PERAN PERAWAT TERHADAP KETEPATAN...
Transcript of PERAN PERAWAT TERHADAP KETEPATAN...
PERAN PERAWAT TERHADAP KETEPATAN
WAKTUTANGGAP PENANGANAN KASUS CEDERA
KEPALA
DI INSTALASI GAWAT DARURAT RSUD
Dr.MOEWARDI SURAKARTA
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan
Oleh :
Ruly Ambar Sekar
NIM S11034
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2015
ii
LEMBAR PERSETUJUAN
Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :
PERAN PERAWAT TERHADAP KETEPATAN WAKTU TANGGAP
PENANGANAN KASUS CEDERA KEPALA DI INSTALASI
GAWAT DARURAT RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
Oleh :
Ruly Ambar Sekar
NIM. S11034
Telah disetujui untuk dapat dipertahankan dihadapan Tim Penguji
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
Wahyu Rima Agustin S.Kep., Ns., M.Kep Ika Subekti Wulandari S.Kep.,Ns., M.K
NIK.201279102 NIK.201189097
The image cannot be displayed. Your computer may not have enough memory to open the image, or the image may have been corrupted. Restart your computer, and then open the file again. If the red x still appears, you may have to delete the image and then insert it again.
iii
iv
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
rahmat dan karunia-Nya, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “Peran Perawat Terhadap Ketepatan Waktu Tanggap Penanganan Kasus
Cedera Kepala Di Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr. Moewardi Surakarta”.
Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti banyak mendapat bimbingan dan
dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini peneliti
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Dra. Agnes Sri Harti, M.Si, selaku ketua STIKes Kusuma Husada Surakarta.
2. Wahyu Rima Agustin, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku Ketua Program Studi S1
Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta.
3. Wahyu Rima Agustin, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku Pembimbing Utama yang
telah memberikan masukan dan arahan selama penyusunan skripsi.
4. Ika Subekti Wulandari, S.Kep.,Ns.,M.Kep , selaku Pembimbing Pendamping
yang juga telah memberikan masukan dan arahan selama penyusunan skripsi.
5. Happy Indri Hapsari, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku Penguji skripsi yang juga
telah memberikan masukan dan arahan selama sidang skripsi.
6. Seluruh dosen dan staf akademik Program Studi S – 1 Keperawatan STIKes
Kusuma Husada Surakarta.
7. Direktur RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang memberikan ijin dan arahan
untuk peneliti dalam melakukan penelitian skripsi.
8. Orang tua tercinta, yaitu Bapak Sastro Sakat Suwito, Ibu Kasiyem, seluruh
keluarga besar, kakak – kakak dan keponakan tersayang, yang selalu
memberikan dukungan, motivasi, doa dan kasih sayangnya sepanjang waktu.
9. Teman-teman angkatan 2011 / S11 tersayang, yang saling mendukung dan
membantu dalam proses pembuatan skripsi ini.
Semoga segala bantuan dan kebaikan, menjadi amal sholeh yang akan
mendapat balasan yang lebih baik dari Allah SWT.
v
Selanjutnya peneliti sangat mengharapkan masukan, saran dan kritik demi
perbaikan skripsi ini sehingga dapat digunakan untuk pengembangan ilmu dan
pelayanan keperawatan.
Surakarta, 08 Juli 2015
Ruly Ambar Sekar
NIM.S11034
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii
SURAT PERNYATAAN............................................................................... iii
KATA PENGHANTAR ............................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................. vi
DAFTAR TABEL ......................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. x
ABSTRAK .................................................................................................... xi
ABSTRACT .................................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................. 7
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................... 8
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teori ....................................................................... 11
2.1.1 Cedera Kepala ............................................................ 11
2.1.2 Waktu Tanggap atau Respon Time ............................. 19
2.1.3 Konsep Peran Perawat .............................................. 27
2.1.4 Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Peran
Perawat ...................................................................... 31
2.1.5 Faktor – Faktor yang mempengaruhi Waktu
Tanggap ...................................................................... 32
2.2 Kerangka Teori ...................................................................... 33
2.3 Fokus Penelitian .................................................................... 34
2.4 Keaslian Penelitian ................................................................ 36
BAB III METODOLOGI
3.1 Jenis Dan Rancangan Penelitian ............................................ 41
vii
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................... 42
3.3 Populasi dan Sampel ........................................................... 43
3.3.1 Populasi ....................................................................... 43
3.3.2 Sampel ........................................................................ 43
3.4 Instrumen dan Pengumpulan Data ......................................... 46
3.4.1 Instrumen ..................................................................... 46
3.4.2 Pengumpulan Data ....................................................... 48
3.4.2.1 Data ................................................................. 48
3.4.2.2 Prosedur Pengumpulan Data ........................... 48
3.5 Analisa Data .......................................................................... 52
3.6 Keabsahan Data ...................................................................... 53
3.7 Etika Penelitian ...................................................................... 55
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1. Diskripsi Tempat Penelitian .................................................. 58
4.2. Karakteristik Partisipan .......................................................... 59
4.3. Hasil Penelitian ...................................................................... 60
BAB V PEMBAHASAN
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan ............................................................................ 111
6.2 Saran ...................................................................................... 113
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel Judul Tabel Halaman
1.1 Skala GCS (Nurarif, 2013) 12
1.2 Skala Australia Triage (2000) 24
1.3 Keaslian Penelitian 36
ix
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar Judul Gambar Halaman
1.1 Gambaran Kasus Cedera Kepala 67
4.2 Initial Assasment 70
4.3 Pengelolaan Prioritas Pasien 72
4.4 Perawat Sebagai Care Giver 76
4.5 Iklim Kerja Kondusif 80
4.6 Kendala Pelayanan 85
4.7 Kebutuhan Perbaikan Manajemen 88
4.8 Kebutuhan Peningkatan Kualitas SDM 91
x
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Lampiran Keterangan
1. Surat Ijin Studi Pendahuluan
2. Surat Keterangan Studi Pendahuluan
3. Surat Ijin Penelitian
4. Surat Keterangan Penelitian
5. Surat Pengajuan Ethical Clearance
6. Surat Ethical Clearance
7. Penjelasan Penelitian
8. Lembar Persetujuan Partisipan
9. Pedoman Pertanyaan
10. Data Demografi
11. Lembar Catatan Lapangan/Observasi
12. Transkip Wawancara
13. Analisa Data Tematik
14. Gambar/ Foto Wawancara Penelitian
15. Lembar Konsultasi Proposal Skripsi
16. Lembar Bukti Penanganan Pasien Cedera Kepala
17. Jadwal Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama
dikalangan usia produktif khususnya di negara berkembang (Japardi, 2005).
Cedera kepala adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur
tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak itu
sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Miranda, 2014).
Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia 10-60
tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan
perempuan (Fauzi, 2002).
Data insiden cedera kepala di Eropa pada tahun 2010 adalah 500 per
100.000 populasi. Insiden cedera kepala di Inggris pada tahun 2005 adalah
400 per 100.000 pasien per tahun (Irawan, 2010). Insiden cedera kepala di
India setiap tahunnya adalah 160 per 100.000 populasi (Critchley et al,2009).
Prevalensi cedera secara nasional adalah 8,2 persen, prevalensi tertinggi
ditemukan di Sulawesi Selatan (12,8%) dan terendah di Jambi (4,5%).
Provinsi yang mempunyai prevalensi cedera lebih tinggi dari angka nasional
sebanyak 15 provinsi. Riskesdas 2013 pada provinsi Jawa Tengah
menunjukkan kasus cedera sebesar 7,7 % yang disebabkan oleh kecelakaan
sepeda motor sebesar 40,1 %. Cedera mayoritas dialami oleh kelompok
2
umur dewasa yaitu sebesar 38,8% dan lanjut usia (lansia) yaitu 13,3% dan
anak–anak sekitar 11,3%(Depkes,2013). Di negara berkembang seperti
Indonesia, perkembangan ekonomi dan industri memberikan dampak
frekuensi cedera kepala cenderung semakin meningkat, dan merupakan
salah satu kasus yang paling sering dijumpai di ruang gawat darurat rumah
sakit (Miranda, 2014).
Instalasi Gawat Darurat (IGD) sebagai gerbang utama penanganan
kasus gawat darurat di rumah sakit memegang peranan penting dalam upaya
penyelamatan hidup klien. Standar IGD sesuai Keputusan Menteri
Kesehatan tahun 2009 bahwa indikator waktu tanggap di IGD adalah harus
≤ 5 menit. Waktu tanggap dari perawat pada penanganan pasien gawat
darurat yang memanjang dapat menurunkan usaha penyelamatan pasien.
Hasil penelitian Vitrise (2014) di Instalasi Gawat Darurat RSUP Prof. Dr. R.
D. Kandou Manado di dapatkan hasil, waktu tanggap perawat dalam
penanganan kasus gawat darurat di IGD RSUP Prof Dr. R. D. Kandou
Manado rata-rata lambat yaitu lebih dari 5 menit.
Wilde (2009) telah membuktikan secara jelas tentang pentingnya
waktu tanggap bahkan pada pasien selain penderita penyakit jantung.
Mekanisme waktu tanggap, disamping menentukan keluasan rusaknya
organ-organ dalam, juga dapat mengurangi beban pembiayaan. Kecepatan
dan ketepatan pertolongan yang diberikan pada pasien yang datang ke IGD
memerlukan standar sesuai dengan kompetensi dan kemampuannya
sehingga dapat menjamin suatu penanganan gawat darurat dengan waktu
3
tanggap yang cepat dan penanganan yang tepat. Hal ini dapat dicapai
dengan meningkatkan sarana, prasarana, sumber daya manusia dan
manajemen IGD rumah sakit sesuai standar (Kepmenkes, 2009).
Yoon et al (2003) mengemukakan faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi keterlambatan penanganan kasus gawat darurat antara lain
karakter pasien, penempatan staf, ketersediaan tandu dan petugas kesehatan,
waktu kedatangan pasien, pelaksanaan manajemen, strategi pemeriksaan
dan penanganan yang dipilih. Hal ini bisa menjadi pertimbangan dalam
menentukan konsep tentang waktu tanggap penanganan kasus di IGD rumah
sakit. Salah satu indikator keberhasilan penanggulangan medik penderita
gawat darurat adalah kecepatan memberikan pertolongan yang memadai
kepada penderita gawat darurat baik pada keadaan rutin sehari-hari atau
sewaktu bencana. Keberhasilan waktu tanggap sangat tergantung kepada
kecepatan yang tersedia serta kualitas pemberian pertolongan untuk
menyelamatkan nyawa atau mencegah cacat sejak di tempat kejadian, dalam
perjalanan hingga pertolongan rumah sakit (Moewardi, 2003).
Pada kasus cedera kepala di IGD suatu rumah sakit orang yang
berperan dalam melakukan pertolongan pertama adalah perawat. Peran
perawat sangat dominan dalam melakukan penanganan kasus cedera kepala.
Ketepatan waktu tanggap adalah suatu bentuk dari penanganan kasus cedera
kepala yang dilakukan oleh perawat dalam menangani kasus gawat darurat.
Pasien yang mengalami cedera kepala akan mengalami pembengkakan otak
atau terjadi perdarahan dalam tengkorak, tekanan intrakranial akan
4
meningkat dan tekanan perfusi akan menurun. Tubuh memiliki refleks
perlindungan (respons/ refleks cushing) yang berusaha mempertahankan
tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan intraserebral
meningkat, tekanan darah sistemik meningkat untuk mencoba
mempertahankan aliran darah otak. Saat keadaan semakin kritis, denyut
nadi menurun (bradikardia) dan bahkan frekuensi respirasi berkurang.
Tekanan dalam tengkorak terus meningkat hingga titik kritis tertentu dimana
cedera kepala memburuk dan semua tanda vital terganggu dan berakhir
dengan kematian penderita (Widyawati, 2012).
Hasil penelitian Haryatun (2005) dengan menghitung waktu
pelayanan pasien gawat darurat, cedera kepala dari pasien masuk pintu IGD
RSUD Dr.Moewardi Surakarta sampai siap keluar dari IGD didapatkan
rata-rata waktu tanggap pelayanan selama 98,33 menit (kategori I resusitasi
yaitu pasien memerlukan resusitasi segera, seperti pasien dengan epidural
atau sub dural hematoma, cedera kepala berat), 79,08 menit (kategori II
pasien emergency, seperti pasien cedera kepala di sertai tanda-tanda syok,
apabila tidak dilakukan pertolongan segera akan menjadi lebih buruk), 78,92
menit (kategori III pasien urgent, seperti cedera kepala disertai luka robek,
rasa pusing), 44,67 menit (kategori IV pasien semi urgent, keadaan pasien
cedera kepala dengan rasa pusing ringan, luka lecet atau luka superficial ),
33,92 menit (Kategori V “false emergency”, pasien datang bukan indikasi
kegawatan menurut medis, cedera kepala tanpa keluhan fisik), terdapat
perbedaan yang signifikan waktu tanggap tindakan keperawatan pada pasien
5
cedera kepala kategori I – V dan pasien cedera kepala kategori I
memperoleh waktu tindakan keperawatan lebih lama dan pasien cedera
kepala kategori V memperoleh waktu keperawatan yang lebih cepat. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan waktu tanggap
tindakan pada pasien cedera kepala kategori I – V .
Pasien cedera kepala di instalasi gawat darurat memerlukan tindakan
keperawatan yang cepat. Keterlambatan tindakan keperawatan pasien cedera
kepala dapat menyebabkan kecacatan yang menetap karena kerusakan
jaringan otak atau bahkan menimbulkan kematian. Angka kematian dan
kecatatan akibat kegawatan peraturan medik ditentukan tingkat kecepatan,
kecermatan dan ketepatan pertolongan (Haryatun 2005).
Perawat yang bertugas di IGD adalah perawat yang dituntut untuk
melakukan tindakan kegawat daruratan secara cepat, tepat dan tanggap
khususnya pada penanganan pasien cedera kepala. Bagi perawat di IGD
tuntutan tersebut akan menjadi beban kerja tersendiri dalam menangani
pasien yang datang di IGD, dengan jumlah, tingkat kegawatan pasien,
situasi dan kondisi yang datang tidak bisa di perkirakan. Beban kerja sosial
merupakan beban kerja yang berkaitan dengan hubungan seorang pekerja
dengan lingkungan kerjanya. Kondisi demikian sudah menjadi tantangan
setiap hari bagi seorang perawat bahwa harus senantiasa ramah, murah
senyum, komunikatif dalam memberikan pelayanan (Widodo, 2007).
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 30 Desember
2014 di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, jumlah pasien cedera kepala pada
6
tahun 2014 yang dikategorikan pasien dengan cedera kepala ringan
sebanyak 143 pasien yang dirawat inap dan 59 pasien yang di rawat jalan
sedangkan pasien cedera kepala kategori cedera kepala berat sebanyak 116
pasien yang dirawat inap dan 98 pasien yang dirawat jalan. Dari hasil
wawancara dengan salah satu perawat IGD RSUD Dr. Moewardi, perawat
mengatakan bahwa peran perawat dalam melakukan ketepatan waktu
tanggap penanganan kasus cedera kepala itu belum sesuai yang diharapkan
karena untuk menjalankan peran perawat sesuai dengan standart operasional
prosedur (SOP) itu masih sulit, banyak kendala yang sering ditemui
misalnya untuk berkomunikasi dalam jam kerja saja sulit karena banyaknya
pasien dan banyak masalah lain yang akhirnya perawat tidak bisa
menjalankan perannya dengan baik atau sesuai dengan SOP yang berlaku.
Berdasarkan fenomena yang terjadi di RSUD Dr. Moewardi, perawat
di IGD dituntut untuk selalu menjalankan perannya di berbagai situasi dan
kondisi yang meliputi tindakan penyalamatan pasien secara profesional
khusunya penanganan pada pasien cedera kepala. RSUD Dr. Moewardi
adalah Rumah Sakit Daerah Surakarta yang merupakan rumah sakit dengan
tipe kelas A yang jumlah pasiennya diharapkan lebih banyak dari rumah
sakit lain di daerah Surakarta dan sumber daya manusia (perawat) dapat
mendukung penelitian ini khusunya perawat di IGD yang menangani kasus
cedera kepala, oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
kualitatif tentang peran perawat terhadap ketepatan waktu tanggap
7
penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat RSUD
Dr.Moewardi Surakarta.
1.2 Rumusan Masalah
Cedera kepala adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala,
frakturtulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak
itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis. Pasien yang
mengalami cedera kepala akan mengalami pembengkakan otak atau terjadi
perdarahan dalam tengkorak, tekanan intrakranial akan meningkat dan
tekanan perfusi akan menurun. Saat keadaan semakin kritis, denyut nadi
menurun (bradikardia) dan bahkan frekuensi respirasi berkurang. Tekanan
dalam tengkorak terus meningkat hingga titik kritis tertentu dimana cedera
kepala memburuk dan semua tanda vital terganggu dan berakhir dengan
kematian penderita. Oleh sebab itu pasien dengan cedera kepala
memerlukan tindakan keperawatan yang cepat dan tepat. Keterlambatan
tindakan keperawatan pasien cedera kepala dapat menyebabkan kecacatan
dan kematian. Perawat di IGD dituntut untuk selalu menjalankan perannya
di berbagai situasi dan kondisi yang meliputi tindakan penyalamatan pasien
secara profesional khusunya penanganan pada pasien cedera kepala.
Berdasarkan latar belakang tersebut rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah, bagaimanakah peran perawat terhadap ketepatan waktu tanggap
8
penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat RSUD
Dr.Moewardi Surakarta ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Umum
Mengidentifikasi peran perawat terhadap ketepatan waktu
tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat
RSUD Dr.Moewardi Surakarta .
1.3.2 Khusus
1. Mengetahui persepsi perawat mengenai kasus cedera kepala.
2. Mengetahui tindakan perawat dalam melakukan ketepatan
waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi
gawat darurat RSUD Dr. Moewardi Surakarta .
3. Mengetahui faktor – faktor yang mendukung perawat dalam
melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera
kepala di instalasi gawat darurat RSUD Dr. Moewardi
Surakarta.
4. Mengetahui faktor – faktor yang menghambat perawat dalam
melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera
kepala di instalasi gawat darurat RSUD Dr. Moewardi
Surakarta.
9
5. Mengetahui harapan perawat dalam melakukan ketepatan waktu
tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat
darurat RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Rumah Sakit
Penelitian ini diharapkan jadi bahan masukan untuk
meningkatkan pelayanan di rumah sakit, terutama perawat dalam
melakukan perannya melaksanaan ketepatan waktu tanggap
penanganan pada kasus kegawat daruratan di instalasi gawat darurat
khususnya pasien dengan cedera kepala.
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan
Dapat di jadikan sebagai bahan bacaan dan referensi guna
meningkatkan mutu pendidikan terutama pada pengetahuan peran
perawat terhadap ketepatan waktu tanggap penanganan kegawat
daruratan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat .
1.4.3 Bagi Peneliti lain
Sebagai bahan acuan serta referensi bagi peneliti lain dan
penelitian lanjutan yang berhubungan dengan peran perawat dalam
melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera
kepala di instalasi gawat darurat sebagai salah satu acuan untuk
penelitian selanjutnya.
10
1.4.4 Bagi Peneliti
Untuk menambah pengetahuan dan memperdalam ilmu
peneliti tentang penelitian kualitatif dan dapat melaksanaan peran
perawat terhadap ketepatan waktu tanggap penanganan kasus
kegawat daruratan di instalasi gawat darurat khususnya kasus cedera
kepala.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teori
2.1.1 Cedera Kepala
2.1.1.1 Definisi
Cedera kepala merupakan cedera yang meliputi
trauma kulit kepala, tengkorak dan otak (Morton, 2012).
Cedera kepala adalah cedera mekanik yang secara langsung
atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan
luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan
selaput otak, dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta
mengakibatkan gangguan neurologis (Miranda, 2014).
2.1.1.2 Klasifikasi
Berdasarkan beratnya, cedera kepala dibagi atas
ringan, sedang dan berat(Advanced, 2004).Pembagian
ringan, sedang dan berat ini dinilai melalui Glasgow Coma
Scale (GCS). GCS merupakan instrument standar yang
dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran pasien
trauma kepala (Irawan, 2010).
12
Tabel 1.1.Skala GCS (Nurarif, 2013).
Dewasa Respon
Buka Mata ( Eye )
Spontan 4
Berdasarkan perintah verbal 3
Berdasarkan rangsang nyeri 2
Tidak memberi respon 1
Respon Verbal
Orientasi baik 5
Percakapan kacau 4
Kata – kata kacau 3
Mengerang 2
Tidak memberi respon 1
Respon Motorik
Merurut perintah 6
Melokalisir rangsang nyeri 5
Menjauhi rangsang nyeri 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi abnormal 2
Tidak memberi respon 1
Skor nilai GCS :
14 – 15 : Nilai normal/ Composmentis/ Sadar penuh
12 – 13 : Apatis/ acuh tak acuh
11 – 12 : Delirium
8 – 10 : Somnolent
5 – 7 : Sopor Koma
1 – 4 : Koma
1) Ringan : Skala Koma Glasgow (Glasglow Coma
Scale, GCS) 14 – 15, dapat terjadi kehilangan
kesadaran, amnesia, tetapi kurang dari 30
13
menit, tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada
contusia cerebral dan hematoma.
2) Sedang : GCS 9 – 13, kehilangangan kesadaran,
amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang
dari 24 jam, dapat mengalami fraktur
tengkorak, diikuti contusio cerebral, laserasi
dan hematoma intra cranial
3) Berat : GCS 3 – 8, kehilangan kesadaran dan atau
terjadi amnesia lebih dari 24 jam, juga
meliputi contusio cerebral, laserasi, atau
hematoma intra cranial.
2.1.1.3 Etiologi
Mekanisme cedera kepala meliputi cedera akselerasi,
deselerasi, akselerasi – deselerasi, coup – countre coup, dan
cedera rotasional (Nurarif, 2013).
1. Cedera akselerasi terjadi jika objek bergerak
menghantam kepala yang bergerak (Misalnya, alat
pemukul menghantam kepala atau peluru yang di
tembakkan ke kepala).
2. Cedera deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak
membentur obyek diam, seperti pada kasus jatuh atau
tabrakan mobil ketika ketika kepala membentur kaca
depan mobil.
