Buletin Dukungan Pelayanan Kesehatan Pada Sail Morotai 2012 … Buletin EDISI IV - NOVEMBER 2012...

20
EDISI IV - NOVEMBER 2012 Buletin INFO KRISIS KESEHATAN Dukungan Pelayanan Kesehatan Pada Sail Morotai 2012 Wawancara khusus dengan dr. Sri Henni Setiawati, MHA STRESS Kerja di Daerah Bencana URGENSI AKREDITASI, STANDARISASI DAN REGISTRASI TIM MEDIS INTERNASIONAL DALAM PENANGGULANGAN KRISIS KESEHATAN AKIBAT BENCANA Latihan Bersama GelarRumah Sakit Lapangan Dalam Rangka Hari Kesehatan Nasional Tahun 2012

Transcript of Buletin Dukungan Pelayanan Kesehatan Pada Sail Morotai 2012 … Buletin EDISI IV - NOVEMBER 2012...

Buletin

EDISI IV - NOVEMBER 2012

BuletinINfO KRISIS KESEhataN

Dukungan Pelayanan KesehatanPada Sail Morotai 2012

Wawancara khusus dengandr. Sri Henni Setiawati, MHA

StreSSKerja di Daerah Bencana

URGENSI AKREDITASI, STANDARISASI DAN REGISTRASITIM MEDIS INTERNASIONAL DALAM PENANGGULANGAN

KRISIS KESEHATAN AKIBAT BENCANA

Latihan BersamaGelarRumah Sakit Lapangan

Dalam rangkaHari Kesehatan Nasional

Tahun 2012

BuletinINfO KRISIS KESEhataN

Daftar Isi

Susunan Redaksi

Redaksi.....Redaksi.....

PPKK Go International Sebagai WHO CC

Dukungan Pelayanan Kesehatan Pada Sail Morotai 2012

Latihan Bersama Gelar Rumah Sakit Lapangan Dalam Rangka Hari Kesehatan NasionalTahun 2012

Wawancara khusus dengandr. Sri Henni Setiawati, MHAKepala Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan

l Penanggung Jawab : dr. Sri Henni Setiawati, MHA l Redaktur : Maryani SKM, M.M. l Penyunting : Dodi Irianto l Desain Grafis : Antonius Sunar Wahyudi l Fotografer : dr. Adi Sopiandi M.Kes l Sekretariat : Dra. Titik Nurhaeraty l Editor : Palupi Widyastuti, SKM.

03 11

1305

07

09

151718

dari

Setelah sekian lama berproses dan melalui kajian yang sangat ketat untuk menetapkan Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan (PPKK)

menjadi WHO Colaboration Centre (WHO-CC), akhirnya kabar yang ditunggu datang juga, perwakilan WHO Indonesia menginformasikan bahwa PPKK resmi telah menjadi WHO-CC. Penetapan PPKK sebagai WHO CC dilatarbelakangi dengan peran dan pengalamannya dalam penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana dan dalam penerapan program pengurangan risiko bencana bidang kesehatan yang salah satunya adalah pembentukan 9 Regional dan 2 Sub Regional Penanggulangan Krisis Kesehatan untuk upaya mendekatkan fungsi pelayanan kesehatan bagi korban. WHO-CC merupakan suatu akreditasi terhadap unit/instansi/lembaga baik pemerintah maupun non pemerintah untuk dapat diakui di dunia internasional. Pembentukan WHO-CC bertujuan untuk mengupayakan pengurangan risiko bencana bidang kesehatan melalui penerapan rencana kerja, penguatan manajemen risiko di daerah rawan bencana, penguatan kesiapsiagaan fasilitas kesehatan untuk menghadapi bencana, penguatan koordinasi sektor/klaster kesehatan dan mobilisasi sumber daya dalam rangka pengurangan risiko bencana, penguatan sistem komunikasi dan informasi kedaruratan, dan penyusunan program pelatihan nasional dan internasional terkait pengurangan risiko

Gambaran Kejadian Umum Bencana Di IndonesiaPada Bulan Januari – Oktober 2012

Urgensi Akreditasi, Standarisasi dan RegistrasiTim Medis Internasional Dalam Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana

Stress Kerja di Daerah Bencana

Abu-Abu Pemulihan

PPKK, Citizen Journalism, Social Networking and How to Empower Our Community for Disaster Risk Reduction

bencana. PPKK-WHO-CC juga akan melakukan penelitian dalam penanggulangan krisis kesehatan berdasarkan pengalaman yang dimiliki Indonesia sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan untuk masyarakat luas.

Sejak penugasan terakhir rumah sakit lapangan pada bencana gempa bumi Pengalengan, Provinsi Jawa Barat Tahun 2009, kegiatan penyegaran rumah sakit lapangan belum pernah diselenggarakan lagi. Upaya penanggulangan penanggulangan krisis kesehatan pada masa tanggap darurat menuntut sumber daya yang siap dan mampu mengoperasionalisasikan berbagai fasilitas penunjang pelayanan kesehatan termasuk rumah sakit lapangan. Berdasarkan hal itu Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan berinisiatif untuk menyelenggarakan kegiatan gelar rumah sakit lapangan dalam Latihan Bersama, 5 s.d. 10 November 2012. Latihan yang diselenggarakan di Sentul, Bogor mengikutsertakan seluruh staf Pusat PKK dan lintas-program Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertahanan, dan RS PMI Bogor. Latihan tersebut mendapat kunjungan Ibu Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan dr. Ratna Rosita, MPH, yang sekaligus memberikan semangat kepada seluruh peserta untuk tetap meningkatkan keterampilan dan kemampuan melalui latihan operasionalisasi rumah sakit sehingga kecepatan tanggap darurat yang merupakan unsur penting pada kejadian bencana tetap terpelihara.

02

BuletinINfO KRISIS KESEhataN

Oleh : dr. Ina Agustina Isturini, M.K.M.

BERIta UtaMa

03

Saat ini, resmi sudah Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan (PPKK) menyandang predikat sebagai World Health Organization Collaborating Centre (WHO-CC) untuk Pelatihan dan Penelitian dalam Pengurangan Risiko Bencana dengan nomor referensi INO-22. Pada tanggal 28 November 2012, WHO Regional Director, Dr.Samlee Plianbangcang, mengirimkan surat pemberitahuan kepada Kepala PPKK, dr. Sri Henni Setiawati, M.H.A. Surat pemberitahuan tersebut menyatakan penunjukan PPKK sebagai WHO-CC hingga periode 4 tahun ke depan, yaitu 28 November 2016.

Penunjukan sebagai WHO-CC merupakan suatu kebanggaan tersendiri karena PPKK mendapatkan

kesempatan untuk memberikan kemampuan terbaiknya tidak hanya pada skala nasional, tetapi juga internasional. Selain itu, penunjukan tersebut merupakan suatu pengakuan terhadap kinerja PPKK selama ini, mengingat institusi yang terpilih sebagai WHO-CC harus memenuhi sejumlah kriteria kualitas yang telah ditetapkan dalam hal kepemimpinan, kualifikasi staf, jejaring, kemampuan ilmiah serta teknis, dan sebagainya.

Proses Penunjukan

Proses penunjukan PPKK sebagai WHO-CC melalui 15 tahapan dan membutuhkan waktu kurang lebih 4 tahun. Tahap inisiasi dimulai pada bulan Agustus 2008. Latar belakangnya karena Indonesia memiliki banyak pengalaman dalam mengatasi berbagai jenis bencana di tanah air serta memiliki program pengurangan risiko bencana bidang kesehatan yang telah dikenal dan diakui secara internasional. Kemudian pada bulan November 2009 WHO Director General WHO, Dr Margareth Chan, melakukan kunjungan ke kantor PPKK Kemenkes sebagai proses awal penunjukkan.

Pada Januari 2010, proses penyusunan proposal dimulai dan tanggal 19 April 2011, PPKK berhasil mengajukan proposal melalui sistem elektronik. Rencana kerja yang diajukan dalam proposal, yaitu memperkuat manajemen risiko di daerah

yang berkolaborasi, penunjukan sebagai WHO-CC membuat program kesehatan institusi tersebut semakin mendapatkan perhatian dari para pemegang kebijakan dan masyarakat, juga mendapatkan kesempatan untuk bertukar informasi serta mengembangkan kerjasama teknis dengan institusi lainnya di seluruh dunia. Keuntungan lainnya adalah institusi tersebut memiliki kesempatan untuk mendapatkan bantuan sumber daya yang dibutuhkan dari pihak donor. 1,2

Saat ini terdapat lebih dari 800 institusi di lebih dari 80 negara yang telah menjadi WHO-CC. Di Indonesia terdapat 4 WHO-CC yang masih aktif, yaitu, WHO-CC untuk Penelitian dan Pelatihan Reproduksi Manusia (Institusi : Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional/BKKBN), WHO-CC untuk Pencegahan Ketulian serta Gangguan Pendengaran (Institusi : Universitas Indonesia), WHO-CC untuk Manajemen Sistem Penelitian Kesehatan (Institusi : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes di Surabaya) serta WHO-CC untuk Pelatihan dan Penelitian dalam Pengurangan Risiko Bencana (Institusi : PPKK Kementerian Kesehatan) yang merupakan bagian dari subjek kedaruratan dan upaya kemanusiaan. 3

Tercatat sebanyak 27 WHO-CC dari 16 negara yang memiliki subjek kedaruratan dan upaya kemanusiaan. Hampir separuhnya berada di regional Eropa, sementara untuk regional Asia Tenggara, WHO-CC dapat ditemukan di Indonesia, India dan Thailand (lihat Grafik 1). Jenis kegiatan yang paling banyak dilakukan adalah pendidikan dan pelatihan, penelitian, serta pengembangan produk seperti pedoman dan manual. 3 Keberadaan WHO-CC lain dengan subjek yang sama dengan WHO-CC PPKK, dapat menjadi bahan referensi bagi PPKK mengembangkan pusat kolaborasi tersebut.

PPKK GO INTERNATIONALSeBAGAI WHO CC

rawan risiko krisis kesehatan akibat bencana; memperkuat kesiapsiagaan fasilitas kesehatan untuk menghadapi bencana; memperkuat koordinasi sektor/kluster kesehatan dan mobilisasi sumber daya dalam rangka pengurangan risiko krisis kesehatan akibat bencana; memperkuat sistem komunikasi dan informasi kedaruratan; menyusun program pelatihan nasional dan internasional terkait pengurangan risiko krisis kesehatan akibat bencana. Selanjutnya proposal melalui beberapa proses, antara lain tinjauan oleh GSC (Global Steering Commitee) dan WHO Director General serta konsultasi dengan pemerintah Indonesia. Pada tanggal 4 September 2012, WHO Director General menyetujui penunjukan PPKK sebagai WHO-CC. Tahap akhir adalah pemberitahuan resmi oleh WHO Regional Director pada tanggal 28 November 2012 mengenai penunjukan PPKK sebagai WHO-CC.

