PENGAWASAN DINAS PERINDUSTRIAN DAN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI - OVI...
Transcript of PENGAWASAN DINAS PERINDUSTRIAN DAN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI - OVI...
PENGAWASAN DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KABUPATEN
CIREBON TERHADAP PRODUKSI GARAM RAKYAT DI KABUPATEN CIREBON
BERDASARKAN PASAL 30 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
SKRIPSI
OVI SARI KUSUMAH
E1A005020
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2011
PENGAWASAN DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KABUPATEN
CIREBON TERHADAP PRODUKSI GARAM RAKYAT DI KABUPATEN CIREBON
BERDASARKAN PASAL 30 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
SKRIPSI
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
OVI SARI KUSUMAH
E1A005020
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2011
PENGAWASAN DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KABU PATEN
CIREBON TERHADAP PRODUKSI GARAM RAKYAT DI KABUPATEN CIREBON
BERDASARKAN PASAL 30 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
SKRIPSI
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
OVI SARI KUSUMAH
E1A005020
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2011
ii
LEMBAR PENGESAHAN
SKRIPSI
PENGAWASAN DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KABU PATEN
CIREBON TERHADAP PRODUKSI GARAM RAKYAT DI KABUPATEN CIREBON
BERDASARKAN PASAL 30 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Oleh :
OVI SARI KUSUMAH
E1A005020
Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan disahkan :
Pada Tanggal November 2011
Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S. NIP 19520603 198003 2 001
Pembimbing I/ Penguji I
Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S. NIP 19520603 198003 2 001
Pembimbing II/ Penguji II
I Ketut Karmi N, SH,M.Hum NIP. 196105201987032001
Penguji III,
Suyadi, SH, M.Hum. NIP. 196110101987031001
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya :
Nama : OVI SARI KUSUMAH
NIM : EIA005020
SKS : 2005
Judul : PENGAWASAN DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN
KABUPATEN CIREBON TERHADAP PRODUKSI GARAM
RAKYAT DI KABUPATEN CIREBON BERDASARKAN PASAL 30
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya sendiri dan
tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain.
Dan apabila ternyata terbukti saya melakukan Pelanggaran sebagaimana tersebut di atas,
maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari Fakultas.
Purwokerto, November 2011
OVI SARI KUSUMAH
NIM EIA005020
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil’alamin dengan sujud syukur kehadirat Alloh SWT yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang, karena rahmat_Nya saja penulis masih diizinkan untuk dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul : “PENGAWASAN DINAS PERINDUSTRIAN DAN
PERDAGANGAN KABUPATEN CIREBON TERHADAP PRODUKSI GAR AM
RAKYAT DI KABUPATEN CIREBON BERDASARKAN PASAL 30 UN DANG-
UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONS UMEN”.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
Dalam kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman sekaligus Dosen Pembimbing Akademik dan Dosen
Skripsi/Dosen Penguji I.
2. Edi Waluyo, S.H., M.Hum. selaku Ketua Bagian Keperdataan.
3. I Ketut Karmi Nurjaya, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Skripsi II/Dosen
Penguji II.
4. Suyadi, S.H., M.Hum. selaku Dosen Penguji III.
5. Seluruh Dosen Pengajar dan segenap staf Administrasi Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman.
6. Ayah, Ibu, Bapak, Kakaku tercinta atas dukungan dan semangatnya.
7. Teman-teman angkatan 2005 dan KKN-PBA 2009
8. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penyusunan
skripsi ini, dan mohon maaf penulis tidak dapat menyebutkan satu persatu.
Penulis tidak dapat memberikan suatu balasan apapun kecuali hanya doa,semoga
semua kebaikan, bantuan, dukungan, pengorbanan dan budi baik dari semua pihak mendapat
v
balasan yang baik dari Alloh SWT. Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini jauh dari
sempurna, dan semoga dengan ketidaksempurnaan skripsi ini dapat dipahami sebagai
ketidaksempurnaan penulis sebagai manusia biasa, dan penulis mohon kerelaan hati dari
semua pihak untuk memberikan maaf. Akhirul kalam, semoga skripsi ini dapat berguna dan
bermanfaat.
Purwokerto, November 2011
Penulis
vi
ABSTRAKSI
Salah satu bentuk perlindungan konsumen yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah adanya pengaturan mengenai
Pengawasan yang dilakukan Pemerintah terhadap barang dan/atau jasa. Kabupaten Cirebon
sebagai salah satu kabupaten yang memiliki potensi garam yang cukup besar, maka untuk
menjaga dan meningkatkan kualitas serta kuantitas hasil produksi garam di Cirebon, terus
menerus dilakukan pembinaan dan pengawasan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kabupaten Cirebon.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengawasan yang dilakukan oleh
Dinas Perindustrian dan Perdagangan terhadap produksi garam rakyat di Kabupaten Cirebon
berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
dan untuk mengetahui tanggungjawab Dinas Perindustrian dan Perdagangan apabila didalam
pengawasan ditemukan penyimpangan dalam produksi garam rakyat di Kabupaten.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa Pengawasan yang dilakukan Dinas
Perindustrian dan Perdagangan terhadap produksi garam rakyat di Kabupaten Cirebon adalah
pengawasan preventif dan represif, pengawasan langsung dan tidak langsung, pengawasan
intern dan ekstern, serta telah melibatkan masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tanggung jawab Dinas Perindustrian
dan Perdagangan adalah melakukan upaya-upaya guna menanggulangi penyimpangan yang
ditemukan dalam pengawasan produksi garam rakyat.
Kata Kunci : Pengawasan, Tanggung Jawab, Perlindungan Konsumen
vii
ABSTRACT
One form of consumer protection regulated in Law Number 8 Year 1999 regarding Consumer Protection is the lack of regulation on the supervision by the Government for goods and / or services. Cirebon regency as one of the districts that have the potential of salt large enough, then to maintain and improve the quality and quantity of salt production in Cirebon, guidance and constant surveillance conducted by the Ministry of Industry and Trade Cirebon District.
The purpose of this study was to determine the surveillance conducted by the Ministry of Industry and Trade of salt production in Cirebon District pursuant to Article 30 of Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection and to know the responsibilities of the Office of Industry and Trade if irregularities are found in the control of salt production people in the District.
Based on the research results can be seen that the supervision of the Office of Industry and Trade made the production of salt in people Cirebon is a preventive and repressive control, direct and indirect supervision, supervision of internal and external, and has involved the community and the Institute of Consumer Protection Organization Self cigarettes, as defined in Article 30 paragraph (1) of Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection. Responsibilities of the Office of Industry and Trade made efforts to overcome the irregularities found in the control of salt production.
Key word : surveillance, Responbility, consumer protection
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………....................................... i
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………… ii
HALAMAN PERNYATAAN…………………………………………… iii
KATA PENGANTAR…………………………………………………… iv
ABSTRAKSI……………………………………………………………… vi
ABSTRACT……………………………………………………………… vii
DAFTAR ISI……………………………………………………………… viii
BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………… . 1
A. Latar Belakang Masalah……………………………………….. 1
B. Perumusan Masalah……………………………………………. 8
C. Tujuan Penelitian……………………………………………….. 8
D. Kegunaan Penelitian……………………………………………. 9
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………… ...... 10
A. Definisi, Tujuan, dan Fungsi Hukum……………………….…. 10
B. Perlindungan Konsumen……………………………………..... 14
1. Hukum Perlindungan Konsumen……....................................... 14
2. Pengertian Perlindungan Konsumen……………………........ 17
3. Tujuan Perlindungan Konsumen………………………… … 19
4. Konsumen…………………………………………………….. 20
5. Pelaku Usaha………………………………………………. … 22
6. Hak dan Kewajiban………………………………………... .. 25
a. Hak dan Kewajiban Konsumen……………………...……… 25
ix
b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha…………………..…….. 27
7. Para Pihak Dalam Perlindungan Konsumen……………... 31
8. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha……………. 33
C. Pengawasan…………………………………………………… 34
1. Pengertian Pengawasan………………………………………. 34
2. Macam-Macam Pengawasan……………………………….. . 37
3. Pengawasan Dinas Perindustrian Dan Perdagangan…...... . 38
D. Produk Garam Rakyat………………………………………. 42
1. Pengertian Garam…………………………………………..... 42
2. Produk Garam Rakyat……………………………………..... 42
3. Kajian Mengenai Garam Beryodium……………………….. 43
a. Pengertian dan Sumber Ketersediaan Yodium……….... …. 43
b. Kebutuhan Yodium……………………………………..... …. 45
c. Pengertian Garam Beryodium dan Akibat Kekurangan
Yodium………………………………………………………… 47
d. Penggaraman di Indonesia dan Industri garam
Beryodium………………………………………………........... 49
e. Distribusi Garam Beryodium…………………………….. …. 51
BAB III. METODE PENELITIAN……………………………………… .. 52
A. Metode Pendekatan…………………………………………….. 52
B. Spesifikasi Penelitian…………………………………………… 52
C. Lokasi Penelitian……………………………………………….. 53
D. Sumber Data……………………………………………………. 53
x
E. Metode Pengumpulan Data…………………………………… 54
F. Metode Penyajian Data………………………………………… 55
G. Metode Analisis Data…………………………………………… 55
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………………. 56
A. Hasil Penelitian…………………………………………………. 56
B. Pembahasan……………………………………………………… 75
BAB V. PENUTUP
A. Simpulan………………………………………………………… 98
B. Saran…………………………………………………………….. 99
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan pembangunan perekonomian nasional senantiasa bergerak cepat
seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi harus mampu mendukung suksesnya di dalam dunia usaha
guna mewujudkan pembangunan nasional Indonesia yang mandiri, kuat dan maju.
Wujud dari perkembangan pembangunan tersebut ditandai dengan banyaknya beredar
produk yang dipasarkan secara bebas, baik produk yang sudah lulus uji laboratorium
maupun yang belum lulus uji laboratorium.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen yang diundangkan pada tanggal 20 April Tahun 1999 pada Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 merupakan upaya pemerintah
untuk memberi perlindungan terhadap konsumen didasarkan pada adanya sejumlah
hak konsumen yang perlu dilindungi dari tindakan-tindakan yang mungkin
merugikan yang dilakukan pihak lain. Hak-hak ini merupakan hak-hak yang sifatnya
mendasar dan universal sehingga perlu mendapat jaminan dari Negara atas
pemenuhannya.
1
2
Undang-undang ini dibuat sebagai upaya pengawasan yang bersifat menyeluruh
dan terpadu agar derajat kesehatan yang optimal dapat terwujud dengan baik.
Ketentuan Pasal 30 Angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa :
“Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundangan yang diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat”. Adapun pendapat Henri Fayol yang mengemukakan tentang pengawasan, yaitu:
“… Dalam setiap usaha, pengawasan terdiri atas tindakan meneliti apakah segala sesuatu tercapai atau berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan berdasarkan instruksi-instruksi yang telah dikeluarkan, prinsip-prinsip yang telah ditetapkan. Pengawasan bertujuan menunjukkan atau menemukan kelemahan-kelemahan agar dapat diperbaiki dan mencegah berulangnya kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan itu. Pengawasan beroperasi terhadap segala hal, baik terhadap benda, manusia, perbuatan maupun hal-hal lainnya.1 Pengawasan dan pembinaan bagi para pelaku usaha yang masih sering menjual
produknya yang belum memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan, maka
diperlukan kegiatan-kegiatan yang mampu memberikan solusi agar dapat
memberikan kontribusi terhadap suplai produknya yang memenuhi standar, kegiatan
yang dapat dilakukan tersebut antara lain adalah pembinaan-pembinaan hukum
(Kadarkum) kepada para pelaku usaha atau produsen, operasi pasar, sidak ke pasar-
pasar dan kampanye terhadap suatu produk yang dihasilkan, misalkan dapat melalui
pondok pesantren.
1 H. Ibrahim Lubis, Pengendalian dan Pengawasan Proyek dalam Manajemen, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1985, hal 155.
3
Pertumbuhan dan perkembangan industri barang dan jasa di satu pihak
membawa dampak positif dimana tersedianya kebutuhan dalam jumlah yang
mencukupi, mutunya yang lebih baik, serta adanya alternatif pilihan bagi konsumen
dalam pemenuhan kebutuhannya. Namun, disisi lain muncul juga dampak negatif
yang dirasakan oleh konsumen dengan beredarnya produk yang tidak memenuhi
syarat kesehatan dan keamanan konsumen.
Konsumen mempunyai kebebasan memiliki dan mengkonsumsi barang dan jasa
yang ditawarkan oleh produsen, namun ada juga dampak negatif dari pertumbuhan
dan perkembangan tersebut, yaitu konsumen akan menjadi sasaran atau obyek
aktivitas bisnis bagi para pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-
besarnya dalam menjalankan usahanya.
Kondisi tersebut dapat menjadikan posisi konsumen semakin lemah dan tidak
berimbang. Bahkan konsumen menjadi obyek aktivitas pelaku usaha yang
mengeksploitasinya demi mencapai profit yang sebesar-besarnya misalnya melalui
promosi, cara penjualan, penerapan perjanjian standart yang merugikan, janji-janji
kosong dan sebagainya.
Praktek usaha yang demikian, secara langsung maupun tidak langsung telah
merusak nama perusahaan para pelaku usaha itu sendiri, merebaknya bentuk-bentuk
perdagangan yang curang serta meningkatnya peredaran barang dan jasa yang tidak
memenuhi standart mutu, keamanan dan juga keselamatan konsumen. Sebagai pelaku
usaha seharusnya mereka dituntut lebih professional dan bertanggung jawab dengan
4
tidak hanya mengedepankan keuntungan semata, tetapi juga kualitas produk yang
tentunya aman bagi konsumen.
Perilaku konsumen dalam pembelian akan mencerminkan tanggapan mereka
terhadap berbagai rangsangan pemasaran yang terlihat dan tanggapan akan berbagai
harga dan promosi. Hal ini sangat membantu produsen untuk tetap menjaga mutu,
kualitas, dan perlindungan produk dari hal-hal yang dapat membahayakan konsumen.
Pengetahuan dasar yang baik mengenai perilaku konsumen akan dapat memberikan
masukan yang berarti bagi produsen dalam menjaga kualitas produksinya.
Manusia sendiri untuk mempertahankan hidupnya harus memenuhi kebutuhan-
kebutuhan hidup, baik spiritual maupun material. Kebutuhan spiritual berhubungan
dengan masalah kejiwaan (rohani) seperti: kesenian, pendidikan, agama dan lain-lain.
Sedangkan kebutuhan material dengan masalah badaniah (jasmani) seperti sandang,
pangan dan kekayaan materi, termasuk kebutuhan pangan diantaranya garam, yang
merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok. Garam ini sangat diperlukan oleh
masyarakat selain yang fungsinya memberi rasa asin pada masakan, garam yang
mengandung yodium ini juga dapat mencegah masyarakat dari penyakit dan
kekurangan gizi, selain itu juga harga garam dapat dijangkau oleh masyarakat
menengah keatas dan masyarakat menengah kebawah.
