PENINGKATAN PAJAK DAERAH DI MASA OTONOMI DAERAH DI …

22
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal 181 JAP Vol. 1 No.2, Desember 2013 PENINGKATAN PAJAK DAERAH DI MASA OTONOMI DAERAH DI KOTA MEDAN PROVINSI SUMATERA UTARA Julius Fitriadi Barus Pemerintah kota Medan Jl. Kapten Maulana Lubis No. 2 Medan Kariono Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik-USU Jl. Prof. A. Sofyan No. 1 Kampus USU Medan 20155 [email protected] ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- ABSTRAK Penelitian ini difokuskan pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah di Kota Medan, dengan maksud untuk melihat sejauh mana keberhasilan peningkatan Pendapatan Asli Daerah dalam rangka otonomi daerah sehingga diperoleh peningkatan kualitas pelayanan pemerintah yang memuaskan dan menguntungkan masyarakat. Metode penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data dan informasi diperoleh dari sumber data, dokumen, dan studi kepustakaan. Data yang diperoleh diolah, selanjutnya ditafsirkan dan diperoleh temuan penelitian. Dari hasil penelitian ini menunjukan, bahwa PAD Kota Medan dalam empat tahun terakhir (2008-2011) menunjukkan efektivitas pemungutan Pendapatan Asli Daerah selama tahun anggaran 2008 sampai dengan tahun 2011 secara rata-rata mencapai sasaran yang telah ditetapkan (target tercapai) yakni sebesar 101,12%. Tingkat efektivitas yang tertinggi terjadi pada tahun 2009 sebesar 113,25%, dan Tingkat Efektivias yang terendah terjadi pada tahun 2011 sebesar 89,18 %. Kontribusi Pajak Daerah terhadap PAD selama tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 secara rata-rata yakni sebesar 53% yang berarti bahwa Pajak Daerah berperan besar dalam peningkatan PAD. Pajak daerah yang paling besar pendapatannya adalah Pajak Penerangan Jalan dan pendapatan yang terendah adalah Pajak Parkir. Kata kunci : Peningkatan, Pajak Daerah, PAD, Otonomi Daerah. AN INCREASE IN LOCAL TAXES IN THE AUTONOMOUS REGION IN THE PROVINCE OF NORTH SUMATRA CITY FIELD ABSTRACT This study focused on increasing original income in Medan, with a view to see the extent of the increase in regional revenue in the context of regional autonomy in order to obtain an increase in the quality of government services that satisfy and benefit society. This research method is descriptive qualitative approach. Data and information obtained from a source of data, documents, and literature study. The data obtained were processed, interpreted and obtained further research findings. From the results of this study indicate that the PAD field in the last four years (2008-2011) demonstrated the effectiveness of regional revenue collection for fiscal year 2008 to 2011 on average achieve the targets (target achieved) which is equal to 101, 12%. The highest level of effectiveness that occurred in 2009 amounted to 113.25%, and the lowest level of Efektivias which occurred in 2011 at 89.18%. Local Tax contribution to revenue during the year 2008 to 2011 on average, ie by 53% which means that the Regional Tax plays a major role in increasing revenues. The greatest local tax revenue is tax revenue of street lighting and the lowest is parking tax. Keywords: Improvement, Local Taxes, PAD, Autonomy.

Transcript of PENINGKATAN PAJAK DAERAH DI MASA OTONOMI DAERAH DI …

Page 1: PENINGKATAN PAJAK DAERAH DI MASA OTONOMI DAERAH DI …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

181 JAP Vol. 1 No.2, Desember 2013

PENINGKATAN PAJAK DAERAH DI MASA OTONOMI DAERAH DI KOTA MEDAN PROVINSI SUMATERA UTARA

Julius Fitriadi Barus

Pemerintah kota Medan Jl. Kapten Maulana Lubis No. 2 Medan

Kariono

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik-USU Jl. Prof. A. Sofyan No. 1 Kampus USU Medan 20155

[email protected] -----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

ABSTRAK

Penelitian ini difokuskan pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah di Kota Medan, dengan maksud untuk melihat sejauh mana keberhasilan peningkatan Pendapatan Asli Daerah dalam rangka otonomi daerah sehingga diperoleh peningkatan kualitas pelayanan pemerintah yang memuaskan dan menguntungkan masyarakat. Metode penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data dan informasi diperoleh dari sumber data, dokumen, dan studi kepustakaan. Data yang diperoleh diolah, selanjutnya ditafsirkan dan diperoleh temuan penelitian. Dari hasil penelitian ini menunjukan, bahwa PAD Kota Medan dalam empat tahun terakhir (2008-2011) menunjukkan efektivitas pemungutan Pendapatan Asli Daerah selama tahun anggaran 2008 sampai dengan tahun 2011 secara rata-rata mencapai sasaran yang telah ditetapkan (target tercapai) yakni sebesar 101,12%. Tingkat efektivitas yang tertinggi terjadi pada tahun 2009 sebesar 113,25%, dan Tingkat Efektivias yang terendah terjadi pada tahun 2011 sebesar 89,18 %. Kontribusi Pajak Daerah terhadap PAD selama tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 secara rata-rata yakni sebesar 53% yang berarti bahwa Pajak Daerah berperan besar dalam peningkatan PAD. Pajak daerah yang paling besar pendapatannya adalah Pajak Penerangan Jalan dan pendapatan yang terendah adalah Pajak Parkir. Kata kunci : Peningkatan, Pajak Daerah, PAD, Otonomi Daerah.

AN INCREASE IN LOCAL TAXES IN THE AUTONOMOUS REGION IN THE PROVINCE OF

NORTH SUMATRA CITY FIELD

ABSTRACT This study focused on increasing original income in Medan, with a view to see the extent of the increase in regional revenue in the context of regional autonomy in order to obtain an increase in the quality of government services that satisfy and benefit society. This research method is descriptive qualitative approach. Data and information obtained from a source of data, documents, and literature study. The data obtained were processed, interpreted and obtained further research findings. From the results of this study indicate that the PAD field in the last four years (2008-2011) demonstrated the effectiveness of regional revenue collection for fiscal year 2008 to 2011 on average achieve the targets (target achieved) which is equal to 101, 12%. The highest level of effectiveness that occurred in 2009 amounted to 113.25%, and the lowest level of Efektivias which occurred in 2011 at 89.18%. Local Tax contribution to revenue during the year 2008 to 2011 on average, ie by 53% which means that the Regional Tax plays a major role in increasing revenues. The greatest local tax revenue is tax revenue of street lighting and the lowest is parking tax. Keywords: Improvement, Local Taxes, PAD, Autonomy.

Page 2: PENINGKATAN PAJAK DAERAH DI MASA OTONOMI DAERAH DI …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

JAP Vol. 1 No.2, Desember 2013 182

PENDAHULUAN Otonomi Daerah merupakan upaya

pemberdayaan daerah dalam pengambilan keputusan daerah secara leluasa dan bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya yang dimiliki sesuai kepentingan, prioritas, dan potensi daerah sendiri. Tujuan otonomi daerah adalah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antara daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan publik agar lebih efesien dan responsif terhadap kebutuhan, potensi maupun karakteristik didaerah masing-masing.

Berlakunya kebijakan otonomi daerah sejak 1 Januari 2001, sistem pemerintahan mengalami perubahan yang mendasar. Penyelenggaraan seluruh bidang pemerintahan kecuali politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, keadilan, moneter, dan fiskal menjadi wewenang pemerintah pusat. Pemerintah kabupaten/kota mendapat kewenangan yang lebih luas untuk menggali sumber-sumber penerimaan untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ( APBD), dengan sejumlah wewenang itu pemerintah daerah dituntut untuk mengembangkan perekonomian daerah.

Pelaksanaan pembangunan daerah diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan pendayagunaan potensi-potensi yang dimiliki secara optimal. Dalam melaksanakan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan daerah tentu memerlukan biaya yang cukup besar. Agar pemerintah daerah dapat mengurus rumah tangganya sendiri dengan sebaik-baiknya, maka perlu diberikan sumber-sumber pembiayaan yang cukup. Tetapi mengingat tidak semua sumber-sumber pembiayaan dapat diberikan kepada daerah, maka pemerintah daerah diwajibkan untuk menggali segala sumber-sumber keuangannya sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai salah satu sumber penerimaan daerah sebelumnya kurang mendapat perhatian, keadaan ini disebabkan ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Sumber dana pembangunan daerah

sebagian besar diperoleh dari pemerintah pusat sementara kewenangan pemerintah daerah dalam mengatur penggunaan dana tersebut relative terbatas.

Seperti yang diketahui selama ini khususnya daerah kabupaten/ kota banyak tergantung pada pemerintah pusat, berbagai bantuan diberikan oleh pemerintah pusat untuk mendorong ekonomi pemerintah daerah. Untuk itu semenjak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah dituntut memiliki kejelian, inovasi dan kreatifitas dalam melihat dan menggali sumber-sumber potensial dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Karena menurut Moneyzar Usman (2006:2),

“Pendapatan Asli Daerah dalam kerangka otonomi daerah memegang peranan penting terutama untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran publik”.

Pihak pemerintah daerah senantiasa harus mengembangkan serta memberdayakan potensi di daerahnya dengan mengoptimalkan sumber daya yang ada di daerah agar siap mengantisipasi era globalisasi.

Realisasi Pendapatan Asli Daerah yang semakin meningkat akan mendorong kemandirian daerah dalam membiayai penyelenggaraan pemerintah dan pelaksanaan pembangunan. Untuk lebih mempermudah pembangunan di daerah, perlu kiranya ditetapkan prioritas pembangunan melalui kebijakan-kebijakan tentang prioritas pembangunan dan kebijaksanaan tentang anggaran, karena kebijaksanaan ini akan membantu pemerintah daerah untuk menentukan target pembangunan yang dilaksanakan. Demikian juga kebijakan mengenai anggaran akan membantu pemerintah daerah dalam mengontrol masalah keuangan daerah dan sebagai alat untuk mempengaruhi peningkatan pendapatan daerah. Selain itu untuk mendukung peningkatan Pendapatan Asli Daerah sendiri, maka diperlukan kebijakan daerah melalui penetapan peraturan daerah. Sehingga tujuan akhir pemanfaatan Pendapatan Asli Daerah untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan ekonomi dapat tercapai.

Setelah diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan. Beberapa peraturan

Page 3: PENINGKATAN PAJAK DAERAH DI MASA OTONOMI DAERAH DI …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

183 JAP Vol. 1 No.2, Desember 2013

perundangan-undangan yang dikeluarkan antara lain : 1. Undang–undang Nomor 32 Tahun 2004

Tentang Pemerintahan Daerah. 2. Peraturan Pemerintah No. 105 tahun

2000 tentang Pengolahan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah.

5. Kepemendagri No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan. Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Keuangan daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD. Pelaksanakan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD.

