pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

100
1 Kasus 4 Pengelolaan Pasien Gangguan Jiwa Seorang laki-laki berusia 37 tahun dibawa ke RS oleh keluarganya karena sering bicara sendiri. Menurut adiknya, setiap pasien melakukan aktivitas pasien selalu bicara sendiri dengan mengatakan ″salah lagi-salah lagi″ sehingga aktivitas apa pun yang dikerjakannya selalu dilakukan secara berulang-ulang. Terkadang pasien mendengar suara bisikan yang menyuruhnya untuk menjaga kampungnya dari serangan perang. Perintah itu diterimanya dengan cara berkomunikasi lewat ilmu kebatinan. Menurut ibunya, gejala tersebut muncul setelah keinginan untuk bekerja ke pulau Kalimantan setelah menyelesaikan sekolah SMK tidak diizinkan oleh orangtuanya. Pasien pernah dirawat di RS. Setelah keluar dari RS pasien tidak meminum obat secara teratur dan bahkan pernah tidak meminum obat sama sekali. STEP I 1.Bicara sendiri : Berkomunikasi yang dilakukan sendiri tanpa ada lawan bicara. 2.Aktivitas berulang-ulang : Suatu kegiatan yang sama dilakukan secara satu kali.

description

pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

Transcript of pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

Page 1: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

1

Kasus 4

Pengelolaan Pasien Gangguan Jiwa

Seorang laki-laki berusia 37 tahun dibawa ke RS oleh keluarganya

karena sering bicara sendiri. Menurut adiknya, setiap pasien melakukan

aktivitas pasien selalu bicara sendiri dengan mengatakan ″salah lagi-salah

lagi″ sehingga aktivitas apa pun yang dikerjakannya selalu dilakukan secara

berulang-ulang. Terkadang pasien mendengar suara bisikan yang

menyuruhnya untuk menjaga kampungnya dari serangan perang. Perintah

itu diterimanya dengan cara berkomunikasi lewat ilmu kebatinan. Menurut

ibunya, gejala tersebut muncul setelah keinginan untuk bekerja ke pulau

Kalimantan setelah menyelesaikan sekolah SMK tidak diizinkan oleh

orangtuanya. Pasien pernah dirawat di RS. Setelah keluar dari RS pasien

tidak meminum obat secara teratur dan bahkan pernah tidak meminum obat

sama sekali.

STEP I

1. Bicara sendiri : Berkomunikasi yang dilakukan sendiri tanpa ada

lawan bicara.

2. Aktivitas berulang-ulang : Suatu kegiatan yang sama dilakukan

secara satu kali.

3. Ilmu kebatinan : Ilmu yang dimiliki seseorang dalam batinya

sendiri (ilmu gaib).

STEP II

1. Mengapa pasien sering berbicara sendiri dan melakukan aktivitas

secara berulang-ulang?

2. Penyebab gangguan jiwa?

3. Gejala gangguan jiwa?

4. Klasifikasi gangguan jiwa?

5. Indikasi rawat inap pasien dengan gangguan jiwa?

Page 2: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

2

6. Penyebab dari kekambuhan?

7. Apa gejala yang ditandai dengan bicara sendiri, aktivitas berulang-

ulang, mendengar, suara bisikan, komunikasi ilmu kebatinan?

8. Penatalaksanaan pada kasus tersebut?

STEP III

1. - Adanya halusinasi

- Gangguan psikis

- Adanya sterssor

Karena adanya penolakan dari orangtuatekanan pada

dirinyamekanisme pertahanan jiwa menurundepresihalusinasi

(SB).

2. Penyebab gangguan jiwa

Faktor genetik

Trauma Psikis, Fisik

psikologis Depresi

Gangguan perasaan

Ling sosial

Faktor Biologis :kel.Saraf

Faktor Psikologis adanya stressor

Faktor Genetik

3. – Gangguan Bicara

Gangguan perilaku

Gangguan penampilan

Gangguan pikiran

Gangguan emosi

Gangguan persepsi

Gangguan psikomotorik

Gangguan pola hidup

Gangguan kepribadian

Gangguan kognitif/kesadaran

4. - FO : Demensia

Page 3: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

3

FO2 : Demensia Alzheimer

FO3 : Delirium

FO4 : Gangguan mental lainnya akibat kerusakan dan disfungsi

otak

- FO5 : Halusinasi, Gangguan waham, Gangguan Katakonik,

Gangguan afektik

- F1 : Gangguan mental, Perilaku akibat gangguan zat

- F2 : Zkizofrenia, dan pembagian zkizofrenia.

5. (SB)

6. – Terhentinya minum obat.

Minum obat tidak teratur.

Pemicu dari stressor.

Kurang pantauan dari petugas kesehatan jiwa.

Dukungan dari keluarga.

7.

8. A. Terapi somatik Anti Psikotika.

Anti Psikotika konversi oral.

Clozaril.

B. Terapi psikososial Terapi perilaku dengan meningkatkan

keterampilan.

C. Terapi Biologis Obat dan Elektrokonvulsif.

Pembedahan bagian otak pada lobus

frontalis.

D. Psikoterapi Terapi psiko analisis dan seperti terapi perilaku.

Page 4: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

4

STEP IV

STEP V

1. SB No. 1

2. Definisi gangguan jiwa.

3. SB No. 2

4. SB No. 5

5. SB No. 6

6. No.3 tambahan dari yang ada cari gejala dan tanda +gangguan

kesadaran dan fungsi kognitif gangguan memori, gangguan

perasaan tidak mood dan afek, gangguan tilikan.

7. Konsep dasar pemeriksaan psikiatri mulai dari wawancara,

psikiatri, riwayat psikiatri, pemerikasaan status mental.

8. Evaluasi multiaksial, prognosis, dan rencana terapi.

Penyebab gangguan

jiwa

Gejala

Klasifikasi gangguan jiwa

Penyebab kekambu

han

Aktivitas berulang-

ulang, mendengar

suara bisikan

Gejala yang ditandai

dengan bicara sendiri

Mengapa pasien sering bicara sendiri dan melakukan

aktivitas berulang-ulang

Penatalaksanaan

Page 5: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

5

STEP VII

1. Mengapa pasien sering bicara sendiri dan melakukan aktivitas

berulang-ulang?

Terjadinya instabilitas pada neurotransmiter. Neurotransmiter,

secara sederhana bisa dikatakan sebagai zat kimiawi pembawa pesan

yang terdapat di dalam otak. Zat-zat pembawa pesan ini diproduksi di

dalam sel-sel saraf yang ada di otak, ketika pesan dari otak harus

ditransmisikan ke bagian-bagian lain. Saat ini berpuluh-puluh jenis

neurotransmiter yang telah diketahui oleh manusia, namun secara garis

besar terdapat tiga pengelompokan besar, yakni:  kelompok asam

amino (GABA dan Glutamat), kelompok Biogenic Amin (seperti

dopamin, adrenalin, dan noradrenalin), dan kelompok peptida (seperti

nitrit oksida).

Masing-masing neurotransmiter tersebut memiliki peran yang

berbeda-beda. Sebagai contoh, ketika kita sedang cemas dan marah,

maka adrenalin akan dilepaskan, sehingga efek yang akan kita rasakan

adalah: berkeringat dingin, jantung berdenyut lebih kencang berdebar-

debar, dan kadang badan terasa lemas. Atau jika anda sedang gembira,

maka perasaan gembira itu dipicu oleh lepasnya neurotransmiter. Jika,

anda mampu bergerak tangkas, maka otak anda sedang memainkan

neurotransmiter GABA. Jumlahnya sedang turun. Sebaliknya jika

jumlah GABA naik, maka seseorang menjadi malas. Bagi orang-orang

yang sedang kehilangan mood nya, menjadi kurang daya

konsentrasinya, neurotransmiter serotonin nya lagi turun.

Dalam situasi normal, inilah yang terjadi. Namun dalam

keadaan yang tidak normal (apapun penyebabnya), sebagaimana yang

terjadi pada mereka yang mengalami gangguan kejiwaan, telah terjadi

ketidakstabilan pada neurotransmiter, seperti norepinefrin, serotonin

dan dopamin yang bekerja pada sistem kognisi, sistem koordinasi

gerakan otot, dan kewaspadaan seseorang. Bisa kita bayangkan apa

yang terjadi kalau sistem pengiriman, penafsiran dan respon terhadap

pesan di dalam otak yang kacau. Akan terjadi hal-hal yang aneh

menurut kita yang neurotransmiternya stabil, seperti orang yang

Page 6: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

6

merasa mendengar suara-suara, sehingga ia pun merespon

berkomunikasi dengan suara tersebut. Inilah yang terjadi pada mereka

yang bicara atau tertawa sendiri akibat halusinasi dengar. Ada pula

yang sedih berkepanjangan  dan berujung pada keinginan untuk

mengakhiri hidup, ini akibat  kehilangan asa untuk hidup. Situasi

lainnya, ada yang marah-marah tanpa sebab yang jelas, atau hanya

masalah yang sangat sepele, ini akibat penempatan kadar emosional

yang tidak pada porsinya

2. Definisi Gangguan jiwa

Gangguan jiwa adalah gangguan yang mengenai satu atau lebih

fungsi jiwa. Gangguan jiwa adalah gangguan otak yang ditandai oleh

terganggunya emosi, proses berpikir, perilaku dan persepsi

(penangkapan panca indera). Gangguan jiwa ini menimbulkan stress

dan penderitaan bagi penderita (dan keluarganya). (Saddok, 2010)

Suatu perubahan fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan

pada fungsi jiwa yang menimbulkan penderitaan pada individu dan

hambatan dalam sosial. (WHO, 2002)

3. Penyebab gangguan jiwa

Penyebab gangguan jiwa itu bermacam-macam ada yang

bersumber dari berhubungan dengan orang lain yang tidak

memuaskan seperti diperlakukan tidak adil, diperlakukan semena-

mena, cinta tidak terbatas, kehilangan seseorang yang dicintai,

kehilangan pekerjaan, dan lain-lain. Selain itu ada juga gangguan jiwa

yang disebabkan faktor organik, kelainan saraf dan gangguan pada

otak.

Para ahli psikologi berbeda pendapat tentang sebab-sebab

terjadinya gangguan jiwa. Menurut pendapat Sigmund Freud dalam

Maslim (2002), gangguan jiwa terjadi karena tidak dapat dimainkan

tuntutan id (dorongan instinctive yang sifatnya seksual) dengan

tuntutan super ego (tuntutan normal social). Orang ingin berbuat

sesuatu yang dapat memberikan kepuasan diri, tetapi perbuatan

Page 7: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

7

tersebut akan mendapat celaan masyarakat. Konflik yang tidak

terselesaikan antara keinginan diri dan tuntutan masyarakat ini

akhirnya akan mengantarkan orang pada gangguan jiwa.

Terjadinya gangguan jiwa dikarenakan orang tidak memuaskan

macam-macam kebutuhan jiwa mereka. Beberapa contoh dari

kebutuhan tersebut diantaranya adalah pertama kebutuhan untuk

afiliasi, yaitu kebutuhan akan kasih sayang dan diterima oleh orang

lain dalam kelompok. Kedua, kebutuhan untuk otonomi, yaitu ingin

bebas dari pengaruh orang lain. Ketiga, kebutuhan untuk berprestasi,

yang muncul dalam keinginan untuk sukses mengerjakan sesuatu dan

lain-lain. Ada lagi pendapat Alfred Adler yang mengungkapkan

bahwa terjadinya gangguan jiwa disebabkan oleh tekanan dari

perasaan rendah diri (infioryty complex) yang berlebih-lebihan.

Sebab-sebab timbulnya rendah diri adalah kegagalan di dalam

mencapai superioritas di dalam hidup. Kegagalan yang terus-menerus

ini akan menyebabkan kecemasan dan ketegangan emosi.

J.P Caplin dalam Kartini Kartono (2000) mengartikan bahwa

kebutuhan ialah alat substansi sekuler. Dorongan hewani atau motif

fisiologis dan psikologis yang harus dipenuhi atau dipuaskan oleh

organisme, binatang atau manusia, supaya mereka bias sehat sejahtera

dan mampu melakukan fungsinya.

Dari berbagai pendapat mengenai penyebab terjadinya gangguan

jiwa seperti yang dikemukakan diatas disimpulkan bahwa gangguan

jiwa disebabkan oleh karena ketidak mampuan manusia untuk

mengatasi konflik dalam diri, tidak terpenuhinya kebutuhan hidup,

perasaan kurang diperhatikan (kurang dicintai) dan perasaan rendah

diri.

Menurut Sigmund Freud dalam Santrock (1999) adanya gangguan

tugas perkembangan pada masa anak terutama dalam hal berhubungan

dengan orang lain sering menyebabkan frustasi, konflik, dan perasaan

takut, respon orang tua yang mal adaptif pada anak akan

meningkatkan stress, sedangkan frustasi dan rasa tidak percaya yang

berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan regresi dan withdral.

