Pengenalan tentang suku mee gagian ii

21
PENGENALAN TENTANG SUKU MEE DI PEDALAMAN PAPUA I. Nama dan Bahasa a. Nama Suku Masyarakat Paniai menyebut dirinya sebagai Suku Mee atau sering di sebut juga Ani Mee atau Ani Makodo Mee. Sebutan ini membedakan sebutan dari luar suku yaitu Suku Moni yang biasanya menyebut Suku Mee dengan sebutan Suku Ekagi atau Ekari. Dan orang Pantai dalam hal ini Suku Kamoro yang menyebut Suku Mee Kapauku (Orang Gunung). Kedua sebutan ini, secara umum tidak diterima oleh Suku Mee, karena berkonotasi negatif 1 . Suku Mee terdiri dari kurang lebih 136 marga/fam. Marga atau fam inilah yang mendiami seluruh wilayah Paniai secara umum. Manusia Mee artinya “Manusia sejati”. b. Bahasa Bahasa yang dipakai sebagai alat komunikasi sehari-hari adalah bahasa Mee. Namun dalam pemakain gaya bahasanya mengikuti tiga dialeg besar yaitu : Dialeg Mapiah, Dialeg Tigi dan Kamuu, serta Dialeg Paniai (Enagotadi). 1 Bdk., Koentjaraningrat dkk, Irian Jaya membangun masyarakat majemuk., ( Djambatan 1992), hal 245.

Transcript of Pengenalan tentang suku mee gagian ii

Page 1: Pengenalan tentang suku mee  gagian ii

PENGENALAN TENTANG SUKU MEE DI PEDALAMAN PAPUA

I. Nama dan Bahasa

a. Nama Suku

Masyarakat Paniai menyebut dirinya sebagai Suku Mee atau sering di sebut juga Ani Mee atau

Ani Makodo Mee. Sebutan ini membedakan sebutan dari luar suku yaitu Suku Moni yang biasanya

menyebut Suku Mee dengan sebutan Suku Ekagi atau Ekari. Dan orang Pantai dalam hal ini Suku

Kamoro yang menyebut Suku Mee Kapauku (Orang Gunung). Kedua sebutan ini, secara umum

tidak diterima oleh Suku Mee, karena berkonotasi negatif 1.

Suku Mee terdiri dari kurang lebih 136 marga/fam. Marga atau fam inilah yang mendiami seluruh

wilayah Paniai secara umum.

Manusia Mee artinya “Manusia sejati”.

b. Bahasa

Bahasa yang dipakai sebagai alat komunikasi sehari-hari adalah bahasa Mee. Namun dalam

pemakain gaya bahasanya mengikuti tiga dialeg besar yaitu : Dialeg Mapiah, Dialeg Tigi dan

Kamuu, serta Dialeg Paniai (Enagotadi).

Misalnya : Sapaan Kata Selamat: Orang Mapiah menyebut Koha, Orang Kamuu dengan Tigi

menyebut Koha dan Orang Paniai (Enagotadi) menyebutnya koya “Amanai.”2

1 Bdk., Koentjaraningrat dkk, Irian Jaya membangun masyarakat majemuk., ( Djambatan 1992), hal 245.2 Ibid.,

Page 2: Pengenalan tentang suku mee  gagian ii

II. Pengenalan Letak Geografis3

a. lokasi

Suku Mee mendiami jatung pulau Papua yang berbentuk burung Mambruk ini. Dan tempat

kediamannya secara umum disebut Paniai. Kini daerah ini terdiri dari tiga Kabupaten yaitu :

Kabupaten Paniai (Enagotagi), Kabupaten Deyai (Wakeitei/Waghete), dan Kabupaten Dogiyai

(Moanemani). Daerah Paniai memimiliki tiga danau besar yaitu : Danau Paniai, Danau Tage, dan

Danau Tigi. Ketiga danau ini, terletak di Kabupaten Paniai dan Kabupaten Deyai. Sedangkan di

Kabupaten Dogiyai terdapat juga dua Danau Kecil yaitu : Danau Makomo dan Danau Pekawagi.

