perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

81
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perawat dalam institusi rumah sakit merupakan suatu bagian dari seluruh proses pelayanan yang mempunyai peranan sangat besar. Untuk itu pengetahuan, kemampuan, dan kecerdasan emosi yang mereka miliki merupakan sumber daya yang sangat penting artinya bagi rumah sakit (Laili, 2009). Selain itu perawat juga memiliki tempat yang penting dalam presentasi layanan kesehatan, secara alami perawat mengembangkan model seperti sikap terhadap organisasi rumah sakit dan profesi keperawatan. Sikap terhadap pekerjaan dan lingkungan kerja (Sener, Damiler, and Sarlak, 2009). Peran perawat secara umum adalah memberikan pelayanan keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat sesuai diagnosis masalah yang terjadi mulai dari masalah yang bersifat sederhana sampai pada masalah yang kompleks dan memperhatikan individu dalam konteks sesuai kehidupan klien. Perawat harus memperhatikan klien berdasarkan kebutuhan signifikan dari klien. Kestabilan emosional sangat penting karena seorang perawat mungkin sering menghadapi keadaan darurat, misalnya orang sakit dengan keluarga yang tertekan serta situasi sulit lainnya (Pujianyuhono, 2011). Perawat sebagai profesi kesehatan harus mampu memberikan pelayanan yang maksimal kepada klien. Dimana perawat tidak hanya memberikan pelayanan kepada individu saja namun juga pada keluarga dan masyarakat baik dalam

Transcript of perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

Page 1: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perawat dalam institusi rumah sakit merupakan suatu bagian dari seluruh

proses pelayanan yang mempunyai peranan sangat besar. Untuk itu pengetahuan,

kemampuan, dan kecerdasan emosi yang mereka miliki merupakan sumber daya

yang sangat penting artinya bagi rumah sakit (Laili, 2009). Selain itu perawat juga

memiliki tempat yang penting dalam presentasi layanan kesehatan, secara alami

perawat mengembangkan model seperti sikap terhadap organisasi rumah sakit dan

profesi keperawatan. Sikap terhadap pekerjaan dan lingkungan kerja (Sener,

Damiler, and Sarlak, 2009).

Peran perawat secara umum adalah memberikan pelayanan keperawatan

kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat sesuai diagnosis masalah

yang terjadi mulai dari masalah yang bersifat sederhana sampai pada masalah

yang kompleks dan memperhatikan individu dalam konteks sesuai kehidupan

klien. Perawat harus memperhatikan klien berdasarkan kebutuhan signifikan dari

klien. Kestabilan emosional sangat penting karena seorang perawat mungkin

sering menghadapi keadaan darurat, misalnya orang sakit dengan keluarga yang

tertekan serta situasi sulit lainnya (Pujianyuhono, 2011).

Perawat sebagai profesi kesehatan harus mampu memberikan pelayanan

yang maksimal kepada klien. Dimana perawat tidak hanya memberikan pelayanan

kepada individu saja namun juga pada keluarga dan masyarakat baik dalam

Page 2: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

2

keadaan sehat atau sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia yang

mengacu pada standar profesional keperawatan dan menggunakan etika

keperawatan sebagai tuntutan utama (Nursalam, 2007). Agar pelayanan yang

diberikan paripurna meliputi aspek biologi, psikologi, sosial dan spiritual

diperlukan suatu ketrampilan manajemen emosi. Ketrampilan tersebut lebih

dikenal dengan istilah kecerdasan emosional. Kecerdasan emosi yang tinggi akan

berpengaruh terhadap pelayanan pada pasien dan akan dapat mempercepat

kesembuhan pasien. Tanpa adanya kecerdasan emosi maka akan menghambat

pemberian pelayanan perawat terhadap pasien (Laili, 2009).

Pelayanan keperawatan sangat diperlukan oleh sosok perawat yang

memiliki kecerdasan emosi yang tinggi. Kecerdasan emosi sangat dibutuhkan

dalam berinteraksi dengan pasien, keluarga, teman sesama perawat, dokter dan

tim kesehatan yang lain. Saat perawat berinteraksi sangat dibutuhkan sikap

empati, mampu mengenali emosi diri dan emosi orang lain, sehingga akan terjalin

hubungan saling percaya dan saling membantu antara perawat dengan pasien,

perawat dengan keluarga, perawat dengan dokter, perawat dengan tim kesehatan

yang lainnya (Suwardi, 2008). Sikap-sikap tersebut di atas menurut Goleman

(2003) merupakan aspek dari kecerdasan emosi.

Penelitian yang dilakukan Rosalina (2008) mengenai pengaruh kecerdasan

emosional perawat terhadap perilaku melayani konsumen dan kinerja perawat,

menemukan bahwa adanya pengaruh kecerdasan emosional perawat terhadap

perilaku melayani konsumen dan perilaku konsumen berpengaruh terhadap

kinerja perawat. Penelitin Golamen dalam Hutapea (2008) mengungkap bahwa

Page 3: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

3

kecerdasan intelektual menyumbang kira-kira 20% bagi faktor yang menentukan

kesuksesan dalam hidup seseorang, sedangkan yang 80% bergantung pada

kecerdasan emosi, kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritual.

Kecerdasan emosional memainkan peran yang amat penting bagi

seseorang untuk dapat menerapkan pengetahuan yang ia miliki. Kecerdasan emosi

seseorang dapat ditingkatkan dengan cara mengembangkan komitmen yang tinggi

terhadap pengembangan diri sendiri (Mulyani, 2008). Dengan kecerdasan

emosional yang baik seseorang akan dapat bekerja secara efektif dalam tim,

mengenali dan berespon terhadap perasaan sendiri dan orang lain secara tepat

serta dapat memotivasi diri sendiri dengan orang lain Cadman & Brewer, 2001

(dalam Papalia, 2004). Laurence E Syapiro, 1997 dikutip oleh Cahaya, 2008

mengungkapkan bahwa seorang perawat yang mempunyai kecerdasan emosi yang

baik akan dapat dikenali melalui 5 komponen dasar yaitu pengendalian diri,

penguasaan diri, motivasi diri, empati, hubungan yang efektif.

Penelitian Wahyono (2010) tentang hubungan kecerdasan emosional

dengan kinerja perawat di instalasi rawat inap RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Purwokerto, menemukan bahwa terdapat hubungan yang cukup tinggi antara

kecerdasan emosional dan kinerja perawat di instalasi rawat inap RSUD Prof. Dr.

Margono Soekarjo Purwokerto.

Pekerjaan perawat di masing-masing ruangan sangat bervariasi dengan

kondisi pasien yag berbeda-beda. Intensive Care Unit (ICU) merupakan salah satu

pelayanan sentral di rumah sakit dimana bagian pelayanan ICU membutuhkan

sumber daya perawat yang terlatih. Perawat ICU bertanggung jawab untuk

Page 4: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

4

mempertahankan homeostasis pasien untuk berjuang melewati kondisi kritis atau

terminal yang mendekati kematian, karakteristik perawat ICU, yaitu memiliki

tingkat pengetahuan dan keterampilan yang lebih baik daripada perawat lain

dalam menangani pasien yang memiliki kondisi kritis. Perawat ICU minimal

memiliki sertifikasi BTCLS (Basic Training Cardiac Life Support) (Hanafi, 2007).

Instalasi gawat darurat (IGD) merupakan tempat atau unit di rumah sakit

yang memiliki tim kerja dengan kemampuan khusus dan peralatan, yang

memberikan pelayanan pasien gawat darurat. Perawat di IGD harus mampu

memberikan asuhan keperawatan yang membutuhkan kemampuan untuk

menyesuaikan situasi kritis dengan kecepatan dan ketepatan yang tidak selalu

dibutuhkan pada situasi keperawatan lain. perawat IGD minimal memiliki

sertifikat BTCLS (Basic Training Cardiac Life Support) atau PPGD (Pertolongan

Pertama Gawat Darurat) (Rankin. et. All, 2013).

Pelayanan rawat inap merupakan tempat untuk pemeliharan kesehatan

perorangan yang meliputi observasi, diagnosa, pengobatan, keperawatan

rehabilitasi medik yang diberikan sebelum pasien pulang ke rumah. Pelayanan

yang diberikan kepada pasien dengan mutu yang sebaik-baiknya dengan tata cara

dan teknik berdasarkan ilmu yang berlaku dan etika yang berlaku dan dapat

dipertanggungjawabkan (Soemardjo Aniroen, 1991, (dalam Mahesa, 2009).

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banyumas merupakan satu-satunya

Rumah sakit terbesar milik pemerintah Daerah Kabupaten Dati II Banyumas.

Dimana RSUD Banyumas pada tahun 2003 telah diakreditasi penuh tingkat

lengkap dari Departemen Kesehatan RI sebagai yang pertama di Indonesia dan

Page 5: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

5

tahun 2001 menjadi rumah sakit Kelas B Pendidikan. RSUD Banyumas juga

memiliki (Tri Sukses RSU Banyumas) yang terdiri sukses peningkatan mutu

(5M) mutu, mudah, murah, mantap, marem, sukses peningkatan disiplin (5R) rapi,

rajin, resik, ramah, rukun. sukses peningkatan efesiensi (CUBIT) cukup, urgen,

baik, irit, terawat. Hal ini dijadikan sebagai budaya kerja di RSUD Banyumas

untuk memberikan pelayanan yang maksimal kepada klien.

Hasil wawancara di pada bulan Mei tahun 2013 dengan melakukan

wawancara dengan pasien dan keluarga pasien tentang penilaian pasien terhadap

perawat dengan 4 orang diperoleh informasi bahwa perawat belum sepenuhnya

menyenangkan. Masih terlihat perawat yang serius sekali dalam perawatan

sehingga pasien takut untuk bertanya tentang perkembangan penyakit yang pasien

derita. Satu dari lima perawat di ruang IGD saat dilakukan penilaian kecerdasan

emosional diperoleh data bahwa masih ada perawat yang mengalami kesulitan

dalam menemukan alternatif penyelesaian masalah, tetapi mereka tidak meminta

bantuan terhadap teman sejawat untuk memberikan solusi terhadap permasalahan

yang dihadapi. Bahkan masih ada perawat di ruang IGD yang tidak menyadari

bahwa tugasnya adalah sebagai pemberi pelayanan secara profesional. Sedangkan

dua dari lima perawat di ruang rawat inap diperoleh data bahwa masih ada

perawat yang merasa belum mampu menyelesaikan permasalhannya dengan

mengambil keputusan yang sesuai terhadap permasalahannya.

Berdasarkan latar belakang di atas peneliti bermaksud meneliti tentang

kecerdasan emosional perawat dengan membedakankan tempat kerja perawat

yaitu di ruang intensive, kegawatdaruratan, dan rawat inap.

Page 6: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

6

B. Rumusan Masalah

Tuntutan pekerjaan perawat di ruang intensive, kegawatdaruratan, dan

rawat inap berbeda-beda, dengan kondisi, dan tuntutan dari pekerjaan kadang

membuat perawat mengalami situasi yang mempengaruhi kondisi emosi.

Berdasarkan hal tersebut rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah

berbeda kecerdasan emosional perawat di ruang intensive, kegawatdaruratan, dan

rawat inap di RSUD Banyumas?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian yang akan dilakukan adalah untuk

mengidentifikasi perbedaan kecerdasan emosional perawat di ruang intensive,

kegawatdaruratan dan rawat inap.

1. Tujuan Khusus

a. Menganalisis gambaran kecerdasan emosional perawat di ruang intensive,

kegawatdaruratan dan rawat inap

b. Menganalisis hubungan karakteristik responden dengan kecerdasan

emosional perawat di ruang intensive, kegawatdaruratan dan rawat inap

c. Menganalisis tingkat kecerdasan emosional perawat berdasarkan jenis

kelamin, umur, masa kerja, status pekerjaan, di ruang intensive,

kegawatdaruratan dan rawat inap

d. Menganalisis perbedaan kecerdasan emosional perawat di ruang intensive,

kegawatdaruratan dan rawat inap

Page 7: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

7

D. Manfat Penelitian

1. Bagi Rumah Sakit

a. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam peningkatan kualitas

perawat dari segi Emotional Quetion

b. Mengusulkan dilakukan pelatihan tentang kecerdasan emosional untuk

meningkatkan kualitas dari pelayanan.

2. Bagi Peneliti

Dapat memberikan gambaran atau informasi bagi peneliti berikutnya apabila

akan meneliti tentang kecerdasan emosional perawat.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian kecerdasan emosional perawat sebelumnya telah dilakukan oleh

Kusumawati (2009) mengenai hubungan kecersadan emosional dengan tingkat

stress kerja Perawat di instalasi rawat darurat (IRD). Penelitian ini merupakan

penelitian deskriptif analitik korelasi dengan pendekatan kuantitatif dan metode

cross sectional. Penelitian ini bertujuan unutk mengetahui hubungan antara

kecerdasan emosional dengan tingkat stres kerja. Hasil penelitian menunjukkan

ada hubungan yang negatif dan bermakna antara tingkat kecerdasan emosional

dengan tingkat stres kerja perawat di IRD RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.

Rata-rata tingkat kecerdasan emosional dan tingkat stres kerja masing-masing

dalam kategori sedang yaitu 80% dan 76%. Uji hipotesis menggunakan korelasi

Product Moment dengan α = 0,05 didapatkan r =-0,465 dan p =0,019.

Page 8: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

8

Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan adalah

pada tujuannya, dimana penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan

antara kecerdasan emosional dengan tingkat stres kerja, sedangkan penelitian

yang akan dilakukan mengenai perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD,

dan instalasi rawat inap. Sedangkan persamaan penelitian yang akan dilakukan

dengan penelitian ini adalah sama-sama dengan pendekatan kuantitatif dan

metode cross sectional.

Penelitian yang dilakukan Astarani (2011) mengenai “Hubungan

Kecerdasan Emosional dengan Etos Kerja Perawat Magang di Rumah Sakit

Baptis Kediri”. Desain dari penelitian ini adalah cross sectional. Variabel

independent dari penelitian ini adalah kecerdasan emosional sedangkan variabel

dependent adalah etos kerja. Analisis data dengan menggunakan uji statistik

Spearman’S Rho ditetapkan α = 0,05 didapatkan p = 0.001 dan r = 0.514. Dari 38

responden didapatkan sebagian besar responden dengan kecerdasan emosional

sedang yaitu 28 responden (73,7 %), dan 38 responden didapatkan lebih dari 50%

responden dengan etos kerja sedang yaitu 22 responden (57,9 %).

Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan adalah

pada variabelnya, dimana penelitian yang akan dilakukan hanya meneliti tentang

kecerdasan emosional saja. Dan untuk persamaan penelitian ini dengan penelitian

yang akan dilakukan adalah disain dari penelitian ini adalah sama-sama cross

sectional.

Penelitian tentang kecerdasan emosional juga dilakukan oleh Nurita, 2012

tantang “Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Kinerja Perawat Rumah Sakit

Page 9: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

9

Pusat Fatmawati Jakarta-Selatan”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

hubungan antara kecerdasan emosional (EQ) dengan kinerja perawat pada Rumah

Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta-Selatan. Untuk mengukur kecerdasan

emosional dengan menggunakan skala yang didasarkan dari komponen-komponen

kecerdasan emosional, sedangkan untuk mengukur kinerja perawat menggunakan

hasil berupa data kinerja perawat pada Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati

Jakarta-Selatan. Hasil analisis validitas item dalam penelitian ini untuk skala

kecerdasan emosional bergerak dari 0,362 sampai 0,861 dengan reliabilitas

sebesar 0,965. Sedangkan untuk pengujian reliabilitas kinerja perawat, dilakukan

dengan jalan atau mengkonsultasikan data dengan ahli dalam bentuk penilaian.

Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan dengan menggunakan teknik

korelasi pearson (1 – tailed) diketahui bahwa nilai koefisien korelasi antara

kecerdasan emosional (EQ) dengan kinerja perawat menghasilkan nilai r = 0.229

dengan p=0.046 (p<0,05).

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan adalah

penelitian ini merupakan penelitian korelasi dimana kecerdasan emosional

perawat dihubungkan dengan kinerja perawat. Sedangkan penelitian yang akan

dilakukan membandingkan kecerdasan emosional perawat di ruang ICU, IGD

sama instalasi rawat inap. Sedangkan persamaan penelitian ini dengan penelitian

yang akan dilakukan adalah sama-sama mengukur kecerdasan emosional perawat.

Page 10: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Kecerdasan Emosional

a. Pengertian

Istilah kecerdasan emosional pertama kali diucapkan oleh psikolog

Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of

New Hampshire pada tahun 1990 untuk menerangkan kualitas-kualitas

emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Kualitas-kualitas itu

antara lain : empati (kepedulian), mengungkapkan dan memahami perasaan,

mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri,

disukai, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi ketekunan

kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat. Salovey dan Mayer dalam

Salovey and Grewal (2005) mula-mula mendefinisikan kecerdasan

emosional sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan

kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun

pada orang lain (Shapiro, 1997).

Steiner dalam Trisnawati dan Suryaningsum (2003) menyatakan

bahwa kecerdasan emosional mencakup lima komponen, yaitu mengetahui

perasaan sendiri, memiliki empati, belajar mengatur emosi-emosi sendiri,

memperbaiki kerusakan sosial, dan interaktivitas emosional. Cooper dan

Sawaf dalam Trisnawati dan Suryaningsum (2003) merumuskan kecerdasan

Page 11: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

11

emosional sebagai sebuah titik awal model empat batu penjuru, yang terdiri

dari kesadaran emosi, kebugaran emosi, kedalaman emosi dan alkimia

emosi.

Kecerdasan emosi sebagai kemampuan dalam menggunakan emosi-

emosi seseorang yang membantu memecahkan masalah-masalah dan

menjalani kehidupan secara lebih efektif (Dann, 2002). Kemampuan ini

saling melengkapi dan berbeda dengan kemampuan akademik murni, yaitu

kemampuan kognitif murni yang diukur dengan Intelectual Questiont (IQ)

(Golamen, 2001). Sedangkan menurut Cooper dan Sawaf (1998) dalam

Melianawati, Prihanto, dan Tjahjoanggoro (2001), kecerdasan emosional

adalah kemampuan mengindra, memahami dan dengan efektif menerapkan

kekuatan dan ketajaman emosi sebagai sumber energi, informasi dan

pengaruh.

Salovely dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai

kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain,

serta menggunakan perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan.

Golamen mengungkap bahwa kecerdasan intelektual menyumbang kira-kira

20% bagi faktor yang menentukan kesuksesan dalam hidup seseorang,

sedangkan yang 80% bergantung pada kecerdasan emosi, kecerdasan sosial

dan kecerdasan spiritual (Golamen, 2005).

Temuan beberapa peneliti, seperti David Wechsler dalam Suryanti dan

Ika (2003), mendefinisikan kecerdasan sebagai keseluruhan kemampuan

seseorang untuk bertindak bertujuan, untuk berfikir rasional, dan untuk

Page 12: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

12

berhubungan dengan lingkungannya yang efektif. Aspek-aspek yang terkait

dalam afeksi dan personal dan faktor sosial. Temuan Wechsler ini

mendefinisikan, aspek kognisi berpengaruh dalam mencapai keberhasilan

hidup. Kematangan dan kedewasaan menunjukkan kecerdasan dalam hal

emosi. Bardbary dan Greaves (2007) dalam Lestari (2012) menambahkan

bahwa tingkat kecerdasan emosi cenderung meningkat seiring umur, dan

sebagian besar orang mengalami peningkatan dalam keterampilan kesadaran

diri sepanjang hidup mereka dan memiliki kemudahan dalam megelola

emosi dan perilaku disaat mereka beranjak tua.

Menurut Gardner dalam Mulyani (2008) keragaman kecerdasan terus

berkembang. Gardner menyebut kecerdasan emosi sebagai kecerdasan

pribadi yang terdiri dari kecerdasan antar pribadi dan kecerdasan intra

pribadi. Kecerdasan antar pribadi merupakan kemampuan untuk memahami

orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja,

bagaimana bekerja bahu membahu dengan orang lain. Tenaga-tenaga

penjualan, politisi, guru, dokter, perawat dan pemimpin yang sukses

merupakan orang-orang yang mempunyai tingkat kecerdasan antar pribadi

yang sangat tinggi.

Kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi

terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk

suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan

untuk menggunakan model tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan

secara efektif. Inti kecerdasan pribadi menurut Gardner merupakan

Page 13: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

13

kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati,

tempramen, motivasi dan hasrat orang lain. Salovey menempatkan

kecerdasan pribadi Gardner sebagai dasar tentang kecerdasan emosional

yang diteruskannya dengan memperluas kemampuan ini menjadi lima faktor

utama yaitu: (1) Kesadaran emosi, (2) Pengendalian emosi, (3) Motivasi

diri, (4) Empati, (5) Hubungan Sosial (Mulyani, 2008).

Bagan Kecakapan Kecerdasan Emosional

Gambar 2.1

Sumber: Interprestasi bebas dari Goleman (2000) oleh Bulo (2002)

Kecerdasan emosi seseorang dapat ditingkatkan dengan cara

mengembangkan komitmen yang tinggi terhadap pengembangan diri

Kecerdasan

Emosional

Kecakapan Pribadi Kecakapan Sosial

Kesadaran Diri

-Kesadaran Emosional

-Penilaian Diri yang Kuat

-Kepercayaan Diri

Empati

-Memahami Orang Lain

-Mengembangkan Orang

-Orientasi Pelayanan

-Kesadaran Politik Pengendalian Diri

-Kontrol Diri

-Dapat Dipercaya

-Berhati-hati

-Adaptabilitas

-Inovasi

Hubungan Sosial

-Pengaruh

-Komunikasi

-Manajemen Konflik

-Kepemimpinan

-Katalisator Perubahan

-Membangun Ikatan

-Kolaborasi dan

Kooperasi

-Kemampuan Tim

Motivasi

-Dorongan Berprestasi

-Komitmen

-Inisiatif

-Optimisme

Page 14: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

14

sendiri. Kecerdasan emosi merupakan suatu kemampuan psikologis dalam

memahami dan menggunakan informasi emosional, sebagai individu kita

semua memiliki kemampuan bawaan yang berbeda dalam melakukan

sesuatu dan kita bisa belajar dari kehidupan cara-cara memperbaiki

kecerdasan emosi melalui praktek dan pengalaman (Mulyani, 2008).

Reuven Bar-On dalam Armiyanti (2008) menyatakan bahwa

kecerdasan emosional adalah serangkaian kemampuan, kompetensi, dan

kecakapan non-kognitif, yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk

berhasil memenuhi tuntutan dan tekanan lingkungan. Sedangkan menurut

Cooper dan Sawaf dalam Melianawati, Prihanto, dan Tjahjoanggoro (2001)

berpendapat bahwa kecerdasan emosional adalah kemapuan merasakan,

memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi

sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh manusiawi.

Karena orang yang sehat biasanya mampu mengenal emosi yang dialaminya

dan dapat mengeksplorasikan sasuai dengan aturan yang berlaku di

lingkungan.

Goleman dalam Zijlmans. et. all (2011) secara garis besar membagi

dua kecerdasan emosional yaitu kompentensi personal yang meliputi

pengenalan diri, motivasi diri dan kompetensi sosial yang terdiri dari empati

dan ketrampilan sosial. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali diri sendiri dan orang

lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan mengelola emosi dengan baik

pada diri sendiri dan hubungannya dengan orang lain (Goleman, 2005).

Page 15: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

15

b. Faktor-Faktor yang Mempengeruhi Kecerdasan Emosional

Goleman (2005) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang

mempengaruhi kecerdasan emosi individu yaitu:

1) Lingkungan keluarga

Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari

emosi. Kecerdasan emosi dapat diajarkan pada saat masih bayi melalui

ekspresi. Peristiwa emosional yang terjadi pada masa anak-anak akan

melekat dan menetap secara permanen hingga dewasa. Kehidupan

emosional yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak

dikemudian hari.

2) Lingkungan non keluarga

Hal ini yang terkait adalah lingkungan masyarakat dan pendidikan.

Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik

dan mental anak. Pembelajaran ini biasanya ditujukan dalam suatu

aktivitas bermain peran sebagai seseorang diluar dirinya dengan emosi

yang menyertai keadaan orang lain (Goleman, 2005).

c. Ranah Kecerdasan Emosional

Reuven bar-On (2009) dalam Wahyono (2010), kecerdasan emosional

terbagi dalam 5 ranah yang dijabarkan menjadi 15 komponen. Secara

ringkas digambarkan dalam penjelasan berikut:

1) Ranah Intrapribadi

Ranah ini berkaitan dengan apa yang disebut dengan “inner self”

(diri terdalam, batiniah). Dunia intrapribadi menentukan seberapa

Page 16: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

16

mendalamnya perasaan kita, seberapa puas kita terhadap diri sendiri dan

prestasi kita dalam hidup. Sukses dalam ranah ini mengandung arti

bahwa kita bisa mengungkapkan perasaan kita, bisa hidup dan bekerja

secara mandiri, tegar dan memiliki rasa percaya diri dalam

mengemukakan gagasan dan keyakinan kita. Ranah inti terdiri dari 5

komponen, yaitu :

a) Kesadaran diri, yaitu kemampuan untuk mengenal dan memilah-milah

perasaan, memahami hal yang sedang kita rasakan dan mengapa hal

itu kita rasakan, dan mengetahui penyebab munculnya perasaan

tersebut.

b) Sikap asertif, (ketegangan, keberanian menyatakan pendapat), yang

meliputi tiga komponen dasar: (1) kemampuan mengungkapakn

perasaan (misalnya untuk menerima dan mengungkapkan perasaan

marah, hangat dan seksual), (2) kemampuan mengungkapkan

keyakinan dan pemikiran terbuka (mampu menyuarakan pendapat,

menyatakan ketidaksetujuan dan bersikap tegas), (3) kemampaun

untuk mempertahankan hak-hak pribadi (tidak membiarka orang lain

mengganggu dan memanfaatkan kita).

c) Kemadirian, kemampuan untuk mengarahkan dan mengendalikan diri

sendiri dalam berfikir dan bertindak, serta tidak merasa bergantung

pada orang lain secara emosional.

d) Penghargaan diri, yaitu kemapuan untuk menghormati dan menerima

diri sendiri sebagai pribadi yang pada dasarnya baik. Penghargaan diri

Page 17: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

17

adalah kemampuan untuk mensyukuri berbagai aspek dan

kemungkinan positif yang kita serap dan juga menerima aspek negatif

dan keterbatasan yang ada pada diri kita dan tetap menyukai diri kita.

Penghargaan diri adalah memahami kelebihan dan kekurangna kita,

dan menyukai diri sendiri, dengan segala kekurangan dan

kelebihannya. Unsur dasar dari kecerdasan emosional ini dikaitkan

dengan berbagai perasaan umum, seperti rasa aman, kekuatan batin,

rasa percaya diri, dan rasa sanggup hidup mandiri. Orang yang

memiliki rasa penghargaan diri yang bagus akan merasa puas dengan

diri mereka sendiri.

e) Aktualisasi diri, yaitu kemampuan untuk mengeksplorasikan

kemampaun kita yang potensial. Unsur kecerdasan emosional ini

diwujudkan dengan ikut serta dalam perjuangan untuk meraih

kehidupan yang bermakna, kaya dan utuh. Aktualisasi diri adalah

suatu proses perjuangan berkesinambungan yang dinamis dengan

tujuan mengembangkan kemampuan dan bakat kita secara maksimal,

dan berusaha dengan gigih dan sebaik mungkin untuk memperbaiki

diri kita secara menyeluruh. Kegairahan terhadap bidang yang kita

minati akan menambah semangat dan motivasi untuk terus memupuk

minat itu. Aktualisasi diri merupakan bagian dari rasa kepuasan diri.

2) Ranah Antarpribadi

Ranah ini berhubungan dengan apa yang dikenal sebagai

keterampilan berinteraksi. Mereka yang berperan dengan baik dalam

Page 18: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

18

ranah ini biasanya bertannggungjawab dan dapat diandalkan. Mereka

memahami, berinteraksi, dan bergaul dengan baik dengan orang lain

dalam berbagai situasi. Mereka memabangkitkan kepercayaan dan

menjalankan perannya dengan baik sebagai bagian dari suatu kelompok.

Ranah ini terdir dari 3 komponen , yaitu:

a) Empati, yaitu kemampuan untuk menyadari, memahami, dan

menghargai perasaan dan pikiran orang lain. Empati adalah

“menyelaraskan diri” (peka) terhadap apa, bagaimana, dan latar

belakang perasaan dan pikiran untuk orang lain sebagaimana orang

tersebut merasakan dan memikirkannya. Bersikap empatik artinya

mampu “ membaca orang lain dari sudut pandang emosi”. Orang

empatik peduli pada orang lain dan memperlihatkan minat dan

perhatian pada mereka.

b) Tanggungjawab sosial, yaitu kemampuan untuk menunjukkan bahwa

kita adalah anggota kelompok masyarakat yang dapat bekerjasama,

berperan dan konstruktif. Unsur kecerdasan emosional ini meliputi

bertindak secara bertanggungjawab, meskipun mungkin kita tidak

mendapatkan keuntungan apapun secara pribadi, melakukan sesuatau

untuk bersama orang lain. Kesadaran sosial dan kemampuannya

memikul tanggungjawab hidup bermasyarakat. Orang yang memiliki

tanggungjawab sosial memiliki kepekaan antarpribadi dan dapat

menerima orang lain, serta dapat menggunakan bakatnya demi

kebaikan bersama, tidak hanya demi dirinya sendiri. Orang yang tidak

Page 19: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

19

mempunyai tanggungjawab sosial akan menunjukkan sikap antisosial,

bertindak sewenang-wenang pada orang lain, dan memanfaatkan

orang lain.

c) Hubungan antarpribadi, yaitu kemampuan membina dan memelihara

hubungan yang saling memuaskan yang ditandai dengan keakraban

dan saling memberi serta menerima kasih sayang. Kepuasan bersama

ini mencakup interaksi sosial bermakna yang berpotensi memberikan

kepuasan serta ditandai dengan saling memberi dan menerima.

Keterampilan menjalin hubungan antarpribadi yang positif dicirikan

oleh kepedulian kepada sesama. Unsur kecerdasan emosional ini tidak

hanya berkaitan dengan keinginan untuk membina persahabatan

dengan orang lain, tetapi juga dengan kemampuan merasa tenang dan

nyaman berada dalam jalinan hubungan tersebut, serta kemampuan

memiliki harapan positif yang menyangkut interaksi sosial.

