PENGGUNAAN DANA ASPIRASI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT...
Transcript of PENGGUNAAN DANA ASPIRASI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT...
PENGGUNAAN DANA ASPIRASI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
(STUDI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 106/PUU-XIII/2015)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
PUTRA NUR FIKRI
NIM: 11150480000070
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2019 M
i
PENGGUNAAN DANA ASPIRASI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
(STUDI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 106/PUU-XIII/2015)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
PUTRA NUR FIKRI
NIM: 11150480000070
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2019 M
v
ABSTRAK
Putra Nur Fikri. NIM 11150480000070. PENGUNAAN DANA ASPIRASI
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 106/PUU-XIII/2015). Program Studi Ilmu Hukum,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1441 H/2019. Ix + 76 Halaman + 5 Halaman Daftar Pustaka.
Studi ini bertujuan untuk menganalisis hak dari anggota DPR di dalam
Pasal 80 Huruf J Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yaitu memperjuangkan
dan mengusulkan dana program pembangunan daerah pemilihan atau dana
aspirasi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 106/PUU-XIII/2015 terkait
dana aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat. Latar belakang penelitian ini adalah
Pasal 80 Huruf J Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 telah dilakukan Judicial
Review terhadap Mahkamah Konstitusi RI. Pemohon dalam hal ini mewakili
masyarakat di Papua, yang mana merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya
karena akan berdampak pada pengelolaan keuangan negara yang tidak adil dan
hanya menguntungkan rakyat di wilayah yang daerah pilihnya memiliki jumlah
kursi Dewan Perwakilan Rakyat terbanyak. Namun, permohonan yang diajukan
terhadap pasal 80 huruf j tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi dengan
putusan nomor 106/PUU-XIII/2015.
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif dengan teknik
pengumpulan data Library Research (Studi Kepustakaan) yang mengkaji berbagi
dokumen terkait objek penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sumber data primer (Undang-Undang dan Putusan MK) dan sumber data
sekunder (buku-buku referensi).
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pengunaan dana aspirasi yang
terdapat di dalam Pasal 80 Huruf J Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tidak
mencerminkan asas keadilan rakyat, karena dalam pengalokasian dana aspirasi
tersebut tidak adil karena pengalokasian dana aspirasi tersebut berdasarkan daerah
pemilihan yang jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat dalam suatu daerah tidak
sama, hal tersebut dapat berpotensi dalam ketidakadilan pembangunan.
Problematika yang muncul dari dana aspirasi yaitu munculnya wadah baru untuk
praktik korupsi, terbenturnya peran pemerintah sebagai lembaga eksekutif dan
semakin besarnya dana APBN. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor
106/PUU-XII/2015 terdapat inkonsistensi terkait lembaga mana yang dapat
menerima aspirasi untuk daerah pemilihan.
Kata Kunci: Dana Aspirasi, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Konstitusi
Dosen Pembimbing : Dr. Masyrofah, S.Ag., M.Si.
Mufidah, SH.I., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1979 sampai Tahun 2018
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillahirabbil’alamin, Segala puji dan syukur peneliti panjatkan
ke hadirat Allah S.W.T, karena berkat rahmat, nikmat serta karunia dari Allah
SWT peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PENGGUNAAN
DANA ASPIRASI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (STUDI PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 106/PUU-XIII/2015)”. Sholawat serta
salam peneliti panjatkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu’Alayhi wa Sallam,
yang telah membawa umat manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang
benderang ini.
Didalam proses awal hingga penyelesaian skripsi ini, peneliti
mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan
bantuan moril maupun materil, semangat, motivasi, nasehat serta do’a, kepada
yang terhormat :
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharie, S.H.,M.H.,M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H.,M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum,
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Masyrofah, S.Ag., M.Si. dan Mufidah, SH.I., M.H. Pembimbing Skripsi
yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing peneliti dengan
penuh kesabaran, ketelitian, dan tidak henti-hentinya memberikan masukan,
saran, maupun kritik serta motivasi yang membangun demi kebaikan serta
terselesaikannya skripsi ini.
vii
5. Kepada kepala urusan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, dan kepada pimpinan Perpustakaan Pusat Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas
untuk mengadakan studi kepustakaan, dan memberi data guna menyelesaikan
skripsi peneliti ini.
6. Kepada semua pihak yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan
skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu, semoga kebaikan kalian
semua dibalas oleh Allah SWT.
Peneliti menyadari ketidaksempurnaan di dalam skripsi ini, maka dari itu
kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan dalam penyempurnaan
skripsi ini. Semoga skripsi ini mampu memberikan manfaat dalam khazanah
pengetahuan bagi para pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jakarta, September 2019
Peneliti,
Putra Nur Fikri
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ........................... iii
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah .................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 7
D. Metode Penelitian ..................................................................... 8
E. Sistematika Penulisan ............................................................... 11
BAB II DPR SEBAGAI LEMBAGA LEGISLATIF ............................ 13
A. Kerangka Konseptual ............................................................... 13
A. Dana Aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat ........................... 13
B. Daerah Pemilihan Pemilu Legislatif .................................... 16
B. Kerangka Teori ......................................................................... 19
A. Teori Pemisahan Kekuasaan ................................................ 19
B. Teori Checks and Balances .................................................. 22
C. Teori Perwakilan .................................................................. 24
C. Dewan Perwakilan Rakyat ....................................................... 26
D. Studi (Review) Kajian Terdahulu ............................................. 35
BAB III KAJIAN FUNGSI DANA ASPIRASI DALAM PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 106/PUU-XIII/2015 38
A. Deskripsi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 106/PUU-
XIII/2015 .................................................................................. 38
1. Kewenangan Mahkamah Kontitusi ...................................... 38
2. Kedudukan Hukum (Legal Standing) .................................. 39
3. Pokok Permohonan .............................................................. 41
4. Amar Putusan ....................................................................... 44
B. Kedudukan Dana Aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat ............ 44
C. Mekanisme atau Tata Cara Pengusulan Dana Aspirasi Dewan
Perwakilan Rakyat .................................................................... 47
ix
BAB IV PENGGUNAAN DANA ASPIRASI DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT...................................................................................... 52
A. Alokasi Dana Aspirasi Berdasarkan Asas Keadilan ................. 52
B. Pertimbangan Hukum Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor
106/PUU-XIII/2015 .................................................................. 65
BAB V PENUTUP .................................................................................... 75
A. Kesimpulan ............................................................................... 75
B. Rekomendasi ............................................................................ 76
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 77
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pasal 1 Ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.
Konsekuensi logis dari hal tersebut yaitu segala sesuatu harus berdasarkan
hukum. Ciri utama dari negara hukum adalah adanya pembatasan kekuasaan
dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Persoalan tentang pembatasan
kekuasaan (Limitation of Power) berkaitan erat dengan pemisahan kekuasaan
(Separation of Power) dan pembagian kekuasaan (Distribution of Power).1
Perbedaan pemisahan kekuasaan (Separation of Power) dan pembagian
kekuasaan (Distribution of Power) dapat dibedakan penggunaan istilah
pemisahan dan pembagian kekuasaan itu dalam dua konteks yang berbeda,
yaitu konteks hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal dan vertical.
Konteks vertical, pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan
dimaksudkan untuk membedakan antara kekuasaan pemerintahan atasan dan
kekuasaan pemerintahan bawahan, yaitu dalam hubungan antara
pemerintahan federal dan negara bagian dalam negara federal (federal state).
Perspektif vertical dan horizontal juga dapat dipakai untuk
membedakan antara pembagaian kekuasaan (Distribution of Power) yang
dianut di Indonesia sebelum perubahan UUD 1945, yaitu bahwa kedaulatan
atau kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat dan diwujudkan oleh Majelis
Permusyarawatan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara. Sistem yang
dianut di dalam UUD 1945 sebelum perubahan merupakan pembagian
kekuasaan (Distribution of Power) dalam konteks pengertian yang besifat
vertikal.2 Sedangkan sekarang, setelah perubahan keempat UUD 1945 sistem
yang dianut adalah pemisahan kekuasaan (Separation of Power) berdasarkan
prinsip Checks and Balances.
1 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT. RajaGarafindo
Persada, 2009) h. 284. 2 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,… h. 289.
2
Pembagian kekuasaan-kekuasaan antara kekuasan eksekutif, kekuasaan
legislative dan kekuasaan yudikatif dikenal dengan triaspolitica, yang dapat
diartikan sebagai tiga pusat atau poros kekuasaan negara.3 Di Indonesia
pembagian kekuasaan secara horizontal yaitu pembagian kekuasaan menurut
fungsi dari lembaga-lembaga tertentu yakni eksekutif, legislatif dan
yudikatif.4 Ketiga kelembagaan negara itulah yang menjadi penyelenggara
pemerintahan negara yang derajatnya sama dan saling mengimbangi antara
satu dengan lainnya sesuai dengan teori Checks and Balances System.
Masalah yang sering timbul antara penyelenggara pemerintahan yakni sering
terbenturnya tugas dan kewenangannya. Dalam hal ini, berbicara mengenai
kewenangan tentu saja membahas mengenai dua unsur yang selalu
berhubungan, yaitu organ dan fungsi.5 Tugas dan kewenangan lembaga
negara adalah suatu gabungan untuk mengimplementasikan suatu fungsi
lembaga negara tersebut. Jika suatu lembaga negara tidak memahami
fungsinya, maka akan muncul masalah tentang bagaimana memahami
kebijakannya.
Dalam hal ini, akan membahas mengenai tugas dan kewenangan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Secara garis besar, DPR mempunyai tiga tugas
dan kewenangan pokok sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyarawatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Tugas dan
kewenangan yang dimiliki oleh DPR yaitu pertama, fungsi legislasi
membentuk undang-undang dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) bersama Presiden. Kedua, fungsi anggaran untuk
membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan
terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh
3 Moh Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: PT. Renika
Cipta, 2001) h. 73-74. 4 Rika Marlina, “Pembagian Kekuasaan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Di
Indonesia”, Jurnal Daulat Hukum, Vol. 1 N0. 1, Maret 2018, h. 176. 5 Jimly Ashiddiqe, Perkembangan dan Konsolidasi Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2010) h. 84.
3
Presiden. Ketiga, fungsi pengawasan yang dilaksanakan melalui pengawasan
atas pelaksanaan undang-undang dan APBN.6
Selain mempunyai fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan, DPR
juga mempunyai tiga hak menurut Pasal 79 Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 yaitu pertama hak interpelasi, hak intepelasi adalah hak Dewan
Perwakilan Rakyat untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai
kebijakan yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kedua adalah hak angket, hak
angket adalah hak Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan penyelidikan
kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dan yang
ketiga adalah hak menyatakan pendapat, hak menyatakan pendapat adalah
hak DPR untuk menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah, tindak
lanjut pelaksanaan hak intepelasi dan hak angket, dan dugaan bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum.7
Dalam pasal 76 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang mengatur
tentang keanggotaan DPR, anggota DPR berjumlah 560 (lima ratus enam
puluh) orang. Masing-masing anggota Dewan Perwakilan Rakyat tersebut
memiliki hak sebagai anggota DPR sesuai di dalam pasal 80, yang
menyatakan anggota DPR berhak:
a. Mengajukan usul rancangan undang-undang.
b. Mengajukan pertanyaan.
c. Menyampaikan usul dan pendapat.
d. Memilih dan dipilih.
e. Membela diri.
f. Imunitas.
g. Protokoler.
6 Yusril Izha Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press,
1996) h. 135. 7 Asmawi, ”Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dalam Perundang-Undangan Pemerintah
Daerah dan Lembaga Legislatif Daerah”, Jurnal Cita Hukum, Vol. 2 No. 1, Juni 2014, h. 10.
4
h. Keuangan dan administratif.
i. Pengawasan.
j. Mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah
pemilihan, dan
k. Melakukan sosialisasi undang-undang.
Dana Program Pengembangan Daerah Pemilihan (P2DP) atau yang
dikenal dengan dana aspirasi DPR menjadi salah satu perbincangan di publik
dan bahkan menjadi sebuah polemik. Polemik atau masalah tersebut terletak
pada kewenangan anggota DPR yang memperoleh dana aspirasi yang
dianggap tidak sejalan dengan fungsi anggaran atau hak budget DPR, masalah
yang menjadi perbincangan di publik ini mencakup pada besarnya dana yang
dapat dianggarkan, dana tersebut dapat berpotensi korupsi, dan sebaran
anggaran yang tidak merata setiap daerahnya dan dapat menimbulkan politik
yang tidak sehat dalam bentuk patronase politik.8
Dana aspirasi DPR diatur dalam Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat
Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pengusulan Program Pembangunan
Daerah Pemilihan. Dalam Peraturan tersebut, dana aspirasi dapat diusulkan
oleh perorangan anggota DPR maupun diusulkan secara bersama yang
diintegrasikan ke dalam program nasional dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara. Dan adapun aturan mengenai usulan tersebut dapat berasal
dari inisiatif sendiri, pemerintah daerah, atau aspirasi masyarakat di daerah
pemilihan. Setiap anggota DPR hanya mengusulkan dana aspirasi dari daerah
pemilihannya.
Pasal 80 Huruf J Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 telah
dilakukan Judicial Review terhadap Mahkamah Konstitusi RI. Pemohon
dalam hal ini mewakili masyarakat di Papua, yang mana merasa dirugikan
hak-hak konstitusionalnya karena akan berdampak pada pengelolaan
keuangan negara yang tidak adil dan hanya menguntungkan rakyat di wilayah
8 Mei Susanto, “Kedudukan Dana Aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat dalam Ketatanegaraan
Indonesia”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Faculty Of Law Universitas Islam Indonesia, Vol. 24
no. 2, April 2017, h. 256.
5
yang daerah pilihnya memiliki jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat
terbanyak. Namun, permohonan yang diajukan terhadap pasal 80 huruf j
tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan nomor 106/PUU-
XIII/2015.
Pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor
106/PUU-XIII/2015 inkonsisten dalam menentukan lembaga mana yang
harus memperjuangkan suara untuk daerah pemilihan. Pasal 80 Huruf J dapat
berpotensi memperluas ketimpangan dalam pembangunan, karena besaran
dana aspirasi di setiap provinsi bergantung kepada berapa banyak anggota
DPR. Dampak dari dana aspirasi ini adalah memperluas kesenjangan
pembangunan antar wilayah yang semakin timpang. Sebagai contoh pulau
Jawa dengan jumlah kursi terbanyak yakni 306 kursi, sedangkan di daerah
lain seperti Papua hanya mendapatkan jatah 13 kursi saja. Tentu disini
sangatlah menimbulkan perbedaan yang sangat signifikan, sedangkan rencana
pembangunan nasional tengah memprioritaskan pembangunan di luar pulau
Jawa.
Dana aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat ini juga dapat berpotensi
penyalahgunaan atau korupsi dana aspirasi. Akibat dari tidak jelasnya
pengalokasiannya dana tersebut dikhawatirkan menjadi sumber baru dari
korupsi. Korupsi dana aspirasi tersebut dapat dicontohkan dari proyek fiktif
yang dilakukan oleh anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, baik
berbentuk pembangunan ataupun penyelenggaraan kegiatan. Dana yang besar
yakni berjumlah 20 Miliar perkursi tentunya dapat dijadikan salah satu modus
korupsi melalui APBN.
Selain itu, Majelis Hakim menyatakan DPR mempunyai tanggung
jawab politik terhadap daerah pemilihannya, namun di dalam pendapat
lainnya Majelis Hakim menyakan bahwa DPR merupakan political
representative atau perwakilan seluruh masyarakat Indonesia yang hakikatnya
harus memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat selain daerah pemilihannya.
Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Nomor 106/PUU-
XIII/2015 yang inkonsisten dan problematika dalam penggunaan dana
6
aspirasi tersebut di atas menarik untuk dikaji lebih mendalam. Berdasarkan
hal tersebut yang telah dikemukakan dalam latar belakang di atas, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian hukum dalam bentuk skripsi dengan judul
“PENGGUNAAN DANA ASPIRASI DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
106/PUU-XIII/2015)”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah,
a. Penyaluran dana aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat
memegang teguh asas keadilan terhadap daerah pemilihan.
b. Praktik dana aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat dapat berpotensi
sebagai lahan korupsi baru.
c. Pengalokasian dana aspirasi berpotensi adanya ketidakadilan dalam
pembangunan.
d. Tidak adanya mekanisme yang jelas dalam penyerapan aspirasi.
e. Tidak tepat sasaran dana aspirasi berdasarkan daerah pemilihan.
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan permasalahan yang telah
peneliti uraikan, maka peneliti membatasi kajian ini hanya berdasarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi 106/PUU-XIII/2015, terkait dana aspirasi
Dewan Perwakilan Rakyat RI.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan
pembatasan masalah yang telah dijabarkan sebelumnya, maka peneliti
merumuskan masalah yaitu: Problematika yang muncul dari penggunaan
dana aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat RI. Perumusan masalah
dipertegas dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana hakikat alokasi dana aspirasi berdasarkan asas keadilan
rakyat?
7
b. Bagaimana pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi terhadap
praktik dana aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat dalam putusan Nomor
106/PUU-XIII/2015?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hak anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dalam Pasal 80 huruf J Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyarawatan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan:
a. Untuk mengetahui hakikat pengalokasian dana aspirasi berdasarkan
asas keadilan rakyat.
b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi terhadap
praktik dana aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat dalam Putusan Nomor
106/PUU-XIII/2015.
2. Manfaat Penelitian
Selain tujuan yang ingin dicapai, tentunya peneliti berharap hasil
penelitian ini juga dapat memberi manfaat teoritis dan praktis, yaitu:
a. Manfaat Teoritis
1) Memberikan ilmu pengetahuan bagi perkembangan keilmuan
hukum, khususnya pada ranah Hukum Kelembagaan Negara
(Hukum Tata Negara)
2) Untuk lebih memperkaya pemikiran ilmu pengetahuan penulis baik
di bidang hukum maupun di bidang ketatanegaraan.
3) Menjadi sumber referensi baik bagi mahasiswa, akademisi dan
peneliti yang berniat melakukan penelitian hukum pada ranah hukum
kelembagaan negara, khususnya tentang praktik dana aspirasi Dewan
Perwakilan Rakyat.
b. Manfaat Praktis
1) Memberikan suatu pengetahuan agar di dalam penggunaan dasa
aspirasi DPR harus menjunjung asas keadilan rakyat.
