PENULISAN HUKUM (SKRIPSI) - eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/10194/1/215551411201110431.pdf ·...
-
Upload
nguyendieu -
Category
Documents
-
view
229 -
download
4
Transcript of PENULISAN HUKUM (SKRIPSI) - eprints.uns.ac.ideprints.uns.ac.id/10194/1/215551411201110431.pdf ·...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
PENULISAN HUKUM
(SKRIPSI)
ANALISIS YURIDIS PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN
PRA PERADILAN TENTANG LEGALITAS PENANGKAPAN
TEHADAP WARGA NEGARA INDONESIA OLEH KEPOLISIAN
FEDERAL AUSTRALIA ATAS PERMINTAAN POLRI
(STUDI PUTUSAN MA NO. 1256 K./Pid/2000).
Disusun dan diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
INTAN ARISTA AYU WIDYA SARI
NIM : E1107167
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
ANALISIS YURIDIS PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN
PRAPERADILAN TENTANG LEGALITAS PENANGKAPAN TERHADAP
WARGA NEGARA INDONESIA OLEH KEPOLISIAN FEDERAL
AUSTRALIA ATAS PERMINTAAN POLRI
(Studi Putusan MA No. 1256.K/Pid/2000)
Oleh
Intan Arista Ayu Widya Sari
E1107167
Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Maret 2011
Dosen Pembimbing Skripsi
BAMBANG SANTOSO, S.H., M.Hum. NIP.19620209198903100
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
Moh. Jamin, S.H.,M.Hum
NIP : 196109301986011001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
MOTTO
“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga,
tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada
Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur”
(Filipi 4 : 6)
”Apapun yang Anda bisa lakukan, atau yang Anda mimpi bisa lakukan, mulailah
melakukannya. Keberanian mengandung jenius, kekuatan dan keajaiban di dalamnya”
(Goethe)
“Bila kita benar- benar mencintai dan menerima serta mengakui diri kita apa adanya, maka
semua dalam kehidupan ini akan berhasil”
(Louise Hay)
“Tidak ada kesalahan, tidak ada kebetulan. Semua peristiwa adalah berkat yang diberikan
kepada kita agar kita bisa belajar darinya”
(Elisabeth Kubler-Ross)
“Yang kita sebut hasil adalah awal mula sesuatu”
(Ralph Waldo Emerson)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
PERSEMBAHAN
Skripsi ini Penulis persembahkan sebagai wujud syukur, cinta, dan terima kasih
kepada :
1. Allah SWT Sang Pencipta Alam Semesta atas segala karunia, rahmat, dan nikmat yang
telah diberikan-Nya
2. Kedua orang tuaku tercinta Bapak Joko Triantoro Soekarno dan Ibu Yuni Harwati atas
segala doa, bimbingan, nasehat, kehangatan cinta dan kasih sayang yang senantiasa
tercurahkan untukku.
3. Bapak Suratno dan Ibu Gayatri selaku orang tua yang memberikan bimbingan dan segala
kasih sayang sehingga dapat terselesaikan tanggungjawab ini..
4. Souki Aditya Pratama Kesdu atas segala cinta, kasih sayang, doa, semangat, dan
pengorbanan yang senantiasa diberikan untukku.
5. Adikku tercinta Michael Risky Saputro dan Bagus Ilham atas semangat dan keceriaannya.
6. Seluruh keluarga besar Soekarno dan Keluarga Besar Soeyoto atas dukungan dan
semangatnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
PERNYATAAN
Nama : Intan Arista Ayu Widya Sari
NIM : E1107167
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul
ANALISIS PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN
TENTANG LEGALITAS PENANGKAPAN TERHADAP WARGA NEGARA
INDONESIA OLEH KEPOLISIAN FEDERAL AUSTRALIA ATAS
PERMINTAAN POLRI (Studi Putusan MA No. 1256.K/Pid/2000) adalah betul-
betul karya sendiri. Hal – hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum
(skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila
kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima
sanksi akademik berupa pencabutan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh
dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 17 Maret 2011
Yang membuat pernyataan
Intan Arista Ayu Widyasari
NIM. E1107167
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
ABSTRAK
Intan Arista Ayu Widya Sari, E 1107167. ANALISIS YURIDIS PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN PRA PERADILAN TENTANG LEGALITAS PENANGKAPAN TEHADAP WARGA NEGARA INDONESIA OLEH KEPOLISIAN FEDERAL AUSTRALIA ATAS PERMINTAAN POLRI (STUDI PUTUSAN MA NO. 1256 K./Pid/2000)., FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET. SURAKARTA. PENULISAN HUKUM (SKRIPSI).2011.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengajuan Upaya hukum Kasasi terhadap putusan praperadilan, bagaimana penangkapan yang sah menurut KUHAP apabila terdakwa berada di luar wilayah Republik Indonesia, dan untuk mengetahui permasalahan-permasalahan yang timbul berkaitan dengan Pengajuan Kasasi terhadap putusan praperadilan tentang legalitas penangkapan tersebut dan cara penyelesainnya.
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dan dilihat dari tujuannya termasuk penelitian hukum doktrinal atau normatif. Jenis data yang dipergunakan meliputi data primer, data sekunder dan data tersier. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan yaitu studi kepustakaan baik berupa putusan, buku-buku, peraturan perundang-undangan, dan dokumen-dokumen. Analisis data menggunakan analisis data deduktif.
Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa Pengajuan kasasi yang dilakukan oleh Pemohon kasasi (Kepolisian Republik Indonesia Cq. KORPS Reserse Polri Direktorat Reserse Ekonomi) terhadap putusan Praperadilan tentang sah atau tidaknya penangkapan di tingkat Mahkamah Agung adalah sesuatu hal yang keliru. Karena melanggar ketentuan pasal 83 ayat (1) KUHAP. Namun dalam kenyataannya pengawasan horizontal tidak dilaksanakan dengan baik, maka menimbulkan kerancuan karena tidak adanya kepastian hukum. Bahwa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus permohonan kasasi terhadap putusan praperadilan tentang sah atau tidaknya penangkapan adalah didasarkan pada ketentuan pasal 88 dan pasal 244 KUHAP. Sehingga dalam perkara a quo ini, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi meskipun harus mennyimpang dari ketentuan perundang- undangan yang mengatur mengenai tidak dapat diajukannya kasasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
ABSTRACT
Intan Arista Ayu Widya Sari, E1107167. A JURIDICAL ANALYSIS ON THE APPEAL TO SUPREME COURT on the pre-trial verdict about the legality of arrest against Indonesian citizen by Australian federal police officer on the behalf of Indonesian police officer (A STUDY ON Supreme court’s VERDICT No. 1256 K/Pid/2000). Law Faculty of Surakarta Sebelas Maret University. Surakarta. Law Writing (Thesis). 2011.
This research aims to find out the appeal to Supreme Court on the pre-trial verdict, what the legal arrest is according to KUHAP when the defendant is outside Republic of Indonesia’s area, and to find out the problems arising relating to the appeal to Supreme Court on the pre-trial verdict about the legality of arrest and the way of coping with them.
This study belongs to a descriptive research and viewed from the objective, belongs to a doctrinal or normative law research. The data type used included primary, secondary, and tertiary data. Technique of collecting data used was library study in the form of verdicts, books, legislation and documents. The data analysis was done using deductive data analysis.
Considering the research, it can be found that the appeal to Supreme Court by the Applicant (Republic of Indonesia’s Public Officer Cq. Economic Detective Directorate of Detective KORPS of Republic of Indonesia’s Public Officer) on the pretrial verdict about whether or not the arrest at the Supreme Court level is legal is something work. It is because it strikes the provision of Article 83 clause (1) of KUHAP. However, in fact, the horizontal supervision is not implemented well, thereby resulting in confusing because there is no law certainty. The Supreme Court Judge’s rationale in hearing and sentencing the appeal to Supreme Court on the pretrial verdict about whether or not the arrest is legal is the provision of Articles 88 and 244 of KUHAP. Thus in this a quo case the Supreme Court grants the appeal to Supreme Court from the applicant despite violation of legislation governing the appeal to Supreme Court application.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya milik Allah SWT, atas limpahan berupa ilmu
pengetahuan dan ijin-Nya, akhirnya penulis berhasil menyelesaikan penulisan
hukum dengan judul ANALISIS YURIDIS PENGAJUAN KASASI TERHADAP
PUTUSAN PRAPERADILAN TENTANG LEGALITAS PENANGKAPAN
TERHADAP WARGA NEGARA INDONESIA OLEH KEPOLISIAN
FEDERAL AUSTRALIA ATAS PERMINTAAN POLRI (Studi Putusan MA No.
1256.K/Pid/2000) ini tepat sesuai waktu yang telah direncanakan.
Penulisan hukum ini disusun untuk memenuhi dan melengkapi syarat-
syarat untuk memperoleh derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta..
Tentunya selama penyusunan penulisan hukum ini, maupun selama penulis
menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, tidak sedikit
bantuan yang penulis terima baik moril maupun materiil dari berbagai pihak.
Dalam kesempatan ini ijinkan penulis menghaturkan terima kasih yang setulus-
tulusnya kepada :
1. Bapak Moh. Jamin, S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret.
2. Bapak Edy Herdyanto, SH.MH., selaku Ketua Bagian Hukum Acara.
3. Bapak Bambang Santosa, S.H.,M.Hum., selaku Pembimbing Penulisan
Hukum penulis. Terima kasih atas kesabaran dalam membimbing dan
mengarahkan sehingga penulisan hukum (skripsi) ini dapat terselesaikan
dengan baik dan tepat waktu.
4. Ibu Th. Kussunaryatun, S.H., MH. selaku pembimbing akademik penulis.
5. Bapak Harjono, S.H.,M.H., selaku ketua Program Nonreguler Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
atas segala dedikasinya terhadap seluruh mahasiswa termasuk Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
selama Penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
7. Seluruh karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah
banyak membantu segala kepentingan Penulis selama Penulis menempuh
studi di Fakultas Hukum UNS Surakarta.
8. Bapak Joko Triantoro dan Ibu Yuni Harwati, orang tuaku yang telah
memberikanku doa, cinta, kasih sayang dan ridho yang menjadi kekuatan
dan bekal dalam menjalankan kehidupan ini.
9. Michael Rizky Saputro, adikku yang membuat hidup penulis berarti.
10. Souki Aditya, yang telah memberikan motivasi dan menemani penulis
dalam menyelesaikan kewajiban.
11. Keluarga Besar penulis yang telah memberikan perhatian dan dukungan
baik moril maupun materiil kepada penulis.
12. Teman-teman Angkatan 2007 Non Reguler, teman-teman kuliah (Ninik,
Sry, Dewi, Lulu, Pondra, Reshan, Ucil, Dimas) terimakasih atas setiap
waktu yang kita habiskan bersama, dan semua pihak yang membantu
dalam penulisan huku
Penulis sadari bahwa penulisan hukum ini jauh dari sempurna. Oleh sebab
itu penulis sangat terbuka akan segala sumbang saran dan kritik yang bersifat
membangun.
Semoga penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua,
terutama untuk penulisan, kalangan akademisi, praktisi serta masyarakat umum.
Surakarta, 17 Maret 2011
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN......................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii
HALAMAN MOTTO ...................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... v
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................ vi
ABSTRAK ...................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Perumusan Masalah .................................................................... 3
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 4
E. Metode Penelitian ...................................................................... 5
F. Sistematika Penelitian ................................................................ 8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teoritik ........................................................................ 10
1. Tinjauan Umum Tentang Praperadilan ................................. 10
a) Tinjauan Umum Tentang Pengertian Praperadilan ........ 10
b) Tinjauan Umum Tentang wewenang praperadilan ......... 13
c) Tinjauan Umum Tentang alasan dan pihak yang
mengajukan praperadilan ................................................ 16
d) Tinjauan tentang acara praperadilan ............................... 18
2. Tinjauan Umum Tentang Penangkapan ................................. 20
a) Tinjauan Umum Tentang pengertian penangkapan ....... 20
b) Tinjauan Umum Tentang tata cara penangkapan ........... 21
3. Tinjauan Umum Tentang Kasasi ........................................... 22
a) Tinjauan Umum tentang pengertian kasasi ....................... 22
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
b) Tinjauan Umum Tentang alasan mengajukan kasasi ........ 23
c) Tinjauan Umum Tentang Tata Cara Mengajukan Kasasi .. 24
B. Kerangka Pemikiran ...................................................................... 27
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Alasan Pengajuan Kasasi Terhadap Putusa Praperadilan
Tentang Legalitas Penangkapan yang Dilakukan Oleh
Kepolisian Federal Australia atas Permintaann Polri ............. 29
1. Kasus Posisi ........................................................................ 29
2. Identitas Permohon dan Termohon Praperadilan ................. 30
3. Alasan Permohonan Praperadilan ........................................ 30
4. Isi Permohonan Praperadilan ............................................... 32
5. Eksepsi Termohon Praperadilan .......................................... 33
6. Amar Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ............... 35
7. Alasan Pengajuan Kasasi ..................................................... 37
8. Pembahasan.......................................................................... 46
B. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung terhadap Alasan
Pengajuan Kasasi Terhadap Putusa Praperadilan Tentang
Legalitas Penangkapan yang Dilakukan Oleh Kepolisian
Federal Australia atas Permintaan Polri .................................. 56
1. Pertimbangan ...................................................................... 56
2. Amar Putusan Kasasi ........................................................... 59
3. Pembahasan.......................................................................... 60
BAB IV. PENUTUP
A. Simpulan .................................................................................. 62
B. Saran ......................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum bukan
berdasarkan atas kekuasaan, yang dipertegas di dalam Undang-Undang Dasar
1945. Sebagai negara hukum bertujuan menciptakan adanya keamanan dan
ketertiban, keadilan dan kesejahteraan, dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, serta menghendaki agar hukum ditegakkan, dalam artian hukum harus
dihormati dan ditaati oleh siapapun tanpa kecuali baik oleh seluruh warga
masyarakat, penegak hukum, maupun oleh penguasa negara, sehingga segala
tindakannya harus dilandasi oleh hukum. Etika dan moral yang baik juga harus
dijunjung tinggi baik oleh masyarakat maupun penegak hukum. Hal itu untuk
menghindarkan nada yang sinis atau meremehkan aparat penegak hukum, khusus
lembaganya karena lembaga tersebut juga miliknya.
Penegakan hukum di Indonesia haruslah sesuai dengan Undang- Undang
Dasar 1945, Pancasila dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana supaya
tercapai keadilan dalam menjalankannya. Oleh karena itu, dalam pengungkapan
suatu tindak pidana tidak secara langsung memberikan kesimpulan mengenai
tindak pidana yang terjadi tetapi tahap yang harus dilakukan adalah pemeriksaan
terhadap tindak pidana tersebut.