3) Ranah penyesuaian Diri

Ranah ini berkaitan dengan kemampuan kita untuk menilai dan

menanggapi situasi yang sulit. Keberhasilan dalam ranah ini mengandung

arti bahwa kita dapat memahami masalah dan merencanakan pemecahan

yang ampuh, dapat menghadapi dan memecahkan masalah keluarga,

serta dapat menghadapi konflik, baik di lingkungan masyarakat maupun

dilingkungan kerja. Ranah ini terdiri dari 3 komponen, yaitu:

a) Pemecahan masalah, kemampuan untuk mengenali dan merumuskan

masalah, serta menemukan dan menerapkan pemecahan yang ampuh.

Page 20: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

20

Memecahkan masalah bersifat multifase dan mensyaratkan

kemampuan menjadi proses berikut : (1) memahami masalah dan

percaya pada diri sendiri, serta termotivasi untuk memecahkan

masalah itu secara efektif; (2) menentukan dan merumuskan masalah

sejelas mungkin (misalnya dengan mengumpulkan informasi yang

relevan); (3) menemukan sebanyak mungkin alternatif pemecahan

(misalnya curah gagasan); (4) mengambil keputusan untuk

menerapkan salah satu alternatif pemecahan (misalnya menimbang-

nimbang kekuatan dan kelemahan setiap alternatif, kemudian memilih

alternatif yang terbaik); (5) menilai hasil penerapan alternatif

pemecahan yang digunakan, dan (6) mengulang proses di atas apabila

masalahnya tetap belum terpecahkan. Pemecahan masalah berkaitan

dengan sikap hati-hati, disiplin, dan sistematik dalam menghadapi dan

memandang masalah. Kemampuan ini juga berkaitan dengan

keinginan untuk melakukan yang terbaik dan menghadapi, bukan

menghindari masalah.

b) Uji realitas, yaitu kemampuan menilai kesesuaian antara apa yang

dialami dan apa yang secara obyektif terjadi. Uji relitas adalah

“menyimak” situasi yang ada di depan kita. Uji realitas adalah

kemampuan melihat hal secara obyektif, sebagaimana adanya, bukan

sebagaimana yang kita inginkan atau takutkan. Aspek penting unsur

kecerdasan emosional ini meliputi kemampuan berkonsentrasi dan

memusatkan perhatian kita, berusaha menilai dan menghadapi situasi

Page 21: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

21

yang ada di depan kita. Uji realitas ini berkaitan dengan tidak menarik

diri dari dunia luar, penyesuaian diri dengan situasi langsung, dan

ketenagan serta kejelasan persepsi dan proses berfikir. Secara

sederahana uji realitas adalah kemampuan untuk “menilai” situasi

yang ada di depan kita.

c) Sikap fleksibel, yaitu kemampuan menyesuaikan emosi, pikiran dan

perilaku kita dengan perubahan situasi dan kondisi. Unsur kecerdasan

emosioanl ini mencakup seluruh kemampuan kita untuk

menyesuiakan diri dengan lingkungan yang tidak biasa, tidak terduga

dan dinamis. Orang yang fleksibel adalah orang yang tangkas, mampu

bekerjasama yang mengahasilkan sinergi, dan dapat menanggapi

perubahan secara luwes. Orang seperti ini bersedia merubah fikiran

jika ada bukti yang menunjukkan bahwa mereka salah. Pada

umumnya mereka terbuka dan mau menerima gagasan, orientasi, cara,

dan kebiasaan yang berbeda. Kemampuan mereka untuk merubah

pikiran dan perilaku tidaklah dibuat-buat, melainkan sesuai dengan

umpan balik perubahan yang mereka terima dari lingkungan. Orang

yang tidak memiliki kemampuan ini cenderung kaku dan keras kepala.

Mereka sulit beradaptasi di lingkungan yang baru dan kurang pintar

memanfaatkan peluang baru.

4) Ranah pengendalian Stress

Ranah ini berkaitan dengan kemampuan menanggung stress tanpa

harus ambruk, hancur, kehilangan kendali, atau terpuruk. Keberhasilan

Page 22: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

22

dalam ranah ini berarti bahwa kita biasanya dapat tetap tenang, jarang

bersifat impulsif, dan mampu menghadapi tekanan. Di lingkungan kerja,

kemampuan ini sangat vital jika kita selalu menghadapi pekerjaan yang

membutuhkan banyak tenaga dan fikiran dan karena harus jungkir balik

memenuhi berbagai macam tuntutan yang menyita waktu. Di rumah,

kemampuan ini memungkinkan kita tetap dapat menjalankan tugas

rumah tangga yang padat sambil sekaligus menjaga kesehatan. Ranah ini

terdiri dari 2 komponen, yaitu:

a) Ketahanan menanggung stress, yaitu kemampuan untuk menghadapi

peristiwa yang tidak menyenangkan dan situasi yang penuh tekanan

tanpa menjadi berantakan, dengan secara aktif dan pasif menghadapi

stress. Kemampuan ini didasarkan pada: (1) kemampuan memilih

tindakan untuk menghadapi stres (banyak akal dan efektif, dapat

menemukan cara yang pas, tahu apa yang harus dilakukan dan

bagaimana melakukannya); (2) sikap optimis menghadapi pengalaman

baru dan perubahan pada umumnya dan optimis pada kemampuan

sendiri untuk menghadapi masalah yang tengah dihadapi; dan (3)

perasaan bahwa kita dapat mengendalikan atau berperan dalam

menangani situasi stress dengan tetap tenang dan memegang kendali.

Ketahanan menanggung stress berarti memiliki tanggapan yang sesuai

untuk menghadapi situasi yang menekan. Ketahanan ini berkaitan

dengan kemampuan untuk tetap tenang dan sabar, serta kemampuan

mengahadapi kesulitan dengan kepala dingin, tanpa terbawa emosi.

Page 23: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

23

Orang yang tahan menghadapi stress akan menghadapi, bukan

menghindari, krisis dan masalah, tidak menyerah pada rasa tidak

berdaya atau putus asa. Perasaan cemas, yang sering muncul ketika

ketahanan ini luntur, akan berdampak buruk pada kinerja secara

umum karena kecemasan akan menurunkan konsentrasi, sulit

mengambil keputusan, dan muncul masalah somatik seperti gangguan

tidur.

b) Pengendalian impuls, yaitu kemampuan menolak atau menunda

impuls, dorongan, atau godaan untuk bertindak. Pengendalian impuls

ini mencuatkan kemampuan menampung impuls agresif, tetap sabar

dan mengendalikan sikap agresif, permusuhan, serta perilaku yang

tidak bertanggungjawab. Masalah dalam hal pengendalian impuls ini

akan muncul dalam bentuk sering merasa frustasi, impulsif, sulit

mengendalikan amarah, bertindak kesal, kehilangan kendali diri,

menunjukkan perilaku yang meledak-ledak dan tak terduga.

5) Ranah Suasana Hati Umum

Ranah ini berkaitan dengan pandangan kita tentang kehidupan,

kemampuan kita bergembira sendiri dan dengan orang lain, serta

keseluruhan rasa puas dan kecewa yang kita rasakan. Ranah ini terdiri

dari 2 komponen, yaitu :

a) Kebahagiaan, yaitu kemampuan untuk merasa puas dengan kehidupan

kita, bergembira sendirian dan dengan orang lain, serta bersenang-

senang. Kebahagian adalah gabungan dari kepuasan diri, kepuasan

Page 24: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

24

secara umum dan kemampuan menikmati hidup. Orang yang bahagia

sering merasa senang dan nyaman, baik selama bekerja maupun pada

waktu luang; mereka menikmati hidup dengan bebas, dan menikmati

kesempatan untuk bersenang-senang. Kebahagian berhubungan

dengan perasaan riang dan penuh semangat. Kebahagiaan adalah

produk sampingan dan/atau barometer yang menunjukkan derajat

kecerdasan dan kinerja emosional kita. Orang yang derajat

kebahagiaannya rendah dapat menderita gejala depresi, seperti

cenderung merasa cemas, merasa tidak pasti akan masa depan,

menarik diri dari pergaulan, kurang semangat, berfikiran murung,

merasa bersalah, tidak puas pada hidup, dan dalam kasus yang

ekstrim, memikirkan dan berperilaku mengarah ke bunuh diri.

b) Optimisme, yaitu kemampuan melihat sisi terang kehidupan dan

memelihara sikap positif, sekalipun berada dalam kesulitan. Optimis

mengasumsikan adanya harapan dalam cara orang menghadapi

kehidupan. Optimis adalah pendekatan yang positif terhadap

kehidupan sehari-hari. Optimis adalah lawan pesimis, yang

merupakan gejala umum depresi.

d. Ciri-ciri Individu Yang Memiliki Kecerdasan Emosi Tinggi

Golamen (2009) mengemukakan ciri-ciri individu yang memiliki

kecerdasan emosi tinggi, yaitu:

1) Memiliki kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan dapat bertahan

dalam menghadapi frustrasi.

Page 25: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

25

2) Dapat mengendalikan dorongan-dorongan hati sehingga tidak melebih-

lebihkan suatu kesenangan.

3) Mampu mengatur suasana hati dan dapat menjaganya agar beban stress

tidak melumpuhkan kemampuan berpikir seseorang.

4) Mampu untuk berempati terhadap orang lain dan tidak lupa berdoa.

Kecerdasan emosi mempengaruhi semua aspek yang berhubungan

dengan pelayanan. Ketika bekerja seorang diri, keberhasilan sangat

bergantung pada seberapa tingkat kedisiplinan dan motivasi diri sendiri.

Aspek-aspek kecerdasan emosi secara praktis disajikan dalam perilaku yang

meliputi: kerajinan, kedisiplinan, tanggungjawab, perasaan percaya diri,

kesadaran diri, optimis, pengendalian diri, tidak menunda pekerjaan,

kerendahan hati, berani menghadapi kenyataan, kerjasama, komunikasi,

proaktif, berpikir panjang, memiliki etika, menghargai waktu, berani

mengambil keputusan, tidak mengikuti arus, tidak memikirkan diri sendiri,

dan seterusnya, yang sangat berpengaruh terhadap kesuksesan seseorang

dalam menjalani kehidupannya (Mulyadi, 2005).

Zohar (2000) mengungkapkan bahwa kunci keberhasilan hidup lebih

banyak ditentukan oleh kecerdasan emosional, yaitu aspek-aspek yang

berkait dengan kepribadian, yang di dalamnya setidaknya ada empat ciri

pokok. Pertama, kemampuan seseorang memahami dan memotivasi potensi

dirinya. Kedua, memiliki rasa empati yang tinggi terhadap orang lain.

Ketiga, senang bahkan mendorong melihat anak buah sukses, tanpa dirinya

merasa terancam. Keempat, asertif, yaitu terampil menyampaikan pikiran

Page 26: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

26

dan perasaan dengan baik, lugas, dan jelas tanpa harus membuat orang lain

tersinggung.

Golamen (2002) dalam Wahyono (2010) menjelaskan tentang

kecerdasan emosional pada kaum pria dan wanita, dimana kaum pria yang

tinggi kecerdasan emosionalnya secara sosial mantap, mudah bergaul dan

jenaka serta tidak mudah takut atau gelisah. Mereka berkemampuan besar

untuk melibatkan diri dengan orang-orang atau permasalahan, untuk

memikul tanggungjawab, dan mempunyai pandangan moral. Mereka

simpatik dan hangat dalam hubungan-hubungan mereka. Kehidupan

emosional mereka kaya tetapi wajar, mereka merasa nyaman dengan dirinya

sendiri, dengan orang lain, dan dunia pergaulan lingkungannya. Sedangkan

kaum wanita yang cerdas secara emosional cenderung bersikap tegas dan

mengungkapkan perasaan mereka secara langsung, dan memandang dirinya

secara positif serta memberi makna kehidupan bagi mereka. Sebagaimana

kaum pria, mereka mudah bergaul dan ramah serta mengungkapakan

perasaan mereka dengan takaran yang wajar. Mereka mampu menyesuaikan

diri dengan beban stress. Kemantapan pergaulan mereka membuat mereka

mudah menerima orang baru, mereka cukup nyaman dengan dirinya sendiri

sehingga selalu ceria, spontan, dan terbuka terhadap pengalaman-

pengalaman kaum pria.

Page 27: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

27

2. Kecerdasan Emosional Perawat Di Tempat Kerja

Menurut Oginska-Bulik (2005) kecerdasan emosi, merupakan faktor

penting dalam bertanggungjawab atas keberhasilan dalam hidup dan psikologis

yang memainkan peran penting dalam membentuk interaksi antara individu

dan lingkungan kerja. Pekerjaan pelayanan manusia jelas terkait dengan emosi.

Salah satu aspek emosi di tempat kerja yang berhubungan dengan stres, adalah

kebutuhan untuk mengekspresikan perasaan positif dan kadang-kadang negatif

terhadap emosi pelanggan.

Tugas utama perawat adalah untuk melayani klien atau pasien secara

fisik atau psikologis. Dalam pelayanan manusia, pengetahuan, keterampilan,

motivasi karyawan, kondisi kerja, harapan dan perilaku pelanggan menciptakan

proses pelayanan (Dollar, 2003). Untuk menciptakan pelayanan yang baik

tidak hanya membutuhkan pengetahuan, keterampilan, motivasi karyawan,

kondisi kerja, harapan dan perilaku pelanggan saja, namun pengaturan tempat

kerja juga dapat meningkatkan kinerja perawat untuk memberikan yang terbaik

untuk klien. Pengaturan tempat kerja buruk juga akan meningkatkan stres pada

perawat dalam memberikan pelayanan. Kinerja perawat melekat pada

ketegangan dan emosi, yang dapat menyebabkan perawat merasakan stres

(Oginska-Bulik, 2005).

Perbaikan lingkungan rumah sakit memegang peranan penting untuk

kualitas perawatan pasien, keamanan dan konsistensi perawat profesional.

Hubungan antara lingkungan kerja, kurangnya kerjasama tim, kepuasan dan

burnout perawat di rumah sakit akan mempengaruhi kinerja perawat. Ruang

Page 28: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

28

kerja yang dirancang buruk, akan mempengaruhi ketidakefisienan perawatan,

proses perawatan yang lama dengan kondisi ruang kerja yang buruk akan

membuang banyak waktu perawat dalam proses perawatan. Semua faktor ini

mengurangi kemampuan perawat profesional untuk memberikan pelayanan

yang aman, efisien, efektif pada pasien (McCusker, et all, 2004).

Menurut Salovey dan Mayer (1990) dalam Oginska-Bulik (2005)

menjelaskan bahwa kemampuan untuk mengenali emosi orang dan untuk

mengatur emosi sendiri tampaknya sangat penting dalam pekerjaan pelayanan

manusia. Kemampuan ini didefinisikan sebagai Emotional Intelllegnce (EI).

Hal ini mengacu pada kemampuan seseorang untuk menyadari perasaan

sendiri, untuk menyadari perasaan lain, untuk membedakan antara mereka, dan

menggunakan informasi tersebut untuk memandu pemikiran sendiri dan

perilaku (Nikolau, 2002).

3. Intensive care Unit (ICU), Instalasi gawat Darurat (IGD) dan Instalasi

rawat Inap (IRNA)

a. Intensive care Unit (ICU)

Ruang ICU adalah ruang rawat di Rumah Sakit yang dilengkapi

dengan staf dan peralatan khusus untuk merawat dan mengobati pasien yang

terancam jiwa oleh kegagalan atau disfungsi satu organ atau ganda akibat

penyakit, bencana atau komplikasi yang masih ada harapan hidupnya

(reversible).