Garam sebagai komoditi yang dibutuhkan dalam program GAKY (Gangguan
Akibat Kekurangan Yodium), karena garam ini merupakan media perantara yang
5
paling efektif untuk memasukkan zat yodium kedalam tubuh manusia, mengingat
garam di konsumsi oleh seluruh manusia.
Pengertian dari yodium itu sendiri adalah :
“ Yodium adalah mineral yang terdapat di alam (tanah/air), yang merupakan zat gizi mikro yang diperlukan oleh tubuh manusia untuk membentuk hormon tiroksin yang berfungsi untuk mengatur pertumbuhan dan perkembangan fisik serta kecerdasan”.2 Garam beryodium memiliki peranan dan pengaruh yang besar bagi
pertumbuhan manusia. Kekurangan garam beryodium dapat menimbulkan kecacatan
permanen dan akibat lainnya seperti kasus berikut :
LEBAK, KOMPAS.com - Ribuan anak di Kabupaten Lebak, Banten, terancam mengalami gangguan retardasi mental atau "idiot" akibat kekurangan mengkonsumsi garam yodium. "Saat ini di masyarakat masih banyak beredar garam yang tidak mengandung yodium," kata Kepala Seksi Gizi, Dinas Kesehatan, Kabupaten Lebak, Tata Sudita, Kamis. Tata mengatakan, kekurangan garam yodium cukup berbahaya karena dapat melahirkan generasi yang tidak berkualitas dan tidak produktif. Kekurangan garam yodium bisa menimbulkan generasi idiot atau retardasi mental, tubuh pendek, bisu tuli atau lumpuh. Selain itu, bila konsumsi diet rendah yodium akan menjadi anak yang kurang inteligensi atau kecerdasan, bodoh, lesu dan apatis dalam kehidupannya. Untuk itu, kekurangan yodium juga menyebabkan masyarakat miskin dan tidak berkembang dan anak mengalami kesulitan untuk belajar. Pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat diminta segera membuat peraturan daerah (Perda) tentang garam yodium untuk menyelamatkan generasi tersebut.3
Adapun penyebab dari Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY)
tersebut dapat berasal dari para produsen, distributor, dan petani garam. Yang berasal
2 Makalah Work Shop Garam Beryodium Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten
Cirebon, 2003, hal 1. 3 NN, Kamis, 23 Juli 2009, 22:28 WIB, Kurang Yodium, Ribuan Anak Lebak Terancam Idiot,
http://www.kompas.com/&type=dns&ISN, diakses pada tanggal 14 April 2011.
6
dari para produsen yaitu para produsen yang memproduksi garam konsumsi tidak
beryodium atau dengan kadar yodium yang rendah atau tidak memenuhi standar
mutu, sedangkan dari distributor yaitu distributor yang mendistribusikan garam
konsumsi tidak beryodium dan atau dengan kadar yodium yang rendah, dan yang
berasal dari petani garam yaitu petani garam yang langsung menjual garam ke
konsumen tanpa melalui proses iodisasi. Adapun penyebab kekurangan yodium juga
dapat berasal dari konsumen itu sendiri yaitu mayoritas konsumen yang kurang kritis
atau tidak peduli terhadap garam yang dikonsumsi oleh konsumen. Berdasarkan
permasalahan tersebut maka sudah semestinya ada tangan ketiga yang menjamin
standarisasi garam beryodium, dan menjaga kualitas garam beryodium melalui
pengawasan pemerintah.
Kabupaten Cirebon sebagai salah satu Kabupaten di Propinsi Jawa Barat yang
memiliki potensi garam yang cukup besar, baik garam rakyat atau garam krosok
maupun garam konsumsi beryodium, maka untuk menjaga dan meningkatkan kualitas
serta kuantitas hasil produksi garam di Kabupaten Cirebon, terus menerus dilakukan
pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Kabupaten Cirebon terhadap para pengrajin garam yang ada di
Kabupaten Cirebon, yang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor
78 Tahun 2001 tentang Larangan Peredaran Garam Konsumsi Tidak Beryodium.
Kualitas produksi garam rakyat atau garam krosok di Kabupaten Cirebon
memiliki kualitas III (NaCL kurang dari 90%) menyebabkan Kabupaten Cirebon
7
perlu penanganan intensif, untuk itu diperlukan partisipasi dari para pengusaha untuk
memproduksi garam konsumsi beryodium yang memenuhi standar pemerintah yaitu
antara 30-80 ppm untuk kandungan larutan Yodium atau KIO3 (Kalium Yodat).
Berkaitan dengan uraian tersebut dalam Pasal 30 Undang-undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka peneliti tertarik dalam hubungan
upaya pengawasan yang dilakukan oleh pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan
terhadap produksi garam khususnya di Kabupaten Cirebon.
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pengawasan yang dilakukan oleh
Dinas Perindustrian dan Perdagangan terhadap produksi garam rakyat di Kabupaten
Cirebon berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Selain itu penelitian ini ditujukan untuk mengetahui
tanggungjawab Dinas Perindustrian dan Perdagangan apabila didalam pengawasan
ditemukan penyimpangan dalam produksi garam rakyat di Kabupaten Cirebon.
Berdasarkan wacana tersebut penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam
masalah tersebut dan merumuskan dalam judul Pengawasan Dinas Perindustrian
Dan Perdagangan Kabupaten Cirebon Terhadap Produksi Garam Rakyat Di
Kabupaten Cirebon Berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
8
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut diatas maka dapat dirumuskan
permasalahan yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan
Perdagangan terhadap produksi garam rakyat di Kabupaten Cirebon
berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen ?
2. Bagaimanakah tanggungjawab Dinas Perindustrian dan Perdagangan
apabila didalam pengawasan ditemukan penyimpangan dalam produksi
garam rakyat di Kabupaten Cirebon ?
C. Tujuan Penelitian
1. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pengawasan yang dilakukan
oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan terhadap produksi garam
rakyat di Kabupaten Cirebon berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
2. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui tanggungjawab Dinas
Perindustrian dan Perdagangan apabila didalam pengawasan ditemukan
penyimpangan dalam produksi garam rakyat di Kabupaten.
9
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoretis
Untuk menambah wacana dan pustaka di bidang pengembangan disiplin
ilmu hukum dagang pada umumnya dan hukum perlindungan konsumen
pada khususnya.
2. Kegunaan Praktis
Diharapkan dapat memberikan masukan dan sumbangan pemikiran yang
berguna bagi seluruh masyarakat pengguna garam rakyat.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi, Tujuan, dan Fungsi Hukum
Kumpulan dari suatu norma, nilai, sanksi dan peraturan yang membentuk suatu
sistem dan saling mempengaruhi dapat disebut dengan suatu hukum. Hukum
memaksa manusia karena memiliki sanksi yang tegas. Dalam melindungi
masyarakatnya Negara menggunakan hukum untuk mengatur berbagai kepentingan
yang ada di dalam suatu negara.
”Norma atau kaidah mengandung makna bahwa perbuatan apa yang harus dilakukan dan mana perbuatan yang tidak boleh dilakukan di dalam masyarakat. Di belakang Norma terdapat Nilai atau Value ,nilai merupakan bagian dasar dari norma. Nilai yang mempengaruhi tingkah laku manusia karena nilai merupakan patokan atau ukuran suatu tingkah laku seperti kejujuran, kesetiaan, kesusilaan, keindahan dan lainnya. Adressat dari norma hukum adalah masyarakat, kepada merekalah norma-norma tertuju.”4 Hukum dalam arti luas adalah mencakup segala peraturan baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis. Sedangkan pengertian hukum dalam arti sempit adalah
kumpulan peraturan tertulis, misalnya yang tercantum di dalam kitab perundang-
undangan. Hukum baik dalam arti luas maupun dalam arti sempit yaitu didalamnya
mengandung nilai-nilai umum yang dapat dijadikan pedoman bagi setiap orang untuk
melaksanakan sesuatu serta dapat juga berfungsi untuk melindungi hak atau
4 Kansil. CST, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka , Jakarta,
1989, hal.83.
10
11
kepentingan individu dari segala bentuk kesewenang-wenangan dalam hubungannya
sebagai mahluk sosial.
“Hukum diartikan oleh Aristoteles adalah Particular Law is that which each community lays down and aplies to its own member.Universal law is the law of nature. Sedangkan Grotius mengartikan hukum sebagai law of moral action obliging to that which is right.5 Cukup berbeda Meyer dalam bukunya DE Algemene begrippen van het burgelijke recht mengartikan hukum sebagai semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan,ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang menjadi pedoman bagi penguasa penguasanegara dalam melakukan tugasnya.”6 Menurut Soerjono Soekanto didalam bukunya menyatakan bahwa :
”Hukum harus dilihat dan dipelajari sebagai lembaga sosial. Hukum sebagai suatu bentuk pengendalian sosial yang khusus mengatur manusia agar terhindar dari perbuatan-perbuatan anti sosial. Intinya terletak pada teori kepentingan yang pada pokoknya menyatakan bahwa hukum berfungsi untuk memenuhi tujuan-tujuan sosial, jadi dalam artian sosialnya hukum merupakan suatu produk sosial yang sekaligus merupakan kekuatan sosial.”7 Mochtar Kusumaatmaja berpendapat bahwa :
”Hukum bukan saja merupakan gejala normatif, melainkan juga gejala sosial atau empiris, hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat melainkan meliputi lembaga-lembaga (institution) dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan.8 Selanjutnya menurut Mochtar Kusumaatmaja, bahwa hukum sebagai kaidah sosial, tidak terlepas dari nilai (Values) yang berlaku di suatu masyarakat, bahkan dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari pada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.”9
5Ibid., hal.35 6Ibid., hal.36 7Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, CV. Rajawali, Jakarta, 1982,
hal. .69. 8Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris, Alumni, Bandung,
1993, hal. 35-36. 9Ibid., hal.36.
12
Berdasarkan pendapat Mochtar Kusumaatmaja dapat ditafsirkan bahwa hukum
bukan saja kumpulan teks normatif, tetapi juga menyangkut gejala sosial masyarakat.
Hukum juga mengatur bagaimana bekerjanya suatu institusi dan proses-proses yang
mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah hukum di dalam masyarakat. Berkaitan
dengan pendapat tersebut Lon Fuller menyatakan bahwa:
”Hukum itu sebagai usaha untuk tujuan tertentu (Purposeful enterprises). Penekanan disini ada pada usaha, maka dengan sendirinya ia mengandung resiko kegagalan. Keberhasilan usaha tersebut tergantung pada energi, wawasan, intelegensi, dan kejujuran dari mereka yang harus menjalankan hukum itu. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum adalah suatu rangkaian yang urgen atau peraturan yang menguasai tingkah laku dan perbuatan tertentu dari manusia dalam hidup bermasyarakat.”10
Menurut Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, dikatakan bahwa :
”Tujuan hukum adalah terpelihara dan terjaminnya keteraturan kepastian dan ketertiban, karena tanpaketeraturan dan ketertiban, kehidupan manusia yang wajar memang tidak mungkin. Orang tidak dapat mengadakan usaha mengembangkan bakatnya tanpa adanya kepastian dan keteraturan. Oleh karena itu pandangan yang mengatakan bahwa tujuan hukum adalah menjamin keteraturan atau kepastian dan ketertiban tidak terlaksana.”11 Menurut Van Apeldoorn mengatakan bahwa :
”Hukum dibuat pada dasarnya bertujuan agar pergaulan hidup manusia dapat berjalan secara teratur dan damai, karena pada dasarnya hukum itu menghendaki perdamaian. Perdamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu, kehormatan kemerdekaan, jiwa, harta benda dan sebagainya terhadap perbuatan yang merugikannya.”12
10 Bambang Purnomo, Azas-azas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 19. 11Mochtar Kusumaatmadja & B. Arief Sidharta, Pengantar Sosiologi Hukum, Balai Pustaka,
Bandung, 2000, hal. 50. 12Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hal. 40.
13
Menurut Sudikno, tujuan pokok hukum adalah :
”Menciptakan suatu tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan terciptanya ketertiban didalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuannya itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.”13
Selain mempunyai tujuan, hukum juga mempunyai fungsi. Dalam
melaksanakan peran pentingnya dalam masyarakat, hukum mempunyai fungsi seperti
penertiban pengaturan, penyelesaian pertikaian dan sebagainya sehingga dapat
mengiringi masyarakat yang berkembang. Secara garis besar fungsi hukum dapat
diklasifikasikan dalam tiga tahap yaitu14 :
1. Fungsi hukum sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena sifat dan watak hukum yang memberikan pedoman dan petunjuk tentang bagaimana perilaku di dalam masyarakat. Menunjuk mana yang baik dan mana yang tercela melalui norma-normanya yang mengatur perintah-perintah ataupun larangan-larangan sehingga masyarakat diberi petunjuk bertingkah laku dan masing-masing anggota masyarakat tau apa yang harus di lakukan dan yang tidak boleh dilakukan sehingga terciptanya suatu ketertiban dan keteraturan.
2. Fungsi hukum sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial. Hukum dengan sifat dan wataknya yang antara lain memiliki daya mengikat baik fisik maupun psikologis. Daya mengikat dan jika perlu memaksa ini adalah watak hukum yang bisa menangani kasus-kasus nyata dan memberi keadilan, menghukum yang bersalah, dan sebagainya.
3. Fungsi hukum sebagai sarana penggerak pembangunan atau disebut dengan social engineering. Hukum sebagai sarana pembangunan merupakan alat bagi otorita untuk membawa masyarakat kearah yang lebih maju.
13Sudikno Mertokusumo,. Mengenal Hkum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996, hal.
64. 14Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, CV. Rajawali, Jakarta, 1984, hal. 153-154.
14
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa definisi hukum adalah
seperangkat kaidah, aturan, norma dan juga nilai yang diwujudkan dalam bentuk
perintah, sanksi dan larangan guna menuntun pola perilaku manusia. Tujuan yang
ingin dicapai hukum adalah keteraturan, ketertiban, keadilan dan faedah/ manfaat
bagi msyarakat luas.
A. Perlindungan Konsumen
1. Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum perlindungan konsumen merupakan salah satu perkembangan
hukum di Indonesia. Pengaturan ketentuan mengenai perlindungan konsumen
sebagai satu konsep terpadu merupakan hal baru. Di Indonesia, keinginan
mewujudkan upaya hukum perlindungan konsumen sudah ada sejak tahun
1980-an. Tetapi, upaya tersebut baru bisa terealisasi pada tahun 1999 dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen yang selanjutnya disebut dengan UUPK. Diundangkannya Undang-
Undang Perlindungan Konsumen pada tanggal 20 April 1999 memberikan
semangat baru dalam pemberdayaan konsumen di Indonesia dan menempatkan
perlindungan konsumen kedalam tatanan sistem hukum nasional. Undang-
undang yang digolongkan baru tersebut pada dasarnya memuat ketentuan-
ketentuan yang melindungi konsumen.
15
A.Z. Nasution memberikan penjelasan bahwa:
“Hukum perlindungan merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat melindungi kepentingan konsumen. Hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau/jasa konsumen didalam pergaulan hidup.”15
Pengertian perlindungan hukum bagi konsumen adalah salah satu upaya
penegakan hukum bagi konsumen yang membutuhkan pengaturan-pengaturan
berupa ancaman bagi yang melanggar. Hal ini tercermin dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang
merupakan perundang-undangan di Indonesia dengan kepentingan pemberian
perlindungan hukum kepada konsumen.