8
2) Memberikan suatu pengetahuan tentang perlu atau tidaknya dana
aspirasi Dewan Perwakilan rakyat.
3) Agar penelitian ini menjadi perhatian dan dapat digunakan bagi
semua pihak khususnya dalam lingkungan Hukum Tata Negara.
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penulis dalam melakukan proses penelitian ini menggunakan metode
pendekatan normatif-yuridis, maka pendekatan yang digunakan adalah
Pendekatan Perundang-Undangan (statutory approach)9 dan Pendekatan
Kasus (case approach)10
. Pendekatan perundang-undangan (statutory
approach), diterapkan guna memahami penggunaan dana aspirasi ditinjau
dari Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 dan Peraturan DPR Nomor 4
tahun 2015. Pendekatan kasus (case approach) diterapkan dalam
mengamati kasus mengenai Judicial Review Pasal 80 Huruf J Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 agar dapat diketahui bagaimana
pertimbangan hakim pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
106/PUU-XIII/2015 terkait dana aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) .
2. Jenis Penelitian
Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yang menekankan
pada aspek pemahaman suatu norma hukum yang terdapat di dalam
perundang-undangan serta norma-norma yang hidup dan berkembang di
masyarakat. Penelitian ini merupakan penelitian hukum (penelitian
yuridis) yang memiliki suatu metode yang berbeda dengan penelitian yang
lainnya. Metode penelitian hukum merupakan suatu cara yang sistematis
dalam melakukan sebuah penelitian.11
Penelitian hukum normatif adalah
penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan
9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008) h. 136. 10
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,…h. 158. 11
Abdulkadir Muhamad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2004) h. 57.
9
sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas,
norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan,
perjanjian, serta doktrin (ajaran).12
Penelitian hukum normatif mencakup
penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika
hukum, penelitian terhadap sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum,
dan penelitian perbandingan hukum.
Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doctrinal
(doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik
yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun
hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is
decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif
dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada
langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.13
3. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer (primary
data), data sekunder (secondary data), data tersier.
a. Sumber Data Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan pustaka yang merupakan
bahan hukum utama yang belum pernah di olah oleh orang lain14
yang terdiri dari:
1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Peraturan
Pembentukan Perundang-Undangan.
3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis
Permusyarawatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
12
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum. (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010) h. 3. 13
J. Supranto, Metode Hukum dan Statistik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003) h.
3. 14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, Universitas Indonesia Press,
2007) h. 12.
10
Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
4) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 4 Tahun 2015
5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Mahkamah Konstitusi.
6) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan
Negara, dan
7) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 106/PUU-XIII/2015.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder berupa duplikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi hukum meliputi
buku-buku hukum, jurnal hukum, skripsi-skripsi terdahulu, pendapat-
pendapat para ahli, dan pakar hukum tata negara.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberikan
informasi lebih lanjut mengenai bahan-bahan hukum primer dan hukum
sekunder, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kamus hukum,
majalah, blog, koran dan lainnya.
4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini yaitu
studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan mencari referensi
untuk mendukung materi penelitian ini melalui berbagai literatur seperti
buku, bahan ajar perkuliahan, artikel, jurnal, skripsi, tesis dan Peraturan
Perundang-Undangan di berbagai perpustakaan umum dan universitas.
5. Analisis Data
Sesuai dengan jenis penelitian bahwa penelitian ini termasuk jenis
penelitian, maka data peneliti diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan
atau penelaahan terhadap berbagai literature atau bahan pustaka yang
berkaitan dengan masalah atau materi penelitian yang sering disebut bahan
hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan
non-hukum yang diuraikan, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang
11
lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap
bahan hukum tersebut yang diakhirnya akan diketahui bagaimana
penggunaan dana aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat.
6. Teknik Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan pada penelitian ini dilakukan dengan pola
piker deduktif, yaitu dengan menarik kesimpulan khusus dari pernyataan-
pernyataan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang
dihadapi.
7. Teknik Penulisan
Teknik penyusunan dan penulisan skripsi ini berpedoman pada buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan pada tahun 2017.
E. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun sesuai dengan buku Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2017, yang terbagi dalam lima bab. Pada setiap bab terdiri dari
sub bab yang digunakan untuk memperjelas ruang lingkup dan inti
permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab
serta inti permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I : Bab ini merupakan pendahuluan, yang berisi latar belakang,
pembatasan masalah dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian dan rancangan sistematika
penelitian.
BAB II : Bab ini akan diuraikan dua pokok pembahasan yang mendukung
penulisan skripsi ini, diantaranya pembahasan terkait kerangka
konseptual dan kerangka teoritis yang menggambarkan secara
rinci konsep yang menjadi acuan dalam penulisan ini, yang
kemudian diuraikan ke dalam beberapa sub bab. Selanjutnya akan
dijelaskan terkait review studi terdahulu, agar tidak ada
12
persamaan terhadap materi muatan dan pembahasan dalam skripsi
ini dengan apa yang ditulis oleh pihak lain.
BAB III : Pada bab ini akan menguraikan tentang data penelitian berupa
deskripsi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 106/PUU-
XIII/2015, dalam hal ini penulis juga membahas mengenai
landasan yuridis tentang hak anggota DPR yaitu hak mengusulkan
dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan
atau dana aspirasi dan tata acara pengusulan dana aspirasi.
BAB IV : Bab ini akan menguraikan tentang hakikat pengalokasian dana
aspirasi DPR berdasarkan asas keadilan rakyat dan analisis
pertimbangan hakim dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
106/PUU-XIII/2015,
BAB V : Bab ini merupakan penutup yang berisikan tentang kesimpulan
dan rekomendasi. Bab ini merupakan bab terakhir dari sistematika
penulisan skripsi yang pada akhirnya penelitian ini menarik
beberapa kesimpulan dari penelitian untuk menjawab rumusan
masalah serta memberikan saran-saran yang dianggap perlu.
13
BAB II
DPR SEBAGAI LEMBAGA LEGISLATIF
A. Kerangka Konseptual
1. Dana Aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat
Dana Program Pembangunan Daerah Pemilihan atau yang dikenal
dengan Dana Aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat muncul pertama kali pada
tahun 2010 yang dipelopori oleh Fraksi Golkar dengan mengusulkan
anggara sebesar Rp. 15.000.000.000,00 (15 Miliar Rupiah) yang ditetapkan
untuk setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang akan diambil dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011. Alasan Fraksi
Golkar mengusulkan anggaran dana tersebut untuk mempercepat program
pembangunan di daerah pemilihan, namun usulan tersebut ditolak oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, karena dengan adanya anggaran dana
tersebut menyamakan kewenangan antara eksekutif dan legislative.1 Selain
menolak usulan tersebut, Presiden Sulilo Bambang Yudhoyono memberikan
saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjalankan tugas utamanya
menjadi pengawas pemerintah, bukan ikut membuat program.2
Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD, tidak terdapat dasar hukum tentang dana aspirasi DPR. Undang-
Undang No. 17 Tahun 2014 (pengganti UU No, 27 Tahun 2009), terdapat
dasar hukum yang menegaskan keberadaan dana aspirasi DPR yang tertera
dalam Pasal 80 huruf J yang menyatakan “Anggota DPR berhak
mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah
pemilihan”. Atas dasar tersebut, dibentuklah Peraturan Dewan Perwakilan
Rakyat Nomor 4 Tahun 2015 tahun 2015 tentang Tata Cara Pengusulan
Program Pembangunan Daerah Pemilihan. Peraturan DPR tersebut, dana
aspirasi dapat diusulkan oleh perorangan anggota DPR dan diusulkan
1 Direktorat Jendral Anggaran Kementrian Keuangan, “Dana Aspirasi Dewan Perwakilan
Rakyat Indonesia”, Jurnal DIrektorat Jendral Kementrian Keuangan, 2015, h. 5. 2 “Cerita SBY Tolak Dana Aspirasi DPR”, https://news.detik.com/berita/2950741/cerita-
sby-tolak-dana-aspirasi-dpr-karena-dimarahi-rakyat-5-tahun-lalu, Diakses pada 17 Juni 2019.
14
secara bersama yang diintegrasikan ke dalam program pembangunan
nasional dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Adapun usulan
tersebut dapat berasal dari inisiatif sendiri, pemerintah daerah atau aspirasi
masyarakat di daerah pemilihan.
Program dana aspirasi yang telah diatur dalam Peraturan Dewan
Perwakilan Rakyat Nomor 4 Tahun 2015 harus memenuhi kriteria, sebagai
berikut:
a. Kegiatan fisik.
b. Pembangunan, Rehabilitasi dan Perbaikan Sarana dan Prasarana
c. Hasil pelaksanaan program yang berkaitan langsung dengan
pelayanan terhadap masyarakat
d. Penganggaran melalui dana alokasi khusus program pembangunan
daerah pemilihan
Secara lebih jelas program dana aspirasi dapat berupa pembangunan,
perbaikan dan peningkatan terhadap:
a. Implementasi hasil riset dan teknologi terapan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat
b. Penyediaan air bersih
c. Sanitasi
d. Tempat ibadah serta sara dan prasarana keagamaan
e. Kantor desa
f. Sarana olahraga dan sarana kesenian
g. Perpustakaan atau taman bacaan umum
h. Panti sosial
i. Penyediaan sarana internet dan penyediaan penerangan jalan
umum, pembangunan jalan atau jembatan dan pemakaman umum
j. Puskesmas, pondok bersalin desa dan ambulan
k. Sarana dan prasarana pendidikan dan pesantren
l. Sarana dan prasarana pertanian/perikanan, pengadaan bibit dan
ternak.
15
Dana Aspirasi anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia ini
sangat mirip dengan “Pork Barrel Budget” di Amerika Serikat. Pork Barrel
adalah suatu istilah kata negatif yang dipakai untuk mengkritik praktek
budgeting pemerintah pusat Amerika Serikat untuk proyek-proyek di distrik
anggota kongres (setara DPR) yang terpilih. Dana Pork Barrel digunakan
oleh politisi congress untuk membayar balik konstituennya dalam bentuk
bantuan dana untuk proyek-proyek di daerah pemilihannya. Pengertian
mengenai “membayar balik” yaitu membalas dukungan politik yang
didapatkannya sebelum terpilih, baik digunakan dalam bentuk suara pemilih
(vote) ataupun kontribusi dalam kampanye politiknya. Anggota kongres
atau politisi menggunakan uang negara untuk kepentingan politiknya dan
tidak semata-mata untuk kepentingan rakyat yang diwakilinya.3 Pork Barrel
juga dapat diartikan sebagai praktek yang lazim dalam politik di Amerika
Serikat, namun dikecam oleh publik. Pork Barrel Politic atau politik
gentong babi dan Constituency Development Fund (CDF) atau dana
pembangunan konstituen merupakan istilah yang memiliki sejarah dan latar
belakang yang berbeda, namun memiliki kesamaan. Pork Barrel Politic
lahir dari sistem politik Amerika Serikat yang mengacu pada pengeluaran
dana yang diusahakan oleh para politisi untuk konstituennya sebagai
imbalan atas dukungan politik.4 Mempunyai tujuan agar mereka dapat
terpilih kembali dalam pemilihan umum berikutnya, sementara CDF itu
lahir dari praktik yang terjadi di India dan Kenya, sehingga banyak negara
yang kemudian mencoba mengadopsi sistem CDF tersebut. CDF sendiri
merupakan suatu desentralisasi anggaran dana yang berasal dari pusat ke
daerah berbasis konstituen (daerah pemilihan) untuk proyek-proyek
pembangunan sesuai kebutuhan, seperti pembangunan fasilitas sekolah,
3 Teddy Lesmana, “Politik Pork Barrel dan Kemiskinan”, Penelitian Ekonomi LIPI dan
Forecast Indonesia Scholar di University of Maryland at College Park Amerika Serikat, Juni 2010. 4 Thomas D. Lancaster, “Electoral Structures and Pork Barrel Politics”, International
Political Science Review, Vol. 7 No. 1, Januari 1986, h. 67.
16
fasilitas kesehatan, dan sistem pasokan air.5 Dengan demikian, anggota
parlemen memiliki peranan yang penting dalam mengawasi penggunaan
anggara CDF karena berkaitan dengan daerah pemilihannya. Praktik Pork
Barrel yang terkenal di Amerika Serikat ini kemudian diadopsi oleh
beberapa negara, salah satunya Filipina. Praktik tersebut sudah diterapkan di
negara Filipina sejak 1930. Setiap tahunnya, pemerintah Filipina
menganggarkan 70 juta peso atau sekitar US$ 1.5 juta per anggota kongres
(DPR) dan senator mendapat jatah 200 juta peso atau sekitar 5 juta per
orang untuk pembangunan di daerah masing-masing. Praktik Pork Barrel
ini juga diterapkan di negara-negara lainnya, seperti Denmark, Swedia,
Norwegia yang dikenal dengan “electron pork”, dimana para politisi
mengumbar janji-jani sebelum pemilihan berlangsung. Negara Finlandia,
Rumania, Polandia, Meksiko dan Brasil juga menerapkan praktik Pork
Barrel dengan penyebutan yang berbeda-beda.
2. Daerah Pemilihan Pemilu Legislatif
Daerah Pemilihan atau yang dikenal dengan dapil adalah istilah umum
dalam pemilihan umum (pemilu) di Indonesia, dapil adalah suatu batas
wilayah atau jumlah penduduk yang menjadi dasar penentuan jumlah kursi
yang diperebutkan dan menjadi dasar penentuan jumlah suara untuk
menentukan calon terpilih. Lingkup daerah pemilihan (dapil) dapat
ditentukan berdasarkan wilayah administrasi (nasional, provinsi atau
kabupaten/kota), jumlah penduduk dan kombinasi faktor wilayah dengan
jumlah penduduk. Besaran daerah pemilihan merujuk pada jumlah kursi
untuk setiap daerah pemilihan, yaitu satu kursi atau berwakil-tunggal
(single-member constituency) atau lebih dari satu kursi atau berwakil-
banyak (multi-member constituencies). Daerah pemilihan berfungsi untuk
membatasi jumlah anggota legislative yang berasal dari daerah pemilihan
tersebut, sehingga pemilih dapat mengenal siapa sosok calon anggota
legislatif dari daerah pemilihannya dan berhubungan dengan calon anggota
5 Machiko Tsubura, “The Politics of Constituency Development Funds (CDFs) in
Comparative Perspective”, Jurnal Annual Meeting of the American Political Science Association,
2013, h. 1.
17
legislatif secara lebih baik. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD mengatur secara tegas
tentang alokasi kursi dan daerah pemilihan. Berikut ini adalah pembagian
atau alokasi kursi dan derah pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat pada
Pemilu Legislatif Tahun 2014-2019:
No Provinsi Jumlah Kursi
1. Aceh 13
2. Sumatera Utara 30
3. Sumatera Barat 14
4. Sumatera Selatan 17
5. Riau 11
6. Kepulauan Riau 3
7. Jambi 7
8. Bangka Belitung 3
9. Bengkulu 4
10. Lampung 18
11. DKI Jakarta 21
12. Jawa Barat 91
13. Banten 22
14. Jawa Tengah 77
15. D.I Yogyakarta 8
16. Jawa Timur 87
17. Bali 9
18. NTB 10
19. NTT 13
20. Kalimantan Barat 10
21. Kalimantan Tengah 6
22. Kalimantan Selatan 11
23. Kalimantan Timur 8
18
24. Sulawesi Utara 6
25. Gorontalo 3
26. Sulawesi Tengah 6
27. Sulawesi Selatan 24
28. Sulawesi Tenggara 6
29. Sulawesi Barat 3
30. Maluku 4
31. Maluku Utara 3
32. Papua 10
33. Papua Barat 3
Total Kursi 560
Sumber: Wikipedia.org
Jika melihat pada kolom tabel di atas tentang pembagian atau alokasi
kursi dan daerah pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat dalam pemilu
legislatif periode tahun 2014-2019, Provinsi Jawa mendapatkan alokasi dan
derah pemilihan terbesar dibandingankan Provinsi lainnya dengan jumlah
alokasi kursi dan daerah pemilihan sebanyak 255 kursi, kemudian provinsi
Sumatera mendapatkan alokasi dan daerah pemilihan DPR dengan peringkat
kedua terbesar setalah Provinsi Jawa dengan alokasi dan derah pemilihan 61
kursi. Provinsi Sulawesi mendapatkan alokasi kursi dan daerah pemilihan
sebanyak 39 kursi dan Provinsi Kalimantan sebanyak 35 kursi. DKI Jakarta
mendapatkan 21 kursi dan Banten mendapatkan 22 kursi. Provinsi Papua
dan Papua Barat merupakan provinsi yang mendapatkan jumlah alokasi dan
daerah pemilihan terendah dibandingkan provinsi-provinsi besar lainnya
seperti Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan DKI Jakarta yang hanya
mendapatkan alokasi sebanyak 13 kursi saja. Provinsi Lampung
mendapatkan jumlah kursi yang juga lebih besar dibandingkan jumlah kursi
yang didapatkan Provinsi Papua dan Papua Barat yakni sebanyak 18 kursi.
Pembagian alokasi dan daerah pemilihan pada pemilihan umum legislatif
(DPR) Provinsi Jawa merupakan provinsi yang tersebar dengan 255 kursi.
19
B. Kerangka Teori
1. Teori Pemisahan Kekuasaan
Pemisahan kekuasaan merupakan suatu ide yang menghendaki organ,
fungsi dan personal lembaga negara menjadi terpisah antara satu dengan
yang lainnya. Lembaga negara masing-masing menjalankan secara mandiri
tugas dan kewenangannya sesuai dengan ketentuan hukum.6 Konsep Trias
Politica, berasal dari bahasan Yunani yaitu Politik Tiga Serangkai. Menurut
Montesquieu, ajaran Trias Politica yaitu pemerintahan negara dibagi
menjadi 3 (tiga) jenis kekuasaan yang tidak dapat dipegang oleh satu tangan
saja, melainkan harus masing-masing kekuasaan itu terpisah. Jenis
pembagian pemerintahan negara yaitu jenis kekuasaan Legislatif, Eksekutif
dan Yudikatif.7
a. Kekuasaan Legislatif
Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan yang memiliki hak untuk
membuat undang-undang, kekuasaan dalam membuat undang-
undang harus terletak dalam suatu badan khusus. Jika penyusunan
undang-undang tidak diletakkan pada suatu badan khusus, maka
akan mungkin tiap golongan atau tiap orang membuat undang-
undang untuk kepentingan sendiri atau golongan. Perundang-
undangan harus berdasarkan kedaulatan rakyat, makan badan
perwakilan rakyat yang harus dianggap sebagai badan yang
mempunyai kekuasaan tertinggi untuk menyusun undang-undang.
