1
Kasus 4
Pengelolaan Pasien Gangguan Jiwa
Seorang laki-laki berusia 37 tahun dibawa ke RS oleh keluarganya
karena sering bicara sendiri. Menurut adiknya, setiap pasien melakukan
aktivitas pasien selalu bicara sendiri dengan mengatakan ″salah lagi-salah
lagi″ sehingga aktivitas apa pun yang dikerjakannya selalu dilakukan secara
berulang-ulang. Terkadang pasien mendengar suara bisikan yang
menyuruhnya untuk menjaga kampungnya dari serangan perang. Perintah
itu diterimanya dengan cara berkomunikasi lewat ilmu kebatinan. Menurut
ibunya, gejala tersebut muncul setelah keinginan untuk bekerja ke pulau
Kalimantan setelah menyelesaikan sekolah SMK tidak diizinkan oleh
orangtuanya. Pasien pernah dirawat di RS. Setelah keluar dari RS pasien
tidak meminum obat secara teratur dan bahkan pernah tidak meminum obat
sama sekali.
STEP I
1. Bicara sendiri : Berkomunikasi yang dilakukan sendiri tanpa ada
lawan bicara.
2. Aktivitas berulang-ulang : Suatu kegiatan yang sama dilakukan
secara satu kali.
3. Ilmu kebatinan : Ilmu yang dimiliki seseorang dalam batinya
sendiri (ilmu gaib).
STEP II
1. Mengapa pasien sering berbicara sendiri dan melakukan aktivitas
secara berulang-ulang?
2. Penyebab gangguan jiwa?
3. Gejala gangguan jiwa?
4. Klasifikasi gangguan jiwa?
5. Indikasi rawat inap pasien dengan gangguan jiwa?
2
6. Penyebab dari kekambuhan?
7. Apa gejala yang ditandai dengan bicara sendiri, aktivitas berulang-
ulang, mendengar, suara bisikan, komunikasi ilmu kebatinan?
8. Penatalaksanaan pada kasus tersebut?
STEP III
1. - Adanya halusinasi
- Gangguan psikis
- Adanya sterssor
Karena adanya penolakan dari orangtuatekanan pada
dirinyamekanisme pertahanan jiwa menurundepresihalusinasi
(SB).
2. Penyebab gangguan jiwa
Faktor genetik
Trauma Psikis, Fisik
psikologis Depresi
Gangguan perasaan
Ling sosial
Faktor Biologis :kel.Saraf
Faktor Psikologis adanya stressor
Faktor Genetik
3. – Gangguan Bicara
Gangguan perilaku
Gangguan penampilan
Gangguan pikiran
Gangguan emosi
Gangguan persepsi
Gangguan psikomotorik
Gangguan pola hidup
Gangguan kepribadian
Gangguan kognitif/kesadaran
4. - FO : Demensia
3
FO2 : Demensia Alzheimer
FO3 : Delirium
FO4 : Gangguan mental lainnya akibat kerusakan dan disfungsi
otak
- FO5 : Halusinasi, Gangguan waham, Gangguan Katakonik,
Gangguan afektik
- F1 : Gangguan mental, Perilaku akibat gangguan zat
- F2 : Zkizofrenia, dan pembagian zkizofrenia.
5. (SB)
6. – Terhentinya minum obat.
Minum obat tidak teratur.
Pemicu dari stressor.
Kurang pantauan dari petugas kesehatan jiwa.
Dukungan dari keluarga.
7.
8. A. Terapi somatik Anti Psikotika.
Anti Psikotika konversi oral.
Clozaril.
B. Terapi psikososial Terapi perilaku dengan meningkatkan
keterampilan.
C. Terapi Biologis Obat dan Elektrokonvulsif.
Pembedahan bagian otak pada lobus
frontalis.
D. Psikoterapi Terapi psiko analisis dan seperti terapi perilaku.
4
STEP IV
STEP V
1. SB No. 1
2. Definisi gangguan jiwa.
3. SB No. 2
4. SB No. 5
5. SB No. 6
6. No.3 tambahan dari yang ada cari gejala dan tanda +gangguan
kesadaran dan fungsi kognitif gangguan memori, gangguan
perasaan tidak mood dan afek, gangguan tilikan.
7. Konsep dasar pemeriksaan psikiatri mulai dari wawancara,
psikiatri, riwayat psikiatri, pemerikasaan status mental.
8. Evaluasi multiaksial, prognosis, dan rencana terapi.
Penyebab gangguan
jiwa
Gejala
Klasifikasi gangguan jiwa
Penyebab kekambu
han
Aktivitas berulang-
ulang, mendengar
suara bisikan
Gejala yang ditandai
dengan bicara sendiri
Mengapa pasien sering bicara sendiri dan melakukan
aktivitas berulang-ulang
Penatalaksanaan
5
STEP VII
1. Mengapa pasien sering bicara sendiri dan melakukan aktivitas
berulang-ulang?
Terjadinya instabilitas pada neurotransmiter. Neurotransmiter,
secara sederhana bisa dikatakan sebagai zat kimiawi pembawa pesan
yang terdapat di dalam otak. Zat-zat pembawa pesan ini diproduksi di
dalam sel-sel saraf yang ada di otak, ketika pesan dari otak harus
ditransmisikan ke bagian-bagian lain. Saat ini berpuluh-puluh jenis
neurotransmiter yang telah diketahui oleh manusia, namun secara garis
besar terdapat tiga pengelompokan besar, yakni: kelompok asam
amino (GABA dan Glutamat), kelompok Biogenic Amin (seperti
dopamin, adrenalin, dan noradrenalin), dan kelompok peptida (seperti
nitrit oksida).
Masing-masing neurotransmiter tersebut memiliki peran yang
berbeda-beda. Sebagai contoh, ketika kita sedang cemas dan marah,
maka adrenalin akan dilepaskan, sehingga efek yang akan kita rasakan
adalah: berkeringat dingin, jantung berdenyut lebih kencang berdebar-
debar, dan kadang badan terasa lemas. Atau jika anda sedang gembira,
maka perasaan gembira itu dipicu oleh lepasnya neurotransmiter. Jika,
anda mampu bergerak tangkas, maka otak anda sedang memainkan
neurotransmiter GABA. Jumlahnya sedang turun. Sebaliknya jika
jumlah GABA naik, maka seseorang menjadi malas. Bagi orang-orang
yang sedang kehilangan mood nya, menjadi kurang daya
konsentrasinya, neurotransmiter serotonin nya lagi turun.
Dalam situasi normal, inilah yang terjadi. Namun dalam
keadaan yang tidak normal (apapun penyebabnya), sebagaimana yang
terjadi pada mereka yang mengalami gangguan kejiwaan, telah terjadi
ketidakstabilan pada neurotransmiter, seperti norepinefrin, serotonin
dan dopamin yang bekerja pada sistem kognisi, sistem koordinasi
gerakan otot, dan kewaspadaan seseorang. Bisa kita bayangkan apa
yang terjadi kalau sistem pengiriman, penafsiran dan respon terhadap
pesan di dalam otak yang kacau. Akan terjadi hal-hal yang aneh
menurut kita yang neurotransmiternya stabil, seperti orang yang
6
merasa mendengar suara-suara, sehingga ia pun merespon
berkomunikasi dengan suara tersebut. Inilah yang terjadi pada mereka
yang bicara atau tertawa sendiri akibat halusinasi dengar. Ada pula
yang sedih berkepanjangan dan berujung pada keinginan untuk
mengakhiri hidup, ini akibat kehilangan asa untuk hidup. Situasi
lainnya, ada yang marah-marah tanpa sebab yang jelas, atau hanya
masalah yang sangat sepele, ini akibat penempatan kadar emosional
yang tidak pada porsinya
2. Definisi Gangguan jiwa
Gangguan jiwa adalah gangguan yang mengenai satu atau lebih
fungsi jiwa. Gangguan jiwa adalah gangguan otak yang ditandai oleh
terganggunya emosi, proses berpikir, perilaku dan persepsi
(penangkapan panca indera). Gangguan jiwa ini menimbulkan stress
dan penderitaan bagi penderita (dan keluarganya). (Saddok, 2010)
Suatu perubahan fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan
pada fungsi jiwa yang menimbulkan penderitaan pada individu dan
hambatan dalam sosial. (WHO, 2002)
3. Penyebab gangguan jiwa
Penyebab gangguan jiwa itu bermacam-macam ada yang
bersumber dari berhubungan dengan orang lain yang tidak
memuaskan seperti diperlakukan tidak adil, diperlakukan semena-
mena, cinta tidak terbatas, kehilangan seseorang yang dicintai,
kehilangan pekerjaan, dan lain-lain. Selain itu ada juga gangguan jiwa
yang disebabkan faktor organik, kelainan saraf dan gangguan pada
otak.
Para ahli psikologi berbeda pendapat tentang sebab-sebab
terjadinya gangguan jiwa. Menurut pendapat Sigmund Freud dalam
Maslim (2002), gangguan jiwa terjadi karena tidak dapat dimainkan
tuntutan id (dorongan instinctive yang sifatnya seksual) dengan
tuntutan super ego (tuntutan normal social). Orang ingin berbuat
sesuatu yang dapat memberikan kepuasan diri, tetapi perbuatan
7
tersebut akan mendapat celaan masyarakat. Konflik yang tidak
terselesaikan antara keinginan diri dan tuntutan masyarakat ini
akhirnya akan mengantarkan orang pada gangguan jiwa.
Terjadinya gangguan jiwa dikarenakan orang tidak memuaskan
macam-macam kebutuhan jiwa mereka. Beberapa contoh dari
kebutuhan tersebut diantaranya adalah pertama kebutuhan untuk
afiliasi, yaitu kebutuhan akan kasih sayang dan diterima oleh orang
lain dalam kelompok. Kedua, kebutuhan untuk otonomi, yaitu ingin
bebas dari pengaruh orang lain. Ketiga, kebutuhan untuk berprestasi,
yang muncul dalam keinginan untuk sukses mengerjakan sesuatu dan
lain-lain. Ada lagi pendapat Alfred Adler yang mengungkapkan
bahwa terjadinya gangguan jiwa disebabkan oleh tekanan dari
perasaan rendah diri (infioryty complex) yang berlebih-lebihan.
Sebab-sebab timbulnya rendah diri adalah kegagalan di dalam
mencapai superioritas di dalam hidup. Kegagalan yang terus-menerus
ini akan menyebabkan kecemasan dan ketegangan emosi.
J.P Caplin dalam Kartini Kartono (2000) mengartikan bahwa
kebutuhan ialah alat substansi sekuler. Dorongan hewani atau motif
fisiologis dan psikologis yang harus dipenuhi atau dipuaskan oleh
organisme, binatang atau manusia, supaya mereka bias sehat sejahtera
dan mampu melakukan fungsinya.
Dari berbagai pendapat mengenai penyebab terjadinya gangguan
jiwa seperti yang dikemukakan diatas disimpulkan bahwa gangguan
jiwa disebabkan oleh karena ketidak mampuan manusia untuk
mengatasi konflik dalam diri, tidak terpenuhinya kebutuhan hidup,
perasaan kurang diperhatikan (kurang dicintai) dan perasaan rendah
diri.
Menurut Sigmund Freud dalam Santrock (1999) adanya gangguan
tugas perkembangan pada masa anak terutama dalam hal berhubungan
dengan orang lain sering menyebabkan frustasi, konflik, dan perasaan
takut, respon orang tua yang mal adaptif pada anak akan
meningkatkan stress, sedangkan frustasi dan rasa tidak percaya yang
berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan regresi dan withdral.
8
Disamping hal tersebut di atas banyak faktor yang mendukung
timbulnya gangguan jiwa yang merupakan perpaduan dari beberapa
aspek yang saling mendukung yang meliputi biologis, psikologis,
sosial, lingkungan. Tidak seperti pada penyakit jasmaniah, sebab-
sebab gangguan jiwa adalah kompleks. Pada seseorang dapat terjadi
penyebab satu atau beberapa faktor dan biasanya jarang berdiri
sendiri. Mengetahui sebab sebab gangguan jiwa penting untuk
mencegah dan mengobatinya.
Umumnya sebab-sebab gangguan jiwa menurut Santrock (1999)
dibedakan atas :
a. Sebab-sebab jasmaniah/ biologic
1) Keturunan
Peran yang pasti sebagai penyebab belum jelas, mungkin
terbatas dalam mengakibatkan kepekaan untuk mengalami
gangguan jiwa tapi hal tersebut sangat ditunjang dengan faktor
lingkungan kejiwaan yang tidak sehat.
2) Jasmaniah
Beberapa penyelidik berpendapat bentuk tubuh seorang
berhubungan dengan gangguan jiwa tertentu, Misalnya yang
bertubuh gemuk / endoform cenderung menderita psikosa manik
depresif, sedang yang kurus/ ectoform cenderung menjadi
skizofrenia.