WHO CC

WHO-CC merupakan institusi yang ditunjuk oleh WHO Director General untuk bersama-sama membentuk jaringan kolaborasi internasional serta menjalankan aktivitas yang mendukung program-program WHO. Kerja sama awal berakhir setelah 4 tahun dan setelah itu dapat dilakukan proses penunjukan ulang atau re-designation. Dengan adanya kolaborasi tersebut, WHO mendapatkan manfaat karena telah dibantu oleh institusi terbaik di seluruh dunia untuk menjalankan program-program yang telah dimandatkan pada WHO. Begitu pula dengan institusi

BuletinINfO KRISIS KESEhataN

04

Persiapan dan Harapan

Sebelum ditetapkannya PPKK sebagai WHO-CC, sejumlah persiapan telah dilakukan. Pada tanggal 27 Agustus 2012, PPKK bekerja sama dengan WHO Indonesia melaksanakan kegiatan sosialisasi WHO-CC pada seluruh staf dan pejabat di PPKK. Selain itu, PPKK juga telah menyiapkan draf visi, misi, strategi, dan rencana kerja WHO-CC serta menetapkan SK kelompok kerja (Pokja) PPKK-WHO-CC yang terdiri dari unsur pengarah, penanggung jawab, sekretaris serta 2 Pokja yaitu Pokja Pelatihan dan Pokja Penelitian. 4 Sosialisasi WHO CC pada lintas program maupun lintas sektor juga tidak luput dilakukan, sebagaimana yang telah dilaksanakan dalam pertemuan Lintas Program dan Lintas Sektor dalam Penanggulangan Krisis Kesehatan di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta tanggal 12 - 14 November 2012.

Go international sebenarnya bukan hal baru bagi PPKK. Pada kurun waktu tahun 2007 – 2009, PPKK bekerja sama dengan WHO dan universitas telah melakukan seminar serta serangkaian pelatihan internasional di bawah ITC-DRR (International Training Consortium on Disaster Risk Reduction). 5-8. Kerja sama internasional juga beberapa kali telah dijalankan oleh PPKK baik itu pada saat tanggap darurat bencana-bencana besar (gempa dan tsunami di Aceh dan Sumut, gempa di DIY dan Jateng, gempa bumi di China, banjir di Pakistan, dsb) maupun pada kegiatan-kegiatan pra dan pasca bencana. Baru-baru ini, yaitu tanggal 19 November 2012, PPKK bersama WHO menyelenggarakan Health Cluster Meeting yang dihadiri oleh lintas program, lintas sektor, swasta serta UN dan NGO terkait baik nasional maupun internasional. Semua ini menunjukkan bahwa PPKK sudah memiliki modal yang cukup kuat untuk berkiprah lebih luas lagi di kancah internasional melalui WHO-CC.

Sesuai dengan bidangnya, yaitu pelatihan dan penelitian, penunjukan sebagai WHO-CC diharapkan dapat memperkuat kegiatan pelatihan PPKK sehingga sumber daya yang dihasilkan memiliki standar yang mendunia. Harapan

lainnya adalah kegiatan penelitian di Indonesia terkait krisis kesehatan yang selama ini masih sangat langka dapat jauh lebih bergairah. Kenyataannya bahwa pengalaman dan frekuensi kejadian yang cukup tinggi merupakan potensi luar biasa bagi PPKK semua untuk menghasilkan karya ilmiah yang dapat dimanfaatkan secara nasional maupun internasional.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa, penunjukan PPKK sebagai WHO-CC untuk Pelatihan dan Penelitian dalam Pengurangan Risiko Bencana merupakan amanah sekaligus tantangan bagi kita semua yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Potensi yang ada baik berupa pengalaman, pengetahuan maupun kekuatan sistem merupakan modal dasar yang kuat untuk mengeksekusi tugas ini dengan baik.

Daftar Pustaka :

1. Gillett H. WHO Collaborating Center. Global Nutrition and Health. 2011. http://www.phmetropol.dk/Uddannelser/Bachelors+Degree+in+Global+Nutrition+and+Health/WHO+Collaborating+Centre.

2. WHO. Guide for WHO Collaborating Centres In: WHO, ed. Geneva, Switzerland. : World Health Organization; 2010.

3. WHO Collaborating Centres Global Database. WHO; 2012. http://apps.who.int/whocc/Default.aspx. Accessed October 21, 2012.

4. Setiawati SH. Keputusan Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan RI tentang Penetapan Kelompok Kerja Penanggulangan Krisis Kesehatan pada Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan - World Health Organization Collaborating Center (PPKK - WHO CC). In: PPKK, ed.

HK.02.04/1/1137.1/2012. Jakarta: PPKK Kemenkes RI; 2012.

5. PPKK. Seminar Internasional Training Consortium on Disaster Risk Reduction (ITC DRR). 2007. http://penanggulangankrisis.depkes.go.id/article/view/6/1258/SEMINAR-INTERNATIONAL-TRAINING-CONSORTIUM-ON-DISASTER-RISK-REDUCTION-%28ITC-DRR%29.htm. Accessed October 21, 2012.

6. PPKK. Training of Trainer for ITC-DRR Jakarta. 2009. http://penanggulangankrisis.depkes.go.id/article/view/6/586/TRAINING-OF-TRAINER-FOR-ITC-DRR-JAKARTA.htm. Accessed October 21, 2012.

7. PPKK. ITC DRR 2008. 2008. http://penanggulangankrisis.depkes.go.id/article/view/6/1154/ITC-DRR-2008.htm. Accessed October 21, 2012.

8. PPKK. Pertemuan Pemantapan Koordinasi ITC DRR 2008. 2008. http://penanggulangankrisis.depkes.go.id/article/view/6/1264/PERTEMUAN-PEMANTAPAN-KOORDINASI-ITC-%E2%80%93-DRR.htm. Accessed October 21, 2012.

Grafik 1Proporsi WHO-CC terkait Kedaruratan dan Upaya Kemanusiaan

berdasarkan Regional3

Sumber : WHO CC Global Database

“Keberadaan PPKK-WHO CC diharapkan dapat lebih

menggairahkan kegiatan penelitian di Indonesia terkait krisis kesehatan

akibat bencana yang selama ini masih sangat langka. Padahal

pengalaman dan frekuensi kejadian krisis kesehatan yang cukup tinggi merupakan potensi luar biasa bagi

kita semua untuk menghasilkan karya-karya ilmiah yang dapat dimanfaatkan secara nasional

maupun internasional.”

BuletinINfO KRISIS KESEhataNKESIapSIagaaN

DuKunGAn PeLAyAnAn KeSeHAtAnPADA SAIL MOrOtAI 2012

Oleh: dr. Rakhmad Ramadhanjaya

• Rangkaian aktivitas dan peserta Kegiatan Sail Morotai 2012

05

Salah satu upaya pemerintah dalam mempromosikan kawasan budaya dan wisata bahari serta potensi laut di Indonesia adalah dengan menyelenggarakan kegiatan rutin tahunan Sail Indonesia, dimulai dari Sail Bunaken (2009), Sail Banda (2010), Sail Wakatobi-Belitong (2011), dan Sail Morotai yang baru saja selesai digelar tahun ini.

No Faktor Risiko

Upaya PengendalianSebelum Kegiatan Saat Kegiatan

1. Terkena penyakit infeksi

- melakukan surveilans- pengaktifan EWARS- pengendalian vektor - penyediaan air bersih dan MCK- pengelolaan sampah dan limbah- profilaksis seperti obat dan vaksin

- Pengendalian penyakit / pencegahan KLB - Penanganan kasus di Pos Kesehatan,

Puskesmas, Pustu setempat, atau fasilitas pelayanan kesehatan lain di sekitar lokasi acara

- Pelayanan kesehatan rujukan

2. Terkena penyakit non-infeksi

- seleksi panitia dan partisipan- periksa kesehatan sebelum pergi- menyiapkan obat-obatan

- Penanganan kasus di Pos Kesehatan, Puskesmas, Pustu setempat, atau fasilitas pelayanan kesehatan lain di sekitar lokasi acara

- Pelayanan kesehatan rujukan

3. Cedera - penyuluhan keselamatan kerja - Penggunaan alat protektif- Penanganan kasus di Pos Kesehatan,

Puskesmas, Pustu setempat, atau fasilitas pelayanan kesehatan lain di sekitar lokasi acara

- Pelayanan kesehatan rujukan

4. Keracunan makanan/minuman

- Pengamanan bahan makanan dan minuman

- Pengambilan dan pemeriksaan sampel makanan

- Penanganan kasus di Pos Kesehatan, Puskesmas, Pustu setempat, atau fasilitas pelayanan kesehatan lain di sekitar lokasi acara

- Pelayanan kesehatan rujukan

AAcara rutin tahunan tersebut diikuti oleh banyak partisipan baik nasional maupun internasional dan didukung

oleh banyak Kementerian dan Lembaga di Indonesia. Acara ini berlangsung sepanjang bulan Juni sampai dengan September 2012 dengan puncak acara pada tanggal 15 September 2012 dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta sejumlah pejabat negara dan perwakilan negara sahabat. Dengan begitu banyaknya aktivitas serta padatnya jadwal acara dalam kegiatan sail ini, keterlibatan personel panitia dalam jumlah yang tidak sedikit sangat diperlukan untuk mendukung kesuksesan acara. Beberapa kegiatan dalam sail ini juga menarik banyak peserta serta melibatkan masyarakat sekitar.

Seperti sudah diperkirakan sebelumnya, dalam penyelenggaraan kegiatan besar (major event) seperti sail ini, terjadi pengumpulan massa dalam jumlah besar, baik panitia, partisipan, undangan, maupun warga lokal. Selain itu, panitia dan partisipan yang berasal dari luar Pulau Morotai, dihadapkan pada kondisi lingkungan baru, yang berbeda dari lingkungan sehari-harinya. Akibatnya, terbentuk risiko seperti kejadian penyakit infeksi (malaria, demam berdarah, diare, dan lainnya) dan non-infeksi (serangan jantung, stroke, stres kejiwaan dan lainnya), kejadian cedera dan kejadian keracunan makanan.

Semua risiko tersebut, harus dikendalikan dengan berbagai upaya yang tepat. Secara garis besar, upaya pengendaliannya dapat terbagi menjadi dua kelompok yaitu pengendalian sebelum penyelenggaraan kegiatan sail dan pengendalian pada saat kegiatan sail. Lihat tabel 1.

Tabel 1. Upaya Pengendalian Sebelum dan saat Kegiatan Sail Morotai

BuletinINfO KRISIS KESEhataN

06

Upaya pengendalian faktor risiko dilakukan oleh jajaran kesehatan Kabupaten Pulau Morotai dan Provinsi Maluku Utara serta mendapat dukungan dari unit-unit utama di Kementerian Kesehatan. Direktorat Bina Upaya Kesehatan Rujukan melakukan assessment terhadap kondisi pelayanan kesehatan di Pulau Morotai yang dilakukan sebelum kegiatan sail dimulai. Hasil assessment memperlihatkan diperlukannya dukungan berupa sarana pelayanan kesehatan beserta alat kesehatan (alkes) dan tenaga medisnya guna memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan dalam rangka pengendalian risiko di atas.

Oleh sebab itu, dikerahkanlah 5 unit tenda pos pelayanan kesehatan dari PPKK Regional Sulawesi Utara dan KKP Kelas II Manado serta beberapa logistik dan alkes pendukung operasional pelayanan kesehatan di tenda tersebut. Sedangkan tenaga medis didatangkan dari RSUP Dr. Wahidin Makassar. Pada tanggal 11 September 2012, tenda pos kesehatan telah siap untuk digunakan.

Pada tanggal 13 September 2012, pos kesehatan ini sempat dikunjungi oleh Dr.Chairul Radjab Nasution, Sp.PD, KGEH, FINASIM, M.Kes, Direktur Bina Upaya Kesehatan Rujukan. Pada tanggal 14 September 2012, Ibu Menkokesra, Ibu Sylvia Amelia Wenas dan Deputi 6 Kemenkokesra, Dr. Ina Hernawati,M.P.H serta Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Rujukan, Dr.Chairul Radjab Nasution, Sp.PD, KGEH, FINASIM, M.Kes memeriksa kesiapan pelayanan kesehatan. Pada puncak acara yaitu 15 September 2012, Ibu Menteri Kesehatan, Dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MP mengunjungi pos kesehatan ini.