Page 29: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

29

Pekerjaan di ruang ICU stress pada pekerja. Faktor-faktor yang

menyebabkan stres kerja pada Perawat ICU adalah konflik intarpersonal

dengan perawat, memberi perawatan pada pasien, isu-isu mengenai

administrator dan manajer keperawatn, kurangnya dukungan dari

administrator dan manajer keperawatan, pola komunikasi, pemantauan dan

perencanaan staf, politik interdisiplin pada tingkat manajer keperawatan dan

dokter, penghargaan (termasuk gaji, promosi, dan kesempatan untuk

memeperoleh pendidikan), penyedia dukungan dari departemen lain di luar

bidang keperawatan, serta isu etika yang berhubungan dengan pasien-pasien

menjelang kematian (Agung, 2009).

Salah satu pelayanan yang sentral di rumah sakit adalah pelayanan

Intensive Care Unit (ICU). Saat ini pelayanan di ICU tidak terbatas hanya

untuk menangani pasien pasca-bedah saja tetapi juga meliputi berbagai jenis

pasien dewasa, anak, yang mengalami lebih dari satu disfungsi/gagal organ.

Kelompok pasien ini dapat berasal dari Unit Gawat Darurat, Kamar Operasi,

Ruang Perawatan, ataupun kiriman dari Rumah Sakit lain (Hanafi, 2007).

Perawat ICU dapat mengalami burnout (kondisi emosional dimana

seseorang merasa lelah dan jenuh secara mental ataupun fisik akibat

tuntutan pekerjaan yang meningkat) bila memiliki persepsi yang sia-sia

terhadap pemberian asuhan keperawatan pada pasien dalam keadaan

terminal yang lama, bahkan sampai berbualan-bulan tetapi tidak mengalami

perubahan kondisi kesehatan. Persepsi yang sia-sia dapat menyebabkan

kelelahan emosional yang mengarah terjadinya burnout. Hal ini dibuktikan

Page 30: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

30

dari penelitian yang dilakukan oleh Meltzer & Huckabay (2004) (dalam

Agung, 2009) dari 60 perawat ICU pada dua buah rumah sakit di California

Selatan. Meltzer & Huckabay menemukan hubugan yang positif dan

signifikan dari uji korelasi Product moment Pearson (r = 0,317, p=0.05).

b. Instalasi Gawat Darurat (IGD)

Instalasi Gawat darurat merupakan unit penting dalam operasional

suatu rumah sakit, yaitu sebagai pintu masuk bagi setiap pelayanan yang

beroperasi selama 24 jam selain poliklinik umum dan spesialis yang hanya

melayani pasien pada saat jam kerja. Sebagai ujung tombak dalam

pelayanan keperawatan rumah sakit, IGD harus melayani semua kasus yang

masuk ke rumah sakit. Dengan kompleksitas kerja yang sedemikian rupa,

maka perawat yang bertugas di ruangan ini dituntut untuk memiliki

kemampuan lebih di banding dengan perawat yang melayani pasien di

ruang yang lain.

Perawat yang bertugas di ruang IGD wajib membekali diri dengan

ilmu pengetahuan, keterampilan, bahkan dianggap perlu mengikuti

pelatihan-pelatihan yang menunjang kemampuan perawat dalam menangani

pasien secara cepat dan tepat sesuai dengan kasus yang masuk ke IGD.

Perawat juga dituntut untuk mampu bekerjasama dengan tim kesehatan lain

serta dapat berkomunikasi dengan pasien dan keluarga pasien yang

berkaitan dengan kondisi kegawatan kasus di ruang tersebut, kebutuhan

akan sarana dan peralatan yang menunjang pelayanan merupakan hal

Page 31: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

31

penting lain yang harus diperhatikan oleh penyelenggara rumah sakit

(RSUD Banyumas, 2012).

c. Instalasi rawat Inap (IRNA)

Instalasi rawat inap merupakan unit pelayanan non struktural yang

menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan kegiatan pelayanan rawat

inap. Pelayanan rawat inap adalah suatu kelompok pelayanan kesehatan

yang terdapat di rumah sakit yng merupakan gabungan dari beberapa fungsi

pelayanan. Kategori pasien yang masuk rawat inap adalah pasien yang perlu

perawatan intensif atau observasi ketat karena penyakitnya.

Jacobalis (1990) menjelaskan kualitas pelayanan kesehatan di ruang

rawat inap rumah sakit dapat diuraikan dari beberapa aspek, diantaranya

adalah:

1) Penampilan keprofesian menyangkut pengetahuan, sikap dan perilaku

2) Efisiensi dan efektifitas, menyangkut pemanfaatan sumber daya

3) Keselamatan Pasien, menyangkut keselamatan dan keamanan pasien

4) Kepuasan Pasien, menyangkut kepuasan fisik, mental, dan sosial

terhadap lingkungan rumah sakit, kebersihan, kenyamanan, kecepatan

pelayanan, keramahan, perhatian, biaya yang diperlukan dan sebagainya.

Muslihuddin (1996), menjelaskan Mutu asuhan pelayanan rawat inap

dikatakan baik apabila perawat dapat memberikan rasa tentram kepada

pasiennya yang biasanya orang sakit, dan menyediakan pelayanan yang

profesional. Dari kedua aspek ini dapat diartikan bahwa petugas harus

mampu melayani dengan cepat, penanganan pertama dari perawat dan

Page 32: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

32

dokter profesional harus mampu membuat kepercayaan pada pasien,

ruangan yang bersih dan nyaman, dan peralatan yang memadai dengan

operator yang profesional memberikan nilai tambah.

4. Karakteristik Responden

a. Jenis kelamin

Menurut Hungu (2007) jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara

perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Seks

berkaitan dengan tubuh laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki

memproduksikan sperma, sementara perempuan menghasilkan sel telur dan

secara biologis mampu untuk menstruasi, hamil dan menyusui. Perbedaan

biologis dan fungsi biologis laki-laki dan perempuan tidak dapat

dipertukarkan diantara keduanya, dan fungsinya tetap dengan laki-laki dan

perempuan pada segala ras yang ada di muka bumi.

b. Usia atau Umur

Usia atau umur adalah lamanya waktu hidup yaitu terhitung sejak lahir

sampai dengan sekarang. Penentuan umur dilakukan dengan menggunakan

hitungan tahun (Chaniago, 2002 ). Menurut Elisabeth yang dikutip

Nursalam (2003), usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat

dilahirkan sampai berulang tahun. Pembagian umur berdasarkan psikologi

perkembangan (Hurlock, 2002) bahwa masa dewasa terbagi atas :

1) Masa Dewasa muda, berlangsung antara usia 18 - 40 tahun

2) Masa Dewasa Madya, berlangsung antara usia 41 - 60 tahun

Page 33: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

33

3) Masa Lanjut Usia, berlangsung antara usia > 61 tahun

Menurut Hurlock (2002) semakin cukup umur, tingkat kematangan

dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari

segi kepercayaan masyarakat, seseorang yang lebih dewasa lebih dipercaya

dari orang yang belum tinggi kedewasaannya. Hal ini dilihat dari

pengalaman dan kematangan jiwanya. Umur merupakan salah satu faktor

yang mempengaruhi perilaku kesehatan seseorang. Menurut Suryabudhi

(2003) seseorang yang menjalani hidup secara normal dapat diasumsikan

bahwa semakin lama hidup maka pengalaman semakin banyak, pengetahuan

semakin luas, keahliannya semakin mendalam dan kearifannya semakin

baik dalam pengambilan keputusan tindakannya.

c. Pendidikan

Menurut Daryanto (1997), pendidikan adalah upaya peningkatan

manusia ke taraf insani itulah yang disebut mendidik. Pendidikan adalah

segala usaha untuk membina kepribadian dan mengembangkan kemampuan

manusia secara jasmani dan rohani yang berlangsung seumur hidup, baik di

dalam maupun di luar sekolah dalam rangka pembangunan persatuan

Indonesia dan masyarakat (Hasibuan, 2005).

Koentjoroningrat (1997), mengatakan pendidikan adalah kemahiran

menyerap pengetahuan, pendidikan seseorang berhubungan dengan sikap

seseorang terhadap pengetahuan yang diserapnya. Semakin tinggi tingkat

pendidikan semakin mudah untuk dapat menyerap pengetahuan. Pendidikan

Page 34: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

34

merupakan unsur karakteristik personal yang sering dihubungkan dengan

derajat kesehatan seseorang atau masyarakat.

d. Lama kerja

Siagian (2008) menyatakan bahwa, lama kerja menunjukkan berapa

lama seseorang bekerja pada masing-masing pekerjaan atau jabatan.

Kreitner dan Kinicki (2004) menyatakan bahwa, masa kerja yang lama

akan cenderung membuat seorang pegawai lebih merasa betah dalam

suatu organisasi, hal ini disebabkan diantaranya karena telah beradaptasi

dengan lingkungannya yang cukup lama sehingga seorang pegawai akan

merasa nyaman dengan pekerjaannya. Penyebab lain juga dikarenakan

adanya kebijakan dari instansi atau perusahaan mengenai jaminan hidup di

hari tua.

e. Status Pekerjaan

Status Pekerjaan adalah kedudukan seseorang dalam melakukan

pekerjaan di suatu unit usaha/kegiatan. Indikator status pekerjaan pada

dasarnya melihat empat kategori yang berbeda tentang kelompok penduduk

yang bekerja yaitu tenaga kerja dibayar (buruh), pekerja yang berusaha

sendiri, pekerja bebas dan pekerja keluarga. Berusaha sendiri umumnya

dibedakan menjadi dua yaitu mereka yang berusaha (memiliki usaha)

dengan dibantu pekerja dibayar dan mereka yang berusaha tanpa dibantu

pekerja dibayar, sementara pekerja keluarga juga dikenal dengan pekerja tak

dibayar (Hungu, 2007).

f. Lingkungan

Page 35: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

35

Menurut Mardiana (2005) lingkungan kerja adalah lingkungan dimana

pegawai melakukan pekerjaannya sehari-hari. Lingkungan kerja yang

kondusif memberikan rasa aman dan memungkinkan para pegawai untuk

dapat berkerja optimal. Lingkungan kerja dapat mempengaruhi emosi

pegawai. Jika pegawai menyenangi lingkungan kerja dimana dia bekerja,

maka pegawai tersebut akan betah di tempat kerjanya untuk melakukan

aktivitas sehingga waktu kerja dipergunakan secara efektif dan optimis

prestasi kerja pegawai juga tinggi.

Lingkungan kerja mencakup hubungan kerja yang terbentuk antara

sesama pegawai dan hubungan kerja antar bawahan dan atasan serta

lingkungan fisik tempat pegawai bekerja. Menurut Nitisemito (2001)

Lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada disekitar para pekerja

yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang

diembankan.

Page 36: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

36

B. Kerangka Teori

Berdasarkan penjabaran teori dari Nursalam (2002), Galoman (2009),

Dann (2002), Al-Uqsari, (2005), Bullo (2002), Shapiro (2003), dan Cooper &

Sawan (2001), Chaniago (2002), Nursalam (2003), Hurlock (2002), Daryanto

(1997), siagian (2008), Hungu (2007), dan Mardian (2005), maka didapat

kerangka teori sebagi berikut:

Gambar 2.2. kerangka teori

- Kesehatan individu

- Lingkungan (tempat

kerja)

- Stimulasi kejenuhan

- Pengalaman

Faktor yang mempengaruhi

kecerdasan emosional :

1. Usia

2. Pendidikan

3. Lama kerja

4. Status pekerjaan

5. Jenis kelamin

Kecerdasan Emosional

Ruang Kerja Perawat

- ICU

- IGD

- IRNA Ranah kecerdasan emosional

menurut Reuven Bar-On (2009)

dalam Wahyono (2010)

- Ranah intarapribadi

- Ranah antarpribadi

- Ranah penyesuaian diri

- Ranah pengendalian stress

- Ranah suasana hati

Faktor kecerdasan emosional

menurut Golamen (2000) oleh

Bolu (2002)

1. Kesadaran emosi

2. Pengendalian emosi

3. Motivassi diri

4. Empati

5. Hubungan sosial

Page 37: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

37

C. Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan fokus penelitian yang akan diteliti,

kerangka konsep ini terdiri dari variabel bebas (independent variable). Adapun

kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Gambar 2.3. kerangka konsep

Keterangan:

: variabel yang diteliti

: variabel yang tidak diteliti

Ruang kerja

- ICU

- IGD

- IRNA

Faktor yang

mempengaruhi kecerdasan

emosional :

1. Usia

2. Lingkungan (tempat

kerja)

3. Pendidikan

4. Lama kerja

5. Status pekerjaan

6. Jenis kelamin

Kecerdasan emosional di ruang

ICU, IGD dan IRNA

7. Kesehatan individu

8. Pengalaman

9. Stimulasi kejenuhan

Faktor kecerdasan emosional

menurut Golamen (2000) oleh

Bolu (2002)

1. Kesadaran emosi

2. Pengendalian emosi

3. Motivassi diri

4. Empati

5. Hubungan sosial

Ranah kecerdasan emosional

menurut Reuven Bar-On

(2009) dalam Wahyono (2010)

- Ranah intarapribadi

- Ranah antarpribadi

- Ranah penyesuaian diri

- Ranah pengendalian stress

- Ranah suasana hati

Page 38: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

38

D. Hipotesis

Ha : ada perbedaan kecerdasan emosional perawat di ICU, IGD, dan instalasi

Rawat inap setelah dikontrol dengan karakteristik individu.

Page 39: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

39

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kuantitatif. Adapun

rancangan penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional, dimana

peneliti hanya melakukan observasi dan pengukuran variabel pada saat tertentu

saja (Saryono, 2011). Metode ini digunakan untuk mengetahui kecerdasan

emosional perawat di ruang ICU, IGD dan rawat inap.

2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di RSUD Banyumas pada bulan Juni sampai bulan

Juli 2013.

B. Populasi Dan Sampel

1. Populasi

Saryono (2011) mendefinisikan populasi merupakan keseluruhan sumber

data yang diperlukan dalam suatu penelitian. Populasi dari penelitian ini adalah

seluruh perawat di RSUD Banyumas yang bekerja di ruang ICU, IGD, dan

instalasi rawat inap.

2. Sampel

a. Kriteria Inklusi

Perawat yang bekerja di ruang intensive, kegawatdaruratan, dan ruang rawat

inap RSUD Banyumas

Page 40: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

40

b. Kriteria Eksklusi

1) Perawat yang menolak menjadi responden

2) Perawat yang sedang cuti

Penentuan besar sampel menurut Saryono (2011) besar sampel dapat

didasarkan pada prosentase dari besarnya populasi. Jika populasi lebih dari

100 maka dapat mengambil 25% sampai 30%. Besar sampel dalam

penelitian ini menggunakan rumus sebagai berikut:

n = 25% x N + (10%x (25% x N))

Keterangan:

n = besar sampel minimal

N = jumlah populasi

Dari rumus di atas maka penentuan besar sampel untuk instalasi

rawat inap adalah sebagai berikut:

n = 25% x N + (10%x (25% x N))

n = 25% x 188 + (10%x (25% x 188))

n = 47 + 4,7

n = 51,7 52 perawat

Besar sampel dalam penelitian ini adalah dengan teknik total

sampling yaitu dengan melakukan pengambilan pada seluruh kelompok

untuk ruang intensive yang diwakili ruang ICU = 17 perawat dan ruang

kegawatdaruratan yang diwakili ruang IGD = 18 perawat. Jumlah total dari

responden penelitian ini adalah 87 orang.

