PERANAN MUSEUM LONTAR GEDONG KI
Transcript of PERANAN MUSEUM LONTAR GEDONG KI
PERANAN MUSEUM LONTAR GEDONG KIRTYA SEBAGAI PELESTARI
BAHASA DAN SASTRA AGAMA
DALAM MEMBENTUK KARAKTER LUHUR GENERASI MUDA
Oleh:
Ni Wayan Herawathi, S.S.,M.Hum.
PROGRAM STUDI ARKEOLOGI
FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
1
PERANAN MUSEUM LONTAR GEDONG KIRTYA SEBAGAI PELESTARI BAHASA DAN SASTRA AGAMA
DALAM MEMBENTUK KARAKTER LUHUR GENERASI MUDA
Abstrak
Museum Lontar Gedong Kirtya sudah dikenal masyarakat sebagai museum yang menyimpan ribuan
lontar kuna. Lontar-lontar tersebut mengandung banyak nilai-nilai budaya, adat istiadat, bahasa-
bahasa kuna, sastra agama dan sebagainya. Peranan Museum Gedong Kirtya adalah sebagai pelestari
bahasa dan sastra agama dalam membentuk karakter luhur generasi muda. Pelestarian berarti
museum ini memberikan perlindungan yang berupa menyimpan, memelihara, merawat, mengkaji,
memamerkan, serta mengkemas ke berbagai kemasan informasi untuk disampaikan kepada
pengunjung masyarakat luas, agar secara perlahan mampu membentuk karakter luhur generasi
muda. Karakter luhur yang selalu taat pada ajaran agama, prilaku yang baik di masyarakat, suci
pikiran, serta bertepa salira dengan sesama.
Museum Gedong Kirtya terletak di jalan Veteran nomor 20 Buleleng, Singaraja, Bali. Sejarah
pendirian museum ini bermula dari salah seorang wakil dari Pemerintah Belanda yang besar minatnya
kepada peradaban di Bali dan juga sebagai seorang cendekiawan ialah Residen Bali dan Lombok yang
bernama L.J.J.Caron. Atas inisiatif beliau maka diselenggarakan pertemuan di Kintamani pada bulan Juni
1928 untuk memperingati jasa–jasa dua orang cendekiawan Belanda yaitu F.A.Lieffrinck dan Dr. H.N.
Van der Tuuk, yang telah memelopori penyelidikan kebudayaan, adat istiadat dan bahasa di Bali. Untuk
memperingati jasa beliau maka diberikanlah sebuah yayasan (stiching) tempat penyimpanan naskah
(pustaja lontar) atau manuscript (MSS). Institusi ini tidak hanya menelusuri lontar saja, tetapi termasuk
2
juga dalam bagian – bagian yang meliputi kehidupan dan budaya Bali. Para sarjana di Jawa dan Bali yang
ingin menyelami kebudayaan Hindu kuno di Indonesia bisa melalui yayasan ini. Kegiatan yayasan ini
digalang oleh para sarjana, seperti Dr. RM NG Purbacaraka, Dr. W.F. Stutterheim, Dr. R. Goris, DR. Th.
Pigeand, dan Dr. C. Hookaas sebagai petugas – petugas aktif. Pedanda – pedanda (pendeta Hindu) serta
raja – raja di Bali semangat membantunya. Pemerintah Belandapun ikut membantu baik moril maupun
materiil. Yayasan ini dianggap sebagai miniatur Asiatic Society untuk Bali dan Lombok dilengkapi dengan
koleksi dan benda kesenian, serta penerbitan berkala dari para sarjana yang melakukan riset tentang
seluk beluk mengenai Bali (Gedong Kirtya, 1975: 1-2).
