PENGOLAHAN BANANA BARS DENGAN INULIN SEBAGAI … · 2018-12-08 · pada formula II belum memenuhi...
Transcript of PENGOLAHAN BANANA BARS DENGAN INULIN SEBAGAI … · 2018-12-08 · pada formula II belum memenuhi...
PENGOLAHAN BANANA BARS DENGAN INULIN SEBAGAI
ALTERNATIF PANGAN DARURAT
SKRIPSI
MELIA CHRISTIAN
F24070123
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PROCESSING OF BANANA BARS WITH INULIN AS EMERGENCY FOOD
Melia Christian, Ratih Dewanti-Hariyadi, Elvira Syamsir, and Rohmah Luthfiyanti
Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology,
Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java,
Indonesia
Phone +62 857 24032076, E-mail: [email protected]
ABSTRACT
There have been many disasters happened in Indonesia and as a consequence, many families
had to stay in temporary camps. One of the problems related to this situation is providing an
adequate, convenient, and nutritious foods for the refugees to maintain their health status in good
condition especially for the first few days until the stable food come. According to Zoumas et al
(2002), emergency food product must contain10-15% protein, 35-45% fat, and 40 to 50 percent
carbohydrate. One of the examples of an emergency food product is a snack bar. The objective of this
study was to obtain the best formulation, baking temperature and time to produce banana bars
acceptable by sensory evaluation and contained energy that meet emergency food requirements. This
research consisted of three steps. First step was to produce banana and tempe flour as the primary
ingredients of the banana bars, second step was to obtain the best formulation and baking parameters
to produce acceptable bars based on sensory evaluation, and the third step was reformulation to adjust the macronutrient content of the banana bars and physico-chemical analysis of the products.
The first step of the research resulted in banana and tempe flour similar to those obtained by other
researchers. The second step produced formula II containing 28.57% banana and tempe flour,
42.86% glutinous rice flour and margarine, 57.14% sugar, 5.71% inulin, and 22.86% water and
baking parameters of 100oC for 20 minutes followed by baking at 140oC for 40 minutes. Using the
formula and baking parameters above, banana bars was analyzed for proxymate analysis, however,
the results indicated that the macronutrient of protein did not meet the requirement of emergency food
product. Therefore, a reformulation was conducted to produce desired product in step three. In the
third step, four formulations containing banana flour, tempeh flour and inulin were evaluated for
proxymate analysis, physical, microbiological and sensory evaluation Because of the reformulation,
baking temperature and time was also adjusted. Based on the result of this research, the best baking
parameters was 100oC for 20 minutes and then raised to 130oC for 40 minutes. Based on the overall attribute of sensory evaluation, formula A and D was not significantly different and both of them were
the most preferred product by panelists. The formulation resulted in products containing energy of
111.72 calories and 110.60 calories. Macronutrient content of formula A didn’t meet the requirement
of emergency food product, but macronutrient content of formula D meet the requirement of
emergency food product. So, formula D was evaluated in other evaluation. Evaluation of banana bars
made with formula D suggested that the water activity was 0.308 in 30.3oC. Texture analysis of the
banana bar showed that product had peak force of (+) 1921.3 g force; 0.870 mm that showed the
value of hardness. The banana bar produced was crunchy, crispy, and did not form crumb. The colour
of the product was golden brown and analysis of the product showed L value of 47.75%, a value of
+9.68, b value of +24.43 and oHue value of 68.38. The microbiological result shows that all of the
formulation has a Total Plate Count of < 2.5 x 102 col/gr and Total Mold of < 1.5 x 101 col/gr which were lower than that required for cookies 1 x 106col/gr for Total Plate Count and 1 x 102col/gr for
Total Mold.
Keywords : emergency food, snack bars, banana, tempeh, inulin
MELIA CHRISTIAN. F24070123. Pengolahan Banana Bars dengan Inulin sebagai Alternatif
Pangan Darurat. Di bawah bimbingan Ratih Dewanti-Hariyadi, Elvira Syamsir, dan Rohmah
Luthfiyanti. 2011
RINGKASAN
Banyaknya bencana yang timbul di wilayah Indonesia telah menelan banyak korban jiwa dan
menyebabkan banyak warga harus tinggal di tempat pengungsian yang minim akan ketersediaan air
bersih dan kesulitan untuk memperoleh sumber bahan bakar untuk membuat makanan. Oleh karena
itu, diperlukan bantuan makanan yang dapat langsung dikonsumsi yang berupa pangan darurat.
Pangan darurat (EFP) merupakan pangan yang dirancang khusus untuk dikonsumsi pada situasi
yang tidak normal seperti banjir, longsor, gempa bumi, musim kelaparan, kebakaran, peperangan dan
kejadian lain yang mengakibatkan manusia tidak dapat hidup secara normal. Pangan darurat dapat
dikonsumsi selama 15 hari sampai bantuan pangan datang. Untuk memenuhi kebutuhan kalori
manusia per harinya, EFP harus memiliki kandungan kalori 2100 kkal/hari dengan persentasi kalori
protein sebesar 10-15%, lemak 35-45%, dan karbohidrat 40-50%.
Pangan darurat untuk korban bencana harus memiliki bentuk yang dapat langsung dikonsumsi
(ready to eat). Pangan darurat dapat dibuat dalam berbagai bentuk seperti kue satu, kue sagu, dodol,
nasi dalam kaleng, bars, biskuit ataupun cookies. Pangan darurat dapat dibuat dari bahan baku lokal
seperti tepung pisang, tepung tempe, tepung ketan, dan sebagainya sehingga produk dengan bahan
lokal ini dapat dikembangkan dan diproduksi oleh daerah. Bentuk pangan darurat yang berupa bars ini
dipilih dengan pertimbangan kemudahan konsumsinya. Tepung tempe berfungsi sebagai sumber
protein sedangkan tepung ketan berfungsi sebagai sumber karbohidrat.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan formulasi, suhu dan waktu
pemanggangan yang tepat agar dihasilkan karakteristik (fisik, kimia, dan mikrobiologi) bars yang
dapat diterima dengan kandungan energi yang mampu memenuhi persyaratan pangan darurat. Untuk
memenuhi tujuan tersebut maka dibuatlah pangan darurat berbentuk bars. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini terdiri dari tiga tahap penelitian. Tahap pertama adalah tahap pembuatan tepung
pisang dan tepung tempe sebagai bahan baku banana bars. Tahap kedua adalah optimasi proses
pemanggangan yang meliputi pencarian formulasi, suhu, dan waktu pemanggangan yang terbaik.
Tahap ketiga adalah tahap reformulasi dan analisis proksimat, fisik, kimia, dan mikrobiologi.
Tahap pertama dilakukan pembuatan tepung pisang dan tepung tempe dengan metode kering
yang kemudian hasil analisis proksimatnya dibandingkan dengan penelitian terdahulu milik Hermanto
(1991) dan Mardiah (1994) sebagai acuan. Berdasarkan hasil analisis proksimat kadar air, abu, lemak,
protein, dan karbohidrat dari tepung pisang dan tepung tempe telah mendekati hasil penelitian acuan.
Pada tahap kedua dilakukan formulasi bars dengan penentuan suhu dan waktu pemanggangan
agar dapat menghasilkan formula dengan karakteristik sensori yang dapat diterima. Formula awal
yang digunakan didasarkan pada modifikasi dari penelitian Ferawati (2009) yang kemudian dianalisis
organoleptik dan dipilih satu formula terbaik yang kemudian dimodifikasi agar kandungan
makronutriennya dapat memenuhi persyaratan pangan darurat. Modifikasi formula ini kemudian
digunakan dalam penentuan optimasi proses pemanggangan. Berdasarkan hasil uji organoleptik
diperoleh satu formula yang disukai yaitu formula II dengan suhu awal pemanggangan 100oC selama
20 menit kemudian dinaikkan menjadi 140oC selama 40 menit.
Tahap terakhir dari penelitian ini adalah tahap reformulasi dimana keempat formula yang
digunakan dalam penentuan suhu dan lama waktu pemanggangan diuji secara fisik, kimia,
mikrobiologi, dan organoleptik. Tahap reformulasi dilakukan karena kandungan makronutrien protein
pada formula II belum memenuhi persyaratan pangan darurat sehingga diperlukan modifikasi pada
bahan penyumbang makronutriennya. Tahap ini menggunakan empat formula yang dibedakan pada
kandungan tepung tempe, tepung ketan, dan inulin. Empat formula ini kemudian ditentukan suhu dan
lama waktu pemanggangannya. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh suhu dan lama waktu
pemanggangan terbaik adalah suhu 100oC selama 20 menit kemudian dinaikkan menjadi 130oC
selama 40 menit.
Pada keempat banana bars hasil reformulsi dianalisis proksimat agar dapat dihitung
kandungan energi dan makronutriennya telah memenuhi persyaratan pangan darurat, analisis fisik,
dan analisis mikrobiologi. Kemudian keempat formula ini dilakukan pengujian organoleptik terhadap
atribut rasa, tektur, aroma, warna, dan overall. Formula terbaik dipilih berdasarkan hasil uji
organoleptik terhadap atribut overall dan kandungan nilai sumbangan makronutriennya terhadap
persyaratan pangan darurat. Berdasarkan hasil uji organoleptik, formula Adan formula D memiliki
skor 6 (suka) sedangkan B dan C memiliki skor 5 (agak disukai). Formula A tanpa inulin memiliki
kandungan energi sebesar 111.72 kkal namun kandungan makronutrien proteinnya belum sesuai
dengan persyaratan pangan darurat yaitu 8.59% sedangkan persyaratan pangan darurat adalah 10-
15%. Formula B memiliki nilai energi sebesar 110.94 kkal dengan kandungan makronutrien yang
telah memenuhi persyaratan pangan darurat (lemak 35-45%, protein 10-15%, dan karbohidrat 40-
50%), namun formula ini tidak mengandung inulin. Formula C dengan inulin memiliki nilai energi
sebesar 111.68 kkal namun kandungan makronutrien proteinnya belum memenuhi persyaratan pangan
darurat. Formula D dengan inulin memiliki kandungan energi sebesar 110.60 kkal dengan kandungan
makronutrein yang memenuhi persyaratan pangan darurat. Bila dilihat dari nilai energi dan
pemenuhan kebutuhan makronutrien yang dimiliki setiap formula maka formula yang dapat dipilih
untuk dikembangkan sebagai alternatif pangan darurat adalah formula B dan D. Formula B merupakan
formula yang sama dengan formula D, namun formula B tidak mengandung inulin. Formula B dapat
dipilih sebagai formula terbaik bila ingin meminimalkan biaya produksi karena tidak menggunakan
inulin. Namun, dalam rangka mengembangkan inulin sebagai sumber serat dan prebiotik maka
formula terbaik yang dipilih adalah formula D.
Formula D dengan rasa enak, aroma yang menyerupai cookies dengan ada sedikit aroma tempe
tersebut disarankan untuk dikembangkan pada skala yang lebih besar. Analisis fisik berupa aw
memberikan nilai sebesar 0.308 pada suhu 30.3oC. Analisis tekstur memberikan nilai peak force (+)
sebesar 1921.3 g force; 0.870 mm dengan tekstur yang renyah, garing, dan tidak beremah. Analisis
warna memberikan nilai L sebesar 47.75%, a sebesar +9.68, b sebesar +24.43 dan oHue sebesar 68.38
dengan warna yang dilihat adalah coklat keemasan. Hasil analisis mikrobiologi Formula D
memberikan nilai TPC sebesar TPC < 2.5 x 102 kol/gr dan hasil Total Kapang-Khamir < 1.5 x 10
1
kol/gr. Jumlah TPC maksimum yang dapat dimiliki oleh produk cookies adalah 1 x 106 kol/gr dan
Total Kapang sebesar 1 x 102 kol/gr. Dengan demikian, produk banana bars dapat dikonsumsi karena
memiliki kandungan mikroba tidak melebihi batas yang ditetapkan. Kadar inulin yang dimiliki
formula D sebesar 9.18 g/100 g.
PENGOLAHAN BANANA BARS DENGAN INULIN
SEBAGAI ALTERNATIF PANGAN DARURAT
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh
MELIA CHRISTIAN
F24070123
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul Skripsi : Pengolahan Banana Bars dengan Inulin sebagai Alternatif Pangan
Darurat
Nama : Melia Christian
NIM : F24070123
Menyetujui,
Bogor, 14 Oktober 2011
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc Elvira Syamsir, STP, MSi
NIP 19620920 198603 2 002 NIP 19690809 199512 2 001
Pembimbing III
Rohmah Luthfiyanti, STP
NIP. 19780702 200502 2 001
Mengetahui:
Plt. Ketua Departemen ITP
Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si
NIP. 19610802 198703 2 002
Tanggal sidang : 19 September 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pengolahan
Banana Bars dengan Inulin sebagai Alternatif Pangan Darurat adalah hasil karya sendiri
dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik dan B2PTTG LIPI Subang, dan belum diajukan
dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2011
Yang membuat pernyataan
Melia Christian
F 24070123
© Hak cipta milik Melia Christian, tahun 2011
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,
fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
BIODATA PENULIS
Penulis dilahirkan di Cirebon, 31 Mei 1989. Penulis adalah anak pertama dari
dua bersaudara pasangan Christian dan Lusiana. Penulis menempuh
pendidikan Sekolah dasar di SD Santa Maria Cirebon pada tahun 1995-2001,
pendidikan Menengah Pertama di SMP Santa Maria Cirebon pada tahun
2001-2004, dan pendidikan Menengah Atas di SMA Santa Maria I Cirebon
pada tahun 2004-2007. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada
tahun 2007 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
Selama di perkuliahan penulis aktif dalam beberapa kepanitiaan seperti Journalistic Fair (JF),
Gebyar Nusantara (Genus), National Student Paper Competition (NSPC), Indonesia Food Expo
(IFOODEX), Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan (LCTIP) serta kegiatan organisasi KEMAKI IPB.
Penulis juga pernah bekerja sebagai asisten praktikum fisika (FMIPA), penyiar radio Agri FM, dan
sebagai pengajar kalkulus FORCES.
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kepada Yang Maha Kuasa atas karunia-Nya sehingga skripsi ini
berhasil diselesaikan. Dengan terselesaikannya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis
ingin menyampaikan penghargaan dan terma kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Mama Lusiana dan papa Christian serta adikku tersayang Deny Christian yang telah memberikan
nasihat, semangat serta dorongan motivasi yang sangat membantu penulis menyelesaikan tugas
akhir ini.
2. Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. dan Elvira Syamsir, STp, MSi selaku dosen pembimbing
akademik yang telah memberikan bimbingan dan saran selama penulisan skripsi ini, ilmu
pengetahuan, pandangan-pandangan, serta nasihat-nasihat yang dapat membuka wawasan penulis
serta memotivasi penulis untuk terus bersemangat mengerjakan dan memberikan hasil yang
terbaik.
3. Rohmah Luthfiyanti, STP selaku pembimbing lapang yang selalu memberi semangat dan petunjuk
untuk menyelesaikan tugas akhir ini.
4. B2PTTG LIPI Subang yang telah memberikan topik dan bantuan dana untuk menyelesaikan
skripsi ini.
5. Laboran-laboran di ITP, khususnya Pak Gatot, Bu Antin, Bu Rubiyah, Pak Wahid, Pak Yahya
yang telah membantu penulis menggunakan alat-alat untuk penelitian. Teknisi-teknisi di
SEAFAST CENTRE khususnya Pak Jun dan Pak Nur yang telah membantu penulis menggunakan
dan menjaga bahan-bahan yang ditinggalkan di lab.
6. Ii, iwat, sai, uu, kodut, dan cici Yuli yang telah memberikan dorongan moril maupun materiil
kepada penulis.
7. Teman senasib seperjuangan Ni Putu Ayu Lestari yang sangat berjasa bagi penulis dan Iman
Indrajaya yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.
8. Sahabat terbaik yang tak terlupakan Nita Yuliani, Theodora Meiliana, Marvin Lucky, Reggie
Surya, Eliana Susilo, Michael Devega, Yohana Maria Leoni, Irsyad, dan Kenny Muliawan yang
telah membantu penulis dalam memberikan masukan dan mengerjakan skripsi ini.
9. Teman-teman ITP 44: tante Mei, Bertha, Tece yang telah memberikan tumpangan, Andrew,
Khafid, Mba Mus, Ricky S, Dhina, Sisca, Indri, Romulo, Kurnia, Yesicca, Budel, Anya, Ale,
Irwan, Agy, Leo, Lisa, Marki, Amel, Tiara dan teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu
per satu serta teman-teman ITP 45 dan ITP 46 yang telah membantu penulis.
10. Pihak yang belum disebutkan namanya semoga kebaikannya dapat dibalas oleh Tuhan Yang Maha
Kuasa.
Semoga informasi pada skripsi ini dapat digunakan oleh pihak lain dalam pengembangan
ilmu pengetahuan. Terima kasih.
Bogor, 14 Oktober 2011
Melia Christian
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................................................. iv
DAFTAR TABEL ......................................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................................. viii
I. PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ....................................................................................................... 1
B. TUJUAN PENELITIAN .................................................................................................... 2
C. MANFAAT ....................................................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................... 3
A. PANGAN DARURAT ...................................................................................................... 3
B. PRODUK PANGAN DARURAT KOMERSIAL .............................................................. 4
1. SNACK BARS ............................................................................................................... 4
2. MEAL READY TO EAT ................................................................................................ 4
3. CAMPING POUCH PRODUCT ................................................................................... 5
4. LONG SHELF LIFE FOOD PRODUCT ....................................................................... 5
C. PENELITIAN TENTANG PANGAN DARURAT DI INDONESIA .................................. 6
D. INGRIDIEN PANGAN ..................................................................................................... 9
1. TEPUNG PISANG ....................................................................................................... 9
2. TEPUNG TEMPE ........................................................................................................ 10
3. TEPUNG BERAS KETAN PUTIH .............................................................................. 10
4. INULIN ....................................................................................................................... 11
E. PROSES PEMANGGANGAN DAN MUTU BANANA BARS............................................... 13
III. METODE PENELITIAN ......................................................................................................... 15
A. BAHAN DAN ALAT ........................................................................................................ 15
B. METODE PENELITIAN ................................................................................................... 15
1. PENGOLAHAN BAHAN BAKU ............................................................................... 16
1.1. PEMBUATAN TEPUNG PISANG ..................................................................... 16
1.2. PEMBUATAN TEPUNG TEMPE ....................................................................... 17
2. OPTIMASI PROSES PENGOLAHAN BANANA BARS .............................................. 18
3. REFORMULASI BANANA BARS ............................................................................... 20
C. METODE ANALISIS ....................................................................................................... 21
1. KADAR AIR .............................................................................................................. 21
2. KADAR ABU ............................................................................................................ 21
3. KADAR PROTEIN .................................................................................................... 22
4. KADAR LEMAK ....................................................................................................... 22
5. KADAR KARBOHIDRAT ......................................................................................... 22
6. KADAR SERAT KASAR .......................................................................................... 22
7. UJI KADAR INULIN ................................................................................................. 23
8. PENGUKURAN AKTIVITAS AIR ............................................................................ 23
9. ANALISIS TEKSTUR ............................................................................................... 24
10. ANALISIS WARNA .................................................................................................. 24
11. UJI ORGANOLEPTIK ............................................................................................... 24
12. UJI MIKROBIOLOGI ................................................................................................ 25
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................................. 26
A. PENGOLAHAN BAHAN BAKU ..................................................................................... 26
1. PEMBUATAN TEPUNG PISANG............................................................................. 26
2. PEMBUATAN TEPUNG TEMPE .............................................................................. 27
B. OPTIMASI PROSES PENGOLAHAN BANANA BARS ..................................................... 28
C. REFORMULASI BANANA BARS ...................................................................................... 33
D. ANALISIS PROKSIMAT, FISIK, DAN MIKROBIOLOGI ............................................... 34
E. UJI ORGANOLEPTIK ...................................................................................................... 37
F. PEMILIHAN FORMJULA TERBAIK .............................................................................. 38
G. PERBANDINGAN PERKIRAAN NILAI ENERGI DENGAN NILAI ENERGI AKTUAL 39
V. SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................................................... 41
A. SIMPULAN ..................................................................................................................... 41
B. SARAN ........................................................................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... 42
LAMPIRAN .................................................................................................................................. 48
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Syarat Mutu Cookies berdasarkan Standar Nasional Indonesia .......................................... 7
Tabel 2. Komposisi dan nilai energi untuk pangan darurat .............................................................. 8
Tabel 3. Komposisi dan nilai energi snack bars............................................................................... 9
Tabel 4. Kandungan inulin dalam beberapa bahan makanan ............................................................ 12
Tabel 5. Perkiraan kandungan gizi dan energi dari bahan penyusun EFP ......................................... 19
Tabel 6. Formula Banana bars ....................................................................................................... 19
Tabel 7. Suhu dan waktu pemanggangan dengan oven baking Getra .............................................. 19
Tabel 8. Suhu dan waktu pemanggangan dengan oven baking Mermet ............................................ 20
Tabel 9. Reformulasi formula II ..................................................................................................... 21
Tabel 10. Pengaturan Texture Analyzer pada pengukuran bars ........................................................ 24
Tabel 11. Hasil analisis proksimat tepung pisang ............................................................................ 26
Tabel 12. Hasil analisis proksimat tepung tempe............................................................................. 27
Tabel 13. Formula Banana bars ..................................................................................................... 30
Tabel 14. Reformulasi Formula II .................................................................................................. 32
Tabel 15. Hasil Analisis Proksimat Banana bars ............................................................................ 34
Tabel 16. Karakteristik banana bars ............................................................................................... 37
Tabel 17. Perbandingan nilai energi perkiraan dan hasil analisis proksimat ..................................... 40
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Struktur kimia inulin ..................................................................................................... 12
Gambar 2. Diagram alir penelitian.................................................................................................. 15
Gambar 3. Pisang nangka yang dibuat tepung ................................................................................. 16
Gambar 4. Diagram alir pembuatan tepung pisang .......................................................................... 17
Gambar 5. Tempe yang mengalami fermentasi satu hari ................................................................. 17
Gambar 6. Diagram alir pembuatan tepung tempe .......................................................................... 18
Gambar 7. Diagram alir pembuatan banana bars formula awal ....................................................... 18
Gambar 8. Diagram alir pembuatan banana bars dengan inulin ...................................................... 20
Gambar 9. Banana bars yang mengalami case hardening ............................................................... 29
Gambar 10. Histogram uji rating hedonik terhadap atribut rasa ....................................................... 30
Gambar 11. Ketidaseragaman warna banana bars .......................................................................... 31
Gambar 12. Histogram Uji Rating Hedonik 1 ................................................................................. 32
Gambar 13. Banana bars perlakuan 1, 2, 3, dan 4 ........................................................................... 32
Gambar 14. Banana bars hasil reformulasi ..................................................................................... 34
Gambar 15. Histogram Uji Rating Hedonik 2 ................................................................................. 38
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Formula Awal Banana Bars ....................................................................................... 49
Lampiran 2a. Perkiraan energi Formula A hasil reformulasi ............................................................ 50
Lampiran 2b. Perkiraan energi Formula B hasil reformulasi ............................................................ 51
Lampiran 2c. Perkiraan energi Formula C hasil reformulasi ............................................................ 52
Lampiran 2d. Perkiraan energi Formula D hasil reformulasi ........................................................... 53
Lampiran 3a. Perhitungan Energi Formula A (per bar) ................................................................... 54
Lampiran 3b. Perhitungan energi Formula B (per bar) .................................................................... 54
Lampiran 3c. Perhitungan Energi Formula C (per bar) ................................................................... 54
Lampiran 3d. Perhitungan Energi Formula D (per bar) ................................................................... 54
Lampiran 4. Kuisioner uji rating hedonik 1..................................................................................... 55
Lampiran 5. Kuisioner uji rating hedonik 2..................................................................................... 56
Lampiran 6a. Hasil uji rating hedonik rasa...................................................................................... 57
Lampiran 6b. Hasil uji rating hedonik rasa ..................................................................................... 57
Lampiran 6c. Hasil uji rating hedonik rasa ..................................................................................... 57
Lampiran 6d. Hasil uji rating hedonik warna .................................................................................. 58
Lampiran 6e Hasil uji rating hedonik overall .................................................................................. 58
1
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Bencana alam yang terjadi di Indonesia telah menelan banyak korban jiwa dalam waktu
singkat dan sebagian dari mereka harus tinggal di tempat pengungsian. Salah satu bencana alam
yang pernah terjadi di Indonesia adalah bencana Gunung Merapi. Jumlah pengungsi di Jawa
Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mencapai 278403 jiwa (Anonim, 2011). Tempat
pengungsian yang ada di Indonesia umumnya masih minim akan ketersediaan air bersih dan bahan
bakar untuk memasak. Oleh karena itu, diperlukan bantuan pangan yang dapat langsung
dikonsumsi dan tidak memerlukan pengolahan namun dapat memenuhi kebutuhan gizi per harinya
(2100 kkal). Pemberian bantuan pangan berupa mi instan, bubur instan, ataupun beras kurang
efektif karena memerlukan pengolahan sebelum dikonsumsi. Kandungan gizinya pun hanya
terbatas pada karbohidrat saja, sedangkan untuk pertumbuhan manusia, khususnya anak-anak
memerlukan zat gizi lain seperti lemak, protein, vitamin, dan mineral.
