PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

78
0 PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN UNTUK PERKEBUNAN SAWIT RAKYAT Maria SW Sumardjono Rikardo Simarmata Richo Andi Wibowo Yayasan Kehati 2018

Transcript of PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

Page 1: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

0

PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN PEMANFAATAN

KAWASAN HUTAN UNTUK PERKEBUNAN SAWIT RAKYAT

Maria SW Sumardjono

Rikardo Simarmata

Richo Andi Wibowo

Yayasan Kehati

2018

Page 2: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

1

Page 3: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

2

Page 4: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

3

KATA PENGANTAR

Sejarah industri sawit Indonesia melibatkan dinamika politik dan ekonomi yang

kompleks. Dibangun di atas institusi alokasi lahan dengan kewenangan dan regulasi yang

tumpang tindih, praktik perkebunan sawit Indonesia ditenggarai sebagai salah satu pemicu

konflik sosial dan berbagai permasalahan lingkungan, seperti deforestasi, pembukaan lahan

gambut, polusi perairan, degradasi tanah dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Pelaku usaha perkebunan sawit yang bertanggungjawab atas kondisi tersebut

ternyata tak hanya perusahaan-perusahaan. Dirjenbun (2016) menyatakan bahwa dari total

luasan kebun sawit Indonesia sekitar 11.67 juta hektar, 4.76 juta hektar adalah perkebunan

rakyat. Tanpa terelakkan, ekspansi penguasaan lahan untuk perkebunan sawit rakyat terus

berlanjut dan dilakoni oleh petani sampai ke kawasan hutan. Dalam situasi seperti ini, lahan

menjadi komoditas yang diperebutkan karena kesadaran masyarakat akan potensi ekonomi

yang besar melalui konversi/pembangunan perkebunan sawit.

Kondisi ini menjadi perhatian khusus bagi Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI)

yang saat ini tengah melaksanakan program Penguatan Indonesian Sustainable Palm Oil

(ISPO). Dalam program ini, KEHATI melakukan identifikasi dan pengkajian terhadap fenomena

kebun sawit rakyat di kawasan hutan atau kawasan yang bernilai ekosistem penting, dan juga

mencari opsi-opsi langkah sebagai jalan keluar.

Untuk memperkuat identifikasi dan kajian tersebut, dibutuhkan sebuah pendalaman

dan pengkajian dari sisi hukum. Kebijakan yang sudah ada saat ini, seperti TORA (Tanah Objek

Reforma Agraria) dan Perpres 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam

Kawasan Hutan masih problematik dalam pelaksanaannya di lapangan. Di sisi lain, kewajiban

pemerintah untuk menegakkan hukum pidana bagi pelaku penggunaan hutan tanpa izin

seperti yang tersebut dalam UU 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan

Hutan juga menjadi obstacle yang lain.

Kajian ini diharapkan dapat merumuskan rekomendasi bagi para pengambil kebijakan

untuk dapat mengambil langkah terbaik dan terobosan hukum untuk menyelesaikan

permasalahan yang ada di lapangan.

Team leader Program Penguatan ISPO

Irfan Bakhtiar

Page 5: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

4

Daftar Isi

BAB I Pendahuluan 2

1.1. Latar Belakang 2

1.2. Fokus Kajian 9

1.3. Metode Kajian 9

1.4. Organisasi Laporan 10

BAB II Kebijakan Kehutanan Mengenai Reforma Agraria dan Perlindungan Hutan 11

2.1. Reforma Agraria 15

2.2. Perlindungan Hutan 22

2.3. Kesimpulan 26

BAB III Regulasi Reforma Agraria dalam Kawasan Hutan dan Kendala Implementasi 28

3.1. Regulasi Reforma Agraria di Bidang Kehutanan 28

3.2. Penguasaan Kawasan Hutan untuk Kebun Sawit Rakyat 38

3.3. Kendala-kendala Implementasi Perpres No. 88/2017 42

BAB IV Pilihan-pilihan Strategi Pelaksanaan Reforma Agraria dalam Kawasan Hutan 47

4.1. Strategi Impementasi Perpres No. 88/2017 48

4.2. Strategi Implementasi PermenLHK No.83/2016 58

BAB V Kesimpulan 63

Bahan Bacaan 65

Page 6: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

5

Page 7: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

6

1.1 Latar belakang

Kawasan hutan negara (baca: kawas-

an hutan) telah lama menjadi arena kon-

testasi antara negara, pengusaha dan ma-

syarakat dalam penguasaan dan peman-

faatannya. Kontestasi muncul karena

negara, di satu sisi, berkehendak me-

ngontrol kawasan hutan dengan me-

nerapkan strategi teritorilisasi, dan di sisi

lain, masyarakat sangat tergantung dengan

sumber daya hutan baik untuk kegiatan

ekonomi, religi maupun budaya. Karena

keterbatasan sumber daya dan ke-

pentingan ekonomi-politik elit berkuasa,

negara tidak mengusahakan sendiri ka-

wasan hutan yang dikontrolnya, melainkan

menyerahkan kepada usaha-usaha skala

besar. Akibatnya, pada kawasan hutan pro-

duksi, kontestasi di tingkat lapangan ter-

jadi antara perusahaan dengan ma-

syarakat.

Dalam perkembangannya, pelaksa-

naan strategi teritorilisasi dengan cara me-

nentukan batas-batas kawasan hutan yang

menghasilkan peta kawasan hutan ber-

langsung beriringan dengan bertambahnya

penduduk dan penggunaan kawasan hutan

oleh masyarakat. Penetapan kawasan hu-

tan tidak serta merta mengurangi atau

menghentikan kegiatan penguasaan dan

pemanfaatan kawasan hutan oleh ma-

syarakat, sekalipun berbagai pengusiran

paksa dilakukan. Itu sebabnya, penyebutan

angka luasan kawasan hutan oleh Pe-

merintah sebenarnya tidak merefleksikan

keadaan di lapangan yakni berlangsungnya

kontrol efektif oleh negara. Di areal-areal

hak pengusahaan atau pemanfaatan hutan

yang berlokasi di hutan produksi, negara

membebankan tugas mengontrol kepada

pemegang hak atau izin. Di hutan lindung

dan hutan konservasi, kontrol negara

relatif tidak efektif karena keterbatasan

sumber daya pemerintah untuk me-

nyelenggarakan perlindungan, pengawas-

an, dan penegakan hukum.

Tindakan masyarakat menguasai dan

memanfaatkan kawasan hutan secara

melawan hukum bisa dijelaskan dengan

tiga cara. Pertama, situasi tersebut me-

rupakan konsekuensi logis dari metode

dan proses pengukuhan kawasan hutan

yang tidak menghormati dan melibatkan

masyarakat yang berkepentingan dengan

hutan. Kedua, pertumbuhan penduduk

dan pertambahan kebutuhan masyarakat

diikuti oleh kebutuhan lahan-lahan baru

untuk dimanfaatkan. Ketiga, situasi ter-

sebut sekaligus menandakan bahwa hutan

untuk rakyat yang sudah didengungkan

mulai dekade 80-an, baru sebatas slogan

yang tidak kunjung mewujud di lapangan.

Ketiga hal diatas merupakan penyebab

berlangsungnya penguasaan kawasan hu-

Page 8: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

7

tan oleh masyarakat. Ketiganya hadir pada

saat bersamaan yang membuat jumlah

orang yang melakukan penguasaan begitu

besar dengan luasan hingga kini mencapai

17,4 juta ha.1

Sejak awal tahun 2000-an, faktor

pertambahan jumlah penduduk berjumpa

dengan dua faktor lain yang melipat-

gandakan penguasaan kawasan hutan oleh

masyarakat. Kedua faktor lainnya adalah,

pertama, munculnya areal-areal dalam

kawasan hutan yang ‘tidak bertuan’ se-

telah ditinggalkan oleh pemegang hak

pengusahaan hutan (HPH) karena ber-

akhirnya masa berlaku hak atau izin. Dalam

perbincangan publik areal-areal seperti ini

sering disebut sebagai lokasi tak bertuan

alias open access. Kedua, kenaikan harga

pasar produk pertanian/perkebunan ter-

tentu yang menstimulasi para petani untuk

menggarap lahan milik dan sebagian mem-

buka lahan-lahan baru dengan tujuan men-

dapatkan untung yang lebih besar.

Salah satu tanaman pertanian yang

memikat petani dalam kurun waktu 20

tahun terakhir adalah kelapa sawit. Tanam-

an ini disukai karena harga yang relatif

stabil dan menguntungkan di-banding

dengan produk tanaman lainnya (IRE dan

1 Transtoto Handadhari, 2017,”Memutihkan Penguasaan Ilegal Tanah Hutan, Kompas, 8 November 2017.

Javlec 2018, hal. 19). Selain itu, kelapa

sawit dianggap tidak rewel karena tidak

menuntut perawatan yang intensif. Kelapa

sawit tidak hanya memikat orang-orang

yang sudah berprofesi sebagai pe-tani

tetapi juga orang-orang yang se-belumnya

berprofesi sebagai pegawai ne-geri dan

orang-orang yang sebelumnya be-kerja

informal. Mereka mendapatkan lahan de-

ngan cara membelinya dari pen-duduk

lokal. Keberhasilan golongan ini yang di-

tandai dengan kesejahteraan, pada akhir-

nya mendorong penduduk lokal untuk juga

menggarap lahannya dengan ditanami

kelapa sawit.

Pada waktu gelombang pembukaan

lahan-lahan baru untuk ditanami produk-

produk pertanian yang sedang laku di

pasar domestik dan internasional berlang-

sung, lahan-lahan di luar kawasan hutan

sudah sangat terbatas. Di beberapa tempat

seperti pada sejumlah desa di Ka-bupaten

Pelalawan (Riau), lahannya sama sekali

tidak ada karena sudah terbagi habis keda-

lam penguasaan perorangan (penduduk lo-

kal dan pendatang) dan badan hukum (pe-

rusahaan). Dalam situasi tersebut lahan ya-

ng tersedia dan berlokasi tidak jauh dari

perkampungan atau areal ladang dan ke-

Page 9: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

8

bun masyarakat adalah kawasan hutan.

Sasaran paling empuk untuk dibuka, di-

garap dan dikuasai adalah areal eks HPH

dan hutan lindung. Menyusul adalah ka-

wasan konservasi dan areal izin peman-

faatan hutan yang masih aktif. Semakin

tidak ada pemangku di tingkat lapangan

yang mengelola kawasan hutan, semakin

rentan dari tindakan pendudukan.

Besarnya penguasaan dan peng-

gunaan kawasan hutan untuk ditanami ke-

lapa sawit dalam kurun waktu 20 terakhir

tercermin dari angka 3,5 juta ha kawasan

hutan yang ditanami kelapa sawit. Se-

banyak 1,5 juta diantaranya adalah sawit

rakyat yang diartikan sebagai kebun yang

luasnya di bawah 25 hektar per bidang.

Luas kebun sawit swadaya sendiri secara

nasional mencapai 4,7 juta ha.2 Adapun 2

juta ha lainnya merupakan kebun sawit

skala besar yang dimiliki oleh perorangan

dan perusahaan baik dengan atau tanpa di-

lengkapi hak.

Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan (sebelumnya Kementerian Ke-

hutanan) telah menyusun dan melaksana-

kan berbagai kebijakan untuk menangani

penguasaan kawasan hutan yang di-

2 Lihat dalam http://ditjenbun.pertanian.go.id/berita-497-pemerintah-komitmen-membantu-petani-kelapa-sawit.html (diunduh pada tanggal 1 April 2018).

lakukan dengan tidak mengantongi izin.

Kebijakan tersebut berkembang dari pe-

riode ke periode dan dibedakan menurut

fungsi kawasan hutan. Secara umum ke-

bijakan tersebut terbagi menjadi dua yaitu,

pertama, melindungi kawasan hutan dari

tindakan-tindakan yang menyebabkan de-

forestasi dan degradasi, dengan menegak-

an hukum. Kedua, memperbolehkan tinda-

kan penguasaan untuk dilanjutkan baik

melalui skema perhutanan sosial (PS) atau

reforma agraria (RA).

Kebijakan yang pertama yaitu me-

lindungi kawasan hutan dengan pe-

negakan hukum menjadi pilihan pada se-

tiap periode pemerintahan dengan per-

bedaan pada tingkat keseriusan. Pemerin-

tahan yang sekarang termasuk yang serius

menggalakan penegakan hukum untuk ke-

jahatan kehutanan. Pada tahun 2016 dari

150 kasus yang sampai ke tahapan pe-

nuntutan, sebanyak 30 adalah kasus pe-

rambahan hutan.3 Dari jumlah tersebut

mayoritas yang dijadikan terdakwa atau

terpidana adalah penduduk atau petani

lokal. Jumlahnya tidak sebanyak pelaku

dari kalangan pengusaha. Penduduk atau

petani lokal yang menjadi terdakwa atau

3 Data dikutip dari http://gakkum.menlhk.go.id/compro/docs/CapaianGakkum2016.pdf (diunduh pada tanggal 1 April 2018).

Page 10: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

9

terpidana sebagian merupakan korban

‘kriminalisasi’ karena mereka sebenarnya

sudah mendiami kawasan sebelum di-

tunjuk dan sebagian sudah berada di situ

selama beberapa dekade sejak penunjukan

dilakukan.4

Seperti sudah dikemukakan, ke-

bijakan yang kedua yaitu PS, sudah di-

berlakukan sejak dekade 80-an yang di-

awali dengan skema hutan kemasyarakat-

an (HKm) dan kemitraan antara perusaha-

an pemegang izin pengusahaan hutan dan

masyarakat sekitar. Dalam perkembangan-

nya, PS berkembang dengan kehadiran

skema-skema baru seperti hutan desa

(HD), hutan tanaman rakyat (HTR), ke-

mitraan, dan hutan adat. Kebijakan mem-

perbolehkan penguasaan dalam kawasan

hutan, diperkuat dengan diperkenalkan-

nya RA dalam kawasan hutan. RA berbeda

dengan PS dalam hal status tanah yang di-

kuasai. Tanah-tanah yang menjadi objek

RA (TORA) dalam kawasan hutan nantinya

akan menjadi tanah hak baik dalam bentuk

hak milik maupun hak guna usaha. Sedang-

kan lahan-lahan untuk PS masih tercatat

sebagai tanah negara.

4 Sekedar menyebut contoh, untuk periode 2015-2017 jumlah masyarakat yang menjadi korban kriminalisasi dari penegakan UU No. 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, sebanyak 16 orang. Lihat dalam

Pada periode pemerintahan Joko

Widodo-Jusuf Kalla (2014-2019), baik ke-

bijakan perlindungan kawasan hutan lewat

penegakan hukum, dan pembolehan pe-

nguasaan kawasan hutan oleh masyarakat,

sama-sama menjadi agenda prioritas. Hal

itu dapat dilihat pada Rencana Pem-

bangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-

2019, Perencanaan Strategis (2015-2019)

Kementerian Lingkungan Hidup dan Ke-

hutanan dan Badan Pertanahan Nasional,

dan Strategi Nasional Pelaksanaan Refor-

ma Agraria (2016-2019). Keduanya men-

jadi prioritas dengan alasan yang berbeda

namun sama-sama dianggap menentukan

nasib masyarakat dan hutan di masa de-

pan.

Perlindungan kawasan dijadikan

agenda prioritas dengan alasan laju de-

forestasi yang berimplikasi pada degradasi

fungsi ekologis kawasan hutan, respon

negara-negara lain dalam bentuk ke-

bijakan-kebijakan ekonomi dan perda-

gangan ekspor kehutanan Indonesia, dan

pembuktian janji Indonesia pada dunia

untuk mengurangi emisi karbon dari de-

forestasi dan degradasi sampai tahun

https://aa.com.tr/id/headline-hari/lsm-masyarakat-adat-paling-banyak-hadapi-kriminalisasi /1069356 (diunduh pada tanggal 1 April 2018).

Page 11: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

10

2020.5 Kebijakan perlindungan juga dikait-

kaitkan dengan pengendalian kebakaran

hutan dan lahan (karhutla) dengan logika

semakin kecil penguasaan kawasan hutan

secara melawan hukum semakin kecil ang-

ka karhutla.

PS dan RA dalam kawasan hutan

adalah bagian dari kebijakan yang lebih

besar yaitu memperluas wilayah kelola

rakyat. Pada pemerintahan Joko Widodo-

Jusuf Kalla, kebijakan ini diaksentuasi se-

perti yang dapat dilihat pada Nawacita

khususnya pada sejumlah program aksi.

Sasaran antara PS dan RA adalah menye-

lesaikan konflik-konflik penguasaan lahan

yang melibatkan masyarakat. Sedangkan

sasaran akhirnya adalah mengentaskan

kemiskinan.6 Hutan adat dan RA mem-

punyai tujuan lainnya yaitu pemenuhan

hak-hak dasar masyarakat tempatan atau

masyarakat hukum adat untuk hidup dan

tidak didiskriminasi. Dari sisi pemikiran hu-

kum, keduanya juga merupakan pem-

berian kewenangan yang lebih besar dan

kuat kepada masyarakat dalam menguasai

dan mamanfaatkan tanah. Kebijakan PS

dan RA dihadirkan dengan pengetahuan

dan kesadaran bahwa terdapat sekian in-

5 Ari Wibowo, 2013,”Kajian penurunan emisi gas rumah kaca sector kehutanan untuk mendukung kebijakan Perpres No. 61/2011”. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, Vol. 10 No. 3, hlm. 235-254.

dividu dan ke-lompok masyarakat yang

melakukan pe-nguasaan atas kawasan

hutan dengan alasan dan latar belakang

yang variatif ser-ta dalam jangka waktu

yang sudah lama. Fakta bahwa kawasan-

kawasan yang dikuasai tersebut sudah

digunakan untuk pemukiman, fasilitas

umum, fasilitas sosial, sawah/ladang, dan

kebun dan karena itu tutupan hutannya

sudah nyaris tiada, se-makin menguatkan

signifikansi PS dan RA. Kebijakan perluan

wilayah kelola rakyat tidak memandang

masyarakat yang melakukan penguasaan

kawasan hutan tersebut sebagai pelanggar

hukum karena memanfaatkan kawasan

hutan tanpa izin. Mereka justru dilihat

sebagai kelompok ‘korban’ kebijakan ke-

hutanan masa lampau atau warga negara

yang memerlukan ke-hadiran negara untuk

pemenuhan hak-hak konstitusional.

Pemikiran di atas mendasari pem-

buatan Peraturan Bersama Menteri Dalam

Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pe-

kerjaan Umum, dan Kepala Badan Per-

tanahan Nasional tahun 2014 yang saat ini

sudah dinaikan statusnya menjadi Per-

aturan Presiden No. 88/2017 tentang Pe-

nyelesaian Penguasaan Tanah dalam Ka-

6 Kantor Staf Presiden Republik Indonesia, 2017, “Pelaksanaan Reforma Agraria, Arahan kantor staf presiden: prioritas nasional reforma agrarian dalam rencana kerja pemerintah tahun 2017, tidak dipublikasikan.

Page 12: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

11

wasan Hutan. Sebagai instrumen, kedua

peraturan tersebut sebenarnya hadir men-

jadi pilihan bagi Pemerintah untuk meng-

atasi penguasaan kawasan hutan tanpa

hak, selain dengan cara penegakan hukum.

Secara substansi, kedua peraturan ini me-

ngatur mengenai persyaratan dan proses

identifikasi subjek dan objek penguasaan

kawasan hutan serta pilihan-pilihan pe-

nyelesaian yang didasarkan pada sejumlah

pertimbangan seperti jenis pemanfaatan,

lama penguasaan, dan fungsi hutan.

Namun sebagai instrumen pemerin-

tahan yang ditujukan untuk melindungi

hak-hak masyarakat yang melakukan pe-

nguasaan bidang tanah dalam kawasan hu-

tan (Bagian Konsideran Menimbang huruf

a Perpres No. 88/2017), sejumlah ketentu-

an dalam peraturan ini dianggap berpoten-

si menghalangi pencapaian tujuan ter-

sebut. Kajian bersama AMAN, Epistema

dan HUMA atas Perpres ini mengemuka-

kan ketentuan-ketentuan mengenai tahap-

an pengukuhan hutan (sebelum dan se-

sudah penunjukan), jenis pemanfataan

berdasarkan fungsi hutan, dan pilihan-

pilihan penyelesaian, sebagai yang ber-

potensi menyandung peraturan ini untuk

melindungi hak-hak rakyat. Kesimpulan

tersebut didasarkan pada potret realitas

lapangan yang terkena dampak dari

pemberlakuan Perpres seperti jumlah ma-

syarakat yang melakukan penguasaan di

hutan konservasi, dan dampak-dampak so-

sial dan kultural dari penyelesaian dengan

metode tertentu. Kajian ini bahkan

menunjukan bahwa bila diimplementasi-

kan Perpres ini bahkan akan menghambat

atau mengugurkan hal-hal baik yang sudah

ada pada peraturan perundang-undangan

sebelumnya seperti Permen Lingkungan

Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) yang

mengatur mengenai hutan hak, peraturan

mengenai peta indikatif areal perhutanan

sosial, serta Permen Agraria dan Tata uang

Tentang Hak Komunal.7

Bayangan bahwa Perpres No. 88

/2017 akan sulit mewujudkan tujuannya

untuk melindungi hak-hak masyarakat

dengan ketentuan-ketentuan seperti itu,

bertambah jelas bila membicarakan pe-

manfaatan kawasan hutan dengan ta-

naman sawit. Pasalnya, saat ini posisi

peraturan perundang-undangan kehutan-

an memperlakukan tanaman sawit sebagai

bukan tanaman kehutanan. Posisi ini yang

menjelaskan mengapa Permen LHK No.

P.83/2016 tentang Perhutanan Sosial

hanya mentolerir tanaman sawit paling

lama 12 tahun terhitung sejak mulai di-

tanam. Posisi demikian berpotensi mem-

buat jajaran birokrasi memahami kebun

sawit rakyat sebagai bidang tanah bukan

objek reforma menurut Perpres No. 88

Page 13: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

12

/2017, sekalipun peraturan ini tidak ekspli-

sit menentukan demikian.

Tidak bisa dipungkiri bahwa bila

posisi Kementerian LHK dan ketentuan

peraturan perundang-undangan mengenai

kebun sawit masih seperti yang Digambar-

kan diatas, kebijakan pemerintah untuk

mendukung pengembangan perkebunan

sawit skala kecil atau kebun sawit rakyat,

akan terkena dampak. Khususnya pada

sawit rakyat yang berada dalam kawasan

hutan. Penyebabnya karena kebijakan ter-

sebut memerlukan status legal/absah dari

kebun-kebun sawit rakyat sementara per-

aturan perundang-undangan masih meng-

kualifikasi sawit dalam kawasan hutan

sebagai tidak legal/absah.

