Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

79
Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M.Kes

Transcript of Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Page 1: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Penulis:

Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M.Kes

Page 2: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

BRAND EQUITY DAN LOYALITAS

PASIEN TERHADAP PELAYANAN

KESEHATAN DI INDONESIA

Page 3: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M
Page 4: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

BRAND EQUITY DAN LOYALITAS

PASIEN TERHADAP PELAYANAN

KESEHATAN DI INDONESIA

PENULIS:

Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M.Kes

EDITOR:

Hanifa Muslima

Rahmania Nurdhini

Page 5: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Anggota IKAPI No.115/JTI/09 Jl. Palmerah XIII N29B, Vila Gunung Buring Malang 65138 Telp./Faks : 0341-711221 Website: http://www.winekamedia.com E-mail: [email protected] ________________________________________________________________ Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit.

________________________________________________________________

BRAND EQUITY DAN LOYALITAS PASIEN TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN DI INDONESIA Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M.Kes ISBN: 978-602-5973-98-7 Copyright © 2019 Penerbit Wineka Media

Page 6: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

i

PRAKATA

Puji syukur ke-hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan

karunia-Nya sehingga Buku “Brand Equity dan Loyalitas Pasien

Terhadap Pelayanan Kesehatan di Indonesia” dapat diselesaikan

tepat waktu. Buku ini disusun dengan tujuan untuk mencoba

memberikan gambaran pada pembaca mengenai Brand Equity,

karena kegiatan pemasaran, terlebih pelayanan kesehatan saat ini

tidak bisa lepas dari perkembangan Brand Equity. Secara lebih

lanjut, buku ini akan memberikan penjabaran mengenai konsep,

teori, komponen, dan beberapa referensi penelitian yang berkaitan

dengan Brand Equity dimana akan sangat berguna bagi pembaca

untuk lebih memahami dan mendalami aspek tersebut. Selain itu,

Penulis juga membahas mengenai kepuasan pasien serta loyalitas

sebagai bahan tambahan untuk memperkaya intisari dari buku ini.

Terselesaikannya penulisan buku ini tidak lepas dari

bantuan beberapa pihak. Atas kontribusi tersebut, kami ucapkan

banyak terima kasih kepada Tim Penyusun dan pihak-pihak yang

telah membantu. Semoga amalnya diterima Allah sebagai amal

jariyah dan buku ini dapat bermanfaat bagi setiap lapisan

masyarakat.

Meskipun telah berusaha untuk menghindarkan kesalahan,

penulis menyadari juga bahwa kesalahan dan kekurangan buku ini

pasti ditemukan. Oleh karena itu, penulis berharap agar pembaca

berkenan memberikan kritik, saran dan masukan untuk perbaikan

dan penyempurnaan pada edisi berikutnya. Akhir kata, penulis

berharap agar buku ini dapat membawa manfaat kepada pembaca.

Page 7: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

ii

Penulis berharap semoga buku ini dapat memberikan inspirasi dan

gambaran bagi pembaca untuk lebih memahami tentang Brand

Equity.

September 2019

Penulis

Page 8: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

iii

DAFTAR ISI

Prakata .................................................................................. i Daftar Isi ................................................................................ iii 1. Permasalahan Layanan Kesehatan di Indonesia ............ 1 2. Pentingnya Brand untuk Pelayanan Kesehatan .............. 5

a. Konsumen ................................................................ 6 b. Perusahaan/Provider Pelayanan Kesehatan ............ 7

3. Teori-Teori Brand Equity ................................................. 10 a. Pengertian Brand Equity .......................................... 10 b. Teori Brand Equity.................................................... 11 c. Cara Membangun Brand Equity ............................... 27

4. Kepuasan Pasien ............................................................ 30 a. Pengertian Kepuasan Pasien ................................... 30 b. Teori Tentang Kepuasan .......................................... 31 c. Pentingnya Kepuasan Pasien Pada Pelayanan

Kesehatan ................................................................ 33 d. Pengukuran Kepuasan Pasien ................................. 34

5. Loyalitas Pasien .............................................................. 42 a. Pengertian Loyalitas Pasien ..................................... 42 b. Manfaat Loyalitas ..................................................... 43 c. Pengukuran Loyalitas ............................................... 39 d. Jenis Loyalitas .......................................................... 44 e. Faktor yang Berhubungan dengan Loyalitas ............ 48

6. Hasil Penelitian Brand Equity dan Loyalitas Pasien......... 49 Daftar Referensi .................................................................... 57 Lampiran ............................................................................... 66 Indeks ................................................................................... 68 Biografi ................................................................................. 70

Page 9: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 1

1. Permasalahan Layanan Kesehatan di Indonesia

Fasilitas kesehatan dapat didefinisikan sebagai fasilitas

pelayanan yang bertujuan menyelenggarakan upaya pelayanan

kesehatan perorangan, mulai dari upaya preventif, promotif,

rehabilitatif serta kuratif dan penyelenggaranya dapat berasal dari

Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Masyarakat (Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2013

tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional).

Fasilitas kesehatan adalah faktor penting pembangunan. Adanya

pembangunan dalam bidang kesehatan diharapkan dapat

mewujudkan kualitas hidup masyarakat Indonesia yang semakin

maju, tinggi, sejahtera, serta mampu untuk bersaing dengan bangsa

lain (Ridwan & Saftarina, 2015:20).

Upaya peningkatan kualitas yang dilakukan, seimbang dengan

peningkatan kuantitas. Pada Tahun 2005 jumlah fasilitas kesehatan

Indonesia memiliki Puskesmas sebanyak 7.669 unit dan Rumah

Sakit 1.268 unit. Jumlah ini meningkat pada Tahun 2009, Indonesia

memiliki Puskesmas sebanyak 8.737 unit, dan RS sebanyak 1.521

unit dengan tempat tidur sebanyak 164.492. Jumlah ini terus

meningkat hingga pada Tahun 2015 Indonesia memiliki 9.799 unit

Puskesmas tahun 2015 dan 2.368 unit RS tahun 2014. Data

tersebut tidak termasuk fasilitas kesehatan lainnya, seperti

Puskesmas perawatan, Puskesmas pembantu atau Pustu,

Puskesmas keliling atau Pusling, Pos Kesehatan Desa

(Poskesdes), klinik pratama, praktek dokter bersama, praktek

dokter mandiri, praktek kebidanan, dan balai pengobatan lainnya

(Ridwan & Saftarina, 2015:20-21).

Dengan adanya peningkatan kualitas pada pelayanan

kesehatan tidak berarti Indonesia terbebas dari masalah

penyediaan kualitas. Pada awal tahun 2016 diketahui kasus

pelayanan buruk dari pihak RSIA Kota Banda Aceh. Keluhan yang

muncul menjadi perhatian publik sehingga mendesak pemerintah

Page 10: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

2 Nurnaningsih Herya Ulfah

untuk dapat menindaklanjuti perkara layanan buruk yang terjadi di

RSIA Kota Banda Aceh. Meluasnya kasus tersebut menyebabkan

penurunan citra yang berdampak pada lemahnya corporate

branding dan ekuitas dari RSIA Aceh. Kondisi ini dapat dilihat dari

menurunnya citra, kualitas layanan rumah sakit, loyalitas, dan

kepercayaan pelanggan terhadap corporate branding dari RSIA

Aceh yang dapat berpengaruh terhadap keputusan pembelian

produk atau jasa dari rumah sakit. Dampak pengaruh tersebut dapat

dilihat dari turunnya jumlah kunjungan pasien pada 6 bulan terakhir

di tahun 2016, dimana tahun tersebut merupakan tahun terkuaknya

terkait isu mengenai RSIA Kota Banda Aceh dan masih menyebar

di kalangan masyarakat setempat. Berikut adalah tabel

perbandingan jumlah pasien RSIA Kota Banda Aceh dalam 4 tahun

terakhir dan perbandingan jumlah pasien per bulannya dari setahun

terakhir 2015-2016 (Farid & Faridha, 2017:137).

Tabel 1. Perbandingan Jumlah Pasien RSIA Kota Banda Aceh Tahun

2015-2016

Bulan

Tahun 2015

Total

Tahun 2016

Total Rawat

Jalan

Rawat

Inap

Rawat

Jalan

Rawat

Inap

Januari 3875 524 4399 3782 479 4261

Februari 3318 550 3868 3714 408 4122

Maret 3705 694 4399 3893 470 4363

April 3793 539 4332 3142 315 3457

Mei 4176 571 4747 3395 450 3845

Juni 3586 515 4101 3109 407 3516

Juli 3176 562 3738 - - -

Agusus 3578 624 4202 - - -

September 4224 734 4958 - - -

Oktober 4551 753 5304 - - -

November 4629 757 5386 - - -

Desember 4206 563 4769 - - -

Total 51.873 23.564

Sumber: (Farid & Faridha, 2017:137)

Page 11: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 3

Berdasarkan Tabel 1, diketahui perbandingan jumlah pasien di

RSIA Kota Banda Aceh yang menurun pada Tahun 2015 sampai

dengan Tahun 2016. Sementara di klinik laktasi Rumah Sakit

Muhammadiyah Lamongan, jumlah kunjungan selama tiga tahun

berturut-turut diketahui fluktuatif dan cenderung mengalami

penurunan, yaitu Tahun 2014 sejumlah 76 orang, Tahun 2015

sejumlah 110 orang, dan Tahun 2016 sejumlah 94 orang

(Armadani, Supriyadi, & Ulfah, 2018:2).

Kondisi yang sama juga terjadi di Rumah Sakit Ibnu Sina. Data

menunjukkan terjadi penurunan kunjungan rawat Inap Rumah Sakit

Ibnu Sina di Tahun 2011-2014. Kunjungan ulang pada Tahun 2011

sejumlah 4.313 pasien. Kemudian pada Tahun 2012, jumlah

kunjungan meningkat tetapi tidak signifikan, yaitu sejumlah 4.510

pasien. Pada Tahun 2013 jumlah kunjungan kembali mengalami

penurunan sebanyak 4.448 pasien. Sementara Tahun 2014 jumlah

kunjungan juga mengalami penurunan, yakni 4.390 pasien

(Sumarni, 2018:2).

Jumlah kunjungan yang fluktuatif dan cenderung mengalami

penurunan menunjukkan tingkat pemanfaatan pelayanan

kesehatan oleh masyarakat tidak menentu (Armadani, Supriyadi, &

Ulfah, 2018:2). Padahal kunjungan ulang pasien merupakan salah

satu indikator kesetiaan pasien terhadap penyedia pelayanan

kesehatan tersebut (Tiwari, Tiwari, & Yaseen, 2016). Jumlah

kunjungan yang terus menurun dapat disebabkan signifikansi yang

kurang pada jumlah kunjungan baru dan pengunjung lama tidak

setia. Penyebab terjadinya penurunan kunjungan salah satunya

adalah lemahnya brand equity (Armadani, Supriyadi, & Ulfah,

2018:3).

Brand equity akan menjadi kunci dalam persaingan produk dan

jasa. Perusahaan lain dapat dengan mudah meniru dan memiliki

kualitas standar yang dimunculkan oleh berbagai jenis produk dan

jasa. Hal ini berakibat pada sulitnya perusahaan bertahan menjadi

Page 12: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

4 Nurnaningsih Herya Ulfah

pemimpin utama pasar. Pangsa pasar perusahaan harus tetap

terjaga agar tekanan oleh kompetitor dapat teratasi. Upaya yang

dapat dilakukan salah satunya melalui memperkuat citra merek

(brand image) (Hasugian, 2015:924).

Citra positif yang muncul dalam persepsi pelanggan akan

meminimalisir kekecewaan pada buruknya pengalaman pelayanan

kesehatan. Selain itu, citra juga akan membantu dalam pemasaran

perusahaan dalam membalikkan citra negatif yang menyebabkan

ketidakpuasan. Jika ada pengalaman buruk, maka diperlukan

banyak pengalaman baik bagi pelanggan untuk mengubah citra

buruk secara keseluruhan (Juhana, Manik, Febrinella, & Sidharta,

2015:4307). Tidak adanya citra merek positif dan kuat

menyebabkan perusahaan sangat sulit memperoleh pelanggan

yang baru dan mempertahankan keberadaan pelanggan lama

(Hasugian, 2015:924).

Pelanggan akan memilih merek yang memberikan manfaat

terbesar dalam pemenuhan kebutuhan. Merek merupakan sarana

untuk mempromosikan baik produk ataupun jasa. Di samping itu,

merek mewakili produk atau jasa tertentu. Merek memiliki makna

daripada hanya nama (Durmaz, Çavuşoğlu, & Özer, 2018:530).

Merek dapat memengaruhi cara konsumen memandang suatu

produk dan jasa (Matthews, 2014:26).

Keputusan pembelian dipengaruhi oleh perilaku sehingga

perusahaan dapat mempengaruhi perilaku pelanggan, jika ingin

membuat pelanggan lebih mudah dalam memutuskan pembelian.

Pengaruh terhadap pelanggan dapat diberikan melalui kekuatan

merek melalui penguatan brand equity. Penguatan aspek tersebut

dapat meliputi brand associations, brand awareness, dan kualitas

yang dirasakan pelanggan (Armadani, Supriyadi, & Ulfah, 2018:2).

Dalam pelayanan kesehatan, pasien sering membentuk citra

merek dari pengalaman perawatan dan pemeriksaan medis yang

dialami. Selain itu, citra merek rumah sakit dapat memiliki fungsi

Page 13: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 5

yang strategis. Dengan adanya pemasaran strategis, citra merek

pelayanan kesehatan dapat digunakan untuk membantu

meningkatkan posisi kompetitifnya. Bisa dikatakan bahwa baiknya

citra merek mampu memperbesar kemungkinan pasien untuk

memilih pelayanan kesehatan (Wu, 2011:4874).

2. Pentingnya Brand untuk Pelayanan Kesehatan

American Marketing Association (AMA) berpendapat bahwa

brand (merek) merupakan nama, desain, tanda, bentuk, simbol,

maupun kombinasi semua aspek di atas dan memiliki tujuan

mengidentifikasi layanan atau produk dari penjual atau kumpulan

penjual serta mampu membedakan merek dengan kompetitor lain

(Keller, 2013). Merek sama dengan pelabelan yang berguna dalam

membantu meningkatkan penjualan. Selain itu, merek juga dapat

dianggap sebagai kepercayaan yang melingkupi produk atau jasa

agar dapat mewujudkan kepuasan yang lebih tinggi lagi (Sukiarti,

dkk., 2016). Menurut Nilson (dalam Tjokroaminoto & Kunto, 2014),

merek adalah simbol dari perusahaan atau produk unggulan yang

bertujuan untuk memudahkan konsumen dalam mengingat dan

mengenali sebuah produk maupun perusahaan. Merek juga

dianggap sebagai metode yang dilakukan produsen untuk

mendemonstrasikan perbedaan atau keunggulan produknya

dengan produk lain di pasaran.

Keller (2013) berpendapat bahwa keberadaan merek sangat

penting bagi suatu perusahaan. Konsumen biasanya akan lebih

memilih merek dengan citra yang baik karena hal-hal yang sudah

dikenal dapat membuat mereka merasa lebih nyaman. Mereka

berasumsi bahwa merek dengan citra yang baik akan selalu

tersedia, dapat diandalkan, mudah ditemukan, dan kualitasnya

sudah terbukti (Supriyadi, dkk., 2016). Pentingnya suatu merek

dapat dibedakan melalui dua sudut pandang, yaitu sudut pandang

Page 14: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

6 Nurnaningsih Herya Ulfah

konsumen dan perusahaan. Berikut perbedaan peran merek

berdasarkan pendapat Keller (2013).

a. Konsumen

Merek memiliki fungsi yang penting bagi konsumen.

Pengalaman konsumen di masa lalu dengan sebuah produk serta

program pemasarannya membuat konsumen akan mencari tahu

apakah merek tersebut sudah memuaskan kebutuhan mereka atau

belum. Jika konsumen telah mengenali dan paham mengenai suatu

merek tertentu, maka mereka tidak harus mengalami banyak

pemikiran tambahan untuk membuat keputusan apakah mereka

akan memakai produk tersebut atau tidak (Keller, 2013).

Konsumen menawarkan loyalitas maupun kepercayaan mereka

dengan pemahaman bahwa dengan cara tertentu, merek akan

berperilaku dan menyediakan sebuah utilitas tertentu melalui

kekonsistenan kinerja produk, serta melalui adanya kesesuaian

harga, program distribusi dan tindakan maupun promosi. Dalam

jangka panjang, jika konsumen telah menyadari kelebihan dan

manfaat dari membeli merek tertentu sehingga muncul kepuasan

karena telah mengonsumsi produk, maka konsumen cenderung

melakukan pembelian berulang. Selain itu, merek juga dianggap

sebagai perangkat simbolik yang memungkinkan konsumen

memproyeksikan citra diri mereka dan dapat menjadi sarana yang

digunakan konsumen agar mampu berkomunikasi dengan diri

sendiri maupun berkomunikasi dengan orang lain, serta pada tipe

orang yang mereka inginkan (Keller,2013). Merek juga memiliki

pengaruh penting untuk memberi sinyal karakteristik tertentu suatu

produk trehadap konsumen dengan cara mengurangi risiko dalam

keputusan pemakaian suatu produk. Menurut Kiley (dalam Keller,

2013), berikut merupakan beberapa macam risiko konsumen dalam

membeli dan mengkonsumsi suatu produk:

1. Risiko fungsional, yaitu ketika konsumen merasa produk tidak

dapat memenuhi harapannya.