Hukum konsumen merupakan salah satu bidang dari ilmu hukun. Ilmu
hukum di Indonesia dewasa ini masih kurang dikembangkan secara berencana
untuk suatu pembangunan, sehingga teori-teori yang dihasilkannya tidak efektif
dan tidak sampai ke titik final. Hal tersebut merupakan kesalahan yang
dilakukan oleh bidang ilmu hukum dan para pengkaji-pengkaji hukumnya,
khusus dalam bidang hukum perlindungan masyarakat kecil hal tersebut
membawa akibat masih banyaknya kasus-kasus yang terjadi terkait dengan
masalah konsumen. Masalah konsumen tersebut merupakan titik fokus dari
15 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2006, hal. 11
16
hukum konsumen yang kemudian dilakukan pembagian kepada hukum
konsumen. Adapun pembagian hukum konsumen terdiri dari:
a. Hukum Konsumen Formil, titik fokusnya akan tertuju kepada antara lain: 1) Tanggung jawab mutlak (strict liability): 2) Pembuktian terbalik (omkering van bewijslast); 3) Subyek yang bertanggung jawab; 4) Polisi-polisi khusus; 5) Tindak pidana ekonomi; 6) Badan peradilan khusus (Small Claims Court); 7) Consumer Ombudsman; 8) Gugatan kelompok (class actions, public interest litigation); 9) Badan Pendamai (arbitration); dan 10) Organisasi Konsumen (consumer organization), semacam
Yayasan Lembaga Konsumen di Indonesia. b. Hukum Konsumen Materiil, antara lain hal-hal yang berkenaan
dengan: 1) Hak konsumen 2) Pranata-pranata masyarakat yang dapat dipergunakan sebagai
yang dapat menyebabkan terhambatnya hak-hak konsumen seperti: a) Hak milik perindustrian (Industrial property right); b) Perjanjian baku (standard contract, standard
veerwaarden, agreements d’adhesion); c) Service purna jual (after sales services); d) Berbagai versi jual beli; e) Persaingan curang; f) Perantara dalam perdagangan; g) Iklan yang tidak layak (unjust advertising, false
advertising, bait advertising). 3) Tanggung jawab produksi (product safety and liability),
seperti masalah: a) Mutu barang, makanan, minuman dan obat. b) Standar mutu/ standar industri. c) Masalah harga yang pantas
4) Ukuran, takaran dan timbangan yang tepat.16
16 Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1999, hal 163.
17
Mengingat luasnya obyek material hukum perlindungan konsumen, maka
sangat sulit memberikan sistematika yang lengkap. Obyek materiil hukum
konsumen mencakup semua lapangan hukum pada umumnya. Berdasarkan
hasil inventarisasi terhadap peraturan-peraturan yang memuat materi
perlindungan konsumen, pengaturan tentang Perlindungan Konsumen tersebar
dalam delapan bidang, yaitu:
a. Obat-obatan dan bahan berbahaya; b. Makanan dan minuman; c. Alat-alat elektronika; d. Kendaraan bermotor; e. Metrology dan tera; f. Industri; g. Pengawasan mutu barang; h. Lingkungan hidup.17
2. Pengertian Perlindungan Konsumen
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen merumuskan mengenai Perlindungan Konsumen
sebagai berikut :
“Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”.
Rumusan pengertian perlindungan konsumen tersebut sudah cukup memadai. Maksudnya, kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi kepentingan perlindungan konsumen. Meskipun undang-undang ini disebut sebagai Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) namun bukan
17 Shidarta, op.cit. hal. 93
18
berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian, teristimewa karena keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha.18
Untuk mewujudkan perlindungan konsumen tersebut, supaya keinginan-
keinginan dari kedua pihak terwujud maka kedua belah pihak secara sadar
harus memiliki itikad baik untuk saling memenuhi apa yang menjadi
kewajibannya masing-masing. Hal tersebut juga belum cukup karena masih
membutuhkan peran Pemerintah yang secara konsisten harus mampu
menegakkan hukum secara benar terhadap segala bentuk pelanggaran hak-hak
konsumen maupun pelaku usaha.
Pelindungan konsumen yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah kepastian hukum terhadap
segala perolehan kebutuhan konsumen. Kepastian hukum meliputi segala upaya
berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau
menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta
mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku
pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut.
Perlindungan konsumen didasarkan atas 5 (lima) asas seperti yang terurai
dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen bahwa : “Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”.
18 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers, Jakarta,
2004, hal 1.
19
3. Tujuan Perlindungan Konsumen
Tujuan dari penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan
perlindungan hukum bagi konsumen adalah untuk meningkatkan martabat dan
kesadaran konsumen, serta secara tidak langsung mendorong pelaku usaha di
dalam menyelenggarakan kegiatan usaha dengan penuh rasa tanggung jawab.
Masalah perlindungan konsumen juga diatur dalam Resolusi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Nomor 39/248 Tahun 1985. Resolusi ini memuat kepentingan
konsumen yang harus dilindungi meliputi :
a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya;
b. Promosi dan kepentingan sosial ekonomi konsumen; c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk
memberikan kemampuan mereka dalam melakukan pilihan yang tepat sesuai dengan kehendak dan kebutuhan pribadi;
d. Pendidikan konsumen; e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif; serta f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen.19
Perlindungan konsumen didasarkan atas 5 (lima) asas seperti yang terurai
dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen bahwa : “Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”.
Untuk mewujudkan tujuan perlindungan hukum bagi konsumen, negara
bertanggungjawab atas pembinaan dan penyelenggaraan perlindungan hukum
bagi konsumen. Pembinaan dan penyelenggaraan perlindungan hukum bagi
konsumen dilakukan melalui upaya-upaya sebagai berikut :
19 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal. 4.
20
a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara
pelaku usaha dan konumen;
b. berkembangnya lembaga perlindungan hukum bagi konsumen baik
oleh negara atau swadaya masyarakat;
c. meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya
kegiatan penelitian dan pengembangan dibidang perlindungan
hukum bagi konsumen.20
4. Konsumen
Konsumen dalam pengertian sehari-hari seringkali disebut sebagai
pembeli. Pengertian konsumen secara hukum tidak hanya terbatas kepada
pembeli saja. Istilah “konsumen” sebagai suatu konsep, telah diperkenalkan
beberapa puluh tahun yang lalu di berbagai negara dan sampai saat ini sudah
puluhan negara yang memiliki Undang-Undang atau peraturan khusus yang
memberikan perlindungan kepada konsumen termasuk menyediakan sarana
peradilannya.
Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa yang dimaksud konsumen
yaitu :
20 Abdul Hakim Barkatullah, Op.cit., hal. 27.
21
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain,maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”
Menurut penjelasan pasal tersebut diatas, bahwa konsumen yang
dimaksud adalah konsumen akhir yaitu pengguna dan pemanfaat akhir dari
suatu produk. Masyarakat sebagai konsumen akhir membutuhkan barang dan
jasa yang aman untuk dikonsumsi, dengan demikian tidak menimbulkan
kerugian dan tidak membahayakan jasmani ataupun rohaninya.
Berdasarkan pengertian konsumen yang ada dalam Pasal 1 angka 2
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka
dapat dirumusan definisi konsumen, yaitu :
a. Setiap orang Subyek yang disebut sebagai konsumen berarti setipa orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Pengertian konsumen tidak hanya pada orang perseorangan namun juga mencakup badan hukum.
b. Pemakai Penjelasan Pasal 1 angka 2 UUPK, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah pemakai dalam hal ini tepat dipakai dalam ketentuan tersebut sekaligus menunjukkan barang dan/atau jasa yang dipakai tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu.
c. Barang dan/atau jasa Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini produk sudah berkonotasi barang dan/atau jasa.
d. Yang tersedia dalam masyarakat Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah tersedia di pasaran.
e. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain
22
Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian konsumen.
f. Barang dan/atau jasa itu tidak diperdagangkan Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen diberbagai Negara.21
Definisi konsumen terdapat juga dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
didalam undang-undang ini yang dimaksud dengan konsumen adalah :
“setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa baik untuk
kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain.”
Pengertian konsumen terdapat pula di berbagai negara, misalnya di
Amerika Serikat dan di Eropa. Di Amerika Serikat, pengertian konsumen
meliputi “korban produk yang cacat” yang bukan hanya meliputi pembeli,
tetapi juga korban yang bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan korban yang
bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan pemakai.22
5. Pelaku Usaha
Kajian mengenai konsumen tidak dapat dipisahkan dari kajian mengenai
pelaku usaha. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa :
21 Shidarta, Op.cit., hal 5-9 22 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit., hal. 7.
23
“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. Penjelasan “Pelaku Usaha” yang temasuk dalam pengertian ini adalah
perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan
lain-lain.23 Pengertian mengenai pelaku usaha dalam ketentuan pasal tersebut
cakupannya sangat luas karena tidak dibatasi hanya untuk pabrikan saja,
melainkan juga para distributor (dan jaringannya), serta termasuk para importir.
Cakupan luasnya pengertian mengenai pelaku usaha yang terdapat dalam
ketentuan Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen tersebut memiliki persamaan dengan pengertian
pelaku usaha dalam masyarakat eropa terutama Belanda, bahwa yang dapat
dikualifikasikan sebagai produsen adalah:
a. Pembuat produk jadi (finished product). b. Penghasil bahan baku. c. Pembuat suku cadang. d. Setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen dengan
jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli dengan produk tertentu
e. Importir suatu produk dengan maksud untuk diperjualbelikan, disewakan, disewagunakan, atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan, pemasok (supplier) dalam hal identitas dari produsen atau importir tidak dapat ditentukan.24
23 Abdul Hakim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, Nusa Media, Bandung, 2010 hal. 37. 24 Suyadi, Diktat Kuliah Hukum Perlindungan Konsumen, Fakutas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto, 2007, hal. 2.
24
Berdasarkan Pasal tersebut maka dapat diketahui bahwa, cakupan
kategori pelaku usaha cukup luas. Pelaku usaha dalam konteks tersebut dapat
disederhanakan menjadi produsen/ seorang pembuat, dan juga distributor/ orang
yang mendistribuskan barang. Hal ini tentunya sesuai dengan penjelasan Pasal
1 angka (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
Pelaku usaha berdasarkan penjelasan ketentuan Pasal 1 angka (3)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dapat
dijabarkan sebagai berikut:
a. Pelaku usaha sebagai pencipta atau pembuat barang yang menjadi
sumber terwujudnya barang yang aman dan tidak merugikan
konsumen.
b. Pedagang sebagai pihak yang menyampaikan barang kepada
konsumen.
c. Pengusaha jasa.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat diketahui bahwa, pelaku
usaha bukanlah dikonsepsikan sebagai pembuat barang, dan pendistribusian
barang, tetapi juga menyangkut jasa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak
25
hanya mengatur aspek barang tetapi jasa seperti perlindungan konsumen listrik,
jasa konsultan dan praktik jasa lainnya.
Di Amerika Serikat, faktor-faktor yang membebaskan produsen dari
tanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen meliputi :
a. Kelalaian si konsumen penderita;
b. Penyalahgunaan produk yang tidak terduga pada saat produk dibuat
(unforseeable misuse);
c. Lewatnya jangka waktu penuntutan (daluarsa), yaitu 6 (enam) tahun
setelah pembelian, atau 10 (sepuluh) tahun sejak barang diproduksi;
d. Produk pesanan pemerintah pusat (federal);
e. Kerugian yang timbul (sebagian) akibat kelalaian yang dilakukan
produsen lain dalam kerja sama produksi(di beberapa negara
bagian yang mengakui joint and several liability).25
6. Hak dan Kewajiban
a. Hak dan Kewajiban Konsumen
Konsumen sebagai pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat memiliki hak-hak yang dilindungi oleh Undang-
Undang. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
25 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
hal. 42-43
26
Konsumen merumuskan sejumlah hak penting konsumen. Hak tersebut
diatur dalam ketentuan Pasal 4, hak-hak tersebut adalah :
1) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2) hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
3) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan;
5) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif;
8) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9) hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan
lainnya.
27
Kewajiban konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-
Undang tentang Perlindungan Konsumen, antara lain :
1) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi
keamanan dan keselamatan;
2) beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa;
3) membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Selain hak dan kewajiban konsumen, dalam Undang-Undang juga
diatur mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha. Hak-hak dan kewajiban
pelaku usaha diatur dalam Bab III tentang Hak dan Kewajiban
sebagaimana dalam Pasal 6 dan 7. Hak-hak pelaku usaha adalah sebagai
berikut :
1) hak menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
28
2) hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beritikad tidak baik;
3) hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4) hak untuk rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara
hukum bahwa kerugian konsumen diakibatkan oleh barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5) hak-hak yang diatur dalam peraturan perundangan lainnya.
Hak-hak produsen/pelaku usaha dapat ditemukan antara lain pada faktor-
faktor yang membebaskan produsen dari tanggungjawab atas kerugian yang
diderita oleh konsumen, meskipun kerusakan timbul akibat cacat produk, yaitu
apabila :
a. Produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan;
b. Cacat timbul dikemudian hari;
c. Cacat timbul setelah produk berada di luar kontrol produsen;
d. Barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan
produksi;
e. Cacat timbul akibat tidak ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh
penguasa.
29
Mengenai kewajiban pelaku usaha sebagaimana termuat dalam
Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen memberikan tujuh kewajiban pelaku usaha, yakni :
1) beritikad baik dalam melaksanakan kegiatan usahanya;
2) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3) memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif;
4) menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi
dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu
barang dan/atau jasa yang berlaku;
5) memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji
dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta
memberikan jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau diperdagangkan;
6) memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
30
7) memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian
apabila barang dan/jasa yang diterima atau dimanfaatkan
konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen mewajibkan pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan
kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik
dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
“Kewajiban pelaku usaha yang kedua yaitu memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, disebabkan karena informasi disamping merupakan hak konsumen, juga karena ketiadaan informasi yang memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi), yang merugikan konsumen.”26 Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen
mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran
mengenai suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap
konsumen tersebut dapat berupa representasi, peringatan, maupun yang
berupa instruksi.
Bentuk informasi tentang barang dan/atau jasa yang diperlukan
konsumen, tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah
informasi yang bersumber dari pelaku usaha.
26 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit. hal. 44.
31
7. Para Pihak Dalam Perlindungan Konsumen
Konsep perlindungan konsumen pada hakikatnya memberikan
perlindungan terhadap konsumen, akan tetapi perlindungan konsumen bukanlah
masalah konsumen sendiri. Setiap usaha atau upaya yang bertujuan untuk
menjamin adanya kepastian hukum dalam pelaksanaannya selalu melibatkan
berbagai pihak. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menjamin adanya kepastian hukum bagi konsumen, oleh karena itu
tidak hanya melibatkan satu pihak saja. Mewujudkan perlindungan konsumen
adalah mewujudkan hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain
mempunyai saling keterkaitan dan saling ketergantungan antara konsumen,
pelaku usaha dan pemerintah.
