Penyakit Paru Obstruktif Kronik

30
Penyakit Paru Obstruktif Kronik Margaretha Meytha Marindra 102013088/E6 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat Alamat korespodensi: [email protected] Pendahuluan Indonesia termasuk negara yang padat akan penduduknya. Dengan kepadatan penduduk sehingga asap kendaraan, asap rokok, asap pabrik yang membuat polusi udara semakin meningkat dan menyebabkan berbagai penyakit, salah satunya penyakit pada saluran pernapasan seperti Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). PPOK adalah keadaan penyakit yang ditandai oleh keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible. Keterbatasan udara ini biasanya progresif dan berhubungan dengan respons peradangan yang abnormal dari paru terhadap partikel atau udara yang berbahaya. 1 Pembahasan Anamnesis Menanyakan riwayat penyakit disebut ‘anamnesa’. Anamnesa berarti ‘tahu lahi’,’kenangan’. Jadi anamnesa merupakan suatu percakapan antara penderita dan dokter, peminta bantuan dan 1

description

paru

Transcript of Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Page 1: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Margaretha Meytha Marindra

102013088/E6

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat

Alamat korespodensi: [email protected]

Pendahuluan

Indonesia termasuk negara yang padat akan penduduknya. Dengan kepadatan

penduduk sehingga asap kendaraan, asap rokok, asap pabrik yang membuat polusi udara

semakin meningkat dan menyebabkan berbagai penyakit, salah satunya penyakit pada saluran

pernapasan seperti Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). PPOK adalah keadaan penyakit

yang ditandai oleh keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible. Keterbatasan

udara ini biasanya progresif dan berhubungan dengan respons peradangan yang abnormal

dari paru terhadap partikel atau udara yang berbahaya.1

Pembahasan

Anamnesis

Menanyakan riwayat penyakit disebut ‘anamnesa’. Anamnesa berarti ‘tahu

lahi’,’kenangan’. Jadi anamnesa merupakan suatu percakapan antara penderita dan dokter,

peminta bantuan dan pemberi bantuan. Atas permintaan penderita maupun dokter, ada

baiknyabila hadir orang ketiga atau keempat, orang yang dipercaya, pasangan, atau anggota

keluarga. Tujuan anamnesa pertama-tama mengumpulkan keterangan yang berkaitan dengan

penyakitnya dan yang dapat menjadi dasar penentuan diagnosis. Mencatat (merekam)

riwayat penyakut, sejak gejala pertama dan kemuadian perkembangan gejala, serta keluhan,

sangatlah penting. Perjalanan penyakit hamper selalu khas untuk penyakit bersangkutan.

Kedua, yang tidak kalah pentingnya adalah penderita dan dokternya saling belajar mengenal.

1

Page 2: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Disini pembicara, pendengar, penjawab, dan penanya menyeleksi dan mengingat secara

snegaja maupun tidak sengaja hal-hal yang dianggap penting.2

Anamnesis harus dilakukan sejak pertama kali pasien datang kepada kita. Anamnesis

yang harus ditanyakan adalah,

1. Identitas.

2. Keluhan utama.

3. Riwayat penyakit sekarang.

4. Keluhan penyerta

5. Riwayat penyakit dahulu.

6. Riwayat penyakit keluarga.

7. Riwayat pemakaian obat.

8. Riwayat kebiasaan & lingkungan sosial.

Pemeriksaan Fisik

1) Inspeksi

Adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara melihat bagian tubuh yang

diperiksa melalui pengamatan. Cahaya yang adekuat agar dapat membedakan warna,

bentuk dan kebersihan tubuh pasien. Fokus inspeksi pada setiap bagian tubuh

meliputi : ukuran tubuh, warna, bentuk, posisi, simetris. Dan perlu dibandingkan hasil

normal dan abnormal bagian tubuh satu dengan bagian tubuh lainnya. Contohnya

pada PPOK: Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong), terdapat cara bernapas

purse lips breathing (seperti orang meniup), terlihat penggunaan dan hipertrofi

(pembesaran) otot bantu napas, pelebaran sela iga. 3

2) Palpasi

Palpasi adalah suatu teknik yang menggunakan indera peraba. Tangan dan jari-jari

adalah instrumen yang sensitif digunakan untuk mengumpulkan data, misalnya

tentang : temperatur, turgor, bentuk, kelembaban, vibrasi, ukuran, dll. Contohnya

pada PPOK: Pada umumnya normal jarang sekali ditemukan pembesaran organ-

organ. 3

3) Perkusi

Perkusi adalah pemeriksaan dengan jalan mengetuk bagian permukaan tubuh tertentu

untuk membandingkan dengan bagian tubuh lainnya (kiri kanan) dengan tujuan

2

Page 3: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

menghasilkan suara. Perkusi bertujuan untuk mengidentifikasi lokasi, ukuran, bentuk

dan konsistensi jaringan. Perawat menggunakan kedua tangannya sebagai alat untuk

menghasilkan suara.contohnya pada PPOK: Ditemukan suara hipersonor.3

4) Auskultasi

Adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara mendengarkan suara yang

dihasilkan oleh tubuh. Biasanya menggunakan alat yang disebut dengan stetoskop.

Hal-hal yang didengarkan adalah : bunyi jantung, suara nafas dan bising usus.

