ke tepian. Kita
mengetahui dan melihat garis batas permukaan air di atas kepala, namun belum
111
dapat tergapai, harus terus berusaha mengayuh lengan, badan, dan kaki untuk
dapat meluncur dengan cepat, berpacu dengan waktu, agar paru-paru dapat
bertahan beberapa menit untuk mencapai permukaan. Keadaan tubuh pada saat
itu sangat kacau, galau, heboh, bertempur, dan berjuang agar tidak tenggelam dan
dapat terselamatkan.
Underwater dapat dianalogikan dengan fenomena gunung es; realita yang
terlihat di permukaan tidak sebesar di bawahnya, dan realita yang „sebenarnya‟
berada di bawah air. Maka, penulis menamakan bagian pertama adalah
Underwater; bertujuan untuk melihat realita yang sesungguhnya, mendapatkan
data yang sebenarnya, merasakan ativitas keseharian, dan mendapatkan energi
yang esensial. Bagian ini dilakukan melalui peristiwa „menjadi‟ Perempuan
Sasak. Fisik, batin, dan pikiran lepas dari keseharian untuk merasakan menjadi
Perempuan Sasak; menyelami wilayah realita pekerjaan perempuan. Secara sadar
mengalami, menjalani, mengetahui, dan mendapatkan segala hal tentang ke-
Sasak-annya. Melakukan beberapa pendekatan terhadap objek yang akan diteliti
dengan cara menjadi bagian dari objek tersebut; menjadi perempuan seperti di
desa, memakai kain panjang dan melakukan beberapa aktivitas yang biasa
dikerjakan oleh perempuan di sana, misalnya: berjalan di sawah, menenun,
membakar keramik, mengumpulkan kapas, berbincang-bincang, dan sebagainya.
Kegiatan ini dilakukan setiap berkunjung ke desa bersamaan melakukan
wawancara kepada para informan, membuat dokumentasi peristiwa-peristiwa
penting dengan kamera foto dan film video.
112
Ada pertentangan batin, pikiran, dan perasaan yang terjadi pada persoalan
Perempuan Sasak yang berseberangan antara pengertian bumi nine atau ibu
pertiwi dengan realita keseharian Perempuan Sasak. Realita yang didapat sebagai
contoh: tidak idealnya kehidupan perempuan di Lombok, tingginya angka
kemiskinan bagi perempuan dan anak-anak, sulitnya akses kesehatan dan
pendidikan untuk perempuan dan anak-anak, masih tingginya perceraian dan
jumlah perempuan tanpa suami, dan rendahnya angka perempuan dengan
intelektual yang baik dan memadai. Persoalan-persoalan inilah yang terlihat pada
bagian Underwater, yang kemudian menjadi pemicu untuk direspon lebih lanjut.
Kedua adalah bagian Kritis, yang berarti keadaan krisis, genting, keadaan
yang paling menentukan berhasil atau gagalnya suatu usaha, berusaha
menemukan kesalahan atau kekeliruan, dan tajam dalam analisis. Pengertian kritis
secara umum adalah berpikir pada sebuah tingkat yang kompleks dengan
menggunakan proses analisis dan evaluasi terhadap informasi yang didapat. Kritis
adalah kemampuan menilai valid tidaknya suatu sumber informasi; bisa
membedakan antara relevan dan tidak relevan; bisa membedakan antara fakta dan
opini; mampu mengidentifikasi bias dan sudut pandang (Beyer, 1985). Kritis juga
berarti adalah kemampuan untuk menganalisis fakta yang ada untuk membuat
gagasan dan mempertahankan gagasan tersebut yang kemudian membuat
perbandingan dan menghasilkan kesimpulan serta membuat solusi atas masalah
yang ada (Chance,1986). Kritis merupakan proses yang disengaja dan dilakukan
secara sadar untuk menafsirkan sekaligus mengevaluasi sebuah informasi dari
pengalaman, keyakinan dan kemampuan yang ada (Mertes, 1986). Berdasarkan
113
pendapat Beyer, Chance, dan Mertes, pada intinya menyatakan bahwa kritis
adalah secara sadar mampu menilai suatu masalah berdasarkan analisis dengan
perbandingan untuk membuat kesimpulan dan solusi yang akan dievaluasi untuk
menemukan hal baru.
Memasuki bagian Kritis merupakan proses penyeleksian segala informasi
dan pengalaman mengenai perempuan Sasak yang akan dikreasikan. Penyeleksian
ini menggunakan kriteria yang paling menyentuh pikiran dan perasaan. Prosedur
ini mirip dengan proses studium, yaitu medan luas hasrat yang tak acuh, berisi
perhatian yang beragam, selera tidak menjadi penting: Aku suka atau tidak suka
(Barthes, 1981). Mengenali studium berarti menemukan maksud si „fotografer‟
(penulis) menyelaraskan diri dengannya hingga terjalin ikatan antara pelihat dan
pencipta foto. Jalinan hubungan ini penting bagi suatu kehidupan budaya. Maka
terciptalah fungsi-fungsi foto, seperti: memberi informasi, menghadirkan kembali,
mengejutkan, menunjuk, dan membangkitkan hasrat. Proses pengamatan yang
dilakukan adalah merekam peristiwa yang dianggap penting, moment atau waktu
itu adalah saat yang harus diabadikan, dibuat menjadi diam, dibekukan dan
menyimpannya dalam sebuah alat kamera. Moment tersebut dianggap penting
oleh orang atau seniman yang menggunakanya. Seorang seniman memilih objek
yang layak dan penting untuk dibicarakan atau didiskusikan kelak, jika gambar
yang dihasilkan sudah melalui proses cetak, editing atau pencitraan/ tervisualkan,
(Sabana, 2014).
Data berupa gambar-gambar yang sudah dipilih dan memiliki citra tertentu
akan diproses melalui komputer dengan beberapa program, hingga mendapatkan
114
citra, image, dan makna baru. Transformasi dari fotografi ke wahana tekstil
merupakan manipulation textile, pengembangan desain permukaan kain dengan
variasi teknik. Penambahan atau pengurangan struktur kain sehingga permukaan
kain menampakkan tekstur, struktur tenun, dan menampilkan imaginasi tertentu,
(Cheney, 2014).
Pengamatan terhadap elemen rupa pada artefak kain tenun Sasak memiliki
kode-kode ke-Sasak-annya seperti: komposisi warna merah, kuning, biru, hitam,
dan putih/krem sebagai simbol yang mewakili bagian tubuh manusia. Motif garis-
garis horizontal sebagai simbol Lombok yang berarti lurus (saq saq). Teknik
anyam datar mewakili simbol laki-laki (benang lungsi) dan perempuan (benang
pakan). Bagian ini merupakan encoding (pembawa kode/pesan) terdapat pada kain
tenun Sasak yang dapat diurai melalui proses decoding (menguraikan isi kode),
dan transformasi menjadi karya baru sebagai representasi keperempuanan.
Visualisasi kain tenun sebagai representasi dari tafsir entitas Sasak menjadi karya
personal.
Keberadaan kain tenun Kombong dan Umba‟ dapat dilihat sebagai berikut:
pertama, sebagai subject matter, dengan nilai estetis memiliki susunan unsur rupa
dan semua elemen visual yang ada dan berfungsi sebagai media untuk
menyampaikan suatu maksud; kedua, kain tersebut memiliki makna atau nilai
yang mewakili simbol-simbol tertentu. Subject matter tersebut menerangkan
sebuah peristiwa penting, dan memaknai sesuatu yang dapat dijelaskan secara
metaforik dalam bahasa karya seni (Marianto, 2002).
115
Warna-warna yang berfungsi sebagai elemen estetis merupakan simbol,
seperti: merah mewakili darah, kuning mewakili daging, putih dan hitam
mewakili tulang, dan biru dan hijau mewakili urat nadi. Karena makna yang
terkandung dalam warna-warna tersebut dimaksudkan sebagai simbol-simbol atau
kode-kode kehidupan manusia, maka kain tersebut disepakati oleh masyarakat
Sasak menjadi sarana upacara potong rambut untuk bayi yang baru lahir.
Sebelumnya telah disinggung bahwa untuk melihat persoalan ini
diperlukan jarak agar dapat merefleksikan realita yang ada secara objektif dan
rasional. Jarak tersebut merupakan „cermin‟ yang diperlukan peneliti sebagai
sarana refleksi diri dalam melihat dan menganalisis persoalan perempuan.
Bentuk tubuh perempuan dapat mewakili: eksistensi, keanggunan,
kekuatan, kehidupan, yang memiliki: energi, estetis, dan sensasi. Hal ini akan
ditransformasi melalui eksplorasi teknik dan media ke dalam wujud karya. Sebuah
benda material itu sangat cukup berpotensi untuk mengakomodasi perasaan
(Aldrich,1963). Akomodasi tersebut bisa digambarkan sebagai penggabungan
benda dengan perasaan, atau keberadaan benda digabungkan dengan perasaan.
Deskripsi kedua bisa diberikan oleh seniman yang mengalami instrumen „menjadi
bagian dirinya sendiri‟. Perasaan seniman tentang instrumen adalah sebuah
kondisi dari kesuksesannya memanfaatkannya, bukan sebagai bagian dari
komposisi atau karya seninya. Jadi material dilihat sebagai implementasi dari
seniman.
Seniman dapat menafsirkan „ruang pembebasan‟ sebagai suatu peristiwa
dalam mengungkapkan segala perasaan dan emosinya menjadi karya seni yang
116
berbeda dari yang sudah ada. Salah satu cara „pembebasan‟ tersebut adalah
mengadakan pembuatan alat tenun baru berdasarkan ukuran tubuh perempuan,
yang menjadi pemikiran logis atas pengertian pembebasan perempuan dari cara-
cara lama karena keterbelengguan perempuan. Terciptanya alat tenun baru
merupakan simbol kebebasan berekspresi bagi seniman dan perempuan dalam
berkarya.
„Arena kebebasan‟ bagi seorang seniman adalah saat atau moment bekerja
dan berkreasi berdasarkan kehendak jiwa yang ekspresif, dan terobjektifikasikan
menjadi sebuah wujud karya yang ditunjang dengan peralatan agar dapat
mendukung ekspresi tersebut. Komponen eksternal harus mendukung daya cipta
seniman sehingga terjalin dan menyatu membentuk sebuah tujuan dalam
mewujudkan karya seni.
Ketiga, bagian Dance of the Soul, atau tarian jiwa. Poin utama dari
material seni tari adalah body-in-action (tubuh yang sedang beraksi) dari penari,
bahwa dengan itu (body-in-action), dia akan memformulasikan sesuatu dalam
pola-pola aksi yang secara ekspresif memotret sesuatu. Seperti yang dilakukan
patung dengan forma atau bentuknya sendiri. Tetapi karena mobilitas, bentuk
(forma) terakhir dari keseluruhan tarian akan mencakup unsur-unsur temporal dan
ritmik yang mengelaborasi medium, memberinya satu sapuan (spread) di mana
hampir semua materi pokok (thema) dapat diekspresikan sebagai konten dari
proses per-acting-annya (Aldrich,1963).