Kekuasaan legislatif merupakan kekuasaan negara yang terpenting
dalam susunan kenegaraan karena undang-undang adalah sebagai
pedoman hidup bagi bermasyarakat dan bernegara. Sebagai badan
pembentuk Undang-Undang, maka legislative hanya berhak untuk
membentuk atau menyusun Undang-Undang dan tidak dapat
menjalankannya. Menjalankan suatu Undang-Undang itu dapat
6 Yusa DJuyandi, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2017) h. 129.
7 Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, (Bandung:
Mandar Maju, 1995) h. 78-79.
20
dijalankan oleh suatu badan lainnya, yaitu kekuasaan yang dapat
melaksanakan Undang-Undang adalah kekuasaan Eksekutif.
b. Kekuasaan Eksekutif
Kekuasaan Eksekutif adalah kekuasaan yang mempunyai
kewenangan untuk melaksanakan Undang-Undang, kekuasaan
eksekutif ini dipegang oleh Kepala Negara. Kepala Negara tentu
tidak dapat dengan sendirinya melaksanakan segala Undang-
Undang. Oleh karena itu, kekuasaan eksekutif yang dipegang oleh
kepala negara juga dilimpahkan (didelegasikan) kepada pejabat-
pejabat pemerintah/negara yang bersama-sama merupakan suatu
badan pelaksana Undang-Undang (Badan Eksekutif). Badan inilah
yang berkewajiban menjalankan kekuasaan Eksekutif.
c. Kekuasaan Yudikatif
Kekuasaan Yudikatif adalah kekuasaan yang mempunyai
kewajiban untuk mempertahankan Undang-Undang dan berhak
memberikan pengawasan atau peradilan kepada rakyat. Badan
Yudikatif adalah suatu badan yang mempunyai kekuasaan dalam
memutus sebuah perkara, menjatuhkan hukuman terhadap setiap
pelanggaran terhadap Undang-Undang. Badan Yudikatif
diselenggarakan oleh hakim yang diangkat oleh kepala negara
(Eksekutif), tetapi mereka mempunyai kedudukan yang istimewa
dan mempunyai hak tersendiri, karena kepala negara yang
mengangkat suatu badan yudikatif atau hakim tidak dapat
memerintah badan yudikatif itu sendiri, bahkan hakim adalah
badan yang mempunyai suatu hak untuk menghukum kepala
negara, jika kepala negara melanggar Undang-Undang.
Lembaga negara atau lembaga pemerintah dalam sistem pemerintahan
Indonesia berdasarkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945 dan berdasarkan teori Trias Politica membagi kekuasaan negara
menjadi 3 (tiga) yaitu Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Kekuasaan
21
Legislatif di Indonesia berdasarkan Undang-undang Dasar Tahun 1945 yaitu
terdiri dari Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kekuasaan Eksekutif
di Indonesia berdasarkan Undang-undang Dasar Tahun 1945 yaitu Presiden.
Kekuasaan Yudikatif di Indonesia berdasarkan Pasal 24 Ayat (2) Undang-
undang Dasar Tahun 1945 adalah Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah
Konstitusi (MK). Untuk mempermudah pemahaman, maka penulis sajikan
dalam sebuah bagan sebagai berikut:
Pada dasarnya, tujuan dari adanya pemisahan atau pembagian
kekuasaan yaitu untuk mencegah penumpukan kekuasaan di satu tangan
akan menimbulkan penyelenggaraan pemerintahan yang tidak sehat atau
sewenang-wenang untuk kepentingan suatu badan ataupun individu.
Menerapkan teori Trias Politica perlu adanya suasana Checks and Balances
agar di dalam hubungan antar lembaga negara itu terpadat saling menguji
kerena masing-masing lembaga tidak boleh melampaui batas kekuasaan
yang sudah ditentukan atau masing-masing lembaga tidak mau dicampuri
UUD 1945
MPR DPR DPD MA PRESIDEN MK
LEGISLATIF EKSEKUTIF YUDIKATIF
TRIAS POLITICA
(Montesquieu)
22
kekuasaannya sehingga antar lembaga itu terdapat suatau perimbangan
kekuasaan.8 Pengakuan kekuasaan yang diberikan kepada badan negara atau
pemerintahan oleh pembuat Undang-undang Dasar atau Undang-Undang
dipandang sebagai keseimbangan atau balances. Kewajiban penerima
kekuasaan untuk bertanggung jawab kepada pemberi kekuasaan dipandang
sebagai checks. Pemberi kekuasaan dan penerima kekuasaan terdapat
hubungan, yaitu suatu hubungan pengawasan badan pemberi kekuasaan
terhadap penerima kekuasaan.9
2. Teori Checks and Balances
Kata “Checks” dalam checks and balances mempunyai arti suatu
pengontrolan yang satu dengan yang lainnya, agar suatu pemegang
kekuasaan tidak berbuat diluar batas kewenangannya. Kata “Balances”
mempunyai arti suatu keseimbangan kekuasaan antara pemegang kekuasaan
tidak cenderung terlalu kuat sehingga dapat menimbulkan tirani. Istilah
checks and balances berdasarkan kamus hukum Black’s Law Dictionary
mempunyai arti sebagai “arrangement of governmental powers whereby
powers of one governmental branch check or balance those of other
brances” yang dapat disimpulkan bahwa checks and balances merupakan
suatu teori yang saling mengimbangi dan mengawasi antar cabang
kekuasaan dan mempunyai tujuan untuk menghindari adanya konsentrasi
kekuasaan pada satu cabang kekuasaan tertentu. Teori tersebut pertama
muncul dalam sistem ketatanegaraan Amerika Serikat, sistem
ketatanegaraan tersebut mempunyai arti yaitu menyelaraskan antara teori
pemisahan kekuasaan dan teori checks and balences. Kekuasaan dibagi atas
tiga kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif yang mana masing-
masing kekuasaan dipegang oleh lembaga yang berbeda tanpa adanya kerja
sama antara satu dengan lainnya dan terdapat keseimbangan kekuasaan dan
mekanisme saling control. Teori checks and balances ini tidak dapat
8 Romi Librayanto, Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Makassar:
Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial, 2008) h. 28. 9 Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan (Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap
Pidato Nawaksara), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997) h. 30.
23
dipisahkan dari masalah pembagian kekuasaan, sebagaimana ditulis oleh
Robert Weissberg “A principle related to separation of powers is the
doctrine of chekcs and balances. Whereas separation of powers devides
governmental power among different official, checks and balances gives
each official some power over the other”.10
Kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi, bahkan dikontrol dengan
sebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan negara ataupun
pribadi-pribadi yang sedang menjabat sebagai perjabat dalam lembaga-
lembaga negara dapat dicegah dan ditanggulangi.11
Mekanisme checks and
balances dalam suatu demokrasi merupakan hal yang wajar, karena
mempunyai tujuan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan oleh
seseorang ataupun sebuah intansi, atau juga untuk menghindari terpusatnya
kekuasaan pada seseorang atau intansi. Penerapan teori checks and balances
ini, antara lembaga negara yang satu dengan yang lainnya akan saling
mengontrol atau mengawasi.12
Teori checks and balances dapat diterapkan
melalaui cara-cara, sebagai berikut:
a. Pemberian kewenangan untuk melakukan tindakan kepada lebih
satu lembaga, misalnya kewenangan pembuatan undang-undang
diberikan pemerintah dan parlemen.
b. Pemberian kewenangan pengangkatan pejabat tertentu kepada lebih
dari satu lembaga, misalnya eksekutif dan legislatif
c. Upaya hukum impeachment lembaga yang satu terhadap lembaga
lainnya.
d. Pengawasan langsung dari satu lembaga terhadap lembaga lainnya,
seperti eksekutif diawasi oleh legislatif.
10
Robert Weissberg. Understanding American Government, (New York: Holt Reinhart and
Winston, 1979) h. 35. 11
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010) h. 61. 12
Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2006) h. 89.
24
e. Pemberian kewenangan kepada pengadilan sebagai lembaga
pemutusan perkara sengketa kewenangan antara lembaga eksekutif
dan legislatif.13
3. Teori Perwakilan
Alfred de Grazia dalam tulisannya menyatakan bahwa perwakilan
adalah hubungan antara dua pihak, yaitu wakil dengan terwakil dimana
wakil memegang kewenangan untuk melakukan segala sesuatu tindakan
yang berkenaan dengan aturan yang dibuat dengan terwakil.14
Melaksanakan kewenangan, rakyat yakin bahwa segela kehendak dan
kepentingannya akan diperhatikan di dalam pelaksanaan kekuasaan negara.
Cara melaksanakan kekuasaan negara yaitu selalu mengingat kehendak dan
keinginan rakyat. Setiap tindakan dalam melaksanakan kekuasaan negara
tidak bertentangan dengan kehendak rakyat dan kepentingan rakyat, dalam
artian menjalankan kekuasaan negara harus memenuhi segala keinginan
rakyat.15
Teori perwakilan yang dikemukakan oleh Goerge Jellinek adalah teori
mandat.16
Teori Perwakilan yang dikemukakan oleh Goerge Jellinek muncul
di Prancis sebelum revolusi dan dipelopori oleh Rosseau. Teorinya, Goerge
Jellinek menyatakan bahwa wakil dianggap duduk di lembaga perwakilan
karena mendapat mandat dari rakyat sehingga disebut mandataris. Pertama
kali lahir teori mandat ini disebut sebagai berikut:
a. Mandat Imperatif
Mandat Imperatif adalah suatu mandat yang diberikan kepada
wakil untuk bertindak dan bertugas di lembaga perwakilan sesuai
dengan instruksi yang diberikan oleh wakilnya. Wakil tidak dapat
bertindak melampaui mandat yang diberikan dengan konsekuensi
jika hal itu dilakukan oleh wakil, maka hal tersebut tidak berada
13
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, (Bandung, Refika Aditama, 2009) h. 124. 14
Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, (Jakarta: CV. Rajawali, cet. Ke-1, 1985) h.
1. 15
C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia 2,
(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003) h. 44. 16
Abu Daud Busroh, Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010) h. 69.
25
pada hubungan yang benar antara wakil dan orang yang
memberikan perwakilannya.
b. Mandat Bebas
Teori mandat bebas ini dipelopori oleh Abbe Sieyes di Prancis dan
Black Stone di Inggris. Teori mandat bebas adalah suatu mandat
yang diberikan kepada wakil untuk bertindak tanpa tergantung
dengan instruksi wakilnya. Menurut teori mandate bebas ini, wakil
adalah orang-orang yang terpercaya dan terpilih serta memiliki
kesadaran hukum masyarakat yang diwakilinya, sehingga wakil
dapat bertindak atas nama yang diwakilinya atau atas nama
masyarakat.
c. Mandat Representatif
Teori mandate representative adalah suatu mandat yang diberikan
kepada wakil untuk bergabung dalam suatu lembaga perwakilan
(parlemen). Rakyat memilih dan memberikan mandate pada
lembaga perwakilan (parlemen), sehingga wakil sebagai individu
yang tidak memiliki tanggung jawab dengan yang diwakilinya.
Lembaga perwakilan (parlemen) inilah yang akan bertanggung
jawab terhadap masyarakat.
Gambaran dari teori-teori ini adalah suatu negara mempunyai berbagai
organ yang harus bekerja sesuai dengan fungsi masing-masing. Salah satu
organ yang dimaksud yaitu lembaga perwakilan yang keberadaannya
bersifat formalistik. Formalistik disini memiliki arti yaitu orang-orang yang
berada di dalam organ itu berada dalam kapasitas umum, yang tidak
dideskripsikan bagaimana hubungan antara wakil dan orang-orang yang
diwakili, apakah keterwakilannya sesuai atau tidak dengan substansi yang
diingkan oleh yang memberikan kewenangan. Kekuasaan yang ada pada
seorang wakil dan kemudian bergabung pada suatu organ atau lembaga
perwakilan bertumpu pada kewenangan yang diberikan oleh orang-orang
yang memberikan kedudukan. Artinya yaitu keterwakilan seseorang pada
lembaga perwakilan harus senantiasa mewakili kehendak atau aspirasi dari
26
yang diwakili. Kensekuensinya yaitu jika tidak dapat bertindak sesuai
dengan aspirasi orang-orang yang memberikan perwakilan, berarti
keterwakilannya harus diakhiri.
Menurut John Stuart Mill, satu-satunya pemerintahan yang
sepenuhnya dapat memenuhi tuntutan suatu kondisi sosial adalah seluruh
warga dapat berpartisipasi dalam fungsi publik yang terkecil. Namun, dalam
sebuah masyarakat yang tidak dapat berpartisipasi secara pribadi dalam
segala hal selain hanya pada beberapa bagian urusan public yang sangat
kecil, tipe ideal untuk suatu pemerintahan yaitu teori perwakilan.17
C. Dewan Perwakilan Rakyat
Sejarah terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat secara garis besar dapat
dibagi menjadi tiga periode, yaitu:
1. Volksraad
2. Masa perjuangan kemerdekaan
3. Komite Nasional Indonesia Pusat
Pada masa penjajahan Belanda, terdapat lembaga semacam parlemen
bentukan penjajah Belanda yaitu Volksraad yang ditetapkan pada tanggal 16
Desember 1916, serta diumumkan dalam Staatsbalat Hindia No. 144 tahun
1916 dan berlaku pada tangga; 1 agustus 1917. Volksraad tidak mempunyai
hak yang sama dengan parlemen, karena Volksraad tidak mempunyai hak
angket dan hak menentukan anggaran belanja negara, bagi kaum nasionalis
seperti M. H. Thamrin menggunakan Volksraad untuk mencapai cita-cita
Indonesia merdeka melalui jalan parlemen.18
Volksraad mulai tidak diakui lagi
setelah pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda mengakhiri masa penjajahannya di
Indonesia dan bangsa Indonesia memasuki masa perjuangan kemerdekaan.
Sejarah DPR RI dimulai pada tanggal 29 Agustus 1945 sejak terbentuknya
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), di Gedung Kesenian, Pasar Baru,
Jakarta. Tanggal 29 Agustus tersebut dijadikan sebagai tanggal dan hari lahir
17
Efriza, Ilmu Politik, (Bandung: Afabeta, 2013) h. 112. 18
Markus Gunawan, Buku Pintar Calon Anggota & Anggota Legislatif (DPR, DPRD & DPD),
(Jakarta, Transmedia Pustaka, 2008) h. 68-69.
27
DPR RI.19
Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia adalah lembaga
negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga
perwakilan. Berdasarkan Pasal 20 A Ayat (1) Dewan Perwakilan Rakyat
memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Legislasi
adalah fungsi untuk membentuk Undang-Undang baik Undang-Undang untuk
melaksanakan ketentuan Pasal Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945, maupun Undang-Undang yang dibentuk
atas perintah Undang-Undang.
Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat membentuk Undang-Undang
dijelaskan dalam Pasal 20 Undang-undang Dasar 1945 setelah adanya
perubahan Undang-undang Dasar 1945 tentang kekuasaan dalam membentuk
Undang-Undang, berarti mengembalikan fungsi DPR RI dalam membentuk
Undang-Undang yang sebelumnya merupakan kekuasaan Presiden.20
Proses
pembentukan Undang-Undang dijelaskan di dalam Pasal 20 Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu:
a. Setiap rancangan Undang-Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama
b. Jika rancangan Undang-Undang itu tidak mendapatkan persetujuan
bersama, rancangan Undang-Undang itu tidak boleh diajukan lagi
dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu
c. Presiden mengesahkan rancangan Undang-Undang yang telah
disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang
d. Dalam hal rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama
tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalm waktu tiga puluh hari
semenjak rancangan Undang-Undang itu disetujui, rancangan
Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib
diundangkan
19
“Sejarah Terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”,
http://www.dpr.go.id/tentang/hak-dpr, Diakses pada 3 Juli 2019. 20
Abu Thamrin, Nur Habibi Ihya, Hukum Tata Negara, (Jakarta: Lembaga Peneliti Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010) h. 122.
28
Dewan Perwakilan Rakyat agar dapat menjalankan peran dan fungsinya
dengan baik, harus memiliki wewenang dan tugas tertentu agar dapat
menjalankan amanah sebagai wakil rakyat, serta menjalin hubungan dengan
cabang kekuasaan lainnya berdasarkan teori checks and balances. Lembaga
negara seperti DPR tidak memiliki tugas dan wewenang yang seimbang dengan
kekuasaan lainnya, akan menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan karena
hukum dan kebijakan tidak dibuat demi kepentingan rakyat.21
Maka dari itu,
wewenang dan tugas Dewan Perwakilan Rakyat telah diatur sebagaimana di
dalam Pasal 71 dan 72 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyarawatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Wewenang Dewan Perwakilan
Rakyat berdasarkan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 adalah
1) Membentuk Undang-Undang yang dibahas dengan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama
2) Memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap
peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh
Presiden untuk menjadi Undang-Undang
3) Membahas rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden
atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan
mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara
DPR dan Presiden
4) Memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan Undang-Undang
tentang APBN dan rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan dan agama
21
F. X. Soekarno, Badan Legislasi DPR RI, (Jakarta: Badan Legislasi DPR RI, 2009) h. 1.
29
5) Membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan
DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan Undang-Undang
tentang APBN yang diajukan Presiden
6) Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan
oleh DPD atas pelaksanaan Undang-undang mengenai otonomi
daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan
dan agama
7) Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang
dan membuat perdamaian dengan negara lain
8) Memberikan persetujuan atas perjanjian internasional tertentu yang
menimbulkan akibat yang lusa dan mendasar bagi kehidupan rakyat
yang terkait dengan beban keuangan negara dan /atau mengharuskan
perubahan atau pembentukan Undang-Undang
9) Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti
dan abolisi
10) Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat
duta besar dan menerima penempatan duta besar negara lain
11) Memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD
12) Memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan
pemberhentian anggota Komisi Yudisial
13) Memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi
Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden, dan
14) Memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya kepada
Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden
Tugas Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan Pasal 72 Undang-Undang
Nomor 17 tahun 2014 adalah
a) Menyusun, membahas, menetapkan dan menyebarluaskan program
legislasi nasional
30
b) Menyusun, membahas dan menyebarluaskan rancangan Undang-
undang
c) Menerima rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh DPD
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah
d) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang,
APBN dan kebijakan pemerintah
e) Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan oleh BPK
f) Memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan asset negara
yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan terhadap perjanjian yang berakibat luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara
g) Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat, dan
h) Melaksanakan tugas lain yang diatur dalam Undang-Undang
Untuk menjalankan wewenang dan tugasnya, Dewan Perwakilan Rakyat
mempunyai hak-hak yang dimiliki DPR RI dan hak sebagai anggota DPR RI
yang telah diatur sebagaimana di dalam Pasal 79 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2017 tentang Majelis Permusyarawatan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang menyatakan bahwa, DPR mempunyai hak: Interpelasi, angket,
dan menyatakan pendapat.