Contohnya pada PPOK: Fremitus melemah, suara napas vesikuler melemah atau

normal, ekspirasi memanjang, mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi), ronki.3

Pemeriksaan Penunjang

1) Tes Fungsi Paru

PPOK ditegakkan dengan spirometri, yang menunjukkan volume ekspirasi paksa dalam 1

detik < 80% nilai yang diperkirakan, dan rasio FEV1 : kapasitas vital paksa < 70 %. Laju

aliran ekspirasi puncak menurun. Obstruksi saluran napas hanya reversible sebagian bila

diterapi dengan bronkodilator (atau obat lain).4

2) Uji bronkodilator

Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada dapat menggunakan APE

meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit

kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20%

nilai awal dan < 200 ml.4

3) Pemeriksaan Radiologi (Foto Thorax)

Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan

tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit

paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien. Seperti : 4

a) Pada bronkitis kronis, foto thoraks memperlihatkan tubular shadow berupa bayangan

garis-garis yang paralel keluar dari hilus menuju apeks paru dan corakan paru yang

bertambah. 4

b) Pada emfisema, foto thoraks menunjukkan adanya hiperinflasi dengan gambaran

diafragma yang rendah dan mendatar, penciutan pembuluh darah pulmonal, serta

gambaran jantung tampak lebih kecil (jantung menggantung : Jantung pendulum / tear

drop / eye drop appearance.) 4

3

Page 4: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

4) Analisis Gas Darah

Harus dilakukan apanila ada kecurigaan gagal napas dan gagal napas akut pada gagal

napas kronik. 4

5) Computed Tomography

Dengan cara menggunakan computer olahan sinar X untuk menghasilkan gambar

tomografi atau potongan dari daerah tertentu pada tubuh. Computed Tomography ini

digunakan untuk tujuan diagnostik dan terapi. Dengan bantuan computed tomography ini

kita dapat memastikan adanya bula emfisematosa. 4

6) Uji Provokasi Bronkus

Untuk menilai derajat hipereaktivitas bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat

hipereaktiviti bronkus derajat ringan. 4

7) Mikrobiologi Sputum

Digunakan untuk pemilihan antibiotoka (bila terjadi eksaserbasi). 4

Diagnosis

Diagnosis Kerja

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

PPOK adalah keadaan penyakit yang ditandai oleh keterbatasan aliran udara yang tidak

sepenuhnya reversible. Keterbatasan udara ini biasanya progresif dan berhubungan dengan

respons peradangan yang abnormal dari paru terhadap partikel atau udara yang berbahaya.1

Diagnosis Banding

Asma Bronkial

Asma bronkial adalah satu hiper-reaksi dari bronkus dan trakea yang mengakibatkan

penyempitan saluran napas yang bersifat reversible. Asma ini merupakan kelainan inflamasi

kronik yang kambuhan ini ditandai oleh serangan bronkospasme yang paroksismal tapi

reversibel pada saluran napas trakeobronkial; serangan ini disebabkan oleh hiper-reaktivitas

otot polos.5

4

Page 5: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Terjadinya serangan asma tidak terduga dan bisa terjadi kapan saja, terutama diperkirakan

jika terkena alergen dan lingkungan pemicu. Penyakit asma dapat dipilah menurut intensitas

klinik, respon terhadap terapi dan agen pemicunya. Secara patofisiologi dikenali 2 tipe yang

utama:5

1) Asma atopik (alergik;reagin-mediated)

Merupakan tipe yang sering ditemukan. Tipe asma ini dipicu oleh antigen lingkungan

(misalnya debu, serbuk sari, makanan), perubahan cuaca, aktivitas dan sering disertai

riwayat atopi dalam keluarga. Lebih sering terjadi pada anak-anak.

2) Asma nonatopik (nonreaginik, nonimun)

Kerapkali dipicu oleh infeksi saluran napas, zat-zat iritan kimia atau obat-obatan,

pengaruh isiologis seperti stress dan biasanya tanpa riwayat keluarga dan tanpa

keterlibatan IgE yang nyata. Penyebab peningkatan reaktivitas saluran napas tidak

diketahui. Lebih sering mengenai orang dewasa di atas usia 40 tahun.

Asma bronkiale merupakan penyakit respiratorik kronik yang tersering dijumpai pada

anak. Asma dapat muncul pada usia berapa saja, mulai dari balita, prasekolah, sekolah atau

remaja. Prevalensi di dunia berkisar antara 4-30%, sedangkan di Indonesia sekitar 10% pada

anak usia sekolah dasar dan 6,7% pada anak usia sekolah menengah.5

Sebanyak 10-15% anak laki-laki dan 7-10% anak wanita dapat menderita asma pada

suatu saat selama masa kanak-kanak. Sebelum pubertas sekitar dua kali anak laki-laki yang

lebih banyak terkena daripada anak wanita, setelah itu insiden menurut jenis kelamin sama. 5

Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus,

sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat selama

ekspirasi, karena secara fisiologis saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini

mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa di ekspirasi.

Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF), dan pasien

akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan

hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar.

Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas. Gangguan yang

berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara objektif dengan VEP 1 (Volume Ekspirasi

Paksa detik pertama) dan APE (Arus Puncak Ekspirasi), sedangkan penurunan KVP

(Kapasitas Vital Paksa) menggambarkan derajat hiperinflasi paru. Penyempitan saluran napas

dapat terjadi baik pada saluran napas yang besar, sedang, maupun kecil. Gejala mengi

5

Page 6: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

menandakan ada penyempitan di saluran napas besar, sedangkan pada saluran napas yang

kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding mengi.5,6

Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru. Ada daerah-

daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang melalui daerah tersebut

mengalami hiposekmia. Penurunan O2 mungkin merupakan kelainan pada asma sub klinis.

Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan hiperventilasi, agar kebutuan tubuh

terpenuhi. Tetapi akibatnya pengeluaran CO2 menjadi berlebihan, sehingga tekanan CO2

menurun, yang kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik. Pada serangan asma yang lebih

berat lagi banyak saluran napas dan alveolus tertutup oleh mukus, sehingga tidak mungkin

lagi terjadinya pertukaran gas.5,6

Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot pernapasan bertambah berat

serta terjadi peningkatan produksi CO2. Peningkatan produksi CO2 yang disertai dengan

penurunan ventilasi alveolus, menyebabkan retensi CO2 (hiperkapnia) dan terjadi asidosis

respiratorik atau gagal napas. Hipoksemia yang berlangsung lama menyebabkan asidosis

metabolik dan kontriksi pembuluh darah paru yang kemudian menyebabkan shunting yaitu,

peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas yang baik, yang akibatnya memperburuk

hiperkapnia. Dengan demikian penyempitan saluran napas pada asma akan menimbulkan hal-

hal sebagai berikut: 1.) Gangguan ventilasi berupa hiperventilasi, 2.) Ketidakseimbangan

ventilasi perfusi dimana distribusi ventilasi tidak setara dengan sirkukasi darah paru, 3.)

Gangguan difusi gas di tingkat alveoli. Ketiga faktor tersebut akan mengakibatkan :

hipoksemia, hiperkapnia, asidosis respiratorik pada tahap yang lanjut.5,6

Gejala-gejala dari penyakit asma bronkiale, antara lain sebagai berikut:

1. Sesak napas yang diikuti suara mengi.

2. Pada umumnya disertai batuk dengan dahak yang lengket dan kental.

3. Gelisah dan cemas.

4. Napas terengah-engah akibat kejang dan rasa berat pada dada.

5. Sulit untuk berbicara.

Komplikasi terjadi akibat Keterlambatan penanganan dan penanganan yang tidak adekuat.

Komplikasi yang mungkin terjadi adalah :5

1. Akut

- Dehidrasi

- Gagal napas

6

Page 7: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

- Infeksi saluran napas

2. Kronis

- Kor-pulmonale

- PPO kronis

- Pneumotorak.

Pengobatan penyakit asma dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu jangka pendek dan

jangka panjang.

1. Pengobatan jangka pendek

Pengobatan jangka pendek dilakukan dengan pemberian obat-obatan untuk mengatasi

penyempitan saluran pernapasan, produksi dahak yang berlebihan, dan sembab pada

selaput lendir jalan napas.6

2. Pengobatan jangka panjang

Pengobatan jangka panjang dikenal dengan sebutan immunoterapi, yakni penyuntikan

bahan alergi terhadap pengidap alergi yang dosisnya terus dinaikkan secara bertahap.

Pengobatan ini bertujuan mengurangi atau menghilangkan kepekaan orang tersebut

terhadap bahan itu.6

Pencegahan pada pasien asma adalah sebagai berikut:5

1. Penyuluhan

2. Menghindari faktor pencetus

3. Fisioterapi

4. Pemberian Cairan

5. Pengobatan

6. Obat-obatan seperti orsiprenalin, aminofilin, teofilin

Pada umumnya bila segera ditangani dengan adekuat pronosa adalah baik. Apabila

asma karena faktor imunologi (faktor ekstrinsik) yang muncul semasa kecil prognosanya

lebih baik dari pada yang muncul sesudah dewasa. Prognosis dan angka kematian akan

meningkat, bila tidak ada fasilitas kesehatan yang memadai serta tidak ada penanganan yang

tepat. 5

Bronkhitis Kronik

Bronkhitis kronik adalah keadaan yang berkaitan dengan produksi mukus

trakeobronkiale yang berlebihan sehingga cukup untuk menimbulkan batuk dengan

ekspetorasi sedikitnya 3 bulan dalam setahun untuk lebih dari 2 tahun secara berturut-turut.

7

Page 8: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Terdapat beberapa subklasifikasi, diantaranya bronkitis kronik simpleks, bronkitis

mukopurulen kronik, dan bronkitis kronik dengan obstruksi. Bronkitis kronik simpleks

menjelaskan suatu keadaan yang ditandai dengan pembentukan sputum mukoil. Bronkitis

mukopurulen kronik ditandai dengan sputum purulent yang persisten maupun berulang pada

keadaan tidak ditemukannya penyakit supuratif setempat seperti bronkiektasis. Karena

mungkin ada dan mungkin juga tidak ditemukan obstruksi yang dinilai dengan penggunaan

maneuver kapasitas vital ekspirasi paksa (force expiration capacity, FEC), bronkitis kronik

dengan obstruksi memerlukan klasifikasi yang terpisah. Selanjutnya ditemukan kelompok

pasien dengan bronkitis kronik dan obstruksi yang mengalami dyspnea berat dan mengi,

berkaitan dengan iritan yang terhirup atau sewaktu infeksi pernapasan akut. Pasien seperti ini

disebut menderita asma infektif kronik atau bronkitis asmatik kronik. Karena obstruksi jalan

napas dapat pulih kembali walau tidak menyeluruh melalui terapi bronkodilator dan

pengurangan inflamasi dan karena hiperresponsif jalan napas terhadap rangsangan

nonspesifik dapat dijumpai pada kelompok pasien ini, keraguan ditemukan pada pasien

keadaan ini dengan pasien asma yang juga mengalami obstruksi jalan napas kronik.