Penafsiran dari pernyataan Aldrich, pada konteks ini adalah bahwa, tubuh
yang sedang menari, beraksi, bergerak, berekspresi – membuat formulasi pola-
117
pola secara ekspresif – memadukan medium menjadi bentuk (forma) yang
memiliki unsur temporal (berhubungan dengan waktu) dan ritmik (irama) akan
mengekspresikan tema.
Maka, yang dimaksud dengan tarian jiwa pada konteks ini adalah aktivitas
seniman (penulis) dalam bekerja (menenun) dengan material (benang dan lainnya)
sebagai medium dalam membentuk (mengeskpresikan) menjadi karya yang
berirama dan bertemakan keperempuanan. Peristiwa ekstasi, trans, sublim, agony
yang terjadi pada diri seniman dimana merasakan secara indrawi pada perabaan
tekstur benang, penciuman serat alami, dan visual warna-warna alam yang
menyatu membentuk jalinan yang mewujud. Merasakan empati terhadap
ketangguhan keperempuanan, memikirkan, hingga tercipta bentuk-bentuk yang
dapat mewakili keperempuanan, menyebabkan relung-relung otak menjadi tegang,
berkembang, dan membuat loncatan-loncatan pikiran yang jauh ke depan tentang
jati diri seorang perempuan.
Tema karya pertama adalah sebuah keluarga, di mana peran perempuan
menjadi penyangga keluarga dengan bekerja mencari nafkah. Perempuan yang
memiliki rasa cinta kepada suami dan anak-anak, rasa kasih sayang dan lentur
dalam mengasuh dan mendidik keluarga. Terkadang rapuh dan terkoyak, namun
harus tetap bertahan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat agar keluarga
menjadi kuat dari segala cobaan kehidupan.
Karya kedua bertema tradisi mewakili peran perempuan sebagai penjaga
tradisi budaya. Perempuan harus memiliki jiwa dan pandangan hidup yang mapan,
agar dapat kuat dan kokoh dalam menjalani dan memaknai hidup. Perempuan
118
harus memiliki pikiran yang bersih dan suci batin agar kemurnian pikiran tetap
terjaga. Ia bersikap anggun dan magis, agar tampak terhormat, bertindak dan
berlaku sakral, meditatif agar dapat melihat hal yang baik dan buruk dalam
kehidupan.
Karya ketiga mewakili peran perempuan sebagai pelaku seni dalam
menjalani hidupnya. Perempuan harus bersifat dinamis, agar dapat fleksibel dan
lentur dalam menjalani dan memaknai hidup. Perempuan harus memiliki pikiran
yang atraktif dalam menghadapi segala kesulitan dan rintangan dalam
pekerjaannya. Perempuan harus memiliki emosi yang „meriah‟ agar karya-
karyanya memberi inspirasi bagi pelihat, memiliki rasa dan sensasi agar karyanya
berjiwa, dan bersikap responsif agar dapat merespon hal-hal yang terjadi dalam
masyarakat.
Karya-karya yang tercipta bersifat subjektif dan bersifat „terus berproses‟,
tidak selesai sampai di sini. Karya tersebut berproses memproduksi karya-karya
turunannya. Karya termetaforakan menjadi karya tenun keperempuanan dan
merupakan eksplorasi material, bentuk, dan teknik yang dimungkinkan dalam
memproduksi karya-karya baru, sehingga dapat menampilkan kain tenun bergaya
kontemporer. Hal yang tak terduga akan muncul seiring dengan apresiasi
masyarakat pengamat seni guna membangun struktur baru tentang pemaknaan dan
pemahaman wahana seni. Sikap seniman sebagai peneliti harus mengevaluasi
kembali respon dari publik dan kembali menyempurnakan karya, sehingga dapat
menyusun kesimpulan pemaknaan dan pembacaan baru tentang karya seni. Hal ini
pun tidak berhenti sampai disini namun dapat berkembang menjadi karya
119
selanjutnya. Karya merupakan awal dari tahapan pengamatan terhadap fenomena
perempuan dan pekerjaannya pada saat dan waktu kini.
Disadari bahwa sesungguhnya ada gugatan terhadap posisi dan jati diri
perempuan. Gugatan tersebut terus bergulir dan berproses bersama ruang dan
waktu. Pertentangan batin, pikiran, dan perasaan terjadi pada persoalan
perempuan Sasak, menjadi pemicu untuk direspon di bagian kritis yang
mengeksplorasi “arena kebebasan” seorang seniman pada saat atau moment
bekerja dan berkreasi berdasarkan kehendak jiwa yang menari dengan ekspresif.
Terdapat hubungan antara cara kerja otak dengan karya seni. Setelah dirasakan
bahwa otak tidak menyukai hal yang tidak jelas dan tidak seimbang, maka
wilayah ini menjadi arena kebebasan yang terobjektifikasikan menjadi sebuah
wujud karya seni. Penjelasan tersebut digambarkan pada skema 4.5.
Skema 4.5. Tahapan Refleksi Proses Kreatif
Sumber: diolah dari hasil penelitian Wijayanti, 2018.
Proses berkarya yang diawali pada bagian Underwater, menghasilkan
pengamatan terhadap fenomena perempuan dan pekerjaannya. Bagian kritis
menghasilkan pemilihan dan penyeleksian data, dilanjutkan ke bagian Dance of
the Soul yang menghasilkan proses kreatif berkarya untuk menghasilkan dan
120
menyajikan karya pada arena dialog dengan pelihat. Proses refleksi ini dapat
dilanjutkan masuk kembali pada tahap Underwater, Kritis, dan seterusnya seperti
skema spiral, sampai karya yang dimaksudkan tercapai dan sesuai dengan
konteksnya.
Temuan hasil penyelidikan pada konteks perempuan Sasak menghasilkan
pemaknaan baru tentang posisi perempuan saat ini yang bersifat individual,
mandiri, dapat berekspresi secara pribadi, responsif, dan bertanggung jawab
terhadap keturunannya.
Interpretasi baru yang dimaknai ulang dalam konteks persoalan perempuan
masa kini berdasarkan nilai-nilai budaya tenun perempuan Sasak, adalah
komposisi warna pada kain tenun Sasak membawa simbol kehidupan, seperti:
krem berarti kapas; putih berarti tulang; merah berarti darah; kuning berarti
daging; hitam berarti kematian; biru berarti urat nadi. Kode-kode pada simbol ini
dipecahkan menjadi simbol warna sebagai perwakilan dari sifat-sifat perempuan,
seperti: krem berarti alami/ natural; putih berarti suci; merah berarti emosi; kuning
berarti kehidupan/dinamis; hitam berarti misterius atau kekuatan; biru berarti
kecerdasan/intelektual.
Pemecahan kode-kode etnik Sasak merupakan temuan proses berkarya
yang bertolak dari hasil penyelidikan konteks perempuan Sasak menjadi konteks
perempuan masa kini dengan ekspresi personal, sesuai skema 4.12.
121
Gambar 4.12. Relasi Tenun Sasak dengan Karya Tenun Baru
Sumber: Wijayanti, 2017.
Proses produksi kain Sasak selalu menempatkan perempuan dalam posisi
penting, tersirat pada nilai-nilai keperempuanan yang masih relevan dengan nilai-
nilai keperempuanan masa kini, yaitu perempuan sebagai penyangga keluarga,
penjaga tradisi, dan pelaku seni. Ketiga peran tersebut dapat terlihat pada
perempuan saat ini, di mana seorang perempuan dapat berperan menjadi
penyangga keluarga saja, menjadi penjaga tradisi saja, dan atau menjadi pelaku
seni saja. Namun seorang perempuan dapat sekaligus menjadi penyangga keluarga
dan penjaga tradisi. Seorang perempuan menjadi penyangga keluarga dan pelaku
seni. Seorang perempuan menjadi penjaga tradisi dan pelaku seni. Semua peran
merupakan pilihan yang dapat dijalankan oleh diri perempuan sesuai dengan
wilayah dan ranah kehidupannya yang dijalani dengan alamiah.
Kain tenun Sasak
Perempuan Penyangga keluarga
Perempuan Penjaga Tradisi
Perempuan Pelaku Seni
122
Melalui proses kreatif dihasilkan kerangka temuan berdasarkan peran,
relasi sifat perempuan, material, alat tenun, dan teknik, yaitu:
a. Keperempuanan. Sifat Perempuan Sasak yang tangguh, kuat, lentur, lurus,
dan berani dalam menjalankan hidup dan berkeluarga; sabar dan ikhlas
dalam mengasuh dan mendidik anak–anaknya; menerima, penurut dalam
menjalankan aturan agama, adat istiadat, dan menjaga nama baik keluarga.
b. Proses Kreatif pada material dan alat yang didasarkan pada tiga bagian
proses kreatif penciptaan karya; Underwater, Kritis, dan Dance of the Soul
c. Temuan alat tenun baru yang memberikan peluang dalam eksplorasi
teknik untuk menciptakan bentuk baru dan efek tertentu yang khas pada
struktur tenun bercirikan keperempuanan.
d. Karya Seni, dengan sifat material yang dapat memberi arti berbeda dan
mewakili pencitraan (image) sebuah tema. Material dan teknik merupakan
tanda pengalaman seniman dalam bereksplorasi dan memainkan medium
karyanya.
123
Resume
Analisis karya dengan judul Perempuan Penyangga Keluarga, Perempuan Penjaga
Tradisi, dan Perempuan Pelaku Seni, diuraikan berdasarkan penyajian karya,
deskripsi karya, dan elemen seni. Karya tenun sepanjang 15 meter merupakan
eksplorasi „rasa‟ dan esensi sebagai perempuan yang berproses dalam
membangun keluarga divisualisasikan melalui tenun dengan material benang dan
bunga hasil tanaman kapas yang dipelihara dengan baik. Hal ini merupakan
analogi dari anak yang akan tumbuh dan berkembang baik bila hidup pada
lingkungan keluarga yang baik. Karya seni Perempuan Penjaga Tradisi,
memperlihatkan motif yang terbentuk karena benang lungsi diberi warna dengan
teknik sapuan kuas. Motif tervisualkan menjadi dinamis, magis, dan terpusat. Hal
ini merupakan metafora sifat perempuan; transparan, melayang, dan meditatif,
pada situasi magis dan dramatik. Karya seni Perempuan Pelaku Seni,
diperlihatkan melalui keragaman teknik tenun dengan perpaduan material yang
menunjukkan hasil budaya lama dan baru sehingga menjadi dinamis dan atraktif.
