PENGEMBANGAN KURIKULUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF …
Transcript of PENGEMBANGAN KURIKULUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF …
PENGEMBANGAN KURIKULUM ISLAM
DALAM PERSPEKTIF ISMAIL RA’JI AL-FARUQI
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar
Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I)
Oleh
M. Chalilul RahmanNIM: 109011000257
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1434 H/2014
i
ABSTRAKM. Chalilul Rahman, NIM 109011000257. ”Pengembangan Kurikulum IslamDalam Perspektif Ismail Ra’ji Al-Faruqi”. Skripsi Jurusan Pendidikan AgamaIslam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kajian terhadap pemikiran pendidikan Ismail Ra’ji Al-Faruqi sampai saatini masih terus dilakukan oleh para akademisi dan para peneliti. Hal tersebutmembuktikan bahwa pemikiran-pemikiran Ismail Ra’ji Al-Faruqi baik yangterkait dengan tauhid maupun pendidikan merupakan sebuah formulasipendidikan yang menarik dikaji dan diteliti. Tujuan penelitian ini adalah dalamrangka memberikan sumbangan kongkrit untuk dunia pendidikan Islam agar dapatmenciptakan kurikulum pendidikan yang sesuai dengan apa yang diharapkanIsmail Ra’ji Al-Faruqi.
Dalam penelitian ini menggunakan buku primer yang berjudul:Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan (IslamisasiPengetahuan yang telah diterjemahkan oleh Anah Mahyuddin) yang merupakansalah satu karya monumental Ismail Ra’ji Al-Faruqi yang mengulas tuntas tentangislamisasi ilmu pengetahuan. Metode penelitian yang digunakan adalah metodepenelitian kualitatif dengan pendekatan dekskriptif analisis. Diawali denganpengumpulan data sebagai bahan primer dalam penelitian ini. Langkahselanjutnya yang penulis lakukan adalah menganalisis data. Proses penulisandilakukan dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber.Kemudian data tersebut dianalisis dan dipelajari secara cermat dandidekskripsikan secara komprehensif. Dari hasil analisa ini kemudian penulisdapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai bentuk pemikiran IsmailRa’ji Al-Faruqi tentang pengembangan kurikulum pendidikan Islam.
Hasil penelitian ini adalah kurikulum pendidikan Islam harus sesuaidengan visi Islam dan tidak mengabaikan pendidikan modern. Dalampengintegrasian ilmu pendidikan Modern dengan pendidikan Islam diperlukansikap selektif dan kesesuaian dengan visi Islam. Dengan pengintegrasian keduasistem pendidikan Islam dan Modern diharapkan dapat mengembalikan kejayaanIslam yang sebagaimana dilakukan oleh cendikiawan Muslim masa lalu.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur tiada terhingga penulis sampaikan kehadirat Ilahi Rabbi
Allah SWT., yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat dan salam tak lupa penulis sampaikan kepada baginda Nabi
Muhammad saw., keluarganya, sahabatnya, dan seluruh pengikutnya yang telah
mengenalkan Islam kepada seluruh umat manusia.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyelesaian skripsi ini
tidak sedikit mengalami kesulitan, hambatan, dan gangguan baik yang berasal dari
penulis sendiri maupun dari luar. Namun berkat bantuan, motivasi, bimbingan dan
pengarahan dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Oleh karena itu dengan penuh ketulusan hati penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada:
1. Nurlena Rifa’i, MA, Ph.D, Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. DR. Abdul Majid Khon, M.Ag Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Marhamah Saleh, M.A, Sekertaris Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta
4. H. Ghufron Ihsan, MA. Dosen Pembimbing Akademik yang telah bersedia
dengan tulus memberikan bimbingan, petunjuk dan saran dalam
keakademikan dan kemahasiswaan.
5. Drs. Ahmad Basuni, MA. Dosen Pembimbing Skripsi yang telah bersedia
dengan tulus memberikan bimbingan, petunjuk dan saran kepada peneliti
selama menyelesaikan skripsi ini.
iii
6. Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen serta seluruh staf Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang telah dengan sabar dan tekun, rela mentransfer ilmunya kepada
penulis selama penulis menempuh studi di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta ini.
7. Semua Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Tarbiyah dan
Ilmu Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta
8. Kedua Orangtuaku tersayang dan tercinta Ayahanda Mursalih dan Ibunda
Rosmani yang selalu memberikan limpahan kasih sayang, perhatian, doa,
dan dukungan moril, spiritual maupun material yang tiada henti. Terima
kasih semua atas jasamu, semoga apa yang Ayahanda dan Ibunda berikan
mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amin.
9. Teman-teman PAI angkatan 2009, terutama PAI G yang sama-sama telah
memberikan doa’a, saran dan krtik dalam penulisan skripsi ini.
Bagi mereka semua, tiada untaian kata dan ungkapan hati selain ucapan
terima kasih dari penulis, semoga Allah SWT membalas semua amal baik mereka,
dan akhirnya peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi
peneliti dan umumnya kepada pembaca.
Jakarta, 10 April 2014
Penulis
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ................................................................................................................ i
KATA PENGANTAR.............................................................................................. iii
DAFTAR ISI............................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah........................................................................... 1
B. Identifikasi masalah ................................................................................. 6
C. Pembatasan Masalah ................................................................................ 6
D. Perumusan Masalah ..................................................................................6
E. Tujuan Penelitian .................................................................................... 6
F. Manfaat Penelitian ................................................................................... 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kurikulum Pendidikan Islam ................................................................... 7
B. Tujuan Dalam Kurikulum Pendidikan Islam .......................................... 14
C. Materi-materi Dalam Kurikulum Pendidikan Islam................................ 18
D. Metode Dalam Kurikulum Pendidikan Islam.......................................... 20
E. Evaluasi Dalam Kurikulum Pendidikan Islam ........................................ 25
F. Pendidikan Perspektif Muhammad Naquib Al-Attas
1. Pengertian Pendidikan........................................................................ 28
2. Kurikulum Pendidikan ....................................................................... 34
3. Tujuan Pendidikan ............................................................................. 35
4. Metode Pendidikan............................................................................. 38
5. Materi Pendidikan .............................................................................. 40
E. Kajian Yang Relevan ............................................................................... 44
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................. 45
B. Metode Penelitian .................................................................................... 45
v
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ......................................... 46
D. Pemeriksaan Keabsahan Data .................................................................. 47
E. Teknik Analisis Data................................................................................ 48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Biografi Ismail Ra’ji Al-Faruqi .............................................................. 49
B. Karya-karya Ismail Ra’ji Al-Faruqi ....................................................... 51
C. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Ismail Ra’ji Al-Faruqi ............................. 52
D. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam Dalam Perspektif Ismail
Ra’ji Al-Faruqi ....................................................................................... 56
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI dan SARAN
1. Kesimpulan................................................................................................ 65
2. Implikasi .................................................................................................... 66
3. Saran…………………………………………………………………… .. 67
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur tiada terhingga penulis sampaikan kehadirat Ilahi Rabbi Allah
SWT., yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat dan salam tak lupa penulis sampaikan kepada baginda Nabi
Muhammad saw., keluarganya, sahabatnya, dan seluruh pengikutnya yang telah
mengenalkan Islam kepada seluruh umat manusia.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyelesaian skripsi ini tidak
sedikit mengalami kesulitan, hambatan, dan gangguan baik yang berasal dari penulis
sendiri maupun dari luar. Namun berkat bantuan, motivasi, bimbingan dan
pengarahan dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Oleh karena itu dengan penuh ketulusan hati penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada:
1. Nurlena Rifa’i, MA, Ph.D, Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2. DR. Abdul Majid Khon, M.Ag Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta
3. Marhamah Saleh, M.Ag, Sekertaris Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta
4. DR. Ahmad Basuni, MA. Dosen Pembimbing Skripsi yang telah bersedia
dengan tulus memberikan bimbingan, petunjuk dan saran kepada peneliti
selama menyelesaikan skripsi ini.
iii
5. H. Ghufron Ihsan, MA. Dosen Pembimbing Akademik yang telah bersedia
dengan tulus memberikan bimbingan, petunjuk dan saran dalam
keakademikan dan kemahasiswaan.
6. Semua Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Tarbiyah dan
Ilmu Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
7. Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen serta seluruh staf Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
telah dengan sabar dan tekun, rela mentransfer ilmunya kepada penulis selama
penulis menempuh studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
8. Kedua Orangtuaku tersayang dan tercinta Ayahanda Mursalih dan Ibunda
Rosmani yang selalu memberikan limpahan kasih sayang, perhatian, doa, dan
dukungan moril, spiritual maupun material yang tiada henti. Terima kasih
semua atas jasamu, semoga apa yang Ayahanda dan Ibunda berikan
mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amin.
9. Teman-teman PAI angkatan 2009, terutama PAI G yang sama-sama telah
memberikan doa’a, saran dan krtik dalam penulisan skripsi ini.
Bagi mereka semua, tiada untaian kata dan ungkapan hati selain ucapan
terima kasih dari penulis, semoga Allah SWT membalas semua amal baik mereka,
dan akhirnya peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi peneliti
dan umumnya kepada pembaca.
Jakarta, 10 April 2014
Penulis
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ................................................................................................................ i
KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah........................................................................... 1
B. Identifikasi masalah ................................................................................. 5
C. Pembatasan .............................................................................................. 5
D. Perumusan Masalah ..................................................................................6
E. Tujuan Penelitian.......................................................................................6
F. Manfaat Penelitian ................................................................................... 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kurikulum Pendidikan Islam ............................................................... 7
B. Tujuan Pendidikan Islam ..................................................................... 14
C. Materi-materi Pendidikan Islam ......................................................... 18
D. Metode Pendidikan Islam......................................................................20
E. Evaluasi Pendidikan Islam.....................................................................25
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................. 31
B. Metode Penelitian .................................................................................... 31
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ......................................... 32
1. Teknik Pengumpulan Data............................................................32
2. Pemeriksaan Keabsahan Data ...................................................... 33
v
D. Teknik Analisis Data................................................................................ 34
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Biografi Ismail Ra’ji Al-Faruqi .......................................................... 35
B. Karya-karya Ismail Ra’ji Al-Faruqi .................................................. 37
C. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Ismail Ra’ji Al-Faruqi..........................38
D. Pengembangan Kurikulum Islam dalam Perspektif Ismail Ra’ji Al-
Faruqi .....................................................................................................42
BAB V PENUTUP
1. Kesimpulan ....................................................................................................... 49
2. Implikasi ........................................................................................................... 50
3. Saran………………………………………………………………………… . 51
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menyongsong abad ke-21 terdapat fenomena yang menarik, kemajuan dan
peradaban Barat menjadi suatu magnet bagi peradaban bangsa-bangsa lain.
Kemajuan teknologi yang dihasilkan tak terbatas ruang dan waktu. Barat
menjadi sebuah icon kemajuan peradaban abad 21, Barat dapat menciptakan
temuan-temuan baru dengan berbagai varian kemajuan dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi. Namun demikian, Barat mengalami kemajuan
yang signifikan tidak terlepas dari andil kemajuan perkembangan intelektual
sebelumnya, yakni kejayaan dunia Islam.
Ketika Islam mengalami puncak kejayaan dalam ilmu pengetahuan
sedangkan Barat sedang mengalami masa kegelapan akibat doktrin-doktrin
gereja. Kemajuan yang diperoleh Islam juga dirasakan bagi non-muslim
(Barat) yang ketika itu daerahnya dikuasai oleh Islam. Banyak para orang-
orang Eropa (Barat) menuntut ilmu-ilmu dan menerjemahkan kitab-kitab yang
dihasilkan para intelektual Islam seperti Ibnu Rusyd, Ar-Razi, Ibnu Sina, dan
lain-lain dalam bahasa latin.
Awal kemunduran Islam ketika pada masa Dinasti Abbasiyah disebabkan
disintegrasinya daerah-daerah kekuasaan Dinasti Abbasiyah mulai
memisahkan diri dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah sehingga kekuatan Dinasti
Abbasiyah mulai melemah. Kedudukan Dinasti Abbasiyah makin melemah
ketika terjadi peperangan dengan pasukan Salib dalam kurun waktu 2 abad.
Dampak peperangan yang lama tersebut pada kekuatan dan kestabilan Dinasti
Abbasiyah. Pada tahun 1258 terjadi penyerang pasukan Hulago Khan terhadap
Baghdad sehingga dapat dikuasainya kekuasaan Dinasti Abbasiyah.
Dengan dikuasainya Baghdad sebagai pusat kekuasaan Islam dalam segala
bidang kehidupan, baik ekonomi, politik, budaya maupun pendidikan. Pasca
penghancuran itu, pendidikan Islam tidak lagi mampu menjadi alternative bagi
para pelajar dan mahasiswa dalam skala internasional yang ingin
memperdalam ilmu pengetahuan. Pembahasan-pembahasan serius dalam
2
bidang kebudayaan (sastra), filsafat, dan teologi yang seringkali dilakukan
para intelektual Muslim yang hidup pada masa kejayaan Islam, hilang sama
sekali sehingga terjadi stagnasi keilmuan Islam. Namun, ketika Islam
mengalami stagnasi, Barat sedang sibuk mentransformasikan ilmu
pengetahuan Islam ke dunia Barat karya-karya Averoues dan mereka mulai
menggugat tradisi dan ajaran-ajaran gereja yang membelenggu daya berfikir.
Mereka mulai mendayagunakan akal dan mengembangkan semangat keilmuan
yang ditandai dengan adanya (Renaissance).1
Ummat Islam mulai bangkit dengan muncul tiga kerajaan besar Islam :
Utsmani di Turki, Safawi di Persia dan Mughal di India yang dapat
mengembalikan kejayaan Islam dari keterpurukan dan dapat memulihkan
reputasi di mata dunia, namun hanya bertahan sampai abad ke-17. Sesudah itu
jatuh kembali ke dalam suasana kemunduran dalam berbagai aspeknya,
diantaranya : di bidang politik, militer, ekonomi dan terutama ilmu
pengetahuan.
Pada saat itu yang berpengaruh di structural masyarakat Islam adalahulama tarekat dan ulama fiqih. Keduannya menanamkan paham taklid danmembatasi hanya kajian agama islam, seperti Tafsir, Hadits, Fiqih dan Tauhid.Ulama tarekat hanya mengajarkan wirid dan zikir dalam upaya mensucikanjiwa dan mendekatkan diri kepada Allah dan menjauhi kehidupan duniawi.Ketauhidan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw telah tercampurkhurafat dan paham kesufian. Mereka menghias diri dengan azimat-azimat,penangkal penyakit dan tasbih, menziarahi kuburan orang-orang keramat danmemujanya.2
Kemajuan peradaban Barat tidak diikuti dengan nilai-nilai pada aspek
pendidikan. Pendidikan Barat yang dikembangkan berlandaskan pemaksaan
hak akan Negara-negara yang mereka jajahi. Pemaksaan ideologi baik sosialis,
komunis, kapitalis maupun liberalis kepada Negara-negara yang mereka jajah.
Dengan penanam ideology yang mereka bawa berdampak kepada system
pendidikan Negara-negara yang mereka jajah.
1 Busman Edyar, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Pustaka Asatrus, 2009), h.176.2 ibid., h.168.
3
Ciri utama system pendidikan Islam pada masa ini, menekankan pada
“proses mengingat” sumber-sumber pemikiran keagamaan. Padahal untuk
kepentingan memecahkan atau mencari solusi atas persoalan-persoalan
pendidikan yang dihadapi umat tidak bisa dilalui dengan “proses mengingat”
tetapi seharusnya dengan “proses berfikir”. Kondisi demikian ini berlangsung
terus, sehingga pendidikan Islam berada dalam keterbelakangan. Pendidikan
Islam tidak lagi memberikan perspektif masa depan yang cerah. Keadaan
demikian berlaku di seluruh Negara Islam. Beriringan dengan masa ini,
Negara-negara Islam sedang menjadi objek jajahan bagi bangsa Eropa.
Sementara itu, Napoleon mendarat di Mesir pada 1798. Namun, ekspedisi
ini datang tidak hanya untuk kepentingan militer, tetapi juga untuk keperluan
ilmiah. Sehingga dia membawa para ahli dalam berbagai cabang ilmu
pengetahuan. Baru pada saat inilah umat Islam dan orang-orang Mesir untuk
pertama kalinya mempunyai kontak langsung dengan peradaban Eropa yang
baru dan asing bagi mereka. 3
Dalam bidang pendidikan, para pembaharu Islam tersebut yang memilikiperhatian besar, antara lain adalah Muhammad Ali Pasya, Sultan Mahmud II,Muhammad Abduh dan Sir Sayyid Ahmad Khan. Mereka mengikuti polapendidikan yang dikembangkan Barat, karena Barat dianggap berhasil dalammengembangkan pendidikan. Sedangkan islam kendatipun secara bertahap,juga mengikuti langkah-langkah para pembaharu itu, sehingga merekamencoba meniru gaya pendidikan Barat dalam berbagai dimensinya, termasukpemikiran-pemikiran yang mendasari keberadaan pendidikan yang biasadisebut dengan filsafat pendidikan.4
Filsafat pendidikan yang diberikan pada departemen kependidikan Islam
adalah sepenuhnya filsafat pendidikan Barat yang mulai digugat sebagian
besar pakar kita. Sedangkan kajian filsafat sudah hampir putus dari nilai dan
wawasan Islam, sehingga perlu segera diperbaiki dan ditekankan kembali pada
kajian filsafat pengetahuan Islam. Anehnya umat Islam tidak segera
menyadari dengan memusatkan kajian ilmiah mereka pada filsafat
3 Mujamil Qomar,Epistemologi Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Erlangga, 2005), h. 208.4 Ibid., h. 209.
4
pengetahuan Islam yang menjadi kunci penyelesaian problem pengetahuan
dan pendidikan Islam.
Mengingat bahwa filsafat pendidikan yang diajarkan kepada mahasiswajurusan pendidikan Islam adalah filsafat Barat, maka pendidikan yangdikembangkan umat Islam adalah pendidikan yang berpola Barat. M. RusliKarim menegaskan, “Pendidikan Islam di beberapa Negara Islam yangmayoritas penduduknya beragama Islam tidak lebih dari duplikasi daripendidikan di Negara-negara Barat sekuler yang banyak mereka cela. Dengandemikian, produk system pendidikan mereka tidak mungkin menjadi atauberupa alternatif.5
Pendidikan Barat yang diadaptasi oleh pendidikan Islam, meskipun
mencapai kemajuan, tetap tidak layak dijadikan sebagai sebuah model untuk
memajukan peradaban Islam yang damai, anggun dan ramah terhadap
kehidupan manusia. Sebagaimana dikutip Amrullah Achmad, Muhammad
Mubarak menuturkan, “Karakteristik system pendidikan Barat adalah sebagai
refleksi pemikiran dan kebudayaan abad XVIII-XIX yang ditandai dengan
isolasi terhadap agama, sekulerisme Negara, materialism, penyangkalan
terhadap wahyu dan penghapusan nilai-nilai etika yang kemudian digantikan
dengan pragmatism”.6 Maka corak pendidikan Barat tersebut terlepas dari
pandangan Barat terhadap ilmu pengetahuan. Di Barat ilmu pengetahuan
hanya berdasar pada akal dan indera, sehingga ilmu pengetahuan itu hanya
mencakup hal-hal yang diindera dan dinalar semata.