Perbedaan didasarkan terutama pada riwayat perjalanan penyakit. Pasien dengan bronkitis

asmatik kronik memiliki riwayat batuk lama dan pembentukan sputum dengan awitan

selanjutnya yaitu mengi , sedangkan pasien asma dengan obstruksi kronik memiliki riwayat

mengi yang lama dan awitan selanjutnya yaitu batuk produktif kronik.6

Kurang lebih 20% laki-laki dewasa menderita bronkitis kronik, namun hanya sejumlah

kecil darinya yang secara klinis cacat. Berdasarkan semua survey, laki-laki lebih sering

menderita dibandingkan perempuan. Akan tetapi, dengan meningkatnya jumlah perokok

perempuan, prevalensi bronkitis pada kelompok perempuan meningkat. Walaupun perokok

merupakan faktor etiologi tunggal yang paling penting, pemajanan akibat kerja dan

lingkungan sekarang ini cukup banyak, terutama sebagai unsur penambah bagi efek yang

ditimbulkan oleh merokok. 6

Bronkitis kronik berhubungan dengan hyperplasia atau hipertrofi kelenjar pembentuk

mukus yang ditemukan di dalam lapisan submukosa jalan napas kartilaginosa besar. Penilaian

perubahan ini dikenal sebagai indeks Reid, didasarkan pada rasio ketebalan kelenjar

submukosa dengan dinding bronkus. Pada pasien tanpa riwayat bronkitis kronik, rasio rata-

rata adalaj 0,44 dengan standar baku ± 0,09, sedangkan pada pasien dengan riwayat bronkitis

kronik rasio rata-rata adalah 0,52 ± 0,08. Walaupun indeks yang rendah jarang sekali

berhubungan dengan gejala dan indeks yang tinggi pada umumnya berhubungan dengan

gejala sewaktu hidup, masih ditemukan adanya tumpang tindih. Oleh karena itu, banyak

8

Page 9: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

pasien mengalami perubahan morfologik dalam jalan napas besar tanpa disertai bronkitis

kronik.6

Mungkin yang jauh lebih penting daripada kelainan yang ditemukan dalam jalan

napas besar adalah perubahan yang sering ditemukan di dalam jalan napas kecil yang tidak

mempunya tulang rawan. Hyperplasia sel goblet, sel radang mukosa dan submukosa, edema,

fibrosis peribronkiale, kumpulan mukus intraluminal dan peningkatan otot polos merupakan

penemuan khas dalam jalan napas kecil. Frekuensi ditemukan hal tersebut dalam

hubungannya dengan status klinis pascamati dan fungsional masih belum dapat ditemukan.

Akan tetapi, pada pasien dengan PPOM yang telah diamati pascamati, obstruksi aliran udara

yang utama telah ditunjukkan pada jalan napas kecil.6

Bronkitis kronik diduga terjadi karena merokok, terpajan polusi udara, debu, infeksi,

bahkan faktor genetik.

Merokok

Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa aktivitas merokok yang lama

mengganggu pergerakan silia, mengahmbat fungsi makrofag alveolus dan akhirnya

menyebabkan hipertrofi dan hyperplasia kelenjar pengsekresi mukus. Disamping efek

kronik ini, kemungkinan merokok menghambat antiprotease dan menyebabkan sel

PMN melepaskan enzim proteolitik secara tiba-tiba. Menghirup asap rokok dapat

menghasilkan peningkatan resistensi jalan napas secara tiba-tiba akibat konstriksi otot

polos melalui saraf vagus, diduga melalui perangsangan reseptor iritan submukosa.

Hubngan antara episode konstriksi bronkiale akut berulang dengan perkembangan dan

kemajuan obstruksi jalan napas berhubungan dengan kemajuan yang lebih cepat pada

pasien dengan obstruksi jalan napas kronik.6

Polusi udara

Insidensi dan angka kematian akibat bronkitis kronik dapat lebih tinggi di

daerah urban yang padat industrialisasi, eksaserbasi bronkitis jelas berhubungan

dengan periode polusi berat dengan sulfur dioksida (SO2) dan unsur yang sangat kecil.

Sementara nitrogen oksida (NO2) dapat menimbulkan obstruksi jalan napas kecil

(bronkitis) pada binatang percobaan yang terpajan dengan konsentrasi, tidak ada data

yang secara pasti melibatkan NO2 pada proses pathogenesis atau perburukan obstruksi

jalan napas pada manusia, bahkan pada kadar polutan yang sangat tinggi sekalipun.6

Pekerjaan

Bronkitis kronik lebih serinng ditemukan pada pekerja yang berhubungan

dengan pekerjaan yang terpajan dengan debu anorganik, organic, ataupun terhadap

9

Page 10: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

gas beracun. Penelitian epidemiologik telah berhasil menunjkkan percepatan

penurunan fungsi paru pada banyak pekerja tersebut. Misalnya pada pekerja di pabrik

plastic yang terpapar oleh toluene diisosianida dan pekerja pemintal kapas.6

Infeksi

Morbiditas, mortalitas, dan frekuensi penyakit pernapasan akut lebih tinggi

pada pasien dengan bronkitis kronik. Banyak usaha telah dilakukan untuk

menghubungkan penyakit ini dengan infeksi virus, mikoplasma dan bakteri. Akan

tetapi, hanya rhinovirus yang lebih sering menyebabkan eksaserbasi. Berdasarkan

intuisi sangat menarik menentukan beberapa peran infeksi saluran napas dalam

pathogenesis dan progresi PPOm dan walaupun pertanyaan ini masih dipelajari, masih

belum ada kesepakatan sampai saat ini. Akan tetapi, penelitian epidemiologik

menunjukkan bahwa penyakit pernapasan akut merupakan salah satu faktor yang

berhubungan dengan etiologi, demikian juga dengan perkembangan obstruksi jalan

napas kronik. Telah ditunjukkan bahwa perokok secara transien dapat menderita atau