Dengan pelaksanaan otonomi daerah, kinerja pemerintah sangat penting untuk dilihat dan diukur. Keberhasilan suatu pemerintah di era otonomi daerah dapat dilihat dari berbagai ukuran kinerja yang telah dicapainya. Pengelolaan anggaran berdasarkan kinerja ini memberikan gambaran yang lebih khusus terkait dengan kemampuan suatu daerah untuk selalu menggali potensi daerah guna meningkatkan anggaran pendapatan, yang akan berdampak pada kemampuan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan pembangunan daerah.

Dengan proporsi semacam itu, daerah dapat secara leluasa menjalankan hak otonominya, sebaliknya terbatasnya sumber PAD dalam membiayai pembangunan di daerah menunjukan rendahnya kemampuan otonomi daerah tersebut.

Kota Medan Sebagai salah satu daerah otonomi berstatus kota di propinsi Sumatera Utara memiliki banyak potensi yang dapat digali untuk dapat dijadikan sumber pendapatan dari berbagai sektor. Perekonomian Kota Medan digerakkan oleh sektor tersier dan sekunder secara dominan yaitu sektor perdagangan/hotel/restoran, telekomunikasi dan transportasi, dan industri pengolahan yang dapat meningkatkan PAD. Namun pada kenyataannya sumber penerimaan/pendapatan terbesar Kota Medan adalah Dana Perimbangan dari

Pemerintah Pusat dan PAD-nya masih sangat kecil.

Dari uraian yang telah dikemumakan pada latar belakang maka dalam hal ini penulis membuat perumusan masalah agar jelas serta memberikan arah dalam penulisan ini yaitu “ Apa saja sumber-sumber Pajak Daerah dan strategi apa yang dilakukan Pemko Medan dalam Peningkatan Pajak Daerah di Kota Medan”

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Administrasi dan Manajemen Pemerintahan

Sukarna (1990:1), mengemukakan bahwa "Kata administrasi berasal dari bahasa latin Ad = berarti intensif dan ministrate = berarti melayani, membantu, memenuhi. Jadi, Administrasi berarti melayani, membantu secara intensif".

Menurut Handayaniningrat (1990:2), pengertian administrasi dapat dibedakan dalam dua pengertian, yaitu : 1. Administrasi dalam arti sempit, yaitu dari

kata administratie yang meliputi kegiatan; catat-mencatat, surat menyurat, pembukuan ringan, ketik mengetik, agenda dan sebagainya yang bersifat teknis ketatausahaan (clerical work).

2. Administrasi dalam arti luas berasal dari kata administration, yaitu suatu proses yang pada umumnya terdapat pada semua usaha kelompok, negara atau swasta, sipil atau militer, usaha yang besar atau kecil dan sebagainya.

Selanjutnya H. A. Simon (dalam Handayaniningrat, 1990:2) memberikan defenisi adminstrasi "sebagai suatu kegiatan dari pada kelompok yang mengadakan kerjasama untuk menyelesaikan tujuan bersama".

Kata adminstrasi dan manajemen mempunyai pengertian yang saling kait mengkait satu sama lain. Jelasnya, mempelajari ilmu manajemen berarti mempelajari ilmu administrasi, demikian pula sebaliknya.

Berkaitan dengan pernyataan diatas, mengutip pendapat Howard M. Carlisle (dalam Sutopo, 1998:15), bahwasanya "Manajemen adalah proses pengintegrasian, pengkoordinasian dan/atau pemanfaatan elemen-elemen

Page 4: PENINGKATAN PAJAK DAERAH DI MASA OTONOMI DAERAH DI …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

JAP Vol. 1 No.2, Desember 2013 184

suatu kelompok untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien".

Secara ringkas, H. Koontz & O' Donnel (dalam Handayaniningrat, 1990:19), mengemukakan defenisi manajemen sebagai "Pencapaian suatu tujuan yang dilakukan melalui dengan orang-orang lain".

Sejalan dengan pendapat diatas, Kosasih (2000:3), berpendapat bahwa "Manajemen itu pada hakikatnya tak lain dari proses pemberian pimpinan, bimbingan, dan fasilitas-fasilitas". Selanjutnya, dijelaskan pula oleh Kosasih (2000: 6), bahwasanya "Tanpa kemampuan organisasi dan manajemen yang memadai penyelenggaraan pemerintah daerah tidak dapat dilakukan dengan baik, efisien dan efektif sehingga perhatian yang sungguh-sungguh terhadap masalah ini dituntut dari penyelenggara pemerintahan daerah".

Mencermati pendapat ahli diatas, penyelenggaraan suatu organisasi, apakah itu pada skala kecil seperti kelompok atau skala besar seperti negara, tentu memiliki suatu sistem pengaturan yang mengatur semua mekanisme kerja organisasi tersebut, dengan maksud agar para anggotanya dapat menjalankan peraturan sebagaimana yang dikehendaki dan menjadi tujuan bersama. sistem-sistem pengaturan seperti yang damaksudkan tersebut untuk selanjutnya disebut sebagai manajemen.

Dari sekian banyak cabang manajemen, manajemen pemerintahan merupakan cabang manajemen yang kurang begitu dikenal meskipun dilihat dari sudut fungsinya, aktifitas manajemen pemerintahan sangat bersentuhan dengan kepentingan masyarakat banyak. Hal ini terjadi, karena selain disebabkan manajemen pemerintahan merupakan cabang manajemen yang relatif baru, juga disebabkan oleh stereotype bahwa kegiatan manajemen selalau berkaitan dengan kalangan dunia bisnis atau swasta. Akibatnya dunia manajemen yang berkaitan dengan urusan publik dianggap sebagai sesuatu yang tidak lazim dilakukan.

Manajemen pemerintahan sebagai suatu ilmu, bersifat sangat spesifik. Hal ini disebabkan oleh adanya unsur publik dan kekuasaan sebagai elemen dasar manajemen pemerintahan akan sangat banyak berkaitan dengan aspek politik, sosial budaya, ekonomi

dan beberapa aspek lainnya yang menyangkut masyarakat luas.

Suradinata (1996:14), memandang manajemen pemerintahan sebagai "Kegiatan atau usaha untuk mencapai tujuan negara dengan menggunakan berbagai sumber yang dikuasai negara. Inti manajemen pemerintahan terletak pada proses pengerakan untuk mencapai tujuan negara, dimana terkait erat yang kita kenal dengan fungsi kepamongprajaan".

Berkaitan dengan pendapat diatas, Ermaya (1996:81), berpendapat bahwa "Penyelenggaraan pemerintahan merupakan suatu kegiatan yang erat kaitannya dengan manusia dan kemanusiaan". Oleh karena itu perbuatan kepemerintahan tidak bisa melepaskan diri dari kewajiban etik dan moral baik antara pemerintah dan rakyatnya, antara lembaga-lembaga pemerintah sendiri dan antara lembaga/pejabat pemerintah dengan pemerintah.

Selanjutnya menurut Kosasih (2000:51), mangatakan "Dengan dimikian pemerintah daerah dituntut kesiapannya untuk memberdayakan segala kemampuannya dalam melaksanakan otonomi daerah termasuk masalah pembiayaan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan" Daerah Otonom dan Otonomi Daerah.

Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 pasal 1 ayat 5, otonomi daerah adalah “ hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Sedangkan Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam kaitannya dalam pelimpahan kewenangan otonomi daerah, harus didasarkan atas pertimbangan kondisi serta kemampuan riil daerah, hal ini senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sarwoto (1974:3), sebagai berikut :

Page 5: PENINGKATAN PAJAK DAERAH DI MASA OTONOMI DAERAH DI …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

185 JAP Vol. 1 No.2, Desember 2013

Dasar pertimbangan dalam menetapkan besarnya pelimpahan kewenangan otonomi kepada daerah terutama adalah kondisi serta kemampuan riil daerah yang dilimpahi kewenangan sehingga dapatlah diartikan bahwa dibidang desentralisasi sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menganut azas otonomi riil.

Hal yang mendasar dalam pemberian otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab pada daerah kabupaten dan daerah kota sebagaimana Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sejalan dengan pendapat diatas Rasyid (1997:99-100), mengatakan Pemerintahan yang baik adalah yang dekat kepada masyarakat. Pemerintahan perlu didekatkan kepada masyarakat, agar pelayanan yang diberikan menjadi semakin baik (the closer the government, the better it serves). Kalau pemerintahan berada dalam jangkauan masyarakat maka pelayanan yang diberikan menjadi lebih cepat, hemat, murah, responsif, akomodatif, inovatif, dan produktif.

Untuk dapat melaksanakan tugas otonomi dengan sebaik-baiknya, ada beberapa faktor yang perlu mendapat perhatian. Menurut Kaho (1988:60), satidaknya ada empat faktor yang mempengaruhi pelaksanaan otonomi daerah, yaitu : 1) Keuangan harus cukup dan baik 2) Manusia pelaksananya harus baik 3) Peralatannya harus cukup dan baik 4) Organisasi dan manajemennya harus baik

Sejalan dengan pendapat tersebut diatas Redjo (1998:122) mengatakan ada empat hal yang penting untuk menilai suatu daerah dapat mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri, yaitu : 1. Adanya urusan-urusan yang diserahkan

oleh pemerintah atasnya (pusat dan daerah).

2. Pengaturan dan penyusunan urusan tersebut dilakukan atas inisiatif dan kebijaksanaan sendiri.

3. Untuk mengatur urusan tersebut diperlukan perlengkapan atau aparatur sendiri.

4. Untuk membiayai urusan tersebut diperlukan sumber keuangan sendiri.

Di dalam Era otonomi daerah yang dimulai dari regulasi UU No.22 Tahun 1999 sebagaimanana telah diperbaharui dengan UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan kesempatan dan peluang bagi daerah otonomi untuk mengoptimalkan sumber daya yang ada di daerahnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Selanjutnya untuk merencanakan pembangunan daerah diregulasikan UU No.25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Regulasi produk hukum ini sekaligus meretas kebuntuan paradigma pembangunan top-down menjadi pembangunan berbasis rakyat (bottom-up).

United Nation (1962:3), memberikan pengertian yang mendasar tentang pelaksanaan otonomi daerah sebagai manifestasi desentralisasi sebagai berikut: “decentralization referss to the tranfers of authority away from the national capital whether by decontration (i.e. delegation) to field officers or by devolution to local authorities or local bodies.”

Batasan ini menjelaskan proses kewenangan yang diserahkan pemerintah pusat kepada daerah, yaitu dengan decontration atau dengan devolution. “Otonomi daerah tidak selamanya muncul oleh desakan-desakan ataupun respon atau tuntutan politik yang dilokalisir untuk otonomi yang lebih besar, ataupun menggunakan desentralisasi sebagai energi untuk mengatasi ketidakstabilan politik yang terancam gerakan pemisahan dan tuntutan akan otonomi regional”.