3) Temperamen
Orang yang terlalu peka/ sensitif biasanya mempunyai
masalah kejiwaan dan ketegangan yang memiliki kecenderungan
mengalami gangguan jiwa.
4) Penyakit dan cedera tubuh
Penyakit-penyakit tertentu misalnya penyakit jantung,
kanker dan sebagainya, mungkin menyebabkan merasa murung
dan sedih. Demikian pula cedera/cacat tubuh tertentu dapat
menyebabkan rasa rendah diri.
b. Sebab Psikologik
Bermacam pengalaman frustasi, kegagalan dan keberhasilan
yang dialami akan mewarnai sikap, kebiasaan dan sifatnya
9
dikemudian hari. Hidup seorang manusia dapat dibagi atas 7 masa
dan pada keadaan tertentu dapat mendukung terjadinya gangguan
jiwa.
1) Masa bayi
Yang dimaksud masa bayi adalah menjelang usia 2 – 3
tahun, dasar perkembangan yang dibentuk pada masa tersebut
adalah sosialisasi dan pada masa ini. Cinta dan kasih sayang ibu
akan memberikan rasa hangat/ aman bagi bayi dan dikemudian
hari menyebabkan kepribadian yang hangat, terbuka dan
bersahabat. Sebaliknya, sikap ibu yang dingin acuh tak acuh
bahkan menolak dikemudian hari akan berkembang kepribadian
yang bersifat menolak dan menentang terhadap lingkungan.
Sebaiknya dilakukan dengan tenang, hangat yang akan
memberi rasa aman dan terlindungi, sebaliknya, pemberian yang
kaku, keras dan tergesa-gesa akan menimbulkan rasa cemas dan
tekanan.
2) Masa anak pra sekolah (antara 2 sampai 7 tahun)
Pada usia ini sosialisasi mulai dijalankan dan telah tumbuh
disiplin dan otoritas. Penolakan orang tua pada masa ini, yang
mendalam atau ringan, akan menimbulkan rasa tidak aman dan
ia akan mengembangkan cara penyesuaian yang salah, dia
mungkin menurut, menarik diri atau malah menentang dan
memberontak.
Anak yang tidak mendapat kasih sayang tidak dapat
menghayati disiplin tak ada panutan, pertengkaran dan keributan
membingungkan dan menimbulkan rasa cemas serta rasa tidak
aman. hal-hal ini merupakan dasar yang kuat untuk timbulnya
tuntutan tingkah laku dan gangguan kepribadian pada anak
dikemudian hari.
3) Masa Anak sekolah
Masa ini ditandai oleh pertumbuhan jasmaniah dan
intelektual yang pesat. Pada masa ini, anak mulai memperluas
lingkungan pergaulannya. Keluar dari batas-batas keluarga.
Kekurangan atau cacat jasmaniah dapat menimbulkan gangguan
10
penyesuaian diri. Dalam hal ini sikap lingkungan sangat
berpengaruh, anak mungkin menjadi rendah diri atau sebaliknya
melakukan kompensasi yang positif atau kompensasi negatif.
Sekolah adalah tempat yang baik untuk seorang anak
mengembangkan kemampuan bergaul dan memperluas
sosialisasi, menguji kemampuan, dituntut prestasi, mengekang
atau memaksakan kehendaknya meskipun tak disukai oleh si
anak.
4) Masa Remaja
Secara jasmaniah, pada masa ini terjadi
perubahanperubahan yang penting yaitu timbulnya tanda-tanda
sekunder (ciri-ciri diri kewanitaan atau kelaki-lakian) Sedang
secara kejiwaan, pada masa ini terjadi pergolakan- pergolakan
yang hebat. pada masa ini, seorang remaja mulai dewasa
mencoba kemampuannya, di suatu pihak ia merasa sudah
dewasa (hak-hak seperti orang dewasa), sedang di lain pihak
belum sanggup dan belum ingin menerima tanggung jawab atas
semua perbuatannya.
Egosentris bersifat menentang terhadap otoritas, senang
berkelompok, idealis adalah sifat-sifat yang sering terlihat.
Suatu lingkungan yang baik dan penuh pengertian akan sangat
membantu proses kematangan kepribadian di usia remaja.
5) Masa Dewasa muda
Seorang yang melalui masa-masa sebelumnya dengan aman
dan bahagia akan cukup memiliki kesanggupan dan kepercayaan
diri dan umumnya ia akan berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan
pada masa ini. Sebaliknya yang mengalami banyak gangguan
pada masa sebelumnya, bila mengalami masalah pada masa ini
mungkin akan mengalami gangguan jiwa.
6) Masa dewasa tua
Sebagai patokan masa ini dicapai kalau status pekerjaan
dan sosial seseorang sudah mantap. Sebagian orang berpendapat
perubahan ini sebagai masalah ringan seperti rendah diri.
pesimis. Keluhan psikomatik sampai berat seperti murung,
11
kesedihan yang mendalam disertai kegelisahan hebat dan
mungkin usaha bunuh diri.
7) Masa Tua
Ada dua hal yang penting yang perlu diperhatikan pada
masa ini Berkurangnya daya tanggap, daya ingat, berkurangnya
daya belajar, kemampuan jasmaniah dan kemampuan sosial
ekonomi menimbulkan rasa cemas dan rasa tidak aman serta
sering mengakibatkan kesalah pahaman orang tua terhadap
orang di lingkungannya. Perasaan terasing karena kehilangan
teman sebaya keterbatasan gerak dapat menimbulkan kesulitan
emosional yang cukup hebat.
c. Sebab Sosio Kultural
Kebudayaan secara teknis adalah ide atau tingkah laku yang
dapat dilihat maupun yang tidak terlihat. Faktor budaya bukan
merupakan penyebab langsung menimbulkan gangguan jiwa,
biasanya terbatas menentukan “warna” gejala-gejala. Disamping
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kepribadian
seseorang misalnya melalui aturan-aturan kebiasaan yang berlaku
dalam kebudayaan tersebut.
Menurut Santrock (1999) Beberapa faktor-faktor kebudayaan
tersebut :
1) Cara-cara membesarkan anak
Cara-cara membesarkan anak yang kaku dan otoriter,
hubungan orang tua anak menjadi kaku dan tidak hangat. Anak-
anak setelah dewasa mungkin bersifat sangat agresif atau pendiam
dan tidak suka bergaul atau justru menjadi penurut yang
berlebihan.
2) Sistem Nilai
Perbedaan sistem nilai moral dan etika antara kebudayaan
yang satu dengan yang lain, antara masa lalu dengan sekarang
sering menimbulkan masalah-masalah kejiwaan. Begitu pula
perbedaan moral yang diajarkan di rumah / sekolah dengan yang
dipraktekkan di masyarakat sehari-hari.
3) Kepincangan antar keinginan dengan kenyataan yang ada
12
Iklan-iklan di radio, televisi. Surat kabar, film dan lain-lain
menimbulkan bayangan-bayangan yang menyilaukan tentang
kehidupan modern yang mungkin jauh dari kenyataan hidup
seharihari. Akibat rasa kecewa yang timbul, seseorang mencoba
mengatasinya dengan khayalan atau melakukan sesuatu yang
merugikan masyarakat.
4) Ketegangan akibat faktor ekonomi dan kemajuan teknologi
Dalam masyarakat modern kebutuhan dan persaingan
makin meningkat dan makin ketat untuk meningkatkan ekonomi
hasil-hasil teknologi modern. Memacu orang untuk bekerja lebih
keras agar dapat memilikinya. Jumlah orang yang ingin bekerja
lebih besar dari kebutuhan sehingga pengangguran meningkat,
demikian pula urbanisasi meningkat, mengakibatkan upah
menjadi rendah. Faktor-faktor gaji yang rendah, perumahan yang
buruk, waktu istirahat dan berkumpul dengan keluarga sangat
terbatas dan sebagainya merupakan sebagian mengakibatkan
perkembangan kepribadian yang abnormal.
5) Perpindahan kesatuan keluarga
Khusus untuk anak yang sedang berkembang
kepribadiannya, perubahan-perubahan lingkungan (kebudayaan
dan pergaulan), sangat cukup mengganggu.
6) Masalah golongan minoritas
Tekanan-tekanan perasaan yang dialami golongan ini dari
lingkungan dapat mengakibatkan rasa pemberontakan yang
selanjutnya akan tampil dalam bentuk sikap acuh atau melakukan
tindakan-tindakan yang merugikan orang banyak.
4. Indikasi rawat inap pasien pada gangguan jiwa
Rawat Inap di Rumah Sakit (RS) terutama dilakukan atas
indikasi keamanan pasien karena adanya ide bunuh diri atau
mencelakakan orang lain, dan bila terdapat perilaku yang sangat
terdisorganisasi atau tidak wajar termasuk bila pasien tidak mampu
memenuhi kebutuhan dasar berupa makan, perawatan diri dan tempat
13
tinggalnya. Selain itu Rawat Inap RS diperlukan untuk hal-hal yang
berkaitan dengan diagnostik, stabilisasi pemberian medikasi.
5. Penyebab kekambuhan
Empat faktor penyebab pasien kambuh dan perlu dirawat di rumah
sakit, menurut Sullinger (1988):
a. Pasien: Sudah umum diketahui bahwa klien yang gagal memakan
obat secara teratur mempunyai kecenderungan untuk kambuh.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan 25% sampai 50% klien
yang pulang dari rumah sakit tidak memakan obat secara teratur.
b. Dokter (pemberi resep): Makan obat yang teratur dapat
mengurangi kambuh, namun pemakaian obat neuroleptic yang
lama dapat menimbulkan efek samping Tardive Diskinesia yang
dapat mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak
terkontrol.
c. Penanggung jawab pasien: Setelah klien pulang ke rumah maka
perawat puskesmas tetap bertanggung jawab atas program adaptasi
klien di rumah.
d. Keluarga: Berdasarkan penelitian di Inggris dan Amerika keluarga
dengan ekspresi emosi yang tinggi (bermusuhan, mengkritik, tidak
ramah, banyak menekan dan menyalahkan), hasilnya 57% kembali
dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dan 17%
kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi keluarga
yang rendah. Selain itu klien juga mudah dipengaruhi oleh stress
yang menyenangkan (naik pangkat, menikah) maupun yang
menyedihkan (kematian/kecelakaan). Dengan terapi keluarga klien
dan keluarga dapat mengatasi dan mengurangi stress.Cara terapi
bisanya:Mengumpulkan semua anggota keluarga dan memberi
kesempatan menyampaikan perasaan-perasaannya. Memberi
kesempatan untuk menambah ilmu dan wawasan baru kepada klien
ganguan jiwa, memfasilitasi untuk hijrah menemukan situasi dan
pengalaman baru.
14
6. Tanda dan Gejala Psikiatri
I. Kesadaran : keadaan siaga
A. Gangguan Kesadaran : apersepsi adalah persepsi seseorang
yang dimodifikasi oleh emosi dan pikirannya sendiri;
sensorium adalah keadaan fungsi kognitif indera khusus
(terkadang digunakan sebagai sinonim kesadaran); gangguan
kesadaran paling sering disebabkan oleh patologi otak.
1. Disorientasi : gangguan orientasi terhadap waktu,
tempat, atau orang.
2. Kesadaran berkabut : kejernihan pikiran yang tidak
sempurna disertai gangguan persepsi dan sikap
3. Stupor : kurangnya reaksi atau ketidaksiagaan terhadap
sekitar
4. Delirium : menjadi buas, gelisah, bingung, reaksi
disorientasi yang disertai rasa takut dan halusinasi
5. Koma : derajat ketidaksadaran berat
6. Koma vigil : koma pada pasien yang tampak seperti
sedang tidur namun dapat segera terjaga (juga dikenal
sebagai mutisme akinetik)
7. Twilight state : kesadaran terganggu yang disertai
halusinasi
8. Keadaan seperti bermimpi : sering digunakan sebagai
sinonim kejang kompleks atau epilepsi psikomotor
9. Somnolen : rasa mengantuk yang abnormal
10. Kebingungan : gangguan kesadaran berupa reaksi yang
tidak tepat terhadap rangsang lingkungan;
bermanifestasi sebagai gangguan orientasi terhadap
waktu, tempat, atau orang
11. Mengantuk : keadaan siaga yang terganggu, disebabkan
oleh hasrat ataukecenderungan untuk tidur
12. Sundowning : sindrom pada lansia yang biasanya terjadi
pada malam hari, ditandai dengan rasa mengantuk,
kebingungan, ataksia, dan terjatuh akibat mengalami
15
sedasi berlebihan oleh obat; juga disebut sebagai
sundowner’s syndrome
B. Gangguan Perhatian : perhatian adalah jumlah usaha yang
dikeluarkan untuk memfokuskan diri pada bagian tertentu dari
pengalaman, kemampuan untuk mempertahankan fokus pada
suatu aktivitas; kemampuan berkonsentrai
1. Perhatian mudah teralih: ketidakmampuan untuk
memusatkan perhatian; keadaan ketika perhatian
teralihkan ke stimulus eksterna yang tidak penting atau
tidak relevan
2. Gangguan perhatian selektif : hanya mengabaikan hal
yang menimbulkan ansietas
3. Hipervigilans : perhatian dan fokus yang berlebihan
terhadap semua rangsang interna maupun eksterna,
biasanya sekunder akibat keadaan waham atau paranoid;
mirip hiperpragia: berfikir dan melakukan aktivitas
mental yang berlebihan
4. Trans : perhatian yang terpusat dan gangguan
kesadaran, biasanya ditemukan pada hipnotis, gangguan
disosiatif, dan pengalaman keagamaan yang
menimbulkan kenikmatan
5. Disinhibisi : penghilangan efek inhibisi sehingga
memungkinkan seseorang menjadi lepas kendali
terhadap impuls seperti yang terjadi pada intoksikasi
alcohol
C. Gangguan Sugestibilitas : respon sesuai pertanyaan dan tidak
kritis terhadap suatu ide atau pengaruh
1. Folie a’ deux (atau folie a’ trois) : keadaan emosional
yang saling berhubungan antara dua (atau tiga) orang
2. Hypnosis : modifikasi kesadaran yang ditimbulkan
secara buatan, ditandai dengan peningkatan sugesti.