memperburuk obstruksi jalan napas kecil yang berhubungan dengan infeksi virus

pernapasan yang ringan sekalipun. Juga ditemukan bukti bahwa pneumonia berat

akibat virus pada awal masa kehidupan dapat mengarah pada obstruksi kronik,

terutama pada jalan napas kecil.6

Faktor familial dan genetik

Kumpulan bronkitis kronik yang bersifat familia telah diperlihatkan dengan

baik di masa lalu. Penelitian baru-baru ini menujukkan bahwa anak dari orang tua

perokok dapat menderita penyakit pernapasan lebih sering dan lebih berat dan

prevalensi terhadap gejala gangguan pernapasan kronik lebih tinggi. Selain itu, pasien

yang tidak merokok yang tinggal dengan perokok (perokok pasif) mengalami

peningkatan kadar karbon monoksida darah yang menunjukkan bahwa pasien juga

secara bermakna terpajan oleh asap rokok. Bentuk polusi udara dalam ruangan yang

terdokumentasi dengan baik berhubungan dengan penggunaan gas alam untuk

memasak. Akan tetapi, beberapa penelitian terhadap kembar monozigot menyatakan

bahwa beberapa faktor predisposisi genetik terhadap perkembangan bronkitis kronik

tidak bergantung pada kebiasaan individu atau familial perokok dan polusi udara

rumah lainnya. Model transmisi genetik yang sesungguhnya, bila ada, masih belum

dapat dipastikan.6

Kondisi yang terlihat pada bronkitis kronik adalah hipersekresi mukus, dimulai dari

jalan napas besar. Iritan-iritan lingkungan seperti asap rokok, SO2, dan NO2, menginduksi

10

Page 11: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

hipertrofi kelenjar mukus pada trakea dan cabang utama bronkus dan berkembang menuju

peningkatan populasi sel goblet pengsekresi-musin pada permukaan epitel bronkus kecil dan

bronkiolus. Selai itu, zat-zat irirtan ini menyebabkan peradangan dangen inflitrasi sel T

CD8+, makrofag, dan netrofil. Berbeda dengan asma, eosinophil jarang ditemukan pada

bronkitis kronis kecuali pasien mengalami bronkitis asmatik. Meskipun penampang dari

bronkitis kronik merupakan bayangan dari gangguan bronkus primer, landasan morfologis

dari obstruksi jalan napas pada bronkitis kronik lebih perifer dan berasal dari (1) small airway

disease, yang diinduksi oleh metaplasia sel goblet dengan sumbatan mukus pada lumen

bronkiolus, peradangan, dan fibrosis dinding bronkiolus. (2) emfisema koeksis. Secara umum

dipercaya bahwa ketika small airway disease adalah komponen penting dalam obstruksi

ringan dini, bronkitis kronik dengan obstruksi jalan napas yang asignifikan selalu

berkomplikasi menjadi emfisema. Dipostulasikan bahwa banyak efek epithelial respirasi yang

dicetuskan iritan lingkungan dimediasi oleh pelepasan local sitokin sel T seperti IL-13.

Trasnkripsi gen musin, dan netrofil elastase MUC5AC, dimana bertambah sebagai

konsekuensi dari terpajan terhadap asap rokok secara in vitro maupun in vivo. Infeksi

mikroba sering terjadi sebagai infeksi sekunder, terjadi karena peradangan dan gejala

eksaserbasi.6

Pada bronkitis kronis biasanya mempunyai riwayat batuk dan produksi sputum yang

mengesankan serta sudah berlangsung bertahun-tahun dengan kebiasaan merokok yang

cukup berat. Pada mulanya batuk hanya terjadi di musim dingin dan pasien cenderung untuk

minta pertolongan dokter paling tidak pada saat sering terdapat relaps mukopurulen yang

semakin berat. Dalam beberapa tahun, gejala batuk berlanjut dari hibernal menajdi perennial

dan frekuensi, durasi serta intensitas relaps mukopurulen semakin bertambah. Setelah mulai

mengalami gejala dyspnea pengerahan tenaga, pasien sering mencari pertolongan dokter dan

derajat obstruksi paru yang cukup berat akan ditemukan dalam keadaan ini. Kadang-kadang

pasien tersebut akan memeriksakan dirinya ke dokter sesudah timbulnya edema perifer yang

terjadi sekunder akibat gagal ventrikel kanan yang nyata. Lebih jarang lagi, kontak medis

yang pertama terjadi atas inisiatif keluarga yang membawa pasien dengan gejala sianosis

berat, edema dan dalam keadaan stupor yang menyertai insufisiensi respirasi akut.6

Pasien ini seringkali memiliki berat badan berlebih dan tampak sianotik. Biasanya

pada saat istirahat tidak terlihat gangguan, frekuensi pernapasan tampak normal atau hanya

sedikit meningkat dan juga tidak dijumpai penggunaan otot-otot aksesorius. Perkusi dada

akan memberikan suara sonor yang normal dan dengan auskultasi, kita biasanya dapat

mendengar suara ronki kasar serta mengi yang lokasi dan intensitasnya berubah-ubah setelah