Dua contoh kebijakan yang men-

dorong pengembangan sawit rakyat ada-

lah peremajaan sawit rakyat dengan target

2,7 ha7, dan Indonesian Sustainable Palm

Oil (ISPO). Untuk kebijakan mengenai ISPO,

pengaturannya dapat ditemukan pada Per-

aturan Menteri Pertanian No. 11/

Permentan/OT.140//3/2015 tentang Sis-

tem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan

di Indonesia (Indonesian Sustaibale Palm

Oil Certification System/ISPO). Menurut

7 Lihat pada https://www.ekon.go.id/berita/view/pemerintah-lanjutkan-program.3789.html (diunduh pada tanggal 1 April 2018).

peraturan ini usaha kebun sawit swadaya

berkesempatan memperoleh sertifikasi

ISPO bila pemohon (koperasi, kelompok,

perorangan) melengkapi sejumlah doku-

men diantaranya surat kepemilikan tanah

yang dapat berupa sertifikat, girik/leter C

atau surat kepemilikan tanah syah lain-

nya.8 Bagi pemilik kebun-kebun sawit yang

berada dalam kawasan hutan, ketentuan

seperti ini tentu saja tidak bisa dipenuhi

selama tidak ada aturan hukum yang

mengabsahkan usaha mereka dan karena

itu bisa mendapatkan bukti-bukti kepemili-

kan tanah.

Tulisan ini dibuat dalam rangka

memahami secara baik peraturan per-

undang-undangan yang mengatur RA di bi-

dang kehutanan, dengan penekanan pada

Perpres No. 88/2017. Pengetahuan yang

baik mengenai peraturan per-UU-an ter-

sebut selanjutnya akan dipakai untuk men-

cermati seberapa jauh norma-norma da-

lam peraturan tersebut dapat diimplemen-

tasikan dengan efektif dengan mengingat

kondisi lapangan usaha kebun sawit rak-

yat. Hasil pencermatan akan mengungkap

kendala-kendala yang potensial akan me-

nghambat upaya mengabsahkan kebe-

8 Lampiran I Peraturan Menteri Pertanian No. 11/Permentan/OT.140//3/2015.

Page 14: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

13

radaan kebun sawit rakyat. Sebagai jalan

keluar untuk mengatasi kendala-kendala

tersebut, tulisan ini menawarkan berbagai

strategi untuk mengimplementasikan Per-

pres No. 88/2017 agar berorientasi men-

dukung pengembangan sawit rakyat.

1.2 Fokus kajian

Berdasarkan paparan diatas, laporan

ini berkonsentrasi memaparkan ketiga hal

berikut ini:

1. Keselarasan dan ketidakselarasan an-

tara kebijakan dan ketentuan hukum

yang mengatur mengenai perlindung-

an hutan dan reforma agraria dalam

kawasan hutan

2. Kendala-kendala pelaksanaan Perpres

No. 88/2017 pada kebun sawit rakyat

dilihat dari aspek normatif dan sosio-

logis, dan

3. Rekomendasi pilihan-pilihan strategi

implementasi Perpres No. 88/2017

yang dapat mengakomodir penguasa-

an kawasan hutan untuk sawit rakyat.

1.3 Metode kajian

Kajian ini sebaian besar mengguna-

kan data sekunder yang didapatkan dari

studi kepustakaan. Selain lewat studi ke-

pustakaan dan diskusi data-data juga di-

dapatkan dari diskusi terbatas yang sifat-

nya melengkapi data-data sekunder. Data-

data sekunder dikelompokan menjadi se-

bagai berikut:

a. Data-data yang terkait dengan ke-

bijakan dan peraturan perundang-

undangan mengenai perlindungan hu-

tan (penegakan hukum), dan per-

luasan wilayah kelola rakyat (per-

hutanan sosial, reforma agraria).

b. Data-data yang terkait dengan sistem

penguasaan dan kepemilikan tanah

yang berlokasi dalam kawasan hutan

dan digunakan untuk kebun sawit

rakyat. Data-data kelompok ini di-

dapatkan dari laporan-laporan riset la-

pangan yang disiapkan oleh Institute

for Research and Empowerment (IRE),

dan Java Learning Center (Javlec).

Riset lapangan oleh ketiga lembaga

tersebut dilakukan di Provinsi Aceh,

Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan

Tengah, dan Kalimantan Timur.

Untuk membantu memahami data-

data sekunder yang terkait sistem dan pe-

nguasaan tanah, dilakukan dua kali diskusi

dengan peneliti IRE, Javlec dan Pusat Studi

Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, In-

stitut Pertanian Bogor (PSP3 IPB), masing -

masing tanggal 25 Januari dan 6 Februari

2018.

Page 15: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

14

1.4 Organisasi laporan

Setelah bagian Pendahuluan (Bab I),

paparan dilanjutkan dengan penjelasan

mengenai dua kebijakan yang terkait

dengan kawasan hutan yaitu reforma

agraria (2.1) dan perlindungan hutan (2.2).

Pembahasan mengenai dua kebijakan ini

memeriksa seberapa jauh substansi ke-

duanya seperti yang tertuang dalam be-

berapa dokumen perencanaan pem-

bangunan, selaras atau tidak selaras.

Bagian berikutnya (Bab III) menjelaskan

mengenai regulasi reforma agraria dalam

bidang kehutanan (3.1.), kondisi empirik

penguasaan kawasan hutan dengan pe-

manfaatan untuk kebun sawit rakyat (3.2),

dan kendala-kendala dalam mengimple-

mentasikan Perpres No. 88/2017 (3.3). Pa-

paran Bagian 3.3 membandingkan norma

peraturan perundangan dengan kondisi

empirik untuk mencermati kendala-ke-

ndala potensial dalam mengimplemen-

tasikan Perpres No. 88/2017. Paparan di-

teruskan dengan usulan-usulan strategi

untuk mengimplementasikan Perpres No.

88/2017 agar melindungi keberadaan ke-

bun-kebun sawit rakyat dalam kawasan

hutan dengan cara mengabsahkan ke-

beradaanya. (Bab V). Tulisan ini ditutup

dengan bagian Kesimpulan (Bab V) yang

merangkum paparan empat bagian se-

belumnya.

Page 16: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

15

Page 17: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

16

Bab ini bertujuan untuk menyajikan

informasi tentang aneka rencana kebijakan

pemerintah, baik pada pemerintahan Joko

Widodo maupun pada dua periode yang

dipimpin oleh SB Yudhoyono terkait de-

ngan kebijakan reforma agraria dan per-

lindungan hutan. Isu tentang reforma

agraria di sini akan disajikan khususnya

untuk mencari tahu kebijakan/perencana-

an pemerintah mengenai sumber lahan

yang akan dialokasikan untuk reforma ag-

raria. Adapun isu tentang perlindungan hu-

tan akan dispesifikkan guna mencari tahu

kebijakan/perencanaan pemerintah me-

ngenai pendekatan yang akan diambil un-

tuk melindungi hutan. Tujuan menguraikan

kedua hal ini adalah untuk mengetahui ko-

herensi kedua kebijakan tersebut di level

perencanaan.

Metode yang digunakan untuk

menyajikan informasi pada bab ini adalah

dengan menguraikan berbagai agenda ker-

ja pemerintah yang dapat dilihat misalnya,

namun mungkin tidak terbatas pada, Ren-

cana Pembangunan Jangka Panjang Nasio-

nal (RPJPN), Rencana Pembangunan Jang-

ka Menengah (RPJM), Rencana Strategis

(Renstra) Kementerian, dan dokumen dan

publikasi resmi yang dikeluarkan oleh pe-

9 Riawan Tjandra, 2014, Hukum Sarana Pemerintahan, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, hlm. 21-94.

merintah. Lazimnya, dokumen rencana

tersebut berbentuk lampiran yang telah di-

nyatakan sebagai bagian yang tidak ter-

pisahkan dari peraturan peraturan per-UU-

an.

Secara konseptual, ada lima instru-

men hukum pemerintahan, yaitu: peratur-

an perundang-undangan, Keputusan Tata

Usaha Negara (KTUN), peraturan kebijak-

sanaan, keperdataan, dan terakhir adalah

perencanaan.9 Bab ini akan berfokus me-

ngulas instrumen perencanaan yang di-

khususkan pada isu reforma agraria dan

perlindungan hutan, karena instrumen pe-

rencanaan menguraikan sedari awal me-

ngenai grand design kebijakan hukum pe-

merintah, baik jangka pendek (tahunan),

menengah, maupun panjang. Sekalipun

judul bab ini adalah tentang “kebijakan

pemerintah”, namun tidak mendasarkan

kajian pada instrumen ketiga (“peraturan

kebijaksanaan), karena dalam konsep

hukum administrasi peraturan kebijak-

sanaan adalah konsep mengenai dokumen

yang dikeluarkan oleh atasan kepada ba-

wahan terkait suatu isu untuk penyamaan

persepsi dan sikap, seperti surat edaran,

instruksi pemerintah, dan juklak/juknis.

Secara konseptual, peraturan kebijaksana-

Page 18: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

17

an bukanlah peraturan perundangan se-

kalipun menampakan gejala sebagai per-

aturan Perundang-undangan.10 Pemben-

tuk peraturan kebijaksanaan tidak memiliki

wewenang untuk membentuknya menjadi

peraturan perundang-undangan;11 karena

pembentuknya membuat aturan tersebut

hanya dari kewenangan bertindak bebas

(freiss ermessen).12

Mengingat yang akan diulas dalam

tulisan ini adalah instrumen perencanaan,

maka dipandang relevan untuk men-

jelaskan daya ikat instrumen hukum pe-

rencanaan. Secara konseptual belum ada

literatur yang mendiskusikan hal ini

dengan jelas. Mungkin hal ini disebabkan

oleh minimnya perhatian pakar dalam

menguraikan isu ini.

10 Hal ini pulalah yang menyebabkan Manan dan Magnar mengusulkan agar kita mulai merevisi istilah peraturan kebijakan/kebijaksanaan, dan diganti dengan istilah ketentuan kebijakan. Versteden sebagaimana dikutip oleh Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni, hlm. 168. 11 Hukumonline, 11/01/2015, “Surat edaran: kerikil dalam perundang-undangan”, tersedia pada: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54b1f62361f81/surat-edaran--kerikil-dalam-perundang-undangan, terakhir diakses 21 Januari 2018 12 Bagir Manan, 2004, Hukum Positif di Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), Yogyakarta: FH UII, hlm. 15. 13 Grant, M. 1992. “Planning law and the British land use planning system: an overview, The Town Planning Review, Vol 63, Issue 1, hlm. 3. 14 The land use plan (bestemmingsplan) misalnya dipndang sebagai salah satu instrument hukum mengikat yang paling penting dan digunakan

Lebih dari itu, jika merujuk pada

literatur di negara lain, maka jawabannya

mengenai hal ini berbeda-beda. Di Inggris

misalnya, instrumen hukum perencanaan

tidak mengikat secara hukum.13 Sedangkan

di Belanda, instrumen hukum perencanaan

mengikat secara hukum.14 Namun, perlu

digarisbawahi bahwa Belanda meng-

gunakan “pragmatic approach”; yang ber-

tujuan untuk mencapai tujuan tertentu de-

ngan menerapkan aturan yang ada (dan

oleh karenanya menjamin asas kepastian

hukum), namun tetap membuka pe-

ngecualian dengan cara memberikan fle-

ksibilitas ketika ada inisiasi pembangun-

an.15

Dengan kata lain, literatur dari

negara lain belum bisa menjelaskan secara

optimal mengenai daya ikat hukum me-

sebagai pijakan untuk mengeluarkan izin pendirian bangunan. Buitelaar, E., Galle, M. Sorel, N. 2011. “Plan-led planning systems in development-led practices: an empirical analysis into the (lack of) institutionalisation of planning law”, Environment and Planning A: Economy and Space, Vol 43, Issue 4, hlm. 928. 15 Mungkin itu pulalah sebabnya Needham menyatakan bahwa asas kepastian hukum dalam perencanaan (pada tata ruang wilayah di Belanda) adalah sebuah kebohongan besar. Demikian pula riset Thomas dkk juga menyimpulkan bahwa kebijakan, perencanaan, regulasi dan keputusan di bidang perencanaan kerap tidak selaras (‘were often not in tune’). Lihat pemikiran Needham dan Thomas di Buitelaar, E., Galle, M. Sorel, N., 2011,“Plan-led planning systems in development-led practices: an empirical analysis into the (lack of) institutionalisation of planning law, Environment and Planning A: Economy and Space, Vol 43, Issue 4, hlm. 935

Page 19: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

18

ngenai instrumen hukum perencanaan.

Bagian berikut analisis daya ikat instrumen

perencanaan berdasarkan analisa per-

aturan perundangan di Indonesia. Pada

intinya dapat dikatakan bahwa instrumen

hukum perencanaan di Indonesia mengikat

secara hukum, sekalipun tampaknya juga

memberikan ruang untuk melakukan

fleksibilitas yang memungkinkan penyim-

pangan pada penerapannya.

Pertama, secara normatif, instru-

men hukum perencanaan dibentuk dengan

format peraturan hukum yang mengikat

seperti Undang-undang (misal UU No 17

tahun 2017 tentang Rencana Pembangun-

an Jangka Panjang Nasional), Peraturan Pe-

merintah (seperti PP No 26 tahun 2008

tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Nasional), ataupun Peraturan Presiden

(seperti Perpres No 7 tahun 2005 tentang

Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional).16 Sehingga, bisa dikatakan bah-

wa regulasi tersebut diatas mengikat se-

cara hukum. Argumentasi ini semakin kuat

jika melihat penjelasan umum UU No 25

tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional. Dijelaskan secara

eksplisit di sana bahwa penetapan rencana

16 Aneka contoh diatas berbeda dengan, misalnya Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN). Sekalipun namanya sama-sama diawali dengan kata rencana, namun RAPBN tidak mengikat secara hukum, karena masih berbentuk

menjadi produk hukum membuatnya men-

jadi mengikat semua pihak untuk me-

laksanakannya.

Namun demikian, jika merujuk pada

Pasal 8 UU No 25 tahun 2004 tentang

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasio-

nal, tahapan perencanaan pembangunan

nasional meliputi: penyusunan rencana,

penetapan rencana; pengendalian ren-

cana; dan evaluasi pelaksanaan rencana.

Pasal ini mengindikasikan bahwa pe-

rencanaan ini bersifat “semi terikat”.

Maksudnya, di satu sisi rencana yang

sudah disusun dan ditetapkan dapat di-

pastikan akan dilaksanakan - bahkan ber-

usaha dipastikan agar dilaksanakan dengan

adanya tahapan pengendalian. Namun jika

rencana tersebut tidak tercapai, maka tid-

ak ada informasi mengenai sanksi hukum;

mengingat bahasa yang digunakan ada

adalah evaluasi.

Kedua, secara konseptual, aneka

rencana tersebut mengikat karena me-

rupakan janji yang perlu dipenuhi atau

dipatuhi. Misalnya, Pasal 3 UU No 17 tahun

2007 tentang RPJPN menjelaskan bahwa

“RPJP Nasional merupakan penjabaran

dari tujuan dibentuknya Pemerintahan

Rencana Undang-undang. Ketika sudah disahkan oleh legislatif, maka RAPBN juga sudah tidak lagi disebut rencana, karena penamaannya berubah menjadi APBN.

Page 20: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

19

Negara Indonesia yang tercantum dalam

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia (...)”. Mengingat RPJP

tersebut berisi tentang upaya untuk me-

menuhi janji negara kepada rakyat se-

bagaimana dimuat dalam pembukaan

konstitusi, maka RPJP tersebut memiliki

daya ikat secara hukum. Logika yang sama

juga dapat diterapkan pada RPJMN yang

pada dasarnya adalah berasal dari janji-

janji kampanye presiden dan wakil pre-

siden terpilih kepada rakyat,17 maka janji

tersebut tentu perlu ditunaikan.

Namun secara konseptual, me-

menuhi janji (dalam hal yang sifatnya non

kontraktual) dapat lebih dipandang se-

bagai moral principle daripada legal

principle. Misalnya, mengapa seseorang

berkewajiban untuk memenuhi janji ke-

pada istrinya, legal principles tidak dapat

menjelaskan hal ini lebih lanjut, namun

moral principles dapat; yaitu karena janji

haruslah ditepati.18

Ketiga, sekalipun aneka regulasi yang

disebut diatas bernama ‘rencana’, namun

Pasal-pasal dalam regulasi tersebut meng-

indikasikan bahwa pembentuk regulasi

ingin memastikan agar rencana tersebut

17 Lihat: Pasal 2 ayat (1) Perpres No 7 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009; Pasal 2 ayat (1) Perpres No 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014; Pasal 2 ayat (1) Perpres No 2 tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019

memang akan diimplementasikan. Hal ini

diindikasikan dengan adanya terminologi

monitoring dan evaluasi sebagaimana

telah disinggung pada poin pertama di-

atas.19 Lebih dari itu, khusus untuk PP No

26 tahun 2008 tentang RTRW Nasional,

norma sanksinya berbunyi lebih kuat

daripada di regulasi rencana pembangun-

an; yaitu ada norma tentang “arahan

sanksi” dan “sanksi administratif”.

Namun, harus diakui bahwa regulasi

tentang Sistem Perencanaan Nasional,

RPJPN atau RPJMN tidak memberikan in-

formasi tentang sanksi. Ketiadaan sanksi

ini memang tidak dapat diartikan bahwa

norma tersebut tidak mengikat secara hu-

kum, melainkan ini dapat diartikan sebagai

upaya untuk memudahkan aparatur pe-

merintah dalam melakukan modifikasi

atau melakukan penyesuaian ketika ren-

cana tersebut tidak atau kurang bisa di-

implementasikan di lapangan.

Berdasarkan uraian diatas, maka

secara singkat dapat disimpulkan bahwa,

pada prinsipnya instrumen perencanaan

mengikat secara hukum, namun jika ada

perubahan dan hal itu logis (reasonable-

ness) dan dapat dipertanggungjawabkan;

18 Robinson, M., 2008, “Moral Principles are not Moral Laws, Journal of Ethics Social Philosophy, Vol. 2, No. 3, hlm. 1-3.

Page 21: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

20

maka deviasi terhadap rencana tersebut

dimungkinkan untuk terjadi. Boleh jadi in-

strumen perencanaan di Indonesia me-

miliki ikhtiar yang sama dengan di Belanda;

memiliki pragmatic approach.

Setelah menguraikan daya ikat dari

instrumen perencanaan, paparan berikut

di bawah ini menyangkut dua isu besar,

yaitu kebijakan pemerintah mengenai

reforma agraria (yang akan difokuskan dari

lahan yang bersumber dari kawasan

hutan), dan kebijakan pemerintah me-

ngenai perlindungan hutan. Masing-

masing uraian akan dilakukan dengan

kajian instrumen hukum perencanaan di-

mulai dari regulasi yang paling tinggi hi-

rarkinya hingga yang paling rendah.

2.1. Reforma agraria

RPJP 2005-2025

Isu reforma agraria (land reform)

sudah diakomodir di dalam lampiran UU

No 17 tahun 2007 tentang Rencana Pem-

bangunan Jangka Panjang (RPJP). Khusus-

nya ketika lampiran tersebut membahas

mengenai upaya untuk mewujudkan pem-

bangunan yang lebih merata dan ber-

keadilan. Disebutkan di sana mengenai

komitmen jangka panjang pemerintah

20 Lampiran UU No 17 tahun 2017 tentang RPJPN tahun 2005-2025, hlm 67. 21 Lampiran UU No 17 tahun 2017 tentang RPJPN tahun 2005-2025, hlm 68.

untuk memastikan agar masyarakat go-

longan ekonomi lemah dapat lebih mudah

mendapatkan hak atas tanah.20 Lampiran

RPJP tersebut juga menyinggung mengenai

pentingnya meningkatkan upaya pe-

nyelesaian sengketa pertanahan.21 Di sini

terlihat bahwa RPJP tidak menyingung dari

manakah sumber tanah untuk melakukan

land reform tersebut. Mungkin hal ini di-

sebabkan karena sifat dokumen (lampiran

RPJP) adalah “visioner dan hanya memuat

hal-hal yang mendasar, sehingga memberi

keleluasaan yang cukup bagi penyusunan

rencana jangka menengah dan ta-

hunannya”.22 Selain itu, ada indikasi bahwa

pemerintah menyadari bahwa tuntutan

atas kebutuhan lahan akan terpaksa di-

penuhi oleh hutan. Disebutkan bahwa,

“bertambahnya kebutuhan lahan per-

tanian dan penggunaan lainnya akan me-

ngancam keberadaan hutan dan meng-

ganggu keseimbangan tata air.”23

Bagian berikut akan memaparkan

muatan RPJM Nasional dan Rencana

Strategis (“Renstra”) Departemen/Kemen-

terian yang menaungi urusan kehutanan,

dan Renstra Kementerian/Badan yang me-

ngurusi Pertanahan. Akan ada tiga RPJM

22 Penjelasan umum UU No 17 tahun 2017 tentang RPJPN. 23 Lampiran UU No 17 tahun 2017 tentang RPJPN tahun 2005-2025, hlm 33.

Page 22: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

21

yang akan diteliti yaitu RPJM 2004-2009,

2010-2014; dan 2015-2019. Diskusi me-

ngenai RPJM tersebut juga akan dibarengi

dengan diskusi tentang Renstra. Dokumen

RPJM lazimnya menjadi lampiran dari Per-

pres sedangkan Dokumen Renstra menjadi

lampiran Permen.

RPJM 2004-2009 dan Renstra Departemen

Kehutanan 2005-2009

Informasi yang komprehensif

mengenai RPJM 2004-2009 diatur dalam

lampiran Perpres No 7 tahun 2005. Se-

dangkan informasi mengenai Renstra De-

partemen Kehutanan terdapat pada Lam-

piran Peraturan Menteri Kehutanan No-

mor: P.04/Menhut-II/2005.

Pada dokumen Perpres mengenai

RPJM, terdapat petikan informasi menarik

yang diklasifikasikan dalam bab 16 tentang

penanggulangan kemiskinan. Diuraikan di-

sana gambaran permasalahan mengenai

kegagalan pemenuhan hak dasar khusus-

nya tentang terbatasnya akses layanan pe-

rumahan dan sanitasi, sebagai berikut:24

“Masyarakat miskin yang tinggal di

(…), pinggiran hutan, (…) juga

mengeluhkan kesulitan memperoleh

perumahan dan lingkungan per-

mukiman yang sehat dan layak. (…).

24 Lampiran Perpres No 07 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, pada Bab IV.16-5. 25 Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.04/Menhut-II/2005 tentang Renstra Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009, hlm 11.

Sementara itu, bagi penduduk lokal

yang tinggal di pedalaman hutan,

masalah perumahan dan permukiman

tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi

bagian dari masalah keutuhan eko-

sistem dan budaya setempat.”

Hal di atas mengindikasikan bahwa

Pemerintah pada saat itu sudah menyadari

bahwa ada masyarakat yang tinggal tidak

hanya di pinggiran hutan, namun juga di

dalam hutan, dan kondisi perekonomian

mereka adalah miskin. Kesan serupa juga

terlihat dalam dokumen Renstra De-

partemen Kehutanan. Pemerintah tampak

menyadari bahwa secara de facto ada

masyarakat yang tinggal di pinggiran dan di

dalam hutan.25 Pemerintah mengakui

bahwa kondisi ekonomi mereka masih

tidak baik.26

Demikian juga pada RPJM maupun

Renstra, belum memberikan gambaran

mengenai pandangan pemerintah atas le-

galitas penguasaan kawasan hutan hutan

negara oleh rakyat. Tidak pula terdapat

penjelasan apakah kemudian mereka ada-

lah subjek yang akan mendapatkan refor-

ma agraria di tempat mereka tinggal atau

kah mereka akan dilarang memasuki wi-

layah hutan.

