Pengkajian Sensori Persepsi Mata Telinga
Transcript of Pengkajian Sensori Persepsi Mata Telinga
TUGAS SISTEM SENSORI PERSEPSI
PENGKAJIAN PADA SISTEM SENSORI PERSEPSI MATA DAN TELINGA
Oleh :
A5.A KELOMPOK 4
1) Adi Parwata (11.321.1040)
2) I Gede Agus Murdika (11.321.1042)
3) Ni Komang Ayu Sriasih (11.321.1048)
4) Bunga Cahya Ningrum (11.321.1049)
5) Ni Wayan Dendy Andriana Artari (11.321.1050)
6) Ni Nyoman Diah Kumala Dewi (11.321.1055)
7) Ni Putu Eka Widiastuti (11.321.1063)
8) Made Krisna Jayanti (11.321.1069)
9) Ni Komang Putri Swantari (11.321.1077)
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIRA MEDIKA PPNI BALI
2013
i
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha
Esa karena berkat rahmatNya kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Pengkajian Pada
Sistem Sensori Persepsi Mata dan Telinga” ini tepat pada waktunya.
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari masih banyak kekurangan-kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan dan sumber data yang kami
peroleh terbatas maka makalah ini jauh dari sempurna. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak
sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini, kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini, kami berharap semoga makalah ini
ada manfaatnya bagi kita semua.
Om Santhi Santhi Santhi Om
Denpasar, 21 Maret 2013
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................................................... ii
BAB I Pendahuluan..........................................................................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................................1
C. Tujuan...................................................................................................................................................2
BAB II Pembahasan.........................................................................................................................................3
A. Pengkajian Pada Sistem Sensori Persepsi Mata....................................................................................3
B. Pengkajian Pada Sistem Sensori Persepsi Telinga..............................................................................10
BAB III Penutup.............................................................................................................................................15
A. Simpulan.............................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................................16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem sensori adalah bagian dari sistem saraf yang terdiri dari reseptor sensori yang menerima
rangsangan dari lingkungan eksternal maupun internal, jalur neural yang yang menyalurkan
informasi dari reseptor ke otak dan bagian otak yang terutama bertugas mengolah informasi
tersebut. Informasi yang diolah oleh sistem sensori mungkin dapat menyadarkan kita tentang
adanya stimulus atau tidak menyadari adanya stimulus tertentu. Jalannya proses sensori hingga
dipersepsikan dimulai dari adanya rangsangan menuju ke reseptor masuk ke saraf sensori
hingga sumsum tulang belakang dan otak kemudian disalurkan ke saraf motoris dan efektor,
maka otak mengirimkan hasil berupa persepsi. Indra mempunyai sel-sel reseptor khusus untuk
mengenali perubahan lingkungan. Indra yang akan dibahas adalah pengelihatan dan
pendengaran.
Mata merupakan salah satu organ sensori dan persepsi pada manusia. Mata adalah organ yang
mengandung reseptor penglihatan, menyediakan visi dengan bantuan dari organ aksesori. Organ
aksesori ini terdiri dari kelopak mata dan appartus lakrimal, yang mana melindungi mata dan
seperangkat otot ekstrinsik yang mana menggerakkan mata. Lapisan pelindung luar bola mata
yaitu sklera, dimodifikasi dibagian anterior untuk membentuk kornea yang tembus pandang
yang akan dilalui berkas sinar yang akan masuk kemata. Dibagian dalam sklera terdapat lapisan
koroid yang mengandung banyak pembuluh darah yang memberi makan truktur-struktur dalam
bola mata.
Telinga merupakan organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks, indra pendengaran
berperan sangat penting bagi seseorang dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Indra
pendengaran sangat penting untuk perkembangan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain
melalui bicara tergantung dari kemampuan pendengaran.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah yang didapat adalah bagaimanakah
pengkajian pada sistem sensori persepsi mata dan telinga?
1
C. Tujuan
Dari rumasan masalah diatas maka tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui
pengkajian pada sistem sensori persepsi mata dan telinga.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengkajian Pada Sistem Sensori Persepsi MataAda tiga bidang pengkajian oftalmik yang ditujukan pada system sensori persepsi mata,
meliputi : pengkajian riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik oftalmologi, serta diagnostic khusus
oftalmologi dan prosedur refraktif.