Jenis pangan yang dibutuhkan oleh para korban bencana alam seharusnya yang bersifat ready
to eat (siap santap) sehingga memudahkan para korban untuk mengonsumsinya. Selain itu,
memiliki kandungan karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral yang mencukupi kebutuhan
gizinya sehingga bukan hanya mengenyangkan tetapi juga menyehatkan dan nilai kalorinya sesuai
seperti kebutuhan manusia normal sehari-harinya. Pangan yang diberikan diharapkan bukan hanya
dapat mengganjal perut, tetapi juga dapat berfungsi sebagai pengganti sarapan dan makan yang
mampu memberikan energi dalam jumlah yang cukup. Salah satu alternatif pangan yang dapat
diberikan pada para pengungsi adalah pangan darurat.
Pangan darurat (Emergency Food Product, EFP) merupakan pangan yang dalam keadaan
darurat diharapkan dapat memenuhi kebutuhan konsumsi harian energi dan gizi manusia sebesar
2100 kkal yang terjadi bila dalam keadaan darurat (IOM, 1995b). Keadaan darurat yang
dimaksudkan adalah banjir, longsor, gempa bumi, musim kelaparan, kebakaran, peperangan, dan
kejadian lain yang mengakibatkan manusia tidak dapat hidup secara normal (USAID, 2001b).
Pemberian pangan darurat bertujuan untuk mengurangi timbulnya penyakit atau kematian diantara
pengungsi dengan menyediakan pangan bernutrisi yang sesuai dengan asupan harian selama lima
belas (15) hari, terhitung mulai terjadinya pengungsian. Pangan darurat harus mampu memenuhi
kebutuhan kalori sehari (2100 kkal) yang dapat disumbangkan oleh protein sebesar 10- 15%, 35-
45% lemak, dan 40-50% karbohidrat dari total kalori (Zoumas, et al., 2002).
Salah satu contoh produk pangan darurat yang memiliki umur simpan yang cukup lama
adalah food bars. Food bars merupakan salah satu produk pangan olahan kering berbentuk batang
yang memilliki nilai aw rendah yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba sehingga memiliki
umur simpan yang cukup panjang. Cara pembuatannya pun mudah dan dapat diaplikasikan pada
Usaha Kecil Menengah (UKM). Selain itu, produk food bars dapat memenuhi kebutuhan energi
per hari sebesar 2100 kkal dengan sumbangan makronutrien yang dirancang untuk memenuhi
standar pangan darurat yaitu protein sebesar 10-15%, lemak sebesar 35-45%, dan karbohidrat 40-
50% (Zoumas et al., 2002). Food bars memiliki bentuk batang yang memudahkan dalam
pengemasan dan penghematan tempat sehingga proses pendistribusian menjadi lebih efisien.
Produk food bars dapat dibuat dari berbagai macam bahan baku. Food bars yang dibuat pada
penelitian ini adalah banana bars. Banana bars ini dapat dibuat di berbagai daerah penghasil
pisang di Indonesia seperti daerah Subang yang banyak menghasilkan pisang nangka. Tepung
pisang nangka dijadikan sebagai salah satu bahan baku utama banana bars. Pengolahan pisang
nangka menjadi tepung bertujuan untuk meningkatkan daya simpan sebelum diolah lebih lanjut.
2
Selain itu, tepung pisang nangka memiliki aroma yang cukup kuat, harganya cukup murah, dan
memiliki banyak kandungan gizi.
Sumber protein yang digunakan pada banana bars adalah tepung tempe yang memiliki nilai
protein dan daya cerna yang lebih tinggi dibandingkan tepung kedelai. Selain itu, tepung tempe
tidak menimbulkan pengaruh negatif seperti lactose intolerance yang dapat ditimbulkan bila
penderitanya mengonsumsi susu sebagai sumber protein. Tempe juga merupakan bahan baku yang
murah, mudah diperoleh, dan mudah dibuat menjadi tepung tempe. Sumber karbohidrat pada
banana bars adalah tepung ketan yang berfungsi sebagai pengganti terigu. Inulin yang
ditambahkan pada produk banana bars dapat memperbaiki kondisi sistem pencernaan para
pengungsi karena berfungsi sebagai prebiotik. Inulin yang digunakan pada banana bars
merupakan inulin komersial yang berfungsi sebagai bahan pengental, memperbaiki tekstur,
memperkaya kandungan serat, dan berperan sebagai prebiotik (Franck dan Leenher, 2005).
B. TUJUAN PENELITIAN
1. Mendapatkan formulasi dan proses pemanggangan (suhu dan waktu) pembuatan pangan darurat
berbentuk bar dari bahan dasar tepung pisang, tepung ketan, tepung tempe, dan inulin yang
dapat memenuhi kebutuhan 2100 kkal/hari dengan sifat fisikokimia, mikrobiologis, dan sifat
sensori yang dapat diterima.
2. Mengevaluasi karakteristik (fisik, kimia, mikrobiologi, dan sensori) produk food bars yang
dihasilkan dengan metode pengolahan yang tepat.
C. MANFAAT
Manfaat dari penelitian ini adalah dihasilkannya EFP berbahan baku lokal dengan inulin yang
menghasilkan kalori yang cukup (2100 kkal/hari) dan memenuhi persyaratan mutu dan keamanan
pangan serta dapat digunakan sebagai camilan bergizi.
3
II.TINJAUAN PUSTAKA
A. PANGAN DARURAT
Pangan darurat merupakan pangan khusus yang dikonsumsi pada saat darurat untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi harian manusia (2100 kkal) (Zoumas et al., 2002). Tujuan utama
dari pangan darurat ialah mengurangi timbulnya penyakit atau jumlah kematian diantara para
pengungsi dengan menyediakan pangan bergizi lengkap sebagai sumber energi satu-satunya
selama lima belas (15) hari. Waktu tersebut dihitung mulai dari pengungsian terjadi. Agar dapat
disebut sebagai pangan darurat, maka pangan tersebut harus memenuhi karakteristik pangan
darurat yaitu aman dikonsumsi dengan warna, bau, aroma, tekstur dan penampakan yang dapat
diterima, memiliki nutrisi yang cukup, dapat diterima, mudah dipindahkan, dan mudah digunakan.
Selain itu, terdapat beberapa faktor pendukung kelima karakteristik tersebut, yaitu stabilitas
mikroba, ketahanan nutrisi dan stabilitas kimia, flavor dan pewarna, komposisi, uji penerimaan
prototipe produk, pengemasan, konfigurasi produk, dan metode produksi.
Pangan darurat sangat diperlukan untuk membantu para pengungsi saat terjadi bencana alam.
Pangan darurat diharapkan dapat disimpan sebagai stok sehingga saat bencana alam terjadi dapat
langsung digunakan. Pemberian produk pangan darurat dilakukan bersama-sama dengan
pemberian air minum untuk menurunkan tekanan osmotik pangan berkalori tinggi ini. Pemberian
produk ini bermanfaat untuk mempertahankan kehidupan sampai isolasi daerah dapat dibuka atau
ketika kehidupan normal telah berlangsung.
Pangan darurat dapat dikelompokkan dalam dua bagian yaitu produk pangan yang dirancang
untuk kondisi dimana air bersih dan bahan bakar untuk memasak masih tersedia, dan produk
pangan yang dirancang untuk menghadapi situasi dimana air bersih tidak tersedia dan tidak bisa
memasa. Pangan darurat juga diharapkan dapat dikonsumsi oleh berbagai kalangan usia (bayi
berusia 0-12 bulan tidak termasuk di dalamnya). Di Indonesia saat ini sudah banyak berkembang
pangan darurat untuk kepentingan tentara di lapangan namun belum banyak dikembangkan
pangan darurat untuk korban bencana alam. Bahan baku pangan darurat yang akan dikembangkan
untuk korban bencana alam dapat berasal dari bahan baku lokal yang dapat meminimalkan biaya
produksi.
Pangan darurat harus memenuhi kebutuhan kalori yang dibutuhkan oleh tubuh (2100 kkal)
dari berbagai komponen makronutrien penyumbang energi dengan kadar air yang rendah. Jumlah
lemak yang direkomendasikan oleh Zoumas, et al (2002) adalah 35-45% dari total kalori yang
dibutuhkan atau sekitar 9-12 gram per 50 gram. Bila jumlah lemak lebih dari 45% total energi
maka produk akan menjadi kurang stabil.
Makronutrien lainnya selain lemak adalah protein. Protein dalam pangan darurat adalah 10-
15% dari total energi atau sekitar 7.9 gram per 50 gram. Jumlah ini direkomendasikan untuk
menghindari timbulnya gangguan pada ginjal dan rasa haus yang berlebihan (Zoumas et al, 2002).
Sumber utama karbohidrat ialah pati yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan spesifik
untuk rasa, palatabilitas, stabilitas dan fungsi metabolik. Karbohidrat memberikan sumbangan
energi sebesar 40-50% dari total 700 kkal atau 23-35 gram per 50 gram. Karbohidrat merupakan
salah satu sumber utama energi pada produk pangan darurat di samping lemak, memberikan rasa
manis, menghasilkan sifat-sifat fisik yang diinginkan pada produk dan juga berperan penting
dalam penyerapan natrium untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit tubuh. Sumbangan
energi lemak, protein, dan karbohidrat ini diperoleh dari nilai energi masing-masing makronutrien
terhadap total energi per bar dikalikan 100 persen.
4
Komposisi bahan yang akan digunakan harus mengandung nilai nutrisi tertentu. Pangan
darurat akan didistribusikan pada berbagai etnis dan kultur. Oleh karena itu, alkohol maupun
produk hewan selain susu sebaiknya tidak digunakan. Penggunaan bahan makanan yang dikenal
dapat menimbulkan alergi, sebaiknya dihindari. Menurut Zoumas, et al., (2002) ada beberapa
bahan yang direkomendasikan sebagai sumber gizi:
a. Sumber karbohidrat: tepung terigu, jagung, oats, tepung beras
b. Sumber protein: produk-produk kacang seperti konsentrat atau isolat protein; susu bubuk
seperti kasein dan turunannya; campuran antara bahan dasar serealia dan protein harus
memiliki skor asam amino ≥ 1.0
c. Sumber lemak: hidrogenasi parsial dari kacang kedelai, minyak kanola, minyak bunga
matahari
d. Gula: glukosa, high fructose corn syrup, maltodekstrin
e. Vitamin dan mineral juga dapat ditambahkan untuk meningkatkan profil produk
B. PRODUK PANGAN DARURAT KOMERSIAL
Pangan darurat telah berkembang di berbagai negara. Pangan darurat memiliki beberapa
bentuk diantaranya Snack Bars, Meal Ready To Eat, Camping Pouch Product, Long Shelf Life
Food Supply. Produk pangan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai produk pangan darurat
adalah bars. Produk ini lebih dipilih daripada bentuk pangan lain seperti pangan kalengan ataupun
pangan semi basah disebabkan oleh ketahanannya saat didistribusikan. Pangan dalam bentuk bars
(batang) memiliki tingkat keawetan yang lebih tinggi dibandingkan bentuk lainnya, tahan
mengalami guncangan ataupun lemparan karena tekturnya yang kokoh, tidak mudah hancur, dan
tidak rapuh.
1. Snack bars
Merupakan cookies yang difomulasi secara khusus sehingga tidak menyebabkan rasa haus
dan memiliki kandungan protein tinggi, berbentuk batang yang biasa dikonsumsi di sela-sela
waktu makan. Menurut Ryland (2010), snack bars dapat memenuhi permintaan konsumen akan
gizi, kenyamanan, dan rasa yang dapat memenuhi rasa lapar dalam waktu singkat sampai makanan
utama berikutnya disantap. Ada tiga jenis snack bars. Jenis pertama merupakan cereal bars atau
sarapan dengan sereal sebagai bahan utama dan bahan seperti kacang atau buah-buahan, dengan
madu, atau karamel sebagai binder. Contohnya adalah granola bars, yang biasanya dikonsumsi
saat sarapan. Jenis kedua adalah chocolate bars contohnya permen atau coklat yang berbentuk
batang. Produk chocolate bars komersial adalah ”Snickers” dan ”Mars”. Jenis ketiga adalah
energy bars yang biasanya mengandung sekitar 200-300 kalori per bar. Jenis ini biasanya dimakan
oleh pengendara sepeda motor, pelari, dan atlet. Energy bars mengandung kalori seimbang,
karbohidrat, protein, dan lemak. Menurut Aigster (2011), bars dengan nutrisi yang seimbang
kalori, lemak, karbohidrat, dan protein, vitamin dan mineralnya sedang dicari untuk
dikembangkan. Setiap bar mengandung vitamin dan mineral dalam jumlah berlebih. Produk ini
memilki umur simpan sekitar lima tahun dan dapat disimpan pada kisaran temperatur yang
ekstrem (-54.2oC sampai dengan 134oC).
2. Meals Ready to Eat (MRE)
Produk jenis ini merupakan salah satu bentuk makanan untuk keperluan militer. Awalnya
produk ini dikembangkan untuk program luar angkasa dan kemudian berkembang menjadi
makanan militer dan sekarang digunakan oleh petualang padang gurun. MRE bisa dibuat dengan
5
mengombinasikan beberapa jenis pangan untuk memenuhi kriteria menu lengkap, dikemas dalam
satu wadah yang ringan, sehingga mudah didistribusikan terutama dalam kondisi tempur. MRE
dikemas dalam kemasan khusus yang tertutup rapat dan tidak terekspos udara seperti retort pouch.
Menurut Hariyadi (2008), sebagai ransum tempur, MRE harus dikembangkan untuk memberikan
dukungan gizi bagi seorang tentara untuk melakukan tugas tempur dengan baik; dimana kondisi
logistik pangan normal tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu, ransum MRE, selain harus aman
dan bergizi, juga harus memenuhi beberapa kriteria logistik yang cukup berat. Kriteria MRE itu
antara lain:
Awet. MRE dipersyaratkan mempunyai umur simpan yang lama. The US Army
mensyaratkan umur simpan minimum 3 tahun pada suhu penyimpanan 27oC dan
minimum 6 bulan pada suhu 37oC.
Kuat. MRE harus dikemas dengan kuat, mampu bertahan dan tidak rusak jika dijatuhkan
menggunakan parasut dari pesawat dengan ketinggian 400 meter. Atau, mampu bertahan
untuk dijatuhkan atau dilemparkan dengan parasut dari helikopter dengan ketinggian
sekitar 30 meter. Kemasan juga harus kuat mendapatkan perlakuan kasar dan kondisi
logistik, penyimpanan dan distribusi yang tidak ideal bahkan kondisi lingkungan ekstrim.
Kemasan juga harus tahan terhadap ancaman binatang yang mungkin terdapat pada
lingkungan darurat.
Bermutu. MRE yang diproduksi harus aman, bergizi dan mempunyai kualitas
organoleptik, terutama citarasa yang bisa diterima. Persyaratan tentang kualitas
organoleptik ini menjadi lebih penting untuk pengembangan ransum darurat untuk
keperluan kemanusiaan (sering disebut dengan istilah Humanitarian Daily Rations,
HDR). Hal ini disebabkan karena kondisi bencana tentunya memberikan efek depresi
yang lebih bagi kelompok sipil daripada kelompok militer yang terlatih. Kondisi depresi
sering mengakibatkan menurunnya atau bahkan hilangnya selera makan. Karena itulah
pengembangan ransum darurat harus memperhatikan kebiasaan dan selera makan korban
bencana. Sesuai dengan tujuannya, maka HDR disusun untuk memberikan jaminan
pemenuhan keperluan gizi minimum bagi korban bencana untuk bisa tetap bertahan pada
kondisi darurat. MREs dapat berbentuk pangan lengkap yang mengandung daging, sayur
atau buah, kacang, kraker berprotein tinggi, dan lain-lain.
3. Camping Pouch Products
Produk ini dikemas dalam kemasan alumunium foil dan memiliki umur simpan sekitar dua
tahun pada suhu ruang. Pangan ini merupakan pangan hasil freeze drying dan setiap kemasan
disemprot dengan nitrogen untuk mencegah deteriorasi dan memperpanjang umur simpan. Produk
ini memiliki kandungan energi yang cukup dengan persentase makronutrien didominasi oleh
lemak (40-50%). Pangan ini membutuhkan tambahan air panas atau air dingin untuk dapat
dikonsumsi (Winarno, 2004).
4. Long Shelf Life Food Supply
Produk ini juga merupakan hasil freeze drying yang dikemas di dalam double-enameled can,
disemprot dengan nitrogen sehingga memiliki umur simpan yang sangat tinggi yaitu 10-15 tahun
atau lebih. Jenis dari produk ini ada 2 yaitu Ready reserves dan Alpine aire. Perbedaan kedua jenis
produk ini adalah komposisi penyusunnya. Untuk kandungan energinya, kedua jenis dari produk
ini memiliki kandungan yang sama per kemasannya.
6
C. PENELITIAN TENTANG PANGAN DARURAT DI INDONESIA
Saat ini produk pangan darurat belum banyak dikembangkan di Indonesia. Bantuan pangan
yang diberikan untuk korban bencana alam biasanya berupa beras dan mi instan. Hal ini tidak
membantu para pengungsi yang sedang mengalami kesulitan untuk memperoleh air bersih,
peralatan memasak, dan bahan bakar. Mereka mengharapkan produk pangan yang dapat langsung
dikonsumsi.
Pada tahun 2009 pernah dibuat formulasi pangan darurat menggunakan bahan baku lokal
bernama ImunoYoi oleh Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek Serpong),
Tangerang. Pangan darurat ini menjadi sumber karbohidrat dan protein bagi korban bencana alam.
Kelebihan lainnya, makanan darurat ini mengandung zat aktif yang berfungsi untuk meningkatkan
kekebalan tubuh, misalnya supaya terhindar dari diare, influenza, dan gangguan kesehatan lainnya.
ImunoYoi masih dibuat dalam skala percobaan dan diproduksi dengan berat 100 gram dengan
kebutuhan energi sekitar 500 kilokalori (kkal). Nilai gizinya meliputi karbohidrat 56%, lemak
21%, protein 13%, dan mineral 3%. Setiap orang dewasa diperkirakan memiliki kebutuhan 2100
kkal sehingga setiap hari cukup mengonsumsi empat kemasan ImunoYoi. Untuk
mengonsumsinya, tidak perlu memasak. Harga produksi ImunoYoi per 100 gram dalam kemasan
siap didistribusikan berkisar Rp 4000,00. Bahan makanan ini dikemas dalam kemasan tertutup dan
bisa tahan sampai enam bulan. Namun, makanan ini belum dikembangkan oleh pemerintah untuk
diproduksi massal.
Produk pangan darurat bukan hanya dapat dibuat oleh pemerintah pusat, melainkan
pemerintah daerah pun dapat membuatnya. Oleh karena itu, produk pangan yang berbasis bahan
baku lokal akan lebih mudah dibuat karena bahan bakunya mudah diperoleh. Produk pangan
darurat hendaknya memiliki umur simpan yang panjang agar dapat disimpan sebagai stok pada
suhu ruang sehingga dapat digunakan bila tiba-tiba terjadi bencana alam. Selain itu, produk
pangan darurat sebaiknya dibuat dalam bentuk olahan kering dan produk pangan kalengan.
Namun, untuk mempermudah proses pendistribusian maka produk olahan kering lebih berpotensi
untuk dikembangkan.
