Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

30
Peduli Rakyat? Pikirkan Air Minum dan Sanitasi!

description

Majalah Air Minum dan Penyehatan Lingkungan dengan tema Air sebagai Hak Asasi Manusia

Transcript of Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

Page 1: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

Peduli Rakyat? Pikirkan Air Minum dan Sanitasi!

Hak Air

Page 2: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

Media Informasi Air Minumdan Penyehatan Lingkungan

Diterbitkan olehKelompok Kerja Air Minumdan Penyehatan Lingkungan

(Pokja AMPL)

Penanggung JawabDirektur Permukiman dan Perumahan

BappenasDirektur Penyehatan Lingkungan

Kementerian KesehatanDirektur Pengembangan Air Minum

Kementerian Pekerjaan UmumDirektur Bina Sumber Daya Alam dan

Teknologi Tepat Guna Kementerian Dalam Negeri

Direktur Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup Kementerian Dalam Negeri

Pemimpin RedaksiOswar Mungkasa

Dewan RedaksiMaraita Listyasari

Nugroho Tri Utomo

Redaktur PelaksanaEko Budi Harsono

Desain dan ProduksiAgus Sumarno

Sofyar

Sirkulasi/SekretariatAgus Syuhada

Nur Aini

Alamat RedaksiJl. RP Soeroso 50, Jakarta Pusat.

Telp./Faks.: (021) 31904113Situs Web: http//www.ampl.or.ide-mail: [email protected]

[email protected]

Redaksi menerima kirimantulisan/artikel dari luar.

Isi berkaitan dengan air minum dan penyehatan lingkungan.

DaftarIsi

Dari Redaksi ............................................................................................................. 3 Suara Anda................................................................................................................ 4Laporan Utama

Majelis Umum PBB Sahkan Resolusi Hak Asasi Atas Air............................... 5Hak Atas Air Sebagai Hak Asasi Manusia.................................................... 10Sekilas HAK ASASI MANUSIA (HAM)...........................................................13

Regulasi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia........ 14Agenda HariAntiKemiskinanInternasional, Sulitnya Akses Air Minum dan Sanitasi Bagian dari Kemiskinan.................16Wacana Persoalan Hak atas Air dan Rumah (tulisan pertama)................................ 18 Negara Harus Menjamin Hak Rakyat Atas Air.............................................24 Peduli Rakyat? Pikirkan Air Minum dan Sanitasi!...................................... 28 Wawancara NugrohoTriUtomo,DirekturPemukimandanPerumahanBappenas.......31 Hamong Santono........................................................................................34 APatraMZen,DirekturYLBHI....................................................................36Inovasi Teknologi Oksidasi untuk Air Bersih .......................................................... 38 TanahLiatMediaEfektifMenjernihkanKeruhnyaAirGambut..................41Sisi Lain Syariat Islam sebagai Solusi........................................................................ 45Reportase DialogPublikWaspadaiKonflikAir KonflikAirMinumPerluDiantisipasiPemerintahDaerah.........................46 30%KematianBalitaAkibatSanitasiBuruk...............................................48 WorkshopHCTPSBagiGuruSDDKIJakarta Baru Tiga Persen Masyarakat Cuci Tangan Pakai Sabun.............................49 “PolitikAir”HarusJadiPerhatianPemerintahDaerah...............................50 SinergiProgramJejaringAMPLdenganGBCI.............................................53Panduan Sejumlah Teknologi Mendapatkan Air Bersih ........................................... 54Info CD..................................................................................................................... 55Info Buku................................................................................................................. 56Info Situs ................................................................................................................. 57Pustaka AMPL......................................................................................................... 58Fakta Perlu Investasi 150 Milliar US$ Cegah Krisis Air Dunia.............................. 59

Page 3: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

Edisi III, 2010

3

DariRedaksi

POKJA

Tidak terasa kita telah melewati hari raya Idul Fitri 1431 Hijriah. Bagi para pembaca yang merayakannya kami menyampaikan Selamat Idul Fitri. Dari hati yang paling dalam kami memohonkan Maaf Lahir

Bathin. Semoga kita semua menjadi manusia yang jauh lebih baik lagi.

Pada awal September, tiba-tiba saja kita semua mendengar berita tentang dikeluarkannya Resolusi Majelis Umum PBB terkait penetapan Hak Atas Air sebagai Hak Asasi Manusia. Sebagian kalangan mungkin terkejut tetapi banyak juga yang menerimanya biasa-biasa saja dengan berbagai alasan. Bisa saja karena sebenarnya hak asasi manusia telah menjadi pembicaraan yang hangat di Indonesia sejak satu dekade terakhir. Hal ini juga ditunjang oleh lahirnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Walaupun sebenarnya ide tentang hak asasi manusia sendiri telah termaktub dalam UUD 1945. Sementara pengakuan Hak Atas Air sebagai Hak Asasi Manusia sendiri di Indonesia secara implisit telah teradopsi dalam regulasi yang ada. Dimulai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Sistem Penyediaan Air Minum.

Resolusi ini merupakan kemajuan luar biasa bagi pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan tidak hanya di dunia tetapi juga di Indonesia. Menjadi suatu obsesi berkepanjangan bagi pemangku kepentingan bahwa hak atas air sebagai hak asasi manusia menjadi arus utama pembangunan di Indonesia. Dengan demikian, kita berharap masyarakat Indonesia yang belum mendapatkan akses air minum dapat berkurang secara signifikan. Tentu saja, caranya tidak sederhana. Terutama mempertimbangkan masih banyaknya pemerintah daerah yang bahkan belum menyadari sepenuhnya bahwa penyediaan air minum merupakan urusan wajib pemerintah daerah. Tentu saja jalan masih panjang. Dalam kaitan itu, kemudian kami ingin menjadikan momen keluarnya resolusi tersebut untuk kembali membangkitkan semangat kita semua akan besarnya tanggungjawab yang masih tersisa. Masih 100 juta lagi saudara kita yang belum tersentuh akses air minum.

Menyerahkan sepenuhnya tanggungjawab penyediaan air minum kepada pemerintah daerah juga bukan pilihan yang bijak. Kita semua seyogyanya bersama-sama bahu membahu dengan pemerintah daerah menuntaskan pekerjaan rumah ini. Sebagaimana salah satu prinsip hak asasi manusia yaitu saling membantu dan bersinergi mencapai tujuan bersama. Mari. Tunggu apa lagi (OM).

Page 4: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

4

Kuliah Kerja di Majalah Percik

Perkenalkan nama saya Muhammad Chaidir, mahasiswa Ilmu Komunikasi Uni-versitas Moestopo Beragama Jakarta. Saya membaca majalah Percik yang berada di Perpustakaan Kampus beberapa waktu lalu. Melihat isi serta sejumlah isu yang se-cara khusus membahas tentang Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) yang disajikan begitu lugas, cerdas dan bernasmembuat saya tertarik untuk membuat Tu-gas Akhir Terkait dengan fungsi media yang bapak kelola terkait dengan pembangunan AMPL di Indonesia.

Saya sangat berharap pengelola Majalah Percik bersedia memberikan kesempatan kepada saya untuk melakukan penelitianuntuk tugas akhir saya tentang Fungsi Me-dia Internal Dalam Program Pemerintah Percepatan Pembangunan AMPL. Jika bapak bersedia saya akan kirimkan surat pengantar dari Kampus serta Proposal Tugas Akhir Saya. Terimakasih. Salam Percik

Muhammad ChaidirUniversitas Moestopo Jakarta

Terimakasih atas perhatian dan keper-cayaan anda terhadap Majalah Percik. Silah-kan saja kirimkan secara resmi permohonan anda untuk melakukan penelitian. Dengan senang hati kami akan membantu. Salam Percik

Mari Kita Hormati Air Siapakah yang bisa hidup tanpa air? Be-

gitu besar keguanaan air dalam kehidupan di dunia ini. Saat kita gerah dan kotor setelah beraktifitas sehari-hari, kita menyiramkanbadan kita dengan air untuk mandi. Kemu-dian kita meneguk air kalau dahaga, danbegitubanyaksekaliaktifitaskehidupankitayang sangat bergantung pada air.

Begitulekatnyaairdalamkehidupankita,sehinggabisasajaadayangtidakmenyadarimanfaatnya. Manfaat itu baru terasa bila kita mengalami kesulitan mendapatkan air bersih. Ketika saluran air mengalami gang-guan, dan keluarnya air menjadi mampat

dankotor,itusudahsangatme-resahkan kita. Ba-

gaimana kalau air sudah tidak kita dapatilagi? Bencana kekeringan yang menimpa,selain bencana banjir yang begitu dahsyat terjadi karena kesalahan mahluk di dunia ini yangbegituserakahdantidakpedulidengankondisi alamnya.

Begitu besar kekuatan air dalam kehidup-an ini, karena itulah sayangilah air denganmenggunakannyasebaik-baiknya.Selainitu,kekuatan air akan semakin bertambah dan berpengaruh positif pada diri kita bila saathendakmenggunakanair,misalnyamaumi-num,kitaberdoaterlebihdahulu.Halterse-but dibuktikan oleh profesor dari Jepangdenganpenelitiannyatentangairyangakanberubah tekstur dan kristalnya sesuai kondisi pemakainya. Karena itu gunakanlah kekuat-an postif air dengan menggunakannya de-ngan penuh kasih sayang.

Rini Utami AzisSolo, Jawa Tengah.

Liberalisasi Air Semakin Memprihatinkan

Gelombang liberalisasi tampaknya su-dah tak terbendung lagi. Semua aspek hidup kita terpaksa harus tunduk pada kesepakat-an-kesepakatan internasional yang hanya memperhatikanpemilikmodalbesar.

Telah tampak adanya diskriminasi karena privatisasiair.Kebijakanyangtidakprodenganrakyatketikaairadalahbisnis,makaiakemudi-antaksekedarbergerakmencarikeuntungan,tetapi juga bagaimana dapat mengikat dan lalu memperdaya orang sehingga mau tunduk ter-hadapnya,terhadapkekuasaanyangmengua-sainya.Pengelolaanairtidaklagimempertim-bangkan bagaimana melakukan pengelolaan air dalam suatu sistem yang sanggup memberi pelayananairkepadamasyarakat secaraadil,merata dan terjangkau.

Air adalah kebutuhan dasar manusia,sebab itu air tak boleh dikomersialisakan sebagai kebutuhandasarmasyarakat, telahdijamindalamkonstitusinegarapadapasal33UUD1945.ContohnyadiBatam,daerahpemukimanelitmenjadiprioritasutama,se-mentara daerah-daerah perkampungan dan kumuhtidak tersentuh, seperti Teluk Leng-gung, Pungur yang masih mengkonsumsiairsumursampaisaatini,padahalmenuruthasil uji laboratorium Dinas Kesehatan air di wilayahtersebuttidaklayakkonsumsikare-na mengandung bakteriologi positif tinggidan pH di bawah batas syarat. Sementara beberapa meter dari pemukiman warga berdiri instalasi pengelolaan air (IPA).

Banyaknya bunuh diri yang sekarang sedang merajalela karena merasa tekanan hidupyangtinggi, yang sulituntukdijalani.Masihkanpemerintahtidakmemperhatikanhak-hak dasar seperti air, pendidikan dankesehatan? Bukankah rakyat tidak pernahmenuntut sesuatu yang berlebihan? Mereka hanya membutuhkan terpenuhinya hak-hak mereka. Untuk menangis meratapi nasib pun kita akan berpikir karena kita akan me-ngeluarkan“airmata”.Sekalilagi,kitaperluberhati-hatidenganmasalahair,sekalisalahlangkah,bukannyawasajayangtergadaikan,tetapi juga masa depan anak cucu.

Maftuhah Menteng, Jakarta.

Jangan Gunakan Botol Plastik Berulang

Botol dan gelas air minum dalam ke-masan (AMDK) sering kembali digunakan. Bahkan, botol atau gelas itu dipakai beru-lang-ulang. Padahal sebenarnya, kemasantersebut hanya untuk sekali pakai. Ada stan-dar kesehatan yang harus dipenuhi produsen AMDK. Standar ini bertujuan meminimalkan bakteri yang ada di dalam kemasan.

Kalausegelnyasudahdibuka,hendaknyabotoltidakdipakailagi.Sebab,AMDKdibuatdari bahan polyethylene terephthalate atau PET yang mengandung karsinogen (penyebab kanker). Zat itu membahayakan kesehatan tubuh bila terminum. Melalui serangkaian standarsterilisasibotol,saatmasihtersegel,zattersebutbersifattidakaktif.Jumlahbak-teri yang ada dalam AMDK pun dipastikantak melampaui ambang batas toleransi.

Namun jangan salah botol air minum bukan hanya bisa dibuat dengan PET, tapijuga dengan PVC (Poly Vinyl Chloride), dahini jauh lebih berbahaya karena bisa menim-bulkan hujan asam bila dibakar. Bahkan PVC berpotensiberbahayauntukginjal,hatidanberat badan. Perubahan penggunaan PVC ke PET sebenarnya sudah dimulai tahun 1988. Semogasajasekarangtidakadalagiperusa-haan yang menggunakan PVC.

Penggunaan botol atau gelas AMDK ber-ulang membuat karsinogen tersebut larut dalam air yang kita minum. Terutama bila dilakukan dalam jangka panjang. Jika me-mang terpaksa menggunakan lagi botol atau gelas minuman kemasan perlu dicuci dengan sabun yang mengandung disninfektan atau antikuman.Sabuncuciuntukperabotrumahtangga sudah memenuhi standar ini.

Wahyu, Surabaya

SuaraAnda

Page 5: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

5

Edisi III, 2010LaporanUtama

Awal bulan Septem-ber lalu, masyarakat dunia, khususnya prak-tisi, pegiat lingkungan hidup dan kesehatan

masyarakat serta aktivis dibidang Air Minum dan Penyehatan Lingkun-gan dibuat terkejut dengan terbitnya Reso lusi Majelis Umum PBB yang menegaskan bahwa akses memper-oleh air minum dan sanitasi yang layak merupakan bagian dari hak asa-si manusia. Jelasnya, resolusi Majelis Umum PBB tersebut bertajuk: “Hak untuk mendapatkan air minum dan sanitasi yang bersih dan aman meru-pakan bagian dari hak asasi manusia, dan merupakan elemen penting un-tuk menikmati hak atas hidup secara menyeluruh.”

Dalam resolusi tersebut Maje-lis Umum PBB mendesak seluruh masyarakat internasional dan Negara yang menandatangani resolusi untuk meningkatkan usaha menyediakan air dan sanitasi yang aman, bersih, dan mudah untuk dijangkau bagi selu-ruh manusia.” “Keterbatasan akses ke air minum membunuh lebih banyak anak-anak dibandingkan jumlah anak yang meninggal dunia akibat AIDS, malaria, dan campak,” kata Ketua Dewan HAM PBB dari Bolivia, Pablo Solon dalam situs resmi PBB.

Data Program Lingkungan Hidup PBB memperkirakan 884 juta pen-duduk dunia tidak memiliki akses untuk mendapatkan air minum yang aman dan 2,6 milyar orang memiliki akses terbatas untuk fasilitas sanitasi

yang layak. Kesulitan akses tersebut menyebabkan antara lain 1,5 juta ba-lita meninggal dunia akibat penyakit yang terkait dengan air minum dan sanitasi yang layak.

Resolusi Hak Atas Air minum tersebut disahkan melalui voting yang diikuti 163 negara anggota PBB. Tidak ada negara yang menolak resolusi ini. Terdapat 122 negara termasuk China, Rusia, Jerman, Prancis, Spanyol, dan Brazil mendukung resolusi tersebut. Sementara 41 negara, seperti Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Botswana menyatakan abstain.