Page 15: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 7

2. Risiko fisik, yaitu ketika produk dapat mengancam kesehatan

dari pengguna (seperti kesejahteraan fisik dan kesehatan

pengguna) atau lainnya.

3. Risiko finansial, yaitu konsumen merasa bahwa harga yang

telah dibayarkan tidak sesuai dengan produk yang didapat

4. Risiko sosial, yaitu ketika konsumen merasa malu di depan

orang lain karena penggunaan suatu produk.

5. Risiko psikologis, yaitu ketika produk memengaruhi

kesejahteraan mental dari pengguna atau konsumen.

6. Risiko waktu, yaitu ketika produk gagal untuk menghasilkan

biaya peluang agar konsumen dapat menemukan produk lain

yang lebih memuaskan dari produk tersebut.

b. Perusahaan/Provider Pelayanan Kesehatan

Merek juga menyediakan sejumlah fungsi berharga bagi

perusahaan. Secara operasional, merek dapat mengatur catatan

inventaris dan akuntansi perusahaan. Sebuah merek juga dapat

menjadi pelindung hukum yang tegas bagi perusahaan. Merek

memiliki pengaruh dalam mengamankan hak kekayaan intelektual,

serta menyediakan judul yang legal bagi pemilik merek. Hak

kekayaan intelektual ini dapat memastikan perusahaan agar

mendapatkan manfaat dari aset berharga dan yang terpenting

dapat berinvestasi dengan aman melalui merek.

Selain itu, merek dapat menjadi sinyal pada suatu level kualitas

tertentu dan membuat pembeli yang puas memiliki keinginan untuk

melakukan pembelian ulang. Loyalitas merek ini menyediakan

keamanan permintaan dan prediktabilitas untuk perusahaan serta

dapat menimbulkan hambatan bagi kompetitor lain agar

perusahaan tersebut kesulitan dalam memasuki pasar. Singkatnya,

merek mewakili bagian properti legal perusahaan yang berharga,

yang dapat dibeli dan dijual serta mampu mempengaruhi perilaku

Page 16: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

8 Nurnaningsih Herya Ulfah

konsumen, dan dapat memberikan jaminan keamanan yang

berkelanjutan untuk mendapatkan pendapatan di masa depan.

Merek dianggap sebagai atribut paling penting dalam

menumbuhkan kepercayaan konsumen pada suatu merek karena

telah tumbuh persepsi yang baik atas merek tersebut. Merek juga

dianggap sebagai atribut yang menentukan citra dari suatu produk

atau perusahaan (Sukiarti dkk., 2016). Nilai suatu merek bagi suatu

organisasi dapat dilihat dengan mengakui manfaat-manfaat pasar

yang diciptakan karena memiliki merek kuat. Menurut Keller (2013),

beberapa manfaat yang diperoleh karena kuatnya suatu merek,

yaitu:

a. Peningkatan persepsi dari kinerja produk;

b. Lebih besarnya loyalitas pelanggan;

c. Mengurangi rentannya tindakan pemasaran kompetitif

dan krisis pemasaran;

d. Memperluas margin;

e. Elastisnya respons pelanggan pada harga yang turun

dan tidak elastisnya respons pelanggan terhadap

kenaikan harga;

f. Lebih besarnya dukungan, perdagangan dan kerja sama

perantara

g. Komunikasi pemasaran yang lebih efektif;

h. Peluang akan lisensi dan ekstensi merek tambahan.

Pada bidang pelayanan kesehatan, pemasaran memiliki peran

utama dalam menentukan kebutuhan dan keinginan pasien,

memenuhi visi pemasaran mereka melalui desain, harga,

komunikasi dan menyediakan produk maupun layanan yang sesuai.

Sesuai penjelasan di atas, bisa dikatakan bahwa kemampuan

pemasaran organisasi yang paling penting adalah kemampuannya

untuk menciptakan, mempertahankan, meningkatkan dan

melindungi brand equity yang dimiliki. Hal ini karena adanya

peningkatan kesadaran dan partisipasi pasien dalam pengambilan

Page 17: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 9

keputusan yang membuat pemasaran menjadi elemen penting

dalam manajemen organisasi layanan kesehatan, sehingga

menciptakan citra merek yang menguntungkan sangat penting

dalam organisasi ini (Khosravizadeh, Vatankhah, & Maleki, 2017).

Brand merupakan hal yang penting untuk mengevaluasi

pelayanan karena dapat dijadikan sebagai filter yang

mempengaruhi persepsi pasien (Maghfiroh, 2017). Hal ini karena

citra merek menyangkut kredibilitas dan reputasi dari sebuah

merek. Persepsi inilah yang nantinya menjadi “pedoman”

konsumen dalam menggunakan atau mencoba suatu produk baik

dalam bentuk barang atau jasa sehingga akan menimbulkan yang

namanya pengalaman tertentu bagi mereka, yang biasa disebut

dengan brand experience (Sukiarti & Haryono, 2016).

Branding dapat menjadi salah satu upaya strategi pemasaran.

Perluasan brand dilakukan sebagai daya tarik masyarakat agar mau

berobat dan menggunakan jasa layanan kesehatan. Semakin baik

persepsi masyarakat terhadap suatu rumah sakit, maka akan

semakin banyak juga masyarakat yang mau berobat ke rumah sakit

tersebut kompetisi dan keterbatasan yang ada akan telah

mempersulit suatu organisasi untuk meluncurkan brand baru. Brand

baru ini penting karena bagi suatu organisasi brand bukan hanya

sekedar nama dan bagian dari produk, tetapi juga merupakan aset

bagi organisasi (Romadona, 2012:32).

Keberhasilan untuk menciptakan brand merupakan hasil

interaksi antara konsumen, stakeholder, dan peran penambahan

ekuitas merek suatu perusahaan, pengalaman positif konsumen,

kekuatan dan kebesaran merek yang positif (Romadona, 2012:28).

Perluasan brand dianggap cukup efektif dan memudahkan pihak

pemasaran rumah sakit saat merancang, membuat, mengelola, dan

memasarkan produk yang dimiliki dengan merujuk pada merek

rumah sakitnya sehingga dapat lebih mudah diterima oleh

masyarakat sasaran (Romadona, 2012:32).

Page 18: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

10 Nurnaningsih Herya Ulfah

Menurut Wu (2011), selain dapat merangsang loyalitas pasien

secara langsung, citra baik rumah sakit juga mampu mewujudkan

kepuasan pasien yang lebih baik melalui kualitas pelayanan yang

meningkat, dimana hal ini dapat meningkatkan niat kunjungan

kembali pasien. Pada lingkungan pelayanan kesehatan yang

kompetitif, rumah sakit harus memfokuskan upaya pemasaran

mereka pada manajemen merek yang efektif. Secara khusus,

manajer rumah sakit harus lebih memperhatikan untuk membangun

citra merek rumah sakit positif.

Selain itu, merek rumah sakit yang terkenal dianggap sebagai

alat yang berharga bagi manajer untuk rekrutmen dan retensi

terhadap dokter dan perawat. Jika staf medis yang lebih baik dan

lebih berpengalaman dipekerjakan, maka akan tercipta penyediaan

kualitas pelayanan kesehatan yang jauh lebih baik. Jika tersedia

mutu pelayanan yang lebih baik, maka akan terwujud peningkatan

kepuasan pasien sehingga tujuan utama pemasaran layanan

kesehatan akan tercapai. Dalam hal ini, branding dapat sangat

membantu rumah sakit. Memahami aspek branding dari layanan

kesehatan dan penerapan serta strategi pengembangannya untuk

kesehatan sudah jelas sangat diperlukan (Khosravizadeh dkk.,

2017).

3. Teori-Teori Brand Equity

a. Pengertian Brand Equity

Ekuitas merek atau brand equity adalah nilai tambah pada jasa

atau produk (Kotler & Keller, 2009). Menurut Sukiarti, brand equity

merupakan kekuatan yang dimiliki suatu brand untuk mengurangi

atau menambah nilai merek itu sendiri. Nilai ini dapat diketahui dari

respon yang diberikan konsumen terhadap jasa atau produk yang

disediakan (Sukiarti dkk., 2016). Brand equity dapat berupa cara

pelanggan merasa, berpikir kemudian bertindak. Sikap dan

tindakan ini berkaitan dengan dengan harga, merek, pangsa pasar,

Page 19: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 11

dan profitabilitas terhadap perusahaan penyedia (Sujani & Harjoko,

2012).

Sebuah merek akan secara jelas mengidentifikasikan jasa atau

produk. Kondisi ini disebabkan merek memiliki bagian yang disebut

sebagai ekuitas merek. Ekuitas merek memiliki sifat intangible. Dari

pengertian di atas, disimpulkan bahwa ekuitas merek adalah simbol

dan nama yang menjadi nilai dari suatu merek yang secara

keseluruhan berkonsep multidimensional. Ekuitas merek terdiri dari

kesadaran merek, kualitas yang dipersepsikan, asosiasi merek, dan

loyalitas merek. Dengan adanya ekuitas merek, jasa atau produk

akan memiliki nilai tambah sehingga mampu mewujdukan profit

perusahaan di masa mendatang (Sukiarti dkk., 2016).

b. Teori Brand Equity

Salah satu konsep marketing paling popular dan paling penting

di era 80-an adalah brand equity (Keller, 2013). Konsep ekuitas

merek mulai digunakan secara luas pada 1980-an oleh praktisi

periklanan dan kemudian dipopulerkan oleh David A. Aaker melalui

buku terlarisnya "Managing Brand Equity" (1991). Berikut

merupakan uraian teori-teori tentang brand Equity yang

disampaikan oleh beberapa ahli.

1) Aaker (1991, 1996)

Pada tahun 1991, Aaker mengemukakan ekuitas merek sebagai

kewajiban dan aset merek yang berkaitan dengan nama, merek,

dan simbolnya yang dapat menyebabkan penambahan atau

pengurangan nilai oleh suatu jasa atau produk ke perusahaan atau

pelanggan dari perusahaan tersebut (Buil, dkk., 2013). Ekuitas

merek memiliki empat dimensi yang terdiri dari awareness,

associations, perceived quality, dan loyalty (Aaker, 1996).

Kemudian pada tahun 1996, Aaker mengembangkan konsep brand

equity yang disebut dengan Brand Equity Ten.

Konsep Brand Equity Ten terdiri dari lima kategori dimana

empat dimensi, yaitu awareness, associations, perceived quality,

Page 20: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

12 Nurnaningsih Herya Ulfah

dan loyalty merepresentasikan persepsi pelanggan tentang suatu

merek. Dimensi kelima yang terdiri dari dua set pengukuran perilaku

pasar merepresentasikan informasi terkait informasi dari pasar

daripada secara langsung merujuk dari pelanggan. Dimensi Brand

Equity Ten dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. The Brand Equity Ten

Loyalty Measures

Price Premium

Satisfaction/Loyalty

Perceived Quality/ Leadership Measures

Perceived Quality

Leadership

Associations/ Differentiation Measures

Perceived Value

Brand Personality

Organizational Associations

Awareness Measures

Brand Awareness

Market Behavior Measures

Market Share

Price and Distribution Indices

Sumber: Aaker (1996)

Berikut merupakan uraian dari tabel di atas.

1) Loyalty

Loyalty atau loyalitas adalah salah satu dimensi yang menjadi

inti dari ekuitas merek (Aaker, 1996). Dari pernyataan tersebut

diketahui bahwa loyalitas diberikan pelanggan oleh kepada merek

(Sujani & Harjoko, 2012). Pada dasarnya, pelanggan yang loyal

merepresentasikan bentuk penghalang terhadap pesaing ketika

akan masuk, dasar penentuan premi harga, kurun waktu dalam

merespon bentuk inovasi dari pesaing, dan benteng pertahanan

dari persaingan pada harga yang membahayakan perusahaan.

Loyalitas dianggap cukup penting sehingga dimensi lain seperti

perceived quality dan associations dapat dievaluasi berdasarkan

Page 21: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 13

kemampuan mereka dalam mempengaruhi loyalitas pelanggan

(Aaker, 1996).

Indikator yang menjadi dasar dari penilaian loyalitas adalah

jumlah yang dibayar pelanggan untuk bisa menggunakan merek

tertentu dibandingkan penawaran dari merek lain (atau merek

pembanding) dengan manfaat serupa. Hal ini disebut "price

premium" dan kemungkinan tinggi atau rendah atau positif atau

negatif bergantung pada merek-merek yang dibandingkan oleh

pelanggan. Jika sebuah merek dibandingkan dengan merek

dengan harga lebih tinggi, price premium bisa negatif. Price

premium suatu merek dapat ditentukan hanya dengan bertanya

kepada konsumen berapa banyak lagi yang akan mereka bayarkan

untuk merek tersebut (Aaker, 1996).

Aspek ukuran langsung satisfaction/loyalty dapat direalisasikan

pada pelanggan yang sudah ada. Pelanggan ini dapat didefinisikan

sebagai pelanggan yang telah memakai suatu layanan atau produk

dalam periodetertentu seperti satu tahun terakhir. Kepuasan dapat

menjadi indikator kesetiaan untuk kelas produk seperti sabun

batangan atau susu di mana pembelian dan penggunaannya

mewakili perilaku kebiasaan. Ukuran loyalitas yang dapat diukur

secara langsung dapat ditemukan dengan mengajukan pertanyaan

mengenai merek yang ingin dibeli atau dengan meminta responden

untuk mengidentifikasi merek-merek yang dapat diterima mereka

(Aaker, 1996).

2) Perceived Quality/ Leadership

Perceived Quality adalah dimensi kunci dari ekuitas merek.

Dimensi ini memiliki hubungan erat dengan premi dan elastisitas

harga serta penggunaan merek. Selain itu, perceived quality juga

berhubungan dengan pengembalian stok. Persepsi kualitas dapat

diukur dengan skala seperti berikut (Aaker, 1996). Dibandingkan

dengan merek alternatif, merek ini:

Page 22: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

14 Nurnaningsih Herya Ulfah

a. Memiliki : kualitas tinggi / kualitas rata-rata /

kualitas lebih

rendah

b. Dianggap sebagai : yang terbaik / salah satu dari yang

paling baik / yang

terburuk vs salah satu dari yang

terburuk

c. Memiliki : kualitas konsisten / kualitas tidak

konsisten

Sedangkan Leadership dapat diukur dengan skala yang

menanyakan apakah merek tersebut (Aaker, 1996).

a. Merek terkemuka / salah satu merek terkemuka / bukan

salah satu merek terkemuka

b. Semakin populer

c. Inovatif, yang pertama dengan kemajuan dalam produk

atau layanan

3) Associations/ Differentiation

Associations/ Differentiation dari ekuitas merek biasanya

melibatkan dimensi citra yang unik untuk suatu kategori produk atau

merek. Cara pengukuran aspek ini dapat disusun dengan tiga

perspektif merek. Perspektif yang digunakan adalah merek sebagai

produk (value), merek atau brand sebagai orang (brand personality)

dan merek sebagai sebuah organisasi (organizational associations)

(Aaker, 1996).

Perspektif merek sebagai sebuah produk memiliki fokus

terhadap proposisi nilai merek. Proposisi nilai merupakan hal

mendasar bagi suatu merek di sebagian besar kategori produk.

Proposisi nilai biasanya melibatkan manfaat fungsional. Jika suatu

merek tidak menghasilkan nilai, maka cenderung akan rentan

terhadap ancaman pesaing (Aaker, 1996).

Elemen kedua adalah brand personality. Pada beberapa jenis

merek, kepribadian dapat memberikan tautan ke manfaat

Page 23: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 15

emosional dan ekspresi diri merek tersebut serta dasar untuk

hubungan dan diferensiasi pelanggan / merek. Aspek ini dapat

diukur melalui skala pernyataan seperti “Merek ini memiliki

kepribadian”, “merek ini sangat menarik”, atau “saya mengetahui

pasti bagaimana tipe orang yang akan menggunakan merek ini.”

(Aaker, 1996).

Dimensi lain dari dimensi associations/differentiation adalah

perspektif merek dipandang sebagai suatu organisasi dengan

mempertimbangkan elemen-elemen yang ada dalam sebuah

organisasi (nilai-nilai, orang, dan program) di balik merek.