Page 8: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

8

Disamping hal tersebut di atas banyak faktor yang mendukung

timbulnya gangguan jiwa yang merupakan perpaduan dari beberapa

aspek yang saling mendukung yang meliputi biologis, psikologis,

sosial, lingkungan. Tidak seperti pada penyakit jasmaniah, sebab-

sebab gangguan jiwa adalah kompleks. Pada seseorang dapat terjadi

penyebab satu atau beberapa faktor dan biasanya jarang berdiri

sendiri. Mengetahui sebab sebab gangguan jiwa penting untuk

mencegah dan mengobatinya.

Umumnya sebab-sebab gangguan jiwa menurut Santrock (1999)

dibedakan atas :

a. Sebab-sebab jasmaniah/ biologic

1) Keturunan

Peran yang pasti sebagai penyebab belum jelas, mungkin

terbatas dalam mengakibatkan kepekaan untuk mengalami

gangguan jiwa tapi hal tersebut sangat ditunjang dengan faktor

lingkungan kejiwaan yang tidak sehat.

2) Jasmaniah

Beberapa penyelidik berpendapat bentuk tubuh seorang

berhubungan dengan gangguan jiwa tertentu, Misalnya yang

bertubuh gemuk / endoform cenderung menderita psikosa manik

depresif, sedang yang kurus/ ectoform cenderung menjadi

skizofrenia.

3) Temperamen

Orang yang terlalu peka/ sensitif biasanya mempunyai

masalah kejiwaan dan ketegangan yang memiliki kecenderungan

mengalami gangguan jiwa.

4) Penyakit dan cedera tubuh

Penyakit-penyakit tertentu misalnya penyakit jantung,

kanker dan sebagainya, mungkin menyebabkan merasa murung

dan sedih. Demikian pula cedera/cacat tubuh tertentu dapat

menyebabkan rasa rendah diri.

b. Sebab Psikologik

Bermacam pengalaman frustasi, kegagalan dan keberhasilan

yang dialami akan mewarnai sikap, kebiasaan dan sifatnya

Page 9: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

9

dikemudian hari. Hidup seorang manusia dapat dibagi atas 7 masa

dan pada keadaan tertentu dapat mendukung terjadinya gangguan

jiwa.

1) Masa bayi

Yang dimaksud masa bayi adalah menjelang usia 2 – 3

tahun, dasar perkembangan yang dibentuk pada masa tersebut

adalah sosialisasi dan pada masa ini. Cinta dan kasih sayang ibu

akan memberikan rasa hangat/ aman bagi bayi dan dikemudian

hari menyebabkan kepribadian yang hangat, terbuka dan

bersahabat. Sebaliknya, sikap ibu yang dingin acuh tak acuh

bahkan menolak dikemudian hari akan berkembang kepribadian

yang bersifat menolak dan menentang terhadap lingkungan.

Sebaiknya dilakukan dengan tenang, hangat yang akan

memberi rasa aman dan terlindungi, sebaliknya, pemberian yang

kaku, keras dan tergesa-gesa akan menimbulkan rasa cemas dan

tekanan.

2) Masa anak pra sekolah (antara 2 sampai 7 tahun)

Pada usia ini sosialisasi mulai dijalankan dan telah tumbuh

disiplin dan otoritas. Penolakan orang tua pada masa ini, yang

mendalam atau ringan, akan menimbulkan rasa tidak aman dan

ia akan mengembangkan cara penyesuaian yang salah, dia

mungkin menurut, menarik diri atau malah menentang dan

memberontak.

Anak yang tidak mendapat kasih sayang tidak dapat

menghayati disiplin tak ada panutan, pertengkaran dan keributan

membingungkan dan menimbulkan rasa cemas serta rasa tidak

aman. hal-hal ini merupakan dasar yang kuat untuk timbulnya

tuntutan tingkah laku dan gangguan kepribadian pada anak

dikemudian hari.

3) Masa Anak sekolah

Masa ini ditandai oleh pertumbuhan jasmaniah dan

intelektual yang pesat. Pada masa ini, anak mulai memperluas

lingkungan pergaulannya. Keluar dari batas-batas keluarga.

Kekurangan atau cacat jasmaniah dapat menimbulkan gangguan

Page 10: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

10

penyesuaian diri. Dalam hal ini sikap lingkungan sangat

berpengaruh, anak mungkin menjadi rendah diri atau sebaliknya

melakukan kompensasi yang positif atau kompensasi negatif.

Sekolah adalah tempat yang baik untuk seorang anak

mengembangkan kemampuan bergaul dan memperluas

sosialisasi, menguji kemampuan, dituntut prestasi, mengekang

atau memaksakan kehendaknya meskipun tak disukai oleh si

anak.

4) Masa Remaja

Secara jasmaniah, pada masa ini terjadi

perubahanperubahan yang penting yaitu timbulnya tanda-tanda

sekunder (ciri-ciri diri kewanitaan atau kelaki-lakian) Sedang

secara kejiwaan, pada masa ini terjadi pergolakan- pergolakan

yang hebat. pada masa ini, seorang remaja mulai dewasa

mencoba kemampuannya, di suatu pihak ia merasa sudah

dewasa (hak-hak seperti orang dewasa), sedang di lain pihak

belum sanggup dan belum ingin menerima tanggung jawab atas

semua perbuatannya.

Egosentris bersifat menentang terhadap otoritas, senang

berkelompok, idealis adalah sifat-sifat yang sering terlihat.

Suatu lingkungan yang baik dan penuh pengertian akan sangat

membantu proses kematangan kepribadian di usia remaja.

5) Masa Dewasa muda

Seorang yang melalui masa-masa sebelumnya dengan aman

dan bahagia akan cukup memiliki kesanggupan dan kepercayaan

diri dan umumnya ia akan berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan

pada masa ini. Sebaliknya yang mengalami banyak gangguan

pada masa sebelumnya, bila mengalami masalah pada masa ini

mungkin akan mengalami gangguan jiwa.

6) Masa dewasa tua

Sebagai patokan masa ini dicapai kalau status pekerjaan

dan sosial seseorang sudah mantap. Sebagian orang berpendapat

perubahan ini sebagai masalah ringan seperti rendah diri.

pesimis. Keluhan psikomatik sampai berat seperti murung,

Page 11: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

11

kesedihan yang mendalam disertai kegelisahan hebat dan

mungkin usaha bunuh diri.

7) Masa Tua

Ada dua hal yang penting yang perlu diperhatikan pada

masa ini Berkurangnya daya tanggap, daya ingat, berkurangnya

daya belajar, kemampuan jasmaniah dan kemampuan sosial

ekonomi menimbulkan rasa cemas dan rasa tidak aman serta

sering mengakibatkan kesalah pahaman orang tua terhadap

orang di lingkungannya. Perasaan terasing karena kehilangan

teman sebaya keterbatasan gerak dapat menimbulkan kesulitan

emosional yang cukup hebat.

c. Sebab Sosio Kultural

Kebudayaan secara teknis adalah ide atau tingkah laku yang

dapat dilihat maupun yang tidak terlihat. Faktor budaya bukan

merupakan penyebab langsung menimbulkan gangguan jiwa,

biasanya terbatas menentukan “warna” gejala-gejala. Disamping

mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kepribadian

seseorang misalnya melalui aturan-aturan kebiasaan yang berlaku

dalam kebudayaan tersebut.

Menurut Santrock (1999) Beberapa faktor-faktor kebudayaan

tersebut :

1) Cara-cara membesarkan anak

Cara-cara membesarkan anak yang kaku dan otoriter,

hubungan orang tua anak menjadi kaku dan tidak hangat. Anak-

anak setelah dewasa mungkin bersifat sangat agresif atau pendiam

dan tidak suka bergaul atau justru menjadi penurut yang

berlebihan.

2) Sistem Nilai

Perbedaan sistem nilai moral dan etika antara kebudayaan

yang satu dengan yang lain, antara masa lalu dengan sekarang

sering menimbulkan masalah-masalah kejiwaan. Begitu pula

perbedaan moral yang diajarkan di rumah / sekolah dengan yang

dipraktekkan di masyarakat sehari-hari.

3) Kepincangan antar keinginan dengan kenyataan yang ada

Page 12: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

12

Iklan-iklan di radio, televisi. Surat kabar, film dan lain-lain

menimbulkan bayangan-bayangan yang menyilaukan tentang

kehidupan modern yang mungkin jauh dari kenyataan hidup

seharihari. Akibat rasa kecewa yang timbul, seseorang mencoba

mengatasinya dengan khayalan atau melakukan sesuatu yang

merugikan masyarakat.

4) Ketegangan akibat faktor ekonomi dan kemajuan teknologi

Dalam masyarakat modern kebutuhan dan persaingan

makin meningkat dan makin ketat untuk meningkatkan ekonomi

hasil-hasil teknologi modern. Memacu orang untuk bekerja lebih

keras agar dapat memilikinya. Jumlah orang yang ingin bekerja

lebih besar dari kebutuhan sehingga pengangguran meningkat,

demikian pula urbanisasi meningkat, mengakibatkan upah

menjadi rendah. Faktor-faktor gaji yang rendah, perumahan yang

buruk, waktu istirahat dan berkumpul dengan keluarga sangat

terbatas dan sebagainya merupakan sebagian mengakibatkan

perkembangan kepribadian yang abnormal.

5) Perpindahan kesatuan keluarga

Khusus untuk anak yang sedang berkembang

kepribadiannya, perubahan-perubahan lingkungan (kebudayaan

dan pergaulan), sangat cukup mengganggu.

6) Masalah golongan minoritas

Tekanan-tekanan perasaan yang dialami golongan ini dari

lingkungan dapat mengakibatkan rasa pemberontakan yang

selanjutnya akan tampil dalam bentuk sikap acuh atau melakukan

tindakan-tindakan yang merugikan orang banyak.

4. Indikasi rawat inap pasien pada gangguan jiwa

Rawat Inap di Rumah Sakit (RS) terutama dilakukan atas

indikasi keamanan pasien karena adanya ide bunuh diri atau

mencelakakan orang lain, dan bila terdapat perilaku yang sangat

terdisorganisasi atau tidak wajar termasuk bila pasien tidak mampu

memenuhi kebutuhan dasar berupa makan, perawatan diri dan tempat

Page 13: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

13

tinggalnya. Selain itu Rawat Inap RS diperlukan untuk hal-hal yang

berkaitan dengan diagnostik, stabilisasi pemberian medikasi.

5. Penyebab kekambuhan

Empat faktor penyebab pasien kambuh dan perlu dirawat di rumah

sakit, menurut Sullinger (1988):

a. Pasien: Sudah umum diketahui bahwa klien yang gagal memakan

obat secara teratur mempunyai kecenderungan untuk kambuh.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan 25% sampai 50% klien

yang pulang dari rumah sakit tidak memakan obat secara teratur. 

b. Dokter (pemberi resep): Makan obat yang teratur dapat

mengurangi kambuh, namun pemakaian obat neuroleptic yang

lama dapat menimbulkan efek samping Tardive Diskinesia yang

dapat mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak

terkontrol. 

c. Penanggung jawab pasien: Setelah klien pulang ke rumah maka

perawat puskesmas tetap bertanggung jawab atas program adaptasi

klien di rumah. 

d. Keluarga: Berdasarkan penelitian di Inggris dan Amerika keluarga

dengan ekspresi emosi yang tinggi (bermusuhan, mengkritik, tidak

ramah, banyak menekan dan menyalahkan), hasilnya 57% kembali

dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dan 17%

kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi keluarga

yang rendah. Selain itu klien juga mudah dipengaruhi oleh stress

yang menyenangkan (naik pangkat, menikah) maupun yang

menyedihkan (kematian/kecelakaan). Dengan terapi keluarga klien

dan keluarga dapat mengatasi dan mengurangi stress.Cara terapi

bisanya:Mengumpulkan semua anggota keluarga dan memberi

kesempatan menyampaikan perasaan-perasaannya. Memberi

kesempatan untuk menambah ilmu dan wawasan baru kepada klien

ganguan jiwa, memfasilitasi untuk hijrah menemukan situasi dan

pengalaman baru.

Page 14: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

14

6. Tanda dan Gejala Psikiatri

I. Kesadaran : keadaan siaga

A. Gangguan Kesadaran : apersepsi adalah persepsi seseorang

yang dimodifikasi oleh emosi dan pikirannya sendiri;

sensorium adalah keadaan fungsi kognitif indera khusus

(terkadang digunakan sebagai sinonim kesadaran); gangguan

kesadaran paling sering disebabkan oleh patologi otak.

1. Disorientasi : gangguan orientasi terhadap waktu,

tempat, atau orang.