Keterlibatan beberapa pihak yang saling terkait di dalam praktik
perlindungan konsumen, antara lain sebagai berikut:
a. Konsumen
Semua manusia pada kodratnya adalah konsumen. Konsumen
merupakan pihak dalam perlindungan konsumen yang memiliki kekuatan,
nilai tawar maupun kedudukan yang baik secara pendidikan maupun
secara ekonomi cenderung lemah. Untuk itu, perlu jaminan untuk
memperoleh perlindungan secara hukum. Konsumen diartikan sebagai
konsumen akhir, yaitu orang yang menggunakan barang dan jasa yang
tersedia didalam masyarakat baik untuk kepentingan diri sendiri,
32
keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.
b. Pelaku usaha
Pelaku usaha adalah pihak yang menginformasikan masuknya
bahan baku, bahan penolong dan lain-lain melalui proses yang
menggunakan teknologi tertentu menjadi keluaran berupa barang jadi
untuk memenuhi atau memuaskan kebutuhan masyarakat konsumen.
c. Pemerintah
Pemerintah adalah pihak yang mempunyai wewenang untuk
membuat peraturan atau kebijaksanaan, melaksanakan dan menjalankan
pelaksanaan peraturan yang dibuatnya agar ditaati oleh para pihak yang
ada dalam daerah pemerintahannya yaitu seluruh penduduk Indonesia.
Pemerintah disini bertugas untuk mengawasi jalannya peraturan serta
Undang-Undang tersebut dengan baik.
Upaya pemerintah untuk melindungi konsumen dari produk yang
merugikan dapat dilaksanakan dengan cara mengatur, mengawasi serta
mengendalikan produksi distribusi, dan peredaran produk sehingga konsumen
tidak dirugikan, baik kesehatannya maupun keuangannya.
33
8. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
juga merumuskan serangkaian norma larangan sebagai bagian kaidah hukum.
Dengan adanya larangan dimaksudkan untuk memastikan bahwa produk yang
diperjualbelikan di masyarakat tidak dilakukan dengan cara melanggar hukum,
sehingga ketertiban sebagai salah satu bentuk perlindungan terhadap konsumen
dapat terwujud. Larangan ini dapat dijadikan sebagai sarana pendidikan bagi
pelaku usaha sehingga dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dan sifat jujur
pelaku usaha, dengan harapan akan tercipta suatu suasana iklim usaha yang
menjamin adanya persaingan yang sehat.
Ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen merupakan satu-satunya ketentuan umum yang
berlaku secara general bagi kegiatan usaha dari para pelaku usaha di negara
Republik Indonesia. Pelaku usaha dilarang untuk melaksanakan kegiatan
produksi dan/atau perdagangan barang dan/atau jasa yang merugikan
konsumen. Undang-Undang menentukan berbagai larangan bagi pelaku usaha
sebagai upaya untuk menghindarkan akibat negatif pemakaian barang dan/atau
jasa yang akan digunakan konsumen.
34
B. Pengawasan
1. Pengertian Pengawasan
Peran Pemerintah dalam perlindungan konsumen dapat berupa pembinaan
dan pengawasan yang juga terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen Pasal 29 dan Pasal 30. Dengan adanya tanggung jawab Pemerintah
atas pembinaan yang terdapat dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, penyelenggaraan perlindungan
konsumen tidak lain dimaksudkan untuk memberdayakan konsumen
memperoleh haknya. Ada kekhawatiran, pelaku usaha dengan prinsip
ekonominya, menjadikan konsumen menderita kerugian karenanya.
Pemberdayaan konsumen tersebut, sesuai asas keadilan dan keseimbangan,
tidak boleh merugikan kepentingan pelaku usaha. Hal ini dinyatakan juga
dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen bahwa, piranti hukum yang melindungi konsumen
tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi sebaliknya
melalui perlindungan konsumen tersebut dapat mendorong iklim berusaha yang
sehat, dan lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan
melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.27
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 29 Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen mengenai pembinaan, dalam penjelasan
27 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit, hal 181.
35
Umum Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
menentukan, faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat
kesadaran akan haknya masih rendah, yang terutama disebabkan oleh
pendidikan yang masih rendah. Oleh karena itu, Undang-undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan
hukum yang kuat bagi pemerintah dan Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat (LPKSM) untuk melakukan pemberdayaan konsumen
melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Upaya pemberdayaan penting,
karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha yang berupaya
mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal
mungkin sesuai prinsip ekonomi. Prinsip ini sangat potensial merugikan
kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Mengenai pengawasan yang terdapat dalam Pasal 30 Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan kekuasaan
kepada lembaga-lembaga pemerintah untuk melakukan pengawasan
penyelenggaraan perlindungan konsumen demi terjaminnya hak dan kewajiban
konsumen maupun pelaku usaha. Dan pengawasan terhadap pelaku usaha
mengandung makna pemastian atas terpenuhinya atau terselenggaranya hak dan
kewajiban para pihak. Oleh karena itu, pengawasan merupakan unsur yang
penting dalam hal terlaksananya perlindungan konsumen.
36
Pengawasan itu sendiri dapat diartikan, yaitu berasal dari kata awas,
sehingga pengawasan merupakan kegiatan mengawasi saja, dalam arti melihat
sesuatu dengan seksama yang kemudian dilaporkan.28
Menurut Ibrahim Lubis menyatakan bahwa pengawasan adalah :
“Kegiatan yang mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan terlaksana
sesuai dengan rencana yang ditetapkan dan atau hasil yang
dikehendaki“.29
Jadi, dapat disimpulkan pengertian pengawasan adalah:
“Setiap kegiatan yang hasilnya harus dilaporkan agar kegiatan tersebut
sesuai dengan rencana dan tidak menyimpang dari yang dikehendaki.”
Pengawasan ini sendiri merupakan bagian dari suatu fungsi manajemen
atau “ Managerial functions “ yang telah berubah-ubah sepanjang masa. Fungsi
manajeman itu menurut George F. Terry meliputi:
a. perencanaan (Planning)
b. mengorganisir (Organizing)
c. menggerakkan (Actuating)
d. mengawasi (Controlling).30
28 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hal. 7. 29 Ibrahim Lubis, Op.cit., hal. 154. 30 Bennett N. B. Silalahi, Manajemen Integratif (bacaan untuk manajer utama), Sekolah Tinggi
Ilmu Manajemen LPMI, Jakarta, 1995, hal. 29.
37
2. Macam-Macam Pengawasan
Di suatu Negara yang sedang berkembang, pengawasan merupakan hal
yang sangat penting agar maksud dan tujuan yang telah ditetapkan dapat
tercapai. Untuk mencapai tujuan Negara atau organisasi, maka dalam hal
pengawasan diklasifikasikan macam-macam pengawasan berdasarkan berbagai
hal, yaitu:
a. Pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung 1) Pengawasan langsung
Pengawasan langsung adalah pengawasan yang dilakukan secara pribadi oleh pimpinan atau pengawas dengan mengamati, meneliti, memeriksa, mengecek sendiri secara “on the spot” di tempat pekerjaan, dan menerima laporan-laporan secara langsung pula dari pelaksana. Hal ini dilakukan dengan inspeksi.
2) Pengawasan tidak langsung Pengawasan tidak langsung diadakan dengan mempelajari laporan-laporan yang diterima dari pelaksana baik lisan maupun tertulis, mempelajari pendapat-pendapat masyarakat dan sebagainya tanpa pengawasan “on the spot”
b. Pengawasan preventif dan pengawasan represif Walaupun prinsip pengawasan adalah preventif, namun bila dihubungkan dengan waktu pelaksanaan pekerjaan, dapat dibedakan antara pengawasan preventif dan pengawasan represif. 1) Pengawasan preventif
Pengawasan preventif dilakukan melalui preaudit sebelum pekerjaan dimulai. Misalnya dengan mengadakan pengawasan terhadap persiapan-persiapan rencana kerja, rencana anggaran, rencana penggunaan tenaga dan sumber-sumber lain.
2) Pengawasan represif Adapun pengawasan represif dilakukan melalui post audit, dengan pemeriksaan terhadap pelaksanaan di tempat (inspeksi), meminta laporan pelaksanaan dan sebagainya.
c. Pengawasan intern dan pengawasan ekstern 1) Pengawasan intern
38
Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam organisasi itu sendiri.
2) Pengawasan ekstern Pengawasan ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dari luar organisasi sendiri. 31
3. Pengawasan Dinas Perindustrian Dan Perdagangan
Sebagai ketentuan dasar dalam melaksanakan pembinaan dan
pengawasan terhadap produsen garam tersebut dapat berpedoman pada
peraturan pelaksana yang ada seperti Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, dan sebagai tindak lanjut
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1994 tentang
Pengadaan Garam Beryodium maka telah diterbitkan Surat Keputusan Menteri
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Nomor 77/M/SK/5/1995 tentang
Persyaratan Teknis Pengolahan, Pengemasan dan Pelabelan Garam Beryodium.
Di samping itu industri garam konsumsi beryodium wajib memiliki Sertifikat
Standart Nasional Indonesia (SNI ).
"Keeratan hubungan antara pembinaan dan pengawasan terutama disebabkan karena kegiatan pengawasan dan standart ini untuk bagian yang sangat besar ditentukan oleh suatu pembinaan. Standart adalah ukuran yang ditetapkan atas dasar mana akibat yang benar-benar terjadi dapat dinilai. Standart tersebut menunjukkan pernyataan atau tujuan dari perusahaan atau bagian daripada tujuan dengan dasar mana tugas-tugas yang dilaksanakan dapat diukur. Standart-standart dapat bersifat fisis, dalam arti bahwa satandart-standart itu menunjukkan kuantitas-kuantitas daripada macam-macam produksi, kesatuan-kesatuan jasa, jam-jam kerja
31 Victor M, Situmorang dan Yusuf Juhir, Aspek Hukum Pengawasan Melekat Dalam
Lingkungan Aparatur Pemerintah, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal. 21.
39
buruh, kecepatan, volume pembatalan dan banyak dasar ukuran lain yang bersifat fisis.”32
“Banyaknya pembagian bidang-bidang hukum Perlindungan Konsumen serta beragamnya jenis peraturan yang melingkupinya menuntut adanya konsistensi, baik dalam substansi maupun penerapannya di lapangan. Adapun peraturan-peraturan lain, baik yang setingkat dengan undang-undang maupun yang dibawahnya merupakan pengaturan yang bersifat lebih sektoral. UUPK merupakan peraturan yang dapat disebut sebagai umbrella act. Didalam penjelasan umum UUPK menyebutkan sejumlah undang-undang yang dapat dikategorikan sebagai peraturan hukum sektoral, undang-undang tersebut telah ada mendahului UUPK.”33
Salah satu Undang-Undang yang ada sebelum munculnya UUPK adalah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Terkait dengan masalah
pengawasan, pengawasan pemerintah disektor Pangan didasarkan pada Pasal 53
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, yang merumuskan
sebagai berikut :
1) Untuk mengawasi pemenuhan ketentuan undang-undang ini,
pemerintah berwenang melakukan pemeriksaan dalam hal terdapat
dugaan terjadinya pelanggaran hukum di bidang pangan.
2) Dalam melaksanakan fungsi pemeriksaan, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pemerintah berwenang:
a. Memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam
kegiatan atau proses produksi penyimpanan, pengangkutan,
dan perdagangan pangan untuk memeriksa, meneliti, dan
32 Ibrahim Lubis, Op.cit., hal. 156. 33 Shidarta, Op.cit., hal. 95.
40
mengambil contoh pangan dan segala sesuatu yang diduga
digunakan dalam kegiatan produksi, penyimpanan,
pengangkutan, dan atau perdagangan pangan;
b. Menghentikan, memeriksa, dan mencegah setiap sarana
angkutan yang diduga atau patut diduga yang digunakan
dalam pengangkutan pangan serta mengambil dan memeriksa
contoh pangan;
c. Membuka dan meneliti kemasan pangan;
d. Memeriksa setiap buku, dokumen, atau catatan lain yang
diduga memuat keterangan mengenai kegiatan produksi,
penyimpanan, pengangkutan, dan atau perdagangan pangan,
termasuk menggandakan atau mengutip keterangan tersebut;
e. Memerintahkan untuk memperlihatkan izin usaha dokumen
lain sejenis.
3) Pejabat pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dilengkapi dengan surat perintah.
4) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan, sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), patut diduga merupakan tindak pidana di bidang
pangan, segera dilakukan tindakan penyidikan oleh penyidik
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
41
5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) ditetapakn lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pengawasan merupakan bagian penting dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan untuk meminimalisir penyimpangan yang dilakukan pemerintah,
maka dalam menyelenggarakan pemerintahan diperlukan adanya pengawasan.
Pengawasan Dinas Perindustrian dan Perdagangan terhadap standar mutu
suatu produk merupakan salah satu upaya pemerintah dalam menjamin
kepastian hukum bagi konsumen, sehingga dapat mencegah penyimpangan-
penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Pelaku usaha sebagai
produsen senantiasa harus diawasi supaya mereka bertindak sesuai dengan
aturan yang berlaku, sehingga pelaku usaha benar-benar memenuhi
kewajibannya.
Pengawasan diperlukan, mengingat bahwa kecenderungan untuk
melakukan kewajiban dipandang ada pada setiap orang, tidak terkecuali
pemerintah khususnya dalam hal ini adalah Dinas Perindustrian dan
Perdagangan selaku instansi yang berwenang untuk melakukan tugas
pembinaan dan pengawasan. Oleh karena itu, tindakan untuk menghilangkan
atau mempersempit kemungkinan adanya pelanggaran terhadap ketentuan-
ketentuan yang berlaku. Dengan pengawasan diharapkan pemenuhan hak-hak
konsumen dapat terjamin dan sebaliknya pemenuhan kewajiban-kewajiban
pelaku usaha dapat dipastikan.
42
C. Produk Garam Rakyat
1. Pengertian Garam
Garam merupakan satu komposisi kimia yang sering digunakan sebagai
konsumsi setiap orang didalam makanan dan berfungsi sebagai penyedap
makanan, namun akhir-akhir ini garam juga digunakan sebagai bahan dagangan,
dalam industri perobatan, pertanian maupun dalam bidang pembuatan makanan.
Garam itu sendiri memiliki peranan dan pengaruh yang sangat besar bagi
pertumbuhan manusia.
Pengertian garam adalah :
“benda yang larut di air, putih warnanya dan asin rasanya yang diperoleh
dari endapan air laut.”34
Di dalam ilmu kimia, garam adalah :
“senyawa ionik yang terdiri dari ion positif (kation) dan ion negatif
(anion), sehingga membentuk senyawa netral (tanpa bermuatan). Garam
terbentuk dari hasil reaksi asam, basa dan natrium klorida (NaCl).”35
2. Produk Garam Rakyat
Garam rakyat merupakan garam yang diproduksi oleh petani garam yang
berada di sekitar daerah pantai dan dikonsumsi oleh setiap orang. Proses
produksi garam yang dilakukan rakyat tidak mengalami perubahan, yaitu
34 Depdiknas, op.cit, hal. 255. 35 http://id.wikipedia.org/wiki/Garam_%28kimia%29, Manfaat Garam, di akses 12 Januari
2011
43
prosesnya dimulai dengan meratakan petak petak tambak dengan alat bantu
silender baja yang ditarik tenaga manusia, setelah itu lalu diberi air. Dengan
bantuan sinar matahari, air laut ini mengkristal dan menjadi butiran-butiran
garam. Butiran-butiran garam itulah yang dikonsumsi oleh masyarakat.