Dalam pemeriksaan suatu tindak pidana yang menjadi tujuan pokok dari
pemeriksaan tersebut adalah mencari kebenaran materiil dari suatu tindak pidana
untuk menemukan siapa pelakunya, bagaimana motifnya, alat yang digunakan
untuk melakukan tindak pidana dengan berdasarkan pada Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana dimana akan terwujud suatu ketertiban dan kepastian
hukum. Untuk kepentingan pemeriksaan suatu tindak pidana tersebut, undang-
undang memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan
tindakan-tindakan yang dianggap dapat membantu dalam melakukan
pengungkapan tindak pidana tersebut dimana sesungguhnya tindakan- tindakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
yang dilakukan mengurangi pelaksanaan hak asasi manusia yang kemudian
dianggap sebagai pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Bentuk dari tindakan tersebut
adalah upaya paksa, seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan
dan pemeriksaan surat.
Salah satu upaya untuk menjamin perlindungan terhadap hak asasi
seorang tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana adalah melalui
lembaga pra peradilan yang diatur dalam KUHAP. Pra peradilan merupakan
lembaga baru yang sebelumnya tidak diatur dalam HIR, lahir dari pemikiran
untuk mengadakan tindakan pengawasan terhadap aparat penegak hukum, agar
dalam melaksanakan kewenangannya tidak melakukan penyalahgunaan
wewenang (abuse of power).
Pra peradilan dilakukan dengan maksud dan tujuan yakni tegaknya hukum
dan perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan
penuntutan. Oleh karena itu, demi terlaksananya pemeriksaan tindak pidana,
undang-undang memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk
melakukan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan, dan
sebagainya.
Tindakan upaya paksa yang dilakukan tidak bertentangan dengan hukum
dan undang-undang, karena melanggar hak asasi yang dimiliki oleh seseorang
sekalipun dia telah ditetapkan sebagai tersangka dalam suatu tindak pidana
(Yahya Harahap 2002:3). Untuk itu diperlukan lembaga yang diberi wewenang
untuk menentukan sah atau tidaknya tindakan paksa yang dikenakan kepada
tersangka. Pra peradilan dibentuk sebagai sarana pengontrol tindakan aparat
penegak hukum dalam menjalankan tugasnya agar tidak bertindak sewenang-
wenang. Dengan adanya pra peradilan, aparat penegak hukum dalam melakukan
upaya paksa terhadap seorang tersangka tetap berdasarkan undang-undang dan
tidak bertentangan dengan hukum.
Di dalam pra peradilan, pejabat yang melakukan penahanan atas diri
tersangka ataupun terdakwa baik polisi maupun jaksa harus bisa membuktikan
bahwa penahanan tersebut adalah tidak melanggar hukum (illegal) atau tegasnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal inilah yang
membedakan KUHAP dengan masa berlakunya HIR dimana pada waktu itu
tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik terhadap seorang tersangka
tidak terawasi secara maksimal sehingga dapat menimbulkan tindakan sewenang-
wenang dari aparat penyidik. Untuk itu dibentuk lembaga pra peradilan yang
berwenang melakukan penilaian dan pengawasan terhadap tindakan upaya paksa
yang dilakukan oleh penyidik.
Hal ini sangat berkaitan erat dengan adanya penangakapan yang dilakukan
oleh seorang penyidik terhadap pelaku tindak pidana. Penangkapan dilakukan
dalam waktu yang tidak panjang dimana penangkapan berakhir pada saat seorang
pelaku tindak pidana tersebut telah dibawa ke kantor polisi atau penyidikan.
Sehingga perlunya lembaga pra peradilan untuk mengurangi adanya penyalah
gunaan wewenang yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memeriksa,
melakukan upaya paksa terhadap pelaku tindak pidana.
Berdasarkan hal di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dalam rangka penulisan skripsi dengan judul ANALISIS YURIDIS
PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN PRA PERADILAN
TENTANG LEGALITAS PENANGKAPAN TEHADAP WARGA NEGARA
INDONESIA OLEH KEPOLISIAN FEDERAL AUSTRALIA DALAM
ATAS PERMINTAAN POLRI (STUDI PUTUSAN MA NO. 1256
K./Pid/2000).
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan apa yang diuraikan dalam latar belakang masalah, maka
penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah yang menjadi alasan pengajuan kasasi terhadap putusan pra peradilan
tentang legalitas penangkapan yang dilakukan oleh Kepolisian Federal
Australia atas permintaan Polri.
2. Bagaimanakah pertimbangan hakim Mahkamah Agung terhadap pengajuan
kasasi terhadap putusan pra peradilan tentang legalitas penangkapan yang
dilakukan oleh Kepolisian Federal Australia atas permintaan Polri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui implementasi penerapan praperadilan didalam proses
penegakan hukum di Indonesia.
b. Untuk mengetahui kemungkinan diajukannya upaya hukum biasa bagi
putusan pra peradilan.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperoleh data-data sebagai bahan utama penyusunan penulisan
hukum (skripsi) agar dapat memenuhi persyaratan akademis guna
memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret.
b. Untuk menambah wawasan dalam memperluas pemahaman akan arti
penting ilmu hukum dalam teori dan praktek.
c. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis agar dapat
memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan masyarakat pada
umumnya.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat digunakan sebagai sumbangan karya ilmiah dalam perkembangan
ilmu pengetahuan hukum. Memberikan masukan pemikiran bagi
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya, dalam ilmu hukum pada
umumnya dan khususnya hukum acara pidana yang berkaitan dengan pra
peradilan.
b. Salah satu usaha memperbanyak wawasan dan pengalaman serta
menambah pengetahuan tentang Hukum Acara pidana
c. Sebagai bahan untuk mengadakan penelitian yang sejenis berikutnya,
disamping itu sebagai pedoman bagi penelitian yang lain.
2. Manfaat Praktis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
a. Memberikan jawaban atas masalah yang menjadi pokok bahasan dalam
penelitian.
b. Untuk mendalami teori–teori yang telah Penulis peroleh selama menjalani
kuliah strata satu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
serta memberikan landasan untuk penelitian lebih lanjut.
E. METODE PENELITIAN
a. Jenis Penelitian
Berdasarkan pada masalah yang diajukan, maka penulis di dalam
penulisan hukum ini menggunakan jenis penelitian doktrinal atau normatif,
yaitu jenis penelitian yang bertumpu pada sumber data sekunder sebagai
rujukan utama untuk merumuskan hasil penelitian serta menarik kesimpulan
dari permasalahan yang diteliti.
b. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksud untuk
memberikan data yang seteliti mungkin dengan menggambarkan gejala
tertentu. “Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang
seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.
Maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat
membantu dalam memperkuat teori lama atau dalam kerangka menyusun teori
baru.” (Peter Mahmud Marzuki, 2006:47)
Berdasarkan pengertian di atas metode penelitian jenis ini
dimaksudkan untuk menggambarkan semua data yang diperoleh yang
berkaitan dengan judul penelitian secara jelas dan rinci yang kemudian
dianalisis guna menjawab permasalahan yang ada. Dalam penelitian ini,
Penulis ingin memperoleh gambaran yang lengkap dan jelas tentang
pengajuan kasasi terhadap putusan praperadilan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
c. Jenis Data
Jenis data yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini adalah
data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka berupa
keterangan-keterangan yang secara tidak langsung diperoleh melalui studi
kepustakaan, Peraturan perundang-undangan, seperti KUHAP dan peraturan
perundangan lain yang terkait, yurisprudensi, arsip-arsip yang berhubungan
dengan masalah yang diteliti, seperti putusan, dan tulisan-tulisan ilmiah dan
sumber-sumber tertulis lainnya,buku-buku, literatur, dokumen resmi, hasil
penelitian yang berwujud laporan dan sumber lainnya yang berkaitan dengan
penelitian ini. Karena penelitian ini lebih bersifat penelitian hukum normatif,
maka lebih menitikberatkan penelitian pada data sekunder sedangkan data
primer lebih bersifat sebagai penunjang.
d. Sumber Data
Sumber data merupakan tempat data suatu penelitian yang dapat
diperoleh dan yang akan digunakan dalam penelitian normatif yaitu sumber
data sekunder yang meliputi bahan-bahan kepustakaan yang dapat berupa
dokumen, buku-buku laporan, arsip dan literatur yang berkaitan dengan
masalah yang diteliti. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian
ini meliputi:
1. Data Primer
Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan
terdiri dari kaidah dasar (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006:13),
meliputi :
a. Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
b. Putusan Mahkamah Agung NO. 1256 K./Pid/2000
2. Data Sekunder
Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti buku-buku yang berkaitan dengan penelitian atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
membahas tentang lembaga pra peradilan beserta upaya paksa yang
dilakukan sebagai tugas dari lembaga praperadilan.
3. Data Tersier
Bahan- bahan hukum yang menunjang bahan hukum primr dan
bahan hukum sekunder yang berupa pengertian-pengertian yang
diperoleh dari bahan dari internet.
e. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data sekunder. Penulis
mengumpulkan data sekunder yang ada hubungannya dengan masalah yang
akan diteliti yang digolongkan sesuai dengan klasifikasi golongannya.
Selanjutnya data yang diperoleh kemudian dipelajari, diklasifikasikan, dan
selanjutnya dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan
penelitian. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam
penelitian ini adalah: Studi dokumen atau bahan pustaka yaitu pengumpulan
data sekunder. Penulis mengumpulkan data sekunder dari peraturan
perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, serta pengumpulan data
melalui media internet.
f. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, lembaga praperadilan akan dianalisis dengan
dengan logika deduktif. Dalam hal ini, sumber penelitian yang diperoleh
dalam penelitian ini dengan melakukan inventarisasi sekaligus mengkaji dari
penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan beserta dokumen-
dokumen yang dapat membantu menafsirkan norma terkait, kemudian sumber
penelitian tersebut diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang
diteliti. Tahap terakhir adalah menarik kesimpulan dari sumber penelitian
yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat diketahui alasan pengajuan kasasi
terhadap putusan lembaga praperadilan itu sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh
Aristoteles, pengunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis
mayor (pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat
khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan (Peter
Mahmud Marzuki, 2006:47). Di dalam logika silogistik untuk penalaran
hukum yang bersifat premis mayor adalah aturan hukum sedangkan premis
minornya adalah fakta hukum.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang sistematika
penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum, maka
penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika
penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yang tiap bab terbagi dalam sub-
sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap
keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika keseluruhan penulisan hukum ini
adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis mengemukakan tentang latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis menguraikan dua hal yaitu, yang pertama adalah
kerangka teori yang melandasi penelitian serta mendukung di dalam
memecahkan masalah yang diangkat dalam penulisan hukum ini, yang
meliputi: Pertama mengenai tinjauan umum tentang Pra Peradilan
meliputi, pengertian, wewenang, alasan Pra peradilan. Kedua, tinjauan
umum tentang penangkapan yang meliputi alasan dan tata cara
penangkapan. Ketiga, tinjauan umum tentang upaya hukum kasasi
yang meliputi alasan pengajuan kasasi dan tata cara pengajuan kasasi .
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Selain itu, untuk memudahkan pemahaman alur berfikir, maka di
dalam bab ini juga disertai dengan kerangka pemikiran.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini diuraikan hasil penelitian dan pembahasan tentang .
alasan alasan hukum pengajuan kasasi terhadap putusan lembaga pra
peradilan atas upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum dan pengajuan kasasi tersebut sesuai dengan asas penyelesaian
perkara dipengadilan yaitu sederhana,cepat, dan biaya murah.
BAB IV : PENUTUP
Merupakan penutup yang menguraikan secara singkat tentang
simpulan akhir dari pembahasan dan jawaban atas rumusan
permasalahan, dan diakhiri dengan saran-saran yang didasarkan atas
permasalahan yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Kerangka Teori
a. Tinjauan Umum tentang Pra Peradilan
1) Pengertian Praperadilan
Istilah yang dipergunakan oleh KUHAP “pra peradilan'' maka
maksud dan artinya yang harfiah berbeda. Pra artinya sebelum, atau
mendahului, berarti “pra peradilan” sama dengan sebelum pemeriksaan
di sidang pengadilan. Di Eropa dikenal lembaga semacam itu, tetapi
fungsinya memang benar-benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. )
Di negeri Belanda disebut dengan hakim komisaris (Rechter
commissaris) dan Judge d' Instruction di Francis benar-benar dapat
disebut praperadilan, karena selain menentukan sah tidaknya
penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan pemeriksaan
pendahuluan atas suatu perkara.
Di dalam KUHAP sendiri terdapat beberapa pasal yang
memberikan definisi tentang praperadilan, antara lain menurut Pasal 1
butir 10 KUHAP Pra peradilan adalah wewenang Pengadilan Negeri
untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini tentang:
a) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa
tersangka;
b) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c) permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Tugas pra peradilan di Indonesia terbatas dalam Pasal 78 yang
berhubungan dengan Pasal 77 KUHAP dikatakan bahwa yang
melaksanakan wewenang pengadilan negeri memeriksa dan memutus
tentang berikut :
(1) Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan
atau penghentian penuntutan.
(2) Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan
adalah praperadilan. Pra peradilan dipimpin oleh hakim tunggal
yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh
seorang panitera.
Dalam Pasal 79, 80. 81 diperinci tugas pra peradilan itu yang
meliputi tiga hal pokok. yaitu sebagai berikut :
(a) Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu
penangkapan atau penahanan yang diajukan oleh tersangka,
keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasannya.
(b) Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian
penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau
penuntut umum, pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua
pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
(c) Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya
penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian
penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak
ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri
dengan menyebutkan alasannya.
Dalam penjelasan undang-undang, hanya Pasal 80 yang diberi
komentar, yaitu bahwa pasal ini bermaksud untuk menegakkan hukum,
keadilan, dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal.
Pra peradilan merupakan tugas tambahan yang diberikan kepada
Pengadilan Negeri selain tugas pokoknya mengadili dan memutus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
perkara pidana dan perdata untuk menilai sah tidaknya penahanan,
penyitaan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan,
penahanan dan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik (Yahya
Harahap, 2002:2).
Tujuan utama pelembagaan pra peradilan dalam KUHAP, untuk
melakukan pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa yang
dikenakan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan
penyidikan atau penuntutan agar benar-benar tindakan itu tidak
bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang
Sehingga dapat disimpulkan bahwa praperadilan dibentuk dengan
tujuan sebagai sarana pengontrol tindakan aparat penegak hukum dalam
menjalankan tugasnya agar tidak bertindak sewenang-wenang. Dengan
adanya pra peradilan, aparat penegak hukum dalam melakukan upaya
paksa terhadap seorang tersangka tetap berdasarkan undang-undang dan
tidak bertentangan dengan hukum.
Tujuan pra peradilan seperti yang sudah diketahui, demi untuk
terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, undang-undang
memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk
melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan,
penyitaan dan sebagainya. Karena tindakan upaya paksa yang dikenakan
instansi penegak hukum merupakan pengurangan dan pembatasan
kemerdekaan dan hak asasi tersangka, tindakan itu harus dilakukan
secara bertanggung jawab menurut ketentuan hukum dan undang-
undang yang berlaku. Tindakan upaya paksa yang dilakukan
bertentangan dengan hukum dan undang-undang merupakan perkosaan
terhadap hak asasi tersangka.
