PENGEMBANGAN METODE ORGANOGENESIS DAN … · Oleh karena itu, teknologi kultur in vitro dipandang...

185
PENGEMBANGAN METODE ORGANOGENESIS DAN EMBRIOGENESIS SOMATIK PADA NENAS (Ananas comosus (L.) Merr.) SERTA DETEKSI DINI UNTUK MEREDUKSI KERAGAMAN SOMAKLONAL IKA ROOSTIKA TAMBUNAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

Transcript of PENGEMBANGAN METODE ORGANOGENESIS DAN … · Oleh karena itu, teknologi kultur in vitro dipandang...

PENGEMBANGAN METODE ORGANOGENESIS DAN EMBRIOGENESIS SOMATIK PADA NENAS (Ananas comosus

(L.) Merr.) SERTA DETEKSI DINI UNTUK MEREDUKSI KERAGAMAN SOMAKLONAL

IKA ROOSTIKA TAMBUNAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Metode Organogenesis dan Embriogenesis Somatik pada Nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) serta Deteksi Dini untuk Mereduksi Keragaman Somaklonal adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, 26 Juli 2012 Ika Roostika Tambunan NRP A263090111

ABSTRACT IKA ROOSTIKA TAMBUNAN. Development of Organogenesis and Somatic Embryogenesis Regeneration of Pineapple (Ananas comosus (L.) Merr.) and Early Detection to Reduce Somaclonal Variation. Supervised by NURUL KHUMAIDA, GUSTAAF ADOLF WATTIMENA, and IKA MARISKA SOEDHARMA. Pineapple is a unique plant belongs to facultative CAM (Crassulacean Acid Metabolism) photosynthesis. It is highly potential to be planted on suboptimal land. Conventionally, it can be propagated from many propagules but their reproductive time is not uniform and this availability is commonly limited in cultivar Smooth Cayenne. Today micropropagation is being used commercially in the pineapple industry abroad but in Indonesia, the industries survive with conventional vegetative propagation because of somaclonal variation. The main goal of the study was to obtain the effective regeneration method of pineapple with high level of seedling production and low level of somaclonal variation, included the artificial seed formation method, the early detection method of somaclonal variation for eliminating undesirable traits during micropropagation, and the method to reduce the level of somaclonal variation during micropropagation. This study was devided into six chapters, included the study of morhogenetic system (with solid and liquid media); direct organogenesis induced by auxin and cytokinin (IAA, IBA, NAA, and BA); indirect organogenesis and somatic embryogenesis induced by 2,4-D, picloram, adenine sulfate, and N-organic compounds; encapsulation and minimal growth induced by paclobutrazol, mannitol, and reduced temperature; morphological and molecular characterization by using RAPD markers; and early detection to reduce of somaclonal variation. Generally, this study has some novelities in the in vitro characterization, the information of the non dead-end mechanism of rooted pineapple explants, the information of the complete events of somatic embryogenesis, the conservation method by minimal growth, and the large number of variants. The result showed that the direct and indirect organogenesis generated high shoot multiplication level. The use of mannitol (4%) was better than paclobutrazol for storing the encapsulated explants for 4 months. The morphological characterization could easily differentiate the normal and the abnormal variants (off-types). The direct organogenesis showed the lower level of variation (1.6%) compare to the indirect organogenesis (2%) and somatic embryogenesis (31.1%). The RAPD analysis strengthened the occurence of somaclonal variation. The use of the new in vitro cultures could reduce somaclonal variation. In conclusion, the direct organogenesis was the effective regeneration method for mass propagation. The morphological characterization of in vitro cultures can be applied as guidance for early detection and elimination of undesirable variants in mass propagation. The in vitro conservation method by mannitol can be applied to store pineapple cultures for medium-term period. The use of the new in vitro population could reduce the level of somaclonal variation. Keywords: Organogenesis, somatic embryogenesis, synthetic seed, in vitro

conservation, somaclonal variation.

RINGKASAN IKA ROOSTIKA TAMBUNAN. Pengembangan Metode Organogenesis dan Embriogenesis Somatik pada Nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) serta Deteksi Dini untuk Mereduksi Keragaman Somaklonal. Dibimbing oleh NURUL KHUMAIDA, GUSTAAF ADOLF WATTIMENA, dan IKA MARISKA SOEDHARMA. Nenas (Ananas comosus L. Merr.) merupakan tanaman yang unik karena

memiliki tipe fotosintesis CAM (Crassulacean Acid Metabolism) fakultatif sehingga

tergolong sebagai tanaman masa depan yang prospektif untuk dikembangkan secara

luas dalam rangka revitalisasi tanaman pertanian untuk mendukung era Revolusi

Hijau Lestari, terutama pada lahan marginal. Tanaman nenas memiliki propagul yang

beraneka ragam, tetapi umur panennya bervariasi sehingga kurang ideal sebagai

bahan perbanyakan tanaman secara masal. Kultivar Smooth Cayenne bahkan hanya

memiliki jenis dan jumlah propagul yang terbatas, yaitu berupa mahkota dan sucker.

Oleh karena itu, teknologi kultur in vitro dipandang sebagai solusi yang terbaik untuk

diterapkan. Sayangnya, isu keragaman somaklonal masih menjadi kendala utama

sehingga pengguna, khususnya pihak industri masih enggan menerapkan teknologi

tersebut. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk memperoleh metode regenerasi

yang efektif (dengan tingkat multiplikasi tinggi dan tingkat keragaman rendah),

termasuk metode pembentukan benih sintetik, deteksi dini dan reduksi keragaman

somaklonal. Penelitian terbagi atas enam bagian, mencakup (1) studi morfogenesis

eksplan secara organogenesis langsung yang diinduksi oleh auksin dan sitokinin

(IAA, IBA, NAA, dan BA), (2) studi organogenesis dan embriogenesis tidak

langsung yang diinduksi oleh 2,4-D, (3) studi embriogenesis somatik tidak langsung

yang diinduksi oleh pikloram, (4) studi pembentukan benih sintetik dan konservasi in

vitro secara pertumbuhan minimal yang diinduksi oleh paklobutrazol atau manitol

dan modifikasi suhu penyimpanann, (5) studi karakterisasi morfologi dan molekuler

dengan penanda RAPD (10 primer) terhadap biakan dan bibit nenas, serta (6) studi

evaluasi keragaman bibit, deteksi dini, dan reduksi keragaman somaklonal. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa metode organogenesis langsung dan tidak langsung

mempunyai tingkat multiplikasi tunas yang lebih tinggi daripada embriogenesis

somatik tidak langsung. Pikloram lebih baik dalam menginduksi embriogenesis

somatik daripada NAA dan 2,4-D dengan tingkat multiplikasi 17 embrio/eksplan

selama 2 bulan dari struktur ETs (embryogenic tissues) atau 14 embrio/eksplan

selama 2.5 bulan dari struktur FETs (friable embryogenic tissues). Penggunaan

manitol (4%) lebih baik daripada penggunaan paklobutrazol maupun penurunan suhu

dalam menyimpan eksplan nenas dalam kondisi terenkapsulasi, dengan periode

simpan hingga 4 bulan. Terdapat 21 varian yang terdeteksi dari populasi biakan

induk, di mana 8 varian menunjukkan fenomena epigenetik, 8 varian menunjukkan

fenomena khimera, dan 7 varian menunjukkan kestabilan fenotipe di rumah kaca.

Karakterisasi secara morfologi membedakan varian dan tanaman kontrol dengan

koefisien kemiripan 0.49-0.91 (r=0.83). Karakterisasi molekuler memperkuat dugaan

terjadinya keragaman somaklonal. Berdasarkan karakterisasi tersebut, tanaman

kontrol dan varian memiliki koefisien kemiripan sebesar 0.32-0.61 (r=0.97). Ketidak-

stabilan fenotipe pada karakter duri pada daun diduga kuat disebabkan oleh

retrotransposon karena pola terbentuknya duri sama sekali tidak beraturan, bahkan

pada bibit yang dihasilkan dari metode embriogenesis somatik yang terbukti bersifat

unicellular origin. Metode embriogenesis somatik tidak langsung menghasilkan

keragaman fenotipe yang tertinggi (31.1%), diikuti dengan metode organogenesis

tidak langsung (2%) dan organogenesis langsung (1.6%). Populasi biakan in vitro

yang baru memiliki koefisien kemiripan genetik yang lebih tinggi (0.65-0.85)

daripada populasi lama, baik sebelum (0.32-0.61) maupun sesudah diekstraksi

dengan menggunakan 3 macam metode regenerasi (0.34-0.63). Hal ini

mengindikasikan bahwa keragaman somaklonal dapat direduksi dengan

menggunakan bahan tanaman yang baru. Disimpulkan bahwa organogenesis

langsung merupakan metode terbaik untuk mikropropagasi tanaman nenas.

Penggunaan manitol lebih baik daripada paklobutrazol untuk penyimpanan in vitro

dengan periode simpan 4 bulan. Metode karakterisasi morfologi dapat diterapkan

pada biakan in vitro untuk eliminasi varian yang tidak diharapkan selama proses

mikropropagasi secara dini. Teknik RAPD mengkonfirmasi dugaan terjadinya variasi

somaklonal pada kultur in vitro nenas.

Kata kunci: Organogenesis, embriogenesis somatik, benih sintetik, konservasi in vitro, karakterisasi morfologi, karakterisasi molekuler, keragaman somaklonal.

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

PENGEMBANGAN METODE ORGANOGENESIS DAN EMBRIOGENESIS SOMATIK PADA NENAS (Ananas comosus

(L.) Merr.) SERTA DETEKSI DINI UNTUK MEREDUKSI KERAGAMAN SOMAKLONAL

IKA ROOSTIKA TAMBUNAN

Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada Program Studi Pemuliaan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012

Judul : Pengembangan Metode Organogenesis dan Embriogenesis Somatik pada Nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) serta Deteksi Dini untuk Mereduksi Keragaman Somaklonal

Nama : Ika Roostika Tambunan

NRP : A263090111

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Nurul Khumaida, M.S.Ketua

Prof. Dr. Ir. G.A. Wattimena, M.Sc. Prof. (R) Dr. Ika Mariska, APU Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Pemuliaan Bioteknologi Tanaman Dr. Ir. Tri Koesoemaningtyas, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Agr. Tanggal Ujian: 26 Juli 2012 Tanggal lulus: 9 Agustus 2012

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof. Dr. Ir. Slamet Susanto, MAgr

Dr. Ir. Darda Efendi, MSi

Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Ir. Sobir, MS

Dr. Ir. Yusdar Hilman, MSc

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala petunjuk dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Disertasi ini mengangkat topik tentang Pengembangan Metode Organogenesis dan Embriogenesis Somatik pada Nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) serta Deteksi Dini untuk Mereduksi Keragaman Somaklonal. Penelitian tersebut dilaksanakan sejak Februari 2010 hingga April 2012.

Disertasi ini memuat enam bab yang merupakan pengembangan dari naskah artikel yang diajukan ke jurnal dan pertemuan ilmiah. Bab 2 telah diterbitkan pada Jurnal Agrobiogen Vol.8 No.1 Th. 2012 dengan judul Indirect organogenesis and somatic embryogenesis of pineapple induced by dichlorophenoxy acetic acid. Bab 3 sedang dalam proses penerbitan pada Indonesian Journal of Agricultural Science dengan judul The effect of picloram and light on somatic embryogenesis regeneration of pineapple. Bab 4 sedang diajukan ke Jurnal Hortikultura dengan judul Pembentukan Benih Sintetik Nenas dan Konservasi In Vitro secara Pertumbuhan Minimal. Bab 5 masih dalam proses pendampingan publikasi pada jurnal internasional (Plant Cell Tissue and Organ Culture) dengan judul Morphological characterization of pineapple in vitro cultures and acclimated seedlings. Bab 6 akan disampaikan pada International Seminar on Agriculture Adaptation in The Tropics dengan judul Molecular characterization of pineapple in vitro cultures for detecting plant off-types during micropropagation.

Penghargaan yang setinggi-tingginya disampaikan kepada Badan Litbang Pertanian yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi S3 dan atas dukungan dana penelitian melalui Program KKP3T 2011. Terima kasih yang tidak terhingga penulis ucapkan kepada Dr. Nurul Khumaida, Prof. Dr. G.A. Wattimena dan Prof. (R) Dr. Ika Mariska sebagai komisi pembimbing. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Sutrisno, Dr. Karden Mulya (Kepala BB-Biogen), Dr. Sobir, Dr. Wicaksono, Prof. Dr. Sudarsono, Prof. Dr. Wasmen Manalu, Dr. Tri Koesoemaningtyas, Dr. Endah Retno Palupi, Prof. Dr. Bambang S. Purwoko, dan Dr. Made Tasma yang telah memberikan dukungan sebelum dan semasa penelitian serta pemahaman, saran dan masukan dalam penelitian maupun penyusunan naskah publikasi ilmiah. Kepada penguji luar komisi, Dr. Agus Purwito dan Dr. Sintho W. Ardie (pada ujian Prakualifikasi Doktor), Prof. Dr. Slamet Susanto dan Dr. Darda Efendi (pada Ujian Tertutup) serta Dr. Yusdar Hilman, APU dan Dr. Sobir (pada Ujian Terbuka), disampaikan terima kasih. Terima kasih juga ditujukan kepada teman-teman sejawat dan rekan-rekan teknisi di Kelti BSJ BB-Biogen serta rekan-rekan mahasiswa pascasarjana IPB. Rasa cinta dan terima kasih juga disampaikan kepada Ibunda dan Ayahanda (Ibu Suhaesih dan Alm. Djamian Tambunan), suami (Faleh Setia Budi, MT.), ananda (Furaida Alya Muna) serta keluarga besar dan seluruh pihak yang telah memberikan dukungan moril, dan spirituil. Besar harapan penulis akan seluas-luasnya manfaat dari hasil karya ini. Bogor, Juli 2012 Ika Roostika Tambunan

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Magelang pada tanggal 12 September 1972 sebagai anak kedua dari pasangan Djamian Tambunan dan Suhaesih. Pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Program Studi Fitopatologi, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, lulus pada tahun 1997. Pada tahun 1999, penulis diterima sebagai mahasiswa pascasarjana pada Program Studi Agronomi dengan peminatan Pemuliaan Non Konvensional Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke program doktor pada Program Studi Pemuliaan Bioteknologi Tanaman IPB diperoleh pada tahun 2009, dengan beasiswa dari Badan Litbang Pertanian.

Sejak lulus sebagai sarjan hingga saat ini, penulis bekerja di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. Bidang keahlian adalah Bioteknologi Pertanian dengan spesifikasi kultur in vitro, terutama pada aspek konservasi in vitro (pertumbuhan minimal dan kriopreservasi) serta variasi somaklonal.

Selama mengikuti program S3, penulis mengikuti beberapa macam pelatihan, yaitu penulisan publikasi pada jurnal internasional, perancangan percobaan, dan bahasa Inggris. Karya ilmiah yang berjudul Indirect organogenesis and somatic embryogenesis of pineapple induced by dichlorophenoxy acetic acid telah diterbitkan pada Jurnal Agrobiogen Vol.8 No.1 Th. 2012. Artikel lainnya yang berjudul The effect of picloram and light on somatic embryogenesis regeneration of pineapple menunggu penerbitannya pada Indonesian Journal of Agricultural Science (Jurnal IJAS), sedangkan naskah yang berjudul Morphological characterization of pineapple in vitro cultures and acclimated seedlings masih dalam proses pendampingan publikasi pada jurnal internasional (Plant Cell Tissue and Organ Culture). Naskah yang berjudul Pembentukan Benih Sintetik Nenas dan Konservasi In Vitro secara Pertumbuhan Minimal sedang diajukan ke Jurnal Hortikultura dan naskah yang berjudul Molecular characterization of pineapple in vitro cultures for detecting plant off-types during micropropagation akan disampaikan pada International Seminar on Agriculture Adaptation in The Tropics. Karya-karya tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ……………………………………………………….. viii DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………. x PENDAHULUAN

Latar Belakang …………………………………………………… 1Tujuan Penelitian ………………………………………………… 3Manfaat Penelitian ……………………………………………….. 4Ruang Lingkup Penelitian ……………………………………….. 5

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi, Morfologi, Anatomi, dan Nilai Penting Nenas …………….. 6Perbanyakan In Vitro …………………………………………………….. 9Konservasi In Vitro ………………………………………………........... 12Fenomena Keragaman Somaklonal ……………………………………… 13Deteksi Keragaman Somaklonal …………………………………………. 14 STUDI MORFOGENESIS EKSPLAN NENAS YANG DIINDUKSI OLEH AUKSIN DAN SITOKININ

Abstrak ………………………………………………………….... 16Abstract …………………………………………………………... 16Pendahuluan ……………………………………………………… 17Bahan dan Metode ……………………………………………….. 19Hasil dan Pembahasan …………………………………………… 20Simpulan …………………………………………………………. 29Daftar Pustaka ……………………………………………………. 30

ORGANOGENESIS DAN EMBRIOGENESIS SOMATIK TIDAK LANGSUNG PADA NENAS YANG DIINDUKSI OLEH 2,4-D

Abstrak ………………………………………………………….... 32Abstract …………………………………………………………... 32Pendahuluan ……………………………………………………… 33Bahan dan Metode ……………………………………………….. 35Hasil dan Pembahasan …………………………………………… 38Simpulan …………………………………………………………. 48Daftar Pustaka ……………………………………………………. 48

INDUKSI EMBRIOGENESIS SOMATIK TIDAK LANGSUNG PADA NENAS MELALUI PENGGUNAAN PIKLORAM

Abstrak ………………………………………………………….... 51Abstract …………………………………………………………... 52Pendahuluan ……………………………………………………… 52Bahan dan Metode ……………………………………………….. 54Hasil dan Pembahasan …………………………………………… 57Simpulan …………………………………………………………. 70Daftar Pustaka ……………………………………………………. 71

PEMBENTUKAN BENIH SINTETIK NENAS DAN KONSERVASI IN VITRO SECARA PERTUMBUHAN MINIMAL

Abstrak ………………………………………………………….... 74Abstract …………………………………………………………... 74Pendahuluan ……………………………………………………… 75Bahan dan Metode ……………………………………………….. 76Hasil dan Pembahasan …………………………………………… 79Simpulan …………………………………………………………. 90Daftar Pustaka ……………………………………………………. 90

KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN MOLEKULER BIAKAN IN VITRO DAN BIBIT NENAS

Abstrak ………………………………………………………….... 93Abstract …………………………………………………………... 94Pendahuluan ……………………………………………………… 94Bahan dan Metode ……………………………………………….. 96Hasil dan Pembahasan …………………………………………… 99Simpulan …………………………………………………………. 112Daftar Pustaka ……………………………………………………. 113

EVALUASI KERAGAMAN BIBIT NENAS DARI POPULASI LAMA DAN PEMBENTUKAN POPULASI BARU SERTA DETEKSI DINI KERAGAMAN SOMAKLONAL

Abstrak ………………………………………………………….... 116Abstract …………………………………………………………... 116Pendahuluan ……………………………………………………… 117Bahan dan Metode ……………………………………………….. 119Hasil dan Pembahasan …………………………………………… 122Simpulan …………………………………………………………. 133Daftar Pustaka ……………………………………………………. 134

PEMBAHASAN UMUM ……………………………………………….. 136 SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………… 149 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………. 150

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Status penelitian kultur in vitro nenas di mancanegara ........................ 10

2 Status penelitian kultur in vitro nenas di Indonesia dan peluang risetnya ………………………………………………………............. 11

3 Data produksi buah-buahan di Indonesia tahun 1995-2009 …………. 18

4 Penampilan kalus embriogenik nenas kultivar Smooth Cayenne pada beberapa macam formulasi media, 2 bulan setelah subkultur .............. 45

5 Pengaruh media dasar dan adenin sulfat terhadap pertumbuhan FETs nenas kultivar Smooth Cayenne ……………………………………... 45

6 Respon kalus nenas kultivar Smooth Cayenne terhadap media induksi kalus embriogenik pada dua macam kondisi inkubasi yang berbeda, 1 bulan setelah subkultur …………………………………………….. 61

7 Perkembangan ETs nenas kultivar Smooth Cayenne pada media MS yang mengandung Kn 1 mg l-1, 2 bulan setelah subkultur 65

8 Pengaruh pencahayaan dan formulasi media terhadap pembentukan suspensi sel nenas kultivar Smooth Cayenne ....................................... 68

9 Tingkat pencoklatan FETs nenas kultivar Smooth Cayenne pada media regenerasi, 1 bulan setelah subkultur …………………………. 69

10 Tingkat regenerasi FETs nenas kultivar Smooth Cayenne pada media regenerasi, 1 bulan setelah subkultur …………………………. 69

11 Jumlah embrio somatik dewasa yang terbentuk dari FETs nenas kultivar Smooth Cayenne, 1 bulan setelah subkultur ………………... 70

12 Pengaruh suhu penyimpanan terhadap pertumbuhan biakan tunas nenas kultivar Smooth Cayenne yang terenkapsulasi dalam Na-alginat 3% ………………………………………………………......... 83

13 Pengaruh suhu penyimpanan dan taraf manitol terhadap daya tembus biakan nenas kultivar Smooth Cayenne yang terenkapsulasi dengan Na-alginat 3% ………………………………………………………... 88

14 Pengaruh suhu penyimpanan dan taraf manitol terhadap daya hidup biakan nenas kultivar Smooth Cayenne yang terenkapsulasi dengan Na-alginat 3% ………………………………………………………... 89

15 Karakter dan sub karakter yang diamati pada fenotipe normal dan varian dari biakan in vitro nenas kultivar smooth Cayenne (umur 4 tahun) ………………………………………………………................ 98

16 Ciri-ciri spesifik dari varian yang muncul dari populasi biakan in vitro nenas kultivar Smooth Cayenne umur 4 tahun ........................ 103

17 Proporsi varian yang muncul dalam populasi biakan in vitro nenas kultivar Smooth Cayenne umur 4 tahun ……………………………... 104

18 Stabilitas fenotipe setiap individu varian nenas kultivar Smooth Cayenne dan regenerannya selama subkultur dan aklimatisasi ............ 107

19 Jumlah pita DNA yang teramplifikasi dan yang bersifat polimorfik

dalam analisis RAPD populasi biakan in vitro nenas kultivar Smooth Cayenne umur 4 tahun …………………………………………….... 109

20 Proporsi variasi fenotipe dari populasi biakan in vitro nenas kultivar

Smooth Cayenne yang dihasilkan dari metode organogenesis (langsung dan tidak langsung serta embriogenesis somatik tidak langsung................................................................................................ 125

21 Rekapitulasi tingkat variasi dari biakan in vitro yang dihasilkan dari

tiga macam metode regenerasi dibandingkan dengan populasi biakan induk.....………………………………………………………............. 126

22 Proporsi bibit yang tidak berduri, berduri khimera, dan berduri

lengkap yang dihasilkan dari metode organogenesis langsung yang diinduksi oleh BA dan NAA................................................................ 126

23 Proporsi bibit nenas kultivar Smooth Cayenne dengan daun tidak

berduri, berduri khimera, dan berduri lengkap yang dihasilkan dari metode organogenesis tidak langsung yang diinduksi oleh 2,4-D...................................................................................................... 127

24 Proporsi bibit nenas kultivar Smootha Cayenne dengan daun tidak

berduri, berduri khimera, dan berduri lengkap yang dihasilkan dari metode embriogenesis somatik yang diinduksi oleh pikloram ........…. 128

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Diagram alir tahapan penelitian dalam studi pengembangan metode organogenesis dan embriogenesis somatik pada nenas serta deteksi dini untuk mereduksi keragaman somaklonal ……………………….... 6

2 Berbagai macam organ vegetatif tanaman nenas……………………… 8

3 Keragaan kultur nenas kultivar Smooth Cayenne yang berasal dari eksplan basal daun (1 bulan setelah tanam) …………………………... 21

4 Pengaruh tipe eksplan dan ZPT serta pengaruh interaksi antara tipe

eksplan dan ZPT terhadap morfogenesis eksplan basal daun nenas kultivar Smooth Cayenne pada media padat.............................……….. 23

5 Penampilan kalus nenas pasca-perlakuan NAA dan tipe sel yang

menyusunnya ………………………………………………………….. 25 6 Pembelahan sel secara asimetris dari sel embriogenik yang diiduksi

oleh NAA …………………………………………………………....... 25 7 Pengaruh kombinasi sitokinin dan auksin pada media cair terhadap

pembentukan tunas, nodul, dan akar kultur in vitro nenas kultivar Smooth Cayenne yang berasal dari eksplan daun utuh dan potongan basal daun, umur 1.5 bulan …………………………………………… 27

8 Pengaruh kombinasi sitokinin dan auksin pada media cair terhadap

jumlah tunas kultur in vitro nenas kultivar Smooth Cayenne yang berasal dari eksplan daun utuh dan potongan basal daun ...... ................

28

9 Tahapan morfogenesis dari eksplan daun nenas kultivar Smooth

Cayenne pada media cair …………………………………………….... 29

10 Tahapan analisis histologi kalus embriogenik nenas, modifikasi metode Kiernan (1990) ………………………………………………... 37

11 Tahapan induksi kalus dari basal daun nenas kultivar Smooth Cayenne 38

12 Pengaruh 2,4-D terhadap pembentukan kalus dan bobot basah kalus

nenas kultivar Smooth Cayenne ………………………………………. 39

13 Respon basal daun nenas kultivar Smooth Cayenne terhadap perlakuan 2,4-D ..................................................... …………………… 40

14 Penampilan tunas in vitro nenas kultivar Smooth Cayenne hasil perlakuan 2,4-D pada tahap regenerasi dan elongasi ............................. 41

15 Pengaruh 2,4 terhadap persentase pembentukan tunas normal, tunas

abnormal, dan konversi dari tunas abnormal ke tunas normal.....………………………………………………......................... 42

16 Penampilan jaringan embriogenik nenas kultivar Smooth Cayenne

pada berbagai macam media ………………………………………….. 43

17 Tahapan embriogenesis somatik nenas kultivar Smooth Cayenne ........ 44

18 Pengaruh faktor tunggal dan pengaruh interaksi antara media induksi kalus embriogenik dan media regenerasi terhadap regenerasi FETs nenas kultivar Smooth Cayenne ............................................................. 46

19 Perbedaan perkembangan embrio somatik nenas kultivar Smooth

Cayenne umur 8 bulan pada media regenerasi ………………………... 47

20 Pengaruh pikloram terhadap pembentukan kalus dan bobot basah dari eksplan basal daun nenas kultivar Smooth cayenne …………………... 58

21 Respon basal daun nenas kultivar Smooth Cayenne terhadap

perlakuan pikloram dan pengamatan mikroskopisnya ………………... 59

22 Pengamatan mikroskopis dari ECCs nenas kultivar Smooth Cayenne setelah ditanam pada media induksi kalus embriogenik ……………… 60

23 Penampilan ETs dan FETs nenas kultivar Smooth Cayenne ...……….. 62

24 Pengaruh faktor tunggal (media dan pencahayaan) terhadap tingkat pencoklatan, persentase pembentukan nodul, persentase pembentukan embrio, dan jumlah embrio prematur (2 bulan setelah subkultur) ......... 64

25 Regenerasi ETs nenas kultivar Smooth Cayenne pada media MS

dengan penambahan Kn 1 mg l-1 ……………………………………… 66

26 Pengaruh faktor pencahayaan dan media induksi kalus embriogenik serta pengaruh interaksinya terhadap pembentukan embrio somatik nenas kultivar Smooth Cayenne ……………………..……………...… 66

27 Tahapan perkembangan embrio somatik nenas kultivar Smooth

Cayenne dari struktur FETs yang diinduksi oleh pikloram .................... 67

28 Analisis histologi embrio somatik dari kultur suspensi sel nenas kultivar Smooth Cayenne ....................................................................... 68

29 Pengaruh BA dan NAA terhadap pertumbuhan eksplan batang semu nenas kultivar Smooth Cayenne yang dienkapsulasi dalam Na-alginat 3%, 1 bulan masa inkubasi …………………………………………… 80

30 Keragaan eksplan batang semu nenas kultivar Smooth Cayenne yang

dienkapsulasi dengan Na-alginat 3% (1 bulan masa inkubasi) .............. 81

31 Proporsi pembentukan planlet, akar, dan nodul dari eksplan basal daun nenas kultivar Smooth Cayenne yang diinduksi oleh BA 0.5 mg l-1 dan NAA 0.5 mg l-1, 2 bulan periode inkubasi ............................................. 82

32 Pengaruh kombinasi BA dan NAA terhadap pertumbuhan eksplan

basal daun nenas kultivar Smootha Cayenne yang terenkapsulasi dalam Na-alginat 3% ………………………………………………….. 82

33 Penampilan tunas nenas kultivar Smooth Cayenne yang dienkapsulasi

dengan alginat 3% yang mengandung paklobutrazol dan disimpan pada suhu yang berbeda ………………………………………………. 84

34 Daya hidup, daya regenerasi dan jumlah tunas nenas kultivar Smooth

Cayenne pada tahap pemulihan pasca penyimpanan dengan paklobutrazol .......................................................................................... 86

35 Penampilan tunas nenas kultivar Smooth Cayenne pada tahap

pemulihan (1 bulan) pasca-penyimpanan dengan paklobutrazol ........... 86

36 Penampilan kapsul embrio somatik nenas kultivar Smooth Cayenne (4 bulan periode simpan) yang disimpan dengan menggunakan manitol pada suhu penyimpanan yang berbeda ...................................... 89

37 Keragaan varian dari populasi biakan in vitro nenas kultivar Smooth

Cayenne umur 4 tahun ………………………………………………… 100

38 Dendogram hasil karakterisasi morfologi biakan in vitro nenas kultivar Smooth Cayenne umur 4 tahun, berdasarkan metode (SAHN)-UPGMA (r=0.83) …………………………………………................... 102

39 Kualitas DNA hasil isolasi sampel daun nenas kultivar Smooth

Cayenne dengan metode CTAB ………………………………………. 107

40 Profil DNA varian nenas kultivar Smooth Cayenne, hasil amplifikasi PCR dengan penanda RAPD ………………………………………….. 111

41 Dendogram hasil karakterisasi molekuler biakan in vitro nenas

kultivar Smooth Cayenne umur 4 tahun, menggunakan metode RAPD, berdasarkan analisis (SAHN)-UPGMA (r=0.97) ……………. 112

42 Tingkat keragaman bibit nenas kultivar Smooth Cayenne yang dihasilkan dari tiga metode regenerasi ………………………………... 123

43 Profil DNA biakan nenas kultivar Smooth Cayenne yang diekstraksi

dari populasi biakan induk ………………………... ............................. 129

44 Dendogram hasil evaluasi keragaman genetik (dengan penanda RAPD, r=0.98) bibit nenas kultivar Smooth Cayenne populasi lama yang diperbanyak secara organogenesis langsung, organogenesis tak langsung, dan embriogenesis somatik ……………………………….. 130

45 Profil DNA dari populasi baru biakan in vitro nenas kultivar Smooth

Cayenne ……………………………………………………………….. 132

46 Dendogram hasil deteksi dini keragaman somaklonal biakan in vitro nenas kultivar Smooth Cayenne dari populasi baru dengan penanda RAPD (r=0.96) ………………………………………………………... 133

47 Tahapan lengkap embriogenesis somatik nenas kultivar Smooth

Cayenne ……………………………………………………………… 140

48 Tahapan lengkap organogenesis nenas kultivar Smooth Cayenne …... 141

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

Tanaman CAM fakultatif : tanaman yang berfotosintesis tipe CAM ketika lingkungan tumbuhnya suboptimal dan berfotosintesis tipe C3 atau C4 ketika lingkungan tumbuhnya optimal (nenas bertipe C3-CAM)

Propagul : bagian tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan perbanyakan

Mikropropagasi : teknik perbanyakan mikro untuk produksi bibit

Aklimatisasi : proses penyesuaian fisiologi bibit tanaman dari kondisi in vitro ke kondisi ex vitro

Multiplikasi : tingkat penggandaan tunas atau bibit

Proliferasi tunas : teknik perbanyakan in vitro melalui penggandaan tunas aksilar

Organogenesis : proses pembentukan organ yang bersifat unipolar (satu kutub) berupa tunas atau akar

Embriogenesis somatik : proses pembentukan embrio yang bersifat bipolar (dua kutub), diregenerasikan dari sel-sel somatik

Suspensi sel : kultur sel yang terdispersi di dalam media cair yang selalu digoyang

Pertumbuhan minimal : suatu teknik konservasi in vitro untuk penyimpanan jangka menengah melalui modifikasi unsur hara, sumber karbon, suhu penyimpanan, penggunaan zat penghambat tumbuh dan retardan

Keragaman somaklonal : keragaman yang terjadi pada sel-sel somatik, disebabkan oleh mutasi atau perubahan sekuens DNA, aktivasi atau pembungkaman gen

Syncarp : sejumlah bakal buah yang membentuk satu ruang, daun fertil pendukung makrospora berupa bakal biji (ovulum) yang secara kolektif membentuk putik

Eksplan : bahan tanaman yang digunakan dalam penanaman secara in vitro

BA : benzyl adenine, sitokinin turunan purin

Kn : kinetin, sitokinin turunan purin

TDZ : thidiazuron, secara fisiologis fungsinya sama dengan sitokinin, turunan fenilurea

IAA : indole acetic acid, auksin alami

NAA : naphthalene acetic acid

IBA : indole butyric acid

Gln : glutamine, asam amino

Arg : arginine, asam amino

Gly : glycine, asam amino

CH : casein hydrolysate, senyawa organik kompleks

AdS : adenine sulfate, senyawa organik sumber nitrogen

2,4-D : 2,4-dichlorophenoxy acetic acid

Pikloram : 4-amino 3,5,6-trichloropicolinic acid

Sel embriogenik : sel yang akan berdiferensiasi membentuk embrio melalui pembelahan yang bersifat asimetris

Pro-embrio : calon embrio yang terbentuk dari sel embriogenik

PEM : pre-embryogenic mass, kumpulan atau massa proembrio

ETs : embryogenic tissues

FETs : friable embryogenic tissues

Planlet : tanaman utuh yang telah lengkap mempunyai tunas dan akar, dihasilkan dari regenerasi secara in vitro

Nekrosis : gejala matinya sel dan berasosiasi dengan degradasi klorofil yang disebabkan oleh oksidasi fenol

Paklobutrazol : senyawa sintetik golongan triazol yang berfungsi sebagai retardan

Manitol : gula alkohol yang dapat berfungsi sebagai regulator osmotik (pengatur tekanan osmotikum) media

Amplifikasi : proses penggandaan molekul DNA

EtBr : ethidium bromide

CTAB : cetyl trimethyl amonium bromide

PCR : polymerase chain reaction, proses polimerisasi DNA secara in vitro

Denaturasi : proses pemisahan DNA dari ikatan ganda menjadi utas tunggal

Elektroforesis : teknik pemisahan molekul berdasarkan gerakan yang berbeda pada medan listrik

RAPD : randomly amplified polymorphism DNA

Epigenetik : perubahan sifat yang tidak disebabkan oleh perubahan sekuens DNA, bersifat dapat balik

Monomorfik : pola pita DNA yang sama antar individu

Polimorfik : pola pita DNA yang berbeda antar individu

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Nenas (Ananas comosus L. Merr.) merupakan tanaman penting di daerah

tropis, termasuk di Indonesia. Berdasarkan data produksi buah-buahan, komoditas

nenas menempati peringkat ketiga atau keempat setelah pisang, mangga, dan jeruk

(BPS 2009). Tanaman ini bersifat toleran terhadap cekaman kekeringan dan

kemasaman sehingga berpeluang besar dikembangkan di lahan-lahan marginal,

termasuk lahan gambut (Sagiman 2007).

Menurut Ochse et al. (1961) serta Coppens d’Eeckenbrugge dan Leal (2003),

tanaman nenas pada umumnya diperbanyak secara vegetatif dengan menggunakan

butt atau stump, ratoon, sucker, basal slips, hapas, crown slips, dan crown atau

mahkota. Sayangnya, jenis dan jumlah propagul tersebut sangat terbatas pada

kultivar Smooth Cayenne (sucker dan mahkota) sehingga perbanyakan secara

konvensional perlu dukungan teknologi lainnya, terutama ketika diperlukan bibit

dalam jumlah yang besar. Penerapan teknologi kultur in vitro akan berguna bagi

penyediaan materi genetik calon varietas unggul maupun perbanyakan varietas

unggul yang baru saja dilepas, serta pembukaan lahan baru untuk pengembangan

komoditas tersebut secara luas.

Di mancanegara, beberapa kultivar nenas telah dikembangkan secara

komersial, antara lain Cayenne (Champaka, Giant Kew, Sarawak, Maipuri,

Esmeralda, Claire, dan Typhon), Queen, Spanish (Red Spanish dan Singapore

Spanish), Perola (Pernambuco atau Abacaxi), Manzana, dan Perolera (atau Motilana)

(IBPGR 1991; Chan et al. 2003). Di antara beberapa kultivar tersebut, Queen dan

Smooth Cayene merupakan kultivar yang banyak dikembangkan di Indonesia.

Teknik mikropropagasi nenas telah diterapkan secara komersial oleh pihak

industri di mancanegara (Smith et al. 2003), tetapi industri di Indonesia masih

bertahan pada teknik perbanyakan konvensional. Teknik mikropropagasi masih

dipandang perlu diterapkan untuk menyediakan bibit dalam jumlah besar, terutama

untuk varietas baru hasil persilangan, seleksi, mutasi, dan rekayasa genetika

(Firoozabady dan Moy 2004; Nursandi et al. 2005). Secara praktis, mikropropagasi

digunakan untuk memantapkan blok multiplikasi bagi penyediaan bahan tanaman

perbanyakan konvensional dalam skala yang lebih luas. Selain itu, teknik

mikropapagasi dapat diterapkan untuk skrining varian sebelum diterapkannya

metode perbanyakan secara konvensional (Smith et al 2003). Dalam rangka

peningkatan produksi, populasi tanaman akan ditingkatkan dari 40.000 tanaman/ha

menjadi 100.000 tanaman/ha sehingga keperluan penyediaan bibit akan semakin

tinggi (Suminar 2010).

Dalam teknik kultur in vitro, terjadinya keragaman genetik atau keragaman

somaklonal (off-type) kadang-kadang tidak dapat dihindari. Keragaman somaklonal

merupakan kejadian abnormalitas yang terjadi oleh karena mutasi atau perubahan

sekuens, aktivasi gen, dan pembungkaman gen (Kaeppler et al. 2000). Keragaman

tersebut dapat dideteksi melalui karakterisasi morfologi (Noor et al. 2009; Somsri et

al. 2009; Zhao et al. 2005; Podwyszyńska 2005), sitologi (Al-Zahim et al. 1999),

biokimia, fisiologi (Perez et al. 2011), dan molekuler (Chen et al. 1998; Al-Zahim et

al. 1999; Soniya et al. 2001; Perez et al. 2011).

Wakasa (1979) telah melakukan pengamatan bibit nenas hasil kultur in vitro

1.5 tahun dalam periode in vitro, 14-22 bulan pada tahap aklimatisasi, dan 1 tahun

periode pertumbuhan tanaman melalui pengamatan karakter morfologi, yaitu duri

pada daun, warna daun, sekresi lilin pada permukaan daun bawah, dan corak daun.

Diperlukan waktu sekitar 4 tahun untuk mendeteksi keragaman yang terjadi pada

bibit hasil perbanyakan secara in vitro tersebut. Nursandi (2006) melaporkan bahwa

perlakuan in vitro dapat menimbulkan keragaman tanaman nenas hingga 88% untuk

karakter daun varigata, roset, dan kerdil, namun sebagian besar tanaman tersebut

mampu berubah menjadi normal setelah umur tertentu (25 minggu setelah tanam),

yang diduga sebagai epigenetik.

Untuk efisiensi waktu, biaya, dan area maka evaluasi stabilitas sifat tersebut

sebaiknya dilakukan secara dini, sejak biakan masih di dalam botol sebelum tanaman

tersebut ditanam di lapang. Selain itu, penggunaan penanda molekuler menjadi

sangat penting dalam membantu upaya mendeteksi keragaman somaklonal secara

dini.

Pada tanaman nenas, deteksi penyimpangan secara molekuler banyak

diterapkan dengan menggunakan penanda RAPD (Random Amplified Polymorphism

DNA). Soneji et al. (2002) telah mengkarakterisasi bibit nenas kultivar Queen untuk

sifat daun berduri dan tidak berduri dengan penanda RAPD. Feuser et al. (2003) juga

menganalisis ketepatan genetik planlet nenas kultivar Amarelinho (grup Perola) dan

Santos et al. (2008) melakukan evaluasi keragaman genetik dari biakan in vitro nenas

hias (Ananas comosus var. bracteatus) dengan menggunakan penanda RAPD.

Hingga saat ini, belum terdapat laporan tentang analisis keragaman somaklonal

terhadap biakan dan bibit nenas hasil perbanyakan in vitro yang dikulturkan dalam

periode yang panjang.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memperoleh metode regenerasi yang

efektif (tingkat multiplikasi tinggi dan tingkat keragaman rendah), termasuk metode

pembentukan benih sintetik tanaman nenas, metode deteksi dini keragaman

somaklonal untuk eliminasi varian yang tak diharapkan, dan metode reduksi

keragaman somaklonal. Tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Mempelajari morfogenesis eksplan nenas kultivar Smooth Cayenne dalam

merespon zat pengatur tumbuh (ZPT) dan konsistensi media

2. Memperoleh informasi tentang pengaruh kombinasi sitokinin (benzyl adenine/

BA) dan auksin (naphthalene acetic acid/NAA, indole acetic acid/IAA, indole

butiric acid/IBA) terhadap regenerasi nenas kultivar Smooth Cayenne secara

organogenesis langsung

3. Mempelajari pengaruh auksin non herbisida NAA dan auksin herbisida 2,4-

dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) atau 4-amino 3,5,6-trichloropicolinic acid

(pikloram) terhadap induksi organogenesis dan embriogenesis somatik tidak

langsung pada nenas kultivar Smooth Cayenne

4. Mempelajari pengaruh suhu dan paklobutrazol atau manitol terhadap daya hidup,

daya simpan, dan daya regenerasi eksplan nenas kultivar Smooth Cayenne yang

dienkapsulasi dengan natrium alginat 3%

5. Mempelajari karakter morfologi dan molekuler biakan in vitro dan bibit nenas

kultivar Smooth Cayenne

6. Mengetahui tingkat keragaman biakan dan bibit nenas kultivar Smooth Cayenne

yang dihasilkan dari metode organogenesis langsung dan tidak langsung, serta

embriogenesis somatik tidak langsung

7. Mendeteksi keragaman molekuler biakan in vitro dari populasi yang baru dibentuk

untuk menentukan metode perbanyakan yang paling efektif.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini tidak hanya bermanfaat bagi perkembangan ilmu dasar,

namun juga bagi perkembangan ilmu terapan. Pada aspek ilmu dasar, penelitian ini

berhasil mengantisipasi fenomena dead-end pada eksplan yang berakar sehingga

mampu meregenerasikan tunas. Penelitian ini juga berhasil menjelaskan proses

embriogenesis somatik tanaman monokotil (khususnya tanaman nenas) secara

lengkap serta asal-usul pembentukan embrio somatik. Beberapa tahapan penting

dalam teori embriogenesis somatik berhasil terekam atau tervisualisasi (mulai dari

sel tunggal hingga terbentuknya planlet yang siap diaklimatisasi) sehingga akan

memudahkan pengguna dalam memahami proses tersebut maupun dalam menyusun

strategi penelitian yang berkaitan dengan proses tersebut. Penelitian ini juga

berkontribusi dalam upaya menguak misteri asal-usul terjadinya keragaman

somaklonal pada tanaman nenas. Pada aspek ilmu terapan, hasil penelitian ini

bermanfaat bagi upaya penyediaan metode perbanyakan bibit yang efektif untuk

perbanyakan materi pemuliaan (calon varietas baru) maupun produksi bibit secara

masal setelah pelepasan varietas baru serta untuk penyediaan bibit yang memadai

bagi pembukaan lahan-lahan baru. Metode embriogenesis somatik yang telah

dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk melakukan rekayasa seluler (berbasis pada

teknik kultur in vitro) dan molekuler (berbasis pada teknik transformasi genetik)

untuk mendukung program pemuliaan tanaman nenas. Metode pembentukan benih

sintetik akan berguna bagi penyediaan benih yang aplikatif dan untuk konservasi in

vitro (secara pertumbuhan minimal) dalam upaya pelestarian koleksi plasma nutfah

dan nomor-nomor hasil persilangan sehingga terhindar dari resiko hilangnya

genotipe oleh cekaman lingkungan biotik dan abiotik di lapang serta dapat

menghemat tempat, waktu, biaya, dan tenaga. Manfaat lainnya adalah mendapatkan

metode deteksi keragaman somaklonal tanaman nenas secara dini untuk eliminasi

varian yang tidak diharapkan, sebelum bibit ditanam di lapang sehingga dapat

meningkatkan efisiensi produksi bibit. Selain itu, varian-varian yang dihasilkan

dalam penelitian ini juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pemuliaan tanaman atau

bahkan sebagai kandidat klon superior. Secara umum, hasil penelitian ini akan

bermanfaat bagi pengembangan komoditas nenas di Indonesia.

Ruang Lingkup Penelitian

Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut maka dibuat suatu strategi dengan

serangkaian kegiatan penelitian secara komprehensif. Penelitian ini diawali dengan

studi karakterisasi morfologi dan molekuler dari populasi biakan in vitro lama

(berumur 4 tahun) yang selanjutnya digunakan sebagai biakan induk. Evaluasi

keragaman fenotipe bibit di rumah kaca juga dilakukan terhadap populasi tanaman

dari biakan induk tersebut. Penelitian dilanjutkan dengan melakukan studi

morfogenesis eksplan pada media padat dan cair secara organogenesis langsung

(yang diinduksi oleh auksin dan sitokinin), studi regenerasi secara organogenesis dan

embriogenesis somatik secara tidak langsung dengan menggunakan eksplan dari

biakan induk (yang diinduksi oleh auksin herbisida). Studi morfogenesis dilakukan

pula terhadap eksplan (batang semu, basal daun, tunas in vitro, dan embrio somatik)

yang dienkapsulasi dengan natrium alginat untuk pembentukan benih sintetik dan

konservasi in vitro secara pertumbuhan minimal melalui penerapan modifikasi suhu

penyimpanan dan penggunaan paklobutrazol atau manitol. Selain itu, juga dilakukan

evaluasi fenotipe dan stabilitas genetik biakan in vitro dan bibit aklimatisasi hasil

ekstraksi dari biakan induk menggunakan 3 macam metode regenerasi. Setelah itu,

dilakukan pembentukan populasi biakan in vitro yang baru (0 tahun) serta

pendeteksian keragaman somaklonal secara morfologi dan molekuler. Secara umum,

ruang lingkup kegiatan penelitian ini dijelaskan pada diagram alir penelitian

(Gambar 1).