2. Kesadaran berkabut : kejernihan pikiran yang tidak

sempurna disertai gangguan persepsi dan sikap

3. Stupor : kurangnya reaksi atau ketidaksiagaan terhadap

sekitar

4. Delirium : menjadi buas, gelisah, bingung, reaksi

disorientasi yang disertai rasa takut dan halusinasi

5. Koma : derajat ketidaksadaran berat

6. Koma vigil : koma pada pasien yang tampak seperti

sedang tidur namun dapat segera terjaga (juga dikenal

sebagai mutisme akinetik)

7. Twilight state : kesadaran terganggu yang disertai

halusinasi

8. Keadaan seperti bermimpi : sering digunakan sebagai

sinonim kejang kompleks atau epilepsi psikomotor

9. Somnolen : rasa mengantuk yang abnormal

10. Kebingungan : gangguan kesadaran berupa reaksi yang

tidak tepat terhadap rangsang lingkungan;

bermanifestasi sebagai gangguan orientasi terhadap

waktu, tempat, atau orang

11. Mengantuk : keadaan siaga yang terganggu, disebabkan

oleh hasrat ataukecenderungan untuk tidur

12. Sundowning : sindrom pada lansia yang biasanya terjadi

pada malam hari, ditandai dengan rasa mengantuk,

kebingungan, ataksia, dan terjatuh akibat mengalami

Page 15: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

15

sedasi berlebihan oleh obat; juga disebut sebagai

sundowner’s syndrome

B. Gangguan Perhatian : perhatian adalah jumlah usaha yang

dikeluarkan untuk memfokuskan diri pada bagian tertentu dari

pengalaman, kemampuan untuk mempertahankan fokus pada

suatu aktivitas; kemampuan berkonsentrai

1. Perhatian mudah teralih: ketidakmampuan untuk

memusatkan perhatian; keadaan ketika perhatian

teralihkan ke stimulus eksterna yang tidak penting atau

tidak relevan

2. Gangguan perhatian selektif : hanya mengabaikan hal

yang menimbulkan ansietas

3. Hipervigilans : perhatian dan fokus yang berlebihan

terhadap semua rangsang interna maupun eksterna,

biasanya sekunder akibat keadaan waham atau paranoid;

mirip hiperpragia: berfikir dan melakukan aktivitas

mental yang berlebihan

4. Trans : perhatian yang terpusat dan gangguan

kesadaran, biasanya ditemukan pada hipnotis, gangguan

disosiatif, dan pengalaman keagamaan yang

menimbulkan kenikmatan

5. Disinhibisi : penghilangan efek inhibisi sehingga

memungkinkan seseorang menjadi lepas kendali

terhadap impuls seperti yang terjadi pada intoksikasi

alcohol

C. Gangguan Sugestibilitas : respon sesuai pertanyaan dan tidak

kritis terhadap suatu ide atau pengaruh

1. Folie a’ deux (atau folie a’ trois) : keadaan emosional

yang saling berhubungan antara dua (atau tiga) orang

2. Hypnosis : modifikasi kesadaran yang ditimbulkan

secara buatan, ditandai dengan peningkatan sugesti.

Page 16: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

16

II. Emosi/Perasaan : keadaan perasaan kompleks dengan komponen

psikis, somatic, dan perilaku yang terdiri dari afek dan mood

A. Afek : ekspresi emosi yang teramati, mungkin tidak sesuai

dengan deskripsi pasien tentang emosinya

1. Afek sesuai : kondisi ketika nada emosi selaras dengan

ide, pikiran, atau gaya bicara yang menyertai; juga

dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai afek luas atau

penuh, yaitu ketika kisaran emosi yang penuh

diekspresikan dengan tepat

2. Afek tidak sesuai : ketidakharmonisan antara nada

perasaan emosional dengan ide, pikiran, atau gaya

bicara yang menyertai

3. Afek tumpul : gangguan afek yang bermanifestasi

sebagai sangat berkurangnya intensitas tonus perasaan

yang diungkapkan

4. Afek terbatas atau menyempit : berkurangnya intensitas

nada perasaan yang kadarnya tidak begitu parah

dibanding afek datar namun jelas menurun

5. Afek datar : tidak ada atau hamper tidak ada tanda

ekspresi afektif; suara menonton, wajah tidak bergerak

6. Afek labil : perubahan nada perasaan emosional yang

cepat dan mendadak, tidak disebabkan oleh stimulus

eksterna

B. Mood : emosi yang menetap dan telah meresap yang dialami

dan dilaporkan secara subjektif oleh pasien dan teramati oleh

orang lain; contohnya meliputi depresi, elasi, dan kemarahan

1. Mood disforik : mood yang tidak menyenangkan

2. Mood eutimik : kisaran mood normal, menyiratkan

tidak ada depresi atau elevasi mood

3. Mood ekspansif : ekspresi perasaan seseorang tanpa

ditahan, seringkali disertai perasaan bahwa dirinya amat

berharga dan penting

4. Mood irritable : keadaan ketika seseorang mudah

terganggu dan terprovokasi untuk marah

Page 17: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

17

5. Mood mengalun (mood labil) : osilasi antara euphoria

dengan depresi atau ansietas

6. Elevasi : aura percaya diri dan keriangan; mood yang

lebih ceria daripada biadanya

7. Euphoria : elasi yang intens disertai rasa kebesaran

8. Ekstasi : rasa nikmat yang intens

9. Depresi : rasa sedih yang prikopatologis

10. Anhedonia : hilangnya minat dan menarik diri dari

semua aktivitas biasa dan menyenangkan, sering

disebabkan oleh depresi.

11. Duka cita atau berkabung : kesedihan yang sesuai

dengan kehilangan yang mendalam; juga disebut

kehilangan akibat kematian

12. Aleksitimia : ketidakmampuan seseorang untuk

mengdeskrripsikan atau kesulitan mendeskripsikan atau

menyadari emosi atau mood nya

13. Ide bunuh diri : pikiran atau tindakan mengakhiri

hidupnya sendiri

14. Elasi : perasaan gembira, euphoria, kemenangan,

kepuasan diri yang intens, atau optimism

15. Hipomania : abnormalitas mood yang ditandai ciri

kualitatif mania namun kurang intens

16. Mania : keadaan mood yang ditandai dengan elasi,

agitasi, hiperaktivitas, hiperseksualitas, serta percepatan

berfikir dan berbicara

17. Melankolia : keadaan depresi berat; digunakan dalam

istilah melankolia involusional baik secara deskriptif

maupun untuk merujuk ke suatu entitas diagnosis

tersendiri

18. La belle indifference : sikap kalem yang tidak tepat atau

kurang perhatian terhadap ketidakmampuan seseorang.

Page 18: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

18

C. Emosi Lain

1. Ansietas : rasa takut yang timbul akibat antisipasi

terhadap bahaya, yang dapat besifat internal maupun

eksternal

2. Ansietas mengambang bebas : ketakutan pervasive yang

tidak terfokus dan tidak terlambat pada suatu ide

3. Ketakutan : ansietas yang disebabkan oleh bahaya yang

nyata dan dikenali secara sadar

4. Agitasi : ansietas berat yang disertai kegelisahan

motorik; serupa dengan iritabilitas yang ditandai dengan

eksitabilitas berlebih disertai kemarahan atau rasa

terganggu yang mudah terpicu

5. Ketegangan : aktivitas motoric dan psikologis yang

meningkat dan tidak menyenangkan

6. Panic : serangan ansietas yang intens, episodic, dan akut

yang ditandai dengan rasa ngeri yang berlebihan dan

pelepasan otonom

7. Apati : nada emosional yang menumpul disertai rasa

terlepas atau tak acuh

8. Ambivalensi : koeksistensi dua impuls yang bertolak

belakang terhadap satu hal pada orang yang sama dan

saat yang sama

9. Abreaksi : pembebasan atau pelepasan emosional

setelah mengingat pengalaman menyakitkan

10. Rasa malu : kegagalan untuk mencapai hal yang

diharapkan oleh diri sendiri

11. Rasa bersalah : emosi yang timbul akibat melakukan

sesuatu yang dianggap salah

12. Pengendalian impuls : kemampuan untuk menahan

impuls, dorongan, atau godaan untuk melakukan suatu

tindakan

13. Inefabilitas : keadaan ekstasi yang tidak dapat

dijelaskan, dan mustahil disampaikan ke orang lain

Page 19: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

19

14. Akateksis : kurangnya perasaan terhadap suatu objek

yang biasanya menimbulkan emosi; pada kateksis,

perasaannnya terhubung

15. Dekateksis : terlepasnya emosi dari pikiran, ide, atau

orang

D. Gangguan fisiologis yang menyertai gangguan mood : tanda

disfungsi somatic (biasanya otonom), paling sering diakibatkan

oleh depresi (juga disebut sebagai tanda vegetative)

1. Anoreksia : hilang atau menurunnya selera makan

2. Hiperfagia : peningkatan asupan makanan

3. Insomnia : kehilangan atau berkurangnya kemampuan

untuk tidur :

a. Awal : kesulitan untuk jatuh tertidur

b. Tengah : kesulitan tidur di malam hari tanpa

terbangun dan kesulitan untuk kembali tidur

c. Akhir : terbangun untuk dini hari

4. Hypersomnia : tidur berlebihan

5. Variasi diurnal : mood biaanya paling buruk pada pagi

hari, segera setelah bangun, dan membaik seiring

dengan berjalannya hari

6. Penurunan libido : berkurangnya minat, dorongan, dan

perform seks (peningkatan libido sering dikaitkan

dengan keadaan manik)

7. Konstipasi : ketidakmampuan defekasi atau kesulitan

defekasi

8. Kelelahan : rasa letih, mengantuk, atau iritabilitas yang

timbul setelah suatu periode aktivitas tubuh atau mental

9. Pika : mengidam dan memakan bahan yang bukan

makanan, contohnya cat atau tanah liat

10. Pseudosiesis : kondisi yang jarang, yaitu pasien

menunjukkan tanda dan gejala kehamilan, seperti

distensi abdomen, pembesaran payudara, pigmentasi,

terhentinya menstruasi, dan morning sickness

Page 20: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

20

11. Bulimia : lapar yang tak terpuaskan dan makan

berlebih; dapat dilihat pada bulimia bervosa dan depresi

atipikal

12. Adinamia : kelemahan dan kelelahan

III. Perilaku motorik (konasi) : aspek psikis yang mencakup ilmpuls,

motivasi, keinginan, dorongan, insting, dan hasrat yang

ditujukkan melalui aktivitas motoric atau perilaku seseorang.

1. Ekopraksia : peniruan gerakan seseorang oleh orang

lain secara patologis

2. Katatonia dan abnormalitas postur : ditemukan pada

skizofrenia katatonik dan beberapa kasus penyakit otak,

seperti ensefalitis

a. Katalepsi : istilah umum untuk posisi tidak bergerak

yang dipertahankan secara konstan

b. Eksitasi katatonik : aktivitas motoric yang tak

bertujuan dan teragitasi, tidak dipengaruhi oleh

stimulus eksternal

c. Stupor katatonik : aktivitas motoric yang melambat

secara nyata, seringkali hingga mencapai suatu titik

imobilitas dan tampak tak sadar akan sekitar.

d. Rigiditas katatonik : mempertahankan suatu postur

rigid secara volunteer, meski telah dilakukan semua

usaha untuk menggerakkannya

e. Postur katatonik : mempertahankan suatu postur

aneh dan tidak pada tempatnya secara volunter,

biasanya dipertahankan dalam jangka waktu lama

f. Fleksibilitas serea (fleksibilitas lilin) : keadaan

seseorang yang dapat dibentuk enjadi posisi tertentu

kemudian dipertahankan; ketika pemeriksa

menggerakkan anggota gerak orang tersebut,

anggota gerak itu terasa seperti terbuat dari lilin

g. Akinesia : tidak adanya gerakan fisik, seperti yang

terdapat pada imobilitas ekstrim pada penderita

skizofrenia katatonik; juga dapat terjadi akibat efek

Page 21: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

21

simpang ekstrapiramidal dari pengobatan

antipsikotik.

3. Negativism : tahanan tanpa motif terhadap semua usaha

untuk menggerakkan atau terhadap semua instruksi

4. Katapleksi : hilangnya tonus otot dan kelemahan

sementara yang dipicu oleh berbagai keadaan emosional

5. Stereotipi : pola tindakan fisik atau berbicara yang tetap

dan berulang

6. Manerisme : gerakan involunter yang menjadi

kebiasaan dan mendarah daging

7. Otomatisme : tindakan dilakukan secara otomatis yang

biasanya melambangkan aktivitas simbolik bawah sadar

8. Otomatisme perintah : secara otomatis mengikuti saran

(juga disebut kepatuhan otomatis)

9. Mutisme : menjadi bisu tanpa abnormalitas structural

10. Overaktivitas

11. Hipoaktivitas (hipokinesis) : penurunan aktivitas

motoric dan kognitif, seperti pada retardasi psikomotor;

perlambatan secara nyata pada proses piker, bicara, dan

gerakan

12. Mimikri : aktivitas motoric imitative sederhana pada

masa kanakk-kanak

13. Agresi : tindakan penuh tenaga dan bertujuan yang

dapat bersifat verbal maupun fisik, lawan motoric dari

afek gusar, marahm atau benci

14. Berlagak : ekspresi keinginan bawah sadar atau impuls

tindakan secara langsung; mewujudkan fantasi bawah

sadar secara impulsive dalam perilaku

15. Abulia : penurunan rangsang untuk bertindak dan

berfikir, akibat sikap tidak peduli akan konsekuensi dari

tindakannya, akibat deficit neurologis

16. Anergia : tidak berenergi (anergi)

17. Astasia abasia : ketidakmampuan untuk berdiri atau

berjalan secara normal, meski gerakan tungkai normal

Page 22: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

22

dapat dilakukan pada posisi duduk atau berbaring. Cara

berjalannya aneh dan tidak mengarah ke suatu lesi

prganik spesifik : terdapat pada gangguan konversi

18. Koprofagia : memakan kotoran atau feses

19. Dyskinesia: kesulitan melakukan gerakan volunteer,

seperti pada gangguan ekstrapiramidal

20. Rigidita otot : keadaan ketika otot tetap tak dapat

digerakkan; ditemui pada skizofrenia

21. Berputar : tanda yang terdapat pada anak autistic yang

terus-menerus berputar kea rah kepalanya yang

dimiringkan

22. Bradikinesia : kelambanan aktivitas motoric disertai

penurunan gerakan spontan normal

23. Khorea : gerakan acak, menyertak, cepat, involunter

dan tak bertujuan

24. Konvulsi : kontraksi atau spasme otot yang hebat dan

onvolunter

25. Kejang : serangan atau awitan gejala tertentu yang

mendadak.