16
II. Emosi/Perasaan : keadaan perasaan kompleks dengan komponen
psikis, somatic, dan perilaku yang terdiri dari afek dan mood
A. Afek : ekspresi emosi yang teramati, mungkin tidak sesuai
dengan deskripsi pasien tentang emosinya
1. Afek sesuai : kondisi ketika nada emosi selaras dengan
ide, pikiran, atau gaya bicara yang menyertai; juga
dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai afek luas atau
penuh, yaitu ketika kisaran emosi yang penuh
diekspresikan dengan tepat
2. Afek tidak sesuai : ketidakharmonisan antara nada
perasaan emosional dengan ide, pikiran, atau gaya
bicara yang menyertai
3. Afek tumpul : gangguan afek yang bermanifestasi
sebagai sangat berkurangnya intensitas tonus perasaan
yang diungkapkan
4. Afek terbatas atau menyempit : berkurangnya intensitas
nada perasaan yang kadarnya tidak begitu parah
dibanding afek datar namun jelas menurun
5. Afek datar : tidak ada atau hamper tidak ada tanda
ekspresi afektif; suara menonton, wajah tidak bergerak
6. Afek labil : perubahan nada perasaan emosional yang
cepat dan mendadak, tidak disebabkan oleh stimulus
eksterna
B. Mood : emosi yang menetap dan telah meresap yang dialami
dan dilaporkan secara subjektif oleh pasien dan teramati oleh
orang lain; contohnya meliputi depresi, elasi, dan kemarahan
1. Mood disforik : mood yang tidak menyenangkan
2. Mood eutimik : kisaran mood normal, menyiratkan
tidak ada depresi atau elevasi mood
3. Mood ekspansif : ekspresi perasaan seseorang tanpa
ditahan, seringkali disertai perasaan bahwa dirinya amat
berharga dan penting
4. Mood irritable : keadaan ketika seseorang mudah
terganggu dan terprovokasi untuk marah
17
5. Mood mengalun (mood labil) : osilasi antara euphoria
dengan depresi atau ansietas
6. Elevasi : aura percaya diri dan keriangan; mood yang
lebih ceria daripada biadanya
7. Euphoria : elasi yang intens disertai rasa kebesaran
8. Ekstasi : rasa nikmat yang intens
9. Depresi : rasa sedih yang prikopatologis
10. Anhedonia : hilangnya minat dan menarik diri dari
semua aktivitas biasa dan menyenangkan, sering
disebabkan oleh depresi.
11. Duka cita atau berkabung : kesedihan yang sesuai
dengan kehilangan yang mendalam; juga disebut
kehilangan akibat kematian
12. Aleksitimia : ketidakmampuan seseorang untuk
mengdeskrripsikan atau kesulitan mendeskripsikan atau
menyadari emosi atau mood nya
13. Ide bunuh diri : pikiran atau tindakan mengakhiri
hidupnya sendiri
14. Elasi : perasaan gembira, euphoria, kemenangan,
kepuasan diri yang intens, atau optimism
15. Hipomania : abnormalitas mood yang ditandai ciri
kualitatif mania namun kurang intens
16. Mania : keadaan mood yang ditandai dengan elasi,
agitasi, hiperaktivitas, hiperseksualitas, serta percepatan
berfikir dan berbicara
17. Melankolia : keadaan depresi berat; digunakan dalam
istilah melankolia involusional baik secara deskriptif
maupun untuk merujuk ke suatu entitas diagnosis
tersendiri
18. La belle indifference : sikap kalem yang tidak tepat atau
kurang perhatian terhadap ketidakmampuan seseorang.
18
C. Emosi Lain
1. Ansietas : rasa takut yang timbul akibat antisipasi
terhadap bahaya, yang dapat besifat internal maupun
eksternal
2. Ansietas mengambang bebas : ketakutan pervasive yang
tidak terfokus dan tidak terlambat pada suatu ide
3. Ketakutan : ansietas yang disebabkan oleh bahaya yang
nyata dan dikenali secara sadar
4. Agitasi : ansietas berat yang disertai kegelisahan
motorik; serupa dengan iritabilitas yang ditandai dengan
eksitabilitas berlebih disertai kemarahan atau rasa
terganggu yang mudah terpicu
5. Ketegangan : aktivitas motoric dan psikologis yang
meningkat dan tidak menyenangkan
6. Panic : serangan ansietas yang intens, episodic, dan akut
yang ditandai dengan rasa ngeri yang berlebihan dan
pelepasan otonom
7. Apati : nada emosional yang menumpul disertai rasa
terlepas atau tak acuh
8. Ambivalensi : koeksistensi dua impuls yang bertolak
belakang terhadap satu hal pada orang yang sama dan
saat yang sama
9. Abreaksi : pembebasan atau pelepasan emosional
setelah mengingat pengalaman menyakitkan
10. Rasa malu : kegagalan untuk mencapai hal yang
diharapkan oleh diri sendiri
11. Rasa bersalah : emosi yang timbul akibat melakukan
sesuatu yang dianggap salah
12. Pengendalian impuls : kemampuan untuk menahan
impuls, dorongan, atau godaan untuk melakukan suatu
tindakan
13. Inefabilitas : keadaan ekstasi yang tidak dapat
dijelaskan, dan mustahil disampaikan ke orang lain
19
14. Akateksis : kurangnya perasaan terhadap suatu objek
yang biasanya menimbulkan emosi; pada kateksis,
perasaannnya terhubung
15. Dekateksis : terlepasnya emosi dari pikiran, ide, atau
orang
D. Gangguan fisiologis yang menyertai gangguan mood : tanda
disfungsi somatic (biasanya otonom), paling sering diakibatkan
oleh depresi (juga disebut sebagai tanda vegetative)
1. Anoreksia : hilang atau menurunnya selera makan
2. Hiperfagia : peningkatan asupan makanan
3. Insomnia : kehilangan atau berkurangnya kemampuan
untuk tidur :
a. Awal : kesulitan untuk jatuh tertidur
b. Tengah : kesulitan tidur di malam hari tanpa
terbangun dan kesulitan untuk kembali tidur
c. Akhir : terbangun untuk dini hari
4. Hypersomnia : tidur berlebihan
5. Variasi diurnal : mood biaanya paling buruk pada pagi
hari, segera setelah bangun, dan membaik seiring
dengan berjalannya hari
6. Penurunan libido : berkurangnya minat, dorongan, dan
perform seks (peningkatan libido sering dikaitkan
dengan keadaan manik)
7. Konstipasi : ketidakmampuan defekasi atau kesulitan
defekasi
8. Kelelahan : rasa letih, mengantuk, atau iritabilitas yang
timbul setelah suatu periode aktivitas tubuh atau mental
9. Pika : mengidam dan memakan bahan yang bukan
makanan, contohnya cat atau tanah liat
10. Pseudosiesis : kondisi yang jarang, yaitu pasien
menunjukkan tanda dan gejala kehamilan, seperti
distensi abdomen, pembesaran payudara, pigmentasi,
terhentinya menstruasi, dan morning sickness
20
11. Bulimia : lapar yang tak terpuaskan dan makan
berlebih; dapat dilihat pada bulimia bervosa dan depresi
atipikal
12. Adinamia : kelemahan dan kelelahan
III. Perilaku motorik (konasi) : aspek psikis yang mencakup ilmpuls,
motivasi, keinginan, dorongan, insting, dan hasrat yang
ditujukkan melalui aktivitas motoric atau perilaku seseorang.
1. Ekopraksia : peniruan gerakan seseorang oleh orang
lain secara patologis
2. Katatonia dan abnormalitas postur : ditemukan pada
skizofrenia katatonik dan beberapa kasus penyakit otak,
seperti ensefalitis
a. Katalepsi : istilah umum untuk posisi tidak bergerak
yang dipertahankan secara konstan
b. Eksitasi katatonik : aktivitas motoric yang tak
bertujuan dan teragitasi, tidak dipengaruhi oleh
stimulus eksternal
c. Stupor katatonik : aktivitas motoric yang melambat
secara nyata, seringkali hingga mencapai suatu titik
imobilitas dan tampak tak sadar akan sekitar.
d. Rigiditas katatonik : mempertahankan suatu postur
rigid secara volunteer, meski telah dilakukan semua
usaha untuk menggerakkannya
e. Postur katatonik : mempertahankan suatu postur
aneh dan tidak pada tempatnya secara volunter,
biasanya dipertahankan dalam jangka waktu lama
f. Fleksibilitas serea (fleksibilitas lilin) : keadaan
seseorang yang dapat dibentuk enjadi posisi tertentu
kemudian dipertahankan; ketika pemeriksa
menggerakkan anggota gerak orang tersebut,
anggota gerak itu terasa seperti terbuat dari lilin
g. Akinesia : tidak adanya gerakan fisik, seperti yang
terdapat pada imobilitas ekstrim pada penderita
skizofrenia katatonik; juga dapat terjadi akibat efek
21
simpang ekstrapiramidal dari pengobatan
antipsikotik.
3. Negativism : tahanan tanpa motif terhadap semua usaha
untuk menggerakkan atau terhadap semua instruksi
4. Katapleksi : hilangnya tonus otot dan kelemahan
sementara yang dipicu oleh berbagai keadaan emosional
5. Stereotipi : pola tindakan fisik atau berbicara yang tetap
dan berulang
6. Manerisme : gerakan involunter yang menjadi
kebiasaan dan mendarah daging
7. Otomatisme : tindakan dilakukan secara otomatis yang
biasanya melambangkan aktivitas simbolik bawah sadar
8. Otomatisme perintah : secara otomatis mengikuti saran
(juga disebut kepatuhan otomatis)
9. Mutisme : menjadi bisu tanpa abnormalitas structural
10. Overaktivitas
11. Hipoaktivitas (hipokinesis) : penurunan aktivitas
motoric dan kognitif, seperti pada retardasi psikomotor;
perlambatan secara nyata pada proses piker, bicara, dan
gerakan
12. Mimikri : aktivitas motoric imitative sederhana pada
masa kanakk-kanak
13. Agresi : tindakan penuh tenaga dan bertujuan yang
dapat bersifat verbal maupun fisik, lawan motoric dari
afek gusar, marahm atau benci
14. Berlagak : ekspresi keinginan bawah sadar atau impuls
tindakan secara langsung; mewujudkan fantasi bawah
sadar secara impulsive dalam perilaku
15. Abulia : penurunan rangsang untuk bertindak dan
berfikir, akibat sikap tidak peduli akan konsekuensi dari
tindakannya, akibat deficit neurologis
16. Anergia : tidak berenergi (anergi)
17. Astasia abasia : ketidakmampuan untuk berdiri atau
berjalan secara normal, meski gerakan tungkai normal
22
dapat dilakukan pada posisi duduk atau berbaring. Cara
berjalannya aneh dan tidak mengarah ke suatu lesi
prganik spesifik : terdapat pada gangguan konversi
18. Koprofagia : memakan kotoran atau feses
19. Dyskinesia: kesulitan melakukan gerakan volunteer,
seperti pada gangguan ekstrapiramidal
20. Rigidita otot : keadaan ketika otot tetap tak dapat
digerakkan; ditemui pada skizofrenia
21. Berputar : tanda yang terdapat pada anak autistic yang
terus-menerus berputar kea rah kepalanya yang
dimiringkan
22. Bradikinesia : kelambanan aktivitas motoric disertai
penurunan gerakan spontan normal
23. Khorea : gerakan acak, menyertak, cepat, involunter
dan tak bertujuan
24. Konvulsi : kontraksi atau spasme otot yang hebat dan
onvolunter
25. Kejang : serangan atau awitan gejala tertentu yang
mendadak.