Hak interpelasi telah dijelaskan dan diatur di dalam Pasal 79 Ayat (2)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyarawatan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dn Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang menyatakan bahwa:
31
”Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) Huruf A adalah
hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai
kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas
pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”
Hak interpelasi yaitu hak mengajukan keterangan atau pertanyaan secara
resmi kepada Presiden. Hak interpelasi ini biasanya dilakukan bila terjadi suatu
peristiwa penting atau menjadi isu nasional oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Proses dari hak interpelasi dinyatakan selesai setelah adanya jawaban Presiden
dan jawaban tersebut telah memenuhi pertanyaan DPR RI.22
Hak angket telah dijelaskan dan diatur di dalam Pasal 79 Ayat (3)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyarawatan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang menyatakan bahwa:
“Hak angket sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) Huruf B adalah hak
DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu Undang-
undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal
penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan”
Hak angket berbeda dengan hak intepelasi, hak angket lebih kuat dan
tinggi derajatnya jika dibandingkan dengan hak interpelasi karena mengingat
dampak hak ini dapat berkembang kearah proses pemakzulan Presiden dan
Wakil Presiden. Proses tersebut dalam ketatanegaraan DPR RI terjadi ketika
pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid dalam masa jabatannya. Oleh
karena itu, persyaratan dan mekanisme penggunaan hak angket jauh lebih berat
jika dibandingkan dengan persyaratan dan pelaksanaan hak-hak DPR 23
Hak menyatakan pendapat telah dijelaskan dan diatur di dalam Pasal 79
Ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
22
Patrialis Akbar, Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013) h. 62. 23
Patrialis Akbar, Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945,…
32
Permusyarawatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dn Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyatakan bahwa:
“Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) Huruf
C adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas kebijakan
pemerintah mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau
dunia internasional, tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak
angket, dan dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan
pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela
dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”
Hak menyatakan pendapat merupakan hak yang mendekati dengan
pemakzulan Presiden atau untuk memberhentikan Presiden dari jabatannya.
Sedangkan hak interpelasi dan hal angket tidak berkaitan langsung dengan
pemberhentian kepada Presiden, akan tetapi dapat ditingkatkan kepada hak
menyatakan pendapat. Hak menyatakan pendapat juga dinyatakan secara tegas
dalam Pasal 24C Ayat (2) Undang-undang Dasar Tahun 1945 tentang
kewajiban Mahkamah Konstitusi untuk memberikan putusan atas pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presdien menurut Undang-undang Dasar.24
Selanjutnya di bagian keenam tentang DPR dalam pasal 80 dan 81
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tercantum hak dan kewajiban anggota
DPR. Anggota DPR berhak:
(1) Mengajukan usul rancangan Undang-Undang
(2) Menyampaikan usul dan pendapat
(3) Memilih dan dipilih
(4) Membela diri
(5) Imunitas
(6) Keuangan dan administrative
(7) Pengawasan
24
Patrialis Akbar, Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945,…
33
(8) Mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah
pemilihan
(9) Melakukan sosialisasi Undang-Undang
Dan kewajiban anggota DPR adalah
(a) Memegang teguh dan mengamalkan pancasila
(b) Melaksanakan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan menaati ketentuan peraturan perundang-undangan
(c) Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia
(d) Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi,
kelompok dan golongan
(e) Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat
(f) Menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan rakyat
(g) Menaati tata tertib dan kode etik
(h) Menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain
(i) Menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan
kerja secara berkala
(j) Menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat
(k) Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada
konstituen di daerah pemilihannya
Dengan adanya wewenang dan tugas Dewan Perwakilan Rakyat, serta
adanya hak-hak baik sebagai anggota maupun sebagai lembaga negara dan juga
kewajiban anggota Dewan Perwakilan Rakyat, maka Dewan Perwakilan
Rakyat di era reformasi merupakan legislatif heavy yang berarti DPR
merupakan kekuasaan lembaga negara yang menonjol dibandingkan dengan
kekuasaan lembaga negara lainnya,karena adanya pergeseran kekuasaan di era
reformasi.25
Menurut Jimly Ashiddiqie kekuasaan legislatif adalah cabang kekuasaan
yang pertama-tama mencerminkan kedaulatan rakyat, maka dari itu Dewan
25
Abu Thamrin, Nur Habibi Ihya, Hukum Tata Negara,… h. 127.
34
Perwakilan Rakyat yang merupakan kekuasaan legislatif dan juga sebagai
wakil rakyat haruslah membela kepentingan rakyat yang dapat memberikan
kesejahteraan bagi rakyat.26
Untuk menjadi tujuan terealisasinya tugas,
wewenang dan tujuan dari penyelenggara negara, maka dalam setiap tugas dan
wewenangnya Dewan Perwakilan Rakyat haruslah berjuang demi rakyat yang
telah diartikan bahwa perlengkapan negara yang mempunyai tugas dan
wewenang tertentu dalam suatu negara.27
Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana telah disebutkan tentang tugas
dan wewenangnya dalam rangka membatai kekuasaan agar tidak bertindak
sewenang-wenang, rakyat kemudian memilih perwakilannya untuk duduk
dalam pemerintahan.28
Dalam rangka menjalankan peran DPR tersebut, DPR
memiliki fungsi yang sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 20A Ayat (1)
Undang-undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 69 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Mejelis Permusyarawatan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yaitu:
1. Fungsi Legislasi adalah fungsi yang dimiliki oleh DPR untuk
membentuk Undang-Undang yang dibahas bersama dengan Presiden
untuk mendapatkan persetujuan bersama.29
Dan dijelaskan di dalam
Pasal 70 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang
menyatakan “Fungsi legislasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
Ayat (1) huruf a dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku
pemegang kekuasan membentuk Undang-Undang”.
2. Fungsi Anggaran adalah fungsi yang dimiliki oleh DPR yang
merupakan bentuk perbuatan hukum yang dilakukan DPR RI Bersama
Presiden untuk menyusun dan menetapkan APBN dengan
26
Jilmy Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2013) h. 299. 27
H.A.S. Natabaya, Menajaga Denyut Konstitusi, Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi,
(Jakarta: Konstitusi Press, 2004) h. 60. 28
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Dian Rakyat, 1998) h. 28. 29
Jilmy Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,… h. 299.
35
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).30
Dan dijelaskan di dalam Pasal 70 Ayat (2) Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014 yang menyatakan “Fungsi anggaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 Ayat (1) huruf b dilaksanakan untuk
membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan
persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang APBN yang
diajukan oleh Presiden”
3. Fungsi Pengawasan adalah fungsi yang dimiliki oleh DPR untuk
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945, Undang-Undang dan
peraturan pelaksananya.31
Dijelaskan di dalam Pasal 70 Ayat (3)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang menyatakan “Fungsi
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 Ayat (1) huruf c
dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang
dan APBN.
D. Studi (Review) Kajian Terdahulu
1. Skripsi Muhammad Zulfajrin, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta 2017 yang berjudul “Implikasi
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013 Terhadap
Kebijakan Dana Aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat”.32
Skripsi ini
menganalisa mengenai bagaimana implikasi putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 35/PUU-XI/2013 terhadap kebijakan mengenai dana aspirasi Dewan
Perwakilan Rakyat. Persamaan penelitian ini dengan skripsi yang disusun
oleh Muhammad Zulfajrin yaitu terletak pada analisis mengenai hak
anggota DPR yaitu dana aspirasi. Perbedaan penelitian ini dengan skripsi
yang disusun oleh Muhammad Zulfajrin terletak pada implikasi putusan
Mahkamah Konstitusi. Skripsi Muhammad Zulfajrin lebih fokus terhadap
30
Arthika Hendro Nazthalico jabocus, “Fungsi DPR dalam Melaksanakan Fungsi Pengawasan
di Bidang Tertentu terhadap Bank Indonesia”, Lex Administratum, Vol . 1 No. 1, 2013. 31
Jilmy Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,… 32
Muhammad Zulfajrin, “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013 Terhadap kebijakan Dana Aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat” (Repository UIN Yogyakarta: Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2017).
36
kebijakan dana aspirasi berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
35/PUU-XI/2013, sedangkan penulis lebih terfokus pada eksistensi praktik
dana aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat dan analisis putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 106/PUU-XIII/2015.
2. Skripsi Ari Yusfizal, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Darussalam
Banda Aceh 2017 yang berjudul “Tinjauan Hukum Terhadap
Penggunaan Dana Aspirasi Oleh Anggota Legislatif (Suatu Penelitian Di
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh)”33
Skripsi ini menganalisa mengenai
bagaimana tinjauan hukum dana aspirasi oleh anggota legislatif di Aceh,
serta efektivitas dan efisiensi penggunaan dana aspirasi oleh anggota DPR
Aceh. Persamaan penelitian ini dengan skripsi yang disusun oleh Ari
Yusfizal adalah tentang penggunaan dana aspirasi oleh anggota legislatif.
Perbedaan penelitian ini dengan skripsi yang disusun oleh Ari Yusfizal
adalah perbedaan pada analisa dana aspirasi. Skripsi Ari Yusfizal membahas
mengenai tinjauan hukum terhadap penggunaan dana aspirasi oleh anggota
legislatif di Aceh, sedangan penulis dalam hal ini lebih terfokus pada
eksistensi praktik dana aspirasi DPR dan menganalisa putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 106/PUU-XIII/2015.
3. Buku yang berjudul "Hak Budget Parlemen Di Indonesia”34
yang ditulis
oleh Mei Susanto. Buku ini membahas mengenai fungsi anggaran DPR RI
yang didalamnya terkandung hak budget parlemen, sebuah hak bagi wakil
rakyat untuk menentukan APBN sesuai yang dikehendaki oleh rakyat
sendiri. Persamaan dengan penelitian ini adalah membahas mengenai
RAPBN. Perbedaan dengan penelitian ini adalah dimana peneliti membahas
mengenai dana aspirasi yang diajukan oleh anggota DPR RI di dalam
RAPBN.
33
Ari Yusfizal, “Tinjauan Hukum Terhadap Penggunaan Dana Aspirasi Oleh Anggota Legislatif (Suatu Penelitian Di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh” (Repository Universitas Syiah Kuala Darussalam Aceh, Skripsi Universitas Syiah Kuala Darussalam Aceh, 2017).
34 Mei Susanto, Hak Budget Parlemen DI Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013).
37
4. Jurnal hukum yang berjudul “Dana Aspirasi DPR RI Dalam Perspektif
Perencanaan Pembangunan Nasional35
” ditulis oleh Koko Enang. Jurnal
ini membahas tentang analisis dana aspirasi DPR RI dalam penerapan
sistem perencanaan pembangunan nasional berdasarkan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2004. Persamaan dengan penelitian ini adalah membahas
mengenai dasa aspirasi DPR RI. Perbedaan dengan penelitian ini adalah
dimana peneliti membahas mengenai eksistensi dari praktik dana aspirasi
DPR RI dan menganalisa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 106/PUU-
XIII/2015.
35
Koko Enang, “Dana Aspirasi DPR RI Dalam Perspektif Perencanaan Pembangunan Nasional”, Jurnal Sosiohumaniora, Vol. 13 No. 2, 2011.
38
BAB III
KAJIAN FUNGSI DANA ASPIRASI DALAM PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 106/PUU-XIII/2015
A. Deskripsi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 106/PUU-XIII/2015
Hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk
mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan
yang diatur di dalam Pasal 80 Huruf J Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diajukan Judicial
Review terhadap Mahkamah Konstitusi. Pemohon dalam hal ini mewakili
masyarakat di Papua, yang mana merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya
karena akan berdampak pada pengelolaan keuangan negara yang tidak adil dan
hanya menguntungkan rakyat di wilayah yang daerah pilihnya memiliki jumlah
kursi Dewan Perwakilan Rakyat terbanyak. Pemohon mengajukan permohonan
bertanggal 7 Agustus 2014 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi dan dicatat dalam buku registrasi perkara dengan nomor 106/PUU-
XIII/2015 pada tanggal 27 Agustus 2015, yang diperbaiki dengan perbaikan
permohonan bertanggal 21 September 2015.
1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Pasal 24 Ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan,
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang dibawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Pasal
24C Ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan, “Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
undang Dasar 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang Pemilu”
39
Berdasarkan ketentuan di atas, maka Mahkamah Konstitusi mempunyai
hak atau kewenangannya untuk melakukan pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945 yang juga didasarkan pada Pasal 10 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan, “Mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga pengawal konstitusi
(the guardian of constitution). Apabila terdapat undang-undang yang berisi
atau terbentuk bertentangan dengan konstitusi (inkonstitusional), maka
Mahkamah Konstitusi dapat mengadilinya dengan menyatakan tidak
mengikat secara hukum. Sebagai pengawal konstitusi, MK juga berwenang
memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan pasal-pasal di dalam
undang-undang agar berkesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi. Tafsir MK
terhadap konstitusionalitas tersebut merupakan satu-satunya yang memiliki
kekuatan hukum, sehingga pasal-paal yang memiliki makna ambigu, tidak
jelas, dan/atau multi tafsir dapat pula dimintakan penafsirannya kepada
Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka Mahkamah
Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan a quo.
Pemohon memohon Mahkamah Kosntitusi melakukan pengujian Pasal 80
Huruf J Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 Tentang Majelis
permusyarawatan Rakyat, Dewan Perwakilan rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
2. Kedudukan Hukum (Legal Standing)
Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi, menyatakan para pemohon adalah pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan kontitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia
40
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang
c. Badan hukum publik atau privat
d. Lembaga negara
Penjelasan Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “Hak Kontitusional” adalah hak-
hak yang diatur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Hak konstitusional sebagaimana terkandung dalam Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 salah satunya adalah
hak atas anggaran yang dimana anggaran dan pendapatan belanja negara
sebagai wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun
dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung
jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka terdapat dua syarat yang harus
dipenuhi untuk menguji apakah Pemohon memiliki legal standing dalam
permohonan pengujian Undang-Undang. Syarat yang pertama adalah
kualifikasi bertindak sebagai pemohon adalah adanya kerugian pemohon
atas terbitnya undang-undang tersebut. Apabila permohonan yang
bersangkutan dapat dipulihkan kembali dengan dibatalkannya undang-
undang yang dimaksud, peryataan tersebut berkaitan dengan persyaratan
hak konstitusional Pemohon, seperti terdapat dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan 010/PUU-III/2005 yaitu:
1) Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945
2) Bahwa hak kontitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah
dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji
3) Bahwa kerugian yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan terjadi
41
4) Adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya undang-
undang yang dimohonkan untuk diuji
5) Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak akan terjadi
lagi
Pemohon adalah perorangan Warga Negara Indonesia sebagaimana
dibuktikan dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk, yang juga menjabat
sebagai Anggota DPRD Kabupaten Mappi. Keberadaan Pasal 80 Huruf J
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 Tentang Majelis Permusyarawatan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah akan mengakibatkan kerugian konstitusional
bagi Pemohon sebagai warga negara Indonesia yang tinggal di Pulau Papua,
kerugian yang mana bersifat potensial dan menurut penalaran yang akan
dipastikan akan terjadi.
3. Pokok Permohonan
Pasal 80 Huruf J Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang
Majelis Permusyawaratan Perwakilan, dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyatakan
Anggota DPR berhak: “mengusulkan dan memperjuangkan program
pembangunan daerah pemilihan”. Pasal 80 Huruf J tersebut telah melanggar
hak-hak konstitusional Pemohon karena akan berdampak pada pengelolaan
keuangan negara yang tidak adil dan hanya menguntungkan rakyat di
wilayah yang dapilnya memiliki kursi terbanyak.
Para pemohon menyatakan bahwa daerah pemilihan (dapil) pada
dasarnya hanyalah tools untuk memudahkan dan/atau menyederhanakan
sistem pemilu. Tujuan utama adanya daerah pemilihan agar kursi Dewan
Perwakilan Rakyat RI dapat tersebar secara proposional ke seluruh daerah,
mengingat populasi dari penduduk Indonesia yang tidak merata. Dengan
pembentukan dapil maka pembagian kursi ke masing-masing dapil akan
lebih adil dengan ketentuan yang diatur di dalam Pasal 21 Ayat (2) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2012 yang menyatakan setiap daerah pemilihan
42
paling sedikit 3 (tiga) kursi. Berdasarkan tujuan utama daerah pemilihan,
maka dapil tidak dapat digunakan sebagai alat untuk melaksanakan program
pembangunan karena pendekatan dapil adalah pendekatan mengenai jumlah
kursi, sehingga besar kecilnya anggaran untuk program pembangunan
nantinya akan berdasarkan pada jumlah kursi. Akibatnya hanya rakyat yang
tinggal di wilayah dengan jumlah kursi terbanyak yang akan mendapatkan
anggaran yang paling besar untuk program pembangunan. Tentu saja hal ini
tidak adil bagi pemohon yang tinggal di Provinsi Papua dan Provinsi Papua
Barat karena jumlah kursi di dua Provinsi tersebut sebanyak 13 (tiga belas)
kursi.
Risalah resmi rapat paripurna DPR pada tanggal 23 Juni 2015 dimana
DPR telah menyetujui program pembangunan daerah pemilihan untuk
diusulkan di dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
2016 sebesar Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah) untuk setiap
kursi. Berdasarkan hal tersebut, dapat dipastikan alokasi anggaran untuk
program pembangunan daerah pemilihan akan menumpuk di Pulau Jawa
saja. Sebab mayoritas kursi DPR tersebar di Pulau Jawa yaitu 55% dari 560
kursi, padahal hampir semua daerah tertinggal, terisolir dan terbelakang
yang membutuhkan percepatan dalam pembangunan berada di luar Jawa,
khususnya daerah Pemohon yang tinggal di Provinsi Papua dan provinsi
Papua Barat.