Mengenai izin pembuatan garam rakyat, terdapat dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Darurat Nomor 25 Tahun 1957 Tentang Penghapusan
Monopoli Garam dan Pembikinan Garam Rakyat, yaitu:
“Pembikinan garam rakyat hanya dapat dilakukan setelah yang berkepentingan mendapat surat izin dari Kepala Daerah Propinsi/atau pejabat yang dikuasakan olehnya yang juga dapat menetapkan syarat-syaratnya mengenai luas tanah penggaraman, cara pembikinan garam, kesehatan dan syarat-syarat lain berdasarkan kepentingan umum.”
3. Kajian Mengenai Garam Beryodium
a. Pengertian dan Sumber Ketersediaan Yodium
Yodium merupakan unsur pokok dalam pembentukan hormon
tiroksin. Selain itu yodium juga merupakan unsur penting bagi kehidupan
manusia, karena sangat diperlukan dalam pertumbuhan, perkembangan
fungsi otak. Tubuh memerlukan yodium secara teratur setiap harinya,
maka yodium menjadi bagian dari makanan setiap hari.36
Yodium merupakan sejenis mineral yang terdapat di alam, baik di
tanah maupun di air, merupakan zat gizi mikro yang diperlukan untuk
pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup. Yodium merupakan
36 Darwin Karyadi dan Muhilal, Kecukupan Gizi yang Dianjurkan,PT. Gramedia, Jakarta, 1985,
hal. 26.
44
mineral yang diperlukan oleh tubuh dalam jumlah yang relatif kecil,
sekitar 25 mg. Tetapi yodium mempunyai peranan yang sangat penting
untuk pembentukan hormon tiroksin. Yodium merupakan komponen
struktural dari hormon tiroksin yang dihasi lkan oleh kelenjar
gondok ti roid yaitu, tr i iodotironin (T3) dan tetraiodotironin
(T4).37
Fungsi yodium dalam tubuh sebagai komponen yang penting
dalam pembentukan tiroksin pada kelenjar gondok, serta pengendali
transduksi energi seluler.38 Peran tiroksin untuk meningkatkan laju
oksidasi dalam sel-sel tubuh sehingga dapat meningkatkan kadar BMR
(Bassal Metabolisme Rate).39 Sebagaian besar tiroksin diserap melalui
usus kecil, tetapi diantaranya langsung masuk ke dalam sel darah melalui
dinding lambung. Penyerapan yodium berlangsung cepat yaitu dalam
waktu sekitar 3-6 menit setelah makanan dicerna dalam mulut.40
“Laut merupakan sumber utama yodium, oleh karena itu makanan laut yang berupa ikan, udang dan kerang serta ganggang laut merupakan sumber yodium yang baik. Daerah yang dekat dengan pantai mengandung yodium cukup banyak, berbeda dengan daerah yang jauh dari pantai terutama daerah berkapur dan daerah yang mengalami erosi yang mempunyai sedikit atau tidak mengandung yodium. Daerah yang jauh dari pantai mempunyai kandungan yodium yang sedikit, sehingga tanaman yang tumbuh mempunyai sedikit atau tidak sama sekali mengandung yodium.
37 Achmad Djaeni Soediaoetama, Ilmu Gizi Untuk mahasiswa dan Profesi Jilid 2, Dian Rakyat,
Jakarta, 1999, hal. 56. 38 Kartasapoetra dkk, Ilmu Gizi, Rinieka Cipta, Jakarta, 2002, hal. 97. 39 Achmad Djaeni Soediaoetama, Op cit., hal. 56 40 Ibid., hal. 59
45
Salah satu cara penanggulangan kekurangan yodium di Indonesia adalah dengan cara fortifikasi melalui garam dapur dengan yodium.”41
b. Kebutuhan Yodium
Kebutuhan yodium per hari menurut Olson et, al, dalam buku
Darwin Karyadi dan Muhilal (1985: 27) sekitar 1-2µ g/kg berat badan.
Perkiraan kecukupan yang dianjurkan sekitar 40-120µ g/hari untuk anak
umur 10 tahun, dan 150µ g/hari untuk orang dewasa. Dan untuk wanita
hamil dan menyusui dianjurkan tambahan masing-masing 25µ g dan 50µ
g/hari.42
Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi belum mencamtumkan
konsumsi yodium yang disarankan, tetapi di negara maju konsumsi
yodium yang dianjurkan untuk orang dewasa (19-22 tahun) adalah 120µ
g/hari, orang tua (23-50 tahun) sebanyak 130µ g/hari, dan untuk usia
lebih dari 19-50 tahun sebanyak 110µ g/hari dan untuk usia lebih dari 51
tahun adalah 80µ g/hari.43
Sebagai salah satu dasar dari hormon tiroid, yodium merupakan bahan yang mutlak dibutuhkan untuk gizi manusia. Kebutuhan gizi manusia berbedabeda, tergantung dari berat tubuh, tinggi badan, umur, jenis kelamin, dan penyakit. Anjuran untuk pengkonsumsian garam beryodium menurut Food and Nutrition Board, National Academy of
41 Sunita Almatsier, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hal.
264 42 Darwin Karyadi dan Muhilal, Op cit., hal. 27 43 F.G. Winarno, Winarno, Kimia Pangan dan Gizi, PT. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta,
2004, hal. 166.
46
Sciences, National Regional Council pada tahun 1974, yang dikutip oleh Solihin Pudjiaji adalah sebagai berikut:44
Sumber : Food and Nutrition Board, National Academy of Science, National Regional Council tahun1974.
Kebutuhan yodium sehari-hari sekitar 1-2µ g/kg berat badan. Widya
Karya Pangan dan Gizi 1998, yang dikutip oleh Sunita Almatsier,
menganjurkan AKG un tuk yodium sebagai berikut:45
Sumber : Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 1999.
44 Solihin Pudjiaji, Ilmu Gizi Klinis Pada Anak Edisi 4, Rinieka Cipta, Jakarta, 2001, hal. 202 45 Sunita Almatsier, Op cit., hal. 264
47
c. Pengertian Garam Beryodium dan Akibat Kekurangan
Yodium
Garam beryodium adalah suatu inovasi yang ditawarkan kepada
konsumen atau setiap keluarga untuk mencegah kekurangan yodium
sebagai upaya jangka panjang. Sedang pemberian kapsul minyak
beryodium sebagai upaya jangka pengek, dan hanya ditujukan pada
seluruh wanita usia subur (15-49 tahun) yang tinggal didaerah GAKY
berat dan sedang.
Saat ini garam yang beredar di pasaran, sudah ada yang mencantumkan kandungan yodium pada kemasan bungkus garam. Tetapi masih ada juga produsen yang tidak mencantumkan kandungan yodium pada kemasan bungkus garam. Penggunaan garam dapur tanpa yodium dapat menyebabkan pembesaran kelenjar gondok, gangguan fungsi mental serta gangguan perkembangan fisik.46 Klasifikasi dari pembesaran kelenjar tiroid yaitu:
1) Grade 0: normal 2) Grade IA: kelenjar gondok tidak terlihat, baik datar maupun
tengadah dan palpasi terasa lebih besar dari ruas terakhir ibu jari terakhir ibu jari penderita.
3) Grade IB: kelenjar gondok dengan tengadah tidak terlihat, dengan tengadah maksimal terlihat dan dengan palpasi teraba lebih besar dari grade IA.
4) Grade II: kelenjar gondok dengan inspeksi terlihat dalam posisi datar dan dengan palpasi terasa lebih besar dari grade IB.
5) Grade III: kelenjar gondok cukup besar dan terlihat dalam jarak 6 meter atau lebih.47
Tubuh yang kekurangan yodium akan mengalami gangguan fisik
maupun mental, mulai dari yang ringan sampai yang berat. Gangguuan
46 Solihin Pudjiaji, Op cit., hal. 198 47 Loc cit
48
akibat kekurangan yodium meliputi gangguan pertumbuhan fisik, antara
lain pembesaran kelenjar gondok, badan kerdil, gangguan motorik
seperti kesulitan untuk berdiri atau cacat. Kekurangan yodium juga
mengakibatkan keterbelakangan mental termasuk berkurangnya tingkat
kecerdasan. Selain itu, kekurangan yodium dapat menjadi penyebab
terjadinya gangguan reproduksi, keguguran dan bayi lahir mati.48
Yodium pada hakekatnnya diperlukan oleh semua orang, terutama pada masa pertumbuhan janin, bayi dan masa remaja. Kekurangan yodium yang serius bagi ibu yang sedang hamil dapat mengakibatkan bayi lahir mati atau bayi lahir dalam keadaan cacat fisik atau cacat mental. Selain itu juga berisiko terhadap seringnya mengalami keguguran. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan yodium akan tumbuh menjadi anak yang bodoh dan pertumbuhan fisiknya terganggu. Bila bayi tersebut tidak segera diberi yodium cukup, kondisi fisik dan mental akan bertambah buruk. Dampak lain dari kekurangan yodium adalah akan kehilangan sejumlah IQ point. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa penduduk yang hidup di daerah rawan yodium memiliki IQ sebesar 13,5 point lebih rendah dibandingkan dengan penduduk yang tinggal di daerah cukup yodium.49
Secara garis besar akibat yang ditimbulkan karena kekurangan
garam beryodium dapat dilihat sebagai berikut :50
KELOMPOK RENTAN
DAMPAK
1. Ibu hamil • Keguguran 2.Janin • Lahir mati • Cacat bawaan • Meningkatnya kematian perinatal
48 BPS, Garam Yodium Rumah Tangga Propinsi Jawa Tengah 1999, BPS, Jawa Tengah,
1999,hal. 2. 49 Ibid., hal. 2-3 50 Departemen Kesehatan RI, Rencana Aksi Nasional Kesinambungan Program
Penanggulangan Gangguan Akibat Kurang Yodium. Departeman Kesehatan, Jakarta, 2005, hal. 7.
49
Meningkatkan kematian bayi • Kretin neurologi (keterbelakangan
mental, lumpuh spatis) • Kretin myxodematosa • Cebol • Kelainan fungsi psikomotor 3. Neonatus • Gondok neonates • Hipotirodi neonates 4. Anak dan remaja • Gondok • Gangguan pertubuhan fungsi fisik
dan mental • Hipotirioidi juvenile
5. Dewasa • Gondok dengan komplikasinya • Hipotiroidi • Gangguan fungsi mental • Iodine induced hyper tyroid Sumber :Departemen Kesehatan RI, Rencana Aksi Nasional
Kesinambungan Program Penanggulangan Gangguan Akibat Kurang Yodium tahun 2005.
d. Penggaraman di Indonesia dan Industri Garam Beryodium
Teknologi penggaraman di Indonesia pada umumnya masih
dilakukan secara sederhana/tradisional, dengan sistem kristalisasi total
yang menghasilkan kualitas garam rendah (dengan kadar NaCl 75-80% dari
produktivitas 3 5-45 ton Ha/musim/ 5 bulan). Hal ini disebabkan beberapa
faktor diantaranya adalah kolam penampung (reservoir) penguapan dan
kolam kristalisasi yang belum memadai, tidak adanya kolam untuk air tua
di kolam kristalisasi, dikembalikannya air buangan dari kolam
sebelumnya dan belum adanya kontrol kualitas, pemanfaatan sistem air,
serta pengetahuan akan sistem, aliran dan pintu air yang kurang.
50
Potensi lahan penggaraman tersebar diseluruh Indonesia
yang terkonsentrasi di 6 propinsi, yaitu di Nangroe Aceh Darussalam, Jawa
Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat
dan di Nusa Tenggara Timur. Uji coba pembangunan deplot penggaraman
dengan sistem kristalisasi bertingkat berada di 7 lokasi, yaitu Cirebon, Pati,
Rembang, Sampang, Pamekasan, Bima dan Janeponto.51
Garam yang beredar di pasaran merupakan salah satu produk yang
harus menerapkan SNI (Standar Nasional Indonesia) yang sesuai dengan
Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 1991 mengenai Standar Nasional
Indonesia dan SK Menteri Perindustrian No. 29/M/SK/2/1995 tentang
pengesahan SNI dan Penggunaan tanda SNI secara wajib terhadap 10
macam produk industri. Menurut SNI 01-3556.2-1994/Rev/2000 syarat
mutu garam beryodium yaitu dimana kandungan KIO3 minimal 30
ppm.52
Pada umumnya perusahan yang belum menerapkan SNI adalah
industri kecil yang berada di sentra produksi yang perlu pembinaan
mengenai sistem manajemen mutu, pelatihan teknik produksi, dan bantuan
peralatan mesin yodisasi garam.53
51Loc cit. 52 Ibid., hal. 8 53 Loc cit
51
e. Distribusi Garam Beryodium
Masalah garam beryodium dapat dilihat dari dua aspek, yaitu
masalah supply dan demand. Jika pada supply tidak terdapat masalah,
maka masalah GAKY tidak akan muncul, dan sebaliknya jika tidak ada
masalah pada demand maka masalah GAKY dapat terselesaikan, oleh
karena itu pembenahan akan supply perlu dilakukan untuk menjamin
ketersediaan garam beryodium yang berkualitas di pelosok tanah air dan
menumbuhkan demand atau kebutuhan masyarakat untuk mengkonsumsi
garam beryodium.
Distribusi garam beryodium dari perusahaan ke masyarakat,
tergantung dari kemampuan produksi dan pemasaran dalam pasar bebas.
Perusahaan yang besar mampu melakukan distribusi antar pulau dan antar
propinsi, sedang perusahaan menengah dan kecil hanya mampu
memasarkan produksinya dalam satu wilayah saja, baik dalam wilayah
propinsi, kabupaten/ kota.
Pasar yang berada di daerah terpencil pada umumnya sulit terjangkau
oleh distributor garam beryodium, dan yang ada berasal dari distributor
informal yang memasarkan garam krosok non-yodium.54
54 Ibid., hal. 9
52
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode pendekatan
Yuridis Normatif. Ronny Hanintijo Soemitro menjelaskan metode pendekatan
Yuridis Normatif yaitu sebagai berikut :
“Pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positivis yang menyatakan bahwa hukum identik dengan norma tertulis yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, selain itu konsepsi ini melihat hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat otonom terlepas dari kehidupan masyarakat.”55 Penggunaan metode yuridis normatif dimaksudkan guna menelaah dan
mengkaji lebih dalam mengenai pengawasan yang dilakukan oleh Dinas
Perindustrian dan Perdagangan terhadap produksi garam rakyat di Kabupaten
Cirebon berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
B. Spesifikasi Penelitian
Dalam usaha memperoleh data yang diperlukan untuk menyusun penulisan
hukum, maka akan dipergunakan spesifikasi penelitian deskriptif yaitu suatu
penelitian yang menggambarkan keadaan obyek yang akan diteliti.56 Bambang
55 Ronny Hanintijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1988, hal 13-14. 56 Ronny Hanintjito Sumitro, 1988. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta. Ghalia Indonesia,
hal. 16.