Sebagian negara yang abstain me-nyatakan, resolusi tersebut tidak menjelaskan cakupan hak atas air minum dan kewa-jiban yang

Majelis Umum PBB Sahkan Resolusi

Hak Azasi Atas Air

Page 6: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

6

harus dilakukan untuk memenuhi hak tersebut. Menyikapi resolusi terse-but, pakar AMPL, Hening Darpito menga takan pada awalnya ada kekha-watiran bahwa resolusi hak atas air dan sanitasi ini prematur, ternyata sebaliknya dalam voting, resolusi ini malah memperoleh tanggapan positif oleh hampir semua peserta sidang.

Jalan Panjang Diawali pada tahun 1948 ketika

Deklarasi Universal Hak Asasi Ma-nusia (DUHAM) diumumkan dan dilanjutkan pada tahun 1966 ketika International Covenants on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), air tidak disebut eksplisit sebagai hak asasi tetapi disebutkan sebagai bagian tidak terpisahkan dari hak asasi yang telah disepakati yaitu hak untuk hidup, hak untuk kehidupan yang layak, hak un-

tuk kesehatan, hak untuk perumahan dan hak untuk makanan. Setelah itu barulah disebutkan secara lebih eks-plisit walaupun masih sebagai bagian dari suatu konvensi dengan tema lain seperti misalnya yang tertuang dalam pasal 14 ayat (2) huruf h The Conven-tion on the Elimination all of Forms Dis-crimination Against Women-(CEDAW 1979), bahwa negara pihak harus mengambil langkah-langkah yang ter-ukur untuk menghapuskan berbagai bentuk diskriminasi terhadap perem-puan, khususnya menjamin hak-hak perempuan untuk menikmati standar kehidupan yang layak atas sanitasi dan air minum yang sehat. Demikian juga dalam pasal 24 The Convention on The Right of The Child-CRC 1989 yang menyatakan bahwa dalam upaya mencegah malnutrisi dan penyebaran penyakit maka setiap anak memiliki hak atas air minum yang bersih.

Kemudian dilanjutkan dengan pernyataan dan himbauan melalui Deklarasi Millenium yang mence-tuskan proyek MDGs (Millenium Development Goals), yang merupa-kan komitmen para kepala negara/pemerintahan anggota PBB untuk memerangi kemiskinan global antara 2000-2015 menyerukan kepada pe-merintah agar “menyediakan akses air bersih dan sanitasi yang memadai bagi masyarakat yang saat ini belum bisa menikmatinya”.

Tetapi pernyataan yang eksplisit dan secara khusus menyebut air baru terjadi pada tahun 2002, ketika Komite Hak Ekonomi Sosial dan Bu-daya PBB dalam komentar umum No-mor 15 memberikan penafsiran yang lebih tegas terhadap pasal 11 dan 12 Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang menyatakan hak atas air tidak bisa dipisahkan dari hak-hak asasi manusia lainnya, yaitu air tidak hanya sebagai komoditas ekonomi dan akses terhadap air (right to water) adalah hak asasi manusia. ” The human

Laporan Utama

Water Right dan Right to Water

PemahamanataspengertianWater Right dan Right to Waterseringkabur,keduaistilahituseringdiartikansamadalamBahasaIndonesiayaituHakatas Air. Padahal kedua istilah tersebut mempunyai pemahaman yang

berbeda. Kekuasaan untuk mengambil air dari alam sering disebut sebagai Water Right yangmengandungpengertiansebagaiberikut:

l Mengambil atau mengalihkan dan menggunakan sejumlah air dari sebuah sumber alamiah

l Mengumpulkan sejumlah air dari sebuah sumber air ke dalam suatu tempatsepertibendunganataustrukturlainnyaatau

l Menggunakan air di sumber alaminya. Water Right merupakan suatu alat yang dikeluarkan oleh negara sebagai

institusiyangmenguasaiairkepadaperseoranganataubadanusahayangsecarahukum disebut sebagai ‘licences’, ‘permissions’, ‘authorisations’, ‘consents’ and ‘concessions’ untuk memanfaatkan air. Water right dalam terminologi ekonomi dipakai sebagai alat untuk menarik restribusi atas air yang dimanfaatkan.

PengertiantersebutjelassangatberbedadenganRight to Watersepertiyangdipahami dalam kajian Hak Asasi Manusia. Hukum yang mengatur Water Right memilikiasumsibahwaairadalahkomoditiyangmembutuhkanperlindunganhukum bagi pihak-pihak yang menguasainya. Water Rightdapatlebihdiartikansebagai Hak Memiliki Air. Perbedaannya adalah air sebagai sebuah kebutuhan (untuk dimiliki) dan air sebagai sebuah hak. The Right to Water (air sebagai sebuah hak) lebih ditekankan pada air sebagai bagian yang tak terpisahkan darikehidupanmanusiayangbermartabat,olehkarenaituHakAtasAiradalahsesuatu yang mutlak dan telah memunculkan kewajiban bagi Negara untuk mengakuinya.

ISTIMEWA

Page 7: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

7

Edisi III, 2010

right to water entitles everyone to suf-ficient, affordable, physically accessible, safe and acceptable water for personal and domestic uses.” Hak atas air juga termasuk kebebasan untuk mengelola akses atas air. Elemen hak atas air harus mencukupi untuk martabat manusia, kehidupan dan kesehat an. Kecukupan hak atas air tidak bisa diterjemahkan dengan sempit, hanya sebatas pada kuantitas volume dan teknologi. Air harus diperlakukan sebagai barang social dan budaya, tidak semata-mata sebagai barang ekonomi.

Dalam Komentar Umum Perseri-katan Bangsa-Bangsa (United Na-tions General Comments) pada Komite untuk Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (Committee on Economic, Social, and Cultural Rights) Nomor 15, hak asasi manusia atas air terdiri dan dua kom-ponen penting, yaitu kebebasan (free-dom) dan pengakuan (entitlements). Kebebasan dimaksudkan tidak adanya intervensi yang bisa menyebabkan ter-

cerabutnya hak asasi manusia atas air, misalnya terkontaminasinya air yang dikonsumsi. Pengakuan adalah hak atas sistem dan manajemen air yang memungkinkan setiap orang mempu-nyai kesempatan dan akses yang sama atas air.

Upaya Pemerintah Sebagaimana hak asasi manusia

lainnya posisi negara dalam hubung-annya dengan kewajibannya yang ditimbulkan oleh hak asasi manusia, negara harus menghormati (to respect) yaitu mengharuskan negara mencegah terganggunya langsung/tidak lang-sung pemenuhan hak atas air, melin-dungi (to protect) yaitu mengharuskan negara mencegah keterlibatan pihak ketiga (perusahaan) dalam pemenuh-an hak atas air, dan memenuhinya (to fulfill) yaitu mengharuskan negara mengambil langkah untuk mencapai pemenuh an hak atas air sepenuhnya. Dalam konteks menghormati, peme-rintah Indonesia telah meratifikasi

kovenan internasional tentang hak ekonomi, sosial, budaya melalui UU Nomor 11 Tahun 2005 sehingga ne-gara harus memenuhi hak masyarakat termasuk kebutuhan akan air mi-num.

Upaya pemerintah pun terlihat serius dengan keluarnya UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang dalam pasal 5 menyatakan bahwa negera menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih dan produktif. Lebih lan-jut penjabaran hak atas air yang tertu-ang dalam UU menyebutkan bahwa masyarakat memiliki hak untuk (i) memperoleh informasi yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air; (ii) memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan pe-ngelolaan sumber daya air; (iii) memperoleh manfaat atas pengelo-

Page 8: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

8

laan sumber daya air; (iv) menyatakan keberatan terhadap rencana pengelo-laan sumberdaya air yang sudah diu-mumkan dalam jangka waktu terten-tu sesuai dengan kondisi setempat; (v) mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya air; dan/atau (vi) mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah sumberdaya air yang merugikan ke-hidupannya.

Sementara hak masyarakat diatur lebih jauh dalam Peraturan Pemerin-

tah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum sebagai turunan UU No-mor 7 Tahun 2004, yang dalam hal ini adalah pelanggan adalah (i) mem-peroleh pelayanan air minum yang memenuhi syarat kualitas, kuantitas, dan kontinuitas sesuai dengan standar yang ditetapkan; (ii) mendapatkan informasi tentang struktur dan be-saran tarif serta tagihan; (iii) meng-ajukan gugatan atas pelayanan yang merugikan dirinya ke pengadilan; (iv) mendapatkan ganti rugi yang layak sebagai akibat kelalaian pelayanan; dan (v) memperoleh pelayanan pem-

buangan air limbah atau penyedotan lumpur tinja.

Bahkan secara teknis kualitas air minum telah diatur tersendiri dalam PP Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengen-dalian Pencemaran Air untuk memas-tikan kepentingan masyarakat terlin-dungi.

Walaupun demikian, pemerintah dianggap telah gagal memenuhi hak masyarakat tersebut. “Upaya peme-rintah Indonesia untuk melindungi dan menghormati hak atas air mi-num masih terlalu jauh dari harapan masyarakat,” kata Koordinator Na-sional Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (Kruha) Hamong Santono. “La-poran yang disusun oleh UNESCAP, ADB, dan UNDP, juga secara tegas menyatakan bahwa Indonesia berada di jalur yang lambat dalam pemenuh-an target air minum dan sanitasi da-lam MDGs,” tuturnya.

Salah satu pemicu rendahnya akses masyarakat terhadap air mi-num itu adalah kecilnya anggaran yang dialokasikan pemerintah. Tahun 2005 lalu, anggaran yang dikeluarkan hanya Rp.500 miliar dan tahun 2010 Rp.3 triliun. Padahal, kebutuhan ang-garan untuk pembangunan air mi-num dan sanitasi berkisar 2 sampai 3 kalinya. “Perlu komitmen dan agenda politik yang lebih jelas soal hak atas air masyarakat. Kita jangan asal ikut menandatangani resolusi namun tidak tahu setelah itu akan kemana perso-alan air minum dan sanitasi dasar masyarakat bergerak,” ujar Hamong,

Namun kembali kepada salah satu prinsip pemenuhan hak asasi manu-sia, bahwa prosesnya harus memper-hatikan kemampuan dari masing-masing pemerintah. Terpenting dari semuanya adalah adanya keinginan yang kuat dari pemerintah mencapai target pemenuhan hak atas air. Hal ini sudah terlihat jelas jika memban-

Laporan Utama

POKJA

Page 9: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

9

Edisi III, 2010

dingkan kenaikan alokasi anggaran air minum dan penyehatan lingkunng-an naik hampir enam kali lipat pada kurun waktu lima tahun mendatang (2010-2014) dibanding kurun waktu lima tahun sebelumnya (2005-2009).

Pemerintah Daerah sebagai Ujung TombakSeringkali aktor utama dari pem-

bangunan air minum dan penyehatan lingkungan terlupakan. Berdasarkan regulasi yang ada, pemerintah daerah lah yang saat ini menjadi pihak yang bertanggungjawab menyediakan air minum. Menjadi pertanyaan penting, sejauh mana konsep hak atas air seba-gai hak asasi manusia telah dipahami oleh pengambil keputusan di daerah. Jika itu saja belum terlaksana, jangan berharap banyak bahwa resolusi PBB tersebut akan berdampak bagi pen-ingkatan akses air minum di Indone-sia. Kalapun telah dipahami, menjadi langkah berikutnya untuk mengeta-hui sejauhmana pemahaman tersebut telah terinternalisasi dalam dokumen perencanaan pemerintah daerah, semisal rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerh (RPJMD). Demiki-an selanjutnya sampai teralokasikan dana yang terfokus pada kelompok marjinal.

Menjadi tugas pemerintah pusat dan pemerintah propinsi menjadi-kan pemahaman hak atas air sebagai hak asasi manusia menjadi bagian dariarus utama pembangunan air mi-num dan penyehatan lingkungan di daerah. Dibutuhkan upaya advokasi baik ke pihak eksekutif maupun legis-latif, dilanjutkan dengan internalisasi melalui peninjauan kembali doku-men RPJMD, sehingga terlihat jelas peningkatan dramatis dari alokasi anggaran AMPL khususnya bagi me-reka yang termarjinalkan. Sepertinya dibutuhkan waktu yang cukup lama dengan mempertimbangkan terdapat

sekitar 500 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Tugas BersamaJadi dibutuhkan tentunya sedikit

kesabaran bagi kita semua untuk da-pat melihat hasil dari upaya pemerin-tah. Tentunya kerjasama dari semua pihak, dan ini juga merupakan salah satu prinsip pemenuhan hak asasi yaitu saling ketergantungan, men-

jadi suatu keniscayaan. Pemenuhan hak atas air sebagai hak asasi manu-sia tidak akan tercapai jika pemerin-tah dibiarkan berjuang sendiri. Mari kita bekerjasama. Masih sekitar 100 juta saudara kita belum memperoleh akses terhadap air minum. Sebagian terbesar dari mereka berasal dari kelompok yang termarjinalkan (OM)

Dirjen HAM, Harkristuti Harkrisnowo:Sejumlah Masalah di Sektor Air Jadi

Perhatian PemerintahDalam Lokakarya Hak Atas Air yang diselenggarakan oleh Pokja AMPL di Bogor beberapawaktulalu,DirekturJenderalHakAsasi Manusia, Harkristuti Harkrisnowodalam sambutan tertulisnya yang dibacakan oleh Direktur Kerjasama HAM, DimasSamuderaRummenegaskan,airmerupakanbenda yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan mahluk hidup. Tanpa air mahluk hiduptidakakanmampumempertahankan

kehidupannya. Namun dalam kenyataannya dunia mengalami permasalahandenganairyangdisebabkanberbagai faktor,antaralainlajupertumbuhanpendudukduniayangcepat,sertapengelolaanairyangtidakberkelanjutanyangsaatinidilaksanakan.

Disampaikan pula bahwa dalam sambutan tersebut sejumlah kebijakan internasional terkait hak atas air seperti CEDAW(Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), CRC (Convention on the Rights of the Child) dan ICESCR (International Covenant on Civil and Political Rights dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights). Termasuk juga ECOSOCDECLARATION(DeklarasiEkonomi,Sosial,danBudaya)PBBpada bulan November 2002.

Sementara Indonesia sendiri mencantumkan pengakuan atas hak dasar tersebut sejak awal di dalam Undang-Undang Dasar 1945Pasal33yangmenyatakan“Bumi,airdankekayaanalamyangterkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dengan demikian,negara bertanggung jawab menjamin penyediaan air yang bagi setiapindividuwarganegara.

ISTIMEWA

Page 10: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

10

Laporan Utama

Air dalam sejarah kehidupan ma-nusia memiliki posisi sentral dan merupakan jaminan ke-

berlangsungan kehidupan manusia di muka bumi. Air berhubungan dengan hak hidup sesesorang sehingga air tidak bisa dilepaskan dalam kerangka hak asasi manusia. Pengakuan air sebagai hak asasi manusia mengindikasikan dua hal; di satu pihak adalah pengakuan ter-hadap kenyataan bahwa air merupakan kebutuhan yang demikian penting bagi hidup manusia, di pihak lain perlunya perlindungan kepada setiap orang atas akses untuk mendapatkan air. Demi perlindungan tersebut perlu dipositif-kan hak atas air menjadi hak yang ter-tinggi dalam bidang hukum yaitu hak asasi manusia.