Pemohon berpendapat apabila program pembangunan menggunakan
pendekatan daerah pemilihan akan berpotensi merugikan hak-hak
konstitusional Pemohon karena pendekatan daerah pemilihan membawa
konsekuensi pada alokasi anggaran yang hanya didasarkan pada jumlah
kursi. Pemohon adalah warga negara yang lahir dan tinggal di pulau Papua
yang jumlah kursinya sangat tidak sebanding dengan jumlah kursi di pulau
Jawa. Oleh karena itu, pengaturan mengenai program pembangunan daerah
pemilihan di Pasal 80 Huruf J Undang-Undang a quo harus dinyatakan
bertentangan dengan Pasal 23 Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945, karena
43
anggaran tidak dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,
melainkan untuk sebagian rakyat khususnya di pulau Jawa saja.
Pemberian hak kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk
mengusulkan program pembangunan daerah pemilihan harus dinyatakan
sebatas bagi-bagi anggaran sesame anggota Dewan Perwakilan Rakyat
terpilih, seperti praktik Pork Barrel di Kongress Amerika Serikat. Dana
Pork Barrel digunakan anggota kongres terpilih untuk “membayar balik’
konstituennya dalam bentuk dana untuk proyek-proyek di distrik.
Membayar balik dalam pengertian yaitu membalas dukungan politik yang
didapatkannya sebelum Ia terpilih, Praktik ini berpotensi terjadinya suap
oleh pemerintah daerah kepada anggota DPR karena tidak menutup
kemungkinan setiap anggota DPR akan meminta kompensasi kepada
pemerintah daerah karena dianggap telah berjasa mengusulkan program
pembangunan daerah pemilihan yang diminta dan dititipkan oleh
pemerintah daerah kepada anggota DPR terpilih.
Selanjutnya pemohon berpendapat jika dalil yang sampaikan dapat
dibuktikan dari Rancangan Peraturan DPR tentang Tata Cara Pengusulan
Program Pembangunan Daerah Pemilihan, setiap anggota DPR berhak
mendaftarkan usulan program secara tertulis kepada Sekretaris Jendral
melalui Sekretaris Fraksi. Sekretaris Jendral DPR kemudian
mengiventariskan anggota yang mendaftar untuk mengajukan usulan
program dalam rapat paripurna. Di dalam rapat paripurna akan menetapkan
usulan program sebagi usulan program pembangunan daerah pemilihan
anggota DPR RI. Pimpinan DPR kemudian menyampaikan usulan program
tersebut kepada Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Usulan
yang disampaikan oleh setiap anggota DPR tersebut tentu sangat sulit
dikontrol sehingga berpotensi suap dari pemerintah daerah kepada anggota
DPR karena tidak menutup kemungkinan adanya praktik “meminta imbalan
jasa”.
44
PETITUM
Berdasarkan apa yang diuraikan di atas, Pemohon memohon kepada Majelis
Hakim Mahkamah untuk memutuskan sebagai berikut:
PRIMAIR
a) Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya
b) Menyatakan Pasal 80 Huruf J Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
Tentang Majelis Permusyawaratan Perwakilan, dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah bertentangan dengan Pasal 23 Ayat (1) Undang-undang dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
c) Menyatakan Pasal 80 Huruf J Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
Tentang Majelis Permusyawaratan Perwakilan, dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
d) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
SUBSIDAIR
Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-
adilnya (ex aequo et bono)
4. Amar Putusan
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi mengadili dan menyatakan
menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya, pada hari Senin, 28
Juli 2016, pukul 10.33 WIB, oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Arief
Hidayat, Anwar Usman, Manahan M.P Sitompul, Narua Farida Indrati,
Aswabto, I Dewa Gede Palguna, Patrialis Akbar dan Wahiduddin Adams.
B. Kedudukan Dana Aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah dipilih
melalui pemilihan umum, susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan
Undang-Undang, dan Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali
dalam setahun. Berdasarkan Pasal 67 dan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 17
45
Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyarawatan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
menyatakan bahwa DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan
umum yang dipilih melalui pemilihan umum dan DPR merupakan lembaga
perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.
Dana aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat tidak dijelaskan secara eskplisit
di dalam perundang-undangan, namun di dalam Pasal 80 huruf J Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyarawatan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dikenal dengan Dana Program Pembangunan Daerah
Pemilihan, yang merupakan hak dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Hak
tersebut dijelaskan sebagimana dimaksud dalam Pasal 80 yaitu anggota DPR
berhak:
1. Mengajukan usul rancangan Undang-Undang
2. Menyampaikan usul dan pendapat
3. Memilih dan dipilih
4. Membela diri
5. Imunitas
6. Keuangan dan administratif
7. Pengawasan
8. Mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah
pemilihan
9. Melakukan sosialisasi Undang-Undang
Di dalam Pasal 80 Huruf J menyatakan anggota DPR berhak:
“Mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah
pemilihan”. Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP)
merupakan sebuah amanat Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 sebagai
upaya untuk mendekatkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan
masyarakat. Program itu sesuai dengan usulan atau program yang disampikan
46
oleh masyarakat di daerah pemilihan (Dapil) masing-masing anggota Dewan
Perwakilan Rakyat.1
Program Pembangunan Daerah Pemilihan disinkronisasi oleh Badan
Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat, yang sebagaimana dimaksud di dalam
Pasal 110 huruf D dan E Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang
Majelis Permusyarawatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Badan Anggaran
DPR bertugas:
a. Melakukan sinkronisasi hasil pembahasan di komisi dan alat
kelengkapan DPR lainnya mengenai rencana kerja dan anggaran
kementerian/lembaga
b. Melakukan sinkronisasi terhadap usulan program pembangunan
daerah pemilihan yang diusulkan komisi.
Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan atau yang lebih dikenal
dengan Dana Aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat diatur lebih lanjut di dalam
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Pengusulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan. Pengertian program
pembangunan daerah pemilihan berdasarkan Peraturan DPR Nomor 4 Tahun
2015 adalah program yang diusulkan oleh anggota DPR dalam rangka
memperjuangkan aspirasi rakyat di daerah pemilihan yang diwakilinya untuk
mewujudkan tujuan nasional. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan DPR Nomor 4
Tahun 2015 mengatur sebagaimana program pembangunan daerah pemilihan
harus memuat asas-asas sebagai berikut:
1) Asas kemanfaatan
2) Asas keadilan
3) Asas transparansi
4) Asas akuntabilitas.
1 “Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan Amanat UU MD3”,
http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/10535, diakses pada 13 Juli 2017
47
Berdasarkan uraian di atas, kedudukan dana aspirasi Dewan Perwakilan
Rakyat diatur di dalam Pasal 80 huruf J Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 tentang Majelis Permusyarawatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 4 tahun 2015 tentang Tata Cara
Pengusulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan.
C. Mekanisme atau Tata Cara Pengusulan Dana Aspirasi Dewan Perwakilan
Rakyat
Mekanisme atau tata cara pengusulan program pembangunan daerah
pemilihan atau dana aspirasi diatur di dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7,
Pasal 8 dan Pasal 9 Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 4 Tahun 2015.
Peraturan DPR tersebut menguraikan secara rinci mekanisme atau tata cara
pengusulan program pembangunan daerah pemilihan, yang dimaksud dalam
Pasal 4:
1. Dalam melaksanakan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Ayat
(1), anggota menyusun usulan program secara tertulis yang
ditandatangani oleh anggota yang bersangkutan
2. Dalam hal program diusulkan anggota secara bersama-sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal Ayat (2), setiap anggota
memberitahukan program tersebut kepada pimpinan fraksi masing-
masing
3. Usulan program sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Ayat (1) dan
Ayat (2) disampaikan kepada pimpinan DPR melalui pimpinan fraksi
4. Pimpinan DPR menginventarisasi usulan program sebagaimana
dimaksud Pasal Ayat (3)
5. Fraksi menyampaikan usulan program sebagimana dimaksud pada
Ayat (3) dalam rapat paripurna yang mengagendakan usulan program
6. Usulan program ditetapkan dalam rapat paripurna sebagaimana
dimaksud pada Ayat (5)
Pasal 5 Peraturan DPR Nomor 4 tahun 2015 merupakan penjelasan
usulan program sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) dan Ayat (2)
48
paling sedikit memuat memuat informasi tentang, “nama, nomor anggota,
daerah pemilihan, komisi, tanda tangan pengusul dan fraksi pengusul, nama
program yang diusulkan, latar belakang atau dasar pertimbangan usulan
program, nama provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan kelurahan atau desa”.
Pasal 6 berbunyi, “anggota mendaftarkan usulan program sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) dan Ayat (2) paling lambat 1 (satu) hari
sebelum rapat paripurna sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (5)
dilaksanakan”. Pasal 7 Ayat (1) berbunyi, “rapat paripurna sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 dilaksanakan paling lambat akhir bulan Maret pada
setiap tahun sidang”. Pasal 7 Ayat (2) berbunyi, “untuk pengusulan program
tahun 2016, rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilaksanakan
paling lambat tahun 2015”. Pasal 8 berbunyi, “pimpinan DPR mengundang
pemerintah untuk menghadiri rapat paripurna penyampaian usulan program
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7”. Pasal 9 Ayat (1) berbunyi, “pimpinan
DPR menyampaikan usulan program sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
Ayat (6) kepada Presiden”. Pasal 9 Ayat (2) berbunyi. “pimpinan DPR
menyapaikan usulan program sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) kepada
Presiden paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak rapat paripurna
sebagimana dimaksud dalam Pasal 7”.
Selanjutnya di dalam Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 4
Tahun 2015, memuat aturan tentang bagaimana pembahasan usulan program
pembangunan daerah pemilihan yang tertera di dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6,
Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9. Pembahasan usulan program diatur pada Pasal 12,
Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 17. Pasal 12 Peraturan DPR
Nomor 4 Tahun 2015 berbunyi:
a. Badan anggaran melakukan pembahasan usulan program sebagaimana
diatur dalam Pasal 4 Ayat (6) bersama pemerintah
b. Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) merupakan
bagian dari keputusan rapat badan anggaran bersama pemerintah
mengenai pembicaraan pendahuluan dan rencana kerja pemerintah
dalam rangka penyusunan rancangan APBN
49
c. Hasil keputusan rapat badan anggaran bersama pemerintah
sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) disampaikan kepada anggota
yang mengusulkan
Pasal 13 berbunyi:
1) Badan anggaran membahas hasil keputusan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 Ayat (2) bersama pemerintah dalam pembahasan
Rancangan Undang-Undang tentang APBN
2) Dalam pembahasan hasil keputusan sebagaimana dimaksud pada Ayat
(1). Badan anggaran memastikan kembali usulan program telah
diakomodasi dalam Rancangan Undang-Undang tentang APBN
Pasal 14 berbunyi:
a) Badan anggaran menyampaikan hasil pembahasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 Ayat (2) kepada tim yang dibentuk oleh
pimpinan DPR
b) Tim sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang
pimpinan DPR dan 30 (tiga puluh) anggota secara proporsional
menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi
c) Masa kerja tim sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berlaku sesuai
dengan masa keanggotaan DPR
Tim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 mempunyai 2 (dua) tugas
yang diatur di dalam Pasal 15 yaitu mengkoordinasikan usulan program
pembangunan yang diajukan anggota dengan mempertimbangkan
keproporsionalan dan keadilan dengan jumlah penduduk dan luas wilayah, dan
mengawasi dan memastikan pengajuan hak mengusulkan dan memperjuangkan
program berjalan sesuai dengan usulan anggota yang mewakili daerah
pemilihannya dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 16 berbunyi:
(1) Anggota yang mengusulkan program memberitahukan perkembangan
pembahasan usulan program sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
dan Pasal 13 kepada konstituen di daerah pemilihannya
50
(2) Anggota yang mengusulkan program sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1) dapat berkoordinasi dengan pemerintah daerah
kabupaten/kota untuk memastikan bahwa usulan program
dilaksanakan
Pasal 17 berbunyi, “anggota dapat meminta laporan pelaksanaan program
kepada pemerintah daerah kabupaten/kota yang memperoleh dana alokasi
khusus program pembangunan daerah pemilihan”
Tata cara pengusulan dana aspirasi oleh anggota Dewan Perwakilan
rakyat dapat dilakukan secara perorangan maupun secara bersama-sama yang
berasal dari inisiatif sendiri, pemerintah daerah atau aspirasi masyarakat di
daerah pemilihan. Dalam pengusulan, anggota menyusun usulan program
secara tertulis yang ditandatangani oleh anggota. Kemudian setiap anggota
memberitahukan program tersebut kepada pimpinan fraksi dan pimpinan fraksi
menyampaikan usulan tersebut kepada pimpinan DPR. Pimpinan DPR
mengundang pemerintah untuk menghadiri rapat paripurna penyampaian
usulan program.
Dalam pembahasan usulan program, badan anggaran DPR melakukan
pembahasan usulan tersebut bersama pemerintah. Hasil pembahasan tersebut
merupakan bagian dar keputusan rapat badan anggran DPR bersama
pemerintah mengenai pembicaraan pendahuluan dan rencana kerja pemerintah
dalam rangka penyusunan rancangan APBN, hasil keputusan bersama
disampaikan kepada anggota yang mengusulkan. Apabila usulan program
diterima atas hasil keputusan bersama badan anggaran DPR dan pemerintah,
badan anggaran memastikan kembali usulan program telah diakomodasi dalam
Rancangan Undang-Undang tentang APBN dan menyampaikan kepada tim
yang dibentuk oleh pimpinan DPR. Anggota DPR yang mengusulkan program
memberitahukan perkembangan pembahasan kepada konstituen di daerah
pemilihannya dan berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah kabupaten/kota
untuk memastikan bahwa usulan program dilaksanakan, anggota juga dapat
meminta laporan pelaksanaan program kepada Pemerintah daerah
51
kabupaten/kota yang memperoleh dana alokasi khusus program pembangunan
daerah pemilihan.
52
BAB IV
PENGGUNAAN DANA ASPIRASI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
A. Alokasi Dana Aspirasi Berdasarkan Asas Keadilan
Dana aspirasi adalah merupakan hak dari anggota DPR untuk
mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan
sebagaimana diatur di dalam Pasal 80 Huruf J Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyarawatan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dana Aapirasi muncul pertama kali pada tahun 2010 yang dipelopori oleh
Fraksi Golkar dengan Mengusulkan anggaran sebesar Rp. 15 Miliar untuk
setiap anggota DPR yang akan diambil dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) 2011. Usulan tersebut ditolak oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono karena dengan adanya anggaran dana tersebut
menyamakan kewenangan antara eksekutif dan legislatif.1
Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD, tidak terdapat dasar hukum tentang dana aspirasi DPR. Namun, dalam
Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 (pengganti UU No, 27 Tahun 2009),
terdapat dasar hukum yang menegaskan keberadaan dana aspirasi DPR yang
tertera dalam Pasal 80 huruf J yang menyatakan “Anggota DPR berhak
mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah
pemilihan”. Atas dasar tersebut, dibentuklah Peraturan Dewan Perwakilan
Rakyat No. 4 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pengusulan Program
Pembangunan Daerah Pemilihan. Peraturan DPR tersebut, dana aspirasi dapat
diusulkan oleh perorangan anggota DPR dan diusulkan secara bersama yang
diintegrasikan ke dalam program pembangunan nasional dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara. Adapun usulan tersebut dapat berasal dari
inisiatif sendiri, pemerintah daerah atau aspirasi masyarakat di daerah
1 Direktorat Jendral Anggaran Kementrian Keuangan, “Dana Aspirasi Dewan Perwakilan
Rakyat Indonesia”, Jurnal DIrektorat Jendral Kementrian Keuangan, 2015, h. 5.
53
pemilihan. Pada tahun 2015 DPR kembali mengusulkan dana aspirasi untuk
RAPBN 2016 sebesar Rp. 20 Miliar untuk setiap anggota DPR, sehingga total
anggaran dana aspirasi yang harus disediakan sekitar Rp 11,2 Triliun untuk
560 anggota DPR. Hal tersebut kemudian ditolak oleh Presiden Joko Widodo,
melalui Menteri Perencanaan Pembangunan Nasioal Andrinof Chaniago
mengatakan konsep dana aspirasi dapat bertabrakan dengan visi misi
Presiden.2
Dana aspirasi DPR memiliki dasar hukum dalam Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2017 maupun Peraturan DPR, namun kedua peraturan
tersebut tidak dapat dilaksanakan karena penolakan dari Presiden. Penolakan
dari Presiden menunjukkan pembentukan dasar hukum dana aspirasi
belumlah matang dan melibatkan seluruh pihak. Akibatnya penolakan yang
banyak dilakukan oleh publik maupun Presiden secara langsung, menjadi
bukti pembentukan dana aspirasi tidak melalui proses yang benar dan
partisipasif.
Menurut peneliti, jika dana aspirasi tetap berlaku di dalam Pasal 80
Huruf J Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis
Permusyarawatan Perwakilan. Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentu saja menimbulkan
banyak masalah atau problematika dalam penggunaannya, problematika yang
dapat muncul dari dana aspirasi yaitu tidak adanya asas keadilan rakyat dalam
pengalokasian dana dalam pembangunan dan berpotensi menjadi praktik
korupsi.
Ketidakadilan dalam pembangunan dapat terjadi dalam pengalokasian
dana aspirasi karena keterwakilan anggota DPR tidak dapat terlepas dengan
daerah pemilihannya dan dana aspirasi ini akan melekat pada setiap anggota
DPR. Artinya, besaran dana aspirasi di setiap provinsi bergantung pada
berapa banyak anggota DPR yang berasal dari daerah pemilihan dalam
2 Jokowi Tak Setuju Dana Aspirasi DPR RP 11 T”,
http://www.cnnindonesia.com/politik/20150624162656-32-62133/jokowi-tak-setuju-dana-aspirasi-
dpr-rp-11-triliun/. Diakses 5 Agustus 2019.