14
3. Cedera akselerasi – deselerasi sering terjadi dalam
kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan episode
kekerasan fisik.
4. Cederacoup – countre coup terjadi jika kepala
berbentur yang menyebabkan otak bergerak dalam
ruang kranial dan dengan kuat mengenai area tulang
tengkorak yang berlawanan serta area kepala yang
pertama kali terbentur. Sebagai contoh pasien dipukul
di bagian kepala belakang.
5. Cedera rotasional terjadi jika pukulan atau benturan
menyebabkan otak berputar dalam rongga tengkorak,
yang mengakibatkan perenggangan atau robeknya
neuron dalam substansia alba serta robeknya pembuluh
darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam
rongga tengkorak.
2.1.1.4 Manifestasi Klinis
Pada pemeriksaan klinis biasa yang dipakai untuk
menentukan cedera kepala menggunakan pemeriksaan GCS
yang dikelompokkan menjadi cedera kepala ringan, sedang,
dan berat seperti diatas. Nyeri yang menetap atau setempat,
menunjukkan adanya fraktur (Smeltzer, 2002).
1. Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada
sekitar fraktur.
15
2. Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika cairan cerebro
spinal keluar dari telinga dan hidung.
3. Laserasi atau kontusio otak ditunjukkan oleh cairan
spinal berdarah hematom pada cedera kepala :
a) Epidural hematom (EDH) : hematom antara
durameter dan tulang, biasanya sumber
perdarahannya adalah robeknya arteri meningica
media. Ditandai dengan penurunan kesadaran
dengan ketidaksamaan neurologis sisi kiri dan
kanan (hemiparesis/plegi, pupil anisokor, reflek
patologis satu sisi). Gambaran CT scan area
hiperdens dengan bentuk bikonvek diantara 2
sutura. Jika perdarahan > 20 cc atau > 1 cm midline
shift> 5mm dilakukan operasi untuk menghentikan
perdarahan.
b) Subdural hematom (SDH) : hematom dibawah
lapisan durameter dengan sumber perdarahan dapat
berasal dari bridging vein, arteri atau vena cortical
sinus venous. Subdural hematom adalah
terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan
otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat
pecahnya pembuluh darah vena, perdarahan lambat
dan sedikit. Periode akut dapat terjadi dalam waktu
16
48 – 2 hari, 2 minggu atau beberapa bulan. Gejala
– gejalanya adalah nyeri kepala, binggung,
mengantuk, berpikir lambat, kejang dan udem
pupil dan secara klinis ditandai dengan penurunan
kesadaran, disertai adanya lateralisasi yang paling
sering berupa hemiparese/plegi. Pada pemeriksaan
CT Scan didapatkan gambaran hiperdens yang
berupa bulan sabit (cresent). Indikasi operasi jika
perdarahan tebalnya > 1cm dan terjadi pergeseran
garis tengah > 5mm.
c) Intraserebral hematom (ICH) : perdarahan
intraserebral adalah perdarahan yang terjadi pada
jaringan otak biasanya akibat robekan pembuluh
darah yang ada dalam jaringan otak. Pada
pemeriksaan CT Scan indikasi dilakukan operasi
adanya daearah hiperdens, diameter > 3cm, perifer,
adanya pergeseran garis tengah.
2.1.1.5 Patofisiologi
Sebagian besar cedera otak tidak disebabkan oleh
cedera langsung terhadap jaringan otak, tetapi terjadi
sebagai akibat kekuatan luar yang membentur sisi luar
tengkorak. Pada cedera deselerasi, kepala biasanya
membentur suatu objek seperti kaca depan mobil, sehingga
17
terjadi deselerasi tengkorak yang berlangsung tiba – tiba.
Otak tetap bergerak kearah depan, membentur bagian dalam
tengkorak tepat di bawah titik berbentur kemudian berbalik
arah membentur sisi yang berlawanan dengan titik bentur
awal. Jika otak membengkak atau terjadi perdarahan dalam
tengkorak, tekanan intrakranial akan meningkat dan tekanan
perfusi akan menurun (Widyawati, 2012).
Tubuh memiliki refleks perlindungan (respons/
refleks cushing) yang berusaha mempertahankan tekanan
perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan intraserebral
meningkat, tekanan darah sistemik meningkat untuk
mencoba mempertahankan aliran darah otak. Saat keadaan
semakin kritis, denyut nadi menurun (bradikardia) dan
bahkan frekuensi respirasi berkurang. Tekanan dalam
tengkorak terus meningkat hingga titik kritis tertentu
dimana cedera kepala memburuk dan semua tanda vital
terganggu dan berakhir dengan kematian penderita. Jika
terdapat peningkatan intrakranial, hipotensi akan
memperburuk keadaan. Harus dipertahankan tekanan
perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan
tekanan sistolik 100 – 110 mmHg pada penderita cedera
kepala (Widyawati, 2012).
18
2.1.1.6 Komplikasi
Komplikasi utama trauma kepala adalah perdarahan,
infeksi, edema dan herniasi melalui tontronium. Infeksi
selalu menjadi ancaman yang berbahaya untuk cedera
terbuka dan edema dihubungkan dengan trauma jaringan.
Ruptur vaskular dapat terjadi sekalipun pada cedera ringan,
keadaan ini menyebabkan perdarahan di antara tulang
tengkorak dan permukaan serebral. Kompresi otak di
bawahnya akan menghasilkan efek yang dapat
menimbulkan kematian dengan cepat atau keadaan semakin
memburuk (Wong, 2009).
2.1.1.7 Penanganan Cedera Kepala
Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip –
prinsip ABC (Airway, Breathing, Circulation). Keadaan
hipoksemia, hipotensi, anemia akan cenderung
memperhebat peninggian Tekanan intra kranial dan
menghasilkan prognosis yang lebih buruk. Semua cedera
kepala berat memerlukan tindakan intubasi pada
kesempatan pertama.
1. Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam
cedera atau gangguan – gangguan di bagian tubuh
lainnya.
19
2. Pemeriksaan neurologis mencakup respons mata,
motorik, verbal, pemeriksaan pupil, reflek okulosefalik
dan reflek okuloves tubuler. Penilaian neurologis
kurang bermanfaat bila tekanan darah penderita rendah
(syok).
3. Penanganan cedera – cedera dibagian lainnya.
4. Pemberian pengobatan seperti : anti edema serebri, anti
kejang dan natrium bikarbonat.
5. Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti : Scan
tomografi computer otak, angiografi serebral dan
lainnya (Satyanegara, 2010).
2.1.2 Waktu Tanggap atau Respon Time
Penanganan gawat darurat ada filosofinya yaitu Time Saving
it’s Live Saving, artinya seluruh tindakan yang dilakukan pada saat
kondisi gawat darurat haruslah benar-benar efektif dan efisien. Hal
ini mengingatkan pada kondisi tersebut pasien dapat kehilangan
nyawa hanya dalam hitungan menit saja. Berhenti nafas selama 2-3
menit pada manusia dapat menyebabkan kematian yang fatal
(Sutawijaya, 2009 ).
Waktu tanggapmerupakan kecepatan dalam penanganan
pasien, dihitung sejak pasien datang sampai dilakukan penanganan
(Suhartati et al, 2011). Standar IGD sesuai Keputusan Menteri
Kesehatan tahun 2009 bahwa indikator waktu tanggap di IGD adalah
20
harus ≤ 5 menit. Waktu tanggap pelayanan merupakan gabungan
dari waktu tanggap saat pasien tiba di depan pintu rumah sakit
sampai mendapat tanggapan atau respon dari petugas instalasi gawat
darurat dengan waktu pelayanan yaitu waktu yang di perlukan pasien
sampai selesai. Waktu tanggap pelayanan dapat di hitung dengan
hitungan menit dan sangat dipengaruhi oleh berbagai hal baik
mengenai jumlah tenaga maupun komponen - komponen lain yang
mendukung seperti pelayanan laboratorium, radiologi, farmasi dan
administrasi. Waktu tanggap dikatakan tepat waktu atau tidak
terlambat apabila waktu yang diperlukan tidak melebihi waktu rata-
rata standar yang ada (Haryatun, 2005).
Hasil penelitian Haryatun (2005) dengan menghitung waktu
pelayanan pasien gawat darurat, cedera kepala dari pasien masuk
pintu IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta sampai siap keluar dari
IGD didapatkan rata-rata waktu tanggap pelayanan selama 98,33
menit (kategori I resusitasi yaitu pasien memerlukan resusitasi
segera, seperti pasien dengan epidural atau sub dural hematoma,
cedera kepala berat), 79,08 menit (kategori II pasien emergency,
seperti pasien cedera kepala di sertai tanda-tanda syok, apabila tidak
dilakukan pertolongan segera akan menjadi lebih buruk), 78,92
menit (kategori III pasien urgent, seperti cedera kepala disertai luka
robek, rasa pusing), 44,67 menit (kategori IV pasien semi urgent,
keadaan pasien cedera kepala dengan rasa pusing ringan, luka lecet
21
atau luka superficial ), 33,92 menit (Kategori V “false emergency”,
pasien datang bukan indikasi kegawatan menurut medis, cedera
kepala tanpa keluhan fisik), terdapat perbedaan yang signifikan
waktu tanggap tindakan keperawatan pada pasien cedera kepala
kategori I – V dan Pasien cedera kepala kategori I memperoleh
waktu tindakan keperawatan lebih lama dan pasien cedera kepala
kategori V memperoleh waktu keperawatan yang lebih cepat. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan waktu
tanggap tindakan pada pasien cedera kepala kategori I – V.
Triage diambil dari bahasa Perancis “Trier” artinya
mengelompokkan atau memilih (Krisanty, 2009). Triage mempunyai
tujuan untuk memilih atau menggolongkan semua pasien yang
memerlukan pertolongan dan menetapkan prioritas penanganannya
(Oman, 2008). Triage memiliki fungsi penting di IGD terutama
apabila banyak pasien datang pada saat yang bersamaan. Hal ini
bertujuan untuk memastikan agar pasien ditangani berdasarkan
urutan kegawatannya untuk keperluan intervensi. Triage juga
diperlukan untuk penempatan pasien ke area penilaian dan
penanganan yang tepat serta membantu untuk menggambarkan
keragaman kasus di IGD (Gilboy, 2005).
Fitzgerald et al (2009) menyatakan di Australia pengembangan
sistem Triage lebih formal dimulai dengan pengamatan perilaku
Triage perawat. Sementara ada banyak variabilitas dalam sistem
22
Triage, pengamatan ini mengidentifikasi beberapa tindakan
konsisten dan berbeda berikut penilaian. Tindakan ini ditentukan
oleh urgensi pasien dan termasuk :
1. Untuk segera menghubungi tenaga medis dan resusitasi segera.
2. Untuk menetapkan pasien ke dokter tersedia berikutnya.
3. Untuk menempatkan data pasien di depan daftar tunggu.
4. Untuk menempatkan data pasien dalam urutan dalam daftar
tunggu.
5. Untuk mendorong pasien untuk mencari bantuan di tempat lain
atau lain waktu.
Triage adalah fungsi penting di Emergency Department,
dimana banyak pasien dapat hadir secara bersamaan. Urgensi
mengacu pada kebutuhan untuk time critical intervensi, tidak identik
dengan tingkat keparahan. Pasien Triage untuk menurunkan
ketajaman kategori mungkin aman untuk menunggu lebih lama
untuk penilaian dan pengobatan tetapi mungkin masih memerlukan
masuk rumah sakit.
Kriteria Triage :
1. Daerah penilaian Triage harus segera dapat diakses dan jelas
tanda pos (tanda Triage). Daerah Triage harus memungkinkan
untuk:
a. Pemeriksaan pasien
b. Alat komunikasi antara area masuk dan Penilaian
23
c. Privasi
2. Akan ada strategi untuk melindungi staf
3. Standar yang sama untuk Triage kategorisasi harus menerapkan
semua pengaturan Emergency Department. Harus diingat namun
bahwa gejala dilaporkan oleh orang dewasa mungkin kurang
signifikan dari pada gejala yang sama ditemukan pada anak dan
dapat membuat anak urgensi yang lebih besar.
4. Korban trauma harus dialokasikan Triage kategori menurut
urgensi klinis mereka secara objektif. Seperti dengan situasi
klinis lain, ini akan mencakup pertimbangan sejarah berisiko
tinggi serta pemeriksaan fisik singkat (umum penampilan +/-
fisiologis pengamatan).
5. Pasien dengan kesehatan mental atau masalah-masalah kelakuan
harus Triage menurut mereka klinis dan situasional urgensi,
seperti dengan pasien Emergency Department lain. Mana
masalah fisik dan perilaku hidup berdampingan, Triase tertinggi
sesuai kategori harus diterapkan berdasarkan gabungan
presentasi.
Persyaratan peralatan :
1. Peralatan darurat
2. Fasilitas untuk menggunakan standar pencegahan (fasilitas cuci
tangan, sarung tangan)
3. Perangkat komunikasi yang memadai (telepon atau interkom dll)
24
4. Fasilitas untuk rekaman Triage informasi.
Tabel 1.2 Skala Kategori Triage Australia
(Australian College of Emergency Medicine. 2000)
Skala Kategori Triage
Australia
Ketajaman
(Waktu tunggu maksimal)
Kategori 1 Segera
Kategori 2 10 menit
Kategori 3 30 menit
Kategori 4 60 menit
Kategori 5 120 menit
Keterangan :
1. Kategori 1
Kondisi segera mengancam kehidupan, kondisi yang
memerlukan intervensi sesegera mungkin agresif dan ancaman
terhadap kehidupan (atau risiko kerusakan). Klinis deskriptor
(hanya untuk indikasi) : Gagal jantung, sesak nafas, risiko
langsung ke saluran napas, pernapasan < 10 menit, tekanan
darah < 80 (dewasa), GCS < 9, kejang berkepanjangan,
intravena overdosis dan tidak responsif atau hipoventilasi,
gangguan perilaku berat dengan ancaman kekerasan berbahaya.
2. Kategori 2
Penilaian dan pengobatan dalam waktu 10 menit, kondisi
pasien cukup serius atau memburuk begitu cepat bahwa ada
potensi ancaman terhadap kehidupan, atau kegagalan sistem
organ, jika tidak ditangani dalam waktu sepuluh menit
25
kedatangan atau pengobatan waktu kritis yang penting potensi
pengobatan waktu-kritis (misalnya simtoma para klinis) untuk
membuat dampak signifikan pada hasil klinis tergantung pada
perawatan yang bermula dalam beberapa menit kedatangan
pasien di Emergency Department atau sangat nyeri. Airway
risiko, stridor parah atau grogling dengan tekanan, kesulitan
pernapasan yang parah, perfusi menurun, heat rate< 50,
hipotensi dengan efek hemodinamik, perdarahan banyak, nyeri
dada mungkin jantung GCS < 13, akut hemiparesis/dysphasia,
demam dengan tanda-tanda kelesuan (semua usia), asam atau
alkali splash mata memerlukan irigasi terutama pasien multi
trauma (memerlukan respon cepat), trauma lokal parah terutama
fraktur, amputasi berisiko tinggi, perilaku/kejiwaan: kekerasan
atau agresif ancaman terhadap diri sendiri atau orang lain
membutuhkan atau diperlukan pengekangan berat agitasi atau
agresi.
3. Kategori 3
Penilaian dan pengobatan mulai dalam waktu 30 menit
berpotensi mengancam kehidupan kondisi pasien mungkin
kemajuan untuk hidup atau mengancam ekstremitas, atau
mungkin menyebabkan signifikan morbiditas, jika penilaian dan
pengobatan tidak dimulai dalam waktu tiga puluh menit
kedatangan. Atau urgensi situasional ada potensi buruk jika time
26
critical pengobatan tidak dimulai dalam waktu tiga puluh menit.
Klinis deskriptor (hanya untuk indikasi): hipertensi, kehilangan
darah yang cukup banyak, sesak napas, SAO2 90-95%, kejang,
demam, muntah, dehidrasi, cedera kepala ringan sakit cukup
parah, dada sakit, sakit perut tanpa risiko tinggi, cedera
ekstremitas, luka parah, trauma akut, perilaku/kejiwaan: risiko
sangat sedih, menyakiti diri akut psikosis atau berpikir teratur
situasional krisis, disengaja merugikan diri, gelisah / ditarik dan
berpotensi agresif.
4. Kategori 4
Penilaian dan pengobatan mulai dalam waktu 60 menit.
Berpotensi mengancam kehidupan kondisi pasien mungkin
kemajuan untuk hidup atau mengancam ekstremitas, atau
mungkin menyebabkan signifikan morbiditas, jika penilaian dan
pengobatan tidak dimulai dalam waktu tiga puluh menit
kedatangan. Klinis deskriptor (hanya untuk indikasi),
perdarahan ringan, sesak nafas ringan, cedera dada tanpa sakit
tulang rusuk atau kesulitan pernapasan, kesulitan
menelan,cedera kepala ringan, tanpa kehilangan kesadaran,
muntah atau diare tanpa dehidrasi, trauma ekstremitas kecil -
terkilir pergelangan kaki, mungkin fraktur, tidak ada gangguan
neurovaskular, bengkak sendi panas, tidak nyeri perut,
perilaku/kejiwaan : Masalah kesehatan mental semi mendesak di
27
bawah pengawasan dan/atau risiko tidak langsung untuk diri
sendiri atau orang lain.
5. Kategori 5
Penilaian dan pengobatan mulai dalam 120 menit kurang
urgen kondisi pasien kronis atau cukup kecil bahwa gejala atau
hasil klinis tidak akan secara signifikan terpengaruh jika
penilaian dan pengobatan tertunda sampai dua jam dari
kedatangan. Klinis deskriptor (hanya untuk indikasi), sakit yang
minimal dengan tidak ada risiko tinggi, luka kecil - kecil lecet,
luka kecil (tidak memerlukan jahitan), perilaku/kejiwaan:
Dikenal pasien dengan gejala kronik sosial krisis, klinis pasien
baik.
2.1.3 Konsep Peran Perawat
Perawat menurut UU RI. No. 23 tahun 1992 tentang
kesehatan, perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan
kewenangan melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu
yang dimiliki, diperoleh melalui pendidikan keperawatan. Tyailor C.
Lilis C. Lemone (1989) mendefinisikan perawat adalah seseorang
yang berperan dalam merawat atau memelihara, membantu dengan
melindungi seseorang karena sakit, luka dan proses penuaan.
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan dari
masyarakat sesuai dengan kedudukannya di masyarakat. Peran
perawat adalah seperangkat tingkah laku yang dilakukan oleh
28
perawat sesuai dengan profesinya. Peran perawat dipengaruhi oleh
keadaan sosial dan bersifat tetap (Kusnanto, 2004). Peran perawat
adalah tingkah laku perawat yang diharapkan oleh orang lain untuk
berproses dalam sistem sebagai pemberi asuhan, pembela pasien,
pendidik, koordinator, kolaborator, konsultan, dan pembaharu
(Ali, 2002).
1. Peran Perawat
Peran perawat dalam melakukan perawatan diantaranya:
a. Care giver atau Pemberi asuhan keperawatan
Perawat memberikan asuhan keperawatan profesional
kepada pasien meliputi pengkajian, diagnosa, intervensi,
implementasi hingga evaluasi. Selain itu, perawat
melakukan observasi yang kontinu terhadap kondisi pasien,
melakukan pendidikan kesehatan, memberikan informasi
yang terkait dengan kebutuhan pasien sehingga masalah
pasien dapat teratasi (Susanto, 2012).
b. Client advocate atau Advokator
Perawat sebagai advokator berfungsi sebagai
perantara antara pasien dengan tenaga kesehatan lain.
Perawat membantu pasien dalam memahami informasi yang
didapatkan, membantu pasien dalam mengambil keputusan
terkait tindakan medis yang akan dilakukan serta
memfasilitasi pasien dan keluarga serta masyarakat dalam
29
upaya peningkatan kesehatan yang optimal (Kusnanto,
2004).
c. Client educator atau Pendidik
Perawat sebagai pendidik menjalankan perannya
dalam memberikan pengetahuan, informasi, dan pelatihan
ketrampilan kepada pasien, keluarga pasien maupun
anggota masyarakat dalam upaya pencegahan penyakit dan
peningkatan kesehatan (Susanto, 2012). Perawat sebagai
pendidik bertugas untuk memberikan pengajaran baik
dalam lingkungan klinik, komunitas, sekolah, maupun pusat
kesehatan masyarakat (Brunner & Suddarth, 2003). Perawat
sebagai pendidik berperan untuk mendidik dan mengajarkan
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat, serta tenaga
kesehatan lain sesuai dengan tanggung jawabnya. Perawat
sebagai pendidik berupaya untuk memberikan pendidikan
atau penyuluhan kesehatan kepada klien dengan evaluasi
yang dapat meningkatkan pembelajaran (Wong, 2009).
d. Change agent atau Agen pengubah
Perawat sebagai agen pengubah berfungsi membuat
suatu perubahan atau inovasi terhadap hal-hal yang dapat
mendukung tercapainya kesehatan yang optimal. Perawat
mengubah cara pandang dan pola pikir pasien, keluarga,
30
maupun masyarakat untuk mengatasi masalah sehingga
hidup yang sehat dapat tercapai (Susanto, 2012).
e. Peneliti
Perawat sebagai peneliti yaitu perawat melaksanakan
tugas untuk menemukan masalah, menerapkan konsep dan
teori, mengembangkan penelitian yang telah ada sehingga
penelitian yang dilakukan dapat bermanfaat untuk
peningkatan mutu asuhan dan pelayanan keperawatan
(Susanto, 2012). Perawat sebagai peneliti diharapkan
mampu memanfaatkan hasil penelitian untuk memajukan
profesi keperawatan (Sudarma, 2008).
f. Consultant atau Konsultan
Perawat sebagai tempat untuk konsultasi bagi pasien,
keluarga dan masyarakat dalam mengatasi masalah
kesehatan yang dialami klien. Peran ini dilakukan oleh
perawat sesuai dengan permintaan klien (Kusnanto, 2004).
g. Collaborator atau Kolaborasi
Peran perawat sebagai kolaborator yaitu perawat
bekerja sama dengan anggota tim kesehatan lainnya dalam
memberikan pelayanan kepada klien (Susanto, 2012).