Memang sangat beralasan untuk mengawasi tindakan upaya paksa
yang dilakukan penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka,
supaya tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
undang-undang, dan benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum
serta tidak merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Pengawasan dan penilaian upaya paksa inilah yang tidak dijumpai dalam
tindakan penegakkan hukum di masa HIR. Bagaimanapun perlakuan dan
cara pelaksanaan tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik pada
waktu itu, semuanya lenyap ditelan kewenangan yang tidak terawasi dan
tidak terkendali oleh koreksi lembaga manapun. HIR tidak memberi hak
dan upaya untuk memintakan perlindungan dan koreksi.
Bertahun-tahun pun tersangka ditahan, dianggap lumrah dan
tersangka tidak mempunyai daya untuk mengadukan nasibnya kepada
siapapun, karena HIR tidak memiliki lembaga yang berwenang untuk
menguji sah atau tidaknya tindakan upaya paksa yang dikenakan
terhadap tersangka. Berpijak dari pengalaman suram di masa HIR,
pembuat undang-undang menanggapi betapa pentingnya menciptakan
suatu lembaga yang diberi wewenang melakukan koreksi, penilaian dan
pengawasan terhadap setiap tindakan upaya paksa yang dikenakan
pejabat penyidik atau penuntut umum kepada tersangka, selama
pemeriksaan berlangsung dalam tingkat proses penyidikan dan
penuntutan.
2) Wewenang Pra Peradilan
Lembaga praperadilan ini diberi wewenang berdasarkan undang-undang,
antara lain sebagai berikut:
a. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya suatu penangkapan dan
penahanan.
Inilah wewenang pertama yang diberikan undang-undang
kepada praperadilan. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya
penangkapan dan penahanan. Berarti, seorang tersangka yang
dikenakan tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan atau
penyitaan, dapat meminta kepada lembaga pra peradilan untuk
memeriksa sah atau tidaknya tindakan yang dilakukan penyidik
kepadanya. Kriteria suatu penangkapan dianggap tidak sah antara
lain:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
i. Apabila dalam melakukan penangkapan, seorang penyidik
tidak menyertakan surat tugas dan surat perintah
penangkapan untuk diperlihatkan kepada tersangka, selain
itu jika tembusan surat penangkapan tidak diberikan kepada
pihak keluarganya.
ii. Apabila batas waktu penangkapan lewat satu hari maka
dapat dimintakan pemeriksaan kepada praperadilan.
Seperti halnya penangkapan dan penahanan, penggeledahan
dan penyitaan juga termasuk tindakan upaya paksa yang dapat
dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum dalam melaksanakan
fungsi pra peradilan dalam sistem peradilan pidana. Oleh karena
itu setiap upaya paksa yang dilakukan penyidik harus dilaksanakan
menurut aturan undang-undang yang berlaku agar tidak terjadi
kesewenang-wenangan aparat yang berujung pelanggaran hak asasi
dari seseorang. Menurut Pasal 37 dan Pasal 38 KUHAP,
penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan penyidik dan
penuntut umum harus mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri
setempat.
b. Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan.
Menurut ketentuan Pasal 80 KUHAP, penyidik atau penuntut
umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kepada ketua
Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya terhadap sah
atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan.
Penyidik maupun penuntut umum memiliki wewenang untuk
menghentikan pemeriksaan penyidikan atau penuntutan. Alasan
dilakukannya penghentian penyidikan dan penghentian
penuntutan:
(1) Tidak terdapat cukup bukti,
(2) Peristiwa tersebut tidak termasuk kejahatan atau pelanggaran
tindak pidana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
(3) Nebis in idem karena ternyata apa yang disangkakan kepada
tersangka merupakan tindak pidana yang telah pernah
dituntut dan diadili, dan putusan sudah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
(4) Kadaluarsa untuk menuntut
c. Memeriksa tuntutan ganti kerugian
Ganti kerugian menurut Andi Hamzah, merupakan hak
keperdataan yang dilanggar dalam rangka melaksanakan hukum
acara pidana oleh pejabat negara. Pelaksanaan yang salah itu
berupa salah menangkap, menahan, mengadili dan tindakan lain,
kekeliruan mengenai orang dan kekeliruan dalam menerapkan
hukum
Berdasarkan pada Pasal 95 ayat (1) dan (2) KUHAP lembaga
pra peradilan memiliki wewenang untuk memeriksa tuntutan ganti
kerugian yang antara lain :
i). Tersangka ataupun terdakwa berhak menuntut ganti kerugian
karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan
tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang
atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkan. Tuntutan ganti kerugian diajukan tersangka
berdasarkan alasan :
1) Karena penangkapan atau penahanan yang tidak sah;
2) Atau oleh karena penggeledahan atau penyitaan yang
bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-
undang;
3) Karena kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya
mesti ditangkap, ditahan atau diperiksa.
ii). Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas
penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
dimaksud dalarn ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke
Pengadilan Negeri, diputuskan di sidang pra peradilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.
d. Memeriksa permintaan rehabilitasi
Pra peradilan berwenang memeriksa dan memutus
permintaan rehabilitasi yang diajukan tersangka, keluarganya atau
penasehat hukumnya atas penangkapan atau penahanan tanpa dasar
hukum yang ditentukan undang-undang. Atau rehabilitasi atas
kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang
perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan.
Dalam Pasal 97 ayat (1) dan (2) KUHAP dijelaskan bahwa
seseorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan
diputuskan bebas atau diputuskan lepas dari segala tuntutan hukum
yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
yang kemudian dicantumkan dalam putusan pengadilan tersebut di
atas. Dengan adanya rehabilitasi, diharapkan dapat membersihkan
nama baik, harkat dan martabat tersangka atau terdakwa dan
keluarganya di mata masyarakat.
3) Alasan dan Pihak Yang Mengajukan Pra Peradilan
Dalam mengajukan permohonan praperadilan tentang sah tidaknya
tindakan dari aparat penegak hukum kepada pra peradilan, tentunya
harus memiliki alasan-alasan yang kuat dari pihak yang memohon.
Untuk itu dalam KUHAP telah mengatur siapa-siapa saja yang berhak
mengajukan permohonan kepada pra peradilan serta alasan-alasannya,
yaitu:
(a) Tersangka, keluarga atau kuasa hukumnya
Dalam Pasal 79 KUHAP disebutkan bahwa tersangka,
keluarga dan kuasa hukumnya berhak mengajukan pemeriksaan
tentang sah tidaknya penangkapan atau penahanan kepada Ketua
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Pengadilan Negeri. Menurut pasal ini yang dapat diajukan kepada
pra peradilan hanyalah masalah penangkapan dan penahanan
sedangkan upaya lain seperti penggeledahan dan penyitaan tidak
disebutkan secara langsung.
(b) Penyidik, penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan
Seperti dijelaskan sebelumnya salah satu wewenang
praperadilan adalah memeriksa sah atau tidaknya penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum khususnya penyidik dan penuntut umum.
Apabila dalam suatu perkara pidana seorang penyidik
menghentikan penyidikan tanpa alasan yang dibenarkan oleh
undang-undang, maka penuntut umum dan pihak ketiga yang
berkepentingan berhak melaporkan kepada pra peradilan. Hal ini
telah sesuai dengan prinsip saling mengawasi antar instansi
penegak hukum, tetapi timbul masalah bagaimana seandainya
penuntut umum tetap menerima alasan yang diberikan penyidik
terhadap penghentian penyidikan ini walaupun sebenarnya alasan
yang diberikan tidak sesuai undang-undang.
(c) Tersangka, ahli warisnya dan kuasa hukumnya
Ahli waris dari tersangka pun dapat mengajukan permohonan
pra peradilan dalam hal ini mengajukan tuntutan ganti kerugian
kepada pra peradilan selain permohonan yang dapat diajukan oleh
tersangka dan/atau kuasa hukumnya. Hal ini sesuai dengan bunyi
Pasal 95 ayat (2) KUHAP: Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka
atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan
lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan
sebagaimana dimaksud dalarn ayat (1) yang perkaranya tidak
diajukan ke Pengadilan Negeri, diputus di sidang praperadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
(d) Tersangka atau pihak yang berkepentingan menuntut ganti rugi
Dijelaskan dalam Pasal 81 KUHAP yaitu permintaan ganti
kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan
atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau
penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang
berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebut
alasannya.
Putusan pengadilan menganggap penghentian penyidikan dan
penghentian penuntutan sah maka hal tersebut dapat menjadi
alasan diajukannya tuntutan ganti kerugian kepada pra peradilan
oleh tersangka atau pihak yang berkepentingan (Yahya Harahap,
2002:10).
4) Acara Pra Peradilan
Acara pra peradilan untuk ketiga hal yaitu pemeriksaan sah
tidaknya suatu penangkapan atau penahanan (Pasal 79 KUHAP),
pemeriksaan sah tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan
(Pasal 80 KUHAP), pemeriksaan tentang permintaan ganti kerugian dan
atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau
akibat sahnya penghentian penyidikan (Pasal 81 KUHAP) ditentukan
beberapa hal berikut :
a) Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim
yang ditunjuk menetapkan hari sidang;
b) Dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya
penangkapan atau penahanan sah atau tidaknya penghentian
penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan
atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau
penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau
penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
pembuktian, hakim mendengar keterangan baik tersangka atau
pemohon maupun dari pejabat yang berwenang;
c) Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-
lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan
putusannya;
d) Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan
negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada
Praperadilan belum selesai maka permintaan tersebut gugur;
e) Putusan pra peradilan pada tingkat penyidikan tidak menutup
kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan Pra Peradilan
lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk
itu diajukan permintaan baru (semua yang tersebut pada butir 1
sampai dengan 5 ini diatur dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP);
f) Putusan hakim dalam acara pemeriksaan peradilan dalam
ketiga hal tersebut di atas harus memuat harus memuat dengan
jelas dasar dan alasannya (Pasal 82 ayat (2) KUHAP). Oleh
karena itu putusan hakim haruslah memuat;
(i) Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu
penangkapan atau penahanan tidak sah maka penyidik
atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan
masing-masing harus segera membebaskan tersangka.
(ii) Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu
penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah,
penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib
dilanjutkan.
(iii) Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu
penangkapan atau penahanan tidak sah maka dalam
putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti rugi dan
rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu
penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
tersangkanya tidak ditahan maka dalam putusan
dicantumkan rehabilitasinya.
(iv) Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang
disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian maka
dalam putusan dicantukan bahwa benda tersebut harus
segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa
benda itu disita.
b. Tinjauan Umum tentang Penangkapan
1) Pengertian Penangkapan
Sering dikacaukan pengertian penangkapan dan penahanan.
Penangkapan sejajar dengan arrest (Inggris), sedangkan penahanan
sejajar dengan detention (Inggris). Jangka waktu penangkapan tidak
lama. Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan (yang dapat
dilakukan setiap orang) hanya berlangsung antara ditangkapnya
tersangka sampai ke pos polisi terdekat. Sesudah sampai di kantor
polisi atau penyidik, maka polisi atau penyidik dapat menahan jika
delik yang dilakukan ditentukan tersangkanya dapat ditahan.
Pasal 1 butir 20 KUHAP memberi definisi “penangkapan” sebagai
berikut: “Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa
pengekangan kebebasan sementara waktu tersangka atau terdakwa
apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau
penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.”
Kalau definisi ini dibandingkan dengan bunyi Pasal 16 yang
mengatur tentang penangkapan, maka nyata tidak cocok. Pasal 16
mengatakan sebagai berikut :
1. Untuk kepentingan penyelidikan. penyelidik atas perintah
penyidik berwenang melakukan penangkapan.
2. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
pembantu berwenang melakukan penangkapan.
Tidak cocok karena ternyata bukan saja penyidik (menurut
definisi) tetapi juga penyelidik dapat melakukan penangkapan. Bahkan
setiap orang dalam hal tertangkap tangan dapat melakukan
penangkapan. Juga alasan penangkapan, ternyata bukan saja untuk
kepentingan penyidikan tetapi juga untuk kepentingan penyelidikan.
2) Tata Cara Penangkapan
Aspek pembahasan mengenai penangkapan yang dilakukan oleh
pejabat yang berwenang haruslah sesuai dengan syarat- syarat yang
telah diatur dalam Pasal 18 KUHAP tentang penangkapan yang antara
lain:
a) Pelaksanaan penangkapan dilakukan oleh kepolisian negara RI
Dari ketentuan ini, sudah jelas petugas mana yang boleh
melakukan penangkapan, kecuali berdasar Pasal 284 ayat (2)
jaksa penuntut umum yang berkedudukan sebagai penyidik dapat
melakukan penangkapan. Selain itu, berdasarkan Pasal 111
dalam hal tertangkap tangan ”setiap orang berhak” melakukan
penangkapan, dan bagi orang yang mempunyai wewenang dalam
tugas ketertiban, ketentraman dan keamanan ”wajib” menangkap
tersangka.
b) Petugas yang diperintahkan melakukan penangkapan harus
membawa ”surat tugas penangkapan”
Dalam suatu penangkapan, surat tugas merupakan syarat
yang formal yang bersifat ”imperatif” sehingga harus dipenuhi
oleh petugas yang melakukan penangkapan agar tidak terjadi
penangkapan yang dilakukan oleh oknum yang tidak
bertanggung jawab. Oleh karena itu, demi tegaknya kepastian
serta menghindari penyalahgunaan jabatan ataupun untuk
menjaga ketertiban masyarakat dari pihak yang beritikad buruk,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
penangkapan oleh seorang petugas yang tidak mempunyai surat
tugas harus ditolak dan tidak perlu ditaati.
c) Petugas memperlihatkan surat perintah penangkapan
Surat perintah penangkapan tersebut memberi penjelasan
dan penegasan tentang :
i. Identitas tersangka, nama, umur dan tempat tinggal
Jika ternyata identitas yang diterangkan dalam surat perintah
penangkapan tidak sesuai bisa dianggap surat perintah itu
”tidak berlaku” terhadap orang yang didatangi petugas.
ii. Menjelaskan atau menyebut secara singkat alasan
penangkapan
iii. Menjelaskan uraian singkat perkara kejahatan yang
disangkakan terhadap tersangka
iv. Selanjutnya menyebut dengan terang di tempat mana
pemeriksaan dilakukan.
Selain itu, diingatkan kembali Pasal 18 ayat (2) dalam hal
tertangkap tangan penangkapan dilakuakn terhadap tersangka
”tanpa surat perintah” penangkapan, dengan syarat harus segera
menyerahkan yang tertangkap tangan kepada penyidik maupun
penyidik pembantu yang terdekat. Berdasarkan Pasal 18 ayat 3,
pemberitahuan penangkapan kepada pihak keluarga haruslah
diberikan secara tertulis, apabila diberikan secara lisan maka
pemberitahuan itu dianggap tidak sah dan pihak keluarga dapat
mengajukan pemeriksaan kepada lembaga pra peradilan tentang
ketidakabsahan penangkapan tersebut serta sekaligus dapat
menuntut ganti kerugian.
c. Tinjauan Umum tentang Upaya Hukum Kasasi
1) Pengertian Kasasi
Lembaga kasasi sebenarnya berasal dari Francis. Kata asalnya
ialah casser yang artinya memecah. Suatu putusan hakim dibatalkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
demi untuk mencapai kesatuan peradilan. Semula berada di tangan raja
beserta dewannya yang disebut Conseil du Roi. Setelah revolusi yang
meruntuhkan kerajaan Francis, dibentuklah suatu badan khusus yang
tugasnya menjaga kesatuan penafsiran hukum, jadi merupakan badan
antara yang menjembatani pembuat undang-undang dan kekuasaan
kehakiman.