Salah satu bentuk pangan darurat olahan kering yang berpotensi untuk dikembangkan adalah
snack bars jenis energy bars. Snack bars merupakan cookies yang difomulasi secara khusus
sehingga tidak menyebabkan rasa haus dan memiliki kandungan protein tinggi, berbentuk batang
yang biasa dikonsumsi di sela-sela waktu makan. Energy bars memiliki kandungan makronutrien
protein, lemak, dan karbohidrat yang tinggi sehingga dapat memenuhi kebutuhan energi harian
(2100 kkal) yaitu sebesar 10-15% berasal dari protein, 35-45% dari lemak, dan 40-50% dari
karbohidrat. Energy bars merupakan suplemen diet yang sering dikonsumsi oleh atlet dan orang
dengan aktivitas fisik yang tinggi untuk menjaga kecukupan energinya. Selain itu, bars memiliki
bentuk batang yang mudah dibuat, mudah dikemas, mudah didistribusikan karena memiliki tekstur
yang kokoh, serta dapat menghemat tempat penyimpanan dibandingkan bentuk bulat ataupun
silinder. Formula bars seperti formula cookies. Kandungan protein pada cookies (SNI, 1992)
maksimum 6% sedangkan kandungan protein pada bars menurut Zoumas et al (2002) adalah 10-
15%. Bars memiliki kandungan makronutrien protein, karbohidrat, dan lemak yang seimbang dan
dapat memenuhi kebutuhan energi sehari. Menurut SNI 01-2973-1992, cookies merupakan salah
satu jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, relatif renyah, dan bila
dipanaskan penampang potongannya bertekstur kurang padat.
Di Indonesia belum ada standar khusus yang mengatur tentang pangan darurat berbentuk
bars. Oleh karena itu, standar pangan darurat mengacu pada Zoumas et al (2002) yaitu sumbangan
lemak sebesar 35-45%, protein 10-15%, dan karbohidrat 40-50% dengan nilai energi yang
7
memenuhi kebutuhan energi harian sebesar 2100 kkal sedangkan pengujian mikrobiologi
didasarkan pada Standar Nasional Indonesia tentang cookies yang ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Syarat Mutu Cookies berdasarkan Standar Nasional Indonesia
Parameter Satuan Syarat mutu
Keadaan (bau, warna, rasa, tekstur) Normal
Kadar air % b/b Maksimum 5
Protein % b/b Maksimum 6
Kadar abu % b/b Maksimal 2
Bahan tambahan pangan
Pewarna dan pemanis buatan
Yang tidak diizinkan tidak boleh ada Cemaran logam
Tembaga (Cu)
Timbal (Pb)
Seng (Zn)
Raksa (Hg)
mg/kg
Maksimum 10
Maksimum 1.0
Maksimum 40.0
Maksimum 0.05
Cemaran mikroba
Angka lempeng total
Coliform
E.coli
Kapang
Koloni/g
APM/g
APM/g
Koloni/g
Maksimum 1.0 x 106
Maksimum 20
< 3.0
Maksimum 1.0 x 102
Sumber: Badan Standardisasi Nasional (1993)
Pangan darurat dalam bentuk food bars memiliki beberapa kelebihan diantaranya memiliki
nilai aw yang rendah sehingga memiliki umur simpan yang lama dibandingkan produk semi basah
yang memiliki nilai aw lebih tinggi. Di samping kelebihan yang dimiliki, produk food bars yang
memiliki tekstur kering ini dapat menyebabkan rasa haus bila dikonsumsi tanpa pemberian air
minum. Selain itu, produk food bars ini mudah menyerap uap air yang ada di udara akibatnya
produk menjadi lembab dan tidak renyah lagi. Oleh karena itu, kemasan produk food bars perlu
diperhatikan secara khusus sehingga kualitas produknya tetap terjaga dan memiliki umur simpan
yang lama.
Produk pangan darurat yang pernah dibuat oleh IPB (Institut Pertanian Bogor) antara lain
banana bars berbahan baku puree pisang, tepung terigu, dan tepung singkong yang dilakukan oleh
Ferawati (2009), cookies berbahan baku utama tepung kacang hijau yang dibuat oleh Sitanggang
(2008), pangan darurat dodol berbahan baku tepung beras ketan, tepung kacang hijau, isolat
protein, dan susu full cream yang dibuat oleh Sitanggang (2009), dan pangan darurat kaleng
berbahan baku utama nasi dan ayam bumbu yang dibuat oleh Valentina (2009) yang ditunjukkan
pada Tabel 2.
8
Tabel 2. Komposisi dan nilai energi pangan darurat yang pernah dikembangkan di skala laboratorium
Penelitian Ferawati (2009)* Sitanggang (2008)* Sitanggang (2009) Valentina (2009)
Bahan baku Tepung kedelai 48.78%
Pisang 73.17%
Terigu 6.1%
Tepung singkong 6.1%
Gula halus 39.02%
Margarin 24.39%
Air 2%
Tepung kacang hijau 81.48%
Minyak kelapa 9.26%
Margarin 12.96%
Susu bubuk full cream 18.52%
Gula pasir 37.03%
Air 2%
Susu full cream 5.43%
Ketan 21.74%
Kacang hijau 16.30%
Gula merah 10.87%
Gula pasir 13.04%
Margarin 5.43%
Isolat protein 10.87%
Garam 1.09%
FORMULASI NASI
Beras 36.87%
Santan kara 6.16%
Kaldu balok 1.47%
Garam 0.18%
Air 55.31%
FORMULASI AYAM BUMBU
Daging ayam 41.07%
Santan kara 32.86%
Minyak goreng 8.21% Bawang merah 3.09%
Bawang putih 0.79%
Kemiri 0.55%
Ketumbar 0.03%
Gula pasir 10.95%
Garam 1.37%
Sumbangan makronutrien**
Lemak (%) 36.92 17.46 48.16 49.63
Protein (%) 14.15 17.05 11.28 11.26
Karbohidrat (%) 48.94 30.43 40.56 39.11
Nilai energi per produk 203.85kkal/50 gram 227.57kkal/450 gram 531.99 kkal/100 gram 639.42 kkal/200 gram
* dihitung berdasarkan jumlah tepung-tepungan
** dihitung terhadap 700 kkal
9
Penelitian tentang snack bars pernah dilakukan oleh Chandra (2010) berbahan baku tepung
sorgum, tepung maizena, dan tepung ampas tahu, penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2010)
berbahan baku tepung jewawut dan tepung ampas tahu, serta penelitian Stephanie (2010) dengan
bahan baku tepung jewawut dan serum (whey) tahu yang dapat digunakan sebagai pembanding
pada penelitian ini. Komposisi dan nilai energi yang dimiliki penelitian pembanding tersebut
disajikan pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Komposisi dan Nilai Energi Snack Bars
Penelitian Chandra (2010) Wijaya (2010)* Stephanie (2010)
Bahan baku Sorgum 31.73%
Maizena 10.58%
Ampas tahu 5.77%
Selai nanas 26.92%
Telur 11.54%
Susu bubuk 7.69%
Minyak goreng 5.77%
Tepung jewawut 9.28%
Tepung ampas tahu 18.34%
Tepung hunkue 19.34%
Tepung gula 8.84%
Susu skim 8.84%
Pala 6.63%
Minyak goreng 14.36%
Air 14.36%
Tepung jewawut 24.03%
Kelapa parut kering 24.03%
Gula 8.65%
Garam 0.02%
Susu full cream 4.81%
Whey tahu 19.23%
Selai nenas 19.23%
Sumbangan
makronutrien**
Lemak (%) 9.08 15 12
Protein (%) 6.98 6 6
Karbohidrat (%) 8.89 7 7.5
Nilai energi per produk 167.08 kkal/41.6 gram 180 kkal/41 gram 85.65 kkal/20 gram
* dihitung berdasarkan jumlah tepung-tepungan
** dihitung terhadap 700 kkal
D. INGRIDIEN PANGAN
Ada banyak bahan baku mentah yang harus diolah terlebih dahulu agar dapat menjadi pangan
siap konsumsi. Bahan baku dalam bentuk tepung-tepungan merupakan bahan baku mentah yang
biasanya sering digunakan sebagai ingridien utama dalam pengolahan menjadi pangan siap santap.
1. TEPUNG PISANG
Tepung adalah produk olahan pangan setengah jadi yang dapat dikonsumsi langsung,
tetapi harus diolah menjadi produk pangan siap santap. Pisang yang dibuat menjadi tepung
dimaksudkan untuk memudahkan aplikasinya dalam pembuatan banana bars. Menurut Chong
et al., (2008) apabila dibuat dalam bentuk tepung, pisang akan menjadi bahan pangan sumber
karbohidrat yang lebih mudah diolah menjadi berbagai macam produk pangan. Selain itu,
pisang dalam bentuk tepung memudahkan dalam hal penyimpanan karena memiliki daya
simpan yang lebih lama akibat kadar airnya yang kecil.
Tepung pisang adalah bentuk olahan pisang yang dapat memperpanjang umur simpan dan
memberikan nilai tambah pada pisang (Kajuna, 1997). Beberapa olahan pisang yang sering
dikonsumsi diantaranya adalah dalam bentuk minuman, buah kaleng, kripik pisang, bars,
brandy, dan lain-lain (Joffre, 2001).
Penggunaan tepung pisang sebagai tepung komposit (campuran) dalam pembuatan
berbagai produk telah dilakukan, diantaranya digunakan dalam pembuatan roti, mi dan cookies
(Mepba et al., 2007). Pisang yang baik untuk pembuatan tepung pisang adalah pisang yang
dipanen pada saat mencapai tingkat ketuaan ¾ penuh atau kira-kira berumur 80 hari setelah
berbunga. Hal ini disebabkan pada kondisi tersebut pembentukan pati telah mencapai
maksimum, dan sebagian besar tannin telah terurai menjadi senyawa ester aromatik dan fenol
sehingga dihasilkan rasa asam dan manis yang seimbang. Jika pisang yang digunakan terlalu
matang maka rendemen tepung yang dihasilkan sedikit dan juga selama pengeringan akan
terbentuk cairan. Hal ini karena pati telah terhidrolisis menjadi gula-gula sederhana sehingga
10
kandungan patinya menurun. Jika pisang yang digunakan terlalu muda akan menghasilkan
tepung pisang yang mempunyai rasa sedikit pahit dan sepat karena kandungan tannin yang
cukup tinggi sementara kandungan patinya masih terlalu rendah. (Crowther, 1979).
Pembuatan tepung pisang diawali dengan dilepaskannya pisang dari sisirnya, dicuci dan
dikukus selama 10-15 menit. Pengukusan ini akan mempermudah pengupasan, mengurangi
atau menghilangkan getah, dan memperbaiki warna tepung yang dihasilkan. Pisang kemudian
dikupas, diiris melintang dengan ketebalan 0.25- 0.75 cm dan dijemur atau dikeringkan dengan
alat pengering. Pengering buatan dapat menggunakan suhu 60-75oC selama 6-8 jam. Sistem
kerja mesin oven pengering ini adalah mengeringkan produk pada suhu yang dikehendaki
(suhu bisa diatur secara konstan) (Syafriyudin, 2009). Tanda pisang yang telah kering adalah
jika pisang mudah dipatahkan.
2. TEPUNG TEMPE
Menurut Karta (1990) tempe dapat digunakan sebagai bahan penyusun makanan (food
ingredient) dalam bentuk tepung tempe, untuk memperkaya nilai gizi makanan, seperti protein
dan serat. Dari hasil pengujian yang dilakukan Bakara (1996) terhadap mutu protein secara in
vivo dapat disimpulkan bahwa nilai gizi protein tepung tempe hampir sama dengan kasein.
Nilai Net Protein Ratio (NPR), Daya Cerna (DC), Nilai Biologis (NB), dan Net Protein
Utilization (NPU) kasein berturut-turut 5.5, 96%, 94, dan 91 sedangkan tepung tempe berturut-
turut adalah 4.3, 87%, 85, dan 74.
Tempe segar yang baru jadi, dapat disimpan satu sampai dua hari pada suhu ruang tanpa
banyak mengalami pengurangan sifat mutunya. Setelah dua hari, tempe akan mengalami proses
pembusukan dan tidak dapat lagi dikonsumsi oleh manusia (Winarno, 1985). Untuk mengatasi
hal itu menurut Ismariarsi (1982) tempe dapat diawetkan dengan cara pengeringan dalam
bentuk tepung tempe. Menurut Harnani (2009), penepungan tempe diawali dengan pengirisan
tempe menjadi lembaran-lembaran tipis (ketebalan ± 5 mm), blansir dengan uap, pengeringan
dengan oven, penggilingan dan pengayakan dengan disc mill.
3. TEPUNG BERAS KETAN PUTIH
Tepung beras ketan dapat terbuat dari beras ketan hitam atau putih yang dihaluskan.
Beras ketan (Oryza sativa var. glutinosa atau Oryza glutinosa; disebut juga sticky rice, sweet
rice dan waxy rice) merupakan jenis beras Asia yang berbulir pendek dan memiliki sifat
lengket (sticky) ketika dimasak. Beras ketan memiliki kadar amilopektin yang sangat tinggi dan
kadar amilosanya berkisar antara 1-2% dari kadar pati seluruhnya (Koswara, 2006).
Tepung beras ketan cenderung lebih rapuh, memiliki butir-butir yang cukup besar, dan
berwarna putih opak, sedangkan beras memiliki tekstur yang keras dan lebih transparan (Grist,
1975). Tepung beras ketan dibedakan dari tepung beras berdasarkan kandungan amilosa dan
amilopektin. Komponen utama dalam tepung beras ketan adalah amilopektin sedangkan kadar
amilosanya hanya 0.8% sampai 1.3% dari kadar keseluruhan pati (Hubeis, 1985).
Beras ketan tidak mengandung amilosa (seluruh pati mengandung amilopektin) yang
jika dimasak bersifat amat lengket, lunak, basah, mengkilap padat, kurang menyerap air dan
kurang mengembang (Wildman, 2000). Tepung ketan sifatnya lengket seperti beras ketan.
Tepung ketan dibuat dari beras ketan yang ditumbuk atau digiling sampai halus dan
dikeringkan sehingga dapat tahan lama. Kandungan utama beras adalah pati (starch) 80%
dan protein 7%. Pati pada beras terdiri atas amilosa dan amilopektin. Kadar amilosa dalam
beras sangat erat hubungannya dengan tekstur nasi. Selain beras ketan, beras digolongkan
11
menjadi kadar amilosa tinggi (25-30 %), sedang (20-29 %) dan rendah (10-20 %). Kandungan
amilosa mempunyai nilai kolerasi negatif terhadap nilai taste panel dengan kelekatan
(cohesivenesses), kelunakan (tenderness), warna, kilap, nasi. Kadar kolerasi positif dengan
jumlah penyerapan air dan pengembangan volume nasi sebelum pemasakan.
Tepung beras ketan berfungsi sebagai sumber pati yang memiliki tingkat kestabilan cukup
tinggi. Penggunaan tepung beras ketan tidak mengurangi sineresis pada olahan yang
dibekukan, disimpan, dan kemudian dicairkan esnya (Hariyadi, 2006). Tepung beras ketan
sering digunakan sebagai bahan pengental untuk saus, gravies, dan pudding (Bao dan
Bergman, 2004). Tepung beras ketan banyak digunakan untuk makanan yang mengandung
banyak gula, yang umumnya diinginkan tekstur yang kenyal tapi lenting dan tidak lekat. Sifat
lekat tersebut dapat dikurangi dengan penambahan minyak atau bahan yang mengandung
minyak. Penganan tradisional Indonesia yang banyak menggunakan tepung beras ketan sebagai
bahan bakunya antara lain kue mendut, kue mangkok, kue cucur, dan lupis (Koswara, 2006).
4. INULIN
Inulin merupakan homopolimer fruktan yang diisolasi pertama kali dari tanaman Inula
helenium. Inulin dapat diperoleh dari bawang merah, bawang daun, bawang putih, asparagus,
pisang, gandum, barley (Tungland, 2002). Inulin juga ditemukan pada chicory, dandelion,
artichoke (Roberfroid, 2005). Satu rantai inulin dibentuk oleh sekitar 30 unit fruktosa atau
dengan kata lain memiliki derajat polimerisasi (DP) sebesar 30 atau lebih.
Inulin mempunyai banyak kegunaan terutama dalam bidang pangan dan kesehatan. Pada
dasarnya, penggunaan inulin dalam bidang pangan adalah karena sifat-sifat teknologis dan
fisiologisnya. Sifat-sifat teknologisnya yaitu sebagai pengganti gula dan lemak. Kedua
substansi ini merupakan bagian yang penting dalam bidang pangan yang mana penggunaannya
akan mempengaruhi struktur, rasa di mulut, kalori, dan memberikan rasa manis. Karena
kemampuannya mengikat air dan mempunyai rasa dan warna yang netral, maka inulin
mempunyai sifat memodifikasi tekstur yang unik, karena itulah inulin digunakan sebagai
pengganti gula dan lemak dalam berbagai produk pangan. Dengan menggunakan sejumlah
kecil inulin, rasa dan tekstur produk dapat ditingkatkan. Inulin meningkatkan flavor buah-
buahan, menghasilkan tekstur dan mouthfeel (rasa di mulut) yang baik bagi produk pangan
rendah gula dan lemak (Roberfroid, 2005).
Sifat fisiologisnya yaitu inulin tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan sehingga
mencapai usus besar tanpa mengalami perubahan kimiawi. Di dalam usus besar, inulin
terfermentasi oleh koloni mikroflora dan menghasilkan berbagai produk metabolit akhir. Hal
ini membuat inulin digolongkan sebagai serat makanan (Nondigestible oligosakarida/NDO)
yang memberikan beberapa sifat fisiologis dan menghasilkan keuntungan yang unik bagi
kesehatan tubuh. Sifat fisiologis inulin ini banyak dimanfaatkan dalam bidang medis dan
farmasi. Antara lain mengurangi resiko kanker usus besar (Tungland, 2002) dan menormalkan
kadar gula darah bagi penderita diabetes (Franck dan De Leenher, 2004). Pada kondisi normal
inulin dari chicory dapat terdispersi dalam air, namun ada kecenderungan menggumpal selama
hidrasi karena sifatnya yang higroskopis. Inulin chicory mempunyai daya ikat air (water
binding capacity) sekitar 1:1.5 (Tungland, 2002).Struktur kimia inulin dapat dilihat pada
Gambar 1.
12
Gambar 1. Struktur kimia inulin
Inulin tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan seperti α-amilase ataupun enzim
penghidrolisis lainnya, yaitu sukrase, maltase, dan isomaltase baik pada pH rendah maupun
tinggi (Oku et al., 1984). Inulin dapat sampai di usus dengan utuh sehingga dapat difermentasi
probiotik. Kandungan inulin dalam beberapa bahan makanan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 4. Kandungan inulin dalam beberapa bahan makanan
Sumber Inulin (g/100 g)
Kisaran Rata-rata
Bawang merah (Allium cepa)
Mentah
Mentah-kering
Dimasak
1,1-7,5
4,7-31,9
0,8-5,3
4,3
18,3
3,0
Jerusalem artichoke (umbi)-(Heliacnthus tuberosus) 16,0-20,0 18,0 Chicory (akar)-(Chicorium intybus) 35,7-47,6 41,6
Asparagus (akar/umbi)-(Asparagus officinalis)
Mentah
Kering
2,0-3,0
1,4-2,0
2,5
1,7
Bawang daun (Allium ampeloprasum)
Mentah
3,0-10,0
6,5
Bawang putih (Allium sativum)
Mentah
Kering
9,0-16,0
20,3-36,1
12,5
28,2
Globe artichoke (daun/jantung)-(Cynara scolymus) 2,0-6,8 4,4
Pisang (buah)-(Musa cavendishii L.) Mentah
Mentah-kering
Dikalengkan
0,3-0,7
0,9-2,0
0,1-0,3
0,5
1,4
0,2
Gandum (Triticum sp)
Mentah
Tepung-dipanggang
Tepung-direbus
1,0-4,0
1,0-3,0
0,2-0,6
2,5
2,4
0,4
Rye (cereal)-(Secale cereale)
Dipanggang
0,5-0,9
0,7
Barsley (cereal)-(Hordeum vulgare)
Mentah Dimasak
0,5-1,0 0,1-0,2
0,8 0,2
Dandelion (daun)-(Taraxacum officinale)
Mentah
Dimasak
12,0-`15,0
8,1-10,1
13,5
9,1
*Tungland (2002)
Inulin telah ditambahkan ke dalam berbagai produk seperti produk susu dan turunannya,
selai, roti, dan produk panggangan, sereal sarapan, bahkan dalam bentuk tablet suplemen dengan
tujuan untuk memperkaya kandungan serat serta berperan sebagai prebiotik (Franck dan Leenher,
2005). Inulin merupakan homopolimer furanosidik, yang berarti inulin merupakan polimer yang
13
tersusun atas monomer yang sama. Monomer penyusun inulin adalah fruktosa yang berbentuk
cincin bersegi lima atau furanosa (Sinnott, 2007). Berbagai hasil penelitian menyebutkan bahwa
inulin dan oligofruktosa meningkatkan penyerapan mineral seperti kalsium, magnesium dan besi
oleh tubuh. Kenaikan yang signifikan dihasilkan dengan mengonsumsi inulin sebanyak 15 gram
per hari. Suatu penelitian (EKM, 2011) yang telah dipublikasikan dalam jurnal Nutrition Research
2006 melaporkan bahwa tikus yang mendapat suplementasi inulin dan oligofruktosa mengalami
peningkatan absorpsi kalsium sebesar 40% yang mengakibatkan kekuatan tulangnya menjadi lebih
besar. Selain memiliki efek menguntungkan sebagai prebiotik dan meningkatkan penyerapan
mineral, inulin juga berperan dalam meningkatkan tekstur makanan. Biasanya inulin dari umbi
chicory dapat larut dalam air dengan cepat (60g/L pada 10oC, 330g/L pada 90oC) dan agak
higroskopis. Inulin membantu mengikat air, mengentalkan dan meningkatkan mouthfeel dalam
berbagai produk makanan, dan sudah digunakan secara komerisal misalnya pada industri roti,
dressing, pasta, dan seafood (International Partnering Event on Health and Food, 2003).
E. PROSES PENGOLAHAN DAN MUTU BANANA BARS
Proses pemanggangan snack bars sama dengan proses pemanggangan cookies. Tahapan
pembuatan cookies meliputi pembentukan krim, pembentukan adonan, pencetakan,
pemanggangan, pendinginan, dan pengemasan. Agar semua bahan tercampur merata dalam adonan
maka mentega dibuat krim terlebih dahulu bersama gula, telur, dan susu skim (creaming method).
Menurut Matz dan Matz (1978), pencampuran dan pengadukan dengan metode krim baik untuk
cookies yang dicetak karena menghasilkan adonan yang bersifat membatasi pengembangan gluten
yang berlebihan. Krim dicampur hingga homogen dengan tepung dan bahan lainnya, setelah
homogen, adonan dicetak. Tahap akhir pembuatan cookies adalah pemanggangan. Suhu
pemanggangan bergantung pada jenis cookies yang dibuat. Pada umumnya, pemanggangan
dilakukan pada suhu kurang lebih 170°C selama 15−20 menit (Suarni, 2009).
