Pengelolaan Bentang Alam Karst dari Perpektif Kehutanan

12
PENGELOLAAN BENTANGLAHAN KARST DARI PERSPEKTIF KEHUTANAN Oleh: M. Saparis Soedarjanto *) dan Yumi Lestari **) Bentanglahan Karst Mengelola bentanglahan karst tidak bisa menggunakan pendekatan konvensional seperti halnya daerah vulkan kwarter dan gambut yang banyak dijumpai di wilayah Indonesia. Menurut Adji, dkk (1999), karst merupakan bentanglahan yang unik dan dicirikan oleh topografi eksokarst seperti lembah karst, doline (telaga/danau) , uvala (gabungan beberapa doline namun tertutup) , polje (seperti uvala, namun ukurannya sangat besar) , kerucut karst dan berkembangnya sistem drainase bawah permukaan yang jauh lebih dominan dibandingkan sistem aliran permukaan. Bentanglahan karst terbentuk pada daerah dengan batuan penyusun mudah larut yaitu Kalsit (CaCO3) dan Dolomit (CaMgCO3 (2) ), memiliki relief yang khas, alur sungai tidak teratur, aliran sungai secara tiba-tiba masuk ke dalam tanah dan meninggalkan lembah kering dan muncul di tempat lain sebagai mata air yang besar. Tulisan ini diharapkan dapat memberi pemahaman awal mengenai karaktersitik bentanglahan Karst. Bentanglahan Karst sangat berbeda dengan bentanglahan non Karst lainnya, sehingga, pola pengelolaannyapun sangat spesifik. Sebagian tulisan ini mengadopsi thesis S2 Saudara Yumi Lestari (BPDAS Ketahun) pada Program Magister Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai, Fakultas Geografi UGM tahun 2013. Eksplorasi lebih dalam dapat dilakukan melalui studi berbagai literatur yang ada. Proses Dominan Bentanglahan Karst Berdasarkan pola pergerakan airnya, batas DAS di daerah karst bukan batas topografis, namun kombinasi batas topografis dan hidrologis. Kondisi tersebut terjadi karena struktur geologi Karst didominasi oleh retakan/ joint/diaklas dan keberadaan luweng/ponor/ sinkhole. Sinkhole merupakan media pergerakan air, sehingga mengurangi/meniadakan peran faktor topografi dalam mengontrol aliran. Material Karst bersifat kedap air ( impermeable), sehingga cenderung terjadi penggenangan apabila terjadi hujan. Kegiatan pertanian sering menghilangkan “sumbat” sinkhole untuk mengalirkan air yang tergenang. Kondisi tersebut menyebabkan teralirkannya/pencemaran pestisida (untuk kegiatan pertanian) ke ---------------------------------------------------- *) Balai Pengelolaan DAS Bone Bolango, Gorontalo **) Balai Pengelolaan DAS Ketahun, Bengkulu

description

Tulisan ini diharapkan dapat memberi pemahaman awal mengenai karaktersitik bentanglahan Karst. Bentanglahan Karst sangat berbeda dengan bentanglahan non Karst lainnya, sehingga, pola pengelolaannyapun sangat spesifik.

Transcript of Pengelolaan Bentang Alam Karst dari Perpektif Kehutanan

Page 1: Pengelolaan Bentang Alam Karst dari Perpektif Kehutanan

PENGELOLAAN BENTANGLAHAN KARST DARI PERSPEKTIF KEHUTANAN

Oleh: M. Saparis Soedarjanto*) dan Yumi Lestari **)

Bentanglahan Karst

Mengelola bentanglahan karst tidak bisa

menggunakan pendekatan konvensional

seperti halnya daerah vulkan kwarter dan

gambut yang banyak dijumpai di wilayah

Indonesia. Menurut Adji, dkk (1999), karst

merupakan bentanglahan yang unik dan

dicirikan oleh topografi eksokarst seperti

lembah karst, doline (telaga/danau), uvala

(gabungan beberapa doline namun tertutup),

polje (seperti uvala, namun ukurannya sangat

besar), kerucut karst dan berkembangnya

sistem drainase bawah permukaan yang jauh

lebih dominan dibandingkan sistem aliran permukaan. Bentanglahan karst terbentuk pada

daerah dengan batuan penyusun mudah larut yaitu Kalsit (CaCO3) dan Dolomit (CaMgCO3(2)),

memiliki relief yang khas, alur sungai tidak teratur, aliran sungai secara tiba-tiba masuk ke dalam

tanah dan meninggalkan lembah kering dan muncul di tempat lain sebagai mata air yang besar.