Ada lagi kenyataan yang lebih parah lagi. Banyak dari penerapan
pendidikan di dunia Islam telah terlanjur mengikuti pola dan model
pendidikan yang dikembangkan Barat dengan alasan untuk mencapai
kemajuan, seperti yang terjadi di Barat, tetapi kenyataannya sangat
berlawanan dengan harapan itu. Kaum muslim yang merasa dirugikan; di satu
sisi mereka telah mengorbankan petunjuk-petunjuk wahyu hanya sekedar
mengikuti model, namun disisi lain ternyata tidak menghasilkan sesuatu yang
signifikan dalam mengembangkan peradaban Islam. Hasil pendidikan yang
dicapai tetap tidak mampu memobilisasi perkembangan peradaban Islam.
5 Ibid., h. 210.6 Ibid., h. 211.
5
Kenyataan yang menimbulkan problem dilematis ini pernah diungkap olehIsmail Raji al-Faruqi. Dia melaporkan, bahwa materi dan metodologi yangkini diajarkan di dunia Islam adalah jiplakan dari materi dan metodologiBarat, namun tak mengandung wawasan yang selama ini menghidupkannya dinegeri Barat. Tanpa disadari, materi dan metodologi yang hampa itu terusmemberi pengaruh jelek yang mendeislamisasikan siswa, dengan berperansebagai alternatif bagi materi dan metodologi Islam dan sebagai bantuan untukmencapai kemajuan dan modernisasi.7
Dengan menjiplakan dan mengadopsi pendidikan Barat yang memiliki
kelemahan dan berbahaya bagi umat Islam, maka muncul Gerakan Islamisasi
Pengetahuan yang dipelopori Muhammad Naquib Al-Attas dan Ismail Ra’ji
Al-Faruqi. Al-Attas mengeluarkan gagasan Islamisasi pengetahuan ketika
diadakannya Konferensi Internasional tentang pendidikan di Mekkah di gelar
pada tahun 1977.
Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan muncul sebagai respon atas dikotomiantara ilmu dan sains yang dimasukkan Barat sekuler dan budaya masyarakatmodern ke dunia Islam. Kemajuan yang dicapai sains modern telah membawapengaruh yang menakjubkan, namun di sisi lain juga membawa dampak yangnegative, karena sains modern (Barat) kering dengan nilai bahkan terpisah darinilai agama.8
Selanjutnya, system pendidikan yang dikotomik menyebabkan lahirnya
system pendidikan umat Islam yang sekuleristik, rasionalistik-empirik, intuitif
dan materialistik. 9 Maka itu diharapkan para pakar pendidikan untuk segera
merevolusi sistem pendidikan yang selama ini bernafaskan sistem pendidikan
Barat yang telah meninggalkan agama dan wahyu sebagai sumber
pengetahuan dan jika mereka mengikuti pola pendidikan Barat, maka harus
selektif dan sesuai dengan ajaran Islam dalam mengadopsi pendidikan.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan, maka
penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut yang kemudian
penulis tuangkan dalam karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul
7 Ismail Raji Al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, Terj. dari Islamization of Knowledge: GeneralPrinciples and Workplan oleh Anah Mahyuddin, (Bandung : Mizan, 1984). h. 17.
8 M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu, (Malang: UIN Malang Press, 2008), H.68.9 Qomar, op. cit.,. hal. 214.
6
berikut “Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam dalam Perspektif Ismail
Raji Al-Faruqi”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, ada beberapa masalah yang
diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Faktor yang melatarbelakangi pengembangan kurikulum pendidikan
Islam dalam perspektif Ismail Raji Al-Faruqi
2. Gagasan dan pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi dalam upaya
mengembangkan kurikulum pendidikan Islam
C. Pembatasan Masalah
Pembahasan pokok yang akan dibahas didalam penelitian ini adalah
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam Dalam Perspektif Ismail Raji Al-
Faruqi.
D. Perumusan Masalah
Sebagai pijakan dalam penelitian ini akan dijabarkan rumusan masalah
sebagai berikut: Bagaimana pandangan Ismail Raji Al-Faruqi tentang
kurikulum pendidikan Islam ?
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan utama dari penelitian penulisan skripsi ini adalah penulis
ingin untuk mengetahui kurikulum pendidikan Islam dalam perspektif Ismail
Raji Al-Faruqi.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian:
1. Memberikan kontribusi bagi perkembangan pemikiran pendidikan Islam di
Indonesia.
2. Memberikan sumbangan dalam memperkaya khazanah ilmu pengetahuan
Islam.
3. Memperoleh bahan-bahan serta cara melakukan reorientasi pendidikan,
sehingga dapat dijadikan bahan-bahan perbandingan dengan reorientasi
pendidikan yang dilakukan di Indonesia.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kurikulum Pendidikan Islam
Istilah kurikulum yang berasal dari bahasa Latin Curriculum semula
berarti a running cource, or race course, especially a chariot race cource dan
terdapat pula dalam bahasa Perancis courier artinya to run, berlari.
Kemudian istilah itu digunakan untuk sejumlah cources atau mata pelajaran
yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah. Secara
tradisional kurikulum diartikan sebagai mata pelajaran yang diajarkan di
sekolah. Pengertian kurikulum yang dianggap tradisional ini masih banyak
dianut sampai sekarang, termasuk di Indonesia. 1
Dalam perkembangan kurikulum sebagai suatu kegiatan pendidikan,
timbul berbagai definisi lain. Definisi ini menentukan hal-hal yang termasuk
ke dalam ruang lingkupnya. Saylor dan Alexander merumuskan kurikulum
sebagai the total effort of the school situations. Definisi ini jelas lebih luas
daripada sekadar meliputi mata pelajaran, yaitu segala usaha sekolah untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Selain itu, kurikulum tidak hanya
mengenai situasi di dalam sekolah, tetapi juga diluar sekolah. 2
Dalam kosa kata Arab, istilah kurikulum dikenal dengan kata manhaj
yang berarti jalan yang terang atau jalan yang dilalui oleh manusia pada
berbagai bidang kehidupannya. Apabila pengertian ini dikaitkan dengan
pendidikan, maka manhaj atau kurikulum berarti jalan terang yang dilalui
pendidikan atau guru latih dengan orang-orang yang dididik atau dilatihnya
untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap mereka. 3
Kata kurikulum selanjutnya menjadi suatu istilah yang digunakan untuk
menunjukkan pada sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk
1 Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Pustaka Setia,2007), cet 3. h. 131.
2 Ibid., h.1313 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam¸ (Ciputat : Ciputat Press, 2005), h.
56.
8
mencapai suatu gelar atau ijazah. Pengertian ini sejalan dengan pendapat
Crow dan Crow yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rancangan
pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara
sistematis yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program
pendidikan tertentu.4
Selain itu adapula yang berpendapat bahwa kurikulum adalah sejumlah
mata pelajaran yang disiapkan berdasarkan rancangan yang sistematik dan
koordinatif dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan. Dari
beberapa pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa kurikulum pada
hakikatnya adalah rancangan mata pelajaran bagi suatu kegiatan jenjang
pendidikan tertentu dan dengan menguasainya seseorang dapat dinyatakan
lulus dan berhak memperoleh ijazah.5 Perluasaan jangkauan kurikulum
dizaman modern terlihat dari definisi-definisi berikut :
1. Kurikulum adalah sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan, social,
olahraga dan kesenian yang disediakan oleh sekolah bagi murid-
muridnya di dalam dan di luar sekolah dengan maksud menolongnya
berkembang secara menyeluruh dalam segala segi dan mengubah tingkah
laku mereka sesuai dengan tujuan-tujuan pendidikan.
2. Kurikulum adalah sejumlah kekuatan, factor-faktor pada lingkungan
pengajaran dan pendidikan yang disediakan oleh sekolah bagi murid-
muridnya di dalam dan di luar sekolah dan sejumlah pengalaman yang
lahir daripada interaksi dengan kekuatan-kekuatan dan factor-faktor itu.
Kedua definisi diatas merupakan cerminan dari pengertian kurikulum dalam
pendidikan modern, yang ruang lingkupnya mencakup berbagai aspek di luar
sekolah. Dalam pendidikan modern memang tampaknya kurikulum berisi
materi yang cenderung ditujukan ke arah pengembangan potensi murid (child
centred) guna kepentingan hidupnya di masyarakat (community centred).6
4 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 123.5 ibid., h. 123.6 Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996), cet 2. h. 44.
9
On the basis of what has been said so far, two principles can be set outaccording to which an Islamic curriculum must be constructed.7
a. Education must not be separated into two kinds-religious and secular.On the contrary, religion, which affects every aspects of life for theMuslim, must be at the very heart of all education as well as acting as theglue which holds together the entire curriculum into integrated whole;
b. Muslims are free to study exactly what they please, so long as they do itin the spirit of Islam. Equally, although in the past learning in Islam wasassociated with a balance and breadth of knowledge. Muslims must nowbe considered free to specialize in any branch of knowledge, subjectonly to the same proviso of remaining fully committed to the fundamentalbeliefs and values of Islam.
“Dua prinsip dasar menurut kurikulum Islam yang harus diperbaiki, yaitu
pendidikan seharusnya tidak terpisahkan antara agama (religius) dan
sekular. Agama merupakan aspek terpenting dalam kehidupan Muslim dan
agama harus menjadi jantung seluruh pendidikan dalam Islam. Konsep
kurikulum pendidikan Islam menggabungkan agama dengan sekular. Setiap
Muslim bebas menuntut berbagai macam ilmu selama sesuai dengan spirit
Islam”.
Berdasarkan tuntutan perkembangan yang demikian itu, maka para
perancang kurikulum dewasa ini menetapkan cakupan kurikulum meliputi
empat bagian. Pertama, bagian yang berkenaan dengan tujuan-tujuan yang
ingin dicapai oleh proses belajar-mengajar. Kedua, bagian yang berisi
pengetahuan, informasi-informasi, data, aktivitas-aktivitas dan pengalaman-
pengalaman yang merupakan bahan bagi penyusunan kurikulum yang isinya
berupa mata pelajaran yang kemudian dimasukkan ke dalam silabus. Ketiga,
bagian yang berisi metode atau cara menyampaikan mata pelajaran tersebut.
Keempat, bagian yang berisi metode atau cara melakukan penilaian dan
pengukuran atas hasil pengajaran mata pelajaran tertentu.8
Menurut Marimba sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir, “Pendidikan
adalah bimbingan atau usaha sadar yang dilakukan pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya
7 Halstead, J, Mark, Towards a Unified View of Islamic Education, Islam and Christian-Muslim Relations, Vol. 6, No. 1, 1995, pp. 33.
8 Nata, op.cit., h. 125.
10
kepribadian yang utama”.9 Sebagaiman kutipan Ahmad Susanto yang di kutip
dari Hasan Langgulung menjelaskan bahwa “pendidikan Islam adalah suatu
proses spiritual, akhlak, intelektual, dan sosial yang berusaha membimbing
manusia dan memberinya nilai-nilai dan prinsip serta teladan ideal dalam
kehidupan yang bertujuan mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat”.10
Pendidikan Islam harus dapat mengembangkan seluruh potensi peserta
didik dan menciptakan Hamba Allah yang shaleh dengan seluruh aspek
kehidupannya, perbuatan, pikiran dan perasaannya. Pendidikan Islam,
menurut Omar Muhammad Al-Touny al-Syaebani, diartikan sebagai “usaha
mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan
kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses
kependidikan”.11
Menurut Hamka sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Susanto,
“pendidikan bukan hanya untuk membantu manusia memperoleh
penghidupan yang layak, tetapi lebih dari itu, dengan ilmu manusia mampu
mengenal Tuhan-Nya, memperluas akhlaknya dan senantiasa berupaya
mencari keridhaan Allah. Hanya dengan bentuk pendidikan yang demikian,
manusia akan memperoleh ketentraman (hikmat) dalam hidupnya”.12
Menurut Al-Syaibani, “kurikulum Islam harus mempunyai ciri-ciri”sebagai berikut1. Kurikulum pendidikan Islam harus menonjolkan mata pelajaran agama dan
akhlak. Muatan mata pelajaran agama dan akhlak harus diambil dari al-Qur’an dan hadits serta contoh-contoh tokoh teladan yang shalehterdahulu.
2. Kurikulum pendidikan Islam harus memperhatikan pengembangan aspekpribadi siswa, yaitu aspek jasmani, rohani dan akal.
3. Kurikulum pendidikan Islam memperhatikan keseimbangan antara pribadidan masyarakat, dunia dan akhirat; jasmani, akal dan rohani manusia.
4. Kurikulum pendidikan Islam memperhatikan juga seni halus, yaitu seniukir, pahat, tulis-indah, gambar, dan sejenisnya. Selain itu kurikulum Islamjuga harus memperhatikan pendidikan jasmani, latihan militer (perang),
9 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,2007), cet 7. h. 24.
10 A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Amzah, 2009), h. 128.11 Omar Muhammad Al-Touny Al-Syaebani, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. dari .... oleh
Hasan Langgulung, (Jakarta:PT. Bulan Bintang, ..), h. 399.12Susanto, op.cit., h.105.
11
teknik, keterampilan dan bahasa asing kesemuanya itu diberikanberdasarkan minat, bakat dan kebutuhan siswa.
5. Kurikulum pendidikan Islam mempertimbangkan perbedaan-perbedaankebudayaan yang ada di masyarakat. 13:
Dapat disimpulkan bahwa kurikulum adalah rancangan kegiatan
pendidikan yang berupa isi, materi pelajaran, metode pengajaran dan sarana
prasarana dalam mendukung tercapainya tujuan pendidikan yang dicita-
citakan.
Suatu kurikulum pendidikan, termasuk pendidikan Islam, hendaknya
mengandung beberapa unsure utama seperti tujuan, isi, mata pelajaran,
metode mengajar dan metode penelitian. Kesemuanya harus tersusun dan
mengacu pada suatu sumber kekuataan yang menjadi landasan dalam
pembentukannya. Sumber kekuataan tersebut dikatakan sebagai asas-asas
pembentuk kurikulum pendidikan.
Mohammad al-Thoumy al-Syaibany, mengemukakan bahwa “asas-asas
umum yang menjadi landasan pembentuk kurikulum dalam pendidikan Islam
itu adalah”:
1. Asas agama
Seluruh system yang ada dalam masyarakat islam, termasuk system
pendidikannya harus meletakkan dasar falsafah, tujuan dan kurikulumnya
pada ajaran islam yang meliputi aqidah, ibadah, muamalat dan hubungan-
hubungan yang berlaku di dalam masyarakat. Hal ini bermakna bahwa
semua itu pada akhirnya harus mengacu pada dua sumber utama syariat
islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah.
2. Asas falsafah
Dasar ini memberikan arah dan kompas tujuan pendidikan islam,
dengan dasar filosois, sehingga susunan kurikulum pendidikan islam
mengandung suatu kebenaran terutama dari sisi nilai-nilai sebagai
pandangan hidup yang diyakini kebenarannya.
13 Tafsir, op.cit., h. 65.
12
3. Asas psikologis
Asas ini memberi arti bahwa kurikulum pendidikan islam hendaknya
disusun dengan mempertimbangkan tahapan-tahapan pertumbuhan dan
perkembangan yang dilalui anak didik.
4. Asas social
Pembentukkan kurikulum pendidikan islam harus mengacu ke arah
realisasi individu dalam masyarakat. Pola yang demikian ini berarti
semua kecenderungan dan perubahan yang telah dan bakal terjadi dalam
perkembangan masyarakat manusia sebagai makhluk social. 14
Keempat asas tersebut diatas harus dijadikan landasan dalam pembentukkan
kurikulum pendidikan islam. Perlu ditekankan bahwa antara satu asas dengan
asas yang lainnya memiliki keterkaiatan satu sama lain dan tidak dapat berdiri
sendiri, tetapi harus merupakan suatu kesatuan yang utuh sehingga dapat
membentuk kurikulum pendidikan islam yang terpadu, yaitu kurikulum yang
relevan dengan kebutuhan pengembangan anak didik dalam unsure
ketauhidan, keagamaan, pengembangan potensinya sebagai khalifah,
pengembangan pribadinya sebagai individu dan pengembangannya dalam
kehidupan sosial.
Secara umum karakteristik kurikulum pendidikan Islam adalah
pencerminan nilai-nilai islami yang dihasilkan dari pemikiran kefilsafatan dan
termanifestasi dalam seluruh aktivitas dan kegiatan pendidikan dalam
prakteknya. Dalam konteks ini harus dipahami bahwa karakteristik kurikulum
pendidikan Islam senantiasa memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan
dengan prinsip-prinsip yang telah diletakkan Allah SWT dan Rasul-Nya,
Muhammad Saw. Konsep inilah yang membedakan kurikulum pendidikan
Islam dengan kurikulum pendidikan umumnya.
14 Syaibany, op.cit., h. 523-532.
13
Menurut Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany yang dikutip AbuddinNata menyebutkan “lima ciri kurikulum pendidikan Islam”. Kelima ciritersebut secara ringkas dapat disebutkan sebagai berikut:1. Menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada berbagai tujuan-tujuannya dan
kandungan-kandungan, metode-metode, alat-alat dan tekniknya bercorakagama.
2. Meluas cakupannya dan menyeluruh kandungannya. Yaitu kurikulum yangbetul-betul mencerminkan semangat, pemikiran, dan ajaran yangmenyeluruh. Disamping itu ia juga luas dalam perhatiannya. Iamemperhatikan pengembangan dan bimbingan terhadap segala aspekpribadi pelajar dari segi intelektual, psikologis, social dan spiritual.
3. Bersikap seimbang diantara berbagai ilmu yang dikandung dalamkurikulum yang akan digunakan. Selain itu juga seimbang antarapengetahuan yang berguna bagi pengembangan individual danpengembangan sosial.
4. Bersikap menyeluruh dalam menata seluruh mata pelajaran yangdiperlukan oleh anak didik.
5. Kurikulum yang disusun selalu disesuaikan dengan minat dan bakat anakdidik. 15
Selain memiliki cirri-ciri sebagaimana disebutkan diatas, kurikulum
pendidikan islam memiliki beberapa prinsip yang harus ditegakkan. Al-
Syaibany sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, “menyebutkan tujuh
prinsip kurikulum pendidikan Islam”, yaitu :
Pertama, prinsip pertautan yang sempurna dengan agama, termasukajarannya dan nilai-nilainya. Setiap bagian yang terdapat dalam kurikulum,mulai dari tujuan, kandungan, metode mengajar, cara-cara perlakuan, dansebagainya harus berdasar pada agama dan akhlak islam. Yakni harus terisidengaan jiwa agama islam, keutamaan, cita-cita dan kemauannya yang baiksesuai dengan ajaran islam.
Kedua, prinsip menyeluruh (universal) pada tujuan-tujuan dan kandungan-kandungan kurikulum, yakni mencakup tujuan membina akidah, akal, danjasmaninya dan hal lain yang bermanfaat bagi masyarakat dalamperkembangan spiritual, kebudayaan, social, ekonomi, politik termasuk ilmu-ilmu agama, bahasa, kemanusiaan, fisik, praktis, professional, seni rupa dansebagainya.
Ketiga, prinsip keseimbangan yang relative antara tujuan-tujuan dankandungan kurikulum.
Keempat, prinsip perkaitan antara bakat, minat, kemampuan-kemampuandan kebutuhan pelajar. Begitu juga dengan alam sekitar baik yang bersifatfisik maupun social dimana pelajar itu hidup dan berinteraksi.