IV. Berpikir: aliran ide, simbol, dan asosiasi yang bertujuan. diawali
sebuah masalah atau tugas dan berakhir pada ke-simpulan yang
berorientasi pada kenyataan: bila terdapat urutan yang logis, cara
berpikir dianggap normal; para-praksis (meleset dari logika secara
tidak sadar, disebut juga freudian slip) dianggap sebagai bagian cara
berpikir normal. Cara berpikir abstrak adalah kemampuan untuk
menangkap esensi suatu keseluruhan, memecah keseluruhan menjadi
bagian, dan mericerna isyarat umum.
A. Gangguan menyeluruh dalam bentuk atau proses pikir.
1. Gangguan mental : sindrom perilaku atau psikologis yang
nyata secara klinis dan disertai distres atau disabilitas,
bukan sekedar respons yang diharapkan terhadap peristiwa
tertentu atau terbatas dalam hubungan antara seseorang
dengan masyarakat.
2. Psikosis: ketidakmampuan untuk membedakan kenyataan
23
dari khayalan; uji realitas terganggu, disertai pembentukan
realitas baru (berlawanan dengan neurosis: gangguan
mental dengan uj i realitas yang tetap baik; perilaku dapat
tidak bertentangan dengan norma sosial umum, tapi
berlangsung lama atau berulang tanpa terapi).
3. Uji realitas: evaluasi dan penilaian objektif terhadap
dunia di luar dirinya.
4. Gangguan bentuk pikir: kelainan dalam bentuk pikir
dan bukannya isi pikir; cara berpikir ditandai dengan
asosiasi longgar, neologisme, dan konstruksi yang
tidak logis; proses pikir terganggu, dan orangnya di
sebut psikotik.
5. Pikiran tak logis: pikiran yang mengandung kesimpulan yang
salah atau kontradiksi internal; hanya di
anggap psikopalologis bila sangat nyata dan tidak di-
sebabkan oleh nilai budaya atau defisit intelektual.
6. Dereisme: aktivitas mental yang tidak sejalan dengan
logika atau pengalaman.
7. Pemikiran autistik: preokupasi dengan dunia pribadi di
dalam dirinya sendiri; istilahyangbiasadigunakan cukup
bersinonim dengan dereisme.
8. Pemikiran magis: bentuk pikiran dereistik: cara ber pikir
yang menyerupai fase preoperasional pada anak (Jean
Piaget), ketika pikiran, kata-kata. Atau tindakan dianggap
memiliki kekuatan (contohnya menyebabkan atau
mencegah suatu peristiwa).
9. Proses pikir primer: islilah umuin untuk cara ber-pikir
dcreislik, tidak logis, magis; normal terdapat dalam
mimpi, terdapal sccara abnormal pada psikosis.
10. Tilikan emosional: tingkat pemahaman atau
kesadar-an yang menclalam yang condoning mengarah ke
perubahan kepribadian dan perilaku yang positif.
24
B. Gangguan spesifik dalam bentuk pikir.
1.Neologisme: kata barn yang diciptakan oleh pasien,
soringkali dengan menggabungkan suku kata dari kata-
kata lain, untuk alasan psikologis yang idiosinkratik.
2.Word salad: pencampuran kata atau frase yang inkoheren
3.Sirkumstansialitas: gaya bicara tak langsung yang
terlambat mencapai poin tertentu namun akhirnya
dapat berangkat dari poin asal ke tujuan yang dike-
hendaki; ditandai oleh detail dan kata-kata sisipan
yang berlebihan.
4.Tangensialitas: ketidakmampuan untuk mencapai
asosiasi pikiran yang mengarah ke tujuan; pembicara
tidak pernah beranjak dari poin awal ke tujuan yang
diinginkan.
5.Inkoherensi: pikiran yang secara umum tidak dapat
dipahami; pikiran atau kata-kata yang keluar tanpa
hubungan logis maupun tidak sesuai tata bahasa,
mengakibatkan disorganisasi.
6.Perseverasi: respons yang menetap terhadap stimulus
sebelumnya meski telah diberikan stimulus baru;
sering disebabkan oleh gangguan kognitif
7.Verbigerasi: pengulangan kata atau kalimat tertentu
tanpa makna.
8.Ekolalia: pengulangan kata atau kalimat yang di-
ucapkan seseorang yang bersifat psikopatologis;
cenderung berulang dan persisten; dapat diucapkan
dengan intonasi mengejek atau terputus-putus.
9.Kondensasi: penggabungan berbagai konsep menjadi
satu.
10. Jawaban tidak relevan: jawaban yang tidak
selaras
dengan pertanyaan yang diajukan (orang tersebut
tampak mengabaikan atau tidak memperhatikan per
tanyaan).
25
11. Asosiasi longgar: aliran pikiran berupa
perpindahan
ide dari satu subjek ke subjek lain dalam cara yang
sama sekali tidak berhubungan; bila parah, pem-
bicaraan dapat menjadi inkoheren.
12. Derailment: deviasi alur berpikir yang terjadi
secara
berangsur atau mendadak tanpa bloking; kadang di-
gunakan sebagai sinonim asosiasi longgar.
13. Flight of ideas: permainan kata-kata atau
verbalisasi
kontinu dan cepat yang menghasilkan perpindahan
konstan dari satu ide ke ide lain; ide cenderung ber
hubungan dan pada keadaan yang tidak begitu parah,'
pendengar masih dapat mengikutinya.
14. Clang association: keterkaitan kata-kata dengan
bunyi yang mirip namun berbeda arti; kata-kata ter
sebut tidak memiliki hubungan logis; dapat men-
cakup pembentukan rima dan sajak.
15. Bloking: interupsi alur pikiran secara mendadak
se-lil
bolum suatu pikiran alau ide tuntas: sctclah jeda se-
jenak, seseorang tampak tidak ingal hal yang sodang
atau akan dikatakan (disebut juga sebagai deprivasi
pikiran)
16. Glosolalia: pengungkapan wahyu mclalui kata-
kata
yang tidak dapat dimengerti artinya (juga disebut bicara
dalam lidah); tidadk dianggap sebagai gangguan berfikir bila
dikaitkan dengan praktik agama Pantekosta tertentu; disebut
juga sebagai kriptolalia, bahasa tutur pribadi
C. Gangguan isi pikir spesifik.
26
1. Miskin isi: pikiran yang hanyamemberi sedikit
informasi karena hampa, pengulangan kosong. atau kalimat
yang samar.
2. Ide berlebihan: kepercayaan salah yang menetap
dan tidak masuk akal, dipertahankan tidak seteguh
waham.
3. Waham: kepercayaan yang salah. didasarkan pada
kesimpulan yang salah tentang realitas ekstema,
tidak konsisten dengan latar belakang inteligensi
dan budaya pasien; tidak dapat dikoreksi dengan
penalaran.
a. Waham bizar: kepercayaan yang salah dan aneh,
sangat tidak masuk akal, (contohnya, penyusup
dari angkasa luar telah menanamkan elektroda ke
dalam otaknya).
b. Waham sistematik: kepercayaan yang salah atau
kepercayaan yang disatukan oleh satu peristiwa
atau tema tunggal (contohnya, seseorang merasa
dikejar-kejar oleh CIA, FBI, atau mafia).
c. Waham yang kongruen-mood: waham yang isinya
sesuai dengan mood (contohnya. pasien depresi
yang percaya bahwa dirinya bertanggung jawab
akan kehancuran dunia).
d. Waham yang tidak kongruen-moorf: waham de
ngan isi yang tidak sesuai dengan mood atau
netral terhadap mood (misalnya. seorang pasien
depresi yang memiliki waham kendali pikir
atau siar isi pikir).
e. Waham nihilistik: perasaan yang salah bahwa diri
nya. orang lain, dan dunia ini tidak ada atau akan
mengalami kiamat.
f. Waham kemiskinan: kepercayaan yang salah pada
seseorang bahwa ia bangkrut atau akan kehilangan
semua harta bendanya.
27
g. Waham somatik: kepercayaan salah yang melibat-
kan fungsi tubuh (contohnya, kepercayaan bahwa
otaknya membusuk atau meleleh).
h. Waham paranoid: termasuk di antaranya adalah
waham kejar dan waham rujukan, kendali, dan ke-
besaran (dibedakan dari ide paranoid, yaitu ke-
curigaan dengan kadar lebih rendah dari proporsi
waham).
1. Waham kejar: kepercayaan yang salah pada
seseorang yang merasa dirinya dilecehkan,
di-curangi, atau dikejar: sering ditemukan
pada pasien dengan kasus luikum yang
mcmiliki kecenderungan palologis untuk
mengamhiltindak-an hukum karcna adanya
suatu pcrlakuan salali yang imajiner.
2. Waham kebesaran: konsep seseorang akan arti
penting diri, kekuatan mengenali idenlitasnya
yang terlalu dilebih-lebihkan.
3. Waham rujukan: kepercayaan yang salah
dalam diri seseorang bahwa perilaku orang
lain di-tujukan kepada dirinya; bahwa
peristiwa. objek, atau orang lain memiliki
kepentingan tertentu dan luar biasa, biasanya
dalam konotasi negalif; berasal dari ide
rujukan. yaitu ketika seseorang secara salah
merasa bahwa orang lain membicarakan
dirinya (contohnya, kepercayaan bahwa
orang di tv dan radio berbicara kepada atau
mengenai dirinya).
i. Waham menyalahkan diri: perasaan menyesal dan
rasa bersalah yang tidak pada tempatnya.
j. Waham kendali: perasaan yang salah bahwa ke-
inginan, pikiran, atau perasaan seseorang diken-
dalikan oleh kekuatan dari luar.
28
i. Penarikan pikiran: waham bahwa pikiran se-
seorang dihilangkan dari dirinya oleh orang
atau kekuatan lain.
ii. Insersi pikiran: waham bahwa suatu pemikir-
an ditanamkan ke otak seseorang oleh orang atau
kekuatan lain
iii. Siar pikiran: waham bahwa pikiran seseorang
dapat didengar oleh orang lain, seolah-olah
pikiran tersebut disiarkan di udara.
iv. Kendali pikiran: waham bahwa pikiran sese-
orang dikendalikan oleh orang atau kekuatan lain.
k. Waham ketidaksetiaan (waham cemburu): keper-
cayaan salah yang berasal dari kecemburuan
patologis seseorang bahwa kekasihnya tidak
setia.
l. Erotomania: kepercayaan delusional, lebih sering
ditemukan pada wanita daripada pria, bahwa sese-
orang sedang jatuh cinta pada dirinya (juga di-
kenal sebagai kompleks Clerambaidt-Kandinsky)
m. Pseudologiafantastika: bentuk kebohongan ketika
seseorang tampaknya memercayai bahwa khayal-
annya menjadi nyata dan terjadi pada dirinya: di-
kaitkan dengan sindrom Munchausen. berulang
kali memalsukan penyakit
4. Kecenderungan atau preokupasi pikiran: pemusatan
isi pikir pada ide tertentu, dikaitkan dengan nada afektif
yang kuat, seperti kecenderungan paranoid atau preokupasi
bunuh diri atau membunuh.
5. Egomania: preokupasi patologis mengenai d i r i
sendiri
6. Monomania: preokupasi terhadap suatu objek tunggal.
7. Hipokondria: kekhawatiran yang berlebihan akan ke-
sehatan yang tidak didasarkan atas patologi organik
yang nyata, melainkan interpretasi yang tidak rea-
29
listis atas tanda atau sensasi fisik yang dianggap ab
normal.
8. Obsesi: mcnciapnya secara patologis suatu pikiran
atau perasaan kuat yang tidak dapat dihilangkan dari
kesadaran dengan usaha yang logis: dikailkan de
ngan ansictas.
9. Kompulsi: kebutuhan patologis untuk bertinclak ber-
dasarkan sebuah impuls yang, bila ditahan, akan
menimbulkan ansietas: perilaku repetitil' sebagai
respons terhadap suatu obsesi atau dilakukan ber-
dasarkan aturan tertentu. tanpa maksud tujuan ter
tentu untuk mengakhirinya selain untuk mencegah
sesuatu terjadi di masa yang akan datang.
10. Koprolalia: secara kompulsif mengeluarkan kata-
kata kotor.
11. Fobia: kengerian patologis yang tidak bervariasi.
berlebihan, tidak rasional. dan menetap akan suatu
stimulus atau situasi spesifik; sehingga timbul hasrat
yang kuat untuk menghindari stimulus yang ditakut-
kan tersebut.
a. Fobia spesifik: rasa takut yang terbatas pada suatu
objek atau situasi yang jelas (contohnya, takut
akan laba-laba atau ular).
b. Fobia sosial: takut dipermalukan oleh orang
banyak, contohnya takut berbicara di depan umum,
takut tampil, atau makan di tempat umum.
c. Akrofobia: takut akan ketinggian.
d. Agorafobia: takut akan tempat terbuka.
e. Algofobia: takut akan rasa nyeri.
f. Ailurofobia: takut akan kucing.
g. Eritrofobia: takut akan warna merah (merujuk
kepada takut mukanya akan bersemu merah)
h. Panfobia: takut akan segala hal
i. Klaustrofobia: takut akan tempat tertutup.