Visualisasi merupakan metafora dari sifat perempuan, menjadi bermain-main,
berdimensi, festive, dinamis, atraktif dan memunculkan bentuk-bentuk baru.
Proses penciptaan menggunakan tahap proses kreatif (Underwater, Kritis,
dan Dance of the soul) dapat dimaknai bahwa tahapan penciptaan karya adalah
proses berkesenian dalam rangka reproduksi budaya yang secara sadar dilakukan
dengan perasaan dan intelektual. Pencetusan tentang wacana perempuan
merupakan hasil uraian nilai luhur dari artefak budaya yang dapat dimaknai ulang
dan disesuaikan dengan konteks perempuan saat ini.
124
V. PENUTUP
Bagian ini menjabarkan jawaban atas pertanyaan rumusan masalah penciptaan;
peran perempuan dalam struktur sosial budaya Sasak pada wilayah pekerjaannya,
ekspresi peran Perempuan Sasak melalui medium tenun, dan penjelasan terkait
kemampuan karya tenun sebagai produk penciptaan dapat mengekspresikan
keperempuanan.
A. Kesimpulan
Berdasarkan metode aritistic research, di mana terdapat tiga jenis produk yang
dihasilkan (artwork, idea, & concept), maka karya seni yang dihasilkan mesin
tenun dan karya tenun. Kemudian, ide atau wacana yang dihasilkan adalah
ketangguhan Perempuan Sasak dalam menjalani hidupnya. Selanjutnya, mengenai
konsep, penelitian ini menghasilkan tahapan proses kreatif; Underwater, Kritis,
dan Dance of the Soul.
Kemudian, terkait pertanyaan penelitian, rumusan masalah pertama adalah
pertanyaan mengenai peran perempuan dalam struktur sosial budaya Sasak dalam
wilayah pekerjaannya. Berdasarkan proses penciptaan, ditemukan pemaknaan
baru terhadap peran perempuan, yaitu bahwa pada akhirnya yang dapat membantu
nasib perempuan adalah diri perempuan itu sendiri. Perempuan harus memiliki
sikap menghormati dirinya dan menjaga martabatnya. Menghargai potensi dirinya
untuk dapat berkreasi dan menata kehidupan yang baik. Kritis terhadap perlakuan
sosial pada dirinya. Menentukan arah perkembangan keluarga. Sementara
125
berdasarkan analisis karya, dapat terlihat bahwa perempuan Sasak masih memiliki
tradisi yang bersifat positif, lurus (saq saq) dan masih dijalani sampai saat ini,
seperti acara potong rambut bayi dan seterusnya. Peristiwa ini berdampak pada
keharmonisan hidup bersama dalam masyarakat, dan sikap saling gotong royong.
Memproduksi kain tenun sebagai media upacara, merupakan produksi budaya
yang berdampak pada terjaganya adat budaya daerah sebagai identitas bangsa,
memberi pembelajaran dan pembudayaan keterampilan menenun kepada generasi
muda, dan menyebarluaskan budaya Sasak kepada bangsa lain dengan akulturasi
budaya, sehingga budaya Sasak dapat mengikuti perkembangan zaman yang
disebarkan oleh kaum perempuan.
Rumusan masalah kedua adalah bagaimana mengekspresikan peran
perempuan Sasak melalui medium tenun. Karya yang dihasilkan bersifat subjektif
(ekspresif), nilai keindahan tergantung pada pengalaman batin penulis yang
bertugas untuk mengekspresikan diri secara intens dan positif. Pada proses kreatif
yang dilakukan dengan eksperimen teknik, material, dan temuan alat tenun,
terciptalah bentuk-bentuk baru pada struktur permukaan tenun, dengan
mempertahankan keunikan dan individualitas. Karya yang memperlihatkan jejak
penulis dalam bentuk gerakan spontanitas mempengaruhi ekspresi karya. Hal itu
merupakan sikap responsif penulis terhadap faktor eksternal (potret perempuan
pekerja di Lombok) yang direpresentasikan melalui karya dengan menghadirkan
figur yang esensi, persepsi yang dipelintir, eksplorasi pengalaman visual, ruang-
ruang ilusi, fantasi, tekstur memukau, tampilan mencekam, dan suasana yang
membangkitkan emosi para pengamat. Memperhatikan karya yang terwujud dapat
126
merepresentasikan diri perempuan yang merdeka; bebas menentukan dan
membentuk kehidupan yang ideal, membentuk ruang pembebasan sebagai arena
intelektual dan kreatif, dan menciptakan generasi penerus yang kreatif dan
berbudaya.
Rumusan masalah ketiga adalah alasan karya tenun sebagai produk
penciptaan dapat mengekspresikan keperempuanan. Ruang ilusi yang
direpresentasikan merupakan arena kebebasan perempuan dan eksplorasi tenun
secara esensial yang terfokus pada makna kesejatian perempuan itu sendiri tanpa
menghadirkan rupa, wajah, materi, dan tubuh masif perempuan. Melalui proses
pemetaforaan wilayah keperempuanan dapat tervisualkan melalui material
benang, warna, dan atribut pendukungnya sebagai bahasa seni. Diharapkan
pengamat dapat merasakan resonansi keindahan dan intelektualitas perempuan,
sehingga peran perempuan dan keberadaannya di bumi ini menjadi berarti dan
berharga. Keterlibatan perempuan dalam membentuk jati diri bangsa dapat
dilakukan dengan menjaga dan memproduksi budaya baru sehingga identitas
bangsa terwujud dan berdampak pada kebanggaan generasi penerusnya.
Proses penciptaan karya ini merupakan langkah awal untuk memasuki
arena seni dengan membawa wacana baru dan pemaknaan baru. Masih jauh dari
sempurna untuk sebuah pernyataan tentang perempuan dan keperempuanan,
karena banyak hambatan pada struktur sosial yang harus dilalui, sehingga apa
yang tersaji ini adalah sebagian kecil dari realita yang tampak di permukaan dan
dapat dipahami serta direspon melalui sudut pandang ilmu seni. Penulis berharap
akan terbuka celah dan jalan baru bagi perempuan dalam mewarnai kehidupannya
127
serta memberi sumbangan ilmu pengetahuan pada dunia sehingga dapat dibangun
sebuah „cermin‟ baru yang berasal dari proses penciptaan karya, seperti: a)
perempuan dengan ketangguhannya mencari nafkah sebagai penyangga ekonomi
keluarga, melahirkan anak keturunannya, dan menjaga budaya secara mandiri
dengan intelektualitasnya, b) mewujudkan ruang pembebasan berkesenian melalui
pemetaforaan karya tenun sebagai simbol keperempuanan, dan c) menemukan
pemaknaan baru tentang konsep perempuan tangguh, intelektual dan mandiri
melalui aktivitas perempuan sebagai penyangga ekonomi keluarga, penjaga
tradisi, dan pelaku seni yang terwakilkan melalui wujud karya seni rupa.
B. Saran
Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan menggunakan titik awal pada eksplorasi
teknik, sehingga dapat memproduksi karya-karya baru yang bersifat fungsional
atau konseptual, yaitu:
1. Kaum perempuan memahami posisinya dalam struktur keluarga dan
masyarakat sehingga perannya menjadi pilar utama dalam kemajuan
bangsa terlaksana dengan baik dan tercipta generasi penerus yang tangguh
dan bermanfaat.
2. Mencari dan menemukan cara ungkap baru dalam bentuk visual yang
memperbincangkan ketangguhan dan pemaknaan baru terhadap posisi
perempuan pada status sosial budaya.
3. Temuan hasil penciptaan karya seni diupayakan sebagai pengembangan
ilmu seni dan problem solving bagi kehidupan manusia.
128
4. Pengembangan metode penciptaan dalam produksi karya seni dapat
memudahkan peneliti lainnya dalam proses kreatif.
5. Hubungan antara alat tenun yang diciptakan dengan anatomi sistem
reproduksi pada tubuh perempuan terkait ergonomi dan kesehatan, dapat
dibuat penelitian lanjutan terkait hal tersebut.
6. Hasil penciptaan karya berguna bagi masyarakat, dunia perajin, dan dunia
usaha, yang dapat memperkaya wawasan dan apresiasi pada temuan baru.
7. Penemuan dan pengembangan peralatan baru digunakan untuk bekerja
merupakan alat ukur keberhasilan dalam proses pembelajaran dan
pengembangan ilmu pengetahuan agar dapat menunjang proses ajar
mengajar dan pengabdian kepada masyarakat.
8. Pendokumentasian hasil penelitian yang baik agar memberi inspirasi pada
instuisi pendidikan dalam memproduksi karya baru yang inspiratif dan
bermanfaat bagi masyarakat.
xiv
KEPUSTAKAAN
Al-Qur’anulkarim. 2010. Miracle The Reference. Bandung, Yayasan
Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Qur‟an, Sygma Publising.
Aldrich, Virgil.C. 1963. Philosophy of Art, Englewood. N.J, Pretice Hall, Inc.
Ali,Yacub, et al. 1982. Tenun Tradisional Nusa Tenggara Barat. NTB,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Allwood, John dan Montgomery Bryan. 1989. Exhibition Planning and Design.
London, B.T. Batsford Ltd.
Barrett, Terry.1994. Criticizing Art, Understanding the Contemporary. California,
Mayfield Publishing Company.
Barthes, Roland.1980. Camera Lucida Reflections On Photography, Translated by
Richard Howard. New York, Hill & Wang.
Cheney, Nigel dan McAllister, Helen. 2014. Textile Surface Manipulation
(Textiles Handbooks). England, Bloomsbury Publishing.
Csikszentmihalyi, Mihaly. 1996. Creativity’, Flow and the Psychology of
Discovery and Invention. New York, Harper Collins Publisher.
Deleuze, Gilles. 2003. Francis Bacon: The Logic of Sensation. diterjemahkan
dari bahasa Perancis ke bahasa Inggris oleh Daniel W.Smith, Continium.
Dormer, Peter. 2008. Makna Desain Modern. Yogyakarta, Jalasutra.
Drudi, „Kuky‟, Elisabetta. 2008. Fashion Prints. Amsterdam, The Pepin Press.
Dumitrescu, Delia. 2013. Relational Textiles Surface Expressions in Space
Design. The Swedish School of Textiles, University of Boras Studies in
Artistic Research no 7 2013.
Eaton, Marcia Muelder. 1988. Basic Issues in Aesthetics. Illinois: Waveland
Press, Inc. (Di sadur ke Bahasa Indonesia oleh Embun Kenyowati Ekosiwi
dengan judul Persoalan-persoalan Dasar Estetika. Jakarta, Penerbit
Salemba Humanika, 2010.
Fakih, Mansour. 2016. Analisis Gender & Tranformasi Sosial. Yogyakarta, Insist
Press.
xv
Fathurrahman, Lalu Agus. 2007. Menuju Masa Depan Peradaban, Refleksi
Budaya Etnik di NTB. NTB, Genta Press.