Di lain pihak memang terlihat adanya gejala tuntutan akan otonomi daerah dilatarbelakangi oleh berbagai alasan, seperti kesenjangan-kesenjangan sosial, ekonomi, pemerataan, dan kesenjangan hak-hak antara kelompok minoritas dan mayoritas. Bisa juga karena alasan lain sebagaimana dikemukakan W. Bonney Rust (1969:22),

Page 6: PENINGKATAN PAJAK DAERAH DI MASA OTONOMI DAERAH DI …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

JAP Vol. 1 No.2, Desember 2013 186

“bahwa pemerintahan yang sentralistik menjadi kurang populer karena ketidakmampuan untuk memahami secara tepat nilai-nilai daerah atau sentimen aspirasi lokal.”

Adakalanya tuntutan keinginan dari pendiri negara atau merupakan amanat dari konstitusi suatu negara, sebagaimana halnya di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya, otonomi daerah di Negara Republik Indonesia tidak lahir sebagai reaksi atas ketidakpuasan daerah terhadap pemerintah pusat. Bahkan sebelum Indonesia merdeka pun otonomi bukan merupakan tuntutan dari daerah. Sebaliknya, justru daerah-daerah dituntut oleh Hindia Belanda untuk mampu dan mengurus rumah tangganya sendiri, yakni dengan dikeluarkannya decentralissatie Wet pada tahun 1903. meskipun semangat materi dan muatan decentralissatie Wet 1903 berbeda konsep otonomi daerah yang sekarang dipraktekkan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan demikian jelaslah bahwa penyelenggaraan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak semata-mata merupakan gejala politik dan atau sebagai suatu respon atas tuntutan politik. Kalaupun gejala tersebut terlihat ada maka harus diartikan sebagai pemenuhan atas tuntutan daerah terhadap pemerintah pusat untuk memberikan otonomi kepada daerah guna menangkap sentimen lokal yang sukar diketahui pusat secara lebih nyata.

Dilihat dari segi kemajemukan atau dasar-dasar lain otonomi daerah di Indonesia bukan sekedar alat atau sarana pencegah disintegrasi. otonomi daerah tidak terlepas dari tujuan membentuk pemerintah Negara Republik Indonesia, yaitu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Disamping itu pemikiran akan otonomi daerah di Indonesia telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Hal ini sebagaimana pernah diungkapkan oleh Moh. Hatta 1923 (dalam Manan 1990:17) sebagai berikut “Oleh karena Indonesia terbagi atas beberapa pulau dan golongan bangsa, maka perlulah tiap-tiap golongan, kecil ataupun besar, mendapat otonomi, mendapat hak untuk menentukan nasib sendiri.”

Sebagaimana halnya pendapat tersebut diatas Ndraha (2000:186) mengatakan

“Otonomi adalah hak bawaan suatu masyarakat, bukan pemberian pemerintah. Hak adalah bagian integral kedaulatan. Sedangkan kewenangan adalah bagian integral kekuasaan.”

Otonomi daerah adalah bahwa daerah harus memiliki sumber-sumber keuangan sendiri untuk membiayai rumah tangganya, atau apa yang disebut dengan kemampuan daerah untuk berotonomi dalam arti luas dan nyata.

Kemampuan suatu daerah akan menentukan nilai otonominya. Pada negara-negara berkembang juga negara maju, masalah pokok yang sering menjadi perdebatan adalah mengenai sumber keuangan daerah yang umumnya memiliki ketergantungan yang cukup besar pada pemerintah pusat, kemudian mengenai kesenjangan dalam sumber daya manusia antara pusat dan daerah dengan daerah.

Untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah dibentuklah pemerintahan daerah. Menurut Harsono (1992:7-8) : “Pemerintah daerah muncul karena semakin meningkatnya kebutuhan-kebutuhan rakyat yang tinggal dalam wilayah yang begitu luas, tidak cukup hanya diadakan pemerintah khususnya pusat di daerah saja, melainkan masih dibutuhkan pembentukan pemerintah lokal yang diserahi urusan-urusan tertentu untuk diselenggarakan sebagai urusan rumah tangga sendiri”.

Pembentukan pemerintah lokal ini diharapkan dapat menyelenggarakan tugas pemerintah di daerah sedemikian rupa sesuai dengan keadaan dan kebutuhan daerah.

Sejalan dengan pendapat tersebut diatas Rasyid (1997:101) mengatakan “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Hak itu diperoleh melalui penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah tingkat atasnya, sesuai dengan keadaan, kemampuan, dan kebutuhan daerah yang bersangkutan. dalam hubungan ini, kebijakan desentralisasi selalu dikaitkan dengan penilaian yang menyeluruh atas keadaan, kemampuan, dan kebutuhan daerah untuk menerima suatu hak otonomi”.

Page 7: PENINGKATAN PAJAK DAERAH DI MASA OTONOMI DAERAH DI …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

187 JAP Vol. 1 No.2, Desember 2013

Pendapatan Asli Daerah Dipahami bahwa kemampuan daerah

untuk melaksanakan urusan yang akan diserahkan merupakan pertimbangan pokok, agar pemberian otonomi dalam arti penyerahan urusan pemerintah yang lebih atas kepada daerah untuk menjadi urusan rumah tangga daerah tidak menjadi beban atau melemahkan suatu daerah.

Dari uraian tersebut diatas, faktor keuangan merupakan salah satu hal yang penting dalam setiap kegiatan pemerintahan, karena hampir tidak ada kegiatan pemerintahan yang tidak membutuhkan biaya. Makin besar jumlah uang yang tersedia, makin banyak pula kemungkinan kegiatan atau pekerjaan yang dapat dilaksanakan. Demikian juga semakin baik pengelolaannya semakin berdaya guna pemakaian uang tersebut, sesuai seperti apa yang dikatakan oleh Manullang (1983:67) sebagai berikut “Bagi kehidupan suatu negara, masalah keuangan negara sangat penting. Makin baik keuangan suatu negara, maka semakin stabil pula kedudukan pemerintah dalam negara itu. Sebaliknya, kalau keuangan negara itu kacau maka pemerintah akan menghadapi berbagai kesulitan dan rintangan dalam menyelenggarakan segala kewajiban yang diberikan kepadanya. Demikian juga bagi suatu pemerintah daerah, keuangan merupakan suatu masalah penting baginya dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerah”.

Keuangan daerah merupakan salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah. Keuangan daerah merupakan faktor esensial untuk mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Dalam penyelenggaraan urusan rumah tangganya, daerah membutuhkan dana atau uang. Keadaan keuangan daerah-lah yang sangat menentukan corak, bentuk, serta kemungkinan-kemungkinan kegiatan yang akan dilakukan oleh Pemerintah daerah. Tanpa keuangan yang memadai, maka daerah akan tergantung pada subsidi. Ketergantungan pada subsidi akan menyebabkan daerah menjadi tidak otonom dalam arti yang sesungguhnya. Berkaitan dengan itu, The Liang Gie (1986:33) mengatakan bahwa "Pada prinsipnya daerah

otonom harus dapat membuayai sendiri semua kebutuhan sehari-hari yang rutin. Apabila untuk kebutuhan itu daerah masih mengandalkan bantuan keuangan dari pusat, maka sesungguhnya daerah itu tidak otonom lagi."

Sehubungan dengan pentingnya posisi keuangan ini, Pamudji (1980:61-62) menegaskan “Pemerintah daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsi dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembangunan. Dan keuangan inilah merupakan salah satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri”.

Untuk itu, maka pencarian sumber keuangan daerah, malalui pendapatan asli daerah merupakan upaya-upaya yang perlu dilakukan oleh kabupaten dan kota. Besarnya ketergantungan daerah pada bantuan pusat akan menunjukkan bahwa daerah tersebut belumlah otonomi dalam arti sesungguhnya. Hal ini dijelaskan oleh Redjo (1998:77) sebagai berikut “Pernyataan berotonomi juga berotomoney, berarti menunjukkan ketergantungan (dalam hal keuangan) daerah kepada pusat dalam pembangunan daerahnya. Idealnya sumber PAD mampu menyumbangkan bagian terbesar dari seluruh pendapatan daerah dibandingkan sumber pendapatan lainnya, seperti subsidi dan bantuan”.

Kemampuan mengurus rumah tangga sendiri merupakan hakekat otonomi daerah. Kemampuan berotonomi berarti kemampuan dukungan keuangan sendiri untuk membiayai otonomi tersebut. Selanjutnya Kaho ( 1988:123) mengatakan “Salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan self- supporting dalam bidang keuangan. Dengan perkataan lain faktor keuangan merupakan faktor esensial dalam mengukur kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya”.

Untuk dapat memiliki keuangan yang memadai dengan sendirinya daerah membutuhkan sumber keuangan yang cukup pula. Dalam hal ini daerah dapat memperolehnya melalui beberapa cara :

Page 8: PENINGKATAN PAJAK DAERAH DI MASA OTONOMI DAERAH DI …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

JAP Vol. 1 No.2, Desember 2013 188

1. daerah dapat mengumpulkan dana dari pajak daerah yang sudah disetujui oleh pemerintah pusat.

2. pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, pasar uang atau bank melalui pemerintah pusat.

3. ikut ambil bagian dalam penetapan pajak sentral yang dipungut daerah, misalnya sekian persen dari penetapan pajak sentral tersebut.

4. pemerintah daerah dapat menambah tarif pajak sentral tertentu, misalnya pajak kekayaan atau pajak pendapatan.

5. pemerintah daerah dapat menerima bantuan atau subsidi dari pemerintah pusat, (Lains, 1985: 41).

Pentingnya posisi keuangan daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah sangat disadari oleh pemerintah. Demikian pula alternatif cara untuk mendapatkan keuangan yang memadai telah pula dipertimbangkan oleh pemerintah dan wakil-wakil rakyat (DPR). Hal ini dapat ditelusuri, misalnya dengan disahkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang memuat pertimbangan sebagai berikut “Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pembiayaan berdasarkan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan, perlu diatur perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah berupa sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas antara tingkat pemerintahan”.

Pendapatan Asli Daerah merupakan salah satu variabel penting dalam rangka menuju otonomi daerah, otonomi bermakna memerintah sendiri, daerah otonom sering disebut sebagai Local self Government. Analisa dan penglihatan dari pemerintah daerah sesungguhnya tuntutan yang mendesak dalam formulasi dan implementasi otonomi daerah adalah dalam tiga pokok permasalahan yaitu sharing of power, distribution of income, kemandirian sistem manajemen di daerah. Dalam kerangka otonomi daerah maka PAD merupakan variabel penting dan harus ditingkatkan supaya memberikan kontribusi yang besar bagi APBD khususnya Kota

Medan., menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, pasal 157 menyebutkan :

Sumber Pendapatan Daerah terdiri atas : a. pendapatan asli daerah yang selanjutnya

disebut PAD yaitu : 1. hasil pajak daerah, 2. hasil retribusi daerah, 3. hasil pengelolaan kekayaan daerah

yang dipisahkan; dan 4. lain-lain PAD yang sah;

b. dana perimbangan; dan c. lain-lain pendapatan daerah yang sah

Pendapatan Asli Daerah yang akan dikembangkan untuk Kota Medan yaitu PAD yang dapat memberikan kontribusi yang lebih besar untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dengan demikian tingkat kemandirian Kota Medan akan lebih baik, sehingga ketergantungan dengan pusat berkurang. Pada prinsipnya semakin besar sumbangan PAD kepada APBD akan menunjukan semakin kecil ketergantungan daerah kepada pusat.