30
j. Xenofobia: takut akan orang asing.
k. Zoofobia: takut akan hevvan.
l. Fobia jarum: ketakutan patologis yang intens dan
menetap akan disuntik; juga disebut fobia injeksi darah
12. Noesis: vvahyu berupa pencerahan yang terjadi
menimbulkan perasaan bahwa seseorang terpilih untuk
memimpin atau memerintah.
13. Unio mystica: perasaan berlebih mengenai kesatuan
mistis dan suatu kekuatan tak terbatas; tidak dianggap
sebagai gangguan isi pikir bila sejalan dengan ling-
kungan agama atau budaya pasien.
V. Pembicaraan: ide, pikiran, perasaan yang diekspresikan melalui
bahasa; komunikasi dengan menggunakan kata-kata dan bahasa.
A. Gangguan cara berbicara.
1. Tekanan berbicara: gaya bicara cepat yang
meningkat dalam jumlah dan sulit diinterupsi.
2. Suka mengoceh (logorea): gaya bicara logis,
koheren, dan banyak.
3. Miskin bicara: restriksi jumlah pembicaraan
yang digunakan; jawaban dapat hanya terdiri
dari satu suku kata.
4. Gaya bicara tidak spontan: jawaban verbal
hanya di-
berikan bila ditanya atau diajak bicara
langsung; tidak ada inisiatif untuk memulai
pembicaraan.
5. Miskin isi pcmbicaraan: gaya bicara dalam
jumlah
yang adekuat namun liaina menvampaikan
scdikit
informasi akibat banyaknya kehampaan,
kekosongan,
31
clan kalimai stereotip.
6. Disprosodi: hilangnya irama berbicara normal
(di
sebut prosodi)
7. Disartria: kesulitan dalam artikulasi. bukan
dalam
inenemukan kata atau tata bahasa.
8. Gaya bicara yang sangat kcras atau sangat
pclan:
hilangnya modulasi volume bicara normal,
mungkin
mencerminkan berbagai keadaan patologis
mulai
dari psikosis sampai depresi atau ketulian.
9. Gagap: pengulangan yang sering atau
pemanjangan
suatu bunyi atau suku kata. mengarah ke
gangguan
kelancaran bicara yang cukup nyata.
10. Latah: gaya bicara serampangan dan tidak
bcrirama,
terdiri atas seruan spontan dan cepat.
11. Akulalia: gaya bicara lak masuk akal tcrkait
dengan
gangguan pemahaman yang cukup bermakna.
12. Bradilalia: gaya bicara lambat yang abnormal.
13. Disfonia: kesulitan atau nyeri saat berbicara.
B. Gangguan afasik: gangguan hasil akhir bahasa
1. Afasia motorik: kesulitan berbicara yang disebabkan oleh
gangguan kognitif berupa pemahaman yang
tetap namun kemampuan berbicara sangat terganggu;
gaya bicara terputus-putus, susah payah, dan tidak
32
akurat (disebut juga afasia Broca, nonfluent, dan
ekspresif).
2. Afasia sensorik: hilangnya kemampuan untuk me-
mahami arti kata dengan penyebab organik; gaya
bicara lancar dan spontan tapi tidak koheren dan tidak
masuk akal (dikenal juga sebagai afasia Wernicke,
fluent, dan reseptif)
3. Afasia nominal: kesulitan menemukan nama suatu objek
dengan benar (disebut juga afasia anomia dan amnesik).
4. Afasia sintaktis: ketidakmampuan menyusun kata- kata dalam
urutan yang benar.
5. Afasia jargon: kata-kata yang dikeluarkan seluruh- nya
neologistik; kata-kata tak bermakna diulang dengan
berbagai intonasi dan perubahan nada suara.
6. Afasia global: kombinasi afasia nonfluent berat de ngan
afasiafluent parah.
7. Alogia: ketidakmampuan berbicara akibat suatu defisiensi
mental atau episode demensia.
8. Koprofasia: penggunaan bahasa yang vulgar atau kasar secara
involunter; terdapat pada gangguan Tourette dan beberapa
kasus skizofrenia.
VI. Persepsi: proses transfer stimulus fisik menjadi informasi psikologis;
proses mental yang membawa stimulus sensorik ke alam sadar.
A. Gangguan persepsi.
1. Halusinasi: persepsi sensorik palsu yang tidak dikait-kan
dengan stimulus eksternal yang nyata; mungkin terdapat
interpretasi berupa vvaham atas pengalaman halusinasi
tersebut namun mungkin pula tidak.
33
a. Halusinasi hipnagogik: persepsi palsu yang terjadi saat
akan jatuh tertidur; umumnya dianggap sebagai
fenomena yang tidak patologis,
b. Halusinasi hipnopompik: persepsi palsu yang ter
jadi saat bangun dari tidur; biasanya dianggap
tidak patologis.
c. Halusinasi auditorik: persepsi palsu akan bunyi,
biasanya berupa suara-suara namun dapat pula
berupa bunyi-bunyian lain, contohnya musik; mc-
rupakan halusinasi yang paling sering ditemukan
pada gangguan psikiatri
d. Halusinasi visual: persepsi palsu yang melibatkan
penglihatan baik suatu citra yang berbentuk (misal-
nya, orang) dan citra tak berbentuk (misalnya.
kilatan cahaya); paling sering ditemukan pada
gangguan berupa gangguan medis.
e. Halusinasi olfaktorik: persepsi palsu akan ban;
paling sering terdapat pada gangguan medis
f. Halusinasi gustatorik : persepsi palsu akan rasa,
misalnya rasa yang tidak enak, disebabkan oleh
kejang unsinatus; paling sering terjadi pada gang
guan medis.
g. Halusinasi taktil (haptik): persepsi palsu akan
sentuhan atau sensasi permukaan, contohnya
pada ekstremitas yang diamputasi {phantom
limb); sensasi merayap pada atau di bawah kulit
(formikasi).
h. Halusinasi somatik: sensasi palsu akan adanya se-
suatu yang terjadi pada atau ditujukan ke tubuh-nya,
paling sering berasal dari visera (disebut juga
halusinasi senestesik).
i. Halusinasi liliput: persepsi palsu bahwa ukuran
obyek terlihat mengecil (disebut juga mikropsia).
34
j. Halusinasi yang kongruen-mood: halusinasi yang
isinya konsisten dengan mood depresif atau manik
(contohnya, pasien depresi mendengar suara yang
mengatakan bahwa dirinya adalah orang jahat;
seorang pasien manik mendengar suara yang me-
ngatakan dirinya amat berharga, berkuasa, dan ber-
pengetahuan tinggi).
k. Halusinasi yang tidak kongruen-moorf: halusinasi
yang isinya tidak konsisten dengan mood depresif
maupun manik (misalnya, pada depresi, halusinasi
tidak melibatkan tema seperti rasa bersalah, ber-hak
dihukum, atau perasaan rendah diri; pada mania,
halusinasi tidak melibatkan tema seperti harga diri
dan kekuasaan yang tinggi)
l. Halusinosis: halusinasi, paling sering auditorik. akibat
penyalahgunaan alkohol kronik dan yang terjadi pada
kesadaran yangjernih, berlawanan dengan delirium
tremens, yaitu halusinasi yang terjadi pada kesadaran
berkabut.
m. Sinestesia: sensasi atau halusinasi yang ditimbul-kan
oleh sensasi lain (contohnya, sensasi auditorik yang
disertai atau memicu sensasi visual; suara yang
dianggap terlihat atau kejadian visual yang dianggap
sebagai sesuatu yang terdengar).
n. Fenomena trailing: abnormalitas persepsi torkail ohai
halusinogenik borupa obyek bergerak terlihat scbagai
serangkaian citra yang terpisah dan terputus.
o. Halusinasi pcriniali: perscpsi palsu akan perintah
sang membiiai seseorang merasa wajib mcmatulii
aiau lak kuasa menolak.
2. llusi: persepsi atau intorpretasi yang salah akan stimulus
sensorik eksterna yang nyata.
B. Gangguan yang berkaitan dengan gangguan kognitif
dan penvakit medis
35
1. Agnosia: keiidakmampuan untuk mengenali dan
menginterprctasi imprcsi sensorik.
2. Anosognosia (pengabaian penyakii): ketidakmam-
puan seseorang umuk mengenali suatu dclisit neuro-
logis yang terjadi pada dirinya.
3. Somatopagnosia (pengabaian tubuh): kciidakmam-
puan seseorang umuk mengenali bagian uibnh se-
bagai miliknya sendiri (juga disebut ototopagnosia).
4. Agnosia visual: ketidakmampuan untuk mengenali
obyek atau orang.
5. Astereognosis: ketidakmampuan untuk mengenali
obyek melalui sentuhan.
6. Prosopagnosia: ketidakmampuan untuk mengenali
wajah.
7. Apraksia: ketidakmampuan untuk melakukan tugas
spesifik.
8. Simultagnosia: ketidakmampuan untuk memahami
lebih dari satu elemen pemandangan visual pada
suatu waktu atau untuk mengintegrasi bagian ter-
sebut sebagai suatu kesatuan.
9. Adiadokhokinesia: ketidakmampuan untuk melaku
kan gerakan cepat bergantian.
10. Aura: sensasi peringatan berupa otomatisme, rasa
penuh pada perut. pipi memerah, perubahan napas, sensasi
kognitif, dan keadaan afektif yang biasanya dialami
sebelum serangan kejang; suatu prodromal sensorik yang
mendahului nyeri kepala migren klasik.
C. Gangguan yang berkaitan dengan konversi dan
fenomena disosiatif: somatisasi materi yang direpresi
atau timbulnya gejala fisik dan distorsi yang melibatkan
otot volunter atau organ indera tertentu; bukan di bawah
kendali volunter dan tidak dapat dijelaskan oleh gang
guan fisik lain.
36
1. Anestesia histeris: hilangnya modalitas sensorik
akibat konflik emosional.
2. Makropsia: keadaan ketika obyek tampak lebih besar
daripada sebenarnya.
3. Mikropsia: keadaan ketika obyek tampak lebih
kecil daripada sebenarnya (baik makropsia mau-
pun mikropsia juga dapat disebabkan oleh pe
nyakit organik yang jelas, contohnya kejang parsial
kompleks).
4. Depersonalisasi: sensasi subjektif pada seseorang
bahwa dirinya terasa tidak nyata, asing, atau tidak
familiar.
5. Dcrealisasi: sensasi subjektif bahwa lingkungan
tampak aneh atau tak nyata; perasaan bahwa kenyataan
telah berubah
6. Fugue: mcngambil identitas baru diserlai amnesia
akan identitas yang lama; scringknli melibatkan per-
jalanan atau berkelana ke lingkungan baru.
7. Kepribadian ganda: seseorang yang pada saal yang
berbeda tampak memiliki dua atau lebih kepribadian
dan karakter yang sama sekali berbeda (disebut se
bagai gangguan identitas disosiatif da\am DSM-IV-
TR).
8. Disosiasi: mekanisme pertahanan bawah saclar yang
meliputi pemisahan selurub kclompok proses mental
atau perilaku dari aklivitas psikis lain pada orang
tersebut; dapat mencakup pemisahan suatu ide dari
nada emosional yang menyertainya, seperti yang
tampak pada gangguan konversi dan disosiasi.
VII. Memori: fungsi penyimpanan informasi di dalam otak yang
kemudian diingat kembali ke alam sadar. Orientasi adalah
keadaan normal seseorang terhadap sekitarnya dalam hal
waktu, tempat, dan orang.
37
A. Gangguan memori.
1. Amnesia: ketidakmampuan parsial atau total
untuk mengingat kejadian masa lalu; dapat bersifat
organik atau. emosional.
a. Anterograd: amnesia mengenai kejadian yang
terjadi sesudah waktu tertentu.
Retrograd: amnedia mengenai kejadian yang terjadi
sebelum waktu tertentu.
2. Paramnesia: pemalsuan memori akibat distorsi
dalam mengingat kembali.
a. Fausse reconnaissance: pengenalan yang salah
b. Falsifikasi retrospektif: memori menjadi
terdistorsi di luar keinginan (tanpa sadar),
dipengaruhi oleh kondisi pengalaman, kognisi, dan
emosi seseorang saat itu.
c. Konfabulasi: pengisian kekosongan memori se-
cara tidak sadar dengan pengalaman yang di-
bayangkan atau bukan yang sebenarnya yang
dipercayai oleh seseorang namun hal tersebut tidak
sesuai kenyataan; paling sering disebabkan oleh
patologi organik.
d. Deja vu: ilusi pengenalan visual yaitu suatu
situasi yang baru dikenali secara salah sebagai
pengulangan memori yang telah dialami
sebelumnya.
e. De'ja enlendu: ilusi pengenalan auditorik.
f. De'ja pense: ilusi bahwa suatu pikiran yang baru
dikenali sebagai pikiran yang sebelumnya telah
dialami atau diungkapkan.