Ketika adonan dimasukkan, suhu oven tidak boleh terlalu panas, sebab bagian luar akan
terlalu cepat matang sehingga menghambat pemanggangan dan mengakibatkan permukaan cookies
menjadi retak. Setelah pengembangan, diperlukan penanganan selama pendinginannya. Jika
cookies terlalu cepat didinginkan bisa terjadi keretakan. Keretakan internal biasanya tidak segera
terlihat, tetapi karena kerusakan selama pengemasan dan pendistribusiannya (Almond, 1989).
Pendinginan di suhu ruang bertujuan untuk mengeluarkan uap panas akibat proses pemanggangan.
Bila cookies tidak didinginkan dan langsung dikemas, maka uap panas tidak dapat keluar dan akan
terserap kembali sehingga kadar airnya akan meningkat dan menjadi tidak awet untuk disimpan
lama. Menurut Muchtadi (2008), produk bakery yang telah dipanggang perlu didinginkan
(dibiarkan) sampai mencapai suhu kamar untuk memudahkan penanganan/pengemasan,
mengempukkan tekstur dan memudahkan pengirisan.
Kriteria uji fisik (bau, rasa, warna, dan tekstur) cookies harus normal, artinya bau khas kue
kering sesuai dengan bahan kue yang digunakan, rasa enak, warna sesuai dengan zat pewarna yang
ditambahkan, dan tekstur renyah, tidak mudah hancur, tetapi tidak keras. Secara umum, keadaan
fisik kue kering tersebut sesuai aslinya (Jurnal Litbang Pertanian, 28(2), 2009). Selain itu,
memiliki nilai gizi yang memenuhi standar mutu cookies (Tabel 2) yang ditetapkan oleh Standar
Nasional Indonesia.
Pengukuran cookies dapat dilakukan secara subjektif, yaitu dengan uji sensori menggunakan
panelis dan uji objektif dengan menggunakan alat. Terdapat korelasi antar uji objektif dan uji
sensori. Salah satu alat yang biasa digunakan untuk mengukur tekstur cookies adalah General
Foods Texturometer dan Intron Universal Testing Machine. Parameter yang terukur adalah
14
keteguhan, kerapuhan, kekuatan ikatan antara partikel sejenis (cohesiveness), dan kekuatan ikatan
antara partikel yang tidak sejenis (adhesiveness). Cookies tidak memiliki sifat adhesiveness tetapi
memiliki sifat cohesiveness yang sangat kecil (Faridi, 1994).
Kadar protein (gluten) dan kemampuan mengikat air berpengaruh pada kekerasan cookies
(Gaines et al,. 1992). Jumlah tepung mempengaruhi kekerasan cookies karena sifat hidrofiliknya
yang dapat mengikat air. Makin tinggi kadar protein, makin tinggi kekerasan cookies. Menurut
Burt dan Fearn (1983), selama pemanggangan panas berpenetrasi dengan cepat pada bagian bawah
dan atas cookies, menyebabkan hilangnya gas pengembang dan air pada bagian tersebut. Penetrasi
panas ke bagian dalam cookies lebih lambat, memungkinkan terbentuknya lebih banyak rongga
udara. Makin lama air tertahan, memungkinkan makin banyak pati tergelatinisasi pada bagian
tengah cookies. Jumlah rongga udara yang terbentuk dan gelatinisasi pati dipengaruhi oleh
kecepatan perpindahan panas ke dalam cookies dan kecepatan hilangnya air. Makin banyak panas
yang masuk, makin banyak rongga udara yang terbentuk dan lebih banyak pati yang
tergelatinisasi. Hal ini akan mempengaruhi struktur remah pada cookies.
Formula cookies terdiri atas gula dan lemak yang tinggi, tetapi kadar airnya rendah. Jumlah
gula dan lemak yang besar mengakibatkan penyebaran cookies selama pemanggangan. Perubahan
bentuk ini dipengaruhi oleh sifat reologi adonan. Sifat reologi adonan tergantung dari jenis
formula, yaitu tergantung jumlah tepung, shortening, dan gula yang dipakai (Faridi, 1994).
Selama pemanasan terjadi penyerapan air oleh pati yang menyebabkan pembengkakan pati
serta peningkatan viskositas. Viskositas akan meningkat terus sampai granula pati pecah karena
jumlah air yang diserap telah mencapai kapasitas maksimum. Pada titik ini viskositas sistem akan
turun kembali. Faktor-faktor yang mempengaruhi gelatinisasi pati adalah keberadaan protein dan
lemak (Pomeranz, 1991).
15
III.METODE PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan produk adalah pisang nangka yang dibeli di
Wisma Rosa daerah Babakan Tengah Bogor dengan tingkat kematangan ¾ matang yang dilihat
dari sudut-sudut buah yang masih ada sedikit, tempe dengan fermentasi satu hari yang dibeli dari
pengrajin tempe di daerah Perumahan IPB Sindang Barang II, tepung beras ketan Rose Brand,
margarin Simas, gula halus cap Pohon Kenari, air, dan inulin komersial. Bahan-bahan yang
digunakan dalam analisis kimia antara lain K2SO4, HgO, H2SO4, H3BO3, NaOH-Na2S2O3, NaOh,
HCl, NaCl, heksan, petroleum eter, zat anti buih, asbes, alkohol 95%, indikator metilen red-
metilen blue.
Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan produk adalah loyang, pin disc mill Goudsche,
oven pengering H-Orth Gmbh, oven baking Mermet, oven baking Mah-Yih MD, pisau, panci,
ember, sendok, codet, pisau, cetakan, gilingan, plastik, kemasan, gelas ukur, pipet, timbangan,
oven baking, plastik, dan kemasan metalized plastic. Alat-alat yang digunakan dalam analisis
adalah Texture Analyzer XT2i, Chromameter Minolta CR 300 (minolta Camera, Co. Japan
82281029), inkubator 30oC dan 37oC, oven, tanur, cawan porselin, cawan alumunium, desikator,
neraca analitik, kapas, alat ekstraksi soxhlet, labu Kjeldahl, alat destilasi, alat titrasi, kertas saring,
corong pemisah, erlenmeyer, tabung reaksi dan penyangga, cawan petri, pipet tetes, pipet mohr,
bunsen dan spiritus, dan alat-alat gelas lainnya.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dalam tiga tahap yaitu 1) pengolahan bahan baku 2) optimasi proses
pengolahan banana bars dan 3) reformulasi banana bars. Diagram alir penelitian selengkapnya
dapat dilihat pada Gambar 2.
REFORMULASI BANANA BARS
Empat formula
Analisis proksimat, fisik, dan mikrobiologi
Uji organoleptik
Formula terbaik
Uji kadar inulin
PENGOLAHAN BAHAN BAKU
Pembuatan tepung pisang analisis proksimat
Pembuatan tepung tempe analisis proksimat
OPTIMASI PROSES PENGOLAHAN BANANA BARS
9 formula awal uji organoleptik
Modifikasi formula awal
Optimasi suhu dan waktu pemanggangan terbaik
Uji organoleptik
Analisis proksimat
Gambar 2. Diagram alir penelitian
16
Formula banana bars yang digunakan pada tahap pengembangan formulasi awal didasarkan
pada penelitian Ferawati (2009) tentang banana bars. Formula ini diuji secara organoleptik untuk
menentukan satu formula terbaik yang digunakan pada tahap optimasi proses pemanggangan. Agar
dapat memenuhi persyaratan pangan darurat, maka formula terbaik ini akan dimodifikasi
komposisinya dan dilakukan penghitungan kandungan energi dan makronutriennya menggunakan
bantuan program Microsoft Excel seperti yang dilakukan oleh Sitanggang (2008) dan Ferawati
(2009). Formula hasil modifikasi ini dipanggang pada suhu dan waktu pemanggangan yang akan
dibahas pada sub bab berikutnya. Formula dengan perlakuan suhu dan waktu pemanggangan
tersebut diuji secara organoleptik dan satu formula terbaik akan dilakukan analisis proksimat untuk
mengetahui kandungan energinya.
Formula terbaik hasil analisis proksimat tersebut ternyata belum memenuhi persyaratan
pangan darurat (sumbangan protein < 10-15%) sehingga perlu dilakukan reformulasi agar dapat
memenuhi persyaratan pangan darurat. Pada tahap reformulasi banana bars dibuat empat formula,
dua diantaranya tidak ditambahkan inulin. Produk dari empat formula dianalisis proksimat untuk
mengetahui apakah banana bars telah memenuhi keseimbangan komponen makro sesuai dengan
persyaratan pangan darurat, kemudian diuji secara organoleptik, fisik, dan mikrobiologi. Formula
terbaik yang dapat dikembangkan, dipilih berdasarkan hasil uji proksimat, organoleptik, fisik, dan
mikrobiologi yang dapat diterima konsumen.
1. PENGOLAHAN BAHAN BAKU
1.1. PEMBUATAN TEPUNG PISANG
Pisang yang dipilih untuk dibuat tepung adalah pisang nangka yang cukup tua namun
belum matang. Hal ini dapat dilihat dari tingkat ketuaan pisang dalam satu tandan yaitu
adanya 1 atau dua buah pisang yang telah masak. Pisang yang telah masak ditandai dengan
daging buah yang lunak dan warna kulitnya yang berwarna hijau muda (Gambar 3).
Gambar 3. Pisang nangka yang dibuat tepung
Pembuatan tepung pisang didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Hermawan
(1982) dengan modifikasi tidak dilakukannya perendaman pisang dalam larutan natrium
bisulfit. Diagram alir pembuatan tepung pisang dapat dilihat pada Gambar 4.
Pisang nangka dicuci terlebih dahulu untuk menghilangkan kotoran dan getah yang
menempel pada kulit, kemudian pisang diblansir dengan uap panas bersuhu 100oC selama 5-
10 menit dengan tujuan untuk menginaktivasi enzim polifenolase pada pisang yang dapat
menyebabkan pencoklatan. Pisang kemudian diiris tipis untuk mempermudah proses
pengeringan. Kemudian pisang dikeringkan dengan oven pengering bersuhu 60oC selama 5-6
jam. Pisang yang telah kering kemudian digiling dengan menggunakan pin disc mill agar
17
diperoleh bentuk tepung. Proses pengayakan tepung telah dilakukan di dalam alat pin disc
mill. Pada alat ini terdapat ayakan berukuran 60 mesh sehingga pisang yang digiling langsung
mengalami proses pengayakan. Tepung pisang yang dihasilkan kemudian dianalisis
proksimat agar diketahui kandungan makronutriennya sehingga dapat digunakan untuk
perkiraan penghitungan nilai energi banana bars.
Pisang nangka
↓
Cuci
↓
Blansir kering (menggunakan uap panas) suhu 80-90oC selama 5-10 menit
↓
Pengupasan
↓
Pengirisan
↓
Pengeringan dengan oven pengering (5-6 jam, 60oC)
↓
Penggilingan dan pengayakan dengan pin disc mill
↓
Tepung pisang
Gambar 4. Diagram alir pembuatan tepung pisang (Hermawan, 1982)
1.2. PEMBUATAN TEPUNG TEMPE
Tempe yang digunakan pada penelitian ini adalah tempe yang telah mengalami fermentasi
penuh pada hari pertama (Gambar 5). Pembuatan tepung tempe dilakukan berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Inayati (1991). Proses pembuatan tepung tempe secara umum
dapat dilihat pada Gambar 6. Tempe yang telah dipotong-potong kemudian diblansir dengan
uap panas bersuhu 100oC selama 5-10 menit. Tujuan blansir pada proses ini adalah untuk
menginaktifkan kapang yang memfermentasi tempe sehingga dapat mengurangi rasa pahit
pada tepung tempe yang dihasilkan. Selain itu, blansir dapat mempercepat proses
pengeringan tempe.
Gambar 5. Tempe yang mengalami fermentasi satu hari
Pengeringan tempe dilakukan dengan oven pengering yang menghasilkan udara panas
yang digerakkan oleh blower sehingga mengefektifkan pindah panas yang terjadi dari udara
panas kepada bahan yang dikeringkan. Tempe yang telah kering kemudian digiling
menggunakan pin disc mill yang di dalamnya telah terdapat ayakan berukuran 60 mesh.
18
Tepung tempe yang telah jadi kemudian dilakukan analisis proksimat agar diketahui
kandungan makronutriennya dan dapat digunakan untuk perkiraan penghitungan produk
banana bars.
Tempe segar
↓
Pemotongan 4 x 2 cm
↓
Blansir kering (menggunakan uap panas) selama 5-10 menit
↓
Pengeringan dengan oven pengering (4 jam, 60oC)
↓
Penggilingan dengan pin disc mill
↓
Tepung tempe
Gambar 6. Diagram alir pembuatan tepung tempe (Inayati, 1991)
2. OPTIMASI PROSES PEMANGGANGAN BANANA BARS
Formula banana bars (Lampiran 1) yang dibuat pada tahap ini modifikasi dari metode
Ferawati (2009) berfungsi sebagai formulasi dasar untuk menentukan formula mana yang akan
dikembangkan untuk tahap pencarian suhu dan lama waktu pemanggangan. Penentuan formula
terbaik ini didasarkan pada uji organoleptik rating hedonik terhadap atribut rasa. Sembilan
formula ini belum ditambahkan inulin ke dalamnya. Proses pembuatan banana bars secara
lengkap dapat dilihat pada Gambar 7. Pembuatan krim dilakukan secara terpisah dari bahan
tepung-tepungan. Mentega dan gula halus dicampurkan bersama hingga terbentuk krim,
kemudian bahan tepung-tepungan yang telah dicampur sebelumnya dimasukkan ke dalam krim
untuk membentuk adonan banana bars. Adonan kemudian dicetak dengan menggunakan
cetakan berdimensi 10 cm x 3.3 cm x 0.5 cm. Banana bars yang telah dicetak kemudian
dipanggang dengan oven baking Mah-Yih MD yang menggunakan sistem gas-listrik (electric
gas) yang bersifat natural convection.
Tepung pisang, tepung ketan, tepung tempe, garam Margarin, gula halus
↓
Penambahan air
↓
Pencampuran
↓
Pencetakan
↓
Pemanggangan dalam oven suhu 100oC selama 40 menit
kemudian 120oC selama 20 menit
↓
Banana bars
Gambar 7. Diagram alir pembuatan banana bars formula awal (Ferawati, 2009)
19
Formula terpilih didasarkan pada uji organoleptik kemudian dimodifikasi menjadi dua
formula (Tabel 6) dengan komposisi yang memenuhi persyaratan pangan darurat.
Penghitungan perkiraan kandungan energi yang memenuhi persyaratan pangan darurat
dilakukan berdasarkan hasil analisis proksimat, informasi nilai gizi pada label kemasan, dan
Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Kalori dihitung berdasarkan jumlah makronutrien
(protein, lemak, dan karbohidrat) yang terdapat di dalam bahan pangan dikalikan dengan nilai
kalori masing-masing makronutrien. Untuk protein memiliki kalori sebesar 4 kkal/gram, lemak
9 kkal/gram dan karbohidrat sebesar 4 kkal/gram (Prawiranegara, 1991). Kandungan energi
pangan darurat adalah 2100 kkal per hari atau setara dengan 700 kkal per takaran saji dengan
sumbangan makronutrien lemak sebesar 35-45%, karbohidrat sebesar 40-50%, dan sumbangan
protein sebesar 10-15% dari total 700 kkal. Metode penghitungan ini dapat dilihat pada
Lampiran 2a, 2b, 2c, dan 2d yang digunakan juga pada tahap reformulasi. Kandungan kalori
(energi) dari seluruh bahan penyusun yang digunakan dalam formulasi EFP dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5. Perkiraan kandungan gizi dan energi dari bahan penyusun EFP
Komposisi Kalori/100 gr
(kkal)
Makronutrien Air
Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g)
Tepung pisangc 377.25 4.51 0.85 87.89 4.41
Tepung tempec 523.46 50.08 29.86 13.60 4.46
Tepung ketana 362 6.7 0.7 79.4 12
Margarinb 733 0.6 81.00 0.4 15.5
Gula halusa 376 0 0 94.0 5.4
Sumber: a DKBM (Prawiranegara, 1991); b Jumlah sesuai pada label di kemasan; c Hasil
analisis proksimat
Dua formula pada Tabel 6 juga digunakan pada optimasi proses pemanganggangan.
Kombinasi suhu dan waktu pemanggangan yang diamatai ditunjukkan pada Tabel 7 dan 8.
Banana bars yang diterima adalah banana bars dengan tekstur yang renyah dan kering, rasa
yang dapat diterima, dan warna coklat keemasan.
Tabel 6. Formula Banana bars
Bahan Formula I (gram) Formula II (gram)
Tepung pisang 15 10
Tepung tempe 10 10
Tepung ketan 15 15
Margarin 15 15
Gula halus 20 20
Inulin 2 2
Air (ml) 15 8
Total 92 80
Tabel 7. Suhu dan waktu pemanggangan dengan oven baking Getra
Perlakuan Suhu atas Suhu bawah Waktu pemanggangan
1 160oC 140oC 25 menit
2 140oC 160oC 25 menit
20
Tabel 8. Suhu dan waktu pemanggangan dengan oven baking Mermet
Perlakuan Suhu dan waktu pemanggangan
Awal Akhir
1 100oC selama 20 menit 120oC selama 40 menit
2 100oC selama 20 menit 140oC selama 40 menit
Inulin pada kedua formula ini dicampurkan ke dalam bahan tepung-tepungan. Inulin
berfungsi untuk memperkaya kandungan serat dan berperan sebagai prebiotik. Menurut
Tungland (2002), penyerapan mineral oleh tubuh dapat ditingkatkan dengan mengonsumsi
inulin sebanyak 15 gram per hari. Oleh karena itu, untuk satu takaran saji diperlukan sekitar 5
gram inulin. Kedua formula tersebut telah ditambahkan inulin ke dalamnya dengan jumlah
tetap yaitu 2 gram per adonan (± 80 gram) atau sekitar 2.5% dari total adonan. Tahapan proses
pembuatan banana bars ditunjukkan pada Gambar 8. Formulasi banana bars yang dibuat pada
tahap ini kemudian akan diuji secara organoleptik terhadap atribut overall dan satu formula
terbaik dilakukan analisis proksimat.
Tepung pisang, tepung ketan, tepung tempe, inulin Margarin, gula halus
↓
Penambahan air
↓
Pencampuran
↓
Pencetakan
↓
Pemanggangan dalam oven baking dengan suhu awal 100oC
selama 20 menit dan suhu akhir 130oC selama 40 menit
↓
Banana bars
Gambar 8. Diagram alir pembuatan banana bars dengan inulin (Ferawati, 2009)
3. Reformulasi banana bars
Reformulasi banana bars dilakukan karena formula terbaik pada tahap optimasi proses
pemanggangan belum memenuhi persyaratan pangan darurat yaitu lemak 35-45%, protein 10-
15%, dan karbohidrat 40-50% terhadap 700 kkal. Sumbangan protein yang dimiliki formula
terbaik tersebut belum masuk dalam kisaran persyaratan pangan darurat bagi protein (< 10-
15%). Formula terbaik tersebut kemudian dimodifikasi dan dihasilkan empat formula dengan
dua diantaranya tidak menggunakan inulin. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh
inulin terhadap karakteristik tekstur yang dihasilkan pada banana bars. Empat reformulasi
tersebut ditunjukkan pada Tabel 9.
21
Tabel 9. Reformulasi Formula II
Bahan (g) Formula A Formula B Formula C Formula D
Tepung pisang 10 10 10 10
Tepung tempe 15 20 15 20
Tepung ketan 10 5 10 5
Margarin 15 15 15 15
Gula halus 20 20 20 20
Inulin 0 0 2 2
Air (ml) 8 8 8 8
Total 78 78 80 80
Keempat formula tersebut kemudian dilakukan analisis proksimat, analisis fisik, analisis
mikrobiologi, uji organoleptik, dan uji kadar inulin. Analisis proksimat meliputi analisis kadar
air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, dan kadar serat kasar. Uji
organoleptik dilakukan terhadap atribut warna, aroma, rasa, tekstur, dan overall menggunakan
uji rating hedonik. Analisis fisik yang dilakukan meliputi analisis aw, analisis tekstur, dan
analisis warna. Uji mikrobiologi meliputi analisis total mikroba dan total kapang khamir.
Pemilihan formula terbaik didasarkan pada formula terbaik hasil uji organoleptik atribut overall
yang mengandung inulin dan memenuhi persyaratan pangan darurat. Formula terbaik yang
mengandung inulin kemudian diuji kadar inulin.
C. METODE ANALISIS
1. Kadar Air (AOAC, 1995)
Sampel sebanyak 1-2 gram ditimbang pada sebuah wadah kering yang telah diketahui
bobotnya. Sampel dikeringkan dalam oven dengan suhu 105oC selama 3 jam. Sampel
didinginkan dalam desikator dan ditimbang, pekerjaan tersebut diulangi hingga tercapai bobot
yang konstan.
Kadar air =
Keterangan: A= bobot wadah + sampel sebelum dikeringkan (g)
B= bobot wadah + sampel setelah dikeringkan (g)
C = bobot sampel awal (g)
2. Kadar Abu (AOAC, 1995)
Sampel seberat 2-3 gram ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselen yang telah
dikeringkan dan diketahui bobotnya. Sampel dalam cawan diarangkan pada pemanas dan
diabukan dalam tanur listrik pada suhu maksimum 550oC sampai pengabuan sempurna. Sampel
didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang hingga bobot konstan.
Kadar abu (%) =
Keterangan: A = bobot cawan + sampel kering (g)
B = bobot cawan kosong kering (g)
C = bobot sampel awal (g)
22
3. Kadar Protein (AOAC, 1995)
Sampel seberat 100-250 mg ditimbang dan dipindahkan ke dalam labu Kjehdahl 30 ml,
kemudian ditambahkan 1.9 gram K2SO4, 40 mg HgO, dan 3.8 ml H2SO4. Sampel dididihkan
selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Sampel didinginkan dan ditambahkan sejumlah
kecil air secara perlahan-lahan, kemudian didinginkan kembali. Isi labu dipindahkan ke dalam
alat destilasi dan labu dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air akuades. Air pembilas dipindahkan ke
dalam alat destilasi dan ditambahkan 8-10 ml larutan 60% NaOH-5% Na2S2O3.
Erlenmeyer 250 ml yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator merah
metilenn-biru metilen diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam
di bawah larutan H3BO3. Destilasi dilakukan sampai tertampung kira-kira 15 ml destilat dalam
erlenmeyer. Destilat dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-
abu. Penetapan blanko juga dilakukan untuk mengurangi bias dalam pengukuran.
