PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …
Transcript of PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …
0
PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN PEMANFAATAN
KAWASAN HUTAN UNTUK PERKEBUNAN SAWIT RAKYAT
Maria SW Sumardjono
Rikardo Simarmata
Richo Andi Wibowo
Yayasan Kehati
2018
1
2
3
KATA PENGANTAR
Sejarah industri sawit Indonesia melibatkan dinamika politik dan ekonomi yang
kompleks. Dibangun di atas institusi alokasi lahan dengan kewenangan dan regulasi yang
tumpang tindih, praktik perkebunan sawit Indonesia ditenggarai sebagai salah satu pemicu
konflik sosial dan berbagai permasalahan lingkungan, seperti deforestasi, pembukaan lahan
gambut, polusi perairan, degradasi tanah dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Pelaku usaha perkebunan sawit yang bertanggungjawab atas kondisi tersebut
ternyata tak hanya perusahaan-perusahaan. Dirjenbun (2016) menyatakan bahwa dari total
luasan kebun sawit Indonesia sekitar 11.67 juta hektar, 4.76 juta hektar adalah perkebunan
rakyat. Tanpa terelakkan, ekspansi penguasaan lahan untuk perkebunan sawit rakyat terus
berlanjut dan dilakoni oleh petani sampai ke kawasan hutan. Dalam situasi seperti ini, lahan
menjadi komoditas yang diperebutkan karena kesadaran masyarakat akan potensi ekonomi
yang besar melalui konversi/pembangunan perkebunan sawit.
Kondisi ini menjadi perhatian khusus bagi Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI)
yang saat ini tengah melaksanakan program Penguatan Indonesian Sustainable Palm Oil
(ISPO). Dalam program ini, KEHATI melakukan identifikasi dan pengkajian terhadap fenomena
kebun sawit rakyat di kawasan hutan atau kawasan yang bernilai ekosistem penting, dan juga
mencari opsi-opsi langkah sebagai jalan keluar.
Untuk memperkuat identifikasi dan kajian tersebut, dibutuhkan sebuah pendalaman
dan pengkajian dari sisi hukum. Kebijakan yang sudah ada saat ini, seperti TORA (Tanah Objek
Reforma Agraria) dan Perpres 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam
Kawasan Hutan masih problematik dalam pelaksanaannya di lapangan. Di sisi lain, kewajiban
pemerintah untuk menegakkan hukum pidana bagi pelaku penggunaan hutan tanpa izin
seperti yang tersebut dalam UU 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan juga menjadi obstacle yang lain.
Kajian ini diharapkan dapat merumuskan rekomendasi bagi para pengambil kebijakan
untuk dapat mengambil langkah terbaik dan terobosan hukum untuk menyelesaikan
permasalahan yang ada di lapangan.
Team leader Program Penguatan ISPO
Irfan Bakhtiar
4
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan 2
1.1. Latar Belakang 2
1.2. Fokus Kajian 9
1.3. Metode Kajian 9
1.4. Organisasi Laporan 10
BAB II Kebijakan Kehutanan Mengenai Reforma Agraria dan Perlindungan Hutan 11
2.1. Reforma Agraria 15
2.2. Perlindungan Hutan 22
2.3. Kesimpulan 26
BAB III Regulasi Reforma Agraria dalam Kawasan Hutan dan Kendala Implementasi 28
3.1. Regulasi Reforma Agraria di Bidang Kehutanan 28
3.2. Penguasaan Kawasan Hutan untuk Kebun Sawit Rakyat 38
3.3. Kendala-kendala Implementasi Perpres No. 88/2017 42
BAB IV Pilihan-pilihan Strategi Pelaksanaan Reforma Agraria dalam Kawasan Hutan 47
4.1. Strategi Impementasi Perpres No. 88/2017 48
4.2. Strategi Implementasi PermenLHK No.83/2016 58
BAB V Kesimpulan 63
Bahan Bacaan 65
5
6
1.1 Latar belakang
Kawasan hutan negara (baca: kawas-
an hutan) telah lama menjadi arena kon-
testasi antara negara, pengusaha dan ma-
syarakat dalam penguasaan dan peman-
faatannya. Kontestasi muncul karena
negara, di satu sisi, berkehendak me-
ngontrol kawasan hutan dengan me-
nerapkan strategi teritorilisasi, dan di sisi
lain, masyarakat sangat tergantung dengan
sumber daya hutan baik untuk kegiatan
ekonomi, religi maupun budaya. Karena
keterbatasan sumber daya dan ke-
pentingan ekonomi-politik elit berkuasa,
negara tidak mengusahakan sendiri ka-
wasan hutan yang dikontrolnya, melainkan
menyerahkan kepada usaha-usaha skala
besar. Akibatnya, pada kawasan hutan pro-
duksi, kontestasi di tingkat lapangan ter-
jadi antara perusahaan dengan ma-
syarakat.
Dalam perkembangannya, pelaksa-
naan strategi teritorilisasi dengan cara me-
nentukan batas-batas kawasan hutan yang
menghasilkan peta kawasan hutan ber-
langsung beriringan dengan bertambahnya
penduduk dan penggunaan kawasan hutan
oleh masyarakat. Penetapan kawasan hu-
tan tidak serta merta mengurangi atau
menghentikan kegiatan penguasaan dan
pemanfaatan kawasan hutan oleh ma-
syarakat, sekalipun berbagai pengusiran
paksa dilakukan. Itu sebabnya, penyebutan
angka luasan kawasan hutan oleh Pe-
merintah sebenarnya tidak merefleksikan
keadaan di lapangan yakni berlangsungnya
kontrol efektif oleh negara. Di areal-areal
hak pengusahaan atau pemanfaatan hutan
yang berlokasi di hutan produksi, negara
membebankan tugas mengontrol kepada
pemegang hak atau izin. Di hutan lindung
dan hutan konservasi, kontrol negara
relatif tidak efektif karena keterbatasan
sumber daya pemerintah untuk me-
nyelenggarakan perlindungan, pengawas-
an, dan penegakan hukum.
Tindakan masyarakat menguasai dan
memanfaatkan kawasan hutan secara
melawan hukum bisa dijelaskan dengan
tiga cara. Pertama, situasi tersebut me-
rupakan konsekuensi logis dari metode
dan proses pengukuhan kawasan hutan
yang tidak menghormati dan melibatkan
masyarakat yang berkepentingan dengan
hutan. Kedua, pertumbuhan penduduk
dan pertambahan kebutuhan masyarakat
diikuti oleh kebutuhan lahan-lahan baru
untuk dimanfaatkan. Ketiga, situasi ter-
sebut sekaligus menandakan bahwa hutan
untuk rakyat yang sudah didengungkan
mulai dekade 80-an, baru sebatas slogan
yang tidak kunjung mewujud di lapangan.
Ketiga hal diatas merupakan penyebab
berlangsungnya penguasaan kawasan hu-
7
tan oleh masyarakat. Ketiganya hadir pada
saat bersamaan yang membuat jumlah
orang yang melakukan penguasaan begitu
besar dengan luasan hingga kini mencapai
17,4 juta ha.1
Sejak awal tahun 2000-an, faktor
pertambahan jumlah penduduk berjumpa
dengan dua faktor lain yang melipat-
gandakan penguasaan kawasan hutan oleh
masyarakat. Kedua faktor lainnya adalah,
pertama, munculnya areal-areal dalam
kawasan hutan yang ‘tidak bertuan’ se-
telah ditinggalkan oleh pemegang hak
pengusahaan hutan (HPH) karena ber-
akhirnya masa berlaku hak atau izin. Dalam
perbincangan publik areal-areal seperti ini
sering disebut sebagai lokasi tak bertuan
alias open access. Kedua, kenaikan harga
pasar produk pertanian/perkebunan ter-
tentu yang menstimulasi para petani untuk
menggarap lahan milik dan sebagian mem-
buka lahan-lahan baru dengan tujuan men-
dapatkan untung yang lebih besar.
Salah satu tanaman pertanian yang
memikat petani dalam kurun waktu 20
tahun terakhir adalah kelapa sawit. Tanam-
an ini disukai karena harga yang relatif
stabil dan menguntungkan di-banding
dengan produk tanaman lainnya (IRE dan
1 Transtoto Handadhari, 2017,”Memutihkan Penguasaan Ilegal Tanah Hutan, Kompas, 8 November 2017.
Javlec 2018, hal. 19). Selain itu, kelapa
sawit dianggap tidak rewel karena tidak
menuntut perawatan yang intensif. Kelapa
sawit tidak hanya memikat orang-orang
yang sudah berprofesi sebagai pe-tani
tetapi juga orang-orang yang se-belumnya
berprofesi sebagai pegawai ne-geri dan
orang-orang yang sebelumnya be-kerja
informal. Mereka mendapatkan lahan de-
ngan cara membelinya dari pen-duduk
lokal. Keberhasilan golongan ini yang di-
tandai dengan kesejahteraan, pada akhir-
nya mendorong penduduk lokal untuk juga
menggarap lahannya dengan ditanami
kelapa sawit.
Pada waktu gelombang pembukaan
lahan-lahan baru untuk ditanami produk-
produk pertanian yang sedang laku di
pasar domestik dan internasional berlang-
sung, lahan-lahan di luar kawasan hutan
sudah sangat terbatas. Di beberapa tempat
seperti pada sejumlah desa di Ka-bupaten
Pelalawan (Riau), lahannya sama sekali
tidak ada karena sudah terbagi habis keda-
lam penguasaan perorangan (penduduk lo-
kal dan pendatang) dan badan hukum (pe-
rusahaan). Dalam situasi tersebut lahan ya-
ng tersedia dan berlokasi tidak jauh dari
perkampungan atau areal ladang dan ke-
8
bun masyarakat adalah kawasan hutan.
Sasaran paling empuk untuk dibuka, di-
garap dan dikuasai adalah areal eks HPH
dan hutan lindung. Menyusul adalah ka-
wasan konservasi dan areal izin peman-
faatan hutan yang masih aktif. Semakin
tidak ada pemangku di tingkat lapangan
yang mengelola kawasan hutan, semakin
rentan dari tindakan pendudukan.
Besarnya penguasaan dan peng-
gunaan kawasan hutan untuk ditanami ke-
lapa sawit dalam kurun waktu 20 terakhir
tercermin dari angka 3,5 juta ha kawasan
hutan yang ditanami kelapa sawit. Se-
banyak 1,5 juta diantaranya adalah sawit
rakyat yang diartikan sebagai kebun yang
luasnya di bawah 25 hektar per bidang.
Luas kebun sawit swadaya sendiri secara
nasional mencapai 4,7 juta ha.2 Adapun 2
juta ha lainnya merupakan kebun sawit
skala besar yang dimiliki oleh perorangan
dan perusahaan baik dengan atau tanpa di-
lengkapi hak.
Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (sebelumnya Kementerian Ke-
hutanan) telah menyusun dan melaksana-
kan berbagai kebijakan untuk menangani
penguasaan kawasan hutan yang di-
2 Lihat dalam http://ditjenbun.pertanian.go.id/berita-497-pemerintah-komitmen-membantu-petani-kelapa-sawit.html (diunduh pada tanggal 1 April 2018).
lakukan dengan tidak mengantongi izin.
Kebijakan tersebut berkembang dari pe-
riode ke periode dan dibedakan menurut
fungsi kawasan hutan. Secara umum ke-
bijakan tersebut terbagi menjadi dua yaitu,
pertama, melindungi kawasan hutan dari
tindakan-tindakan yang menyebabkan de-
forestasi dan degradasi, dengan menegak-
an hukum. Kedua, memperbolehkan tinda-
kan penguasaan untuk dilanjutkan baik
melalui skema perhutanan sosial (PS) atau
reforma agraria (RA).
Kebijakan yang pertama yaitu me-
lindungi kawasan hutan dengan pe-
negakan hukum menjadi pilihan pada se-
tiap periode pemerintahan dengan per-
bedaan pada tingkat keseriusan. Pemerin-
tahan yang sekarang termasuk yang serius
menggalakan penegakan hukum untuk ke-
jahatan kehutanan. Pada tahun 2016 dari
150 kasus yang sampai ke tahapan pe-
nuntutan, sebanyak 30 adalah kasus pe-
rambahan hutan.3 Dari jumlah tersebut
mayoritas yang dijadikan terdakwa atau
terpidana adalah penduduk atau petani
lokal. Jumlahnya tidak sebanyak pelaku
dari kalangan pengusaha. Penduduk atau
petani lokal yang menjadi terdakwa atau
3 Data dikutip dari http://gakkum.menlhk.go.id/compro/docs/CapaianGakkum2016.pdf (diunduh pada tanggal 1 April 2018).
9
terpidana sebagian merupakan korban
‘kriminalisasi’ karena mereka sebenarnya
sudah mendiami kawasan sebelum di-
tunjuk dan sebagian sudah berada di situ
selama beberapa dekade sejak penunjukan
dilakukan.4
Seperti sudah dikemukakan, ke-
bijakan yang kedua yaitu PS, sudah di-
berlakukan sejak dekade 80-an yang di-
awali dengan skema hutan kemasyarakat-
an (HKm) dan kemitraan antara perusaha-
an pemegang izin pengusahaan hutan dan
masyarakat sekitar. Dalam perkembangan-
nya, PS berkembang dengan kehadiran
skema-skema baru seperti hutan desa
(HD), hutan tanaman rakyat (HTR), ke-
mitraan, dan hutan adat. Kebijakan mem-
perbolehkan penguasaan dalam kawasan
hutan, diperkuat dengan diperkenalkan-
nya RA dalam kawasan hutan. RA berbeda
dengan PS dalam hal status tanah yang di-
kuasai. Tanah-tanah yang menjadi objek
RA (TORA) dalam kawasan hutan nantinya
akan menjadi tanah hak baik dalam bentuk
hak milik maupun hak guna usaha. Sedang-
kan lahan-lahan untuk PS masih tercatat
sebagai tanah negara.
4 Sekedar menyebut contoh, untuk periode 2015-2017 jumlah masyarakat yang menjadi korban kriminalisasi dari penegakan UU No. 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, sebanyak 16 orang. Lihat dalam
Pada periode pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla (2014-2019), baik ke-
bijakan perlindungan kawasan hutan lewat
penegakan hukum, dan pembolehan pe-
nguasaan kawasan hutan oleh masyarakat,
sama-sama menjadi agenda prioritas. Hal
itu dapat dilihat pada Rencana Pem-
bangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-
2019, Perencanaan Strategis (2015-2019)
Kementerian Lingkungan Hidup dan Ke-
hutanan dan Badan Pertanahan Nasional,
dan Strategi Nasional Pelaksanaan Refor-
ma Agraria (2016-2019). Keduanya men-
jadi prioritas dengan alasan yang berbeda
namun sama-sama dianggap menentukan
nasib masyarakat dan hutan di masa de-
pan.
Perlindungan kawasan dijadikan
agenda prioritas dengan alasan laju de-
forestasi yang berimplikasi pada degradasi
fungsi ekologis kawasan hutan, respon
negara-negara lain dalam bentuk ke-
bijakan-kebijakan ekonomi dan perda-
gangan ekspor kehutanan Indonesia, dan
pembuktian janji Indonesia pada dunia
untuk mengurangi emisi karbon dari de-
forestasi dan degradasi sampai tahun
https://aa.com.tr/id/headline-hari/lsm-masyarakat-adat-paling-banyak-hadapi-kriminalisasi /1069356 (diunduh pada tanggal 1 April 2018).
10
2020.5 Kebijakan perlindungan juga dikait-
kaitkan dengan pengendalian kebakaran
hutan dan lahan (karhutla) dengan logika
semakin kecil penguasaan kawasan hutan
secara melawan hukum semakin kecil ang-
ka karhutla.
PS dan RA dalam kawasan hutan
adalah bagian dari kebijakan yang lebih
besar yaitu memperluas wilayah kelola
rakyat. Pada pemerintahan Joko Widodo-
Jusuf Kalla, kebijakan ini diaksentuasi se-
perti yang dapat dilihat pada Nawacita
khususnya pada sejumlah program aksi.
Sasaran antara PS dan RA adalah menye-
lesaikan konflik-konflik penguasaan lahan
yang melibatkan masyarakat. Sedangkan
sasaran akhirnya adalah mengentaskan
kemiskinan.6 Hutan adat dan RA mem-
punyai tujuan lainnya yaitu pemenuhan
hak-hak dasar masyarakat tempatan atau
masyarakat hukum adat untuk hidup dan
tidak didiskriminasi. Dari sisi pemikiran hu-
kum, keduanya juga merupakan pem-
berian kewenangan yang lebih besar dan
kuat kepada masyarakat dalam menguasai
dan mamanfaatkan tanah. Kebijakan PS
dan RA dihadirkan dengan pengetahuan
dan kesadaran bahwa terdapat sekian in-
5 Ari Wibowo, 2013,”Kajian penurunan emisi gas rumah kaca sector kehutanan untuk mendukung kebijakan Perpres No. 61/2011”. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, Vol. 10 No. 3, hlm. 235-254.
dividu dan ke-lompok masyarakat yang
melakukan pe-nguasaan atas kawasan
hutan dengan alasan dan latar belakang
yang variatif ser-ta dalam jangka waktu
yang sudah lama. Fakta bahwa kawasan-
kawasan yang dikuasai tersebut sudah
digunakan untuk pemukiman, fasilitas
umum, fasilitas sosial, sawah/ladang, dan
kebun dan karena itu tutupan hutannya
sudah nyaris tiada, se-makin menguatkan
signifikansi PS dan RA. Kebijakan perluan
wilayah kelola rakyat tidak memandang
masyarakat yang melakukan penguasaan
kawasan hutan tersebut sebagai pelanggar
hukum karena memanfaatkan kawasan
hutan tanpa izin. Mereka justru dilihat
sebagai kelompok ‘korban’ kebijakan ke-
hutanan masa lampau atau warga negara
yang memerlukan ke-hadiran negara untuk
pemenuhan hak-hak konstitusional.
Pemikiran di atas mendasari pem-
buatan Peraturan Bersama Menteri Dalam
Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pe-
kerjaan Umum, dan Kepala Badan Per-
tanahan Nasional tahun 2014 yang saat ini
sudah dinaikan statusnya menjadi Per-
aturan Presiden No. 88/2017 tentang Pe-
nyelesaian Penguasaan Tanah dalam Ka-
6 Kantor Staf Presiden Republik Indonesia, 2017, “Pelaksanaan Reforma Agraria, Arahan kantor staf presiden: prioritas nasional reforma agrarian dalam rencana kerja pemerintah tahun 2017, tidak dipublikasikan.
11
wasan Hutan. Sebagai instrumen, kedua
peraturan tersebut sebenarnya hadir men-
jadi pilihan bagi Pemerintah untuk meng-
atasi penguasaan kawasan hutan tanpa
hak, selain dengan cara penegakan hukum.
Secara substansi, kedua peraturan ini me-
ngatur mengenai persyaratan dan proses
identifikasi subjek dan objek penguasaan
kawasan hutan serta pilihan-pilihan pe-
nyelesaian yang didasarkan pada sejumlah
pertimbangan seperti jenis pemanfaatan,
lama penguasaan, dan fungsi hutan.
Namun sebagai instrumen pemerin-
tahan yang ditujukan untuk melindungi
hak-hak masyarakat yang melakukan pe-
nguasaan bidang tanah dalam kawasan hu-
tan (Bagian Konsideran Menimbang huruf
a Perpres No. 88/2017), sejumlah ketentu-
an dalam peraturan ini dianggap berpoten-
si menghalangi pencapaian tujuan ter-
sebut. Kajian bersama AMAN, Epistema
dan HUMA atas Perpres ini mengemuka-
kan ketentuan-ketentuan mengenai tahap-
an pengukuhan hutan (sebelum dan se-
sudah penunjukan), jenis pemanfataan
berdasarkan fungsi hutan, dan pilihan-
pilihan penyelesaian, sebagai yang ber-
potensi menyandung peraturan ini untuk
melindungi hak-hak rakyat. Kesimpulan
tersebut didasarkan pada potret realitas
lapangan yang terkena dampak dari
pemberlakuan Perpres seperti jumlah ma-
syarakat yang melakukan penguasaan di
hutan konservasi, dan dampak-dampak so-
sial dan kultural dari penyelesaian dengan
metode tertentu. Kajian ini bahkan
menunjukan bahwa bila diimplementasi-
kan Perpres ini bahkan akan menghambat
atau mengugurkan hal-hal baik yang sudah
ada pada peraturan perundang-undangan
sebelumnya seperti Permen Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) yang
mengatur mengenai hutan hak, peraturan
mengenai peta indikatif areal perhutanan
sosial, serta Permen Agraria dan Tata uang
Tentang Hak Komunal.7
Bayangan bahwa Perpres No. 88
/2017 akan sulit mewujudkan tujuannya
untuk melindungi hak-hak masyarakat
dengan ketentuan-ketentuan seperti itu,
bertambah jelas bila membicarakan pe-
manfaatan kawasan hutan dengan ta-
naman sawit. Pasalnya, saat ini posisi
peraturan perundang-undangan kehutan-
an memperlakukan tanaman sawit sebagai
bukan tanaman kehutanan. Posisi ini yang
menjelaskan mengapa Permen LHK No.
P.83/2016 tentang Perhutanan Sosial
hanya mentolerir tanaman sawit paling
lama 12 tahun terhitung sejak mulai di-
tanam. Posisi demikian berpotensi mem-
buat jajaran birokrasi memahami kebun
sawit rakyat sebagai bidang tanah bukan
objek reforma menurut Perpres No. 88
12
/2017, sekalipun peraturan ini tidak ekspli-
sit menentukan demikian.
Tidak bisa dipungkiri bahwa bila
posisi Kementerian LHK dan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai
kebun sawit masih seperti yang Digambar-
kan diatas, kebijakan pemerintah untuk
mendukung pengembangan perkebunan
sawit skala kecil atau kebun sawit rakyat,
akan terkena dampak. Khususnya pada
sawit rakyat yang berada dalam kawasan
hutan. Penyebabnya karena kebijakan ter-
sebut memerlukan status legal/absah dari
kebun-kebun sawit rakyat sementara per-
aturan perundang-undangan masih meng-
kualifikasi sawit dalam kawasan hutan
sebagai tidak legal/absah.
Dua contoh kebijakan yang men-
dorong pengembangan sawit rakyat ada-
lah peremajaan sawit rakyat dengan target
2,7 ha7, dan Indonesian Sustainable Palm
Oil (ISPO). Untuk kebijakan mengenai ISPO,
pengaturannya dapat ditemukan pada Per-
aturan Menteri Pertanian No. 11/
Permentan/OT.140//3/2015 tentang Sis-
tem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan
di Indonesia (Indonesian Sustaibale Palm
Oil Certification System/ISPO). Menurut
7 Lihat pada https://www.ekon.go.id/berita/view/pemerintah-lanjutkan-program.3789.html (diunduh pada tanggal 1 April 2018).
peraturan ini usaha kebun sawit swadaya
berkesempatan memperoleh sertifikasi
ISPO bila pemohon (koperasi, kelompok,
perorangan) melengkapi sejumlah doku-
men diantaranya surat kepemilikan tanah
yang dapat berupa sertifikat, girik/leter C
atau surat kepemilikan tanah syah lain-
nya.8 Bagi pemilik kebun-kebun sawit yang
berada dalam kawasan hutan, ketentuan
seperti ini tentu saja tidak bisa dipenuhi
selama tidak ada aturan hukum yang
mengabsahkan usaha mereka dan karena
itu bisa mendapatkan bukti-bukti kepemili-
kan tanah.
