pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan ...
Transcript of pengelolaan sail indonesia di destinasi wisata layar kecamatan ...
i
TESIS
PENGELOLAAN SAIL INDONESIA
DI DESTINASI WISATA LAYAR
KECAMATAN MAUROLE, KABUPATEN ENDE,
PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
CHRISPINIANUS MESIMA
NIM 1191061008
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI KAJIAN PARIWISATA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
ii
PENGELOLAAN SAIL INDONESIA
DI DESTINASI WISATA LAYAR
KECAMATAN MAUROLE, KABUPATEN ENDE,
PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Program Studi Kajian Pariwisata,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
CHRISPINIANUS MESIMA
NIM 1191061008
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI KAJIAN PARIWISATA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
iii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 5 SEPTEMBER 2013
Pembimbing I,
Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, SU.
NIP. 194409231976021002
Pembimbing II,
Ir. A.A. Gde Raka Dalem, M.Sc (Hons).
NIP. 196507081992031004
Mengetahui:
Ketua Program Studi Magister
Kajian Pariwisata
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH., MS
NIP. 194409291973021001
Direktur
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Prof. Dr. dr. A. A, Raka Sudewi, Sp,S(K)
NIP. 195902151985102001
iv
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal 3 Oktober 2013
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana,
No. 1867/UN 14.4/HK/2013, Tanggal 30 September 2013
Ketua : Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, SU
Sekretaris : Ir. A.A. Gde Raka Dalem, M.Sc (Hons)
Anggota :
1. Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH., MS
2. Dr. I Nyoman Madiun, M.Sc
3. Dr. Ir. I Made Adhika, MSP
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Saya memanjatkan puji dan syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa,
dengan limpahan Roh Kudus-Nya saya telah menyelesaikan tesis ini.
Ucapan terima kasih yang tiada terhingga saya sampaikan kepada yang
terhormat:
1. Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, SU., selaku pembimbing satu yang
dengan kesabaran dan kearifannya telah membimbing saya dalam
membangun konstruksi berpikir mulai dari penyusunan proposal,
pelaksanaan penelitian sampai pada penyusunan tesis ini.
2. Ir. A.A. Gde Raka Dalem, M.Sc (Hons)., selaku pembimbing dua yang
telah menuntun saya dalam memahami perspektif berpikir secara
komprehensif dan menuntun saya dalam penyusunan proposal,
pelaksanaan penelitian sampai pada penyusunan tesis ini.
3. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD., Rektor Universitas Udayana,
yang telah memberikan kesempatan dan semua fasilitas untuk mengikuti
dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana.
4. Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, SpS (K)., Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana, yang telah menyelenggarakan Program Pascasarjana
dengan segala sarana dan prasarananya.
5. Ketua Program Studi Magister Kajian Pariwisata Program Pascasarjana
Universitas Udayana atas motivasi dan kesempatan yang diberikan kepada
penulis selama mengikuti kuliah.
6. Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH, MS., selaku dosen penguji yang telah
banyak memberikan arahan dan kritik demi kesempurnaan tesis ini.
vi
7. Dr. I Nyoman Madiun, M.Sc., selaku dosen penguji yang telah banyak
memberikan masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis.
8. Dr. Ir. I Made Adhika, MSP., selaku dosen penguji yang telah memberikan
saran, petunjuk, maupun koreksi untuk kesempurnaan tesis ini.
9. Bupati Ende yang memberikan kepercayaan dan menugaskan saya untuk
mengikuti Program Magister Kajian Pariwisata Universitas Udayana.
10. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende yang telah
bersedia diwawancarai dan memberikan data penunjang bagi tesis ini.
11. Camat Maurole dan Para Kepala Desa di delapan desa yang menjadi lokasi
penelitian ini yang selalu siap membantu saya dalam penelitian ini.
12. Bapak Raymond T. Lesmana, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cinta
Bahari Antar Nusa dan Tenaga Ahli Wisata Layar Nasional di Dirjen
Pengembangan Destinasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
yang memberikan wawasan dan kesempatan bagi saya untuk menyelami
jiwa dari pengembangan wisata layar.
13. Om Yakobus Ari, selaku budayawan di Kabupaten Ende yang
memberikan wawasan bagi saya dalam memahami nilai-nilai budaya lokal.
14. Bapak Damianus Deda, selaku tokoh masyarakat di Kecamatan Maurole
dan Ibu Sofia Gene yang memfasilitasi saya selama penelitian di Maurole.
15. Seluruh informan lainnya yang tidak saya sebutkan satu per satu, yang
dengan kesabarannya selalu meluangkan waktu untuk diwawancarai.
16. Ayahanda (alm) Hermanus Wilhelmus Ma dan Ibunda (alm) Bernadetha
Fori, Ayahanda Mertua H. Moh. Soegeng Prastowo dan Ibu Mertua Hj.
vii
Soliqah Istiqomah yang telah memberi restu bagi perjalanan saya dalam
mengikuti program ini.
17. Istriku tercinta Dwi Ratna Prastiwi, SST. Par., yang telah menjadi inspirasi
dan pemicu semangat bagi saya dalam menyelesaikan program ini.
18. Semua kakak dan adik saya, semua kakak dan adik ipar saya, semua
keponakan saya yang telah memberikan dorongan moral dan material
sehingga saya dapat mengikuti program ini dengan baik.
19. Kepada mereka yang telah memberikan dorongan dan dukungan moral dan
material, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, saya menyampaikan
ucapan terima kasih tiada terhingga.
Saya menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun saya berharap
bermanfaat bagi para pembaca khususnya karyasiswa Program Studi Magister
Kajian Pariwisata, Program Pasca Sarjana, Universitas Udayana.
Denpasar, 3 Oktober 2013
Chrispinianus Mesima
viii
ABSTRAK
PENGELOLAAN SAIL INDONESIA DI DESTINASI WISATA LAYAR
KECAMATAN MAUROLE, KABUPATEN ENDE, PROVINSI NUSA
TENGGARA TIMUR
Sejak tahun 2007 Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa
Tenggara Timur disinggahi oleh kapal wisata (yacht) yang mengikuti reli kapal
layar internasional – Sail Indonesia. Hal ini berarti sudah enam tahun Maurole
menjadi destinasi singgah, namun belum ada perencanaan pariwisata kawasan
untuk pengembangannya. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi potensi
Maurole, mengkaji pengelolaan dan partisipasi pemangku kepentingan dan faktor-
faktor yang mendukung pengembangan Maurole sebagai pariwisata alternatif.
Diharapkan kajian ini menjadi masukan bagi pemangku kepentingan dalam
pengembangan destinasi wisata layar.
Penelitian ini dirancang dengan menggunakan paradigma interpretatif ilmu
sosial dengan pendekatan kualitatif, sehingga metode analisis data yang
digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Analisa dilakukan untuk
mengidentifikasi potensi, mengkaji pengelolaan dan partisipasi pemangku
kepentingan, dan mengkaji faktor-faktor yang mendukung pengelolaan destinasi
wisata layar Maurole sebagai pariwisata alternatif. Untuk itu, penelilitan ini
menggunakan teori tourism area life cycle, teori partisipasi dan teori perencanaan.
Data primer diperoleh dari informan dari kalangan pemerintah, pelaku usaha, dan
masyarakat. Salah satu sumber data sekunder adalah peserta reli yang telah
mengemukakan pendapat mereka mengenai Sail Indonesia melalui internet dan
media terkait lainnya.
Hasil kajian sebagai berikut. Pertama, Maurole memiliki kekhasan lokal
(local distinctiveness) yakni adanya beberapa kampung adat dan atraksi wisata
yang terletak dekat dan mudah diakses dari titik labuh. Dalam siklus hidup
destinasi pariwisata, Maurole berada pada tahap involvement. Kedua, pengelolaan
lokasi labuh, atraksi seni budaya, dan pengelolaan perjalanan wisata di Maurole
telah memicu pengembangan destinasi wisata secara keseluruhan. Partisipasi
pemangku kepentingan dalam pengelolaam Sail Indonesia terdiri dari induced
participation dan partisipasi inisiasi. Nilai budaya juga mendukung partisipasi
dari masyarakat dalam menyambut wisatawan. Nilai budaya itu adalah “ata mai
(tamu) ata ji’e (orang baik)”. Keempat, faktor-faktor yang mendukung
pengembangan Maurole mencakup faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal terdiri atas potensi, pengelolaan, partisipasi pemangku kepentingan, dan
posisi geografis dari Maurole pada rute perjalanan yacht. Faktor eksternal
mencakup kebijakan pemerintah, persepsi wisatawan, sistem wisata layar, dan
wisata layar sebagai pemicu pengembangan destinasi.
Pengembangan destinasi wisata layar Maurole harus mempertimbangkan
motivasi dari perencanaan, perencanaan pariwisata kawasan, pendekatan
perencanaan, dan perencanaan yang berbasis pada nilai-nilai pariwisata alternatif.
Kata kunci: destinasi, partisipasi, pengelolaan, Sail Indonesia.
ix
ABSTRACT
MANAGEMENT OF SAIL INDONESIA IN SAIL DESTINATION OF
MAUROLE, ENDE REGENCY, EAST NUSA TENGGARA PROVINCE
Since 2007, Maurole, a sub-district in Ende Regency, East Nusa Tenggara
Province, Indonesia has been visited by yachts that participated in the
international yacht rally - Sail Indonesia. It means six years Maurole has became a
sail destination, but there is no planning for regional tourism development. This
study aimed to identify Maurole’s potential, reviewing management and
stakeholder’s participation and the factors that support the development of
Maurole as an alternative tourism especially for sail destination. It is expected that
result of this study can be utilized as input for development of Maurole as a sail
destination.
This study was designed to use the interpretive social science paradigm with a
qualitative approach. The data analysis method used was descriptive qualitative
method. Analysis undertaken to identify the potential, assessed management and
stakeholder’s participation, and examined factors that support the development of
Maurole as sail destination. Therefore, this study utilized tourism area life cycle
theory, participation theory, and planning theory. Primary data were obtained
from informants (government, the tourism industry, and society). One of the
secondary data sources was information of the rally participants, the information
of which expressed through the internet and other related published media.
Results of the study provided an overview of the following: First, Maurole
has local distinctiveness that is the presence of several indigenous villages and
tourist attractions are located nearby and easily accessible from the anchorage
area. In the tourism area life cycle, Maurole is considered at the stage of
involvement. Second, anchoring site management, art and cultural attractions, and
tour management in Maurole had triggered the development of a tourist
destination as a whole. Third, the participation of stakeholders consisted of
induced participation and initiation participation. Cultural values “ata mai (guest)
ata jie (good people)” also supports participation of the community in welcoming
tourists. Fourth, the factors that supported the development of Maurole included
internal factors and external factors. The internal factors consisted of potential,
management, stakeholder participation, and the geographical position of Maurole
on the yacht trip. External factors included government policies, the perception of
tourists, sailing tourism system, and sailing tourism as a trigger for the
development of tourism destinations.
Development of Maurole should consider the motivation of planning,
regional tourism planning, planning approaches, and planning based on the values
of alternative tourism.
Keywords: destination, participation, management, Sail Indonesia.
x
RINGKASAN
Aktivitas wisata layar di Indonesia oleh kapal jenis yacht sudah ada sejak
tahun 1973 ditandai dengan pelayaran yang dilakukan dari Darwin menuju ke
Indonesia melalui kegiatan lomba layar (yacht race) yaitu Darwin – Ambon Race.
Pada tahun 2003 dikembangkan Darwin – Kupang Rally, yang sejak Tahun 2005
namanya menjadi Sail Indonesia. Kapal-kapal wisata mulai memasuki Kabupaten
Ende sejak Tahun 2007 setelah Kecamatan Maurole ditetapkan menjadi destinasi
singgah Sail Indonesia. Kendatipun Maurole sudah menjadi destinasi singgah,
belum ada perencanaan yang komprehensif dalam pengelolaannya. Idealnya, ada
perencanaan yang sifatnya jangka panjang dan berkelanjutan.
Penelitian ini bertujuan: (1) mengidentifikasi potensi Maurole sebagai
destinasi singgah Sail Indonesia, (2) mengkaji pengelolaan dan partisipasi
pemangku kepentingan pariwisata dalam Sail Indonesia di destinasi singgah
Maurole, dan (3) mengkaji faktor-faktor yang mendukung pengembangan
destinasi wisata layar Maurole sebagai pariwisata alternatif di Kabupaten Ende.
Dengan tujuan itu, maka penelitian ini hanya mengkaji aspek penawaran (supply)
dari destinasi wisata layar Maurole.
Sebagai bentuk kajian kepariwisataan, penelitian ini dirancang dengan
menggunakan paradigma interpretatif ilmu sosial dengan pendekatan kualitatif.
Oleh karenanya, metode analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif
kualitatif. Data primer diperoleh dari informan dari kalangan pemerintah, industri
xi
pariwisata, dan masyarakat yang terkait dengan aktivitas destinasi singgah
Maurole. Salah satu sumber data sekunder adalah informan dari peserta reli Sail
Indonesia di Maurole yang telah mengemukakan pendapat mereka melalui
internet dan media terkait lainnya.
Hasil kajian penelitian ini mengungkapkan bahwa Maurole memiliki potensi
dan kekuatan sebagai sebuah destinasi wisata layar karena ditunjang oleh
komponen destinasi pariwisata, yaitu atraksi, aksesibilitas, amenitas, dan ancillary
services. Berdasarkan empat komponen destinasi wisata dan perkembangannya,
maka Maurole berada pada tahap involvement dalam siklus hidup destinasi
pariwisata. Pemahaman akan posisi dalam siklus hidup destinasi bermanfaat
sebagai bahan untuk perencanaan pariwisata kawasan.
Penelitian ini juga mengungkapkan tentang pengelolaan dan partisipasi
pemangku kepentingan di destinasi wisata layar Maurole. Pertama, pengelolaan
destinasi Maurole mencakup pengelolaan areal titik labuh, pengelolaan atraksi
seni dan budaya, dan pengelolaan perjalanan wisata. Pengalaman masyarakat
dalam ikut mengelola destinasi Maurole membangkitkan keyakinan bahwa
mereka memiliki kemampuan untuk secara mandiri memberikan pelayanan
kepada wisatawan.
Kedua, adanya pengelolaan destinasi menandakan adanya partisipasi
pemangku kepentingan pariwisata. Partisipasi pemerintah ditunjukkan dengan
menjadikan Kecamatan Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia.
Kosekuensinya adalah pemerintah memfasilitasi dan mengalokasikan anggaran
untuk pengelolaan destinasi singgah Maurole. Partisipasi pelaku usaha pariwisata
xii
ditunjukkan melalui penanganan perjalanan wisata, penyediaan transportasi, dan
pemanduan perjalanan wisata. Partisipasi masyarakat dilakukan di areal titik
labuh Maurole dan di desa-desa yang dikunjungi oleh wisatawan.
Ketiga, penelitian ini menemukan bahwa tipe partisipasi pemangku
kepentingan khususnya masyarakat adalah tipe induced participation yaitu
partisipasi masyarakat karena masyarakat terdorong untuk melakukannya.
Partisipasi masyarakat juga dapat dikategorikan sebagai partisipasi inisiasi yaitu
masyarakat ikut memelihara dan merasa memiliki kegiatan di wilayahnya. Nilai
budaya yang memengaruhi adanya partisipasi masyarakat adalah nilai budaya ata
mai (orang yang datang/tamu) adalah ata ji’e (orang baik). Tamu dianggap
membawa keselamatan. Semakin banyak tamu yang datang, diyakini semakin
banyak rejeki yang akan diterima. Karena itu, tuan rumah mau menunjukkan
kepada tamu bahwa mereka juga adalah orang baik yang bisa menerima tamu
dengan baik. ‘Kita simo tamu naja ma’e re’e’ (kita terima tamu dengan baik agar
nama kita tidak jelek). Menerima tamu dengan baik juga untuk menjaga waka atau
menjaga waka nga’a (waka/waka nga’a dapat dipahami sebagai taksu dalam
tradisi Bali).
Kajian terhadap faktor-faktor yang mendukung Maurole sebagai destinasi
wisata layar menemukan adanya dua faktor pendukung yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal merupakan gambaran keberadaan sebuah
destinasi dengan segenap potensi dan pengelolaannya (services) yang melibatkan
semua pemangku kepentingan. Faktor ini dianggap sebagai ‘kekuatan sebuah
xiii
destinasi’. Faktor internal terdiri dari potensi, pengelolaan, partisipasi pemangku
kepentingan, dan posisi geografis Maurole dalam rute pelayaran kapal wisata.
Faktor eksternal meliputi beberapa hal. Pertama, kebijakan pemerintah pusat
dalam pengembangan wisata layar ditunjukkan dengan terbitnya Peraturan
Presiden Nomor 79 Tahun 2011 tentang kunjungan kapal wisata (yacht) asing ke
Indonesia. Regulasi ini membuka peluang lebih lebar bagi berkembangnya
aktivitas wisata layar. Kedua, pelitian ini menemukan bahwa komponen sistem
wisata layar ikut memengaruhi keberadaan destinasi wisata. Ketiga, persepsi
wisatawan merupakan salah satu referensi yang dipakai oleh wisatawan lain untuk
singgah atau tidak di destinasi Maurole. Keempat, penelitian ini mengungkapkan
bahwa wisata layar yang terwujud melalui kegiatan Sail Indonesia memicu
pengembangan destinasi singgah Maurole.
Beberapa hal perlu diperhatikan dalam perencanaan pariwisata kawasan
Maurole sebagai destinasi wisata layar, yaitu: penetapan lokasi yang menjadi
fokus pengembangan titik labuh di Maurole; pengembangan Maurole yang sesuai
dengan kebutuhan yang spesifik untuk melayani kapal-kapal wisata; fasilitas di
areal titik labuh dan destinasi wisata layar secara keseluruhan dirancang agar
bermanfaat juga bagi masyarakat setempat; prasarana pendukung yang perlu
dimasukkan dalam perencanaan adalah supply air bersih, listrik, penanganan
sampah, toilet dan kamar mandi, telekomunikasi, bahan bakar minyak,
perbengkelan, jasa kebersihan dan keamanan; perancangan yang mencakup
aplikasi arsitektur lokal, landscape, dan massa bangunan; dan pengembangan
destinasi wisata layar yang berbasis masyarakat.
xiv
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ………………………………………………………..
i
PRASYARAT GELAR ……………………………………………………
ii
LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ………………………………………
iv
UCAPAN TERIMA KASIH ………………………………………………
v
ABSTRAK …………………………………………………………………
viii
ABSTRACT ……………………………………………………………….
ix
RINGKASAN ……………………………………………………………...
x
DAFTAR ISI ………………………………………………………………
xiv
DAFTAR TABEL …………………………………………………………
xix
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………
xx
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………… xxi
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang …………………………………………………... 1
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………......... 8
1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………….......
1.3.1 Tujuan Umum ……………………………………………...
1.3.2 Tujuan Khusus ………………………………………..........
9
9
9
1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………………….. 9
xv
1.4.1 Manfaat Teoretis ……………………………………………
1.4.2 Manfaat Praktis ……………………………………………..
9
9
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
DAN MODEL PENELITIAN ……………………………………
11
2.1 Kajian Pustaka ……………………………………………………
11
2.2 Konsep ……………………………………………………………
2.2.1 Wisata Layar (Sailing Tourism) dan Destinasi
Wisata Layar ……………………………………………….
2.2.2 Sail Indonesia ………………………………………………
2.2.3 Maurole sebagai Destinasi Singgah Sail Indonesia ………..
2.2.4 Pengelolaan Destinasi Wisata Layar sebagai Pariwisata
Alternatif …………………………………………………...
15
15
19
22
22
2.3 Landasan Teori……………………………………………………
2.3.1 Teori Siklus Hidup Destinasi Pariwisata
(Tourism Area Life Cycle) ………………………...............
2.3.2 Teori Partisipasi…………………………………………….
2.3.3 Teori Perencanaan ………………………………...............
25
26
28
30
2.4 Model Penelitian ………………………………………………….
33
BAB III METODE PENELITIAN ………………………………………...
36
3.1 Rancangan Penelitian …………………………………………….
36
3.2 Lokasi Penelitian …………………………………………………
38
3.3 Jenis dan Sumber Data …………………………………………...
3.3.1 Jenis Data …………………………………………………..
3.3.2 Sumber Data ……………………………………………….
42
42
42
3.4 Instrumen Penelitian …………………………………………….. 43
xvi
3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data …………………………. 44
3.6 Metode dan Teknik Analisis Data ……………………………….. 45
3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ………………
45
BAB IV GAMBARAN UMUM KECAMATAN MAUROLE …………... 46
4.1 Keadaan Fisik Wilayah ………………………………………….. 47
4.2 Potensi Wilayah ………………………………………………….. 48
4.3 Sumber Daya Pariwisata Maurole ………………………………..
51
4.3.1 Sumber Daya Alam ………………………………………..
51
4.3.2 Sumber Daya Manusia …………………………………….
53
4.3.3 Sumber Daya Budaya ……………………………………...
53
BAB V POTENSI MAUROLE SEBAGAI DESTINASI SINGGAH
SAIL INDONESIA ………………………………….....................
55
5.1 Atraksi Wisata ……………………………………………………
5.1.1 Desa Otogedu ………………………………………………
55
55
5.1.1.1 Letak, Luas, Kondisi Geografis, Demografis, Sosial,
dan Ekonomi ……………………………………….
55
5.1.1.2 Atraksi Wisata di Otogedu ……………………........
57
5.1.2 Desa Mausambi …………………………………………….
60
5.1.2.1 Letak, Luas, Kondisi Geografis, Demografis,
Sosial, dan Ekonomi ………………………………..
60
5.1.2.2 Atraksi Wisata di Mausambi ……………………….
61
5.1.3 Desa Maurole ………………………………………………
63
5.1.3.1 Letak, Luas, Kondisi Geografis, Demografis,
Sosial, dan Ekonomi ………………………………..
63
5.1.3.2 Atraksi Wisata di Maurole ………………………… 64
xvii
5.1.4 Desa Watukamba …………………………………………..
66
5.1.4.1 Letak, Luas, Kondisi Geografis, Demografis,
Sosial, dan Ekonomi ………………………………..
66
5.1.4.2 Atraksi di Watukamba ……………………………...
67
5.2 Aksesibilitas ……………………………………………………...
71
5.3 Amenitas ………………………………………………………….
74
5.4 Ancillary Services ………………………………………………...
78
BAB VI PENGELOLAAN MAUROLE SEBAGAI DESTINASI
SINGGAH SAIL INDONESIA ………………………………….
81
6.1 Pengelolaaan Areal Titik Labuh ………………………………….
81
6.2 Pengelolaan Atraksi Seni Budaya ………………………………..
88
6.3 Pengelolaan Perjalanan Wisata …………………………………..
91
6.4 Partisipasi Pemangku Kepentingan Pariwisata …………………..
97
6.4.1 Partisipasi Pemerintah ……………………………………...
98
6.4.2 Partisipasi Pelaku Usaha …………………………………...
100
6.4.3 Partisipasi Masyarakat ……………………………………..
101
BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG MENDUKUNG
PENGEMBANGAN DESTINASI WISATA LAYAR
MAUROLE SEBAGAI PARIWISATA ALTERNATIF ………
111
7.1 Faktor Internal …………………………………………………....
111
7.2 Faktor Eksternal ………………………………………………….
118
7.2.1 Kebijakan Pemerintah ……………………………………...
119
7.2.2 Sistem Wisata Layar ……………………………………….
120
7.2.3 Persepsi Wisatawan ………………………………………..
125
7.2.4 Wisata Layar Sebagai Pemicu Pengembangan Destinasi …. 129
xviii
7.3 Rencana Pengembangan Wisata Layar …………………………..
133
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN …………………………………....
138
8.1 Simpulan ………………………………………………………….
138
8.2 Saran ……………………………………………………………...
141
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………...
143
LAMPIRAN – LAMPIRAN …………………………………………….... 148
xix
DAFTAR TABEL
Halaman
4.1 Banyaknya Dusun, RW dan RT di Kecamatan Maurole
Tahun 2011…………………………………………………………….
46
4.2
Tingkat Kemiringan Lahan di Kecamatan Maurole …………………... 47
5.1 Komposisi Warga Desa Maurole Menurut Mata Pencaharian ………...
64
5.2 Rute, Jadwal, Jenis dan Jumlah Moda Transportasi Antarkota
dari dan ke Kecamatan Maurole ……………………………………….
72
5.3 Penginapan dan Rumah Makan di Kecamatan Maurole ……………….
76
5.4 Fasilitas Pendukung (amenitas) Lainnya di Kecamatan Maurole ……..
77
5.5 Unsur Ancillary Services dalam Kegiatan Sail Indonesia di
Destinasi Singgah Maurole …………………………………………….
79
6.1 Fasilitas, Pengeloaan, dan Pemanfaatan Bahan dan Tenaga Lokal di
Titik Labuh – Destinasi Singgah Keamatan Maurole ………………….
84
6.2 Atraksi Seni Budaya di Destinasi Singgah Maurole …………………..
89
6.3 Tempat Kunjungan Wisatawan dalam Sail Indonesia di Maurole …….
92
6.4 Pemangku Kepentingan dalam Sail Indonesia di Destinasi
Singgah Maurole ……………………………………………………….
98
6.5 Sifat Partisipasi Stakeholder Pariwisata dalam Sail Indonesia di
Destinasi Singgah Maurole dan Parameternya ………………………...
109
7.1 Substansi Penilaian terhadap Destinasi Singgah Maurole
Berdasarkan Unsur yang Dinilai ……………………………………….
126
xx
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Rute Pelayaran Sail Indonesia …………………………………………
21
2.2 Model Penelitian ……………………………………………………….
35
3.1 Peta Provinsi Nusa Tenggara Timur …………………………………...
40
3.2 Peta Administrasi Kabupaten Ende dan Lokasi Maurole ……………...
41
4.1 Areal Persawahan di Maurole ………………………………………….
49
5.1 Penduduk Memperagakan Proses Pembuatan Arak …………………...
58
5.2 Kunjungan Wisatawan di Dusun Detuara Desa Mausambi ……………
63
5.3 Kunjungan ke SD Maurole …………………………………………….
65
5.4 Penobatan Peserta Sail Indonesia sebagai Mosalaki …………………..
68
5.5 Titik Labuh Pantai Nanganio, Desa Watukamba ……………………...
69
6.1 Titik Labuh Pantai Mausambi …………………………………………
88
6.2 Areal Pentas Seni Budaya di Mausambi ……………………………….
90
6.3 Penari di Desa Nualise …………………………………………………
91
6.4 Sailor - Kelimutu Tour 2012 …………………………………………..
96
6.5 Pemasangan Atap Rumah Adat di Wologai Tengah …………………..
104
6.6 Peserta Sail Indonesia dan Tomat yang Dipetiknya di Waturaka ……... 106
6.7
Tetua Adat di Desa Nualise dan Peserta Sail Indonesia ………………
108
7.1 Hirarki Geografis Destinasi Wisata Layar ……………………………..
124
7.2 Wisata Layar yang Dilukiskan sebagai Sistem Pariwisata …………….
124
7.3
7.4
Titik Labuh Pantai Nanganio ………………………………………….
Model Faktor Internal dan Faktor Eksternal yang Mendukung
Pengembangan Maurole sebagai Destinasi Wisata Layar ……………..
127
132
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
Lampiran 1 : Pedoman Wawancara dengan Aparat Desa,
Masyarakat Desa, Operator, dan Tim Teknis …………..
149
Lampiran 2 : Pedoman Wawancara dengan Masyarakat ………………
153
Lampiran 3 : Pedoman Wawancara dengan Pemerintah Daerah,
Aparat Desa, dan Tim Teknis ……………………………
154
Lampiran 4 : Pedoman Wawancara dengan Pemerintah,
Industri, dan Masyarakat…………………………………
156
Lampiran 5 : Pedoman Wawancara dengan Ahli dan Tokoh
Masyarakat ………………………………………………
159
Lampiran 6 : Daftar Informan …………………………………………
161
Lampiran 7 : Foto-foto Kegiatan Sail Indonesia ……………………….
165
Lampiran 8 : Foto-Foto Penelitian……………………………………..
167
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki
wilayah laut seluas 5,8 juta km². Wilayah laut itu terdiri dari wilayah teritorial
seluas 3,2 juta km² dan wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia 2,7 juta
km². Selain itu, terdapat 17.840 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km.
(Lukita, 2012). Fakta fisik ini menunjukkan “wilayah laut mencakup dua per tiga
luas wilayah Indonesia” (Mina Bahari, 2013: 9).
Terkait dengan fakta mengenai wilayah negara kepulauan itu, Dahuri (2009:
2) menyebutkan bahwa kawasan pesisir dan laut Indonesia merupakan tempat
ideal bagi aktivitas pariwisata bahari, yaitu: berjemur di pantai, berenang di laut
yang jernih, olah raga air (selancar angin, selancar, paralayang di air, kayak,
katamaran), wisata dengan kapal (pleasure boating), wisata dengan kapal jenis
yacht (ocean yachting), wisata dengan kapal jenis cruise (cruising), memancing,
menyelam, snorkeling, fotografi bawah laut, taman laut, rekreasi bermain kano
(canoeing), taman pesisir laut, suaka margasatwa, dan kampung nelayan.
Menurutnya, jika potensi wisata bahari yang tersebar di kepulauan nusantara ini
dikembangkan, maka nilai ekonominya sangat besar. Diuraikannya, pada tahun
2003, negara bagian Queensland, Australia dengan panjang garis pantai 2100 km
dapat meraup devisa dari pariwisata bahari sebesar US$ 2,1 milyar, sedangkan
2
devisa dari sektor pariwisata bahari di Indonesia baru mencapai sekitar US$ 1
milyar per tahun.
Fakta ini menggambarkan Indonesia belum sepenuhnya memanfaatkan
potensi wisata bahari. Hal ini berakibat pada aspek-aspek terkait lainnya yaitu
hilangnya peluang pengembangan industri bahari, peluang edukasi kebaharian,
teknologi kebaharian, perangkat keras, telekomunikasi dan navigasi, perangkat
lunak kemaritiman, pemetaan global (global mapping), acara-acara kemaritiman
internasional, peluang pekerjaan dalam konteks bahari internasional, dan basis
data kebaharian (Lesmana, 2012: 3).
Dalam ranah wisata layar yang merupakan salah satu bentuk aktivitas wisata
bahari, Caribbean Tourism Organization (2008: 61) menyebutkan bahwa jenis
wisata layar mengalami perkembangan yang pesat. Diperkirakan setidaknya
terdapat 10 juta aktivitas wisata layar di dunia setiap tahunnya. Jumlah itu
mencakup 2,5 juta aktivitas wisata layar yang dilakukan oleh penduduk Amerika
dan 1 juta aktivitas wisata layar yang dijalankan oleh penduduk Inggris.
Kenyataan itu menggambarkan bahwa terbentang kesempatan yang luas untuk
mengembangkan destinasi wisata layar oleh para pelaku aktivitas wisata ini.
Di Indonesia, menurut Lesmana (2012: 4) aktivitas wisata layar yang
dilakukan oleh kapal jenis yacht, (istilah “yacht” digunakan secara bergantian
dengan istilah “kapal layar”, atau “kapal wisata” dengan pengertian yang sama),
sudah berlangsung sejak tahun 1973 melalui kegiatan lomba kapal layar (yacht
race) yaitu Darwin-Ambon Race. Lomba kapal layar dengan rute Darwin-Ambon
3
ini berlangsung hingga tahun 1998. Aktivitas layar berikutnya adalah Darwin-Bali
Race tahun 2000-2004 dengan rute Darwin-Bali.
Terkait kegiatan reli kapal layar, Lesmana (2012) juga menjelaskan bahwa
reli kapal layar (yacht rally) di Indonesia dimulai dengan adanya kegiatan
Indonesia Marine Tournament dengan rute Darwin-Bali (2003-2004) dan Darwin
Kupang Rally dengan rute Darwin-Kupang (2003-2005). Nama Sail Indonesia
mulai digunakan sejak tahun 2005 hingga saat ini untuk mengganti nama Darwin-
Kupang Rally, dengan memanfaatkan rute reli yang disebut Indonesian Passage
yang meliputi beberapa destinasi singgah di Indonesia. Terdapat juga beberapa
kegiatan wisata layar seperti fun sailing dengan rute Darwin-Saumlaki (2005),
lomba layar Darwin-Ambon Race (2006), Singapore Straight Regata (dengan rute
Singapura-Batam), fun sailing Fremantle-Bali (dengan rute Fremantle-Bali tahun
2012). Aktivitas reli kapal layar berikutnya adalah Back to Down Under Rally
yang mulai diadakan sejak tahun 2012 hingga saat ini dengan rute Tarakan sampai
Papua.
Dalam kegiatan reli kapal layar Sail Indonesia, kapal-kapal layar masuk ke
perairan Indonesia di bagian selatan dari Darwin, Australia. Pelabuhan masuk
(entry port) yang digunakan adalah Kupang di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan
Saumlaki di Provinsi Maluku. Selama di Indonesia, kapal-kapal itu melewati rute
sepanjang perairan di utara Pulau Flores dalam pelayarannya menuju ke bagian
barat wilayah Indonesia. Destinasi di Pulau Flores yang secara nyata telah
disinggahi oleh kapal layar adalah Larantuka di Kabupaten Flores Timur,
Maumere di Kabupaten Sikka, Maurole di Kabupaten Ende, Riung di Kabupaten
4
Ngada, dan Labuan Bajo di Kabupaten Manggarai Barat (SailToIndonesia, 2012).
Kenyataan ini menggambarkan bahwa secara geografis, perairan di sebelah utara
Pulau Flores merupakan jalur bagi kapal layar.
Tahun 2007 kapal-kapal wisata mulai memasuki Kabupaten Ende yaitu
melalui Kecamatan Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia. Di tahun-
tahun berikutnya, destinasi ini juga mulai disinggahi oleh kapal-kapal wisata yang
melakukan perjalanan secara individu bukan melalui event wisata tertentu.
Sebelumnya, akses wisatawan melalui laut ke Kabupaten Ende hanya dilakukan
melalui Pelabuhan Ende dan Pelabuhan Ipi yang berlokasi di pesisir selatan Pulau
Flores. Wisatawan datang atau meninggalkan Ende melalui kedua pelabuhan itu,
menggunakan kapal feri atau kapal motor penumpang yang dikelola oleh PT.
Pelni. Pelabuhan asal atau pelabuhan tujuan wisatawan antara lain Kupang, Sabu,
Sumba, Bima, dan Benoa, Bali. Kenyataan ini menunjukkan bahwa destinasi
Maurole menjadi salah satu akses bagi wisatawan ke Kabupaten Ende melalui
pesisir utara di Pulau Flores (Disbudpar, 2009).
Disadari ada fakta yang menunjukkan bahwa akses melalui laut ke
Kabupaten Ende tidak hanya terbatas melalui kedua pelabuhan yang ada, namun
dapat juga melalui Maurole. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa kegiatan
wisata layar dapat menembus keterisolasian pulau-pulau kecil yang memiliki
potensi wisata bahari, tetapi sulit diakses karena keterbatasan infrastruktur dan
fasilitas pariwisata (Budhiana, N, 2012).
Realitas kehadiran kapal – kapal wisata di sejumlah destinasi singgah, di
satu sisi menciptakan peluang bagi daerah untuk mengembangkan wilayahnya
5
sebagai destinasi wisata layar, namun di sisi lainnya peluang ini melahirkan
masalah tersendiri. Misalnya, masalah kemampuan stakeholder di destinasi dalam
memanfaatkan peluang itu, masalah partisipasi dan koordinasi antarpemangku
kepentingan, dan masalah pengelolaan destinasi.
Partisipasi pemangku kepentingan pun menjadi perlu diperhatikan dengan
seksama karena keterlibatannya sangat dipengaruhi oleh bagaimana sebuah
destinasi dikelola. Pelibatan pemangku kepentingan sejak awal sangat dibutuhkan
untuk membangkitkan kepercayaan akan potensi dan kemampuan destinasi dalam
memanfaatkan peluang pengembangan wisata layar. Partisipasi pengambil
kebijakan pariwisata, pelaku pariwisata, dan masyarakat lokal sangat
memengaruhi keberlangsungan keberadaan destinasi. Misalnya, masyarakat lokal
akan enggan ikut teribat dalam memanfaatkan peluang, jika pemerintah daerah
tidak melibatkannya dalam upaya pengembangan destinasi. Pelaku pariwisata juga
menjadi kurang bergairah memanfaatkan peluang ekonomi yang timbul dari
kehadiran kapal-kapal wisata manakala ruang untuk keterlibatannya tidak terbuka.
Keterlibatan masyarakat dalam pariwisata di sebuah destinasi akan dapat
membantu peningkatan ekonomi masyarakat di destinasi itu. Menurut Yoeti
(2008: 18) keterlibatan langsung masyarakat dalam program-program pariwisata
adalah melalui pemanfaatan hasil kerajinan tangan, hasil pertanian, peternakan,
perikanan, perkebunan, produk hasil seni dan budaya tradisional serta
pengembangan desa wisata.
Pada kenyataanya, pemangku kepentingan baik industri, masyarakat,
maupun pemerintah telah berupaya untuk memastikan bahwa potensi wisata layar
6
itu dimanfaatkan. Kalangan industri secara nyata turut berperan dalam
memberikan pelayanan, misalnya melalui pengemasan kunjungan wisata di darat
bagi wisatawan kapal layar yang singgah di destinasi tertentu. Demikian pun
dengan masyarakat di titik singgah kapal layar, mereka ikut terlibat dalam
memberikan pelayanan wisata bagi para wisatawan yang berkunjung ke
wilayahnya. Memanfaatkan kehadiran wisatawan itu, masyarakat, antara lain,
menyediakan jasa maupun barang-barang kebutuhan wisatawan. Pemerintah
Indonesia memberikan kemudahan bagi masuknya kapal wisata (yacht) asing ke
Indonesia dengan menerbitkan peraturan khusus tentang masuknya kapal wisata
yaitu Perpres No. 79 Tahun 2011. Peraturan presiden ini dikeluarkan setelah
periode lebih dari tiga dasawarsa perkembangan aktivitas wisata layar di
Indonesia.