Peningkatan PAD bagi Kota Medan harus memenuhi aspek keadilan bagi masyarakat agar tidak menimbulkan hambatan dan perlawanan, artinya peningkatan PAD sesuai dengan hukum yang ada. adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak dan retribusi secara umum dan merata serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing, sedangkan adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan kepada wajib pajak dan retribusi untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada majelis pertimbangan pajak dan retribusi (Mardiasmo, 2002:2). Pemerintah tidak hanya memungut pajak dan retribusi dari subyek pajak dan retribusi tetapi juga harus memberikan kontra produktif terhadap subyek pajak dan retribusi yang dipungut dari masyarakat dalam bentuk peningkatan pelayanan.

Suatu daerah dikatakan otonom apabila ia memiliki kemandirian untuk memberikan pelayanan, menentukan arah kebijakan pembangunan tanpa mengabaikan kepentingan pusat. Kemandirian tersebut menunjukkan pada kemadirian keuangan daerah yang didapat dari pendapatan asli daerah itu sendiri. Posisi pendapatan asli

Page 9: PENINGKATAN PAJAK DAERAH DI MASA OTONOMI DAERAH DI …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

189 JAP Vol. 1 No.2, Desember 2013

daerah berada pada posisi sentral bagi kemajuan suatu daerah dan bagi efisiensi dan efektifitas pelayanan serta pembangunan di daerah.

Posisi sentral keuangan daerah dalam pemerintahan di daerah juga menunjukkan pada posisi ke-otonomi-an suatu daerah, karena kemampuan keuangan daerah-lah, maka pemerintah daerah dapat dinyatakan mampu atau tidak mengurus rumah tangganya sendiri. Kemampuan rumah tangga sendiri merupakan hakekat otonomi daerah. Kemampuan berotonomi berarti dukungan keuangan sendiri melalui pandapatan asli daerah untuk membiayai otonomi tersebut.

Pajak Daerah

Pajak merupakan sumber keuangan pokok daerah disamping retribusi daerah. Pengertian pajak secara umum telah diajukan oleh para ahli, dimana Sumitro (1979:23), merumuskan sebagai berikut “Pajak ialah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor partikelir ke sektor Pemerintahan) berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal (legen prestatie) untuk membiayai pengeluaran umum (publike uitgaven), dan yang digunakan sebagai alat pencegah atau pendorong untuk mencapai tujuan yang ada diluar bidang keuangan”.

Pendapat ini kemudian disempurnakan kembali oleh ahli yang sama sebagai berikut : “Pajak adalah peralihan kekayaan dari rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment, (Sumitro, 1980 : 3).”

Pendapat lain dikemukan Soemohadimidjojo (1990 : 1-2) : "Pajak ialah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang, jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum."

Rochmat (dalam Mardiasmo, 2002:1) mengatakan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat

ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Mardiasmo (2002:1) pajak memiliki unsur-unsur sebagai berikut : 1. Iuran dari rakyat kepada negara, yang

berhak memungut pajak adalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).

2. Berdasarkan undang-undang, pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.

3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjuk adanya kontraprestasi individual dari pemerintah

4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran bagi masyarakat luas.

Pajak mempunyai fungsi (Mardiasmo, 2002:1-2) yaitu : 1. Fungsi Budgetair, pajak sebagai sumber

dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.

2. Fungsi mengatur (regulerend), pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.

Dalam pemungutan pajak agar tidak mendapat perlawanan atau hambatan, maka pemungutan pajak (Mardiasmo, 2002:2) harus memenuhi syarat sebagai berikut : 1. Pemungutan pajak harus adil ( syarat

keadilan). 2. Tidak menggangu perekonomian ( syarat

ekonomis). 3. Pemungutan pajak harus efisien ( syarat

finansiil). 4. Sistem pemungutan harus sederhana.

Dari pendapat tersebut diatas terlihat bahwa ciri mendasar pajak adalah : 1) Pajak dipungut oleh negara berdasarkan

kekuatan undang – undang dan atau peraturan hukum lainnya;

2) Pajak dipungut tanpa adanya kontra prestasi yang secara langsung dapat ditunjuk;

3) Hasil pungut pajak digunakan untuk menutup pengeluaran negara dan sisanya apabila masih ada digunakan untuk investasi;

Page 10: PENINGKATAN PAJAK DAERAH DI MASA OTONOMI DAERAH DI …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

JAP Vol. 1 No.2, Desember 2013 190

4) Pajak disamping sebagai sumber keuangan negara (budgetair), juga berfungsi sebagai pengatur (regular ).

Sedangkan Siagian (1988 : 64) merumuskan :” pajak daerah adalah pajak negara yang diserahkan kepada daerah dan dinyatakan sebagai pajak daerah dengan undang-undang”.

Selanjutnya Davey, (1988 : 39-40) mengemukakan, bahwa pajak daerah sebagai : 1. Pajak yang dipungut oleh pemerintah

daerah dengan pengaturan dari daerah itu sendiri;

2. Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tetapi penetapan tarifnya dilakukan oleh pemerintah daerah;

3. Pajak yang ditetapkan dan dipungut oleh pemerintah daerah;

4. Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah tapi hasil pungutannya diberikan kepada, dibagihasilkan dengan, atau tanpa dibebani pungutan tambahan (opsen) oleh pemerintah pusat.

Selanjutnya Kaho (1988 : 130 ) menjelaskan ciri- ciri yang menyertai pajak daerah adalah sebagai berikut : 1) Pajak daerah berasal dari pajak negara

yang diserahkan kepada daerah sebagai pajak daerah.

2) Penyerahan dilakukan berdasarkan undang-undang.

3) Pajak daerah dipungut oleh daerah berdasarkan kekuatan undang-undang dan atau peraturan hukum lainnya.

4) Hasil pungutan pajak daerah dipergunakan untuk membiayai penyelenggaraan urusan-urusan rumah tangga daerah atau untuk membiayai pengeluaran daerah sebagai badan hukum publik.

Strategi Peningkatan Pajak Asli Daerah 1. Manajemen Strategis

Olsen dan Eadie (1982:4) mendefinisikan manajemen strategis sebagai ”upaya yang didisiplinkan untuk membuat keputusan dan tindakan penting yang membentuk dan memandu bagaimana menjadi organisasi (atau entitas lainnya), apa yang dikerjakan organisasi (atau entitas

lainnya), dan mengapa organisasi (atau entitas lainnya) mengerjakan hal seperti itu”.

Makna manajemen strategis di atas berhubungan dengan suatu kegiatan pengambilan keputusan/tindakan yang diperlukan guna mengatasi masalah-masalah yang dihadapi baik oleh seseorang, kelompok, oragnisasi atau bahkan pemerintah dalam rangka mewujudkan tujuan yang telah direncanakan. Dan pengambilan keputusan bisa diartikan pula sebagai pengambilan kebijakan.

Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Amara Raksasataya (Islamy, 1986:17) bahwa kebijakan sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Carl J.Friederick juga mengartikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu.(Islamy, 2004:1.3-1.4) Oleh karena itu suatu kebijakan memuat 3 (tiga) elemen, yaitu : 1. Identifikasi dari tujuan yang ingin

dicapai; 2. Taktik atau strategi dari berbagai

langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan;

3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.

Kebijakan dan manajemen merupakan aspek/dimensi strategis dalam administrasi public. Dimensi kebijakan berkenaan dengan keputusan apa yang harus dikerjakan. Dan kebijakan public adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah public atau pemerintah (Keban, 2004:53). Dimensi manajemen berkenaan dengan bagaimana menerapkan prinsip-prinsip manajemen untuk mengimplementasikan kebijakan public (Keban, 2004:83).

Dimensi ini memusatkan perhatian pada bagaimana melaksanakan apa yang telah diputuskan melalui prinsip-prinsip tertentu yaitu prinsip manajemen. Dimensi ini menekankan implementasi berupa penerapan metode, teknik, model, dan cara

Page 11: PENINGKATAN PAJAK DAERAH DI MASA OTONOMI DAERAH DI …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

191 JAP Vol. 1 No.2, Desember 2013

mencapai tujuan secara efisien dan efektif. Uraian di atas menunjukkan suatu simpulan bahwa antara administrasi public, kebijakan public dan manajemen strategis adalah rangkaian kegiatan yang tak terpisahkan karena administrasi publik pada dasarnya difokuskan pada aspek manajemen sebagai pelaksanaan dari kebijakan public.

Hal tersebut didukung oleh pendapat Bryson dan Einsweiler dalam Bryson (1995:4) bahwa ”manajemen strategis adalah sekumpulan konsep, prosedur, dan alat serta sebagian karena sifat khas praktik perencanaan sektor publik di tingkat lokal”. Crown Dirgantoro (2001:9), mengatakan bahwa ”manajemen strategis adalah suatu proses berkesinambungan yang membuat organisasi secara keseluruhan dapat match dengan lingkungannya, atau dengan kata lain, organisasi secara keseluruhan dapat selalu responsif terhadap perubahan-perubahan di dalam lingkungannya baik yang bersifat internal maupun eksternal”. Pada dasarnya ”manajemen strategis sama saja dengan manajemen lainnya. Ia berfungsi untuk merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan mengendalikan hal-hal strategis”( Husein Umar, 2002:13).

Melihat beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen strategi dapat didefinisikan sebagai suatu seni dalam merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan mengendalikan hal-hal strategis dengan menggunakan kecakapan dan sumber daya suatu organisasi untuk mencapai suatu sasaran melalui hubungannya yang efektif dengan lingkungan dalam kondisi yang paling menguntungkan. Pandangan akan pentingnya manajemen strategis, pada awal mulanya memang hanya berkembang di sektor privat.

Hampir semua kegiatan manajemen strategis di abad ini difokuskan pada organisasi privat (Bryson, 1995:5). Pemanfaatan manajemen strategis ke dalam organisasi sector publik sendiri baru dimulai pada awal tahun 1980-an (Quinn, 1980; Brucker, 1980 dalam Bryson, 1995:7). Sementara itu Keban (1995:8) mengemukakan bahwa penerapan manajemen strategis sebagai strategic planning belum menjadi suatu tradisi bagi birokrasi. Sedangkan dalam rangka

memberikan pelayanan kepada publik yang lebih baik di masa mendatang, tradisi strategic planning bagi birokrasi akan sangat bermanfaat terutama dalam memacu pola berfikir strategis mengenai apa misi utama birokrasi yang hendak dicapai, tujuan jangka panjang dan pendeknya, rencana-rencana strategis, dan rencana-rencana operasional, khususnya progarm-program dan proyeknya.