Karakterisasi morfologidan molekuler biakanin vitro dan bibit nenas

Karakterisasi morfologibiakan in vitro

Evaluasi fenotipe bibit dirumah kaca

Karakterisasi molekulerdenganmetodeRAPD

Subkulturdan evaluasifenotipe individu varian

Studi morfogenesiseksplan

Organogenesis langsung padamedia

padat

Induksi akardanaklimatisasi di rumah

kaca

Evaluasi fenotipe dananalisis molekuler

denganmetodeRAPD

Organogenesis langsung padamedia

cair

Pemilihan metodeterbaik

Studi organogenesis danembriogenesis tidak langsung

menggunakan 2,4-D

Induksi kalus

Induksi akar danaklimatisasi di rumah

kaca

Evaluasi fenotipe dananalisis molekuler

denganmetodeRAPD

Regenerasi kalusmenjadi tunas melaluijalur organogenesis

Induksi kalusembriogenik

Regenerasi kalusembriogenikmenjadi

embrio somatik

Aklimatisasi di rumahkaca

Evaluasi fenotipe dananalisis molekuler

denganmetodeRAPD

Studi embriogenesissomatik tidak langsungmenggunakan pikloram

Induksi kalusembriogenik

Regenerasi kalusembriogenikmenjadi

embrio somatik

Aklimatisasi di rumahkaca

Proliferasi kalusembriogenik

Evaluasi fenotipe dananalisis molekuler

denganmetodeRAPD

Pembentukan benihsintetik dan

pertumbuhan minimal

Studi enkapsulasi: pengaruh jenis eksplan

dan pra-perlakuan

Pertumbuhan minimal denganmanitol dan

modifikasi suhu

Pemulihandanregenerasi

Pertumbuhan minimal denganpaklobutrazoldan modifikasi suhu

Induksi akardanaklimatisasi di rumah

kaca

Evaluasi keragaman bibitdari 3 metode regenerasidari populasi lama (induk)

Evaluasi keragaman bibithasil organogenesis

langsung

Evaluasi keragaman bibithasil embriogenesis somatik

tidak langsung

Evaluasi ketepatangenetikdenganmetodeRAPD

Evaluasi keragaman bibithasil organogenesis tidak

langsung

Sterilisasi dan inisiasitunas in vitro

Regenerasi secaraorganogenesis

langsung

Evaluasi fenotipebiakan in vitro

Isolasi eksplanbasal daun

Pembentukan populasi barubiakan in vitro dan deteksi

dini keragaman somaklonal

Deteksi dini secaramolekulerdengan

metode RAPD

Populasi lama biakan in vitro (umur 4 tahun)

Gambar 1. Diagram alir tahapan penelitian dalam studi pengembangan metode organogenesis dan embriogenesis pada nenas serta deteksi dini untuk

mereduksi keragaman somaklonal.

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi, Morfologi, Anatomi, dan Nilai Penting Nenas

Ananas comosus (L.) Merr. termasuk dalam monocotyledonae, ordo

Bromeliales, famili Bromeliaceae, dan subfamily Bromeliadeae. Nenas

merupakan tanaman herbaseus perenial. Batangnya memiliki internodus yang

sangat pendek (1-10 mm tergantung pada posisinya) sehingga tampak kompak

dan roset. Jaringan pembuluh yang padat memisahkan korteks dan stele yang

terutama terdiri atas xilem dengan sedikit floem. Tanaman nenas mempunyai

filotaksi yang bervariasi antara 3/8 hingga 5/13 dan 8/21 ketika berbunga. Daun

memiliki lapisan kutikula yang tebal dan jaringan penyimpan air pada bagian

epidermis atas. Bagian abaksial daun banyak mengandung trikoma yang

memberikan warna keperakan dan mampu meningkatkan pantulan cahaya. Selain

itu, densitas stomata daun agak rendah, yaitu sekitar 80 stomata mm-2.

Keberadaan kutikula, jaringan penyimpan air, jarangnya stomata, dan banyaknya

trikoma menyebabkan tanaman nenas bersifat ekonomis dalam menggunakan air

(Coppens d’Eeckenbrugge dan Leal 2003).

Nenas merupakan tanaman penting di daerah tropis. Berdasarkan data

produksi buah-buahan di Indonesia, komoditas nenas menempati peringkat ketiga

atau keempat setelah pisang, mangga, dan jeruk (BPS 2009). Sebagian besar buah

nenas dikonsumsi sebagai buah segar (buah meja) dan buah kaleng. Buah nenas

adalah sumber berbagai macam mineral dan vitamin seperti Mn, Cu, Ca, N, P, Fe,

vitamin C, B1 (tiamin), B2 (riboflavin), B3 (niasin), B6 (piridoksin), asam

askorbat, karoten dan serat. Nenas juga mengandung enzim bromelain yang

berfungsi untuk berbagai macam pengobatan seperti detoksifikasi liver, antitumor

dan antiradang. Selain itu, daun nenas juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber

untuk kertas dan tekstil (Baez et al. 2007; Department of Health and Ageing 2008;

Jacques et al. 2008).

Menurut Ochse et al. (1961) dan Bartholomew et al. (2003), tanaman nenas

pada umumnya diperbanyak secara vegetatif. Beberapa macam organ vegetatif

yang digunakan sebagai bahan perbanyakan adalah: (1) butt atau stump, yaitu

batang utama dari tanaman dewasa; (2) ratoon, yaitu tunas yang muncul pada

pangkal batang; (3) sucker, yaitu tunas-tunas pada ketiak daun; (4) basal slips,

yaitu cabang-cabang yang muncul dari dasar buah; (5) hapas, yaitu tunas yang

muncul dari dasar tangkai buah, (6) crown slips, yaitu cabang-cabang yang

muncul dari ujung buah; dan (7) crown atau mahkota, tunas yang muncul dari

bagian atas buah (Gambar 2).

6

5

4

3

21

Sumber: Ochse et al. (1961)

Gambar 2. Berbagai macam organ vegetatif tanaman nenas: batang pokok (1), ratoon (2), aerial sucker (3), basal slip (4), crown slip (5), dan mahkota (6).

Perbanyakan dengan cara konvensional dilaporkan dapat menghasilkan bibit

dalam jumlah yang terbatas dengan ukuran yang bervariasi dan umur panen yang

bervariasi pula sehingga pemanenan tidak dapat dilakukan secara serempak.

Coppens d’Eckenbrugge dan Leal (2003) serta Ochse et al. (1961) melaporkan

bahwa bibit nenas yang berasal dari sucker memiliki umur panen 18–20 bulan,

ratoon 12–14 bulan, slip 20 bulan, crown 22–24 bulan, dan collar 14-16 bulan.

Perbanyakan in Vitro

Di mancanegara, teknik kultur in vitro tanaman nenas telah berkembang

(Tabel 1) mulai dari proliferasi tunas in vitro (Wakasa 1979; Firoozabady dan

Gutterson 2003; Khan et al. 2004; Danso et al. 2008), organogenesis (Sripaoraya

et al. 2003; Firoozabady dan Moy 2004; Hamasaki et al. 2005), embriogenesis

somatik (Sripaoraya et al. 2003; Firoozabady dan Moy 2004; Silva et al. 2008),

hingga kultur suspensi sel (Sripaoraya et al. 2003) dan teknologi benih sintetik

untuk konservasi jangka pendek (Gangopadhyay et al. 2004). Di Indonesia, teknik

perbanyakan in vitro tanaman nenas masih terbatas dalam hal teknik proliferasi

tunas nenas kultivar Queen (Nursandi et al. 2003; Purnamaningsih et al 2009),

teknik etiolasi nenas kultivar Smooth Cayenne (Nursandi et al. 2005), dan teknik

mutagenesis nenas kultivar Smooth Cayenne (Suminar 2010), sedangkan teknik

embriogenesis somatik dan benih sintetik masih belum dikaji (Tabel 2).

Benih sintetik didefinisikan sebagai embrio somatik yang berada di dalam

mantel (kapsul) sehingga sifatnya mirip dengan benih zigotik (Redenbaugh 1992).

Mantel tersebut dapat bertindak sebagai endosperma yang mengandung sumber

karbon, nutrisi, zat pengatur tumbuh, dan agen anti mikroba. Dewasa ini, definisi

benih sintetik dikembangkan lebih lanjut karena eksplan yang digunakan tidak

terbatas pada embrio somatik melainkan juga tunas terminal, tunas aksilar,

segmen buku, dan jaringan meristematik lainnya. Selain untuk tujuan perbanyakan

bibit, teknologi benih sintetik juga dapat dimanfaatkan untuk tujuan konservasi

(Rai et al. 2009).

Tabel 1. Status penelitian kultur in vitro nenas di mancanegara

Aspek/Varietas Eksplan Hasil Pustaka

Proliferasi tunas Smooth Cayenne Syncarp, slip,

mahkota, tunas aksilar

Keragaman bibit dari syncarp 100%, slip 98%, mahkota 7%, dan tunas aksilar 34%

Wakasa 1979

Smooth Cayenne Basal daun 6000–8000 tunas dalam 6 bulan (dengan bioreaktor) dari 2 tunas inisial

Firoozabady & Gutterson (2003)

MD2 Clump (kumpulan 2–3 tunas)

Keragaman 4% Danso et al. (2008)

Organogenesis

Phuket Basal daun dari sucker

Keragaman 5.8% Sripaoraya et al. (2003)

Smooth Cayenne Basal daun & core (batang semu) dari mahkota

NAA dan BA menyebabkan organogenesis langsung; TDZ dan IBA menyebabkan organogenesis tak langsung

Firoozabady & Moy (2004)

Smooth Cayenne Basal daun Pemaparan glutamin berkorelasi dengan respon organogenik

Hamasaki et al (2005)

Moris dan Josepine

MGB (meristematic globular bodies)

NAA dapat menginisiasi dan memproliferasi kalus

Silva et al. (2008)

Embriogenesis somatik

Phuket Basal daun MS + pikloram 3 mg/L (12.4 µM) dapat mengiduksi kalus embriogenik dan embrio somatik

Sripaoraya et al. (2003)

Smooth Cayenne Basal daun & batang semu

Pikloram dapat menginduksi kalus embriogenik (15–30%) dalam 3 bulan; menghasilkan keragaman 21%

Firoozabady & Moy (2004)

Suspensi sel Phuket Sel embriogenik Dengan menggunakan

pikloram, sifat alami sel embriogenik terpelihara hingga 6 bulan (frekuensi subkultur setiap 7 hari)

Sripaoraya et al. (2003)

Penyimpanan secara pertumbuhan minimal Elite (varietas lokal Jailpaiguri, Bengal Barat)

Tunas in vitro MS bebas ZPT dengan suhu inkubasi 8 0C dapat menyimpan biakan selama 45 hari

Gangopadhyay et al. (2004)

Tabel 2. Status penelitian kultur in vitro nenas di Indonesia dan peluang risetnya

Aspek/Varietas Eksplan Hasil Pustaka

Proliferasi tunas

Queen Tunas in vitro MS + BA 4.4 uM + NAA 1.6 µM menghasilkan multiplikasi tunas tertinggi (26.3 tunas/eksplan); penggunaan TDZ menghasilkan struktur noduler; tanaman roset dapat tumbuh normal setelah 30 MST

Nursandi et al. (2003 dan 2005)

Smooth Cayenne Tunas in vitro Perlakuan paklobutrazol 0.1 mg/L tidak nyata dalam menurunkan variasi

Purnama-ningsih et al. (2009)

Etiolasi Smooth Cayenne Tunas in vitro MS + BA 4 mg/L menghasilkan

2–3 planlet/eksplan dalam 10 minggu

Nursandi et al. (2005)

Mutagenesis

Golden Pineapple

Kalus Iradiasi sinar gamma 15 Gy menginduksi variasi pertumbuhan tunas, fenotipe dan karakter molekuler dengan penanda ISSR.

Suminar (2010)

Peluang riset dan kebaruan

Studi organogenesis (tahapan lengkap organogenesis tanaman nenas)

Studi embriogenesis somatik tanaman monokotil (tahapan lengkap embriogenesis somatik tanaman nenas)

Pembentukan benih sintetik untuk perbanyakan dan penyimpanan in vitro (metode enkapsulasi eksplan tanaman nenas)

Penyimpanan secara pertumbuhan minimal biakan in vitro nenas secara enkapsulasi (metode penyimpanan in vitro dengan modifikasi suhu dan paklobutrazol atau manitol)

Karakterisasi morfologi biakan in vitro nenas umur 4 tahun (metode deteksi dini untuk eliminasi varian yang tak diharapkan selama proses mikropropagasi)

Reduksi keragaman somaklonal biakan in vitro nenas

Penelusuran asal-usul keragaman somaklonal pada tanaman nenas

Konservasi In Vitro

Teknik konservasi in vitro dapat dibedakan menjadi tiga macam: (1) teknik

penyimpanan pada media tumbuh, (2) teknik pertumbuhan minimal, dan (3)

teknik kriopreservasi (Mariska et al. 1996; Leunufna 2004). Teknik pertumbuhan

minimal disarankan untuk diterapkan untuk working collection atau active

collection, sedangkan teknik kriopreservasi diterapkan untuk base collection

(Withers 1985).

Pada teknik penyimpanan dengan media tumbuh, tidak diperlukan

penambahan zat penghambat tumbuh. Penyimpanan dengan cara tersebut akan

memerlukan tindakan subkultur yang frekuentif sehingga kurang menghemat

tenaga, waktu, dan biaya serta beresiko terhadap kontaminasi (Mariska et al.

1996). Selain itu, subkultur yang frekuentif juga beresiko terhadap timbulnya

keragaman somaklonal (Eeuwens et al. 2002).

Pada teknik pertumbuhan minimal, beberapa modifikasi media dan

lingkungan dapat diterapkan, antara lain penurunan temperatur lingkungan dan

intensitas cahaya (Hu dan Wang 1983; Withers 1985; Keller et al. 2006),

penggunaan regulator osmotik seperti sukrosa dan manitol (Withers 1985;

Bessembinder et al. 1993), penurunan taraf beberapa faktor esensial seperti

pengenceran media (Desbrunais et al. 1992), serta penggunaan zat penghambat

tumbuh seperti paclobutrazol, cycocel, dan ancymidol (Withers 1985). Dengan

penerapan teknik pertumbuhan minimal maka biakan dapat disimpan dalam

jangka menengah (bulanan hingga tahunan).

Di Indonesia, teknik pertumbuhan minimal tanaman nenas belum pernah

dilaporkan. Di mancanegara, dilaporkan bahwa teknik enkapsulasi tunas in vitro

mampu menyimpan biakan nenas selama 45 hari melalui aplikasi suhu 8 0C

dengan menggunakan media MS tanpa zat pengatur tumbuh (Gangopadhyay et al.

2004).

Fenomena Keragaman Somaklonal

Dalam teknik kultur in vitro, terjadinya keragaman genetik atau

keragaman somaklonal kadang-kadang tidak dapat dihindari. Keragaman

somaklonal merupakan kejadian abnormalitas yang terjadi secara sitologi, mutasi,

perubahan sekuens, aktivasi gen, dan silencing atau pembungkaman gen

(Kaeppler et al. 2000). Dari berbagai kajian pustaka, dilaporkan bahwa off types

dapat disebabkan oleh variasi dari tanaman donor (pre-existing variation)

(Wakasa 1979), periode in vitro yang panjang (Koornneef 1991; Masoud and

Hamta 2008), zat pengatur tumbuh (Bairu et al. 2009), subkultur yang frekuentif

(Eeuwens et al. 2002), dan tergantung pada genotipe tanaman (Zucchi et al.

2002). Untuk menghindari tingginya keragaman somaklonal maka diperlukan

strategi untuk memproduksi bibit dengan kesamaan identitas genetik yang tinggi.

Dengan demikian, metode deteksi keragaman somaklonal memegang peranan

penting dalam pengujian tersebut.

Melalui pengamatan karakter morfologi, Wakasa (1979) menemukan tingkat

keragaman genetik yang berbeda-beda pada tanaman nenas hasil perbanyakan

secara in vitro ketika digunakan sumber eksplan yang berbeda pula. Berdasarkan

penelitian tersebut, diketahui bahwa syncarp menghasilkan keragaman sebesar

100%, slip 98%, crown 7%, dan tunas aksilar 34%. Sripaoraya et al. (2001)

menemukan fenomena keragaman somaklonal sebesar 5.7-7% ketika

menggunakan eksplan berupa tunas aksilar dan tunas terminal sucker nenas

kultivar Phuket. Soneji et al. (2002a) melaporkan terjadinya keragaman sebesar

7.6% dari bibit hasil perbanyakan in vitro dengan menggunakan mata tunas

aksilar dorman yang berasal dari mahkota nenas kultivar Queen. Dengan

menggunakan jenis eksplan yang sama, Santos et al. (2008) menemukan kejadian

keragaman genetik sebesar 38% pada nenas hias. Melalui jalur organogensis,

Firoozabady dan Moy (2004) menghasilkan keragaman sebesar 4% sedangkan

melalui jalur embriogenesis somatik dihasilkan variasi sebesar 21%.

Penekanan keragaman somaklonal (off-type) ditujukan untuk mendapatkan

bibit yang serupa dengan induknya. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap

variasi somaklonal adalah sumber eksplan, periode pengkulturan, jumlah

subkultur, zat pengatur tumbuh, genotipe, komposisi media, tingkat ploidi, dan

khimera (Zucchi et al. (2002). Dari bebagai jenis eksplan nenas yang digunakan,

mahkota menghasilkan tanaman dengan tingkat keragaman yang paling rendah

dibandingkan dengan syncarp, slip, dan tunas aksilar (Wakasa 1979). Sripaoraya

et al. (2003) mensinyalir bahwa keragaman somaklonal dapat ditekan dengan

menggunakan jaringan somatik yang masih muda. Regenerasi secara langsung

dari basal daun terbukti menghasilkan tanaman nenas yang true-to-type. Di lain

pihak, Masoud dan Hamta (2008) menemukan fenomena bahwa makin panjang

periode in vitro kultur cengkeh maka frekuensi keragaman makin tinggi pula.

Bairu et al. (2006) melaporkan bahwa perbanyakan pisang Cavendish dengan

menggunakan BA pada taraf rendah (2,5 ppm) dan jumlah subkultur yang rendah

(maksimal 6 kali) menghasilkan peluang off type yang lebih rendah, yaitu 10%.

Ketika taraf BA ditingkatkan menjadi 7.5 ppm dan frekuensi subkultur dinaikkan

menjadi 10 kali maka peluang off type dapat melebihi 70%. Menurut Eeuwens et

al. (2002), tingginya tingkat abnormalitas bibit kelapa sawit hasil kultur in vitro

diduga karena intensifnya penggunaan auksin dalam konsentrasi yang tinggi,

frekuensi subkultur yang tinggi (interval waktu subkultur yang singkat), dan umur

embrioid.

Deteksi Keragaman Somaklonal

Perbanyakan bibit dan konservasi menghendaki stabilitas genetik bahan

tanaman yang diperlakukan. Deteksi penyimpangan bibit yang dihasilkan dari

teknik kultur in vitro dapat dilakukan melalui karakterisasi morfologi (Wakasa

1979; Noor et al. 2009; Somsri et al. 2009 ; Zhao et al. 2005; Podwyszyńska

2005; Suminar 2010), sitologi (Al-Zahim et al. 1999; Joachimiak dan Ilnicki

2003), biokimia (Feuser et al. 2003), fisiologi (Perez et al. 2011), dan molekuler

(Chen et al. 1998; Al-Zahim et al. 1999; Soniya et al. 2001; Soneji et al. 2002;

Feuser et al. 2003; Santos et al. 2008; Perez et al. 2011).

Wakasa (1979) mengamati adanya keragaman somaklonal pada nenas secara

morfologi, yaitu karakter daun berduri, daun hijau gelap, sekresi lilin pada

permukaan daun bawah, dan albino dengan daun belang-belang putih. Nursandi

(2006) juga melakukan evaluasi keragaman somaklonal terhadap bibit nenas hasil

kultur in vitro melalui pengamatan karakter morfologi. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa perlakuan in vitro dapat menimbulkan keragaman tanaman

hingga 88% untuk karakter daun variegata, roset, dan kerdil, namun sebagian

besar tanaman tersebut mampu berubah menjadi normal setelah umur tertentu (25

MST).

Dalam analisis molekuler, Popluechai et al. (2007) menerapkan analisis

RAPD (Random Amplified Polymorphism DNA) untuk mengetahui hubungan

kekerabatan beberapa aksesi nenas. Penelitian tersebut telah berhasil

membuktikan bahwa 17 primer, yaitu OPA2, OPA3, OPA4, OPA9, OPA13,

OPC2, OPC5, OPC8, OPC9, OPC10, OPC11, OPC12, OPC14, OPC15, OPC16,

OPC19, dan OPC20 (Operon Tech. Alameda, USA) bersifat polimorfik (hingga

12 pita). Soneji et al. (2002b) juga menerapkan RAPD untuk menganalisis varian

nenas kultivar Queen yang berduri dan yang tidak berduri dengan menggunakan

primer OPA1, OPA2, OPA3, OPA4, OPA7, OPA8, OPA9, OPA11, OPA12,

OPA13, OPA15, OPA16, OPA17, OPA18, OPA19, OPF1, OPF4, OPF5, OPF6,

OPF8, OPF10, OPF13, OPJ4, OPJ5, OPJ7, OPJ8, OPJ9, OPJ10, OPJ11, OPJ12,

OPJ13, OPJ14, OPJ16, OPJ18, dan OPJ19. Santos et al. (2008) juga

menggunakan teknik RAPD untuk mengevaluasi variabilitas regeneran nenas hias

dan menghasilkan pita yang polimorfik dengan menggunakan primer OPA1,

OPA20, OPB1, OPB19, OPC19, OPF13, OPL17, OPM13, OPP16, OPT7,

OPV19, dan OPX3. Selain itu, marka ISSR (Inter Simple Sequence Repeat), yaitu

(CAG)5, (CAA)5, dan (GACA)4 (disintesis oleh Isogen) juga pernah diterapkan

pada tanaman nenas untuk mengevaluasi biakan pasca-penyimpanan in vitro

(Gangopadhyay et al. 2004).

Analisis molekuler terhadap tanaman nenas juga telah dilakukan di

Indonesia. Nursandi (2006) melaporkan bahwa perlakuan BA 2.22-17.76 µM

menghasilkan tanaman nenas normal yang dideteksi dengan menggunakan

penanda RAPD pimer OPE7 dan OPG2. Namun demikian, tanaman varigata tidak

dapat dideteksi dengan menggunakan primer OPG2. Penggunaan primer OPE7

dilaporkan hanya dapat membedakan sebagian tanaman varigata dengan tanaman

normalnya (6 dari 8 tanaman varigata).

STUDI MORFOGENESIS EKSPLAN NENAS YANG DIINDUKSI OLEH AUKSIN DAN SITOKININ

Abstrak

Morfogenesis eksplan perlu dipelajari sebelum penerapan metode regenerasi untuk perbanyakan masal, konservasi in vitro, dan transformasi genetik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh auksin dan sitokinin serta jenis eksplan terhadap morfogenesis eksplan nenas kultivar Smooth Cayenne pada media padat dan cair. Pada tahap pertama, digunakan media MS padat dengan penambahan zat pengatur tumbuh secara tunggal berupa BA atau NAA (0, 1, 2, dan 3 mg l-1) dengan eksplan berupa basal daun muda dan basal daun tua. Pada tahap kedua, digunakan media MS cair dengan kombinasi perlakuan sitokinin BA (0.5 atau 1.0 mg l-1) dan auksin (NAA atau IAA atau IBA pada taraf 0.5 mg l-1) dengan menggunakan eksplan berupa daun utuh dan potongan basal daun. Hasil percobaan pertama menunjukkan bahwa eksplan basal daun hanya memberikan respon ketika diberi perlakuan sitokinin ataupun auksin. Perlakuan terbaik untuk morfogenesis eksplan basal daun pada media padat adalah BA 3 mg l-1 yang menghasilkan persentase pertunasan sebasar 30% dan jumlah tunas sebesar 10 tunas/eksplan dalam waktu 2 bulan. Hal yang menarik adalah munculnya sel embriogenik dan pro-embrio dari eksplan yang diberi perlakuan NAA, namun embrio somatik gagal terbentuk. Hasil percobaan kedua menunjukkan bahwa kombinasi BA 0.5 mg l-1 dan IBA 0.5 mg l-1 dengan eksplan potongan basal daun merupakan perlakuan yang terbaik untuk morfogenesis pada media cair dengan persentase pertunasan sebesar 18% dan jumlah tunas sebesar 13 tunas/eksplan dalam waktu 2 bulan. Secara umum, disimpulkan bahwa morfogenesis eksplan basal daun nenas menggunakan media padat lebih baik daripada menggunakan media cair.

Kata kunci: Morfogenesis, nenas, kultur in vitro, media padat, media cair, embriogenesis somatik

Abstract

Morphogenetic system of explants should be firstly studied before establishing the efficient regeneration method for several applications, such as clonal mass propagation, in vitro conservation, and genetic transformation. The objective of the research was to study the effect of auxin, cytokinin and explant type to the morphogenesis of pineapple on solid media and in liquid media. On the first step, it was used MS solid media containing of a single plant growth regulator of BA or NAA at the rate of 0, 1, 2, and 3 mg l-1 respectively. On the second step, it was used MS liquid media containing of BA (0.5 or 1.0 mg l-1) combined with NAA or IAA or IBA at the rate of 0.5 mg l-1 respectively by using whole leaves and leaf bases as the explants. The result of the first experiment showed that leaf base explants showed responses only when they were treated by cytokinin or auxin. The leaf bases planted on solid MS medium with addition of 3 mg l-1 BA yielded 30% shoot formation and 10 shoots/explant in 2 months. Interestingly, embryogenic cells and pro-embryos were detected from the NAA

treated explants but they failed to form somatic embryos. The result of the second experiment showed that the basal leaves grown in MS liquid medium containing of 0.5 mg l-1 BA and 0.5 mg l-1 NAA yielded 18% shoot formation and 13 shoots/explant in 2 months. In conclusion, morphogenesis of pineapple leaf bases on solid media was beter than that in liquid media.

Keywords: Morphogenetic system, pineapple, in vitro culture, solid media, liquid media, and somatic embryogenesis

Pendahuluan

Nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) merupakan tanaman penting di daerah

tropis dan subtropis. Berdasarkan data produksi buah-buahan, nenas menempati

peringkat ketiga atau keempat setelah pisang, mangga, dan jeruk (Tabel 3).

Penanaman bibit nenas sebanyak 40.000 tanaman/ha akan diarahkan menjadi

100.000 tanaman/ha (Suminar 2010) karena saat ini peningkatan densitas tanaman

dapat meningkatkan produksi. Konsekuensinya, keperluan penyediaan bibit nenas

menjadi sangat tinggi pada masa mendatang.

Menurut Coppens d’Eckenbrugge dan Leal (2003), secara umum organ

vegetatif nenas terdiri dari crown (mahkota), sucker (tunas yang berasal dari

ketiak daun), butt atau stump (merupakan tanaman utuh setelah pemanenan),

hapas (tunas yang diproduksi pada bagian dasar tangkai buah), ratoon (tunas yang

muncul dari bagian batang yang tertimbun di dalam tanah), dan slip (tunas yang

timbul dari tangkai buah pada bagian persis di bawah buah). Khusus untuk

kultivar Smooth Cayenne, organ vegetatif tersebut terbatas pada mahkota dan

sucker, sedangkan slip jarang sekali dihasilkan.

Perbanyakan tanaman nenas secara konvensional menghasilkan bibit dalam

jumlah yang terbatas dengan ukuran yang bervariasi dan umur panen yang

bervariasi pula sehingga pemanenan tidak dapat dilakukan secara serempak.

Coppens d’Eckenbrugge dan Leal (2003) melaporkan bahwa bibit nenas yang

berasal dari sucker memiliki umur panen 18–20 bulan, ratoon 12–14 bulan, slip

20 bulan, crown 22–24 bulan, dan collar 14-16 bulan. Walaupun mahkota

dilaporkan mempunyai tingkat keseragaman yang lebih tinggi daripada sucker

(Wakasa 1979), organ vegetatif tesebut tidak dapat digunakan sebagai alat

perbanyakan, khususnya untuk varietas nenas yang ditujukan sebagai buah meja

karena mahkota harus selalu terikut bersama buahnya pada saat dijual.

Tabel 3. Data produksi buah-buahan di Indonesia sejak tahun 1995-2009

Tahun Pisang (ton)

Mangga (ton)

Jeruk (ton)

Nenas (ton)

Rambutan(ton)

Salak (ton)

Durian (ton)

1995 3.805.431 888.959 143.059 703.300 - - -

1996 3.023.484 782.936 91.469 501.111 - - -

1997 3.057.081 1.087.692 696.422 385.779 295.692 525.461 236.370

1998 3.176.749 600.059 490.937 326.956 277.876 353.248 210.116

1999 3.376.661 827.066 449.562 316.760 202.830 457.353 173.405

2000 3.746.962 876.027 644.052 393.299 296.103 423.548 236.794

2001 4.300.422 923.294 691.433 494.968 350.875 681.255 347.118

2002 4.384.384 1.402.906 968.132 555.588 476.941 768.015 525.064

2003 4.177.155 1.526.474 1.529.824 677.089 815.438 928.613 741.831

2004 4.874.439 1.437.665 2.071.084 709.918 709.857 800.975 675.902

2005 5.177.607 1.412.884 2.214.019 925.082 657.579 937.930 566.205

2006 5.037.472 1.621.997 2.565.543 1.427.781 801.077 861.950 747.848

2007 5.454.226 1.818.619 2.625.884 2.237.858 705.823 805.879 594.842

2008 5.741.351 2.013.121 2.311.581 1.272.761 851.240 712.263 602.694

2009 6.373.533 2.243.440 2.131.768 1.558.196 986.841 829.014 797.798

Sumber: BPS (2009).

Di Indonesia, teknologi kultur in vitro nenas kultivar Smooth Cayenne

relatif masih terbatas pada teknik proliferasi tunas (Purnamaningsih et al. 2009),

etiolasi (Nursandi et al. 2005), dan mutagenesis (Suminar 2010). Oleh karena itu,

diperlukan studi yang komprehensif untuk memantapkan metode regenerasi

tanaman nenas yang akan berguna bagi berbagai macam keperluan, seperti

perbanyakan bibit secara masal, konservasi in vitro, dan rekayasa genetika.

Secara umum, metode regenerasi tanaman secara in vitro dapat dibedakan

menjadi tiga macam, yaitu proliferasi tunas samping, organogenesis, dan

embriogenesis somatik. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan studi

morfogenesis eksplan nenas. Pada teknik kultur in vitro, zat pengatur tumbuh

(ZPT) yang paling banyak digunakan untuk memacu pertumbuhan biakan adalah

sitokinin dan auksin. Kedua senyawa tersebut berperan penting dalam pembelahan

dan elongasi sel (Srivastava 2002). Oleh karena itu, kedua jenis ZPT tersebut

digunakan dalam penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

pengaruh auksin dan sitokinin serta jenis eksplan terhadap morfogenesis eksplan

nenas kultivar Smooth Cayenne pada media padat dan cair.

Bahan dan Metode

Bahan tanaman yang digunakan adalah kultur in vitro tanaman nenas

kultivar Smooth Cayenne yang berasal dari Subang, Jawa Barat. Biakan tanaman

induk tersebut dipelihara pada media MS (Murashige dan Skoog 1962) dengan

penambahan benzyl adenine (BA) 0.5 mg l-1 (2.2 µM) dan kinetin (Kn) 1 mg l-1

(4.6 µM). Inkubasi dilakukan di ruang kultur dengan suhu 25±2 0C dan

pencahayaan 800–1000 lux dengan fotoperiodisitas 16 jam. Penelitian dibagi atas

dua tahap percobaan, yaitu morfogenesis eksplan pada media padat dan

morfogenesis eksplan pada media cair.

Morfogenesis eksplan pada media padat

Percobaan disusun secara faktorial dalam lingkungan Rancangan Acak

Lengkap. Faktor pertama adalah jenis eksplan, yaitu basal daun muda dan basal

daun tua. Faktor kedua adalah zat pengatur tumbuh (ZPT), yaitu BA dan

naphthalene acetic acid (NAA) masing-masing pada taraf 0, 1, 2, dan 3 mg l-1.

Daun muda diambil dari daun ke-4 hingga ke-8 dari pucuk dengan ciri khusus,

yaitu bagian pangkalnya berwarna putih kehijauan dan tebal. Daun tua diambil

dari daun ke-3 hingga ke-5 dari pangkal batang dengan ciri khusus, yaitu bagian

pangkalnya transparan, tipis, dan agak melingkar. Daun diisolasi dari tunas in

vitro dengan cara melepaskan daun-daunnya satu persatu secara hati-hati

kemudian bagian basalnya dipotong (berukuran 0.3-0.5 cm). Eksplan ditanam

pada media MS dengan penambahan ZPT sesuai perlakuan dan agar 8 g l-1. Pada

setiap botol ditanami sepuluh eksplan dan perlakuan diulang sebanyak 4 kali.

Eksplan diinkubasikan pada ruang kultur dengan suhu 25±2 0C, fotoperiodisitas

16 jam terang dan intensitas cahaya 800–1000 lux. Respon yang diamati adalah

persentase pembentukan akar, tunas, kalus, jumlah tunas, dan penampilan visual

biakan. Persentase pembentukan akar atau tunas atau kalus adalah jumlah eksplan

yang berakar atau bertunas atau berkalus dibagi dengan jumlah total eksplan yang

diamati dikalikan 100%.

Morfogenesis eksplan pada media cair

Pada tahap ini, terdapat dua percobaan. Percobaan pertama menggunakan

eksplan daun utuh, sedangkan percobaan kedua menggunakan eksplan potongan

basal daun. Pada kedua percobaan tersebut digunakan Rancangan Acak Lengkap.

Helaian daun in vitro dilepaskan secara hati-hati dari batangnya dengan bantuan

skalpel lalu basal daun diisolasi dengan mata pisau tajam. Perlakuan yang diujikan

adalah media MS cair (25 ml) yang mengandung BA pada taraf 0.5 atau 1.0 mg l-1

(2.2 atau 4.4 µM) dengan atau tanpa penambahan NAA, indole butyric acid

(IBA), dan indole acetic acid (IAA) pada taraf 0.5 mg l-1. Ke dalam setiap botol,

dimasukkan sepuluh eksplan, dan perlakuan diulang sebanyak 4 kali.

Penggoyangan atau pemutaran dilakukan pada rotary shaker dengan kecepatan 60

rpm secara periodik 16 jam selama 3 minggu kemudian kecepatan ditingkatkan

menjadi 70 rpm. Fotoperiodisitas diterapkan selama 16 jam terang dengan

intensitas cahaya 800–1000 lux. Inkubasi dilakukan pada suhu 25±2 0C selama 1.5

bulan. Respon yang diamati adalah persentase pembentukan akar, tunas, kalus,

jumlah tunas, dan penampilan visual biakan. Persentase pembentukan akar atau

tunas atau kalus adalah jumlah eksplan yang berakar atau bertunas atau berkalus

dibagi dengan jumlah total eksplan yang diamati dikalikan 100%.

Hasil dan Pembahasan

Morfogenesis eksplan pada media padat

Hasil percobaan menunjukkan bahwa eksplan basal daun tidak memberikan

respon apapun ketika ditumbuhkan pada media bebas ZPT, namun memberikan

respon ketika diberi perlakuan sitokinin ataupun auksin (Gambar 3 dan 4). Respon

tersebut dihasilkan dari bagian pangkal daun. Menurut Firoozabady and Moy

(2004), basal daun mempunyai area meristematis di mana sel-selnya membelah

dengan pesat sehingga bagian tersebut paling respon terhadap perlakuan kultur in

vitro. Selain itu, Suryowinoto (1996) menjelaskan bahwa tanaman dalam famili

Bromeliaceae mempunyai meristem adventif di daerah basal daunnya. Fakta dari

percobaan ini menunjukkan bahwa diferensiasi sel-sel basal daun sangat

dipengaruhi oleh suplai ZPT.

A

CB D

GFE

Gambar 3. Keragaan kultur nenas kultivar Smooth Cayenne yang berasal dari

eksplan basal daun (1 bulan setelah tanam): tanpa ZPT (A), BA 1 mg l-1 (B), BA 2 mg l-1 (C), BA 3 mg l-1 (D), NAA 1 mg l-1 (E), NAA 2 mg l-1 (F), dan NAA 3 mg l-1 (G).

Hasil percobaan juga menunjukkan terdapatnya interaksi yang nyata antara

jenis eksplan dengan ZPT terhadap peubah persentase daya hidup, persentase

eksplan berkalus, dan persentase eksplan berakar pada periode 2 bulan setelah

tanam (Gambar 4). Secara umum, kombinasi perlakuan NAA 3 mgl-1 dan eksplan

basal daun muda memberikan hasil yang tertinggi dari ketiga peubah tersebut.

Persentase eksplan bertunas dipengaruhi oleh jenis eksplan. Eksplan basal

daun muda lebih baik daripada eksplan basal daun tua (Gambar 4). Hal ini diduga

disebabkan oleh rendahnya tingkat pembelahan sel dalam jaringan daun tua dan

tingginya zat inhibitor (senyawa fenolik, ABA, dan etilen) sehingga daya

regenerasinya rendah. Pengamatan secara visual menunjukkan bahwa sebagian

besar daun tua mengalami pencoklatan. Hal ini menimbulkan dugaan adanya

aktivitas polifenol oksidase yang menghasilkan quinon sehingga eksplan menjadi

coklat.

Selain persentase pembentukan tunas, hingga periode 2 bulan, peubah

jumlah tunas juga dipengaruhi oleh jenis eksplan walaupun pada periode 4 bulan,

ZPT memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah tunas. Pada periode 2

bulan, sebanyak 30% eksplan beregenerasi membentuk tunas (Gambar 4) dengan

jumlah tunas sebanyak 10 tunas/eksplan (Gambar 4). Pada periode 4 bulan,

perlakuan BA 3 mg l-1 menghasilkan jumlah tunas tertinggi (18 tunas/eksplan)

dibandingkan perlakuan lainnya. Diduga bahwa sitokinin terakumulasi di dalam

jaringan biakan dengan bertambahnya periode kultur in vitro sehingga

pengaruhnya nyata pada 4 bulan setelah tanam.

Secara visual terdapat perbedaan respon yang mencolok antara eksplan yang

diberi perlakuan BA dan NAA. Penggunaan BA pada awalnya memacu

pertumbuhan ke arah pertunasan dan selanjutnya menginduksi pembentukan kalus

setelah pembentukan tunas (Gambar 4). Diduga bahwa kandungan sitokinin

endogen menurun seiring dengan bertambahnya periode in vitro sehingga tarafnya

menjadi seimbang dengan auksin endogen yang disintesis oleh pucuk tunas dan

berakibat pada terbentuknya kalus. Di lain pihak, NAA memacu pertumbuhan

akar dan mampu menginduksi pertumbuhan kalus setelah pembentukan akar dan

menginduksi pembentukan tunas setelah kalus terbentuk. Terbentuknya kalus oleh

perlakuan NAA diduga karena akar yang terbentuk mampu segera mensintesis

sitokinin lalu sitokinin tersebut ditranslokasikan secara akropetal sehingga ketika

rasio antara keduanya seimbang maka terbentuk kalus dan ketika sitokinin

endogen lebih tinggi tarafnya maka terbentuk tunas.

Terbentuknya organ tunas dan akar secara terpisah menunjukkan bahwa

sifatnya unipolar (satu kutub). Proses regenerasi demikian disebut sebagai

regenerasi secara organogenesis (Phillips et al. 1995). Hasil percobaan ini

mengindikasikan bahwa basal daun nenas mampu beregenerasi secara

organogenesis, baik langsung (tanpa melalui fase kalus) maupun tak langsung

(melalui fase kalus).

Umur (2 bulan)

a

b0

4

8

12

Muda Tua

Tipe eksplan

Jum

lah

tuna

s

Umur (2 bulan)

a

b0

20

40

60

Muda Tua

Tipe eksplan

Day

a hi

dup

(%)

Umur (2 bulan)

0

20

40

60

80

100

Muda Tua Muda Tua Muda Tua Muda Tua Muda Tua Muda Tua Muda Tua

MS BA1 BA2 BA3 NAA1 NAA2 NAA3

Tipe eksplan dan ZPT (mg/l)

Pen

gkal

usan

(%)

Umur (2 bulan)

020406080

100

Muda Tua Muda Tua Muda Tua Muda Tua Muda Tua Muda Tua Muda Tua

MS BA1 BA2 BA3 NAA1 NAA2 NAA3

Tipe eksplan dan ZPT (mg/l)

Pera

kara

n (%

)

Umur (2 bulan)

b

a

05

10152025

Muda Tua

Tipe eksplan

Pertu

nasa

n (%

)

Umur (4 bulan)

aaa

b

a

ab

a048

121620

0 BA1 BA2 BA3 NAA1 NAA2 NAA3

ZPT (mg/l)

Jum

lah tu

nas

A B C

D

E

F

Uji lanjut dilakukan dengan menggunakan DMRT dengan selang kepercayaan 0.05

Gambar 4. Pengaruh tipe eksplan (A, B, C) dan ZPT (F) serta pengaruh interaksi antara tipe eksplan dan ZPT (D dan E) terhadap morfogenesis eksplan basal daun nenas kultivar Smooth Cayenne pada media padat.

Hasil percobaan ini juga menunjukkan bahwa kalus yang terbentuk dari

perlakuan BA bersifat kompak sedangkan kalus yang terbentuk dari perlakuan

NAA bersifat remah. Terbentuknya kalus kompak diduga disebabkan oleh

tingginya kandungan sitokinin endogen yang diinduksi oleh perlakuan sitokinin

eksogen berupa BA. Terbentuknya kalus remah menimbulkan dugaan adanya sel-

sel induced embryogenic determined cell (IEDC) pada daerah basal daun nenas

dan berpotensi untuk induksi embriogenesis somatik. NAA merupakan salah satu

jenis auksin yang mempunyai daya aktivitas kuat, mudah ditranslokasikan, dan

mempunyai persistensi yang tinggi sehingga memacu pembentukan akar dan

mampu menginduksi terbentuknya kalus. Dengan demikian, dapat dikatakan

bahwa eksplan basal daun nenas juga berpeluang tinggi untuk diregenerasikan

secara embriogenesis somatik.

Untuk meyakinkan dugaan tersebut maka kalus remah tersebut diamati di

bawah mikroskop. Hasil pengamatan secara mikroskopis menunjukkan bahwa

kalus terdiri atas kumpulan sel yang bersifat non embriogenik (Gambar 5) dan

embriogenik (Gambar 6). Sel yang non embriogenik ditandai dengan

pembelahannya yang bersifat simetris sedangkan sel yang embriogenik ditandai

dengan pembelahan sel yang asimetris. Menurut Abrash dan Bergmann (2009),

pembelahan asimetris menghasilkan sel-sel anakan yang berbeda secara

morfologi. Pada penelitian ini, teramati bahwa pembelahan asimetris didahului

dengan polaritas sel (Gambar 6A) kemudian pembentukan sel apikal dan basal

(Gambar 6B) lalu dilanjutkan dengan pembelahan sel secara transversal (Gambar

6C) dan longitudinal (Gambar 6D) hingga terbentuk sel yang linier (Gambar 6E)

dan struktur oktan (Gambar 6F). Sayangnya, sel embriogenik yang telah

dihasilkan gagal membentuk embrio somatik. Kegagalan tersebut kemungkinan

disebabkan oleh kurangnya akumulasi amilum, protein, dan lipid di dalam sel-sel

yang menyusun pro-embrio sehingga pro-embrio tersebut tidak mampu tumbuh

dewasa untuk membentuk embrio somatik. Oleh karena itu, perlu digunakan tipe

auksin lainnya.

A

B C

Gambar 5. Penampilan kalus nenas pasca-perlakuan NAA dan tipe sel yang

menyusunnya: kalus remah (A), pembelahan sel secara simetris (B), dan kumpulan sel non embriogenik (C).

apikal

Basal transversal

longitudinal

A B

C

D

E F Gambar 6. Pembelahan sel secara asimetris dari sel embriogenik yang diiduksi

oleh NAA: sel yang terpolarisasi (A), sel apikal dan basal (B), sel yang mengalami pembelahan transversal (C) dan longitudinal (D), sel yang tersusun linier (E), stadium oktan atau 8 sel (F).

Morfogenesis eksplan pada media cair

Berdasarkan hasil percobaan pertama diketahui bahwa eksplan daun nenas

memberikan respon yang baik pada media padat yang ditambah dengan ZPT.

Diduga bahwa eksplan tersebut akan memberikan respon yang lebih baik pada

media cair karena kontak eksplan dengan media cair lebih intensif dibandingkan

dengan media padat. Oleh karena itu, taraf ZPT pada percobaan ini diturunkan

dan digunakan kombinasi perlakuan antara sitokinin dan auksin. Selain itu, jenis

eksplan (daun utuh dan potongan basal daun) juga dipelajari pengaruhnya

terhadap daya morfogenesis pada media cair.

Hasil percobaan menunjukkan bahwa semua formulasi media tidak

memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase pertunasan tetapi

berpengaruh nyata terhadap persentase pembentukan nodul dan akar dari eksplan

daun utuh (Gambar 7). Berbeda dengan daun utuh, eksplan basal daun mempunyai

respon yang lebih baik karena beregenerasi hampir pada semua formulasi media.

Persentase pembentukan tunas dan akar tidak dipengaruhi secara nyata oleh

perlakuan yang diberikan. Perlakuan kombinasi antara BA 0.5 mgl-1 dan IAA 0.5

mgl-1, BA 0.5 mgl-1 dan IBA 0.5 mgl-1, serta BA 1 mgl-1 dan IBA 0.5 mgl-1

memberikan persentase pembentukan nodul yang berbeda nyata daripada

perlakuan lainnya (Gambar 7). Selanjutnya, peubah jumlah tunas, tidak terdapat

perbedaan yang nyata antar formulasi media yang diujikan (Gambar 8). Jumlah

tunas tertinggi diperoleh dari perlakuan BA 0.5 mgl-1 dan IBA 0.5 mgl-1 serta

perlakuan IBA 1 mgl-1. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perlakuan

BA 0.5 mgl-1 dan IBA 0.5 mgl-1 merupakan perlakuan terbaik untuk morfogenesis

eksplan nenas pada media cair.

Berdasarkan Gambar 9 tampak bahwa respon awal dari eksplan daun nenas

adalah menggembungnya bagian basal daun sehingga warnanya menjadi

keputihan. Diduga bahwa respon awal tersebut diperankan oleh auksin. Secara

visual, tampak bahwa daun menggembung di daerah abaksial (permukaan bawah).