31
2.1.4 Faktor –Faktor Yang Mempengaruhi Peran Perawat.
Dalam menilai ketrampilan seseorang yang dalam hal ini
waktu tanggap perawat, bisa saja dipengaruhi adanya faktor lain
keadaan ini tergantung dari motivasi perawat dalam mempraktikkan
ketrampilan kerja yang didapat dari pendidikannya. Banyak faktor-
faktor yang mempengaruhi prestasi kerja, menurut Mangkunegara
(2007) faktor-faktor tersebut antara lain: Faktor kemampuan dan
Faktor motivasi. Motivasi merupakan kemauan atau keinginan
didalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertindak
(Depkes RI, 2002).
Widiasih (2008), menyatakan keberhasilan pelayanan gawat
darurat dipengaruhi oleh 3 kesiapan, yaitu kesiapan mental artinya
petugas harus siap dalam 24 jam dan tidak dapat ditunda, kemudian
kesiapan pengetahuan teoritis dan fatofisiologi berbagai organ tubuh
yang penting dan keterampilan manual untuk tindakan dalam
pertolongan pertama. Yang ketiga kesiapan alat dan obat-obatan
darurat yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam
memberikan pertolongan kepada pasien gawat darurat.
Nursalam (2001), menjelaskan peran perawat dalam intervensi
keperawatan harus berdasarkan pada kewenangan dan tanggung
jawab secara profesional meliputi tindakan dependen, independen
dan interdependen.
32
2.1.5 Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Waktu Tanggap.
Yoon et al (2003) mengemukakan faktor internal dan
eksternal yang mempengaruhi keterlambatan penanganan kasus
gawat darurat antara lain karakter pasien, penempatan staf,
ketersediaan tandu dan petugas kesehatan, waktu ketibaan pasien,
pelaksanaan manajemen, strategi pemeriksaan dan penanganan yang
dipilih. Hal ini bisa menjadi pertimbangan dalam menentukan
konsep tentang waktu tanggap penanganan kasus di IGD rumah
sakit.
Hasil penelitian Sabriyati (2012) menyatakan bahwa faktor
yang lebih dominan berhubungan dengan ketepatan waktu tanggap
IGD Bedah yaitu ketersediaan petugas Triage. Menurut
Sastrohadiwiryo (2002) semakin lama seseorang bekerja semakin
banyak kasus yang ditanganinya sehingga semakin meningkat
pengalamannya, sebaliknya semakin singkat orang bekerja maka
semakin sedikit kasus yang ditanganinya.
33
2.2 KERANGKA TEORI
Konsep cedera
kepala:
1. Definisi cedera
kepala
2. Klasifikasi
3. Etiologi
4. Manifestasi
klinis
5. Patofisiologi
6. Komplikasi
7. Penanganan
cedera kepala
Konsep waktu
tanggap:
1. Ketepatan
waktu
tanggap
2. Pengelompok
aan pasien
sesuai Triage
Konsep peran
perawat :
1. Care giver/
Pemberi
asuhan
keperawatan
2. Client
advocate atau
Advokator
3. Client
educator atau
Pendidik
4. Change agent
atau Agen
pengubah
5. Peneliti
6. Consultant
atau
Konsultan
7. Collaborator
atau
Kolaborasi
Faktor yang mempengaruhi peran perawat :
1. Kemampuan perawat.
2. Motivasi perawat
3. Kesiapan mental perawat
4. Pengetahuan perawat
5. Kesiapan alat dan obat-obatan
darurat
Faktor yang mempengaruhi waktu tanggap:
1) Karakter pasien
2) Penempatan staf
3) Ketersediaan tandu dan petugas kesehatan
4) Waktu ketibaan pasien
5) Pelaksanaan manajemen
6) Strategi pemeriksaan dan penanganan yang dipilih
7) Lama kerja
8) Petugas Triage
34
2.3 FOKUS PENELITIAN
Keterangan :
: Diteliti
Cedera kepala adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur
tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak itu
sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis. Pasien yang mengalami
cedera kepala akan mengalami pembengkakan otak atau terjadi perdarahan
dalam tengkorak, tekanan intrakranial akan meningkat dan tekanan perfusi
akan menurun. Saat keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun
Kasus cedera
kepala
Faktor
penghambat
Faktor pendukung
Harapan
Peran perawat
dalam penanganan
cedera kepala
Waktu tanggap
35
(bradikardia) dan bahkan frekuensi respirasi berkurang. Tekanan dalam
tengkorak terus meningkat hingga titik kritis tertentu dimana cedera kepala
memburuk dan semua tanda vital terganggu dan berakhir dengan kematian
penderita. Oleh sebab itu pasien dengan cedera kepala memerlukan tindakan
keperawatan yang cepat dan tepat. Keterlambatan tindakan keperawatan
pasien cedera kepala dapat menyebabkan kecacatan dan kematian. Perawat
di IGD dituntut untuk selalu menjalankan perannya di berbagai situasi dan
kondisi yang meliputi tindakan penyalamatan pasien secara profesional
khusunya penanganan pada pasien cedera kepala.
Perawat yang bertugas di IGD adalah perawat yang dituntut untuk
melakukan tindakan kegawat daruratan secara cepat, tepat dan tanggap
khususnya pada penanganan pasien cedera kepala. Bagi perawat di IGD
tuntutan tersebut akan menjadi beban kerja tersendiri dalam menangani
pasien yang datang di IGD, dengan jumlah, tingkat kegawatan pasien,
situasi dan kondisi yang datang tidak bisa di perkirakan. Pada penelitian ini
akan dilakukan penelitian tentang mengidentifikasi peran perawat dan
mengetahui persepsi perawat mengenai kasus cedera kepala serta tindakan
perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus
cedera kepala di instalasi gawat darurat, harapan perawat dalam melakukan
ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat
darurat, faktor – faktor yang mendukung dan menghambat perawat dalam
melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di
36
instalasi gawat darurat terhadap ketepatan waktu tanggap penanganan kasus
cedera kepala.
2.4 KEASLIAN PENELITIAN
Tabel 1.3 Keaslian penelitian
Nama peneliti Judul penelitian Metode yang di
gunakan Hasil penelitian
Nunuk
Haryatun
( 2005 ).
Perbedaan Waktu
Tanggap Tindakan
Keperawatan
Pasien
Cedera Kepala
Kategori 1 – V Di
Instalasi Gawat
Darurat Rsud Dr.
Moewardi
Jenis penelitian
: kuantitatif,non
eksperimental
Metode :
deskriptif
observasional
1. Terdapat perbedaan
yang signifikan waktu
tanggap tindakan
keperawatan pada
pasien
cedera kepala kategori
I - V.
2. Pasien cedera kepala
kategori I
memperoleh
waktu tindakan
keperawatan lebih
lama dan
pasien cedera kepala
kategori V
memperoleh
waktu keperawatan
yang lebih cepat.
Vitrise Maatilu
( 2014 ).
Faktor-Faktor
Yang Berhubungan
Dengan Response
Time Perawat Pada
Penanganan Pasien
Gawat Darurat
Di Igd Rsup Prof.
Dr . R. D. Kandou
Manado
Jenis penelitian :
kuantitatif
Metode : survey
analitik
1. Response time
perawat dalam
penanganan kasus
gawat darurat di IGD
RSUP Prof Dr. R. D.
Kandou Manado rata-
rata lambat yaitu lebih
dari 5 menit.
2. Tidak adanya
hubungan antara
pendidikan perawat
dengan response time
perawat pada
penanganan pasien
gawat darurat.
3. Tidak adanya
37
hubungan antara
pengetahuan perawat
dengan response time
perawat pada
penanganan pasien
gawat darurat.
4. Tidak adanya
hubungan antara lama
kerja perawat dengan
response time perawat
pada penanganan
pasien gawat darurat.
5. Tidak adanya
hubungan antara
pelatihan perawat
dengan response time
perawat pada
penanganan pasien
gawat darurat.
Wa Ode Nur
Isnah Sabriyati
( 2012 ).
Faktor-Faktor
Yang Berhubungan
Dengan Ketepatan
Waktu Tanggap
Penanganan Kasus
Pada Response
Time I Di Instalasi
Gawat Darurat
Bedah Dan Non-
Bedah Rsup Dr.
Wahidin
Sudirohusodo
Jenis penelitian :
kuantitatif
Metode
penelitian :
cross sectional
study
Waktu tanggap
penanganan kasus IGD
bedah yang tepat
sebanyak 67,9% dan
tidak tepat 32,1%.
Waktu tanggap
penanganan kasus IGD
Non-Bedah yang tepat
sebanyak 82,1% dan
tidak tepat 17,9%. Tidak
terdapat hubungan yang
bermakna antara pola
penempatan staf dengan
ketepatan waktu tanggap
penanganan kasus di
IGD Bedah (p = 0,67)
dan Non-Bedah (p =
0,062). Terdapat
hubungan yang
bermakna antara
ketersediaan stretcher
dengan ketepatan waktu
tanggap penanganan
kasus IGD Bedah ((p =
0,006; PR = 9,217) dan
Non-Bedah (p = 0,026;
PR = 1,995). Terdapat
38
hubungan yang
bermakna antara
ketersediaan petugas
triase dengan ketepatan
waktu tanggap
penanganan kasus IGD
Bedah (p = 0,006; PR =
2,97), namun tidak
terdapat hubungan yang
bermakna di IGD Non-
Bedah (p = 0,207). Tidak
terdapat hubungan yang
bermakna antara waktu
tiba pasien dengan
ketepatan waktu tanggap
penanganan kasus IGD
Bedah (p = 0,407) dan
Non- Bedah (p = 1,000).
Faktor yang lebih
dominan berhubungan
dengan ketepatan waktu
tanggap IGD Bedah
yaitu ketersediaan
petugas triase (PR =
3,555) dan ketersediaan
stretcher (PR = 3,555).
Pada IGD Non-Bedah,
faktor yang dominan
yaitu ketersediaan
stretcher (PR = 1,239). Etty Nurul
Afidah, (2013) Gambaran
Pelaksanaan Peran
Advokat Perawat
Di
Rumah Sakit
Negeri Di
Kabupaten
Semarang
Jenis penelitian :
kualitatif
Metode
penelitian :
pendekatan
fenomenologis
Penelitian ini
menghasilkan 3 tema
yaitu definisi peran
advokasi perawat,
pelaksanaan tindakan
peran advokasi perawat
dan faktor yang
mempengaruhi
pelaksanaan peran
advokasi
perawat. Definisi peran
advokasi perawat yaitu
tindakan perawat untuk
memberikan informasi
dan
bertindak atas nama
39
pasien. Pelaksanaan
tindakan peran advokasi
meliputi memberi
informasi, menjadi
mediator dan melindungi
pasien. Faktor yang
mempengaruhi
pelaksanaannya terdiri
dari faktor
penghambat dan faktor
pendukung. Faktor yang
menjadi penghambat
antara lain:
kepemimpinan dokter,
lemahnya dukungan
organisasi, kurangnya
perhatian terhadap
advokasi, kurangnya
jumlah tenaga
perawat, kondisi
emosional keluarga,
terbatasnya fasilitas
kesehatan dan lemahnya
kode etik. Sementara
itu faktor yang
mendukung meliputi:
kondisi pasien,
pengetahuan tentang
kondisi pasien,
pendidikan
keperawatan yang
semakin tinggi,
kewajiban perawat dan
dukungan instansi rumah
sakit. Virgianti Nur
Faridah, (2009) Hubungan
Pengetahuan
Perawat Dan Peran
Perawat Sebagai
Pelaksana Dalam
Penanganan Pasien
Gawat Darurat
Dengan Gangguan
Sistem
Kardiovaskuler
Jenis penelitian :
Observasional
Metode
penelitian :
”cross
sectional”.
1. Responden yang
mempunyai peran
kurang 0 %,
kemudian peran yang
cukup sebesar 36,36
% dan responden
yang mempunyai
peran yang baik
sebesar 63,64 % yang
merupakan kelompok
yang terbanyak.
40
2. Pengetahuan perawat
tentang penanganan
pasien gawat darurat
dengan gangguan
sistem kardiovaskuler
dengan tingkat
pengetahuan baik
sebesar 63,64 % yang
merupakan kelompok
terbesar, sedangkan
tingkat pengetahuan
cukup sebesar 27,27
% dan tingkat
pengetahuan kurang
sebesar 9,09 %.
3. Dari hasil uji statistik
dengan menggunakan
analisa Spearman’s
rho didapatkan nilai
rho = 0,455 dengan
taraf signifikasi 0,033
pada derajat
kemaknaan 0,05. Bila
dibandingkan dengan
nilai rho tabel yaitu
0,428 dapat dilihat
bahwa rho hitung
lebih besar daripada
nilai rho tabel maka
terdapat hubungan
pengetahuan terhadap
peran perawat sebagai
pelaksana dalam
penanganan pasien
gawat darurat dengan
gangguan sistem
kardiovaskuler.
41
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologis deskriptif yang diarahkan untuk mengidentifikasi peran perawat
dan persepsi perawat mengenai kasus cedera kepala, tindakan perawat, harapan,
faktor – faktor yang mendukung dan menghambat peran perawat terhadap
ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala. Lokasi penelitian ini di
IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta dengan jumlah partisipan 5 perawat yang
bekerja di ruang IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Instrumen yang digunakan
dalam penelitian ini meliputi peneliti sebagai instrumen inti dan instrumen
penunjang yaitu berupa smartphone yang dilengkapi dengan perekam suara voice
recorder, bolpoin, dan kertas untuk field note. Data dikumpulkan melalui indepth
interview yang diolah menjadi transkip kemudian dilakukan observasi untuk
menyajikan gambaran realistis perilaku atau kejadian, untuk menjawab pertanyaan
dan untuk evaluasi. Analisis data pada penelitian ini menggunakan tujuh analisis
model Colaizzi dalam memahami serta menginterprestasikan data. Penelitian ini
telah melalui pertimbangan etik dan kriteria keabsahan data yang harus dipenuhi
dalam penelitian kualitatif.
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan fenomenologis deskriptif yang diarahkan untuk
42
mengidentifikasi peran perawat dan mengetahui persepsi, harapan, faktor –
faktor yang mendukung dan menghambat peran perawat terhadap ketepatan
waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di IGD RSUD Dr
Moewardi Surakarta. Penelitian kualitatif efektif digunakan untuk
memperoleh informasi yang spesifik mengenai nilai, opini, perilaku dan
konteks sosial menurut keterangan populasi (Saryono, 2010). Pendekatan
fenomenologis merupakan pendekatan yang berusaha untuk memahami
makna dari berbagai peristiwa dan interaksi manusia didalam situasinya
yang khusus. Fenomenologi menggambarkan riwayat hidup seseorang
dengan cara menguraikan arti dan makna hidup serta pengalaman suatu
peristiwa yang di alaminya (Sutopo, 2006).
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Instalasi Gawat Darurat (IGD) sebagai gerbang utama penanganan
kasus gawat darurat di rumah sakit memegang peranan penting dalam upaya
penyelamatan hidup klien. RSUD Dr. Moewardi adalah rumah sakit daerah
Surakarta yang merupakan rumah sakit dengan tipe kelas A yang jumlah
pasiennya diharapkan lebih banyak dari rumah sakit lain di daerah Surakarta
dan sumber daya manusia (perawat) dapat mendukung penelitian ini
khususnya perawat di ruang IGD yang menangani kasus cedera kepala, oleh
karena itu penelitian ini dilakukan di IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Ruangan yang digunakan dalam proses wawancara adalah ruang istirahat,
ruang partisipan dan ruangan kepala ruang IGD RSUD Dr. Moewardi
43
Surakarta. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari – Maret 2015
sesuai dengan surat pengajuan penelitian di RSUD Dr. Moewardi Surakarta
(Jadwal terlampir).
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Pada kasus cedera kepala di Instalasi Gawat Darurat suatu
Rumah Sakit, orang yang berperan dalam melakukan pertolongan
pertama adalah perawat. Peran perawat sangat dominan dalam
melakukan penanganan kasus cedera kepala. Ketepatan waktu
tanggap adalah suatu bentuk dari penanganan kasus cedera kepala
yang dilakukan oleh perawat dalam menangani kasus gawat darurat,
oleh karena itu populasi pada penelitian ini adalah 33 perawat yang
bekerja di ruang IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
3.3.2 Sampel
Pada penelitian peran perawat terhadap ketepatan waktu
tanggap penananganan kasus cedera kepala di IGD RSUD Dr.
Moewardi Surakarta dibutuhkan tehnik sampling dan kriteria
partisipan sesuai dengan kebutuhan peneliti. Teknik sampling yang
digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling yaitu
metode pemilihan partisipan dalam suatu penelitian dengan
menentukan terlebih dahulu kriteria yang akan dimasukkan dalam
44
penelitian, dimana partisipan yang diambil dapat memberikan
informasi yang berharga bagi penelitian (Sutopo, 2006).
Untuk memenuhi kecukupan sample peneliti menggunakan
kriteria yang digunakan dalam penelitian. Jika dalam sample
penelitian sudah tercapai kriteria penelitian, maka akan dilakukan
pengambilan data sesuai sample yang memenuhi kriteria peneliti.
Data mengenai perawat yang pernah menangani kasus cedera kepala
diperoleh dari buku dokumentasi perawat dan rekomendasi kepala
ruang kemudian dikonfirmasi langsung ke partsisipan. Jumlah
perawat yang pernah menangani kasus cedera kepaala adalah 5
perawat yang telah memenuhi kriteria peneliti, sehingga penelitian
ini menggunakan 5 partisipan.
Karakteristik kelima partisipan yang bersedia dilakukan
wawancara adalah sebagai berikut: partisipan satu (P1) adalah
seorang laki – laki usia 43 tahun, pendidikan terakhir D4 emergency
dengan pengalaman kerja di IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta
selama 23 tahun. Partisipan kedua (P2) seorang laki – laki usia 34
tahun, pendidikan terakhir S1 ners dengan pengalaman kerja di IGD
RSUD Dr. Moewardi Surakarta selama 8 tahun. Partisipan yang
ketiga (P3) seorang perempuan usia 44 tahun, pendidikan terakhir S1
keperawatan dengan pengalaman kerja di IGD RSUD Dr. Moewardi
Surakarta selama 8 tahun. Partisipan keempat (P4) seorang
perempuan usia 37 tahun, pendidikan terakhir D3 keperawatan
45
dengan pengalaman kerja di IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta
selama 12 tahun. Partisipan kelima (P5) seorang laki – laki usia 43
tahun, pendidikan terakhir D3 keperawatan dengan pengalaman
kerja di IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta selama 15 tahun.
Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini telah
dianggap memenuhi dan mencapai saturasi data dimana tidak
ditemukannya tema baru atau penambahan sample itu dihentikan,
jika datanya sudah jenuh dan pengambilan data akan langsung
dihentikan oleh peneliti.
Sampel yang diambil pada partisipan sesuai kriteria penelitian
pada partisipan adalah :
1. Perawat yang bekerja Di IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
2. Mampu berkomunikasi dengan baik.
3. Pendidikan minimal Diploma III Keperawatan.
4. Telah bekerja minimal 1 Tahun di IGD.
5. Mempunyai pengalaman menangani pasien cedera kepala.
6. Mempunyai pengalaman atau pernah mengikuti pelatihan
kegawat daruratan.
7. Bersedia menjadi partisipan.
46
3.4 Instrumen dan Pengumpulan Data
3.4.1 Instrumen
Pada penelitian ini menggunakan dua instrumen penelitian yaitu :
1. Instrumen Inti Penelitian
Pada inti penelitian peran perawat terhadap ketepatan
waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di IGD di
RSUD Dr. Moewardi Surakarta adalah peneliti itu sendiri. Pada
penelitian kualitatif yang menjadi alat atau penelitian adalah
peneliti itu sendiri (Sugiyono, 2012). Peneliti sendiri adalah
seorang mahasiswa dari program studi S1 keperawatan STIKes
Kusuma Husada Surakarta yang ingin melakukan penelitian dan
ingin mendalami tentang peran perawat dalam menangani kasus
kegawat daruratan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta khususnya
ketepatan waktu tanggap dan penanganan kasus cedera kepala.
2. Instrumen Penunjang Penelitian
Supaya hasil wawancara dapat terekam dengan baik, dan
peneliti memiliki bukti telah melakukan wawancara kepada
informan atau sumber data, maka dalam penelitian ini
dibutuhkan alat penunjang penelitian sebagai berikut :
a. Lembar Inform Consent berfungsi sebagai bukti persetujuan
informan dalam penelitian yang akan dilakukan oleh
peneliti.
47
b. Lembar alat pengumpul data mengenai nama, usia, alamat,
dan lama kerja
c. Lembar pertanyaan berfungsi untuk pedoman dalam
melakukan wawancara penelitian.
d. Voice recorder Smartphone berfungsi untuk merekam
suara semua percakapan atau pembicaraan. Penggunaan
voice recorder dalam wawancara perlu memberi tahu
kenapa informan apakah dibolehkan atau tidak.
e. Alat tulis berfungsi untuk menulis segala sesuatu yang
penting dalam penelitian.
f. Lembar catatan lapangan berfungsi untuk catatan peneliti
dalam penelitian yang telah dilakukan.
g. Lembar observasi berfungsi sebagai alat pengumpul data
dalam melakukan observasi.
h. Kamera berfungsi untuk memotret kalau peneliti sedang
melakukan pembicaraan dengan informan/sumber data.
Dengan adanya foto ini, maka dapat meningkatkan
keabsahan penelitian akan lebih terjamin, karena peneliti
betul – betul melakukan pengumpulan data.Kamera yang
digunakan adalah kamera handphone 8 megapixel.
48
3.4.2 Pengumpulan Data
3.4.2.1 Data
Data yang dihasilkan dari penelitian ini berupa data
verbal atau transkip verbatim yang didapatkan dari hasil
wawancara mendalam dengan tehnik wawancara
semistruktur kepada perawat yang mempunyai pengalaman
menangani kasus cedera kepala di IGD RSUD Dr.
Moewardi Surakarta. Hasil yang didapatkan selama proses
wawancara kemudian ditransfer ke dalam notebook berupa
file MP3 dan didengarkan terus menerus untuk ditulis
dalam bentuk transkip wawancara. Hal tersebut dilakukan
pada semua data rekaman partisipan. Data yang sudah
dalam bentuk transkip kemudian dibaca berulang kali untuk
diinterprestasikan menjadi sebuah hasil penelitian.