52
53
Sunggono menjelaskan lebih lanjut bahwa, penelitian deskriptif bersifat deduktif
berdasarkan teori atau konsep umum yang diaplikasikan untuk menjelaskan
seperangkat data, dan menunjukan komparasi atau hubungan seperangkat data dengan
seperangkat data lainnya.57
Dalam hal ini peneliti menggambarkan dan menganalisa pengawasan yang
dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan terhadap produksi garam rakyat
di Kabupaten Cirebon berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada lembaga atau instansi yang terkait, yaitu Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon, Pusat Informasi Ilmiah
Universitas Jenderal Soedirman dan Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
D. Sumber Data
1. Data Sekunder
Di dalam penelitian ini data sekunder yang dipakai dapat dibedakan
menjadi :
a. Bahan Hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif artinya memiliki suatu otoritas, mutlak dan mengikat.
57 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010,
hal. 43
54
Bahan hukum primer terdiri dari peraturan dasar, peraturan
perundang-undangan, catatan resmi, lembar negara penjelasan,
risalah, putusan hakim dan yurisprudensi.58
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil karya dari
kalangan hukum dalam bentuk buku-buku atau artikel. Bahan
hukum sekunder digunakan dengan pertimbangan bahwa data
primer tidak dapat menjelaskan realitas secara lengkap sehingga
diperlukan bahan hukum primer dan sekunder sebagai data
sekunder untuk melengkapi deskripsi suatu realitas.
2. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari obyek
penelitian yang berupa keterangan-keterangan hasil interview atau
wawancara dengan salah satu pihak terkait dengan objek penelitian
sebagai penunjang dan atau pendukung data sekunder.
E. Metode Pengumpulan Data
1. Data Sekunder
Data yang diperoleh dari studi pustaka yaitu mengumpulkan bahan-bahan
kepustakaan yang berupa peraturan perundang-undangan, literatur dan
dokumen yang terkait dengan permasalahan yang diteliti.
58 Ibidt., hal.113
55
2. Data Primer
Data yang diperoleh dari interview atau wawancara dengan pihak yang
terkait dengan masalah yang diteliti pada Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Kabupaten Cirebon untuk melengkapi data sekunder.
F. Metode Penyajian Data
Metode penyajian data dalam penelitian ini akan disajikan dalam bentuk uraian
yang disusun secara sistematis, logis dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang
diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok
permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh.
G. Metode Analisis Data
Seluruh data dianalisis dengan menggunakan metode normatif kualitatif yaitu
menafsirkan dan menjabarkan data berdasarkan teori hukum atau kaidah-kaidah
hukum serta doktrin hukum yang relevan guna menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan. Pada penelitian normative pengolahan data pada hakekatnya kegiatan
untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti
membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk
memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.59 Dalam hal ini penulis
menggunakan undang-undang sebagai dasar analisa/ konstruksi analisis dipadukan
dengan data penelitian baik sekunder maupun primer kemudian dikaitkan dengan
doktrin sarjana, sehinngga mendapatkan suatu kesimpulan.
59 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 251-252
56
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian di Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kabupaten Cirebon diperoleh data sekunder sebagai berikut :
1.1. Data Sekunder
1.1. Definisi Umum dan Pengertian
1.1.1. Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Perindustrian Republik
Indonesia Nomor : 42/M-IND/PER/11/2005 Tentang
Pengolahan, Pengemasan Dan Pelabelan Garam Beriodium
menyatakan bahwa, Garam Beriodium adalah garam
konsumsi yang komponen utamanya natrium Khlorida
(NACL) dan mengandung senyawa iodium melalui proses
iodisasi serta memenuhi SNI Nomor 01-3556-2000 dan/atau
revisinya.
1.1.2. Pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa, Pengolahan Garam
beriodium adalah proses pencucian dan iodisasi, yang
57
menghasilkan garam beriodium, yang memenuhi SNI Nomor
01-3556-2000 dan/atau revisinya.
Yang memenuhi SNI tersebut adalah sebagai berikut :
Syarat Mutu Garam Konsumsi Beriodium
No Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1. 2.
3. 4. 4.1 4.2 4.3 5.
Kadar air (H2O) Kadar NaCl (natrium klorida) dihitung dari jumlah klorida Iodium dihitung sebagai Kalium Iodat (KIO3) Cemaran logam : Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Raksa (Hg) Arsen (As)
%(b/b) %(b/b)adbk
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
maks. 7 min. 94,7
min. 30 maks. 10 maks. 10 maks. 0,1 maks. 0,1
Keterangan : b/b = bobot/bobot
adbk = atas dasar bahan kering
1.1.3. Pasal 1 angka 3 menyatakan bahwa, Pengemasan garam
beriodium adalah cara melindungi garam beriodium yang
diperdagangkan agar tetap terjamin mutu dan berat isinya
dengan menggunakan bahan dan teknologi kemasan yang
memenuhi persyaratan.
1.1.4. Pasal 1 angka 4 menyatakan bahwa, angka Pelabelan garam
beriodium adalah pemberian tanda SNI, nama perusahaan dan
58
tanda-tanda lain yang dipersyaratkan pada kemasan garam
beriodium yang diperdagangkan.
1.1.5. Pasal 1 angka 5 menyatakan bahwa, Sentra produksi garam
adalah wilayah penghasil garam melalui proses penguapan.
1.1.6. Pasal 1 huruf c Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor
78 Tahun 2001 tentang Larangan Peredaran Garam Konsumsi
Tidak Beryodium menyatakan bahwa, Garam Konsumsi
adalah garam beryodium yang mengandung Natrium Chlorida
yang diproduksi melalui proses yodisasi yang memenuhi
Standar Nasional Indonesia (SNI) yang dapat diperdagangkan
untuk konsumsi manusia, ternak, pengasinan ikan dan bahan
penolong industri pangan.
1.2. Pengolahan dan Pengadaan Garam Beryodium
1.2.1. Pasal 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 69
Tahun 1994 tentang Pengadaan Garam Beryodium
menyatakan bahwa, garam yang dapat diperdagangkan untuk
keperluan konsumsi manusia atau ternak, pengasinan ikan,
atau bahan penolong industri pangan adalah garam beryodium
yang telah memenuhi Standar Indonesia (SII)/Standar
Nasional Indonesia (SNI).
59
1.2.2. Pasal 2 menyatakan bahwa, garam sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1, sebelum diperdagangkan wajib terlebih dahulu
diolah melalui proses pencucian dan iodisasi.
1.2.3. Pasal 3 menyatakan bahwa, dalam hal garam sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 telah memenuhi syarat untuk
langsung di iodisasi, proses iodisasi dapat dilakukan tanpa
terlebih dahulu melalui proses pencucian.
1.2.4. Pasal 4 menyatakan bahwa, garam beryodium yang
diperdagangkan wajib dikemas dan diberi label.
1.2.5. Pasal 5 menyatakan bahwa :
(1) Pengolahan, pengemasan, dan pelabelan garam beryodium dilakukan oleh: a. Perusahaan Perseroan (PERSERO) PT. Garam; b. Badan Hukum Swasta dan Koperasi yang ditunjuk
oleh Menteri Perindustrian. (2) Persyaratan teknis pengolahan, pengemasan dan
pelabelan garam beryodium ditetapkan oleh Menteri Perindustrian.
1.2.6. Pasal 2 Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia
Nomor : 42/M-IND/PER/11/2005 Tentang Pengolahan,
Pengemasan Dan Pelabelan Garam Beriodium menyatakan
bahwa :
(1) Garam yang dapat diiodisasi wajib memenuhi persyaratan kualitas garam bahan baku sesuai SNI 01-4435-2000 dan atau revisinya.
(2) Garam yang belum memenuhi syarat sebagai garam bahan baku untuk diiodisasi sesuai SNI sebagaimana
60
dimaksud pada ayat (1) wajib ditingkatkan kualitasnya melalui proses pencucian sesuai persyaratan teknis sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.
1.2.7. Pasal 3 menyatakan bahwa :
(1) Proses Pencucian garam sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) dapat dilakukan di sentra produksi atau di luar sentra produksi.
(2) Proses pencucian yang di lakukan di luar sentra produksi hanya dapat di lakukan oleh perusahaan garam yang memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. mempunyai izin pencucian garam; dan b. mempunyai peralatan pencucian garam yang
terpasang. (3) Garam yang telah dicuci di sentra produksi dan
memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dan akan di pasarkan keluar sentara produksi harus disertai surat keterangan dari pemerintah daerah Kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang perindustrian tempat asal garam, yang menyatakan bahwa garam telah memenuhi persyaratan pencucian.
(4) Garam yang belum dicuci di sentra produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan akan dipasarkan keluar sentra produksi harus di sertai surat keterangan permintaan garam dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab dibidang perindustrian tempat tujuan pemasaran garam.
1.2.8. Pasal 4 menyatakan bahwa :
(1) Proses iodisasi garam yang dilakukan di sentra atau di luar sentra produksi wajib memenuhi persyaratan teknis sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini.
(2) Proses iodisasi garam, pengemasan dan pelabelan garam beriodium yang dilakukan di sentra atau di luar sentra produksi garam wajib dilakukan secara terpadu.
61
1.3. Larangan dan Sanksi Peredaran Garam Tak beryodium
1.3.1. Pasal 26 Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor : 15
Tahun 2010 Tentang Pengendalian Produksi Dan Peredaran
Garam menyatakan bahwa setiap orang dilarang:
a. memproduksi, memperdagangkan atau mengedarkan garam konsumsi beryodium yang tidak memenuhi persyaratan SNI;
b. membawa masuk dan/atau keluar garam konsumsi beryodium yang tidak memenuhi persyaratan SNI di Daerah; dan
c. menggunakan garam beryodium yang tidak memenuhi persyaratan SNI untuk produksi industri pangan.
1.3.2. Pasal 27 menyatakan bahwa :
(1) Produsen dan pelaku usaha garam yang melakukan pelanggaran ketentuan Pasal 10, dikenakan sanksi administrasi, berupa: a. teguran tertulis; b. penghentian sementara sebagian atau seluruh
kegiatan usaha; c. pembekuan izin; d. pencabutan izin; e. penetapan ganti rugi; f. pengumuman produk garam yang tidak beryodium
atau tidak memenuhi SNI kepada masyarakat melalui media massa; dan/atau
g. denda. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Gubernur, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
1.3.3. Pasal 28 menyatakan bahwa :
(1) Barang siapa melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 26, diancam pidana kurungan paling
62
lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
(3) Dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana yang lebih tinggi dari ancaman pidana dalam Peraturan Daerah ini, maka dikenakan sanksi pidana yang lebih tinggi, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan Daerah dan disetorkan ke Kas Daerah.
1.3.4. Pasal 29 menyatakan bahwa, Penegakan Peraturan Daerah ini
dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja sesuai dengan
kewenangannya, berkoordinasi dengan Kepolisian Republik
Indonesia, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
1.3.5. Pasal 3 Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 78
Tahun 2001 tentang Larangan Peredaran Garam Konsumsi
Tidak Beryodium menyatakan bahwa :
1) Setiap garam konsumsi yang dijual di pasar atau tempat lain dalam Daerah harus mengandung yodium dan memenuhi SNI.
2) Garam konsumsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dikemas dan diberi label.
3) Pengemasan dan pemberian pelabelan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1.3.6. Pasal 5 menyatakan bahwa :
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) diancam pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda
63
sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah pelanggaran.
1.4. Pembinaan dan Pengawasan
1.4.1. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58
Tahun 2001 tentang Pembinaan Dan Pengawasan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen menyatakan
bahwa, Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin
diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta
dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
1.4.2. Pasal 3 menyatakan bahwa :
(1) Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh Menteri dan atau menteri teknis terkait, yang meliputi upaya untuk :
a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen;
b. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; dan
c. meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
(2) Menteri teknis terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sesuai dengan bidang tugas masing-masing.
64
1.4.3. Pasal 4 menyatakan bahwa, dalam upaya untuk menciptakan
iklim usaha dan menumbuhkan hubungan yang sehat antara
pelaku usaha dan konsumen, Menteri melakukan koordinasi
penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri
teknis terkait dalam hal :
a. penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen;
b. pemasyarakatan peraturan perundang-undangan dan informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen;
c. peningkatan peranan BPKN dan BPSK melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dan lembaga;
d. peningkatan pemahaman dan kesadaran pelaku usaha dan konsumen terhadap hak dan kewajiban masing-masing;
e. peningkatan pemberdayaan konsumen melalui pendidikan, pelatihan, keterampilan;
f. penelitian terhadap barang dan/atau jasa beredar yang menyangkut perlindungan konsumen;
g. peningkatan kualitas barang dan/atau jasa; h. peningkatan kesadaran sikap jujur dan tanggung jawab
pelaku usaha dalam memproduksi, menawarkan, mempromosikan, mengiklankan, dan menjual barang dan/atau jasa; dan;
i. peningkatan pemberdayaan usaha kecil dan menengah dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa serta pencantuman label dan klausula baku.
1.4.4. Pasal 5 menyatakan bahwa, dalam upaya untuk
mengembangkan LPKSM, Menteri melakukan koordinasi
penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri
teknis terkait dalam hal :
65
a. pemasyarakatan peraturan perundang-undangan dan informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen;
b. pembinaan dan peningkatan sumber daya manusia pengelola LPKSM melalui pendidikan, pelatihan, dan keterampilan.
1.4.5. Pasal 6 menyatakan bahwa, dalam upaya untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia serta meningkatkan kegiatan
penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan
konsumen, Menteri melakukan koordinasi penyelenggaraan
perlindungan konsumen dengan menteri teknis terkait dalam
hal :
a. peningkatan kualitas aparat penyidik pegawai negeri sipil di bidang perlindungan konsumen;
b. peningkatan kualitas tenaga peneliti dan penguji barang dan/atau jasa;
c. pengembangan dan pemberdayaan lembaga pengujian mutu barang; dan
d. penelitian dan pengembangan teknologi pengujian dan standar mutu barang dan/atau jasa serta penerapannya.
1.4.6. Pasal 7 menyatakan bahwa, pengawasan terhadap
penyelenggaraan perlindungan konsumen dan penerapan
ketentuan peraturan perundang-undangannya dilaksanakan
oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat.
66
1.4.7. Pasal 8 menyatakan bahwa :
(1) Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa, pencantuman label dan klausula baku, serta pelayanan purna jual barang dan/atau jasa.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan, dan penjualan barang dan/atau jasa.
(3) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat disebarluaskan kepada masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri dan atau menteri teknis terkait bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masing-masing.
1.4.8. Pasal 9 menyatakan bahwa :
(1) Pengawasan oleh masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan cara penelitian, pengujian dan atau survei.
(3) Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha.
(4) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis.
1.4.9. Pasal 10 menyatakan bahwa :
(1) Pengawasan oleh LPKSM dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan cara penelitian, pengujian dan atau survei.
(3) Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang
67
risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha.