Tulisan ini dibuat dalam rangka
memahami secara baik peraturan per-
undang-undangan yang mengatur RA di bi-
dang kehutanan, dengan penekanan pada
Perpres No. 88/2017. Pengetahuan yang
baik mengenai peraturan per-UU-an ter-
sebut selanjutnya akan dipakai untuk men-
cermati seberapa jauh norma-norma da-
lam peraturan tersebut dapat diimplemen-
tasikan dengan efektif dengan mengingat
kondisi lapangan usaha kebun sawit rak-
yat. Hasil pencermatan akan mengungkap
kendala-kendala yang potensial akan me-
nghambat upaya mengabsahkan kebe-
8 Lampiran I Peraturan Menteri Pertanian No. 11/Permentan/OT.140//3/2015.
13
radaan kebun sawit rakyat. Sebagai jalan
keluar untuk mengatasi kendala-kendala
tersebut, tulisan ini menawarkan berbagai
strategi untuk mengimplementasikan Per-
pres No. 88/2017 agar berorientasi men-
dukung pengembangan sawit rakyat.
1.2 Fokus kajian
Berdasarkan paparan diatas, laporan
ini berkonsentrasi memaparkan ketiga hal
berikut ini:
1. Keselarasan dan ketidakselarasan an-
tara kebijakan dan ketentuan hukum
yang mengatur mengenai perlindung-
an hutan dan reforma agraria dalam
kawasan hutan
2. Kendala-kendala pelaksanaan Perpres
No. 88/2017 pada kebun sawit rakyat
dilihat dari aspek normatif dan sosio-
logis, dan
3. Rekomendasi pilihan-pilihan strategi
implementasi Perpres No. 88/2017
yang dapat mengakomodir penguasa-
an kawasan hutan untuk sawit rakyat.
1.3 Metode kajian
Kajian ini sebaian besar mengguna-
kan data sekunder yang didapatkan dari
studi kepustakaan. Selain lewat studi ke-
pustakaan dan diskusi data-data juga di-
dapatkan dari diskusi terbatas yang sifat-
nya melengkapi data-data sekunder. Data-
data sekunder dikelompokan menjadi se-
bagai berikut:
a. Data-data yang terkait dengan ke-
bijakan dan peraturan perundang-
undangan mengenai perlindungan hu-
tan (penegakan hukum), dan per-
luasan wilayah kelola rakyat (per-
hutanan sosial, reforma agraria).
b. Data-data yang terkait dengan sistem
penguasaan dan kepemilikan tanah
yang berlokasi dalam kawasan hutan
dan digunakan untuk kebun sawit
rakyat. Data-data kelompok ini di-
dapatkan dari laporan-laporan riset la-
pangan yang disiapkan oleh Institute
for Research and Empowerment (IRE),
dan Java Learning Center (Javlec).
Riset lapangan oleh ketiga lembaga
tersebut dilakukan di Provinsi Aceh,
Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan
Tengah, dan Kalimantan Timur.
Untuk membantu memahami data-
data sekunder yang terkait sistem dan pe-
nguasaan tanah, dilakukan dua kali diskusi
dengan peneliti IRE, Javlec dan Pusat Studi
Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, In-
stitut Pertanian Bogor (PSP3 IPB), masing -
masing tanggal 25 Januari dan 6 Februari
2018.
14
1.4 Organisasi laporan
Setelah bagian Pendahuluan (Bab I),
paparan dilanjutkan dengan penjelasan
mengenai dua kebijakan yang terkait
dengan kawasan hutan yaitu reforma
agraria (2.1) dan perlindungan hutan (2.2).
Pembahasan mengenai dua kebijakan ini
memeriksa seberapa jauh substansi ke-
duanya seperti yang tertuang dalam be-
berapa dokumen perencanaan pem-
bangunan, selaras atau tidak selaras.
Bagian berikutnya (Bab III) menjelaskan
mengenai regulasi reforma agraria dalam
bidang kehutanan (3.1.), kondisi empirik
penguasaan kawasan hutan dengan pe-
manfaatan untuk kebun sawit rakyat (3.2),
dan kendala-kendala dalam mengimple-
mentasikan Perpres No. 88/2017 (3.3). Pa-
paran Bagian 3.3 membandingkan norma
peraturan perundangan dengan kondisi
empirik untuk mencermati kendala-ke-
ndala potensial dalam mengimplemen-
tasikan Perpres No. 88/2017. Paparan di-
teruskan dengan usulan-usulan strategi
untuk mengimplementasikan Perpres No.
88/2017 agar melindungi keberadaan ke-
bun-kebun sawit rakyat dalam kawasan
hutan dengan cara mengabsahkan ke-
beradaanya. (Bab V). Tulisan ini ditutup
dengan bagian Kesimpulan (Bab V) yang
merangkum paparan empat bagian se-
belumnya.
15
16
Bab ini bertujuan untuk menyajikan
informasi tentang aneka rencana kebijakan
pemerintah, baik pada pemerintahan Joko
Widodo maupun pada dua periode yang
dipimpin oleh SB Yudhoyono terkait de-
ngan kebijakan reforma agraria dan per-
lindungan hutan. Isu tentang reforma
agraria di sini akan disajikan khususnya
untuk mencari tahu kebijakan/perencana-
an pemerintah mengenai sumber lahan
yang akan dialokasikan untuk reforma ag-
raria. Adapun isu tentang perlindungan hu-
tan akan dispesifikkan guna mencari tahu
kebijakan/perencanaan pemerintah me-
ngenai pendekatan yang akan diambil un-
tuk melindungi hutan. Tujuan menguraikan
kedua hal ini adalah untuk mengetahui ko-
herensi kedua kebijakan tersebut di level
perencanaan.
Metode yang digunakan untuk
menyajikan informasi pada bab ini adalah
dengan menguraikan berbagai agenda ker-
ja pemerintah yang dapat dilihat misalnya,
namun mungkin tidak terbatas pada, Ren-
cana Pembangunan Jangka Panjang Nasio-
nal (RPJPN), Rencana Pembangunan Jang-
ka Menengah (RPJM), Rencana Strategis
(Renstra) Kementerian, dan dokumen dan
publikasi resmi yang dikeluarkan oleh pe-
9 Riawan Tjandra, 2014, Hukum Sarana Pemerintahan, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, hlm. 21-94.
merintah. Lazimnya, dokumen rencana
tersebut berbentuk lampiran yang telah di-
nyatakan sebagai bagian yang tidak ter-
pisahkan dari peraturan peraturan per-UU-
an.
Secara konseptual, ada lima instru-
men hukum pemerintahan, yaitu: peratur-
an perundang-undangan, Keputusan Tata
Usaha Negara (KTUN), peraturan kebijak-
sanaan, keperdataan, dan terakhir adalah
perencanaan.9 Bab ini akan berfokus me-
ngulas instrumen perencanaan yang di-
khususkan pada isu reforma agraria dan
perlindungan hutan, karena instrumen pe-
rencanaan menguraikan sedari awal me-
ngenai grand design kebijakan hukum pe-
merintah, baik jangka pendek (tahunan),
menengah, maupun panjang. Sekalipun
judul bab ini adalah tentang “kebijakan
pemerintah”, namun tidak mendasarkan
kajian pada instrumen ketiga (“peraturan
kebijaksanaan), karena dalam konsep
hukum administrasi peraturan kebijak-
sanaan adalah konsep mengenai dokumen
yang dikeluarkan oleh atasan kepada ba-
wahan terkait suatu isu untuk penyamaan
persepsi dan sikap, seperti surat edaran,
instruksi pemerintah, dan juklak/juknis.
Secara konseptual, peraturan kebijaksana-
17
an bukanlah peraturan perundangan se-
kalipun menampakan gejala sebagai per-
aturan Perundang-undangan.10 Pemben-
tuk peraturan kebijaksanaan tidak memiliki
wewenang untuk membentuknya menjadi
peraturan perundang-undangan;11 karena
pembentuknya membuat aturan tersebut
hanya dari kewenangan bertindak bebas
(freiss ermessen).12
Mengingat yang akan diulas dalam
tulisan ini adalah instrumen perencanaan,
maka dipandang relevan untuk men-
jelaskan daya ikat instrumen hukum pe-
rencanaan. Secara konseptual belum ada
literatur yang mendiskusikan hal ini
dengan jelas. Mungkin hal ini disebabkan
oleh minimnya perhatian pakar dalam
menguraikan isu ini.
10 Hal ini pulalah yang menyebabkan Manan dan Magnar mengusulkan agar kita mulai merevisi istilah peraturan kebijakan/kebijaksanaan, dan diganti dengan istilah ketentuan kebijakan. Versteden sebagaimana dikutip oleh Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni, hlm. 168. 11 Hukumonline, 11/01/2015, “Surat edaran: kerikil dalam perundang-undangan”, tersedia pada: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54b1f62361f81/surat-edaran--kerikil-dalam-perundang-undangan, terakhir diakses 21 Januari 2018 12 Bagir Manan, 2004, Hukum Positif di Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), Yogyakarta: FH UII, hlm. 15. 13 Grant, M. 1992. “Planning law and the British land use planning system: an overview, The Town Planning Review, Vol 63, Issue 1, hlm. 3. 14 The land use plan (bestemmingsplan) misalnya dipndang sebagai salah satu instrument hukum mengikat yang paling penting dan digunakan
Lebih dari itu, jika merujuk pada
literatur di negara lain, maka jawabannya
mengenai hal ini berbeda-beda. Di Inggris
misalnya, instrumen hukum perencanaan
tidak mengikat secara hukum.13 Sedangkan
di Belanda, instrumen hukum perencanaan
mengikat secara hukum.14 Namun, perlu
digarisbawahi bahwa Belanda meng-
gunakan “pragmatic approach”; yang ber-
tujuan untuk mencapai tujuan tertentu de-
ngan menerapkan aturan yang ada (dan
oleh karenanya menjamin asas kepastian
hukum), namun tetap membuka pe-
ngecualian dengan cara memberikan fle-
ksibilitas ketika ada inisiasi pembangun-
an.15
Dengan kata lain, literatur dari
negara lain belum bisa menjelaskan secara
optimal mengenai daya ikat hukum me-
sebagai pijakan untuk mengeluarkan izin pendirian bangunan. Buitelaar, E., Galle, M. Sorel, N. 2011. “Plan-led planning systems in development-led practices: an empirical analysis into the (lack of) institutionalisation of planning law”, Environment and Planning A: Economy and Space, Vol 43, Issue 4, hlm. 928. 15 Mungkin itu pulalah sebabnya Needham menyatakan bahwa asas kepastian hukum dalam perencanaan (pada tata ruang wilayah di Belanda) adalah sebuah kebohongan besar. Demikian pula riset Thomas dkk juga menyimpulkan bahwa kebijakan, perencanaan, regulasi dan keputusan di bidang perencanaan kerap tidak selaras (‘were often not in tune’). Lihat pemikiran Needham dan Thomas di Buitelaar, E., Galle, M. Sorel, N., 2011,“Plan-led planning systems in development-led practices: an empirical analysis into the (lack of) institutionalisation of planning law, Environment and Planning A: Economy and Space, Vol 43, Issue 4, hlm. 935
18
ngenai instrumen hukum perencanaan.
Bagian berikut analisis daya ikat instrumen
perencanaan berdasarkan analisa per-
aturan perundangan di Indonesia. Pada
intinya dapat dikatakan bahwa instrumen
hukum perencanaan di Indonesia mengikat
secara hukum, sekalipun tampaknya juga
memberikan ruang untuk melakukan
fleksibilitas yang memungkinkan penyim-
pangan pada penerapannya.
Pertama, secara normatif, instru-
men hukum perencanaan dibentuk dengan
format peraturan hukum yang mengikat
seperti Undang-undang (misal UU No 17
tahun 2017 tentang Rencana Pembangun-
an Jangka Panjang Nasional), Peraturan Pe-
merintah (seperti PP No 26 tahun 2008
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional), ataupun Peraturan Presiden
(seperti Perpres No 7 tahun 2005 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional).16 Sehingga, bisa dikatakan bah-
wa regulasi tersebut diatas mengikat se-
cara hukum. Argumentasi ini semakin kuat
jika melihat penjelasan umum UU No 25
tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional. Dijelaskan secara
eksplisit di sana bahwa penetapan rencana
16 Aneka contoh diatas berbeda dengan, misalnya Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN). Sekalipun namanya sama-sama diawali dengan kata rencana, namun RAPBN tidak mengikat secara hukum, karena masih berbentuk
menjadi produk hukum membuatnya men-
jadi mengikat semua pihak untuk me-
laksanakannya.
Namun demikian, jika merujuk pada
Pasal 8 UU No 25 tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasio-
nal, tahapan perencanaan pembangunan
nasional meliputi: penyusunan rencana,
penetapan rencana; pengendalian ren-
cana; dan evaluasi pelaksanaan rencana.
Pasal ini mengindikasikan bahwa pe-
rencanaan ini bersifat “semi terikat”.
Maksudnya, di satu sisi rencana yang
sudah disusun dan ditetapkan dapat di-
pastikan akan dilaksanakan - bahkan ber-
usaha dipastikan agar dilaksanakan dengan
adanya tahapan pengendalian. Namun jika
rencana tersebut tidak tercapai, maka tid-
ak ada informasi mengenai sanksi hukum;
mengingat bahasa yang digunakan ada
adalah evaluasi.
Kedua, secara konseptual, aneka
rencana tersebut mengikat karena me-
rupakan janji yang perlu dipenuhi atau
dipatuhi. Misalnya, Pasal 3 UU No 17 tahun
2007 tentang RPJPN menjelaskan bahwa
“RPJP Nasional merupakan penjabaran
dari tujuan dibentuknya Pemerintahan
Rencana Undang-undang. Ketika sudah disahkan oleh legislatif, maka RAPBN juga sudah tidak lagi disebut rencana, karena penamaannya berubah menjadi APBN.
19
Negara Indonesia yang tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia (...)”. Mengingat RPJP
tersebut berisi tentang upaya untuk me-
menuhi janji negara kepada rakyat se-
bagaimana dimuat dalam pembukaan
konstitusi, maka RPJP tersebut memiliki
daya ikat secara hukum. Logika yang sama
juga dapat diterapkan pada RPJMN yang
pada dasarnya adalah berasal dari janji-
janji kampanye presiden dan wakil pre-
siden terpilih kepada rakyat,17 maka janji
tersebut tentu perlu ditunaikan.
Namun secara konseptual, me-
menuhi janji (dalam hal yang sifatnya non
kontraktual) dapat lebih dipandang se-
bagai moral principle daripada legal
principle. Misalnya, mengapa seseorang
berkewajiban untuk memenuhi janji ke-
pada istrinya, legal principles tidak dapat
menjelaskan hal ini lebih lanjut, namun
moral principles dapat; yaitu karena janji
haruslah ditepati.18
Ketiga, sekalipun aneka regulasi yang
disebut diatas bernama ‘rencana’, namun
Pasal-pasal dalam regulasi tersebut meng-
indikasikan bahwa pembentuk regulasi
ingin memastikan agar rencana tersebut
17 Lihat: Pasal 2 ayat (1) Perpres No 7 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009; Pasal 2 ayat (1) Perpres No 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014; Pasal 2 ayat (1) Perpres No 2 tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019
memang akan diimplementasikan. Hal ini
diindikasikan dengan adanya terminologi
monitoring dan evaluasi sebagaimana
telah disinggung pada poin pertama di-
atas.19 Lebih dari itu, khusus untuk PP No
26 tahun 2008 tentang RTRW Nasional,
norma sanksinya berbunyi lebih kuat
daripada di regulasi rencana pembangun-
an; yaitu ada norma tentang “arahan
sanksi” dan “sanksi administratif”.
Namun, harus diakui bahwa regulasi
tentang Sistem Perencanaan Nasional,
RPJPN atau RPJMN tidak memberikan in-
formasi tentang sanksi. Ketiadaan sanksi
ini memang tidak dapat diartikan bahwa
norma tersebut tidak mengikat secara hu-
kum, melainkan ini dapat diartikan sebagai
upaya untuk memudahkan aparatur pe-
merintah dalam melakukan modifikasi
atau melakukan penyesuaian ketika ren-
cana tersebut tidak atau kurang bisa di-
implementasikan di lapangan.
Berdasarkan uraian diatas, maka
secara singkat dapat disimpulkan bahwa,
pada prinsipnya instrumen perencanaan
mengikat secara hukum, namun jika ada
perubahan dan hal itu logis (reasonable-
ness) dan dapat dipertanggungjawabkan;
18 Robinson, M., 2008, “Moral Principles are not Moral Laws, Journal of Ethics Social Philosophy, Vol. 2, No. 3, hlm. 1-3.
20
maka deviasi terhadap rencana tersebut
dimungkinkan untuk terjadi. Boleh jadi in-
strumen perencanaan di Indonesia me-
miliki ikhtiar yang sama dengan di Belanda;
memiliki pragmatic approach.
Setelah menguraikan daya ikat dari
instrumen perencanaan, paparan berikut
di bawah ini menyangkut dua isu besar,
yaitu kebijakan pemerintah mengenai
reforma agraria (yang akan difokuskan dari
lahan yang bersumber dari kawasan
hutan), dan kebijakan pemerintah me-
ngenai perlindungan hutan. Masing-
masing uraian akan dilakukan dengan
kajian instrumen hukum perencanaan di-
mulai dari regulasi yang paling tinggi hi-
rarkinya hingga yang paling rendah.
2.1. Reforma agraria
RPJP 2005-2025
Isu reforma agraria (land reform)
sudah diakomodir di dalam lampiran UU
No 17 tahun 2007 tentang Rencana Pem-
bangunan Jangka Panjang (RPJP). Khusus-
nya ketika lampiran tersebut membahas
mengenai upaya untuk mewujudkan pem-
bangunan yang lebih merata dan ber-
keadilan. Disebutkan di sana mengenai
komitmen jangka panjang pemerintah
20 Lampiran UU No 17 tahun 2017 tentang RPJPN tahun 2005-2025, hlm 67. 21 Lampiran UU No 17 tahun 2017 tentang RPJPN tahun 2005-2025, hlm 68.
untuk memastikan agar masyarakat go-
longan ekonomi lemah dapat lebih mudah
mendapatkan hak atas tanah.20 Lampiran
RPJP tersebut juga menyinggung mengenai
pentingnya meningkatkan upaya pe-
nyelesaian sengketa pertanahan.21 Di sini
terlihat bahwa RPJP tidak menyingung dari
manakah sumber tanah untuk melakukan
land reform tersebut. Mungkin hal ini di-
sebabkan karena sifat dokumen (lampiran
RPJP) adalah “visioner dan hanya memuat
hal-hal yang mendasar, sehingga memberi
keleluasaan yang cukup bagi penyusunan
rencana jangka menengah dan ta-
hunannya”.22 Selain itu, ada indikasi bahwa
pemerintah menyadari bahwa tuntutan
atas kebutuhan lahan akan terpaksa di-
penuhi oleh hutan. Disebutkan bahwa,
“bertambahnya kebutuhan lahan per-
tanian dan penggunaan lainnya akan me-
ngancam keberadaan hutan dan meng-
ganggu keseimbangan tata air.”23
Bagian berikut akan memaparkan
muatan RPJM Nasional dan Rencana
Strategis (“Renstra”) Departemen/Kemen-
terian yang menaungi urusan kehutanan,
dan Renstra Kementerian/Badan yang me-
ngurusi Pertanahan. Akan ada tiga RPJM
22 Penjelasan umum UU No 17 tahun 2017 tentang RPJPN. 23 Lampiran UU No 17 tahun 2017 tentang RPJPN tahun 2005-2025, hlm 33.
21
yang akan diteliti yaitu RPJM 2004-2009,
2010-2014; dan 2015-2019. Diskusi me-
ngenai RPJM tersebut juga akan dibarengi
dengan diskusi tentang Renstra. Dokumen
RPJM lazimnya menjadi lampiran dari Per-
pres sedangkan Dokumen Renstra menjadi
lampiran Permen.
RPJM 2004-2009 dan Renstra Departemen
Kehutanan 2005-2009
Informasi yang komprehensif
mengenai RPJM 2004-2009 diatur dalam
lampiran Perpres No 7 tahun 2005. Se-
dangkan informasi mengenai Renstra De-
partemen Kehutanan terdapat pada Lam-
piran Peraturan Menteri Kehutanan No-
mor: P.04/Menhut-II/2005.
Pada dokumen Perpres mengenai
RPJM, terdapat petikan informasi menarik
yang diklasifikasikan dalam bab 16 tentang
penanggulangan kemiskinan. Diuraikan di-
sana gambaran permasalahan mengenai
kegagalan pemenuhan hak dasar khusus-
nya tentang terbatasnya akses layanan pe-
rumahan dan sanitasi, sebagai berikut:24
“Masyarakat miskin yang tinggal di
(…), pinggiran hutan, (…) juga
mengeluhkan kesulitan memperoleh
perumahan dan lingkungan per-
mukiman yang sehat dan layak. (…).
24 Lampiran Perpres No 07 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, pada Bab IV.16-5. 25 Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.04/Menhut-II/2005 tentang Renstra Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009, hlm 11.
Sementara itu, bagi penduduk lokal
yang tinggal di pedalaman hutan,
masalah perumahan dan permukiman
tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi
bagian dari masalah keutuhan eko-
sistem dan budaya setempat.”
Hal di atas mengindikasikan bahwa
Pemerintah pada saat itu sudah menyadari
bahwa ada masyarakat yang tinggal tidak
hanya di pinggiran hutan, namun juga di
dalam hutan, dan kondisi perekonomian
mereka adalah miskin. Kesan serupa juga
terlihat dalam dokumen Renstra De-
partemen Kehutanan. Pemerintah tampak
menyadari bahwa secara de facto ada
masyarakat yang tinggal di pinggiran dan di
dalam hutan.25 Pemerintah mengakui
bahwa kondisi ekonomi mereka masih
tidak baik.26
Demikian juga pada RPJM maupun
Renstra, belum memberikan gambaran
mengenai pandangan pemerintah atas le-
galitas penguasaan kawasan hutan hutan
negara oleh rakyat. Tidak pula terdapat
penjelasan apakah kemudian mereka ada-
lah subjek yang akan mendapatkan refor-
ma agraria di tempat mereka tinggal atau
kah mereka akan dilarang memasuki wi-
layah hutan.