Feldman, Edmund Burke.1967. Art as Image and Idea. New Jersey, Prentice –
Hall-Inc. (Disadur ke Bahasa Indonesia oleh SP. Gustami dengan judul
Seni Sebagai Ujud dan Gagasan. Yogyakarta, Fakultas Seni Rupa dan
Desain ISI Press), 1990.
_____. 1992. Varieties of Visual Experience. New York, Harry N. Abrams, Inc.
Gray, Carole and Malins, Julian. 2004. Visualizing Research, A Guide to the
Research Process in Art and Design. England, Ashgate.
Gustami SP. 2007. Butir-Butir Mutiara Estetika Timur. Yogyakarta, Prasista.
_____. 2000. Studi Komparatif Gaya Seni Yogya-Solo. Yogyakarta, Yayasan
Untuk Indonesia.
_____, 2004. Seni Kerajinan Mebel Ukir Jepara Kajian Estetik Melalui
Pendekatan Multidisiplin. Yogyakarta, Kanisius.
Haake, Annegret. 1984. Javanische Batik Methode- Symbolik- Geschichte,
Hannover, Verlag M & H. Schaper.
Hoop.A. N. J. Th. a Th. Van Der. 1949. Indonesische Siermotieven, Ragam-
ragam Perhiasan Indonesia, Indonesian Ornamental Design. Jakarta,
Bataviaasch Genootschap.
Ife, Jim dan Tesoriero, Frank. 2006. Community Development:Based Alternatives
in on Age of Globalisation, New South Wales, Australia: Pearson
Education Auatralia. (Disadur ke Bahasa Indonesia oleh Sastrawan
Mannulang dengan judul Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era
Globalisasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008).
Indah, Handayani Usri, et al.2000. Kain Songket Lombok. NTB, Departemen
Pendidikan Nasional NTB.
Jasper, J.E. dan Pirngadie, Mas, De Batik- Kunst De Inlandsche Kunstnijverheid
in Nederlandsch Indie, 1996. Mouton & Co, 1916. (Di sadur ke Bahasa
Indonesia oleh S. Hertini Adiwoso dengan judul Seni Batik Edisi Bahasa
Indonesia dan Beranotasi. Jakarta, Museum Nasional.
Jessup, Hellen Ibbitson. 1990. Court Arts of Indonesia. New York, The Asia
Society Galleries.
xvi
Kartiwa, Suwati. 1993. Tenun Ikat, Jakarta, Penerbit Djambatan.
_____. 2007. Tenun Ikat Ragam Kain Tradisional Indonesia. Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama.
Kim, Uichol., Shu Yang, Kuo dan Kuo Hwang, Kwang (Ed.). 2010. Indigenous
and Cultural Psychology. New York, Springer Science + Business Media,
2006. (Di sadur ke Bahasa Indonesia oleh Helly Prajitno Soetjipto dan Sri
Mulyantini Soetjipto dengan judul Memahami Orang dalam Konteksnya,
Yogyakarta,Pustaka Pelajar).
Krisna, Anand. 2001. Meditasi untuk Manajemen Stres & Neo Zen Reiki untuk
Kesehatan Jasmani dan Rohani. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Kroemer, Karl H.E. 2001. Ergonomics, How to Design for Ease and Efficiency.
New Jersey, Prentice-Hall, Inc.
Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta, Tiara Wacana.
Laksana, Fajar. 2008. Manajemen Pemasaran Pendekatan Praktis. Yogyakarta,
Graha Ilmu.
Langer, Susanne K. 1957. Problems of Art. Ten Philosophical Lectures, New
York, USA.
______. 2006. Problematika Seni. (Di terjemahkan oleh FX. Widaryanto,
Bandung, Sunan Ambu Press).
Lombard, Denys. 1990. Le Carrefour Javanais, Le Limited de l’accidentalisation,
Paris: Ecole des Hautes Erudes en Science Sociales. ( Di sadur ke Bahasa
Indonesia oleh Winarsih Partiningrat Arifin dengan judul Nusa Jawa:
Silang Budaya, Batas-Batas Pembaratan (1), Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2005).
Lorber, Judith dan Farrell, Susan A. (Ed). 1991. The Social Construction of
Gender.Newbury Park London New Delhi, SAGE Publications.
Marianto, M. Dwi. 2011. Menempa Quanta Mengurai Seni. Yogyakarta, Badan
Penerbit ISI Yogyakarta.
_____, 2002. Seni Kritik Seni. Yogyakarta, Lembaga Penelitian Institut Seni
Indonesia Yogyakarta.
_____, 2015. Art and Levitation, Seni dalam Cakrawala. Yogyakarta, Pohon
Cahaya.
xvii
_____, 2017. Art & Life Force, in Quantum Perpective. Yogyakarta, Scritto
Books Publisher.
Murata, Sachiko.1992. The Tao of Islam, A Sourcebook on Gender Relationship
in Islam Thought. New York, State University of New York Press.
(Disadur ke Bahasa Indonesia oleh Rahmani Astuti dengan judul The Tao
of Islam, Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan
Teologi Islam, Bandung: Mizan, 1996).
Noth, Winfried. 1995. Semiotik. Stuttgart, J.B. Metzlersche
Verlagsbuchhandlung. (Disadur ke Bahasa Indonesia oleh Ibrahim Adb.
Syukur (ed) dengan judul Semiotik. Surabaya, Airlangga University Press,
2006).
O‟Donnell, Kevin. 2003. A History of Idea. Oxford UK, Lion Publishing. (Di
sadur ke Bahasa Indonesia oleh Jan Riberu dengan judul Sejarah Ide-Ide,
Yogyakarta: Kanisius, 2009).
Papanek, Victor. 1973. Design for the Real World : Human Ecology and Sosial
Change. New York, A Bantam Book.
Parani, Juliani. 2011. Seni Pertunjukan Indonesia Suatu Politik Budaya. Jakarta,
Nalar.
Ramachandran V.S. 2012. The Tell – Tale Brain. London, Windmill Boks.
Ratna, Nyoman Kutha SU. 2010. Metodologi Penelitian, Kajian Budaya dan Ilmu
Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Read, Herbert. 1972. The Meaning of Art. New York, Praeger Publiser. ( Disadur
ke Bahasa Indonesia oleh Soedarso SP dengan judul Seni: Arti dan
Problematiknya, Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 2000).
Rohidi, Tjetjep Rohendi. 2011. Metodologi Penelitian Seni. Semarang, Cipta
Prima Nusantara.
Sabana, Setiawan. 2014. Perspektif Seni. Bandung, Garasi 10, Balatin Pratama.
SJ, Bakker, J.W.M. 1984. Filsafat Kebudayaan. Yogyakarta, PT. Kanisius.
Soedjatmoko. 2001. Kebudayaan Sosialis. Jakarta Timur, Melibas.
Soegiarto, I. Bambang. 1996. Postmodernism, Tantangan bagi Filsafat.
Yogyakarta, Penerbit Kanisius.
xviii
Soedarso SP. 2006. Trilogi Seni Penciptaan Eksistensi dan Kegunaan Seni.
Yogyakarta, Badan Penerbit ISI.
Soekarno.1963. Sarinah, Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik
Indonesia. Yogyakarta, Panitya Penerbit Buku-buku Karangan Presiden
Sukarno.
Soemadiningrat, Salman, dan Susanto, Anthon F. 2004. Menyikapi dan Memaknai
Syariat Islam Secara Global dan Nasional. Bandung, PT Refika Aditama.
Soetomo, Greg. 2007. Krisis Seni Krisis Kesadaran. Yogyakarta, Kanisius.
Spradley, James P. 1979. The Ethnoraphic Interview, California: Wadsworth
Publising Company. (Di sadur ke Bahasa Indonesia oleh Misbah Zulfa
Elizabeth dengan judul Metode Etnografi, Yogyakarta: Tiara Wacana,
2007).
Spillane, James. 1994. Pariwisata Indonesia Siasat Ekonomi dan Rekayasa
Kebudayaan. Yogyakarta, Penerbit Kanisius.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung,
Alfabeta.
Suhadi, et al. 1992. Perajin Tradisional daerah Nusa Tenggara Barat. NTB,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sunardi, ST. 2004. Semiotika Negativa. Yogyakarta, Penerbit Buku Baik.
Susanto, Mikke. 2004. Menimbang Ruang Menata Rupa Wajah dan Tata
Pameran Seni Rupa. Yogyakarta, Galang Press.
Sutiono, Rudi Yusuf. 2009. Visual Merchandising Attraction. Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama.
Sutrisno, Mudji dan Putranto, Hendar (Ed.). 2008. Hermeneutika Pascakolonial
Soal Identitas. Yogyakarta, Kanisius.
Sutrisno, Mudji dan Putranto, Hendar. 2005. Teori-Teori Kebudayaan.
Yogyakarta, Penerbit Kanisius.
Svasek, Maruska. 2007. Anthropology, Art and Cultural Production. England,
Pluto Press.
Stone, Terry Lee. 2010. Managing the Design Process Concept Development.
Massachusetts, Rockport Publishers, Inc.
xix
Tilaar, H.A.R. 2004. Multikulturalisme Tantangan-tantangan Global Masa Depan
dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta, Grasindo.
Van Leeuwen, T. 2011. The Language of Colour. New York, Simultaneously
Published.
Van Peursen, Anthonie Cornelis. 1970. Strategie van de Cultuur. Amsterdam,
Elsevier. (Disadur ke Bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko dengan judul
Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Wacana, Lalu dan Wahab, Abdul H.Ismail. 1984. Gerabah Banyumulek Koleksi
Museum Negeri NTB. NTB, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Walbi, Sylvia. 1990. Theorizing Patriarchy. United Kingdom, Oxford. (Disadur
ke Bahasa Indonesia oleh Mustika K. Prasela dengan judul Teorisasi
Patriaki, Yogyakarta: Jalasutra, 2014).
Weisberg, Robert W. 1993. Creativity Beyond the Myth of Genius, New York,
W.H. Freeman and Company.
Widiastuti, Alit. 1991. Gaya Anyaman Lombok. NTB, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Museum Negeri NTB.
Williams, Raymond. 1981. Culture. Michigan, Fontana Original.
_____. 1977. Marxism and Literature. New York, Oxford University Press.
_____. 1961. The Long Revolution. London, Chatto & Windus.
Wilson, Mick, and Van Ruiten, Schelten, (Ed.). 2013. Share Handbook for
Artistic Research Education. Amsterdam, Lifelong Learning Programme.
Said, W. Edward. 1978. Orientalism. New York, Vintage Books. (Di sadur ke
Bahasa Indonesia oleh Ahmad Fawaid dengan judul Orientalisme:
Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur sebagai Subjek,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).