Page 41: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

41

C. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas (independent variable) merupakan variabel yang menstimulasi

variabel target (Saryono, 2011). Variabel bebas dalam penelitian yang akan

dilakukan yaitu kecerdasan emosional

2. Variabel penganggu (confounding variable) yang akan diteliti dalam penelitian

yang akan diteliti meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan terakhir, masa

kerja, ruang tempat kerja.

D. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi

operasional

Cara Ukur Hasil Ukur Skala

Ukur

1. Kecerdasan

emosional

kemampuan

mengenali diri

sendiri dan orang

lain, kemampuan

memotivasi diri

sendiri dan

mengelola emosi

dengan baik pada

diri sendiri dan

hubungannya

dengan orang lain

Kuesioner Dibagi dalam

dua kategori

yaitu:

- Cukup baik

dengan nilai

≤ 136

- Baik dengan

nilai 136-

160

- Baik sekali

dengan nilai

≥ 160

Ordinal

2. Jenis kelamin Jenis kelamin

adalah status

responden yang

membedakan

antara laki-laki

dan perempuan

Melihat

identitas

responden

pada

jawaban

kuesioner

Dibedakan

antara:

Laki-laki

perempuan

Nominal

3. Usia Usia adalah

Banyaknya tahun

yang dihitung

sejak kelahiran

sampai

pelaksanaan

penelitian

Melihat

identitas

responden

pada lembar

kuesioner

Dibagi dalam

2 kategori:

Dewasa muda

18-40 tahun,

dan dewasa

madya 41-60

tahun

Ordinal

4. Pendidikan Jenjang

pendidikan

Melihat

identitas

D3

S1

Ordinal

Page 42: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

42

terakhir lulus responden

pada lembar

jawaban

kuesioner

dan data di

bagian

kepegawaian

di RSUD

Banyumas

S2

5. Masa kerja Lama kerja

merupakan masa

kerja perawat

dimulai dari

masuk menjadi

perawat di RSUD

Banyumas

sampai dengan

waktu penelitian

dilakukan

Melihat

identitas

responden

pada

jawaban

kuesioner

dan data di

bagian

kepegawaian

Dibagi dalam

dua kategori

yaitu:

- < 11 tahun

- ≥ 11 tahun

Ordinal

6. Status pekerjaan Status pekerjaan

merupakan

tingkatan

pekerjaan yang

dimiliki oleh

perawat

Melihat

identitas

responden

pada lembar

kuesioner

Dibagi dalam

2 kategori:

PNS dan Non

PNS

Nominal

E. Intstrumen Penelitian

Saryono (2011) mengungkapkan instrumen penelitian merupakan alat

atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data. Instrumen

penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah penelitian karena

menentukan keakuratan data yang diperoleh. Instrumen yang digunakan untuk

mengukur kecerdasan emosional adalah menggunakan skala likert. Dalam skala

likert terdapat 5 gradasi seperti : selalu, sering, jarang, ragu-ragu dan tidak pernah.

Namun dalam pembuatan kuesioner peneliti hanya menggunakan 4 gradasi

dimana ragu-ragu tidak digunakan karena dapat membuat keraguan dalam

jawaban kuesioner. Kuesioner kecerdasan emosionl diadopsi dari penelitian

Page 43: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

43

sebelumnya oleh Wahyono (2010) yang mengadopsi ranah kecerdasan emosional

oleh Reuvan Bar-On (2009). Kecerdasan emosinal dibagi dalam 5 ranah yang

dijabarkan lebih detail menjadi 15 komponen.

Distribusi item pertanyaan tentang kecerdasan emosional dapar dilihat

dari tabel berikut ini:

Tabel.3.2. Aspek dan distribusi item kecerdasan emosional

Aspek Nomor item Jumlah

Antarpribadi

Intrapribadi

Penyesuaian diri

Pengendalian stress

Suasana hati umum

1, 2, 3,4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11

12, 13, 14 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21

22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32,

33, 34, 35, 36

37, 38, 39, 40, 41, 42

43, 44, 45, 46, 47

11

10

15

6

5

Total 47

Gradasi yang digunakan dalam kuesioner penelitan ini adalah:

SL : Selalu dengan skor 4

SR : Sering dengan skor 3

JR : Jarang dengan skor 2

TP : Tidak pernah dengan skor 1

Cara penilaian untuk menentukan skala yang digunakan dalam penelitian

ini pada awalnya dikategorikan dalam kategori rendah, sedang, dan tinggi dengan

cara menjumlah item dari indikator dalam variabel tersebut dengan dicari nilai

tertinggi, nilai terendah dan nilai tengah. Jumlah item dikalikan dengan skor

tertinggi untuk menentukan batas atas, jumlah item pertanyaan dikalikan dengan

skor item terendah untuk menentukan batas bawah, kemudian nilai tengah

diperoleh dari batas atas dan batas bawah dibagi dua, sehingga diperoleh sekala

sebagai berikut :

Page 44: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

44

- Rendah : 47 - 94

- Sedang : 95 - 142

- Tinggi : 143 - 188

Penelitian yang akan dilakukan menggunakan instrumen penelitian yang terdiri

dari:

1. Kuesioner karakteristik responden

Kuesioner karakteristik responden berisi jenis kelamin, usia, lama kerja, status

pekerjaan, dan ruang tempat kerja.

2. Kuesioner pengukuran kecerdasan emosional

Pengukuran kecerdasan emosional menggunakan kuesioner yang sudah teruji

validitas dan reliabilitasnya.

F. Validitas Dan Reliabilitas Instrumen

Validitas merupakan suatu indeks yang menunjukkan alat itu benar-

benar mengukur apa yang diukur (Saryono, 2011). Alat ukur yang akan

digunakan pada penelitian ini adalah lembar kuesioner untuk mengukur

kecerdasan emosional. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kuesioner kecerdasan emosional yang telah teruji validitasnya, diperoleh nilai

0,725 sehingga tidak perlu dilakukan uji validitas lagi.

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat

pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Saryono, 2011). Uji

reliabilitas dalam penelitian ini tidak dilakukan dengan alasan bahwa kuesioner

ini telah teruji reliabilitasnya sehingga tidak perlu dilakukan uji reliabilitas.

Dari penelitian sebelumnya diperoleh hasil uji reliabilitas kuesioner kecerdasan

Page 45: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

45

emosional diperoleh nilai 0,828 yang artinya item dari kecerdasan emosional

adalah reliabel. Sedangkan penelitian yang saya lakukan setelah di uji

reliabilitasnya terdapat satu item pertanyaan yang tidak reliabel. Tetapi

instrumen ini tetap digunakan dalam penelitian karena pada penelitian

sebelumnya telah terstandar.

G. Teknik Pengumpulan Data dan Jalannya Penelitian

1. Teknik pengumpulan data

Jenis data yang digunakan adalah

a. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh peneliti secara langsung dari

responden dengan mengisi kuesioner.

b. Data sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari catatan kepegawaian dan

mengisi kuesioner berupa usia, jenis kelamin, pendidikan, status pekerjaan,

lama kerja dan tempat kerja.

2. Penelitian yang akan dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut:

a. Tahap Persiapan

1) Persiapan materi dan konsep yang mendukung jalannya penelitian.

2) Studi pendahuluan penelitian untuk mendapatkan data–data yang

mendukung penelitian.

3) Penyusunan proposal penelitian dan konsultasi dengan dosen

pembimbing.

4) Seminar proposal penelitian.

Page 46: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

46

5) Permohonan ijin dari Ketua Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran

dan Ilmu–ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman, kepada Badan

Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbang Pol

dan Linmas) Kabupaten Banyumas, Badan Perencanaan dan

Pembangunan Daerah (Bappeda) dan RSUD Banyumas.

b. Tahap Pelaksanaan

a. Menentukan sampel penelitian

b. Ijin kepeda responden dengan terlebih dahulu membuat persetujuan pada

lembar persetujuan untuk menjadi responden.

c. Mengumpulkan data primer kecerdasan emosional

c. Tahap Penyelesaian

1) Melakukan pengecekan data (editing), apakah data sudah sesuai.

2) Data yang sudah lengkap seleksi, kemudian diolah menggunakan bantuan

komputer meliputi tahap coding dan tabulating.

3) Data yang telah diolah kemudian dianalisis hasilnya meliputi analisis

univariat dan analisis bivariat.

4) Membuat laporan hasil penelitian.

5) Seminar hasil penelitian.

6) Pengumpulan hasil penelitian skripsi.

H. Analisa Data

1. Pengolahan dan analisa data

Pengolahan data menggunakan program statistik komputer dan

dianalisis dengan uji statistik yaitu non parametrik yang merupakan teknik

Page 47: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

47

analisis data dalam penelitian analitik komparatif numerik menggunakan

statistik inferensial (menarik kesimpulan), yaitu menyimpulkan parameter

berdasarkan statistik (Saryono, 2011).

2. Cara analisa

Analisis data dilakukan setelah data terkumpul agar perbandingan

antar variabelnya dapat diketahui. Data di analisis menggunakan prosedur

statistik yang memungkinkan peneliti untuk menyimpulkan, mengorganisasi,

mengevaluasi, menginterpretasi, dan menyajikan informasi yang jelas dengan

angka-angka yang berarti. Peneliti melakukan tabulasi data menggunakan

komputer (Nursalam, 2009).

a. Analisa univariat

Analisa univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian.

Analisa ini bermanfaat untuk memberi gambaran karakteristik subyek

penelitian dengan menghitung distribusi frekuensi dan proporsi setiap

variabel. Pada penelitian ini analisa univariat dilakukan dengan

menggunakan analisa deskriptif dalam bentuk presentase pada karakteristik

usia, pendidikan, lama kerja, jenis kelamin, ruang kerja dan status

pekerjaan.

b. Analisa bivariat

Analisa bivariat dilakukan untuk mencari perbedaan antara kecerdasan

emosional perawat di ruang intensive, kegawatdaruratan, dan rawat inap.

Kemudian setelah diketahui hasilnya, kecerdasan emosionalnya di

hubungkan dengan karakteristik responden yaitu, jenis kelamin, usia, lama

Page 48: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

48

kerja, status pekerjaan, dan pendidikan. Uji statistik yang digunakan dalam

penelitian ini adalah uji Kruskal-Wallis dan chi-squere.

Tabel 3.3. Uji Penelitian Analisa Bivariat

Variabel Analisis

Perbedaan Kecerdasan emosional

dengan ruang kerja (ICU, IGD, dan

IRNA)

uji Kruskal-Wallis

Hubungan kecerdasan emosional

ruang ICU, IGD, dan IRNA dengan

jenis kelamin

Chi-square

Hubungan kecerdasan emosional

ruang ICU, IGD, dan IRNA dengan

usia

Chi-square

Hubungan kecerdasan emosional

ruang ICU, IGD, dan IRNA dengan

pendidikan

Chi-square

Hubungan kecerdasan emosional

ruang ICU, IGD, dan IRNA dengan

lama kerja

Chi-square

Hubungan kecerdasan emosional

ruang ICU, IGD, dan IRNA dengan

status pekerjaan

Chi-square

Data yang telah terkumpul akan diolah dengan proses pengolahan data

sebagai berikut:

1. Editing

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang

diperoleh. Peneliti melakukan pengecekan terhadap kelengkapan data. Jika

terdapat data yang salah dan yang tidak lengkap maka data tersebut tidak

dipakai.

2. Coding

Coding merupakan penglasifikasian hasil observasi/pemeriksaan yang

sudah ada menurut jenisnya, dengan cara memberi tanda pada masing-

Page 49: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

49

masing kolom dengan kode berupa angka/huruf/simbol lainnya. Peneliti

membuat daftar kode dan artinya dalam satu buku (code book) untuk

memudahkan kembali melihat lokasi dan arti kode tersebut.

Karena data penelitian hampir semua dalam kategori baik yang tidak

memungkinkan untuk dilakukan analisa maka perlu dikategorikan setelah

uji normalitas. Data yang telah terdistribusi normal dikaegorikan

berdasarkan nilai mean (153,3) dan SD (17,2). Rerata (< mean – SD)

kategori cukup baik, ( mean ± SD) dikategorikan baik, dan (> mean + SD)

kategori sangat baik, sehingga diperoleh sekala sebagai berikut :

- Baik dengan nilai 136-160 ( mean ± SD)

- Baik sekali dengan nilai ≥ 160 (> mean + SD)

Data yang akan dilakukan Coding meliputi kecerdasan emosional

yaitu Dibagi dalam dua kategori 1 = baik (136-160), dan 2 = baik sekali

(>160) , pendidikan yaitu 1 = D3, 2 = S1/Ners, 3 = S2. Dan Coding untuk

lama kerja dibagi menjadi dalam dua kategori yaitu 1 = < 11 tahun, dan 2 =

≥ 11 tahun. Usia dibagi dalam 2 kategori yaitu dewasa muda 18-40 tahun

dan dewasa madya 41-60 tahun. Data yang telah di coding kemudian diolah

dengan menggunakan SPSS 16.

3. Tabulasi/entry data

Tabulasi adalah suatu kegiatan memasukkan data dari hasil penelitian ke

dalam master tabel/database komputer berdasarkan kriteria yang telah ada.

Tabulasi merupakan membuat tabel hasil observasi yang sudah diberi skor

dan dimasukkan ke dalam tabel. Tabulasi juga dilakukan untuk menyusun

Page 50: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

50

dan menghitung data hasil pengkodean untuk disajikan dalam tabel sesuai

kategori variabel.

I. Etika Penelitian

Etika penelitian menurut Hidayat (2007), terdiri dari 4 macam yaitu:

1. Informed Consent

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan responden,

dengan bentuk lembar persetujuan. Lembar persetujuan diberikan sebelum

penelitian kepada responden yang akan diteliti. Lembar ini dilengkapi dengan

judul penelitian dan manfaat penelitian, sehingga subjek mengerti maksud dan

tujuan penelitian. Bila subjek menolak, maka peneliti tidak boleh memaksa dan

harus tetap menghormati hak-hak subjek.

2. Anonomity

Anonimity digunakan untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan

mencantumkan nama responden, tetapi pada lembar tersebut diberikan kode

pengganti nama responden.

3. Confidentiality

Informasi yang telah dikumpulkan dari responden akan dijamin kerahasiaanya

oleh peneliti, dan hanya akan digunakan untuk pengembangan ilmu.

4. Asas Keadilan (Justice)

Prinsip ini bertujuan untuk menjunjung tinggi keadilan responden dengan

menghargai hak-hak dalam memberikan informasi, dan hak menjaga privasi

responden.

Page 51: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

51

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil penelitian

Penelitian dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan kecerdasan

emosional perawat di ruang intensif, kegawatdaruratan, dan ruang rawat inap

telah dilakukan selama dua minggu di RSUD Banyumas dan diperoleh 89

responden. Terdiri dari ruang ICU 17 orang, IGD 18 orang dan ruang rawat

inap sebanyak 52 orang. Dari 18 responden yang tersebar di ruang IGD

terdapat dua responden yang gugur. Hal ini karena keterbatasan waktu dari

peneliti dan tidak adanya respon dari perawat yang peneliti hubungi. Dua

perawat yang tidak mengembalikan kuesioner di eksklusi. Tabulasi dan hasil

penelitian akan diuraikan dengan analisis univariat dan bivariat, meliputi

karakteristik responden, gambaran kecerdasan emsional di ruang kerja, dan

hubungan kecerdasan emosional perawat dengan karakteristik responden.

1. Karakteristik Responden

Karakteristik responden dipaparkan berdasarkan tempat kerja, pendidikan,

lama kerja, jenis kelamin, usia, masa kerja dan lama kerja dapat dilihat

pada tabel 4.1.