Ada dua dasar pertimbangan lahirnya peraturan ini. Pertama, bahwa
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki
keanekaragaman hayati dan kekayaan budaya sebagai modal dasar untuk
mengembangkan industri wisata bahari. Kedua, bahwa dalam rangka
mengembangkan industri wisata bahari dan meningkatkan perekonomian
masyarakat pesisir, pulau-pulau kecil, dan perairan pedalaman, perlu diberikan
kemudahan bagi kapal wisata asing yang berkunjung ke Indonesia. Pertimbangan
kedua kiranya perlu diapresiasi bahwa pemerintah kian menyadari potensi wisata
bahari, khususnya potensi wisata layar dengan kehadiran kapal wisata, sebagai
salah satu alternatif yang dapat menunjang upaya pengembangan industri wisata
bahari. Bagi daerah, seperti Pulau Flores, yang secara geografis berada dalam
7
jalur pelayaran kapal wisata, kebijakan pemerintah ini merupakan peluang untuk
membangun industri wisata bahari di daerahnya.
Maurole telah menjadi sebuah destinasi yang disinggahi kapal wisata dalam
enam tahun terakhir, namun belum ada perencanaan yang komprehensif dalam
pengelolaan dan pengembangannya. Idealnya, ada perencanaan yang sifatnya
jangka panjang dan berkelanjutan. Perencanaan dimaksud dapat menjadi landasan
bagi daerah untuk memanfaatkan peluang berkembangnya wisata layar. Dengan
kalimat ain, dalam rangka mengelola kegiatan pariwisata yang lebih profesional,
dibutuhkan adanya perencanaan yang terpadu dan berkesinambungan (Paturusi,
2008: 6).
Upaya pengembangan destinasi wisata, termasuk destinasi yang memiliki
potensi wisata bahari, memerlukan kajian menyeluruh terhadap berbagai aspek.
Hal ini, menurut Yoeti (2008: 18), disebabkan karena sebagai suatu industri,
pariwisata mencakup aspek-aspek yang amat luas dan menyangkut berbagai
kegiatan ekonomi masyarakat. Karena itu, pengembangan sebuah destinasi
mencakup beberapa elemen. Cooper, et al., (1996) menyebutkan bahwa elemen
dasar destinasi terdiri dari “4A”, yaitu attraction, accessibility, amenity, dan
ancillary services. Dalam konteks ekonomi, keempat elemen itu merupakan
komponen penawaran (supply) pariwisata, seperti yang dikemukakan Yoeti (2008:
163) bahwa yang termasuk dalam pengertian penawaran dalam industri pariwisata
adalah semua bentuk daya tarik wisata (tourist attractions), semua bentuk
kemudahan untuk memperlancar perjalanan (accssesibilities), dan semua bentuk
fasilitas dan pelayanan (facilities and services) yang tersedia pada suatu destinasi
8
wisata, yang dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan wisatawan selama
mereka berkunjung ke destinasi tersebut.
Dengan demikian, destinasi menempati posisi yang sangat penting, dan
menurut Cooper et.al., (1996) destinasi mempertemukan seluruh aspek pariwisata
– permintaan, transportasi, penawaran, dan pemasaran – dalam sebuah kerangka
kerja yang bermanfaat. Walaupun demikian, penelitian ini hanya mencakup aspek
penawaran (supply) dari sebuah destinasi wisata. Dengan kalimat lain, kajian
penelitian ini dibatasi pada beberapa komponen aspek penawaran dari destinasi
Maurole. Dalam konteks destinasi wisata yang baru mulai berkembang seperti
Maurole, pengembangan destinasi dengan pendekatan yang partisipatif, dan
pendekatan berbasis pariwisata alternatif menjadi sebuah objek kajian yang
menarik.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka
permasalan yang dikaji dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Apa potensi Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia?
2. Bagaimana pengelolaan Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia?
3. Faktor-faktor apakah yang mendukung pengembangan destinasi wisata
layar Maurole sebagai pariwisata alternatif?
9
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan memahami gejala kepariwisataan yang
terkait dengan wisata layar di Maurole dan mengkaji pengembangan destinasi
wisata layar sebagai pariwisata alternatif.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi potensi Maurole sebagai destinasi singgah Sail
Indonesia.
2. Mengkaji pengelolaan dan partisipasi pemangku kepentingan pariwisata
dalam Sail Indonesia di destinasi singgah Maurole.
3. Mengkaji faktor-faktor yang mendukung pengembangan destinasi wisata
layar Maurole sebagai pariwisata alternatif di Kabupaten Ende.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat secara teoretis dalam
kaitan dengan pemanfaatan teori-teori, konsep, dan model penelitian untuk
mengkaji gejala pariwisata dan memberikan tambahan wawasan di bidang
pariwisata, khususnya dalam memahami destinasi wisata layar dan perencanaan
pengembangannya sebagai pariwisata alternatif.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat praktis kepada sejumlah
pihak yang terkait dengan penelitian ini. Bagi pemerintah daerah di Kabupaten
10
Ende khususnya dan Flores pada umumnya, hasil penelitian ini diharapkan
bermanfaat sebagai masukan dalam pembuatan perencanaan pengembangan
destinasi wisata layar. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi acuan bagi
pemangku kepentingan pariwisata lainnya yakni masyarakat dan industri
pariwisata untuk ikut berpartisipasi dalam pengembangan destinasi wisata layar.
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Untuk memperoleh perspektif yang jelas sebagai titik tolak dalam mencapai
tujuan penelitian, maka dikemukakan sejumlah penelitian terdahulu dan referensi
ilmiah yang dianggap relevan dengan penelitian ini. Karena itu, penelusuran
penelitian dan referensi ilmiah mencakup tema wisata bahari, wisata layar, dan
pengembangan destinasi wisata.
Penelitian ini mengacu pada lima penelitian yang membahas topik potensi
wisata bahari, pengelolaan destinasi, partisipasi pemangku kepentingan, dan
rencana pengembangan destinasi. Kelimanya tidak terkait langsung dengan
destinasi wisata layar ataupun destinasi singgah Sail Indonesia, namun dianggap
relevan dengan penelitian ini. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Derksen
(2007), yaitu “Nautical Tourism Potential in Dalmatia Dubrovnik Region”.
Penelitian dalam bentuk disertasi ini menganalisis alasan dan motivasi
Kementerian Pariwisata di Croatia tidak memasukkan wisata bahari di Dubrovnik
dalam rencana strategisnya. Selain itu, mencermati dampak dari keputusan itu
bagi pengembangan wisata bahari. Lebih jauh penelitian itu mengkaji apa yang
ditawarkan Dalmatia Dubrovnik bagi wisatawan yang menikmati wisata bahari,
bagaimana sektor ini dikembangkan, dan rencana pengembangan wisata bahari
lebih lanjut. Kajian mengenai wisata bahari dan konsep wisata bahari termasuk
12
konsep wisata layar dalam penelitian ini digunakan sebagai acuan dalam
memahami wisata layar dalam penelitian ini.
Kedua, penelitian yang dilakukan Wirawan (2009) tentang pengembangan
daya tarik wisata bahari secara berkelanjutan di Nusa Lembongan, Kabupaten
Klungkung. Penelitian ini berfokus pada tiga hal yaitu bentuk pengembangan daya
tarik wisata bahari, peran pemangku kepentingan, dan manfaat dari
pengembangan daya tarik wisata bahari yang mencakup manfaat ekonomi,
manfaat sosial budaya, dan manfaat lingkungan. Kajiannya menggunakan teori
perencanaan, teori partisipasi dan teori pengelolaan alam secara berkelanjutan.
Hasil penelitian dalam bentuk tesis ini menunjukkan bahwa pengembagan daya
tarik wisata bahari di Nusa Lembongan menggunakan pendekatan integrated
planning, dengan mengoptimalkan pelibatan komunitas, penataan fasilitas dan
penyediaan infrastruktur serta diversifikasi aktivitas dan paket wisata. Teori
partisipasi, teori perencanaan, optimalisasi pelibatan komunitas, dan diversifikasi
aktivitas dan paket wisata dijadikan acuan oleh penelitian ini untuk memahami
pengelolaan destinasi dan upaya pengembangan destinasi wisata.
Ketiga, penelitian oleh Murdana (2010) yang mengkaji pengembangan
pariwisata Pulau Gili Trawangan berbasis ekowisata bahari. Penelitian dalam
bentuk tesis ini menggunakan pendekatan pariwisata berkelanjutan, pendekatan
pariwisata alternatif, dan pendekatan pariwisata berbasis masyarakat. Sedangkan
teori yang diaplikasikannya mencakup teori perencanaan, teori siklus hidup area
wisata, dan teori adaptasi. Penelitian ini digunakan sebagai acuan untuk mengkaji
pengembangan destinasi dengan pendekatan pariwisata alternatif.
13
Keempat, terkait kajian mengenai karakteristik destinasi wisata, terdapat
penelitain mengenai karakteristik pantai Sanur dalam menunjang kegiatan wisata
bahari yang dilakukan oleh Gautama (2011). Dalam bentuk tesis, secara khusus, ia
mengevaluasi perkembangan wisata bahari di Pantai Sanur. Kajiannya antara lain
mengulas tentang karakteristik pantai yang cocok untuk pengembangan wisata
bahari. Pemahaman akan karakteristik sebuah destinasi wisata bahari dalam
penelitian ini dijadikan acuan untuk memahami karakteristik titik labuh di sebuah
destinasi singgah kapal layar.
Kelima, penelitian mengenai keberadaan Pulau Flores dalam kaitannya
dengan siklus hidup destinasi wisata dilakukan oleh Tallo (2011). Ia melakukan
kajian tentang strategi pengembangan Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur sebagai
destinasi pariwisata berkelanjutan. Penelitian dalam bentuk tesis ini antara lain
menganalisis kepariwisataan di masing-masing kabupaten di Flores dalam
hubungannya dengan siklus hidup pariwisata. Salah satu temuannya adalah Pulau
Flores berada pada tahap siklus hidup destinasi pariwisata yaitu tahap exploration
dan tahap involvement. Temuan dalam penelitian ini dipakai sebagai acuan untuk
memahami tahap pengembangan destinasi wisata layar dalam kerangka siklus
hidup sebauah destinai wisata.
Secara umum, keempat penelitian yang disebutkan terdahulu bertema pokok
wisata bahari. Tema itu memayungi aspek-aspek yang dikaji seperti
pengembangan kawasan pesisir, karakteristik wilayah kajian, partisipasi
pemangku kepentingan, siklus hidup destinasi pariwisata, dan pola pengembangan
pariwisata terpadu baik dalam kerangka ekowisata dan keberlanjutan
14
(sustainability). Penelitian terakhir mencakup kajian yang lebih luas terhadap
kepariwisataan di kabupaten-kabupaten di Pulau Flores dengan sudut pandang
pengembangan destinasi pariwisata berkelanjutan.
Tema pokok penelitian ini sama dengan empat penelitian terdahulu. Namun,
penelitian ini secara khusus mengkaji wisata kapal layar (wisata layar) yang
merupakan salah satu bagian dari wisata bahari sebagai objek penelitian.
Penelitian kelima yang berlokasi di Pulau Flores memiliki kesamaan dalam hal
kajian terhadap siklus hidup destinasi pariwiata. Namun, perbedaannya terletak
pada cakupan destinasi yang digarap. Penelitian ini membatasi diri pada siklus
hidup destinasi singgah Maurole.
Perbedaan utama penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah
menyangkut lokasi penelitian dan objek kajian. Penelitian ini dilakukan di
Kecamatan Maurole dengan pertimbangan daerah ini telah menjadi salah satu
destinasi singgah reli perahu layar internasional Sail Indonesia. Pertimbangan ini
dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman mengenai Maurole sebagai destinasi
wisata layar. Dengan demikian, objek kajian penelitan ini mencakup potensi
destinasi singgah, pengelolaan dan partisipasi masyarakat dalam aktivitas
destinasi singgah terkait Sail Indonesia, dan berdasarkan kedua aspek itu
dilakukan kajian terhadap faktor-faktor yang mendukung pengembangan destinasi
wisata layar sebagai pariwisata alternatif.
15
2.2 Konsep
2.2.1 Wisata Layar (Sailing Tourism) dan Destinasi Wisata Layar
Pemahaman konsep wisata layar tidak bisa dipisahkan dari pemahaman akan
konsep wisata bahari. Istilah wisata layar dalam penelitian ini digunakan sebagai
padanan istilah sailing tourism atau yachting tourism (Derksen, 2007: 13).
Sedangkan istilah wisata bahari digunakan sebagai padanan istilah marine tourism
(Orams, 2002: 9) dan/atau nautical tourism (Derksen, 2007: 13).
Derksen memasukkan pengertian wisata bahari sebagai suatu aktivitas di
waktu luang dimana orang bepergian ke sebuah destinasi wisata baik melalui darat
untuk menghabiskan waktu di perairan maupun bepergian melalui perairan untuk
menghabiskan waktu luang di daratan. Sehingga yang dibutuhkan dalam wisata
bahari adalah perairan ataupun daratan di dekat perairan tempat orang
menghabiskan waktu luangnya. Ditegaskannya wilayah yang sukses dalam wisata
bahari adalah wilayah yang mempunyai kedua tempat aktivitas baik di perairan
maupun di daratan di sekitarnya. Ia juga menggunakan pengertian wisata bahari
sebagai aktivitas wisata yang multi fungsi dengan penekanan khusus pada
komponen-komponen kebaharian. Dua pengertian yang digunakan oleh Derksen
menggambarkan keberagaman aktivitas wisata bahari yang tidak saja mencakup
aktivitas wisata di perairan laut, namun mencakup aktivitas wisata di jenis
perairan lainnya.
Orams menjelaskan bahwa wisata bahari meliputi aktivitas rekreasi yang
meliputi melakukan perjalanan ke tempat yang memiliki dan berfokus pada
lingkungan kebaharian. Menurutnya lingkungan kebaharian (marine environment)
16
adalah lingkungan dengan perairan yang mengandung kadar garam dan
dipengaruhi oleh pasang. Pengertian ini memberikan penekanan pada aktivitas
wisata bahari yang terbatas di perairan laut. Pengertian kebaharian – sebagai
sesuatu yang berhubungan dengan laut – mendapatkan posisi yang lebih tegas.
Dibandingkan dengan Derksen, maka Orams lebih menekankan pada lokasi
aktivitas rekreasi wisata yaitu di perairan laut.
Sejumlah literatur menyebutkan wisata layar merupakan bagian dari wisata
bahari (Pendit, 1986: 40 dan Dahuri, 2009). Selain menggunakan istilah wisata
bahari, Pendit juga memakai istilah wisata maritim (marina) atau wisata tirta.
Menurutnya, wisata bahari adalah jenis wisata yang banyak dikaitkan dengan
aktivitas olahraga di air. Aktivitas itu antara lain memancing, berlayar, fotografi
bawah air, berselancar, lomba dayung, berkeliling di taman laut menikmati
pemandangan indah di bawah permukaan air, dan aktivitas rekreasi air lainnya
baik di danau, sungai, pantai, teluk, atau laut. Secara lebih jelas, Dahuri
memasukkan jenis wisata dengan kapal (pleasure boating), wisata dengan kapal
jenis yacht (ocean yachting), dan wisata dengan kapal jenis cruise (cruising)
dalam aktivitas wisata bahari.
Jennings (2007) secara khusus membahas wisata layar dalam kaitan dengan
wisata tirta (water-based tourism). Menurutnya wisata tirta adalah kegiatan wisata
yang dilakukan di atau dalam kaitannya dengan sumber daya air, seperti danau,
waduk, kanal, sungai, wilayah pesisir laut, laut, samudra, dan di daerah yang
diselimuti es (ice-associated areas).
17
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan,
secara tersirat wisata bahari masuk dalam usaha wisata tirta. Wisata tirta
merupakan salah satu dari tiga belas jenis usaha pariwisata yang diatur oleh
undang-undang. Pengertian tentang wisata tirta dan wisata bahari tidak terdapat
dalam undang-undang itu, namun pengertian mengenai keduanya secara tersurat
baru muncul dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM.
96/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Wisata Tirta. Dalam
peraturan menteri itu tercantum usaha wisata tirta yang selanjutnya disebut
dengan usaha pariwisata adalah usaha penyelenggaraan wisata dan olahraga air,
termasuk penyediaan sarana dan prasarana serta jasa lainnya yang dikelola secara
komersil di perairan laut, pantai, sungai, danau, dan waduk. Selanjutnya yang
dimaksudkan dengan wisata bahari adalah penyelenggaraan wisata dan olahraga
air, termasuk penyediaan sarana dan prasarana serta jasa lainnya yang dikelola
secara komersil di perairan laut. Mengacu pada peraturan ini, wisata bahari
merupakan salah satu bidang usaha wisata tirta.
Peraturan menteri itu juga merinci jenis usaha wisata bahari yang meliputi
sub-jenis usaha: (a) wisata selam; (b) wisata perahu layar; (c) wisata memancing;
(d) wisata selancar; (e) dermaga bahari; dan (f) sub jenis usaha lainnya dari jenis
usaha bahari yang ditetapkan oleh bupati, walikota dan/atau gubernur. Dengan
demikian wisata perahu layar merupakan salah satu jenis wisata bahari. Dalam
penelitian ini istilah wisata perahu layar disamakan dengan istilah wisata layar.
VisitScotland (dalam Derksen, 2007) memberikan batasan tentang wisata
layar sebagai sebuah aktivitas wisata yang meliputi pemanfaatan waktu tertentu
18
dalam kapal wisata. Biasanya jenis kapal yacht, powerboats, dinghies dan
motorbats (ocean cruise – kapal pesiar tidak termasuk). Wisata layar mengacu
pada kegiatan wisata yang tujuan utamanya adalah berlayar atau belajar
bagaimana berlayar. Wisata layar mempunyai dua kategori yang ditunjukkan oleh
jenis kapal yang digunakan: yacht yang juga digunakan sebagai tempat menginap
atau dinghy (sebuah kapal kecil tanpa fasilitas untuk menginap sehingga
akomodasi untuk kebutuhan menginap tersedia di darat (onecaribbean.org, 2012).
Berdasarkan pemahaman itu, konsep wisata layar yang dimaksudkan dalam
penelitian ini hanya mencakup kunjungan kapal wisata asing (yacht) ke suatu
destinasi wisata tertentu. Kunjungan itu juga mencakup aktivitas menikmati
atraksi wisata yang dilakukan di darat. Dalam kasus Maurole, aktivitas wisata di
darat menjadi salah satu atraksi utama yang dilakukan oleh wisatawan yang
mengunjungi Maurole.
Sehubungan dengan konsep wisata bahari dan kenyataan bahwa wisata layar
memanfaatkan wilayah laut sebagai areal jelajahnya, maka dapat dikemukakan
bahwa konsep wisata layar dalam penelitian ini mencakup beberapa hal. Pertama,
wisata layar dikategorikan sebagai salah satu bagian atau jenis dari wisata bahari.
Kedua, wisata layar mencakup aktivitas wisatawan (travellers/sailors/yachters)
yang menggunakan kapal wisata (yacht) dan mengunjungi destinasi wisata layar
untuk melakukan aktivitas wisata baik di laut dan di darat, maupun yang singgah
tanpa aktivitas wisata di darat.
Berdasarkan pemahaman akan konsep wisata layar sebagaimana telah
dikemukakan sebelumnya, maka konsep destinasi wisata layar dalam penelitian
19
ini adalah destinasi yang secara nyata dikunjungi kapal wisata (yacht) dan ada
aktivitas pemangku kepentingan pariwisata di destinasi yang dipicu oleh
kehadiran kapal wisata itu.
2.2.2 Sail Indonesia
Sail Indonesia adalah kegiatan reli kapal wisata (yacht) internasional di
perairan Indonesia dan menyinggahi sejumlah destinasi wisata layar yang berada
di sepanjang rute reli. Pesertanya berasal dari sejumlah negara dan dimulai dengan
Darwin – Kupang Rally pada tahun 2003. Acara ini menjadi reli layar pertama
yang berkaitan erat dengan acara Lomba Layar Darwin – Dili dan Darwin –
Ambon. Sejak tahun 2005, nama Darwin – Kupang Rally diganti dengan nama
Sail Indonesia hingga kini. Nama tersebut telah dipatenkan atas nama Yayasan
Cinta Bahari Indonesia yang saat ini bernama Yayasan Cinta Bahari Antar Nusa
(YCBAN). Dalam lima tahun pertama perjalanan Sail Indonesia, YCBAN
berfokus pada misi membentuk suatu jalur layar (yacht) yang kelak menjadi jalur
layar yang dikenal oleh para pelayar dunia. Karena itu, dicetuskan gagasan tema
Sail Indonesia dalam kurun waktu itu, yakni “Sail Indonesia for the Regions”.
Dalam pelaksanaan misi ini, Sail Indonesia meniti untaian destinasi dari Kupang
sampai ke Batam yang bermuara pada terbentuknya jalur layar yang aman dan
nyaman untuk dilewati atau disinggahi para pelayar dunia. Karya nyata misi itu
setelah lima tahun adalah terbentuknya jalur layar yang dikenal dengan nama
“Indonesian Passage” (Rasdiani, 2008).
Jalur layar “Indonesian Passage”, menyatukan 8 provinsi, 13 kabupaten dan
menyinggahi 3 kota. Para peserta reli layar international masuk wilayah Indonesia
20
melalui pelabuhan pintu masuk (entry port) di Kupang. Khusus Provinsi Nusa
Tenggara Timur peserta reli singgah di delapan kabupaten (Kupang, Timor
Tengah Selatan, Alor, Lembata, Sikka, Ende, Ngada, dan Manggarai Barat) dan
satu kota yaitu Kota Kupang. Selanjutnya Kabupaten Bima menjadi titik singgah
di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Kabupaten Buleleng menjadi titik singgah di
Provinsi Bali. Destinasi berikutnya yang disinggahi adalah Kota Makasar di
Provinsi Sulawesi Selatan, Kabupaten Jepara di Provinsi Jawa Tengah, Kumai di
Kalimantan Tengah, dan Belitung di Bangka Belitung. Destinasi terakhir yang
disinggahi adalah Kota Batam di Provinsi Riau Kepulauan. Jalur layar itu menjadi
akses bagi para peserta untuk menjalankan beragam aktivitas wisata di daratan
(land tourism) ketika tiba titik-titik singgah (Lesmana, 2012).
Sail Indonesia pada tahun 2008 membentuk dua rute reli internasional yaitu
Indonesian Passage Route dan Eastern Pass Route (Saumlaki, Tual, Banda,
Ambon, Ternate, Menado, Toli-Toli/Donggala, Mamuju, Pare-pare, Makasar,
Kumai, Belitung, Batam). Sejak tahun 2009, rute layar Indonesian Passage
menggalang misi berbeda yakni Sail Indonesia – for the People (Lesmana, 2012).
Mulai Tahun 2012, menurut Lesmana (2012), dibuka jalur pelayaran perahu
layar melalui kegiatan Back to Down Under Rally (BTDUR) untuk mengantisipasi
peluang bergeraknya kapal layar dari Asia ke Australia dan New Zealand di
belahan bumi bagian selatan dan ke negara-negara di sebelah timur Indonesia.
Diuraikannya rute BTDUR adalah: Tarakan – Berau – Toli-Toli – Kwandang –
Morotai – Jailolo – Ternate – Togean – Pagimana – Banggai – Labuha – Ambon.
Setelah Ambon rute reli bisa dilanjutkan ke Raja Ampat lalu ke Biak, atau menuju
21
ke Banda – Tual – Saumlaki. Gambar 2.1 menyajikan secara garis besar rute
pelayaran Sail Indonesia.
Keterangan gambar:
: Rute Indonesian Pass
: Rute Eastern Pass Route
: Rute Back to Down Under
Gambar 2.1 Rute Pelayaran Sail Indonesia
Sumber: SailToIndonesia, 2011
Minat para pelayar dunia terhadap Sail Indonesia dari tahun ke tahun terus
meningkat secara signifikan. Misalnya, tahun 2003 tercatat 24 kapal layar. Tahun
2005 peserta bertambah menjadi 70 kapal, kemudian 127 kapal di tahun 2007 dan
130 kapal di tahun 2009. Tahun 2012 - data sampai dengan tanggal 23 Mei 2012 -
jumah peserta yang terdaftar mencapai 100 kapal (Sail Indonesia, 2012).
22
2.2.3 Maurole sebagai Destinasi Singgah Sail Indonesia
Maurole adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Ende yang terletak di
pesisir utara Pulau Flores bagian tengah. Sejak Tahun 2007 Maurole mulai
menjadi destinasi yang dikunjungi oleh kapal-kapal wisata peserta reli perahu
layar internasional Sail Indonesia (Disbudpar, 2009). Sampai Tahun 2012
Maurole termasuk dalam rute wisata layar yang disinggahi oleh para peserta Sail
Indonesia (Sail Indonesia, 2012). Adanya kunjungan wisata layar ini menjadikan
Maurole sebagai salah satu destinasi singgah Sail Indonesia. Dalam penelitian ini,
sesuai dengan konsep wisata layar seperti telah dikemukakan pada bagian
sebelumnya dan kenyataan bahwa Maurole disinggahi oleh kapal-kapal layar yang
melakukan aktivitas wisata, maka Maurole dianggap sebagai salah satu destinasi
wisata layar.
2.2.4 Pengelolaan Destinasi Wisata Layar sebagai Pariwisata Alternatif
Dalam upaya memahami perkembangan destinasi wisata secara umum,
maka penelitian ini juga mengadaptasi kerangka atribut destinasi 6A dari Buhalis
(2000: 98). Buhalis menunjukkan bahwa destinasi wisata terdiri dari beberapa
komponen inti. Ia mengkategorikan komponen-komponen ini ke dalam kerangka
6A. Pertama, atraksi (attractions) yang meliputi alam, buatan, bangunan artifisial,
dan event khusus. Dalam penelitian ini atraksi mencakup alam, budaya, dan
buatan manusia. Kedua, aksesibilitas (accessibility) yang meliputi sistem
transportasi, terminal, dan moda transportasi. Ketiga, amenitas (amenities) terdiri
dari akomodasi, catering, ritel dan jasa wisata lainnya. Keempat, paket wisata
yang tersedia (available packages) yaitu paket-paket wisata yang telah disiapkan
23
oleh tour operator atau biro perjalan. Kelima, aktivitas (activities) yakni semua
kegiatan yang dapat dilakukan oleh wisatawan ketika berada di destinasi.
Keenam, ancillary services mengacu kepada bank, telekomunikasi, jasa pos,
rumah sakit, dan lain-lain. Dengan demikian, dalam penelitian ini kerangka 6A
dari Buhalis diadaptasi untuk memahami karakterisik destinasi singgah Maurole.
Pengelolaan destinasi singgah Sail Indonesia merupakan aktivitas yang
dilakukan oleh berbagai pihak. Bentuk pengelolaannya umumnya didasarkan pada
panduan tertentu. Panduan itu dibuat oleh pengelola Sail Indonesia berdasarkan
kebutuhan dasar para peserta reli dan aktivitas wisata yang dapat dilakukan sesuai
dengan kondisi destinasi singgah. Pengelolaannya antara lain mencakup
aksesibilitas ke darat misalnya pada destinasi tertentu disiapkan floating jetty
(dermaga apung). Pemenuhan kebutuhan makan dan minum misalnya melalui
penyediaan restoran khusus selama acara berlangsung atau dengan memanfaatkan
restoran-restoran yang sudah tersedia. Penyelenggaraan perjalanan wisata di darat
dalam bentuk paket wisata, baik yang disiapkan oleh tour operator mapun yang
dilakukan oleh kelompok masyarakat. Di samping itu, juga disiapkan sarana
humaniter seperti toilet di sejumlah tempat yang terkait. Prinsip pengelolaannnya
adalah memberikan kenyamanan bagi para tamu yang datang dengan melibatkan
pemangku kepentingan setempat (Disbudpar, 2009).
Pola ini memungkinkan pengelolaan antara masing-masing destinasi
menjadi berbeda. Perbedaan itu merupakan karakter yang menjadi ciri khas
masing-masing destinasi singgah, sehigga pengelolaannya menjadi sesuatu yang
perlu dicermati. Untuk maksud itu, maka konsep pengelolaan yang mendasari
24
kajian dalam penelitian ini mencakup: (a) penataan titik labuh (anchorage area);
(b) aksesibilitas ke darat; (c) penataan areal titik labuh di darat; (d)
penyelenggaraan aktivitas perjalanan wisata di darat; (e) penyelenggaraan
pagelaran atraksi seni dan budaya daerah; dan (f) partisipasi pemangku
kepentingan dalam seluruh penanganan itu.
Keseluruhan bentuk pengelolaan dan partisipasi pemangku kepentingan
dalam pengelolaan itu dapat dipandang sebagai sebuah bentuk aktivitas pariwisata
alternatif. Secara umum pariwisata alternatif merupakan pilihan lain dari konsep
mass tourism. Menurut Smith & Eadington (1992:3) pariwisata alternatif adalah
bentuk pariwisata yang konsisten dengan nilai-nilai alam, sosial dan nilai-nilai
masyarakat serta memungkinkan baik masyarakat lokal maupun wisatawan untuk
menikmati interaksi yang positif serta bermanfaat dan menikmati pengalaman
secara bersama-sama. Penghargaan terhadap nilai alam, sosial, dan kearifan lokal
menjadi ciri utama pariwisata alternatif. Model pariwisata alternatif ini
memungkinkan terjalinnnya kebersamaan atau relasi yang positif dengan
pengunjung atau wisatawan. Artinya, masyarakat lokal menjadi subjek yang
berperan penuh dan penting.
Bila diuraikan lebih lanjut maka pariwisata alternatif mencakup beberapa
pengertian. Pertama, pariwisata alternatif diaplikasikan pada pariwisata yang tidak
merusak lingkungan, berbasis ekologis, dan menghindari dampak negatif dari
pengembangan pariwisata berskala besar di daerah wisata yang belum
berkembang. Kedua, pariwisata alternatif merupakan proses pengembangan
bentuk perjalanan yang yang berbeda dan yang berupaya menciptakan adanya
25
saling pemahaman, solidaritas, dan persamaan di antara para peserta yang ikut
dalam perjalanan wisata tertentu. Ketiga, pariwisata alternatif mencakup
pengembangan atraksi bagi wisatawan yang berskala kecil yang dilakukan dan
dikelola oleh masyarakat lokal.
Istilah alternatif juga mengandung makna sesuatu yang beda, sebagai pilihan
lain dari sesuatu yang telah ada. Fandeli (2002: 104) menyebutkan bahwa
pariwisata alternatif hadir sebagai akibat kebosanan wisatawan karena menikmati
atraksi yang sama dari waktu ke waktu. Mereka ingin memperoleh sesuatu yang
lain.
Dalam penelitian ini, wisata layar dipahami sebagai salah satu bentuk
aktivitas wisata yang dapat dikembangkan di Maurole sebagai pariwisata aternatif.
Para wisatawan yang datang dengan kapal-kapal wisata melakukan aktivitas
wisata tidak hanya di laut tetapi dan terutama di darat. Pemanfaatan aktivitas ini
sangat mungkin dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip pariwisata
alternatif. Dengan kalimat lain, wisata layar sebagai salah satu bentuk pariwisata
alternatif menjadi akses atau pemicu bagi pengembangan pariwisata alternatif di
darat (land-based tourism).
2.3 Landasan Teori
Secara substansial, penelitian ini bertolak dari adanya permasalahan terkait
belum jelasnya arah pengembangan potensi wisata layar. Karena itu, dalam
konteks pemanfaatan peluang kehadiran wisatawan melalui kapal wisata,
seharusnya pemangku kepentingan terkait sudah sejak awal memanfaatkan
peluang itu. Antara lain melalui perencanaan pengembangan yang holistik dan
26
terpadu. Bertolak dari kondisi ini, dan formulasi permasalahan yang telah
dikemukakan di bagian awal, maka dibutuhkan kerangka teori yang sesuai untuk
menganalisis permasalahan dimaksud. Adapun teori yang dibutuhkan dalam
penelitian ini adalah teori siklus hidup destinasi pariwisata (tourism area life
cycle), teori partisipasi, dan teori perencanaan.
2.3.1 Teori Siklus Hidup Destinasi Wisata (Tourism Area Life Cycle)
Salah satu konsep yang lazim dipakai untuk memahami pengembangan
suatu destinasi pariwisata adalah konsep tentang siklus hidup pariwisata (tourism
area life cycle) yang dibuat oleh Butler (1996). Dalam siklus hidup pariwisata
terdapat tujuh tahapan. Pertama, tahap exploration: dicirikan oleh destinasi wisata
yang baru ditemukan baik oleh wisatawan, pelaku pariwisata, maupun
pemerintah. Jumlah pengunjung masih sedikit, wisatawan tertarik karena
daerahnya belum tercemar, sepi. Lokasinya sulit dicapai karena keterbatasan
sarana dan prasarana penunjang pariwisata.
Kedua, tahap involvement: ditandai oleh munculnya kontrol oleh masyarakat
lokal. Sudah mulai timbul inisiatif dari masyarakat untuk menyediakan keperluan
dasar wisatawan. Mulai dilakukan promosi khususnya promosi dari mulut ke
mulut (word of mouth) untuk mengunjungi destinasi tersebut.
Ketiga, tahap development: mulai dilakukan pengembangan terutama oleh
masuknya investor dari luar daerah yang menyediakan sarana dan prasarana
seperti hotel dan restoran. Perkembangan ini mulai berdampak pada lingkungan
alam dan sosial budaya destinasi.
27
Keempat, tahap consolidation: ditandai dengan adanya intervensi pemerintah
melalui regulasi dan kebijakan untuk mengelola beragam kepentingan pemangku
kepentingan pariwisata dan pesatnya perkembangan yang terjadi.
Kelima, tahap stagnation: jumlah kunjungan wisasatawan ke destinasi
mencapai tingkat kunjungan yang tinggi, namun pertumbuhan pariwisata secara
keseluruhan kecil. Ditandai pula dengan destinai mulai ditinggalkan oleh
wisatawan karena kejenuhan, tidak adanya atraksi baru, adanya masalah
lingkungan alam, sosial, dan budaya. Akibatnya destinasi hanya berharap dari
kunjungan ulang wisatawan.
Keenam, tahap decline: destinasi sudah mulai ditinggalkan oleh wisatawan
karena mereka mengalihkan kunjungannya ke tempat lain yang lebih baru.
Destinasi ini hanya dikunjungi pada akhir pekan atau dalam waktu sehari saja
sehingga berakibat pada banyaknya fasilitas wisata yang berpindah tangan atau
pemilik dan berubahnya fungsi fasilitas pariwisata untuk tujuan lain.
Ketujuh, tahap rejuvenation: ditandai dengan adanya upaya dari seluruh
pemangku kepentingan untuk meremajakan kembali produk pariwisata, mencari
saluran distribusi lain dan mencari pasar baru dengan tujuan untuk mereposisi
produk wisata.
Dengan merujuk pada pentahapan yang dibuat Butler dan berdasarkan data
hasil penelitian, maka akan dapat ditentukan posisi destinasi wisata layar Maurole
pada siklus hidup sebuah destinasi. Namun, mengacu pada ciri-ciri itu dan
berpijak pada data dan pengamatan awal, maka dapat diasumsikan bahwa
destinasi wisata layar Maurole berada pada tahap involment. Masuknya kapal
28
wisata jenis yacht ke wilayah ini, mendorong masyarakat setempat mulai
menyediakan keperluan wisatawan tersebut. Di samping itu, upaya promosi mulai
dilakukan oleh pemangku kepentingan pariwisata dengan berbagai cara. Dalam
konteks Maurole, peran para pelayar yang pernah singgah di tempat ini sangat
besar dalam turut mempromosikannya (word of mouth).
2.3.2 Teori Partisipasi
Menurut Tosun (dalam Madiun, 2008: 36) partisipasi dilakukan dengan cara
yang berbeda-beda. Perbedaan itu mencakup partisipasi karena paksaan
(manipulative participation), dengan kekuasaan dan ancaman (coercive
participation), karena adanya dorongan (induced participation), partisipasi yang
bersifat pasif (passive participation), maupun partisipasi secara spontan
(spontaneous participation). Terkait dengan model partisipasi itu, Tosun
selanjutnya mengembangkan tipologi partisipasi masyarakat dalam pariwisata. Ia
menklasifikasi tipe partisipasi masyarakat ke dalam tiga bagian utama yaitu
partisipasi masyarakat secara spontan (spontaneous participation), partisipasi
masyarakat karena adanya kekerasan (coercive participation), dan partisipasi
masyarakat karena masyarakat merasa terdorong untuk melakukannnya (induced
participation). Pada tipe terakhir masyarakat lokal mempunyai kesempatan untuk
mendengar dan didengarkan suaranya. Mereka memiliki suara dalam proses
pembangunan pariwisata, tetapi mereka tidak berdaya terhadap kekuatan-kekuatan
lain yang mempunyai kepentingan seperti kekuatan yang berasal dari pemerintah,
perusahaan-perusahaan besar, tour operator internasional serta kekuatan-kekuatan
besar lainnya (Madiun, 2009).
29
Tosun dan Timothy (2003:4-9) mengajukan tujuh proposisi mengenai
partisipasi masyarakat dalam proses pengembangan pariwisata. Pertama,
partisipasi masyarakat merupakan elemen vital dalam perencanaan dan strategi
pariwisata. Kedua, partisipasi masyarakat berkontribusi bagi pembangunan
pariwisata berkelanjutan dalam berbagai cara. Ketiga, partisipasi masyarakat
meningkatkan kepuasan wisatawan. Keempat, partisipasi masyarakat membantu
para profesional di bidang pariwisata dalam mendesain perencanaan pariwisata
yang lebih baik. Kelima, partisipasi publik berkontribusi dalam distribusi
pembiayaan dan keuntungan yang adil di antara anggota masyarakat. Keenam,
partisipasi masyarakat dapat membantu memuaskan keinginan masyarakat yang
teridentifikasi. Ketujuh, partisipasi masyarakat memperkuat proses demokratisasi
di destinasi pariwisata.