Kedua danau inilah yang mengiri sepajang Lembah Kamuu sampai di Kali Uta Kokonau Kabupaten

Mimika.

Secara agraris pusat daerah Kabupaten Dogiyai adalah daerah yang subur. Karena letak wilayah

ini pada umumnya lembah yang dikelilingi oleh perbukitan dan gunung yang tinggi. Dan sering di

kenal dengan sebut Lembah Kamuu Yang Hijau (Kamuu Green Valley). Sedangkan Kabupaten Paniai

dengan Kabupaten Deiyai memiliki daerah yang terdiri dari perbukitan dan pegunungan. Dan

merupakan tempat hunian masyarakat. Dan secara agraris kedua daerah ini “kurang subur”.

Untuk menempuh ketiga kabupaten ini, biasanya ditempuh dengan menggunakan Transportasi

Darat dan Transportasi Udara.

Perbatasan berdasarkan letak geografis Suku Mee menunjukan, bahwa di wilayah Paniai bagian

Timur berbatasan dengan Suku Moni. Sedangakan bagian Barat berbatasan dengan Suku Kamoro

(Mimika). Dan bagian Selatan berbatasan dengan Suku Amungme (Agimuga), bagian Utara

berbatasan dengan salah satu suku asli Nabire/pesisir pantai yang biasanya orang mee menyebutnya

dengan istilah orang buna (Nabire).

Dearah Suku Mee merupakan wilayah pelayanan kegerejaan Keuskupan Timika, yang di bagi

dalam dua Dekenat yakni Dekenat Paniai dan Dekenat Kamuu-Mapiah. Dekenat Paniai membawai 9

paroki. Sedangkan Dekenat Kamuu-Mapiah membawai 6 paroki, 4

Daerah Suku Mee merupakan basis pekabaran Injil bukan hanya Agama Katolik, melainkan

Agama Kristen Protestan (Gereja Kingmi Injili). Kedua agama ini mejadi mayoritas di seluruh daerah

Suku Mee.

3 Ibid., 246.4 Hasil wawancara bersama saudara Rinto Dumatubun asal keuskupan Timika, di wisma Tiga Raja, tgl 22-09-2011.

Page 3: Pengenalan tentang suku mee  gagian ii

III. Sistem mata pencarian tradisional

Mata pencarian orang Mee yang pokok adalah bercocok tanam di ladang. Mereka mengenal

sistim pembagian kerja antara wanita, pria, dan anak-anak, dalam kegiatan-kegiatan social seperti

berladang, berburu, mengasuh anak, dan mengatur ekonomi rumah tangga.

Pembagian kerja ini Nampak dari cara mengerjakan kebun, yang mula-mula dilakukan

oleh pria ( yaitu pekerjaan membersihkan alang-alang, menebang pohon, membakar belukar,

batang-batang, serta dahan-dahan kering, dan menggali parit sekeliling lahan ). Kemudian kaum

wanita mengumpulkan sisa-sisa kayu, yang mereka bawa pulang untuk kayu bakar, mencungkil

tanah dengan sekop, dan menanam beberapa jenis tanaman untuk makanan pokok mereka, yaitu

nota,( ubi rambat/jalar ).

Di samping memelihara babi ( Ekina ), orang Mee juga berburu kuskus pohon (Woda)

dan kuskus tanah serta jenis-jenis hewan liar seperti babi hutan, burung kasuari, mambruk, maleo,

dan jenis-jenis binatang lainnya.

Orang Mee juga menangkap ikan dan udang di danau dan sungai. Pekerjaan ini mereka

lakukan pada pagi, sore, dan malam hari dengan menggunakan (ebai), yang mereka benamkan di

dasar danau selama dua-tiga jam, bahkan bermalam.

Peralatan berburu orang Mee terdiri dari parang ( Mawai ), panah ( ukaa ), dan jerat

pohon, dan di samping itu mereka juga dibantu oleh anjing untuk memburu binatang buruannya.