Cara perhitungan kadar protein:
Kadar N (%) =
Kadar protein (%) = %N x faktor konversi (6.25)
4. Kadar Lemak (AOAC, 1995)
Labu lemak yang digunakan dikeringkan di dalam oven, kemudian didinginkan di dalam
desikator dan ditimbang. Sebanyak 5 gram sampel dibungkus dengan kertas saring dan ditutup
dengan kapas bebas lemak kertas saring yang berisi sampel dimasukkan ke dalam tabung
ekstraksi Soxhlet, kemudian kondensor dipasang di bagian atas, dan labu lemak di bagian
bawah. Pelarut heksana dituang secukupnya ke dalam labu lemak.
Sampel direfluks selama 5 jam. Pelarut yang digunakan didestilasi dan ditampung.
Kemudian labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dikeringkan dalam oven dengan suhu
105oC hingga bobot konstan. Labu lemak selanjutnya didinginkan dalam desikator dan
kemudian ditimbang beserta dengan lemak di dalamnya.
Kadar lemak (%) =
5. Kadar Karbohidrat (AOAC, 1995)
Kadar karbohidrat sampel dihitung dengan cara 100% kandungan gizi sampel dikurangi
dengan kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak. Nilainya ditentukan dengan
menggunakan rumus berikut:
Kadar karbohidrat = 100% - (%kadar air + %kadar abu + %kadar lemak + %kadar protein)
6. Kadar Serat Kasar (Apriyantono et al, 1989)
Contoh ditimbang sebanyak 2 gram lalu dihaluskan. Contoh yang telah halus diekstrak
lemaknya menggunakan pelarut Petroleum Eter (PE). Sampel bebas lemak dipindahkan secara
kuantitatif ke dalam Erlenmeyer 600 ml. Tambahkan 0.5 gram asbes yang telah dipijarkan dan
2 tetes anti buih. Setelah itu, tambahkan ke dalam erlenmeyer 200 ml larutan H2SO4 mendidih.
Letakkan erlenmeyer pada pendingin balik. Didihkan contoh di dalam erlenmeyer selama 30
menit dengan sesekali digoyang setelah selesai saring suspensi dengan menggunakan kertas
23
saring. Cuci residu yang tertinggal dengan air mendidih, pencucian dilakukan sampai air
cucian tidak bersifat asam lagi. Pindahkan residu secara kuantitatif dengan menggunakan
spatula. Cuci kembali sisa residu yang tertinggal pada kertas saring dengan menggunakan
NaOH mendidih sampai semua residu masuk semua ke dalam erlenmeyer. Didihkan kembali
contoh dengan pendingin balik selama 30 menit dengan sesekali digoyangkan. Saring kembali
contoh dengan kertas saring yang diketahui beratnya sambil dicuci dengan K2SO4 10%. Cuci
residu di kertas saring dengan menggunakan air mendidih kemudian dengan alkohol 95%.
Keringkan kertas saring di dalam oven dengan suhu 110oC sampai berat konstan (1-2 jam).
Setelah itu, sampel didinginkan dan dimasukkan ke dalam desikator, lalu sampel ditimbang.
Cara perhitungannya adalah sebagai berikut :
Kadar serat kasar (gr/100gr contoh) =
Keterangan: W1= berat residu dan kertas saring yang dikeringkan (g)
W2= berat kertas saring (g)
W = berat sampel yang dianalisis (g)
7. Uji Kadar Inulin metode HPLC (AOAC, 1995)
Kadar inulin diukur dengan menggunakan metode HPLC. Metode ini meliputi pembuatan
larutan standar, ekstraksi sampel dan hidrolisis sampel. Sampel yang telah diekstraksi dan
dihidrolisis dihitung konsentrasi inulin dengan membandingkannya dengan kurva larutan
standar.
Larutan standar dibuat dengan menimbang fruktosa sebagai standar sebanyak 2 mg.
Fruktosa dimasukkan dalam labu takar 100 ml dan ditepatkan dengan menggunakan akuades
lalu dikocok hingga homogen. Larutan tersebut dijadikan larutan induk 1000 ppm, kemudian
buat deret konsentrasi 5 ppm, 25 ppm, 50 ppm dengan masing-masing ditambah internal
standar konsentrasi 50 ppm. Saring dengan filter dan masukkan ke dalam vial untuk
disuntikkan pada HPLC.
Proses ekstraksi sampel dilakukan dengan cara menghomogenkan sampel yang kemudian
dimasukkan ke dalam gelas piala. Tambahkan air panas sebanyak 40 ml dan tambahkan KOH
0.05 N atau HCL 0.05 N hingga pH sekitar 6.5-8. Larutan tersebut kemudian dimasukkan ke
dalam labu takar 100 ml, dipanaskan 85°C, dan diaduk. Larutan tersebut didinginkan dan
kemudian dipindahkan ke dalam gelas piala untuk diaduk kuat. Setelah itu encerkan hingga
mengandung 1% fruktan.
Langkah berikutnya adalah hidrolisis sampel hasil ekstraksi dengan menggunakan enzim
inulinase. Mula-mula diambil 15 g sampel (A), kemudian ditambah 15 g buffer asetat hingga
memiliki pH 4.5. Ditambahkan amiloglukosidase sebanyak 35 mg dan diinkubasi selama 30
menit pada suhu 60°C, lalu ditimbang (B). Sebanyak 10 g sampel ditimbang dan ditambah
enzim inulinase. Sampel tersebut diinkubasi kembali pada suhu 60°C selama 30 menit. Biarkan
dingin, lalu ditimbang (C). Hasil ekstraksi A, B, dan C masing-masing diencerkan,
ditambahkan internal standar (glukoheptosa) 20 ppm, disaring, lalu diinjeksikan pada HPLC.
8. Pengukuran Aktivitas Air
Aktivitas air akan menentukan tekanan di dalam kemasan. Aktivitas air dari sampel
diukur dengan menggunakan aw meter yang telah dikalibrasi dengan garam NaCl dengan nilai
kelembabannya (RH) adalah 75%. Sampel dimasukkan ke dalam chamber pada aw meter dan
24
ditutup rapat. Pembacaan nilai aw dilakukan pada saat angka tidak berubah. Hal ini ditunjukkan
oleh tulisan atau indikator pada aw meter yaitu complete test.
9. Analisis Tekstur
Analisis tekstur dilakukan terhadap kekerasan bars yang dihasilkan dengan menggunakan
Texture Analyzer XT2i yang dinyatakan dalam satuan gf (gram force). Alat ini dilengkapi
dengan sistem komputerisasi sehingga harus diatur sesuai dengan kebutuhan dan jenis produk
yang diuji. Sebelum dilakukan pengukuran contoh, terlebih dahulu dilakukan kalibrasi probe.
Bars yang diukur kekerasannya diletakkan di bawah probe dan “Quick Run Test” ditekan.
Probe yang digunakan adalah P/2 (probe silinder), jarak probe yang dikalibrasi sesuai dengan
tinggi bars yaitu 4 mm dari bars. Setelah pengukuran selesai, nilai kekerasan bars dapat dilihat
pada layar komputer. Pengaturan texture analyzer pada pengukuran bars dapat dilihat pada
Tabel 10.
Tabel 10. Pengaturan Texture Analyzer pada pengukuran bars
Test mode option Measure force in compression Return to start
Parameters Pre test speed 2.0 mm/s
Test speed 0.5 mm/s
Post test speed 10.0 mm/s
Distance 4 mm/s Trigger Type Auto
Force 5 g
Force Grams
Distance Milimeters
10. Analisis warna (Metode Hunter)
Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan alat Chromameter Minolta CR 300
(minolta Camera, Co. Japan 82281029) untuk formula terbaik. Sebelum digunakan alat ini
dikalibrasi dengan standar warna putih. Sampel diletakkan pada tempat yang tersedia, setelah
menekan tombol start diperoleh nilai L, a, dan b. Ketiga parameter tersebut merupakan ciri
notasi warna Hunter.
Notasi L berkisar antara 0 (hitam) hingga ± 100 (putih). Notasi a menyatakan warna
kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a (positif) dari 0 sampai +100 untuk warna
merah dan nilai –a (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna
kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b (positif) dari 0 sampai +70 untuk warna
kuning dan nilai –b (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna biru. Selanjutnya dari nilai a dan b
dapat dihitung oHue dengan rumus
oHue = tan-1 (b/a)
jika hasil yang diperoleh:
18o-54o = Red (R)
54o-90o = Yellow red (YR)
90o-126o = Yellow
126o-162o = Yellow green (YG)
162o-198o = Green (G)
198o-234o = Blue green (BG)
234o-270o = Blue (B)
270o-306o = Blue purple (BP)
306o-342o = Purple (P)
342o-18o = Red purple (RP)
25
11. Uji Organoleptik (Meillgard, 1999)
Uji organoleptik yang digunakan adalah uji rating hedonik untuk menentukan apakah
masing-masing produk berbeda nyata pada taraf signifikansi 5%. Panelis yang digunakan
adalah panelis semi terlatih sebanyak 70 orang untuk kedua uji di atas. Analisis data dilakukan
menggunakan ANOVA (Analysis of Variance) dengan uji lanjut Duncan. Skala yang
digunakan dalam uji ini adalah skala kategori 7 poin dengan deskripsi sebagai berikut:
1 = sangat tidak suka
2 = tidak suka
3 = agak tidak suka
4 = netral
5 = agak suka
6 = suka
7 = sangat suka
12. Uji Mikrobiologi (Total Plate Count dan Total Kapang-khamir) (Fardiaz, 1989)
Total mikroba dihitung dengan metode hitungan cawan pada media Plate Count Agar,
sedangkan untuk total kapang-khamir digunakan media APDA (Acidified Potato Dextrose
Agar). Sepuluh gram contoh dilarutkan dalam larutan garam fisiologis 0.85% sebanyak 90 ml.
dari larutan ini diencerkan kembali sampai tingkat pengenceran yang dikehendaki. Dari setiap
pengenceran diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri, dan diberi 15 ml PCA/APDA
cair (duplo). Selanjutnya cawan diputar membentuk angka delapan dan dibiarkan membeku.
Inkubasi dilakukan pada suhu 37oC selama 2 hari untuk TPC dan inkubasi pada 30oC selama 3-
5 hari untuk total kapang-khamir.
26
IV.HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENGOLAHAN BAHAN BAKU
1. PEMBUATAN TEPUNG PISANG
Tujuan dari penepungan pisang ini adalah untuk meningkatkan umur simpan pisang dan
memberikan karakteristik banana bars yang sama bila menggunakan bahan baku dengan
karakteristik yang sama. Komposisi kimia tepung pisang ini mirip dengan yang dilaporkan oleh
Hermanto (1991) yang ditunjukkan pada Tabel 11.
Tabel 11. Hasil analisis proksimat tepung pisang
Komposisi Kandungan %
(basis kering)
Kandungan %
(basis kering)*
Kadar air %** 4.41 3.00
Kadar abu 2.45 3.30
Kadar protein 4.72 4.54
Kadar lemak 0.89 0.82
Kadar karbohidrat (by difference) 91.94 91.34
* Hermanto (1991)
** dinyatakan dalam basis basah
Warna tepung pisang yang dihasilkan pada penelitian ini adalah putih kekuningan dengan
nilai derajat putih sebesar 44.1%. Nilai derajat putih ini dipengaruhi oleh suhu pengeringan.
Pengeringan menggunakan oven pengering dengan suhu 60oC menghasilkan karamelisasi dan
reaksi Maillard yang tidak terlalu tinggi. Karamelisasi dan reaksi Maillard menyebabkan
terjadinya warna coklat pada tepung pisang. Semakin banyak terjadi karamelisasi dan reaksi
Maillard pada proses pengeringan maka semakin coklat warna tepung pisang. Selain pengaruh
suhu, bentuk bahan yang dikeringkan juga mempengaruhi derajat putih tepung pisang.
Potongan pisang yang berbentuk chips memiliki luas permukaan bahan yang kontak dengan
permukaan pengering lebih kecil dibandingkan potongan berbentuk lonjong (Budi, 1995)
sehingga karamelisasi dan reaksi Maillard lebih kecil terjadi dan warna tepung pisang yang
dihasilkan mempunyai derajat putih yang besar.
Menurut Hermawan (1982) ada dua proses pembuatan tepung pisang, yaitu proses basah
dan proses kering. Pembuatan secara basah dilakukan dengan cara: pisang yang telah
berbentuk bubur atau pasta dikeringkan dengan alat pengering drum drier atau spray drier.
Pembuatan secara kering yaitu setelah dikupas, pisang diiris tipis. Hasil irisan tersebut
dikeringkan dengan menggunakan alat pengering ataupun sinar matahari. Proses pengeringan
tergantung pada suhu yang digunakan pada mesin pengering. Pengeringan dengan mesin
pengering lebih terkontrol karena irisan pisang diletakkan di ruang tertutup sehingga
kontaminasi mikroba dan debu dapat dikurangi. Selain itu, suhu pengeringan juga dapat diatur
sesuai keinginan. Masalah utama yang sering timbul saat pembuatan tepung pisang menurut
Hermawan (1982) adalah timbulnya warna coklat pada tepung yang dihasilkan. Maka dari itu,
diperlukan perlakuan yang dapat mengurangi atau mencegah terjadinya pencoklatan tersebut.
Cara yang dapat dilakukan untuk mencegah pencoklatan adalah blansir.
Penggilingan pisang dilakukan dengan menggunakan alat penggiling pin disc mill yang di
dalamnya terdapat ayakan berukuran 60 mesh. Tepung pisang yang dihasilkan siap digunakan
sebagai bahan pembuat banana bars. Analisis proksimat dilakukan untuk menentukan jumlah
makronutrien dan kandungan kalori tepung pisang. Kandungan karbohidrat yang dimiliki
27
tepung pisang (91.94 %bk) lebih tinggi dibandingkan kandungan protein (4.72 %bk) dan
lemaknya (0.89 %bk). Hal ini disebabkan oleh tingginya pati yang ada dalam tepung pisang
(Crowther, 1979). Menurut Wills et al., (1981) karbohidrat pisang terdiri dari pati, gula-gula
sederhana (glukosa, fruktosa, dan sukrosa), pektin, lignin, selulosa, dan hemiselulosa.
2. PEMBUATAN TEPUNG TEMPE
Beberapa keuntungan yang diperoleh dari pengeringan tempe, antara lain adalah
berkurangnya volume dan berat bahan sehingga memudahkan dalam pengangkutan dan
penyimpanannya (Winarno, 1985). Tempe yang digunakan dalam pembuatan tepung tempe
adalah tempe yang telah difermentasi selama satu hari dengan tujuan untuk mengurangi rasa
pahit yang ditimbulkan oleh kapang. Hasil analisis proksimat tepung tempe ditunjukkan pada
Tabel 12.
Tabel 12. Hasil analisis proksimat tepung tempe
Komposisi Kandungan %
(basis kering)
Kandungan %
(basis kering)*
Kadar air %** 4.46 8.70
Kadar abu 2.09 2.52
Kadar protein 52.42 52.57
Kadar lemak 31.23 27.14 Kadar karbohidrat (by difference) 14,23 14.79
*Mardiah (1994)
** dinyatakan dalam basis basah
Kadar air hasil analisis proksimat maupun penelitian Mardiah (1994) berada di bawah
ketentuan kadar air maksimal yang ditetapkan SNI untuk tepung-tepungan yaitu 15% (bb).
Selain itu, menurut Winarno (1997) batas kadar air minimum dimana mikroba masih dapat
tumbuh adalah 14-15% (bb). Hal ini menunjukkan bahwa tepung tempe memiliki kualitas yang
baik karena kadar airnya berada di bawah ketentuan kadar air maksimal SNI dan mencapai
kadar air yang aman (dari mikroba) yaitu kurang dari 15% (bb).
Adanya perbedaan pada kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar
karbohidrat antara tepung tempe dari penelitian ini dengan penelitian Mardiah (1994) dapat
disebabkan oleh perbedaan jenis tempe yang digunakan, varietas kedelai untuk membuat
tempe, jenis kapang dan ragi yang digunakan, serta metode analisis yang digunakan.
Dwidjoseputro dan Wolf (1970) mengamati adanya perbedaan jenis-jenis kapang yang tumbuh
pada tempe yang berasal dari daerah-daerah yang berbeda. Jenis kapang yang digunakan pada
penelitian ini adalah kapang jenis R. Oligosporus sedangkan kapang yang digunakan pada
penelitian Mardiah (1994) adalah kapang R. oligosporus, R. Oryzae, dan R. Arrhizus.
Demikian halnya dengan karakteristik ragi yang digunakan. Ragi murni yang digunakan akan
menghasilkan karakteristik tepung tempe yang berbeda dengan ragi campuran.
Tempe yang akan diolah menjadi tepung tempe terlebih dahulu dilakukan beberapa
perlakuan pendahuluan sebelum dikeringkan, seperti pemotongan dan blansir. Pemotongan
tempe dimaksudkan untuk menambah luas permukaan sehingga mempercepat penguapan air.
Selain itu, menurut Soegiharto (1995), reduksi ukuran tempe sebelum proses blansir dilakukan
untuk memperluas permukaan sehingga kapang yang masih hidup di dekat atau pada
permukaan tempe lebih mudah dimatikan.
Blansir pada proses pembekuan dan pengeringan, dilakukan untuk menghentikan aktivitas
enzim-enzim yang merusak mutu produk olahan yang dihasilkan. Menurut Sumarsono (1983),
28
blansir merupakan cara terbaik untuk mematikan kapang Rhizopus. Selain itu, blansir mampu
mengurangi rasa pahit yang ditimbulkan akibat fermentasi kapang. Menurut Rohani (1999)
perlakuan blansir pada tempe bertujuan untuk mematikan pertumbuhan kapang sehingga
fermentasinya akan terhenti. Menurut Fardiaz et al., (1980) blansir adalah pemanasan
pendahuluan yang bertujuan untuk menginaktifkan enzim-enzim di dalam bahan pangan.
Menurut Syamsir (2011), proses blansir yang umum dilakukan adalah dengan menggunakan
air panas (70 – 100oC) atau dengan steam (uap panas). Blansir pada penelitian ini dilakukan
menggunakan uap panas pada suhu 100oC selama 10 menit. Blansir dengan uap lebih baik
dibandingkan dengan air panas, karena dengan uap kehilangan garam dan vitamin dapat
dicegah. Menurut Muchtadi et al., (1989) blansir dalam air panas dapat melarutkan dan
merusak nilai-nilai gizi bahan, menyebabkan tekstur menjadi lunak, serta mengurangi flavor
dan warna bahan. Selain itu proses blansir dapat mempercepat laju pengeringan dan produk
lebih bersih (Shurtleff W et al, 1980).
Tempe kemudian dikeringkan menggunakan oven pengering bersuhu 60oC selama sekitar
empat jam. Oven pengering berfungsi sebagai pengering, menghasilkan udara panas yang
digerakkan oleh blower sehingga mengefektifkan pindah panas yang terjadi dari udara panas
kepada bahan yang dikeringkan (Sitanggang, 2008).Setelah tempe kering dan berbunyi “kres”
saat diremas, kemudian tempe didinginkan beberapa menit di suhu ruang untuk kemudian
digiling menggunakan alat pin disc mill. Penggilingan dimaksudkan untuk memperkecil ukuran
tempe dalam pembuatan tepung. Di dalam pin disc mill terdapat ayakan berukuran 60 mesh
sehingga tepung yang keluar akan memiliki tingkat kehalusan yang seragam dan bersih dari
kotoran pengganggu.
B. OPTIMASI PROSES PEMANGGANGAN BANANA BARS
Formulasi pangan darurat yang dibuat harus mengandung kalori sebesar 233 kkal per bar-nya
(1 bars = 50 gram) (Zoumas et al., 2002). Dengan pertimbangan berat per bar-nya, kemudahan
untuk dikonsumsi, dibuat dan dikreasikan serta suhu dan waktu pemanggangan yang lebih efisien
maka banana bars yang dibuat memiliki berat sekitar 22-24 gram per bar. Kandungan energi per
bar-nya sekitar 110 kkal sehingga untuk satu takaran saji disarankan 6-7 bars untuk memenuhi
energi sebesar 700 kkal.
Formulasi EFP dihitung menggunakan prinsip kesetimbangan massa dengan bantuan
program Microsoft Excel. Hasil penghitungan perkiraan kalori dengan bantuan Microsoft Excel ini
tidak jauh berbeda dengan hasil analisis proksimat. Pendekatan penghitungan ini telah digunakan
dalam pembuatan pangan darurat cookies (Sitanggang, 2008) dan pembuatan pangan darurat
banana bars penelitian Ferawati (2009) tentang banana bars. Penentuan formulasi awal EFP yang
ditunjukkan pada Lampiran 1 didasarkan pada penelitian Ferawati (2009) tentang banana bars.
Dalam rangka mengembangkan potensi bahan lokal yang ada di daerah Subang, maka
banana bars yang dibuat menggunakan bahan baku utama tepung pisang. Selain itu, sebagai
sumber protein digunakan tepung tempe dan sebagai sumber karbohidrat digunakan tepung ketan.
Inulin yang ditambahkan ke dalam banana bars berfungsi sebagai sumber serat dan prebiotik.
Pada proses pembuatan banana bars, margarin dan gula halus dicampurkan secara terpisah
dari bahan tepung-tepungan. Prinsip ini mengikuti metode pembuatan krim two stage method.
Pada metode ini pembuatan krim dilakukan dengan mencampur lemak, gula, emulsifying agent
dan komponen minor lainnya selain pengembang menjadi satu (Matz and Matz, 1978). Proses
pembuatan krim dengan metode ini akan memberikan hasil yang kompak pada krim. Sumber
pemanis yang digunakan adalah gula halus dengan tujuan agar proses pencampuran lebih merata
29
dibandingkan menggunakan gula pasir. Gula juga berfungsi sebagai bahan pengawet makanan
(Gautara dan Wijandi, 1981). Gula merupakan senyawa kimia yang tergolong kelompok
karbohidrat, mempunyai rasa manis dan larut dalam air. Selain itu, gula bersifat humektan yaitu
senyawa kimia yang bersifat higroskopis dan mampu menurunkan aw dalam bahan pangan juga
bersifat antimikroba, memperbaiki tekstur, cita rasa dan dapat meningkatkan nilai kalori (Haliza,
1992).