Organizational associations sering menjadi dasar dari pilihan dan

diferensiasi termasuk di dalamnya tetang bentuk inovasi,

kepedulian terhadap pelanggan, kemauan untuk menyediakan

kualitas, kesuksesan, visibilitas, orientasi pada komunitas, dan

menjadi pemain global. Skala umum yang akan diterapkan untuk

mengukur aspek ini diantaranya adalah “Merek ini dibuat oleh

organisasi yang akan saya percayai”, “Saya mengagumi organisasi

merek X” dan “Organisasi yang terkait dengan merek ini memiliki

kredibilitas” (Aaker, 1996).

4) Awareness

Brand Awareness mencerminkan arti penting merek dalam

pikiran pelanggan. Bisa dikatakan aspek ini merupakan ukuran

kekuatan eksistensi sebuah merek di pikiran pelanggan. Kesadaran

merek (Brand Awareness) memiliki beberapa tingkatan yang

meliputi (Aaker, 1996):

a. Recognition (Pernahkah Anda mendengar tentang Buick

Roadmaster?)

b. Recall (Merek mobil apa yang dapat Anda ingat?)

c. Top of Mind (merek yang pertama kali muncul atau Recall)

d. Brand Dominance (hanya mengingat satu merek)

e. Brand Knowledge (saya tahu kepanjangan merek ini)

f. Brand Opinion (saya punya pendapat tentang merek ini)

Page 24: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

16 Nurnaningsih Herya Ulfah

5) Market Behavior

Delapan perangkat pertama dari Brand Equity Ten semua

memerlukan survei yang mungkin mahal, tidak nyaman, memakan

waktu, dan sulit untuk diimplementasikan maupun ditafsirkan.

Pengecualian terjadi pada loyalitas merek karena dapat diukur

dengan data pembelian berulang. Namun pada dimensi terakhir ini,

kita tidak memerlukan survey untuk mengukur kinerja merek,

seperti pangsa pasar, harga pasar, dan cakupan distribusi (Aaker,

1996).

Kinerja suatu merek yang diukur dengan pangsa pasar (dan /

atau penjualan) memiliki keuntungan karena keduanya tersedia dan

akurat. Informasi tentang sub-pasar juga sering menjadi bagian dari

basis data. Namun, Pangsa pasar dapat menjadi ukuran ekuitas

merek yang sangat menipu ketika ia meningkat sebagai akibat dari

penurunan harga atau promosi harga. Dengan demikian, penting

untuk mengukur harga relatif pasar di tempat merek tersebut dijual.

Harga relatif pasar merupakan sebagai rata-rata harga di mana

merek itu dijual dalam periode bulan tersebut dibagi rata-rata harga

di mana semua merek dalam kategori produk itu dijual (Aaker,

1996).

Pangsa atau data penjualan dalam jangkauan pasar sangat

sensitif terhadap cakupan distribusi. Penjualan dapat dipengaruhi

secara dramatis ketika suatu merek memperoleh atau kehilangan

pasar utama atau memperluas ke wilayah geografis lain. Cakupan

distribusi diantaranya dapat diukur dengan persentase toko yang

membawa merek (Aaker, 1996). Secara lebih lanjut, berikut

merupakan Aaker’s Brand Equity Model yang dikutip dari Moisescu

(2005).

Page 25: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 17

Gambar 1. Aaker’s Brand Equity Model

Sumber: Moisescu (2005)

Page 26: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

18 Nurnaningsih Herya Ulfah

2) Keller (1993, 2009, 2013)

Keller dalam jurnal dan bukunya menggagas konsep yang

berbeda mengenai Brand Equity. Konsep yang dikemukakan

disebut sebagai Customer Based Brand Equity (CBBE). CBBE

memiliki konsep dasar di mana kekuatan sebuah merek terletak

pada hal-hal yang telah dipelajari, dirasakan, dilihat, dan didengar

pelanggan mengenai merek sebagai hasil pengalaman dari waktu

ke waktu (Keller, 2013).

Keller mengembangkan alternatif sudut pandang kemudian

menguraikan konsep CBBE sebagai efek diferensial dari

pengetahuan terhadap merek (brand knowledge) terhadap respons

konsumen terhadap pemasaran merek. Pengetahuan merek

dikonseptualisasikan terdiri dari simpul merek dalam memori yang

terkait dengan berbagai asosiasi (Keller, 1993). Dua komponen

penting dari pengetahuan merek (brand knowledge) adalah Brand

Awareness dan Brand Image.

Gambar 2. Dimension of Brand Knowledge

Sumber: Keller, (2013)

Brand

Knowl

edge

Brand

Image

Brand

Aware

ness

Brand

Recall

Brand

Recognit

Favorability

of Brand

Strength of

Brand

Uniqueness

of Brand

Types of

Brand

Non-

product

-related

Product

-related

Attrib

utes

Bene

fits

Functio

nal

Symboli

c

Experite

ntial

Attitu

des

Page 27: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 19

i. Brand Awareness

Kesadaran merek berkaitan dengan kekuatan simpul atau jejak

merek dalam ingatan yang tercermin dari kemampuan seorang

pelanggan untuk dapat mengenali atau mengingat suatu merek

dalam situasi yang berbeda (Keller, 2009). Aaker berpendapat

bahwa kesadaan merek merupakan kemampuan pelanggan dalam

mengenali atau mengingat kembali sebuah merek yang menjadi

bagian dari kategori-kategori produk tertentu. Kesadaran merek

adalah kemampuan pelanggan dalam mengenali atau mengingat

suatu merek (Tjiptono, 2005). Berdasarkan uraian di atas dapat

disimpulkan jika kesadaran merek merupakan bentuk kesanggupan

seorang individu sebagai calon pembeli dalam dapat mengingat

kembali atau mengenali merek bahwa merek tersebut menjadi

bagian dari suatu kategori produk atau jasa tertentu (Sukiarti dkk.,

2016). Brand Awareness dikategorikan menjadi empat tingkatan

yaitu (Nugroho & Rochmah, 2013):

a. Top of mind adalah merek yang paling diingat oleh pelanggan.

Top of mind menjadi tingkatan paling tinggi dalam piramida

kesadaran merek.

b. Brand recall adalah kemampuan mengingat kembali suatu

merek dengan tidak adanya bantuan untuk mengingat.

c. Brand recognition adalah kemampuan mengingat kembali

merek dengan adanya bantuan pengingatan.

d. Unaware of brand adalah pelanggan tidak sadar terhadap

merek. Kategori unaware of brand merupakan tingkat paling

rendah dalam Brand Awareness.

ii. Brand Image

Citra merek didefinisikan sebagai persepsi mengenai suatu

merek sebagaimana terlihat oleh asosiasi merek dalam ingatan

pelanggan. Asosiasi merek adalah informasi yang terhubung

dengan simpul suatu merek dalam ingatan dan bermakna bagi

Page 28: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

20 Nurnaningsih Herya Ulfah

pelanggan (Keller, 1993). Asosiasi merek yang unik,

menguntungkan, dan kuat sangat penting sebagai titik perbedaan

yang dapat berfungsi sebagai sumber ekuitas merek. Dengan

adanya merek yang memenuhi kriteria ini, dapat mendorong efek

diferensial (Keller, 2009).

CBBE terjadi apabila pelanggan memiliki level kesadaran dan

kefamiliaran yang tinggi pada merek dan memiliki brand

associations yang kuat, disukai, dan unik dalam memori pelanggan.

Dalam beberapa kasus, kesadaran merek saja sudah cukup untuk

menghasilkan respons konsumen yang lebih baik, misalnya, dalam

pengaturan keputusan dengan keterlibatan rendah di mana

konsumen tidak memiliki motivasi atau kemampuan dan bersedia

untuk mendasarkan pilihan mereka hanya berdasarkan

pemahaman yang sudah lazim Dalam kasus lain, kekuatan,

kesukaan, dan keunikan dari asosiasi merek membantu

menentukan respon diferensial yang membentuk ekuitas merek.

Dimensi asosiasi merek tergantung pada tiga faktor (Keller, 2013):

1. Keunggulan Asosiasi Merek (Favorability of Brand Association)

Bagi suatu merek, asosiasi yang dapat memberi keuntungan

adalah asosiasi yang menjadi keinginan pelanggan dan mampu

direpresentasikan oleh produk serta program pemasaran

pendukung. Mereka dapat berhubungan dengan produk atau aspek

tidak berwujud, yang terkait dengan produk seperti penggunaan

atau citra pengguna. Namun, pelanggan tidak akan menganggap

asosiasi merek yang ada sebagai sesuatu yang penting atau

memandangnya sebagai suatu komponen yang baik, mereka juga

tidak akan menilai mereka secara setara dalam situasi pembelian

atau konsumsi yang berbeda.

Menurut Keller (2003), favorability of brand association

merupakan seberapa intens individu berpikir tentang informasi

merek atau kualitas ketika berada dalam proses penerimaan

informasi oleh pelanggan. Asosiasi yang menguntungkan untuk

Page 29: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 21

suatu merek adalah asosiasi yang diinginkan oleh pelanggan, dapat

disampaikan oleh suatu produk, dan disampaikan oleh program

pemasaran pendukung. Mereka dapat berhubungan dengan produk

atau aspek tidak berwujud, yang terkait dengan produk seperti

penggunaan atau citra pengguna (Keller, 2013). Kepercayaan

pelanggan tentang atribut dan manfaat merek mampu menimbulkan

kepuasan terhadap kebuthan dan keinginan dapat diciptakan oleh

asosiasi yang unggul. Kondisi ini mampu memunculkan pemikiran

positif pada merek. Dengan demikian diketahui bahwa keunggulan

asosiasi merek lebih fokus pada manfaat produk, adanya beragam

pilihan untuk dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan, harga

bersaing di antara kelas produk, serta kemudahan untuk

mendapatkan produk yang diperlukan. Di samping itu, nama

perusahaan yang terpercaya juga mampu mendukung eksistensi

merek tersebut (Tjokroaminoto & Kunto, 2014).

2. Kekuatan Asosiasi Merek (Strenght of Brand Association)

Keller (2013) berpendapat definisi strenght of brand

association merupakan rasa senang, kepercayaan, dan rasa

bersahabat dengan suatu merek. Hal ini menyebabkan kesulitan

bagi merek yang lain dalam menarik pelanggan yang merasa sudah

mencintai merek tertentu. Kekuatan dari asosiasi merek tergantung

pada bagaimana cara informasi bias masuk ke dalam memori

pelanggan. Selin itu, kekuatan asosiasi juga dipengaruhi cara

informasi tersebut diproses oleh otak sebagai komponen dari citra

merek. Jika konsumen mampu aktif berpikir kemudian

mendefinisikan arti informasi pada suatu produk atau jasa, maka

akan menciptakan asosiasi yang kuat pada memori pelanggan

(Tjokroaminoto & Kunto, 2014).

Konsumen mendeskripsikan sebuah objek melalui sensasi

yang menstimulasi kelima indera, yaitu mata, telinga, hidung, kulit,

dan lidah. Akan tetapi, setiap pelanggan mengatur, mengikuti, dan

mengartikan data dari sensor ini berdasarkan kemampuan masing-

Page 30: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

22 Nurnaningsih Herya Ulfah

masing. Persepsi ini tidak hanya tergantung stimulasi fisik, tetapi

juga pada stimulasi yang berkaitan dengan kondisi individu dan

lingkungannya (Tjokroaminoto & Kunto, 2014).

3. Keunikan Asosiasi Merek (Uniqueness of Brand Association)

Menurut Keller (2013), uniqueness of brand association adalah

cara membuat kesan sesuatu yang unik dan perbedaan berarti

diantara merek lain serta membuat pelanggan ”tidak mempunyai

alasan untuk tidak” memilih brand tersebut. Sebuah merek harus

memiliki keunikan dan kemenarikan sehingga produk memiliki ciri

khas sehingga sulit untuk ditiru produsen pesaing (Tjokroaminoto &

Kunto, 2014). Inti dari “positioning” adalah merek tersebut unggul

dalam kompetisi yang berkesinambungan dan berkelanjutan atau

"proposisi penjualan yang unik" sehingga dapat memberi pelanggan

alasan kuat untuk membeli merek tersebut (Keller, 1993). Menurut

Keller (2013), kita dapat menggunakan langkah-langkah terbuka

yang memanfaatkan kekuatan, kesukaan, dan keunikan asosiasi

merek, sebagai berikut.

1. Asosiasi apa yang paling kuat yang Anda miliki dengan merek

tersebut? Apa yang muncul dalam benak Anda ketika

memikirkan suatu merek? (Kekuatan merek)

2. Apa yang baik tentang merek tersebut? Apa yang Anda suka

dari merek tersebut? Apa yang tidak Anda suka tentang merek

tersebut? Apa yang kurang baik dari merek tersebut?

(Kesukaan merek)

3. Apa yang unik tentang merek? Karakteristik atau fitur apa yang

dibagikan merek dengan merek lain? (Keunikan merek)

3) Yoo & Donthu (2002)

Model struktural brand Equity (2000) oleh Yoo terdiri dari tiga

komponen. Komponen tersebut terdiri dari 1) elemen bauran

pemasaran yang dipilih dari kegiatan pemasaran tradisional “4P”

(price store atau harga, image atau citra, distribution intensity atau

intensitas distribusi, advertising spending atau pengeluaran iklan,

Page 31: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 23

and price deals atau penawaran harga), 2) dimensi ekuitas merek

(yaitu kesadaran merek/asosiasi, persepsi kualitas produk, dan

loyalitas merek), dan 3) ekuitas merek secara keseluruhan. Dalam

model ini, pemasaran produk dan jasa terbagi dari dua aktivitas,

yaitu aktivitas pembangunan dan merusak merek (Farjam & Hongyi,

2015:20).

Yoo & Donthu berupaya memperluas memperluas model Aaker

(1991) dengan menempatkan ekuitas merek sebagai konstruk

terpisah antara dimensi ekuitas merek dan nilai, baik bagi

pelanggan maupun perusahaan. Selain itu, dilakukan pula upaya

pengembangan ekuitas merek yang berbasis konsumen dan

bersifat multidimensi. Pengembangan konsep ekuitas merek,

misalnya kesetiaan merek mengacu pada kecenderungan untuk

loyal terhadap merek tertentu berdasarkan pada niat untuk membeli

sebagai sebuah pilihan utama. Hal ini berbeda dengan penelitian

lain yang mengandalkan aspek perilaku dari loyalitas merek (Farjam

& Hongyi, 2015:20).

Penggabungan kesadaran dan asosiasi merek menjadi satu

kelompok dilanjutkan dengan fokus pada tiga aset, yaitu kesadaran

merek/asosiasi, persepsi kualitas, dan loyalitas merek. Dengan

memetakan aset ekuitas merek, dimungkinkan untuk menentukan

apakah beberapa aspek ekuitas merek terlihat lebih penting

daripada yang lain bagi konsumen, atau apakah merek tertinggal

dalam satu atau banyak dimensi. Suatu merek dapat

mempertahankan ekuitas merek tinggi dan menjadi pilihan yang

disukai apabila merek secara berkesinambungan sesuai dengan

yang dirasakan konsumen (Farjam & Hongyi, 2015:20).

4) Esch,dkk., (2006)

Ketika Model dari Keller memfokuskan pada brand equity dari

perspektif brand knowledge, Esch,dkk., (2006) mendemonstrasikan

bahwa brand knowledge berdiri sendiri dalam membangun brand

equity. Esch,dkk., (2006) berpendapat bahwa brand knowledge

Page 32: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

24 Nurnaningsih Herya Ulfah

sebenarnya memengaruhi respon konsumen melalui dimensi brand

relationship. Brand relationship berpendapat bahwa konsumen

membangun hubungan dengan merek dengan metode yang sama

seperti ketika membangun hubungan satu sama lain. Metrik

hubungan merek mencakup kepuasan merek, kepercayaan merek,

dan keterikatan merek. Berikut gambar dari brand Equity menurut

Esch,dkk., (2006).

Gambar 3. Esch dkk., Brand Equity Model

Sumber: Kalampokis, dkk. (2016)

Pada model ini, variabel pengetahuan merek menilai

bagaimana cara pelanggan memandang kemudian melakukan

evaluasi terhadap suatu merek. Variabel brand relationship akan

mengukur ikatan pelanggan dan merek. Sementara variabel

behavioral outcomes menilai perilaku pelanggan pada saat ini dan

masa yang mendatang (Esch dkk., 2006).

Brand satisfaction mengacu pada evaluasi konsumen tentang

apakah hubungan pertukaran dengan suatu merek dihargai.

Kepuasan merek juga disebut kepuasan konsumen dan sebaliknya,

dapat pula disebut ketidakpuasan konsumen. Pada saat yang

sama, brand trust merupakan perasaan aman pelanggan bahwa

merek akan sejalan dengan janji dan harapan konsumsi. Brand

attachment adalah keterikatan merek adalah ikatan emosional

antara merek dan konsumen (Esch dkk., 2006).