Hoofsteede (dalam Madiun, 2009) menyebutkan ada tiga kategori
partisipasi. Pertama, partisipasi inisiasi yaitu partisipasi yang diinisiasi oleh
pemimpin desa, baik formal maupun informal ataupun dari anggota masyarakat
tentang suatu proyek yang menjadi kebutuhan masyarakat. Kedua, partisipasi
legitimasi yaitu partisipasi pada tingkat pembicaraan atau pembuatan keputusan
mengenai projek tersebut. Ketiga, partisipasi eksekusi yaitu partisipasi pada
tingkat pelaksanaannya. Partisipasi inisiasi mempunyai nilai yang lebih tinggi
dibandingkan partisipasi legitimasi dan eksekusi.
Dalam partisipasi inisiasi, masyarakat tidak sekedar menjadi objek
pembangunan tetapi turut menentukan dan mengusulkan suatu rencana. Partisipasi
ini dilandasi oleh motivasi kesadaran. Partisipasi ini timbul dari kehendak anggota
30
masyarakat dan timbul dari dorongan hati nurani. Melalui partisipasi ini
masyarakat ikut memelihara dan merasa ikut memiliki pembangunan di
wilayahnya.
Teori yang terkait dengan partisipasi ini membantu analisis dalam kaitannya
dengan bentuk kegiatan dalam pengelolaan Maurole sebagai destinasi singgah Sail
Indonesia. Pengelolaan destinasi singgah melibatkan masyarakat baik yang berada
di areal titik labuh maupun di beberapa desa yang memiliki atraksi wisata dan
dikunjungi oleh peserta Sail Indonesia.
2.3.3 Teori Perencanaan
Inskeep (dalam Paturusi, 2008:45-49) menyebutkan unsur-unsur dalam
pendekatan perencanaan dan pengembangan sebagai berikut: (1) pendekatan
berkelanjutan, tambahan, dan fleksibel, (2) pendekatan sistem, (3) pedekatan
menyeluruh, (4) pendekatan yang terintegrasi, (5) pendekatan pengembangan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, (6) pendekatan masyarakat, (7)
pendekatan pelaksanaan, dan (8) penerapan proses perencanaan sistematis.
Mengutip Inskeep, Paturusi menguraikan secara umum masing-masing model
pendekatan perencanaan itu.
Pertama, perencanaan pariwisata merupakan proses yang berlanjut dan
membutuhkan evaluasi didasarkan pada umpan balik terhadap pencapaian tujuan
pengembangan. Kedua, pariwisata merupakan suatu sistem. Komponen dalam
sistem pariwisata dianggap sebagai sistem tersendiri dan saling berhubungan.
Perubahan pada satu komponen berpengaruh pada komponen lainnya.
31
Ketiga, dalam pendekatan menyeluruh, perencanaan pariwisata perlu
memperhatikan beragam komponen dalam keseluruhan sistem. Seluruh aspek
pengembangan pariwisata yang meliputi unsur-unsur kelembagaan dan implikasi
sosial ekonomi dan lingkungan didekati secara holistik. Keempat, pariwisata
direncanakan dan dikembangkan sebagai sistem yang terintegrasi secara internal
dan eksternal. Perencanaan pengembangan sebuah kawasan perlu bersinergi
dengan keberadaan dan pengembangan kawasan terkait lainnya.
Kelima, perencanaan pariwisata dilakukan dengan memperhatikan
keselarasan dengan lingkungan fisik dan sosial budaya. Kajian daya dukung
merupakan unsur utama dalam pendekatan ini. Keenam, perencanaan pariwisata
sejak awal melibatkan masyarakat. Artinya, seluruh proses perencanaan dan
pengambilan keputusan pariwisata melibatkan masyarakat lokal.
Ketujuh, perencanaan pariwisata itu haruslah logis, fleksibel, objektif, dan
realistis sehingga dapat diterapkan dan dilaksanakan. Kedelapan, perancanaan
pariwisata dipandang sebagai penerapan proses perencanaan yang bersistem. Ada
tahapan kegiatan dalam proses perencanaan itu berdasarkan atas dimensi waktu,
sumber pembiayaan, dan institusi sektoral.
Dalam teori perencanaan dikenal dua bentuk motivasi perencanaan secara
umum (Paturusi, 2008). Kedua bentuk motivasi perencanaan itu mencakup: (a)
perencanaan berdasarkan pertimbangan kecenderungan yang berkembang saat ini
(trend oriented planning); (b) perencanaan berdasarkan pertimbangan target
(target oriented planning). Dijelaskannya, trend oriented planning didasarkan
pada pertimbangan pengalaman dan tata laku yang ada dan berkembang saat ini.
32
Kecenderungan yang ada saat ini akan dipertimbangkan untuk menentukan arah
dan tujuan perkembangan masa depan. Misalnya, kecenderungan berkembangnya
wisata layar berkonsekuensi pada berkembangnnya destinasi wisata layar. Kondisi
ini semestinaya diikuti dengan pembuatan perencanaan destinasi wisata.
Terkait target oriented planning, Paturusi (2008: 15) menjelaskan tujuan
dan sasaran ideal yang hendak dicapai pada masa yang akan datang merupakan
faktor penentu. Sehingga semua kecenderungan yang ada dalam proses
pencapaian tujuan selalu diarahkan pada target utama. Dengan kalimat lain,
apapun kecenderungan yang terjadi dalam proses perencanaan, para perencana
akan selalu fokus pada target utama yang ingin dicapai.
Motivasi ini merupakan pilihan bagi para perencana. Namun, menurut
Paturusi (2008: 16) bagi negara berkembangan seperti Indonesia, lebih cocok
menggunakan pendekatan kombinasi antara “kecenderungan” dan “target”.
Diuraikannya ada beberapa pertimbangan penggunaan pendekatan kombinasi ini,
yaitu: (1) banyak masalah yang sulit atau tidak dapat diperhitungkan secara
kuantitatif; (2) masih tingginya dinamika perubahan dalam masyarkat; (3)
kecenderungan perkembangan yang yang dilandasi oleh nilai-nilai yang berlaku di
masyarkat; (4) stabilitas perekonomian yang belum mantap; (5) keadaan sosial
politik yang masih berkembang.
Bertolak dari dasar pemikiran Paturusi itu, maka konsep pengembangan
destinasi wisata layar dalam penelitian ini dilandasi oleh motivasi perencanaan
dalam bentuk trend oriented planning. Pilihan ini didasarkan beberapa
pertimbangan, yakni: (a) dalam kerangka kawasan pengembangan baru seperti
33
Maurole, perencanaan dibuat untuk mengantisipasi perkembangan di masa yang
akan datang (Paturusi, 2008: 29); (b) dalam kurun waktu lima tahun terakhir telah
ada kecenderungan berkembangnya wisata layar di Indonesia yang juga meliputi
kawasan perairan di utara Pulau Flores (Lesmana, 2012); (c) kecenderungan ini
melahirkan kebutuhan akan penyusunan rencana masa depan sebagai langkah
proaktif atas kecenderungan itu. Dengan demikian perencanaan yang berorientasi
pada kecenderungan (trend oriented planning) dianggap sesuai untuk diterapkan
dalam penelitian ini.
2.4 Model Penelitian
Penelitian ini bertolak dari pemahaman bahwa industri pariwisata bahari
merupakan sub sistem dari sistem kepariwisataan global. Karena itu, elemen
pariwisata bahari dan kepariwisataan secara keseluruhan saling berkaitan. Di satu
sisi, sistem pariwisata yang melingkupi pariwisata bahari dapat dipandang sebagai
sebuah unsur globalisasi yang turut memengaruhi dan membentuk industri
pariwisata bahari. Pada sisi lainnya, industri pariwisata bahari dimungkinkan
berkembang karena didukung oleh sumber daya pariwisata.
Perkembangan industri wisata bahari yang dipengaruhi oleh globalisasi dan
sumberdaya pariwisata mendorong munculnya beragam aktivitas wisata. Salah
satunya adalah wisata layar. Dewasa ini, wisata layar dunia sangat berkembang
seiring berkembangnya teknologi pelayaran, industri pelayaran, dan minat pelaku
layar memanfaatkan semua aspek itu untuk melakukan aktivitas pelayaran di
perairan di dunia ini. Sail Indonesia merupakan salah satu wujud dari aktivitas
pelayaran yang berbasis pada kegiatan wisata. Kongkritnya Sail Indonesia
34
dikemas menjadi sebuah reli wisata kapal wisata yang melibatkan para palayar
dunia dengan memanfaatkan jalur layar di perairan laut Indonesia selama kurun
waktu tertentu.
Secara umum Sail Indonesia dimungkinkan oleh adanya pelaku layar dunia
yang menggunakan kapal wisata jenis yacht dan destinasi singgah yang didukung
oleh pemangku kepentingan. Meminjam elemen geografis dalam model sistem
pariwisata Leiper (1990), Sail Indonesia menyangkut tiga elemen, yaitu: (1)
traveller-generating region merupakan asal dan pasar wisata para pelayar dunia,
(2) tourist destination region merupakan tujuan perjalanan wisata yang dalam
kerangka ini mencakup berbagai destinasi singgah dalam rute pelayaran Sail
Indonesia, (3) transit route region yaitu daerah tujuan wisata yang dikunjungi
sebelum mencapai perairan Indonesia. Dalam kerangka Sail Indonesia, daerah ini
menjadi titik start reli kapal wisata.
Kerangka keterkaitan antara kapal wisata, kemasan reli kapal wisata
internasional, dan pemangku kepentingan di destinasi singgah menjadi menarik
untuk diuraikan dan dipahami. Daya tariknya terutama pada masalah yang muncul
yaitu keberadaan dan keberlangsungan destinasi. Dalam konteks Maurole sebagai
destinasi singgah atau destinasi wisata layar, masalah utamanya adalah bagaimana
mengembangkan destinasi wisata layar yang berbasis pada nilai-nilai pariwisata
alternatif.
Karena itu, penelitian ini diarahkan pada tiga tujuan khusus. Pertama,
mengidentifikasi potensi Maurole sebagai destinasi singgah. Tujuan ini dicapai
dengan memanfaatkan teori tourism area life cycle (TALC). Kedua, mengkaji
35
pengelolaan dan partisipasi pemangku kepentingan di destinasi singgah Sail
Indonesia dengan menggunakan teori partisipasi. Ketiga, mengkaji faktor-faktor
yang mendukung perencanaan pengembangan destinasi wisata layar Maurole
sebagai pariwisata alternatif dengan menggunakan teori perencanaan. Dengan
demikian, alur berpikir penelitian ini disajikan dalam Gambar 2.2.
Keterangan tanda
: Hubungan langsung (searah)
: Hubungan langsung dua arah
Gambar 2.2. Model Penelitian
Sail Indonesia di
Maurole
Pemangku
Kepentingan
Pariwisata
Kapal Wisata dan
Yachters
Teori:
Tourism Area
Life Cycle
Teori:
Perencanaan
Potensi Maurole Sebagai Destinasi
Singgah
Teori: Partisipasi
Faktor-faktor yang mendukung
Pengembangan
Maurole sebagai Destinasi Wisata
Layar
Pengelolaan Maurole Sebagai
Destinasi
Singgah
Industri Pariwisata Bahari Globalisasi Sumber Daya Pariwisata
36
BAB III
METODE PENELITIAN
2.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Sebagai bentuk kajian kepariwisataan, penelitian ini dirancang dengan
menggunakan paradigma interpretatif ilmu sosial (Jennings, 2001: 38). Paradigma
ini bertolak dari beberapa patokan dasar yaitu bagaimana realitas sosial dipahami
(basis ontologis), relasi antara peneliti dengan subjek atau objek yang diteliti
(basis epistemologis), dan bagaimana peneliti mengumpulkan data/informasi
(basis metodologis). Jennings lebih jauh menguraikan dari aspek ontologi, realitas
sosial dipandang sebagai kenyataan yang beragam. Secara epistemologis, relasi
antara peneliti dan subjek (orang yang diwawancarai/informan) bersifat subjektif.
Paradigma ini menggunakan metodologi kualitatif (aspek metodologis).
Berdasarkan pemahaman yang dikemukakan Jennings, maka basis ontologis
penelitian ini adalah realitas sosial yang terkait dengan keberadaan destinasi
singgah Maurole dalam kegiatan Sail Indonesia yang memiliki faktor-faktor untuk
pengembangan wisata layar sebagai pariwisata alternatif. Basis epistemologis
terkait pengumpulan data di lokasi destinasi singgah Maurole dan di lokasi terkait
lainnya dilakukan dengan pola hubungan subjektif antara peneliti dengan
informan. Sesuai dengan pendekatan penelitan ini, maka basis metologis yang
digunakan adalah metodologi kualitatif.
37
Creswell (2009: 175-176) meyebutkan sejumlah karakteristik dari penelitian
kualitatif, yaitu: seting alamiah, peneliti adalah instrumen kunci, sumber data yang
digunakan beragam, data dianalisa secara induktif, makna berasal dari partisipan,
desain penelitian berkembang, menggunakan lensa teoritis, bersifat interpretatif,
dan holistik. Cresswell menjelaskan dalam seting alamiah, peneliti cenderung
mengumpulkan data langsung di lapangan sehingga peneliti merupakan instrumen
kunci yang berhadapan dengan sumber data yang beragam. Keragaman sumber
data diperoleh melalui wawancara, observasi, dan pemeriksaan dokumen.
Diuraikannya, peneliti juga membangun pola, kategori dan tema-tema dari
bawah atau dari data lapangan untuk melakukan analisa secara induktif. Sehingga
dalam prosesnya, tema-tema yang baru dapat saja bermunculan dari partisipan.
Karena itu, dalam keseluruhan proses penelitian, peliti berupaya memahami
makna yang dipegang oleh partisipan, bukan makna yang dibawa oleh peneliti ke
partisipan.
Menurutnya proses penelitian kualitatif terus berubah dan desainnya dapat
berkembang. Karena itu, perencanaan penelitian tidak bisa kaku. Artinya seluruh
proses dapat berubah-ubah selaras perkembangan di lapangan. Terhadap apa yang
dilihat, didengar, dan dipelajarinya, peneliti memberikan interpretasi. Interpretasi
itu tidak dapat dipisahkan dari latar belakang, sejarah, konteks dan pemahaman
sebelumnya. Sehingga, peneliti berusaha mengembangkan gambaran yang
kompleks atau holistik dari permasalahan yang ditelitinya. Untuk memahami
kajiannya itu, peneliti sering menggunakan lensa teori, namun dapat juga bertolak
dari isu atau permasalahan penelitiannya untuk memahami teori.
38
Bertolak dari karakteristik penelitian kualitatif yang dipaparkan oleh
Creswell, maka keseluruhan tahap penelitian ini sejauh mungkin didasarkan dan
disesuaikan dengan karakteristik itu. Dengan kalimat lain, rancangan penelitian ini
sepenuhnya merujuk pada karakteristik penelitian kualitatif.
Terkait dengan Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia, maka
pendekatan kualitatif digunakan untuk memahami fakta sosial yang meliputi
realitas potensi destinasi, pengelolaan destinasi singgah Sail Indonesia baik
bentuk pengelolaan maupun partisipasi pemangku kepentingan, dan faktor-faktor
yang mendukung pengelolaan destinasi wisata layar Maurole sebagai pariwisata
alternatif.
3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende, Provinsi
Nusa Tenggara Timur. Desa yang tercakup dalam ruang lingkup penelitian ini
adalah empat desa di Kecamatan Maurole yang dalam aktivitas Sail Indonesia
menjadi desa yang dikunjungi wisatawan. Ke empat desa itu adalah Mausambi,
Maurole, Watukamba, dan Otogedu. Ditambah dengan empat desa di luar
Kecamatan Maurole yang dikunjungi juga oleh wisatawan saat Sail Indonesia
yaitu Desa Nualise, Waturaka, Wologai Tengah, dan Wolotopo Timur. Data dari
ke-empat desa tersebut menjadi data penunjang dalam kerangka analisis.
Secara umum, penentuan lokasi ini dilakukan dengan beberapa
pertimbangan:
1. Sejak Tahun 2007 Kecamatan Maurole merupakan salah satu destinasi
singgah reli perahu layar (kapal wisata) internasional Sail Indonesia.
39
2. Sebagai destinasi singgah Sail Indonesia, sejumlah aktivitas telah dilakukan
di Maurole seperti penentuan lokasi titik labuh, penataan areal titik labuh,
penyambutan, pelaksanaan aktivitas wisata, pagelaran seni budaya sebagai
ajang apresiasi seni dan pelestarian budaya daerah, serta interaksi antara
wisatawan dan mayarakat lokal.
3. Sebagai destinasi singgah Sail Indonesia, Maurole menjadi salah satu
destinasi yang menawarkan aktivitas kunjungan wisata di darat (land-based
tourism) yang beragam. Aktivitas itu memberikan sesuatu yang unik, yang
berbeda, yang memiliki kearifan lokal baik ditinjau dari sisi budaya maupun
lingkungan serta keterlibatan masyarakat lokal sehingga dari perspektif
pariwisata alternatif, Maurole menjadi objek kajian yang menarik.
Secara geografis Kecamatan Maurole terletak di Kabupaten Ende, Provinsi
Nusa Tenggara Timur seperti terlihat pada Gambar 3.1 dan 3.2 berikut.
40
Gambar 3.1 Peta Provinsi Nusa Tenggara Timur
Sumber: Buana Raya, 2012 (dimodifikasi)
41
Gambar 3.2 Peta Administrasi Kabupaten Ende dan Lokasi Maurole
Sumber: Bappeda, 2011 (dimodifikasi)
42
4.1 Jenis dan Sumber Data
3.3.1 Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah kualitatif yaitu data
yang dinyatakan dalam bentuk kata-kata, kalimat narasi, uraian dan berbagai
bentuk pemahaman lainnya (Ratna, 2010: 509). Data ini didapatkan dari hasil
wawancara dengan informan, hasil observasi dan pemeriksaan dokumen yang
relevan. Data kualitatif terdiri dari data potensi Maurole sebagai destinasi singgah
Sail Indonesia, data bentuk pengelolaan dan partisipasi pemangku kepentingan
dalam kegiatan Sail Indonesia di Maurole, dan data faktor-faktor yang mendukung
pengembangan destinasi wisata layar Maurole sebagai pariwisata alternatif.
Untuk memperkuat data kualitatif, penelitian ini juga menggunakan data
kuantitatif yang fungsinya menunjang data kaulitatif, seperti: statistik, bagan,
diagram dan berbagai bentuk pengukuran lainnya yang terkait dengan keberadaan
destinasi singgah Sail Indonesia dan wisata layar pada umumnya.
3.3.2 Sumber Data
Sumber data ada dua macam yaitu sumber data primer dan sumber data
sekunder. Sumber data primer adalah informan yang yang diwawancarai dalam
penelitian ini. Informan dimaksud terdiri dari informan dari kalangan pemerintah,
industri pariwisata, dan masyarakat. Informan dari kalangan pemerintah berasal
dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende dan dari sejumlah desa
yang terkait dengan aktivitas Sail Indonesia. Informan dari industri berasal dari
sejumlah institusi pariwisata seperti operator wisata layar, HPI, dan Tourist
Management Organization (TMO) Kabupaten Ende. Informan dari kalangan
43
masyarakat berasal dari tokoh masyarakat dan anggota masyarakat yang terlibat
langsung dalam kegiatan Sail Indonesia.
Seluruh informan dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu: (1) informan dari
pemerintah daerah; (2) informan dari masyarakat yang terlibat langsung dalam
kegiatan Sail Indonesia; dan (3) informan dari kalangan industri, pengusaha, dan
ahli. Kelompok pemerintah daerah Kabupaten Ende ditetapkan sebanyak 15
informan kunci terdiri dari 7 informan kunci di tingkat kabupaten dan kecamatan,
dan 8 informan kunci di tingkat desa, sesuai dengan jumlah desa yang pernah
menjadi lokasi kunjungan wisata dalam kegiatan Sail Indonesia. Kelompok
informan dari kalangan masyarakat yaitu tokoh masyarakat sebanyak 9 orang.
Kelompok informan dari kalangan pelaku pariwisata sebanyak 3 orang, dan ahli
sebanyak 2 orang.
Sumber data sekunder adalah berbagai pembicaraan yang sudah dilakukan
sebelumnya, termasuk buku-buku teks yang berkaitan dengan wisata layar pada
umumnya dan destinasi singgah Sail Indonesia pada khususnya. Salah satu
sumber data sekunder adalah informan dari kalangan peserta reli wisata layar yang
telah mengemukakan pendapatnya mengenai Sail Indonesia di Kecamatan
Maurole melalui media internet (websites atau weblogs) dan dokumen tertulis
yang dibuat oleh informan.
3.4 Instrumen Penelitian
Intrumen penelitian digunakan untuk menunjang metode dan teknik
pengumpulan data. Instrumen penelitian adalah pedoman tertulis untuk
wawancara, atau pengamatan yang dipersiapkan untuk mendapatkan informasi
44
selama penelitian (Gulö, 2007: 123). Karena itu, untuk memperoleh data sesuai
dengan tujuan penelitian ini, maka digunakan istrumen berupa pedoman
wawancara, panduan observasi, kamera foto, dan alat-alat untuk mencatat.
3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data lapangan menggunakan tiga teknik, yaitu wawancara
mendalam, observasi, dan pemeriksaan dokumen. Wawancara mendalam diawali
dengan penentuan sejumlah informan secara purposif dengan mempertimbangkan
kompetensinya sesuai dengan kebutuhan data (Ratna, 2010: 510).
Observasi dengan melakukan peninjauan langsung ke lapangan yaitu ke
Kecamatan Maurole dan delapan desa yaitu Mausambi, Maurole, Watukamba,
Otogedu, Wolotopo, Wologai Tengah, Waturaka, dan Nualise yang menjadi lokasi
kunjungan wisata dalam reli kapal wisata Sail Indonesia. Observasi dilakukan
mencakup tiga objek, yaitu (1) lokasi tempat penelitian berlangsung, (2) para
pelaku dengan peran-peran tertentu, dan (3) aktivitas para pelaku yang dijadikan
objek penelitian (Ratna, 2010: 220). Dengan demikian, melalui observasi
diperoleh gambaran mengenai tempat penelitian, kegiatan, peristiwa, pelaku, dan
waktu yang terkait dengan keberadaan destinasi singgah Maurole dan kegiatan
Sail Indonesia di destinasi tersebut.
Dokumen yang diperlukan adalah dokumen resmi yang dimiliki oleh
lembaga-lembaga resmi pemerintah maupun informal yang dimiliki secara pribadi
oleh anggota masyarakat tertentu. Ciri khas dokumen adalah menunjuk pada masa
lampau, dengan fungsi utama sebagai catatan atau bukti suatu peristiwa, aktivitas,
dan kejadian tertentu (Ratna, 2010: 235). Sejalan dengan penelitian ini, dokumen
45
yang dimanfaatkan adalah catatan yang terkait aktivitas Sail Indonesia di destinasi
singgah Maurole.
3.6 Metode dan Teknik Analisis Data
Sesuai dengan rancangan penelitian ini yaitu menggunakan pendekatan
kualitatif, maka metode analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif
kualitatif. Penggunaan metode ini bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran
secara sistematis dan objektif, mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, ciri-ciri serta
hubungan di antara unsur-unsur yang ada atau suatu fenomena tertentu (Kaelan.
2005: 58). Sejalan dengan itu, Bungin (2010: 153) mengungkapkan dua hal yang
ingin dilakukan oleh analisis data kualitatif, yaitu: (1) menganalisis proses
berlangsungnya suatu fenomena sosial dan memperoleh gambaran yang tuntas
dari proses tersebut; dan (2) menganalisis makna di balik informasi, data, dan
proses suatu fenomena sosial. Untuk itu, analisis dilakukan sejak pengumpulan
data di lapangan sampai pada analisis yang dilakukan setelah datanya terkumpul.
3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Penyajian hasil analisis data dilakukan secara informal atau deskriptif sesuai
dengan topik bahasan melalui kata-kata, kalimat dan bentuk-bentuk narasi lain.
Karena itu, untuk memperjelas dan membantu pemahaman sesuai dengan tujuan
penelitian, maka penyajian hasil penelitian dilengkapi dengan penyajian secara
formal berupa tabel, diagram, foto, dan peta.
46
BAB IV
GAMBARAN UMUM KECAMATAN MAUROLE
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Maurole yang merupakan salah satu
kecamatan dari 21 kecamatan di Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Secara geografis, Kecamatan Maurole berbatasan langsung dengan Laut Flores di
sebelah utara, Kecamatan Detukeli dan Kecamatan Wewaria di sebelah selatan,
Kecamatan Kotabaru di sebelah timur, dan Kecamatan Wewaria di sebelah barat
(BPS, 2012: 1). Luas wilayah Kecamatan Maurole adalah 155,94 km² atau 7,6%
dari total luas Kabupaten Ende (2046,60 km²). Secara administrasi wilayah
Kecamatan Maurole terdiri atas 13 Desa.
Tabel 4.1
Banyaknya Dusun, RW dan RT di Kecamatan Maurole Tahun 2011
No Desa Dusun RW RT
1 Ranakolo Selatan 4 4 1
2 Ranakolo 2 2 8
3 Keliwumbu 3 3 9
4 Mausambi 4 7 15
5 Maurole 8 9 18
6 Watukamba 4 8 18
7 Aewora 4 8 21
8 Detuwulu 3 3 6
9 Otogedu 3 4 17
Jumlah 35 48 113
10 Woloau *) - - -
11 Uludala *) - - -
12 Niranusa *) - - -
13 Ngalukoja *) - - -
Sumber: BPS, 2010 (data diolah)
Keterangan: *) merupakan desa pemekaran baru dalam tahun 2013 dan data
dusun, RW dan RT di masing-masing desa pemekaran tersebut tidak tersedia.
Sumber: Maurole dalam Angka 2012 (dimodifikasi).
47
Berdasarkan data registrasi penduduk akhir Tahun 2011, jumlah penduduk
Kecamatan Maurole adalah sebanyak 11.592 jiwa. Penduduk laki-laki sebanyak
5.566 jiwa atau 48,02% dan perempuan sebanyak 6.026 jiwa atau 51,98% (BPS,
2012: 3).
Penduduk di Kecamatan Maurole sebagian besar menganut agama Katolik,
yaitu sebanyak 10.548 orang atau sebesar 91% dari total jumlah penduduk.
Kemudian disusul penduduk beragama Islam sebanyak 1.044 orang atau sebesar
9% (BPS, 2010: 6).
4.1 Keadaan Fisik Wilayah
Tinggi wilayah Kecamatan Maurole di atas permukaan laut (DPL) berkisar
antara 2 m sampai 800 m (BPS, 2012: 5). Desa Detuwulu dan Desa Otogedu
berlokasi di ketinggian yakni antara 700 m sampai dengan 800 m di atas
permukaan laut. Tiga desa yang berbatasan langsung dengan Laut Flores yakni
Desa Mausambi, Maurole dan Aewora, wilayahnya membentang antara 2 m
sampai 3 m di atas permukaan laut.
Tingkat kemiringan lahan di Kecamatan Maurole sangat bervariasi dan
diklasifikasi ke dalam empat kelas kemiringan dengan rinciannya seperti terlihata
pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2
Tingkat Kemiringan Lahan di Kecamatan Maurole
No Tingkat Kemiringan Luas (km²) Prosentase
1 >40% 221, 68 58,33
2 3-12% 76,96 20,25
3 12-40% 62,60 16,47
4 0-3% 18, 82 4,95
Jumlah 380,06 100
Sumber: BPS, 2010 (data diolah)
48
Tingkat kemiringan >40% merupakan tingkat kemiringan yang paling luas
di wilayah Kecamatan Maurole yaitu 58,33% dari total luas Kecamatan Maurole.
Tingkat kemiringan 0-3% merupakan yang paling kecil di wilayah itu yaitu hanya
meliputi 4,95 % dari total luas wilayah.
Seperti daerah tropis lainnya di Indonesia, Kecamatan Maurole termasuk
wilayah yang beriklim tropis dengan dua musim, yaitu musim kemarau/kering
yang berlangsung selama lima bulan antara bulan Mei sampai dengan bulan
September, dan musim hujan/basah antara bulan Oktober sampai bulan April yang
berlangsung sepanjang tujuh bulan. Suhu rata-ratanya 26-30˚ C.
4.2 Potensi Wilayah
Kecamatan Maurole memiliki potensi wilayah yang cukup dalam
mendukung perkembangan aktivitas wisata. Salah satu potensi itu adalah potensi
pertanian. Potensi ini mencakup potensi tanaman pangan, perkebunan, kehutanan,
peternakan, dan perikanan. Tanaman pangan yang cukup menonjol yaitu padi
sawah yang meliputi luas panen pada tahun 2011 sebesar 584 ha dengan tingkat
produksi 3.596 ton. Di samping itu, luas panen padi ladang meliputi 452 ha
dengan produksi 904 ton (BPS, 2012: 64). Tanaman pangan lainnya adalah jagung
dengan luas panen 203 ha dan total prosuksi 464 ton, ubi kayu mencakup luas
panen 64 ha dengan total produksi 589 ton, ubi jalar meliputi luas panen 9 ha
dengan produksi 62,50 ton, kacang tanah dengan luas panen 8 ha dan produksi 12
ton, kacang hijau mencakup luas panen 12 ha dan produksi 15,20 ton, tanaman
kedelai meliputi luas panen 11 ha dan produksi 16,50 ton.
49
Gambar 4.1 Areal Persawahan di Maurole
Sumber: Penelitian, 2013
Beberapa jenis sayur-sayuran dan buah-buahan juga diproduksi di
Kecamatan Maurole. Jenis sayur-sayuran yang ada yaitu: petsay, kacang panjang,
cabai, tomat, terung, dan cabai rawit. Total produksi jenis sayur-sayuran ini
mencapai 105 ton di tahun 2011. Jenis sayur-sayuran dengan produksi terbesar
yaitu 70 ton adalah cabai disusul dengan rata-rata produksi 8 ton yakni tomat,
terung dan cabai rawit. Jenis buah-buahan yang diproduksi meliputi: avokat,
mangga, rambutan, jeruk, jambu biji, sirsak, pepaya, pisang, nenas, dan salak
dengan total produksi sebesar 41,69 ton. Pisang merupakan jenis buah-buahan
yang paling banyak diproduksi di Kecamatan Maurole dalam tahun 2011 yakni
mencapai 33,28 ton (BPS, 2012: 72).
50
Produksi tanaman perkebunan di Kecamatan Maurole, yaitu: kelapa, kopi
arabika, cengkeh, kakao, jambu mete, kemiri, kapuk, pinang, dan vanili. Pada
tahun 2011 (BPS, 74) produksi tanaman perkebunan terbesar adalah kelapa yaitu
mencapai 804,65 ton, disusul oleh jambu mete 411,5 ton, kemiri 244,2 ton, kakao
147,5 ton, kopi arabika 11,14 ton, cengkeh 3,06 ton, tanaman perkebunan pinang
2,95 ton, panili 1,10 ton, dan terakhir kapuk 0,84 ton.
Ternak di Kecamatan Maurole meliputi ternak besar, yaitu: sapi, kerbau, dan
kuda. Ternak kecil mencakup kambing, babi, ayam kampung, dan itik (Anonim,
2012: 84). Pada tahun 2011, populasi unggas jenis ayam kampungnya mencapai
5.949 ekor, jenis itik 496 ekor. Populasi ternak besarnya adalah 2.471 ekor dengan
populasi terbesar sapi yaitu 2.113 ekor dan populasi ternak kecil sebanyak 6.781
ekor dengan populasi terbesar adalah babi sebanyak 5.951 ekor.
Perikanan merupakan salah satu potensi di wilayah Kecamatan Maurole.
Sarana yang digunakan oleh rumah tangga perikanan laut adalah perahu tanpa
motor (jangkung dan perahu papan), motor tempel, dan kapal motor. Pada tahun
2011 (BPS, 2012: 85) terdapat 82 unit jangkung dan 25 unit perahu papan. Motor
tempel ada sebanyak 10 unit. Kapal motor ukuran 0-5 GT ada sebanyak 24 unit
dan > 5 GT ada sebanyak 4 unit. Alat penangkapan ikan yang paling banyak
digunakan yaitu: pancing, disusul jaring insang, pukat buang/bagan, jala lompo,
dan pukat cincin.
Dalam aktivitas perikanan di Kecamatan Maurole, terdapat sebanyak 33
kelompok nelayan dengan jumlah total anggota sebanyak 162 orang dan 8
kelompok wanita nelayan dengan total jumlah anggota sebanyak 42 orang.
51
Sebanyak 98 orang di antaranya sudah pernah mengikuti pelatihan di bidang
perikanan (BPS, 2012: 87).
Jenis ikan yang diproduksi oleh perikanan laut di Kecamatan Maurole, yaitu:
paperek, kakap, ekor kuning, cucut, terbang, julung, selar, tembang, kembung,
cakalang, tenggiri, tongkol, tuna, layaran, pari, laying, dan jenis lainnya. Ikan ekor
kuning merupakan jenis yang paling banyak diproduksi (BPS, 2012: 90).
4.3. Sumber Daya Pariwisata Maurole
Salah satu potensi di Kecamatan Maurole adalah potensi pariwisata. Hal ini
terlihat dari sumber daya pariwisatanya. Pitana dan Diarta (2009: 68)
mengemukakan sumber daya pariwisata adalah segala sesuatu yang memiliki
potensi untuk dikembangkan dalam mendukung pariwisata, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Mereka menguraikan lebih lanjut bahwa sumber daya
yang terkait dengan pariwisata umumnya berupa sumber daya alam, sumber daya
budaya, sumber daya minat khusus, disamping sumber daya manusia. Dalam
konteks Maurole sebagai destinasi yang disinggahi oleh kapal-kapal wisata
(yacht), maka destinasi ini memiliki sumber daya seperti diuraikan berikut ini.
4.3.1. Sumber Daya Alam
Maurole memiliki sumber daya alam air yang salah satunya mencakup
keberadaan pantai seperti dikemukakan oleh Fennel (1999: 68). Menurutnya, air
memegang peran sangat penting dalam menentukan jenis dan tingkat partisipasi
dari rekreasi outdoor di laut dan lingkungan laut (sea environments). Pitana dan
Diarta (2009: 71) menegaskan sumber daya air bisa dikembangkan, misalnya,
menjadi jenis wisata pantai/bahari seperti sailing, cruises, fishing, snorkelling.
52
Wisata pantai (bahari) di Maurole yaitu pantai Mausambi, pantai Nanganio, pantai
pasir putih Enabara, dan pantai pasir putih di Aewora. Pantai Mausambi dan
pantai Nanganio merupakan dua lokasi yang menjadi titik labuh kapal wisata
(yacht) yang berkunjung ke Maurole melalui aktivitas Sail Indonesia sejak tahun
2007. Pantai Enabara dan Pantai pasir putih di Aewora adalah dua lokasi yang
menjadi tempat rekreasi masyarakat khususnya pada hari libur dan akhir pekan.
Sumber daya alam lain yang berpotensi dikembangkan untuk tujuan
kegiatan pariwisata di Maurole adalah vegetasi. Menurut Fennel (1999: 68)
vegetasi merujuk pada keseluruhan kehidupan tumbuhan atau tumbuhan yang
menutupi suatu area tertentu. Potensi sumber daya vegetasi di maurole mencakup
potensi tanaman pangan (padi sawah, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah
dan kedelai) dan perkebunan (kelapa, kopi arabika, cengkeh, kakao, jambu mete,
kemiri, kapuk, pinang, dan vanili. Keberadaan komponen sumber daya ini
berpotensi dikembangkan untuk kegiatan pariwisata. Aktivitas dalam perjalanan
wisata yang dibuat bagi wisatawan yang mengunjungi Maurole juga mencakup
kunjungan (atau perhentian) di tempat-tempat dimana bisa diperoleh informasi
mengenai tumbuhan yang terdapat di Maurole. Misalnya informasi mengenai
kakao, jambu mete, dan kemiri. Aktivitas pemberian informasi mengenai
tumbuhan tertentu dengan melihat langsung tumbuhannya menjadi salah satu daya
tarik perjalanan wisata di Maurole. Atraksi ini berpotensi untuk dikembangkan
lebih lanjut sebagai bentuk produk wisata yang unik. Potensi atraksi wisata alam
di Kecamatan Maurole yang terkait aktivitas Sail Indonesia akan diuraikan pada
bab berikutnya.
53
4.3.2. Sumber Daya Manusia
Dalam konteks kehadiran kapal-kapal wisata di Maurole melalui adanya
kegiatan Sail Indonesia, maka eksistensi sumber daya manusianya dapat dilihat
dari keberadaan masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan Sail Indonesia baik
di areal titik labuh, maupun di desa-desa yang dikunjungi wisatawan selama
kegiatan itu berlangsung. Sejak awal kegiatan Sail Indonesia, masyarakat di
Maurole ikut berpartisipasi dalam beragam bentuk aktivitas sesuai dengan acara
yang diselenggarakan. Secara umum, masyarakat terlibat dalam pengelolaan titik
labuh, pengelolaan desa – desa yang dikunjungi dalam perjalanan wisata, dan
pengelolaan atraksi seni budaya.
Kenyataan ini mengungkapkan keberadaan Maurole sebagai sebuah
destinasi singgah Sail Indonesia sangat ditentukan oleh sumber daya manusianya.
Di samping itu, kehadiran wisatawan di destinasi singgah mendorong
pengembangan potensi sumber daya manusia untuk memenuhi kebutuhan
wisatawan di destinasi singgah. Hal ini sejalan dengan hal yang disampaikan oleh
Pitana dan Diarta (2009: 72) bahwa sumber daya manusia sangat menentukan
eksistensi pariwisata.