Pada tahap ini dibuat sembilan formula yang dapat dilihat pada Lampiran 1. Sembilan
formula ini dibuat untuk mencari komposisi yang dapat menghasilkan banana bars yang disukai
oleh panelis. Kesembilan formula ini dibedakan pada jumlah tepung pisang, tepung tempe, dan
tepung ketan yang digunakan yaitu berkisar antara 29.41-41.18% basis tepung-tepungan.
Kesembilan formula ini dipanggang dengan suhu yang digunakan pada penelitian Ferawati (2009)
tentang banana bars yaitu 100oC selama 40 menit kemudian dinaikkan menjadi 120oC selama 20
menit. Suhu rendah (100oC) yang digunakan pada awal pemanggangan bertujuan untuk
mengeluarkan air yang ada pada bars dan dilanjutkan dengan suhu tinggi (120oC) yang berfungsi
untuk mengeluarkan air lanjutan dan mematangkan produk.
Kesembilan formula banana bars tersebut mengalami case hardening (Gambar 9) yaitu
bagian permukaan produk sudah matang kecoklatan namun bagian dalam produk masih belum
matang sempurna. Hal ini disebabkan oleh adanya amilopektin pada tepung ketan yang mengikat
air lebih kuat dibandingkan amilosa pada tepung perigu yang digunakan sebagai bahan baku
banana bars dalam penelitian Ferawati (2009). Menurut Muchtadi (2008), perubahan akibat
pemanggangan dipengaruhi oleh kondisi proses (suhu dan lama) serta jenis bahan yang
dipanggang (komposisi kimia). Suhu oven baking yang berfluktuasi dapat mempengaruhi tingkat
kematangan banana bars. Warna yang dihasilkan adalah kuning muda pada bagian tengah dan
coklat tua pada bagian luar. Tekstur yang dihasilkan adalah rapuh pada bagian tengah dan keras
pada bagian luar. Tekstur rapuh pada bagian tengah disebabkan oleh belum matangnya banana
bars akibat terikatnya air pada amilopektin. Selain itu, terdapat butiran tepung pisang pada
kesembilan formula banana bars. Hal ini disebabkan oleh besarnya ukuran ayakan yang
digunakan untuk menyaring tepung pisang yaitu 60 mesh. Semakin besar ukuran mesh yang
digunakan untuk menyaring maka semakin kecil ukuran granula tepung yang dihasilkan. Case
hardening yang terjadi pada banana bars dapat diatasi dengan mencari suhu dan lama waktu
pemanggangan yang tepat sehingga dapat menghasilkan karakteristik banana bars yang dapat
diterima.
Gambar 9. Banana bars yang mengalami case hardening
Penentuan formula yang akan digunakan pada tahap optimasi proses pemanggangan dipilih
dengan menggunakan uji organoleptik rating hedonik terhadap atribut rasa. Hasil uji rating
hedonik tersebut ditunjukkan pada Gambar 10. Kuisioner uji rating hedonik atribut rasa dapat
dilihat pada Lampiran 4. Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa formula F7 memiliki skor tertinggi
diantara kedelapan formula lainnya yaitu 5.51 (agak disukai). Formula F7 dengan komposisi
tepung pisang, tepung tempe, dan tepung ketan sekitar 29.41-41.18% dari total adonan yang sama
akan digunakan pada optimasi proses pemanggangan. Namun, diperlukan beberapa modifikasi,
30
diantaranya tidak lagi digunakan garam pada banana bars, ditambahkan inulin, dan dilakukan
perkiraan penghitungan nilai energi yang terkandung dalam setiap bars.
Gambar 10. Histogram uji rating hedonik terhadap atribut rasa
Garam tidak lagi digunakan pada tahap optimasi proses pemanggangan karena garam
memberikan rasa asin yang berlebihan pada banana bars. Rasa asin yang ditimbulkan pada
banana bars selain disumbangkan oleh garam, juga disumbangkan oleh margarin. Margarin
merupakan emulsi air di dalam lemak yang terdiri 85 persen lemak dan air sekitar 15 persen serta
kedalaman emulsi ini ditambahkan zat-zat tambahan makanan seperti pengemulsi lesitin, pemberi
cita rasa, aroma, garam, zat warna, vitamin, dan lain-lain (Dini, 2007). Rasa asin yang ditimbulkan
dari margarin telah cukup memberikan rasa asin pada produk. Selain itu, margarin dapat
menggantikan fungsi garam dalam memberikan kelembaban pada produk.
Inulin yang ditambahkan pada banana bars merupakan inulin komersial. Inulin membantu
mengikat air, meningkatkan mouthfeel dalam berbagai produk makanan, juga berperan dalam
meningkatkan tekstur makanan (International Partnering Event on Health and Food, 2003).
Modifikasi formula F7 menghasilkan dua formula yang ditunjukkan pada Tabel 13.
Tabel 13. Formula Banana bars
Bahan Formula I Formula II
Gram %* Gram %*
Tepung pisang 15 37.5 10 28.57
Tepung tempe 10 25 10 28.57 Tepung ketan 15 37.5 15 42.86
Margarin 15 37.5 15 42.86
Gula halus 20 50 20 57.14
Inulin 2 5 2 5.71
Air (ml) 15 37.5 8 22.86
Total 92 80
*dihitung berdasarkan bahan berbentuk tepung-tepungan
Setiap formula pada Tabel 19 menghasilkan banana bars sebanyak 2-3 buah dengan berat
per bar-nya sekitar 22 gram. Berdasarkan penghitungan perkiraan nilai kalori, energi yang
dihasilkan per bar sekitar 122-128 kkal sehingga dibutuhkan 5-6 bars per takaran saji agar dapat
memenuhi kebutuhan energi sebesar 700 kkal.
Kedua formula ini dibedakan oleh jumlah tepung pisang yang ditambahkan dengan tujuan
untuk mengetahui pengaruh tepung pisang terhadap karakteristik rasa dan aroma tepung pisang
yang dihasilkan. Jumlah tepung pisang yang ditambahkan pada formula II lebih banyak daripada
formula I sehingga air yang ditambahkan pada formula II lebih banyak dibandingkan formula I.
Menurut Chandra (2010), semakin tinggi kandungan pati maka pati akan cenderung menyerap air
3.24 3.48 3.67
3.05 2.85
4.28
5.51 5.28
3.67
2.5
3.5
4.5
5.5
F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9
Rata
-rata
sk
or h
ed
on
ik
terh
ad
ap
atr
ibu
t rasa
Formula
31
lebih banyak. Air yang ditambahkan ke dalam adonan berfungsi sebagai katalis di dalam adonan,
karena hampir keseluruhan air yang terdapat dalam adonan akan dikeluarkan selama proses
pemanggangan (Manley,2001).
Kedua formula ini dipanggang dengan dua perlakuan suhu. Perlakuan pertama dipanggang
menggunakan suhu atas 160oC dan suhu bawah 140oC selama 25 menit dan perlakuan kedua
dipanggang dengan suhu bawah 160oC dan suhu atas 140oC selama 25 menit dengan
menggunakan oven baking Getra yang memiliki sumber panas berupa gas. Oven ini memiliki suhu
pemanggangan atas dan bawah yang dapat diatur sesuai keinginan. Namun, suhu oven ini kurang
stabil sehingga sulit untuk dikontrol. Banana bars yang dihasilkan dari kedua perlakuan tersebut
memiliki warna yang tidak seragam antara sisi yang satu dengan sisis yang lain (Gambar 11). Sisi
yang lebih gosong merupakan sisi yang dipanggang dengan suhu pemanggangan yang lebih tinggi
yaitu 160oC sedangkan sisi yang dipanggang dengan suhu yang lebih rendah memiliki warna
kuning pucat. Menurut Sitanggang (2008), ketika adonan dimasukkan, suhu oven tidak boleh
terlalu panas, sebab bagian luar akan terlalu cepat matang sehingga menghambat pemanggangan.
Tekstur yang dihasilkan pada kedua perlakuan pemanggangan tersebut pun tidak seragam
yaitu adanya sisi yang lebih keras pada sisi yang gosong sedangkan sisi yang dipanggang dengan
suhu yang lebih rendah teksturnya lebih rapuh dan mudah hancur. Makin banyak panas yang
masuk, makin banyak rongga udara yang terbentuk dan lebih banyak pati yang tergelatinisasi. Hal
ini akan mempengaruhi struktur remah pada cookies.
Banana bars dengan kedua perlakuan pemanggangan tersebut memiliki rasa yang tidak
seragam akibat tingkat kematangan yang tidak sama. Selain itu, terdapat rasa berpasir pada kedua
perlakuan banana bars tersebut. Hal ini disebabkan oleh tepung pisang yang digunakan memiliki
butiran tepung yang cukup besar.
Gambar 11. Ketidaseragaman warna banana bars
Oleh karena itu, pada optimasi proses pemanggangan berikutnya kembali digunakan oven
baking dengan satu suhu pemanggangan agar diperoleh suhu pemanggangan yang lebih stabil.
Oven panggang yang digunakan adalah oven baking Mermet dengan sumber panas yang berasal
dari listrik yang dibantu blower untuk menyebarkan panasnya ke semua sisi oven. Suhu yang
dihasilkan pun lebih stabil dibandingkan oven baking Mah-Yih MD dan oven baking Getra yang
digunakan sebelumnya. Pemanggangan dengan oven baking Mermet ini lebih baik karena lebih
mudah mengontrol suhu dan diperoleh tingkat kematangan banana bars yang diinginkan.
Dengan menggunakan formula yang telah ditunjukkan pada Tabel 19, banana bars
dipanggang dengan suhu akhir pemanggangan 120oC dan 140oC sehinga dihasilkan empat
perlakuan yaitu:
1 = Formula I - 100oC selama 20 menit kemudian 120oC selama 40 menit
2 = Formula I - 100oC selama 20 menit kemudian 140oC selama 40 menit
3 = Formula II - 100oC selama 20 menit kemudian 120oC selama 40 menit
4 = Formula II - 100oC selama 20 menit kemudian 140oC selama 40 menit
32
Keempat formula banana bars tersebut diuji secara organoleptik dengan menggunakan uji
rating hedonik terhadap atribut overall. Pada Gambar 12 dapat dilihat bahwa secara overall
perlakuan yang disukai adalah perlakuan 4 (Formula II dengan suhu pemanggangan 100oC selama
20 menit kemudian dinaikkan menjadi 140oC selama 40 menit) dengan nilai skor 5.01 (agak
disukai).
Gambar 12. Histogram Uji Rating Hedonik 1
Formula banana bars perlakuan 1 dan 3 memiliki warna yang sama, namun memiliki warna
yang berbeda dengan perlakuan 2-4. Hal ini diperjelas dengan gambar banana bars pada Gambar
13.
1 2 3 4
Gambar 13. Banana bars perlakuan 1, 2, 3, dan 4
Dapat dilihat bahwa formula banana bars yang dipanggang pada perlakuan 1 dan 3 (suhu
100oC selama 40 menit kemudian dinaikkan menjadi 120oC selama 20 menit) memiliki warna
kuning pucat, tekstur yang rapuh (mudah hancur bila disentuh) dan berpasir, serta ada rasa tempe.
Perbedaan jumlah tepung pisang yang ditambahkan pada kedua formula tersebut tidak
mempengaruhi penerimaan (kesukaan) panelis terhadap karakteristik rasa, tekstur ataupun warna
banana bars.
Banana bars dengan perlakuan 2 dan 4 (suhu 100oC selama 20 menit kemudian dinaikkan
menjadi 140oC selama 40 menit) memiliki warna coklat keemasan seperti cookies yang
dipanggang, tekstur yang dihasilkan memiliki tingkat kekerasan yang mudah digigit dan tidak
mudah hancur. Rasa yang dihasilkan pun cukup enak, tidak berpasir dan tidak pahit.
Perlakuan terbaik hasil uji organoleptik (perlakuan 4) dilakukan analisis proksimat agar dapat
dihitung kandungan energinya. Hasil analisis proksimat formula II memiliki nilai kadar air 1.73%
(bb), kadar abu 1.30% (bb), kadar lemak 22.05% (bb), kadar protein 8.1% (bb), dan kadar
karbohidrat 66.82% (bb). Berdasarkan hasil analisis proksimat tersebut dapat diketahui sumbangan
makronutrien banana bars adalah sebesar 39.84% lemak, 6.51% protein, dan 53.65% karbohidrat,
sedangkan sumbangan lemak, protein, dan karbohidrat untuk pangan darurat berturut-turut adalah
35-45%, 10-15%, dan 40-50% (Zoumas, et al., 2002). Dapat dilihat bahwa sumbangan protein
0.00
2.00
4.00
6.00
1 2 3 4
4.29 4.73 4.80 5.01
Rata
-ra
ta s
ko
r h
ed
on
ik
Perlakuan
33
banana bars (6.51%) belum memenuhi persyaratan pangan darurat (10-15%) sehingga perlu
dilakukan reformulasi agar diperoleh kandungan makronutrien yang sesuai bagi pangan darurat.
C. REFORMULASI BANANA BARS
Reformulasi banana bars bertujuan untuk mencari formula banana bars kandungan
makronutrien yang sesuai dengan persyaratan pangan darurat (protein 10-15%, lemak 35-45%, dan
karbohidrat 40-50%), dan energi yang mampu memenuhi kebutuhan energi harian (2100 kkal)
dengan karakteristik (rasa, warna, tekstur, aroma, dan overall) yang dapat diterima, serta
mengetahui pengaruh inulin yang ditambahkan pada karakteristik banana bars yang dihasilkan.
Reformulasi banana bars dilakukan terhadap perlakuan empat yaitu Formula II dengan suhu
pemanggangan 100oC selama 20 menit kemudian 140oC selama 40 menit. Reformulasi banana
bars ditunjukkan pada Tabel 14.
Keempat formula tersebut telah dihitung perkiraan kandungan kalorinya dengan lebih baik
sehingga diharapkan hasil analisis proksimat yang akan dilakukan tidak jauh berbeda dari
perhitungan tersebut. Hasil perhitungan perkiraan kalori keempat formula ini dapat dilihat pada
Lampiran 2a, 2b, 2c, dan 2d dimana kandungan makronutrien dan energinya telah memenuhi
persyaratan pangan darurat.
Tabel 14. Reformulasi Formula II
Bahan Formula A (%) Formula B (%) Formula C (%) Formula D (%)
Tepung pisang 12.82 12.82 12.5 12.5
Tepung tempe 19.23 25.64 18.75 25
Tepung ketan 12.82 6.41 12.5 6.25
Margarin 19.23 19.23 18.75 18.75
Gula halus 25.64 25.64 25 25 Inulin 0 0 2.5 2.5
Air (ml) 10.23 (22.86)* 10.23(22.86)* 10(22.86)* 10 (22.86)*
*dihitung berdasarkan jumlah bahan berbentuk tepung-tepungan
Keempat formula tersebut dipanggang dengan suhu yang sama seperti pada perlakuan empat
yaitu suhu 100oC selama 20 menit kemudian 140oC selama 40 menit. Namun, banana bars yang
dihasilkan memiliki warna coklat tua akibat gosong, teksturnya sangat renyah, rasa pahit akibat
produk yang gosong. Warna gelap yang muncul pada banana bars disebabkan oleh adanya reaksi
Maillard. Reaksi Maillard merupakan reaksi antara gula-gula pereduksi dengan grup amino dari
asam-asam amino atau protein (Muchtadi et al., 1992). Menurut Manley (2001), ada tiga
perubahan yang terjadi selama proses pemanggangan, yaitu 1) peningkatan ketebalan sebagai
akibat dari pengembangan struktur internal adonan; 2) perubahan warna pada permukaan produk
(misalnya: reddish brown colouration) karena adanya reaksi Maillard; dan 3) pengeluaran uap air.
Oleh karena itu, perlu dicari suhu pemanggangan yang dapat menghasilkan karakteristik warna,
rasa, tekstur, aroma, dan overall yang dapat diterima. Selanjutnya banana bars dipanggang dengan
suhu akhir pemanggangan yang lebih rendah yaitu 130oC selama 40 menit. Penggunaan suhu ini
dipilih karena diduga suhu akhir pemanggangan 140oC terlalu tinggi bagi komposisi bahan seperti
keempat reformulasi yang ditunjukkan pada Tabel 20. Penggunaan suhu yang lebih rendah
(130oC) dibandingkan suhu standar pemanggangan cookies (170-180oC) (Faridi, 1994) bertujuan
untuk mencegah kegosongan produk pada bagian permukaan.
Banana bars yang dihasilkan memiliki rasa, warna, dan tekstur yang dapat diterima sehingga
suhu pemanggangan awal 100oC selama 20 menit dan suhu akhir pemanggangan 130oC selama 40
menit merupakan suhu optimum yang dapat menghasilkan karakteristik banana bars yang dapat
34
diterima (Gambar 14). Keempat formula tersebut dilakukan analisis proksimat, analisis fisik,
mikrobiologi, pengujian organoleptik, dan satu formula terbaik yang mengandung inulin diuji
kadar inulinnya.
Gambar 14. Banana bars hasil reformulasi
D. ANALISIS PROKSIMAT, FISIK, DAN MIKROBIOLOGI
Analisis proksimat meliputi kadar air, kadar lemak, kadar protein, kadar abu, kadar serat
kasar, dan kadar karbohidrat (by difference) yang dilakukan pada keempat formula. Hasil analisis
proksimat (Tabel 15) ini digunakan sebagai dasar untuk melakukan penghitungan energi masing-
masing formula.
Tabel 15. Hasil Analisis Proksimat Banana bars
Analisis Formula A
%(bk)
Formula B
%(bk)
Formula C
%(bk)
Formula D
%(bk)
Kadar air %* 1.77 1.73 1.79 1.76
Kadar lemak 24.39 23.65 24.46 23.43 Kadar protein 11.10 12.88 10.65 13.08
Kadar abu 1.25 1.27 1.34 1.35
Kadar karbohidrat 63.26 62.20 63.54 62.13
Kadar serat kasar 2.09 2.06 2.21 2.22
*dihitung dalam basis basah
Formula dari setiap EFP diasumsikan memiliki kadar air produk akhir maksimal 3% untuk
menjaga aw produk akhir produk EFP tidak melebihi 0.6 (Zoumas, et al., 2002). Bila aktivitas air
(aw) yang dikandung produk melebihi 0.6 maka mikroba terutama kapang menjadi lebih mudah
tumbuh dan hal ini dapat menurunkan mutu produk banana bars karena produk menjadi kapangan.
Formula A, B, C, dan D memiliki nilai aw antara 0.277–0.308 pada suhu 30.3-30.8oC. Dengan
demikian, keempat formula tersebut telah berhasil untuk mendapatkan nilai aw yang optimum.
Tujuan pembatasan nilai aw untuk meminimalisir proses deteriorasi produk yang diakibatkan oleh
mikroorganisme dan reaksi kimia sehingga mendapatkan umur simpan yang lama (± 2 tahun).
Menurut Hariyadi, et al (2006) produk kering (aw < 0.6) akan memiliki umur simpan yang lama
dibandingkan dengan pangan semi basah IMF (aw = 0.5-0.85) karena penghambatan metabolisme
mikroba. Bila aw produk terlalu rendah maka produk akan semakin kering dan menimbulkan rasa
haus bila dikonsumsi.
Kadar air yang dimiliki formula A sebesar 1.77% (bb), formula B memiliki kadar air sebesar
1.73% (bb), formula C memiliki kadar air sebesar1.79% (bb) dan formula D sebesar 1.76% (bb).
Kadar air keempat formula tersebut berada di bawah kadar air maksimal produk EFP sehingga
keempat formula tersebut telah memenuhi persyaratan pangan darurat.
Kadar lemak pada keempat formula nilainya tidak jauh berbeda yaitu sekitar 23.43-24.46%
(bk). Belum ada standar khusus yang mengatur tentang kandungan lemak produk bars sebagai
pangan darurat. Demikian pula SNI yang belum memberikan syarat khusus kandungan lemak bagi
produk cookies. Lemak merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dalam makanan karena
dapat menyebabkan perubahan sifat pada makanan tersebut. Perubahannya bahkan dapat terjadi ke
arah yang tidak diinginkan seperti ketengikan. Lemak dapat menghambat proses gelatinisasi
35
dengan cara sebagian lemak akan diserap oleh permukaan granula, sehingga terbentuk lapisan
lemak yang bersifat hidrofobik di sekeliling granula pati. Hal ini akan menyebabkan kekentalan
dan kelekatan pati berkurang akibat jumlah air berkurang untuk terjadinya pengembangan granula
pati (Marissa, 2010). Kandungan lemak yang terdapat dalam banana bars berasal dari lemak
margarin.
Kadar protein yang dimiliki formula B 12.88% (bk) dan D 13.08% (bk) lebih besar
dibandingkan formula A 11.10 % (bk) dan C 10.65 % (bk). Hal ini disebabkan lebih banyaknya
tepung tempe yang digunakan pada formula B dan D. Tepung tempe menyumbangkan lebih
banyak protein dibanding bahan-bahan lain yang digunakan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 21
yang menunjukkan tepung tempe menyumbang protein sebesar 50.08% (bb). Menurut Karta
(1990) tempe dapat digunakan sebagai bahan penyusun makanan (food ingredient) dalam bentuk
tepung tempe, untuk memperkaya nilai gizi makanan, seperti protein dan serat.
Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan mineral dalam bars dan berhubungan erat
dengan kemurnian serta kebersihan suatu bahan. Mineral merupakan zat anorganik dalam bahan
yang tidak terbakar selama proses pembakaran di dalam tanur. Menurut Sudarmadji et al.,(1989),
abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Semakin tinggi kadar abu
dalam cookies maka proses pembuatan cookies tersebut diduga kurang bersih sehingga persyaratan
kadar abu sangat penting untuk mengetahui tingkat kebersihan atau kemurnian suatu bahan. Kadar
abu sangat dipengaruhi oleh jenis bahan yang dianalisis. Hasil analisis proksimat kadar abu
keempat formula berkisar antara 1.25-1.35% (bk). Nilai kadar abu ini berasal dari tepung pisang
dan tepung tempe yang digunakan sebagai bahan baku.
Kadar karbohidrat by difference yang dimiliki keempat formula bars berkisar antara 62.13-
63.54 % (bk). Kadar karbohidrat by difference yang dimiliki oleh produk komersial fruit soy bars
adalah 39-43%, sedangkan produk snack bar berbasis tepung sorgum, tepung maizena, dan tepung
ampas tahu pada penelitian Chandra (2010) berkisar 71.25-78.09%. Kandungan karbohidrat
berasal dari bahan baku yang digunakan. Perbedaan bahan baku dapat menyebabkan perbedaan
jumlah kadar karbohidrat. Dalam hal ini kadar karbohidrat pada banana bars berasal dari bahan
baku tepung ketan, tepung pisang, dan gula halus yang memberikan sumbangan karbohidrat yang
cukup tinggi.