26 Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.04/Menhut-II/2005 tentang Renstra Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009, hlm 11.
22
RPJMN 2004-2009 pada bagian
mengenai “permasalahan lemahnya ke-
pastian kepemilikan dan penguasaan tan-
ah” dan “memburuknya kondisi lingkungan
hidup dan SDA serta terbatasnya akses
masyarakat terhadap SDA”, menunjukan
bahwa Pemerintah sudah tampak me-
nyinggung tentang situasi petani yang
hanya memiliki tanah kurang dari satu
hektar serta adanya kecenderungan bah-
wa luas lahan yang mereka miliki semakin
mengecil.27 Bahkan, telah pula disebutkan
mengenai keprihatinan atas masyarakat
miskin yang tinggal di pinggiran dan di
dalam hutan produksi dan hutan lindung
yang menggantungkan hidupnya pada hu-
tan namun memiliki keterbatasan akses
terhadap sumber daya alam. Padahal di sisi
lain 30% dari hutan produksi justru dikelola
hanya oleh sekelompok perusahaan yang
sistem pengelolaannya semakin men-
jauhkan akses masyarakat kecil tersebut
terhadap hutan.28 RPJMN menilai bahwa
situasi ini menghambat tercapainya pem-
bangunan berkelanjutan.29 Aneka infor-
masi di atas bermakna bahwa desain ke-
27 Lampiran Perpres No 07 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, pada Bab IV.16-6. 28 Lampiran Perpres No 07 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, pada Bab IV.16-6. 29 Lampiran Perpres No 07 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, pada Bab IV.16-6. 30 Hal ini mengingat konteks pada era itu masyarakat yang legalitasnya diakui untuk tinggal
bijakan pemerintah di kala itu akan men-
ciptakan norma yang akan memper-
bolehkan orang/masyarakat kecil untuk
masuk ke wilayah hutan produksi dan lin-
dung untuk mengakses sumber daya di
hutan agar tercipta pembangunan ber-
kelanjutan.30 Namun demikian, uraian di-
atas belum clear apakah hal ini akan di-
artikan sebagai kebijakan reforma agraria
yang bersumber dari kawasan hutan.
Informasi mengenai arah kebijakan
reforma agraria pada RPJMN 2004-2009
terdapat pada bagian “pemenuhan hak
atas tanah”. Namun informasi yang ada di
sana masih bersifat global, misalnya
dengan mengatakan bahwa upaya untuk
menjamin dan melindungi hak perorangan
dan komunal atas tanah dilakukan dengan
“mengembangkan mekanisme perlindung-
an terhadap hak atas tanah bagi kelompok
rentan” dan “mengembangkan mekanisme
redistribusi tanah secara selektif”.31 Dalam
uraian selanjutnya, arah kebijakan ter-
sebut diturunkan dalam bentuk program
“redistribusi secara selektif terhadap tanah
absentia dan perkebunan sesuai dengan
di sekitar atau dalam kawasan hutan hanyalah masyarakat adat dan hak ulayat saja. Lihat: Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.04/Menhut-II/2005 tentang Renstra Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009, hlm 11. 31 Lampiran Perpres No 07 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, pada Bab IV.16-6.
23
Undang-Undang Pokok Agraria.”32 Poin ini
menarik karena menunjukkan bahwa pro-
gram pengentasan kemiskinan yang di-
lakukan pada era kepemerintahan per-
tama SBY memang dilakukan dengan cara
redistribusi lahan, namun lahan tersebut
tidak bersumber pada hutan; melainkan
pada tanah absentia dan perkebunan.
Kesimpulan di atas juga koheren
apabila mencermati program tentang “pe-
manfaatan potensi sumber daya hutan”,
poin yang dijelaskan adalah pengem-
bangan hutan kemasyarakatan dan- usaha
perhutanan rakyat.33 Namun tidak men-
jelaskan mengenai redistribusi lahan dari
kawasan hutan.
RPJM 2010-2014, Renstra Kementerian
Kehutanan dan Renstra BPN 2010-2014
Kebijakan reforma agraria disebutk-
an beberapa kali dalam RPJM 2010-2014.
Namun isu tersebut tidak tampak di-
singgung di Renstra Kementerian Kehut-
anan. Hal ini boleh jadi karena reforma
agraria bukan isu prioritas di Kementerian
Kehutanan,34 melainkan di Badan Per-
32 Lampiran Perpres No 07 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, pada Bab IV.16-20 dan 16-21 33 Lampiran Perpres No 07 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, pada Bab IV.16-21 34 Isu yang dipandang prioritas dalam Renstra adalah: a. Pemantapan Kawasan Hutan; b. Rehabilitasi Hutan dan Peningkatan Daya Dukung Daerah Aliran Sungai (DAS); c. Pengamanan Hutan dan Pengendalian Kebakaran Hutan; d. Konservasi Keanekaragaman Hayati; e. Revitalisasi
tanahan Nasional (BPN). Maka, uraian
dibawah ini akan menyinggung tentang
Renstra BPN. Penting untuk disampaikan
bahwa Renstra BPN tidak disinggung pada
ulasan sebelumnya karena memang do-
kumen Renstra BPN yang tersedia publik
adalah yang setelah tahun 2010.
Pada RPJM, isu reforma agraria
diuraikan pada isu rencana pembangunan
bidang wilayah dan tata ruang. Disebutkan
bahwa arah kebijakan untuk mencapai sa-
saran pembangunan pertanahan adalah
“melaksanakan pengelolaan pertanahan
secara utuh dan terintegrasi melalui
reforma agraria”. Sehingga, tanah bisa di-
manfaatkan secara berkeadilan untuk me-
ningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Terhadap hal tersebut, arah kebijakan yang
akan ditempuh oleh pemerintah salah
satunya dengan penyediaan peta tanah,
pengaturan penguasaan pemilikan peng-
gunaan dan pemanfaatan tanah (P4T),
termasuk pengurangan tanah terlantar.35
Dengan kata lain, ini mengindikasikan
Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehutanan; f. Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan; dan g. Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan; h. Penguatan Kelembagaan Kehutanan. Lihat: Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.08/Menhut-II/2010 tentang Renstra Kemenhut Tahun 2010-2014, hlm. 35. 35 Lampiran Perpres No 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014, bagian II.9-85.
24
bahwa fokus objek reforma agraria adalah
bersumber dari tanah terlantar.
Pada penelusuran selanjutnya,
kegiatan diatas memiliki luaran yang di-
harapkan berupa peningkatan jumlah
tanah negara yang ditegaskan menjadi
“tanah objek landreform (TOL) dan atau di-
keluarkan dari TOL”.36 Ditegaskan pula di-
sana bahwa kegiatan ini ditargetkan selesai
100% pada tahun 2014. Namun, tidak
tersedia informasi dari manakah sumber
lahan untuk TOL ini, apakah berasal dari ka-
wasan hutan atau bukan. Dapat pula di-
sampaikan bahwa tampaknya agenda pe-
merintah untuk reforma agraria pada
tahun 2010-2014 lebih ditekankan ke
daerah Jawa terlebih dahulu, dan belum
pada pulau yang lain.37
Informasi di atas juga koheren
dengan informasi yang disampaikan oleh
Renstra BPN 2010-2014.38 Namun Renstra
36 Lampiran Perpres No 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014, bagian II.M-18. 37 Hal ini terlihat dari dokumen strategis pembangunan kewilayahan Jawa dan Bali. Ditegaskan disana bahwa wilayah sasaran pelaksanaan Reforma Agraria adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Banten (sekalipun jika membaca program detailnya baru lebih kepada pendataan, dan bukan benar benar distribusi lahan). Lihat: Lampiran Perpres No 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014, bagian III.M.3-1. 38 Renstra ini justru tidak tersedia di website BPN; Renstra ini didapatkan dari website http://tataruangpertanahan.com/pdf/pustaka/kebijakan_strategi/5.pdf, terakhir diakses 13 Maret 2018.
ini juga tidak dapat menjelaskan apakah
kebijakan pemerintah untuk lahan land re-
form akan bersumber dari kawasan hutan
ataukah dari lahan yang lain. Informasi
yang tersedia justru BPN telah melakukan
capaian kinerja untuk periode 2005-2009,
salah satunya adalah membentuk Ran-
cangan Peraturan Perundang undangan
yang isinya menetapan tanah-tanah yang
akan dialokasikan untuk Reforma Agraria
yang salah satu sumbernya adalah tanah
bekas kawasan hutan.39
RPJM 2015-2019, Renstra
Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan 2015-2019 dan Renstra
Kementerian ATR/BPN 2015-2019, dan
dokumen arahan dari KSP
Kebijakan reforma agraria pada
tahun 2015-2019 tampak lebih tegas jika
dibandingkan dengan masa-masa sebe-
lumnya. Dokumen yang akan diulas pada
39 Sumber untuk objek reforma agraria yang lain adalah “tanah-tanah yang haknya tidak diperpanjang atau tidak mungkin diperpanjang; tanah-tanah bekas hak Barat yang terkena ketentuan konversi; tanah-tanah yang berasal dari pelepasan hak; tanah-tanah hak yang pemegangnya melanggar ketentuan dan atau yang tidak sejalan dengan keputusan pemberian haknya; tanah obyek land reform; tanah bekas obyek land reform; tanah timbul; tanah bekas kawasan pertambangan; tanah yang dihibahkan oleh pemerintah untuk Reforma Agraria; tanah tukar menukar dari dan oleh pemerintah; tanah yang diadakan oleh pemerintah untuk Reforma Agraria; dan tanah bekas kawasan hutan.” Lihat: Renstra BPN 2010-2014, hlm 22.
25
pariode ini sama dengan yang diulas
dengan periode sebelumnya. Hanya saja
pada periode ini ada dokumen arahan dari
Kantor Staf Presiden (KSP) mengenai Stra-
tegi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria
2016-2019. Secara konseptual Hukum Ad-
ministrasi, dokumen ini masuk ke kategori
peraturan kebijaksanaan.
Dokumen yang pertama diulas
adalah RPJM. Salah satu agenda pem-
bangunan nasional pada RPJM adalah me-
ningkatkan kualitas hidup manusia dan
masyarakat Indonesia. Agenda ini memiliki
sub agenda berupa “peningkatan keseja-
hteraan rakyat marjinal: pelaksanaan pro-
gram Indonesia kerja”. Salah satu sasaran
yang hendak dicapai oleh sub agenda ter-
sebut adalah distribusi hak atas tanah ke-
pada petani. Hal itu dilakukan dengan cara
penyediaan sumber Tanah Objek Reforma
Agraria (TORA) dan melakukan redistribusi
40 Lampiran Perpres No 2 tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019, Buku I (Agenda Pembangunan Nasional), hlm 6-80. Tampaknya ikhtiar untuk redistribusi lahan ini merujuk pada hasil sensus pertanian 2013, situasi saat ini adalah terdapat 26.14 juta rumah tangga petani yang mana rata rata mereka menguasai 0,89 hektar lahan; bahkan 14,25 juta rumah tangga hanya menguasai lahan kurang dari 0.5 hektar per keluarga. Melalui program reforma agraria ini, Pemerintah berencana untuk meningkatkan akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan pertanian menjadi 2.0 hektar per KK tani Lihat: Lampiran Perpres No 2 tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019, Buku II (Agenda Pembangunan Bidang), hlm 8-11 dan 8-12. Terhadap kebijakan ini, Pemerintah
tanah dan legalisasi aset.40
Terdapat empat poin sasaran yang
diuraikan dalam sub agenda tersebut,
yaitu:41 (i) Identifikasi dan inventarisasi Pe-
nguasaan, Pemilikan, penggunaan, dan Pe-
manfaatan Tanah (IP4T) sebanyak 18 juta
bidang atau sedikitnya 9 juta ha; (ii) Iden-
tifikasi kawasan hutan yang akan di-
lepaskan sedikitnya sebanyak 4,1 juta ha;
(iii) Identifikasi tanah hak, termasuk di da-
lamnya tanah HGU yang akan habis masa
berlakunya, tanah terlantar, dan tanah
transmigrasi yang belum bersertifikat,
yang berpotensi sebagai TORA sedikitnya
sebanyak 1 juta ha; dan (iv) Identifikasi
tanah milik masyarakat dengan kriteria pe-
nerima Reforma Agraria untuk legalisasi
aset sedikitnya sebanyak 3,9 juta ha.
RPJM juga menjelaskan bahwa su-
mber lahan untuk kegiatan redistribusi ta-
nah ini berasal dari tanah terlantar dan
tampaknya menyadari bahwa redistribusi tanah tidak dapat dilakukan sendirian. Oleh karenanya, disebutkan pula bahwa kebijakan tersebut perlu disempurnakan dan dilengkapi dengan pemberdayaan masyarakat (access reform) melalui upaya mengkoordinasikan dan menghubungkan (channeling) masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi produktif sehingga dapat lebih berkontribusi secara nasional dalam mengentaskan kemiskinan dan mewujudkan keadilan sosial. Buku II (Agenda Pembangunan Bidang), hlm 8-57. 41 Lampiran Perpres No 2 tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019, Buku I (Agenda Pembangunan Nasional), hlm 6-81.
26
kawasan hutan.42 Namun RPJM tidak men-
jelaskan lebih detail, kawasan hutan mana
yang akan menjadi objek TORA. Informasi
ini ditemukan di Renstra KLHK, Ke-
menterian ATR/BPN, juga dokumen dari
KSP; namun sayangnya informasi yang ter-
sedia di tiga dokumen tersebut tidak se-
penuhnya selaras.
Merujuk pada dokumen Renstra
KLHK 2015-2019, kawasan hutan yang
akan menjadi sumber lahan untuk kegiatan
redistribusi lahan adalah hutan produksi
saja. Dengan kata lain sumber lahan tidak
akan menyasar ke hutan lindung apalagi
hutan konservasi.43 Hal yang berbeda ter-
dapat dalam Renstra Menteri ATR/Kepala
BPN yang menyebutkan bahwa sumber
lahan untuk program reforma agraria ada-
lah hutan produksi tetap, hutan produksi
terbatas dan hutan lindung.44 Perbedaan
yang mencolok bahkan ditemukan pada
strategi nasional yang disusun oleh KPS
yang mengatakan bahwa pelepasan ka-
wasan hutan tidak didasarkan pada kla-
sifikasi jenis hutan, melainkan pada apakah
hutan tersebut secara faktual telah beralih
42 Lampiran Perpres No 2 tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019, Buku II (Agenda Pembangunan Bidang), hlm 8-11. 43 Salah satu tahapan pembangunan di tahun 2015 adalah: “persiapan dan pelaksanaan reformasi agraria dari kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi berupa legalisasi aset seluas 0,6 juta ha
fungsi ataukah belum. Jika telah beralih
fungsi (seperti menjadi wilayah admin-
istrasi desa, pemukiman penduduk, lahan
pertanian pangan atau perkebunan rakyat,
wilayah masyarakat hukum adat, areal ga-
rapan lain masyarakat), maka tanah ter-
sebut akan menjadi objek TORA yang akan
“diredistribusikan kepada rakyat miskin se-
cara bersama atau melalui mekanisme pe-
nguatan hak atas penguasaan dan peng-
usahaannya oleh desa.”45
2.2. Perlindungan hutan
RPJP 2005-2025
RPJP menyinggung isu tentang per-
lindungan hutan, khususnya pada bagian
yang menguraikan tentang sumber daya al-
am dan lingkungan hidup. Ditegaskan di sa-
na mengenai keprihatinan pemerintah atas
kondisi sumber daya hutan yang amat
mengkhawatirkan karena misalnya pe-
ningkatan praktik pembalakan liar (illegal
logging) dan penyelundupan kayu, me-
luasnya kebakaran hutan dan lahan, me-
luasnya perambahan dan konversi hutan
alam. Namun tidak menguraikan lebih
lanjut strategi apa yang akan digunakan
dan redistribusi tanah seluas 3,5 juta ha”. Lihat: Lampiran Permen LHK No P.39/Menlhk-Setjen/2015 ttg Renstra KLHK 2015-2019, hlm 26. 44 Lampiran Permen ATR/KaBPN No 25 tahun 2015 Renstra Kementerian ATR/BPN 2015-2019, hlm 15. 45 Kantor Staf Presiden (KSP), Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria 2016-2019, hlm 27.
27
oleh pemerintah untuk mengatasi per-
masalahan tersebut.46
Sama dengan pada sub bab se-
belumnya, ada tiga RPJM yang akan di-
cermati terkait dengan perlindungan hutan
yaitu periode 2004-2009, 2010-2014; dan
2015-2019. Pembahasan mengenai RPJM
akan dilakukan secara bersamaan dengan
pembahasan Renstra Departemen/Kem-
enterian yang mengurusi urusan ke-
hutanan.
RPJM 2004-2009 dan Renstra Departemen
Kehutanan 2005-2009
Informasi yang komprehensif me-
ngenai RPJM 2004-2009 diatur dalam lam-
piran Perpres No 7 tahun 2005. Pada do-
kumen tersebut, terlihat bahwa per tahun
2005, pemerintah secara tegas mengakui
bahwa kebijakan yang diambil selama ini
lebih berorientasi kepada ekonomi ke-
timbang ekologi. Pengakuan ini terlihat ke-
tika pemerintah menjelaskan permasalah-
an dan agenda pembangunan nasional ta-
hun 2004-2009, sebagai berikut:47
“kegiatan pemanfaatan sumber daya
alam sehingga sering melahirkan kon-
flik kepentingan antara ekonomi de-
ngan lingkungan. Kebijakan ekonomi
46 Lampiran UU No 17 tahun 2007 tentang RPJPN tahun 2005-2025, hlm. 20-21. 47 Lampiran Perpres No 7 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, bagian I.1-5. 48 Lampiran Perpres No 7 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, bagian II.4-2.
selama ini cenderung lebih berpihak
terhadap kegiatan eksploitasi sum-
ber daya alam sehingga mengakibat-
kan lemahnya kelembagaan pe-
ngelolaan dan penegakan hukum”.
Jika ditelusuri lebih lanjut, per-
nyataan pemerintah terkait dengan pe-
negakan hukum di bidang lingkungan da-
pat dilihat di RPJM pada bab peningkatan
keamanan ketertiban, dan penanggulang-
an kriminalitas. Disana terdapat sub isu
yang menggarisbawahi tentang masalah
lemahnya pengawasan dan penegakan hu-
kum pengelolaan sumber daya kehutanan.
Pemerintah mengakui bahwa kelemahan
tersebut telah mengakibatkan over cut-
ting, illegal logging, dan illegal trading.48
Terhadap permasalahan tersebut,
pemerintah menetapkan sasaran kerja
berupa terungkapnya jaringan utama pen-
curian sumber daya kehutanan, serta
membaiknya praktek penegakan hukum
dalam pengelolaan sumber daya ke-
hutanan.49 Maka, arah kebijakan pe-
merintah adalah mencegah dan menindak
pelaku praktek usaha kehutanan yang
menyalahi peraturan dan perundangan
49 Lampiran Perpres No 7 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, bagian II.4-3. Lihat pula Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.04/Menhut-II/2005 tentang Renstra Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009, hlm 15.
28
yang berlaku.50 Penindakan pelanggaran
hukum di sektor kehutanan, memang di-
masukkan ke dalam salah satu kegiatan po-
kok program pemantapan keamanan da-
lam negeri.51 Dengan kata lain, salah satu
kebijakan pemerintah untuk membangun
hutan pada tahun 2004 – 2009 adalah de-
ngan melindungi hutan dengan cara mem-
perbaiki tata kelola hutan dan penegakan
hukum,52 termasuk dengan cara penge-
ndalian alih fungsi dan status kawasan
hutan.53
RPJM 2010-2014 dan Renstra Kementerian
Kehutanan 2010-2014
Kebijakan perlindungan hutan pada
era RPJM ini diuraikan pada isu prioritas
mengenai lingkungan hidup dan pe-
ngelolaan bencana. Dijelaskan bahwa pe-
merintah berikhtiar untuk meningkatkan
hasil rehabilitasi hutan menjadi 500 ribu
hektar per tahun,54 penekanan laju de-
50 Lampiran Perpres No 7 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, bagian II.4-3. 51 Lampiran Perpres No 7 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, bagian II.4-7. 52 Lampiran Perpres No 7 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, bagian IV.32-9. 53 Lampiran Perpres No 7 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, bagian IV.32-11. 54 Lampiran Perpres No 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2015, bagian I.M-108. 55 Lampiran Perpres No 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2015, bagian I.M-111. 56 Lampiran Perpres No 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2015, bagian I.M-117
forestasi,55 termasuk penurunan jumlah
hotspot kebakaran hutan sebesar 20% per
tahun.56 Hal tersebut dicapai dengan ke-
giatan rehabilitasi dan juga dengan ke-
giatan lain seperti pengembangan ke-
hutanan sosial ataupun peningkatan kon-
servasi dan pengendalian hutan.57
Terhadap situasi tersebut, terdapat
kesan bahwa arah kebijakan yang akan di-
ambil oleh pemerintahan pada era ter-
sebut adalah dengan menutup akses ter-
hadap hutan. Hal ini diindikasikan dari per-
nyataan di RPJM pada bagian “peningkatan
konservasi dan rehabilitasi sumber daya
hutan”. Pemerintah melihat bahwa ma-
salah kehutanan perlu didekati dengan
membentuk kesatuan pengelolaan hutan
(KPH) agar status hutan tidak lagi bersifat
open access.58 Lalu, disebutkan pula bahwa
sasarannya adalah penyelesaian tata batas
hutan, penyediaaan areal pengelolaan
57 Lampiran Perpres No 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2015, bagian I.M-108-109. Lihat pula Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.08/Menhut-II/2010 tentang Renstra Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014, hlm. 46. Dokumen Renstra ini mengesankan bahwa pendekatan yang diambil pemerintah di kala itu adalah bukan dengan mengeluarkan kawasan hutan untuk digunakan sebagai objek reforma agraria, namun dengan perhutanan sosial (Sekalipun konteks yang diulas di halaman ini lebih kepada peningkatan daya dukung daerah aliran sungai. 58 Lampiran Perpres No 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2015, bagian II.10-36.