3.4.2.2 Prosedur pengumpulan data
1. Tahap persiapan
Pengumpulan data akan di mulai setelah peneliti
menyelesaikan ujian proposal dan diperbolehkan
melakukan pengambilan data dilapangan. Peneliti
mengurus surat ijin pengambilan data yang di
keluarkan oleh Program Studi S1 Keperawatan STIKes
Kusuma Husada Surakarta kepada Direktur RSUD Dr.
Moewardi Surakarta. Pengurusan surat ijin dan
49
keterangan laik etik ke bagian diklat. Ijin yang
diberikan oleh Direktur RSUD Dr. Moewardi Surakarta
selanjutnya dipergunakan oleh peneliti sebagai ijin
masuk dalam pengambilan data kepada perawat dengan
berkoordinasi mengenai kriteria inklusi partisipan
kepada kepala ruang IGD RSUD Dr. Moewardi
surakarta.
Partisipan yang memenuhi kriteria inklusi
kemudian diberikan penjelasan mengenai maksud dan
tujuan penelitian serta dampak yang mungkin terjadi
pada proses pengumpulan data. Peneliti memberitahu
kepada partisipan bahwa akan dilakukan perekaman
wawancara dan pengambilan gambar serta observasi
mengenai peran perawat terhadap ketepatan waktu
tanggap penanganan kasus cedera kepala, setelah
diberikan penjelasan partisipan diminta kesediaannya
untuk menanda tangani lembar persetujuan menjadi
partisipan. Selanjutnya peneliti dan partisipan membuat
kontrak waktu dan tempat untuk proses pengambilan
data.
2. Tahap pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan peneliti menyiapakan
instrumen inti dan penunjang. Instumen ini disiapkan
50
dengan melatih ketrampilan wawancara kepada perawat
yang bukan menjadi partisipan, kemudian peneliti
melakukan pengembangan diri terhadap proses
wawancara. Instrumen penunjang yang disiapkan
meliputi buku, catatan, bolpoint, pedoman pertanyaan
dan kamera untuk mendokumentasikan gambar pada
saat wawancara. Alat perekam yang sudah di pastikan
dapat digunakan kembali diperiksa dengan baik.
Lembar obseravasi, buku catatan dan bolpoint
disiapkan dengan baik kemudian peneliti bertemu
dengan partisipan.
Peneliti datang sesuai dengan waktu dan tempat
yang telah disepakati sebelumnya dengan partisipan.
Peneliti melakukan wawancara secara mendalam.
Peneliti menggunakan pedoman pertanyaan yang berisi
garis besar pertanyaan yang diajukan kepada partisipan,
pertanyaan wawancara dikembangkan dari jawaban
partisipan tetapi tetap tidak keluar dari pedoman yang
telah dibuat. Partisipan diberikan kebebasan untuk
memberikan informasi selengkapnya dan seleluasa
mungkin. Sehingga pertanyaan dan hasil wawancara
yang diperoleh bervariasi untuk setiap partisipan.
51
Partisipan 1 waktu wawancara pukul 10.30 – 10.45
wib (15 menit) hari selasa tanggal 14 – 04 – 2015
tempat diruang tindakan non bedah IGD. Partisipan 2
Waktu wawancara pukul 10.55 – 11.10 wib (15 menit)
hari selasa tanggal 14 – 04 – 2015 tempat ruang
tindakan non bedah IGD. Partisipan 3 waktu
wawancara pukul 11.20 – 11.40 wib (20 menit) hari
selasa tanggal 14 – 04 – 2015 tempat diruang tindakan
non bedah IGD. Partisipan 4 waktu wawancara pukul
11.45 – 12.10 wib (25 menit) hari selasa tanggal 14 –
04 – 2015 tempat diruang tindakan non bedah IGD.
Partisipan 5 waktu wawancara pukul 16.55 – 17.30 wib
(35 menit) hari rabu, tanggal 15 – 04 – 2015 tempat
diruang kepala ruang IGD.
3. Tahap terminasi
Tahap terminasi adalah tahap akhir dari
pengumpulan data yang dilakukan terminasi dengan
melakukan validasi terhadap data yang telah ditemukan
kepada partisipan. Setelah dilakukan pengambilan data
wawancara selanjutnya akan dilakukan observasi guna
menyajikan gambaran realistis perilaku atau kejadian,
dan untuk memvalidasi hasil wawancara dengan hasil
observasi apakah sama dan akan memberikan umpan
52
balik terhadap pengambilan data yang telah dilakukan.
Peneliti memperlihatkan hasil transkip wawancara dan
interprestasi peneliti kepada partisipan, jika partisipan
mengatakan apa yang ditulis peneliti telah sesuai
dengan apa yang dimaksud oleh partisipan dan
dilakukan terminasi dengan pemberian reward sebagai
ucapan terima kasih telah bersedia berpartisipasi dalam
penelitian dan menyampaikan bahwa proses penelitian
telah selesai.
3.5 Analisa Data
Prinsip pokok dari teknik analisis kualitatif ialah mengolah dan
menganalisa data-data yang terkumpul menjadi data yang sistematis, teratur
dan terstruktur serta memiliki makna. Pada penelitian ini menggunakan
model metode fenomenologi deskriptif dengan metode Colaizzi (Cresswell,
2013).Adapun metode analisa data colaizziadalah sebagai berikut :
1. Membuat deskriptif partisipan tentang fenomena dari informan dalam
bentuk narasi yang bersumber dari wawancara.
2. Membaca kembali secara keseluruhan deskriptif informasi dari
informan untuk memperoleh perasaan yang sama seperti pengalaman
informan. Peneliti melakukan 3 – 4 kali membaca transkip untuk
merasa hal yang sama seperti informan.
53
3. Mengidentifikasi kata kunci melalui penyaringan pernyataan informan
yang signifikan dengan fenomena yang diteliti. Pernyataan – pernyataan
yang merupakan pengulangan dan mengandung makna yang sama atau
mirip maka pernyataan ini diabaikan.
4. Memformulasikan arti dari kata kunci dengan cara mengelompokkan
kata kunci yang sesuai pernyataan penelitian, selanjutnya
mengelompokkan lagi kata kunci yang sejenis. Peneliti sangat berhati –
hati agar tidak membuat penyimpangan arti dari pernyataan informan
dengan merujuk kembali pada pernyataan informan yang signifikan
cara yang perlu dilakukan adalah menelaah kalimat satu dengan yang
lain.
5. Mengorganisasikan arti – arti yang telah teridentifikasi dalam beberapa
kelompok tema. Setelah tema – tema terorganisir, peneliti memvalidasi
kembali kelompok tema tersebut.
6. Mengintergrasikan semua hasil penelitian ke dalam suatu narasi yang
menarik dan mendalam sesuai dengan topik penelitian.
7. Mengembalikan semua hasil penelitian pada masing – masing informan
lalu diikutsertakan pada deskripsi hasil akhir penelitian.
3.6 Keabsahan Data
Dalam pengujian keabsahan data pada penelitian ini dicapai dengan
melakukan pengecekan keabsahan temuan untuk menjamin kepercayaan
hasil penelitian. Menurut Polit dan Beck (2010) pada penelitian kualitatif,
54
hasil penelitian dipandang memenuhi kriteria ilmiah bila mempunyai tingkat
kepercayaan tertentu (trustworthiness) yang dapat dicapai dengan berpegang
pada 4 prinsip yaitu :
1. Credibility
Pada penelitian ini kredibilitas dicapai dengan melakukan validasi
kembali hasil wawancara kepada partisipan. Peneliti memperlihatkan
data dan interprestasi peneliti yang telah ditulis dalam bentuk transkip
wawancara dan catatan lapangan untuk dilihat dan dibaca partisipan
apakah ada diantara ungkapan dan pernyataan yang tidak sesuai dengan
maksud partisipan. Partisipan juga diberi kesempatan untuk memberi
tambahan informasi untuk lebih menyempurnakan dalam memberikan
gambaran yang sebenarnya dirasakan oleh partisipan. Peneliti juga
berkonsultasi dengan pembimbing dan penguji terkait dengan
pengmpulan data yang diperoleh. Prinsip ini untuk mengetahui apakah
kebenaran hasil penelitian kualitatif dapat dipercaya dalam
mengungkapkan kenyataan yang sesungguhnya (kesesuaian antara
konsep peneliti dengan konsep partisipan).
2. Pengujian Transferability
Peneliti melibatkan pembimbing dalam penulisan dan pelaporan
hasil agar mudah dipahami oleh pembaca, selain itu peneliti membuat
uraian yang diteliti dan secermat mungkin sehingga menghasilkan
deskripsi yang padat dan dapat digunakan pada setting lain dengan
konsep dan karakteristik yang sama.
55
3. Pengujian Depenability
Peneliti sebagai instrumen kunci dapat membuat kesalahan dalam
menginterprestasikan data sehingga timbul ketidak percayaan pada
peneliti. Agar penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah, peneliti melibatkan seseorang yang berkompeten dibidangnya
yaitu selalu melibatkan pembimbing dan penguji selama penelitian,
analisa data dan penulisan hasil penelitian untuk menjaga
dependebilitas hasil penelitian.
4. Pengujian Confirmability
Aspek confirmability dipenuhi peneliti dengan melakukan
konfirmasi kembali terhadap hasil interprestasi kepada partisipan dan
pembimbing serta mengintegrasikannya dengan catatan lapangan dan
hasil observasi.
3.7 Etika Penelitian
Etika penelitian adalah suatu sistem nilai normal yang harus dipatuhi
oleh peneliti saat melakukan aktivitas penelitian yang melibatkan partisipan,
meliputi kebebasan dari adanya ancaman, kebebasan dari adanya eksploitasi
keuntungan dari penelitian tersebut, dan resiko yang didapatkan. Poliet et al
(2004) menyatakan bahwa penelitian kualitatif harus memenuhi lima prinsip
etik sebagai berikut :
56
1. Autonomy
Pada penelitian ini partisipan diberikan hak untuk ikut serta dalam
penelitian maupun tidak tanpa ada paksaan. Prinsip ini dipenuhi dengan
memberi penjelasan mengenai maksud dan tujuan dari penelitian serta
akibat – akibat yang akan terjadi bila bersedia menjadi partisipan.
Partisipan juga diperkenankan untuk mundur saat penelitian
berlangsung jika merasa tidak nyaman dan dirugikan. Partisipan yang
bersedia ikut serta dalam penelitian kemudian dipersilahkan
menandatangani lembar informed consent tanpa paksaan dari peneliti.
2. Beneficience
Peneliti memastikan bahwa penelitian yang dilakukan bebas dari
bahaya fisik, maupun emosional dan eksploitasi serta memberikan
mafaat bagi partisispan. Upaya peneliti untuk memenuhi prinsip
beneficience yaitu dengan menghindari pertanyaan yang
memungkinkan dapat menyebabkan ketidaknyamanan partisipan dan
dapat menstimulus timbulnya emosional serta peneliti tidak memaksa
partisipan untuk mengungkapkan hal – hal yang tidak ingin diceritakan.
3. Non Maleficence
Peneliti meminimalisasi dampak yang merugikan bagi partisipan
dengan menjelaskan tentang proses penelitian secara rinci sehingga
partisipan memahami dan dapat terhindar dari kerugian yang mungkin
ditimbulkan. Pada saat wawancara peneliti memperhatikan partisipan
terkait adanya perasaan sedih atau marah. Proses wawancara mendalam
57
menyesuaikan dengan keadaan partisipan karena membutuhkan waktu
yang dapat menggangu aktivitas partisipan. Peneliti akan
memperhatikan hal tersebut, jika terjadi keadaan yang tidak
memungkinkan maka peneliti akan menghentikan proses wawancara.
Apabila partisipan masih bersedia dan mau untuk di wawancara,
peneliti dan partisipan akan membuat kesepakatan melakukan
wawancara ulang sesuai dengan kontrak waktu yang akan ditentukan
oleh peneliti dan partisipan.
4. Anonimity
Hak anonimity dipenuhi oleh peneliti dengan cara tidak
mencantumkan nama, akan tetapi dengan kode yang hanya dimengerti
oleh peneliti. kode yang digunakan adalah P1 untuk partisispan 1, P2
untuk partisispan 2, P3 untuk partisispan 3, P4 untuk partisipan 4, P5
untuk partisipan 5 dan seterusnya. Data yang sudah didapat juga
disimpan peneliti dalam bentuk file di dalam Compact Disk dengan
nama folder yang hanya diketahui peneliti.
5. Justice
Peneliti memenuhi prinsip ini dengan menghargai partisipan
sesuai dengan norma yang berlaku, memperlakukan semua partisipan
secara adil dengan tidak membeda – bedakan dan memberikan
penjelasan penelitian yang sama, kebebasan yang sama dalam
menentukan waktu dan tempat penelitian perlakuan yang sama selama
proses wawancara dan reward yang sama sebagai ucapan terima kasih.
58
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Pada bab 4 ini dipaparkan hasil penelitian terkait peran perawat terhadap
ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat
darurat RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Tema – tema yang didapatkan dari
penelitian ini diperoleh berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada 5
perawat IGD yang pernah menangani kasus cedera kepala. Dalam bab ini juga di
jelaskan mengenai diskripsi tempat penelitian, karakteristik partisipan dan hasil
penelitian.
4.1 Diskripsi tempat penelitian
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi merupakan Rumah Sakit
milik Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang berada di Jalan Kolonel
Sutarto 132 Surakarta. Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi
merupakan Rumah Sakit tipe A yang berada di kota surakarta dan menjadi
Rumah Sakit rujukan nasional. Instalasi gawat darurat di RSUD Dr.
Moewardi memiliki beberapa jenis pelayanan meliputi Disaster dan
Bencana, Triage dan Observasi Non Bedah, Resusitasi, Kamar Operasi
Mayor, Kamar Operasi Minor dan observasi bedah, Ponek , NICU
(Neonatal Intensive Care Unit), Intermediate care, dan one day care.
Sumber daya manusia di IGD terdiri dari Dokter Spesialis (on site) 2 yaitu
Satuan Medik Fungsional anak dan obgyn, dokter umum sebanyak 13
orang, non medis sebanyak 28 orang dan perawat sebanyak 33 orang.
59
Perawat dengan pendidikan S1 keperawatan berjumlah 9 orang, D III
keperawatan sebanyak 22 orang dan D IV keperawatan sebanyak 2 orang.
Instalasi gawat darurat memiliki jam kerja yang dibagi menjadi 3 shift yaitu
pagi, siang dan malam yang terdiri dari 1 shift 7 jam kerja dan 6 perawat
yang bertugas.
4.2 Karakteristik partisipan
Karakteristik kelima partisipan yang bersedia dilakukan wawancara
adalah sebagai berikut: partisipan satu (P1) adalah adalah seorang laki – laki
usia 43 tahun, pendidikan terakhir D4 emergency dengan pengalaman kerja
di IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta selama 23 tahun. Partisipan kedua
(P2) seorang laki – laki usia 34 tahun, pendidikan terakhir S1 ners dengan
pengalaman kerja di IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta selama 8 tahun.
Partisipan yang ketiga (P3) seorang perempuan usia 44 tahun, pendidikan
terakhir S1 keperawatan dengan pengalaman kerja di IGD RSUD Dr.
Moewardi Surakarta selama 8 tahun. Partisipan keempat (P4) seorang
perempuan usia 37 tahun, pendidikan terakhir D3 keperawatan dengan
pengalaman kerja di IGD RSUD Dr. Moewardi Surakarta selama 12 tahun.
Partisipan kelima (P5) seorang laki – laki usia 43 tahun, pendidikan terakhir
D3 keperawatan dengan pengalaman kerja di IGD RSUD Dr. Moewardi
Surakarta selama 15 tahun.
60
4.3 Hasil penelitian
Fenomena mengenai peran perawat terhadap ketepatan waktu tanggap
penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat RSUD
Dr.Moewardi Surakarta dieksplorasi melalui hasil wawancara dengan lima
partisipan perawat berdasarkan panduan wawancara semistruktur yang telah
dibuat sebelumnya. Wawancara dilakukan selama 15 sampai 35 menit
dimana waktu dan tempat sesuai yang telah di sepakati antara peneliti dan
partisipan sebelumnya.
Penelitian ini menghasilkan 8 tema berdasarkan hasil analisis tematik
yang dilakukan. Analisis tema disusun mulai dari pencarian kata kunci,
pengelompokkan kategori yang kemudian membentuk sub tema, kemudian
dari sub tema akan membentuk sebuah tema dari hasil penelitian. Penelitian
ini menemukan gambaran kasus cedera kepala, initial assasment,
pengelolaan prioritas pasien, perawat sebagai care giver, iklim kerja
kondusif, kendala pelayanan, kebutuhan perbaikan manajemen dan
kebutuhan peningkatan kualitas SDM. Berikut akan dijelaskan masing –
masing tema yang ditemukan.
1. Tujuan khusus 1: Mengetahui persepsi perawat mengenai kasus
cedera kepala
Persepsi perawat mengenai kasus cedera kepala di dapatkan satu
tema yaitu gambaran kasus cedera kepala. Berikut akan dijelaskan
mengenai tema yang muncul.
61
Pada kasus cedera kepala hal pertama yang dilakukan perawat
dalam menangani pasien cedera kepala yang menentukan
pengelompokkan kasus cedera kepala antara lain cedera kepala ringan,
cedera kepala sedang dan cedera kepala berat. Gambaran kasus cedera
kepalayang dilihat perawat berdasarkan hasil wawancara di dapatkan
empat sub tema yaitu 1) Penyebab cedera kepala, 2) Manifestasi klinis
cedera kepala ringan, 3) Manifestasi klinis cedera kepala sedang, 4)
Manifestasi klinis cedera kepala berat.
1). Penyebab cedera kepala merupakan faktor yang
mempengaruhi perawat dalam melakukan penanganan kasus cedera
kepala. Trauma kecelakaan merupakan penyebab terjadinya cedera
kepala. Dua orang partisipan mengatakan bahwa penyebab terjadinya
cedera kepala adalah trauma kecelakaan.
“Cedera kepala ringan yaa, cedera kepala yang bisa disebabkan
oleh kecelakaan ataupun trauma pada kepala..” (P2).
“... kasus cedera kepala ringan itu yo, karena trauma, trauma itu
bisa langsung, atau tidak langsung jadi ini menggangu..menganggu,
keseimbangan, karena trauma kepala ya...” (P5).
Ungkapan kedua partisipan diatas menunjukkan bahwa penyebab
terjadinya cedera kepala yaitu trauma kecelakaan baik langsung
maupun tidak langsung yang nantinya akan berpengaruh pada tingkat
kegawatan cedera kepala yang dibagi atas tiga kategori yaitu cedera
kepala ringan, cedera kepala sedang dan cedera kepala berat. Penyebab
cedera kepala lain yang dapat menyebabkan kasus cedera kepala adalah
benturan seperti yang diungkapkan oleh partisipan 4 berikut ini :
62
“... suatuu, kejadian, yang melibatkan, kepala ya, mungkin,
karena benturan atau apa..” (P4).
Benturan adalah salah satu penyebab cedera kepala yang dapat
membuat kepala seseorang mengalami gangguan baik mengalami luka
di bagian kepala luar maupun bagian kepala dalam yang akan
menjadikan seseorang mengalami cedera kepala baik ringan, sedang
maupun berat.
2). Pengumpulan data lain yang dilakukan perawat dalam
menunjang gambaran kasus cedera kepala selain trauma kecelakaan
yaitu manifestasi klinis cedera kepala ringan. Manifestasi klinis cedera
kepala ringan yaitu pemeriksaan klinis biasa yang dipakai untuk
menentukan cedera kepala ringan yaitu dilihat dari pasien sadar,
diungkapkan oleh 3 partisipan berikut ini :
“... biasanya pasien itu masih dalam kondisi sadarrr...” (P2).
“...yang jelas kalau.. cedera kepala ringan itu... yang pasti itu
pasiennya masih sadar...” (P4).
“...kalau dilihat dari nilai GCSnya itu ya empat belass lima
belass, ya ituuu...” (P2).
“... cedera kepala yang ringan itu, ee, GCSnya, istilah kami
seperti itu, itu anatara dua belas sampai, lima belas...” (P3).
“...untuk GCSnya masih lima belas...” (P4).
Sadar merupakan salah satu manifestasi klinis pasien cedera
kepala ringan yang menunjukkan nilai GCS antara 14 sama 15 yang
dimana pasien masih dalam kondisi sadar. Selain sadar biasanya pasien
63
dengan cedera kepala ringan disertai dengan perasaan mual, berikut
pernyataan dari 2 partisipan.
“... keluhannya paling sering muall,pusingg...” (P2).
“...termasuk nyeri itu pasti, jadi kadang rasa mual, bisa,
mungkin terjadi, perdarahan juga memungkinkan...” (P5).
Mual salah satu manifestasi klinis yang sering terjadi pada kasus
cedera kepala yang banyak dikeluhkan oleh pasien cedera kepala
ringan. Selain mual biasanya pasien juga mengeluhkan adanya nyeri
kepala berikut pernyataan dari 2 partisipan.
“... biasanya, tidak di ikuti dengan, katakanlah, pingsan, mual,
muntah, paling – paling Cuma nyeri kepala lah, seperti itu...” (P3).
“...termasuk nyeri itu pasti, jadi kadang rasa mual, bisa,
mungkin terjadi, perdarahan juga memungkinkan...” (P5).
Nyeri kepala adalah keluhan yang pasti dialami oleh pasien
cedera kepala yang ditimbulkan karena terjadinya trauma kepala atau
benturan yang mengenai kepala selain nyeri kepala, pusing juga salah
satu manifestasi klinis yang ditimbulkan akibat cedera kepala ringan
yang diungkapkan oleh 2 pasrtisipan sebagai berikut :
“... masih dibisa diajak bicara, cuman dia mengeluh pusing...”
(P4).
“... keluhannya paling sering muall,pusingg...” (P2).