Pentingnya Hak Atas Air sebagai Hak AsasiTanpa disadari sebenarnya banyak

manfaat dari ditetapkannya hak atas air sebagai hak asasi. Seperti misalnya (i) air menjadi hak yang legal, lebih dari pada sekedar layanan yang diberikan berdasar belas kasihan; (ii) pencapaian akses dasar harus dipercepat; (iii) mereka yang tera-baikan menjadi lebih diperhatikan se-

hingga kesen jangan da pat

berkurang; (iv) masyarakat dan warga yang termarjinalkan akan diberdayakan untuk berperan dalam proses peng ambil-an keputusan; (v) negara menjadi lebih fokus pada pemenuhan kewajibannya karena dipantau secara internasional.

Siapa Paling TerdampakBerbicara tentang hak atas air seba-

gai hak asasi manusia, terdapat bebe-rapa kelompok yang sangat terdampak oleh perubahan yang akan terjadi. Me-reka terdampak terutama karena selama ini terabaikan haknya dan menjadi ke-lompok yang dengan berbagai alasan normatif dan legal tidak menjadi target penyedia layanan air minum.

Kaum miskin. Daintara kelompok yang terdampak, kaum miskin lah yang paling menderita. Hal ini terlihat dari data yang menunjukkan 80 persen dari yang tidak mempunyai akses air minum adalah kaum miskin, terutama miskin perdesaan.

Perempuan. Perempuan di ba-nyak komunitas mendapat status yang lebih rendah dibanding pria. Mereka mendapat tugas mengumpulkan atau mencari air untuk kebutuhan rumah tangga. Data menunjukkan 70 persen dari 1,3 miliar penduduk yang sangat miskin adalah wanita (WHO, 2001).

Riset menunjukkan bahwa rata-rata rumah tangga di Afrika menghabiskan 26 persen waktunya untuk mengum-pulkan air, dan umumnya wanita lah yang menjalankan tugas ini (DFID, 2001). Kondisi ini menghalangi wanita be kerja, bahkan bersekolah.

Anak-Anak. Kondisi air yang tidak memadai meningkatkan peluang anak-anak menderita penyakit. Sistem kekebalan mereka belum sepenuhnya terbangun. Anak-anak juga seringkali berbagi tugas dengan kaum perempuan sebagai pengumpul air. Akibatnya, di banyak negara anak-anak banyak yang tidak bersekolah.

Masyarakat Asli. Sebenarnya masyarakat asli inilah yang meman-faatkan sumber air tradisional. Namun dengan berkembangnya suatu daerah, sumber air tersebut kemudian banyak yang tercemar atau dimanfaatkan me-lebihi kapasitasnya. Kondisi ini kemu-dian menjadikan mereka tidak dapat memenuhi kebutuhannya akan air.

Prinsip Utama Prinsip utama hak asasi manu-

sia terkait pembangunan air minum dan sanitasi diantaranya adalah (i) ke-setaraan dan tanpa diskriminasi. Kedua prinsip ini merupakan paling utama

Hak Atas Air sebagai Hak Asasi Manusia

Hak Atas AirPOKJA

Page 11: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

11

Edisi III, 2010

diantara prinsip dasar kerangka hak asasi manusia. Menyatukan prinsip ini kedalam kebijakan pembangunan AMPL memerlukan upaya khusus untuk mengidentifikasi individu dan ke lompok yang paling marjinal dan rawan terkait ketersediaan akses air mi-num dan sanitasi. Selain juga memer-lukan tindakan proaktif untuk memas-tikan individu dan kelompok marjinal termasuk dalam sasaran dan menjadi fokus intervensi. Kelompok ini dian-taranya wanita, anak-anak, penduduk pedesaan, permukiman kumuh, mis-kin, penduduk yang sering berpindah, pengungsi, orang tua, masyarakat ter-asing, orang cacad, dan penduduk dae-rah rawan air. Mengembangkan data terpadu terkait kelompok ini menjadi suatu keniscayaan. Isu utama yang se-ring dibicarakan adalah keterjangkauan (affordability) tanpa membedakan penyedianya oleh swasta atau peme-rintah. Pemerintah bertanggungjawab memastikan bahwa air terjangkau oleh seluruh kalangan bahkan mereka yang tidak mampu membayar. Bentuk upaya tersebut diantaranya berupa penyedia-an sejumlah tertentu air secara gratis, sistem blok tarif, mekanisme susidi silang dan subsidi langsung. (ii) aman dan dapat diterima. Air harus aman un-tuk penggunaan domestik, dan jumlah minimum harus tersedia untuk air mi-num; (iii) layanan terjangkau. Apa yang disebut terjangkau itu?. Pembayaran dianggap tak terjangkau ketika mengu-rangi kemampuan seseorang membeli barang kebutuhan dasar lainnya seperti makanan, rumah, kesehatan dan pen-didikan. Tidak dianjurkan bagi rumah tangga mengeluarkan dana untuk air minum lebih besar dari 3% pendapa-tannya; (iv) layanan dapat di akses. Ka-pan layanan dianggap dapat di akses?. Pemerintah harus memastikan akses terhadap air tersedia di dalam atau dekat rumah, sekolah atau tempat kerja. Jika tidak memungkinkan, maka kondisi

yang dapat ditolerir adalah waktu yang dibutuhkan ke sumber air maksimal 30 menit. Keamanan ketika mengambil air juga dipertimbangkan; (v) air yang memadai. Berapa banyak kebutuhan air per orang dianggap sebagai kebutuh-an minimum?. PBB mengindikasikan bahwa air harus memadai untuk kebu-tuhan minum, sanitasi, cuci pakaian, dan masak. Dibutuhkan setidaknya 20 liter per orang per hari. Jika sumber air memadai maka jumlah minimum sebaiknya menjadi 100 liter; (vi) infor-masi yang mudah di akses. Hak atas air sebagai hak asasi memungkinkan terse-dianya akses terhadap informasi tentang strategi dan kebijakan pemerintah, dan memungkinkan masyarakat berpartisi-pasi.

Hak Atas Air sebagai Prasyarat Hak Asasi LainnyaHak atas air menjadi prasyarat pe-

menuhan hak asasi lainnya. Sebagai ilus-trasi (i) Hak atas makanan. Konsumsi air tidak aman menghambat upaya pe-menuhan nutrisi dasar dan selanjutnya hak aatas makanan; (ii) hak atas kehi-dupan dan hak atas kesehatan. Keku-rangan air yang amanmenjadi penyebab utama kematian bayi di seluruh dunia; (iii) hak atas pendidikan. Mengambil air di banyak negara merupakan tugas anak perempuan dan wanita. Padahal waktu dan jarak tempuh kadang-ka-dang membutuhkan lebih dari 2 jam perjalanan sehingga menghalangi me-reka untuk hadir di sekolah. Termasuk ketidakhadiran karena sakit akibat di-are; (iv) hak atas perumahan. Keterse-diaan air minum menjadi persyaratan sebuah rumah yang layak huni.

Kewajiban NegaraIsu yang timbul kemudian adalah

bagaimana posisi negara dalam hubung-annya dengan air sebagai benda publik atau benda sosial yang bahkan telah di-akui sebagai bagian dari hak asasi ma-

nusia. Berdasar komentar umum No-mor 15 dari Komite PBB tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya bahwa hak atas air sebagaimana hak asasi lain-nya menghasilkan tiga tipe kewajiban bagi negara yaitu kewajiban menghar-gai (to respect), kewajiban melindungi (to protect), dan kewajiban memenuhi (to fulfil).

Kewajiban menghormati: meme-lihara akses yang ada. Kewajiban ini mengharuskan negara tidak meng-ganggu baik langsung maupun tidak langsung keberadaan hak atas air. Ke-wajiban termasuk misalnya tidak mem-batasi akses kepada siapapun.

Kewajiban melindungi: mengatur pihak ketiga. Kewajiban ini mengharus-kan negara untuk menghalangi campur angan pihak ketiga dengan cara apapun keberadaan hak atas air. Pihak ketiga termasuk individu, kelompok, perusa-haan dan institusi yang dibawah ken-dali pemerintah. Kewajiban termasuk mengadopsi regulasi yang efektif.

Kewajiban memenuhi: fasilitasi, pro-mosi dan penyediaan. Kewajiban ini mengharuskan pemerintah mengambil langkah untuk memenuhi hak atas air.

Bagaimana dengan pemerintah daerah? Sebenarnya penentu utama ter-capainya hak atas air sebagai hak asasi manusia berada ditangan pemerintah daerah. Komentar Umum PBB No-mor 15 menegaskan bahwa pemerintah pusat harus memastikan bahwa pe-merintah daerah mempunyai kapasitas baik sumber daya keuangan maupun sumber daya manusia untuk menyedia-

Kesalahpahaman terhadap Hak Atas Air

Air sebagai Hak Asasi tidak berarti....l..bahwa air disediakan secara gratis

kepada semua. l..bahwa setiap rumah harus

dilayani melalui sambungan langsung bahkan jika tidak layak secara finansial

l..bahwa pemerintah sendiri yang harus menyediakan layanan dan tidak boleh mendelegasikan ke pihak non pemerintah.

Page 12: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

12

kan layanan air minum. Ditambahkan juga bahwa layanan tersebut harus me-menuhi prinsip hak asasi manusia.

Indikator Pemenuhan Hak Atas AirKecukupan air sebagai prasyarat

pemenuhan hak atas air, dalam setiap keadaan apa pun harus memenuhi fak-tor berikut (i) ketersediaan. Suplai air untuk setiap orang harus mencukupi dan berkelanjutan untuk kebutuhan in-dividu dan rumah tangganya; (ii) kuali-tas. Air untuk setiap orang atau rumah tangga harus aman, bebas dari orga-nisme mikro, unsur kimia dan radiologi yang berbahaya yang mengancam kese-hatan manusia; (iii) mudah diakses. Air dan fasilitas air dan pelayanannya harus dapat diakses oleh setiap orang tanpa diskriminasi. Kemudahan akses ditandai oleh (a) mudah diakses secara fisik. Air dan fasilitas air dan pelayanannya harus dapat dijangkau secara fisik bagi selu-ruh golongan yang ada di dalam suatu populasi; (b) terjangkau secara ekono-mi. Air dan fasilitas air dan pelayanan-nya harus terjangkau untuk semuanya.

Biaya yang timbul, baik secara langsung maupun tidak langsung dan biaya lain yang berhubungan dengan air harus terjangkau; (c) non-diskriminasi. Air dan fasilitas air dan pelayanannya harus dapat diakses oleh semua, termasuk ke-lompok rentan atau marjinal, dalam hu-kum maupun keadaan nyata lapangan tanpa diskriminasi; (d) akses informasi. Akses atas air juga termasuk hak untuk mencari, menerima dan bagian dari in-formasi sehubungan dengan air.

Mewujudkan Air sebagai Hak AsasiPada kenyataannya, sejumlah faktor

dibutuhkan untuk memastikan air seba-gai hak asasi. Pertama, pemerintah ha-rus memiliki regulasi dan intitusi yang efektif, termasuk otoritas publik yang mempunyai mandat jelas yang dibekali sumber dana dan sumber daya manusia memadai. Kedua, informasi dan pen-didikan. Ini dibutuhkan untuk memas-tikan pengelolaan air yang transparan dan bertanggungjawab. Masyarakat harus mengetahui dan memahami hak mereka. Tentunya sebaliknya juga

mereka harus tahu kewajibannya. Di lain pihak, otoritas publik juga harus mengetahui kewajibannya. Ketiga, dia-log multi pihak. Dialog ini melibatkan berbagai pihak mulai dari swasta, LSM, masyarakat miskin, yang dapat berkon-tribusi dalam proses perencanaan, pem-bangunan dan pengelolaan layanan air minum. Hal ini dapat menjadikan otoritas publik lebih bertanggungjawab dan transparan. Keempat, mekanisme solidaritas berbagi biaya. Sebagai con-toh, sistem tarif dapat menggunakan sistem subsidi silang, yang kaya mem-bayar lebih besar.

Sementara itu, hak atas air tidak hanya berlaku bagi perusahaan pu blik tetapi juga swasta. Sebagai ilustrasi, the International Federation of Private Water Operators AquaFed, yang me-wakili berbagai perusahaan layanan air minum dari yang kecil sampai perusa-haan internasional, telah memasukkan isu hak asasi air dalam aturan perusa-haan. Terdapat tiga elemen dibutuhkan agar operator melaksanakan konsep hak atas air yaitu (i) kontrak yang jelas yang mencakup peran dan tanggung-jawab operator; (ii) keberadaan subsidi atau tarif rendah bagi masyarakat mis-kin; (iii) keberadaan mekanisme sosial berkelanjutan terhadap layanan bagi kelompok yang terpinggirkan (miskin, tuna wisma, dan lainnya).

Laporan Utama

Praktek UnggulanBelgia. Dana sosial diperkenalkan

dan dibiayai melalui sumber iuran air. Pendapatan dari dana sosial diguna-kan oleh lembaga sosial untuk menu-tup biaya layanan bagi masyarakat termiskin. Selain itu diterapkan kon-sumsi air gratis maksimal 15 m3 per keluarga.

Porto Alegre, Brazil. Perusahaan publik penyedia air minum menerap-kan proses perencanaan anggaran partisipatif. Dalam pertemuan publik, setiap warga bebas berbicara tentang prioritas anggaran. Model ini meng-hasilkan pertambahan dramatis da-lam akses air minum bagi komunitas miskin.

Afrika Selatan. Setiaop institusi layanan air minum harus mempunyai unit layanan konsumen yang akan menerima setiap keluhan. Kemente-rian Urusan Air dipersyaratkan mem-punyai sistem informasi nasional yang dapat di akses oleh masyarakat.

Pertanyaan yang Sering Mengemuka•Apakah20literperkapitaperharisudahmemadaisebagaipemenuhanhakasasi?.TIDAK.20li-

ter per kapita per hari kebutuhan paling minimum tetapi masih belum dapat mencukupi kebutu-hanterkaitaspekkesehatan.Untukitu,kebutuhanminimumyangsebaiknyadipenuhiberkisarantara 50 sampai 100 liter per kapita per hari.

•Apakahbiayauntukmencapaiterpenuhinyakebutuhanairmenjadipenghalang.?.TIDAK.Me-mangbetulbahwabiayayangdibutuhkanbesar.Namun,terbuktibahwabiayayangdikeluarkansebagaiakibattidakterpenuhinyakebutuhanairminumbahkanjauhlebihbesar,dalambentukmenurunnyakualitaskesehatanmasyarakat,kehilanganwaktuproduktifdanketidakhadirandisekolah.Selainitu,kebutuhantersebuttidakharusdipenuhidalamwaktusekejap,tetapidise-suaikan dengan kemampuan masing-masing pemerintah.

•Apakahsetiaporangbahkanyangtinggaldidaerahterpencildipersyaratkanmendapataksesairminummelaluisistemperpipaan?TIDAK.Pemerintahhanyaharusmemastikansetiaporangmempunyaiaksesyangmemenuhistandar(ketersediaan,akses,terjangkau,kualitas),namuntentunyasetiapdaerahmemerlukanbentuklayananyangberbedadisesuaikankebutuhanmas-ing-masing.

•Apakahpemerintahharusmenyediakanlayananairminumsecaragratis?TIDAK..Hakasasima-nusiahanyamenjaminbahwaairminumharusterjangkaudantidakmenghambattercapainyahakasasilainnyasepertimakanan,rumahdankkesehatan.

•Apakahhakasasimelarangketerlibatanswastadalampenyediaanlayananairminum?TIDAK.Hakasasitidakmenyebutkanbentuk tertentu layananairminum.Namun,pemerintahharusmemastikan,melaluiregulasi,pemantauan,prosedurpelaporan,bahwasemuapenyedia(pub-likdanswasta)tidakmelanggarhakasasimanusia.