Kemudian lembaga kasasi tersebut ditiru pula di negeri Belanda
yang pada gilirannya dibawa pula ke Indonesia. Pada asasnya kasasi
didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan
hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan kehakimannya. Arti
kekuasaan kehakiman itu ditafsirkan secara luas dan sempit. Yang
menafsirkan secara sempit ialah D. Simons yang mengatakan jika
hakim memutus sesuatu perkara padahal hakim tidak berwenang
menurut kekuasaan kehakiman. Dalam arti luas misalnya jika hakim
pengadilan tinggi memutus padahal hakim pertama telah
membebaskan. Tujuan kasasi ialah untuk menciptakan kesatuan
penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang
bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam menerapkan
hukum.
2) Alasan Mengajukan Kasasi
Dalam UUPKK pada Pasal 23 ayat (I) dikatakan sebagai berikut :
“Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan
dasar-dasar putusan itu. juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu
dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak
tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.” Sehingga sesuai
undang- undang tersebut terdapat tiga alasan untuk melakukan kasasi,
yaitu :
(a) apabila terdapat kelalaian dalam acara (vormverzuim);
(b) peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan
pada pelaksanaannya;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
(c) apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan
menurut cara yang ditentukan undang-undang.
Berdasarkan alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan yang
ditentukan oleh undang-undang yang menjadi dasar suatu putusan
pengadilan yang kurang jelas, dapat diajukan kasasi melalui jalur
kelalaian dalam acara (vormverzuim) itu. Menurut Oemar Seno Adji,
berhubung dengan inilah dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung
tanggal 25 November 1974, No. M.A/Pemb/1154/74, yang mulai
dengan suatu konstatasi, bahwa putusan-putusan pengadilan negeri/
pengadilan tinggi kadang-kadang tidak disertai dengan pertimbangan
yang dikehendaki oleh undang-undang (dalam hal ini khususnya Pasal
23 ayat (I) UUPKK) tidak atau kurang adanya pertimbangan/alasan-
alasan ataupun alasan-alasan yang kurang jelas, sukar dimengerti
ataupun bertentangan satu sama lain, dapat menimbulkan sebagai
suatu kelalaian dalam acara (vormverzu). Oleh karena itu dapat
menimbulkan batalnya putusan pengadilan negeri/tinggi oleh
Mahkamah Agung dalam putusan kasasi.
3) Tata Cara Mengajukan Kasasi
Dalam KUHAP tidak diperinci mengenai bagaimana tatacara
pengajuan kasasi. Pada umumnya hanya diatur tentang tata cara
mengajukan kasasi, dan pada. Pasal 253 ayat (1) KUHAP diatur secara
singkat alasan mengajukan kasasi sebagai berikut : “Pemeriksaan
dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas
permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan
Pasal 248 guna menentukan :
i. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
ii. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan undang-undang;
iii. apakah benar pengadilan telah melampaui batas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
wewenangnya.”
Cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-
undang, misalnya pengadilan dilakukan di belakang pintu tertutup
tanpa alasan menurut undang-undang. Mengenai hal hakim melampaui
wewenangnya, lihat uraian di muka tentang pengertian luas dan
sempit.
Suatu permohonan kasasi dapat diterima atau ditolak untuk
diperiksa oleh Mahkamah Agung. Menurut KUHAP, suatu
permohonan ditolak jika :
a) putusan yang dimintakan kasasi ialah putusan bebas (Pasal
244 KUHAP). Senada dengan ini putusan Mahkamah Agung
tanggal 19 September 1956 No. 70/Kr/1956. Mengenai
putusan bebas tidak murni, lihat uraian di muka pada bagian
banding;
b) melewati tenggang waktu penyampaian permohonan kasasi
kepada panitera pengadilan yang memeriksa perkaranya,
yaitu empat belas had sesudah putusan disampaikan kepada
terdakwa (Pasal 245 KUHAP). Senada dengan itu, putusan
Mahkamah Agung tanggal 12 September 1974 No.
521/K/Kr/1975;
c) sudah ada keputusan kasasi sebelumnya mengenai perkara
tersebut. Kasasi hanya dilakukan sekali (Pasal 247 ayat (4)
KUHAP);
d) pemohon tidak mengajukan memori kasasi (Pasal 248 ayat
(1) KUHAP), atau tidak memberitahukan alasan kasasi
kepada panitera, jika pemohon tidak memahami hukum
(Pasal 248 ayat (2) KUHAP), atau pemohon terlambat
mengajukan memori kasasi, yaitu empat belas hari sesudah
mengajukan permohonan kasasi (Pasal 248 ayat (1) dan (4)
KUHAP);
e) tidak ada alasan kasasi atau tidak sesuai dengan ketentuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Pasal 253 ayat (1) KUHAP tentang alasan kasasi.
Selain syarat-syarat yang ditentukan oleh KUHAP tersebut, juga
perlu ditinjau yurisprudensi Mahkamah Agung yang berkaitan dengan
penolakan kasasi seperti :
1. permohonan diajukan oleh seorang kuasa tanpa kuasa khusus
(putusan Mahkamah Agung tanggal 11 September 1958 No.
117 K/Kr/1958);
2. permohonan kasasi diajukan sebelum ada putusan akhir
pengadilan tinggi (putusan Mahkamah Agung tanggal 17 Mei
1958 No. 66 K/Kr/1958);
3. permohonan kasasi terhadap putusan sela (putusan
Mahkamah Agung tanggal 25 Februari 1958 No. 320
K/Kr/1957);
4. permohonan kasasi dicap jempol tanpa pengesahan oleh
pejabat berwenang (putusan Mahkamah Agung tanggal 5
Desember 1961 No. 137 K/Kr/1961).
Satu hal yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan kasasi ini ialah
tidak diaturnya oleh KUHAP peranan Jaksa Agung di dalamnya.
Padahal menurut tujuan. kasasi itu untuk mencapai kesatuan peradilan
dan untuk penerapan undang-undang setepat-tepatnya, dan oleh karena
itu posisi penuntut umum sangat penting pula dalam kasasi.Di negeri
Belanda peranan Jaksa Agung (Procureur Generaal) sangat penting
dalam pemeriksaan kasasi melalui jalur konklusi yang diajukannya.
Dialah yang terakhir didengar, dan terdakwa (terpidana) atau penasihat
hukumnya tidak lagi didengar pendapatnya. Di dalam pemeriksaan
kasasi Jaksa Agung tidak merupakan pihak. Oemar Seno Adji pun
mengusulkan agar posisi Jaksa Agung dalam pemeriksaan kasasi
diperhatikan, terutama dalam menyusun peraturan pelaksanaan KUHAP.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
2. Kerangka Pemikiran
Keterangan Kerangka Pemikiran :
Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana (KUHAP) merupakan
norma hukum tertulis yang dijadikan pedoman bagi aparat penegak hukum
dalam proses penegakan hukum. Demi kepentingan pemeriksaan suatu tindak
pidana, undang-undang memberiksan kewenangan kepada aparat penegak
hukum untuk melakukan tindakan-tindakan yang pada prinsipnya merupakan
pengurangan terhadap hak asasi manusia. Bentuk dari tindakan tersebut adalah
upaya paksa, seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan
pemeriksaan surat. Dalam menjalankan tugasnya, aparat penegak hukum tidak
Penangkapan yang dilakukan oleh lembaga
praperadilan
Penegakan Hukum
Penggunaan Upaya Paksa
Pengajuan Kasasi terhadap Putusan Pra
Peradilan
Pengawasan Horizontal
Abuse of power Pemeriksaan oleh Lembaga Pra Peradilan
UU No.8 Tahun 1981 (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
terlepas dari kemungkinan untuk melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Salah satu upaya untuk menjamin perlindungan terhadap hak asasi
seorang tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana adalah
melalui lembaga pra peradilan yang diatur dalam KUHAP. Pra Peradilan
merupakan lembaga baru yang sebelumnya tidak diatur dalam HIR, lahir dari
pemikiran untuk mengadakan tindakan pengawasan terhadap aparat penegak
hukum, agar dalam melaksanakan kewenangannya tidak melakukan
penyelewengan atau penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Untuk itu
selain adanya pengawasan yang bersifat internal dalam perangkat aparat itu
sendiri (vertikal), juga dibutuhkan suatu pengawasan silang antara sesama
penegak hukum (horizontal.
Setiap putusan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan haruslah
mencantumkan keterangan dan alasan- alasan dijatuhkannya putusan tersebut
apabila salah satu pihak merasa tidak dipuaskan dengan putusan tersebut maka
pihak itu dapat mengajukan upaya hukum dari banding hingga ke peninjauan
kembali yang diajukan oleh terpidana sendiri, kuasa hukumnya hingga ahli
warisnya sekalipun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Alasan Pengajuan Kasasi terhadap Putusan Pra Peradilan tentang Legalitas
Penangkapan yang Dilakukan oleh Kepolisian Federal Australia Atas
Permintaan Polri.
1. Kasus Posisi
Seorang bernama Hendra Rahardja dilaporkan oleh Drs. Mustaharai
Sembiring selaku anggota Polri dalam kasus tindak pidana perbankan
sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang- Undang No. 7 tahun 1992 tentang
Perbankan. Tetapi bukti- bukti yang diajukan oleh Pelapor kurang jelas.
Tersangka kemudian ditangkap oleh Kepolisian Federal Australia dimana
Tersangka merasa tidak pernah mendapatkan surat pemanggilan untuk
penangkapan tersebut sehingga Tersangka mengajukan permohonan
praperadilan tentang legalitas penangkapan dan penahanannya. Kemudian
berdasar keterangan tersangka, lembaga praperadilan mengabulkan
permohonan tersebut yang menyatakan bahwa Termohon Pra Peradilan harus
membebaskan Pemohon Pra Peradilan dan melakukan ganti rugi serta
rehabilitasi kepada Pemohon Pra Peradilan.
Termohon Pra Peradilan merasakan ada kejanggalan dalam putusan
yang dijatuhkan oleh Pegadilan Negeri Jakarta Selatan. Tentang amar putusan
yang dibacakan dan dijatuhkan tidak ada kesesuaian, dalam menjatuhkan
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak menyebutkan dasar alasan yang
jelas sehingga hal tersebut mendorong Termohon Praperadilan untuk
mengajukan upaya hukum kasasi. Dalam putusan tingkat kasasi Pemohon
kasasi/ Termohon Praperadilan dikuatkan posisinya oleh Mahkamah Agung
dimana dalam amar putusannya mengabulkan pengajuan kasasi tersebut,
membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tingkat pertama
serta membebankan Termohon Kasasi/ Pemohon Praperadilan untuk membayar
biaya perkara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
2. Identitas Pemohon dan Termohon Pra Peradilan
a. Identitas Pemohon
Nama : Hendra Rahardja
Pekerjaan : Komisaris Utama Bank Harapan Sentosa
b. Identitas Termohon
Nama : Drs. Mustaharai Sembiring
Selaku penyidik dari kepolisian, yaitu :
KEPOLISIAN NEGARA RI Cq. KORPS RESERSE POLRI
DIREKTORAT RESERSE EKONOMI
3. Alasan Permohonan Pra Peradilan
Pemohon/ Tersangka mengajukan permohonan pemeriksaan
Praperadilan terhadap Termohon dengan alasan sebagai berikut:
Bahwa pada tanggal 3 Juli 1998, Drs. Mustahari Sembiring, pekerjaan:
Anggota Polri, telah membuat laporan Polisi No.Pol.
LP/182/VII/1998/Serse.Ek, dengan tindak pidana yang dilaporkan adalah
tindak pidana perbankan sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang- Undang
No. 7 Tahun 1982 tentang perbankan jo. Pasal 55 dan 86 KUHP :
Bahwa laporan Polisi tersebut menyatakan nama- nama tersangka adalah :
1) Hendra Rahardja (Komisaris Utama Bank Harapan Sentosa)
2) Eko Edi Putranto ( Komisaris Bank Harapan Sentosa)
3) Andre Widijanto (Pemilik Perusahaan terkait)
4) Ny. Sherly Kojonglan ( Pemilik Perusahaan terkait)
5) Hendro Suweno (Direksi Perusahaan Group) (bukti PR-1) :
Bahwa laporan pidana tersebut dibuat oleh Anggota Polri sendiri, saksi
korban dalam dugaan tindak pidana tersebut tidak jelas;
Bahwa Pemohon tidak pernah menerima maupun diberitahukan tentang
adanya laporan Polisi dengan tersangka Pemohon, serta panggilan untuk
diminta keterangan atas adanya laporan Polisi tersebut;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Bahwa dengan demikian dikeluarkannya Surat Perintah Penangkapan
No.Pol.SPP/R/69-M/VIII/Ditserse.Ek, pada tanggal 10 Agustus 1998 terhadap
Pemohon, sangat tidak berdasar hukum dan karenanya surat perintah
penangkapan tersebut tidak sah ;
Bahwa pada tanggal 23 Ferbruari 1999, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta
telah menyatakan berkas perkara atas nama tersangka Drs. Andre Widijanti
dan kawan- kawan yang dilimpahkan oleh Mabes Polri dinyatakan belum
lengkap (bukti P.2);
Bahwa pada tanggal 13 April 1999, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta
menyampaikan Surat kepada Dankorserse Polri, mengenai pemeriksaan
optimal oleh Mabes Polri dan perintah untuk menyerahkan berkas perkara dan
tersangka agar Kejati dapat melakukan pemeriksaan tambahan (bukti P.3);
Bahwa Pemohon pada tanggal 1 Juni 1999, telah ditangkap dan dibawa
ke Police Station di Sydney dengan didasarkan pada foto copy dari Interpol
Red Notice dengan tanda “A1” yang isinya mengenai pemberitahuan telah
dikeluarkannya surat penangkapan terhadap Pemohon oleh anggota Polisi
Federal Australia. Salah seorang anggota Polisi Federal Australia bernama
Rod Wissam pada tanggal 1 Juni 1999 membuat affidavit yang isinya
meminta dikeluarkannya surat penahanan sementara terhadap Pemohon
Affidavit oleh anggota Polisi Federal Australia jelas tidak sesuai dengan
prosedur hukum yang berlaku, karenanya affidavit tersebut mohon dinyatakan
tidak sah ;
Berdasarkan uraian di atas, terbukti penangkapan Pemohon pada tanggal
1 Juni 1999 tidak berdasar hukum, demikian pula penahanan terhadap
Pemohon juga tidak berdasar hukum, karenanya penahanan tersebut haruslah
dinyatakan tidak sah ;
Bahwa berdasarkan pasal 20 KUHAP, jangka waktu untuk penangkapan
adalah 24jam, akan tetapi terbukti Pemohon sampai dengan tanggal 3 Juni
1999 masih ditahan di Police Station di Sydney dan pada tanggal 4 Juni 1999
baru dipindahkan dari Police Station di Sydney ke penjara Silverwater di
Sydney sampai dengan sekarang tanpa dasar dan alasan yang sah. Sesuai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
dengan pasal 20 jo pasal 24 ayat (1) dan (2) KUHAP. Penyidik hanya
berwenang untuk melakukan penahanan untuk waktu 20 hari dan dapat
diperpanjang oleh Penuntut Umum untuk selama 40 hari. Sesuai dengan pasal
24 ayat (4) KUHAP, maka setelah enam puluh hari tersebut. Penyidik harus
sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum ;
Bahwa berdasarkan fakta di atas, terbukti bahwa Surat Perintah
Penangkapan No.Pol. SPP/R/48/M/VI/1999/Ditserse.Ek. tertanggal 18 Juni
1999 atas nama Pemohon tidak berdasar hukum, sehingga surat penangkapan
tersebut tidak sah, karenanya Pemohon harus segera dikeluarkan dari penjara
Silverwater ;
Terbukti baik keluarga Pemohon maupun kuasanya, tidak pernah
menerima pemberitahuan tentang penangkapan terhadap diri Pemohon dari
Termohon sebagaimana disyaratkan pasal 21 ayat (3) jo pasal 18 ayat (3)
KUHAP. Berdasarkan dalil di atas maka Pemohon harus segera dikeluarkan
dari tahanan demi hukum ;
Bahwa adalah fakta Pemohon sudah berada di luar Negeri untuk berobat,
jauh hari sebelumnya adanya laporan Polisi No.Pol.
