Penyelesaian perselisihan dalam hukum adat aceh

7

Click here to load reader

Transcript of Penyelesaian perselisihan dalam hukum adat aceh

Page 1: Penyelesaian perselisihan dalam hukum adat aceh

Penyelesaian Perselisihan Dalam Hukum Adat Aceh

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ada beberapa hal yang perlu pengkajian ulang dalam sistem hukum indonesia. Misalnya saja

dalam hal penyelesaian perkara yang kadang-kadang tidak efektif bagi masayarakt sekitar. Selalu

saj ada kendala yang dihadapi oleh masyarakt. Mulai dari ketidaktahuan mareka terhadap hukum

positif juga karena rumitnya procedure dan banyaknya biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat

itu sendiri. Sehingga tidak efektive dan fleksiblenya suatu pelaksanaan hukum.

Dengan berbagai alasan diatas telah membuat masyarakat berpaling kepada hukum yang menjadi

kebiasaan mareka dalam menyelesaikan perkara mareka yakni hukum adat yang mareka kenal.

Apalagi sekarang telah adanya undang-undang yang mengatur tentang lembaga adat dan

penyelesaian secara adat. Kita warga Aceh perlu bersyukur dengan di akuinya hukum adat di

dalam struktur undang-undang dan pemerintahan. Walaupun lembaga adat yang di akui tidak

berperan penuh dalam suatu perkara.

Misalnya saja penyelesaian suatu perkara pidana, yang kemungkinan besar tidak dapat

diselesaikan secara adat. Karena tidak semuanaydapat diselesaikan dengan cara hukum adat. Dan

keterbatasan dari pada waktu penyelesaian terhadap suatu perkara.

Di dalam makalah ini, kami mencoba membahas mulai dari teori sampai kepada teknis cara

penyelesaian perkara pidana dalam hukum adat Aceh, serta sanksi yang diberikan kepada

pelanggar hukum adat. Kami tidak melakukan perbandingan dengan hukum adat lainnya karena

hampir keseluruhan hukum adat sama sistemnya. Misalnya saja semua hukum adat sepakat dengan

sistem musyawarah. Walaupun ada perbedaan secara teknis dari setiap hukum adat yang berlaku

di Indonesia.

Page 2: Penyelesaian perselisihan dalam hukum adat aceh

BAB II

PEMBAHASAN

A. Hukum Adat Hukum adat sama dengan hukum lainnya yang hidup dan berkembang didalam masyarakat.

Hukum adat merupakan panutan dan implementasi sikap atau watak (geist) dari praktek sehari-

hari dalam tatanan kehidupan masyarakat yang lebih bersifat etnis atau kelompok masyarakat

dalam suatu negara. Sifat dan bentuknya bernuansa tradisional dan pada dasarnya tidak tertulis

serta bersumber dari adat istiadat atau kebiasaan mareka sendiri. [1]

Seperti halnya hukum adat yang berlaku di seluruh Indonesia khususnya aceh. Hukum tersebut

berkembang di dalam tatanan kehidupan orang aceh, yang tentunya berbeda adat istiadatnya

dengan hukum adat yang berada di wilayah Indonesia yang lain. Kita patut bergembira karena

Hukum adat di aceh telah menampakkan perkembangan, walaupun prakteknya dalam kehidupan

sehari-hari masih sangat tidak sesuai dengan yang diharapkan. Namun, Aceh telah mempunya i

wewenang didalam konstitusi[2] artinya hukum adat yang berlaku di Aceh telah mendapatkan

pengakuan dari pemerintah. Walaupun letak hukum adat aceh tidak setara dengan hukum positif,

akan tetapi aceh di berikan kesempatan kepada aparatur hukum adat untuk menyelesaikan perkara

dalam jangka waktu 1 bulan. [3]

Hukum adat merupakan alternative yang sangat efektive bagi masyarakat setempat terutama aceh.

Ada tiga penyebab utama dipergunakannya cara non-ligitas dalam penyelesaian sengketa terutama

Penyelesaiannya di luar pengadilan dengan cara perdamaian. Pertama,di Indonesia tata cara

penyelesaian sengketa damai telah lama dan biasa dipakai oleh masyarakat Indonesia.[4] Hal ini

dapat dilihat dari hukum adat yang menempatkan kepala adat sebagai penengah dan memberi

putusan adat bagi sengketa di antara warga. Kedua, adanya ketidakpuasaan atas penyelesaian

perkara melalui pengadilan, seperti mahalnya ongkos perkara, lamanya waktu dan rumitnya

beracara, maka berbagai negara di dunia termasuk Indonesia mulai berpaling kepada penyelesaian

perkara secara non ligitimasi di luar pengadilan. Ketiga, pada masyarakat Indonesia (Aceh)

terdapat kecenderungan menyelesaikan sengketa dengan cara adat Sebagai sarana penyelesaian

sengketa hukum nonligitasi sampai saat ini masih efektif, walaupun tidak sepenuhnya baik dalam

aspek perdata maupun aspek pidana.