Tulisan ini diharapkan dapat memberi pemahaman awal mengenai karaktersitik bentanglahan Karst.

Bentanglahan Karst sangat berbeda dengan bentanglahan non Karst lainnya, sehingga, pola

pengelolaannyapun sangat spesifik. Sebagian tulisan ini mengadopsi thesis S2 Saudara Yumi Lestari

(BPDAS Ketahun) pada Program Magister Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai,

Fakultas Geografi UGM tahun 2013. Eksplorasi lebih dalam dapat dilakukan melalui studi berbagai

literatur yang ada.

Proses Dominan Bentanglahan Karst

Berdasarkan pola pergerakan airnya, batas DAS

di daerah karst bukan batas topografis, namun

kombinasi batas topografis dan hidrologis.

Kondisi tersebut terjadi karena struktur geologi

Karst didominasi oleh retakan/joint/diaklas dan

keberadaan luweng/ponor/sinkhole. Sinkhole

merupakan media pergerakan air, sehingga

mengurangi/meniadakan peran faktor topografi

dalam mengontrol aliran. Material Karst bersifat

kedap air (impermeable), sehingga cenderung

terjadi penggenangan apabila terjadi hujan.

Kegiatan pertanian sering menghilangkan “sumbat” sinkhole untuk mengalirkan air yang tergenang.

Kondisi tersebut menyebabkan teralirkannya/pencemaran pestisida (untuk kegiatan pertanian) ke

---------------------------------------------------- *) Balai Pengelolaan DAS Bone Bolango, Gorontalo **) Balai Pengelolaan DAS Ketahun, Bengkulu

Page 2: Pengelolaan Bentang Alam Karst dari Perpektif Kehutanan

sungai bawah tanah atau telaga (doline) yang keduanya merupakan sumber air minum andalan di

daerah karst. Proses dominan yang terjadi adalah pelarutan/solusional sehingga proses

pembentukan tanahnya sangat lambat (jauh lebih lambat daripada material -material mineral

lainnya). Proses solusional ini merupakan bagian penting pembentukan karst baru (karstifikasi) .

Karakteristik Hidrologis Berbeda dengan hidrologi DAS pada umumnya, aliran permukaan bentanglahan Karst sangat jarang

atau sulit ditemukan. Menurut Lestari (2013), kajian aspek hidrologi karst lebih ditekankan pada

sistem hidrologi karst bawah permukaan yaitu pada zone airtanah karst. Air yang terdapat pada

celah/rongga batuan gamping mengalami proses karstifikasi dan membentuk porositas sekunder

yang disebut juga dengan airtanah. Airtanah adalah air yang mengisi rongga/pori-pori atau celah

antar batuan dan bersifat dinamis (Todd, 1980). Airtanah di akuifer karst juga memiliki sifat yang

dinamis seperti airtanah pada akuifer non karst, yaitu dapat mengalir melalui lorong (aliran konduit)

maupun melalui retakan (aliran diffuse) tergantung pada tingkat karstifikasinya (White, 1988).

Perbedaan sistem aliran Diffuse dan Conduit Pada bentanglahan karst sering ditemukan banyak mata air yang jumlahnya tergantung pada tingkat

karstifikasinya, semakin lanjut tingkat karstifikasinya, jumlah titik mata air yang muncul semakin

sedikit tetapi mempunyai debit yang semakin besar. Hal itu terjadi karena mata air yang lebih kecil

di sekitarnya akan hilang dan bergabung bersamaan dengan melebarnya lorong konduit (Haryono

dan Adji, 2004).

White (1988) menyebutkan bahwa airtanah karst dapat muncul melalui outlet ke permukaan bumi

terutama melalui percelahan (cavities) hasil pelarutan oleh sebab-sebab tertentu seperti topografi,

gravitasi, struktur geologi, yang disebut dengan mata air karst atau resurgence. Cavities

berkembang melalui pelebaran retakan (crack) yang merupakan fenomena spesifik daerah karst.

Cavities ini perlu menjadi perhatian penting, karena bila polanya tidak terpetakan dengan baik maka

potensi pencemaran sungai bawah tanah menjadi tinggi. Penggunaan lahan di permukaan tanpa

memperhatikan pola cavities akan mendorong pencemaran oleh limbah domestik. Sungai bawah

tanah bentanglahan Karst Gunung Sewu mengandung bakteri e-coli dengan konsentrasi tinggi akibat

pencemaran septic tank dari permukiman di kota Wonosari, Kab. Gunung Kidul.