LP/182/VII/1998/Serse.Ek. tanggal 3 Juli 1998 ;
Bahwa berdasarkan pasal 81 KUHAP, terhadap tidak sahnya
penangkapan dan penahanan dapat dimintakan ganti rugi dan rehabilitasi.
Oleh karena itu, dengan adanya surat perintah penangkapan yang tidak sah
dan sampai saat ini Pemohon harus berada di tahanan Silverwater, Sydney
telah sangat merugikan Pemohon. Untuk itu Pemohon minta agar Termohon
membayar ganti rugi sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) segera
setelah putusan dalam perkara ini dibacakan dan termohon dihukum
merehabilitasi nama baik Pemohon ;
4. Isi Permohonan Pra peradilan
Bahwa berdasarkan uraian kasus diatas, Pemohon mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memberikan
putusan sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
a. Menerima permohonan untuk seluruhnya;
b.Menyatakan Surat Perintah Penangkapan No.Pol. SPP/R/69-
M/VIII/1998/Ditserse.Ek. tertanggal 10 Agustus 1998, Surat Perintah
Penangkapan No.LP/182/VII/1998/Serse.Ek. tertanggal 18 Juni 1999,
copy Interpol Red Notice dengan tanda “Al” atas nama Hendra Rahardja
dan affidavit dari Rod Wissam tertanggal 1 Juni 1998 tidak sah;
c. Menyatakan penangkapan dan penahan terhadap Pemohon/Hendra Rahardja
tidak sah dan karenanya membebaskan dengan segera Hendra Rahardja
dari tahanan;
d. Menghukum Termohon untuk membayar ganti rugi kepada pemohon
sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) segera setelah putusan
dalam perkara ini dibacakan;
e Menghukum Termohon untuk merehabilitir Pemohon Hendra Rahardja;
f. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara;
5. Eksepsi Termohon Pra Peradilan
Menimbang, bahwa terhadap pemohonan Pemohon praperadilan
tersebut, Termohon Praperadilan telah mengajukan eksepsi yang pada
pokoknya sebagai berikut :
Bahwa berdasarkan ketentuan pasal 77 KUHAP, Pengadilan Negeri
berwenang untuk memeriksa dan menuntut sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Undang- Undang ini tentang:
a). Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan
atau rehabilitasi bagi seseorang;
b). Ganti kerugian dan atau reabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat peyidikan atau penuntutan;
Bahwa petitum Pemohon pada angka 1 yang meminta praperadilan agar
menyatakan tidak sah terhadap:
(a). Surat Perintah Penangkapan No. SPP/R/69-M/VIII/1998? Ditserse.Ek.
tertanggal 10 Agustus 1998;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
(b). Surat Perintah Penangkapan No. LP/182/VII/1998/Serse.Ek. tertanggal 18
Juni 1999;
(c). Copy Interpol Red Notice dengan tanda “Al” atas nama Hendra Rahardja
dan Affidavit dari Rod Wissam tertanggal 1 Juni 1998;
Bahwa kewenangan praperadilan adalah memeriksa, mengenai prosedur
dilakukannya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan
penghentian penuntutan bukan mengenai administrasi dari penerapan upaya
paksa sebagaimana tersebut di atas, Pemohon secara tegas memohon agar
praperadilan menyatakan tidak sah surat perintah penangkapannya bukan
penangkapan/ prosedur penangkapannya, hal ini jelas- jelas bukan merupakan
kewenangan Pengadilan:
Bahwa secara limitatif kewenangan praperadilan telah dituangkan dalam
pasal 77 KUHAP sebagaimana tersebut di atas, dengan demikian petitum
Pemohon yang meminta agar praperadilan menyatakan tidak sahnya copy
Interpol Red Notice dan affidavit dari Red Wissam tertanggal 1 Juni 1998
yang jelas- jelas bukan produk dari Termohon adalah bukan kewenangan
praperadilan, karena praperadilan tidak boleh mengabulkan petitum di luar
ketentuan yang diatu dalam KUHAP;
Bahwa demikian halnya terhadap Pemohon pada angka 5 jelas- jelas
bukan kewenangan praperadilan untuk menghukum Termohon merehabilitasi
nama baik Hendra Rahadrja, karena kewenangan untuk melakukan rehabilitasi
adalah merupakan kewenangan praperadilan yang sifatnya melekat dalam
putusan nantinya sebagaimana diatur dalam pasal 82 ayat (3) huruf c KUHAP,
sehingga praperadilan tidak mempunyai kewenangan untuk memerintahkan
Termohon untuk melakukan rehabilitasi;
Bahwa petitum Pemohon angka 4 yang memohon agar Termohon
membayar ganti rugi kepada Pemohon sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta
rupiah) segera setelah putusan dalam perkara ini dibacakan adalah bukan
merupakan kewenangan praperadilan karena praperadilan tidak dapat
menghukum Termohon untuk memenuhi tuntutan dan tuntutan ganti rugi
seharusnya ditujukan kepada Negara Republik Indonesia;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Bahwa dalam penahanannya secara tegas Pemohon telah menyatakan
bahwa yang melakukan penangkapan dan penahanan adalah Polisi Federal
Australia, namun dalam positum maupun petitumnya Pemohon mendalilkan
bahwa yang melakukan penangkapan dan penahanan adalah Termohon. Hal
ini jelas sangat membingungkan dan menyebabkan gugatan menjadi kabur.
Selain dari pada itu petitum Pemohon tentang penahanan tidak didukung
dengan dalil- dalil dalam positumnya, sehingga tidak ada kesesuaian antara
positum dengan petitumnya yang menyebabkan gugatan menjadi kabur;
Bahwa Termohon tidak pernah menerbitkan Surat Perintah Penangkapan
No.Pol. LP/182/VII/1998/Serse.Ek. tanggal 18 Juni 1998 sebagaimana
tertuang dalam petitum Pemohon pada angka 1, hal tersebut mengakibatkan
ketidak jelasan tentang apa yang dituntut Pemohon dalam Petitumnya
sehingga berakibat permohonan Pemohon kabur;
Bahwa Pemohon mendudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia
Cq. Korps Reserse Polri Direktorat Reserse Ekonomi yang jelas- jelas
merupakan suatu Lembaga bukan Penyidiknya, padahal proses praperadilan
sesungguhnya adalah keabsahan tindakan dari Penyidik. Hal tersebut
mengakibatkan ketidakpastian tentang siapa yang digugat;
Bahwa berdasarkan hal- hal tersebut di atas, cukup beralasan bagi
Hakim untuk menyatakan bahwa permohonan praperadilan yang diajukan
oleh Pemohon ditolak atau setidak- tidaknya tidak dapat diterima;
6. Amar Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Menimbang bahwa dengan memperhatikan pasa 77 dan pasal- pasal
lainnya dari Undang- Undang No. 8 Tahun 1981, permohonan praperadilan
dari Pemohon tersebut telah dikabulkan seperti tercantum dalam putusan
Pengadilan Negeri tersebut yang amar lengkapnya berbunyi sebagai berikut:
a. Mengabulkan permohonan Pemohon;
b. Menyatakan bahwa penangkapan dan penahanan yang dilakukan
oleh Termohon terhadap Hendra Rahardja tidak sah;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
c. Memerintahkan Termohon untuk segera membebaskan Pemohon
(Hendra Rahardja) dari tahanan;
d. Menghukum Termohon untuk membayar ganti rugi kepada
Pemohon sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah);
e. Memulihkan hak Pemohon dalam kedudukan dan harkat serta
martabatnya;
f. Menyatakan permohonan selain dan selebihnya tidak dapat diterima;
7. Alasan Pengajuan Kasasi
Menimbang, bahwa keberatan- keberatan yang diajukan oleh Pemohon
kasasi pada pokoknya adalah sebagai berikut :
1) Bahwa Pemohon kasasi keberatan terhadap bunyi putusan yang diucapkan
oleh judex facti yang tidak sesuai dengan apa yang tertulis dalam diktum.
Bahwa pada tanggal 23 Juni 2000, judex facti membacakan putusannya
pada butir 1 berbunyi : “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk
sebahagian”, sedangkan dalam diktum tertulis yang diserahkan kepada
Pemohon kasasi kata- kata “Untuk Sebagian” termaksud tidak tercantum
sama sekali ;
Dengan demikian terdapat ketidakjelasan terhadap bunyi putusan yang
sebenarnya yang dibacakan oleh judex facti dan kondisi ini menimbulkan
kebingungan bagi Pemohon kasasi. Untuk itu Pemohon kasasi mohon
keadilan yang seadil- adilnya ;
2) Bahwa dalam butir 2 diktum putusan judex facti menyatakan bahwa
penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh Pemohonan kasasi/
Termohon praperadilan tidak sah ;
Tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat
perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat diperiksa ;
Bahwa dalam bunyi pasal 18 ayat (1) KUHAP termaksud tegas- tegas
disebutkan bahwa penangkapan adalah perbuatan hukum yang dilakukan
oleh petugas Polri dan dilakukan secara langsung melalui perlakuan fisik
terhadap tersangka berupa pengekangan kebebasannya. Dengan demikian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
dapat disimpulkan bahwa penerbitan surat perintah penangkapan semata
tidak berarti upaya paksa penangkapan telah dilakukan. Karena yang
dimaksud oleh KUHAP sebagai penangkapan adalah perlakuan fisik
berupa pengekangan kebebasan tersangka. Oleh karena itu di dalam
perkara ini belum ada hak- hak Termohon kasasi yang terlanggar untuk
dimintakan praperadilan ;
Bahwa penangkapan Termohon kasasi dilakukan oleh kepolisian
Australia, maka berdasarkan bunyi pasal 18 ayat (1) KUHAP dapat
disimpulkan bahwa Pemohon kasasi belum melakukan upaya paksa
berupa penangkapan terhadap Termohon kasasi, hal mana sesuai dengan
masih diberlakukannya surat perintah penangkapan dan daftar pencarian
orang (DPO) terhadap Termohon kasasi ;
Bahwa dalam hal ekstradisi maka penangkapan baru dapat dikatakan telah
dilakukan petugas Polri setelah diadakannya serah terima tersangka dari
negara yang diminta mengekstradisi kepada Negara Peminta. Biasanya hal
ini dilakukan dengan cara pengiriman anggota Polri ke negara yang
diminta dengan membawa surat perintah penangkapan tersangka. Hal
mana juga terbukti dari ketentuan pasal 14 ayat (2) Undang- Undang No. 8
Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik
Indonesia dan Australia (bukti TA-2), yang berbunyi “Jika permintaan
disetuji, Negara Peminta wajib diberitahu mengenai tempat dan tanggal
penyerahan” ;
3) Bahwa dalam pertimbangan hukumnya judex facti menyatakan perlu
dipertanyakan apakah penangkapan Termohon kasasi oleh Kepolisian
Australia adalah atas permintaan Pemohon kasasi ataukah karena dugaan
money laundering yang dilakukan Termohon kasasi yang berdasarkan
Hukum Australia merupakan tindak pidana, sedangkan di dalam
pertimbangan selanjutnya judex facti menyatakan bahwa Pemohon kasasi
membantah telah menangkap Termohon kasasi, tetapi penangkapan
tersebut dilakukan karena Termohon kasasi diduga melakukan money
laundering di Australia (halaman 17 dan 18 putusan) ;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Bahwa Pemohon kasasi keberatan dengan pertimbangan judex facti
tersebut, karena Pemohon kasasi tidak sekalipun mengingkari
penangkapan yang dilakukan oleh Kepolisian Australia berdasarkan
permintaan dari Pemohon kasasi. Hal ini dapat dilihat pada jawaban dan
kesimpulan yang diajukan oleh Pemohon kasasi di persidangan, bahkan
Pemohon kasasi melampirkan pula bukti- bukti Interpol Red Notice, surat
perintah penangkapan, dan daftra pencarian orang yang dikirimkan
Pemohon kasasi kepada Interpol. Hal ini mana menunjukkan bahwa
penangkapan Termohon kasasi adalah atas permintaan Pemohon kasasi ;
Bahwa mengingat tujuan pemeriksaan praperadilan adalah menguji sah
tidaknya upaya paksa yang dilakukan oleh Pemohon kasasi, maka
Pemohon kasasi ajukan dalil- dalil di atas yang pada pokoknya
menyatakan bahwa Pemohon kasasi secara yuridis formal maupun
material belum melakukan upaya paksa apapun kepada Termohon kasasi.