Dari pengalaman memobilisasi tenda rumah sakit lapangan pada kegiatan Sail Morotai, dapat diambil beberapa pelajaran, yaitu;

1. Perlunya survey awal oleh tim RS lapangan PPKK sebelum memberangkatkan RS lapangan, untuk menilai;a. Kondisi lokasi tempat mendirikan RS

Lapangan;b. Jalur transportasi ke dan dari lokasi

kegiatan;c. Mekanisme koordinasi dengan

pihak-pihak terkait;2. Setiap PPK Regional harus memiliki data

lengkap mengenai berat dan dimensi peralatan masing-masing Regional

3. Perlu dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh oleh tenaga yang

• Pemeriksaan Makanan Minuman • Pengendalian vektor

• Set up Tenda dan Tenda yang Selesai Didirikan

• Tenda Ruang Perawatan• Proses setting alat kesehatan

• Tenda Ruang ICU

• Tenda Instalasi Gawat Darurat • Kunjungan Menkes dan Dirjen BUK

• Tenda Ruang Operasi

berkompeten terhadap setiap peralatan yang akan digerakkan

4. Perlu penyesuaian jumlah petugas yang diberangkatkan dengan beban kerjanya

Semoga dukungan pelayanan kesehatan oleh Kementerian Kesehatan pada major event lainnya akan lebih meningkat kualitasnya, aamiin.

BuletinINfO KRISIS KESEhataN

LAtIHAn BerSAMA GeLAr ruMAH SAKIt LAPAnGAn DALAM rAnGKA HArI KeSeHAtAn nASIOnAL tAHun 2012Oleh: dr. Adi Sopiandi, M.Kes

KESIapSIagaaN

07• Gambar 1. Bagan struktur organisasi Rumah sakit lapangan

Kesiapsiagaan merupakan salah satu unsur penting dalam upaya penanggulangan bencana,

kesiapsiagaan sendiri merupakan langkah antisipasi yang dilakukan untuk mengurangi dampak kejadian bencana. Banyak hal dapat dilakukan dalam upaya kesiapsiagaan, salah satu dari upaya tersebut adalah dengan kegiatan penyegaran pengetahuan/keterampilan yang dimiliki oleh sumber daya manusia kesehatan dalam mengoperasionalisasikan sarana dan prasarana pendukung penanggulangan bencana yang dimiliki Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan, yaitu Rumah Sakit Lapangan.

Rumah sakit lapangan merupakan fasilitas pelayanan kesehatan yang disiapkan untuk mendekatkan pelayanan kesehatan pada korban bencana. Selain itu, pendirian rumah sakit lapangan merupakan salah satu bentuk upaya penguatan pelayanan rujukan dan diharapkan RS lapangan mampu mengembalikan fungsi rumah sakit sebagai pusat rujukan korban bencana.

Keberhasilan pelayanan kesehatan pada rumah sakit lapangan sangat bergantung pada bagaimana pengelolaan yang dilakukan baik pada tahap persiapan, pelaksanaan, maupun pasca-pemanfaatannya. Oleh sebab itu pendirian rumah sakit lapangan membutuhkan sumber daya manusia yang terampil, cekatan, cepat dan terlatih untuk dapat mengoperasionalisasikan seluruh peralatan yang bila dimobilisasi membutuhkan 15 truk trailer. Kondisi tersebut dapat terwujud melalui pengelolaan kemampuan sumber daya manusia dan peralatan pendukung rumah sakit lapangan secara baik dan tepat. Oleh karena itu, pada tanggal 5 s.d. 10 November 2012 dilaksanakan kegiatan Latihan Bersama Gelar Rumah Sakit Lapangan yang sekaligus memperingati Hari Kesehatan Nasional ke-48 Tahun 2012.

Latihan Bersama Gelar Rumah Sakit Lapangan diikuti oleh 110 orang petugas kesehatan dari lintas-program dan lintas-sektor, dari lingkungan kementerian kesehatan berjumlah 68 orang, RS PMI Bogor 5 orang dan Kementerian

Pertahanan 38 orang, yang dilaksanakan di Sentul, Bogor. Tujuan dari latihan bersama ini adalah untuk kemampuan dan keterampilan serta kerja sama dan koordinasi lintas-sektor dan lintas-program yang lebih baik, menjamin terpeliharanya seluruh peralatan, dan memperbaiki kecepatan dalam mobilisasi dan gelar rumah sakit lapangan bila sewaktu-waktu diperlukan.

Ada beberapa alasan RS lapangan perlu didirikan, antara lain; rumah sakit yang ada tidak dapat menampung semua korban; rumah sakit yang ada tidak berfungsi secara optimal; dan rumah sakit yang ada sulit dijangkau dari lokasi bencana.

Tahapan dalam pendirian RS lapangan, antara lain, menetapkan tataletak (site plan) RS lapangan berdasarkan prioritas; menyiapkan lokasi atau lahan untuk pendirian tenda serta sarana dan fasilitas pendukung yang akan digunakan; mempersiapkan sistem drainase untuk menghindari genangan air; membersihkan

permukaan lokasi pendirian tenda dari benda tajam yang dapat merusak tenda dan apabila permukaan tanah tidak datar harus diratakan dahulu; menyiapkan pembatas (pagar) sebagai pengaman dan menetapkan satu pintu masuk dan satu pintu keluar untuk membatasi keluar masuk orang yang tidak berkepentingan; dan mendirikan tenda berikut secara berurutan sesuai prioritas.

Untuk dapat menjalankan fungsi secara baik tentunya diperlukan pengorganisasian yang dijabarkan ke dalam bentuk organisasi dengan tugas dan fungsi masing-masing bagian yang jelas. Demikian pula, mekanisme koordinasi antar-bagian juga tergambar dengan jelas sehingga tidak menimbulkan kesan yang tumpang tindih di dalam operasionalisasinya. Selain itu, mobilisasi tenaga yang bekerja pada setiap bagian juga diatur sedemikian rupa agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Struktur organisasi RS lapangan dapat dilihat pada Gambar 1.

12

pendukung yang akan digunakan; mempersiapkan sistem drainase untuk menghindari genangan air; membersihkan permukaan lokasi pendirian tenda dari benda tajam yang dapat merusak tenda dan apabila permukaan tanah tidak datar harus diratakan dahulu; menyiapkan pembatas (pagar) sebagai pengaman dan menetapkan satu pintu masuk dan satu pintu keluar untuk membatasi keluar masuk orang yang tidak berkepentingan; dan mendirikan tenda berikut secara berurutan sesuai prioritas.

Untuk dapat menjalankan fungsi secara baik tentunya diperlukan pengorganisasian yang dijabarkan ke dalam bentuk organisasi dengan tugas dan fungsi masing-masing bagian yang jelas. Demikian pula, mekanisme koordinasi antar-bagian juga tergambar dengan jelas sehingga tidak menimbulkan kesan yang tumpang tindih di dalam operasionalisasinya. Selain itu, mobilisasi tenaga yang bekerja pada setiap bagian juga diatur sedemikian rupa agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Struktur organisasi RS lapangan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Bagan struktur organisasi rumah sakit lapangan

PJ UNIT REKAM MEDIK

KEPALA RS LAPANGAN

KOORD. PELAYANAN MEDIK &

KEPERAWATAN

KOORD. PENUNJANG

MEDIK

KOORD. PELAYANAN

UMUM

PJ UNIT GAWAT DARURAT

PJ UNIT BEDAH & ANESTESI

PJ UNIT RAWAT INTENSIF

PJ UNIT RAWAT INAP

PJ UNIT RAWAT JALAN

PJ UNIT LABORATORIUM

PJ UNIT RADIOLOGI

PJ UNIT FARMASI

PJ UNIT STERILISASI

PJ UNIT GIZI

PJ UNIT ADMINISTRASI, KEHUMASAN, & KOMUNIKASI

PJ UNIT PENGELOLAAN AIR BERSIH DAN LIMBAH

PJ UNIT LAUNDRY & CLEANING

PJ UNIT TRANSPORTASI

PJ UNIT GUDANG

PJ UNIT KEAMANAN

PJ UNIT PENCAHAYAAN & INSTALASI LISTRIK

BuletinINfO KRISIS KESEhataN

08

• Proses Loading Barang ke dalam Truk

• Proses Pendirian Tenda

• Tenda yang Telah Didirikan • Ruang Operasi RS. Lapangan

• Kunjungan Sekretaris Jendral Kementerian Kesehatan, Ibu dr. Ratna Rosita, MPHM

Kegiatan ini didahului dengan Table Top Exercise (TTX) yang dilaksanakan di Ruang Swabesi Gedung Sujudi Kementerian Kesehatan. Pada hari ke-2, kegiatan didilanjutkan dengan loading unit-unit atau kit prasarana (mis., tenda, alat-alat kesehatan, genset, water purifier, dll) RS lapangan yang akan di mobilisasi ke lokasi latihan dari gudang penyimpanan PPK Regional Jakarta.

Setelah unit-unit atau kit prasarana dimuat ke sarana pengangkut, pada hari ke-3 kegiatan dilanjutkan dengan mobilisasi ke lokasi latihan dengan menggunakan 10 unit truk. Tiba di lokasi latihan dilanjutkan dengan unloading unit-unit atau kit prasarana dan pendirian tenda. Pendirian tenda mengalami kendala karena hujan sehingga tidak semua tenda dapat didirikan. Pendirian tenda dan pemasangan unit-unit atau kit prasarana dilanjutkan pada hari ke-4.

Latihan bersama Gelar RS lapangan ini menerima kunjungan Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan, Ibu dr. Ratna Rosita, MPHM. Pada kesempatan ini Sesjen mengunjungi fasilitas Rumah Sakit Lapangan yang dimiliki Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan. Beliau berpesan agar latihan dapat dilakukan secara rutin sehingga mutu pelayanan kesehatan terjaga melalui pengelolaan fasilitas kesehatan lapangan yang efektif dan efisien.

BuletinINfO KRISIS KESEhataN

tOKOh

09

“Disebut panggilan jiwa sebenarnya bukan. Siapa yang mau hidup dengan bencana. Tetapi karena melihat situasi dimana di Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan perlu integritas serta kesiapsiagaan yang tinggi dan orang melihat saya bekerja demikian, mungkin dari situlah saya bisa berada di sini”

Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan memiliki Kepala Pusat yang baru dilantik pada bulan Februari 2012, yaitu dr. Sri Henni Setiawati, MHA. Perempuan kelahiran Jakarta tanggal 16 Mei tahun 1956 ini sebelumnya menjabat sebagai Asisten Deputi III Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenkokesra).

Pengalamannya dalam hal gawat darurat dan bencana sudah sangat banyak, mulai dari pembentukan PUSDALDUKKES hingga perencanaan HEIOU untuk membantu Pusat Penanggulangan Krisis menghadapi masalah gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara. Untuk mengetahui lebih dekat dengan beliau, staf Buletin Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan menuliskan kisahnya secara singkat. Berikut petikannya:

Kami mengenal Ibu secara sekilas ketika bencana banjir besar melanda Jakarta tahun 2002, ketika ibu menjadi salah satu tokoh di Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta yang ikut kerepotan menangani permasalahan krisis kesehatan. Apa kesan ibu dari pengalaman tersebut?

Sebelumnya saya ingin mengklarifikasikan bahwa saya bukan tokoh (sambil tersenyum). Saat itu saya menjabat sebagai Kepala Sub-Dinas Kesehatan Gawat Darurat dan Bencana, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta mulai tahun 2001. Jabatan tersebut merupakan jabatan satu-satunya se-Indonesia dan hanya ada di Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta waktu

Oleh: Antonius S.W

“Di Bawah PimpinanDr. Sri Henni Setiawati, MHA. PPKK :tidak Ada Kelebihan, tidak Ada Kekurangan, yang Ada Hanya Kelainan”

Wawancara khusus dengan dr. Sri Henni Setiawati, MHAKepala Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan (Februari 2012 – sekarang)

itu. Dari situ awal mula pembuatan konsep tugas pokok dan fungsi (tupoksi) kegawat daruratan dan bencana 5 tahun.