Hal ini menunjukkan bahwa elongasi sel lebih pesat pada daerah abaksial daripada

daerah adaksial (permukaan atas). Srivastava (2002) mengemukakan bahwa

elongasi sel diperankan oleh auksin sehingga diduga bahwa daerah abaksial

mengandung auksin yang lebih tinggi daripada daerah adaksial.

aa

a a

b

aa

a a

a

a aa a

a

aa

b

a

a a

a

aa

0

10

20

30

40

Resp

on e

kspla

n (%

)

BA0.5 BA0.5NAA0.5

BA0.5IAA0.5

BA0.5IBA0.5

BA1 BA1NAA0.5

BA1IAA0.5

BA1IBA0.5

ZPT (mg/l)

Daun utuh

TunasNodulAkar

aa

a

a

aa

a

b

a

a

ab

a

a

aa

a

a

a

a

a

a

a

ab

a0

10

20

30

40

Resp

on e

kspla

n (%

)

BA0.5 BA0.5NAA0.5

BA0.5IAA0.5

BA0.5IBA0.5

BA1 BA1NAA0.5

BA1IAA0.5

BA1IBA0.5

ZPT (mg/l)

Potongan basal daun

TunasNodulAkar

Uji lanjut dilakukan dengan menggunakan DMRT dengan selang kepercayaan 0.05

Gambar 7. Pengaruh kombinasi sitokinin dan auksin pada media cair terhadap pembentukan tunas, nodul, dan akar dari kultur in vitro nenas kultivar Smooth Cayenne yang berasal dari eksplan daun utuh dan potongan basal daun, umur 1.5 bulan.

Peran auksin semakin jelas ketika basal daun membentuk akar. Diduga

bahwa pada kondisi pemutaran 60 rpm secara periodik 16 jam terjadi polaritas sel-

sel pada bagian basal daun yang terlindung dari cahaya sehingga pembentukan

akar menjadi terpacu. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh auksin yang berperan

penting sebagai agensia penginduksi pembelahan sel melalui transpor polarnya.

Menurut Vanneste and Frim (2009), kendali distribusi auksin menentukan suatu

sel dari jaringan untuk melaksanakan perubahan spesifik dalam program

perkembangannya, mencakup organogenesis dan tropisme. Srivastava 2002 juga

melaporkan bahwa auksin berperan penting sebagai pemandu arah dalam berbagai

proses perkembangan tanaman yang melibatkan polaritas. Menariknya, ketika

pemutaran ditingkatkan menjadi 70 rpm secara kontinyu, eksplan mampu bertunas

dalam waktu yang singkat (1 minggu). Hal ini membuktikan bahwa polaritas

dipengaruhi oleh kecepatan dan periodisitas pemutaran. Terbentuknya tunas dari

ekplan yang berakar menunjukkan bahwa mekanisme dead-end tidak terjadi pada

kultur nenas kultivar Smooth Cayenne, suatu fenomena yang tidak umum terjadi

pada berbagai macam tanaman lainnya.

Daun utuh

0

10

20

30

40

BA0.5 BA0.5NAA0.5

BA0.5IAA0.5

BA0.5IBA0.5

BA1 BA1NAA0.5

BA1IAA0.5

BA1IBA0.5

ZPT (mg/L)

Juml

ah tu

nas 1.5 bulan

2 bulan

Potongan basal daun

0

5

10

15

20

BA0.5 BA0.5NAA0.5

BA0.5IAA0.5

BA0.5IBA0.5

BA1 BA1NAA0.5

BA1IAA0.5

BA1IBA0.5

ZPT (mg/l)

Juml

ah tu

nas

1.5 bulan

2 bulan

Tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan selang kepercayaan 0.05

Gambar 8. Pengaruh kombinasi sitokinin dan auksin pada media cair terhadap jumlah tunas dari kultur in vitro nenas kultivar Smooth Cayenne yang berasal dari eksplan daun utuh dan potongan basal daun.

Perbedaan respon juga terlihat pada daerah abaksial dan adaksial. Daerah

abaksial cenderung membentuk akar sedangkan tunas muncul dari daerah adaksial

(Gambar 9). Hal ini menunjukkan bahwa distribusi dan rasio ZPT pada kedua

daerah tersebut juga berbeda, di mana sitokinin lebih dominan pada daerah

adaksial sehingga memacu pertumbuhan tunas, sedangkan auksin lebih dominan

pada daerah abaksial sehingga memacu pertumbuhan akar.

A

C

B

D

Gambar 9. Tahapan morfogenesis dari eksplan daun nenas kultivar Smooth

Cayenne pada media cair: respon awal eksplan oleh perlakuan kombinasi sitokinin dan auksin (A), pembentukan nodul, akar, dan tunas (B), elongasi tunas (C), dan pembentukan planlet (D).

Simpulan

Basal daun nenas merupakan area yang meristematis sehingga mampu

berdiferensiasi. Pemberian ZPT (berupa sitokinin atau auksin) mutlak diperlukan

untuk menginduksi proses diferensiasi tersebut. Pemberian BA memacu ke arah

pembentukan tunas dan kalus kompak. Pemberian NAA memacu ke arah

pembentukan akar yang diikuti dengan pembentukan kalus remah yang tersusun

atas sel-sel non embriogenik dan embriogenik. Terdapat interaksi yang nyata

antara jenis eksplan dan ZPT terhadap persentase daya hidup, persentase eksplan

berkalus, dan persentase eksplan berakar sedangkan jumlah tunas yang terbentuk

dipengaruhi secara nyata oleh ZPT. Perlakuan terbaik untuk organogenesis

langsung pada media padat adalah BA 3 mg l-1 dan eksplan berupa basal daun

muda dengan persentase pertunasan sebesar 30% dan tingkat multiplikasi tunas

sebesar 10 tunas/eksplan dalam waktu 2 bulan. Perlakuan terbaik untuk

organogenesis langsung pada media cair adalah BA 0.5 mg l-1 dan IBA 0.5 mg l-1

dengan eksplan berupa potongan basal daun dengan dengan persentase pertunasan

sebesar 18% dan tingkat multiplikasi tunas sebesar 13 tunas/eksplan dalam waktu

2 bulan. Secara umum dapat disimpulkan bahwa organogenesis langsung basal

daun nenas pada media padat lebih baik daripada organogenesis langsung pada

media cair.

Daftar Pustaka

Abrash, E.B. and D.C. Bergmann. 2009. Asymmetric cell divisions: A view from plant development. Developmental Cell 16: 783-796.

[BPS] Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 2009. Produksi buah-buahan di Indonesia. Jakarta

Coppens d’Eeckenbrugge G, Leal F. 2003. Morphology, anatomy, and taxonomy. Pp. 13-32. In: Bartholomew DP, Paull RE, Rohrbach KG, editor. The Pineapple Botany: Production and Uses. CABI Publishing.Wallingford.

Department of Health and Ageing. 2008. The Biology of Ananas comosus var comosus (pineapple). Australian Government. 43pp.

Firoozabady E, Moy Y. 2004. Regeneration of pineapple via somatic embryogenesis and organogenesis. In vitro Cell Dev Biol_Plant 40:67-74.

Murashige T, Skoog F. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassays with tobacco tissue culture. Physiol Plant 15: 473-497.

Nursandi F, Poerwanto R, Sobir, Sujiprihati S. 2003. Perbanyakan in vitro nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) dengan menggunakan BAP dan TDZ. Dalam: Simposium Nasional dan Konggres VIII. Bandar Lampung.

Nursandi F, Sobir, Murtini. 2005. Perbanyakan tanaman nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) cv. Smooth Cayenne dengan teknik etiolasi secara in vitro. Tropika 13(1):15-24.

Phillips GC, Hubstenberger JF, Hansen EE. 1995. Plant regeneration from callus and cell suspension cultures by somatic embryogenesis. Pp. 81 - 90. In: Gamborg OL, Phillips GC, editor. Plant Cell Tissue and Organ Culture: Fundamental Methods. Springer. Berlin.

Purnamaningsih R, Mariska I, Supriati Y. 2009. Penggunaan ABA dan paklobutrazol dalam perbanyakan nenas Simadu melalui kultur in vitro. Ber Bio 9(6): 751-758.

Srivastava LM. 2002. Plant Growth and Development. Academic Press. New York. 772p.

Suminar E. 2010. Induksi keragaman genetik dengan mutagen sinar gamma pada nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) secara in vitro [seminar]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Suryowinoto M. 1996. Pemuliaan Tanaman secara In Vitro. Pusat Antar Universitas-Bioteknologi UNiversitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 252 hal.

Vanneste S, Frim J. 2009. Auxin: A trigger for change in plant development. Cell 136: 1005-1016.

Wakasa K. 1979. Variation in the plants differentiated from the tissue culture of pineapple. Japan J Breed 29(1): 13-22.

ORGANOGENESIS DAN EMBRIOGENESIS SOMATIK TIDAK LANGSUNG PADA NENAS YANG DIINDUKSI OLEH

2,4-D

Abstrak

Penelitian ini bertujuan: (1) menentukan taraf 2,4-D yang terbaik untuk induksi kalus dan regenerasi secara organogenesis, (2) mengetahui pengaruh interaksi antara media dan AdS terhadap induksi kalus embriogenik, (3) menentukan formulasi media terbaik untuk regenerasi kalus embriogenik. Induksi kalus dilakukan dengan perlakuan 2,4-D (21, 41, dan 62 µM) dengan penambahan TDZ 9 µM. Sel-sel yang non embriogenik diregenerasikan secara organogenesis dengan memindahkannya ke media yang mengandung Kn 4.65 µM. Induksi kalus embriogenik dilakukan pada media MS atau Bac yang diperkaya dengan senyawa N-organik (Gln 6.8 µM, CH 500 mg l-1, Arg 0.69 mM, dan Gly 0.027 µM) dengan penambahan AdS (0, 0,05 dan 0,1 µM). Kalus embriogenik diregenerasikan pada dua macam media. Media pertama adalah media MS modifikasi dengan penambahan IBA 0.9 µM, BA 1.1 µM, GA3 0.09 µM sedangkan yang kedua adalah media MS dengan penambahan BA 18 µM. Hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan 2,4-D secara tunggal tidak mampu menginduksi sel embriogenik sehingga sebagian kalus non embriogenik diregenerasikan secara organogenesis. Media terbaik untuk organogenesis adalah 2,4-D 21 µM karena menghasilkan persentase pembentukan kalus yang tinggi (80%), bobot basah kalus tertinggi (0.2 g/eksplan), dan jumlah tunas tertinggi (sekitar 25 tunas/eksplan/2 bulan). Kalus embriogenik terbentuk ketika kalus non embriogenik diperlakukan dengan senyawa N-organik. Media regenerasi merupakan faktor yang berpengaruh nyata terhadap tingkat pencoklatan. Media MS dengan penambahan BA 18 µM mampu menekan pencoklatan tersebut. Terdapat interaksi yang nyata antara media induksi kalus embriogenik dengan media regenerasi terhadap jumlah embrio somatik dewasa. Media MS yang diperkaya dengan senyawa N-organik dan AdS 0.05 µM yang dikombinasikan dengan media MS dengan penambahan BA 18 µM merupakan perlakuan terbaik untuk induksi kalus embriogenik dan regenerasi embrio somatik nenas (17 embrio dewasa/eksplan) dalam 6.5 bulan.

Kata kunci: Organogenesis, embriogenesis somatik, nenas, 2,4-D, adenin sulfat

Abstract

This research was aimed to: (1) determine the best rate of 2,4-D for callus induction and regeneration through organogenesis, (2) study the interaction effect of media and AdS to induce embryogenic callus formation, and (3) obtain the best treatment for regeneration of embryogenic calli. Callus formation was induced by 2,4-D (21, 41, and 62 µM) with addition of 9 µM TDZ. Non embryogenic calli were regenerated through organogenesis method by transferring them onto MS medium containing of 4.65 µM Kn. Embryogenic callus formation was induced on MS or Bac basal media consisted of N-organic compounds (6.8 µM Gln + 500 mg l-1 CH + 0.69 mM Arg + 0.027 µM Gly) with addition of AdS (0, 0.05 and 0.1

µM). There were two different media for embryogenic calli regeneration. The first medium was MS medium supplemented with 0.9 µM IBA, 1.1 µM BA, 0.09 µM GA3. The second medium was modified MS with addition of 18 µM BA. The result showed that the single auxin of 2,4-D could induce callus formation but it could not induce embryogenic cells. The best treatment for callus induction was 21 µM 2,4-D which provided high level of callus formation (80%), highest level of fresh weight (0.2 g/explant), and highest number of shoot (about 25 shoots/explant/2 months). The embryogenic calli were formed when non embryogenic calli were treated by N-organic compounds. The regeneration medium significantly affected the level of browning, where 18 µM BA containing medium could inhibit that occurrence. There was a significant interaction between callus induction media and regeneration media to the number of mature somatic embryos. The MS medium enriched by N-organic compounds and 0.05 µM AdS combined with the MS containing of 18 µM BA was the best combination which yielded 17 mature somatic embryos/explant in 6.5 months.

Keywords: Organogenesis, somatic embryogenesis, pineapple, dichlorophenoxy acetic acid, adenine sulphate

Pendahuluan

Nenas adalah buah tropis komersial yang produksinya menempati peringkat

ketiga atau keempat setelah pisang, mangga, dan jeruk (BPS 2009), sangat

berpotensi dikembangkan lebih luas di Indonesia. Secara konvensional, tanaman

tersebut mempunyai banyak propagul (IBPGR 1991; Coppens d’Eeckenbrugge

and Leal 2003), seperti mahkota, sucker, stump, hapas, ratoon, dan slip, namun

umur reproduktifnya tidak serempak. Pada kultivar Smooth Cayenne, ketersediaan

propagul tersebut bahkan terbatas sehingga metode perbanyakan konvensional

perlu didukung teknologi lainnya, terutama untuk produksi bibit skala masal.

Teknik mikropropagasi nenas diterapkan secara komersial oleh pihak

industri di mancanegara (Smith et al. 2003) tetapi industri di Indonesia masih

bertahan pada teknik perbanyakan konvensional. Namun demikian, teknik

mikropropagasi masih dipandang perlu diterapkan untuk menyediakan bibit dalam

jumlah besar, terutama untuk kultivar-kultivar baru hasil persilangan, seleksi,

mutasi, dan rekayasa genetika (Firoozabady dan Moy 2004; Nursandi et al. 2005).

Secara praktis, mikropropagasi digunakan untuk memantapkan blok multiplikasi

bagi penyediaan bahan tanaman perbanyakan konvensional dalam skala yang

lebih luas. Selain itu, teknik mikropapagasi dapat diterapkan untuk skrining varian

sebelum diterapkannya metode perbanyakan secara konvensional (Smith et al

2003).

Di Indonesia, studi kultur in vitro nenas kultivar Smooth Cayenne masih

terbatas pada pembahasan teknik proliferasi tunas (Purnamaningsih et al. 2009),

etiolasi tunas (Nursandi et al. 2003), dan mutagenesis (Suminar 2010). Hingga

saat ini, pembahasan tentang organogenesis masih terbatas dan studi

embriogenesis somatik nenas kultivar Smooth Cayenne bahkan belum pernah

dilakukan.

Organogenesis adalah pembentukan tunas adventif secara langsung dari

eksplan yang menghasilkan struktur unipolar, sedangkan embriogenesis somatik

adalah proses regenerasi sel somatik yang membelah dan berkembang menjadi

struktur bipolar atau embrio. Struktur unipolar terdiri atas tunas atau akar,

sedangkan struktur bipolar terdiri atas meristem tunas dan akar (Phillips et al.

1995; Arnold et al 2002).

Hingga saat ini, di dunia belum terdapat laporan tentang tahapan lengkap

embriogenesis somatik dari tanaman nenas. Pemahaman tentang embriogenesis

penting diketahui untuk memperoleh sistem morfogenik dengan cara mengamati

proses seluler yang mendasari proses diferensiasi (Corredoira et al. 2006).

Informasi tersebut akan berguna untuk menyediakan metode embriogenesis

somatik yang mantap bagi propagasi masal, kriopreservasi, dan transformasi.

Di antara jenis auksin, dichlorophenoxy acetic acid (2,4-D) biasanya

digunakan dalam konsentrasi rendah. 2,4-D adalah auksin herbisida yang

memiliki fungsi hormonal yang menyerupai auksin alami (Kelley dan Riechers

2007). Selanjutnya Srivastava (2002) mengemukakan bahwa senyawa tersebut

efektif sebagai penginduksi proliferasi sel dalam kultur sel dan jaringan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh 2,4-D, adenine sulfate (AdS),

dan media dasar terhadap regenerasi nenas kultivar Smooth Cayenne melalui jalur

organogenesis dan embriogenesis somatik, serta untuk mempelajari tahapan

lengkap embriogenesis somatik yang diawali dari inisiasi sel embriogenik hingga

pembentukan planlet yang siap diaklimatisasi.

Bahan dan Metode

Bahan tanaman adalah tunas in vitro tanaman nenas kultivar Smooth

Cayenne klon Simadu dari Subang. Kultur tersebut diperoleh dari isolasi dan

inisiasi mata tunas yang terdapat pada mahkota nenas. Pemeliharaan kultur

dilakukan dengan menggunakan media MS (Murashige dan Skoog 1962) dengan

penambahan benzyl adenine (BA) 2.21 µM (0.5 mg l-1) dan kinetin (Kn) 4.65 µM

(1 mg l-1). Kemasaman media (pH ) ditera pada nilai 5.7±0.1 sebelum dimasukkan

ke dalam otoklaf. Inkubasi dilakukan pada ruang kultur dengan suhu 25 0C,

fotoperiodisitas 16 jam terang dengan intensitas penyinaran 800–1000 lux.

Regenerasi secara Organogenesis

Tunas in vitro sekitar 4–6 cm dipotong secara longitudinal menjadi dua

bagian, kemudian ditanam secara horizontal pada media induksi kalus (10 bagian

per botol) dan diinkubasikan pada kondisi remang-remang (di bawah 500 lux).

Media induksi kalus adalah media MS yang mengandung 2,4-D pada taraf 21, 41,

dan 62 µM (4.6, 9, dan 13.7 mg l-1) dengan penambahan thidiazuron (TDZ) pada

taraf 9 µM (2 mg l-1). Eksplan diinkubasikan pada suhu 25±2 0C dalam keadaan

gelap. Setelah eksplan membesar (3 minggu), helaian daun diisolasi secara

individual dan kemudian ditanam pada media yang sama. Inkubasi juga dilakukan

pada kondisi yang sama dengan tahap sebelumnya. Rancangan percobaan adalah

Rancangan Acak Lengkap dengan 5 ulangan (botol). Setiap botol terdiri atas 15

eksplan. Pembentukan kalus diamati pada minggu ke-3, 6, 8, dan 12. Bobot basah

kalus diukur pada akhir pengamatan. Data dianalisis dengan program SPSS V.19

(IBM Company) dan perbedaan antar rerata dibandingkan dengan uji Duncans’s

multiple range tests (DMRT) pada tingkat kepercayaan 0.05. Penampilan visual

kalus juga diamati (kompak atau remah, putih atau kuning atau hijau, mudah

dipisahkan atau tidak, berair atau vigor). Pengamatan secara mikroskopis

dilakukan untuk menentukan tipe pembelahan sel. Jika pembelahan sel terjadi

secara asimetris maka kalus dipindahkan ke media regenerasi embrio somatik,

namun jika kalus membelah secara simetris maka kalus dipindahkan ke media

regenerasi tunas, yaitu media MS dengan penambahan Kn 4.65 µM (1 mg l-1).

Selanjutnya dihitung jumlah tunas yang normal dan abnormal. Abnormalitas

ditentukan dengan mengamati keseimbangan aksialitas. Data ditampilkan dalam

bentuk rerata dan standar deviasi.

Regenerasi secara Embriogenesis Somatik

Pertama kali, eksplan basal daun ditanam pada media MS dengan

penambahan 2,4-D 21 µM (4.6 mg l-1). Kalus yang terbentuk kemudian

disubkultur pada media induksi kalus embriogenik. Rancangan percobaan disusun

secara faktorial dalam lingkungan Rancangan Acak Lengkap dengan 10 ulangan.

Faktor pertama adalah media dasar (MS dan Bac) sedangkan faktor kedua adalah

adenine sulphate (AdS) pada taraf 0, 0.05, dan 0.1 µM (0, 20, dan 40 mg l-1).

Kedua macam media dasar tersebut mengandung senyawa N-organik, yaitu

glutamine (Gln) 6.8 µM (1 mg l-1), casein hydrolysate (CH) 500 mg l-1, arginine

(Arg) 0.69 mM (120 mg l-1), dan glycine (Gly) 0.027 µM (2 mg l-1). Media Bac

mirip dengan media MS terkecuali dalam komposisi sumber nitrogennya, dalam

bentuk KNO3 2528 mg l-1, NH4Cl 535 mg l-1 (Firoozabady dan Moy 2004). Kalus

diinkubasikan dalam ruang kultur bersuhu 25±2 0C, dalam kondisi gelap selama 3

minggu. Peubah yang diamati adalah diameter kalus yang terpendek dan

terpanjang. Pengamatan secara mikroskopis dan analisis histologi (Gambar 10)

dilakukan untuk mengetahui tipe pembelahan dan perkembangan embrio somatik.

Analisis histologi dilakukan dengan menerapkan modifikasi metode Kiernan

(1990).

Pada tahap regenerasi embrio somatik, rancangan percobaan yang

digunakan adalah faktorial dalam lingkungan Rancangan Acak Lengkap. Faktor

pertama adalah media induksi kalus embriogenik dan faktor kedua adalah media

regenerasi. Media induksi kalus embriogenik adalah media MS atau Bac yang

diperkaya dengan senyawa N-organik serta ditambah dengan AdS, seperti

dijelaskan sebelumnya. Media regenerasi yang pertama diberi kode Reg A, yaitu

media MS modifikasi (tanpa nicotinic acid dan pyridoxine HCl) dengan

penambahan IBA 0.9 µM (0.18 mg l-1), BA 1.1 µM (0.25 mg l-1), GA3 0.09 µM

(0.03 mg l-1) menurut Perez et al. (2009). Media regenerasi yang kedua diberi

kode Reg B, yaitu media MS dengan penambahan BA 18 µM (4 mg l-1) menurut

Firoozabady dan Moy (2004). Perlakuan diulang sebanyak 6 kali. Eksplan

diinkubasikan pada ruang kultur dengan 16 jam pencahayaan 1000 lux dan suhu

25±2 0C. Peubah yang diamati adalah persentase pencoklatan dan jumlah embrio

somatik dewasa.

Sampel

Perendaman dalam formalin 4% (3 x 24 jam)

Dehidrasi dengan alkohol 70% (semalam – 3 minggu)

Perendaman dalam alkohol 80% (4 – 24 jam)

Perendaman dalam alkohol 90% ((4 – 24 jam)

Perendaman dalam alkohol 95% (16 – 24jam)

Perendaman dalam alkohol absolut I (1 jam), alkohol absolut II (1 jam), alkohol absolut III (1jam)

Perendaman dalam xilol I (1 jam), xilol II (1 jam), xilol III (30 menit pada suhu ruang dan 30 menit pada suhu 650C)

Inf iltrasi dengan paraf in pada suhu 650C 3kali (1 jam, 40 menit, dan kemudian 40 menit)

Pembuatan blok paraf in

Pemotongan blok dengan microtom 8 µm dan perendalam dalam penangas 380C selama 5 menit

Inkubasi dalam inkubator pada suhu 450C selama 3 hari

Rehidrasi: (jenis dan konsentrasi cairan berkebalikan dengan tahap dehidrasi tetapi waktunya masing-masing 5 menit dan kemudian perendaman dalam air kran selama 10 menit dan dalam akuades selama 5 menit

Pewarnaan dengan haematoxilin selama 2 menit, dan kemudian perendaman dalam air kran selama 10 menit dan dalam akuades selama 5 menit dilanjutkan dengan pewarnaan eosin selama 5 menit

Dehidrasi (alkohol 70 – 90% masing-masing selama 3 detik) dan dalam alkohol absolut I, II, III dan Xilol I, II, III masing-masing selama 1 menit

Penutupan preparat dengan gelas penutup dan entelan

Pengamatan di bawah mikroskop binokular

Gambar 10. Tahapan analisis histologi kalus embriogenik nenas, modifikasi metode Kiernan (1990).

Hasil dan Pembahasan

Regenerasi secara Organogenesis

Setelah 1-2 minggu, potongan tunas menggembung (Gambar 11A), dan

kemudian beberapa daun membuka, sebagai tanda adanya aktivitas ZPT (Gambar

11B). Kalus terbentuk 3 minggu setelah penanaman eksplan (Gambar 11C).

Sebagian besar kalus terinisiasi dari daerah basal dan sebagian kecil terinisiasi

dari daerah luka di sekitar basal daun (Gambar 11D-E). Firoozabady dan Moy

(2004) menduga bahwa area basal daun merupakan area yang meristematik atau

area yang memiliki pembelahan sel yang cepat sehingga mempengaruhi

morfogenesis jaringan. Suryowinoto (1996) juga menyatakan bahwa

Bromeliaceae mempunyai meristem adventif pada area basal daunnya. Munculnya

kalus pada daerah luka kemungkinan disebabkan oleh TDZ dalam media induksi

kalus. TDZ termasuk senyawa serupa sitokinin tipe fenilurea yang mempunyai

aktivitas fisiologi yang tinggi (Sakakibara 2004).

A CB

D E

Gambar 11. Tahapan induksi kalus dari basal daun nenas kultivar Smooth

Cayenne: belahan tunas (A), eksplan basal daun (B), inisiasi kalus (C), kalus terinduksi dari bagian jaringan yang terluka (D), dan kalus terinduksi dari bagian basal daun (D).

Gambar 12 memperlihatkan bahwa formasi kalus semakin meningkat sejak

3 hingga 8 minggu, kemudian statis hingga 12 minggu. Formasi kalus tertinggi

(90%) dihasilkan dari perlakuan 2,4-D 41 µM, namun tidak berbeda nyata dengan

yang dihasilkan dari perlakuan 2,4-D 21 µM. Bobot basah kalus tertinggi

dihasilkan dari perlakuan 2,4-D 21 µM, dan berbeda secara nyata dibandingkan

dengan perlakuan lainnya. Hasil ini lebih baik jika dibandingkan dengan

penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sripaoraya et al (2003), yang

menghasilkan 58% formasi kalus nenas kultivar Phuket dan juga yang dilakukan

oleh Firoozabady and Moy (2004) yang menghasilkan 55% untuk kultivar Smooth

Cayenne.

aaa

a

a

a

b

ab

a

0

20

40

60

80

100

3 6 8 12Periode inkubasi (minggu)

Pem

bent

ukan

kal

us (%

)

2,4-D21 2,4-D41 2,4-D62

a

a

b

0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

21 41 622,4-D (µM)

Bobo

t bas

ah (g

)

Uji lanjut dilakukan dengan DMRT pada selang kepercayaan 0.05

Gambar 12. Pengaruh 2,4-D terhadap pembentukan kalus dan bobot basah kalus nenas kultivar Smooth Cayenne.

Secara visual, 2,4-D menginduksi kalus kompak dan berwarna kehijau-

hijauan (Gambar 13A-B) daripada kalus friabel dan berwarna kekuning-kuningan

yang biasa dijumpai pada kalus embriogenik. Fenomena pencoklatan juga

ditemukan pada kalus dari perlakuan 2,4-D 41 dan 62 µM (Gambar 13C).

Konsentrasi 2,4-D yang tinggi diduga menyebabkan nekrosis sel karena senyawa

tersebut merupakan herbisida.

Pengamatan mikroskopis menunjukkan bahwa sel yang diberi perlakuan

2,4-D masih terikat di dalam jaringan (Gambar 13D) dan sel-sel yang terpisah dari

jaringannya bahkan tidak memperlihatkan polarisasi (Gambar 13E). Kumpulan sel

tersebut menunjukkan pembelahan yang bersifat simetris (Gambar 13F). Hal ini

menunjukkan bahwa sel-sel tersebut bersifat non embriogenik. Sebagaimana

dijelaskan oleh Abrash dan Bergmann (2009) serta Paciorek dan Bergmann

(2010) bahwa sel-sel non embriogenik dapat ditentukan melalui pembelahannya

yang bersifat simetris. Selanjutnya, sel-sel non embriogenik tersebut tumbuh

membentuk struktur noduler (Gambar 13G) dan akhirnya membentuk planlet yang

mengandung akar dan kadang-kadang mengandung tunas-tunas kecil pada

pangkal batangnya (Gambar 13H), secara khas berbeda dengan karakteristik

struktur bipolar dari embrio somatik.

FED

300 umG H

CBA

Gambar 13. Respon basal daun nenas kultivar Smooth Cayenne terhadap

perlakuan 2,4-D: 21 µM (A), 41 µM (B), 62 µM (C), jaringan (D), sel yang tidak terpolarisasi (E), agregat sel non embriogenik (F), struktur nodular (G), dan planlet (H).

Pada tahap regenerasi, terdapat perbedaan respon kalus. Peningkatan taraf

2,4-D selama induksi kalus menyebabkan penurunan regenerasi tunas (Gambar

14A-F). Jaringan yang mengalami nekrosis tidak dapat tumbuh lebih lanjut,

seperti pada kalus dari perlakuan 2,4-D 62 µM (Gambar 14C). Tingkat regenerasi

tunas yang tinggi (sekitar 25 tunas/eksplan dalam 2 bulan) dihasilkan dari

perlakuan 2,4-D 21 µM (Gambar 15A).

A B C

D E F

Gambar 14. Penampilan tunas in vitro nenas kultivar Smooth Cayenne hasil

perlakuan 2,4-D pada tahap regenerasi dan elongasi (baris atas dan bawah): 21 µM 2,4-D (A dan D), 41 µM 2,4-D (B dan E), 62 µM 2,4-D (C dan F).

Gambar 15 juga menunjukkan adanya pengaruh negatif dari 2,4-D bertaraf

tinggi, khususnya taraf 62 µM yang menyebabkan tumbuhnya tunas abnormal

(Gambar 15F dan Gambar 15B). Abnormalitas tersebut dapat diamati secara

visual, di mana aksialitas tunas menunjukkan ketidak-seimbangan atau bagian atas

helaian daun membelah menjadi dua bagian (Gambar 15I). Namun demikian,

abnormalitas tersebut bersifat reversible (dapat balik). Tunas-tunas abnormal

tersebut memerlukan tambahan waktu inkubasi untuk tumbuh menjadi normal,

yaitu 3.5 bulan. Lebih dari 90% tunas abnormal berubah menjadi normal (Gambar

15C).

0

5

10

15

20

25

21 41 62

2,4-D (µM)

Juml

ah tu

nas

Normal Abnormal

0

20

40

60

80

100

21 41 622,4-D (µM)

Reg

ener

asi t

unas

(%) Normal Abnormal

0

20

40

60

80

100

21 42 62

2,4-D (µM)

Konv

ersi

tuna

s ab

norm

ake

nor

mal

(%)

Gambar 15. Pengaruh 2,4-D terhadap persentase pembentukan tunas normal,

tunas abnormal, dan konversi dari tunas abnormal ke tunas normal.

Regenerasi secara Embriogenesis Somatik

Karena 2,4-D terbukti tidak mampu menginduksi sel embriogenik maka

selanjutnya kalus disubkultur ke media yang mengandung N-organik, baik dengan

atau tanpa AdS. Firoozabady dan Moy (2004) juga menggunakan formulasi media

yang sama kecuali penggunaan AdS.

Gambar 16 menunjukkan bahwa embrio globular berhasil terbentuk, namun

struktur tersebut saling terikat satu dengan lainnya dan tidak terpisah secara

sempurna. Hal ini menunjukkan bahwa kalus embriogenik terbentuk di dalam

kelompok. Hal serupa juga dilaporkan oleh Firoozabady dan Moy (2004). Struktur

demikian disebut sebagai friable embryogenic tissue (FET) atau jaringan

embriogenik friabel karena individu struktur globular mengelompok dalam

matriks.

Pengamatan mikroskopis dan analisis histologi menunjukkan lemahnya

interaksi antar sel dari perlakuan AdS (Gambar 17A). Kejadian tersebut

menunjukkan dimulainya tahapan embriogenesis. Kejadian yang sama juga

dilaporkan oleh Cunha dan Fernandez-Ferreira (2012). Pelemahan interaksi sel

tersebut mengindikasikan dimulainya inisiasi embriogenesis somatik. Dugaan

tersebut semakin diperkuat dengan dijumpainya sel-sel yang bersifat isodiametrik

dan meristematik yang berwarna merah tua sebagai respon diserapnya

haematoxylin-eosin. Pekatnya warna tersebut disebabkan oleh pekatnya

sitoplasma, besarnya ukuran nukleus (tingginya rasio nukleoplasma), dan kecilnya

ukuran vakuola. Sel-sel meristematik tersebut membentuk agregat yang disebut

sebagai proembryogenic mass (PEM) atau massa proembrio. Pembesaran sel

embriogenik sebesar 400 kali memperlihatkan permukaan yang granular (Gambar

17B) dan tipe pembelahan sel yang asimetris (Gambar 17C). Granular kecokaltan

tersebut kemungkinan disebabkan oleh kandungan pati yang tinggi sebagai tanda

khusus yang biasa dijumpai pada sel embriogenik. Selanjutnya, sel-sel tersebut

berkembang menjadi embrio globular (Gambar 17D). Gambar 17E diduga sebagai

tahap awal dari tahap skutelar karena memiliki struktur yang melancip pada salah

satu ujungnya, namun fase koleoptilar tidak dapat diamati (Gambar 17F). Setelah

5 bulan, sel-sel embriogenik mencoklat dan bercampur dengan sel-sel non

embriogenik. Fakta ini menunjukkan bahwa kompetensi embriogenik hilang

seiring dengan bertambahnya periode in vitro.

A

D E F

B C

Gambar 16. Penampilan jaringan embriogenik nenas kultivar Smooth Cayenne

pada berbagai macam media: MS + N-organik (A), MS + N-organik + Adenin sulfat 0.05 µM (B), MS + N-organik + Adenin sulfat 0.1 µM (C), Bac + N-organik (D), Bac + N-organik + Adenin sulfat 0.05 µM (E), dan Bac + N-organik + Adenin sulfat 0.1 µM (F).

300 um

B CA

E FD

Gambar 17. Tahapan embriogenesis somatik nenas kultivar Smooth Cayenne: PEM (A), sel-sel embriogenik (B), sel yang terpolarisasi dan pembelahan asimetris dari proembrio 2-4 sel (C), globular (D), skutelar awal (E), dan planlet yang siap diaklimatisasi (F).

Secara umum, media induksi kalus embriogenik menghasilkan embrio

globular dan kalus yang semi dispersable (agak mudah dipisahkan). Namun

demikian, pencoklatan dijumpai pada kalus yang tidak diberi perlakuan AdS

(Tabel 4). Tidak terdapat interaksi yang nyata antara media dasar dengan taraf

AdS. Selain itu, juga tidak terdapat perbedaan yang nyata dari seluruh perlakuan

tergadap pertumbuhan kalus embriogenik (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa

peranan senyawa N-organik lebih penting daripada AdS terhadap proliferasi kalus

embriogenik.

Sebagaimana dilaporkan oleh beberapa peneliti, N-organik juga merupakan

unsur pokok dalam kultur sel dan jaringan karena bersifat esensial bagi sintesis

DNA, RNA, dan protein. Ketika media dasar MS dibandingkan dengan Bac, total

N dalam media MS lebih tinggi (60 mM) daripada yang terkandung dalam media

Bac (35 mM), walaupun rasio antara N-oksidasi (NO3-) dengan N-reduksi (NH4

+)

sedikit lebih tinggi dalam media Bac (2.5:1) daripada dalam media MS (2:1).

Tabel 4. Penampilan kalus embriogenik nenas kultivar Smooth Cayenne pada beberapa macam formulasi media, 2 bulan setelah subkultur

Media induksi kalus embriogenik

Penampilan kalus

MS+ Globular, agak terpisah-pisah, beberapa kalus mencoklat

MSAdS0.05 Globular, agak terpisah-pisah, keputih-putihan

MSAdS0.1 Globular, agak terpisah-pisah, keputih-putihan atau kehijau-hijauan

Bac+ Globular, agak terpisah-pisah, beberapa kalus mencoklat

BacAdS0.05 Globular, agak terpisah-pisah, kekuning-kuningan

BacAdS0.1 Globular, agak terpisah-pisah, kekuning-kuningan Catatan: MS+ = MS + senyawa N-organik, MSAdS0.05 = MS + senyawa N-organik + Adenin sulfat 0.05 µM, MSAdS0.1 = MS + senyawa N-organik + Adenin sulfat 0.1 µM, Bac+ = Bac + senyawa N-organik, BacAdS0.05 = Bac + senyawa N-organik + Adenin sulfat 0,05 µM, BacAdS0.1 = Bac + senyawa N-organik + Adenin sulfat 0.1 µM.

Tidak terdapat perbedaan yang nyata pada pertumbuhan kalus yang

disebabkan oleh media induksi kalus embriogenik (Tabel 5). Cunha dan

Fernandez-Ferreira (2012) menyatakan bahwa imbangan antara bentuk ionik

NO3- dan NH4+ berperan penting dalam induksi embriogenesis somatik hipokotil

tanaman flax. Nitrat berperan penting dalam diferensiasi dan pertumbuhan kalus.

Berdasarkan hasil percobaan tersebut, diketahui bahwa penggunaan media MS

lebih baik daripada penggunaan media Bac.

Tabel 5. Pengaruh media dasar dan adenin sulfat terhadap pertumbuhan FETs nenas kultivar Smooth Cayenne

Media dasar

Adenin sulfat (µM)

Diameter terpanjang (mm)

Diameter terpendek (mm)

Rerata diameter (mm)

MS 0 6.8 5.6 6.2

0.05 10.3 5.1 7.7

0.1 8.9 6.0 7.5

Bac 0 8.2 5.1 6.7

0.05 7.3 4.3 5.8

0.1 8.4 5.4 6.9 Catatan: Pada kedua jenis media dasar ditambahkan senyawa N-organik (Gln 6.8 µM + CH 500 mg l-1+ Arg 0.69 mM + Gly 0.027 µM.

Pada tahap regenerasi, tidak terdapat interaksi yang nyata antara media

induksi kalus embriogenik dengan media regenerasi terhadap tingkat pencoklatan.

Media regenerasi mempunyai pengaruh nyata terhadap peubah tersebut, di mana

media MS yang mengandung BA 18 µM mampu menekan pencoklatan (Gambar

18).

b

a

0

20

40

60

80

100

Reg A Reg BMedia regenerasi

Pen

cokl

atan

(%)

0

4

8

12

16

20

Reg A Reg B Reg A Reg B Reg A Reg B Reg A Reg B Reg A Reg B Reg A Reg B

MS+ MSAdS0.05 MSAdS0.1 Bac+ BacAdS0.05 BacAdS0.1

Media induksi kalus embriogenik dan media regenerasi

Jum

lah e

mbr

io so

mat

ik de

wasa

Catatan: Reg A = MS modifikasi + IBA 0.9 µM (0.18 mg l-1), BA 1.1 µM (0.25 mg l-1) + GA3 0.09 µM (0.03 mg l-1), Reg B = MS + BA 18 µM (4 mg l-1), MS+ = MS + senyawa N-organik, MSAdS0.05 = MS + senyawa N-organik + Adenin sulfat 0.05 µM, MSAdS0.1 = MS + senyawa N-organik + Adenin sulfat 0.1 µM, Bac+ = Bac + senyawa N-organik, BacAdS0.05 = Bac + Adenin sulfat 0,05 µM, BacAdS0.1 = Bac + senyawa N-organik + Adenin sulfat 0.1 µM

Gambar 18. Pengaruh faktor tunggal dan pengaruh interaksi antara media induksi kalus embriogenik dan media regenerasi terhadap regenerasi FETs nenas kultivar Smooth Cayenne, 6.5 bulan setelah subkultur.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, AdS tidak berpengaruh nyata

terhadap proliferasi kalus embriogenik. Menariknya, terdapat interaksi yang nyata

antara media induksi kalus embriogenik dengan media regenerasi terhadap jumlah

embrio somatik dewasa yang dihasilkan (Gambar 18 dan 19). Pada media MS

yang diperkaya dengan senyawa N-organik dan AdS 0.05 µM, jumlah embrio

somatik dewasa mencapai 17 embrio/eksplan. Secara struktural, senyawa AdS

mirip dengan sitokinin karena mempunyai cincin adenin yang kaya dengan

nitrogen. Senyawa AdS kemungkinan berperan sebagai sumber nitrogen dalam

sintesis RNA, DNA, dan protein untuk pembelahan sel. Oleh karena itu, senyawa

tersebut mempengaruhi perkembangan embrio somatik.

A

G

FED

CB

IH

KJ L

Gambar 19. Perbedaan perkembangan embrio somatik nenas kultivar Smooth

Cayenne umur 8 bulan pada media Reg A ( dua baris atas) dan Reg B (dua baris bawah): MS + senyawa N-organik (A dan G), MS + senyawa N-organik + Adenin sulfat 0.05 µM (B dan H), MS + senyawa N-organik + Adenin sulfat 0.1 µM (C dan I), Bac + senyawa N-organik (D dan J), Bac + senyawa N-organik + Adenin sulfat 0.05 µM (E and K), dan Bac + senyawa N-organik + Adenin sulfat 0.1 µM (F dan L).

Simpulan

Penggunaan 2,4-D secara tunggal tidak mampu menginduksi sel

embriogenik sehingga sebagian kalus non embriogenik diregenerasikan secara

organogenesis. Media terbaik untuk organogenesis adalah 2,4-D 21 µM karena

menghasilkan persentase pembentukan kalus yang tinggi (80%), bobot basah

kalus tertinggi (0.2 g/eksplan), dan jumlah tunas tertinggi (sekitar 25

tunas/eksplan/2 bulan). Kalus embriogenik terbentuk ketika kalus non

embriogenik diperlakukan dengan senyawa N-organik. Media regenerasi

merupakan faktor yang berpengaruh nyata terhadap tingkat pencoklatan. Media

MS dengan penambahan BA 18 µM mampu menekan pencoklatan tersebut.

Terdapat interaksi yang nyata antara media induksi kalus embriogenik dengan

media regenerasi terhadap jumlah embrio somatik dewasa. Media MS yang

diperkaya dengan senyawa N-organik dan AdS 0.05 µM yang dikombinasikan

dengan media MS dengan penambahan BA 18 µM merupakan perlakuan terbaik

untuk induksi kalus embriogenik dan regenerasi embrio somatik nenas (17 embrio

dewasa/eksplan) dalam waktu 6.5 bulan.

Daftar Pustaka

Abrash, E.B. and D.C. Bergmann. 2009. Asymmetric cell divisions: A view from plant development. Developmental Cell 16: 783-796.

Arnold S, Sabala I, Bozhkov P, Dyachok J, Filonova L. 2002. Developmental pathways of somatic embryogenesis. Plant Cell Tissue Organ Cult 69: 233-249.

Coppens d’Eeckenbrugge G, Leal F. 2003. Morphology, anatomy, and taxonomy. p. 13-32. In: Bartholomew DP, Paull RE, Rohrbach KG, editor. The Pineapple Botany: Production and Uses. CABI Publishing.Wallingford.

Corredoira E, Valladares S, Vieitez AM. Morphohistological analysis of the origin and development of somatic embryos from leaves of mature Quercus robur. In Vitro Cell Dev Biol_Plant 42:525-533.

Cunha A, Fernandez-Ferreira M. 2012. Influence of medium parameters on somatic embryogenesis from hypocotyl explants of flax (Linum usitatissimum L.): Effect of carbon source, total inorganic nitrogen and balance between ionic forms and interaction between calcium and zeatin. http://dx.doi.org/10.1016/S0176-1617(99)80059-5.

Firoozabady E, Moy Y. 2004. Regeneration of pineapple via somatic embryogenesis and organogenesis. In vitro Cell Dev Biol-Plant 40:67-74.

[IBPGR] International Board for Plant Genetic Resources. 1991. Descriptors for Pineapple. IBPGR Headquarters, Rome

Kelley KB, Riechers DE. 2007. Recent development in auxin biology and new properties for auxinic herbicide research. Pesticide Biochemistry and Physiology 89: 1-11.

Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods: Theory and Practice. 2nd edition. Pergamon Press.

Murashige T, Skoog F. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassays with tobacco tissue culture. Physiol Plant 15: 473-497.

Nursandi F, Poerwanto R, Sobir, Sujiprihati S. 2003. Perbanyakan in vitro nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) dengan menggunakan BAP dan TDZ. Dalam: Simposium Nasional dan Konggres VIII. Bandar Lampung.

Nursandi F, Sobir, Murtini. 2005. Perbanyakan tanaman nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) cv. Smooth Cayenne dengan teknik etiolasi secara in vitro. Tropika 13(1):15-24.

Paciorek T, Bergmann DC. 2010. The secret to life is being different: asymmetric divisions in plant development. Current Opinion in Plant Biology 13:661–669

Perez G, Yanes E, Isidron M, Lorenzo JC. 2009. Phenotypic and AFLP characterization of two new pineapple somaclones derived from in vitro culture. Plant Cell Tissue Organ Cult 96:113-116.

Phillips GC, Hubstenberger JF, Hansen EE. 1995. Plant regeneration from callus and cell suspension cultures by somatic embryogenesis. Pp. 81 - 90. In: Gamborg OL, Phillips GC, editor. Plant Cell Tissue and Organ Culture: Fundamental Methods. Springer. Berlin.

Purnamaningsih R, Mariska I, Supriati Y. 2009. Penggunaan ABA dan paklobutrazol dalam perbanyakan nenas Simadu melalui kultur in vitro. Ber Bio 9(6): 751-758.

Sakakibara. H. 2004. Cytokinin biosynthesis and metabolism. Pp. 95-114. In. Davies, P.J. (Ed.). Plant Hormones: Biosynthesis, Signal, Action. 3rd Edition. Kluwer Academic Publishers. London.

Smith MK, Ko H-L, Hamil SD, Sanewski GM, Graham MW. 2003. Biotechnology. Pp. 57-68. In: Bartholomew DP, Paull RE, Rohrbach KG, editor. The Pineapple Botany: Production and Uses. CABI Publishing.Wallingford.

Sripaoraya S, Marchamt R, Power JB, Davey MR. 2003. Plant regeneration by somatic embryogenesis and organogenesis in commercial pineapple (Ananas comosus L.). In Vitro Cell Dev Biol_Plant 39:450-454.

Srivastava LM. 2002. Plant Growth and Development. Academic Press. New York. 772p.

Suminar E. 2010. Induksi keragaman genetik dengan mutagen sinar gamma pada nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) secara in vitro [seminar]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Suryowinoto M. 1996. Pemuliaan Tanaman secara In Vitro. Pusat Antar Universitas-Bioteknologi UNiversitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 252 hal.