26 Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.04/Menhut-II/2005 tentang Renstra Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009, hlm 11.

Page 23: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

22

RPJMN 2004-2009 pada bagian

mengenai “permasalahan lemahnya ke-

pastian kepemilikan dan penguasaan tan-

ah” dan “memburuknya kondisi lingkungan

hidup dan SDA serta terbatasnya akses

masyarakat terhadap SDA”, menunjukan

bahwa Pemerintah sudah tampak me-

nyinggung tentang situasi petani yang

hanya memiliki tanah kurang dari satu

hektar serta adanya kecenderungan bah-

wa luas lahan yang mereka miliki semakin

mengecil.27 Bahkan, telah pula disebutkan

mengenai keprihatinan atas masyarakat

miskin yang tinggal di pinggiran dan di

dalam hutan produksi dan hutan lindung

yang menggantungkan hidupnya pada hu-

tan namun memiliki keterbatasan akses

terhadap sumber daya alam. Padahal di sisi

lain 30% dari hutan produksi justru dikelola

hanya oleh sekelompok perusahaan yang

sistem pengelolaannya semakin men-

jauhkan akses masyarakat kecil tersebut

terhadap hutan.28 RPJMN menilai bahwa

situasi ini menghambat tercapainya pem-

bangunan berkelanjutan.29 Aneka infor-

masi di atas bermakna bahwa desain ke-

27 Lampiran Perpres No 07 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, pada Bab IV.16-6. 28 Lampiran Perpres No 07 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, pada Bab IV.16-6. 29 Lampiran Perpres No 07 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, pada Bab IV.16-6. 30 Hal ini mengingat konteks pada era itu masyarakat yang legalitasnya diakui untuk tinggal

bijakan pemerintah di kala itu akan men-

ciptakan norma yang akan memper-

bolehkan orang/masyarakat kecil untuk

masuk ke wilayah hutan produksi dan lin-

dung untuk mengakses sumber daya di

hutan agar tercipta pembangunan ber-

kelanjutan.30 Namun demikian, uraian di-

atas belum clear apakah hal ini akan di-

artikan sebagai kebijakan reforma agraria

yang bersumber dari kawasan hutan.

Informasi mengenai arah kebijakan

reforma agraria pada RPJMN 2004-2009

terdapat pada bagian “pemenuhan hak

atas tanah”. Namun informasi yang ada di

sana masih bersifat global, misalnya

dengan mengatakan bahwa upaya untuk

menjamin dan melindungi hak perorangan

dan komunal atas tanah dilakukan dengan

“mengembangkan mekanisme perlindung-

an terhadap hak atas tanah bagi kelompok

rentan” dan “mengembangkan mekanisme

redistribusi tanah secara selektif”.31 Dalam

uraian selanjutnya, arah kebijakan ter-

sebut diturunkan dalam bentuk program

“redistribusi secara selektif terhadap tanah

absentia dan perkebunan sesuai dengan

di sekitar atau dalam kawasan hutan hanyalah masyarakat adat dan hak ulayat saja. Lihat: Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.04/Menhut-II/2005 tentang Renstra Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009, hlm 11. 31 Lampiran Perpres No 07 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, pada Bab IV.16-6.

Page 24: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

23

Undang-Undang Pokok Agraria.”32 Poin ini

menarik karena menunjukkan bahwa pro-

gram pengentasan kemiskinan yang di-

lakukan pada era kepemerintahan per-

tama SBY memang dilakukan dengan cara

redistribusi lahan, namun lahan tersebut

tidak bersumber pada hutan; melainkan

pada tanah absentia dan perkebunan.

Kesimpulan di atas juga koheren

apabila mencermati program tentang “pe-

manfaatan potensi sumber daya hutan”,

poin yang dijelaskan adalah pengem-

bangan hutan kemasyarakatan dan- usaha

perhutanan rakyat.33 Namun tidak men-

jelaskan mengenai redistribusi lahan dari

kawasan hutan.

RPJM 2010-2014, Renstra Kementerian

Kehutanan dan Renstra BPN 2010-2014

Kebijakan reforma agraria disebutk-

an beberapa kali dalam RPJM 2010-2014.

Namun isu tersebut tidak tampak di-

singgung di Renstra Kementerian Kehut-

anan. Hal ini boleh jadi karena reforma

agraria bukan isu prioritas di Kementerian

Kehutanan,34 melainkan di Badan Per-

32 Lampiran Perpres No 07 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, pada Bab IV.16-20 dan 16-21 33 Lampiran Perpres No 07 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, pada Bab IV.16-21 34 Isu yang dipandang prioritas dalam Renstra adalah: a. Pemantapan Kawasan Hutan; b. Rehabilitasi Hutan dan Peningkatan Daya Dukung Daerah Aliran Sungai (DAS); c. Pengamanan Hutan dan Pengendalian Kebakaran Hutan; d. Konservasi Keanekaragaman Hayati; e. Revitalisasi

tanahan Nasional (BPN). Maka, uraian

dibawah ini akan menyinggung tentang

Renstra BPN. Penting untuk disampaikan

bahwa Renstra BPN tidak disinggung pada

ulasan sebelumnya karena memang do-

kumen Renstra BPN yang tersedia publik

adalah yang setelah tahun 2010.

Pada RPJM, isu reforma agraria

diuraikan pada isu rencana pembangunan

bidang wilayah dan tata ruang. Disebutkan

bahwa arah kebijakan untuk mencapai sa-

saran pembangunan pertanahan adalah

“melaksanakan pengelolaan pertanahan

secara utuh dan terintegrasi melalui

reforma agraria”. Sehingga, tanah bisa di-

manfaatkan secara berkeadilan untuk me-

ningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Terhadap hal tersebut, arah kebijakan yang

akan ditempuh oleh pemerintah salah

satunya dengan penyediaan peta tanah,

pengaturan penguasaan pemilikan peng-

gunaan dan pemanfaatan tanah (P4T),

termasuk pengurangan tanah terlantar.35

Dengan kata lain, ini mengindikasikan

Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehutanan; f. Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan; dan g. Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan; h. Penguatan Kelembagaan Kehutanan. Lihat: Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.08/Menhut-II/2010 tentang Renstra Kemenhut Tahun 2010-2014, hlm. 35. 35 Lampiran Perpres No 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014, bagian II.9-85.

Page 25: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

24

bahwa fokus objek reforma agraria adalah

bersumber dari tanah terlantar.

Pada penelusuran selanjutnya,

kegiatan diatas memiliki luaran yang di-

harapkan berupa peningkatan jumlah

tanah negara yang ditegaskan menjadi

“tanah objek landreform (TOL) dan atau di-

keluarkan dari TOL”.36 Ditegaskan pula di-

sana bahwa kegiatan ini ditargetkan selesai

100% pada tahun 2014. Namun, tidak

tersedia informasi dari manakah sumber

lahan untuk TOL ini, apakah berasal dari ka-

wasan hutan atau bukan. Dapat pula di-

sampaikan bahwa tampaknya agenda pe-

merintah untuk reforma agraria pada

tahun 2010-2014 lebih ditekankan ke

daerah Jawa terlebih dahulu, dan belum

pada pulau yang lain.37

Informasi di atas juga koheren

dengan informasi yang disampaikan oleh

Renstra BPN 2010-2014.38 Namun Renstra

36 Lampiran Perpres No 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014, bagian II.M-18. 37 Hal ini terlihat dari dokumen strategis pembangunan kewilayahan Jawa dan Bali. Ditegaskan disana bahwa wilayah sasaran pelaksanaan Reforma Agraria adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Banten (sekalipun jika membaca program detailnya baru lebih kepada pendataan, dan bukan benar benar distribusi lahan). Lihat: Lampiran Perpres No 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014, bagian III.M.3-1. 38 Renstra ini justru tidak tersedia di website BPN; Renstra ini didapatkan dari website http://tataruangpertanahan.com/pdf/pustaka/kebijakan_strategi/5.pdf, terakhir diakses 13 Maret 2018.

ini juga tidak dapat menjelaskan apakah

kebijakan pemerintah untuk lahan land re-

form akan bersumber dari kawasan hutan

ataukah dari lahan yang lain. Informasi

yang tersedia justru BPN telah melakukan

capaian kinerja untuk periode 2005-2009,

salah satunya adalah membentuk Ran-

cangan Peraturan Perundang undangan

yang isinya menetapan tanah-tanah yang

akan dialokasikan untuk Reforma Agraria

yang salah satu sumbernya adalah tanah

bekas kawasan hutan.39

RPJM 2015-2019, Renstra

Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan 2015-2019 dan Renstra

Kementerian ATR/BPN 2015-2019, dan

dokumen arahan dari KSP

Kebijakan reforma agraria pada

tahun 2015-2019 tampak lebih tegas jika

dibandingkan dengan masa-masa sebe-

lumnya. Dokumen yang akan diulas pada

39 Sumber untuk objek reforma agraria yang lain adalah “tanah-tanah yang haknya tidak diperpanjang atau tidak mungkin diperpanjang; tanah-tanah bekas hak Barat yang terkena ketentuan konversi; tanah-tanah yang berasal dari pelepasan hak; tanah-tanah hak yang pemegangnya melanggar ketentuan dan atau yang tidak sejalan dengan keputusan pemberian haknya; tanah obyek land reform; tanah bekas obyek land reform; tanah timbul; tanah bekas kawasan pertambangan; tanah yang dihibahkan oleh pemerintah untuk Reforma Agraria; tanah tukar menukar dari dan oleh pemerintah; tanah yang diadakan oleh pemerintah untuk Reforma Agraria; dan tanah bekas kawasan hutan.” Lihat: Renstra BPN 2010-2014, hlm 22.

Page 26: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

25

pariode ini sama dengan yang diulas

dengan periode sebelumnya. Hanya saja

pada periode ini ada dokumen arahan dari

Kantor Staf Presiden (KSP) mengenai Stra-

tegi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria

2016-2019. Secara konseptual Hukum Ad-

ministrasi, dokumen ini masuk ke kategori

peraturan kebijaksanaan.

Dokumen yang pertama diulas

adalah RPJM. Salah satu agenda pem-

bangunan nasional pada RPJM adalah me-

ningkatkan kualitas hidup manusia dan

masyarakat Indonesia. Agenda ini memiliki

sub agenda berupa “peningkatan keseja-

hteraan rakyat marjinal: pelaksanaan pro-

gram Indonesia kerja”. Salah satu sasaran

yang hendak dicapai oleh sub agenda ter-

sebut adalah distribusi hak atas tanah ke-

pada petani. Hal itu dilakukan dengan cara

penyediaan sumber Tanah Objek Reforma

Agraria (TORA) dan melakukan redistribusi

40 Lampiran Perpres No 2 tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019, Buku I (Agenda Pembangunan Nasional), hlm 6-80. Tampaknya ikhtiar untuk redistribusi lahan ini merujuk pada hasil sensus pertanian 2013, situasi saat ini adalah terdapat 26.14 juta rumah tangga petani yang mana rata rata mereka menguasai 0,89 hektar lahan; bahkan 14,25 juta rumah tangga hanya menguasai lahan kurang dari 0.5 hektar per keluarga. Melalui program reforma agraria ini, Pemerintah berencana untuk meningkatkan akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan pertanian menjadi 2.0 hektar per KK tani Lihat: Lampiran Perpres No 2 tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019, Buku II (Agenda Pembangunan Bidang), hlm 8-11 dan 8-12. Terhadap kebijakan ini, Pemerintah

tanah dan legalisasi aset.40

Terdapat empat poin sasaran yang

diuraikan dalam sub agenda tersebut,

yaitu:41 (i) Identifikasi dan inventarisasi Pe-

nguasaan, Pemilikan, penggunaan, dan Pe-

manfaatan Tanah (IP4T) sebanyak 18 juta

bidang atau sedikitnya 9 juta ha; (ii) Iden-

tifikasi kawasan hutan yang akan di-

lepaskan sedikitnya sebanyak 4,1 juta ha;

(iii) Identifikasi tanah hak, termasuk di da-

lamnya tanah HGU yang akan habis masa

berlakunya, tanah terlantar, dan tanah

transmigrasi yang belum bersertifikat,

yang berpotensi sebagai TORA sedikitnya

sebanyak 1 juta ha; dan (iv) Identifikasi

tanah milik masyarakat dengan kriteria pe-

nerima Reforma Agraria untuk legalisasi

aset sedikitnya sebanyak 3,9 juta ha.

RPJM juga menjelaskan bahwa su-

mber lahan untuk kegiatan redistribusi ta-

nah ini berasal dari tanah terlantar dan

tampaknya menyadari bahwa redistribusi tanah tidak dapat dilakukan sendirian. Oleh karenanya, disebutkan pula bahwa kebijakan tersebut perlu disempurnakan dan dilengkapi dengan pemberdayaan masyarakat (access reform) melalui upaya mengkoordinasikan dan menghubungkan (channeling) masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi produktif sehingga dapat lebih berkontribusi secara nasional dalam mengentaskan kemiskinan dan mewujudkan keadilan sosial. Buku II (Agenda Pembangunan Bidang), hlm 8-57. 41 Lampiran Perpres No 2 tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019, Buku I (Agenda Pembangunan Nasional), hlm 6-81.

Page 27: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

26

kawasan hutan.42 Namun RPJM tidak men-

jelaskan lebih detail, kawasan hutan mana

yang akan menjadi objek TORA. Informasi

ini ditemukan di Renstra KLHK, Ke-

menterian ATR/BPN, juga dokumen dari

KSP; namun sayangnya informasi yang ter-

sedia di tiga dokumen tersebut tidak se-

penuhnya selaras.

Merujuk pada dokumen Renstra

KLHK 2015-2019, kawasan hutan yang

akan menjadi sumber lahan untuk kegiatan

redistribusi lahan adalah hutan produksi

saja. Dengan kata lain sumber lahan tidak

akan menyasar ke hutan lindung apalagi

hutan konservasi.43 Hal yang berbeda ter-

dapat dalam Renstra Menteri ATR/Kepala

BPN yang menyebutkan bahwa sumber

lahan untuk program reforma agraria ada-

lah hutan produksi tetap, hutan produksi

terbatas dan hutan lindung.44 Perbedaan

yang mencolok bahkan ditemukan pada

strategi nasional yang disusun oleh KPS

yang mengatakan bahwa pelepasan ka-

wasan hutan tidak didasarkan pada kla-

sifikasi jenis hutan, melainkan pada apakah

hutan tersebut secara faktual telah beralih

42 Lampiran Perpres No 2 tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019, Buku II (Agenda Pembangunan Bidang), hlm 8-11. 43 Salah satu tahapan pembangunan di tahun 2015 adalah: “persiapan dan pelaksanaan reformasi agraria dari kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi berupa legalisasi aset seluas 0,6 juta ha

fungsi ataukah belum. Jika telah beralih

fungsi (seperti menjadi wilayah admin-

istrasi desa, pemukiman penduduk, lahan

pertanian pangan atau perkebunan rakyat,

wilayah masyarakat hukum adat, areal ga-

rapan lain masyarakat), maka tanah ter-

sebut akan menjadi objek TORA yang akan

“diredistribusikan kepada rakyat miskin se-

cara bersama atau melalui mekanisme pe-

nguatan hak atas penguasaan dan peng-

usahaannya oleh desa.”45

2.2. Perlindungan hutan

RPJP 2005-2025

RPJP menyinggung isu tentang per-

lindungan hutan, khususnya pada bagian

yang menguraikan tentang sumber daya al-

am dan lingkungan hidup. Ditegaskan di sa-

na mengenai keprihatinan pemerintah atas

kondisi sumber daya hutan yang amat

mengkhawatirkan karena misalnya pe-

ningkatan praktik pembalakan liar (illegal

logging) dan penyelundupan kayu, me-

luasnya kebakaran hutan dan lahan, me-

luasnya perambahan dan konversi hutan

alam. Namun tidak menguraikan lebih

lanjut strategi apa yang akan digunakan

dan redistribusi tanah seluas 3,5 juta ha”. Lihat: Lampiran Permen LHK No P.39/Menlhk-Setjen/2015 ttg Renstra KLHK 2015-2019, hlm 26. 44 Lampiran Permen ATR/KaBPN No 25 tahun 2015 Renstra Kementerian ATR/BPN 2015-2019, hlm 15. 45 Kantor Staf Presiden (KSP), Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria 2016-2019, hlm 27.

Page 28: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

27

oleh pemerintah untuk mengatasi per-

masalahan tersebut.46

Sama dengan pada sub bab se-

belumnya, ada tiga RPJM yang akan di-

cermati terkait dengan perlindungan hutan

yaitu periode 2004-2009, 2010-2014; dan

2015-2019. Pembahasan mengenai RPJM

akan dilakukan secara bersamaan dengan

pembahasan Renstra Departemen/Kem-

enterian yang mengurusi urusan ke-

hutanan.

RPJM 2004-2009 dan Renstra Departemen

Kehutanan 2005-2009

Informasi yang komprehensif me-

ngenai RPJM 2004-2009 diatur dalam lam-

piran Perpres No 7 tahun 2005. Pada do-

kumen tersebut, terlihat bahwa per tahun

2005, pemerintah secara tegas mengakui

bahwa kebijakan yang diambil selama ini

lebih berorientasi kepada ekonomi ke-

timbang ekologi. Pengakuan ini terlihat ke-

tika pemerintah menjelaskan permasalah-

an dan agenda pembangunan nasional ta-

hun 2004-2009, sebagai berikut:47

“kegiatan pemanfaatan sumber daya

alam sehingga sering melahirkan kon-

flik kepentingan antara ekonomi de-

ngan lingkungan. Kebijakan ekonomi

46 Lampiran UU No 17 tahun 2007 tentang RPJPN tahun 2005-2025, hlm. 20-21. 47 Lampiran Perpres No 7 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, bagian I.1-5. 48 Lampiran Perpres No 7 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, bagian II.4-2.

selama ini cenderung lebih berpihak

terhadap kegiatan eksploitasi sum-

ber daya alam sehingga mengakibat-

kan lemahnya kelembagaan pe-

ngelolaan dan penegakan hukum”.

Jika ditelusuri lebih lanjut, per-

nyataan pemerintah terkait dengan pe-

negakan hukum di bidang lingkungan da-

pat dilihat di RPJM pada bab peningkatan

keamanan ketertiban, dan penanggulang-

an kriminalitas. Disana terdapat sub isu

yang menggarisbawahi tentang masalah

lemahnya pengawasan dan penegakan hu-

kum pengelolaan sumber daya kehutanan.

Pemerintah mengakui bahwa kelemahan

tersebut telah mengakibatkan over cut-

ting, illegal logging, dan illegal trading.48

Terhadap permasalahan tersebut,

pemerintah menetapkan sasaran kerja

berupa terungkapnya jaringan utama pen-

curian sumber daya kehutanan, serta

membaiknya praktek penegakan hukum

dalam pengelolaan sumber daya ke-

hutanan.49 Maka, arah kebijakan pe-

merintah adalah mencegah dan menindak

pelaku praktek usaha kehutanan yang

menyalahi peraturan dan perundangan

49 Lampiran Perpres No 7 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, bagian II.4-3. Lihat pula Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.04/Menhut-II/2005 tentang Renstra Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009, hlm 15.

Page 29: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

28

yang berlaku.50 Penindakan pelanggaran

hukum di sektor kehutanan, memang di-

masukkan ke dalam salah satu kegiatan po-

kok program pemantapan keamanan da-

lam negeri.51 Dengan kata lain, salah satu

kebijakan pemerintah untuk membangun

hutan pada tahun 2004 – 2009 adalah de-

ngan melindungi hutan dengan cara mem-

perbaiki tata kelola hutan dan penegakan

hukum,52 termasuk dengan cara penge-

ndalian alih fungsi dan status kawasan

hutan.53

RPJM 2010-2014 dan Renstra Kementerian

Kehutanan 2010-2014

Kebijakan perlindungan hutan pada

era RPJM ini diuraikan pada isu prioritas

mengenai lingkungan hidup dan pe-

ngelolaan bencana. Dijelaskan bahwa pe-

merintah berikhtiar untuk meningkatkan

hasil rehabilitasi hutan menjadi 500 ribu

hektar per tahun,54 penekanan laju de-

50 Lampiran Perpres No 7 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, bagian II.4-3. 51 Lampiran Perpres No 7 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, bagian II.4-7. 52 Lampiran Perpres No 7 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, bagian IV.32-9. 53 Lampiran Perpres No 7 tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, bagian IV.32-11. 54 Lampiran Perpres No 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2015, bagian I.M-108. 55 Lampiran Perpres No 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2015, bagian I.M-111. 56 Lampiran Perpres No 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2015, bagian I.M-117

forestasi,55 termasuk penurunan jumlah

hotspot kebakaran hutan sebesar 20% per

tahun.56 Hal tersebut dicapai dengan ke-

giatan rehabilitasi dan juga dengan ke-

giatan lain seperti pengembangan ke-

hutanan sosial ataupun peningkatan kon-

servasi dan pengendalian hutan.57

Terhadap situasi tersebut, terdapat

kesan bahwa arah kebijakan yang akan di-

ambil oleh pemerintahan pada era ter-

sebut adalah dengan menutup akses ter-

hadap hutan. Hal ini diindikasikan dari per-

nyataan di RPJM pada bagian “peningkatan

konservasi dan rehabilitasi sumber daya

hutan”. Pemerintah melihat bahwa ma-

salah kehutanan perlu didekati dengan

membentuk kesatuan pengelolaan hutan

(KPH) agar status hutan tidak lagi bersifat

open access.58 Lalu, disebutkan pula bahwa

sasarannya adalah penyelesaian tata batas

hutan, penyediaaan areal pengelolaan

57 Lampiran Perpres No 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2015, bagian I.M-108-109. Lihat pula Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.08/Menhut-II/2010 tentang Renstra Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014, hlm. 46. Dokumen Renstra ini mengesankan bahwa pendekatan yang diambil pemerintah di kala itu adalah bukan dengan mengeluarkan kawasan hutan untuk digunakan sebagai objek reforma agraria, namun dengan perhutanan sosial (Sekalipun konteks yang diulas di halaman ini lebih kepada peningkatan daya dukung daerah aliran sungai. 58 Lampiran Perpres No 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2015, bagian II.10-36.