38
g. Jamais vu: perasaan yang salah yaitu seseorang
tidak merasa familiar dengan situasi yang sebelum
nya telah ia alami.
h. Memori palsu: Pengingatan kembali dan
keyakin-an oleh seseorang mengenai suatu
kejadian yang sebenarnya tidak terjadi.
3. Hipermnesia: derajat retensi dan pengingat kembali
memori yang berlebihan.
4. Citra eidelik: memori visual yang sangat jelas,
hampir seperti halusinasi.
5. Memori layar: incmori yang clitolcransi sccarn
saclar untuk menutupi suatu memori yang
menyakilkan.
6. Represi: mekanisme defcnsi yang ditandai
dengan melupakan secara sadar idc atau iinpuls
yang tak dapat diterima.
7. Lethologika: ketidakmampuan sementara
untuk mengingat nama atau kata benda yang
benar.
8. Blackout: amnesia yang dialami oleh
alkoholik tentang perilaku selama ia minum-
minum; biasanya mengindikasikan terjadinya
kerusakan otak revesibel.
B. Tingkatan memori.
1. Segera: reproduksi atau pengingatan
materi yang baru diterima dalam jangka waktu
detik atau menit.
2. Jangka peridek: mengingat peristiwa yang
terjadi selama beberapa hari sebelumnya
3. Jangka menengah: mengingat peristiwa yang
39
terjadi dalam beberapa bulan sebelumnya.
4. Jangka panjang: mengingat peristiwa yang terjadi jauh di
masa lampau.
VIII. Inteligensi: kemampuan untuk memahami, mengingat kembali,
memobilisasi, dan mengintegrasikan secara kon-struktif
pelajaran di masa lalu dalam menghadapi situasi baru.
A. Retardasi mental: kurangnya inteligensi hingga
mencapai suatu derajat terdapatnya gangguan kinerja
sosial dan pekerjaan: ringan (IQ 50 atau 55
sampai 70), sedang (IQ 35 atau 40 sampai 50 atau
55), berat (IQ 20 atau 25 sampai 35 atau 40), atau
sangat berat (IQ di bawah 20 atau 25); istilah
kunonya idiot (usia mental di bawah 3 tahun), imbisil
(usia mental antara 3 sampai 7 tahun), dan moron
(usia mental sekitar 8 tahun).
B. Demensia: penurunan fungsi intelektual yang
bersifat global dan organik tanpa kesadaran berkabut.
1. Diskalkulia (akalkulia): hilangnya kemampuan
untuk melakukan kalkulasi; bukan disebabkan oleh
ansietas atau gangguan konsentrasi.
2. Disgralia (agralia): hilanunya keniampuan uniuk
menulis miring, hilangnya slruktur kata
3. Aleksia: hilangnya kemampuan memhaca sang Si
mula dimiliki; bukan disebabkan oleh kecacatan
pada kelajaman visual.
C. Pseudodemcnsia: gambaran klinis yang
menycrupni demensia naniun bukan disebabkan oleh
kondisi organik: paling sering disebabkan oleh depresi
(sindrom demensia pada depresi).
40
D. Pemikiran konkret: cara berpikirsecara
harfiah:penggunaan metafora yang terbatas tanpa
memahami nuansa maknanya; pemikiran satu
dimensi.
E. Pemikiran abstrak: kemampuan untuk
memahami nuansa makna; pemikiran multidimensi
dengan kemampuan untuk menggunakan metafora
dan hipotesis secara lepat.
IX. Tilikan: Kemampuan seseorang untuk memahami penyebab sejati dan
makna suatu situasi (contohnya sekumpulan gejala).
A. Tilikan intelektual: pemahaman kenyataan
objektif suatu kelompok keadaan tanpa disertai
kemampuann untuk menerapkan pemahaman
tersebut dalam cara yang berguna untuk
mengatasi situasi.
B. Tilikan sejati: pemahaman akan kenyataan
objektif suatu situasi disertai motivasi dan
dorongan emosionai unluk menguasai situasi.
C. Tilikan terganggu: berkurangnya kemampuan
untuk memahami kenyataan objektif dari suatu
situasi.
X. Daya nilai: kemampuan untuk mengkaji suatu situasi
dengan benar dan bertindak sesuai situasi tersebut.
A. Daya nilai kritis: kemampuan untuk mengkaji,
mencerna, dan memilih di antara berbagai opsi
dalam suatu situasi.
B. Daya nilai otomatis: kinerja refleks suatu
tindakan.
41
C. Daya nilai terganggu: berkurangnya kemampuan
untuk memahami suatu situasi dengan benar dan
mengambil tindakan yang sesuai.
7. Konsep dasar pemeriksaan psikiatri
1) Wawancara psikiatri
Wawancara psikiatri terbagi 2, yaitu:
a. Alloanamnesis, yaitu anamnesis yang dilakukan kepada
keluarga, saudara atau teman dekat penderita dengan tujuan
untuk mendapatkan informasi tentang gejala gangguan jiwa
saat ini, riwayat gangguan jiwa sebelumnya, riwayat
perkembangan, riwayat penyakit dalam keluarga, silsilah
keluarga, riwayat pribadi penderita, dan stessor psikososial.
b. Autoanamnesis, yaitu menggalin informasi, tanda dan gejala
langsung kepada penderita.
2) Riwayat psikiatri
a. Identifikasi: nama, umur, status perkawinan, jenis kelamin,
pekerjaan, bahasa selain bahasa inggris, ras kebangsaan, dan,
bila berhubungan, agama; riwayat rawat inap sebelumnya untuk
penyakit yang sama atau berbeda; dengan siapa pasien tinggal.
b. Keluhan utama: tepatnya mengapa pasien datang ke psikiater,
lebih disukai dalam bahasa pasien sendiri, bila informasi bukan
dari pasien, catat siapa yang memberikannya.
c. Riwayat penyakit sekarang: latar belakang kronologis dan
perkembangan gejala atau perubahan perilaku yang memuncak
saat pasien mencari bantuan; situasi kehidupan pasien saat
awitan; kepribadian dalam keadaan normal; bagaimana
penyakit mempengaruhi aktivitas hidup dan hubungan ribadi—
perubahan kepribadian, minat, mood, sikap terhadap orang lain,
cara berpakaian, kebiasaan, tingkat ketegangan, iritabilitas,
aktivitas, perhatian, konsentrasi, memori, gaya bicara; gejala
psikofisiologis sifat dan detail disfungsi; nyeri lokasi,
intensitas, fluktuasi; kadar ansietas umum dan nonspesifik
42
(mengambang bebas) atau secara spesifik berhubungan dengan
situasi, aktivitas, atau objek tertentu; bagaimana mengatasi
ansietas penghindaran, pergaulan situasi yang ditakuti,
penggunaan obat-obatan atau aktivitas lain sebagai pengalihan.
d. Riwayat penyakit medis dan psikiatri terdahulu: (1). Gangguan
emosi atau mental – seberapa jauh mengurangi kemampuan,
jenis terapi, nama rumah sakit, lama sakit, efek terapi;
(2).Gangguan psikosomatik: hay fever, artritis, kolitis,
reumatoid, pilek berulang, penyakit kulit; (3). Penyakit medis:
ikuti pengkajian sistem yang berlaku; penyakit menular
seksual; penyalahgunaan alkohol atau zat lain; beresiko
mengidap AIDS; (4). Gangguan neurologis: sakit kepala,
traumakranioserebral, hilang kesadaran, kejang atau tumor.
e. Riwayat keluarga: diperoleh dari pasien dan dari orang lai,
karena deskripsi yang diberikan mengenai orang-orang dan
kejadian yang sama bisa saja cukup berbeda; etnis, kebangsaan,
dan tradisi keagamaan; orang lain di rumah, deskripsi tentang
mereka – kepribadian dan intelegensi – serta hubungan mereka
sejak pasien masih kanak-kanak; deskripsi berbagai lingkungan
rumah tangga tempat pasien pernah tinggal; hubungan antara
pasien dengan anggota keluarga lain saat ini; peran penyakit
dalam keluarga; riwayat penyakit mental dalam keluarga;
dimana pasien tingga – lingkungan tetangga dan terutama
disekitar kediaman pasien; apakah rumahnya penuh sesak;
privasi anggota keluarga terhadap anggota keluarga dan
keluarga yang lain; sumber pendapatan keluarga dan kesulitan
memperolehnya; bantuan masyarakat (bila ada) dan sikap
terhadap hal itu; apakah pasien akan kehilangan pekerjaan atau
tempat tinggalnya bila ia tetap di rawat inap; siapa yang
mengurus anak.
f. Riwayat pribadi: riwayat kehidupan pasien sejak bayi hingga
saat ini sejauh yang dapat diingat; celah dalam riwayat yang
secara spontan dihubungkan oleh pasien; emosi yang berkaitan
dengan periode kehidupan yang berbeda (menyakitkan,
43
meyebabkan stress, menimbulkan konflik) atau fase dalam
siklus kehidupan.
(1) Masa kanak-kanak awal (sampai usia 3 tahun)
Riwayat pranatal serta kehamilan ibu dan kelahiran:
lama kehamilan, apakah kelahiran terjadi spontan dan
normal, trauma lahir, apakah kelahiran pasien
direncanakan dan diinginkan, cacat lahir.
Kebiasaan pemberian makan: ASI atau susu botol,
masalah makan.
Perkembangan awal: deprivasi maternal, perkembangan
bahasa, perkembangan motorik, tanda kebutuhan tak
terpenuhi, pola tidur, konsistensi objek, ansietas
terhadap orang asing, kecemasan terhadap perpisahan.
Latihan buang air: umur, sikap orang tua, perasaan
terhadap hal ini.
Gejala masalah perilaku: mengisap ibu jari,
tempertantrum, tik, membenturkan kepala,
menggoyangkan badan, teror malam, takut, mengompol,
menggigit kuku.
Kepribadian dan tempramen sebagai anak: pemalu,
gelisah, overaktif, menarik diri, suka belajar, terbuka.
Mimpi atau fantasi awal
(2) Masa kanak-kanak pertengahan (usia 3-11 tahun): riwayat
ingin bersekolah – perasaan tentang pergi ke sekolah,
penyesuaian diri, identifikasi gender, perkembangan hati
nurani, hukuman; hubungan sosial, sikap terhadap saudara
kandung dan teman bermain.
(3) Masa kanak-kanak akhir (prapubertas sampai remaja)
Hubungan sebaya: jumlah teman dan kedekatannya,
pemimpin atau pengikut, popularitas sosial, partisispasi
dalam aktifitas kelompok atau geng.
44
Riwayat sekolah: jarak yang harus ditempuh pasien ke
sekolah, penyesuaian terhadap sekolah, hubungan
dengan guru - Murid kesayangan atau pembangkang –
mata pelajaran favorit atau minat, kemampuan atau aset
khusus, olahraga, hobi, hubungan antara masalah atau
gejala dengan periode bersekolah manapun.
Perkembangan motorik dan kognitif: belajar membaca
dan keterampilan intelektual serta motorik lain,
kesulitan belajar – penanganan serta pengaruhnya pada
anak tersebut.
Masalah fisik atau emosional remaja khusus: mimpi
buruk, fobia, mengompol, kabur, kenakalan remaja,
merokok, penggunaan obat-obatan atau alkohol,
amsalah berat badan.
Riwayat psikoseksual
i. Rasa penasaran awal, mastrubasi infatil, permainan
seks.
ii. Diperolehnya pengetahuan seks, sikap orang tua
terhadap seks, penganiyayaan seksual.
iii. Awitan pubertas, perasaan terhadapnya, bentuk
persiapan, perasaan mengenai menstruasi,
perkembangan ciri seks sekunder.
iv. Aktivitas seks remaja: menaksir, berpesta,
berkencan, bercumbu, mastrubasi, mimpi basah dan
sikap terhadap hal tersebut.
v. Sikap terhadap sesama dan lawan jenis: minder,
pemalu, agresif, merasa perlu menonjolkan diri,
penaklukan seksual.
vi. Praktik seksual: masalah seksual, pengalaman
homoseksual dan heteroseksual.
Latar belakang keagaaman: taat, liberal, campuran
(kemungkinan konflik).
(4) Masalah dewasa
45
Riwayat pekerjaan: pilihan pekerjaan, pelatihan,
ambisi, konflik; hubungan dengan pemegang
kekuasaan, rekan kerja atau bawahan; jumlah pekerjaan
dan durasi; perubahan status pekerjaan; pekerjaan saat
ini dan perasaan terhadap hal tersebut.
