EKSISTENSI SUFISME SASAK DALAM NOVEL SANGGARGURI …

16
33 Eksistensi Sufisme Sasak dalam Novel Sanggarguri dan Perannya dalam Kehidupan Masyarakat ... Abstrak Sufisme Sasak merupakan salah satu konsep yang mengatur nilai dan norma berkehidupan, khususnya dalam tatanan masyarakat suku Sasak di Pulau Lombok. Eksistensinya pun semakin universal ketika tertuang dalam wujud karya sastra berupa novel yang berjudul Sanggarguri. Melalui novel tersebut, penanaman dan pengembangan karakter sufisme suku Sasak terus dilakukan sehingga peran sufisme Sasak tersebut dapat dirasakan manfaatnya dalam kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan wujud sufisme Sasak dalam novel tersebut beserta berbagai perannya dalam kehidupan masyarakat di Pulau Lombok agar diketahui dan diwujudkan dalam kehidupan nyata oleh seluruh masyarakat. Dalam hal ini, teori semiotik Roland Barthes menjadi alat bedah penelitian yang dilakukan dengan metode observasi berupa wawancara terhadap penulis novel Sanggarguri dan studi kepustakaan. Adapun penelitian yang dilakukan ini menghasilkan data berupa 10 jenis kembang atau bunga yang menjadi simbolisasi konsep sufisme Sasak dalam novel Sanggarguri. Kembang-kembang tersebut selain bermakna konseptual atau denotatif, juga mengandung hikmah sufisme yang dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat. Selain itu, peranan sufisme Sasak dalam kehidupan masyarakat di Pulau Lombok terdiri atas perannya dalam bidang pendidikan, dakwah, sosial, dan budaya. Dengan demikian, konsep sufisme Sasak merupakan konsep yang tidak hanya dapat menjadi pedoman atau acuan masyarakat Sasak, tetapi juga bernilai universal yang artinya dapat dipedomani pula oleh masyarakat di luar suku Sasak atau luar Pulau Lombok. Kata kunci: sufisme Sasak, Sanggarguri, Pulau Lombok Abstract Sasak Sufism is one concept that set the values and norms, in particular the ones in public order Sasak in Lombok island. Its existence more universal when it is stated in the form of literary works in the form of the novel Sanggarguri. The novel through planting and character development Sufism Sasak continue so that the role of Sufism the Sasak can be felt its benefits in people’s lives. Therefore, this study aims to describe a form of Sufism Sasak of the novel, along with a variety of its role in the life of society on the island of Lombok in order to be known and manifested in real life by the entire community. In this case, the theory of Roland Barthes semiotik became surgical tools research done by the method of observation in the form of the interview against the author of the novel Sanggarguri and the study of librarianship. As for the research conducted this generates data in the form of 10 kinds of flower or flowers be symbolizing the concept of Sufism Sasak in the novel Sanggarguri. Flower-the flower in addition to conceptual or in denotative meaning, also contains the wisdom of Sufism that can be used as a guideline for the community. In addition, the role of Sufism Sasak in Lombok island in the people’s life consists of his role in the fields of education, social, and cultural events. Thus, the concept of Sufism is the concept that the Sasak can not only be a guideline or reference Sasak community, but worth the universal which means that it can be dipedomani by the community outside the Sasak Lombok island or outside. Keywords: Sufism, Sanggarguri, Sasak Lombok island EKSISTENSI SUFISME SASAK DALAM NOVEL SANGGARGURI DAN PERANNYA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT DI PULAU LOMBOK Siti Maryam Universitas Mataram Pos-el: [email protected]

Transcript of EKSISTENSI SUFISME SASAK DALAM NOVEL SANGGARGURI …

Page 1: EKSISTENSI SUFISME SASAK DALAM NOVEL SANGGARGURI …

33Eksistensi Sufisme Sasak dalam Novel Sanggarguri dan Perannya dalam Kehidupan Masyarakat ...

AbstrakSufisme Sasak merupakan salah satu konsep yang mengatur nilai dan norma berkehidupan,khususnya dalam tatanan masyarakat suku Sasak di Pulau Lombok. Eksistensinya pun semakinuniversal ketika tertuang dalam wujud karya sastra berupa novel yang berjudul Sanggarguri. Melaluinovel tersebut, penanaman dan pengembangan karakter sufisme suku Sasak terus dilakukansehingga peran sufisme Sasak tersebut dapat dirasakan manfaatnya dalam kehidupan masyarakat.Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan wujud sufisme Sasak dalam novel tersebutbeserta berbagai perannya dalam kehidupan masyarakat di Pulau Lombok agar diketahui dandiwujudkan dalam kehidupan nyata oleh seluruh masyarakat. Dalam hal ini, teori semiotik RolandBarthes menjadi alat bedah penelitian yang dilakukan dengan metode observasi berupa wawancaraterhadap penulis novel Sanggarguri dan studi kepustakaan. Adapun penelitian yang dilakukan inimenghasilkan data berupa 10 jenis kembang atau bunga yang menjadi simbolisasi konsep sufismeSasak dalam novel Sanggarguri. Kembang-kembang tersebut selain bermakna konseptual ataudenotatif, juga mengandung hikmah sufisme yang dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat.Selain itu, peranan sufisme Sasak dalam kehidupan masyarakat di Pulau Lombok terdiri atasperannya dalam bidang pendidikan, dakwah, sosial, dan budaya. Dengan demikian, konsep sufismeSasak merupakan konsep yang tidak hanya dapat menjadi pedoman atau acuan masyarakat Sasak,tetapi juga bernilai universal yang artinya dapat dipedomani pula oleh masyarakat di luar sukuSasak atau luar Pulau Lombok.

Kata kunci: sufisme Sasak, Sanggarguri, Pulau Lombok

AbstractSasak Sufism is one concept that set the values and norms, in particular the ones in public order Sasak inLombok island. Its existence more universal when it is stated in the form of literary works in the form of thenovel Sanggarguri. The novel through planting and character development Sufism Sasak continue so that therole of Sufism the Sasak can be felt its benefits in people’s lives. Therefore, this study aims to describe a form ofSufism Sasak of the novel, along with a variety of its role in the life of society on the island of Lombok in orderto be known and manifested in real life by the entire community. In this case, the theory of Roland Barthessemiotik became surgical tools research done by the method of observation in the form of the interview againstthe author of the novel Sanggarguri and the study of librarianship. As for the research conducted this generatesdata in the form of 10 kinds of flower or flowers be symbolizing the concept of Sufism Sasak in the novelSanggarguri. Flower-the flower in addition to conceptual or in denotative meaning, also contains the wisdomof Sufism that can be used as a guideline for the community. In addition, the role of Sufism Sasak in Lombokisland in the people’s life consists of his role in the fields of education, social, and cultural events. Thus, theconcept of Sufism is the concept that the Sasak can not only be a guideline or reference Sasak community, butworth the universal which means that it can be dipedomani by the community outside the Sasak Lombok islandor outside.

Keywords: Sufism, Sanggarguri, Sasak Lombok island

EKSISTENSI SUFISME SASAK DALAM NOVEL SANGGARGURIDAN PERANNYA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

DI PULAU LOMBOK

Siti MaryamUniversitas Mataram

Pos-el: [email protected]

Page 2: EKSISTENSI SUFISME SASAK DALAM NOVEL SANGGARGURI …

34 , Volume 4, Nomor 1, Juni 2018

PENDAHULUANKekayaan tradisi dan budaya di Indonesia

tidak bisa dimungkiri lagi dan sudah mendapatpengakuan dunia. Kekayaan tersebut tetap ter-pelihara hingga saat ini, dan menjadi suatu ke-banggaan bagi bangsa Indonesia. Keterawat-an tradisi dan budaya tersebut tidak lepas darikukuhnya semangat menjaga dan melestarikanapa yang dimiliki oleh masyarakat di masing-masing daerah sebagai pemilik tradisi danbudaya tersebut. Selain itu, peran serta peme-rintah melalui pihak yang terkait semakin me-nguatkan posisi tradisi dan budaya daerah se-bagai sesuatu yang harus terus dijaga, dikukuh-kan, dan dirawat agar tetap lestari bagi gene-rasi selanjutnya.

Satu hal yang juga menjadi penting untukdiperhatikan dalam rangka mengukuhkankeberadaan tradisi dan budaya masyarakatyaitu terdapatnya nilai-nilai dan norma-normayang agung dan luhur pada setiap wujud ke-arifan lokal masyarakat. Nilai dan norma yangterdapat dalam kearifan lokal melalui aspektradisi dan budaya telah menjadi pedoman dantolok ukur pengembangan karakter masyarakatyang ada di tiap-tiap daerah. Begitu pula de-ngan masyarakat suku Sasak yang hidup danmendiami Pulau Lombok.

Masyarakat suku Sasak sebagai salah satubagian dari kemajemukan sosial di Indonesiatelah mengejewantahkan diri melalui kearifanlokal yang dimilikinya. Konsep tradisi dan bu-daya Sasak masih hidup berdampingan secarabaik bersama aspek lainnya, salah satunyaagama. Hal ini tentu menjadi keunikan tersen-diri dalam kaitannya dengan kehidupan sosialmasyarakat Indonesia yang terdiri atas bera-gam budaya, agama, suku, dan golongan. Arti-nya, nilai dan norma budaya yang dimiliki olehmasyarakat Sasak masih terawat dengan baikdisertai dengan kuatnya nilai dan norma agamayang dianutnya.