1. Riwayat kesehatan
Sebelum melakukan pengkajian fisik mata, perawat harus mendapatkan riwayat oftalmik,
medis, dan terapi klien, dimana semuanya berperan dalam kondisi oftalmik sekarang. Informasi
yang harus diperoleh meliputi informasi mengenai penurunan tajam penglihatan, upaya
keamanan, dan semua hal yang terkait pada alasan melakukan pemeriksaan oftalmik.
a. Riwayat penyakit saat ini
1) Klien ditanya tentang keluhan yang menyebabkan klien meminta pertolongan pada tim
kesehatan.
2) Apakah ada riwayat kecelakaan atau kerja
3) Apakah ada riwayat oftalmik seperti fotofobia, nyeri kepala, pusing, nyeri okuler atau dahi,
mata gatal.
4) Bila ada keluhan nyeri, dikaji sehubungan dengan lokasi, awitan, durasi, penurunan
ketajaman penglihatan, keadaan saat nyeri timbul, upaya menguranginya dan beratnya.
5) Identifikasi penurunan gangguan tajam penglihatan atau kehilangan medan penglihatan,
apakah kondisi tersebut unilateral atau bilateral.
6) Tanyakan klien apakh pernah menjalani koreksi refraksi dan pengukuran ketajaman
penglihatan.
7) Apakah menggunakan lensa koreksi untuk penglihatan dekat atau jauh.
8) Asuhan yang pernah diberikan oleh spesialis mata dan frekuensinya.
b. Riwayat penyakit dahulu
1) Tanyakan adanya riwayat pembedahan atau adanya pukulan/ benturan pada masa lalu yang
menyebabkan keluhan saat ini.
3
2) Tanyakan tentang adanya kondisi seperti diabetes mellitus, hipertensi, PMS, anemia sel
sabit, AIDS, sklerosis multiple yang dapat mengenai mata.
3) Tanaykan pada klien tentang penggunaan obat mata yang dijiaul bebas ataupun dengan
resep yang dipakai.
c. Riwayat psikososial
Pengkajian psikososial terutama penting bagi perawat untuk menanyakan pertanyaan
mengenai riwayat klien, kita harus memperhitungkan efek keadaan oftalmik terhadap
aktivitas klien pada kehidupan sehari – hari dan terhadap pekerjaan. Hal – hal yang perlu
dikaji oleh perawat antara lain :
1) Evaluasi gaya hidup klien, jenis pekerjaan, aktivitas hiburan, dan olahraga.
2) Tanaykan apakah masalah oftalmik yang dilaporkan mengganggu fungsi yang biasa
dilakukan.
3) Kaji bagaimana klien menghadapi masalah tersebut.
4) Tanyakan perasaan klien yang berhubungan dengan gangguan visual untuk mengkaji
keefektifan teknik koping klien.
5) Kaji pengetahuan klien tentang penyakitnya untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan
klien tentang masalahnya untuk pemenuhan edukasi.
2. Pemeriksaan fisik mata
Perawat menggunakan pendekatan sistematis, dari luar ke dalam. Struktur eksternal mata dan
bola mata diperiksa terlebih dahulu, kemudian diperiksa struktur internal. Teknik yang
dipergunakan adalah inspeksi dan palpasi. Inspeksi dilakuakn dengan instrument oftalmik
khusus dan sumber cahaya. Palpasi dilakukan untuk mengkaji nyeri tekan mata, deformitas dan
untuk mengeluarkan cairan dari puncta, serta mendeteksi secara kasar tingkat tekanan intra
okuler.
a. Postur dan gambaran klien, catat kombinasi pakaian yang tidak lazim, yang mungkin
mengindikasikan colou vision defect. Demikian juga karakteristik postur yang menarik
perhatian seperti mendongakan kepala yang dapat merupakan tanda sikap kompensasi untuk
memperoleh pandangan yang jelas. Sebagai contoh, klien dengan double vision dapat
mengangkat kepalanya ke satu sisi sebagai usaha untuk memfokuskan pandanagn menjadi
satu (Vaughan, 1999).