INDUKSI EMBRIOGENESIS SOMATIK TIDAK LANGSUNG PADA NENAS MELALUI PENGGUNAAN PIKLORAM

Abstrak

Embriogenesis somatik merupakan teknik yang banyak digunakan untuk perbanyakan tanaman secara klonal dan masal. Tujuan penelitian ini adalah: (1) menentukan taraf pikloram yang terbaik untuk induksi kalus, (2) mengetahui pengaruh interaksi antara perlakuan media induksi kalus embriogenik dan pencahayaan terhadap induksi kalus embriogenik, (3) mengetahui perlakuan terbaik untuk pembentukan suspensi sel, dan (4) menentukan perlakuan kombinasi yang terbaik untuk regenerasi kalus embriogenik. Induksi kalus dilakukan dengan menggunakan pikloram (21, 41, dan 62 µM) dengan penambahan TDZ 9 µM. Selanjutnya, kalus dipindahkan ke media MS atau Bac yang mengandung senyawa N-organik (Gln 6.8 µM + CH 500 mg l-1 + Arg 0.69 mM + Gly 0.027 µM) dengan atau tanpa penambahan pikloram 21 µM pada kondisi tanpa pencahayaan atau dengan pencahayaan untuk induksi kalus embriogenik. Sebagian kalus embriogenik dari perlakuan MS atau Bac yang ditambah pikloram 21 µM disuspensikan dalam media cair. Kalus yang semi kompak dipindahkan ke media MS yang mengandung Kn 1 mg l-1 untuk regenerasi dan elongasi embrio prematur, sedangkan kalus yang remah dipindahkan ke media MS dengan penambahan BA 18 µM atau media MS modifikasi yang ditambah dengan BA 1.1 µM, IBA 0.9 µM, dan GA3 0.09 µM untuk perkembangan embrio. Hasil penelitian menunjukkan bahwa embriogenesis somatik berasal dari sel tunggal. Perlakuan terbaik untuk induksi kalus adalah pikloram 21 µM. Tidak terdapat interaksi yang nyata antara media induksi kalus embriogenik dan kondisi inkubasi terhadap pencoklatan serta pembentukan nodul dan embrio. Media terbaik untuk induksi dan proliferasi kalus embriogenik adalah media MS yang diperkaya dengan senyawa N-organik dan pikloram 21 µM sedangkan kondisi inkubasi terbaik untuk induksi dan proliferasi kalus embriogenik adalah kondisi tanpa pencahayaan. Regenerasi ETs yang terbaik dihasilkan dari media Bac yang diperkaya dengan senyawa N-organik tanpa penambahan pikloram dan diinkubasikan pada kondisi dengan pencahayaan. Jumlah embrio somatik dewasa dari ETs mencapai 17 embrio/eksplan dalam waktu 2 bulan dan lebih dari 30 embrio/eksplan dalam waktu 4 bulan. Regenerasi FETs yang terbaik dihasilkan dari media MS dengan penambahan BA 18 µM, dengan perlakuan asal berupa media MS yang diperkaya dengan senyawa N-organik dan pikoram 21 µM yang diinkubasikan pada kondisi dengan pencahayaan. Jumlah embrio somatik dewasa dari FETs adalah 14 embrio/eksplan dalam waktu 2.5 bulan.

Kata kunci: Embriogenesis somatik, nenas, pikloram, senyawa N-organik, pencahayaan

Abstract

Somatic embryogenesis is a desirable method for plant regeneration, especially for large-scale clonal propagation. The objectives of this research were: (1) to determine the best concentration of picloram for callus induction, (2) to know the interaction effect of embryogenic callus induction media and lighting, (3) to know the best treatment for cell suspension culture, and (4) to obtain the best combination treatment for embryogenic callus regeneration. Callus formation was induced by picloram (21, 41, and 62 µM) with addition of 9 µM TDZ. The calli were transferred onto N-enriched MS or Bac medium (6.8 µM Gln + 500 mg l-1 CH + 0.69 mM Arg + 0.027 µM Gly) with or without addition of 21 µM picloram under light or without light condition for embryogenic callus formation. Some of the embryogenic calli from MS or Bac media with addition of 21 µM picloram were then cultured in liquid media to form cell suspension. The semi compact calli were subcultured onto MS medium supplemented with 1 mg l-1 Kn for regeneration and elongation of premature somatic embryos while the friable calli were transferred onto MS medium supplemented with 18 µM BA or modified MS medium with addition of 1.1 µM BA, 0.9 µM IBA, 0.09 µM GA3 for embryo development. The result showed that somatic embryogenesis was unicellular origin. The best medium for callus induction was MS media enriched with 21 µM picloram. There was no interaction between embryogenic callus induction media with condition of incubation. The best treatment for embryogenic callus induction and proliferation was MS medium enriched with N-organic compounds and supplemented with 21 µM picloram. The best condition for embryogenic callus induction was without light condition. There was interaction between embyogenic callus induction media and condition of incubation to the regeneration of ETs. The best regeneration of ETs resulted from Bac medium enriched with N-organic compounds and incubated under light condition. The number of somatic embryos resulted from that treatment was up to 17 embryos/explant in 2 months or more than 30 embryos/explant in 4 months. The best treatment for regenerating FETs was MS medium containing of BA 18 µM. Those embryos (14 embryos/explant in 2.5 months) were yielded from MS medium enriched with N-organic compounds and 21 µM picloram under light condition.

Keywords: Somatic embryogenesis, pineapple, picloram, N-organic compounds, lighting

Pendahuluan

Embriogenesis somatik merupakan metode perbanyakan masal yang banyak

diterapkan pada berbagai macam tanaman, seperti kelapa (Buffard-Morel 1995),

pisang (Sidha et al 2007), stroberi (Kordestani and Karami 2008), kopi (Oktavia

et al 2003; Gatica et al 2008), dan jahe (Lincy et al 2009). Teknik tersebut juga

telah diterapkan pada tanaman nenas (Sripaoraya et al. 2003; Firoozabady and

Moy 2004), namun informasi tentang tahapan lengkap dari proses embriogenesis

somatik tersebut masih terbatas, khususnya pembahasan pada tahapan awal dari

inisiasi sel embriogenik. Menurut Corredoira et al (2006), pemahaman tentang

embriogenesis tanaman penting diketahui, yaitu melalui pengamatan proses

seluler yang mendasari diferensiasi. Hal tersebut akan bermanfaat untuk

memperoleh metode yang mantap untuk aplikasi perbanyakan bibit secara masal,

kriopreservasi, dan transformasi genetik.

Di Indonesia, teknik kultur in vitro culture tanaman nenas kultivar Smooth

Cayenne masih cukup terbatas. Beberapa penelitian membahas topik proliferasi

tunas (Nursandi et al. 2003; Purnamaningsih et al. 2009), etiolasi tunas (Nursandi

et al. 2003), dan mutagenesis (Suminar 2010).

Dilaporkan bahwa auksin memberikan pengaruh pada perkembangan

tanaman pada tingkat seluler, termasuk mempengaruhi proses embriogenesis

(Kelley and Riechers 2007; Vanneste and Frim 2009). Pada dosis yang rendah,

auksin herbisida dilaporkan memiliki fungsi hormonal yang mirip dengan auksin

alami (Kelley and Riechers 2007).

Pada percobaan sebelumnya telah digunakan senyawa dichlorophenoxy

acetic acid (2,4-D). Hasil percobaan tersebut menunjukkan bahwa secara tunggal,

2,4-D tidak mampu menginisiasi sel embriogenik. Induksi sel dan kalus

embriogenik baru dapat dilakukan setelah ditambahkan beberapa macam senyawa

nitrogen organik (N-organik), seperti glutamin, arginin, kasein hidolisat, dan

glisin.

Selain 2,4-D, 4-amino 3,5,6-trichloropicolinic acid (pikloram) juga

merupakan auksin herbisida. Senyawa tersebut merupakan auksin dari kelompok

piridin dan biasa digunakan pada konsentrasi rendah sebagai zat pengatur tumbuh

(ZPT).

Selain auksin, kondisi pencahayaan juga memegang peranan penting dalam

regenerasi embriogenesis somatik. Uozumi et al. (19933) melaporkan bahwa

pencahayaan mempengaruhi regenerasi dan perkembangan embrio seledri. Gatica

et al. (2008) juga melaporkan peranan penting dari pencahayaan selama proses

embriogenesis kopi. Tujuan penelitian ini adalah: (1) menentukan taraf pikloram

yang terbaik untuk induksi kalus, (2) mengetahui pengaruh interaksi antara

perlakuan media induksi kalus embriogenik dan pencahayaan terhadap induksi

kalus embriogenik, (3) menentukan perlakuan kombinasi yang terbaik untuk

regenerasi kalus embriogenik, dan (4) mengetahui perlakuan terbaik untuk

pembentukan suspensi sel.

Bahan dan Metode

Bahan Tanaman dan Pemeliharaan

Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah tunas in vitro

tanaman nenas kultivar Smooth Cayenne klon Simadu dari Subang. Kultur

tersebut diperoleh dari isolasi dan inisiasi mata tunas yang terdapat pada mahkota

nenas. Pemeliharaan kultur dilakukan dengan menggunakan media MS

(Murashige and Skoog 1962) dengan penambahan benzyl adenine (BA) 2.21 µM

(0.5 mg l-1) dan kinetin (Kn) 4.65 µM (1 mg l-1). Kemasaman media (pH ) ditera

pada nilai 5.7±0.1 sebelum dimasukkan ke dalam otoklaf. Inkubasi dilakukan

pada ruang kultur dengan suhu 25 0C, fotoperiodisitas 16 jam dengan

pencahayaan dengan intensitas penyinaran 800 – 1000 lux. Penelitian dibagi atas

tiga tahapan, yaitu (1) Induksi kalus, (2) Induksi kalus embriogenik, dan (3)

Pembentukan suspensi sel, dan Perkembangan embrio somatik (4).

Induksi Kalus

Tunas in vitro sekitar 4–6 cm dipotong secara longitudinal menjadi dua

bagian, kemudian ditanam secara horizontal pada media induksi kalus (10 bagian

per botol) dan diinkubasikan pada kondisi remang-remang (di bawah 500 lux).

Media induksi kalus adalah media MS yang mengandung pikloram pada taraf 21,

41, dan 62 µM (5, 10, dan 15 mg l-1) dengan penambahan thidiazuron (TDZ) pada

taraf 9 µM (2 mg l-1). Eksplan diinkubasikan pada suhu 25±2 0C dalam keadaan

tanpa pencahayaan. Setelah eksplan membesar (3 minggu), helaian daun diisolasi

secara individual dan kemudian ditanam pada media yang sama. Inkubasi juga

dilakukan pada kondisi yang sama dengan tahap sebelumnya. Rancangan

percobaan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 5 ulangan (botol). Setiap

botol terdiri atas 15 eksplan. Pembentukan kalus diamati pada minggu ke-3, 6, 8,

dan 12. Bobot basah kalus diukur pada akhir pengamatan. Data dianalisis dengan

program SPSS V.19 (IBM Company) dan perbedaan antar rerata dibandingkan

dengan uji Duncans’s multiple range tests (DMRT) pada tingkat kepercayaan

0.05. Penampilan visual kalus juga diamati (kompak atau remah, putih atau

kuning atau hijau, mudah dipisahkan atau tidak, berair atau vigor). Pengamatan

secara mikroskopis dilakukan untuk menentukan tipe pembelahan sel (simetris

atau asimetris).

Induksi dan Proliferasi Kalus Embriogenik

Eksplan yang digunakan adalah kalus yang dihasilkan dari perlakuan

pikloram 21 µM. Kalus tersebut disubkultur pada berbagai macam formulasi

media untuk menginduksi kalus embriogenik, yaitu 4 perlakuan. Rancangan

percobaan disusun secara faktorial dalam lingkungan Rancangan Acak Lengkap

dengan 8 ulangan. Faktor pertama adalah pikoram (tanpa dan penambahan

pikloram 21 µM) sedangkan faktor kedua adalah media dasar (MS dan Bac).

Media Bac mirip dengan media MS, kecuali pada komposisi dan sumber

nitrogennya, yatiu KNO3 bertaraf 2528 mg l-1, dan NH4Cl 535 bertaraf mg l-1

(Firoozabady dan Moy (2004). Seluruh media mengandung senyawa N-organik,

yaitu glutamine (Gln) 6.8 µM (1 mg l-1), casein hydrolysate (CH) 500 mg l-1,

arginine (Arg) 0.69 mM (120 mg l-1), dan glycine (Gly) 0.027 µM (2 mg l-1).

Kalus diinkubasi dilakukan pada suhu 25±2 0C dalam kondisi dengan atau tanpa

pencahayaan (800-1000 lux) selama 3 minggu. Peubah yang diamati adalah

pembentukan kalus embriogenik, pembentukan akar, dan penampilan kalus

(kompak atau remah, putih atau kuning atau hijau, mudah dipisahkan atau sulit

dipisahkan, berair atau tidak, dan nodular atau globular. Data dianalisis dengan

program SPSS V.19 (IBM Company). Pengamatan mikroskopis dilakukan dengan

menggunakan converted stereomicroscope untuk mengetahui tipe pembelahan sel

(simetris atau asimetris). Analisis histologi dilakukan dengan menerapkan

modifikasi metode Kiernan (1990).

Pembentukan Suspensi Sel

Eksplan yang digunakan adalah kalus embriogenik yang dihasilkan dari

perlakuan pada tahap sebelumnya. Kalus tersebut disubkultur ke media cair

dengan formulasi media sesuai dengan tahapan sebelumnya, yaitu media MS dan

Bac dengan penambahan pikloram 21 µM. Inkubasi dilakukan pada kondisi tanpa

pencahayaan dan dengan pencahayaan (16 jam dengan intensitas cahaya 800 lux)

dengan suhu 25±2 0C. Peubah yang diamati adalah persentase pencoklatan,

persentase pembentukan suspensi, dan jumlah embrio somatik. Data ditampilkan

dalam bentuk rerata dan standar deviasi.

Perkembangan Embrio Somatik

Pada tahap regenerasi, kalus kompak dipindahkan ke media MS dengan

penambahan Kn 4.65 µM (1 mg l-1) untuk regenerasi dan elongasi embrio

prematur. Kalus remah dipindahkan ke dua macam media. Rancangan percobaan

yang digunakan adalah faktorial dalam lingkungan Rancangan Acak Lengkap.

Faktor pertama adalah media induksi kalus embriogenik dan faktor kedua adalah

media regenerasi. Media induksi kalus embriogenik adalah media MS atau Bac

yang diperkaya dengan senyawa N-organik serta ditambah dengan AdS, seperti

dijelaskan sebelumnya. Media regenerasi yang pertama diberi kode Reg A, yaitu

media MS modifikasi (tanpa nicotinic acid dan pyridoxine HCl) dengan

penambahan IBA 0.9 µM (0.18 mg l-1), BA 1.1 µM (0.25 mg l-1), GA3 0.09 µM

(0.03 mg l-1) menurut Perez et al. (2009). Media regenerasi yang kedua diberi

kode Reg B, yaitu media MS dengan penambahan BA 18 µM (4 mg l-1) menurut

Firoozabady dan Moy (2004). Perlakuan diulang sebanyak 8 kali. Eksplan

diinkubasikan pada ruang kultur dengan 16 jam pencahayaan 1000 lux dan suhu

25±2 0C. Peubah yang diamati adalah persentase pencoklatan, persentase eksplan

yang beregenerasi, dan jumlah embrio somatik dewasa serta penampilan visual

kalus. Data dianalisis dengan program SPSS V.19 (IBM Company).

Hasil dan Pembahasan

Induksi Kalus

Pembentukan kalus dimulai pada minggu ke-3 setelah tanam. Hampir semua

eksplan membentuk kalus pada daerah basal daun. Firoozabady dan Moy (2004)

menduga bahwa area basal daun merupakan area yang meristematik atau area

yang memiliki pembelahan sel secara cepat sehingga mempengaruhi morfogenesis

jaringan. Suryowinoto (1996) juga menyatakan bahwa Bromeliaceae mempunyai

meristem adventif pada area basal daunnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kalus tumbuh hingga minggu ke-8, dan

pertumbuhannya berhenti pada periode inkubasi berikutnya hingga 12 minggu.

Tingkat pembentukan kalus yang tertinggi (90%) diperoleh dari perlakuan

pikloram 21 µM walaupun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya

(Gambar 20). Demikian pula, bobot basah kalus tidak berbeda nyata secara

statistik (Gambar 20). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan

pikoram 21 µM merupakan perlakuan yang paling efisien. Hasil ini lebih baik jika

dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sripaoraya et al

(2003), yang menghasilkan 58% formasi kalus nenas kultivar Phuket dan juga

yang dilakukan oleh Firoozabady and Moy (2004) yang menghasilkan 55% untuk

kultivar Smooth Cayenne. Respon eksplan terhadap pikloram bahkan lebih baik

daripada responnya terhadap 2,4-D (pada Bab sebelumnya). Pada taraf yang tinggi

(62 µM), pikloram mampu menginduksi kalus dengan persentase sekitar 80%. Hal

ini menunjukkan bahwa fitotoksisitas pikloram lebih rendah daripada 2,4-D.

Secara visual tampak bahwa eksplan membentuk kalus yang globuler dan

berwarna kekuning-kuningan, yang terbentuk dari daerah basal daun. Pengamatan

secara mikroskopis menunjukkan bahwa kalus tersebut merupakan campuran

antara sel-sel embriogenik dan non embriogenik. Sel-sel embriogenik

memperlihatkan polaritas yang diikuti dengan pembelahan asimetris menjadi

bagian apikal dan basal (Gambar 21). Abrash dan Bergmann (2009) melaporkan

bahwa pembelahan asimetris menghasilkan sel-sel anakan yang berbeda secara

morfologi. Selanjutnya, Paciorek dan Bergmann (2010) menggambarkan proses

pembelahan asimetris yang diawali dengan pemecahan simetri dan diikuti dengan

polarisasi melalui pembentukan pre prophase band (PPB) dan benang gelendong

mitotic untuk menentukan orientasi pembelahan sel yang diakhiri dengan

pembentukan fragmoplas yang menghasilkan dua sel anakan. Pada studi ini,

diduga bahwa pikoram berperan penting sebagai agensia penginduksi pembelahan

sel asimetris tersebut melalui transpor polar auksin, seperti yang dilaporkan oleh

Vanneste dan Frim (2009).

0

20

40

60

80

100

120

21 41 62Pikloram (µM)

Pem

bent

ukan

kal

us (%

3 minggu 6 minggu 8 minggu 12 minggu

0.00

0.04

0.08

0.12

0.16

0.20

21 41 62

Pikloram (µM)

Bobo

t bas

ah ka

lus (g

)

Gambar 20. Pengaruh pikloram terhadap pembentukan kalus dan bobot basah

kalus dari eksplan basal daun nenas kultivar Smooth Cayenne.

Pada studi ini, kelompok sel embriogenik diasumsikan sebagai massa pro-

embriogenik atau pre embryogenic mass (PEM). Struktur serupa juga dilaporkan

oleh Firoozabady and Moy (2004). Struktur tersebut dinamakan embryogenic cell

clusters (ECCs). ECCs didefinisikan sebagai jaringan friable yang aktif membelah

yang terdiri atas kelompok-kelompok sel yang bercampur dengan sel-sel yang

mengalami elongasi dan vakuolasi bersama-sama dengan embrio globuler.

Struktur tersebut dikatakan sebagai struktur yang berpotensi dalam produksi

embrio somatik. Sayangnya, struktur tersebut hilang ketika dibiarkan lebih lama

(2 bulan) dalam media yang mengandung pikoram secara terus-menerus.

A B C

D E F

Gambar 21. Respon basal daun nenas kultivar Smooth Cayenne terhadap

perlakuan pikloram dan pengamatan mikroskopisnya: 21 µM (A), 41 µM (B), 62 µM (C), kelompok sel non embriogenik (D), sel yang terpolarisasi dan yang belum terpolarisasi (E), dan sel embriogenik yang terdiri atas bagian basal dan apikal (F). Tanda panah menunjukkan tahap perkembangan lanjut dari masing-masing sel yang ditunjuk.

Induksi dan Proliferasi Kalus Embriogenik

Karakter sel embriogenik dapat distimulir kembali dengan memindahkan

kalus ke media yang mengandung senyawa N-organik. Pada awalnya, polaritas sel

terjadi yang diikuti dengan pembelahan asimteris dan dilanjutkan dengan elongasi

sel, sebagai bukti terjadinya regenerasi secara embriogenesis somatik. Arnold et

al. (2002) menyatakan bahwa mekanisme penting selama proses embriogenesis

somatik adalah pembelahan sel secara asimetris dan elongasi sel. Kejadian

tersebut dipicu oleh pikloram, yang mampu mengubah polaritas sel dengan cara

menginterfensi melalui gradien pH atau medan listrik di sekitar sel. Selain itu,

ekspansi sel berasosiasi dengan polisakarida dinding sel dan bersesuaian dengan

ensim hidrolitik.

Tahapan embriogenesis somatik yang didahului dengan pembentukan pro-

embrio dapat diamati secara mikroskopis. Gambar 22 menunjukkan bahwa sel-sel

embriogenik membelah secara periklinal selama proses diferensiasi awal (1-4 sel).

Hal ini sekaligus memperlihatkan bahwa embriogenesis somatik pada tanaman

nenas berasal dari sel tunggal (unicellular origin). Menariknya, kejadian serupa

juga teramati pada Quercus robur (Corredoira et al. 2006), terkecuali pada

pembelahannya yang bersifat transversal. Dengan demikian, dapat dikatakan

bahwa kalus embriogenik nenas berpotensi besar untuk direkayasa secara seluler

(kultur in vitro) dan molekuler (transformasi genetik). Menurut Corredoira et al.

(2006), penentuan asal-usul embrio somatik sangat penting dalam memperoleh

keseragaman genetik dari regenerannya, dan embriogenesis somatik yang

unicellular origin sangat dikehendaki dalam transformasi genetik.

B C D

A

A B C D

Gambar 22. Pengamatan mikroskopis (perbesaran 400x) dari ECCs nenas kultivar

Smooth Cayenne setelah ditanam pada media induksi kalus embriogenik. Baris atas menggambarkan perkembangan sel embriogenik sedangkan baris bawah menggambarkan perkembangan sel non embriogenik: sel tunggal (A), 2 sel (B), 3 atau 4 sel (C), dan perkembangan selanjutnya (D).

Berdasarkan pengamatan visual, terdapat dua macam struktur kalus yang

dihasilkan dalam penelitian ini, yaitu kalus kompak berwarna kehijau-hijauan dan

kalus remah yang berwarna kekuning-kuningan. Kalus yang kompak terdiri atas

beberapa embrio prematur (Tabel 6). Firoozabady dan Moy (2004) membedakan

kedua macam struktur tersebut sebagai jaringan embriogenik atau embryogenic

tissues (ETs) dan jaringan embriogenik friabel atau friable embryogenic tissues

(FETs). ETs didefinisikan sebagai struktur terorganisir yang tidak mudah

dipisahkan yang dihasilkan dari embrio yang belum dewasa atau kelompok

embrio somatik yang bergabung secara bersama-sama. FETs didefinisikan sebagai

jaringan yang mudah terpisahkan dan terdiri atas individu-individu embrio

globuler yang bersatu dalam matriks. Penampilan ETs dan FETs ditunjukkan pada

Gambar 23.

Tabel 6. Respon kalus nenas kultivar Smooth Cayenne terhadap media induksi kalus embriogenik pada dua macam kondisi inkubasi yang berbeda, 1 bulan setelah subkultur

Kondisi pencahayaan

Media Penampilan visual kalus Nama struktur yang terbentuk

Dengan MS0 Nodular, kompak, kehijau-hijauan, dan mengandung nodul tunas

ET

MS+ Kompak, kehijau-hijauan, dan mengandung nodul tunas

ET

MS21 Globular, terpisah-pisah, dan kekuning-kuningan

FET

Bac+ Nodular, kompak, kehijau-hijauan, dan mengandung nodul tunas

ET

Bac21 Globular, terpisah-pisah, dan kekuning-kuningan

FET

Tanpa MS0 Kompak dan mencoklat ET

MS+ Agak terpisah-pisah dan kekuning-kuningan

ET

MS21 Globular, agak terpisah-pisah, dan kekuning-kuningan

FET

Bac+ Kompak dan mencoklat ET

Bac21 Nodular, agak terpisah-pisah, dan kekuning-kuningan

FET

Catatan: MS0 = MS media, MS+ = MS + N-organik, MS+21 = MS + N-organik + pikloram 21 µM, Bac+ = Bac + N-organik, Bac+21 = Bac + N-organik + pikloram 21 µM, ET = embryogenic tissue, FET = friable embryogenic tissue.

A

B

A

B

C

D

C

D

E E

Catatan: MS0 = media MS bebas ZPT, MS+ = media MS + senyawa N-organik, MS21 = media MS + senyawa N-organik + pikloram 21 µM, Bac+ = media Bac + senyawa N-organik, Bac21 = media Bac + senyawa N-organik + pikloram 21 µM, ET = embryogenic tissue, FET = friable embryogenic tissue.

Gambar 23. Penampilan ETs dan FETs nenas kultivar Smooth Cayenne. Kolom kiri = dengan pencahayaan, kolom kanan = tanpa pencahayaan, MS0 (A), MS+ (B), MS21 (C), Bac+ (D), and Bac21 (E).

Pada umumnya, pencahayaan berpengaruh negatif terhadap proliferasi kalus

dari eksplan yang diberi perlakuan auksin. Uozumi et al. (1993) dan Mesenes et al

(2005) menyarankan untuk mereduksi atau meniadakan pencahayaan pada awal

proses embriogenesis walaupun peningkatan pencahayaan diperlukan dalam tahap

perkembangan akhir embrio. Hasil serupa juga disarankan oleh Gatica et al

(2008), di mana kondisi tanpa pencahayaan lebih sesuai untuk produksi embrioid

kopi. Namun demikian, penelitian ini menunjukkan fenomena yang berbeda, di

mana kondisi tanpa pencahayaan justru menyebabkan penghambatan

pertumbuhan kalus dan menyebabkan nekrosis pada semua perlakuan media

(Gambar 23) walaupun tidak berbeda nyata secara statistik. Hal ini diduga

disebabkan oleh adanya akumulasi pikloram dalam kalus yang diinkubasikan pada

kondisi tanpa pencahayaan. Karena pikloram merupakan agensia herbisida maka

akumulasi senyawa tersebut akan bersifat fitotoksik terhadap biakan dan

menyebabkan pertumbuhan biakan terhambat. Dilaporkan bahwa pikloram

bersifat stabil pada kondisi tanpa pencahayaan dan mengalami degradasi pada

kondisi dengan pencahayaan (Hagen et al. 1991). Arteca (1996) juga melaporkan

bahwa pikloram bersifat persisten di dalam sel ketika terakumulasi dan tidak dapat

dimetabolismekan oleh sel tersebut. Fenomena pencoklatan yang disertai dengan

nekrosis dilaporkan disebabkan oleh oksidasi fenol setelah disintegrasi selular

yang berakibat pada kematian. Proses tersebut dikatalisis secara non enzimatis dan

enzimatis oleh fenol oksidase atau peroksidase yang menghasilkan senayawa

quinon yang berwarna coklat tanpa pencahayaan. Peroksidase tersebut berasosiasi

dengan degradasi klorofil pada jaringan yang senesens (Laukkanen et al. 2000).

Berdasarkan analisis statistik, tidak terdapat interaksi yang nyata antara

formulasi media dengan kondisi inkubasi untuk persentase pencoklatan,

persentase pembentukan nodul, dan persentase pembentukan embrio prematur.

Respon tersebut lebih dominan dipengaruhi oleh formulasi media induksi kalus

embriogenik. Persentase pencoklatan yang terendah, persentase nodul yang

tertinggi, persentase embrio prematur yang terendah, dan jumlah embrio yang

terendah dihasilkan dari kalus yang diberi perlakuan pikloram 21 µM. Hal ini

mungkin disebabkan oleh tingginya proliferasi sel daripada diferensiasi sel pada

kalus yang diberi perlakuan pikloram. Menurut Arteca (1996), pikloram

merupakan senyawa yang siap diserap oleh semua bagian tanaman dan siap

ditransportasikan ke seluruh area pertumbuhan. Penggunaan pikloram telah

dilaporkan Sudarmonowati dan Henshaw (1996) untuk menginduksi

embriogenesis somatik beberapa kultivar singkong yang gagal diinduksi dengan

menggunakan 2,4-D. Sidha et al. (2006) juga melaporkan bahwa di antara jenis

auksin, pikloram dan 3,6-dichloro-o-anisic acid (dicamba) menyebabkan tingkat

proliferasi yang tinggi pada pisang. Pembentukan embrio juga dipengaruhi oleh

kondisi inkubasi, di mana kondisi dengan pencahayaan menghasilkan embrio

prematur yang lebih tinggi daripada kondisi tanpa pencahayaan (Gambar 24).

Perlakuan pikloram 21 µM dan kondisi tanpa pencahayaan merupakan perlakuan

terbaik untuk induksi dan proliferasi kalus embriogenik.

ab

b

a

ab

a0

20

40

60

80

100

MS0 MS+ MS21 Bac+ Bac21

Media induksi kalus embriogenik

Ting

kat p

enco

klata

n (%

)

a a

b

a

b

0

20

40

60

80

100

MS0 MS+ MS21 Bac+ Bac21

Media induksi kalus embriogenik

Pem

bent

ukan

nod

ul (%

)

bc

ab

a

c

a0

20

40

60

80

100

MS0 MS+ MS21 Bac+ Bac21Media induksi kalus embriogenik

Pem

bent

ukan

em

brio

som

atik

prem

atur

(%)

a

b

0

20

40

60

80

100

Dengan Tanpa

Pencahayaan

Pemb

entuk

an em

brio s

omati

k prem

atur

(%)

ab

c

a

bc

a0

2

4

6

8

MS0 MS+ MS21 Bac+ Bac21Media induksi kalus embriogenik

Jum

lah

embr

io s

omat

ikpr

emat

ur

A B

C D

E

Catatan: MS0 = MS media, MS+ = MS + N-organik, MS+21 = MS + N-organik + pikloram 21 µM, Bac+ = Bac + N-organik, Bac+21 = Bac + N-organik + pikloram 21 µM. Uji lanjut dilakukan dengan menggunakan DMRT dengan selang kepercayaan 0.05 Gambar 24. Pengaruh faktor tunggal (media atau pencahayaan) terhadap tingkat

pencoklatan (A), pembentukan nodul (B), pembentukan embrio somatik prematur (C dan D), dan jumlah embrio somatik prematur (E), 2 bulan setelah subkultur.

Munculnya tunas atau embrio prematur kemungkinan disebabkan oleh

aktivitas sitokinin endogenus. Sebagaimana dilaporkan bahwa rasio sitokinin dan

auksin yang tinggi akan menyebabkan pertumbuhan ke arah pembentukan tunas

(Srivastava 2002; Moubayidin et al. 2009). Berdasarkan hasil tersebut maka

struktur ETs dan FETs dipindahkan ke media yang berbeda. ETs dipindahkan ke

media MS dengan penambahan Kn 1 mg l-1 untuk regenerasi dan elongasi embrio

premature sedangkan FETs dipindahkan ke media Reg A atau Reg B untuk

perkembangan embrio.

Perkembangan Embrio Somatik

Regenerasi ETs (Embryogenic Tissues)

Hasil percobaan menunjukkan bahwa daya renegenerasi ETs tergolong

tinggi, yaitu sebesar 77.8-100% (Tabel 7). Performan ETs sebelum dan setelah

regenerasi ditampilkan pada Gambar 25. Pada gambar tersebut tampak bahwa

biakan kalus yang ditumbuhkan pada media Bac yang diperkaya dengan senyawa

N-organik mempunyai struktur yang mudah terpisahkan. Terdapat interaksi yang

nyata antara media induksi kalus embriogenik dengan kondisi inkubasi untuk

peubah jumlah total embrio umur 1 bulan dan jumlah embrio ukuran besar umur 4

bulan (Gambar 26). Perlakuan terbaik adalah media Bac dengan penambahan

senyawa N-organik pada kondisi dengan pencahayaan. Perlakuan tersebut

menghasilkan sekitar 17 embrio/eksplan dalam waktu 1 bulan dan lebih dari 30

embrio/eksplan dalam waktu 4 bulan. Hasil tersebut lebih baik daripada hasil

penelitian sebelumnya (Sripaoraya et al. 2003) yang dilakukan pada nenas

kultivar Phuket (65.7% dengan 3 embrio/eksplan) dan kultivar Champaka yang

dilaporkan oleh Firoozabady dan Moy (2004) yang menghasilkan 63% regenerasi.

Tabel 7. Perkembangan ETs nenas kultivar Smooth Cayenne pada media MS yang mengandung Kn 1 mg l-1, 2 bulan setelah subkultur

Kondisi inkubasi pada tahap pengkalusan

Media induksi kalus embriogenik

Pembentukan embrio somatik dewasa (%)

Dengan pencahayaan MS0 87.5

MS+ 100

Bac+ 100

Tanpa pencahayaan MS0 77.8

MS+ 100

Bac+ 100 Catatan: MS0 = MS media, MS+ = MS + senyawa N-organik, Bac+ = Bac + senyawa N-organik

A B C

A B C

Terang

Gelap

Gambar 25. Regenerasi ETs nenas kultivar Smooth Cayenne pada media MS

dengan penambahan Kn 1 mg l-1: media MS tanpa ZPT (kiri), media MS yang diperkaya dengan senyawa N-organik (tengah), dan media Bac yang diperkaya dengan senyawa N-organik (kanan).

Umur (1 bulan)a

b

0

4

8

12

16

20

Dengan TanpaPencahayaan

Jum

lah

embr

io s

omat

ikuk

uran

bes

ar

Umur (1 bulan)

a

b

b

0

5

10

15

20

MS0 MS+ Bac+

Media induksi kalus embriogenik

Jum

lah

embr

io s

omat

ikuk

uran

bes

ar

Umur (1 bulan)

abb

a

0

4

8

12

MS0 MS+ Bac+

Media induksi kalus embriogenik

Jum

lah

embr

io

som

atik

ukr

an k

eci

Umur (4 bulan)

0

10

20

30

40

Dengan Tanpa Dengan Tanpa Dengan Tanpa

MS+ MS0 Bac+Pencahayaan dan media induksi kalus embriogenik

Juml

ah em

brio s

omati

k uk

uran b

esar

Umur (1 bulan)

048

121620

Dengan Tanpa Dengan Tanpa Dengan Tanpa

MS+ MS0 Bac+Pencahayaan dan media induksi kalus embriogenik

Jum

lah

tota

l em

brio

som

atik

A B

C D

E

Catatan: MS0 = MS media, MS+ = MS + N-organik, Bac+ = Bac + N-organik. Uji lanjut dilakukan dengan menggunakan DMRT dengan selang kepercayaan 0.05 Gambar 26. Pengaruh faktor pencahayaan (A) dan media induksi kalus

embriogenik (B dan C) serta pengaruh interaksi antara media induksi kalus embriogenik dengan pencahayaan (D dan E) terhadap pembentukan embrio somatik nenas kultivar Smooth Cayenne umur 1 dan 4 bulan.

Secara visual, struktur globular dan koleoptilar dapat diamati secara

langsung pada biakan, namun struktur skutelar tidak dapat terdeteksi secara visual

karena embrio somatik prematur bergabung dalam bentuk ETs atau embrio

somatik bersatu sebagai matriks dalam bentuk FETs. Menariknya, akar terbentuk

secara spontan tanpa induksi dan strukturnya sangat spesifik (Gambar 27)

sebagaimana yang terbentuk pada embrio zigotik. Kordestani dan Karami (2008)

melaporkan hal serupa, di mana tumbuhnya akar dan primordia tunas yang

sempurna menyebabkan embrio somatik stroberi dapat berkecambah dengan

mudah membentuk planlet tanpa tambahan tahapan perakaran. Jimenez (2005)

menjelaskan bahwa perkembangan embrio tanaman monokotil melalui beberapa

tahapan, yaitu globular, skutelar, dan koleoptilar.

A B C D

Gambar 27. Tahapan perkembangan embrio somatik nenas kultivar Smooth

Cayenne dari struktur FETs yang diinduksi oleh pikloram: globular (A), koleoptilar akhir (B), embrio somatik dewasa (C), dan planlet yang siap diaklimatisasi (D).

Struktur skutelar (Gambar 28C) baru dapat diamati melalui analisis histologi

terhadap embrio somatik yang dihasilkan dari proses suspensi sel. Percobaan

suspensi sel menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan tanpa pencahayaan dan

media Bac yang diperkaya dengan senyawa N-organik dan pikloram 21 µM

merupakan perlakuan yang terbaik karena menghasilkan suspensi dengan

persentase yang lebih tinggi daripada perlakuan lainnya, juga mampu menekan

pencoklatan hingga 100% (Tabel 8).

Tabel 8. Pengaruh pencahayaan dan formulasi media terhadap pembentukan suspensi sel nenas kultivar Smooth Cayenne

Pencaha-yaan Media

Penco-klatan (%)

Intensitas pencoklatan

Suspensi (%)

Embrio somatik (%)

Akar (%)

Dengan MS21 100 +++ 78 0 22

Bac21 100 +++ 0 0 0

Tanpa MS21 100 + 67 0 0

Bac21 0 - 86 14 0

Catatan: +++ = pencoklatan parah, + = pencoklatan agak parah, dan - = tidak mengalami pencoklatan, MS21 = media MS + senyawa N-organik + pikloram 21 µM, Bac21 = media MS + senyawa N-organik + pikloram 21 µM.

A B C D

300 um 300 um300 um 300 um

Gambar 28. Analisis histologi embrio somatik dari kultur suspensi sel nenas kultivar Smooth Cayenne: irisan transversal embrio fase globular (A), irisan longitudinal embrio fase globular (B), fase skutelar awal (C), dan fase skutelar akhir (D).

Regenerasi FETs (Friable Embryogenic Tissues)

Seperti ETs, pencoklatan juga lebih banyak dijumpai pada kondisi tanpa

pencahayaan daripada dengan pencahayaan. Tingkat pencoklatan tertinggi (68%)

dihasilkan dari perlakuan MS dengan penambahan pikloram 21 µM yang

diinkubasikan pada kondisi tanpa pencahayaan dan diregenerasikan pada media

Reg B (Tabel 9). FETs memerlukan waktu yang lebih lama untuk berkembang

menjadi embrio somatik dewasa (2.5 bulan), namun persentase FETs yang

beregenerasi juga cukup tinggi (83–100%).

Secara umum, respon terbaik dihasilkan dari perlakuan media MS dengan

penambahan pikloram 21 µM dan pada kondisi dengan pencahayaan yang

dilanjutkan dengan regenerasi pada media MS dengan penambahan BA 4 mg l-1

(Tabel 9, 10 dan 11). Karena auksin merupakan inducer yang efektif untuk

diferensiasi sel dan proliferasi sel (Kelley dan Riechers 2007) maka diduga bahwa

pikloram yang digunakan pada tahap induksi kalus menyebabkan terbentuknya

proembrio dalam jumlah yang banyak. Ketika proembrio tersebut ditanam pada

media MS yang diperkaya dengan senyawa N-organik dan diinkubasikan pada

kondisi dengan pencahayaan maka terjadi konversi dari pro-embrio menjadi

embrio somatik dewasa pada media yang mengandung BA. Penggunaan BA juga

dilaporkan oleh Silva et al. (2005) pada embriogenesis kopi. BA adalah sitokinin

yang berperan dalam pembelahan sel, khususnya pada jaringan meristematik.

Menurut Srivastava (2002), pertumbuhan dan perkembangan embrio didukung

oleh jaringan meristematik yang dikendalikan secara antagonistik oleh auksin dan

sitokinin. Jika rasio antara sitokinin terhadap auksin tinggi maka akan terinduksi

pembentukan tunas.

Tabel 9. Tingkat pencoklatan FETs nenas kultivar Smooth Cayenne pada media regenerasi, 1 bulan setelah subkultur

FETs yang mengalami pencoklatan (%) MS21 Bac21

Media regenerasi

Dengan pencahayaan

Tanpa pencahayaan

Dengan pencahayaan

Tanpa pencahayaan

Reg A 14 26 38 36 Reg B 12 68 42 46

Catatan: MS21 = media MS + senyawa N-organik + 21 µM picloram, Bac21 = media Bac + senyawa N-organik + 21 µM picloram, Reg A = MS modifikasi + BA 1.1 µM + IBA 0.9 µM + GA3 0.09 µM dan Reg B = MS + BA 18 µM.

Tabel 10. Tingkat regenerasi FETs nenas kultivar Smooth Cayenne, 1 bulan setelah subkultur

FETs yang beregenerasi (%) MS21 Bac21

Media regenerasi

Dengan pencahayaan

Tanpa pencahayaan

Dengan pencahayaan

Tanpa pencahayaan

Reg A 100 83 100 100

Reg B 100 100 100 100 Catatan: MS21 = media MS + senyawa N-organik + 21 µM picloram, Bac21 = media Bac + senyawa N-organik + 21 µM picloram, Reg A = MS modifikasi + BA 1.1 µM + IBA 0.9 µM + GA3 0.09 µM dan Reg B = MS + BA 18 µM.

Tabel 11. Jumlah embrio somatik dewasa yang terbentuk dari FETs nenas kultivar Smooth Cayenne, 1 bulan setelah subkultur

Jumlah embrio somatik dewasa MS21 Bac21

Media regenerasi

Dengan pencahayaan

Tanpa pencahayaan

Dengan pencahayaan

Tanpa pencahayaan

Reg A 12.7±6.8 10.5±6.0 2.5±1.3 11.4±5.5

Reg B 14.8±6.0 8.8±3.9 9.2±3.3 4.8±2.6 Catatan: MS21 = media MS + senyawa N-organik + 21 µM picloram, Bac21 = media Bac + senyawa N-organik + 21 µM picloram, Reg A = MS modifikasi + BA 1.1 µM + IBA 0.9 µM + GA3 0.09 µM dan Reg B = MS + BA 18 µM.

Simpulan

Tahapan embriogenesis somatik tanaman nenas kultivar Smooth Cayenne

dapat diamati secara mikroskopis dan visual. Embriogenesis somatik tersebut

merupakan unicellular origin atau berasal dari satu sel. Tahapan embriogenesis

somatik yang teramati adalah polarisasi sel, pembelahan sel secara asimetris,

pembentukan ETs dan FETs, perkembangan embrio (globular, skutelar, dan

koleoptilar). Perlakuan terbaik untuk induksi kalus adalah media MS dengan

penambahan pikloram 21 µM. Perlakuan terbaik untuk induksi dan proliferasi

kalus embriogenik adalah kombinasi perlakuan media MS dengan penambahan

pikloram 21 µM dan kondisi tanpa pencahayaan. Media Bac dengan penambahan

senyawa N-organik dan pikloram 21 µM pada kondisi tanpa pencahayaan

merupakan perlakuan terbaik untuk pembentukan suspensi sel nenas (86%).

Perlakuan media Bac yang diperkaya dengan senyawa N-organik dan inkubasi

pada kondisi dengan pencahayaan merupakan perlakuan terbaik untuk regenerasi

ETs (17 embrio/eksplan dalam 2 bulan dan lebih dari 30 embrio/eksplan dalam 4

bulan). Kombinasi perlakuan media MS dengan penambahan pikloram 21 µM dan

kondisi dengan pencahayaan serta media regenerasi Reg B (MS + BA 18 µM)

merupakan perlakuan terbaik untuk regenerasi FETs (14 embrio/eksplan dalam

2.5 bulan).

Daftar Pustaka

Abrash, E.B. and D.C. Bergmann. 2009. Asymmetric cell divisions: A view from plant development. Developmental Cell 16: 783-796.

Arnold S, Sabala I, Bozhkov P, Dyachok J, Filonova L. 2002. Developmental pathways of somatic embryogenesis. Plant Cell Tissue Organ Cult 69: 233-249.

Arteca RN. 1996. Plant Growth Substances. Chapman and Hall. New York.332p.

Buffard-Morel JL et al. 1995. Initiation of somatic embryogenesis in coconut (Cocos nucifera L.). Pp. 217-223. In: Oropeza C et al., editor. Lethal Yellowing: Research and Practical Aspects. Kluwer Academic Publishers, Netherlands.

Corredoira E, Valladares S, Vieitez AM. Morphohistological analysis of the origin and development of somatic embryos from leaves of mature Quercus robur. In Vitro Cell Dev Biol_Plant 42:525-533.

Firoozabady E, Moy Y. 2004. Regeneration of pineapple via somatic embryogenesis and organogenesis. In vitro Cell Dev Biol_Plant 40:67-74.

Gatica AM, Arrieta G, Espinoza AM. 2008. Direct somatic embryogenesis in Coffea arabica L.. cvs. Caturra and Catuaí: effect of triacontanol, light condition, and medium consistency. Agronomía Costarricense 32(1): 139-147.

Hagen SR, Muneta P, Augustin J, Tourneau D Le. 1991. Stability and utilization of picloram, vitamins, and sucrose in a tissue culture medium. Plant Cell Tissue and Organ Cult 25(1):45-48.DOI: 10.1007/BF00033911.(Abstract)

Jimenez VM. 2005. Involvement of plant hormone and plant growth regulators on in vitro somatic embryogenesis. Plant Growth Regulation 47: 91-110.

Kelley B, Riechers DE. 2007. Recent development in auxin biology and new opportunities for auxinic herbicide research. Pesticide Biochemistry and Physiology 89: 1-11.

Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods: Theory and Practice. 2nd edition. Pergamon Press.

Kordestani GK, Karami O. 2008. Picloram-induced somatic embryogenesis in leaves of strawberry (Fragaria ananassa L.). Acta Biologica Cracoviensia Series Botanica 50(1): 69–72.

Laukkanen, H., L. Rautiainen, E. Taulavuori, and A. Hohtola. 2000. Changes in cellular structures and enzymatic activities during browning of Scots pine callus derived from mature buds. Tree Physiology 20: 467–475.

Lincy AK, Remashree AB, Sasikumar B. 2009. Indirect and direct somatic embryogenesis from aerial stem explants of ginger (Zingiber officinale Rosc.). Acta Bot Croat 68 (1): 93–103.

Meneses A, Flores D, Muñoz M, Arriet G, Espinoza AM. 2005. Effect of 2,4-D, hydric stress and light on indica rice (Oryza sativa) somatic embryogenesis. Int J Trop Biol 53 (3-4): 361-368.

Moubayidin L, Mambro RD, Sabatini S. 2009. Cytokinin–auxin crosstalk. Trends in Plant Science 14 (10): 557-562.

Murashige T, Skoog F. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassays with tobacco tissue culture. Physiol Plant 15: 473-497.

Nursandi F, Poerwanto R, Sobir, Sujiprihati S. 2003. Perbanyakan in vitro nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) dengan menggunakan BAP dan TDZ. Dalam: Simposium Nasional dan Konggres VIII. Bandar Lampung.