Page 30: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

29

hutan kemasyarakatan luas seluas 2 juta

Ha, dan penurunan hotspot.59

Dapat pula disampaikan bahwa ada

kebijakan untuk menggunakan pendekat-

an hukum pidana untuk melindungi hutan

yang juga terlihat kuat dalam RPJM pe-

riode tersebut. Di dalam RPJM tersebut

dikemukakan sasaran penanganan tindak

pidana hutan serta penyelesaian kasus pe-

rambahan.60 Penanganan tindak pidana di

sektor kehutanan difokuskan pada pen-

cegahan dan pengendalian pada kebakar-

an hutan dan pada ancaman illegal log-

ging, perambahan, perdagangan tumbuh-

an dan satwa liar ilegal.61 Pada Renstra,

informasi mengenai hal ini sedikit didetail-

kan, bahwa indikator keberhasilan untuk

program di atas adalah adanya kasus baru

yang dapat diselesaikan minimal 75%.62

RPJM 2015-2019 dan Renstra Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2015-

2019

Kebijakan perlindungan hutan pada

periode RPJM ini menjadi bagian dari

uraian isu agenda pembangunan nasional

yang keempat, yaitu memperkuat kehadir-

59 Lampiran Perpres No 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2015, bagian II.10-43. 60 Lampiran Perpres No 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2015, bagian II.10-43. 61 Lampiran Perpres No 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2015, bagian II.10-55. Kebijakan penggunaaan hukum pidana, semakin terlihat pada matriks tabel. Disebutkan bahwa indicator keberhasilan pemerintah adalah memproses kasus

an negara dalam melakukan reformasi sis-

tem dan penegakan hukum yang bebas ko-

rupsi, bermartabat dan terpercaya. Salah

satu sub agenda yang dilingkupi oleh age-

nda tersebut adalah pemberantasan tin-

dakan penebangan liar, perikanan liar, dan

penambangan liar. Adapun sasaran dari

sub-agenda ini adalah menurunnya fre-

kuensi dan luasan penebangan liar.

Untuk mencapai sasaran tersebut,

ada tiga langkah yang kebijakan yang akan

diambil pemerintah. Pertama, meningkat-

kan instrumen penegakan hukum, me-

lalui:63 (i) penyusunan satu peta tematik

hutan dengan tingkat akurasi yang me-

madai di tingkat tapak dan untuk dasar pe-

nindakan hukum; (ii) percepatan penye-

lesaian tata batas dan pengukuhan ka-

wasan hutan, antara lain melaksanaan per-

aturan bersama Kemenhut, Kemendagri,

PU dan BPN tentang Penyelesaian Pengua-

saan Tanah di dalam Hutan; (iii) peningkat-

an kuantitas dan kualitas SDM pengawas

dan penegak hukum (rekrutmen, mutasi,

peningkatan kapasitas, promosi).

baru; menyelesaikan kasus tersebut; dan menekan tunggakan perkara (vide: II.M-96). 62 Lihat: Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.08/Menhut-II/2010 tentang Renstra Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014, hlm. 42. 63 Lampiran Perpres No 2 tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019, buku I (Agenda Pembangunan Nasional), hlm 6-57.

Page 31: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

30

Dijelaskan pula bahwa pemerintah

akan mengambil kebijakan untuk mening-

katkan efektivitas penegakan hukum me-

lalui:64 (i) penyederhanaan prosedur pe-

negakan hukum kasus penebangan liar; (ii)

meningkatkan proses yustisi, mencabut

izin pihak yang melakukan perusakan hu-

tan illegal, dan meningkatkan efek jera pe-

laku illegal; (iii) peningkatan koordinasi da-

lam pengawasan dan penegakan hukum

dalam kawasan hutan; (iv) pembentukan

Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan

Perusakan Hutan (P3H) sesuai UU No.

18/2013. Ihwal ini sama dengan ulasan

yang terdapat dalam Renstra Kementerian

LHK 2015-2019.65 Bedanya, Renstra de-

ngan tegas menargetkan 200 kasus per

tahun sebagai target jumlah perkara

pidana yang diverifikasi oleh KLHK.66

Langkah ketiga yang akan diambil pe-

merintah untuk melindungi hutan adalah

dengan meningkatkan efektivitas dan kua-

litas pengelolaan hutan:67 (i) penyelesaian

pembangunan KPH untuk seluruh kawasan

hutan; dan (ii) peningkatan keterlibatan

masyarakat dalam pengamanan hutan me-

64 Lampiran Perpres No 2 tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019, buku I (Agenda Pembangunan Nasional), hlm 6-57. 65 Lampiran Permen LHK No P.39/Menlhk-Setjen/2015 ttg Renstra KLHK 2015-2019, hlm 9. 66 Lampiran Permen LHK No P.39/Menlhk-Setjen/2015 ttg Renstra KLHK 2015-2019, hlm 51.

lalui kemitraan, termasuk pengembangan

hutan adat.

Jika aneka informasi di atas di-

sampaikan pada buku I RPJM (buku ten-

tang agenda nasional), maka informasi be-

rikut disampaikan pada buku II tentang

agenda pembangunan bidang. Pada bagian

pertama mengenai pengarusutamaan dan

pembangunan lintas bidang salah satu isu

yang diangkat adalah pengarusutamaan

pembangunan yang berkelanjutan. Di situ

diuraikan bahwa dua dari berbagai upaya

untuk mewujudkan pembangunan berke-

lanjutan adalah dengan penurunan tingkat

deforestasi dan kebakaran hutan dan me-

ningkatnya tutupan hutan (forest cover).68

Dipandang relevan pula untuk me-

nguraikan bahwa pemerintah telah me-

nangkap permasalahan lain yang di-

akibatkan oleh menipisnya hutan. Ketika

pemerintah menguraikan permasalahan

dan isu strategis mengenai bidang sarana

dan prasarana, salah satu dari enam isu

yang diuraikan oleh pemerintah adalah

mengenai menjamin ketahanan air untuk

mendukung ketahanan nasional.

67 Lampiran Perpres No 2 tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019, buku I (Agenda Pembangunan Nasional), hlm 6-57. 68 Lampiran Perpres No 2 tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019, buku II (Agenda Pembangunan Bidang), hlm I-3.

Page 32: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

31

Ditegaskan di sana bahwa Indonesia meng-

hadapi masalah penurunan fungsi catch-

ment area akibat pembukaan hutan untuk

perkebunan dan pertambangan sepanjang

2000-2012. Hal ini banyak terjadi di Pulau

Jawa dan Sumatera dan telah berimplikasi

negatif pada hilangnya hutan secara na-

sional sebesar 8,4 persen.69 Memang tidak

diuraikan lebih lanjut mengenai langkah

apa yang akan diambil untuk memastikan

agar masalah itu bisa diselesaikan, namun

penjelasan tersebut mengindikasikan ber-

tambah kuatnya alasan untuk melakukan

kebijakan perlindungan hutan.

2.3. Kesimpulan

Berdasarkan rangkaian uraian di atas

dapat disimpulkan bahwa kebijakan refo-

rma agraria sudah dapat dilihat sejak era

pemerintahan sebelum Jokowi-JK. Namun,

terdapat perbedaan mengenai sumber la-

han yang akan menjadi TORA. Pada pe-

riode 2005-2009, sumber lahan untuk re-

distribusi lahan bersumber hanya dari

tanah absentia dan perkebunan. Sedang-

kan pada periode 2010-2014, sumber ta-

nah objek land reform mengalami per-

luasan dengan memasukkan tanah bekas

kawasan hutan. Pada periode 2015-2019

69 Lampiran Perpres No 2 tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019, buku II (Agenda Pembangunan Bidang), hlm 9-14.

lokasi objek tampak jelas dengan pe-

nyebutan 4,1 juta hektar lahan yang akan

dikeluarkan dari kawasan hutan se-bagai

TORA. Sayangnya, Renstra KLHK, Renstra

Kementerian ATR/BPN, dan Stra-tegi

Nasional KPS menyebut lokasi yang

berbeda-beda dalam kawasan hutan se-

bagai TORA.

Terkait dengan kebijakan penegakan

hukum untuk melindungi kawasan hutan,

maka dapat terlihat bahwa kebijakan ter-

sebut juga telah disebutkan sejak periode

pemerintahan pertama dan kedua pre-

siden SBY. Selain penegakan hukum, ke-

bijakan melindungi hutan juga dilakukan

dengan pengendalian terhadap alih fungsi

lahan dan status kawasan hutan (periode

2005-2009), dan dengan membentuk KPH

(periode 2010-2014). Terdapat indikasi

bahwa pemerintah semakin memperhati-

kan kebijakan penegakan hukum untuk

melindungi kawasan hutan. Hal ini terlihat

dari target kerja yang dicanangkan. Jika

pada periode pertama informasi pe-

merintahan SBY hal ini tidak ditegaskan

secara eksplisit, maka pada periode kedua

ditargetkan ada 75% kasus baru yang akan

diselesaikan. Sedangkan pada pemerintah-

Page 33: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

32

an Jokowi ditargetkan ada 200 kasus pi-

dana di sektor kehutanan yang akan disele-

saikan.

Hasil membandingkan kebijakan RA

dan perlindungan hutan sebagaimana

dimuat dalam berbagai dokumen pe-

rencanaan, memperlihatkan bahwa secara

umum belum ditemukan indikasi yang kuat

kebijakan reforma agraria akan ber-

sitegang dengan kebijakan penegakan hu-

kum untuk melindungi kawasan hutan.

Sekalipun memang ditemukan juga ada po-

tensi tegangan pada dua kebijakan ter-

sebut. Misalnya, pemerintahan Jokowi

juga menyatakan ikhtiarnya untuk mem-

perluas forest coverage yang dapat

diartikan sebagai upaya untuk mere-

habilitasi kawasan hutan yang telah di-

gunakan tidak sesuai dengan peruntukan-

nya. Hal ini dapat dipandang kontradiktif

jika disandingkan dengan ikhtiar untuk me-

ngeluarkan lahan hutan yang sudah dipakai

untuk aktivitas manusia dari kawasan hu-

tan. Namun analisa atas hal ini belum da-

pat diuraikan dengan jelas karena doku-

men yang ada tidak mendetailkan langkah

langkah apa saja yang akan dilakukan guna

memperluas forest coverage tersebut.

Page 34: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

33

Page 35: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

34

Sebagai upaya untuk mewujudkan

target-target kebijakan mengenai RA di

bidang kehutanan untuk periode 2015-

2019, seperti yang sudah dipaparkan pada

bagian sebelumnya (Bagian 2.1, dan 2.2),

pemerintah telah mengeluarkan sejumlah

peraturan perundangan. Sejauh ini ada dua

peraturan perundang-undangan yang di-

buat dalam rangka melaksanakan RA di bi-

dang kehutanan yaitu Peraturan Presiden

No. 88/2017 tentang Penyelesaian Pengu-

asaan Tanah dalam Kawasan Hutan (Per-

pres 88) dan Keputusan Menteri Koor-

dinator Bidang Perekonomian No. 73/2017

tentang Tim Reforma Agraria. Selain itu,

terdapat Peraturan Menteri Lingkungan

Hidup dan Kehutanan No. P.83/MenLHK/

Setjen/Kum.1/10/ Tahun 2016 tentang

Perhutanan Sosial. Sekalipun tidak terkait

langsung dengan RA, peraturan ini ber-

tujuan sama dengan RA yaitu memperluas

wilayah kelola rakyat untuk kawasan hu-

tan.

Perpres 88 akan diimplementasikan

pada lapangan sosial yaitu penguasaan ka-

wasan hutan untuk kebun sawit rakyat

yang tidak sepenuhnya seperti yang di-

kehendaki oleh konstruksi hukum. Se-

bagian dari kenyataan-kenyataan lapangan

70 Dari hasil Focus Group Discussion (FGD)

terkait Perber ini di beberapa provinsi yang dilakukan oleh Tim Gerakan Nasional Pengelolaan

tersebut seperti lokasi penguasaan ka-

wasan hutan berlangsung dan lama waktu

penguasaan, tidak selaras dengan kriteria-

kriteria Perpres 88 sehingga berpotensi

memunculkan kendala-kendala dalam im-

plementasinya.

3.1. Regulasi Reforma Agraria di

bidang kehutanan

3.1.1. Perpres No. 88/2017

Perpres yang ditandatangani oleh

Presiden pada tanggal 6 September 2017

ini merupakan peningkatan dari regulasi

sebelumnya yang merupakan Peraturan

Bersama (Perber) Menteri Dalam Negeri,

Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan

Umum, dan Kepala Badan Pertanahan

Nasional (Ka BPN) tentang Tata Cara Pe-

nyelesaian Penguasaan Tanah yang berada

di dalam Kawasan Hutan yang ditanda-

tangani pada tanggal 24 Oktober 2014.

Dalam perjalanannya, implementasi Per-

ber untuk menyelesaikan permasalahan

yang seolah tidak berujung itu mengalami

berbagai hambatan.

Bagi instansi yang enggan me-

laksanakan Perber, bentuk regulasi yang

hanya setingkat peraturan bersama dijadi-

kan alasan untuk bersikap demikian.70

Akan tetapi, dalam suatu studi kasus

Sumber Daya Alam (GN-PSDA) dan KPK-RI sepanjang tahun 2014-2015.

Page 36: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

35

beberapa hal ternyata menjadi hambatan

dalam implementasi di lapangan.71 Hal ini

penting untuk diperhatikan juga dalam pe-

nerapan Perpres, karena berbagai ham-

batan itu masih mungkin terjadi dan perlu

pemikiran untuk mencari jalan keluarnya.

Dalam upaya untuk menjadikan

Perber lebih “bertaji”, kementerian terkait

dibantu Tim Gerakan Nasipnal-Pengelola-

an Sumber Daya Alam (GN-PSDA) me-

nyiapkan Rancangan Perpres yang kemudi-

an dikembangkan dan dikoodinasikan oleh

Kantor Menteri Kordinator Bidang Pereko-

nomian (Menko Perekonomian) menjadi

Perpres 88.

Secara garis besar, ada beberapa

perbedaan antara Rancangan Perpres yang

disiapkan oleh Tim GN-PSDA dengan Per-

pres 88. Pertama, Rancangan Perpres tidak

membuat kategori penyelesaian peng-

uasaan tanah sebelum atau sesudah pe-

nunjukan dan kategori berdasarkan luasan

kawasan hutan. Artinya, semua per-

masalahan penguasaan tanah yang ada di

dalam kawasan hutan akan diselesaikan

dengan melihat fungsi hutan dan kondisi

71 Tesis Tami Linasari, dari Program

Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (2018) yang meneliti tentang implementasi Perber di Desa Lancang Kuning, Kecamatan Bintan Utara, Kabupaten Bintan, menemukan beberapa hal yang menjadi kendala dalam implementasi Perber, yakni : 1) pemblokiran anggaran; 2) kurangnya partisipasi dari Pemerintah Daerah 3) Anggota Tim IP4T yang ke lapangan

lapangan. Kedua, Rancangan Perpres yang

mengkategorikan cara penyelesaian de-

ngan melihat fungsi dan kondisi hutan

adalah sebagai berikut:

(1) Terhadap penguasaan tanah yang ma-

sih berupa hutan yang berada di dalam

kawasan hutan konservasi berupa zo-

na inti dari zona rimba Taman Na-

sional, cagar alam, dan suaka marga-

satwa, tidak dapat diberikan sertipikat

hak atas tanah. Bagi masyarakat yang

menguasai tanah tersebut diberikan

kompensasi oleh Menteri LHK. Jika pe-

nguasaan tanahnya berupa permu-

kiman, fasilitas umum, dan atau fa-

silitas sosial, persawahan, dan domi-

nasi ruangnya tidak berfungsi hutan,

dikeluarkan dari kawasan hutan de-

ngan ketentuan bahwa Gubernur

wajib mengusulkan kawasan hutan se-

kitarnya menjadi hutan konservasi ya-

ng luasnya minimal sama dengan ka-

wasan hutan yang dikeluarkan;

(2) Penguasaan tanah di dalam kawasan

hutan lindung dan hutan produksi da-

pat diterbitkan sertifikat dengan peng-

hanya dari instansi BPN; 4) acuan peta yang berbeda; 5) kebanyakan pemilik lahan berdomisili di luar kawasan; 6) tidak dipasangnya tanda (patok) batas bidang tanah; 7) data fisik yang tidak sesuai dengan data yuridis; dan 8) keengganan Kepala BPKH Wilayah XII Tanjung Pinang menandatangani Berita Acara IP4T, keengganan ini disebabkan karena landasan hukum penyelesaian penguasaan tanah hanya dalam bentuk Perber.

Page 37: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

36

gunaan sesuai dengan fungsinya. Jika

penguasaan tanahnya digunakan un-

tuk permukiman, fasilitas umum, fa-

silitas sosial, persawahan dan do-

minasi ruangnya tidak berfungsi hu-

tan, dikeluarkan dari kawasan hutan;

(3) Ditegaskan bahwa penguasaan tanah

berupa hutan hak dan hutan adat ha-

rus dikelola sesuai fungsi hutannya.

Ketiga, Rancangan Perpres mengatur

juga tentang Masyarakat Hukum Adat yang

tata cara pengakuannya diatur dalam Per-

da Provinsi dengan mengikuti Panduan ya-

ng diatur dalam Lampiran Rancangan Per-

pres. Bentuk pengakuannya dalam bentuk

Keputusan Kepala Daerah. Penetapan

hutan adat dilakukan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. Keem-

pat, dalam Rancangan Perpres tidak diatur

tentang “resettlement”. Kelima, jangka wa-

ktu berlangsungnya Perpres ini dibatasi 10

(sepuluh) tahun dengan pertimbangan ba-

hwa “extra ordinary cases” dalam pe-

nguasaan tanah dalam kawasan hutan ini

harus diselesaikan secara tuntas dalam

waktu 10 (sepuluh) tahun, agar tidak

ditoleransi lagi timbulnya permasalahan

penguasaan tanah baru di dalam kawasan

hutan.

Perpres 88 mengatur hal-hal sebagai

berikut, pertama subyek Penyelesaian Pe-

nguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan

adalah perorangan, instansi, badan

sosial/keagamaan, Masyarakat Hukum

Adat (MHA) yang menguasai dan me-

manfaatkan bidang tanah dalam kawasan

hutan (Pasal 1 angka 2). Tanah yang di-

kuasai dan dimanfaatkan itu baik sebelum

maupun sesudah bidang tanah tersebut di-

tunjuk sebagai kawasan hutan (Pasal 4 ayat

(2) sedangkan penguasaan tanahnya harus

memenuhi 3 (tiga) kriteria yaitu bahwa pe-

nguasaan tanahnya dilakukan dengan

itikad baik dan secara terbuka, bidang ta-

nah tersebut tidak diganggu gugat oleh pi-

hak lain, dan penguasaannya diakui dan di-

benarkan oleh masyarakat hukum adat

atau kepala desa/kelurahan yang ber-

sangkutan serta diperkuat oleh kesaksian

orang yang dapat dipercaya (Pasal 4 ayat

(1).

Kedua, obyek penguasaan tanah

adalah permukiman, fasilitas umum, dan/

atau fasilitas sosial, lahan garapan, dan/

atau hutan yang dikelola oleh MHA. Lahan

garapan diartikan sebagai bidang tanah di

dalam kawasan hutan yang dikerjakan dan

dimanfaatkan oleh seseorang atau se-

kelompok orang yang dapat berupa sawah,

ladang, kebun campuran, dan/atau

tambak (Pasal 5 ayat (1) dan (4)). Berkaitan

dengan hak MHA, dalam Perpres hanya di-

sebutkan tentang hutan adat, yang di-

tetapkan sesuai dengan ketentuan per-

Page 38: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

37

aturan perundang-undangan (Pasal 5 ayat

(5)) dan bahwa keberadaan MHA di-

tetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda)

dan MHA memiliki bukti penguasaan tanah

(Pasal 6 ayat (5)).

Ketiga, pola penyelesaian penguasa-

an tanah dirinci sebagai berikut:

(1) Jika tanah telah dikuasai dan

dimanfaatkan dan/atau telah d-

iberikan hak di atasnya sebelum bi-

dang tanah tersebut ditunjuk sebagai

kawasan hutan, penyelesaian dilakuk-

an dengan mengeluarkan bidang ta-

nah dari kawasan hutan melalui per-

ubahan batas kawasan hutan. Artinya

tidak tergantung pada fungsi hutan-

nya, sepanjang penguasaan tanahnya

sebelum ditunjuk sebagai kawasan hu-

tan, maka obyek dikeluarkan dari ka-

wasan hutan.

(2) Jika penguasaan tanah berlangsung

setelah bidang tanah yang ber-

sangkutan ditunjuk sebagai kawasan

hutan, maka jika luas kawasan hutan

yang harus dipertahankan minimal

30% (tiga puluh persen) dari luas Da-

erah Aliran Sungai (DAS), pulau dan/-

atau provinsi ataupun lebih dari 30 %

(tiga puluh persen) jika fungsi hutan

adalah konservasi, maka semua jenis

pemanfaatan penyelesaiannya adalah

dengan resettlement;

(3) Jika penguasaan tanah berlangsung

setelah bidang tanah ditunjuk sebagai

kawasan hutan dengan fungsi lindung

dan luas kawasan hutan yang harus di-

pertahankan minimal 30% (tiga puluh

persen) dari luas DAS, pulau dan/atau

Provinsi, terhadap permukiman dan

fasilitas umum dan fasilitas sosial di-

selesaikan dengan resettlement, se-

dangkan untuk lahan garapan di-

berlakukan perhutanan sosial. Jika se-

telah ditunjuk, hutan tersebut tidak

memenuhi kriteria sebagai hutan

lindung, maka terhadap pemukiman

fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial

dilakukan melalui tukar menukar ka-

wasan hutan sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan (Pas-

al 10). Tidak diatur tentang bagaimana

dengan penyelesaian lahan garapan.

(4) Jika penguasaan tanah setelah bidang

tanah ditunjuk sebagai kawasan hutan

dengan fungsi lindung dan luas ka-

wasan hutan yang harus dipertahan-

kan lebih dari 30 % (tiga puluh persen)

dari luas DAS, pulau dan/atau provinsi,

maka jika fungsi hutannya adalah hu-

tan lindung, maka untuk permukiman,

fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial

diselesaikan melalui resettlement. Da-

lam hal bidang tanah tersebut diguna-

kan untuk lahan garapan dan telah di-

Page 39: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

38

kuasai lebih dari 20 (dua puluh) tahun

dikeluarkan dari kawasan hutan, na-

mun jika penguasaannya kurang dari

20 (dua puluh) tahun maka diselesai-

kan melalui perhutanan sosial. Jika ka-

wasan hutan yang ditunjuk tidak me-

menuhi kriteria sebagai kawasan hu-

tan lindung, maka penguasaan tanah

untuk pemukiman, fasilitas umum,

dan/atau fasilitas sosial dikeluarkan

dari kawasan hutan. Dalam kondisi

yang sama, terhadap lahan garapan ti-

dak diatur jalan keluarnya (Pasal 11).

(5) Jika penguasaan tanah setelah bidang

tanah diitunjuk sebagai kawasan hu-

tan dengan fungsi lindung dan luas ka-

wasan hutan yang harus dipertahan-

kan minimal 30 % (tiga puluh persen)

dari luas DAS pulau dan atau provinsi

maka bidang tanah yang berupa pe-

mukiman fasilitas umum dan atau fa-

silitas sosial dikeluarkan melalui re-

settlement, sedangkan terhadap ta-

nah garapan diselesaikan melalui pe-

rhutanan sosial (Pasal 12).

(6) Jika penguasaan tanah setelah bidang

tanah ditunjuk sebagai kawasan hutan

dan luas kawasan hutan lebih dari 30%

(tiga puluh persen) dari DAS, pulau

dan/atau provinsi dan merupakan

hutan produksi maka untuk per-

mukiman, fasilitas umum dan/atau fa-

silitas sosial dikeluarkan dari kawasan

hutan. Untuk tanah garapan jika telah

dikuasai selama 20 tahun atau lebih di-

keluarkan dari kawasan hutan, se-

dangkan jika penguasaan kurang dari

20 tahun akan diselesaikan melalui

perhutanan sosial (Pasal 13).