Dalam hal ini, salah satu dampak atau efekyang terjadi ketika konsep kebudayaan Sasakbertemu dan menyatu dengan konteks kea-

gamaan (Islam dan Hindu) yang dianut olehsebagian besar masyarakat Sasak ialah lahirnyakonsep sufisme Sasak. Konsep tersebut padaintinya berkaitan dengan penanaman danpengembangan nilai dan norma kebenaranyang ada di tengah masyarakat melalui re-presentasi aspek budaya dan agama. Kola-borasi budaya dan agama pada masyarakatSasak tidak mendapat pertentangan atau men-jadi penyebab konflik yang berkepanjangan.Bahkan, kedua aspek tersebut semakin erat dansaling melengkapi dalam rangka mengukuh-kan nilai dan norma positif dalam kehidupangenerasi Sasak dari masa ke masa.

Adapun sufisme Sasak yang secara uni-versal dipahami oleh masyarakat yaitu konsepkehidupan masyarakat suku Sasak yang me-nyandarkan segenap aktivitasnya pada aspekketauhidan yang di dalamnya dirangkaikanpula dengan sikap-sikap kultural yang telahlama menjadi tradisi masyarakat Sasak. Masya-rakat Sasak sudah mengenal adanya konsepketuhanan sebagai wujud perjalanan alam se-mesta sejak lama. Begitu pula dengan aspekkultural yang telah mendarah daging dalamkehidupan masyarakat Sasak secara turun-temurun. Oleh sebab itu, sufisme Sasak lahirsebagai perwujudan yang kuat terkait dengankehidupan beragama dan kehidupan berbu-daya yang dijadikan pedoman oleh masya-rakat suku Sasak.

Berbicara sufisme Sasak, tidak hanya ter-batas pada konsep nilai dan norma yang ter-kandung di dalamnya, tetapi juga sudah mulaimenjadi komoditas yang eksistensinya di-tuangkan ke dalam karya sastra. Perwujudansufisme Sasak dalam suatu karya sastra khusus-nya novel telah dilakukan oleh salah seorangpengarang asli Sasak (Lombok) yang bernamaLalu Agus Fathurrahman. Dalam novelnya, di-gambarkan mengenai kehidupan beragamadan berbudaya suku Sasak dalam konsep sufis-me Sasak melalui simbolisasi kembang (bunga).

Secara kontekstual, kembang atau bungamerupakan salah satu bagian alam yang men-

Page 3: EKSISTENSI SUFISME SASAK DALAM NOVEL SANGGARGURI …

35Eksistensi Sufisme Sasak dalam Novel Sanggarguri dan Perannya dalam Kehidupan Masyarakat ...

jadi bahan pembelajaran yang sering diguna-kan oleh masyarakat suku Sasak. Sebab, bagimasyarakat suku Sasak, kembang atau bungamerupakan representasi dari kesadaran dirisebagai makhluk ciptaan Tuhan yang harus hi-dup selaras dengan alam, memberi warna danaroma pada kebudayaan, dan bermanfaat bagisemua pihak sesuai dengan ajaran agama. Sim-bolisasi kembang inilah yang dipilih untuk di-gunakan oleh pengarang dalam rangka me-nyampaikan pesan sufisme Sasak melalui karyasastra. Pengarang tentu paham betul bahwakarya sastra bukan hanya sebagai alat atau me-dia hiburan bagi masyarakat, melainkan jugasebagai alat, media, dan wadah pembelajaranatau pendidikan, termasuk pendidikan menge-nai nilai dan norma yang menjadi pedomankehidupan bermasyarakat.

Berdasarkan hal tersebut, selain untuk terusmenguatkan posisi sufisme Sasak di tengahkehidupan masyarakat yang saat ini seolahmulai kehilangan pedoman, kemunculan novelyang berjudul Sanggarguri tersebut menjadi“angin segar” bagi para pembelajar budaya danagama. Tentunya, eksistensi sufisme Sasakyang dituangkan dalam wujud karya sastra ter-sebut harus memiliki tempat di masyarakat, be-rupa perannya dalam setiap sisi kehidupan ber-masyarakat. Peranan sufisme Sasak tersebutlahyang nantinya semakin menguatkan posisisufisme Sasak sebagai pedoman dalam men-jalani hidup dan kehidupan suku Sasak khu-susnya, dan pihak-pihak lainnya secara umum.

Dalam hal ini, sebagai suatu kajian ilmiah,penelitian ini tidak berdiri sendiri sehinggamembutuhkan beberapa konsep yang dapatmenjadi rujukan dan referensi penelitian. Re-ferensi yang dimaksud terdiri atas beberapapenelitian yang pernah dilakukan oleh penelitisebelumnya. Kemudian, referensi penting lain-nya yaitu berkaitan dengan teori yang diguna-kan dalam penelitian ini.

Penelitian pertama yang menjadi rujukandalam penelitian ini yaitu yang dilakukan olehHandayani (2016) dengan judul “Aspek Moral

dalam Novel Biru karya Fira Basuki: Pendekat-an Semiotik”. Penelitian berupa analisis semi-otik terhadap novel Biru, menunjukkan bahwa;(1) aspek agama sebagai penentram batin yaitutindakan yang dilakukan untuk lebih mendekat-kan diri kepada Tuhan sang pencipta, (2) aspekkepedulian terhadap lingkungan yaitu suatutindakan peduli terhadap pencemaranlingkungan, (3) aspek korupsi dan memperkayadiri yaitu tindakan yang dilakukan tidak hanyakarena alasan ekonomi, tetapi juga sudah men-jadi budaya, khususnya di Indonesia, (4) aspekperselingkuhan, alasan perselingkuhan adalahtidak ada kecocokan antara keduanya, (5) aspekpelecehan yaitu pelecehan terhadap perem-puan yang tidak hanya terbatas pada gerakanfisik, tetapi juga sudah mengarah pada tindakankriminal yaitu pemerkosaan.

Selanjutnya, penelitian yang dilakukan olehImron (2013) juga menjadi rujukan penelitianini dengan judul “Nilai Pendidikan Multi-kultural dalam Novel Burung-Burung Rantau.”Hasil penelitian tersebut yaitu terdapat wujudnilai pendidikan multikultural dalam novelBurung-Burung Rantau karya Y.B. Mangunwijaya.Adapun wujud yang dimaksud yaitu mun-culnya generasi muda pasca-Indonesia yangberorientasi pada multikulturalisme. Generasipasca-Indonesia merupakan Burung-BurungRantau yang bebas untuk menemukan dunia-nya sendiri sehingga cenderung generasi mudamelepaskan diri dari nilai budaya dan tradisietnisnya dengan alasan agar bebas berkrea-tivitas. Multikulturalisme mencerminkan feno-mena munculnya budaya lokal dan nasional,barat dan timur, serta multikulturalisme mampumenembus batas etnis, agama, kebangsaan,kasta, dan gender.

Penelitian lainnya yang juga dijadikanrujukan dalam penelitian ini adalah penelitianyang dilakukan oleh Badrin (2011) denganjudul “Potret Perjuangan Tokoh Utama danNilai Didik dalam Novel Guru Dane KaryaSalman Faris”. Adapun simpulan penelitiantersebut yaitu (1) Novel Guru Dane terdiri atas

Page 4: EKSISTENSI SUFISME SASAK DALAM NOVEL SANGGARGURI …

36 , Volume 4, Nomor 1, Juni 2018

beberapa unsur yang saling melengkapi, yaknitema, penokohan, latar, amanat, dan alur; (2)bentuk perjuangan tokoh utama untuk mem-bangkitkan harga diri orang Sasak denganmenjunjung tinggi nilai pluralitas, humanitas,dan kekuatan identititas yang dikelompokkanmenjadi: (a) membangun kesadaran kognitiftentang kemanusiaan, (b) membangun ke-sadaran sosial, (c) meruntuhkan keangkuhanatau kebesaran yang bergantung kepada ben-da-benda mistik, (d) menanamkan kesadarankelas, dan (e) menanamkan sifat kesatria se-bagai orang Sasak.

Mencermati beberapa penelitian yang men-jadi rujukan tersebut sebagai perbandingan, pe-nelitian-penelitian tersebut memiliki persamaandan perbedaan dengan penelitian yang dilaku-kan ini. Adapun beberapa persamaan yang di-maksud, yaitu (1) tiga penelitian sebelumnyadengan penelitian ini menggunakan novelsebagai objek kajiannya; (2) penelitian ketigadengan penelitian ini sama-sama mengangkatkonteks kehidupan suku Sasak sebagai bahankajian; (3) penelitian pertama dengan peneliti-an ini sama-sama menggunakan teori semiotiksebagai alat kaji; dan (4) secara garis besar, me-tode yang digunakan dalam penelitian se-belumnya dengan penelitian ini sama, yaitumetode observasi dan studi kepustakaan.

Sementara itu, perbedaan antara pene-litian-penelitian sebelumnya dengan penelitianyang dilakukan ini terletak pada aspek kajian-nya. Pada penelitian pertama, yang menjadiaspek kajiannya ialah aspek moral yang ter-dapat dalam novel. Kemudian, penelitian ke-dua mengkaji nilai pendidikan multikulturaldalam novel. Selanjutnya, penelitian ketigamengangkat perjuangan tokoh dan nilai pen-didikan yang terdapat dalam novel. Adapunpada penelitian yang dilakukan ini, yang men-jadi aspek kajian ialah konsep sufistik yangdimiliki oleh suku Sasak yang terdapat dalamsuatu karya sastra berupa novel.