•Apakahpengakuanair sebagaihakasasimendorongpemenuhankebutuhanairminum?YA.Diantarabanyakfaktorlainnya,hakasasimemantapkankerangkahukum,yangmenggambarkanhakdankewajiban,danmendorongperhatianlebihpadayangmiskin,danlayananyangtidakdiskriminatif.Hakasasiinimendorongmasyarakatmenjadiaktifterlibat.Penyediaanairminumbukan lagi sekedar belas kasihan tetapi telah merambah aspek hukum.

Page 13: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

13

Edisi III, 2010

Pengertian dan Ciri Pokok Hakikat HAMHAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh

manusia, sesuai dengan kodratnya, yang diberikanlangsung oleh Tuhan. Jika hak tersebut terabaikan maka manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Sementara secara resmi dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagaimakhlukTuhanYangMahaEsadanmerupakananugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi,dan dilindungi oleh negara,hukum, pemerintah dan setiaporang, demi kehormatan sertaperlindungan harkat dan martabat manusia”

Berdasarkan beberapa rumusanHAMdiatas,dapatditarikkesimpulan tentang beberapa ciri pokok hakikat HAM yaitu (i) HAMtidakperludiberikan,dibeliataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis;(ii)HAMberlakuuntuksemua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis,pandangan politik atau asal-usulsosialdanbangsa;(iii)HAMtidakbisa dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupunsebuahnegaramembuathukumyangtidakmelindungi atau melanggar HAM (Mansyur Fakih,2003).

Pada hakikatnya Hak Asasi Manusia terdiri atas dua hakdasaryangpalingfundamental,ialahhakpersamaandan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah lahir hak-hak asasi lainnya atau tanpa keduahakdasar ini,hak asasi manusia lainnya sulit akan ditegakkan.

Perkembangan Pemikiran HAMPerkembangan pemikiran HAM dunia bermula dari

MagnaChartapadatahun1215diInggris,yangantaralain memuat pandangan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan

hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat dengan hukumyang dibuatnya), menjadi dibatasi kekuasaannya danmulai dapat diminta pertanggung jawabannya dimuka hukum (Mansyur Effendi,1994). Lahirnya MagnaCharta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yanglebihkonkret,dengan lahirnyaBill of Rights di Inggris padatahun1689.Padamasaitumulaitimbuladagiumyang intinya adalah bahwa manusia sama di mukahukum (equality before the law). Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari paham

Rousseau dan Montesquuieu. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehinggatidaklahlogisbilasesudahlahiriaharus dibelenggu.

Selanjutnya,padatahun1789lahirlah The French Declaration (Deklarasi Perancis), dimanaketentuan tentang hak lebih dirinci lagi sebagaimana dimuat dalam The Rule of Law yang antara lain berbunyi tidak bolehada penangkapan tanpa alasan yang sah. Dalam kaitan itu berlaku prinsip presumption of innocent,artinya orang-orang yangditangkap,kemudianditahandandituduh,berhakdinyatakantidakbersalah, sampai ada keputusanpengadilan yang berkekuatan

hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Dalam French Declaration sudahtercakupsemuahak,meliputihak-hak yang menjamin tumbuhnya demokrasi maupun negara hukum yang asas-asasnya sudah dicanangkan sebelumnya. Selain itu juga dikenal Perlu juga diketahui The Four Freedoms dari Presiden Roosevelt yang dicanangkan pada tanggal 6 Januari 1941.

Semua hak-hak ini setelah Perang Dunia II (sesudah Hitler memusnahkan berjuta-juta manusia) dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifatuniversal,yangkemudiandikenaldenganThe Universal Declaration of Human Rights yang diciptakan oleh PBB pada tahun 1948.

Sekilas HAK ASASI MANUSIA (HAM)

ISTIMEWA

Page 14: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

14

Regulasi

Sampai sejauh ini hak asasi manusia sudah menjadi pembicaraan yang lazim di kalangan awam. Walau-pun demikian tentunya tidak banyak yang tahu se-

cara pasti yang dimaksud. Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus di-lindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh dia-baikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

Sementara itu untuk menunjukkan penghargaan bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk men-junjung tinggi dan melaksanakan Dek1arasi Universal ten-tang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikat an Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen internasional lain-nya mengenai hak asasi manusia, maka bangsa Indonesia secara sadar bahkan telah mengeluarkan Ketetapan Ma-jelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/I998 tentang Hak Asasi Manusia. Di samping itu, pengaturan mengenai hak asasi manusia pada dasarnya sudah tercantum dalam berbagai peraturan perundang-un-dangan, termasuk undang-undang yang mengesahkan ber-bagai konvensi internasional mengenai hak asasi manusia. Namun untuk memayungi seluruh peraturan perundang-undangan yang sudah ada, perlu dibentuk Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Dalam undang-undang ini secara gamblang hak asasi manusia didefinisikan sebagai seperangkat hak yang me lekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tu-han Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilin dungi oleh nega-ra, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan

kepadanya kemampuan untuk

membedakan yang baik dan yang buruk yang akan mem-bimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam men-jalani kehidupannya.

Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Di samping itu, untuk mengimbangi kebebasan tersebut manusia memiliki kemampuan untuk

bertanggungjawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itu-lah yang disebut hak asasi manusia yang melekat pada manusia secara kodrati seba-gai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat diingkari. Pengingkaran

terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat kema-nusiaan. Oleh karena itu, negara, pemerintah, atau organi-sasi apapun mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa kecuali. Ini berarti bahwa hak asasi manusia harus selalu menjadi titik tolak, dan tujuan dalam penyelenggaraan ke-hidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Sejalan dengan pandangan di atas, Pancasila sebagai dasar negara mengandung pemikiran bahwa manusia dicip-takan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan menyandang dua aspek yakni, aspek individualitas (pribadi) dan aspek sosi-alitas (bermasyarakat). Oleh karena itu, kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi orang lain. Ini berarti bahwa setiap orang mengemban kewajiban mengakui dan meng-hormati hak asasi orang lain.

Kewajiban ini juga berlaku bagi setiap organisasi pada tataran manapun, terutama negara dan pemerintah. De-ngan demikian, negara dan pemerintah bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan menjamin hak asasi manusia setiap warganegara dan penduduknya tan-pa diskriminasi. Kewajiban menghormati hak asasi manu-sia tersebut, tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya, terutama berkaitan dengan persamaan keduduk-an warga negara dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan ber-serikat dan berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan memeluk agama dan untuk beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu, hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran.

Dasar pemikiran pembentukan Undang-undang ini adalah sebagai berikut :a. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta alam semesta

dengan segala isinya;b. pada dasarnya, manusia dianugerahi jiwa, bentuk, struk-

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Page 15: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

15

Edisi III, 2010

tur, kemampuan, kemauan serta berbagai kemudahan oleh Penciptanya, untuk menjamin kelanjutan hidup-nya;

c. untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkat-kan martabat manusia, diperlukan pengakuan dan per-lindungan hak asasi manusia, karena tanpa hal tersebut manusia akan kehilangan sifat dan martabatnya, se-hingga dapat mendorong manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus);

d. karena manusia merupakan makhluk sosial, maka hak asasi manusia yang satu dibatasi oleh hak asasi manusia yang lain, sehingga kebebasan atau hak asasi manusia bukanlah tanpa batas;

e. hak asasi manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapa-pun dan dalam keadaan apapun;

f. setiap hak asasi manusia mengandung kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia orang lain, sehingga di dalam hak asasi manusia terdapat kewajiban dasar;

g. hak asasi manusia harus benar-benar dihormati, dilin-dungi, dan ditegakkan, dan untukitu pemerintah, apara-tur negara, dan pejabat publik lainnya mempunyai ke-wajiban dan tanggungjawab menjamin terselenggaranya penghormatan, perlindungan, dan pene gakan hak asasi manusia.Dalam Undang-undang ini, pengaturan mengenai hak

asasi manusia ditentukan dengan berpedoman pada De-klarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hak-hak Anak, dan berbagai Instrumen internasional lain yang mengatur me-ngenai hak asasi manusia.

Undang-undang ini secara rinci mengatur mengenai hak untuk hidup dan hak untuk tidak dihilangkan paksa dan/atau tidak dihilangkan nyawa, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pe-merintahan, hak wanita, hak anak, dan hak atas kebebasan beragama. Selain mengatur hak asasi manusia, diatur pula mengenai kewajiban dasar, serta tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam penegakan hak asasi manusia.

Dalam Undang-undang ini, diatur pula tentang parti-sipasi masyarakat berupa pengaduan dan/atau gugatan atas pelanggaran hak asasi manusia, pengajaran usulan mengenai perumusan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi ma-nusia kepada Komnas HAM, penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia.

Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia ini adalah

merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-un-dangan tentang hak asasi manusia. Oleh karena itu, pelang-garan baik langsung maupun tidak langsung atas hak asasi manusia dikenakan sanksi pidana, perdata, dan atau ad-ministratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Undang-undang ini terdiri dari 11 bab dan 106 pasal. Namun pasal yang terkait langsung dengan pemenuhan ke-butuhan rumah, air dan penyehatan lingkungan tercantum pada a. Pasal 9 yang menyatakan (1) Setiap orang berhak untuk

hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya; (2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin; (3) Se-tiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

b. Pasal ll yang menyatakan setiap orang berhak atas pe-menuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.

c. Pasal 40 yang menyatakan setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Internasional Covenant on Economic, So-cial and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak ekonomi, Sosial dan Budaya)

Kovenan ini mengukuhkan dan menjabarkan pokok-pokok HAM di bidang ekonomi, sosial dan budaya dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dalam ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum. Kove-nan terdiri dari pembukaan dan pasal pasal yang mencakup 31 pasal.

Pembukaan Kovenan ini mengingatkan negara-negara akan kewajibannya menurut Piagam PBB untuk memaju-kan dan melindungi HAM, mengingatkan individu akan tanggung jawabnya untuk bekerja keras bagi pemajuan dan penaatan HAM yang diatur dalam Kovenan ini dalam kaitannya dengan individu lain dan masyarakatnya, dan mengakui bahwa, sesuai dengan DUHAM, cita-cita umat manusia untuk menikmati kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan hanya dapat ter-capai apabila telah tercipta kondisi bagi setiap orang untuk dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak-hak sipil dan politiknya.

Dari 31 pasal yang terdapat dalam undang-undang ini, pasal mengatur ketersediaan air minum dan penyehat-an lingkungan mengacu pada pasal 11 yaitu hak atas standar kehidupan yang memadai. (OM)

Page 16: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

16

Agenda

POKJA

Tanggal 17 Oktober setiap tahun masyarakat dunia memperingati Hari Pemberantasan Kemiskinan Sedunia (The International Day for the Eradication

of Poverty). Kemiskinan bagi negara berkembang seperti Indonesia misalnya menjadi catatan tersendiri. Sulitnya penduduk dunia memperoleh layanan dasar sanitasi dan memperoleh air minum secara layak, jelas merupakan indikator dari kemiskinan. Badan Kesehatan Dunia WHO menyebut terbatasnya 95 persen akses penduduk miskin akan air bersih membuat belenggu kemiskinan menjerat 1,2 milliar penduduk dunia.

Seperti diketahui , pada tanggal 17 Oktober tahun 1987, lebih dari seratus ribu orang berdemonstrasi di Trocadéro di Kota Paris, Perancis, tepat di tempat penandatanganan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948, untuk mengajak seluruh warga dunia merenungkan kembali nasib para korban kemiskinan ekstrim, kekerasan, kelaparan, sulitnya memperoleh air minum dan buruknya sanitasi dihampir seluruh pelosok dunia.

Kemudian, demi menghormati momen bersejarah tersebut, PBB

berinisiatif untuk mengeluarkan resolusi Nomor 47/196 tertanggal 22 Desember 1992, yang menetapkan tanggal 17 Oktober sebagai Hari Anti Kemiskinan Sedunia (International Day of Eradication for Poverty)- yang diperingati oleh warga dunia hingga saat ini. Pada tahun 2010 ini kampanye global yang dimobilisasi aliansi dunia bernama Global Call Against to Poverty (GCAP) terus dilakukan.

Pada September tahun 2000, perwakilan dari 189 negara di dunia telah berkumpul di New York dalam acara KTT Millenium yang digagas PBB. Hasilnya adalah ditandatanganinya sebuah deklarasi (Millenium Declaration) yang berisi 8 poin proyek bersama sasaran pembangunan yang harus dicapai negara-negara peserta sebelum tahun 2015. Ke delapan proyek itu meliputi penghapusan kemiskinan dan kelaparan yang ekstrim (dengan standar penghasilan di bawah 1,25 USD/hari), pemerataan pendidikan dasar, persamaan gender dan pemberdayaan perempuan, perlawanan terhadap penyakit khususnya HIV AIDS dan malaria, penurunan angka kematian anak, peningkatan kesehatan ibu, penjaminan daya dukung lingkungan dan membangun kemitraan

Hari Anti Kemiskinan Internasional

Sulitnya Akses Air Minum dan SanitasiIdikator Kemiskinan

Page 17: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

17

Edisi III, 2010

global untuk pembangunan. Jika dicermati, semua proyek itu bermuara pada satu target, yakni eliminasi problem besar bernama “kemiskinan”.

Berbicara tentang cara pemberantasan kemiskinan versi PBB, tentu tak bisa lepas juga dari pelaksanaan Tujuan Pembangunan Millenium/Millenium Development Goal’s disingkat MDG’s – yang juga merupakan produk PBB pada tahun 2000 demi menciptakan dunia tanpa kemiskinan pada tahun 2015. Sebagai bagian dari PBB, Indonesia sendiri ikut menerapkan program MDG’s sejak tahun 2004. Di dalam MDG’s sendiri, kita tahu, ada sekitar delapan program yang muluk-muluk di bidang kemiskinan, kesehatan, pendidikan, lingkungan, kesetaraan gender.

“Namun,terus terang, kami sangat meragukan keberhasilan program MDG’s di Indonesia. Karena praktis, kemiskinan -dan proses pemiskinan- tidak berkurang sama sekali. Kita masih mendengar terjadinya wabah kelaparan di berbagai tempat di tanah air, yang artinya masih terdapat kemiskinan ekstrim. Kesehatan rakyat juga semakin buruk saja. Angka kematian ibu dan bayi di Indonesia masih cukup tinggi, sejumlah besar masyarakat masih sulit memperoleh layanan air minum dan sanitasi mereka masih sangat buruk,” ujar Ketua Yayasan Perlundungan Konsumen Kesehatan, dr Marius Wijayarta kepada Percik.

Pendidikan, kesehatan, sulitnya memperoleh air minum dan rendahnya sanitasi dasar jelas bagian dari kemiskinan. Belum lagi masalah kesetaraan gender pun seperti masih mimpi, karena praktik penjualan anak dan perempuan masih marak di mana-mana. Target di bidang lingkungan hidup pun tidak terlihat karena setiap harinya kita terus disuguhkan fakta tentang dampak kerusakan lingkungan di sekitar kita, seperti banjir dan tanah longsor. Dan masih banyak lagi fakta yang membuat kita ragu akan bukti keberhasilan MDG’s.

Para aktivis kemanusian, pegiat lembaga swadaya masyarakat bidang lingkungan dan kesehatan masyarakat menyatakan bahwa kemiskinan merupakan kekerasan terhadap hak asasi manusia, sehingga mereka menuntut agar masyarakat di seluruh dunia menghormati

hak tersebut. Setelah itu, Majelis Umum PBB mendeklarasikan 17 Oktober sebagai Hari Pemberantasan Kemiskinan Sedunia, serta masyarakat dunia merayakan ‘Hari Pemberantasan Kemiskinan Sedunia’ dengan berbagai acara.

