Pengelolaan Bentang Alam Karst dari Perpektif Kehutanan
-
Upload
konservasiwiratno -
Category
Documents
-
view
80 -
download
1
description
Transcript of Pengelolaan Bentang Alam Karst dari Perpektif Kehutanan
PENGELOLAAN BENTANGLAHAN KARST DARI PERSPEKTIF KEHUTANAN
Oleh: M. Saparis Soedarjanto*) dan Yumi Lestari **)
Bentanglahan Karst
Mengelola bentanglahan karst tidak bisa
menggunakan pendekatan konvensional
seperti halnya daerah vulkan kwarter dan
gambut yang banyak dijumpai di wilayah
Indonesia. Menurut Adji, dkk (1999), karst
merupakan bentanglahan yang unik dan
dicirikan oleh topografi eksokarst seperti
lembah karst, doline (telaga/danau), uvala
(gabungan beberapa doline namun tertutup),
polje (seperti uvala, namun ukurannya sangat
besar), kerucut karst dan berkembangnya
sistem drainase bawah permukaan yang jauh
lebih dominan dibandingkan sistem aliran permukaan. Bentanglahan karst terbentuk pada
daerah dengan batuan penyusun mudah larut yaitu Kalsit (CaCO3) dan Dolomit (CaMgCO3(2)),
memiliki relief yang khas, alur sungai tidak teratur, aliran sungai secara tiba-tiba masuk ke dalam
tanah dan meninggalkan lembah kering dan muncul di tempat lain sebagai mata air yang besar.
Tulisan ini diharapkan dapat memberi pemahaman awal mengenai karaktersitik bentanglahan Karst.
Bentanglahan Karst sangat berbeda dengan bentanglahan non Karst lainnya, sehingga, pola
pengelolaannyapun sangat spesifik. Sebagian tulisan ini mengadopsi thesis S2 Saudara Yumi Lestari
(BPDAS Ketahun) pada Program Magister Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai,
Fakultas Geografi UGM tahun 2013. Eksplorasi lebih dalam dapat dilakukan melalui studi berbagai
literatur yang ada.
Proses Dominan Bentanglahan Karst
Berdasarkan pola pergerakan airnya, batas DAS
di daerah karst bukan batas topografis, namun
kombinasi batas topografis dan hidrologis.
Kondisi tersebut terjadi karena struktur geologi
Karst didominasi oleh retakan/joint/diaklas dan
keberadaan luweng/ponor/sinkhole. Sinkhole
merupakan media pergerakan air, sehingga
mengurangi/meniadakan peran faktor topografi
dalam mengontrol aliran. Material Karst bersifat
kedap air (impermeable), sehingga cenderung
terjadi penggenangan apabila terjadi hujan.
Kegiatan pertanian sering menghilangkan “sumbat” sinkhole untuk mengalirkan air yang tergenang.
Kondisi tersebut menyebabkan teralirkannya/pencemaran pestisida (untuk kegiatan pertanian) ke
---------------------------------------------------- *) Balai Pengelolaan DAS Bone Bolango, Gorontalo **) Balai Pengelolaan DAS Ketahun, Bengkulu
sungai bawah tanah atau telaga (doline) yang keduanya merupakan sumber air minum andalan di
daerah karst. Proses dominan yang terjadi adalah pelarutan/solusional sehingga proses
pembentukan tanahnya sangat lambat (jauh lebih lambat daripada material -material mineral
lainnya). Proses solusional ini merupakan bagian penting pembentukan karst baru (karstifikasi) .
Karakteristik Hidrologis Berbeda dengan hidrologi DAS pada umumnya, aliran permukaan bentanglahan Karst sangat jarang
atau sulit ditemukan. Menurut Lestari (2013), kajian aspek hidrologi karst lebih ditekankan pada
sistem hidrologi karst bawah permukaan yaitu pada zone airtanah karst. Air yang terdapat pada
celah/rongga batuan gamping mengalami proses karstifikasi dan membentuk porositas sekunder
yang disebut juga dengan airtanah. Airtanah adalah air yang mengisi rongga/pori-pori atau celah
antar batuan dan bersifat dinamis (Todd, 1980). Airtanah di akuifer karst juga memiliki sifat yang
dinamis seperti airtanah pada akuifer non karst, yaitu dapat mengalir melalui lorong (aliran konduit)
maupun melalui retakan (aliran diffuse) tergantung pada tingkat karstifikasinya (White, 1988).