29
hutan kemasyarakatan luas seluas 2 juta
Ha, dan penurunan hotspot.59
Dapat pula disampaikan bahwa ada
kebijakan untuk menggunakan pendekat-
an hukum pidana untuk melindungi hutan
yang juga terlihat kuat dalam RPJM pe-
riode tersebut. Di dalam RPJM tersebut
dikemukakan sasaran penanganan tindak
pidana hutan serta penyelesaian kasus pe-
rambahan.60 Penanganan tindak pidana di
sektor kehutanan difokuskan pada pen-
cegahan dan pengendalian pada kebakar-
an hutan dan pada ancaman illegal log-
ging, perambahan, perdagangan tumbuh-
an dan satwa liar ilegal.61 Pada Renstra,
informasi mengenai hal ini sedikit didetail-
kan, bahwa indikator keberhasilan untuk
program di atas adalah adanya kasus baru
yang dapat diselesaikan minimal 75%.62
RPJM 2015-2019 dan Renstra Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2015-
2019
Kebijakan perlindungan hutan pada
periode RPJM ini menjadi bagian dari
uraian isu agenda pembangunan nasional
yang keempat, yaitu memperkuat kehadir-
59 Lampiran Perpres No 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2015, bagian II.10-43. 60 Lampiran Perpres No 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2015, bagian II.10-43. 61 Lampiran Perpres No 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2015, bagian II.10-55. Kebijakan penggunaaan hukum pidana, semakin terlihat pada matriks tabel. Disebutkan bahwa indicator keberhasilan pemerintah adalah memproses kasus
an negara dalam melakukan reformasi sis-
tem dan penegakan hukum yang bebas ko-
rupsi, bermartabat dan terpercaya. Salah
satu sub agenda yang dilingkupi oleh age-
nda tersebut adalah pemberantasan tin-
dakan penebangan liar, perikanan liar, dan
penambangan liar. Adapun sasaran dari
sub-agenda ini adalah menurunnya fre-
kuensi dan luasan penebangan liar.
Untuk mencapai sasaran tersebut,
ada tiga langkah yang kebijakan yang akan
diambil pemerintah. Pertama, meningkat-
kan instrumen penegakan hukum, me-
lalui:63 (i) penyusunan satu peta tematik
hutan dengan tingkat akurasi yang me-
madai di tingkat tapak dan untuk dasar pe-
nindakan hukum; (ii) percepatan penye-
lesaian tata batas dan pengukuhan ka-
wasan hutan, antara lain melaksanaan per-
aturan bersama Kemenhut, Kemendagri,
PU dan BPN tentang Penyelesaian Pengua-
saan Tanah di dalam Hutan; (iii) peningkat-
an kuantitas dan kualitas SDM pengawas
dan penegak hukum (rekrutmen, mutasi,
peningkatan kapasitas, promosi).
baru; menyelesaikan kasus tersebut; dan menekan tunggakan perkara (vide: II.M-96). 62 Lihat: Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.08/Menhut-II/2010 tentang Renstra Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014, hlm. 42. 63 Lampiran Perpres No 2 tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019, buku I (Agenda Pembangunan Nasional), hlm 6-57.
30
Dijelaskan pula bahwa pemerintah
akan mengambil kebijakan untuk mening-
katkan efektivitas penegakan hukum me-
lalui:64 (i) penyederhanaan prosedur pe-
negakan hukum kasus penebangan liar; (ii)
meningkatkan proses yustisi, mencabut
izin pihak yang melakukan perusakan hu-
tan illegal, dan meningkatkan efek jera pe-
laku illegal; (iii) peningkatan koordinasi da-
lam pengawasan dan penegakan hukum
dalam kawasan hutan; (iv) pembentukan
Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan (P3H) sesuai UU No.
18/2013. Ihwal ini sama dengan ulasan
yang terdapat dalam Renstra Kementerian
LHK 2015-2019.65 Bedanya, Renstra de-
ngan tegas menargetkan 200 kasus per
tahun sebagai target jumlah perkara
pidana yang diverifikasi oleh KLHK.66
Langkah ketiga yang akan diambil pe-
merintah untuk melindungi hutan adalah
dengan meningkatkan efektivitas dan kua-
litas pengelolaan hutan:67 (i) penyelesaian
pembangunan KPH untuk seluruh kawasan
hutan; dan (ii) peningkatan keterlibatan
masyarakat dalam pengamanan hutan me-
64 Lampiran Perpres No 2 tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019, buku I (Agenda Pembangunan Nasional), hlm 6-57. 65 Lampiran Permen LHK No P.39/Menlhk-Setjen/2015 ttg Renstra KLHK 2015-2019, hlm 9. 66 Lampiran Permen LHK No P.39/Menlhk-Setjen/2015 ttg Renstra KLHK 2015-2019, hlm 51.
lalui kemitraan, termasuk pengembangan
hutan adat.
Jika aneka informasi di atas di-
sampaikan pada buku I RPJM (buku ten-
tang agenda nasional), maka informasi be-
rikut disampaikan pada buku II tentang
agenda pembangunan bidang. Pada bagian
pertama mengenai pengarusutamaan dan
pembangunan lintas bidang salah satu isu
yang diangkat adalah pengarusutamaan
pembangunan yang berkelanjutan. Di situ
diuraikan bahwa dua dari berbagai upaya
untuk mewujudkan pembangunan berke-
lanjutan adalah dengan penurunan tingkat
deforestasi dan kebakaran hutan dan me-
ningkatnya tutupan hutan (forest cover).68
Dipandang relevan pula untuk me-
nguraikan bahwa pemerintah telah me-
nangkap permasalahan lain yang di-
akibatkan oleh menipisnya hutan. Ketika
pemerintah menguraikan permasalahan
dan isu strategis mengenai bidang sarana
dan prasarana, salah satu dari enam isu
yang diuraikan oleh pemerintah adalah
mengenai menjamin ketahanan air untuk
mendukung ketahanan nasional.
67 Lampiran Perpres No 2 tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019, buku I (Agenda Pembangunan Nasional), hlm 6-57. 68 Lampiran Perpres No 2 tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019, buku II (Agenda Pembangunan Bidang), hlm I-3.
31
Ditegaskan di sana bahwa Indonesia meng-
hadapi masalah penurunan fungsi catch-
ment area akibat pembukaan hutan untuk
perkebunan dan pertambangan sepanjang
2000-2012. Hal ini banyak terjadi di Pulau
Jawa dan Sumatera dan telah berimplikasi
negatif pada hilangnya hutan secara na-
sional sebesar 8,4 persen.69 Memang tidak
diuraikan lebih lanjut mengenai langkah
apa yang akan diambil untuk memastikan
agar masalah itu bisa diselesaikan, namun
penjelasan tersebut mengindikasikan ber-
tambah kuatnya alasan untuk melakukan
kebijakan perlindungan hutan.
2.3. Kesimpulan
Berdasarkan rangkaian uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa kebijakan refo-
rma agraria sudah dapat dilihat sejak era
pemerintahan sebelum Jokowi-JK. Namun,
terdapat perbedaan mengenai sumber la-
han yang akan menjadi TORA. Pada pe-
riode 2005-2009, sumber lahan untuk re-
distribusi lahan bersumber hanya dari
tanah absentia dan perkebunan. Sedang-
kan pada periode 2010-2014, sumber ta-
nah objek land reform mengalami per-
luasan dengan memasukkan tanah bekas
kawasan hutan. Pada periode 2015-2019
69 Lampiran Perpres No 2 tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019, buku II (Agenda Pembangunan Bidang), hlm 9-14.
lokasi objek tampak jelas dengan pe-
nyebutan 4,1 juta hektar lahan yang akan
dikeluarkan dari kawasan hutan se-bagai
TORA. Sayangnya, Renstra KLHK, Renstra
Kementerian ATR/BPN, dan Stra-tegi
Nasional KPS menyebut lokasi yang
berbeda-beda dalam kawasan hutan se-
bagai TORA.
Terkait dengan kebijakan penegakan
hukum untuk melindungi kawasan hutan,
maka dapat terlihat bahwa kebijakan ter-
sebut juga telah disebutkan sejak periode
pemerintahan pertama dan kedua pre-
siden SBY. Selain penegakan hukum, ke-
bijakan melindungi hutan juga dilakukan
dengan pengendalian terhadap alih fungsi
lahan dan status kawasan hutan (periode
2005-2009), dan dengan membentuk KPH
(periode 2010-2014). Terdapat indikasi
bahwa pemerintah semakin memperhati-
kan kebijakan penegakan hukum untuk
melindungi kawasan hutan. Hal ini terlihat
dari target kerja yang dicanangkan. Jika
pada periode pertama informasi pe-
merintahan SBY hal ini tidak ditegaskan
secara eksplisit, maka pada periode kedua
ditargetkan ada 75% kasus baru yang akan
diselesaikan. Sedangkan pada pemerintah-
32
an Jokowi ditargetkan ada 200 kasus pi-
dana di sektor kehutanan yang akan disele-
saikan.
Hasil membandingkan kebijakan RA
dan perlindungan hutan sebagaimana
dimuat dalam berbagai dokumen pe-
rencanaan, memperlihatkan bahwa secara
umum belum ditemukan indikasi yang kuat
kebijakan reforma agraria akan ber-
sitegang dengan kebijakan penegakan hu-
kum untuk melindungi kawasan hutan.
Sekalipun memang ditemukan juga ada po-
tensi tegangan pada dua kebijakan ter-
sebut. Misalnya, pemerintahan Jokowi
juga menyatakan ikhtiarnya untuk mem-
perluas forest coverage yang dapat
diartikan sebagai upaya untuk mere-
habilitasi kawasan hutan yang telah di-
gunakan tidak sesuai dengan peruntukan-
nya. Hal ini dapat dipandang kontradiktif
jika disandingkan dengan ikhtiar untuk me-
ngeluarkan lahan hutan yang sudah dipakai
untuk aktivitas manusia dari kawasan hu-
tan. Namun analisa atas hal ini belum da-
pat diuraikan dengan jelas karena doku-
men yang ada tidak mendetailkan langkah
langkah apa saja yang akan dilakukan guna
memperluas forest coverage tersebut.
33
34
Sebagai upaya untuk mewujudkan
target-target kebijakan mengenai RA di
bidang kehutanan untuk periode 2015-
2019, seperti yang sudah dipaparkan pada
bagian sebelumnya (Bagian 2.1, dan 2.2),
pemerintah telah mengeluarkan sejumlah
peraturan perundangan. Sejauh ini ada dua
peraturan perundang-undangan yang di-
buat dalam rangka melaksanakan RA di bi-
dang kehutanan yaitu Peraturan Presiden
No. 88/2017 tentang Penyelesaian Pengu-
asaan Tanah dalam Kawasan Hutan (Per-
pres 88) dan Keputusan Menteri Koor-
dinator Bidang Perekonomian No. 73/2017
tentang Tim Reforma Agraria. Selain itu,
terdapat Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan No. P.83/MenLHK/
Setjen/Kum.1/10/ Tahun 2016 tentang
Perhutanan Sosial. Sekalipun tidak terkait
langsung dengan RA, peraturan ini ber-
tujuan sama dengan RA yaitu memperluas
wilayah kelola rakyat untuk kawasan hu-
tan.
Perpres 88 akan diimplementasikan
pada lapangan sosial yaitu penguasaan ka-
wasan hutan untuk kebun sawit rakyat
yang tidak sepenuhnya seperti yang di-
kehendaki oleh konstruksi hukum. Se-
bagian dari kenyataan-kenyataan lapangan
70 Dari hasil Focus Group Discussion (FGD)
terkait Perber ini di beberapa provinsi yang dilakukan oleh Tim Gerakan Nasional Pengelolaan
tersebut seperti lokasi penguasaan ka-
wasan hutan berlangsung dan lama waktu
penguasaan, tidak selaras dengan kriteria-
kriteria Perpres 88 sehingga berpotensi
memunculkan kendala-kendala dalam im-
plementasinya.
3.1. Regulasi Reforma Agraria di
bidang kehutanan
3.1.1. Perpres No. 88/2017
Perpres yang ditandatangani oleh
Presiden pada tanggal 6 September 2017
ini merupakan peningkatan dari regulasi
sebelumnya yang merupakan Peraturan
Bersama (Perber) Menteri Dalam Negeri,
Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan
Umum, dan Kepala Badan Pertanahan
Nasional (Ka BPN) tentang Tata Cara Pe-
nyelesaian Penguasaan Tanah yang berada
di dalam Kawasan Hutan yang ditanda-
tangani pada tanggal 24 Oktober 2014.
Dalam perjalanannya, implementasi Per-
ber untuk menyelesaikan permasalahan
yang seolah tidak berujung itu mengalami
berbagai hambatan.
Bagi instansi yang enggan me-
laksanakan Perber, bentuk regulasi yang
hanya setingkat peraturan bersama dijadi-
kan alasan untuk bersikap demikian.70
Akan tetapi, dalam suatu studi kasus
Sumber Daya Alam (GN-PSDA) dan KPK-RI sepanjang tahun 2014-2015.
35
beberapa hal ternyata menjadi hambatan
dalam implementasi di lapangan.71 Hal ini
penting untuk diperhatikan juga dalam pe-
nerapan Perpres, karena berbagai ham-
batan itu masih mungkin terjadi dan perlu
pemikiran untuk mencari jalan keluarnya.
Dalam upaya untuk menjadikan
Perber lebih “bertaji”, kementerian terkait
dibantu Tim Gerakan Nasipnal-Pengelola-
an Sumber Daya Alam (GN-PSDA) me-
nyiapkan Rancangan Perpres yang kemudi-
an dikembangkan dan dikoodinasikan oleh
Kantor Menteri Kordinator Bidang Pereko-
nomian (Menko Perekonomian) menjadi
Perpres 88.
Secara garis besar, ada beberapa
perbedaan antara Rancangan Perpres yang
disiapkan oleh Tim GN-PSDA dengan Per-
pres 88. Pertama, Rancangan Perpres tidak
membuat kategori penyelesaian peng-
uasaan tanah sebelum atau sesudah pe-
nunjukan dan kategori berdasarkan luasan
kawasan hutan. Artinya, semua per-
masalahan penguasaan tanah yang ada di
dalam kawasan hutan akan diselesaikan
dengan melihat fungsi hutan dan kondisi
71 Tesis Tami Linasari, dari Program
Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (2018) yang meneliti tentang implementasi Perber di Desa Lancang Kuning, Kecamatan Bintan Utara, Kabupaten Bintan, menemukan beberapa hal yang menjadi kendala dalam implementasi Perber, yakni : 1) pemblokiran anggaran; 2) kurangnya partisipasi dari Pemerintah Daerah 3) Anggota Tim IP4T yang ke lapangan
lapangan. Kedua, Rancangan Perpres yang
mengkategorikan cara penyelesaian de-
ngan melihat fungsi dan kondisi hutan
adalah sebagai berikut:
(1) Terhadap penguasaan tanah yang ma-
sih berupa hutan yang berada di dalam
kawasan hutan konservasi berupa zo-
na inti dari zona rimba Taman Na-
sional, cagar alam, dan suaka marga-
satwa, tidak dapat diberikan sertipikat
hak atas tanah. Bagi masyarakat yang
menguasai tanah tersebut diberikan
kompensasi oleh Menteri LHK. Jika pe-
nguasaan tanahnya berupa permu-
kiman, fasilitas umum, dan atau fa-
silitas sosial, persawahan, dan domi-
nasi ruangnya tidak berfungsi hutan,
dikeluarkan dari kawasan hutan de-
ngan ketentuan bahwa Gubernur
wajib mengusulkan kawasan hutan se-
kitarnya menjadi hutan konservasi ya-
ng luasnya minimal sama dengan ka-
wasan hutan yang dikeluarkan;
(2) Penguasaan tanah di dalam kawasan
hutan lindung dan hutan produksi da-
pat diterbitkan sertifikat dengan peng-
hanya dari instansi BPN; 4) acuan peta yang berbeda; 5) kebanyakan pemilik lahan berdomisili di luar kawasan; 6) tidak dipasangnya tanda (patok) batas bidang tanah; 7) data fisik yang tidak sesuai dengan data yuridis; dan 8) keengganan Kepala BPKH Wilayah XII Tanjung Pinang menandatangani Berita Acara IP4T, keengganan ini disebabkan karena landasan hukum penyelesaian penguasaan tanah hanya dalam bentuk Perber.
36
gunaan sesuai dengan fungsinya. Jika
penguasaan tanahnya digunakan un-
tuk permukiman, fasilitas umum, fa-
silitas sosial, persawahan dan do-
minasi ruangnya tidak berfungsi hu-
tan, dikeluarkan dari kawasan hutan;
(3) Ditegaskan bahwa penguasaan tanah
berupa hutan hak dan hutan adat ha-
rus dikelola sesuai fungsi hutannya.
Ketiga, Rancangan Perpres mengatur
juga tentang Masyarakat Hukum Adat yang
tata cara pengakuannya diatur dalam Per-
da Provinsi dengan mengikuti Panduan ya-
ng diatur dalam Lampiran Rancangan Per-
pres. Bentuk pengakuannya dalam bentuk
Keputusan Kepala Daerah. Penetapan
hutan adat dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Keem-
pat, dalam Rancangan Perpres tidak diatur
tentang “resettlement”. Kelima, jangka wa-
ktu berlangsungnya Perpres ini dibatasi 10
(sepuluh) tahun dengan pertimbangan ba-
hwa “extra ordinary cases” dalam pe-
nguasaan tanah dalam kawasan hutan ini
harus diselesaikan secara tuntas dalam
waktu 10 (sepuluh) tahun, agar tidak
ditoleransi lagi timbulnya permasalahan
penguasaan tanah baru di dalam kawasan
hutan.
Perpres 88 mengatur hal-hal sebagai
berikut, pertama subyek Penyelesaian Pe-
nguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan
adalah perorangan, instansi, badan
sosial/keagamaan, Masyarakat Hukum
Adat (MHA) yang menguasai dan me-
manfaatkan bidang tanah dalam kawasan
hutan (Pasal 1 angka 2). Tanah yang di-
kuasai dan dimanfaatkan itu baik sebelum
maupun sesudah bidang tanah tersebut di-
tunjuk sebagai kawasan hutan (Pasal 4 ayat
(2) sedangkan penguasaan tanahnya harus
memenuhi 3 (tiga) kriteria yaitu bahwa pe-
nguasaan tanahnya dilakukan dengan
itikad baik dan secara terbuka, bidang ta-
nah tersebut tidak diganggu gugat oleh pi-
hak lain, dan penguasaannya diakui dan di-
benarkan oleh masyarakat hukum adat
atau kepala desa/kelurahan yang ber-
sangkutan serta diperkuat oleh kesaksian
orang yang dapat dipercaya (Pasal 4 ayat
(1).
Kedua, obyek penguasaan tanah
adalah permukiman, fasilitas umum, dan/
atau fasilitas sosial, lahan garapan, dan/
atau hutan yang dikelola oleh MHA. Lahan
garapan diartikan sebagai bidang tanah di
dalam kawasan hutan yang dikerjakan dan
dimanfaatkan oleh seseorang atau se-
kelompok orang yang dapat berupa sawah,
ladang, kebun campuran, dan/atau
tambak (Pasal 5 ayat (1) dan (4)). Berkaitan
dengan hak MHA, dalam Perpres hanya di-
sebutkan tentang hutan adat, yang di-
tetapkan sesuai dengan ketentuan per-
37
aturan perundang-undangan (Pasal 5 ayat
(5)) dan bahwa keberadaan MHA di-
tetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda)
dan MHA memiliki bukti penguasaan tanah
(Pasal 6 ayat (5)).
Ketiga, pola penyelesaian penguasa-
an tanah dirinci sebagai berikut:
(1) Jika tanah telah dikuasai dan
dimanfaatkan dan/atau telah d-
iberikan hak di atasnya sebelum bi-
dang tanah tersebut ditunjuk sebagai
kawasan hutan, penyelesaian dilakuk-
an dengan mengeluarkan bidang ta-
nah dari kawasan hutan melalui per-
ubahan batas kawasan hutan. Artinya
tidak tergantung pada fungsi hutan-
nya, sepanjang penguasaan tanahnya
sebelum ditunjuk sebagai kawasan hu-
tan, maka obyek dikeluarkan dari ka-
wasan hutan.
(2) Jika penguasaan tanah berlangsung
setelah bidang tanah yang ber-
sangkutan ditunjuk sebagai kawasan
hutan, maka jika luas kawasan hutan
yang harus dipertahankan minimal
30% (tiga puluh persen) dari luas Da-
erah Aliran Sungai (DAS), pulau dan/-
atau provinsi ataupun lebih dari 30 %
(tiga puluh persen) jika fungsi hutan
adalah konservasi, maka semua jenis
pemanfaatan penyelesaiannya adalah
dengan resettlement;
(3) Jika penguasaan tanah berlangsung
setelah bidang tanah ditunjuk sebagai
kawasan hutan dengan fungsi lindung
dan luas kawasan hutan yang harus di-
pertahankan minimal 30% (tiga puluh
persen) dari luas DAS, pulau dan/atau
Provinsi, terhadap permukiman dan
fasilitas umum dan fasilitas sosial di-
selesaikan dengan resettlement, se-
dangkan untuk lahan garapan di-
berlakukan perhutanan sosial. Jika se-
telah ditunjuk, hutan tersebut tidak
memenuhi kriteria sebagai hutan
lindung, maka terhadap pemukiman
fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial
dilakukan melalui tukar menukar ka-
wasan hutan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan (Pas-
al 10). Tidak diatur tentang bagaimana
dengan penyelesaian lahan garapan.
(4) Jika penguasaan tanah setelah bidang
tanah ditunjuk sebagai kawasan hutan
dengan fungsi lindung dan luas ka-
wasan hutan yang harus dipertahan-
kan lebih dari 30 % (tiga puluh persen)
dari luas DAS, pulau dan/atau provinsi,
maka jika fungsi hutannya adalah hu-
tan lindung, maka untuk permukiman,
fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial
diselesaikan melalui resettlement. Da-
lam hal bidang tanah tersebut diguna-
kan untuk lahan garapan dan telah di-
38
kuasai lebih dari 20 (dua puluh) tahun
dikeluarkan dari kawasan hutan, na-
mun jika penguasaannya kurang dari
20 (dua puluh) tahun maka diselesai-
kan melalui perhutanan sosial. Jika ka-
wasan hutan yang ditunjuk tidak me-
menuhi kriteria sebagai kawasan hu-
tan lindung, maka penguasaan tanah
untuk pemukiman, fasilitas umum,
dan/atau fasilitas sosial dikeluarkan
dari kawasan hutan. Dalam kondisi
yang sama, terhadap lahan garapan ti-
dak diatur jalan keluarnya (Pasal 11).
(5) Jika penguasaan tanah setelah bidang
tanah diitunjuk sebagai kawasan hu-
tan dengan fungsi lindung dan luas ka-
wasan hutan yang harus dipertahan-
kan minimal 30 % (tiga puluh persen)
dari luas DAS pulau dan atau provinsi
maka bidang tanah yang berupa pe-
mukiman fasilitas umum dan atau fa-
silitas sosial dikeluarkan melalui re-
settlement, sedangkan terhadap ta-
nah garapan diselesaikan melalui pe-
rhutanan sosial (Pasal 12).
(6) Jika penguasaan tanah setelah bidang
tanah ditunjuk sebagai kawasan hutan
dan luas kawasan hutan lebih dari 30%
(tiga puluh persen) dari DAS, pulau
dan/atau provinsi dan merupakan
hutan produksi maka untuk per-
mukiman, fasilitas umum dan/atau fa-
silitas sosial dikeluarkan dari kawasan
hutan. Untuk tanah garapan jika telah
dikuasai selama 20 tahun atau lebih di-
keluarkan dari kawasan hutan, se-
dangkan jika penguasaan kurang dari
20 tahun akan diselesaikan melalui
perhutanan sosial (Pasal 13).