Adanya gagasan “Bali sering” dari pemerintah untuk menghidupkan aspek–aspek kebudayaan Bali
kuno maupun kebudayaan Bali yang masih hidup (survival) dengan jalan mempelajari dan menggali
seluas–luasnya lontar yang ada di Bali dan Lombok. Lontar – lontar ini berbahasa Jawa Kuno, Jawa
Tengahan, Jawa Kuno bercampur bahasa Bali, bahasa Bali dan bahasa Sasak. Kegiatan rutin yayasan ini
sedikit mandeg ketika adanya pengakuan kedaulatan RI tahun 1949 karena pengurusnya banyak yang
tidak aktif lagi. Baru pada tahun 1969 Pemerintah Provinsi Bali bertindak sebagai pengawas dan
pelindung yayasan ini memberikan bantuan pendanaan maupun tenaga pegawai (Gedong Kirtya, 2000:
1-14).
Gedung peringatan ini mulanya bernama “Stiching Leffrinck Van der Tuuk” atas saran Raja
Buleleng I Gusti Putu Jelantik yang mempunyai perhatian besar terhadap pendirian yayasan ini, beliau
menambahkan perkataan Sanskerta - Bali yaitu “Kirtya” sehingga menjadi “Kirtya Liefrinck –Van der
Tuuk” berdiri tanggal 2 Juni 1928 di Singaraja, dan dibuka untuk umum pada tanggal 14 September 1928
oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda A.C/D. de Graff. Dalam perjalanan dikenal hanya sebutan Kirtya
3
saja, sedangkan tempatnya disebut Gedong, sehingga sampai sekarang disebut “Gedong Kirtya”.
Gedong berarti tempat, Kirtya yang berasal dari kata ”kerty” berarti tapa atau mencari kedamaian.
Gedong Kirtya berarti “Tempat untuk mencari kedamaian lahir bathin” (Gedong Kirtya, 2000: 1-3).
Museum Lontar Gedong Kirtya dikelola oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Buleleng, Singaraja,
yang khusus mengkoleksi lontar, salinan lontar, buku-buku terjemahan dari lontar-lontar tersebut, serta
koleksi buku-buku hasil penelitian tentang kebudayaan Bali yang disusun pada zaman kolonial (zaman
penjajahan). Jumlah naskah (lontar dan salinan lontar) pada Museum Gedong Kirtya sampai sekarang
lebih dari 5.200 naskah, tentang sejarah Bali, kesusastraan, magis, pengobatan dan sebagainya.
4
Gambar 1: Kantor UPTD Gedong Kirtya
(Foto: N.W.Herawathi, 2008)
5
Gambar 2: Tampak depan Museum Gedong Kirtya
(Foto: N.W.Herawathi, 2008)
Penataan lontar pada Museum Gedong Kirtya ada di ruang pameran (display) dan ruang
penyimpanan (storage). Penataan lontar/terjemahan/buku-buku kuno berbeda dengan menata koleksi
jenis lain. Pesan yang disampaikan terletak pada teksnya, sedangkan penyajian koleksi lain
memperlihatkan bentuk visualnya sehingga penataan bisa lebih bervariasi. Dalam penataan lontar/buku
6
yang utama adalah misi penyampaian informasi yang terkandung di dalamnya kepada
masyarakat/pengunjung. Namun demikian penataan juga harus kelihatan estetis dan suasananya
nyaman sehingga dapat menimbulkan daya tarik kunjungan.
Gambar 3: Tata Pameran di Ruang Pameran I
(Foto: N.W.Herawathi, 2008)
7
Gambar 5: Penataan Lontar di Ruang Pameran II
(Foto: N.W.Herawathi, 2008)
8
Gambar 4: Penataan Lontar di Ruang Penyimpanan
(Foto: N.W.Herawathi, 2008)
Masa pemerintahan Dalem Batur Enggong di Bali (1460 M – 1552 M) dengan pusat
pemerintahan di Gelgel, Klungkung, lontar banyak di bawa dari Jawa ke Bali. Kalau tidak demikian maka
tidak banyak tersisa kesusastraan Jawa Kuno, karena kurang mendapat perhatian dengan masuknya
Islam. Beliau seorang raja besar dari Dinasti Kepakisan, mampu membawa kerajaan Bali pada puncak
9
kebesarannya. Warga yang mengungsi memindahkan segala yang dapat dibawa, termasuk seni dan
budayanya, dan masa inilah merupakan jaman keemasan berkembang dengan subur seni dan budaya
termasuk kesusastraan. Masa ini datang seorang pendeta dari Jawa ke Bali bernama Dang Hyang
Dwijendra, beliau mengembangkan kesusastraan dengan pesat, memiliki banyak siswa, banyak
menghasilkan karya sastra, seperti kidung-kidung. Beliau sebagai sastrawan atau pujangga besar dan
membangun banyak pura seperti dipaparkan dalam lontar Dwijendra Tatwa (Team Penyusun Sejarah
Bali, 1986: 132-148).