54
provinsi tersebut. Kita ketahui bersama, anggota DPR mengusulkan dana
sebesar Rp. 20 Miliar peranggota DPR. Total dari jumlah anggota DPR
sebanyak 560 anggota, dana aspirasi yang akan masuk di dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara ini sebanyak Rp. 11,2 Triliun. Dana tersebut
sangatlah banyak untuk program pembangunan di desa-desa yang masih
kurang akan pembangunannya, namun apakah pengalokasiannya dapat
menjamin keadilan, kesejahteraan dan mencakup daerah-daerah yang
merupakan daerah terpencil yang menjadi tujuan dari pembangunan
nasional.3
Keadilan dalam pengalokasian dana inilah yang perlu diperhatikan
dalam penggunaan dana aspirasi, karena dana aspirasi ini melekat pada DPR
untuk daerah pemilihannya. Pengalokasian kursi DPR kepada setiap provinsi
tidak dilakukan berdasarkan prinsip kesetaraan keterwakilan (equal
representation) dan besaran daerah pemilihan bukan single-member
constituency (satu kursi untuk setiap Dapil), melainkan multi-member
constituency (satu dapil untuk beberapa kursi). Satu dapil untuk beberapa
kursi inilah yang menjadi sorotan tentang dana aspirasi yang akan
mempertajam kesenjangan dalam pembangunan. Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 menetapkan daerah jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota
DPR paling sedikit 3 (tiga) kursi dan paling banyak 10 (sepuluh) kursi
disetiap provinsi kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota.
Pemilu legislatif tahun 2014-2019 pembagian kursi untuk daerah
pemilihan, Provinsi Jawa mendapatkan alokasi kursi terbesar dibandingkan
dengan Provinsi lainnya dengan jumlah alokasi kursi sebanyak 255 kursi.
Provinsi Sumatera mendapatkan alokasi kursi DPR sebanyak 61 kursi.
Provinsi Sulawesi mendapatkan alokasi kursi dan daerah pemilihan sebanyak
39 kursi dan Provinsi Kalimantan sebanyak 35 kursi. Ibu kota DKI Jakarta
mendapatkan 21 kursi dan Banten mendapatkan 22 kursi. Provinsi Papua dan
Papua Barat merupakan provinsi yang mendapatkan jumlah alokasi dan
3 Koko Enang, “Dana Aspirasi DPR RI Dalam Perspektif Perencanaan Pembangunan
Nasional”, Vol. 13 No. 2, Juli 2011, h. 129.
55
daerah pemilihan terendah dibandingkan provinsi-provinsi besar lainnya
seperti Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Ibu Kota DKI Jakarta yang
hanya mendapatkan alokasi sebanyak 13 kursi saja. Provinsi Lampung
mendapatkan jumlah kursi yang juga lebih besar dibandingkan jumlah kursi
yang didapatkan Provinsi Papua dan Papua Barat yakni sebanyak 18 kursi.4
Berdasarkan uraian tersebut, jika dana aspirasi dialokasikan
berdasarkan jumlah kursi di daerah pemilihan, Provinsi Jawa akan
mendapatkan dana aspirasi paling besar dibandingkan provinsi lainnya yaitu
sebesar Rp. 5.100.000.000.000 (lima triliun seratus miliar rupiah). Provinsi
Sumatera mendapatkan dana aspirasi sebesar Rp. 1.220.000.000.000 (satu
triliun dua puluh dua miliar rupiah). Provinsi Sulawesi mendapatkan dana
aspirasi sebesar Rp. 780.000.000.000 (tujuh ratus delapan puluh miliar
rupiah). Provinsi Kalimantan mendapatkan dana aspirasi sebesar Rp.
700.000.000.000 (tujuga ratus miliar rupiah). DKI Jakarta mendapatkan dana
aspirasi sebesar Rp. 420.000.000.000 (empat ratus dua puluh miliar rupiah).
Provinsi Banten mendapatkan dana aspirasi sebesar Rp. 440.000.000.000
(empat ratus empat puluh miliar rupiah). Lampung mendapatkan dana
aspirasi sebesar Rp. 360.000.000.000 (tiga ratus enam puluh miliar rupiah)
Dan Provinsi Papua dan Papua Barat mendapatkan dana aspirasi sebesar Rp.
260.000.000.000 (dua ratus enam puluh miliar).
Menurut peneliti, potensi terjadinya ketimpangan atau ketidakadilan
pembangunan secara jelas dilihat dalam kalkulasi anggaran dana aspirasi
yang akan dialokasikan berdasarkan daerah pemilihan. Provinsi Jawa
merupakan provinsi yang sudah baik dalam hal pembangunan terlihat
menonjol karena mayoritas kursi DPR tersebar di pulau Jawa yaitu 55% dari
560 anggota DPR. Padahal hampir semua daerah tertinggal, terisolir dan
terbelakang yang membutuhkan pencapaian pembangunan justru provinsi-
provinsi yang berada diluar pulau Jawa, seperti Provinsi Papua dan Papua
Barat. Sedangkan di Provinsi Papua hanya mendapatkan jatah 10 kursi dan
4 “Pemilihan Umum Legislatif Indonesia 2014”,
https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_legislatif_Indonesia_2014. Diakses pada 5 Agustus
2019.
56
Provinsi Papua Barat mendapatkan jatah 3 kursi, dan total anggaran dana
sebesar 260 Miliar. Hal tersebut berbanding terbalik dengan daerah yang
sudah berkembang jauh yaitu pulau Jawa yang mendapatkan dana aspirasi
sebesar 5,1 Triliun. Tentu saja dengan perbedaan yang jauh antara dana
anggaran aspirasi Provinsi Jawa dan Provinsi Papua merupakan sebuah
bentuk ketidakadilan dalam sistem pembangunan. Ketidakadilan tersebut
tentu saja mencederai konsep negara hukum yang dianut oleh Indonesia,
karena konsep negara hukum menurut Aristoteles adalah negara yang berdiri
diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warganya.5 Menurut United
Development Program (UNDP), prinsip-prinsip Good Gavernance untuk
melaksanakan praktik tata pemerintahan yang baik terdapat prinsip kesetaraan
(Equality) yang artinya setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama
untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan.6 Hal ini tidak sesuai dengan
tujuan sistem perencanaan pembangunan nasional yang menjamin keadilan
sebagaimana diatur di dalam Pasal 2 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 25
Nomor 2004.
Menurut pendapat peneliti, dana aspirasi selain berpotensi terjadi
ketimpangan dalam pembangunan, juga berpotensi disalahgunakan oleh
oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk penyalahgunaan dana
atau korupsi. Mekanisme penyaluran aspirasi di dalam dana aspirasi tidak
diatur dengan jelas di dalam Pasal 80 Huruf J Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 dan Peraturan DPR Nomor 4 Tahun 2015, hal ini tentu saja
mudah disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
DPR merupakan lembaga pemerintahan yang sering melakukan tindak
pidana korupsi. Tindak korupsi yang dilakukan anggota DPR berbagai
macam, seperti pengadaan barang dan jasa, penyuapan dan penyalahgunaan
anggaran. Jenis perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan DPR
merupakan jenis perkara yang paling sering terjadi. Data yang peneliti
5 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta:
Sinar Bakti, 1998) h. 153. 6 Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penelenggaraan Pemerintahan Daerah, (Bandung:
Fokusmedia, 2003) h. 33.
57
peroleh dari tahun 2004 sampai 2019 menyatakan tindak pidana korupsi jenis
perkara penyuapan terdapat 613 kasus, pengadaan barang dan jasa 199 kasus
dan penyalahgunaan anggaran 48 kasus.7
Berdasarkan hal tersebut, peneliti berpandangan jika dana aspirasi
merupakan suatu hal yang sangat rawan untuk menjadi lahan baru untuk para
anggota DPR melakukan praktik korupsi. Hal tersebut karena, tidak diaturnya
mekanisme penyerapan aspirasi di dalam penggunaan dana aspirasi rentan
untuk anggota untuk melakukan penyalahgunaan anggaran, penyuapan dan
juga pengadaan barang dan jasa. Penyalahgunaan anggaran yang
dikhawatirkan karena di dalam dana aspirasi anggota DPR mengusulkan dana
yang sangat besar yaitu sebesar Rp. 20 Miliar peranggota. Dana yang besar
tersebut, anggota DPR dapat melakukan proyek fiktif, baik berbentuk
pembangunan, penyelenggaraan kegiatan ataupun pengadaan fiktif barang
dan jasa. Mekanisme yang tidak jelas penyuapan dalam penggunaan dan
aspirasi dapat terjadi, seperti penyuapan yang akan dilakukan oleh segelintir
masyarakat kepada anggota DPR yang bertujuan agar proposal program
pembangunan daerah pemilihan dapat terealisasi di dalam rapat paripurna.
Hasil survey Transparency Internasional Indonesia8 (TII menyatakan
bahwasanya DPR merupakan lembaga negara yang dianggap sebagai
lembaga negara terkorup berdasarkan pandangan masyarakat Indonesia dari
1000 responden yang tersebar luas di 31 provinsi. Sekretaris Jendral
Transparency Internasional Indonesia (TII) Dadang Trisasongko mengatakan,
masyarakat Indonesia mempersepsikan lembaga DPR sebagai lembaga
terkorup, setidaknya dalam tiga tahun terakhir. Hal ini dikarenakan,
pemberitaan kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota-anggota DPR
tersebar luas di media-media.
7 “TPK berdasarkan jenis perkara”, https://www.kpk.go.id/id/statistik/penindakan/tpk-
berdasarkan-jenis-perkara. Diakses pada 7 Agustus 2019. 8 “DPR lembaga terkorup berdasarkan survey persepsi masyarakat 2017”,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58be9c4bba2ba/dpr-terkorup-dalam-survei-persepsi-
masyarakat-2017/. Diakses pada 7 Agustus 2019.
58
Peneliti berpandangan jika dana aspirasi berpotensi memunculkan
wadah baru bagi anggota DPR untuk melakukan praktik korupsi karena
survey yang dilakukan oleh TII tersebut merupakan fakta yang terjadi saat ini.
Ditambah dengan adanya hak anggota DPR dalam praktik dana aspirasi yang
mempunyai dasar hukum di dalam Pasal 80 Huruf J, peneliti berpandangan
bahwasanya DPR sebagai lembaga legislative yang mempunyai fungsi
legislasi telah menyalahgunakan kewenangannya dalam membuat undang-
undang yakni praktik dana korupsi. Pihak yang mempunyai kekuasan dapat
memaksakan kehendaknya atau kemaunnya untuk dilaksanakan oleh pihak
lain, Lord Acton menyatakan “Power Tends To Corrupt, Absolute Power
Corrupt Absolutely” yang artinya kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan
dan kekuasaan yang absolut penyalahgunaannya pun bersifat absolut juga.9
DPR sebagai lembaga terkorup semakin diperkuat dengan kasus-kasus
yang melibatkan anggotanya, yakni dalam kasus menyalahgunakan
wewenang untuk memastikan usulan anggaran proyek penerapan KTP
elektronik yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto, dalam kasus tersebut
Setya Novanto merugikan uang negara sebesar Rp. 2,3 Triliun. Korupsi yang
melibatkan wakil ketua komisi vii DPR Zulkarnaen Djabar yang terlibat
korupsi pengadaan Al-quran di Kementerian Agama. Penyuapan yang
melibatkan wakil ketua DPR Taufik Kurniawan diduga menerima suap
sebesar Rp 3,65 Miliar dari Bupati Kebumen Jawa Tengah yang berkaitan
dengan anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik pada APBN-P 2016.
Menurut pandangan peneliti, dana aspirasi dalam program
pembangunan sangatlah berpotensi dijadikan sarana politik untuk anggota
dewan karena dalam dana aspirasi ini dianggarkan dana yang sangat besar,
ditambah dengan rekam jejak anggota DPR yang mengelola dana aspirasi.
Menjalankan praktik dana aspirasi yang berbentuk Dana Program Percepatan
Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPPID), DPR melakukan tindak pidana
korupsi pembahasan anggaran 2011 yang melibatkan Badan Anggaran DPR
9 Ermasjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010) h. 1.
59
dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan yaitu Wa Ode Nurhayati diduga
menerima dana sebesar Rp. 6 Miliar sebagai syarat Badan Anggaran DPR
merealisasikan proyek senilai Rp. 40 Miliar di 3 Kabupaten di Aceh, yakni
Aceh Besar, Bener Meriah dan Pidie Jaya.10
Berdasarkan uraian diatas, peneliti berpendapat seharusnya dana
aspirasi ini dinyatakan di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
106/PUU-VIII/2015 bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 dan
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Banyak sekali potensi munculnya
problematika dalam penggunaannya, salah satunya adalah dijadikan
tunggangan bagi anggota DPR untuk melakukan praktik korupsi. Menurut
peneliti, korupsi adalah suatu tindakan yang sangat luar biasa merugikan bagi
negara dan masyarakat yang senantiasa dilakukan oleh orang-orang yang
mempunyai kedudukan penting di dalam pemerintahan11
, sejalan dengan
pendapat Romli Atma Sasmita yang menyatakan korupsi merupakan
kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crime). Korupsi telah
menjadi sebuah ancaman bagi bangsa Indonesia dan harus dilawan sebagai
sesuatu yang mendesak.12
Jika melihat kebelakang ditahun 2013, Mahkamah Konstitusi di dalam
putusannya Nomor 35/PUU-XI/2013 melarang Dewan Perwakilan Rakyat
untuk lebih jauh membahas satuan 3 (tiga) dalam Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.13
Berarti dalam pembahasan RAPBN, DPR
tidak dapat membahas dokumen anggaran yang memuat deskripsi (gambaran)
program dan rincian alokasi pagu anggaran. Putusan Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa Pasal 15 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003
Tentang Keuangan Negara dan Pasal Pasal 157 Ayat (1) Huruf C dan Pasal
10
“Kronologi Awal Kasus Hingga Wa Ode Ditahan”,
https://www.tribunnews.com/nasional/2012/01/27/kronologi-awal-kasus-hingga-wa-ode-
ditahan?page. Diakses pada 7 Agustus 2019. 11
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 2007) h. 102. 12
Romli Atma Sasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, (Bandung: PT. Eresco, 2004)
h. 48. 13
“MK Pangkas Kewenangan Badan Anggaran DPR”, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt537eb7aa3b3cf/mk-pangkas-kewenangan-badan-anggaran-dpr/. Diakses 5 Agustus 2019.
60
159 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 Tentang Majelis
Permusyarawatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan Undang-
undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasal 15
Ayat (5), Pasal 157 Ayat (1) Huruf C dan Pasal 159 Ayat (5) Mahkamah
menghilangkan frasa “Kegiatan dan Jenis Belanja”, yang berarti hilangnya
kewenangan DPR untuk membahas lebih rinci sampai satuan 3 (kegiatan dan
jenis belanja) dalam RAPBN.
Lantas mengapa dana aspirasi Pasal 80 Huruf J Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi ditolak oleh Majelis
Hakim. Padahal di dalam Pasal 80 Huruf J tersebut, mengembalikan
kewenangan DPR dalam membahas satuan 3 (kegiatan dan jenis belanja) di
dalam RAPBN. Peraturan DPR Nomor 4 Tahun 2015 secara jelas membahas
mengenai kegiatan atau program yang akan dibangun di dalam program
pembangunan daerah pemilihan, hal itu diatur secara jelas di Peraturan DPR
Nomor 4 Tahun 2015 di dalam bab ketiga mengenai kreteria program dan
juga anggota DPR mengusulkan dana sebesar Rp. 20 Milyar peranggota.
Menurut peneliti, dana aspirasi DPR seharusnya dinyatakan bertentangan
dengan Undang-undang Dasar dan tidak memiliki kekuatan hukum yang
mengikat oleh Mahkamah Konstitusi dan tidak dapat berlaku karena sesuai
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013 yang menyatakan
DPR tidak dapat membahas RAPBN dengan rincian sampai kegiatan dan
jenis belanja.
Problematika yang akan muncul selain ketimpangan dan ketidakadilan
dalam pembangunan dan wadah praktik korupsi, dana aspirasi berdampak
pada tergerusnya peran pemerintah sebagai lembaga eksekutif. Berdasarkan
Undang-undang Dasar 1945 Indonesia adalah negara hukum, konsekuensi
logis dari hal tersebut tidak boleh ada suatu tindakan apapun dalam sebuah
negara yang keluar dari koridor hukum. Ciri utama negara hukum adalah
adanya pembagian kekuasaan. Menurut Montesqiueu dalam sistem
pemerintahan, ketiga jenis kekuasaan harus terpisah, baik mengenai fungsi
61
(tugas) maupun alat perlengkapannya. Kekuasaan Legislatif, kekuasaan yang
dilaksanakan oleh suatu badan perwakilan rakyat. Kekuasaan Eksekutif,
kekuasaan yang dilaksanakan oleh pemerintahan. Kekuasaan Yudikatif,
kekuasaan yang dilaksanakan oleh badan peradilan.14
Penerapan pembagian
kekuasaan di Indonesia yaitu peran eksekutif dipegang oleh
Pemerintah/Presiden, legislative dipegang oleh DPR dan Yudikatif dipegang
oleh MA dan MK.
Menurut pandangan peneliti, di dalam praktik dana aspirasi yang diatur
dalam Pasal 80 Huruf J Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang
Majelis Permusyarawatan Perwakilan, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak sesuai
dengan ciri Indonesia sebagai negara hukum yaitu adanya pembagian
kekuasaan eksekutif, legislative dan yudikatif. Dana aspirasi ini bertentangan
dengan Pasal 12 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 Tentang Keuangan Negara. Pasal 12 berbunyi:
Pasal 12 Ayat (1) ”APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan
pemerintah negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara”.
Pasal 12 Ayat (2) “Penyusunan Rancangan APBN sebagaimana dimaksud
dalam Ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka
mewujudkan tercapainya tujuan bernegara”
Pasal 12 tersebut menyatakan bahwasanya APBN disusun sesuai
dengan kebutuh penyelenggaraan pemerintah dan berpedoman kepada
rencana kerja pemerintah. Namun di dalam dana aspirasi ini DPR lah yang
menyelenggarakan dan sekaligus membuat pedoman mengenai kriteria
program pembangunan. Berdasarkan hal tersebut peneliti berpandangan jika p
dana aspirasi bertentangan dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 dan hal tersebut juga merupakan adanya ketidak harmonisasinya
perundang-undangan yang ada saat ini, menurut Rudolf Stammler “A Just
Law aims at harmonizing individual purposes with that of society” Prinsip-
14
Fitra Arsil, Teori Sistem Pemerintahan Pergeseran Konsep dan Saling Kontribusi Antar
SIstem Pemerintahan Di Berbagai Negara, (Depok: PT. Raja Grafindo, 2017) h. 7.