Tetapi sebelum itu saya sudah mengalami kejadian-kejadian mulai dari saya bekerja di Puskesmas Kecamatan Mampang Prapatan sampai dengan Kantor Departemen (Kandep) Kesehatan Kodya Jakarta Selatan saat peristiwa kerusuhan Trisakti dan pendudukan gedung MPR tahun 1998. Kemudian di Kantor Wilayah (Kanwil) Kesehatan juga menangani hal-hal yang sifatnya kegawat-daruratan. Jadi sebenarnya saya sudah mengalami hal-hal yang demikian banyak.

Ketika banjir tahun 2002, pengalaman saya yang paling berpengaruh untuk kehidupan ke depan adalah kerja sama di bawah 1 (satu) komando, dimana Gubernur langsung bertindak sebagai Komandan yang memimpin jajaran departemen di wilayah Provinsi DKI Jakarta dalam penanganan banjir saat itu. Kita ditempatkan di 1 (satu) ruangan besar yang merupakan ruangan rapat di Kantor Gubernur dengan semua perangkat yang kita miliki. Selama 3 hari 3 malam, Gubernur selaku Komandan berada di ruangan tersebut dan tidak pulang.

Banjir ternyata berlangsung selama 2 bulan, mulailah kita melakukan jejaring (networking) dengan orang-orang yang bekerja di bidang kebencanaan, dari masyarakat, puskesmas, rumah sakit serta dengan radio swasta dan mulai membagi shift bergantian bersama dengan orang antar dinas. Melalui radio swasta kita bisa mendapatkan informasi wilayah-wilayah yang masih belum mendapatkan bantuan baik berupa makanan maupun obat-obatan, sedangkan untuk distribusi bantuan tersebut ke wilayah yang tidak bisa dicapai kita menggunakan truk tentara dan polisi.

Jadi itu merupakan pengalaman yang paling berharga dan bisa menjadikan kita semua bekerja bersama-sama sebagai sebuah tim dimana saya merupakan bagian dari tim kesehatan. Kita orang kesehatan tidak bisa bekerja sendiri. Seandainya ada bencana besar terjadi dan BNPB melakukan koordinasi, kita telah siap dengan membawa perangkat sistem sendiri dan bekerjasama dengan lintas sektor dan lintas program lainnya.

Bagi kami, dunia ini tidak selebar daun kelor. Terbukti bahwa ketika pasca bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara, ibu membantu Pusat Penanggulangan Krisis menyiapkan HEIOU, kemudian dimutasi ke Kantor Menko Kesra dan akhirnya kembali ke Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan. Menurut kami Ibu ini tidak boleh jauh dari bencana. Bagaimana menurut ibu dengan hal itu, apakah ada panggilan jiwa?

Disebut panggilan jiwa sebenarnya bukan. Siapa yang mau hidup dengan bencana. Tetapi karena melihat situasi dimana di Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan perlu integritas tinggi serta kesiapsiagaan yang tinggi dan orang, “mungkin para atasan”, melihat saya bekerja demikian, dari situlah kemungkinan saya bisa berada di sini sebagai Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan. Sebenarnya saya ingin berkecimpung di pelayanan kesehatan sesuai dengan gelar yang saya miliki.

Konsep HEIOU itu sendiri sudah melekat di benak ibu cukup lama?

Konsep HEIOU sendiri terbentuk awalnya ketika saya di puskesmas kelurahan pada tahun 1990 saya belajar bahasa jepang, kemudian saya minta program yang bisa mengimplementasikan bahasa saya mengenai kegawat daruratan (emergency). Kemudian bertemu dengan orang Depkes

BuletinINfO KRISIS KESEhataN

10

waktu itu dan saya diberi kesempatan untuk mengikuti program kegawat-daruratan di Jepang. Saya membuat slide paparan dan segala macamnya mengenai kegawat-daruratan dan yang menjadi topik utama yang saya ambil waktu itu adalah mengenai kendaraan kegawat-daruratan di Indonesia, kendaraan tersebut adalah becak. Jadi saya foto becak dan dimasukkan ke dalam paparan kemudian saya ceritakan bagaimana di daerah pelosok-pelosok di Indonesia, kendaraan becak itu membawa ibu melahirkan ke rumah sakit yang terdekat.

Saya senang bisa belajar di Jepang karena di sana sistem pembelajarannya komprehensif, wawasannya sangat luas sehingga kita mampu menerima dengan baik. Bahkan kita lihat ada ruang-ruang operasional atau bagian-bagian tersendiri yang membuat kita untuk terbiasa, baik dengan polisi, tentara dan terakhir dengan Gubernur sehingga kita mampu memahami mengenai kegawat-daruratan. Semuanya itu sudah tertanam ke dalam benak pikiran saya, dan saat kembali, saya membuat Pusat Pengendali Operasional Dukungan Kesehatan (Pusdaldukes) di Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta dan di dukung Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta yang waktu itu dijabat oleh Bapak Chalik (Alm.). Saya dengan Kepala Dinas Kesehatan ternyata sudah memiliki pemikiran yang sama sehingga Pusdaldukes bisa terbentuk. Dari situ mulai ada piket 24 jam, membangun jejaring (networking) dengan jajaran pemerintah daerah di Provinsi DKI Jakarta, membuat forum komunikasi antara rumah sakit, puskesmas dan pelayanan kesehatan lainnya, serta membentuk ambulan gawat darurat (AGD) 118.

Setelah Pusdaldukes, barulah konsep HEIOU mulai dibangun untuk membantu Pusat Penanggulangan Krisis yang pada waktu itu sedang menangani pasca bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara. Jadi pembelajaran yang didapat selama di Jepang bisa diimplementasikan di Indonesia.

Setelah menjadi Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan, apakah ada perbedaan mendasar dengan jabatan yang sebelumnya ?

Perbedaan mendasar ada. Di Kemenkokesra kita tidak melakukan pekerjaan teknis, dalam artian tidak langsung terjun ke lapangan atau ke wilayah bencana, tetapi hanya sebatas mengoordinasikan kebijakan yang akan disusun secara lintas-sektor di bawah Menko kesra. Untuk jabatan yang sekarang walaupun tugas utama juga koordinasi, tetapi lebih spesifik ke

manajemen bencana. Bagaimana kita mempersiapkan diri menghadapi bencana, misalnya dengan peningkatan SDM kesehatan, peningkatan fasilitas pelayanan kesehatan, dan lain-lain. Jadi walaupun ada kesamaan, yaitu dalam hal koordinasi, tetapi juga terdapat perbedaan serta tanggung jawab.

Bagaimana pendapat ibu mengenai Unit Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan yang sering dinilai orang sebagai unit kerja yang agak ” berbeda “ ?

Yang membuat “berbeda” karena Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan merupakan unit kerja di Kementerian Kesehatan yang menangani masalah bencana yang kadang tidak terduga kapan terjadinya. Walaupun memiliki program reguler tetapi pada saat terjadi bencana kita dituntut untuk lebih cepat, tepat dan akurat dalam penanganan bencana. Kita harus siap dan lebih dulu daripada yang lain. Kedisplinan juga sangat diperlukan. Jadi dalam individu dan dalam keluarga semuanya dituntut seperti itu.

Dengan perubahan paradigma dalam penanggulangan krisis kesehatan yang berwawasan kesiapsiagaan, apa yang perlu disiapkan oleh Kemenkes dan Regional menghadapi ancaman bencana?

1. Disiplin mulai dari individu, keluarga di lingkungan rumah dan kerja.

2. Kita harus bekerja secara tim, tidak bisa sendiri. Satu bidang bergantung pada bidang yang lain.

Jadi bila secara individu telah siap, baru kerja sama secara tim harus disiapkan. Berpikiran secara komprehensif dan tahu memposisikan kita ada dimana. Itu semua juga bergantung dari jenis bencana yang dihadapi. Untuk Regional diharapkan juga mengetahui daerah yang menjadi ancaman bencana di wilayah kerjanya sehingga bisa ditentukan kesiapsiagaan yang bagaimana yang bisa di implementasikan di wilayah tersebut.

Ke depan tantangan apa yang dihadapi dalam upaya penanggulangan krisis kesehatan secara nasional maupun internasional dengan peran yang sudah dilakukan Indonesia membantu mengatasi bencana di negara sahabat?

Ke depan secara nasional tentu

kita harus mengoptimalisasi dan memberdayakan regional-regional, dinas kesehatan provinsi, kabupaten/kota dan masyarakat secara berkesinambungan sehingga bisa dimasukkan ke dalam rencana kegiatan program reguler. Dan dengan akan di launchingnya WHO-CC berarti wawasan kita mengenai kebencanaan harus internasional. Kita harus menyiapkan sumber daya manusia baik di pusat maupun di daerah, menyiapkan informasi yang diperlukan, menyelenggarakan pelatihan dan membangun kerja sama dengan lintas-sektor dan lintas-program yang lebih baik lagi agar bisa ikut membantu dalam mengatasi bencana di negara sahabat.

Apakah harapan ibu, selaku Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan, untuk unit yang ibu pimpin sekarang ?

Yang saya harapkan yaitu sistem yang ada langsung berjalan (ON) ketika terjadi bencana. Contoh jika terjadi bencana besar, misalnya gempa bumi dengan skala 6 SR pada kedalaman 10 km dan berpusat di darat maka dinas kesehatan di daerah wilayah gempa bumi harus segera bergerak untuk melakukan evakuasi dan untuk memberi pelayanan kesehatan. Dinas kesehatan lain di sekitar wilayah gempa bumi bersiap membantu atau pun ikut melakukan evakuasi di wilayahnya jika terkena dampak dari gempa bumi tersebut. Dinas kesehatan diharapkan juga memiliki pusat informasi yang bisa diaktifkan saat terjadi bencana sehingga dari pusat bisa mendapat informasi yang terjadi di daerah.

Selain itu, standard operating prosedur (SOP) harus dijalankan sesuai dengan tugas pokok unit. Minimal individu juga bertanggung jawab terhadap tugas pokoknya masing-masing. Optimalnya kita semua selalu siaga dalam situasi apapun. Jangan bekerja sendiri tetapi dalam tim dan selalu berpikiran positif (EPOS).

BuletinINfO KRISIS KESEhataN

GAMBArAn KeJADIAn uMuMBenCAnA DI InDOneSIAJAnuArI – OKtOBer 2012

11

1. Fekuensi Kejadian Bencana

Negara Indonesia secara geografis maupun demografis sangat rawan terhadap bencana, baik bencana alam, bencana non alam, maupun bencana sosial. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, frekuensi kejadian bencana di Indonesia mengalami kenaikan setiap tahunnya.

Berdasarkan hasil pemantauan Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan, pada kurun waktu kejadian di bulan Januari sampai dengan Oktober 2012 ada beberapa provinsi yang terkena bencana dan berdampak terhadap masalah kesehatan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Grafik 1 berikut ini.

Frekuensi kejadian pada bulan Januari – Oktober 2012 sebanyak 407 kali kejadian. Frekuensi tertinggi adalah Kebakaran sebanyak 74 kali (18,3%), sedangkan yang terendah adalah Longsor.