Menyerupai aliran pada pipa

Sistem aliran Conduit Sistem aliran Diffuse

Menyerupai aliran “Darcy”

Page 3: Pengelolaan Bentang Alam Karst dari Perpektif Kehutanan

Klasifikasi mata air karst atas dasar struktur geologi adalah sebagai berikut:

a. Bedding springs, contact springs:

mata air karst yang muncul pada

bidang perselingan formasi batuan

atau perubahan jenis batuan, misal

jika akuifer gamping terletak di atas

formasi breksi vulkanik

b. Fracture springs: mata air karst yang

keluar dari bukaan suatu joint atau

kekar atau retakan di batuan

karbonat

c. Descending springs: mata air karst

yang keluar jika ada lorong konduit

dengan arah aliran menuju ke bawah

d. Acending springs: matair karst yang

keluar jika ada lorong konduit dengan

arah aliran menuju ke atas. Jika

debitnya besar sering disebut sebagai

vauclusian spring.

Akuifer karst yang telah berkembang dicirikan dengan nilai α (porositas) yang relatif tinggi karena

berkembangnya porositas sekunder. Porositas sekunder akifer karst sangat tergantung pada arah

serta kedudukan percelahan (cavities) dan apabila percelahan semakin berkembang maka

porositasnya juga makin besar.

Jenis-jenis mata air bentanglahan Karst

Page 4: Pengelolaan Bentang Alam Karst dari Perpektif Kehutanan

Besarnya debit yang keluar pada mata air bergantung pada

input dan kondisi akuifer karst atau disebut dengan kondisi

neraca airnya. Seperti halnya DAS dan akuifer non karst

umumnya, input utama akuifer karst berasal dari hujan

yang jatuh pada daerah tangkapan airnya (input autogenic)

kemudian mengalami beberapa proses hidrologi sehingga

sampai pada zone jenuh air. Daerah tangkapan air suatu

sungai bawah tanah atau mata air berupa bukit-bukit karst

yang berasosiasi dengan lembah-lembahnya. Zona tersebut

juga berfungsi sebagai penyimpan air yang utama pada

kawasan karst. Menurut Haryono (2001), permukaan

bukit‐bukit karst mempunyai peran yang sangat penting

yaitu sebagai reservoir utama air di kawasan karst, dan

sebaliknya tidak ada zone untuk menyimpan aliran konduit

karena geraknya yang sangat cepat dan segera mengalir

ke laut. Dalam istilah ilmu karst, zone permukaan bukit

karst ini disebut sebagai zone epikarst yaitu lapisan dimana terdapat konsentrasi air hasil infiltrasi air

hujan.

Zona epikarst atau disebut zone subcutaneous adalah zone teratas yang tersingkap dari batuan karst

yang memiliki permeabilitas dan porositas tinggi karena proses pelebaran celah . Zona ini

permeabilitas dan prorositasnya paling tinggi dibanding lapisan‐lapisan lainnya, sehingga berperan

sebagai media penyimpan yang baik. Zone ini merupakan penyedia aliran andalan di sungai bawah

tanah atau mata air bahkan pada periode kekeringan yang panjang.

Faktor Input dalam sistem hidrologi akuifer karst terdiri dari dua macam, yaitu berupa curah hujan

yang langsung jatuh di Daerah Tangkapan Air (DTA) dan aliran permukaan dari daerah non-karst

seperti sungai permukaan yang masuk ke akuifer karst melalui ponor (Qa). Seperti halnya dalam

DAS, air hujan yang jatuh dipermukaan karst akan terbagi juga menjadi 3 (tiga) bagian namun

dengan proporsi yang sangat berbeda, yaitu sebagian besar akan terinfiltrasi, evapotranspirasi dan

sisanya menjadi runoff. Proporsi curah hujan yang menjadi runoff sangat kecil dan pada akhirnya

runoff tersebut juga akan masuk ke lobang-lobang ponor/sinkholes yang disebut sebagai runoff

Rekahan (crack) berkembang menjadi cavities

Epikarst

Page 5: Pengelolaan Bentang Alam Karst dari Perpektif Kehutanan

internal (Qi). Air hujan yang terinfiltrasi

akan terus bergerak secara vertikal

menembus lapisan tanah karst sebagai

diffuse infiltration (Qd) melalui rekahan

dan retakan. Semua komponen input

tersebut yang terdiri dari aliran

permukaan (Qa) dan aliran bawah

permukaan (Qi dan Qd) yang bergabung

dalam akuifer karst kemudian akan keluar

menjadi debit mata air atau resurgence di

laut (Qb). Secara matematis, Haryono dan

Adji (2010) merumuskan input akuifer

karst adalah sebagai berikut:

Qin = Qa + Qi + Qd

Qin = input komponen air yang masuk ke akuifer karst (m3/detik) Qa = aliran sungai permukaan bukan karst yang masuk akuifer karst melalui ponor (m3/detik) Qi = runoff internal (m3/detik) Qd = diffuse infiltration (m3/detik)

Penentuan batas DAS di bentanglahan Karst cukup rumit, sehingga pada tahap awal dihitung input

air ke sistem hidrologi Karst melalui perhitungan neraca air dengan formula di atas. Selanjutnya,

ditentukan batas daerah tangkapan airnya dan dipetakan alur dari luweng/ponor/ sinkhole.

Perbedaan tahapan penentuan batasnya dengan daerah non Karst sesuai skema berikut:

Kondisi hidrologis bentanglahan Karst dapat disederhanakan dengan rincian sebagai berikut:

• Terbentuk sistem sungai bawah tanah

• Langkanya sistem aliran permukaan (runoff)

• Banyak ditemui aliran permukaan yang tiba-tiba menghilang (masuk ke dalam gua) dan

menjadi aliran bawah tanah

• Proses hidrologi dominan adalah limpasan permukaan (overlandflow, bukan runoff),

pelarutan, dan penggenangan.

• Zona epikarst merupakan tempat akumulasi air dan merupakan sumber air andalan daerah

karst.

DAS non Karst

DAS di Karst

Page 6: Pengelolaan Bentang Alam Karst dari Perpektif Kehutanan

Sebaran Bentanglahan Karst di Indonesia

Inventarisasi bentanglahan Karst

cukup mudah dilakukan.

Ketersediaan citra satelit resolusi

sedang hingga tinggi merupakan

aset dalam inventarisasi sebaran

maupun luasnya. Dengan

demikian penilaian sumberdaya

Karst untuk berbagai keperluan

secara normatif tidak menghadapi

kendala yang signifikan. Dari citra

satelit terlihat bahwa bentuk

bentanglahan Karst sangat unik

dan sangat mudah untuk dikenali,

karena polanya sangat spesifik.

Luas bentanglahan karst di seluruh

Indonesia adalah 140.000 km2 (Haryono, 2011). Peta pola

aliran juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi distribusi

bentanglahan Karst. Daerah Karst memiliki pola aliran yang

terputus-putus karena air sungai masuk ke dalam sistem ponor

sebagai ciri khas bentanglahan Karst. Pola aliran merupakan

salah satu layer dalam peta Rupa Bumi Indonesia yang

tersedia dalam berbagai skala (1:25.000; 1:50.000 dan 1:250.000). Beberapa wilayah di Indonesia

yang memiliki bentang alam karst, yaitu:

1. Pulau Sumatera, kondisinya kurang berkembang, terdapat di sebagian tempat di Aceh, Sumatra

Barat (Singkarak) dan Sumatra Selatan.

2. Pulau Jawa, batugamping di belahan selatan, yaitu di daerah Gombong Selatan dan Gunung

Sewu.

3. Pulau Kalimantan, di pegunungan Mangkalit, Kalimantan Timur, Gunung Haje dan Gunung

Menunting di Muara Teweh di Kalimantan Tengah, dan Pegunungan Meratus di Kalimantan

Selatan dengan penyebaran yang terputus-putus.

4. Pulau Sulawesi, berkembang bentang alam karst sangat baik di daerah Maros, Sulawesi Selatan

yang memiliki 29 gua yang harus dilindungi.

5. Pulau Sumbawa, di daerah Waingapu, Sumbawa Barat memiliki sumberdaya air dengan debit

kurang lebih 1000 lt/dt (MENLH & Yayasan Jatidiri, 1998).

6. Pulau Irian memiliki bentang alam karst yang sangat menarik. Bentanglahan karst terdapat

didaerah Wamena-Pegunungan Trikora yang memiliki doline raksasa, gua terdalam, sungai

bawah tanah terbesar, serta daerah Biak dan pulau Misool. Raja Ampat merupakan bentang

alam Karst dengan nilai ekowisata yang sangat tinggi.

Sebaran bentanglahan Karst tersebut menunjukkan bahwa posisinya pada berbagai zona iklim.