Page 33: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 25

5) Luming Wang & Adam Finn Customer Based Brand Equity

Model (2013)

Model yang disajikan oleh Luming Wang dan Adam Finn (2013)

sangat berbeda dari penelitian ekuitas merek berbasis konsumen

(CBBE) sebelumnya yang meneliti merek-merek terkenal di

berbagai kategori produk. Model ini berfokus pada perbedaan

kategori produk. Sebagai bentuk perbandingan, model pengukuran

CBBE hibrida digunakan sehingga secara sistematis akan

mengintegrasikan berbagai dimensi CBBE dan memeriksa

perbedaan substantif antara merek utama dan sub-merek dalam

kategori produk (Farjam & Hongyi, 2015:20).

Model ini membedakan konstruk CBBE laten dari dimensinya,

dan memisahkan dimensi formatifnya (penyebab CBBE) dari

dimensi reflektifnya (efek CBBE) berdasarkan hubungan sebab

akibat dengan konstruk. Selain itu, terdapat penambahan dimensi

formatif lain, yaitu emosi dan reaksi emosional spontan terhadap

merek. Emosi merek digunakan untuk memperluas cakupan

domain CBBE dari aspek kognitif dan non-kognitif. Mereka

menekankan bahwa dimensi formatif (seperti keunikan dan

persepsi kualitas) bersama-sama mendefinisikan CBBE.

Menghilangkan salah satunya dapat mengubah domain konseptual

dari konstruk dan mengurangi validitas konstruk (Farjam & Hongyi,

2015:20).

Page 34: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

26 Nurnaningsih Herya Ulfah

Gambar 4. Customer Based Brand Equity Model

Sumber: Farjam & Hongyi, 2015:21

6) CAA Integrated Brand Equity Model

Wang (2008) mengemukakan bahwa ada minat yang tumbuh

dalam pembentukan dan penilaian merek di antara perusahaan,

tetapi pemasar global biasanya mengabaikan salah satu faktor

kunci pembangunan merek, yaitu asosiasi kemampuan korporasi

(CAA). Dalam model ini dilakukan eksplorasi hubungan struktural

antara CAA dan variabel ekuitas merek berbasis konsumen dan

hasil pasar produknya. Kerangka kerja teoritis yang digunakan

adalah kerangka ekuitas merek Aaker dan Keller serta

mengembangkan model yang menggabungkan ekuitas merek

berbasis pelanggan dengan pendekatan hasil pasar produk (Farjam

& Hongyi, 2015:22).

Page 35: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 27

Skala dikembangkan dan diuji pada sampel di Cina. Hasil akhir

dalam penelitian mereka menunjukkan bahwa CAA merupakan

faktor penting untuk membangun dan menjaga ekuitas suatu merek.

CAA dan kesadaran merek berdampak pada persepsi kualitas,

yang berdampak positif pada resonansi merek, perluasan merek,

dan fleksibilitas harga. Resonansi merek berpengaruh positif pada

ekstensibilitas merek dan niat untuk membeli kembali. Di samping

itu, diketahui bahwa pemasar global di Cina mengganggap ekuitas

merek adalah aset berbasis pasar budaya dan perusahaan global

harus fokus membangun asosiasi kemampuan perusahaan untuk

menikmati keunggulan kompetitif dan ekonomi (Farjam & Hongyi,

2015:22).

c. Cara Membangun Brand Equity

Menurut Ferrinadewi (2008), terdapat tiga perspektif cara

membangun dan mengatur Brand Equity, yaitu:

1. Customer Based Brand Equity (CBBE)

Brand Equity dari persepsi konsumen adalah daya tarik kepada

sesuatu produk yang tidak ditumbuhkan dari produk itu sendiri

tetapi dari advertising, pengalaman konsumsi dan aktivitas lain

(Ferrinadewi, 2008). Komponen dasar dari CBBE terdapat

pada kekuatan sebuah merek terletak pada yang telah dilihat,

dirasakan, didengar, dan dipelajari oleh pelanggan sebagai

hasil pengalaman dari waktu ke waktu tentang merek. Dari

uraian dapat diketahui bahwa kekuatan merek berada pada

apa yang ada dalam pikiran dan hati pelanggan (Keller, 2013).

2. Company Based Brand Equity

Perusahaan atau ekuitas merek berbasis perusahaan adalah

nilai tambahan yang diterima perusahaan dari produk

bermerek yang tidak akan dimiliki jika produk tersebut tidak

bermerek. Dari sudut pandang perusahaan, merek yang kuat

dapat dipergunakan sebagai iklan dan promosi yang efektif,

membantu melindungi ditribusi produk agar tidak tertukar

Page 36: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

28 Nurnaningsih Herya Ulfah

dengan produk yang lain, serta memfasilitasi perluasan produk

(Ferrinadewi, 2008).

3. Financial Based Brand Equity

Merek merupakan aset yang dapat diperjualbelikan. Merek

memberikan keuntungan finansial yang diperoleh dari harga

merek tersebut. Harga merek dapat menjadi harapan tinggi

perusahaan di masa depan (Ferrinadewi, 2008). Menurut

Keller (2013), dapat brand equity dibangun melalui tiga cara

sebagai berikut.

a. Melalui pilihan awal dari komponen yang membentuk

merek,

b. Melalui kegiatan dan desain program pemasaran, dan

c. Melalui pengungkitan asosiasi sekunder yang

menghubungkan merek dengan entitas lain seperti

perusahaan, wilayah geografis, merek, orang, atau acara

lainnya.

Secara lebih lanjut, cara membangun brand equity dapat

dilihat dari gambar berikut.

Page 37: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 29

4. Kepuasan Pasien

a. Pengertian Kepuasan Pasien

Kepuasan pelanggan merupakan penilaian individu tentang

kinerja produk atau jasa sehubungan dengan harapan yang telah

mereka bangun (Surydana, 2017). Sejalan dengan hal tersebut,

Syukri (2014) mengungkapkan bahwa kepuasan merupakan

perbedaan fungsi kinerja yang dirasakan dibandingkan dengan

harapan yang telah disusun sebelumnya. Kepuasan pelanggan

mencakup perbedaan tingkat kepentingan dan kinerja yang

dirasakan. Tsai, dkk. (2010) juga berpendapat bahwa kepuasan

pelanggan merupakan bentuk ekspresi kesenangan atau

kekecewaan dari perbandingan harapan dan persepsi efek produk.

Kepuasan pelanggan merupakan perasaan yang dapat bernilai

positif atau negatif serta bersifat subyektif. Perasaan ini timbul dari

adanya perbandingan harapan sebelum konsumsi dan persepsi

setelah konsumsi.

Menurut ’Aini & Andari (2016), “kepuasan pasien muncul dari

hasil pengalaman di waktu yang telah lalu, di mana ketika pasien

mengunjungi sebuah puskesmas kemudian merasakan pelayanan

oleh puskesmas.” Menurut Etlidawati & Handayani (2017),

“kepuasan pasien adalah tingkat perasaan individu yang muncul

setelah melakukan perbandingan kinerja yang dirasakan pasien

dengan harapan yang dinginkan oleh ketika akan berobat.”

Berdasarkan pengertian di atas, secara umum konsep dasar

kepuasan pelanggan dapat dilihat pada Gambar 6 berikut.

Page 38: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

30 Nurnaningsih Herya Ulfah

Gambar 5. Konsep Kepuasan Pelanggan

Sumber: Syukri (2014)

b. Teori tentang Kepuasan

Beberapa pendekatan teoretis digunakan untuk menjelaskan

hubungan antara diskonfirmasi dan ketidakpuasan. Pendekatan ini

dapat dilihat sebagai variasi dari teori konsistensi dan mereka fokus

pada sifat dari proses membandingkan pasca-penggunaan

konsumen. Teori-teori konsistensi menunjukkan bahwa ketika

harapan dan kinerja aktual produk tidak sesuai, maka konsumen

akan membenci sejumlah ketegangan tertentu. Untuk

menghilangkan ketegangan ini, konsumen akan mencoba

menyesuaikan harapan dan persepsi pada kinerja aktual produk

(Isac & Rusu, 2014). Berikut merupakan penjelasan dari Isac &

Rusu (2014) tentang lima teori Kepuasan berdasarkan gabungan

teori Peyton (2003) dan Vavra (1997), yaitu:

1) The Theory of Assimilation

Teori disonansi Festinger (1957) membentuk dasar untuk teori

asimilasi. Teori disonansi menyatakan bahwa konsumen membuat

semacam perbandingan kognitif antara harapan mengenai produk

dan kinerja yang dirasakan. Jika terdapat perbedaan pada harapan

dan kinerja yang dirasakan, maka disonansi pasti muncul. Sudut

pandang tentang evaluasi pasca penggunaan ini diperkenalkan

dalam literatur yang membahas kepuasan dalam bentuk teori

asimilasi (Isac & Rusu, 2014).

Tujuan Perusahaan

Nilai Produk bagi Pelanggan

Produk

Kebutuhan dan keinginan pelanggan

Harapan pelanggan

Tingkat Kepuasan Pelanggan

Page 39: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 31

Menurut Anderson, konsumen berusaha menghindari disonansi

dengan menyesuaikan persepsi mereka terhadap suatu produk

agar hasil yang dirasakan lebih dekat dengan harapan mereka.

Olson & Dover juga berpendapat bahwa dengan cara yang sama,

konsumen dapat mengurangi ketegangan yang dihasilkan dari

perbedaan antara harapan dan kinerja produk, baik dengan

mendistorsi harapan mereka atau dengan meningkatkan tingkat

kepuasan melalui meminimalkan kepentingan relatif yang

dirasakan. Jika konsumen menyesuaikan harapan mereka atau

persepsi kinerja produk, maka ketidakpuasan tidak akan terjadi

pada proses pasca penggunaan (Isac & Rusu, 2014).

Peyton dkk. berpendapat bahwa Teori Asimilasi memiliki

sejumlah kekurangan. Pertama, pendekatan ini mengasumsikan

bahwa ada hubungan antara harapan dan kepuasan, tetapi tidak

menentukan bagaimana cara diskonfirmasi harapan dapat

mengarah pada kepuasan atau ketidakpuasan. Kedua, teori ini juga

menyatakan bahwa konsumen cukup termotivasi untuk

menyesuaikan harapan mereka atau persepsi mereka tentang

kinerja produk. Namun, beberapa peneliti telah menemukan bahwa

mengendalikan kinerja produk yang sebenarnya dapat mengarah

pada hubungan positif antara harapan dan kepuasan. Oleh karena

itu, ketidakpuasan tidak akan pernah terjadi kecuali proses evaluatif

dimulai dengan ekspektasi konsumen yang negatif (Isac & Rusu,

2014).

2) The Theory of Contrast

Jika Teori Asimilasi menegaskan bahwa konsumen akan

berusaha meminimalkan perbedaan harapan dengan kinerja, maka

Teori Kontras bersikeras pada efek kejutan yang dapat membesar-

besarkan perbedaan. Teori ini, pertama kali diperkenalkan oleh

Hovland, dkk. (1957). Menurut Vavra dalam Teori Kontras, setiap

perbedaan pengalaman dari harapan akan dibesar-besarkan ke

arah perbedaan kesenjangan. Jika perusahaan meningkatkan

Page 40: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

32 Nurnaningsih Herya Ulfah

harapan melalui iklannya kemudian pengalaman pelanggan hanya

kurang sedikit saja dari yang dijanjikan, produk/layanan akan ditolak

karena dianggap sama sekali tidak memuaskan. Demikian pula

sebaliknya, komunikasi pemasaran yang tidak menjanjikan dan

penyampaian yang berlebihan akan menimbulkan diskonfirmasi

positif yang berlebihan juga (Isac & Rusu, 2014).

3) The Theory of Assimilation-Contrast

Menurut Hovland, Harvey dan Sherif, Teori Asimilasi-Kontras

disarankan sebagai alternatif lain untuk menjelaskan hubungan

antara variabel dalam model diskonfirmasi. Paradigma ini

menyatakan bahwa kepuasan adalah besarnya perbedaan fungsi

antara kinerja yang diharapkan dan dirasakan. Menurut pendapat

Peyton dkk, secara umum konsumen bergerak dalam area

penerimaan atau penolakan sesuai dengan persepsi mereka.

Seperti yang dinyatakan dalam Teori Asimilasi, pelanggan memiliki

kecenderungan mengasimilasi atau menyesuaikan perbedaan

persepsi kinerja produk dengan tujuan membawa mereka ke tingkat

harapan mereka sebelumnya, tetapi hanya jika perbedaannya

relatif kecil. Hal ini dikarenakan jika terjadi perbedaan yang terlalu

besar antara yang kinerja yang dirasakan dengan harapan, maka

akan menghasilkan efek kontras dan konsumen cenderung

meningkatkan perbedaan yang dirasakan (Isac & Rusu, 2014).

4) The Theory of Negativity

Teori ini juga didasarkan pada proses diskonfirmasi, sama

seperti tiga teori lainnya. Teori ini dikembangkan oleh Carlsmith dan

Aronson (1963) yang menunjukkan bahwa setiap perbedaan kinerja

dari harapan akan mengganggu individu, kemudian menghasilkan

“energi negatif". Anderson berpendapat bahwa ketika harapan

sangat dipertahankan, maka konsumen akan menjawab informasi

apa pun secara negatif. Ketidakpuasan akan terjadi apabila kinerja

yang dirasakan berada di bawah harapan, atau apabila kinerja yang

Page 41: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 33

dirasakan berjalan terlalu berlebihan melampaui harapan (Isac &

Rusu, 2014)

5) The Theory of Hypothesis Testing

Deighton (1983) menyarankan model dua langkah untuk

generasi kepuasan. Pertama, Deighton berhipotesis bahwa

informasi prapembelian (iklan) memainkan peran penting dalam

membangun harapan. Kemudian pelanggan menggunakan

pengalaman mereka dengan produk/layanan untuk menguji

harapan mereka. Kedua, Deighton percaya bahwa pelanggan akan

cenderung untuk mencoba untuk mengkonfirmasi dan bukannya

membatalkan harapan mereka. Teori ini menunjukkan bahwa

pelanggan mengalami bias dalam mengkonfirmasi pengalaman

produk/layanan mereka sehingga pengelolaan bukti menjadi alat

pemasaran yang sangat kuat (Isac & Rusu, 2014).

c. Pentingnya Kepuasan Pasien pada Pelayanan Kesehatan

Kepuasan memainkan peran yang penting dalam

kelangsungan dan keberhasilan hidup suatu perusahaan

(Surydana, 2017). Wirijadinata menyatakan “jika dilakukannya

pengukuran pada tingkat kepuasan pasien, maka akan ada umpan

balik yang sifatnya segera, bermakna, dan objektif dalam

pelayanan” (Antina, 2016). Jika pasien merasa puas berdasarkan

pengalaman masa lalunya, maka pasien tidak akan mudah untuk

berpindah karena adanya stimulasi pada pemasaran (’Aini & Andari,

2016).

Pada layanan medis, Kim, dkk. (2008) mengadopsi dasar

kepuasan pelanggan kemudian menguraikan bahwa kepuasan

pasien adalah penilaian terhadap kinerja yang telah dirasakan.

Bentuk respon yang berkesinambungan terhadap stimulus

berhubungan dengan layanan ketika sebelum, selama, atau setelah

konsumsi layanan medis. Kepuasan pasien berhubungan dengan

seberapa besar harapan pasien dapat dipenuhi oleh layanan medis.

Page 42: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

34 Nurnaningsih Herya Ulfah

Di samping itu, kepuasan pasien juga menjadi faktor kunci dalam

industri pelayanan medis. Penyedia dalam bidang layanan medis

perlu paham tentang harapan pasien kemudian mencoba untuk

memenuhi harapan yang telah dibangun. Hal ini dikarenakan untuk

mencapai tujuan ini, kepuasan pasien dapat digunakan sebagai alat

untuk mengevaluasi kualitas layanan medis. Jadi, dapat diketahui

bahwa kepuasan pasien adalah paspor dalam memperoleh

keuntungan pengaturan rumah sakit dan layanan kesehatan (Lee,

dkk., 2010).

Selain rumah sakit, Puskesmas yang ingin berkembang

diharapkan harus mampu menjaga kesetiaan atau loyalitas

pasiennya melalui upaya pemberian kepuasan. Pasien yang

merasa tidak puas dapat berpindah ke puskesmas lain dengan

anggapan puskesmas lain mampu memberikan kepuasan seperti

diinginkan (’Aini & Andari, 2016). Penyebab terjadinya

ketidakpuasan salah satunya adalah masalah nilai pelanggan.

Menurut Irawan (dalam Ngatmo & Bodroastuti (2012), kepuasan

pelanggan dapat dipengaruhi faktor-faktor selain kualitas

pelayanan, misalnya nilai, harga, kualitas produk dan aspek lain

yang sifatnya pribadi serta sesuai situasi sesaat pada masa itu.