Oleh: Vanda Roza, S.Kom., MKM

Salah satu dampak akibat terjadinya bencana adalah jatuhnya korban manusia baik meninggal, hilang dan luka-luka serta mengakibatkan pula adanya sejumlah penduduk yang mengungsi ke daerah yang relatif lebih aman. Jumlah korban keseluruhan akibat bencana pada bulan Januari – Oktober 2012 sebesar 30.589 orang dengan jumlah pengungsi sebanyak 37.511 orang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik 1 berikut :

Tabel 2Jumlah Korban dan Pengungsi Akibat Bencana di Indonesia

No Korban dan Pengungsi Januari – Oktober 20121 Korban 30.589

Meninggal 558Luka berat/ Rawat inapLuka Ringan / Rawat JalanHilang

1.92827.511

5922 Pengungsi 37.511

2. Korban Meninggal dan Hilang

Dari Tabel 1 tampak bahwa angka korban meninggal pada Januari – Oktober 2012 sebanyak 558 orang. Jumlah Korban meninggal tertinggi diakibatkan oleh Kebakaran sebanyak 88 0rang (15,77%) dan yang terendah adalah korban meninggal akibat Longsor TPA Sampah sebanyak 1 orang (0,18%)

Untuk lebih jelasnya, proporsi korban meninggal berdasarkan jenis bencana dapat dilihat pada Grafik 2 berikut.

Grafik 2Jumlah dan Proporsi Korban Meninggal Berdasarkan Jenis Bencana

di Indonesia Bulan Januari – Oktober 2012

Korban Hilang pada bulan Januari – Oktober 2012 sebanyak 592 orang. Korban hilang tertinggi diakibatkan oleh Kebakaran sebanyak

Grafik 1Frekuensi Kejadian Bencana Berdasarkan Jenis Bencana di Indonesia

Bulan Januari – Oktober 2012

INfORMaSI BENCaNa

BuletinINfO KRISIS KESEhataN

12

2 orang (0,34 %) dan yang terendah adalah kegagalan Teknologi sebanyak 4 orang (0,68%).

Untuk lebih jelasnya, proporsi korban hilang berdasarkan jenis bencana dapat dilihat pada Grafik 3 berikut ini

Grafik 3Jumlah dan Proporsi Korban Hilang Berdasarkan Jenis Bencana

di Indonesia Bulan Januari – Oktober 2012

3. Korban Luka

Dari Tabel 1 tampak bahwa angka korban luka berat/rawat inap pada bulan Januari – Oktober 2012 sebanyak 1928 orang. Penyebab korban luka berat/rawat inap yang paling banyak diakibatkan oleh Kebakaran sebanyak 175 orang (9,08 %) dan yang terendah adalah Kegagalan Teknologi sebanyak 15 orang (0,78%)

Untuk lebih jelasnya, gambaran korban luka berat/rawat inap berdasarkan jenis bencana dapat dilihat pada Grafik 4 berikut ini.

Grafik 4Jumlah dan Proporsi Korban Luka Berat/Rawat Inap

Berdasarkan Jenis Bencana di Indonesia Bulan Januari – Oktober 2012

Untuk lebih jelasnya, gambaran korban luka ringan/rawat jalan berdasarkan jenis bencana dapat dilihat pada Grafik 5 berikut ini.

Grafik 5Jumlah dan Proporsi Korban Luka Ringan/ Rawat Jalan

Berdasarkan Jenis Bencana di Indonesia Bulan Januari – Oktober 2012

4. Pengungsi

Jumlah penduduk pengungsi pada bulan Januari - Oktober 2012 berjumlah 37.511 orang. Jumlah Pengungsi paling banyak diakibatkan oleh bencana adalah Kebakaran sebanyak 5.930 Orang (15,81%), sedangkan yang terendah adalah Letusan sebanyak 1 (0,2%).

Untuk lebih jelasnya, gambaran pengungsi berdasarkan jenis bencana dapat dilihat pada Grafik 6 berikut

Grafik 6Jumlah dan Proporsi Pengungsi Berdasarkan Jenis Bencana

di Indonesia Bulan Januari – Oktober 2012

Untuk angka korban rawat Jalan pada bulan Januari - Oktober 2012 sebanyak 27.511 orang dengan korban terbanyak akibat Kebakaran sebanyak 74 orang (18,3%) dan yang terendah adalah Longsor TPA Sampah sebanyak 1 orang (0,2%)

BuletinINfO KRISIS KESEhataN

13

Berdasarkan data Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan pada tahun 2011 telah terjadi krisis kesehatan sebanyak 211. Bila dilihat dari jumlah tersebut, Indonesia sangatlah akrab dengan bencana. Sementara itu, jumlah perbandingan tenaga kesehatan dengan jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2011 yaitu 1:700, dengan konsentrasi tenaga kesehatan hanya di kota-kota besar saja.

URGENSI AKREDITASI, STANDARISASI DAN REGISTRASI TIM MEDIS INTERNASIONAL DALAM PENANGGULANGAN KRISIS KESEHATAN AKIBAT BENCANA Oleh: dr. Jaya Supriyanto

• RS Lapangan Yang Didirikan Oleh Tenaga Medis Asing Pada

Bencana Gempa Bumi Dan Tsunami Aceh

• Robohnya Bangunan Pada Saat Bencana Gempa Bumi dan Tsunami Aceh

Ketika terjadi bencana yang menyebabkan korban massal, diperlukan mobilisasi tenaga kesehatan untuk melakukan upaya tanggap darurat. Dengan jumlah tenaga kesehatan dan kemampuan tanggap darurat bencana yang ada serta kemampuan aksesibilitas tenaga medis ke lokasi bencana maka sangatlah penting bantuan internasional dalam hal ini. Pengalaman Indonesia dalam penanggulangan bencana yang melibatkan tenaga medis asing, yaitu pada bencana gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006. Saat itu, terdapat 820 tenaga asing yang bergerak dalam bidang kesehatan, sebanyak 308 orang diantaranya adalah tenaga medis dan 512 orang merupakan tenaga paramedis dan tenaga lainnya. Pada gemba bumi dan tsunami Aceh dan Nias tahun 2004, terdapat sekitar 16.000 tenaga asing, termasuk diantaranta 117 tim medis.

Begitu juga ketika negara tetangga maupun sahabat mengalami bencana besar yang membutuhkan tenaga medis Indonesia untuk membantu dalam hal pelayanan kesehatan maupun dalam hal memberikan pelatihan bagi tenaga medis mereka, Indonesia pun harus siap mengirimkan tenaga medis. Indonesia telah mengirimkan tenaga medis ke negara tetangga atau sahabat seperti pada bencana gempa bumi di Iran pada tahun 2004, gempa bumi di China tahun 2008, topan nargis di Myanmar tahun 2008, serta banjir besar di Pakistan tahun 2009 dan 2010.

RagaM INfO

BuletinINfO KRISIS KESEhataN

14

Akan tetapi, selama ini tidak ada regulasi yang jelas mengenai tim medis asing atau Internasional. Tidak ada akreditasi dan standarisasi mengenai tenaga medis asing yang akan melakukan pelayanan pada saat tanggap darurat. Permasalahan yang sering timbul pada saat tim medis internasional/asing memberikan bantuan, antara lain rekam medis pasien yang tidak berlanjut, kemampuan atau kompetensi yang dimiliki oleh tenaga medis asing, dan banyak tenaga kesehatan yang memberikan bantuan tanpa melakukan registrasi terlebih dahulu.

Secara umum yang perlu diperhatikan pada saat tenaga medis asing memberikan bantuan antara lain, akuntabilitas terhadap bantuan yang diberikan; pengawasan akan kualitas pelayanan atau bantuan yang diberikan; koordinasi dengan otoritas yang ada; dan pelaporan

Sementara itu perhatian khusus perlu diberikan terhadap kompetensi klinis, rekam medis, dan tindak lanjut pasien

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran bahwa setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik, dengan demikian untuk mendapatkan surat izin praktik seorang dokter atau dokter gigi harus; memiliki

surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi yang masih berlaku; mempunyai tempat praktik; dan memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.

Sementara itu, bagi tenaga medis asing, harus dilakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap; keabsahan ijazah; kemampuan untuk melakukan praktik kedokteran yang dinyatakan dengan surat keterangan telah mengikuti program adaptasi dan sertifikat kompetensi; mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji dokter atau dokter gigi; memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental; membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi; melengkapi surat izin kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan kemampuan berbahasa indonesia.

Pengurusan tenaga medis asing yang akan memberikan bantuan pelayanan medis pada saat bencana besar di Indonesia membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Sehingga terkadang menyebabkan terlewatnya fase tanggap darurat yang dapat meminimalisasi jatuhnya korban.

Untuk itu diperlukan akreditasi dan standardisasi yang berlaku secara nasional maupun internasional, sehingga tenaga medis asing maupun Indonesia dapat langsung memberikan

bantuan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki dan dibutuhkan pada saat terjadinya bencana internasional.

Pada tahun 2010, para pakar dari komunitas kemanusian internasional menyelenggarakan pertemuan di Kuba untuk membahas tentang rumah sakit lapangan dan tim medis asing pada penanggulangan bencana. Pertemuan ini digagas oleh PAHO/WHO. Rekomendasi yang dihasilkan adalah untuk tetap menggunakan Pedoman RS Lapangan PAHO/WHO sebagai referensi serta membuat standar minimun tenaga medis asing pada kejadian bencana. Hingga saat ini, tim ad hoc yang telah dibentuk masih menyusun dan mengembangkan pedoman untuk tenaga medis asing dalam penanggulangan bencana internasional.

Semoga pedoman dalam akreditasi, standardisasi dan registrasi tim medis internasional dalam penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana dapat segera tersusun. Aamiin.

Foto : Tenaga Medis Indonesia Pada Bencana Banjir Pakistan Tahun 2010

BuletinINfO KRISIS KESEhataN

15

Bencana bila boleh diibaratkan seperti “tamu tak diundang”, tidak diharapkan kehadirannya tapi bisa datang kapan saja tanpa diketahui waktu dan tempatnya. Untuk negara Indonesia, bencana sudah menjadi hal yang biasa dalam kehidupan masyarakatnya. Bila kita melihat ke belakang peristiwa bencana yang terjadi kurun waktu 10 tahun terakhir, semakin menegaskan kembali bahwa Indonesia masih menjadi negara yang menghadapi ancaman bencana karena berada di kawasan cincin api pasifik (ring of fire). Kejadian bencana tersebut telah mengakibatkan kerusakan berbagai masyarakatnya dengan nilai kerugian mencapai milyaran rupiah. Belum lagi adanya korban luka-luka, hilang dan bahkan sampai meninggal dunia. Dampak dari setiap kejadian bencana berbeda antara satu dan yang lainnya bergantung pada jenis dan karakteristik bencana.

StreSSKerJA DI DAerAH BenCAnA

Setiap kejadian bencana berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Rasa sedih, panik karena ketidakmampuan

untuk berbuat sesuatu, kehilangan harta benda dan keluarga, stres, semua ada. Kondisi ini sudah pasti menjadi perhatian Kementerian Kesehatan untuk melakukan upaya pemulihan terhadap korban pasca tanggap darurat dengan memberikan pelayanan kesehatan.

Kita tentu masih ingat ketika bencana gempa Yogyakarta terjadi pada tahun 2006. Bedasarkan data yang dihimpun oleh Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan tercatat jumlah korban meninggal sebanyak 5.774 jiwa, sakit dan luka-luka 192.534 jiwa, dan penduduk mengungsi mencapai 2.020.788 jiwa.