Yudoseputro, Wiyoso. 2008. Jejak-Jejak Tradisi Bahasa Rupa Indonesia Lama.
Jakarta, Yayasan Seni Visual Indonesia.
DISERTASI
Tjahjawulan, Indah. 2016. Obyek Pamer Anjungan Indonesia Di World Expo
Tahun 1986-1992 Sebagai Representasi Ideologi Orde Baru. Disertasi,
Program Studi Doktor Ilmu Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi
Bandung.
xx
Syakur, Ahmad Abd. 2002. Studi Dan Kebudayaan Sasak (Studi Tentang
Akulturasi Nilai-nilai Islam ke Dalam Kebudayaan Sasak). Disertasi,
Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
BULETIN
Fathurrahman, Lalu Agus. 2011. Peran Kebudayaan Dalam Mendukung
Pariwisata. Dalam Buletin Museum Nusa Tenggara Barat. NTB, Edisi:
XII.
Sukmawati Lia, Sudardi Bani, Susanto Dwi. Desember 2017. Eksistensi
Perempuan Sasak pada Novel “Sri Rinjani Karya Eva Nourma:
Berdasarkan Perspektif Feminis”. Haluan Sastra Budaya, Volume 1, No. 2
JURNAL
Grosser, Mary. 2005/2006. Critical Thinking Intervening for Growth,
International Journal of Learning, Vol 12, number 9.
Kun, Marjanto Damardjati. November 2008. Mengenal Beberapa Unsur
Kebudayaan Sasak di Dusun Segenter, Desa Sukadana, Kecamatan
Bayan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, Jakarta: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan dan Pengembangan SDM
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Vol;3, No: 3.
Mu‟aini, Rosada, dan Sasmanda Sipa. September 2014. Akulturasi Islam dalam
Budaya Tradisi Merariq Masyarakat Sasak di Desa Selebung Kecamatan
Janapria Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2014. Jurnal Paedagoria, Vol
10, No. 2.
Meyerowitz, Joanne. December, 2008. A History of “Gender”. Oxford Journals,
Vol. 113, No. 5, p. 1346-1356.
Ortner, Sherry B. Autumn 1972. Is Female to Male as Nature Is to Culture?.
Feminist Studies, Vol 1, No. 2, pp 5-31.
Platt, Maria. September 2012.“Sudah Telanjur”: Perempuan dan Transisi ke
Perkawinan di Lombok. Jurnal Studi Pemuda, Vol I, No. 2. H. 165-178.
Saharudin. 2016. Perilaku Liminal Masyarakat Sasak-Lombok Dalam Bekayaq
Bau Nyale dan Pataq Pare. Sasdaya Gadjah Mada Journal of Humanities,
Vol 1, No.1.
Viorica, Putu Ayu Novia dan Indrawati, Komang Rahayu. 2016. Gambaran
Kinerja dan Etos kerja Perempuan Suku Sasak yang Bekerja di Denpasar.
Jurnal Psikologi Udayana, Vol 3, No.2, Hal. 271-282.
xxi
Wijayanti, Lucky. 2010. Metode Decoding dalam Pengembangan Ragam Hias
Hunian Tongkonan Toraja untuk Desain Tekstil. Jurnal Senirupa Warna,
Vol, I No 3.
REFERENSI
Calderin, Jay. 2009. The Fashion Design, Reference and Specification Book.
Massachusetts, Rockport Publisher, Inc.
Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025. 2008. Jakarta, Departemen
Perdagangan Republik Indonesia.
Pujar, Sandrine. 2016, April. Gender Inequalities in the Cultural Sector Culture
Action Europe. Belgium, Report compiled. Copyright © 2016 Culture
Action Europe, All right reserved.
Triatmodjo, Suastiwi. 2013. Memperbincangkan Desain dan Industri Kreatif,
Membangun Kolaborasi untuk Mencapai Inovasi. Pidato Ilmiah Dies
Natalies ke-29 ISI Yogyakarta.
Jaszi, Peter dkk. 2009. Laporan Penelitian Kebudayaan Tradisional, Suatu
Langkah Maju untuk Perlindungan di Indonesia. Jakarta, Lembaga Studi
Pers dan Pembangunan (LSPP).
Wijayanti, Lucky. 2013. Sekilas Cerita Tenun. Jakarta, Museum Tekstil Jakarta.
______, 2017. Buku Ajar Teknik Batik. Jakarta, FSR IKJ Press.
KATALOG
Cole, Drusilla. 2012. Patterns New Surface Design. London, Laurence King
Publishing.
Zumar, Dhorifi. 2009. Tenun Tradisional Indonesia. Jakarta, Dekranas.
Buku Panduan Museum Negeri Provinsi Nusa Tenggara Barat. 2007. Katalog.
NTB, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata RI.
Jogja International Heritage Festival. 2017. Wayang Lakon Tanpa Batas. Katalog.
Yogyakarta, Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta,.
xxii
SITUS
Jirousek, Charlotte , The Art of Investigasi Ilmiah, Beveridge, WIB (New York;
Buku Vintage) nd. Situs web ini Copyright © 1995.
Peggy Osterkamp‟s Weaving Blog.
www.judithmartin.info (diunduh 2016)
www.helenterryart.co.uk (diunduh 2016)
www.lindabankshansee.com (diunduh 2016)
www.hannahwaldron.co.uk (diunduh 2016)
www.businessdictionary.com (diunduh 2017)
www.merriam-webster.com (diunduh 2017)
www.academia.edu (diunduh 2017)
www.kbbi.web.id. (diunduh 2017).
SUMBER LISAN
No Nama, usia Profesi
1 Agus Fathurahman, 68 thn budayawan, Mataram - NTB
2 Dhyani Hendranto, 46 thn perupa jewelry, Jakarta
3 Dolorosa Sinaga, 68 thn pematung, Jakarta
4 Hanny Winotosastro pakar batik Yogyakarta
5 Hunaeni, 30 th perajin gerabah di desa Banyumulek -NTB
6 Kurnain kepala perpustakaan Museum Negeri
Mataram - NTB
7 L. Suryadi Mulawarman, 42 th koreografer di kota Mataram - NTB
8 Mawar, 35 th perajin anyam di desa Nyurbaya - NTB
9 Marni, 39 th sebagai penenun di desa Bayan
10 Nia Fliam seniman tekstil batik Yogyakarta
11 Noor Sudiyati, 56 thn perupa keramik, Yogyakarta
12 Nurhadi, 60 th dalang wayang Lombok
13 Nurhaeni, 25 th perajin tenun di desa Gunung Malang-
NTB
14 Rahmat, 40 th masyarakat Mataram - NTB
15 Pariyoni, 40 th penari di Lombok – NTB
xxiii
DAFTAR ISTILAH
Adobe photoshop,
Photoshop adalah software yang digunakan untuk memodifikasi gambar atau foto
secara profesional baik meliputi modifikasi obyek yang sederhana maupun
yang sulit sekalipun. Software ini berfungsi untuk mengolah gambar berbasis
bitmap, yang mempunyai tool dan efek yang lengkap sehingga dapat
menghasilkan gambar atau foto yang berkualitas tinggi.
Ambience
Suasana yang secara sadar dibangun dan dibentuk agar tujuan/ sasaran utama
tercapai, agar masyarakat umum merasakan secara visual dan perabaan dari tujuan
tersebut.
Andang-andang (Sasak)
Sesajen sebagai bagian dari perlengkapan upacara adat, tujuannya agar selamat
dan acara berakhir dengan baik.
ATBM
Alat tenun bukan mesin, alat tenun yang digunakan dengan tenaga manusia.
Art photography
Aplikasi dari hasil fotografi yang diolah dengan media lain, sehingga memiliki
maksud tertentu.
Berugak (Sasak)
Bangunan seperti saung, berupa panggung tanpa dinding, beratap alang-alang dan
ditopang empat tiang bambu membentuk segi empat. Lantai terbuat dari papan
kayu dan bilah bambu yang dianyam dengan tali pintal, tinggi 40 cm – 50 cm dari
tanah.
Brushstrokes
Sapuan kuas sebagai tanda yang dibuat diatas permukaan bidang.
Bahasa Sasak
Bahasa yang dipakai oleh masyarakat Pulau Lombok, provinsi Nusa Tenggara
Barat. Bahasa ini mempunyai gradasi sebagaimana bahasa Bali dan bahasa Jawa.
Bahasa Sasak serumpun dengan bahasa Sumbawa.
Bangse Sasak
Diri pribadi sebagai makhluk Allah SWT, diri keluarga sampai trah dan diri dalam
konteks yang lebih luas secara kultural yaitu etnisitas Sasak.
Borassus flalelifer (Latin)
Jenis nama pohon Lontar
xxiv
Bumi nina / Gumi nina (Sasak)
Bumi perempuan, bumi pertiwi, tanah milik perempuan.
Cabut benang
Istilah dalam tekstil untuk mengeluarkan sehelai benang dari rangkaian
permukaan kain.
Canting
Alat yang terdiri dari bagian mangkuk kecil bercucuk dengan lubang kecil,
bergagang kayu atau bambu, digunakan untuk mengambil lilin/malam yang akan
ditorehkan di atas permukaan kain dalam proses membatik.
Cukli (Sasak)
Kerajinan kayu yang ditempel (inlay) dengan potongan kecil kulit kerang pada
bagian permukaan kayu.
Decoding
Memecahkan kode, penafsirkan kode, proses dimana penerima menafsirkan pesan
dan menterjemahkan menjadi informasi yang berarti.
Digital Print
Proses cetak yang menggunakan mesin digital atau mesin berteknologi digital ke
atas permukaan media cetak yang akan digunakan.
Digital Textile Printing
Proses cetak yang menggunakan mesin digital atau mesin berteknologi digital ke
atas permukaan tekstil atau kain yang akan digunakan.
Dodot (Sasak)
Kain tenun untuk laki-laki
Draperry
Hiasan gelombang yang dibentuk atau dilipat-lipat dari kain sehingga karakter
kain yang lembut, lemas menjadi tampak.
Dulang (Sasak)
Wadah atau tempat berbentuk lingkaran terbuat dari kayu, diameter 50 cm, biasa
digunakan untuk tempat makanan.
Edit (editing)
Menyunting, memerikasa bagian yang tidak perlu akan dihilangkan.
Encoding
Pengkodean, pengiriman kode informasi yang disampaikan ke dalam simbol atau
isyarat.
xxv
Gaet (Sasak)
Istilah dalam teknik tenun, yaitu menarik kembali helaian benang pakan sehingga
membentuk motif yang tersusun dari benang-benang.
Gedhog (Sasak)
Alat tenun bukan mesin yang dipakai dengan cara meletakkan bagian alat tenun di
bagian belakang pinggang.
Gender
suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang
dikonstruksi secara sosial maupun kultural.