Pembagian kesusastraan lontar yang tersimpan di Gedong Kirtya menjadi 6 kelompok dan dipakai
sampai sekarang, antara lain;
Weda: a. Weda, b. Mantra, serta c. Kalpasastra.
Agama: a. Palakerta, b. Sasana, serta c. Niti.
Wariga: a. Wariga, b. Tutur, c. Kanda, serta d. Usada.
4. Itihasa: a. Parwa, b. Kakawin, c. Kidung, serta d. Gaguritan.
5. Babad: a. Pamancangah, b. Usana, serta c. Uwug.
6. Tantri: a. Tantri, dan b. Satua.
7. Lelampahan. Memuat lakon pertunjukan kesenian (gambuh, wayang, arja, dll).
Weda merupakan wahyu suci dari Ida Sang Sang Hyang Widhi Wasa yang diturunkan melalui
orang-orang suci untuk disampaikan kepada masyarakat sebagai pedoman hidup. Yang digolongkan
dalam kelompok ini di museum tersebut adalah mantra maupun kalpasastra. Mantra berupa doa kepada
Beliau beserta manifestasinya. Sedangkan Kalpasastra tentang upacara keagamaan dalam panca yadnya.
10
Agama merupakan ajaran yang wajib diperhatikan dan dilaksanakan dalam kehidupan. Yang
digolongkan dalam kelompok ini berupa palakerta, sasana dan niti. Palakerta berupa awig-awig/sima
dan dharma yang berlaku di desa setempat. Sasana tentang kewajiban umat dalam menjalankan
dharma agama dan dharma negara. Serta niti adalah tentang ilmu pemerintahan/ketatanegaraan.
Wariga berupa ilmu astronomi dan pedewasan. Tutur tentang nasehat yang mengandung
filsafat. Kanda merupakan bagian dari Ramayana. Serta usada tentang pengobatan tradisional.
Itihasa berupa karya prosa/puisi keagamaan, antara lain parwa, kakawin, kidung, dan gaguritan.
Kakawin adalah wirama berisi guru dan lagu. Kidung dinyanyikan dalam panca yadnya., serta gaguritan
tentang wirama macapat tanpa guru dan lagu..
Babad/pamancangah, yaitu silsilah keluarga pada zaman dahulu. Tantri menceritakan tokoh
binatang. Serta dongeng adalah cerita kehidupan.
Jumlah lontar terbanyak ada pada golongan wariga dan dongeng, sedangkan salinan lontar
terbanyak ada pada golongan wariga dan itihasa. Hal ini berarti masyarakat banyak menghasilkan karya
ilmu pengetahuan (wariga), karya tembang (itihasa), serta cerita kehidupan (dongeng).
Sudahkah informasi-informasi yang terkandung dalam lontar-lontar tersebut dikenal/dipahami
masyarakat luas, sehingga penulis berkeinginan mendalami lagi sudah sejauh mana ”Peranan Museum
Gedong Kirtya Sebagai Pelestari Bahasa Dan Sastra Agama Dalam Membentuk Karakter Luhur Generasi
Muda”. Koleksi lontar dengan segala informasi/nilai budaya yang tertulis di dalamnya merupakan salah
satu produk (artefak) budaya masa lalu.
Alisjahbana (1986) menyatakan bahwa kebudayaan adalah penjelmaan aktifitas budi manusia yang
11
selalu tersusun dalam suatu pola/konfigurasi nilai– nilai. Menurut Beliau kebudayaan melahirkan 6 nilai
budaya, yaitu; nilai teori (ilmu) merumuskan identitas tiap–tiap benda/peristiwa, nilai ekonomi yang
berusaha mendapatkan utilitas/kegunaan segala sesuatu, nilai agama sebagai penjelmaan kekudusan,
nilai seni yang menjelmakan keindahan, nilai kekuasaan yang merupakan poros horizontal dari
organisasi sosial dan terjelma dalam cinta, kasih sayang, persahabatan, gotong royong dan sebagainya.