Faktor kepuasan pasien akan sangat berpengaruh terhadap jumlah

pasien yang berkunjung ke puskesmas tersebut. Hal ini tentu akan

menjadikan pasien merasa kecewa dan dapat menciptakan

persepsi citra puskesmas di masyarakat yang tidak bisa

memberikan pelayanan dengan kualitas baik (’Aini & Andari, 2016).

d. Pengukuran Kepuasan Pasien

Pengukuran kepuasan pelanggan merupakan kebutuhan

perusahaan untuk memberikan kemampuan terbaik bagi pelanggan

(Sujani & Harjoko, 2012). Menurut Kotler, pengukuran kepuasan

dapat dilakukan menggunakan beberapa metode dan cara,

diantaranya dengan bertanya langsung tentang kepuasan

Page 43: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 35

pelanggan melalui skala ukur. Responden diminta untuk dapat

memberik peringkat tentang besar harapan terhadap suatu atribut

dan seberapa besar yang dialaminya setelah merasakan. Metode

lain yang dapat dilakukan adalah meminta responden untuk

membuat daftar masalah yang dihadapi kemudian membuat daftar

yang disarankan dalam perbaikan (problem analysis) (Kotler, 2000).

Kotler & Keller (2009) berpendapat terdapat beberapa metode

untuk pengukuran kepuasan pelanggan, yakni: (1) survei secara

periodik; (2) monitoring tingkat hilangnya pelanggan; (3)

perusahaan merekrut orang dalam melakukan mystery shoppers.

Kemudian menurut Kotler & Keller (2012), paling tidak ada empat

metode yang banyak dipergunakan dalam mengukur kepuasan

pelanggan yaitu:

1. Sistem Keluhan dan Saran

Pada metode ini, industri yang berorientasi pelanggan akan

menyediakan intrumen berupa formulir untuk dapat melaporkan

tentang keluhan dan kesukaannya terhadap produk atau jasa

yang disediakan (Wulandari, dkk., 2016). Organisasi

memberikan kesempatan kepada pelanggan untuk mau

mengemukakan keluhan dan saran. Informasi yang diperoleh

dapat memberikan gagasan cemerlang bagi perusahaan.

Gagasan ini memungkinkan perusahaan untuk dapat bereaksi

dengan cepat dan tanggap untuk mengatasi permsalahan yang

muncul (Syukri, 2014). Sarana yang digunakan dapat berupa

kotak saran di tempat yang mudah dijangkau atau sering

dilewati oleh pelanggan. Selain itu, dapat berupa kartu komentar

yang diisi angsung atau bisa dikirim via pos kepada perusahaan,

saluran telepon khusus yang bebas pulsa, dan lain-lain

(Prihastono, 2012).

2. Ghost/Mystery Shopping

Metode ghost shopping juga disebut dengan metode pelanggan

bayangan. Pelanggan bayangan merupakan taktik pemasaran

Page 44: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

36 Nurnaningsih Herya Ulfah

yang dilakukan dengan meminta orang untuk berpura-pura

menyamar menjadi pelanggan dan memberi informasi tentang

titik-titik kuat serta lemah yang dialami ketika membeli produk

dari industri sendiri maupun pesaingnya (Wulandari, dkk.,

2016). Dengan kata lain, organisasi mempekerjakan orang-

orang tersebut untuk berperan sebagai pembeli potensial

kemudian memberi laporan dan informasi temuannya tentang

kekuatan dan kelemahan produk perusahaan dan pesaing yang

didasarkan pada pengalaman pembelian (Syukri, 2014). Di

samping itu, ghost shopper juga dapat mengamati metode

perusahaan dan pesaingnya dalam memberikan pelayanan

terhadap permintaan, menjawab pertanyaan, dan menangani

keluhan pelanggan. Sebaiknya setiap manajer perusahaan

terjun langsung menjadi ghost shopper untuk dapat mengetahui

langsung cara karyawan berinteraksi dan memperlakukan

pelanggannya (Prihastono, 2012).

3. Lost Customer Analysis

Industri dapat melakukan hubungan dengan pelanggan yang

tidak melakukan transaksi pembelian atau berganti penyedia

untuk mengetahui penyebab perpindahan tersebut (Wulandari,

dkk., 2016). Perusahaan dapat menghubungi pelanggan

tersebut dengan tujuan mengetahui dan memahami alasan

kejadian tersebut. Perlu adanya pemantauan customer loss rate

selain adanya exit interview oleh perusahaan. Adanya

peningkatan pada customer loss rate dapat memberikan

informasi kegagalan perusahaan dalam memberikan kepuasan

pada pelanggannya (Syukri, 2014).

4. Survei Kepuasan Pelanggan

Metode ini dipakai ketika penyedia tidak bisa menggunakan

pengaduan sebagai alat ukur kepuasan pelanggan (Wulandari,

dkk., 2016). Secara umum penelitian tentang kepuasan

pelanggan dilakukan melalui penelitian survei, baik melalui

Page 45: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 37

telepon, pos, maupun wawancara secara langsung. Dengan

metode ini perusahaan dapat memperoleh respon langsung dari

pelanggan. Selain itu, juga dapat memberikan sinyal positif

bahwa penyedia layanan memberikan perhatian terhadap para

pelanggannya (Syukri, 2014). Salah satu bentuk survei

kepuasan pelanggan yang saat ini menjadi instrumen tetap

untuk unit penyelenggara pelayanan publik di Indonesia adalah

Survei Kepuasan Masyarakat (SKM).

a. Definisi Survei Kepuasan Masyarakat (SKM)

Menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur

Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 14

Tahun 2017 Tentang Pedoman Penyusunan Survei Kepuasan

Masyarakat Unit Penyelenggara Pelayanan Publik, yang

dimaksud sebagai unit pelayanan publik adalah unit kerja

pelayanan di instansi pemerintah baik secara langsung maupun

tidak langsung memberikan pelayanan kepada penerima

pelayanan.” Sementara pengertian dari Survei Kepuasan

Masyarakat merupakan kegiatan pengukuran kepuasan

masyarakat secara menyeluruh terhadap kualitas layanan

penyelenggara pelayanan khususnya pelayanan publik.

Melakukan Survei Kepuasan Masyarakat dengan mengukur

kepuasan masyarakat pengguna layanan merupakan upaya

wajib yang dilakukan untuk perbaikan pelayanan publik. SKM

wajib dilakukan secara berkala oleh Penyelenggara pelayanan

publik minimal satu kali setahun. Berdasarkan survei ini, akan

diperoleh Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM). IKM dapat

dikatakan sebagai angka hasil pengukuran dari SKM. Angka

IKM akan berbentuk skala mulai dari skala satu sampai dengan

skala empat.

Page 46: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

38 Nurnaningsih Herya Ulfah

b. Unsur Survei Kepuasan Masyarakat (SKM)

Unsur Survei Kepuasaan Masyarakat merupakan unsur-

unsur yang menjadi indikator untuk mengukur kepuasan

masyarakat mengenai pelayanan publik yang telah dilakukan

oleh pihak penyelenggara. Berikut merupakan penjelasan dari

mengenai unsur Survei Kepuasan Masyarakat. Unsur SKM

yang digunakan adalah sebagai berikut.

a. Persyaratan

Persyaratan merupakan syarat yang wajib terpenuhi dalam

proses pengurusan pelayanan tertentu, baik dari segi

administratif maupun teknis.

b. Sistem, Mekanisme, dan Prosedur

Prosedur merupakan aturan pelayanan yang sudah bersifat

baku untuk penerima maupun pemberi layanan, dimana

pengaduan keluhan juga termasuk aspek ini.

c. Waktu Penyelesaian

Waktu Penyelesaian adalah lamanya waktu yang diperlukan

dalam menyelesaikan semua proses setiap macam

pelayanan.

d. Biaya/Tarif*

Biaya/Tarif adalah ongkos yang dibebankan pada penerima

layanan (dimana nilainya merupakan kesepakatan dari

masyarakat dan pihak penyelenggara pelayanan) karena

memperoleh pelayanan dari pihak penyelenggara.

e. Produk Spesifikasi Jenis Pelayanan

Aspek ini bisa dikatakan sebagai keluaran dari hasil

pelayanan yang diterima oleh penerima dan diberikan oleh

pihak penyelenggara sesuai ketentuan yang telah ada.

Produk ini adalah keluaran dari setiap spesifikasi macam

pelayanan.

Page 47: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 39

f. Kompetensi Pelaksana**

Kompetensi pelaksana adalah kemampuan pelaksana yang

wajib dimiliki dimana terdiri dari pengalaman, keterampilan,

pengetahuan, dan keahlian.

g. Perilaku Pelaksana **

Perilaku Pelaksana merupakan perilaku petugas dalam

penyampaian pelayanan.

h. Penanganan Pengaduan, Saran dan Masukan

Aspek ini dapat dikatakan sebagai tata aturan

penyelenggaraan dari penanganan pengaduan serta

langkah tindak lanjutnya.

i. Sarana dan prasarana

Sarana merupakan media yang digunakan sebagai alat

dalam pencapaian tujuan dan maksud yang dimiliki.

Sedangkan prasarana merupakan semua hal yang dapat

dijadikan sebagai alat penunjang pokok penyelenggaraan

proses tertentu (proyek, pembangunan, usaha). Sarana

ditujukan untuk barang yang dapat bergerak, seperti mesin

dan komputer. Sedangkan prasarana didefinisikan untuk

barang yang tidak dapat bergerak (misalnya gedung).

Catatan:

* Unsur ke 4 dapat diisi dengan pertanyaan yang berbeda

apabila dalam peraturan-perundangan dinyatakan bahwa

pelayanan gratis atau tidak dikenakan biaya apapun.

Misalnya UU menyatakan pembuatan KTP gratis.

** Unsur ke 6 dan Unsur ke 7 dapat diubah dengan

pertanyaan yang berbeda apabila jenis layanan berbasis

website.

j. Instrumen Survei Kepuasan Masyarakat (SKM)

Survei Kepuasan Masyarakat menggunakan alat bantu

berupa daftar pertanyaan untuk mengumpulkan data kepuasan

Page 48: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

40 Nurnaningsih Herya Ulfah

dari masyarakat yang sudah menerima pelayanan. Pada

kuesioner yang telah digunakan, bentuk pilihan ganda dapat

menjadi alternatif dalam merancang jawaban dari setiap

pertanyaan unsur pelayanan. Selain pilihan ganda, pilihan

jawaban yang tersedia juga dapat dibuat menjadi kualitatif agar

tingkat mutu pelayanan yang diterima konsumen dapat

tercermin dengan jelas. Kualitas pelayanan dikategorikan

menjadi tingkatan sangat baik/sangat puas hingga tidak

baik/tidak puas. Untuk pilihan jawaban dikategorikan menjadi

empat, yaitu sebagai berikut.

1. Tidak baik, disimbolkan dengan nilai persepsi 1

2. Kurang baik, disimbolkan dengan nilai persepsi 2

3. Baik, disimbolkan dengan nilai persepsi 3

4. Sangat baik, disimbolkan dengan nilai persepsi 4

k. Pengolahan Data Survei Kepuasan Masyarakat (SKM)

Langkah pengolahan data Survei Kepuasan Masyarakat

terdiri dari beberapa langkah. Langkah pertama dimulai dengan

memberi nilai setiap unsur pertanyaan. Nilai ini dapat dihitung

dengan perhitungan "nilai rata-rata tertimbang" dari setiap unsur

pelayanan yang ada. Pada perhitungan SKM ini, setiap unsur

pelayanan memiliki nilai penimbang yang sama. Untuk

mendapatkan nilai penimbang, kita dapat menggunakan rumus

sebagai berikut.

𝑩𝒐𝒃𝒐𝒕 𝒏𝒊𝒍𝒂𝒊 𝒓𝒂𝒕𝒂 − 𝒓𝒂𝒕𝒂 𝒕𝒆𝒓𝒕𝒊𝒎𝒃𝒂𝒏𝒈 = 𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒃𝒐𝒃𝒐𝒕

𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒖𝒏𝒔𝒖𝒓=

𝟏

𝟗= 𝟎, 𝟏𝟏

Nilai Survei Kepuasan Masyarakat dari unit pelayanan

yang ada dapat diperoleh melalui pendekatan dari nilai rata-rata

tertimbang. Berikut merupakan rumus dari nilai rata-rata

tertimbang.

Page 49: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 41

𝑺𝑲𝑴

= 𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝑵𝒊𝒍𝒂𝒊 𝑷𝒆𝒓𝒔𝒆𝒑𝒔𝒊 𝑷𝒆𝒓 𝑼𝒏𝒔𝒖𝒓

𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝑼𝒏𝒔𝒖𝒓 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝑻𝒆𝒓𝒊𝒔𝒊 𝑿 𝑵𝒊𝒍𝒂𝒊 𝑷𝒆𝒏𝒊𝒎𝒃𝒂𝒏𝒈

Hasil penilaian IKM berkisar antara angka 25-100. Nilai

dasar dari konversi hasil penilaian ini telah disepakati sebesar

25 agar interpretasi penilaian menjadi lebih mudah. Berikut

rumus yang digunakan untuk menentukan Indeks Kepuasan

Masyarakat.

SKM Unit Pelayanan x 25

Unsur-unsur dalam SKM memang terdiri dari sembilan

unsur pokok yang telah ditetapkan. Namun, tidak menutup

kemungkinan unsur-unsur tersebut dapat ditambah sesuai

dengan kebutuhan penyelenggara layanan. Penambahan unsur

yang berkesinambungan dan relevan dengan karakteristik unit

pelayanan sangat mungkin dilakukan karena adanya perbedaan

karakteristik yang dimiliki unit-unit pelayanan. Sembilan unsur

pelayanan yang ada juga dapat diberikan bobot dengan nilai

yang berbeda dengan syarat jumlah seluruh bobot harus tetap 1.

Berikut merupakan tabel Nilai Persepsi, Nilai Interval, Nilai

Interval Konversi, Mutu Pelayanan dan Kinerja Unit Pelayanan.

Tabel 3. Nilai Persepsi, Nilai Interval, Nilai Interval Konversi, Mutu

Pelayanan dan Kinerja

Unit Pelayanan

Nilai

Persepsi

Nilai

Interval

(NI)

Nilai Interval

Konversi

(NIK)

Mutu

Pelayanan

Kinerja Unit

Pelayanan

1 1,00 -

2,5996

25,00 – 64,99 D Tidak Baik

2 2,60 -

3,064

65,00-76,60 C Kurang Baik

3 3,0644 -

3,532

76,61- 88,30 B Baik

Page 50: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

42 Nurnaningsih Herya Ulfah

Nilai

Persepsi

Nilai

Interval

(NI)

Nilai Interval

Konversi

(NIK)

Mutu

Pelayanan

Kinerja Unit

Pelayanan

4 3,5324 -

4,00

88,31 – 100,00 A Sangat Baik

Tabel di atas menunjukkan bahwa untuk mendapatkan hasil

kinerja Unit Pelayanan, Instansi harus terlebih dahulu mengolah

hasil nilai persepsi. Berdasarkan hasil nilai persepsi yang telah

diperoleh, akan dikategorikan berdasarkan Nilai Interval. Setelah

diketahui nilai intervalnya, instansi harus mengonversikan nilai

tersebut berdasarkan NIK. Berdasarkan NIK tersebut, maka instansi

dapat mengetahui kategori mutu pelayanan dan kinerja mereka.

Format dari Kuesioner Survei Kepuasan Masyarakat akan disajikan

pada Lampiran 1.

5. Loyalitas Pasien

a. Pengertian Loyalitas

Definisi loyalitas memiliki banyak variasi dalam

perkembangannya. Oliver (1999) mengemukakan loyalitas sebagai

komitmen pelanggan untuk secara konsisten membeli atau bisa

dikatakan berlangganan produk/pelayanan tertentu di masa

mendatang (Rai & Srivastava, 2012). Jaishankar, Arnorld dan Kristy

(2000) mendeskripsikan loyalitas sebagai pembelian produk secara

berulang, terjadinya retensi, ketidaksensitivitasan terhadap harga,

dan tidak terpengaruh dengan produk pesaing (Rai & Srivastava,

2012).

Lovelock dan Wright (2007) mengemukakan definisi loyalitas

sebagai keputusan untuk terus berlangganan yang sukarela dibuat

oleh pelanggan dalam jangka waktu lama dengan suatu

perusahaan (Priansa, 2017:215). Griffin (2009) menyatakan fokus

loyalitas adalah pada perilaku daripada sikap (Nuridin, 2018:21).

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, kita dapat menarik

Page 51: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 43

kesimpulan bahwa loyalitas dianggap sebagai komitmen konsumen

terhadap produk atau pelayanan tertentu untuk melakukan

pemanfaatan secara berulang dan terjadi pada jangka waktu yang

lama.