(4) Penelitian, pengujian dan/atau survei sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang diduga tidak memenuhi unsur keamanan, kesehatan, kenyamanan dan keselamatan konsumen.
(5) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis.
1.4.10. Pasal 11 menyatakan bahwa, pengujian terhadap barang
dan/atau jasa yang beredar dilaksanakan melalui laboratorium
penguji yang telah diakreditasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
1.4.11. Pasal 6 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 69
Tahun 1994 tentang Pengadaan Garam Beryodium
menyatakan bahwa :
(1) Menteri Perindustrian melakukan pengawasan terhadap pengolahan, pengemasan, dan pelabelan garam beryodium
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri Perindustrian berkoordinasi dengan Departemen/Lembaga terkait.
(3) Segala biaya yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibebankan pada Anggaran Belanja Departemen Perindustrian.
68
1.4.12. Pasal 5 Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia
Nomor : 634/MPP/Kep/9/2002 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pengawasan Barang dan Jasa yang Beredar di Pasar
menyebutkan bahwa :
(1) Pengawasan pemenuhan ketentuan standar mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar, yang telah diberlakukan Standar Nasional Indonesia wajib atau standar lain yang telah dipersyaratkan oleh Menteri atau Menteri Tekhnis lainnya.
(2) Pengawasan oleh barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman pada ketentuan yang berlaku.
1.4.13. Pasal 21 Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor : 15
Tahun 2010 Tentang Pengendalian Produksi Dan Peredaran
Garam menyatakan bahwa :
(1) Pemerintah Daerah melakukan monitoring dan evaluasi dalam pengendalian produksi dan peredaran garam, berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota.
(2) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan Dinas Kesehatan serta OPD, sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
69
1.4.14. Pasal 22 menyatakan bahwa :
(1) Dalam rangka koordinasi, pembinaan, pengawasan dan pengendalian produksi dan peredaran garam, dibentuk Tim Koordinasi yang ditetapkan oleh Gubernur.
(2) Tim Koordinasi dalam rangka pengendalian produksi dan peredaran garam di Kabupaten/Kota dibentuk oleh Bupati/Walikota, sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Tim Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur: a. Dinas Perindustrian dan Perdagangan; b. Dinas Kesehatan; c. Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan
Bandung; d. Asosiasi Pengusaha Garam; e. Lembaga Swadaya Masyarakat; f. Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan
Keluarga; dan g. unsur masyarakat sesuai kebutuhan.
1.4.15 Pasal 4 Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 78
Tahun 2001 tentang Larangan Peredaran Garam Konsumsi
Tidak Beryodium menyatakan bahwa :
(1) Pembinaan terhadap Produsen Garam dilaksanakan oleh Dinas.
(2) Pengawasan terhadap perdagangan, peredaran pengemasan dan pelabelan garam konsumsi dilaksanakan oleh Dinas.
(3) Tata cara pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Bupati.
70
1.5. Perizinan
Pasal 13 Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor : 15 Tahun
2010 Tentang Pengendalian Produksi Dan Peredaran Garam
menyatakan bahwa :
(1) Orang perorangan, badan usaha dan koperasi yang memproduksi dan mengedarkan garam beryodium harus memiliki perizinan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi : a. Izin Usaha Industri, Izin Perluasan dan Tanda Daftar
Industri; dan b. Sertifikasi Mutu Pangan.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diterbitkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota, sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diterbitkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia atau lembaga sertifikasi yang telah diakreditasi.
1.6. Tanggungjawab Pemerintah
1.6.1. Pasal 16 Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor : 15
Tahun 2010 Tentang Pengendalian Produksi Dan Peredaran
Garam menyatakan bahwa, Pemerintah Daerah
bertanggungjawab dalam pengendalian produksi dan
peredaran garam, meliputi :
a. pengaturan ketersediaan garam beryodium yang memenuhi persyaratan SNI di Daerah;
b. pelarangan produksi dan peredaran garam tidak beryodium untuk konsumsi;
71
c. pengkoordinasian kegiatan dalam menjamin produksi dan peredaran garam yang memenuhi peryaratan SNI;
d. peningkatan kualitas garam untuk produktivitas dan kesejahteraan petani garam;
e. pengintegrasian upaya penanggulangan pencegahan gangguan akibat kekurangan yodium dengan program pembangunan di Daerah; dan
f. advokasi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota mengenai pengendalian dan pelarangan produksi serta peredaran garam tidak beryodium.
1.6.2. Pasal 17 menyatakan bahwa, dalam rangka menjamin
ketersediaan garam beryodium dan garam tidak beryodium,
Pemerintah Daerah melaksanakan fasilitasi, pemberian
bimbingan, supervisi, konsultansi, koordinasi pengawasan
antardaerah, pendidikan dan pelatihan, serta monitoring dan
evaluasi.
1.6.3. Pasal 18 menyatakan bahwa :
(1) Pemerintah Daerah melakukan fasilitasi dalam bentuk: a. pendampingan teknis produksi, manajemen dan
pemasaran serta penyediaan yodium (KIO3) kepada produsen garam beryodium;
b. sosialisasi peraturan perundang-undangan di bidang produksi dan peredaran garam kepada pelaku usaha; dan
c. peningkatan pengetahuan mengenai pentingnya konsumsi garam beryodium kepada konsumen.
(2) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Kesehatan serta OPD, sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
72
1.6.4. Pasal 19 menyatakan bahwa :
(1) Bimbingan, supervisi dan konsultansi dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk: a. pemberian pedoman teknis pembuatan garam kepada
perajin garam dan produsen garam beryodium;
b. pemberian arahan mengenai penggunaan alat kendali mutu produksi garam kepada produsen;
c. sosialisasi peraturan perudang-undangan yang berkaitan dengan garam beryodium sesuai persyaratan SNI kepada pelaku usaha; dan
d. penerapan pemantauan wilayah setempat garam melalui Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga.
(2) Bimbingan, supervisi dan konsultansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan Dinas Kesehatan serta OPD, sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bimbingan, supervisi dan konsultansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
2. Data Primer
Berdasarkan hasil penelitian di Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kabupaten Cirebon diperoleh data primer sebagai berikut :
2.1. Hasil Wawancara Dengan Drs. Zaenal Muttaqin Selaku Kepala
Bidang Perlindungan Konsumen :
2.1.1. Tanggungjawab Dinas Perindustrian dan Perdagangan
terhadap konsumen yaitu :
73
a. Memberikan perlindungan berupa penyuluhan atau
himbauan dalam bentuk spanduk atau reklame untuk
menkonsumsi garam beryodium terhadap merk-merk
garam tertentu yang telah memenuhi standar. Contoh :
“agar terhindar dari penyakit gondok diwajibkan
mengkonsumsi garam yang beryodium” atau “ keluarga
sehat mengkonsumsi garam beryodium”.
b. Meskipun dampak yang ditimbulkan akibat kekurangan
yodium tidak serta merta dirasakan dampaknya, namun
dapat berakibat dalam jangka panjang yang apabila
terdapat masyarakat kekurangan yodium maka dapat
berobat ke puskesmas ataupun rumah sakit umum
dengan menggunakan jaminan kesehatan masyarakat
(jamkesmas) melalui kerjasama atau koordinasi dengan
dinas kesehatan.
2.1.2. Belum pernah ada gabungan masyarakat yang menggugat
Dinas Perindustrian dan Perdagangan, baik masyarakat secara
langsung maupun LSM yang mengajukan gugatan tentang
GAKY, karena, masih awamnya masyarakat mengajukan
tuntutan tentang kekurangan yodium, karena tuntutan dari
masyarakat ataupun LSM ini sifatnya delik aduan.
74
2.1.3. Upaya Dinas Perindustrian dan Perdagangan dalam
mewujudkan pengadaan garam beryodium bagi masyarakat :
a. Upaya preventif yang dilaksanakan atau dilakukan oleh
Dinas Perindustrian dan Perdagangan yaitu mengadakan
penyuluhan kepada masyarakat desa yang bekerjasama
dengan kepala desa, dinas kesehatan dan Dinas
Perindustrian dan Perdagangan itu sendiri. Upaya
preventif lainnya yaitu dapat dilakukannya sosialisasi
kepada masyarakat secara menyeluruh.
b. Upaya represifnya yaitu uji laboratorium dengan
mengambil sampel secara langsung dari perusahaan
garam untuk diadakan uji laboratorium dan
dilaksanakan secara rutin minimal satu bulan satu kali
dan hasilnya diberitahukan kepada perusahaan tersebut
apakah sudah memenuhi syarat atau belum terutama
kepada perusahaan yang tidak memenuhi standar
iodisasi.
c. Upaya kuratifnya yaitu pertolongan yang dilakukan
Dinas Perindustrian dan Perdagangan kepada
masyarakat selaku konsumen yaitu memberikan
75
pelayanan kesehatan yang bekerjasama dengan dinas
kesehatan.
2.1.4. Mengenai tata cara pengawasan dan pembinaan terhadap
produsen garam di Kabupaten Cirebon diatur dalam
Keputusan Bupati Nomor 535/Kep.83-INDAG/2002 tentang
Tata Cara Pengawasan dan Pembinaan Produsen Garam .
B. Pembahasan
1. Pengawasan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Terhadap
Produksi Garam Rakyat Di Kabupaten Cirebon.
Pengawasan menurut Pasal 30 UUPK merumuskan sebagai berikut:
(1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
(2) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
(3) Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. Adapun penjelasan mengenai Pasal 30 UUPK adalah sebagai
berikut :
(2) “Yang dimaksud dengan menteri teknis adalah menteri yang bertanggung jawab secara teknis menurut bidang tugasnya.”
(3) “Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan atas barang
76
dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survey.
Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktek dunia usaha.”
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menyatakan bahwa :
“Ketentuan Pasal 30 di atas ini, cukup menjanjikan upaya perlindungan konsumen melalui pemberdayaan setiap unsur yang ada yaitu masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat disamping pemerintah sendiri melalui menteri dan/atau menteri teknis yang terkait. Apabila diperhatikan substansi Pasal 30 tersebut, juga tampak bahwa pengawasan lebih banyak menitikberatkan pada peran masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, dibanding dengan peran pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh menteri dan/atau menteri teknis yang terkait. Seperti terlihat dalam pasal tersebut, pemerintah diserahi tugas melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya. Sementara pengawasan oleh masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, selain tugas yang sama dengan apa yang menjadi tugas pemerintah di atas, juga diserahi tugas pengawasan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. Ayat 4 dari pasal tersebut juga menentukan bahwa, apabila pengawasan oleh masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat ternyata mendapatkan hal-hal yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini berarti, untuk mengetahui ada atau tidaknya suatu barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang beredar di pasar, pemerintah sepenuhnya menyerahkan dan menanti laporan
77
masyarakat dan/atau Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, untuk kemudian diambil tindakan.”60
Berdasarkan data sekunder nomor 1.4.6 tentang pengawasan
terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen, data sekunder nomor
1.4.7 tentang obyek dan prosedur pengawasan oleh pemerintah, data
sekunder nomor 1.4.9 tentang obyek dan prosedur pengawasan oleh
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, jika dikaitkan
dengan Pasal 30 UUPK dan pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo
dapat diketahui bahwa, pengawasan terhadap produksi garam rakyat di
Kabupaten Cirebon dilakukan oleh pemerintah, masyarakat dan LPKSM.
Untuk pengawasan dari pihak pemerintah sendiri dilakukan oleh menteri
terkait yang dalam hal ini yaitu oleh Menteri Perdagangan dan Industri,
serta institusi daerah dibawahnya yaitu Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Cirebon. Dalam hal pengawasan tersebut menteri atau dinas
terkait memiliki wewenang untuk melakukan tindakan terhadap produsen
apabila terjadi permasalahan dalam bidang produksi, distribusi dan
konsumsi garam di daerah Kabupaten Cirebon.
Pengawasan merupakan hal yang sangat penting agar maksud dan
tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Bentuk-bentuk pengawasan
dalam bidang produksi garam beryodim di Kabupaten Cirebon sangatlah
60 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op cit., hal. 184-185
78
beragam. Menurut Victor M. Situmorang dan Yusuf Juhir, pengawasan
dapat diklasifikasikan berdasarkan berbagai hal sebagai berikut, yaitu :
a) Pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung 1) Pengawasan langsung
Pengawasan langsung adalah pengawasan yang dilakukan secara pribadi oleh pimpinan atau pengawas dengan mengamati, meneliti, memeriksa, mengecek sendiri secara “on the spot” di tempat pekerjaan, dan menerima laporan-laporan secara langsung pula dari pelaksana. Hal ini dilakukan dengan inspeksi.
2) Pengawasan tidak langsung Pengawasan tidak langsung diadakan dengan mempelajari laporan-laporan yang diterima dari pelaksana baik lisan maupun tertulis, mempelajari pendapat-pendapat masyarakat dan sebagainya tanpa pengawasan “on the spot”.
b) Pengawasan preventif dan pengawasan represif Walaupun prinsip pengawasan adalah preventif, namun bila dihubungkan dengan waktu pelaksanaan pekerjaan, dapat dibedakan antara pengawasan preventif dan pengawasan represif. 1) Pengawasan preventif
Pengawasan preventif dilakukan melalui preaudit sebelum pekerjaan dimulai. Misalnya dengan mengadakan pengawasan terhadap persiapan-persiapan rencana kerja, rencana anggaran, rencana penggunaan tenaga dan sumber-sumber lain.
2) Pengawasan represif Adapun pengawasan represif dilakukan melalui post audit, dengan pemeriksaan terhadap pelaksanaan di tempat (inspeksi), meminta laporan pelaksanaan dan sebagainya.
c) Pengawasan intern dan pengawasan ekstern 1) Pengawasan intern
Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam organisasi itu sendiri.
2) Pengawasan ekstern Pengawasan ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dari luar organisasi sendiri. 61
61 Victor M, Situmorang dan Yusuf Juhir, Aspek Hukum Pengawasan Melekat Dalam
Lingkungan Aparatur Pemerintah, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal. 21.
79
Bentuk-bentuk pengawasan dalam bidang produksi garam
beryodim di Kabupaten Cirebon dapat diklasifikasikan dalam beberapa
bentuk pengawasan sebagai berikut :
a) Pengawasan Langsung Pengawasan langsung adalah pengawasan yang dilakukan secara pribadi oleh pimpinan atau pengawas dengan mengamati, meneliti, memeriksa, mengecek sendiri secara “on the spot” di tempat pekerjaan, dan menerima laporan-laporan secara langsung pula dari pelaksana. Hal ini dilakukan dengan inspeksi.
Menurut Henry Fayol, definisi pengawasan yakni :
“… Dalam setiap usaha, pengawasan terdiri atas tindakan meneliti apakah segala sesuatu tercapai atau berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan berdasarkan instruksi-instruksi yang telah dikeluarkan, prinsip-prinsip yang telah ditetapkan. Pengawasan bertujuan menunjukkan atau menemukan kelemahan-kelemahan agar dapat diperbaiki dan mencegah berulangnya kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan itu. Pengawasan beroperasi terhadap segala hal, baik terhadap benda, manusia, perbuatan maupun hal-hal lainnya.”62
Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang
Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Perlindungan
Konsumen, menerangkan bahwa :
(1) Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan jasa, pencantuman label dan klausula baku, serta pelayanan purna jual barang dan/atau jasa.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan dalam proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan, dan penjualan barang dan/atau jasa.