11

Page 12: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

batuk yang dalam serta produktif. Pulsasi yang menetap mungkin terlihat di sepanjang margo

sternalis kiri bawah yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kanan. Dengan adanya gagal

ventrikel kanan kerapkali terdengar irama gallop diastolik yang dini dan kadang-kadang

bising holosistolik yang keduanya bertambah jelas pada saat inspirasi. Bising yang

disebutkan terakhir ini merupakan petunjuk adanya regurgitasi fungsional tricuspid yang

sering disertai dengan distensi pembuluh vena leher. Dengan terdapatnya gagal ventrikel

kanan, gejala sianosis makin bertambah dan edema perifer semakin nyata.6

Desaturasi serta eritrositosis secara bersama-sama akan menyebabkan sianosis dan

vasokonstriksi pulmonal yang hipoksik dan menambah berat gagal jantung kanan. Karena

sianosis dan edema yang terjadi sekunder akibat gagal jantung, pasien tersebut pernah disebut

“blue bloaters”. Blue bloaters terjadi akibat serangan berulang desaturasi oksigen nokturnal

yang berat dengan disertai serangan apnea waktu tidur atau periode hipoventilasi yang

bertambah buruk. Kejadian respirasi yang berhubungan dengan tidur semacam itu akan

memperberat derajat hipertensi pulmonal dan eritropoiesis sekunder. 6

Nilai kapasitas paru total seringkali normal dan terdapat kenaikan nilai volume

residual yang sedang. Kapasitas vital sedikit menurun dan kecepatan aliran ekspirasi yang

maksimal selalu rendah. Sifat recoil elastic pada paru tetap normal atau hanya sedikit

terganggu dan kapasitas patu untuk mengalihkan karbon monoksida dapat normal atau sedikit

menurun.6

Pada pemeriksaan radiologic terlihat lengkungan diafragma yang baik, corakan

bronkovaskuler bertambah pada lapangan paru bawah dan bayangan hitam jantung agak

melebar. Berkaitan dengan gagal ventrikel kanan, bayangan hitam jantung lebih melebar lagi,

gambaran arteri pulmonalis menjadi lebih nyata dan distribusi perfusi yang melawan gaya

berat terlihat jelas.6

Meskipun penanganan sudah direncanakan dengan baik, pasien bronkitis kronik dapat

mengalami episode gagal napas yang kesembuhannya seringkali terjadi setelah dilakukan

terapi yang tepat. Akhirnya, paru pasien pada pemeriksaan pascamati akan memperlihatkan

perubahan bronkitis yang berat baik pada jalan napas yangbesar maupun yang kecil dan

hanya menunjukkan emfisema yang sedang.6

Penatalaksanaan dari bronkitis kronis antara lain menghentikan kebiasaan merokok,

penggunaan antibiotic terutama untuk H. influenza dan S. pneumonia 7-10 hari, pemberian

nutrisi yang adekuat dan latihan, obat bronkodilator, serta kortikosteroid yang diberikan

setelah pemberian adekuat bronkodilator.6

12

Page 13: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Emfisema

Emfisema adalah keadaan paru yang abnormal, yaitu adanya pelebaran rongga udara

pada asinus yang sifatnya permanen. Pelebaran ini disebabkan karena adanya kerusakan

dinding asinus. Asinus adalah bagian paru yang terletak di bronkiolus terminalis distal.7

Sesuai dengan morfoliginya, terdapat tiga jenis emfisema, yaitu emfisema panlobular

(panasinar), emfisema sentrilobular, dan emfisema paraseptal. Kerusakan alveoli disebabkan

oleh adanya proteolysis (degradasi) elastin oleh enzim elastase yang disebut protease. Elastin

adlaah komponen jaringan ikat yang meliputi kira-kira 25% jaringan ikat di paru. Dalam

keadaan normal, terdapat keseimbangan antara degradasi dan sintesis elastin atau

keseimbangan antara protease yang mendegradasi jaringan paru dan protease-inhibitor yang

menghambat kerja protease. Pada perokok, jumlah protease meningkat karena jumlah lekosit

dan makrofag di paru meningkat. Makrofag dan lekosit ini mengandung elastase dalam

jumlah tinggi.7

Gejala yang spesifik adalah sesak napas saat melakukan kegiatan (exertional

breathlessness) yang disertai batuk kering dan mengi. Sesak napas tampak jelas pada

penyakit yang telah parah. Penderita menunjukan hyperinflated lung dengan berkurangnya

ekspansi dada saat inspirasi, perkusi hipersonor dan napas pendek.7

Etiologi

Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya PPOK, baik faktor

eksogen (dalam hal ini lingkungan) maupun faktor endogen (dalam hal ini faktor host atau

faktor dari penderita sendiri).8

Faktor Lingkungan : 8

Merokok

Asap tembakau

Polisi udara di tempat kerja atau di dalam kota

Faktor Host : 8

1. Genetik

13

Page 14: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Karena defisiensi alfa 1 antitripsin. Suatu kelainan herediter yang jarang

ditemukan.ini merupakan predisposisi untuk berkembangnya PPOK dini. Alfa 1

antitripsin ini merupakan sejenis protein tubuh yang diproduksi oleh hati, dimana

berfungsi dalam melindungi paru-paru dari kerusakan. Enzim ini juga berfubgsi untuk

menetralkan tripsin yang berasal dari rokok. Jika enzin ini rendah sedangkan asupan

rokok tinggi maka akan mengganggu system kerja enzim tersebut, yang bisa

mengakibatkan infeksi saluran pernapasan. Defisiensi enzim ini menyebabkan

emfisema pada usia muda, yaitu pada mereka yang tidak merokok (onsetnya sekitar

usia 53 tahun) dan bagi mereka yang merokok sekitar 40 tahun.8

2. Hipereaktifitas Bronkus

Asma dan hiperaktivitas bronkus saluran napas merupakan faktor resiko yang

memberi andil timbulnya PPOK. Apabila ditambah dengan faktor merokok maka

akan lebih meningkatkan resiko untuk menderira PPOK disertai dengan penurunan

fungsi dari paru-paru yang drastis. Hipereaktivitas dari bronkus juga dapat terjadi