Relevansi manajemen strategis bagi birokrasi kiranya telah mnenemukan momentumnya saat ini mengingat sifat interconnectedness di lingkungan birokrasi juga semakin mengemuka dari waktu ke waktu. Menurut Bryson (1995:66-68) terdapat empat pendekatan dasar untuk mengenali isu strategis, yaitu : 1. Pendekatan langsung (direct approach),

meliputi jalan lurus dari ulasan terhadap mandat, misi dan SWOT hingga identifikasi isu-isu strategis. Pendekatan langsung dapat bekerja di dunia yang pluralistik, partisan, terpolitisasi, dan relatif terfragmentasi di sebagian besar organisasi publik, sepanjang ada koalisi dominan yang cukup kuat dan cukup menarik untuk membuatnya bekerja.

2. Pendekatan tidak langsung (indirect approach), hampir sama dengan pendekatan langsung dan biasanya dilakukan bersama dengan pendekatan langsung, hanya tidak dibentuk tim khusus. Kedua pendekatan ini yang paling banyak digunakan untuk organisasi Pemerintah dan organisasi nirlaba.

3. Pendekatan sasaran (goals approach), lebih sejalan dengan teori pendekatan konvensional, yang menetapkan bahwa organisasi harus menciptakan sasaran dan tujuan bagi dirinya sendiri dan kemudian mengembangkan strategi untuk mencapainya. Pendekatan ini dapat bekerja jika ada kesepakatan yang agak luas dan mendalam tentang saran dan tujuan organisasi, serta jika sasaran dan tujuan itu cukup terperincidan spesifik untuk memandu pengembangan strategi.

4. Pendekatan visi kebersilan (vision of success), dimana organisasi mengembangkan suatu gambar yang sangat berhasil memenuhi misinya.

Page 12: PENINGKATAN PAJAK DAERAH DI MASA OTONOMI DAERAH DI …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

JAP Vol. 1 No.2, Desember 2013 192

Pendekatan ini lebih mungkin bekerja dalam organisasi nirlaba ketimbang organisasi sektor publik.

Berdasarkan uraian di atas pendekatan yang paling tepat digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan langsung, sebab pada birokrasi publik pada umumnya ditangani oleh unit tertentu yang telah mendapatkan pengesahan dari para decision maker. Namun yang perlu diingat bahwa proses manajemen strategis apa pun akan bermanfaat hanya jika proses manajemen strategis membantu berpikir dan bertindak secara strategis kepada orang-orang penting pembuat keputusan. Proses manajemen startegis menurut Bryson and Roring (1987:10) meliputi delapan langkah, yaitu : 1. Memprakarsai dan menyepakati suatu

proses perencanaan strategis. Tujuan langkah pertama adalah menegosiasikan kesepakatan dengan orang-orang penting pembuat keputusan (decision maker) atau pembentuk opini (opinion leader) internal (dan mungkin eksternal) tentang seluruh upaya perencanaan strategis dan langkah perencanaan yang terpenting.

2. Mengidentifikasi mandat organisasi. Mandat formal dan informal yang ditempatkan pada organisasi adalah “keharusan” yang dihadapi organisasi.

3. Memperjelas misi dan nilai-nilai organisasi. Misi organisasi yang berkaitan erat dengan mandatnya, menyediakan raison de^etre-nya, pembenaran sosial bagi keberadaannya.

4. Menilai lingkungan eksternal : peluang dan ancaman.

5. Mengeksplorasi lingkungan di luar organisasi untuk mengidentifikas peluang dan ancaman yang dihadapi organisasi.

6. Menilai lingkungan internal : kekuatan dan kelemahan.

7. Untuk mengenali kekuasaan dan kelemahan internal, organisasi dapat memantau sumber daya (inputs), strategi sekarang (process), dan kinerja (outputs).

8. Mengidentifikasi isu strategis yang dihadapi organisasi.

9. Isu strategis meliputi konflik satu jenis dan lainnya. Konflik dapat menyangkut tujuan (apa), cara (bagaimana), filsafat (mengapa) tempat (dimana), waktu

(kapan), dan kelompok yang mungkin diuntungkan atau tidak diuntungkan oleh cara-cara yang berbeda dalam pemecahan isu (siapa).

10. Merumuskan strategi untuk mengelola isu-isu.

11. Strategi didefinisikan sebagai pola tujuan, kebijakan, program, tindakan, keputusan, atau alokasi sumber daya yang menegaskan bagaimana organisasi, apa yang dikerjakan organisasi, mengapa organisasi harus melakukan hal tersebut.

12. Menciptakan visi organisasi yang efektif bagi masa depan.

13. Langkah terakhir dari proses manajemen strategis adalah mengembangkan deskripsi mengenai bagaimana seharusnya organisasi itu sehingga berhasil mengemplementasikan strateginya dan mencapai seluruh potensinya.

2. Manajemen Strategis Meningkatkan

Pajak Daerah Logika dasar dari manajemen adalah

bahwa dalam lingkungan dunia yang berubah secara pesat dan tak menentu, suatu organisasi memerlukan kemampuan untuk mengadakan perubahan pada perencanaan maupun manajemen secara tepat. Maka kemampuan untuk senantiasa melakukan penelaahan kemampuan dan kelemahan internal menjadi prasarat bagi organisasi untuk tetap strategis.(Bryson, 1995:3). Sedangkan Blakely (1989:44) berpendapat bahwa ”Kebijakan perpajakan selalu menjadi komponen utama dari kebijakan pembangunan ekonomi”. Dalam prakteknya di Indonesia, sektor utama yang memberikan kontribusi paling besar terhadap kemampuan keuangan daerah secara umum adalah sektor pajak daerah.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, secara umum peningkatan pendapatan pajak daerah dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi. Dengan mengetahui isu-isu strategis yang dihadapi oleh instansi pengelola pajak daerah Pemerintah Kota Medan dalam hal ini Dipenda Kota Medan diharapkan mampu memformulasikan strategi yang paling tepat dan paling sesuai dengan situasi dan kondisi yang dimiliki oleh organisasi, sehingga peningkatan pajak

Page 13: PENINGKATAN PAJAK DAERAH DI MASA OTONOMI DAERAH DI …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

193 JAP Vol. 1 No.2, Desember 2013

daerah dapat terwujud. Dan perlu diingat bahwa setiap strategi yang efektif akan membangun kekuatan dan mampu mengambil keuntungan dari peluang seraya meminimalkan atau mengatasi kelemahan dan ancaman/tantangan yang ada.

Secara umum konsep peningkatan pajak daerah dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu upaya ekstensifikasi dan intensifikasi. 1) Upaya Ekstensifikasi

Ekstensifikasi merupakan suatu kondisi yang menekankan pada upaya penjangkauan sesuatu secara lebih luas daripada yang telah ada. Sedangkan ekstensifikasi pajak daerah menurut Soemitro (1988:384) adalah : a. Penambahan pajak baru dengan

menemukan wajib obyek pajak baru, b. Menciptakan pajak-pajak baru, atau

memperluas ruang lingkup pajak yang ada.

2) Upaya Intensifikasi Intensifikasi memiliki makna

penekanan dalam pencapaian tujuan dengan memanfaatkan sumber-sumber yang ada. Ada pun langkah-langkah intensifikasi, berdasarkan Sari Kajian dan Moneter (1996:39) ”dimaksudkan untuk mengefektifkan pemungutan pajak terhadap subyek dan obyek pajak yang sudah dikenakan sebelumnya dengan memberikan kegiatan penerangan, penyuluhan dan sosialisasi pajak/retribusi lainnya”.

Selanjutnya menurut Soemitro (1988:77), sistem intesifikasi pajak maksudnya untuk meningkatkan pajak dengan mengintensifkan segi-segi: a. Intensifikasi perundang-undangannya b. Meningkatkan kepastian hukum c. Mengintensifkan peraturan pelaksanaan d. Meningkatkan mutu aparatur e. Meningkatkan fungsi dan menyesuaikan

organ/strukturperpajakan sehingga sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan teknologi

f. Memberantas pemalsuan pajak. g. Meningkatkan pengawasan terhadap

pelaksanaan dan pematuhan peraturan perpajakan dan melakukan pengawasan melekat.

Dari kedua upaya peningkatan pajak daerah di atas, penggunaannya harus mempertimbangkan potensi-potensi yang

dimiliki maupun situasi dan kondisi yang dihadapi oleh organisasi..

3. Retribusi Daerah

Seperti halnya pajak daerah, retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah untuk memantapkan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab.

Menurut Sumitro ( 1987 : 17) retribusi secara umum adalah “pembayaran-pembayaran kepada negara yang dilakukan oleh mereka yang menggunakan jasa-jasa negara”

Sedangkan menurut Munawir (1990 : 4), retribusi adalah ":...iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksanakan dan jasa balik secara langsung dapat ditunjuk". Paksaan disini bersifat ekonomis karena siapa saja yang tidak merasakan jasa balik dari pemerintah, dia tidak dikenakan iuran itu.

Sejalan dengan pendapat tersebut di atas The Liang Gie (1986 : 78) menjelaskan "Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa, usaha atau milik daerah untuk kepentingan umum, atau karena jasa yang diberikan oleh daerah baik secara langsung maupun tidak langsung."

Dari pendapat-pendapat di atas, Kaho (1988 : 152) menjelasakan ciri-ciri pokok retribusi daerah, yaitu : a. Retribusi dipungut oleh daerah ; b. Dalam pungutan retribusi terdapat

prestasi yang diberikan daerah yang langsung dapat ditunjuk ;

c. Retribusi dikenakan kepada siapa saja yang memanfaatkan, atau mengenyam jasa yang disediakan daerah.

Selanjutnya dalam Undang–undang Nomor 34 Tahun 2000 disebutkan "Retribusi daerah yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan / atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan."

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2001, tentang Retribusi Daerah menyebutkan sebagai berikut : (1) Jenis-jenis retribusi jasa umum adalah :

Page 14: PENINGKATAN PAJAK DAERAH DI MASA OTONOMI DAERAH DI …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

JAP Vol. 1 No.2, Desember 2013 194

a. Retribusi Pelayanan Kesehatan; b. Retribusi Pelayanan Persampahan /

Kebersihan ; c. Retribusi Penggantian Biaya Cetak

Kartu Tanda Penduduk dan Akte Catatan Sipil;

d. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan mayat;

e. Retribusi Parkir di Tepi Jalan umum; f. Retribusi Pasar; g. Retribusi Air Bersih; h. Retribusi Pengujian Kenderaan

Bermotor; i. Retribusi Alat Pemadam Kebakaran; j. Retribusi Penggantian Biaya Cetak

Peta; k. Retribusi Pengujian Kapal Perikanan.