Keempat, kelembagaan. Untuk
mengimplementasikan Perpres, di tingkat
pusat dibentuk Tim Percepatan Pe-
nyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Ka-
wasan Hutan (tim percepatan PPTKH) yang
diketuai oleh Menko Perekonomian. Tim
ini mempunyai enam macam tugas dan da-
lam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh
Tim Pelaksana PPTKH. Tim Pelaksana dapat
melibatkan, bekerjasama dan/atau ber-
koordinasi dengan Kementerian/ Lem-
baga, Pemerintah Daerah, akademisi dan
atau pemangku kepentingan. Tim Pe-
laksana mempunyai 4 (empat) tugas. Da-
lam pelaksanaan fungsinya, Tim Pelaksana
dapat dibantu oleh kelompok kerja. Tim
Percepatan menyampaikan laporan secara
berkala setiap enam bulan atau sewaktu-
waktu diperlukan (Pasal 14-Pasal 17).
Di tingkat daerah, Gubernur mem-
bentuk Tim Inventarisasi dan Verifikasi Pe-
nguasaan Tanah PPTKH (“Tim Inver”).
Gubernur melaporkan pelaksanaan fungsi-
nya kepada Tim Percepatan PPTKH secara
berkala setiap 3 (tiga) bulan atau sewaktu-
39
waktu diperlukan. Tugas Tim Inver adalah
sebagai berikut:
a. menerima pendaftaran permohonan
inventarisasi secara kolektif yang di-
ajukan melalui bupati atau walikota;
b. melaksanakan pendataan lapangan;
c. melakukan analisis data fisik dan data
yuridis dan lingkungan hidup;
d. merumuskan rekomendasi berdasar-
kan hasil analisis dan menyampaikan
kepada gubernur.
Pedoman pelaksanaan tugas Tim
Inver diatur dengan Peraturan Menko Per-
ekonomian.
Ada 5 (lima) tahapan dalam pe-
nyelesaian PPTKH yang akan berujung
pada 3 (tiga) hal, yaitu: pelepasan dari ka-
wasan hutan, perhutanan sosial, tukar me-
nukar dan resettlement. Pekerjaan Tim
Inver harus selesai dalam waktu mak-
simum 6 (enam) bulan sejak berkas per-
mohonan lengkap. Gubernur menyampai-
kan rekomendasi Tim Inver kepada ketua
Tim Percepatan PPTKH. Berdasarkan re-
komendasi itu, Menko menyampaikan per-
timbangan penyelesaian PPTKH untuk di-
tindaklanjuti oleh Menteri LHK yang akan
mengeluarkan keputusan penyelesaian
PPTKH.
Jika keputusan berupa tukar me-
nukar atau resettlement atau program per-
hutanan sosial, Menteri LHK menyelesai-
kan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Tukar-menukar dan
resettlement merupakan tanggungjawab
pemerintah daerah.
Jika penyelesaiannya berupa pe-
ngeluaran dari kawasan hutan, Menteri
menerbitkan surat keputusan perubahan
batas kawasan hutan. Keputusan pe-
nyelesaian PPTKH diumumkan kepada pe-
mohon untuk dapat mengajukan ke-
beratan dengan jangka waktu tertentu.
Jika keberatan diterima, gubernur me-
lakukan verifikasi ulang. Keputusan per-
ubahan batas kawasan hutan merupakan
dasar penerbitan sertipikat hak atas tanah.
Bagi penerima sertipikat ada syarat-syarat
yang harus dipenuhi, yakni:
1. Dilarang menelantarkan tanah dan
mengalihkannya dalam jangka waktu
10 (sepuluh) tahun dan mengalih
fungsikan tanahnya;
2. Jika dalam waktu kurang dari 10
(sepuluh) tahun tidak dapat lagi me-
manfaatkan tanahnya, tanah menjadi
tanah yang dikuasai oleh negara;
3. Jika penerima hak atas tanah me-
ninggal dunia, tanah dapat beralih me-
njadi Hak Milik ahli warisnya;
4. Tanah yang diwariskan tidak dapat
dipecah.
40
Perubahan kawasan hutan dilakukan
sebelum penyusunan rencana tata ruang
dan diintegrasikan ke dalamnya. Berdas-
arkan perubahan batas kawasan hutan
pemberian sertipikat dan izin pemanfaatan
ruang dapat dilakukan.
3.1.2. Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan No. 83/2016
Perhutanan sosial (PS) meliputi: (1)
Hutan Desa; (2) Hutan Kemasyarakatan: (3)
Hutan Tanaman Rakyat: (4) Kemitraan Ke-
hutanan: dan (5) Hutan Adat. Sedangkan
ijin yang diberikan berupa Hak Pengelolaan
Hutan Desa (HPHD), Ijin Usaha Pe-
manfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHK-
m), Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat (IUP
HHK-HTR). Semua perijinan tersebut di-
berikan berdasarkan Peta Indikatif Area
Perhutanan Sosial (PIAPS) yang direvisi
setiap 6 bulan sekali.
a. Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD)
Lokasi HPHD meliputi hutan
produksi dan/atau lindung yang belum
dibebani ijin, hutan lindung yang
dikelola oleh Perum Perhutani,
dan/atau wilayah tertentu dalam KPH
(Pasal 6). HPHD diberikan oleh Menteri
dan dapat di-delegasikan kepada
gubernur dengan syarat tertentu dan
ditetapkan dengan keputusan menteri
(Pasal 7). Pemohon HPHD adalah satu
atau beberapa lembaga desa yang
dapat membentuk koperasi desa atau
BUMDes setempat. Lokasi HPHD harus
dalam wilayah ad-ministrasi desa.
Permohonan harus di-lengkapi dengan
(1) Peraturan Desa tentang pem-
bentukan lembaga desa atau lembaga
adat. (2) Keputusan Kepala Desa ten-
tang struktur organisasi lembaga desa,
koperasi desa atau BUMDes ; (3)
Gambaran umum wilayah; dan (4) Peta
usulan lokasi.
Permohonan diverifikasi (admin-
istratif) oleh Dirjen dan verifikasi teknis
dilakukan oleh kepala UPT yang me-
laporkan hasilnya kepada Dirjen. Se-
lanjutnya jika semua syarat sudah di-
penuhi, Dirjen menerbitkan keputusan
pemberian HPHD atas nama Menteri
(Pasal 9-Pasal 12).
Jika permohonan HPHD diajukan
kepada Gubernur, tata caranya adalah
sebagai berikut: Gubernur menunjuk
Kepada Dinas untuk melakukan very-
fikasi admin-istratif maupun teknis. Ter-
hadap verifikasi administratif dan teknis
yang telah memenuhi syarat, oleh ke-
pala dinas disiapkan ke-putusan gu-
bernur tentang pemberian HPHD. Jika
dalam tenggang waktu yang di-tetapkan
gubernur tidak menerbitkan HPHD atau
tidak memberikan keterangan, Dirjen
41
meminta hasil verifikasi kepada Kepala
Dinas. Berdasarkan hasil verifikasi ter-
sebut, Dirjen atas nama Menteri mem-
berikan keputusan pemberian HPHD
(Pasal 13-Pasal 15).
b. Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemas-
yarakatan (IUPHKm)
Lokasi/obyek IUPHKm sama de-
ngan lokasi HPHD. IUPHKm diberikan
oleh Menteri dan dapat didelegasikan
kepada Gubernur dengan syarat ter-
tentu. Subyek IUPHKm adalah: (1) ketua
kelompok masyarakat; (2) ketua Ga-
bungan kelompok tani hutan; atau (3)
ketua koperasi. Permohonan dilampiri
daftar nama masyarakat setempat ca-
lon anggota kelompok IUPHKm, gam-
baran umum wilayah dan peta usulan
lokasi. Permohonan diajukan kepada
Menteri atau Gubernur. Jika per-
mohonan diajukan kepada Menteri,
Dirjen melakukan verifikasi admini-
stratif dan kepala UPT melakukan very-
fikasi teknis. Jika hasil verifikasi me-
menuhi persyaratan, Dirjen atas nama
Menteri menerbitkan keputusan pem-
berian IUPHKm (Pasal 16-Pasal 23).
IUPHKm dapat diberikan oleh Gu-
bernur. Verifikasi administratif dilaku-
kan oleh Kepala Dinas. Jika verifikasi te-
lah memenuhi syarat, kepala dinas me-
nyiapkan keputusan Gubernur. Jika Gu-
bernur tidak menerbitkan keputusan
dan tidak memberikan keterangan ten-
tang hal tersebut dalam tenggang wa-
ktu tertentu, Dirjen meminta hasil
verifikasi kepada Kepala Dinas. Jika hasil
verifikasi tidak bermasalah, Dirjen atas
nama Menteri menerbitkan keputusan
Gubernur tentang Pemberian IUPHKm
(Pasal 24-26).
c. Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu-Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-
HTR)
Berbeda dengan ijin terdahulu,
IUPHHK-HTR hanya dapat diberikan
pada hutan produksi yang belum di-
bebani ijin dan wilayah tertentu dalam
KPH. Ijin ini diberikan oleh Menteri dan
dapat didelegasikan kepada Gubernur
dengan syarat tertentu.
Subyek IUPHHK-HTR adalah sebagai
berikut:
a) Perorangan yang merupakan pe-
tani hutan;
b) Kelompok tani hutan;
c) Gabungan kelompok tani hutan;
d) Koperasi tani hutan; atau
e) Perseorangan yang memperoleh
pendidikan kehutanan/bidang lain-
nya yang pernah menjadi pen-
damping atau penyuluh yang per-
nah bekerja di bidang kehutanan
dengan membentuk kelompok atau
42
koperasi bersama masyarakat
setempat.
Permohonan dilampiri dengan
daftar nama masyarakat setempat
calon anggota, gambaran umum wi-
layah, dan peta usulan lokasi. Dirjen me-
lakukan verifikasi administratif dan ke-
pala UPT melakukan verifikasi teknis.
Berdasarkan hasil verifikasi teknis,
Dirjen menerbitkan keputusan pem-
berian IUP HHK-HTR atas nama Menteri
(Pasal 27-Pasal 34). Terhadap per-
mohonan kepada Gubernur, mutatis
mutandis tata caranya sama dengan
pemberian dua ijin terdahulu (Pasal 35-
Pasal 37).
Berbeda dengan kedua ijin ter-
dahulu, ada persyaratan khusus untuk
pelaksanaan kegiatan HTR, yakni bahwa
kegiatan dilakukan secara mandiri yang
terintegrasi dengan industri kayu rak-
yat. Jika pelaksanaan secara mandiri be-
lum dapat dilaksanakan, maka dapat di-
lakukan kemitraan dengan industri di
bidang perkayuan (Pasal 38).
d. Kemitraan Kehutanan
Pelaku kemitraan kehutanan yakni
pengelola hutan dan pemegang ijin,
wajib melaksanakan pemberdayaan
masyarakat setempat melalui ke-
mitraan kehutanan. Yang dimaksudkan
sebagai pengelola hutan meliputi 6
(enam) subyek, antara lain: KPH, Balai
Besar/Balai Taman Nasional, BUMN/
BUMD pengelola hutan negara, sedang-
kan pemegang ijin meliputi 15 (lima
belas) subyek (Pasal 40). Untuk luasan
areal kemitraan kehutanan di areal
kerja pengelola hutan maksimum 2
(dua) hektar setiap kepala keluarga dan
di areal pemegang ijin maksimum 5
(lima) hektar setiap kepala keluarga
(Pasal 41). Subyek calon mitra harus
memenuhi syarat, antara lain terkait de-
ngan jarak tempat tinggal dan lahan
garapan serta ketergantungan pada
mata pencaharian pokok (Pasal 42). Pe-
nentuan areal dilakukan berdasarkan
pertimbangan tertentu (Pasal 43).
Pengelola atau pemegang ijin me-
ngajukan permohonan untuk melaku-
kan kemitraan kepada Menteri setelah
dilakukan pemeriksaan lapangan. Ber-
dasarkan hasil pemeriksaan lapangan,
dibuat naskah kesepakatan kerjasama
yang selanjutnya dilaporkan kepada Dir-
jen (Pasal 44 –Pasal 49).
Permen No. 83 Tahun 2016 ini
hanya mengatur secara sangat sumir
tentang hutan adat (Pasal 50).
HPHD, IUPHKm dan IUP HHK-HTR
berlaku selama 35 (tiga puluh lima)
tahun dengan evaluasi setiap 5 (lima)
tahun. Karena berbentuk ijin, maka ti-
43
dak dapat diwariskan. Pelanggaran ter-
hadap persyaratan dapat berakibat di-
kenakan sanksi administratif. Ijin ter-
sebut dilarang untuk dipindahtangan-
kan, dialihfungsikan dan digunakan un-
tuk kepentingan lain di luar rencana pe-
ngelolaan atau di luar rencana pe-
manfaatan. Ketiga ijin tersebut tidak da-
pat diagunkan, kecuali tanamannya; de-
ngan kata lain, terhadap tanamannya
dapat dibebani dengan fidusia (Ps 56).
Yang perlu dicermati adalah, ba-
hwa semua pemegang HPHD, IUPHKm,
IUPHHK-HTR, Kemitraan Kehutanan dan
Hutan Adat dilarang menanam kelapa
sawit di areal hak atau izinnya (Pasal 56
ayat (5)). Perihal ini lebih lanjut di-
tentukan bahwa jika sudah terdapat ta-
naman sawit dalam areal atau yang
akan diusulkan sebagai areal, diper-
bolehkan untuk diteruskan digarap se-
lama 12 tahun yang dihitung dari sejak
masa tanam dimulai. Selama 12 tahun
tersebut pemegang izin PS diwajibkan
untuk menanam pohon berkayu di an-
tara tanaman sawit paling sedikit 100
pohon per hektar (Pasal 65 huruf h).
PermenLHK P.83 tidak me-
nyediakan penjelasan mengenai alasan
penyebutan atau pelarangan tanaman
sawit dalam areal PS. Karena dalam
kenyataannya tanaman non kehutanan
lainnya seperti kopi, padi, jagung, buah-
buahan, dan kakao juga ditanam dalam
kawasan hutan namun tidak disebut-
sebut, maka ketentuan di atas bisa
ditafsir bahwa tanaman non kehutanan
lainnya diperbolehkan. Jika maksud ke-
tentuan tersebut memang demikian se-
harusnya tersedia penjelasan mengapa
ta-naman sawit dikecualikan dengan
cara melarangnya untuk ditanam dalam
areal PS.
Pemegang ijin mempunyai hak dan
kewajiban (Pasal 58 - Pasal 59), de-
mikian juga, ijin hapus jika, (1) jangka
waktu berakhir; (2) dicabut oleh pem-
beri hak sebagai sanksi; dan (3) hak atau
ijin dikembalikan oleh pemegangnya (Ps
57). Perlu dicermati juga, bahwa jika
dalam areal PS atau dalam usulan PS
telah ada tanaman sawit sejak per-
aturan ini berlaku, diperbolehkan se-
lama 12 (dua belas) tahun sejak masa
tanam dan di antara tanaman sawit di-
tanam pohon berkayu paling sedikit 100
(seratus) pohon per hektar.
3.2. Penguasaan kawasan hutan untuk
kebun sawit rakyat
Penguasaan kawasan hutan oleh
penduduk setempat untuk ditanami sawit
mulai marak sejak akhir tahun 2000-an.
Berdasarkan waktu, aktivitas tersebut di-
lakukan sejak penduduk berhenti melaku-
44
kan penebangan liar karena pemerintah
melakukan penindakan hukum yang tegas
terhadap para pelaku. Dengan begitu, ber-
kebun sawit merupakan langkah mencari
sumber penghasilan utama untuk meng-
gantikan penghasilan dari pembalakan. Be-
rcocok sawit menjadi pilihan utama setelah
penduduk setempat menyaksikan ke-
berhasilan para pendatang dengan ta-
naman ini. Membuka kawasan hutan men-
jadi pilihan tidak terelakan karena sebagian
dari mereka telah menjual lahan kebun
dan ladangnya kepada perusahaan dan
pendatang.72
Alasan lain membuka kawasan hutan
untuk ditanami sawit adalah karena luas
lahan yang dikuasai dan digarap dan ter-
letak diluar kawasan hutan, tidak memadai
lagi untuk menopang hidup satu keluarga.
Perluasan hanya mungkin dilakukan ke-
dalam kawasan hutan karena hanya disana
yang masih tersedia lahan yang tidak di-
garap. Kondisi fisik kawasan hutan yang
tidak berhutan lagi dan ketidaktahuan
72 Deskripsi mengenai pembukaan kawasan hutan untuk kebun sawit oleh penduduk karena alasan tidak tersedia lagi lahan kosong diluar kawasan hutan, salah satunya dapat dilihat dalam Rikardo Simarmata, Isnadi Esman, Romesh Irawan, Nurul Firmansyah, Mumu Muhajir, dan Erwin Dwi Kristianto, 2017, “Memadamkan Api: Penegakan hukum kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau dan perubahan-perubahan pada pola penguasaan dan penggunaan lahan”, laporan tidak dipublikasikan, HUMA&World Resources Institute.
mengenai status kawasan, menjadi alasan-
alasan penambah bagi penduduk setempat
untuk membuka kawasan hutan.
Bagian-bagian selanjutnya berisi
paparan mengenai asal-usul penguasaan
kawasan hutan dan bukti-bukti hak yang
dipunyai oleh para pengarap dan pemilik
kebun sawit rakyat. Paparan mengenai hal
itu dilakukan dengan mengambil contoh
dari 3 lokasi yaitu (i) Desa Alur Baning,
Kecamatan Babul Rahmah, Kabupaten
Aceh Tenggara, Aceh, (ii) Desa PIR ADB,
Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat,
Sumatera Utara, dan (iii) Desa Tepian
Buah, Kecamatan Segah, Kabupaten Berau,
Kalimantan Timur.
Asal-usul penguasaan
Alur Baning adalah satu di antara
sekian desa yang penduduknya menguasai
kawasan hutan karena alasan memenuhi
kebutuhan hidup dan didukung dengan
adanya kesempatan. Pembalakan liar di
Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)73
yang berlangsung marak sebelum tahun
73 Taman Nasional Gunung Leuser ditunjuk melalui
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 276/Kpts-II/1997 tentang Penunjukan TN. Gunung Leuser seluas 1.094.692 hektare yang terletak di Provinsi daerah Istimewa Aceh dan Sumatera Utara. Taman nasional ini berlokasi di 6 kabupaten di Provinsi Aceh, dan 3 kabupaten di Provinsi Sumatera Utara. Aceh Tenggara dan Langkat termasuk diantara kesembilan kabupaten tersebut.
45
200574, menyisakan areal-areal gundul
(deforested). Setelah ditinggalkan oleh
para pembalak liar, pemerintah hampir
tidak melakukan aktivitas apapun di atas-
nya termasuk melakukan patroli apalagi
kegiatan penanaman kembali.
Penduduk Desa Alur Baning melihat
situasi seperti itu sebagai kesempatan
untuk melakukan penguasaan dan peng-
garapan. Pada saat itu mereka juga me-
merlukan perluasan lahan garapan karena
rata-rata penduduk hanya memiliki lahan
seluas 2 ha per KK. Selama dua tahun
(2005-2007), penduduk menguasai dan
menggarap kawasan hutan di areal-areal
bekas aktivitas penebangan liar. Mereka
menyadari bahwa yang dilakukan me-
rupakan tindakan terlarang, namun ke-
butuhan untuk mendapatkan sumber pen-
caharian tambahan dengan cara mem-
perluas luas, membuat mereka melupakan
larangan tersebut dan mengambil resiko.
Penduduk Desa Tepian Buah me-
nguasai kawasan hutan dengan alasan
yang lain sekalipun tindakan tersebut
74 Pada tahun 2005, Pemerintah Pusat
memberantas pembalakan liar yang diawali dengan pembuatan regulasi yaitu Instruksi Presiden No. 4/2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.
menyebabkan lahan kebun yang digarap
men-jadi lebih luas, seperti yang terjadi di
Desa Alur Baning. Orang-orang Kenyah di
Tepian Buah menguasai dan menggarap
areal izin PT. Inhutani Unit I Unit
Manajemen Hutan (UML) Labanan75
dengan didorong oleh ke-inginan untuk
meniru kesuksesan para petani eks tenaga
kerja Indonesia (TKI). Sejak tahun 2011,
para eks TKI Malaysia berdiam di Tepian
Buah dan menggarap lahan yang dibeli dari
orang-orang Kenyah untuk ditanami sawit.
Sekalipun penduduk mengatakan
bahwa penguasaan areal izin Inhutani I di-
lakukan karena tidak mengetahui status
kawasan, namun tindakan itu tidak bisa
dilepaskan dari persepsi mereka sebagai
orang yang sudah mendiami desa tersebut
sejak awal tahun 70-an. Kedatangan orang-
orang Kenyah bermula dari migrasi tujuh
keluarga dari Apo Kayan (sekarang ka-
bupaten Malinau) ke kawasan hutan ber-
nama Long Tuyoh. Pada tahun 1973,
Departemen Sosial melakukan resetelmen
75 Inhutan Unit I UML Labanan memiliki areal Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan (IUPHHK) seluas 138.210 ha. Pemberian IUPHHK tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 484/MENHUT-II/2006 tertanggal 19 Oktober 2006. Izin tersebut berlaku sampai Desember 2038. SK tersebut merupakan perpanjangan yang kedua kali sejak diberikan pertama kali pada tahun 1976.
46
penduduk (respen) dengan memindahkan
orang-orang Kenyah ke Tepian Buah.76
Penguasaan lahan oleh orang-orang
Kenyah terus bertambah seiring dengan
kehadiran perusahaan kayu pada dekade
80-an dan 90an dan batubara pada dekade
90-an. Semasa perusahaan kayu marak,
orang-orang Kenyah membuka lahan se-
luas 1 sampai 2 ha pada kiri-kanan jalan
logging. Pada dekade 90-an penguasaan la-
han didorong oleh motif untuk men-
dapatkan ganti rugi dari perusahaan batu-
bara dan fee77 pemegang izin pemanfaatan
kayu (IPK). Setelah tahun 2011 penguasaan
lahan-lahan baru dengan membuka ka-
wasan hutan marak bersamaan dengan
penjualan tanah-tanah oleh penduduk se-
tempat kepada pendatang terutama eks
TKI Malaysia. Motif lain yang melatarinya
adalah keinginan untuk menanam sendiri
kebun-kebun sawit yang disebut sebagai
sawit mandiri.
Sementara itu, penguasaan kawasan
TNGL oleh penduduk Desa PIR ADB bisa di-
katakan bukan merupakan kesengajaan.