62
pinsip hukum yang adil mencakup harmonisasi antara maksud dan
kepentingan perorangan & kepentingan umum.15
Indonesia adalah negara
hukum, perlu adanya harmonisasi berbagai perundang-undangan, sehingga
sistem perencanaan yang dilakukan oleh anggota DPR dalam penggunaan
dana aspirasi ini tidak bertabrakan dengan pengelolaan yang dilakukan
pemerintah atau menggerus peran pemerintah sebagai lembaga eksekutif.
Banyak kalangan berada dalam posisi kontra untuk dana aspirasi DPR,
karena salah satu masalah yang timbul yaitu tergerusnya peran eksekutif
pemerintah. Namun, DPR berdalih jika dana aspirasi tersebut tidak
membenturkan peran DPR sebagai legislatif dengan eksekutif, karena dana
aspirasi tersebut tidak diambil alih oleh DPR, DPR hanya sebagai perantara
untuk menyerap aspirasi pembangunan yang nanti akan diserahkan kepada
pemerintah. Namun, peneliti berpandangan jika dana aspirasi ini bertujuan
sebagai penyerapan aspirasi masyarakat mengenai pembangunan merupakan
suatu hal yang salah, karena di dalam penyerapan aspirasi mengenai
pembangunan nasional telah diatur didalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2004 yaitu melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan
(Musrenbang). Musrenbang adalah sebuah forum dimana masyarakat dapat
menyampaikan aspirasi mereka dalam proses pembangunan yang akan
dilaksanakan dalam rangka menyusun rencana pembangunan nasional dan
rencana pembangunan daerah. Seharusnya jika DPR berdalih sebagai
penyerapan aspirasi, kenapa tidak melalui proses yang tepat berdasarkan
Undang-Undang yaitu melalui musrenbang.
Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, perencanaan pembangunan
nasional disusun terpadu oleh Kementerian/Lembaga dan perencanaan
pembangunan oleh Pemerintah Daerah. Perencanaan pembangunan nasional
menghasilkan rencana pembangunan jangka panjang, rencana pembangunan
jangka menengah dan rencana pembangunan tahunan. Selanjutnya
15
Kusnu Goesnia Dhie, Harmonisasi dalam Perspektif Perundang-Undangan, (Surabaya, Lex Spesialis Malalah, 2006) h. 59.
63
perencanaan tersebut akan dibahas melalui Musyawarah Perencanaan
Pembangunan yang berjenjang dari desa, kecamatan, kabupaten/kota,
provinsi dan nasional. Pasal 11 dan Pasal 16 Ayat (2) Undang-Undang 25
Tahun 2004 menjelaskan di dalam penyelenggaraan musrenbang diikuti
unsur-unsur penyelenggara negara dan mengikutsertakan masyarakat.
Menurut pandangan peneliti dengan adanya aturan jelas mengenai
musrenbang yang penyelenggaraannya diikuti oleh penyelenggara negara,
seharusnya DPR disini harus mengambil perannya dengan efektif dalam
penyerapan aspirasi di dalam musrenbang mengenai pembangunan daerah
pemilihannya.
Atas dasar itulah peneliti berpandangan jika pengunaan dana aspirasi
dipertahankan dapat menggerus peran pemerintah sebagai lembaga eksekutif.
Pemisahan kekuasaan seharusnya juga berjalan sesuai dengan Check and
Balances, karena dengan adanya Checks and Balances membuat
penyelenggraan kekuasaan saling control antar cabang kekuasaan untuk
menghindari adanya kesewenang-wenangan antar lembaga kekuasaan.16
Selaras dengan pendapat Jimly Asshiddiqie adanya sistem Checks and
Balances mengakibatkan kekuasaan negara dapat diatur bahkan dikontrol
dengan sebaik-baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan dalam lembaga
negara dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.17
Menurut pandangan peneliti, problematika dari penggunaan dana aspirasi
selain mengakibatkan ketimpangan pembangun, berpotensi adanya praktik
korupsi dan tergerusnya peran eksekutif pemerintah, yaitu semakin besarnya
anggaran di dalam APBN. Karena dana aspirasi nantinya akan masuk
kedalam APBN, sehingga anggaran yang diperlukan semakin besar. Kita
ketahui, DPR mengusulkan dana sebesar Rp. 20 Miliar peranggota yang
dijumlahkan sampai 11,2 Triliun untuk semua anggota DPR.
16
Indra Rahmatullah, “Rejuvinasi Sistem Checks and Balances dalam sistem ketatanegaraan
di Indonesia”, Jurnal Cita Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Vol. 1 No. 2, September 2017, h. 15. 17
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006) h. 74.
64
Dan di dalam APBN juga sudah diatur mengenai anggaran yang akan
didapatkan oleh daerah sebagai penerimaan daerah. Anggaran tersebut dapat
dikatakan dengan dana perimbangan dan transfer ke daerah dan dana desa.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dana
perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah untuk menjadi kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi. Daerah mendapatkan dana transfer kedaerah yang
juga diatur di dalam APBN. Dana perimbangan terdiri atas Dana Bagi Hasil
(DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Dana perimbangan ini bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber
pendanaan pemerintahan antara pusat dan daerah serta untuk mengurangi
kesenjangan pendanaan pemerintahan antar daerah.
Menurut peneliti hal itulah yang menjadi dasar mengapa penggunaan
dana aspirasi akan membuat anggaran yang dikeluarkan dalam APBN
semakin besar. APBN transfer ke daerah dan dana desa dari tahun ketahun
mengalami kenaikan dalam jumlah anggarannya. Di APBN 2015 transfer
anggaran dan dana desa mengeluarkan anggaran sebesar Rp. 623,1 Triliun.
Kemudian ditahun berikutnya pada APBN 2016 kenaikan anggaran tersebut
mencapai 14% yaitu sebesar Rp. 710,3 Triliun. Pada APBN 2017 kembali
mengalami kenaikan 6,4% yaitu sebesar Rp. 755,9 Triliun. Pada APBN 2018
naik 1,4% yaitu sebesar Rp. 766,2 Triliun, dan pada APBN 2019 anggaran
untuk transfer ke daerah dan dana desa naik 8,3% yaitu Rp. 826,8 Triliun.
Melihat perkembangan anggaran APBN dari tahun 2015 sampai 2019
selalu mengalami peningkatan dengan jumlah yang sudah sangat besar yaitu
mencapai angka Rp. 826,8 Triliun di APBN 2019. Selain itu di APBN juga
sudah terdapat anggaran yang membahas mengenai infrastruktur yang
mengalami kenaikan dari tahun 2015 – 2019, di APBN 2019 anggaran
infrastruktur sebesar Rp. 415,0 Triliun. Atas dasar itulah peneliti
berpandangan jika dana aspirasi akan membuat anggaran yang ada di dalam
APBN semakin besar.
65
B. Pertimbangan Hakim Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 106/PUU-
XIII/2015
Pemohon adalah 6 (enam) orang yang berasal dari Provinsi Papua yang
merasa dirugikan konstitusionalnya oleh ketentuan Pasal 80 Huruf J Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyarawatan
Perwakilan, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal yang diajukan oleh pemohon
memuat tentang hak yang dimiliki oleh anggota DPR untuk mengusulkan dan
memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan. Menurut para
pemohon, Pasal 80 Huruf J tersebut telah melanggar hak-hak
konstitusionalnya karena akan berdampak pada pengelolaan keuangan negara
yang tidak adil dan hanya menguntungkan rakyat di wilayah yang daerah
pemilihannya (dapil) memiliki jumlah kursi DPR terbanyak.
Mekanisme comstitutional control digerakkan oleh adanya permohonan
dari pemohon yang memiliki legal standing untuk memberikan
kepentingannya yang dianggap dirugikan oleh berlakunya suatu undang-
undang. Berangkat dari kewenangan konstitusional satu lembaga negara yang
dilanggar atau dilampaui oleh lembaga negara lainnya.18
Permohonan
pengujian konstitusionalitas dari pemohonan tentang Pasal 80 Huruf J
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyarawatan
Perwakilan, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Pasal 23 Ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945 karena hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang berhak
mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan.
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memeriksa dengan seksama
permohonan para pemohon, bukti-bukti surat/tulisan dan kesimpulan tertulis
para pemohon sebagaimana yang termuat pada bagian duduk perkara pada
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 106/PUU-XIII/2015.
18
Maruar Sihaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Edisi 2, (Jakarta:
sinar Grafika, 2012) h. 60.
66
Hakim Mahkamah Konstitusi di dalam pertimbangan hukum
berpendapat, pertama bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan
lembaga negara yang memegang kekuasaan legislative sebagaimana
tercantum di dalam Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 yaitu “Dewan Perwakilan
Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang’. Adapun fungsi
DPR diatur dalam Pasal 20A UUD 1945 yaitu fungsi legislasi, fungsi
anggaran dan fungsi pengawasan. Fungsi legislasi mempertegas kedudukan
DPR sebagai lembaga legislatif yang menjalankan kekuasaan membentuk
Undang-Undang. Fungsi anggaran mempertegas kedudukan DPR untuk
membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN)
dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang
ditujukan bagi kesejahteraan rakyat. Fungsi pengawasan terhadap kebijakan
dan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan oleh pemerintah.
Menurut pertimbangan majelis hakim yang menyatakan fungsi
anggaran DPR merupakan suatu penegasan kedudukan DPR dalam
membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Menurut peneliti,
dana aspirasi disini bukan merupakan suatu penegasan mengenai fungsi
anggaran DPR, karena jika mempertegas kedudukan DPR dalam fungsi
anggaran terdapat program pembangunan berbentuk dana yang dibahas
melalui RAPBN dan APBN, seperti dana transfer daerah atau dana
perimbangan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
Tentang Perimbangan Keuangan Negara Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah. Dana perimbangan tersebut seharusnya yang dapat
mempertegas kedudukan fungsi anggaran DPR karena dana perimbangan
ditetapkan di dalam APBN dan peran DPR sebagai fungsi anggaran
seharusnya lebih efektif lagi karena didalam pengusulan yang didalamnya
terdapat aspirasi di daerah pemilihannya dan mempunyai tujuan untuk
memberikan kepastian pendanaan bagi daerah yang bersumber dari pusat.19
19
Yuswanto, Hukum Desentralisasi Keuangan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2012) h. 171.
67
Selanjutnya majelis hakim berpendapat mengenai fungsi pengawasan
DPR dalam melakukan pengawasan terhadap kebijakan dan pelaksanaan
pemerintahan dan pembangunan oleh pemerintah. Menurut peneliti, dengan
adanya hak anggota DPR untuk mengusulkan dan memperjuangkan program
pembangunan daerah pemilihan atau yang dikenal dengan dana aspirasi dapat
menghilangkan dan melemahkan fungsi pengawasan DPR, karena di dalam
dana aspirasi DPR ikut memperjuangkan dana tersebut yang seharusnya
berdasarkan fungsi pengawasan DPR, anggota DPR berperan untuk
mengawasi kebijakan dan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan oleh
pemerintah. Menurut Jimly Asshiddqie dalam bukunya, kewenangan DPR
dalam melakukan pengawasan yaitu pengawasan terhadap pelaksanaan
kebijakan, pengawasan terhadap kinerja pemerintahan dan pengawasan
terhadap penganggaran dan belanja negara.20
Praktik dana aspirasi, DPR
terlibat langsung sebagai pelaksana kebijakan dan penganggaran belanja
negara. Lantas bagaimana fungsi pengawasan DPR dapat berjalan dengan
optimal jika pengawasan yang dilakukan berbenturan dengan objek yang
diawasinya, seperti dana aspirasi.
Kedua, Majelis Hakim berpendapat DPR sebagai salah satu lembaga
perwakilan selain DPD, dalam mekanisme pengisian anggota DPR dipilih
seluruhnya melalui pemilihan umum melalui partai politik yaitu berdasarkan
sistem perwakilan perorangan (people representative). Karena itu jumlah
anggota DPR dari setiap daerah adalah proporsional sesuai jumlah
penduduknya. Secara konseptual keterwakilan anggota DPR dalam lembaga
menitikberatkan untuk menyuarakan kepentingan nasional dengan tidak
mengabaikan daerah yang diwakilinya, sedangkan untuk memberikan tempat
bagi wakil daerah-daerah dalam lembaga perwakilan tingkat nasional untuk
mengakomodir dan memperjuangkan kepentingan daerahnya terdapat DPD
sebagai lembaga perwakilan untuk mengakomodirnya. Dengan demikian
sistem perwakilan DPD adalah bersifat regional representative, sehingga
20 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,
(Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007) h. 163.
68
pada hakikatnya keterwakilan dari anggota DPD adalah merupakan wakil
daerah di tingkat nasional. Sistem perwakilan rakyat di Indonesia
keanggotaan DPR adalah representasi seluruh rakyat Indonesia secara
proporsional melalui partai politik (political representative), sedangkan DPD
sebagai representasi dari daerah di seluruh wilayah Indonesia (regional
representative) yang jumlah anggotanya sama banyaknya untuk setiap
provinsi. Untuk itulah lembaga perwakilan tidak saja dapat melambangkan
semua kekuatan sosial politik masyarakat, tapi juga mampu menyalurkan
aspirasi masyarakat dan menerjemahkannya menjadi kebijakan-kebijakan
yang berpihak kepada masyarakat.
Perwakilan merupakan sifat yang hakiki dari sistem demokrasi modern.
Di dalam badan perwakilan itulah wakil-wakil rakyat diorganisir untuk
mengambil peran dalam merepresentasikan kedaulatan rakyat. Untuk itulah
DPR sebagai lembaga perwakilan memiliki tugas untuk menyerap aspirasi
masyarakat. Anggota DPR yang dipilih oleh pemilih di suatu daerah
pemilihan memiliki kedekatan dan tanggung jawab politik terhadap
pemilihnya di daerah pemilihannya. Melalui kedekatan politik, anggota DPR
telah mengetahui dan memahami permasalahan dan kebutuhan di daerah
pemilihannya, sedangkan tanggung jawab politik anggota DPR memiliki
keterikatan dan hubungan baik langsung maupun tidak langsung kepada
pemilih yang telah memilihnya di daerah pemilihannya.
Jika melihat pendapat hakim yang menyatakan “Secara konseptual
keterwakilan anggota DPR dalam lembaga menitikberatkan untuk
menyuarakan kepentingan nasional dengan tidak mengabaikan daerah yang
diwakilinya, sedangkan untuk memberikan tempat bagi wakil daerah-daerah
dalam lembaga perwakilan tingkat nasional untuk mengakomodir dan
memperjuangkan kepentingan daerahnya, terdapat DPD sebagai lembaga
perwakilan untuk mengakomodirnya. Dengan demikian sistem perwakilan
DPD bersifat regional representative, sehingga pada hakikatnya keterwakilan
dari anggota DPD adalah wakil daerah tingkat nasional”. Menurut penulis,
pendapat majelis hakim tersebut tidak sesuai dengan Pasal 80 Huruf J
69
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyarawatan,
Dewan Perwakilan Rakyat yang berbunyi “mengusulkan dan
memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihannya”. Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. DPR sebagai
lembaga perwakilan memiliki kedekatan dan tanggung jawab politik terhadap
daerah pemilihannya, sesuai dengan pendapat majelis hakim yang
menyatakan “Untuk itulah DPR sebagai lembaga perwakilan memiliki tugas
untuk menyerap aspirasi masyarakat. Anggota DPR yang dipilih oleh pemilih
di suatu daerah pemilihan memiliki kedekatan dan tanggung jawab politik
terhadap pemilihnya di daerah pemilihannya. Melalui kedekatan politik,
anggota DPR telah mengetahui dan memahami permasalahan dan kebutuhan
di daerah pemilihannya, sedangkan tanggung jawab politik anggota DPR
memiliki keterikatan dan hubungan baik langsung maupun tidak langsung
kepada pemilih yang telah memilihnya di daerah pemilihannya”.
Menurut peneliti Majelis Hakim tidak konsisten atau inkonsistensi
dalam menentukan lembaga mana yang harus memperjuangkan suara untuk
daerah pemilihan. Majelis Hakim mengutarakan juga bahwa terdapat lembaga
DPD yang pada hakikatnya dapat memperjuangkan aspirasi daerah pemilihan,
tetapi DPD tidak memiliki fungsi yang sama seperti DPR, seperti sifat
keterwakilan DPD dalam membentuk Undang-Undang. DPD dapat hanya
dapat mengajukan rancangan Undang-Undang yang diserahkan kepada DPR,
yang mana nantinya DPR yang menetapkan Undang-Undang tersebut. DPR
dan DPD dalam Proses penyusunan APBN diatur di dalam Pasal 174
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa DPR
menerima dan menindaklanjuti pertimbangan tertulis mengenai rancangan
undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan pajak, pendidikan dan agama yang disampaikan oleh DPD sebelum
memasuki tahap pembahasan antara DPR dan Presiden.21
Pasal 265 Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 menyatakan salah satu alat kelengkapan DPD
21
Mei Susanto, “Hak Budget DPR dalam Pengelolaan Keuangan Negara”, Jurnal Rechts
Vinding, Vol. 5 No. 2, Agustus 2016, h. 194.
70
adalah adanya panitia kerja yang bertugas melakukan pembahasan dan
penyusunan pertimbangan DPD mengenai rancangan undang-undang APBN,
pertimbangan secara tertulis diberikan kepada DPR. Pasal 71 Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 menyatakan bahwa DPR berwenang untuk
memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang APBN.
Menurut peneliti berdasarkan uraian tersebut bahwasanya kedudukan DPD
dalam penyusunan Undang-Undang APBN relatif terbatas dibandingkan
dengan DPR dan kedudukan DPD sebagai perwakilan daerah tidak dapat
berkontribusi aktif dalam penyusunan APBN termasuk di dalam proses
pengalokasian dana aspirasi.
Dana pembangunan ini DPR meminta anggaran senilai 20M perkursi
dan apabila dijumlahkan seluruh anggota DPR anggaran dana aspirasi
mencapai 11,2 triliun rupiah. Inilah yang menjadi akar permasalahan,
ditambah lagi ketika Majelis Hakim berpendapat bahwasanya anggota DPR
tak bisa terlepas dari tanggung jawab moril atas dapil yang telah
mengusungnya, menurut peneliti disinilah kedudukan DPR sebagai political
representative sudah pasti terciderai karena DPR sebagai political
representative yang berarti keterwakilan dari seluruh rakyat Indonesia, hal ini
sesuai dengan teori mandate representatif yang dikemukakan oleh Goorge
Jellinek yaitu suatu mandate yang diberikan kepada wakil untuk bergabung
dalam suatu lembaga perwakilan (parlemen). Rakyat memilih dan
memberikan mandate pada lembaga perwakilan (parlemen), sehingga wakil
sebagai individu yang tidak memiliki tanggung jawab dengan yang
diwakilinya. Lembaga perwakilan (parlemen) inilah yang akan bertanggung
jawab terhadap masyarakat.22
Majelis Hakim berpendapat bahwa DPR mempunyai tanggung jawab
politik terhadap daerah pemilihannya, namun di dalam pendapat lainnya
Majelis Hakim juga berpendapat bahwa DPR merupakan political
representative atau perwakilan seluruh masyarakat Indonesia yang hakikatnya
22
Abu Daud Busroh, Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010) h. 69.