Oktavia F, Siswanto, Budiani A, Sudarsono. 2003. Direct somatic embryogenesis and regeneration of arabica coffee plantlets (Coffea arabica) from different explant. Menara Perkebunan 71(2): 44-55.

Paciorek T, Bergmann DC. 2010. The secret to life is being different: asymmetric divisions in plant development. Current Opinion in Plant Biology 13:661–669.

Perez G, Yanes E, Isidron M, Lorenzo JC. 2009. Phenotypic and AFLP characterization of two new pineapple somaclones derived from in vitro culture. Plant Cell Tissue Organ Cult 96:113-116.

Purnamaningsih R, Mariska I, Supriati Y. 2009. Penggunaan ABA dan paklobutrazol dalam perbanyakan nenas Simadu melalui kultur in vitro. Ber Bio 9(6): 751-758.

Sidha M, Suprasanna P, Bapat VA, Kulkarni UG, Shinde BN. 2007. Developing somatic embryogenic culture system and plant regeneration in banana. Founder’s Day 285: 153-161.

Sripaoraya S, Marchamt R, Power JB, Davey MR. 2003. Plant regeneration by somatic embryogenesis and organogenesis in commercial pineapple (Ananas comosus L.). In Vitro Cell Dev Biol_Plant 39:450-454.

Srivastava LM. 2002. Plant Growth and Development. Academic Press. New York. 772p.

Sudarmonowati E, Henshaw GG. 1996. The use of picloram and dicamba to induce somatic embryogenesis in cassava. Annales Bogoriensis 4 (1):27-34.

Suminar E. 2010. Induksi keragaman genetik dengan mutagen sinar gamma pada nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) secara in vitro [seminar]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Suryowinoto M. 1996. Pemuliaan Tanaman secara In Vitro. Pusat Antar Universitas-Bioteknologi UNiversitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 252 hal.

Uozumi N, Kohketsu K, Okamoto A, Kobayashi T. 1993. Light dependency in celery somatic embryogenesis and plantlet development in suspension culture. Plant Tissue Culture Letter 10(1): 25-32.

Vanneste S, Frim J. 2009. Auxin: A trigger for change in plant development. Cell 136: 1005-1016.

PEMBENTUKAN BENIH SINTETIK NENAS DAN KONSERVASI IN VITRO SECARA PERTUMBUHAN

MINIMAL

Abstrak

Benih sintetik merupakan alat perbanyakan secara vegetatif dan sekaligus sebagai alat penyimpanan. Melalui teknik pertumbuhan minimal, biakan dapat disimpan dalam waktu yang relatif lama. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kombinasi auksin dan sitokinin terhadap morfogenesis eksplan nenas yang terenkapsulasi, mengetahui pengaruh interaksi antara suhu penyimpanan dengan taraf paklobutrazol atau manitol terhadap pertumbuhan tunas nenas yang terenkapsulasi. Penelitian terbagi atas 3 percobaan, yaitu enkapsulasi eksplan, pertumbuhan minimal dengan menggunakan paklobutrazol dan pertumbuhan minimal dengan menggunakan manitol. Enkapsulasi dilakukan dengan menggunakan Na-alginat 3% yang berisi media MS dengan penambahan BA (0, 1, 2, dan 3 mg l-1) yang dikombinasikan dengan NAA (0, 1, 2, dan 3 mg l-

1). Pertumbuhan minimal dengan paklobutrazol dilakukan pada taraf 0, 1, 2, dan 3 mg l-1 atau manitol pada taraf 0, 1, 2, 3, 4, dan 5% dengan suhu penyimpanan 15 dan 25 0C. Hasil penelitian menunjukkan bahwa basal daun nenas tidak mampu bertahan hidup dalam kondisi terenkapsulasi dengan Na-alginat 3%. Tidak terdapat interaksi yang nyata antara taraf paklobutrazol dengan suhu penyimpanan terhadap daya hidup dan daya tembus kapsul tunas nenas. Biakan tersebut hanya dapat disimpan selama 3 bulan. Interaksi yang nyata juga tidak dijumpai antara taraf manitol dan suhu penyimpanan terhadap daya hidup dan daya tembus kapsul embrio somatik nenas. Dengan menggunakan manitol 4% maka penyimpanan dapat diperpanjang hingga 4 bulan. Manitol dapat menggantikan suhu rendah sehingga biaya konservasi akan dapat diturunkan.

Kata kunci: Benih sintetik, pertumbuhan minimal, paklobutrazol, manitol, Ananas comosus (L.) Merr.

Abstract

Artificial seeds can be used as propagules for vegetative propagation and as storage materials. Through minimal growth, the artificial seeds can be stored for long time. The objectives of the study were to know the effect of combination treatment between auxin and cytokinin to the morphogenesis of encapsulated pineapple cultures, to know the effect of paclobutrazol, manitol, and temperature of storage to the growth of encapsulated pineapple cultures. The study was divided into 3 steps which were encapsulation, minimal growth by using paclobutrazol and reduced temperature, and minimal growth by using manitol and reduced temperature. Encapsulation was conducted by using 3% Na-alginat containing of MS medium with addition of BA (0, 1, 2, and 3 mg l-1) combined with NAA (0, 1, 2, and 3 mg l-1). Paklobutrazol was used at the rate of 0, 1, 2, and 3 mg l-1 in the temperature of 15 and 25 0C. Manitol was used at the rate of 0, 1, 2, 3, 4, and 5% in the temperature of 15 and 25 0C. The result showed that encapsulated leaf bases of pineapple could not survive. There was no interaction

between paclobutrazol and temperature to the survival rate and emergence rate of the encapsulated cultures. The encapsulated shoots could be stored for 3 months. There was also no interaction between mannitol and temperature to the survival rate and emergence rate of the encapsulated cultures. By using somatic embryos and 4% mannitol, the storage of pineapple cultures could be prolonged for 4 months. Mannitol could substitute the use of low temperature so that the cost of conservation can be minimized.

Keywords: Artificial seed, minimal growth, paclobutrazol, mannitol, Ananas comosus (L.) Merr.

Pendahuluan

Benih sintetik didefinisikan sebagai embrio somatik yang berada di dalam

mantel (kapsul) sehingga sifatnya mirip dengan benih zigotik (Redenbaugh 1992).

Mantel tersebut berperan sebagai endosperma yang mengandung sumber karbon,

nutrisi, zat pengatur tumbuh, dan agensia anti mikroba. Dewasa ini, definisi benih

sintetik dikembangkan lebih lanjut karena eksplan yang digunakan tidak terbatas

pada embrio somatik melainkan juga tunas terminal, tunas aksilar, nodus, dan

jaringan meristematik lainnya. Selain untuk tujuan perbanyakan bibit, teknologi

benih sintetik juga dapat dimanfaatkan untuk tujuan konservasi (Rai et al., 2009).

Teknik konservasi in vitro dapat dibedakan menjadi tiga macam: (1)

penyimpanan pada media tumbuh, (2) penyimpanan secara pertumbuhan minimal,

dan (3) penyimpanan secara kriopreservasi (Mariska et al. 1996; Leunufna 2004).

Teknik pertumbuhan minimal disarankan diterapkan untuk koleksi aktif (working

collection atau active collection), sedangkan teknik kriopreservasi diterapkan

untuk koleksi dasar (base collection) (Withers 1985).

Pada teknik penyimpanan dengan media tumbuh, tidak diperlukan

penambahan zat penghambat tumbuh. Penyimpanan dengan cara tersebut akan

memerlukan tindakan subkultur yang frekuentif sehingga kurang menghemat

tenaga, waktu, dan biaya serta beresiko terhadap kontaminasi (Mariska et al.

1996). Selain itu, subkultur yang frekuentif juga beresiko terhadap timbulnya

keragaman somaklonal (Eeuwens et al. 2002).

Pada teknik pertumbuhan minimal, beberapa modifikasi media dan

lingkungan dapat diterapkan, antara lain penurunan temperatur lingkungan dan

intensitas cahaya (Hu dan Wang 1983; Withers 1985; Keller et al. 2006),

penggunaan regulator osmotik seperti sukrosa dan manitol (Withers 1985;

Bessembinder et al. 1993), penurunan taraf beberapa faktor esensial seperti

pengenceran media (Desbrunais et al. 1992), serta penggunaan zat penghambat

tumbuh seperti paclobutrazol, cycocel, dan ancymidol (Withers 1985). Dengan

penerapan teknik pertumbuhan minimal maka biakan dapat disimpan dalam

jangka menengah (bulanan hingga tahunan).

Di Indonesia, teknik pertumbuhan minimal tanaman nenas belum pernah

dilaporkan. Di mancanegara, dilaporkan bahwa teknik enkapsulasi tunas in vitro

mampu menyimpan biakan nenas selama 1.5 bulan melalui aplikasi suhu 8 0C

dengan menggunakan media MS tanpa zat pengatur tumbuh (Gangopadhyay et al.

2004). Penyimpanan pada suhu sangat rendah memerlukan energi listrik yang

cukup besar biayanya sehingga diperlukan metode lain yang mampu menghambat

pertumbuhan biakan supaya dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama tanpa

menurunkan daya regenerasinya pasca-penyimpanan.

Secara umum, penelitian ini ditujukan untuk pembentukan benih sintetik

dan penyimpanan eksplan nenas dengan metode pertumbuhan mininal. Secara

khusus, tujuan penelitian ini adalah: (1) mengetahui pengaruh kombinasi auksin

dan sitokinin terhadap morfogenesis eksplan nenas yang terenkapsulasi, (2)

mengetahui pengaruh taraf paklobutrazol dan suhu penyimpanan terhadap

pertumbuhan tunas nenas yang terenkapsulasi, (3) mengetahui pengaruh taraf

manitol dan suhu penyimpanan terhadap pertumbuhan embrio somatik nenas yang

terenkapsulasi.

Bahan dan Metode

Sumber bahan tanaman yang digunakan adalah tunas in vitro tanaman nenas

Smooth Cayenne yang berasal dari Subang, Jawa Barat. Tunas in vitro tersebut

dipelihara pada media MS dengan penambahan benzyl adenine (BA) 0,5 mg l-1

dan kinetin (Kn) 1 mg l-1. Inkubasi dilakukan di ruang kultur dengan suhu 25 0C

dan pencahayaan 800–1000 lux dengan fotoperiodisitas 16 jam. Penelitian dibagi

atas tiga tahap percobaan, yaitu (1) Enkapsulasi eksplan, (2) Pertumbuhan

minimal dengan menggunakan paklobutrazol, dan (2) Pertumbuhan minimal

dengan menggunakan manitol.

Enkapsulasi eksplan

Eksplan yang digunakan adalah basal daun dan batang semu (core). Eksplan

dienkapsulasi dengan natrium alginat 3% yang berisi media MS dengan

penambahan BA (0, 1, 2, dan 3 mg l-1) yang dikombinasikan dengan naphthalene

acetic acid (NAA) pada taraf 0, 1, 2, dan 3 mg l-1. Proses enkapsulasi dilakukan

dengan metode tetes ke dalam larutan CaCl2.2H2O 100 mM dan direndam selama

15 menit dengan penggojokan hingga membentuk gel atau kapsul. Setiap

perlakuan diulang sebanyak 2 kali (botol) dan setiap botol terdiri atas 10 kapsul.

Kapsul-kapsul tersebut direndam dalam akuades steril dengan volume 25 ml.

Inkubasi dilakukan pada suhu 25 0C, fotoperiodisitas 16 jam terang dengan

intensitas 800–1000 lux. Respon yang diamati adalah persentase biakan yang

hidup dan persentase biakan yang menembus kapsul.

Pertumbuhan minimal dengan menggunakan paklobutrazol

Eksplan yang digunakan adalah tunas in vitro yang berukuran kecil (tinggi

sekitar 2 cm). Beberapa daun tuanya dibuang dan disisakan daun mudanya sekitar

5 helai. Pucuk dan pangkal dipangkas sedemikian rupa sehingga diperoleh eksplan

dengan ukuran kurang dari 0.5 cm. Percobaan disusun secara faktorial dalam

lingkungan Rancangan Acak Lengkap. Faktor pertama adalah taraf paklobutrazol

(0, 1, 2, dan 3 mg l-1) sedangkan faktor kedua adalah suhu penyimpanan (15 dan

25 0C). Setiap perlakuan diulang sebanyak 4 kali (botol) dan setiap botol terdiri

atas 10 kapsul. Eksplan dienkapsulasi dengan natrium alginat 3% yang berisi

media MS dengan penambahan BA 1 mg l-1dan indole butyric acid (IBA) 0.5 mg

l-1 dengan penambahan 1-[4-chlorophenyl]-4,4-dimethyl-2-[1,2,4-triazol-1-yl]

pentan-3-ol (paklobutrazol). Proses enkapsulasi dilakukan dengan metode tetes ke

dalam larutan CaCl2.2H2O 100 mM dan direndam selama 15 menit dengan

penggojokan hingga membentuk kapsul. Inkubasi pada suhu 15 0C dilakukan di

dalam growth chamber dan inkubasi pada suhu 25 0C dilakukan di ruang kultur

dengan fotoperiodisitas 16 jam terang dengan intensitas 800–1000 lux. Respon

yang diamati adalah persentase daya hidup, persentase daya regenerasi, dan

persentase biakan yang menembus kapsul. Biakan yang masih bertahan hidup

kemudian dipindah ke media MS padat yang mengandung BA 0.5 mg l-1 dan Kn 1

mg l-1 untuk pemulihan dan regenerasi. Respon yang diamati adalah persentase

biakan yang hidup dan persentase biakan yang beregenerasi, jumlah tunas dan

jumlah daun.

Pertumbuhan minimal dengan menggunakan manitol

Eksplan yang digunakan adalah embrio somatik prematur. Induksi kalus

dilakukan dengan menggunakan 4-amino-3,5,6-trichloropicolinic acid (pikloram)

pada taraf 21 µM dengan penambahan thidiazuron (TDZ) 9 µM. Inkubasi

dilakukan pada suhu 25 0C dalam keadaan gelap selama 3 minggu. Setelah itu,

daun diisolasi dan dipotong pada bagian basal daunnya. Eksplan selanjutnya

ditanam pada media yang sama dan diinkubasikan pada kondisi gelap.

Selanjutnya, kalus disubkultur pada media Bac yang diperkaya dengan senyawa

N-organik (glutamin 1 mg l-1, kasein hidrolisat 500 mg l-1, arginin 120 mg l-1, dan

glisin 2 mg l-1) dan diinkubasikan pada kondisi terang (800–1000 lux) selama 16

jam terang. Kalus embriogenik dipindahkan ke media MS dengan Kn 1 mg l-1.

Embrio somatik yang belum membuka daunnya (kurang dari 0.5 cm) digunakan

sebagai eksplan untuk dienkapsulasi.

Percobaan disusun secara faktorial dalam lingkungan Rancangan Acak

Lengkap. Faktor pertama adalah taraf manitol (0, 1, 2, 3, 4, dan 5%) sedangkan

faktor kedua adalah suhu penyimpanan (15 dan 25 0C). Setiap perlakuan diulang

sebanyak 4 kali (botol) dan setiap botol terdiri atas 10 kapsul. Eksplan

dienkapsulasi dengan natrium alginat 3% yang berisi media MS yang

mengandung BA 1 mg l-1 dan IBA 0,5 mg l-1 dengan penambahan manitol. Proses

enkapsulasi dilakukan dengan metode tetes ke dalam larutan CaCl2.2H2O 100 mM

dan direndam selama 15 menit dengan penggojokan hingga membentuk kapsul.

Inkubasi pada suhu 15 0C dilakukan di dalam growth chamber dan inkubasi pada

suhu 25 0C dilakukan di ruang kultur dengan fotoperiodisitas 16 jam terang

dengan intensitas 800–1000 lux. Respon yang diamati adalah persentase daya

hidup, persentase daya regenerasi, dan persentase biakan yang menembus kapsul.

Biakan yang masih bertahan hidup kemudian dipindah ke media MS padat yang

mengandung BA 0,5 mg l-1 dan Kn 1 mg l-1 untuk pemulihan dan regenerasi.

Respon yang diamati adalah persentase biakan yang hidup dan persentase biakan

yang menembus kapsul, jumlah tunas dan jumlah daun.

Hasil dan Pembahasan

Enkapsulasi

Berdasarkan hasil percobaan sebelumnya telah diketahui bahwa basal daun

nenas memberikan respon yang baik pada media padat dan media cair. Pada tahap

ini ingin diketahui apakah respon yang sama juga diperoleh ketika eksplan

dienkapsulasi dengan kapsul alginat untuk pembentukan benih sintetik dan

penyimpanannya secara pertumbuhan minimal. Oleh karena itu, digunakan

eksplan berupa basal daun dan sebagai pembandingnya digunakan batang semu.

Hasil percobaan menunjukkan bahwa basal daun tidak menunjukkan respon

pertumbuhan walaupun kapsul alginat mengandung sitokinin dan auksin. Setelah

1 bulan, semua eksplan basal daun mengalami pencoklatan. Sebaliknya, batang

semu mampu beregenerasi membentuk tunas dengan persentase mencapai 60%

(Gambar 29 dan 30). Diduga bahwa eksplan basal daun mengalami hambatan

dalam proses respirasi atau sel-sel meristematis pada area basal daun tersebut

menerima tekanan mekanis yang cukup kuat dalam kapsul alginat sehingga tidak

mampu bertahan hidup dan tumbuh lebih lanjut hingga akhirnya mati. Sebaliknya,

batang semu mempunyai kemampuan tumbuh yang lebih baik karena

mengandung mata tunas aksilar yang secara struktural lebih terorganisir

dibandingkan dengan sel-sel meristematis pada area basal daun. Namun demikian,

tunas-tunas yang tumbuh dari batang semu tersebut terlalu cepat menembus

kapsul (dalam waktu 1 bulan) sehingga eksplan ini kurang ideal digunakan dalam

pembentukan benih sintetik karena periode simpannya sangat singkat. Selain itu,

jumlah batang semu lebih terbatas sehingga akan memerlukan bahan tanaman

induk yang lebih banyak.

0

10

20

30

40

50

60

Eksp

lan ya

ng tu

mbuh

(%)

MS N1 N2 N3 B1 B1N1 B1N2 B1N3 B2 B2N1 B2N2 B2N3 B3 B3N1 B3N2 B3N3

ZPT (mg/l)

MS = tanpa ZPT, N1 = NAA 1mg l-1, N2 = NAA 2 mg l-1, N3 = NAA 3 mg l-1, B1 = BA 1 mg l-1, B1N1 = BA 1 mg l-1 + NAA 1 mg l-1, B1N2 = BA 1 mg l-1 + NAA 2 mg l-1, B1N3 = BA 1 mg l-1 + NAA 3 mg l-1, B2 = BA 2 mg l-1, B2N1 = BA 2 mg l-1 + NAA 1 mg l-1, B2N2 = BA 2 mg l-1 + NAA 2 mg l-1, B2N3 = BA 2 mg l-1 + NAA 3 mg l-1, B3 = BA 3 mg l-1, B3N1 = BA 3 mg l-1 + NAA 1 mg l-1, B3N2 = BA 3 mg l-1 + NAA 2 mg l-1, dan B3N3 = BA 3 mg l-1 + NAA 3 mg l-1

Gambar 29. Pengaruh BA dan NAA terhadap pertumbuhan eksplan batang semu nenas kultivar Smooth Cayenne yang dienkapsulasi dalam Na-alginat 3%, 1 bulan masa inkubasi.

Untuk menginduksi diferensiasi sel-sel pada area basal daun maka diduga

perlu adanya pra-perlakuan basal daun sebelum enkapsulasi untuk memberikan

peluang bagi sel-sel di daerah basal mengalami diferensiasi. Oleh karena itu,

dilakukan pra-perlakuan basal daun dengan menggunakan media MS dengan

penambahan BA 0.5 mg l-1 dan NAA 0.5 mg l-1 yang merupakan media terbaik

untuk menginduksi pembentukan nodul berdasarkan hasil penelitian sebelumnya.

Pada tahap ini, pembentukan nodul lebih dikehendaki daripada pembentukan

tunas supaya biakan tidak terlalu cepat menembus kapsul karena penelitian ini

diarahkan untuk konservasi in vitro.

Hasil pra-perlakuan terhadap 650 helai basal daun menunjukkan bahwa

lebih dari 50% eksplan memberikan respon dan didominasi dengan pembentukan

nodul lebih dari 30% (Gambar 31). Basal yang mengandung nodul tersebut

kemudian digunakan dalam enkapsulasi karena lebih ideal daripada basal daun

yang mengandung akar atau tunas. Hasil enkapsulasi basal daun yang

mengandung nodul tersebut menunjukkan bahwa eksplan memiliki respon yang

rendah, di mana akar lebih mudah terbentuk daripada tunas dengan persentase

masing-masing sebesar 30 dan 5% (Gambar 32). Selain itu, warna daun eksplan

mengalami pemudaran dan diikuti dengan menurunnya daya hidup hingga

mengalami kematian. Dengan demikian, disimpulkan bahwa eksplan basal daun

yang mengandung nodul (hasil pra-perlakuan selama 2 bulan) masih belum layak

digunakan dalam pembentukan benih sintetik melalui teknik enkapsulasi sehingga

perlu digunakan jenis eksplan lainnya, misalnya tunas.

A

KJI

HGFE

DCB

L

NM O P

Gambar 30. Keragaan eksplan batang semu nenas kultivar Smooth Cayenne yang

dienkapsulasi dengan Na-alginat 3% (1 bulan masa inkubasi): kontrol (A), NAA 1mg l-1 (B), NAA 2 mg l-1 (C), NAA 3 mg l-1 (D), BA 1 mg l-1 (E), BA 1 mg l-1 + NAA 1 mg l-1 (F), BA 1 mg l-1 + NAA 2 mg l-1 (G), BA 1 mg l-1 + NAA 3 mg l-1 (H), BA 2 mg l-1 (I), BA 2 mg l-1 + NAA 1 mg l-1 (J), BA 2 mg l-1 + NAA 2 mg l-1 (K), BA 2 mg l-1 + NAA 3 mg l-1 (L), BA 3 mg l-1 (M), BA 3 mg l-1 + NAA 1 mg l-1 (N), BA 3 mg l-1 + NAA 2 mg l-1 (O), dan BA 3 mg l-1 + NAA 3 mg l-1 (P).

0 10 20 30 40 50 60

Tidak berespon

Nodul

Akar

Planlet

Respon eksplan (%) Gambar 31. Proporsi pembentukan planlet, akar, dan nodul dari eksplan basal

daun nenas kultivar Smooth Cayenne yang diinduksi oleh BA 0.5 mg l-1 dan NAA 0.5 mg l-1, 2 bulan periode inkubasi (data diperoleh dari total 650 eksplan basal daun).

0

20

40

60

80

100

B0N0 B0.5N0 B0.5N0.5 B1N0 B1N1ZPT (mg/l)

Resp

on e

kspla

n (%

)

Hijau Akar Tunas

Gambar 32. Pengaruh kombinasi BA dan NAA terhadap respon eksplan basal

daun nenas kultivar Smooth Cayenne yang terenkapsulasi dalam Na-alginat 3%.

Pertumbuhan minimal dengan menggunakan paklobutrazol

Ketika diketahui bahwa eksplan basal daun bernodul masih kurang sesuai

untuk dienkapsulasi maka pada tahap ini digunakan eksplan berupa tunas in vitro

dengan ukuran kurang dari 0.5 cm. Hasil percobaan menunjukkan tidak terdapat

interaksi yang nyata antara suhu inkubasi dengan taraf paklobutrazol terhadap

daya tembus eksplan umur 1 bulan. Daya tembus eksplan pada umur simpan 1

bulan tersebut dipengaruhi secara nyata oleh faktor tunggal, yaitu taraf

paklobutrazol ataupun suhu penyimpanan (Tabel 12).

Suhu penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap daya hidup biakan,

baik pada periode simpan 1 bulan maupun 3 bulan, namun berpengaruh nyata

terhadap daya tembus biakan nenas pada periode 1 bulan simpan, sedangkan pada

periode simpan berikutnya (3 bulan) tidak berpengaruh nyata (Gambar 33).

Walaupun biakan dapat bertahan hidup hingga periode simpan 3 bulan, namun

sebagian besar biakan menembus kapsul (Tabel 12) sehingga penyimpanan tidak

layak untuk dilanjutkan. Biakan yang disimpan pada suhu rendah (15 0C)

mempunyai daya tembus yang lebih rendah (37%) daripada biakan yang disimpan

pada suhu 25 0C (63%). Menurut Taiz dan Zeiger (2003), kecepatan respirasi

menurun pada suhu rendah, begitu pula dengan proses sintesis dan konsumsi

adenosine triphosphate (ATP) sehingga dalam kondisi demikian maka

pertumbuhan biakan juga akan terhambat.

Tabel 12. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap pertumbuhan biakan tunas nenas kultivar Smooth Cayenne yang terenkapsulasi dalam Na-alginat 3%

Daya hidup (%) Daya tembus (%) Perlakuan 1 bulan 3 bulan 1 bulan 3 bulan

Suhu (0C) 15 25 Paklobutrazol (mg l-1) 0 1 2 3

100 a 100 a

100 a 100 a 100 a 100 a

48 a 45 a

43 a 63 a 55 a 20 a

37 a 63 b

74 a 46 b 41 b 36 b

78 a 76 a

94 a 83 a 72 a 66 a

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji DMRT.

Sebagaimana pengaruh suhu penyimpanan, paklobutrazol juga memberikan

pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan biakan hanya pada periode simpan 1

bulan. Dalam hal ini, pemberian paklobutrazol menghambat pertumbuhan biakan

sehingga persentase biakan yang menembus kapsul lebih rendah daripada biakan

yang ditumbuhkan pada media tanpa pemberian paklobutrazol. Menurut Arteca

(1996), senyawa paklobutrazol marupakan retardan kelompok triazol yang

mereduksi pertumbuhan biakan dengan cara menghambat oksidasi kauren,

kaurenol, dan kaurenal yang dikatalisis oleh kauren oksidase pada biosintesis

giberelin. Giberelin merupakan zat pengatur tumbuh yang berpengaruh secara

fisiologis pada pembentukan meristem sub-apikal sehingga penghambatannya

dapat menyebabkan tanaman menjadi roset.

A B C D

E F G H

Gambar 33. Penampilan tunas nenas kultivar Smooth Cayenne yang dienkapsulasi

dengan alginat 3% yang mengandung paklobutrazol dan disimpan pada suhu yang berbeda: kontrol pada suhu 15 0C (A), paklobutrazol 1 mg l-1 suhu 15 0C (B), paklobutrazol 2 mg l-1 suhu 15 0C (C), paklobutrazol 3 mg l-1 suhu 15 0C (D), tanpa paklobutrazol suhu 25 0C (E), paklobutrazol 1 mg l-1 suhu 25 0C (F), paklobutrazol 2 mg l-1 suhu 25 0C (G), paklobutrazol 3 mg l-1 suhu 25 0C (H). Tanda lingkaran menunjukkan tunas yang telah menembus dan keluar dari kapsul sehingga mengapung.

Pada periode simpan berikutnya (3 bulan), paklobutrazol tidak memberikan

pengaruh yang nyata terhadap daya tembus dan daya hidup biakan (Tabel 12). Hal

ini menunjukkan bahwa pengaruh dari paklobutrazol tersebut berlangsung dalam

waktu yang sangat singkat. Pengaruh retardan yang cukup lama dapat teramati

pada ubi jalar (Roostika dan Sunarlim 2001; Sunarlim dan Roostika 2003),

gembili (Sunarlim et al. 2004), pule, pulasari, daun dewa (Lestari dan Mariska

1997), serta purwoceng (Roostika et al. 2009) dengan ciri-ciri visual terbentuknya

biakan roset atau pemendekan ruas sehingga biakan dapat disimpan dalam waktu

yang cukup lama (12-18 bulan). Walaupun demikian, tidak semua biakan

memberikan ciri-ciri visual tersebut, seperti yang terjadi pada biakan kentang

hitam (Roostika dan Sunarlim 2005). Kurangnya efek penghambatan

pertumbuhan biakan nenas kemungkinan disebabkan oleh rendahnya taraf

paklobutrazol atau jenis retardan dan jenis eksplan yang digunakan dalam

penelitian ini kurang sesuai sehingga perlu diganti.

Pada tahap pemulihan dan regenerasi pasca-penyimpanan, daya hidup dan

daya regenerasi biakan dari perlakuan suhu 25 0C lebih tinggi daripada biakan dari

perlakuan suhu 15 0C biakan nenas. Perlakuan tanpa paklobutrazol dan suhu 15 0C

menghasilkan daya regenerasi yang tertinggi setelah 1 bulan masa pemulihan

(Gambar 34). Pada masa pemulihan 5 bulan, pertumbuhan biakan dari perlakuan

suhu 15 0C jauh lebih pesat daripada biakan yang berasal dari perlakuan suhu 25 0C, di mana paklobutrazol 1 mg l-1 dan suhu 15 0C menghasilkan jumlah tunas

yang tertinggi (Gambar 34). Secara visual, biakan yang berasal dari perlakuan

paklobutrazol lebih tegar daripada biakan yang tidak diberi perlakuan

paklobutrazol (Gambar 35). Hal ini menunjukkan pengaruh positif dari

paklobutrazol yang dapat memacu pertumbuhan biakan. Secara fisiologis,

retardan dilaporkan dapat mendukung terbentuknya klorofil sehingga kultur

tampak lebih tegar (Cathey, 1975; Bessembinder et al. 1993). Arteca (1996)

mengatakan bahwa selain memblokir biosintesis giberelin, paklobutrazol juga

dapat mereduksi absisic acid (ABA), etilen, dan indole-3-acetic acid (IAA), dan

dapat meningkatkan kandungan sitokinin. Banyaknya klorofil yang terbentuk

dapat meningkatkan efisiensi fotosintesis sehingga pertumbuhan kultur menjadi

lebih tegar dan terpacu.

Secara umum dapat dikatakan bahwa penggunaan paklobutrazol 1 mg l-1

merupakan perlakuan terbaik daripada perlakuan lainnya. Perlakuan tersebut

sebaiknya diaplikasikan untuk penyimpanan kapsul tunas nenas dalam jangka

waktu yang pendek (1 bulan) atau untuk keperluan transportasi benih sintetik

dalam jarak dekat.

0

10

20

30

40

50

P0 P1 P2 P 3 P0 P1 P2 P 3

15 ºC 25 ºC

Suhu penyimpanan dan paklobutrazol (mg/l)

%

Daya hidup Daya regenerasi

0

6

12

18

P0 P1 P2 P3 P0 P1 P2 P 3

15 ºC 25 ºCSuhu penyimpanan dan paklobutrazol (mg/l)

Juml

ah tu

nas

1 bulan 5 bulan

Gambar 34. Daya hidup, regenerasi, dan jumlah tunas nenas kultivar Smooth

Cayenne pada tahap pemulihan pasca penyimpanan dengan paklobutrazol.

A B C

D E F G

Gambar 35. Penampilan tunas nenas kultivar Smooth Cayenne pada tahap

pemulihan (1 bulan) pasca-penyimpanan dengan paklobutrazol: kontrol suhu 15 0C (A), paklobutrazol 1 mg l-1 suhu 15 0C (B), paklobutrazol 2 mg l-1 suhu 15 0C (C), kontrol suhu 25 0C (D), paklobutrazol 1 mg l-1 suhu 25 0C (E), paklobutrazol 2 mg l-1 suhu 25 0C (F), dan paklobutrazol 3 mg l-1 suhu 25 0C (G).

Pertumbuhan Minimal dengan Manitol

Jika paklobutrazol menghambat pertumbuhan melalui pemblokiran

biosintesis giberelin (Arteca 1996), manitol merupakan gula alkohol yang

berdifusi di bagian ekstraseluler namun tidak dapat memasuki sel (Taiz dan Zeiger

2003) sehingga berfungsi sebagai regulator osmotik. Penggunaan regulator

osmotik telah terbukti dapat menyimpan biakan ubi jalar selama 10 bulan

(Roostika et al. 2001), biakan kentang hitam selama 3 bulan (Roostika dan

Sunarlim 2005), biakan purwoceng selama 7 bulan (Roostika et al. 2008), dan

biakan jeruk besar selama 5 bulan (Dewi et al. 2010).

Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat interaksi yang nyata antara

suhu penyimpanan dengan taraf manitol terhadap daya tembus biakan. Daya

tembus biakan tersebut sangat rendah hingga akhir periode simpan (5 bulan). Hal

ini menunjukkan bahwa manitol mampu menekan pertumbuhan embrio somatik

nenas dalam kondisi terenkapsulasi dengan Na-alginat 3%. Data tersebut perlu

didukung dengan data daya hidup biakan sehingga dapat ditentukan perlakuan

yang terbaik untuk penyimpanan.

Hasil penelitian ini menunjukkan tidak terdapat interaksi yang nyata antara

suhu penyimpanan dengan taraf manitol terhadap daya hidup biakan. Dalam hal

ini, pertumbuhan embrio somatik nenas yang terenkapsulasi dengan Na-alginat

3% dipengaruhi secara nyata oleh faktor tunggal yang diujikan, yaitu suhu

penyimpanan atau taraf manitol. Pada periode simpan 1 bulan, taraf manitol

berpengaruh nyata terhadap daya hidup biakan. Taraf manitol 2, 3, dan 4% justru

meningkatkan daya hidup biakan, namun pengaruh tersebut tidak berbeda nyata

dengan bertambahnya periode simpan hingga 5 bulan (Tabel 13). Dari tabel

tersebut tampak bahwa daya hidup biakan menurun drastis dari periode simpan 4

bulan ke periode simpan 5 bulan. Manitol merupakan osmoregulator yang dapat

meningkatkan tekanan osmotik media sehingga nutrisi mengalir secara perlahan

ke dalam jaringan. Taraf manitol yang sangat tinggi dapat menyebabkan tekanan

osmotik yang sangat tinggi pula sehingga menyebabkan seolah-olah nutrisi tidak

tersedia dan memungkinkan terjadinya dehidrasi jaringan. Oleh karena itu, biakan

yang disimpan dengan manitol pada taraf yang tinggi tidak dapat bertahan hidup

lebih lanjut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa biakan nenas yang

terenkapsulasi dengan Na-alginat 3% sebaiknya disimpan dengan manitol 4%

tidak lebih dari 4 bulan.

Tabel 13. Pengaruh suhu penyimpanan dan manitol terhadap daya tembus biakan nenas kultivar Smooth Cayenne yang terenkapsulasi dengan Na-alginat 3%

Daya tembus (%) Perlakuan

1 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan 5 bulan Manitol (%)

0 3 3 3 8 9 1 1 1 3 3 12 2 5 5 10 20 25 3 6 6 11 26 29 4 13 13 23 25 32 5 0 0 8 8 9

Suhu (0C) 15 0.6 a 0.6 a 4.3 a 6.9 a 10.6 a 25 7.7 b 7.7 b 13.7 a 19.8 a 25.1 b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji DMRT.

Berbeda dengan pengaruh manitol, suhu penyimpanan memberikan

pengaruh yang nyata hanya pada 5 bulan periode penyimpanan (Tabel 14), dengan

daya hidup yang sangat rendah (3 dan 27%) yang ditandai dengan banyaknya

biakan yang mencoklat (Gambar 36). Sebagaimana dijelaskan sebelumnya,

kecepatan respirasi menurun pada suhu rendah, begitu pula dengan proses sintesis

dan konsumsi adenosine triphosphate (ATP) sehingga dalam kondisi tersebut

maka pertumbuhan biakan akan sangat terhambat dan berakibat pada kematian

(Taiz dan Zeiger 2003). Oleh karena itu, penyimpanan dengan penurunan suhu

tersebut tidak disarankan untuk dilakukan. Selain daya hidup yang sangat rendah,

penyimpanan dengan penurunan suhu memerlukan energi listrik dengan biaya

yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan manitol.

Tabel 14. Pengaruh suhu penyimpanan dan manitol terhadap daya hidup biakan nenas kultivar Smooth Cayenne yang dienkapsulasi dengan Na-alginat 3%

Daya hidup (%) Perlakuan

1 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan 5 bulan Manitol (%)

0 81 ab 79 a 59 a 54 a 22 a 1 72 a 57 a 56 a 48 a 8 a 2 92 b 79 a 78 a 51 a 17 a 3 91 b 80 a 66 a 40 a 14 a 4 87 b 80 a 72 a 53 a 33 a 5 72 a 64 a 43 a 18 a 8 a

Suhu (0C) 15 80 a 72 a 64 a 49 a 3 a 25 83 a 73 a 58 a 38 a 27 b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji DMRT.

15 0C

25 0C

A

IHG

FED

CB

LJ K

Gambar 36. Penampilan kapsul embrio somatik nenas kultivar Smooth Cayenne

(4 bulan periode simpan) yang disimpan dengan menggunakan manitol pada suhu penyimpanan yang berbeda: manitol 0% (A dan G), manitol 1% (B dan H), manitol 2% (C dan I), manitol 3% (D dan J), manitol 4% (E dan K), dan manitol 5% (F dan L).

Penurunan suhu (2–10 0C) telah diterapkan pada beberapa macam tanaman,

seperti kentang, bawang, dan mentha dengan periode simpan 12 hingga 18 bulan

(Keller et al. 2006). Namun demikian, pada penelitian ini penurunan suhu

penyimpanan hingga 15 0C tidak mampu mempertahankan daya hidup dan

memperpanjang masa simpan biakan nenas. Sebaliknya penggunaan manitol lebih

baik daripada penurunan suhu penyimpanan. Hasil penelitian ini lebih baik

daripada hasil penelitian sebelumnya yang dilaporkan oleh Gangopadhyay et al.

(2004) yang hanya mampu menyimpan kapsul nenas selama 1.5 bulan pada suhu

8 0C.

Simpulan

Basal daun nenas tidak mampu bertahan hidup dalam kondisi terenkapsulasi

dengan Na-alginat 3%. Tidak terdapat interaksi yang nyata antara taraf

paklobutrazol dengan suhu penyimpanan terhadap daya hidup dan daya tembus

kapsul tunas nenas. Biakan tersebut hanya dapat disimpan selama 1 bulan.

Interaksi yang nyata juga tidak dijumpai antara taraf manitol dan suhu

penyimpanan terhadap daya hidup dan daya tembus kapsul embrio somatik nenas.

Dengan menggunakan manitol 4% maka penyimpanan dapat diperpanjang hingga

4 bulan. Penurunan suhu penyimpanan tidak disarankan karena terbukti tidak

mampu memperpanjang masa simpan baikan nenas dan memerlukan energi listrik

serta biaya yang lebih tinggi.

Daftar Pustaka

Arteca RN. 1996. Plant Growth Substances. Chapman and Hall. New York.332p.

Bessembinder JJE, Staritsky G, Zandvoort EA. 1993. Longterm in vitro storage of Colocasia esculenta under minimal growth conditions. Plant Cell Tiss Org Cult 33:121-127.

Cathey HM. 1975. Comparative plant growth-retarding activities of ancymidol with ACPC, phosfon, clhormequat, and SADH on ornamental plant species. Hort Science 10(3):204-215.

Desbrunais AB, Noirot M, Charrier A. 1992. Slow growth in vitro conservation of coffee (Coffea spp.). Plant Cell Tiss Org Cult 31:105-110.

Dewi IS, Jawak G, Roostika I, Sabda M, Purwoko BS, Adil WH. 2010. Konservasi in vitro tanaman jeruk besar (Citrus maxima (Burn.) Merr.) kultivar Srinyonya menggunakan osmotikum dan retardan. Jurnal Agrobiogen 6(2):84-90

Eeuwens CJ et al. 2002. Effects of tissue culture conditions during embryoid multiplication on the incidence of “mantled” flowering in clonally propagated oil palm. Plant Cell Tiss Org Cult 70:311-323.

Gangopadhyay G, Bandyopadhyay T, Poddar R, Gangopadhyay SB, Mukherjee KK. 2005. Encapsulation of micro shoots in alginate beads for temporary storage. Curr Res 88(6): 972-977.

Hu CY, Wang PJ. 1983. Meristem, shoot tip, and bud culture. Pp. 177-227. In. Evans DA, Sharp WR, Amiroto PV, Yamada Y, editor. Handbook of Plant Cell Culture Vol. I. Techniques for Propagation and Breeding. McMilan Publishing, New York.

Keller ERJ, Senula A, Leunufna S, Grube M. 2006. Slow growth storage and cryopreservation-tools to facilitate germplasm maintenance of vegetatively propagated crops in living plant collections. Int J of Refr 29:411-417.

Lestari EG, Mariska I. 1997. Kultur in vitro sebagai metode pelestarian tumbuhan obat langka. Buletin Plasma Nutfah 2(1): 1-8.

Leunufna S. 2004. Improvement of the in vitro maintenance and cryopreservation of yams (Dioscorea spp.). Dissertation Martin-Luther–Universitat Halle-Wittenberg. Berlin. 12p. Unpublished.

Mariska I, Suwarno, Damardjati DS. 1996. Pengembangan konservasi in vitro sebagai salah satu bentuk pelestarian plasma nutfah di dalam bank gen. Dalam: Seminar Penyusunan Konsep Pelestarian Ex Situ Plasma Nutfah Pertanian. Bogor. 18 Desember 1996. Balitbio Bogor.

Rai MK, Asthana P, Singh SK, Jaiswal VS, Jaiswal U. 2009. The encapsulation technology in fruit plants – A review. Biotech Adv 27: 671-679.

Redenbaugh K. 1992. Synseeds: Application of synthetic seeds to crop improvement. CRC Press. 481 p.

Roostika I, Sunarlim N. 2001. Penyimpanan in vitro tunas ubi jalar dengan penggunaan paclobutrazol dan ancymidol. PP 20 (3):48-56.

Roostika I, Sunarlim N, Arief VN. 2005. Penyimpanan kentang hitam (Coleus tuberosus) secara kultur in vitro. PP 24 (1):46-52

Roostika I, Purnamaningsih R, Darwati I. 2009. Penyimpanan in vitro tanaman purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) melalui aplikasi pengenceran media dan paklobutrazol. Jurnal Littri 15(2): 84-90

Roostika I, Purnamaningsih R, Arief VN. 2008. Pengaruh sumber karbon dan kondisi inkubasi terhadap pertumbuhan kultur in vitro purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.). AgroBiogen 4(2): 65-69

Sunarlim N, Roostika I, Arief VN. 2004. Penyimpanan in vitro gembili melalui pertumbuhan minimal. Dalam: Prosiding Seminar Kinerja Penelitian Mendukung Agribisnis Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. BALITKABI. Malang.

Sunarlim N, Roostika I. 2003. Penggunaan zat penghambat tumbuh dan regulator osmotik manitol dalam penyimpanan ubi-ubian secara kultur jaringan. Dalam: Prosiding Seminar Teknologi Inovatif Agribisnis Kacang-kacangan dan Umbi-umbian untuk Mendukung Ketahan Pangan. BALITKABI. Malang.

Taiz L, Zeiger E. 2003. Plant Physiology-on line 3rd Ed. Sunderland: Sinauer Associates. doi:10.1093/aob/mcg079.

Withers LA. 1985. Cryopreservation and storage of germplasm. In: Dixon DA, editor. Plant Cell Culture. IRL Press, Washington. Pp.169-190.

KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN MOLEKULER BIAKAN IN VITRO DAN BIBIT NENAS

Abstrak

Variasi somaklonal menjadi perhatian yang serius pada mikropropagasi tanaman nenas. Oleh karena itu, diperlukan metode yang mampu mendeteksi dan mengontrol kelainan biakan in vitro sebelum planlet yang dihasilkan ditanam di lapang. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui tipe dan tingkat keragaman morfologi serta keragaman molekuler yang terjadi pada biakan in vitro nenas yang dikulturkan dalam periode yang panjang. Pada penelitian ini dilakukan karakterisasi morfologi dan molekuler biakan dan bibit nenas kultivar Smooth Cayenne umur 4 tahun dan evaluasi kestabilan fenotipe varian pada tahap in vitro dan ex vitro. Karakterisasi morfologi dilakukan secara kualitatif sedangkan karakterisasi molekuler dilakukan dengan menggunakan penanda RAPD dengan 10 primer. Data diskor secara biner kemudian dianalisis dengan menggunakan program NTSYS-pc 2.02. Tingkat kemiripan dihitung dengan menggunakan koefisien Dice. Pengelompokan dilakukan dengan berdasarkan UPGMA. Evaluasi kestabilan fenotipe varian pada tahap in vitro dilakukan dengan mengisolasi tiap-tiap varian secara individual dan melakukan subkultur sebanyak 3 kali sedangkan evaluasi pada tahap ex vitro dilakukan dengan mengamati perubahan karakter spesifik setiap varian di rumah kaca. Hasil penelitian memperlihatkan 21 varian terdeteksi dari populasi biakan in vitro nenas umur 4 tahun. Delapan varian menunjukkan fenomena epigenetik selama isolasi varian secara individual, 8 varian menunjukkan fenomena khimera selama proses subkultur, dan 7 varian menunjukkan kestabilan fenotipenya selama di rumah kaca. Karakterisasi morfologi tersebut menghasilkan dendogram dengan koefisien kemiripan sebesar 0.49-0.91 (r=0.83). Karakterisasi molekuler tersebut menghasilkan dendogram dengan koefisien kemiripan sebesar 0.32-0.91, di mana varian dan tanaman kontrolnya memiliki kemiripan sebesar 0.32-0.61 (r=0.97). Pola duri pada daun dari bibit hasil aklimatisasi di rumah kaca menampakkan pola yang sama sekali tidak beraturan karena karakter daun halus dan berduri (1 sisi atau 2 sisi) terjadi secara silih berganti sepanjang pertumbuhan tanaman. Selanjutnya, diduga kuat adanya elemen loncat pada tanaman nenas yang diamati. Dugaan tersebut diperkuat oleh penemuan sebelumnya yang melaporkan bahwa sekuens mirip retrotransposon telah terintegrasi ke dalam genom tanaman nenas. Metode karakterisasi morfologi yang dihasilkan dari penelitian ini dapat diterapkan untuk deteksi dini dan eliminasi varian yang tak diharapkan selama proses mikropropagasi.