4
b. Kesimetrisan mata, observasi kesimetrisan mata kanan dan kiri. Kaji kesimetrisan wajah
klien untuk melihat apakah kedua mata terletak pada jarak yang sama. Kaji letak mata pada
orbit. Periksa apakh salah satu mata lebih besar atau menonjol ke depan.
c. Alis dan kelopak mata, aobservasi kuantitas dan penyebaran bulu alis. Inspeksi kelopak
mata, anjurkan pasien melihat ke depan, bansingkan mata kiri dan kanan, anjurka pasien
menutup kedua mata, amati bentuk dan keadaan kulit dari kedua kelopak mata, serta
pinggiran kelopak mata, catat jika ada kelainan (kemerahan. Perhatikan keluasan mata
dalam membuka, catat adanya droping kelopak mata atas atau sewaktu membuka (ptosis).
d. Bulu mata, periksa bulu mata untuk posisi dan distribusinya. Selain berfungsi sebagai
pelindung, juga dapat menjadi iritan bagi mata bila menjadi panjang dan salah arah. Dan hal
ini dapat mengakibatkan iritan pada kornea. Orang yang emnderita depigmentasi abnormal,
albinisme, infeksi kronik, dan penyakit autoimun, bulu mata akan memutih atau poliosis
(Vaughan, 1999).
e. Kelenjar lakrimalis, observasi bagian kelenjar lakrimal dengan cara meretraksi kelopak mata
atas dan menyuruh klien untuk melihat ke bawah. Kaji adanya edema pada kelenjar
lakrimal, perawat dapat emnekan sakus lakrimalis dekat pangkal hidung untuk memeriksa
adanya obstruksi duktus nasolakrimalis, jika di dalamnya terdapat peradangan akan keluar
cairan pungtum lakrimalis. Punktum lakrimalis dapat diobservasi dengan cara menarik
kelopak mata bawah secara halus melalui pipi. ( Potter, 2006 ).
f. Konjungtiva dan sclera, sclera dan konjungtiva bulbaris diinspeksi secara bersama. Jika
pada konjungtiva palpebra klien dicurigai kelainan, palpebra atas and bawah harus dibalik.
Palpebra bawah dibalik denagn cara menarik batas atas kea rah pipi sambil klien dianjurkan
untuk melihat ke atas. ( Brunner, 2002 ). Amati keadaan konjungtiva, kantong konjungtiva
bagian bawah, catat bila ada pus atau warna tidak normal seperti anemis. Kaji warna sclera,
pada keadaan normal berwarna putih. Warna kekuning – kuningan dapat mengindikasikan
jaundis/ikterik atau masalah sistemik.
g. Kornea, observasi dengan cara memberikan sinar secara serong dari beberapa sudut. Korne
seharusnya transparan, halus, jernih dan bersinar. Observasi adanya kekeruhan yang
mungkin adalah infiltrate atau sikatrik akibat trauma atau cedera. Cikatrik kornea dapat
berupa nebula (bercak seperti awan yang hanya dapat dilihat di kamar gelap dengan cahaya
buatan). Macula (bercak putih yang dapat dilihat di kamar terang) dan leukoma (bercak
5
putih seperti porselen yang dapat dilihat dari jarak jauh). Jika klien sadar juga dapat
dilakukan reflek berkedip.
h. Pupil, amati warna iris ukuran dan bentuk pupil yang bulat dan teratur. Pupil yang tidak
bulat dan teratur akibat perlengketan iris dengan lensa/kornea (sinekkia). Lanjutkan
pengkajian terhadap reflek cahaya. Pupil yang normal akan berkontriksi secara reguler dan
konsentris,efek tidak langsung,pupil mengecil pada penyinaran mata disebelahnya. Reaksi
yang lambat atau tidak adanya reaksi dapat terjadi pada kasus peningkatan tekanan
intrakranial (bentuk normal: isokor, pupil yang mengecil (<2mm) disebut miosis, amat kecil
disebut : pinpoint, sedangkan yang melebar (>5mm)disebut midriasis). Nyatakan besarnya
pupil dalam mm (normalnya 2-5mm). Pemeriksaan pupil normal biasanya
didokumentasikan dan disingkat PERRLA : Pupil Equal Round and Reaktif to Light and
Accomodation (pupil seimbang, bulat, dan bereaksi terhadap cahaya dan akomodasi).