Perbedaan sistem aliran Diffuse dan Conduit Pada bentanglahan karst sering ditemukan banyak mata air yang jumlahnya tergantung pada tingkat
karstifikasinya, semakin lanjut tingkat karstifikasinya, jumlah titik mata air yang muncul semakin
sedikit tetapi mempunyai debit yang semakin besar. Hal itu terjadi karena mata air yang lebih kecil
di sekitarnya akan hilang dan bergabung bersamaan dengan melebarnya lorong konduit (Haryono
dan Adji, 2004).
White (1988) menyebutkan bahwa airtanah karst dapat muncul melalui outlet ke permukaan bumi
terutama melalui percelahan (cavities) hasil pelarutan oleh sebab-sebab tertentu seperti topografi,
gravitasi, struktur geologi, yang disebut dengan mata air karst atau resurgence. Cavities
berkembang melalui pelebaran retakan (crack) yang merupakan fenomena spesifik daerah karst.
Cavities ini perlu menjadi perhatian penting, karena bila polanya tidak terpetakan dengan baik maka
potensi pencemaran sungai bawah tanah menjadi tinggi. Penggunaan lahan di permukaan tanpa
memperhatikan pola cavities akan mendorong pencemaran oleh limbah domestik. Sungai bawah
tanah bentanglahan Karst Gunung Sewu mengandung bakteri e-coli dengan konsentrasi tinggi akibat
pencemaran septic tank dari permukiman di kota Wonosari, Kab. Gunung Kidul.
Menyerupai aliran pada pipa
Sistem aliran Conduit Sistem aliran Diffuse
Menyerupai aliran “Darcy”
Klasifikasi mata air karst atas dasar struktur geologi adalah sebagai berikut:
a. Bedding springs, contact springs:
mata air karst yang muncul pada
bidang perselingan formasi batuan
atau perubahan jenis batuan, misal
jika akuifer gamping terletak di atas
formasi breksi vulkanik
b. Fracture springs: mata air karst yang
keluar dari bukaan suatu joint atau
kekar atau retakan di batuan
karbonat
c. Descending springs: mata air karst
yang keluar jika ada lorong konduit
dengan arah aliran menuju ke bawah
d. Acending springs: matair karst yang
keluar jika ada lorong konduit dengan
arah aliran menuju ke atas. Jika
debitnya besar sering disebut sebagai
vauclusian spring.
Akuifer karst yang telah berkembang dicirikan dengan nilai α (porositas) yang relatif tinggi karena
berkembangnya porositas sekunder. Porositas sekunder akifer karst sangat tergantung pada arah
serta kedudukan percelahan (cavities) dan apabila percelahan semakin berkembang maka
porositasnya juga makin besar.
Jenis-jenis mata air bentanglahan Karst
Besarnya debit yang keluar pada mata air bergantung pada
input dan kondisi akuifer karst atau disebut dengan kondisi
neraca airnya. Seperti halnya DAS dan akuifer non karst
umumnya, input utama akuifer karst berasal dari hujan
yang jatuh pada daerah tangkapan airnya (input autogenic)
kemudian mengalami beberapa proses hidrologi sehingga
sampai pada zone jenuh air. Daerah tangkapan air suatu
sungai bawah tanah atau mata air berupa bukit-bukit karst
yang berasosiasi dengan lembah-lembahnya. Zona tersebut
juga berfungsi sebagai penyimpan air yang utama pada
kawasan karst. Menurut Haryono (2001), permukaan
bukit‐bukit karst mempunyai peran yang sangat penting
yaitu sebagai reservoir utama air di kawasan karst, dan
sebaliknya tidak ada zone untuk menyimpan aliran konduit
karena geraknya yang sangat cepat dan segera mengalir
ke laut. Dalam istilah ilmu karst, zone permukaan bukit
karst ini disebut sebagai zone epikarst yaitu lapisan dimana terdapat konsentrasi air hasil infiltrasi air
hujan.