Di Indonesia Aksi memperingati Hari anti-pemiskinan juga

terjadi di beberapa kota di Indonesia, seperti Lampung, Mataram, Garut, Cianjur, Tasikmalaya, dan Purwekerto. Di Bandar lampung, sekitar 50-an massa SRMI berjalan dari tugu adipura menuju kantor Pemerintah Kota setempat. Mereka mendesak agar walikota yang baru terpilih untuk merealisasikan janji-janji politiknya semasa kampanye, terutama dalam pemberantasan kemiskinan.

Atas desakan tersebut, walikota Bandar Lampung Herman HN bersedia menerima dan berdialog dengan

perwakilan aktivis SRMI. Pihak Walikota menjanjikan akan menuntaskan sejumlah persoalan yang dituntut SRMI, diantaranya, persoalan pendidikan, kesehatan, dan dokumen warga (KTP/KK/akta kelahiran), akan diwujudkan pada tahun 2011.

Di Tasikmalaya, Jawa Barat, puluhan aktivis SRMI menggelar aksinya di kantor pemerintah kabupaten, dan

menuntut pengesahan Ranperda mengenai perlindungan Pedagang Kaki Lima (PKL). Massa juga mempersoalkan minimnya anggaran kesehatan, yang sebagian besarnya merupakan bantuan Pemprov Jabar.

Aksi juga dilakukan di kabupaten Garut, Jawa Barat, dimana puluhan demonstran menolak pembangunan Alfamart yang dianggap akan menyingkirkan ekonomi rakyat, khususnya pedagang kecil. Di Cianjur, Jawa Barat, massa yang berjumlah 300 orang anggota SRMI mendatangi kantor DPRD setempat. Massa mempersoalkan minimnya anggaran untuk pendidikan dan kesehatan, sementara biaya untuk kendaraan dinas Pemda terus membengkak.

Disamping itu, ratusan massa itu juga mendesak agar Pemkab Cianjur segera menaikkan jumlah anggaran untuk pendidikan dan kesehatan serta perlindungan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. (Eko/Infid.org)

ISTIMEWA

Page 18: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

ISTIMEWA

(Tulisan Pertama)

Wacana

Dr Cekli Setya Pratiwi, SH.,LL.M.

T he International Covenant on Economical and Social Rights (untuk selanjutnya disingkat CESCR) telah disusun dan disepakati sebagai bagian dari Hukum HAM Internasional (The International

Bill of Rights) dengan maksud tidak lain adalah untuk melindungi hak-hak asasi manusia sehingga manusia dapat hidup sebagai manusia seutuhnya, bebas, aman, terlindungi dan hidup sehat. Hak untuk hidup sebagai hak yang paling kodrati tidak akan dapat pernah tercapai kecuali semua hak-hak dasar yang dibutuhkan ketika manusia hidup seperti “hak untuk bekerja, makan,

rumah, kesehatan, pendidikan, dan budaya” dapat tercukupi (adequately)

dan tersedia (available) bagi setiap orang. Selaras dengan tujuan fundamental inilah, maka dibentuklah instrumen HAM Internasional untuk memberikan perlindungan baik kepada individu atau kelompok tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya yang tertuang dalam CESCR 1966. CESCR secara garis besar memberikan pengakuan terhadap hak untuk bekerja, hak untuk mendapat pendidikan, hak untuk kehidupan yang layak, hak atas lingkungan yang sehat, hak atas pengembangan budaya, dan seterusnya. Hak atas penghidupan yang layak yang akan ditelaah dalam tulisan ini akan difokuskan pada hak atas rumah dan air minum. Dibandingkan dengan hak sipil dan politik termuat dalam CCPR, seringkali hak ekonomi, sosial dan budaya dipandang sebagai hak generasi kedua dimana pemenuhannya tidak dapat dipaksakan (unforceable),

18

Page 19: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

Edisi III, 2010

tidak dapat dituntut di muka pengadilan (non-justiciable), dan hanya dapat dipenuhi oleh negara secara bertahap (to be fulfilled progresively). Namun demikian, seiring dengan diakuinya sistem Hukum HAM secara global yang ditandai dengan penerimaan DUHAM 1948, maka negara-negara di dunia secara berulang-ulang menegaskan melalui Konferensi Dunia tentang HAM Tahun 1993 dengan menyatakan bahwa kedua bidang HAM yaitu CCPR dan CESCR tersebut memiliki kedudukan yang sama penting. Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 32/130 pada Desember 1977 menyatakan bahwa:

“(a) All human rights and fundamental freedoms are invisilbe and interdependent; equal attention and urgent consideration should be given to the implementation, promotion, and protection of both civil and political, and economical, social and cultural rights; (b) The full realization of civil and political rights without the enjoyment of economic, social and cultural rights is impossible; the achievement of lasting progress in the implementation of human rights is dependent upon sound and effective national and international policies of economic and social development, as recognized by the Proclamation of Teheran of 1968”.

Pada Tahun 2002 Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (the Committee on Economic, Social and Cultural Rights) dalam Pandangan Umum (General Comment) Nomor 15, secara tegas memberikan penafsiran tentang pasal 11 dan pasal 12 dari Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights), bahwa hak atas air adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari hak-hak asasi manusia lainnya. Dalam argumentasinya, Komite ini menunjukkan bahwa banyak hak asasi manusia lainnya tidak dapat didapatkan oleh manusia jika sebelumnya tidak dikenal adanya hak atas air. Hak Hidup (the right to life), hak untuk mendapatkan makanan (the right to food), hak untuk mempertahankan kesehatan (the right to maintain health level) adalah hak-hak yang dalam upaya untuk memenuhinya membutuhkan hak atas air (the right to water) – sebagai prasyaratnya.

Disebutkan bahwa air tidak saja dibutuhkan untuk minum tetapi juga bagian yang tak terpisahkan dari proses pengolahan makanan, atau penciptaan kondisi perumahan yang sehat dan kebutuhan manusia lainnya

akan kehidupan. Lebih jauh bahkan ditegaskan bahwa komite tersebut memberikan kewajiban bagi negara untuk menjamin adanya hak atas air bagi setiap warga negaranya.

Dengan demikian, jelas bahwa baik hak sipil-politik maupun hak ekonomi, sosial, budaya tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena memiliki sifat saling ketergantungan dan keduanya memerlukan perhatian yang sama dari negara baik dalam hal penerapannya, sosialisasinya maupun perlindungannya. Hal ini mengingat bahwa pemenuhan hak sipil dan politik saja tanpa pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya seseorang sangatlah tidak mungkin. Oleh karena itu, untuk mewujudkan terpenuhinya hak ekonomi, sosial dan budaya dibutuhkan dukungan baik dari kebijakan nasional atau internasional.

Dengan demikian, segala bentuk penyangkalan terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya yang didukung oleh pendapat yang masih menempatkan hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai hak yang tidak nyata, hak yang tidak membutuhkan keterlibatan negara, atau hak yang dapat dipenuhi secara bertahap, hanyalah sebagai pandangan yang tidak relevan lagi. Terlebih ketika CESCR telah diadopsi oleh Majelis Umum PBB melalui Resolusi 2200 A (XXI) pada Desember 1966 dan telah dilaksanakan sejak 3 Januari 1976. Bahkan saat ini karena jumlah penerimaan CESCR oleh negara-negara sudah sangat besar yaitu 143 negara meratifikasi, maka CESCR sudah mengalami perubahan karakter yang semula hanya

merupakan perjanjian multirateral berubah menjadi hukum kebiasaan internasional (international customary law), artinya ia mengikat setiap negara dengan atau tanpa ratifikasi.

II. Menilai Jaminan Hak Atas Rumah dan Air Dalam Hukum PositifDalam membahas persoalan tentang jaminan hukum

hak rakyat atas rumah dan air perlu kiranya melihat sejauh mana hukum di Indonesia memberikan jaminan yang cukup atas hak tersebut. Dalam melihat aspek jaminan hukum, tentunya tidak sebatas pada bagaimana kualitas substansi hukum yang mengatur persoalan ini dalam setiap Hukum Nasional, namun juga harus memperhatikan sejuah mana ketaatan Indonesia sebagai bagian dari

19

Edisi II, 2010

......bahwa hak atas air

adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari

hak-hak asasi manusia lainnya.

Page 20: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

20

masyarakat Internasional yang secara sadar menerima dan mengakui ketentuan-ketentuan Hukum Internasional khususnya yang sudah menjadi bagian dari hukum positif negara kita. Hal ini perlu ditegaskan mengingat masih banyak pandangan dan praktek yang mengatakan bahwa Hukum Nasional dan Hukum Internasional terpisah satu sama lainnya. Sehingga pembuat UU, penegak hukum atau bahkan pembuat kebijakan sering kali menanggalkan sifat mengikat dari Hukum Internasional yang dimaksud dan tindakan ini sering berimplikasi pada terampasnya hak-hak rakyat yang telah diakui oleh masyarakat internasional sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurang-kurangi oleh siapapun tak terkecuali oleh negara kecuali dalam hal-hal tertentu yang itupun harus diatur secara jelas dan tegas melalui UU.

Terkait dengan obyek pembahasan dalam tulisan ini yaitu tentang jaminan hak rakyat atas kehidupan yang layak khususnya rumah dan air minum, maka implikasi yuridis dari penerimaan Indonesia terhadap suatu Perjanjian Internasional adalah sesegera mungkin melakukan pembentukan UU baru jika belum punya, singkronisasi/perubahan jika terjadi pertentangan atau bahkan pencabutan apabila memang peraturan tersebut dinilai tidak sesuai atau bertentangan dengan hak-hak rakyat. Dalam kaitannya dengan hak rakyat atas penghidupan yang layak, dimana hal ini masuk dalam ruang lingkup hak ekonomi, sosial dan budaya, maka Indonesia secara resmi menjadi peserta dari The Internasional International Convenant on Economical, Social and Cultural Rights (CESCR) 1966 melalui sebuah

ratifikasi yaitu UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan

Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dengan demikian, sejak tahun 2005 ada kewajiban hukum yang diemban oleh negara Indonesia untuk segera menyesuaikan diri terhadap setiap produk perUUan yang terkait dengan isi kovenan tersebut. Hal ini tentunya dengan maksud dan tujuan agar jaminan pemenuhan hak rakyat atas hak ekonomi, sosial dan budaya semakin kuat.

Lalu dalam konteks jaminan hak rakyat atas penghidupan yang layak khususnya rumah dan air, bagaimana CESCR membebani negara peserta untuk segera mengambil langkah-langkah tindakan penting guna mengakui hak tersebut? Dalam hal ini Pasal 11 Ayat (1) CESCR menyatakan bahwa:

The States Parties of the present Covenant recognize the right of everyone to an adaquate standard of living

for himlself and his family, including adequate food, clothing and housing, and to the continous improvement of living conditions. The State Parties will take appropiate steps to ensure the realization of this right, recognizing to this effect essential importannce of international co-operation based on free consent.

Artinya: negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak untuk dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk kecukupan pangan, pakaian, perumahan yang layak dan atas perbaikan kondisi penghidupan yang bersifat terus menerus. Negara-negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang layak untuk memastikan perwjuduan hak ini, dengan mengakui, untuk maksud ini, sangat pentingnya

arti kerjasama internasional yang didasarkan pada perbaikan yang sukarela.

Implikasi dari ketentuan Pasal 11 Ayat (1) CESCR di atas adalah bahwa bagi setiap negara yang menjadi peserta atau meratifikasi kovenant ini (termasuk Indonesia), memiliki kewajiban untuk mengakui hak setiap warga negara atas standar hidup yang layak yaitu meliputi kecukupan atas makanan, pakaian dan perumahan serta senantiasa meningkatkan perbaikan kondisi penghidupan secara terus-menerus. Bahwa kata “recognize” atau mengakui atas hak setiap warga negara untuk mendapatkan standar hidup yang layak baik kecukupan makanan, pakaian, dan perumahan tersebut memiliki makna membebani kewajiban kepada negara yaitu “the obligation to respect” (kewajiban negara untuk menghormati), “the obligation to protect” (kewajiban untuk melindungi), “the obligation to promote (kewajiban

Wacana

ISTIMEWA

Page 21: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

21

Edisi III, 2010

untuk mensosialisasikan), “the obligation to fullfill” (kewajiban untuk memenuhi) hak-hak yang terkandung dalam kovenant CESCR melalui langkah-langkah yang nyata sesuai dengan prinsip-prinsip Limburg 1986 dan Prinsip-prinsip Maastricht 1997, termasuk tindakan-tindakan legislatif untuk menyesuaikan atau merubah segala peraturan PerUUan di Indonesia baik di tingkat pusat sampai daerah yang dinilai bertentangan dengan isi kovenan.

1. Peluang Regulasi Pelaksana Yang Mengabaikan Rakyat Atas RumahPertama, tidak dapat dipungkiri bahwa keberanian

Indonesia meratifikasi CESCR adalah salah satu bentuk Indonesia memberikan pengakuan hak atas ekonomi, sosial dan budaya warga negaranya yang di dalamnya terdapat hak atas rumah dan air minum. Namun demikian, dengan ratifikasi saja tidaklah cukup. Untuk melihat sejuah mana Indonesia sebagai negara peserta CESCR telah memenuhi kewajibannya untuk menjamin pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya khususnya yang menyangkut hak atas rumah dan air minum setiap warga negaranya adalah dengan melihat segala bentuk PerUUan baik dalam hirarki tertinggi (UUD 1945) sampai herarki terendah atau PerUUan di tingkat pusat dan daerahsubstansinya telah diselaraskan atau disesuaikan dengan substansi CESCR atau secara lebih ekstrim dilakukan langkah-langkah kongkrit dimana ketentuan perUUan yang sudah tidak sesuai atau isinya bertentang dengan substansi CESCR segera dinyatakan tidak berlaku atau dicabut.

Jika kita menelaah substansi UUD 1945 sebagai peraturan tertinggi atau sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, setelah mengalami empat kali perubahan, khususnya pada Perubahan Kedua yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus tahun 2000, terdapat beberapa Pasal terkait HAM yang mengalami perubahan dan penambahan. UUD 1945 dinilai lebih rinci dalam mengatur dan menjamin perlindungan HAM dibanding Pasal 28 sebelum perubahan. Tentunya hal ini patut diapresiasi. Namun sudahkah ketentuan Pasal 28 yang dinilai lebih rinci tersebut telah selaras dengan isi CESCR yang baru diratifikasi Indonesia tahun 2005, tentunya perlu ditelaah lebih lanjut.

Terkiat dengan hak atas rumah, UUD 1945 khususnya Pasal 28H Ayat (1) dikatakan bahwa :”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Bahwa penggunaan istilah “pengakuan hak atas penghidupan yang layak” pada Pasal 11 Ayat (1) CESCR mengandung makna kehidupan yang layak meliputi kecukupan makanan, pakaian dan rumah, sedangkan dalam Pasal 28H Ayat (1) sedikit berbeda dengan yang

dipakai dalam Pasal 28H yang memilih menggunakan istilah lain yaitu ”hak hidup sejahtera lahir dan batin”.

Dalam kalimat berikutnya yang dimaksud dengan hidup sejahtera lahir dan batin hanya meliputi ”hak bertempat tinggal” dan ”hak mendapatkan lingkungan hidup yang layak dan sehat”. Dalam hemat Penulis, “hak bertempat tinggal” berkonotasi lebih luas dibanding “hak atas perumahan”, dimana seseorang dapat saja memiliki tempat tinggal meskipun

dia tidak memiliki rumah. Sedangkan seseorang yang memiliki rumah secara otomatis memiliki tempat tinggal. Dalam kondisi sosial masyarakat yang komunal seperti di Indonesia, dapat dikatakan bahwa hampir setiap orang memiliki tempat tinggal meskipun tidak setiap orang yang memiliki tempat tinggal memiliki rumah, sebab mereka dapat tinggal bersama dengan keluarga, anak atau orang tua.