Dengan ilmu gaib mereka mengharapkan dapat memanggil dan menangkap binatang. Orang Mee

menagkap kuskus pohon dengan cara memasang semacam perangkap di atas dahan yang selalu

dilalui oleh binatang tersebut.5

5 Koentjaraningrat dkk., Op cit., hal 247-248.

Page 4: Pengenalan tentang suku mee  gagian ii

IV. Organisasi Sosial

a. Perkawinan

Perkawinan menurut masyarakat suku Mee adalah ikatan lahir batin antara pria dan

wanita atau suami dan isteri hingga mati. Dengan bertujuan untuk membentuk suatu rumah tangga

yang bahagia berdasarkan nilai hidup yang dimiliki oleh suku Mee. Untuk mempertahankan dan

meneruskan warisan menurut kebapaan, karena system keluarga suku Mee ialah partilinear

(hubungan melalui system garis pria atau yang disebut Bapak ). Menurut pandangan suku Mee,

secara khusunya perkawinan adalah mengadakan atau memberi dan menerima harta maskawin

dalam bahasa Mee disebut Mege Makii dengan Kulit biah dan dedege.6

Rumah tangga orang Mee biasanya terdiri dari suatu keluarga luas. Ada keluarga inti

senior dengan beberapa keluarga yunior, yaitu keluarga inti anak pria 1-2 keluarga inti uxorial dari

menantu, atau keuarga uxorilokal senior dari isteri saudara tua pria ayah. Dengan demikian suatu

rumah tangga kadang-kadang terdiri dari 3-4 keluarga inti.7

b. Keluarga inti dan rumah tangga

Dasar masyarakat Mee adalah keluarga inti monogam. Dalam masyarakat ini tampak gejala

bahwa keluarga inti hanya terdiri dari seorang ibu serta anak-anaknya saja. Keluarga matrifokal yang

banyak terdapat dalam masyarakat Mee agaknya disebabkan karena kaum prianya banyak merantau.

Pada umumnya, tujuan daripada seorang pria merantau tersebut tidak lain adalah, untuk mencari

nafkah/kebutuhan hidup bagi keluarganya. Memang banyak rencana atau tujuan dari seorang

pria/sebagai bapa dalam merantau, namun semuanya demi kelangsungan hidup. Apa saja yang ia

dapat di sana, entah kus-kus (Woda), Mege/dedege, dll.tersebut bila ada kelebihannya, maka ia tetap

pergi menjualnya atau berbisnis di daerah-daerah lain, mis, ia pegi menjual dalam keluaga,

tetangganya (ke Kamuu, Mapiah, Paniai: Enarotali-Obano, bahkan sampai diNabire dan Jayapura).

6 Aprianus Iyai., Makalah Mengenai Perkawinan suku Mee, jayapura 2008.7 Bdk., Koentjaraningrat., Ibid., hal.248.

Page 5: Pengenalan tentang suku mee  gagian ii

c. Pemimpin Masyarakat

Pemimpin masyarakat Mee yang dipilih oleh pemerintah yakni Ondowafi, sedangkan pimpinan

adat disebut Tonowi/Tonawi. Berbagai faktor menentukan apakah ondowafi atau tonowi yang lebih

dominan. Seorang Tonowi akan memperoleh dukungan yang lebih besar apabila ia memiliki ciri-ciri

yang disenangi oleh penduduk. Kewibawaannya biasanya tinggi apabila ia kaya, memiliki banyak

babi dan tanah garapan, beristeri lebih dari satu, ramah, pandai berbicara dan berpidato, dan suka

menolong orang lain. Sedangkan Ondowafi memiliki kekuatan pada kekuasaan yang dipaksakan

kepada penduduk dengan dukungan yang diperolehnya dari atas.8

V. ( Religi )

a. Sistem Kepercayaan Akan Allah

Masyarakat Suku Mee, mengakui dan meyakini adanya Allah baik sebelum dan sesudah adanya

agama sejarah. Sebelum adanya agama mereka menyebut Allah sebagai : Wado-ME (Yang Atas)/

Menaka-Mee ( Bapa Semua Manusia)/ Mepoya-mee (bapa yang kudus). Setelah adanya agama

disebut Ugata-Me (Allah Pencipta), sedangkan Meyiwi (Roh Kudus). Dan Yesus di sebut Menaka9.