IV. Berpikir: aliran ide, simbol, dan asosiasi yang bertujuan. diawali

sebuah masalah atau tugas dan berakhir pada ke-simpulan yang

berorientasi pada kenyataan: bila terdapat urutan yang logis, cara

berpikir dianggap normal; para-praksis (meleset dari logika secara

tidak sadar, disebut juga freudian slip) dianggap sebagai bagian cara

berpikir normal. Cara berpikir abstrak adalah kemampuan untuk

menangkap esensi suatu keseluruhan, memecah keseluruhan menjadi

bagian, dan mericerna isyarat umum.

A. Gangguan menyeluruh dalam bentuk atau proses pikir.

1. Gangguan mental : sindrom perilaku atau psikologis yang

nyata secara klinis dan disertai distres atau disabilitas,

bukan sekedar respons yang diharapkan terhadap peristiwa

tertentu atau terbatas dalam hubungan antara seseorang

dengan masyarakat.

2. Psikosis: ketidakmampuan untuk membedakan kenyataan

Page 23: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

23

dari khayalan; uji realitas terganggu, disertai pembentukan

realitas baru (berlawanan dengan neurosis: gangguan

mental dengan uj i realitas yang tetap baik; perilaku dapat

tidak bertentangan dengan norma sosial umum, tapi

berlangsung lama atau berulang tanpa terapi).

3. Uji realitas: evaluasi dan penilaian objektif terhadap

dunia di luar dirinya.

4. Gangguan bentuk pikir: kelainan dalam bentuk pikir

dan bukannya isi pikir; cara berpikir ditandai dengan

asosiasi longgar, neologisme, dan konstruksi yang

tidak logis; proses pikir terganggu, dan orangnya di

sebut psikotik.

5. Pikiran tak logis: pikiran yang mengandung kesimpulan yang

salah atau kontradiksi internal; hanya di

anggap psikopalologis bila sangat nyata dan tidak di-

sebabkan oleh nilai budaya atau defisit intelektual.

6. Dereisme: aktivitas mental yang tidak sejalan dengan

logika atau pengalaman.

7. Pemikiran autistik: preokupasi dengan dunia pribadi di

dalam dirinya sendiri; istilahyangbiasadigunakan cukup

bersinonim dengan dereisme.

8. Pemikiran magis: bentuk pikiran dereistik: cara ber pikir

yang menyerupai fase preoperasional pada anak (Jean

Piaget), ketika pikiran, kata-kata. Atau tindakan dianggap

memiliki kekuatan (contohnya menyebabkan atau

mencegah suatu peristiwa).

9. Proses pikir primer: islilah umuin untuk cara ber-pikir

dcreislik, tidak logis, magis; normal terdapat dalam

mimpi, terdapal sccara abnormal pada psikosis.

10. Tilikan emosional: tingkat pemahaman atau

kesadar-an yang menclalam yang condoning mengarah ke

perubahan kepribadian dan perilaku yang positif.

Page 24: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

24

B. Gangguan spesifik dalam bentuk pikir.

1.Neologisme: kata barn yang diciptakan oleh pasien,

soringkali dengan menggabungkan suku kata dari kata-

kata lain, untuk alasan psikologis yang idiosinkratik.

2.Word salad: pencampuran kata atau frase yang inkoheren

3.Sirkumstansialitas: gaya bicara tak langsung yang

terlambat mencapai poin tertentu namun akhirnya

dapat berangkat dari poin asal ke tujuan yang dike-

hendaki; ditandai oleh detail dan kata-kata sisipan

yang berlebihan.

4.Tangensialitas: ketidakmampuan untuk mencapai

asosiasi pikiran yang mengarah ke tujuan; pembicara

tidak pernah beranjak dari poin awal ke tujuan yang

diinginkan.

5.Inkoherensi: pikiran yang secara umum tidak dapat

dipahami; pikiran atau kata-kata yang keluar tanpa

hubungan logis maupun tidak sesuai tata bahasa,

mengakibatkan disorganisasi.

6.Perseverasi: respons yang menetap terhadap stimulus

sebelumnya meski telah diberikan stimulus baru;

sering disebabkan oleh gangguan kognitif

7.Verbigerasi: pengulangan kata atau kalimat tertentu

tanpa makna.

8.Ekolalia: pengulangan kata atau kalimat yang di-

ucapkan seseorang yang bersifat psikopatologis;

cenderung berulang dan persisten; dapat diucapkan

dengan intonasi mengejek atau terputus-putus.

9.Kondensasi: penggabungan berbagai konsep menjadi

satu.

10. Jawaban tidak relevan: jawaban yang tidak

selaras

dengan pertanyaan yang diajukan (orang tersebut

tampak mengabaikan atau tidak memperhatikan per

tanyaan).

Page 25: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

25

11. Asosiasi longgar: aliran pikiran berupa

perpindahan

ide dari satu subjek ke subjek lain dalam cara yang

sama sekali tidak berhubungan; bila parah, pem-

bicaraan dapat menjadi inkoheren.

12. Derailment: deviasi alur berpikir yang terjadi

secara

berangsur atau mendadak tanpa bloking; kadang di-

gunakan sebagai sinonim asosiasi longgar.

13. Flight of ideas: permainan kata-kata atau

verbalisasi

kontinu dan cepat yang menghasilkan perpindahan

konstan dari satu ide ke ide lain; ide cenderung ber

hubungan dan pada keadaan yang tidak begitu parah,'

pendengar masih dapat mengikutinya.

14. Clang association: keterkaitan kata-kata dengan

bunyi yang mirip namun berbeda arti; kata-kata ter

sebut tidak memiliki hubungan logis; dapat men-

cakup pembentukan rima dan sajak.

15. Bloking: interupsi alur pikiran secara mendadak

se-lil

bolum suatu pikiran alau ide tuntas: sctclah jeda se-

jenak, seseorang tampak tidak ingal hal yang sodang

atau akan dikatakan (disebut juga sebagai deprivasi

pikiran)

16. Glosolalia: pengungkapan wahyu mclalui kata-

kata

yang tidak dapat dimengerti artinya (juga disebut bicara

dalam lidah); tidadk dianggap sebagai gangguan berfikir bila

dikaitkan dengan praktik agama Pantekosta tertentu; disebut

juga sebagai kriptolalia, bahasa tutur pribadi

C. Gangguan isi pikir spesifik.

Page 26: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

26

1. Miskin isi: pikiran yang hanyamemberi sedikit

informasi karena hampa, pengulangan kosong. atau kalimat

yang samar.

2. Ide berlebihan: kepercayaan salah yang menetap

dan tidak masuk akal, dipertahankan tidak seteguh

waham.

3. Waham: kepercayaan yang salah. didasarkan pada

kesimpulan yang salah tentang realitas ekstema,

tidak konsisten dengan latar belakang inteligensi

dan budaya pasien; tidak dapat dikoreksi dengan

penalaran.

a. Waham bizar: kepercayaan yang salah dan aneh,

sangat tidak masuk akal, (contohnya, penyusup

dari angkasa luar telah menanamkan elektroda ke

dalam otaknya).

b. Waham sistematik: kepercayaan yang salah atau

kepercayaan yang disatukan oleh satu peristiwa

atau tema tunggal (contohnya, seseorang merasa

dikejar-kejar oleh CIA, FBI, atau mafia).

c. Waham yang kongruen-mood: waham yang isinya

sesuai dengan mood (contohnya. pasien depresi

yang percaya bahwa dirinya bertanggung jawab

akan kehancuran dunia).

d. Waham yang tidak kongruen-moorf: waham de

ngan isi yang tidak sesuai dengan mood atau

netral terhadap mood (misalnya. seorang pasien

depresi yang memiliki waham kendali pikir

atau siar isi pikir).

e. Waham nihilistik: perasaan yang salah bahwa diri

nya. orang lain, dan dunia ini tidak ada atau akan

mengalami kiamat.

f. Waham kemiskinan: kepercayaan yang salah pada

seseorang bahwa ia bangkrut atau akan kehilangan

semua harta bendanya.

Page 27: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

27

g. Waham somatik: kepercayaan salah yang melibat-

kan fungsi tubuh (contohnya, kepercayaan bahwa

otaknya membusuk atau meleleh).

h. Waham paranoid: termasuk di antaranya adalah

waham kejar dan waham rujukan, kendali, dan ke-

besaran (dibedakan dari ide paranoid, yaitu ke-

curigaan dengan kadar lebih rendah dari proporsi

waham).

1. Waham kejar: kepercayaan yang salah pada

seseorang yang merasa dirinya dilecehkan,

di-curangi, atau dikejar: sering ditemukan

pada pasien dengan kasus luikum yang

mcmiliki kecenderungan palologis untuk

mengamhiltindak-an hukum karcna adanya

suatu pcrlakuan salali yang imajiner.

2. Waham kebesaran: konsep seseorang akan arti

penting diri, kekuatan mengenali idenlitasnya

yang terlalu dilebih-lebihkan.

3. Waham rujukan: kepercayaan yang salah

dalam diri seseorang bahwa perilaku orang

lain di-tujukan kepada dirinya; bahwa

peristiwa. objek, atau orang lain memiliki

kepentingan tertentu dan luar biasa, biasanya

dalam konotasi negalif; berasal dari ide

rujukan. yaitu ketika seseorang secara salah

merasa bahwa orang lain membicarakan

dirinya (contohnya, kepercayaan bahwa

orang di tv dan radio berbicara kepada atau

mengenai dirinya).

i. Waham menyalahkan diri: perasaan menyesal dan

rasa bersalah yang tidak pada tempatnya.

j. Waham kendali: perasaan yang salah bahwa ke-

inginan, pikiran, atau perasaan seseorang diken-

dalikan oleh kekuatan dari luar.

Page 28: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

28

i. Penarikan pikiran: waham bahwa pikiran se-

seorang dihilangkan dari dirinya oleh orang

atau kekuatan lain.

ii. Insersi pikiran: waham bahwa suatu pemikir-

an ditanamkan ke otak seseorang oleh orang atau

kekuatan lain

iii. Siar pikiran: waham bahwa pikiran seseorang

dapat didengar oleh orang lain, seolah-olah

pikiran tersebut disiarkan di udara.

iv. Kendali pikiran: waham bahwa pikiran sese-

orang dikendalikan oleh orang atau kekuatan lain.

k. Waham ketidaksetiaan (waham cemburu): keper-

cayaan salah yang berasal dari kecemburuan

patologis seseorang bahwa kekasihnya tidak

setia.

l. Erotomania: kepercayaan delusional, lebih sering

ditemukan pada wanita daripada pria, bahwa sese-

orang sedang jatuh cinta pada dirinya (juga di-

kenal sebagai kompleks Clerambaidt-Kandinsky)

m. Pseudologiafantastika: bentuk kebohongan ketika

seseorang tampaknya memercayai bahwa khayal-

annya menjadi nyata dan terjadi pada dirinya: di-

kaitkan dengan sindrom Munchausen. berulang

kali memalsukan penyakit

4. Kecenderungan atau preokupasi pikiran: pemusatan

isi pikir pada ide tertentu, dikaitkan dengan nada afektif

yang kuat, seperti kecenderungan paranoid atau preokupasi

bunuh diri atau membunuh.

5. Egomania: preokupasi patologis mengenai d i r i

sendiri

6. Monomania: preokupasi terhadap suatu objek tunggal.

7. Hipokondria: kekhawatiran yang berlebihan akan ke-

sehatan yang tidak didasarkan atas patologi organik

yang nyata, melainkan interpretasi yang tidak rea-

Page 29: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

29

listis atas tanda atau sensasi fisik yang dianggap ab

normal.

8. Obsesi: mcnciapnya secara patologis suatu pikiran

atau perasaan kuat yang tidak dapat dihilangkan dari

kesadaran dengan usaha yang logis: dikailkan de

ngan ansictas.

9. Kompulsi: kebutuhan patologis untuk bertinclak ber-

dasarkan sebuah impuls yang, bila ditahan, akan

menimbulkan ansietas: perilaku repetitil' sebagai

respons terhadap suatu obsesi atau dilakukan ber-

dasarkan aturan tertentu. tanpa maksud tujuan ter

tentu untuk mengakhirinya selain untuk mencegah

sesuatu terjadi di masa yang akan datang.

10. Koprolalia: secara kompulsif mengeluarkan kata-

kata kotor.