TEORI DAN METODESelain itu, penelitian yang baik tentunya

dilandasi oleh beberapa konsep teoretis yangmenjadi pedoman atau referensi dalam pe-laksanaannya. Adapun dalam penelitian ini,terdapat beberapa konsep teoretis yang menjadireferensi berdasarkan pendapat para ahli padatiap-tiap konteks. Konsep-konsep teoretis yangdimaksud ialah sufisme, suku Sasak, sufismesuku Sasak, novel Sanggarguri dan semiotik.

Sufisme berasal dari kata Al-Tasawuf yangdapat dilihat dari dua segi, yakni segi etimologisdan segi terminologis. Dari segi linguistik (eti-mologis), pandangan para ulama berbeda-bedamengenai makna kata tasawwuf. Secara eti-mologi, kata tasawuf atau sufisme (sufi) berasaldari bahasa Arab (Tashawwafa-yatashawwafu-tashawwufan) yang berarti bulu domba, barisan,jernih, dan masih banyak lagi arti lainnya me-nurut pendapat beberapa ulama (Mahjuddin,2015:37).

Selain itu, sufistik berasal dari kata sufi(shufi) secara harfiah berakar dari tiga hurufArab, yaitu shad, wawu, dan fa yang diartikanberaneka ragam, misalnya shafu berarti bersih,atau shafa juga berarti bersih (Suriadin, 2014:28). Ada pula suffah yang berarti sebuah kamardi samping masjid Rasulullah di Madinah yangtersedia untuk sahabat-sahabatnya yang miskintetapi tebal imannya. Sufi juga dari bahasaYunani, diambil dari kata sophos, yang artinyabijaksana (Afifuddin, 2013:17).

Namun demikian, dari banyaknya per-debatan di kalangan ahli agama dan ahli ba-hasa, makna tasawwuf yang paling dapat dite-rima adalah kata yang diidentikkan kepadaorang yang selalu berpakaian suph (wol) daribulu domba. Makna ini didukung oleh ke-nyataan sejarah bahwa komunitas sufi pertamakali muncul dari Bashrah, dan yang pertamakali membangun perkumpulan sufi adalahkelompok Abdul Wahid bin Zaid, pengikutHasan Basri yang selalu memakai pakaiantersebut. Pada saat itu pula di Basrah terdapatperkembangan penganut yang sangat kuat

Page 5: EKSISTENSI SUFISME SASAK DALAM NOVEL SANGGARGURI …

37Eksistensi Sufisme Sasak dalam Novel Sanggarguri dan Perannya dalam Kehidupan Masyarakat ...

tentang konsep-konsep Zuhud, Ubaddah, Khauf,dan konsep-konsep lainnya (Harapandi, 2004:125-126).

Apapun asalnya, istilah tasawuf berartiorang-orang yang tertarik dan intens denganpengetahuan-pengetahuan yang terkait denganbatin seseorang. Dengan demikian, orang-orang tersebut mencari jalan atau praktik-praktik ke arah kesadaran dan pencerahan dirisecara terus-menerus tanpa henti mengadakanmuraqabah dan kontemplasi dalam mendekat-kan dirinya kepada Allah Yang Maha Bijaksana(Harapandi, 2004:127).

Masih terkait dengan pengertian sufisme,seorang tokoh sufi yang lain, yakni Syaikh IbnuAjiba (1809 M) menjelaskan bahwa sufismeadalah pengetahuan yang dipelajari seseorangagar dapat berlaku sesuai dengan kehendakAllah melalui penjernihan hati dan membuat-nya senang terhadap perbuatan-perbuatanyang baik (Amin, 2014:197). Istilah sufi pun di-maksudkan sebagai satu kategori penyifatandimensi esoteris ajaran Islam. Kata tasawuf ter-kait langsung dengan esoterisme atau dimensidalam dan rahasia ajaran Islam itu sendiri(Jumantoro, 2005:208). Shufi juga sebagai se-buah istilah bermakna membersihkan hati dariapa yang mengganggu perasaan kebanyakanmakhluk. Pembersihan tersebut dengan caraberjuang meninggalkan pengaruh nafsu, men-dekati sifat-sifat suci spiritual, dan bergantungpada ilmu-ilmu hakikat (Supaat, 2010:181).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas,dapat disimpulkan bahwa sufisme merupakanakar dari kata tasawuf yang berarti suatu penge-tahuan yang memelajari tentang bagaimanajalan bagi seorang muslim dalam upaya men-dekatkan diri kepada sang Maha Pencipta, AllahSwt. Hal tersebut dilakukan dengan memper-giat amalan-amalan berupa zikrullah, memper-halus mata hati dan nurani untuk selalu me-ngingat kebesaran Allah Swt, menghilangkansifat hawa nafsu duniawi yang merusak ke-imanan, serta meyucikan hati dan pikiran dari

sifat-sifat dan perilaku yang mengarah kepadaperbuatan dosa.

Selanjutnya, suku Sasak merupakan sukubangsa yang mendiami Pulau Lombok danmenggunakan bahasa Sasak sebagai bahasadaerahnya dalam aktivitas sehari-hari. SukuSasak tersebar di lima kabupaten dan kotayang ada di Pulau Lombok. Populasi terbesarsuku Sasak terdapat di Kabupaten LombokTengah, Lombok Timur, Lombok Utara, LombokBarat, dan Kota Mataram. Dalam kehidupan-nya, masyarakat Sasak senantiasa menjunjungtinggi empat konsep, yaitu persaudaraan, ke-setaraan, kesederhanaan, dan persatuan. Selainitu, suku Sasak sebagai bagian dari umat ber-agama juga mengedepankan nilai dan normayang dilandasi oleh konsep beragama disertaidengan konsep tradisi budaya yang masih di-pertahankan. Adapun kombinasi kehidupanberagama dengan situasi kebudayaan tersebutmelahirkan satu konsep penting dalam ke-hidupan suku Sasak yang tergambar dalamlingkup sufistik.

Kemudian, sufisme suku Sasak merupakankonsep yang dimiliki masyarakat Sasak yangberlandaskan pada roh atau spirit tauhid. Spirittauhid merupakan landasan atau asas dalammelahirkan konsep tentang cara berpikir, ber-sikap, dan bertindak orang Sasak dalam ke-hidupan sehari-hari. Dalam konsep kosmologis,dasar atau asas yang digunakan sebagai rujuk-an dalam memahami spirit tauhid ini adalahtasawuf Islam atau tasawuf akidah, dan tasawuffalsafi (Fathurrahman, 2017:102).

Spirit untuk bangsa manapun adalah halyang sangat penting bagi landasan atau asasdalam cara berpikir, bertindak, ataupun ber-sikap. Demikian pula dengan suku Sasak yangsangat meyakini bahwa spirit utama dalamprikehidupan sehari-hari adalah spirit tauhid.Spirit tauhid inilah yang melahirkan kesadarantauhid. Kesadaran tauhid kemudian tergambarpada konsep kosmologis tauhid yang menyata-kan bahwa segala sesuatu di alam raya ini asal-usulnya bersumber dari Allah Swt. Allah yang

Page 6: EKSISTENSI SUFISME SASAK DALAM NOVEL SANGGARGURI …

38 , Volume 4, Nomor 1, Juni 2018

Maha menetukan segala sesuatu yang terjadidi alam raya ini. Pernyataan tentang konsepkosmologis tauhid ini disebut sebagai kausaprima atau sangkan paran dalam istilah tasawufnusantara.

Keyakinan dan kesadaran tauhid inilahyang kemudian melahirkan kesadaran dirisebagai makhluk atau kesadaran sebagai panjak(hamba) dalam konsep sufistik Sasak. Kesadar-an sebagai panjak tersebut yang kemudian ber-implikasi menjadi akidah dalam perilaku antro-pologis kehidupan orang Sasak sehari-hari.Perilaku sebagai akidah yang tampak dalamkehidupan adalah sikap dalam memandangdan menghargai sesama makhluk ciptaan, da-lam hal ini terdapat pola hubungan yang di-sebut dengan pola hubungan pengkosmos(Fathurrahman, 2017:104). Pola hubunganpengkosmos ini mengatur bagaimana hubunganmanusia dengan makhluk-makhluk lain, sertadengan semua unsur yang terdapat di alamseperti tanah, air, api, dan udara. Dengan polahubungan pengkosmos seperti inilah, manusiaSasak memiliki pandangan bahwa semuamakhluk Allah di bumi ini adalah ibarat satukeluarga dan sama-sama berstatus sebagaipanjak Allah di muka bumi.

Penghidupan suku Sasak senantiasa ber-cermin pada tanah atau bumi. Tanah ataubumi bagi orang Sasak ibarat keluarga yangharus dihidupi. Jika tanah ditelantarkan dantidak digarap, tanah akan mati. Sebaliknya, jikatanah digarap dan dihidupi, pada gilirannyatanah akan menghidupi manusia. Selain itu,bidang lain yang menjadi penghidupan orangSasak adalah usaha berdagang. Dalam konsepsufisme Sasak, usaha dagang ini lebih bersifatkepada membantu sesama atau nulung batur.Semua itu harus bermuara kepada hidup yangbermakna atau kebermaknaan. Hidup yangbermakna dapat dijalani dengan konsep pemoledan semaiq. Setiap diri orang Sasak senantiasamemuliakan tanah, memuliakan orang danberperilaku dengan konsep semaiq, yakni sikapdan perilaku yang tidak berlebih-lebihan. Inilah

yang dimaksud dengan cara hidup sufismeSasak.