Ukuran loyalitas pasien adalah pengganti kepuasan pelanggan

dan ukuran kualitas pelayanan karena proses ini adalah langkah

pertama dalam meningkatkan hubungan pasien-penyedia. Hal ini

dapat diartikan bahwa kepuasan adalah tentang ukuran dari yang

dikatakan orang dan tentang ukuran apa yang mereka lakukan

sebenarnya. Oleh karena itu, selalu ada alasan kuat terkait dengan

loyalitas dan adanya respon yang bagus jika pasien puas (Chahal,

2008:46).

Konsumen yang loyal ditandai dengan pembelian dan

penggunaan layanan secara berulang dalam jangka waktu lama.

Mereka yang loyal terhadap suatu layanan akan membeli produk

atau jasa di luar lini, secara teratur melakukan pembelian,

merekomendasikan ke orang lain, kebal dengan tarikan persaingan

produk lain dengan jenis yang sama, dan sesekali mentolerir

kesalahan yang dilakukan (Griffin & Lowenstein, 2001:23).

b. Manfaat Loyalitas

Kartajaya (2003) menyatakan loyalitas merupakan bentuk

akumulasi individu untuk memiliki, membangun hubungan, dan

menciptakan emotional attachment (Priansa, 2017:216). Konsumen

loyal merupakan aset potensial karena berdaya beli serta membuat

perusahaan mendapat keuntungan. Adanya penurunan konsumen

perusahaan yang beralih sejumlah 5%, memiliki makna bahwa

perusahaan mampu meningkatkan keuntungan 25%-85% di

berbagai industri. Selain itu, mayoritas pembelian dilakukan oleh

konsumen loyal, yakni sebesar 70% (Priansa, 2017:215-216).

Griffin (2009) mengemukakan manfaat loyalitas, yaitu 1)

pengurangan dalam biaya untuk transaksi, misal seperti kontrak,

pemprosesan pesanan, dan negosiasi; 2) biaya untuk turn over

Page 52: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

44 Nurnaningsih Herya Ulfah

pelanggan dapat ditekan karena jumlah pelanggan yang berpindah

dari perusahaan relatif sedikit; 3) Dapat ditingkatkannya Cross

selling atau penjualan silang di mana kemungkinan pelanggan loyal

untuk mengkonsumsi produk lain perusahaan semakin tinggi

sehingga dapat memperluas pangsa pasar; dan 4) mengurangi

biaya kegagalan untuk memperoleh pelanggan baru. W. Reinartz

dan V. Kumar Tahun 2012 menambahkan manfaat loyalitas, yaitu

sebagai berikut 1) lebih murahnya biaya untuk melayani pelanggan

loyal, 2) kesediaan pelanggan yang loyal untuk membayar dengan

mahal karena adanya jaminan kualitas, dan 3) pelanggan yang loyal

dapat membantu pemasaran perusahaan melalui word of mouth

sehingga biaya pemasaran dapat ditekan (Priansa, 2017:214-216).

Berdasarkan uraian ini dapat diketahui loyalitas sangat

berpengaruh terhadap kesetiaan pelanggan lama untuk

mempertahankan posisi perusahaan.

c. Pengukuran Loyalitas

Loyalitas pelanggan menjadi cerminan niat berperilaku atau

intended behavior pelanggan terhadap suatu produk/jasa. Niat

berperilaku meliputi pembaharuan kontrak jasa atau sebaliknya,

kemungkinan pembelian berulang di masa depan serta

kemungkinan pelanggan beralih ke penyedia layanan lain

(Wijayanti & Andriyanto, 2016:43). Berikut adalah pengukuran

loyalitas pelanggan melalui perkembangan dimensi-dimensinya.

1) Satu Dimensi Loyalitas

Dalam perkembangannya, dimensi loyalitas mengalami

berbagai perubahan. Pada Tahun 1970-an loyalitas didefinisikan

sebagai total dari pembelian atau dikatakan bahwa loyalitas hanya

dilihat dari segi hasil (pembelian secara berulang) dan tidak melihat

alasan yang mendasari perilaku tersebut (Taghipourian & Bakhsh,

2015:48). Namun konsep satu dimensi ini memiliki keterbatasan

karena pendekatan perilaku dianggap tidak cukup untuk

Page 53: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 45

menjelaskan bagaimana cara loyalitas dibangun dan dikelola

(Darsono, 2004:165).

2) Dua Dimensi Loyalitas

Konsep baru tentang loyalitas diusulkan Day. Menurutnya

loyalitas terdiri dari dua dimensi, yaitu perilaku (behavioral) dan

sikap (attitude). Hal ini disebabkan aspek tunggal dalam satu

dimensi loyalitas, yakni pembelian berulang tidak cukup untuk

menunjukkan loyalitas. Pernyataan ini didasarkan pada kenyataan

bahwa pelanggan mungkin hanya bersifat acuh tak acuh dalam

pembelian. Selain itu, juga pembelian berulang disebabkan biaya

perubahan tinggi karena beberapa kondisi (Taghipourian & Bakhsh,

2015:49).

Alasan lain yang menjadi dasar untuk memasukkan sikap

pelanggan dalam mendefinisikan konsep loyalitas adalah sikap

dianggap perlu dan bermanfaat untuk membuat perbedaan antara

pelanggan dengan loyalitas sikap dan orang yang tidak loyal. Di

samping itu, untuk mengidentifikasi klien yang paling rentan untuk

mengubah perilaku mereka, definisi perilaku sederhana tidak

menjelaskan penyebab proses ini. Meskipun kesetiaan diukur oleh

perilaku, pada kenyataannya itu adalah tentang sikap. Tanpa

hubungan yang berkelanjutan dengan klien dan tanpa umpan balik

langsung, kebutuhannya, sikapnya, intensitasnya tidak dapat

dipahami (Bobâlcă, 2013:105).

Gambar 6. Dua Dimensi Loyalitas

Sumber: Taghipourian & Bakhsh (2015:49)

Loyalty

Behavioral

loyalty

Attitudinal

loyalty

What

custo

mer

does

How

custo

mer

does

Page 54: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

46 Nurnaningsih Herya Ulfah

Loyalitas sebagai perilaku (behavioral loyalty) dapat diukur

melalui perilaku pembelian di mana pelanggan secara aktif membeli

serta melakukan pembelian sebagai pelanggan tetap. Sikap loyal

(attitudinal loyalty) dapat kita ukur dari kepercayaan, perasaan,

preferensi pembelian di mana pelanggan berkomitmen dan memiliki

preferensi tinggi terhadap produk (Priansa, 2017:219). Sikap loyal

dapat diukur dengan berdasar pada intensitas pembelian ulang dan

rekomendasi kepada orang lain yang dilakukan oleh pelanggan.

Pelanggan yang loyal akan selalu membeli ulang barang-jasa pada

perusahaan yang sama. Selain itu, mereka juga akan memberikan

informasi positif yang mereka miliki dari mulut ke mulut ke orang lain

sebagai pihak potensial (Wijayanti & Andriyanto, 2016:43).

Dalam perkembangannya diketahui bahwa loyalitas pelanggan

memiliki empat dimensi. Akan tetapi, diantara dimensi satu sampai

empat diketahui loyalitas dengan dua dimensi memiliki tingkat

validitas tinggi ketika digunakan. Hal ini karena menurut Jones dan

Taylor meskipun terdapat konsesus bahwa loyalitas adalah multi-

dimensional, tetapi dasar-dasar teoretis untuk konstruk loyalitas

pelayanan multi-dimensi masih kurang dan pemeriksaan empiris

tentang kelangkaan dimensionalitasnya. Oleh karena itu, Jones dan

Taylor berupaya menguraikan dimensi loyalitas pelayanan dengan

loyalitas dalam psikologi.

Penelitian yang dilakukan Jones dan Taylor menemukan

bahwa delapan respons pelanggan yang berbeda mencerminkan

dua dimensi, yaitu elemen perilaku dan elemen kognitif

gabungan/sikap. Elemen perilaku terdiri dari niat pembelian

kembali, niat beralih, dan niat pembelian eksklusif. Elemen sikap

terdiri dari kekuatan pelanggan dalam preferensi, advokasi,

altruisme, kesediaan untuk membayar lebih, dan identifikasi dengan

penyedia pelayanan. Representasi loyalitas dua dimensi ini

konsisten untuk tiga jenis pelayanan yang diteliti.

Page 55: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 47

Konseptualisasi dua dimensi sejalan dengan dominasi literatur

dalam psikologi yang berfokus pada "tindakan pemeliharaan pro-

hubungan". Hal ini menunjukkan bahwa terlepas dari target (teman,

pasangan, penyedia pelayanan), loyalitas pada dasarnya, apa yang

disebut Oliver sebagai “apa yang dilakukan orang” (loyalitas

perilaku) dan makna psikologis dari hubungan tersebut (loyalitas

kognitif/sikap). Di samping itu, penelitian ini memberikan bukti

empiris bahwa loyalitas pelayanan dimanifestasikan baik secara

perilaku maupun sikap oleh Dick & Basu (Jones, Taylor, & Jones,

2007:45).

3) Tiga Dimensi

Pembaruan teori oleh Dick & Basu (1994) berisi tentang

loyalitas yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu respon kognitif,

emosional, serta perilaku (Taghipourian & Bakhsh, 2015).

Pembaruan ini disebabkan pendekatan pada dimensi perilaku dan

sikap tidak memperoleh hasil yang maksimal di beberapa bidang

seperti bisnis atau dalam tiga komponen utama pemasaran, yaitu

rekomendasi, pencarian, dan retensi. Dengan konsep tiga dimensi

ini diketahui bahwa loyalitas bukan konsep tunggal atau dua

dimensi, tetapi merupakan konstruksi multi-dimensi yang rumit.

Berdasarkan hal ini dalam pendekatan tiga dimensi, loyalitas terdiri

dari pikiran dan perasaan konsumen terhadap merek yang

dimanifestasikan sebagai tindakan (Taghipourian & Bakhsh,

2015:49).

Gambar 7. Tiga Dimensi Loyalitas

Sumber: Taghipourian & Bakhsh (2015:49)

Cognitive loyalty

Behavioral loyalty

Affective loyalty

Page 56: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

48 Nurnaningsih Herya Ulfah

Dengan cara ini, loyalitas sikap disusun sebagai struktur dua

dimensi sederhana termasuk komponen bentuk loyalitas kognitif

dan emosional. Komponen ini digunakan untuk

mengimplementasikan pembangunan pemahaman tentang

loyalitas merek sebagai konsep umum. Ketika struktur dua dimensi

dan loyalitas perilaku ini berkumpul, pandangan tiga dimensi

tentang loyalitas merek terbentuk, seperti yang ditunjukkan pada

Gambar 8. (Taghipourian & Bakhsh, 2015:49).

4) Empat Dimensi

Dari tiga dimensi, Oliver (1999) memperluas loyalitas menjadi

hingga empat dimensi, yaitu afektif, kognitif, konatif, dan loyalitas

perilaku. Oliver menyatakan bahwa tahap pertama adalah tahap

kognitif yang diawali ketika seseorang melihat kualitas dan dirasa

lebih menguntungkan dibandingkan alternatif lain. Kognisi dapat

mengacu pada informasi yang didapat sebelumnya atau bekas

maupun pengalaman terkini dari suatu merek. Setelah itu, saat

pelanggan merasa puas dengan penggunaannya, itu menjadi

bagian dari pengalaman dan menjadi manifestasi emosional atau

afektif. Tahap selanjutnya adalah konatif, yang didefinisikan

sebagai rencana ulang untuk membeli suatu merek tertentu lagi.

Sementara tahap terakhir adalah tahap tidakan di mana pelanggan

memiliki kesiapan dalam mengatasi kemungkinan hambatan

penggunaan produk (Taghipourian & Bakhsh, 2015:49-50).

d. Jenis Loyalitas

Dick & Basu melakukan pengintegrasian loyalitas dari dua

perspektif, yaitu perspektif perilaku dan sikap. Hasil yang diperoleh

kemudian dibentuk menjadi satu model yang komprehensif

(Priansa, 2017:219). Berikut adalah pengintegrasian yang

dilakukan dan menghasilkan empat jenis loyalitas.

Page 57: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 49

Repeat Purchase

High Low

Strong Loyals Latent

Loyalty

Weak Spurious

Loyalty No Loyalty

Gambar 8. Model Dua Dimensi Loyalitas Konsumen

Sumber: Priansa, 2017:220

Gambar 9 menjelaskan bahwa terdapat empat situasi yang menjadi

kemungkinan terjadinya loyalitas, yakni spurious loyalty, no loyalty,

loyalty, dan latent loyalty (Priansa, 2017:219).

a. No loyalty apabila pelanggan memiliki kecenderungan prefensi,

komitmen, dan pembelian berulang produk yang rendah

terhadap produk yang dihasilkan perusahaan.

b. Latent loyaly apabila komitmen dan preferensi pelanggan tinggi

pada perusahaan, tetapi pembelian berulang produk rendah.

c. Spurious loyalty terjadi ketika pelanggan memiliki komitmen dan

preferensi yang rendah terhadap produk perusahaan, tetapi

melakukan pembelian berulang secara aktif.

d. Loyal yang terjadi ketika pelanggan memiliki prefensi,

komitmen, dan pembelian berulang produk yang tinggi terhadap

suatu perusahaan.

e. Faktor yang Berhubungan dengan Loyalitas

Anteseden loyalitas terdiri dari beberapa faktor yang telah

dipelajari secara luas dalam literatur pemasaran seperti kepuasan

pelanggan, persepsi kualitas layanan, persepsi biaya perilaku

beralih, komitmen, dan program loyalitas. Selain faktor yang telah

diketahui secara luas, diperlukan adanya faktor penunjang lain

untuk mengetahui pelanggan yang benar-benar loyal untuk

akhirnya mencapai kesuksesan pasar. Faktor lain tersebut dapat

Relative

Attitude

Page 58: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

50 Nurnaningsih Herya Ulfah

berupa nilai yang dirasakan pelanggan, keterlibatan pelanggan,

merek dan citra perusahaan, kepercayaan pelanggan, manfaat

relasional, pengalaman merek, hubungan antara pelanggan dan

karyawan, dan keterlibatan karyawan sebagai penentu loyalitas

yang mungkin (Abu-Alhaija, Hashim, Nerina, & Jaharuddin,

2018:108).

Pemilihan faktor yang berhubungan dengan loyalitas harus

bergantung terutama pada sifat penelitian dan konteks layanan

untuk memberikan hasil pemasaran dan kesimpulan yang valid.

Misalnya ketika pengukuran loyalitas didasarkan pada kepuasan

dan nilai yang dirasakan pelanggan. Mayoritas pengukuran

terhadap loyalitas hanya berfokus pada emosi dan pengalaman

positif, sedangkan pengaruh emosi negatif dan kepuasan

pelanggan terhadap loyalitas hanya mendapat sedikit perhatian.

Kondisi ini seharusnya diukur secara menyeluruh dengan

melakukan pengamatan emosi dan pengalaman negatif, seperti,

ketakutan, penyesalan, dan kebosanan untuk mencapai

pemahaman tambahan tentang perilaku dan loyalitas pelanggan

sehingga dapat diketahui pentingnya pengaruh faktor ini secara

keseluruhan (Abu-Alhaija, Hashim, Nerina, & Jaharuddin,

2018:108).

6. Hasil- Hasil Penelitian Brand Equity dan Loyalitas Pasien

Berikut merupakan beberapa penelitian yang meneliti tentang

variabel Brand Equity dan Loyalitas.

1. Hanaysha (2016) dalam judul “The Importance of Social Media

Advertisements in Enhancing Brand Equity: A Study on Fast

Food Restaurant Industry in Malaysia” meneliti tentang variabel

Social Media Advertisements, dan Brand Equity (Brand Loyalty,

Brand Image, Brand Preference, and Brand Leadership)

berdasarkan teori dari Jin dkk. (2012), Park (2009), Gil dkk.

(2007), Hameed (2013), Sirgy dkk. (1997), dan Hanaysha &

Page 59: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 51

Hilman (2015). Jenis penelitian yang digunakan adalah

penelitian kuantitatif dalam bentuk survei dengan menggunakan

Uji Structural Equation Modelling. Penelitian ini berhasil

membuktikan bahwa ada hubungan yang signifikan antara

social media advertisements dengan Brand Image (p-value

<0.01), social media advertisements dengan Brand Loyalty (p-

value<0.05), social media advertisements dengan brand

preference (p-value<0,001), social media advertisements

dengan brand leadership (p-value<0.05), dan social media

advertisements dengan brand Equity (p-value<0.05).