Gossypium (Latin)
Jenis tanaman kapas
Inen bale (Sasak)
Sistem hukum waris Sasak yang menyatakan bahwa bagian inti rumah adalah
milik perempuan karena sebagai tempat berproses dalam keluarga, pada saatnya
semua rumah dan isinya akan diwariskan kepada pihak perempuan.
Inen gawe (Sasak)
Pekerjaan kaum perempuan dalam bagian upacara adat.
Inen menik (Sasak)
Perempuan yang mengurusi makanan alam upacara adat.
Jacquard
Teknik menenun pada permukaan kain agar terbentuk motif.
Jejawen (Sasak)
Jenis tulisan atau huruf suku Sasak, berasal dari sansekerta Jawa dan Bali.
Kemali (Sasak)
Kain tenun yang dibuat untuk dirinya sendiri.
Ketak (Sasak)
Jenis tanaman (ltn: Lygodium Circinatun), tanaman ini tumbuh di hutan. Kulit
tanaman ini dikeringkan kemudian diserut menjadi helaian yang mudah dianyam.
Kerempen (Sasak)
Upacara sunat untuk anak laki-laki
Kepeng bolong (Sasak)
Uang logam terdiri dari 7 unsur material logam, berbentuk lingkaran yang bagian
tengahnya berlubang berbentuk segi empat, diameter 2 cm, digunakan untuk
perlengkapan upacara adat.
xxvi
Kombong (Sasak)
Nama kain tenun yang dipakai untuk upacara potong rambut bayi, bermotif garis-
garis, kain ini merupakan bagian perlengkapan utama upacara adat.
Kuris (Sasak)
Acara adat potong rambut bayi.
Lilin/ malam
Lilin untuk membuat proses batik, terbuat dari beberapa bahan alami.
Lungsi/lusi
Benang yang dipasang memanjang pada sisir/ suri ( bagian alat tenun).
Lygodium Circinatun Latin)
Jenis tanaman yang disebut „ketak‟, sebagai bahan anyaman.
Nyongkolan
Acara lamaran pihak laki-laki kepada pihak perempuan, dengan berjalan
beriringan.
Manipulation textile
Teknik eksplorasi pada permukaan kain, sehingga menimbulkan tekstur
Metode visual/kreatif
Berpikir dan menganalisis data visual dengan membuat ide-ide yang akan terlihat
melalui berbagai teknik untuk mengeksplorasi isu-isu proyek yang diteliti,
sehingga menemukan suatu temuan baru dalam penelitian.
Ontang-anting (Sasak)
Pendamping perempuan suci.
Pakan
Benang yang digulung pada bilah bambu, berfungsi sebagai pengikat benang
lungsi, akan menjadi bagian lebar kain.
Pintal
Menggulung bagian kapas dengan jari tangan sehingga menjadi helaian benang.
Pucuk rebung
Gambar berbentuk segitiga, stilasi dari pucuk tanaman bambu (rebung).
Rangrang
Teknik menenun yang membentuk lubang-lubang karena ada jarak pada kerapatan
tenunan.
xxvii
Remukan
Teknik membatik dengan melumuri permukaan kain dengan lilin, kemudian
menghancurkannya dengan cara meremas dengan tangan. Sehingga pada saat
pencelupan warna, zat warna akan masuk ke permukaan kain, setelah selesai akan
menimbulkan efek artistik pada kain.
Sabuk anteng (Sasak)
Kain tenun yang dipakai untuk mengikat bagian pinggang perempuan.
Supplementary weave
Teknik tenun dengan menambah benang pada bagian pakan, sehingga membentuk
motif.
Suri/ sisir
Bagian alat tenun, tempat susunan benang benang, berbentuk lubang kecil, terbuat
dari besi dan kayu.
Tekstil monumental
Eksplorasi pada permukaan kain, surface design atau structure design sehingga
tercipta gambar atau motif pada kain.
Tumpal
Bagian hiasan tepi kain atau kepala kain berbentuk deretan segitiga.
Umbaq (Sasak)
Kain tenun yang digunakan untuk menggendong dan membungkus (memeluk)
bayi yang baru lahir. Kain ini sebagai penghubung antara kehidupan, alam dan
manusia, agar energinya tetap menyatu.
Usap (Sasak)
Kain tenun yang digunakan untuk menutupi wajah mayat pada saat upacara
kematian.
xxviii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Diri
Nama Lucky Wijayanti
TempatTgl Lahir Palangka Raya, 15 Agustus 1968
Pangkat dan
jabatan serta
Profesi
Alamat Kantor
Alamat Rumah
Telepon
1994 - sekarang : Staf pengajar FSR IKJ
2004 – 2007 : Sekretaris Jurusan Kria FSR-IKJ
2008 – 2012 : Wakil Dekan III (Bag Kemahasiswaan
dan Pengabdian Masyarakat) FSR-IKJ
2013 – 2016 : Wakil Rektor I IKJ (Bidang Akademik)
2016 : Pejabat sementara Rektor IKJ
2011 : Penata Tingkat I (IV/C), Lektor Kepala
2011 : Sertifikat Pendidik No Reg: 11103200216802.
Dosen Profesional pada bidang ilmu Penciptaan
Seni. NIDN : 0315086802.
Fakultas Seni Rupa-Institut Kesenian Jakarta
Jl. Cikini Raya no 73, Komp TIM Jakarta, telp. 021- 3901965.
www.senirupaikj.ac.id
Villa Jombang Baru Blok A 2, no.4. Jln Jombang Raya, Ciputat.
Tangerang-Selatan.
021-7411488 / 08129389893 [email protected]
Status Keluarga
Suami
Anak
Ir.H. Ahmad Mirza Julistia (Alm)
Ahmad Raihan. S.Hum, M.M
Ahmad Farizi
Riwayat Pendidikan :
No Pendidikan
1. 1988 : Diploma Satu Sekolah Mode Indonesia, Jakarta.
2. 1994 : Diploma Tiga Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta
3. 1997 : Sarjana Seni Institut Kesenian Jakarta
4. 2010 : Magister Penciptaan seni Rupa Institut Kesenian Jakarta
5. 2019 : Doktor Penciptaan Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Pameran
No Kegiatan Peran Waktu
1 Art & Creativity Exhibition, Kuwait Peserta 13 – 19 Mrt 2012
2 Japan Fashion Week-International Fashion Fair, Tokyo-
Japan.
Peserta 16 – 21 Juli 2012
3 Pameran persahabatan Indonesia –Korea Selatan di
Korea Selatan.
Peserta 2013
4 Pameran tekstil untuk seni pertunjukan dan pembuatan
batik untuk kostum seni pertunjukan “Shima,
Kembalinya Sang Legenda”. Gedung Kesenian Jakarta.
Desain
tekstil, batik
dan busana
1-2 Maret 2014
5 Pameran Persahabatan Indonesia –Korea Selatan di
Korea Selatan
Peserta 2014
6 Pameran Festival Kesenian Indonesia, Yogyakarta Peserta Oktober 2014
7 Fiber to Paper Exhibition, Museum Tekstil Jakarta. Peserta 5 – 18 Des 2014
8 Pameran, 21 Spirit of Woman 2015 International
Women Art Exhibition, Universitas Paramadina, Jkt. .
Peserta 26 – 30 Apr 2015
9 Pameran New York Now, New York-USA. Peserta 15 – 22 Agt 2015
xxix
10 Pameran “Merayakan Kreativitas” Staf pengajar IKJ Peserta 4 – 19 Sept 2015
11 Pameran Seni Visual, Esotika Rempah, Aroma dan
Cinta.
Peserta Mei 2017
12 Pameran Kriya Kini, Galeri Cipta 2, TIM, Peserta Juni 2017
13 Pameran Bersama “Petjah Belah”, Galeri Cipta 2TIM Peserta 21- 26 Feb 2019
14 Pameran “Tapak Senirupa Nusantara”, Galeri Cipta III,
TIM
Peserta 2-15 Maret 2019
Seminar
No Kegiatan Peran Waktu
1 Trend Forecasting Seminar 2013: Virtualuxe. Peserta 26 Februari 2012
2 Batik Ragam Hias Toraja, Museum Tekstil Jakarta Pemakalah 22 Pebruari 2012
3 The 1st International Conference for Asia Pacific
Arts Studies (ICAPAS), Graduate School of
Indonesia Institute of Arts Yogyakarta.
Prociding 2013
4 The 2st International Conference for Asia Pacific
Arts Studies (ICAPAS), Graduate School of
Indonesia Institute of Arts Yogyakarta.
Jurnal IJCAS
(International
Journal of
Creative and
Arts Studies),
Vol 1, Number 2
December 2014,
46 –61
2 November
2014
5 3 rd International Seminar of Nusantara Heritage
2014, Institute Teknologi Bandung.
Prociding 8 Desember 2014
6 Nara sumber dalam curah gagasan Peran Tata
Ruang dalam Pengembangan dan Pengelolaan
Kawasan Ekonomi di Indonesia, Dir Jenderal Tata
Ruang- Kementerian Agraria dan Tata Ruang
Nara sumber 12 Oktober 2015
7 Seminar Nasional dan Call Paper Paramadina
Research Day 2015, Jakarta
Prociding 25 November
2015
8 ISIDC 2016, International Service Innovation
Design Conference, Chiang Mai-Thailand.
Prociding 1-5 November
2016
9 Seminar Nasional “Narasi Simbolik”, ISI Denpasar,
Bali
Prociding 18 September
2017
10 The 6 International Seminar on Nusantara Haritage,
ISI Denpasar, Bali
Prociding 25 september
2017
11 Team Finalisasi Materi Lomba PKLK 2018,
Kemendikbud
Anggota 21-24 November
2017
12 Pemusatan Latihan Lomba Keterampilan Siswa
Sekolah (LKSN) 2017, Kemendikbud
Narasumber 10-21 Juli 2017
13 Review Bahan Ajar Cetak, Kemendikbud Peserta 26-28 April 2017
14 FGD Penyusunan Juklak Penentuan Jenis Ciptaan,
HKI, KemHukHam RI
Narasumber 22 Maret 2017
15 Penyusunan Standar Sertifikasi Instruktur Kursus
dan Pelatihan, Kemendikbud
Peserta 1-3 Maret 2017
16 Pemetaan Potensi dan Pengembangan Ekonomi
Kreatif Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu
Narasumber 22-23 Maret
2018
17 Pemetaan Potensi dan Pengembangan Ekonomi
Kreatif (Bekraf) Dompu, Nusa Tenggara Barat
Narasumber 17-19 Maret
2018
18 Pemetaan Potensi dan Pengembangan Ekonomi
Kreatif (Bekraf) Lhoksemawe, Aceh
Narasumber 27-29 Maret
2018
xxx
Workshop
No Kegiatan Peran Waktu
1 Pelatihan Pembuatan Silabus dan SAP Mata Kuliah
FSR IKJ, Jakarta
Peserta 12 Januari 2012
2 Focus Group Discussion Trend Forecasting, , 2012,
ICC, APPMI Jakarta
Peserta 26 Februari 2012
3 Workshop Penyusunan Materi Festival dan Lomba
Seni Siswa Nasional, Bandung, Jawa-Barat,
Kemendikbud.