Konsep sufisme Sasak juga kaya denganperlambang atau simbol (Yamin, 2014:93).Contoh yang dapat dikemukakan di sini adalahgunung. Gunung bagi orang Sasak adalahceruk tertinggi di bumi yang bersentuhanlangsung dengan benda langit sehingga disebut“tiang langit”. Sebagai tiang langit, tentunyagunung dekat dengan bulan. Bulan dalamkonsep orang Sasak merupakan perlambangdari insan kamil. Insan kamil itu seperti bulanyang tidak mengeluarkan cahaya tetapi men-dapatkan cahaya dari sumber cahaya, yaitumatahari. Oleh karena itu, masyarakat Sasakselalu berharap untuk mendapatkan cahayadari sumber cahaya agar menjadi insan kamilatau dalam bahasa Qurannya; nurun ala nuri.Jadi, semua perlambang-perlambang atausimbol itu semua kembali kepada konsep Sasaksebagai sebuah pemikiran tasawuf. TasawufSasak telah ada sejak bangsa Sasak ada danberangkat dari pemikiran kosmologis dan ke-sadaran Tauhid.

Jadi, esensi yang paling dasar dari kesadar-an diri orang Sasak itu adalah kesadaran dirisebagai panjak atau makhluk. Kemudian yangharus dipahami dari kesadaran diri sebagaipanjak ini adalah bahwa pengabdian hiduporang Sasak adalah untuk menemukan jalankembali atau langan uleq. Usaha pencarian inikemudian yang menjadi cara dan jalan hidup.Cara hidup orang Sasak dari pemikiran kosmo-logis ini melahirkan cara berpikir, cara berkata,cara bertindak, dan cara bersikap. Tujuannyaadalah untuk mencari dan menemukan jalankembali yang disebut dalam konsep tasawufSasak sebagai Daya atau Daye. Daya dalam halini bermakna segala sesuatu yang melahirkanspirit. Dapat juga diartikan sebagai jantungatau kekuatan sehingga apabila menyebutkanorang mati itu dapat digunakan kalimat Diasudah bedaya, bedaya berarti kembali kepadayang memberi jantung atau memberi hidup(Wachid, 2013:40).

Page 7: EKSISTENSI SUFISME SASAK DALAM NOVEL SANGGARGURI …

39Eksistensi Sufisme Sasak dalam Novel Sanggarguri dan Perannya dalam Kehidupan Masyarakat ...

Adapun objek penelitian ini adalah novelSanggarguri merupakan novel yang ditulis olehpengarang asli Lombok (Sasak) bernama LaluAgus Fathurrahman. Pengarang yang sekaligussalah satu tenaga kependidikan di UniversitasMataram (NTB) tersebut menyajikan novelSanggarguri berdasarkan fenomena yang ter-jadi di tengah masyarakat, khususnya masya-rakat suku Sasak terkait dengan hilangnyaidentitas dan nilai lokalitas yang disebabkanoleh pesatnya perkembangan zaman. Sanggar-guri yang merupakan novel kebudayaan ber-citarasa lokal tersebut memuat nilai dan normasuku Sasak yang disimbolkan dengan beberapajenis kembang atau bunga (Effendi, 2017:145).

Di Pulau Lombok, kembang atau bungatersebut sebagian besar merupakan tumbuhanyang sudah langka, keberadaannya hanya padatempat tertentu, misalnya di Gunung Rinjani.Namun demikian, secara garis besar novel yangditulis sejak 2011 berdasarkan pengalaman kul-tural dan spiritual tersebut mencoba meng-ingatkan kembali masyarakat suku Sasak akanpedoman kehidupan yang harus mereka guna-kan, baik sebagai penguat sistem tradisi danagama yang dijalani sejak lama maupun untukberadaptasi pada perkembangan era digitalseperti saat ini.

Selanjutnya, teori semiotik menjadi landas-an dalam penelitian ini. Teori semiotik merupa-kan perkembangan dari teori strukturalisme.Berdasarkan hal tersebut, untuk menganalisiskarya sastra, selain berdasarkan strukturalisme,diperlukan juga analisis berdasarkan teori lain,yang identik dengan teori ini ialah teori semio-tika. Strukturalisme dan semiotika sebagai duateori yang identik, strukturalisme memusatkanperhatian pada karya, sedangkan semiotikapada tanda (Simon, 2014:204). Dalam hal ini,untuk menemukan makna suatu karya, analisisstrukturalisme harus dilanjutkan dengan ana-lisis semiotika. Secara definitif, menurut Cobleydan Janz (Ratna, 2011:97) semiotika berasal darikata seme, bahasa Yunani yang berarti penafsirtanda. Literatur lain menjelaskan bahwa

semiotika berasal dari kata semion, yang berartitanda. Dalam pengertian yang lebih luas se-bagai teori, semiotika berarti studi sistematismengenai produksi dan interpretasi tanda.

Semiotika (semiotics) didefinisikan oleh deSaussure sebagai ilmu atau metode analisisuntuk mengkaji tanda. Sementara itu, menurutPreminger (Jabrohim, 2003:68), semiotika adalahilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini meng-anggap bahwa fenomena sosial (masyarakat)dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.Semiotik memelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memung-kinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.Pendapat ini sejalan dengan Nurgiyantoro(2010:40) yang menyatakan bahwa maknayang ditentukan oleh konvensinya karya sastramerupakan tanda-tanda yang bermakna.Tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda(signifier) dan petanda (signified). Penandaadalah bentuk formalnya yang menandaisesuatu yang disebut petanda, sedangkan pe-tanda adalah sesuatu yang ditandai oleh pe-nanda itu, yaitu artinya (Sunardi, 2012:71).

Adapun semiotik yang dimaksud dalampenelitian ini adalah teori yang memelajari,memeriksa, memikirkan, dan menguji tanda-tanda atau simbol yang dianggap mewakili se-suatu objek tentang kehidupan sufisme masya-rakat Sasak secara representatif. Secara khusus,teori semiotika yang menjadi landasan pikirpenelitian ini ialah yang dikemukakan olehRoland Barthes dengan konsep denotasi dankonotasinya.

Dalam hal ini, untuk memperoleh hasilpenelitian yang optimal dibutuhkan beberapametode. Penelitian yang dilakukan ini punmenggunakan beberapa metode yang terbagidalam proses penyediaan atau pengumpulandata, penganalisisan data, dan penyajian hasilpenelitian (Siswantoro, 2015:11). Dalam halpenyediaan atau pengumpulan data, metodeyang digunakan ialah observasi dengan teknikwawancara terbuka dengan penulis novelSanggarguri. Selanjutnya dilengkapi dengan

Page 8: EKSISTENSI SUFISME SASAK DALAM NOVEL SANGGARGURI …

40 , Volume 4, Nomor 1, Juni 2018

studi kepustakaan yang terkait dengan konsep-konsep yang dibutuhkan dalam penelitian ini.Pada tahap penganalisisan data, data dianalisissecara deksriptif yang dilandasi oleh teorisemiotika Barthes dengan mengkaji simbolisasikembang atau bunga secara denotatif dankonotatif. Adapun tahap penyajian data hasilpenelitian ini menggunakan metode informalatau dengan kata-kata dan kalimat naratif(Endraswara, 2003:59).

HASIL DAN PEMBAHASANNovel Sanggarguri menyajikan simbolisasi

kembang atau bunga sebagai analogi sifat dansikap suku Sasak yang berlandakan nilai sufis-me. Berikut ini merupakan hasil penelitian ten-tang simbolisasi tersebut beserta uraian hikmahsufi yang terkandung di dalamnya.

1) Kembang GadungSecara umum, dalam kajian nilai-nilai

sufisme Sasak, kembang mewakili unsur alamyang sarat dengan makna. Kembang adalahsalah satu bagian tumbuhan dan salah satumakhluk ciptaan Tuhan selain hewan dan ma-nusia. Keberadaan atau kehadirannya berke-dudukan sama dengan makhluk Tuhan yanglain, yakni sebagai makhluk atau panjak dalamistilah sufisme Sasak. Sebagai sesama makhlukatau panjak Neneq (baca: Tuhan), kehadirankembang juga dalam rangka mengabdi, ber-tasbih, dan memberikan i’tibar kepada makh-luk lain, khususnya manusia tentang nilai-nilaiyang baik dalam kehidupan. Kembang Gadungmenandakan sifat ilmu orang Sasak. Sifat Kem-bang Gadung dalam mempelajari sufismeSasak terkait dengan jenis pohon atau kembangyang sama sekali tidak menarik perhatian orang.Namun di sisi lain, ada orang yang mampumenikmati rupanya bahkan menikmati isinyasampai mabuk karena beracun. Jika KembangGadung atau Pohon Gadung ini mampu ditatasedemikian rupa sehingga terjadi komposisiyang apik, penampilan Kembang Gadung akanmampu menarik perhatian.