3. Pengkajian mata diagnostic
a. Pemeriksaan fundus, dengan alat yang disebut oftalmoskop yang mempunyai tujuan untuk
memeriksa bagian mata sebelah dalam yang dinamakan fundus, yang meliputi retina,
evaluasi diskus optikus, pembuluh darah retina, karakteristik retina, area macula, dan humor
vitreus diskus. Tujuannya adalah untuk melihat susunan retina, melihat warna retina apkah
kemungkinan adanya perdarahan, mengamati pembuluh darah besar, mengamati warna
macula (yang normalnya lebih terang dari retina), warna, batas dan pigmentasi diskus
optikus (normalnya berbebtuk melingkar, warna merah muda agak pink, batas terang dan
tetap dengan jumlah pigmen yg bervariasi).
b. Pemeriksaan ketajaman penglihatan (visus)
1) Snellen chart, adalah salah satu dari beberaap lat srderhana yang digunakan perawat untuk
mencatat penglihatan jauh. Tulisan E atau C adalah yang sering digunakan pada kartu
denagn huruf tunggal. Ketajaman penglihatan diekspresikan dalam rasio yang
membandingkan dengan bagaimana seseorang dengan penglihatan normal melihat dari jarak
20 kaki dengan yang dilihat klien dari jarak 20 kaki. Ketajaman penglihatan 20/50 berarti
klien dapat melihat 20 kaki jauhnya, sedangkan orang normal mampu melihat 50 kaki
jauhnya. Nilai 20/200 adalah batas kebutaan legal. Klien seperti ini hanya dapat membaca
dengan akurat huruf benar di baris paling atas kartu Snellen (Vaughan, 1999).
6
2) Uji penglihatan dekat, dilakukan pada klien yang mengemukakan kesulitan membaca dan
dan berusia kurang dari 40 tahun. Perawat dapt memakai Koran dengan berbagai ukuran
huruf atau kartu Jaerger untuk menguji penglihatan. Kartu ini dipegang klien dengan jarak
35 cm dari mata. Klien diinstruksikan untuk membaca huruf – huruf dalam kartu. Perawat
mencatat nilai jaeger yaitu baris terbawah tempat klien dapat mengindentifikasi lebih dari
setiap karakter. Tajam penglihatan diuji pada tiap mata (monocular) 0, dan kemudian pada
kedua mata secara bersama-sama (binocular).
3) Uji hitung jari, dilakukan apabila pasien tidak dapat membaca huruf terbesar. Perawat dapat
menentukan ketajaman dari penglihatan pasien dengan cara meletakan jari di depan pasien
dan meminta pasien menghitung jari. Jika pasien dapat menghitung atau melihat jari
pemeriksa dari jarak 6 meter, maka visus adalah 6/60 atau jarak 5 meter dengan visus 5/60.
4) Uji gerak tangan, dilakukan pada pasien yang tidak dapat menghitung jari. Dapat dilakukan
dengan cara menutup salah satu mata klien dan sinar lampu diarahkan pada tangan perawat.
Perawat menunjukan tiga kemungkinan perintah, perintah tersebut adalah tegak berhenti,
kiri ke kanan, dan atas ke bawah. Perawat menggerakan tangan dengan perlahan dan
tanyakan pada klien “ ke arah mana tanagn saya sekarang”. Jika pasien dapat menjawab 3
dari 5 perintah ketajaman visus adalah 1/300 atau jark terjauh dimana pasien dapat
mengidentifikasi mayoritas perintah gerakan.
5) Uji persepsi cahaya (light perception), dilakukan pada psien yang tidak dapat menditeksi
gerak tangan. Dilakuakn pada lingkungan yang gelap, salah satu mata pasien ditutup,
arahkan sinar senter pada mata yang tidak ditutup selama 1 – 2 detik. Pasien diintruksikan
mengatakan hidup pada saat sinar diterima dan mati pada saat padam. Jika pasien menjawab
benar 3 dari 5 perintah maka visus adalah LP, dan yang tidak dapt menditeksi disebut Non
Light Perception/ NLP.
c. Pengukuran tekanan okuler
Tonometri adalah cara pengukuran tekanan intra okuler dengan memakai alat-alat
terkalibrasi yang melekukan atau meratakan apeks kornea. Tonometer adalah alat yang
digunakan untuk memeriksa tekanan intraokuler (TIO). TIO normal adalah 10-21/24 mm
Hg. Tonometri harus dilakukan pada klien berusia 40 tahun. Ada dua jenis tonometri yang
digunakan untuk mengukur TIO yakni tonometer Schiotz dan tonometer Applanasi
(Vaughan,1999).