Peserta 27 – 29 Februari
2012
4 JETRO (Japan External Trade Organization) Batik
Designers Project 2012-2013, di Jakarta, Pekalongan,
Yogya
Peserta 18 – 22 Mei
2012
5 JETRO (Japan External Trade Organization) Batik
Designers Project 2012-2013, di Tokyo- Japan
Peserta 16 – 21 Juli 2012
Laporan Penelitian (Karya)
No Kegiatan Peran Waktu
1 Pembuatan buku „Pengembangan Motif Batik Pekalongan‟
, kerjasama IKJ, ICC dan PLN. ISBN : 978-602-95970-2-
8
Penanggung jawab
dan Perancang
2010
2 Desain dan Produksi Batik Pesisir untuk Pemerintah
Daerah Jakarta Utara. ISBN : 978-602-9335-04-0
Penanggung jawab
dan Perancang
2011
3 Pembuatan buku: Realisasi Lombok dalam Sen Lukis.
ISBN : 978-602-9335-05-7.
Editor Visual 2012
4 Pembuatan buku : Sekilas tentang Tenun
ISBN : 9786021718292
Penulis 2013
5 Menjadi Perancang dan Perajin Batik
ISBN : 978-602-9212-58-7. Penerbit : Tiga Serangkai
Penulis 2013
6 Film dokumentasi penelitian riset Lombok Produksi 2016
7 Pembuatan buku ajar : Teknik Batik
ISBN : 9786029597073. Penerbit : FSR IKJ Press
Penulis 2017
Pengabdian Masyarakat
No Kegiatan Peran Waktu
1 Festival & Lomba Seni Siswa Nasional Sekolah Dasar
(FLS2N-SD), Mataram.
Ketua Juri 17 – 23 juni 2012
2 Apresiasi Kompetensi Peserta Didik Kursus dan
Pelatihan Bidang Desain dan Membuat Batik, Bandung
Ketua Juri 10-14 Juni 2014
3 Gebyar PK-LK 2015, Kementerian Pendidikan dana
Kebudayaan Direktorat Pendidikan Khusus dan
Layanan Khusus
Ketua Juri 2-6 Nopember
2015
Penghargaan :
No Kegiatan Waktu
1 “Tempo Award” untuk Desain Tekstil, kerja sama IKJ &Tempo. 1991
2 “Tempo Award” untuk Desain Tekstil, kerja sama IKJ &Tempo. 1993
3 Juara Harapan II Seni Mushaf Nasional I Festival Istiqlal II‟ 95. 1995
4 Finalis Lomba Busana Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia Pada
Grand Prix Osaka, Jepang
1997
5 Finalis Lomba Desain Batik 1997, Interior, Yayasan Batik Indonesia. 1997
6 Finalis Lomba Desain Aksesories,Concours International Monnaie de Paris
des Jeunes Createurs de Bijoux 1997.
1997
7 Menerima Beasiswa Unggulan untuk Seniman dari Dep Dik Nas, Jkt. 2007
8 Menerima Beasiswa Unggulan Mandiri untuk Program Pascasarjana dari Kem 2013
xxxi
Dik Nas RI
9 Menerima penghargaan „Commemoration of the Asian Living Human
Treasures‟, Manila-Philippines.
2014
10 Menerima penghargaan dana hibah penelitian Disertasi Doktor dari
Kemenristek RI.
2016
Hak Kekayaan Intelektual :
No No HKI Keterangan
1 IDD0000046479 KAIN, Konfigurasi Komposisi Garis dan Komposisi Warna, 15 Juli
2016, diterima tahun 2018.
2 IDD0000046668 KAIN, Komposisi dan Konfigurasi Warna, 15 Juli 2016, diterima
tahun 2018.
3 IDD000047979 Motif Tenun, 15 Juli 2016, diterima tahun 2018.
4 IDD000047980 Motif Tenun, 15 Juli 2016, diterima tahun 2018.
Organisasi Profesi :
1. Anggota Asosiasi Dosen Indonesia (ADI)
2. Anggota Konsorsium Pendidikan Khusus Keterampilan Batik- Kemendikbud
3. Anggota Wastraprema Jakarta.
xiv
15
16
1
Pengantar
Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT, Sang
pemilik ilmu dan pemberi manfaat kepada mahkluk
yang dikehendaki-Nya yang telah memberi
kesempatan kepada saya untuk menyelesaikan
laporan Disertasi Penciptaan Seni dengan
judul Perempuan Sasak dalam Ekspresi Visual
(Perempuan sebagai Penyangga Keluarga, Penjaga
Tradisi, dan Pelaku Seni). Disertasi ini dibuat
sebagai persyaratan dalam mengikuti program
studi Penciptaan Seni, Program Pascasarjana
Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Penulisan ini
merupakan pertanggungjawaban ilmiah terhadap
penciptaan karya seni rupa yang dapat terwujud
berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai
pihak.
Persembahan hasil pencarian ilmu, tugas dan usaha
dikerjakan agar dapat memberi manfaat, maka
saya menerima masukan sebagai langkah menuju
kesempurnaan. Terimakasih.
Yogyakarta, April 2019.
Lucky Wijayanti Ryanthi Soediarto.
2
Inspirasi
Karya seni sebagai bagian warisan budaya,
merupakan hasil pikiran yang dirasakan dan
perasaan yang dipikirkan sebagai ungkapan
intelektual seniman yang dapat mengeksplorasi
dan memproduksi karya seni baru. Perempuan
Sasak dan pekerjaannya menjadi inspirasi dalam
proses kreatif yang akan divisualkan menjadi karya
seni melalui medium tekstil.
Metode penciptaan artistic research digunakan
dalam proses berkarya berdasarkan hasil
penyelidikan di lapangan melalui tahapan: (i)
Proses pengumpulan data, menggunakan istilah
tahap di bawah air, underwater, (ii) Proses
penyeleksian data, menggunakan istilah kritis, dan
(iii) Proses kreatif, menggunakan istilah menari
dengan jiwa, dance of the soul. Proses penciptaan
ini menghasilkan teks, wacana, dan karya seni.
3
Cerita Karya
Karya bertema keluarga, peran perempuan menjadi
penyangga keluarga dengan bekerja mencari
nafkah. Perempuan yang memiliki rasa cinta kepada
suami dan anak-anak, harus mempertahankan dan
menjalani kehidupan bermasyarakat agar menjadi
keluarga yang kuat dari segala cobaan kehidupan.
Karya bertema tradisi mewakili peran perempuan
sebagai penjaga tradisi budaya. Perempuan harus
memiliki jiwa dan pandangan hidup mapan,
memiliki pikiran bersih dan suci, bersikap anggun
dan magis, berlaku sakral dan meditatif, agar batin
menjadi kuat dan kokoh dalam menjalani dan
memaknai hidup.
Karya bertema kekinian diwakili oleh peran
perempuan sebagai pelaku seni dalam menjalani
hidupnya. Perempuan harus memiliki pikiran
atraktif, bersifat dinamis, memiliki emosi meriah,
memiliki ‘rasa’ dan sensasi, berjiwa ekstrovert,
agar dapat fleksibel dan lentur dalam menjalani
dan memaknai hidup.
4
Ilustrasi Budaya Lombok
Letak pulau Lombok yang dikelilingi oleh gunung, hutan, laut, dan bukit, melahirkan budaya Sasak yang khas. Pemikiran kosmologis berkaitan dengan gunung, laut, tanah, air, api, dan angin, melahirkan nilai adat sehingga terdapat aktivitas ritual. Masyarakat tradisi mengenal nilai yang dibutuhkan dengan cara melakukan ritual sehingga melahirkan sejumlah aspek, seperti tampak pada gambar terdapat : wayang, jenis aksara jejawan pada lontar, pintu ukiran kayu, anyaman ketak pada gerabah, perahu nelayan, kerajinan cukli pada kayu, bale lumbung, dan bangunan tempat ibadah.
Ilustrasi Budaya Lombok
katun,digital textile printing, drawing, merah,
biru, kuning, cokelat, abu-abu, hijau, 120 cm x
150 cm,
5pcs,2015.
5
Torso
Coretan-coretan yang spontan memperlihatkan jejak seniman pada karyanya. Ekspresi garis merupakan sikap responsif terhadap faktor eksternal (potret perempuan pekerja di Lombok) yang dipresentasikan melalui karya dengan menghadirkan figur yang esensi, persepsi yang dipelintir, eksplorasi pengalaman visual, ruang- ruang ilusi, fantasi, tekstur memukau, tampilan mencekam, dan suasana yang membangkitkan emosi. Bentuk “torso” berupa gambar-gambar yang memiliki citra tertentu dan diproses melalui komputer dengan beberapa program, hingga mendapatkan citra, image, dan makna baru.
Torso
kertas daur ulang, digital print, putih, abu-abu,
hitam, hijau,
40 cm x 30 cm,2013.
6
The Power and Sensation of Dance
Ruang ilusi tentang perempuan yang direpre- sentasikan melalui bentuk “torso” merupakan arena kebebasan perempuan dan eksplorasi elemen rupa seperti: garis dan warna sehingga membentuk volume dan dimensi yang secara esensial terfokus pada makna kesejatian per- empuan itu sendiri tanpa menghadirkan rupa, wajah, materi, dan tubuh masif perempuan. Teknik batik menggunakan kuas sebagai media perantara lilin (malam batik) di atas kain katun dan sutera, bercerita tentang sifat perempuan
melalui warna merah, biru, dan hijau.
The Power and Sensation
of Dance
sutera, batik, celup,
painting,
merah, biru, hijau, putih,
abu-abu,70 cm x 150
cm,2013.
7
Pekerja Perempuan
Potret perempuan dengan pekerjaannya: di desa Taman Ayu Gunung Malang sebagai penenun dan membuat kain untuk sarana ritual; perem- puan di desa Banyumulek sebagai pembuat ger- abah untuk bertahan hidup; dan perempuan di desa Nyurbaye sebagai penganyam ketak yang memperlihatkan proses kreatif dan membuat produk seni yang dipakai pada acara festival bu- daya, memperlihatkan keterampilan dan keteli- tian perempuan dalam bekerja dan berkarya.
Pekerja Perempuan
katun,digital textil printing, tekstil monumental, painting, celup warna, merah, biru, kuning, jingga, cokelat, abu-abu, hitam, 80 cm x 150 cm,
2015.