2) Kembang RauDalam sufisme Sasak, Kembang Rau men-

citrakan hakikat kembang sebagai suatu ke-indahan. Kembang tetaplah kembang karenadi mana pun tempatnya berada, seperti apa-pun bentuknya, apapun warnanya, dan sebe-rapapun ukurannya, kembang tetaplah indah.Itulah hakikat kembang. Kembang Rau ataukembang ladang. Kembang tumbuh dan hidupdi mana-mana, sama halnya dalam sufistikSasak bahwa dalam kehidupan masyarakatsenantiasa ada orang yang selalu memberikanmanfaat serta memberikan kesejukan di tempatia berada. Orang dengan tipe Kembang Rauini ada di mana-mana, baik di desa maupun dikota. Oleh karena itu, manusia diibaratkan se-bagai seorang “peladang” atau seorang “guruagama” di dunia ini. Dengan kata lain, hidupdi dunia ini diibaratkan sebagai bekerja untukladang akhirat. Jika ingin mempunyai banyakbekal di akhirat, rajin-rajinlah berladang.

3) Kembang JempiringDalam sufisme Sasak, Kembang Jempiring

direfleksikan pada diri manusia, yakni bunga-nya yang putih bersih melambangkan kesucianatau kejernihan pikiran dan perbuatan yangjujur. Bunganya yang harum, memberi dayatarik pada setiap insan sebagai simbol ke-wibawaan. Selain bunganya, daunnya yangberwarna hijau melambangkan kesejukan atauketentraman hati. Semua itu sebagai perlam-bang untuk menuntun agar manusia senan-tiasa mengusahakan sikap yang terbaik bagidiri sendiri, lingkungan, dan orang lain. Selainitu, konsep sufisme Sasak menyatakan bahwatingkat kepekaan seseorang akan terbangundengan baik dari intensitasnya bangun padasepertiga malam (tahajjud), terutama pada ma-lam Senin dan malam Jumat (Fathurrahman,2017:78).

4) Kembang AraKembang Ara dikenal memiliki bunga yang

tersembunyi dan sulit ditemukan. Kalau di-temukan bunga pada Kembang Ara, seseorang

Page 9: EKSISTENSI SUFISME SASAK DALAM NOVEL SANGGARGURI …

41Eksistensi Sufisme Sasak dalam Novel Sanggarguri dan Perannya dalam Kehidupan Masyarakat ...

seolah akan mendapatkan ketrimen (bahasaSasak). Ketrimen dimaknai sebagai suatu karu-nia seperti mendapat lailatul qadar. Orang tidakbanyak tahu tentang bunga pada KembangAra. Memang terdapat bunga pada KembangAra tetapi sering tersembunyi oleh bakal buah-nya. Secara sufisme Sasak, makna dari Kem-bang Ara ini adalah orang yang sudah tidaklagi memikirkan gaya dan penampilan dalamkehidupannya (sederhana dan apa adanya).Dengan kata lain, apa yang diperlihatkanbukan lagi sebagai suatu bentuk pencitraan,tetapi menunjukkan aslinya.

5) Kembang LaosKembang Laos bermakna sebagai orang

yang mampu kembali terlahir sebagai orangyang fitrah dengan meninggalkan duniawiatau dalam pengertian lain ialah hidup secarazuhud. Nilai-nilai sufisme bangsa Sasak sangatrelevan dengan nilai sufi secara umum. Hal ter-sebut karena memang Sasak itu sendiri adalahsangat dekat dengan aspek tasawuf universal.Jadi, bagi mereka yang sudah mampu mening-galkan nafsu duniawi itulah yang disebut se-bagai Kembang Laos. Kembang Laos adalahjuga perlambang dari penghormatan terhadaparwah nenek moyang dengan melakukan tra-disi ziarah ke makam-makam yang dikeramat-kan atau kemaliq. Ada banyak banyak makamyang kemaliq di gumi Sasak (Pulau Lombok).

6) Kembang SerinataKembang Serinata merupakan bunga yang

langka sehingga saat ini agak sulit ditemukan.Secara sosial, keberadaan kembang ini sebagaipertanda untuk mengingatkan kita akan ke-arifan nilai-nilai luhur masa lalu dari nenek mo-yang. Tidak ada pengetahuan yang terlepasdari hikmah yang kita dapatkan dari tradisiluhur masa lalu. Dalam konsep sufisme Sasak,Kembang Serinata adalah kembang penuh hik-mah dan kenangan. Serinata sebagai sebuahkembang senantiasa mengingatkan pada setiaporang bahwa semua peristiwa dalam hidup inipasti ada hikmahnya. Hikmah terkadang baru

disadari setelah mengingat akan kenanganpada suatu peristiwa yang telah berlalu.

7) Kembang KemuningTerpilihnya Kembang Kemuning sebagai

simbol yang menyiratkan makna sufisme Sasakkarena ciri-ciri dan bentuk kembang ini mem-berikan pelajaran bagaimana seharusnya se-orang muslim bergaul dengan muslim yanglain dalam kehidupan sehari-hari. Selain se-bagai simbol nilai-nilai sufisme Sasak, dalamnovel Sanggarguri juga dijelaskan dengan cu-kup detail bagaimana ciri-ciri dan bentuk kem-bang Kemuning sehingga sangat pantas dijadi-kan sebagai simbol dalam kaidah sufisme Sasak.

8) Kembang PurusKembang Purus merupakan pohon dengan

batang perdu berduri. Masyarakat sudah mulaitidak mengenal lagi jenis pepohonan ini.Bunganya berwarna putih, ringan, dan bisa di-terbangkan. Biasanya tumbuh di antara batu-batu cadas, baik di tempat kering maupun tem-pat basah, dan sering dimanfaatkan juga se-bagai obat. Karakter pohon purus ini sangattidak menarik dan jarang didekati orang karenaberduri. Sufisme Sasak menangkap maknanya,yakni dalam kehidupan sehari-hari kita seringtakut atau bahkan menganggap remeh hanyakarena melihat pada penampilan luar sese-orang. Namun demikian, pelajarannya ialahbahwa dalam kehidupan terdapat orang-orangyang dianggap biasa, sederhana, tidak dihirau-kan, bahkan orang enggan dan takut untukmendekati, namun di balik itu orang tidak tahukelebihan dan keistimewaan atau manfaatyang dimiliki atau dikandung di dalamnya.

9) Kembang TunjungKembang Tunjung berhubungan dengan

kemampuan wirid seseorang yang dalamistilah Buddha dinamakan Prana. Orang-orangyang memiliki kemampuan wirid tinggi me-miliki energi seperti yang dimiliki oleh para le-luhur dalam usaha mempertahankan keyakin-an menghadapi tekanan penguasa. Wirid se-

Page 10: EKSISTENSI SUFISME SASAK DALAM NOVEL SANGGARGURI …

42 , Volume 4, Nomor 1, Juni 2018

benarnya adalah kemampuan untuk melatihdan mengontrol serta mengolah napas manusiauntuk melahirkan energi positif. Energi positiftersebut akan tersebar di semua bagian tubuhsehingga ada prana di kepala, prana di dada,prana di tangan, prana di pusar, dan seterusnyayang kesemuanya merupakan teknik peng-olahan napas untuk melahirkan energi positifserta melatih kepekaan rasa dan iman sehinggamelahirkan atmosfir kebajikan. Dalam kaidahsufisme Sasak, Tunjung juga memberi manusiasebuah pelajaran bahwa secara umum orang-orang biasa meletakkan perhatiannya padahasil akhir.

10) SanggarguriSanggarguri merupakan judul novel, nama

kembang sekaligus merupakan simbolisasitujuan akhir dari perjalanan para anggotapejalan tradisi dalam Novel Sanggarguri. Sang-garguri adalah perlambang dari keberadaanseseorang. Seseorang yang sesungguhnya adatetapi sama sekali tidak dipedulikan. Walaupunsanggarguri ada di mana-mana, kehadirannyaatau keberadaannya tidak diperhitungkan.Sanggarguri juga melambangkan sikap manu-sia dalam kehidupan sehari-hari yang ter-kadang melihat sesuatu atau keadaan oranglain yang aneh, namun sesungguhnya menyim-pan keistimewaan yang jarang diketahui. Selainsebagai simbol keitimewaan atau kelebihanyang dimiliki oleh orang lain, dapat pula disebutsebagai simbol perlindungan atau kekuatan. Dilingkungan sekitar kita, Sanggarguri seringtumbuh di halaman, pematang, hutan, ladang,bahkan wilayah perkotaan. Hampir di semuatempat Sanggarguri dapat ditemukan, namunkeberadaannya yang banyak sering tidak di-hiraukan walaupun memiliki keistimewaan.

Selanjutnya berkaitan dengan peran sufis-me Sasak di tengah kehidupan masyarakat diPulau Lombok. Sufisme dan Sasak adalah duakata yang tidak terpisahkan karena diasumsi-kan bahwa konsep Sasak itu sendiri adalahsufisme atau tasawuf. Dalam konsep sufisme,

Sasak atau tasawuf Sasak tidak terlepas darilandasan utamanya, yaitu spirit tauhid yangmelahirkan pemikiran kosmologis. Konseporang Sasak melalui pemikiran kosmologis inimelahirkan cara hidup, cara berpikir, cara ber-kata, cara bertindak, dan cara bersikap dalamusaha mencari dan menemukan jalan untukkembali. Adapun yang dimaksud dengan jalankembali, yakni yang disebut dalam konseptasawuf Sasak sebagai Daya atau Daye. Dayadalam hal ini bermakna segala sesuatu yangmelahirkan spirit. Tentunya yang melahirkanspirit atau daya adalah sumber dari segalasumber spirit serta yang melahirkan spirit, yakniAllah Swt.

