Case Report : Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
-
Upload
puti-leviana -
Category
Documents
-
view
199 -
download
19
description
Transcript of Case Report : Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan
karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif
nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel
atau gas yang berbahaya.
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan
kondisi sebelumnya. Definisi eksaserbasi akut pada PPOK adalah kejadian akut dalam
perjalanan alami penyakit dengan karakteristik adanya perubahan basal sesak napas, batuk,
dan/atau sputum yang diluar batas normal da lam variasi hari ke hari
Di Amerika kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat mencapai angka
1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan 119.000 meninggal selama tahun
2000. Sebagai penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat ke empat setelah penyakit
jantung, kanker dan penyakit serebro vascular. Biaya yang dikeluarkan untul penyakit ini
mencapai $ 24 milyar pertahunnya. World Health Organization (WHO) memperkirakan
bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat. (IPD)
Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga Dep. Kes. RI tahun 1992, PPOK
bersama asma bronchial menduduki peringkat ke enam.
Case report session (CRS) ini membahas mengenai PPOK Eksaserbasi akut yang
pembahasannya kami batasi mengenai definisi, epidemiologi, factor risiko, diagnosis,
tatalaksana, dan komplikasi.
Penulisan CRS ini bertujuan untuk memahami serta menambah pengetahuan tentang
PPOK Eksaserbasi Akut.
Penulisan CRS ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan mengacu pada
berbagai literatur.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PPOK
1. Definisi PPOK
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik
adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau
reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
berbahaya1.
2. Epidemiologi
Di Amerika kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat mencapai angka
1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan 119.000 meninggal selama tahun
2000. Sebagai penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat ke empat setelah penyakit
jantung, kanker dan penyakit serebro vascular. Biaya yang dikeluarkan untul penyakit ini
mencapai $ 24 milyar pertahunnya. World Health Organization (WHO) memperkirakan
bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat. 2
Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga Dep. Kes. RI tahun 1992, PPOK bersama
asma bronchial menduduki peringkat ke enam. 2
Prevalensi PPOK berdasarkan SKRT 1995 adalah 13 per 1000 penduduk, dengan
perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3 banding 1. Penderita PPOK umumnya
berusia minimal 40 tahun, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan PPOK terjadi pada usia
kurang dari 40 tahun3. Menurut hasil penelitian Setiyanto dkk. (2008) di ruang rawat inap RS.
Persahabatan Jakarta selama April 2005 sampai April 2007 menunjukkan bahwa dari 120
pasien, usia termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah 81 tahun. Dilihat dari riwayat
merokok, hampir semua pasien adalah bekas perokok yaitu 109 penderita dengan proporsi
sebesar 90,83%. Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki. Hal ini disebabkan lebih banyak
ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita.4 Hasil Susenas (Survei Sosial
Ekonomi Nasional) tahun 2001 menunjukkan bahwa sebanyak 62,2% penduduk laki-laki
merupakan perokok dan hanya 1,3% perempuan yang merokok. Sebanyak 92,0% dari
perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah, ketika bersama anggota rumah
tangga lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota rumah tangga merupakan perokok
pasif. 5
2
Menurut hasil penelitian Shinta (2007) di RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2006
menunjukkan bahwa dari 46 penderita yang paling banyak adalah penderita pada kelompok
umur lebih dari 60 tahun sebesar 39 penderita (84,8%), dan penderita yang merokok
sebanyak 29 penderita dengan proporsi 63,0%. 6
3. Faktor Risiko
Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang menyebabkan
terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor risiko tersebut meliputi
faktor pejamu, faktor perilaku merokok, dan faktor lingkungan. Faktor pejamu meliputi
genetik, hiperesponsif jalan napas dan pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah
kurangnya alfa 1 antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas
juga dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru dikaitan dengan
masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru akibat
gangguan pertumbuhan paru diduga berkaitan dengan risiko mendapatkan PPOK7
Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Prevalensi tertinggi
terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada perokok. Usia mulai
merokok, jumlah bungkus per tahun dan perokok aktif berhubungan dengan angka kematian.