Page 52: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

52

Tabel 4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Tempat Kerja,

Pendidikan, Jenis Kelamin, Usia, Masa Kerja dan Status

Pekerjaan (N=87)

Karakteristik responden Frekuensi Persentase (%)

Jenis kelamin

Laki-laki 40 46,0

Perempuan 47 54,0

Umur

Dewasa muda 18-40 tahun 82 94,3

Dewasa madya 41-60 tahun 5 5,7

Tingkat Pendidikan

D3 65 74,7

S1 22 25,3

S2 0 0

Masa kerja

< 11 tahun 48 55,2

≤ 11 tahun 39 44,8

Statsu pekerjaan

PNS 76 87,4

Non PNS 11 12,6

Total 87 100

Mayoritas responden dalam penelitian bekerja di ruang rawat inap

sebanyak 52 orang (59,8%), persentase ini tidak berimbang dengan ruang

ICU, dan IGD yang hanya terdiri masing-masing satu ruang. Ruang rawat

inap terdiri dari beberapa ruang sehingga perawat yang bekerja di ruang

rawat inap lebih banyak daripada ICU dan IGD.

Komposisi jenis kelamin relatif seimbang dengan persentase

perempuan (54,0%) dan laki-laki (46,0%). Sebaliknya berdasarkan

kelompok umur tidak seimbang dimana mayoritas responden berusia

dewasa muda 18-20 tahun (94,3%). Mayoritas pendidikan responden yaitu

D3 (74,7%) dengan masa kerja mayoritas perawat kurang dari 11 tahun

(55,2%) dan mayoritas statusnya PNS (87,4%).

Page 53: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

53

2. Gambaran Kecerdasan Emosional Perawat Di RSUD Banyumas

Kecerdasan emosional dalam penelitian ini dibagi menjadi 2

kategori yaitu baik dan baik sekali yang dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Kecerdasan Emosional Perawat ruang ICU,

IGD, dan ruang rawat inap (N=87)

Ruang

kerja

Frekuensi

kecerdasan

emosional

Presentase (%)

Persentase

total

Baik Baik

Sekali

Baik Baik

sekali

ICU 6 11 6,9 12,6 19,5

IGD 15 3 17,2 3,4 20,7

IRNA 33 19 37,9 21,8 59,8

Total 54 33 62,1 37,9 100

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa kecerdasan emosional responden di

ruang ICU memiliki skor kecerdasan emosional dalam kategori baik

sebanyak 6 orang (6,9%), kategori baik sekali 11 orang (12,6%).

Responden IGD memiliki skor kecerdasan emosional dalam kategori baik

sebanyak 15 orang (17,2%), kategori baik sekali 3 orang (3,4%).

Responden IRNA memiliki skor kecerdasan emosional dalam kategori

baik sebanyak 33 orang (37,9%), kategori baik sekali 19 orang ( 21,8%).

Total responden yang memiliki kecerdasan emosional baik 54 orang

(62,1%), sedangkan responden dengan kecerdasan emosional baik sekali

33 orang (37,9%).

Page 54: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

54

3. Hubungan Karakteristik Responden dengan Kecerdasan Emosional

Perawat Di Ruang ICU, IGD, Rawat Inap Rsud Banyumas

Hubugan karakteristik responden dengan kecerdasan emosional dapat

dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3. Hasil Uji Chi-Square Hubungan Karakteristik Responden

dengan Kecerdasan Emosional (n=87)

Karakteristik

responden

Kecerdasan

Emosional

Sig

Keterangan

Total Baik Baik

sekali

Jenis kelamin

- Laki-laki

26

14

0,603

Tidak

bermakna

40

- perempuan 28 19 47

Umur

- Dewasa muda

18-40 tahun

51

31

0,992

Tidak

bermakna

82

- Dewasa madya

41-60 tahun

3 2 5

Pendidikan

- D3

42

23

0,400

Tidak

bermakna

65

- S1 12 10 22

Masa kerja

- ≤ 11 tahun

36

12

0,006

Bermakna

48

- ≥ 11 tahun 18 21 39

Status pekerjaan

- PNS

44

32

0,035

Bermakna

76

- Non PNS 10 1 11

Hubungan karakteristik responden meliputi ruang tempat kerja,

masa kerja dan status pendidikan menunjukkan hubungan yang bermakna

tetapi, karakteristik responden jenis kelamin, umur, dan pendidikan

menunjukkan hubungan yang tidak bermakna.

Page 55: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

55

4. Perbedaan kecerdasan emosional perawat di ICU, IGD, IRNA RSUD

Banyumas

Perbedaan kecerdasan emosional perawat di ICU, IGD, dan IRNA dapat

dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.4 Hasil uji Krusskall-Wallis Perbedaan Kecerdasan Emosional

Perawat Di ICU, IGD dan IRNA (N=87)

Variabel

bebas

Uji Ruang kerja Sig Keterangan

Kecerdasan

emosional

Krusskal-

Wallis

ICU,IGD, dan

IRNA

0,014 Bermakna

Hasil uji dengan menggunakan uji Krusskal-Wallis pada variabel

kecerdasan emosional pada ruang diperolah ada variabel yang bermakna

dengan nilai p = 0,014 yang berarti Ha diterima Ho ditolak. Dimana dalam

hal ini berarti ada perbedaan kecerdasan emosional perawat di ruang ICU,

IGD, dan ruang rawat inap. Selanjutnya untuk mengetahui kelompok mana

yang paling perbedaan maka dilakukan analisa Post Hoc dengan

menggunakan uji Man-Wetney antara kecerdasan emosional Perawat ICU,

IGD, dan IRNA. Maka diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 4.5 Hasil uji Mann-Wetney Perbedaan Kecerdasan Emosional

Perawat Di ICU, IGD dan IRNA (N=87)

Variabel

bebas

Uji Ruang kerja Sig Keterangan

Kecerdasan

emosional

Mann-

Wetney

ICU

IGD

0,014 Bermakna

ICU

IRNA

0,043 Bermakna

IGD

IRNA

0,120 Tidak

bermakna

Page 56: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

56

Dari hasil uji Man-Wetney diperoleh hasil ICU-IGD p = 0,014,

ICU-IRNA p = 0,043 dan IGD-IRNA p = 0,120.

B. Pembahasan

1. Karakteristik Responden

a. Jenis Kelamin

Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa perawat dengan

jenis kelamin perempuan berjumlah 47 orang (54,0%), sedangkan

responden laki-laki berjumlah 40 orang (46,0%). Sedikit selisih jumlah

perawat antara laki-laki dan perempuan. Hal ini tidak sejalan dengan

penelitian Sujono dan Hari (2007) bahwa perawat yang bekerja di RSD

Dr. H Moh Anwar Sumenep Madura paling banyak perempuan (71%)

dan yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak (29%). Dilihat dari

sejarah perkembangan keperawatan dengan adanya perjuangan seorang

Florence Nightingale sehingga dunia keperawatan identik dengan

pekerjaan seorang perempuan. Namun demikian kondisi tersebut

sekarang sudah berubah, banyak laki-laki yang menjadi perawat, tetapi

kenyataannya proporsi perempuan masih lebih banyak daripada laki-

laki (Utami & Supratman, 2009).

b. Usia atau Umur

Hasil uji statistik diperoleh bahwa usia responden tertinggi pada

kelompok dewasa muda yaitu 82 orang (94,3%). Pada kelompok umur

tesebut seseorang sudah mulai memainkan peranan baru baik dalam hal

Page 57: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

57

pergaulan, dan pekerjaan. Kondisi tersebut akan menunjang kinerja

perawat yang berkaitan dengan kebutuhan pengembangan diri atau

karir. Bagi sebagian usia dewasa muda merupakan masa paling

produktif yang biasanya berada pada puncak karir mereka (Wahyono,

2010).

Havighurst (Turner dan Helms, 1995) dalam Dario (2003)

mengemukakan perkembangan sosioemosional pada masa dewasa

muda adalah meniti karier dalam rangka rnemantapkan kehidupan

ekonomi rumah tangga. Salah satu tugas perkembangan seseorang yang

telah memasuki masa dewasa awal adalah memasuki dunia kerja dan

karier. Dalam proses perjalanan dalam fase ini, seseorang ditunutut

untuk dapat menentukan jenjang karier yang tepat bagi dirinya. Seorang

individu dalam menjalani hidupnya ditengah fase ini diharapkan sudah

memiliki pekerjaan yang layak dan menjamin. Menurut Jackofsky dan

Petter (dalam Novliandi, 2007) untuk memiliki pekerjaan tetap

seseorang harus mampu berkomitmen terhadap pekerjaannya sehingga

perkerja tidak mengalami turnover (perpindahan karyawan dari

pekerejaanya yang sekarang) dalam pekerjaannya.

Ketika orang dewasa sudah memasuki dunia kerja, biasanya

orang dewasa cenderung merasa tertekan oleh tuntutan pekerjaan yang

mereka jalani. Mereka biasanya kurang setia atau memiliki loyalitas

terhadap perusahaan yang rendah dan cenderung mencari pekerjaan lain

yang dianggap lebih memuaskan dan lebih dapat menjamin atas

Page 58: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

58

kelangsungan hidupnya (Dario, 2003). Hal ini sesuai dengan penelitian

yang dilakukan Novliandi (2007) yang menyatakan bahwa seorang

pekerja dengan usia lebih tinggi biasanya juga akan bertahan lebih lama

dalam pekerjaannya dibandingkan dengan pekerja dengan usia lebih

muda.

Goleman seorang pakar psikologi mengatakan bahwa kecerdasan

emosional berkembang sejalan dengan bertambahnya usia seseorang

dari masa kanak-kanak hingga dewasa, dan yang lebih penting lagi

kecerdasan emosional itu dapat dipelajari karena sifatnya yang tidak

permanen. Kecerdasan emosional tidak menetap secara genetis,

melainkan dapat ditingkatkan sepanjang kita masih hidup. Hal ini

berarti semakin bertambah usia atau kedewasaan seseorang maka

semakin bertambah pula pengalaman hidupnya, yang pada akhirnya

akan menambah tingkat kecerdasan emosionalnya (Goleman, 2009).

c. Pendidikan

Hasil uji statistik diketahui bahwa pendidikan responden yang

terbanyak yaitu D3 yang berjumlah 65 orang (74,7%), sedangkan

responden dengan tingkat pendidikan S1 berjumlah 22 orang (25,3%).

Pendidikan adalah salah satu sarana belajar untuk mengembangkan

kecerdasaan emosional. Individu mulai dikenal dengan berbagai bentuk

emosi dan bagaimana mengelola emosi melalui pendidikan. Hasil

penelitian yang dilakukan Putra, Supriati, dan Safrida (2011)

didapatkan hasil bahwa responden dengan pendidikan paling banyak

Page 59: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

59

adalah D3. Kecenderungan ini dapat disimpulkan semakin tinggi

tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula kecerdasan

emosinya.

d. Masa Kerja

Berdassarkan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa masa kerja

responden terbanyak adalah masa kerja < 11 tahun yaitu 48 orang

(55,2%), sementara >= 11 tahun sebesar 39 orang (44,8%). Masa kerja

yang relatif sama ini mungkin dikarenakan RSUD Banyumas

melakukan seleksi kepegawaian dilakukan serempak pada setiap

ruangnya.

Masa kerja perawat yang sebagian besar adalah masa kerja < 11

tahun dimana hasil ini menunjukkan perawat sudah cukup memiliki

pengalaman dalam melaksanakan tugasnya. Berbagai pengalaman

hidup baik yang berupa kebahagiaan maupun kesedihan akan membuat

seseorang semakin mengenal dirinya, semakin terampil dalam

mengendalikan diri, memotivasi diri, dapat memahami orang lain,

memiliki keterampilan sosial, berempati, dan dapat berhubungan baik

dengan orang lain (Muhaimin 2008).

Kreitner dan Kinicki (2004) menyatakan bahwa, masa kerja yang

lama akan cenderung membuat seorang pegawai lebih merasa betah

dalam suatu organisasi, hal ini disebabkan diantaranya karena telah

beradaptasi dengan lingkungannya yang cukup lama sehingga

seorang pegawai akan merasa nyaman dengan pekerjaannya.

Page 60: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

60

e. Status Pekerjaan

Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa status pekerjaan

responden terbanyak adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebesar 76

orang (87,4%), sedangkan non PNS sebanyak 11 orang ( 12,6%).

Seorang dengan status pekerjaan sebagai pegawai tetap akan merasa

nyaman dengan pekerjaannya. Perawat akan terus berusaha untuk

memberikan pelayanan yang terbaik baik kepada pasien sehingga

kepuasan pasien terpenuhi. Penyebab lain juga dikarenakan adanya

kebijakan dari instansi atau perusahaan mengenai jaminan hidup di hari

tua (Kreitner dan Kinicki, 2004). Seseorang sebagai pegawai tetap akan

menjunjung tinggi komitmen terhadap perusahaan dimana dia bekerja

sehingga pekerja akan merasa memiliki, rasa aman, efikasi, tujuan dan

arti hidup, serta gambaran diri yang positif, dimana hal ini akan

menurunkan dorongan diri untuk berpindah pekerjaan dan perusahaan

(Novliandi, 2007).

2. Kecerdasan Emosional Perawat Di RSUD Banyumas

Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa kecerdasan

emosional perawat di ICU sebagian besar dalam kategori baik sekali 11

orang (33,3%). Sebagian responden di IGD sebagian memiliki skor

kecerdasan emosional dalam kategori baik sebanyak 15 orang (27,8%),

sedangkan responden ruang rawat inap memiliki skor kecerdasan

Page 61: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

61

emosional sebagian besar dalam kategori baik sebanyak 33 orang

(61,1%).

Kecerdasan emosional yang baik memungkinkan perawat dapat

melaksanakan tugas dibidang keperawatan dengan baik. Menurut

Oginska-Bulik (2005) kecerdasan emosi, merupakan faktor penting dalam

bertanggungjawab atas keberhasilan dalam hidup dan psikologis yang

memainkan peran penting dalam membentuk interaksi antara individu dan

lingkungan kerja. Hal ini sejalan dengan pendapat Reuven Bar-On dalam

Armiyanti (2008) yang menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah

serangkaian kemampuan, kompetensi, dan kecakapan non-kognitif, yang

mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil memenuhi tuntutan

dan tekanan lingkungan.

Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk bertahan

dari kondisi tertekan, mengelola emosi saat bekerja, memotivasi diri

sendiri, mengenali emosi rekan kerja, dan kemampuan untuk membina

hubungan baik dengan rekan kerjanya. Kemampuan perawat dalam

pelaksanaan praktik keperawatan berbeda antara perawat yang satu

dengan perawat yang lain. Namun, kecerdasan emosi dapat ditingkatnkan

bersama dengan bertambahnya pengalaman kerja yang dimiliki.

Kecerdasan emosional perawat di ruang intensif relatif tinggi bila

dibandingkan dengan ruangan yang lain. Perawat yang bekerja di ruang

intensif tidak terbatas hanya untuk menangani pasien pasca-bedah saja

tetapi juga meliputi berbagai jenis pasien dewasa, anak, yang mengalami

Page 62: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

62

lebih dari satu disfungsi/gagal organ. Kelompok pasien ini dapat berasal

dari Unit Gawat Darurat, Kamar Operasi, Ruang Perawatan, ataupun

kiriman dari Rumah Sakit lain (Hanafi, 2007).