(2) Jenis-jenis retribusi jasa usaha adalah : a. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah; b. Retribusi Pasar Grosir dan atau

Pertokoan; c. Retribusi Terminal; d. Retribusi Tempat Khusus Parkir; e. Retribusi Tempat Penitipan Anak; f. Retribusi Tempat Penginapan /

Pesanggrahan / Villa; g. Retribusi Penyedotan Kakus; h. Retribusi Rumah Potong Hewan; i. Retribusi Tempat Pendaratan Kapal; j. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olah

Raga; k. Retribusi Penyeberangan di Atas air; l. Retribusi Pengolahan Limbah Cair; m. Retribusi Penjualan Produksi Usaha

Daerah. (3) Jenis-jenis retribusi perizinan tertentu

adalah : a. Retribusi Izin Peruntukan Penggunaan

Tanah; b. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan; c. Retribusi Izin Tempat Penjualan

Minuman Beralkohol; d. Retribusi Izin Gangguan; e. Retribusi Izin Trayek; f. Retribusi Izin Pengambilan Hasil Hutan

Ikutan. Macam dan jenis retribusi diatas,

memang tergantung pada kemampuan daerah kabupaten dan kota untuk memaksimalkan pendapatannya. Akan tetapi sebagai sumber untuk peningkatan pendapatan asli daerah, maka sektor retribusi memegang posisi penting, disamping sektor pajak. Hal ini disebabkan

bahwa sifat-sifat khas retribusi yang berbeda dengan pajak daerah , yang antara lain: 1. bahwa retribusi daerah bersifat

kembar,yang artinya dari satu jenis sumber retribusi, dapat dikenakan pembayaran untuk dua atau tiga jasa instansi. Dan hal ini berbeda dengan pajak yang hanya oleh satu instansi yaitu yang belum dilaksanakan/diusahakan oleh instansi atasnya (Dati I atau Pusat).

2. bahwa pemungutan retribusi didasarkan pada pemberian jasa kepada pemakai jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah, barulah pemakai jasa membayarnya. Dan hal ini berbeda dengan pajak daerah yang dapat dipungut dengan tanpa mempersoalkan ada/tidaknya jasa pemerintah.

3. bahwa pemungutan retribusi dapat dikenakan kepada siapa saja yang telah mendapatkan jasa dari pemerintah daerah, baik anak-anak maupun orang dewasa. Sementara pajak dibayar oleh orang-orang tertentu yaitu wajib pajak.

4. pemungutan retribusi dilakukan berulang kali terhadap seseorang sepanjang ia mendapat jasa dari pemerintah daerah. Dan sehubungan jumlahnya relatif kecil, maka pembayarannya jarang diangsur. Dan hal ini berbeda dengan pajak yang dikenakan setahun sekali, dengan cara pembayaran tunai atau mengangsur, (Redjo, 1998 :90-91).

Sifat-sifat khas retribusi diatas, dapat diprediksi akan menghasilkan dana yang besar sebagai sumber pendapatan asli daerah apabila pemerintah daerah mampu mengefektifkan dan mengefisienkan sumber-sumber retribusi dan pengelolaannya.

Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan.

Selain hasil pajak daerah dan retribusi daerah, pendapatan asli daerah juga berasal dari perusahaan daerah. Dalam hal ini, perusahaan daerah-lah yang diharapkan sebagai sumber pemasukan bagi daerah. Oleh sebab itu, dalam batas-batas tertentu pengelolaan perusahaan haruslah bersifat profesional dan harus tetap berpegang pada prinsip ekonomi secara umum, yaitu efisiensi.

Page 15: PENINGKATAN PAJAK DAERAH DI MASA OTONOMI DAERAH DI …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

195 JAP Vol. 1 No.2, Desember 2013

Perusahaan daerah merupakan salah satu komponen yang diharapkan dapat memberikan kontribusinya bagi pendapatan daerah, tapi sifat utama dari perusahaan daerah bukanlah berorientasi pada profit (keuntungan) semata, akan tetapi justru dalam memberikan jasa dan menyelenggarakan kemanfaatan umum. Walaupun demikian hal ini tidak berarti bahwa perusahaan daerah tidak dapat memberikan kontribusi maksimal bagi ketangguhan keuangan daerah.

Menurut Kaho (1988 :167 ), Perusahaan daerah menjalankan fungsi ganda yang harus tetap terjamin keseimbangannya, yaitu fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Oleh karena itu perusahaan daerah mempunyai misi dan visi yang jelas sehingga pengelolaannya profesional dengan tanpa melupakan fungsi sosial dan sebenarnya perusahaan daerah harus dapat memberikan kontribusi yang besar bagi PAD. Pemenuhan fungsi sosial oleh perusahaan daerah dan keharusan untuk mendapat keuntungan yang memungkinkan perusahaan daerah dapat memberikan sumbangan bagi pendapatan daerah, bukanlah dua pilihan dikhotonomis yang saling bertolak belakang. Artinya, bahwa pemenuhan fungsi sosial perusahaan daerah dapat berjalan seiring dengan pemenuhan fungsi ekonominya sebagai badan ekonomi yang bertujuan untuk mendapatkan laba/keuntungan. Hal ini dapat berjalan apabila profesioanlisme dalam pengelolaannya dapat diwujudkan.

Dengan demikian perusahaan daerah mempunyai dua fungsi pokok, yaitu sebagai dinaminsator perekonomian daerah yang berarti harus mampu memberikan ransangan bagi perkembangan perekonomian daerah. Ini berarti perusahaan daerah harus mampu memberikan manfaat ekonomis sehingga keuntungan yang dapat disetorkan ke kas daerah.

Selanjutnya Redjo (1998 : 92) menjelaskan sebagai berikut : 1. Perusahaan daerah merupakan suatu

kesatuan produksi yang bersifat memberikan jasa, menyelenggarakan kemanfaatan umum dan memupuk pendapatan;

2. Perusahaan daerah bertujuan untuk turut serta melaksanakan pembangunan ekonomi daerah dan pembangunan ekonomi masyarakat umumnya, untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan mengutamakan industri, ketentraman serta ketenangan kerja dalam perusahaan.

3. Perusahaan daerah bergerak dalam lapangan yang sesuai dengan urusan rumah tangganya menurut perundang-undangan.

4. cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak di daerah merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan.

Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah

Sumber pendapatan daerah lainnya adalah dinas-dinas daerah serta pendapatan-pendapatan lainnya yang diperoleh secara sah oleh pemerintah daerah. dinas-dinas daerah sekalipun tugas dan fungsi utamanya adalah memberikan pelayanan terhadap masyarakat tanpa terlalu memperhitungkan untung rugi, tapi dalam batas-batas tertentu dapat didayagunakan dan bertindak sebagai organisasi ekonomi yang memberikan pelayanan jasa dengan imbalan. Disini daerah dapat menambah pendapatan aslinya.

Sumber pendapatan asli daerah yang terakhir menurut undang-undang Nomor 34 Tahun 2004, adalah lain-lain pendapatan daerah yang sah. Adapun dimaksud dengan lain-lain pendapatan daerah yang sah menurut penjelasan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 pasal 164 adalah “antara lain hibah, dana darurat dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan Pemerintah. Sekalipun sumbangan sektor ini masih terbatas, tetapi jika dibandingkan dengan sektor perusahaan daerah dan dinas-dinas daerah, sektor ini masih lebih baik dalam memberikan kontribusinya bagi pendapatan asli daerah.. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Penelitian Kepustakaan (Library Research) Yaitu

Page 16: PENINGKATAN PAJAK DAERAH DI MASA OTONOMI DAERAH DI …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

JAP Vol. 1 No.2, Desember 2013 196

pengumpulan data dilakukan dengan cara mempelajari buku-buku dan dokumen tertulis yang berhubungan dengan penelitian yang sedang dilakukan. PEMBAHASAN

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan data sekunder dalam bentuk runtun waktu (time series) selama 4 tahun dari tahun anggaran 2008 sampai tahun 2011, data realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Target/Potensi PAD. Sumber data diperoleh dari Dinas Pendapatan Kota Medan.

1. Efektivitas Pemungutan Pajak Daerah Terhadap PAD

Efektivitas merupakan rasio antara realisasi penerimaan Pendapatan Asli Daerah dengan potensi/target Pendapatan Asli Daerah. Tingkat efektivitas yang terjadi akan lebih besar apabila realisasi Pendapatan Asli Daerah lebih besar dari potensi Pendapatan Asli Daerah. Mengingat sulit dan kurang tersedianya data potensi Pendapatan Asli Daerah, maka diasumsikan target Pendapatan Asli Daerah adalah merupakan potensi Pendapatan Asli Daerah atau potensi sama dengan target.

Tabel 1. Tingkat Efektivitas Pengelolaan PAD

Kota Medan 2008 – 2011 Tahun

Anggaran

Target/Potensi PAD

Realisasi PAD Efektivita

s

2008 356.137.806.555,00 390.952.898.213,4

4 109,79 %

2009 386.862.522.644,00 438.140.726.866,0

0 113,25 %

2010 537.420.817.910,00 522.768.125.389,8

6 97,27 %

2011 1.110.469.593.763,0

0 990.300.499.144,3

0 89,18 %

Rata-rata 101,12 %

Sumber : Dinas Pendapatan Kota Medan (data diolah)

Dari tabel 1 di atas terlihat bahwa efektivitas pemungutan Pendapatan Asli Daerah selama tahun anggaran 2008 sampai dengan tahun 2011 secara rata-rata mencapai sasaran yang telah ditetapkan (target tercapai) yakni sebesar 101,12%. Tingkat efektivitas yang tertinggi terjadi pada tahun 2009 sebesar 113,25%, dan Tingkat Efektivias yang terendah terjadi pada tahun 2011 sebesar 89,18 % .

Berdasarkan kriteria yang digunakan untuk mengukur efisiensi pengelolaan PAD sesuai Kepmendagri Nomor 47 tahun 1999 maka Kota Medan memiliki tingkat efektivitas yang tinggi. Dikatakan sangat tinggi karena rata-rata persentasenya selama periode analisis berada di atas 101,12% (>100% , sangat efektif).

Kontribusi Pajak Daerah Terhadap PAD

Pajak daerah merupakan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Seiring dengan diterapkannya otonomi daerah, setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengelola pajak daerahnya masing-masing sebagai salah satu komponen PAD yang berfungsi untuk membiayai rumah tangga daerah yang bersangkutan. Setiap daerah memiliki potensi pajaknya masing-masing, begitupun dengan Kota Medan.

Tabel 2 Kontribusi Pajak Daerah Terhadap PAD Kota Medan 2008 - 2011

Jenis penerimaan

Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011

Pajak Hotel 24.864.938.225,86 32.248.881.972,36 41.803.017.281,76 54.668.966.646,09

Pajak Restoran

43.026.546.385,34 48.513.407.068,68 63.001.970.875,10 70.485.458.322,22

Pajak Hiburan

9.394.720.639,23 9.995.090.144,30 12.944.719.326,63 15.612.200.659.93

Pajak Reklame

21.636.788.569,80 24.183.184.008,00 24.893.631.575,00 26.757.363.691,00

Pajak Penerangan

Jalan 113.584.356.914,00 116.994.355.803,00 158.789.100.162,00 172.666.073.481,00

Pajak Parkir 4.285.530.670,00 5.162.155.533,73 6.101.636.045,00 5.884.401.086,84

Pajak Air Tanah

3.067.489.752,28

Jumlah 216.792.881.404,23 237.097.074.530,07 307.534.075.265,49 349.141.953.639,36

Target PAD 356.137.806.555,00 386.862.522.644,00 537.420.817.910,00 1.110.496.593.736,

00

% Pajak Daerah

Terhadap PAD

61% 61% 57% 31%

Rata-rata 53%

Dari Tabel 2 di atas terlihat bahwa Kontribusi Pajak Daerah terhadap PAD selama tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 secara rata-rata yakni sebesar 53 %.