15 Nata, op. cit., h. 127.
14
Kelima, prinsip pemiliharaan perbedaan-perbedaan individual diantarapara pelajar, baik dari segi minat maupun bakatnya.
Keenam, prinsip menerima perkembangan dan perubahan sesuai denganperkembangan zaman dan tempat.
Ketujuh, prinsip keterkaitan antara berbagai mata pelajaran denganpengalaman-pengalaman dan aktivitas yang terkandung dalam kurikulum.16
Dapat disimpulkan bahwa, “kurikulum pendidikan Islam adalah kurikulum
yang memiliki landasan dasar agama, dasar filsafat, dasar psikologis dan
dasar social sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan visi pendidikan
Islam dan menciptakan peserta didik yang memiliki kelebihan dalam bidang
ilmu pengetahuan, teknologi dan berakhlak mulia sesuai ajaran Islam.
B. Tujuan Pendidikan Islam
Istilah “ tujuan” secara etimologi, mengandung arti arah, maksud atau
haluan. Dalam bahasa Arab “tujuan” diistilahkan dengan “Ghay, Ahd atau
Maqashid. Sementara dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan “goal,
purpose, objectives atau aim”. Secara terminologi, tujuan berarti “sesuatu
yang diharapkan tercapai setelah sebuah usaha atau kegiatan selesai”17
Tujuan pendidikan mempunyai kedudukan yang amat penting, Ahmad D.Marimba sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata, “Menyebutkanempat fungsi tujuan pendidikan”. Pertama, tujuan berfungsi mengakhiriusaha. Sesuatu usaha yang tidak memiliki tujuan tidaklah memiliki arti apa-apa dan pada umumnya, suatu usaha itu berakhir apabila telah tercapai tujuanyang dicita-citakan. Kedua, tujuan berfungsi mengarahkan usaha, tanpaadanya antisipasi (pandangan kedepan) kepada tujuan, penyelewengan akanbanyak terjadi dan kegiatan yang dilakukan tidak akan berjalan secara efisien.Ketiga, tujuan dapat berfungsi sebagai titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain, yaitu tujuan-tujuan baru maupun tujuan-tujuan lanjutan daritujuan pertama. Keempat, tujuan sebagai pemberi nilai terhadap sesuatukegiatan.18
Dari fungsi-fungsi tujuan tersebut, tujuan merupakan hasil penentuan dari
suatu atau proses pendidikan terhadap nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam
pribadi manusia yang diinginkan. Nilai-nilai ideal itu mempengaruhi dan
mewarnai pola kepribadian manusia, sehingga menggejala dalam prilaku
16 Nata, op.cit., h. 125.17 Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 107.18 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h. 98.
15
lahiriah (tampak). Dengan kata lain, prilaku lahiriah adalah cermin yang
memproyeksikan nilai-nilai ideal yang telah mengacu di dalam jiwa manusia
sebagai produk dari proses pendidikan.
Jika kita mengacau kepada tujuan pendidikan islam, berarti kita mengacu
kepada kepribadian-kepribadian yang bernilaikan ideal-ideal islam. Hal ini
mengandung makna tujuan pendidikan islam tidak lain adalah tujuan yang
merealisasikan idealitas Islam. Dalam merumuskan tujuan-tujuan pendidikan
islam harus berorientasi pada pendidikan yang meliputi beberapa aspek,
misalnya tentang tujuan dan tugas hidup manusia (QS. Ali Imran:191),
memerhatikan sifat-sifat dasar manusia yaitu konsep tentang manusia bahwa
ia diciptakan sebagai khalifah (QS. Al-Baqarah: 30), serta beribadah kepada-
Nya (QS. Al-Dzariyat: 56), penciptaan itu dibekali fitrah berupa akal dan
agama (QS. Al-Rum: 28 dan 30), sebatas kemampuan dan kapasitas ukuran
yang ada dan memenuhi tuntutan masyarakatnya. 19
Pendidikan Islam, sering dikatakan memiliki sasaran dan dimensi hidup,
yaitu penanaman rasa taqwa kepada Allah dan pengembangan rasa
kemanusiaan kepada sesama manusia. Dalam bahasa al-Qur’an, dimensi
hidup ketuhanan ini juga disebut jiwa rabbaniyah (QS. Ali Imran: 79) atau
biasa disebut tauhid rububiyah, suatu bentuk kenyakinan bahwa semua yang
ada di alam semesta dikendalikan oleh Allah Yang Maha Esa tanpa campur
tangan sekutu lain. Sedangkan dimensi kemanusiaan yang harus ditanamkan
adalah silatuhrahmi, persaudaraan, persamaan, adil, baik sangka, rendah hati,
tepat janji, dermawan dan lain sebagainya. Dua dimensi yang memiliki nilai-
nilai tersebut akan membentuk ketaqwaan dan akhlak yang mulia.
Adapun dimensi kehidupan yang mengandung nilai ideal islami dapatdikategorikan ke dalam tiga macam sebagai berikut.1. Dimensi yang mengandung nilai yang meningkatkan kesejahteraan hidup
manusia di dunia. Dimensi nilai kehidupan ini mendorong kegiatanmanusia untuk mengelola dan memanfaatkan dunia agar menjadi bekalbagi kehidupan di akhirat.
2. Dimensi yang mengandung nilai yang mendorong manusia berusahakeras untuk meraih kehidupan di akhirat yang membahagiakan. Dimensi
19 Yasin, op. cit., h. 108.
16
ini menuntut manusia untuk tidak terbelenggu oleh rantai kekayaanduniawi atau materi yang dimiliki.
3. Dimensi yang mengandung nilai yang dapat memadukan(mengintegrasikan) antara kepentingan hidup duniawi dan ukhrawi.Keseimbangan dan keserasian antara kedua kepentingan hidup inimenjadi daya tangkal terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari berbagaigejolak kehidupan yang menggoda ketenangan hidup manusia, baik yangbersifat spiritual, sosial, kultural, ekonomis maupun ideologis dalamhidup pribadi manusia. 20
Dimensi-dimensi nilai diatas merupakan sasaran idealitas islami yang
seharusnya dijadikan dasar fundamental dari proses kependidikan islam.
Dimensi nilai-nilai islami yang menekankan keseimbangan dan keselarasan
hidup duniawi-ukhrawi menjadi landasan ideal yang hendak dikembangkan
atau dibudidayakan dalam pribadi manusia melalui pendidikan sebagai alat
pembudayaan.
Menurut al-Qabisy sebagaimana yang dikutip oleh Fattah Yasin, tujuan
pendidikan Islam itu adalah upaya menyiapkan peserta didik agar menjadi
muslim yang dapat menyesuaikan hidupnya sesuai dengan ajaran-ajaran
islam. Dengan tujuan ini diharapkan peserta didik juga mampu memiliki
pengetahuan dan mampu mengamalkan ajaran islam, karena hidup ini tidak
lain adalah jembatan menuju hidup di akhirat.21
Dari beberapa definisi yang dikemukakan para ahli tersebut dapatdiketahui bahwa tujuan pendidikan Islam memiliki ciri-ciri sebagai berikut:1. Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dengan
sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas memakmurkan danmengolah bumi sesuai dengan kehendak Tuhan.
2. Mengarahkan manusia seluruh pelaksanaan tugas kekhalifahannya dimuka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah sehinggatugas tersebut terasa ringan dilaksanakan.
3. Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga ia tidakmenyalahgunakan fungsi kekhalifahannya.
4. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa, dan jasmaninya sehingga iamemiliki ilmu, akhlak dan keterampilan yang semua ini dapay digunakanguna mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya.
5. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di duniadan di akhirat. 22
20 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010), Cet 5. h. 109.21 Yasin, op. cit., h. 11022 Abuddin Nata, op. cit., h. 106.
17
Manusia yang dapat memiliki ciri-ciri tersebut diatas secara umum adalah
manusia yang baik. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa para ahli
pendidikan islam pada hakikatnya sependapat bahwa tujuan umum
pendidikan islam ialah terbentuknya manusia yang baik, yaitu manusia yang
beribadah kepada Allah dalam rangka pelaksanaan fungsi kekhalifahannya di
muka bumi. Abuddin Nata mengutip kutipan Mohammad al-Toumy al-
Syaibany, dalam menjabarkan tujuan khusus pendidikan Islam menjadi:
1. Tujuan yang berkaitan dengann individu yang mencakup perubahan
berupa pengetahuan, tingkah laku, jasmani, rohani, dan kemampuan-
kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat.
2. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat yang mencakup tingkah laku
individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, serta
memperkaya pengalaman masyarakat.
3. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran
sebagai ilmu, seni, profesi dan kegiatan masyarakat. 23
Adanya tujuan umum dan tujuan khusus dalam pendidikan Islam tersebut
lebih lanjut dikemukakan oleh Ali Khalil Abu al-Aynain, menurutnya tujuan
umum pendidikan islam adalah membentuk pribadi yang beribadah kepada
Allah. Sifat tujuan umum ini tetap, berlaku di sepanjang tempat, waktu dan
keadaan. Sedangkan tujuan khusus pendidikan islam ditetapkan berdasarkan
keadaan tempat dengan mempertimbangkan keadaan geografi, ekonomi dan
lain-lainnya yang ada di tempat itu.24
Tujuan khusus pendidikan islam sesuai dengan pendapat yangdikemukakan oleh Quraish Shihab sebagaimana yang dikutip oleh FattahYasin yaitu bahwa tujuan pendidikan dapat diimpor atau diekspor dari atau kesuatu negara atau masyarakat. Ia harus timbul dari dalam masyarakat itusendiri. Ia adalah “pakaian” yang harus diukur dan dijahit sesuai denganbentuk dan ukuran pemakaiannya dalam masyarakat atau negara tersebut.Dengan kata lain pernyataan ini lebih tepat diarahkan kepada sifat dari tujuankhusus pendidikan islam yang sifatnya fleksibel dan bukan diarahkan kepada
23 Ibid., h. 107.24 Tafsir, op. cit., h. 50.
18
tujuan umum pendidikan islam yang sifatnya konstan dan berlaku sama bagisemua bangsa dan negara di dunia ini.25
Dari beberapa pendapat para pakar pendidikan Islam, dapat disimpulkan
tujaan pendidikan Islam adalah menciptakan peserta didik yang dapat
menerima tantangan zaman dalam IPTEK dan memiliki akhlak mulia sesuai
ajaran Islam dalam upaya menyiapkan kebahagian di dunia dan akhirat.[[
C. Materi-Materi Pendidikan Islam
Kurikulum Islam adalah serangkaian rencana program pendidikan Islam
yang digunakan untuk berlangsungnya program pendidikan baik yang
termasuk dalam kurikulum nyata (the riil curricullum) maupun kurikulum
yang bersifat tersembunyi (the hidden curricullum). Rangkain muatan
kurikulum berisikan program pendidikan yang didalamnya terdapat tujuan,
isi/materi, metode, sarana, pendidik, dan lain sebagainya. Untuk bisa
mencapai tujuan pendidikan Islam sebagaimana yang ingin diharapkan, maka
tentu saja materi yang ingin disampaikan haruslah sesuai dengan cita-cita
kurikulum pendidikan Islam. Isi materi dalam kurikulum pendidikan sebagai
mata pelajaran yang akan diajarkan dalam proses belajar mengajar.
Materi pendidikan Islam pada masa awal permulaan Islam datang yang
diajarkan Rasulullah kepada ummatnya adalah materi yang menyangkut
keperluan kehidupan pribadi maupun sosial. Ketika Rasulullah di Mekkah
materi pendidikan yang diajarkan menyangkut masalah aspek keimanan
(tauhid) dengan bahan ajarnya adalah al-Qur’an dan perangai atau tingkah
laku Rasulullah SAW. Sedangkan materi yang diajarkan Rasulullah ketika
Beliau di Madinah lebih menekan materi peribadatan dan akhlak dengan
bahan ajarnya adalah al-Qur’an dan perangai atau tingkah laku Rasulullah
SAW.
Menurut Ahmad Tafsir,26 materi pendidikan Islam pada masa Rasulullah
adalah membaca al-Qur’an. Keimanan, ibadah, akhlak, dasar ekonomi, dasar
politik, olahraga dan kesehatan, membaca dan menulis. Pada masa
25 Abuddin Nata,. op. cit., h. 109.26 Tafsir, op. cit., h. 61.
19
khulafaurrasyidin materi pendidikan Islam sudah mulai berkembang menjadi
membaca dan menulis, membaca dan menghafal al-Qur’an, keimanan,
ibadah, akhlak, syair-syair, bahkan materi tentang memanah, berkuda dan
berenang.
Pada masa dinasti khalifah Umayah materi pendidikan makin
berkembang pesat seiring dengan masuknya pengaruh budaya Yunani, Persia,
India, Cina dan lainnya, sehingga pelajaranya bertambah seperti berhitung,
mengenal para tokoh, nahwu dan sharaf. Pada masa dinasti Abbasiyah materi
pendidikan Islam semakin bertambah banyak, seperti bahasa Arab, fiqh,
tafsir, hadits, nahwu, sharaf, ilmu pasti, ilmu mantiq, ilmu falak, tarikh dan
ilmu alam.
Menurut al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Said, materipendidikan Islam terbagi menjadi dua bidang, yaitu:1. Ilmu syari’at terdiri atas:
a. Ilmu Ushul (ilmu pokok): ilmu al-Qur’an, Sunnah Nabi, pendapat-pendapat Sahabat dan Ijma.
b. Ilmu Furu’ (cabang): Fiqh, ilmu hal ihwal hati dan akhlak.c. Ilmu pengantar (mukaddimah): ilmu bahasa dan gramatika.d. Ilmu pelengkap (mutammimah): ilmu Qira’at, Makharij al-Huru wa
al-Alfadz, ilmu Tafsir, Nasikh dan Mansukh, lafaz umum dan khusus,lafas nash dan zahir serta biografi dan sejarah perjuangan sahabat.
2. Ilmu bukan syari’at terdiri atas:a. Ilmu yang terpuji: ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu
perusahaan.b. Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan): kebudayaan, sastra, sejarah
dan puisi.c. Ilmu yang tercela (merugikan): ilmu tenung, sihir, dan bagian-bagian
tertentu dari filsafat. 27
Menurut Ibnu Khaldun sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, membagi
materi pendidikan Islam menjadi tiga macam, yaitu:
a. Ilmu Lisan (bahasa) yaitu ilmu tentang bahasa (gramatika), sastra atau
bahasa yang tersusun secara puitis (syair).
b. Ilmu Naqli, yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci al-Qur’an dan
Sunnah Nabi (al-Qur’an, ilmu tafsir, ilmu hadits dan ilmu ushul fiqh).
27 Said, op. cit., h. 142.
20
c. Ilmu Aqli, yaitu ilmu yang dapat menunjukkan manusia dengan daya
fikir atau kecenderungannya kepada filsafat dan semua ilmu
pengetahuan (mantiq, ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu teknik, ilmu
hitung, ilmu tingkah laku dan ilmu nujum). 28
Materi pendidikan menurut At-Thahthawi sebagaimana dikutip oleh
Jalaluddin Said, materi pendidikan terbagi berdasarkan jenjang pendidikan.
Materi pendidikan dasar adalah membaca, menulis al-Qur’an, nahwu dan
dasar-dasar berhitung. Materi pendidikan tingkat menengah adalah jasmani,
ilmu bumi, sejarah, mantiq, biologi, fisika, kimia, manajemen, ilmu pertanian,
ilmu peradaban dan ilmu bahasa asing. Sedangkan materi pendidikan tingkah
menengah atas terdiri dari materi-materi penjuruan yang bersifat lebih
mendalam dan meliputi pelajaran ilmu kedokteran, ilmu fiqih, ilmu bumi dan
sejarah.29
Dari beberapa pendapat tokoh diatas, dapat disimpulkan bahwa materi-
materi pendidikan Islam haruslah bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
yang merupakan sumber rujukan dalam agama Islam. Dari kedua sumber
tersebut dapat melahirkan materi yang berkaitan dengan keyakinan terhadap
Allah sebagai sumber utama segala pengetahuan. Namun, untuk dapat
menjawab tantangan zaman dan kebutuhan masyarakat diperlukan sebuah
kurikulum yang di dalamnya terdapat materi pendidikan Islam dan materi
pendidikan modern ( IPTEK).
D. Metode Pendidikan Islam
Dalam upaya tercapainya kurikulum pendidikan Islam diperlukan cara
bagaimana tercapainya kurikulum tersebut. Kurikulum yang bagus belum
tentu baik, apabila cara yang digunakan dalam proses menjalankan kurikulum
yang ingin dicapai tidak sesuai dengan metode yang tepat. Hal ini berarti
bahwa metode merupakan komponen kurikulum yang sangat essensial dalam
mencapai tujuan pendidikan Islam.
28 Abuddin Nata, op. cit., h. 225.29 Said, op. cit., h. 151.
21
Secara literal bahasa kata “metode” berasal dari bahasa Greek yang
terdiri dari meta yang berarti “melalui” dan hodos yang berarti “jalan”. Jadi,
metode berarti “jalan yang dilalui”30 Runes, sebagaimana yang dikutip oleh
Samsul Nizar menerangkan teknis bahwa metode adalah
1. Sesuatu prosedur yang dipakai untuk mencapai suatu tujuan.
2. Sesuatu teknik mengetahui yang dipakai dalam proses mencari ilmu
pengetahuan dari suatu materi tertentu.
3. Suatu ilmu yang merumuskan aturan-aturan dari suatu prosedur.31
Berdasarkan pendapat Runes tersebut, bila dikaitkan dengan proses
pendidikan Islam, maka metode berarti suatu prosedur yang digunakan
pendidik dalam melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan yang diingin
dicapai. Selain itu metode juga suatu cara yang dilakukan peserta didik dalam
upaya mencari ilmu pengetahuan. Dan metode dapat pula diartikan sebagai
suatu rumusan yang berisikan aturan-aturan prosedur dalam upaya mencapai
tujuan pendidikan.
Dari sudut pandang filosofis, metode adalah merupakan alat yang
dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat itu mempunyai fungsi
ganda, yaitu bersifat polipragmatis dan monopragmatis. Polipragmatis,
bilamana metode itu mengandung kegunaan yang serba ganda
(multipurpose). Suatu metode tertentu pada suatu situasi dan kondisi tertentu
dapat dipergunakan untuk merusak dan pada kondisi lain dapat dipergunakan
untuk membangun atau memperbaiki. Kegunaanya bergantung pada si
pemakai metode tersebut, seperti halnya Video Cassette Recorder (VCR)
yang dapat digunakan untuk merekam semua jenis film yang bersifat
pornografis atau yang bersifat moralis dan dapat juga digunakan untuk alat
pendidikan atau pengajaran. Sebaliknya dengan metode yang bersifat
monopragmatis adalah alat yang hanya dipergunakan untuk mencapai satu
macam tujuan saja. Misalnya, Laboratorium ilmu alam hanya dapat
30 Arifin, op. cit., h. 89.31 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam¸ (Ciputat : Ciputat Press, 2002), h. 66.
22
dipergunakan untuk kegiatan eksperimen-eksperimen bidang ilmu alam, tidak
dapat dipergunakan untuk bidang yang lainnya.32
Dapat dipahami bahwa penggunaan metode dalam pendidikan tergantung
kepada siapa pemakai dan keuntungan dari pemakai metode tersebut.