Upaya paksa termaksud terhambat oleh perlawanan atas ekstradisi yang
dilakukan Termohon kasasi di hadapan Pengadilan Australia ;
Bahwa tujuan Pemohon kasasi mengungkapkan dugaan money laundering
adalah sebagai informasi tambahan kepada judex facti yaitu laporan
Kepolisian Australia tentang dimasukkannya uang dalam jumlah yang
sangat besar oleh Termohon kasasi ke Australia. Dengan demikian
Pemohon kasasi berkepentingan agar permohonan praperadilan Termohon
kasasi ditolak judex facti sehingga proses ekstradisi Termohon kasasi
berjalan lancar dan uang hasil kejahatan Termohonan kasasi dapat segera
dikembalikan kepada Negara ;
4). Bahwa judex facti di dalam pertimbangannya menyatakan bahwa
Pemohon kasasi telah lalai memberitahukan surat perintah penangkapan
kepada Termohon kasasi. Untuk itu judex facti menyatakan Pemohon
kasasi melanggar pasal 18 ayat (3) KUHAP yang mengharuskan tembusan
surat perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarganya segera
setelah penangkapan dilakukan (halaman 19 putusan) ;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Bahwa atas permintaan judx facti di atas, maka Pemohon kasasi sangat
berkebaratan mengingat bahwa ketentuan pasal 18 ayat (3) KUHAP jelas-
jelas memerintahkan pemberian tembusan surat perintah penangkapan
setelah penangkapan dilakukan. Dan sebagaimana telah diterangkan
Pemohon kasasi sebelumnya, jelas- jelas terbukti bahwa Pemohon kasasi
belum melakukan upaya paksa penangkapan ;
a. bahwa judex facti dalam pertimbangannya menyatakan bahwa Pemohon
kasasi telah diminta untuk mengeluarkan surat perintah penahanan,
namun tidak pernah dilaksanakan Pemohonan kasasi. Selain itu judex
facti juga menyatakan bahwa penahanan yang dilakukan oleh
Kepolisian Australia tidak didasari oleh surat perintah penahanan dan
surat perintah penahanan termaksud harus diberikan tembusannya
kepada keluarga Termohon kasasi (halaman 18 putusan). Untuk itu
judex facti menyatakan bahwa Pemohon kasasi melanggar pasal 21
ayat (2) KUHAP (halaman 19 putusan) ;
b. bahwa atas pertimbangan judex facti di atas, Pemohon kasasi merasa
bahwa pertimbangan dimaksud sangatlah tidak obyektif. Pemohon
kasasi tentu saja tidak dapat mengeluarkan surat perintah penahanan
karena penangkapan Termohon kasasi tidak dilakukan secara langsung
oleh Pemohon kasasi, sekalipun Kepolisian Australia melakukannya
atas permintaan Pemohon kasasi, namun secar yuridis pihak yang
semestinya mengeluarkan surat perintah penahanan adalah pihak yang
secara langsung melakukan penangkapan dan penahanan tersebut,
dalam hal ini Kepolisian Australia. Kompetensi dan yurisdiksi yang
berbeda dari dua dinas kepolisian yang berbeda negara ini tentu saja
harus dihormati dengan tidak mengintervensi prosedur dari dinas
kepolisian negara lain, hal mana juga penting demi tanggung jawab
hukum dari setiap tindakan kepolisian yang diambil masing- masing
negara ;
c. bahwa berbedanya kompetensi dan yurisdiksi ini juga diakui oleh
Termohon kasasi. Hal ini terbukti dari pengakuan Termohon kasasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
bahwa ia ditangkap oleh Kepolisian Australia berdasarkan affidavit
Polisi Australia. Selain itu dengan diajukannya perlawanan atas
permohonan ekstradisi Negara Republik Indonesia kepada Australia
(bukti TA-4) di depan Pengadilan Australia juga membuktikan bahwa
Termohon kasasi mengakui pihak yang berwenang dalam
penangkapan dan penahanannya adalah Kepolisian Australia. Dan
dengan diajukannya perlawanan di depan Pengadilan Australia
tersebut berarti pula Termohon kasasi mengakui kompetensi absolut
Pengadilan yang berdasarkan hukum Australia ;
5) Bahwa judex facti dalam pertimbangannya menyatakan bahwa Pemohon
kasasi telah lalai mengurus ekstradisi Termohon kasasi meskipun cukup
waktu untuk itu. Judex facti juga menyatakan Pemohon kasasi telah lalai
memenuhi perintah ekstradisi Australia padahal Termohon kasasi tidak
pernah menolak untuk di ekstradisi (halaman 19 putusan) ;
Bahwa terhadap pertimbangan judex facti tersebut di atas, maka Pemohon
kasasi mengajukan keberatan sebagai berikut :
a. Adalah tidak benar Pemohonan kasasi lalai mengurus ekstradisi
Termohon kasasi, dan adalah tidak benar Termohon kasasi setuju
untuk diekstradisi. Proses ekstradisi yang diajukan Negara Republik
Indonesia melalui Menteri Kehakiman dan Menteri Luar Negeri (bukti
T-1 sampai dengan T-7) telah sesuai dengan ketentuan pasal 11
Undang- Undang No. 8 Tahun 1994 tentang perjanjian ekstradisi
Indonesia- Australia (bukti TA-2). Dengan demikian Indonesia hanya
dapat menunggu permintaan tersebut disetujui oleh Australia ;
b. Dengan demikian pertimbangan judex facti pada halaman 18 bahwa
permintaan ekstradisi terhadap Termohon kasasi telah diterima oleh
Australia berdasarkan bukti PR-9/9a dan judex facti menyatakan
Pemohon kasasi telah lalai menindaklanjutinya adalah pertimbangan
yang tidak berdasar. Hal ini disebabkan bahwa bukti PR-9/9a yang
diajukan Termohon kasasi bukanlah surat persetujuan dari Pemerintah
Australia untuk mengekstradisi Termohon kasasi, tetapi hanyalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
merupakan tanda terima permintaan ekstradisi (receipt of ekstradisi)
mohon isi bukti PR-9/9a diperiksa) bahwa permintaan ekstradisi
Pemerintah Indonesia termaksud telah diterima (bukan disetujui) oleh
Australia. Adapun apabila permintaan ekstradisi disetujui maka
bentuknya adalah keputusan untuk mengekstradisi dengan disertai
pemberitahuan kepada Negara Peminta tentang tempat dan tanggal
penyerahan tersangka, sebagaimana yang diatur dalam pasal 14 ayat
(1) dan (2) Undang- Undang No. 8 Tahun 1994 tentang Perjanjian
Ekstradisi Indonesia- Australia (bukti TA-2). Dan sampai saat ini
keputusan ekstradisi dan tanggal dan tempat penyerahan Termohon
kasasi belum pernah Pemohon kasasi terima dari Pemerintah Australia;
c. Bahwa Termohon kasasi beritikad tidak baik dengan membantah telah
menolak diekstradisi padahal berdasarkan laporan persidangan
perlawanan ekstradisi (bukti TA-4) dan surat Attorney General
Australia tanggal 11 Juli 2000 (bukti TA-5) serta berita Harian Suara
Pembaruan (bukti TA-6) jelas- jelas Termohon kasasi tidak bersedia
diekstradisi dan melakukan perlawanan atas permohonan ekstradisi
yang diajukan Pemerintah Indonesia. Persidangan perlawanan
ekstradisi tersebut kini telah memasuki tahap Pengadilan Penuh (Full
Federal Court) sebagaimana diberitakan Harian Suara Pembaruan
(bukti TA-6) ;
d. Bahwa pasal 11 ayat (3) Undang- Undang Ekstradisi Indonesia-
Australia (bukti TA-6) mempersyaratkan adanya persetujuan tersangka
untuk diekstradisi. Dengan demikian apabila Tersangka/ Termohon
kasasi tidak bersedia di ekstradisi maka Tersangka dapat mendalilkan
penolakannya atas dasar pasal 9 Undang- Undang Ekstradisi
Indonesia- Australia pada bagian tentang Pengecualian Ekstradisi
(bukti TA-2) ;
e. Berdasarkan laporan tentang jalannya persidangan perlawanan
ekstradisi (bukti TA-1) maka Termohon kasasi menolak untuk
diekstradisi dengan alasan bahwa Hendra Rahardja sebagai orang Cina
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
dan kondisi pengadilan di Indonesia tidak akan memberikan jaminan
untuk diadili secara adil. Hal mana diatur sebagai pengecualian untuk
diekstradisi vide pasal 9 ayat 1 butir (d) dan (e) Undang- Undang
Ekstradisi Indonesia- Australia (bukti TA-2). Untuk itu Termohon
kasasi menolak diekstradisi ke Indonesia. Dalil- dalil Termohon
tersebut jelas- jelas tidak menunjukkan sikap sebagai warga negara
yang baik dan menghormati proses hukum di negeri sendiri ;
6). Bahwa judex facti dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa
Pemohon kasasi telah pula lalai memenuhi perintah Kepala Kejaksaan
Tinggi tentang hasil penyelidikan belum lengkap yang berakibat
berlarutnya masa penahanan Termohon kasas di Australia. Hal ini
berakibat pula dikembalikannya berkas perkara oleh Kejaksaan Tinggi
untuk dilengkapi (halaman 19 putusan) ;
Bahwa atas pertimbangan judex facti tersebut. Pemohon kasasi
berkeberatan karena judex facti kurang cermat memeriksa bukti- bukti
yang ada (bukti PR-2 dan PR-3 yang diajukan Termohon kasasi).
Karenanya Pemohon kasasi terangkan sebagai berikut :
Bahwa pengembalian berkas yang dimaksud adalah berkas perkara
atas nama tersangka Andre Widijanto, Ny. Sherli Kojonglan, dan Hendro
Suwono selaku pengurus Bank BHS dan bukan berkas Termohon kasasi ;
Sedangkan pengembalian berkas termaksud oleh Kejaksaan Tinggi
tidak ada hubungannya dengan upaya ekstradisi yang diajukan Pemohon
kasasi, selain tidak menyangkut Termohon kasasi, pengembalian berkas
tersebut kemudian dilanjutkan dengan pernyataan Kejaksaan Tinggi
bahwa pemeriksaan dinyatakan cukup dan untuk itu Kejaksaan melakukan
pemeriksaan sendiri (bukti PR-3) ;
Selain itu, Pemohon kasasi perlu menjelaskan bahwa bukti PR-3 yang
diajukan Termohon kasasi bukan berarti tidak terpenuhinya cukup unsur
pidana agar perkara dapat diajukan ke Pengadilan. Bahwa formulir P.22
(bukti PR-3) yang disampaikan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta kepada
Pemohon kasasi adalah pernyataan bahwa terdapat cukup bukti telah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
terpenuhinya unsur- unsur pidana dalam perkara termaksud dan memenuhi
persyaratan secara materiil untuk disidangkan, namun demikian Kejaksaan
Tinggi merasa perlu untuk mengadakan pemeriksa tambahan sendiri ;
Dengan demikian sulit diterima dengan akal sehat bahwa penyerahan
berkas perkara atas nama tersangka Andre Widijanto, Ny. Sherli
Kojonglan, dan Hendro Suwono, serta pengembalian berkas tersebut oleh
Kejaksaan Tinggi berakibat berlarutnya penahanan Termohon kasasi di
Australia. Yang benar adalah berlarutnya penahanan Termohon kasasi di
Australia adalah resiko yang harus dipikul Termohon kasasi akibat
perlawanan ekstradisi yang diajukan Termohon kasasi pada Pengadilan
Australia ;
7). Bahwa judex facti dalam pertimbangannya menyatakan telah lewatnya
batas waktu penahanan yang dilakukan Pemohon kasasi sebagaimana
diatur oleh pasal 24 ayat (1) dan (2) KUHAP, sehingga penangkapan dan
penahanan atas Termohon kasasi harus dinyatakan tidak sah, dan
karenanya Termohon kasasi harus segera dikeluarkan dari tahanan
(halaman 20 putusan) ;
Bahwa atas pertimbangan judex facti di atas, Pemohon kasasi
berkeberatan karena mengenai batas waktu penahanan dan cara- cara
pemberian bantuan masalah pidana termasuk terhadap Termohon kasasi
antara Indonesia dan Australia, maka kedua negara telah membuat
perjanjian tentang bantuan timbal balik dalam masalah pidana (bukti TA-
3), dimana dalam pasal 6 ayat 1 dinyatakan : “Permintaan bantuan harus
dilakukan menurut hukum Negara diminta (dalam hal ini Australia), dan
sejauh hal itu tidak bertentangan dengan hukum negara tersebut,
dilaksanakan dengan cara yang dikehendaki Negara Peminta (dalam hal
ini Indonesia). Dengan demikian maka pertimbangan judex facti dan
putusan untuk membebaskan Termohon kasasi dari tahanan Kepolisian
Australia tidaklah tepat dan tidak dapat dilaksanakan, karena masalah
batas waktu penahanan dan sebagainya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan : Bahwa sifat
khusus tentang ganti rugi dalam perkara praperadilan tersebut dapat dilihat
pula pada ketentuan pasal 95 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa
tuntutan ganti rugi oleh tersangka yang perkaranya tidak diajukan ke
Pengadilan Negeri diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 77. Sedangkan sifat khusus tentang rehabilitasi dalam hal ini
praperadilan tersebut dapat dilihat pula dalam hal praperadilan tersebut
dapat dilihat pula pada ketentuan pasal 97 ayat 3 KUHAP yang
menyatakan bahwa permintaan rehabilitasi oleh tersangka yang
perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri diputus di sidang
praperadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 77. Dengan demikian
berdasarkan pasal 1 ayat 10 butir c jo pasal 77 butir b jo pasal 95 ayat 2 jo
pasal 97 ayat 3 KUHAP, maka dapat disimpulkan bahwa kewenangan
praperadilan dalam hal ganti rugi dan rehabilitasi dibatasi hanya pada
perkara pidana yang dihentikan penyidikannya ataupun penuntutannya.
Untuk itu perlu Pemohon kasasi terangkan bahwa sampai saat ini
Pemohon kasasi tidak pernah menghentikan penyidikan terhadap
Termohon kasasi, dengan kata lain Pemohon kasasi tidak pernah
mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap
Termohon kasasi ;
Bahwa Termohon kasasi mendasarkan permohonan ganti rugi dan
rehabilitasi pada ketentuan pasal 81 KUHAP sebagaimana tertuang dalam
permohonan praperadilannya. Hal mana juga dijadikan pertimbangan
judex facti dalam putusannya tanpa sekalipun menyinggung ketentuan
KUHAP yang paling mendasar tentang permohonan ganti rugi dan
rehabilitasi, yaitu pasal 77 KUHAP;
Bahwa Pemohon kasasi berpendapat ketentuan pasal 81 KUHAP
termaksud tidak dapat dipisahkan dari ketentuan pasal 1 ayat 10 butir c jo
pasal 77 butir b jo pasal 95 ayat (2) jo pasal 97 ayat (3) KUHAP. Dengan
demikian ketentuan pasal 81 KUHAP semestinya diberlakukan dengan
memperhatikan kompetensi praperadilan yang diatur dalam pasal 77
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
KUHAP, sehingga permohonan ganti rugi atau rehabilitasi hanya dapat
diberikan pada perkara pidana yang dihentikan penyidikan ataupun
penuntutannya, misalnya bila terjadi salah tangkap ;
8). Bahwa judex facti dalam pertimbangannya tentang rehabilitasi (vide pasal
81 KUHAP) tidak menyebutkan dasar dan alasan apapun yang mendasari
putusannya mengabulkan permohonan Termohon kasasi. Namun judex
facti bahwa menyebutkan tentang permohonan rehabilitasi yang dimohon
oleh Pemohon, maka untuk hal tersebut Pengadilan akan menetapkan hal
itu seperti termuat dalam amar putusan ;
Bahwa hal tersebut justru bertentangan dengan pasal 82 ayat (2)
KUHAP yang menyatakan : “Putusan Hakim dalam acara pemeriksaan
praperadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 79, pasal 80 dan pasal
81, harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya ;”
Bahwa judex facti juga salah dalam menafsirkan wewenangnya.