Dalam konteks ini, makna bangse Sasaksebagai suatu bangsa seperti bangsa-bangsalain di dunia adalah ekspresi diri sebagai indi-vidu maupun sosial sesuai amanat kemanu-siaan yang dibawanya, yakni fitrah, sibghah, danhanif (Fathurrahman, 2017:99). Dengan kon-sep sufisme seperti itulah bangse Sasak senan-tiasa terpelihara dalam iman dan keyakinanIslam dari masa ke masa. Hingga saat ini, walau-pun zaman telah berganti dengan segala dina-mikanya, hampir di semua pelosok PulauLombok, terutama di desa-desa atau di wilayahkampung di perkotaan, ekspresi budaya dalambentuk ritual-ritual adat yang bersendikanagama masih hidup dan tetap terpelihara.Nilai-nilai luhur dari nenek moyang sepertitindih, merang, maliq, dan seperangkat nilai-nilai luhur lain masih tetap diakui dan dipe-gang teguh oleh masyarakat di berbagai tempatdi seluruh pelosok gumi Sasak (Lombok) darimasa ke masa.

Hal ini dibuktikan dengan banyaknyamakam yang bertebaran di seluruh pelosokLombok. Dari puncak gunung hingga pinggirpantai yang diyakini sebagai makam paraauliya dan shalihin. Mereka adalah para ulamayang memimpin masyarakat Sasak dari zamanke zaman, di antaranya ada yang diyakini se-bagai pewaris kepemimpinan Pengulu Alim,sang kepercayaan Dewi Anjani (mitologi Sasak)

Page 11: EKSISTENSI SUFISME SASAK DALAM NOVEL SANGGARGURI …

43Eksistensi Sufisme Sasak dalam Novel Sanggarguri dan Perannya dalam Kehidupan Masyarakat ...

sebagai penjaga kosmos gumi Sasak. Banyaknyamakam yang dihormati oleh masyarakat Sasakyang tersebar di seluruh wilayah pulau Lombokini, baik yang teridentifikasi maupun tidak, me-rupakan karakteristik spiritualitas masyarakatSasak. Spiritualitas semacam itu masih tampakhingga saat ini dengan semakin berkembang-nya pengetahuan dan pengalaman beragamadan berbudaya pada masyarakat.

Berbagai hal yang digambarkan dalampenjelasan di atas adalah suatu realitas bahwamanusia Sasak sejak awal adalah penganutagama tauhid dalam hal ini adalah Islam.Orang Sasak zaman dahulu tidak mengenaldewa-dewa sehingga membuktikan bahwaagama orang Sasak bukan dari turunan peng-aruh Hindu atau Buddha, apalagi animisme.Orang Sasak memahami Islam sebagai bentukkepatuham masyarakat terhadap Sang Khalikuntuk memegang amanah sebagai makhlukdan menghormati sesama makhluk yangkemudian terwujud sebagai konsep sufismeSasak hingga saat ini.

Nilai-nilai kosmologi tauhid yang men-dasari nilai-nilai sufisme Sasak ini disampaikandari satu generasi ke generasi berikutnya me-lalui peran para Tuan Guru dan Ustadz sebagaipemimpin informal yang diterima oleh masya-rakat. Pemimpin-pemimpin informal inilah se-benarnya yang merupakan transformasi kepe-mimpinan Sasak, yakni Penghulu pada masalalu ke pemimpin masa kini berupa Tuan Guru.Dalam setiap dakwahnya, para Tuan Guru dantokoh-tokoh agama lainnya senantiasa meng-ingatkan peran tauhid sebagai sebuah bentengiman yang harus dipegang teguh oleh orangSasak. Seperti yang disampaikan dalam konsepsufisme Sasak bahwa betapa semua ini adalahmilik-Nya, jagat semesta ini adalah milik-Nya,langit dan bumi beserta isinya adalah milik-Nya, bahkan sampai diri manusia juga adalahmilik-Nya. Hal inilah yang memayungi nilai-nilai manusia Sasak, yang tercermin pula dalamnyelokaq atau ungkapan-ungkapan yang terke-san berkhayal atau dongeng semata. Akan

tetapi, pada hakikatnya melalui nyelokaq itulahmereka para tetua (baloq, wayah, atau lokaq)mentransformasikan berbagai nilai Sasak yangdiambil dari intisari Islam hakiki.

Seluruh yang dilakukan oleh tokoh-tokohagama, tokoh adat, dan para tetua di masa laludalam menyampaikan dakwah atau petuahmelalui media cerita berupa dongeng ataunyelokaq, sebenarnya sama konsepnya denganyang dilakukan oleh para sufi yang meman-faatkan sastra sufisme sebagai media. Sastrasufisme adalah karya sastra yang di dalamnyadijabarkan paham-paham, sifat-sifat, dan ke-yakinan yang diambil dari dunia tasawuf. Ring-kasnya, sastra sufisme adalah karya sastra ber-muatan ajaran kesufian (Afifuddin, 2013:18).Tema dasar sastra sufistik atau sastra sufismeialah “cinta Ilahi” (isyq). Gagasan mengenaiisyq ini menduduki tempat utama di dalampemikiran para sufi sejak awal perkembangantasawuf sampai masa yang paling akhir.

Dalam sejarah tasawuf, sastra telah dipilihsebagai media dalam menyampaikan penga-laman kerohanian para sufi sejak awal. Ter-dapat banyak penjelasan tentang pengalamanmereka yang berkenaan dengan makrifat danpersatuan mistik yang disampaikan dalambentuk anekdot-anekdot, kisah perumpamaanatau alegori, dan puisi. Sebagai pencinta ke-indahan sejati, mereka yakin bahwa karya seniyang bermutu tinggi dapat membangunkancinta yang telah tidur di dalam hati, baik cintayang bersifat duniawi dan inderawi maupuncinta yang bersifat ketuhanan dan ruhaniah(Hadi, 2001:10).

Dengan demikian, dapat dipahami bahwaperan para sufi dengan kreativitas tinggi me-lalui seni sastra termasuk folklor sejak lama di-lakukan dalam rangka turut menyebarkan danmemperluas pengaruh Islam di seluruh penjurunusantara, termasuk di Pulau Lombok. Faktorkeberhasilan para pendakwah di Gumi Sasak,yakni guru tarekat, para Sufi, para Tuan Guru,ustadz, Lokaq, dan Penghulu di Gumi Sasakadalah karena mereka tidak pernah jauh

Page 12: EKSISTENSI SUFISME SASAK DALAM NOVEL SANGGARGURI …

44 , Volume 4, Nomor 1, Juni 2018

dengan masyarakat sebagai jamaahnya. Dalamkehidupan sehari-hari, mereka begitu dekat,saling berbaur, saling bersilaturrahmi, danmenjadi bagian yang tidak terpisahkan dengankehidupan masyarakat. Hal tersebut membuatmereka sangat memahami seluk-beluk jamaah-nya beserta kondisi lingkungan sosial budayamasyarakatnya. Metode dakwah seperti ini punmenjadi salah satu wujud konsep sufisme Sasak(NSG, 2014:31).

Adapun bahasan mengenai peran sufismeSasak dari sudut sosial budaya tentunya sangatmenarik dan relevan bila dihubungkan dengankonsep yang sangat erat kaitannya dengansufisme Sasak, yakni paçr. Apalagi dengan me-lihat perkembangan situasi dan kondisi masya-rakat Sasak di Pulau Lombok hingga saat ini,perbincangan tentang peran sufisme Sasaktidak bisa dilepaskan dengan konsep paçr.

Berbagai masalah yang mengepung masya-rakat Sasak sebagai dampak dari kemajuanilmu pengetahuan dan peradaban modern me-lahirkan gaya hidup individualisme dan mate-rialisme. Oleh sebab itu, konsep tentang paçryang menyangkut isu-isu lingkungan di pulauLombok sangat strategis sebab berkaitan eratdengan kehidupan masyarakat. Saat ini, ketikamasyarakat berbicara tentang rusaknya ber-bagai habitat flora dan fauna serta semakinlangkanya persediaan air bersih sebagai akibatdari rusaknya kawasan hutan Rinjani, konseptentang paçr menjadi sangat penting. Paçr se-bagai sebuah konsep tentang keberadaan daneksisitensi alam dan tanah air Sasak, sangaterat kaitannya dengan Rinjani sebagai pusatkosmologi gumi Sasak. Posisinya yang terletakdi sebelah utara atau paçr daye tidak sekadarbermakna geografis arah utara, namun jugamengacu kepada pusat energi kosmos, yaknidaye atau daya. Daya/daye, dari kata Jawa Kunodan bermakna ‘hati’ dan ‘jantung’. Dalam ke-dudukannya sebagai pusat kosmos, GunungRinjani merupakan penanda berupa simbolyang melegenda sebagai wilayah paçr yangmemberikan daya atau kekuatan, bisa juga

bermakna memberikan kehidupan, kesuburandan perlindungan untuk masyarakat bumiLombok. Oleh sebab itu, sebutan lain bagigunung Rinjani adalah sebagai paçr beleq atauinen paçr dan pansek gumi (Induk Bumi) (NSG,2014:29).