Keempat, kelembagaan. Untuk

mengimplementasikan Perpres, di tingkat

pusat dibentuk Tim Percepatan Pe-

nyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Ka-

wasan Hutan (tim percepatan PPTKH) yang

diketuai oleh Menko Perekonomian. Tim

ini mempunyai enam macam tugas dan da-

lam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh

Tim Pelaksana PPTKH. Tim Pelaksana dapat

melibatkan, bekerjasama dan/atau ber-

koordinasi dengan Kementerian/ Lem-

baga, Pemerintah Daerah, akademisi dan

atau pemangku kepentingan. Tim Pe-

laksana mempunyai 4 (empat) tugas. Da-

lam pelaksanaan fungsinya, Tim Pelaksana

dapat dibantu oleh kelompok kerja. Tim

Percepatan menyampaikan laporan secara

berkala setiap enam bulan atau sewaktu-

waktu diperlukan (Pasal 14-Pasal 17).

Di tingkat daerah, Gubernur mem-

bentuk Tim Inventarisasi dan Verifikasi Pe-

nguasaan Tanah PPTKH (“Tim Inver”).

Gubernur melaporkan pelaksanaan fungsi-

nya kepada Tim Percepatan PPTKH secara

berkala setiap 3 (tiga) bulan atau sewaktu-

Page 40: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

39

waktu diperlukan. Tugas Tim Inver adalah

sebagai berikut:

a. menerima pendaftaran permohonan

inventarisasi secara kolektif yang di-

ajukan melalui bupati atau walikota;

b. melaksanakan pendataan lapangan;

c. melakukan analisis data fisik dan data

yuridis dan lingkungan hidup;

d. merumuskan rekomendasi berdasar-

kan hasil analisis dan menyampaikan

kepada gubernur.

Pedoman pelaksanaan tugas Tim

Inver diatur dengan Peraturan Menko Per-

ekonomian.

Ada 5 (lima) tahapan dalam pe-

nyelesaian PPTKH yang akan berujung

pada 3 (tiga) hal, yaitu: pelepasan dari ka-

wasan hutan, perhutanan sosial, tukar me-

nukar dan resettlement. Pekerjaan Tim

Inver harus selesai dalam waktu mak-

simum 6 (enam) bulan sejak berkas per-

mohonan lengkap. Gubernur menyampai-

kan rekomendasi Tim Inver kepada ketua

Tim Percepatan PPTKH. Berdasarkan re-

komendasi itu, Menko menyampaikan per-

timbangan penyelesaian PPTKH untuk di-

tindaklanjuti oleh Menteri LHK yang akan

mengeluarkan keputusan penyelesaian

PPTKH.

Jika keputusan berupa tukar me-

nukar atau resettlement atau program per-

hutanan sosial, Menteri LHK menyelesai-

kan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Tukar-menukar dan

resettlement merupakan tanggungjawab

pemerintah daerah.

Jika penyelesaiannya berupa pe-

ngeluaran dari kawasan hutan, Menteri

menerbitkan surat keputusan perubahan

batas kawasan hutan. Keputusan pe-

nyelesaian PPTKH diumumkan kepada pe-

mohon untuk dapat mengajukan ke-

beratan dengan jangka waktu tertentu.

Jika keberatan diterima, gubernur me-

lakukan verifikasi ulang. Keputusan per-

ubahan batas kawasan hutan merupakan

dasar penerbitan sertipikat hak atas tanah.

Bagi penerima sertipikat ada syarat-syarat

yang harus dipenuhi, yakni:

1. Dilarang menelantarkan tanah dan

mengalihkannya dalam jangka waktu

10 (sepuluh) tahun dan mengalih

fungsikan tanahnya;

2. Jika dalam waktu kurang dari 10

(sepuluh) tahun tidak dapat lagi me-

manfaatkan tanahnya, tanah menjadi

tanah yang dikuasai oleh negara;

3. Jika penerima hak atas tanah me-

ninggal dunia, tanah dapat beralih me-

njadi Hak Milik ahli warisnya;

4. Tanah yang diwariskan tidak dapat

dipecah.

Page 41: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

40

Perubahan kawasan hutan dilakukan

sebelum penyusunan rencana tata ruang

dan diintegrasikan ke dalamnya. Berdas-

arkan perubahan batas kawasan hutan

pemberian sertipikat dan izin pemanfaatan

ruang dapat dilakukan.

3.1.2. Peraturan Menteri Lingkungan

Hidup dan Kehutanan No. 83/2016

Perhutanan sosial (PS) meliputi: (1)

Hutan Desa; (2) Hutan Kemasyarakatan: (3)

Hutan Tanaman Rakyat: (4) Kemitraan Ke-

hutanan: dan (5) Hutan Adat. Sedangkan

ijin yang diberikan berupa Hak Pengelolaan

Hutan Desa (HPHD), Ijin Usaha Pe-

manfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHK-

m), Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan

Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat (IUP

HHK-HTR). Semua perijinan tersebut di-

berikan berdasarkan Peta Indikatif Area

Perhutanan Sosial (PIAPS) yang direvisi

setiap 6 bulan sekali.

a. Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD)

Lokasi HPHD meliputi hutan

produksi dan/atau lindung yang belum

dibebani ijin, hutan lindung yang

dikelola oleh Perum Perhutani,

dan/atau wilayah tertentu dalam KPH

(Pasal 6). HPHD diberikan oleh Menteri

dan dapat di-delegasikan kepada

gubernur dengan syarat tertentu dan

ditetapkan dengan keputusan menteri

(Pasal 7). Pemohon HPHD adalah satu

atau beberapa lembaga desa yang

dapat membentuk koperasi desa atau

BUMDes setempat. Lokasi HPHD harus

dalam wilayah ad-ministrasi desa.

Permohonan harus di-lengkapi dengan

(1) Peraturan Desa tentang pem-

bentukan lembaga desa atau lembaga

adat. (2) Keputusan Kepala Desa ten-

tang struktur organisasi lembaga desa,

koperasi desa atau BUMDes ; (3)

Gambaran umum wilayah; dan (4) Peta

usulan lokasi.

Permohonan diverifikasi (admin-

istratif) oleh Dirjen dan verifikasi teknis

dilakukan oleh kepala UPT yang me-

laporkan hasilnya kepada Dirjen. Se-

lanjutnya jika semua syarat sudah di-

penuhi, Dirjen menerbitkan keputusan

pemberian HPHD atas nama Menteri

(Pasal 9-Pasal 12).

Jika permohonan HPHD diajukan

kepada Gubernur, tata caranya adalah

sebagai berikut: Gubernur menunjuk

Kepada Dinas untuk melakukan very-

fikasi admin-istratif maupun teknis. Ter-

hadap verifikasi administratif dan teknis

yang telah memenuhi syarat, oleh ke-

pala dinas disiapkan ke-putusan gu-

bernur tentang pemberian HPHD. Jika

dalam tenggang waktu yang di-tetapkan

gubernur tidak menerbitkan HPHD atau

tidak memberikan keterangan, Dirjen

Page 42: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

41

meminta hasil verifikasi kepada Kepala

Dinas. Berdasarkan hasil verifikasi ter-

sebut, Dirjen atas nama Menteri mem-

berikan keputusan pemberian HPHD

(Pasal 13-Pasal 15).

b. Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemas-

yarakatan (IUPHKm)

Lokasi/obyek IUPHKm sama de-

ngan lokasi HPHD. IUPHKm diberikan

oleh Menteri dan dapat didelegasikan

kepada Gubernur dengan syarat ter-

tentu. Subyek IUPHKm adalah: (1) ketua

kelompok masyarakat; (2) ketua Ga-

bungan kelompok tani hutan; atau (3)

ketua koperasi. Permohonan dilampiri

daftar nama masyarakat setempat ca-

lon anggota kelompok IUPHKm, gam-

baran umum wilayah dan peta usulan

lokasi. Permohonan diajukan kepada

Menteri atau Gubernur. Jika per-

mohonan diajukan kepada Menteri,

Dirjen melakukan verifikasi admini-

stratif dan kepala UPT melakukan very-

fikasi teknis. Jika hasil verifikasi me-

menuhi persyaratan, Dirjen atas nama

Menteri menerbitkan keputusan pem-

berian IUPHKm (Pasal 16-Pasal 23).

IUPHKm dapat diberikan oleh Gu-

bernur. Verifikasi administratif dilaku-

kan oleh Kepala Dinas. Jika verifikasi te-

lah memenuhi syarat, kepala dinas me-

nyiapkan keputusan Gubernur. Jika Gu-

bernur tidak menerbitkan keputusan

dan tidak memberikan keterangan ten-

tang hal tersebut dalam tenggang wa-

ktu tertentu, Dirjen meminta hasil

verifikasi kepada Kepala Dinas. Jika hasil

verifikasi tidak bermasalah, Dirjen atas

nama Menteri menerbitkan keputusan

Gubernur tentang Pemberian IUPHKm

(Pasal 24-26).

c. Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan

Kayu-Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-

HTR)

Berbeda dengan ijin terdahulu,

IUPHHK-HTR hanya dapat diberikan

pada hutan produksi yang belum di-

bebani ijin dan wilayah tertentu dalam

KPH. Ijin ini diberikan oleh Menteri dan

dapat didelegasikan kepada Gubernur

dengan syarat tertentu.

Subyek IUPHHK-HTR adalah sebagai

berikut:

a) Perorangan yang merupakan pe-

tani hutan;

b) Kelompok tani hutan;

c) Gabungan kelompok tani hutan;

d) Koperasi tani hutan; atau

e) Perseorangan yang memperoleh

pendidikan kehutanan/bidang lain-

nya yang pernah menjadi pen-

damping atau penyuluh yang per-

nah bekerja di bidang kehutanan

dengan membentuk kelompok atau

Page 43: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

42

koperasi bersama masyarakat

setempat.

Permohonan dilampiri dengan

daftar nama masyarakat setempat

calon anggota, gambaran umum wi-

layah, dan peta usulan lokasi. Dirjen me-

lakukan verifikasi administratif dan ke-

pala UPT melakukan verifikasi teknis.

Berdasarkan hasil verifikasi teknis,

Dirjen menerbitkan keputusan pem-

berian IUP HHK-HTR atas nama Menteri

(Pasal 27-Pasal 34). Terhadap per-

mohonan kepada Gubernur, mutatis

mutandis tata caranya sama dengan

pemberian dua ijin terdahulu (Pasal 35-

Pasal 37).

Berbeda dengan kedua ijin ter-

dahulu, ada persyaratan khusus untuk

pelaksanaan kegiatan HTR, yakni bahwa

kegiatan dilakukan secara mandiri yang

terintegrasi dengan industri kayu rak-

yat. Jika pelaksanaan secara mandiri be-

lum dapat dilaksanakan, maka dapat di-

lakukan kemitraan dengan industri di

bidang perkayuan (Pasal 38).

d. Kemitraan Kehutanan

Pelaku kemitraan kehutanan yakni

pengelola hutan dan pemegang ijin,

wajib melaksanakan pemberdayaan

masyarakat setempat melalui ke-

mitraan kehutanan. Yang dimaksudkan

sebagai pengelola hutan meliputi 6

(enam) subyek, antara lain: KPH, Balai

Besar/Balai Taman Nasional, BUMN/

BUMD pengelola hutan negara, sedang-

kan pemegang ijin meliputi 15 (lima

belas) subyek (Pasal 40). Untuk luasan

areal kemitraan kehutanan di areal

kerja pengelola hutan maksimum 2

(dua) hektar setiap kepala keluarga dan

di areal pemegang ijin maksimum 5

(lima) hektar setiap kepala keluarga

(Pasal 41). Subyek calon mitra harus

memenuhi syarat, antara lain terkait de-

ngan jarak tempat tinggal dan lahan

garapan serta ketergantungan pada

mata pencaharian pokok (Pasal 42). Pe-

nentuan areal dilakukan berdasarkan

pertimbangan tertentu (Pasal 43).

Pengelola atau pemegang ijin me-

ngajukan permohonan untuk melaku-

kan kemitraan kepada Menteri setelah

dilakukan pemeriksaan lapangan. Ber-

dasarkan hasil pemeriksaan lapangan,

dibuat naskah kesepakatan kerjasama

yang selanjutnya dilaporkan kepada Dir-

jen (Pasal 44 –Pasal 49).

Permen No. 83 Tahun 2016 ini

hanya mengatur secara sangat sumir

tentang hutan adat (Pasal 50).

HPHD, IUPHKm dan IUP HHK-HTR

berlaku selama 35 (tiga puluh lima)

tahun dengan evaluasi setiap 5 (lima)

tahun. Karena berbentuk ijin, maka ti-

Page 44: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

43

dak dapat diwariskan. Pelanggaran ter-

hadap persyaratan dapat berakibat di-

kenakan sanksi administratif. Ijin ter-

sebut dilarang untuk dipindahtangan-

kan, dialihfungsikan dan digunakan un-

tuk kepentingan lain di luar rencana pe-

ngelolaan atau di luar rencana pe-

manfaatan. Ketiga ijin tersebut tidak da-

pat diagunkan, kecuali tanamannya; de-

ngan kata lain, terhadap tanamannya

dapat dibebani dengan fidusia (Ps 56).

Yang perlu dicermati adalah, ba-

hwa semua pemegang HPHD, IUPHKm,

IUPHHK-HTR, Kemitraan Kehutanan dan

Hutan Adat dilarang menanam kelapa

sawit di areal hak atau izinnya (Pasal 56

ayat (5)). Perihal ini lebih lanjut di-

tentukan bahwa jika sudah terdapat ta-

naman sawit dalam areal atau yang

akan diusulkan sebagai areal, diper-

bolehkan untuk diteruskan digarap se-

lama 12 tahun yang dihitung dari sejak

masa tanam dimulai. Selama 12 tahun

tersebut pemegang izin PS diwajibkan

untuk menanam pohon berkayu di an-

tara tanaman sawit paling sedikit 100

pohon per hektar (Pasal 65 huruf h).

PermenLHK P.83 tidak me-

nyediakan penjelasan mengenai alasan

penyebutan atau pelarangan tanaman

sawit dalam areal PS. Karena dalam

kenyataannya tanaman non kehutanan

lainnya seperti kopi, padi, jagung, buah-

buahan, dan kakao juga ditanam dalam

kawasan hutan namun tidak disebut-

sebut, maka ketentuan di atas bisa

ditafsir bahwa tanaman non kehutanan

lainnya diperbolehkan. Jika maksud ke-

tentuan tersebut memang demikian se-

harusnya tersedia penjelasan mengapa

ta-naman sawit dikecualikan dengan

cara melarangnya untuk ditanam dalam

areal PS.

Pemegang ijin mempunyai hak dan

kewajiban (Pasal 58 - Pasal 59), de-

mikian juga, ijin hapus jika, (1) jangka

waktu berakhir; (2) dicabut oleh pem-

beri hak sebagai sanksi; dan (3) hak atau

ijin dikembalikan oleh pemegangnya (Ps

57). Perlu dicermati juga, bahwa jika

dalam areal PS atau dalam usulan PS

telah ada tanaman sawit sejak per-

aturan ini berlaku, diperbolehkan se-

lama 12 (dua belas) tahun sejak masa

tanam dan di antara tanaman sawit di-

tanam pohon berkayu paling sedikit 100

(seratus) pohon per hektar.

3.2. Penguasaan kawasan hutan untuk

kebun sawit rakyat

Penguasaan kawasan hutan oleh

penduduk setempat untuk ditanami sawit

mulai marak sejak akhir tahun 2000-an.

Berdasarkan waktu, aktivitas tersebut di-

lakukan sejak penduduk berhenti melaku-

Page 45: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

44

kan penebangan liar karena pemerintah

melakukan penindakan hukum yang tegas

terhadap para pelaku. Dengan begitu, ber-

kebun sawit merupakan langkah mencari

sumber penghasilan utama untuk meng-

gantikan penghasilan dari pembalakan. Be-

rcocok sawit menjadi pilihan utama setelah

penduduk setempat menyaksikan ke-

berhasilan para pendatang dengan ta-

naman ini. Membuka kawasan hutan men-

jadi pilihan tidak terelakan karena sebagian

dari mereka telah menjual lahan kebun

dan ladangnya kepada perusahaan dan

pendatang.72

Alasan lain membuka kawasan hutan

untuk ditanami sawit adalah karena luas

lahan yang dikuasai dan digarap dan ter-

letak diluar kawasan hutan, tidak memadai

lagi untuk menopang hidup satu keluarga.

Perluasan hanya mungkin dilakukan ke-

dalam kawasan hutan karena hanya disana

yang masih tersedia lahan yang tidak di-

garap. Kondisi fisik kawasan hutan yang

tidak berhutan lagi dan ketidaktahuan

72 Deskripsi mengenai pembukaan kawasan hutan untuk kebun sawit oleh penduduk karena alasan tidak tersedia lagi lahan kosong diluar kawasan hutan, salah satunya dapat dilihat dalam Rikardo Simarmata, Isnadi Esman, Romesh Irawan, Nurul Firmansyah, Mumu Muhajir, dan Erwin Dwi Kristianto, 2017, “Memadamkan Api: Penegakan hukum kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau dan perubahan-perubahan pada pola penguasaan dan penggunaan lahan”, laporan tidak dipublikasikan, HUMA&World Resources Institute.

mengenai status kawasan, menjadi alasan-

alasan penambah bagi penduduk setempat

untuk membuka kawasan hutan.

Bagian-bagian selanjutnya berisi

paparan mengenai asal-usul penguasaan

kawasan hutan dan bukti-bukti hak yang

dipunyai oleh para pengarap dan pemilik

kebun sawit rakyat. Paparan mengenai hal

itu dilakukan dengan mengambil contoh

dari 3 lokasi yaitu (i) Desa Alur Baning,

Kecamatan Babul Rahmah, Kabupaten

Aceh Tenggara, Aceh, (ii) Desa PIR ADB,

Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat,

Sumatera Utara, dan (iii) Desa Tepian

Buah, Kecamatan Segah, Kabupaten Berau,

Kalimantan Timur.

Asal-usul penguasaan

Alur Baning adalah satu di antara

sekian desa yang penduduknya menguasai

kawasan hutan karena alasan memenuhi

kebutuhan hidup dan didukung dengan

adanya kesempatan. Pembalakan liar di

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)73

yang berlangsung marak sebelum tahun

73 Taman Nasional Gunung Leuser ditunjuk melalui

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 276/Kpts-II/1997 tentang Penunjukan TN. Gunung Leuser seluas 1.094.692 hektare yang terletak di Provinsi daerah Istimewa Aceh dan Sumatera Utara. Taman nasional ini berlokasi di 6 kabupaten di Provinsi Aceh, dan 3 kabupaten di Provinsi Sumatera Utara. Aceh Tenggara dan Langkat termasuk diantara kesembilan kabupaten tersebut.

Page 46: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

45

200574, menyisakan areal-areal gundul

(deforested). Setelah ditinggalkan oleh

para pembalak liar, pemerintah hampir

tidak melakukan aktivitas apapun di atas-

nya termasuk melakukan patroli apalagi

kegiatan penanaman kembali.

Penduduk Desa Alur Baning melihat

situasi seperti itu sebagai kesempatan

untuk melakukan penguasaan dan peng-

garapan. Pada saat itu mereka juga me-

merlukan perluasan lahan garapan karena

rata-rata penduduk hanya memiliki lahan

seluas 2 ha per KK. Selama dua tahun

(2005-2007), penduduk menguasai dan

menggarap kawasan hutan di areal-areal

bekas aktivitas penebangan liar. Mereka

menyadari bahwa yang dilakukan me-

rupakan tindakan terlarang, namun ke-

butuhan untuk mendapatkan sumber pen-

caharian tambahan dengan cara mem-

perluas luas, membuat mereka melupakan

larangan tersebut dan mengambil resiko.

Penduduk Desa Tepian Buah me-

nguasai kawasan hutan dengan alasan

yang lain sekalipun tindakan tersebut

74 Pada tahun 2005, Pemerintah Pusat

memberantas pembalakan liar yang diawali dengan pembuatan regulasi yaitu Instruksi Presiden No. 4/2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.

menyebabkan lahan kebun yang digarap

men-jadi lebih luas, seperti yang terjadi di

Desa Alur Baning. Orang-orang Kenyah di

Tepian Buah menguasai dan menggarap

areal izin PT. Inhutani Unit I Unit

Manajemen Hutan (UML) Labanan75

dengan didorong oleh ke-inginan untuk

meniru kesuksesan para petani eks tenaga

kerja Indonesia (TKI). Sejak tahun 2011,

para eks TKI Malaysia berdiam di Tepian

Buah dan menggarap lahan yang dibeli dari

orang-orang Kenyah untuk ditanami sawit.

Sekalipun penduduk mengatakan

bahwa penguasaan areal izin Inhutani I di-

lakukan karena tidak mengetahui status

kawasan, namun tindakan itu tidak bisa

dilepaskan dari persepsi mereka sebagai

orang yang sudah mendiami desa tersebut

sejak awal tahun 70-an. Kedatangan orang-

orang Kenyah bermula dari migrasi tujuh

keluarga dari Apo Kayan (sekarang ka-

bupaten Malinau) ke kawasan hutan ber-

nama Long Tuyoh. Pada tahun 1973,

Departemen Sosial melakukan resetelmen

75 Inhutan Unit I UML Labanan memiliki areal Izin

Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan (IUPHHK) seluas 138.210 ha. Pemberian IUPHHK tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 484/MENHUT-II/2006 tertanggal 19 Oktober 2006. Izin tersebut berlaku sampai Desember 2038. SK tersebut merupakan perpanjangan yang kedua kali sejak diberikan pertama kali pada tahun 1976.

Page 47: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

46

penduduk (respen) dengan memindahkan

orang-orang Kenyah ke Tepian Buah.76

Penguasaan lahan oleh orang-orang

Kenyah terus bertambah seiring dengan

kehadiran perusahaan kayu pada dekade

80-an dan 90an dan batubara pada dekade

90-an. Semasa perusahaan kayu marak,

orang-orang Kenyah membuka lahan se-

luas 1 sampai 2 ha pada kiri-kanan jalan

logging. Pada dekade 90-an penguasaan la-

han didorong oleh motif untuk men-

dapatkan ganti rugi dari perusahaan batu-

bara dan fee77 pemegang izin pemanfaatan

kayu (IPK). Setelah tahun 2011 penguasaan

lahan-lahan baru dengan membuka ka-

wasan hutan marak bersamaan dengan

penjualan tanah-tanah oleh penduduk se-

tempat kepada pendatang terutama eks

TKI Malaysia. Motif lain yang melatarinya

adalah keinginan untuk menanam sendiri

kebun-kebun sawit yang disebut sebagai

sawit mandiri.

Sementara itu, penguasaan kawasan

TNGL oleh penduduk Desa PIR ADB bisa di-

katakan bukan merupakan kesengajaan.