Serat kasar merupakan fraksi dari karbohidrat yang sukar dicerna, termasuk di dalamnya
adalah selulosa lignin dan sebagian dari pentosa (Scott et al., 2008). Kadar serat kasar yang
dimiliki keempat formula tidak berbeda jauh (2.06-2.22 % bk). Hal ini menunjukkan pengaruh
inulin yang ditambahkan pada Formula C dan D tidak memberikan hasil yang signifikan bila
dibandingkan dengan Formula A dan B (tanpa inulin). Hal ini menunjukkan bahwa inulin yang
ditambahkan ke dalam produk tidak berpengaruh signifikan.
Kandungan energi aktual hasil analisis proksimat ini akan digunakan untuk menghitung
sumbangan makronutrien banana bars terhadap persyaratan pangan darurat. Pada Lampiran 3a,
3b, 3c, dan 3d dapat dilihat hasil analisis proksimat, persentase nilai energi per bars dan
sumbangan makronutrien (lemak, protein, dan karbohidrat) banana bars dalam 700 kkal. Nilai
sumbangan makronutrien protein Formula A (8.59%) dan B (8.24%) belum memenuhi persyaratan
pangan darurat (<10-15%) sedangkan kandungan lemak dan karbohidratnya sudah memenuhi
persyaratan yaitu berada dalam kisaran 35-45% untuk lemak dan 40-50% untuk karbohidrat.
Formula B dan D seluruh kandungan makronutriennya telah masuk dalam kisaran pangan darurat
yaitu sumbangan protein sebesar 10- 15%, 35-45% lemak, dan 40-50% karbohidrat dari total
kalori (Zoumas, et al., 2002). Formula A dan C dengan jumlah tepung tempe yang lebih sedikit
dibanding formula B dan D memiliki nilai energi yang lebih besar dibandingkan formula B dan D.
36
Namun, sumbangan makronutrien protein formula A dan C belum memenuhi persyaratan pangan
darurat. Tabel 16 menunjukkan hasil analisis proksimat, analisis fisik dan mikrobiologi keempat
formula.
Analisis tekstur terhadap tingkat kekerasan banana bars pada Formula A dan B memberikan
nilai peak force (+) sebesar 1833.4 g force; 0.702 mm dan 1812 g force; 0.697 mm sedangkan
formula C dan D 2301.3 g force; 0.870 mm dan 2225.3 g force; 0.802 mm. Semakin besar nilai g
force maka semakin keras pula tekstur dari bars. Bars formula C dan D (2301.3 g force dan 2225.3
g force) memiliki tekstur yang lebih keras dibandingkan bars formula A dan B (1833.4 g force dan
1812 g force). Hal ini dapat disebabkan adanya penambahan inulin pada formula C dan D.
Meskipun demikian, tingkat kekerasan banana bars keempat formula baik tanpa ataupun dengan
inulin masih dapat diterima secara organoleptik dengan tekstur garing, renyah, dan tidak beremah.
Analisis warna yang dilakukan pada banana bars dimaksudkan untuk melihat warna produk
secara objektif karena pengujian warna secara subjektif dapat menghasilkan data yang sangat
beragam. Pengujian warna banana bars dilakukan dengan menggunakan instrumen chromameter
dengan metode Hunter. Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan sampel uji (Marissa, 2010).
Semakin mendekati nilai angka 100 maka sampel uji memiliki warna yang sangat cerah (putih).
Keempat formula banana bars berwarna gelap dengan nilai L 47.60-51.06.
Nilai a menunjukkan derajat kemerahan atau kehijauan (Marissa, 2010). Nilai a keempat
formula berada pada kisaran +8.35 sampai +9.68 yang bernilai positif menandakan bahwa keempat
formula banana bars tersebut cenderung berwarna merah daripada hijau. Nilai hasil pengujian
yang cukup jauh dari nilai 100 menunjukkan bahwa warna merah pada banana bars tidak pekat.
Nilai b menunjukkan kecenderungan sampel uji berwarna kuning atau biru. Nilai b banana bars
keempat formula adalah +24.06 sampai +24.81 menunjukkan bahwa banana bars memiliki warna
kuning, namun warna kuning tersebut tidak terlalu pekat. Pengujian warna ini pun menghasilkan
nilai oHue yang berkisar antara 68.38-71.07. Nilai pengujian oHue dapat digunakan untuk
mengetahui karakteristik warna suatu produk pangan. oHue keempat formula banana bars ini
tergolong dalam kisaran warna 54-90. Berdasarkan kisaran warna oHue ini, maka keempat formula
banana bars tersebut tergolong berwarna kuning merah (yellow-red). Hasil tersebut menunjukkan
bahwa warna yang dominan pada bars adalah warna kuning dan merah. Hal ini cukup sesuai
dengan penampakan warna yang dilihat mata yaitu coklat keemasan. Banana bars dengan warna
kuning keemasan ini cukup disukai dan dapat diterima oleh panelis.
Saat ini belum ada alat yang dapat mengukur secara objektif karakteristik rasa dan aroma
sehingga rasa dan aroma banana bars diamati secara subjektif dengan menggunakan uji
organoleptik. Keempat formula banana bars memiliki rasa yang enak dan aroma yang menyerupai
cookies dengan sedikit aroma tempe.
Analisis mikrobiologis meliputi Total Plate Count (TPC) dan Total Kapang-Khamir
dilakukan pada keempat formula. Mutu mikrobiologi pangan darurat penting diperhatikan karena
jumlah mikroba yang terdapat pada sampel dapat mempengaruhi umur simpan dan keamanan
produk pangan. Banana bars yang berkapang dapat mengurangi umur simpannya dan tidak dapat
dikonsumsi lagi. Hasil perhitungan keempat formula memberikan nilai TPC < 2.5 x 102 kol/gr
dan hasil Total Kapang-Khamir < 1.5 x 101 kol/gr. Menurut Badan Standardisasi Nasional (1993)
jumlah TPC maksimum yang dapat dimiliki oleh produk cookies adalah 1 x 106 kol/gr dan Total
Kapang sebesar 1 x 102 kol/gr. Dengan demikian, keempat produk banana bars dapat dikonsumsi
karena memiliki kandungan mikroba tidak melebihi batas yang ditetapkan.
37
Tabel 16. Karakteristik banana bars
Parameter Formula A Formula B Formula C Formula D
Analisis proksimat % (bb)
- Kadar air 1.77 1.73 1.79 1.76
- Kadar abu 1.23 1.25 1.32 1.33
- Kadar lemak 23.96 23.24 24.02 23.02
- Kadar protein 10.90 12.66 10.46 12.85
- Kadar karbohidrat 62.14 61.12 62.40 61.04
- Kadar serat kasar 2.09 2.06 2.21 2.22
Energi (kkal) 111.72 110.94 111.68 110.60
Makronutrien* Lemak = 42.46%
Protein = 8.59%
Karbohidrat = 48.95%
Lemak = 41.48%
Protein = 10.04%
Karbohidrat = 48.48%
Lemak = 42.17%
Protein = 8.24%
Karbohidrat = 49.17%
Lemak = 41.21%
Protein = 10.22%
Karbohidrat = 48.57%
Aw 0.301 pada 30.4oC 0.303 pada 30.6
oC 0.277 pada 30.7
oC 0.308 pada 30.3
oC
Kadar inulin Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan 9.18 g/100g
Uji mikrobiologi
- Total Mikroba
- Total kapang khamir
< 2.5 x 102 kol/gr
< 1.5 x 101 kol/gr
Uji organoleptik
- Rasa Enak, agak manis Enak Enak, agak manis Enak
- Tekstur 1833.4 gr; 0.702 mm 1812.6 gr; 0.697 mm 2301.3 gr; 0.870 mm 2225.3 gr; 0.802 mm
Renyah, garing, tidak
beremah
Renyah, garing, tidak
beremah
Renyah, garing, tidak
beremah
Renyah, garing, tidak
beremah
- Aroma Aroma cookies, ada
aroma tempe
Aroma cookies, ada
aroma tempe
Aroma cookies, ada
aroma tempe
Aroma cookies, ada
aroma tempe
- Warna L = 51.06
a = +8.35
b = +24.06 oHue = 70.86
L = 50.12
a = +8.51
b = +24.81 oHue = 71.07
L = 47.60
a = +9.01
b = +24.31 oHue = 69.66
L = 47.75
a = +9.68
b = +24.43 oHue = 68.38
Coklat keemasan Coklat keemasan Coklat keemasan Coklat keemasan
- Overall Disukai Agak disukai Agak disukai Disukai
*dihitung terhadap sumbangan energi 700 kkal
E. UJI ORGANOLEPTIK
Menurut Meillgard, et al., (1999) ada beberapa uji sensori yaitu uji beda (discrimination test),
uji deskripsi (descrptive test) dan uji afektif (affective test). Uji rating hedonik merupakan bagian
dari uji afektif. Uji rating hedonik digunakan untuk menilai respon penerimaan (tingkat kesukaan)
dari berbagai formulasi produk banana bars. Uji rating ini dilakukan dengan skala kategori dari 1
(sangat tidak suka) sampai 7 (sangat suka). Pengujian ini dilakukan oleh 70 orang panelis tidak
terlatih untuk menentukan nilai kesukaan terhadap atribut warna, aroma, rasa, tekstur, dan overall.
Kuisioner pengujian dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil uji rating hedonik diolah dengan
menggunakan one way ANOVA dan dilanjutkan dengan Uji Duncan untuk mengetahui tingkat
kesukaan panelis. Hasil uji rating hedonik ditunjukkan Gambar 15.
38
Gambar 15. Histogram Uji Rating Hedonik 2
Bila dilihat dari atribut rasa keempat banana bars memiliki skor 6 (suka). Secara statsitik
tidak ada perbedaan penerimaan panelis terhadap rasa. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah tepung
tempe yang lebih banyak pada formula D tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap
atribut rasa banana bars.
Pada atribut tekstur, keempat formula banana bars yang renyah, garing, dan tidak beremah
disukai oleh panelis dengan skor 6 (suka). Tekstur garing yang dihasilkan dapat disebabkan oleh
suhu pemanggangan yang cukup tinggi. Pada taraf signifikansi 5%, tekstur dari keempat sampel
memiliki tingkat penerimaan yang sama.
Atribut aroma banana bars memiliki skor kesukaan 5 (agak disukai). Hal ini dapat
disebabkan adanya aroma tempe yang tercium pada banana bars. Pada taraf signifikansi 5%,
aroma dari keempat sampel tidak memiliki perbedaan penerimaan panelis terhadap aroma.
Warna yang dihasilkan oleh keempat formula banana bars memiliki skor kesukaan 5 (agak
suka) dengan warna coklat keemasan. Secara statistik tidak ada perbedaan penerimaan panelis
terhadap warna banana bars yang dihasilkan. Demikian pula halnya dengan atribut overall yang
memiliki tingkat penerimaan yang sama pada taraf signifikansi 5% dengan skor kesukaan 5 dan 6
(agak disukai dan disukai).
F. PEMILIHAN FORMULA TERBAIK
Penentuan formula terbaik didasarkan pada parameter uji organoleptik dan kecukupan
sumbangan energi bagi pangan darurat. Penilaian uji organoleptik disenangi karena dapat
dilaksanakan dengan cepat dan langsung. Kadang-kadang penilaian ini dapat memberikan hasil
yang lebih teliti. Hasil uji organoleptik terhadap atribut rasa, warna, aroma, tekstur, dan overall
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari setiap formula. Jadi semua
formula mempunyai tingkat kesukaan yang sama berdasarkan uji organoleptik.
Berdasarkan hasil uji organoleptik, keempat formula A, B, C, dan D sama-sama disukai dan
dapat diterima oleh panelis. Formula A dan C merupakan formula yang sama dan dibedakan oleh
adanya penambahan inulin, sedangkan formula B dan D merupakan formula yang sama dan
dibedakan oleh adanya penambahan inulin. Formula A dan B yang tidak menggunakan inulin
merupakan formula yang berbeda, sedangkan formula C dan D merupakan formula berbeda yang
menggunakan inulin sebagai sumber serat dan prebiotik.
Analisis proksimat memberikan hasil bahwa formula A (tanpa inulin) memiliki nilai
sumbangan makronutrien protein yang belum memenuhi persyaratan sumbangan protein bagi
pangan darurat (<10-15%) yaitu 8.59%. Demikian pula halnya dengan formula C (dengan inulin)
5.00
5.50
6.00
Rasa Tekstur Aroma Warna Overall
6.19 6.21
5.90
5.79
6.00
6.03 6.01
5.57
5.70
5.94
6.04 6.00
5.63 5.70
5.73
6.17 6.07
5.66 5.63
6.04
Rata
-rata
sk
or h
ed
on
ik
Parameter
A
B
C
D
39
yang merupakan formula yang sama dengan A memberikan nilai sumbangan protein sebesar
8.24%. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya jumlah tepung tempe yang merupakan sumber
protein produk.
Formula B dan D telah memenuhi persyaratan pangan darurat yaitu nilai sumbangan
proteinnya telah memenuhi 10-15%, lemak 40-50%, dan karbohidrat 35-45%. Formula B memiliki
nilai energi sebesar 110.94 kkal/bar sedangkan formula D memiliki nilai energi sebesar 110.60
kkal/bar. Kedua formula ini dapat digunakan sebagai alternatif pangan darurat. Namun, bila ingin
meningkatkan kadar serat dan prebiotik maka formula D dapat digunakan sebagai alternatif
pangan darurat. Pada penelitian ini ingin dikembangkan fungsi inulin di dalam produk sehingga
formula terpilih yang dapat digunakan sebagai alternatif pangan darurat adalah formula D. Namun,
bila ingin menghemat biaya produksi maka formula B (tanpa inulin) dapat menjadi alternatif
pangan darurat dengan kandungan energi yang telah memenuhi persyaratan pangan darurat.
Pengujian kadar inulin dilakukan pada formula D memberikan hasil kadar inulin sebesar 9.18
g/100 g sedangkan kadar inulin yang terkandung di dalam adonan adalah 9.75 g/100g. Nilai
tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan besarnya penambahan inulin di dalam formula
yang hanya sebesar 2.78 g/100 g. Nilai ini kurang akurat dikarenakan metode pengukuran HPLC
yang digunakan adalah mengukur fruktosa secara keseluruhan sehingga fruktosa yang terukur
adalah fruktosa yang terdapat dalam inulin komersial, inulin yang ada dalam pisang, maupun
fruktosa yang dikandung pisang.
Banana bars yang perlu dikonsumsi untuk satu takaran saji adalah sekitar 6-7 bars dengan
tujuan untuk memenuhi kebutuhan 700 kkal. Hal ini didasarkan pada kebutuhan energi harian
manusia sebesar 2100 kkal yang diasumsikan makan tiga kali sehari sehingga untuk satu takaran
saji harus memenuhi energi sebesar 700 kkal. Formula D dengan berat 22 gram memiliki nilai
energi sebesar 110.60 kkal disarankan untuk mengonsumsinya sebanyak 6-7 bars untuk satu
takaran saji dapat memenuhi kebutuhan 700 kkal. Dengan kata lain, harus mengonsumsi sebanyak
2-3 bars/ 22 gram agar dapat memenuhi kebutuhan 233 kkal/ 50 gram produk sekali makan.
Produk banana bars ini selain dapat digunakan sebagai alternatif pangan darurat juga dapat
digunakan sebagai camilan bergizi yang dikonsumsi di sela-sela waktu makan.
G. PERBANDINGAN PERKIRAAN PERHITUNGAN ENERGI DENGAN
NILAI ENERGI AKTUAL
Perbandingan perkiraan perhitungan dengan analisis proksimat keempat formula memiliki
nilai yang tidak berbeda jauh. Pada formula terpilih yang mengandung inulin yaitu formula D,
menunjukkan bahwa kandungan makronutrien pada produk tidak sama persis seperti perhitungan
pada perancangan. Pada perancangan, lemak dalam produk diharapkan memberikan sumbangan
kalori sebesar 47.57%, namun hasil proksimat jumlah lemak dalam produk ialah 41.21%. Hasil
proksimat lebih rendah 6.36% dibandingkan perancangan formula. Hasil proksimat menunjukkan
jumlah protein yang terdapat pada produk ialah 13.08% (berat kering) dengan sumbangan kalori
sebesar 10.22% dari total kalori. Jika dibandingkan sumbangan kalori yang diberikan protein pada
perancangan dengan hasil proksimat, maka hasil proksimat lebih kecil 2.43%. berbeda dengan
hasil proksimat lemak dan protein yang memiliki nilai lebih rendah dibandingkan dengan
perancangan, hasil proksimat makronutrien karbohidrat memiliki nilai yang lebih tinggi
dibandingkan perancangan. Pada perancangan jumlah karbohidrat yang diharapkan adalah 54.10%
(berat kering) dengan sumbangan kalori sebesar 39.80%. Hasil proksimat menunjukkan besarnya
karbohidrat yang terdapat pada produk ialah 48.57%. Perbedaan jumlah makronutrien pada
perancangan dengan hasil proksimat menunjukkan bahwa nilai-nilai yang tertera pada DKBM dan
40
kemasan tidak selalu memberikan nilai yang sesuai dengan kondisi bahan pangan yang digunakan
yang sesungguhnya. Makronutrien yang terkandung pada bahan pangan, dipengaruhi banyak
faktor misalnya varietas, umur waktu pemanenan, penyimpanan sebelum pengolahan, tata cara
pengolahan. Hal ini dapat mempengaruhi nilai nutrisi yang terkandung pada bahan baku. Nilai
yang tertera pada DKBM merupakan nilai rata-rata yang dapat dijadikan acuan sementara dalam
merancang produk pangan, namun tidak selalu menggambarkan nilai yang sebenarnya dari bahan
baku yang digunakan.
Perbandingan nilai energi hasil perkiraan penghitungan dan nilai kalori aktual hasil analisis
proksimat dapat dilihat pada Tabel 17 yang menunjukkan bahwa perkiraan penghitungan nilai
kalori dan hasil analisis proksimat memiliki nilai yang tidak berbeda jauh. Perkiraan penghitungan
nilai kalori ini dilakukan karena pada awalnya belum diketahui berapa kandungan air, protein,
lemak, abu, dan karbohidrat pada produk akhir sehingga diperlukan adanya penghitungan yang
nilainya mendekati nilai produk akhir. Perkiraan penghitungan nilai kalori ini dilakukan dengan
pendekatan nilai makronutrien dari bahan-bahan yang digunakan pada banana bars.
Tabel 17. Perbandingan nilai energi perkiraan dan hasil analisis proksimat
Formula Perkiraan (Kalori) (kkal) Hasil proksimat (kkal)
Formula A 113.16 111.72
Formula B 115.38 110.94
Formula C 109.74 111.68 Formula D 111.92 110.60
Namun demikian, perbedaan yang diberikan pada perancangan dan hasil analisis proksimat
tidak berbeda terlalu jauh sehingga perancangan ini dapat digunakan untuk menghitung nilai
energi yang dimiliki suatu produk sebelum produk tersebut dibuat. Hal ini dapat meminimalisasi
biaya yang dikeluarkan untuk melakukan analisis proksimat produk jadi.
41
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Formulasi EFP dapat dilakukan dengan prinsip kesetimbangan massa menggunakan program
Microsoft Excel. Dalam formulasi, yang perlu diperhatikan adalah jumlah makronutrien bahan,
kadar air awal serta kadar air akhir produk. Ada empat formula yang dilakukan analisis proksimat,
fisik, dan mikrobiologi serta uji organoleptik. Dua formula diantaranya terdiri dari tepung pisang
sebesar 12.82% dan inulin 0% sedangkan dua formula lainnya memiliki jumlah tepung pisang
sebesar 12.5% dan inulin sebesar 2.5%. Suhu dan waktu pemanggangan terbaik untuk pembuatan
pangan darurat banana bars adalah 100oC selama 20 menit dan suhu akhir pemanggangan sebesar
130oC selama 40 menit.
Bila ditinjau dari hasil analisis fisik dan mikrobiologi, keempat formula tidak memberikan
hasil yang berbeda jauh. Demikian pula halnya dengan hasil uji organoleptik yang menunjukkan
bahwa keempat formula tidak memberikan hasil yang berbeda nyata pada taraf signifikansi 5%.
Formula A yaitu formul tanpa inulin memberikan nilai kandungan energi sebesar 111.72 kkal
sedangkan formula D memberikan nilai kandungan energi 110.60 kkal. Formula A belum
memenuhi persyaratan pangan darurat yaitu sumbangan proteinnya sebesar 8.59% sedangkan
formula D telah memenuhi persyaratan sumbangan makronutrien tersebut. Selain itu, untuk
meningkatkan kadar serat dalam bahan pangan, maka dipilih formula D yang mengandung inulin.
Kadar inulin yang dikandung formula D sebesar 9.18 g/100g.
Formula terpilih adalah formula D dengan karakteristik kimia berupa kadar air sebesar 1.77%
(b/b), kadar abu 1.23% (b/b), kadar lemak 23.96% (b/b), kadar protein 10.90% (b/b), kadar
karbohidrat 62.14% (b/b), dan kadar serat kasar 2.09% (b/b). Formula D memberikan hasil analisis
fisik berupa aw sebesar 0.308 pada suhu 30.3oC. Analisis tekstur memberikan nilai peak force (+)
sebesar 1921.3 g force; 0.870 mm dengan karakteristik yang garing, renyah, dan tidak beremah.
Warna yang dihasilkan adalah kuning keemasan dengan nilai L 47.75%, a +9.68, b +24.43 dan oHue 68.38. Hasil analisis mikrobiologi Formula D memberikan nilai TPC sebesar < 2.5 x 102
kol/gr dan hasil Total Kapang-Khamir < 1.5 x 101 kol/gr. Jumlah TPC maksimum yang dapat
dimiliki oleh produk cookies adalah 1 x 106 kol/gr dan Total Kapang sebesar 1 x 102 kol/gr.
Dengan demikian, produk banana bars dapat dikonsumsi karena memiliki kandungan mikroba
tidak melebihi batas yang ditetapkan. Formula B pun dapat digunakan sebagai alternatif pangan
darurat dengan biaya produksi yang relatif lebih rendah karena tidak menggunakan inulin.
B. Saran
i. Perlunya oven baking dengan suhu yang lebih stabil agar proses pemanggangan dapat
dikontrol.
ii. Ukuran dimensi cetakan dapat diperbesar sehingga dapat mengurangi jumlah konsumsi
banana bars per hari
42
VI.DAFTAR PUSTAKA
Aigster A, Susan ED, Frank DC, William EB. 2011. Physicochemical properties and sensory
attributes of resistant starch-supplemented granola bars and cereals. Food Science and Technology
44 (2011) 2159-2165.