7
d. Tonometri Schiozt, mengukur besarnya indentansi kornea yang dihasilkan oleh beban atau
gaya yang telah disiapkan. Makin lunak mata, makin besar lekukan yang diakibatkan pada
kornea.
e. Tonometri Applanasi, adalah satu dari metode yang paling popular dan akurat untuk
pengukuran TIO. Kuantitas kekuatan yang diperlukan dapat ditentukan. Dapat mengubah
dan mengukur besarnya beban yang diperlukan untuk meratakan apeks kornea dengan beban
standar. Makin tinggi TIO, makin besar beban yang dibutuhkan.
1) Pemeriksaan lapang pandang, menurut beberapa ahli merupakan suatu pemeriksaan
penglihatan perifer. Pemeriksaan medan penglihatan dapat menghasilkan informasi yang
mengungkapkan lesi di seluruh susunan optikus, mulai dari nervus optikus, khiasma, traktus
optikus, traktus genikulo kalkarina pada tingkat lobus temporal, parietal dan oksipital. Tes
konfrontasi, memakai jari sebagai objek yang harus dilihat di dalam batas medan
penglihatan. Perimeter, alat diagnostic yang berbentuk lengkungan, tes dilakukan secara
monocular. Objek yang dilihat oleh pasien dapat berwarna dan berukuran kecil atau besar
tergantung dari sifat informasi yang hendak diungkapkan oleh tes perimeter ini.
2) Uji penglihatan warna, color vision yang normal sangat penting untuk pekerjaan tertentu.
Kurang lebih 8% pria dan 0,5% wanita mengalami kelainan color vision congenital.
Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk menguji color vision ( Vaughan,
1999 ). Alat yang paling sering digunakan adalah ISHIHARA Chart, yang berisi angka yang
tersusun dari titik – titik berwarna, berada dalam lingkaran yang juga tersusun dari titik –
titik warna. Uji ini sensitive untuk mendiagnosis buta warna merah atau hijau, tetapi tidak
efektif untuk menditeksi kelainan warna biru.
3) Uji otot ekstraokuler, meliputi tiga komponen yaitu corneal light reflex, the six cardinal
position of gaze and cover uncover test. Ketiganya untuk observasi perawat terhadap
paralisme mata dan kehalusan pergerakan mata. ( Smeltzer, 2002 ).
f. Corneal light reflex, menentukan paralelisme atau kelurusan kedua mata. Kelemahan otot
ekstraokuler dapat menyebabkan deviasi okuler.
8
g. The six cardinal position of gaze, menggerakan bola mata ke enam arah utama, yaitu lateral,
kanan atas ( temporal ), kanan bawah, kiri klien, kiri atas, kiri bawah.
1) Diplopia, adalah pandangan ganda, selama transisi dari salah satu posisi cardinal lirikan,
pemeriksa dapat mengetahui adanya salah satu atu lebih otot ekstraokuler yang gagal
berfungsi dengan benar.
2) Nistagmus, suatu gerakan involunter pada mata secara mendadak ireguler seperti gerakan
lirikanke posisi lateral.
Pengkajian sistem sensori persepsi mata bertujuan untuk mengetahui bentuk dan fungsi mata
apakah dalam keadaan normal atau tidak. Pemeriksaan lainnya bisa dilakukan dengan cara :
a. Inspeksi kelopak mata, bentuk bola mata, konjungtiva, sklera, pupil bandingkan mata kanan
dan kiri
1) bengkak menandakan penyakit jantung, anemia, hipertiroid.
2) benjol (bengkak dengan batas tegas) menandakan tumor.
3) ekstropion (kelopak mata melipat kearah luar), entropion (kelopak mata melipat kearah
dalam) menandakan tumor kelopak mata.
4) pseudoptosis (kelopak sulit terangkat) menandakan edema.
5) ptosis (kelopak mata jatuh) menandakan sinilis.
6) benjolan merah di kelopak mata menandakan hordeolum.
b. Inspeksi iris
1) warna agak putih menandakan atrofi (biasanya pada penderita DM, lansia).
2) warna kemerahan menandakan iridis.
c. Inspeksi kornea
1) cincin abu-abu dipinggir luar menandakan arkus sinilis.