Page 3: Penyelesaian perselisihan dalam hukum adat aceh

B. Penyelesaian Perselisihan Dalam Adat Aceh

Sengketa atau perselisihan adat Menurut Qanun no. 9 tahun 2008, meliputi:

1. perselisihan dalam rumah tangga;

2. sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh;

3. perselisihan antar warga;

4. khalwat meusum;

5. perselisihan tentang hak milik;

6. pencurian dalam keluarga (pencurian ringan);

7. Perselisihan harta sehareukat,

8. pencurian ringan;

9. pencurian ternak peliharaan;

10. pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan;

11. persengketaan di laut;

12. persengketaan di pasar;

13. penganiayaan ringan;

14. pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat);

15. pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik;

16. pencemaran lingkungan (skala ringan);

17. ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan

18. perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat.

Sedangkan jenis sanksi yang diberikan kepada pelanggar hukum adat dalam Pasal 16 Qanun no. 9

tahun 2008 tentang Jenis-jenis Sanksi Adat antara lain:

1. nasehat;

2. teguran;

3. pernyataan maaf;

4. sayam; (semacam peusijuek)

5. diyat;

6. denda;

7. ganti kerugian;

8. dikucilkan oleh masyarakat gampong;

9. dikeluarkan dari masyarakat gampong;

Page 4: Penyelesaian perselisihan dalam hukum adat aceh

10. pencabutan gelar adat; dan bentuk sanksi lainnya sesuai dengan adat setempat

Sedangkan menurut perda no. 7 tahun 2000 pasal 19 menyebutkan sanksi yang diberikan juga

sama dengan yang tersebut di dalam qanun di atas.

Dalam pelaksanaan atau dalam mengadili pelanggar hukum adat tidak boleh sembarangan orang

ada orang-orang yang ditunjuk sendiri atau ada heirarki sendiri dalam hukum adat, yaitu Pelaksana

Penyelesaian Sengketa Adat di Gampong atau Mukim. Para pelaksana tersebut yaitu:

Keuchik;

imeum meunasah;

tuha peut;

sekretaris gampong;

ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya yang relevan

imeum mukim;

imeum chik,

tuha peut;

sekretaris mukim;

ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya yang relevan.

Terdapat beberapa metode dan pola penyelesaian sengketa yang dilakukan dalam penyelesaian

setiap perkara yang terjadi di dalam masyarakat adat, antara lain yaitu[5]:

1. Penyelesaian secara personal, yaitu penyelesaian yang dilaksanakan secara pribadi oleh

tokoh masyarakat berdasarkan kepercayaan para pihak tanpa melibatkan komponen lain.

2. Penyelesaian melalui pihak keluarga, yaitu penyelesaian yang dilakukan dengan

pendekatan pihak keluarga dari pihak yang bersengketa yang biasanya mempunya i

hubungan yang masih dekat.

3. Duek ureung tuha, yaitu musyawarah terbatas para tokoh masyarakat untuk menyelesa ikan

sengketa berdasarkan laporan para pihak.

4. Penyelesaian melalui Lembaga Adat Keujreun Blang, yaitu penyelesaian yang

dilaksanakan oleh keujreun terhadap berbagai sengketa, baik berdasarkan laporan dari para

pihak atau tidak.

5. Penyelesaian melalui Peradilan Gampong, yaitu peradilan adat yang diikuti oleh perangkat

gampong untuk penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di meunasah atau mesjid.

Page 5: Penyelesaian perselisihan dalam hukum adat aceh

6. Penyelesaian melalui Peradilan Mukim, yaitu peradilan adat yang diikuti oleh perangkat

mukim untuk menyelesaikan sengketa yang diajukan oleh para pihak karena tidak puas

terhadap putusan peradilan gampong.

Tempat Pelaksanaan dalam penyelesaian secara adat seperti tersebut didalam Pasal 14 ayat 4

Qanun no. 9 tahun 2008 yaitu:

Sidang musyawarah penyelesaian sengketa/perselisihan dilaksanakan :

di Meunasah pada tingkat Gampong,

di Mesjid pada tingkat Mukim atau tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh Keuchik atau

Imeum Mukim.

di Balee Nelayan untuk penyelesaian sengketa laoet.