4.3.3. Sumber Daya Budaya
Dalam kegiatan Sail Indonesia di Maurole, terutama melalui aktivitas
perjalanan wisata, wisatawan dapat menyaksikan tradisi dan cara hidup
masyarakat, melihat rumah adat dengan gaya arsitekturnya, menyaksikan seni dan
musik yang ditampilkan oleh masyarakat, menikmati sajian makanan
lokal/tradisional, dan membeli kerajinan setempat seperti tenun ikat. Dengan
54
demikian, Maurole memiliki sejumlah sumber daya budaya yaitu (1) tradisi,
misalnya upacara penobatan tetua adat (mosalaki); (2) sejarah dari suatu
tempat/daerah, misalnya sejarah kampung asli watukamba. (3) arsitektur,
misalnya bentuk rumah adat; (4) makanan lokal/tradisional, misalnya kue cucur
(filu); (4) seni dan musik, misalnya feko genda (musik suling dan perkusi); (6)
cara hidup masyarakat; (7) pakaian lokal/tradisional, misalnya lawo lambu
(sarung dan baju untuk perempuan); dan (8) kerajinan pane (peralatan makan
yang terbuat dari tanah liat). Sumber daya budaya ini merujuk pada ‘sepuluh
elemen budaya yang menjadi daya tarik wisatatawan dalam kegiatan pariwisata’
(Ardika, 2003: 50). Berdasarkan data dari penelitian, kedelapan elemen budaya
inilah yang antara lain menjadi atraksi wisata budaya di destinasi singgah
Maurole, di samping atraksi wisata lainnya.
55
BAB V
POTENSI MAUROLE SEBAGAI DESTINASI SINGGAH
SAIL INDONESIA
Konsep destinasi singgah atau destinasi wisata layar yang digunakan dalam
penelitian ini adalah destinasi pariwisata yang secara nyata dikunjungi kapal
wisata (yacht) dan ada aktivitas pemanggku kepentingan pariwisata di destinasi
yang dipicu oleh kehadiran kapal wisata itu. Sejalan dengan konsep itu, maka
dilakukan kajian terhadap potensi Maurole sebagai salah satu destinasi yang
disinggahi oleh kapal wisata melalui aktivitas Sail Indonesia. Untuk itu, potensi
Maurole dilihat dari atraksi wisata, aksesibilitas, amenitas dan ancillary services.
5.1 Atraksi Wisata
Kajian mengenai atraksi wisata di Kecamatan Maurole dilakukan terhadap
atraksi wisata alam, budaya, dan buatan di desa-desa yang dikunjungi oleh
wisatawan peserta Sail Indonesia. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran
keragaman atraksi wisata. Data diperoleh dari hasil wawancara dengan berbagai
informan dan observasi lapangan.
5.1.1 Desa Otogedu
5.1.1.1 Letak, Luas, Kondisi Geografis, Demografis, Sosial, dan Ekonomi
Desa Otogedu termasuk dalam wilayah Kecamatan Maurole, Kabupaten
Ende, dan wilayahnya secara administratif terbagi menjadi tiga dusun yaitu Dusun
Otogedu, Dusun Mbotuboa, dan Dusun Woloau, dengan batas-batas wilayah
sebagai berikut:
1. Di sebelah utara berbatasan dengan Desa Watukamba;
56
2. Di sebelah timur berbatasan dengan Desa Detuwulu;
3. Di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Watunggere Marilonga;
4. Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Watukamba.
Desa Otogedu terletak sekitar 11 km di sebelah selatan Kota Kecamatan
Maurole atau sekitar 95 km di utara kota Kabupaten Ende. Perjalanan menuju
desa ini dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda
empat melalui jalur wisata Ende – Detusoko – Wewaria – Maurole – Nuabela –
Otogedu. Jalur lain adalah jalur darat dari barat yaitu Marapokot (Nagekeo) –
Maukaro – Maurole – Nuabela – Otogedu, sedangkan jalur dari Maumere di
bagian timur adalah Maumere – Kotabaru – Maurole – Nuabela – Otogedu. Jalur
dari kota kecamatan ke desa Otogedu sebagian berupa jalan beraspal, sebagian
berbatu dan sebagiannya lagi berupa rabat beton.
Secara geografis Desa Otogedu terletak di dataran tinggi dengan ketinggian
700 meter di atas permukaan laut. Luas wilayah Desa Otogedu adalah 16 km² atau
sekitar 10,46% dari luas Kecamatan Maurole (BPS, 2012: 3).
Desa Otogedu memiliki 86 kepala keluarga dengan total penduduk berjumlah
346 jiwa yang terdiri atas 181 laki-laki dan 165 perempuan. Sebagian besar petani
menggarap usaha pertanian tanaman palawija yaitu ubi kayu, ubi jalar, dan
jagung. Tanaman perkebunan yang dibudidayakan adalah kemiri, kakao, jambu
mete. Salah satu tanaman yang dimanfaatkan hasilnya adalah pohon enau sebagai
bahan pokok pembuatan minuman arak (Profil Desa, 2012).
57
5.1.1.2 Atraksi Wisata di Otogedu
Atraksi wisata yang menjadi daya tarik utama di Desa Otogedu adalah atraksi
pembuatan moke (minuman arak dari pohon enau). Tercatat ada empat lika
(tempat pembuatan arak) di Desa Otogedu. Lika biasanya berlokasi di dekat
rumah tinggal pemiliknya. Tempat pembuatan arak di Desa Otogedu umumnya
terdiri dari tungku api tempat memasak, periuk tanah sebagai wadah yang dipakai
untuk memasak air nira/aren, dan peralatan untuk proses penyulingan yang terbuat
dari bambu.
Proses pembuatan (memasak) moke di masing-masing lika pada prinsipnya
sama. Namun, yang membedakannya adalah ramuan yang dipakai pada saat
memasak moke. Jenis ramuan tidak hanya dipakai saat memasak air nira, namun
sudah mulai digunakan sejak menampung air di pohon aren/enau. Ramuan itu
dimasukkan ke dalam wadah bambu penampung air nira yang diikatkan di
pelepah daun nira. Efek ramuan yang dipakai oleh masing-masing lika diyakini
menentukan kualitas rasa moke, sehingga ramuan yang dipakai dalam pembuatan
moke menjadi rahasia dapur para pemilik lika. Hal ini ditegaskan salah seorang
pembuat moke dan sekaligus tokoh masyarakat Desa Otogedu yaitu Frans Watu:
“Ramuan yang saya pakai di lika ini berbeda dengan yang dipakai di
lika yang lain. Saya tidak tahu ramuan yang mereka pakai, mereka pun
tidak mengetahui ramuan yang saya pakai. Ramuan yang saya pakai di
sini, saya peroleh dari orang tua saya. Ramuan ini diberitahu kepada
kami secara turun temurun. Yang saya ingat ramuan ini telah dipakai
oleh empat generasi keturunan keluarga kami” (Wawancara 12 Juni
2013).
Daya tarik atraksi pembuatan moke ini terletak pada keunikan lika dengan
peralatan tradisional yang digunakan serta ritual adat dan legenda yang
58
mendukung aktivitas ini. Legenda setempat menyebutkan bahwa pohon enau yang
menghasilkan air nira dianggap sebagai seorang “perempuan”. Tentang hal ini,
Frans Watu menjelaskan:
“Kami harus memerlakukan pohon enau dan seluruh proses pembuatan
arak dengan baik. Mulai dari saat kami memukul-mukul tandan enau,
saat menyayat dan mengiris tandan enau itu berkali-kali, sampai saat
kami harus berhenti mengiris tandannya. Semuanya dilakukan dengan
penuh kelembutan, perhatian, penghormatan seperti perlakuan bagi
seorang perempuan. Sebelum memasak moke, kami juga harus
melakukan upacara adat khusus memohon pada penguasa langit dan
bumi untuk merestui semua usaha kami agar moke yang dihasilkan baik
adanya” (Wawancara 12 Juni 2013).
Gambar 5.1 Penduduk Memperagakan Proses Pembuatan Arak
Sumber: Dokumentasi Disbudpar Ende, 2007
59
Potensi lain yang terdapat di Desa Otogedu adalah potensi ekologis seperti
kebun kemiri, kakao, jambu mete, dan keberdaan pohon nira yang merupakan
sumber bahan baku pembuatan moke. Keberadaan pohon enau dan
pemanfaatannya sebagai sumber bahan baku pembuatan moke oleh masyarakat
setempat juga merupakan salah satu atraksi wisata. Atraksi pengambilan air nira
dari pohon enau di Desa Otogedu bisa dijumpai setiap hari di waktu pagi dan
petang, sesuai dengan kebiasaan dan tuntutan cara pembuatan moke. Potensi ini
merupakan sumber daya pariwisata yang dapat dikembangkan karena menurut
Pujaastawa (2005: 132) kombinasi yang harmonis antara potensi sumber daya
alam, sumber daya budaya, dan sumber daya manusia dapat melahirkan beraneka
macam atraksi wisata yang dapat menjaid daya tarik wisata.
Secara keseluruhan, potensi atraksi wisata di Otogedu sudah menjadi daya
tarik wisata yang disuguhkan kepada wisatawan asing dalam kegiatan Sail
Indonesia, seperti diungkapkan oleh Ignasius Siga, Kepala Desa Otogedu:
“Mereka (tamu dari peserta Sail Indonesia) menyaksikan atraksi
pembuatan moke di empat lika yang ada di desa ini. Pemilik masing-
masing lika memberikan penjelasan tentang proses pembuatan disertai
cerita legenda yang diyakini masyarakat yang diterjemahkan oleh
pemandu wisata. Mereka juga mencicipi moke yang sudah jadi dan
sebagian besar dari mereka membeli moke ini” (Wawancara 12 Juni
2013).
Penuturan ini menggambarkan bahwa aktivitas masyarakat sehari-hari yang
berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam dan budaya di sebuah desa
dapat menjadi atraksi wisata. Atraksi wisata yang didasarkan pada kebiasaan
hidup masyarakat serupa itu, oleh Yoeti (2008: 168) disebut sebagai social
attractions yaitu atraksi wisata yang didasarkan pada tata cara hidup masyarakat.
60
Sejalan dengan itu, dari aspek budaya, Ardika (2003: 50) memasukkan cara hidup
suatu masyarakat sebagai salah satu elemen budaya yang menjadi daya tarik
wisata.
5.1.2 Desa Mausambi
5.1.2.1 Letak, Luas, Kondisi Geografis, Demografis, Sosial, dan Ekonomi.
Desa Mausambi merupakan salah satu desa dalam wilayah Kecamatan
Maurole, Kabupaten Ende. Terletak sekitar 84 km di sebelah utara ibukota
Kabupaten Ende dan 1 km di sebelah barat ibukota Kecamatan Maurole. Batas-
batas wilayah Desa Mausambi adalah:
1. Di sebelah utara dengan Laut Flores;
2. Di sebelah timur dengan Desa Maurole;
3. Di sebelah barat dengan Desa Niranusa;
4. Di sebelah selatan dengan Desa Woloau.
Secara administratif, wilayah Desa Mausambi terbagi menjadi empat dusun,
yaitu Dusun Detuara, Dusun Detuwane, Dusun Mausambi, dan Dusun Niranusa.
Luasnya adalah 31,22 km² atau 20,41% luas dari luas wilayah Kecamatan
Maurole (152,94 km²). Sebagian merupakan tanah tegalan atau perkebunan dan
sebagian lagi digunakan sebagai sawah, tanah pemukiman dan pekarangan (BPS,
2012).
Penduduk Desa Mausambi berjumlah 1.458 orang yang terdiri atas 787
(53,98%) laki-laki dan 671 (46,02%) perempuan. Sebagian besar mata
pencaharian pokok mereka adalah sebagai petani, dan sebagian kecil lainnya
menekuni pekerjaan sebagai nelayan, pegawai negeri sipil, pedagang, dan tukang
61
(Profil Desa, 2012). Aktivitas masayarakat untuk memperoleh manfaat ekonomi
dari pariwisata terbatas pada kegiatan yang muncul dengan hadirnya peserta reli
kapal wisata sail Indonesia di titik labuh Mausambi sejak tahun 2007 hingga saat
ini.
5.1.2.2 Atraksi Wisata di Mausambi
Potensi pariwisata utama di Desa Mausambi adalah pantai dan teluk
Mausambi khususnya areal titik labuh di depan perairan pantai Mausambi dan
areal perairan yang dibatasi oleh Tanjung Watulaja. Lokasi ini sejak tahun 2007
telah menjadi titik labuh bagi kapal wisata (Disbudpar, 2007). Kehadiran kapal-
kapal wisata (yacht) di Maurole menggerakkan pemangku kepentingan
memanfaatkan kehadiran itu, baik untuk memenuhi kebutuahn wisatawan maupun
untuk mengelola aktivitas yang melibatkan masyarakat setempat.
Sejalan dengan siklus hidup destinasi pariwisata dari, maka dapat dikatakan
bahwa tahun 2007 Maurole sudah memasuki tahap exploration dalam siklus hidup
destinasi wisata. Menurut Butler (1980), dalam tahap ini destinasi wisata baru
ditemukan, baik oleh wisatawan, pelaku pariwisata, maupun pemerintah. Kegiatan
Sail Indonesia memicu adanya kunjungan kapal wisata ke Maurole, dan
berdasarkan informasi dari sejumlah informan, maka dapat dikemukakan bahwa
destinasi ini memasuki tahap exploration, menyusul dilakukannya survei titik
labuh di Maurole pada tahun 2006 yang melibatkan pemerintah daerah dan
operator Sail Indonesia dari Yayasan Cinta Bahari Antar Nusa.
Potensi lainnya adalah atraksi pembuatan pane (peralatan makan dari tanah
liat) di Dusun Detuara, kawasan persawahan, dan jalur trekking melewati kebun
62
jambu mete dan kakao menuju kampung adat Pu’u Pau. Sebagai sebuah atraksi
wisata, kampung adat Pu’u Pau dikunjungi oleh wisatawan dari kapal wisata yang
singgah di Teluk Mausambi pada tahun 2012. Hal ini terungkap dalam wawancara
dengan pemandu wisata yang berasal dari Mausambi, Vinsen Atabala:
“Sebanyak dua rombongan wisatawan berkunjung ke Pu’u Pau.
Kunjungan itu menjadi berkesan bagi para tamu dan tuan rumah karena
bertepatan dengan berlangsungnya upacara pembuatan rumah adat di
kampung ini. Karena jaraknya dekat dengan pantai Mausambi,
rombongan wisatawan bejalan kaki ke kampung ini” (Wawancara 9
Juni 2012).
Perjalanan menuju desa ini dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor, baik
roda dua maupun roda empat melalui jalur wisata Ende – Detusoko – Wewaria –
Ropa – Mausambi. Jalur lain adalah jalur darat dari barat yaitu Marapokot
(Nagekeo) – Maukaro – Ropa – Mausambi, sedangkan jalur dari Maumere di
bagian timur adalah Maumere – Kotabaru – Maurole – Mausambi. Jalur dari
Mausambi ke Detuara dan Kampung adat Pu’u Pau berupa jalan tanah, sebagian
berbatu, dan sebagiannya lagi berupa rabat beton dapat ditempuh dengan
kendaraan roda dua dan roda empat serta berjalan kaki (trekking).
Kunjungan ke kampung adat, yang terletak di sekitar lokasi titik labuh kapal
wisata, menunjukkan bahwa daerah ini memiliki sumber daya yang potensial
untuk dikembangkan sebagai atraksi wisata. Masyarakat atau pelaku usaha dapat
memperoleh manfaat ekonomi dan sosial dengan mengatur paket wisata berupa
kunjungan ke atraksi wisata yang mudah dijangkau. Fakta ini menngungkapkan
Desa Mausambi merupakan salah satu lokasi bagi “wisatawan yang bermasuksud
menghabiskan waktu mereka di luar tempat tinggalnya” (Jafari, 2000).
63
Gambar 5.2 Kunjungan Wisatawan di Dusun Detuara, Desa Mausambi
Sumber: Dokumentasi Disbudpar Ende, 2007
5.1.3 Desa Maurole
5.1.3.1 Letak, Luas, Kondisi Geografis, Demografis, Sosial, dan Ekonomi
Desa Maurole merupakan salah satu desa di Kecamatan Maurole, Kabupaten
Ende. Secara administratif, wilayah Desa Maurole terbagi menjadi empat dusun,
yaitu: Dusun Maurole 1, Maurole 2, Maurole 3, dan Maurole 4. Desa yang terletak
di pusat kecamatan ini, berada sekitar 84 km di sebelah utara Ende (BPS, 2012).
Batas-batas wilayah Desa Maurole meliputi:
1. Di sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores;
2. Di sebelah timur berbatasan dengan Desa Watukamba;
3. Di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Maurole Selatan,
Kecamatan Detukeli;
4. Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Mausambi.
64
Desa Maurole mempunyai 491 kepala keluarga dengan total jumlah penduduk
sebanyak 2.501 jiwa yang terdiri atas 1.124 laki-laki dan 1.337 perempuan.
Dengan jumlah itu, desa ini merupakan desa dengan penduduk terpadat di
Kecamatan Maurole. Hal ini dapat dipahami karena ia merupakan pusat aktivitas
pemerintahan kecamatan, dan dilalui oleh jaringan jalan trans utara Flores, dan
jalur utama menuju ke desa-desa lain di Kecamatan Maurole. Berdasarkan
matapencahariannya, penduduk desa ini dapat dirinci seperti pada Tabel 5.1.
Mengacu pada tabel ini, terlihat bahwa 32% penduduk bermatapecaharaian petani,
dan 1,2% adalah nelayan. Kendatipun sebagian wilayah desa ini berada di pesisir
pantai, masyarakatnya lebih banyak menggantungkan hidup dari sektor pertanian.
Tabel 5.1
Komposisi Warga Desa Maurole Menurut Mata Pencaharian
No Mata Pencaharian Jumlah (orang) Prosentase
1 Petani 812 32,97
2 Nelayan 31 1,26
3 PNS 53 2,15
4 Pensiunan 22 0,89
5 Pengusaha 5 0,21
6 Pedagang 52 2,11
7 TNI/Polri 2 0,08
8 Lain-lain 1.486 60,33
Jumlah 2.463 100
Sumber: Profil Desa Maurole, 2012 (data diolah)
5.1.3.2 Atraksi Wisata di Maurole
Atraksi wisata yang menjadi daya tarik di Maurole adalah kunjungan ke pasar
mingguan di Maurole yang terletak di pinggir pantai Maurole. Di samping itu,
kunjungan wisatawan ke sejumlah sekolah untuk bertemu dan berbagai
65
pengalaman dengan murid-murid SD dan SLTP. Wisatawan biasanya berjalan-
jalan juga di pusat kota kecamatan ini untuk menyaksikan kehidupan masyarakat
setempat dan membeli sejumlah kebutuhan pribadi mereka di kios-kios penduduk.
Perjalanan menuju Maurole dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor, baik
roda dua maupun roda empat melalui jalur wisata Ende – Detusoko – Wewaria –
Ropa – Maurole. Jalur lain adalah jalur darat dari barat yaitu Marapokot
(Nagekeo) – Maukaro – Ropa – Maurole, sedangkan jalur dari Maumere di bagian
timur adalah Maumere – Kotabaru – Maurole.
Gambar 5.3 Kunjungan ke SD Maurole
Sumber: Dokumentasi Disbudpar Ende, 2007
Atraksi wisata di desa Maurole mencerminkan adanya peluang untuk
mengembangkan paket wisata yang bervariasi. Jennings (2007: 36) menyebutkan
salah satu keuntungan bagi para wisatawan dalam aktivitas wisata layar ketika
mengunjungi sebuah destinasi adalah mereka mendapat akses ke latar belakang
66
dari masyarakat dan kebudayaannya. Berdasarkan pendapat Jennings ini, dapat
dikemukakan bahwa destinasi berpeluang untuk menyuguhkan atraksi wisata yang
membuka akses bagi pemahaman wisatawan akan masyarakat dan
kebudayaannya.
5.1.4 Desa Watukamba
5.1.4.1 Letak, Luas, Kondisi Geografis, Demografis, Sosial, dan Ekonomi.
Desa Watukamba termasuk dalam wilayah Kecamatan Maurole, Kabupaten
Ende, dan wilayahnya secara administratif terbagi menjadi empat dusun yaitu
Dusun Nanganio, Dusun Aepetu, Dusun Wolosambi, dan Dusun Watukamba
dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
1. Di sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores;
2. Di sebelah timur berbatasan dengan Desa Aewora;
3. Di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Otogedu;
4. Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Maurole.
Luas wilayah Desa Watukamba adalah 16,98 km² atau sekitar 10,10% dari
luas Kecamatan Maurole. Secara geografis Desa Watukamba terletak di dataran
ketinggian 15 meter di atas permukaan laut. Penduduk Desa Watukamba
berjumlah 1.093 jiwa, terdiri atas 524 laki-laki dan 569 perempuan (BPS, 2012: 5-
21).
Matapencaharian penduduk sebagian besar adalah petani yang menggarap
usaha pertanian tanaman palawija yaitu ubi kayu, ubi jalar, dan jagung. Tanaman
perkebunan yang dibudidayakan adalah kemiri dan kakao. Salah satu tanaman
67
yang dimanfaatkan hasilnya adalah pohon enau dan kemiri sebagai bahan pokok
pembuatan gula aren (Profil Desa, 2012).
5.1.4.2 Atraksi Wisata di Watukamba
Atraksi wisata yang menjadi daya tarik utama di Desa Watukamba adalah
pembuatan gula aren khususnya di kampung adat Nuabela. Dari 16 kepala
keluarga (KK) yang menghuni kampung Nuabela, terdapat 14 KK yang
merupakan pembuat gula aren. Tempat pembuatan gula aren umumnya terdiri
dari tungku api tempat memasak, kuali dari bahan aluminium sebagai wadah
untuk memasak air nira, dan peralatan untuk mencetak gula aren yang terbuat dari
bambu.
Proses pembuatan (memasak) gula aren di masing-masing rumah pada
prinsipnya sama. Satu-satunya bahan yang dicampurkan ke dalam air nira yang
dimasak adalah bubuk kemiri. Hal ini dijelaskan oleh Hironimus Nira salah
seorang pemuat gula aren dan kini menjabat sebagai kaur Desa Watukamba:
“Air nira dimasak sampai kental lalu diaduk dan ditambahkan bubuk
kemiri yang sudah diparut halus. Fungsi bubuk kemiri ini adalah untuk
memadatkan adonan agar tidak mudah hancur ketika sudah jadi gula
dan tahan lama” (Wawancara 13 Juni 2013).
Dalam kegiatan Sail Indonesia, pembuatan gula aren juga menjadi atraksi
yang disaksikan oleh wisatawan yang berkunjung ke kampung Nuabela dan
produk gula aren juga dibeli oleh wisatawan. Sama seperti beberapa aktivitas
masyarakat di desa – desa lainnya, aktivitas pembuatan gula aren juga berpotensi
menjadi atraksi wisata yang dapat dikembangkan. Penjualan produk gula aren
tentu saja memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat setempat. Kondisi
68
ini sejalan dengan pendapat Jennings (2007: 36) bahwa salah satu dampak
ekonomi dari wisata layar adalah “increased income generaion in host
communities”, atau meningkatkan pendapatan masyarakat setempat.
Atraksi lainnya yang ada di Desa Watukamba adalah keberadaan kampung
adat Nuabela dengan rumah-rumah adat dan seremoni adatnya. Pada tahun 2007,
sebagai penghargaan, komunitas adat di Nuabela menobatkan sepasang peserta
Sail Indonesia yang datang ke kampung ini sebagai tetua adat (mosalaki) dengan
sebutan mosalaki ulu beu eko bewa (tamu yang dinobatkan sebagai bagian dari
mosalaki di suatu komunitas adat). Kenyataan ini sejalan dengan pendapat
Jennings (2007: 36) bahwa salah satu dampak sosial dari wisata layar adalah
meningkatkan pemahaman di antara wisatawan dan masyarakat.
Gambar 5.4 Penobatan Peserta Sail Indonesia sebagai Mosalaki
Sumber: Dokumen Disbudpar Ende, 2007
69
Desa Watukamba juga mempunyai kelompok sanggar seni yang biasa
berperan saat penyambutan tamu dan berbagai acara seni budaya lainnya. Sanggar
seni budaya dari desa ini menjadi entertainer dalam kegiatan Sail Indonesia
dengan atraksi seni feko genda (suling dan perkusi yang mengiringi tarian)
(Disbudpar, 2007).
Desa Watukamba terletak sekitar 6 km dari kota Kecamatan Maurole atau
sekitar 88 km di utara kota Ende. Perjalanan menuju desa ini dapat ditempuh
dengan kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat melalui jalur
wisata Ende – Detusoko – Wewaria – Maurole – Watukamba. Jalur lain adalah
jalur darat dari barat yaitu Marapokot (Nagekeo) – Maukaro – Ropa – Maurole
Watukamba, sedangkan jalur dari Maumere di bagian timur adalah Maumere –
Kotabaru – Nanganio – Maurole – Watukamba. Jalur dari kota kecamatan ke Desa
Watukamba sebagian berupa jalan beraspal, sebagian berbatu dan sebagiannya
lagi berupa rabat beton.
Gambar 5.5 Titik Labuh Pantai Nanganio, Desa Watukamba
Sumber: Dokumen Disbudpar Ende, 2010
70
Fakta atraksi wisata di empat desa di Kecamatan Maurole membentuk
kekhasan lokal Maurole sebagai sebuah destinasi. Tourism Insights (2008)
mengatakan kekhasan lokal (local distinctiveness) adalah kombinasi berbagai hal
yang menyebabkan suatu tempat memiliki karakter yang unik. Dijelaskannya,
pengunjung menginginkan “pengalaman” dari kunjungan mereka. Kekhasan suatu
destinasi adalah alat untuk membentuk “pengalaman” itu sehingga pengunjung
merasakan perbedaan satu destinasi wisata dengan destinasi wisata lainnya.
Tourism insight juga menegaskan kekhasan lokal merupakan stimulan bagi
keinginan pengunjung untuk berwisata, merekomendasikan sebuah destinasi pada
teman dan keluarga, serta melakukan kunjungan ulang. Konsep kekhasan yang
dari Tourism insight ini membuka ruang bagi pemahaman yang beragam. Salah
satunya adalah, kekhasan selalu ada di setiap destinasi. Ukuran kekhasannya
relatif bagi setiap orang atau wisatawan yang berkunjung, dengan kalimat lain
“pengalaman” yang didapat di sebuah destinasi merupakan sesuatu yang “khas”
bagi pemilik pengalaman itu. Dalam konteks kehadiran wisatawan dari kapal
wisata, mereka memerlukan interaksi dengan masyarakat lokal (understanding
between people). Mason (dalam Hermantoro, 2011: 80) menegaskan masyarakat
lokal dapat menjadi atraksi utama untuk wisatawan. Dengan demikian, perpaduan
(amalgam) dari berbagai komponen atraksi wisata di Maurole merupakan
kekhasan tersendiri.
Beberapa segi dari kekhasan Kecamatan Maurole menyangkut beberapa
komponen sebagai berikut:
71
1) alam (natural features): bentangan (landscape) alamnya yaitu mulai dari
laut yang memiliki kekhasan sebagai titik labuh bagi kapal layar (Pantai
Mausambi dan Nanganio), pantai dengan masyarakat yang tinggal di
sekitarnya sebagai ranah interkasi dengan komunitas setempat, dataran
sedang sampai daratan tinggi yang berpotensi sebagai panorama alam dan
areal trekking; tumbuh-tumbuhan (hortikultura dan tanaman perkebunan)
yang merupakan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan aktivitas
wisata dan bahan baku yang mendukung aktivitas masyarakat yang juga
berfungsi sebagai atraksi wisata (pembutan tuak dan gula aren);
2) buatan manusia (man made feautures): gaya arsitek rumah-rumah adat dan
bangunan adat lainnya yang khas dari etnik lio yang berbasis pada nilai-
nilai arsitektur masyarakat agraris; atraksi-atraksi wisata yang dikemas
menjadi paket wisata (khususnya yang terlihat dalam kegiatan Sail
Indonesia);
3) kebudayaan (culture and traditions) yang mewujud dalam cara hidup
masyarakat setempat, upacara adat, tarian, dan musik.
5.2 Aksesibilitas
Aksesibilitas ke Kecamatan Maurole dapat digambarkan berdasarkan akses
ke empat Desa yang dikunjungi oleh wisatawan asing peserta reli wisata layar
internasional Sail Indonesia sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.
Observasi di lapangan mendapatkan data perjalanan darat menuju Kecamatan
Maurole dapat ditempuh melalui beberapa jalur, yaitu:
1) Ende – Detusoko – Welamosa – Ropa – Mausambi – Maurole.
72
2) Marapokot (Kabupaten Nagekeo) – Maukaro – Wewaria – Ropa –
Mausambi – Maurole.
3) Maumere (Kabupaten Sikka) – Kotabaru – Aewora – Watukamba –
Maurole.
Bertolak dari jalur aksesibilitas ke Kecamatan Maurole itu, diperoleh data moda
transportasi yang digunakan untuk mencapai destinasi ini. Tabel 5.2.
memperlihatkan angkutan umum yang melayani penumpang di Kecamatan
Maurole.
Tabel 5.2
Rute, Jadwal, Jenis dan Jumlah Moda Transportasi
Antarkota dari dan ke Kecamatan Maurole
No Rute Moda
Transportasi
Jumlah
(unit)
Jadwal
1 Maurole – Ende PP Mini Bus 2 Tiap hari
Bus Kayu*) 3 Tiap hari
2 Maurole – Maumere PP Bus Kayu*) 2 Tiap hari
3 Ende – Kota Baru via Maurole Bus 2 Tiap hari
4 Maumere – Mbay via Maurole Bus 3 Tiap hari
5 Mbay – Maumere via Maurole Bus 3 Tiap hari
6 Travel Maumere – Ende PP via
Maurole
Mobil Travel 1 Tiap hari
*)Bus Kayu adalah sebutan untuk jenis angkutan umum berupa kendaraan roda
empat jenis truk yang didesain untuk mengangkut penumpang.
Sumber: Penelitian, 2013.
Dalam kegiatan Sail Indonesia, beberapa dari moda transportasi itu
dimanfaatkan untuk melayani kebutuhan wisatawan dalam kunjungan wisata ke
berbagai atraksi wisata. Pemanfaatannya disesuaikan dengan kebutuhan paket
perjalanan wisata yang dibeli oleh wisatawan.
73
Salah satu jalur perjalanan wisata menuju ke Maurole adalah melalui jalur
laut. Akses ini menjadi semakin nyata ditandai dengan adanya kapal wisata
(yacht) peserta reli perahu layar internasional Sail Indonesia yang menyinggahi
Maurole sejak Tahun 2007. Jalur laut menuju ke Maurole adalah sesuai dengan
rute perjalanan sail Indonesia (Lesmana, 2012) yaitu: Darwin (Australia) –
Kupang (entry port) – Alor – Lembata – Larantuka – Maumere – Maurole.
Setelah singgah di Maurole, kapal wisata meneruskan perjalanan ke arah barat
menuju Marapokot (Kabupaten Nagekeo) – Riung (Kabupaten Ngada) – Labuan
Bajo (Kabupaten Manggarai Barat) – Lombok (NTB) – Lovina (Bali) – Karimun
Jawa (Jawa Tengah), Kumai River (Kalimantan Selatan) – Belitung (Kabupaten
Bangka-Belitung) – Bintan – Batam (Kepulauan Riau) sebagai pelabuhan keluar
(exit port).
Sebelum memasuki perairan Indonesia dan berangkat dari Darwin, kapal-
kapal wisata umumnya mengarungi rute pelayaran baik di Australia, maupun di
negara-negara di Samudera Pasifik, seperti: Fiji, Tonga, Vanuatu, Samoa,
Kepulauan Solomon, Kaledonia Baru, Selandia Baru, dan Tasmania. Setelah
meninggalkan perairan Indonesia, kapal-kapal wisata itu melanjutkan
pelayarannya menuju ke berbagai destinasi di Asia, seperti: Malaysia, Singapura,
Thailand, Vietnam, Brunei Darusalam, Filipina, Kepulauan Andaman, Myanmar,
Bangladesh, India, Pakistan, dan ke negara-negara di timur tengah.
Masuknya wisatawan asing melalui jalur laut di Kecamatan Maurole
menunjukkan bahwa destinasi singgah Maurole telah menjadi salah satu pintu
74
masuk wisatawan ke Kabupaten Ende. Hal ini diungkapkan oleh Nyo Cosmas,
SH., Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende:
“Sebelum Kecamatan Maurole menjadi destinasi singgah Sail
Indonesia, kami hanya mengandalkan wisatawan asing masuk melalui
jalur darat dari barat dan dari timur Kabupaten Ende, melalui Bandar
Udara H. Hasan Aroeboesman, dan melalui pelabuhan laut (Ende, Ipi,
dan Nangakeo). Sejak Tahun 2007, kami mempunyai alternatif pintu
masuk baru melalui laut yaitu di Kecamatan Maurole” (Wawancara 17
Juni 2013).
Kenyataan itu dapat menjadi pemicu pengembangan destinasi wisata lebih
lanjut. “Destinasi menjadi alasan bagi adanya perjalanan dan atraksi di destinasi
membangkitkan kunjungan” (Cooper et al., 1996: 77). Dalam upaya
pengembangan destinasi wisata yang secara nyata telah dikunjungi oleh
wisatawan dan menjadi pintu masuk bagi wisatawan, diperlukan campur tangan
berbagai pemangku kepentingan, sehingga diharapkan, aspek ekonomi, sosial
budaya, dan lingkungan di destinasi wisata dapat berkembang secara harmonis.
5.3 Amenitas
Konsep amenitas yang menjadi landasan kajian ini adalah segala fasilitas
pendukung yang bisa memenuhi kebutuhan dan keinginan wisatawan selama
berada di destinasi. Amenitas berkaitan dengan ketersediaan sarana akomodasi
untuk menginap serta restoran untuk makan dan minum. Amenitas juga
berhubungan dengan ritel dan jasa-jasa lain seperti jasa keamanan, jasa penukaran
uang dan asuransi (Cooper et al., 1996: 84-85).
Dalam kaitan dengan destinasi Maurole, fasilitas bagi wisatawan asing
diadakan untuk memenuhi kebutuhan peserta Sail Indonesia. Fasilitas –fasilitas itu
ada yang bersifat permanen dan ada yang tidak permanen (Disbudpar, 2007).
75
Fasilitas permanen misalnya toilet yang dibangun di beberapa lokasi kunjungan
seperti di Pantai Mausambi, Desa Otogedu, dan Dusun Detuara. Fasilitas yang
tidak permanen adalah dermaga apung (jetty), tempat relax, berbagai jenis tenda
dan panggung hiburan di lokasi pantai titik labuh yang dibangun menggunakan
bahan-bahan lokal dari bambu, kayu, dan daun kelapa. Hal ini ditegaskan oleh
Martinus Lagho SST. Par., Kasubag Program, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Ende:
“Sesuai karakteristik acara Sail Indonesia yang kunjungannya terjadi
pada bulan Juli – September setiap tahun dan singgah beberapa hari di
Maurole di bulan Agustus, maka diadakan juga beberapa acara
penyambutan dan paket wisata ke beberapa atraksi wisata yang ada di
Kabupaten Ende. Sehingga dibangunlah beberapa fasilitas non
permanen untuk memberikan kenyamanan bagi wisatawan selama
mereka berada di Maurole” (Wawancara 15 Juni 2013).
Melalui berbagai acara penyambutan dan acara pendukung lainnya,
diharapkan dapat menciptakan kesan yang baik bagi wisatawan sehingga
merupakan alat promosi yang baik bagi destinasi singgah Maurole. Menurut
Cooper et al., (1996: 80) sangat penting bagi sebuah destinasi untuk memberikan
pengalaman yang berkualitas bagi wisatawan.
Hingga saat ini, Kecamatan Maurole memiliki beberapa sarana akomodasi
penginapan dan rumah makan yang melayani kebutuhan masyarakat setempat dan
tamu lokal yang berkunjungan ke Maurole terutama karena pekerjaan,
kepentingan bisnis dan kepentingan lainnya, bukan untuk keperluan khusus
wisata. Secara umum, sarana akomodasi penginapan yang dimiliki masyarakat
lokal itu memiliki fasilitas yang minim. Demikian juga fasilitas dan jenis
hidangan yang disajikan di rumah makan. Seiring dengan pertumbuhan
76
permintaan dan pemahaman akan aspek hospitaliti, keberadaannya diharapkan
akan lebih berkualitas.
Dalam kegiatan Sail Indonesia, wisatawan yang berkunjung ke Maurole tidak
menginap di penginapan yang ada di Maurole, namun memanfaatkan kapal layar
mereka sebagai tempat untuk menginap. Hal ini sesuai dengan karakteristik
wisatawan yang menggunakan kapal layar. Jenings (2007: 33), dalam uraiannya
mengenai profil pasar para yachties (wisatawan dengan yacht), menjelaskan
bahwa mereka yang berlayar dalam jangka waktu panjang ke luar negeri atau ke
tempat yang jauh dari pelabuhan keberangkatannya, tinggal di kapal mereka (live
aboard in their own yachts). Berdasarkan uraian Jennings, maka dapat dikatakan
akomodasi atau penginapan bukanlah kebutuhan utama para wisatawan kapal
layar seperti yang terjadi di Maurole.
Tabel. 5.3
Penginapan dan Rumah Makan di Kecamatan Maurole
No Lokasi Penginapan Rumah Makan
Jumlah Kamar Jumlah Kursi
1 Desa Maurole 2 16 4 85
2 Desa Watukamba 1 7 - -
3 Desa Mausambi - - 2 40
J u m l a h 3 23 6 125
Sumber: Penelitian, 2013.
Sarana penunjang lainnya adalah sarana perdagangan seperti pasar desa, kios,
dan warung. Sarana perdagangan yang biasanya dikunjungi oleh wisatawan di
Maurole adalah pasar desa yang beraktivitas seminggu sekali. Di samping untuk
melihat aktivitas pasar, sebagian wisatawan juga menggunakan kesempatan ini
untuk membeli barang-barang kebutuhan mereka. Keberadaaan pasar tradisional
memang menarik perhatian para wisatawan, karena mereka dapat melihat secara
77
langsung aktivitas para penjual dan pembeli, dan melihat berbagai jenis barang
dagangan yang dijual. Hal ini terungkap dalam wawancara dengan Vinsen
Atabala, seorang pramuwisata lokal:
“Pasar desa yang dikunjungi dalam aktivitas Sail Indonesia adalah pasar
di Desa Maurole, Uludala (Pasar Ropa), dan Aewora. Barang yang
dibeli antara lain: sayur-sayuran, buah-buahan, dan baju” (Wawancara 9
Juni 2013).