Sedangkan metode dalam pendidikan Islam adalah bagaimana menghasilkan
manusia yang berakhlak mulia yang sesuai dengan fitrah manusia sebagai
“khalifah Allah di Muka Bumi”. Maka itu dalam penentuan penggunaan
metode itu harus berdasarkan pada pengembangan manusia yang secara
menyeluruh dari segi aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik.
Dalam konteks dengan pengembangan metode pendidikan Islam, Abdul
Munir Mulkhan sebagaimana dikutip Samsul Nizar, telah mendeskripsikan
beberapa petunjuk Al-Qur’an sebagai rujukan pengembangan metode
pendidikan Islam, antara lain:
a. Allah SWT menyuruh hamba-Nya untuk mencontoh Rasulullah Saw,
sebab sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik (Q.S.
Al-Ahzab/33:21).
b. Allah SWT memerintahkan hamba-Nya untuk menyeru manusia ke jalan
Tuhan dengan hikmah, pengajaran yang baik dan argumentasi yang dapat
dipertanggung jawabkan (Q.S. An-Nahl/16:125).
c. Allah SWT memerintahkan ummat Islam untuk mengembangkan sikap
arif dan bijaksana dalam melakukan dan menyelesaikan suatu aktivitas
(berdiskusi dan bermusyawarah) serta bertawakal kepada-Nya (Q.S. Ali
Imran/3:159), (Q.S. Asy Syuura/42:38).
d. Manusia diperintahkan untuk melakukan eksplorasi di muka bumi dan
memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan
Allah (Q.S. Al-An’aam/6:11). Sesungguhnya telah berlaku sunnah-sunnah
Allah sebelum kamu, karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan
perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan agama
(Q.S. Ali Imran/3:137).
32 Arifin, op. cit., h. 90.
23
e. Jadi, dapat disimpulkan dalam pengembangan metode pendidikan Islam
yang sebagaimana yang dipaparkan Abdul Munir Mulkan bertujuan
bagaimana menciptakan manusia yang memiliki kepribadian yang
berakhlak mulia sebagai al-insan al-kamil. 33
Metode pendidikan Islam secara formal adalah sebagaimana yang
dikemukakan oleh al-Syaibany, yaitu
1. Metode pengambilan kesimpulan (Induktif)
Metode ini bertujuan untuk membimbing pelajar untuk mengetahui
fakta-fakta dan hukum-hukum umum melalui jalan pengambilan
kesimpulan atau induksi.
2. Metode perbandingan (Qiyasiah)
Metode ini dimulai dari penjelasan yang bersifat umum kepada yang
khusus, dari keseluruhan kepada bagian-bagian kecil. Metode
perbandingan saling berkaitan dan melengkapi bagi metode induktif, oleh
sebab itu guru-guru dianjurkan untuk menggabungkan antara keduannya
untuk dapat membuktikan kebenaran.
3. Metode kuliah
Metode kuliah adalah metode yang menyatakan bahwa mengajarkan
pelajaran dan kuliahnya dengan cara mencatat perkara-perkara yang
penting yang ingin dibincangkan.
4. Metode dialog dan perbincangan
Metode dialog adalah metode yang berdasarkan pada dialog,
percakapan melalui tanya jawab untuk mengetahui suatu kebenaran dalam
fakta-fakta.
5. Metode halaqah
Metode halaqah merupakan metode pertama kali dalam Islam dalam
menyampaikan dakwah atau pendidikan. Metode yang dilaksanakan
dengan cara para murid mengelilingi guru dalam setengah bulatan untuk
mendengarkan ilmu yang disampaikan guru.
6. Metode riwayat
33Nizar, op. cit., h. 72.
24
Metode ini dianggap salah satu metode dasar yang digunakan oleh
pendidikan Islam. Metode ini digunakan untuk mengajarkan pelajaran
Hadits, bahasa dan sastra Arab serta ilmu-ilmu Islam dan segi-segi
pemikiran Islam yang paling banyak menggunakan riwayat.
7. Metode mendengar
Periwayatan ilmu pada abad pertama dakwah Islamiyah bergantung
penuh pada pendengaran sahaja. Sebab tulisan dan bacaan belum tersebar
luas dalam masyarakat Islam pada waktu itu dan tulisan Arab pada masa
itu masih banyak kekurangan yang menyebabkan membaca dan menulis
itu sukar. Penyebaran ilmu pada masa itu lebih bersifat pendengaran.
8. Metode membaca
Metode ini merupakan alat yang digunakan dalam mengajarkan dan
meriwayatkan karya ilmiah yang bukan karya guru sendiri. Menurut
metode ini murid membacakan apa yang dihafalnya kepada gurunya atau
orang lain membacanya sedang dia mendengarkan.
9. Metode imla
Metode imla adalah metode menulis materi yang dibacakan oleh guru
dengan cara mengatur setiap kata-kata yang diucapkannya sedangkan
murid-murid mencatat setiap kata yang didengarnya.
10. Metode hafalan
Metode hafalan merupakan metode yang digunakan pada masa awal
Islam dalam menyebarkan dakwah. Pada masa awal Islam orang-orang
sangat menghargai daya ingatan seseorang untuk menghafal. Metode
hafalan ini merupakan faktor yang membantu tersebarnya bacaan-bacaan
Al-Qur’an dikarenakan pada masa itu tulisan masih sangat kurang. metode
ini digunakan untuk menghafal bacaan-bacaan Al-Qur’an, Hadits dan Ilmu
Bahasa yang sangat membutuhkan daya ingatan yang kuat.
11. Metode pemahaman
Metode pemahaman adalah metode dengan cara menjelaskan,
menganalisa, dan memahami suatu bacaan. Sesungguhnya metode
pengajaran dalam Islam menaruh perhatian kepada pemahaman mata
25
pelajaran sebagaimana ia menaruh perhatian pada hafalan dan tidak
melalaikan kepahaman.
12. Metode lawatan untuk menuntut (pariwisata)
Pendidik-pendidik Islam menaruh perhatian besar terhadap lawatan
dan perkunjungan ilmiah dan dianggapnya metode yang paling bermanfaat
dalam menuntut ilmu, memperoleh pengetahuan, meriwayatkan hadits dan
sejarah. Metode ini juga sebagai jalan pembuktian kebenaran pada suatu
ilmu pengetahuan dalam upaya menguji keorisinalan suatu ilmu.. 34
Dari beberapa pendapat para pakar pendidikan dapat disimpulkan
bahwa “metode pembelajaran adalah sebuah cara menyampaikan materi
pelajaran yang dilakukan seorang guru kepada peserta didik”. Metode
pembelajaran Islam adalah metode yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah dalam menyampaikan materi pelajaran. Dalam
penggunaan metode diperlukan kesesuaian dengan materi dan
perkembangan peserta didik.
E. Evaluasi Pendidikan Islam
Rangkaian akhir dalam komponen kerja sistem pendidikan yang
terpenting adalah pengevaluasian. Pengevaluasian merupakan pengujian atas
tingkat keberhasilan pada suatu tujuan yang ingin dicapai. Dalam hal
pendidikan Islam evaluasi berarti merupakan langkah terakhir dalam suatu
rangkaian kerja yang berkaitan dengan berhasil atau gagalkah suatu
pendidikan dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan Islam. Dalam hal ini
dapat dilihat dengan output yang dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan
Islam. Jika output tersebut sesuai dengan tujuan program dapat dikatakan
bahwa pendidikan tersebut berhasil ataupun sebaliknya.
Ada tiga istilah yang digunakan dan perlu disepakati pemakaiannya,
sebelum disampaikan uraiannya lebih jauh tentang evaluasi program, yaitu
34 Syaibany, op.cit., h. 561-582.
26
“evaluasi” (evaluation), “pengukuran” (measurement) dan “penilaian”
(assessment).35
Istilah evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation yang berarti
tindakan atau proses untuk menentukan nilai sesuatu atau dapat diartikan
sebagai tindakan atau proses untuk menentukan nilai segala sesuatu yang
yang ada hubungannya dengan pendidikan.36
Evaluation is a process which determines the extent to which objectives
have been achieved. Evaluasi merupakan proses yang menentukan kondisi,
dimana suatu tujuan telah dapat tercapai. Defenisi ini menerangkan secara
langsung hubungan evaluasi dengan tujuan suatu kegiatan yang mengukur
derajat, dimana suatu tujuan dapat dicapai. Sebenarnya evaluasi juga
merupakan proses memahami, memberi arti, mendapatkan,
mengkomunikasikan suatu informasi bagi keperluan pengambil keputusan.37
Sebagaimana pendapat Suchman yang dikutip oleh Suharsimi Arikunto,
memandang evaluasi sebagai sebuah proses menentukan hasil yang telah
dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung tercapainya
tujuan. Dan definisi lain yang dikemukakan oleh Worthen dan Sanders yang
dikutip oleh Suharsimi Arikunto, mengatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan
mencari sesuatu yang berharga tentang sesuatu untuk mencapai tujuan yang
sudah ditentukan.38
Dalam arti sempit, evaluasi dapat dikatakan suatu usaha untuk menguji
keberhasilan pendidik dalam rangka mengetahui sejauh mana perkembangan
peserta didik dalam memahami materi pelajaran yang diajarkan. Dalam arti
luas, evaluasi dapat dikatakan suatu usaha menguji tingkat keberhasilan suatu
sistem pendidikan yang berisikan komponen-komponen pendukung dalam
pendidikan dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai.
35 Suharsimi Arikunto dan Cepi Safrudin Abdul Jabar, Evaluasi Program Pendidikan, (Jakarta :PT. Bumi Aksara, 2009), cet.2. h. 1.
36 Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), h. 1.37 Sukardi, Evaluasi Pendidikan Prinsip dan Operasionalnya, (Jakarta: PT.Bumi Aksara, 2011),
cet.5. h. 1.38 Jabar, op. cit., h. 2.
27
Secara umum ada empat kegunaan evaluasi dalam pendidikan Islam.Pertama, dari segi pendidik, evaluasi berguna untuk mengetahui tingkatkeberhasilan seorang pendidik dalam menjalankan tugas, Kedua, dari segipeserta didik, evaluasi berguna untuk mengetahui perubahan tingkah lakunyadari hasil pendidikan. Ketiga, dari segi ahli pemikir pendidikan Islam,evaluasi berguna untuk mengetahui kelemahan dan keunggulan teori-teoripendidikan yang ada dalam upaya meningkatkan pendidikan yang sesuaidengan tuntutan zaman. Keempat, dari segi pemerintah, evaluasi bergunauntuk menentukan kebijakan-kebijakan pendidikan yang sesuai denganperkembangan dan tuntutan masyarakat.39
Kesemua kegunaan evaluasi pendidikan Islam dimaksudkan untuk
mengetahui kelebihan dan kekurangan dari sebuah sistem pendidikan dari
berbagai aspek (kurikulum, pendidik, materi dan metode) dalam rangka
peningkatan kualitas pendidikan pendidikan Islam di masa yang akan datang.
Adapun tujuan evaluasi menurut ajaran Islam, berdasarkan pemahaman
terhadap ayat-ayat al-Qur’an antara lain dapat disebutkan sebagai berikut:40
1. Untuk menguji daya kemampuan manusia beriman terhadap berbagai
macam problema kehidupan yang dialaminya.
2. Untuk mengetahui sampai dimana atau sejauh mana hasil pendidikan
wahyu yang telah diterapkan Rasulullah SAW terhadap umatnya.
3. Untuk menentukan klasifikasi atau tingkat-tingkat hidup hidup keislaman
atau keimanan manusia, sehingga diketahui manusia yang paling mulia di
sisi Allah.
Untuk mengetahui sejauh mana kuatnya iman seseorang, Allah SWT
terkadang mengevaluasinya melalui berbagai cobaan yang besar. Allah
berfirman:
“Apakah manusia itu mengira, bahwa mereka akan dibiarkan (saja)
mengatakan “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji (dievaluasi)
lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum
39Nizar, op. cit., h. 78.40 Abuddin Nata, op. cit., h. 189.
28
mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan
sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”. (Q.S. al-Ankabut,
29:2-3).
Pada ayat tersebut dengan jelas dinyatakan bahwa Allah SWT akan
menguji kualitas keimanan seseorang dengan berbagai evaluasi atau cobaan.
Dengan demikian dapat diketahui siapa saja yang benar-benar mantab
imannya dan siapa saja yang imannya palsu.
Konsep evaluasi dalam pendidikan Islam bersifat menyeluruh, baik
dalam hubungan manusia dengan Allah SWT sebagai pencipta, hubungan
manusia dengan manusia yang lainnya, hubungan manusia dengan alam
sekitarnya dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Paradigma
pendidikan islam mengintegralkan semua ranah kognitif, afektif dan
psikomotorik, sehingga terciptalah manusia yang paripurna yang dapat
mengaktualisasikan keimanan, keilmuan dan amal shalihnya.41
Dari beberapa pendapat para pakar dapat disimpulkan, evaluasi adalah
pengoreksian, pengawasan dan perefleksian terhadap komponen-komponen
kurikulum dalam upaya mengetahui keberhasilan kurikulum. Evaluasi dalam
pendidikan Islam adalah mengevaluasi tingkat keberhasilan peserta didik
dalam ketaatan dan kepatuhan terhadap ajaran Islam.
F. Pendidikan Perspektif Muhammad Al-Naquib Al-Attas.
1. Pengertian Pendidikan
Definisi Pendidikan, menurut Al-Attas berasal dari kata ta’dib yang
berartikan penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang. Al-
Qur’an menegaskan bahwa contoh ideal bagi orang yang beradab adalah
Nabi Muhammad Saw, yang oleh kebanyakkan disebut dengan sebagai
Manusia Sempurna atau Manusia Universal (al-insan al-kulliyy). Oleh
karena itu, sistem pendidikan harus merefleksikan manusia sempurna.42
Pada Konferensi Dunia Pertama mengenai Pendidikan Islam yang
diselenggarakan di Mekkah, pada April 1971. Al-Attas mengajukan agar
41 Samsul Nizar, op. cit., h. 8342Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas,
(Bandung: Mizan Media Utama, 1998). h. 174.
29
definisi pendidikan Islam diganti menjadi penanaman adab dan istilah
pendidikan dalam Islam menjadi ta’dib. Gagasan definisi pendidikan
tersebut diterima sebagai istilah yang dikompromiskan dengan istilah
tarbiyah, ta’lim dan ta’dib yang dipakai secara bersamaan.43
Al-Attas yang tidak setuju dengan penerimaan yang kompromis ini
kemudian menyatakan kembali argumentasinya dalam The Concept if
Education in Islam yang disampaikannya pada Konferensi Dunia Kedua
mengenai Pendidikan Islam yang diselenggarakan di Islamabad, pada 1980.
Menurut Al-Attas, jika benar-benar dipahami dan dijelaskan dengan baik,
konsep ta’dib adalah konsep yang paling tepat untuk pendidikan Islam,
bukannya tarbiyah ataupun ta’lim sebagaimana yang digunakan waktu itu.
Dia mengatakan, “ struktur konsep ta’dib sudah mencakup unsur ilmu (ilm),
instruksi (ta’lim) dan pembinaan yang baik (tarbiyah).44
Al-Attas berpendapat kata “tarbiyah” yang dalam bahasa latin ialah
education. Tarbiyah adalah proses menghasilkan dan mengembangkan
mengacu kepada segala sesuatu yang bersifat fisik dan material. Yang dituju
dalam konsepsi pendidikan yang diturunkan dari konsep-konsep latin yang
dikembangkan dari istilah-istilah tersebut di atas meliputi spesies hewan dan
tidak dibatasi pada “hewan berakal”45.
Pada dasarnya tarbiyah berarti mengasuh, menanggung, memberi makan,
mengembangkan, memelihara, membuat, menjadikan bertambah dalam
pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang
dan menjinakkan. Penerapannya dalam bahasa Arab tidak hanya terbatas
pada manusia saja dan medan-medan semantiknya meluas kepada spesies-
spesies lain untuk mineral, tanaman dan hewan. 46
Konsep tarbiyah bisa diterapkan untuk berbagai spesies dan tidak
terbatas hanya untuk manusia, dengan demikian konsep tarbiyah tidak
43 Ibid., h. 175.44 Ibid., h. 175.45 Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Terj. dari The
Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education oleh HaidarBagir, (Bandung: Mizan, 1984). h. 64.
46 Ibid., h. 66.
30
cocok untuk menunjukkan pendidikan dalam arti Islam yang dimaksudkan
hanya untuk manusia saja.47 Selain itu tarbiyah pada dasarnya juga mengacu
kepada gagasan “pemilikan”, seperti pemilikan keturunan oleh orang tuanya
dan biasanya para orang tua sebagai pemilik yang berhak mentarbiyahkan
keturunannya. Pemilikan-pemilikan yang dimaksud adalah pemilikan yang
berhubungan dengan relasional. Mengingat bahwa pemilikan yang
sebenarnya ada pada Tuhan sebagai Sang Pencipta, Pemelihara, Penjaga,
Pemberi, Pengurus dan Pemilik segala sesuatu, yang kesemuanya itu
tercakup dalam istilah tunggal ar-Rabb. Jadi kata Rabba yang diturunkan
kepadanya jika diterapka pada manusia dan hewan-hewan menunjukkan
suatu “milik yang dipinjamkan”. Yang mereka kerjakan dengan milik yang
dipinjam ini adalah tarbiyah jika yang mereka kerjakan adalah mengasuh,
menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara,
membesarkan, menjadikan bertambah di dalam pertumbuhan dan
sebagainya. Kesemuanya itu bukan pekerjaan pendidikan. Pendidikan
adalah penanaman pengetahuan yang berkenaan dengan manusia saja
dengan penggunaan intelektual manusia. 48
Jika penyelenggaran tarbiyah digunakan sebagai pendidikan yang
berhubungan dengan pertumbuhan dan kematangan material dan fisik saja
akan menyebabkan pola pendidikan sekuler yang berprinsip utilitarian yang
cenderung pada aspek-aspek fisik, material kehidupan sosial dan politis
manusia.49
Konsep ta’dib adalah pendidikan yang menekankan pada adab yang
mencakup amal dalam pendidikan dan proses pendidikan adalah untuk
menjamin bahwasanya ilmu (ilm) dipergunakan secara baik di dalam
masyarakat oleh karena inilah para pakar pendidikan dan para sarjana-
sarjana terdahulu mengombinasikan ilm dengan amali dan adab. Dan
menganggap kombinasi harmonis ketiganya sebagai pendidikan. 50
47 Ibid., h. 67.48 Ibid., h. 68.49 Ibid., h. 69.50 Ibid., h. 62.
31
Adab adalah pengetahuan yang mencegah manusia dari kesalahan-
kesalahan penilaian. Adab berarti pengenalan dan pengetahuan tentang
hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai
dengan berbagai-bagai tingkat dan derajat-tingkatan mereka dan tentang
tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta
dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual maupun ruhaniah
seseorang. 51 Oleh karena itu, Al-Attas menolak peristilahan tarbiyah dan
ta’lim yang selama ini dianggap sebagai pengertian yang lengkap mengenai
pendidikan. Al-Attas menolak tarbiyah sebab istilah tarbiyah hanya
menyinggung aspek fisikal dan emosional dalam perkembangan manusia
dan hewan. Ibn Miskawaih Sebagaimana dikutip Al-Attas, misalnya
menggunakan istilah ta’dib untuk menunjukkan pendidikan intelektual,
spiritual, dan sosial, baik anak muda maupun orang dewasa. 52
Al-Attas memberikan contoh bagaimana adab hadir dalam pelbagai
tingkat pengalaman manusia. Adab terhadap diri sendiri bermula ketika
seseorang mengakui bahwa dirinya terdiri dari dua unsur, yaitu akal dan
sifat kebinatangan. Ketika akal seseorang menguasai dan mengontrol sifat-
sifat kebinatangannya, ia sudah meletakkan keduanya pada tempat yang
semestinya dan karenanya ia telah meletakkan dirinya pada tempat yang
benar adapun sebaliknya jika tidak, ia menjadi sesuatu yang tidak adil
(zhulm al-nafs).53
Adab dalam konteks hubungan antara sesama manusia berarti norma-
norma etika yang diterapkan dalam tata krama sosial sudah sepatutnya
dilakukan dilingkungan keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini, posisi
seseorang “bukanlah sesuatu yang ditentukan manusia berdasarkan kriteria
kekuatan, kekayaan ataupun keturunan, melainkan ditentukan oleh al-
Qur’an berdasarkan kriteria terhadap ilmu pengetahuan, akal pikiran dan
perbuatan yang mulia. Jika manusia tersebut melakukannya dengan tulus
51 Ibid., h. 63.52 Wan Daud, op. cit., h. 180.53 Ibid., h. 178.
32
ikhlas dan rendah hati, hal itu menunjukkan bahwa seseorang tersebut
mengetahui tempat yang sebenarnya dalam hubungannya dengan mereka.