2. Rahi (2016) dalam judul “Impact of Customer Value, Public

Relations Perception and Brand Image on Customer Loyalty in

Services Sector of Pakistan”, meneliti tentang variabel

Customer Value, Public Relations Perception, Brand Image dan

Customer Loyalty berdasarkan teori dari Devellis (1991),

Zeithaml, dkk. (1996), Park, dkk. (1986), Levesque & McDougall

(1996). Jenis penelitian yang digunakan adalah pendekatan

Positivism paradigm dengan menggunakan Uji Pearson dan Uji

Regresi Berganda. Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa

ada hubungan yang signifikan antara Public relations perception

dan customer loyalty dengan p-value= 0,000, Customer Value

dengan customer loyalty dengan p-value= 0,000, dan Brand

Image dengan customer loyalty dengan p-value= 0,023.

3. Djumarno, Sjafar, & Djamaluddin (2017) dalam judul “The Effect

of Brand Image, Product Quality, and Relationship Marketing on

Customer Satisfaction and Loyalty”, meneliti tentang variabel

Brand Image, Product Quality, Relationship Marketing,

Customer Satisfaction dan Loyalty. Jenis penelitian yang

digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan

Uji Univariat, Bivariat (Pearson), dan Multivariat (Regresi Linier

Berganda). Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa pada α

=0,05, variabel-variabel ini memiliki hubungan yang signifikan

Page 60: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

52 Nurnaningsih Herya Ulfah

dengan Customer Satisfaction yaitu Brand Image (p-value=

0,030), Product Quality (p-value=0,000), dan Relationship

Marketing (p-value= =0,000). Kemudian, penelitian ini juga

membuktikan bahwa variabel-variabel berikut memiliki

hubungan yang signifikan dengan Loyalty yaitu Brand Image (p-

value=0.000), Product Quality (p-value= 0,001), Relationship

Marketing (p-value=0.001), dan Customer Satisfaction (p-

value=0.043).

4. Gordon & James (2017) dalam judul “The Impact of Brand

Equity Drivers on Consumer-based Brand Equity in the Sport

Service Setting”, meneliti tentang variabel Brand Awareness,

Brand Associations, Brand Superiority, Brand Affect dan Brand

Resonance berdasarkan gabungan teori dari Yoo, Donthu, &

Lee (2000) untuk Brand Awareness, Aaker (1991) untuk Brand

Associations, Keller (2003) untuk Brand Superiority, Fuller,

Matzler, & Hoppe (2008) untuk Brand Affect dan Keller (2003)

untuk Brand Resonance. Jenis penelitian yang digunakan

adalah penelitian korelasional dengan jenis penelitian survey

dengan menggunakan Analisis Jalur. Hasil penelitian ini

membuktikan bahwa beberapa variabel memiliki hubungan

yang signifikan, yaitu Brand Awareness dengan Brand

Association (p-value<0,01), Brand Affect dengan Brand

Resonance (p-value<0,01), serta Brand Associations dengan

Brand Superiority (p-value<0,01) dan Brand Affect (p-

value<0,01). Namun, ada juga beberapa variabel yang tidak

berhubungan signifikan yaitu Brand Association dengan Brand

Resonance (p-value >0,01) dan Brand Superiority dengan

Brand Resonance (p-value >0,01).

5. Shabbir, Khan, & Khan (2017) dalam judul “Brand Loyalty,

Brand Image And Brand Equity: The Mediating Role Of Brand

Awareness”, meneliti tentang variabel Brand Loyalty, Brand

Image, Brand Equity dan Brand Awareness berdasarkan teori

Page 61: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 53

dari Severi & Ling (2013) serta Sasmita & Suki (2014). Jenis

penelitian yang digunakan adalah penelitian korelasional

dengan jenis penelitian survey dengan menggunakan Uji

Structural Equation Modelling. Penelitian ini berhasil

membuktikan bahwa masing-masing dari Brand Loyalty dan

Brand Image memiliki pengaruh positif pada Brand Awareness

dengan β = 0,336 dan β = 0,205 dan Brand Awareness secara

penuh memediasi hubungan antara Brand Loyalty dan Brand

Image pada brand Equity. Hal ini karena hubungan di atas

memiliki nilai β yang lebih tinggi daripada hubungan Brand

Loyalty dan Brand Image pada brand Equity dengan β = 0,252

dan β = 0,074.

6. Armadani, Supriyadi, & Ulfah (2018) dalam judul “Hubungan

Brand Equity (Brand Awareness, Brand Associations, Perceived

Quality) dengan Keputusan Pemanfaatan Klinik Laktasi di

Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan”, meneliti tentang

variabel Brand Equity (Brand Awareness, Brand Associations,

Perceived Quality) dan Keputusan Pemanfaatan Klinik Laktasi

berdasarkan teori dari Zen (2012) untuk variabel Brand Equity

(Brand Awareness, Brand Associations, Perceived Quality).

Jenis penelitian yang digunakan adalah kuantitatif korelasional

dengan menggunakan Uji Bivariat (Pearson), dan Multivariat

(Regresi Linier Berganda). Penelitian ini berhasil membuktikan

bahwa pada α =0,05, variabel Brand Awareness, Brand

Associations, Perceived Quality memiliki hubungan yang

signifikan dengan Keputusan Pemanfaatan Klinik Laktasi

dengan menghasilkan p-value sebesar 0,419, 0,359, dan 0,517.

Kemudian variabel Brand Awareness, Brand Associations,

Perceived Quality dengan Keputusan Pemanfaatan Klinik

Laktasi secara bersama-sama menghasilkan p-value sebesar

0,080, 0,001, dan 0,001.

Page 62: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

54 Nurnaningsih Herya Ulfah

7. Marintan (2018) dalam judul “Hubungan Kesadaran Merek dan

Citra Merek dengan Loyalitas Pasien Poliklinik Kesehatan Ibu

dan Anak (KIA) di Rumah Sakit Ibu dan Anak Muhammadiyah

Kota Malang”, meneliti tentang variabel kesadaran merek, citra

merek dan loyalitas pasien berdasarkan teori dari Keller (2013)

untuk variabel kesadaran merek, dan citra merek. Jenis

penelitian yang digunakan adalah obervasional analitik yang

bersifat kuantitatif dengan menggunakan Uji Univariat, Bivariat

(Chi Square), dan Multivariat (Regresi Logistik Ordinal

Berganda). Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa pada α

=0,05, variabel kesadaran merek dan citra merek masing-

masing memiliki hubungan yang signifikan dengan loyalitas

dengan menghasilkan p-value sebesar 0,048 dan 0,001.

8. Rather, Tehseen, & Parrey (2018) dalam judul “Promoting

Customer Brand Engagement and Brand Loyalty Through

Customer Brand Identification and Value Congruity”, meneliti

tentang variabel Brand Engagement, Brand Loyalty, Customer

Brand Identification dan Value Congruity berdasarkan

gabungan teori social identity’s theories dari Tajfel & Turner

(1979), Customer–Brand Identification dari Bhattacharya & Sen

(2003); Rather (2017), serta Customer–Brand Engagement

Harrigan dkk. (2017); Islam dkk. (2017); Rather (2018). Jenis

penelitian yang digunakan adalah penelitian korelasional

dengan jenis penelitian survey research dengan menggunakan

Uji Confirmatory Faktor Analysis dan Structural Equation

Modelling. Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa ada

pengaruh yang signifikan antara Value Congruity dengan

Customer–Brand Identification (p-value<0.001), Customer–

Brand Engagement (p-value<0.001), dan Affective Brand

Commitment (p-value<0.001), Customer–Brand Identification

dengan Customer–Brand Engagement (p-value<0.001),

Customer–Brand Identification dengan Brand Loyalty (p-

Page 63: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 55

value<0.001) dan Affective Brand Commitment dengan Brand

Loyalty (p-value<0.001).

9. Muslima (2019) dalam judul “Hubungan Kesadaran Merek dan

Kualitas Pelayanan dengan Loyalitas Pasien di Unit Rawat

Jalan Puskesmas Rampal Celaket Kota Malang”, meneliti

tentang variabel kesadaran merek, kualitas pelayanan dan

loyalitas pasien berdasarkan gabungan teori dari Keller (2013)

untuk variabel kesadaran merek, Dabholkar, dkk. (1996) untuk

variabel kualitas pelayanan dan Parasuraman, dkk. (1996)

untuk variabel loyalitas. Jenis penelitian yang digunakan adalah

penelitian korelasional dengan jenis penelitian survey research

dengan menggunakan Uji Univariat, Bivariat (Spearman Rank

(Rho)), dan Multivariat (Regresi Logistik Ordinal). Penelitian ini

berhasil membuktikan bahwa pada α =0,1, variabel kesadaran

merek dan kualitas pelayanan masing-masing memiliki

hubungan yang signifikan dengan loyalitas dengan

menghasilkan nilai p-value sebesar 0,000. Kemudian variabel

citra merek, nilai pelanggan dengan kepuasan secara bersama-

sama menghasilkan p-value sebesar 0,000.

10. Nurdhini (2019) dalam judul “Hubungan Citra Merek dan Nilai

Pelanggan dengan Kepuasan Pasien di Unit Rawat Jalan

Puskesmas Rampal Celaket Kota Malang”, meneliti tentang

variabel citra merek, nilai pelanggan dan kepuasan pasien

berdasarkan gabungan teori dari Keller (2013) untuk variabel

citra merek dan Sweeney & Soutar (2001) untuk variabel nilai

pelanggan. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian

kuantitatif yang bersifat korelasional dengan menggunakan Uji

Univariat, Bivariat (Spearman Rank (Rho)), dan Multivariat

(Regresi Logistik Ordinal). Penelitian ini berhasil membuktikan

bahwa pada α =0,1, variabel citra merek dan nilai pelanggan

masing-masing memiliki hubungan yang signifikan dengan

kepuasan dengan menghasilkan nilai p-value sebesar 0,000.

Page 64: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

56 Nurnaningsih Herya Ulfah

Kemudian variabel citra merek, nilai pelanggan dengan

kepuasan secara bersama-sama menghasilkan p-value

sebesar 0,001 dan 0,000.

Page 65: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 57

DAFTAR REFERENSI

’Aini, Y., & Andari, E. (2016). Analisis Kualitas Pelayanan terhadap

Kepuasan Pasien Berobat di Puskesmas Pembantu Desa

Pasir Utama. Jurnal Ilmiah Cano Ekonomos, 5(1), 81–88.

Aaker, D. A. (1991). Manajemen Ekuitas Merek, Memanfaatkan

Nilai dari Suatu Merek. Jakarta: Mitra Utama.

Aaker, D. A. (1996). Measuring Brand Equity Across Products and

Markets. California Management Review, 38(3).

Abu-Alhaija, A. S., Hashim, H., Nerina, R., & Jaharuddin, N. S.

(2018). Determinants of Customer Loyalty: A Review and

Future Directions. Australian Journal of Basic and Applied

Sciences, 12(7), 106–111.

Antina, R. R. (2016). Analisis Kualitas Pelayanan terhadap

Kepuasan Pasien Peserta BPJS di Puskesmas Pandian

Kabupaten Sumenep. Jurnal Penelitian Administrasi Publik, 2

No 2, 567–576.

Armadani, F. N., Supriyadi, & Ulfah, N. H. (2018). Hubungan Brand

Equity (Brand Awarenees, Brand Associations, Perceived

Quality) dengan Keputusan Pemanfaatan Klinik Laktasi di

Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan. Preventia : The

Indonesian Journal Of Public Health, 3(1).

Bobâlcă, C. (2013). Study of Customers’ Loyalty: Dimensions and

Facets. Management & Marketing, 9(1), 105–114.

Buil, I., Martínez, E., & de Chernatony, L. (2013). The Influence of

Brand Equity on Consumer Responses. Journal of Consumer

Marketing, 30(1), 62–74.

https://doi.org/10.1108/07363761311290849

Page 66: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

58 Nurnaningsih Herya Ulfah

Chahal, H. (2008). Predicting Patient Loyalty and Service Quality

Relationship: A Case Study Of Civil Hospital, Ahmedabad,

India. VISION - The Journal of Business Perspective, 12(4),

45–55.

Darsono, L. I. (2004). Loyalty & Disloyalty: Sebuah Pandangan

Komprehensif dalam Analisa Loyalitas Pelanggan. KINERJA,

8(2), 163–173.

Djumarno, Sjafar, O., & Djamaluddin, S. (2017). The Effect of Brand

Image, Product Quality, and Relationship Marketing on

Customer Satisfaction and Loyalty. International Journal of

Business Marketing and Management, 2(10), 2456–4559.

Retrieved from www.ijbmm.com

Durmaz, Y., Çavuşoğlu, S., & Özer, Ö. (2018). The Effect of Brand

Image and Brand Benefit on Customer Loyalty : The Case of

Turkey. International Journal of Academic Research in

Business & Social Sciences, 8(5), 528–540.

https://doi.org/10.6007/IJARBSS/v8-i5/4140

Esch, F.-R., Langner, T., Schmitt, B. H., & Geus, P. (2006). Are

Brands Forever ? How Brand Knowledge and Relationships

Affect Current and Future Purchases. Journal of Product &

Brand Management, 15(2), 98–105.

https://doi.org/10.1108/10610420610658938

Etlidawati, & Handayani, D. Y. (2017). Hubungan Kualitas Mutu

Pelayanan Kesehatan dengan Kepuasan Pasien Peserta

Jaminan Kesehatan Nasional. Universitas Muhammadiyah

Purwokerto, Jawa Tengah. 15(3), 142–147.

Farid, & Faridha, S. (2017). Pengaruh Corporate Branding terhadap

Keputusan Pembelian dengan Ekuitas Merek sebagai Variabel

Mediasi pada Rumah Sakit Ibu dan Anak Kota Banda Aceh.

Jurnal Manajemen Dan Inovasi, 8(2), 134–156.

Page 67: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 59

Farjam, S., & Hongyi, X. (2015). Reviewing the Concept of Brand

Equity and Evaluating Consumer- Based Brand Equity (CBBE)

Models. International Journal of Manajenement Science and

Business Administration, 1(8), 14–29.

https://doi.org/10.18775/ijmsba.1849-5664-5419.2014.1

Ferrinadewi, E. (2008). Merek dan Psikologi Konsumen.

Yogyakarta: Graha Ilmu.

Fuller, J., Matzler, K., & Hoppe, M. (2008). Brand Community as A

Source of Innovation. Journal of Product Innovation

Management, 25(8), 608–619. Retrieved from

https://doi.org/10.1111/j.1540-5885.2008.00325.x

Gordon, B. S., & James, J. D. (2017). The Impact of Brand Equity

Drivers on Consumer-based Brand Equity in the Sport Service

Setting. International Journal of Business Administration, 8(3),

55. https://doi.org/10.5430/ijba.v8n3p55

Griffin, J., & Lowenstein, M. W. (2001). Customer Win Back: How to

Recapture Lost Customers and Keep Them Loyal. San

Fransisco: Jossey-Bass.

Hanaysha, J. (2016). The Importance of Social Media

Advertisements in Enhancing Brand Equity: A Study on Fast

Food Restaurant Industry in Malaysia. International Journal of

Innovation, Management and Technology, 7(2), 46–51.

https://doi.org/10.18178/ijimt.2016.7.2.643

Isac, F. L., & Rusu, S. (2014). Theories of Consumer’s Satisfaction

and the Operationalization of the Expectation Disconfirmation

Paradigm. Annals of the „Constantin Brâncuşi” University of

Târgu Jiu, Economy Series, 2(2), 82–88.

Jones, T., Taylor, S. F., & Jones, T. (2007). Emerald Article: The

Conceptual Domain of Service Loyalty: How Many The

Page 68: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

60 Nurnaningsih Herya Ulfah

Conceptual Domain of Service Loyalty: How Many

Dimensions ? Journal of Service Marketing, 21(1), 36–51.

https://doi.org/10.1108/08876040710726284

Juhana, D., Manik, E., Febrinella, C., & Sidharta, I. (2015). Empirical

Study on Patient Satisfaction and Patient Loyalty on Public

Hospital in Bandung, Indonesia. IJABER, 13(6), 4305–4326.

Kalampokis, E., Karamanou, A., Tambouris, E., & Tarabanis, K.

(2016). Applying Brand Equity Theory to Understand

Consumer. Journal of Universal Computer Science, 22(5),

709–734.

Keller, K. L. (1993). Conceptualizing, Measuring, and Managing

Customer-Based Brand Equity. Journal of Marketing, 57(1), 1–

22.

Keller, K. L. (2003). Strategic Brand Management: Building,

Measuring, and Managing Brand Equity Second Edition.

(Second edi). New Jersey: Pearson Education, Inc.,.

Keller, K. L. (2009). Building Strong Brands in A Modern Marketing

Communications Environment Journal of Marketing

Communications, 15, 139–155.

https://doi.org/10.1080/13527260902757530

Keller, K. L. (2013). Strategic Brand Management “Building,

Measuring, and Managing Brand Equity” Fourth Edition (4th

ed.). United States: Pearson Education, Inc.,.