11. Fobia: kengerian patologis yang tidak bervariasi.

berlebihan, tidak rasional. dan menetap akan suatu

stimulus atau situasi spesifik; sehingga timbul hasrat

yang kuat untuk menghindari stimulus yang ditakut-

kan tersebut.

a. Fobia spesifik: rasa takut yang terbatas pada suatu

objek atau situasi yang jelas (contohnya, takut

akan laba-laba atau ular).

b. Fobia sosial: takut dipermalukan oleh orang

banyak, contohnya takut berbicara di depan umum,

takut tampil, atau makan di tempat umum.

c. Akrofobia: takut akan ketinggian.

d. Agorafobia: takut akan tempat terbuka.

e. Algofobia: takut akan rasa nyeri.

f. Ailurofobia: takut akan kucing.

g. Eritrofobia: takut akan warna merah (merujuk

kepada takut mukanya akan bersemu merah)

h. Panfobia: takut akan segala hal

i. Klaustrofobia: takut akan tempat tertutup.

Page 30: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

30

j. Xenofobia: takut akan orang asing.

k. Zoofobia: takut akan hevvan.

l. Fobia jarum: ketakutan patologis yang intens dan

menetap akan disuntik; juga disebut fobia injeksi darah

12. Noesis: vvahyu berupa pencerahan yang terjadi

menimbulkan perasaan bahwa seseorang terpilih untuk

memimpin atau memerintah.

13. Unio mystica: perasaan berlebih mengenai kesatuan

mistis dan suatu kekuatan tak terbatas; tidak dianggap

sebagai gangguan isi pikir bila sejalan dengan ling-

kungan agama atau budaya pasien.

V. Pembicaraan: ide, pikiran, perasaan yang diekspresikan melalui

bahasa; komunikasi dengan menggunakan kata-kata dan bahasa.

A. Gangguan cara berbicara.

1. Tekanan berbicara: gaya bicara cepat yang

meningkat dalam jumlah dan sulit diinterupsi.

2. Suka mengoceh (logorea): gaya bicara logis,

koheren, dan banyak.

3. Miskin bicara: restriksi jumlah pembicaraan

yang digunakan; jawaban dapat hanya terdiri

dari satu suku kata.

4. Gaya bicara tidak spontan: jawaban verbal

hanya di-

berikan bila ditanya atau diajak bicara

langsung; tidak ada inisiatif untuk memulai

pembicaraan.

5. Miskin isi pcmbicaraan: gaya bicara dalam

jumlah

yang adekuat namun liaina menvampaikan

scdikit

informasi akibat banyaknya kehampaan,

kekosongan,

Page 31: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

31

clan kalimai stereotip.

6. Disprosodi: hilangnya irama berbicara normal

(di

sebut prosodi)

7. Disartria: kesulitan dalam artikulasi. bukan

dalam

inenemukan kata atau tata bahasa.

8. Gaya bicara yang sangat kcras atau sangat

pclan:

hilangnya modulasi volume bicara normal,

mungkin

mencerminkan berbagai keadaan patologis

mulai

dari psikosis sampai depresi atau ketulian.

9. Gagap: pengulangan yang sering atau

pemanjangan

suatu bunyi atau suku kata. mengarah ke

gangguan

kelancaran bicara yang cukup nyata.

10. Latah: gaya bicara serampangan dan tidak

bcrirama,

terdiri atas seruan spontan dan cepat.

11. Akulalia: gaya bicara lak masuk akal tcrkait

dengan

gangguan pemahaman yang cukup bermakna.

12. Bradilalia: gaya bicara lambat yang abnormal.

13. Disfonia: kesulitan atau nyeri saat berbicara.

B. Gangguan afasik: gangguan hasil akhir bahasa

1. Afasia motorik: kesulitan berbicara yang disebabkan oleh

gangguan kognitif berupa pemahaman yang

tetap namun kemampuan berbicara sangat terganggu;

gaya bicara terputus-putus, susah payah, dan tidak

Page 32: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

32

akurat (disebut juga afasia Broca, nonfluent, dan

ekspresif).

2. Afasia sensorik: hilangnya kemampuan untuk me-

mahami arti kata dengan penyebab organik; gaya

bicara lancar dan spontan tapi tidak koheren dan tidak

masuk akal (dikenal juga sebagai afasia Wernicke,

fluent, dan reseptif)

3. Afasia nominal: kesulitan menemukan nama suatu objek

dengan benar (disebut juga afasia anomia dan amnesik).

4. Afasia sintaktis: ketidakmampuan menyusun kata- kata dalam

urutan yang benar.

5. Afasia jargon: kata-kata yang dikeluarkan seluruh- nya

neologistik; kata-kata tak bermakna diulang dengan

berbagai intonasi dan perubahan nada suara.

6. Afasia global: kombinasi afasia nonfluent berat de ngan

afasiafluent parah.

7. Alogia: ketidakmampuan berbicara akibat suatu defisiensi

mental atau episode demensia.

8. Koprofasia: penggunaan bahasa yang vulgar atau kasar secara

involunter; terdapat pada gangguan Tourette dan beberapa

kasus skizofrenia.

VI. Persepsi: proses transfer stimulus fisik menjadi informasi psikologis;

proses mental yang membawa stimulus sensorik ke alam sadar.

A. Gangguan persepsi.

1. Halusinasi: persepsi sensorik palsu yang tidak dikait-kan

dengan stimulus eksternal yang nyata; mungkin terdapat

interpretasi berupa vvaham atas pengalaman halusinasi

tersebut namun mungkin pula tidak.

Page 33: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

33

a. Halusinasi hipnagogik: persepsi palsu yang terjadi saat

akan jatuh tertidur; umumnya dianggap sebagai

fenomena yang tidak patologis,

b. Halusinasi hipnopompik: persepsi palsu yang ter

jadi saat bangun dari tidur; biasanya dianggap

tidak patologis.

c. Halusinasi auditorik: persepsi palsu akan bunyi,

biasanya berupa suara-suara namun dapat pula

berupa bunyi-bunyian lain, contohnya musik; mc-

rupakan halusinasi yang paling sering ditemukan

pada gangguan psikiatri

d. Halusinasi visual: persepsi palsu yang melibatkan

penglihatan baik suatu citra yang berbentuk (misal-

nya, orang) dan citra tak berbentuk (misalnya.

kilatan cahaya); paling sering ditemukan pada

gangguan berupa gangguan medis.

e. Halusinasi olfaktorik: persepsi palsu akan ban;

paling sering terdapat pada gangguan medis

f. Halusinasi gustatorik : persepsi palsu akan rasa,

misalnya rasa yang tidak enak, disebabkan oleh

kejang unsinatus; paling sering terjadi pada gang

guan medis.

g. Halusinasi taktil (haptik): persepsi palsu akan

sentuhan atau sensasi permukaan, contohnya

pada ekstremitas yang diamputasi {phantom

limb); sensasi merayap pada atau di bawah kulit

(formikasi).

h. Halusinasi somatik: sensasi palsu akan adanya se-

suatu yang terjadi pada atau ditujukan ke tubuh-nya,

paling sering berasal dari visera (disebut juga

halusinasi senestesik).

i. Halusinasi liliput: persepsi palsu bahwa ukuran

obyek terlihat mengecil (disebut juga mikropsia).

Page 34: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

34

j. Halusinasi yang kongruen-mood: halusinasi yang

isinya konsisten dengan mood depresif atau manik

(contohnya, pasien depresi mendengar suara yang

mengatakan bahwa dirinya adalah orang jahat;

seorang pasien manik mendengar suara yang me-

ngatakan dirinya amat berharga, berkuasa, dan ber-

pengetahuan tinggi).

k. Halusinasi yang tidak kongruen-moorf: halusinasi

yang isinya tidak konsisten dengan mood depresif

maupun manik (misalnya, pada depresi, halusinasi

tidak melibatkan tema seperti rasa bersalah, ber-hak

dihukum, atau perasaan rendah diri; pada mania,

halusinasi tidak melibatkan tema seperti harga diri

dan kekuasaan yang tinggi)

l. Halusinosis: halusinasi, paling sering auditorik. akibat

penyalahgunaan alkohol kronik dan yang terjadi pada

kesadaran yangjernih, berlawanan dengan delirium

tremens, yaitu halusinasi yang terjadi pada kesadaran

berkabut.

m. Sinestesia: sensasi atau halusinasi yang ditimbul-kan

oleh sensasi lain (contohnya, sensasi auditorik yang

disertai atau memicu sensasi visual; suara yang

dianggap terlihat atau kejadian visual yang dianggap

sebagai sesuatu yang terdengar).

n. Fenomena trailing: abnormalitas persepsi torkail ohai

halusinogenik borupa obyek bergerak terlihat scbagai

serangkaian citra yang terpisah dan terputus.

o. Halusinasi pcriniali: perscpsi palsu akan perintah

sang membiiai seseorang merasa wajib mcmatulii

aiau lak kuasa menolak.

2. llusi: persepsi atau intorpretasi yang salah akan stimulus

sensorik eksterna yang nyata.

B. Gangguan yang berkaitan dengan gangguan kognitif

dan penvakit medis

Page 35: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

35

1. Agnosia: keiidakmampuan untuk mengenali dan

menginterprctasi imprcsi sensorik.

2. Anosognosia (pengabaian penyakii): ketidakmam-

puan seseorang umuk mengenali suatu dclisit neuro-

logis yang terjadi pada dirinya.

3. Somatopagnosia (pengabaian tubuh): kciidakmam-

puan seseorang umuk mengenali bagian uibnh se-

bagai miliknya sendiri (juga disebut ototopagnosia).

4. Agnosia visual: ketidakmampuan untuk mengenali

obyek atau orang.

5. Astereognosis: ketidakmampuan untuk mengenali

obyek melalui sentuhan.

6. Prosopagnosia: ketidakmampuan untuk mengenali

wajah.

7. Apraksia: ketidakmampuan untuk melakukan tugas

spesifik.

8. Simultagnosia: ketidakmampuan untuk memahami

lebih dari satu elemen pemandangan visual pada

suatu waktu atau untuk mengintegrasi bagian ter-

sebut sebagai suatu kesatuan.

9. Adiadokhokinesia: ketidakmampuan untuk melaku

kan gerakan cepat bergantian.

10. Aura: sensasi peringatan berupa otomatisme, rasa

penuh pada perut. pipi memerah, perubahan napas, sensasi

kognitif, dan keadaan afektif yang biasanya dialami

sebelum serangan kejang; suatu prodromal sensorik yang

mendahului nyeri kepala migren klasik.

C. Gangguan yang berkaitan dengan konversi dan

fenomena disosiatif: somatisasi materi yang direpresi

atau timbulnya gejala fisik dan distorsi yang melibatkan

otot volunter atau organ indera tertentu; bukan di bawah

kendali volunter dan tidak dapat dijelaskan oleh gang

guan fisik lain.

Page 36: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

36

1. Anestesia histeris: hilangnya modalitas sensorik

akibat konflik emosional.

2. Makropsia: keadaan ketika obyek tampak lebih besar

daripada sebenarnya.

3. Mikropsia: keadaan ketika obyek tampak lebih

kecil daripada sebenarnya (baik makropsia mau-

pun mikropsia juga dapat disebabkan oleh pe

nyakit organik yang jelas, contohnya kejang parsial

kompleks).

4. Depersonalisasi: sensasi subjektif pada seseorang

bahwa dirinya terasa tidak nyata, asing, atau tidak

familiar.

5. Dcrealisasi: sensasi subjektif bahwa lingkungan

tampak aneh atau tak nyata; perasaan bahwa kenyataan

telah berubah

6. Fugue: mcngambil identitas baru diserlai amnesia

akan identitas yang lama; scringknli melibatkan per-

jalanan atau berkelana ke lingkungan baru.

7. Kepribadian ganda: seseorang yang pada saal yang

berbeda tampak memiliki dua atau lebih kepribadian

dan karakter yang sama sekali berbeda (disebut se

bagai gangguan identitas disosiatif da\am DSM-IV-

TR).

8. Disosiasi: mekanisme pertahanan bawah saclar yang

meliputi pemisahan selurub kclompok proses mental

atau perilaku dari aklivitas psikis lain pada orang

tersebut; dapat mencakup pemisahan suatu ide dari

nada emosional yang menyertainya, seperti yang

tampak pada gangguan konversi dan disosiasi.

VII. Memori: fungsi penyimpanan informasi di dalam otak yang

kemudian diingat kembali ke alam sadar. Orientasi adalah

keadaan normal seseorang terhadap sekitarnya dalam hal

waktu, tempat, dan orang.

Page 37: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

37

A. Gangguan memori.

1. Amnesia: ketidakmampuan parsial atau total

untuk mengingat kejadian masa lalu; dapat bersifat

organik atau. emosional.

a. Anterograd: amnesia mengenai kejadian yang

terjadi sesudah waktu tertentu.

Retrograd: amnedia mengenai kejadian yang terjadi

sebelum waktu tertentu.