Dalam konteks ilmu, adab berarti disiplin intelektual yang mengenal dan
mengakui adanya hirarki ilmu berdasarkan kriteria tingkat-tingkat keluhuran
dan kemuliaan, yang memungkinkannya mengenal dan mengakui, bahwa
seseorang yang pengetahuannya berdasarkan wahyu itu jauh lebih mulia
dibandingkan mereka yang pengetahuannya berdasarkan akal. Adab
terhadap ilmu pengetahuan akan menghasilkan cara-cara yang tepat dan
benar dalam belajar pelbagai bidang sains yang berbeda. Dengan demikian,
tujuan yang sebenarnya dalam upaya pencarian ilmu dan pendidikan adalah
seseorang bisa mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dalam kaitannya dengan alam, adab berarti pendisiplinan akal praktis
dalam berhubungan dengan hirarki yang menjadi karakter alam semesta
sehingga seseorang bisa membuat keputusan yang mengenai nilai-nilai dari
segala sesuatu yang berkaitan dengan alam semesta dalam pengembangan
jasmaniah dan ruhaniah manusia.
Adab terhadap bahasa berarti pengenalan dan pengakuan adanya tempat
yang benar dan tepat untuk setiap kata, baik dalam tulisan maupun
percakapan sehingga tidak menimbulkan kerancuan dalam makna, bunyi
dan konsep. Dalam Islam, kesustraan disebut dengan Adabiyah, semata-
mata karena ia dianggap sebagai penjaga peradaban dan penghimpun ajaran
dan pernyataan yang bisa mendidik jiwa manusia dan masyarakat dengan
adab sehingga keduanya menduduki tempat yang tinggi sebagai manusia
dan masyarakat yang beradab.
Untuk alam spiritual, adab berarti pengenalan dan pengakuan terhadap
tingkat-tingkat keluhuran yang menjadi sifat alam spiritual; pengenalan dan
pengakuan terhadap pelbagai maqam spiritual berdasarkan ibadah;
pengenalan dan pengakuan terhadap disiplin spiritual yang dengan benar
telah menyerahkan fisik atau jiwa kebinatangan pada spiritual ataupun akal.
Al-Attas memberikan kesimpulan mengenai pengertian adab sebagai
berikut:
33
1. Suatu tindakan untuk mendisiplinkan jiwa dan pikiran.
2. Pencarian kualitas dan sifat-sifat jiwa dan pikiran yang baik.
3. Perilaku yang benar dan sesuai yang berlawanan dengan prilaku salah
dan buruk.
4. Ilmu yang dapat menyelamatkan manusia dari kesalahan dalam
mengambil keputusan dan sesuatu yang tidak terpuji.
5. Pengenalan dan pengakuan kedudukan (sesuatu) secara benar dan tepat.
6. Sebuah metode mengetahui yang mengaktualisasikan kedudukan sesuatu
secara benar dan tepat.
7. Realisasi keadilan sebagaimana direfleksikan oleh hikmah. Yang
dimaksud Al-Attas adalah pendidikan berbeda dengan istilah
pengajaran dan pelatihan. Pelatihan dan pengajaran dapat dilakukan
pada manusia dan hewan, sedangkan pendidikan hanya diperuntukkan
manusia.
Dengan menyintesiskan arti ilmu pengetahuan, makna dan arti adab, bisa
dikatakan bahwa definisi pendidikan Islam yang lengkap adalah
sebagaimana yang terkandung dalam konteks ta’dib, yang didalamnya
terkandung tujuan, kandungan dan metode pendidikan yang sebenarnya:
“Pengenalan dan pengakuan yang ditanam secara progresif dalam diri
manusia mengenai tempat yang sebenarnya dari segala sesuatu dalam
susunan penciptaan yang membimbing seseorang pada pengenalan dan
pengakuan terhadap keberadaan Tuhan dalam tatanan wujud dan
eksistensi.54
Dapat disimpulkan bahwa definisi pendidikan adalah sebuah proses
penanaman akhlak dan adab dalam upaya menumbuhkan potensi peserta
didik dalam domain kognitif, psikomotorik, afektif dan spiritual dalam
upaya menjadikan manusia yang sempurna.
54 Ibid., h. 180.
34
2. Kurikulum Pendidikan
Tujuan pendidikan dalam Islam, sebagaimana diuraikan secara
mendalam oleh Al-Attas adalah menciptakan manusia yang baik, seorang
manusia beradab dalam pengertian yang komprehensip. Dalam
pembentukkan kurikulum al-Attas menekankan aspek adab. Menurutnya,
adab mencakup suatu pengenalann dan pengakuan mengenai tempat sesuatu
secara benar dan tepat. Dengan ilmu pengetahuan dan metode yang
berasaskan adab agar dapat mengetahui yang benar dan mampu menjaga
manusia dari kesalahan penilaian dan perbuatan sehingga dapat
memosisikan dirinya pada tempat yang benar dan sesuai.55
Kurikulum pendidikan dalam Islam berlandaskan sumber-sumber yang
jelas dan mapan, yang pemahaman, penafsiran dan penjelasannya
membutuhkan ilmu pengetahuan yang otoritatif. Al-Attas mengatakan
otoritas yang tertinggi dalam Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang
dilakukan oleh para sahabat Nabi. Dalam pengembangan kurikulum
pendidikan Islam Al-Attas lebih menekankan keutamaan peranan guru.
Guru memiliki peranan penting dalam proses pendidikan. Al-Attas
menyarankan peserta didik dalam mencari guru untuk tidak tergesa-gesa
belajar kepada guru yang sembarangan. Pentingnya mendapatkan guru yang
memiliki reputasi tinggi untuk mencapai gelar tertentu.56
Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Al-Attas, mengingatkan dan
menekankan peserta didik untuk tidak sombong tetapi harus memperhatikan
mereka yang membantunya dalam mencapai kebijaksanaan, kesuksesan dan
kebahagiaan dan tidak hanya berlandaskan kepada mereka yang termasyhur
atau terkenal.57 Praktik pendidikan Al-Attas, tidak bergantung pada
kuantitas buku yang terlalu banyak, tetapi hanya bertumpu pada buku yang
sudah disahkan. Hal ini bisa dilihat dari perpustakaan pribadinya yang
relatif memiliki kuantitas buku terbatas.
55 Ibid., h. 255.56 Ibid., h. 260.57 Ibid., h. 261.
35
Adab guru dan peserta didik dalam filsafat pendidikan Al-Attas
tampaknya diilhami oleh Al-Ghazali. Pandangan Al-Ghazali mengenai
tugas-tugas guru dan peserta didik yang saling memberi manfaat. Selain
persiapan spiritual, seperti mengamalkan adab yaitu mendisiplinkan pikiran
dan jiwa. Peserta didik harus menghormati dan percaya kepada guru; harus
sabar dengan kekurangan gurunya dan menempatkannya dalam perspektif
yang wajar. Guru pun dapat menerima nasihat yang datang dari peserta
didik dan berproses sesuai dengan perkembangannya dan kemampuannya.58
Al-Attas dalam menjalankan sistem kurikulum pendidikan Islam
mengacu kepada tradisi Islam dalam hal otoritas dan mengaplikasikan ide
universal mereka secara kritis dan kreatif untuk menyelesaikan banyak
permasalahan yang dihadapi. Al-Attas menginginkan kedisiplinan yang
konsisten dari semua mahasiswanya untuk mengetahui hal-hal yang paling
penting dan mengaplikasikannya secara tepat dalam kehidupan pribadi dan
sosial. Memperhatikan dan memahami dengan benar isi dan pesan yang
disampaikan oleh guru mereka.59
Dapat disimpulkan, kurikulum pendidikan Islam Al-Attas adalah
kurikulum yang menekankan konsep ta’dib. Sistem kurikulum
menitikberatkan peranan guru (teacher oriented) dan penggunaan sumber-
sumber yang otoritatif dalam Islam (Al-Qur’an dan hadis).
3. Tujuan Pendidikan
Secara umum, ada dua pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan,
masing-masing dengan tingkat keberagamannya tersendiri. Pandangan
teoritis yang pertama berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang
menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat
yang baik, baik untuk sistem pemerintahan demokratis, oligarkis maupun
58 Ibid., h. 263.59 Ibid., h. 264.
36
monarkis. Pandangan teoritis kedua lebih berorientasi kepada individu, yang
lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung dan minat pelajar.60
Berangkat dari asumsi bahwa manusia adalah hewan yang bermasyarakat
(social animal) dan ilmu pengetahuan pada dasarnya dibina di atas dasar-
dasar kehidupan bermasyarakat, mereka yang berpandangan
kemasyarakatan berpendapat bahwa pendidikan bertujuan mempersiapkan
manusia yang bisa berperan dan menyesuaikan diri dalam masyarakatnya
masing-masing. Berdasarkan hal ini, tujuan dan target pendidikan dengan
sendirinya diambil dari dan diupayakan untuk memperkuat kepercayaan,
sikap, ilmu pengetahuan, dan sejumlah keahlian yang sudah diterima oleh
sebuah masyarakat itu senantiasa berubah dengan itu pendidikan diharapkan
dapat menyiapkan peserta didik yang mampu menghadapi segala bentuk
perubahan yang ada. 61
Terdapat perbedaan mengenai orientasi peranan pendidikan, ada
beberapa tokoh yang mengatakan pendidikan memiliki peranan yang sangat
penting dalam masyarakat dibandingkan peranan pendidikan atas individu.
Pada 1987 Paolo Freire sebagaimana dikutip Al-Attas mengatakan bahwa
“Saya tidak percaya dengan ide kebebasan individu. Kebebasan adalah
tindakan sosial dan kebebasan dalam pendidikan adalah proses masyarakat
menuju pencerahan”.62 Praktik pendidikan cenderung berorientasikan
terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan
dibandingkan mengembangkan potensi dan minat peserta didik.
Sementara itu, pandangan teoritis pendidikan yang berorientasi pada
individual terdiri dari dua aliran. Aliran pertama berpendapat bahwa tujuan
utama pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik agar bisa meraih
kebahagiaan yang optimal melalui pencapaian kesuksesan kehidupan
bermasyarakat dan ekonomi. Aliran kedua lebih menekankan peningkatan
intelektual, kekayaan dan keseimbangan jiwa peserta didik. Berbeda dengan
tujuan pendidikan Islam tradisional yang selalu menjadikan keberhasilan
60 Ibid., h. 163.61 Ibid., h. 164.62 Ibid., h. 165.
37
individu dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat sebagai cita-cita dan
tujuan pendidikan. 63
Namun tujuan pendidikan sekarang telah berubah cenderung berusaha
meraih keberhasilan sosial-ekonomi bagi setiap peserta didik dengan
harapan dapat memperkuat posisi penting dalam struktur sosial-ekonomi
sehingga terjadi perubahan orientasi pendidikan dan menganggap
pendidikan sebagai alat mobilisasi dalam menguasai posisi penting dalam
struktur sosial-ekonomi dalam pemerintahan suatu negara. Dominasi sikap
tersebut berdampak dengan munculnya penyakit diploma (diploma disease)
yaitu usaha dalam meraih suatu gelar pendidikan bukan karena kepentingan
pendidikan melainkan karena nilai-nilai pendidikan.64 Dengan pola
pendidikan yang berorientasi sosial-ekonomi akan menyebabkan
kebingungan intelektual dan hilangnya identitas kebudayaan yang
disebabkan pengaruh sekularisasi Barat.
Al-Attas menjelaskan tujuan pendidikan menurut Islam bukanlah untuk
menghasilkan warga negara dan pekerja yang baik, sebaliknya tujuan
pendidikan Islam adalah menciptakan manusia yang baik. Tujuan mencari
pengetahuan dalam Islam ialah menanamkan kebaikan dalam diri manusia
sebagai manusia dan individu, bukan hanya sebagai seorang warga negara
ataupun anggota masyarakat. Yang perlu ditekankan dalam pendidikan
adalah nilai.
Al-Attas berpendapat, Dalam mengembangkan tujuan pendidikan Islam
harus memperhatikan pengembangan individu dan masyarakat dalam
persaudaraan kemanusiaan. Tujuan ilmu pengetahuan adalah melahirkan
manusia yang baik, kami tidak bermaksud untuk melahirkan masyarakat
yang baik. Karena masyarakat terdiri dari individu, melahirkan seseorang
akan melahirkan masyarakat yang baik. Pendidikan adalah pembuat struktur
masyarakat.65
63 Ibid., h. 165.64 Ibid., h. 166.65 Ibid., h. 188.
38
Al-Attas menginginkan dalam tujuan pendidikan Islam adalah
terciptanya manusia beradab (insan adabi). Manusia yang sadar akan
individualitasnya dan hubungan yang tepat dengan diri, Tuhan, masyarakat
dan alam yang tampak maupun yang gaib. Itulah sebabnya, dalam
pandangan Islam, manusia yang baik adalah individu yang baik secara alami
harus menjadi hamba yang baik bagi Tuhan-Nya, ayah yang baik bagi anak-
anaknya, suami yang baik bagi istrinya, anak yang baik bagi orang tuanya,
tetangga yang baik dan warga negara yang baik bagi negaranya.66
Dapat disimpulkan, tujuan pendidikan Islam adalah menciptakan
individu yang beradab dalam upaya mengembangkan potensi-potensi dan
kebutuhan masyarakat yang merupakan bagian dari struktur masyarakat.
4. Metode pendidikan
Salah satu karakteristik pendidikan dan epistemologi Islam yang
dijelaskan secara tajam dan dipraktikkan oleh Al-Attas adalah apa yang
dinamakannya sebagai metode tauhid dalam ilmu pengetahuan. Dia
mengamati dalam keseluruhan sejarah kebudayaan, keagamaan dan
intelektual Islam tidak terdapat zaman khusus, seperti yang dialami oleh
Barat, yang ditandai dengan:
Dominasi sistem-sistem pemikiran yang berdasarkan materialisme atauidealisme yang didukung oleh pendekatan dan posisi metodologis, sepertiempirisme, rasionalisme, realisme, nominalisme, pragmatisme,positivisme, logika positivisme dan kritisisme, yang bergerak majumundur dari abad ke abad dan muncul silih berganti hingga hari ini. 67
Sebaliknya, Al-Attas menemukan bahwa seluruh representasi tradisi
Islam juga telah mengaplikasikan pelbagai metode di dalam penyelidikan
mereka, seperti religius dan ilmiah, empiris dan rasional, deduktif dan
induktif, subjektif dan objektif tanpa menjadikan salah satu metode lebih
dominan dari yang lain. Sejalan dengan Ibn Sina, Al-Ghazali dan banyak
tokoh Islam yang terkenal lainnya, Al-Attas membenarkan adanya
kemampuan psikologis, yang dalam konsepsi Islam mengenai jiwa manusia
66 Ibid., h. 189.67 Ibid., h. 294.
39
dan proses kognitif. Kemampuan tersebut diletakkan sesuai dengan
peranannya yang tepat. Islam dalam mengakui validitas pelbagai saluran
ilmu pengetahuan, seperti panca indera, berita yang benar, akal sehat, dan
intuisi yang digabung dengan di dalam akidah.68
Al-Attas menerangkan dalam diskusinya mengenai manusia dan
psikologi jiwa manusia, jiwa adalah realitas tunggal dengan empat keadaan
(ahwal / modes) yang berbeda, seperti intelek (aql), jiwa (nafs / soul), hati
(qalb / heart) dan ruh (spirit) yang masing-masing terlibat dalam kegiatan-
kegiatan manusia yang bersifat kognitif, empiris, intuitif dan spiritual.69
Kesemuannya tersebut merupakan metode tauhid yang diterapkan oleh Al-
Attas.
Al-Attas mempergunakan argumentasi dari riwayat yang sahih dan
sumber-sumber wahyu. Al-Attas berpendapat bahwa intuisi itu adalah salah
satu saluran yang absah dan penting untuk mendapatkan pengetahuan
kreatif, meskipun dapat diakses juga dengan persiapan etika dan intelektual
tertentu. Al-Attas dengan tujuan yang ikhlas, integritas moral, kontemplasi
atau berpikir dan doa itu sangat vital dalam mencari ilmu pengetahuan dan
pemahaman yang benar.70
Ciri-ciri metode pendidikan Al-Attas yang lain adalah penggunaan
metafora dan cerita sebagai contoh atau perumpamaan, sebuah metode yang
juga banyak digunakan dalam Al-Qur’an dan hadis. Izutsu sebagaimana
dikutip oleh Al-Attas mengatakan bahwa para filosof Muslim cenderung
menggunakan metafora dan perumpamaan dalam metafisika, khususnya
dalam penjelasan mengenai hubungan antara kesatuan dan keragamaan atau
realitas absolut dan hal-hal fenomenal yang tampak kontradiktif.71
Salah satu metafora yang paling sering diulang-ulang oleh Al-Attasadalah metafora papan penunjuk jalan (signpost) untuk melambangkan sifatteolologis alam dunia ini, yang sering dilupakan orang, khususnya parailmuwan. Dunia ini bagaikan papan penunjuk jalan yang memberi penunjuk
68 Ibid., h. 297.69 Ibid., h. 297.70 Ibid., h. 300.71 Ibid., h. 311.
40
kepada musafir, arah yang harus diikuti serta jarak yang diperlukan untukberjalan menuju tempat yang akan dituju. Jika papan penunjuk jalan tersebutjelas (muhkam), dengan kata-kata yang tertulis jelas dapat menunjukkantempat dan jarak sang musafir tanpa ada masalah apapun. Adapun sebalikjika penunjukan jalan tersebut tidak jelas (mutasyabih) akanmembingungkan sang musafir tersebut. Cerita-cerita dan metafora Al-Attastidak hanya digunakan pada domain metafisika; dia juga menggunakannyauntuk menggambarkan situasi-situasi domain etika dan epistemologi.72
Dapat disimpulkan, metode pendidikan Islam adalah cara yang
digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan pendidikan yang berlandaskan
nilai ketauhidan dan cerita-cerita perumpamaan dalam upaya menciptakan
individu yang beradab.