Sedangkan hak lain sebagai wujud kehidupan sejahtera adalah hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat. Di dalam UUD 1945, hak untuk mendapatkan

Tidak dapat dipungkuri bahwa keberanian

Indonesia meratifikasi CESCR adalah salah

satu upaya Indonesia memberikan pengakuan hak atas ekonomi, sosial

dan budaya warga negaranya..

ISTIMEWA

Page 22: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

22

lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak secara langsung memiliki makna pada hak untuk mendapatkan kecukupan makanan. Tentunya hal ini sangat berbeda dengan apa yang dikehendaki dalam CESCR yang secara tegas memberikan pengakuan dan membebani setiap negara peserta untuk menjamin hak setiap warga negaranya untuk mendapatkan kecukupan makanan.

Dengan demikian, Indonesia sebagai negaranya yang meratifikasi CESCR belum berhasil menjamin dalam konstitusinya hak setiap warga negara untuk mendapatkan penghidupan yang layak yang didalamnya meliputi hak untuk mendapatkan pakaian yang cukup, makanan yang cukup (termasuk air minum) dan rumah yang memadai. Konsep yang ada dalam UUD 1945 Pasal 28H tersebut di atas hanya mengulang ketentuan yang ada dalam Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 yang memang lebih dulu dibuat (satu tahun sebelum amandemen Pasal 28 dilakukan). Dalam Undang-Undang Nomo 39 Tahun 1999 tentang HAM, khususnya Bagian Kesatu Hak Untuk Hidup Pasal 9 Ayat (1), (2), dan (3) dinyatakan bahwa:(1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan

hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya; (2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai,

bahagia sejahtera, lahir dan batin(3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik

dan sehat.Jika yang dimaksud sebagai ”hak untuk meningkatkan

taraf hidup” dimaknai sama dengan ”hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak” sebagaimana ketentuan Pasal 11 Ayat (1) CESCR, maka hak untuk meningkatkan taraf hidup ini harus diterjemahkan sebagai hak untuk mendapatkan makanan yang cukup, pakaian, dan perumahan. Namun demikian, setelah ditelusuri pada Bagian Penjelasan dari UU ini, tidak ada satupun penjelasan yang memberikan definisi lebih lanjut yang dimaksud sebagai ”hak untuk meningkatkan taraf hidup”. Dengan demikian, dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 sebagai UU HAM di Indonesia yang diharapkan menjadi peraturan pelaksana dari Pasal 28 UUD 1945 justru memberikan pengaturan yang sangat lemah atas hak setiap orang untuk mendapatkan penghidupan yang layak, atau tidak ada jaminan yang secara eksplisit

atas pengakuan terhadap ”hak untuk

mendapatkan kecukupan makanan, pakaian dan perumahan”.

Sesungguhnya Pasal 9 Ayat (1), (2), dan (3) UU HAM lebih diarahkan pada pengakuan ”hak hidup” sebagai bagian dari hak sipil dan politik dan bukan pada konteks pengakuan hak ekonomi sosial dan budaya. Dengan kata lain, penghormatan negara terhadap hak setiap orang atas penghidupan yang layak yang didalamnya mencakup hak atas rumah, baik UUD 1945 maupun UU HAM masih belum selaras dengan ketentuan Pasal 11 Ayat (1) CESCR. Sementara keberadaan peraturan pelaksana di bawahnya semakin berpotensi lahirnya ketentuan yang melanggar hak atas rumah namun tidak pernah dicabut atau masih terus berlaku hingga sekarang.

2. Upaya Negara Melepaskan Tanggungjawab Pemenuhan Hak Atas AirTerkait dengan hak atas air, Undang-Undang Dasar

1945 Pasal 33 ayat (2) menyatakan bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” yang berdasarkan pada konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan ”bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”, termasuk pula pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan dan tindakan pengurusan, pengaturan,

Wacana

POKJA

Page 23: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

23

Edisi III, 2010

pengelolaan, dan pengawasan untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Lebih lanjut penguasaan negara atas air sebagai bagian dari kebutuhan yang paling mendasar dan hak asasi manusia semakin dipertegas dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal di pasal Pasal 28A: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”, Pasal 28D Ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pasal 28I ayat (4) yang menyatakan bahwa ”perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah. Permasalahannya tidak dijelaskan secara lebih lanjut tentang apa yang dimaksud sebagai kemakmuran rakyat, sehingga dimensi inilah yang didalam prkatek sering diterjemahkan terlalu luas atau terlalu sempit oleh pembuat kebijakan, sehingga rentan menimbulkan konflik.

Hal lain yang sangat mendasar adalah masalah penyelenggaraan penyediaan kebutuhan air bagi masyarakat oleh swasta yang secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Sebagai sebuah layanan publik yang sangat mendasar penyediaan air bagi masyarakat harus menjadi tanggung jawab negara sehingga harus dikuasai oleh negara, sesuai dengan pasal 33 UUD 1945. Jika penyediaan sumberdaya air diserahkan kepada swasta

(privatisasi), maka penguasaan negara terhadap air untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat akan hilang. Secara teoritis, ada banyak definisi tentang privatisasi.

Definisi privatisasi menurut Undang-Undang No 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, pasal 1 angka 12 adalah penjualan saham persero, baik sebagian mau pun seluruhnya, kepada pihak lain dalam

rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat. Definisi menurut peraturan perundangan ini hanya merupakan salah satu bentuk privatisasi menurut banyak ahli. Sebagai contohnya Diana Carney dan John Farrington (1998) menyatakan bahwa privatisasi bisa diartikan secara luas sebagai proses perubahan yang melibatkan sektor privat untuk ikut bertanggung jawab terhadap kegiatan yang semula dikontrol secara eksklusif oleh sektor publik. Privatisasi termasuk di dalamnya pengalihan kepemilikan aset produktif dari sektor publik ke swasta atau hanya sekedar memberikan ruang kepada sektor privat untuk ikut terlibat dalam kegiatan operasional seperti contracting out dan internal markets). Dengan definisi seperti ini memang yang dimaksud dengan privatisasi tidak semata-mata diartikan sebagai penjualan saham. Privatisasi juga mencakup model dimana kepemilikan tetap di tangan pemerintah/negara tetapi pengelolaan, pemeliharaan dan

investasi dilakukan oleh pihak swasta (dengan model (BOT, management contract, konsesi dan sebagainya).

Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, penyeleng-garaan oleh swasta dapat dilakukan jika pada daerah tersebut belum ada BUMN/BUMD yang menyelenggarakan layanan pemenuhan kebutuhan air bagi masyarakatnya. Dengan aturan tersebut jelas bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 membuka kesempatan bagi keterlibatan sektor swasta (privatisasi) dalam penyediaan air bagi masyarakatnya.(bersambung...)

Penulis: Direktur Pusat Studi HAM (satuHAM) Fak. Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. email: [email protected]

. . . penyediaan air bagi masyarakat harus

menjadi tanggung jawab negara sehingga harus dikuasai oleh negara,

sesuai dengan pasal 33 UUD 1945.

Page 24: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

Tidak ada yang meragukan ataupun membantah bahwa air me-rupakan kebutuhan dasar bagi manusia. Begitu pentingnya air bagi manusia, sehingga hak atas air merupakan hak asasi manu-sia yang fundamental. Pengakuan air sebagai hak asasi manu-sia secara tegas tertuang dalam pasal 14 The Convention on the

Elimination all of Forms Discrimination Against Women-CEDAW 1979), yang menyatakan bahwa perlunya perlakuan yang tidak diskriminatif terhadap penyediaan air sebagai hak perempuan, demikian juga dalam pasal 24 The

Convention on The Right of The Child-CRC 1989 yang menyatakan bahwa dalam upaya mencegah malnutrisi dan penyebaran penyakit maka set-iap anak memiliki hak atas air minum yang bersih.

Pada tahun 2002, Komite Hak Ekonomi Sosial dan Budaya PBB dalam komentar umum No.15 memberikan penafsiran yang lebih tegas terhadap pasal 11 dan 12 Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan

Budaya dimana hak atas air tidak bisa dipisahkan dari hak-hak asasi manusia lainnya. Dengan air sebagai hak asasi manusia, menjadikan penyediaan layanan air dikategorikan sebagai es-sential services. Essential services merupakan pusat dari kontrak

sosial antara pemerintah dan masyarakat.Dengan kata lain jaminan terhadap hak atas air bagi

masyarakat merupakan tanggung jawab pemerintah. Tanggung jawab pemerintah terhadap pemenuhan hak atas air secara tegas dinyatakan dalam pasal 5 UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dimana negara

menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih dan

produktif. Pada sisi yang lain, seiring dengan meningkatnya konsumsi air, variasi musim, kerusakan lingkungan dan pencemaran me-

nyebabkan air menjadi langka baik dari sisi jumlah maupun kualitas.

Ketersediaan air di Indonesia mencapai 15.000 meter ku-bik per tahun per kapita. Namun ketersediaan terse-but tidak merata di setiap

pulau. Sebagai contoh pulau Jawa ketersediaan air per kapita per

tahun hanya 1750 m3, masih di bawah standar kecukupan yang sebesar 2000 m3 per kapita per tahun dan kon-

disi ini diperkirakan akan semakin parah di tahun 2020 dimana keterse-

diaan hanya 1200 per kapita per tahun2.

Kondisi ini juga semakin diper-parah dengan rusaknya daerah aliran sungai (DAS), yang dari mening kat dari tahun ke tahun. Kelangkaan air ini kemudian diperparah dengan ke-tersediaan infrastruktur air yang bu-ruk.

Selama lebih dari 30 tahun pem-bangunan infrastruktur sumberdaya air yang berfokus pada pembangunan jaringan irigasi, tidak serta merta men-jadikan kondisi jaringan irigasi lebih baik. Sampai dengan tahun 2002 ja-ringan irigasi yang sebagian besar be-rada di Jawa (48,32%) dan Sumatra (27,13%), 22,4% diantaranya menga-lami kerusakan. Dengan alokasi ang-garan yang terfokus pada pembangun-an irigasi, pada akhirnya juga mem-perkecil anggaran untuk infrastruktur air lainnya termasuk air bersih dan sanitasi. Hal tersebut bisa dilihat dari nilai total asset infrastruktur air yang sampai akhir tahun 2002 adalah sebe-sar Rp 346,49 triliun yang terdiri Rp 273,46 triliun (78,92%) untuk iriga-si, Rp 63,48 triliun (18,32%) untuk bendungan, bendung karet, dan em-bung, Rp 9,21 triliun (2,66%) untuk pengendalian banjir dan pengamanan pantai dan Rp 0,34 triliun (0,1%) un-tuk air baku.

Privatisasi sebagai solusi sampai awal dekade 90-an terus menjadi perdebatan. Model perencanaan yang sentralistik dan kepemilikan badan usaha sebagai bagian dari upaya aku-mulasi modal dan mendorong in-vestasi masih mendominasi kebijakan ekonomi di negara-negara berkem-bang. Kepercayaan terhadap inter-vensi negara dalam pembangunan ekonomi mulai menurun pada akhir 70-an akibat ekonomi negara-negara berkembang menderita akibat kejut-an-kejutan eksternal antara lain me-lonjaknya harga minyak, menurunnya harga komoditas ekspor sedangkan harga barang impor meningkat.

Dampaknya adalah krisis utang luar negeri di berbagai negara berkem-bang dan terjadinya defisit anggaran. Karena negara mendominasi aktifitas ekonomi di negara-negara berkem-bang tersebut, perhatian pun tertuju kepada kinerja dari berbagai sektor publik (khususnya badan usaha mi-lik negara) dalam rangka mengatasi kemerosotan ekonomi. Krisis juga mengakibatkan negara-negara terse-but menjadi sangat bergantung pada du-kungan keuangan dari donor dan kreditor internasional yang ke-mudian juga mening-kat pengaruhnya da-lam penyusunan kebi-jakan (Bayliss 2006). Berbagai hal tersebut kemudian menjadi dasar untuk memper-tanyakan dominasi negara dalam aktifitas

ekonomi dan juga mempertanyakan kepemilikan pemerintah.

Padahal sejumlah badan usaha, sektor publik dikelola dengan bu-ruk, beroperasi tidak efisien sehing-ga mengakibatkan defisit anggaran (budget deficits), dimana pelayanan yang diberikan tidak handal (unreli-able) dan menyebabkan orang miskin tersisihkan (Kessler 2004). Dalam konteks inilah kemudian privatisasi dipandang sebagai jalan keluar atas permasalahan yang dihadapi negara-negara berkembang. Kebijakan pri-

vatisasi yang dimulai di Inggris dan AS kemudian diterapkan di banyak negara dan didukung oleh lembaga-lembaga keuangan internasional, ter-masuk Bank Dunia melalui Structural Adjustment Program (SAP).

Upaya untuk melakukan privatisa-si juga dilakukan di sektor sumberda-ya air. Dalam konferensi air dan ling-kungan internasional yang diselengga-rakan tahun 1992 di Dublin Irlandia, melahirkan The Dublin Statement on Water and Sustainable Development (yang lebih dikenal de ngan Dublin Principles). Dublin Principles berisi

empat prinsip yang ha-rus dikedepankan dalam kebijakan dan pem ba-ngunan di sektor sum-berdaya air. Salah satu dari prinsip tersebut adalah “water has an economic value in all its competing uses and should be recognized as an eco-nomic good”.

Lahirnya the Dublin Principles, menyebabkan banyak lembaga-lembaga

internasional mereposisi kebijakan mereka di sektor sumberdaya termasuk Bank Dunia. Bahkan Bank Dunia kemudian mengambil peran sentral dalam mengembangkan dan mem-promosikan pendekatan-pendekatan baru yang konsisten dengan Dublin Principles terutama memberlakukan air sebagai barang ekonomi. Dalam prakteknya lembaga keuangan in-ternasional menempatkan reformasi sumberdaya air yang memberlakukan air sebagai barang ekonomi dalam satu paket kebijakan neo liberal yang lebih luas dan kebanyakan melalui structural adjustment program.

Selain itu agen pembangun-an bilateral (se perti DFID dan USAID) juga mendorong private sec-

Negara Harus Menjamin Hak Rakyat Atas Air

water has an economic value

in all its competing uses

and should be recognized

as an economic good

24

Wacana

Page 25: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

25

Edisi III, 2010

Tidak ada yang meragukan ataupun membantah bahwa air me-rupakan kebutuhan dasar bagi manusia. Begitu pentingnya air bagi manusia, sehingga hak atas air merupakan hak asasi manu-sia yang fundamental. Pengakuan air sebagai hak asasi manu-sia secara tegas tertuang dalam pasal 14 The Convention on the

Elimination all of Forms Discrimination Against Women-CEDAW 1979), yang menyatakan bahwa perlunya perlakuan yang tidak diskriminatif terhadap penyediaan air sebagai hak perempuan, demikian juga dalam pasal 24 The

Convention on The Right of The Child-CRC 1989 yang menyatakan bahwa dalam upaya mencegah malnutrisi dan penyebaran penyakit maka set-iap anak memiliki hak atas air minum yang bersih.

Pada tahun 2002, Komite Hak Ekonomi Sosial dan Budaya PBB dalam komentar umum No.15 memberikan penafsiran yang lebih tegas terhadap pasal 11 dan 12 Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan

Budaya dimana hak atas air tidak bisa dipisahkan dari hak-hak asasi manusia lainnya. Dengan air sebagai hak asasi manusia, menjadikan penyediaan layanan air dikategorikan sebagai es-sential services. Essential services merupakan pusat dari kontrak

sosial antara pemerintah dan masyarakat.Dengan kata lain jaminan terhadap hak atas air bagi

masyarakat merupakan tanggung jawab pemerintah. Tanggung jawab pemerintah terhadap pemenuhan hak atas air secara tegas dinyatakan dalam pasal 5 UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dimana negara

menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih dan

produktif. Pada sisi yang lain, seiring dengan meningkatnya konsumsi air, variasi musim, kerusakan lingkungan dan pencemaran me-

nyebabkan air menjadi langka baik dari sisi jumlah maupun kualitas.