Kata kunci: Karakterisasi morfologi, RAPD, biakan in vitro, Ananas comosus (L.) Merr., epigenetik, khimera, variasi somaklonal

Abstract

Somaclonal variation still becomes a concern in propagation of pineapple plants. Reliable methods are needed to control and to detect deleterious off-types produced during in vitro culture, especially before the plants are grown in the field. The objective of the study was to determine the type and the level of variation of long period in vitro cultures of pineapple. Morphological and molecular characterization of 4 year-old pineapple in vitro cultures and evaluation of phenotypic stability during in vitro and ex vitro culture were conducted in this research. Morphological characterizations were conducted qualitatively and molecular characterizations were conducted by using RAPD markers with 10 primers. The data were scored binary and then they were analyzed by using NTSYS-pc 2.02 program. The similarity degrees were calculated according to the Dice coefficient. Groupings were carried out using UPGMA cluster analysis. Twenty one aberrant phenotypes were observed in cultures derived from the shoot proliferation method, of which the 8 variants showed epigenetic phenomena and the 8 variants showed polysomic cells, indicated chimera tissues. Phenotypic evaluations showed that 7 variants were stable during acclimatization in glass house. The morphological characterization yielded dendogram with the similarity coefficient range from 0.49 to 0.91 (r=0.83). The molecular characterization yielded dendogram with the similarity coefficient range from 0.32 to 0.91 where separated variant and the control plant within the range of 0.32 to 0.61 (r=0.97). Unexpectedly, the observation of spininess showed that there was irregular pattern (the spines sometimes emerged from the young leaves, sometimes along one side of the leaves or along both side of the leaves with different density and sharpness). Therefore, it strongly suggested the presence of retrotransposon. The morphological characterization resulted in this research can be used as guidance for early detection and elimination of undesirable variants in micropropagation.

Keywords: Morphological characterization, RAPD, in vitro culture, Ananas comosus (L.) Merr, epigenetic, chimera, somaclonal variation

Pendahuluan

Teknik kultur in vitro merupakan teknologi alternatif yang tepat untuk

produksi bibit secara masal karena mampu memproduksi bibit dalam jumlah yang

besar, dalam waktu yang singkat, dan dengan keseragaman yang tinggi. Menurut

Smith et al. (2003), teknik mikropropagasi tanaman nenas dapat diterapkan untuk

pemantapan blok multiplikasi yang dapat menyediakan bahan tanaman

konvensional untuk blok produksi. Hal ini disebabkan oleh penyimpangan (off

types) yang terjadi pada bibit nenas hasil kultur in vitro. Wakasa (1979)

melaporkan bahwa bibit nenas yang dihasilkan dari eksplan berupa mahkota

mempunyai tingkat keragaman yang lebih rendah (7%) daripada syncarp (100%),

tunas aksilar (34%), dan slip (98%).

Dari berbagai kajian pustaka, dapat diketahui bahwa off types dapat

disebabkan oleh berbagai macam faktor, yaitu variasi dari tanaman donor (pre-

existing variation) (Wakasa 1979), periode in vitro yang panjang (Koornneef

1991; Masoud and Hamta 2008), zat pengatur tumbuh (Bairu et al. 2009),

subkultur yang frekuentif (Eeuwens et al. 2002), dan tergantung pada genotipe

tanaman (Zucchi et al. 2002). Untuk menghindari tingginya keragaman

somaklonal dan untuk mengefektifkan metode mikropropagasi maka diperlukan

strategi untuk memproduksi bibit dengan kesamaan identitas genetik. Oleh karena

itu, diperlukan metode karakterisasi yang mampu mendeteksi penyimpangan

tersebut secara dini, sebelum tanaman ditanam di lapang.

Deteksi penyimpangan bibit yang dihasilkan dari teknik kultur in vitro

dapat dilakukan melalui karakterisasi morfologi (Noor et al. 2009 ; Somsri et al.

2009; Zhao et al. 2005; Podwyszyńska 2005), sitologi (Al-Zahim et al. 1999;

Joachimiak dan Ilnicki 2003), biokimia (Feuser et al. 2003), fisiologi (Perez et al.

2011), dan molekuler (Chen et al. 1998; Al-Zahim et al. 1999; Soniya et al.

2001). Pada tanaman nenas, karakterisasi telah dilakukan secara morfologi,

biokimia, dan molekuler. Soneji et al. (2002) telah mengkarakterisasi bibit nenas

kultivar Queen untuk sifat daun berduri dan tidak berduri dengan penanda RAPD.

Feuser et al. (2003) juga menganalisis ketepatan genetik planlet nenas kultivar

Amarelinho (grup Perola) dengan menggunakan penanada RAPD. Demikian pula,

Santos et al. (2008) melakukan evaluasi keragaman genetik dari biakan in vitro

nenas hias (Ananas comosus var. bracteatus) dengan menggunakan penanda yang

sama. Wakasa (1979) telah melakukan evaluasi karakter morfologi bibit nenas

kultivar Smooth Cayenne hasil kultur in vitro dengan periode 1.5 tahun,

aklimatisasi selama 14-22 bulan, dan 1 tahun periode pertumbuhan tanaman.

Suminar (2010) telah melakukan karakterisasi morfologi biakan in vitro nenas

Golden Pineapple (kultivar Smooth Cayenne) hasil radiasi sinar gamma. Namun

hingga saat ini, belum terdapat penelitian yang melaporkan karakterisasi secara

morfologi biakan in vitro nenas yang dikulturkan dalam periode yang panjang.

Tujuan penelitian ini adalah mengkarakterisasi biakan in vitro umur 4 tahun dan

bibit nenas aklimatisasi dengan menggunakan penanda morfologi dan molekuler.

Bahan dan Metode

Persiapan Bahan Tanaman

Bahan tanaman adalah biakan in vitro nenas kultivar Smooth Cayenne Klon

Simadu dari Subang yang telah berumur 4 tahun pada periode in vitro. Bahan

tanaman awal adalah mahkota yang disterilisasi dengan menggunakan alkohol dan

natrium hipoklorit. Eksplan ditanam pada media MS (Murashige dan Skoog 1962)

dengan penambahan gula 3%, agar 0.8% dengan penambahan benzyl adenine

(BA) 2 mg l-1 dan kinetin (Kn) 2 mg l-1. Kultur diinkubasikan pada kondisi terang

16 jam dengan intensitas cahaya 800-1000 lux, suhu 25±2 0C. Setelah 4 tahun

periode in vitro, biakan dipelihara pada media MS dengan penambahan BA 0.5

mg l-1 dan Kn 1 mg l-1.

Karakterisasi Morfologi

Pengamatan terhadap kelainan atau penyimpangan biakan in vitro nenas

dilakukan secara visual. Karakterisasi secara morfologi dilakukan dengan

menggunakan deskripsi yang dikeluarkan oleh IBPGR (1991) dan Suminar (2010)

dengan beberapa modifikasi (Tabel 15). Data dari karakter morfologi diskor

secara biner. Data tersebut dianalisis dengan menggunakan program SIMQUAL,

SAHN, dan TREE dari Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System

version 2.02 (NTSYS-pc 2.02). Tingkat kemiripan dihitung dengan menggunakan

koefisien Dice. Pengelompokan dilakukan dengan metode klastering berdasarkan

Unweighted Pair Group Method and Arithmetic Average (UPGMA).

Evaluasi Stabilitas Varian

Untuk mengetahui frekuensi biakan normal dan abnormal, tiap-tiap varian

yang muncul dari populasi biakan in vitro nenas umur 4 tahun dihitung

jumlahnya. Untuk mengetahui kestabilan fenotipe tersebut maka setiap individu

varian diisolasi pada media BA 0.5 mg l-1 dan Kn 1 mg l-1. Subkultur dilakukan

sebanyak 3 kali dengan menggunakan media yang sama. Stabilitas sifat

dikategorikan menjadi 3 macam, yaitu stabil (S) jika tidak terjadi perubahan

fenotipe, agak stabil (R) jika anakan atau regeneran yang dihasilkan mempunyai

fenotipe yang sesuai dengan fenotipe awalnya dan fenotipe yang lain dengan

fenotipe awalnya, tidak stabil (N) jika terjadi perubahan fenotipe. Uji stabilitas

fenotipe dilakukan ketika isolasi varian secara individual, selama proses

subkultur, dan selama pertumbuhan bibit di rumah kaca. Kestabilan fenotipe

ditentukan secara kualitatif dengan menitikberatkan pada karakter spesifik yang

dimiliki oleh tiap-tiap varian berdasarkan karakterisasi morfologi. Selain

perubahan fenotipe, jumlah tunas juga dihitung untuk mengetahui tingkat

multiplikasi tunas dari masing-masing varian selama proses subkultur. Masing-

masing tunas dari varian diinduksi perakarannya dengan menggunakan indole

butyric acid (IBA) 3 mg l-1 dan naphthalene acetic acid (NAA) 1 mg l-1 (5.4 µM).

Planlet yang diperoleh tersebut kemudian diaklimatisasi di rumah kaca dengan

menggunakan media tanah dan kompos dengan perbandingan 1:1.

Karakterisasi Molekuler

Sebanyak 10 varian dipilih untuk karakterisasi secara molekuler. Varian

yang telah diaklimatisasi di rumah kaca diambil daunnya sebagai sampel, kecuali

varian climb posture yang diambil sampel daunnya dari biakan in vitro. Sampel

daun diekstraksi dengan metode cetyl trimethyl ammonium bromide (CTAB).

Karakterisasi molekuler dilakukan dengan menggunakan metode Randomly

Amplified Polymorphism DNA (RAPD), modifikasi metode Soneji et al. (2002).

DNA diamplifikasi dengan mesin Polymerase Chain Reaction (PCR). Masing-

masing reaksi mengandung 25 ng/l DNA genomik 1 µl, 1 µl primer (Operon

Tech. Alameda, USA) pada 10 ng/µl, 11 µl ddH2O, dan 12 µl PCR mix, dalam

total reaksi 25 µl. Siklus PCR terdiri atas pra-denaturasi pada suhu 94 0C selama 4

menit; 40 siklus pada 94 0C selama 30 detik (denaturasi); 36 0C selama 1 menit

(penempelan primer) dan 1 menit pada 72 0C (ekstensi); pasca-ekstensi pada 72 0C selama 5 menit, serta ekstensi akhir pada 40 0C selama 4 menit. Produk PCR

dipisahkan pada agarosa 1.2% (Promega) dan dielektroforesis pada voltase

konstan 50 V selama 50 menit, kemudian pita-pita diwarnai dengan ethidium

bromide (EtBr) serta divisualisasi di bawah UV transiluminator. Sebagai standar

molekuler digunakan DNA ladder 1 kb.

Tabel 15. Karakter dan sub karakter yang diamati pada biakan in vitro nenas kultivar smooth Cayenne (umur 4 tahun)

No. Karakter Sub karakter 1 Postur tunas Tegak/membengkok/agak kerdil/kerdil/tinggi

2 Tegakan daun Tegak lurus/agak vertikal/terbuka/menjuntai 3 Warna daun Hijau/hijau gelap/hijau terang/putih

keperakan/varigata 4 Panjang daun Normal/pendek/panjang 5 Lebar daun Normal/lebar/sempit 6 Pola pada daun Normal/bergaris putih/bergaris hijau/berbintik di

bagian adaksial/berbintik di bagian abaksial 7 Permukaan daun Normal/mengkilap/berlilin 8 Helaian daun Normal/keriting/berpilin/bergelombang 9 Konsistensi daun Normal/kaku/lunglai 10 Duri Ada/tidak ada 11 Panjang batang semu Normal/lebih pendek/lebih tinggi

12 Panjang nodus Normal/lebih pendek/lebih panjang 13 Filotaksi Normal/lebih rapat/lebih jarang/tak beraturan 14 Jumlah anakan Normal/banyak/jarang/hampir tidak ada

15 Asal tumbuh anakan Basal tunas/basal daun/nodus/tak diketahui 16 Dominanasi apikal Ada/tidak ada

Sampel diskor berdasarkan ada dan tidak adanya pita pada ukuran yang

sama, di mana 1 berarti ada sedangkan 0 berarti tidak ada. Untuk skrining primer,

digunakan sampel DNA tanaman nenas kultivar Smooth Cayenne klon Simadu

dari lapang dan varian needle leaf dengan menggunakan 20 primer kemudian

dipilih 10 primer yang menghasilkan pita yang jelas. Data tersebut dianalisis

dengan menggunakan program SIMQUAL, SAHN, dan TREE dari NTSYS-pc

2.02. Tingkat kemiripan dihitung dengan menggunakan koefisien Dice.

Pengelompokan dilakukan dengan metode klastering berdasarkan UPGMA.

Hasil dan Pembahasan

Karakterisasi Morfologi

Untuk membedakan tipe normal dan varian maka diperlukan informasi

tentang karakter asli dari tipe liar tanaman nenas. Wakasa (1979) telah melakukan

pengamatan morfologi bibit nenas selama aklimatisasi dan di lapang. Berdasarkan

laporan tersebut maka diketahui bahwa fenotipe asli dari tanaman nenas kultivar

Smooth Cayenne adalah daun berwarna hijau gelap, tidak ada varigata, bagian

abaksial daun ditutupi oleh lapis lilin, dan duri muncul di sekitar ujung daun

(penciri spesifik dari kultivar tersebut).

Berdasarkan karakterisasi morfologi, teramati 21 varian dari populasi

biakan in vitro nenas umur 4 tahun. Tabel 16 dan Gambar 37 memperlihatkan tipe

variasi dan ciri-ciri spesifik dari tiap-tiap varian. Tipe varian yang dihasilkan pada

penelitian ini lebih beragam dibandingkan dengan hasil penelitian Wakasa (1979)

yang memperoleh 6 varian, yaitu (spines leaf, lighter green leaf, denser

phyllotaxy, powdery leaf, wider leaf, dan albino stripe leaf). Banyaknya varian

yang muncul pada penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh periode in vitro

yang lebih panjang. Wakasa (1979) menerapkan kultur in vitro selama 1.5 tahun

sedangkan pada penelitian ini digunakan biakan in vitro yang telah berumur 4

tahun. Masoud dan Hamta (2008) juga mengatakan bahwa periode in vitro dapat

menyebabkan induksi variasi somaklonal. Joachimiak dan Ilnicki (2003) juga

menjelaskan bahwa selama periode kultur in vitro, jaringan tanaman dapat

mengalami perubahan struktural, antara lain tingkat ploidi, ukuran telomer,

eliminasi kromatin yang berasosiasi dengan ukuran nukleus dan kandungan

deoxyribo nucleic acid (DNA).

A B C

D E F

G H I

J K L

M N O

P Q R

S T U

W Gambar 37. Keragaan varian nenas kultivar Smooth Cayenne: normal (a),

branched shoot (b). needle leaf (c). long core (e). climb posture (f), whitish leaf (g), glossy stiff leaf (h), spiness spot leaf (i), narrow leaf (j), bending posture (k), albino stripes leaf (l), curly leaf (m), wider leaf (n), dwarf posture (o), powdery leaf (p), ultra dwarf posture (q), wave laef (r), darker leaf (s), lighter leaf (t), denser foliage (u), reddish leaf (v), erect posture (w).

Jumlah varian yang dihasilkan dalam penelitian ini bahkan lebih banyak

jika dibandingkan dengan hasil radiasi sinar gamma yang dilakukan oleh Suminar

(2010). Tampaknya pengaruh periode kultur in vitro lebih besar dalam

menginduksi terbentuknya varian, terutama ketika dosis radiasi yang diujikan

masih belum optimal. Suminar (2010) mengatakan bahwa kalus yang

mendapatkan perlakuan radiasi sebagian besar mempunyai pertumbuhan yang

baik dan tidak menunjukkan gejala kerusakan fisiologis.

Analisis pengelompokan berdasarkan 16 karakter dan 58 sub karakter

(Tabel 15) menghasilkan koefisien kemiripan sebesar 0.49-0.91 (Gambar 38).

Analisis pengelompokan tersebut memiliki nilai korelasi matriks Rohlf sebesar

0.83 (r=0.83). Hal ini berarti bahwa dendogram yang diperoleh sudah sesuai

dalam menggambarkan pengelompokan berbagai macam varian atau fenotipe

tersebut. Pada koefisien kemiripan 0.62, populasi tersebut terpisah atas 3

kelompok.

Hasil penelitian ini juga memperlihatkan bahwa varian bending posture

memiliki proporsi paling tinggi (16.6%), diikuti dengan needle-like leaf (15.1%),

spines spot leaf (9.8%), glossy stiff leaf (8.6%), narrow leaf (5.4%), dan curly leaf

(5.3%) (Tabel 16). Proprosi tersebut kemungkinan berkaitan dengan tingkat

multiplikasi tunas dari tiap-tiap varian (Tabel 17). Selain itu, terdapat 3 varian

yang kehilangan dominansi apikalnya yang berasosiasi dengan tingkat

multiplikasi tunas yang tinggi.

Evaluasi Stabilitas Varian

Zucchi et al. (2002) melaporkan bahwa stress selama kultur in vitro dapat

menyebabkan terjadinya metilasi di dalam genom tanaman. Diduga bahwa

perubahan epigenetik dalam tingkat metilasi DNA memegang peranan penting

dalam mekanisme adaptasi tanaman terhadap stres lingkungan. Menurut

Koornneef (1991), diduga bahwa propagasi vegetatif yang stabil dari suatu varian

dapat dipertimbangkan sebagai indikasi bahwa varian tersebut mutan atau bukan

mutan. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan subkultur sebanyak 3 kali.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa 8 varian menunjukkan ketidak-

stabilan fenotipe selama isolasi secara individual, yaitu whitish leaf, bending

posture, curly leaf, wave leaf, darker leaf, lighter leaf, denser foliage, dan reddish

leaf. Fenomena ini memperlihatkan terjadinya epigenetik karena 8 varian tersebut

tidak dapat mepertahankan fenotipenya. Diduga bahwa perubahan tersebut

berkaitan dengan stres lingkungan selama kultur in vitro 4 tahun, khususnya

faktor pencahayaan dan rasio fitohormon.

Koefisien kemiripan0.49 0.60 0.70 0.81 0.91

N V12 V7 V8 V5 V17 V20 V11 V14 V3 V19 V10 V1 V16 V18 V21 V2 V6 V13 V15 V9 V4

Keterangan: N = Normal, V1 = branched shoot, V2 = needle leaf, V3 = long core, V4 = climb posture, V5 = whitish leaf, V6 = glossy stiff leaf, V7 = spiness spot leaf, V8 = narrow leaf, V9 = bending posture, V10 = albino stripe leaf, V11 = curly leaf, V12 = wider leaf, V13 = dwarf posture, V14 = powdery leaf, V15 = ultradwarf posture, V16 = wave leaf, V17 = darker leaf, V18 = lighter leaf, V19 = denser foliage, V20 = reddish leaf, dan V21 = erect posture.

Gambar 38. Dendogram hasil karakterisasi morfologi biakan in vitro nenas kultivar Smooth Cayenne umur 4 tahun, berdasarkan metode (SAHN)-UPGMA (r=0.83).

Tabel 16. Ciri-ciri spesifik dari varian yang muncul dari populasi biakan in vitro nenas kultivar Smooth Cayenne umur 4 tahun

No. Varian Karakter spesifik

1 Branched shoot (V1)

Banyak tunas, dominansi apikal hilang, daun normal atau terkulai

2 Needle leaf (V2) Daun agak terbuka, pendek, dan sempit, kaku, seperti jarum, mempunyai banyak anakan, tidak ada dominansi apikal

3 Long core (V3) Batang semu lebih pajang dan besar tetapi nodus tidak memanjang, daun terakumulasi di bagian atas tunas

4 Climb posture (V4)

Tunas tinggi, tampak seperti memanjat, daun pendek dan sempit, normal atau terkulai, nodus lebih panjang

5 Whitish leaf (V5)

Daun keperakperakan dan berduri

6 Glossy stiff leaf (V6)

Daun mengkilat dan kaku, elongasi tunas agak terbatas

7 Spines spot leaf (V7)

Duri muncul pada sepanjang tepi daun, permukaan daun berbintik-bintik putih

8 Narrow leaf (V8)

Daun lebih sempit dan ramping, menjuntai ke bawah atau tidak

9 Bending posture (V9)

Nodus lebih panjang, tunas membelok-belok, tidak roset

10 Albino stripe leaf (V10)

Daun bergaris-garis putih dan hijau atau albino

11 Curly leaf (V11) Daun melengkung dengan ujung melekuk ke bawah, keriting atau spiral

12 Wider leaf (V12) Daun lebih lebar 13 Dwarf posture

(V13) Tunas kerdil, lebar daun normal, warna daun lebih gelap

14 Powdery leaf (V14)

Bagian abaksial dan adaksial daun seperti bertaburan tepung dipenuhi lapis lilin atau kutikula

15 Ultradwarf posture (V15)

Tunas kerdil, daun lebih kecil dan lebih pendek

16 Wave laf (V16) Struktur daun bergelombang dengan filotaksi tak beraturan

17 Darker leaf (V17)

Daun berwarna hijau tua

18 Lighter leaf (V18)

Daun berwarna hijau muda

19 Denser foliage (V19)

Tata letak daun lebih rapat

20 Reddish leaf (V20)

Bagian sekitar tulang daun berwarna kemerah-merahan

21 Erect posture (V21)

Tunas tegak dengan daun agak tegak lurus

Tabel 17. Proporsi varian yang muncul dalam populasi biakan in vitro nenas kultivar Smooth Cayenne umur 4 tahun

Varian Jumlah tunas Proporsi (%) Normal 134 17.7 Branched shoot (V1) 4 0.5 Needle leaf (V2) 114 15.1 Long core (V3) 4 0.5 Climb posture (V4) 17 2.3 Whitish leaf (V5) 5 0.7 Glossy stiff leaf (V6) 65 8.6 Spines spot leaf (V7) 74 9.8 Narrow leaf (V8) 41 5.4 Bending posture (V9) 141 18.7 Albino stripe leaf (V10) 4 0.5 Curly leaf (V11) 40 5.3 Wider leaf (V12) 14 1.9 Dwarf posture (V13) 30 4.0 Powdery leaf (V14) 25 3.3 Ultradwarf posture (V15) 21 2.8 Wave laf (V16) 8 1.1 Darker leaf (V17) 2 0.3 Lighter leaf (V18) 1 0.1 Denser foliage (V19) 6 0.8 Reddish leaf (V20) 3 0.4 Erect posture (V21) 2 0.3 Total 755 100

Terjadinya varian bending posture kemungkinan disebabkan oleh upaya

biakan dalam mengakses cahaya. Srivastava (2002) mengatakan bahwa

pertumbuhan yang asimetris sebagian diperantarai oleh auksin. Menurut Taiz dan

Zeiger (2002), pertumbuhan ke arah cahaya demikian disebut sebagai

fototropisme. Perolehan cahaya yang tidak seimbang menyebabkan ketidak-

seimbangan konsentrasi auksin pada daerah yang terkena cahaya dan yang

ternaungi sehingga menyebabkan pertumbuhan yang tidak seimbang atau

membelok. Asumsi ini dikonfirmasi dengan kenyataan yang menunjukkan bahwa

tunas-tunas yang bengkok tersebut berukuran kecil dan selalu bergerombol.

Alasan yang serupa juga ditujukan pada varian whitish leaf, lighter leaf, darker

leaf, dan reddish leaf, di mana cahaya yang tidak mencukupi atau bahkan

berlebihan menyebabkan munculnya varian-varian tersebut.

Varian curly leaf dan wave leaf kemungkinan berkaitan dengan taraf auksin

endogenus. Menurut Srivastava (2002), hilangnya homeostasis IAA dapat

menyebabkan perubahan taraf IAA bebas sehingga tanaman memperlihatkan daun

yang epinastik oleh karena pertumbuhan yang asimetris. Pada penelitian ini,

varian wave leaf berubah menjadi curly leaf. Ini menunjukkan bahwa pada

kenyataannya, kedua varian tersebut adalah sama.

Fenotipe branched shoot, needle leaf, dan dwarf posture kemungkinan

berkaitan dengan overproduksi sitokinin. Semua varian tersebut mempunyai

tingkat multiplikasi tunas yang tinggi (Tabel 18) dan kehilangan dominansi

apikalnya. Srivastava (2002) meriviu bahwa produksi sitokinin yang berlebihan

akan menghasilkan kelainan yang bermacam-macam, dan kelaianan yang paling

konsisten adalah meningkatnya percabangan atau pembentukan tunas dan

hilangnya dominansi apikal. Sebaliknya, dominansi apikal pada varian climb

posture sangat tinggi. Pada varian ini, pertunasan terjadi pada pada bagian apikal

sehingga semakin memperkuat dugaan tersebut.

Varian dwarf posture dan climb posture juga berbeda dengan fenotipe

normal dalam hal tinggi tanaman atau ukuran daunnya. Hal ini kemungkinan

berhubungan dengan respon tanaman terhadap giberelin. Taiz dan Zeiger (2003)

menyatakan bahwa terdapat tiga macam mutasi yang mempengaruhi tinggi

tanaman, yaitu gibberellin-insensitive dwarf, gibberellin-deficient mutant, dan

mutan dengan respon gibberellin yang konstitutif. Pada kasus penelitian ini,

varian dwarf posture diduga sebagai mutan gibberellin-insensitive dwarf yang

mirip dengan mutan ga-1 (gibberelin insensitive-1), di mana mutasi terjadi pada

daerah regulatory domain. Varian climb posture diduga sebagai gibberellin-

deficient mutant karena ukurannya tinggi (sifat roset hilang). Mutan demikian

mirip dengan mutan rga (repressor of ga1-3), di mana mutasi terjadi pada daerah

repressor domain sehingga tanaman tetap tinggi walaupun tanpa pemberian GA.

Munculnya varian albino stripes leaf kemungkinan berkaitan dengan

kelainan pada kloroplas. Collins (1951) melaporkan bahwa albino dikendalikan

oleh karakter tunggal. Taiz dan Zeiger (2002) juga mengatakan bahwa sektor

albino berhubungan dengan diferensiasi kloroplas, di mana daun albino tidak

memiliki klorofil sehingga tidak mampu berfotosintesis, namun daun yang

berwarna hijau dapat mengekspor produk fotosintatnya ke sektor albino (Taiz dan

Zeiger 2002) sehingga varian albino stripe leaf dapat bertahan hidup. Terlebih

lagi ketika varian tersebut dalam kondisi heterotrof, sektor albino dapat

memperoleh sumber energi (karbon atau gula) dari media tumbuhnya. Pada

penelitian ini, pertumbuhan varian albino stripe leaf akan lebih baik ketika daerah

hijau daun mendominasi sektor albinonya. Sebaliknya, jika sektor albino

mendominasi sektor hijau maka tanaman tidak dapat bertahan hidup ketika

diaklimatisasi di rumah kaca.

Varian lainnya memperlihatkan kestabilan fenotipe selama isolasi secara

individual, tetapi menghasilkan dua macam atau lebih anakan selama proses

subkultur, yaitu fenotipe yang sama dan berbeda dengan asalnya (Tabel 18).

Fenomena ini jelas mengindikasikan adanya jaringan polisomik di dalam biakan

nenas sehingga menimbulkan khimera yang jelas tampak pada regeneran atau

anakan yang dihasilkannya. Dugaan tersebut semakin kuat dengan ditemukannya

variasi pada populasi tanaman nenas di lapang (Subang), yaitu adanya duri pada

satu atau dua sisi daun, daun klorosis, daun yang berwarna kemerah-merahan, dan

tanaman yang melimpah anakannya. Variasi yang terdapat pada tanaman donor

juga dilaporkan oleh Wakasa (1979). Collins (1936) juga melaporkan adanya

khimera dalam jaringan tanaman nenas yang disebabkan oleh mutasi somatik.

Karakter duri pada daun dilaporkan dikendalikan oleh gen tunggal, demikian pula

untuk karakter daun berlapis lilin (Collins 1951). Karakter daun berduri pada

bagian ujung daun merupakan karakter asli dari tanaman nenas kultivar Smooth

Cayenne. Karakter tersebut bersifat dominan sehingga munculnya karakter daun

berduri diduga sebagai hasil dari mutasi dominan dari alel S menjadi s (Collins

1960) sedangkan karakter waxy dan semi-waxy disebabkan oleh tiadanya atau

berkurangnya trikoma (Collins 1951).

Tabel 18. Stabilitas fenotipe setiap individu varian nenas kultivar Smooth Cayenne dan regenerannya selama subkultur dan aklimatisasi

Varian Stabilitas fenotipe

dari individu varianaTingkat

multiplikasi tunasb Tipe variasi dari regenerana Stabilitas fenotipe di rumah kacaa,c

Branched (V1) S +++ Branched; gerombolan tunas (S) Branched (S) Needle leaf (V2)

S +++ Needle leaf; stiff leaf (S) Needle leaf; stiff leaf (S) Narrow leaf (V8) S ++ Narrow leaf; normal (R) Narrow leaf (S) Albino stripe leaf (V10) S + Albino; stripe leaf; green leaf (S) Stripe,tanaman albino tidak hidup (S) Wider leaf (V12) S ++ Wider leaf; bending posture (R) Wider leaf (S) Powdery leaf (V14) S ++ Daun berlapis lilin agak tebal (S) Powdery leaf (S) Erect posture (V21) S + Erect; bending posture (R) Erect (S) Normal S ++ Normal; spines spot leaf (R) Normal dan chimera berduri (R) Spines spot leaf (V7) S ++ Spines spot leaf (S) Chimera berduri, berduri lengkap; smooth (R) Dwarf posture (V13) S +++ Dwarf posture; normal (R) Dwarf posture; normal (R) Ultra dwarf posture (V15)

R ++ Ultra dwarf; medium; normal (R) Dwarf posture; normal (R)

Whitish leaf (V5) N - - Daun menghijau (N) Glossy stiff leaf (V6) S + Glossy stiff leaf (S) Daun tidak kaku dan tidak mengkilat (N) Long core (V3) S + Normal (N) Batang semu normal (N) Bending posture (V9) N ++ Bending; normal (R) Normal (N) Curly leaf (V11) N + Daun agak mengeriting (N) Daun tidak keriting; erect (N) Climb posture (V4) S + Climb; branched (R) Normal (N)Denser foliage (V19) N ++ Tata letak daun tidak rapat; gerombolan

tunas (N) Tata letak dauntidak rapat (N)

Wave leaf (V16) N ++ Daun tidak bergelombang; spiral (N)

- Darker leaf (V17) N - - -Lighter leaf (V18) N - - - Reddish leaf (V20) N - - -

a S = stabil, N = tidak stabil, R = agak stabil, – = tidak teramati b Subkultur dilakukan pada media MS + BA 0.5 mg l-1 + Kn 1 mg l-1 dalam 2 bulan: - tak bermultiplikasi, + rendah (kurang dari 1 tunas/eksplan), ++ menengah (1-3

tunas/eksplan), dan +++ tinggi (lebih dari 3tunas/eksplan) c Data diambil dari bibit aklimatisasi umur 6 bulan Kriteria stabil didasarkan atas berubah/tidaknya fenotipe selama isolasi varian secara tunggal, selama subkultur, dan selama proses aklimatisasi dengan cara membandingkan regeneran dengan fenotipe awalnya berdasarkan karakterisasi morfologi.

Pada tahap aklimatisasi, 7 varian menunjukkan kestabilan fenotipenya, yaitu

branched shoot, needle leaf, narrow leaf, stripe leaf, wider leaf, powdery leaf dan erect

posture. Dengan demikian, timbul dugaan bahwa variasi yang terjadi pada populasi

tersebut merupakan variasi somaklonal (menyentuh pada tingkat DNA). Oleh karena

itu, dilakukan analisis molekuler untuk mengkonfirmasi dugaan tersebut.

Karakterisasi Molekuler

Isolasi sampel daun menghasilkan DNA dengan kualitas yang cukup baik, di

mana pita DNA yang dihasilkan tidak berbeda dengan lamda (Gambar 38), diperkirakan

mempunyai kuantitas sekitar 100 ng. Kualitas DNA yang tinggi diharapkan akan

menjamin keberhasilan dalam proses PCR.

Pada tahap skrining primer, beberapa primer tidak menghasilkan produk

amplifikasi yang jelas. Oleh karena itu, dipilih 10 primer dengan amplikon yang jelas

dan digunakan untuk analisis pada tahap berikutnya. Hasil karakterisasi molekuler

dengan penanda RAPD menunjukkan tingginya polimorfisme pita DNA yang

dihasilkan dari populasi biakan in vitro nenas yang dikulturkan selama 4 tahun (Gambar

40). Sebanyak 73 pita DNA teramplifikasi dan 70 pita (96%) bersifat polimorfik (Tabel

19). Profil pita-pita DNA dari tiap-tiap varian ditampilkan pada Gambar 40.

L N V13 V10 V8 V7 V21 V12 V14 V4 V2 V15

Gambar 39. Kualitas DNA hasil isolasi sampel daun nenas kultivar Smooth Cayenne

dengan metode CTAB: lamda (L), tanaman kontrol dari lapang (N), dwarf posture (V13), albino stripe leaf (V10), narrow leaf (V8), spiness spot leaf (V7), erect posture (V21), wider leaf (V12), powdery leaf (V14), climb posture (V4), needle leaf (V2), dan ultra dwarf posture (V15).

Analisis RAPD pernah digunakan untuk mendeteksi ketepatan genetik dan

variasi somaklonal yang terjadi pada regeneran nenas A. comosus var Queen (Soneji et

al. 2002), A. comosus var Amarelinho (Feuser et al 2003), A. comosus var bracteatus

(Santos et al 2008), dan klon harapan Golden Pineapple (Suminar 2010). Teknik

tersebut mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan teknik lainnya, antara

lain sedikitnya jumlah DNA yang diperlukan untuk analisis polimorfisme secara cepat,

tidak diperlukannya informasi tentang sekuens DNA, dan tidak melibatkan

radioaktivitas (Williams et al. 1990).

Tabel 19. Jumlah pita DNA yang teramplifikasi dan yang bersifat polimorfik dalam analisis RAPD populasi biakan in vitro nenas kultivar Smooth Cayenne umur 4 tahun

No Primer Jumlah pita yang

teramplifikasi Jumlah pita polimorfik

1 OPA2 8 8 2 OPA3 7 6 3 OPA7 8 8 4 OPA9 7 6 5 OPA13 10 10 6 OPA16 13 13 7 OPA18 8 8 8 OPA19 6 6 9 OPJ11 2 1 10 OPJ13 4 4

Jumlah total pita 73 70

Hasil analisis RAPD menghasilkan dendogram dengan koefisien kemiripan

sebesar 0.32-0.91, di mana varian dan tanaman kontrolnya (normal) memiliki kemiripan

sebesar 0.32-0.61 (Gambar 41). Hal ini membuktikan bahwa variasi somaklonal telah

terjadi pada populasi biakan in vitro nenas umur 4 tahun yang digunakan dalam

penelitian ini. Pengelompokan yang dihasilkan dari analisis tersebut memiliki nilai

korelasi matriks Rohlf yang sangat sesuai (r=0.97), namun pengelompokan tersebut

sangat berbeda dengan pengelompokan yang dihasilkan dari metode karakterisasi secara

morfologi.

Evaluasi stabilitas fenotipe bibit di rumah kaca menunjukkan berubahnya

fenotipe daun halus menjadi berduri (baik khimera maupun berduri lengkap 100%) dan

sebaliknya fenotipe daun berduri menjadi halus. Jumlah tanaman dengan daun yang

berduri lebih banyak daripada yang tidak berduri dan jumlah yang khimera lebih banyak

daripada yang berduri lengkap. Coppens d’Eeckenbrugge dan Sanewski (2003)

menduga bahwa munculnya daun berduri tersebut merupakan karakter yang tidak stabil

dan frekuensinya tinggi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa mutasi dari gen dominan daun

tak berduri manjadi gen resesif daun berduri dapat terjadi kapan saja sepanjang

pertumbuhan tanaman, dan tergantung pada tahap perkembangan tanaman ketika mutasi

tersebut terjadi dan tergantung pada posisi sel yang mengalami mutasi sehingga

menimbulkan khimera atau terbentuknya daun berduri secara lengkap.

Fenotipe daun berduri masih menyisakan pertanyaan yang belum terjawab,

mengapa fenotipe tersebut dapat berubah sepanjang pertumbuhan tanaman.

Permasalahan tentang asal-usul jaringan khimera juga masih belum terpecahkan.

Diyakini bahwa stres lingkungan berperan penting dalam perubahan tersebut. Uniknya,

duri pada daun kadang-kadang muncul pada satu sisi dan kadang-kadang muncul pada

dua sisi dengan pola yang tidak beraturan sehingga daun yang tidak berduri bercampur

dengan daun yang berduri pada satu tanaman. Dugaan berikutnya adalah adanya gen

yang mengatur ekspresi karakter tersebut, di mana cis acting element dari gen tersebut

berinteraksi sangat kuat dengan lingkungan. Selanjutnya, diduga kuat adanya elemen

loncat pada tanaman nenas yang diamati. Fenomena tersebut menimbulkan dugaan kuat

akan adanya elemen loncat dalam genom tanaman nenas. Thomson et al. (1998)

melaporkan bahwa sekuens mirip retrotransposon terintegrasi dalam genom tanaman

nenas secara berulang dan bahkan dua sekuens di antaranya tidak memiliki stop kodon

sehingga berpeluang untuk berpindah ke bagian lainnya di dalam genom tanaman nenas

tersebut. Dilaporkan oleh Kumar dan Benetzen (1999) bahwa retrotransposon diaktivasi

oleh stres biotik dan abiotik karena retrotransposon memiliki sekuens cis-acting element

yang terdapat di dalam daerah U3 pada bagian 5’ long terminal repeat (LTR) yang

bersebelahan dengan daerah yang tidak ditranslasikan (untranslated region). Menurut

Kaeppler et al. (2000) serta Okamoto dan Hirochika (2001), variasi metilasi DNA

dihipotesiskan sebagai faktor yang mendasari mutagenesis yang terjadi pada biakan in

vitro yang berkaitan dengan aktivasi elemen loncat.

OPA2 OPA3

OPA9OPA7

M N V13 V10 V8 V7 V21 V12 V14 V4 V2 V15

OPA13 OPA16

OPA18 OPA19

OPJ11 OPJ13

M N V13 V10 V8 V7 V21 V12 V14 V4 V2 V15

M N V13 V10 V8 V7 V21 V12 V14 V4 V2 V15 M N V13 V10 V8 V7 V21 V12 V14 V4 V2 V15

M N V13 V10 V8 V7 V21 V12 V14 V4 V2 V15 M N V13 V10 V8 V7 V21 V12 V14 V4 V2 V15

M N V13 V10 V8 V7 V21 V12 V14 V4 V2 V15

M N V13 V10 V8 V7 V21 V12 V14 V4 V2 V15

M N V13 V10 V8 V7 V21 V12 V14 V4 V2 V15

M N V13 V10 V8 V7 V21 V12 V14 V4 V2 V15

2000 bp

1000 bp 500 bp 250 bp

Gambar 40. Profil DNA varian nenas kultivar Smooth Cayenne, hasil amplifikasi PCR dengan penanda RAPD. M = kb ladder, N = tanaman kontrol (klon Simadu) dari lapang, V2 = needle leaf, V4 = climb posture, V7 = spiness spot leaf, V8 = narrow leaf, V10 = albino stripe leaf, V12 = wider leaf, V13 = dwarf posture, V14 = powdery leaf, V15 = ultradwarf posture, dan V21= erect posture.

Koefisien kemiripan0.32 0.47 0.62 0.77 0.91

N

V13

V10

V8

V7

V4

V15

V21

V2

V12

V14

Keterangan: N = Normal, V2 = needle leaf, V4 = climb posture, V7 = spiness spot leaf, V8 = narrow leaf, V10 = albino stripe leaf, V12 = wider leaf, V13 = dwarf posture, V14 = powdery leaf, V15 = ultradwarf posture, dan V21= erect posture.

Gambar 41. Dendogram hasil karakterisasi molekuler biakan in vitro nenas kultivar Smooth Cayenne umur 4 tahun, menggunakan metode RAPD, berdasarkan analisis (SAHN)-UPGMA (r=0.97).

Simpulan

Terdapat 21 varian yang terdeteksi dari populasi biakan in vitro nenas umur 4

tahun. Delapan varian menunjukkan fenomena epigenetik pada awal isolasi varian

secara individual, 8 varian menunjukkan fenomena khimera selama proses subkultur,

dan 7 varian menunjukkan kestabilan fenotipenya selama di rumah kaca (branched,

needle leaf, narrow leaf, stripe leaf, wider leaf, powdery leaf and erect posture).

Karakterisasi secara morfologi tersebut menghasilkan dendogram dengan koefisien

kemiripan sebesar 0.49-0.91 (r=0.83). Karakterisasi secara molekuler menghasilkan

dendogram dengan koefisien kemiripan sebesar 0.32-0.91 (r=0.97), di mana varian dan

tanaman normalnya mempunyai koefisien kemiripan sebesar 0.32-0.61. Pola duri pada

daun dari bibit hasil aklimatisasi di rumah kaca menampakkan pola yang sama sekali

tidak beraturan karena karakter daun halus dan berduri (1 sisi atau 2 sisi) terjadi secara

silih berganti sepanjang pertumbuhan tanaman sehingga diduga adanya elemen loncat

dalam genom tanaman nenas.

Daftar Pustaka

Al-Zahim MA, Ford-Lloyd BV, Newbury HJ. 1999. Detection of somaclonal variation in garlic (Allium sativumL.) using RAPD and cytological analysis. Plant CellRep18: 473-477.

Bairu MW, Fennell CW, Staden J van. 2006. The effect of plant growth regulators on somaclonal variation in Cavendish banana (Musa AAA cv. ‘Zelig’). Sci Hort 108:347–351.

Chen WH, Chen TM, Fu YM, Hsieh RM, Chen WS. 1998. Studies on somaclonal variation in Phalenopsis. Plant Cell Rep18: 7-13.

Collins JL. 1951. Notes on the origin, history, and genetic nature of the Cayenne pineapple. Pacific Science 5:3-17

Collins JL. 1960. The Pineapple Botany, Cultivation, and Utilization. Leonard Hill, London

Coppens d’Eeckenbrugge G, Leal F. 2003. Morphology, anatomy and taxonomy. In: Bartholomew, DP, Paull RE, Rohrbach KG, editor. The Pineapple Botany, production and uses. Wallingford: CABI Publishing. pp 13-32.

Eeuwens CJ et al. 2002. Effects of tissue culture conditions during embryoid multiplication on the incidence of “mantled” flowering in clonally propagated oil palm. Plant Cell Tissue Organ Cult 70:311-323.

Feuser S, Meler K, Daquinta M, Guerra MP. 2003. Genotype fidelity of micropropagated pineapple (Ananas comosus) plantlets assessed by isozymes and RAPD markers. Plant Cell Tiss Org Cult 72:221-227.

[IBPGR] International Board for Plant Genetic Resources. 1991. Descriptors for Pineapple. Rome: IBPGR Headquarters.

Joachimiak A, Ilnicki T. 2003. Nuclear morphology, polyploidy, and chromatin elimination in tissue culture of Allium fistulosum L. Acta Societatis Botanicorum Poloniae 77(1):11-17.

Kaeppler SM, Kaeppler HF, Rhee Y. 2000. Epigenetic aspects of somaclonal variation in plants. Plant Mol Biol 43:179-188.

Koornneef M. 1991. Variation and mutant selection in plant cell and tissue culture. In: Jones L, editor. Biotechnological Innovation in Crop Improvement. London: Butterworth-Heinemann Ltd. pp 100-115.

Kumar A, Bennetzen JZ. 1999. Plant retrotransposon. Annu. Rev. Genet 33: 479-532.

Masoud S, Hamta A. 2008. Cytogenetic analysis of somaclonal variation in regenerated plants of berseem clover (Trifolium alexandrium L.). Cryologia 61(4):392-396.

Murashige T, Skoog F. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassays with tobacco tissue culture. Physiol Plant 15:473-497.

Noor NM, Clyde MM, Rao VR, Jeevamoney J. 2009. Radiosensitivity and in vitro studies of Citrus suhuiensis. Pp. 17-32. In: IAEA. Induced Mutation in Tropical Fruit Trees. Vienna.

Okamoto H, Hirochika H. 2001. Silencing of transposable elements in plants. Trends in Plant Sci 6(11):527-534.

Podwyszyńska M. 2005. Somaclonal variationin micropropagated tulips based on phenotype observation. Journal of Fruit and Ornamental Plant Research 13:109-122.

Santos MDM, Buso GCS, Torres AC. 2008. Evaluation of genetic variability in micropropagated propagules of ornamental pineapple (Ananas comosus var. bracteatus (Lindley) Coppens and Leal) using RAPD markers. Gen Mol Res 7(4):1097-1105.

Smith MK, Ko H-L, Hamill SD, Sanewski GM, Graham MW. 2003. Biotechnology. In: Bartholomew, DP, Paull RE, Rohrbach KG, editor. The Pineapple Botany: production and uses. Wallingford: CABI Publishing. pp 57-68.

Somsri S, et al. 2009. Development of seedless fruits mutants in citrus including tangerine (C. reticulate) and pummelo (C. grandis) through induced mutations and biotechnology. Pp. 33-40. In: IAEA. Induced Mutation in Tropical Fruit Trees. Vienna.

Soneji JR, Rao PS, Mhatre M. 2002. Suitability of RAPD for analyzing spined and spineless variant regenerants of pineapple (Ananas comosus L., Merr.). Plant Mol Biol Rep 20:307a-307i.

Soniya EV, Banerjee NS. Das MR. 2001. Genetic analysis of somaclonal variation among callus-derived plants of tomato. Current Science 80(9):1213-1215.

Srivastava LM. 2002. Plant Growth and Development. Academic Press. New York. 772p.

Suminar E. 2010. Induksi keragaman genetik dengan mutagen sinar gamma pada nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) secara in vitro [seminar]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Taiz L, Zeiger E. 2003. Plant Physiology-on line 3rd Ed. Sunderland: Sinauer Associates. doi:10.1093/aob/mcg079.

Thomson KG, Thomas JE, Dietzgen RG. 1998. Retrotransposon-like sequence intregated into genome of pineapple (Ananas comosus). Plant Mol Biol 38:461-465.

Wakasa K. 1979. Variation in the plants differentiated from the tissue culture of pineapple. Japan J Breed 29(1):13-22.

Williams JG, Kubelik AR, Livak KJ, Rafalski JA. 1990. DNA polymorphism amplified by arbitrary primers are useful as genetic markers. Nucleic Acids Res 18:6531-6535.

Zhao Y, Grout BWW, Crisp P. 2005. Variation in morphology and disease susceptibility of micropropagated rhubarb (Rheum rhaponticum) PC49, compared to conventional plants. Plant Cell Tissue Organ Cult 82:357-361.

Zucchi MI, Arizono H, Morais VA, Fungaro MHP, Vieira MLC. 2002. Genetic instability of sugarcane plants derived from meristem cultures. Gen Mol Biol 25(1):91-96.