Penguasaan atas lahan seluas 70 ha oleh

beberapa keluarga bukan merupakan ke-

76 Penjelasan mengenai resetelmen orang-orang Kenyah dapat dibaca pada K. Kartawinata, H. Soedjito, T. Jessup, A.P. Vayda, dan C.J.P. Colfer, 1984,”The impacts of development on the interactions between people and forest in East Kalimantan: a comparison of two areas of Kenyah Dayak settlement, Environmentalists, Vol. 4,

hendak sendiri tapi disebabkan oleh

‘kesalahan’ dalam menetapkan areal

proyek transmigrasi lokal. Proyek tersebut

dimulai pada tahun 1982 dengan du-

kungan dana oleh Bank Pembangunan

Asia. Pemerintah menyiapkan lahan seluas

1.500 ha untuk 500 peserta transmigrasi

dengan masing-masing menerima 2,5 ha.

Pada tahun 1982, Departemen Kehutanan

melakukan pemetaan ulang atas areal pro-

yek transmigrasi dan menemukan bahwa

seluas 70 ha areal transmigrasi berada da-

lam kawasan TNGL. Data tersebut tidak se-

penuhnya diamini oleh lembaga pe-

merintah yang lain yang dibuktikan dengan

data Biro Pusat Statistik dan wilayah

administrasi desa yang dikeluarkan oleh

Pemerintah Kabupaten, yang memasukan

areal 70 ha sebagai bagian dari proyek atau

wilayah administratif Desa PIR ADB.

Luas lahan

Luas kawasan TNGL yang dikuasai

dan dimanfaatkan untuk kebun sawit

rakyat saat ini mencapai 6.750 ha. Seluas

112,4 ha di antaranya dimiliki oleh 51 KK di

Desa Alur Banung. Di desa PIR ADB luasnya

tidak signifikan yaitu 70 ha. Luas lahan

Supplement 7, hlm. 87-95, dan Yekti Maunati, 2004, Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LKIS. 77 Fee kayu adalah pengutan informal kepada pemilik lahan hutan dengan atau tanpa perantara kepala adat atau kepala desa. Fee kayu dihitung berdasarkan per meter kubik kayu yang diedarkan.

Page 48: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

47

sawit rakyat rata-rata 2-5 ha per KK dengan

pengecualian di Tepian Buah yang men-

capai 5-30 ha.

Pemanfaatan lahan

Pemanfaatan lahan dalam kawasan

hutan didominasi tanaman perkebunan. Di

Desa Tepian Buah tanaman sawit di-

usahakan oleh 80% dari 256 KK yang

berdomisili di desa tersebut. Di PIR ADB

kawasan hutan seluas 70 ha sebagian besar

ditanami sawit. Situasinya agak berbeda

dengan Desa Alur Baning. Dari 51 keluarga

yang menguasai kawasan hutan, hanya 12

yang menanaminya dengan sawit, sedang-

kan 39 yang lain menanam jagung, kemiri

dan cokelat. Selain sawit, kawasan hutan

juga ditanami dengan karet, jagung, ke-

miri, cokelat, padi dan sayur-sayuran.

Pemanfaatan yang berbeda didapati

di Tepian Buah. Sejak tahun 2016 lewat

Perhutanan Sosial dengan skema Ke-

mitraan, PT. Inhutani I dan Kelompok Sadar

Wisata (Pokdarwis) yang mewakili pihak

desa, mengelola eko wisata dengan objek

air terjun Tambalang dan jungle track. Ke-

mitraan lainya adalah menanam pohon

gahari di sela-sela pohon sawit sebanyak

800 batang dengan luas 1 ha. Kemitraan

tersebut dituangkan dalam MoU antara PT.

Inhutani I dan pemerintah desa Tepian

Buah.

Bukti-bukti hak dan transaksi atas tanah

Bukti-bukti hak yang mendasari

penguasaan kawasan hutan pada dasarnya

hanya berupa kwitansi jual beli. Di Tepian

Buah, kepala desa bersedia mengelurakan

surat keterangan tanah hanya apabila

tanahnya berlokasi di luar kawasan hutan.

Di desa-desa sekitar kawasan TNGL, bukti

hak berupa kwitansi pembayaran ganti rugi

pengelolaan tanah dan jasa makelar. Bukti

sertifikat atas tanah seluas 70 ha di Desa

PIR ADB merupakan pengecualian. Kantor

Pertanahan bersedia mengeluarkan ser-

tifikat karena dianggap bagian dari lokasi

transmigrasi lokal walaupun Departemen

Kehutanan meng-claim nya sebagai ka-

wasan hutan.

Di Desa PIR ADB dan Tepian Buah,

peralihan hak atas tanah yang terletak

dalam kawasan hutan sudah dipraktekan.

Peralihan dilakukan melalui pewarisan (PIR

ADB) dan jual beli (Tepian Buah). Karena

sudah bersertifikat, tanah di PIR ADB

bahkan sudah dijadikan jaminan utang

dengan dibebani hak tanggungan. Pada

tahun 2013, sebanyak 405 anggota KUD

Rahmat Tani, meminjam uang ke Bank

Bukopin dengan jaminan tanah dan

bertindak sebagai penjamin adalah PT.

Anugerah Langkat Makmur.

Page 49: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

48

3.3. Kendala-kendala implementasi

Perpres No. 88/2017

Falsafah yang mendasari terbitnya

Perpres 88 adalah bahwa negara hadir

untuk memberikan keadilan, kepastian

hukum, dan kemanfaatan atas hak ke-

pemilikan rakyat atas tanah yang dijamin

oleh UUD 1945, yang karena lokasi pe-

nguasaan tanahnya secara de jure berada

dalam kawasan hutan, maka penguasaan

rakyat secara de facto itu mengalami

kendala dalam pelaksanaannya.

Pasal 28H ayat (4) UUD Negara RI

1945 menyatakan bahwa, “setiap orang

berhak mempunyai hak milik pribadi dan

hak milik tersebut tidak boleh diambil alih

secara sewenang-wenang oleh siapa pun”.

Secara implisit, Pasal 11 UU No 11 Tahun

2005 tentang Pengesahan International

Covenant on Economic, Social, and Cultural

Rights (Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya)

menyebutkan tentang hak atas standar

kehidupan yang memadai. Jauh sebelum-

nya, dalam aras global, Pasal 17 Deklarasi

HAM PBB Tahun 1948 menyebutkan

bahwa:

1) Setiap orang berhak untuk memiliki

harta, baik sendiri maupun

bersama-sama dengan orang lain,

dan

2) Tak seorangpun boleh dirampas harta

miliknya secara semena-mena.

Ketika Perpres akan diterapkan

terhadap sawit rakyat, timbul kendala

tertentu. Sebagai subyek atau”pihak” me-

nurut Perpres, maka rakyat yang me-

ngusahakan perkebunan sawit memenuhi

persyaratan, yakni ”perorangan yang me-

nguasai dan memanfaatkan bidang tanah

dalam kawasan hutan”(Ps 1 angka 2).

Namun, terkait dengan jenis-jenis obyek

yang diusahakan, secara eksplisit tidak di-

sebutkan dalam Pasal 5 ayat (4), yang ber-

bunyi sebagai berikut,” lahan garapan me-

rupakan bidang tanah dalam kawasan

hutan yang dikerjakan dan dimanfaatkan

oleh seseorang atau sekelompok orang

yang dapat berupa sawah, ladang, kebun

campuran dan/atau tambak”. Tanaman

sawit memang tidak secara eksplisit di-

sebutkan atau dicontohkan sebagai ca-

kupan dari istilah lahan garapan atau

kebun campuran. Namun demikian, peng-

gunaan kata “dapat” dalam Pasal tersebut,

yang dalam bahasa hukum yang baku di-

artikan sebagai contoh bukan cakupan,

maka tanaman sawit dapat dimasukan

sebagai contoh lain atau cakupan lahan

garapan. Oleh karena itu penggunaan kata

“dapat”, membuka ruang diskresi bagi

pejabat yang berwenang untuk tidak hanya

membatasi jenis lahan garapan (limitatif),

Page 50: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

49

tetapi memberikan alternatif lain, diluar

yang disebutkan secara eksplisit dalam

Pasal 5 ayat (4) tersebut, yang, mungkin

belum sempat terdeteksi ketika aturan ini

disusun, atau, memang dimaksudkan

untuk menampung seandainya dikemudi-

an hari terdapat jenis usaha lain yang dapat

dimasukkan dalam pengertian lahan ga-

rapan.

Kapan seorang pejabat boleh me-

lakukan diskresi? Menurut Pasal 22 ayat (2)

UU No. 30 Tahun 2014 tentang Admini-

strasi Pemerintahan, diskresi dapat di-

lakukan antara lain dengan tujuan untuk

mengisi kekosongan dan memberikan ke-

pastian hukum. Hal ini tepat jika diskresi di-

tempuh untuk mengatur tentang sawit

rakyat yang tidak secara eksplisit disebut

dalam Pasal 5 ayat (4). Hal ini diperkuat

dengan ketentuan dalam Pasal 23 yakni

bahwa diskresi itu dilakukan karena per-

aturan perundang-undangan tidak me-

nyebut secara eksplisit (tidak lengkap) dan

dilakukan dengan alasan yang objektif ser-

ta dilandasi dengan iktikad baik, yakni me-

nghadirkan negara untuk menyelesaikan

masalah penguasaan tanah dalam ka-

wasan hutan (Pasal 24). Selanjutnya, jika

kebun sawit rakyat sudah diakomodasi

dalam pengaturan lahan garapan, bagai-

mana syarat pengua-saan tanahnya agar

dapat diberikan suatu hak atas tanah?

Dalam Perpres dise-butkan: jika luas ka-

wasan hutan >30% dari DAS, pulau, dan

atau provinsi dan hutan-nya berfungsi

lindung dan produksi, jika lama peng-

uasaan tanah lebih dari 20 tahun secara

berturut-turut (Pasal 11 ayat (1) huruf c),

dikeluarkan dari kawasan hutan. Apakah

kriteria ini tepat jika diterapkan untuk

kebun sawit rakyat? Kira-nya diskresi juga

perlu dilakukan terhadap hal ini. Ta-naman

sawit berbeda dengan tanaman non sawit.

Batas waktu 20 tahun itu di-ambil dari hu-

kum adat yang merupakan dasar dari

hukum agraria/pertanahan nasional. Kare-

na dalam Pen-jelasan Pasal 24 ayat (2) PP

No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah tidak diperoleh pen-jelasan tentang

penentuan batas waktu 20 tahun tersebut,

maka dicoba untuk men-cari landasannya

dalam hukum adat ber-dasarkan yuris-

prudensi Mahkamah Agung (MA).

Terkait dengan perolehan hak milik

berdasarkan iktikad baik, Putusan MA

tanggal 29-1-1976 No.783K/Sip/1973 me-

nyatakan bahwa:” Orang yang telah men-

duduki tanah untuk waktu yang lama tanpa

gangguan dan bertindak sebagai pemilik

jujur (rechshebende te goeder trouw) harus

dilindungi hukum”. Putusan ini tidak me-

nyebutkan lamanya waktu untuk men-

jelaskan istilah “waktu yang lama” ter-

sebut. Pada saat yang sama hukum adat

Page 51: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

50

menentukan bahwa seseorang yang mem-

punyai hak atas tanah dapat kehilangan

haknya jika dalam jangka waktu tertentu

lalai atau tidak meminta haknya tersebut

dan atau tidak melakukan suatu perlawan-

an dalam jangka waktu tertentu. Dalam

berbagai yurisprudensi termuat berapa

lamanya jangka waktu kehilangan hak ter-

sebut, yakni bisa 5 tahun, 8 tahun, 20

tahun, 27 tahun, bahkan 30 tahun ( Pts MA

No.329K/Sip/1957 tanggal 24 September

1958, Pts MA No.578K/Sip/1973 tanggal

20-8-1973, Pts MA No.259K/Sip/1973 ta-

nggal 9-12-1975, Pts MA No.783K/Sip/

1973 tanggal 21-1-1976 dan Pts MA No.

1037k/Sip/1971 tanggal 31-7-1973).

Dengan demikian, mengikuti jalan pi-

kiran tersebut, jika disatu pihak seseorang

dapat kehilangan tanahnya karena lam-

paunya waktu, maka dipihak lain, se-

seorang bisa memperoleh tanah tersebut,

sepanjang penguasaannya dilakukan de-

ngan iktikad baik. Hukum adat di berbagai

tempat menentukan 3 atau 5 tahun se-

bagai waktu bagi seseorang untuk dapat

memohonkan atau mendapatkan hak milik

adat perseorangan.

Untuk kebun sawit rakyat, diskresi

tentang jangka waktu penguasaan dapat

juga ditempuh. Jika mendasarkan pada

lama penguasaan kebun sawit rakyat di

desa Alur Banung, PIR ADB dan Tepian

Buah (Bagian 3.2), jangka waktu yang

sesuai dengan realitas penguasaan kebun

sawit rakyat agar dapat dikeluarkan dari

kawasan hutan adalah 5 tahun. Angka ini

didasarkan pada hitungan ekonomis ba-

hwa selama waktu tersebut, dari mulai me-

nanam sampai tahun kelima, pemilik lahan

sudah mengeluarkan biaya dan tenaga.

Pertimbangannya lainnya karena kebun

sawit yang berumur 5 tahun sedang me-

mulai masa produktivitas sampai kira-kira

20 atau 25 tahun berikutnya.

Jika diskresi mengenai lama waktu

penguasaan diatas dapat diakomodasi,

maka terhadap perorangan yang mengua-

sai kebun sawit dengan luasan antara 5

sampai 25 Hektar, dapat diberikan hak

Guna Usaha (HGU) untuk jangka waktu 35

tahun sesuai ketentuan PP No. 40/1996

tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Ba-

ngunan dan Hak Pakai atas Tanah. Jika pe-

nguasaan tanahnya kurang dari 5 Hektar,

dapat diberikan dengan Hak Milik (HM).

Diskresi yang mengakomodasi kebe-

radaan kebun sawit rakyat dalam kawasan

hutan seyogyanya diatur dalam Peraturan

Menteri Koordinator Bidang Ekonomi. Da-

lam konteks ini Permenko tersebut dihadir-

kan untuk merespon kesenjangan antara

Perpres No. 88/2017 dengan kenyataan-

kenyataan dilapangan. Kesenjangan ter-

sebut dipicu oleh beberapa ketentuan

Page 52: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

51

dalam Perpres. Pertama, Perpres mem-

buat perbedaan penguasaan kawasan hu-

tan yang dilakukan sebelum dan sesudah

penunjukan kawasan. Penunjukan kawas-

an hutan sebagian besar dilakukan pada

tahun 1980-an dan 1990an sementara

penguasaan kawasan hutan untuk kebun

sawit rakyat mayoritas di-mulai pada tahun

2000-an dengan satu dua pada tahun

1990an. Situasi seperti ini menghendaki

agar ketentuan mengenai penguasaan ka-

wasan yang dikaitkan dengan penunjukan

untuk ditiadakan dan menggantikannya

dengan kriteria kondisi nyata tegakan

dalam kawasan.

Kedua, untuk penyelesaian peng-

uasaan dalam hutan konservasi, Perpres

menetapkan resettlement sebagai satu-

satunya cara. Ketentuan seperti ini tentu

saja tidak merespon atau memper-

timbangkan kenyataan penguasaan ka-

wasan konservasi oleh rakyat yang sudah

berlangsung lama. Penguasaan untuk pe-

manfaatan kebun rakyat memang relatif

lebih pendek ketimbang pemanfaatan un-

tuk ladang/sawah dan perkebunan karet,

kopi, cengkeh dan kakao, namun seperti

78 Rikardo Simarmata, 2002,”Regional autonomy and character of local government laws and regulations : new pressures on the environment and indigenous communities, International association for the study of common (bisa diakses di http://dlc.dlib.indiana.edu/dlc/bitstream/handle/1

dalam kasus Desa Alur Baning, itu di-

lakukan karena hasil dari lahan yang ber-

lokasi di luar kawasan hutan tidak lagi

mampu memenuhi kebutuhan keluarga.

Selain itu, di beberapa tempat, pe-

nguasaan lahan sesungguhnya sudah lama

dilakukan oleh para pendahulu pemilik

tanah saat ini. Para pendahulu menggarap

lahan-lahan tersebut dengan menanam

padi, karet atau kopi. Menyediakan cara

tunggal untuk penyelesaian di hutan kon-

servasi dan pada saat yang sama menye-

diakan cara bera-gam untuk hutan lindung

dan hutan pro-duksi, yaitu resettlement,

tukar-menukar, perhutanan sosial, dan di-

keluarkan dari ka-wasan hutan, meru-

pakan ketidakadilan. Masyarakat yang me-

lakukan penguasaan hutan konservasi bah-

kan berpotensi men-jadi korban ketika Per-

pres membebankan penyelenggaraan re-

settlement kepada pe-merintah daerah.

Pengalaman membuk-tikan, bila tidak ber-

kaitan dengan perizinan atau pendapatan

asli daerah78, pemerintah daerah, ter-

utama daerah-daerah yang memiliki ang-

garan daerah, kecil kemungkinan tidak

memprioritaskan program resettlement.

0535/2315/simarmatar170502.pdf?sequence=1); dan Christoher R. Duncan, 2017,”Mixed outcomes: the impact of regional autonomy and the decentralization on indigenous ethnic minorities in Indonesia, Development and Change, Vo.38 (4): 711-733.

Page 53: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

52

Page 54: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

53

Bibit persoalan dalam melaksanakan

RA dalam kawasan atau bidang kehutanan

sebenarnya sudah diawali dari tahapan

perencanaan saat dokumen RPJM, Renstra

dan Strategi Nasional Kementerian dan

Lembaga Non Kementerian kabur dan

berbeda dalam menyebutkan lokasi RA.

Seperti sudah dipaparkan sebelumnya (Ba-

gian 2.1), Renstra dan Strategi Nasional Ke-

menterian dan Lembaga Negara Non Ke-

menterian berbeda dalam menyebutkan

lokasi RA. Perpres No. 88/2017, sebagai

instrumen untuk melaksanakan sekaligus

mencapai tujuan-tujuan kebijakan, ke-

mudian memperjelas lokasi tersebut

dengan menyebutkan seluruh kawasan

hutan negara tanpa mempersoalkan

apakah sudah ada pengelola atau pemilik

izin kehutanan. Untuk memastikan proses

RA dalam kawasan hutan tidak terganggu

oleh pelaksanaan perlindungan hutan,

Perpres melarang instansi pemerintah

untuk melakukan pengusiran, penang-

kapan, penutupan akses terhadap tanah

dan atau perbuatan-perbuatan lain (Pasal

30 huruf b). Pasal ini menghubungkan RA

dengan perlindungan hutan dengan me-

nentukan kegiatan perlindungan hutan

79 Karakter impelementability aturan hukum dapat diperiksa lewat 4 ukuran yaitu adequacy, feasibility, certainty, dan adaptability. Implementability sekaligus menunjukan kualitas aturan hukum. Uraian selengkanya bisa dilihat

tidak boleh dilakukan selama prosedur pe-

nyelesaian penguasaan dalam kawasan

hutan, sedang dijalankan.

Namun, karena kurang adaptif

dengan kenyataan lapangan dan mem-

punyai karakter implementability79 yang

rendah, implementasi Perpres 88 di-

perkirakan akan menghadapi atau men-

datangkan sejumlah masalah. Sebagai-

mana sudah dipaparkan pada bagian 3.3,

dengan metode mengaitkan antara ke-

tentuan-ketentuan yang terdapat dalam

Perpres 88/2017 dan PermenLHK p.

83/2016 dengan realitas kebun sawit

rakyat (studi Alur Baning, PIR ADB, Tepian

Buah), ditemukan tiga contoh kesenjang-

an. Kesenjangan dipahami sebagai ketidak-

sesuaian antara aturan hukum dengan

realitas lapangan. Dua ketidaksesuaian ter-

kait Perpres 88, dan satu ketidaksesuaian

terkait PermenLHK P.83.

Ketidaksesuaian pertama terkait Per-

pres 88 adalah pengertian istilah lahan

garapan dan kebun campuran yang tidak

memasukkan tanaman sawit sementara

sekitar 1,5 juta ha kawasan hutan tengah

dimanfaatkan rakyat untuk kebun sawit.

Ketidaksesuaian yang kedua adalah keten-

pada, Benjamin van Rooij,2006, Regulating Land and Pollution in China, Lawmaking, Compli- ance, and Enforcement; Theory and Cases. Leiden: Leiden University Press.

Page 55: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

54

tuan mengenai lama waktu penguasaan la-

han garapan yaitu 12 tahun secara ber-

turut-turut bila penyelesaiannya dengan

dikeluarkan dari kawasan hutan negara.

Dengan asumsi tanaman sawit telah di-

maksudkan sebagai cakupan lahan garap-

an atau kebun campuran, ketentuan ter-

sebut sangat sulit untuk dipenuhi oleh

kebun-kebun sawit rakyat mengingat lama

waktu penguasaan mayoritas dibawah 12

tahun.

Bila tidak memilih dikeluarkan dari

kawasan hutan karena ketentuan tersebut,

petani kebun sawit masih dapat memilih

opsi perhutanan sosial. Namun, sesuai

ketentuan PermenLHK P.83, kebun sawit

tersebut hanya bisa ditolerir paling lama 12

tahun dan setelah lampau masa tersebut

tidak boleh ada tanaman sawit dalam areal

PS. Inilah ketidaksesuaian yang terkait

dengan PermenLHK P.83.

Sebagaimana sudah disebutkan

dalam bagian sebelumnya (Bagian 1.1),

tulisan ini menawarkan opsi-opsi strategi

implementasi peraturan per-UU-an me-

ngenai RA dalam kawasan hutan, dengan

tujuan menyediakan keabsahan bagi ke-

bun sawit rakyat dalam kawasan hutan

agar kebijakan pemerintah untuk men-

dukung sustainable palm oil berjalan

efektif. Opsi-opsi strategi implementasi

tersebut terkait dengan Perpres 88 dan

PermenLHK P.83 sebagai dua peraturan

per-UU-an yang terkait dengan RA dalam

kawasan hutan dan telah diulas pada

bagian-bagian sebelumnya. Jalan berpikir

yang digunakan bahwa Strategi Impleme-

ntasi PermeLHK P.83 disarankan untuk di-

jalankan hanya bila Strategi Implementasi

Perpres 88, tidak berhasil.

4.1. Strategi implementasi Perpres No.

88/2017

Paparan sebelumnya mengenai

kendala implementasi Perpres 88 (Bagian

3.3) memperjelas hal-hal yang berpotensi

membuat Perpres ini tidak bisa diberlaku-

kan terhadap kebun sawit rakyat yang be-

rada dalam kawasan hutan. Tidak bisa di-

berlakukan karena kenyataan lapangan

yaitu usaha kebun sawit rakyat tidak cocok

dengan apa yang dikehendaki Perpres

yaitu mengenai cakupan lahan garapan,

jangka waktu penguasaan, dan cara pe-

nyelesaian penguasaan berdasarkan fungsi

hutan. Sekalipun Perpres menyediakan

pilihan perhutanan sosial untuk pe-

nguasaan yang berlangsung dalam hutan

lindung dan hutan produksi dan sudah di-

lakukan untuk lebih dari 20 tahun secara

berturut-turut, namun ketentuan Permen

No. 83/2016 sudah membatasi bahwa

kebun sawit tersebut hanya boleh di-

teruskan selama maksimal 12 tahun sambil

menanam pohon berkayu selama waktu

Page 56: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

55

tersebut (Bagian 3.1.2). Implikasi hukum

bila Perpres tidak bisa diberlakukan, kebun

sawit rakyat dalam kawasan hutan tidak

akan legal atau absah secara hukum.