Tidak semua perokok akan menderita PPOK, hal ini mungkin berhubungan juga dengan
faktor genetik. Perokok pasif dan merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko PPOK.
Pada perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna pada orang
muda yang bukan perokok.7 Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan hubungan
dose response, artinya lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama
kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar.
Hubungan dose response tersebut dapat dilihat pada Indeks Brigman, yaitu jumlah konsumsi
batang rokok per hari dikalikan jumlah hari lamanya merokok (tahun), misalnya bronkitis 10
bungkus tahun artinya jika seseorang merokok sehari sebungkus, maka seseorang akan
menderita bronkitis kronik minimal setelah 10 tahun merokok8.
Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap rokok, asap
kompor, asap kayu bakar, dan lain-lain, polusi di luar ruangan (outdoor), seperti gas buang
industri, gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan, dan lain-lain, serta polusi di tempat
kerja, seperti bahan kimia, debu/zat iritasi, gas beracun, dan lain-lain. Pajanan yang terus
menerus oleh polusi udara merupakan faktor risiko lain PPOK. Peran polusi luar ruangan
(outdoor polution) masih belum jelas tapi lebih kecil dibandingka n asap rokok. Polusi
dalam ruangan (indoor polution) yang disebabkan oleh bahan bakar biomassa yang
3
digunakan untuk keperluan rumah tangga merupakan faktor risiko lainnya. Status
sosioekonomi merupakan faktor risiko untuk terjadinya PPOK, kemungkinan berkaitan
dengan polusi, ventilasi yang tidak adekuat pada tempat tinggal, gizi buruk atau faktor lain
yang berkaitan dengan sosioekonomi7.
4. Patogenesis
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan oksigen
untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air sebagai hasil
metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi
adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran
gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang
sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan
pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran
napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital
(KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa
detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas
vital paksa (VEP1/KVP)9.
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok
merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi
bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan
pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan
menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari
saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi
dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses
ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang
memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan1.
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada
paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur penunjang di
paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi
berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi
akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila
tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara
kolaps1.
4
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil,
komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi oleh
neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic
Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan
jaringan10. Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran gas dengan adanya
ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya
inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus. Kelainan perfusi
berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol11.
5. Diagnosis
Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat
menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat
menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat penyakit.
1. Anamnesis
a. Ada faktor risiko
Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan adanya
riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polus i tempat kerja.
Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh
lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok
perlu diperhatikan apakah pasien merupakan seorang perokok aktif, perokok pasif,
atau bekas perokok. Penentuan derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman
(IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama
merokok dalam tahun. Interpretasi hasilnya adalah derajat ringan (0-200), sedang
(200-600), dan berat (>600) 12.
b. Gejala klinis
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus
diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi
pada proses penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang
tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Kadang-kadang pasien menyatakan
hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Selain itu, sesak napas
merupakan gejala yang sering dikeluhkan pasien terutama pada saat melakukan
aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang
5
bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Untuk menilai
kuantitas sesak napas terhadap kualitas hidup digunakan ukuran sesak napas sesuai
skala sesak menurut British Medical Research Council (MRC)1.
Tabel 2.1 Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC)
2. Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik mulai dari inspeksi dapat berupa bentuk dada seperti tong
(barrel chest), terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup),
terlihat penggunaan dan hipertrofi otot-otot bantu napas, pelebaran sela iga, dan bila
telah terjadi gagal jantung kanan terlihat distensi vena jugularis dan edema tungkai.
Pada perkusi biasanya ditemukan adanya hipersonor. Pemeriksaan auskultasi dapat
ditemukan fremitus melemah, suara napas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi
memanjang, ronki, dan mengi 12.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%).
VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya
PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak tersedia atau
tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai
alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.1
b. Radiologi (foto toraks)
Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemuk an kelainan paru berupa hiperinflasi
atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler meningkat, jantung
pendulum, dan ruang retrosternal melebar. Meskipun kadang-kadang hasil
6
pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan
radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya
atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien1.
c. Laboratorium darah rutin
d. Analisa gas darah
PaO2 < 8,0 kPa (60 mmHg) dan atau Sa O2 < 90% dengan atau tanpa PaCO2 > 6,7
kPa (50 mmHg), saat bernafas dalam udara ruangan, mengindikasikan adanya
gagal nafas.
PaO2 < 6,7 kPa (50 mmHg), PaCO2 > 9,3 kPa (70 mmHg) dan pH < 7,30, member
kesan episode ang mengancam jiwa dan perlu monitor ketat serta penanganan
intensif. 2
e. Mikrobiologi sputum 12
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat ditentukan klasifikasi
(derajat) PPOK, yaitu 1:
Tabel 2.2. Klasifikasi PPOK
7
6. Diagnosis Banding
PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma pasca TB paru,
namun seringkali sulit dibedakan dengan asma bronkial atau gagal jantung kronik. Perbedaan
klinis PPOK, asma bronkial dan gagal jantung kronik dapat dilihat pada Tabel 2.3 12
Tabel 2.3. Perbedaan klinis dan hasil pemeriksaan spirometri pada PPOK, asma bronkial dan
gagal jantung kronik
B. PPOK Eksaserbasi Akut
1. Definisi
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi
sebelumnya. Definisi eksaserbasi akut pada PPOK adalah kejadian akut dalam perjalanan
alami penyakit dengan karakteristik adanya perubahan basal sesak napas, batuk, dan/atau
sputum yang diluar batas normal da lam variasi hari ke hari 1.
2. Etiologi dan Faktor Risiko
Penyebab eksaserbasi akut dapat primer yaitu infeksi trakeobronkial (biasanya karena
virus), atau sekunder berupa pneumonia, gagal jantung, aritmia, emboli paru, pneumotoraks
spontan, penggunaan oksigen yang tidak tepat, penggunaan obat-obatan (obat antidepresan,
diuretik) yang tidak tepat, penyakit metabolik (diabetes melitus, gangguan elektrolit), nutrisi
buruk, lingkungan memburuk atau polusi udara, aspirasi berulang, serta pada stadium akhir
penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi) 12.
8
Selain itu, terdapat faktor-faktor risiko yang menyebabkan pasien sering menjalani rawat
inap akibat eksaserbasi. Menurut penelitian Kessler dkk. (1999) terdapat faktor prediktif
eksaserbasi yang menyebabkan pasien dirawat inap. Faktor risiko yang signifikan adalah
Indeks Massa Tubuh yang rendah (IMT<20 kg/m2) dan pada pasien dengan jarak tempuh
berjalan enam menit yang terbatas (kurang dari 367 meter). Faktor risiko lainnya adalah
adanya gangguan pertukaran gas dan perburukan hemodinamik paru, yaitu PaO2≤65 mmHg,
PaCO2>44 mmHg, dan tekanan arteri pulmoner rata-rata (Ppa) pada waktu istirahat > 18
mmHg.
3. Manifestasi Klinis
Gejala eksaserbasi utama berupa peningkatan sesak, produksi sputum meningkat, dan
adanya perubahan konsistensi atau warna sputum. Menurut Anthonisen dkk. (1987),
eksaserbasi akut dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu tipe I (eksaserbasi berat) apabila
memiliki 3 gejala utama, tipe II (eksaserbasi sedang) apabila hanya memiliki 2 gejala utama,
dan tipe III (eksaserbasi ringan) apabila memiliki 1 gejala utama ditambah adanya infeksi
saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan
mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20%
baseline13.