Memperhatikan peranan iklim dalam proses-proses yang terjadi, dipastikan bahwa terdapat ragam

kondisi Karst di Indonesia. Secara normatif hal tersebut berimplikasi pada permasalahan spesifik

yang terdapat pada setiap bentanglahan Karst. Dengan demikian, pola pengelolaan yang diterapkan-

pun harus mempertimbangkan permasalahan lokal yang ada.

Bentanglahan Karst Gunung Sewu di

Kabupaten Gunung Kidul, DIY

Pola Permukaan Bentang- lahan Karst dari ci tra satelit

Page 7: Pengelolaan Bentang Alam Karst dari Perpektif Kehutanan

Karst, Perubahan Iklim dan Pengelolaan Landscape Hutan

Emisi karbon selama ini dipandang sebagai biang

keladi terjadinya perubahan iklim. Berbagai

upaya mitigasi perubahan iklim didesain melalui

identifikasi siklus karbon yang terjadi di muka

bumi. Proses pembentukan karst (karstifikasi)

memerlukan air (H2O) dan CO2, sehingga

karstifikasi selalu menyerap karbon. Terkait

dengan isu gobal tentang perubahan iklim, maka

proses-proses di bentanglahan Karst merupakan

fenomena yang perlu dikaji lebih dalam karena

penyimpanan (sekuestrasi) karbon di material

Karst jauh lebih besar daripada reservoir

lainnya, yaitu 6,53 x 1022 gram. Sebagai

konsekuensinya, pembakaran batu Karst untuk

pembuatan semen atau keperluan lainnya

menyebabkan emisi karbon dalam jumlah yang

sangat besar, jauh lebih besar daripada bahan

bakar fosil. Selama ini bentanglahan yang banyak

disorot peranannya dalam sekuestrasi karbon adalah gambut (peatland) dan menjadi program

prioritas berbagai pihak dalam mitigasi perubahan iklim. Tabel perbandingan di atas

mengindikasikan bahwa pengelolaan bentanglahan karst secara benar jauh lebih berdayaguna dalam

mitigasi perubahan iklim dibanding bentanglahan lainnya.

Bentanglahan merupakan kesatuan total dari aspek fisik, ekologi dan geografi di suatu kawasan, yang

menyatukan seluruh proses dan pola alamiah serta kegiatan manusia (Naveh dan Lieberman, 1984).

Artinya, pengelolaan sumberdaya alam (termasuk hutan) harus mempertimbangkan keterkaitannya

dengan unsur-unsur bentanglahan lainnya, seperti kondisi fisiografi, tanah, geologi, hidrologi, hayati,

Peta Sebaran Bentanglahan Karst di Indonesia.

Kandungan karbon pada berbagai reservoir

Page 8: Pengelolaan Bentang Alam Karst dari Perpektif Kehutanan

iklim dan manusia. Penilaian secara integratif terhadap unsur-unsur bentanglahan tersebut akan

menunjukkan besarnya kontribusi hutan secara konkrit dan obyektif dalam menyerap karbon, baik

sebagai individu ekosistem hutan maupun keterkaitannya dengan unsur-unsur bentanglahan lainnya.

Kondisi tersebut sejalan dengan perkembangan paradigma pengelolaan sumberdaya alam saat ini

yang berbasis bentanglahan (sustainable landscape management). Hal ini juga sejalan dengan definisi

hutan menurut UU No. 41/1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa “Hutan adalah suatu

kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi

pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

dipisahkan”.

Dalam konteks penyerapan karbon, peran hutan di

bentanglahan Karst terkait dengan perannya dalam

produksi CO2 dan regulasi air, yang keduanya

merupakan komponen utama karstifikasi. Peran hutan

dalam regulasi air sangat beragam, dan mempunyai

keterkaitan integratif dengan unsur-unsur

bentanglahan dimana hutan tersebut berada.

Identifikasi peran hidrologis hutan tersebut perlu

dilakukan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap

karstifikasi.

Hasil berbagai kajian menunjukkan peran hidrologis hutan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Peran hutan dalam mendorong terjadinya hujan (Penman, 1963; Bruijnzeel, 1990; Bruijnzeel, 2004).

2. Peran hutan dalam konsumsi air dan penguapan, sehingga justru mengurangi tampungan air tanah (Falkenmark, 2001; Seiler-Gat, 2007; Wood et al., 2007; Newson, 1997).

3. Peran hutan dalam meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah sehingga mendorong peningkatan intensitas peresapan, meningkatkan suplai ke air tanah serta memperkecil peluang limpasan (Bharati et al., 2002; Yue and Hashino, 2005; Seiler dan Gat, 2007; Ilstedt, 2007, Weert, 1994; Anwar, 2001; Purwanto, 2001).