Selain isu-isu lingkungan, isu-isu lainmenyangkut paer yang relevan dengan peransufisme Sasak adalah isu-isu yang menyangkutdampak-dampak sosial kemasyarakatan se-bagai akibat perubahan peradaban duniamodern. Isu-isu tersebut antara lain; mulaigoyahnya lembaga perkawinan, sistem ke-kerabatan yang berantakan, institusi danlembaga sosial budaya yang hidup enggan matitak mau, hilangnya etika dan keteladanan, me-rebaknya kekerasan dan paradoksial dalammasyarakat, dan individualisme dan materialis-me yang merupakan dampak dari dinamikaperadaban modern. Adapun fakta-fakta ter-sebut di atas adalah kenyataan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat Sasak dewasa ini(Yamin, 2004:10).

Kegamangan kehidupan masyarakat sertaketerasingan dengan kehidupan budaya sen-diri tidak hanya terjadi di daerah perkotaantetapi juga mulai melanda sebagian wilayahperdesaan di Pulau Lombok. Walaupun sejum-lah kegiatan kebudayaan beberapa tahun ter-akhir menunjukkan geliat kebangkitan, namunmasih bersifat euforia dan cenderung bernostal-gia. Lebih lanjut, pembenahan ranah kebudaya-an masih terbatas pada aspek-aspek atributifdan pragmatis, seperti pakaian, kesenian,prosesi-prosesi adat dan sejenisnya. Belummenyentuh aspek-aspek rancang-bangun yangbersifat strategis untuk kemajuan kebudayaandan masyarakat pendukungnya. Akibatnya,semua berjalan sebagai suatu kegiatan yangbersifat simbolis semata. Dengan demikian,dapat dikatakan bahwa generasi muda Sasakdewasa ini terancam untuk kehilangan jati diri-nya sebagai manusia Sasak karena cenderunggagal untuk belajar mengenal sejarah masa laluserta akar tradisi Suku Sasak yang sebenarnya.

Page 13: EKSISTENSI SUFISME SASAK DALAM NOVEL SANGGARGURI …

45Eksistensi Sufisme Sasak dalam Novel Sanggarguri dan Perannya dalam Kehidupan Masyarakat ...

Generasi muda Sasak juga mulai terasaasing dengan sejumlah nilai-nilai kearifan bu-daya lokal yang sangat kaya karena masya-rakat termasuk sekolah hampir tidak menyen-tuh wilayah itu. Hal ini sangat disayangkankarena nilai-nilai kearifan suku Sasak mestinyadiwariskan dari generasi ke generasi agar tidakterjadi kepunahan. Hal lain yang lebih pentinglagi agar dapat dengan efektif berfungsi sebagaifilter dalam membendung dampak modernisasidan globalisasi.

Dalam hal ini, kandungan nilai sufismeatau tasawuf dalam Novel Sanggarguri tentu-nya sangat relevan dengan kondisi masyarakatSasak secara umum. Salah satu kondisi masya-rakat yang merupakan persoalan yang dialamimasyarakat Sasak adalah persoalan feodalisme.Feodalisme menjadi persoalan karena berten-tangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dankeadilan. Feodalisme inilah yang juga masihterasa lekat di tengah-tengah masyarakat sukuSasak karena tipikal manusia Sasak masih ber-ada dalam pengaruh sistem patrimonial yangbercirikan kepatuhan yang dalam akan perin-tah penguasa atau raja pada zaman dahulusehingga rakyat cenderung hanya menjadiobjek dari sistem yang berlaku.

Dengan demikian, masyarakat Sasak cen-derung menjadi pasif, tidak memiliki inisiatifdan pada akhirnya pasrah dalam menerimanasib. Hal ini menjadikan masyarakat kurangmemiliki prakarsa dalam menggerakkan po-tensi dalam mengubah kehidupan. Padahal, se-lain kekayaan alam yang melimpah, sesung-guhnya masyarakat Sasak di Pulau Lombokdianugerahi oleh potensi lain, yakni potensimodal-modal sosial yang dapat menjadipenggerak dalam mengubah kehidupan kearah yang lebih baik. Modal sosial yang di-maksud adalah seperangkat nilai-nilai dankearifan budaya lokal yang berpotensi meng-gerakkan dan memberdayakan masyarakatdalam pembangunan seperti semeton, tindih,maliq, mçrang, dan siru.

Dalam nilai tindih misalnya, terkandungmakna yang menjadi salah satu pilar bagilestarinya keserasian dan keseimbangan sosialdalam masyarakat Sasak sehingga melahirkaninstrumen nilai sosial yang disebut siru. Sirumenjadi jawaban terhadap kondisi masyarakatmasa kini yang sudah kehilangan kepekaansosial karena masyarakat saat ini terkesan indi-vidualis dan cenderung mendewa-dewakanmateri. Siru juga menjadi jawaban terhadapmulai lunturnya nilai-nilai komunal yangselama ini menjadi modal sosial masyarakat,terutama di perdesaan.

Sebagai nilai kualitatif, siru merupakanwujud kesadaran manusia Sasak yang me-yakini bahwa tidak satu pun makhluk di jagatini yang keberadaannya tidak terkait dan ter-paut dengan makhluk lainnya; kesalingtergan-tungan antarsesama makhluk merupakan prin-sip dasar dari eksistensi. Nilai-nilai dalam besiruharus kembali ditanamkan oleh para orang tuadalam bale langgak (keluarga) masing-masingdengan kebiasaan saling bekerja sama danbergotong royong untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga sehari-hari dan tugaslainnya.

Besiru adalah bentuk praktis dari siru, yangdalam kehidupan sehari-hari manusia Sasakterwujud sebagai sikap dan laku “kesalingan”;saling tolong, saling memberi, saling jaga, salingdidik, dan seterusnya. Sampai dengan 4 hingga5 dekade yang lalu, dalam hal membangunrumah atau menggarap sawah misalnya,seseorang tidak perlu meminta bantuan ke sanake mari, sebab tanpa diminta, bantuan itu akandatang sendiri. Demikian pula halnya untukberbagai sisi kehidupan lainnya, yang mem-butuhkan kehadiran orang lain.

Seperti juga masyarakat tradisional lain-nya, masyarakat Sasak memiliki kesadaran ins-titutif. Simbol atau nilai dan institusi bagi me-reka adalah satu mata uang dengan dua sisi.Mereka sangat menyadari bahwa kehadiransekaligus simbol (nilai) dan institusi merupakansuatu keniscayaan. Semeton, tindih, maliq,

Page 14: EKSISTENSI SUFISME SASAK DALAM NOVEL SANGGARGURI …

46 , Volume 4, Nomor 1, Juni 2018

mçrang, siru, dan sekian simbol lainnya, yangmereka ciptakan dalam rangka melestarikanGumi Paçr Sasak, hanya mungkin disosiali-sasikan, dikontrol, dan dilestarikan melaluimekanisme institusi. Bale Langgak sebagaibagian salah satu institusi dasar dari konsepGumi Paçr memegang peranan yang sangatpenting dalam mengemban amanat tersebut.

Pada perkembangannya, sufisme Sasakdan perannya dalam kehidupan masyarakatdapat diartikan sebagai pemaknaan dan per-wujudaan nilai-nilai dasar masyarakat Sasakyang juga sekaligus sebagai nilai-nilai sufismeSasak. Hal ini sebagai upaya penyadaran orangSasak akan nilai-nilai luhur yang dimiliki dandioptimalisasikan sebagai modal sosial untukperubahan dan pembangunan manusia Sasakseutuhnya. Konsep yang demikian sesuai de-ngan pembangunan yang dikemukakan olehAmartya Sen, yaitu pembangunan yang mem-bebaskan dengan maksud bahwa pembangun-an yang difokuskan pada manusia yang men-jalani dan seharusnya “menikmati” proses dankegiatan pembangunan tersebut (Yamin, 2008).

Oleh sebab itu, nilai-nilai yang terkandungdalam sufisme Sasak sesungguhnya adalahmodal sosial yang sangat berharga bagi pem-bangunan manusia Sasak, salah satunya pem-bangunan karakter bangsa Sasak. Nilai-nilaidalam Sufisme Sasak pada dasarnya sejalandengan nilai-nilai yang ada dalam tasawuf se-cara umum. Di dalamnya terkandung semangatdan motivasi untuk berkembang dan majudengan mengubah diri menjadi manusia yangmempunyai semangat untuk bekerja kerasmengejar dunia namun tidak melupakan hal-hal yang bersifat ketuhanan. Demikian puladengan modal-modal sosial yang dimiliki orangSasak sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dalamtasawuf. Dengan kondisi seperti ini, upaya pe-numbuhan kembali spirit nilai-nilai lokal se-bagai modal sosial yang efektif dalam bingkaisufisme Sasak sebagai penggerak pembangun-an menjadi suatu keharusan agar potensi dan

modal sosial masyarakat tidak menjadi tersia-siakan.