Roisin membagi gejala klinis PPOK eksaserbasi akut menjadi gejala respirasi dan gejala
sistemik. Gejala respirasi yaitu berupa sesak nafas yang semakin bertambah berat,
peningkatan volume dan purulensi sputum, batuk yang semakin sering dan nafas yang
dangkal dan cepat. Gejala sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, peningkatan
denyut nadi serta gangguan status mental pasien2
4. Diagnosis
Penyakit paru obstruktif kronik sering diakitkan dengan gejala eksaserbasi akut. Pasien
PPOK dikatakan mengalami eksaserbasi akut bila kondisi pasien mengalami perburukan
yang bersifat akut dari kondisi sebelumnya yang stabil dan dengan variaso gejala harian
normal sehingga pasien memerlukan perubahan pengobatan yang sudah biasa digunakan.
Eksaserbasi akut ini biasanya disebabkan oleh infeksi (bakteri atau virus), bronkospasme,
polusi udara atau obat golongan sedative. Sekitar sepertiga penyebab eksaserbasi akut ini
tidak diketahui. Pasien yang mengalami eksasebasi akut dapat ditandai dengan gejala yang
khas seperti sesak nafas yang semakin bertambah, batuk yang produktif dengan perubahan
9
volume atau purulensi sputum atau dapat juga memberikan gejala yang tidak khas seperti
malaise, fatigue dan gangguan susah tidur. 2
5. Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut
Prinsip penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut adalah mengatasi segera eksaserbasi
yang terjadi dan mencegah terjadinya kematian. Risiko kematian dari eksaserbasi sangat
berhubungan dengan terjadinya asidosis respiratorik, adanya komorbid, dan kebutuhan akan
alat ventilasi1. Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi
yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat). Penatalaksanaan
eksaserbasi akut di rumahsakit dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat inap dan
dilakukan di poliklinik rawat jalan, ruang rawat inap, unit gawat darurat, atau ruang ICU 12.
1. Bronkodilator
Bronkodilator yang lebih dipilih pada terapi eksaserbasi PPOK adalah short-acting
inhaled B2-agonists. Jika respon segera dari obat ini belum tercapai,
direkomendasikan menambahkan antikolinergik, walaupun bukti ilmiah efektivitas
kombinasi ini masih kontroversial. Walaupun penggunaan klinisnya yang luas,
peranan metilxantin dalam terapi eksaserbasi masih kontroversial. Sekarang
metilxantin (teofilin, aminofilin) dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua, ketika
tidak ada respon yang adekuat dari penggunaan short-acting inhaled B2-agonists.
Tidak ada penelitian klinis yang mengevaluasi penggunaan long-acting inhaled B2-
agonists dengan/tanpa inhalasi glukokortikosteroid selama eksaserbasi1.
Bila rawat jalan B2-agonis dan antikolinergik harus diberikan dengan peningkatan
dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunakan dengan cara yang tepat, nebulizer
dapat digunakan agar bronkodilator lebih efektif. Hati-hati dengan penggunaan
nebulizer yang memakai oksigen sebagai kompresor, karena penggunaan oksigen 8-
10 liter untuk menghasilkan uap dapat menyebabkan retensi CO2. Golongan xantin
dapat diberikan bersama-sama dengan bronkodilator lainnya karena mempunyai efek
memperkuat otot diafragma. Dalam perawatan di rumah sakit, bronkodilator diberikan
secara intravena dan nebulizer, dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat
terhadap timbulnya palpitasi sebagai efek samping bronkodilator 12.
2. Kortikosteroid
Kortikosteroid oral/intravena direkomendasikan sebagai tambahan terapi pada
penanganan eksaserbasi PPOK. Dosis pasti yang direkomendasikan tidak diketahui,
10
tetapi dosis tinggi berhubungan dengan risiko efek samping yang bermakna. Dosis
prednisolon oral sebesar 30-40 mg/hari selama 7-10 hari adalah efektif dan aman1.