8
Naskah Jejawan
Berawal dari naskah Megantake yang ditulis dengan huruf Jejawan (aksara suku Sasak, transformasi dari aksara hanacaraka Jawa) sekitar abad -15. Cerita ini berkisah tentang anak kembar laki-laki dan perempuan, yang perempuan bernama Ambarsari. Karena kembar maka harus dipisahkan, anak yang perempuan dibuang, agar tetap hidup maka anak ini terus berjuang untuk menyelamatkan diri hingga dia dewasa kemudian menikah dan menemukan kembali saudara kembar laki- lakinya. Perjuangan, tampaknya sudah melekat sejak dulu dengan kaum perempuan, hingga saat ini kaum perempuan tetap berjuang untuk menyelamatkan hidupnya. Peran perempuan sangat penting sebagai bumi nine atau bumi perempuan, yang berarti penguasa atau ibu pertiwi. Cerita dari naskah Megantake ini, dituliskan kembali dengan teknik batik tulis dengan lilin/malam di atas kain katun.
Naskah Jejawan
katun,batik tulis, celup, merah tua, krem, cokelat,120 cm x 150 cm,2015.
9
Patung Torso
Ekspresi tentang perempuan yang direpresentasikan melalui patung “torso” dalam 3 (tiga) dimensi, merupakan arena kebebasan perempuan dan eksplorasi elemen rupa seperti: garis, ruang dan volume sehingga membentuk patung yang esensial terfokus pada perempuan itu sendiri tanpa menghadirkan rupa, wajah, materi, dan tubuh masif perempuan. Teknik las dan sambungan pada material besi sebagai struktur patung yang terbungkus kain tenun, sehingga menimbulkan efek bergerak dan dinamis.
Patung Torso
mix media tenun Lombok, ketak, koin, kerangdraperry, jahit, kolase, merah tua, merah, kuning, kuning muda, krem, putih, 50 cm x 50 m x 80 cm,2015.
10
Dokumetasi Film
Proses pengamatan dan penghayatan yang direkam merupakan peristiwa yang dianggap penting, menyentuh, dan menggugah. Moment atau waktu itu adalah saat yang harus diabadikan, dibuat menjadi diam, dibekukan dan menyimpannya dalam sebuah alat kamera. Moment tersebut dianggap penting dan layak untuk dibicarakan atau didiskusikan kelak. Pendokumentasian ini bercerita tentang perempuan Sasak dengan pekerjaannya, proses kreatif seniman, dan penyajian karya baru.
Dokumentasi Film
Wawancara, keseharian realita perempuan di Lombok dengan
narasumber, perempuan pekerja, proses kreatif seniman
dan presentasi karya seni. Durasi 1 jam dan 5 menit,2015.
Youtube: penelitian lombok
Lucky Wijayanti
11
Tenun Rangrang
benang,kapas rayon,suplemen- tary weave, pakan tambahan untuk membentuk motif, Putih, abu-abu, hitam, jingga, merah, biru muda, biru,
60 cm x 200 cm,2015.
Tenun Rangrang
Eksplorasi desain dan teknik tenun akan melahirkan varian baru dalam pembuatan produk. Karya tenun dengan alat tradisional ini dikerjakan dengan teknik tenun system supplementary weave, memungkinkan untuk membuat motif berbentuk geometrik yang tersusun rapat, dan menghasilkan efek positif- negatif, sehingga memberi kesan ilusi pada mata, yaitu komposisi warna pada bidang dua dimensi terlihat seperti tiga dimensi.
12
Batik
Bentuk anyaman ketak, yang menimbulkan efek gelap-terang memberikan ide pada pembuatan varian cap batik berbahan akrilik. Menggunakan teknologi laser dalam pembuatan cap akrilik sehingga mudah dan cepat. Cap akrilik digunakan dalam proses pengecapan (proses pemindahan lilin batik di atas kain), sehingga lilin tidak terserap oleh akrilik, dan lilin yang berada di atas kain tidak semua meresap, dengan demikian ketika proses pewarnaan kain, saat pencelupan akan menghasilkan tampilan warna yang berbeda, memunculkan gradasi dan abstraksi warna pada permukaan kain.
Batik
katun, pencelupan pewarna kimia,batik cap
akrilik, putih, abu-abu, hitam, 150 cm x 300 cm,2015.
13
Rekayasa teknik tenun
Rekayasa pola tenun menggunakan teknik tapestri dengan menyisipkan found object dan menyilangkan benang pakan di antara benang lungsi sehingga menghasilkan bentuk tiga dimensi dan varian tenun.
Rekayasa Teknik Tenun
benang kapas, polyester, found objecttapestry, kolase, jahit, merah, cokelat, putih, jingga, 40 cm x 40 cm,2015.
14
Alat Tenun Manual
kayu sungkai, alumunium, perangkat tenunsistem bong-
kar- pasang, 120 x 60 x 100 cm
2016.
Alat tenun manual
Pembuatan alat tenun bukan mesin dengan de- sain yang sesuai ergonomi bentuk tubuh per- empuan agar memudahkan dan nyaman dalam proses menenun. Penggunaan material kayu, alumunium, dan perangkat tenun disesuaikan dengan ukuranya sehingga alat tenun menjadi ringan dan mudah untuk dipindahkan. Alat tenun manual ini dapat digunakan untuk melakukan eksplorasi material benang katun dan polyester serta membuat varian teknik tenun dengan panjang 50 (lima puluh) meter, sehingga dapat menghasilkan karya tenun yang beragam.
15
Perempuan Penyangga Keluarga
Karya tenun sepanjang 15 (lima belas) meter merupakan eksplorasi “rasa” dan esensi sebagai perempuan yang berproses dalam membangun keluarga. Karya tervisualkan melalui variasi teknik tenun sebagai metafora sifat perempuan dengan material benang kapas dan bunga kapas. Sebagai hasil pertumbuhan dari tanaman kapas yang dipelihara dengan baik, dapat dianalogikan dengan anak-anak dalam keluarga yang tumbuh dan berkembang baik, bila hidup pada lingkungan keluarga yang baik.
Perempuan Penyangga Keluarga
kapas, benang kapas, kulit kerang,tenun manual, dan sisipanputih, krem, coke- lat,50 cm x 1500 cm,2017.
16
Perempuan Penjaga Tradisi
Karya seni sebagai perwujudan perempuan dalam menjaga tradisi, memperlihatkan motif yang terbentuk dari benang lungsi yang diberi warna dengan teknik sapuan kuas. Motif tervisualkan menjadi dinamis, magis, dan terpusat. Hal ini merupakan metafora dari sifat perempuan, menjadi transparan, melayang, dan meditatif, dengan suasana magis dan dramatik.
Perempuan Penjaga Tradisi
kapas, benang kapas, kulit kerang, kepeng bolong,tenun
manual, sisipan, dan kolase,abu-abu, merah tua,
cokelat, hitam, emas,40 cm x 700 cm,2017.
17
Karya seni sebagai perwujudan perempuan yang menjalankan seni budaya, tervisualkan melalui keragaman teknik tenun dengan perpaduan material yang memperlihatkan hasil budaya lama dan baru sehingga menjadi dinamis dan atraktif. Visualisasi merupakan metafora dari sifat perempuan, menjadi bermain-main, berdimensi, festive, dinamis, atraktif dan memunculkan bentuk-bentuk baru.
Perempuan Pelaku Seni
Perempuan Pelaku Seni benang kapas, polyester, kulit kerang, koin, kawat, renda katun, kancing, keramik, rempah,tenun manual, sisipan, kolase,putih, abu-abu, kuning, merah, merah tua, biru, cokelat, hijau, 50 cm x 700 cm, 40 cm x 700 cm. 2017.
18
Ucapan terima kasih
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA selaku Promotor, dan Dr. Suastiwi, M.Des, selaku Kopromotor. Demikian pula kepada para pembimbing : Prof. Dr. M. Agus Burhan, M.Hum., Prof. M. Dwi Marianto, MFA. Ph.D., Prof. Drs. Gustami M.Hum., Prof. Drs. Soeprapto Soedjono MFA. Ph.D., Prof. Sugiyono, Dr. St. Sunardi, Dr.H. Suwarno Wisetrotomo, Kurniawan Adi Saputro Ph.D., Wiwik Sushartami, Dr. GR. Lono Lastoro Simatupang, MA., Ph.D., Dr. Prayanto Widyo Harsanto, M.Sn., Dr. Fortuna Tyasrinestu. Pimpinan, para dosen Fakultas Seni Rupa-Institut Kesenian Jakarta, dan sahabat baik yang telah mendukung studi lanjut penulis: Ki Slamet Rahardjo Djarot, Prof. Sapardi Djoko Damono, Dr. Wagiono Sunarto, Dr. Seno Gumira Adjidharma, Dr. Indah Tjahjawulan, Dr. Iwan Gunawan, Prof. Bambang Sugiharto. Kerabat keluarga yang sangat mencintai, mendukung, dan selalu dalam do’a, (alm) Zulaicha Marzuki, (alm) T. Soediarto, (alm) Ahmad Mirza Julistia, ananda Ahmad Raihan, dan Ahmad Farizi. Para sahabat di Institut Kesenian Jakarta serta sahabat dan staf adminstrasi selama menuntut ilmu di Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
19
Lucky Wijayanti Ryanthi Soediarto
Lahir di Palangkaraya, tanggal 15 Agustus 1968. Menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana di Institut Kesenian Jakarta Fakultas Senirupa Jurusan Kriya Tekstil. Karirnya sebagai dosen dimulai pada tahun 1994, mengajar di jurusannya hingga saat ini. Tahun 2007, mendapatkan beasiswa penelitian untuk seniman profesional dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tahun 2011, menyelesaikan pendidikan jenjang Magister di Institut Kesenian Jakarta program studi Kajian dan Penciptaan Seni. Tahun 2012, mendapatkan beasiswa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk program doktoral di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Tahun 2016, menerima dana hibah Penelitian Disertasi Doktor dari Kemenristek RI.
Sebagai dosen dengan jenjang Penata Tingkat I (IV/B), Lektor Kepala. Jabatan struktural yang pernah dijalani: sebagai Sekretaris jurusan kriya (2005), Wakil Dekan Senirupa bidang kemahasiswaan dan kerjasama (2012), Wakil Rektor bidang Akademik (2016), Pejabat sementara Rektor di Institut Kesenian Jakarta (2016).
Tahun 2014, menerima penghargaan ‘Commemoration of the Asian Living Human Treasures’, Manila-Philippines. Tahun 2018, memiliki 4 sertifikat Hak Cipta atas karya tenunnya. Saat ini aktif membantu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk anak-anak kebutuhan khusus, dan pendidikan non formal. Membina para perajin untuk pengembangan dan desain produk seni. Profesi seniman dan akademisi diisi dengan kegiatan pameran dan seminar kesenian.