akibat dari peradangan pada saluran napas atas.8

Epidemiologi

PPOK merupakan masalah kesehatan utama dimasyarakat yang menyebabkan 26.000

kematian per tahun di Inggris. Prevalensinya > 600.000. Angka ini lebih tinggi di daerah

maju, daerah perkotaan, kelompok masyarakat menengah ke bawah, perokok berat dan pada

manula. Insidensi pada pria > wanita. Namun akhir-akhir ini insiden pada wanita meningkat

dengan semakin bertambahnya jumlah perokok wanita.8

Patofisiologi

PPOK yang diakibatkan oleh asap rokok terjadi karena di dalam paru-paru yang

terpapar terjadi oxidative stress karena tingginya konsentrasi radikal bebas dalam asap rokok.

Partikel iritan dalam asap rokok juga mengakibatkan pelepasan sitokin yang menimbulkan

proses inflamasi dalam paru. Radikal bebas dalam asap rokok juga mengakibatkan kerusakan

enzim antiprotease seperti alfa-1-antitripsin sehingga mempercepat kerusakan paru akibat

enzim protease dari proses inflamasi. Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas

yang besar dan kecil disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap

respon inflamasi yang persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel squamous akan

mengalami metaplasia, sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi.

Proses ini akan direspon dengan terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya saja

14

Page 15: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

proses remodeling ini akan merangsang dan mempertahankan inflamasi dimana CD8 dan

limfosit B menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam

lesi penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel

radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos.9

Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi yang

diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini yang rutin dibicarakan

pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru, ketidak seimbangan pada protease dan

anti protease serta defisiensi α1 antitripsin menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses inflamasi

yang melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-mediator

inflamasi dan akan berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan parenkim. Secara

umum, perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat seiring derajat

keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti merokok. Peningkatan netrofil,

makrofag dan limfosit T di paru-paru akan memperberat keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi

ini akan melepaskan beragam sitokin dan mediator yang berperan dalam proses penyakit,

diantaranya adalah leucotrien B, chemotacticfactors seperti CXC chemokines, interlukin 8

dan growth related oncogene α, TNF α, IL-1ß dan TGFß. Selain itu ketidakseimbangan

aktifitas protease atau inaktifitas antiprotease, adanya stres oksidatif dan paparan faktor risiko

juga akan memacu proses inflamasi seperti produksi netrofil dan makrofag serta aktivasi

faktor transkripsi seperti nuclear factor κß sehingga terjadi lagi pemacuan dari faktor-faktor

inflamasi yang sebelumnya telah ada. Hipersekresi mukus menyebabkan batuk produktif

yang kronik serta disfungsi silier mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan

menyebabkan obstruksi saluran nafas pada saluran nafas yang kecil dengan diameter < 2 mm

dan air trapping pada emfisema paru. Proses ini kemudian akan berlanjut kepada

abnormalitas perbandingan ventilasi perfusi yang pada tahap lanjut dapat berupa hipoksemia

arterial dengan atau tanpa hiperkapnia. Progresifitas ini berlanjut kepada hipertensi pulmonal

dimana abnormalitas perubahan gas yang berat telah terjadi. Faktor konstriksi arteri

pulmonalis sebagai respon dari hipoksia, disfungsi endotel dan remodeling arteri pulmonalis

(hipertropi dan hiperplasi otot polos) dan destruksi Pulmonary capillary bad menjadi faktor

yang turut memberikan kontribusi terhadap hipertensi pulmonal.9

Manifestasi Klinik

Pasien biasanya mengeluhkan 2 keluhan utama yaitu, sesak napas dan batuk. Adapun

gejala yang terlihat seperti :10

15

Page 16: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

a)      Sesak Napas

Timbul progresif secara gradual dalam beberapa tahun. Mula-mula ringan lebih

lanjut akan mengganggu aktivitas sehari-hari. Sesak napas bertambah berat

mendadak menandakan adanya eksaserbasi.

b)      Batuk Kronis

Batuk kronis biasanya berdahak kadang episodik dan memberat waktu pagi hari.

Dahak biasanya mukoid tetapi bertambah purulen bila eksaserbasi.

d)     Batuk Darah

Bisa dijumpai terutama waktu eksaserbasi. Asal darah diduga dari saluran napas

yang radang dan khasnya “blood streaked purulen sputum”.

e)      Anoreksia dan berat badan menurun

Penurunan berat badan merupakan tanda progresif jelek.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan harus mencakup pemeriksaan dan pengurangan faktor risiko selain

penatalaksanaa PPOK yang stabil maupun  eksaserbasi. Harus ada peningkatan bertahap

pada pengobatan sesuai dengan keparahan penyakit, yang bisa dikelompokkan sebagai

berikut (Berdasarkan ketentuan Perkumpulan Dokter Paru Indonesia/PDPI) : 1

Stadium 0 (beresiko)

Spirometri normal ; Batuk atau sputum kronis

Stadium 1 (ringan)

FEV1 : FVC < 70% ; Perkiraan FEV1 =80 %

Gejala klinis : - dengan atau tanpa gejala

- sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1

Stadium 2 (sedang)

FEV1 : FVC < 70% ; Perkiraan 30% <FEV1 <80 %

Gejala klinis : - dengan atau tanpa gejala

- sesak napas derajat sesak 2

Stadium 3 (berat)

FEV1 : FVC < 70% ; Perkiraan FEV1 <30 % atau FEV1 < 50 %

Gejala klinis : - Ekserbasi lebih sering terjadi

- sesak napas derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal napas kronik