Penguasaan atas lahan seluas 70 ha oleh
beberapa keluarga bukan merupakan ke-
76 Penjelasan mengenai resetelmen orang-orang Kenyah dapat dibaca pada K. Kartawinata, H. Soedjito, T. Jessup, A.P. Vayda, dan C.J.P. Colfer, 1984,”The impacts of development on the interactions between people and forest in East Kalimantan: a comparison of two areas of Kenyah Dayak settlement, Environmentalists, Vol. 4,
hendak sendiri tapi disebabkan oleh
‘kesalahan’ dalam menetapkan areal
proyek transmigrasi lokal. Proyek tersebut
dimulai pada tahun 1982 dengan du-
kungan dana oleh Bank Pembangunan
Asia. Pemerintah menyiapkan lahan seluas
1.500 ha untuk 500 peserta transmigrasi
dengan masing-masing menerima 2,5 ha.
Pada tahun 1982, Departemen Kehutanan
melakukan pemetaan ulang atas areal pro-
yek transmigrasi dan menemukan bahwa
seluas 70 ha areal transmigrasi berada da-
lam kawasan TNGL. Data tersebut tidak se-
penuhnya diamini oleh lembaga pe-
merintah yang lain yang dibuktikan dengan
data Biro Pusat Statistik dan wilayah
administrasi desa yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Kabupaten, yang memasukan
areal 70 ha sebagai bagian dari proyek atau
wilayah administratif Desa PIR ADB.
Luas lahan
Luas kawasan TNGL yang dikuasai
dan dimanfaatkan untuk kebun sawit
rakyat saat ini mencapai 6.750 ha. Seluas
112,4 ha di antaranya dimiliki oleh 51 KK di
Desa Alur Banung. Di desa PIR ADB luasnya
tidak signifikan yaitu 70 ha. Luas lahan
Supplement 7, hlm. 87-95, dan Yekti Maunati, 2004, Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LKIS. 77 Fee kayu adalah pengutan informal kepada pemilik lahan hutan dengan atau tanpa perantara kepala adat atau kepala desa. Fee kayu dihitung berdasarkan per meter kubik kayu yang diedarkan.
47
sawit rakyat rata-rata 2-5 ha per KK dengan
pengecualian di Tepian Buah yang men-
capai 5-30 ha.
Pemanfaatan lahan
Pemanfaatan lahan dalam kawasan
hutan didominasi tanaman perkebunan. Di
Desa Tepian Buah tanaman sawit di-
usahakan oleh 80% dari 256 KK yang
berdomisili di desa tersebut. Di PIR ADB
kawasan hutan seluas 70 ha sebagian besar
ditanami sawit. Situasinya agak berbeda
dengan Desa Alur Baning. Dari 51 keluarga
yang menguasai kawasan hutan, hanya 12
yang menanaminya dengan sawit, sedang-
kan 39 yang lain menanam jagung, kemiri
dan cokelat. Selain sawit, kawasan hutan
juga ditanami dengan karet, jagung, ke-
miri, cokelat, padi dan sayur-sayuran.
Pemanfaatan yang berbeda didapati
di Tepian Buah. Sejak tahun 2016 lewat
Perhutanan Sosial dengan skema Ke-
mitraan, PT. Inhutani I dan Kelompok Sadar
Wisata (Pokdarwis) yang mewakili pihak
desa, mengelola eko wisata dengan objek
air terjun Tambalang dan jungle track. Ke-
mitraan lainya adalah menanam pohon
gahari di sela-sela pohon sawit sebanyak
800 batang dengan luas 1 ha. Kemitraan
tersebut dituangkan dalam MoU antara PT.
Inhutani I dan pemerintah desa Tepian
Buah.
Bukti-bukti hak dan transaksi atas tanah
Bukti-bukti hak yang mendasari
penguasaan kawasan hutan pada dasarnya
hanya berupa kwitansi jual beli. Di Tepian
Buah, kepala desa bersedia mengelurakan
surat keterangan tanah hanya apabila
tanahnya berlokasi di luar kawasan hutan.
Di desa-desa sekitar kawasan TNGL, bukti
hak berupa kwitansi pembayaran ganti rugi
pengelolaan tanah dan jasa makelar. Bukti
sertifikat atas tanah seluas 70 ha di Desa
PIR ADB merupakan pengecualian. Kantor
Pertanahan bersedia mengeluarkan ser-
tifikat karena dianggap bagian dari lokasi
transmigrasi lokal walaupun Departemen
Kehutanan meng-claim nya sebagai ka-
wasan hutan.
Di Desa PIR ADB dan Tepian Buah,
peralihan hak atas tanah yang terletak
dalam kawasan hutan sudah dipraktekan.
Peralihan dilakukan melalui pewarisan (PIR
ADB) dan jual beli (Tepian Buah). Karena
sudah bersertifikat, tanah di PIR ADB
bahkan sudah dijadikan jaminan utang
dengan dibebani hak tanggungan. Pada
tahun 2013, sebanyak 405 anggota KUD
Rahmat Tani, meminjam uang ke Bank
Bukopin dengan jaminan tanah dan
bertindak sebagai penjamin adalah PT.
Anugerah Langkat Makmur.
48
3.3. Kendala-kendala implementasi
Perpres No. 88/2017
Falsafah yang mendasari terbitnya
Perpres 88 adalah bahwa negara hadir
untuk memberikan keadilan, kepastian
hukum, dan kemanfaatan atas hak ke-
pemilikan rakyat atas tanah yang dijamin
oleh UUD 1945, yang karena lokasi pe-
nguasaan tanahnya secara de jure berada
dalam kawasan hutan, maka penguasaan
rakyat secara de facto itu mengalami
kendala dalam pelaksanaannya.
Pasal 28H ayat (4) UUD Negara RI
1945 menyatakan bahwa, “setiap orang
berhak mempunyai hak milik pribadi dan
hak milik tersebut tidak boleh diambil alih
secara sewenang-wenang oleh siapa pun”.
Secara implisit, Pasal 11 UU No 11 Tahun
2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Economic, Social, and Cultural
Rights (Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya)
menyebutkan tentang hak atas standar
kehidupan yang memadai. Jauh sebelum-
nya, dalam aras global, Pasal 17 Deklarasi
HAM PBB Tahun 1948 menyebutkan
bahwa:
1) Setiap orang berhak untuk memiliki
harta, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain,
dan
2) Tak seorangpun boleh dirampas harta
miliknya secara semena-mena.
Ketika Perpres akan diterapkan
terhadap sawit rakyat, timbul kendala
tertentu. Sebagai subyek atau”pihak” me-
nurut Perpres, maka rakyat yang me-
ngusahakan perkebunan sawit memenuhi
persyaratan, yakni ”perorangan yang me-
nguasai dan memanfaatkan bidang tanah
dalam kawasan hutan”(Ps 1 angka 2).
Namun, terkait dengan jenis-jenis obyek
yang diusahakan, secara eksplisit tidak di-
sebutkan dalam Pasal 5 ayat (4), yang ber-
bunyi sebagai berikut,” lahan garapan me-
rupakan bidang tanah dalam kawasan
hutan yang dikerjakan dan dimanfaatkan
oleh seseorang atau sekelompok orang
yang dapat berupa sawah, ladang, kebun
campuran dan/atau tambak”. Tanaman
sawit memang tidak secara eksplisit di-
sebutkan atau dicontohkan sebagai ca-
kupan dari istilah lahan garapan atau
kebun campuran. Namun demikian, peng-
gunaan kata “dapat” dalam Pasal tersebut,
yang dalam bahasa hukum yang baku di-
artikan sebagai contoh bukan cakupan,
maka tanaman sawit dapat dimasukan
sebagai contoh lain atau cakupan lahan
garapan. Oleh karena itu penggunaan kata
“dapat”, membuka ruang diskresi bagi
pejabat yang berwenang untuk tidak hanya
membatasi jenis lahan garapan (limitatif),
49
tetapi memberikan alternatif lain, diluar
yang disebutkan secara eksplisit dalam
Pasal 5 ayat (4) tersebut, yang, mungkin
belum sempat terdeteksi ketika aturan ini
disusun, atau, memang dimaksudkan
untuk menampung seandainya dikemudi-
an hari terdapat jenis usaha lain yang dapat
dimasukkan dalam pengertian lahan ga-
rapan.
Kapan seorang pejabat boleh me-
lakukan diskresi? Menurut Pasal 22 ayat (2)
UU No. 30 Tahun 2014 tentang Admini-
strasi Pemerintahan, diskresi dapat di-
lakukan antara lain dengan tujuan untuk
mengisi kekosongan dan memberikan ke-
pastian hukum. Hal ini tepat jika diskresi di-
tempuh untuk mengatur tentang sawit
rakyat yang tidak secara eksplisit disebut
dalam Pasal 5 ayat (4). Hal ini diperkuat
dengan ketentuan dalam Pasal 23 yakni
bahwa diskresi itu dilakukan karena per-
aturan perundang-undangan tidak me-
nyebut secara eksplisit (tidak lengkap) dan
dilakukan dengan alasan yang objektif ser-
ta dilandasi dengan iktikad baik, yakni me-
nghadirkan negara untuk menyelesaikan
masalah penguasaan tanah dalam ka-
wasan hutan (Pasal 24). Selanjutnya, jika
kebun sawit rakyat sudah diakomodasi
dalam pengaturan lahan garapan, bagai-
mana syarat pengua-saan tanahnya agar
dapat diberikan suatu hak atas tanah?
Dalam Perpres dise-butkan: jika luas ka-
wasan hutan >30% dari DAS, pulau, dan
atau provinsi dan hutan-nya berfungsi
lindung dan produksi, jika lama peng-
uasaan tanah lebih dari 20 tahun secara
berturut-turut (Pasal 11 ayat (1) huruf c),
dikeluarkan dari kawasan hutan. Apakah
kriteria ini tepat jika diterapkan untuk
kebun sawit rakyat? Kira-nya diskresi juga
perlu dilakukan terhadap hal ini. Ta-naman
sawit berbeda dengan tanaman non sawit.
Batas waktu 20 tahun itu di-ambil dari hu-
kum adat yang merupakan dasar dari
hukum agraria/pertanahan nasional. Kare-
na dalam Pen-jelasan Pasal 24 ayat (2) PP
No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah tidak diperoleh pen-jelasan tentang
penentuan batas waktu 20 tahun tersebut,
maka dicoba untuk men-cari landasannya
dalam hukum adat ber-dasarkan yuris-
prudensi Mahkamah Agung (MA).
Terkait dengan perolehan hak milik
berdasarkan iktikad baik, Putusan MA
tanggal 29-1-1976 No.783K/Sip/1973 me-
nyatakan bahwa:” Orang yang telah men-
duduki tanah untuk waktu yang lama tanpa
gangguan dan bertindak sebagai pemilik
jujur (rechshebende te goeder trouw) harus
dilindungi hukum”. Putusan ini tidak me-
nyebutkan lamanya waktu untuk men-
jelaskan istilah “waktu yang lama” ter-
sebut. Pada saat yang sama hukum adat
50
menentukan bahwa seseorang yang mem-
punyai hak atas tanah dapat kehilangan
haknya jika dalam jangka waktu tertentu
lalai atau tidak meminta haknya tersebut
dan atau tidak melakukan suatu perlawan-
an dalam jangka waktu tertentu. Dalam
berbagai yurisprudensi termuat berapa
lamanya jangka waktu kehilangan hak ter-
sebut, yakni bisa 5 tahun, 8 tahun, 20
tahun, 27 tahun, bahkan 30 tahun ( Pts MA
No.329K/Sip/1957 tanggal 24 September
1958, Pts MA No.578K/Sip/1973 tanggal
20-8-1973, Pts MA No.259K/Sip/1973 ta-
nggal 9-12-1975, Pts MA No.783K/Sip/
1973 tanggal 21-1-1976 dan Pts MA No.
1037k/Sip/1971 tanggal 31-7-1973).
Dengan demikian, mengikuti jalan pi-
kiran tersebut, jika disatu pihak seseorang
dapat kehilangan tanahnya karena lam-
paunya waktu, maka dipihak lain, se-
seorang bisa memperoleh tanah tersebut,
sepanjang penguasaannya dilakukan de-
ngan iktikad baik. Hukum adat di berbagai
tempat menentukan 3 atau 5 tahun se-
bagai waktu bagi seseorang untuk dapat
memohonkan atau mendapatkan hak milik
adat perseorangan.
Untuk kebun sawit rakyat, diskresi
tentang jangka waktu penguasaan dapat
juga ditempuh. Jika mendasarkan pada
lama penguasaan kebun sawit rakyat di
desa Alur Banung, PIR ADB dan Tepian
Buah (Bagian 3.2), jangka waktu yang
sesuai dengan realitas penguasaan kebun
sawit rakyat agar dapat dikeluarkan dari
kawasan hutan adalah 5 tahun. Angka ini
didasarkan pada hitungan ekonomis ba-
hwa selama waktu tersebut, dari mulai me-
nanam sampai tahun kelima, pemilik lahan
sudah mengeluarkan biaya dan tenaga.
Pertimbangannya lainnya karena kebun
sawit yang berumur 5 tahun sedang me-
mulai masa produktivitas sampai kira-kira
20 atau 25 tahun berikutnya.
Jika diskresi mengenai lama waktu
penguasaan diatas dapat diakomodasi,
maka terhadap perorangan yang mengua-
sai kebun sawit dengan luasan antara 5
sampai 25 Hektar, dapat diberikan hak
Guna Usaha (HGU) untuk jangka waktu 35
tahun sesuai ketentuan PP No. 40/1996
tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Ba-
ngunan dan Hak Pakai atas Tanah. Jika pe-
nguasaan tanahnya kurang dari 5 Hektar,
dapat diberikan dengan Hak Milik (HM).
Diskresi yang mengakomodasi kebe-
radaan kebun sawit rakyat dalam kawasan
hutan seyogyanya diatur dalam Peraturan
Menteri Koordinator Bidang Ekonomi. Da-
lam konteks ini Permenko tersebut dihadir-
kan untuk merespon kesenjangan antara
Perpres No. 88/2017 dengan kenyataan-
kenyataan dilapangan. Kesenjangan ter-
sebut dipicu oleh beberapa ketentuan
51
dalam Perpres. Pertama, Perpres mem-
buat perbedaan penguasaan kawasan hu-
tan yang dilakukan sebelum dan sesudah
penunjukan kawasan. Penunjukan kawas-
an hutan sebagian besar dilakukan pada
tahun 1980-an dan 1990an sementara
penguasaan kawasan hutan untuk kebun
sawit rakyat mayoritas di-mulai pada tahun
2000-an dengan satu dua pada tahun
1990an. Situasi seperti ini menghendaki
agar ketentuan mengenai penguasaan ka-
wasan yang dikaitkan dengan penunjukan
untuk ditiadakan dan menggantikannya
dengan kriteria kondisi nyata tegakan
dalam kawasan.
Kedua, untuk penyelesaian peng-
uasaan dalam hutan konservasi, Perpres
menetapkan resettlement sebagai satu-
satunya cara. Ketentuan seperti ini tentu
saja tidak merespon atau memper-
timbangkan kenyataan penguasaan ka-
wasan konservasi oleh rakyat yang sudah
berlangsung lama. Penguasaan untuk pe-
manfaatan kebun rakyat memang relatif
lebih pendek ketimbang pemanfaatan un-
tuk ladang/sawah dan perkebunan karet,
kopi, cengkeh dan kakao, namun seperti
78 Rikardo Simarmata, 2002,”Regional autonomy and character of local government laws and regulations : new pressures on the environment and indigenous communities, International association for the study of common (bisa diakses di http://dlc.dlib.indiana.edu/dlc/bitstream/handle/1
dalam kasus Desa Alur Baning, itu di-
lakukan karena hasil dari lahan yang ber-
lokasi di luar kawasan hutan tidak lagi
mampu memenuhi kebutuhan keluarga.
Selain itu, di beberapa tempat, pe-
nguasaan lahan sesungguhnya sudah lama
dilakukan oleh para pendahulu pemilik
tanah saat ini. Para pendahulu menggarap
lahan-lahan tersebut dengan menanam
padi, karet atau kopi. Menyediakan cara
tunggal untuk penyelesaian di hutan kon-
servasi dan pada saat yang sama menye-
diakan cara bera-gam untuk hutan lindung
dan hutan pro-duksi, yaitu resettlement,
tukar-menukar, perhutanan sosial, dan di-
keluarkan dari ka-wasan hutan, meru-
pakan ketidakadilan. Masyarakat yang me-
lakukan penguasaan hutan konservasi bah-
kan berpotensi men-jadi korban ketika Per-
pres membebankan penyelenggaraan re-
settlement kepada pe-merintah daerah.
Pengalaman membuk-tikan, bila tidak ber-
kaitan dengan perizinan atau pendapatan
asli daerah78, pemerintah daerah, ter-
utama daerah-daerah yang memiliki ang-
garan daerah, kecil kemungkinan tidak
memprioritaskan program resettlement.
0535/2315/simarmatar170502.pdf?sequence=1); dan Christoher R. Duncan, 2017,”Mixed outcomes: the impact of regional autonomy and the decentralization on indigenous ethnic minorities in Indonesia, Development and Change, Vo.38 (4): 711-733.
52
53
Bibit persoalan dalam melaksanakan
RA dalam kawasan atau bidang kehutanan
sebenarnya sudah diawali dari tahapan
perencanaan saat dokumen RPJM, Renstra
dan Strategi Nasional Kementerian dan
Lembaga Non Kementerian kabur dan
berbeda dalam menyebutkan lokasi RA.
Seperti sudah dipaparkan sebelumnya (Ba-
gian 2.1), Renstra dan Strategi Nasional Ke-
menterian dan Lembaga Negara Non Ke-
menterian berbeda dalam menyebutkan
lokasi RA. Perpres No. 88/2017, sebagai
instrumen untuk melaksanakan sekaligus
mencapai tujuan-tujuan kebijakan, ke-
mudian memperjelas lokasi tersebut
dengan menyebutkan seluruh kawasan
hutan negara tanpa mempersoalkan
apakah sudah ada pengelola atau pemilik
izin kehutanan. Untuk memastikan proses
RA dalam kawasan hutan tidak terganggu
oleh pelaksanaan perlindungan hutan,
Perpres melarang instansi pemerintah
untuk melakukan pengusiran, penang-
kapan, penutupan akses terhadap tanah
dan atau perbuatan-perbuatan lain (Pasal
30 huruf b). Pasal ini menghubungkan RA
dengan perlindungan hutan dengan me-
nentukan kegiatan perlindungan hutan
79 Karakter impelementability aturan hukum dapat diperiksa lewat 4 ukuran yaitu adequacy, feasibility, certainty, dan adaptability. Implementability sekaligus menunjukan kualitas aturan hukum. Uraian selengkanya bisa dilihat
tidak boleh dilakukan selama prosedur pe-
nyelesaian penguasaan dalam kawasan
hutan, sedang dijalankan.
Namun, karena kurang adaptif
dengan kenyataan lapangan dan mem-
punyai karakter implementability79 yang
rendah, implementasi Perpres 88 di-
perkirakan akan menghadapi atau men-
datangkan sejumlah masalah. Sebagai-
mana sudah dipaparkan pada bagian 3.3,
dengan metode mengaitkan antara ke-
tentuan-ketentuan yang terdapat dalam
Perpres 88/2017 dan PermenLHK p.
83/2016 dengan realitas kebun sawit
rakyat (studi Alur Baning, PIR ADB, Tepian
Buah), ditemukan tiga contoh kesenjang-
an. Kesenjangan dipahami sebagai ketidak-
sesuaian antara aturan hukum dengan
realitas lapangan. Dua ketidaksesuaian ter-
kait Perpres 88, dan satu ketidaksesuaian
terkait PermenLHK P.83.
Ketidaksesuaian pertama terkait Per-
pres 88 adalah pengertian istilah lahan
garapan dan kebun campuran yang tidak
memasukkan tanaman sawit sementara
sekitar 1,5 juta ha kawasan hutan tengah
dimanfaatkan rakyat untuk kebun sawit.
Ketidaksesuaian yang kedua adalah keten-
pada, Benjamin van Rooij,2006, Regulating Land and Pollution in China, Lawmaking, Compli- ance, and Enforcement; Theory and Cases. Leiden: Leiden University Press.
54
tuan mengenai lama waktu penguasaan la-
han garapan yaitu 12 tahun secara ber-
turut-turut bila penyelesaiannya dengan
dikeluarkan dari kawasan hutan negara.
Dengan asumsi tanaman sawit telah di-
maksudkan sebagai cakupan lahan garap-
an atau kebun campuran, ketentuan ter-
sebut sangat sulit untuk dipenuhi oleh
kebun-kebun sawit rakyat mengingat lama
waktu penguasaan mayoritas dibawah 12
tahun.
Bila tidak memilih dikeluarkan dari
kawasan hutan karena ketentuan tersebut,
petani kebun sawit masih dapat memilih
opsi perhutanan sosial. Namun, sesuai
ketentuan PermenLHK P.83, kebun sawit
tersebut hanya bisa ditolerir paling lama 12
tahun dan setelah lampau masa tersebut
tidak boleh ada tanaman sawit dalam areal
PS. Inilah ketidaksesuaian yang terkait
dengan PermenLHK P.83.
Sebagaimana sudah disebutkan
dalam bagian sebelumnya (Bagian 1.1),
tulisan ini menawarkan opsi-opsi strategi
implementasi peraturan per-UU-an me-
ngenai RA dalam kawasan hutan, dengan
tujuan menyediakan keabsahan bagi ke-
bun sawit rakyat dalam kawasan hutan
agar kebijakan pemerintah untuk men-
dukung sustainable palm oil berjalan
efektif. Opsi-opsi strategi implementasi
tersebut terkait dengan Perpres 88 dan
PermenLHK P.83 sebagai dua peraturan
per-UU-an yang terkait dengan RA dalam
kawasan hutan dan telah diulas pada
bagian-bagian sebelumnya. Jalan berpikir
yang digunakan bahwa Strategi Impleme-
ntasi PermeLHK P.83 disarankan untuk di-
jalankan hanya bila Strategi Implementasi
Perpres 88, tidak berhasil.
4.1. Strategi implementasi Perpres No.
88/2017
Paparan sebelumnya mengenai
kendala implementasi Perpres 88 (Bagian
3.3) memperjelas hal-hal yang berpotensi
membuat Perpres ini tidak bisa diberlaku-
kan terhadap kebun sawit rakyat yang be-
rada dalam kawasan hutan. Tidak bisa di-
berlakukan karena kenyataan lapangan
yaitu usaha kebun sawit rakyat tidak cocok
dengan apa yang dikehendaki Perpres
yaitu mengenai cakupan lahan garapan,
jangka waktu penguasaan, dan cara pe-
nyelesaian penguasaan berdasarkan fungsi
hutan. Sekalipun Perpres menyediakan
pilihan perhutanan sosial untuk pe-
nguasaan yang berlangsung dalam hutan
lindung dan hutan produksi dan sudah di-
lakukan untuk lebih dari 20 tahun secara
berturut-turut, namun ketentuan Permen
No. 83/2016 sudah membatasi bahwa
kebun sawit tersebut hanya boleh di-
teruskan selama maksimal 12 tahun sambil
menanam pohon berkayu selama waktu
55
tersebut (Bagian 3.1.2). Implikasi hukum
bila Perpres tidak bisa diberlakukan, kebun
sawit rakyat dalam kawasan hutan tidak
akan legal atau absah secara hukum.