Khosravizadeh, O., Vatankhah, S., & Maleki, M. R. (2017). A

Systematic Review of Medical Service Branding: Essential

Approach to Hospital Sector. Ann Trop Med Public Health, 10,

1137–1146. Retrieved from

http://www.atmph.org/text.asp?2017/10/5/1137/217522

Kim, Y., Cho, C.-H., Ahn, S.-K., Goh, I.-H., & Kim, H.-J. (2008). A

Page 69: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 61

Study on Medical Services Quality and It's Influence upon

Value of Care and Patient Satisfaction – Focusing upon

Outpatients in A Large-Sized Hospital. Total Quality

Management & Business Excellence, 19(11). Retrieved from

https://doi.org/10.1080/14783360802323594

Kotler, P. (2000). Marketing Management: Analysis, Planning,

Implementation, and Control, (9th ed.). Upper Saddle River, Nj:

Prentice Hall, Ins.

Kotler, P., & Keller, K. L. (2009). Manajemen Pemasaran Edisi 13

(13th ed.). Jakarta: Erlangga.

Kotler, P., & Keller, K. L. (2012). Manajemen Pemasaran Jilid I (12th

ed.). Jakarta: Erlangga.

Lee, W., Chen, C., Chen, T., & Chen, C. (2010). The Relationship

Between Consumer Orientation, Service Value, Medical Care

Service Quality and Patient Satisfaction : The Case of A

Medical Center in Southern Taiwan. African Journal of

Business Management, 4(April), 448–458. Retrieved from

http://www.academicjournals.org/app/webroot/article/article13

80708875_Lee dkk.pdf

Maghfiroh, L. (2017). Pengaruh Brand Image, Customer Perceived

Value, dan Customer Experience terhadap Kepuasan Pasien.

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes, VIII, 225–231.

Matthews, D. R. (2014). An Exploration of Brand Equity

Antecedents Concerning Brand Loyalty : A Cognitive,

Affective, and Conative Perspective. Journal of Business and

Retail Management Research (JBRMR), 9(1), 26–39.

Moisescu, O. I. (2005). The Concept of Brand Equity - A

Comparative Approach. The Impact of European Integration on

The National Economy. Romania: Editura Risoprint.

Page 70: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

62 Nurnaningsih Herya Ulfah

Ngatmo, & Bodroastuti, T. (2012). Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Kepuasan Pelanggan pada PT. Sido Muncul

Semarang. Jurnal Kajian Akuntansi Dan Bisnis, 1(1), 1–25.

Nugroho, I. S., & Rochmah, T. N. (2013). Analisis Pengaruh Brand

Equity Terhadap Keputusan Masyarakat dalam Memilih

Rumah Sakit Muhammadiyah Surabaya. Jurnal Administrasi

Kesehatan Indonesia, 1(2004), 147–155.

Nuridin. (2018). Effect of Service Quality and Quality of Products to

Customer Loyalty with Customer Satisfaction as Intervening

Variable in PT. Nano Coating Indonesia. International Journal

of Business and Applied Social Science (IJBASS) VOL:, 4(1),

19–31.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun

2013 Tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan

Kesehatan Nasional. (2013).

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi

Birokrasi Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2017 Tentang

Pedoman Penyusunan Survei Kepuasan Masyarakat Unit

Penyelenggara Pelayanan Publik.

Priansa, D. J. (2017). Perilaku Konsumen dalam Persaingan Bisnis

Kontemporer. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Prihastono, E. (2012). Pengukuran Kepuasan Konsumen pada

Kualitas Pelayanan Customer Service Officer (CSO). Dinamika

Mesin, 6(1), 14–24. Retrieved from

https://www.unisbank.ac.id/ojs/index.php/ft1/article/download/

1140/690

Rahi, S. (2016). Impact of Customer Value, Public Relations

Perception and Brand Image on Customer Loyalty in Services

Sector of Pakistan. Arabian Journal of Business and

Page 71: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 63

Management Review, 2016. https://doi.org/10.4172/2223-

5833.1000S2:004

Rai, A. K., & Srivastava, M. (2012). Customer Loyalty Attributes : A

Perspective. XXII(November), 49–76.

Rather, R. A., Tehseen, S., & Parrey, S. H. (2018). Promoting

Customer Brand Engagement and Brand Loyalty Through

Customer Brand Identification and Value Congruity. Spanish

Journal of Marketing - ESIC, 22(3), 321–341.

https://doi.org/10.1108/SJME-06-2018-0030

Ridwan, I., & Saftarina, F. (2015). Pelayanan Fasilitas Kesehatan :

Faktor Kepuasan dan Loyalitas Pasien. Majority, 4(9), 20–26.

Romadona, M. R. (2012). Perluasan Brand sebagai Strategi

Branding Peningkatan Reputasi Rumah Sakit. Jurnal

Psikologi, 8, 27–39.

Shabbir, M. Q., Khan, A. A., & Khan, S. R. (2017). Brand Loyalty,

Brand Image, and Brand Equity: the Mediating Role of Brand

Awareness. International Journal of Innovation and Applied

Studies, 19(2), 416–423.

Sujani, & Harjoko, I. E. (2012). Pengaruh Brand Equity dan

Customer Value terhadap Customer Satisfaction Rumah Sakit.

Jurnal Ekonomi dan Keuangan, 18 Nomor 4(80), 470–486.

Sukiarti, L., H, L. B., & Haryono, A. T. (2016). Merek dan Kualitas

Merek terhadap Ekuitas Merek, Hand & Body Lotion Vaseline

(Studi Kasus di Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang).

Journal Of Management, 2(2).

Sumarni. (2018). Pengaruh Brand Equity Terhadap Minat

Pemanfaatan Kembali Pelayanan pada Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar. Indonesian Journal of

Hospital Administration, 1(1), 1–10.

Page 72: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

64 Nurnaningsih Herya Ulfah

Surydana, L. (2017). Service Quality, Customer Value and Patient

Satisfaction on Public Hospital in Bandung District, Indonesia.

International Review of Management and Marketing, 7(2),

187–192. Retrieved from http:www.econjournals.com

Syukri, S. H. A. (2014). Penerapan Customer Satisfaction Index

(CSI) dan Analisis Gap Pada Kualitas Pelayanan Trans Jogja.

Jurnal Ilmiah Teknik Industri, 13(2), 103–111.

Taghipourian, M. J., & Bakhsh, M. M. (2015). Loyalty: From Single-

Stage Loyalty to Four-Stage Loyalty. International Journal of

New Technology and Research (IJNTR), 1(6), 48–51.

Tiwari, A., Tiwari, A., & Yaseen, M. (2016). Study of Brand Equity &

It's Components in a Tertiary Care Super Specialty Teaching

Hospital. IOSR Journal of Business and Management (IOSR-

JBM), 18(2), 15–21.

Tjiptono, F. (2005). Pemasaran Jasa (Pertama). Malang: Bayu

Media Publisher.

Tjokroaminoto, J., & Kunto, Y. S. (2014). Analisa Pengaruh Brand

Image dan Company Image terhadap Loyalitas Retailer Studi

Kasus PT Asia Paramita Indah. Jurnal Manajemen Pemasaran

Petra, 2(1), 1–11.

Tsai, M.-T., Tsai, C.-L., & Chang, H.-C. (2010). The Effect of

Customer Value, Customer Satisfaction, and Switching Costs

on Customer Loyalty: An Empirical Study of Hypermarkets in

Taiwan. Social Behavior and Personality: An International

Journal, 38(6), 729–740.

https://doi.org/10.2224/sbp.2010.38.6.729

Tumpal, J., & Hasugian, M. (2015). Pengaruh Brand Image dan

Brand Trust terhadap Brand Loyalty Telkomsel. E-Journal Ilmu

Administrasi Bisnis, 3(4), 923–937.

Page 73: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 65

Wijayanti, R. Y., & Andriyanto, I. (2016). Pengaruh Harapan,

Kepuasan dan Sarana Fisik terhadap Loyalitas Pelanggan

(Studi Kasus pada Usaha Jasa Warnet di Kudus). BISNIS,

4(2), 36–58.

Wu, C. (2011). The Impact of Hospital Brand Image on Service

Quality, Patient Satisfaction and Loyalty. African Journal of

Business Management, 5(12), 4873–4882.

https://doi.org/10.5897/AJBM10.1347

Wulandari, Y., Hernawan, D., & Purnamasari, I. (2016). Sistem

Pengelolaan Pengaduan dalam Meningkatkan Kepuasan

Pelanggan Pada PDAM Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor.

Governansi, 2(1), 111–119.

Yoo, B., Donthu, N., & Lee, S. (2000). An Examination of Selected

Marketing Mix Elements and Brand Equity. Journal of the

Academy of Marketing Science, 28(2), 195–211.

Zen, D. K. M. (2012). Analisis Pengaruh Ekuitas Merek Terhadap

Keputusan Pembelian Konsumen Minuman Isotonik Pocari

Sweat (Studi Pada Mahasiswa Fakultas Ekonomika Dan Bisnis

Universitas Diponegoro Semarang. Skripsi.

Page 74: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

66 Nurnaningsih Herya Ulfah

Lampiran

Lampiran 1. Format Kuesioner Survei Kepuasan Masyarakat

II. PENDAPAT RESPONDEN TENTANG PELAYANAN

(Lingkari kode huruf sesuai jawaban masyarakat/responden)

1. Bagaimana pendapat

Saudara tentang

kesesuaian persyaratan

pelayanan dengan jenis

pelayanannya?

a. Tidak sesuai

b. Kurang sesuai

c. Sesuai

d. Sangat sesuai

1

2

3

4

2. Bagaimana pemahaman

Saudara tentang

kemudahan prosedur

pelayanan di unit ini?

a. Tidak mudah

b. Kurang mudah

c. Mudah

d. Sangat mudah

1

2

3

4

3. Bagaimana pendapat

Saudara tentang

kecepatan waktu dalam

memberikan pelayanan?

a. Tidak cepat

b. Kurang cepat

c. Cepat

d. Sangat cepat

1

2

3

4

4. Bagaimana pendapat

Saudara tentang

kewajaran biaya/tarif

dalam pelayanan?

a. Sangat mahal

b. Cukup mahal

c. Murah

d. Gratis

1

2

3

4

5. Bagaimana pendapat

Saudara tentang

kesesuaian produk

pelayanan antara yang

tercantum dalam standar

1

Page 75: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 67

pelayanan dengan hasil

yang diberikan?

a. Tidak sesuai

b. Kurang sesuai

c. Sesuai

d. Sangat sesuai

2

3

4

6. Bagaimana pendapat

Saudara tentang

kompetensi/kemampuan

petugas dalam

pelayanan?

a. Tidak kompeten

b. Kurang kompeten

c. Kompeten

d. Sangat kompeten

1

2

3

4

7. Bagaimana pendapat

Saudara perilaku petugas

dalam pelayanan terkait

kesopanan dan

keramahan petugas?

a. Tidak sopan dan

ramah

1

2

3

4

b. Kurang sopan dan

ramah

c. Sopan dan ramah

d. Sangat sopan dan

ramah

8. Bagaimana pendapat

Saudara tentang kualitas

sarana dan prasarana?

a. Buruk

b. Cukup

c. Baik

d. Sangat Baik

1

2

3

4

9. Bagaimana pendapat

Saudara tentang

penanganan pengaduan

pengguna layanan?

a. Tidak ada

b. Ada tapi tidak

berfungsi

c. Berfungsi kurang

maksimal

d. Dikelola dengan

baik

1

2

3

4

Page 76: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

68 Nurnaningsih Herya Ulfah

INDEKS

affective brand commitment,

49

altruisme, 41

anteseden, 44

asimilasi, 27

behavioral outcomes, 20

brand affect, 46

brand associations, 16, 46,

47, 52

brand attachment, 20

brand dominance, 13

brand engagement, 48, 55

brand equity, 8, 9, 10, 13, 14,

15, 20, 21, 22, 23, 24, 45,

47, 50, 52, 53, 54, 55, 56,

57

brand experience, 7

brand image, 16, 45, 46, 52,

54, 55, 56, 57

brand leadership, 45

brand satisfaction, 20

brand knowledge, 13, 15, 20

brand opinion, 13

brand personality, 12

brand relationship, 20

brand trust, 20

brand preference, 45

brand resonance, 46

brand superiority, 46

company based brand equity,

50

confirmatory faktor analysis,

48

corporate brand, 1, 50

cross selling, 38

customer based brand equity,

15, 50

customer brand identification,

48, 56

customer loss rate, 32

customer satisfaction, 46, 52,

55, 56, 57

customer value, 45, 55, 56,

57

diskonfirmasi, 27, 28, 29

disonansi, 27

emotional attachment, 38

empiris, 41

exit interview, 32

favorability of brand

association, 17

financial based brand equity,

50

ghost shopping, 32

interval konversi, 36, 37

intangible, 8

intensitas distribusi, 19

kognisi, 43

konatif, 43

Page 77: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Brand Equity dan Loyalitas Pasien di Indonesia 69

latent loyalty. lihat loyalitas

loyal, 10, 19, 38, 40, 44, 50,

51

loyalitas, 1, 5, 7, 8, 9, 10, 11,

13, 19, 30, 37, 38, 39, 40,

41, 42, 43, 44, 48, 49, 50,

51

manifestasi, 43

mystery shoppers, 31

nilai rata-rata tertimbang, 35,

36

no loyalty, 51, lihat loyalitas

organizational associations,

12

preventif, 1

price premium, 11

promotif, 1

provider, 6

recall. lihat brand awareness

recognition. lihat brand

awareness

rehabilitatif, 1

perceived quality, 10, 11, 47,

52

perspektif, 12, 20, 23, 50

positivism paradigm, 46

relationship marketing, 46, 52

representasi, 41

retensi, 8, 37, 42

social media advertisements,

45

spurious loyalty, 51 lihat

loyalitas

stakeholder, 8

strenght of brand association,

17

structural equation modelling,

45, 47, 48

top of mind. lihat brand

awareness

turn over, 38

unaware of brand. lihat brand

awareness

uniqueness of brand

association, 18

value congruity, 48, 56

word of mouth, 39, 51

Page 78: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

70 Nurnaningsih Herya Ulfah

BIOGRAFI

Penulis yang lahir pada Tahun 1988 merupakan alumni dari

program sarjana FKM Universitas Jember dan program magister

FKM Universitas Airlangga Surabaya Jawa Timur. Saat ini

mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi di College of

Public Health, Chulalongkorn University Thailand. Sejak Tahun

2014, Penulis bergabung menjadi staf pengajar di Jurusan

Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Malang dan memiliki

keahlian dibidang Administrasi Kebijakan Kesehatan dengan

interest area pada health insurance, brand equity dan POAC

program kesehatan, selain itu isu terkait higiene sanitasi dan

pengolahan sampah dan limbah juga sangat menarik bagi penulis

untuk dipelajari. Sampai Tahun 2019, Penulis beberapa kali

mendapatkan kesempatan menjadi ketua maupun anggota dari tim

pengabdian masyarakat dengan sumber dana dari Kementrian

Riset dan Teknologi maupun dari Fakultas Ilmu Keolahragaan UM

dengan topik pengabdian adalah pilot project higiene sanitasi,

Waste Treatment Cycle (WTC), Occupational Health

Implementation dan pengolahan sampah TPS. Sampai saat ini

penulis berusaha mengembangkan research dan pengabdian

masyarakat pada topik-topik yang menjadi interest area penulis

dikaitkan dengan isu-isu terbaru untuk diselesaikan.

Page 79: Penulis: Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M

Penerbit: Wineka Media

Anggota IKAPI No.115/JTI/09

Jl. Palmerah XIII N29B, Vila Gunung Buring Malang 65138

Telp./Faks : 0341-711221

Website: http://www.winekamedia.com

E-mail: [email protected]

Playstore: Wineka Media

Nurnaningsih Herya Ulfah,S.KM.,M.Kes lahir

di Mojokerto, 4 juni 1988. Bekerja di

Universitas Negeri Malang sebagai dosen.

Riwayat Pendidikan S1 di Univeritas Negeri

Jember dan Pendidkan S2 di Universitas

Airlangga Surabaya.

Terselesaikannya penulisan buku ini tidak lepas dari bantuan

beberapa pihak. Atas kontribusi tersebut, kami ucapkan

banyak terima kasih kepada Tim Penyusun dan pihak-pihak

yang telah membantu. Semoga amalnya diterima Allah

sebagai amal jariyah dan buku ini dapat bermanfaat bagi

setiap lapisan masyarakat.

Meskipun telah berusaha untuk menghindarkan kesalahan,

penulis menyadari juga bahwa kesalahan dan kekurangan

buku ini pasti ditemukan. Oleh karena itu, penulis berharap

agar pembaca berkenan memberikan kritik, saran dan

masukan untuk perbaikan dan penyempurnaan pada edisi

berikutnya. Akhir kata, penulis berharap agar buku ini dapat

membawa manfaat kepada pembaca. Penulis berharap

semoga buku ini dapat memberikan inspirasi dan gambaran

bagi pembaca untuk lebih memahami tentang Brand Equity.