Suku Mee dalam budayanya menghayati agama asli yang terdapat didalamnya hukum-hukum

Allah dalam Kitab Touyemana/ Touyekapogoye ( lembaran sabda/ lembaran kehidupan). Hukum-

hukum Allah dalam kitab tersebut lebih dari sepuluh hukum yang terdapat dan di dalam ajaran

Kristiani.

8 Ibid., hal. 249.9 Hasil wawancara bersama saudara Anton Mote asal keuskupan Timika, bertempat di wisma Tiga Raja, tgl 15-09-2011.

Page 6: Pengenalan tentang suku mee  gagian ii

b. Upacara-upacara Daur hidup10

Upacara-upacara ini dalam semua kebudayaan di dunia dilaksanakan dalam lingkungan

rumah tangga. Orang Mee pun menyelenggarakan upacara-upacara yang dilakukan

berhubung dengan kehamilan, kelahiran bayi, perkawinan, dan kematian. Seperti dalam

banyak kebudayaan suku bangsa di dunia, masa hamil dalam masyarakat Mee juga dianggap

sebagai masa krisis. Karena itu keluarga yang bersangkutan harus hidup hati-hati dan

menaati berbagai pantangan makan, pantangan jasmaniah, pantangan rohaniah. Pada saat

seorang wanita akan melahirkan, ia diasingkan ke suatu rumah yang terpisah. Proses

kelahiran biasanya ditanggani oleh ibunya sendiri, atau oleh ibu mertuanya, dengan bantuan

seorang dukun dari keturunan Mote Umagopa. Beberapa bulan setelah bayi lahir, diadakan

upacara selamatan secara sederhana. Bayi harus mendapatkan Fam ayahnya.

VI. Kesenian

Masyarakat suku Mee memiliki beragam seni dan budaya : 1. seni rupa ( anak panah dan busur)

2. seni tari ( tarian susu dan tarian koteka) 3. seni suara (14 jenis lagu seperti ; Gowai, Tupe, Wani,

dll). 4. Seni Sastra (cerita-cerita adat dan mitos). Pesta budaya dalam suku Mee yang terkenal disebut

Pesta Yuwo. Atribut adat suku Mee adalah koteka , moge (cawat untuk perempuan), amapa

kagamapa (penutup dada), toyaagiya (noken anggrek), migabai (penutup kepala yang ukuranya

sampai di pinggang tulang belakang), yato (selimut adat untuk perempuan). 11

10 Koentjaraningrat dkk., Op Cit., hal. 251.11 Hasil wawancara bersama saudara Anton Mote asal keuskupan Timika, bertempat di wisma Tiga Raja, tgl 15-09-2011.

Page 7: Pengenalan tentang suku mee  gagian ii

VII. Pengenalan Suku Mee

a. Prinsip Hidup Suku Mee

Masyarakat Suku Mee secara umum mempunyai tiga prinsip hidup Yaitu : Dou (melihat), Yuwii

(dengar), Gai (berpikir), Ekowai (bekerja). Keempat prinsip inilah yang mendasari persiarahan

hidupnya. Atas dasar ini pula Suku Mee selalu berusaha memelihara keutuhan hidup melalui panca

relasi : aku dengan Allah, aku dengan Diriku, aku dengan sesama, aku dengan alam semesta, dan aku

dengan leluhur.

VIII. Relasi Dengan Alam Semesta

Masyarakat suku Mee mimiliki ikatan kuat dengan makro kosmos. Hal ini tidak terlepas dari

pandangan masyarakat terhadap makro kosmos itu sendiri. Masyarakat Mee memandang dan

menyebut Tanah sebagai MAMA dan hewan dan tumbuh-tumbuhan ataupun pepohonan dipandang

sebagai SAHABAT. Mereka ini adalah makluk hidup yang perlu dihargai karena diberi kenyamanan

bagi hidup kita.