Zona epikarst atau disebut zone subcutaneous adalah zone teratas yang tersingkap dari batuan karst
yang memiliki permeabilitas dan porositas tinggi karena proses pelebaran celah . Zona ini
permeabilitas dan prorositasnya paling tinggi dibanding lapisan‐lapisan lainnya, sehingga berperan
sebagai media penyimpan yang baik. Zone ini merupakan penyedia aliran andalan di sungai bawah
tanah atau mata air bahkan pada periode kekeringan yang panjang.
Faktor Input dalam sistem hidrologi akuifer karst terdiri dari dua macam, yaitu berupa curah hujan
yang langsung jatuh di Daerah Tangkapan Air (DTA) dan aliran permukaan dari daerah non-karst
seperti sungai permukaan yang masuk ke akuifer karst melalui ponor (Qa). Seperti halnya dalam
DAS, air hujan yang jatuh dipermukaan karst akan terbagi juga menjadi 3 (tiga) bagian namun
dengan proporsi yang sangat berbeda, yaitu sebagian besar akan terinfiltrasi, evapotranspirasi dan
sisanya menjadi runoff. Proporsi curah hujan yang menjadi runoff sangat kecil dan pada akhirnya
runoff tersebut juga akan masuk ke lobang-lobang ponor/sinkholes yang disebut sebagai runoff
Rekahan (crack) berkembang menjadi cavities
Epikarst
internal (Qi). Air hujan yang terinfiltrasi
akan terus bergerak secara vertikal
menembus lapisan tanah karst sebagai
diffuse infiltration (Qd) melalui rekahan
dan retakan. Semua komponen input
tersebut yang terdiri dari aliran
permukaan (Qa) dan aliran bawah
permukaan (Qi dan Qd) yang bergabung
dalam akuifer karst kemudian akan keluar
menjadi debit mata air atau resurgence di
laut (Qb). Secara matematis, Haryono dan
Adji (2010) merumuskan input akuifer
karst adalah sebagai berikut:
Qin = Qa + Qi + Qd
Qin = input komponen air yang masuk ke akuifer karst (m3/detik) Qa = aliran sungai permukaan bukan karst yang masuk akuifer karst melalui ponor (m3/detik) Qi = runoff internal (m3/detik) Qd = diffuse infiltration (m3/detik)
Penentuan batas DAS di bentanglahan Karst cukup rumit, sehingga pada tahap awal dihitung input
air ke sistem hidrologi Karst melalui perhitungan neraca air dengan formula di atas. Selanjutnya,
ditentukan batas daerah tangkapan airnya dan dipetakan alur dari luweng/ponor/ sinkhole.
Perbedaan tahapan penentuan batasnya dengan daerah non Karst sesuai skema berikut:
Kondisi hidrologis bentanglahan Karst dapat disederhanakan dengan rincian sebagai berikut:
• Terbentuk sistem sungai bawah tanah
• Langkanya sistem aliran permukaan (runoff)
• Banyak ditemui aliran permukaan yang tiba-tiba menghilang (masuk ke dalam gua) dan
menjadi aliran bawah tanah
• Proses hidrologi dominan adalah limpasan permukaan (overlandflow, bukan runoff),
pelarutan, dan penggenangan.
• Zona epikarst merupakan tempat akumulasi air dan merupakan sumber air andalan daerah
karst.
DAS non Karst
DAS di Karst
Sebaran Bentanglahan Karst di Indonesia
Inventarisasi bentanglahan Karst
cukup mudah dilakukan.