EVALUASI KERAGAMAN BIBIT DARI POPULASI LAMA DAN PEMBENTUKAN POPULASI BARU SERTA DETEKSI DINI KERAGAMAN SOMAKLONAL

Abstrak

Perbanyakan tanaman memerlukan stabilitas sifat yang tinggi. Untuk menghindari tingginya keragaman somaklonal dan untuk mengefektifkan metode mikropropagasi maka diperlukan strategi untuk memproduksi bibit dengan kesamaan identitas genetik yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengevaluasi keragaman fenotipe bibit hasil ekstraksi dari populasi lama dengan menggunakan penanda morfologi; (2) mengevaluasi keragaman genetik bibit hasil ekstraksi dari populasi lama dengan menggunakan penanda RAPD; (3) mengevaluasi keragaman fenotipe bibit di rumah kaca, dan (4) mendeteksi keragaman somaklonal dari populasi biakan in vitro yang baru. Evaluasi keragaman fenotipe dari bibit di rumah kaca dititik-beratkan pada karakter duri pada daun sedangkan evaluasi ketepatan genetik dan deteksi keragaman somaklonal dilakukan terhadap sampel curah (bulk) dari daun biakan in vitro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode embriogenesis somatik menghasilkan tingkat keragaman fenotipe yang tinggi (31.1%), diikuti dengan metode organogenesis tak langsung (2%) dan organogenesis langsung (1.6%). Evaluasi keragaman genetik dengan teknik RAPD menunjukkan bahwa dendogram dari bibit hasil ekstraksi dari populasi lama memiliki koefisien kemiripan genetik sebesar 0.32-0.99 di mana varian dengan tanaman kontrolnya memiliki kemiripan sebesar 0.32-0.62. Populasi yang baru memiliki koefisien kemiripan genetik sebesar 0.65-1.0, di mana varian dengan tanaman kontrolnya memiliki kemiripan sebesar 0.65-0.85, mengindikasikan bahwa tingkat keragaman somaklonal menurun. Metode organogenesis langsung menghasilkan bibit berdaun halus sebesar 48%, diikuti dengan metode organogenesis tak langsung (41.4%), dan embriogenesis somatik (27.1%). Disimpulkan bahwa metode organogenesis langsung dapat diterapkan untuk perbanyakan tanaman nenas secara masal.

Kata kunci: Keragaman somaklonal, organogenesis langsung, organogenesis tak langsung, embriogenesis somatik, RAPD

Abstract

Genetic stability is very important in clonally mass propagation. A strategy to avoid the high level of somaclonal variation and to streamline micropropagation method is needed for producing seedlings with the same genetic identity. The objectives of this study were: (1) to evaluate phenotypic variation of seedlings derived from the old in vitro cultures by using morphological marker; (2) to evaluate genetic variation of seedlings derived from the old in vitro cultures by using RAPD markers; (3) to evaluate phenotypic variation of acclimated seedlings in glass house; and (4) to detect somaclonal variation of the new population of in vitro cultures. The evaluation of phenotypic variation of acclimated seedlings was focused on the leaf spininess whereas the evaluation of genetic fidelity was conducted to the bulk of leaves of in vitro cultures. The result showed that somatic embryogenesis yielded the high level of phenotypic variation (31.1%) which yielded 6 stable variants, followed by indirect organogenesis

(2%) which yielded 4 stable variants, and direct organogenesis (1.6%) which yielded 1 stable variant. The molecular analysis revealed that the coefficient of similarity of the seedlings derived from the old population ranged from 0.32 to 0.99 where separated the variants and its control range from 0.32 to 0.62. The new population revealed a higher coefficient of similarity (0.65-1.0) where separated the variants and its control range from 0.65 to 0.85, indicated the decrease of somaclonal variation. The direct organogenesis yielded the higher level of smooth plant proportion (48%), followed by indirect organogenesis (41.4%) and somatic embryogenesis (27.1%). It was concluded that direct organogenesis is high potential to be applied for mass propagation.

Keywords: somaclonal variation, direct organogenesis, indirect organogenesis, somatic embryogenesis, RAPD

Pendahuluan

Teknik kultur in vitro merupakan teknologi alternatif yang tepat untuk produksi

bibit secara masal karena mampu memproduksi bibit dalam jumlah yang besar, dalam

waktu yang singkat, dan dengan keseragaman yang tinggi. Namun demikian, kejadian

off types (penyimpangan atau kelainan) masih menjadi isu yang cukup serius di

Indonesia sehingga pengguna, khususnya pihak swasta masih enggan untuk

memanfaatkan teknik tersebut.

Dari berbagai kajian pustaka, dilaporkan bahwa off types dapat disebabkan oleh

variasi dari tanaman donor (pre-existing variation) (Wakasa 1979), periode in vitro

yang panjang (Koornneef 1991; Masoud and Hamta 2008), zat pengatur tumbuh (Bairu

et al. 2009), subkultur yang frekuentif (Eeuwens et al. 2002), dan tergantung pada

genotipe tanaman (Zucchi et al. 2002). Untuk menghindari tingginya keragaman

somaklonal dan untuk mengefektifkan metode mikropropagasi maka diperlukan strategi

untuk memproduksi bibit dengan kesamaan identitas genetik yang tinggi. Oleh karena

itu, evaluasi stabilitas sifat bibit perlu dilakukan untuk menentukan metode perbanyakan

yang efektif bagi penerapannya secara masal. Dengan demikian, metode deteksi

keragaman somaklonal memegang peranan penting dalam pengujian tersebut.

Keragaman somaklonal dari bibit yang dihasilkan dari teknik kultur in vitro dapat

dideteksi melalaui karakterisasi morfologi (Noor et al. 2009; Somsri et al. 2009 ; Zhao

et al. 2005; Podwyszyńska 2005), sitologi (Al-Zahim et al. 1999), biokimia, fisiologi

(Perez et al. 2011), dan molekuler (Chen et al. 1998; Al-Zahim et al. 1999; Soniya et al.

2001; Perez et al. 2011). Untuk efisiensi waktu, biaya, dan area maka evaluasi stabilitas

sifat tersebut sebaiknya dilakukan secara dini, sejak biakan masih di dalam botol

sebelum tanaman tersebut ditanam di lapang. Wakasa (1979) telah melakukan

pengamatan bibit nenas hasil kultur in vitro 1.5 tahun dalam periode in vitro, 14-22

bulan pada tahap aklimatisasi, dan 1 tahun periode pertumbuhan tanaman. Dengan

demikian, diperlukan waktu sekitar 4 tahun untuk mendeteksi keragaman yang terjadi

pada bibit hasil perbanyakan secara kultur in vitro tersebut.

Pada hasil penelitian sebelumnya telah dilakukan karakterisasi morfologi dan

molekuler biakan in vitro nenas umur 4 tahun pada periode in vitro yang diperbanyak

secara proliferasi tunas. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan berbagai macam

varian yang muncul selama proses kultur in vitro tanaman nenas. Hasil penelitian

sebelumnya juga telah memperoleh metode terbaik untuk induksi organogenesis

langsung, organogenesis tak langsung, dan embriogenesis somatik. Metode karakterisasi

morfologi biakan in vitro, primer-primer terpilih, dan bibit nenas yang dihasilkan dari

penelitian tersebut, digunakan pada penelitian ini.

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengevaluasi keragaman

fenotipe biakan in vitro nenas yang dihasilkan dari metode organogenesis langsung dan

tidak langsung, serta embriogenesis somatic tidak langsung dengan menggunakan

penanda morfologi; (2) mengevaluasi keragaman genetik biakan in vitro nenas yang

dihasilkan dari ketiga metode tersebut dengan menggunakan penanda RAPD; (3)

mengevaluasi stabilitas fenotipe bibit di rumah kaca, dan (4) mendeteksi keragaman

somaklonal dari populasi biakan yang baru. Secara umum, penelitian ini bertujuan

untuk melakukan deteksi dini terhadap keragaman somaklonal dari bibit yang dihasilkan

dari teknik kultur in vitro sekaligus untuk menentukan metode perbanyakan yang paling

efektif, yaitu dengan tingkat multiplikasi tunas yang tinggi namun dengan tingkat

keragaman yang rendah.

Bahan dan Metode

Persiapan Bahan Tanaman

Bahan tanaman yang digunakan adalah biakan in vitro nenas (umur 5 tahun pada

periode in vitro) kultivar Smooth Cayenne klon Simadu dari Subang, Jawa Barat.

Biakan yang dipilih adalah yang mempunyai fenotipe normal. Penelitian ini terdiri atas

5 tahapan, yaitu: (1) induksi organogenesis langsung, (2) induksi organogenesis tidak

langsung, (3) induksi embriogenesis somatik tidak langsung, (4) evaluasi stabilitas

fenotipe, (5) evaluasi ketepatan genetik secara molekuler, dan (6) deteksi dini

keragaman somaklonal dari populasi baru.

Induksi Organogenesis Langsung

Helaian daun in vitro dilepaskan secara hati-hati dari batangnya dengan bantuan

skalpel lalu basal daun diisolasi dengan mata pisau tajam. Eksplan ditumbuhkan pada

media MS cair (25 ml) yang mengandung benzyl adenine (BA) 0.5 mg l-1 (2.2 µM)

dengan penambahan naphthalene acetic acid (NAA) 0.5 mg l-1 (2.7 µM). Botol biakan

tersebut diletakkan di atas shaker dengan kecepatan 70 rpm dan diinkubasikan pada

kondisi terang selama 16 jam dengan intensitas cahaya 800-1000 lux pada suhu 25±2 0C. Dua bulan berikutnya, biakan dipindahkan ke media MS pada dengan penambahan

kinetin (Kn) 1 mg l-1 (4.6 µM) untuk regenerasi dan elongasi tunas. Deteksi keragaman

fenotipe dilakukan dengan menggunakan metode karakterisasi morfologi yang telah

diperoleh pada penelitian sebelumnya. Setelah itu, tunas diinduksi perakarannya pada

media MS padat dengan penambahan indole butyric acid (IBA) 3 mg l-1 dan NAA 1 mg

l-1 (5.4 µM) selama 2-3 minggu untuk pembentukan planlet.

Induksi Organogenesis Tidak Langsung

Tunas in vitro sekitar 4–6 cm dipotong secara longitudinal menjadi dua bagian,

kemudian ditanam secara horizontal pada media induksi kalus dan diinkubasikan pada

kondisi remang-remang (di bawah 500 lux). Induksi kalus dilakukan pada media MS

yang mengandung dichlorophenoxy acetid acid (2,4-D) pada taraf 21, 41, dan 62 µM

(4.6, 9, dan 13.7 mg l-1) dan thidiazuron (TDZ) pada taraf 9 µM (2 mg l-1). Eksplan

diinkubasikan pada suhu 25±2 0C dalam keadaan gelap selama 3 minggu. Setelah

eksplan membesar, helaian daun diisolasi secara individual dan kemudian ditanam pada

media yang sama. Inkubasi juga dilakukan pada kondisi yang sama dengan tahap

sebelumnya. Kalus yang terbentuk selanjutnya dipindahkan ke media regenerasi tunas,

yaitu media MS dengan penambahan Kn 1 mg l-1 (4.65 µM) untuk regenerasi dan

elongasi tunas. Selanjutnya, dilakukan deteksi keragaman fenotipe dan keragaman

genetik sebagaimana dijelaskan pada tahapan sebelumnya. Induksi perakaran dilakukan

pada media MS padat dengan penambahan IBA 3 mg l-1 dan NAA 1 mg l-1 (5.4 µM)

selama 2-3 minggu.

Induksi Embriogenesis Somatik Tidak Langsung

Tunas in vitro sekitar 4–6 cm dipotong secara longitudinal menjadi dua bagian,

kemudian ditanam secara horizontal pada media induksi kalus dan diinkubasikan pada

kondisi remang-remang (di bawah 500 lux). Media induksi kalus adalah media MS yang

mengandung pikloram 21 µM (5 mg l-1) dengan penambahan TDZ 9 µM (2 mg l-1).

Eksplan diinkubasikan pada suhu 25±2 0C dalam keadaan gelap selama 3 minggu.

Setelah eksplan membesar, helaian daun diisolasi secara individual dan kemudian

ditanam pada media yang sama. Kalus yang terbentuk selanjutnya disubkultur pada

media induksi kalus embriogenik, yaitu media MS atau Bac dengan penambahan

senyawa N-organik, yaitu glutamine (Gln) 6.8 µM (1 mg l-1), casein hydrolysate (CH)

500 mg l-1, arginine (Arg) 0.69 mM (120 mg l-1), dan glycine (Gly) 0.027 µM (2 mg l-1).

Kalus diinkubasi dilakukan pada suhu 25±2 0C dalam kondisi terang (800-1000 lux)

selama 3 minggu. Regenerasi dilakukan pada media MS dengan penambahan Kn 1 mg l-

1 (4.65 µM) untuk regenerasi dan elongasi tunas. Selanjutnya, dilakukan deteksi

keragaman fenotipe sebagaimana dijelaskan pada tahapan sebelumnya.

Evaluasi Stabilitas Fenotipe Bibit di Rumah Kaca

Planlet yang telah dihasilkan dari ketiga metode tersebut kemudian diaklimatisasi

di rumah kaca dengan mengggunakan media tanah dan kompos dengan perbandingan

1:1. Setiap klon yang berasal dari 1 basal daun dikelompokkan secara terpisah dari klon

lainnya. Setelah itu, bibit yang berumur 7-11 bulan dievaluasi fenotipenya, khususnya

untuk karakter duri pada daun. Karakter duri pada daun dikategorikan menjadi 3

macam, yaitu halus (jika sedikitnya 10% daun berduri), khimera (jika lebih dari 10%

atau kurang dari 90% daun berduri, baik pada salah satu atau kedua sisinya), dan berduri

lengkap (jika 100% daun berduri hanya pada kedua sisinya).

Evaluasi Ketepatan Genetik secara Molekuler

Deteksi keragaman genetik dilakukan dengan metode yang telah dihasilkan dari

penelitian sebelumnya. Pertama kali, sampel daun dikoleksi dari beberapa tunas atau

embrio somatik (sekitar 10 buah). Seluruh sampel daun dari tiap-tiap metode regenerasi

diekstraksi dengan metode CTAB hingga DNA murni. Deteksi dilakukan dengan

menggunakan metode RAPD, modifikasi metode Soneji et al. (2002). DNA

diamplifikasi dengan mesin PCR. Masing-masing reaksi mengandung 25 ng/l DNA

genomik 1 µl, 1 µl primer (Operon Tech. Alameda, USA) pada 10 ng/µl, 11 µl ddH2O,

dan 12 µl PCR mix, dalam total reaksi 25 µl. Siklus PCR terdiri atas pre-denaturasi pada

suhu 94 0C selama 4 menit, 40 siklus pada 94 0C selama 30 detik (denaturasi); 36 0C

selama 1 menit (penempelan primer) dan 1 menit pada 72 0C (ekstensi); pasca-ekstensi

pada 72 0C selama 5 menit, serta ekstensi akhir pada 40 0C selama 4 menit. Produk PCR

dipisahkan pada agarosa 1.2% (Promega) dan dielektroforesis pada voltase konstan 50

V selama 50 menit, kemudian pita-pita diwarnai dengan ethidium bromide (EtBr) serta

divisualisasi di bawah UV transiluminator. Sebagai standar molekuler digunakan DNA

ladder 1 kb. Sebanyak 10 primer digunakan dalam tahap ini, yaitu primer OPA2, OPA3,

OPA7, OPA9, OPA13, OPA16, OPA18, OPA19, OPJ11, and OPJ13.

Sampel diskor berdasarkan ada dan tidak adanya pita pada ukuran pita yang sama,

di mana 1 berarti ada sedangkan 0 berarti tidak ada. Untuk skrining primer, digunakan

sampel DNA tanaman nenas kultivar Smooth Cayenne Klon Simadu dari lapang dan

varian needle leaf dengan menggunakan 20 primer. Data tersebut dianalisis dengan

menggunakan program SIMQUAL, SAHN, dan TREE dari NTSYS-pc 2.02. Tingkat

kemiripan dihitung dengan menggunakan koefisien Dice. Pengelompokan dilakukan

dengan metode klastering berdasarkan UPGMA.

Deteksi Dini Keragaman Somaklonal dari Populasi Baru

Populasi biakan in vitro yang baru dibentuk dengan cara mengisolasi ulang bahan

tanaman (mahkota) nenas kultivar Smooth Cayenne klon Simadu dan non Simadu.

Regenerasi dilakukan teknik proliferasi tunas dan organogenesis langsung. Deteksi dini

dilakukan secara molekuler dengan menggunakan metode RAPD seperti pada tahapan

sebelumnya, demikian pula dengan analisisnya. Sebagai kontrol, digunakan tanaman

nenas klon Simadu yang berasal dari lapang dan bibit hasil perbanyakan in vitro dengan

fenotipe normal (tepi daun halus atau tidak berduri).

Hasil dan Pembahasan

Ketika planlet normal yang berumur 5 tahun diseleksi dan kemudian basal

daunnya diregenerasikan secara organogenesis langsung, dihasilkan tunas-tunas dengan

fenotipe yang sesuai dengan biakan donornya true-to-type) pada awal pengamatan (2

bulan). Namun demikian, ketika periode inkubasi dilanjutkan hingga 4 bulan maka

terjadi variasi. Hal ini menunjukkan bahwa lama periode in vitro turut menentukan

terjadinya variasi (Tabel 20), sesuai dengan yang dilaporkan oleh Koornneef (1991) dan

Podwyszyńska (2005) yang mengatakan bahwa periode in vitro yang lama dapat

meningkatkan resiko terjadinya mutasi. Varian yang dihasilkan dari metode tersebut

adalah sebanyak 4, yaitu 1 varian bersifat stabil (powdery leaf), 1 varian bersifat agak

stabil (spines spots leaf) dan 2 varian bersifat tidak stabil (curly leaf dan glossy stiff

leaf). Dengan menitik-beratkan pada varian yang bersifat stabil maka secara umum

metode organogenesis langsung pada penelitian ini menghasilkan variasi yang rendah,

yaitu 1.6% (Tabel 21). Hal ini menunjukkan bahwa metode tersebut berpotensi tinggi

untuk diterapkan dalam perbanyakan tanaman nenas secara klonal dan masal.

Keseragaman bibit nenas hasil perbanyakan secara organogenesis langsung ditampilkan

pada Gambar 42A.

Dari metode organogenesis tidak langsung, diperoleh sebanyak 9 varian (Table

20), yaitu 4 varian yang bersifat stabil (branched shoot, narrow leaf, albino stripe leaf,

dan wider leaf), 2 varian yang bersifat agak stabil (spines spot leaf dan dwarf posture)

serta 3 varian yang bersifat tidak stabil (bending posture, glossy stiff leaf dan denser

foliage). Jika dititik-beratkan pada varian yang bersifat stabil maka metode

organogenesis tak langsung tersebut menghasilkan variasi sebesar 2% (Table 21). Bibit

nenas hasil perbanyakan secara organogenesis tidak langsung memperlihatkan

pertumbuhan yang relatif seragam (Gambar 42B).

A

CB

Gambar 42. Keragaman pertumbuhan bibit nenas kultivar Smooth Cayenne yang

dihasilkan dari tiga metode regenerasi: organogenesis langsung (A), organogenesis tak langsung (B), dan embriogenesis somatik (C). Tanda lingkaran menunjukkan pertumbuhan bibit yang lambat.

Berbeda dengan kedua metode sebelumnya, embriogenesis somatik tidak

langsung menghasilkan jenis dan tingkat variasi yang lebih tinggi. Sebanyak 14 varian

dihasilkan dari teknik tersebut (Tabel 20), meliputi 6 varian yang bersifat stabil

(branched, needle leaf, narrow leaf, albino stripe leaf, wider leaf dan powdery leaf), 2

varian yang bersifat agak stabil (ultra dwarf posture dan spiness spot leaf), dan 6 varian

yang bersifat tidak stabil (glossy stiff leaf, bending posture, curly leaf, denser foliage,

lighter leaf, dan piping). Dengan pertimbangan yang sama, teknik embriogenesis

somatik menghasilkan variasi sebesar 31.1% (Tabel 21), labih tinggi dibandingkan

dengan variasi yang terjadi pada biakan donornya (27%). Bibit nenas hasil perbanyakan

secara embriogenesis somatik tidak langsung memperlihatkan pertumbuhan yang

kurang seragam (Gambar 42C).

Untuk mengkonfirmasi variasi yang dihasilkan dari ketiga metode tersebut maka

dilakukan evaluasi fenotipe terhadap bibit nenas di rumah kaca. Hasil pengamatan

menunjukkan bahwa metode organogenesis langsung menghasilkan bibit dengan

karakter daun halus sebesar 48.3% (Tabel 22). Hasil tersebut lebih tinggi daripada yang

dihasilkan dari metode organogenesis tidak langsung yang menghasilkan bibit berdaun

halus sebesar 41.4% (Tabel 23) dan embriogenesis somatik yang menghasilkan bibit

berdaun halus sebesar 27.1% (Tabel 24). Sebaliknya, ketiga metode tersebut secara

berturut-turut menghasilkan daun berduri lengkap sebesar 27.2% (organogenesis

langsung), 42.1% (organogenesis tidak langsung), dan 58.7% (embriogenesis somatik

tidak langsung).

Rendahnya tingkat variasi yang dihasilkan dari metode organogenesis langsung

diduga karena metode tersebut memberikan tekanan atau stres yang paling rendah

terhadap biakan nenas dibandingkan dengan kedua metode regenerasi lainnya. Hal ini

kemungkinan disebabkan oleh tipe dan taraf ZPT yang lebih sederhana (BA dan NAA)

serta periode in vitro yang lebih singkat (4 bulan) untuk meregenerasikan biakan jika

dibandingkan dengan penggunaan 2,4-D dengan rentang waktu yang sama (pada

metode organogenesis tak langsung) atau pikloram dengan rentang waktu yang lebih

lama, yaitu 6.5 bulan (pada metode embriogenesis somatik tidak langsung).

Tabel 20. Proporsi variasi fenotipe dari populasi biakan in vitro nenas kultivar Smooth Cayenne yang dihasilkan dari metode organogenesis (langsung dan tidak langsung), serta embriogenesis somatik tidak langsung

Organogenesis langsungb Organogenesis tidak langsungc

Embriogenesis somatik tidak langsungd

No.

Varian Stabilitas

fenotipea

Jumlah tunas Proporsi (%) Jumlah tunas Proporsi (%) Jumlah embrio Proporsi (%)1 Branched (V1) S 0 0 4 0.3 1 0.3 2 Needle leaf (V2) S 0 0 0 0 3

(V14) S 2 1.6 0 0 14

0 0 0 0 9

3) N 0 0 0 0 0 0

) N 1 0.8 0 0 17

18) - 0 0 0 0 5(V22) - 0 0 0 0 1

0.8 3 Narrow leaf (V8) S 0 0 13 0.8 82 22.84 Albino stripe leaf

(V10) S

0 0 10 0.7 3 0.8 5 Wider leaf (V12) S 0 0 4 0.3 9 2.5 6 Powdery leaf 3.9 7 Normal R 119 93.0 1415 92.4 121 33.68 Spines spot leaf (V7) R 5 3.9 21 1.4 48 13.39 Dwarf posture (V13) R 0 0 6 0.4 0 0 10 Ultra dwarf posture

(V15) R

2.5 11 Glossy stiff leaf (6)

(VN 1 0.8 5 0.3 26 7.2

12 Long core 13 Bending posture (V9)

(V11N 0 0 48 3.1 15 4.2

14 Curly leaf 4.7 15 Denser foliage (V19)

(VN 0 0 5 0.3 6 1.7

16 Lighter leaf 1.4 17

Piping leaf

0.3

Total 128 100 1531 100 360 100a Stabil, N tidak stabil, R agak stabil, and – tidak teramati (biakan sangat rendah tingkat multiplikasi tunasnya) b Organogenesis langsung, diinduksi oleh BA 0.5 mg l-1 dan NAA 0.5 mg l-1

c Organogenesis tak langsung, diinduksi oleh 2,4-D pada taraf 4.6-13.7 mg l-1 d Embriogenesis somatik, diinduksi oleh pikloram dan senyawa N-organik (Gln 1 mg l-1, CHb500 mg l-1, Arg 120 mg l-1, dan Gly 2 mg l-1).

Tabel 21. Rekapitulasi tingkat variasi dari biakan in vitro yang dihasilkan dari tiga macam metode regenerasi dibandingkan dengan populasi biakan induk

Obyek yang

diamati Populasi

biakan induk Organogenesis

langsung Organogenesis tidak langsung

Embriogenesis somatik tidak

langsung Jumlah varian stabil 204 2 31 112 Jumlah total biakan 755 128 1531 360 Proporsi varian stabil (%) 27 1.6 2 31.1 Proporsi varian tak stabil dan tipe normal (%) 73 98.4 98 68.9

Tabel 22. Proporsi bibit nenas kultivar Smooth Cayenne dengan daun tidak berduri, berduri khimera, dan berduri lengkap yang dihasilkan dari metode organogenesis langsung yang diinduksi oleh BA dan NAA

No.klon

Fenotipe selama kultur in vitro

Jumlah tanaman

Daun tak berduri

(%)

Berduri khimera

(%)

Berduri lengkap

(%) Catatan

2 Tidak berduri 10 40 30 30 -

4 Tidak berduri 2 50 50 0 -

7 Berdaun khimera 5 60 40 0 -

8 Berdaun khimera 6 33 50 17

-

13 Berduri lengkap 3 0 0 100 stabil

14 Tidak berduri 6 50 17 33 -

15 Tidak berduri 3 100 0 0 stabil

16 Tidak berduri 2 50 0 50 -

17 Tidak berduri 2 0 50 50 -

18 Berduri lengkap 4 0 25 75 stabil

20 Berduri lengkap 6 0 0 100 stabil

Rerata 48.3 24.5 27.2

Pada metode organogenesis langsung, hanya digunakan ZPT berupa BA dan

NAA pada taraf yang rendah (0.5 mg l-1). Kombinasi dari kedua ZPT tersebut

menyebabkan tumbuhnya nodul-nodul tunas maupun akar, tanpa diiriingi dengan

pembentukan kalus. Sebaliknya, metode organogenesis tak langsung menggunakan 2,4-

D pada taraf yang cukup tinggi (4.6-13.7 mg l-1) untuk induksi kalus. Demikian pula

dengan metode embriogenesis somatik, menggunakan pikloram pada taraf yang cukup

tinggi pula (5 mg l-1) untuk induksi kalus. Kedua macam ZPT tersebut merupakan

agensia herbisida yang pada konsentrasi rendah dapat menginduksi pembentukan kalus.

Kalus merupakan sekelompok sel yang tidak terorganisir dan belum berdiferensiasi

sehingga peluang terjadinya keragaman lebih tinggi daripada struktur yang telah

mengalami diferensiasi, seperti tunas.

Tabel 23. Proporsi bibit nenas kultivar Smooth Cayenne dengan daun tidak berduri, berduri khimera, dan berduri lengkap yang dihasilkan dari metode organogenesis tak langsung yang diinduksi oleh 2,4-D

Klon Jumlah tanaman Daun tidak berduri (%)

Berduri khimera (%)

Daun berduri lengkap %)

1 10 20 0 80

2 10 22 11 67

3 5 60 20 20

4 10 60 10 30

5 8 38 50 12

6 10 30 10 60

7 10 60 0 40

Rerata 63 41.4 14.4 44.1

Hasil evaluasi keragaman fenotipe selanjutnya dikonfirmasi dengan secara

molekuler. Dari berbagai teknik molekuler yang tersedia, metode RAPD mempunyai

kelebihan dibandingkan dengan teknik lainnya, antara lain sedikitnya jumlah DNA yang

diperlukan untuk analisis polimorfisme secara cepat, tidak diperlukannya informasi

tentang sekuens DNA, dan tidak melibatkan radioaktivitas (Williams et al. 1990).

Metode tersebut pernah digunakan untuk mendeteksi ketepatan genetik dan variasi

somaklonal yang terjadi pada regeneran nenas A. comosus var Queen (Soneji et al.

2002), A. comosus var Amarelinho (Feuser et al 2003), A. comosus var bracteatus

(Santos et al 2008), dan klon harapan Golden Pineapple (Suminar 2010), bahkan juga

untuk mendeteksi stabilitas genetik hasil mikropropagasi tanaman tebu yang memiliki

tingkat ploidi yang tinggi dan kromosom yang mosaik (Tawar et al 2008).

Tabel 24. Proporsi bibit nenas kultivar Smooth Cayenne dengan daun tidak berduri, berduri khimera, dan berduri lengkap yang dihasilkan dari metode embriogenesis somatik yang diinduksi oleh pikloram

Klon Jumlah tanaman Daun tidak berduri (%)

Berduri khimera (%)

Daun berduri lengkap %)

1 7 14 28 58 2 5 40 20 40 3 4 50 0 50 4 3 67 0 33 5 3 67 0 33 6 3 0 0 100 7 2 0 0 100 8 3 0 0 100 9 2 0 50 50 10 3 33 33 33

Rerata 35 27.1 13.1 59.7

Pada penelitian ini, profil DNA yang dihasilkan dari metode RAPD dengan

menggunakan 10 primer menunjukkan polimorfisme yang cukup tinggi (Gambar 43).

Analisis pola pita DNA menghasilkan dendogram dengan rentang kemiripan genetik

sebesar 0.34-0.99 (r=0.98). Gambar 44 menunjukkan bahwa bibit yang dihasilkan dari

metode embriogenesis somatik yang diinduksi oleh pikloram mempunyai kemiripan

genetik yang paling rendah (0.34) dibandingkan dengan bibit yang dihasilkan dari

metode organogenesis langsung, organogenesis tak langsung dan embriogenesis

somatik yang diinduksi oleh 2,4-D (0.61). Rani dan Raina (2000) mengatakan bahwa

bibit yang dihasilkan dari mikropropagasi yang melalui fase kalus akan mempunyai

ketidak-stabilan genetik. Selain melalui fase kalus, teknik embriogenesis somatik dalam

penelitian ini memerlukan waktu yang lama sehingga memperbesar peluang terjadinya

perubahan genetik selama kultur in vitro. Polimorfisme yang cukup tinggi (35/84 pita)

juga dilaporkan oleh Soniya et al (2001) pada tanaman tomat yang dikulturkan dengan

menggunakan pikloram.

OPA9 OPA13

OPA2 OPA7

OPA16 OPA18

OPA3 OPA9

OPJ11 OPJ13M S BN D21 D41 D62 ESD ESP S BN D21 D41 D62 ESD ESP M

M S BN D21 D41 D62 ESD ESP S BN D21 D41 D62 ESD ESP M

M S BN D21 D41 D62 ESD ESP S BN D21 D41 D62 ESD ESP M

M S BN D21 D41 D62 ESD ESP S BN D21 D41 D62 ESD ESP M

M S BN D21 D41 D62 ESD ESP S BN D21 D41 D62 ESD ESP M

2000 bp

1000 bp 500 bp 250 bp

Gambar 43. Profil DNA biakan nenas kultivar Smooth Cayenne yang diekstraksi dari biakan induk: M = kb ladder, S = klon Simadu dari lapang, BN = biakan hasil organogenesis langsung, D21, D41 dan D62 = biakan hasil organogenesis tidak langsung masing-masing diinduksi oleh 2,4-D 21, 41 dan 62 µM, ESD serta ESP = biakan hasil embriogenesis somatik masing-masing diinduksi oleh 2,4-D dan pikloram. Panah mencotohkan pita-pita yang polimorfis.

Pada Gambar 44 juga tampak bahwa bibit yang dihasilkan dari metode

organogenesis tidak langsung yang diinduksi oleh 2,4-D 21 µM mempunyai kemiripan

sebesar 0.99 dengan yang dihasilkan dari 2,4-D 41 µM. Kelompok tersebut terpisah

dengan populasi yang dihasilkan dari perlakuan 2,4-D 62 µM. Kemungkinan tingginya

taraf 2,4-D memicu terjadinya perubahan pada tingkat DNA. Berdasarkan penelitian

sebelumnya, tampak bahwa keragaan biakan yang diregenerasikan pada perlakuan

tersebut memiliki aksialitas yang tidak seimbang, walaupun akhirnya dapat kembali

normal dengan persentase 90%.

Koefisien kemiripan0.34 0.50 0.66 0.82 0.99

S

BN

D21

D41

D62

ESD

ESP

Catatan: S = klon Simadu dari lapang, BN = biakan hasil organogenesis langsung yang diiduksi oleh BA dan NAA; D21, D41 dan D62 = masing-masing adalah biakan hasil organogenesis tidak langsung yang diinduksi oleh 2,4-D, 21, 41 dan 62 µM, ESD = biakan hasil embriogenesis somatik yang diinduksi oleh 2,4-D, ESP = biakan hasil embriogenesis somatik yang diinduksi oleh pikloram.

Gambar 44. Dendogram hasil evaluasi keragaman genetik (dengan penanda RAPD, r=0.98) bibit nenas kultivar Smooth Cayenne populasi lama yang diperbanyak secara organogenesis langsung dan tidak langsung serta embriogenesis somatic tidak langsung.

Ketika dibuat populasi yang baru maka tingkat kemiripan genetik dari biakan in

vitro semakin meningkat. Profil DNA yang dihasilkan dari metode RAPD dengan

menggunakan 10 primer menunjukkan polimorfisme yang lebih rendah (Gambar 45).

Analisis pola pita tersebut menghasilkan dendogram dengan rentang 0.65-1.0 di mana

varian dan tanaman kontrol memiliki koefisien kemiripan 0.65-0.85 (r=0.96). Jika

dibandingkan dengan dendogram sebelumnya, pengelompokan yang dihasilkan dari

dendogram tersebut bergeser ke kanan yang mengindikasikan bahwa tingkat kemiripan

genetik dari populasi baru ini lebih tinggi dibandingkan dengan populasi yang lama (4

tahun).

Gambar 46 memperlihatkan bahwa klon non Simadu mempunyai perbedaan

genetik sebesar 0.16 dengan klon bukan Simadu. Hal ini menunjukkan bahwa kedua

klon tersebut mempunyai komposisi genetik yang berbeda. Kemungkinan klon Simadu

merupakan mutan dari klon non Simadu, di mana semua ciri-ciri tanamannya mirip

kecuali pada sifat buah yang dihasilkan.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa bibit hasil organogenesis langsung

yang dibentuk dari dari populasi lama mempunyai kesamaan genetik (koefisien

kemiripan 100%) dengan klon Simadu yang berasal dari lapang. Walaupun memiliki

kesamaan genetik, bibit yang dihasilkan dari teknik organogenesis langsung tersebut

diduga belum tentu akan menghasilkan buah nenas Simadu karena sifat buah tersebut

merupakan fenotipe, yaitu hasil interaksi antara genotipe dan lingkungan. Sebagaimana

telah dikaji pada Bab sebelumnya, interaksi genotipe dan lingkungan sangat tinggi

dalam mempengaruhi fenotipe (morfologi) tanaman nenas. Terlebih lagi, beberapa

kriteria buah nenas Simadu (daging buah berwarna kuning oranye, rasanya sangat

manis, memiliki kadar air yang tinggi, dan mengeluarkan bunyi ketukan yang sangat

khas) merupakan indigenous knowledge dari petani setempat (Subang) dan masih belum

dapat dijelaskan secara scientific sehingga prediksinya akan semakin sulit dilakukan.

Selain itu, metode deteksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode RAPD

yang bersifat dominant marker sehingga tidak mampu mendeteksi perbedaan antara

genotipe homosigot dominan dengan genotipe heterosigot. Jumlah primer yang

digunakan dalam analisis ini juga terbatas, yaitu hanya 10 primer.

OPA2 OPA7

OPA3 OPA19

OPA9 OPA13

OPA16 OPA18

OPJ13 OPJ11

M S NS NI PS PNS OS ONS S NS NI PS PNS OS ONS M

M S NS NI PS PNS OS ONS S NS NI PS PNS OS ONS M

M S NS NI PS PNS OS ONS S NS NI PS PNS OS ONS M

M S NS NI PS PNS OS ONS S NS NI PS PNS OS ONS M

M S NS NI PS PNS OS ONS S NS NI PS PNS OS ONS M

2000 bp 1000 bp

500 bp 250 bp

Gambar 45. Profil DNA dari populasi baru biakan in vitro nenas kultivar Smooth Cayenne: M= kb ladder, S = klon Simadu dari lapang, NS = klon non Simadu dari lapang, NI = bibit berfenotipe normal hasil organogenesis langsung dari populasi lama, PS = biakan klon Simadu hasil proliferasi tunas, PNS = biakan klon non Simadu hasil proliferasi tunas, OS = biakan klon Simadu hasil organogenesis langsung, ONS = biakan klon non Simadu hasil organogenesis langsung. Panah mencontohkan pita yang polimorfis.

Koefisien kemiripan0.32 0.49 0.66 0.83 1.00

S

NI

NS

PNS

PS

OS

ONS

Catatan: S = klon Simadu dari lapang, NS = klon non Simadu dari lapang, PS = biakan klon Simadu hasil proliferasi tunas, PNS = biakan klon non Simadu hasil proliferasi tunas, OS = biakan klon Simadu hasil organogenesis langsung, ONS = biakan klon non Simadu hasil organogenesis langsung, NI = bibit berfenotipe normal hasil organogenesis langsung dari populasi lama.

Gambar 46. Dendogram hasil deteksi dini keragaman somaklonal biakan in vitro nenas kultivar Smooth Cayenne dari populasi baru (dengan penanda RAPD, r=0.96).

Simpulan

Metode embriogenesis somatik menghasilkan tingkat keragaman fenotipe yang

tinggi (31.1%), diikuti dengan metode organogenesis tak langsung (2%) dan

organogenesis langsung (1.6%). Evaluasi keragaman genetik dengan teknik RAPD

menunjukkan bahwa bibit hasil ekstraksi dari populasi lama memiliki koefisien

kemiripan genetik sebesar 0.32-0.99 di mana varian dan tanaman kontrol memiliki

koefisien kemiripan sebesar 0.32-0.62. Populasi yang baru memiliki koefisien

kemiripan sebesar 0.65-1.0, di mana varian dan tanaman kontrol memiliki koefisien

kemiripan sebesar 0.65-0.85. Metode organogenesis langsung menghasilkan bibit

berdaun halus sebesar 48%, diikuti dengan metode organogenesis tak langsung (41.4%),

dan embriogenesis somatik (27.1%). Disimpulkan bahwa metode organogenesis

langsung dapat diterapkan untuk perbanyakan tanaman nenas secara masal.

Daftar Pustaka

Al-Zahim MA, Ford-Lloyd BV, Newbury HJ. 1999. Detection of somaclonal variation in garlic (Allium sativumL.) using RAPD and cytological analysis. Plant CellRep18: 473-477.

Bairu MW, Fennell CW, Staden J van. 2006. The effect of plant growth regulators on somaclonal variation in Cavendish banana (Musa AAA cv. ‘Zelig’). Sci Hort 108:347–351.

Chen WH, Chen TM, Fu YM, Hsieh RM, Chen WS. 1998. Studies on somaclonal variation in Phalenopsis. Plant Cell Rep18: 7-13.

Eeuwens CJ et al. 2002. Effects of tissue culture conditions during embryoid multiplication on the incidence of “mantled” flowering in clonally propagated oil palm. Plant Cell Tissue Organ Cult 70:311-323.

Feuser S, Meler K, Daquinta M, Guerra MP. 2003. Genotype fidelity of micropropagated pineapple (Ananas comosus) plantlets assessed by isozymes and RAPD markers. Plant Cell Tiss Org Cult 72:221-227

Koornneef M. 1991. Variation and mutant selection in plant cell and tissue culture. In: Jones L, editor. Biotechnological Innovation in Crop Improvement. London: Butterworth-Heinemann Ltd. pp 100-115.

Masoud S, Hamta A. 2008. Cytogenetic analysis of somaclonal variation in regenerated plants of berseem clover (Trifolium alexandrium L.). Cryologia 61(4):392-396.

Noor NM, Clyde MM, Rao VR, Jeevamoney J. 2009. Radiosensitivity and in vitro studies of Citrus suhuiensis. Pp. 17-32. In: IAEA. Induced Mutation in Tropical Fruit Trees. Vienna.

Podwyszyńska M. 2005. Somaclonal variationin micropropagated tulips based on phenotype observation. Journal of Fruit and Ornamental Plant Research 13:109-122.

Rani V, Raina SN. 2000. Genetic fidelity of organized meristem-derived micropropagated plants: a critical Reappraisal. In Vitro Cell Dev Biol_Plant 36:319-330.

Santos MDM, Buso GCS, Torres AC. 2008. Evaluation of genetic variability in micropropagated propagules of ornamental pineapple (Ananas comosus var. bracteatus (Lindley) Coppens and Leal) using RAPD markers. Gen Mol Res 7(4):1097-1105.

Somsri S, et al. 2009. Development of seedless fruits mutants in citrus including tangerine (C. reticulate) and pummelo (C. grandis) through induced mutations and biotechnology. Pp. 33-40. In: IAEA. Induced Mutation in Tropical Fruit Trees. Vienna.

Soneji JR, Rao PS, Mhatre M. 2002. Suitability of RAPD for analyzing spined and spineless variant regenerants of pineapple (Ananas comosus L., Merr.). Plant Mol Biol Rep 20:307a-307i

Soniya EV, Banerjee NS. Das MR. 2001. Genetic analysis of somaclonal variation among callus-derived plants of tomato. Current Science 80(9):1213-1215.

Suminar E. 2010. Induksi keragaman genetik dengan mutagen sinar gamma pada nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) secara in vitro [seminar]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tawar PN et al. 2008. An assessment of somaclonal variation in micropropagated plants of sugarcane by RAPD markers. Sugar Tech 10(2):124-127.

Wakasa K. 1979. Variation in the plants differentiated from the tissue culture of pineapple. Japan J Breed 29(1):13-22.

Williams JG, Kubelik AR, Livak KJ, Rafalski JA. 1990. DNA polymorphism amplified by arbitrary primers are useful as genetic markers. Nucleic Acids Res 18:6531-6535

Zhao Y, Grout BWW, Crisp P. 2005. Variation in morphology and disease susceptibility of micropropagated rhubarb (Rheum rhaponticum) PC49, compared to conventional plants. Plant Cell Tissue Organ Cult 82:357-361

Zucchi MI, Arizono H, Morais VA, Fungaro MHP, Vieira MLC. 2002. Genetic instability of sugarcane plants derived from meristem cultures. Gen Mol Biol 25(1):91-96.

PEMBAHASAN UMUM

Tanaman nenas merupakan tanaman yang unik karena merupakan tanaman CAM

fakultatif, artinya berperilaku sebagai tanaman C3 ketika lingkungannya optimal,

namun berperilaku sebagai tanaman CAM ketika lingkungannya suboptimal. Kelebihan

lain dari tanaman ini adalah memiliki akar terestrial, bukan akar tempel (epifit) seperti

tanaman CAM pada umumnya. Wattimena (2012) menggolongkan tanaman C3-CAM

sebagai tanaman masa depan yang prospektif dikembangkan secara luas dalam rangka

revitalisasi tanaman pertanian untuk mendukung era Revolusi Hijau Lestari (Wattimena

2012), terutama pada lahan-lahan marginal yang kurang sesuai diterapkan untuk

tanaman pangan sehingga produktivitas lahan pertanian dapat ditingkatkan.

Suatu tinjauan melaporkan bahwa tanah liat dengan kandungan bahan organik

yang tinggi dengan pH 4.5-6.5 merupakan kondisi yang ideal bagi budidaya tanaman

nenas. Dengan demikian, diperkirakan bahwa tanaman tersebut akan sesuai

dikembangkan di lahan-lahan gambut yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.

Sagiman (2007) melaporkan bahwa tanaman nenas merupakan tanaman yang sangat

cocok ditanam pada tanah gambut karena dapat memberikan hasil yang baik sekalipun

tidak dilakukan pemupukan dan pengendalian hama penyakit. Nenas bahkan

merupakan hasil komoditas pertanian tertinggi pada lahan gambut di Malaysia dengan

hasil mencapai 40-48 ton/ha/th mengalahkan ubi kayu (35-49 ton/ha/th) dan sawit (20-

25 ton/ha/th).

Penelitian ini mencakup studi morfogenesis tanaman nenas secara in vitro yang

meliputi organogenesis (langsung dan tidak langsung) serta embriogenesis somatik.

Teknik tersebut digabungkan dengan teknik enkapsulasi untuk pembentukan benih

sintetik yang dapat diterapkan untuk produksi bibit maupun konservasi in vitro.

Selanjutnya, biakan dan bibit nenas yang dihasilkan dari ketiga metode regenerasi

tersebut dievaluasi stabilitas sifatnya secara morfologi maupun molekuler. Deteksi dini

keragaman somaklonal juga dilakukan terhadap populasi biakan in vitro yang baru.

Dengan demikian, dapat ditentukan metode regenerasi tanaman nenas yang efektif,

yaitu dengan tingkat multiplikasi yang tinggi, dalam waktu yang singkat, dan dengan

tingkat keragaman yang rendah.

Berdasarkan studi morfogenesis eksplan pada Bab I, diketahui bahwa

morfogenesis eksplan pada media padat menghasilkan persentase tunas sebesar 30%

dan jumlah tunas sebanyak 10 tunas/eksplan. Metode organogenesis langsung tersebut

memiliki potensi produksi bibit yang tinggi, yang diformulasikan dengan Y = M x S x

(D x B x T)n x K x A, di mana Y potensi produksi bibit, M jumlah mahkota

(diasumsikan 1 buah), S jumlah stok induk in vitro (diasumsikan 10 mata

tunas/mahkota), D jumlah eksplan (diasumsikan 7 basal daun/tunas), B persentase

bertunas (diasumsikan 30%), T jumlah tunas/eksplan, N jumlah subkultur (diasumsikan

3 kali), K persentase bebas kontaminasi (diasumsikan 80%), A persentase keberhasilan

aklimatisasi (diasumsikan 80%), maka Y = 1 x 10 x (7 x 30% x 10 )3 x 80% x 80% =

59.270 bibit/tahun. Dibandingkan dengan metode tersebut, organogenesis tidak

langsung memiliki potensi produksi bibit yang lebih tinggi, yaitu Y = M x S x (D x B x

T)n x K x A, di mana Y potensi produksi bibit, M jumlah mahkota (diasumsikan 1

buah), S jumlah stok induk in vitro (diasumsikan 10 mata tunas/mahkota), D jumlah

eksplan (diasumsikan 7 basal daun/tunas), B persentase bertunas (diasumsikan 80%), T

jumlah tunas/eksplan, N jumlah subkultur (diasumsikan 2 kali), K persentase bebas

kontaminasi (diasumsikan 80%), A persentase keberhasilan aklimatisasi (diasumsikan

80%), maka Y = 1 x 10 x (7 x 80% x 25 )2 x 80% x 80% = 125.440 bibit/tahun. Metode

embriogenesis somatik memiliki potensi produksi bibit yang lebih rendah daripada

kedua metode tersebut, yaitu Y = M x S x D x C x E x R x T x K x A, di mana Y

potensi produksi bibit, M jumlah mahkota (diasumsikan 1 buah), S jumlah stok induk in

vitro (diasumsikan 10 mata tunas/mahkota), D jumlah eksplan (diasumsikan 7 basal

daun/tunas), C persentase pembentukan kalus (diasumsikan 90%), E persentase

pembentukan kalus embriogenik (diasumsikan 100%), R persentase regenerasi

(diasumsikan 100%), T jumlah embrio dewasa (diasumsikan 30 embrio/eksplan dalam 4

bulan), K persentase bebas kontaminasi (diasumsikan 80%), A persentase keberhasilan

aklimatisasi (diasumsikan 80%), maka Y = 1 x 10 x 7 x 90% x 100% x 30 x 80% x 80%

= 1.209 bibit/tahun. Potensi produksi bibit dari ketiga macam metode regenerasi

tersebut dapat ditingkatkan dengan cara memperbanyak bahan tanaman induk (lebih

dari 1 mahkota).