Ketersediaan air di Indonesia mencapai 15.000 meter ku-bik per tahun per kapita. Namun ketersediaan terse-but tidak merata di setiap

pulau. Sebagai contoh pulau Jawa ketersediaan air per kapita per

tahun hanya 1750 m3, masih di bawah standar kecukupan yang sebesar 2000 m3 per kapita per tahun dan kon-

disi ini diperkirakan akan semakin parah di tahun 2020 dimana keterse-

diaan hanya 1200 per kapita per tahun2.

Kondisi ini juga semakin diper-parah dengan rusaknya daerah aliran sungai (DAS), yang dari mening kat dari tahun ke tahun. Kelangkaan air ini kemudian diperparah dengan ke-tersediaan infrastruktur air yang bu-ruk.

Selama lebih dari 30 tahun pem-bangunan infrastruktur sumberdaya air yang berfokus pada pembangunan jaringan irigasi, tidak serta merta men-jadikan kondisi jaringan irigasi lebih baik. Sampai dengan tahun 2002 ja-ringan irigasi yang sebagian besar be-rada di Jawa (48,32%) dan Sumatra (27,13%), 22,4% diantaranya menga-lami kerusakan. Dengan alokasi ang-garan yang terfokus pada pembangun-an irigasi, pada akhirnya juga mem-perkecil anggaran untuk infrastruktur air lainnya termasuk air bersih dan sanitasi. Hal tersebut bisa dilihat dari nilai total asset infrastruktur air yang sampai akhir tahun 2002 adalah sebe-sar Rp 346,49 triliun yang terdiri Rp 273,46 triliun (78,92%) untuk iriga-si, Rp 63,48 triliun (18,32%) untuk bendungan, bendung karet, dan em-bung, Rp 9,21 triliun (2,66%) untuk pengendalian banjir dan pengamanan pantai dan Rp 0,34 triliun (0,1%) un-tuk air baku.

Privatisasi sebagai solusi sampai awal dekade 90-an terus menjadi perdebatan. Model perencanaan yang sentralistik dan kepemilikan badan usaha sebagai bagian dari upaya aku-mulasi modal dan mendorong in-vestasi masih mendominasi kebijakan ekonomi di negara-negara berkem-bang. Kepercayaan terhadap inter-vensi negara dalam pembangunan ekonomi mulai menurun pada akhir 70-an akibat ekonomi negara-negara berkembang menderita akibat kejut-an-kejutan eksternal antara lain me-lonjaknya harga minyak, menurunnya harga komoditas ekspor sedangkan harga barang impor meningkat.

Dampaknya adalah krisis utang luar negeri di berbagai negara berkem-bang dan terjadinya defisit anggaran. Karena negara mendominasi aktifitas ekonomi di negara-negara berkem-bang tersebut, perhatian pun tertuju kepada kinerja dari berbagai sektor publik (khususnya badan usaha mi-lik negara) dalam rangka mengatasi kemerosotan ekonomi. Krisis juga mengakibatkan negara-negara terse-but menjadi sangat bergantung pada du-kungan keuangan dari donor dan kreditor internasional yang ke-mudian juga mening-kat pengaruhnya da-lam penyusunan kebi-jakan (Bayliss 2006). Berbagai hal tersebut kemudian menjadi dasar untuk memper-tanyakan dominasi negara dalam aktifitas

ekonomi dan juga mempertanyakan kepemilikan pemerintah.

Padahal sejumlah badan usaha, sektor publik dikelola dengan bu-ruk, beroperasi tidak efisien sehing-ga mengakibatkan defisit anggaran (budget deficits), dimana pelayanan yang diberikan tidak handal (unreli-able) dan menyebabkan orang miskin tersisihkan (Kessler 2004). Dalam konteks inilah kemudian privatisasi dipandang sebagai jalan keluar atas permasalahan yang dihadapi negara-negara berkembang. Kebijakan pri-

vatisasi yang dimulai di Inggris dan AS kemudian diterapkan di banyak negara dan didukung oleh lembaga-lembaga keuangan internasional, ter-masuk Bank Dunia melalui Structural Adjustment Program (SAP).

Upaya untuk melakukan privatisa-si juga dilakukan di sektor sumberda-ya air. Dalam konferensi air dan ling-kungan internasional yang diselengga-rakan tahun 1992 di Dublin Irlandia, melahirkan The Dublin Statement on Water and Sustainable Development (yang lebih dikenal de ngan Dublin Principles). Dublin Principles berisi

empat prinsip yang ha-rus dikedepankan dalam kebijakan dan pem ba-ngunan di sektor sum-berdaya air. Salah satu dari prinsip tersebut adalah “water has an economic value in all its competing uses and should be recognized as an eco-nomic good”.

Lahirnya the Dublin Principles, menyebabkan banyak lembaga-lembaga

internasional mereposisi kebijakan mereka di sektor sumberdaya termasuk Bank Dunia. Bahkan Bank Dunia kemudian mengambil peran sentral dalam mengembangkan dan mem-promosikan pendekatan-pendekatan baru yang konsisten dengan Dublin Principles terutama memberlakukan air sebagai barang ekonomi. Dalam prakteknya lembaga keuangan in-ternasional menempatkan reformasi sumberdaya air yang memberlakukan air sebagai barang ekonomi dalam satu paket kebijakan neo liberal yang lebih luas dan kebanyakan melalui structural adjustment program.

Selain itu agen pembangun-an bilateral (se perti DFID dan USAID) juga mendorong private sec-

Negara Harus Menjamin Hak Rakyat Atas Air

water has an economic value

in all its competing uses

and should be recognized

as an economic good

24

Wacana

ISTIMEWA

Page 26: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

26

tor participation kepada negara-negara pe ne rima bantuan me reka. Da-lam konteks Indonesia, tekanan glo bal untuk melakukan privatisasi ter masuk di sektor sum-berdaya air, semakin mendapat legitimasi dengan kondisi penyediaan layanan air di Indonesia. Dari 41% total pen-duduk Indonesia yang tinggal di daer-ah perkotaan, hanya 51,7% atau 20 % dari total populasi yang memiliki akses terhadap layanan PDAM, dan hanya 8 % masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan memiliki akses ter-hadap air perpipaan yang disediakan oleh Unit Pengelola Sarana (UPS).

Bahkan sampai dengan tahun 2005 hanya 21 PDAM yang bera-da dalam kondisi sehat, 68 PDAM kurang sehat, 117 PDAM tidak sehat, dan 11 PDAM dalam kondisi kritis.

Pada tahun 1993 World Bank menge luarkan kebijakan di sektor sumberdaya air (Water Resources Ma-nagement Policy), dan menurut World Bank kebijakan ini merefleksikan Rio Earth Summit 1992 dan Dublin Prin-ciples. Pada tahun 1998 Bank Dunia melakukan evaluasi terhadap kebi-jakan mereka di sektor sumberdaya air yang dituangkan dalam dokumen yang berjudul “Bridging Troubled Wa-ter: Assessing the World Bank’s Water Resources Strategy” yang dipulikasika tahun 2002. Sebagai respon dari lapo-ran evaluasi tersebut pada tahun 2003 Bank Dunia membuat strategi baru di sektor sumberdaya air (Water Resources Sector Strategy: Strategic Directions for World Bank Engagement).

Buruknya kualitas layanan, dan keterbatasan anggaran untuk menca-pai target MDGs menjadikan peliba-tan sektor swasta (privatisasi) sebagai

bagian yang tidak ter-pisahkan

dalam kebijakan pe-nyediaan air bersih saat ini. Paling tidak ada dua alasan de ngan pe libatan sektor swasta dalam penyedia an air bersih, pertama ada-lah peningkatan kua-litas layanan dan yang kedua adanya investasi untuk menutupi ke-terbatasan anggaran

yang dimiliki oleh pemerintah. Di-lihat dari sejarahnya pelibatan sektor swasta dalam penyediaan air minum bisa dibedakan atas dua model yaitu model privatisasi Inggris dan model privatisasi Perancis.

Model Inggris merupakan model dimana sektor privat menguasai penuh penyediaan air bersih dan sanitasi. Se-dangkan model Perancis merupakan model dimana kepemilikan aset tetap berada pada publik sedangkan tan-

gung jawab penyediaan layanan ber-ada di tangan swasta. Model Pe rancis inilah kemudian yang diusulkan oleh Lembaga Keuangan Internasional se perti Bank Dunia dan ADB dan banyak diterapkan di banyak negara termasuk Indonesia de ngan istilah Private Sector Participation (PSP). Beberapa bentuk partisipasi sektor swasta dalam penyediaan air bersih dan sanitasi antara lain adalah service contract, management contract, conces-sion dan sebagainya.

Kebijakan Peme rintah Dalam Penyediaan Layanan Air Bersih

Dengan berbagai persoalan yang di-hadapi dalam penyediaan layanan air, kebijakan yang diambil oleh peme-rintah Indonesia saat ini memang dia rahkan untuk melibatkan sektor swasta ataupun mendorong masuknya sektor swasta dalam penyediaan layan-an air. Beberapa kebijakan tersebut

antara lain adalah private sector parti-cipation (PSP), korporatisasi PDAM, regio nalisasi PDAM. Private Sector Participation (PSP) Seperti diuraikan di atas, menjadi bagian yang tidak ter-pisahkan dalam kebijakan penyediaan air bersih saat ini. Kebijakan ini secara tegas tertuang dalam UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, PP No.16 Tahun 2005 tentang Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), dan Peraturan Menteri PU No.294/PRT/M2005 tentang Badan Pendu-kung Sistem Penyediaan Air Minum. Kebijakan PSP juga tertuang dalam Urban Water Supply Policy Framework yang disusun oleh Bank Dunia be-kerjasama dengan BAPPENAS tahun 1997. Salah satu alasan yang men-dasari munculnya kebijakan PSP ini adalah kebutuhan investasi yang besar dalam upaya meningkatkan pelayan-an PDAM. Kebutuhan investasi yang besar tersebut juga tidak terlepas dari buruknya kinerja keuangan PDAM yang disinyalir akibat tarif rata-rata yang dibawah biaya produksi. Ber-dasarkan kondisi yang ada, kebutuhan atas sumber-sumber pembi-ayaan alternatif sangat diperlukan.

Beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai sumber pembiayaan tersebut adalah (1) Penghapusan hutang PDAM, hutang PDAM sampai dengan tahun 2009 masih triliunan rupiah. (2) Enterprise fund, dalam konteks penyediaan air bersih, ada dua sumber pembiayaan utama yaitu dari pemerintah dan user fee. Enterprise fund merupakan dana yang berasal dari user fee. Dengan demikian dana yang berasal dari user fee harus digunakan sepenuhnya untuk ke-pentingan PDAM. Upaya lain yang perlu dilakukan adalah perbaikan tata

kelola layanan. Upaya ini harus diawali dengan

perubahan cara pandang dimana pe-nyediaan air bersih harus dipahami se-bagai bagian dari kontrak sosial antara pemerintah dengan masyarakat. Se-hingga ada kewajiban hukum peme-rintah untuk menyediakan dan me-menuhi kebutuhan air masyarakat. Hal ini penting untuk dilakukan ka-rena asumsi-asumsi yang digunakan oleh pemerintah untuk melibatkan

sektor swasta dalam penyediaan layanan air tidak semuanya benar. Bahwa sebagian besar tarif PDAM berada di bawah biaya produksi dan kenyataan bahwa kebanyakan PDAM beroperasi dengan jum-

lah koneksi di bawah skala ekonomi. Namun dengan kondisi tersebut

bukan berarti bahwa semua PDAM beroperasi secara tidak sehat. Meski-pun sangat sedikit sekali PDAM yang beroperasi dengan sehat, akan tetapi hal tersebut merupakan salah satu bukti bahwa pada dasarnya sektor publik mampu menyediakan air bagi

masyarakat. Dengan demikian yang dibutuhkan bukan hanya upaya un-tuk meningkatkan kualitas dan perlu-asan layanan dengan mengedepankan partisipasi sektor swasta, tetapi juga upaya-upaya peningkatan kualitas dan perluasan layanan yang didasar-kan atas peningkatan kemampuan dan kapasitas dari penyedia layanan itu sendiri. Dengan perubahan cara pandang tersebut diharapkan ada per-ubahan terhadap bagaimana utilitas

layanan air harus dikelola. Banyak model terhadap pengelolaan penyedia-an layanan air, salah satunya adalah memisahkan antara kepemilikan de-ngan manajemen (korporatisasi). Na-mun sekali lagi, tanpa ada perubahan cara pandang terhadap penyediaan air bersih maka korporatisasi juga tidak akan berjalan dengan baik. Korpo-ratisasi juga harus diimbangi dengan partisipasi masyarakat. Penyediaan air di Brazil merupakan salah satu con-toh dari korporatisasi yang juga diim-bangi dengan partisipasi masyarakat. (Hamong Santono)

Tahun 2005 hanya 21 PDAM yang berada

dalam kondisi sehat, 68 PDAM kurang

sehat, 117 PDAM tidak sehat, dan 11 PDAM

dalam kondisi kritis.

Korporatisasi juga harus diimbangi

dengan partisipasi masyarakat.

Wacana

POKJA

Page 27: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

27

Edisi III, 2010

tor participation kepada negara-negara pe ne rima bantuan me reka. Da-lam konteks Indonesia, tekanan glo bal untuk melakukan privatisasi ter masuk di sektor sum-berdaya air, semakin mendapat legitimasi dengan kondisi penyediaan layanan air di Indonesia. Dari 41% total pen-duduk Indonesia yang tinggal di daer-ah perkotaan, hanya 51,7% atau 20 % dari total populasi yang memiliki akses terhadap layanan PDAM, dan hanya 8 % masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan memiliki akses ter-hadap air perpipaan yang disediakan oleh Unit Pengelola Sarana (UPS).

Bahkan sampai dengan tahun 2005 hanya 21 PDAM yang bera-da dalam kondisi sehat, 68 PDAM kurang sehat, 117 PDAM tidak sehat, dan 11 PDAM dalam kondisi kritis.

Pada tahun 1993 World Bank menge luarkan kebijakan di sektor sumberdaya air (Water Resources Ma-nagement Policy), dan menurut World Bank kebijakan ini merefleksikan Rio Earth Summit 1992 dan Dublin Prin-ciples. Pada tahun 1998 Bank Dunia melakukan evaluasi terhadap kebi-jakan mereka di sektor sumberdaya air yang dituangkan dalam dokumen yang berjudul “Bridging Troubled Wa-ter: Assessing the World Bank’s Water Resources Strategy” yang dipulikasika tahun 2002. Sebagai respon dari lapo-ran evaluasi tersebut pada tahun 2003 Bank Dunia membuat strategi baru di sektor sumberdaya air (Water Resources Sector Strategy: Strategic Directions for World Bank Engagement).

Buruknya kualitas layanan, dan keterbatasan anggaran untuk menca-pai target MDGs menjadikan peliba-tan sektor swasta (privatisasi) sebagai

bagian yang tidak ter-pisahkan

dalam kebijakan pe-nyediaan air bersih saat ini. Paling tidak ada dua alasan de ngan pe libatan sektor swasta dalam penyedia an air bersih, pertama ada-lah peningkatan kua-litas layanan dan yang kedua adanya investasi untuk menutupi ke-terbatasan anggaran

yang dimiliki oleh pemerintah. Di-lihat dari sejarahnya pelibatan sektor swasta dalam penyediaan air minum bisa dibedakan atas dua model yaitu model privatisasi Inggris dan model privatisasi Perancis.