Ketersediaan citra satelit resolusi
sedang hingga tinggi merupakan
aset dalam inventarisasi sebaran
maupun luasnya. Dengan
demikian penilaian sumberdaya
Karst untuk berbagai keperluan
secara normatif tidak menghadapi
kendala yang signifikan. Dari citra
satelit terlihat bahwa bentuk
bentanglahan Karst sangat unik
dan sangat mudah untuk dikenali,
karena polanya sangat spesifik.
Luas bentanglahan karst di seluruh
Indonesia adalah 140.000 km2 (Haryono, 2011). Peta pola
aliran juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi distribusi
bentanglahan Karst. Daerah Karst memiliki pola aliran yang
terputus-putus karena air sungai masuk ke dalam sistem ponor
sebagai ciri khas bentanglahan Karst. Pola aliran merupakan
salah satu layer dalam peta Rupa Bumi Indonesia yang
tersedia dalam berbagai skala (1:25.000; 1:50.000 dan 1:250.000). Beberapa wilayah di Indonesia
yang memiliki bentang alam karst, yaitu:
1. Pulau Sumatera, kondisinya kurang berkembang, terdapat di sebagian tempat di Aceh, Sumatra
Barat (Singkarak) dan Sumatra Selatan.
2. Pulau Jawa, batugamping di belahan selatan, yaitu di daerah Gombong Selatan dan Gunung
Sewu.
3. Pulau Kalimantan, di pegunungan Mangkalit, Kalimantan Timur, Gunung Haje dan Gunung
Menunting di Muara Teweh di Kalimantan Tengah, dan Pegunungan Meratus di Kalimantan
Selatan dengan penyebaran yang terputus-putus.
4. Pulau Sulawesi, berkembang bentang alam karst sangat baik di daerah Maros, Sulawesi Selatan
yang memiliki 29 gua yang harus dilindungi.
5. Pulau Sumbawa, di daerah Waingapu, Sumbawa Barat memiliki sumberdaya air dengan debit
kurang lebih 1000 lt/dt (MENLH & Yayasan Jatidiri, 1998).
6. Pulau Irian memiliki bentang alam karst yang sangat menarik. Bentanglahan karst terdapat
didaerah Wamena-Pegunungan Trikora yang memiliki doline raksasa, gua terdalam, sungai
bawah tanah terbesar, serta daerah Biak dan pulau Misool. Raja Ampat merupakan bentang
alam Karst dengan nilai ekowisata yang sangat tinggi.
Sebaran bentanglahan Karst tersebut menunjukkan bahwa posisinya pada berbagai zona iklim.
Memperhatikan peranan iklim dalam proses-proses yang terjadi, dipastikan bahwa terdapat ragam
kondisi Karst di Indonesia. Secara normatif hal tersebut berimplikasi pada permasalahan spesifik
yang terdapat pada setiap bentanglahan Karst. Dengan demikian, pola pengelolaan yang diterapkan-
pun harus mempertimbangkan permasalahan lokal yang ada.
Bentanglahan Karst Gunung Sewu di
Kabupaten Gunung Kidul, DIY
Pola Permukaan Bentang- lahan Karst dari ci tra satelit
Karst, Perubahan Iklim dan Pengelolaan Landscape Hutan
Emisi karbon selama ini dipandang sebagai biang
keladi terjadinya perubahan iklim. Berbagai
upaya mitigasi perubahan iklim didesain melalui
identifikasi siklus karbon yang terjadi di muka
bumi. Proses pembentukan karst (karstifikasi)
memerlukan air (H2O) dan CO2, sehingga
karstifikasi selalu menyerap karbon. Terkait
dengan isu gobal tentang perubahan iklim, maka
proses-proses di bentanglahan Karst merupakan
fenomena yang perlu dikaji lebih dalam karena
penyimpanan (sekuestrasi) karbon di material
Karst jauh lebih besar daripada reservoir
lainnya, yaitu 6,53 x 1022 gram. Sebagai
konsekuensinya, pembakaran batu Karst untuk
pembuatan semen atau keperluan lainnya
menyebabkan emisi karbon dalam jumlah yang
sangat besar, jauh lebih besar daripada bahan
bakar fosil. Selama ini bentanglahan yang banyak
disorot peranannya dalam sekuestrasi karbon adalah gambut (peatland) dan menjadi program
prioritas berbagai pihak dalam mitigasi perubahan iklim. Tabel perbandingan di atas
mengindikasikan bahwa pengelolaan bentanglahan karst secara benar jauh lebih berdayaguna dalam
mitigasi perubahan iklim dibanding bentanglahan lainnya.