2. Paramnesia: pemalsuan memori akibat distorsi

dalam mengingat kembali.

a. Fausse reconnaissance: pengenalan yang salah

b. Falsifikasi retrospektif: memori menjadi

terdistorsi di luar keinginan (tanpa sadar),

dipengaruhi oleh kondisi pengalaman, kognisi, dan

emosi seseorang saat itu.

c. Konfabulasi: pengisian kekosongan memori se-

cara tidak sadar dengan pengalaman yang di-

bayangkan atau bukan yang sebenarnya yang

dipercayai oleh seseorang namun hal tersebut tidak

sesuai kenyataan; paling sering disebabkan oleh

patologi organik.

d. Deja vu: ilusi pengenalan visual yaitu suatu

situasi yang baru dikenali secara salah sebagai

pengulangan memori yang telah dialami

sebelumnya.

e. De'ja enlendu: ilusi pengenalan auditorik.

f. De'ja pense: ilusi bahwa suatu pikiran yang baru

dikenali sebagai pikiran yang sebelumnya telah

dialami atau diungkapkan.

Page 38: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

38

g. Jamais vu: perasaan yang salah yaitu seseorang

tidak merasa familiar dengan situasi yang sebelum

nya telah ia alami.

h. Memori palsu: Pengingatan kembali dan

keyakin-an oleh seseorang mengenai suatu

kejadian yang sebenarnya tidak terjadi.

3. Hipermnesia: derajat retensi dan pengingat kembali

memori yang berlebihan.

4. Citra eidelik: memori visual yang sangat jelas,

hampir seperti halusinasi.

5. Memori layar: incmori yang clitolcransi sccarn

saclar untuk menutupi suatu memori yang

menyakilkan.

6. Represi: mekanisme defcnsi yang ditandai

dengan melupakan secara sadar idc atau iinpuls

yang tak dapat diterima.

7. Lethologika: ketidakmampuan sementara

untuk mengingat nama atau kata benda yang

benar.

8. Blackout: amnesia yang dialami oleh

alkoholik tentang perilaku selama ia minum-

minum; biasanya mengindikasikan terjadinya

kerusakan otak revesibel.

B. Tingkatan memori.

1. Segera: reproduksi atau pengingatan

materi yang baru diterima dalam jangka waktu

detik atau menit.

2. Jangka peridek: mengingat peristiwa yang

terjadi selama beberapa hari sebelumnya

3. Jangka menengah: mengingat peristiwa yang

Page 39: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

39

terjadi dalam beberapa bulan sebelumnya.

4. Jangka panjang: mengingat peristiwa yang terjadi jauh di

masa lampau.

VIII. Inteligensi: kemampuan untuk memahami, mengingat kembali,

memobilisasi, dan mengintegrasikan secara kon-struktif

pelajaran di masa lalu dalam menghadapi situasi baru.

A. Retardasi mental: kurangnya inteligensi hingga

mencapai suatu derajat terdapatnya gangguan kinerja

sosial dan pekerjaan: ringan (IQ 50 atau 55

sampai 70), sedang (IQ 35 atau 40 sampai 50 atau

55), berat (IQ 20 atau 25 sampai 35 atau 40), atau

sangat berat (IQ di bawah 20 atau 25); istilah

kunonya idiot (usia mental di bawah 3 tahun), imbisil

(usia mental antara 3 sampai 7 tahun), dan moron

(usia mental sekitar 8 tahun).

B. Demensia: penurunan fungsi intelektual yang

bersifat global dan organik tanpa kesadaran berkabut.

1. Diskalkulia (akalkulia): hilangnya kemampuan

untuk melakukan kalkulasi; bukan disebabkan oleh

ansietas atau gangguan konsentrasi.

2. Disgralia (agralia): hilanunya keniampuan uniuk

menulis miring, hilangnya slruktur kata

3. Aleksia: hilangnya kemampuan memhaca sang Si

mula dimiliki; bukan disebabkan oleh kecacatan

pada kelajaman visual.

C. Pseudodemcnsia: gambaran klinis yang

menycrupni demensia naniun bukan disebabkan oleh

kondisi organik: paling sering disebabkan oleh depresi

(sindrom demensia pada depresi).

Page 40: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

40

D. Pemikiran konkret: cara berpikirsecara

harfiah:penggunaan metafora yang terbatas tanpa

memahami nuansa maknanya; pemikiran satu

dimensi.

E. Pemikiran abstrak: kemampuan untuk

memahami nuansa makna; pemikiran multidimensi

dengan kemampuan untuk menggunakan metafora

dan hipotesis secara lepat.

IX. Tilikan: Kemampuan seseorang untuk memahami penyebab sejati dan

makna suatu situasi (contohnya sekumpulan gejala).

A. Tilikan intelektual: pemahaman kenyataan

objektif suatu kelompok keadaan tanpa disertai

kemampuann untuk menerapkan pemahaman

tersebut dalam cara yang berguna untuk

mengatasi situasi.

B. Tilikan sejati: pemahaman akan kenyataan

objektif suatu situasi disertai motivasi dan

dorongan emosionai unluk menguasai situasi.

C. Tilikan terganggu: berkurangnya kemampuan

untuk memahami kenyataan objektif dari suatu

situasi.

X. Daya nilai: kemampuan untuk mengkaji suatu situasi

dengan benar dan bertindak sesuai situasi tersebut.

A. Daya nilai kritis: kemampuan untuk mengkaji,

mencerna, dan memilih di antara berbagai opsi

dalam suatu situasi.

B. Daya nilai otomatis: kinerja refleks suatu

tindakan.

Page 41: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

41

C. Daya nilai terganggu: berkurangnya kemampuan

untuk memahami suatu situasi dengan benar dan

mengambil tindakan yang sesuai.

7. Konsep dasar pemeriksaan psikiatri

1) Wawancara psikiatri

Wawancara psikiatri terbagi 2, yaitu:

a. Alloanamnesis, yaitu anamnesis yang dilakukan kepada

keluarga, saudara atau teman dekat penderita dengan tujuan

untuk mendapatkan informasi tentang gejala gangguan jiwa

saat ini, riwayat gangguan jiwa sebelumnya, riwayat

perkembangan, riwayat penyakit dalam keluarga, silsilah

keluarga, riwayat pribadi penderita, dan stessor psikososial.

b. Autoanamnesis, yaitu menggalin informasi, tanda dan gejala

langsung kepada penderita.

2) Riwayat psikiatri

a. Identifikasi: nama, umur, status perkawinan, jenis kelamin,

pekerjaan, bahasa selain bahasa inggris, ras kebangsaan, dan,

bila berhubungan, agama; riwayat rawat inap sebelumnya untuk

penyakit yang sama atau berbeda; dengan siapa pasien tinggal.

b. Keluhan utama: tepatnya mengapa pasien datang ke psikiater,

lebih disukai dalam bahasa pasien sendiri, bila informasi bukan

dari pasien, catat siapa yang memberikannya.

c. Riwayat penyakit sekarang: latar belakang kronologis dan

perkembangan gejala atau perubahan perilaku yang memuncak

saat pasien mencari bantuan; situasi kehidupan pasien saat

awitan; kepribadian dalam keadaan normal; bagaimana

penyakit mempengaruhi aktivitas hidup dan hubungan ribadi—

perubahan kepribadian, minat, mood, sikap terhadap orang lain,

cara berpakaian, kebiasaan, tingkat ketegangan, iritabilitas,

aktivitas, perhatian, konsentrasi, memori, gaya bicara; gejala

psikofisiologis sifat dan detail disfungsi; nyeri lokasi,

intensitas, fluktuasi; kadar ansietas umum dan nonspesifik

Page 42: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

42

(mengambang bebas) atau secara spesifik berhubungan dengan

situasi, aktivitas, atau objek tertentu; bagaimana mengatasi

ansietas penghindaran, pergaulan situasi yang ditakuti,

penggunaan obat-obatan atau aktivitas lain sebagai pengalihan.

d. Riwayat penyakit medis dan psikiatri terdahulu: (1). Gangguan

emosi atau mental – seberapa jauh mengurangi kemampuan,

jenis terapi, nama rumah sakit, lama sakit, efek terapi;

(2).Gangguan psikosomatik: hay fever, artritis, kolitis,

reumatoid, pilek berulang, penyakit kulit; (3). Penyakit medis:

ikuti pengkajian sistem yang berlaku; penyakit menular

seksual; penyalahgunaan alkohol atau zat lain; beresiko

mengidap AIDS; (4). Gangguan neurologis: sakit kepala,

traumakranioserebral, hilang kesadaran, kejang atau tumor.

e. Riwayat keluarga: diperoleh dari pasien dan dari orang lai,

karena deskripsi yang diberikan mengenai orang-orang dan

kejadian yang sama bisa saja cukup berbeda; etnis, kebangsaan,

dan tradisi keagamaan; orang lain di rumah, deskripsi tentang

mereka – kepribadian dan intelegensi – serta hubungan mereka

sejak pasien masih kanak-kanak; deskripsi berbagai lingkungan

rumah tangga tempat pasien pernah tinggal; hubungan antara

pasien dengan anggota keluarga lain saat ini; peran penyakit

dalam keluarga; riwayat penyakit mental dalam keluarga;

dimana pasien tingga – lingkungan tetangga dan terutama

disekitar kediaman pasien; apakah rumahnya penuh sesak;

privasi anggota keluarga terhadap anggota keluarga dan

keluarga yang lain; sumber pendapatan keluarga dan kesulitan

memperolehnya; bantuan masyarakat (bila ada) dan sikap

terhadap hal itu; apakah pasien akan kehilangan pekerjaan atau

tempat tinggalnya bila ia tetap di rawat inap; siapa yang

mengurus anak.

f. Riwayat pribadi: riwayat kehidupan pasien sejak bayi hingga

saat ini sejauh yang dapat diingat; celah dalam riwayat yang

secara spontan dihubungkan oleh pasien; emosi yang berkaitan

dengan periode kehidupan yang berbeda (menyakitkan,

Page 43: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

43

meyebabkan stress, menimbulkan konflik) atau fase dalam

siklus kehidupan.

(1) Masa kanak-kanak awal (sampai usia 3 tahun)

Riwayat pranatal serta kehamilan ibu dan kelahiran:

lama kehamilan, apakah kelahiran terjadi spontan dan

normal, trauma lahir, apakah kelahiran pasien

direncanakan dan diinginkan, cacat lahir.

Kebiasaan pemberian makan: ASI atau susu botol,

masalah makan.

Perkembangan awal: deprivasi maternal, perkembangan

bahasa, perkembangan motorik, tanda kebutuhan tak

terpenuhi, pola tidur, konsistensi objek, ansietas

terhadap orang asing, kecemasan terhadap perpisahan.

Latihan buang air: umur, sikap orang tua, perasaan

terhadap hal ini.

Gejala masalah perilaku: mengisap ibu jari,

tempertantrum, tik, membenturkan kepala,

menggoyangkan badan, teror malam, takut, mengompol,

menggigit kuku.

Kepribadian dan tempramen sebagai anak: pemalu,

gelisah, overaktif, menarik diri, suka belajar, terbuka.

Mimpi atau fantasi awal

(2) Masa kanak-kanak pertengahan (usia 3-11 tahun): riwayat

ingin bersekolah – perasaan tentang pergi ke sekolah,

penyesuaian diri, identifikasi gender, perkembangan hati

nurani, hukuman; hubungan sosial, sikap terhadap saudara

kandung dan teman bermain.

(3) Masa kanak-kanak akhir (prapubertas sampai remaja)

Hubungan sebaya: jumlah teman dan kedekatannya,

pemimpin atau pengikut, popularitas sosial, partisispasi

dalam aktifitas kelompok atau geng.

Page 44: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

44

Riwayat sekolah: jarak yang harus ditempuh pasien ke

sekolah, penyesuaian terhadap sekolah, hubungan

dengan guru - Murid kesayangan atau pembangkang –

mata pelajaran favorit atau minat, kemampuan atau aset

khusus, olahraga, hobi, hubungan antara masalah atau

gejala dengan periode bersekolah manapun.

Perkembangan motorik dan kognitif: belajar membaca

dan keterampilan intelektual serta motorik lain,

kesulitan belajar – penanganan serta pengaruhnya pada

anak tersebut.

Masalah fisik atau emosional remaja khusus: mimpi

buruk, fobia, mengompol, kabur, kenakalan remaja,

merokok, penggunaan obat-obatan atau alkohol,

amsalah berat badan.

Riwayat psikoseksual

i. Rasa penasaran awal, mastrubasi infatil, permainan

seks.

ii. Diperolehnya pengetahuan seks, sikap orang tua

terhadap seks, penganiyayaan seksual.

iii. Awitan pubertas, perasaan terhadapnya, bentuk

persiapan, perasaan mengenai menstruasi,

perkembangan ciri seks sekunder.

iv. Aktivitas seks remaja: menaksir, berpesta,

berkencan, bercumbu, mastrubasi, mimpi basah dan

sikap terhadap hal tersebut.

v. Sikap terhadap sesama dan lawan jenis: minder,

pemalu, agresif, merasa perlu menonjolkan diri,

penaklukan seksual.

vi. Praktik seksual: masalah seksual, pengalaman

homoseksual dan heteroseksual.

Latar belakang keagaaman: taat, liberal, campuran

(kemungkinan konflik).