Nilai-nilai ini berpasangan secara antinomis, yaitu nilai teori berpasangan dengan nilai agama, nilai
ekonomi berpasangan dengan nilai seni, serta nilai kekuasaan berpasangan dengan nilai solidaritas.
Kebudayaan yang didominasi oleh agama dan seni banyak memakai imajinasi, intuisi, dan perasaan
dinamakan kebudayaan ekspresif. Sebaliknya kebudayaan yang dikuasai oleh ilmu dan ekonomi
bersama –sama melahirkan teknologi disebut kebudayaan progresif.
Kebudayaan berarti kelompok adat kebiasaan, pikiran, kepercayaan, dan nilai yang turun temurun
dipakai masyarakat pada waktu tertentu untuk menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap segala
sesuatu yang sewaktu–waktu timbul, baik dalam kehidupan individu maupun dalam kehidupan
bermasyarakat sebagai keseluruhan. Kebudayaan menyelimuti perasaan–perasaan dan emosi–emosi
manusia serta menjadi sumber untuk menilai, yaitu penilaian baik dan buruk, berharga/tidak berharga,
bersih/kotor, dan sebagainya, karena kebudayaan mengandung nilai–nilai moral bersumber pada
pandangan hidup dan kode etik yang dimiliki oleh setiap manusia (Baried, 1994: 84).
Berdasarkan batasan–batasan kebudayaan tersebut diketahui bahwa kebudayaan mengandung
nilai–nilai kehidupan masyarakat pendukungnya, semua ini penting untuk digali, dikenali dan
diinformasikan kepada masyarakat sebagai dasar pembentukan mental/pribadi berwawasan budaya
bangsa.
12
Lontar terbuat dari daun tal (sejenis pohon palem), sedangkan salinan lontar, buku-buku
terjemahan, serta buku-buku masa kolonial terbuat dari kertas, bahan bakunya dari tumbuh–
tumbuhan. Jika kurang perawatan akan tumbuh jamur, bakteri (mikroorganisme), menjadi lembab,
rapuh, retak, rusak, kemungkinan disebabkan faktor suhu, kelembaban, cahaya dan sebagainya, yang
dapat berakibat kehilangan data.
Agar bahan lontar menjadi kuat maka harus melalui proses pembuatan blangko lontar. Berawal
dari pemetikan daun palem (ron tal) kemudian helai daunnya dipotong dan dipilih yang lebarnya sama,
bagian ujungnya juga dipotong, setelah itu dikeringkan dengan menjemur di siang hari dan diembunkan
pada malam hari sekitar satu bulan, tujuannya agar bahan lontar menjadi kuat terbiasa dengan
perubahan cuaca, tidak cepat rapuh. Selanjutnya daun lontar yang sudah kering diambil lidinya
kemudian pinggirnya dibersihkan dengan serut/pisau saja yang penting, bersih, rapi, dipotong sama
panjang antara 40-60 cm tergantung keperluan, kemudian direbus dengan air ramuan. Ramuannya
berupa kulit kayu beracun seperti kayu pule dan pangi. Selain itu pada vitrin peragaan pembuatan
blangko lontar di museum terdapat seperangkat ramuan dipakai untuk merebus daun lontar, antara lain
gambir, tabia bun, buah jebug arum, kulit dan daun liligundi, merica, kemiri serta cengkeh. Ramuan
dihaluskan dahulu baru dicampurkan ke dalam air rebusan, tujuannya agar daun lontar tidak diserang
serangga/jamur, berlangsung sekitar 5-6 jam, Setelah direbus, diangkat, dikeringkan, dan dibersihkan
dengan kain halus. Selanjutnya daun lontar tersebut dijemur lagi sekitar 2 hari untuk mengeringkan air
yang dikandung selama perebusan. Kemudian daun lontar tersebut ditumpuk, dirapikan pinggirannya
dengan serut agar rata, kedua bidangnya dipress atau dijepit dengan alat pengepresan sekitar 6 bulanan,
namun setiap bulan dicek sampai merata, apa ada yang longgar, diketatkan lagi, dikeluarkan dari alat
press tersebut dan diberikan lubang dengan ujung taji agar tidak bolak balik, dimasukkan ke alat press
13
lagi, sampai menjadi kaku sekali, lurus. Selama masa pengepressan kedua pinggirannya dicat dengan cat
merah atau cat prada warna kuning sehingga lontarnya seni. Selanjutnya siap untuk ditulisi, diambil
beberapa lembar kemudian ujungnya diberi penjepit untuk mencegah agar tidak bergeser, dibuat garis
dengan menggunakan benang yang dicelup warna hitam/abu dan alat pembantu agar garisnya lurus.