Kortikosteroid tidakselalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada
eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu,
pada derajat berat diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari dua minggu tidak
memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek
samping.12
3. Antibiotik
Berdasarkan bukti terkini yang ada, antibiotik harus diberikan kepada1:
a. Pasien eksaserbasi yang mempunyai tiga gejala kardinal, yaitu peningkatan
volume sputum, sputum menjadi semakin purulen, dan peningkatan sesak
b. Pasien eksaserbasi yang mempunyai dua gejala kardinal, jika peningkatan
purulensi merupakan salah satu dari dua gejala tersebut
c. Pasien eksaserbasi yang memerlukan ventilasi mekanik.
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi
kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah sakit sebaiknya
per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi sedang
sebaiknya diberikan kombinasi dengan makrolid, dan bila ringan dapat diberikan
tunggal. Antibiotik yang dapat diberikan di Puskesmas yaitu lini I: Ampisilin,
Kotrimoksasol, Eritromisin, dan lini II: Ampisilin kombinasi Kloramfeniko l,
Eritromisin, kombinasi Kloramfenikol dengan Kotrimoksasol ditambah dengan
Eritromisin sebagai Makrolid 12.
4. Terapi Oksigen
Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama,
bertujuan untuk memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan yang mengancam
jiwa, dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di ICU. Tingkat
oksigenasi yang adekuat (PaO2>8,0 kPa, 60 mmHg atau SaO2>90%) mudah tercapai
pada pasien PPOK yang tidak ada komplikasi, tetapi retensi CO2 dapat terjadi secara
perlahan-lahan dengan perubahan gejala yang sedikit sehingga perlu evaluasi ketat
hiperkapnia. Gunakan sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan (ventury mask)
24%, 28% atau 32%. Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau non-rebreathing,
11
tergantung kadar PaCO2 dan PaO2. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi
oksigenasi adekuat, harus
digunakan ventilasi mekanik12.
5. Ventilasi Mekanik
Tujuan utama penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaserbasi berat adalah
mengurangi mortalitas da n morbiditas, serta memperbaiki gejala. Ventilasi mekanik
terdiri dari ventilasi intermiten non invasif (NIV), baik yang menggunakan tekanan
negatif ataupun positif (NIPPV), dan ventilasi mekanik invasif dengan oro-tracheal
tube atau trakeostomi. Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan
penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi.
Penggunaan NIV telah dipelajari dalam beberapa Randomized Controlled Trials pada
kasus gagal napas akut, yang secara konsisten menunjukkan hasil positif dengan
angka keberhasilan 80-85%. Hasil ini menunjukkan bukti bahwa NIV memperbaiki
asidosis respiratorik, menurunkan frekuensi pernapasan, derajat keparahan sesak, dan
lamanya rawat inap1.
6. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal napas akut
pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale. Gagal napas kronik
ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg,
serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas
dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran
menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik
ini imunitas tubuh menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.
Adanya kor pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat
disertai gagal jantung kanan12.
12
BAB III
ILUSTRASI KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Tn. W
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 52 tahun
Pekerjaan : Pegawai swasta
Alamat : Lubuk Basung
No. RM :
II. Anamnesis
Telah dirawat seorang pasien laki-laki usia 52 tahun pada tanggal 23 Maret 2013
di bangsal pria Bagian Penyakit Dalam RSUD Lubuk Basung dengan :
Keluhan Utama : Sesak nafas yang bertambah berat sejak ± 6 jam sebelum masuk
rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang :
- Sesak nafas yang bertambah berat sejak ± 6 jam sebelum masuk rumah sakit.