Dalam pertimbangannya pada halaman 20 judex facti menyebutkan bahwa
pasal 95 ayat (1) dan (2) KUHAP merupakan dasar wewenang
praperadilan untuk memutuskan ganti rugi dan rehabilitasi. Penafsiran
judex facti ini tentu saja kontradiktif karena pasal 95 ayat (1) KUHAP
mengatur tentang tuntutan ganti rugi bagi perkara pidana yang sudah
berkekuatan hukum tetap. Hal ini terlihat dari bunyi pasal 95 ayat (4)
sendiri yang menyatakan bahwa : “Untuk memeriksa dan memutus
perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1) Ketua Pengadilan
sejauh mungkin menunjuk Hakim yang sama yang telah mengadili perkara
pidana yang bersangkutan” ;
Bahwa bila judex facti konsisten dengan bunyi pasal 95 ayat (2)
sebagai dasar kewenangan praperadilan memutus ganti rugi dan
rehabilitasi, maka bunyi pasal 95 ayat (2) KUHAP termaksud menentukan
bahwa ganti rugi dan rehabilitasi yang diatur pasal 95 ayat (1) menjadi
wewenang praperadilan apabila perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan
Negeri ;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Bahwa mengingat sampai saat ini Pemohon Kasasi masih dalam tahap
penyidikan dan belum pernah mengeluarkan Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3) maka sangatlah tidak beralasan apabila judex facti
mengabulkan permohonan ganti rugi dan rehabilitasi Termohon kasasi
tersebut ;
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Pemohon Kasasi
berkepentingan agar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dapat
dibatalkan atau setidaknya dinyatakan tidak dapat dilaksanakan,
sebagaimana yurisprudensi tetap Mahkamah Agung No. 680 K/Pid/1983
tanggal 10 Mei 1984 ;
8. Pembahasan
a. Pengajuan Upaya Hukum Kasasi terhadap Putusan Pra Peradilan
Sebelum membahas permasalahan mengenai pengajuan kasasi
terhadap putusan pra peradilan tentang penangkapan yang sah di Mahkamah
Agung yang diajukan oleh Pemohon Kasasi, penulis akan menguraikan
terlebih dahulu mengenai tata cara pengajuan Praperadilan.
1). Tata cara Pengajuan Pra peradilan
Dalam pasal 1 angka 10 KUHAP ditentukan bahwa : Pra peradilan
adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus
menurut cara yang diatur dalam peraturan perundang- undangan ini,
tentang :
a). Sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b). Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c). Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangkanya atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan.
Pengaturan mengenai Pra peradilan juga diatur di dalam Pasal 77
sampai dengan pasal 83 KUHAP. Dalam hal ini, Pasal 77 KUHAP
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
menyatakan bahwa “Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa
dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-
undang ini tentang :
(a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan;
(b) ganti kerugian atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Selanjutnya dalam Pasal 78 KUHAP menyatakan bahwa :
(1) Yang melaksanakan wewenang Pengadilan Negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 adalah Praperadilan.
(2) Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua
Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang panitera.
Dalam Pasal 79 KUHAP menyatakan bahwa : “Permintaan
pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau
penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada
ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya.”
Pasal 80 KUHAP menyatakan bahwa : “Permintaan untuk
memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau
penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau
pihak ketiga yang berkepentingan menyebutkan alasannya.”
Dalam Pasal 81 KUHAP menyatakan bahwa “Permintaan ganti
kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau
penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan
diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada
ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya.”
Sedangkan dalam Pasal 82 KUHAP menyatakan bahwa :
(1) Acara pemeriksaan pra peradilan untuk hal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut :
a. dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim
yang ditunjuk menetapkan hari sidang;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
b. dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya
penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian
penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian atau
rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan,
akibat tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan
dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat
pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dan tersangka
atau pemohon maupun pejabat yang berwenang;
c. pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-
lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan
putusannya;
d. dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan
negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada
praperadilan belum selesai, maka permintaan tesebut;
e. putusan pra peradilan pada tingkat penyidikan tidak menutup
kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan
lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk
itu diajukan permintaan baru.
(2) Putusan hakim dalam acara pemeriksaan pra peradilan mengenai
hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81
harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya.
(3) Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) juga memuat hal sebagai berikut :
a. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan
atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut
umum pada tingkat pemeriksaan masing- masing harus segera
membebaskan tersangka;
b. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian
penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau
penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
c. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau
penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah
besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan,
sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidika atau
penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka
dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;
d. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada
yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan
dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan
kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.
(4) Ganti kerugian dapat ditunda, yang meliputi hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 dan Pasal 95.
Selanjutnya Pasal 83 KUHAP menyatakan bahwa :
(1) Terhadap putusan pra peradilan dalam hal sebagaimana dimaksud
dalam pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 tidak dimintakan banding
(2) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan
yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau
penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir putusan
akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang
bersangkutan.
Bahwa sesudah putusan pra peradilan dijatuhkan, pihak Drs.
Mustahari Sembiring selaku Anggota Polri (sekarang Pemohon
Kasasi) mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan. Dasar hukum yang digunakan dalam perkara
ini adalah Pasal 245 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa :
“Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera
pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama,
dalam waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang
dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa”.
Selain itu, Pasal 248 ayat (1) KUHAP dijadikan dasar untuk
mengajukan kasasi dimana disebutkan bahwa : “Pemohon kasasi wajib
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
mengajukan memori kasasi yang memuat alasan permohonan kasasi
dan dalam waktu empat belas hari setelah mengajukan permohonan
tersebut, harus sudah menyerahkan kepada panitera yang untuk itu ia
memberikan surat tanda terima Serta ketentuan penjelasan dari Pasal
83 KUHAP yang menyatakan bahwa putusan praperadilan tidak bisa
dimintakan banding dengan alasan bahwa ada keharusan penyelesaian
secara cepat dari perkara-perkara Praperadilan. Tetapi Pasal 83 ayat
(1) KUHAP tidak mengatur mengenai larangan diajukannya kasasi
terhadap putusan pra peradilan mengenai hal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81.
Maka dapat diketahui bahwa secara teknis pengajuan kasasi oleh
pemohon kasasi atas putusan Praperadilan sama dengan permohonan
Kasasi atas suatu putusan pidana, yaitu: Permintaan pemeriksaan
permohonan kasasi diajukan oleh pihak penyidik dari Kepolisian
Negara Republik Indonesia dengan melengkapi prosedur administrasi
permohonan kasasi yaitu permohonan kasasi harus diajukan sebelum
tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan pengadilan yang
dimintakan kasasi diberitahukan. Dan apabila permohonan kasasi telah
memenuhi prosedur dan tenggang waktu yang sesuai dengan peraturan
perundang- undangan oleh Pengadilan Negeri wajib diberitahukan
dengan adanya permohonan kasasi kepada pihak lawan. Kemudian
setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari pemohon melalui panitera
menyerahkan berkas perkara kepada Mahkamah Agung, pihak yang
bersangkutan (termohon) diberikan kesempatan mempelajari berkas
perkara, kemudian berkas perkara berupa bundel A dan bundel B
dikirim kepada Mahkamah Agung.
Terlepas dari peraturan perundang- undangan, dalam hal ini
terdapat suatu perdebatan mengenai boleh atau tidaknya permintaan
kasasi atas putusan Praperadilan. Menurut M. Yahya Harahap II,
(1983: 593-541) mengemukakan dua pandangan mengenai dapat
tidaknya diajukan permohonan kasasi putusan Praperadilan. Pertama,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
tidak diajukan permohonan kasasi, oleh karena materi yang diperiksa
dan diputus bukan merupakan materi pidana. Sedangkan pandangan
yang kedua, dapat dimintakan kasasi karena setiap pemeriksaan dan
putusan yang dijatuhkan badan peradilan dengan sendirinya termasuk
tindak pidana dan karena pegawasan serta koreksi atas putusan
Praperadilan tidak dapat dilakukan oleh Pengadilan Tinggi sehingga
wajarlah apabila pengawasan dan koreksi itu langsung dimintakan
kepada Mahkamah Agung.
Hal inilah yang kemudian dijadikan acuan oleh penyidik dari
Kepolisian Republik Indonesia untuk mengajukan permintaan
pemeriksaan kasasi. Selain itu pula terdapat beberapa putusan
Praperadilan yang dapat dimintakan pemeriksaan kasasi. Yang
kemudian dari kenyatan tersebut yang menyebabkan adanya
ketidakpastian hukum yang timbul karena adanya perbedaan
pandangan tentang dapat atau tidaknya suatu putusan Praperadilan
diajukan upaya hukum Kasasi.
b. Obyek- obyek dan Pengajuan Upaya Terhadap Putusan Pengadilan
Dalam Pasal 77 KUHAP jelas diatur tentang apa yang menjadi obyek
pra peradilan adalah memeriksa dan memutus sah atau tidaknya
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan.
Dalam perkara ini, terlihat bahwa lembaga pra peradilan tidak
memperhatikan fakta- fakta yang ada melainkan hanya berdasarkan fakta
dari salah satu pihak yaitu pihak Pemohon Pra peradilan. Dimana penulis
melihat pada perkara ini pihak Termohon pra peradilan belum melakukan
penangkapan terhadap Pemohon Pra peradilan. Sehingga yang melakukan
penangkapan adalah kepolisian Federal Australia. Pemerintah Australia
kemudian meminta kepada Kepolisian Republik Indonesia melalui affidavit
untuk menyerahkan surat penangkapan terhadap Pemohon Kasasi. Seperti
dalam alasan permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Termohon Pra peradilan yang menyatakan bahwa penangkapan Termohon
kasasi dilakukan oleh kepolisian Australia, maka berdasarkan bunyi pasal 18
ayat (1) KUHAP dapat disimpulkan bahwa Pemohon kasasi belum
melakukan upaya paksa berupa penangkapan terhadap Termohon kasasi, hal
mana sesuai dengan masih diberlakukannya surat perintah penangkapan dan
daftar pencarian orang (DPO) terhadap Termohon kasasi.
Selain itu, dikatakan pula bahwa Pemohon kasasi/ Termohon Pra
peradilan tidak menyerahkan surat tembusan penangkapan dan penahanan
kepada pihak keluarga. Pemohon kasasi sangat berkeberatan mengingat
bahwa ketentuan pasal 18 ayat (3) KUHAP jelas- jelas memerintahkan
pemberian tembusan surat perintah penangkapan setelah penangkapan
dilakukan. Dan sebagaimana telah diterangkan Pemohon kasasi sebelumnya,
jelas- jelas terbukti bahwa Pemohon kasasi belum melakukan upaya paksa
penangkapan. Seperti diperjelas dalam alasan- alasan kasasi yang diajukan
oleh Pemohon Kasasi yaitu :
1)Bahwa Pemohon kasasi keberatan terhadap bunyi putusan yang diucapkan
oleh judex facti yang tidak sesuai dengan apa yang tertulis dalam diktum.
Bahwa pada tanggal 23 Juni 2000, judex facti membacakan putusannya
pada butir 1 berbunyi : “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk
sebahagian”, sedangkan dalam diktum tertulis yang diserahkan kepada
Pemohon kasasi kata- kata “Untuk Sebagian” termaksud tidak tercantum
sama sekali ;
2) Bahwa dalam butir 2 diktum putusan judex facti menyatakan bahwa
penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh Pemohonan kasasi/
Termohon praperadilan tidak sah ;
3) Bahwa dalam pertimbangan hukumnya judex facti menyatakan perlu
dipertanyakan apakah penangkapan Termohon kasasi oleh Kepolisian
Australia adalah atas permintaan Pemohon kasasi ataukah karena dugaan
money laundering yang dilakukan Termohon kasasi yang berdasarkan
Hukum Australia merupakan tindak pidana, sedangkan di dalam
pertimbangan selanjutnya judex facti menyatakan bahwa Pemohon kasasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
membantah telah menangkap Termohon kasasi, tetapi penangkapan
tersebut dilakukan karena Termohon kasasi diduga melakukan money
laundering di Australia (halaman 17 dan 18 putusan) ;
4). Bahwa judex facti di dalam pertimbangannya menyatakan bahwa Pemohon
kasasi telah lalai memberitahukan surat perintah penangkapan kepada
Termohon kasasi. Untuk itu judex facti menyatakan Pemohon kasasi
melanggar Pasal 18 ayat (3) KUHAP yang mengharuskan tembusan surat
perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarganya segera setelah
penangkapan dilakukan (halaman 19 putusan) ;
Bahwa atas permintaan judex facti di atas, maka Pemohon kasasi sangat
berkeberatan mengingat bahwa ketentuan Pasal 18 ayat (3) KUHAP jelas-
jelas memerintahkan pemberian tembusan surat perintah penangkapan
setelah penangkapan dilakukan. Dan sebagaimana telah diterangkan
Pemohon kasasi sebelumnya, jelas- jelas terbukti bahwa Pemohon kasasi
belum melakukan upaya paksa penangkapan ;
5) Bahwa judex facti dalam pertimbangannya menyatakan bahwa Pemohon
kasasi telah lalai mengurus ekstradisi Termohon kasasi meskipun cukup
waktu untuk itu. Judex facti juga menyatakan Pemohon kasasi telah lalai
memenuhi perintah ekstradisi Australia padahal Termohon kasasi tidak
pernah menolak untuk di ekstradisi (halaman 19 putusan) ;
6). Bahwa judex facti dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa
Pemohon kasasi telah pula lalai memenuhi perintah Kepala Kejaksaan
Tinggi tentang hasil penyelidikan belum lengkap yang berakibat
berlarutnya masa penahanan Termohon kasas di Australia. Hal ini
berakibat pula dikembalikannya berkas perkara oleh Kejaksaan Tinggi
untuk dilengkapi (halaman 19 putusan) ;
7). Bahwa judex facti dalam pertimbangannya menyatakan telah lewatnya
batas waktu penahanan yang dilakukan Pemohon kasasi sebagaimana
diatur oleh Pasal 24 ayat (1) dan (2) KUHAP, sehingga penangkapan dan
penahanan atas Termohon kasasi harus dinyatakan tidak sah, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
karenanya Termohon kasasi harus segera dikeluarkan dari tahanan
(halaman 20 putusan) ;
8). Bahwa judex facti dalam pertimbangannya tentang rehabilitasi (vide Pasal
81 KUHAP) tidak menyebutkan dasar dan alasan apapun yang mendasari
putusannya mengabulkan permohonan Termohon kasasi. Namun judex
facti bahwa menyebutkan tentang permohonan rehabilitasi yang dimohon
oleh Pemohon, maka untuk hal tersebut Pengadilan akan menetapkan hal
itu seperti termuat dalam amar putusan ;
Sehingga penulis dapat menarik satu benang merah bahwa sebenarnya
kepolisian sudah menaati peraturan perundang- undangan yang mengatur
mengenai pra peradilan hanya pelaksanaannya terhalang karena Terdakwa
tidak berada diwilayah Indonesia dan hal itu menjadi hambatan karena
adanya hukum Negara Australia yang harus diikuti oleh Kepolisian
Republik Indonesia.