Regulasi Air oleh Hutan dan Perannya dalam

Karstifikasi

Peran kombinatif hutan dengan unsur-unsur lahan

lainnya dalam mempengaruhi bentanglahan karst

harus menjadi fokus penilaian perlunya pengelolaan

sebuah ekosistem hutan di daerah Karst. Artinya,

pendekatan bentanglahan (landscape) menjadi

keharusan dalam penilaian peran hutan.

Pada zona iklim tertentu, hutan mempunyai

kemampuan dalam menangkap awan (cloud

stripping). Kemampuan tersebut dikontrol oleh

faktor topografis. Pada kondisi ini, terminologi

peran “hidro-orologis” dapat diterapkan. Hutan

pada zona ini sering disebut sebagai cloud forest.

Atmosfer

CO2

(aq)

H2CO3

H+

H2O

HCO

3-

Cair

Cair

HCO3-

Ca+

+ CO3

2-

Padat CaCO3 Hasil pelarutan

CO2 (g)

Reaksi kimia Karstifikasi

Page 9: Pengelolaan Bentang Alam Karst dari Perpektif Kehutanan

Memperhatikan uraian di atas, maka hutan merupakan salah satu unsur bentanglahan yang

mempunyai peran penting dalam proses karstifikasi. Kemampuan hutan yang tumbuh pada

bentanglahan Karst dalam meregulasi dan memproduksi air akan mempengaruhi ketersediaan air

sebagai unsur penting pembentukan Karst yang sekaligus mendorong penyerapan karbon. Bruijnzeel

(2009) menyatakan bahwa peran hidrologis hutan tidaklah sama. Mengingat ragam peran hidrologis

hutan tersebut, maka karakter hutan harus diidentifikasi sebagai acuan dalam formulasi strategi

pengelolaan bentanglahan Karst.

Pada suatu ekosistem hutan paling tidak ada dua hal yang mempengaruhi intensitas pengaruh

hutan sebagai pengatur tata air, yaitu tegakan pohon dan tanah hutan. Tegakan pohon mengalami

proses evapotranspirasi yang mempunyai laju dan kapasitas lebih besar daripada tanaman semusim

dan rumput atau semak belukar. Laju evapotranspirasi tegakan hutan tropika basah dataran rendah

yang berada pada ketinggian 100 m dpl adalah sekitar 1.415 mm/th sedangkan pada ketinggian 1750

m dpl sekitar 1225 mm/th. Sedangkan rata-rata evapotranspirasi tanaman pertanian sekitar 1.100 –

1.200 mm/th. Sifat non-cloud forest ini sering mendasari penilaian para pihak yang berpendapat

bahwa hutan bukan penghasil air tapi justru boros air, sehingga mereka menyimpulkan bahwa hutan

sebagai penghasil air sebetulnya adalah lebih sebagai mitos daripada kenyataan. Secara fisiografis,

non cloud forests tersebut tersebar di daerah dataran rendah hingga ke lereng kaki.

Berbeda dengan non-cloud forest yang memiliki laju evapotranspirasi tinggi, cloud forests (hutan

berawan) sering pula disebut “hutan berlumut” (mossy forest) memiliki laju evapotranspirasi relatif

rendah yaitu sekitar 308-392 mm/th. Hal ini disebabkan posisinya yang tinggi dari permukaan laut

(hutan pegunungan), sering diselimuti kabut dan awan secara terus menerus dan berperan

menangkap kabut (clouds stripping) sehingga tegakan pohon hutan berfungsi sebagai inti

kondensasi yang mampu mencairkan awan dan kabut untuk kemudian menetes sebagai butir-butir

air ke lantai hutan. Dengan demikian hutan ini mempunyai peranan sangat penting dalam pengisian

air di daerah resapan (recharge area) di wilayah hulu DAS. Besarnya pasokan air yang sampai diserap

oleh lantai hutan pada cloud forests ini diketahui jauh lebih besar dari curah hujan yang diterima dari

wilayah tersebut, yaitu lebih tinggi 20 % pada musim hujan dan bahkan lebih dari 100% pada musim

kemarau. Karena itu hutan ini dapat dikatakan sebagai “menara air” yang sanggup mensuplai air

disaat kemarau. Dalam kondisi seperti ini hutan berperan sebagai pengatur dan penghasil atau

penyimpan air. Sebagai contoh “hutan berawan” di Jawa Barat adalah kawasan hutan di Taman

Nasional Gunung Halimun, Gn. Salak dan Gn. Gede Pangrango yang merupakan hulu sungai

Ciliwung, Cisadane dan Citarum. Cloud forest yang tumbuh di atas bentanglahan Karst sangat intensif

mendorong pembentukan Karst.