Bentanglahan merupakan kesatuan total dari aspek fisik, ekologi dan geografi di suatu kawasan, yang
menyatukan seluruh proses dan pola alamiah serta kegiatan manusia (Naveh dan Lieberman, 1984).
Artinya, pengelolaan sumberdaya alam (termasuk hutan) harus mempertimbangkan keterkaitannya
dengan unsur-unsur bentanglahan lainnya, seperti kondisi fisiografi, tanah, geologi, hidrologi, hayati,
Peta Sebaran Bentanglahan Karst di Indonesia.
Kandungan karbon pada berbagai reservoir
iklim dan manusia. Penilaian secara integratif terhadap unsur-unsur bentanglahan tersebut akan
menunjukkan besarnya kontribusi hutan secara konkrit dan obyektif dalam menyerap karbon, baik
sebagai individu ekosistem hutan maupun keterkaitannya dengan unsur-unsur bentanglahan lainnya.
Kondisi tersebut sejalan dengan perkembangan paradigma pengelolaan sumberdaya alam saat ini
yang berbasis bentanglahan (sustainable landscape management). Hal ini juga sejalan dengan definisi
hutan menurut UU No. 41/1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa “Hutan adalah suatu
kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan”.
Dalam konteks penyerapan karbon, peran hutan di
bentanglahan Karst terkait dengan perannya dalam
produksi CO2 dan regulasi air, yang keduanya
merupakan komponen utama karstifikasi. Peran hutan
dalam regulasi air sangat beragam, dan mempunyai
keterkaitan integratif dengan unsur-unsur
bentanglahan dimana hutan tersebut berada.
Identifikasi peran hidrologis hutan tersebut perlu
dilakukan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap
karstifikasi.
Hasil berbagai kajian menunjukkan peran hidrologis hutan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Peran hutan dalam mendorong terjadinya hujan (Penman, 1963; Bruijnzeel, 1990; Bruijnzeel, 2004).
2. Peran hutan dalam konsumsi air dan penguapan, sehingga justru mengurangi tampungan air tanah (Falkenmark, 2001; Seiler-Gat, 2007; Wood et al., 2007; Newson, 1997).
3. Peran hutan dalam meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah sehingga mendorong peningkatan intensitas peresapan, meningkatkan suplai ke air tanah serta memperkecil peluang limpasan (Bharati et al., 2002; Yue and Hashino, 2005; Seiler dan Gat, 2007; Ilstedt, 2007, Weert, 1994; Anwar, 2001; Purwanto, 2001).
Regulasi Air oleh Hutan dan Perannya dalam
Karstifikasi
Peran kombinatif hutan dengan unsur-unsur lahan
lainnya dalam mempengaruhi bentanglahan karst
harus menjadi fokus penilaian perlunya pengelolaan
sebuah ekosistem hutan di daerah Karst. Artinya,
pendekatan bentanglahan (landscape) menjadi
keharusan dalam penilaian peran hutan.
Pada zona iklim tertentu, hutan mempunyai
kemampuan dalam menangkap awan (cloud
stripping). Kemampuan tersebut dikontrol oleh
faktor topografis. Pada kondisi ini, terminologi
peran “hidro-orologis” dapat diterapkan. Hutan
pada zona ini sering disebut sebagai cloud forest.