5. Materi-materi pendidikan
Al-Attas berpendapat secara konsisten bahwa muatan pendidikan itu
sangat penting dibandingkan metode. Ketika menekankan pentingnya
muatan pendidikan daan bukannya metode, Al-Attas tak bermaksud bahwa
metode tidak memiliki dampak positif terhadap output pendidikan tetapi
sebaliknya, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, adab itu sendiri termasuk
metode yang benar untuk mengetahui dan berbuat sesuatu.
Pandangan Islam mengenai realitas sangat mempertimbangkan adanya
pelbagai hierarki dalam semua domain, termasuk jiwa, ilmu pengetahuan,
kemampuan manusia dam alam. Kajian Al-Attas mengenai muatan
pendidikan Islam berangkat dari pendangan bahwa karena manusia itu
bersifat dualistis, ilmu pengetahuan yang dapat memenuhi kebutuhannya
dengan baik adalah yang memiliki dua aspek. Pertama, yang memenuhi
kebutuhan permanen dan spiritual dan kedua, yang memenuhi kebutuhan
material dan emosional. Dalam hal ini, Al-Attas sepakat dengan Al-Ghazali
terhadap pembagian kebutuhan manusia. Al-Attas membagi muatan
pendidikan ke dalam fardu ain dan fardu kifayah.73
72 Ibid., h. 312.73 Ibid., h. 270.
41
Al-Attas secara tegas mengusulkan pentingnya pemahaman dan aplikasi
yang benar mengenai fardu ain dan fardu kifayah. Ini adalah ciri khas lain
filsafat pendidikan Al-Attas yang menandakan komitmen seumur hidupnya
dalam menghidupkan kembali elemen-elemen universal prinsip-prinsip
intelektual dan spiritual Islam periode awal. Pengkategorisasian ini mungkin
juga karena perhatiannya terhadap kewajiban manusia dalam menuntut ilmu
dan mengembangkan adab.74
Kurikulum pendidikan Islam diambil dari hakikat manusia yang bersifat
ganda (dual nature); aspek fisikalnya lebih berhubungan dengan
pengetahuannya mengenai ilmu-ilmu fisikal dan teknikal (fardu kifayah)
sedangkan keadaan spiritualnya sebagaimana terkandung dalam istilah-
istilah ruh, nafs, qalb dan aql lebih tepatnya berhubungan dengan ilmu inti
(fardu ain).75Fardu ain adalah ilmu-ilmu yang berhubungan dengan
keagamaan.
Pertama, Kitab suci Al-Qur’an merupakan ilmu yang wajib diajarkan
kepada peserta didik dan mahasiswa. Materi pengajaran Al-Qur’an studi
yang mengenai konsep dan sejarah wahyu, penurunannya, pengumpulan,
penjagaan dan penyebarannya, ilmu-ilmu untuk memahami Al-Qur’an
(nasikh-mansukh, al-khashsh wa al-am, muhkam-mutasyabih dan amr-
nahy). Al-Attas menganggap tafsir Al-Qur’an merupakan karya ilmiah yang
fundamental yang tidak mudah terkena kesalahan. Sebuah ilmu pengetahuan
yang berdasarkan metode ilmiah bahasa Arab yang sistemnya akarnya tidak
beraturan.
Kedua, Sunnah: kehidupan Nabi yang berhubungan dengan sejarah,
risalah dan hadis beserta perawiannya. Mata kuliah sejarah dan metodologi
hadis wajib bagi semua mahasiswa ISTAC. Selain itum mata kuliah ini
merupakaan pengkajian yang mendalam mengenai sejarah kritik hadis,
beberapa istilah teknisnya (musthalahat al-hadis), analisis perbandingan
74 Ibid., h. 271.75 Ibid., h. 274.
42
terhadap kitab-kitab kumpulan hadis yang penting dan pengategoriannya,
ilmu biografi dan kamus utama mengenai biografi.
Ketiga, Syariat: fiqih dan hukum; prinsip-prinsip dan pengamalan Islam.
Al-Attas menganggap pengetahuan syariat sebagai aspek yang terpenting
dalam pendidikan Islam. Dalam pelaksanaan syariat dalam kehidupan
individu dan masyarakat harus didasarkan pada ilmu yang tepat, sikap
moderat dan adil. Al-Attas menilai bahwa pengajaran hukum Islam
mendapat perhatian dan setelah mendapat pengertian awal mengenai hukum
Islam, pengkajian selanjutnya mengenai materi tersebut berada dalam
kategori fardu kifayah. Oleh karena itu, Al-Attas mata kuliah dalam bidang
hukum dan fiqih Islam tidak diwajibkan kecuali dalam kasus-kasus yang
bersifat individual, yaitu jika pembimbing mahasiswa
merekomendasikannya atau jika mahasiswa itu belajar bidang kebudayaan
Islam.
Keempat, teologi (ilmu kalam): Tuhan, Zat-Nya, Sifat-Sifat, Nama-Nama
dan perbuatan-Nya (al-tauhid). Teologi Islam merupakan subjek yang
sangat penting yang masih belum diberi tempat layak dalam kurikulum
pendidikan Islam. Beberapa mata kuliah yang ditawarkan dalam teologi
Islam di ISTAC tidak diwajibkan bagi semua mahasiswa kecuali bagi
mereka yang mengambil pemikiran Islam dan yang direkomendasikan oleh
pembimbing mahasiswa tersebut.
Kelima, Metafisika Islam (al-tashawwuf-irfan): psikologi, kosmologi dan
ontologi. Al-Attas mengatakan bahwa mata kuliah ini merupakan yang
paling fundamental karena meliputi semua elemen yang paling penting
dalam pandangan Islam mengenai realitas dan kebenaran sebagaimana
diterangkan Al-Qur’an dan hadis, melainkan juga karena mencakup
ringkasan semua disiplin intelektual lain, seperti ilmu Al-Qur’an, hadis,
teologi dan filsafat serta ilmu pengetahuan mengenai bahasa Arab klasik.
Keenam, Ilmu bahasa: bahasa Arab, tata bahasanya, leksikografi dan
sastra. Tujuannya bukan hanya menguasai keterampilan berbicara
melainkan untuk menganalisis dan menginterprestasikan sumber-sumber
43
primer dalam Islam, khazanah intelektual dan spiritual penting dalam
bahasa Arab. Di ISTAC, kursus bahasa Arab selama dua tahun wajib bagi
semua mahasiswa. Mata kuliah bahasa pilihan lain yang sekarang ini
ditawarkan di ISTAC, seperti Persia, Melayu, Yunani dan Latin kecuali
direkomendasikan oleh penasihat mahasiswa ataupun pembimbingnya dan
disetujui oleh direktur. 76
Setiap pelajar Muslim di tingkat universitas harus mengambil sejumlah
mata kuliah yang cukup dari subjek-subjek di atas. Hal ini akan
membuatnya mampu mengetahui bukan hanya isu-isu dan prinsip-prinsip
utama, metedologi, permasalahan dan perbedaan dalam setiap disiplin ilmu
dalam menghadapi tuntutan masyarakat global dan plural.
Pengetahuan mengenai fardu kifayah tidak diwajibkan kepada setiap
Muslim untuk mempelajarinya, tetapi seluruh masyarakat Mukmin akan
bertanggung jawab jika tidak seorang pun dari masyarakat tersebut yang
mempelajarinya, karena masyarakat akan merasakan akibatnya. Kategorisasi
ini sangat penting karena berlandaskan teori dan motivasi keagamaan
kepada ummat untuk mempelajari dan mengembangkan segala ilmu ataupun
teknologi yang diperlukan untuk kemakmuran masyarakat. Al-Attas
membagi pengetahuan fardu kifayah menjadi delapan disiplin ilmu.77
a. Ilmu kemanusiaan
b. Ilmu alam
c. Ilmu terapan
d. Ilmu teknologi
e. Perbandingan agama
f. Kebudayaan barat
g. Ilmu linguistik: bahasa Islam
h. Sejarah Islam
Ilmu-ilmu yang bersifat fardu ain itu dinamis dan berkembang sesuai
dengan kemampuan intelektual dan spiritual seseorang serta keadaaan
76 Ibid., h. 275.77 Ibid., h. 275.
44
masyarakatnya dan pengetahuan fardu kifayah juga berkembang sesuai
dengan keperluan dan program masyarakat tertentu. Kategorisasi fardu ain
dan fardu kifayah menjamin kepentingan individu dan masyarakat, karena
individu merupakan bagian dari masyarakat, identifikasi potensi dan
kemampuannya akan berdampak positif terhadap perkembangan
masyarakat.
Dapat disimpulkan, materi pendidikan Islam adalah ilmu-ilmu
pengetahuan yang akan diajarkan kepada peserta didik dalam upaya
menciptakan peserta didik yang dapat mengembangkan potensi yang telah
dianugerahkan Tuhan dalam upaya menjawab tantangan zaman.
G. Kajian Yang Relevan
Dalam proses penulisan skripsi ini penulis mendapatkan kajian yang
relevan selama proses penelitian dan penulisan, yang membahas Ismail
Ra’ji Al-Faruqi. Terdapat dalam beberapa buku dan juga terdapat dalam
artikel dan Skripsi, diantaranya buku yang ditulis oleh Ismail Raji Al-
Faruqi, dengan judul: Islamisasi Pengetahuan, Terj. dari Islamization of
Knowledge: General Principles and Workplan oleh Anah Mahyuddin. Di
dalam buku ini Anah Mahyuddin menerjemahkan buku yang berisikan
Gagasasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Ismail Ra’ji Al-Faruqi. Buku yang
ditulis oleh Abdurrahmansyah, dengan judul: Sintesis Kreatif:
Pembaharuan Kurikulum Pendidikan Islam Ismail Ra’ji Al-Faruqi. Di
dalam buku ini membahas sistesis kurikulum Ismail Ra’ji Al-Faruqi.
45
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu Penelitian dan Tempat Penelitian
Penelitian skripsi yang berjudul “Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Islam Menurut Perspektif Isma’il Raji Al-Faruqi” dilaksanakan mulai
Februari-April 2014, dengan jadwal sebagai berikut: Januari-Februari digunakan
untuk pengumpulan data dari sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari koleksi,
buku-buku yang ada diperpustakaan, internet serta sumber lain yang mendukung
penelitian. Kemudian waktu selebihnya digunakan untuk melakukan menganalisis
data, menyimpulkan penelitian serta menyusunnya dalam bentuk penelitian atau
laporan. Selanjutnya tempat yang digunakan untuk melakukan penelitian ini
bertempat di perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Menurut Nana
Syaodih Sukmadinata, “Penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan penelitian
yang ditujukan untuk mendeskripsikan, mengulas dan membahas penemuan data
yang ditemukan.1
Dan dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif
menurut Best, “metode deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha
menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya.”2 Data
yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka.3
Penelitian deskriptif pada umumnya dilakukan dengan tujuan utama, yaitu
menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek atau subjek yang
diteliti secara tepat.
Dalam melakukan penelitian ini, menggunakan teknik mengumpulkan data-
data yang sesuai dengan permasalahan yang diteliti, yaitu. Penelitian kepustakaan
1 Amin Abdullah, Metedologi Penelitian Agama Pendekatan Multidisipliner, (Yogyakarta:kurnia Kalam semesta, 2006), h. 140.
2 Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya, (Jakarta :PT. BumiAksara, 2009), cet 9. h. 157.
3 Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2011), Cet. 2, h. 3.
46
(Library Receach) metode ini digunakan untuk memperoleh data-data atau teori
dari berbagai sumber seperti buku, majalah, atau sumber-sumber lain yang ada
hubungannya dengan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini.
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan adapun
metode yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah metode
penelitian kepustakaan (library research) karena permasalahan yang akan diteliti
mengkaji pemikiran tokoh terhadap kurikulum pendidikan islam maka dari itu
diperlukan banyaknya literatur-literatur yang relevan dengan kurikulum
pendidikan islam.
Untuk memudahkan pengumpulan data, fakta dan informasi yang
mengungkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini, penulis
menggunakan metode penelitian studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan data,
fakta dan informasi berupa tulisan-tulisan dengan bantuan bermacam-macam
material yang terdapat di ruangan perpustakaan untuk mencari pijakan atau
fondasi landasan teori, misalnya berupa jurnal, buku-buku yang relevan, majalah,
naskah, catatan kisah sejarah; surat kabar, internet dan sumber lain4 yang
berhubungan dengan Ismail Ra’ji Al-Faruqi dan pemikiran terutama tentang
kurikulum pendidikan Islam.
Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan mempelajari literatur yang
ada hubungannya dengan masalah yang diteliti dengan mengumpulkan data-data
melalui bacaan dengan bersumber pada buku-buku primer dan buku-buku
sekunder atau sumber sekunder lainnya.
a. Sumber primer dalam penulisan skripsi ini pemikiran Ismail Ra’ji Al-
Faruqi, “Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan,
terj Islamisasi Pengetahuan oleh Anas Mahyuddin.
b. Sumber sekunder dalam penulisan skripsi ini adalah buku-buku yang
relevan dan berkaitan dengan penelitian yang diteliti.
Setelah data-data terkumpul lengkap, berikutnya yang penulis lakukan adalah
membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi dan mengklasifikasi data-data yang
4 Sukardi, op., cit. h. 33-34.
47
relevan dan yang mendukung pokok pembahasan, untuk selanjutnya penulis
analisis, simpulkan dalam satu pembahasan yang utuh.
D. Prosedur Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsahan Data
Pengecekan keabsahan data pada skripsi ini dapat dilakukan dengan empat
cara, yaitu:
1. Kredibilitas data
Kriteria kredibilitas melibatkan penetapan hasil penelitian kualitatif adalah
kredibel atau dapat dipercaya dari perspektif partisipan dalam penelitian
tersebut. Strateginya meliputi perpanjangan pengamatan, ketekunan
penelitian, triangulasi (mengecek keabsahan data dengan memanfaatkan
berbagai sumber dari luar data sebagi bahan perbandingan), diskusi teman
sejawat, analisis kasus negatif dan membercheking.
2. Transferabilitas.
Dilakukan dengan cara memberikan kesempatan kepada semua orang
untuk membaca laporan penelitian sementara yang telah dihasilkan oleh
peneliti, kemudian pembaca diminta untuk menilai substansi penelitian
tersebut dalam kaitannya dengan fokus penelitian. Peneliti dapat
meningkatkan trransferabilitas dengan melakukan suatu pekerjaan
mendeskripsikan konteks penelitian dan asumsi yang menjadi sentral pada
penelitian tersebut. Dengan kata lain apakah hasil penelitian ini dapat
diterapkan pada situasi yang lain.
3. Dependabilitas
DataApakah hasil penelitian mengacu pada kekonsistenan peneliti dalam
mengumpulkan data, membentuk, dan menggunakan konsep-konsep ketika
membuat interpretasi untuk menarik kesimpulan. Artinya apakah peneliti
akan memperoleh hasil yang sama jika peneliti melakukan pengamatan yang
sama untuk kedua kalinya.5
4. Konfirmabilitas
Yaitu apakah hasil penelitian dapat dibuktikan kebenarannya dimana hasil
penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan dan dicantumkan dalam
5Emzir, op., cit, h. 79-80.
48
laporan lapangan. Hal ini dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian
dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian
dengan tujuan agar hasil dapat lebih objektif.6
E. Analisis Data
Analisis data merupakan proses sistematis pencarian dan pengaturan
transkripsi wawancara, catatan lapangan dan materi-materi lain yang telah
dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman sendiri mengenai materi-materi
tersebut dan untuk memungkinkan disajikan apa yang sudah ditemukan kepada
orang lain. analisis melibatkan pekerjaan dengan data, penyusunan dan
pemecahannya ke dalam unit-unit yang dapat ditangani, perangkumannya,
pencarian pola-pola dan penemuan apa yang penting dan apa yang perlu
dipelajari dan pembuatan keputusan apa yang akan dikatakan kepada orang lain. 7
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik Analisis Isi (content
analysis) merupakan proses memilih, membandingkan, menggabungkan,
memilih berbagai pengertian hingga ditemukan pengertian yang relevan dengan
fokus penelitian.8 Penulis menggambarkan permasalahan, menganalisa secara
terperinci tentang masalah yang diteliti dari berbagai buku yang ada dalam
sumber tersebut sehingga dapat dihasilkan suatu kesimpulan.
6 Ibid.,, h. 81.7 Ibid., h. 85-86.8 Amin Abdullah, op., cit,. 226.
49
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Biografi Ismail Ra’ji Al-Faruqi
Al-faruqi dilahirkan di Jaffa (Yaifa), pada tanggal 1 Januari 1921Palestina dan meninggal pada tahun 1986. Ayahnya adalah seorang qaditerpandang di Palestina, bernama Abdul Huda Al-Faruqi. Meskipun Al-Faruqidilahirkan di Palestina yang notabene negara Muslim tetapi pendidikan danpengalaman studinya sebagian besar diperoleh dari Barat, bahkan dapatdikatakan bahwa pendidikan Al-Faruqi lebih banyak diperoleh dari Barat. 1
Al-Faruqi menghabiskan masa studinya di Barat karena di tanah kelahirannyakurang kondusif untuk study.
Perjalanan intelektual atau pengalaman awal pendidikannya dimulaidengan belajar di College Des Freres (St. Joseph) Lebanon sejak tahun 1926sampai mendapatkan sertifikat pada tahun 1936, setelah sebelumnya melewatiproses pendidikan awal di Madrasah di tempat kelahirannya. Pada tahun 1941,Al-Faruqi melanjutkan studinya di American University of Beirut denganmengambil bidang kajian filsafat sampai kemudian berhasil meraih gelarsarjana muda (Bachelor of Art). Setelah mendapat gelar B.A, Al-Faruqisempat menjadi pegawai pemerintah Palestina di bawah mandat Inggris.Jabatan sebagai pegawai negeri diembannya selama 4 tahun, untuk kemudiania diangkat sebagai Gubernur Galilea. Posisi sebagai Gubernur ini ternyatamerupakan jabatan Gubernur terakhir dalam sejarah pemerintahan Palestinapada waktu itu, karena sejak tahun 1947 provinsi yang dipegang oleh Al-Faruqi dikuasai oleh Israel. Keadaan ini membuat Al-Faruqi harus hijrah danpindah ke Amerika Serikat pada tahun 1948.2
Dinegara Paman Sam itu garis kehidupannya berubah. Dia dengan tekun
menggeluti dunia akademis, sehingga ia mendapat gelar masternya di bidang
filsafat di Universitas Indiana, AS, pada tahun 1949 dengan judul tesis On
Justifying The God:Metaphysic dan Epistemology of Value (Tentang
Pembenaran Kebaikan: Metafisikan dan Epistemologi Ilmu). Sementara gelar
doktornya diraih dari Universitas Indiana. Tak hanya itu, Al-Faruqi juga
1 Hasan Baharun, Akmal Mundiri, dkk, Metodologi Studi Islam: Percikan Pemikiran Tokohdalam Membumikan Agama, Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2011. h. 106.
2 Abdurrahmansyah, Sintesis Kreatif: Pembaharuan Kurikulum Pendidikan Islam Ismail Ra’jiAl-Faruqi, Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2002. h. 22.