3). Pernyataan diatas merupakan manifestasi klinis cedera kepala
ringan yang diungkapkan oleh perawat, selain cedera kepala ringan
adapun manifestasi klinis cedera kepala sedang yaitu dimana pasien
64
sudah mengalami penurunan kesadaran sesuai pernyataan 4 partsipan
sebagai berikut :
“ Cedera kepala sedang ee, itu sudah mulai mengalamai
penurunan kesadaran yaa..” (P2).
“...tapi kesadarannya masihhh, ini masih, antara itu delapan
sampai, duabelas...” (P3).
“...bisa di ikuti dengan mual muntah, atau pingsan, tapi
kesadarannya masihhh, ini masih, antara itu delapan sampai,
duabelas....” (P3).
“...dia pas saat jatuh, kadang ditanya itu dia itu, pas kejadiannya
itu dia sempat gak sadar, terus ada mual, kadang ya disertai muntah,
terus terkadang ada, benjolan ya dikepala itu, semacam hematoma...”
(P4).
“...dia itu mengalami, hehhh (batuk kecil), mengalami hilang
kesadaran sesaat..” (P5).
Penurunan kesadaran pada pasien cedera kepala sedang ditandai
dengan penurunan nilai GCS antara 8 sampai 13, berikut pernyataan
dari 4 partisipan.
“...GCSnya..sembilan sampai tiga belas...” (P2).
“...kalau cedera kepala sedang, itu kan GCSnya, antara delapan
sampai, dua belas seperti itu...” (P3).
“...GCSnya itu.. dia itu somnolent...” (P4).
“Ya, sedang ituu, tu, ada, apa itu namanya, istilah hitungan,
GCS ya, itu nanti, GCS 7...” (P5).
Selain adanya penurunan kesadaran, perawat juga menyebutkan
bahwa pasien dengan cedera kepala sedang sering juga mengalami mual
muntah sesuai dengan pernyataan 2 partisipan berikut :
65
“...bisa di ikuti dengan mual muntah, atau pingsan, tapi
kesadarannya masihhh, ini masih, antara itu delapan sampai,
duabelas....” (P3).
“...dia pas saat jatuh, kadang ditanya itu dia itu, pas kejadiannya
itu dia sempat gak sadar, terus ada mual, kadang ya disertai muntah,
terus terkadang ada, benjolan ya dikepala itu, semacam hematoma...”
(P4).
Pasien dengan cedera kepala sedang biasanya juga disertai adanya
hematoma di kepala akibat dari trauma ataupun benturan yang
disebabkan secara langsung maupun tidak langsung yang dapat melukai
bagian kepala.
“...terus terkadang ada, benjolan ya dikepala itu, semacam
hematoma...” (P4).
Manifestasi lain pasien cedera kepala sedang yaitu gelisah,
gelisah yang timbul diakibatkan oleh adanya penurunan kesehatan yang
sering dialami oleh pasien cedera kepala sedang.
“... teruss, sokk memungkinkan kadang, gelisah juga..” (P5).
4). Sedangkan untuk manifestasi klinis cedera kepala berat
perawat menyebutkan bahwa pasien dengan cedera kepala berat itu
sudah mengalami penurunan kesadaran dengan nilai kesadaran koma
berikut penyataan ke 3 partisipan.
“...kemudian kalau yang berat itu sudah terjadi penurunan
kesadaran dengan GCS tiga sampai delapan...” (P2).
“... Kalau cedera kepala, berat, ya itu, dibawahnya, delapan...”
(P3).
“...kemudian kalau yang berat itu sudah terjadi penurunan
kesadaran dengan GCS tiga sampai delapan...” (P2).
“...cedera kepala berat itu yaa, cenderung tidak sadar...” (P5).
66
Akibat yang ditimbulkan dari kesadaran koma yaitu pasien tidak
ada respon ditunjukan dengan pasien tidak bisa berkomunikasi baik
secara verbal maupun non verbal.
“...Kalau berat itu pasiennya, biasanya itu dah, ndak bisa diajak
komunikasi, ngak bisa diajak komunikasi, dia di rangsang nyeri pun,
kadang cuma mengerang, kadang gak respon...” (P4).
Hal yang dirasakan oleh pasien dengan cedera kepala berat
adanya nyeri hebat yang bisa ditimbulkan oleh adanya kerusakan
sistem jaringan otak yang terjadi akibat trauma hebat dikepala.
“...atau bahkan dek’e(dia), iniii, apaa, tu, namanya, eee,
gelisah, nyeri hebat, ee, dia ndak, tau apa yang dikatakan...” (P5).
Semua hasil wawancara di atas adalah mendukung ditemukannya
sebuah tema yaitu gambaran kasus cedera kepala.Dari wawancara
perawat di atas menjelasakan bagaimana perawat menggambarkan 3
kategori kasus cedera kepala baik yang ringan, sedang, maupun berat.
yang nantinya akan berpengaruh dalam penanganan kasus cedera kepala
yang yang dilakukan oleh perawat. Skema mengenai tema gambaran
kasus cedera kepala dapat dilihat pada gambar 4.1 berikut ini.
67
2. Tujuan khusus 2: Mengetahui tindakan perawat dalam melakukan
ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di
instalasi gawat darurat RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Tindakan yang dilakukan perawat dalam melakukan ketepatan
waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di dapatkan tiga tema
yaitu Initial assasment, Pengelolaan prioritas pasien, Perawat sebagai
Care giver.Berikut akan dijelaskan mengenai tema – tema yang
muncul.
1) Tema : Initial assasment
Tindakan pertama yang dilakukan oleh perawat dalam
melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera
Gambar 4.1 Skema Tema: Gambaran Kasus Cedera Kepala
1. Trauma kecelakaan
2. Benturan
1. Sadar
2. Mual
3. Nyeri kepala
4. Pusing Gambaran
kasus cedera
kepala 1. Penurunan
kesadaran
2. Mual muntah
3. Hematoma
4. Gelisah
Penyebab cedera
kepala
Manifestasi klinis
cedera kepala ringan
Manifestasi klinis
cedera kepala sedang
Manifestasi klinis
cedera kepala berat
1. Kesadaran koma
2. Tidak ada respon
3. Nyeri hebat
68
kepala adalah Initial assasment, Initial assasment yang dilakukan
oleh perawat ketika melakukan waktu tanggap penanganan pasien
cedera kepala yang didapat dari hal wawancara yaitu Menilai
kondisi pasien dan Primary survey. Menilai kondisi pasien
merupakan hal pertama yang biasa dilakukan perawat ketika
menghadapi pasien dengan cedera kepala, setelah melakukan
penilaian kondisi pasien perawat kemudian melakukan Primary
survey untuk melihat dan mengatasi kegawatan pasien cedera
kepala.
Menilai kondisi pasienbiasanya dilakukan untuk mengetahui
tingkat kegawatan pasien cedera kepala, perawat melakukan
pemeriksaan awal untuk mengetahui kondisi pasien secara
langsung dan untuk menentukan penanganan ketika berhadapan
dengan pasien. Pernyataan diatas di dukung oleh 3 partisipan
sebagai berikut :
“...jadi pasien datang kita lihat kondisinya....” (P1).
“...yang pertama tau kondisi pasien kemudian...” (P2).
“.. kita itu langsung tau dengan keadaan paling ndak itu ...” (P3).
Selain Menilai kondisi pasien hal yang perawat lakukan
selanjutnya adalah melakukan Primary surveyguna mengatasi
masalah dan melakukan penangan kepada pasien cedera kepala
yang dari hasil wawancara primary survey didalamnya terdapat atas
tiga komponen utama yang biasa perawat lakukan ketika
69
menghadapi pasien cedera kepala diantara yang pertama adalah
pemeriksaan airway yang di dukung dengan pernyataan dari 2
partisipan.
“..yang penting, airwaynya dulu ya, yang pentingkan..” (P4).
“.... kita memposisikan pasien itu, seaman mungkin, ya,
termasuk posisi, airwayne supaya lancar, bagaimana, pemberian
oksigen..” (P5).
Pemeriksaan airway dilakukan awal guna menentukan
masalah dan melakukan tindakan penanganan segera kepada pasien
cedera kepala setelah masalah airway telah tertangani dengan baik,
perawat melakukan pengelolaan breathing guna memberikan
suplay oksigen kepada pasien cedera kepala. Pernyataan tersebut di
dukung oleh pernyataan 3 partisipan sebagai berikut.
“... yang sering untuk CKB terutama oksigenasi.. diberikan
oksigen..” (P2).
“... untuk cedera kepala langsung paling ndak kita pertama –
tama itu memberikan oksigenasi, seperti itu..” (P3).
“..... jadi dari pasien datang, itu langsung kita, pasang
oksigen monitor itu langsung, infus, laborat..” (P4).
Setelah tertangani masalah airway dan breathing pada pasien
cedera kepala perawat melakukan tindakan menilai kesadaran
pasien/ disability. Pernyataan tersebut di dukung dengan
pernyataan dari 2 partisipan.
“...cek GCS, GCSnya berapa ....” (P1).
“.. untuk kesadarannya pasien ya secepatnya...” (P3).
70
Wawancara terhadap tindakan awal yang dilakukan oleh
perawat yaitu Initial assasment diantaranya menilai kondisi pasien
setelah itu melakuan tindakan primary survey guna mengatasi
masalah kegawatan pasien cedera kepala. Skema mengenai tema
Initial assasment dapat dilihat pada gambar 4.2 berikut ini.
2) Tema: Pengelolaan prioritas pasien
Pengelolan prioritas pasientindakan perawat dalam memilah
pasien kedalam kelompok pasien berdasarkan kegawatannnya. Dari
hasil wawancara, perawat mengungkapkan pengelolaan prioritas
pasien terdapat 2 tindakan keperawatan yang dilakukan ketika
menghadapi pasien cedera kepala dalam melakukan ketepatan
waktu tanggap yaitu pengelompokkan pasien dan Waktu tanggap
penanganan pasien cedera kepala.
pengelompokkan pasien adalah tindakan yang dilakukan
perawat dalam Penilaian kegawatan pasien yang tujuannya
mempermudah perawat dalam memberikan penanganan sesuai
Menilai kondisi
pasien
Primary survey
1. Pemeriksaan Airway
2. Pengelolaan
Breathing
3. Menilai kesadaran
pasien/ Disability
Initial assasment
Melakukan
pemeriksaan awal
Gambar 4.2 Skema Tema: Initial assasment
71
tingkat kegawatan pasien. Terdapat 4 partisipan yang
mengungkapkan pernyataan tersebut.
“..Yaaa, ituu untuk Triageee nya kita harus tepatt! tepat
dalam arti kita eee nrima pasienn, lihat kondisinyaa..” (P1).
“... kalau di IGD ngeeh (ya),masalahnya kalau Triage itukan
kami konsepnya Triage kan, untuk pemilihan ngehh (ya)..” (P3).
“..misalnya Triage itu langsung, memeriksaa, dan
menentukan, kemana, kalau ke kalau itu cedera kepala otak berat
itu langsung ke resusitasi...” (P4).
“..kita harus tanggap, dia ini di Triage kan ke garis mana,
apakah dia, ke hijau atau kuning, atau merah, itu secepat
mungkin kita harus, bisa mengambil, sikap!, karena itu akan
menentukan..” (P5).
Tindakan pengelompokkan pasien ini biasanya dilakukan
menggunakan kategori Triage yang mengelompokkan pasien
berdasarkan kategori kegawatan pasien serta memprioritaskan
penanganan pasien kegawatdaruratan. Selain pengelompokkan
pasien, waktu yang dibutuhkan perawat pada saat melakukan
penanganan pasien menggunakan waktu tanggap penanganan
pasien cedera kepala. Waktu tanggap yang dibutuhkan perawat
dalam menangani pasien cedera kepala yaitu waktu tanggap kurang
dari 5 menit. Hal ini di dukung oleh pernyataan dari 4 partisipan
sebagai berikut :
“.. Pasien datang untuk segera kita tanggani, kalau disini dii,
buat waktu tanggap kurang dari lima menit yaa...” (P2).
“... secepatnya ya bisa dikatakanlah, nol detik, seperti itu
yen (kalau) saya langsung (sambil senyum)...” (P3).
72
“..Pasien datang, kalau disini itu, dulu itu dikasih waktu,
paling ndak lima belas menit sudah selesai semua, jadi dari pasien
datang...” (P4).
“Waktu tanggap Triage tu yoo, yoo, apa tuu, namanya,
seketika itu juuga, seketika kita melihat ada pasien..” (P5).
Waktu tanggap penanganan pasien cedera kepala kurang dari
5 menit menurut perawat adalah waktu tanggap rata – rata yang
digunakan dalam melakukan penanganan kasus cedera kepala.
Pengelompokkan pasien dan waktu tanggap penanganan pasien
cedera kepala dilakukan ketika perawat berhadapan dengan pasien
cedera kepala di instalasi gawat darurat. Skema mengenai tema
Pengelolaan prioritas pasien dapat dilihat pada gambar 4.3 berikut
ini.
Gambar 4.3 Skema Tema: Pengelolan prioritas pasien
3) Tema: Perawat sebagai Care giver
Tugas pokok sebagai perawat adalah memberikan asuhan
keperawatan atau Perawat sebagai Care giver. Dari hasil
wawancara perawat memberikan asuhan keperawatan itu terdapat
tiga tindakan perawat yang biasanya dilakukan dalam ketepatan
waktu tanggap yaitu Membuat asuhan keperawatan, Intervensi
mandiri perawat, Intervensi kolaborasi perawat.
Penilaian
kegawatan pasien
Waktu tanggap
kurang dari 5
menit
Waktu tanggap
penanganan pasien
cedera kepala
Pengelompokkan
pasien Pengelolaan
prioritas pasien
73
Membuat asuhan keperawatanadalah tugas seorang perawat
agar semua tindakan perawat dapat terdokumentasi dengan baik.
Perawat dapat mendokumentasikan kegiatan keperawatan ketika
perawat berhadapan dengan pasien dari tindakan awal yang
dilakukan kepada pasien sampai pasien evaluasi akhir kepada
pasien. Berikut peryataan dari 2 partisipan.
“..kalau disini yang pertama memberi asuhan
keperawatan...” (P2).
“..ya.. kita mencatat, termasuk mencatat, kejadian, terus,
jam, terus apa yang kita laksanakan, apa yang kita berikan..” (P5).
Setelah terdokumentasi dengan baik perawat melakukan
beberapa Intervensi mandiri perawat. Dari hasil wawancara
perawat tindakan mandiri perawat yaitu menjaga keamanan dan
kenyamanan pasien hal ini ditunjukkan dengan pernyataan dua
partisipan sebagai berikut :
“..kemudian nursing treatment, apa yang bisa kita lakukan
untuk perawat paling kita lakukan posisi, mengatur posisi...” (P2).
“..yaa, kita mengamankan, pasien, situasi lingkungan, kita
berikan tempat, tempat yang tepat, artine tepat, sesuai posisi
nyaman , aman, aman, itu yoo, terbebas dari jatuh, ee, dari apa
itu namanya, dari privacy..” (P5).
“..yaa, kita mengamankan pasien situasi lingkungan, kita
berikan tempat , tempat yang tepat, artine tepat, sesuai posisi,
nyaman, aman, aman, itu yoo, terbebas dari jatuh, ee, dari apa
itu namanya, dari privacy..” (P5).
Disamping menjaga keamanan dan kenyamanan pasien
perawat juga memberikan intervensi mandiri yaitu dengan perawat
pendidik pasien dan keluarga. dari hasil wawancara Perawat
74
pendidik pasien dan keluarga dengan cara memberikan informasi
dan mengajarkan cara pencegahan penyakit. Berkaitan dengan
perawat sebagai edukator, perawat biasanya Memberikan edukasi
kepada pasien maupun keluarga pasien hal ini di dukung
pernyataan dari 2 responden sebagai berikut :
“... yang kedua edukasi terutama untuk pasien yang ada di
IGD...” (P2).
“..pekerjaaan perawat ya seperti, masang infus, ambil darah,
teruss memberikan.. edukasi sama keluarganya.. tentang, kondisi
disini...” (P4).
Selain memberikan edukasi perawat selalu
Mengkomunikasikan segala sesuatunya yang berkaitan dengan
keadaan pasien ataupun situasi dan kondisi pada saat di ruang
instalasi gawat darurat ini sesuai dengan pernyataan partisipan ke 5.
“..pemberian pelayanan itu benar-benar tertulis, termasuk
kayak inform konsent, sama keluargane, teruss apa itu, apapunlah
kita konfirmasikan....” (P5).
Memberikan edukasi dan mengkomunikasikan keadaan atau
kondisi pasien adalah peran perawat sebagai educator selain itu
perawat juga melakukan beberapa tindakan untuk menenangkan
pasien maupun keluarga atau mencegah kepanikan yang dapat
mempengaruhi pemberian pelayanan salah satunya yaitu
memberikan Dukungan psikologis pernyataan ini di dukung oleh
pernyataan partisipan ke 3 sebagai berikut :
“.. apalagi itu kasusnya yang anak kecil, ada yang remaja,
ada yang tua, kita support mental untuk menenangkan juga, seperti
itu..” (P3).
75
Peran perawat sebagai pendidik dilakukan perawat sebagai
upaya penyampaian informasi juga sekaligus memberikan pelatihan
pencegahan penyakit yang biasa dilakukan ketika perawat
mengkomunikasikan serta memberikan dukungan psikologis baik
untuk pasien maupun keluarga guna memperlancar pelayanan
kesehatan pada pasien cedera kepala.
Selain tindakan mandiri perawat, perawat juga melakukan
intervensi kolaborasi perawat yang biasanya kolaborasi dengan
dokter berikut pernyataan dari empat partisipan sebagai berikut.
“.. untuk GCSnya berapa penanganannya gimana nanti kita
kolaborasi dengan dokter yang harus kita kolaborasikan dengan
tepat!....” (P1).
“.. kalau untuk terapi itu memang ee, kita, ee, menunggu
dari dokter nggeh...” (P3).
“..terus kita berikan, injeksi yang biasanya yang antibiotik,
sama anti nyeri, anti mualid itu dulu nanti setelah, itu semua,
dilakukan, terus dokternya baru, memberikan advis, yang lain –
lain, pertama kali seperti itu...” (P4).
“..harus secepatnya untuk, dikonsulkan kepada, yang
berwenang artinya, kebagian, dokter resus yaa..” (P5).
Peran perawat sebagai Care giver terdiri dari perawat
mendokumentasikan asuhan keperawatan dan melalukan tindakan
keperawatan baik secara mandiri maupun berkolaborasi dengan
tenaga medis lain dalam melakukan penanganan kasus cedera
kepala. Skema mengenai tema Perawat sebagai Care giver dapat
dilihat pada gambar 4.4 berikut ini.
76
v
Gambar 4.4 Skema Tema: Perawat sebagai Care giver
3. Tujuan khusus 3: Mengetahui faktor – faktor yang mendukung
perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan
kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat RSUD Dr.
Moewardi Surakarta.
Faktor – faktor yang mendukung perawat dalam melakukan
ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi
gawat darurat di dapatkan satu tema yaituiklim kerja kondusif.Berikut
akan dijelaskan mengenai tema yang muncul.
Peran perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap
penanganan kasus cedera kepala di dukung oleh beberapa faktor yang
mendukung agar peran seorang perawat dapat berjalan dengan baik agar
dapat memberikan pelayanan yang baik kepada setiap pasien. iklim
kerja kondusifyang didapatkan dari hasil wawancara menunjukkan
faktor yang sangat mempengaruhi perawat dalam memberikan
Intervensi kolaborasi
perawat
Membuat asuhan
keperawatan
Mendokumentasikan
kegiatan
keperawatan
Perawat sebagai
Care giver
Kolaborasi dengan
dokter
1. Menjaga
keamanan dan
kenyamanan
pasien
2. perawat
pendidik pasien
dan keluarga
Intervensi mandiri
perawat
77
ketepatan waktu tanggap. iklim kerja yang kondusi itu dipengaruhi oleh
beberapa hal yaitu motivasi internal, kerjasama tim baik, pemanfaatan
sarana dan prasarana.
Motivasi internal perawat yang sering mempengaruhi kinerja
perawat dalam menjalankan perannnya sabagai seorang perawat sangat
mempengaruhi karena berkaitan dengan perasaan, situasi dan kondisi
yang dirasakan oleh perawat dari hasil wawancara perawat
mengungkapkan ilmu yang dimiliki, amanah, tujuan menolong hal
tersebut yang dirasakan perawat selama ini guna memotivasi diri untuk
memberikan pelayanan kepada pasien. Ilmu yang dimiliki perawat
selama ini adalah sebagai modal perawat dalam melakukan peran serta
memberikan pelayanan kepada pasien hal ini sesuai dengan yang di
ungkapkan oleh partisipan 1 sebagai berikut :
“... kalau saya, perawat ya, inii, jadi ilmu yang sudah kita dapat
kita terapkan ke pelayanan ke pasien itu aja...” (P1).
Selain untuk mengaplikasikan ilmu yang telah dimiliki perawat,
perawat juga mempunyai tanggung jawab memberikan pelayanan
kepada pasien sebagai suatu amanah yang harus dijalankan berikut
pernyataan dari partisipan 5.
“..yaa sebagai tadi amanah tadi yang paling anu, membuat saya
itu, apa, itu, namanya, ee, memotivasi, memotivasi saya bisa
memberikan yang terbaik..” (P5).
Jika perawat mempunyai tanggung jawab memberikan pelayanan
maka hal tersebut sebagai suatu tujuan menolong kepada pasien dan
sebagai seorang perawat harus berupaya sebaik mungkin dalam
78
memberikan pelayanan hal ini sesuai dengan pernytaan dari partisipan 1
sebagai berikut :
“..kita misinya menolong ya, jadi kalau cedera kepala itu...” (P1).
Motivasi internal perawat dalam memberikan atau menjalankan
perannya dalam melakukan ketepatan waktu tanggap sangat
berpengaruh pada pemberian pelayanan kepada pasien selain itu dari
hal wawancara perawat mengungkapkan kerjasama TIM baik juga
dapat mendukung dalam memberikan pelayanan yang baik.