Pasien sudah sering merasakan sesak nafas dalam ± 1 tahun terakhir
- Sesak nafas berbunyi menciut (+) tidak dipengaruhi oleh suhu, cuaca,
makanan dan aktifitas
- Batuk (+) sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, dahak (+)
- Riwayat merokok ± 20 tahun, banyaknya 1 bungkus/hari
- BAK - BAB normal
Riwayat Penyakit Dahulu : sesak nafas dalam ± 1 tahun terakhir
Riwayat Penyakit Keluarga : tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit
yang sama
Riwayat Pekerjaan / Sosial Ekonomi : os adalah seorang pegawai swasta
13
III. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis Kooperatif
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 92 x / menit
Nafas : 34 x / menit
Suhu : 36,8 ºC
Kepala : Normochepal, Rambut hitam, Tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik
Leher : JVP 5-2 cmH20, tidak terdapat pembesaran KGB
Dada : Inspeksi : Barrel Chest (-), Sela iga melebar (-)
- Paru
Inspeksi : Gerakan pernafasann simetris kiri dan kanan dalam
keadaan statis dan dinamis
Palpasi : Fremitus kiri sama kanan
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Bronkovesikuler, rhonkhi (-/-), wheezing (+/+)
- Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis teraba 1 jari medial linea media clavicula
sinistra RIC V
Perkusi : Batas-batas Jantung : Kanan : Linea Sternalis Dextra
Kiri : 1 jari medial linea media clavicula sinistra RIC V,
Atas : RIC II
Auskultasi : Bunyi jantung murni, irama teratur, bising (-)
Abdomen :
Inspeksi : Tidak tampak membuncit
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik
14
III. Pemeriksaan Laboratorium
Darah : Hb : 17,3 gr/dl
Hematokrit : 46%
Leukosit : 9900 / mm3
Trombosit : 219.000 / mm3
Eritrosit : 5.400.000 / mm3
Gula Darah Sewaktu : 138 mg/dl
Ureum : 25 mg/dl
Creatinin : 1,1 mg/dl
Diagnosis Kerja : PPOK Eksasebasi akut
Terapi :
- Istirahat / Diet MB / O2 2L/menit
- Nebulisasi combivent 1 resp ekstra
- IVFD D5% + drip aminopilin 8 jam / kolf
- Injeksi Ceftriaxon 1 x 2 gr IV (skin test)
- Injeksi Methylprednisolon 2 x ½ amp IV
- Injeksi Ranitidin 2 x 1 amp IV
- Ambroxol 3 x 1 tab
Anjuran Pemeriksaan :
- Spirometri
- Rontgent Thorax
- Cek darah rutin
- Analisa Gas Darah
- Cek Mikrobiologi Sputum
Follow Up
Minggu, 24 Maret 2012
S/ Sesak berbunyi menciut (+)
Batuk (+)
O/ Keadaan Umum : Sakit sedang
15
Kesadaran : Komposmentis kooperatif
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x / menit
Nafas : 34 x / menit
Suhu : 36ºC
Dada : Paru : I : simetris kiri = kanan dalam keadaan statis dan dinamis
Pa : fremitus kiri = kanan
Pe : Sonor
Au : Bronkovesikuler (+/+) Rhonkhi (-/-) Wheezing (+/+)
WD/ PPOK Eksaserbasi Akut
Th/
- Istirahat / Diet MB / O2 2L/menit
- Nebu ventolin / 8 jam
- IVFD D5% + drip aminopilin 8 jam / kolf
- Injeksi Ceftriaxon 1 x 2 gr IV
- Injeksi Methylprednisolon 2 x ½ amp IV
- Injeksi Ranitidin 2 x 1 amp IV
- Ambroxol 3 x 1 tab
Senin, 25 Maret 2012
S/ Sesak berbunyi menciut (+)
Batuk (+)
O/ Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis kooperatif
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 88 x / menit
Nafas : 32 x / menit
Suhu : 36, 2 ºC
Dada : Paru : I : simetris kiri = kanan dalam keadaan statis dan dinamis