(4) Masalah dewasa

Page 45: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

45

Riwayat pekerjaan: pilihan pekerjaan, pelatihan,

ambisi, konflik; hubungan dengan pemegang

kekuasaan, rekan kerja atau bawahan; jumlah pekerjaan

dan durasi; perubahan status pekerjaan; pekerjaan saat

ini dan perasaan terhadap hal tersebut.

Aktivitas sosial: apakah pasien memiliki teman atau

tidak; apakah ia menarik diri atau bersosialisasi dengan

baik; minat sosial, intelektual, dan fisik.

Seksualitas dewasa:

i. Hubungan seks pranikah, usia saat hubungan seks

pertama, orientasi seks.

ii. Riwayat perkawinan: pernikahan menurut hukum

adat, pernikahan yang sah menurut hukum, usia saat

menikah, masalah setiap anggota keluarga,

perselingkuhan, manajemen keuangan.

iii. Gejala seksual: anorgasmia, impotensi, ejakulasi

dini, kurang bergairah.

iv. Sikap terhadap kehamilan dan memiliki anak:

praktik kontrasepsi.

v. Praktik seksual: parafilia seperti sadisme, fetis.

Riwayat militer: penyesuaian umum, pertempuran,

cedera, rujukan ke psikiater, tipe pembebas tugasan.

Sistem nilai :apakah anak dianggap sebagai beban atau

kesenangan; apakah pekerjaan dianggap sebagai setan

yang diperlukan, tugas yang dapat di hindari atau suatu

kesempatan, sikap terhadap agama saat ini.

3) Status mental

a. Penampilan

- Identifikasi pribadi: dapat meliputi deskripsi non-teknis

singkat tentang penampilan dan tingkah laku pasien yang

dapat di tulis dengan cara seperti para novelis; sikap

terhadap pemeriksa: kooperatif, penuh perhatian, tertarik,

terus terang, bermusuhan, suka bercanda, suka mengelak,

berhati-hati.

Page 46: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

46

- Perilaku dan aktivitas psikomotor: cara berjalan, gerakan

tubuh, tik, stereotipi, gerakan mencabut, menyentuh

pemeriksa, kikuk, tangkas, , lambat, hiperaktif, penuh

perlawanan, seperti lilin.

- Gambaran umum: postur, pakaian, kerapihan, rambut; kuku:

tampak sehat, sakit, marah, ketakutan, apatis, kebingungan,

merendahkan, tak nyaman, tenang, tampak tua, muda.

b. Gaya bicara: cepat, lambat, tertekan, tertahan, emosional,

monoton, lantang, berisik, pelo, gagap.

c. Mood dan afek

- Mood (emosi yang menetap dan telah meresap yang

mewarnai persepsi orang tersebut terhadap dunia):

bagaimana pasien mengatakan apa yang di rasakan,

kedalaman, intensitas, durasi, dan fliuktuasi mood –

depresif, putus asa, iritabel, hampa, bersalah, terpesona,

merasa sia-sia.

- Afek (emosi yang di tunjukan pasien terhadap hal yang ia

rasakan di dalam): bagaimana pemeriksa menilai afek

pasien – luas, terbatas, menumpul atau datar, dangkal;

kesulitan memulai, mempertahankan atau mengakhiri;

apakah emosi sesuai dengan isi pikir.

d. Pikiran dan persepsi

(1) Bentuk pikiran

Produktivitas: ide yang sangat berlebihan, miskin

ide, flight of ideas, berpikir cepat, berpikir lambat.

Kontinuitas pikiran: apakah jawaban pasien benar-

benar menjawab pertanyaan dan mengarah ke

tujuan, relavan atau tidak relavan, suka mengelak,

bertahan, bloking, atau perhatian mudah teralih.

Hendaya bahasa: gaya bicara inkoheren.

(2) Isi pikir

Preokupasi: tentang penyakitnya, masalah di

lingkungan, obsesi, rencana bunuh diri.

Page 47: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

47

(3) Gangguan berpikir

Waham: isi semua sistem waham, bagaimana

waham tersebut mempengaruhi hidupnya.

Ide pengaruh dan ide rujukan: bagaimana ide itu

bermula, isi dan makna ide tersebut menurut

pasien.

(4) Gangguan persepsi

Halusinasi dan ilusi: apakah pasien mendengar

suara-suara atau melihat penampakan.

(5) Fantasi dan mimpi

Mimpi: yang menonjol, bila pasien mau

menceritakannya; mimpi buruk.

Fantasi: rekuren, favorit atau khayalan yang tak

tergoyahkan.

e. Sensorium

- Kesiagaan: kewaspadaan terhadap lingkungan, kesadaran

berkabut, somnolen, stupor, letargi.

- Orientasi: apakah pasien dapat mengidentifikasi hari dengan

benar, apakah pasien mengetahui dimana ia berada, apakah

pasien mengenali siapa pemeriksanya dan peran atau nama

orang yang berkontak dengannya.

- Memori:

i. Jangka panjang: data masa kanak-kanak, peristiwa

penting yang diketahui terjadi saat pasien berusia lebih

muda dan bebas penyaki, masalah pribadi.

ii. Jangka menegah: beberapa bula terakhir.

iii. Jangka pendek: beberapa hari terakhir, apa yang pasien

lakukan kemarin.

- Tilikan: tingkat kesadaran dan pemahan pasien akan

penyakitnya.

- Daya nilai

Page 48: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

48

8. Evaluasi Multiaksial, Prognosis dan Rencana Terapi

a. Tujuan diagnosis multiaxial adalah untuk mencakup informasi

yang menyeluruh sehingga dapat membantu dalam perencanaan

terapi dan pembuatan prognosis. Diagnosis multiaxial memakai

lima axis yaitu :

1. Axis I : Gangguan jiwa klinis (F00-F99) dan gangguan lain

yang menjadi perhatian klinis utama (lihat

lampiran 3 pada buku PPDGJ-III) dan Z03.2 tidak

ada diagnosis axis I, R69 diagnosis axis I tertunda.

2. Axis II : Gangguan kepribadian (F21, F60, F61) dan

retardasi mental (F70-F79) dan Z03.2 tidak ada

diagnosis axis II, R46.8 diagnosis axis II tertunda.

3. Axis III : Kondisi medis umum.

4. Axis IV : Masalah Psikososial danLingkungan.

- Masalah dengan kelompok bantuan primer

(keluarga)

- Masalah berkaitan dengan lingkungan sosial

- Masalah pendidikan

- Masalah pekerjaan

- Masalah perumahan

- Masalah ekonomi

- Masalah akses ke pelayanan kesehatan

- Masalah interaksi dengan hukum atau masalah

kriminal

- Masalah psikososial dan lingkungan lain

5. Axis V : Penilaian fungsi secara menyeluruh atau Global

Assessment of Function (GAF) adalah sebagai

berikut :

- 100-91 : Tidak terdapat gejala, berfungsi

optimal, tidak terdapat masalah

yang tidak dapat diatasi

- 90-81 : Terdapat gejala minimal, berfungsi

Page 49: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

49

cukup baik, cukup puas, terdapat

tidak lebih dari masalah harian

yang biasa

- 80-71 : Gejala hanya sementara dan dapat

diatasi, gangguan yang ringan

dalam aktivitas sosial, pekerjaan,

sekolah dan lain-lain

- 70-61 : Beberapa gejala ringan dan

menetap, gangguan ringan dalam

fungsi, secara umum masih baik

- 60-51 : Gejala sedang, gangguan sedang

- 50-41 : Gejala berat, gangguan berat

- 40-31 : Beberapa gangguan dalam

hubungan dengan kenyataan

(realitas) dan komunikasi,

gangguan berat dalam beberapa

fungsi

- 30-21 : Gangguan berat dalam komunikasi

dan kemampuan penilaian, tidak

mampu berfungsi hampir pada

semua bidang

- 20-19 : Bahaya melukai diri sendiri dan

atau orang lain, gangguan sangat

berat dalam berkomunikasi dan

mengurus diri sendiri

- 10-1 : Seperti diatas, tetapi persisten dan

lebih serius

- 0 : Informasi tidak cukup

Catatan : Antara Axis I, II dan III tidak harus ada hubungan

etiologis atau Patogenesis, dan hubungan antara Axis

I, II, III dan Axis IV dapat timbal balik dan saling

mempengaruhi.

Page 50: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

50

b. Prognosis, dapat ditentukan dari awitan, gejala tambahan, gejala

yang ada, pihak keluarga, lama pengobatan.

Prognosis Baik Prognosis Buruk

Onset lambat Onset muda

Faktor pencetus yang jelas Tidak ada faktor pencetus

Onset akut Onset tidak jelas

Riwayat sosial, seksual dan

pekerjaan premorbid yang baik

Riwayat sosial dan pekerjaan

premorbid yang buruk

Gejala gangguan mood Gejala negatif

Menikah Perilaku menarik diri

Riwayat keluarga gangguan mood Tidak menikah atau bercerai

Sistem pendukung yang baik Sistem pendukung yang buruk

Gejala positif Tanda dan gejala neurologis

Riwayat trauma perinatal

c. Rencana Terapi

I. Tujuan terapi :

1. Menurunkan atau menghilangkan tanda dan gejala

2. Mengembalikan fungsi utama yang terganggu

3. Meminimalkan resiko kekambuhan

II. Pedoman terapi :

1. Terapi Biologis

A. Penggunaan Obat Antipsikosis

Obat-obatan antipsikosis yang dapat meredakan gejala-

gejala schizophrenia adalah chlorpromazine (thorazine) dan

fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut

termasuk kelompok obat phenothiazines, reserpine (serpasil),

dan haloperidol (haldol). Obat ini disebut obet penenang utama.

Obat tersebut dapat menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan,

tetapi tidak mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam

dosis yang sangat tinggi (orang tersebut dapat dengan mudah

terbangun). Obat ini tampaknya mengakibatkan sikap acuh

pada stimulus. luar. Obat ini cukup tepat bagi penderita

Page 51: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

51

schizophrenia yang tampaknya tidak dapat menyaring stimulus

yang tidak relevan).

Bukti menunjukkan bahwa obat antipsikotik ini bekerja

pada bagian batang otak, yaitu sistem retikulernya, yang selalu

mengendalikan masukan berita dari alat indera pada cortex

cerebral. Obat-obatan ini tampaknya mengurangi masukan

sensorik pada sistem retikuler, sehingga informasi tidak

mencapai cortex cerebral. Obat antipsikotik telah terbukti

efektif untuk meredakan gejala schizophrenia, memperpendek

jangka waktu pasien di rumah sakit, dan mencegah kambuhnya

penyakit. Namun, obat-obatan tersebut bukan untuk

penyembuhan menyeluruh. Kebanyakan pasien harus

melanjutkannya dengan perbaikan dosis pengobatan agar dapat

berfungsi di luar rumah sakit.

Di samping itu, efek penggunaan obat-obatan antipsikotik

tersebut memiliki dampak sampingan yang kurang

menyenangkan, yaitu mulut kering, pandangan mengabur, sulit

berkonsentrasi, sehingga banyak orang menghentikan

pengobatan mereka. Selain itu juga terdapat dampak sampingan

yang lebih serius dalam beberapa hal, misalnya tekanan darah

rendah dan gangguan otot yang menyebabkan gerakan mulut

dan dagu yang tidak disengaja (Atkinson, et al., 1991). Selain

itu, dalam 2-3 tahun terakhir ini, obat-obat psikotropik anti

schizophrenic bermunculan dan mulai digunakan di Indonesia.

Obat-obat ini seperti clozapine, risperidone, olanzepine,

iloperidol, diyakini mampu memberikan kualitas kesembuhan

yang lebih baik, terutama bagi yang sudah resisten dengan obat-

obat lama. Obat-obat generasi kedua ini bisa menetralisir

gejala-gejala akut schizophrenia seperti tingkah laku kacau,

gaduh gelisah, waham, halusinasi pendengaran, inkoherensi,

maupun menghilangkan gejala-gejala negatif (kronik) seperti

autistik (pikiran penuh fantasi dan tak terarah), perasaan

tumpul, dan gangguan dorongan kehendak. Namun, obat-obat

anti schizophrenia ini memiliki harga yang cukup mahal.

Page 52: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

52

Sementara, penderita schizophrenia di Indonesia kebanyakan

berasal dari golongan sosial ekonomi rendah dan biasanya

menggunakan obat-obatan klasik (generik).

2. Terapi Elektrokonvulsif

Terapi Elektrokonvulsif disingkat ECT juga dikenal

sebagai terapi elektroshock. ECT telah menjadi pokok

perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa

alasan. Di masa lalu ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit

jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk schizophrenia.

Namun terapi ini tidak membuahkan hasil yang bermanfaat.

Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi dikembangkan,

ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan pasien.

Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik

dialirkan ke tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran

sementara, serta seringkali menderita kerancuan pikiran dan

hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya, intensitas

kekejangan otot yang menyertai serangan otak mengakibatkan

berbagai cacat fisik.

Namun, sekarang ECT sudah tidak begitu menyakitkan.