Sebagaimana yang diketahui bahwa Intensive Care Unit (ICU)

merupakan ruang perawatan dengan tingkat resiko kematian pasien yang

tinggi. Tindakan keperawatan yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan

untuk menyelamatkan pasien. Pengambilan keputusan yang cepat

ditunjang data yang merupakan hasil observasi dan monitoring yang

kontinu oleh perawat. Perawat ICU juga harus mampu berkomunikasi

dengan pasien dengan kondisi pasien yang tidak sadarkan diri. Dengan

komunikasi dan kepekaan emosi perawat dapat berkomunikasi baik

dengan pasien dengan tidak mengabaikan rasa peduli dan empati yang

tinggi terhadap kondisi pasien.

Perawat di ruang ICU harus mampu melakukan tindakan untuk

mampu mencegah terjadinya kematian atau cacat dan juga mencegah

terjadinya penyulit. Perawat ICU juga harus memiliki kemampuan khusus

dan memahami peralatan khusus yang akan digunakan untuk menangani

pasien gawat dengan penyakit, trauma, dan komplikasi penyakit lain.

Kondisi ruang ICU yang banyak terdiri dari mesin-mesin dan

pasien dengan kondisi kritis terkadang membuat perawat ICU dapat

mengalami burnout (kondisi emosional dimana seseorang merasa lelah

dan jenuh secara mental ataupun fisik akibat tuntutan pekerjaan yang

meningkat) bila memiliki persepsi yang sia-sia terhadap pemberian

Page 63: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

63

asuhan keperawatan pada pasien dalam keadaan terminal yang lama,

bahkan sampai berbualan-bulan tetapi tidak mengalami perubahan kondisi

kesehatan. Persepsi yang sia-sia dapat menyebabkan kelelahan emosional

yang mengarah terjadinya burnout. Hal ini dibuktikan dari penelitian yang

dilakukan oleh Meltzer & Huckabay (2004) (dalam Agung, 2009) dari 60

perawat ICU pada dua buah rumah sakit di California Selatan. Meltzer &

Huckabay menemukan hubugan yang positif dan signifikan dari uji

korelasi Product moment Pearson (r = 0,317, p=0.05).

Jakobalis (1990)mengungkapkan bahwa, ruang rawat inap adalah

sekelompok pelayanan kesehatan yang terdapat di rumah sakit yang

merupakan gabungan dari beberapa fungsi pelayanan dimana pasien yang

dirawat adalah pasien yang memerlukan perawatan intensif dan observasi

ketat karena penyakitnya. Ruang rawat inap adalah unit pelayanan non

struktural yang menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan kegiatan

pelayanan rawat inap. Untuk memenuhi fasilitas dan pelayanan agar

maksimal sebuah rumah sakit harus memiliki tenaga perawat yang cukup

terutama di instalasi rawat inap.

Penelitian ini menunjukkan bahwa kecerdaan emosioanl perawat

di ruang rawat inap sebagian besar dalam kondisi baik. Perawat di ruang

rawat inap memberikan pelayanan kepada pasien dengan kondisi pasien

yang lebih stabil bila dibandingkan dengan perawat ICU. Menurut

Muslihudin, (1996), perawat di ruang rawat inap harus mampu

Page 64: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

64

menciptakan suasana yang tentram supaya lingkunganya nyaman dalam

proses pemulihan pasien.

Perawat di IGD pun memiliki kecerdasan emosi dengan sebagian

besar responden dalam kategori baik. Perawat IGD harus mampu

memberikan layanan pada pasien dengan kondisi gawat dan mencegah

dari cedera. Perawat yang bertugas di ruang IGD wajib membekali diri

dengan ilmu pengetahuan, keterampilan, bahkan dianggap perlu

mengikuti pelatihan-pelatihan yang menunjang kemampuan perawat

dalam menangani pasien secara cepat dan tepat sesuai dengan kasus yang

masuk ke IGD. Perawat juga dituntut untuk mampu bekerjasama dengan

tim kesehatan lain serta dapat berkomunikasi dengan pasien dan keluarga

pasien yang berkaitan dengan kondisi kegawatan kasus di ruang tersebut,

kebutuhan akan sarana dan peralatan yang menunjang pelayanan

merupakan hal penting lain yang harus diperhatikan oleh penyelenggara

rumah sakit (RSUD Banyumas, 2012).

Dari analisa peneliti perawat IGD memiliki kecerdasan emosional

dalam kategori baik karena perawat di IGD lebih berkonsentrasi terhadap

etiologi yang menyebabkan kondisi pasien gawat dan tidak terlalu banyak

berkomunikasi dengan pasien maupun keluarga pasien. Perawat IGD

lebih mengutamakan agar pasien dalam kondisi stabil dan stetelah stabil

dapat menjalani perawatan selanjutnya. Perawat di ruang rawat inap

memiliki kecerdasan emosional sebagian besar dalam kategori baik

karena pasien di ruang rawat inap sebagian besar pasiennya telah berada

Page 65: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

65

dalam kondisi stabil dan hanya membutuhkan perawatan untuk

memulihkan kondisi pasien agar pasien cepat sembuh. Berbeda dengan

perawat di ICU. Perawat di ICU harus berhubungan dengan kondisi

pasien yang kritis dan juga menghadapi keluarga pasien yang penuh

dengan ketakutan sehingga, perawat ICU harus mampu mengelola emosi

dengan baik akan bisa berkomunikasi baik dengan pasien maupun dengan

keluarga. Selain itu perawat juga harus tetap memeperhatiakan

keselamatan dan kestabilan pasien dengan kondisi peralatan yang banyak

menempel pada tubuh pasien.

Perawat di RSUD Banyumas memiliki kecerdasan emosional

dalam kategaori baik dan sangat baik. Hal ini sesuai dengan budaya kerja

yang diterapkan di RSUD Banyumas untuk sukses peningkatan disiplin

yaitu (5R) rapi, rajin, resik, ramah dan rukun. Ramah dan rukun selalu

diterapkan di rumah sakit agar perawat tidak hanya menjalankan tugasnya

dengan baik tetapi juga hubungan antara pasien dan rekan kerja juga

terjalin dengan baik.

Budaya kerja di rumah sakit Banyumas selain sebagai salah satu

cara untuk meningkatkan mutu dari rumah sakit juga dapat meningkatkan

kecerdasan emosional perawat, karena hal tersebut sesuai dengan ranah

dalam kecerdasan emosional yaitu ranah antarpribadi. Ranah ini

berhubungan dengan apa yang dikenal sebagai keterampilan berinteraksi.

Perawat yang berperan dengan baik dalam ranah ini biasanya

bertannggungjawab dan dapat diandalkan. Mereka memahami,

Page 66: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

66

berinteraksi, dan bergaul dengan baik dengan orang lain dalam berbagai

situasi. Dalam ranah antarpribadi komponen empati sangat erat kaitanya

dengan budaya kerja RSUD Banyumas dimana perawat harus dapat

menyadari, memahami, dan menghargai perasaan dan pikiran orang lain.

3. Hubungan karakteristik responden dengan kecerdasan emosional

perawat Di Ruang ICU, IGD, dan Rawat Inap Di RSUD Banyumas

a. Hubungan jenis kelamin dengan kecerdasan emosional

Tabel 4.3 menunjukkan hasil uji statistik dengan Chi-Square

diperoleh nilai sig sebesar 0,603 sehingga dapat disimpulkan tidak

terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan

kecerdasan emosional.

Hal ini tidak sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Leslie

Brody dan Judith Hall (dalam Goleman, 2007) meringkas penelitian

tentang perbedaan-perbedaan emosi antara pria dan wanita,

menyebutkan bahwa karena perempuan lebih cepat terampil berbahasa

dari pada laki-laki, maka mereka lebih berpengalaman dalam

mengutarakan perasaannya dan lebih cakap daripada laki-laki dalam

memanfaatkan kata-kata untuk menjelajahi dan untuk menggantikan

reaksi-reaksi emosional seperti perkelahian fisik.

b. Hubungan umur dengan kecerdasan emosional

Tabel 4.3 menunjukkan hasil uji statistik dengan Chi-Square

diperoleh nilai sig sebesar 0,992 yang berarti tidak bermakna hubungan

Page 67: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

67

antara umur dengan kecerdasan emosional. Hal tersebut tidak sesuai

dengan hasil penelitian Fariselli, Ghini dan Freedman (2006) bahwa

orang yang lebih tua mungkin lebih tinggi dalam kecerdasan emsoional,

penemuan ini menunjukkan kecerdasan emosional adalah kemampuan

berkembang, ada kemungkinan bahwa akumulasi pengalaman hidup

berkontribusi pada kecerdasan emsoional. Kematangan dan kedewasaan

menunjukkan kecerdasan dalam hal emosi.

Bardbary dan Greaves (2007) dalam Lestari (2012)

menambahkan bahwa tingkat kecerdasan emosi cenderung meningkat

seiring umur, dan sebagian besar orang mengalami peningkatan dalam

keterampilan kesadaran diri sepanjang hidup mereka dan memiliki

kemudahan dalam megelola emosi dan perilaku disaat mereka beranjak

tua. Penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang sudah ada bahwa

karakteristik umur dalam penelitian ini tidak ada hubungan yang

bermakna antara umur dengan kecerdasan emosional.

c. Hubungan pendidikan dengan kecerdasan emosional

Hasil uji statistik dengan menggunakan Chi-Square diperoleh

untuk menguji hubungan pendidikan dengan kecerdasan emosional

diperoleh nilai statistik sebesar 0,400 yang berarti tidak bermakna, tidak

ada hubungan antara pendidikan dengan kecerdasan emosional. Hal ini

tidak sesuai dengan pendapat Mulyani (2008) bahwa kecerdasan emosi

merupakan suatu kemampuan psikologis dalam memahami dan

menggunakan informasi emosional, sebagai individu yang memiliki

Page 68: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

68

kemampuan bawaan yang berbeda dalam melakukan sesuatu dan

kecerdasan emosional dapat dipelajari dari kehidupan dengan melalui

praktik dan pengalaman dalam bekerja.

d. Hubungan masa kerja dengan kecerdasan emosional

Hasil uji statistik dengan uji Chi-Square kecerdasan emosional

tinggi lebih banyak pada masa kerja kurang dari 11 tahun (63,6%)

responden dengan kecerdasan emosional dalam kategori baik.

Hubungan masa kerja dengan kecerdasan emosional diperoleh nilai

statistik sebesar 0,006 yang berarti bermakna sehingga dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan atara masa kerja perawat dengan

kecerdasan emosional.

Masa kerja merupakan waktu dimana seseorang mulai bekerja di

tempat kerja. Makin lama seseorang bekerja semakin banyak

pengalaman yang dimilikinya sehingga akan semakin baik

komunikasinya. Dimana dalam berkomunikasi seseorang harus mampu

mengendalikan emosi agar dapat berkomunikasi denga baik. Untuk itu

kecerdasan emosi sangat diperlukan bagi seseorang untuk menjalin

hubungan dengan orang lain ketika bekerja (Putra, 2011). Kecerdasan

emosi seseorang dapat ditingkatkan dengan cara mengembangkan

komitmen yang tinggi terhadap pengembangan diri sendiri (Mulyani,

2008). Dengan komitmen yang tinggi seseorang akan lebih dapat

bertahan lama di tempat kerjanya.

Page 69: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

69

Masa kerja perawat akan mempengaruhi kecerdasan emosional

karena perawat dengan masa kerja lama akan memiliki banyak

pengalaman terhadap pekerjaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Bar-on

dalam Armiyati (2008) yang menyatakan bahwa kecerdasan emosional

adalah serangkaian kemampuan, kompetensi, dan kecakapan non-

kognitif, yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil

memenuhi tuntutan dan tekanan lingkungan, sedangkan menurut

Cooper dan Sawaf dalam Melianawati, Prihanto, dan Tjahjoanggoro

(2001) mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional adalah

kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan

daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi,

dan pengaruh manusiawi. Karena orang yang sehat biasanya mampu

mengenal emosi yang dialaminya dan dapat mengeksplorasikan sasuai

dengan aturan yang berlaku di lingkungan.

Temuan beberapa peneliti, seperti David Wechsler dalam

Suryanti dan Ika (2003), mendefinisikan kecerdasan sebagai

keseluruhan kemampuan seseorang untuk bertindak bertujuan, untuk

berfikir rasional, dan untuk berhubungan dengan lingkungannya yang

efektif. Aspek-aspek yang terkait dalam afeksi dan personal dan faktor

sosial. Temuan Wechsler ini mendefinisikan, aspek kognisi

berpengaruh dalam mencapai keberhasilan hidup.

Pengalaman secara tidak langsung akan mengajarkan bagaimana

cara pemecahan suatu masalah yang sedang dihadapi termasuk dalam

Page 70: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

70

mengekspresikan emosinya (Notoatmojo, 2001). Hasil penelitian yang

dilakukan terdapat hubungan antara lama kerja perawat dengan

kecerdasan emosional dengan nilai p = 0,006. Hal ini sesuai dengan

hasil penelitian yang dilakukan Putra (2011) didapatkan responden

paling banyak adalah lebih dari 10 tahun. Kecenderungan ini

menyimpulkan bahwa jika seseorang memiliki pengalaman bekerja

yang lebih lama, maka akan lebih mampu memanajemen emosinya

dengan baik.

Kondisi tempat kerja yang nyaman dan suasana lingkungan

organisasi yang mendukung akan membuat seseorang merasa nyaman

untuk bertahan dalam pekerjaannya sehingga seseorang akan memiliki

masa kerja lebih lama dan menurunkan tingkat pengunduran diri tenaga

kerja. Untuk menciptakan lingkungan kerja yang nyaman tidak hanya

diperlukan fasilitas perusahaan yang memadai, tetapi juga diperlukan

hubungan dengan lingkungan yang efektif. Lingkungan akan dapat

meningkatkan kecerdasan emosional dan akan meningkatkan

kemampuan seseorang untuk bertindak bertujuan, berfikir rasional, dan

untuk berhubungan dengan lingkungan yang efektif.

Rumah sakit seharusnya memberikan kesempatan untuk perawat

untuk tetap berusaha mengaktualisasikan diri dan mengabdi sebagai

perawat agar kecerdasan emosional perawat dapat ditingkatkan melalui

pengalaman di lingkungan perawat bekerja. Seseorang dengan masa

kerja lama akan lebih berpeluang untuk mendapatkan promosi

Page 71: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

71

peningkatan status pekerjaan. Perawat dengan status pekerjaan yang

lebih lama akan lebih dipertimbangkan untuk menduduki suatu jabatan

yang lebih tinggi daripada perawat dengan status pegawa baru. Dengan

status pekerjaan yang lama perawat akan dapat memperoleh reword dan

punishment yang sama dengan dengan tenaga kerja yang lain.

e. Hubungan status pekerjaan dengan kecerdasan emosional

Berdasarkan tabel 4.3 Dapat diketahui bahwa nilai yang

dipeoleh dari uji statistik dengan uji Chi-Square diperoleh sebagian

besar perawat dengan status PNS (97,0%) memiliki kecerdasan

emosional dalam kategori baik sekali. Hasil uji hubungan status

pekerjaan dengan kecerdasan emosional diperoleh nilai statistik sebesar

0,035 yang berarti bermakna sehingga dapat disimpulkan bahwa ada

hubungan atara status pekerjaan perawat dengan kecerdasan emosional.

Cherniss, 2000 (dalam Nurita, 2012) menyebutkan mereka yang

mempunyai kecerdasan emosional yang lebih tinggi lebih

memungkinkan untuk sukses daripada mereka yang mempunyai

pengalaman relevan ataupun kecerdasan intelektual yang tinggi.