2) edema kornea atau keruh atau menebal menandakan infeksi.
3) kornea tampak lembek dan menonjol menandakan keratomalasia.
d. Inspeksi pupil dan lensa
1) amati pupil : ukuran normal 3-5 mm.
9
2) amati lensa :
a) jernih menandakan lensa normal.
b) keruh atau warna putih menandakan katarak.
e. Inspeksi konjungtiva
1) warna pucat menandakan anemia.
2) warna kemerahan atau pus menandakan konjungtivitis atau alergi.
f. Pemeriksaan buta warna
Pemeriksaan ini di lakukan dengan menggunakan buku ishiharaf.
g. Pemeriksaan ketajaman penglihatan
Pemeriksaan ini dilakukan menggunakan kartusnellen atau kartu E untuk menguji ketajaman
mata pasien.
B. Pengkajian Pada Sistem Sensori Persepsi Telinga
Organ pendengaran terdiri dari telinga eksternal, telinga tengah dan telinga dalam. Gelombang
suara ditransmisikan melalui liang telinga luar yang menyebabkan membrane timpani bergetar
dan mengonduksi gelombang suara melalui tulang-tulang osikel telinga tengah ke organ sensori
telinga dalam. Kanalis semisirkularis, vestibula, dan koklea, dalam telinga tengah adalah
struktur sensori pendengaran dan keseimbangan.
1. Pengkajian riwayat kesehatan
Adapun pengkajian riwayat kesehatan yang perlu dikaji pada telinga adalah :
a. Apakah klien mengalami nyeri telinga, gatal, keluar cairan, tinnitus (telinga berdenging),
vertigo, atau perubahan pendengaran dan perhatikan timbulnya lama serangan.
b. Perhatikan timbulnya factor pemberat dan efek pada aktivitas sehari-hari.
c. Kaji resiko masalah pendengaran yang bervariasi untuk setiap tingkatan usia, meliputi
hipoksia saat kelahiran, meningitis, berat lahir kurang dari 1500g, riwayat keluarga
kehilangan pendengaran, kelainan congenital dari tengkorak atau wajah, infeksi non
bacterial (rubella & herpes) dan terpajan terus-menerus pada tingkat kebisisngan tingkat
tinggi.
10
d. Kaji apakah klien memakai alat bantu pendengaran.
e. Tanyakan apakah klien pernah mengalami pembedahan atau trauma telinga.
f. Tentukan keterpajaan klien terhadap bunyi-bunyi keras saat bekerja dan ketersediaan alat
pelindung.
g. Perhatikan perilaku yang menunjukan kehilangan pendengaran.
h. Tanyakan apakah klien minum obat-obatan ototoksik lainnya seperti aminoglikosida,
furosemid, streptomicin atau aspirin dosis tinggi.
i. Tanyakan bagaimana cara klien membersihkan telinga.
2. Pengkajian psikososial
Gangguan pendengaran dapat menyebabkan perubahan kepribadian dan sikap, kemampuan
berkomunikasai, kepekaan terhadap lingkungan bahkan kemampuan untuk melindungi diri
sendiri. Tidak jarang individu dengan gangguan pendengaran menolak mencari pertolongan
medis. Oleh karena rasa takut bahwa kehilangan pendengaran merupakan tanda usia lanjut,
banyak orang yang menolak menggunakan alat bantu dengar karena merasa kurang percaya diri.
Kelakuan dan sifat asal ini harus diperhitungkan ketika melakukan penyuluhan pasien yang
memerlukan bantuan pendengaran. Perawat harus ingat bahwa keputusan memakai alat batu
dengar adalah sangat pribadi dan sangat dipengaruhi oleh sikap dan prilaku orang tersebut.
3. Pendekatan gerontologik
Bersamaan proses penuaan dapat terjadi perubahan dalam telinga yang kemudian dapat
mengarah ke deficit pendengaran. Tanda awal kehilangan pendengaran bias meliputi tinnitus,
peningkatan ketidakmampuan mendengarkan pada pertemuan kelompok, dan perlu meneraskan
volume televise. Smeltzer (2002) menyatakan bahwa 25 % orang berusia antara 65-74 tahun dan
50% orang berusia di atas 75 tahun mengalami kesulitan pendengaran. Penyebab tidak diketahui
dan ada hubungan dengan diet, metabolisme, arteriosklerosis, stress dan keturunan tidak
konsisten. Factor lainnya adalah pemajanan sepanjang hidup terhadap bunyi keras, pemakaian
obat-obatan, dan factor psikogenik dan proses penyakit lainnya seperti diabetes mellitus.