Pasien diberi obat bius ringan dan kemudian disuntik dengan

penenang otot. Aliran listrik yang sangat lemah dialirkan ke

otak melalui kedua pelipis atau pada pelipis yang mengandung

belahan otak yang tidak dominan. Hanya aliran ringan yang

dibutuhkan untuk menghasilkan serangan otak yang diberikan,

karena serangan itu sendiri yang bersifat terapis, bukan aliran

listriknya. Penenang otot mencegah terjadinya kekejangan otot

tubuh dan kemungkinan luka. Pasien bangun beberapa menit

dan tidak ingat apa-apa tentang pengobatan yang dilakukan.

Kerancuan pikiran dan hilang ingatan tidak terjadi, terutama

bila aliran listrik hanya diberikan kepada belahan otak yang

tidak dominant (nondominan hemisphere). Empat sampai enam

kali pengobatan semacam ini biasanya dilakukan dalam jangka

waktu 2 minggu.

Page 53: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

53

Akan tetapi, ECT ini tidak cukup berhasil untuk

penyembuhan schizophrenia, namun lebih efektif untuk

penyembuhan penderita depresi tertentu (Atkinson, et al.,1991).

3 Pembedahan bagian otak

Pada tahun 1935, Moniz (Davison, et al., 1994)

memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu preoses

pembedahan pada lobus frontalis penderita schizophrenia.

Menurut Moniz, cara ini cukup berhasil dalam proses

penyembuhan yang dilakukannya, khususnya pada penderita

yang berperilaku kasar. Akan tetapi, pada tahun 1950 -an cara

ini ditinggalkan karena menyebabkan penderita kehilangan

kemampuan kognitifnya, otak tumpul, tidak bergairah, bahkan

meninggal.

4. Psikoterapi

Gejala-gejala gangguan schizophrenia yang kronik telah

membuat situasi pengobatan di dalam maupun di luar Rumah

Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton dan menjemukan. Para

psikiater dan petugas kesehatan terkondisi untuk menangani

schizophrenia dengan obat saja selain terapi kejang listrik

(ECT). Psikoterapi suportif, terapi kelompok, maupun terapi

perilaku hampir tidak pernah dilakukan, karena dianggap tidak

akan banyak manfaatnya. Wawancara tatap muka yang rutin

dengan pasien jarang dilakukan.

Psikoterapi adalah perawatan dan penyembuhan

gangguan jiwa dengan cara psikologis. beberapa pakar

psikoterapi beranggapan bahwa perubahan perilaku tergantung

pada pemahaman individu atas motif dan konflik yang tidak

disadari.

4. Terapi Psikoanalisa.

Terapi Psikoanalisa adalah metode terapi

berdasarkan konsep Freud. Tujuan psikoanalisis adalah

menyadarkan individu akan konflik yang tidak disadarinya

Page 54: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

54

dan mekanisme pertahanan yang digunakannya untuk

mengendalikan kecemasannya . Hal yang paling penting

pada terapi ini adalah untuk mengatasi hal-hal yang

direpress oleh penderita. Metode terapi ini dilakukan pada

saat penderita schizophrenia sedang tidak "kambuh".

Macam terapi psikoanalisa yang dapat dilakukan, adalah

Asosiasi Bebas. Pada teknik terapi ini, penderita didorong

untuk membebaskan pikiran dan perasaan dan

mengucapkan apa saja yang ada dalam pikirannya tanpa

penyuntingan atau penyensoran.

Pada teknik ini, penderita disupport untuk bisa

berada dalam kondisi relaks baik fisik maupun mental

dengan cara tidur di sofa. Ketika penderita dinyatakan

sudah berada dalam keadaan relaks, maka pasien harus

mengungkapkan hal yang dipikirkan pada saat itu secara

verbal. Pada saat penderita tidur di sofa dan disuruh

menyebutkan segala macam pikiran dan perasaan yang ada

di benaknya dan penderita mengalami blocking, maka hal

itu merupakan manifestasi dari keadaan over-repressi. Hal

yang direpress biasanya berupa dorongan vital seperti

sexual dan agresi. Repressi terhadap dorongan agresi

menyangkut figur otorotas yang selalu diwakili oleh father

dan mother figure. Repressi anger dan hostile merupakan

salah satu bentuk intrapsikis yang biasa menyebabkan

blocking pada individu. Akibat dari blocking tersebut,

maka integrasi kepribadian menjadi tidak baik, karena ada

tekanan ego yang sangat besar.

Menurut Freud, apabila terjadi blocking dalam

proses asosiasi bebas, maka penderita akan melakukan

analisa. Hasil dari analisanya dapat menimbulkan insight

pada penderita. Analisa pada waktu terjadi blocking

bertujuan agar penderita mampu menempatkan konfliknya

lebih proporsional, sehingga penderita mengalami suatu

proses penurunan ketegangan dan penderita lebih toleran

Page 55: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

55

terhadap konflik yang dialaminya. Seperti yang telah

diungkapkan terdahulu bahwa penderita diberi kesempatan

untuk dapat mengungkapkan segala traumatic events dan

keinginan-keinginan yang direpressnya. Waktu ini disebut

dengan moment chatarsis. Disini penderita diberi

kesempatan untuk mengeluarkan uneg-uneg yang ia

rasakan , sehingga terjadi redusir terhadap pelibatan emosi

dalam menyelesaikan masalah yang dialaminya. Dalam

teknik asosiasi bebas ini, juga terdapat proses transference,

yaitu suatu keadaan dimana pasien menempatkan therapist

sebagai figur substitusi dari figur yang sebenarnya

menimbulkan masalah bagi penderita.

Terdapat 2 macam transference, yaitu:

(1) transference positif, yaitu apabila therapist

menggantikan figur yang disukai oleh penderita,

(2) transference negatif, yaitu therapist menggantikan figur

yang dibenci oleh penderita (Fakultas Psikologi UNPAD,

1992).

5. Terapi Perilaku (Behavioristik)

Pada dasarnya, terapi perilaku menekankan prinsip

pengkondisian klasik dan operan, karena terapi ini

berkaitan dengan perilaku nyata. Para terpist mencoba

menentukan stimulus yang mengawali respon malasuai dan

kondisi lingkungan yang menguatkan atau mempertahankan

perilaku itu (Ullaman dan Krasner, 1969; Lazarus, 1971

dalam Atkinson, 1991).

Akhir-akhir ini, pakar terapi perilaku melihat adanya

pengaruh variabel kognitif pada perilaku (misalnya,

pemikiran individu tentang situasi menimbulkan kecemasan

tentang akibat dari tindakan tertentu) dan telah

mencakupkan upaya untuk mengubah variabel semacam itu

dengan prosedur yang khusus ditujukan pada perilaku

tersebut (Bandura, 1982; Meinchenbaum dan Jaremko,

1982 dalam Atkinson, 1991). Pada kongres psikiatri di

Page 56: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

56

Malaysia pada tahun 2000, cognitif - behavior therapy

untuk pasien schizophrenia ditampilkan pakar psikiatri dari

Amerika maupun dari Malaysia sendiri. Ternyata, terdapat

hasil yang cukup baik, terutama untuk kasus-kasus baru,

dengan menggunakan cognitif - behavior therapy tersebut.

Rupanya ada gelombang besar optimisme akan

kesembuhan schizophrenia di dunia dengan terapi yang

lebih komprehensif ini. Selain itu, secara umum terapi ini

juga bermaksud secara langsung membentuk dan

mengembangkan perilaku penderita schizophrenia yang

lebih sesuai, sebagai persiapan penderita untuk kembali

berperan dalam masyarakat. Paul dan Lentz (Rathus,et al.,

1991; Davison, et al., 1994) menggunakan dua bentuk

program psikososial untuk meningkatkan fungsi

kemandirian.

a. Sosial Learning Program.

Sosial learning program menolong penderita

schizophrenia untuk mempelajari perilaku-perilaku

yang sesuai. Program ini menggunakan token economy,

yakni suatu cara untuk menguatkan perilaku dengan

memberikan tanda tertentu (token) bila penderita

berhasil melakukan suatu perilaku tertentu. Tanda

tersebut dapat ditukar dengan hadiah (reward), seperti

makanan atau hak-hak tertentu. Program lainnya adalah

millieu program atau therapeutic community. Dalam

program ini, penderita dibagi dalam kelompok-

kelompok kecil yang mempunyai tanggung jawab untuk

tugas-tugas tertentu. Mereka dianjurkan meluangkan

waktu untuk bersama-sama dan saling membantu dalam

penyesuaian perilaku serta membicarakan masalah-

masalah bersama dengan pendamping. Terapi ini

berusaha memasukkan penderita schizophrenia dalam

proses perkembangan untuk mempersiapkan mereka

dalam peran sosial yang bertanggung jawab dengan

Page 57: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

57

melibatkan seluruh penderitan dan staf pembimbing.

Dalam penelitian, social learning program mempunyai

hasil yang lebih baik dibandingkan dengan perawatan

dalam rumah sakit jiwa dan millieu program. Persoalan

yang muncul dalam terapi ini adalah identifikasi tentang

unsur-unsur mana yang efektif. Tidak jelas apakah

penguatan dengan tanda (token) ataukan faktor-faktor

lain yang menyebabkan perubahan perilaku; dan apakah

program penguatan dengan tanda tersebut membantu

perubahan perilaku hanya selama tanda diberikan atau

hanya dalam lingkungan perawatan.

b. Sosial Skills Training.

Terapi ini melatih penderita mengenai ketrampilan

atau keahlian sosial, seperti kemampuan percakapan,

yang dapat membantu dalam beradaptasi dengan

masyarakat (Rathus, et al., 1991; Davisoan, et al., 1994;

Sue, et al., 1986). Social Skills Training menggunakan

latihan bermain sandiwara. Para penderita diberi tugas

untuk bermain peran dalam situasi-situasi tertentu agar

mereka dapat menerapkannya dalam situasi yang

sebenarnya. Bentuk terapi seperti ini sering digunakan

dalam panti-panti rehabilitasi psikososial untuk

membantu penderita agar bisa kembali berperan dalam

masyarakat. Mereka dibantu dan didukung untuk

melaksanakan tugas-tugas harian seperti memasak,

berbelanja, ataupun untuk berkomunikasi, bersahabat,

dan sebagainya. Meskipun terapi ini cukup berhasil,

namun tetap ada persoalan bagaimana mempertahankan

perilaku bila suatu program telah selesai, dan

bagaimana dengan situasi-situasi yang tidak diajarkan

secara langsung.

Page 58: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

58

6. Terapi Humanistik

a. Terapi Kelompok.

Banyak masalah emosional menyangkut kesulitan

seseorang dalam berhubungan dengan orang lain, yang

dapat menyebabkan seseorang berusaha menghindari

relasinya dengan orang lain, mengisolasi diri, sehingga

menyebabkan pola penyelesaian masalah yang

dilakukannya tidak tepat dan tidak sesuai dengan dunia

empiris. Dalam menangani kasus tersebut, terapi kelompok

akan sangat bermanfaat bagi proses penyembuhan klien,

khususnya klien schizophrenia.

Terapi kelompok ini termasuk salah satu jenis terapi

humanistik. Pada terapi ini, beberapa klien berkumpul dan

saling berkomunikasi dan terapist berperan sebagai

fasilitator dan sebagai pemberi arah di dalamnya. Di antara

peserta terapi tersebut saling memberikan feedback tentang

pikiran dan perasaan yang dialami oleh mereka. Klien

dihadapkan pada setting sosial yang mengajaknya untuk

berkomunikasi, sehingga terapi ini dapat memperkaya

pengalaman mereka dalam kemampuan berkomunikasi. Di

rumah sakit jiwa, terapi ini sering dilakukan. Melalui terapi

kelompok ini iklim interpersonal relationship yang konkrit

akan tercipta, sehingga klien selalu diajak untuk berpikir

secara realistis dan menilai pikiran dan perasaannya yang

tidak realistis.

b. Terapi Keluarga.

Terapi keluarga ini merupakan suatu bentuk khusus

dari terapi kelompok. Kelompoknya terdiri atas suami istri

atau orang tua serta anaknya yang bertemu dengan satu atau

dua terapist. Terapi ini digunakan untuk penderita yang

telah keluar dari rumah sakit jiwa dan tinggal bersama

keluarganya. Ungkapan-ungkapan emosi dalam keluarga

yang bisa mengakibatkan penyakit penderita kambuh

kembali diusahakan kembali. Keluarga diberi informasi

Page 59: pengelolaan pasien dengan gangguan jiwa

59

tentang cara-cara untuk mengekspresikan perasaan-

perasaan, baik yang positif maupun yang negatif secara

konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap

persoalan secara bersama-sama. Keluarga diberi

pengetahuan tentang keadaan penderita dan cara-cara untuk

menghadapinya. Keluarga juga diberi penjelasan tentang

cara untuk mendampingi, mengajari, dan melatih penderita

dengan sikap penuh penghargaan. Perlakuan-perlakuan dan

pengungkapan emosi anggota keluarga diatur dan disusun

sedemikian rupa serta dievaluasi. Dari beberapa penelitian,

seperti yang dilakukan oleh Fallon (Davison, et al., 1994;

Rathus, et al., 1991) ternyata campur tangan keluarga

sangat membantu dalam proses penyembuhan, atau

sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya penyakit

penderita, dibandingkan dengan terapi.