Tingginya potensi produksi bibit perlu diiringi dengan rendahnya tingkat

keragaman somaklonal dari bibit yang dihasilkan. Oleh karena itu, studi evaluasi

kestabilan sifat bibit menjadi sangat penting dilakukan dalam penentuan metode yang

terbaik untuk diterapkan.

Pada studi embriogenesis somatik, penggunaan pikloram terbukti lebih baik

daripada 2,4-D karena pikloram dapat menginisiasi pembentukan sel embriogenik

secara langsung sedangkan penggunaan 2,4-D secara tunggal gagal membentuk sel

embriogenik, bahkan tidak mempengaruhi polaritas sel. Pada embriogenesis nenas,

jaringan embriogenik lebih mudah terbentuk daripada kalus embriogenik karena kalus

embriogenik tersebut terbentuk dalam kelompok sel yang saling berhubungan satu

dengan lainnya. Terdapat dua macam jaringan embriogenik yang dijumpai pada

penelitian ini, yaitu ETs (strukturnya semi friabel) dan FETs (strukturnya friabel). Pada

perlakuan 2,4-D, FETs dapat terbentuk ketika kalus diberi perlakuan senyawa N-

organik sedangkan pada perlakuan pikloram, struktur ETs dapat terbentuk hanya dengan

memindahkan kalus ke media MS tanpa ZPT sehingga embrio somatik dari perlakuan

pikloram lebih cepat terbentuk dan berkembang dewasa. Penggunaan pikloram 62 µM

tidak memperlihatkan penghambatan pertumbuhan kalus, namun penggunaan 2,4-D 62

µM berpengaruh secara nyata dalam menghambat pembentukan kalus dan menimbulkan

nekrosis. Hal ini mengindikasikan bahwa fitotoksisitas 2,4-D lebih tinggi daripada

pikloram terhadap jaringan nenas. Selain itu, jumlah embrio somatik yang dihasilkan

dari perlakuan pikloram lebih banyak (30 embrio/eksplan dalam waktu 4 bulan)

daripada yang diperoleh dari perlakuan 2,4-D (17 embrio/eksplan dalam waktu 6.5

bulan). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa auksin pikloram lebih sesuai untuk

induksi embriogenesis somatik tanaman nenas daripada auksin 2,4-D dan NAA. Hasil

penelitian ini lebih baik daripada hasil penelitian sebelumnya yang menghasilkan 58%

formasi kalus nenas kultivar Phuket (Sripaoraya et al. 2003) dan 55% untuk kultivar

Smooth Cayenne (Firoozabady dan Moy 2004).

Jika NAA berhasil membentuk struktur proembrio oktan maka embriogenesis

somatik yang diinduksi oleh 2,4-D dan pikloram mampu membentuk struktur embrio

bipolar (embrio somatik). Tahapan lengkap embriogenesis somatik nenas dapat

diketahui dengan mengurutkan setiap tahapan yang diperoleh dari ketiga percobaan

tersebut. Secara keseluruhan, tahapan embriogenesis somatik tidak langsung pada nenas

kultivar Smooth Cayenne (Gambar 47) diawali dengan inisiasi sel embriogenik yang

berbentuk isodiametrik yang terkumpul sebagai struktur PEM, lalu masing-masing sel

tersebut mengalami polarisasi, pembelahan asimetris secara transversal dari 2 sel hingga

6 sel, pembelahan longitudinal hingga terbentuk proembrio 8 sel (oktan), dan

dilanjutkan dengan perkembangan embrio somatik yang didahului dengan pembentukan

struktur globular, skutelar, koleoptilar, dan diakhiri dengan perkecambahan embrio

membentuk planlet yang secara visual tampak sebagai struktur bipolar (mengandung

tunas dan akar). Tahapan tersebut sangat berbeda dengan tahapan organogenesis yang

dirangkumkan pada Gambar 48. Berdasarkan pengamatan mikroskopis dan analisis

histologi maka dapat diketahui bahwa embrio somatik nenas berkembang dari sel

tunggal (unicellular origin) sehingga berpotensi besar untuk diterapkan dalam rakayasa

genetika.

Morfogenesis eksplan yang mantap melalui metode proliferasi tunas,

organogenesis dan embriogenesis somatik diperlukan dalam pembentukan benih

sintetik. Redenbaugh (1993) menjelaskan bahwa benih sintetik dapat dibentuk dari

jaringan meristematik, seperti embrio somatik, tunas aksilar, tunas terminal, dan nodus.

Panaia (2008) menggolongkan benih sintetik menjadi tipe basah (dehydrated) dan tipe

kering (desiccated), baik dengan atau tanpa enkapsulasi. Pada penelitian ini, diterapkan

benih sintetik tipe basah dengan menggunakan hidrogel berupa Na-alginat 3%.

A B C D

E F

LJ K

G H

I

Gambar 47. Tahapan lengkap embriogenesis somatik nenas kultivar Smooth Cayenne: sel-sel isodiamterik dalam PEM, sitoplasma pekat, nukleus besar, dan menyerap warna (A), polarisasi sel (B), pembelahan asimetris (C), 2 sel yang terdiri atas sel apikal dan basal hasil pembelahan secara transversal (D), 4 sel kuadran (E), 6 sel hasil pembelahan secara longitudinal (F), 8 sel atau oktan (G), embrio globular (H), embrio skutelar (I), embrio koleoptilar (J), embrio somatik dewasa (K), dan planlet yang siap diaklimatisasi (L).

A B C

E F G

D

H

Gambar 48. Tahapan lengkap organogenesis nenas kultivar Smooth Cayenne: sel-sel non embriogenik yang berbentuk tidak beraturan, sitoplasma tidak pekat, vakuola besar, dan kurang menyerap warna (A), sel tidak terpolarisasi (B), 2 sel hasil pembelahan simetris (C), 4 sel (D) dan 6 sel (E) hasil pembelahan simetris, kumpulan sel non embriogenik tidak membentuk struktur yang spesifik (F), planlet dengan beberapa tunas (G), dan planlet dengan beberapa akar (H).

Berbeda dengan morfogenesis basal daun pada media padat dan cair, basal daun

yang terenkapsulasi dengan Na-alginat 3% tidak mampu bertahan hidup. Diduga bahwa

kapsul alginat memberikan tekanan mekanis terhadap eksplan dan proses respirasi

eksplan mengalami penghambatan pada kondisi terenkapsulasi. Redenbaugh et al.

(1993) menduga rendahnya respirasi oleh karena aliran gas yang terbatas menyebabkan

rendahnya pertumbuhan biakan yang terenkapsulasi. Dugaan penghambatan proses

respirasi juga dilaporkan oleh Alatar dan Faisal (2012) pada enkapsulasi tunas Rauvolfia

tetraphylla. Oleh karena itu, pada tahap selanjutnya diharapkan bahwa induksi nodul

dari basal daun melalui pra-perlakuan eksplan dengan BA dan NAA akan meningkatkan

daya hidup dan regenerasi eksplan terenkapsulasi. Sayangnya, pra-perlakuan tidak

mampu memacu pertumbuhan eksplan terenkapsulasi dan hanya mampu menginduksi

pertunasan sebesar 5% serta tidak mampu mempertahankan daya hidup lebih dari 1

bulan. Oleh karena itu, pada tahapan berikutnya (percobaan penyimpanan in vitro)

digunakan eksplan berupa tunas dan embrio somatik.

Sebagaimana fungsi benih sebagai bahan perbanyakan dan sekaligus sebagai

bahan penyimpanan maka pada penelitin ini juga dilakukan percobaan pembentukan

benih sintetik dan penyimpanan in vitro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu

tidak memberikan pengaruh yang nyata sedangkan pemberian paklobutrazol dan

manitol berpengaruh nyata terhadap penghambatan pertumbuhan biakan yang

terenkapsulasi. Pemberian paklobutrazol mampu menghambat pertumbuhan biakan

sehingga daya tembusnya lebih rendah daripada biakan yang ditumbuhkan pada media

tanpa pemberian paklobutrazol. Menurut Arteca (1996), senyawa paklobutrazol

merupakan retardan kelompok triazol yang mampu mereduksi pertumbuhan biakan

dengan cara menghambat oksidasi kauren, kaurenol, dan kaurenal yang dikatalisis oleh

kauren oksidase pada biosintesis giberelin. Secara visual, pemberian paklobutrazol juga

menyebabkan ketegaran biakan. Cathey (1975) dan Bessembinder et al. (1993)

melaporkan bahwa secara fisiologis, retardan dapat mendukung terbentuknya klorofil

sehingga kultur tampak lebih tegar. Arteca (1996) juga menjelaskan bahwa selain

memblokir biosintesis giberelin, paklobutrazol juga dapat mereduksi ABA dan etilen,

namun dapat meningkatkan kandungan sitokinin. Banyaknya klorofil yang terbentuk

dapat meningkatkan efisiensi fotosintesis sehingga pertumbuhan kultur menjadi lebih

tegar dan terpacu. Penggunaan paklobutrazol 1 mg l-1 dapat diaplikasikan untuk

penyimpanan kapsul tunas nenas dalam jangka waktu yang pendek (1 bulan) atau

untuk keperluan transportasi benih sintetik dalam jarak dekat. Untuk penyimpanan yang

lebih lama maka diperlukan modifikasi metode pertumbuhan minimal.

Penggunaan embrio somatik dan pengggunaan manitol terbukti dapat

memperlama masa simpan biakan nenas hingga 4 bulan dengan daya hidup 50%. Di

antara perlakuan manitol, konsentrasi manitol 4% dan suhu 25 0C merupakan perlakuan

yang terbaik karena perlakuan tersebut dapat mempertahankan daya hidup eksplan

pasca penyimpanan. Manitol 4% dapat digunakan untuk penyimpanan jangka

menengah. Berdasarkan efektivitas penyimpanan, hasil penelitian ini lebih baik

daripada penelitian sebelumnya (Gangopadhyay et al. 2004) yang mampu menyimpan

biakan nenas selama 1.5 bulan melalui aplikasi suhu 8 0C dengan menggunakan media

MS tanpa zat pengatur tumbuh. Berdasarkan efisiensi, penyimpanan dengan

menggunakan manitol 4% akan lebih hemat daripada penyimpanan dengan penurunan

suhu yang memerlukan energi listrik yang lebih banyak dan biaya yang lebih tinggi.

Pada masa mendatang, teknologi benih sintetik perlu diteliti lebih lanjut untuk

pengembangannya secara aplikatif. Penggunaan teknik tetes, benam, dan celup dengan

menggunakan bahan hidrofilik (alginat, karagenan, gelatin) dan hidrofobik (etil

selulosa, hidroksietil selulosa, matriks bebas polimer) dapat diujikan untuk menentukan

metode enkapsulasi yang terbaik. Demikian pula, penggunaan bahan-bahan lain (busa,

serat, ijuk) perlu dicobakan untuk mendukung proses konversi biakan menjadi planlet

dan proses transplanting bahan tanaman ke lapang. Teknologi benih sintetik dalam skala

masal atau skala industri dapat diterapkan dengan menggunakan mesin enkapsulasi.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, efektivitas teknik regenerasi tidak

hanya ditentukan oleh tingkat multiplikasi tunas yang tinggi namun juga ditentukan oleh

stabilitas sifat yang tinggi dari bibit yang dihasilkannya. Oleh karena itu, uji stabilitas

sifat perlu dilakukan sebelum metode regenerasi tersebut diterapkan, terutama untuk

bibit nenas hasil kultur in vitro yang mudah mengalami penyimpangan. Uji stabilitas

sifat dapat dilakukan lebih efektif jika diketahui metode deteksi penyimpangan tersebut.

Deteksi penyimpangan bibit yang dihasilkan dari teknik kultur in vitro dapat

dilakukan melalui karakterisasi morfologi (Wakasa 1979; Noor et al. 2009; Somsri et al.

2009 ; Zhao et al. 2005; Podwyszyńska 2005; Suminar 2010), sitologi (Al-Zahim et al.

1999; Joachimiak dan Ilnicki 2003), biokimia (Feuser et al. 2003), fisiologi (Perez et al.

2011), dan molekuler (Chen et al. 1998; Al-Zahim et al. 1999; Soniya et al. 2001;

Soneji et al. 2002; Feuser et al. 2003; Santos et al. 2008; Perez et al. 2011).) Hingga

saat ini, belum terdapat penelitian yang melaporkan karakterisasi secara morfologi

biakan in vitro nenas yang dikulturkan dalam periode yang panjang (tahunan).

Hasil penelitian menunjukkan tingginya keragaman fenotipe biakan in vitro nenas

yang dikulturkan dalam waktu yang panjang (4 tahun). Varian yang diperoleh jauh lebih

banyak (21 varian) dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilaporkan

oleh Wakasa (1979) yang menghasilkan 6 varian. Jumlah varian yang dihasilkan dalam

penelitian ini bahkan lebih banyak jika dibandingkan dengan hasil iradiasi sinar gamma

yang dilakukan oleh Suminar (2010) sehingga diduga bahwa periode in vitro yang

panjang lebih dominan dalam membentuk keragaman daripada perlakuan iradiasi,

terutama ketika dosis yang diterapkan adalah dosis suboptimal.

Keragaman yang teramati pada studi karakterisasi morfologi selanjutnya menjadi

pedoman dalam deteksi penyimpangan morfologi biakan yang dihasilkan dari 3 macam

metode regenerasi, yaitu organogenesis langsung, organogenesis dan embriogenesis

somatik tak langsung. Demikian pula, penanda RAPD yang telah terseleksi dan diujikan

pada populasi biakan umur 4 tahun tersebut selanjutnya digunakan untuk deteksi dini

biakan in vitro yang dihasilkan dari 3 macam metode regenerasi tersebut.

Ketika masing-masing varian diisolasi, beberapa varian berubah fenotipenya

sehingga diduga bahwa varian tersebut terjadi karena epigenetik, yaitu perubahan

fenotipe terjadi tanpa perubahan pada sekuens DNA. Sebagian varian memperlihatkan

sifat yang agak stabil selama proses subkultur karena menghasilkan anakan dengan

fenotipe yang sama dan yang berbeda dengan varian induknya sehingga diduga bahwa

nenas mempunyai jaringan polisomik yang menyebabkan khimera. Dugaan tersebut

diperkuat dengan ditemukannya keragaman tanaman nenas di lapang yang diperbanyak

secara konvensional. Menariknya, sebagian varian bersifat stabil selama proses

aklimatisasi di rumah kaca sehingga diduga telah terjadi keragaman somaklonal. Hasil

analisis RAPD memperkuat dugaan terjadinya keragaman somaklonal atau keragaman

yang terjadi pada sekuens DNA. Berdasarkan analisis RAPD tersebut, populasi lama

(umur 4 tahun) mempunyai koefisien kemiripan sebesar 0.32-0.91.

Untuk mengekstraksi khimera maka jaringan tanaman perlu dipisah-pisahkan.

Hasil organogenesis langsung memperlihatkan bahwa regeneran yang dihasilkan

memiliki fenotipe normal dengan penampilan yang seragam sehingga diduga teknik ini

dapat mengekstraksi khimera. Namun demikian, keragaman morfologi (sebesar 1.6%)

terdeteksi dari regeneran yang diinkubasikan dalam waktu yang lebih lama (hingga 4

bulan) sehingga timbul 2 dugaan. Dugaan pertama adalah khimera tidak berhasil

dipisahkan dengan metode organogenesis langsung. Dugaan kedua adalah periode in

vitro yang lebih lama menjadi penyebab terjadinya keragaman. Selanjutnya, pemisahan

khimera diupayakan melalui teknik organogenesis dan embriogenesis somatik tidak

langsung. Namun demikian, tipe dan tingkat keragaman justru meningkat (masing-

masing sebesar 2% dan 31.1%) sehingga diduga bahwa khimera bukan menjadi

penyebab utama terjadinya keragaman pada kultur in vitro nenas. Hasil evaluasi

keragaman fenotipe bibit yang diaklimatisasi di rumah kaca menunjukkan tidak

konsistennya karakter duri pada daun. Planlet yang berfenotipe normal (tepi daun halus)

ada yang berubah menjadi tanaman berdaun berduri dan sebaliknya planlet yang

berfenotipe berduri ada yang berubah menjadi normal. Terdapat laporan bahwa suhu

tinggi pada malam hari (Chan et al 2003) menyebabkan timbulnya duri pada daun

sehingga diduga bahwa interaksi genotipe dan lingkungan (G X E) sangat tinggi pada

tanaman nenas. Pengamatan lebih lanjut di rumah kaca menunjukkan adanya pola yang

sama sekali tidak beraturan untuk karakter duri pada daun karena duri dapat muncul

pada daun manapun secara silih berganti, baik pada salah satu sisi ataupun pada kedua

sisinya sehingga diduga terdapat gen yang secara aktif berinteraksi dengan stres

lingkungan sehingga menimbulkan ekspresi yang berbeda (daun halus menjadi berduri).

Telah diketahui bahwa embriogenesis somatik pada tanaman nenas kultivar Smooth

Cayenne bersifat unicellular origin, sehingga bibit yang dihasilkan seharusnya memiliki

morfologi yang konsisten (berupa fenotipe normal atau varian tertentu yang bersifat

stabil) karena masing-masing tanaman tersebut berasal dari satu sel. Perubahan fenotipe

pada bibit tersebut mengindikasikan adanya faktor lain yang mendasari perubahan

tersebut. Fakta-fakta yang ada sudah cukup kuat memunculkan dugaan adanya elemen

loncat (transposable element) dalam tanaman nenas. Berdasarkan penelusuran pustaka

diketahui bahwa retotransposon-like sequence telah terintegrasi ke dalam genom

tanaman nenas, dua sekuens di antaranya bahkan tidak mempunyai stop kodon sehingga

memungkinkan loncatnya elemen tersebut ke daerah genom lainnya (Thomson et al.

1998). Dilaporkan oleh Kumar dan Benetzen (1999) bahwa retrotransposon diaktivasi

oleh stres biotik dan abiotik karena retrotransposon memiliki sekuens cis-acting element

yang terdapat di dalam daerah U3 pada bagian 5’ long terminal repeat (LTR) yang

bersebelahan dengan daerah yang tidak ditranslasikan (untranslated region).

Untuk melihat seberapa besar pengaruh metode regenerasi dalam menimbulkan

keragaman duri pada daun maka evaluasi keragaman dilakukan juga pada bibit yang

diaklimatisasi di rumah kaca. Hasil evaluasi tersebut menunjukkan bahwa

organogenesis langsung menghasilkan bibit berfenotipe tepi daun halus dengan proporsi

tertinggi (48.3%) dibandingkan dengan organogenesis tidak langsung (41.4%) dan

embriogenesis somatik (27.1%) sehingga disimpulkan bahwa metode organogenesis

langsung merupakan metode yang paling efektif. Setelah diketahui bahwa periode in

vitro merupakan faktor yang dominan dalam menimbulkan keragaman somaklonal

maka dibentuklah populasi biakan in vitro yang baru dengan metode organogenesis

langsung untuk mereduksi keragaman somaklonal. Secara molekuler, populasi baru

tersebut memiliki koefisien kemiripan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman

kontrolnya (0.65-0.85) daripada populasi yang lama yang telah diekstraksi (0.33-0.63)

dan populasi asalnya atau yang belum diekstraksi (0.32-0.61) melalui metode

organogenesis langsung serta orgaogenesis dan embriogenesis somatik tidak langsung.

Akhirnya, diusulkan bahwa metode karakterisasi morfologi biakan in vitro yang

dihasilkan dalam penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai pedoman dalam pemilihan

varian-varian yang tak dikehendaki selama dalam kultur in vitro secara lebih dini.

Metode organogenesis langsung juga dapat diterapkan untuk propagasi tanaman nenas

secara masal. Varian yang dihasilkan dari penelitian ini dimanfaatkan untuk studi

forward genetic untuk mempelajari karakter yang menarik pada varian sebagaimana

disarankan oleh Wessler (1996). Metode regenerasi secara in vitro dan metode seleksi

dini dapat diterapkan untuk pengembangan komoditi nenas secara komersial, baik nenas

hasil persilangan maupun perbanyakan klonal. Di antara berbagai negara penghasil

nenas, Cuba berhasil memproduksi bibit nenas hibrida melalui teknik mikropropagasi.

Malaysia bahkan berhasil mengembangkan nenas Masmerah yang merupakan varian

hasil perbanyakan klonal dari kultivar Singapore Spanish. Demikian pula, Filipina

berhasil mengembangkan nenas tipe Queen tak berduri secara mikropropagasi (Chan et

al. 2003), sementara diketahui bahwa Filipina merupakan salah satu negara yang

mendominasi perdagangan nenas di dunia setelah Thailand (Rohrbach et al. 2003).

Di antara varian yang dihasilkan dalam penelitian ini, varian erect posture, wider

leaf, dan narrow leaf merupakan varian yang berpotensi besar untuk dikembangkan.

Varian erect posture dan narrow leaf mempunyai perawakan yang ramping dengan

daun yang tegak sehingga memungkinkan untuk ditanam dengan jarak tanam yang lebih

rapat (densitas tanaman dapat ditingkatkan per satuan luas). Selain itu, dengan tegaknya

daun maka fotosintesis dapat lebih efektif sehingga diharapkan fotosintat yang

terakumulasi dalam buah akan lebih banyak. Varian wider leaf juga diduga akan

menghasilkan buah dengan ukuran yang lebih besar sebagaimana dikatakan oleh

Coppens d’Eeckenbrugge dan Leal (2003) bahwa peningkatan ukuran buah pada nenas

sejalan dengan peningkatan ukuran organ lainnya, seperti daun lebih lebar, batang lebih

besar, tangkai bunga lebih pendek dan lebar. Sebaliknya beberapa varian diduga akan

berpengaruh negatif terhadap produksi buah. Varian branched shoot diduga akan gagal

membentuk bunga dan buah karena pertumbuhan vegetatif lebih dominan daripada

perkembangan generatifnya. Varian albino stripe leaf juga diduga akan menghasilkan

buah yang berukuran kecil atau abnormal karena fotosintat yang dihasilkan akan lebih

sedikit sehingga kurang mendukung perkembangan buah. Varian spiness spot leaf

sebaliknya berpotensi menghasilkan buah dengan mahkota yang berduri sehingga

kurang tepat dijadikan sebagai bahan tanam atau bibit. Varian powdery leaf juga akan

memberikan pengaruh yang negatif terhadap proses fotosintesis karena akan banyak

cahaya yang dipantulkan sehingga efisiensi fotosintesis menjadi menurun dan

selanjutnya berpengaruh terhadap perkembangan buah.

Selain varian yang berpotensi untuk dikembangkan, varian spiness spot leaf yang

100% berduri (complete spiness) juga bibit yang berfenotipe smooth 100% dapat

dimanfaatkan sebagai bahan studi untuk mengetahui mekanisme perubahan sifat

tersebut yang dikontrol oleh retrotransposon. Dilaporkan bahwa dari berbagai genotipe

tanaman yang dipertimbangkan bersifat stabil, duri pada daun merupakan karakter yang

bersifat tidak stabil dan mempunyai frekuensi yang tinggi (Collins dan Kerns 1938

dalam Chan et al. 2003). Hal ini akan menjadi bahan kajian yang sangat menarik dalam

mempelajari mekanisme aktifnya retrotransposon yang semakin dipicu oleh stres dalam

kultur in vitro dan upaya penanggulangannya untuk mempertahankan komposisi genetik

tanaman nenas dalam perbanyakan secara masal.

SIMPULAN DAN SARAN

Pemberian ZPT (berupa sitokinin atau auksin) mutlak diperlukan untuk

menginduksi proses diferensiasi eksplan basal daun nenas kultivar Smooth Cayenne.

Morfogenesis eksplan nenas pada media padat lebih baik daripada dalam media cair.

Penggunaan pikloram lebih baik daripada NAA dan 2,4-D dalam menginduksi

embriogenesis somatik. Penggunaan embrio somatik lebih baik daripada tunas in vitro

dan manitol (4%) lebih baik daripada paklobutrazol dan penurunan suhu dalam

menyimpan kapsul nenas selama 4 bulan. Terdapat 21 varian yang terdeteksi dari

populasi induk (umur 4 tahun), 8 varian bersifat epigenetik, 8 varian bersifat khimera,

dan 7 varian bersifat stabil. Karakterisasi morfologi menghasilkan dendogram dengan

koefisien kemiripan 0.49-0.91 (r=0.83). Karakterisasi molekuler membuktikan

terjadinya keragaman somaklonal (perubahan pada sekuens DNA). Evaluasi keragaman

biakan in vitro menunjukkan bahwa metode organogenesis langsung memiliki tingkat

keragaman yang paling rendah (1.6%) daripada metode organogenesis tidak langsung

(2%) dan embriogenesis somatik tidak langsung (31.1%), demikian pula dengan hasil

evaluasi keragaman bibit aklimatisasi dari populasi tersebut menunjukkan hasil yang

serupa. Populasi baru memiliki koefisien kemiripan genetik yang lebih tinggi (0.65-

0.85) daripada populasi induk, baik sebelum (0.32-0.61) maupun sesudah diekstraksi

(0.34-0.63) dengan 3 macam metode regenerasi. Secara umum, metode organogenesis

langsung merupakan metode yang paling efektif untuk perbanyakan bibit nenas kultivar

Smooth Cayenne secara masal. Penggunaan populasi baru yang dikombinasikan dengan

metode organogenesis langsung dapat mereduksi keragaman somaklonal.

Disarankan untuk melakukan evaluasi karakter agronomi dan biokimia terhadap

varian-varian yang dihasilkan dalam penelitian ini, melakukan rekayasa seluler untuk

peningkatan sifat toleransi tanaman nenas terhadap cekaman kekeringan dan

kemasaman serta peningkatan kualitas buah (peningkatan kadar asam askorbat dan

penurunan kadar Ca-oksalat). Selain itu, disarankan untuk melakukan studi forward

genetic terhadap varian-varian yang mempunyai karakter yang menarik.

DAFTAR PUSTAKA

Abrash, E.B. and D.C. Bergmann. 2009. Asymmetric cell divisions: A view from plant development. Developmental Cell 16: 783-796.

Adaniya S, Minemoto K, Moromizato Z, Molomura K. 2004. The use of CPPU for efficient propagation of pineapple. Hort Sci 100: 7–14.

Al-Zahim MA, Ford-Lloyd BV, Newbury HJ. 1999. Detection of somaclonal variation in garlic (Allium sativum L.) using RAPD and cytological analysis. Plant CellRep18: 473-477.

Arnold S, Sabala I, Bozhkov P, Dyachok J, Filonova L. 2002. Developmental pathways of somatic embryogenesis. Plant Cell Tissue Organ Cult 69: 233-249.

Arteca RN. 1996. Plant Growth Substances. Chapman and Hall. New York.332p.

Ashmore SE. 1997. Status Report on The Development and Application of In Vitro Techniques for The Conservation and Use of Plant Genetic Resources. IPGRI (International Plant Genetic Resources Institute). Rome. Italy. 67 p.

Baez R, Lopes MTP, Salas CE, Hernandez M. 2007. In vitro antitumoral activity of stem pineapple (Ananas comosus) bromelain. Planta Med 73:1377-1383.

Bairu MW, Fennell CW, Staden J van. 2006. The effect of plant growth regulators on somaclonal variation in Cavendish banana (Musa AAA cv. ‘Zelig’). Sci Hort 108:347–351.

Bessembinder JJE, Staritsky G, Zandvoort EA. 1993. Longterm in vitro storage of Colocasia esculenta under minimal growth conditions. Plant Cell Tiss Org Cult 33:121-127.

Bhojwani SS, Razdan MK. 1983. Plant Tissue Culture: Theory and Practise. Elsevier. Amsterdam. New York. 502p.

[BPS] Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 2009. Produksi buah-buahan di Indonesia. Jakarta

Buffard-Morel JL et al. 1995. Initiation of somatic embryogenesis in coconut (Cocos nucifera L.). Pp. 217-223. In: Oropeza C et al., editor. Lethal Yellowing: Research and Practical Aspects. Kluwer Academic Publishers, Netherlands.

Cathey HM. 1975. Comparative plant growth-retarding activities of ancymidol with ACPC, phosfon, clhormequat, and SADH on ornamental plant species. Hort Science 10(3):204-215.

Chan YK, Coppens d’Eeckenbrugge G, Sanewski GM. 2003. Breeding and variety improvement. Pp. 33-56. In: Bartholomew DP, Paull RE, Rohrbach KG, editor. The Pineapple Botany: Production and Uses. CABI Publishing.Wallingford.

Chen WH, Chen TM, Fu YM, Hsieh RM, Chen WS. 1998. Studies on somaclonal variation in Phalenopsis. Plant Cell Rep18: 7-13.

Collins JL. 1951. Notes on the origin, history, and genetic nature of the Cayenne pineapple. Pacific Science 5:3-17

Collins JL. 1960. The Pineapple Botany, Cultivation, and Utilization. Leonard Hill, London

Coppens d’Eeckenbrugge G, Leal F. 2003. Morphology, anatomy, and taxonomy. Pp. 13-32. In: Bartholomew DP, Paull RE, Rohrbach KG, editor. The Pineapple Botany: Production and Uses. CABI Publishing.Wallingford.

Corredoira E, Valladares S, Vieitez AM. Morphohistological analysis of the origin and development of somatic embryos from leaves of mature Quercus robur. In Vitro Cell Dev Biol_Plant 42:525-533.

Cunha A, Fernandez-Ferreira M. 2012. Influence of medium parameters on somatic embryogenesis from hypocotyl explants of flax (Linum usitatissimum L.): Effect of carbon source, total inorganic nitrogen and balance between ionic forms and interaction between calcium and zeatin. http://dx.doi.org/10.1016/S0176-1617(99)80059-5.

Desbrunais AB, Noirot M, Charrier A. 1992. Slow growth in vitro conservation of coffee (Coffea spp.). Plant Cell Tissue Organ Cult 31:105-110.

Dewi IS, Jawak G, Roostika I, Sabda M, Purwoko BS, Adil WH. 2010. Konservasi in vitro tanaman jeruk besar (Citrus maxima (Burn.) Merr.) kultivar Srinyonya menggunakan osmotikum dan retardan. Jurnal Agrobiogen 6(2):84-90

Eeuwens CJ et al. 2002. Effects of tissue culture conditions during embryoid multiplication on the incidence of “mantled” flowering in clonally propagated oil palm. Plant Cell Tissue Organ Cult 70:311-323.

Feuser S, Meler K, Daquinta M, Guerra MP. 2003. Genotype fidelity of micropropagated pineapple (Ananas comosus) plantlets assessed by isozymes and RAPD markers. Plant Cell Tissue Organ Cult 72:221-227

Firoozabady E, Gutterson N. 2003. Cost-effective in vitro propagation methods for pineapple. Plant Cell Rep 21:844-850.

Firoozabady E, Moy Y. 2004. Regeneration of pineapple via somatic embryogenesis and organogenesis. In vitro Cell Dev Biol_Plant 40:67-74.

Gamez-Pastrana R, Martinez-Ocampo Y, Beristain CI, Gozales-Arnao MT. 2004. An improved cryopreservation protocol for pineapple apices using encapsulation-vitrification. CryoLetters 25(6): 405-414.

Gangopadhyay G, Bandyopadhyay T, Poddar R, Gangopadhyay SB, Mukherjee KK. 2005. Encapsulation of micro shoots in alginate beads for temporary storage. Curr Res 88(6): 972-977.

Gatica AM, Arrieta G, Espinoza AM. 2008. Direct somatic embryogenesis in Coffea arabica L.. cvs. Caturra and Catuaí: effect of triacontanol, light condition, and medium consistency. Agronomía Costarricense 32(1): 139-147.

Grout BWW. 1995. Introduction to the in vitro preservation of plant cells, tissues and organs. In: Grout B, editor. Genetic Preservation of Plant Cells In Vitro. Springer Lab Manual. Berlin-Heidelberg. Pp 1-17.

Hadiati S, Sukmadjaja D. 2004. Keragaman pola pita beberapa aksesi nenas berdasarkan analisis isozim. J Biotek Pert 7(2): 62-70.

Hagen SR, Muneta P, Augustin J, Tourneau D Le. 1991. Stability and utilization of picloram, vitamins, and sucrose in a tissue culture medium. Plant Cell Tissue and Organ Cult 25(1):45-48.DOI: 10.1007/BF00033911.(Abstract)

Hu CY, Wang PJ. 1983. Meristem, shoot tip, and bud culture. Pp. 177-227. In. Evans DA, Sharp WR, Amiroto PV, Yamada Y, editor. Handbook of Plant Cell Culture Vol. I. Techniques for Propagation and Breeding. McMilan Publishing, New York.

[IBPGR] International Board for Plant Genetic Resources. 1991. Descriptors for Pineapple. IBPGR Headquarters, Rome

Jimenez VM. 2005. Involvement of plant hormone and plant growth regulators on in vitro somatic embryogenesis. Plant Growth Regulation 47: 91-110.

Joachimiak A, Ilnicki T. 2003. Nuclear morphology, polyploidy, and chromatin elimination in tissue culture of Allium fistulosum L. Acta Societatis Botanicorum Poloniae 77(1):11-17.

Kaeppler SM, Kaeppler HF, Rhee Y. 2000. Epigenetic aspects of somaclonal variation in plants. Plant Mol Biol 43:179-188.

Keller ERJ, Senula A, Leunufna S, Grube M. 2006. Slow growth storage and cryopreservation-tools to facilitate germplasm maintenance of vegetatively propagated crops in living plant collections. Int J of Refr 29:411-417.

Kelley KB, Riechers DE. 2007. Recent development in auxin biology and new properties for auxinic herbicide research. Pesticide Biochemistry and Physiology 89: 1-11.

Khan S, Nasib A, Saeed BA. 2004. Employment of in vitro technology for large scale multiplication of pineapples (Ananas comosos). Pak J Bot 36(3): 611-615.

Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods: Theory and Practice. 2nd edition. Pergamon Press.

Koornneef M. 1991. Variation and mutant selection in plant cell and tissue culture. In: Jones L, editor. Biotechnological Innovation in Crop Improvement. London: Butterworth-Heinemann Ltd. pp 100-115.

Kordestani GK, Karami O. 2008. Picloram-induced somatic embryogenesis in leaves of strawberry (Fragaria ananassa L.). Acta Biologica Cracoviensia Series Botanica 50(1): 69–72.

Kumar A, Bennetzen JZ. 1999. Plant retrotransposon. Annu. Rev. Genet 33: 479-532.

Laukkanen, H., L. Rautiainen, E. Taulavuori, and A. Hohtola. 2000. Changes in cellular structures and enzymatic activities during browning of Scots pine callus derived from mature buds. Tree Physiology 20: 467–475.

Lestari EG, Mariska I. 1997. Kultur in vitro sebagai metode pelestarian tumbuhan obat langka. Buletin Plasma Nutfah 2(1): 1-8.

Leunufna S. 2004. Improvement of the in vitro maintenance and cryopreservation of yams (Dioscorea spp.). Dissertation Martin-Luther–Universitat Halle-Wittenberg. Berlin. 12p. Unpublished.

Lincy AK, Remashree AB, Sasikumar B. 2009. Indirect and direct somatic embryogenesis from aerial stem explants of ginger (Zingiber officinale Rosc.). Acta Bot Croat 68 (1): 93–103.

Mariska I, Suwarno, Damardjati DS. 1996. Pengembangan konservasi in vitro sebagai salah satu bentuk pelestarian plasma nutfah di dalam bank gen. Dalam: Seminar Penyusunan Konsep Pelestarian Ex Situ Plasma Nutfah Pertanian. Bogor. 18 Desember 1996. Balitbio Bogor.

Masoud S, Hamta A. 2008. Cytogenetic analysis of somaclonal variation in regenerated plants of berseem clover (Trifolium alexandrium L.). Cryologia 61(4):392-396.

Meneses A, Flores D, Muñoz M, Arriet G, Espinoza AM. 2005. Effect of 2,4-D, hydric stress and light on indica rice (Oryza sativa) somatic embryogenesis. Int J Trop Biol 53 (3-4): 361-368.

Moubayidin L, Mambro RD, Sabatini S. 2009. Cytokinin–auxin crosstalk. Trends in Plant Science 14 (10): 557-562.

Murashige T, Skoog F. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassays with tobacco tissue culture. Physiol Plant 15:473-497.

Noor NM, Clyde MM, Rao VR, Jeevamoney J. 2009. Radiosensitivity and in vitro studies of Citrus suhuiensis. Pp. 17-32. In: IAEA. Induced Mutation in Tropical Fruit Trees. Vienna.

Nursandi F, Poerwanto R, Sobir, Sujiprihati S, Purwito A. 2005a. Studi pertumbuhan tanaman nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) kultivar Queen hasil in vitro dan analisis kestabilan genetik berdasarkan karakter morfologi dan RAPD. Dalam: Konggres Peripi 2005.

Nursandi F, Poerwanto R, Sobir, Sujiprihati S. 2003. Perbanyakan in vitro nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) dengan menggunakan BAP dan TDZ. Dalam: Simposium Nasional dan Konggres VIII. Bandar Lampung.

Nursandi F, Sobir, Murtini. 2005b. Perbanyakan tanaman nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) cv. Smooth Cayenne dengan teknik etiolasi secara in vitro. Tropika 13(1):15-24.

Nursandi F. 2006. Studi perbanyakan in vitro tanaman nenas (Ananas comosus L. Merr.) dan analisis kestabilan genetic berdasarkan karakter morofologi isozim, dan RAPD [disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.117 hal.

Ochse JJ, Soule Jr MJ, Dijkman MJ, Wehlburg C. 1961. Tropical and Subtropical Agriculture. Vol. I. The Macmillan Company. New York.

Okamoto H, Hirochika H. 2001. Silencing of transposable elements in plants. Trends in Plant Sci 6(11):527-534.

Oktavia F, Siswanto, Budiani A, Sudarsono. 2003. Direct somatic embryogenesis and regeneration of arabica coffee plantlets (Coffea arabica) from different explant. Menara Perkebunan 71(2): 44-55.

Paciorek T, Bergmann DC. 2010. The secret to life is being different: asymmetric divisions in plant development. Current Opinion in Plant Biology 13:661–669.

Perez G, Yanes E, Isidron M, Lorenzo JC. 2009. Phenotypic and AFLP characterization of two new pineapple somaclones derived from in vitro culture. Plant Cell Tissue Organ Cult 96:113-116.

Perez G et al. 2011. Morphological and physiological characterization of two new pineapple somaclones derived from in vitro culture. In Vitro Cell Dev Biol_Plant. DOI 10.1007/s11627-011-9342-y.

Phillips GC, Hubstenberger JF, Hansen EE. 1995. Plant regeneration from callus and cell suspension cultures by somatic embryogenesis. Pp. 81 - 90. In: Gamborg OL, Phillips GC, editor. Plant Cell Tissue Organ Cult: Fundamental Methods. Springer. Berlin.

Podwyszyńska M. 2005. Somaclonal variationin micropropagated tulips based on phenotype observation. Journal of Fruit and Ornamental Plant Research 13:109-122.

Popluechai S, Onto S, Eungwanichayapant PD. 2007. Relationships between some Thai cultivars of pineapple (Ananas comosus) revealed by RAPD analysis. Songklanakarin J Sci Technol 29(6): 1491-1497.

Purnamaningsih R, Mariska I, Supriati Y. 2009. Penggunaan ABA dan paklobutrazol dalam perbanyakan nenas Simadu melalui kultur in vitro. Ber Bio 9(6): 751-758.

Rai MK, Asthana P, Singh SK, Jaiswal VS, Jaiswal U. 2009. The encapsulation technology in fruit plants – A review. Biotech Adv 27: 671-679.

Rani V, Raina SN. 2000. Genetic fidelity of organized meristem-derived micropropagated plants: a critical Reappraisal. In Vitro Cell Dev Biol_Plant 36:319-330.

Redenbaugh K. 1992. Synseeds: Application of synthetic seeds to crop improvement. CRC Press. 481 p.

[Ristek] Kementrian Riset dan Teknologi. 2009. Laporan Riset Unggulan Strategis Nasional dalam realistas kurun waktu 2000 – 2009. Jakarta.

Roostika I, Purnamaningsih R, Arief VN. 2008. Pengaruh sumber karbon dan kondisi inkubasi terhadap pertumbuhan kultur in vitro purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.). AgroBiogen 4(2): 65-69

Roostika I, Purnamaningsih R, Darwati I. 2009. Penyimpanan in vitro tanaman purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) melalui aplikasi pengenceran media dan paklobutrazol. Jurnal Littri 15(2): 84-90

Roostika I, Sunarlim N, Arief VN. 2005. Penyimpanan kentang hitam (Coleus tuberosus) secara kultur in vitro. PP 24 (1):46-52

Roostika I, Sunarlim N. 2001. Penyimpanan in vitro tunas ubi jalar dengan penggunaan paclobutrazol dan ancymidol. PP 20 (3):48-56.

Sagiman S. 2007. Pemanfaatan lahan gambut dengan perspektif pertanian berkelanjutan. Orasi Ilmiah Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura. Pontianak.

Sakakibara. H. 2004. Cytokinin biosynthesis and metabolism. Pp. 95-114. In. Davies, P.J. (Ed.). Plant Hormones: Biosynthesis, Signal, Action. 3rd Edition. Kluwer Academic Publishers. London.

Santos MDM, Buso GCS, Torres AC. 2008. Evaluation of genetic variability in micropropagated propagules of ornamental pineapple (Ananas comosus var. bracteatus (Lindley) Coppens and Leal) using RAPD markers. Gen Mol Res 7(4):1097-1105.

Sidha M, Suprasanna P, Bapat VA, Kulkarni UG, Shinde BN. 2007. Developing somatic embryogenic culture system and plant regeneration in banana. Founder’s Day 285: 153-161.

Silva AE De, Kadir MA, Aziz MA, Kadzimin S. 2008. Callus induction in pineapple (Ananas comosus L.) cv. Moris and Jasapine. Int J of Agric Res 3(4): 261-267.

Smith MK, Ko H-L, Hamil SD, Sanewski GM, Graham MW. 2003. Biotechnology. Pp. 57-68. In: Bartholomew DP, Paull RE, Rohrbach KG, editor. The Pineapple Botany: Production and Uses. CABI Publishing.Wallingford.

Somsri S, et al. 2009. Development of seedless fruits mutants in citrus including tangerine (C. reticulate) and pummelo (C. grandis) through induced mutations and biotechnology. Pp. 33-40. In: IAEA. Induced Mutation in Tropical Fruit Trees. Vienna.

Soneji J., Rao PS, Mhatre M. 2002a. Somaclonal variation in micropropagated dormant axillary buds of pineapple(Ananas comosus L., Merr.). J Hort SciBiotech 77: 28-32.

Soneji JR, Rao PS, Mhatre M. 2002b. Suitability of RAPD for analyzing spined and spineless variant regenerants of pineapple (Ananas comosus L., Merr.). Plant Mol Biol Rep 20:307a-307i.

Soniya EV, Banerjee NS. Das MR. 2001. Genetic analysis of somaclonal variation among callus-derived plants of tomato. Current Science 80(9):1213-1215.

Sripaoraya S, Marchamt R, Power JB, Davey MR. 2003. Plant regeneration by somatic embryogenesis and organogenesis in commercial pineapple (Ananas comosus L.). In Vitro Cell Dev Biol_Plant 39:450-454.

Srivastava LM. 2002. Plant Growth and Development. Academic Press. New York. 772p.

Sudarmonowati E, Henshaw GG. 1996. The use of picloram and dicamba to induce somatic embryogenesis in cassava. Annales Bogoriensis 4 (1):27-34.

Suminar E. 2010. Induksi keragaman genetik dengan mutagen sinar gamma pada nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) secara in vitro [seminar]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sunarlim N, Roostika I, Arief VN. 2004. Penyimpanan in vitro gembili melalui pertumbuhan minimal. Dalam: Prosiding Seminar Kinerja Penelitian Mendukung Agribisnis Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. BALITKABI. Malang.

Sunarlim N, Roostika I. 2003. Penggunaan zat penghambat tumbuh dan regulator osmotik manitol dalam penyimpanan ubi-ubian secara kultur jaringan. Dalam: Prosiding Seminar Teknologi Inovatif Agribisnis Kacang-kacangan dan Umbi-umbian untuk Mendukung Ketahan Pangan. BALITKABI. Malang.

Suryowinoto M. 1996. Pemuliaan Tanaman secara In Vitro. Pusat Antar Universitas-Bioteknologi UNiversitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 252 hal.

Taiz L, Zeiger E. 2003. Plant Physiology-on line 3rd Ed. Sunderland: Sinauer Associates. doi:10.1093/aob/mcg079.

Tawar PN et al. 2008. An assessment of somaclonal variation in micropropagated plants of sugarcane by RAPD markers. Sugar Tech 10(2):124-127.

Thomson KG, Thomas JE, Dietzgen RG. 1998. Retrotransposon-like sequence intregated into genome of pineapple (Ananas comosus). Plant Mol Biol 38:461-465.

Uozumi N, Kohketsu K, Okamoto A, Kobayashi T. 1993. Light dependency in celery somatic embryogenesis and plantlet development in suspension culture. Plant Tissue Culture Letter 10(1): 25-32.

Vanneste S, Frim J. 2009. Auxin: A trigger for change in plant development. Cell 136: 1005-1016.

Wakasa K. 1979. Variation in the plants differentiated from the tissue culture of pineapple. Japan J Breed 29(1):13-22.

Wattimena, GA. 2012. Sumber pangan baru. Pp.126-147. Dalam: Poerwanto R, Siregar IZ, Suryani A, editor. Merevolusi Revolusi Hijau. IPB Press. Bogor.

Weerasinghe SS, Siriwardana AU. 2006. Fast propagation of pineapple (Ananas comosus) with stem cuttings. The J of Agric Sci 2(2): 55-59.

Williams JG, Kubelik AR, Livak KJ, Rafalski JA. 1990. DNA polymorphism amplified by arbitrary primers are useful as genetic markers. Nucleic Acids Res 18:6531-6535

Withers LA. 1985. Cryopreservation and storage of germplasm. In: Dixon DA, editor. Plant Cell Culture. IRL Press, Washington. Pp.169-190.

Zhao Y, Grout BWW, Crisp P. 2005. Variation in morphology and disease susceptibility of micropropagated rhubarb (Rheum rhaponticum) PC49, compared to conventional plants. Plant Cell Tissue Organ Cult 82:357-361.

Zucchi MI, Arizono H, Morais VA, Fungaro MHP, Vieira MLC. 2002. Genetic instability of sugarcane plants derived from meristem cultures. Gen Mol Biol 25(1):91-96.