4. Pemeriksaan fisik telinga
Perawat meninspeksi dan memalpasi struktur telinga luar, inspeksi telinga tengah dengan
otoskop dan menguji telinga dalam dengan mengukur ketajaman pendengaran.
11
a. Pemeriksaan harus dimulai dengan inspeksi dan palpasi aurikula dan jaringan sekitarnya.
Liang telinga juga harus diperiksa, mula-mula tanda speculum sebelum memeriksa
membrane timpani. Liang telinga tidak berjalan lurus untuk meluruskannya pada
pemeriksaan, pegang aurikula dan tarik sedikit ke belakang dan keatas pada orang dewasa,
dan ke arah bawah pada bayi.
b. Speculum telinga yang dipegang dengan tangan digunakan bersama dengan suatu kaca
kepala dan sumber cahaya. Berdinding tipis dan berbentuk corong, permukaannya besifat
tidak memantulkan serta tersedia dalam berbagai ukuran. Karena lubang telinga kecil maka
speculum perlu digerakan ke dalam liang telinga untuk dapat melihat seluruh membrane
timpani. Otoskop bertenaga baterai dapat memperbesar pandangan terhadap membrane
timpani. Otoskopi pneumatic dengan mudah menditeksi adanya perforasi membrane timpani
atau cairan dalam telinga tengah.
c. Uji Webber, memanfaatkan konduksi tulang untuk menguji adanya lateralisasi suara.
Sebuah garpu tala dipegang erat pada gagangnya dan pukulkan pada lutut atau pergelangan
tangan pemeriksa, letakan pada dahi atau gigi pasien. Tanyakan apakah terdengar suara di
tengah kepala, di telinga kanan, atau telinga kiri. Individu dengan pendengaran normal akan
mendengar suara seimbang pada kedua telinga atau terpusat pada tengah kepala. Bila ada
kehilangan pendengarn konduktif (otosklerosis, otitis media), suara akan jelas terdengar
pada sisi yang sakit. Bila terjadi kehilangan sensorineural, suara akan mengalami lateralisasi
ke telinga yang pendengarannya lebih baik. Uji Webber berfungsi untuk kasus kehilangan
pendengaran unilateral (Smeltzer, 2002).
d. Uji Rinne, gagang garputala yang bergetar diletakan di belakang aurikula pada tulang
mastoid samapi pasien tidak mampu lagi mendengar suara. Kemudian pindahkan ke dekat
telinga sisi yang sama. Telinga normal masih akan mendengar suara melalui hantaran udara
yang menunjukan konduksi udara belangsung lebih lama dari konduksi tulang. Pada
kehilangan pendengaran konduktif, konduksi tulang akan melebihi konduksi udara.
Kehilangan pendengaran sensorineural memungkinkan suara dihantarkan melalui udara
lebih baik dari tulang, meskipun keduanya merupakan konduktor yang buruk dan segala
suara diterima seperti sanagt jauh dan lemah.
e. Uji Schwabach, membandingkan hantaran tulang pasien dengan pemeriksa. pasien diminta
melaporkan saat penala bergetar yang ditempelkan pada mastoidnya tidak lagi dapat
didengar. Pada saat itu pemeriksa memindahkan penala ke mastoidnya sendiri dan
12
menghitung berapa lama ia masih dapat menangkap gelombang bunyi. Uji ini dikatakan
normal bila hanatran tulang pasien dan pemeriksa hampir sama. Uji ini dikatakan
memanjang atau meningkat bila hantaran tulang pasien lebih lama dibandingkan pemeriksa,
misalnya pada kasus kehilangan pendengarn konduktif. Dan dikatakan memendek jika
pemeriksa masih bias mendengar penala setelah pasien tidak lagi mendengar.