Dengan kata lain kecerdasan emosional merupakan predictor yang

lebih baik dalam kesuksesan daripada pengalaman relevan ataupun IQ

yang tinggi.

Kecerdasan emosi mempengaruhi semua aspek yang

berhubungan dengan pelayanan. Ketika bekerja seorang diri,

keberhasilan sangat bergantung pada seberapa tingkat kedisiplinan dan

Page 72: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

72

motivasi diri sendiri. Aspek-aspek kecerdasan emosi secara praktis

disajikan dalam perilaku yang meliputi: kerajinan, kedisiplinan,

tanggungjawab, perasaan percaya diri, kesadaran diri, optimis,

pengendalian diri, tidak menunda pekerjaan, kerendahan hati, berani

menghadapi kenyataan, kerjasama, komunikasi, proaktif, berpikir

panjang, memiliki etika, menghargai waktu, berani mengambil

keputusan, tidak mengikuti arus, tidak memikirkan diri sendiri, dan

seterusnya, yang sangat berpengaruh terhadap kesuksesan seseorang

dalam menjalani kehidupannya (Mulyadi, 2005).

Perawat dengan status pekerjaan sebagai pegawai tetap berarti

telah mencapai kemampuan yang lebih baik daripada yang lain. Perawat

merasa lebih mampu untuk meraih kehidupan yang lebih bermakna,

kaya dan utuh sebagai keberhasilan seseorang dalam

mengaktualisasikan dirinya. Aktualisasi bertujuan untuk

mengembangkan kemampuan dan bakat secara maksimal, dan berusaha

dengan gigih dan sebaik mungkin untuk memperbaiki diri secara

menyeluruh. Hal ini sesuai dengan ranah intrapribadi dari kecerdasan

emosional, bahwa aktualisasi diri merupakan bagian dari kepuasan.

Perawat dengan status pekerjaan tetap akan memiliki komitmen

yang tinggi terhadap pekerjaan yang dijalani. Perawat akan melakukan

pekerjaan dengan baik karena merasa sebagai tenaga profesional yang

harus memberikan pelayanan yang terbaik untuk kliennya.

Page 73: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

73

4. Perbedaan Kecerdasan Emosional Perawat Di ICU, IGD, Ruang

Rawat Inap

Hasil uji non parametrik Krusskal-Wallis untuk mengetahui

perbedaan kecerdasan emosional perawat di ruang intensif,

kegawatdaruratan dan rawat inap diperoleh hasil p value = 0,014 yang

berarti bahwa terdapat perebedaan yang bermakna antara kecerdasan

emosiol perawat di ruang intensif, kegawatdaruratan, dan ruang rawat

inap. untuk mengetahui di ruang mana yang paling berbeda dilanjutkan

dengan uji Pos Hoc untuk uji normalitas dengan menggunakan uji Mann-

Whitney diperoleh hasil antara ruang ICU dan IGD menunjukkan

perbedaan yang bermakna sebesar 0,014. Perbedaan ruang ICU dan

IRNA menunjukkan perbedaan yang bermakna sebesar 0,043 dan untuk

perbedaan kecerdasan emosional perawat di IGD dan IRNA

menunjukkan hasil yang tidak bermana dengan nilai 0,120. Uji beda

kecerdasan emosional dilakukan untuk mengetahui.

Penelitian dari National Institute for Occupational Safety and

Health (NIOSH) menetapkan perawat merupakan profesi yang berisiko

sangat tinggi terhadap stres. Profesi perawat mempunyai risiko yang

sangat tinggi terpapar oleh stres, karena perawat memiliki tugas dan

tanggungjawab yang cukup tinggi terhadap keselamatan nyawa manusia.

Selain itu perawat juga mengungkapkan pekerjaan perawat mempunyai

beberapa karakteristik yang dapat menciptakan tuntutan kerja yang tinggi

dan menekan. Penyebab stress yang lain juga karena lingkungan kerja

Page 74: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

74

yang intensif dengan jam kerja yang diperpanjang, beban kerja yang

berat, tanggungjawab kerja, keamanan kerja, dan pekerjaan yang

beresiko (NIOSH, 2008).

Hasil uji statistik crosstabs ranah kecerdasan emosional diperoleh

hasil bahwa di ruang intensive memiliki persentasi ranah kecerdasan

pengendalian stress lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.6. hasil uji crosstabs ranah pengendalian stress perawat.

Ranah KE Ruang kerja

Total Pengendalian

stress

ICU IGD IRNA

- Baik

- Baik sekali

47,1%

52,9%

94,4%

5.6%

71,2%

28,8%

71,3%

28,7%

Total 100% 100% 100% 100%

Hasil ini menunjukkan bahwa sebagian besar perawat di ruang

intensive dalam pengendalian stressnya lebih baik bila dibandingkan

dengan ruang lain. Ranah ini berkaitan dengan kemampuan menanggung

stress tanpa harus ambruk, hancur, kehilangan kendali, atau terpuruk.

Keberhasilan dalam ranah ini berarti bahwa seseorang biasanya dapat

tetap tenang, jarang bersifat impulsif, dan mampu menghadapi tekanan.

Dalam hal ini perawat intensive berarti memiliki kemampuan dalam

menanggung stress dan kemampuan untuk menampung impuls agresif

(Wahyono, 2010).

Hasil penelitian Numerof dan Abram’s (dalam Kusumawati,

2009), menyatakan, bahwa perawat di instalasi perawatan intensif dan

unit gawat darurat memiliki tingkat stres lebih tinggi dibanding dengan

Page 75: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

75

perawat di unit lain. Stres kerja yang dihadapi oleh perawat akan sangat

mempengaruhi kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan kepada

pasien. Tetapi dalam penelitian ini perawat IGD dan ruang rawat inap

memiliki tingkat kecerdasan emosional yang sama.

Perawat di ruang intensif memiliki kecerdasan emosional yang

lebih tinggi bila dibandingkan dengan ruangan yang lain karena perawat

intensive tidak hanya harus menghadapi kondisi pasien yang gawat saja,

namun perawat intensif juga harus terpapar dengan kondisi ruangan yang

penuh dengan peralatan-peralatan yang begitu banyak dan juga kondisi

ruangan yang menuntut perawat harus mampu terus mengobservasi

pasien yang terpasang dengan alat-alat medis dan juga dengan tingkat

kepanikan keluarga yang mengkhawatirkan kondisi keluarga.

Perawat di ruang intensif tidak hanya berperan sebagai tenaga

perawat yang melayani pasien, tetapi juga menghadapi keluarga pasien

yang mengalami tekanan ketakutan akan kehilangan keluarganya dan

perasaan sedih, serta cemas. Untuk itu perawat harus memahami dan

secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber

energi, emosi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi (Robert dan

Cooper dalam Agustian, 2001). Hal ini sesuai dengan ungkapan Reven

bar-On (dalam Wahyono, 2010) seseorang dengan kecerdasan emosional

tinggi akan mampu menyadari, memahami dan menghargai perasaan dan

pikiran orang lain, peka terhadap apa, bagaimana dan latar belakang

Page 76: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

76

perasaan dan pikiran untuk orang lain sebagaimana orang tersebut

merasakan dan memikirkannya.

Perawat harus mampu mengenali ciri-ciri dengan cepat dan

penatalaksanaan dini yang sesuai pada pasien beresiko kritis atau pasien

yang berada dalam keadaan kritis dapat membantu mencegah perburukan

lebih lanjut dan memaksimalkan peluang untuk sembuh (Gwinnutt, 2006

dalam Jevon dan Ewens, 2009). Comprehensive Critical Care

Department of Health-Inggris merekomendasikan untuk memberikan

perawatan kritis sesuai filosofi perawatan kritis tanpa batas (critical care

without wall), yaitu kebutuhan pasien kritis harus dipenuhi di manapun

pasien tersebut secara fisik berada di dalam rumah sakit (Jevon dan

Ewens, 2009). Hal ini dipersepsikan sama oleh tim pelayanan kesehatan

bahwa pasien kritis memerlukan pencatatan medis yang

berkesinambungan dan monitoring penilaian setiap tindakan yang

dilakukan. Dengan demikian pasien kritis erat kaitannya dengan

perawatan intensif oleh karena dengan cepat dapat dipantau perubahan

fisiologis yang terjadi atau terjadinya penurunan fungsi organ-organ

tubuh lainnya (Rab, 2007).

Bagi keluarga pasien yang berada dalam keadaan kritis (critical

care paients) dalam kenyataannya memiliki stress emosional yang tinggi

(high levels of emotional distress). Mendapatkan informasi tentang

kondisi medis pasien dan hubungan dengan petugas pemberi pelayanan

merupakan prioritas utama yang diharapkan dan diperlukan oleh keluarga

Page 77: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

77

pasien (high priority needs for these family). Para peneliti mendapatkan

data peningkatan kejadian stress (elevated levels of distress) yang dialami

oleh keluarga pasien adalah segera setelah pasien berada di ICU (just

after the patients admission to the ICU) (Azizahkh, 2010). Disamping itu

perawatan pasien di ruang ICU menimbulkan stres bagi keluarga pasien

juga karena lingkungan rumah sakit, dokter dan perawat merupakan

bagian yang asing, bahasa medis yang sulit untuk dipahami dan

terpisahnya anggota keluarga dengan pasien. Untuk itu pelayanan

keperawatan perlu memberikan perhatian untuk memenuhi kebutuhan

keluarga dalam frekuensi, jenis, dan dukungan komunikasi. Sejalan

dengan itu, pelayanan keperawatan juga perlu memahami kepercayaan,

nilai-nilai keluarga, menghormati struktur, fungsi, dan dukungan

keluarga (Potter & Perry, 2009).

Telah lama diketahui bahwa petugas kesehatan memiliki tekanan

psikologi yang tinggi dibandingkan dengan profesi lainnya. Para pekerja

kesehatan terpapar oleh beberapa penyebab stres mulai dari beban kerja

yang berlebihan, tekanan waktu pengerjaan tugas, tidak adanya

kejelasan aturan berhubungan dengan kontak petugas kesehatan

dengan penyakit infeksi, pasien dengan kondisi sakit yang sulit/kritis

dan kondisi pasien yang tidak berdaya (NIOSH, 2008). Menjalankan

profesi sebagai perawat juga rawan terhadap stres. Perawat harus

memiliki kecerdasan emosional yang baik agar mampu memberikan

pelayanan dengan baik, mampu mengendalikan emosi, memiliki daya

Page 78: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

78

tahan dalam menghadapi masalah, mampu mengendalikan impuls,

memotivasi diri, mampu mengatur suasana hati, kemampuan

berempati dan membina hubungan dengan orang lain (Goleman, 2009).

Perawat intensif memiliki kecerdasan emosional yang tinggi

karena perawat intensif mampu merasakan apa yang dirasakan oleh

keluarga pasien terhadap ketakutan akan kehilangan anggota

keluarganya. Hal ini sesuai dengan ungkapan Agustian (2001) yang

mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk

merasa. Hal tersebut berbeda dengan kecerdasan emosional perawat di

ruang kegawardaruratan. Dimana perawat kegawatdaruratan tidak harus

berlama-lama dengan pasien.

Perawat kegawatdaruratan melakukan penanganan terhadap

pasien agar pasien kembali dalam kondisi stabil. Hasil analisis dari butir-

butir pertanyaan kuesioner kecerdasan emosional diperoleh bahwa masih

ada perawat yang mengalami kesulitan dalam menemukan alternatif

penyelesaian masalah, tetapi mereka tidak berusaha untuk meminta

bantuan terhadap teman sejawat untuk memberikan solusi terhadap

permasalahan yang di hadapi.

Perawat di ruang rawat inap harus mampu membuat kepercayaan

pada pasien dalam rangka observasi terhadap kondisi kesehatan pasien.

Hasil analisis butir pertanyaan kecerdasan emosional ternyata masih ada

perawat yang belum menyadari bahwa tugasnya sebagai perawat

memberikan pelayanan secara profesional, dan juga perawat tidak

Page 79: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

79

mampu dalam mengungkapkan pendapat dalam menjalankan tugas dan

tanggungjawab sebagai seorang perawat.

C. Keterbatasan penelitian

Adapaun keterbatasan dalam penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini hanya mengetahui perbedaan kecerdasan emosional perawat

di ruang ICU, IGD, dan ruang inap saja. Padahal masih banyak ruang

perawat lain seperti Instalasi bedah Sentral maupun poli-poli yang ada di

RSUD banyumas.

2. Penelitian ini hanya menganalisa karakteristik responden dari segi ruang

tempat perawat bekerja, jenis kelamin, umur, pendidikan, masa kerja dan

status pekerjaan saja. Padahal masih banyak lagi faktor-faktor yang

mempengaruhi kecerdasan emosional lain seperti kesehatan individu,

pengalamn, stimulasi kejenuhan, motivasi kerja dan yang lainnya yang

berhubungan dengan kecerdasan emosional.

3. Penelitian ini hanya menganalisis keadaan responden pada suatu saat

tertentu dan peneliti tidak dapat menunggu secara langsung beberapa

responden saat pengisian kuesioner karena kesibukan responden sehingga

tingkat keakuratannya kurang.

Page 80: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

80

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perbedaan

kecerdasan emosional perawat di ruang intensive, kegawatdaruratan dan ruang

rawat inap RSUD Banyumas dapat ditarik kesimpulkan sebagai berikut:

1. Responden dalam penelitian sebagian besar adalah perawat ruang rawat

inap, berjenis kelamin perempuan, kelompok usia dewasa muda 18-40

tahun, tingkat pendidikan mayoritas D3, masa kerja kurang dari 11 tahun,

dan dengan status pekerjaan sebagai PNS.

2. Gambaran kecerdasan emosional perawat di RSUD banyumas diperoleh

hasil hampir merata dengan karegori baik dan sangat baik.

3. Hubungan karakteristik responden dengan kecerdasan emosional diperoleh

hasil bermakna untuk karanteristik masa kerja dan status pekerjaan.

4. Ada perbedaan yang bermakna kecerdasan emosional perawat di ruang

intensive, kegawatdaruratan dan ruang rawat inap.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat dinerikan

saran sebagai berikut:

1. Bagi Pendidikan

Bagi institusi pendidikan keperawatan untuk memberikan pengetahuan dan

pemahaman tentang kecerdasan emosional sehingga siswa dapat memiliki

Page 81: perbandingan kecerdasan emosional di ICU, IGD, dan instalasi rawat inap.pdf

81

kecerdasan emosional yang baik sehingga nantinya mahasiswa siap untuk

menghadapi tantangan-tantangan dan fenomena-fenomena yang mungkin

muncul ketika di klinik.

2. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai landasan atau bahan kajian

untuk mengembangkan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor lain

yang dapat mempengaruhu kecerdasan emosional perawat.

3. Bagi Responden

Perawat harus terus belajar untuk meningkatkan kecerdasan emosional agar

mampu mengendalikan emosi, memotivasi diri sendiri, empati dan

hubungan sosial yang baik agar mampu bekerjasama dan merasakan apa

yang terjadi pada diri sendiri, rekan kerja, dan pasien sehingga mampu

bekerja secara profesional dan melayani pasien dengan baik.

4. Bagi Pelayanan Kesehatan (RS)

Pihak rumah sakit diharapkan dapat menyelenggarakan kegiatan yang

bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan emosional misalnya melalui

pelatihan-pelatihan yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional bagi

pekerja.