Laporan ini melihat bahwa pem-
buatan peraturan pelaksana untuk Perpres
88, yang didasari prinsip diskresi, me-
rupakan jalan keluar paling tepat untuk
memungkinkan Perpres bisa berlaku atas
kebun sawit rakyat. Peraturan pelaksana
yang dibayangkan adalah Peraturan Men-
teri Koordinator Menteri Bidang Per-
ekonomian (Permenko). Menteri Koor-
dinator Perekonomian memang sudah di-
tetapkan sebagai penanggung jawab
utama penyelenggaraan RA dengan ke-
dudukannya sebagai Ketua Tim Reforma
Agraria berdasarkan Keputusan Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian No.
73/2017 (Pasal 2 ayat 1) dan Ketua Tim
Percepatan Penyelesaian Penguasaan
Tanah dalam Kawasan Hutan berdasarkan
Perpres No. 88/2017 (Pasal 14 ayat 3).
Sebagai instrumen diskresi, Permenko ini
dihadirkan untuk merespon adanya ke-
tidakjelasan pada Perpres, didasarkan
pada alasan-alasan yang obyektif (kesenja-
ngan), dan dengan itikad baik untuk
mengatasi kendala-kendala yang potensial
muncul dalam mewujudkan tujuan ke-
bijakan RA dalam bidang kehutanan.
Diskresi dalam rangka mengatur
lebih lanjut Perpres 88 dilakukan dalam
bentuk dua cara yaitu: (i) menafsirkan
bunyi ketentuan Perpres, dan (ii) me-
luruskan tafsir atas istilah tertentu. Kedua
cara tersebut dimaksukan untuk membuat
Perpres lebih memiliki nilai signifikasi
sosial karena lebih akomodatif dengan
kenyataan lapangan. Bagian berikut men-
jelaskan lebih jauh mengenai kedua cara
tersebut.
a. Menafsir istilah lahan garapan dan
kebun campuran
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya
(Bagian 3.3) bahwa kata ‘dapat’ dalam
Perpres 88 untuk mengemukakan cakupan
istilah ‘lahan garapan’, dimaknai bersifat
terbuka dan dengan demikian membuka
peluang memasukan tanaman atau kebun
sawit rakyat kedalam cakupan lahan
garapan. Menjadikan kebun sawit rakyat
menjadi cakupan lahan garapan bisa
dilakukan dengan dua cara, yaitu: (i)
menambahkan kata ‘kebun sawit rakyat’
sejajar dengan sawah, ladang, kebun
campuran, dan tambak, atau (ii) membuat
ketentuan baru yang menentukan bahwa
salah satu contoh tanaman dalam kebun
campuran adalah sawit. Cara pertama akan
melahirkan ketentuan dalam Permenko
dengan bunyi sebagai berikut:
56
Lahan garapan adalah merupakan
bidang tanah dalam kawasan hutan
yang dikerjakan dan dimanfaatkan
oleh seseorang atau sekelompok orang
yang dapat berupa sawah, ladang,
kebun sawit rakyat, kebun campuran
dan/atau tambak.
Atau:
Lahan garapan adalah merupakan
bidang tanah dalam kawasan hutan
yang dikerjakan dan dimanfaatkan
oleh seseorang atau sekelompok orang
yang dapat berupa sawah, ladang,
kebun campuran dan/atau tambak.
Yang dilanjutkan dengan ketentuan berikut
ini:
Kebun campuran sebagaimana
dimaksud pada ayat … dapat ditanami
sawit.
Perlu diberikan catatan bahwa kebun
campuran yang mengikusertakan sawit di-
dalamnya atau yang disebut dengan agro
ekosistem sawit, tengah dikembangkan
dan disejumlah tempat sudah berhasil. Ta-
naman sawit ternyata dapat menjadi ta-
naman sela atau pengisi yang dapat hidup
dengan tanaman kehutanan. Permenko
harus menjadikan fakta-fakta obyektif ini
sebagai bahan untuk membangun
argumen memasukkan tanaman sawit ke
dalam pengertian atau cakupan kebun
campuran. Argumen tersebut tidak harus
disebutkan dalam Permenko, tapi bisa
dalam petunjuk pelaksana sebagai pe-
doman. Cara ini dilakukan untuk tidak me-
ngulangi kesalahan Permen LHK P.83 yang
menyebutkan tanaman sawit tanpa
penjelasan sama sekali.
Secara hukum penyebutan kebun
sawit rakyat sebagai cakupan lahan garap-
an akan menjadikan kebun-kebun sawit
rakyat yang luasnya hampir mencapai 1,5
juta ha, masuk sebagai TORA. Implikasi lan-
jutannya, bagi kebun sawit rakyat yang be-
rada dalam hutan lindung dan hutan pro-
duksi memiliki peluang untuk bisa di-
teruskan baik dengan dilepaskan dari ka-
wasan hutan atau perhutanan sosial. Bila
pilihannya perhutanan sosial, sesuai
dengan ketentuan Permen LHK No.
83/2016, kebun sawit tersebut dapak
dilanjutkan sampai 12 tahun terhitung
sejak masa tanam. Namun jika Permenko
menentukan bahwa tanaman sawit masuk
ke dalam kategori kebun campuran, maka
ketentuan tersebut secara implisit me-
masukan tanaman sawit sebagai kategori
tanaman kehutanan. Dengan demikian,
Permenko memperkenalkan tanaman sa-
wit ke dalam agroforestry ecosystem se-
kaligus mengubah ketentuan PermeLHK
No. 83/2016 yang masih mengecualikan
tanaman sawit sebagai kategori tanaman
kehutanan. Tegasnya, dengan ketentuan
57
tersebut Permenko mencabut keberlakuan
Pasal 56 ayat (5) dan Pasal 65 huruf h
Permen LHK P. 83/2016.
b. Meluruskan tafsir untuk jangka waktu
penguasaan tanah
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya
(Bagian 3.1.1) bahwa Perpres 88
membedakan cara penyelesaian pe-
nguasaan kawasan hutan yang dikerjakan
dan dimanfaatkan untuk lahan garapan
berdasarkan lama waktu penguasaan. Bila
kawasan hutan lebih dari 30% dan pe-
nguasaan sudah berlangsung lebih dari 20
tahun secara berturut-turut baik yang ber-
lokasi di hutan lindung atau hutan pro-
duksi, penyelesaiannya dengan melepas-
kannya dari kawasan hutan. Sedangkan
apabila kurang dari 20 tahun penye-
lesaiannya dengan skema perhutanan
sosial.
Ketentuan Perpres 88 mengenai
jangka waktu penguasaan tanah ber-
sumber dari Peraturan Pemerintah No.
24/1997 tentang Pendaftaran Tanah (Pasal
24). Pasal ini mengatur mengenai konversi
hak-hak lama atas tanah menjadi hak milik.
Dikatakan bahwa dalam hal tidak tersedia
bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan
atau pernyataan pemilik tanah, pem-
bukuan hak dapat dilakukan apabila pe-
nguasaan fisik atas tanah telah ber-
langsung 20 tahun atau lebih secara
berturut-turut. PP No. 24/1997 tidak men-
jelaskan alasan menggunakan 20 tahun
sebagai ukuran. PP ini hanya menjelaskan
bahwa menyertai syarat jangka waktu 20
tahun penguasaan fisik secara nyata, sya-
rat lainnya adalah harus dilakukan dengan
itikad baik dan secara terbuka, ada kesaksi-
an dari orang yang dipercaya, dan tidak ada
perlawanan dari masyarakat hukum adat
atau desa/kelurahan setempat.
Mengenai penguasaan dengan
jangka waktu 20 tahun atau lebih secara
berturut-turut Peraturan Menteri Agraria
/Kepala BPN No. 3/1997 tentang Pen-
daftaran Tanah menegaskan bahwa hal itu
merupakan akumulasi dari yang dilakukan
oleh pemilik tanah pada saat akan di-
lakukan pendaftaran tanah dan oleh para
pendahulunya (Pasal 61 ayat 1). Dalam
kaitannya dengan penguasaan kebun sawit
rakyat dalam kawasan hutan, ketentuan ini
dapat ditafsirkan bahwa jangka waktu pe-
nguasaan harus dihitung dari pertama kali
lahan tersebut dikuasai dan digarap secara
efektif sekalipun belum ditanami sawit.
Ketentuan sebagaimana terdapat
dalam PP No. 24/1997 dan Permenagraria
/Kepala BPN diatas mengenai terjadinya
hak milik sebenarnya mengadopsi hukum
adat. Sebagian syarat-syarat yang disebut-
kan berasal dari norma adat yaitu pengua-
saan yang efektif dan intensif, ada ke-
58
saksian dari orang yang dipercaya, dan
tidak ada keberatan atau perlawanan dari
pihak lain.80 Hukum adat memang tidak
mematok batasan jangka waktu untuk pe-
nguasaan efektif dan intensif karena lebih
mengkaitkannya dengan biaya dan tenaga
yang telah dikeluarkan oleh pemilik untuk
melakukan pemanfaatan atas tanah ter-
sebut. Penguasaan fisik yang efektif dan in-
tensif tersebut harus diketahui oleh kepala
/tetua adat yang oleh PP 24/1997 dan
Permenagraria/Kepala BPN ditempatkan
sebagai saksi. Kesaksian oleh kepala/tetua
adat sekaligus merupakan pemenuhan
syarat tidak ada keberatan atau per-
lawanan dari pihak lain karena asas public-
sitas. Asas ini mengandaikan bahwa kepala
/tetua adat merupakan resepresentasi
anggota masyarakat adat. Dalam praktek-
nya, sebelum memberikan kesaksian,
kepala/tetua ada terlebih dahulu meng-
konfirmasi kepada anggota masyarakat
adat yang lain mengenai keberatan atas
claim kepemilikan seseorang atas bidang
tanah tertentu.81 Lebih lanjut dikatakan
bahwa kesaksian tersebut dapat atau
tanpa digabungkan dengan kesaksian dari
80 Nurhasan Ismail, 2015, “Surat keterangan tanah adat (SKTA) sebagai bukti awal penguasaan dan pemanfaatan tanah adat: penelusuran dasar hukumnya”, presentasi disampaikan pada acara “Diseminasi Hasil Kajian dan Evaluasi Pelaksanaan Inventarisasi, Identifikasi, Pemetaan, Pematokan atau Pemuatan SKTA di Kalimantan Tengah”,
penduduk setempat yang sudah lama
tinggal di desa/kelurahan letak tanah yang
bersangkutan.
Sementara itu, dalam praktik pe-
nyelenggaraan administrasi pertanahan
berkembang ketentuan 3 tahun sebagai
jangka waktu penguasaan fisik atas tanah
untuk bisa memohonkan hak milik atas
tanah. Adalah Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 6 tahun 1972 tentang Pe-
limpahan Kewenangan Pemberian Hak
Atas Tanah82 sebagai salah satu regulasi
yang memperkenalkan batas waktu ter-
sebut. Menurut Permendagri ini, Camat
berwenang memberikan izin membuka
tanah untuk luasan tidak lebih dari 2 hektar
dengan jangka waktu 3 tahun. Pada tingkat
daerah, ketentuan jangka waktu 3 tahun
dapat dijumpai pada Keputusan Gubernur
Kaltim No. 31/1995 tentang Pedoman Pe-
nertiban Surat Keterangan Pengusahaan
dan Pemilikan Bangunan/Tanaman di Atas
Tanah Negara. Menurut Keputusan ini
kepala desa/lurah dapat mengeluarkan su-
rat penguasaan atas tanah dan bangunan
/tanaman kepada orang-orang yang meng-
diselenggarakan Kemitraan, Palangkaraya, 9-10 April. 81 Rikardo Simarmata, 2015, “Kedudukan hukum dan peluang pengakuan surat keterangan tanah adat. Jakarta: Kemitraan. 82 Sudah dicabut oleh Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 593/5707/Sj tahun 1984.
59
garap tanah negara dengan jangka waktu 3
tahun.83
Menurut Permendagri 1972 dan SK
Gubernur Kalimantan Timur 1995 di atas,
penguasaan secara fisik selama 3 tahun
berturut-turut memberi hak kepada se-
seorang untuk memohonkan hak milik atas
tanah. Oleh SK Gubernur Kalimantan Timur
tersebut permohonan ini dianggap sebagai
upaya untuk menaikkan status dari hak
garap menjadi hak milik. Sementara itu,
sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya
(Bagian 3.3), Putusan MA tanggal 29-1-
1976 No.783K/Sip/1973 menyatakan
bahwa:” Orang yang telah menduduki
tanah untuk waktu yang lama, tanpa
gangguan dan bertindak sebagai pemilik
jujur, harus dilindungi hukum”.
Jadi dengan mempertimbangkan
hal-hal berikut, yaitu:
o PP No. 24/1997 dan Permenagraria
/Kepala BPN No. 3/1997 tidak me-
nyediakan penjelasan logis mengenai
20 tahun sebagai jangka waktu pe-
nguasaan, dengan catatan bahwa
Permenagraria/Kepala BPN menentu-
kan penguasaan yang dimaksud ada-
83 Rikardo Simarmata, 2009, “Gejala informalitas pada tanah garapan, Law Reform, Vol. 3 No. 2, dan Ilyas, 2005, “Konsepsi Hak Garap atas Tanah Dalam Sistem Hukum Pertanahan Indonesia
lah akumulasi dari yang dilakukan pe-
milik tanah dan para pendahulunya;
o PP No. 24/1997 dan Permenagraria
/Kepala BPN No. 3/199 mengadopsi
aturan adat mengenai perolehan hak
milik atas tanah namun dengan me-
lakukan perubahan berupa penentuan
batasan tahun jangka waktu pengua-
saan; dan
o Praktek penyelenggaraan administrasi
pertanahan menggunakan angka 3
tahun dan yurisprudensi tidak me-
nyebutkan angka definitif namun me-
nyebut batasan-batasan kualitatif se-
perti itikad baik, tanpa gangguan dan
bertindak sebagai pemilik jujur.
Maka Permenko yang dibuat untuk
melaksanakan Perpres 88 disarankan
untuk menggunakan tiga opsi berikut da-
lam menentukan batasan jangka waktu pe-
nguasaan tanah.
Pertama, tetap menggunakan 20
tahun sebagai jangka waktu penguasaan
namun dengan mengartikannya sebagai
kumulasi dari yang dilakukan oleh pemilik
tanah proses penyelesaian penguasaan
akan dan sedang dilakukan dan para pen-
dahulunya.
dalam Kaitannya dengan Ajaran Negara Kesejahteraan, disertasi pada Program Pasca Sarjana Universitas Padjajaran.
60
Kedua, menentukan 5 tahun atau
lebih secara berturut-turut sebagai batas-
an jangka waktu penguasaan fisik atas ta-
nah oleh pemilik terakhir, dengan disertai
syarat-syarat lain yaitu: (i) dilakukan
dengan itikad baik dan secara terbuka; (ii)
ada kesaksian dari orang-orang yang dapat
dipercaya; dan (iii) tidak ada keberatan
atau perlawanan dari masyarakat yang
berkedudukan di desa/kelurahan setem-
pat, atau
Ketiga, tidak menggunakan batasan
waktu namun dengan menggunakan ba-
tasan-batasan kualitatif untuk penguasaan
tanah yaitu dilakukan dengan itikad baik.
Dalam hukum pertanahan, itikad baik bisa
diperiksa dari tiga ukuran obyektif, yaitu
penguasaan dilakukan secara terbuka, di-
saksikan oleh orang-orang yang dapat di-
percaya, dan tidak ada keberatan dari
masyarakat yang berkedudukan di desa
/kelurahan setempat.84 Opsi ketiga ini me-
rupakan pembetulan cara mengadopsi
hukum adat mengenai perolehan hak milik
atas tanah oleh peraturan perundangan
pertanahan dan dipakai oleh Perpres No.
88/2017. Dari segi tertentu opsi ketiga ini
bersifat menegaskan Putusan MA tanggal
29-1-1976 No.783K/Sip/1973 yang meng-
gunakan phrasa “dalam waktu yang lama”
dalam menentukan jangka waktu pe-
nguasaan.
Jika digambarkan dalam bentuk
tabel, maka pilihan-pilihan strategi meng-
implementasikan Perpres 88 yang meng-
hasilkan keluaran berupa kejelasan legal-
itas penguasaan kawasan hutan untuk
kebun sawit rakyat, akan terlihat sebagai
berikut:
Tabel: Pilihan-pilihan strategi implementasi Perpres 88/2017
Pilihan strategi
implementasi
Metode Usulan redaksional norma hokum
Menafsir istilah lahan ga-
rapan dan kebun campuran
Menambahkan kata ‘kebun
sawit rakyat’ sejajar dengan
sawah, ladang, kebun cam-
puran, dan tambak
Lahan garapan adalah merupakan
bidang tanah dalam kawasan hutan
yang dikerjakan dan dimanfaatkan
oleh seseorang atau sekelompok
orang yang dapat berupa sawah,
84 Siti Ismijati Jenie, 2007, “Itikad Baik, Perkembangan dari Asas Hukum Khusus Menjadi Asas Hukum Umum di Indonesia, pidato
pengukuhan jabatan guru besar di Universitas Gadjah Mada.
61
ladang, kebun sawit rakyat, kebun
campuran dan/atau tambak
Membuat ketentuan baru
yang menentukan bahwa sa-
lah satu contoh tanaman da-
lam kebun campuran adalah
sawit
Lahan garapan adalah merupakan
bidang tanah dalam kawasan hutan
yang dikerjakan dan dimanfaatkan
oleh seseorang atau sekelompok
orang yang dapat berupa sawah,
ladang, kebun campuran dan/atau
tambak
dan
Kebun campuran sebagaimana di-
maksud pada ayat … dapat ditanami
sawit
Meluruskan tafsir untuk
jangka waktu penguasaan
tanah
Tetap menggunakan 20
tahun sebagai jangka waktu
penguasaan namun dengan
mengartikannya sebagai ku-
mulasi dari yang dilakukan
oleh pemilik tanah dan para
pendahulunya
Lahan garapan yang telah dikuasai
oleh pemilik bidang tanah dan pen-
dahulunya lebih atau kurang dari 20
tahun secara berturut-turut
Menentukan 5 tahun atau
lebih secara berturut-turut
sebagai batasan jangka wa-
ktu penguasaan fisik atas
tanah oleh pemilik terakhir,
dengan disertai syarat-syarat
lain yaitu: (i) dilakukan de-
ngan itikad baik dan secara
terbuka; (ii) ada kesaksian
dari orang-orang yang dapat
dipercaya; dan (iii) tidak ada
Lahan garapan yang telah dikuasai
oleh pemilik bidang tanah dan
pendahulunya lebih 5 tahun secara
berturut-turut
62
keberatan atau perlawanan
dari masyarakat yang ber-
kedudukan di desa/kelurah-
an setempat
Tidak menggunakan batasan
waktu namun dengan meng-
gunakan batasan-batasan ku-
alitatif yaitu: (i) dilakukan
dalam jangka waktu yang
lama; (ii) dilakukan dengan
itikad baik dan secara ter-
buka; (iii) ada kesaksian dari
orang-orang yang dapat di-
percaya; dan (iv) tidak ada
keberatan atau perlawanan
dari masyarakat yang ber-
kedudukan di desa/kelurah-
an setempat
Lahan garapan yang telah dikuasai
oleh pemilik bidang tanah dan
pendahulunya dalam waktu yang
lama
Namun perlu dipahami bahwa metode
tafsir sebagai bagian dari strategi im-
plementasi Perpres 88 sebagaimana di-
paparkan di atas, belum memikirkan pe-
nguasaan hutan konservasi. Sebagaimana
disebutkan kendala penerapan Perpres 88
di hutan konservasi adalah ketentuan yang
menetapkan resettlement sebagai satu-
satunya pilihan penyelesaian. Karena
membatasi diri menggunakan metode
tafsir untuk mengurai kendala im-
plementasi Perpres 88, tulisan ini tidak
akan mengusulkan agar Permenko di-
maksud juga menentukan bahwa untuk
hutan konsevasi bisa menggunakan pilihan
lain yaitu pelepasan dari kawasan hutan,
perhutanan sosial atau tukar menukar.
Tulisan ini juga tidak menganjurkan cara
lainnya yaitu menghilangkan kriteria fungsi
hutan dalam menentukan pilihan pe-
nyelesaian penguasaan dalam kawasan
hutan dan menggantinya dengan kriteria
kondisi factual vegetasi. Ide-ide di atas
tidak dianjurkan karena melampaui ba-
tasan diskresi dan yang paling utama akan
menimbulkan ketidakpastian hukum.
63
Sebagai jalan keluar, tulisan ini
menyarankan untuk melaksanakan Per-
menLHK P.83/2016 dengan skema Ke-
mitraan Kehutanan.
Skema hutan adat, berdasarkan
PermenLHK P.32/2015 bisa dilaksanakan
pada semua kawasan hutan negara tidak
terkecuali yang berfungsi konservasi. Areal
dalam hutan konservasi dapat dimohon-
kan sebagai hutan adat sepanjang me-
menuhi persyaratan sebagaimana diatur
dalam Pasal 6 ayat (1) Permen ini. Ke-
tentuan ini sudah dibuktikan dengan pe-
netapan oleh Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan sebagian kawasan Taman
Nasional Gunung Halimun seluas lebih
kurang 462 ha sebagai hutan adat
masyarakat Kasepuhan Karang (Lebak)
pada Desember 2016. Akan tetapi skema
hutan adat tampaknya tidak cocok untuk
Desa Alur Banung dan PIR ADB karena
masyarakatnya tidak berkategori sebagai
masyarakat adat.
Sekalipun hanya terbatas pada zona
pada Taman Nasional dan blok tertentu
pada Taman Wisata Alam dan Taman
Hutan Raya, lahan garapan di hutan
konservasi diizinkan. Penggarapan diper-
bolehkan lewat adanya kesepakatan
kerjasama antara Pengelola Hutan dan ma-
syarakat setempat. Kualifikasi masyarakat
setempat di antaranya tinggal di dalam
dan/atau di sekitar areal pengelola hutan,
dan mempunyai mata pencaharian pokok
yang bergantung pada lahan garapan yang
berlokasi di areal kerja pengelola hutan.
Adapun syarat untuk areal Kemitraan Ke-
hutanan di antaranya areal konflik dan ber-
potensi konflik, areal yang memiliki potensi
dan sumber penghidupan bagi masyarakat
setempat, dan areal yang tergradasi.