Langit dipandang sebagai tahta Allah (wadoMe) dan bumi kediaman Mama (Miyome). Dalam relasi

misalnya diperlihatkan bahwa kalau masyarakat hendak melakukan perjalanan jauh, mereka pamitan

kepada langit (epa) sebagai bapa dan tanah (maki) sebagai mama agar perjalanannya selamat.

Suku Mee percaya bahwa pribadi yang memperhatikan kaidah-kaidah dalam relasi dengan alam akan

mengalami keselamatan dalam hidup. Sementara bagi mereka yang tidak menjaga relasi dengan alam

akan menuai malapetaka.

IX. Relasi Dengan Leluhur

Masyarakat suku Mee relasi dengan Leluhur merupakan salah satu unsur yang penting demi

terciptanya kehidupan yang harmonis. Relasi ini diwujudkan dalam bentuk upacara-upacara adat,

memelihara wasiat-wasiat leluhur dan melaksanakan nilai-nilai hidup yang di wariskan oleh mereka.

Masyarakat suku Mee percaya bahwa para leluhur yang baik (roh), mereka hidup di dunia

ayauwouda/teneuwoda. Mereka yang menjalankan relasi baik dengan leluhur ini akan mengalami

enaatene dan karena itu hidupnya menjadi baik. Sebaliknya mereka yang relasinya buruk dengan

leluhur akan mangalami peutene dan dengan demikian hidupnya menjadi kurang baik. Untuk hal ini

harus di atasi dengan upacara perdamaian dan perhatian terhadap amanat yang mereka sampaikan.

Dan amat itu tentunya sesuatu yang postif dan menyelamatkan.12

12Hasil wawancara bersama saudara Anton Mote asal keuskupan Timika, bertempat di wisma Tiga Raja, tgl 16-09-2011.

Page 8: Pengenalan tentang suku mee  gagian ii

X. Pendidikan

Pendidikan adat bagi suku Mee tidak diatur secara formal dalam lembaga adat, melainkan ia

berjalan sesuai dengan kebiasaannya yang sudah ada. Dalam hidupnya keluarga mendapat tempat

yang sentral dalam pembentukan nilai-nilai dan norma-norma adat. Bagi anak laki-laki dia akan

mendapatkan pendidikan dari ayahnya melalui nasehat-nasehat, keterlibatan dalam aktivitas sehari-

hari, keterlibatan dalam aktivitas sosial, dan terutama teladan hidup ayahnya. Disini tidak

mengurangi pula peran ibu dalam memperhatikan anaknya terutama pada usia pertumbuhan.

Sedangkan anak perempuan mendapatkan pendidikan dari ibunya melalui nasehat-nasehat,

keterlibatan dalam kegiatan sehari-hari, pembagian peran kerja, keterlibatan dalam kegiatan sosial,

dan terutama teladan yang ditunjukan oleh ibunya.

XI. Perubahan kebudayaan

Karena letak pemukimannya yang terapit oleh deretan-deretan pegunungan yang tinggi

dan lembah-lembah pegunungan yang dalam, maupun oleh sungai-sungai yang mengalir deras penuh

jeram-jeram, maka daerah tempat tinggal orang Mee juga penuh dengan danau-danau besar-kecil dan

rawa-rawa yang maha luas, di tenggah-tenggah hutan rimba tropik yang padat. Maka tak

mengherankan bahwa upaya eksplorasi daerah itu baru terlaksana dalam tahun 1938, danau-danau itu

di ekspedisi dibawah pimpinan F,J, Wissel dua tahun sebelumnya. Baru sejak tahun 1938 itulah

orang Mee melihat orang yang berasal dari luar daerahnya, yaitu para penyiar agama katolik

Belanda.

Pengaruh perilaku dan cara berpikir yang serba asing tentu telah menyebabkan berbagai benturan

nilai budaya. Dalam bidang agama, perubahan yang terjadi adalah bahwa masyarakat Mee sekarang

telah menjalankan syarat-syarat ibadah (Cara/aturan ibadah yang benar /sah). Dan proses

penyesuaian dengan nilai asli lambat-laun terjadi juga.