Model Inggris merupakan model dimana sektor privat menguasai penuh penyediaan air bersih dan sanitasi. Se-dangkan model Perancis merupakan model dimana kepemilikan aset tetap berada pada publik sedangkan tan-

gung jawab penyediaan layanan ber-ada di tangan swasta. Model Pe rancis inilah kemudian yang diusulkan oleh Lembaga Keuangan Internasional se perti Bank Dunia dan ADB dan banyak diterapkan di banyak negara termasuk Indonesia de ngan istilah Private Sector Participation (PSP). Beberapa bentuk partisipasi sektor swasta dalam penyediaan air bersih dan sanitasi antara lain adalah service contract, management contract, conces-sion dan sebagainya.

Kebijakan Peme rintah Dalam Penyediaan Layanan Air Bersih

Dengan berbagai persoalan yang di-hadapi dalam penyediaan layanan air, kebijakan yang diambil oleh peme-rintah Indonesia saat ini memang dia rahkan untuk melibatkan sektor swasta ataupun mendorong masuknya sektor swasta dalam penyediaan layan-an air. Beberapa kebijakan tersebut

antara lain adalah private sector parti-cipation (PSP), korporatisasi PDAM, regio nalisasi PDAM. Private Sector Participation (PSP) Seperti diuraikan di atas, menjadi bagian yang tidak ter-pisahkan dalam kebijakan penyediaan air bersih saat ini. Kebijakan ini secara tegas tertuang dalam UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, PP No.16 Tahun 2005 tentang Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), dan Peraturan Menteri PU No.294/PRT/M2005 tentang Badan Pendu-kung Sistem Penyediaan Air Minum. Kebijakan PSP juga tertuang dalam Urban Water Supply Policy Framework yang disusun oleh Bank Dunia be-kerjasama dengan BAPPENAS tahun 1997. Salah satu alasan yang men-dasari munculnya kebijakan PSP ini adalah kebutuhan investasi yang besar dalam upaya meningkatkan pelayan-an PDAM. Kebutuhan investasi yang besar tersebut juga tidak terlepas dari buruknya kinerja keuangan PDAM yang disinyalir akibat tarif rata-rata yang dibawah biaya produksi. Ber-dasarkan kondisi yang ada, kebutuhan atas sumber-sumber pembi-ayaan alternatif sangat diperlukan.

Beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai sumber pembiayaan tersebut adalah (1) Penghapusan hutang PDAM, hutang PDAM sampai dengan tahun 2009 masih triliunan rupiah. (2) Enterprise fund, dalam konteks penyediaan air bersih, ada dua sumber pembiayaan utama yaitu dari pemerintah dan user fee. Enterprise fund merupakan dana yang berasal dari user fee. Dengan demikian dana yang berasal dari user fee harus digunakan sepenuhnya untuk ke-pentingan PDAM. Upaya lain yang perlu dilakukan adalah perbaikan tata

kelola layanan. Upaya ini harus diawali dengan

perubahan cara pandang dimana pe-nyediaan air bersih harus dipahami se-bagai bagian dari kontrak sosial antara pemerintah dengan masyarakat. Se-hingga ada kewajiban hukum peme-rintah untuk menyediakan dan me-menuhi kebutuhan air masyarakat. Hal ini penting untuk dilakukan ka-rena asumsi-asumsi yang digunakan oleh pemerintah untuk melibatkan

sektor swasta dalam penyediaan layanan air tidak semuanya benar. Bahwa sebagian besar tarif PDAM berada di bawah biaya produksi dan kenyataan bahwa kebanyakan PDAM beroperasi dengan jum-

lah koneksi di bawah skala ekonomi. Namun dengan kondisi tersebut

bukan berarti bahwa semua PDAM beroperasi secara tidak sehat. Meski-pun sangat sedikit sekali PDAM yang beroperasi dengan sehat, akan tetapi hal tersebut merupakan salah satu bukti bahwa pada dasarnya sektor publik mampu menyediakan air bagi

masyarakat. Dengan demikian yang dibutuhkan bukan hanya upaya un-tuk meningkatkan kualitas dan perlu-asan layanan dengan mengedepankan partisipasi sektor swasta, tetapi juga upaya-upaya peningkatan kualitas dan perluasan layanan yang didasar-kan atas peningkatan kemampuan dan kapasitas dari penyedia layanan itu sendiri. Dengan perubahan cara pandang tersebut diharapkan ada per-ubahan terhadap bagaimana utilitas

layanan air harus dikelola. Banyak model terhadap pengelolaan penyedia-an layanan air, salah satunya adalah memisahkan antara kepemilikan de-ngan manajemen (korporatisasi). Na-mun sekali lagi, tanpa ada perubahan cara pandang terhadap penyediaan air bersih maka korporatisasi juga tidak akan berjalan dengan baik. Korpo-ratisasi juga harus diimbangi dengan partisipasi masyarakat. Penyediaan air di Brazil merupakan salah satu con-toh dari korporatisasi yang juga diim-bangi dengan partisipasi masyarakat. (Hamong Santono)

Tahun 2005 hanya 21 PDAM yang berada

dalam kondisi sehat, 68 PDAM kurang

sehat, 117 PDAM tidak sehat, dan 11 PDAM

dalam kondisi kritis.

Korporatisasi juga harus diimbangi

dengan partisipasi masyarakat.

Wacana

POKJA

Page 28: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

28

Oleh Nugroho Tri Utomo

Sanitasi di Indonesia belum bisa dibanggakan. Untuk cakupan layanan air limbah domestik sebesar 51,9 persen penduduk pada 2010, di kawasan Asia Indonesia cuma lebih baik dari Laos dan Timor Leste. Kondisi

pengelolaan persampahan juga masih buram. Dari lebih 400 Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah yang ada, kurang dari 10 yang sudah ramah lingkungan - umumnya menggunakan sanitary landfill. Sisanya masih menggunakan pembuangan terbuka (open dumping).

Padahal UU18/2008 tentang Pengelolaan Sampah memandatkan batas waktu 2013 untuk tidak lagi menggunakan sistem pembuangan terbuka ini. Untuk meningkatkan sistem drainase lingkungan juga masih perlu kerja keras. Masih 22.500 hektare kawasan strategis di 100 perkotaan yang sering tergenang bila hujan yang harus ditangani sampai 2014.

Kondisi di atas tidak lepas dari sejarah panjang rendahnya kesadaran kolektif akan pentingnya pembangunan sanitasi di negeri ini. Anggapan bahwa

sanitasi adalah masalah pribadi - sehingga masyarakat pasti akan

mencari jalan sendiri untuk memenuhi kebutuhannya - telah membuat perhatian pemerintah terhadap pembangunan sanitasi tidak sehebat sektor lainnya.

Selama 1970-1999, total investasi pemerintah pusat dan daerah untuk sanitasi hanya mencapai Rp. 200 per kapita per tahun. Angka ini memang meningkat selama 2000-2004 menjadi Rp. 2.000. Kita bersyukur lima tahun terakhir investasi per kapita sanitasi ini terus ditingkatkan menjadi Rp. 5000 per tahun. Namun ini masih cukup jauh dari kebutuhan ideal yang diperkirakan mencapai Rp. 47.000 per kapita per tahun (studi Bappenas, 2008).

Angka investasi di atas memang baru yang berasal dari pemerintah, terutama pemerintah pusat. Padahal sanitasi seharusnya bukan hanya urusan pemerintah saja. Sanitasi urusan sehari-hari. Tidak seorang pun yang tidak melakukan aktifitas sanitasi setiap harinya, mulai dari membuang limbah manusia, menghasilkan dan membuang sampah, serta melengkapi rumah atau huniannya dengan saluran air hujan atau drainase - betapapun sederhananya.

Faktanya, setiap harinya masih ada 70 juta orang di Indonesia yang melakukan praktik buang air besar sembarangan (Riskesdas 2009). Akibatnya sekitar 14.000 ton tinja (lebih berat dari 4.500 gajah Sumatera) dan

Peduli Rakyat? PikirkanAir Minum dan Sanitasi!

Wacana

POKJA

Page 29: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

29

Edisi III, 2010

176.000 meter kubik air seni (setara dengan 70 kolam renang ukuran olimpiade) setiap harinya mencemari saluran air, sungai, pantai, danau, tanah kosong, dan lain-lain. Tidak heran seluruh sungai di Jawa dan 70 persen di Indonesia kualitas airnya tidak lagi memenuhi syarat yang ditetapkan Kementerian Kesehatan untuk digunakan sebagai sumber air minum. Akibatnya PDAM di Indonesia harus mengeluarkan biaya ekstra sampai 25 persen untuk mengolahnya menjadi air yang layak minum.

Tidak heran pula kalau berbagai penelitian telah menemukan bakteri e-coli pada sekitar 75 persen air sumur dangkal di kota-kota besar di Indonesia. Artinya sudah tercemar oleh air tinja manusia. Bisa karena rembesan tangki septik, baik karena letaknya terlalu dekat ke sumur atau karena memang bocor. Tidak heran jika kasus diare saat ini masih mencapai 411 per 1.000 penduduk (Survei Morbiditas Diare Kemkes, 2010).

Daftar sebab akibat di atas bisa lebih panjang lagi. Rendahnya pelayanan sampah dan buruknya PHBS (perilaku Hidup Bersih dan Sehat) menyebabkan tumpukan sampah yang dipenuhi lalat, yang bukan hanya buruk secara estetik tapi juga menambah resiko penyebaran penyakit. Belum lagi kalau menyumbat saluran drainase. Banjir dan genangan akan lebih sering terjadi dan pastinya kerugian ekonomi cukup tinggi.

Ringkasnya, untuk urusan sanitasi setiap orang berbuat, terlibat, dan terkena akibat. Jadi perlu bersepakat.

Kita perlu bersepakat bahwa Sanitasi adalah urusan bersama. Kebutuhan pembangunan sanitasi 5 tahun kedepan mencapai Rp. 56 triliun. Alokasi pemerintah pusat baru mencapai Rp. 14,6 triliun. Masih jauh dari mencukupi. Untuk pemerintah daerah, sekalipun sudah menjadi salah satu urusan wajibnya, umumnya baru mengalokasikan kurang dari 1 persen APBD-nya untuk pembangunan sanitasi. Kelompok masyarakat, dunia usaha, bahkan rumah tangga sendiri juga perlu untuk dimobilisasi perannya dalam pembagunan sanitasi.

Semua pihak perlu diajak untuk meningkatkan investasi sanitasinya. Mengapa? Karena investasi sanitasi itu penting dan sangat menguntungkan. Berikut beberapa alasan:

Pertama: Menghindari pertumbuhan ekonomi semu. Studi yang dilakukan WSP bersama Bappenas (2008) menyimpulkan bahwa akibat sanitasi buruk, kerugian ekonomi negeri ini mencapai Rp58 triliun setiap tahunnya. Ini setara dengan 2,1 persen Produk Domestik Regional Bruto saat itu yang kalau mau dihitung

betul harusnya akan mengurangi laju pertumbuhan ekonomi. Ironis memang kalau kita harus kehilangan Rp58 triliun per tahun karena kita memilih untuk tidak mengalokasikan Rp11,2 triliun per tahun.

Kedua: Efek luar biasa peningkatan sanitasi pada kesehatan, pendidikan dan produktifitas. WHO memperkirakan bahwa kondisi dan perilaku sanitasi yang baik dan perbaikan kualitas air minum dapat menurunkan kasus diare sampai 94 persen. Artinya jumlah hari tidak masuk sekolah bisa berkurang 8 hari pertahun yang tentunya akan bermanfaat bagi perkembangan pengajaran dan pendidikan. Jumlah hari produktif dapat meningkat sampai dengan 17 persen yang berarti tambahan kesempatan untuk meningkatkan pendapatan juga.

Ketiga: Membantu menurunkan kemiskinan. Akibat buruknya sanitasi, rata-rata keluarga di Indonesia harus menanggung Rp1,25 juta setiap tahunnya. Suatu jumlah yang akan sangat berarti bagi keluarga miskin. Biaya-biaya tersebut mencakup biaya berobat, biaya perawatan rumah sakit, hilangnya opportunity cost ataupun pendapatan harian akibat menderita sakit atau harus menunggui dan merawat anggota keluarga yang sakit. Semakin sehat dan produktif seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terbebas dari kemiskinan.

Keempat: Manfaat yang berlipat. Beberapa penelitian empiris di Indonesia menunjukkan bahwa leverage factor untuk investasi sanitasi mencapai 8 sampai 11. Artinya setiap Rp. 1 investasi sanitasi akan mendatangkan manfaat sebesar Rp. 8 sampai Rp. 11. Pengalaman pembangunan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) di

POKJA

Page 30: Percik Edisi III Tahun 2010 Bagian Pertama

30

Jawa Timur selama 2008-2010 bahkan menunjukkan bahwa setiap Rp. 1 yang dikeluarkan untuk memicu dan memampukan masyarakat telah berhasil menggerakkan investasi sanitasi dari masyarakat sendiri sampai sebesar Rp. 35. Makin jelas bahwa pembangunan sanitasi itu investasi, bukannya membebani.

Kelima: Mencegah selalu lebih murah dari mengobati. Bank Pembangunan Asia (2009) menyatakan bahwa kalau kita gagal menginvestasikan US$ 1 untuk menangani sanitasi sehingga sungai kita tercemar, untuk memulihkannya akan dibutuhkan biaya sebesar US$36. Sanitasi adalah upaya pencegahan masalahan kesehatan dan kerugian ekonomi yang sangat efektif. Beberapa Kota/Kab. di Indonesia juga telah membuktikan bahwa investasi sanitasi diwilayahnya ternyata bisa menghasilkan penghematan pengeluaran dana pengobatan masyarakat dan asuransi kesehatan keluarga miskin yang lebih besar lagi.

Keenam: Percepatan pembangunan sanitasi sedang menjadi tren. Pemerintah telah mencanangkan program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) 2010-2014. Hingga saat ini 63 Kota/Kab. telah mengikuti program tersebut. Yang menarik, para

Walikota dan Bupati yang terlibat telah membentuk suatu Aliansi Kabupaten/Kota Peduli Sanitasi (AKKOPSI) dan secara aktif mempromosikan kepada masyarakat dan kepala daerah lain akan pentingnya pembangunan sanitasi. Investasi sanitasi Kota/Kab. yang telah terlibat dalam PPSP juga telah meningkat 2,5 - 10 kali lipat seperti tercantum pada anggaran sanitasi di APBD mereka. Minat untuk bergabung dengan PPSP juga terus meningkat. Hingga 2014, diharapkan paling tidak 330 Kota/Kab. akan bergabung.

Ketujuh: Peduli sanitasi, dicintai masyarakat. Di era politik seperti sekarang, dimana setiap pemilih punya satu suara, jangan dikira perhatian terhadap sanitasi tidak punya nilai politis. Sanitasi adalah urusan keseharian masyarakat. Memperhatikan sanitasi berarti memperhatikan hajat hidup masyarakat, Tanyakan saja pada Walikota Payakumbuh atau mantan Walikota Blitar yang pernah dengan bangga bercerita:” Saya ini terpilih untuk untuk kedua kalinya karena sanitasi!”

Penulis adalah Direktur Permukiman dan Perumahan Bappenas. Artikel ini merupakan opini pribadi dan telah dimuat di Harian Jurnal Nasional beberapa waktu lalu.

Wacana

POKJA