Penanganan korban massal akibat gempa tersebut sudah dilakukan secara cepat dan tepat oleh jajaran kesehatan baik tingkat daerah, pusat dan bahkan dengan bantuan dari luar negeri. Tercatat 3.429 tenaga dengan rincian 2.609 orang dari dalam negeri (472 tenaga medis, 1999 paramedis, dan 138 tenaga lainnya) dan 820 orang dari luar negeri (308 tenaga medis, 512 para medis, dan tenaga lainnya. Mobilisasi sumber daya manusia kesehatan dalam jumlah besar tidak hanya mensyaratkan kemampuan semata akan tetapi juga perlu didukung dengan mental dan fisik yang benar-benar siap “tempur”. Hal ini diperlukan karena beban tugas dan tantangan selama masa penugasan yang dihadapi tidak pada tugas pertolongan semata tetapi juga dengan berbagai keterbatasan dan minimnya fasilitas pendukung, seperti, tempat bermalam yang tidak nyaman, lingkungan yang tidak sehat, terbatasnya air, dan listrik, dan sebagainya.

Pada masa tanggap darurat gempa Yogyakarta, tercatat secara resmi 1 orang tenaga medis yang merupakan relawan dari Negara Philipina harus dipulangkan karena mengalami stres. Kejadian lain semacam itu yang tidak tercatat tentu ada dan bisa jadi

berlangsung secara harmonis dan dinamis. Kondisi ini menurut Sondang Siagian (2008) disebabkan oleh adanya ketegangan yang berpengaruh terhadap emosi, jalan pikiran, dan kondisi fisik seseorang. Stres yang tidak bisa diatasi dengan baik biasanya berakibat pada ketikmampuan orang berinteraksi secara positif dengan lingkungannya, baik dalam lingkungan pekerjaan maupun lingkungan luarnya. Artinya, karyawan yang bersangkutan akan menghadapi berbagai gejala negatif yang pada gilirannya berpengaruh pada prestasi kerja.

Kita tahu bahwa pada kondisi bencana, setiap tenaga kesehatan bekerja dengan segala keterbatasan sarana dan prasarana pendukung. Disisi lain upaya pelayanan kesehatan terhadap korban secara cepat dan tepat untuk meminimalkan angka kesakitan dan kematian menjadi suatu tuntutan yang harus diwujudkan. Pada situasi ini setiap tenaga kesehatan dapat terkena stres kerja yang gejalanya ditandai dengan meningkatnya perasaan gelisah dan/atau memuncaknya ketegangan tubuh yang terjadi ketika tuntutan yang dibebankan kepada seseorang melebihi kapasitasnya.

Oleh: Drs. Dodi Iriyanto

• Kemampuan fisik yang prima sangat diperlukan untuk mendukung upaya pelayanan kesehatan di daerah bencana.

jumlahnya banyak. Kondisi yang sama bisa terjadi terhadap siapa saja yang bertugas di daerah bencana.

Kita patut bangga dengan rasa kemanusiaan yang dimiliki para petugas kesehatan dalam merespons kejadian bencana yang tanpa pamrih menolong korban bencana. Namun, di sisi lain yang tidak kalah pentingnya adalah upaya pertolongan yang disiapkan tidak saja bagi korban, tetapi juga bagi para petugas kesehatan itu sendiri.

Perhatian yang demikian besar untuk membantu korban seringkali membuat para petugas kesehatan lupa pada diri mereka sendiri. Akibatnya, mereka menjadi lebih rentan sakit dan dihinggapi stres yang kemudian diikuti dengan munculnya masalah yakni mudah terkena sakit, lebih cepat merasa lelah, kehilangan semangat kerja, dan putus asa. Pada akhirnya, keadaan ini justru menjadi masalah bagi korban bencana, rekan sekerja, organisasi yang menugaskan, dan bahkan bagi diri mereka sendiri.

Stres Kerja dan Dampaknya

Stres di tempat kerja bukanlah fenomena baru. Dewasa ini, stres telah menjadi masalah dalam kehidupan modern. Orang menjadi stres karena terlalu banyak bekerja atau bekerja melampaui batas waktu dan kemampuan dan pekerjaan yang dilakukan dalam kondisi tidak nyaman dan aman. Berbagai peristiwa tersebut menghasilkan distress, yaitu suatu tingkat ketika terjadi berbagai penyimpangan baik fisik (physiological), kejiwaan (phsycological), maupun perilaku (behavioral) terhadap fungsi-fungsi kesehatan (Mc Shane dan Von Glinow, 2003). Bekerja di daerah bencana merupakan salah satu contoh saat stres pada petugas kesehatan dapat terjadi disebabkan adanya interaksi dengan pekerjaan atau lingkungan kerja yang tidak dapat

RagaM INfO

BuletinINfO KRISIS KESEhataN

16

Ada beberapa reaksi yang terjadi pada situasi ini (Helman, 1990; Niven, 2000). Reaksi pertama terjadi adalah situasi “respons lari atau lawan.” Pada fase ini tubuh menyiapkan diri untuk menghadapi bahaya dengan salah satu atau dua cara yang ditawarkan, yakni melawan atau melarikan diri. Perubahan fisiologis yang diperlukan untuk melawan atau melarikan diri adalah sama. Hipotalamus di otak mengisyaratkan kelenjar adrenalin untuk dilepaskan ke dalam aliran darah sehingga denyut jantung meningkat dan pernapasan menjadi lebih dangkal. Darah mengalir dari kulit dan visera (jantung, paru, hati dan seterusnya) ke otot dan otak yang mengambil makanan. Gula darah disuplai ke bagian tubuh yang memerlukan energi ekstra untuk merespons terhadap bahaya. Hal ini berarti otot telah melakukan tindakan melawan atau melarikan diri. Akibat dari redistribusi ini maka wajah seseorang tampak pucat, telapak tangan dan kaki menjadi dingin, tampak cemas dan gugup. Secara fisiologis, orang yang wajahnya memutih lebih siap untuk melawan (karena darah didistribusikan kembali ke otot-otot yang semestinya). Reaksi yang kedua adalah memudar dan menghilangnya reaksi khawatir sehingga tubuh tampak kembali normal. Pada saat itu yang dirasakan adalah kita telah mengatasi stres secara memuaskan. Namun, jika stresor bertahan maka tubuh sebenarnya melawan secara aktif untuk sementara waktu. Jika tubuh tetap berada dalam tekanan, tidak mustahil akan muncul gejala-gejala baru. Gejala ini sama dengan yang terlihat pada reaksi khawatir, yang akibatnya tubuh menjadi semakin rentan terhadap penyakit dan disfungsi organik. Kebahagiaan dan kekecewaan mendadak dapat menyebabkan perubahan formulasi yang sama terhadap timbulnya stres. Indikasi stres akibat kerja pada manusia dapat diidentifikasi pada pola perilaku yang tampak, seperti; gangguan adaptasi, gangguan fungsi fisiopsikologi, dan gangguan somato form. Gangguan adaptasi adalah gangguan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, depresi, gangguan emosi, sulit berkonsentrasi, sukar tidur, dan sebagainya. Gangguan fisiopsikologi, yaitu gangguan kondisi fisik yang sangat terkait dengan psikologis (psikosomatis),seperti gangguan lambung dan usus (gastroenteritis), radang kulit (dermatitis), luka selaput lendir atau permukaan kulit (ulkus), gangguan sistem endokrin, tekanan darah, sembelit (obstipasi), diare, sering buang air, dan sebagainya. Gangguan somato form adalah gangguan pada aspek fisik tanpa ditemukan gangguan organ-organ fisiologi yang mendasar meskipun terdapat bukti positif.

Sumber Stres

Dari berbagai literatur yang ada, para ahli secara umum membagi sumber stres kerja menjadi tiga faktor utama, yaitu faktor lingkungan, faktor organisasi dan faktor

individu. Namun tulisan ini tidak akan menguraikan secara rinci ketiga faktor penyebab sumber stres tersebut. Uraian yang dituangkan didasarkan pada beberapa pengalaman yang dimiliki tenaga kesehatan ketika bertugas ke daerah bencana.

Beberapa hal utama yang dapat menyebabkan timbulnya stres di tempat penugasan ke daerah bencana bisa disebabkan oleh; kondisi kerja yang selalu berada di bawah tekanan akibat besarnya dampak bencana yang terjadi dan terbatasnya tenaga yang tersedia, ketidak jelasan komunikasi, lamanya waktu bertugas dan tanggung jawab yang diberikan karena tidak ada pembekalan sebelum pemberangkatan tenaga kesehatan; kondisi lingkungan kerja yang tidak nyaman dan aman, sebagai akibat rusaknya infrastrukur (jalan, tranportasi, bangunan kantor, jaringan listrik, air dan lain sebagainya); waktu kerja yang tidak terbatas bila tidak didukung dengan fisik yang prima dapat menghambat pencapaian tugas dalam upaya pelayanan kesehatan; adanya ancaman terhadap tenaga kesehatan yang bertugas (di daerah konflik); ancaman terpapar penyakit di daerah endemis; ketidak tersediaan kebutuhan sarana, prasarana dan perbekalan kesehatan untuk pelayanan kesehatan; kerjasama dan koordinasi antar tenaga kesehatan yang lemah.

Apa yang tertulis di atas belum bisa menggambarkan secara keseluruhan penyebab permasalahan timbulnya stres kerja, tentu masih banyak lagi yang lainnya sesuai dengan pengalaman yang dimiliki oleh masing-masing tenaga kesehatan. Namun paling tidak hal ini bisa saling melengkapi sebagai bahan pengetahuan. Agar setiap tenaga kesehatan terhindar dari stres dan bekerja secara optimal, ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh organisasi yang bertanggung jawab dalam bidang kesehatan, yaitu menyediakan informasi terkait dengan risiko stres dan strategi mengatasinya. Menyadari betapa pentingnya pengetahuan tersebut, Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan, pada tahun 2009 dan 2010 telah memberikan Pelatihan Manajemen Stres di Daerah Bencana kepada Tim Rumah Sakit Lapangan Kementerian Kesehatan yang materinya disampaikan oleh Pusat Krisis Universitas Indonesia. Dari pelatihan yang sudah dilakukan tersebut pemahaman mengenai stres dan reaksinya akan membantu tenaga kesehatan untuk mampu mengelola stres yang dialaminya, tenaga kesehatan yang terjaga kesejahteraan psikologisnya akan menjadi lebih sehat, menikmati pekerjaannya, dan bekerja secara lebih efektif.

Beberapa Cara mengatasi stres di tempat kerja

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam mengatasi stres di tempat kerja, antara lain; merencanakan aktivitas dengan baik: memang bencana tidak dapat diduga kapan dan dimana terjadinya. Membuat

rencana terkait dengan persiapan untuk mengantisipasi datangnya tugas yang tiba-tiba ke daerah bencana sangat perlu dilakukan, paling tidak dimulai dengan penyiapan kebutuhan pribadi terutama fisik , tim dan kebutuhan lainnya ( keuangan, administrasi, logistik dan transportasi ), jangan dilupakan pula untuk senantiasa menginformasikan kepada keluarga tentang tugas yang kita eban dalam penanggulangan krisis kesehatan, sehingga bila suatu waktu diperintah secara tiba-tiba keluarga bisa memakuminya; pastikan anda mengerti terhadap tugas dan tanggung jawab anda ke daerah bencana, serta jangan ragu untuk bertanya; mendokumentasikan berbagai pengalaman masa lalu ketika bertugas ke daerah bencana akan sangat membantu untuk mengatasi permasalahan di waktu dan tempat yang lain, sehingga kita dapat dengan cepat menyelesaikannya tanpa bergantung pada orang lain; senantiasa berupaya membangun iklim kerja yang menyenangkan, yaitu dengan bersikap terbuka dan berkomunikasi dengan sesama rekan kerja, dan menjauhkan dari sikap mau menang sendiri; bersikap toleran dan ringan tangan kepada sesama rekan kerja. Patut diingat bahwa masing-masing orang adalah pribadi yang unik yakni memiliki kelebihan dan kekurangan. Kondisi ini harus bisa diterima dengan apa adanya dan tidak membanding-bandingkan, karena bekerja di daerah bencana memerlukan bekerjasama yang baik sebagai contoh : beberapa orang justru berprestasi lebih baik di bawah tekanan sementara sebagian yang lain membutuhkan waktu lebih banyak untuk menyelesaikan pekerjaannya; untuk efektifitas dan efisiensi tugas, lakukan pembagian tugas dan tanggung jawab secara terbuka kepada staf atau rekan kerja, hal ini akan memudahkan dalam penyelesaian setiap tugas yang memerlukan penanganan secara cepat; dan mempertahankan semangat tim dengan menciptakan lingkungan kerja yang baikdan menjaga kekompakan, misalnya dengan melakukan kegiatan untuk menghilangkan rasa jenuh dengan berolahraga dengan tim kesehatan lain/ dengan penduduk setempat, rekreasi bersama atau makan bersama.