Atmosfer
CO2
(aq)
H2CO3
H+
H2O
HCO
3-
Cair
Cair
HCO3-
Ca+
+ CO3
2-
Padat CaCO3 Hasil pelarutan
CO2 (g)
Reaksi kimia Karstifikasi
Memperhatikan uraian di atas, maka hutan merupakan salah satu unsur bentanglahan yang
mempunyai peran penting dalam proses karstifikasi. Kemampuan hutan yang tumbuh pada
bentanglahan Karst dalam meregulasi dan memproduksi air akan mempengaruhi ketersediaan air
sebagai unsur penting pembentukan Karst yang sekaligus mendorong penyerapan karbon. Bruijnzeel
(2009) menyatakan bahwa peran hidrologis hutan tidaklah sama. Mengingat ragam peran hidrologis
hutan tersebut, maka karakter hutan harus diidentifikasi sebagai acuan dalam formulasi strategi
pengelolaan bentanglahan Karst.
Pada suatu ekosistem hutan paling tidak ada dua hal yang mempengaruhi intensitas pengaruh
hutan sebagai pengatur tata air, yaitu tegakan pohon dan tanah hutan. Tegakan pohon mengalami
proses evapotranspirasi yang mempunyai laju dan kapasitas lebih besar daripada tanaman semusim
dan rumput atau semak belukar. Laju evapotranspirasi tegakan hutan tropika basah dataran rendah
yang berada pada ketinggian 100 m dpl adalah sekitar 1.415 mm/th sedangkan pada ketinggian 1750
m dpl sekitar 1225 mm/th. Sedangkan rata-rata evapotranspirasi tanaman pertanian sekitar 1.100 –
1.200 mm/th. Sifat non-cloud forest ini sering mendasari penilaian para pihak yang berpendapat
bahwa hutan bukan penghasil air tapi justru boros air, sehingga mereka menyimpulkan bahwa hutan
sebagai penghasil air sebetulnya adalah lebih sebagai mitos daripada kenyataan. Secara fisiografis,
non cloud forests tersebut tersebar di daerah dataran rendah hingga ke lereng kaki.
Berbeda dengan non-cloud forest yang memiliki laju evapotranspirasi tinggi, cloud forests (hutan
berawan) sering pula disebut “hutan berlumut” (mossy forest) memiliki laju evapotranspirasi relatif
rendah yaitu sekitar 308-392 mm/th. Hal ini disebabkan posisinya yang tinggi dari permukaan laut
(hutan pegunungan), sering diselimuti kabut dan awan secara terus menerus dan berperan
menangkap kabut (clouds stripping) sehingga tegakan pohon hutan berfungsi sebagai inti
kondensasi yang mampu mencairkan awan dan kabut untuk kemudian menetes sebagai butir-butir
air ke lantai hutan. Dengan demikian hutan ini mempunyai peranan sangat penting dalam pengisian
air di daerah resapan (recharge area) di wilayah hulu DAS. Besarnya pasokan air yang sampai diserap
oleh lantai hutan pada cloud forests ini diketahui jauh lebih besar dari curah hujan yang diterima dari
wilayah tersebut, yaitu lebih tinggi 20 % pada musim hujan dan bahkan lebih dari 100% pada musim
kemarau. Karena itu hutan ini dapat dikatakan sebagai “menara air” yang sanggup mensuplai air
disaat kemarau. Dalam kondisi seperti ini hutan berperan sebagai pengatur dan penghasil atau
penyimpan air. Sebagai contoh “hutan berawan” di Jawa Barat adalah kawasan hutan di Taman
Nasional Gunung Halimun, Gn. Salak dan Gn. Gede Pangrango yang merupakan hulu sungai
Ciliwung, Cisadane dan Citarum. Cloud forest yang tumbuh di atas bentanglahan Karst sangat intensif
mendorong pembentukan Karst.