Fasilitas pendukung lainnya yang terdapat di Kecamatan Maurole adalah
fasilitas kesehatan, fasilitas penerangan listrik, fasilitas telpon seluler (termasuk
untuk akses internet), jaringan air minum, agen penjualan BBM, bank, jasa pos,
dan toilet. Secara rinci disajikan pada Tabel 5.4.
Tabel. 5.4
Fasilitas Pendukung (Amenitas) di Kecamatan Maurole
No Fasilitas Jumlah Keterangan
1 Bank 2 Bank NTT dan BRI
2 Jasa Pos 1 PT. Pos Indonesia
3 Telepon Seluler 1 PT. Telekomunikasi Seluler
4 Air minum 1 PDAM
5 Agen Penjualan BBM
(bahan bakar minyak)
2 Minyak tanah, bensin, dan solar.
6 Fasilitas Kesehatan 6 1 Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas), 3 Puskesmas Pembantu
(Pustu), dan 2 Pos Kesehatan Desa
(Poskesdes).
7 Toilet yang dibangun
dalam rangka Sail
Indonesia
4 Di Pantai Mausambi, Dusun Detuara,
Desa Otogedu, dan Pantai Nanganio.
8 Listrik 1 PT. PLN
Sumber: Hasil Penelitian, 2013.
Fasilitas pendukung ini sangat nyata perannya dalam melayani wisatawan
Sail Indonesia. Hal ini terungkap dalam wawancara dengan Gregorius Gadi,
Sekretaris Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Ende, yang dalam
tahun 2007 dan 2008 menjadi Camat Maurole:
78
“Wisatawan yang membutuhkan air bersih dilayani oleh masyarakat
dengan memanfaatkan jaringan air PDAM yang dialirkan ke lokasi titik
labuh. Demikian juga dengan kebutuhan bensin dan solar dilayani oleh
agen penjualan BBM setempat. Sebagian juga menggunakan jasa pos
untuk mengirimkan kartu pos. Dan lagi ada wisatawan yang mendapat
pertolongan pertama di Puskesmas Maurole” (Wawancara 29 Juni
2013).
Tersedianya fasilitas-fasilitas tersebut dan pemanfaatannya untuk memenuhi
kebutuhan wisatawan, menggambarkan bahwa destinasi singgah seperti Maurole
sangat mungkin dikembangkan lebih lanjut. Oleh karenanya, aspek-aspek
pelayanan dasar semacam ini perlu mendapat pertimbangan dalam perencanaan
pengembangan pariwisata kawasan.
5.4 Ancillary Services
Salah satu komponen destinasi pariwisata yang diperkenalkan oleh Cooper et
al., (1996) adalah ancillary services. Menurut mereka, ancillary services
berbentuk organisasi lokal yang mendukung kegiatan pariwisata di sebuah
destinasi seperti Destination Management Organization (DMO), Convention and
Visitors Bureaus. Dijelaskan bahwa pelayanan yang diberikan oleh organisasi
seperti ini mencakup beberapa kegiatan, yaitu: aktivitas pemasaran, koordinasi
dan pengawasan pengembangan, penyediaan informasi, koordinasi bisnis lokal,
dan penyediaan fasilitas tertentu.
Konsep yang senada menyebutkan bahwa ancillary services adalah pelayanan
tambahan yang memberikan dukungan yang dibutuhkan oleh industri pariwisata.
Pelayanan tambahan yang diberikan oleh organisasi-organisasi penyedia ancillary
services meliputi pemasasaran, reservasi, dan koordinasi di antara agen perjalanan
(Tourism in Singapore, 2003).
79
Sesuai dengan konsep itu, penelitan ini hanya mengkaji lembaga-lembaga
yang berpartisipasi dalam kegiatan Sail Indonesia di destinasi singgah Maurole,
yakni: lembaga pemerintah, organizer/operator Sail Indonesia, Himpunan
Pramuwisata Indonesia (HPI), biro perjalanan wisata, dan kelompok masyarakat
(komunitas adat dan kelompok seni budaya). Rincian ancillary services di
destinasi Maurole dalam pengelolaan Sail Indonesia dikemukakan dalam Tabel
5.5.
Tabel. 5.5
Unsur Ancillary Services dalam Kegiatan Sail Indonesia di
Destinasi Singgah Maurole
No Ancillary Services Keterangan
1 Pemerintah kabupaten Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan
Satuan Kerja Perangkat Daerah Terkait
2 Organizer/operator Yayasan Cinta Bahari Antar Nusa
(YCBAN)
3 Himpunan pramuwisata DPC HPI Kabupaten Ende
4 Biro perjalanan -
5 Komunitas adat Di tiap desa
6 Kelompok seni budaya Di tiap desa
Sumber: Penelitian, 2013.
Mencermati potensi destinasi singgah Maurole berdasarkan empat komponen
destinasi pariwisata dan perkembanganya, maka terungkap beberapa hal. Pertama,
destinasi singgah Maurole mulai dikenal oleh dunia internasional, khususnya oleh
para pelayar sejak dijadikan titik singgah kapal-kapal wisata (yacht) di Tahun
2007. Sejak itulah Maurole menjadi pintu masuk bagi wisatawan ke Kabupaten
Ende melalui perairan laut di pesisir utara.
80
Kedua, sejak awal pengelolaan destinasi singgah Maurole dirancang dengan
melibatkan masyarakat setempat. Upaya pemberdayaan yang dilakukan itu
mendorong masyarakat untuk turut menyiapkan berbagai kebutuhan dasar
wisatawan.
Ketiga, sebagai sebuah destinasi singgah, Maurole mendapat dukungan
promosi dari berbagai pihak. Pemerintah melakukan promosi melalui bahan cetak
misalnya brosur. Operator Sail Indonesia mempromosikan destinasi Maurole di
dunia maya memanfaatkan fasilitas internet. Wisatawan (yachters) pun turut
mempromosikan Maurole dari mulut ke mulut dan melalui situs internet milik
mereka.
Sesungguhnya tiga hal yang yang telah dikemukakan merupakan gambaran
yang nyata bahwa destinasi singgah Maurole berada pada tahap involvement
sesuai teori siklus hidup destinasi wisata. Butler (1980), dalam teorinya Tourism
Area life Cycle, menguraikan tahap involvement ditandai oleh munculnya kontrol
oleh masyarakat lokal. Sudah mulai timbul inisiatif dari masyarakat untuk
menyediakan keperluan dasar wisatawan. Ciri lainnya adalah mulai dilakukan
promosi, khususnya promosi dari mulut ke mulut (word of mouth) atau WOM
untuk mengunjungi destinasi tersebut. WOM ini terutama dilakukan oleh para
yachters yang pernah mengunjungi Maurole. Promosi lainnya dilakukan oleh
pemerintah daerah melalui pembuatan bahan cetak promosi wisata yang
memasukkan Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia. Tambahan pula,
promosi yang dilakukan oleh berbagai pihak (pemerintah, swasta, dan yachters)
melalui websites dan weblogs.
81
BAB VI
PENGELOLAAN MAUROLE SEBAGAI DESTINASI SINGGAH
SAIL INDONESIA
Salah satu tujuan penelitian ini adalah mengkaji pengelolaan Maurole sebagai
destinasi singgah Sail Indonesia, dan partisipasi pemangku kepentingan dalam
pengelolaan itu. Konsep pengelolaan yang digunakan mengacu kepada jenis
aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat, pelaku wisata, dan pemerintah dalam
mengantisipasi kehadiran kapal – kapal wisata. Karena itu, hal – hal yang dikaji
meliputi pengelolaan areal titik labuh di Kecamatan Maurole, pengelolaan atraksi
seni dan budaya, pengelolaan perjalanan wisata, dan partisipasi pemangku
kepentingan.
6.1 Pengelolaan Areal Titik Labuh
Dalam kajian ini, istilah “titik labuh” dipahami sebagai tempat kapal layar
berlabuh, dan “areal titik labuh” adalah kawasan pantai di dekat (sekitar) titik
labuh yang digunakan oleh wisatawan untuk akses ke darat, dan juga
dimanfaatkan oleh stakeholder pariwisata untuk memberikan pelayanan terkait
kehadiran kapal – kapal layar itu. Bertolak dari pemahaman itu, maka kajian
terhadap pengelolaan areal titik labuh difokuskan pada kegiatan-kegiatan terjadi
di tempat itu selama kegiatan Sail Indonesia berlangsung.
Kecamatan Maurole memiliki dua titik labuh kapal wisata (yacht) yaitu
Pantai Mausambi atau juga dikenal dengan nama Teluk Mausambi di Desa
Mausambi dan Pantai Nanganio di Desa Watukamba. Di samping sebagai titik
labuh kapal wisata, lokasi ini biasa digunakan oleh nelayan lokal maupun nelayan
82
antar pulau sebagai tempat berlabuhnya kapal-kapal mereka karena terlindung dari
angin kencang dan terpaaan gelombang pada musim-musim tertentu. Pada musim
angin barat, antara Desember dan Maret, Teluk Mausambi sangat aman sebagai
titik labuh, sedangkan ketika musim angin timur antara April dan Oktober, Pantai
Nanganio sangat nyaman sebagai titik labuh. Pada musim angin timur, areal laut
di sekitar Tanjung Watulaja yang membentengi sebagian wilayah Teluk
Mausambi merupakan titik labuh yang nyaman. Kondisi ini menyebabkan titik
labuh Mausambi sering dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti dijelaskan
oleh Martinus Lagho, SST. Par., Kasubag Program Dinas Pariwisata Kabupaten
Ende.
“Pada saat terjadi bencana gempa bumi dan tsunami di Pulau Flores
dalam tahun 1992, kapal-kapal barang yang mengangkut pasokan
material bantuan dari luar pulau menggunakan titik labuh Teluk
Mausambi” (Wawancara 9 Juni 2013).
Penuturan itu mau menegaskan bahwa titik labuh ini secara alamiah aman
sebagai tempat labuhnya kapal-kapal layar. Kondisi ini menjadi salah satu
pertimbangan dipilihnya Teluk Mausambi sebagai titik labuh bagi kapal wisata
peserta Sail Indonesia di destinasi singgah Maurole. Rosalia J.E. Rae, SST.Par.,
tenaga teknis dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende,
menjelaskan tentang penetapan titik labuh:
“Penentuan itu dilakukan setelah melalui tahap survei yang dilakukan
oleh pihak operator Sail Indonesia dari Yayasan Cinta Bahari Antar
Nusa (ketika itu masih bernama Yayasan Cinta Bahari Indonesia)
bersama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende. Faktor
lain yang juga mendukung penetapan lokasi ini adalah adanya atraksi
wisata, aksesibilitas, dan fasilitas umum yang mendukung”
(Wawancara 9 Juni 2013).
83
Dalam kegiatan Sail Indonesia, areal titik labuh menjadi lokasi berbagai
aktivitas dan pelayanan kepada wisatawan. Dalam dua tahun pertama (2007 dan
2008) pelayanan bagi para peserta Sail Indonesia dipusatkan di Pantai Mausambi,
dan pada tahun-tahun berikutnya dipusatkan di Pantai Nanganio (Disbudpar,
2009). Pelayanan itu dikelola melalui kerjasama antar pemangku kepentingan.
Aktivitas yang dikelola antara lain meliputi penataan tempat relax wisatawan,
tempat penjualan berbagai kebutuhan wisatawan, fasilitas informasi pariwisata,
keamanan, dan kesehatan.
Pengelolaan areal titik labuh ini dilakukan dalam jangka waktu tertentu
sesuai dengan jadwal singgah kapal-kapal wisata yang diatur oleh operator Sail
Indonesia. Menurut Lesmana (2012) pengaturan jadwal untuk kegiatan Sail
Indonesia, disesuaikan dengan jangka waktu visa kunjungan yang diberikan yaitu
tiga bulan. Dalam jangka waktu ini, para pelayar mengarungi perairan Indoneisa
dari wilayah timur hingga ke bagian barat dengan kecepatan rata-rata 8 knot per
mil laut. Kondisi inilah yang menyebabkan, rata-rata lama tinggal di tiap destinasi
singgah adalah empat hari (Sail Indonesia, 2013).
Lamanya waktu singgah ini, menjadi pertimbangan bagi destinasi singgah
dalam mengemas berbagai jenis aktivitas dan penyediaan fasilitas pendukung.
Dengan kalimat lain, fasilitas dan pelayanan yang diberikan dirancang sesuai
dengan jangka waktu dan kondisi itu. Berikut Tabel 6.1 memperlihatkan fasilitas
yang disediakan sekaligus menyajikan gambaran pengelolaan titik labuh,
pemanfaatan sumber daya manusia dan bahan lokal.
84
Tabel 6.1
Fasilitas, Pengeloaan, dan Pemanfaatan Bahan dan Tenaga Lokal di Titik Labuh –
Destinasi Singgah Kecamatan Maurole
No Fasilitas Pengelolaan dan pemanfaatan bahan dan tenaga
lokal
1 Floating Jetty
(Dermaga Apung)
Pembuatannya ditangani oleh Dinas Pekerjaan
Umum dengan memanfaatkan tukang dan
buruh lokal. Dibangun dengan teknik bongkar
pasang.
2 Berbagai fasilitas
pelayanan, yaitu:
tempat relax
Wisatawan, tempat
penjualan dan promosi
kerajinan daerah
(souvenir), tempat
penjualan sayur dan
buah, pos keamanan,
pos kesehatan, pusat
informasi pariwisata,
dan panggung pentas
seni budaya
Seluruhnya dikerjakan oleh Masyarakat lokal
dikoordinasikan Camat Maurole dan Kepala
Desa. Ada tenaga yang dibiayai dan ada yang
merupakan tenaga sukarela (swadaya
masyarakat).
Material yang digunakan adalah bahan lokal
dari kayu, daun kelapa, daun gebang dan
bambu. Seluruhnya dibeli dari masyarakat
setempat.
Pusat informasi dikelola oleh tenaga lokal
dan pramuwisata lokal dibawa koordinasi
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Ende.
Tempat Penjualan sayur dan buah
dimanfaatkan oleh pedagang dari Desa
Nduaria, sebuah desa yang memiliki pasar
tradisional yang biasanya menjadi tempat
persinggahan wisatawan.
Tempat penjualan dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk menjual makanan dan
minuman, bahan bakar minyak, dan jasa
laundry.
Tempat promosi kerajinan daerah
dikoordinasi oleh Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Kabupaten Ende. Dimanfaatkan
oleh beberapa pedagang souvenir (tenun ikat
daerah).
Tenaga lokal juga dimanfaatkan sebagai
petugas jetty, petugas kebersihan, petugas
keamanan, petugas penyambutan, dan
seniman lokal.
Sumber : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende, 2013 (data diolah)
Terlihat bahwa tenaga lokal ikut berpartisipasi dalam pengelolaan areal titik
labuh. Hal ini sejalan dengan upaya untuk menghindari, sejak dini, marginalisasi
85
masyarakat lokal dan terabaikannya hak-hak mereka dalam mendapatkan manfaat
dari pengelolaan sumberdaya setempat (Pujaastawa et al., 2005: 127). Manfaat
dari kehadiran para wisatawan di titik labuh Mausambi diungkapkan oleh Yan
Fangidae, seorang guru SMP di Maurole.
“Jasa yang saya tawarkan kepada para peserta Sail Indonesia adalah
jasa laundry. Ternyata banyak juga yang memanfaatkan pelayanan ini.
Saya tidak menggunakan mesin cuci. Semua dilakukan secara
konvensional. Lumayanlah pendapatan yang saya terima” (Wawancara
13 Juni 2013).
Pada tahun 2012, pengelolaan Sail Indonesia di Maurole dipusatkan di
Mausambi. Hal ini terjadi karena sebagian besar kapal lego jangkar di Pantai
Mausambi. Pada saat itu, tidak ada pengelolaan khusus yang disiapkan oleh
berbagai pemangku kepentingan termasuk oleh pemerintah yang biasanya
memfasilitasi kegiatan Sail Indonesia. Namun aktivitas pelayanan kepada
wisatawan yang singgah tetap berjalan. Hal ini disampaikan oleh Vinsen Atabala,
pramuwisata lokal di Mausambi.
“Saya melayani sejumlah kapal yang lego jangkar di Mausambi
terutama di areal perairan dekat Tanjung Watulaja. Mereka mengakui
sangat nyaman berlabuh di areal itu. Kapal-kapal datang secara
bergelombang dalam kurun waktu dua minggu di Bulan Agustus
(2012). Seluruhnya, ada 38 kapal. Saya mengatur dan memandu
kunjungan mereka ke Danau Kelimutu, kampung adat Pu’u Pau yang
berjarak kurang lebih 1 km dari pantai Mausambi dan ke sejumlah
atraksi wisata lainnya termasuk mengadakan acara dinner dengan para
tamu” (Wawancara 10 Juni 2013).
Vinsen juga menguraikan bahwa pelayanan kepada para tamu dilakukannya
bersama-sama dengan sejumlah masyarakat di Mausambi. Terutama dalam
penanganan kunjungan wisata, pelayanan makan dan minum, pembelian sayuran
dan buah-buahan. Ditambahkannya, kunjungan ke kampung adat Pu’u Pau
86
dilakukan setelah mendapat izin dari mosalaki atau tetua adat setempat karena
bertepatan dengan upacara pembangunan rumah adat. Kenyataan ini menunjukkan
bahwa pengelolaan titik labuh sudah dapat dilakukan oleh masyarakat setempat
secara mandiri, sekaligus menunjukkan “pentingnya unsur masyarakat lokal
dalam sebuah destinasi” (Hermantoro, 2011: 80). Dengan cara berbeda, Murphy
(dalam Timothy dan Tosun, 2003: 6) mengungkapkan pariwisata bergantung
kepada goodwill dan kerjasama dari masyarakat setempat karena mereka
merupakan bagian dari produk.
Kenyataan juga menunjukkan munculnya keyakinan di kalangan masyarakat
bahwa mereka mampu mengelola sebuah bentuk pelayanan bagi wisatawan asing
yang datang. Keyakinan itu terungkap dalam pendapat yang disampaikan Desi
Darius Saba, Kepala Desa Mausambi.
“Kami akan berusaha sedapat mungkin melayani setiap tamu dari kapal
wisata yang berkunjung ke daerah kami. Kami belajar dari pengelolaan
sail sebelumnya terutama belajar dari kunjungan mereka ke kampung
kami Pu’u Pau. Karena itu, dalam Sail Indonesia tahun ini (2013), kami
berencana membangun tenda relax bagi wisatawan di pantai Mausambi
sekaligus sebagai pusat pelayanan kami kepada para wisatawan yang
singgah.”
Penuturan ini menggambarkan bahwa ada proses belajar dalam keterlibatan
masyarakat. Berdasarkan pengetahuan yang dimiliki dan dengan didukung faktor
lainnya seperti tersedianya sumber daya manusia di desa, masyarakat berinisiatif
memberikan pelayanan kepada wisatawan yang datang ke wilayahnya. Hal ini
mencermintakn bahwa “pendekatan pariwisata berbasis masyarakat dalam
pengembangan pariwisata merupakan syarat bagi keberlanjutan” (Woodly dalam
Timothy dan Tosun, 2003).
87
Kunjungan kapal wisata di tahun 2012 dapat dipahami sebagai dampak
keberadaan Maurole sebagai salah satu destinasi singgah dalam rute pelayaran
kapal-kapal wisata yang melayari perairan Indonesia. Sejak tahun 2007 informasi
mengenai titik labuh Mausambi dapat diperoleh melalui beberapa websites yang
secara khusus memberikan informasi mengenai Sail Indonesia, baik yang berbasis
di Darwin, Australia maupun di Jakarta. Raymond T. Lesmana, Konsultan Ahli
Bidang Wisata Layar di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang juga
menjadi Ketua Dewan Pengurus YCBAN menjelaskan pola dikenalnya sebuah
destinasi singgah:
“Ketika sebuah destinasi telah menjadi titik labuh dan pernah
disinggahi oleh kapal-kapal wisata maka koordinat titik labuh
(anchorage position) otomatis dikenal dunia pelayaran kapal wisata.
Apalagi jika para pelayar dunia terkesan dengan hospitality dari
masyarakat di destinasi singgah” (Wawancara 19 Juni 2013).
Uraian Lesmana itu mengandung pengertian bahwa sebuah destinasi singgah
akan selalu berpeluang disinggahi oleh kapal-kapal wisata. Konsekuensinya
adalah terbukanya beragam kesempatan untuk mendapatkan manfaat dari
kehadiran kapal-kapal wisata. Manfaat ekonomi bisa didapat dari antara lain
pengelolaan perjalanan wisata, jasa guide, penjualan makan dan minum, jasa
transportasi, dan jasa laundry. Pengelolaan aktivitas itu memberikan dampak
terhadap pendapatan masyarakat. Manfaat dari aspek sosial-budaya adalah
terjadinya interaksi antara masyarakat dengan wisatawan yang dapat memperkaya
pengalaman. Dalam hal ini, dibutuhkan adanya upaya untuk pengelolaan areal
titik labuh dan destinasi wisata secara menyeluruh melalui pendekatan pariwisata
yang berbasis masyarakat dan berkelanjutan.
88
Gambar 6.1 Titik Labuh Pantai Mausambi
Sumber: Foto oleh Raymond T. Lesmana (YCBAN, 2007)
6.2 Pengelolaan Atraksi Seni Budaya
Persinggahan kapal-kapal wisata di Maurole dimanfaatkan oleh seniman lokal
sebagai wadah untuk mengapresiasikan kreativitas seni mereka, sekaligus sebagai
cara untuk melestarikan dan mempromosikan seni budaya daerah. Shaw dan
Williams (dalam Ardika, 2003: 50) menyebutkan seni dan musik merupakan salah
satu elemen budaya yang menjadi daya arik wisata. Elemen terkait lainnya yang
digunakan dalam pementasan seni budaya adalah pakaian lokal/tradisional. Oleh
sebab itu, berbagai atraksi seni budaya daerah ditampilkan, bukan hanya untuk
menghibur wisatawan asing, namun juga untuk dinikmati oleh masyarakat
setempat. Pagelaran seni budaya melibatkan berbagai kelompok seni di
89
Kabupaten Ende dan se-daratan Flores. Tabel 6.2 menjelaskan berbagai atraksi
seni budaya itu.
Tabel 6.2
Atraksi Seni Budaya di Destinasi Singgah Maurole
No Tahun Acara Seni Budaya
1 2007 Festival Seni Budaya Rayon II Flores dan Lembata
2 2008 Pagelaran Seni Budaya Daerah Kabupaten Ende
3 2009 Pagelaran Seni Budaya Kecamatan Maurole
4 2010 Pagelaran Seni Budaya Kecamatan Maurole
5 2011 Tidak ada acara pagelaran seni budaya
6 2012 Tidak ada acara pagelaran seni budaya
Sumber: Disbudpar Kabupaten Ende, 2013 (data diolah)
Tahun 2011 tidak ada acara pagelaran seni budaya, karena Sail Indonesia
tidak ditangani langsung oleh pemerintah kabupaten, namun oleh Desa
Watukamba. Pengelolaannya, termasuk penentuan acara di lokasi dan perjalanan
wisata diatur oleh pihak desa. Tahun 2012 tidak ada acara pagelaran seni budaya
karena pada tahun itu acara Sail Indonesia tidak ditangani secara khusus oleh
pemerintah daerah maupun oleh desa. Ketika itu pengelolaannya dilakukan
langsung oleh masyarakat di Desa Mausambi. Masyarakat berinisiatif melayani
wisatawan dari sejumlah kapal yang lego jangkar di Teluk Mausambi.
Pengelolaan atraksi seni budaya dilakukan bersama-sama antara masyarakat
dan pemerintah daerah. Masyarakat berpartisipasi melalui sanggar-sanggar seni
yang ikut dalam pementasan seni budaya. Pemerintah memfasilitasi dengan
menyiapkan wadah apresiasi seni bagi masyarakat. Kolaborasi ini merupakan
90
bentuk kongkrit dari pengelolaan seni budaya daerah sekaligus sebagai upaya
pelestarian karya seni masyarakat.
Gambar 6.2 Areal Pentas Seni Budaya di Mausambi
Sumber: Dokumen Disbudpar Ende, 2007
Kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan seni dan
budaya di Maurole juga mencerminkan adanya apresiasi terhadap kebudayaan.
Gee dan Fayos (dalam Ardika, 2003: 55) menyebut bahwa salah satu prinsip
pengembangan kepariwisataan yang berkelanjutan adalah adanya upaya untuk
menghormati kebudayaan yang dilakukan oleh stakeholder yang terlibat di dalam
pengembangan pariwisata, dalam hal ini wisatawan juga ikut menghormati
kebudayaan, pandangan hidup, dan perilaku masrarakat lokal.
Atraksi seni budaya juga diadakan di desa-desa yang dikunjungi oleh
wisatawan. Setiap desa menampilkan atraksi yang berbeda sesuai dengan
kebiasaan dan kekhasan tempatnya masing-masing. Sesuai dengan hasil
91
wawancara dengan berbagai informan di beberapa desa, diketahui bahwa atraksi
seni budaya di desa-desa ini dilakukan sebagai bentuk partisipasi menyambut
wisatawan yang berkunjung ke desa mereka. Dengan demikian dapat dikatakan
bentuk keterlibatan ini “bottom up, atas inisiatif komponen masyarakat” (Dalem,
et.al., 2007: 92).
Gambar 6.3 Penari di Desa Nualise
Sumber: Dokumen Disbudpar Ende, 2009
6.3 Pengelolaan Perjalanan Wisata
Pengelolaan perjalanan wisata di destinasi singgah Maurole berwujud paket-
paket wisata dengan kelompok sasaran para wisatawan. Pengelolaan paket wisata
ini dilakukan oleh pemandu wisata lokal yang dikoordinir oleh Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata. Ada pula yang dikelola oleh biro perjalanan wisata (Disbudpar,
2010). Khusus pada tahun 2012 dikelola langsung oleh masyarakat.
92
Tempat-tempat yang dikunjungi wisatawan terdapat di Kecamatan Maurole
dan di luar Kecamatan Maurole. Masing-masing tempat itu memiliki daya tarik
tersendiri. Paket wisata ke berbagai tempat itu, khususnya ke desa – desa, dibuat
dengan koordinasi terlebih dahulu. Hal ini dilakukan agar desa yang dikunjungi
dapat mempersiapkan atraksi seni budaya dan hal lainnya seperti kuliner lokal
sesuai kebutuhan perjalanan. Tabel 6.3 memperlihat tempat kunjungan wisatawan
dan daya tariknya.
Tabel 6.3
Tempat Kunjungan Wisatawan dalam Sail Indonesia
No Tempat yang dikunjungi Daya tarik
1 Desa Wologai Tengah
Kampung adat, rumah-rumah adat, dan
atraksi seni budaya.
2 Desa Otogedu Pembuatan arak lokal (moke)
3 Nuabela (Desa Watukamba) Pembuatan Gula Aren
4 Detuara (Desa Mausambi) Pembuatan peralatan makan dari tanah liat
(pane)
5 Pu’u Pau Kampung adat, rumah-rumah adat, dan
atraksi seni budaya.
6 Desa Tanali Rumah adat dan permainan tradisional.
7 Air Panas Detusoko Kolam pemandian.
8 Danau Kelimutu Danau kawah berbeda warna.
9 Wolotopo Landscape perkampungan adat dan rumah
adat.
10 Kota Ende Situs Rumah Pengasingan Bung Karno,
Tempat permenungan Bung Karno, Museum
Bahari, dan suasana Kota Ende.
11 Desa Waturaka Agrowisata, landscape persawahan dan
pemandian air panas Liasembe.
12
Wolofeo (Desa Nualise)
Kampung adat, rumah adat, atraksi seni
budaya, kuliner lokal.
13 Desa Rewarangga Pembuatan parang (pandai besi)
14 Sekolah-sekolah Komunikasi dan berbagi pengalaman dengan
siswa-siswa SD, SMP, dan SMA
Sumber: Disbudpar Ende, 2010 dan Penelitian, 2013 (data diolah)
Pada Tahun 2011 pengelolaan Sail Indonesia di lokasi titik labuh Pantai
Nanganio dilakukan oleh Desa Watukamba. Hal in dilakukan untuk lebih
93
memberdayakan desa dan masyarakat dalam pengelolaan destinasi wisata
(Disbudpar, 2011). Seluruh acara persiapan dan pelaksanaannya dilakukan oleh
masyarakat setempat dengan mengacu pada pelaksanaan pada tahun-tahun
sebelumnya. Salah satu bentuk pengelolaan yang dilakukan adalah kerjasama
dengan travel agent/ tour oprator dalam penanganan perjalanan wisata. Stronza
(2008: 103) menegaskan bentuk kerjasama ini memungkinkan masyarakat
menghubungkan pengetahuan, wilayah, tenaga kerja, dan modal sosial mereka
dengan kemampuan manajerial lembaga lain seperti tour operator. Melalui pola
kerjasama ini, masyarakat mendapat kesempatan belajar banyak hal seperti
manajemen event dan pengelolaan perjalanan wisata. Pujaastawa, et.al., 2005:
105) menegaskan “hubungan antara lemabaga-lembaga masyarakat lokal dengan
pengusaha pariwisata bersifat hubungan kemitraan yang saling menguntungkan”.
Pada tahun 2012 penanganan para wisatawan dari kapal-kapal wisata yang
berlabuh di Pantai Mausambi dilakukan oleh masyarakat di Desa Mausambi.
Vinsen Atabala, pramuwisata lokal di Mausambi menjelaskan:
“Kendatipun tidak ada acara khusus yang dipersiapkan oleh pemerintah
daerah, kunjungan kapal tetap ada. Semuanya berlabuh di pantai
Mausambi. Saya berkomunikasi dengan dua sailors (wisatawan) dari
kapal yang pertama tiba dan bersamanya mengatur kunjungan ke
Kelimutu sesuai permintaan mereka. Wisatawan berkebangsaan
Swedia ini berkomunikasi dengan kapal-kapal yang akan melewati jalur
Mausambi dan menawarkan tour ke Kelimutu. Tour ke Kelimutu
bersama 18 orang dari 9 kapal yang lego jangkar dilakukan pada dua
hari berikutnya.” (Wawancara 10 Juni 2013).
Lebih jauh Vinsen menjelaskan tentang pengelolaan tour ke Kelimutu.
Bemo milik masyarakat setempat digunakan sebagai alat transportasi. Dalam
perjalanan menuju Kelimutu singgah di Ranga, sebuah tempat yang memiliki
94
pemandangan landscape persawahan. Setelah menikmati keindahan Kelimutu,
lokasi yang disinggahi berikutnya adalah Desa Waturaka untuk menyaksikan
aktivitas masyarakat di sawah. Setelah itu menuju Moni untuk makan siang di
salah satu restoran di sana.
Perjalanan kembali ke Maurole dilanjutkan dengan singgah di beberapa
tempat. Di Pasar Nduaria wisatawan melihat aktivitas pasar tradisional dan
membeli sayur dan buah. Selanjutnya berhenti di Ekoleta untuk menikmati
pemandangan persawahan di pinggir sungai dan aktivitas fotografi. Perhentian
terakhir sebelum Maurole adalah di Ropa, dan di lokasi ini para wisatawan
mendapat penjelasan tentang pohon jambu mete.
Setelah tiba di Maurole, perjalanan dilanjutkan dengan mengunjungi
kampung Pu’u Pau. Kunjungan ini bertepatan dengan berlangsungnya upacara
pembuatan rumah adat. Dalam upacara semacam itu, masyarakat pengusung
kampung adat selalu hadir dan suasananya ramai. Para mosalaki (tetua adat)
menyambut wisatawan dengan tarian. Wisatawan mengenakan pakaian adat yang
disewakan oleh penduduk kampung. Perempuan mengenakan lawo (kain) dan
lambu (baju). Pria mengenakan luka (kain) dan ragi (selendang). Dengan
mengenakan pakaian adat, para tamu ikut dalam tarian Gawi, sebuah tarian yang
dilakukan secara bersama-sama sambil bergandengan tangan sebagai simbol
kebersamaan. Makan malam dilakukan di dalam rumah adat bersama para
mosalaki. Usai makan malam bersama, para tamu mengumpulkan donasi untuk
kampung adat dan kembali ke Mausambi berjalan kaki diantar oleh para pemuda
kampung ke pantai tempat mereka menambatkan dinghy (perahu sekocinya).
95
Kemasan perjalanan wisata seperti yang digambarkan itu, ditambah dengan
adanya interaksi antara wisatawan dengan masyarakat, memungkinkan terciptanya
pengalaman wisata yang berbeda. Kenyataan ini selaras dengan konsep pariwisata
alternatif yang menekankan pentingnya upaya menciptakan interaksi yang positif
dan bermanfaat di antara wisatawan dan masyarakat (Smith dan Eadington, 1992).
Bertolak dari fakta pengelolaan titik labuh, pengelolaan atraksi seni budaya,
dan pengelolaan perjalanan wisata, maka dapat diperoleh gambaran bahwa
keberadaan susatu titik labuh yang dikunjungi wisatawan dapat memicu
pengembangan destinasi. Pengembangannya meliputi pengembangan potensi
atraksi alam, budaya, dan buatan manusia. Pengembangan selanjutnya adalah
pengembangan yang sejak dini dapat melibatkan masyarakat lokal sehingga
terjadi pemberdayaan bukan marginalisasi. Hal ini selaras dengan pendapat Smith
dan Eadington (1992:3) mengenai pengembangan bentuk pariwisata yang
konsisten dengan nilai-nilai alam, sosial dan nilai-nilai masyarakat serta
memungkinkan baik masyarakat lokal maupun wisatawan untuk menikmati
interaksi yang positif serta bermanfaat dan menikmati pengalaman secara
bersama-sama.
Fakta pengelolaan areal titik labuh juga mencerminkan hubungan antar
pihak yang terlibat, seperti yang diuraikan oleh Pujaastawa, et.al. (2005). Pertama,
hubungan antar lembaga-lembaga masyarakat lokal (desa, komunitas adat,
sanggar seni). Hubungan ini bersifat hubungan internal, yang mencakup
kerjasama perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan di areal titik labuh dan
aktivitas terkait lainnya. Kedua, hubungan antar lembaga-lembaga masyarakat dan
96
pihak pengusaha pariwisata (travel agent/biro perjalanan wisata). Hubungan ini
berupa hubungan kemitraan yang saling menguntungkan dalam mengemas jenis-
jenis paket wisata bagi wisatawan Sail Indonesia. Ketiga, hubungan antar
lembaga-lembaga masyarakat lokal, pengusaha pariwisata, dan pemerintah.
Hubungan ini mencakup peran aktif lembaga pemerintah melalui Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende dan satuan kerja perangkat daerah
terkait lainnya, dalam memfasilitasi penyusunan kebijakan masuknya kapal –
kapal wisata di Maurole, dan menjalin kerjasama di antara berbagai pemangku
kepentingan itu.
Gambar 6.4 Sailor - Kelimutu Tour 2012
Sumber: Dokumentasi Atabala, V., 2012
97
6.4 Partisipasi Pemangku Kepentingan Pariwisata
Pada bagian ini dipaparkan mengenai partisipasi pemangku kepentingan
dalam kegiatan Sail Indonesia di Destinasi singgah Maurole. Dasarnya adalah tipe
partisipasi yang dibuat oleh Tosun (dalam Madiun, 2009). Salah satu tipe
partisipasi itu adalah partisipasi masyarakat karena masyarakat terdorong untuk
melakukannya (induced participation). Tipe partisipasi inilah yang mendasari
partisipasi pemangku kepentingan dalam kegiatan Sail Indonesia di destinasi
singgah Maurole dan desa-desa terkait lainnya seperti terlihat dalam berbagai
kegiatan.
Untuk mendapatkan uraian mengenai partisipasi pemangku kepentingan,
maka dikemukakan terlebih dahulu pemangku kepentingan yang terlibat dalam
pengelolaan Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia. Pada tataran
konsep terdapat insan pariwisata yang dikelompok dalam tiga pilar utama (Pitana
dan Gayatri, 2005: 96 – 97), yaitu: (1) masyarakat. (2) swasta, dan (3) pemerintah.
Dijelaskan bahwa masyarakat umum di destinasi adalah pemilik sah sumberdaya
yang merupakan modal pariwisata, seperti kebudayaan. Masyarakat terdiri dari
tokoh-tokoh masyarakat, intelektual, LSM, dan media masa. Kelompok swasta
mencakup lembaga usaha pariwisata dan para pengusaha. Kelompok pemerintah
mulai dari pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa. Masing-masing
pemangku kepentingan terdiri dari berbagai pihak dan berperan sesuai dengan
fungsinya masing-masing. Tabel 6.4 memperlihatkan pemangku kepentingan di
Maurole.
98
Tabel 6.4
Pemangku Kepentingan dalam Sail Indonesia di Destinasi Singgah Maurole
No Pemangku Kepentingan Elemen yang berperan
1 Pemerintah Kabupaten Ende Dinas Kebudayaan dan Pariwisata;
Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait:
Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas
Perhubungan, Dinas Pekerjaan Umum,
Dinas Perindustrian dan Perdagangan.
Kecamatan dan desa-desa terkait
2 Pelaku usaha pariwisata
(swasta)
Himpunan Pramuwisata Indonesia, biro
perjalanan, operator/organizer pariwisata.
3 Masyarakat Masyarakat yang berperan di lokasi
kunjungan dan di titik labuh: petugas jetty,
pelayan makan minum, petugas
kebersihan, musisi lokal, keluarga
paguyuban, sanggar seni, pembuat bahan
kerajinan, kalangan pendidikan mulai SD
sampai SMA dan masyarkat desa.
Sumber: Penelitian, 2013
6.4.1 Partisipasi Pemerintah
Partisipasi pemerintah ditunjukkan dengan berbagai upaya menjadikan
Kecamatan Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia. Upaya ini dimulai
pada Tahun 2006. Ketika itu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mengundang
Yayasan Cinta Bahari Indonesia sebagai operator Sail Indonesia untuk melakukan
survei titik labuh di pesisir utara Kabupaten Ende. Lebih jauh dijelaskan oleh
Rosalia J.E. Rae, SST. Par, Tim Teknis dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Ende.