71
harus memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat selain daerah pemilihannya.
Menurut peneliti, dari dua pendapat Majelis Hakim tersebut bahwasanya
Majelis Hakim secara tidak langsung memaparkan kesenjangan antara Das
Sein & Das Sollen yang sejatinya dalam impelementasinya justru menggerus
sifat pembangunan desentralisasi atau merata yang sedang kita gunakan saat
ini.23
Ketiga, menurut pemohon, saat ini belum ada aturan jelas mengenai
mekanisme penyerapan aspirasi dalam hubungan antara anggota lembaga
perwakilan dengan konstituen yang diwakilinya, namun menurut Mahkamah
hubungan demikian tidak dapat dikatakan inkonstitusional. Ada konstruksi
politik bawah melalui pemilu hubungan antara pemilih dengan calon anggota
DPR yang dipilih digambarkan sebagai kontrak politik yang langsung
ataupun tidak langsung mengikat pemilih dengan anggota DPR yang
dipilihnya. Benturan antara kepentingan daerah pemilihan dengan
kepentingan nasional seharusnya tidak pernah ada, karena daerah pemilihan
di seluruh Indonesia adalah bagian dari kepentingan nasional itu sendiri.
Menurut Mahkamah, bahwa anggota DPR mempunyai kewajiban untuk
memperjuangkan kepentingan rakyat di daerah pemilihannya, namun hal itu
tidaklah berarti bahwa anggota DPR hanya semata-mata memperjuangkan
kepentingan di daerah pemilihannya saja karena hakikat anggota DPR adalah
mewakili rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Peneliti disini setuju dengan pendapat yang dinyatakan oleh pemohon
yaitu belum ada aturan jelas mengenai mekanisme penyerapan aspirasi dalam
hubungan anggota lembaga perwakilan dengan konstituen yang diwakilinya.
Karena di dalam Peraturan DPR Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Tata Cara
Pengusulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan. Peraturan DPR
tersebut hanya menjelaskan mengenai tata cara pengusulan program dan
pembahasan program pembangunan, dan tidak adanya penjelasan bagaimana
mekanisme penyerapan aspirasi di daerah pemilihan. Seharusnya Majelis
23
Effendi Bachtiar. Pembangunan Daerah Otonomi Berkeadilan, (Yogyakarta: Kurnia Kalam
Semesta, 2002) h. 2.
72
Hakim lebih berpandangan luas dalam memperhatikan dasar hukum praktik
dana aspirasi ini, karena sama sekali tidak diatur mengenai mekanismenya.
Menurut pandangan peneliti hal tersebut akan menimbulkan suatu
kesewenang-wenangan yang akan dilakukan oleh anggota DPR dalam
menyerap aspirasi, menurut Albert Venn Dicey, salah satu unsur yang
terdapat dalam rule of law adalah supremasi hukum serta tidak adanya
kesewenang-wenangan tanpa aturan yang jelas.24
Keempat, Majelis Hakim berpendapat terkait dengan dana aspirasi yang
menjadi akar permasalahan dalam permohonan a quo, menurut Mahkamah
adalah permasalahan implementasi dari norma Pasal 80 Huruf J UU 17/2014,
yang bukan merupakan permasalahan konstitusional yang menjadi
kewenangan Mahkamah untuk mengadilinya. Implementasi dari hak
mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan
seharusnya memikirkan pula keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, dan
jangan sampai mempertajam kesenjangan pembangunan daerah, karena
alokasi kursi DPR kepada setiap provinsi tidak dilakukan berdasarkan prinsip
kesetaraan keterwakilan (equal representation) dan besaran daerah pemilihan
bukan single-member constituency (satu kursi untuk setiap Dapil), melainkan
multi-member constituency (satu Dapil untuk beberapa kursi). Pertimbangan-
pertimbangan demikian seharusnya menjadi kebijakan pembuat Undang-
Undang demi mewujudkan tujuan nasional yang diamanatkan UUD 1945.
Menurut peneliti pendapat Majelis yang menyatakan menolak perkara
dengan dalih hanya kesalahan dalam implementasi dan tidak memperhatikan
secara yuridis Pasal 80 Huruf J Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
Tentang Majelis Permusyarawatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat yang telah berlaku
dan berpotensi menimbulkan kerugian di daerah timur seperti Papua dan
Papua Barat dan tidak menutup kemungkinan juga terjadi di daerah-daerah
lainnya. Berangkat dari pemikiran Roscoe Pond yaitu Law as Tool Of Social
24 Sudikno Merto Kusomo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2007)
h. 28.
73
Engineering atau hukum sebagai alat rekayasa sosial25
, menurut peneliti
seharusnya Majelis Hakim mencabut Pasal 80 Huruf J Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 karena anggota DPR telah melakukan kesalahan atas
adanya landasan yuridis tersebut dan nantinya angota DPR akan berhenti
dalam melakukan kesalahan atas hilangnya landasan yuridis. Dan itulah
merupakan dasar upaya untuk tidak mempertajam kesenjangan dalam
pembangunan dan menjunjung tinggi pemerataan pembangunan yang
desentralistik karena menurut Prof. Yusril Ihza Mahendra yaitu ketika
membenarkan sistem yang sentralistik, maka kita akan membunuh sistem
yang lebih parsitipatif.
Seharusnya dalam hal ini Majelis Hakim tidak berpandangan sempit,
alasan penolakan Majelis Hakim membuat ragu untuk menentukan manakah
yang sebenarnya sebagai lembaga perwakilan pusat ke daerah sebagai
penyerap aspirasi untuk program pembangunan. Menurut peneliti, banyak
cara untuk mengajukan permohonan dana dari pusat ke daerah, salah satunya
adalah dana desa yang telah ditetapkan APBN Tahun 2019 sebesar Rp. 70
Triliun. Rincian dana desa di dalam APBN dialokasikan kesetiap daerah
kabupaten/kota secara merata dan berkeadilan berdasarkan alokasi dasar,
alokasi afirmatif dan alokasi formula. Pengalokasian dana desa tersebut
sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 199/PMK.07/2017
Tentang Tata Cara Pengalokasian Dana Desa Setiap Kabupaten/Kota dan
Perhitungan Rincian Dana Desa Setiap Desa. Seharusnya dengan adanya dana
desa, tidak perlu lagi menciptakan dana desa yang baru yaitu dana aspirasi di
dalam Pasal 80 Huruf J Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, DPR dapat
menyerap aspirasi masyarakat secara maksimal dengan memperjuangkan
dana desa di dalam RAPBN.
25
Munir Fuadi, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, (Jakarta: Kencana Prennamdeia Group, 2013) h. 248.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengakhiri
pembahasan dalam skripsi ini, peneliti memberikan kesimpulan sebagai
berikut:
1. Pengalokasian dana aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat tidak mencerminkan
asas keadilan rakyat dalam pengalokasian dana, di dalam dana aspirasi dapat
menimbulkan ketidakadilan dalam pembangunan karena pengalokasian dana
tersebut berdasarkan daerah pemilihan yang jumlah kursi dapil dalam
pemilu legislatif tidak sama. Dana aspirasi dialokasikan berdasarkan jumlah
kursi di daerah pemilihan, Provinsi Jawa akan mendapatkan dana aspirasi
paling besar dibandingkan provinsi lainnya yaitu sebesar Rp.
5.100.000.000.000 (lima triliun seratus miliar rupiah). Provinsi Sumatera
mendapatkan dana aspirasi sebesar Rp. 1.220.000.000.000 (satu triliun dua
puluh dua miliar rupiah). Provinsi Sulawesi mendapatkan dana aspirasi
sebesar Rp. 780.000.000.000 (tujuh ratus delapan puluh miliar rupiah).
Provinsi Kalimantan mendapatkan dana aspirasi sebesar Rp.
700.000.000.000 (tujuga ratus miliar rupiah). DKI Jakarta mendapatkan
dana aspirasi sebesar Rp. 420.000.000.000 (empat ratus dua puluh miliar
rupiah). Provinsi Banten mendapatkan dana aspirasi sebesar Rp.
440.000.000.000 (empat ratus empat puluh miliar rupiah). Lampung
mendapatkan dana aspirasi sebesar Rp. 360.000.000.000 (tiga ratus enam
puluh miliar rupiah) Dan Provinsi Papua dan Papua Barat mendapatkan
dana aspirasi sebesar Rp. 260.000.000.000 (dua ratus enam puluh miliar).
2. Pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor
106/PUU-XIII/2015 terdapat inkonsistensi. Majelis Hakim inkonsisten
dalam menentukan lembaga mana yang harus memperjuangkan suara untuk
daerah pemilihan. Ketika Mejelis Hakim mengutarakan juga bahwa terdapat
lembaga DPD yang pada hakikatnya dapat memperjuangan aspirasi daerah
76
pemilihan, tetapi DPD tidak memiliki fungsi yang sama seperti DPR. DPR
dan DPD dalam proses penyusunan APBN diatur di dalam Pasal 174
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa DPR
menerima dan menindaklanjuti pertimbangan tertulis mengenai rancangan
undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama yang disampaikan oleh DPD
sebelum memasuki tahap pembahasan antara DPR dan Presiden.
B. Rekomendasi
Dari hasil penelitian, maka peneliti memberikan rekomendasi sebagai berikut:
1. Hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat di dalam Pasal 80 Huruf J Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 yaitu mengusulkan dan memperjuangkan
program pembangunan daerah pemilihan, sebaiknya dinyatakan
bertentangan dengan Undang-Undang 1945 dan dinyatakan tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat karena di dalam penggunaan dana aspirasi masih
banyak problematika dan masih belum jelasnya mekanisme penyerapan
aspirasi yang mudah untuk disalah gunakan oleh anggota DPR.
2. Dewan Perwakilan Rakyat baiknya dapat mengefektifkan program-program
penyerapan aspirasi di dalam pembangunan yang sesuai berasaskan
Perundang-Undangan yaitu melalui Musyawarah Perencanaan
Pembangunan yang telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
77
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Aripin, Jaenal, Metode Penelitian Hukum.
Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010
Akbar, Patrialis, Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945,
Jakarta: Sinar Grafika, 2013
Aripin, Jaenal, Peradilan Agama dalam Bikai Reformasi Hukum di Indonesia,
Jakarta: Prenada. 2012
Arsil, Fitra, Teori Sistem Pemerintahan Pergeseran Konsep dan Saling Kontribusi
Antar SIstem Pemerintahan Di Berbagai Negara, Depok: PT. Raja
Grafindo, 2017
Ashiddiqe, Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Negara Pasca Reformasi,
Jakarta: Sinar Grafika, 2010
_____., Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2010
_____., Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: PT. RajaGarafindo Persada,
2009
_____., Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta:
Buana Ilmu, 2007
Atma Sasmita, Romli, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung: PT.
Eresco, 2004
Azhary, Tahir, Negara Hukum Indonesia, Jakarta: UI-Press, 1995
Bachtiar. Effendi, Pembangunan Daerah Otonomi Berkeadilan, Yogyakarta:
Kurnia Kalam Semesta, 2002
Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1997
Daman, Rozikin, Hukum Tata Negara, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993
Daud Busroh, Abu, Ilmu Politik, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010
78
Djaja, Ermasjah, Memberantas Korupsi Bersama KPK Edisi Kedua, Jakarta: Sinar
Grafika, 2010
Djiwantono, Soedjati, Setengah Abad Negara Pancasila, Jakarta: Centre For
Strategic and Internasional Studies (CSIS), 1955
DJuyandi, Yusa, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: Rajawali Pers, 2017
Efriza, Ilmu Politik, Bandung: Afabeta, 2013
Fuadi, Munir, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Jakarta:
Kencana Prennamdeia Group, 2013
_____, Teori Negara Hukum Modern, Bandung, Refika Aditama, 2009
Gaffar, Afan, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2006
Goesnia Dhie, Kusnu, Harmonisasi dalam Perspektif Perundang-Undangan,
Surabaya, Lex Spesialis Malalah, 2006
Gunawan, Markus, Buku Pintar Calon Anggota & Anggota Legislatif (DPR,
DPRD & DPD), Jakarta, Transmedia Pustaka, 2008
HR, Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2006.
Huda, Ni’matul, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, Yogyakarta:
UII Press, 2005
Izha Mahendra, Yusril, Dinamika Tata Negara Indonesia, Jakarta: Gema Insani
Press, 1996
Johan Nasution, Bahder, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung:
Mandar Maju, 2013
Kansil, C.S.T dan Kansil, Christine S.T, Hukum Tata Negara Republik Indonesia
2, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003
Kusnardi, Moh dan Ibrahim, Harmaily, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI,
1983
Kusnardi, Moh, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Sinar Bakti. 1987
Librayanto, Romi, Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia,
Makassar: Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial, 2008
79
Manan, Bagir, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara,
Bandung: Mandar Maju, 1995
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008
MD, Moh Mahfud, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: PT.
Renika Cipta, 2001
Merto Kusomo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta:
Liberti, 2007
Muhamad, Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2004
Mulyosudarmo, Suwoto, Peralihan Kekuasaan (Kajian Teoritis dan Yuridis
terhadap Pidato Nawaksara), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997
Natabaya, H. A. S, Menajaga Denyut Konstitusi, Refleksi Satu Tahun Mahkamah
Konstitusi, Jakarta: Konstitusi Press, 2004
Sanit, Arbi, Perwakilan Politik di Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali, cet. Ke-1,
1985
Sihaan, Maruar, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Edisi 2,
Jakarta: sinar Grafika, 2012
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia
Press, 2007
Soekarno, F. X, Badan Legislasi DPR RI, Jakarta: Badan Legislasi DPR RI, 2009
Sri. M, Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung:
Alumni, 1992
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 2007
Supranto, J, Metode Hukum dan Statistik, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003
Thamrin, Abu dan Ihya, Nur Habibi, Hukum Tata Negara, Jakarta: Lembaga
Peneliti Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010
Wasistiono, Sadu, Kapita Selekta Penelenggaraan Pemerintahan Daerah,
Bandung: Fokusmedia, 2003
80
Weissberg, Robert, Understanding American Government, New York: Holt
Reinhart and Winston, 1979
Yuswanto, Hukum Desentralisasi Keuangan, Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2012
B. JURNAL
Asmawi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dalam Perundang-Undangan
Pemerintah Daerah dan Lembaga Legislatif Daerah, Jurnal Cita Hukum,
Vol. 2 No. 1, Juni 2014
D. Lancaster, Thomas Electoral Structures and Pork Barrel Politics, International
Political Science Review, Vol. 7 No. 1, Januari 1986
Direktorat Jendral Anggaran Kementrian Keuangan, Dana Aspirasi Dewan
Perwakilan Rakyat Indonesia, Jurnal DIrektorat Jendral Kementrian
Keuangan, 2015
Enang, Koko, Dana Aspirasi DPR RI Dalam Perspektif Perencanaan
Pembangunan Nasional, Vol. 13 No. 2, Juli 2011. H. 129
Hendro Nazthalico Jabocus, Arthika Fungsi DPR dalam Melaksanakan Fungsi
Pengawasan di Bidang Tertentu terhadap Bank Indonesia, Lex
Administratum, Vol . 1 No. 1, 2013
Lesmana, Teddy, Politik Pork Barrel dan Kemiskinan, Penelitian Ekonomi LIPI
dan Forecast Indonesia Scholar di University of Maryland at College Park
Amerika Serikat, Juni 2010
Marlina, Rina, Pembagian Kekuasaan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Di
Indonesia, Jurnal Daulat Hukum, Vol. 1 N0. 1, Maret 2018
Rahmatullah, Indra, Rejuvinasi Sistem Checks and Balances dalam sistem
ketatanegaraan di Indonesia, Jurnal Cita Hukum Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vol. 1 No. 2, September 2017
Susanto, Mei Kedudukan Dana Aspirasi Dewan Perwakilan Rakyat dalam
Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Faculty Of Law
Universitas Islam Indonesia, Vol. 24 no. 2, April 2017
Susanto, Mei, Hak Budget DPR dalam Pengelolaan Keuangan Negara, Jurnal
RechtsVinding, Vol. 5 No. 2, Agustus 2016, h. 194
Termorshuizen, Marjanne, The Consept Rule Of Law, Jurnal Jentera Hukum, Edisi
3 Tahun II, 2004
81
Tsubura, Machiko, The Politics of Constituency Development Funds (CDFs) in
Comparative Perspective, Jurnal Annual Meeting of the American Political
Science Association,
C. INTERNET
https://news.detik.com/berita/2950741/cerita-sby-tolak-dana-aspirasi-dpr-karena-
dimarahi-rakyat-5-tahun-lalu. Cerita SBY Tolak Dana Aspirasi DPR
http://www.dpr.go.id/tentang/hak-dpr, Sejarah Terbentuknya Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia
http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/10535, Usulan Program Pembangunan
Daerah Pemilihan Amanat UU MD3
http://www.cnnindonesia.com/politik/20150624162656-32-62133/jokowi-tak-
setuju-dana-aspirasi-dpr-rp-11-triliun/. Jokowi Tak Setuju Dana Aspirasi DPR RP
11 T
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt537eb7aa3b3cf/mk-pangkas-
kewenangan-badan-anggaran-dpr/. MK Pangkas Kewenangan Badan Anggaran
DPR
https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_legislatif_Indonesia_2014.
Pemilihan Umum Legislatif Indonesia 2014
https://www.kpk.go.id/id/statistik/penindakan/tpk-berdasarkan-jenis-perkara. TPK
berdasarkan jenis perkara
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58be9c4bba2ba/dpr-terkorup-dalam-
survei-persepsi-masyarakat-2017/. DPR lembaga terkorup berdasarkan survey
persepsi masyarakat 2017
https://www.tribunnews.com/nasional/2012/01/27/kronologi-awal-kasus-hingga-
wa-ode-ditahan?page. Kronologi Awal Kasus Hingga Wa Ode Ditahan