Pengelolaan DAS di Bentanglahan Karst
Masalah yang timbul dalam pengelolaan sumberdaya merupakan implikasi dari man-land
relationship (interaksi manusia dengan lingkungannya) ( Strahler & Strahler, 1977). Ketersediaan
sumberdaya air yang melimpah namun sulit diakses, kerentanan sumberdaya air yang tinggi
terhadap pencemaran, potensi erosi yang tinggi dan lambatnya laju pembentukan tanah, besarnya
potensi kerusakan oleh penambangan batu Karst serta alih fungsi lahan merupakan permasalan
umum yang terjadi di bentanglahan Karst. Berdasarkan amanat pasal 27 pada PP 37/2012, maka
permasalahan tersebut harus diidentifikasi, karena merupakan referensi penting dalam perumusan
strategi pengelolaan DAS yang meliputi perumusan kebijakan, program dan kegiatan lebih lanjut
sesuai amanat PP 37/2012 Pasal 27.
Memperhatikan peran dominan proses hidrologis di bentanglahan Karst, maka identifikasi
karakteristik hidrologis menjadi keharusan. Masalah utama terkait dengan air sebagai geomorphic
agent (merubah kondisi lahan melalui proses penorehan, pelarutan, erosi, maupun limpasan
permukaan), maupun air sebagai sumberdaya. Dengan demikian, pendekatan pengelolaan
DAS menjadi relevan untuk diterapkan. Kombinasi faktor hujan, topografi, liputan lahan dan
struktur geologi dalam mengontrol limpasan di bentanglahan Karst secara absolut berbeda dengan
bentanglahan asal vulkan. Relief mikro dan struktur geologi merupakan faktor pengontrol dominan
proses geomorfologi daerah Karst, sehingga harus diperhatikan dalam penentuan batas DAS-nya.
Penentuan batas DAS di bentanglahan Karst merupakan tahap awal yang penting dalam identifikasi
dan pemetaan parapihak yang dilibatkan dalam pengelolaan DAS. Penerapan polluters and
beneficiaries pay principles akan obyektif jika batas DAS di bentanglahan Karst dapat dideliniasi
secara benar. Berbagai instrumen penilaian limpasan dan erosi sebagai domain pengelolaan DAS
seperti HEC-1. HEC HMS, ANSWERS, AGNPS, SWAT, USLE, kriteria lahan kritis, klasifikasi DAS
(dipulihkan dan dipertahankan) dan sebagainya jika diterapkan di daerah Karst harus melalui tahap
kalibrasi dan validasi. Artinya, adjustment perlu dilakukan jika model dan berbagai instrumen
pengelolaan DAS yang ada saat ini akan diterapkan di bentanglahan Karst.
Penutup
Berdasarkan uraian pada bab di atas, maka beberapa hal penting yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut:
1. Bentanglahan Karst merupakan ekosistem yang mempunyai karakter unik, diantaranya :
a. Merupakan reservoir air tanah yang besar walaupun untuk bisa mengakses me merlukan biaya yang besar
b. Merupakan reservoir karbon yang besar
c. Proses karstifikasi yang terjadi akan selalu menyerap karbon tiada henti, sehingga berperan penting dalam mitigasi perubahan iklim, karena proses karstifikasi akan mengurangi konsentrasi karbon di udara,
d. Pergerakan air dikontrol oleh relief mikrio dan struktur geologi, sehingga batas DAS-nya bukan hanya batas topografis, namun kombinasi topografis dan hidrologis (struktur geologi)
e. Penentuan arah pergerakan air menjadi aspek penting untuk mencegah kontaminasi ai r tanah oleh limbah domestik
f. Proses dominan yang terjadi adalah pelarutan
g. Proses pembentukan tanah relatif lambat
2. Beberapa manfaat hutan di bentanglahan Karst diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Menjamin kontinuitas suplai air ke sungai bawah tanah
b. Menjadi filter masuknya bahan pencemar ke sistem tampungan air tanah
c. Memproteksi tanah dari proses erosi
d. Meningkatkan peluang terjadinya proses pembentukan Karst, melalui produksi CO2 dan meningkatkan tingkat kelembaban dan suplai air
e. Sebagai konsekuensi butir d, maka akan meningkatkan intensitas penyerapan karbon
3. Pengelolaan sumberdaya Karst harus menggunakan pendekatan bentanglahan ( landscape), karena kondisi Karst sangat ditentukan oleh interaksi unsur-unsur lahan Karst secara integratif.