- Disertai dengan komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan

16

Page 17: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Pasien mendapat manfaat dari program rehabilitasi dan olahraga. Pendidikan bisa

membantu pasien mengatasi dan mencapai tujuan tertentu, termasuk berhenti merokok.1

Tak ada satu pun pengobatan yang tersedia untuk PPOK yang terbukti mengubah

penurunan fungsi paru dalam jangka panjang.1

Bronkodilator digunakan untuk mencegah atau mengurangi gejala: agonis β1

misalnya salbutamol (vetolin), terbutaline (bricanyl), obat antikolinergik ipratropium

(atrovent), atau gabungan obat-obat tersebut diberikan aerosol dengan pengukur atau

nebulizer sesuai kebutuhan atau secara teratur. Teofilin juga bisa membantu.1

Pengobatan rutin dengan steroid inhalasi bisa memberi manfaat bagi pasien yang

simtomatik disertai respons spirometrik tercatat terhadap steroid, atau mengalami

eskasernasi berulang yang memerlukan pengobatan dengan antibiotic atau steroid oral.

Pengobatan jangka panjang dengan steroid sistemik harus dihindari. Oksigen jangka

panjang untuk dipakai dirumah (>15 jam/hari) meningkatkan angka bertahan hidup pada

pasien dnegan gagal napas kronis. Pasien harus mendapat vaksinasi influenza tahunan.1

Eksaserbasi diobati dengan bronkodilator inhalasi, teofilin dan steroid sistemik adalah

pengobatan yang efektif. Walaupun penyebabnya seringkali tak ditemukan, infeksi

merupakan pemicu yang umum dan pasien dengan tanda-tanda infeksi diberi antibiotic-

amoksisilin atau makrolid (eritromisin atau kalritromisin). Sensitivitas bakteri berguna

jika tidak terjadi perbaikan klinis.1

Ventilasi tekanan positif intermiten noninvasive (Non-Invasive Intermittent Positive

Pressure Ventilation/NIPPV) bisa mengurangi perlunya dilakukan intubasi dan ventilasi

mekanik.1

Prognosis

Prognosis penyakit ini bervariasi. Bila pasien tidak berhenti merokok, penurunan

fungsi paru akan lebih cepat daripada bila pasien berhenti merokok. Terapi oksigen jangka

panjang merupakan satu-satunya terapi yang terbukti memperbaiki angka harapan hidup.4

Komplikasi

Komplikasi yang dapat ditemukan pada pasien PPOK bila tidak tidak ditangani secara

lanjut antara lain:

1. Hipoxemia

Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg,

17

Page 18: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan

mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.8

2. Asidosis respiratorik

Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara

lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.8

3. Infeksi pernapasan

Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan

rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan

meningkatkan kerja napas dan timbulnya dyspnea.8

4. Gagal jantung

Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi

terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan

dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami

masalah ini.8

5. Cardiac disritmia

Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis

respiratory.8

6. Status asmatikus

Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial. Penyakit

ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon

terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernapasan dan distensi

vena leher seringkali terlihat.8

Pencegahan

Pencegahan PPOK yang paling utama adalah penghentian kebiasaan merokok dalam

upaya memperlambat progresivitas penyakit. Selain itu perlu juga diperhatikan kesehatan

bekerja terutama pada lingkungan pekerjaan yang berpolutan. Tindakannya berupa

pengaturan ventilasi yang baik, penggunaan respirator, dan upaya mengurangi debu yang

beterbangan terutama pada lingkungan pertambangan.9

Penutup

18

Page 19: Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan penyakit paru yang terjadi karena

adanya sumbatan pada jalan napas yang berlangsung lama. PPOK terdiri dari 4 jenis, yaitu

bronkiektasis, asma bronkiale, bronchitis kronis, dan emfisema. Gejalanya terdiri dari sesak

napas dan batuk produktif yang cukup lama. Penyebab dari penyakit ini adalah terutama

karena terpajan asap rokok, polusi, dan faktor genetik. Penanganannya dapat diberikan obat

bronkodilator dan pemberian oksigen.

Daftar Pustaka

1. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Lecture notes: kedokteran klinis. Ed ke-6. Alih

Bahasa: dr. Annisa Rahmalia. Jakarta: Erlangga; 2003.h. 273-5.

2. Supartondo, Setiyohadi B. Buku ajar penyakit dalam. Jilid II ed-VI. Jakarta;

InternaPublishing: 2014.h.126.

3. Bickley L.S. Buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan Bates. 5th ed.

Jakarta: EGC; 2006. h.155-75.

4. Ward JPT, Ward J, Leach RM, Wiener CM. At a glance sistem respirasi. Jakarta :

Erlangga .2008. h. 52-72.

5. McPhee SJ, Ganong WF. Patofisiologi penyakit. Edisi ke-5. Jakarta :

EGC;2007.h.255-9.

6. Sibuea WH, Panggabean MM, Gultom SP. Asma Bronkial. Dalam : Ilmu Penyakit

Dalam. Jakarta: Rineka Cipta. 2005. 53.

7. Djojodibroto D. Respirologi (respiratory medicine). Jakarta: EGC; 2009.h.116-20

8. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Pulmonologi. Jakarta:

Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, 2006. h. 994-6.

9. Brashers VL. Aplikasi klinis patofisiologi, pemeriksaan & manajemen. Jakarta: EGC;

2008.h.84-6.

10. Robbins, Cotran. Buku saku dasar patologis penyakit. Edisi 7. Jakarta:EGC. 2009.

h.434-5.

19