Pengelolaan DAS di Bentanglahan Karst

Masalah yang timbul dalam pengelolaan sumberdaya merupakan implikasi dari man-land

relationship (interaksi manusia dengan lingkungannya) ( Strahler & Strahler, 1977). Ketersediaan

sumberdaya air yang melimpah namun sulit diakses, kerentanan sumberdaya air yang tinggi

terhadap pencemaran, potensi erosi yang tinggi dan lambatnya laju pembentukan tanah, besarnya

potensi kerusakan oleh penambangan batu Karst serta alih fungsi lahan merupakan permasalan

umum yang terjadi di bentanglahan Karst. Berdasarkan amanat pasal 27 pada PP 37/2012, maka

permasalahan tersebut harus diidentifikasi, karena merupakan referensi penting dalam perumusan

Page 10: Pengelolaan Bentang Alam Karst dari Perpektif Kehutanan

strategi pengelolaan DAS yang meliputi perumusan kebijakan, program dan kegiatan lebih lanjut

sesuai amanat PP 37/2012 Pasal 27.

Memperhatikan peran dominan proses hidrologis di bentanglahan Karst, maka identifikasi

karakteristik hidrologis menjadi keharusan. Masalah utama terkait dengan air sebagai geomorphic

agent (merubah kondisi lahan melalui proses penorehan, pelarutan, erosi, maupun limpasan

permukaan), maupun air sebagai sumberdaya. Dengan demikian, pendekatan pengelolaan

DAS menjadi relevan untuk diterapkan. Kombinasi faktor hujan, topografi, liputan lahan dan

struktur geologi dalam mengontrol limpasan di bentanglahan Karst secara absolut berbeda dengan

bentanglahan asal vulkan. Relief mikro dan struktur geologi merupakan faktor pengontrol dominan

proses geomorfologi daerah Karst, sehingga harus diperhatikan dalam penentuan batas DAS-nya.

Penentuan batas DAS di bentanglahan Karst merupakan tahap awal yang penting dalam identifikasi

dan pemetaan parapihak yang dilibatkan dalam pengelolaan DAS. Penerapan polluters and

beneficiaries pay principles akan obyektif jika batas DAS di bentanglahan Karst dapat dideliniasi

secara benar. Berbagai instrumen penilaian limpasan dan erosi sebagai domain pengelolaan DAS

seperti HEC-1. HEC HMS, ANSWERS, AGNPS, SWAT, USLE, kriteria lahan kritis, klasifikasi DAS

(dipulihkan dan dipertahankan) dan sebagainya jika diterapkan di daerah Karst harus melalui tahap

kalibrasi dan validasi. Artinya, adjustment perlu dilakukan jika model dan berbagai instrumen

pengelolaan DAS yang ada saat ini akan diterapkan di bentanglahan Karst.

Penutup

Berdasarkan uraian pada bab di atas, maka beberapa hal penting yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut:

1. Bentanglahan Karst merupakan ekosistem yang mempunyai karakter unik, diantaranya :

a. Merupakan reservoir air tanah yang besar walaupun untuk bisa mengakses me merlukan biaya yang besar

b. Merupakan reservoir karbon yang besar

c. Proses karstifikasi yang terjadi akan selalu menyerap karbon tiada henti, sehingga berperan penting dalam mitigasi perubahan iklim, karena proses karstifikasi akan mengurangi konsentrasi karbon di udara,

d. Pergerakan air dikontrol oleh relief mikrio dan struktur geologi, sehingga batas DAS-nya bukan hanya batas topografis, namun kombinasi topografis dan hidrologis (struktur geologi)

e. Penentuan arah pergerakan air menjadi aspek penting untuk mencegah kontaminasi ai r tanah oleh limbah domestik

f. Proses dominan yang terjadi adalah pelarutan

g. Proses pembentukan tanah relatif lambat

2. Beberapa manfaat hutan di bentanglahan Karst diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Menjamin kontinuitas suplai air ke sungai bawah tanah

b. Menjadi filter masuknya bahan pencemar ke sistem tampungan air tanah

c. Memproteksi tanah dari proses erosi

d. Meningkatkan peluang terjadinya proses pembentukan Karst, melalui produksi CO2 dan meningkatkan tingkat kelembaban dan suplai air

Page 11: Pengelolaan Bentang Alam Karst dari Perpektif Kehutanan

e. Sebagai konsekuensi butir d, maka akan meningkatkan intensitas penyerapan karbon

3. Pengelolaan sumberdaya Karst harus menggunakan pendekatan bentanglahan ( landscape), karena kondisi Karst sangat ditentukan oleh interaksi unsur-unsur lahan Karst secara integratif.