Laporan ini melihat bahwa pem-

buatan peraturan pelaksana untuk Perpres

88, yang didasari prinsip diskresi, me-

rupakan jalan keluar paling tepat untuk

memungkinkan Perpres bisa berlaku atas

kebun sawit rakyat. Peraturan pelaksana

yang dibayangkan adalah Peraturan Men-

teri Koordinator Menteri Bidang Per-

ekonomian (Permenko). Menteri Koor-

dinator Perekonomian memang sudah di-

tetapkan sebagai penanggung jawab

utama penyelenggaraan RA dengan ke-

dudukannya sebagai Ketua Tim Reforma

Agraria berdasarkan Keputusan Menteri

Koordinator Bidang Perekonomian No.

73/2017 (Pasal 2 ayat 1) dan Ketua Tim

Percepatan Penyelesaian Penguasaan

Tanah dalam Kawasan Hutan berdasarkan

Perpres No. 88/2017 (Pasal 14 ayat 3).

Sebagai instrumen diskresi, Permenko ini

dihadirkan untuk merespon adanya ke-

tidakjelasan pada Perpres, didasarkan

pada alasan-alasan yang obyektif (kesenja-

ngan), dan dengan itikad baik untuk

mengatasi kendala-kendala yang potensial

muncul dalam mewujudkan tujuan ke-

bijakan RA dalam bidang kehutanan.

Diskresi dalam rangka mengatur

lebih lanjut Perpres 88 dilakukan dalam

bentuk dua cara yaitu: (i) menafsirkan

bunyi ketentuan Perpres, dan (ii) me-

luruskan tafsir atas istilah tertentu. Kedua

cara tersebut dimaksukan untuk membuat

Perpres lebih memiliki nilai signifikasi

sosial karena lebih akomodatif dengan

kenyataan lapangan. Bagian berikut men-

jelaskan lebih jauh mengenai kedua cara

tersebut.

a. Menafsir istilah lahan garapan dan

kebun campuran

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya

(Bagian 3.3) bahwa kata ‘dapat’ dalam

Perpres 88 untuk mengemukakan cakupan

istilah ‘lahan garapan’, dimaknai bersifat

terbuka dan dengan demikian membuka

peluang memasukan tanaman atau kebun

sawit rakyat kedalam cakupan lahan

garapan. Menjadikan kebun sawit rakyat

menjadi cakupan lahan garapan bisa

dilakukan dengan dua cara, yaitu: (i)

menambahkan kata ‘kebun sawit rakyat’

sejajar dengan sawah, ladang, kebun

campuran, dan tambak, atau (ii) membuat

ketentuan baru yang menentukan bahwa

salah satu contoh tanaman dalam kebun

campuran adalah sawit. Cara pertama akan

melahirkan ketentuan dalam Permenko

dengan bunyi sebagai berikut:

Page 57: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

56

Lahan garapan adalah merupakan

bidang tanah dalam kawasan hutan

yang dikerjakan dan dimanfaatkan

oleh seseorang atau sekelompok orang

yang dapat berupa sawah, ladang,

kebun sawit rakyat, kebun campuran

dan/atau tambak.

Atau:

Lahan garapan adalah merupakan

bidang tanah dalam kawasan hutan

yang dikerjakan dan dimanfaatkan

oleh seseorang atau sekelompok orang

yang dapat berupa sawah, ladang,

kebun campuran dan/atau tambak.

Yang dilanjutkan dengan ketentuan berikut

ini:

Kebun campuran sebagaimana

dimaksud pada ayat … dapat ditanami

sawit.

Perlu diberikan catatan bahwa kebun

campuran yang mengikusertakan sawit di-

dalamnya atau yang disebut dengan agro

ekosistem sawit, tengah dikembangkan

dan disejumlah tempat sudah berhasil. Ta-

naman sawit ternyata dapat menjadi ta-

naman sela atau pengisi yang dapat hidup

dengan tanaman kehutanan. Permenko

harus menjadikan fakta-fakta obyektif ini

sebagai bahan untuk membangun

argumen memasukkan tanaman sawit ke

dalam pengertian atau cakupan kebun

campuran. Argumen tersebut tidak harus

disebutkan dalam Permenko, tapi bisa

dalam petunjuk pelaksana sebagai pe-

doman. Cara ini dilakukan untuk tidak me-

ngulangi kesalahan Permen LHK P.83 yang

menyebutkan tanaman sawit tanpa

penjelasan sama sekali.

Secara hukum penyebutan kebun

sawit rakyat sebagai cakupan lahan garap-

an akan menjadikan kebun-kebun sawit

rakyat yang luasnya hampir mencapai 1,5

juta ha, masuk sebagai TORA. Implikasi lan-

jutannya, bagi kebun sawit rakyat yang be-

rada dalam hutan lindung dan hutan pro-

duksi memiliki peluang untuk bisa di-

teruskan baik dengan dilepaskan dari ka-

wasan hutan atau perhutanan sosial. Bila

pilihannya perhutanan sosial, sesuai

dengan ketentuan Permen LHK No.

83/2016, kebun sawit tersebut dapak

dilanjutkan sampai 12 tahun terhitung

sejak masa tanam. Namun jika Permenko

menentukan bahwa tanaman sawit masuk

ke dalam kategori kebun campuran, maka

ketentuan tersebut secara implisit me-

masukan tanaman sawit sebagai kategori

tanaman kehutanan. Dengan demikian,

Permenko memperkenalkan tanaman sa-

wit ke dalam agroforestry ecosystem se-

kaligus mengubah ketentuan PermeLHK

No. 83/2016 yang masih mengecualikan

tanaman sawit sebagai kategori tanaman

kehutanan. Tegasnya, dengan ketentuan

Page 58: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

57

tersebut Permenko mencabut keberlakuan

Pasal 56 ayat (5) dan Pasal 65 huruf h

Permen LHK P. 83/2016.

b. Meluruskan tafsir untuk jangka waktu

penguasaan tanah

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya

(Bagian 3.1.1) bahwa Perpres 88

membedakan cara penyelesaian pe-

nguasaan kawasan hutan yang dikerjakan

dan dimanfaatkan untuk lahan garapan

berdasarkan lama waktu penguasaan. Bila

kawasan hutan lebih dari 30% dan pe-

nguasaan sudah berlangsung lebih dari 20

tahun secara berturut-turut baik yang ber-

lokasi di hutan lindung atau hutan pro-

duksi, penyelesaiannya dengan melepas-

kannya dari kawasan hutan. Sedangkan

apabila kurang dari 20 tahun penye-

lesaiannya dengan skema perhutanan

sosial.

Ketentuan Perpres 88 mengenai

jangka waktu penguasaan tanah ber-

sumber dari Peraturan Pemerintah No.

24/1997 tentang Pendaftaran Tanah (Pasal

24). Pasal ini mengatur mengenai konversi

hak-hak lama atas tanah menjadi hak milik.

Dikatakan bahwa dalam hal tidak tersedia

bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan

atau pernyataan pemilik tanah, pem-

bukuan hak dapat dilakukan apabila pe-

nguasaan fisik atas tanah telah ber-

langsung 20 tahun atau lebih secara

berturut-turut. PP No. 24/1997 tidak men-

jelaskan alasan menggunakan 20 tahun

sebagai ukuran. PP ini hanya menjelaskan

bahwa menyertai syarat jangka waktu 20

tahun penguasaan fisik secara nyata, sya-

rat lainnya adalah harus dilakukan dengan

itikad baik dan secara terbuka, ada kesaksi-

an dari orang yang dipercaya, dan tidak ada

perlawanan dari masyarakat hukum adat

atau desa/kelurahan setempat.

Mengenai penguasaan dengan

jangka waktu 20 tahun atau lebih secara

berturut-turut Peraturan Menteri Agraria

/Kepala BPN No. 3/1997 tentang Pen-

daftaran Tanah menegaskan bahwa hal itu

merupakan akumulasi dari yang dilakukan

oleh pemilik tanah pada saat akan di-

lakukan pendaftaran tanah dan oleh para

pendahulunya (Pasal 61 ayat 1). Dalam

kaitannya dengan penguasaan kebun sawit

rakyat dalam kawasan hutan, ketentuan ini

dapat ditafsirkan bahwa jangka waktu pe-

nguasaan harus dihitung dari pertama kali

lahan tersebut dikuasai dan digarap secara

efektif sekalipun belum ditanami sawit.

Ketentuan sebagaimana terdapat

dalam PP No. 24/1997 dan Permenagraria

/Kepala BPN diatas mengenai terjadinya

hak milik sebenarnya mengadopsi hukum

adat. Sebagian syarat-syarat yang disebut-

kan berasal dari norma adat yaitu pengua-

saan yang efektif dan intensif, ada ke-

Page 59: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

58

saksian dari orang yang dipercaya, dan

tidak ada keberatan atau perlawanan dari

pihak lain.80 Hukum adat memang tidak

mematok batasan jangka waktu untuk pe-

nguasaan efektif dan intensif karena lebih

mengkaitkannya dengan biaya dan tenaga

yang telah dikeluarkan oleh pemilik untuk

melakukan pemanfaatan atas tanah ter-

sebut. Penguasaan fisik yang efektif dan in-

tensif tersebut harus diketahui oleh kepala

/tetua adat yang oleh PP 24/1997 dan

Permenagraria/Kepala BPN ditempatkan

sebagai saksi. Kesaksian oleh kepala/tetua

adat sekaligus merupakan pemenuhan

syarat tidak ada keberatan atau per-

lawanan dari pihak lain karena asas public-

sitas. Asas ini mengandaikan bahwa kepala

/tetua adat merupakan resepresentasi

anggota masyarakat adat. Dalam praktek-

nya, sebelum memberikan kesaksian,

kepala/tetua ada terlebih dahulu meng-

konfirmasi kepada anggota masyarakat

adat yang lain mengenai keberatan atas

claim kepemilikan seseorang atas bidang

tanah tertentu.81 Lebih lanjut dikatakan

bahwa kesaksian tersebut dapat atau

tanpa digabungkan dengan kesaksian dari

80 Nurhasan Ismail, 2015, “Surat keterangan tanah adat (SKTA) sebagai bukti awal penguasaan dan pemanfaatan tanah adat: penelusuran dasar hukumnya”, presentasi disampaikan pada acara “Diseminasi Hasil Kajian dan Evaluasi Pelaksanaan Inventarisasi, Identifikasi, Pemetaan, Pematokan atau Pemuatan SKTA di Kalimantan Tengah”,

penduduk setempat yang sudah lama

tinggal di desa/kelurahan letak tanah yang

bersangkutan.

Sementara itu, dalam praktik pe-

nyelenggaraan administrasi pertanahan

berkembang ketentuan 3 tahun sebagai

jangka waktu penguasaan fisik atas tanah

untuk bisa memohonkan hak milik atas

tanah. Adalah Peraturan Menteri Dalam

Negeri No. 6 tahun 1972 tentang Pe-

limpahan Kewenangan Pemberian Hak

Atas Tanah82 sebagai salah satu regulasi

yang memperkenalkan batas waktu ter-

sebut. Menurut Permendagri ini, Camat

berwenang memberikan izin membuka

tanah untuk luasan tidak lebih dari 2 hektar

dengan jangka waktu 3 tahun. Pada tingkat

daerah, ketentuan jangka waktu 3 tahun

dapat dijumpai pada Keputusan Gubernur

Kaltim No. 31/1995 tentang Pedoman Pe-

nertiban Surat Keterangan Pengusahaan

dan Pemilikan Bangunan/Tanaman di Atas

Tanah Negara. Menurut Keputusan ini

kepala desa/lurah dapat mengeluarkan su-

rat penguasaan atas tanah dan bangunan

/tanaman kepada orang-orang yang meng-

diselenggarakan Kemitraan, Palangkaraya, 9-10 April. 81 Rikardo Simarmata, 2015, “Kedudukan hukum dan peluang pengakuan surat keterangan tanah adat. Jakarta: Kemitraan. 82 Sudah dicabut oleh Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 593/5707/Sj tahun 1984.

Page 60: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

59

garap tanah negara dengan jangka waktu 3

tahun.83

Menurut Permendagri 1972 dan SK

Gubernur Kalimantan Timur 1995 di atas,

penguasaan secara fisik selama 3 tahun

berturut-turut memberi hak kepada se-

seorang untuk memohonkan hak milik atas

tanah. Oleh SK Gubernur Kalimantan Timur

tersebut permohonan ini dianggap sebagai

upaya untuk menaikkan status dari hak

garap menjadi hak milik. Sementara itu,

sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya

(Bagian 3.3), Putusan MA tanggal 29-1-

1976 No.783K/Sip/1973 menyatakan

bahwa:” Orang yang telah menduduki

tanah untuk waktu yang lama, tanpa

gangguan dan bertindak sebagai pemilik

jujur, harus dilindungi hukum”.

Jadi dengan mempertimbangkan

hal-hal berikut, yaitu:

o PP No. 24/1997 dan Permenagraria

/Kepala BPN No. 3/1997 tidak me-

nyediakan penjelasan logis mengenai

20 tahun sebagai jangka waktu pe-

nguasaan, dengan catatan bahwa

Permenagraria/Kepala BPN menentu-

kan penguasaan yang dimaksud ada-

83 Rikardo Simarmata, 2009, “Gejala informalitas pada tanah garapan, Law Reform, Vol. 3 No. 2, dan Ilyas, 2005, “Konsepsi Hak Garap atas Tanah Dalam Sistem Hukum Pertanahan Indonesia

lah akumulasi dari yang dilakukan pe-

milik tanah dan para pendahulunya;

o PP No. 24/1997 dan Permenagraria

/Kepala BPN No. 3/199 mengadopsi

aturan adat mengenai perolehan hak

milik atas tanah namun dengan me-

lakukan perubahan berupa penentuan

batasan tahun jangka waktu pengua-

saan; dan

o Praktek penyelenggaraan administrasi

pertanahan menggunakan angka 3

tahun dan yurisprudensi tidak me-

nyebutkan angka definitif namun me-

nyebut batasan-batasan kualitatif se-

perti itikad baik, tanpa gangguan dan

bertindak sebagai pemilik jujur.

Maka Permenko yang dibuat untuk

melaksanakan Perpres 88 disarankan

untuk menggunakan tiga opsi berikut da-

lam menentukan batasan jangka waktu pe-

nguasaan tanah.

Pertama, tetap menggunakan 20

tahun sebagai jangka waktu penguasaan

namun dengan mengartikannya sebagai

kumulasi dari yang dilakukan oleh pemilik

tanah proses penyelesaian penguasaan

akan dan sedang dilakukan dan para pen-

dahulunya.

dalam Kaitannya dengan Ajaran Negara Kesejahteraan, disertasi pada Program Pasca Sarjana Universitas Padjajaran.

Page 61: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

60

Kedua, menentukan 5 tahun atau

lebih secara berturut-turut sebagai batas-

an jangka waktu penguasaan fisik atas ta-

nah oleh pemilik terakhir, dengan disertai

syarat-syarat lain yaitu: (i) dilakukan

dengan itikad baik dan secara terbuka; (ii)

ada kesaksian dari orang-orang yang dapat

dipercaya; dan (iii) tidak ada keberatan

atau perlawanan dari masyarakat yang

berkedudukan di desa/kelurahan setem-

pat, atau

Ketiga, tidak menggunakan batasan

waktu namun dengan menggunakan ba-

tasan-batasan kualitatif untuk penguasaan

tanah yaitu dilakukan dengan itikad baik.

Dalam hukum pertanahan, itikad baik bisa

diperiksa dari tiga ukuran obyektif, yaitu

penguasaan dilakukan secara terbuka, di-

saksikan oleh orang-orang yang dapat di-

percaya, dan tidak ada keberatan dari

masyarakat yang berkedudukan di desa

/kelurahan setempat.84 Opsi ketiga ini me-

rupakan pembetulan cara mengadopsi

hukum adat mengenai perolehan hak milik

atas tanah oleh peraturan perundangan

pertanahan dan dipakai oleh Perpres No.

88/2017. Dari segi tertentu opsi ketiga ini

bersifat menegaskan Putusan MA tanggal

29-1-1976 No.783K/Sip/1973 yang meng-

gunakan phrasa “dalam waktu yang lama”

dalam menentukan jangka waktu pe-

nguasaan.

Jika digambarkan dalam bentuk

tabel, maka pilihan-pilihan strategi meng-

implementasikan Perpres 88 yang meng-

hasilkan keluaran berupa kejelasan legal-

itas penguasaan kawasan hutan untuk

kebun sawit rakyat, akan terlihat sebagai

berikut:

Tabel: Pilihan-pilihan strategi implementasi Perpres 88/2017

Pilihan strategi

implementasi

Metode Usulan redaksional norma hokum

Menafsir istilah lahan ga-

rapan dan kebun campuran

Menambahkan kata ‘kebun

sawit rakyat’ sejajar dengan

sawah, ladang, kebun cam-

puran, dan tambak

Lahan garapan adalah merupakan

bidang tanah dalam kawasan hutan

yang dikerjakan dan dimanfaatkan

oleh seseorang atau sekelompok

orang yang dapat berupa sawah,

84 Siti Ismijati Jenie, 2007, “Itikad Baik, Perkembangan dari Asas Hukum Khusus Menjadi Asas Hukum Umum di Indonesia, pidato

pengukuhan jabatan guru besar di Universitas Gadjah Mada.

Page 62: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

61

ladang, kebun sawit rakyat, kebun

campuran dan/atau tambak

Membuat ketentuan baru

yang menentukan bahwa sa-

lah satu contoh tanaman da-

lam kebun campuran adalah

sawit

Lahan garapan adalah merupakan

bidang tanah dalam kawasan hutan

yang dikerjakan dan dimanfaatkan

oleh seseorang atau sekelompok

orang yang dapat berupa sawah,

ladang, kebun campuran dan/atau

tambak

dan

Kebun campuran sebagaimana di-

maksud pada ayat … dapat ditanami

sawit

Meluruskan tafsir untuk

jangka waktu penguasaan

tanah

Tetap menggunakan 20

tahun sebagai jangka waktu

penguasaan namun dengan

mengartikannya sebagai ku-

mulasi dari yang dilakukan

oleh pemilik tanah dan para

pendahulunya

Lahan garapan yang telah dikuasai

oleh pemilik bidang tanah dan pen-

dahulunya lebih atau kurang dari 20

tahun secara berturut-turut

Menentukan 5 tahun atau

lebih secara berturut-turut

sebagai batasan jangka wa-

ktu penguasaan fisik atas

tanah oleh pemilik terakhir,

dengan disertai syarat-syarat

lain yaitu: (i) dilakukan de-

ngan itikad baik dan secara

terbuka; (ii) ada kesaksian

dari orang-orang yang dapat

dipercaya; dan (iii) tidak ada

Lahan garapan yang telah dikuasai

oleh pemilik bidang tanah dan

pendahulunya lebih 5 tahun secara

berturut-turut

Page 63: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

62

keberatan atau perlawanan

dari masyarakat yang ber-

kedudukan di desa/kelurah-

an setempat

Tidak menggunakan batasan

waktu namun dengan meng-

gunakan batasan-batasan ku-

alitatif yaitu: (i) dilakukan

dalam jangka waktu yang

lama; (ii) dilakukan dengan

itikad baik dan secara ter-

buka; (iii) ada kesaksian dari

orang-orang yang dapat di-

percaya; dan (iv) tidak ada

keberatan atau perlawanan

dari masyarakat yang ber-

kedudukan di desa/kelurah-

an setempat

Lahan garapan yang telah dikuasai

oleh pemilik bidang tanah dan

pendahulunya dalam waktu yang

lama

Namun perlu dipahami bahwa metode

tafsir sebagai bagian dari strategi im-

plementasi Perpres 88 sebagaimana di-

paparkan di atas, belum memikirkan pe-

nguasaan hutan konservasi. Sebagaimana

disebutkan kendala penerapan Perpres 88

di hutan konservasi adalah ketentuan yang

menetapkan resettlement sebagai satu-

satunya pilihan penyelesaian. Karena

membatasi diri menggunakan metode

tafsir untuk mengurai kendala im-

plementasi Perpres 88, tulisan ini tidak

akan mengusulkan agar Permenko di-

maksud juga menentukan bahwa untuk

hutan konsevasi bisa menggunakan pilihan

lain yaitu pelepasan dari kawasan hutan,

perhutanan sosial atau tukar menukar.

Tulisan ini juga tidak menganjurkan cara

lainnya yaitu menghilangkan kriteria fungsi

hutan dalam menentukan pilihan pe-

nyelesaian penguasaan dalam kawasan

hutan dan menggantinya dengan kriteria

kondisi factual vegetasi. Ide-ide di atas

tidak dianjurkan karena melampaui ba-

tasan diskresi dan yang paling utama akan

menimbulkan ketidakpastian hukum.

Page 64: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

63

Sebagai jalan keluar, tulisan ini

menyarankan untuk melaksanakan Per-

menLHK P.83/2016 dengan skema Ke-

mitraan Kehutanan.

Skema hutan adat, berdasarkan

PermenLHK P.32/2015 bisa dilaksanakan

pada semua kawasan hutan negara tidak

terkecuali yang berfungsi konservasi. Areal

dalam hutan konservasi dapat dimohon-

kan sebagai hutan adat sepanjang me-

menuhi persyaratan sebagaimana diatur

dalam Pasal 6 ayat (1) Permen ini. Ke-

tentuan ini sudah dibuktikan dengan pe-

netapan oleh Menteri Lingkungan Hidup

dan Kehutanan sebagian kawasan Taman

Nasional Gunung Halimun seluas lebih

kurang 462 ha sebagai hutan adat

masyarakat Kasepuhan Karang (Lebak)

pada Desember 2016. Akan tetapi skema

hutan adat tampaknya tidak cocok untuk

Desa Alur Banung dan PIR ADB karena

masyarakatnya tidak berkategori sebagai

masyarakat adat.

Sekalipun hanya terbatas pada zona

pada Taman Nasional dan blok tertentu

pada Taman Wisata Alam dan Taman

Hutan Raya, lahan garapan di hutan

konservasi diizinkan. Penggarapan diper-

bolehkan lewat adanya kesepakatan

kerjasama antara Pengelola Hutan dan ma-

syarakat setempat. Kualifikasi masyarakat

setempat di antaranya tinggal di dalam

dan/atau di sekitar areal pengelola hutan,

dan mempunyai mata pencaharian pokok

yang bergantung pada lahan garapan yang

berlokasi di areal kerja pengelola hutan.

Adapun syarat untuk areal Kemitraan Ke-

hutanan di antaranya areal konflik dan ber-

potensi konflik, areal yang memiliki potensi

dan sumber penghidupan bagi masyarakat

setempat, dan areal yang tergradasi.