C. Prosesi Penyelesaian Adat

◦ membawa kain putih, sebagai simbol kedamaian dan kesucian

◦ membawa biaya( ganti rugi / biaya pengobatan ) bila pesakitan mengeluarkan darah

◦ membawa bu lukat ( nasi ketan ) yang besar hidangnya sesuai dengan kesalahan

◦ membawa kambing untuk acara khanduri ( menurut tingkat kesalahan )

◦ peusijuek kepada pihak bersengketa

◦ memberikan kata-kata nasehat

◦ bermaaf-maafan/ berjabat tangan pihak sengketa

◦ membuat surat penyelesaian/ perdamaian adat

◦ do’a

Page 6: Penyelesaian perselisihan dalam hukum adat aceh

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penyelesaian terhadap suatu perkara dalam hukum adat merupakan penyelesaian perkara yang

sangat efektive jika di tinjau secara social. Artinya, kemungkinan untuk selesai dalam suatu

perkara sangatlah besar. Hal ini karena masyarakat kita sudah terbiasa dengan hukum adat yang

berlaku dibandingkan dengan hukum positif. Selain biaya murah juga tidak meripotkan. Artinya

tidak perlu memikirkan procedure yang sangat membigungkan.

Di aceh sendiri telah ada lembaga adat yang disahkan oleh pemerintah. Ini merupakan langkah

awal dalam mengembangkan kembali hukum adat yang telah lama pudar dimasyarakat kita.

Landasan hukumnya antara lain:

1. Perda NAD (Naggroe Aceh Darussalam) No. 7 tahun 2000

2. Qanun PA (Pemerintahan Aceh) No. 9 tahun 2008

3. UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

Dalam pelaksanaan penyelesaian secara adat ada 6 pola, ada tingkatan-tingkatan ataupun bertahap

dalam proses penyelesaiannya dan ada sanksi secara adat yang diberikan oleh masyarakat.

Misalnya di tingkat keuchik, kemudian, tuha peut, kemudian mukim sebagai temapat penyelesaian

terakhir dalam adat. Waktu yang diberikan dalam semua tingakatan oleh pemerintah adalah 1

bulan. Dan apabila perkara tersebut tidak selesai secara adat maka akan diambil oleh pihak yang

berwenang untuk menyelesaikan perkara tersebut secara hukum positif.

Page 7: Penyelesaian perselisihan dalam hukum adat aceh

DAFTAR PUSTAKA Badruzzaman, ismail, 2003. Bunga Rampai Hukum Adat. Banda Aceh: CV Gua Hira

Sudar, Sano. 1999. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, Soerjono, Soekanto. 1986. Kedudukan Kepala Desa Sebagai Hakim Perdamaian. Jakarta: CV.

Rajawali Ter,Haar.1960.asas-asas dan susunan hukum adat, Jakarta: Pradiya Pramita Gawing,Laurensius. Majalah forum. Peradilan Adat : KeadilanYang Ternafikan

TAQWADDIN. 2009. Bahan diskusi pada Training untukTuha Peut , diselenggarakan oleh Yayasan Rumpun Bambu Indonesia. Banda Aceh.

Soekanto, Soerjono.1970. Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia. Jakarta: Kurnia Esa. Perda NAD (Naggroe Aceh Darussalam) No. 7 tahun 2000

Qanun PA (Pemerintahan Aceh) No. 9 tahun 2008 UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

Www.Idlo.Int ________________________________ [1] H. badruzzaman ismail. Bunga rampai hukum adat. Banda aceh. 20003. Hlm. 1

[2] Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 tahun 1984 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat istiadat di Tingkat Desa/Kelurahan,

[3] Perda no. 7 tahun 2000 pasal. 10 “Aparat penegak hukum memberi kesempatan terlebih dahulu kepada geuchik dan imum mukim untuk menyelesaikan sengketa-sengketa atau perselisihan di gampong atau mukim masing-masing.”

[4] Ahmadi Hasan, Penyelesaian Sengketa Hukum Berdasarkan Adat Badamai Pada Masyarakat

Banjar dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional, Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Pasasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Tahun 2007.

[5] Dari hasil resume penelitian tentang Penerapan Alternative Dispute Resolution Berbasis Hukum Adat pada Lembaga Adat Keujreun Blang di Kabupaten Aceh Besar hasil kerjasama

antara Pusat Kajian Pendidikan dan Masyarakat (PKPM) dan Satker BRR-Pengembangan Sarpras Hukum NAD-Nias, (www. Idlo.int)