Kerjasama TIM baik dipengaruhi oleh dua hal yaitu komunikasi
efektif dan kerja tim baik. Komunikasi efektif dapat mendukung
perawat dalam melakukan penanganan kasus cedera kepala dimana
komunikasi yang baik antar anggota tim, perawat dengan anggota tim
sesama perawat maupun perawat dengan anggota tim medis lain akan
meningkatkan kerjasama tim yang baik dan akan membantu perawat
dalam menjalankan perannya serta guna memberikan pelayanan
kesehatan yang baik kepada setiap pasien. Hal tersebut di dukung oleh
pernyataan dari 3 partisipan sebagai berikut :
“... kalau pasien itu katakanlah, masih sadar nggeh (ya) bisa
komunikasi jelas, tetap semua tindakan yang kami lakukan, kita
komunikasikan terlebih dahulu...” (P3).
“.. kita berkomunikasi ya, komunikasi efektif seperti itu juga
komunikasi dengan teman sejawat...” (P3).
“..morning report itukan kita, tiap hari tu ya, usul, untuk
perbaikan tu setiap hari, kita usul sama, kepala ruang itu, dilakukan
perbaikan – perbaikan..” (P4).
79
“..musyawarah setiap kali kita kumpul mungkin, morning pagi,
coffe morning, itu kita bisa, memberikan suatu, apa itu namanya,
suatu laporan, laporan permasalahan..” (P5).
Setelah terjalinnya kerjasama tim yang baik karena komunikasi
yang efektif terwujud dengan baik, maka akan berdampak pada kerja
tim baik dimana terlihat hasil dari kerjasama yang terjalin antar anggota
tim dan antar anggota tim medis lain sehingga terciptanya pelayanan
kesehatan yang baik. Hal ini di dukung oleh 2 partisipan sebagai berikut
:
“...itu penanganan pasien kita TIM, kita ngakk sendiri...” (P2).
“...pasien itu mau CT-Scan katakanlah, seperti itu, ya kita
kerjasamanya, untuk ke manajemen rumah sakit itu..” (P3).
“... teman- teman saling membantu, kemudian saling
mengingatkan itu ya meningkatkan kerjasama TIM itu aja..” (P2).
Selain kerja sama tim baik dari hal wawancara perawat
mengungkapkan bahwa pemanfaatan sarana dan prasaranayang baik
juga akan mendukung perawat dalam melakukan perannya.
Pemanfaatan sarana dan prasarana tentunya bisa diaplikasikan oleh
perawat karena terpenuhinya sarana dan prasarana yang memadai
sehingga perawat dapat memanfaatkan hal tersebut ketika berhadapan
dengan pasien. Hal ini sesuai pernyataan dari 3 partisipan sebagai
berikut :
“.. kalau disini, dilihat dari sarana dan prasarana sudah, sudah
cukup ya...” (P2).
“... ada trolie emergency ya ada, jadi kita tidak punya alasan
untuk memperpanjang, kita tanggap terhadap pasien..” (P3).
80
“..Insyaallah kalau alat kan ada semua, disini itu sebener’e,
enak mbak, rumah sakit paling enak kalau saya anuu...” (P4).
“..yang mendukung itu, alat - alat ada monitor ada, kita tinggal
pasang- pasang, dah..” (P4).
“ ... kemudian dari pembagian ruangannya sudah baik..” (P2).
Pemanfaatan saran dan prasarana yang baik adalah suatu bentuk
pemanfaatan yang dilakukan perawat agar semua pasien tertangani
dengan baik sehingga terciptannya suatu bentuk pelayanan yang baik
kepada setiap pasien. Skema mengenai tema Iklim kerja kondusif dapat
dilihat pada gambar 4.5 berikut ini.
Gambar 4.5 Skema Tema: Iklim kerja kondusif
4. Tujuan khusus 4: Mengetahui faktor – faktor yang menghambat
perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan
kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat RSUD Dr.
Moewardi Surakarta.
Faktor – faktor yang menghambat perawat dalam melakukan
ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi
1. Ilmu yang dimiliki
2. Amanah
3. Tujuan menolong
1. Komunikasi efektif
2. Kerja tim baik
Pemanfaatan
saran dan
prasarana
Kerjasama TIM
baik
Motivasi internal
Iklim kerja kondusif
Sarana dan prasarana
yang memadai
81
gawat darurat di dapatkan satu tema yaitukendala pelayanan Berikut
akan dijelaskan mengenai tema yang muncul.
Peran perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap
penanganan kasus cedera kepala di hambat oleh beberapa faktor yang
menghambat yaitu kendala pelayanan yang didapatkan dari hasil
wawancara menunjukkan faktor yang sangat menghambat perawat
dalam memberikan ketepatan waktu tanggap. kendala pelayanan itu
dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu birokrasi rumah sakit pendidikan,
kedisiplinan SDM, tidak ada penanggung jawab pasien, pasien melebihi
kapasitas, keterbatasaan sarana dan prasarana.
Perawat mengungkapkan panjangnya birokrasi rumah sakit
pendidikan yang dapat menghambat perawat dalam melakukan
ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala adalah salah
satu faktor yang menghambat. Birokrasi panjang menjadi salah satu
penghambat perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap
penanganan kasus cedera kepala. Berikut pernyataan dari 2 partisipan
mengenai kendala pelayanan yang berkaitan dengan birokrasi rumah
sakit pendidikan.
“.. namanya juga rumah sakit pendidikankan itu terbentur pada
residencedisini...harus lapor ke senior ke seniornya lagi, baru ke
staf...” (P1).
“.. Jadi, untuk prosedur-prosedur rumah sakit pendidikan tadi,
jadi kita kendalanya atau waktunya mungkin mundur, untuk laporan...”
(P1)
“..yaa, komunikasi sama prosedur e, untuk, inii, penanganan
selanjutnya...” (P1).
82
“..kita kadang kita itu mau bertindak, bingung maksud’e bingung,
kalau belum ada, gedhok (keputusan yang sah), kalau belum ada
hitam diatas putih, kadang kita ndak berani..” (P4).
Pernyataan tersebut di dukung oleh hasil observasi, pada saat
pasien tiba di IGD perawat melakukan langsung melihat kondisi pasien
setelah itu perawat mencari dokter residence untuk melaporkan keadaan
pasien, jadi untuk penanganan ke pasien sedikit terganggu untuk
laporan. Birokrasi yang panjang yang mengakibatkan terhambatnya
pelayanan dalam memberikan waktu tanggap penanganan yang
dirasakan oleh perawat selama ini. selain itu kedisiplinan SDM juga
menjadi salah satu hal yang dapat menghambat pelayanan perawat
dalam memberikan ketepatan waktu tanggap pelayanan kasus cedera
kepala yang mengakibatkan kurang maskimalnya perawat dalam
melakukan pelayanan kesehatan kepada pasien. Dalam hal wawancara
kedisplinan SDM ini terjadi karena Dokter belum datang sesuai dengan
pernyataan satu partisipan sebagai berikut.
“Ya.. itu anuu mbk, dokternya juga, bisa, kita udah telfon, kan
langsung kita hubungi, langsung kita telpon, kalau bedah kan stanby
disini, cuman kadang pas overan, pas, jam- jam operan, itukan
kadang’ii, e, belum datang, tapi yo, kadang, kadang belum dateng..”
(P4).
Kedisplinan SDM yang belum dilakukan oleh perawat maupun
tim medis lain tentunya sangat menghambat dalam memberikan
pelayanan kepada pasien. Faktor penghambat itu tidak muncul dari
tenaga medis saja tetapi dari pasiennya juga bisa menjadi faktor
menghambat, dalam hal wawancara perawat juga mengungkapkan tidak
83
ada penanggung jawab pasien juga penyebab terhambatnya perawat
dalam memberikan pelayanan. Ada dua hal yang menghambat perawat
dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera
kepala yang muncul dari pasien yaitu ketidakhadiran keluarga dan
pasien tanpa identitas.
Ketidakhadiran keluarga dapat menjadi faktor yang menghambat
perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap karena seoarang
pasien membutuhkan penanggung jawab yang dapat membantu pasien
tersebut mengurus semua admistrasi yang berkaitan dirumah sakit yang
menyangkut pasien tersebut, tetapi jika hal ini tidak dilakukan oleh
keluarga pasien maka penanganan pasien juga akan ikut terlambat
diarenakan prosedur administrasi belum terpenuhi. Hal ini di dukung
oleh pernyataan dari 2 partisipan sebagai berikut.
“...katakanlah, CT-Scan keluarga belum dateng, aaa, juga jadi
itu molor untuk dilakukan tindakannya...” (P3).
“..teruss, mungkin dari pihak, keluarga sendiri, belum ada
keluargane itu juga bisa menghambat..” (P5).
“..penolong itu kita suruh, e, untuk melengkapi apa, prosedur,
administrasi dinya ndak mau katakanlah...” (P3).
Selain ketidak hadiran keluarga yang dapat mengahambat
pelayanan, pasien tanpa identitasjuga dapat menghambat perawat dalam
melakukan pelayanan hal ini diungkapkan oleh partisipan 4 sebagai
berikut.
“..teruss, masalah keduanya itu kalau Mr.X, kalau Mr.X ndak
ada identitas itu..” (P4).
84
Perawat ingin memberikan pelayanan yang tebaik kepada setiap
pasien, perawat selalu berupaya dalam melakukan tugasnya dengan
baik, tetapi hal ini tidak bisa dialakukan dengan baik jika pasien
melebihi kapasitas. Pada saat pasien banyak perawat terkadang sering
telat memberikan penanganan hal ini diungkapkan oleh 3 partisipan
sebagai berikut.
“.. kemudian kalau pasien, kebetulan banyakk, itu kemungkinan,
kita cepat mengatasi juga, sering telat karenaa, kalau dibedah pasti..
pasiennya kadang datangnya bareng...” (P2).
“.. kita kadangkan kalau pas banyak – banyak’e pasien, itu mbk,
kadang, e, kendalanya kan seperti itu...” (P4).
“..sing (yang) menghambat, itu biasane disisni, sokk, kadang,
meluapnya pasien..” (P5).
Selain pasien yang melebihi kapasitas perawat juga
mengungkapkan keterbatasaan sarana dan prasarana menjadi salah satu
faktor penghambat perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap.
Keterbatasaan sarana dan prasaranayang diungkapkan oleh perawat
terdiri dari 2 hal yaitu keterbatasan SDM dan keterbatasan alat dan
tempat. Keterbatasan SDM diungkapkan oleh partisipan 2 yang menjadi
salah satu faktor yang menghambat perawat dalam memberikan
ketepatan waktu tanggap pelayanan kepada pasien.
“..kemungkinan yang pertama keterbatasan SDMnya...” (P2).
Keterbatasan SDM tersebut dinilai perawat sangat mempengaruhi
mengingat rumah sakit yang menjai tempat perawat bekerja adalah
rumah sakit rujukan yang jumlah pasien sangat banyak. Selain
85
keterbatasan SDM, Keterbatasan alat dan tempat yang juga dapat
mempengaruhi perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap
penanganan kasus cedera kepala berikut penyataan dari partisipan 5.
“..terus, sokk kadang keterbatasan, alat karena yow, apa itu
namanya, pasien banyakk..” (P5).
“ .. sepandai - pandai kita merawat, kalau kita tidak punya alat
atau tempat sing (yang) untuk, menempatkan pasien yang, di yang
dimaksud, ini namanya juga bohong..” (P5).
Kendala pelayanan yang perawat ungkapkan menjadikan kurang
maksimalnya perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada
pasien khusunya pasien dengan cedera kepala hal ini juga didukung
oleh hasil observasi pada saat pasien banyak atau pasien melebihi
kapasitas, pasien harus rela ditempatkan pada tandu seadannya guna
menunggu mendapatkan ruang perawatan. Skema mengenai tema
Kendala pelayanan dapat dilihat pada gambar 4.6 berikut ini.
Gambar 4.6 Skema Tema: Kendala pelayanan
Pasien banyak
Kedisiplinan SDM
Tidak ada penanggung
jawab pasien
Pasien melebihi
kapasitas
Birokrasi panjang
Dokter belum datang
1. Ketidakhadiran keluarga
2. Pasien tanpa identitas
Birokrasi rumah sakit
pendidikan
Kendala
Pelayanan
1. Keterbatasan SDM
2. Keterbatasan alat dan
tempat
Keterbatasan Sarana
dan Prasarana
86
5. Tujuan khusus 5: Mengetahui harapan perawat dalam melakukan
ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di
instalasi gawat darurat RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Harapan perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap
penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat RS
Dr.Moewardi Surakarta di dapatkan dua tema yaitu kebutuhan
perbaikan manajemen dan kebutuhan peningkatan kualitas SDMBerikut
akan dijelaskan mengenai tema yang muncul.
1) Tema : Kebutuhan perbaikan manajemen
Perawat telah mengungkapkan beberapa hal mengenai peran
perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan
kasus cedera kepala yang dialami perawat selama ini baik dari
peran perawat maupun faktor pendukung dan penghambat dalam
mejalankan perannya, tentunya dari itu semua perawat mempunyai
harapan, harapan agar perawat dapat menjalankan perannya dengan
baik dan dapat memberikan pelayanan kesehatan yang baik kepada
pasien. Harapan yang pertama yang diungkapkan oleh perawat
adalah harapan akankebutuhan perbaikan manajemen,kebutuhan
perbaikan manajemen yanng diharapkan oleh perawat yaitu
perbaikan dari segi manajemen pelayanan yang mencakup
pelayanaan pasien, birokrasi dan manajemen.
Perawat mengungkapkan pelayanan pasien selama ini perlu
adanya peningkatan pelayanan karena selama ini pelayanan pasien
87
belum baik masih banyak kekurangan hal ini diungkapkan oleh
partisipan satu sebagai berikut :
“...untuk pelayanan aja, jadi kita mungkin waktu tanggap
darurat ke penerimaan pasien tepat..” (P1).
“..untuk manajemen disini, ya, itu aja pelayanan dan
penanganan pasien itu lebih ditingkatkan lagi...” (P1).
Selain perbaikan dari manajemen palayanan pasien perawat
juga berharap dari segi Birokrasi dapat diperbaiki karena sistem
birokrasi yang ada selama ini dinilai terlalu panjang oleh perawat
berikut pernyataan partisipan 3.
“...dari segi birokrasi, nya bisa di inii, diperpendek seperti
itu...” (P3).
Selanjutnya harapan perawat dalam hal perbaikan manajemen
agar manajemen pelayanan kepada pasien dapat ditingkatkan
dengan baik sehingga pasien mendapatkan pelayanan kesehatan
yang baik pula. Hal ini diungkapkan oleh partisipan 5 sebagai
berikut :
“..kalau saya sich, cuma, berharap ya baik, artine manajemen,
baik..” (P5).
Tema kebutuhan perbaikan manajemenperawat berharap agar
pelayanan pasien dapat diperbaiki lagi dan dari segi birokrasi dan
manajemen juga dapat ditingkatkan lagi sehingga perawat dapat
memberikan pelayanan kesehatan yang baik kepada setiap pasien
dan dapat menajalankan perannya dengan optimal. Skema
88
mengenai tema kebutuhan perbaikan manajemen dapat dilihat pada
gambar 4.7 berikut ini.
Gambar 4.7 Skema Tema: Kebutuhan perbaikan manajemen
2) Tema : Kebutuhan peningkatan kualitas SDM
Harapan perawat mengenai kebutuhan peningkatan kualitas
SDM terdiri dari harapan akan kompetensi perawat, komunikasi
antar TIM, dan etos kerja. Kompetensi perawat yang harus
ditingkatkan terus sesuai dengan kemajuan dan perkembanagan
ilmu keperawatan baik dari segi pendidikan dan pelatihan serta
ketrampilan.
Pendidikan dan pelatihan perawat berharap agar selalu
diperbaharui sesuai dengan perkembangan ilmu keperawatan baik
untuk pendidikan maupun untuk pelatihannya. Berikut pernyataan
dari 4 partsisipan.
“...jadi yang untuk pendidikan pelatihan harus di update
terus...” (P2).
“...ya, kan, ilmu itu berkembang , ya, tidak ada salahnya untuk
selalu ditambah untuk pelatihannya..” (P3).
“..Pelatihan, pelatihan itu juga, soal’e sinikan, berkembang
terus, terus, pelatihan-pelatihan..” (P4).
Pelayanaan
palayanan
Birokrasi
Manajemen
Manajemen
pelayanan
Kebutuhan perbaikan
manajemen
89
“...ya, kan yang namanyan pelayanan pendidikan, kan
berkembang ilmu kesehatan kan berkembang, ya, kita, selalu
meningkatkan, meningkatkan..” (P5).
“..dari segi pendidikan dan pelatihan yaa, Itu memang sangat
penting sekali, dan itu tidak bisa lepas ya, antara pelatihan
pendidikan, dan pengalaman..” (P5).
Selain dari segi pendidikan dan pelatihan perawat
mengungkapkan ingin meningkatkan keterampilan sebagai seorang
perawat agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik serta dapat
memberikan pelayanan kesehatan kepada semua pasien hal ini
sesuai dengan pernyataan 2 partsisipan sebagai berikut :
“...kalau mau ada yang mau belajar mungkin bisa ikut belajar,
boleh lagi, kalau dari pengetahuan dan keterampilan..” (P2).
“...karyawan di IGD katakanlah, belum lama, atau dipindah
la itu mungkin, skillnya gak ini, gak pinter – pinter menurut saya
seperti itu...” (P3).
Harapan perawat dalam meningkatkan keterampilan juga
dukung dengan harapan perawat yang lain yaitu harapan
meningkatkan komunikasi antar TIM agar dapat melakukan
penanganan pasien lebih cepat dan tertangani dengan baik.
Komunikasiyang diharapkan oleh perawat komunikasi yang terjadi
antar anggota tim sesama perawat maupun anggota tim medis lain
supaya terbentuknya suatu kerjasama antar anggota tim untuk
memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien hal ini
diungkapkan oleh 2 partisipan sebagai berikut :
90
“...di IGD ada perawat ,ada dokter, residence , jadi
komunikasi antar TIM baik, saya kira pelayanan juga akan baik..”
(P2).
“Iya komunikasi, itu, tapi kadang yo, piye ya mbk jeneng’e
teman, ( ya gimana ya mbk namanya juga teman)..” (P4).
“..saya ya semaksimal mungkin tapi saya juga butuh dukungan
dari teman, jadi dari partner, itu harus ada kerjasama..” (P4).
Harapan perawat selanjutnya yaitu perawat dapat
meningkatkan etos kerjadalam hal wawancara perawat
menyebutkan pentingnya meningkatkan ethos kerja yang
didapatkan dari dua hal yaitu jujur dan profesional sebagai seorang
perawat. Bersikap jujur sangat penting sebagai seorang perawat,
jujur dalam bekerja akan meningkatkan kinerja perawat dalam
memberikan pelayanan kepada pasien hal ini diungkapkan oleh
partisipan 4 sebagi berikut :
“...kita tu, seharus’e kerja tu ya apa adanya..” (P4).
Profesional juga menjadi suatu harapan dari perawat agar
kedepannya semua perawat dapat bekerja secara profesional
kepada semua pasien berikut pernyataan partisipan 5.
“..... perawat kesehatan ya, bisa profesional, yo, go
internasional katakanlah..” (P5).
Tema kebutuhan peningkatan kualitas SDMperawat berharap
untuk kedepannya bisa ditingkatkan lagi guna menunjang
peningkatan kualitas pelayanan rumah sakit kepada setiap pasien
yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Skema mengenai tema
91
kebutuhan peningkatan kualitas SDMdapat dilihat pada gambar 4.8
berikut ini.
Gambar 4.8 Skema Tema: Kebutuhan peningkatan kualitas SDM
1. Pendidikan dan
pelatihan
2. Ketrampilan
Komunikasi
1. Jujur
2. Profesional Etos kerja
Komunikasi antar
TIM
Kompetensi
perawat
Kebutuhan
peningkatan
kualitas SDM
92
BAB V
PEMBAHASAN
Tema – tema yang ditemukan dalam penelitian ini membentuk sebuah
keterkaitan yang dapat menggambarkan peran perawat terhadap ketepatan waktu
tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat RS
Dr.Moewardi Surakarta. Tema yang ditemukan selama penelitian ini akan
dijelaskan untuk bisa melihat hubungan antar fenomena. Keterkaitan antar tema
akan menggambarkan bagaimana peran perawat dalam melakukan ketepatan
waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat yang
dimulai dari persepsi perawat mengenai kasus cedera kepala, tindakan apa saja
yang perawat lakukan dalam ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera
kepala, faktor pendukung dan penghambat dalam melakukan ketepatan waktu
tanggap penanganan kasus cedera dan harapan perawat dalam melakukan
ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera.
1. Persepsi perawat mengenai kasus cedera kepala
Tema gambaran kasus cedera kepala yang dipersepsikan oleh perawat
adalah gambaran kasus cedera kepala yang dilihat dari penyebab cedera
kepala, manifestasi klinis cedera kepala ringan, manifestasi klinis cedera
kepala sedang dan manifestasi klinis cedera kepala berat. untuk penyebab
cedera kepala perawat menyebutkan bahwa penyebab cedera kepala itu akibat
dari trauma kecelakaan atau karena benturan baik secara langsung maupun
tidak langsung. Hal tersebut telah sesuai dengan konsep teori penyebab
93
cedera kepala Nurarif (2013) bahwa penyebab cedera kepala itu terjadi atas
cedera akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang
bergerak (Misalnya, alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang di
tembakkan ke kepala), cedera deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak
membentur obyek diam, seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika
ketika kepala membentur kaca depan mobil.
Cedera akselerasi – deselerasi sering terjadi dalam kasus kecelakaan
kendaraan bermotor dan episode kekerasan fisik, cedera coup – countre coup
terjadi jika kepala berbentur yang menyebabkan otak bergerak dalam ruang
kranial dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan
serta area kepala yang pertama kali terbentur Sebagai contoh pasien dipukul
di bagian kepala belakang, cedera rotasional terjadi jika pukulan atau
benturan menyebababkan otak berputar dalam rongga tengkorak, yang
mengakibatkan perenggangan atau robeknya neuron dalam substansia alba
serta robeknya pembuluh darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam
rongga tengkorak (Nurarif, 2013). Mansjoer dkk (2000), mekanisme cedera
kepala adalah trauma tumpul dengan kecepatan tinggi (tabrakan otomobil),
kecepatan rendah (terjatuh, dipukul) dan trauma tembus (luka tembus peluru
dan cedera kepala lainnya).