Setelah Irian Jaya menjadi bagian dari Republik Indonesia, orang Mee lebih banyak mengadakan

kontak dengan dunia luar di berbagai bidang. Orang Mee dan penduduk wilayah pantai ( Pantai

Selatan ) pada umumnya kini memeluk agama katolik dan agama kristen. Dengan pembangunan

masyarakat desa, banyak kelompok Mee yang semula masih hidup mengembara lambat-laun

berubah dan tertarik untuk bermukim secara menetap di dalam desa-desa. 13

13 Koentjaraningrat dkk., Op Cit., hal.252.

Page 9: Pengenalan tentang suku mee  gagian ii

XII. Paham Tentang Kematian14

Paham tentang kematian menurut orang Mee sejak sediakala dipahaminya sebagai suatu

peralihan dari dunia sementara yang biasanya di sebut dengan kedamakida menuju ke kehidupan

abadi di dunia roh yang biasanya di sebut dengan imoumi imoutou makiyo (tempat abadi).

Beradasarkan paham ini suku Mee berkayakinan adanya keselamatan bagi orang yang hidupnya

baik, maka bagi mereka kematian tidak perlu untuk dikawatirkan. Keyakinan ini dipertegu dengan

penyampain pesan-pesan dari roh orang mati kepada orang yang hidup setelah mengalami kematian.

Sedangkan bagi mereka yang hidupnya tidak baik di dunia kematian menjadi sesuatu yang

menakutkan karena setelah mati rohnya akan mengalami malapetaka di peuteneuwouda. Roh yang

demikian perlu adakan ritus perdamaian agar ia selamat serta keluarga yang masih hidup tidak

diganggu olehnya. Jadi, bagi orang suku Mee dunia ini adalah tempat sementara (kedaamaki) dan

dunia penentuan (enama peuma witokaida) untuk kekekalan hidup di dunia roh.

XIII. Paham Tentang Keselamatan15

Keselamaatan yang diperjuangkan oleh suku Mee adalah keselamatan kini dan

keselamatan kelak. Paham tentang keselamatan ini dihayatinya dalam dua kata yang saling

berhubungan yaitu Ayii dan Mobu. Kata ayii diistilahkan dengan selamat baik di dunia maupun di

surga. Lalu, istilah kata mobu mengandung pengertian puas, kenyang, tidak mengalami kesusahan

baik di dunia maupun kelak. Menurut orang Mee ayii dan mobu bukan sesuatu yang datang dengan

sendiri melainkan harus diperoleh melalui usaha dan perjuangan manusia. Karena itu, orang Mee

pada umumnya orang yang suka bekerja keras. Bagi orang Mee hidup ini tidak boleh santai-santai,

malas-malas, dan masa bodoh dengan tugas dan kewajiban-kewajiban karena hidup demikian akan

membuat orang menjadi daba-dabamee (orang yang/miskin kerdil). Hidup harus dijalaninya dengan

serius menjalankan tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban agar ia menjadi tonawimee, sehingga ayii

dan mobu bisa diperoleh baik di dunia ketika ia masih hidup maupun di akhirat setelah beralih ke

dunia kekal tempat roh-roh berkumpul. Akhirnya, masyarakat suku Mee menyadari bahwa Allah

(Ugata-Me) adalah sumber kehidupan (umi tou ipuwe-Me). Ugatame yang secara gratis memberi

kehidupan maka hidup ini tidak boleh disia-siakan. Maka segala sesuatu harus dihadapinya atas dasar

IPA (Kasih), MAAGAI (Iman), TEDEMAI (Bertobat) dan DIODOU (pantang dan puasa) dalam

rangka mencapai AYII dan MOBU itu

14 Hasil wawancara bersama saudara Anton Mote, bertempat di wisma Tiga Raja, pada tgl,16-09- 2011.15 Hasil wawancara bersama saudara Anton Mote, bertempat di wisma Tiga Raja, pada tgl,16-09-2011.