Aktivitas sosial: apakah pasien memiliki teman atau
tidak; apakah ia menarik diri atau bersosialisasi dengan
baik; minat sosial, intelektual, dan fisik.
Seksualitas dewasa:
i. Hubungan seks pranikah, usia saat hubungan seks
pertama, orientasi seks.
ii. Riwayat perkawinan: pernikahan menurut hukum
adat, pernikahan yang sah menurut hukum, usia saat
menikah, masalah setiap anggota keluarga,
perselingkuhan, manajemen keuangan.
iii. Gejala seksual: anorgasmia, impotensi, ejakulasi
dini, kurang bergairah.
iv. Sikap terhadap kehamilan dan memiliki anak:
praktik kontrasepsi.
v. Praktik seksual: parafilia seperti sadisme, fetis.
Riwayat militer: penyesuaian umum, pertempuran,
cedera, rujukan ke psikiater, tipe pembebas tugasan.
Sistem nilai :apakah anak dianggap sebagai beban atau
kesenangan; apakah pekerjaan dianggap sebagai setan
yang diperlukan, tugas yang dapat di hindari atau suatu
kesempatan, sikap terhadap agama saat ini.
3) Status mental
a. Penampilan
- Identifikasi pribadi: dapat meliputi deskripsi non-teknis
singkat tentang penampilan dan tingkah laku pasien yang
dapat di tulis dengan cara seperti para novelis; sikap
terhadap pemeriksa: kooperatif, penuh perhatian, tertarik,
terus terang, bermusuhan, suka bercanda, suka mengelak,
berhati-hati.
46
- Perilaku dan aktivitas psikomotor: cara berjalan, gerakan
tubuh, tik, stereotipi, gerakan mencabut, menyentuh
pemeriksa, kikuk, tangkas, , lambat, hiperaktif, penuh
perlawanan, seperti lilin.
- Gambaran umum: postur, pakaian, kerapihan, rambut; kuku:
tampak sehat, sakit, marah, ketakutan, apatis, kebingungan,
merendahkan, tak nyaman, tenang, tampak tua, muda.
b. Gaya bicara: cepat, lambat, tertekan, tertahan, emosional,
monoton, lantang, berisik, pelo, gagap.
c. Mood dan afek
- Mood (emosi yang menetap dan telah meresap yang
mewarnai persepsi orang tersebut terhadap dunia):
bagaimana pasien mengatakan apa yang di rasakan,
kedalaman, intensitas, durasi, dan fliuktuasi mood –
depresif, putus asa, iritabel, hampa, bersalah, terpesona,
merasa sia-sia.
- Afek (emosi yang di tunjukan pasien terhadap hal yang ia
rasakan di dalam): bagaimana pemeriksa menilai afek
pasien – luas, terbatas, menumpul atau datar, dangkal;
kesulitan memulai, mempertahankan atau mengakhiri;
apakah emosi sesuai dengan isi pikir.
d. Pikiran dan persepsi
(1) Bentuk pikiran
Produktivitas: ide yang sangat berlebihan, miskin
ide, flight of ideas, berpikir cepat, berpikir lambat.
Kontinuitas pikiran: apakah jawaban pasien benar-
benar menjawab pertanyaan dan mengarah ke
tujuan, relavan atau tidak relavan, suka mengelak,
bertahan, bloking, atau perhatian mudah teralih.
Hendaya bahasa: gaya bicara inkoheren.
(2) Isi pikir
Preokupasi: tentang penyakitnya, masalah di
lingkungan, obsesi, rencana bunuh diri.
47
(3) Gangguan berpikir
Waham: isi semua sistem waham, bagaimana
waham tersebut mempengaruhi hidupnya.
Ide pengaruh dan ide rujukan: bagaimana ide itu
bermula, isi dan makna ide tersebut menurut
pasien.
(4) Gangguan persepsi
Halusinasi dan ilusi: apakah pasien mendengar
suara-suara atau melihat penampakan.
(5) Fantasi dan mimpi
Mimpi: yang menonjol, bila pasien mau
menceritakannya; mimpi buruk.
Fantasi: rekuren, favorit atau khayalan yang tak
tergoyahkan.
e. Sensorium
- Kesiagaan: kewaspadaan terhadap lingkungan, kesadaran
berkabut, somnolen, stupor, letargi.
- Orientasi: apakah pasien dapat mengidentifikasi hari dengan
benar, apakah pasien mengetahui dimana ia berada, apakah
pasien mengenali siapa pemeriksanya dan peran atau nama
orang yang berkontak dengannya.
- Memori:
i. Jangka panjang: data masa kanak-kanak, peristiwa
penting yang diketahui terjadi saat pasien berusia lebih
muda dan bebas penyaki, masalah pribadi.
ii. Jangka menegah: beberapa bula terakhir.
iii. Jangka pendek: beberapa hari terakhir, apa yang pasien
lakukan kemarin.
- Tilikan: tingkat kesadaran dan pemahan pasien akan
penyakitnya.
- Daya nilai
48
8. Evaluasi Multiaksial, Prognosis dan Rencana Terapi
a. Tujuan diagnosis multiaxial adalah untuk mencakup informasi
yang menyeluruh sehingga dapat membantu dalam perencanaan
terapi dan pembuatan prognosis. Diagnosis multiaxial memakai
lima axis yaitu :
1. Axis I : Gangguan jiwa klinis (F00-F99) dan gangguan lain
yang menjadi perhatian klinis utama (lihat
lampiran 3 pada buku PPDGJ-III) dan Z03.2 tidak
ada diagnosis axis I, R69 diagnosis axis I tertunda.
2. Axis II : Gangguan kepribadian (F21, F60, F61) dan
retardasi mental (F70-F79) dan Z03.2 tidak ada
diagnosis axis II, R46.8 diagnosis axis II tertunda.
3. Axis III : Kondisi medis umum.
4. Axis IV : Masalah Psikososial danLingkungan.
- Masalah dengan kelompok bantuan primer
(keluarga)
- Masalah berkaitan dengan lingkungan sosial
- Masalah pendidikan
- Masalah pekerjaan
- Masalah perumahan
- Masalah ekonomi
- Masalah akses ke pelayanan kesehatan
- Masalah interaksi dengan hukum atau masalah
kriminal
- Masalah psikososial dan lingkungan lain
5. Axis V : Penilaian fungsi secara menyeluruh atau Global
Assessment of Function (GAF) adalah sebagai
berikut :
- 100-91 : Tidak terdapat gejala, berfungsi
optimal, tidak terdapat masalah
yang tidak dapat diatasi
- 90-81 : Terdapat gejala minimal, berfungsi
49
cukup baik, cukup puas, terdapat
tidak lebih dari masalah harian
yang biasa
- 80-71 : Gejala hanya sementara dan dapat
diatasi, gangguan yang ringan
dalam aktivitas sosial, pekerjaan,
sekolah dan lain-lain
- 70-61 : Beberapa gejala ringan dan
menetap, gangguan ringan dalam
fungsi, secara umum masih baik
- 60-51 : Gejala sedang, gangguan sedang
- 50-41 : Gejala berat, gangguan berat
- 40-31 : Beberapa gangguan dalam
hubungan dengan kenyataan
(realitas) dan komunikasi,
gangguan berat dalam beberapa
fungsi
- 30-21 : Gangguan berat dalam komunikasi
dan kemampuan penilaian, tidak
mampu berfungsi hampir pada
semua bidang
- 20-19 : Bahaya melukai diri sendiri dan
atau orang lain, gangguan sangat
berat dalam berkomunikasi dan
mengurus diri sendiri
- 10-1 : Seperti diatas, tetapi persisten dan
lebih serius
- 0 : Informasi tidak cukup
Catatan : Antara Axis I, II dan III tidak harus ada hubungan
etiologis atau Patogenesis, dan hubungan antara Axis
I, II, III dan Axis IV dapat timbal balik dan saling
mempengaruhi.
50
b. Prognosis, dapat ditentukan dari awitan, gejala tambahan, gejala
yang ada, pihak keluarga, lama pengobatan.
Prognosis Baik Prognosis Buruk
Onset lambat Onset muda
Faktor pencetus yang jelas Tidak ada faktor pencetus
Onset akut Onset tidak jelas
Riwayat sosial, seksual dan
pekerjaan premorbid yang baik
Riwayat sosial dan pekerjaan
premorbid yang buruk
Gejala gangguan mood Gejala negatif
Menikah Perilaku menarik diri
Riwayat keluarga gangguan mood Tidak menikah atau bercerai
Sistem pendukung yang baik Sistem pendukung yang buruk
Gejala positif Tanda dan gejala neurologis
Riwayat trauma perinatal
c. Rencana Terapi
I. Tujuan terapi :
1. Menurunkan atau menghilangkan tanda dan gejala
2. Mengembalikan fungsi utama yang terganggu
3. Meminimalkan resiko kekambuhan
II. Pedoman terapi :
1. Terapi Biologis
A. Penggunaan Obat Antipsikosis
Obat-obatan antipsikosis yang dapat meredakan gejala-
gejala schizophrenia adalah chlorpromazine (thorazine) dan
fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut
termasuk kelompok obat phenothiazines, reserpine (serpasil),
dan haloperidol (haldol). Obat ini disebut obet penenang utama.
Obat tersebut dapat menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan,
tetapi tidak mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam
dosis yang sangat tinggi (orang tersebut dapat dengan mudah
terbangun). Obat ini tampaknya mengakibatkan sikap acuh
pada stimulus. luar. Obat ini cukup tepat bagi penderita
51
schizophrenia yang tampaknya tidak dapat menyaring stimulus
yang tidak relevan).
Bukti menunjukkan bahwa obat antipsikotik ini bekerja
pada bagian batang otak, yaitu sistem retikulernya, yang selalu
mengendalikan masukan berita dari alat indera pada cortex
cerebral. Obat-obatan ini tampaknya mengurangi masukan
sensorik pada sistem retikuler, sehingga informasi tidak
mencapai cortex cerebral. Obat antipsikotik telah terbukti
efektif untuk meredakan gejala schizophrenia, memperpendek
jangka waktu pasien di rumah sakit, dan mencegah kambuhnya
penyakit. Namun, obat-obatan tersebut bukan untuk
penyembuhan menyeluruh. Kebanyakan pasien harus
melanjutkannya dengan perbaikan dosis pengobatan agar dapat
berfungsi di luar rumah sakit.
Di samping itu, efek penggunaan obat-obatan antipsikotik
tersebut memiliki dampak sampingan yang kurang
menyenangkan, yaitu mulut kering, pandangan mengabur, sulit
berkonsentrasi, sehingga banyak orang menghentikan
pengobatan mereka. Selain itu juga terdapat dampak sampingan
yang lebih serius dalam beberapa hal, misalnya tekanan darah
rendah dan gangguan otot yang menyebabkan gerakan mulut
dan dagu yang tidak disengaja (Atkinson, et al., 1991). Selain
itu, dalam 2-3 tahun terakhir ini, obat-obat psikotropik anti
schizophrenic bermunculan dan mulai digunakan di Indonesia.
Obat-obat ini seperti clozapine, risperidone, olanzepine,
iloperidol, diyakini mampu memberikan kualitas kesembuhan
yang lebih baik, terutama bagi yang sudah resisten dengan obat-
obat lama. Obat-obat generasi kedua ini bisa menetralisir
gejala-gejala akut schizophrenia seperti tingkah laku kacau,
gaduh gelisah, waham, halusinasi pendengaran, inkoherensi,
maupun menghilangkan gejala-gejala negatif (kronik) seperti
autistik (pikiran penuh fantasi dan tak terarah), perasaan
tumpul, dan gangguan dorongan kehendak. Namun, obat-obat
anti schizophrenia ini memiliki harga yang cukup mahal.
52
Sementara, penderita schizophrenia di Indonesia kebanyakan
berasal dari golongan sosial ekonomi rendah dan biasanya
menggunakan obat-obatan klasik (generik).
2. Terapi Elektrokonvulsif
Terapi Elektrokonvulsif disingkat ECT juga dikenal
sebagai terapi elektroshock. ECT telah menjadi pokok
perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa
alasan. Di masa lalu ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit
jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk schizophrenia.
Namun terapi ini tidak membuahkan hasil yang bermanfaat.
Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi dikembangkan,
ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan pasien.
Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik
dialirkan ke tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran
sementara, serta seringkali menderita kerancuan pikiran dan
hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya, intensitas
kekejangan otot yang menyertai serangan otak mengakibatkan
berbagai cacat fisik.
Namun, sekarang ECT sudah tidak begitu menyakitkan.
Pasien diberi obat bius ringan dan kemudian disuntik dengan
penenang otot. Aliran listrik yang sangat lemah dialirkan ke
otak melalui kedua pelipis atau pada pelipis yang mengandung
belahan otak yang tidak dominan. Hanya aliran ringan yang
dibutuhkan untuk menghasilkan serangan otak yang diberikan,
karena serangan itu sendiri yang bersifat terapis, bukan aliran
listriknya. Penenang otot mencegah terjadinya kekejangan otot
tubuh dan kemungkinan luka. Pasien bangun beberapa menit
dan tidak ingat apa-apa tentang pengobatan yang dilakukan.