Almond N. 1989. Biscuit, Cookies and Crackers: The Biscuit Making Process. Elswevier Applied
Science, London.
Anonim. 2010. Pengungsi Korban Letusan Gunung Merapi Membangun Lumbung Pangan
http://akuindonesiana.wordpress.com/2010/11/16 [24 Januari 2011]
[AOAC] Association of Official of Analytical Chemist. 1995. Official Methods of The Association of
Official Chemist. AOAC Inc, Virginia.
Badan Standardisasi Nasional. 1993. SNI 01-2973-1992, Syarat Mutu Kue Kering (cookies). Badan
Standardisasi Nasional, Jakarta.
Bakara HMM. 1996. Karakteristik Fisik dan Kandungan Isoflavon Cookies dengan Substitusi Tepung
Tempe. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Bao J dan Bergman. 2004. The Functionality of Rice Starch. Di dalam Ann-Charlotte Eliasson (eds).
Starch in Food. CRC Press, Cambridge.
Budi Santoso H. 1995. Tepung Pisang. Kanisius, Yogyakarta.
Burt DJ dan Fearn T. 1983. A Quantitative study of Biscuit Manufacture. Starch 35:351-354.
Chandra F. 2010. Formulasi Snack Bar Tingi Serat Berbasis Tepung Sorgum (Sorghum Bicolor L),
Tepung Maizena, dan Tepung Ampas Tahu. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Chong LC dan Azizah NA. 2008. Influence of Partial Substition of Wheat Flour with Banana (Musa
paradisa var. Awak) Flour on the Physico-Chemical and Sensory Characteristics of Doughnuts.
Crowther PC. 1979. The Processing of Banana Products for Food Use.Tropical Product Institute,
London.
Dini. 2007. Margarin/mentega apakah aman dikonsumsi.
http://kelompokdiskusi.multiply.com/journal/item/925/MARGARINEMENTEGA_APAKAH_A
MAN_DI_KONSUMSI [18 Agustus 2011].
Dwidjoseputro D dan Wolf FT. 1970. Microbiological Studies of Indonesian fermented Foodstuff.
Mycopathol, Mycol. Appl. 41: 211.
43
EKM. 2011. Inulin Meningkatkan Kesehatan Tulang Pada Anak Dan Remaja, [Online]. Abstract from
Nutrition Research. http://www.kal.upenn/articles, Nutrition Research. [17 Agustus 2011].
Fardiaz D, Srikandi F, FG Winarno. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia, Jakarta.
Fardiaz S. 1989. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Pangan. Penerbit IPB, Bogor.
Faridi H. 1994. The Science of Cookie and Cracker Production. Great Britanian, Chapman and Hall,
London.
Ferawati. 2009. Formulasi dan pembuatan banana bars berbahan dasar tepung kedelai, terigu,
singkong, dan pisang sebagai alternatif pangan darurat. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Franck A. dan L. D. Leenher. 2005. Inulin dalam Polysaccharides and Polyamides in the Food
Industry Volume 1. Steinbuchel, A. dan S. K. Rhee (eds.). Wiley VCH, Weinheim.
Gaines C. S. 1992. Objective assessment of cookie and cracker tecture. Di dalam: H. Faridi (ed). The
Science of Cookie and Cracker Production. Chapman and Hall, New York.
Gautara dan Wijandi S. 1981. Dasar Pengolahan Gula 1. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Grist DH. 1975. Rice. Longman. London.
Haliza. 1992. Rancangan Proses Pembuatan Dodol Kweni (Mangifera odorata G). Skripsi. Fakultas
Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hariyadi. 2006. Teknologi Pengolahan Beras. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Hariyadi P. 2008. Teknologi Retort Pouch dari Ransum Tempur sampai Ransum Darurat.
http://www.foodreview.biz/preview.php?view2&id=55780 [15 Agustus 2011]
Harnani S. 2009. Pengaruh Fermentasi Terhadap Sifat Fisiko-Kimia dan Aktivitas Antioksidan
Kacang Komak. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hermawan. 1982. Mempelajari Pengaruh “Blanching”, Sufurisasi dan Lama Penyimpanan terhadap
Mutu Tepung Pisang Tanduk. Fatemeta, IPB, Bogor.
Hermanto. 1991. Studi Rendemen dan Karakterisasi Tepung Pisang Nangka, Siam, dan Oli. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hubeis AVS. 1985. Pengembangan Metode Uji Kepulenan. Dipublikaskan. No. 13/penel/P4T. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
44
Inayati I. 1991. Biskuit Berprotein Tinggi dari Campuran Tepung Terigu, Singkong, dan Tempe
Kedelai. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
International Partnering Event on Health and Food. 2003. Alimentary Fiber Solubility.
http://irc.cordis.lu/bent/catalog.cfm?status=2&whattodisp=profiledetails&eventidz=1046&pr_id
=1747[23 Maret 211].
IOM (Institute of Medicine). 1995b. Estimated Mean per Capita Energy Requirements for Planning
Energy Food Aid Rations. National Academy Press, Washington, DC
Ismariarsi. 1982. Mempelajari Karakteristik Cookies yang Dibuat Berdasarkan Formula Tepung
Terigu, dan Maizena. Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Joffre M and Robertson A. 2001. The potential contribution of increased vegetable and fruit
consumption to health gain in the European Union. Public Health Nutrition, 4, 893e901.
Kajuna STA, Bilanski WK, Mittal GS. 1997. Textural changes of bananas and plantain pulp during
ripening. Journal of the Science of Food and Agriculture, 75, 244e250.
Karta SK. 1990. The market prospective for tempeh in the year 2000. ASA technical bulletin vol HN
13.
Koswara S. 2006. e-Book pangan lebih akrab dengan kue basah.
http://www.ebookpangan.com/ARTIKEL/LEBIH%20AKRAB%20DENGAN%20KUE%29BAS
AH.pdf. [31 November 2010]
Manley D. 2001. Biscuit, Cracker, Cookie Recipes for The Industry. Woodhead Ltd. And CRC Press
LLC, USA.
Mardiah. 1994. Mempelajari Sifat Fungsional dan Nilai Gizi Tepung Tempe serta Pengembangan
Produk Olahannya sebagai Makanan Tambahan Bagi Anak. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanina Bogor, Bogor.
Marissa D. 2010. Formulasi Cookies Jagung dan Pendugaan Umur Simpan Produk dengan
Pendekatan Kadar Air Kritis. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Matz SA dan Matz TD. 1978. Cookies and Crackers Technology. The AVI Publishing Co., Inc.,
Texas.
Meillgard M, Civille, Gail Vance, Carr, Thomas B. 1999. Sensory Evaluation Techniques. CRC Press
LLC, USA.
Mepba HD, Eboh L dan Nwaojigwa SU. 2007. Chemical composition, functional and baking
properties of wheat-plantain composite flours. African Journal of Food and Agriculture Nutrition
and Development. Volume 7 no. 1.
45
Muchtadi TR. 1989. Teknologi Proses Pengolahan Pangan, PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor.
Muchtadi D, Nurheni SP, Made A. 1992. Metode Kimia Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Gizi
Pangan. PAU, IPB. Bogor.
Muchtadi T. 2008. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fateta. IPB, Bogor.
NRC (National Research Council). 1989. Recommended Dietary Allowances. 10th ed. National
Academy Press, Washington, DC.
Oku T, T. Tokunaga, dan N. Hosoya. 1984. Nondigestibility of a New Sweetener, “Neosugar”. Rat. J.
Nutr. 114: 1474-1481
PKBT IPB. 2005. Laporan akhir rusnas pengembangan buah-buahan Unggulan Indonesia. IPB,
Bogor.
Pomeranz Y. 1991. Functional Properties of Foods (2nd ed). Academic Press, Inc., New York.
Prawiranegara. 1991. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Direktorat Jenderal Departemen Kesehatan
RI. Penerbit Bhratara, Jakarta.
Roberfroid MB. 2005. Concepts in functional foods: the case of inulin and oligofructose. J. of
Nutrition 129: 1398-1401.
Rohani E. 1999. Pengaruh Jenis Kedelai dan Jenis Laru terhadap Perubahan Sifat Fisiko Kimia
Keripik Tempe. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ryland D., Vaisey-Genser. M., Arntfield, SD., and Malcolmson, LJ. 2010. Development of a
Nutritious Acceptable Snack Bars Using Micronized Flaked Lentils. Food Research International
43: 642-649.
Scott KP, Duncan SH, and Flint HJ. 2008. Dietary fibre and the microbiota. Journal of British
Nutrition Foundation 33: 2010-211.
Shurtleff W dan Aoyagi A. 1980. The Book of Tempeh. Harper and Row Publisher, New York.
Sinnot M. L. 2007. Carbohydrate Chemistry and Biochemistry: Structure and Metabolism. RSC
Publishing, UK.
Sitanggang AB. 2008. Pembuatan Prototipe Cookies dari Berbagai Bahan sebagai Produk Alternatif
Pangan Darurat. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sitanggang PDL. 2009. Pengembangan Pangan Darurat Berbentuk Pangan Semi Basah. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
46
Soegiharto I. S. 1995. Mempelajari Pembuatan Cookies dengan Substitusi Tepung Tempe. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Stephanie. 2010. Aplikasi Penggunaan Tepung Jewawut (Pennisetum Glaucum) dan Serum (Whey)
Tahu dalam Memberikan Nilai Tambah terhadap Produk Snack Bar. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Suarni. 2009. Prospek pemanfaatan tepung jagung untuk kue kering (cookies). Jurnal Litbang
Pertanian, 28(2): 67.
Sudarmadji S, Haryono B dan Suhardi, 1989. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan. Liberty,
Yogyakarta.
Sulaeman A, F. Anwar, Rimbawan dan SA Marliyati. 1995. Metode Analisis Komposisi Zat Gizi
Makanan. Fakultas Pertaninan, Institut Pertanina Bogor, Bogor.
Sumarsono. 1983. Aspek-aspek Penggunaan Tepung Tempe. Fateta UGM. Yogyakarta. Di dalam
Murdefi, Y. 1992. Sifat Fungsional dan Nilai Gizi Tepung Tempe serta Pemanfaatanya dalam
Pembuatan Biskuit untuk anak Balita. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Syafriyudin DPP. 2009. Oven pengering kerupuk berbasis mikrokontroler atmega 8535 Menggunakan
pemanas pada industri rumah tangga. Jurnal Teknologi, 77 Volume 2 Nomor 1 , Juni 2009, 70-
79 Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri, Institut Sains & Teknologi AKPRIND
Yogyakarta.
Syamsir, E. 2008. Pengembangan Pangan Darurat. http://ilmupangan.blogspot.com [17 Maret 2011]
Syamsir E. 2011. Mengenal Blansir. http://ilmupangan.blogspot.com/2011/01/mengenal-blansir.html
[17 Agustus 2011].
Tungland BC and Meyer. 2002. Nondigestible oligo-and polysaccharides (dietary fiber): Their
physiology and role in human health and food. Comprehensive reviews in Food Scie and Food
Safety 3(2002):73-91.
USAID. 2001b. USAID Humanitarian Response. Online. Available at
www.usaid.gov/hum_response/.Accessed [23 November 2010]
Valentina S. 2009. Pembuatan produk Pengalengan Berbasis Beras sebagai Alternatif Pangan Darurat.
Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Wijaya EN. 2010. Pemanfaatan Tepung Jewawut (Pennisetum glaucum) dan Tepun Ampas Tahu
dalam Formulasi Snack Bar. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
47
Wildman REC and D.M. Modeiros. 2000. Carbohydrates. Dalam Advanced Human Nutrition. CRC
Press, Boca Raton, New York. p. 66−97.
Wills R H., Lee TH., Graham, McGlasson WB., Hale EG. 1981. Postharvest an introduction to the
physiology and handling of fruits and vegetables. The AVI Publishing Co. Inc., Westpot, Conn.
Winarno F.G. 1985. Tempe Peningkatan mutu dan statusnya di masyarakat. Di dalam Hermana dan
Karyadi (eds.). Simposium Pemanfaatan Tempe dalam Peningkatan Upaya Kesehatan dan Gizi.
Puslitbang Gizi, Balitbang Kes., Depkes RI., Bogor.
Winarno F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta.
Winarno F. G. 2004. Kemanan Pangan. PT Embrio Biotekindo, Bogor.
Zoumas B. L., L. E. Armstrong., J. R Backstrand., W. L. Chenoweth., P. Chinachoti., B. P. Klein., H.
W. Lane., K. S. Marsh., M. Tolvanen. 2002. High-Energy, Nutrient-Dense Emergency Relief
Product. Food and Nutrition Board: Institute of Medicine. National Academy Press, Washington,
DC.
48
LAMPIRAN
49
Lampiran 1. Formula Awal Banana Bars
Bahan F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9
Gram %* Gram %* Gram %* Gram %* Gram %* Gram %* Gram %* Gram %* Gram %*
Tepung pisang 10 29.41 10 29.41 10 29.41 12 33.33 12 33.33 12 33.33 14 36.84 14 36.84 14 36.84
Tepung tempe 10 29.41 12 35.29 14 41.18 14 38.89 12 33.33 10 27.78 10 26.32 12 31.58 14 36.84
Tepung ketan 14 41.18 12 35.29 10 29.41 10 27.78 12 33.33 14 38.89 14 36.84 12 31.58 10 26.32
Gula halus 20 58.82 20 58.82 20 58.82 20 55.56 20 55.56 20 55.56 20 52.63 20 52.63 20 52.63
Margarin 12 35.29 12 35.29 12 35.29 12 33.33 12 33.33 12 33.33 12 31.58 12 31.58 12 31.58 Garam 2 5.88 2 5.88 2 5.88 2 5.56 2 5.56 2 5.56 2 5.26 2 5.26 2 5.26
Air (ml) 12 35.29 12 35.29 14 41.18 12 33.33 12 33.33 14 38.89 12 31.58 12 31.58 12 31.58
Jumlah 80 80 82 82 82 84 84 84 84
*dihitung berdasarkan jumlah tepung-tepungan
50
Lampiran 2a. Perkiraan energi Formula A hasil reformulasi
Bahan (g) Jumlah (g) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Air (g) Tepung pisang 10 0.451 0.085 8.789 0.441
kadar air awal (%) 14.092
Tepung tempe 15 7.512 4.479 2.04 0.669
asumsi air di dalam produk 1.131416
Tepung ketan 10 0.67 0.07 7.94 1.2
air yang menguap 12.58358
Gula halus 20 0 0 18.8 1.08
Margarin 15 0.09 12.15 0.06 2.325
Air (ml) 8 0 0 0 8
Inulin 0 0 0 0 0
Total adonan 78 8.723 16.784 37.629 13.715
Massa produk akhir 65.41642
Jumlah bar 2.973473
Jumlah makronutrien per 50 g 8.723 16.784 37.629
Kilokalori
34.892 151.056 150.516
Total kalori 336.464 atau 113.1552 per bar
% makro terhadap total energi 10.3702 44.89514 44.73465
51
Lampiran 2b. Perkiraan energi Formula B hasil reformulasi
Bahan (g) Jumlah (g) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Air (g) Tepung pisang 10 0.451 0.085 8.789 0.441
kadar air awal (%) 14.092
Tepung tempe 20 10.016 5.972 2.72 0.892
asumsi air di dalam produk 1.138051
Tepung ketan 5 0.335 0.035 3.97 0.6
air yang menguap 12.19995
Gula halus 20 0 0 18.8 1.08
Margarin 15 0.09 12.15 0.06 2.325
Air (ml) 8 0 0 0 8
Inulin 0 0 0 0 0
Total adonan 78 10.892 18.242 34.339 13.338
Massa produk akhir 65.80005
Jumlah bar 2.990911
Jumlah makronutrien per 50 g 10.892 18.242 34.339
Kilokalori
43.568 164.178 137.356
Total kalori 345.102 atau 115.38 per bar
% makro terhadap total energi 12.62467 47.57376 39.80157
52
Lampiran 2c. Perkiraan energi Formula C hasil reformulasi
Bahan (g) Jumlah (g) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Air (g) Tepung pisang 10 0.451 0.085 8.789 0.441
kadar air awal (%) 14.092
Tepung tempe 15 7.512 4.479 2.04 0.669
asumsi air di dalam produk 1.166616
Tepung ketan 10 0.67 0.07 7.94 1.2
air yang menguap 12.54838
Gula halus 20 0 0 18.8 1.08
Margarin 15 0.09 12.15 0.06 2.325
Air (ml) 8 0 0 0 8
Inulin 2 0 0 0 0
Total adonan 80 8.723 16.784 37.629 13.715
Massa produk akhir 67.45162
Jumlah bar 3.065983
Jumlah makronutrien per 50 g 8.723 16.784 37.629
Kilokalori
34.892 151.056 150.516
Total kalori 336.464 atau 109.74 per bar
% makro terhadap total energi 10.3702 44.89514 44.73465
53
Lampiran 2d. Perkiraan energi Formula D hasil reformulasi
Bahan (g)
Jumlah
(g) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Air (g)
Tepung pisang 10 0.451 0.085 8.789 0.441
kadar air awal (%) 14.092
Tepung tempe 20 10.016 5.972 2.72 0.892
asumsi air di dalam produk 1.173251
Tepung ketan 5 0.335 0.035 3.97 0.6
air yang menguap 12.16475
Gula halus 20 0 0 18.8 1.08
Margarin 15 0.09 12.15 0.06 2.325
Air (ml) 8 0 0 0 8
Inulin 2 0 0 0 0
Total adonan 80 10.892 18.242 34.339 13.338
Massa produk akhir 67.83525
Jumlah bar 3.083421
Jumlah makronutrien per 50 g 10.892 18.242 34.339
Kilokalori
43.568 164.178 137.356
Total kalori 345.102 atau 111.92 per bar
% makro terhadap total energi 12.62467 47.57376 39.80157
54
Lampiran 3a. Perhitungan Energi Formula A (per bar)
Analisis proksimat Nilai % (bb) Nilai energi (kkal) Sumbangan terhadap 700 kkal (%)
Kadar air 1.77 - -
Kadar abu 1.23 - -
Kadar lemak 23.96 47.44 42.46
Kadar protein 10.90 9.59 8.59
Kadar karbohidrat 62.14 54.68 48.95
Total energi - 111.72 -
Lampiran 3b. Perhitungan Energi Formula B (per bar)
Analisis proksimat Nilai % (bb) Nilai energi (kkal) Sumbangan terhadap 700 kkal (%)
Kadar air 1.73 - -
Kadar abu 1.25 - -
Kadar lemak 23.24 46.02 41.48
Kadar protein 12.66 11.14 10.04 Kadar karbohidrat 61.12 53.78 48.48
Total energi - 110.94 -
Lampiran 3c. Perhitungan Energi Formula C (per bar)
Analisis proksimat Nilai % (bb) Nilai energi (kkal) Sumbangan terhadap 700 kkal (%)
Kadar air 1.79 - -
Kadar abu 1.32 - -
Kadar lemak 24.02 47.56 42.17
Kadar protein 10.46 9.20 8.24
Kadar karbohidrat 62.40 54.91 49.17
Total energi - 111.68 -
Lampiran 3d. Perhitungan Energi Formula D (per bar)
Analisis proksimat Nilai % (bb) Nilai energi (kkal) Sumbangan terhadap 700 kkal (%)
Kadar air 1.76 - -
Kadar abu 1.33 - - Kadar lemak 23.02 45.58 41.21
Kadar protein 12.85 11.31 10.22
Kadar karbohidrat 61.04 53.72 48.57
Total energi - 110.60 -
55
Lampiran 4. Kuisioner uji rating hedonik formulasi awal
UJI RATING HEDONIK
Nama : Tanggal:
No HP:
Sampel: Bars
Instruksi :
1. Cicipilah sampel satu per satu dari kiri ke kanan sesuai atribut yang diujikan.
2. Berikan penilaian Anda terhadap rasa sampel dengan menuliskan angka
1 = sangat tidak suka 4 = netral 7 = sangat suka
2 = tidak suka 5 = agak suka
3 = agak tidak suka 6 = suka
3. Netralkan indera pengecap Anda dengan air putih setiap selesai mencicipi satu sampel.
4. Jangan membandingkan tingkat kesukaan antar sampel. 5. Setelah selesai berikan komentar Anda dalam ruang yang disediakan.
Kode
Skor
Komentar:........................................................................................................................................................
....................................................................................................................................................................
.....................................................................................................................
56
Lampiran 5. Kuisioner uji rating hedonik reformulasi
UJI RATING HEDONIK
Nama : Tanggal:
No HP:
Sampel: Bars
Instruksi :
1. Cicipilah sampel satu per satu dari kiri ke kanan sesuai atribut yang diujikan.
2. Berikan penilaian Anda terhadap tekstur, aroma, rasa, dan overall sampel dengan menuliskan
angka
1 = sangat tidak suka 4 = netral 7 = sangat suka
2 = tidak suka 5 = agak suka
3 = agak tidak suka 6 = suka
3. Netralkan indera pengecap Anda dengan air putih setiap selesai mencicipi satu sampel.
4. Jangan membandingkan tingkat kesukaan antar sampel. 5. Setelah selesai berikan komentar Anda dalam ruang yang disediakan.
Kode Rasa Warna Aroma Tektur
Overall
Komentar:........................................................................................................................................................
....................................................................................................................................................................
.....................................................................................................................
57
Lampiran 6a. Hasil uji rating hedonik rasa
ANOVA
Test of Between-Subjects Effects
Rasa
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 1.443 3 .481 .775 .509
Within Groups 171.343 276 .621
Total 172.786 279
Lampiran 6b. Hasil uji rating hedonik tekstur
ANOVA
Test of Between-Subjects Effects
Tekstur
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 2.011 3 .670 .793 .499
Within Groups 233.414 276 .846
Total 235.425 279
Lampiran 6c. Hasil uji rating hedonik aroma
ANOVA
Test of Between-Subjects Effects
Aroma
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 4.411 3 1.470 1.382 .248
Within Groups 293.557 276 1.064
Total 297.968 279
58
Lampiran 6d. Hasil uji rating hedonik warna
ANOVA
Test of Between-Subjects Effects
Warna
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .868 3 .289 .357 .784
Within Groups 223.529 276 .810
Total 224.396 279
Lampiran 6e. Hasil uji rating hedonik overall
ANOVA
Test of Between-Subjects Effects
Overall
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 4.086 3 1.362 1.312 .271
Within Groups 286.486 276 1.038
Total 290.571 279