16
Pa : fremitus kiri = kanan
Pe : Sonor
Au : Bronkovesikuler (+/+) Rhonkhi (-/-) Wheezing (+/+)
WD/ PPOK Eksaserbasi Akut
Th/
- Istirahat / Diet MB / O2 2L/menit
- Nebulisasi ventolin / 8 jam
- IVFD D5% + drip aminopilin 8 jam / kolf
- Injeksi Ceftriaxon 1 x 2 gr IV (skin test)
- Injeksi Methylprednisolon 125 mg 1 x 1 amp IV
- Injeksi Ranitidin 2 x 1 amp IV
- Ambroxol 3 x 1 tab
Selasa, 26 Maret 2012
S/ Sesak berbunyi menciut (+)
Batuk (+)
O/ Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis kooperatif
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 82 x / menit
Nafas : 32 x /menit
Suhu : 36,1 ºC
Dada : Paru : I : simetris kiri = kanan dalam keadaan statis dan dinamis
Pa : fremitus kiri = kanan
Pe : sonor
Au : Bronkovesikuler (+/+) Rhonkhi (-/-) Wheezing (+/+)
Pemeriksaan Laboratorium
LED : 18
Differential Count : B/E/NB/NS/L/M : 0/0/2/78/16/4
WD/ PPOK Eksaserbasi Akut
17
Th/
- Istirahat / O2 2L/menit
- Nebulisasi ventolin / 8 jam
- IVFD D5% + drip aminopilin 8 jam / kolf
- Injeksi Ceftriaxon 1 x 2 gr IV
- Injeksi Methylprednisolon 125 mg 1 x 1 amp IV
- Injeksi Ranitidin 2 x 1 amp IV
- Ambroxol 3 x 1 tab
Rabu, 27 Maret 2012
S/ Sesak berbunyi menciut (-)
Batuk (+)
O/ Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis kooperatif
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 86 x / menit
Nafas : 28 x /menit
Suhu : 36 ºC
Dada : Paru : I : simetris kiri = kanan dalam keadaan statis dan dinamis
Pa : fremitus kiri = kanan
Pe : sonor
Au : Bronkovesikuler (+/+) Rhonkhi (-/-) Wheezing (-/-)
WD/ PPOK Eksaserbasi Akut
Kesan : Perbaikan
Th/
- Istirahat / O2 2L/menit
- Nebulisasi ventolin / 8 jam
- IVFD D5% + drip aminopilin 8 jam / kolf
- Injeksi Ceftriaxon 1 x 2 gr IV
- Injeksi Methylprednisolon 125 mg 1 x 1 amp IV
- Injeksi Ranitidin 2 x 1 amp IV
18
- Ambroxol 3 x 1 tab
- Salbutamol 3 x 1 tab
- Aminofilin 3 x 80 mg
Kamis, 28 Maret 2012
S/ Sesak berbunyi menciut (-)
Batuk (+)
O/ Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis kooperatif
Tekanan Darah : 120 / 80 mmHg
Nadi : 90 x / menit
Nafas : 24 x / menit
Suhu : 36, 2 ºC
Dada : Paru : I : simetris kiri = kanan dalam keadaan statis dan dinamis
Pa : fremitus kiri = kanan
Pe : sonor
Au : Bronkovesikuler (+/+) Rhonkhi (-/-) Wheezing (-/-)
WD/ PPOK Eksaserbasi Akut
Th/
- Istirahat / O2 2L/menit
- Nebulisasi ventolin k/p
- Injeksi Ceftriaxon 1 x 2 gr IV
- Injeksi Methylprednisolon 125 mg 1 x1 amp IV
- Ambroxol 3 x 1 tab
- Salbutamol 3 x 1 tab
- Aminofilin 3 x 80 mg
19
BAB IV
DISKUSI
Seorang pasien laki-laki dengan umur 52 tahun mulai dirawat pada tanggal 23Maret
2013 di bagian Penyakit Dalam RSUD Lubuk Basung dengan diagnosis PPOK eksaserbasi
akut. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dimana pasien merasakan sesak nafas
yang bertambah berat sejak ± 6 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien sudah sering
merasakan sesak nafas dalam ± 1 tahun terakhir. Sesak nafas berbunyi menciut dan tidak
diperngaruhi oleh perubahan suhu, cuaca, makanan dan aktifitas. Pasien batuk berdahak sejak
1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien mempunyai kebiasaan merokok sejak 20 tahun
yang lalu, banyaknya ± 1 bungkus per hari.