Kerancuan pikiran dan hilang ingatan tidak terjadi, terutama
bila aliran listrik hanya diberikan kepada belahan otak yang
tidak dominant (nondominan hemisphere). Empat sampai enam
kali pengobatan semacam ini biasanya dilakukan dalam jangka
waktu 2 minggu.
53
Akan tetapi, ECT ini tidak cukup berhasil untuk
penyembuhan schizophrenia, namun lebih efektif untuk
penyembuhan penderita depresi tertentu (Atkinson, et al.,1991).
3 Pembedahan bagian otak
Pada tahun 1935, Moniz (Davison, et al., 1994)
memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu preoses
pembedahan pada lobus frontalis penderita schizophrenia.
Menurut Moniz, cara ini cukup berhasil dalam proses
penyembuhan yang dilakukannya, khususnya pada penderita
yang berperilaku kasar. Akan tetapi, pada tahun 1950 -an cara
ini ditinggalkan karena menyebabkan penderita kehilangan
kemampuan kognitifnya, otak tumpul, tidak bergairah, bahkan
meninggal.
4. Psikoterapi
Gejala-gejala gangguan schizophrenia yang kronik telah
membuat situasi pengobatan di dalam maupun di luar Rumah
Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton dan menjemukan. Para
psikiater dan petugas kesehatan terkondisi untuk menangani
schizophrenia dengan obat saja selain terapi kejang listrik
(ECT). Psikoterapi suportif, terapi kelompok, maupun terapi
perilaku hampir tidak pernah dilakukan, karena dianggap tidak
akan banyak manfaatnya. Wawancara tatap muka yang rutin
dengan pasien jarang dilakukan.
Psikoterapi adalah perawatan dan penyembuhan
gangguan jiwa dengan cara psikologis. beberapa pakar
psikoterapi beranggapan bahwa perubahan perilaku tergantung
pada pemahaman individu atas motif dan konflik yang tidak
disadari.
4. Terapi Psikoanalisa.
Terapi Psikoanalisa adalah metode terapi
berdasarkan konsep Freud. Tujuan psikoanalisis adalah
menyadarkan individu akan konflik yang tidak disadarinya
54
dan mekanisme pertahanan yang digunakannya untuk
mengendalikan kecemasannya . Hal yang paling penting
pada terapi ini adalah untuk mengatasi hal-hal yang
direpress oleh penderita. Metode terapi ini dilakukan pada
saat penderita schizophrenia sedang tidak "kambuh".
Macam terapi psikoanalisa yang dapat dilakukan, adalah
Asosiasi Bebas. Pada teknik terapi ini, penderita didorong
untuk membebaskan pikiran dan perasaan dan
mengucapkan apa saja yang ada dalam pikirannya tanpa
penyuntingan atau penyensoran.
Pada teknik ini, penderita disupport untuk bisa
berada dalam kondisi relaks baik fisik maupun mental
dengan cara tidur di sofa. Ketika penderita dinyatakan
sudah berada dalam keadaan relaks, maka pasien harus
mengungkapkan hal yang dipikirkan pada saat itu secara
verbal. Pada saat penderita tidur di sofa dan disuruh
menyebutkan segala macam pikiran dan perasaan yang ada
di benaknya dan penderita mengalami blocking, maka hal
itu merupakan manifestasi dari keadaan over-repressi. Hal
yang direpress biasanya berupa dorongan vital seperti
sexual dan agresi. Repressi terhadap dorongan agresi
menyangkut figur otorotas yang selalu diwakili oleh father
dan mother figure. Repressi anger dan hostile merupakan
salah satu bentuk intrapsikis yang biasa menyebabkan
blocking pada individu. Akibat dari blocking tersebut,
maka integrasi kepribadian menjadi tidak baik, karena ada
tekanan ego yang sangat besar.
Menurut Freud, apabila terjadi blocking dalam
proses asosiasi bebas, maka penderita akan melakukan
analisa. Hasil dari analisanya dapat menimbulkan insight
pada penderita. Analisa pada waktu terjadi blocking
bertujuan agar penderita mampu menempatkan konfliknya
lebih proporsional, sehingga penderita mengalami suatu
proses penurunan ketegangan dan penderita lebih toleran
55
terhadap konflik yang dialaminya. Seperti yang telah
diungkapkan terdahulu bahwa penderita diberi kesempatan
untuk dapat mengungkapkan segala traumatic events dan
keinginan-keinginan yang direpressnya. Waktu ini disebut
dengan moment chatarsis. Disini penderita diberi
kesempatan untuk mengeluarkan uneg-uneg yang ia
rasakan , sehingga terjadi redusir terhadap pelibatan emosi
dalam menyelesaikan masalah yang dialaminya. Dalam
teknik asosiasi bebas ini, juga terdapat proses transference,
yaitu suatu keadaan dimana pasien menempatkan therapist
sebagai figur substitusi dari figur yang sebenarnya
menimbulkan masalah bagi penderita.
Terdapat 2 macam transference, yaitu:
(1) transference positif, yaitu apabila therapist
menggantikan figur yang disukai oleh penderita,
(2) transference negatif, yaitu therapist menggantikan figur
yang dibenci oleh penderita (Fakultas Psikologi UNPAD,
1992).
5. Terapi Perilaku (Behavioristik)
Pada dasarnya, terapi perilaku menekankan prinsip
pengkondisian klasik dan operan, karena terapi ini
berkaitan dengan perilaku nyata. Para terpist mencoba
menentukan stimulus yang mengawali respon malasuai dan
kondisi lingkungan yang menguatkan atau mempertahankan
perilaku itu (Ullaman dan Krasner, 1969; Lazarus, 1971
dalam Atkinson, 1991).
Akhir-akhir ini, pakar terapi perilaku melihat adanya
pengaruh variabel kognitif pada perilaku (misalnya,
pemikiran individu tentang situasi menimbulkan kecemasan
tentang akibat dari tindakan tertentu) dan telah
mencakupkan upaya untuk mengubah variabel semacam itu
dengan prosedur yang khusus ditujukan pada perilaku
tersebut (Bandura, 1982; Meinchenbaum dan Jaremko,
1982 dalam Atkinson, 1991). Pada kongres psikiatri di
56
Malaysia pada tahun 2000, cognitif - behavior therapy
untuk pasien schizophrenia ditampilkan pakar psikiatri dari
Amerika maupun dari Malaysia sendiri. Ternyata, terdapat
hasil yang cukup baik, terutama untuk kasus-kasus baru,
dengan menggunakan cognitif - behavior therapy tersebut.
Rupanya ada gelombang besar optimisme akan
kesembuhan schizophrenia di dunia dengan terapi yang
lebih komprehensif ini. Selain itu, secara umum terapi ini
juga bermaksud secara langsung membentuk dan
mengembangkan perilaku penderita schizophrenia yang
lebih sesuai, sebagai persiapan penderita untuk kembali
berperan dalam masyarakat. Paul dan Lentz (Rathus,et al.,
1991; Davison, et al., 1994) menggunakan dua bentuk
program psikososial untuk meningkatkan fungsi
kemandirian.
a. Sosial Learning Program.
Sosial learning program menolong penderita
schizophrenia untuk mempelajari perilaku-perilaku
yang sesuai. Program ini menggunakan token economy,
yakni suatu cara untuk menguatkan perilaku dengan
memberikan tanda tertentu (token) bila penderita
berhasil melakukan suatu perilaku tertentu. Tanda
tersebut dapat ditukar dengan hadiah (reward), seperti
makanan atau hak-hak tertentu. Program lainnya adalah
millieu program atau therapeutic community. Dalam
program ini, penderita dibagi dalam kelompok-
kelompok kecil yang mempunyai tanggung jawab untuk
tugas-tugas tertentu. Mereka dianjurkan meluangkan
waktu untuk bersama-sama dan saling membantu dalam
penyesuaian perilaku serta membicarakan masalah-
masalah bersama dengan pendamping. Terapi ini
berusaha memasukkan penderita schizophrenia dalam
proses perkembangan untuk mempersiapkan mereka
dalam peran sosial yang bertanggung jawab dengan
57
melibatkan seluruh penderitan dan staf pembimbing.
Dalam penelitian, social learning program mempunyai
hasil yang lebih baik dibandingkan dengan perawatan
dalam rumah sakit jiwa dan millieu program. Persoalan
yang muncul dalam terapi ini adalah identifikasi tentang
unsur-unsur mana yang efektif. Tidak jelas apakah
penguatan dengan tanda (token) ataukan faktor-faktor
lain yang menyebabkan perubahan perilaku; dan apakah
program penguatan dengan tanda tersebut membantu
perubahan perilaku hanya selama tanda diberikan atau
hanya dalam lingkungan perawatan.
b. Sosial Skills Training.
Terapi ini melatih penderita mengenai ketrampilan
atau keahlian sosial, seperti kemampuan percakapan,
yang dapat membantu dalam beradaptasi dengan
masyarakat (Rathus, et al., 1991; Davisoan, et al., 1994;
Sue, et al., 1986). Social Skills Training menggunakan
latihan bermain sandiwara. Para penderita diberi tugas
untuk bermain peran dalam situasi-situasi tertentu agar
mereka dapat menerapkannya dalam situasi yang
sebenarnya. Bentuk terapi seperti ini sering digunakan
dalam panti-panti rehabilitasi psikososial untuk
membantu penderita agar bisa kembali berperan dalam
masyarakat. Mereka dibantu dan didukung untuk
melaksanakan tugas-tugas harian seperti memasak,
berbelanja, ataupun untuk berkomunikasi, bersahabat,
dan sebagainya. Meskipun terapi ini cukup berhasil,
namun tetap ada persoalan bagaimana mempertahankan
perilaku bila suatu program telah selesai, dan
bagaimana dengan situasi-situasi yang tidak diajarkan
secara langsung.
58
6. Terapi Humanistik
a. Terapi Kelompok.
Banyak masalah emosional menyangkut kesulitan
seseorang dalam berhubungan dengan orang lain, yang
dapat menyebabkan seseorang berusaha menghindari
relasinya dengan orang lain, mengisolasi diri, sehingga
menyebabkan pola penyelesaian masalah yang
dilakukannya tidak tepat dan tidak sesuai dengan dunia
empiris. Dalam menangani kasus tersebut, terapi kelompok
akan sangat bermanfaat bagi proses penyembuhan klien,
khususnya klien schizophrenia.
Terapi kelompok ini termasuk salah satu jenis terapi
humanistik. Pada terapi ini, beberapa klien berkumpul dan
saling berkomunikasi dan terapist berperan sebagai
fasilitator dan sebagai pemberi arah di dalamnya. Di antara
peserta terapi tersebut saling memberikan feedback tentang
pikiran dan perasaan yang dialami oleh mereka. Klien
dihadapkan pada setting sosial yang mengajaknya untuk
berkomunikasi, sehingga terapi ini dapat memperkaya
pengalaman mereka dalam kemampuan berkomunikasi. Di
rumah sakit jiwa, terapi ini sering dilakukan. Melalui terapi
kelompok ini iklim interpersonal relationship yang konkrit
akan tercipta, sehingga klien selalu diajak untuk berpikir
secara realistis dan menilai pikiran dan perasaannya yang
tidak realistis.
b. Terapi Keluarga.
Terapi keluarga ini merupakan suatu bentuk khusus
dari terapi kelompok. Kelompoknya terdiri atas suami istri
atau orang tua serta anaknya yang bertemu dengan satu atau
dua terapist. Terapi ini digunakan untuk penderita yang
telah keluar dari rumah sakit jiwa dan tinggal bersama
keluarganya. Ungkapan-ungkapan emosi dalam keluarga
yang bisa mengakibatkan penyakit penderita kambuh
kembali diusahakan kembali. Keluarga diberi informasi
59
tentang cara-cara untuk mengekspresikan perasaan-
perasaan, baik yang positif maupun yang negatif secara
konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap
persoalan secara bersama-sama. Keluarga diberi
pengetahuan tentang keadaan penderita dan cara-cara untuk
menghadapinya. Keluarga juga diberi penjelasan tentang
cara untuk mendampingi, mengajari, dan melatih penderita
dengan sikap penuh penghargaan. Perlakuan-perlakuan dan
pengungkapan emosi anggota keluarga diatur dan disusun
sedemikian rupa serta dievaluasi. Dari beberapa penelitian,
seperti yang dilakukan oleh Fallon (Davison, et al., 1994;
Rathus, et al., 1991) ternyata campur tangan keluarga
sangat membantu dalam proses penyembuhan, atau
sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya penyakit
penderita, dibandingkan dengan terapi.
Top Related