Di sinilah peranan lain yang dapat dimain-kan oleh sufisme dalam kehidupan manusiaSasak. Perubahan prilaku masyarakat itu dapatdimulai dari sekolah, atau dari lingkunganyang lebih kecil lagi, yakni kelas melaui pem-belajaran Sastra Indonesia misalnya. Nilai-nilaisufisme yang terkandung dalam Novel Sanggar-guri pun selaras dengan nilai dan semangatdalam agama Islam, yakni semangat untukuntuk selalu berjuang, berkorban, dan bekerja,bukan sebaliknya menjadi pemalas dan melem-pem. Sufisme dalam Islam menyeru manusiamencari rezeki dan mengambil peran yanglebih besar dalam lapangan penghidupan se-hingga dapat sejajar dengan bangsa-bangsayang lainnya.

Selanjutnya, kembali ke akar tradisi denganmemahami sejarah masa lalu serta nilai-nilaikearifan budaya lokal dalam masyarakat SukuSasak adalah solusi alternatif dalam mengatasiproblematika kehidupan masyarakat Sasakterkini. Hal ini akan sangat relevan jika dihu-bungkan dengan bagaimana sekolah-sekolahsaat ini berupaya untuk menumbuhkan budipekerti dan penguatan pendidikan karaktersiswa. Dalam penguatan pendidikan karakter,salah satu upaya yang dapat ditempuh adalahmengintegrasikan nilai-nilai karakter ke dalamsetiap mata pelajaran.

Kenyataan yang terjadi dewasa ini, sebagi-an dari generasi muda Sasak, khususnya pe-lajar mengalami keterasingan dengan nilai-nilaikearifan budaya lokal. Salah satu penyebabnyakarena kurikulum pendidikan di sekolah danjuga budaya di sekolah kurang menyentuh wi-layah kearifan lokal suatu daerah. Kurikulum2013 yang dicanangkan pemerintah jugamasih kurang mengakomodasi masuknya nilai-nilai kearifan lokal dalam muatan pelajaran,termasuk dalam pembelajaran Sastra Indo-nesia. Hal tersebut tentu sangat disayangkankarena nilai-nilai kearifan lokal, khususnyasuku Sasak harus diwariskan dari generasi ke

Page 15: EKSISTENSI SUFISME SASAK DALAM NOVEL SANGGARGURI …

47Eksistensi Sufisme Sasak dalam Novel Sanggarguri dan Perannya dalam Kehidupan Masyarakat ...

generasi agar tidak terjadi kepunahan, sertayang lebih penting lagi agar dapat denganefektif berfungsi sebagai filter untuk mem-bendung dampak modernisasi dan globalisasi.

Masa anak-anak merupakan masa yangsangat baik bagi terlaksananya pendidikanhumaniora ini melalui penumbuhan pendidik-an karakter yang baik. Hal ini sangat relevandengan konsep yang disampaikan oleh Ratna(2014:540), yaitu secanggih-canggihnya tekno-logi yang berhasil dicapai, sebanyak-banyak-nya materi yang berhasil diperoleh, setinggi-tingginya pangkat yang dimiliki, apabila ma-salah nilai manusia dan kemanusiaan tidakmemperoleh tempat, tidak dihargai sebagai-mana mestinya, kehidupan ini tidak ada harga-nya.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwapendidikan humaniora melalui penumbuhanbudi pekerti dan karakter inilah menjadi kuncidalam pendidikan di masa sekarang untukmembentengi anak dari perubahan dan peng-aruh peradaban modern yang berlebihan. Anak-anak yang terlahir dari pendidikan humaniorayang baik di bale langgak dengan nilai-nilaikultural masyarakat Sasak seperti yang tersebutdi atas akan melahirkan dan membentukmasyarakat atau gubuk gempeng yang baik dankuat pula. Argumentasi untuk itu bahwa setiapsikap, tutur-kata, dan perilaku akan terekamdan menjadi dokumentasi serta referensi setiaporang dalam komunitas untuk hari-hariselanjutnya. Oleh sebab itu, setiap orang harusselalu berupaya untuk menjadi teladan bagisesama dan bagi lingkungan sosialnya.

PENUTUPSanggarguri sebagai sebuah karya sastra

bernuansa lokal dan bercitarasa sufisme telahmenjadi alat, media, dan wadah dalam rangkamembuka pikiran manusia tentang hakikathidup dan kehidupannya. Novel Sanggargurimemberikan nilai tambah bagi pemahamanterhadap paradigma karya sastra yang meng-angkat situasi dan kondisi lokal suatu masya-

rakat. Dalam hal lainnya, Novel Sanggargurimengantarkan pembaca karya sastra menujualam sufi yang mengombinasikan aspek sosial,kultural, dan spiritual. Melalui simbolisasikembang atau bunga yang dalam kaidah ke-hidupan masyarakat Sasak merupakan sebuahpengagungan, Novel Sanggarguri memberikanberagam bentuk pembelajaran bagi masya-rakat. Khususnya suku Sasak, Novel Sanggar-guri hadir sebagai ikhtiar bersama dalamrangka mengembalikan nilai-nilai luhur yangmulai pudar akibat kurang dapatnya masya-rakat beradaptasi dengan pesatnya perkem-bangan era digital.

Nilai-nilai yang dilambangkan melalui 10jenis kembang di Pulau Lombok tersebut diantaranya saling menghormati, tidak me-remehkan pihak lain, bersikap adil, teliti, be-kerja sama dalam kebaikan, memberi manfaatdalam situasi dan kondisi apapun, hinggamenjadi pegangan dan pengayom bagi masya-rakat. Oleh sebab itu, simbolisasi yang di-maknai secara semiotik dan berdasarkan padakonsep sufisme Sasak tersebut harus menjadipedoman bersama dalam menghadapi pesat-nya perkembangan era digital yang telah me-mengaruhi berbagai bidang kehidupan ber-bangsa dan bernegara. Konsep yang ditawar-kan melalui hasil penelitian ini tentu bersifatuniversal dan bukan hanya untuk golonganatau kelompok tertentu. Hal tersebut sesuaidengan amanat Sanggarguri, yaitu manusiamengajarkan kebaikan bukan untuk dirinyadan kelompoknya, tetapi kebaikan hakiki dansejati harus menjangkau keseluruhan manusiadan makhluk lainnya. Dengan demikian, nilaisufisme Sasak juga dapat menjadi pedomanbagi masyarakat lainnya di luar suku Sasakatau Pulau Lombok.

DAFTAR PUSTAKAAfifuddin. 2013. Sufisme Sasak dalam Bingkai

Sosio-kultural. Mataram: Galih Kemuning.Amin, Syukur. 2014. Tasawuf Sosial .

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Page 16: EKSISTENSI SUFISME SASAK DALAM NOVEL SANGGARGURI …

48 , Volume 4, Nomor 1, Juni 2018

Badrin, Ahmad. 2011. “Potret PerjuanganTokoh Utama dan Nilai Didik dalam NovelGuru Dane Karya Salman Faris” (TesisPascasarjana Universitas Mataram).Mataram: Unram Press.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. KamusBesar Bahasa Indonesia (edisi III). Jakarta:Pusat Bahasa.

Effendi, Rahmad. 2017. Manusia di Era Digital.Yogyakarta: Jalasutra.

Endraswara, Suwardi. 2003. MetodologiPenelitian Sastra, Epistemologi; Model Teoridan Aplikasinya. Yogyakarta: PustakaWidyatama.

Fathurrahman, Agus H.L. 2017. KosmologiSasak, Risalah Inen Paer. Mataram: Genius.

Handayani. 2016. “Aspek Moral dalam NovelBiru karya Fira Basuki: PendekatanSemiotik” (Tesis Pascasarjana UniversitasMataram). Mataram: Unram Press.

Harapandi, Dahri. 2004. Pemikiran TeologiSufistik Syekh Abdul Qodir Jaelani. Jakarta:Wahyu Press.

Imron, Abdullah. 2013. “Nilai PendidikanMultikultural dalam Novel Burung-BurungRantau.” (Tesis Pascasarjana UniversitasNegeri Surabaya). Surabaya: Unesa Media.

Jabrohim. 2003. Metodologi Penelitian Sastra.Yogyakarta: Hanindata Graha Widy.

Jumantoro, Totok. 2005. Kamus Ilmu Tasawuf.Yogyakarta: Amzah.

Mahjuddin. 2015. Akhlak Tasawuf I. Jakarta:Kalam Mulia.

Nuriadi. 2016. Theory of Literature AnIntroduction. Mataram: Arga Puji Press.

Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori PengkajianFiksi. Yogyakarta. UGM Press.

Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Teori, Metode, danTeknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Simon, Sidhey B, dkk. 2014. Values Clarificationof Semiology. New York: Hart PublisingCompanay. Inc.

Siswantoro. 2015. Metode Penelitian Sastra:Analisis Psikologis . Surakarta:Muhammadiyah University Press.

Sunardi. 2012. Semiotika Negativa. Yogyakarta:Kanal Press.

Supaat, Lathief. 2010. Sastra Eksistensialisme,Mistisme, Religius. Lamongan: PustakaPujangga.

Suriadin, Alwi. 2014. Islam Sufistik, IslamPertama dan Pengaruhnya Hingga Kini diIndonesia. Bandung: Mizan.

Wachid, Abdul B.S. 2013. Sastra Pencerahan diEra Modern. Yogyakarta: Centra Grafindo.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. TeoriKesusastraan. Jakarta: Gramedia

Yamin, Mochammad. 2014. Paer, Konsep Deo-sosiokultural Sasak (Makalah pada KongresKebudayaan 2014). Jakarta: Kemdiknas.