Persepsi perawat mengenai gambaran kasus cedera kepala juga dilihat
dari manifestasi klinis cedera kepala ringan yaitu pasien cedera kepala ringan
dengan manifestasi klinis pasien yang masih sadar nilai GCS 15-14, pasien
merasakan mual, nyeri kepala, pusing hal ini juga sesuai konsep teori dari
94
Nurarif (2013) dan Mansjoer dkk (2000) mengenai kasus cedera kepala Skala
Koma Glasgow (Glasglow Coma Scale, GCS) 14 – 15, dapat terjadi
kehilangan kesadaran dan tidak, amnesia, tetapi kurang dari 30 menit, tidak
ada fraktur tengkorak, tidak ada contusia cerebral dan hematoma, tidak ada
intoksikasi alkohol atau obat terlarang, pasien dapat mengeluh nyeri kepala
dan pusing, pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma kulit
kepala.
Perawat juga mengungkapkan menifestasi klinis pasien dengan cedera
kepala sedang yaitu pasien yang sudah mengalami penurunan kesadaran
dengan nilai GCS 7 – 13, pasien mengalami mual muntah, adanya hematoma
dan pasien nampak gelisah hal ini sesuai dengan konsep kasus cedera kepala
sedang dari Nurarif (2013) dan Mansjoer dkk (2000) yaitu pasien dengan
cedera kepala sedang GCS 9 – 13, kehilangangan kesadaran, amnesia lebih
dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam, konkusi, dapat mengalami fraktur
tengkorak, muntah, diikuti contusio cerebral, laserasi dan hematoma intra
cranial, tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata rabun,
hemotimpanum,otorea atau rinorea cairan serebrospinal).
Manifestasi klinis pasien dengan cedera kepala berat perawat
menyebutkan bahwa pasien cedera kepala berat adalah pasien yang tingkat
kesadaran koma dengan GCS 8 – 3, pasien juga tidak ada respon dan pasien
mengalami nyeri hebat hal ini sesuai dengan konsep kasus cedera kepala
sedang dari Nurarif (2013) dan Mansjoer dkk (2000) yaitu GCS 3 – 8,
kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam, juga
95
meliputi contusio cerebral, laserasi, atau hematoma intra cranial,tanda
neurologis fokal, cedera kepala penetrasiatau teraba fraktur depresikranium.
Pernyataan perawat diatas mengenai kasus cedera kepala yaitu perawat
mengambarkan kasus cedera kepala dari penyebab terjadinya cedera kepala
dan manifestasi klinis kasus cedera kepala ringan, sedang dan berat yang
telah diketahui selama menjalankan praktek klinik di rumah sakit dan
pernyataan tersebut juga telah sesuai dengan teori selama ini.
2. Tindakan perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap
penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat RSUD Dr.
Moewardi Surakarta .
1) Tema : Initial assasment
Tindakan yang dilakukan perawat dalam melakukan ketepatan
waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala yaang pertama dimulai
dari initial assasment yaitu perawat melakukan tindakan keperawatan
dimulai dari menilai kondisi pasien dari melakukan pemeriksaan awal
ketika menghadapi pasien. Pemeriksaan awal yang dilakukan perawat
adalah melakukan observasi awal yang menjadi kunci utama untuk
menentukan tindakan penanganan pasien. Hal ini telah sesuai dengan
konsep teori menurut Stevenson (2004) tujuan observasi adalah untuk
memantau kemajuan pasien, sehingga memastikan deteksi cepat dari efek
samping atau keterlambatan dalam pemulihan. Neiderhauser dan Arnold
(2004) mengidentifikasi pentingnya menilai status resiko kesehatan
pasien, dan indikasi untuk intervensi.
96
Perawat dalam melakukan primary survey ketika berhadapan
dengan pasien yaitu melakukan pemeriksaan airway, pengelolaan
breathing dan menilai kesadaran pasien/ Disability. Hal tersebut telah
sesuai dengan teori dari jordan (2000) bahwa pengkajian keperawatan
gawat darurat meliputi pengkajian primer dan pengkajian sekunder.
Pengkajian primer merupakan pengkajian yang dilakukan untuk
memperoleh data dasar tentang kondisi kegawatdaruratan pasien
sedangkan pengkajian sekunder merupakan pengkajian yang dilakukan
untuk memperoleh data lanjut dari data dasar untuk menemukan
abnormalitas secara lebih menyeluruh (Jordan, 2000; Iyer & Camp, 2004;
Depkes, 2005).
Perawat ketika menghadapi pasien cedera kepala melakukan
tindakan primary survey dan melakukan tindakan secondary survey.
Menurut Kartikawati (2013) setelah dilakukan primary survey dan
masalah yang terkait dengan jalan nafas, pernafasan, sirkulasi, dan status
kesadaran telah selesai dilakukan tindakan, maka tahapan selanjutnya
adalah secondary survey. Pada secondary survey pemeriksaan lengkap
dari head to toe.
Komponen secondary survey meliputi huruf F – I yang terdiri dari
Full set of vital sign (tanda - tanda vital), five intervensions (5 intervensi),
and facilitation of family presence (dan memfasilitasi kehadiran
keluarga), Give comfort measure (memberikan kenyamanan), History
and head – to – toe examination (riwayat pasien dan pemeriksaan mulai
97
dari kepala sampai kaki), Inspect the posterior surface (periksa
permukaan bagian belakang) (Kartikawati, 2013).
Tindakan secondary survey yang dilakukan perawat dalam
melakukan penanganan kasus cedera kepala yaitu full set of vital sign
dalam hal ini perawat melakukan pemeriksaan tekanan darah, nadi, five
intervensions untuk 5 intervensi perawat mengungkapakan melakukan
monitoring kepada pasien dan pemeriksaan CT- Scan, and facilitation of
family presence disini perawat selalu melibatkan keluarga dalam hal yang
menyangkut kepentingan pasien. Give comfort measure perawat selalu
memberikan posisi yang nyaman dan aman kepada pasien.
History and head – to – toe examination untuk history perawat
melakukan pengkajian pada pasien dengan menanyakan keluhan jika
pasien masih kooperatif. Dan untuk head – to – toe examination
pemeriksaan mulai dari kepala sampai kaki, perawat melakukan tindakan
head – to – toe examination kepada pasien cedera kepala memeriksa
kondisi pasien, luka pasien dari kepala sampai kaki walaupun terkadang
perawat tidak melakukan dengan detail tetapi perawat selalu melakukan
pemeriksaan head – to – toe examination pada pasien cedera kepala.
Inspect the posterior surface yaitu memeriksa permukaan bagian
belakang pasien, hal ini perawat tidak melakukan dengan detail perawat
hanya melihat kondisi secara keseluruhan yang dialami oleh pasien
cedera kepala.
98
2) Tema : Pengelolaan prioritas pasien
Melakukan tindakan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus
cedera kepala perawat juga melakukan pengelolaan pasien cedera kepala
tindakan ini dilakukan oleh perawat karena berkaitan dengan
pengelompokkan pasien cedera kepala guna menentukan kegawatan dan
penanganan pasien, perawat juga mengungkapakan dalam hal melakukan
pengelolaan pasien, perawat menggunakan triage sebagai alat untuk
menilai kegawatan pasien cedera kepala dan untuk menentukan
penanganannya. Hal ini didukung konsep teori Oman (2008) triage
mempunyai tujuan untuk memilih atau menggolongkan semua pasien
yang memerlukan pertolongan dan menetapkan prioritas penanganannya
triage memiliki fungsi penting di IGD terutama apabila banyak pasien
datang pada saat yang bersamaan. Hal ini bertujuan untuk memastikan
agar pasien ditangani berdasarkan urutan kegawatannya untuk keperluan
intervensi. Triage juga diperlukan untuk penempatan pasien ke area
penilaian dan penanganan yang tepat serta membantu untuk
menggambarkan keragaman kasus di IGD (Gilboy, 2005).
Melakukan pengelolaan prioritas pasien perawat juga menyebutkan
waktu tanggap penanganan pasien cedera kepala juga mempengaruhi
tindakan pengelolaan pasien. Waktu yang dibutuhkan perawat dalam
melakukan ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala
adalah waktu tanggap kurang dari 5 menit. Hal ini sesuai dengan teori
dari Standar IGD sesuai Keputusan Menteri Kesehatan tahun 2009 bahwa
99
indikator waktu tanggap di IGD adalah harus ≤ 5 menit. Waktu tanggap
yang dibutuhkan perawat dalam melakukan penanganan pasien cedera
kepala lebih lama dari standart waktu tanggap.
Hasil penelitian Haryatun (2005) dengan menghitung waktu
pelayanan pasien gawat darurat, cedera kepala dari pasien masuk pintu
IGD RSUD Dr.Moewardi Surakarta sampai siap keluar dari IGD
didapatkan rata-rata waktu tanggap pelayanan selama 98,33 menit
(kategori I resusitasi yaitu pasien memerlukan resusitasi segera, seperti
pasien dengan epidural atau sub dural hematoma, cedera kepala berat),
79,08 menit (kategori II pasien emergensi, seperti pasien cedera kepala di
sertai tanda-tanda syok, apabila tidak dilakukan pertolongan segera akan
menjadi lebih buruk), 78,92 menit (kategori III pasien urgent, seperti
cedera kepala disertai luka robek, rasa pusing), 44,67 menit (kategori IV
pasien semi urgent, keadaan pasien cedera kepala dengan rasa pusing
ringan, luka lecet atau luka superficial ), 33,92 menit (Kategori V “false
emergency”, pasien datang bukan indikasi kegawatan menurut medis,
cedera kepala tanpa keluhan fisik), terdapat perbedaan yang signifikan
waktu tanggap tindakan keperawatan pada pasien cedera kepala kategori
I – V dan Pasien cedera kepala kategori I memperoleh waktu tindakan
keperawatan lebih lama dan pasien cedera kepala kategori V memperoleh
waktu keperawatan yang lebih cepat. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan waktu tanggap tindakan pada
pasien cedera kepala kategori I – V.
100
Perawat selama ini melakukan waktu tanggap penanganan rata –
rata waktu yang dibutuhkan adalah kurang dari 5 menit waktu tanggap
pasien cedera kepala. Wilde (2009) telah membuktikan secara jelas
tentang pentingnya waktu tanggap bahkan pada pasien selain penderita
penyakit jantung. Mekanisme waktu tanggap, disamping menentukan
keluasan rusaknya organ-organ dalam, juga dapat mengurangi beban
pembiayaan. Waktu tanggap dari perawat pada penanganan pasien gawat
darurat yang memanjang dapat menurunkan usaha penyelamatan pasien
(Vitriase, 2014).
3) Tema : Perawat sebagai Care giver
Peran perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap
penanganan kasus cedera kepala adalah peran perawat sebagai care
giver, perawat sebagai care giver yaitu terdiri dari perawat
mendokumentasikan asuhan keperawatan dan melalukan tindakan
keperawatan baik secara mandiri maupun berkolaborasi dengan tenaga
medis lain dalam melakukan penanganan kasus cedera kepala. Hal ini
sesuai dengan teori Susanto (2012) peran perawat sebagai care giver atau
pemberi asuhan keperawatan yaitu Perawat memberikan asuhan
keperawatan profesional kepada pasien meliputi pengkajian, diagnosa,
intervensi, implementasi hingga evaluasi. Selain itu, perawat melakukan
observasi yang kontinu terhadap kondisi pasien, melakukan pendidikan
kesehatan, memberikan informasi yang terkait dengan kebutuhan pasien
sehingga masalah pasien dapat teratasi.
101
Perawat selalu mendokumentasikan kegiatan keperawatan dari
pasien datang jam berapa sampai tindakan apa saja yang telah dilakukan
oleh perawat yang nantinya akan di evaluasi oleh perawat. Disamping itu
perawat juga melakukan intervensi mandiri perawat, intervensi mandiri
perawat yang sering dilakukan oleh perawat ketika menghadapi pasien
cedera kepala yaitu menjaga keamanan dan kenyamanan. Menjaga
keamanan dan kenyamanan pasien ditujukan agar pasien terbebas dari
jatuh dan pasien merasa aman serta nyaman sehingga dapat mendukung
proses penanganan pasien hal ini sesuai dengan fungsi independen
perawat yaitu merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang
lain, dimana perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara
mandiri dengan keputusan sendiri dalam melakukan tindakan untuk
memenuhi kebutuhan dasar manusia (Widyawati, 2012).
Perawat sebagai pendidik pasien dan keluarga juga salah satu
intervensi mandiri perawat, perawat selalu memberikan edukasi kepada
pasien maupun keluarga pasien tentang kondisi pasien dan situasi yang
ada di IGD dan perawat juga selalu mengkomunikasikan segala hal yang
berkaitan dengan pasien baik dalam pemberian pelayanan atau inform
konsent kepada pasien dan keluarga. Kasus cedera kepala ini banyak
ditemui dirumah sakit dan bisa dialami oleh siapa saja dari anak – anak,
remaja, dan orang dewasa dalam hal ini perawat selalu memberikan
dukungan psikologis kepada pasien cedera kepala, dukungan psikologis
dalam hal ini diberikan oleh perawat melalui support mental hal ini
102
sesuai dengan konsep teori peran dan fungsi perawat gawat darurat
Musliha (2010) diantaranya memberikan dukungan emosional terhadap
pasien dan keluarganya.
Selain intervensi mandiri perawat, perawat juga melakukan in
tervensi kolaborasi. Intervensi kolaborasi yang dilakukan oleh perawat
yaitu intervensi kolaborasi dengan dokter maupun tenaga medis lain guna
menunjang penanganan pasien cedera kepala. Perawat dalam hal ini
selalu berkolaborasi dengan dokter mengenai obat dan penanganan
lanjutan yang akan diberikan kepada pasien agar pasien tertangani
dengan cepat dan tepat. Hal ini sesuai dengan fungsi perawat
interdependen adalah fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang
bersifat saling ketergantungan diantara tim satu dengan yang lainnya.
Fungsi ini dapat terjadi apabilabentuk pelayanan membutuhkan
kerjasama tim dalam pemberian pelayanan. Keadaan ini tidak dapat
diatasi dengan tim perawat saja melainkan juga dari dokter ataupun
lainnya (Widyawati, 2012).
3. Faktor – faktor yang mendukung perawat dalam melakukan
ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di
instalasi gawat darurat RSUD Dr. Moewardi Surakarta .
Faktor yang mendukung perawat dalam melakukan ketepatan
waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala yaitu iklim kerja
kondusif yang di dukung oleh motivasi internal, kerjasama tim baik dan
pemanfaatan sarana dan prasarana. Reichers dan Scheinder (1990, dalam
103
Aluguro, 2004) menyatakan iklim kerja diartikan sebagai persepsi
tentang kebijakan, praktek-praktek dan prosedur-prosedur organisasional
yang dirasa dan diterima oleh individu-individu dalam organisasi,
ataupun persepsi individu terhadap tempatnya bekerja. Pernyataan serupa
dikemukakan oleh Keith dan Davis (2001, dalam Pramono, 2004) yang
menyatakan iklim kerja menyangkut lingkungan yang ada atau yang
dihadapi individu yang berada dalam suatu organiasi yang
mempengaruhi seseorang yang melakukan tugas atau suatu pekerjaan.
Individu dalam suatu organisasi menganggap iklim kerja merupakan
sebuah atribut, dimana atribut ini digunakan dalam perwujudan bagi
keberadaan mereka di dalam organisasi.
Motivasi internal perawat adalah salah satu faktor yang
mendukung perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap
penanganan karena berkaitan dengan ilmu yang dimiliki perawat, amanah
dan tujuan menolong pasien hal ini sesuai dengan teori faktor-faktor yang
mempengaruhi prestasi kerja, menurut Mangkunegara (2007) faktor-
faktor tersebut antara lain: Faktor kemampuan dan Faktor motivasi.
Motivasi merupakan kemauan atau keinginan didalam diri seseorang
yang mendorongnya untuk bertindak (Depkes RI, 2002). Dan sebagai
perawat IGD juga harus siap dalam kondisi apapun untuk melakukan
pelayanan gawat darurat kepada setiap pasien sesuai dengan teori
Widiasih (2008) dalam memberikan bantuan pelayanan gawat darurat
petugas harus mempunyai 3 unsur kesiapan, antara lain adalah kesiapan
104
pengetahuan dan keterampilan karena erat kaitannya dengan upaya
penyelamatan langsung terhadap pasien.
Perawat dalam menciptakan iklim kerja yang kondusif juga
membutuhkan kerjasama tim baik yang diungkapkan oleh perawat bahwa
kerjasama tim baik itu didukung oleh komunikasi yang efektif dan kerja
tim baik hal ini didukung oleh konsep teori Amriany dkk (2004).
Karyawan akan merasa bahwa iklim organisasi menyenangkan apabila
suatu pekerjaan benar-benar dihargai, karyawan merasa diperlakukan
secara pantas, memperoleh pekerjaan yang menantang dan memuaskan
secara intrinsik, serta karyawan memperoleh kesempatan untuk maju.
Menurut Hutahaean (2005) iklim organisasi yang positif akan
memunculkan perilaku-perilaku inovatif yang muncul dari pemikiran-
pemikiran baru yang tidak terkekang dan mendapatkan dukungan dari
perusahaan, dan para karyawan mempunyai persepsi yang positif
terhadap keberfungsian organisasi. Hasil penelitian Rahmawatie, dkk
(2007) menunjukkan hubungan yang signifikan antara iklim organisasi
dengan kepuasan kerja perawat pelaksana.
4. Faktor – faktor yang menghambat perawat dalam melakukan
ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di
instalasi gawat darurat RSUD Dr. Moewardi Surakarta .
Faktor yang menghambat perawat dalam melakukan ketepatan
waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat
yaitu kendala pelayanan, kendala pelayanan terdiri dari birokrasi rumah
105
sakit pendidikan, kedisplinan SDM, tidak ada penanggung jawab pasien,
pasien melebihi kapasitas, keterbatasan sarana dan prasarana. Untuk
faktor penghambat birokrasi rumah sakit pendidikan ini perawat
mengungkapkan panjangnya birokrasi rumah sakit pendidikan dalam hal
pelaporan kepada dokter residen yang dinilai perawat mengakibatkannya
waktu penangan pasien mundur, hal ini sesuai dengan teori dari Green
dkk (2006) yang mengemukakan bahwa bahkan pada perubahan yang
sangat kecil dan sederhana dalam penempatan staf sangat berdampak
pada keterlambatan penanganan di IGD. Hal ini dapat terjadi karena pada
IGD Bedah, terdapat tambahan staf residen bedah umum dan pada IGD
Non-Bedah, penanganan awal sepenuhnya dilakukan oleh dokter dan
perawat triase.
Perawat juga mengungkapkan bahwa selama ini memberikan
pelayanan yang baik kepada setiap pasien, perawat selalu berupaya
dalam melakukan tugasnya dengan baik, tetapi hal ini tidak bisa
dialakukan dengan baik jika Pasien melebihi kapasitas hal ini telah sesuai
dengan teori American College of Emergency Physician (2008)
menuliskan bahwa pada IGD yang mengalami permasalahan
berlimpahnya jumlah pasien yang ingin mendapatkan pelayanan,
menempatkan seorang dokter di wilayah triase dapat mempercepat proses
pemulangan pasien atau discharge untuk pasien minor dan membantu
memulai penanganan bagi pasien yang kondisinya lebih sakit. Selain itu
tidak ada penanggung jawab pasien juga dapat menyebabkan
106
terhambatnya proses penanganan pasien karena segala sesuatu yang
berkaitan dengan administrasi yang menyangkut tentang tindakan pasien
itu juga harus ada penangung jawab baik pasien itu sendiri maupun
keluarga dekat atau kerabat. Perawat juga mengungkapkan pasien yang
terkadang datang tanpa identitas itu juga sangat menghambat perawat
dalam melakukan penanganan karena ini berkaitan dengan dokumentasi
keperawatan dan perkembanagan pasien hal ini juga akan berpengaruh
pada penanganan pasien.
Kedisiplinan SDM juga salah satu faktor yang menghambat
perawat dalam melakukan tugas dan perannya mengingat perawat
memberikan jasa pelayanan kesehatan yang akan berpengaruh pada
kelangsungan hidup pasien. Menurut (Nursalam, 2011), mengatakan
disiplin adalah setiap perseorangan dan juga kelompok yang menjamin
adanya kepatuhan terhadap perintah dan berinisiatif untuk melakukan
suatu tindakan yang diperlukan seandainya tidak ada perintah. Jika
dispilin tidak diterapkan dalam kerja berarti tidak adanya kepatuhan
terhadap perintah dan tidak adanya inisiatif melakukan suatu tindakan
dalam melakukan pekerjaan khusunya para tenagan medis yang bekerja
untuk pasien yang membutuhkan pelayanan kesehatan yang menyangkut
kesehatan setiap pasien.
Faktor penghambat karena kurangnya sarana dan prasarana yang
diungkapkan oleh perawat yang mengakibatkan telatnya pemberian
pelayanan kepada pasien ini juga sesuai dengan teori Canadian of
107
Association Emergency Physician (2012) menuliskan bahwa kejadian
kurangnya stretcher untuk penanganan kasus yang akut berdampak serius
terhadap kedatangan pasien baru yang mungkin saja dalam kondisi yang
sangat kritis. Notoatmodjo (2003) dimana sarana dan prasarana yakni
suatu alat penunjang yang mendukung pelayanan kesehatan. Dimana hal
tersebut sesuai dengan teori Muninjaya (2004) dukungan peralatan untuk
staf pegawai rumah sakit bertujuan untuk meningkatkan kinerja mereka.
5. Harapan perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap
penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat RSUD
Dr. Moewardi Surakarta .
1) Tema : Kebutuhan perbaikan manajemen
Harapan perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap
penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat RS
Dr.Moewardi Surakarta yaitu kebutuhan perbaikan manajemen.
Dalam hal ini perawat mengungkapkan kebutuhan perbaikan
manajemen yang diharapkan oleh perawat yaitu perbaikan dari segi
manajemen pelayanan yang mencakup pelayanan pasien, birokrasi
dan manajemen. Menurut Andrew F. Sikula (dalam buku Hasibuan,
2008). manajemen pada umumnya dikaitakan dengan aktivitas –
aktivitas perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing),
pengendalian (controlling), penempatan (staffing), pengarahan
(leading), pemotivasian (motivating), komunikasi (communicating)
dan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh setiap organisasi
108
dengan tujuan untuk mengkoordinasikan berbagai sumber daya yang
dimiliki oleh perusahaan sehingga akan dihasilkan suatu produk atau
jasa secara efisien.