Penjatuhan putusan pra peradilan dilakukan oleh hakim di pengadilan
negeri yang berwenang dalam memeriksa perkara pidana dimana memuat
tentang sah atau tidaknya serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
penyidik dan penuntut umum. Keberadaan ketentuan mengenai pra
peradilan ini merupakan pengimplementasian dari Pasal 7 Undang-Undang
No.14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang
menyebutkan mengenani tiada seorang juapun dapat dikenakan
penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan pensitaan, selain atas perintah
tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal-hal menurut cara yang diatur
dengan Undang-Undang. Dengan dijatuhkannya putusan praperadilan
memiliki akibat hukum bagi suatu perkara. Akibat hukum ini diatur pada
Pasal 82 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu : Isi putusan
selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga
memuat hal sebagai berikut
a. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau
penahanan tidak sah; maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
tingkat pemeriksaan masing- masing harus segera membebaskan
tersangka;
b. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan
atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap
tersangka wajib dilanjutkan;
c. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan
tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti
kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu
penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya
tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;
Sehingga dalam perkara praperadilan menimbulkan banyak
permasalahan karena dalam ketentuan perundang- undangan mengatur
tidak diperbolehkannya pengajuan upaya hukum kasasi terhadap putusan
praperadilan. Sedangkan di dalam praktiknya hakim Mahkamah Agung
banyak pula mengabulkan permohonan kasasi terhadap putusan
praperadilan dengan alasan bahwa Undang- undang yang berlaku tidak
mengatur secara jelas hal- hal apa saja dalam putusan praperadilan yang
dapat dimintakan upaya hukum kasasi.
B. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung terhadap Pengajuan Kasasi
terhadap Putusan Pra Peradilan tentang Legalitas Penangkapan yang
Dilakukan oleh Kepolisian Federal Australia atas Permintaan Polri
1. Pertimbangan
Menimbang, bahwa sebelum mempertimbangkan keberatan- keberatan
kasasi tersebut di atas Mahkamah Agung perlu memberi pertimbangan apakah
permohonan kasasi dari Pemohon kasasi tersebut secara formal dapat diterima
atau tidak ;
Menimbang, bahwa sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung, pada
dasarnya terhadap putusan pra peradilan tidak dapat diajukan permohonan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
kasasi, dengan pertimbangan supaya permohonan dapat diselesaikan secara
cepat, namun demikian setelah memperlajari perkara ini, Mahkamah Agung
perlu secara khusus memberikan pertimbangan- pertimbangan sebagai
berikut:
1) bahwa dalam KUHAP tidak terdapat ketentuan yang secara eksplisit
melarang permohonan kasasi terhadap putusan pra peradilan ;
2) bahwa berdasarkan pasal 88 dan pasal 244 KUHAP, terhadap putusan
perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh Pengadilan lain,
selain Mahkamah Agung, dapat diajukan pemohon kasasi kepada
Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas ;
3) bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 83 ayat 1 KUHAP, putusan
praperadilan oleh Pengadilan Negeri dan juga menurut ayat 2 oleh
Pengadilan Tinggi merupakan putusan akhir selain daripada Mahkamah
Agung ;
4) bahwa upaya untuk menyelesaikan pemeriksaan suatu perkara secepatnya
harus diartikan bahwa :
a. Kecepatan penyelesaian tidak hanya pada suatu tingkat/ tahap
pemeriksaan saja, namun juga pada semua tingkat/ tahap pemeriksaan
sampai tuntas penyelesainnya sehingga tercapai kepastian- kepastian
hukum ;
b. Kecepatan proses penyelesaian perkara tidak boleh mengabaikan upaya
penegakan hukum dan keadilan, baik untuk kepentingan hukum dan
keadilan, baik untuk kepentingan Tersangka/Terdakwa, pihak ketiga
yang berkepentingan maupun masyarakat dan Negara pada umumnya ;
5) bahwa kasus perkara ini berkaitan dengan ketentuan- ketentuan dalam
hukum Internasional, khususnya sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1994 tentang pengesahan perjanjian ekstradisi
antara Republik Indonesia dan Australia, sehingga pelaksanaan ketentuan
dalam KUHAP sebagai lex generalis harus disesuaikan dengan ketentuan-
ketentuan lain yang merupakan lex spesialis, sementara itu ketentuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Hukum Nasional hanya berlaku dalam wilayah nasional yang
bersangkutan ;
6) bahwa Mahkamah Agung selaku badan peradilan tertinggi yang
mempunyai tugas untuk membina dan menjaga agar semua ketentuan dan
Undang- Undang di seluruh wilayah Negara Indonesia diterapkan secara
tepat dan adil, Mahkamah Agung wajib memeriksa apabila ada pihak yang
mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan bawahannya
guna menentukan sudah tepat dan adilkah putusan Pengadilan
bawahannya itu ;
7) bahwa Mahkamah Agung berkewajiban untuk melakukan pengawasan
terhadap penyelenggaraan peradilan disemua lingkungan peradilan dalam
menjalankan kekuasaan Kehakiman ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,
Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan kasasi dari Pemohon
kasasi formil dapat diterima ;
Menimbang, selanjutnya atas keberatan- keberatan kasasi tersebut
Mahkamah Agung berpendapat :
Mengenai keberatan- keberatan ad. 2,3,4,6,dan 7, :
Bahwa keberatan- keberatan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena
penerbitan Surat Perintah Penangkapan No.Pol. SPP/R/69-
M/VIII/1998/Dit.Serse.Ek. tanggal 10 Agustus 1998, dan Surat Perintah
Penangkapan No. 180/VII/1998/Serse.Ek. tanggal 18 Juni 1999 atas nama
Hendra Rahardja adalah sah, karena :
(1) Telah dilakukan sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam bab V, Bagian
kesatu tentang penangkapan, pasal 16,17, 18, dan 19 KUHAP ;
(2) Pelaksanaan atas Surat- surat Perintah Penangkapan tersebut belum
dilakukan oleh Pemohon kasasi, sebab :
a) Terhadap permintaan suatu ekstradisi, Negara yang diminta
(Pemerintah Australia) dapat menerima atau menolaknya, sesuai
Undang- Undang No. 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian
Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Australia ;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
b) Permintaan ekstradisi dari Pemerintah Indonesia tersebut masih dalam
proses sesuai dengan ketentuan hukum di Australia ;
c) Bukti PR-9 dan 9a bukan merupakan persetujuan dari Pemerintah
Australia tetapi hanya merupakan pernyataan tentang adanya
permintaan ekstradisi atas nama Hendra Rahardja dari Pemerintah
Indonesia ;
d) Pemerintah Australia belum memberitahu disetujui atau ditolaknya
permintaan ekstradisi tersebut dan juga belum ada penyerahan orang
yang bersangkutan (Hendra Rahardja) kepada Pemerintah Indonesia,
sebagaimana diatur dalam pasal 4 Undang- Undang No. 8 Tahun 1994;
(3) Perbuatan Pemohon kasasi yang belum memberikan tembusan Surat
Perintah Penangkapan adalah sesuai dengan ketentuan pasal 18 (3)
KUHAP, sebab pemberian tembusan tersebut harus diberikan segera
setelah penangkapan dilakukan, sedangkan ternyata penangkapan belum
dilakukan oleh Pemohon kasasi ;
(4) Bukti PR-2 dan 3 bukan mengenai perkara Termohon kasasi (Pemohon
Praperadilan) dan tidak ada relevansinya dengan perkara ini ;
(5) Bahwa dalam perkara a quo, Pemohon ditangkap dan ditahan atas perintah
dan oleh Polisi Federal Australia bukan dilakukan oleh Petugas Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Sedangkan praperadilan mengenai sah atau
tidaknya penangkapan dan penahanan hanya berlaku bagi penangkapan
dan penahanan yang dilakukan oleh Penyidik Indonesia sebagaimana
ditentukan dan diatur dalam pasal 17, 18, dan 20 KUHAP ;
Bahwa berdasarkan alasan- alasan tersebut, maka permohonan
praperadilan dari Termohon kasasi harus ditolak ;
Menimbang, bahwa oleh karena keberatan- keberatan tersebut dapat
dibenarkan, maka keberatan- keberatan lainnya tidak perlu dipertimbangkan
lagi ;
Menimbang, bahwa berdasarkan alasan- alasan yang diuraikan di atas
Mahkamah Agung berpendapat, bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan tanggal 23 Juni 2000 No. 07/Pid/Prap/2000/PN. Jak.Sel, tidak dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
dipertahankan lagi, oleh karena itu harus dibatalkan dan Mahkamah Agung
akan mengadili sendiri perkara tersebut, seperti tertera dibawah ini ;
Menimbang, bahwa karena permohonan kasasi dari Pemohon kasasi/
Termohon praperadilan dikabulkan, maka Termohon kasasi/ Tersangka
dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini ;
Memperhatikan Undang- Undang No. 14 Tahun 1970 jo Undang- Undang
No. 35 Tahun 1999, Undang- Undang No. 8 Tahun 1981 dan Undang-
Undang No. 14 Tahun 1985
2. Amar Putusan Kasasi
Mengadili :
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon kasasi/ Termohon Pra
peradilan : KEPOLISIAN NEGARA R.I. Cq. KORPS RESERSE POLRI
DIREKTORAT RESERSE EKONOMI tersebut ;
Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 23 Juni
2000 No. 07/Pid/Prap/2000/PN. Jak. Sel. ;
Mengadili Sendiri :
Menolak permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya ;
Menghukum Termohon kasasi/ Pemohon Praperadilan untuk membayar
biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus
rupiah) ;
3. Pembahasan
Kasasi merupakan upaya terakhir bagi semua lingkungan peradilan atau
dengan kata lain Mahkamah Agung adalah peradilan tingkat kasasi bagi
semua lingkungan peradilan. Permohonan kasasi yang diajukan bukan
menjadi wewenang dari Pengadilan lagi namun sudah menjadi wewenang
Mahkamah Agung oleh karena itu yang berwenang sepenuhnya untuk menilai
sah atau tidaknya permohonan kasasi hanyalah Mahkamah Agung.
Bahwa terhadap permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon kasasi
tersebut, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yaitu Pasal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
45 ayat 1 dan 2 huruf a Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung disebutkan bahwa dalam perkara Pra peradilan tidak bisa diajukan
permohonan kasasi. Namun untuk kasus ini Mahkamah Agung
mengesampingkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada
tersebut.
Mahkamah Agung memiliki pertimbangan dengan berdasarkan pada
ketentuan Pasal 88 dan Pasal 244 KUHAP yang menyatakan bahwa terhadap
putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh Pengadilan
lain, selain Mahkamah Agung, dapat diajukan pemohon kasasi kepada
Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas. Selain itu sesuai dengan
ketentuan Pasal 83 ayat 1 KUHAP tidak mengatur secara eksplisit suatu
putusan pra peradilan dapat dimintakan kasasi Dimana pertimbangan lainnya
yang membahas mengenai penerbitan surat penangkapan serta pelaksanaan
dari isi surat tesebut membuat Mahkamah Agung mengabulkan permohonan
kasasi dari Pemohon Kasasi sebab surat perintah penangkapan tersebut telah
sesuai dengan ketentuan dalam Bab V, bagian Kesatu tentang penangkapan
pasal 16,17, 18 dan 19 KUHAP. Serta dalam perkara ini, kepolisian Indonesia
belum melakukan upaya paksa dalam hal ini penangkapan karena
penangkapan terhadap Termohon Kasasi dilakukan oleh Kepolisian Federal
Australia dan Kepolisian Republik Indonesia telah mengajukan surat
pelaksanaan ekstradisi terhadap Termohon Kasasi namun belum disetujui oleh
Pemerintah Australia sehingga pelaksanaan ekstradisi tidak segera dapat
dilaksanakan keadaan ini ditambah dengan perlawanan ekstradisi yang
diajukan oleh Termohon Kasasi kepada Pemerintah Australia.
Oleh karena itu, dalam perkara ini menurut pengamatan penulis
Mahkamah Agung dengan pertimbangan hukumnya lebih mengutamakan
kepentingan Pemohon Kasasi karena dirasakan adanya pelanggnara ketentuan
yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melanggar ketentuan
Pasal 79, Pasal 81, Pasal 82 ayat (2) dimana dalam amar putusannya tidak
disertakan alasan yang jelas dalam penjatuhan putusan tersebut yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
menimbulkan multitafsir putusan dan dirasakan kurang memenuhi rasa
keadilan salah satu pihak yang kemudian diperkuat dengan adanya bukti-
bukti yang diajukan oleh Pemohon Kasasi. Walaupun pada kenyataannya
Mahkamah Agung harus melanggar beberapa ketentuan perundang- undangan
yang mengatur mengenai tidak dapat diajukannya kasasi terhadap putusan pra
peradilan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang permasalahan yang penulis
kaji, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Alasan pengajuan kasasi terhadap putusan pra peradilan tentang legalitas
penangkapan yang dilakukan oleh Kepolisian Federal Australia atas permintaan
Polri adalah mengenai putusan praperadilan yang menyatakan penangkapan dan
penahanan terhadap Pemohon Praperadilan/ Termohon Kasasi adalah tidak sah.
Menurut bukti- bukti yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/ Termohon
Praperadilan bahwa penangkapan Termohon kasasi dilakukan oleh kepolisian
Australia, maka berdasarkan bunyi pasal 18 ayat (1) KUHAP dapat dikatakan
bahwa Pemohon kasasi belum melakukan upaya paksa berupa penangkapan
terhadap Termohon kasasi, hal mana sesuai dengan masih diberlakukannya surat
perintah penangkapan dan daftar pencarian orang (DPO) terhadap Termohon
kasasi. Sehingga Termohon Kasasi/ Pemohon Praperadilan mengajukan
perlawanan terhadap sah atau tidaknya penangkapan dan atau penahanan
ditujukan kepada Kepolisian Federal Australia bukan Kepolisian Republik
Indonesia.
2. Pertimbangan hakim Mahkamah Agung terhadap pengajuan kasasi terhadap
putusan pra peradilan tentang legalitas penangkapan yang dilakukan oleh
Kepolisian Federal Australia atas permintaan Polri adalah didasarkan pada
ketentuan Pasal 88 dan Pasal 244 KUHAP yang menyatakan bahwa terhadap
putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh Pengadilan lain,
selain Mahkamah Agung, dapat diajukan pemohon kasasi kepada Mahkamah
Agung, kecuali terhadap putusan bebas. Selain itu sesuai dengan ketentuan Pasal
83 ayat 1 KUHAP tidak mengatur secara eksplisit suatu putusan pra peradilan
dapat dimintakan kasasi. Sehingga dalam perkara a quo ini, Mahkamah Agung
mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi meskipun harus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
mennyimpang dari ketentuan perundang- undangan yang mengatur mengenai
tidak dapat diajukannya upaya hukum kasasi terhadap putusan Praperadilan
tentang sah atau tidaknya penangkapan.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, ada beberapa saran- saran yang
ingin penulis sampaikan terkait dengan permasalahan yang penulis kaji. Adapun
saran- saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah :
1. Pengimplementasian peraturan perundang- undangan dan penerapan hukum yang
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum di dalam kenyataannya dalam upaya
untuk menciptakan keadilan bagi para pihak yang bersengketa lebih bisa
memperhatikan fakta- fakta hukum yang ada sehingga aparat penegak hukum
tidak adanya kesewenang- wenangan dalam melaksanakan tanggung jawab
tersebut.
2. Sebaiknya para pembentuk undang- undang dalam membuat undang- undang lebih
teliti dan cermat dengan memperhatikan peraturan perundang- undangan yang
lain serta dalam membentuk undang- undang, seharusnya memberikan batasan-
batasan yang jelas sehingga tidak akan menimbulkan salah tafsir atau multi tafsir
yang akan menjamin adanya suatu kepastian hukum demi tercapainya keadilan.