DAFTAR PUSTAKA

Adji, T.N., Haryono, E., Suprojo. S.W., 1999., Kawasan Karst dan Prospek Pengembangannya

di Indonesia, Prosiding Seminar PIT IGI di Universitas Indonesia, 26-27 Oktober 1999.

Anwar, S. 2001. The Impact of Different Logging Treatments on Streamflow and Suspended

Sediment Concentration in Central Kalimantan, Indonesia. Thesis submitted for the Degree of Doctor of Philosophy, The University of Edinburgh, Scotland. Unpublished.

Bharati, L.; Lee, K.H.; Isenhart, T.M.; Schultz, R.C. 2002. Soil-Water Infiltration under Crops, Pasture, and Established Riparian Buffer in Midwestern USA. Agroforestry Systems 56: 249–257, 2002. 249© 2002 Kluwer Academic Publishers. Netherlands.

Bruijnzeel. L.A. 1990. Hydrology of Moist Tropical Forests and Effects of Conversion: A State of Knowledge Review. UNESCO International Hydrology Programme.

Bruijnzeel. L.A. 2004. Hydrological Functions of Tropical Forests: not seeing the soil for the

trees? Elsevier Agriculture, Ecosystems and Environment 104 (2004) 185–228. Science Direct.

Bruijnzeel. L.A. 2009. Tropical Reforestation and Streamflow: The Need for a Balanced Account. Vrije Universiteit. Amsterdam.

Haryono, E. dan Adji T. N., 2004, Pengantar Geomorfologi dan Hidrologi Karst, Kelompok

Studi Karst, Fakultas Geografi, UGM, Yogyakarta.

Haryono, E., 2001, Nilai Hidrologis Bukit Karst, Makalah pada seminar Nasional Eko‐Hidrolik,

28‐29 Maret 2001, Jurusan Teknik Sipil, UGM, Yogyakarta.

Ilstedt, Ulrik; Malmer, Anders; Verbeeten, Elke; Murdiyarso, Daniel. 2007. The Effect of Afforestation on Water Infiltration in the Tropics: A Systematic Review and Meta-Analysis. Forest Ecology and Management 251 (2007) 45–51. 3:1198)

Lestari, Y. 2013. Studi Neraca Air dan Kualitas Air pada Sistem Hidrologi Mata Air pada Sistem Hidrologi Mata Air Beton untuk Konservasi Sumberdaya Air di Kecamatan Ponjong Kabupaten Gunungkidul. Thesis Program Magister Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai. Fakultas Geografi UGM.

Newson, M. 1997. Land, Water and Development, Sustainable Management of River Basin Systems. Routledge. London.

Purwanto, E. 1999. Erosion, Sediment Delivery and Soil Conservation in an Upland Agricultural Catchment in West Java, Indonesia. PhD Thesis. Vrije Universiteit te Amsterdam.

Seiler, K.P and Gat, J.R. 2007. Goundwater Recharge from Run-off, Infiltration and Percolation. Springer, AA Dordrecht, The Netherlands.

Strahler, Alan, H and Strahler, Arthur, N. 1977. Geography and Man’s Environment. John Wiley and Sons. Inc. New York

Page 12: Pengelolaan Bentang Alam Karst dari Perpektif Kehutanan

Todd, D.K., 1980, Groundwater Hydrology, 2nd Ed. John Wiley & Sons, England.

White, W.B., 1988, Geomorphology and Hidrology of Karst Terrain, Oxford University Press, New York.

Weert, V.D. 1994. Hydrological Conditions in Indonesia. Delft Hydraulics. The Netherlands.

Wood; Hannah, D.M.; Sadler, J.P. 2007. Hydroecology and Ecohydrology: Past, Present and Future. John Wiley & Sons Ltd, The Atrium, Southern Gate, Chichester, West Sussex PO19 8SQ, England.

Yue, Seng and Hashino, Michio. 2005. Statistical Interpretation of the Impact of Forest Growth on Streamflow of the Sameura Basin, Japan. Environmental Monitoring and Assessment (2005) 104: 369–384.