Kemudian ditulisi dengan pisau pengrupak untuk menulis dan pengrupak untuk menggambar (lebih
lancip). Tangkai pahat biasanya diukir dan terkadang diberi hiasan dari emas. Menulis pada daun lontar
adalah menggoreskan pahat sampai berbentuk tulisan/ gambar, dioleskan zat warna hitam, biasanya
dari kemiri dibakar/hangus dan ditumbuk halus.
Naskah lontar merupakan benda organik yang mempunyai sifat hygroskopis mudah menyerap air.
Tidak memiliki daya tahan terhadap gangguan serangga/insek, jamur, asam, dan suhu udara serta
kelembaban yang tinggi, cahaya, mudah terbakar, mudah patah, dan apabila terkena debu/lainnya
mudah menimbulkan noda. Penanganan kondisi koleksi dilakukan dengan kegiatan konservasi (Yuni
Astuti, dkk., 2001: 3-15).
Konservasi adalah tindakan melindungi dari bahaya/kerusakan, memelihara/ merawat sesuatu dari
gangguan, kemusnahan dan keausan. Menurut V.J. Herman, kegiatan konservasi ada 2 bagian, yaitu;
Penanganan Lingkungan (Maintenance). Kegiatan ini bersifat preventif/ pencegahan, ditujukan
terhadap bangunan/lingkungannya yang menjadi sebab terjadinya kerusakan. Sedangkan
benda-benda itu dalam keadaan baik. Penanganan lingkungan memerlukan sarana yang cukup
memadai.
Penanganan Koleksi (Treatment). Suatu penanganan langsung terhadap koleksi museum yang
dinyatakan terkena gangguan penyakit.
14
Konservasi preventif terhadap kondisi lontar di Museum Gedong Kirtya menangani masalah
pencegahan kerusakan lontar karena faktor suhu dan kelembaban, cahaya, kontaminan (polusi udara),
biotis, serta faktor manusia. Perawatan (konservasi) kuratif adalah tindakan dilakukan terhadap koleksi
yang telah mengalami kerusakan/pelapukan dengan melakukan pembersihan, perbaikan, konsolidasi,
stabilisasi dan perlindungan (Team Penyusun, 2007: 6).
Hal penting lain yang perlu didalami adalah mengenai penyajian informasi agar menarik kunjungan
untuk datang. Penyajian koleksi adalah cara–cara mengomunikasikan suatu gagasan yang berhubungan
dengan koleksi kepada pihak lain dengan berbagai bentuk, antara lain dengan ceramah, film,
penerbitan, dan pameran. Pameran salah satu bentuk penyajian informasi koleksi museum. Koleksi
pameran direncanakan dan diatur agar dapat dipahami pengunjung. Pameran di museum merupakan
sarana belajar informal, harus diciptakan kondisi dimana orang mendapat rangsangan untuk belajar
sendiri, bebas memilih unsur yang dikunjunginya, sehingga dalam menata pameran diperlukan
pengetahuan psikologi pendidikan, selain hal–hal yang berhubungan dengan estetika dan teknik
penyajian (Udansyah, 1988: 1).