Kebutuhan perbaikan manajemen akan meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan kepada pasien rumah sakit. Mutu pelayanan
kesehatan adalah derajat dipenuhinya kebutuhan masyarakat atau
perorangan terhadap asuhan kesehatan yang sesuai dengan standart
profesi yang baik dengan pemanfaatan sumber daya secara wajar,
efisien, efektif dalam keterbatasan secara aman dan memuaskan
pelanggan sesuai dengan norma dan etika yang baik (Bustami,
2011).
Meningkatkan mutu pelayanan berarti juga akan berdampak
pada kepuasan pelayanan kesehatan yang dirasakan oleh pasien yang
datang ke rumah sakit menurut Ningsih dkk (2013) kepuasan pasien
dapat dipengaruhi oleh mutu pelayanan kesehatan yang diberikan
oleh rumah sakit sebagai provider, dimana mutu pelayanan
kesehatan bagi pasien berarti empati, respek dan tanggap akan
kebutuhannya, dalam hal ini kebutuhan pelayanan yang diberikan
oleh petugas kesehatan. Sedangkan mutu pelayanan kesehatan bagi
petugas berarti bebas melakukan segala sesuatu secara profesional.
Untuk meningkatkan derajat kesehatan pasien dan masyarakat sesuai
dengan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang memadai serta
terlindungi oleh aturan perundang – undangan yang berlaku.
109
2) Tema : Kebutuhan peningkatan kualitas SDM
Harapan perawat mengenai kebutuhan peningkatan kualitas
SDM terdiri dari harapan akan kompetensi perawat, kerjasama antar
TIM, dan ethos kerja. Kompetensi perawat yang harus ditingkatkan
terus sesuai dengan kemajuan dan perkembanagan ilmu keperawatan
baik dari segi pendidikan dan pelatihan serta ketrampilan.
Dalam hal Pendidikan dan pelatihan perawat berharap agar
selalu diperbaharui sesuai dengan perkembangan ilmu keperawatan
baik untuk pendidikan maupun untuk pelatihannya. Perawat ingin
selalu meningkatkan pengetahuannya agar dapat memberikan
pelayanan yang baik kepada pasien sesuai dengan kemampuan dan
pengetahuan yang dimiliki perawat. Hal ini sesuai dengan teori
Irmayanti et all (2007) bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pengetahuan seseorang yaitu pendidikan, media,
keterpaparan informasi, pengalaman, dan juga lingkungan. Pelatihan
merupakan metode yang terorganisir untuk memastikan bahwa
individu memiliki pengetahuan dan keterampilan tertentu dalam
mengerjakan kewajiban dan tanggung jawab pekerjaan yang lebih
baik (Marquis & Huston, 2006).
Kerjasama antar tim juga dapat meningkatkan kualitas SDM,
karena komunikasi dapat meningtkatkan kerjasama tim yang dapat
mempermudah perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap
penanganan kasus cedera kepala Menurut Baker et all (2005) kerja
110
tim sangat dibutuhkan diantara tim medis untuk meningkatkan
keselamatan pasien melalui pengurangan kesalahan-kesalahan akibat
adanya kerjasama tim antara petugas medis. Hal tersebut sesuai
dengan yang dikemukakan Sarwono (Darmanelly, 2000) bahwa
kerjasama tim dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kesesuaian,
mempercayai anggota tim, kesediaan untuk mengalah, kemampuan
menyampaikan kritik, kesediaan memperbaiki diri, solidaritas
kelompok, tanggung jawab, dan pemantaun secara berkala.
Etos kerja perawat juga dapat meningkatkan kualitas SDM
dalam hal ini perawat menungkapkan ingin jujur dan profesional
dalam bekerja hal ini sudah sesuai dengan konsep teori Suatu
pandangan dan sikap terhadap kerja dikenal dengan istilah etos kerja
(Anoraga, 2001). Tasmara (2002) mengatakan bahwa etos kerja
adalah suatu totalitas kepribadian dari individu serta cara individu
mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna
terhadap sesuatu yang mendorong individu untuk bertindak dan
meraih hasil yang optimal (high performance). Dalam hal ini
perawat mengatakan bahwa ingin bekerja jujur dalam setiap
menjalankan perannya ketika berhadapan dengan pasien dan bekerja,
baik dalam melakukan hal yang menyangkut pelayanan pasien yang
datang di ruang instalasi gawat darurat dan perawat juga berharap
perawat juga dapat bersikap profesional dalam menjalankan
111
tugasnya sebagai seorang perawat yang nantinya akan menciptakan
suatu bentuk pelayanan kesehatan yang baik.
112
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan dari penelitian yang
telah didapat mengenai tema-tema yang telah dianalisa. Kesimpulan akan
menjelaskan dan menjawab dari tujuan – tujuan khusus dan masalah – masalah
yang sudah dirumuskan. Selain itu, pada bab ini akan dijelaskan mengenai saran
yang dapat diberikan untuk praktisi dan penelitian selanjutnya.
6.1 Kesimpulan
Peran perawat terhadap ketepatan waktu tanggap penanganan kasus
cedera kepala di instalasi gawat darurat menghasilkan 8 tema dari 5 tujuan
khusus sebagai berikut:
6. Gambaran kasus cedera kepala yang dipersepsikan oleh perawat yaitu
gambaran kasus cedera kepala yang dilihat dari penyebab cedera
kepala, manifestasi klinis cedera kepala ringan, manifestasi klinis
cedera kepala sedang dan manifestasi klinis cedera kepala berat.
7. Tindakan keperawatan dalam melakukan ketepatan waktu tanggap ada
tiga yaitu initial assasment, pengelolaan prioritas pasien dan perawat
sebagai care giver. Initial assasment adalah tindakan perawat yang
terdiri dari dua komponen yaitu menilai kondisi pasien dan melakukan
primary survey, pengelolaan prioritas pasien yang terdiri dari
pengelompokkan pasien dan waktu tanggap penanganan pasien cedera
kepala, perawat sebagai care giver yang diaplikasikan dengan membuat
113
asuhan keperawatan, intervensi mandiri perawat dan intervensi
kolaborasi perawat
8. Faktor yang mendukung perawat dalam melakukan ketepatan waktu
tanggap adalah iklim kerja kondusif. Iklim kerja kondusif faktor yang
mendukung perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap
penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat yang
dipengaruhi 3 komponen yaitu motivasi internal, kerjasama tim baik,
pemanfaatan sarana dan prasarana.
9. Faktor yang menghambat perawat dalam melakukan ketepatan waktu
tanggap adalah kendala pelayanan. Kendala pelayanan faktor yang
menghambat perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap
penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat dipengaruhi
oleh 5 komponen yaitu birokrasi rumah sakit pendidikan, kedisiplinan
SDM, tidak ada penanggung jawab pasien, pasien melebihi kapasitas,
keterbatasan sarana dan prasarana.
10. Harapan perawat dalam melakukan ketepatan waktu tanggap
penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat adalah
kebutuhan perbaikan manajemen yaitu manajemen pelayanan, dan
kebutuhan peningkatan kualitas SDM yaitu kompetensi perawat,
komunikasi antar tim, dan ethos kerja.
114
6.2 Saran
1. Bagi Rumah Sakit
a. Memberikan pendidikan dan pelatihan yang spesifik mengenai
manajemen emergency cedera kepala.
b. Melengkapi sarana prasarana ruangan untuk dapat membantu
dalam upaya penanganan pasien.
c. Menggunakan hasil penelitian ini sebagai masukkan dalam
mengembangkan kualitas pelayanan kepada pasien.
d. Memberikan reward kepada perawat IGD atas usaha yang
maksimal dalam memberikan pelayanan kesehatan sebagai upaya
meningkatkan motivasi kerja perawat IGD.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan,
sebagai bahan bacaan dan referensi guna meningkatkan mutu
pendidikan mengenai peran perawat terhadap ketepatan waktu tanggap
penanganan kasus cedera kepala di instalasi gawat darurat.
3. Bagi Peneliti lain
Pada penelitian ini didapatkan hasil mengenai peran perawat
terhadap ketepatan waktu tanggap penanganan kasus cedera kepala di
instalasi gawat darurat, untuk penelitian selanjutnya dibutuhkan
pengembangan secara luas mengenaiketepatan waktu tanggap
penanganan kasus cedera kepala terkait dengan time waiting for
physician initial assessment (waktu tunggu penilaian awal)dan length of
115
stay (waktu tinggal pasien di IGD), yang dilakukan di tempat yang
berbeda serta perbedaan partisipan dan fenomena yang terjadi.
4. Bagi Peneliti
Pada penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan
memperdalam ilmu peneliti tentang penelitian kualitatif, serta
pengalaman dalaam melaksanaan penelitian peran perawat terhadap
ketepatan waktu tanggap penanganan kasus kegawat daruratan di
instalasi gawat darurat khususnya kasus cedera kepala.
Lampiran 17
DAFTAR PUSTAKA
Advanced Trauma Life Support For Doctors. 7th
edition. 2004
Afidah, 2013. Gambaran Pelaksanaan Peran Advokat Perawat Di Rumah Sakit
Negeri Di Kabupaten Semarang. Diakses 26 november 2014
Afiyanti yati dan rachmawati imami. 2014. Netodologi penelitian kualitatif dalam
riset keperawatan. PT.raja grafindo. Jakarta
Ali, Zaidin H. 2002. Dasar-Dasar Keperawatan Profesional. Jakarta: EGC.
Aluguro, Kukuh Sudarmanto. 2002. Analisis Pengaruh Iklim Kerja Terhadap
Kepuasan Kerja Pegawai di Sekretariat Daerah Kota Semarang.
Program Studi Magister Manajemen Universitas Diponegoro Semarang.
American College of Emergency Physician. (2008). Emergency Department
Crowding: High-Impact Solutions. (On Line),
(http://ebookbrowse.com/emergency-department-crowdinghigh-impact-
solutions-acep-task-force-on-boarding-april-2008-pdf-d319291546,
Amriany dkk. (2004). Iklim Organisasi Yang Kondusif Meningkatka Kedisiplinan
Kerja. Jurnal Indonesia Psikologi Anima. Hal. 179-193
Anoraga, Pandji. 2001. Psikologi Kerja. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Australian College of Emergency Medicine. 2000. The Australian Triage Scale.
Carlton Vic.: Publisher.
Baker, D.P., et al. 2005. Medical teamwork and patient safety:the evidence-based
relation. Publication No.050053. (Rockville,MD:Agency for healthcare
research and quality. http://ahrg.gov/qual/medteam,
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol.1.
Jakarta: EGC.
Bustami, 2011. Penjamin Mutu Pelayanan Kesehatan & Askeptabilitasnya :
Penerbit Erlanggan, Jakarta.
Canadian Association emergency Physician.(2012).overcrowding. (On Line),
(http://www.caep.ca/advocacy/overcrowding).
Critchley G, Memon A. Epidemiology of Head Injury in head injury: a
multidisciplinary approach, ed. Peter C. Whitfield, Elfyn O. Thomas, Fiona
Summers, Maggie Whyte and Peter J. Hutchinson. Cambridge University
Press. 2009. P 1-9.
Lampiran 17
Cresswell, J. W. (2013). Qualitative researche. 3th ed. Thousand Oaks: Sage
Publications.
Darmanelly. 2000. Analisis terhadap kerjasama tim dalam rangka meningkatkan
mutu layanan puskesmas di wilayah Kota Pontianak tahun 2000. Skripsi.
Jakarta: Universitas Indonesia.
Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013.
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesda
s%202013.pdf, Diakses tanggal 10 Desember 2014
Departemen kesehatan RI, 2002 Standar Tenaga Keperawatan Di Rumah Sakit,
Direktorat Pelayanan Keperawatan Direktoral Jenderal Pelayanan Medik.
Diakses tanggal 24 november 2014.
Departemen kesehatan (2005). Pedoman Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat
Di Rumah Sakit. Direktoral Keperawatan Dan Pelayanan Medik,
Direktoral Jenderal Bina Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI.
Jakarta.
Etty Nurul Afidah, (2013).Gambaran Pelaksanaan Peran Advokat Perawat Di
Rumah Sakit Negeri Di Kabupaten Semarang. Diakses pada tanggal 26
November 2014.
Faridah, (2009). Hubungan Pengetahuan Perawat Dan Peran Perawat Sebagai
Pelaksana Dalam Penanganan Pasien Gawat Darurat Dengan Gangguan
Sistem Kardiovaskuler. Diakses pada tanggal 27 November 2014
Fitzgerald, Gerald and Jelinek, George and Scott, Deborah A. and Gerdtz, Marie
F. (2009) Emergency department triage revisited.Emergency Medicine
Journal. Diakses pada tanggal 10 desember 2014.
Green L.V., Soares J., Giglio J.F., Green R.A.,.(2006). Using Queueing Theory to
Increase the Effectiveness of Emergency Department Provider Staffing,
(On Line),
(http://www.hbs.edu/units/tom/seminars/2007/docs/lgreen3.pdf, diakses
tanggal 20 Juli 2012)
Gilboy, N. (2005). Australasian triage scale.Australia: Emergency Department.
Haryatun. 2005.Perbedaan Waktu Tanggap Tindakan Keperawatan Pasien Cedera
Kepala Kategori 1 – V Di Instalasi Gawat Darurat Rsud Dr. Moewardi.
Diakses pada tanggal 24 November 2014.
Lampiran 17
Hutahaean, E. S. (2005). Kontribusi Pribadi Kreatif Dan Iklim Organisasi
Terhadap Perilaku Inovatif. Jurnal PESAT. Hal. 159-167.
Hudak and Gallo, 2012. Keperawatan kritis volume 1 & 2 edisi 8.EGC,jakarta.
Hasibuan, S. P, Malayu. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : CV
Haji Masagung.
Irawan H, Setiawan F, Dewi, Dewanto G. Perbandingan Glasgow Coma Scale dan
Revised Trauma Score dalam Memprediksi Disabilitas Pasien Trauma
Kepala di Rumah Sakit Atma Jaya. Majalah Kedokteran Indonesia. 2010.
Available from http://indonesia.digitaljournals.org/
index.php/idnmed/article/download/.../745. Diakses tanggal 24
November 2014.
Irmayanti et al, 2007. MPKT Modul 1. Lembaga Penerbitan FEUI : Jakarta.
Iyer, P. W. dan Camp, N. H. (2004). Dokumentasi Keperawatan: Suatu
Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta: EGC
Japardi I. Penatalaksanaan Cedera Kepala Secara Operatif. 2005. Available from
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi61.pdf.
Diakses tanggal 25 November 2014.
Jordan. K,S (2000). Emergency Nursing Core Curriculum. Fiftth Edition.
Saunders Company. USA. P 356 – 358.
Kartikawati, 2013. Buku Ajar Dasar – Dasar Keperawatan Gawat Darurat.
Salemba Medika. Jakarta
Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia.(2009). Standar Instalasi Gawat
Darurat (IGD)Rumah Sakit. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik
Indonesia. Diakses tanggal 26 November 2014
Krisanty, P. (2009). Asuhan keperawatan.Jakarta: Trans Info Media.
Kusnanto. 2004. Pengantar Profesi dan Praktik Keperawatan Profesional.Jakarta:
EGC.
Oman, Kathleen S. (2008). Panduan belajar keperawatan emergensi. Jakarta :
EGC.
Pramono, Agus. 2004. Analisis Keterampilan Kerja dan Iklim Kerja terhadap
Kualitas Pelayanan Keperawatan di Ruang Rawat Inap RSU H.Sahudin
Lampiran 17
Kutacane. Medan: Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera
Utara.
Polit, D. F, Beck, C.T and Hungler, B.P.(2004). Nursing researce : princples and
methods.7th
edition. Philadelpia : lippincottt willian & wilkins.
Polit, D.F & Beck, C.T. 2010.generalization in quantitative and qualitative
research : myths and strategies. Internasional journal of nursing studies,
47,1451 – 1458.
Mangkunegara, A. P, 2007. Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia, Cetakan
ketiga. Bandung : Penerbit PT Refika Adi tama.
Mansjoer dkk,2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 jilid 2.jakarta:media
aesculapius fakultas kedokteran universitas indonesia.
Marquis, B. L. & Huston, C.J. 2006. Leadership roles and management functions
in nursing: theory and application. Philidelphia: Lippincott William &
Wilkins.
Miranda, dkk. 2014. Gambaran Ct Scan Kepala Pada Penderita Cedera Kepala
Ringan Di BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode 2012 –
2013. Diakses tanggal 24 November 2014.
Moleong. Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Muninjaya, A. A. Gde. 2004. Manajemen Kesehatan. Jakarta : Buku Kedokteran
EGC.
Musliha, 2010. Keperawatan Gawat Darurat Plus Contoh Askep Dengan
Pendekatan NANDA, NIC, NOC. Nuha medika, yogyakarta.
Muwardi, 2003. Materi Pelatihan PPGD. Surakarta.
Neiderhauser, V. Arnold, M. (2004) Assess health risk status for intervention and
risk reduction. Nurse Practitioner; 29: 2, 35–42.
Ningsih dkk, 2013. Analisis Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan Pada Rumah
Sakit Islam Karawang.
Notoadmojo, Soekidjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-prinsip Pasar.
Jakarta : PT. Rineka Cipta
Nurfaise. Hubungan Derajat Cedera Kepala Dan Gambaran CT Scan Pada
Penderita Cedera Kepala Di RSU dr. Soedarso Periode Mei – Juli 2012.
Lampiran 17
2012. Available from jurnal.untan.ac.id/index.php/jfk/
article/download/1778/1726. Diakses tanggal 25 November 2014.
Nurarif, 2013. aplikasi asuahan keperawatan berdasarkan diagnosa medis dan
NANDA NIC – NOC, edisi revisi jilid 1 & 2.media action publishing
.yogyakarta.
Nursalam & Pariani (2001), Pendekatan Praktis; Metodologi Riset Keperawatan,
Sagung Seto, Jakarta. (hal 64 – 66).
Nursalam (2011), Manajemen Keperawatan: Aplikasi Dalam Praktik
Keperawatan Profesional Edisi 3. Salemba Medika, Jakarta.
Rahmawatie, Dyah dan Utami, RB. (2007). Hubungan Iklim Organisasi Dengan
Kepuasan Kerja Perawat Pelaksana Di Ruang Rawat Inap RS PKU
Muhammadiyah Karanganyar. http://www.skripsistikes.wordpress.com
Saryono. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif dalam Bidang Kesehatan.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Sastrohadiwiryo. S., B. 2002. Manajemen Tenaga Kerja Indonesia ; Pendekatan
Administrasi dan Operasional. Jakarta : Buki Aksara.
Sudarma, M. 2008. Sosiologi Untuk Kesehatan. Jakarta : Salemba
Medika.[online].http://books.google.co.id/books?id=1N7yMcvYLhYC&
pg=PA30IA40&dq=pengertian+peran&hl=id&sa=X&ei=X_yEUengA4
GMrgf98oDABA&redir_esc=y#v=onepage&q=pengertian%20peran&f=
false. Diakses tanggal 27 November 2014.
Sugiyono. 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta
Suhartati et al . (2011). Standar Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat di
Rumah Sakit. Jakarta: Kementrian Kesehatan
Susanto, Tantut. 2012. Buku Ajar Keperawatan Keluarga. Jakarta: Trans Info
Media.
Sutopo, HB. 2006. Metode Penelitian Kualitatif, Surakarta: UNS Press.
Satyanegara.ilmu bedah saraf edisi IV.gramedia pustaka utama.tanggerang,2010.
Stevenson, T. (2004) Achieving best practice in routine observation of hospital
patients. Nursing Times; 100: 30, 34.
Tasmara, Toto. 2002. Etos Kerja Islami. Jakarta: Gema Insani Press.
Lampiran 17
Triage In The Emergency Department The Western Australian Centre For
Evidence Informed Healthcare Practice Curtin University.2011. Online
document available at: www.wacebnm.curtin.edu.
au/workshops/Triage.pdf Diakses pada tanggal 10 desember 2014.
Virgianti Nur Faridah, (2009).Hubungan Pengetahuan Perawat Dan Peran Perawat
Sebagai Pelaksana Dalam Penanganan Pasien Gawat Darurat Dengan
Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Diakses pada tanggal 27 November
2014.
Vitriase. 2014. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Response Time Perawat
Pada Penanganan Pasien Gawat Darurat Di IGD RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado. Diakses tanggal 24 November 2014
Wilde, E. T. (2009). Do Emergency Medical System Response Times Matter for
Health Outcomes?.New York: Columbia University.
Wa Ode Nur Isnah Sabriyati ( 2012 ).Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Ketepatan Waktu Tanggap Penanganan Kasus Pada Response Time I Di
Instalasi Gawat Darurat Bedah Dan Non-Bedah Rsup Dr. Wahidin
Sudirohusodo. Di akses tanggal 24 November 2014.
Widiasih, Ni Luh (2003), Peran Perawat Anastesi Dalam Kegawatdaruratan,
Surabaya (Makalah disampaikan pada Seminar Kursus Penyegaran
Keperawatan Anastesi). (hal 27 – 34). Penulis adalah Staf Pengajar
STIKES Muhammadiyah Lamongan.
Wong, D. L., Hockenberry, M., Wilson, D., Winkelstein, L. M., & Schwartz, P.
(2009). Buku ajar keperawatan pediatrik Wong (6th ed.). (E. K. Yudha,
D. Yulianti, N. B. Subekti, E. Wahyuningsih, M. Ester, Penyunt., & N. J.
Agus Sutarna, Penerjemah). Jakarta: EGC.
Widodo. 2007.Hubungan Beban Kerja Dengan Waktu Tanggap Perawat Gawat
Darurat Menurut Persepsi Pasien Di Instalasi Gawat Darurat Rsu Pandan
Arang Boyolali. Diakses tanggal 25 November 2014.
Widyawati, 2012. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : prestasi pustaka
Yoon, P., Steiner, I., Reinhardt, G.(2003). Analysis of factos influencing length of
stay in the emergency departments, (Online).
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17472779,) Diakses tanggal 26
November 2014.
Lampiran 17