50
memperdalam ilmu agama di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir selama
empat tahun.3
Usai studi di Kairo, Al-Faruqi mulai berkiprah di dunia kampus dengan
mengajar di Universitas McGill, Montreal, Kanada selama dua tahun. Pada
tahun 1962 Al-Faruqi pindah ke Karachi, Pakistan. Setahun kemudian, pada
tahun 1963, Al-Faruqi kembali ke AS dan memberikan kuliah di Fakultas
Agama Universitas Chicago. Setelah mendirikan program pengkajian Islam di
University Syracuse, New York dan kemudian pindah ke Temple University,
Philadelphia memantapkan dirinya sebagai tenaga ahli dalam pengkajian
Islam. 4
Al-Faruqi pernah memegang jabatan penting dalam kapasitasnya sebagai
ilmuwan. Diantaranya kepala study keislaman di Temple University, AS;
Direktur Institut Islam di University Chicago, Direktur Institut Internasional
Pemikir Islam di Washington dan presiden Institut Study Lanjutan
Washington.5
Selain itu, dia juga menjadi guru besar tamu diberbagai negara, seperti diUniversity Mindanao City, Filifina dan di Universitas Qum, Iran. Dia pulaperancang utama kurikulum The American Islamic College Chicago. Al-Faruqi berpendapat bahwa Zionisme harus dihancurkan dengan cara berperangdikarenakan tidak ada cara lain selain berperang. Lantaran pemikirannyatersebut Al-Faruqi dan istrinya, Dr. Lois Lamya serta keluarganya tewas olehkelompok yang tak dikenal. Untukm mengenang jasa-jasa, usaha dankaryanya, organisasi masyarakat Islam di Amerika Utara (ISNA)mengabadikan dengan mendirikan The Ismail and Lamya Al-Faruqi MemorialFund, yang bermaksud menlanjutkan cita-cita “Islamisasi IlmuPengetahuan”.6
Dapat disimpulkan, sepanjang hidup Al-Faruqi lebih banyak tinggal di
negeri Barat sehingga menimbulkan pola pikir kritis dan rasional, namun Al-
Faruqi tidak lupa terhadap kampung halamannya yang menjadi kekerasan dan
kedzaliman kaum Zionis. Oleh karena itu, di penghujung hidupnya Al-Faruqi
3 Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam: Dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi,Bandung:PT. Mizan. 2003. h. 329.
4 Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: QuantumTeaching, 2005. h. 108.
5 AM Saefuddin, Islamisasi Sains dan Kampus, Jakarta: PT. PPA Consultants, 2010. h. 65.6 Hery Sucipto, op. cit, h. 331
51
menentang keras terhadap zionisme sehingga Al-Faruqi beserta istri dan
anaknya meninggal dalam keadaan tragis di rumahnya.
B. Karya-karya Ismail Ra’ji Al-Faruqi
Al-Faruqi merupakan tokoh intelektual yang mendunia sehingga wajar jika
Al-Faruqi banyak melahirkan karya-karya ilmiah dalam bentuk buku, artikel
maupun makalah. Beberapa karya intelektual Al-Faruqi sebagai berikut:7
1. Al-Tawhid: Its Implication for Thoughy And Life (1982)
Dalam karya ini yang berisi 13 bab, Al-Faruqi mengenalkan
pandangannya bahwa tauhid harus menjadi inti dalam segala sendi
kehidupan manusia.
2. Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan
Dalam buku ini, Al-Faruqi berusaha mensosialisasikan pandangan-
pandangannya tentang problem mendasar yang dialami umat Islam
sekaligus menawarkan kerangka kerja dan tahapan-tahapan teknis yang
harus dilaksanakan ketika akan melakukan proyek Islamisasi terhadap
ilmu pengetahuan di dunia Muslim.
3. Cristian Ethics, Trioluge of Abraham Faiths
Dalam karyanya ini, Al-Faruqi mengenalkan konsep-konsep
perbandingan agama dengan tiga pandangan pokoknya. Pertama, tiga
agama saling memandang. Kedua, konsep tiga agama (Yahudi, Kristen
dan Islam) tentang negara dan bangsa. Ketiga, konsep tiga agama tentang
keadilan dan perdamaian.
4. The Life of Muhammad
Buku ini membahas sejarah hidup Nabi Muhammad dan diterbitkan
pertama kali pada tahun 1973.
5. The Culture Atlas of Islam
Buku ini menggambarkan peta peradaban dan kultur Islam sejak masa
paling awal sampai abad pertengahan. Dalam buku ini, Al-Faruqi ingin
mengambarkan bahwa peradaban Islam dapat menjadi kebanggaan.
7 Hasan Baharun, op. cit, h. 108.
52
Kajiannya sangat jelas berusaha menunjukkan ruh dan spirit islam sebagai
prinsip yang telah mengantarkan peradaban Islam yang pernah cemerlang,
yaitu semangat tauhid.
C. Islamisasi Ilmu Pengetahuan Ismail Ra’ji Al-Faruqi
Islamisasi ilmu yang muncul pada era modern (abad 20) merupakan
respons kritis atas peradaban global Barat yang sekuler, kering nilai-nilai
Illahiah, spiritualis, dikotomis akal-wahyu, ilmu-amal, dan material-spiritual
yang mengakibatkan munculnya problem kemanusiaan, seperti degradasi
moral-religius, kekosongan jiwa, dan tradisi taqlid dikalangan umat islam.8
Islamisasi merupakan solusi yang dilakukan Al-Faruqi untuk mengubah
sistem pendidikan yang sesuai dengan cita-cita Islam yang telah lama
ditinggalkan oleh ummat Islam dan sistem pendidikan yang diadopsi oleh
ummat Islam dari Barat merupakan sistem pendidikan yang membahayakan
ummat Islam dengan memisahkan wahyu dengan akal.9
Islamisasi merupakan suatu upaya mereformulasikan kembali-kembaliilmu-ilmu yang telah diajarkan kepada ummat Islam dengan berdasarkanajaran dan cita-cita Islam. Al-Faruqi memberikan pengertian Islamisasi ilmupengetahuan yaitu memberikan definisi baru, mengatur data-data, memikirkanlagi jalan pemikiran dan menghubungkan data-data, mengevaluasikan kembalikesimpulan-kesimpulan, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan danmelakukan semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin inimemperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cause (cita-cita) Islam.10
Dalam melihat fenomena di masyarakat yang mengalami problem serius
tersebut, al-Faruqi bergerak hatinya untuk memberikan obat, yaitu dengan
gagasan yang ditawarkan berupa islamisasi ilmu. Ismail Raji al-Faruqi
mengatakan bahwa islamisasi ilmu adalah mengislamkan disiplin-disiplin
ilmu atau tepatnya menghasilkan buku-buku pegangan (buku dasar) di
perguruan tinggi dengan menuangkan kembali disiplin ilmu modern ke dalam
wawasan Islam, setelah dilakukan kajian kritis terhadap kedua system
8 Hasan Baharun, op. cit., h. 110.9 Budi Handrianto, Islamisasi Sains Sebuah Upaya Mengislamkan Sains Barat Modern,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, h. 29.10 Ismail Raji Al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, Terj. dari Islamization of Knowledge:
General Principles and Workplan oleh Anah Mahyuddin, (Bandung : Mizan, 1984). h. 38.
53
pengetahuan Islam dan Barat. Islamisasi pengetahuan merupakan suatu cara
mengislamkan ilmu-ilmu Islam (tradisional) dengan ilmu modern (sekuler)
dengan menyesuaikan ajaran dan visi Islam. Disamping itu, al-Faruqi juga
memberikan langkah-langkah procedural bagi terlaksananya program
islamisasi ilmu.11
Islamisasi ilmu dalam hal ini, berarti upaya membangun paradigmkeilmuan yang berlandaskan nilai-nilai islam, baik pada aspek ontologis,epistemologis, maupun aksiologis. Menurut al-Faruqi, islamisasi ilmu harusmerujuk pada tiga sumbu, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan hidup dankesatuan sejarah. Kesatuan pengetahuan berkaitan dengan tidak ada lagipemisahan pengetahuan rasional (aqli) dan irasional (naqli). Kesatuan hidupberkaitan dengan semua pengetahuan yang harus mengacu pada tujuanpenciptaan, yang berdampak lanjutan pada tidak bebasnya pengetahuan darinilai, yaitu nilai ketuhanan. Kesatuan sejarah berkaitan kesatuan disiplin yangharus mengarah sifat keumatan dan mengabdi pada tujuan-tujuan ummah didalam sejarah. 12
Al-Faruqi berpendapat untuk menghilangkan dualisme sistem pendidikan
dan mencari jalan keluar dari malaise yang dihadapi ummah, pengetahuan
harus diislamisasikan dan menuangkan kembali berdasarkan kerangka Islam
dengan membuat teori-teori, metode, prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan yang
tunduk kepada: Kesatuan Tuhan, Kesatuan Alam Semesta, Kesatuan
Kebenaran dan Pengetahuan, Kesatuan Kehidupan dan Kesatuan Umat
Manusia.13
Sebagai penggagas utama ide Islamisasi ilmu pengetahuan, al-Faruqi
memberikan gambaran tentang bagaimana islamisasi itu dilakukan. Al-Faruqi
menetapkan lima program sasaran dari rencana kerja islamisasi ilmu, yaitu :
1. Penguasaan disiplin ilmu modern.
2. Penguasaan khazanah Islam.
3. Menentukan relevansi Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern.
4. Mencari cari untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam
dengan ilmu-ilmu modern.
11 Hasan Baharun, op. cit., h. 111.12 Ibid., h. 112.13 Ismail Raji Al-Faruqi, op. cit., h. 56.
54
5. Mengarahkan aliran pemikiran islam ke jalan-jalan yang mencapai
pemenuhan pola rencana Allah swt.14
Dalam merealisasikan gagasannya tersebut, menurut Al-Faruqi ada
beberapa tugas yang harus dilakukan.
Pertama, memadukan sistem pendidikan Islam dengan sistem pendidikan
sekuler. Perpaduan ini harus sedemikian rupa sehingga sistem baru yang
terpadu dapat memperoleh kedua macam keuntungan dari sistem-sistem
terdahulu.
Kedua, menurut Al-Faruqi, gagasan Islamisasi ilmu harus diikuti
pelajaran-pelajaran wajib mengenai kebudayaan Islam sebagai bagian dari
program studi mahasiswa. Hal ini akan membuat mereka semakin yakin
terhadap agama dan warisan mereka.
Ketiga, memperbaiki metodologi. Sesungguhnya, ilmu-ilmu Barat sudah
melanggar salah satu syarat yang krusial dari metodologi Islam, yaitu
kesatuan kebenaran.
Keempat, harus diadakan pertemuan-pertemuan yang membicarakan
tentang islamisasi dan beberapa rencana strategis yang pada akhirnya
menuangkan kembali semua khazanah pengetahuan Barat terhadap Islam. 15
Untuk merealisir tujuan-tujuan ini, sejumlah langkah harus diambil
menurut suatu urutan logis yang menentukan prioritas-prioritas masing-
masing langkah tersebut. Langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai
proses Islamisasi pengetahuan :
1. Penguasaan disiplin ilmu modern : penguraian kategoris. Disiplin ilmu
dalam tingkat kemajuannya sekarang di Barat harus dipecah-pecah
menjadi kategori-kategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi,
problema-problema dan tema-tema. Penguraian tersebut harus
mencerminkan daftar isi sebuah pelajaran. Hasil uraian harus berbentuk
kalimat-kalimat yang memperjelas istilah-istilah teknis, menerangkan
14 Ibid., h. 98.15 Hasan Baharun, op. cit., h. 113.
55
kategori-kategori, prinsip, problema dan tema pokok disiplin ilmu-ilmu
Barat dalam puncaknya.
2. Survei disiplin ilmu. Semua disiplin ilmu harus disurvei dan harus ditulis
dalam bentuk bagan mengenai asal-usul dan perkembangan beserta
pertumbuhan metodologisnya. Perluasan cakrawala wawasannya dan tak
lupa membangun pemikiran yang diberikan oleh para tokoh utamanya.
Langkah ini bertujuan menetapkan pemahaman muslin akan disiplin ilmu
yang dikembangkan di dunia Barat.
3. Penguasaan khazanah islam : khazanah Islam harus dikuasai dengan cara
yang sama. Tetapi disini , apa yang diperlukan adalah antologi-antologi
mengenai warisan pemikir muslim yang berkaitan dengan disiplin ilmu.
4. Penguasaan khazanah ilmiah islam tahap analisa. Jika antologi-antologi
telah disiapkan, khazanah pemikir Islam harus dianalisa dari perspektif
masalah-masalah masa kini.
5. Penentuan relevansi islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu.
Relevansi dapat ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan. Pertama,
apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari Al-Qur’an hingga
pemikir-pemikir kaum modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah
dicakup dalam disiplin-disiplin modern. Kedua, seberapa besar sumbangan
itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang telah diperoleh oleh disiplin
modern tersebut. Ketiga, apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit
diperhatikan atau sama sekali tidak diperhatikan oleh khazanah Islam, ke
arah mana kaum muslim harus mengusahakan untuk mengisi kekurangan
itu, juga memformulasikan masalah-masalah dan memperluas visi disiplin
tersebut.
6. Penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern. Jika relevansi Islam telah
disusun, maka ia harus di nilai dan dianalisa dari titik pijak Islam.
7. Penilaian kritis terhadap khazanah islam. Sumbangan khazanah Islam
untuk setiap bidang kegiatan manusia harus dianalisa dan relevansi
kontemporernya harus dirumuskan.
56
8. Survey permasalahan yang dihadapi ummat islam. Suatu studi sistematis
harus dibuat tentang masalah politik, sosial, ekonomi, intelektual, kultural,
moral dan spiritual dari kaum muslim.
9. Survei permasalahan yang dihadapi ummat manusia. Suatu studi yang
sama, akan tetapi lebih memfokuskan pada seluruh umat manusia, harus
dilaksanakan.
10. Analisa kreatif dan sintesa. Pada tahap ini sarjana muslim harus sudah siap
melakukan sintesa antara khazanah-khazanah Islam dan disiplin modern,
serta menjembatani jurang kemandegan berabad-abad. Dari sini khazanah
pemikir Islam harus disambungkan dengan prestasi-prestasi modern dan
harus menggerakkan tapal batas ilmu pengetahuan ke horison yang lebih
luas dari yang sudah dicapai disiplin-disiplin modern.
11. Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka islam. ketika
keseimbangan antara khazanah Islam dengan disiplin modern telah
dicapai, maka buku-buku teks (daras) universitas harus ditulis untuk
menuangkan kembali disiplin-disiplin modern dalam cetakan Islam.
12. Penyebarluasaan ilmu-ilmu yang telah diislamiskan. Langkah terakhir
untuk mempercepat islamisasi pengetahuan adalah dengan mengadakan
konferensi-konferensi dan seminar untuk melibatkan berbagai ahli di
bidang-bidang ilmu yang sesuai dalam merancang pemcahan masalah-
masalah yang menguasai pengkotakan antardisiplin. Para ahli harus diberi
kesempatan bertemu dengan para staf pengajar. Selanjutnya pertemuan-
pertemuan tersebut harus menjajaki persoalan metoda yang diperlukan. 16
D. Pengembangan Kurikulum Islam Perspektif Ismail Ra’ji Al-Faruqi
Konsep kurikulum Islam yang diinginkan Al-Faruqi adalah kurikulum
yang mengembangkan sistem tradisional (Islam) dan sistem modern (Barat)
dengan menyesuaikan dengan visi Islam. Al-Faruqi bertujuan untuk
memadukan kedua sistem Islam dan sistem Barat dan menghilangkan
kekurangan yang dimiliki kedua sistem.
16 Ismail Raji Al-Faruqi, op. cit., h. 99-116.
57
Sistem pendidikan Islam yang cenderung bersifat relegius, tidak
memadainya buku-buku pegangan yang telah usang dan guru-guru yang tak
berpengalaman di dalam sistem yang tradisional dan sistem pendidikan Barat
yang cenderung bersifat sekuler yang memisahkan wahyu dengan akal dalam
pencarian ilmu pengetahuan dan peniruan metode-metode dan ideal-ideal
Barat sekular di dalam sistem yang sekular.17
Tujuan kurikulum Islam Al-Faruqi adalah menciptakan sarjana muslim
yang dapat menguasai dan memiliki pemahaman dalam ilmu-ilmu Barat dan
ilmu-ilmu Islam dalam upaya menanamkan pemahaman yang sesungguhnya
dari kedua ilmu-ilmu tersebut. Sebagaimana yang dikatakan Al-Faruqi sebagai
berikut. Seorang profesor yang meraih gelar doktor di sebuah universitas
Eropa. Dia mendapatkan pendidikan di Barat dan lulus dengan angka sedang.
Karena di masa sebelumnya ia tidak mendapatkan motivasi Islam sehingga ia
tidak menuntut ilmu demi Allah Ta’ala semata-mata, tetapi demi kepentingan
materialistis, egoistis (atau paling tinggilah untuk tujuan nasional). Ia tidak
mendapatkan semua pengetahuan yang dapat diperolehnya di Barat bahkan
tidak lebih unggul dari guru-guru Barat. 18 Maka penguasaan dari kedua ilmu-
ilmu Barat dan Ilmu-ilmu Islam diperlukan dalam upaya penanaman wawasan
Islam yang menyeluruh.
Tujuan islamisasi yang digagas Al-Faruqi adalah menghapus dikotomi
sistem pendidikan Islam dan sistem pendidikan Barat dan menghapus
kelemahan metodologi dalam sistem pendidikan Islam dan Barat. Sistem
pendidikan Islam yang digunakan merupakan jiplakan dari sistem pendidikan
Barat tetapi hanya sebuah karikaturnya saja. Sebagaimana pendidikan Islam,
pendidikan Barat sangat bergantung kepada sebuah wawasan pandangan Barat
dan wawasan Islam sangat berbeda dengan wawasan Barat. Itulah sebabnya
mengapa hampir dua abad dengan sistem pendidikan sekular Barat, kaum
17 Ibid., h. 23.18 Ibid., h. 16.
58
Muslimin tidak menghasilkan sesuatu pun juga baik sekolah, universitas
maupun cendekiawan sebanding dengan kreativitas atau kehebatan Barat.19
Materi-materi dan metodologi-metodologi yang kini diajarkan di DuniaIslam adalah jiplakan dari materi-materi dan metodologi-metodologi Barat,namun tak mengandung wawasan yang semula dan kini menghidupkannya dinegeri Barat. Tanpa wawasan tersebut maka materi-materi dan metodologi-metodologi tersebut hanyalah instrumen-instrumen yang bersahaja. Tanpadisadari, materi-materi dan metodologi-metodologi yang hampa ini terusmemberi pengaruh jelek yang mendeislamisasikan siswa.20
Maka dengan itu, Al-Faruqi menawarkan pengintegrasian antara ilmu-ilmu
Islam dan ilmu-ilmu Barat dan menanamkan wawasan Islam di setiap ilmu-
ilmu yang diintegrasikan.21
Al-Faruqi berpendapat untuk memecahkan masalah pendidikan. Sistem
pendidikan diubah dan kesalahan-kesalahannya diperbaiki dengan sistem yang
baru. Dualisme sistem pendidikan Islam dan sekuler harus dihapuskan. Sistem
pendidikan tersebut diintegralkan dan sistem tersebut harus sesuai dengan
semangat Islam. Perpaduan kedua sistem ini haruslah merupakan kesempatan
yang tepat untuk menghilangkan keburukan masing-masing sistem. Dengan
perpaduan ini pengetahuan Islam akan bisa dijelaskan dalam gaya sekular,
maksudnya pengetahuan Islam akan menjadi pengetahuan tentang sesuatu
yang langsung berhubungan dengan kehidupan kita sehari-hari di dunia ini,
sementara pengetahuan modern akan bisa kita bawa dan masukkan ke dalam
kerangka sistem Islam.22
Dalam upaya menghilangkan dualisme sistem pendidikan Islam dan sistem
pendidikan Barat dengan menuangkan kembali disiplin-disiplin di bawah
kerangka Islam dengan membuat teori-teori, metode, prinsip-prinsip dan
tujuan-tujuan tunduk kepada:
1. Keesaan Allah
Keesaan Allah adalah prinsip pertama dari agama Islam dan setiap
sesuatu yang Islamiah. Dialah sang Pencipta, dengan perintah-Nya
19 Ibid., h. 15.20 Ibid., h. 1721 Budi, op., cit, h.17522 Al-Faruqi, op., cit, h. 25.
59
segala sesuatu dan peristiwa telah terjadi. Dia adalah sumber kebaikan
dan keindahan. Di dalam dunia yang seperti ini, tak ada sesuatu pun
yang terjadi secara kebetulan, tak ada sesuatu pun yang sia-sia atau tak
berarti.