Pemeriksaan fisik umum ditemukan peningkatan frekuensi nafas karena sesak yang
dialami pasien. Pada auskultasi paru ditemukan suara nafas bronkovesikuler dengan expirasi
memanjang dan terdengar bunyi menciut (wheezing) di kedua lapangan paru. Menurut teori,
pada pemeriksaan fisik pasien dengan PPOK akan ditemukan bentuk dada barrel chest, sela
iga melebar dan tulang iga mendatar, tetapi keadaan klinis seperti ini tidak ditemukan pada
pasien ini.
Pada pemeriksaan laboratorium differential count (hitung jenis) ditemukan netrofil
segmen meningkat yaitu 78, dimana nilai netrofil batang normal adalah 50-70. Tidak
ditemukan adanya peningkatan dari eosinofil. Hal ini dapat menyingkirkan asma bronchial
sebagai diagnosis banding dari PPOK.
Pasien ini diberikan terapi istirahat , Diet MB, O2 2L/menit, Nebulisasi combivent,
IVFD D5% + drip aminopilin 8 jam / kolf, Injeksi Ceftriaxon 1 x 2 gr IV (skin test), Injeksi
Methylprednisolon 2 x ½ amp IV, Injeksi Ranitidin 2 x 1 amp IV dan Ambroxol 3 x 1 tab.
Anjuran pemeriksaan untuk pasien ini adalah pemeriksaan spirometri, radiologi rontgent
thorax, cek darah rutin, analisa gas darah dan pemeriksaan mikrobiologi sputum.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2009. Global Strategy for
The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. Barcelona: Medical Communications Resources. Available from:
http://www.goldcopd.org
2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi V, Jakarta : Interna Publishing, 2009
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2001. Survey Kesehatan Rumah Tangga.
4. Setiyanto, H., Yunus, F., Soepandi, P.Z., Wiyono, W.H., Hartono, S., dan
Karuniawati, A., 2008. Pola dan Sensitivitas Kuman PPOK Eksaserbasi Akut yang
Mendapat Pengobatan Echinacea Purpurea dan Antibiotik Siprofloksasin. Dalam:
Wiyono, W.H. (eds). 2008. Jurnal Respirologi Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, Jakarta 28 (3):107-125.
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002. Profil Kesehatan Indonesia 2001.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS).
6. Shinta, dan Wara, D., 2007. Studi Penggunaan Antibiotik pada Eksaserbasi Akut
Penyakit Paru Obstruktif Kronik: Studi pada Pasien IRNA Medik di Ruang Paru Laki
dan Paru Wanita RSU dr. Soetomo Surabaya. Universitas Airlangga. Available from:
http://www.adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-s1-2008-
shintadewi9128&PHPSESSID=04b240b8e11c4efa33cfe7d5fc244c0d
7. Helmersen, D., Ford, G., Bryan, S., Jone, A., and Little, C., 2002. Risk Factors. In:
Bourbeau, J., ed. Comprehensive Management of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. London: BC Decker Inc, 33-44
8. Suradi. 2009. Pengaruh Rokok Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Tinjauan Patogenesis, Klinis dan Sosial. Pidato Guru Besar, Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta. Available from :
http://www.uns.ac.id/2009/penelitian.php?act=det&idA=263
9. Sherwood, L., 2001. Sistem Pernapasan. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem edisi 2.
Jakarta: EGC, 410-460.
10. Kamangar, N., 2010. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. EMedicine.com.
Available from: http://www.emedicine.medscape.com/article/297664-overview
11. Chojnowski, D., 2003. “GOLD” Standards for Acute Exacerbation in COPD. The
Nurse Practitioner. EBSCO Publishing 28 (5): 26-36.
21
12. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik),
Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Available from:
http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf
13. Vestbo, J., 2006. Clinical Assessment, Staging, and Epidemiology of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease Exacerbations. Proceedings Of The American
Thoracic Society. Proc Am Thorac Soc 3: 252–256.
22