Menurut Asiarto (2007: 5) bahwa cara penyampaian informasi dapat melalui berbagai bentuk
dan sarana penunjang, dan bisa melalui 5 metode, yaitu; a. Pameran baik secara permanen maupun
sementara/temporer (pameran khusus), b. Acara-acara audio visual, seperti pemutaran film/video, c.
Program-program edukatif, d. Ceramah dan pengantar pengenalan museum, e. Publikasi dan
penerbitan.
Kemasan lisan dalam artian informasi disampaikan secara verbal atau melalui kata-kata kepada
masyarakat, dikenal sebagai pemandu. Pemandu di museum dari bagian pelayanan lontar/salinan
15
lontar/perpustakaan, masing-masing ada petugasnya.
Kemasan tulisan berupa brosur/buku panduan, katalog lontar/salinan lontar,
inventarisasi/registrasi koleksi, kemungkinan terdapat daftar buku kuno dan hasil penelitian budaya Bali
dahulu, serta daftar buku sejarah baru yang belum didatabase.
Kemasan visual yang terdapat di Museum Gedong Kirtya, yaitu; foto/gambar, peta/denah, CD-
interaktif/Slide, serta label koleksi. Perkembangan dunia maya (internet) sangat pesat dan banyak
manfaat bagi museum untuk membentuk website. Melalui internet bisa mengenalkan segala sesuatu
tentang museum, seperti berita koleksi, kegiatan museum, fasilitas yang ada, petunjuk wisata, dan
sebagainya.
Museum Lontar Gedong Kirtya sebagai unit kebudayaan berperanan melestarikan dan
memanfaatkan benda cagar budaya berupa lontar, salinan lontar, dan terjemahannya termasuk yang
sudah dibukukan. Sangat penting karena mengandung nilai budaya tradisional Bali lengkap, tentang
sejarah dan kehidupan, termasuk masalah kehidupan beragama, sastra dan agama, filsafat, kidung dan
yang lain, bermanfaat sebagai cermin kehidupan bermasyarakat/menempa karakter luhur generasi
muda. Berikut gambar yang menunjukkan generasi muda sedang membuka dan mempelajari lontar di
museum ini. Sebagaimana diketahui museum ini telah dikenal masyarakat sehingga jika mereka
memerlukan ajaran-ajaran agama, sastra-sastra kuna yang berguna dalam kehidupan pasti mereka
datang ke museum. Tidak hanya masyarakat luas tetapi di kalangan pelajar/mahasiswa datang ke
museum ini, masyarakat sekitar maupun Bali bahkan dari luar Bali datang untuk mengenal dan mencari
data-data penting yang mereka perlukan. Walaupun demikian museum ini harus terus mengenjot
semaksimal mungkin kunjungan agar terus mengalir dan tidak dilupakan orang. Berpacu dengan
16
kepentingan masyarakat modern sekarang yang semakin pesat.
Foto 6: Aktifitas Pelestarian Lontar
(Foto: N.W.Herawathi, 2008)
17
Sumber:
Direktorat Museum. 2007.
Pedoman Konservasi Koleksi Museum. Jakarta: Direktur Sejarah Dan Purbakala.
Gedong Kirtya. 2007.
Museum Lontar Gedong Kirtya. Buleleng.
Herman V.J. 1990.
Pedoman Konservasi Koleksi Museum. Jakarta: Proyek Pembinaan Permuseuman, Departemen Kebudayaan Dan Pariwisata.
Museum Gedong Kirtya. 1999.
Katalog Salinan Lontar Dengan Sistem Digital. Buleleng.
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999.
Tentang Pemeliharaan Dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya Di Museum. Jakarta.
Team Penyusun. 2006/2007.
Pedoman Konservasi Koleksi Museum. Jakarta: Direktorat Permuseuman, Departemen Kebudayaan Dan Pariwisata.
Udansyah, Dadang. 1997.
Pedoman Tata Pameran DI Museum. Cetakan II. Jakarta: Proyek Pembinaan Permuseuman, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
Yuni Astuti. 2001.
Perawatan Naskah Lontar. Jakarta: Proyek Pembinaan Permuseuman, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
18
19