Pajak Hotel dari empat tahun terakhir yang tertinggi pendapatannya adalah tahun 2011 sebesar Rp. 54.668.966.646,09, untuk Pajak Restoran yang tertinggi pendapatannya adalah tahun 2011 sebesar Rp. 70.485.458.322,22, untuk Pajak Hiburan yang tertinggi pendapatannya adalah tahun 2011 sebesar Rp. 15.612.200.659,93, untuk

Page 17: PENINGKATAN PAJAK DAERAH DI MASA OTONOMI DAERAH DI …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

197 JAP Vol. 1 No.2, Desember 2013

Pajak Reklame yang tertinggi pendapatannya adalah tahun 2011 sebesar 26.757.363.691,00, untuk Pajak Penerangan Jalan yang tertinggi pendapatannya adalah tahun 2011 sebesar Rp. 172.666.073.481,00, untuk Pajak Parkir yang tertinggi pendapatannya adalah tahun 2010 sebesar Rp. 6.101.636.045,00, untuk Pajak Air Tanah baru berlaku tahun 2011 dengan pendapatan Rp. 3.067.489.753,28, selama ini Pajak Air Tanah dikelola oleh Dinas Pendapatan Propinsi.

Jumlah Pendapatan Pajak Daerah tahun 2008 sebesar Rp. 216. 792.881.404,23 dan target PAD sebesar Rp. 356.137.806.555,00 yang menunjukkan persentase Pajak Daerah terhadap PAD sebesar 61 %, Pada Tahun 2009 jumlah Pendapatan Pajak Daerah sebesar Rp. 237.097.074.530,07 dan target PAD sebesar Rp. 386.862.522.644,00 ini menunjukkan persentase Pajak Daerah terhadap PAD sebesar 61 %, Pada tahun 2010 jumlah Pendapatan Pajak Daerah sebesar Rp. 307.534.075.265,49 dan target PAD sebesar 537.420.817.910,00 ini menunjukkan persentase Pajak Daerah terhadap PAD sebesar 57 % dan pada Tahun 2011 jumlah Pendapatan Pajak Daerah sebesar 349.141.953.639,36 dan target PAD sebesar 1.110.469.593.763,00 ini menunjukkan persentase Pajak Daerah terhadap PAD sebesar 31 %, rendahnya persentase Pajak daerah terhadap PAD tahun 2011 salah satunya disebabkan tingginya kenaikan target PAD pada tahun tersebut, dilihat dari tahun sebelumnya tahun 2010 dimana target PAD sebesar Rp, 537.420.817.910,00 dan di tahun 2011 menjadi 1.110.469.763,00, adanya kenaikan 106,63 %.

Dilihat dari data Tabel. 2 bahwa Pajak daerah yang paling besar pendapatannya adalah Pajak Penerangan Jalan dan pendapatan yang terendah adalah Pajak Parkir.

Upaya Pemko Medan Terhadap Dalam Peningkatan PAD

Pemerintah Kota Medan khususnya Dinas Pendapatan Kota Medan perlu terus melakukan upaya dalam peningkatan PAD seperti menyusun Strategi dan Kebijakan yang tepat yaitu :

STRATEGI

1. Optimalisasi pengawasan, pengendalian internal, dan pengkoordinasian pendapatan sesuai regulasi di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;

2. Pengkajian rencana anggaran pendapatan, belanja SKPD untuk mewujudkan pelaksanaan pengelolaan anggaran pendapatan dan anggaran belanja daerah yang akuntable;

3. Pemenuhan kebutuhan dalam pelayanan administrasi perkantoran dan pengelolaan administrasi sebagai penunjang pelaksanaan tugas pokok dan fungsi SKPD;

4. Peningkatan sistem pengelolaan administrasi pendapatan dan belanja SKPD;

5. Peningkatan dan optimalisasi sarana dan prasarana sebagai penunjang pelayanan prima;

6. Peningkatan professionalisme aparatur sesuai tuntutan kebutuhan pemenuhan SDM yang handal.

KEBIJAKAN 1. Sistem pengelolaan pendapatan

berdasarkan peraturan dan perundang- undangan yang memperhatikan perkembangan dampak ekonomi makro dan mikro;

2. Pola kemitraan pemerintah dan masyarakat dalam pelaksanaan pemerintahaan dalam pengelolaan pendapatan dan belanja daerah;

3. Peningkatan kualitas pelayanan prima di bidang administrasi perkantoran;

4. Efektifitas dan efesiensi pelaksanaan kegiatan SKPD yang transparan dan bertanggungjawab yang tersaji dalam suatu proses manajemen ;

5. Pemenuhan kebutuhan sarana prasarana dalam penunjang sistem pelayanan prima;

6. Mengembangkan potensi kemampuan personil sesuai bidang tanggungjawabnya serta penerapan

Page 18: PENINGKATAN PAJAK DAERAH DI MASA OTONOMI DAERAH DI …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

JAP Vol. 1 No.2, Desember 2013 198

reward dan funishment terhadap prestasi yang terukur.

KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan dan hasil

analisis pada bab sebelumnya maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut. 1. Dari analisis efektivitas diketahui bahwa

tingkat Tingkat efektivitas pemungutan pendapatan asli daerah (PAD) selama tahun anggaran 2008 sampai dengan tahun 2011 secara rata-rata mencapai sasaran yang telah ditetapkan (target tercapai) yakni sebesar 101,12 % (cukup efektif).

2. Dari analisis data terlihat bahwa Kontribusi Pajak Daerah terhadap PAD selama tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 secara rata-rata yakni sebesar 53% yang berarti bahwa Pajak Daerah berperan besar dalam peningkatan PAD, dan dilihat dari data Tabel. 5.2 bahwa Pajak daerah yang paling besar pendapatannya adalah Pajak Penerangan Jalan dan pendapatan yang terendah adalah Pajak Parkir.

3. Upaya Pmerintah Kota Medan dalam peningkatan PAD seperti menyusun strategi, yang akan dilakukan adalah mengoptimalkan kekuatan internal yang sudah ada seperti halnya perda, kepwal, perwal, sidsur, sdm, potensi WP, pusat kegiatan wilayah dan kemauan politik untuk lebih sehat, lebih cerdas dan lebih sejahtera, kemudian menyusun kebijakan, mensinerjikan lingkungan strategis dengan memperhatikan faktor penentu keberhasilan dan kegagalan dalam critical success factors untuk menemukan leverage sebagai daya ungkit permasalahan yang rumit dan kompleks disederhanakan dalam penangananan yang sistematik.

SARAN-SARAN

Sejalan dengan uraian tujuan penelitian dan kesimpulan di atas, maka dapat dikemukakan saran sebagai berikut.

1. Dari hasil analisis diketahui bahwa proporsi Pajak Daerah terhadap PAD masih sangat besar sehingga perlu melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber

pendapatan daerah untuk lebih meningkatakan PAD.

2. Intensifikasi dilakukan dengan memanfaatkan potensi daerah yang ada, sedangkan ekstensifikasi dilakukan dengan cara menemukan sumber pendapatan potensial yang belum dieksploitasi. Mengamati perkembangan aktivitas baru dari kegiatan ekonomi masyarakat merupakan langkah awal untuk menemukan sumber-sumber pajak baru yang mungkin bisa dikembangkan Pemerintah Kota Medan.

3. Pemerintah Kota Medan semakin meningkatkan pengendalian dan pengawasan terhadap sumber-sumber penerimaan PAD untuk meningkatkan pengelolaan keuangan daerah secara transparan.

4. Meningkatkan kualitas SDM Dispenda Kota Medan dan peningkatan koordinasi, baik secara internal di lingkungan unit kerja Dispenda Kota Medan maupun secara eksternal dengan SKPD lainnya yang berhubungan dengan Dispenda.

DAFTAR PUSTAKA Ahmadjayadi, Cahyana., 2004, “Pemasaran

Daerah sebuah Model Strategi Pembangunan”, Makalah Seminar, Workshop Perencanaan Pembangunan Daerah, MEP-UGM, Yogyakarta.

Arsyad, Nurjaman, 1990, “Hubungan Fiskal antar Pemerintah di Indonesia, Peranannya dan Permasalahannya, Analisis CSIS, Tahun XIX, No. 3. 21-30.

Alderfer, H.F. 1964. Local government in developmg countries. New york : Mc.Graw Hill.

Antoft, K. & Novack, J. 1998. Grassroots Democracy : Local Government in the Maritimes. Nova Scotia : Dalhousie University.

Abdul wahab, Solichin, 2004. Reformasi Pelayanan Publik, Kajian dari Perspektif Teori Governance, Malang: PT. Danar Wijaya, Brawijaya University Press.

Arikunto, Suharsimi., 1998, Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Praktik (edisi Revisi IV), Jakarta, Rineka Cipta.

Page 19: PENINGKATAN PAJAK DAERAH DI MASA OTONOMI DAERAH DI …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

199 JAP Vol. 1 No.2, Desember 2013

Bagir Manan, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cetakan I, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta.

Binder, Brian,B.J., 1984 , “A Possible Concept for an Equalization Grant to Indonesia”, Ekonomi Keuangan Indonesia, Vol.XXXII , No.2.13-25.

Bratakusumah, D.S. dan Dadang Solihin, 2004, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Bryant, Coralie and Louise G. White., 1987, Manajemen Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta, Gramedia.

Creswell, J.W., 1994, Research Design : Qualitative & Quantitative Approaches, Sage Publications Inc, Thousand Oaks London.

Cohen, J.M. & Peterson, S. B. 1999. Administrative Decentralization : Strategies for Developing Countries Connecticut: Kumahan Press.

Conyers, D. 1983. “Decentralization : the latest fashion in development administration?.”Public Adminstration and Development, Vol. 3, 97-109.

Darumurti, K.D. dan Umbu Rauta, 2000, “Otonomi Daerah, Kemarin, Hari ini, dan Esok”, Kritis, Vol.XII No. 3. 1–53.

Devas,Nick.,Anne Both.,Bryan Binder.,Kenneth Davey.,Roy Kelly, 1989. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, UI-Press, Jakarta.

Davey, K.J., 1998, penterjemah Amarullah dkk, Pembiayaan Pemerintahan Daerah, Praktek-Praktek Internasional dan relevansinya Bagi Dunia Ketiga, Jakarta, UI Press.

Devas, Nick., 1989, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, Jakarta, UI Press.

Elmi, Bachrul, 2002, Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia, UI-Press, Jakarta.

Fisipol UGM, 1991, “Pengukuran Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggung Jawab”, Laporan Akhir Penelitian, Litbang Depdagri. Jakarta.