Sekali lagi, agar penguasaan Taman
Nasional yang dimanfaatkan untuk kebun
sawit rakyat dapat menggunakan skema
Kemitraan Kehutanan, maka ketentuan
dalam Permenko yang mencabut ke-
berlakuan Pasal 56 ayat (5) dan Pasal 65
huruf h Permen LHK P.83/2016, di-
perlukan. Ketentuan tersebut nantinya
akan ditegaskan dalam klausul dalam
Naskah Kesepakatan Kerja Sama antara
Pengelola Hutan (Balai Besar/Balai Taman
Nasional) dengan masyarakat setempat
dengan menyebutkannya sebagai salah
satu hak dari masyarakat setempat. Hak
dimaksud adalah memanfaatkan areal
kemitraan dengan tanaman sawit.
4.2 Strategi Implementasi PermenLHK No.
83/2016
a) Revisi Permen LHK P.83
Strategi Implementasi PermenLHK
P.83 disarankan untuk dilakukan dalam hal
pilihan penyelesaian penguasaan adalah
perhutanan sosial. Merunut pada kerangka
64
pikir Strategi Implementasi Perpres 88,
opsi ini dilakukan dalam hal: (i) usulan
perubahan cakupan istilah lahan garapan
atau kebun campuran yang memasukkan
tanaman sawit, tidak diakomodir; dan (ii)
usulan perubahan jangka waktu pe-
nguasaan menjadi lebih dari 5 tahun secara
berturut-turut, juga tidak diakomodir. Atau
bila usulan perubahan diterima namun pe-
nguasaan lahan kurang dari 5 tahun. Opsi
Strategi Implementasi PermenLHK P.83
berbeda dengan Strategi Implementasi
Perpres 88 karena tidak mengembangkan
tafsir melainkan mengusulkan revisi. Tu-
lisan ini mengusulkan agar Permen LHK
P.83 diubah, khususnya ketentuan Pasal 56
ayat (5) dan Pasal 65 huruf h.
Sebagaimana sudah dijelaskan,
usulan untuk merubah kedua Pasal ter-
sebut didasari dua pertimbangan yaitu:
Pertama, Permen LHK P.83 tidak
memiliki penjelasan rasional mengenai
pengecualian tanaman sawit sebagai ta-
naman non kehutanan dari areal per-
hutanan sosial, dan perhitungan jangka
waktu 12 tahun. Ini menandakan bahwa
dalam soal ini, Permen ini belum me-
rupakan kebijakan yang berbasis fakta
(evidence-based policy)
Kedua, saat ini tengah dikembangkan sis-
tem agroforestry yang menjadikan be-
berapa tanaman kehutanan (pohon) se-
bagai tanaman sela bagi kebun sawit.
Atas dasar itu, tulisan ini
mengusulkan perubahan Pasal 56 ayat (5)
dan Pasal 65 huruf h, dengan redaksional
sebagai berikut:
Ketentuan ayat (5) Pasal 56 diubah
sehingga Pasal 56 berbunyi:
Pasal 56
(1) HPHD, IUPHKm, IUPHHK-HTR dan areal
Kemitraan Kehutanan bukan merupa-
kan hak kepemilikan atas kawasan
hutan.
(2) HPHD, IUPHKm dan IUPHHK-HTR se-
bagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilarang dipindahtangankan, diubah
status dan fungsi kawasan hutan, serta
digunakan untuk kepentingan lain di
luar rencana pengelolaan atau di luar
rencana usaha pemanfaatan.
(3) Pelaksanaan ayat (1) dan ayat (2)
selain dimasukkan dalam keputusan
penerbitan hak pengelolaan atau izin
pemanfaatan atau dalam naskah ke-
sepakatan kerja sama juga dibuatkan
pernyataan tertulis di atas materai dari
pemegang hak atau pemegang izin
atau peserta kemitraan.
(4) HPHD, IUPHKm dan IUPHHK-HTR tidak
dapat diagunkan, kecuali tanamannya.
(5) Pemegang HPHD, IUPHKm, IUPHHK-
HTR dan Kemitraan Kehutanan boleh
65
menanam kelapa sawit di areal hak
atau izinnya, dengan mengikuti ke-
tentuan-ketentuan mengenai penge-
lolaan kebun campur (agroforestry) se-
bagaimana akan diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Menteri.
dan
Ketentuan huruf h Pasal 65 diubah
sehingga Pasal 65 berbunyi:
Pasal 65
Dengan berlakunya Peraturan ini, maka:
a. usulan penetapan areal kerja HD dan
HKm yang telah diajukan bupati
/walikota sebelum ditetapkannya Per-
aturan ini diproses lebih lanjut pe-
nerbitan hak atau izin sesuai dengan Pe-
raturan Menteri ini.
b. Permohonan HD, HKm, dan HTR yang
diajukan oleh lembaga desa, kelompok
masyarakat, sebelum ditetapkannya
Peraturan ini diproses lebih lanjut pe-
nerbitan hak atau izin sesuai dengan
Peraturan Menteri ini.
c. Usulan penetapan areal kerja HD dan
HKm yang telah diajukan bupati/wali-
kota yang sudah diverifikasi atau telah
terbit Penetapan Areal Kerjanya, se-
belum ditetapkannya Peraturan ini,
Menteri menerbitkan HPHD dan
IUPHKm.
d. permohonan IUPHHK-HTR yang telah
diajukan oleh masyarakat dan telah di-
verifikasi sebelum ditetapkannya Per-
aturan Menteri ini, Menteri menerbit-
kan IUPHHK-HTR.
e. dalam hal masa berlakunya Keputusan
Menteri tentang Penetapan Areal Kerja
HD dan HKm telah berakhir, Menteri
menerbitkan HPHD dan IUPHKm ber-
dasarkan hasil evaluasi.
f. usulan IUPHHK-HD dan IUPHHK-HKm,
yang sudah diajukan oleh pemegang
HPHD dan IUPHKm sebelum ditetap-
kannya Peraturan ini diproses lebih la-
njut sesuai dengan Peraturan Menteri
ini.
g. HPHD atau IUPHKm di hutan produksi
yang telah diterbitkan sebelum Per-
aturan Menteri ini dapat digunakan
untuk pemanfaatan hutan sebagai-
mana diatur dalam Pasal 51 dan Pasal
52.
h. dalam hal di areal Perhutanan Sosial
atau dalam ususlan Perhutanan Sosial
telah ada tanaman sawit sejak Per-
aturan ini diberlakukan, diwajibkan ke-
pada pemegang izin untuk membangun
kebun campur (agroforestry) dalam
bentuk jalur atau mozaik, dengan me-
nanam pohon berkayu paling sedikit
100 (seratus) pohon per hektar.
66
i. terhadap Kemitraan di hutan
rakyat yang telah dilaksanakan te-
tap berlaku dan selanjutnya me-
nyesuaikan Peraturan Menteri ini.
j. terhadap Kemitraan yang telah
dilaksanakan oleh KPH tetap
berlaku dan selanjutnya me-
nyesuaikan Peraturan Menteri ini.
k. kegiatan pengelolaan hutan
bersama masyarakat, yang di-
laksanakan di areal Perum Per-
hutani dilaksanakan sesuai dengan
Peraturan Menteri ini.
l. kegiatan bina desa hutan yang
dilaksanakan oleh pemegang izin
usaha hasil hutan kayu pada hutan
alam atau hutan tanaman di-
laksanakan sesuai dengan Per-
aturan Menteri ini.
m. kerja sama yang selama ini di-
laksanakan antara pengelola ka-
wasan konservasi dengan ma-
syarakat setempat disesuaikan de-
ngan Peraturan Menteri ini.
b) Penguasaan di kawasan konservasi
Sebagaimana disebutkan bahwa
kendala penerapan Perpres 88 di hutan
konservasi adalah ketentuan yang me-
nentukan resettlement sebagai satu-
satunya pilihan penyelesaian. Untuk me-
ngatasi kendala tersebut tulisan ini tidak
mengusulkan agar Permenko untuk me-
laksanakan lebih lanjut Perpres 88, me-
nentukan bahwa untuk hutan konservasi
bisa menggunakan pilihan lain yaitu pe-
lepasan dari kawasan hutan, perhutanan
sosial atau tukar menukar. Tulisan ini juga
tidak menganjurkan agar Permenko meng-
hilangkan kriteria fungsi hutan dalam me-
nentukan pilihan penyelesaian pe-
nguasaan dan menggantinya dengan kri-
teria kondisi faktual vegetasi. Ide-ide di
atas tidak dianjurkan karena melampaui
batasan diskresi dan yang paling utama
akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Sebagai jalan keluar, tulisan ini me-
nyarankan untuk melaksanakan Permen-
LHK P.83/2016 dengan skema Kemitraan
Kehutanan. Sekalipun hanya bisa dilakukan
pada zona pemanfaatan, zona tradisional
dan zona rehabilitasi pada Taman Nasi-
onal, dan pada blok pemanfaatan di Taman
Wisata Alam dan Taman Hutan Raya, lahan
garapan di hutan konservasi diizinkan.
Penggarapan diperbolehkan lewat adanya
kesepakatan kerjasama antara Pengelola
Hutan dan masyarakat setempat. Kuali-
fikasi masyarakat setempat di antaranya
tinggal di dalam dan/atau di sekitar areal
pengelola hutan, dan mempunyai mata
pencaharian pokok yang bergantung pada
lahan garapan yang berlokasi di areal kerja
pengelola hutan. Adapun syarat untuk
areal Kemitraan Kehutanan di antaranya
67
areal konflik dan berpotensi konflik, areal
yang memiliki potensi dan sumber peng-
hidupan bagi masyarakat setempat, dan
areal yang tergradasi.
Selain dengan Kemitraan, skema
hutan adat juga dapat digunakan untuk
menyelesaikan penguasaan hutan konser-
vasi untuk kebun sawit rakyat. Menurut
Permen LHK P.32/2015, hutan adat bisa di-
laksanakan pada semua kawasan hutan
negara tidak terkecuali yang berfungsi kon-
servasi. Areal dalam hutan konservasi
dapat dimohonkan sebagai hutan adat se-
panjang memenuhi persyaratan sebagai-
mana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Permen
ini. Ketentuan ini sudah dibuktikan dengan
penetapan oleh Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan sebagian kawasan Taman
Nasional Gunung Halimun seluas lebih
kurang 462 ha sebagai hutan adat ma-
syarakat Kasepuhan Karang (Lebak) pada
Desember 2016. Akan tetapi skema hutan
adat tampaknya tidak cocok untuk Desa
Alur Banung dan PIR ADB karena ma-
syarakatnya tidak terlihat berkategori
sebagai masyarakat adat.
Perlu diberi catatan agar penguasaan
Taman Nasional yang dimanfaatkan untuk
kebun sawit rakyat dapat menggunakan
skema Kemitraan Kehutanan, maka ke-
tentuan dalam Permenko atau revisi Per-
menLHK P.83 yang mencabut keberlakuan
Pasal 56 ayat (5) dan Pasal 65 huruf h
Permen LHK P.83/2016, diperlukan. Ke-
tentuan tersebut nantinya akan ditegaskan
dalam klausul dalam Naskah Kesepakatan
Kerjasama antara Pengelola Hutan (Balai
Besar/Balai Taman Nasional) dan ma-
syarakat setempat dengan menyebut-
kannya sebagai salah satu hak dari mas-
yarakat setempat. Hak dimaksud adalah
memanfaatkan areal kemitraan dengan
tanaman sawit.
Sebagai penutup dari uraian me-
ngenai pilihan-pilihan strategi pelaksanaan
RA dalam Kawasan hutan, tulisan ini me-
ngingatkan bahwa rekomendasi-rekomen-
dasi di atas tetap dengan mengingat ke-
tentuan Pasal 30 huruf a Perpres 88 yang
secara implisit tidak mentolerir pe-
nguasaan atau pendudukan tanah baru
yang dilakukan selama proses pe-
nyelesaian penguasaan dalam kawasan
hutan dilakukan. Dengan kata lain, re-
komendasi-rekomendasi dalam tulisan ini
tidak dapat digunakan bagi penguasaan ka-
wasan hutan yang dilakukan sejak Perpres
88 diberlakukan.
68
69
Kekawatiran atau tanda tanya
Kementerian Lingkungan Hidup dan Ke-
hutanan mengenai kemungkinan me-
langgar kebijakan dan peraturan per-
undangan mengenai perlindungan hutan
bila melaksanakan kebijakan dan per-
aturan perundangan RA dalam kawasan
hutan, sudah mempunyai dasar sejak ta-
hapan perencanaan. Dokumen-dokumen
perencanaan yaitu RPJM, Renstra dan
Strategi Nasional Kementerian dan Lem-
baga Non Kementerian tidak mem-
perhatikan atau menjelaskan keselarasan
antara kedua kebijakan tersebut. Ketidak-
selarasan terjadi karena masing-masing
dokumen perencanaan tersebut kabur dan
tidak sama dalam menjelaskan lokasi pe-
nyelenggaraan RA. Akibatnya, di atas
kertas proses penyelenggaraan RA bisa
mandek karena terganggu oleh kegiatan
perlindungan hutan.
Perpres No. 88/2017 sudah mem-
perjelas lokasi RA dalam kawasan hutan
dan memastikan bahwa proses RA tidak
akan diganggu oleh kegiatan-kegiatan per-
lindungan hutan. Namun, dengan mem-
perlakukan persyaratan berlapis untuk me-
mutuskan pilihan penyelesaian pe-
nguasaan kawasan hutan, Perpres ini di-
nilai tidak bersahabat dengan kenyataan
lapangan mengenai penguasaan kawasan
hutan. Persyaratan berlapis tersebut
adalah: subjek, waktu penguasaan dilakuk-
an (sebelum dan sesudah penunjukan),
bentuk penguasaan dan pemanfaatan,
jenis kawasan hutan, luas minimum areal
hutan yang harus dipertahankan, dan
jangka waktu penguasaan. Persyaratan
mengenai waktu penguasaan dilakukan,
bentuk penguasaan dan pemanfaatan,
jenis kawasan hutan, luas minimum areal
hutan yang harus dipertahankan, dan
jangka waktu penguasaan, merupakan
syarat-syarat yang sulit untuk dipenuhi
atau menyulitkan untuk melaksanakan RA.
Bagi penguasaan kawasan hutan
untuk kebun sawit rakyat, persyaratan
yang sulit untuk dipenuhi oleh para petani
adalah bentuk penguasaan dan pe-
manfaatan, dan jangka waktu penguasaan.
Perpres No. 88/2017 implisit me-
ngeluarkan kebun sawit rakyat dari ca-
kupan lahan garapan, dan tidak me-
masukannya sebagai contoh dari kebun
campuran. Sekalipun demikian, Perpres ini
membuka peluang kebun sawit rakyat
kedalam cakupan lahan garapan atau
kebun campuran karena menggunakan
kata ‘dapat’ dalam menentukan cakupan
lahan garapan. Jangka waktu penguasaan
selama 20 tahun atau lebih secara ber-
turut-turut berbeda sekali dengan ke-
nyataan lapangan dimana usia penguasaan
rata-rata dibawah 20 tahun. Hal ini me-
70
nutup pilihan untuk melepaskan dari ka-
wasan hutan dan hanya memungkinkan pi-
lihan perhutanan sosial.
Karakter tidak adaptif atau
bersahabat Perpres No. 88/2017 terhadap
realitas penguasaan kawasan hutan, perlu
disikapi dengan memiliki strategi-strategi
implementasi agar RA dalam kawasan
hutan berjalan efektif. Secara khusus,
strategi-strategi tersebut diperlukan agar
penguasaan kawasan hutan dengan kebun
sawit rakyat mendapat pengesahan hukum
yang membuka jalan bagi penerapan ISPO
pada kebun-kebun sawit rakyat yang
berlokasi dalam kawasan hutan. Dua
strategi implementasi yang dapat di-
lakukan adalah menafsir istilah lahan ga-
rapan dan kebun campuran dan me-
luruskan tafsir untuk jangka waktu pe-
nguasaan tanah.
Strategi-strategi implementasi ter-
sebut diperlukan agar tujuan fundamental
RA yaitu meningkatkan kualitas kehidupan
rakyat dengan cara memenuhi hak-hak da-
sarnya seperti hak untuk mempunyai hak
milik pribadi, hak untuk tidak didiskri-
minasi, dan hak atas hidup, dapat di-
wujudkan. Strategi-strategi tersebut ber-
tujuan menghilangkan norma-norma pro-
sedural yang berkarakter mengaburkan
atau bahkan menghilangkan maksud dasar
dari suatu rejim pengaturan. Jika dilak-
sanakan dengan rigid, norma-norma pro-
sedural tersebut akan menghalangi pe-
nyelenggara negara untuk mewujudkan
tujuan-tujuan dasar kebijakan dan aturan
hukum. Ketentuan-ketentuan prosedural
dalam Perpres No. 88/2017 sangat ber-
potensi membuat penyelenggara negara
lupa bahwa esensi sesungguhnya dari pe-
nguasaan tanah adalah pemanfaatan se-
cara efketif dan intensif yang dilakukan
dengan itikad baik.
71
72
Buku, jurnal, dan laporan
Agung Wibawa et al., 2017, “Dari Reformasi Kembali ke Orde Baru: Tinjuan Kritis Peraturan Presiden No. 88 Tahun 2017”. Jakarta: AMAN, Epistema dan HUMA.
Ari Wibowo, 2013,” Kajian penurunan emisi gas rumah kaca sector kehutanan untuk mendukung kebijakan Perpres No. 61/2011, Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, Vol. 10 No. 3, hlm. 235-254.
Bagir Manan, 2004, Hukum Positif di Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), Yogyakarta: FH UII.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni.
Benjamin van Rooij,2006, Regulating Land and Pollution in China, Lawmaking, Compli- ance, and Enforcement; Theory and Cases. Leiden: Leiden University Press.
Buitelaar, E., Galle, M. Sorel, N. 2011. “Plan-led planning systems in development-led practices: an empirical analysis into the (lack of) institutionalisation of planning law”, Environment and Planning A: Economy and Space, Vol 43, Issue 4, hlm. 928.
Christoher R. Duncan, 2017,” Mixed outcomes: the impact of regional autonomy and the decentralization on indigenous ethnic minorities in Indonesia, Development and Change, Vo.38 (4): 711-733.
Grant, M., 1992, “Planning law and the British land use planning system: an
overview”, The Town Planning Review, Vol 63, Issue 1, hlm. 3.
Ilyas, 2005, “Konsepsi Hak Garap atas Tanah Dalam Sistem Hukum Pertanahan Indonesia dalam Kaitannya dengan Ajaran Negara Kesejahteraan, disertasi pada Program Pasca Sarjana Universitas Padjajaran.
IRE dan Javlec, 2018, “Pengembangan Model dan Peta Jalan Konsolidasi Lahan Sawit rakyat di Kawasan Hutan untuk Menjamin Tata Kelola Sawit Rakyat yang baik Guna Mewujudkan Penghidupan Berkelanjutan, laporan tidak dipublikasikan.
Kantor Staf Presiden Republik Indonesia, 2017, “Pelaksanaan Reforma Agraria, Arahan kantor staf presiden: prioritas nasional reforma agrarian dalam rencana kerja pemerintah tahun 2017, tidak dipublikasikan.
K. Kartawinata, H. Soedjito, T. Jessup, A.P. Vayda, dan C.J.P. Colfer, 1984,”The impacts of development on the interactions between people and forest in East Kalimantan: a comparison of two areas of Kenyah Dayak settlement, Environmentalists, Vol. 4, Supplement 7, hlm. 87-95.
Needham dan Thomas di Buitelaar, E., Galle, M. Sorel, N., 2011, “Plan-led planning systems in development-led practices: an empirical analysis into the (lack of) institutionalisation of planning law”, Environment and Planning A: Economy and Space, Vol 43, Issue 4, hlm. 935.
Nurhasan Ismail, 2015, “Surat keterangan tanah adat (SKTA) sebagai bukti awal penguasaan dan pemanfaatan tanah adat: penelusuran dasar hukumnya”, presentasi disampaikan pada acara
73
“Diseminasi Hasil Kajian dan Evaluasi Pelaksanaan Inventarisasi, Identifikasi, Pemetaan, Pematokan atau Pembuatan SKTA di Kalimantan Tengah”, diselenggarakan Kemitraan, Palangkaraya, 9-10 April.
Riawan Tjandra, 2014, Hukum Sarana Pemerintahan, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.
Rikardo Simarmata, 2002,” Regional autonomy and character of local government laws and regulations: new pressures on the environment and indigenous communities, International association for the study of common.
________________, 2009, “Gejala informalitas pada tanah garapan, Law Reform, Vol. 3 No. 2.
________________, 2015, “Kedudukan hukum dan peluang pengakuan surat keterangan tanah adat. Jakarta: Kemitraan.
Rikardo Simarmata et al., 2017, “Memadamkan Api: Penegakan hukum kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau dan perubahan-perubahan pada pola penguasaan dan penggunaan lahan”, laporan tidak dipublikasikan, HUMA&World Resources Institute.
Robinson, M. 2008, “Moral Principles are not Moral Laws”, Journal of Ethics Social Philosophy, Vol. 2, No. 3, , hlm. 1-3.
Tami Linasari, 2018,” Implementasi Perber di Desa Lancang Kuning, Kecamatan Bintan Utara, Kabupaten Bintan”, tesis pada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Transtoto Handadhari, 2017,” Memutihkan Penguasaan Ilegal Tanah Hutan”. Kompas, 8 November 2017.
Yekti Maunati, 2004, Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LKIS.
Internet
https://aa.com.tr/id/headline-hari/lsm-masyarakat-adat-paling-banyak-hadapi-kriminalisasi/1069356
https://www.ekon.go.id/berita/view/pemerintah-lanjutkan-program.3789.html
http://gakkum.menlhk.go.id/compro/docs/CapaianGakkum2016.pdf
http://ditjenbun.pertanian.go.id/berita-497-pemerintah-komitmen-membantu-petani-kelapa-sawit.html
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54b1f62361f81/surat-edaran--kerikil-dalam-perundang-undangan
http://tataruangpertanahan.com/pdf/pustaka/kebijakan_strategi/5.pdf
Peraturan perundang-undangan
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009.
74
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014.
Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019.
Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.
Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.04/Menhut-II/2005 tentang Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra K/L) Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.08/Menhut-II/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014.
Peraturan Menteri Pertanian No. 11/Permentan/OT.140//3/2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan di Indonesia (Indonesian Sustaibale Palm Oil Certification System/ISPO).
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 25 Tahun 2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Tahun 2015-2019.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.39/Menlhk-Setjen/2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Tahun 2015-2019.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.83/MenLHK/Setjen/Kum.1/10/ Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial.
Putusan pengadilan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 329K/Sip/1957, tanggal 24-9-1958.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1037k/Sip/1971, tanggal 31-7-1973.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 578K/Sip/1973, tanggal 20-8-1973.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 259K/Sip/1973, tanggal 9-12-1975.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 783K/Sip/1973, tanggal 21-1-1976.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 783K/Sip/1973, tanggal 29-1-1976.
75
76
77