“Hasil survei menetapkan bahwa Pantai Mausambi layak sebagai titik
labuh bagi kapal-kapal wisata (yacht). Beberapa kriteria yang dipenuhi
adalah: posisi geografis, kedalaman, jarak dari pantai, dan dekat
aktivitas masyarakat sehari-hari. Bertolak dari kondisi fisik itu, diajukan
rencana kegiatan dan biaya untuk menjadi destinasi singgah di Tahun
2007, dan usulan itu terlaksana” (Wawancara 9 Juni 2013).
99
Penuturan itu mengungkapkan bahwa penetapan pantai Mausambi sebagai
titik labuh bagi kapal-kapal wisata membawa berbagai konsekuensi. Salah satunya
adalah konsekuensi peran pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pendanaan
kegiatan untuk pengembangan destinasi singgah Maurole. Di samping itu, ada
konsekuensi pemerintah di bidang pemberdayaan masyarakat lokal dan kalangan
industri dalam memanfaatkan peluang kehadiran kapal-kapal wisata. Hal ini
dikemukakan oleh Yuliana Ruka, S.Sos, Kepala Bidang Pemasaran dan Promosi,
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende.
“Kami mengadakan sosialisasi/pendekatan dengan berbagai pihak
terkait, baik dari kalangan industri maupun masyarakat. Di Maurole,
diadakan beberapa kali pertemuan membahas berbagai hal mengenai
kunjungan wisatawan melalui reli perahu layar international ini.
Demikian juga pertemuan diadakan di berbagai titik-titik kunjungan
wisatawan. Intinya memberikan informasi mengenai Sail Indonesia,
peluang, dan peran yang dapat diambil oleh baik oleh masyarakat
maupun kalangan industri” (Wawancara 16 Juni 2013).
Partisipasi pemerintah bersifat memfasilitasi pemangku kepentingan
lainnya. Pemerintah mengusahakan agar masyarakat dapat secara kreatif
memanfaatkan peluang yang dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial
budaya. Penegasan ini disampaikan oleh Maria W.P. Wangge, SST. Par, salah
satu Tenaga Teknis di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende,
sebagai berikut.
“Pemerintah daerah melalui tim teknisnya menfasilitasi untuk
menyampaikan dan memberi pemahaman kepada masyarakat, tokoh
masyarakat, tokoh adat tentang pentingnya kegiatan Sail Indonesia.
Implementasinya, Pemda memberi kesempatan khusus kepada
masyarakat di kecamatan dan desa-desa titik kunjugan. Juga kepada
pihak swasta yang terlibat untuk mencapai tujuan yang di harapkan
melalui kegiatan Sail Indonesia” (Wawancara 10 Juni 2013).
100
6.4.2 Partisipasi Pelaku Usaha
Partisipasi pemangku kepentingan dari pelaku usaha pariwisata yaitu biro
perjalanan diwujudkan melalui penanganan kegiatan perjalanan wisata bagi
peserta Sail Indonesia di tahun 2010 (Disbudpar, 2010). Pelaku usaha pariwisata
yang juga terlibat adalah para pemilik sarana transportasi yang digunakan untuk
mengangkut wisatawan. Kunjungan ke berbagai tempat menggunakan jasa
angkutan milik masyarakat seperti bus, mini bus, dan bemo serta angkutan lainnya
seperti bus kayu (lihat Tabel 5.1).
Pelaku usaha pariwisata lain yang berpartisipasi adalah pramuwisata.
Komunikasi yang dibangun dengan wisatawan dilakukan oleh pramuwisata.
Mereka memberikan informasi mengenai destinasi singgah Maurole, fasilitasnya,
kehidupan masyarakatnya, budayanya, atraksi wisatanya, dan pagelaran seni
budayanya. Mereka juga mengatur perjalanan wisata, pemanduan (guiding),
menjadi penerjemah bagi masyarakat lokal, dan menangani beragam informasi
lainnya. Lebih jauh digambarkan oleh Ferdinandus E.K. Radawara, SST. Par.,
Ketua DPC HPI Kabupaten Ende:
“Mulai tahun 2007 beberapa guide lokal berpartisipasi dalam melayani
peserta Sail Indonesia. Di tahun awal penyelenggaraan itu, terdapat 13
orang tenaga guide. Ketika itu belum ada pramuwisata yang
bersertifikat HPI di Ende. Mereka berasal dari beragam latar belakang,
seperti guru, pegawai, tukang ojek, pekerja serabutan, dan mahasiswa.
Namun, mereka memiliki kemampuan bahasa Inggris dan bahasa asing
lainnya dan sedikit pengalaman dalam memandu wisatawan. Para guide
itu sebelumnya juga mendapat pelatihan singkat mengenai guiding
technic. Mereka mengomunikasikan semua informasi yang perlu
disampaikan kepada para wisatawan dan membantu wisatawan dalam
banyak hal” (Wawancara 15 Juni 2013).
101
Partisipasi para pramuwisata ini memberikan dampak yang baik bagi
destinasi singgah Maurole. Hal tersebut tercermin dari tulisan yang termuat dalam
situs web: sailindonesia.net., yaitu:
“During the day there were tours to the 3 coloured lakes at Mt.
Kelimutu as well as nearby villages that specialise in such products as
Arak/Moke (liquor distilled in bamboo pipes from palm sap), palm
sugar, cocoa, coffee and other products. The scenery during these tours
varied from paddy fields to lush jungle and spectacular mountain
ranges. Excellent English speaking guides provided the commentary and
information on village life and customs; they continued to look after our
every need. (http://sailindonesia.net/history/history2008.php diakes 30
Mei 2013).
Terjemahan:
Selama hari itu, ada kunjungan ke danau 3 warna di Gunung Kelimutu,
dan juga kampung yang memproduksi arak/moke (minuman keras dari
air nira yang disaring dalam bambu), gula aren, coklat, kopi, dan produk
lainnya. Pemandangan dalam perjalanan ini bervariasi mulai dari lahan
persawahan, hutan lebat, dan barisan pegunungan yang mengagumkan.
Pramuwisata dengan bahasa Inggris yang sangat baik memberikan
komentar dan informasi tentang kehidupan dan adat di kampung; mereka
terus memperhatikan setiap kebutuhan kami.
6.4.3 Partisipasi Masyarakat
Partisipasi yang menonjol dalam Sail Indonesia di destinasi singgah Maurole
adalah keterlibatan masyarakat di berbagai desa yang dikunjungi. Secara umum,
masyarakat memperoleh informasi dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tentang
rencana kunjungan peserta reli perahu layar. Berdasarkan informasi yang
diperoleh, masyarakat di desa tertentu menindaklanjutinya dengan pertemuan dan
penyiapan lokasi kunjungan. Cyprianus Pepi, Kepala Desa Nualise, Kecamatan
Wolowaru menjelaskan langkah-langkah yang ditempuh desanya.
“Kami mengadakan pertemuan dengan mosalaki (tetua adat), tokoh
masyarakat, tokoh agama, karang taruna, kelompok wanita, para kepala
dusun, dan Badan Perwakilan Desa untuk membicarakan mengenai
102
rencana kunjungan wisata ke desa kami. Kemudian kami menyepakati
kegiatan apa saja yang kami lakukan, pembagian tugas-tugas dan jadwal
kerjanya” (Wawancara 8 Juni 2013).
Pemaparan itu menunjukkan bahwa sejak awal masyarakat di desa
dilibatkan untuk menangani kunjungan wisatawan peserta Sail Indonesia.
Keterlibatan masyarakat sejak awal juga terjadi pada desa-desa lainnya yang
dikunjungi. Polanya hampir sama. Desa menindaklanjuti informasi yang diterima
melalui pertemuan di desa. Peserta yang hadir pun berasal dari lembaga
kemasyarakatan di desa. Hal ini dituturkan oleh Ignasius Siga, Kepala Desa
Otogedu:
“Di sini (di Desa Otogedu), dua kali pertemuan diadakan sebelum kerja
di lapangan dilakukan. Seluruh perwakilan dari lembaga
kemasayarakatan di desa, tokoh masyarakat, mosalaki (tetua adat) dan
lain-lain perwakilan hadir. Masyarakat desa perlu tahu apa yang akan
terjadi di desa, sehingga mereka dengan senang hati ikut berpartisipasi.
Melalui pertemuan itu, kami ingin memastikan jadwal kerja, pengisi
acara, kebutuhan material, dan fasilitas dibicarakan secara matang,
sehingga pelaksanaannya menjadi efektif dan berhasil” (Wawancara 12
Juni 2011).
Keterlibatan masyarakat semakin nyata dalam pelaksanaan kegiatan, mulai
dari saat tamu menginjakkan kakinya di desa atau kampung, sampai mereka
meninggalkan desa. Masyarakat berusaha agar para tamu Sail Indonesia merasa
nyaman dan senang mengunjungi desa atau kampung. Mosalaki (tetua adat)
kampung Nuabela, Desa Mausambi, Lambertus Laka menuturkan:
“Para tamu disambut dengan pengalungan luka (selendang tenun ikat)
lalu diantar memasuki kampung dengan tarian yang diiringi feko genda
(musik suling). Kemudian disambut para mosalaki (tetua adat) dengan
bhea (pengucapan kata-kata selamat datang dalam bahasa daerah).
Mereka diantar untuk melihat rumah-rumah ada dan diajak berpartisipasi
dalam tarian adat bersama masyarakat. Mereka juga menikmati makan
siang yang disiapkan oleh masyarakat menggunakan alat makan
tradisonal yang dibuat di kampung Nuabela” (Wawancara 13 Juni 2013).
103
Hal ini mengungkapkan adanya partisipasi inisiai (Hoofsteede dalam
Madiun, 2009). Hooffsteede menjelaskan bahwa dalam partisipasi inisiasi,
masyarakat tidak sekedar menjadi objek pembangunan tetapi turut menentukan
dan mengusulkan suatu rencana. Partisipasi ini timbul dari kehendak anggota
masyarakat dan dorongan hati nurani. Melalui partisipasi ini, masyarakat ikut
memelihara dan merasa ikut memiliki pembangunan di wilayahnya.
Setiap desa memiliki kekhasannya dan berusaha menunjukannya kepada
tamu yang datang. Desa Wologai Tengah mengemas partisipasi masyarakatnya
dengan cara berbeda. Pada tahun 2007, kunjungan para wisatawan ke desa ini
bertepatan dengan upacara mengatap keda (salah satu rumah adat). Wisatawan
berkesempatan menyaksikan masyarakat mengikuti rangkaian seremoni adat.
Masyarakat menyediakan pakaian adat bagi wisatawan dan mengenakannya
sebelum memasuki kampung adat. Berikut penuturan Emilianus Linu, Kepala
Desa Wologai Tengah:
“Seperti biasa kami menyambut tamu rombongan dengan tarian Goro
Tenga. Penarinya berasal dari sanggar yang ada di desa. Tamu diantar
dengan tarian itu menuju kampung. Sebelum masuk kampung
masyarakat menyiapkan pakaian adat untuk dikenakan para tamu.
Perempuan memakai lawo lambu (kain tenun ikat dan baju untuk
perempuan) dan laki-laki memakai luka ragi (kain tenun ikat untuk laki-
laki dan selendang). Memasuki kampung disambut mosalaki (tetua adat)
menuju kanga dan berkeliling sebanyak 7 putaran di kanga. Setelah itu
tamu dipandu melihat deretan rumah adat dan masuk ke dalam rumah
adat serta menyaksikan masyarakat memasang atap keda” (Wawancara,
20 Juni 2013).
Uraian yang disampaikan itu mencerminkan adanya tahap persiapan dan
pelaksanaan yang dilakukan oleh desa bersama masyarakatnya, dan adanya
partisipasi masyarakat. Inskeep (dalam Timothy dan Tosun, 2003) menjelaskan
104
pola kerjasama ini merupakan salah satu perhatian dari beberapa bentuk
pariwisata alternatif dan minat khusus, sosial budaya, dan lingkungan, dan kerena
itu, partisipasi masyarakat diperlukan untuk memastikan bahwa kegiatan
pariwisata bermanfaat dan bukan sebaliknya menggangu kehidupan masyarakat
sehari-hari.
Gambar 6.5 Pemasangan Atap Rumah Adat di Wologai Tengah
Sumber: Disbudpar Ende, 2007.
105
Terlihat bahwa partisipasi masyarakat memicu kreatifitas pengemasan
atraksi bagi wisatawan. Partisipasi juga menunjukkan bahwa masyarakat memiliki
kemampuan untuk memberikan pelayanan atau menunjukkan hospitality bagi
wisatawan. Di samping itu, potensi pariwisata di suatu desa dapat lebih
dimanfaatkan jika masyarakat, sebagai pemiliknya, dilibatkan sejak awal
pengembangannya.
Desa berikutnya yang dikunjungi peserta Sail Indonesia adalah Desa
Waturaka di Kecamatan Kelimutu. Letak desa ini sangat strategis karena berada di
jalur utama menuju Danau Kelimutu. Hal utama yang menarik di desa waturaka
adalah panorama persawahannya. Disamping itu, desa ini juga memiliki lahan
tanaman hortikultura berupa sayuran dan buah-buahan yang berpotensi menjadi
atraksi wisata. Potensi atraksi wisata alam lainnya, yaitu air terjun dan pemandian
air panas yang sangat mudah dijangkau. Tokoh masyarakat Waturaka, Alexander
Wae menjelaskan tentang atraksi wisata yang dikemas dalam menyambut
wisatawan Sail Indonesia.
“Salah satu produk andalan di desa kami adalah tomat. Karena itu, kami
mengajak wisatawan ikut memetik tomat. Kami sediakan keranjang
untuk menaruh tomat yang dibuat dari anyaman daun enau dan daun
kelapa. Kuliner yang kami sediakan pun bahannya kami ambil dari
kebun di desa ini. Kami menghibur mereka dengan tarian dan nyanyian
yang diiringi dengan alat musik sato yang dibuat oleh masyaratkat di
desa ini” (Wawancara 9 Juni 2013).
Kegiatan lain yang juga melibatkan wisatawan di Desa Waturaka adalah
penanaman pohon gaharu di salah satu lokasi. Wisatawan dari setiap kapal wisata
diberikan kesempatan untuk menanamkan satu anakan pohon gaharu. Penanaman
pohon dan kegiatan memetik tomat yang dilakukan oleh wisatawan menunjukkan
106
bahwa bentuk interaksi antara wisatawan telah diupayakan oleh masyarakat
setempat dengan memanfaatkan potensi produk dan lahan yang dimiliki desa.
Model pengembangan aktivitas pariwisata ini, menurut Pujaastawa, et.al. (2005:
134) merupakan pariwisata berbasis potensi ekologi dan budaya pertanian yang
diharapkan mampu memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat dan
konservasi lingkungan.
Gambar 6.6 Peserta Sail Indonesia dan Tomat yang Dipetiknya di Waturaka
Sumber: Dokumen Disbudpar, 2009
Partisipasi masyarakat juga terlihat di Desa Wolotopo Timur. Partisipasi itu
ditunjukkan dengan penerimaan terhadap kunjungan dan ijin untuk memasuki
rumah-rumah adat. Nikolaus Dee, tokoh masyarakat di Wolotopo Timur
menguraikan tentang kunjungan wisatawan ke desanya.
107
“Selain berkeliling kampung melewati jalur yang sudah biasa dilewati
oleh wisatawan, mereka juga berkunjung ke rumah adat Sa’o Sue dan
Sa’o Atalaki serta lokasi keda kanga. Selain itu, wisatawan juga
menyaksikan atraksi wisata pembuatan tenun ikat yang menjadi aktivitas
harian yang dilakukan oleh sebagaian besar perempuan di kampung ini.
Mereka juga menikmati kuliner lokal yang disiapkan oleh masyarakat
setempat” (Wawancara 9 Juni 2013).
Partisipasi masyarakat di sejumlah desa bukan hanya karena efektivitas
manajemen semata, namun aspek lain turut memengaruhinya, yaitu aspek budaya.
Ada nilai budaya yang turut mendukung keinginan masyarakat untuk
berpartisipasi menyambut tamu yang mengunjungi kampungnya. Nilai budaya
seperti yang dimaksudkan oleh Koentjaraningrat dalam Mbete et al., (2006: 21)
yaitu konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga
masyarakat tentang hal-hal yang harus mereka anggap sebagai amat bernilai dan
bermakna dalam hidup.
Orang yang datang ke kampung (rumah) atau tamu yang berkunjung
dianggap sebagai manusia yang bernilai bagi kehidupan karena itu harus diterima
dengan baik. Itulah yang menyebabkan semua desa yang dikunjungi mengemas
beragam acara penyambutan bagi wisatawan peserta Sail Indonesia. Hal ini
dijelaskan oleh tokoh budaya Kabupaten Ende, Yakobus Ari:
“Ata mai (orang yang datang/tamu) itu adalah ata ji’e (orang baik).
Tamu dianggap membawa keselamatan. Sehingga semakin banyak tamu
yang datang, diyakini semakin banyak rejeki yang akan diterima. Karena
itu, tuan rumah mau menunjukkan kepada tamu bahwa mereka juga
adalah orang baik yang bisa menerima tamu dengan baik. ‘Kita simo
tamu naja ma’e re’e’ (kita terima tamu dengan baik agar nama kita tidak
jelek). Menerima tamu dengan baik juga untuk jaga waka atau jaga
waka nga’a (waka nga’a dapat dipahami sebagai taksu dalam tradisi
Bali)” (Wawancara 21 Juni 2013).
108
Lebih jauh dijelaskan bahwa ada nilai saling membantu dalam menerima
tamu. Tuan rumah akan didukung oleh tetangganya atau orang di kampungnya.
Dengan kalimat lain, ada semangat menolong sesama untuk menerima ata ji’e.
Tuan rumah mau mengatakan bahwa: “Saya di sini tidak sendiri. Kami banyak!”
Penuturan ini mengungkapkan bahwa nilai budaya inilah yang mendasari
semangat masyarakat untuk menerima kunjungan wisawatawan asing. Nilai ini
memicu keinginan masyarakat desa untuk menunjukkan keberadaannya dan
kebisaannya. Namun diakuinya, dewasa ini, nilai budaya seperti ini mulai luntur.
Gambar 6.7 Tetua Adat (Mosalaki) di Desa Nualise dan Peserta Sail Indonesia
Sumber: Dokumen Disbudpar, 2009
Mencermati partisipasi masyarakat di berbagai desa, maka penting juga
untuk memahami derajat keterlibatan masyarakat. Steck et al. dalam Weber dan
Damanik (2001: 108 – 109) mengelompokkan partisipasi masyarakat berdasarkan
derajat keterlibatan mereka dalam pengelolaan usaha pariwisata.
109
Pengelompokannya mencakup sifat partisipasi dan parameter masing-masing sifat
partisipasi. Mereka membagi tiga sifat partisipasi yaitu: (1) partisipasi lansung, (2)
partisipasi tidak langsung, dan (3) nol/tidak ada partisipasi. Pengelompokkan itu
diadaptasi dalam penelitian ini untuk memahami parisipasi masyarakat di
destinasi singgah Maurole seperti terlihat pada Tabel 6.5.
Tabel. 6.5
Sifat Partisipasi Stakeholder Pariwisata dalam Sail Indonesia di Destinasi Singgah
Maurole dan Parameternya.
Sifat Partisipasi Parameter
Langsung 1. Masyarakat bekerja dalam kegiatan Sail Indonesia di
areal titik labuh. Jenis pekerjaannya: petugas parkir,
petugas keamanan, pemandu wisata, petugas
penyambutan, petugas kebersihan, petugas jetty
(dermaga apung), entertainer harian, dan tukang
bangunan.
2. Masyarakat sebagai pengusaha atau pengelola jasa
makan dan minum, atraksi seni budaya, transportasi,
jasa binatu di areal titik labuh.
3. Masyarakat menikmati peluang untuk memperoleh
pendidikan dan pelatihan pengelolaan Sail Indonesia,
yaitu pelatihan guide, pelatihan masyarakat desa
menuju desa wisata bahari.
4. Masyarakat menjadi pemandu wisata bekerjasama
dengan BPW atau tour operator, khusus pada tahun
2010.
5. Masyarakat secara sukarela membantu penataan lokasi
titik labuh dan penataan di desa-desa yang dikunjungi.
Tidak langsung Masyarakat sebagai supplier bahan kebutuhan kegiatan
Sail Indonesia dalam bentuk:
a) bahan pangan (beras, sayur-mayur, buah-buahan,
minuman, termasuk minuman khas moke atau arak
lokal, gua aren, daging, dan ikan;
b) bahan bangunan (bambu, kayu, pelepah daun kelapa,
dan daun gebang);
c) kerajinan tangan (pane atau peralatan makan dari
tanah liat, topi anyaman, sedotan dari buluh, dan
tenun ikat).
Sumber: Diadaptasi dari Steck et al. (dalam Weber dan Damanik, 2001) dan
Penelitian 2013
110
Partisipasi masyarakat yang terungkap dalam penelitian ini adalah partisipasi
dari masyarakat yang secara nyata terlibat dalam kegiatan Sail Indonesia. Artinya
tidak seluruh masyarakat di destinasi singgah maupun di desa-desa yang
dikunjungi ikut dalam kegiatan Sail Indonesia. Masyarakat yang terlibat adalah
masyarakat yang memiliki waktu dan kesempatan untuk berperan, memiliki
keterkaitan dengan acara, misalnya sebagai anggota sanggar seni, menjadi
pemasok kebutuhan bagi kegiatan Sail Indonesia, atau berperan sebagai petugas
berbagai bidang di areal titik labuh atau dalam berbagai aktivitas terkait lainnya.
Mencermati partisipasi masyarakat di Maurole yang merupakan destinasi
singgah kapal-kapal wisata, terlihat bahwa masyarakat ikut menentukan
pengelolaan destinasi singgah baik langsung maupun tidak langsung. Fakta ini
selaras dengan penegasan Ardika (2005: 36) bahwa konsep community based
tourism yang merupakan dasar dari sustainable tourism development mengandung
pengertian bahwa masyarakat bukan lagi objek pembangunan, tetapi penentu
pembangunan.
111
BAB VII
FAKTOR-FAKTOR YANG MENDUKUNG PENGEMBANGAN
DESTINASI WISATA LAYAR MAUROLE SEBAGAI PARIWISATA
ALTERNATIF
Fakta mengenai potensi Maurole sebagai destinasi singgah, pengelolaannya,
dan partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaannya telah dipaparkan
pada dua bab sebelumnya. Pemaparan itu, sesungguhnya mangantarkan kajian
penelitian pada faktor-faktor yang mendukung pengembangan sebuah destinasi
singgah dan hal-hal pokok yang perlu diperhatikan dalam perencanaan
pengembangannya. Faktor pendukung yang akan dikaji meliputi: (1) faktor
internal dan (2) faktor eksternal. Selanjutnya, dikaji hal-hal penting dalam
perencanaan pengembangan Maurole sebagai destinasi wisata layar.
7.1 Faktor Internal
Faktor internal mencakup empat hal, yaitu: (1) potensi Maurole sebagai
destinasi singgah, (2) pengelolaan Maurole sebagai destinasi singgah, (3)
partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan Maurole sebagai destinasi
singgah, dan (4) posisi geografisnya dalam rute kapal-kapal wisata. Faktor
internal ini dianggap sebagai ‘kekuatan sebuah destinasi’ (Hermantoro, 2011: 77),
‘any feature or characteristic of a place they (tourists) might visit’ (Leiper, 1995).
Dengan kalimat lain, faktor internal sesungguhnya merupakan gambaran
keberadaan sebuah destinasi dengan segenap potensi dan pengelolaannya
(services) yang melibatkan semua pemangku kepentingan di destinasi.
112
Salah satu kerangka analisa terhadap destinasi pariwisata adalah kerangka
analisa 6A yang dibuat oleh Buhalis (2000: 98), yaitu attractions (atraksi),
accessibility (aksesibilitas), amenities (amenitas), available package (paket
wisata yang tersedia), activities (aktivitas), dan ancillary services (pelayanan
atau jasa yang digunakan). Dalam kerangka analisa ini terdapat empat unsur yang
bisa disejajarkan dengan elemen 4A dari Cooper et al., (1996). Di samping itu,
ada dua unsur dari kerangka analisa ini yang juga dapat mengungkapkan kekuatan
destinasi Maurole. Pertama, unsur available package. Unsur ini terlihat dari
pengelolaan kunjungan wisata dalam kegiatan Sail Indonesia. Kunjungan wisata
ke berbagai atraksi wisata di sejumlah desa-desa telah disiapkan terlebih dahulu.
Bertolak dari fakta kunjungan wisata seperti yang telah dipaparkan sebelumnya,
dapat dikatakan kekuatan destinasi Maurole terletak pada pengaturan kunjungan
yang melibatkan masyarakat di desa-desa. Keterlibatan masyarakat memberi
warna khas pada interaksi dengan wisatawan selama kunjungan. Interaksi yang
tercipta juga merupakan kekuatan tersendiri. Keterlibatan masyarakat
dimungkinkan karena pengelolaan kunjungan wisata memang dirancang agar
masyarakat bisa ikut berpartisipasi.
Kedua, unsur aktivitas. Ini menyangkut kegiatan yang dilakukan wisatawan
selama kunjungan. Di samping aktivitas melalui kunjungan wisata, wisatawan
juga melakukan aktivitas lainnya seperti berbagi (sharing) keahlian dengan
masyarakat. Hal ini diungkapkan Fransiskus Dafro, seorang guide Sail Indonesia
dan saat ini juga menjadi pengurus Tourist Management Organization (TMO)
Kabupaten Ende.
113
“Karakteristik para pelayar (yachties) memang beda. Mereka tidak saja
mengunjungi sebuah tempat, namun juga ingin berbagi keahlian dengan
masyarakat. Seperti yang terjadi di Maurole pada tahun 2009.
Gagasannya justru datang dari yachties. Para pelayar yang ahli mesin
memperbaiki mesin genzet dan peralatan kesehatan yang rusak di
Puskesmas Maurole dan berbagi keahlian dengan masyarakat yang
mengerti mesin, para pelayar yang pensiunan guru berbagi pengalaman
dengan para guru di Maurole. Pelayar yang dokter ahli berkomunikasi
dengan dokter, bidan dan perawat di Puskesmas Maurole” (Wawancara
12 Juni 2013).
Model aktivitas ini bermanfaat bagi masyarakat sekaligus menciptakan pola
kunjungan yang memperkaya pengalaman. Hal ini, menurut Jenings (2007: 34,
37) dimungkinkan karena wisatawan (yachters) memiliki motivasi petualangan,
self actualization, dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam jangka pendek
untuk memberikan bantuan (keahlian) dan mendukung pengembangan
sumberdaya manusia. Karena itu, dalam pengembangan wisata layar, model
aktivitas semacam ini diharapkan dapat dilaksanakan secara berlanjut. Misalnya
dari aspek sosial bermanfaat bagi pemberdayaan masyarakat. Lagipula interaksi
dengan wisatawan menciptakan pengalaman berwisata yang unik, baik bagi
wisatawan maupun bagi masyarakat sendiri. Model ini sejalan dengan konsep
pengembangan pariwisata alternatif yang khas di sebuah destinasi.
Penelitian ini juga menemukan aktivitas kunjungan ke sekolah-sekolah oleh
wisatawan. Kunjungan dilakukan baik dalam bentuk rombongan maupun secara
individu untuk melihat aktivitas murid sekolah, menyumbangkan buku untuk
perpustakaan sekolah dan berbagi pengalaman. Sekolah yang dikunjungi adalah
SD Maurole, SD Watumesi, SDK Dile, SMPK Maurole, dan SMPK Marsudirini
Detusoko (Disbudpar, 2007, 2008, 2009, 2010).
114
Hal berikutnya yang mendukung Maurole sebagai destinasi wisata layar
adalah bentuk partisipasi pemangku kepentingan khususnya partisipasi
masyarakat. Pelayanan di titik labuh sebagian besar dilakukan oleh masyarakat.
Pelayanan itu mencakup pelayanan akses dari laut ke darat yaitu di dermaga
apung (floating dock/ jetty), pelayanan makan dan minum di areal titik labuh, jasa
informasi pariwisata, jasa pengelolaan kunjungan wisata dan pemanduan
(guiding), penjualan buah-buahan, sayur-mayur, penjualan kerajinan daerah,
pelayanan penjualan bensin dan solar, jasa binatu, jasa kebersihan areal titik labuh
sampai pada jasa pengamanan di areal titik labuh.
Partisipasi masyarakat sangat nyata di desa-desa yang dikunjungi oleh
wisatawan. Seluruh desa yang dikunjungi dikelola secara mandiri oleh masyarakat
desa. Seluruh acara dirancang dan dilakukan langsung oleh masyarakat mulai dari
tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi sesuai dengan mekanisme kerja di
desa. Pemerintah dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata hanya
memfasilitasi saja.
Posisi Geografis Maurole dalam rute pelayaran, memungkinkan destinasi ini
menjadi pilihan bagi kapal – kapal wisata untuk disinggahi, dalam pelayaran dari
bagian timur menuju ke bagian barat Pulau Flores. Sebagai destinasi singgah,
tentu saja Maurole memiliki titik labuh (anchorage). Titik labuh merupakan salah
satu faktor yang mendukung destinasi wisata layar, bahkan merupakan syarat
utama bagi destinasi singgah kapal-kapal wisata. Tentang hal ini, Raymond T.
Lesmana, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cinta Bahari Antar Nusa sekaligus
sebagai Tenaga Ahli Pengembangan Wisata Layar Nasional di Direktorat Jenderal
115
Pengembangan Destinasi Pariwisata, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif menjelaskan:
“Hanya lokasi yang memenuhi syarat sebagai titik labuh-lah yang layak
dijadikan destinasi wisata layar. Syaratnya mencakup beberapa hal,
yaitu: (1) kedalaman air antara 5 – 20 meter pada saat surut terendah; (2)
dasar laut bukan karang/terumbu karang; (3) tidak menghalangi aktivitas
pelabuhan atau aktivitas masyarakat nelayan; (4) lokasi labuh tidak lebih
dari 200 meter dari garis pantai; (5) tidak pada lokasi arus kuat; (6) tidak
terkena hempasan angin dan gelombang; (7) adanya penerimaan dari
masyarakat setempat; (8) tersedianya supply kebutuhan antara lain bahan
bakar, air bersih dan air minum; (9) adanya sarana humaniter – WC dan
kamar mandi; (10) aksesibilitas; (11) bank/ ATM; (12) telekomunikasi
dan akses internet; dan (13) keamanan, kenyamanan dan keakraban dari
masyarakat setempat” (Wawancara 19 Juni 2013).
Hasil survei yang dilakukannya bersama tim teknis dari Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kabupaten Ende pada tahun 2006, menetapkan titik labuh di Pantai
Mausambi di Kecamatan Maurole layak menjadi destinasi singgah bagi kapal-
kapal wisata jenis yacht. Mulai tahun 2007, Pantai Mausambi, yang berada pada
koordinat 8° 30' 36'' S, 121° 48' 56'' E, menjadi titik labuh bagi para peserta reli
kapal layar internasional Sail Indonesia. Karena itu, Maurole menjadi salah satu
akses bagi kapal wisata di Kabupaten Ende, dan dalam rute pelayaran, posisi
Maurole berada di antara destinasi singgah Maumere di Kabupaten Sikka dan
destinasi singgah Riung di Kabupaten Ngada (Disbudpar, 2007)
Dalam konteks Sail Indonesia yacht merupakan alat trasportasi utama yang
digunakan wisatawan untuk mencapai Maurole, dan sekaligus merupakan tempat
tinggal utama selama kunjungan mereka. Secara konseptual, menurut McIntosh
(dalam Yoeti, 2008: 173) salah satu jenis transportasi yang termasuk dalam
komponen supply di destinasi adalah yacht. Dengan karakteristik ini, posisi
geografis yang ditunjang keberadaan titik labuh, merupakan faktor yang
116
mendukung keberaadan Maurole sebagai destinasi wisata layar. Karena itu,
pengembangan aksesibilitas di Maurole, diharapkan mencakup prasarana akses
dari laut, dan prasarana serta sarana transportasi di darat.
Faktor internal, yang merupakan faktor pendukung (supporting factors)
seperti yang telah dikemukakan, mengarahkan pada pemahaman akan beberapa
hal berikut. Pertama, seluruh elemen dalam faktor internal secara nyata telah
memberikan dukungan bagi keberadaan Maurole sebagai destinasi yang
dikunjungi oleh kapal-kapal wisata. Dalam kaitannya dengan dengan siklus hidup
destinasi pariwisata (Butler, 1996), dan kenyataan bahwa Maurole berada dalam
tahap involvement, maka perencanaan pariwisata diharapkan dilakukan dengan
menyesuaikan dengan tahap perkembangan ini. Dengan kalimat lain, faktor
internal yang mendukung keberadaan Maurole sebagai destinasi wisata layar
merupakan salah satu referensi dalam pembuatan rencana pengembangan
destinasi.
Kedua, faktor internal itu merupakan sesuatu yang turut memotivasi
kunjungan ke Maurole melalui reli wisata layar. Disebut ‘turut memotivasi’
karena peserta reli wisata layar diberikan kebebasan untuk singgah atau tidak
singgah di sebuah destinasi. Kebebasan ini merupakan ciri dari reli wisata layar,
seperti yang termuat dalam situs http://sailindonesia.net:
“You are welcome to participate in all events and stopovers after your
first port of entry in Kupang or Saumlaki, as the Indonesia Organising
Committee at each port will provide you with hospitality, reception and
festivities. You do not have to participate in all the events and the
stopovers on our rally as there will simply not be enough time, you can
just join the events that suit your schedule” (diakses 12 Maret 2013).
117
Terjemahan:
Anda boleh saja berpartisipasi dalam semua acara di titik singgah setelah
pelabuhan pintu masuk Kupang atau Saumlaki, karena panitia
penyelenggara di Indonesia, di setiap pelabuhan, akan memberikan
hospitality, penerimaan, dan berbagai perayaan. Anda tidak harus
berpatisipasi di semua acara di titik singgah dalam reli ini, karena tidak
cukup waktu. Anda bisa ikut acara yang sesuai dengan jadwal anda.
Berdasarkan tulisan itu dapat dikatakan bahwa keputusan untuk singgah di
sebuah destinasi, salah satunya ditentukan oleh daya tarik atau kekuatan faktor
internal. Daya tarik atau kekuatan yang mencakup potensi, pengelolaan,
partisipasi masyarakat, dan posisi geografis sebuah titik singgah Sail Indonesia
dipromosikan baik oleh operator reli kapal wisata melalui media internet, dan
promosi oleh wisatawan yang telah mengunjungi Maurole secara word of mouth.
Ketiga, fakta pengelolaan dan partisipasi masyarakat di Maurole telah
memicu keyakinan pemangku kepentingan akan kekuatan destinasi singgah.
Keyakinan itu menjadi modal mental yang besar dalam upaya pengembangan
seluruh sumber daya pariwisata yang ada di destinasi. Hal ini terungkap dari apa
yang dikemukakan oleh Damianus Deda, tokoh masyarakat Kecamatan Maurole:
“Sudah saatnya pengelolaan dilakukan penuh oleh masyarakat di lokasi
titik labuh agar masyarakat dapat mengalami proses pembelajaran.
Pemerintah hanya perlu memfasilitasi dengan membangun sarana dan
prasarana kebutuhan sebuah titik labuh. Untuk pengembangannya perlu
ada pelatihan pengelolaan pariwisata bagi masyarakat lokal dan
pemberian kredit lunak bagi pelaku usaha pariwisata setempat”
(Wawancara 14 Juni 2013).
Hal tersebut sejalan dengan penegasan Timothy dan Tosun (2003: 3) bahwa
partisipasi aktif dan langsung dari masyarakat setempat dalam kegiatan yang
terkait dengan wilayahnya merupakan wahana yang sangat diperlukan untuk
pembelajaran publik. Melalui pembelajaran publik diharapkan semakin
118
meningkatkan kemandirian masyarakat, dan untuk memastikan kemandirian itu,
maka pemerintah dituntut untuk memfasilitasinya, antara lain melalui program
pelatihan keterampilan dan dukungan pendanaan. Dalam teori perencanaan,
pembalajaran publik (public education) dapat diwujudkan “melalui pendekatan
swadaya masyarakat (community approach)” (Paturusi, 2008: 47). Ia menjelaskan,
pendekatan ini melibatkan masyarakat mulai dari proses perencanaan, membuat
keputusan, pelaksanaan, sampai pengelolaan pengembangan pariwisata.
7.2 Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah fakta-fakta yang terdapat di luar destinasi singgah
Maurole (di luar potensi, pengelolaan, partisipasi pemangku kepentingan lokal di
Maurole) yang dianggap memengaruhi dan turut menentukan pengembangan
destinasi wisata layar. Hal ini dengan sangat gamblang diungkapkan oleh
Raymond T. Lesmana, Tenaga Ahli Bidang Wisata Layar, Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif:
“Sangat perlu difahami bahwa kapal layar mempunyai karakteristik
tersendiri. Kapal layar memerlukan lintasan dan singgahan. Oleh karena
itu, kita tidak bisa bicara hanya Pulau Flores saja (atau Maurole saja)
tapi dari mana mereka ke Flores dan kemana mereka pergi sesudah
Pulau Flores sangat memengaruhi kehadiran mereka” (Wawancara 19
Juni 2013).
Penuturan itu juga mau mengungkapkan bahwa sebuah destinasi wisata
layar tidak bisa berdiri sendiri. Destinasi itu berada dalam rangkaian rute
pelayaran dan sangat bergantung pada keberadaan rute pelayaran itu. Ditelusuri
lebih jauh, rute pelayaran sangat bergantung pada pintu masuk dan pintu keluar
(entry dan exit port). Pintu masuk bagi kapal wisata juga sangat tergantung dari
mana kapal itu masuk (transit route dan traveller generating region).
119
Salah satu pendekatan dalam teori perencanaan adalah pendekatan sistem.