Garna, Judistira, K., 1999, Metode Penelitian Pendekatan Kualitatif, Bandung, Primaco Akademik.

Halim, Abdul., 2001, Bunga Rampai, Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta, UPP AMP YKPN.

Hoessein, B. 1999. “Pergeseran paradigma otonomi daerah dalam rangka refprmasi administrasi publik di Indonesia”. Makalah dalam Seminar Reformasi Hubungan Pusat-Daerah Menuju Indonesia Baru : Beberapa Masukan Kritis untuk Pembahasan Undang-Undang Otonomi Daerah dan Proses Transisi Implementasinya yang diselenggarakan ASPRODIA-UI. Jakarta: 27 Maret.

——,B. 2000. “Hubungan penyelenggaraan pemermtahan pusat dengan pemenntahan daerah" dalam Bisnis & Birokrasi, No. l.Vol, Juli.

-------, B. 2001. “Otonomi tak sekali jadi” Tempo, 28 Oktober.

-------, B. 2001. “Prospek resolusi kebijakan dan implementasi otonomi daerah dari sudut pandang hukum tata negara”, Makalah dalam Seminar dan Lokakarya Nasional Strategi Resolusi Kebijakan dan Implementasi Otonomi Daerah dalam Kerangka Good Governance yang diselenggarakan Pusut Kajian Kinerja Otonomi. Daerah Lembaga Administrasi Negara. Jakarta : 30 Oktober.

-------, B. 2001. “Kewenangan pengelolaan sumber daya alam dalam pelaksanaan otonomt daerah.” Makalah dalam seminar. Pemberdayaan Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Rl.Jakarta: 30-31 Oktober.

Handayaningrat, Soewarno., 1990, Pengantar Studi Ilmu Administrasi Dan Manajemen, Jakarta, CV. Haji Masagung.

Harsono, 1992, Hukum Tata Negara Pemerintahan Lokal dari Masa ke Masa, Yogyakarta, Liberty.

Insukindro, Mardiasmo, Widayat, W., Jaya, W.K., Purwanto, B.M., Halim, A., Suprihanto,J., Purnomo, A. Budi, 1994, “Peranan dan Pengelolaan Keuangan daerah dalam Usaha Peningkatan Pendapatan Asli Daerah”, Laporan Penelitian, KKD, FE-UGM. Yogyakarta.

Page 20: PENINGKATAN PAJAK DAERAH DI MASA OTONOMI DAERAH DI …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

JAP Vol. 1 No.2, Desember 2013 200

Kaho, Josep Riwu., 1998, “Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia”, PT. Bina Aksara, Jakarta.

Kakisina, Stephen., dan Rumansara, Agustinus., 2000, “Otonomi Daerah, Desentralisasi Pemerintahah Sebagai Tuntutan Demokrasi Politik dan Ekonomi yang Berkeadilan”, Kritis, Vol. XII No. 3. 54–77.

Kristiadi, J.B., 1995, “Masalah Sekitar Peningkatan Pendapatan Asli Daerah”, Prisma, No. 4, 114.

Kuncoro, Mudrajad, 1995, “Desentralisasi Fiskal di Indonesia”, Prisma, Vol. VII No.4, 3 –17.

Kosasih Taruna Sepandji, 2000, Manajemen Pemerintahan Daerah Era Reformasi Menuju Pembangunan Otonomi Daerah, Bandung, Universal.

,1998, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Universal.

Koswara, E., 1999, Teori Pemerintahan Daerah, Institut Ilmu Pemerintahan, Jakarta.

,2001, Otonomi Daerah Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat, Jakarta, Yayasan Pariba.

Lains, Alfian., 1985, Pendapatan Daerah Dalam Era Orde Baru, Jakarta, Prisma.

MacIver, R.M., 1961, The Web of Government, The Mac Millian Company, New York.

Manulang, M., 1983, Beberapa Aspek Administrasi Pemerintahan Daerah, Jakarta, Pembangunan

Mardiasmo, 2002, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta, Penerbit Andi.

,2002, Perpajakan, Yogyakarta, Penerbit Andi.

Moleong, Lexy J., 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosda Karya.

Munawir., 1990, Pokok-Pokok Perpajakan, Yogyakarta, Liberty.

Mamesah,D.J.,1995, “Sistem Administrasi Keuangan Daerah” ,PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Mardiasmo, 2004, “Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Daerah untuk Menyongsong Pelaksanaan Otonomi Daerah 2004”, Makalah Seminar, MEP-UGM, Yogyakarta.

Manila, I GK, 1996. Praktek Manajemn Pemerintahan Dalam Negeri, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Mazmanian, Daniel H., dan Paul A. Sabatier, 1983, Implementation and Public Policy, New York: HarperCollins.

Muluk, M.R. Khairul, 2002. “Desentralisasi : Teori Cakupan & Elemen” .Jurnal Administrasi Negara, Vol II No. 02. Maret 2002.

Meter, Donald Van, dan Carl Van Horn, 1975, "The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework dalam Administration and Society 6, 1975, London: Sage.

Meenakshisundaram, S. S. 1999. “Decentralization in Developing Countries” dalam Jha, S. N. & Mathur, P. C. Decentralization and Local Politics. New Delhi : Sage Publications.

Nawawi, Hadari, 1990, “Metode Penelitian Bidang Sosial”, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Osborne, David dan Gaebler Ted., 1997, “Reinventing Government”, Cetakan ketiga, Lembaga Pendidikan Pembinaan Managemen (PPM) dan PT. Pustaka Binama Pressindo, Jakarta.

Radianto, Elia, 1997, “Otonomi Keuangan daerah Tingkat II Suatu Studi di Maluku”, Prisma, VOL. IX , No. 3. 24 – 37.

Reksohadiprodjo, Sukanto, 2004, Ekonomika Publik, Edisi Pertama, BPFE, Yogyakarta.

Republik Indonesia, 2004, “Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah”.

Republik Indonesia, 2004, “Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah”.

Republik Indonesia, 2000, “Undang-Undang RI Nomor 34 tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi”.

Pamudji, S., 1984, Pelaksanaan Azas Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Dalam Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta, Yayasan Karya Dharma IIP.

Page 21: PENINGKATAN PAJAK DAERAH DI MASA OTONOMI DAERAH DI …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

201 JAP Vol. 1 No.2, Desember 2013

,1987, Kerjasama Antar Daerah dalam rangka Pembinaan Wilayah, Jakarta, Bina Aksara.

Rasyid, M., Ryaas., 2000, Makna Pemerintahan Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan, Jakarta, PT. Yasrif Watampone.

, 1997, Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan Politik Orde Baru, Jakarta, Yasrif Watampone.

Redjo, Samugyo Ibnu., 1998, Keuangan Pusat dan Daerah, Unpad-IIP.

, 1998, Analisa Pemerintahan di Indonesia, Bannndung, Fisip Press-Unpad.

Riwu Kaho, Yosef., 1997, Prospek Otonomi Daerah dan Negara Kesatuan Republik Indonesia Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya, Jakarta, Rajawali.

Rusidi, 1999, Metodologi Penelitian Sosial, Bandung, Program Pasca Sarjana UNPAD.

Rust, Boney, W., 1969, The Pattern of Government, London, Pitman Book.

Sarwoto., 1974, Organisasi dan Tata Kerja Aparatur Pemerintahan di Daerah, Bandiklat DDN, Jakarta.

Siagian, S. P., 2000, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta, Bumi Aksara.

, 1998, Pajak Daerah sebagai Sumber Keuangan Daerah, Jakarta, IIP.

Simon, Harbert. A., 1997, Administrative Behavior, New York, The Free Press.

Soemitro, Rochmat., 1980, Azas dan Dasar Perpajakan, Bandung, PT. Eresco,

,1983, Peraturan Perundang-undangan Tentang Pemerintahan Daerah, Bandung , PT. Eresco.

, 1989, Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, Bandung, PT. Eresco.

Sugiono, 2002, Metode Penelitian Administrasi, Bandung, Alfabeta

Sukarna, 1990, Pengantar Ilmu Administrasi, Bandung, Mandar Maju.

Suparmoko, M., 1991, Keuangan Negara, Yogyakarta, BPFE.

Suradinata, Ermaya, 1996, Organisasi dan Manajemen Pemerintahan Dalam Era Globalisasi, Ramadan, Bandung.

Sutopo, 1998, Administrasi, Manajemen, dan Organisasi, Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia.

Soetrisno, P.H., 1982, Dasar-dasar Keuangan Negara, Cetakan kedua, BPFE, Yogyakarta.

Suparmoko, M., 1979. “Azas-azas Ilmu Keuangan Negara”, BPFE, UGM Yogyakarta.

Syamsi, Ibnu., 1986, ‘Pokok-Pokok Kebijaksanaan, Perencanaan, Pemrograman, dan Penganggaran Pembangunan Tingkat Nasional “, CV. Rajawali, Jakarta.

Syaukani, HR., Affan Gaffar dan Ryaas Rasyid, 2002, “Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan”, Kerjasama PUSKAP dan Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI), Jakarta.

Sugiyono, 1998. Metode Penelitian Administrasi, Bandung : Alfabeta.

Tangkilisan, Hesel Nogi S, 2003. Kebijakan Publik Yang Membumi : Konsep, Srtrategi dan Kasus. Yogyakarta : Lukman Offset.

______, 2003. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta : Balairung.

Tjokroamidjojo, Bintoro, "Good Governance: Paradigma Baru Manajemen Pembangunan", Jakarta, 20 Juni 2000, kertas kerja.

Turner, Mark, dan David Hulme, 1997, Governance, Administration, and Development, London: MacMillan Press, 1997.

Wahab, Solichin Abdul, 2002, Analisis Kebijaksanaan: dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Sinar Grafika.

Tallo, Piet,A., 1997, “Himpunan Peraturan Penyelenggaraan Keuangan Daerah”. Arnol Dus Ende, Flores.

Taliziduhu Ndraha., 2000, Ilmu Pemerintahan I-IV, Jakarta, BKU Ilmu Pemerintahan, IIP Jakarta

,1999, Metodologi Ilmu Pemerintahan, Jakarta, Rineka Cipta.

, 2000, Teori Budaya Organisasi, BKU Ilmu Pemerintahan, Jakarta.

Tan, Nely, 1997, Masalah Perencanaan dalam Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta, Gramedia.

Page 22: PENINGKATAN PAJAK DAERAH DI MASA OTONOMI DAERAH DI …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

JAP Vol. 1 No.2, Desember 2013 202

The Liang Gie., 1986, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Indonesia, Jakarta, Salemba Empat.

Utomo, Warsito.,2000, ”Aspek Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia di dalam Implementasi Otonomi (Tuntutan Kompabilitas dan Akuntabilitas)”, UGM,Yogyakarta.

United Nation., 1962, Technical Assistant Programe, decentralization for National and Local Development, New York, Departement of Economic and social Affair, Division for Public Administration, United Nation.

Waluyo, Wirawan., 1999, Perpajakan Republik Indonesia, Jakarta, Rajawali Press.