Demikian tulisan ini yang bisa dirangkum penulis, semoga memberikan manfaat.

Daftar Pustaka:

1. http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/06/penanganan-stress-kerja.html

2. http://www.akuinginsukses.com/17-tips-mengatasi-stress-dalam-hidup-dan-di-tempat-kerja

3. Niven. 2000. Health Psychology: An Introduction for Nurses and Other Health Case Profesionals. (alih bahasa: Agung Waluyo). Jakarta: ECG.

4. Smet. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: Grasindo Widiasarana Indonesia.

5. Sutherland & Cooper. 1990. Understanding Stress A Psycological Perspective for Health Profesionals. London: Chapman and Hall.

BuletinINfO KRISIS KESEhataN

17

Pak Arif (bukan nama sebenarnya) adalah seorang tenaga kesehatan di salah satu Puskesmas yang baru saja mengalami bencana gempa disusul tsunami. Di depan matanya, dia menyaksikan Istri dan anaknya hilang diterjang gelombang tsunami. Harapan hidup Pak Arif seketika sirna. Tidak ada lagi gairah dan semangat untuk melanjutkan kehidupannya di masa depan. Pak Arif tidak sendirian. Banyak tenaga kesehatan atau keluarganya yang menjadi korban dan kehilangan semangat termasuk untuk kembali bekerja. Jika ini dibiarkan, bisa dipastikan pelayanan kesehatan akan segera lumpuh.

Pemulihan Versi Bencana

Pemulihan menurut Undang Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan fungsi masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana dengan melakukan upaya rehabilitasi.

Rehabilitasi Undang Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana.

Rekonstruksi menurut Undang Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana adalah pembangunan kembali semua sarana dan prasarana, kelembagaan pada wilayah pasca bencana baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pasca bencana.

Tafsir Pemulihan

Pengertian pemulihan diatas jelas menunjukkan kepada kita bahwa ia adalah sebuah proses pengembalian fungsi setelah mengalami gangguan akibat bencana. Gangguan fungsi tersebut dapat diakibatkan oleh kerusakan struktur maupun nonstruktur. Sebagai contoh, bangunan Puskesmas yang rusak berat setelah diguncang gempa mengakibatkan fungsi Puskesmas menjadi terganggu bahkan berhenti sama sekali.

Contoh lainnya, bangunan Puskesmas tidak mengalami kerusakan atau rusak ringan setelah gempa akan tetapi tenaga yang bekerja di Puskesmas, baik diri maupun keluarganya, menjadi korban bencana sehingga pelayanan Puskesmas tersebut tidak berjalan.

Pengembalian fungsi tersebut menurut pengertian diatas dilakukan dengan upaya rehabilitasi. Rehabilitasi menurut undang undang menjelaskan bahwa ia adalah kegiatan perbaikan dan pemulihan secara struktur maupun non struktur agar pelayanan publik berjalan wajar. Upaya rehabilitasi dibatasi oleh pagar rekonstruksi yang merupakan kegiatan pembangunan kembali. Bangunan Puskesmas yang rusak berat dipulihkan fungsinya dengan mendirikan tenda atau meminjam rumah penduduk sebagai tempat pelayanan sementara. Tidak penting bentuk strukturnya, yang penting pelayanan kesehatan terus berjalan. Inilah yang dimaksud pemulihan.

Pemulihan Milik Siapa?

Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana menyatakan salah satu kegiatan pada masa tanggap darurat adalah pemulihan segera sarana dan prasarana vital.Pemulihan juga merupakan bagian dari rehabilitasi berdasarkan pengertiannya dalam Undang Undang Penanggulangan Bencana. Oleh karena itu sangat berdasar jika dikatakan bahwa masa pemulihan itu dimulai dari awal tanggap darurat sampai masuk ke dalam wilayah pasca bencana.

Pemulihan Kesehatan

Pemulihan kesehatan harus segera dilakukan pada hari-hari awal kejadian bencana. Pada fasilitas kesehatan yang rusak dan tidak berfungsi, pelayanan kesehatan harus segera dipulihkan sehingga tidak mengganggu pelayanan sehari-hari di wilayah tersebut.

Pemulihan tidak hanya melulu tentang struktur. Gangguan kesehatan jiwa, seperti yang dialami oleh Pak Arif diatas harus segera dipulihkan agar dia dapat bekerja kembali

memberikan pelayanan sebagaimana biasanya. Bantuan tenaga kesehatan yang datang dari luar wilayah bencana, tidaklah berlangsung terus menerus. Seringkali tenaga bantuan bekerja hanya sebatas masa tanggap darurat yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. Tenaga kesehatan lokal seperti Pak Arif, adalah harapan keberlangsungan pelayanan kesehatan di wilayah pasca bencana.

Revitalisasi Pemullihan

Upaya pemulihan seringkali, kalau tidak ingin dikatakan hampir selalu, dipersepsikan beda dengan upaya tanggap darurat. Anggapan selama ini, bahkan setelah undang undang penanggulangan bencana lahir, secara garis waktu, upaya pemulihan dilakukan setelah aksi tanggap darurat dilakukan. Pendirian tenda pelayanan kesehatan di awal tanggap darurat karena Puskesmas mengalami rusak berat, belum dianggap sebagai suatu upaya pemulihan. Lahirnya seperangkat peraturan terkait penanggulangan bencana seharusnya membuat para pemegang kepentingan mereview ulang pemahaman terhadap istilah-istilah terkait bencana.

Hal ini penting segera dilakukan untuk menghindari bussines as usual dan keterlambatan respon, mencegah tumpang tindih, menghilangkan area abu-abu antara tanggap darurat dan pasca bencana, menjamin dukungan pembiayaan dan mempertegas upaya-upaya tanggap darurat termasuk pemulihan segera prasarana dan sarana vital.Selain itu akan tersedia data dan informasi tentang pemulihan untuk penyusunan kebijakan dan strategi ke depan yang lebih baik.

Semakin jelas dan tegas warna pemulihan maka semakin cepat orang-orang seperti Pak Arif mendapat pertolongan pemulihan kesehatan jiwa. Semakin cepat fungsi pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan dipulihkan, status kesehatan masyarakat dapat dipertahankan di wilayah pasca bencana. Karena pemulihan meletakkan batu pertama bagi pondasi rehabilitasi dan rekonstruksi.

ABu-ABu PeMuLIHAn

Oleh: dr. Mohammad Imran S Hamdani, MKM

33

pemulihan secara struktur maupun non struktur agar pelayanan publik berjalan wajar. Upaya rehabilitasi dibatasi oleh pagar rekonstruksi yang merupakan kegiatan pembangunan kembali. Bangunan Puskesmas yang rusak berat dipulihkan fungsinya dengan mendirikan tenda atau meminjam rumah penduduk sebagai tempat pelayanan sementara. Tidak penting bentuk strukturnya, yang penting pelayanan kesehatan terus berjalan. Inilah yang dimaksud pemulihan. Pemulihan Milik Siapa? Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana menyatakan salah satu kegiatan pada masa tanggap darurat adalah pemulihan segera sarana dan prasarana vital.Pemulihan juga merupakan bagian dari rehabilitasi berdasarkan pengertiannya dalam Undang Undang Penanggulangan Bencana. Oleh karena itu sangat berdasar jika dikatakan bahwa masa pemulihan itu dimulai dari awal tanggap darurat sampai masuk ke dalam wilayah pasca bencana.

Irisan kegiatan tanggap darurat, pemulihan dan rehabilitasi

Pemulihan Kesehatan Pemulihan kesehatan harus segera dilakukan pada hari-hari awal kejadian bencana. Pada fasilitas kesehatan yang rusak dan tidak berfungsi, pelayanan kesehatan harus segera dipulihkan sehingga tidak mengganggu pelayanan sehari-hari di wilayah tersebut. Pemulihan tidak hanya melulu tentang struktur. Gangguan kesehatan jiwa, seperti yang dialami oleh Pak Arif diatas harus segera dipulihkan agar dia dapat bekerja kembali memberikan pelayanan sebagaimana biasanya. Bantuan tenaga kesehatan yang datang dari luar wilayah bencana, tidaklah berlangsung terus menerus. Seringkali tenaga bantuan bekerja hanya sebatas masa tanggap darurat yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. Tenaga kesehatan lokal seperti Pak Arif, adalah harapan keberlangsungan pelayanan kesehatan di wilayah pasca bencana.

Pemulihan

Tanggap darurat

Rehabilitasi

Prabencana Tanggap darurat Pascabencana

Irisan kegiatan tanggap darurat, pemulihan dan rehabilitasi

RagaM INfO

BuletinINfO KRISIS KESEhataN RagaM INfO

18

Hmmmm.... lagi – lagi beberapa ide baru yang timbul kembali terganjal dengan permasalahan kebijakan, birokrasi dan pendanaan yang kian lama membuat otak para pegawai, atau yang lebih sering disebut sebagai staf menjadi buntu dan lama - kelamaan pun menjadi beku serta akhirnya menjadi malas untuk terus mencari ide – ide kreatif baru yang sebenarnya mungkin dapat dijadikan salah satu solusi, atau paling tidak pendukung dalam upaya penangulangan krisis kesehatan akibat bencana yang diharapkan berujung pada pengurangan resiko bencana yang kata kerennya adalah “Disaster Risk Reduction” (DRR). Memang dapat dipahami dengan kebijakan dan aturan birokrasi yang telah ada sekarang pada akhirnya banyak membuat ide – ide kreatif yang timbul dari pemikiran para staf menjadi sulit terealisasi, namun menurutku itu tidak menjadi alasan untuk dapat terus berpikir kreatif, menuangkan ide – ide dan konsep baru yang tidak melulu berpatokan pada kebiasaan lama, cenderung konservatif dan tidak mengikuti situasi terakhir perkembangan zaman serta teknologi.

Sebagai generasi muda, kita pun semestinya tidak selalu tergantung pada apa yang telah menjadi kebijakan para pendahulu kita, walau tidak juga kemudian kita mengabaikan untuk banyak belajar dari apa yang yang selama ini telah dilakukan. Belajar dari banyak kesalahan dan keberhasilan yang didapat dari kebijakan masa lalu justru merupakan salah satu modal dasar untuk dapat membangun sebuah kebijakan dan sistim yang jauh lebih baik, modern, efektif dan efisien.

Di tengah padatnya arus informasi contohnya, bayangkan betapa dari sebuah account Twitter yang kumiliki, setiap saat aku dapat dengan sangat mudah memperoleh dan mengakses perkembangan berita terkini, baik itu berita tentang ekonomi, politik, sosial dan juga tak kalah penting tentunya adalah informasi tentang berbagai peristiwa yang berpotensi menimbulkan krisis kesehatan akibat bencana. Artinya kita pun tidak dapat

menyangkal bahwa social networking yang sekarang tengah booming di masyarakat merupakan salah satu indikator, betapa teknologi komunikasi telah menjadi bagian penting bagi sebagian besar orang, terutama bagi mereka yang telah banyak terpapar dengan kemajuan teknologi di bidang komunikasi.