5. Pengkajian diagnostic
Pengkajian diagnostic yang sering dilakukan adalah audiometric dan timfanometri. Terutama
dilakukan pada pasien yang mempunyai riwayat penurunan fungsi pendengaran.
a. Audiometric , ada dua macam yaitu :
1) Audiometric nada murni, dimana stimulus suara terdiri dari nada murni atau music (semakin
keras nada sebelum pasien bisa mendengar berarti semakin besar kehilangan pendengaran).
2) Audiometric wicara, dimana kata yang diucapakan digunakan untuk menentukan
kemampuan mendengar dan membedakan suara
Audiogram dapat membedakan kehilangan pendengarn konduktif maupun sensorineural.
Pemeriksa memakai earphone dan sinyal mengenai nada yang didengarkan. Agar hasilnya lebih
akurat evaluasi audiometric dilakukan pada ruang kedap suara. Respon yang dihasilkan dicatat
dalam bentuk grafik yang dinamakan audiogram.
b. Timpanografi atau audiometric impedans, mengukur reflek otot telinga tengah terhadap
stimulus suara, selain kelenturan membrane timpani, dengan mengubah tekanan udara dalam
kanalis telinga yang tertutup. Kelenturan akan berkurang pada penyakit telinga tengah.
Pengkajian sistem sensori persepsi telinga bertujuan untuk mengetahui bentuk dan fungsi
telinga apakah dalam keadaan normal atau tidak. Pemeriksaan lainnya bisa dilakukan dengan :
a. Inspeksi
Diperhatikan posisi, warna, ukuran, bentuk, kesimetrisan, seluruh permukaan dan lateral.
b. Palpasi
Palpasi daun telinga : tekstur, nyeri, pembengkakan.
c. pemeriksaan dengan otoskopik
Dengan menggunakan bantuan alat lihat kanalis dan membran timpani
13
1) Warna kemerahan, bau busuk, bengkak menandakan infeksi.
2) Warna kebiruan dan kerucut menandakan adanya tumpukan darah dibelakang gendang.
3) Apakah kemungkinaan gendang mengalami robekan.
d. pemeriksaan ketajaman pendengaran
1) uji weber
Menguji kemampuan pendengaran telinga kanan dan kiri dengan menggunakan
garputala dengan hasil:
a) normal : suara terdengar seimbang
b) tuli kondusif : suara akan lebih jelas terdengar pada bagian telinga yang sakit
c) tuli sensorineural : suara akan lebih jelas pada bagian telinga yang lebih baik
14
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Sistem sensori adalah bagian dari sistem saraf yang terdiri dari reseptor sensori yang menerima
rangsangan dari lingkungan eksternal maupun internal. Jalannya proses sensori hingga
dipersepsikan dimulai dari adanya rangsangan menuju ke reseptor masuk ke saraf sensori
hingga sumsum tulang belakang dan otak kemudian disalurkan ke saraf motoris dan efektor,
maka otak mengirimkan hasil berupa persepsi. Mata merupakan salah satu organ sensori dan
persepsi pada manusia. Mata adalah organ yang mengandung reseptor penglihatan,
menyediakan visi dengan bantuan dari organ aksesori. Telinga merupakan organ penginderaan
dengan fungsi ganda dan kompleks, indra pendengaran berperan sangat penting bagi seseorang
dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Ada tiga bidang pengkajian oftalmik yang
ditujukan pada system sensori persepsi mata, meliputi: pengkajian riwayat kesehatan,
pemeriksaan fisik oftalmologi, serta diagnostic khusus oftalmologi dan prosedur refraktif.
Pengkajian sistem sensori persepsi mata bertujuan untuk mengetahui bentuk dan fungsi mata
apakah dalam keadaan normal atau tidak. Organ pendengaran terdiri dari telinga eksternal,
telinga tengah dan telinga dalam. Gelombang suara ditransmisikan melalui liang telinga luar
yang menyebabkan membrane timpani bergetar dan mengonduksi gelombang suara melalui
tulang-tulang osikel telinga tengah ke organ sensori telinga dalam. Pengkajian pada telinga
dilakukan dengan mengkaji riwayat kesehatan, pengkajian psikososial, pendekatan gerontologik
maupun dengan pemeriksaan fisik dan pengkajian diagnostik.
15
DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, Arif. 2010. Pengkajian Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta : EGC
Daniel, G. Vaughan 2000. Oftalmologi Umum. Jakarta : Widya Medika.
Ganong, W.F. 1999. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.
Boies . 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : EGC.
16