DAFTAR PUSTAKA
Adji, T.N., Haryono, E., Suprojo. S.W., 1999., Kawasan Karst dan Prospek Pengembangannya
di Indonesia, Prosiding Seminar PIT IGI di Universitas Indonesia, 26-27 Oktober 1999.
Anwar, S. 2001. The Impact of Different Logging Treatments on Streamflow and Suspended
Sediment Concentration in Central Kalimantan, Indonesia. Thesis submitted for the Degree of Doctor of Philosophy, The University of Edinburgh, Scotland. Unpublished.
Bharati, L.; Lee, K.H.; Isenhart, T.M.; Schultz, R.C. 2002. Soil-Water Infiltration under Crops, Pasture, and Established Riparian Buffer in Midwestern USA. Agroforestry Systems 56: 249–257, 2002. 249© 2002 Kluwer Academic Publishers. Netherlands.
Bruijnzeel. L.A. 1990. Hydrology of Moist Tropical Forests and Effects of Conversion: A State of Knowledge Review. UNESCO International Hydrology Programme.
Bruijnzeel. L.A. 2004. Hydrological Functions of Tropical Forests: not seeing the soil for the
trees? Elsevier Agriculture, Ecosystems and Environment 104 (2004) 185–228. Science Direct.
Bruijnzeel. L.A. 2009. Tropical Reforestation and Streamflow: The Need for a Balanced Account. Vrije Universiteit. Amsterdam.
Haryono, E. dan Adji T. N., 2004, Pengantar Geomorfologi dan Hidrologi Karst, Kelompok
Studi Karst, Fakultas Geografi, UGM, Yogyakarta.
Haryono, E., 2001, Nilai Hidrologis Bukit Karst, Makalah pada seminar Nasional Eko‐Hidrolik,
28‐29 Maret 2001, Jurusan Teknik Sipil, UGM, Yogyakarta.
Ilstedt, Ulrik; Malmer, Anders; Verbeeten, Elke; Murdiyarso, Daniel. 2007. The Effect of Afforestation on Water Infiltration in the Tropics: A Systematic Review and Meta-Analysis. Forest Ecology and Management 251 (2007) 45–51. 3:1198)
Lestari, Y. 2013. Studi Neraca Air dan Kualitas Air pada Sistem Hidrologi Mata Air pada Sistem Hidrologi Mata Air Beton untuk Konservasi Sumberdaya Air di Kecamatan Ponjong Kabupaten Gunungkidul. Thesis Program Magister Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai. Fakultas Geografi UGM.
Newson, M. 1997. Land, Water and Development, Sustainable Management of River Basin Systems. Routledge. London.
Purwanto, E. 1999. Erosion, Sediment Delivery and Soil Conservation in an Upland Agricultural Catchment in West Java, Indonesia. PhD Thesis. Vrije Universiteit te Amsterdam.
Seiler, K.P and Gat, J.R. 2007. Goundwater Recharge from Run-off, Infiltration and Percolation. Springer, AA Dordrecht, The Netherlands.
Strahler, Alan, H and Strahler, Arthur, N. 1977. Geography and Man’s Environment. John Wiley and Sons. Inc. New York
Todd, D.K., 1980, Groundwater Hydrology, 2nd Ed. John Wiley & Sons, England.
White, W.B., 1988, Geomorphology and Hidrology of Karst Terrain, Oxford University Press, New York.
Weert, V.D. 1994. Hydrological Conditions in Indonesia. Delft Hydraulics. The Netherlands.
Wood; Hannah, D.M.; Sadler, J.P. 2007. Hydroecology and Ecohydrology: Past, Present and Future. John Wiley & Sons Ltd, The Atrium, Southern Gate, Chichester, West Sussex PO19 8SQ, England.
Yue, Seng and Hashino, Michio. 2005. Statistical Interpretation of the Impact of Forest Growth on Streamflow of the Sameura Basin, Japan. Environmental Monitoring and Assessment (2005) 104: 369–384.