Menurut Paturusi (2008: 46) “pariwisata dilihat sebagai suatu sistem yang saling
berhubungan”, dan “komponen pariwisata sangat kompleks, di mana setiap
komponen merupakan suatu sistem”. Karena itu, faktor eksternal dalam
penelitian ini dapat dipandang sebagai juga sebagai suatu sistem yang berkaitan
dengan system kepariwisataan secara keseluruhan. Penelitian ini menemukan
faktor eksternal yang mendukung pengembangan destinasi wisata layar Maurole,
yakni: (1) kebijakan pemerintah, (2) sistem wisata layar, (3) persepsi wisatawan,
(4) wisata layar sebagai pemicu pengembangan destinasi. Masing – masing faktor
itu akan diuraikan berikut ini.
7.2.1 Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah pusat yang dimaksud adalah kebijakan yang terkait
dengan regulasi. Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No. 79 Tahun 2011
tentang masuknya kapal wisata (yacht) asing ke Indonesia. Disebutkan dalam
regulasi itu bahwa dalam rangka mengembangkan industri wisata bahari dan
meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir, pulau-pulau kecil, dan perairan
pedalaman, perlu diberikan kemudahan bagi kapal wisata (yacht) asing yang
berkunjung ke Indonesia. Kemudahan yang diberikan itu seperti tertuang dalam
pasal 2 angka (1), yaitu:
“Kapal wisata (yacht) asing beserta awak kapal dan/atau penumpang
termasuk barang bawaan dan/atau kendaraan yang akan memasuki
wilayah perairan Indonesia dalam rangka kunjungan wisata diberikan
kemudahan di bidang Clearance and Approval for Indonesian Territory
(CAIT), kepelabuhanan, kepabeanan, keimigrasian, dan karantina.”
120
Seterusnya peraturan itu mengatur detail kemudahan yang mencakup lima
bidang (CAIT, Custom, Immigration, Quarantine, Port). Dengan demikian,
kebijakan di bidang regulasi ini akan memberikan pengaruh yang positif bagi
upaya peningkatan kunjungan kapal wisata asing ke Indonesia. Tentu saja,
destinasi wisata layar seperti Maurole pun akan mengalami dampak dari
pengaturan itu khususnya dalam rangka pengembangannya. Hal ini sejalan dengan
yang disampaikan oleh Raymond T. Lesmana, Tenaga Ahli Bidang Wisata Layar
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif:
“Perpres No. 79 Tahun 2011 tentang kunjungan kapal wisata (yachts)
asing ke Indonesia harus menjadi pemicu yang paling dasar dan paling
kuat untuk semua pihak (yang terlibat dalam pengembangan wisata layar
dan wisata bahari pada umumnya) di Indonesia. Perpres ini menjadi
salah satu solusi untuk mengatasi masalah dan kendala yang timbul
dalam pengembangan destinasi wisata layar” (Wawancara 19 Juni 2013).
Bagi Maurole, kemudahan dalam rangka kunjungan wisata melalui laut
merupakan jaminan jangka panjang untuk pengembangan destinasi wisata layar.
Dengan kalimat lain, regulasi yang mangatur kemudahan kunjungan wisata
merupakan faktor yang mendukung pengembangan wisata layar. Ia merupakan
dasar pengembangan dan selanjutnya pengembangan itu dilakukan di atas kondisi-
kondisi eksternal yang memungkinkan.
7.2.2 Sistem Wisata Layar
Penelitian ini menemukan bahwa kehadiran kapal-kapal wisata asing di
Maurole tidak terlepas dari keberadaan destinasi singgah lainnya di Indonesia.
Keputusan yang dibuat sebuah kapal untuk singgah di Maurole misalnya, sangat
tergantung pada pengalaman yang didapatnya mulai dari entry port (pintu masuk)
di Kupang dan destinasi-destinasi lain sebelum Maurole misalnya Alor, Lembata,
121
dan Maumere, dan destinasi-destinasi sesudah Maurole, misalnya Riung, Labuan
Bajo, Lovina dan lain-lain. Apalagi penanganan berbagai kegiatan di destinasi
singgah telah diatur dalam jadwal acara Sail Indonesia mulai dari pintu masuk
sampai pintu keluar. Kenyataan ini memberikan gambaran bahwa wisata layar
yang berkembang di Indonesia hingga saat ini mempunyai sistem tersendiri. Oleh
karena itu, untuk memahami sistem itu digunakan model sistem pariwisata (whole
tourism system) dari Leiper (2004) dan hirarki geografis destinasi (geographic
hierarchy of destinations for multi-destination itineraries) dari Lamont (2008:
11).
Leiper (2004) menyebutkan ada tiga elemen pokok dalam sistem pariwisata
yaitu: (1) wisatawan; (2) tiga elemen geografis yakni: traveller – generating
region (TGR), transit route (TR), dan tourist – destination region (TDR); dan (3)
elemen industri pariwisata. Dalam konteks Sail Indonesia dengan mengacu pada
keberadaan berbagai destinasi singgah termasuk destinasi Maurole maka TGR-
nya adalah negara-negara asal peserta Sail Indonesia. Tercatat ada 21 negara asal
peserta reli di tahun 2007 dengan total 123 kapal (Disbudpar, 2007). TR-nya
adalah Darwin – Australia sebagai titik start reli wisata layar internasional.
Darwin tidak saja menjadi TR, namun juga menjadi ‘enroute tourism destination
atau tujuan wisata antara’ (Pitana dan Diarta, 2009: 59), karena kapal-kapal itu
berada di Darwin untuk waktu tertentu dan melakukan berbagai acara terkait
seperti farewell barbeque dan rally briefing (http://sailindonesia.net). TDR-nya
adalah Indonesia dengan sejumlah destinasi singgah (multi-destinations) dalam
rute pelayaran.
122
Pemahaman lebih jauh mengenai tourist destination region dalam reli wisata
layar ini, seperti sudah diutarakan sebelumnya, akan menggunakan hirarki
geografis destinasi. Lamont (2008: 11) melakukan penelitian dengan objek kajian
tentang bicycle tourism. Objek kajiannya memang jauh berbeda dengan penelitian
ini, namun kerangka pemahaman terhadap destinasi yang dipakainya dianggap
sesuai untuk kajian dalam penelitian ini. Lamont menyebutkan hirarki geografis
destinasi terdiri dari: destination area, tourist destinasion region, dan node
destination. Diuraikannya, destination area memiliki entry dan exit point. Di
Indonesia, terdapat 18 entry dan exit port sesuai dengan Perpres No. 79 Tahun
2011. Salah satunya adalah Kupang yang menjadi entry port bagi kapal wisata
yang sebelumnya berada di transit route Darwin. Sebagian besar kapal yang
singgah di Maurole melalui jalur entry port ini sejak tahun 2007.
Lebih jauh Lamont memaparkan sebuah destination area dipilih oleh
wisatawan karena memiliki karakter yang sesuai dengan aktivitas wisatawan itu.
Misalnya, untuk bicycle tourism sebuah destinasi dipilih karena memiliki jalur
bersepeda. Demikian juga dengan destinasi bagi kapal-kapal layar; dipilih karena
mempunyai jalur pelayaran. Pilihan terhadap Indonesia karena Indonesia memiliki
jalur pelayaran, bahkan dikenal sebagai negara dengan arena wisata layar terbesar
di dunia.
Tingkatan berikutnya adalah tourist destinastion regions. Menurut Lamont,
secara alamiah sama dengan konsep TDR dari Leiper yaitu merupakan tujuan
perjalanan wisata. Biasanya tujuan wisata merupakan daerah dengan keunikan
tersendiri yang berbeda dengan daerah lain dalam hal budaya, sejarah alam dan
123
sebagainya (Pitana dan Diarta, 2009: 59). Dalam kerangka wisata layar, TDR
adalah destinasi – destinasi singgah yang merangkai untaian jalur wisata layar di
perairan laut Indonesia. Keunikan sebagai daya tarik wisata di berbagai destinasi
singgah Indonesia membentuk keunikan Indonesia sebagai suatu destination area.
Hal inilah yang menjadi energi utama yang mengakibatkan permintaan akan
perjalanan wisata bagi traveller generating region (Pitana dan Diarta, 2009:59).
Selanjutnya, tingkatan ketiga oleh Lamont disebut node destinations. Dalam
konsepnya, node destinations merupakan tempat yang digunakan oleh wisatawan
(bicycle tourist) untuk bermalam, menggunakan fasilitas dan jasa-jasa wisata,
beristirahat memulihkan tenaga, atau memperbaiki kendaraan yang digunakan.
Dalam penelitian ini, node destinations-nya adalah desa-desa yang dikunjungi
oleh wisatawan dalam perjalanan wisata di darat. Tempat-tempat yang dikunjungi
itu hanya untuk tujuan kunjungan wisata, bukan sebagai tempat menginap.
Wisatawan dalam reli wisata Sail Indonesia menginap di kapal mereka yang
berlabuh di titik labuh destinasi singgah. Oleh karena itu, fungsi node destination
dalam penelitian ini berbeda dengan fungsi node destinations dalam pemahaman
Lamont.
Gambar 7.1 memperlihatkan hirarki geografis destinasi wisata layar
berdasarkan hirarki yang dikembangkan oleh Lamont. Secara ringkas, cakupan
geografis yang lebih luas yaitu destination area, disejajarkan dengan destinasi
Indonesia (wilayah perairan laut Indonesia). Tourist destination region
disejajarkan dengan destinasi singgah (destinasi wisata layar). Dalam pengertian
ini, Maurole merupakan salah satu dari berbagai destinasi singgah di Indonesia.
124
Node destination disejajarkan dengan desa-desa yang dikunjungi di destinasi
singgah (misalnya Desa Otogedu, Desa Wologai tengah, dan Desa Wolotopo).
Gambar 7.1 Hirarki Geografis Destinasi Wisata Layar
Sumber: Diadaptasi dari geographic hierarchy of destinations for multi-
destination itineraries (Lamont, 2008: 11)
Selanjutnya, Gambar (7.2) memperlihatkan wisata layar yang dilukiskan sebagai
sistem pariwisata.
Gambar 7.2. Wisata Layar yang Dilukiskan sebagai Sistem Pariwisata
Sumber: Diadaptasi dari Leiper (2004: 5) dan Lamont (2008: 17)
Destinasi Indonesia
Destinasi Singgah
Desa-desa yang dikunjungi
Destination Area
Tourist Destination
Region
Node
Destination
Saiing route
Destination area
Tourist Destination Region
Desa-desa kunjungan
Traveller Generating Region
Departing travellers
Returning Travellers
Transit Route Region
Environments: human, socio-cultural, Economic, Technology,physical, political, legal, etc
125
7.2.3 Persepsi Wisatawan
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, wisatawan merupakan salah satu
elemen pokok dalam sistem pariwisata. Bila dirujuk ke sistem wisata layar, maka
para pelayar (yachtperson) merupakan salah satu elemen pokoknya.
Konsekuensinya, persepsi wisatawan terhadap sebuah destinasi wisata layar
menjadi sangat penting. Persepsi wisatawan merupakan salah satu aspek
sosiologis dalam kajian tentang wisatawan (Gayatri dan Pitana, 2005: 77).
Keduanya menambahkan bahwa unsur yang dinilai wisatawan antara lain:
kebersihan lingkungan, komunikasi/bahasa, kemudahan memperoleh informasi,
fasilitas angkutan umum, hal yang bisa dilihat dan dilakukan, keamanan,
pedagang asongan, kriminalitas, pelestarian lingkungan, dan lainnya.
Penelitian ini tidak melakukan kajian aspek sosiologis itu secara mendalam,
namun kajian hanya dilakukan terhadap pendapat-pendapat lepas dari wisatawan
yang pernah berkunjung ke Maurole, atau pun yang pernah mengarungi rute
pelayaran Sail Indonesia. Sumbernya adalah tulisan di internet (website dan blog),
dan kesan-kesan yang dituliskan oleh wisatawan dalam buku tamu yang disiapkan
oleh salah satu informan yang berkedudukan di Pantai Mausambi.
Sejumlah penilaian tentang destinasi singgah Maurole diuraikan dengan cara
memecah-mecah penilaian itu ke dalam beberapa bagian berdasarkan unsur yang
dinilai. Tabel 7.1 menampilkan unsur yang dinilai dan subtansi penilaian terhadap
unsur itu.
126
Tabel 7.1
Penilaian terhadap Destinasi Singgah Maurole berdasarkan Unsur yang Dinilai
No Unsur Substansi Penilaian
1 Titik Labuh “This is an open anchorage and the east wind of up to 20
knots which assisted most yachts in reaching this area then
produced a rolly anchorage for the next few days, these
conditions are infrequent but when they occur the anchorage
is uncomfortable….”
2 Pemerintah “The Regent (local Governor) went to great lengths to ensure
we were welcome.”
3 Fasilitas “Considerable facilities had been specially built for this
event, a substantial dinghy dock, large circular dining area,
entertainment stage, first aid centre, stalls for fruit and
vegetables, cafe and craft.”
4 Acara “The program was extensive and well organised including
the non usual welcome ceremony, gala dinner, entertainment,
dancing and singing. Yachties were always encouraged to
join in or sing….”
5 Pengisi
acara
“A very good backing group of male musicians kept the
guests fully entertained.”
6 Perjalanan
wisata
“During the day there were tours to the 3 coloured lakes at
Mt. Kelimutu as well as nearby villages that specialise in
such products as Arak/Moke (liquor distilled in bamboo
pipes from palm sap), palm sugar, cocoa, coffee and other
products. The scenery during these tours varied from paddy
fields to lush jungle and spectacular mountain ranges.”
7 Pemandu
wisata
“Excellent English speaking guides provided the commentary
and information on village life and customs; they continued
to look after our every need.”
8 Pelayanan
Kesehatan
“A crew member became quite ill and despite being put on a
drip did require hospitalisation for two days. The care
provided was excellent and visitors included the Regent
complete with entourage and a string of doctors, nurses and
members of the organising committee.”
9 Penjualan
sayur dan
buah
“The fruit and vegetables available in the stalls were high
quality.”
10 Keramahta
mahan
“The thoughtfulness, generosity and extent to which villages
go to look after us are overwhelming.”
Sumber: Diolah dari http://sailindonesia.net/history/history2008.php diakses 12
Juni 2013.
127
Gambar 7.3 Titik Labuh Pantai Nanganio
Sumber: Penelitian, 2013
Walaupun tulisan yang dimuat di situs internet http://sailindonesia.net itu
bersifat penilaian umum, namun seperti terlihat, ada 10 unsur yang dinilai atau
diberi komentar di destinasi singgah Maurole, dan keseluruhannya memberikan
kesan tentang apa yang terjadi di Maurole. Sebagai sebuah fakta yang tertulis dan
dapat diakses oleh siapa saja dan di mana saja, maka tulisan itu tentu memberikan
kesan tersendiri bagi pembacanya. Apa pun kesan yang muncul di benak pembaca
(para yachtperson), kesan itu berpengaruh bagi proses pengambilan keputusan
untuk singgah atau tidak di Maurole. Karena itulah maka persepsi wisatawan
dianggap sebagai faktor eksternal yang mendukung keberadaan sebuah destinasi
wisata layar.
Pendapat atau komentar lainnya menyoroti pengalaman yang didapat dari
perjalanan wisata yang dilakukan di desa-desa di Kecamatan Maurole. Ada hal –
hal menarik dari pengalaman mereka.
128
“We visited the traditional villages of Otogedu, Nuabela and Detuara
where they produce local products such as palm sugar, cashew nuts,
moke (a local spirit distilled from juice from the sugar palm) pottery and
candle nuts which unfortunately gave many of the yachties including us
upset tummies as we think they are to be used in cooking and not eaten
raw as most of us did. At each village we were entertained by dancers
and music and had the opportunity to sample some of their culinary
delights” (Seven Heaven, 2008).
Terjemahan:
"Kami mengunjungi desa tradisional Otogedu, Nuabela dan Detuara
yang menghasilkan produk lokal seperti gula aren, kacang mete, moke
(minuman keras lokal yang disuling dari sari gula aren), tembikar dan
kemiri. Banyak dari kami merasa mual karena memakan kemiri mentah
padahal seharusnya dimasak terlebih dahulu. Di setiap desa kami dihibur
oleh penari dan musik dan berkesempatan untuk mencicipi beberapa
kuliner mereka"
Komentar itu mengenai pengalaman yang didapat oleh wisatawan dan
sekaligus merupakan kekhasan pengelolaan perjalanan wisata di Maurole.
Masyarakat lokal pun mendapatkan pengalaman dari interaksi mereka dengan
wisatawan. Pola ini sejalan dengan konsep pariwisata alternatif yang
dikemukakan oleh Fennel dan Dowling (2003: 2) yaitu suatu bentuk pariwisata
yang dirancang untuk selaras dengan alam, sosial, dan nilai-nilai masyarakat yang
memungkinkan masyarakat lokal dan wisatawan menikmati interaksi yang positif
dan bermanfaat serta saling berbagi pengalaman.
Komentar berikutnya diperoleh dari wisatawan yang berkunjung ke Maurole
dalam Tahun 2011. Komentar ini dimuat dalam buku tamu yang disiapkan oleh
pemandu wisata lokal di Mausambi. Salah satunya ditulis oleh wisatawan dari
kapal wisata bernama Jangada.
“We have been very very well welcomed by Vincent (speaking good
English) and his family even at home. The visit of the Saturday pasar
and the two villages – OTOGEDU and NUABELA was very interesting.
The call in Maurole/Mausambi is made for knowing/discovering
129
authentic life in the traditional villages. Thanks a lot to Vincent and his
family for this very very kind welcoming. We will recommend to others
sailing boats to stop in this bay” (Atabala, 2011).
Terjemahan:
"Kami diterima dengan sangat sangat baik oleh Vincent (berbicara
bahasa Inggris dengan baik) dan keluarganya di rumah mereka.
Kunjungan ke pasar di hari Sabtu dan dua desa - OTOGEDU dan
NUABELA sangat menarik. Kunjungan di Maurole/Mausambi
dilakukan untuk mengetahui/menemukan kehidupan sejati di desa-desa
tradisional. Terima kasih banyak untuk Vincent dan keluarganya atas
penyambutan yang sangat sangat baik. Kami akan merekomendasikan
kepada orang lain untuk singgah di teluk ini"
Apresiasi wisatawan terhadap pelayanan yang mereka rasakan sangat
berdampak bagi promosi suatu destinasi singgah. Pernyataan wisatawan yang
dikutip sebelumnya bahwa ia akan merekomendasikan kepada kapal-kapal lainnya
untuk singgah di Mausambi membuktikan hal itu.
7.2.4 Wisata Layar sebagai Pemicu Pengembangan Destinasi
Penelitian ini juga menemukan bahwa wisata layar yang terwujud melalui
kegiatan Sail Indonesia memicu pengembangan destinasi singgah Maurole.
Seperti diuraikan sebelumnya, pemerintah daerah Kabupaten Ende menyadari
bahwa pesisir utara wilayah kabupaten Ende telah menjadi pintu masuk atau akses
bagi kapal-kapal wisata asing. Kehadiran kapal-kapal itu mendorong pemerintah
untuk mengembangkan berbagai atraksi wisata yang dapat diakses dari Maurole.
Aktivitas kepariwisataan di darat yang dijalani para peserta Sail Indonesia
yang singgah di Maurole sangat beragam dan bervariasi sesuai kondisi dan
kekayaan wisata tiap desa yang dikunjungi. Dalam tujuh tahun penyelenggaraan
Sail Indonesia di Kabupaten Ende, para peserta mengunjungi sejumlah atraksi
wisata. Atraksi wisata utama yang dikunjungi adalah Danau Tiga Warna
130
Kelimutu. Hal ini menggambarkan bahwa akses ke Kelimutu secara nyata bisa
dicapai melalui Maurole di pantai utara, tidak hanya secara konvensional dicapai
melalui Maumere ataupun melalui Kota Ende. Demikian pula ia membuka
peluang bagi masyarakat, jasa tour operator atau biro perjalanan untuk
mengembangkan paket-paket perjalanan wisata yang bervariasi.
Pada Tahun 2007 (tahun pertama penyelenggaraan), peserta reli layar
internasional yang singgah di Maurole mengunjungi empat tempat baru yaitu
Otogedu, Nuabela-Watukamba, Dusun Detuara, dan mengunjungi Desa Tanali.
Sebelum Sail Indonesia masuk Maurole, keempat tempat itu sama sekali tidak
pernah terpikirkan bisa menjadi lokasi yang dikunjungi wisatawan asing. Apalagi
oleh kelompok wisatawan asing yang masuk melalui laut di pantai utara. Dengan
demikian pengembangan tempat-tempat baru dalam rangka Sail Indonesia
menjadi salah satu alternatif model pengembangan destinasi wisata daerah.
Pengelolaan lokasi kunjungan peserta Sail Indonesia di desa-desa
melibatkan partisipasi masyarakat setempat. Mulai dari tahap persiapan,
pelaksanaan sampai pada evaluasinya. Sehingga konsep-konsep sapta pesona atau
sadar wisata tidak hanya berhenti pada tataran penyuluhuan tetapi langsung
diimplementasikan oleh masyarakat sendiri.
Wisatawan asing yang tergabung dalam peserta reli layar internasional
memiliki karakteristik tersendiri. Mereka sangat ingin melihat daerah yang
dikunjungi sebagaimana realitas kesehariannya. Karena realitas apa adanya itu,
bagi mereka, merupakan keunikan yang ingin dilihat, diamati, dipelajari dan
131
dinikmati. Tentang hal ini, Raymond T. Lesmana, Tenaga Ahli Bidang Wisata
Layar, Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menuturkan:
“Yang perlu disiapkan dan yang paling penting adalah menjadi diri
sendiri karena para pelayar dunia datang ke Maurole untuk melihat
budaya, manusia dan kehidupannya, alam Maurole dan bukan lainnya”
(Wawancara 19 Juni 2013).
Karena itu, menurutnya, strategi penyelenggaraan wisata layar adalah
membangun program yang implementatif terhadap kebijakan dan kondisi
masyarakat setempat dengan tidak merubah kondisi apapun yang ada, bahkan
semaksimal mungkin memakai atau mengakomodasi kebijakan lokal. Strategi ini
diharapkan akan mendongkrak potensi yang ada di semua sektor seperti potensi
alam, budaya, sumberdaya manusia, dan produk lokal.
Fakta dari penelitian ini menunjukkan bahwa peran faktor internal dan faktor
eksternal yang mendukung Maurole sebagai destinasi wisata layar sangat
menentukan keberadaan dan pengembangan sebuah destinasi wisata layar.
Seluruh elemen dari faktor yang mendukung – internal maupun eksternal – saling
memengaruhi satu sama lainnya. Faktor internal memengaruhi faktor eksternal
dan berlaku sebaliknya. Elemen dalam faktor internal pun saling memengaruhi,
demikian pula dengan elemen dalam faktor eksternal.
Dengan kalimat lain, seluruh elemen faktor yang mendukung Maurole
sebagai destinasi wisata layar berada dalam kondisi yang saling memengaruhi.
Keragaman atraksi wisata di Maurole memengaruhi pengelolaan perjalanan
wisata. Hal ini dapat dilihat pada penyesuaian paket wisata dengan jenis atraksi di
tempat yang dikunjungi. Sebaliknya, kunjungan wisatawan ke desa-desa memicu
kreativitas masyarakat di desa itu.
132
Demikian juga halnya dalam faktor eksternal. Kebijakan pemerintah
berperan dalam menentukan keberadaan wisata layar sebagai pemicu
pengembangan destinasi. Kemudahan masuknya kapal wisata ke wilayah
Indonesia mendorong destinasi-destinasi yang disinggahi oleh kapal wisata
berupaya untuk mengembangkan destinasinya. Sebaliknya, pengembangan wisata
layar dapat merangsang lahirnya kebijakan tertentu dari pemerintah. Gambar 7.4
memperlihatkan hubungan yang saling memengaruhi di antara berbagai elemen
faktor yang mendukung pengembangan destinasi wisata layar di Maurole.
Keterangan tanda:
: Faktor eksternal
: Destinasi Wisata Layar
: Faktor internal
: Hubungan langsung dua arah
: Hubungan langsung dua arah
Gambar 7.4 Model Faktor Internal dan Faktor Eksternal yang Mendukung
Pengembangan Maurole sebagai Destinasi Wisata Layar
Posisi
geografis
Potensi
Destinasi
Pengelolaan
destinasi Partisipasi
stakeholder
s
Kebijakan
pemerintah
Sistem
wisata layar
Wisata layar
sebagai pemicu pengembangan
destinasi
Persepsi
wisatawan
133
7.3 Rencana Pengembangan Destinasi Wisata Layar
Beberapa hal perlu dipertimbangkan dalam rencana pengembangan
pariwisata alternatif di destinasi wisata layar. Pertimbangan yang dimaksud
mencakup motivasi perencanaan, perencanaan pariwisata kawasan, pendekatan
perencanaan, dan perencanaan yang berbasis pada nilai-nilai pariwisata alternatif
yang selaras dengan keberadaan (kekhasan) destinasi.
Secara konseptual, perencanaan pengembangan destinasi wisata layar dalam
penelitian ini dilandasi oleh motivasi perencanaan dalam bentuk trend oriented
planning, yaitu perencanaan yang didasarkan pertimbangan kecenderungan yang
berkembang saat ini. Kecenderungan yang terjadi saat ini akan dipertimbangkan
untuk menentukan arah dan tujuan perkembangan di masa datang (Paturusi, 2008:
14-15). Hal ini dikarenakan adanya kecenderungan perkembangan wisata layar di
Indonesia. Di Maurole, kecenderungan itu mulai terjadi sejak Tahun 2007.
Dengan kondisi ini, perencanaan destinasi Maurole seharusnya didasarkan atau
diarahkan pada kecenderungan tersebut.
Destinasi Maurole termasuk dalam perencanaan pariwisata kawasan ditinjau
dari aspek hirarki perencanaan. Perencanaan pariwisata kawasan adalah arahan
kebijakan dan strategi pariwisata suatu kawasan dalam kabupaten/kota, dan
perencanaan itu fokus pada beberapa hal (Paturusi, 2008: 61). Dalam penelitian
ini, fokus yang dimaksud disesuaikan dengan kondisi destinasi wisata layar,
seperti yang secara umum disampaikan oleh Raymond T. Lesmana:
“Tentukan secara bersama lokasi yang akan dikembangkan;
perhitungkan kebutuhan primer yang harus disediakan yaitu listrik, air,
telekomunikasi; rencanakan pengembangan masa bangunan yang selaras
dengan lingkungan yang ada sehingga tidak merubah nuansa Maurole
134
saat ini; membangun aksesibilitas yang baik dan efektif; membangun
sumber daya manusia (SDM) sesuai tujuan” (Wawancara 19 Juni 2013).
Selanjutnya fokus perencanaan pariwisata kawasan di destinasi Maurole
dikemukakan sebagai berikut.
Pertama, penentuan lokasi titik labuh yang menjadi fokus pengembangan.
Di Maurole terdapat titik labuh di Pantai Mausambi dan titik labuh di Pantai
Nanganio. Perlu ditetapkan di mana lokasi yang menjadi fokus pengembangan.
Penetapannya dilakukan dengan mekanisme yang melibatkan seluruh pemangku
kepentingan di Maurole, terutama pemilik lahan ulayat di kawasan terkait. Dalam
kerangka ini, dipikirkan juga pengembangan kenyaman titik labuh dari terpaan
angin, arus, dan gelombang. Misalnya, dengan rekayasa panahan gelombang
melalui pemanfaatan kondisi alam di Tanjung Watulaja di Teluk Mausambi.
Kedua, arahan lokasi untuk fasilitas yang dibutuhkan di destinasi wisata
layar. Khususnya arahan lokasi untuk fasilitas yang mendukung keberadaan titik
labuh seperti fasilitas makan dan minum, fasilitas pelayanan informasi pariwisata
dan penanganan perjalanan wisata, serta pelayanan terkait lainnya. Tentunya, di
tahap awal, pengembangan destinasi singgah disesuaikan dengan kebutuhan yang
spesifik, sehingga fasilitas yang dibangun hanyalah fasilitas yang dibutuhkan
untuk melayani kapal-kapal wisata. Penting untuk disadari bahwa arahan lokasi
berbagai fasilitas harus dilakukan untuk pengembangan secara holistik dan bervisi
jangka panjang.
Ketiga, sistem jaringan traportasi dan kawasan pejalan kaki (pedestrian). Hal
ini menyangkut aksesibilitas yang efektif dan pola arus wisatawan dalam
pemanfaatan fasilitas di areal titik labuh dan destinasi wisata layar secara
135
keseluruhan. Tentunya, sistem ini dirancang agar bermanfaat juga bagi
masyarakat setempat.
Keempat, perencanaan prasarana pendukung. Elemen prasarana pendukung
yang perlu dimasukkan dalam perencanaan adalah supply air bersih, listrik,
penanganan sampah, toilet dan kamar mandi, telekomunikasi (telpon dan
internet), bahan bakar minyak, perbengkelan, jasa kebersihan dan keamanan.
Kelima, kriteria perancangan. Perancangan yang dimaksud mencakup
aplikasi arsitektur lokal, landscape, dan massa bangunan. Hal ini sangat penting
karena menyangkut upaya mempertahan nuansa kekhasan dan keunikan Maurole.
Keenam, pemanfaatan sumber daya manusia lokal. Pendidikan dan pelatihan
ketrampilan juga perlu direncanakan dengan seksama sehingga tercipta
pengembangan destinasi wisata layar yang memberdayakan masyarakat setempat
atau partisipatif.
Secara keseluruhan pengembangan pariwisata kawasan seperti destinasi
wisata layar Maurole dapat dilakukan dengan pendekatan perencanaan tertentu.
Paturusi (2008:45-49) menyebutkan unsur-unsur dalam pendekatan perencanaan
dan pengembangan pariwisata sebagai berikut: (1) pendekatan berkelanjutan,
inkremental, dan fleksibel, (2) pendekatan sistem, (3) pendekatan menyeluruh, (4)
pendekatan yang terintegasi, (5) pendekatan pengembangan berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan, (6) pendekatan swadaya masyarakat, (7) pendekatan
pelaksanaan, dan (8) penerapan proses perencanaan sistematis. Seluruh
pendekatan ini tentu dapat diimplementasikan dalam perencanaan destinasi wisata
layar Maurole. Namun, berdasarkan fakta yang diperoleh dari penelitian ini,
136
pendekatan yang dapat digunakan merupakan kombinasi dari pendekatan sistem,
menyeluruh, terintegrasi (integrated approach), dan pendekatan swadaya
masyarakat. Penerapan pendekatan ini tentu saja harus digarap dengan baik agar
menghasilkan rencana yang baik pula.
Basis dari pengembangan wisata layar adalah nilai-nilai yang terkandung
dalam pariwisata alternatif. Fennel dan Dowling (2002:2) menyebutkan lima
karakteristik positif dari pariwisata alternatif, yaitu:
1. Pengembangan yang sesuai dengan karakter lokal sebuah tempat.
Tercermin dari karakter arsitektural, gaya pengembangan, dan peka
terhadap keunikan warisan budaya dan lingkungan.
2. Pemeliharaan, perlindungan, dan peningkatan kualitas sumberdaya yang
merupakan basis pariwisata.
3. Mengusahakan agar pengembangan atraksi wisata tambahan bagi
wisatawan berakar pada kearifan lokal dan dikembangkan sebagai
dukungan bagi karakter lokal.
4. Pengembangan pelayanan bagi wisatawan yang meningkatkan warisan
budaya dan lingkungan setempat.
5. Mendukung pertumbuhan di suatu tempat hanya ketika pertumbuhan itu
meningkatkan sesuatu, bukan ketika dia merusak sesuatu atau melampaui
daya dukung lingkungan alam yang berakibat kurang baik bagi kualitas
kehidupan masyarakat.
Beberapa karakter ini dapat juga diimplementasi ke dalam pengembangan
wisata layar di sebuah destinasi yang baru berkembang. Pertama, pengembangan
137
wisata layar tidak merusak lingkungan atau harus selaras dengan lingkungan dan
mendukung kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Kedua, pariwisata alternatif
di destinasi wisata layar merupakan proses pengembangan bentuk perjalanan yang
yang berbeda dan yang berupaya menciptakan adanya saling pemahaman,
solidaritas, dan persamaan di antara para peserta yang ikut dalam perjalanan
wisata itu. Ketiga, pariwisata alternatif di destinasi wisata layar mencakup
pengembangan atraksi bagi wisatawan yang berskala kecil yang dilakukan dan
dikelola oleh masyarakat lokal.
Dengan demikian rencana pengembangan wisata layar sejauh mungkin
didasarkan pada karakter positif pariwisata alternatif. Fakta pengelolaan destinasi
singgah Maurole dalam rangka reli kapal wisata layar selama enam tahun terakhir
menunjukkan bahwa karakteristik pariwisata alternatif sangat mungkin dijadikan
landasan pengembangannya.
138
BAB VIII
SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan
Bertolak dari permasalahan, tujuan penelitian, kajian terhadap data
penelitian, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Sebagai destinasi singgah Sail Indonesia, Maurole memiliki potensi untuk
dikembangkan mengacu pada empat komponen destinasi pariwisata (4A).
Pertama, atraksi wisata, yaitu: kampung adat Nuabela, Puu Pau, dan
Detuara; atraksi seni dan budaya; pembuatan tuak (moke) di Otogedu;
pembuatan gula aren di Nuabela. Atraksi lainnya yang dapat dijangkau dari
Maurole yaitu Kelimutu (danau tiga warna), kampung adat Wologai, Nualise,
Wolotopo; hortikultura di Waturaka; pemandian air panas Detusoko, pasar
tradisional Nduaria, landscape perbukitan dan persawahan di Detusoko.
Kedua, akses ke Maurole dapat melaui darat maupun laut. Sail Indonesia
membuka Maurole sebagai salah satu pintu masuk wisatawan melalui laut di
Kabupaten Ende di tahun 2007. Ketiga, adanya amenitas yang mendukung
aktivitas wisata layar, yaitu tersedianya rumah makan dan supply kebutuhan
bahan bakar, air bersih dan air minum, listrik; bank dan kantor pos; sarana
telekomunikasi dan akses internet; dermaga apung (jetty), tempat relax,
berbagai jenis tenda dan panggung hiburan di areal titik labuh dan sejumlah
toilet yang dibangun dalam rangka Sail Indonesia. Keempat, unsur ancillaries
services dalam Sail Indonesia, yaitu: pemerintah (Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Ende, serta satuan kerja perangkat daerah yang terkait);
Operator wisata layar (Yayasan Cinta Bahari Antar Nusa); DPC HPI
139
Kabupaten Ende, komunitas adat dan kelompok seni budaya di tiap desa.
Berdasarkan empat komponen destinasi wisata dan perkembangan aktivitas
wisata, maka Maurole berada pada tahap involvement dalam siklus hidup
destinasi pariwisata, dan memiliki kekhasan lokal (local distinctiveness)
yakni adanya beberapa kampung adat dan atraksi wisata yang terletak dekat
dan mudah diakses dari titik labuh.
2. Pengelolaan Maurole sebagai destinasi singgah Sail Indonesia bersifat
seasonal, yaitu pengeloaan sejumlah aktivitas wisata yang disesuaikan
dengan jadwal kunjungan kapal layar dalam acara Sail Indonesia
(pertengahan sampai akhir Agustus setiap tahun). Pertama, pengelolaan areal
titik labuh meliputi penyediaan berbagai fasilitas dan pelayanan bagi
wisatawan. Kedua, pengelolaan atraksi seni dan budaya meliputi pagelaran
seni budaya di areal titik labuh, dan atraksi seni budaya di desa-desa yang
dikunjungi wisatawan. Ketiga, pengelolaan perjalanan wisata tidak saja ke
atraksi wisata di Kecamatan Maurole, namun juga ke beberapa atraksi wisata
lain yang mudah dijangkau dari Maurole. Keempat, partisipasi pemangku
kepentingan dilakukan dalam pengelolaan areal titik labuh, atraksi seni dan
budaya, dan perjalanan wisata. Pemerintah memfasilitasi dan mengalokasikan
anggaran untuk pengelolaan destinasi singgah Maurole. Pelaku usaha
pariwisata berpartisiasi dalam penanganan perjalanan wisata, penyediaan
transportasi, dan pemanduan wisata. Partisipasi masyarakat terwujud di areal
titik labuh Maurole dan di desa-desa yang dikunjungi oleh wisatawan. Tipe
partisipasi masyarakat adalah tipe induced participation, yaitu masyarakat
140
berpartisipasi karena terdorong untuk melakukannya, dan partisipasi inisiasi,
yaitu masyarakat ikut memelihara dan merasa memiliki kegiatan di
wilayahnya. Partisipasi masyarakat juga dipengaruhi nilai budaya ata mai
(orang yang datang/tamu) ata ji’e (orang baik). Tamu dianggap membawa
keselamatan, sehingga tuan rumah mau menunjukkan kepada tamu bahwa
mereka juga adalah orang baik yang bisa menerima tamu dengan baik.
Menerima tamu dengan baik berfungsi untuk menjaga waka atau menjaga
waka nga’a (waka nga’a dapat dipahami sebagai taksu dalam tradisi Bali).
3. Ada dua faktor yang mendukung Maurole sebagai destinasi wisata layar.
Pertama, faktor internal, terdiri dari potensi Maurole sebagai destinasi
singgah, pengelolaan Maurole sebagai destinasi singgah, partisipasi
pemangku kepentingan dalam pengelolaan Maurole sebagai destinasi
singgah, dan posisi geografisnya dalam rute kapal-kapal wisata. Faktor
internal merupakan kekuatan destinasi wisata layar Maurole. Kedua, faktor
eksternal, terdiri dari kebijakan pemerintah, sistem wisata layar, persepsi
wisatawan, dan wisata layar sebagai pemicu pengembangan destinasi.
Kebijakan pemerintah pusat dalam pengembangan wisata layar ditunjukkan
dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2011 tentang
kunjungan kapal wisata (yacht) asing ke Indonesia yang memberikan
kemudahan bagi kapal wisata asing yang masuk ke perairan laut Indonesia.