Allah adalah cause yang pertama dan terakhir dalam agama Islam.
Allah Yang Maha Penciptakan segala yang ada di bumi dan di langit.
Semua berjalan sesuai dengan ketentuan-Nya. Allah merupakan
sumber pertama dan terakhir kebenaran dalam ilmu pengetahuan,
maka itu ilmu pengetahuan harus sesuai dengan tujuan Allah.
2. Kesatuan alam semesta
Alam semesta merupakan ciptaan Allah Yang Maha Tunggal.
Alam semesta diciptakan sesuai dengan susunan dan pola Allah. Alam
semesta diciptakan Allah untuk manusia manfaatkan dan pergunakan
sesuai dengan kebutuhannya. Manusia di beri kebebasan untuk
mengeksplorasi sumber daya alam (SDA) yang Allah ciptakan.
Manusia diharapkan menemukan pola-pola alam semesta yang
diciptakan oleh Allah supaya menemukan hubungan-hubungan dan
pengetahuan yang dapat diambilkan dari alam semesta. Kewajiban
manusia bukan untuk menciptakan pola-pola Allah melainkan untuk
menjaga pola-pola Allah dari kerusakan dan mengembangkannya.23
Alam semesta yang diciptakan Allah merupakan ladangnya ilmu untuk
manusia manfaatkan. Dalam pemanfaatannya manusia harus menaati
norma-norma moral dan etika karena pada saat ini manusia banyak
melakukan kesalahan dalam penggunaan dan pemanfaatan alam yang
berlebihan dan tidak memperhatikan lingkungan.
3. Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan
Prinsip kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan adalah
sebuah epistemologi yang memadukan wahyu dengan akal dan
realitas. Wahyu yang diturunkan Allah tentulah benar dan tidak ada
kekeliruan didalamnya karena wahyu diturunkan Allah Yang Maha
23 Ibid., h. 64
60
Benar tanpa ada kesalahan sedikitpun. Wahyu merupakan pembimbing
akal dalam mencari ilmu pengetahuan. Akal manusia yang diciptakan
Allah masih terdapat kekeliruan dalam menafsirkan suatu ilmu
pengetahuan.
Perbedaan epistemologi di kedua sistem pendidikan Barat ilmu
pengetahuan dikatakan valid apabila dapat dibuktikan dengan akal
(rasio). Berbeda dengan Islam ilmu pengetahuan harus sesuai dengan
wahyu dan akal. Maka sistem pendidikan sekuler yang digunakan
negara-negara Islam harus diubah karena sistem pendidikan sekuler
memisahkan wahyu dan akal sehingga bertentangan dengan ajaran
Islam.
4. Kesatuan hidup
Allah mengamanatkan kepada manusia untuk mencari, memahami
dan menegakkan pola-pola atau pengetahuan yang diturunkan oleh
Allah. Manusia di beri anugerah kemerdekaan mengolah sumber daya
alam yang diciptakan Allah dengan ilmu pengetahuan yang
dimilikinya, dengan keistimewaan yang dimilikinya itulah (ilmu
pengetahuan) Allah mengutus manusia di muka bumi ini walaupun
manusia sering melalaikan perintah-Nya, membuat kejahatan dan
pertumpah darah.
Hanya manusia yang mengemban amanat Allah karena manusialah
yang memiliki kemerdekaan moral. Kesanggupan manusia memikul
amanah Allah sehingga manusia ditempatkan di atas para malaikat
karena malaikat tidak memiliki kemerdekaan untuk mentaati atau
mengingkari Allah. Itulah sebabnya Allah memerintahkan malaikat
untuk bersujud kepada manusia. Malaikat hanya dapat mentaati
perintah-perintah Allah dan memuji-muji Allah berbeda dengan
manusia yang dapat mentaati Allah dan mengingkari Allah.
Allah mengutus manusia di muka bumi sebagai khilafah. Allah
memberikan kebebasan kepada manusia untuk beraktivitas sesuai
keinginannya dan kemampuanya akan tetapi tujuan aktivitasnya harus
61
bermuara kepada Allah. Allah menyuruh manusia untuk mencapai dua
buah obyektif. Pertama, ummat manusia harus mengubah pola-pola
Tuhan, untuk mengatur kembali material-materialnya agar sempurna
dan bermanfaat bagi manusia. Kedua, dalam mengubah pola-pola
Tuhan, manusia dituntut mendahulukan nilai-nilai etika dengan
memilih cara transformatifnya sesuai dengan moral dan etika ummat
manusia sehingga terjadilah keselarasan dalam pengabdian kepada
Allah dan mengabdi kepada sesama manusia.
5. Kesatuan ummat manusia
Semua manusia adalah satu dan sama, inilah dasar dan landasan
universalisme Islam. Semua manusia adalah sama di mata Tuhan, yang
membedakannya adalah perbuatan-perbuatan kebajikan moral mereka
di dalam prestasi kultural.24 Islam tidak membedakan manusia dari ras,
warna kulit, bentuk tubuh, kepriabadian dan bahasa seseorang
melainkan dari segi perbuatan (takwa) berbeda dengan Barat yang
selalu mengkotak-kotakkan atau mengdikotomi manusia dari segi ras
maupun warna kulit suatu bangsa sehingga muncullah sikap
etnosentrisme yang bertujuan memecah-belah manusia atau kelompok
dengan mengklaim ia yang lebih kuat dan hebat dibandingkan manusia
atau kelompok lain. Etnosentrisme dapat menimbulkan perpecahan,
perselisihan, perang dan pertumpuhan darah. 25
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam
adalah
1. Kurikulum yang dapat mengembangkan potensi-potensi peserta didik
(potensi jasmani, rohani dan akal) dan akhlak (moral) islam.
2. Kurikulum yang dapat menyediakan kebutuhan manusia hidup di dunia
dan akhirat dalam upaya menciptakan insan kamil yang dapat menjawab
tantangan dunia modern.
24 Ibid., h. 87.25 Ibid., h. 56
62
3. Kurikulum yang universal tanpa membeda-bedakan ras, suku dan warna
kulit.
Sistem pendidikan Islam yang bernuasa sekuler harus direformulasikan
kembali sesuai dengan ajaran dan cita-cita Islam. Pendidikan Islam harus
berlandasan universalitas Islam tanpa membeda-bedakan etnik atau ras. Ilmu
pengetahuan harus menerima aksiologi islam dengan mempertimbangkan moral
dan etika ummat dalam pemanfaatannya.
Al-Faruqi berpendapat dalam menata pengembangan kurikulum Islam
diperlukan tiga hal, yaitu: Pertama, menguasai sains modern (mastery of the
modern sciences). Kedua, menguasai warisan Islam (mastery of legacy). dan
ketiga, prinsip kesatuan (unity) yang harus melingkupi seluruh kajian dalam
kurikulum pendidikan Islam. 26
Dalam menguasai sains modern, merupakan upaya melepaskan dikotomi ilmu
pengetahuan di dalam kerangka ummat Islam. Ilmu modern telah berkembang
pesat dalam berbagai bidang keilmuan atau disiplin kealaman, sosial, astronomi,
ekonomi, kedokteran dan ilmu pengetahuan teknologi. Dalam penguasaan ilmu
modern diharapkan dapat mengambil manfaat dari kemajuan ilmu-ilmu Barat
dalam upaya membangun paradigma baru pendidikan Islam yang tanggap dengan
perkembangan zaman.
Dalam hubungan ini, Al-Faruqi mengatakan bahwa Disiplin ilmu dalam
tingkat kemajuannya sekarang di Barat harus dipecah-pecah menjadi kategori-
kategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problema-problema dan tema-
tema. Penguraian tersebut harus mencerminkan daftar isi sebuah pelajaran. Hasil
uraian harus berbentuk kalimat-kalimat yang memperjelas istilah-istilah teknis,
menerangkan kategori-kategori, prinsip, problema dan tema pokok disiplin ilmu-
ilmu Barat dalam puncaknya.27
Dari penguraian-penguraian tersebut diharapkan sarjana-sarjana muslim dapat
menciptakan buku-buku tingkat universitas menurut visi Islam. Al-Faruqi
mengingatkan para sarjana muslim, bahwa mereka harus menyadari telah banyak
26 Abdurrahman, op. cit., h. 89.27 Al-Faruqi, op. cit., h. 99.
63
terjadi pertentangan antara ilmu pengetahuan modern dengan visi Islam sehingga
semua warisan ilmu pengetahuan umat manusia harus dikaji dari sudut pandangan
Islam.28
Kedua, menguasai warisan Islam (mastery of legacy). Penguasaan warisan
Islam merupakan titik awal usaha mengislamkan ilmu-ilmu modern. Proses
islamisasi ilmu-ilmu modern tidak akan berhasil jika kita tidak menghiraukan
khazanah atau wawasan klasik. Dalam upaya mereformulasi pendidikan Islam
seorang sarjana muslim harus dapat menguasai kedua khazanah klasik dan
modern dan sarjana muslim diharapkan dapat menemukan kriteria relevansi antara
ilmu klasik dan modern. Penguasaan warisan Islam merupakan obat penangkal
melawan proses deislamisasi dengan cara mewajibkan mempelajari kebudayaan
Islam selama empat tahun. Pemberian mata pelajaran kebudayaan Islam
merupakan pembekalan ilmu pengetahuan tentang warisan ummah, pengenalan
kebudayaan Islam dan prestasi-prestasi serta kemajuan para tokoh muslim dalam
ilmu pengetahuan. Jika mata pelajaran kebudayaan Islam tidak diajarkan kepada
sarjana muslim, ia tidak akan tergugah hatinya untuk mengulang masa
kegemilangan ummat Islam terdahulu.29
Kebudayaan Islam yang dimaksud Al-Faruqi adalah seluruh khazanah
intelektual dan budaya Islam yang mencangkup kajian al-Qur’an, as-Sunnah,
institusi Islam, kesenian, hukum dan undang-undang, kalam (teologi), tasawuf,
falsafah, hellenistik, metafisika, epistemologi atau sains taba’i, aksiologi dan
etika, termasuk juga aspek seni dan estetika Islam.30 namun semua khazanah
Islam intelektual Islam harus diseleksi secara mendalam dan kritis guna mencari
relevansi antara ilmu klasik dan ilmu modern.
Al-Faruqi mengkritisi tiga peninjauan upaya merelevansikan khazanah Islam
dengan modern. Pertama, mempunyai wawasan Islam sejauh yang ditarik
langsung dari sumber wahyu beserta karakteristik dalam sejarah kehidupan
28 Abdurrahman op. cit., h. 92.29 Al-Faruqi, op. cit., h 101.30 Abdurrahman op. cit., h. 104.
64
Rasulullah. Kedua, memperhatikan kebutuhan ummat saat ini. Ketiga,
memperhatikan semua kebutuhan modern yang diwakili oleh disiplin tersebut.31
Ketiga, prinsip kesatuan (unity) yang harus melingkupi seluruh kajian dalam
kurikulum pendidikan Islam. Setelah memahami dan menguasai khazanah Islam
dan khazanah Barat baik kelebihan dan kekurangan masing khazanah. Tahap
terakhir ini adalah mengupayakan penyatuan antara khazanah Islam dengan
khazanah Barat. Perpaduan kedua khazanah ini diharapkan dapat mengurangi
bahkan menghilangkan kekurangan masing khazanah, seperti tidak memadainya
buku-buku dan guru-guru yang berpengalaman dalam sistem tradisional dan
peniruan metode-metode dari ideal-ideal Barat sekular dalam sistem yang
sekuler.32
Sintesa kreatif ini diharapkan dapat mengembalikan kejayaan ummat Islam
dan menghilangkan kemandegan yang terjadi pada ummat Islam. dalam
mensintesa kreatif antara kedua khazanah tersebut pemikir Islam harus
mempertimbangkan dan menyesuaikan dengan relevansi dan cita-cita Islam.
31 Al-Faruqi, op. cit., h 108.32 AM Saefuddin, op. cit., h. 73.
67
BAB VKESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Konsep kurikulum yang ingin dicapai Al-Faruqi adalah kurikulum yang
dapat memadukan kelebihan dari kedua sistem pendidikan Islam dan Barat
dalam upaya menghilangkan keburukan masing-masing sistem pendidikan.
Al-Faruqi menawarkan pengembangan kurikulum Islam dengan tiga cara.
Pertama, menguasai sains modern (mastery of the modern sciences). Dalam
penguasaan ilmu modern diharapkan dapat membangun paradigma baru
pendidikan Islam yang tanggap dengan perkembangan zaman. Kedua,
menguasai warisan Islam (mastery of legacy). Penguasaaan warisan Islam,
merupakan upaya yang dilakukan Al-Faruqi untuk memperkenalkan warisan
khazanah Islam terdahulu. Ketiga, prinsip kesatuan (unity) yang
mengintegrasikan ilmu-ilmu modern dan ilmu-ilmu tradisional dalam
wawasan Islam.
Dengan pengintegrasian kedua sistem pendidikan diharapkan dapat
mengembalikan masa kejayaan ummat Islam terdahulu. Sistem pendidikan
yang berwawasan keterpaduan modern dan klasik dalam upaya menciptakan
peserta didik yang tanggap dengan perkembangan zaman dan mencintai
khazanah-khazanah klasik.
68
B. Implikasi
Dari beberapa kesimpulan di atas, adapun implikasinya adalah untuk
menghilangkan kemunduran sistem pendidikan Islam para pemikir kurikulum
diharapkan dapat mereformulasi kurikulum yang telah berkembang di ummat
Islam. Kurikulum Islam yang dapat memadukan Ilmu-ilmu modern dan ilmu-
ilmu Islam dalam upaya memadukan kedua sistem pendidikan tersebut
ummat Islam harus selektif terhadap ilmu-ilmu modern dan di sesuaikan
dengan visi Islam. kurikulum yang dapat menghasilkan peserta didik yang
berakhlakul karimah dan berwawasan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern.
69
C. Saran
1. Pemerintah atau instasi pendidikan diharapkan dapat membuat kebijakan
dalam pembuatan kurikulum berbasis keislaman dan IPTEK dan dapat
menciptakan buku-buku modern yang sesuai dengan visi Islam.
2. Dengan penelitian skripsi ini diharapkan kepada teman-teman mahasiswa
dapat lebih kritis dalam menghadapi kebijakan pendidikan yang dibuat
pemerintah.
3. Dengan penelitian skripsi diharapkan akan muncul penelitian
kependidikan yang berwawasan keislaman dan modern.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. Metedologi Penelitian Agama Pendekatan Multidisipliner.
Yogyakarta: kurnia Kalam semesta, 2006.
Abdurrahmansyah. Sintesis Kreatif: Pembaharuan Kurikulum Pendidikan Islam
Ismail Ra’ji Al-Faruqi. Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2002.
Al-Rasyidin dan Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam. Ciputat : Ciputat
Press, 2005.
Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010.
Arikunto, Suharsimi dan Jabar, Cepi ,Safrudin ,Abdul . Evaluasi Program
Pendidikan. Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2009.
-----. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 1993.
Bagir, Haidar. Konsep Pendidikan Dalam Islam Syed Muhammad Al-Naquib Al-
Attas. Bandung: Mizan. 1984.
Baharun, Hasan dan Mundiri, Akmal, dkk. Metodologi Studi Islam: Percikan
Pemikiran Tokoh dalam Membumikan Agama. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media,
2011.
Edyar, Busman. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Pustaka Asatrus, 2009.
Emzir. Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2011.
Halstead, J, Mark. Towards a Unified View of Islamic Education, Islam and
Christian-Muslim Relations. 6, 1995.
Handrianto, Budi. Islamisasi Sains Sebuah Upaya Mengislamkan Sains Barat
Modern. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010.
Ihsan, Hamdani dan Ihsan , A, Fuad. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung :
Pustaka Setia, 2007.
Jalaluddin dan Said, Usman . Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996.
Langgulung, Hasan. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta:PT. Bulan Bintang,
Mahyuddin, Anah. Islamisasi Pengetahuan. Bandung : Mizan, 1984.
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
-----. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
Nizar, Samsul dan Ramayulis. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta:
Quantum Teaching, 2005.
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam. Ciputat : Ciputat Press, 2002.
Qomar, Mujamil. Epistemologi Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga, 2005.
Saefuddin, AM. Islamisasi Sains dan Kampus. Jakarta: PT. PPA Consultants,
2010.
Sucipto, Hery. Ensiklopedi Tokoh Islam: Dari Abu Bakr hingga Nasr dan
Qardhawi. Bandung: Mizan, 2003.
Sukardi. Evaluasi Pendidikan Prinsip dan Operasionalnya. Jakarta: PT.Bumi
Aksara,2011.
Sukardi. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta
:PT. Bumi Aksara, 2009.
Susanto, A. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Amzah, 2009.
Syaodih, Nana, Sukmadinata. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2007.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2007.
Wan Daud Nor, Wan Mohd . Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.
Naquib Al-Attas. Bandung: Mizan Media Utama. 1998.
Yasin, Fatah. Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang Press,
2008.
Zainuddin, M. Paradigma Pendidikan Terpadu. Malang: UIN Malang Press,
2008.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Diri
Nama : M. Chalilul Rahman
Tempat dan Tanggal Lahir : Jakarta, 17 November 1991
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Kebangsaan : Indonesia
Tinggi Badan : 172 cm
Berat Badan : 65 kg
Alamat : kp. Pulo jahe Jakarta Timur
No. Telp : 089654391684
Pendidikan Formal
(1997 – 2003) SD Jatinegara 06 Pagi
(2003 – 2006) SMP Negeri 270 Pegangsaan Utara
(2006 – 2009) MA. Al-Wathoniyah 01 Jakarta
2009 UIN SyarifHidayatulah Jakarta
Pengalaman Organisasi
(2003 – 2006) Anggota OSIS SMP Negeri 270
(2006 – 2009) Anggota OSIS MA. Al-Wathoniyah 01 Jakarta
(2009 – 2011) Anggota Forsa UIN Jakarta
Himpunan Mahasiswa Islam