Sebagai staf yang bekerja di Pusat penanggulangan Krisis Kesehatan (PPKK) Kementerian Kesehatan dan sebagai bagian dari masyarakat sepertinya kita juga harus menyadari bahwa arus informasi itu kini dapat berasal dari mana saja dan di mana saja, itulah mengapa saat ini pun kata – kata “citizen journalism” menjadi tak asing lagi di telinga kita. Apabila kita sering mengamati dari sekian banyak perusahaan yang bergerak di bidang pers/penyiaran, maka perusahaan – perusahaan yang kemudian banyak memberdayakan para pendengar/pemirsanya untuk secara bersamaan juga menjadi kontributor berita, adalah perusahaan – perusahaan yang menjadi lebih banyak dikenal oleh masyarakat. Mereka menjadi sangat terbantu dengan adanya citizen journalist, karena dapat memperoleh berita langsung dari orang yang tengah berada di lokasi kejadian secara cepat, efektif dan efisien. Efektif karena tidak banyak menggunakan banyak sumber daya dan efisien karena biaya yang dikeluarkan untuk setiap pemeberitaan menjadi sangat minimal.

PPKK, Citizen Journalism dan Social Networking

Awal mula ide akan adanya citizen journalism sesungguhnya dimulai saat beberapa perusahaan penyiaran mulai mendorong para pendengar/pemirsanya untuk mau menghubungi mereka saat terjadi suatu kejadian menarik di tempat mereka berada, baik itu melalui telepon maupun sms yang kemudian disiarkan secara langsung. Hal ini kemudian berdampak positif baik bagi perusahaan, terlebih bagi masyarakat yang membutuhkan informasi tersebut. Secara tidak langsung ternyata perusahaan penyiaran telah melakukan sosialisasi akan pentingnya sebuah informasi, kemudian

pentingnya kecepatan menyampaikan sebuah informasi yang padat dan informatif yang dapat di-broadcast dengan mudah menggunakan alat komunikasi sederhana seperti handphone. Batapa sebuah sistim yang sangat sederhana dapat dengan sangat mudah diterapkan kepada banyak orang, hanya dengan sebuah alasan yang juga sederhana ; informasi dari anda dan kembali sangat bermanfaat bagi anda. Jadi kunci sebenarnya adalah bagaimana cara kita memberikan penyadaran kepada sebuah society targetting, hingga pada akhirnya membuat mereka merasakan betapa pentingnya sebuah informasi yang mereka sampaikan itu bagi diri mereka sendiri.

PPKK sebagai salah satu pengguna informasi kurasa harus cukup jeli melihat fenomena dan peluang ini, dimana informasi saat ini dapat secara cepat, mudah dan murah kita peroleh dengan memanfaatkan social networking dan citizen journalism. Dan saat ini pun PPKK melalui Bidang Pemantauan dan Informasi-nya telah dapat melihat peluang ini dengan cermat, sebuah account Twitter (@ppkkemenkes) yang kemudian mem-follow beberapa account perusahaan penyiaran berita telah dibuat guna memperkuat sistim informasi yang telah ada sebelumnya. Diharapkan dengan cara seperti ini akan dapat memperluas dan mempercepat akses informasi, terutama yang terkait dengan krisis kesehatan akibat bencana. Juga secara aktif diharapkan PPKK dapat memberikan informasi – informasi yang dapat dengan mudah diakses oleh para follower-nya, sehingga ke depan PPKK akan kembali menjadi salah satu sumber informasi utama yang terpercaya dalam setiap upaya penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana.

Terkait upaya sosialisasi dan pemberian kesadaran akan manfaat sebuah informasi yang akan dirasakan oleh si pemberi informasi itu sendiri, kiranya dapat juga diterapkan pada sistim informasi PPKK Kemenkes, kita selama ini mungkin lebih sering secara pro-aktif meminta kepada kontak person di daerah dengan cara menelepon atau pun mengirimkan sms

PPKK, Citizen Journalism, Social Networking and How to Empower Our Community for Disaster Risk ReductionOleh: dr. Willy Pandu Ariawan

BuletinINfO KRISIS KESEhataN

19

untuk dapat memperoleh informasi tentang perkembangan dampak suatu kejadian bencana. Namun kita belum sampai pada tahapan dimana kita mampu dengan baik memberikan kesadaran penuh bagi mereka tentang betapa pentingnya informasi yang mereka sampaikan itu justru bagi kepentingan mereka sendiri. Itulah mungkin juga salah satu penyebab, mengapa dapat dengan mudah kita temui beberapa daerah yang bahkan diantaranya telah mendapatkan pelatihan tentang sistim informasi, namun tidak atau kurang secara aktif mau menyampaikan informasi tentang suatu kejadian bencana baik dalam skala besar maupun kecil, serta dampak yang terjadi di wilayah mereka kepada PPKK. Seandainya kawan – kawan di jajaran kesehatan daerah telah menyadari betapa pentingnya sebuah sistim informasi yang terbangun dengan baik, kemudian merasakan manfaat atas upaya penyampaian informasi secara pro-aktif kepada PPKK, aku sangat optimis sistim yang telah berjalan selama ini akan kembali mengalami banyak perbaikan dan kemajuan yang signifikan.

Pemberdayaan Masyarakat

Belajar dari upaya penyadaran kepada masyarakat akan pentingnya sebuah informasi dan sistim yang menjadi pendukungnya membuat kepalaku semakin “senat senut”, ingin rasanya segera mewujudkan ide – ide serta konsep yang ada di dalam kepalaku ini menjadi sebuah kenyataan. Ada sebuah ide di kepalaku, walau sebetulnya bukan merupakan ide yang murni kuhasilkan. Aku membayangkan dari satu sisi yang menurutku sangat sederhana namun ini menyangkut dan akan melibatkan banyak sekali orang. Sebuah gagasan yang telah dilakukan oleh banyak negara maju seperti Jepang, di mana pemerintah tidak banyak melakukan intervensi terhadap implementasi sebuah kebijakan dan aturan, namun lebih banyak melakukan promosi akan pentingnya sebuah kebijakan tersebut diterapkan, terutama manfaat yang akan lebih banyak diterima oleh masyarakat itu sendiri sebagai pihak yang merasakan dampak dari kebijakan tersebut.

Kata – kata pemberdayaan masyarakat inilah yang selalu mengusikku, bagaimana sesungguhnya cara kita memberdayakan masyarakat tanpa harus banyak melakukan intervensi? Pertanyaan itu akhirnya terjawab setelah diskusi yang aku lakukan dengan Professor Hideharu Tanaka dari Kokushikan University Tokyo yang berkesempatan untuk membagi pengalamannya dalam menerapkan kebijakan pemerintah Jepang terkait skill

Bantuan Hidup Dasar (BHD) yang telah banyak dimiliki oleh setiap warga negara Jepang, terutama mereka yang bekerja di gedung perkantoran dan sekolah.

Jepang merupakan salah satu negara di dunia yang paling banyak diguncang gempa, beberapa gempa besar yang terjadi telah banyak menelan korban jiwa. Peristiwa terakhir adalah gempa 8,9 Skala Richter yang terjadi pada Maret 2011 silam, merupakan gempa terkuat yang pernah dicatat Jepang dan menelan ribuan korban jiwa. Berawal dari berbagai kejadian bencana itulah yang kemudian membuat pemerintah Jepang memandang perlu dilakukannya banyak pelatihan BHD, terutama bagi mereka yang berada di wilayah – wilayah dengan intensitas gempa yang cukup sering sehingga beresiko terhadap masyarakat itu sendiri. Professor Tanaka mengatakan bahwa pemerintah Jepang sebenarnya tidak pernah mengeluarkan sebuah aturan yang mewajibkan seluruh elemen masyarakat untuk mau dan memiliki kemampuan melakukan BHD, namun pemerintah lebih melakukan kegiatan promotif akan pentingnya memiliki kemampuan tersebut bagi masyarakat.

Pemerintah salah satunya memberikan penyadaran bahwa penolong pertama saat terjadinya kedaruratan medis adalah orang terdekat korban. Suami, istri, anak, orang tua, teman dan orang lain di sekitar korban merupakan pihak yang akan melakukan pertolongan pertama, diharapkan dengan semakin banyak orang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan melakukan BLS maka resiko yang dihadapi korban kedaruratan akan semakin kecil serta harapan hidup akan menjadi lebih besar. Dengan semakin banyak pula orang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan melakukan BLS maka diharapkan akan semakin banyak korban yang dapat terselamatkan. Hal ini merupakan salah satu penerapan dari konsep pengurangan resiko bencana atau Disaster Risk Reduction (DRR) dimana peningkatan kapasitas masyarakat dijadikan salah satu elemen yang diperkuat.

Pemberdayaan ini pun semestinya dapat diterapkan di Indonesia, dengan kembali mencoba untuk mengidentifikasi wilayah – wilayah yang selanjutnya akan menjadi prioritas untuk dijadikan pilot project penerapan kebijakan BHD bagi masyarakat. Berikut adalah sebuah draft konsep metodologi yang mungkin dapat dikembangkan dan diimplementasikan;

1. Metode a. Pembuatan dasar hukum yang

melegalkan masyarakat awam untuk dapat melakukan bantuan hidup dasar

b. Pembentukan SOP BHD bagi masyarakat awam

c. Pembuatan sistim pelatihan bagi pelatih BHD bagi masyarakat awam1) Penyusunan modul TOT bagi

pelatih

2) Penentuan prioritas wilayah kabupaten/kota rawan bencana yang akan dilatih

3) Pelaksanaan TOT4) Pembentukan tim pelatih

di setiap kabupaten/kota rawan bencana

d. Pelatihan BHD bagi masyarakat awam1) Penentuan prioritas wilayah

kabupaten/kota rawan bencana

2) Penentuan prioritas kelompok masyarakat yang akan dilatih

3) Pelaksanaan pelatihan oleh tim pelatih

e. Sosialisasi tentang “Pentingnya Dilakukan Pelatihan BHD Bagi Masyarakat Awan Dalam Rangka Pengurangan Resiko Bencana.”1) Penentuan prioritas wilayah

kabupaten/kota rawan bencana

2) Penentuan prioritas kelompok masyarakat yang akan diberikan sosialisasi

3) Pelaksanaan sosialisasi

2. Pendanaana. Dana DIPAb. Dana WHO, NGO, iNGOc. Dana CSR (Company Social

Responsibility)Harapan akan terealisasinya ide ini sangatlah besar, karena Indonesia pun merupakan salah satu yang sering kita sebut sebagai “Hypermarket Bencana”, dimana hampir semua jenis bencana sangat berpotensi terjadi. Dengan adanya konsep DRR yang dituangkan dalam sebuah kegiatan pemberdayaan masyarakat, salah satunya adalah pelatihan BHD, maka diharapkan masyarakat secara mandiri dapat menjadi penolong pertama dalam mengatasi baik itu kedaruratan sehari – hari maupun akibat bencana, sehingga akan semakin memperkecil resiko akibat bencana yang kemungkinan terjadi.

PUSAT PENANGGULANGAN KRISIS KESEHATANKEMENTERIAN KESEHATAN RIJl. HR. Rasuna Said Blok X5, Kav. No. 4-9,Blok A Lantai VI Ruang 601, Jakarta 12950Telp. (021) 5265043, 5210411, 5210394Fax. (021) 5271111, 5210395E-mail : [email protected] : www.penanggulangankrisi.depkes.go.id