Page 10: Pengenalan tentang suku mee  gagian ii

XIV. Penutup

a. Kesimpulan

Secara keseluruhan makalah menyangkut suku yang berada di Papua terutama yang

diteliti atau ditelusuri oleh saya yakni suku Mee “Manusia Sejati” yang berada di Pedalaman Papua.

Saya menyadari bahwa dengan menyusun makalah ini dapat membantu wawasan saya sejauh mana

yang bisa dapat dipahami oleh pribadi saya sendiri. Untuk menyususun makalah ini, sebisa mungkin

menimba informasi entah itu lewat pustaka ataupun melalui wawancara bersama narasumber yang

dapat dipercaya dan diuji kebenarannya.

Ketika menyusun tulisan mengenai Suku Mee, saya melihat adanya perubahan yang

lumayan banyak dilalui atau dijalani oleh manusia Mee dari tahun 1938 sampai masa kini. Dan

dengan proses penyesuaian itulah manusia Mee dapat berkembang dengan sungguh-sungguh dari

waktu-ke waktu.

Inti yang hendak digali dalam tulisan mengenai manusia Mee yakni, etnografi yang jelas

dan real untuk saman sekarang. Hal lainnya yakni, proses penyesuaian diri manusia Mee yang luar

biasa terhadap perkembangan dunia pada saman ini atua lebih dikenal dengan budaya milenium abad

21.

Page 11: Pengenalan tentang suku mee  gagian ii

b. Saran

Saran yang hendak di kemukakan oleh saya yaitu:

Pertama, kalau bisa suku-suku yang hendak ditelusuri oleh mahasiswa harus memiliki

sumber yang cukup.

Kedua, mahasiswa harus bekerja keras untuk mencari sumber entah itu harus

mengeluarkan dana dan energi untuk tugas seperti ini.

Apa yang ditulis oleh kelompok suku Mee, ini merupakan gambaran singkat yang ditulis secara

tematis. Hal-hal yang tidak ditulis dan dijelaskan dalam pembahasan ini merupakan PR (pekerjaan

rumah) kita masing-masing untuk mempelajarinya secara lebih lanjut sesuai dengan cara kita

masing-masing. IDEE UMINA (TERIMA KASIH BANYAK),… KOYA, KOHA, AMANAI!

BAGAIMANA MENGHARGAI BUDAYA SETEMPAT

1. TIDAK MENJELEKkAN BUDAYA ORANG LAIN.

2. Menyadari bahwa budaya orang lain pun memiliki nilai-nilai luhur sebagai

bagian dari kekayaan Indonesia dan anugerah Tuhan.

3. Menanamkan sikap mencintai, menghormati, dan bangga akan budaya sendiri.

TUGAS MAKALAH ANTROPOLOGI PAPUA

Page 12: Pengenalan tentang suku mee  gagian ii

Herman Yoseph Betu

Tingkat II STFT “Fajar Timur”

Pengenalan Bersama Suku MEE Papua

Daftar Isi

I. Nama dan bahasaa. Nama

Page 13: Pengenalan tentang suku mee  gagian ii

b. Bahasa

II. Pengenalan Letak Geografisa. Lokasi

III. Sistem Mata Pencaharian Tradisional

IV. Organisasi Sosiala. Perkawinan b. Keluarga Inti dan Rumah tanggac. Pemimpin Masyarakat

V. Religia. Sistem kepercayaan Kepada Allahb. Upacara-upacara Daur Hidup

VI. Kesenian

VII. Pengenalan Suku Meea. Prinsip Hidup suku Mee

VIII. Relasi dengan Alam Semesta

IX. Relasi dengan Para Leluhur

X. Pendidikan

XI. Perubahan Kebudayaan

XII. Paham Tentang kematian

XIII. Paham Tentang Keselamatan

XIV. Penutupa. Kesimpulanb. Saran

Page 14: Pengenalan tentang suku mee  gagian ii
Page 15: Pengenalan tentang suku mee  gagian ii