Sekali lagi, agar penguasaan Taman

Nasional yang dimanfaatkan untuk kebun

sawit rakyat dapat menggunakan skema

Kemitraan Kehutanan, maka ketentuan

dalam Permenko yang mencabut ke-

berlakuan Pasal 56 ayat (5) dan Pasal 65

huruf h Permen LHK P.83/2016, di-

perlukan. Ketentuan tersebut nantinya

akan ditegaskan dalam klausul dalam

Naskah Kesepakatan Kerja Sama antara

Pengelola Hutan (Balai Besar/Balai Taman

Nasional) dengan masyarakat setempat

dengan menyebutkannya sebagai salah

satu hak dari masyarakat setempat. Hak

dimaksud adalah memanfaatkan areal

kemitraan dengan tanaman sawit.

4.2 Strategi Implementasi PermenLHK No.

83/2016

a) Revisi Permen LHK P.83

Strategi Implementasi PermenLHK

P.83 disarankan untuk dilakukan dalam hal

pilihan penyelesaian penguasaan adalah

perhutanan sosial. Merunut pada kerangka

Page 65: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

64

pikir Strategi Implementasi Perpres 88,

opsi ini dilakukan dalam hal: (i) usulan

perubahan cakupan istilah lahan garapan

atau kebun campuran yang memasukkan

tanaman sawit, tidak diakomodir; dan (ii)

usulan perubahan jangka waktu pe-

nguasaan menjadi lebih dari 5 tahun secara

berturut-turut, juga tidak diakomodir. Atau

bila usulan perubahan diterima namun pe-

nguasaan lahan kurang dari 5 tahun. Opsi

Strategi Implementasi PermenLHK P.83

berbeda dengan Strategi Implementasi

Perpres 88 karena tidak mengembangkan

tafsir melainkan mengusulkan revisi. Tu-

lisan ini mengusulkan agar Permen LHK

P.83 diubah, khususnya ketentuan Pasal 56

ayat (5) dan Pasal 65 huruf h.

Sebagaimana sudah dijelaskan,

usulan untuk merubah kedua Pasal ter-

sebut didasari dua pertimbangan yaitu:

Pertama, Permen LHK P.83 tidak

memiliki penjelasan rasional mengenai

pengecualian tanaman sawit sebagai ta-

naman non kehutanan dari areal per-

hutanan sosial, dan perhitungan jangka

waktu 12 tahun. Ini menandakan bahwa

dalam soal ini, Permen ini belum me-

rupakan kebijakan yang berbasis fakta

(evidence-based policy)

Kedua, saat ini tengah dikembangkan sis-

tem agroforestry yang menjadikan be-

berapa tanaman kehutanan (pohon) se-

bagai tanaman sela bagi kebun sawit.

Atas dasar itu, tulisan ini

mengusulkan perubahan Pasal 56 ayat (5)

dan Pasal 65 huruf h, dengan redaksional

sebagai berikut:

Ketentuan ayat (5) Pasal 56 diubah

sehingga Pasal 56 berbunyi:

Pasal 56

(1) HPHD, IUPHKm, IUPHHK-HTR dan areal

Kemitraan Kehutanan bukan merupa-

kan hak kepemilikan atas kawasan

hutan.

(2) HPHD, IUPHKm dan IUPHHK-HTR se-

bagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilarang dipindahtangankan, diubah

status dan fungsi kawasan hutan, serta

digunakan untuk kepentingan lain di

luar rencana pengelolaan atau di luar

rencana usaha pemanfaatan.

(3) Pelaksanaan ayat (1) dan ayat (2)

selain dimasukkan dalam keputusan

penerbitan hak pengelolaan atau izin

pemanfaatan atau dalam naskah ke-

sepakatan kerja sama juga dibuatkan

pernyataan tertulis di atas materai dari

pemegang hak atau pemegang izin

atau peserta kemitraan.

(4) HPHD, IUPHKm dan IUPHHK-HTR tidak

dapat diagunkan, kecuali tanamannya.

(5) Pemegang HPHD, IUPHKm, IUPHHK-

HTR dan Kemitraan Kehutanan boleh

Page 66: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

65

menanam kelapa sawit di areal hak

atau izinnya, dengan mengikuti ke-

tentuan-ketentuan mengenai penge-

lolaan kebun campur (agroforestry) se-

bagaimana akan diatur lebih lanjut

dalam Peraturan Menteri.

dan

Ketentuan huruf h Pasal 65 diubah

sehingga Pasal 65 berbunyi:

Pasal 65

Dengan berlakunya Peraturan ini, maka:

a. usulan penetapan areal kerja HD dan

HKm yang telah diajukan bupati

/walikota sebelum ditetapkannya Per-

aturan ini diproses lebih lanjut pe-

nerbitan hak atau izin sesuai dengan Pe-

raturan Menteri ini.

b. Permohonan HD, HKm, dan HTR yang

diajukan oleh lembaga desa, kelompok

masyarakat, sebelum ditetapkannya

Peraturan ini diproses lebih lanjut pe-

nerbitan hak atau izin sesuai dengan

Peraturan Menteri ini.

c. Usulan penetapan areal kerja HD dan

HKm yang telah diajukan bupati/wali-

kota yang sudah diverifikasi atau telah

terbit Penetapan Areal Kerjanya, se-

belum ditetapkannya Peraturan ini,

Menteri menerbitkan HPHD dan

IUPHKm.

d. permohonan IUPHHK-HTR yang telah

diajukan oleh masyarakat dan telah di-

verifikasi sebelum ditetapkannya Per-

aturan Menteri ini, Menteri menerbit-

kan IUPHHK-HTR.

e. dalam hal masa berlakunya Keputusan

Menteri tentang Penetapan Areal Kerja

HD dan HKm telah berakhir, Menteri

menerbitkan HPHD dan IUPHKm ber-

dasarkan hasil evaluasi.

f. usulan IUPHHK-HD dan IUPHHK-HKm,

yang sudah diajukan oleh pemegang

HPHD dan IUPHKm sebelum ditetap-

kannya Peraturan ini diproses lebih la-

njut sesuai dengan Peraturan Menteri

ini.

g. HPHD atau IUPHKm di hutan produksi

yang telah diterbitkan sebelum Per-

aturan Menteri ini dapat digunakan

untuk pemanfaatan hutan sebagai-

mana diatur dalam Pasal 51 dan Pasal

52.

h. dalam hal di areal Perhutanan Sosial

atau dalam ususlan Perhutanan Sosial

telah ada tanaman sawit sejak Per-

aturan ini diberlakukan, diwajibkan ke-

pada pemegang izin untuk membangun

kebun campur (agroforestry) dalam

bentuk jalur atau mozaik, dengan me-

nanam pohon berkayu paling sedikit

100 (seratus) pohon per hektar.

Page 67: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

66

i. terhadap Kemitraan di hutan

rakyat yang telah dilaksanakan te-

tap berlaku dan selanjutnya me-

nyesuaikan Peraturan Menteri ini.

j. terhadap Kemitraan yang telah

dilaksanakan oleh KPH tetap

berlaku dan selanjutnya me-

nyesuaikan Peraturan Menteri ini.

k. kegiatan pengelolaan hutan

bersama masyarakat, yang di-

laksanakan di areal Perum Per-

hutani dilaksanakan sesuai dengan

Peraturan Menteri ini.

l. kegiatan bina desa hutan yang

dilaksanakan oleh pemegang izin

usaha hasil hutan kayu pada hutan

alam atau hutan tanaman di-

laksanakan sesuai dengan Per-

aturan Menteri ini.

m. kerja sama yang selama ini di-

laksanakan antara pengelola ka-

wasan konservasi dengan ma-

syarakat setempat disesuaikan de-

ngan Peraturan Menteri ini.

b) Penguasaan di kawasan konservasi

Sebagaimana disebutkan bahwa

kendala penerapan Perpres 88 di hutan

konservasi adalah ketentuan yang me-

nentukan resettlement sebagai satu-

satunya pilihan penyelesaian. Untuk me-

ngatasi kendala tersebut tulisan ini tidak

mengusulkan agar Permenko untuk me-

laksanakan lebih lanjut Perpres 88, me-

nentukan bahwa untuk hutan konservasi

bisa menggunakan pilihan lain yaitu pe-

lepasan dari kawasan hutan, perhutanan

sosial atau tukar menukar. Tulisan ini juga

tidak menganjurkan agar Permenko meng-

hilangkan kriteria fungsi hutan dalam me-

nentukan pilihan penyelesaian pe-

nguasaan dan menggantinya dengan kri-

teria kondisi faktual vegetasi. Ide-ide di

atas tidak dianjurkan karena melampaui

batasan diskresi dan yang paling utama

akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Sebagai jalan keluar, tulisan ini me-

nyarankan untuk melaksanakan Permen-

LHK P.83/2016 dengan skema Kemitraan

Kehutanan. Sekalipun hanya bisa dilakukan

pada zona pemanfaatan, zona tradisional

dan zona rehabilitasi pada Taman Nasi-

onal, dan pada blok pemanfaatan di Taman

Wisata Alam dan Taman Hutan Raya, lahan

garapan di hutan konservasi diizinkan.

Penggarapan diperbolehkan lewat adanya

kesepakatan kerjasama antara Pengelola

Hutan dan masyarakat setempat. Kuali-

fikasi masyarakat setempat di antaranya

tinggal di dalam dan/atau di sekitar areal

pengelola hutan, dan mempunyai mata

pencaharian pokok yang bergantung pada

lahan garapan yang berlokasi di areal kerja

pengelola hutan. Adapun syarat untuk

areal Kemitraan Kehutanan di antaranya

Page 68: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

67

areal konflik dan berpotensi konflik, areal

yang memiliki potensi dan sumber peng-

hidupan bagi masyarakat setempat, dan

areal yang tergradasi.

Selain dengan Kemitraan, skema

hutan adat juga dapat digunakan untuk

menyelesaikan penguasaan hutan konser-

vasi untuk kebun sawit rakyat. Menurut

Permen LHK P.32/2015, hutan adat bisa di-

laksanakan pada semua kawasan hutan

negara tidak terkecuali yang berfungsi kon-

servasi. Areal dalam hutan konservasi

dapat dimohonkan sebagai hutan adat se-

panjang memenuhi persyaratan sebagai-

mana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Permen

ini. Ketentuan ini sudah dibuktikan dengan

penetapan oleh Menteri Lingkungan Hidup

dan Kehutanan sebagian kawasan Taman

Nasional Gunung Halimun seluas lebih

kurang 462 ha sebagai hutan adat ma-

syarakat Kasepuhan Karang (Lebak) pada

Desember 2016. Akan tetapi skema hutan

adat tampaknya tidak cocok untuk Desa

Alur Banung dan PIR ADB karena ma-

syarakatnya tidak terlihat berkategori

sebagai masyarakat adat.

Perlu diberi catatan agar penguasaan

Taman Nasional yang dimanfaatkan untuk

kebun sawit rakyat dapat menggunakan

skema Kemitraan Kehutanan, maka ke-

tentuan dalam Permenko atau revisi Per-

menLHK P.83 yang mencabut keberlakuan

Pasal 56 ayat (5) dan Pasal 65 huruf h

Permen LHK P.83/2016, diperlukan. Ke-

tentuan tersebut nantinya akan ditegaskan

dalam klausul dalam Naskah Kesepakatan

Kerjasama antara Pengelola Hutan (Balai

Besar/Balai Taman Nasional) dan ma-

syarakat setempat dengan menyebut-

kannya sebagai salah satu hak dari mas-

yarakat setempat. Hak dimaksud adalah

memanfaatkan areal kemitraan dengan

tanaman sawit.

Sebagai penutup dari uraian me-

ngenai pilihan-pilihan strategi pelaksanaan

RA dalam Kawasan hutan, tulisan ini me-

ngingatkan bahwa rekomendasi-rekomen-

dasi di atas tetap dengan mengingat ke-

tentuan Pasal 30 huruf a Perpres 88 yang

secara implisit tidak mentolerir pe-

nguasaan atau pendudukan tanah baru

yang dilakukan selama proses pe-

nyelesaian penguasaan dalam kawasan

hutan dilakukan. Dengan kata lain, re-

komendasi-rekomendasi dalam tulisan ini

tidak dapat digunakan bagi penguasaan ka-

wasan hutan yang dilakukan sejak Perpres

88 diberlakukan.

Page 69: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

68

Page 70: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

69

Kekawatiran atau tanda tanya

Kementerian Lingkungan Hidup dan Ke-

hutanan mengenai kemungkinan me-

langgar kebijakan dan peraturan per-

undangan mengenai perlindungan hutan

bila melaksanakan kebijakan dan per-

aturan perundangan RA dalam kawasan

hutan, sudah mempunyai dasar sejak ta-

hapan perencanaan. Dokumen-dokumen

perencanaan yaitu RPJM, Renstra dan

Strategi Nasional Kementerian dan Lem-

baga Non Kementerian tidak mem-

perhatikan atau menjelaskan keselarasan

antara kedua kebijakan tersebut. Ketidak-

selarasan terjadi karena masing-masing

dokumen perencanaan tersebut kabur dan

tidak sama dalam menjelaskan lokasi pe-

nyelenggaraan RA. Akibatnya, di atas

kertas proses penyelenggaraan RA bisa

mandek karena terganggu oleh kegiatan

perlindungan hutan.

Perpres No. 88/2017 sudah mem-

perjelas lokasi RA dalam kawasan hutan

dan memastikan bahwa proses RA tidak

akan diganggu oleh kegiatan-kegiatan per-

lindungan hutan. Namun, dengan mem-

perlakukan persyaratan berlapis untuk me-

mutuskan pilihan penyelesaian pe-

nguasaan kawasan hutan, Perpres ini di-

nilai tidak bersahabat dengan kenyataan

lapangan mengenai penguasaan kawasan

hutan. Persyaratan berlapis tersebut

adalah: subjek, waktu penguasaan dilakuk-

an (sebelum dan sesudah penunjukan),

bentuk penguasaan dan pemanfaatan,

jenis kawasan hutan, luas minimum areal

hutan yang harus dipertahankan, dan

jangka waktu penguasaan. Persyaratan

mengenai waktu penguasaan dilakukan,

bentuk penguasaan dan pemanfaatan,

jenis kawasan hutan, luas minimum areal

hutan yang harus dipertahankan, dan

jangka waktu penguasaan, merupakan

syarat-syarat yang sulit untuk dipenuhi

atau menyulitkan untuk melaksanakan RA.

Bagi penguasaan kawasan hutan

untuk kebun sawit rakyat, persyaratan

yang sulit untuk dipenuhi oleh para petani

adalah bentuk penguasaan dan pe-

manfaatan, dan jangka waktu penguasaan.

Perpres No. 88/2017 implisit me-

ngeluarkan kebun sawit rakyat dari ca-

kupan lahan garapan, dan tidak me-

masukannya sebagai contoh dari kebun

campuran. Sekalipun demikian, Perpres ini

membuka peluang kebun sawit rakyat

kedalam cakupan lahan garapan atau

kebun campuran karena menggunakan

kata ‘dapat’ dalam menentukan cakupan

lahan garapan. Jangka waktu penguasaan

selama 20 tahun atau lebih secara ber-

turut-turut berbeda sekali dengan ke-

nyataan lapangan dimana usia penguasaan

rata-rata dibawah 20 tahun. Hal ini me-

Page 71: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

70

nutup pilihan untuk melepaskan dari ka-

wasan hutan dan hanya memungkinkan pi-

lihan perhutanan sosial.

Karakter tidak adaptif atau

bersahabat Perpres No. 88/2017 terhadap

realitas penguasaan kawasan hutan, perlu

disikapi dengan memiliki strategi-strategi

implementasi agar RA dalam kawasan

hutan berjalan efektif. Secara khusus,

strategi-strategi tersebut diperlukan agar

penguasaan kawasan hutan dengan kebun

sawit rakyat mendapat pengesahan hukum

yang membuka jalan bagi penerapan ISPO

pada kebun-kebun sawit rakyat yang

berlokasi dalam kawasan hutan. Dua

strategi implementasi yang dapat di-

lakukan adalah menafsir istilah lahan ga-

rapan dan kebun campuran dan me-

luruskan tafsir untuk jangka waktu pe-

nguasaan tanah.

Strategi-strategi implementasi ter-

sebut diperlukan agar tujuan fundamental

RA yaitu meningkatkan kualitas kehidupan

rakyat dengan cara memenuhi hak-hak da-

sarnya seperti hak untuk mempunyai hak

milik pribadi, hak untuk tidak didiskri-

minasi, dan hak atas hidup, dapat di-

wujudkan. Strategi-strategi tersebut ber-

tujuan menghilangkan norma-norma pro-

sedural yang berkarakter mengaburkan

atau bahkan menghilangkan maksud dasar

dari suatu rejim pengaturan. Jika dilak-

sanakan dengan rigid, norma-norma pro-

sedural tersebut akan menghalangi pe-

nyelenggara negara untuk mewujudkan

tujuan-tujuan dasar kebijakan dan aturan

hukum. Ketentuan-ketentuan prosedural

dalam Perpres No. 88/2017 sangat ber-

potensi membuat penyelenggara negara

lupa bahwa esensi sesungguhnya dari pe-

nguasaan tanah adalah pemanfaatan se-

cara efketif dan intensif yang dilakukan

dengan itikad baik.

Page 72: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

71

Page 73: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

72

Buku, jurnal, dan laporan

Agung Wibawa et al., 2017, “Dari Reformasi Kembali ke Orde Baru: Tinjuan Kritis Peraturan Presiden No. 88 Tahun 2017”. Jakarta: AMAN, Epistema dan HUMA.

Ari Wibowo, 2013,” Kajian penurunan emisi gas rumah kaca sector kehutanan untuk mendukung kebijakan Perpres No. 61/2011, Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, Vol. 10 No. 3, hlm. 235-254.

Bagir Manan, 2004, Hukum Positif di Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), Yogyakarta: FH UII.

Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni.

Benjamin van Rooij,2006, Regulating Land and Pollution in China, Lawmaking, Compli- ance, and Enforcement; Theory and Cases. Leiden: Leiden University Press.

Buitelaar, E., Galle, M. Sorel, N. 2011. “Plan-led planning systems in development-led practices: an empirical analysis into the (lack of) institutionalisation of planning law”, Environment and Planning A: Economy and Space, Vol 43, Issue 4, hlm. 928.

Christoher R. Duncan, 2017,” Mixed outcomes: the impact of regional autonomy and the decentralization on indigenous ethnic minorities in Indonesia, Development and Change, Vo.38 (4): 711-733.

Grant, M., 1992, “Planning law and the British land use planning system: an

overview”, The Town Planning Review, Vol 63, Issue 1, hlm. 3.

Ilyas, 2005, “Konsepsi Hak Garap atas Tanah Dalam Sistem Hukum Pertanahan Indonesia dalam Kaitannya dengan Ajaran Negara Kesejahteraan, disertasi pada Program Pasca Sarjana Universitas Padjajaran.

IRE dan Javlec, 2018, “Pengembangan Model dan Peta Jalan Konsolidasi Lahan Sawit rakyat di Kawasan Hutan untuk Menjamin Tata Kelola Sawit Rakyat yang baik Guna Mewujudkan Penghidupan Berkelanjutan, laporan tidak dipublikasikan.

Kantor Staf Presiden Republik Indonesia, 2017, “Pelaksanaan Reforma Agraria, Arahan kantor staf presiden: prioritas nasional reforma agrarian dalam rencana kerja pemerintah tahun 2017, tidak dipublikasikan.

K. Kartawinata, H. Soedjito, T. Jessup, A.P. Vayda, dan C.J.P. Colfer, 1984,”The impacts of development on the interactions between people and forest in East Kalimantan: a comparison of two areas of Kenyah Dayak settlement, Environmentalists, Vol. 4, Supplement 7, hlm. 87-95.

Needham dan Thomas di Buitelaar, E., Galle, M. Sorel, N., 2011, “Plan-led planning systems in development-led practices: an empirical analysis into the (lack of) institutionalisation of planning law”, Environment and Planning A: Economy and Space, Vol 43, Issue 4, hlm. 935.

Nurhasan Ismail, 2015, “Surat keterangan tanah adat (SKTA) sebagai bukti awal penguasaan dan pemanfaatan tanah adat: penelusuran dasar hukumnya”, presentasi disampaikan pada acara

Page 74: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

73

“Diseminasi Hasil Kajian dan Evaluasi Pelaksanaan Inventarisasi, Identifikasi, Pemetaan, Pematokan atau Pembuatan SKTA di Kalimantan Tengah”, diselenggarakan Kemitraan, Palangkaraya, 9-10 April.

Riawan Tjandra, 2014, Hukum Sarana Pemerintahan, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.

Rikardo Simarmata, 2002,” Regional autonomy and character of local government laws and regulations: new pressures on the environment and indigenous communities, International association for the study of common.

________________, 2009, “Gejala informalitas pada tanah garapan, Law Reform, Vol. 3 No. 2.

________________, 2015, “Kedudukan hukum dan peluang pengakuan surat keterangan tanah adat. Jakarta: Kemitraan.

Rikardo Simarmata et al., 2017, “Memadamkan Api: Penegakan hukum kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau dan perubahan-perubahan pada pola penguasaan dan penggunaan lahan”, laporan tidak dipublikasikan, HUMA&World Resources Institute.

Robinson, M. 2008, “Moral Principles are not Moral Laws”, Journal of Ethics Social Philosophy, Vol. 2, No. 3, , hlm. 1-3.

Tami Linasari, 2018,” Implementasi Perber di Desa Lancang Kuning, Kecamatan Bintan Utara, Kabupaten Bintan”, tesis pada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Transtoto Handadhari, 2017,” Memutihkan Penguasaan Ilegal Tanah Hutan”. Kompas, 8 November 2017.

Yekti Maunati, 2004, Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LKIS.

Internet

https://aa.com.tr/id/headline-hari/lsm-masyarakat-adat-paling-banyak-hadapi-kriminalisasi/1069356

https://www.ekon.go.id/berita/view/pemerintah-lanjutkan-program.3789.html

http://gakkum.menlhk.go.id/compro/docs/CapaianGakkum2016.pdf

http://ditjenbun.pertanian.go.id/berita-497-pemerintah-komitmen-membantu-petani-kelapa-sawit.html

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54b1f62361f81/surat-edaran--kerikil-dalam-perundang-undangan

http://tataruangpertanahan.com/pdf/pustaka/kebijakan_strategi/5.pdf

Peraturan perundang-undangan

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009.

Page 75: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

74

Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014.

Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019.

Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.

Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.04/Menhut-II/2005 tentang Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra K/L) Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.08/Menhut-II/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014.

Peraturan Menteri Pertanian No. 11/Permentan/OT.140//3/2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan di Indonesia (Indonesian Sustaibale Palm Oil Certification System/ISPO).

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 25 Tahun 2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Tahun 2015-2019.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.39/Menlhk-Setjen/2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Lingkungan

Hidup dan Kehutanan Tahun 2015-2019.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.83/MenLHK/Setjen/Kum.1/10/ Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial.

Putusan pengadilan

Putusan Mahkamah Agung Nomor 329K/Sip/1957, tanggal 24-9-1958.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1037k/Sip/1971, tanggal 31-7-1973.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 578K/Sip/1973, tanggal 20-8-1973.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 259K/Sip/1973, tanggal 9-12-1975.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 783K/Sip/1973, tanggal 21-1-1976.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 783K/Sip/1973, tanggal 29-1-1976.

Page 76: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

75

Page 77: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

76

Page 78: PENYELESAIAN MASALAH PENGUASAAN DAN …

77