Kemudian komponen sistem wisata layar dalam Sail Indonesia terdiri dari:
negara-negara asal wisatawan sebagai tourist generating region (TGR), titik
start Sail Indonesia sebagai transit route (TR), negara kepulauan Indonesia
141
sebagai destination area, destinasi-destinasi singgah sebagai tourist
destination region (TDR), dan desa-desa yang dikunjungi di destinasi singgah
sebagai node destination. Selanjutnya, persepsi wisatawan yang dituliskan di
website atau weblogs merupakan salah satu referensi yang dipakai oleh
wisatawan lain untuk singgah atau tidak di destinasi Maurole. Hal lainnya
adalah Sail Indonesia memicu pengembangan destinasi singgah Maurole dan
menjadi salah satu alternatif model pengembangan destinasi wisata daerah.
8.2. Saran
Berdasarkan simpulan yang diperoleh dari penelitian ini, maka diajukan saran
sebagai berikut:
1. Untuk penyusunan perencanaan pariwisata kawasan Maurole sebagai
destinasi wisata layar, maka pemerintah daerah perlu memperhatikan hal
berikut. Pertama, agar ditetapkan lokasi yang menjadi fokus
pengembangan titik labuh di Maurole. Penetapannya dilakukan dengan
mekanisme yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan di Maurole,
terutama pemilik lahan ulayat di kawasan terkait. Kedua, di tahap awal,
pengembangan Maurole disesuaikan dengan kebutuhan yang spesifik,
sehingga fasilitas yang dibangun hanyalah fasilitas yang dibutuhkan untuk
melayani kapal-kapal wisata. Penting untuk disadari bahwa arahan lokasi
berbagai fasilitas harus dilakukan untuk kajian secara holistik dan bervisi
jangka panjang. Ketiga, aksesibilitas yang efektif dan pola arus wisatawan
dalam pemanfaatan fasilitas di areal titik labuh dan destinasi wisata layar
secara keseluruhan dirancang agar bermanfaat juga bagi masyarakat
setempat. Keempat, prasarana pendukung yang perlu dimasukkan dalam
142
perencanaan adalah supply air bersih, listrik, penanganan sampah, toilet
dan kamar mandi, telekomunikasi (telpon dan internet), bahan bakar
minyak, perbengkelan, jasa kebersihan dan keamanan. Kelima, untuk
mempertahankan nuansa kekhasan dan keunikan Maurole, maka
perancangan titik labuh diterapkan dengan memperhatikan kriteria
perancangan yang mencakup aplikasi arsitektur lokal, landscape, dan
massa bangunan. Keenam, pendidikan dan pelatihan ketrampilan juga
perlu direncanakan dengan seksama sehingga tercipta pengembangan
destinasi wisata layar yang berbasis masyarakat setempat atau partisipatif.
Ketujuh, pengembangan destinasi wisata layar Maurole perlu mengacu
kepada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Ende.
2. Penelitian ini hanya menyentuh beberapa hal umum dari sebuah destinasi
wisata layar. Karena itu disarankan agar ada penelitian lanjutan dan
mendalam mengenai topik-topik yang terkait destinasi wisata layar.
Misalnya, mengenai strategi pengembangan destinasi wisata layar.
143
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Panduan Monitoring dan Evaluasi DMO. Jakarta: Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Ardika, I. G. 2005. “Kebijakan Nasional Pengurangan Kemiskinan Melalui
Pariwisata” (dalam Damanik, J., Kusworo, H. A., Raharjana, D. T.,
Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pariwisata, penyunting,Yogyakarta:
Kepel Press).
Ardika, I. W. 2003. Pariwisata Budaya Berelanjutan – Refleksi dan Harapan di
Tengah Peradaban Global. Denpasar: Program Studi Magister (S2) Kajian
Pariwisata Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Atabala, V. 2011. Buku Tamu. Mausambi: Dokumen Pribadi.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2011. Laporan Rencana Tata Ruang
dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Ende Tahun 2011 – 2031. Ende: Bappeda.
Badan Pusat Statistik. 2012. Maurole dalam Angka 2012. Ende: Katalog BPS:
1409.5311060 Kabupaten Ende
----------. 2012. Statistik Kecamatan Maurole 2012. Ende: Katalog BPS:
1101002.5311060 Kabupaten Ende.
Buana Raya. 2012. Atlas Dunia. Solo: Buana Raya.
Budhiana, N. 2012. Wisata Layar Cocok untuk Kepulauan (dalam
http://bali.antaranews.com/berita/29342/wisata-layar-cocok-untuk
kepulauan., diakses 30 Januari 2013).
Buhalis, D. 2000. “Marketing the Competitive Destination of Future”, (dalam
Tourism Management 21 97-116, http://www.elsevier.com/locate/tourman.,
diakses 14 Februari 2013).
Bungin, B.M. 2010. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Butler, R. W. 1980. The Concept of Tourism Area Life Cycle of Evolution:
Implication for the Management of Resources. The Canadian Geographer.
Caribbean Tourism Organization. 2008. “Sailing” (dalam Developing a Niche
Tourism Market Database for the Caribbean, http://www.
onecaribbean.org/ content/ files/ Sailing/ pdf., diakses 28 September 2012).
Cooper, C., Fletcher, J., Gilbert, D., and Wanhill, S. 1996. Tourism Principles and
Practice. London: Longman Group Limited.
144
Creswell, J.W. 2009. Research Design Quantitative, Qualitative and Mixed
Methods Approachs. 3rd
Edition. London: Sage Publication, Inc.
Dahuri, R. 2009. Pariwisata Bahari Raksasa Ekonomi Indonesia yang Masih Tidur
dalam http://rokhmindahuri.wordpress.com/, diakses 8 Oktober 2012.
Dalem, A. A .G. Raka. 2007. “Filosofi Tri Hita Karana dan Implementasinya
dalam Industri Pariwisata” (dalam Kearifan Lokal dalam Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Dalem, A. A. G. Raka, Wardi, I N., Suarna I W., dan
Adnyana, I W. Sandi, ed., Denpasar: UPT Penerbit Universitas Udayana dan
PPLH Unud).
Damanik, J dan Weber H. F. 2006. Perencanaan Ekowisata – Dari Teori ke
Aplikasi. Yogyakarta: Pusat Studi Pariwisata (Puspar) UGM dan Penerbit
Andi.
Derksen, B. D. M. 2007. “Nautical Tourism Potential in the Dalmatia Dubrovnik
Region” (dissertation). Breda: NHTV University of Professional Education.
Desa Mausambi. 2012. Profil Desa Mausambi.
Desa Otogedu. 2012. Profil Desa Otogedu.
Desa Watukamba. 2012. Profil Desa Watukamba.
Disbudpar. 2007. Laporan Pelaksanaan Sail Indonesia. Ende: Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata.
----------. 2008. Laporan Pelaksanaan Sail Indonesia. Ende: Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata.
----------. 2009. Laporan Pelaksanaan Sail Indonesia. Ende: Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata.
----------. 2010. Laporan Pelaksanaan Sail Indonesia. Ende: Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata.
Edgell, D. L. 2006. Managing Sustainable Tourism: A Legacy for the Future.
Oxford: The Haworth Hospitality Press.
Fandeli, C. 2002. Perencanaan Kepariwisataan Alam. Yogyakarta: Penerbit
Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada.
Fennel, A. D dan Dowling K. R. 2003. “The Context of Ecotourism Policy and
Planning” (dalam Ecotourism Policy and Planning, Fennel, A. D dan
Dowling, K. R, ed., UK: CAB International).
Gautama, I G. A .G .O. 2011. “Evaluasi Perkembangan Wisata Bahari Sanur”
(tesis). Denpasar: Universitas Udayana.
145
Heaven, S. 2008. The Cruising Adventures of Seventh Heaven with Charlieand
Betty(http://www.charlieandbetty.com/seventhheaven/default.asp?listtype=r
ange&datestart=20080726&dateend=20081027., diakses 12 Juli 2013.
Hermantoro, H. 2011. Creative-Based Tourism, dari Wisata Rekreatif Menuju
Wisata Kreatif. Jawa Barat: Penerbit Aditri.
Inskeep, E. 1991. Tourism Planning: An Integrated and Sustainable Development
Approach. New York: Van Nostrand Reinhold.
Jennings, G. 2001. Tourism Research. Australia: Wiley.
Jennings, G. 2007. Water-Based Tourism, Sport, Leisure, and Recreation
Experiences, ed., UK: Elsevier’s Science & Technology Rights Department.
Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat – Paradigma bagi
Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial,
Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni. Yogyakarta: Paradigma.
Kecamatan Maurole. 2009. Rencana Strategis (Restra).
Lamont, MJ. 2008, “Wheels of Change: A Model of Whole Tourism Systems for
Independent Bicycle Tourism”, (dalam Re-creating tourism: New Zealand
Tourism and Hospitality Research Conference, Proceedings of Hanmer
Springs, New Zealand, 3-5 December, Lincoln University, Christchurch,
NZ).
Leiper, N. 1990. Tourism System. Occasional Paper 2. Auckland: Department of
Management System. Massey University.
Leiper, N. 2004. Studying Tourism: A Whole Systems Approach (dalam Tourism
Management. 3rd
ed. Sydney: Pearson Australia).
Lesmana, R. T. 2012. “Peluang Wisata Bahari Indonesia – Apa, Siapa, Mengapa,
Bilamana, Bagaimana?” Makalah pada Presentasi Survei Sail Tomini 2014
di Kabupaten Tojo Una Una, Sulawesi Tengah.
Lukita, B. M. 2012. Potensi Laut Indonesia 1,2 Triliun Dolar AS (dalam
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/10/24/13283219/Potensi.Laut.
Indonesia.1.2.Triliun.Dollar.AS, diakses 31 Januari 2013).
Madiun, I.N. 2009. “Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Pengembangan Kawasan
Pariwisata Nusa Dua - Perspektif Kajian Budaya” (disertasi). Denpasar:
Universitas Udayana.
Mbete, A. M., Dhae, F.X., Banda, M. M dan Wake, P. 2006. Khazanah Budaya
Lio-Ende. Jogya: Pustaka Larasan dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Kabupaten Ende.
146
Mina Bahari. 2013. “Membangun Secara Lestari dan Berkelanjutan” (dalam Mina
Bahari Edisi I Januari).
Munt, I dan Monforth, M., 2003. Tourism and Sustainability – New Tourism in
The Third World. London: Taylor and Francis e-Library.
Murdana, I.M. 2010. “Pengembangan Pariwisata Pulau Gili Trawangan Berbasis
Ekowisata Bahari” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana
Noor, J. 2011. Metodologi Penelitian – Skrispi, Tesis, Disertasi, dan Karya
Ilmiah. Jakarta: Kencana.
Orams, M. 2002. Marine Tourism – Development, Impacts and Management.
New York: Routledge – edition published in the Taylor and Francis e-
Library.
Paturusi, S. A. 2008. Perencanaan Kawasan Pariwisata. Denpasar: Universitas
Udayana.
Pendit, N. S. 1996. Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta: PT
Pradnya Paramita.
Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM.
96/HK.501/MKP/2010 Tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Wisata Tirta.
Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2011 Tentang
Kunjungan Kapal Wisata (Yacht) Asing Ke Indonesia.
Pitana, I. G dan Diarta, S. K I. 2009. Pegantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta:
Penerbit ANDI.
Pitana, I. G dan Gayatri, P. G. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Penerbit
Andi.
Pujaastawa, I.B.G., Wirawan, I G.P., dan Adhika, I M. 2005. Pariwisata Terpadu
– Alternatif Model Pengembangan Pariwisata Bali Tengah. Denpasar:
Universitas Udayana.
Rasdiani, E. 2008. “Sail Indonesia – Menjadikan Kebaharian Indonesia Mampu
Berdiri Sejajar dengan Negara lain”. Makalah dalam Workshop Percepatan
Pembangunan Perikanan, Pariwisata Bahari, dan Jasa Kelautan. Jakarta,
22 Oktober.
Ratna, N. K. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial
Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sail Indonesia. 2012. Sail Indonesia Confirmed Entries
(http://sailindonesia.net/news/entries.php., diakses 23 Mei).
147
-----------. 2013. Sail Indonesia 2013 Program Of Events (http://sailindonesia.net.,
diakses 28 Maret 2013.
SailToIndonesia. 2012. Destinations (http://sailtoindonesia.com, diakses 27 Mei)
Smith, V. L. dan Eadington, W.R. 1992. Tourism Alternatives: Potentials and
Problems in the Development of Tourism: Philadelphia: Univeristy of
Pennsylvania Press.
Stronza, A. 2008. “Partnerships for Tourism Development” (dalam Moscardo, G.
Editor. Building Community Capacity for Tourism Development. UK:
CABI)
Tallo, P. E. 2011. “Strategi Pengembangan Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur
Sebagai Destinasi Pariwisata Berkelanjutan” (tesis). Denpasar: Universitas
Udayana.
Timothy, D. J dan Tosun, C. 2003. “Arguments for Community Participation in
the Tourism Development Process” (dalam The Journal of Tourism Studies
Vol. 14, No. 2, Dec).
Tosun, C. 2006. Expected Nature of Community Participation in Tourism
Development. Turkey: School of Tourism and Hotel Management, Mustafa
Kemal University, Tourism Management.
Tourism Insights. 2008. Identifying and Developing Local Distinctiveness,
(http://www.insights.org.uk/destinationmanagementguideitem.aspx?title=2
G%3a+Identifying+and+Developing+Local+Distinctiveness., diakses 29
Juni 2013).
Tourism in Singapore. 2003. Ancillary Services (http://infocommclub.
vs.moe.edu.sg/tourism/ancillary.html., diakses 6 Juni 2013).
Wirawan, G. P S. 2009. “Pengembangan Daya Tarik Wisata Berkelanjutan di
Nusa Lembongan, Kabupaten Klungkung” (tesis). Denpasar: Universitas
Udayana.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4966.
148
Lampiran 1:
PEDOMAN WAWANCARA
(Untuk: mencapai tujuan tujuan khusus satu)
Informan: aparat desa, masyarakat desa, operator, dan tim teknis.
Mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk diwawancarai dan memberikan
jawaban sesuai dengan kenyataan riil yang ada/dialami.
Pertanyaan yang diajukan dalam wawancara ini disusun guna
mengumpulkan data tertulis dalam rangka menunjang penyusunan
tesis/karya tulis ilmiah.
Pertanyaan yang diajukan dalam wawancara ini disusun untuk
mendapatkan bahan analisis guna mengkaji karakteristik destinasi singgah
Sail Indonesia.
Wawancara ini dilakukan hanya untuk tujuan penelitian ilmiah.
Atas kesediaan Bapak/Ibu menjadi informan dalam penelitian ini, saya
mengucapkan terima kasih.
Hari/Tanggal :
A. Identitas Informan
Nama:
Umur:
Pekerjaan/ Jabatan:
Alamat:
No. Telepon/ HP:
B. Potensi destinasi singgah
Atraksi wisata Alam:
1. Apakah ada atraksi alam yang terkait dengan flora dan fauna? Sebutkan!
2. Apakah kecamatan/desa sudah melakukan pendataan terhadap atraksi
wisata alam itu?
3. Apakah atraksi wisata alam itu sudah pernah dikunjungi atau dinikmati
oleh wisatawan? Sejak kapan?
149
Atraksi wisata budaya dan buatan:
1. Apa saja atraksi seni budaya lokal (tari, musik, drama, permainan rakyat,
dll) yang terdapat di wilayah ini? Sebutkan!
2. Apakah ada festival seni budaya? Bagaimana penyelenggaraannya?
3. Apakah ada upaya peningkatan dan pelestarian peninggalan sejarah dan
purbakala? Bagaimana upaya itu dilakukan?
4. Apa saja seni kerajinan dan ukir-ukiran yang tersedia?
5. Apa saja kuliner lokal yang tersedia? Bagaimana keberadaan dan upaya
pengembangannya?
Aksesibilitas:
1. Bagaimana cara mencapai atraksi wisata di kecamatan/desa ini?
2. Apa saja moda transportasi yang digunakan?
3. Bagaimana kondisi jalan menuju ke lokasi atraksi wisata itu?
4. Apakah ada program peningkatan aksesibilitas ke berbagai atraksi wisata
selama kegiatan Sail Indonesia?
Amenitas:
1. Apa saja jenis akomodasi wisata yang terdapat di kecamatan/desa ini, dan
berapa jumlahnya?
2. Berapa jumlah rumah makan atau restoran di kecamatan/desa ini?
3. Bagaimana kondisi fasilitas akomodasi penginapan dan restoran/rumah
makan yang ada?
4. Apakah tersedia fasilitas belanja misalnya artshop yang menjual barang
kerajinan lokal dan produk souvenir lainnya?
5. Apakah ada agen penjualan bahan bakar minyak?
6. Apakah tersedia pasar-pasar tradisional?
7. Bagaimana akses ke layanan kesehatan dan unit gawat darurat
8. Bagaimana ketersediaan air bersih dan energi listrik?
9. Bagaimana ketersediaan fasilitas telekomunikasi (telepon, internet, jasa
pos)?
10. Bagaimana ketersediaan jasa perbankan dan jasa penukaran uang (money
changer)?
150
11. Bagaimana ketersediaan fasilitas humaniter seperti toilet?
Ancillary services:
1. Apakah terdapat kelompok sadar wisata (Pokdarwis) di kedamatan/desa
ini? Berapa jumlahnya?
2. Apakah lembaga DMO (Destination Management Organization) dan
TMO (Tourist Management Organization) ikut berperan dalam
pengembangan pariwisata di kecamatan/desa ini?
3. Bagaimana peran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kabupaten dalam
mengembangkan kepariwisataan di kecamatan/desa ini?
4. Bagaimana peran pemerintah kecamatan dan desa dalam mengembangkan
kepariwisataan di kecamatan/desa ini?
5. Apakah kawasan ini masuk dalam tata ruang pengembangan wilayah
kepariwisataan daerah?
6. Apakah ada kebijakan pemerintah pusat, provinsi, atau kabupaten yang
terkait pengembangan wisata layar?
7. Apakah tersedia Tourist Information Centre (TIC) di kecamatan/desa ini?
8. Bagaimana dengan penyerapan SDM dalam aktivitas pariwisata yang
bersifat temporer misalnya dalam aktivitas Sail Indonesia.
9. Siapa saja pemangku kepentingan yang terlibat di dalam pengelolaan
berbagai atraksi wisata dalam kegiatan Sail Indonesia dan bagaimana
perannya masing-masing?
10. Apa manfaat yang diperoleh pemangku kepentingan dalam pengelolaan
atraksi wisata itu?
11. Apa saja masalah yang timbul dalam pengelolaan atraksi wisata itu dan
bagaimana solusinya?
12. Apakah terbukanya akses wisatawan melalui laut dalam aktivitas Sail
Indonesia memberikan manfaaat bagi kecamatan/desa?
13. Apakah tersedia informasi yang cukup bagi wisatawan mengenai cara
mencapai lokasi atraksi wisata itu dan siapa yang menyiapkan informasi
itu?
151
14. Apakah tersedianya berbagai fasilitas yang terkait aspek amenitas itu
memberikan manfaat bagi kecamatan/desa?
15. Apa masalah yang ada terkait berbagai fasilitas itu? Bagaimana solusi
mengatasi masalah tersebut?
Letak dan posisi Maurole dalam rute pelayaran kapal wisata di kegiatan Sail
Indonesia:
1. Apa saja syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah tempat untuk menjadi
destinasi singgah Sail Indonesia?
2. Bagaimana karakteristik umum para peserta reli wisata layar dan apa
motivasi kunjungan mereka?
3. Apa saja kebutuhan dasar para pelayar dunia di suatu destinasi singgah?
4. Berapa lama peserta reli tinggal atau berlabuh di sebuah destinasi singgah?
5. Mengapa Maurole ditetapkan sebagai salah satu destinasi singgah Sail
Indonesia, dan bagaimana gambaran posisi Maurole dalam rangkaian rute
pelayaran kapal wisata di Indonesia?
6. Dalam kaitan dengan aktivitas wisata di daratan, apa saja yang perlu
disiapkan oleh sebuah destinasi singgah? Dan siapa yang idealnya
menyiapkan kebutuhan itu?
7. Siapa saja yang perlu terlibat pengelolaan titik labuh dalam kaitannya
dengan upaya pemenuhan kebutuhan para pelayar dunia dan manfaat
ekonomi bagi masyarakat?
8. Siapa saja dan bagaimana peran masing-masing pemangku kepentingan di
destinasi singgah?
9. Apa saja dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan yang terjadi di sebuah
destinasi singgah?
10. Bagaimana prospek dan peluang pengembangan destinasi singgah?
11. Siapa saja target pasar wisata layar dan bagaimana prospeknya bagi
Indonesia secara umum dan destinasi singgah secara khusus?
12. Apa saja masalah atau kendala yang timbul dalam pengelolaan destinasi
singgah dan apa solusi untuk mengatasi masalah itu?
152
Lampiran 2:
PEDOMAN WAWANCARA
(Untuk: mencapai tujuan tujuan khusus dua)
Informan: masyarakat
A. Bentuk dan Tingkat Partisipasi
1. Apakah Bapak/Ibu terlibat dalam kegiatan Sail Indonesia? Bagaimana
bentuk keterlibatannya?
2. Apakah yang mendorong Bapak/Ibu terlibat dalam kegiatan Sail Indonesia
ini?
3. Apakah ada pertemuan/musyawarah warga dalam membicarakan kegiatan
Sail Indonesia? Jika ada, berapa kali diadakan?
4. Selain pertemuan, seringkah Bapak/Ibu mengikuti kegiatan yang
menunjang kegiatan Sail Indonesia (seperti kerja bakti, dll)?
5. Menurut Bapak/Ibu, apa bentuk partisipasi yang tepat dari masyarakat
dalam kegiatan Sail Indonesia?
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat
1. Bagaimana peran pemerintah daerah dalam melibatkan masyarakat dalam
kegiatan Sail Indonesia?
2. Bagaimana peran pengurus desa/dusun dalam melibatkan masyarakat
dalam kegiatan Sail Indonesia?
3. Bagaimana peran tenaga teknis dari pemerintah daerah dalam memberikan
pendampingan teknis terkait dengan kegiatan Sail Indonesia?
4. Bagaimana peran tokoh masyarakat/adat untuk mengajak masyarakat
berpartisipasi dalam kegiatan Sail Indonesia?
C. Manfaat, masalah, dan solusi:
1. Apa saja manfaat yang diperoleh dari keterlibatan Bapak/Ibu dalam
kegiatan dan pengelolaan Sail Indonesia?
2. Apa saja masalah yang timbul terkait keterlibatan dalam kegiatan Sail
Indonesia?
3. Apa solusi untuk mengatasi masalah tersebut?
153
Lampiran 3:
PEDOMAN WAWANCARA
(Untuk: mencapai tujuan khusus dua)
Informan: pemerintah daerah, desa, dan tim teknis.
A. Pemerintah Daerah – Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende
1. Apa dasar hukum dan kebijakan terkait pelaksanaan Sail Indonesia di
destinasi singgah Maurole?
2. Apakah sudah ada peraturan yang terkait penetapan zonasi pengembangan
destinasi wisata layar?
3. Bagaimana Pemda melakukan pendekatan kepada masyarakat di
Kecamatan Maurole dan desa-desa terkait dalam kegiatan Sail Indonesia?
4. Bagaimana hubungan kerjasama antara Pemda dengan LSM/NGO, tokoh
masyarakat dan pemerintah kecamatan dan desa?
5. Kontribusi apa saja yang diberikan Pemda dalam kegiatan Sail Indonesia?
B. Pertanyaan untuk Kepala Desa, dan tokoh masyarakat (pemuka adat)
1. Bagaimana Bapak/Ibu melakukan pendekatan kepada masyarakat dalam
pelaksanaan kegiatan Sail Indonesia?
2. Faktor apa yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam kegiatan Sail
Indonesia?
C. Pertanyaan untuk tim teknis dari pemda
1. Bagaimana Tim teknis melakukan pendekatan kepada masyarakat dalam
pelaksanaan kegiatan Sail Indonesia?
2. Bagaimana hubungan kerjasama antara tim teknis, tokoh masyarakat dan
pemerintah kecamatan dan desa?
3. Bagaimana bentuk pendampingan tim teknis dalam kegiatan Sail
Indonesia?
4. Apakah faktor yang turut mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam
kegiatan Sail Indonesia?
154
D. Umum : Manfaat, masalah, dan solusi
1. Apa manfaat dari keterlibatan pemerintah daerah, aparat kecamatan/desa,
dan tim teknis dalam kegiatan Sail Indonesia?
2. Apa saja masalah dan kendala yang timbul dalam keikutsertaan pemangku
kepentingan itu dalam aktivitas Sail Indonesia? Terhadap masalah yang
timbul itu, apa solusi yang dapat diberikan?
155
Lampiran 4:
PEDOMAN WAWANCARA
(Untuk : mencapai tujuan khusus tiga)
Informan: pemangku kepentingan (pemerintah, industri, dan masyarakat).
A. Penguatan gerakan kesadaran kolektif pemangku kepentingan (Anonim,
Panduan Monev DMO: 2012). Panduan ini disesuaikan dengan upaya
pencapaian tujuan penelitian.
1. Siapa saja kelompok pemangku kepentingan yang terlibat dalam kegiatan
Sail Indonesia di Maurole?
2. Bagaimana koordinasi lintas kelompok komunitas lokal dalam persiapan
Sail Indonesia?
3. Apakah sudah ditetapkannya peran pemangku kepentingan dalam konteks
lintas sektoral pada kegiatan Sail Indonesia?
4. Apakah sudah ditetapkannya perencanaan tata kelola destinasi singgah
Maurole?
5. Apakah sudah ada SK (Surat Keputusan) Bupati atau MoU antara
pemerintah kabupaten dengan stakeholder tertentu dalam kegiatan Sail
Indonesia?
B. Pengembangan Manajemen Destinasi Singgah (Anonim, Panduan Monev
DMO: 2012):
Terkait telah teridentifikasinya kondisi awal destinasi melalui kajian awal/
baseline assessment.
1. Apakah sudah teridentifikasi profil dan peta wilayah destinasi singgah
Maurole?
2. Apakah telah teridentifikasinya lingkungan internal dan eksternal destinasi
singgah Maurole?
3. Apakah telah tersedianya informasi tentang: atraksi, transportasi intra dan
antar destnasi, infrastruktur, fasilitas dan layanan, event/festival, dan
aktivitas wisata?
156
Terkait Tourism Management Plan secara kuantitatif dan kualitatif untuk
jangka pendek, menengah, dan panjang sesuai perinsip keterpaduan,
kolaboratif, berkelanjutan dan partisipatif.
1. Apakah sudah tersedia berbagai peraturan dan ketetapan tentang arah
kebijakan pengembangan destinasi untuk jangka pendek, menengah dan
panjang sesuai prinsip keterpaduan, kolaboratif, berkelanjutan dan
partisipatif?
2. Apakah sudah ditetapkannya peraturan tata ruang destinasi?
3. Apakah sudah tersedia Tourism Management Plan untuk desitnasi
Maurole?
Terkait pola perjalanan wisata (travel pattern)
Apakah ada pola perjalanan wisata di dalam destinasi yang terintegrasi
mencakup seluruh atau sebagian wilayah destinasi?
C. Pengembangan Bisnis (Anonim, Panduan Monev DMO: 2012)
Terkait inovasi dan diversifikasi produk:
1. Apakah sudah ada diversifikasi dan inovasi produk dan sudah
diimplementasikan selama kegiatan Sail Indonesia berlangsung sejauh ini?
2. Apakah sudah tercipta kegiatan inovasi produk dalam kegiatan Sail
Indonesia?
Terkait kegiatan pemasaran destinasi
1. Apakah sudah ada informasi dan ide pemasaran destinasi terkait Sail
Indonesia?
2. Apakah sudah dilakukan analisis lingkungn internal dan eksternal terkait
pemasaran destinasi singgah Maurole?
3. Apakah tersedia rencana pemasaran dan promosi destinasi Maurole?
4. Apakah ada kerjasama pemasaran dengan pihak lainnya (intra dan antar
destinasi)?
Terkait aktivitas kewirausahaan/industri yang juga mendorong pengembangan
ekonomi kreatif dan memperluas bisnis networking komunitas lokal:
1. Apakah ada peluang usaha yang tercipta bagi masyarakat lokal di destinasi
singgah?
157
2. Apakah ada pelatihan kegiatan ekonomi kreatif di destinai singgah?
3. Apakah masyarakat lokal terlibat dalam berbagai aktivitas kepariwisataan
dalam proses perencanaan, sosialisasi, implementasi dan pengawasan
program?
4. Apakah ada bentuk dukungan yang nyata untuk memperluas business
networking bagi pengusaha lokal didukung oleh seluruh pemangku
kepentingan?
5. Apakah dilaksanakan pelatihan pengembangan bisnis di destinasi singgah?
158
Lampiran 5:
PEDOMAN WAWANCARA
(Untuk: mencapai tujuan penelitian tiga)
Informan: ahli dan tokoh masyarakat
1. Apakah visi, misi, tujuan, dan strategi penyelenggaraan Sail Indonesia yang
Bapak/Ibu ketahui?
2. Bagaimanakah tahap-tahap pelaksanaan reli perahu layar internasional Sail
Indonesia mulai dari kapal wisata itu berada di luar perairan Indonesia hingga
memasuki perairan Indonesia?
3. Bagaimana gambaran rute kapal wisata dalam Sail Indonesia, dan apakah
rute-rute itu masih mungkin dikembangkan?
4. Apa sesungguhnya kekuatan dari kegiatan Sail Indonesia bagi pengembangan
dan promosi wisata daerah khususnya destinasi singgah?
5. Apakah Sail Indonesia mampu meningkatkan kunjungan wisata ke daerah?
6. Apa karakteristik yang perlu dimiliki oleh sebuah lokasi untuk dapat menjadi
destinasi singgah Sail Indonesia?
7. Apa saja sarana dan prasarana yang perlu disiapkan oleh sebuah destinasi
singgah?
8. Apakah Pulau Flores berpotensi menjadi destinasi wisata layar? Bagaimana
dengan potensi yang dimiliki Maurole?
9. Siapa saja stakeholder yang perlu dilibatkan dalam pengembangan wisata
layar?
10. Apa sesungguhnya peran yang bisa dimainkan pemerintah daerah dalam
upaya pengembangan wisata layar?
11. Bagaimana memaksimalkan partisipasi masyarakat lokal dan pelaku usaha
dalam kegiatan Sail Indonesia?
12. Apa saja aspek atau faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam
pengembangan destinasi wisata layar?
13. Apakah Sail Indonesia memiliki prospek pengembangan yang strategis di
masa depan?
159
14. Strategi perencanaan seperti apa yang perlu dibuat dalam rangka
mengembangkan destinasi wisata layar?
15. Apa saja kendala dan masalah yang timbul dalam upaya pengembangan
distinasi wisata layar secara umum? Dan bagaimana dengan destinasi singgah
Maurole?
16. Bagaimana solusi untuk mengatasi masalah dan kendala yang timbul dalam
pengembangan destinasi wisata layar?
160
Lampiran 6:
DAFTAR INFORMAN
1. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
Hp
:
:
:
:
:
Cyprianus Pepy
45 tahun
Kepala Desa Nualise
Kampung Wolofeo, Desa Nualise, Kecamatan Wolowaru.
082144350014
2. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
:
:
:
:
Prudensia Mariana Pepy
37 tahun
TP. PKK
Kampung Wolofeo, Desa Nualise, Kecamatan Wolowaru.
3. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
Hp
:
:
:
:
:
Aloysius Djira Loy
55 tahun
Kepala Desa
Desa Waturaka Kecatan Kelimutu
081357431158
4. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
Hp
:
:
:
:
:
Alexander Wae
61 tahun
Tokoh Masyarakat
Desa Waturaka Kecamatan Kelimutu
082144503179
5. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
Hp
:
:
:
:
:
Nikolaus Dee
52 tahun
Tokoh Masyarakat
Desa Wolotopo Timur, Kecamatan Ndona.
085253465173
6. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
Hp
:
:
:
:
:
Siprianus Madana Jirabara
33 tahun
Kepala Desa Wolotopo Timur
Wolotopo Timur
081236659719
7. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
Hp
:
:
:
:
:
Ignasius Siga
45 tahun
Kepala Desa Otogedu
Desa Otogedu Kecamatan Maurole
081319735410
161
8. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
:
:
:
:
Frans Watu
60 tahun
Tokoh Masyarakat
Desa Otogedu Kecamatan Maurole
9. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
Hp
:
:
:
:
:
Hironimus Nira
48 tahun
Kaur Desa
Nuabela Desa Watukamba Kecamatan Maurole
082144146985
10. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
:
:
:
:
Stefanus Ngga’e
57 tahun
Mosalaki (tetua adat)
Nuabela Desa Watukamba Kecamatan Maurole
11. Nama
Umur
Pekerjaan
Alama
Hp
:
:
:
:
:
Damianus Deda
61 tahun
Tokoh Masyarakat
Kecamatan Maurole
085239984854
12. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
Hp
:
:
:
:
:
Silvester Sina
54 tahun
Sekretaris Desa Maurole
Desa Maurole Kecamatan Maurole
085253218303
13. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
Hp
:
:
:
:
:
Desi Darius Saba
43 tahun
Kepala Desa Mausambi
Desa Mausambi
082341890181
14. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
:
:
:
:
Lambertus Laka
73 tahun
Mosalaki (tetua adat)
Dusun Detuara Desa Mausambi Kecamatan Maurole
15. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
Hp
:
:
:
:
:
Martinus Mani
53 tahun
BPD Desa Mausambi
Dusun Detuara Desa Mausambi Kecamatan Maurole
081337257974
162
16. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
Hp
:
:
:
:
:
Yan Fangidae
48 tahun
Guru SMP
Desa Mausambi Kecamatan Maurole
081353871315
17. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
Hp
:
:
:
:
:
Emilianus Linu
47 tahun
Kepala Desa Wologai Tengah
Desa Wologai Tengah
081236991044
18. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
Hp
:
:
:
:
:
Nyo Cosmas, SH
53 tahun
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende
Jl. Soekarno No. 4 Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur
081339300611
19. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
Hp
:
:
:
:
:
Yuliana Ruka, S. Sos
42 tahun
Kepala Bidang Pemasaran dan Promosi Disbudpar Kab.
Ende
Jl. Soekarno No. 4 Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur
085239414211
20. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
Hp
:
:
:
:
:
Martinus Lagho, SST. Par
47 tahun
Kepala Sub Bagian Program Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Ende.
Jl. Soekarno No. 4 Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur
081339411204
21. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
Hp
:
:
:
:
:
Rosalia J.E. Rae, SST. Par
44 tahun
Kasi Pelatihan dan Ketrampilan Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Ende/Tim Teknis Sail Indonesia 2007
Jl. Soekarno No. 4 Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur
082144492459
22. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
Hp
:
:
:
:
:
Maria W.P. Wangge, SST. Par
40 tahun
Kasi Pengkajian Pemasaran Pariwisata/Pejabat Pelaksana
Teknis Kegiatan Sail Indonesia di Maurole tahun 2008
Jl. Soekarno No. 4 Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur
085287948595
163
23. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
Hp
:
:
:
:
:
Gregorius Gadi
49 tahun
Sekretaris Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab. Ende
Ndona-Ende
081353842816
24. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
Hp
:
:
:
:
:
Maria Sarto Deda
32 tahun
Pegawai di Kecamatan Maurole
Maurole
085239984854
25. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
Hp
:
:
:
:
:
Ferdinandus E.K. Radawara, SST.Par
36 tahun
Ketua Himpunan Pramuwisata Kabupaten Ende/Guide
Ende
081334330155
26. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
Hp
:
:
:
:
:
Fransiskus Dafro
45 tahun
Guru/ Guide
Mbomba – Ende
085215067777
27. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
Hp
:
:
:
:
:
Vinsen Atabala
39 tahun
Guide Lokal
Pantai Mausambi Desa Mausambi
081246243764
28. Nama
Umur
P8kerjaan
Alamat
:
:
:
:
Yakobus Ari
73 tahun
Tokoh Budaya Kabupaten Ende
Ende
29. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
Hp
:
:
:
:
:
Raymond T. Lesmana
55 tahun
Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cinta Bahari Antar Nusa –
Tenaga Ahli Pengembangan Wisata Layar Nasional,
Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata,
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif R.I.
Denpasar – Bali
0811124574
164
Lampiran 7:
FOTO-FOTO SAIL INDONESIA DI KABUPATEN ENDE
Areal Titik Labuh Mausambi Kecamatan Maurole Kabupaten Ende
Sumber: YCBAN, 2007 (Foto oleh Raymond T. Lesmana)
Areal Titik Labuh Pantai Mausambi Kecamatan Maurole Kabupaten Ende
Sumber: YCBAN, 2007 (Foto by Raymond T. Lesmana)
165
Dermaga Wisata di Pantai Nanganio
Sumber: Disbudpar, 2010.
Atraksi Tarian Wanda
Pa’u di Nanganio
Sumber: Disbudpar,
2010
Kuliner Lokal di Desa Nualise
Sumber: Disbudpar, 2009
166
Lampiran 8:
FOTO-FOTO WAWANCARA PENELITIAN
Wawancara di Desa Nualise, Kecamatan Wolowaru
Sumber: Penelitian, 2013
Informan Desa Waturaka Kec.
Kelimutu
Sumber: Penelitian, 2013
Wawancara di Desa Wolotopo Timur
Sumber: Penelitian, 2013.
Wawancara di Desa Otogedu Kecamatan Maurole
Sumber: Penelitian, 2013
167
Wawancara di Nuabela Desa Watukamba
Sumber: Penelitian, 2013
Wawancara di Desa Maurole
Sumber: Penelitian, 2013
Wawancara di Detuara Desa Mausambi
Sumber: Penelitian, 2013
Wawancara di Desa Mausambi
Sumber: Penelitian, 2013
168
Wawancara di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende
Sumber: Penelitian, 2013
Wawancara Dengan Raymond T. Lesmana,
Tenaga Ahli Wisata Layar Nasional,
Dirjen Pengembangan Destinasi,
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Sumber: Penelitian, 2013