62 H. Ibrahim Lubis, op. cit. hal 155.
80
Berdasarkan data nomor 1.6.4 tentang kewenangan pengawasan
garam Pemerintah Kabupaten Cirebon dan data 1.6.2 mengenai wewenang
bimbingan, supervisi dan pemfasilitasan dikaitkan dengan pendapat Henry
Fayol dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58
Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Perlindungan Konsumen, dapat diketahui bahwa pengawasan garam
merupakan tindakan meneliti apakah segala sesuatu tercapai atau berjalan
sesuai dengan rencana yang telah di tetapkan berdasarkan instruksi-
instruksi yang telah di keluarkan, prinsip-prinsip yang telah di tetapkan
dan dilakukan bersifat langsung dari atasan, dalam hal ini wewenang
langsung diberikan kepada Dinas Perdagangan dan Perindustrian
Kabupaten Cirebon. Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian
Kabupaten Cirebon setelah diberikan kewenangan akan memiliki hak
untuk meninjau, meneliti, mengevaluasi serta melakukan tindakan
terhadap peredaran garam di masyarakat. Bentuk adanya pengawsan
langsung adalah Dinas dalam hal ini turun langsung meninjau lapangan,
pengujian, razia dan lainnya.
b) Pengawasan Tidak Langsung Pengawasan tidak langsung diadakan dengan mempelajari laporan-laporan yang diterima dari pelaksana baik lisan maupun tertulis, mempelajari pendapat-pendapat masyarakat dan sebagainya tanpa pengawasan “on the spot”.
81
Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir menyatakan bahwa:
“Pengawasan tidak langsung adalah kebalikan dari pengawasan langsung, yang dilakukan tanpa mendatangi tempat pelaksanaan pekerjaan atau objek yang diawasi. Pengawasan ini dilakukan dengan mempelajari dan menganalisa dokumen yang menyangkut objek yang diawasi yang disampaikan oleh pelaksana atau pun sumber lain. Dokumen-dokumen tersebut bisa berupa laporan pelaksanaan pekerjaan, baik laporan berkala maupun laporan insidentil, laporan hasil pemeriksaan yang diperoleh dari perangkat pengawas lainnya, surat pengaduan dari masyarakat, berita atau artikel dari media massa, dan dokumen-dokumen lainnya. Disamping melalui laporan tertulis tersebut pengawasan ini juga dapat dilakukan dengan mempergunakan bahan yang berupa laporan lisan.”63
Pasal 8 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun
2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa :
(1) Pengawasan oleh pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa, pencantuman label dan klausula baku, serta pelayanan purna jual barang dan/atau jasa.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan, dan penjualan barang dan/atau jasa.
(3) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat disebarluaskan kepada masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri dan atau menteri teknis terkait bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masing-masing.
Berdasarkan data sekunder nomor 1.4.13 mengenai monitoring,
kordinasi dan evaluasi dalam pengendalian produksi dan peredaran garam
63 . Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir, Op cit., hal. 27-28
82
dan data sekunder nomor 1.6.4 mengenai wewenang pengawasan garam
Pemerintah Kabupaten Cirebon dikaitkan dengan Pasal 8 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tentang
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen,
serta pendapat Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir dapat diketahui
bahwa, selain adanya pengawasan langsung adapula pengawasan tidak
langsung yang bersifat kordinatif dan subordinatif. Artinya pengawasan
tersebut memiliki tahapan demi tahapan. Dalam hal ini Dinas harus
berkordinasi dengan atasan yaitu Bupati, Bupati juga harus melakukan
kordinasi dan memberikan laporan secara tertulis kepada Gubernur.
c) Pengawasan Preventif dan Pengawasan Represif Pengawasan preventif dilakukan melalui preaudit sebelum pekerjaan dimulai. Misalnya dengan mengadakan pengawasan terhadap persiapan-persiapan rencana kerja, rencana anggaran, rencana penggunaan tenaga dan sumber-sumber lain. Pengawasan represif dilakukan melalui post audit, dengan pemeriksaan terhadap pelaksanaan di tempat (inspeksi), meminta laporan pelaksanaan dan sebagainya.
Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir menyatakan bahwa:
“Pengawasan preventif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum pekerjaan mulai dilaksanakan, misalnya dengan mengadakan pengawasan terhadap persiapan rencana kerja, rencana anggaran, rencana penggunaan tenaga dan sumber-sumber lainnya. Pengawasan refresif adalah pengawasan yang dilakukan setelah pekerjaan atau kegiatan tersebut dilaksanakan, hal ini kita ketahui melalui audit dengan pemerikasaaan terhadap pelaksanaan pekerjaan di tempat dan meminta laporan pelaksanaan kegiatan.”64
64
Ibid., hal. 29
83
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun
2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa :
Dalam upaya untuk menciptakan iklim usaha dan menumbuhkan hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen, Menteri melakukan koordinasi penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan menteri teknis terkait dalam hal :
a. penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen;
b. pemasyarakatan peraturan perundang-undangan dan informasi yang berkaitan dengan perlindungan konsumen;
c. peningkatan peranan BPKN dan BPSK melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dan lembaga;
d. peningkatan pemahaman dan kesadaran pelaku usaha dan konsumen terhadap hak dan kewajiban masing-masing;
e. peningkatan pemberdayaan konsumen melalui pendidikan, pelatihan, keterampilan;
f. penelitian terhadap barang dan/atau jasa beredar yang menyangkut perlindungan konsumen;
g. peningkatan kualitas barang dan/atau jasa; h. peningkatan kesadaran sikap jujur dan tanggung jawab
pelaku usaha dalam memproduksi, menawarkan, mempromosikan, mengiklankan, dan menjual barang dan/atau jasa; dan;
i. peningkatan pemberdayaan usaha kecil dan menengah dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa serta pencantuman label dan klausula baku.
Berdasarkan data sekunder nomor 1.6.3 mengenai
pendampingan teknis produksi, sosialisasi peraturan perundang-
undangan dan peningkatan pengetahuan mengenai pentingnya
84
konsumsi garam beryodium kepada konsumen serta data sekunder
nomor 1.3 mengenai larangan dan sanksi peredaran garam tak
beryodium, dikaitkan dengan Pasal 4 Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan
dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, serta
pendapat Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir dapat diketahui
bahwa, pengawasan dilakukan dengan cara sebelum sesuatu hal
dikerjakan/ tahap perencanaan. Dalam hal ini untuk menunjang
kegiatan pengawasan banyak di lakukan pendampingan teknis
produksi, sosialisasi peraturan perundang-undangan dan
peningkatan pengetahuan mengenai pentingnya konsumsi garam
beryodium kepada konsumen. Selain itu berlaku pula pengawasan
represif atau pengawasan yang dilakukan setelah pekerjaan atau
kegiatan tersebut dilaksanakan. Dalam hal ini pengawasan yang
langsung ditujukan kepada pengusaha. Dalam hal ini pula
diberlakukan larangan dan sanksi bagi pelanggaran peredaran
garam tak beryodium.
d) Pengawasan Intern dan Pengawasan Ekstern Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam organisasi itu sendiri. Pada dasarnya pengawasan harus dilakukan oleh pucuk pimpinan sendiri. Setiap pimpinan unit dalam organisasi pada dasarnya berkewajiban membantu pucuk pimpinan
85
mengadakan pengawasan secara fungsional sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.
Pengawasan eksern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dari luar organisasi sendiri, seperti halnya pengawsan dibidang keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan sepanjang meliputi seluruh Aparatur Negara dan Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan negara terhadap departemen dan instansi pemerintah lain. Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir menyatakan bahwa:
“Pengawasan ”intern” adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam organisasi itu sendiri. Pengawasan intern lebih dikenal dengan pengawasan fungsional. Pengawasan fungsional adalah pengawasan terhadap pemerintah daerah, yang dilakukan secara fungsional oleh lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan pengawasan fungsional, yang kedudukannya merupakan bagian dari lembaga yang diawasi seperti Inspektorat Jendral, Inspektorat Propinsi, Kabupaten/Kota. Sementara pengawasan ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dari luar organisasi itu sendiri, seperti BPK.”65
Pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun
2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa :
Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen dan
penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya
dilaksanakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
Berdasarkan data sekunder nomor 1.4.14 mengenai tim kordinasi
pengawasan dan 1.6.4 mengenai pemberian wewenang mengawasi
dikaitkan dengan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
65
Ibid., hal. 28-29
86
Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, serta pendapat Victor M.
Situmorang dan Jusuf Juhir dapat diketahui bahwa, pengawasan memiliki
dua koridor yaitu dilaksanakan secara intern dan ekstern. Secara intern
pengawasan dilaksanakan secara subordinat dari atas ke bawah,
sedangkan secara eksternal sesuai dengan perintah Pasal 7 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tentang
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen,
maka melalui Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor : 15 Tahun
2010 Tentang Pengendalian Produksi Dan Peredaran Garam dibentuklah
Tim Koordinasi yang terdiri dari unsur Dinas Perindustrian dan
Perdagangan, Dinas Kesehatan, Balai Besar Pengawasan Obat dan
Makanan Bandung, Asosiasi Pengusaha Garam, Lembaga Swadaya
Masyarakat, Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga dan
unsur masyarakat sesuai kebutuhan.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa
pelaksanaan pengawasan garam beryodium rakyat dilakukan secara
prosedural dan bertingkat. Artinya pengawasan terhadap garam rakyat
dilakukan oleh satuan-satuan teknis tertentu sesuai prosedur. Dan dapat
diketahui bahwa pemerintah bertanggung jawab atas pengawasan setiap
produk yang beredar. Kegiatan pengawasan telah dilakukan mulai dari
87
proses produksi, peredaran sampai penggunaan agar tidak membahayakan
masyarakat selaku konsumen dan pengawasan Dinas Perindustrian dan
Perdagangan terhadap standar mutu suatu produk merupakan salah satu
upaya pemerintah dalam menjamin kepastian hukum bagi konsumen,
sehingga dapat mencegah penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan
oleh pelaku usaha. Pelaku usaha sebagai produsen senantiasa harus
diawasi supaya mereka bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku,
sehingga pelaku usaha benar-benar memenuhi kewajibannya.
Penjelasan Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa :
Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan atas barang dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survei.
Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menyatakan bahwa :
“Penjelasan ayat 3 yang menentukan bahwa pengawasan dilakukan dengan cara penelitian, pengujian, dan/atau survei, terhadap aspek yang meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktek dunia usaha, menuntut upaya pemahaman dan peningkatan kesadaran terhadap apa yang menjadi hak-haknya sangat penting.”66
66 Ibid., hal. 188
88
Berdasarkan data sekunder nomor 1.4.7 mengenai obyek dan
prosedur pengawasan oleh pemerintah, data sekunder nomor 1.4.11
tentang pengawasan oleh Menteri Perindustrian, data sekunder nomor 1.3
mengenai larangan dan sanksi peredaran garam tak beryodium, Penjelasan
Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen jika dikaitkan dengan pendapat Ahmadi Miru
dan Sutarman Yodo dapat diketahui bahwa, bentuk pengawasan dilakukan
dengan berbagai macam cara antara lain :
a. Pengawasan oleh pemerintah yang dilakukan terhadap pelaku usaha
dalam memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa,
pencantuman label dan klausula baku penjualan garam beryodium
yang dilakukan dengan survei atau penelitian.
b. Pengawasan dalam proses produksi, penawaran, promosi,
pengiklanan, dan penjualan garam beryodium yang dilakukan
dengan survei atau penelitian.
c. Hasil pengawasan mengenai garam beryodium dapat
disebarluaskan kepada masyarakat.
d. Larangan terhadap garam tidak beryodium.
Bentuk pengawasan tersebut berpusat pada lima kategori objek
pengawasan antara lain :
a. Kendali mutu
89
b. Pengolahan
c. Pengemasan dan pelabelan
d. Standar mutu
e. Perizinan
Kendali mutu merupakan bagian dari proses produksi garam
beryodium. Untuk mengendalikan mutu garam beryodium produsen
garam wajib memproduksi dan mengendalikan mutu garam beryodium
dan garam tidak beryodium. Garam beryodium digunakan untuk konsumsi
masyarakat dan garam tidak beryodium untuk kepentingan industri.
Pengolahan garam konsumsi beryodium meliputi pencucian,
penirisan atau pengeringan, penggilingan, iodisasi serta pengemasan dan
pelabelan. Pengolahan garam tidak beryodium untuk kepentingan industri,
tidak melalui proses iodisasi. Dalam SK Menteri Perindustrian RI Nomor
77/SK/5/1995 proses pengolahan garam beryodium meliputi : 1)
Pencucian, 2) Pengeringan dan 3) Iodisasi. Secara singkat proses produksi
garam beryodium dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Pencucian Garam : Tujuan pencucian garam ini adalah untuk
menghilangkan semua kotoran yang ada pada garam dan
mengendapkan logam – logam berat. Air yang digunakan adalah air
jenuh garam (brine) dengan konsentrasi 25° Be. Prosedur pencucian
garam sebagai berikut :
90
a) Garam dan air dimasukkan kedalam crusher untuk menghaluskan
garam.
b) Garam yang telah dihaluskan masuk kedalam talang pencuci
pertama sambil disemprotkan air pencucian.
c) Garam bersama dengan air pencuci masuk kedalam bak
penampung garam pertama.
d) Garam yang telah dicuci dari bak penampung garam pertama,
dimasukkan kedalam talang pencuci kedua dengan sekop yang
terbuat dari monel.
e) Garam yang telah masuk kedalam talang pencuci kedua sambil
disemprotkan air pencuci ketiga dengan sekop yang terbuat dari
monel.
f) Garam yang telah dicuci dari bak penampung garam kedua,
dimasukkan kedalam talang pencuci ketiga dengan skop terbuat
dari monel.
g) Garam yang telah masuk kedalam pencuci talang ketiga sambil
disemprotkan air pencuci, meluncur masuk kedalam bak
penampung garam ketiga
h) Garam yang telah dicuci dari bak penampung garam ketiga
dipindahkan ke dalam bak penampung pengeringan bahan.
91
i) Air pencuci dari pencuci garam dari masing-masing bak
penampung garam mengalir masuk kedalam saluran pembuangan
air pencuci yang menuju kedalam bak sirkulasi air pencuci, terus
mengalir kedalam bak sirkulasi.
j) Air pencuci garam dari bak sirkulasi dipantau konsentrasinya dan
dialirkan dengan pompa sirkulasi air pencuci ke pipa pembagi,
demikian seterusnya.
2) Pengeringan : Garam yang telah dicuci segera ditiriskan dengan alat
pengering.
3) Iodisasi garam dengan prosedur sebagai berikut :
a) Timbang garam yang akan diyodisasi
b) Masukan garam yang akan diodisasi kedalam alat yodisasi yang
telah disiapkan.
c) Masukkan larutan KIO3 kedalam tangki larutan
d) Hidupkan mesin uji hasil pertama. Apabila belum sesuai dengan
persyaratan kadar Yodium < 30 ppm, cek kembali flow meter.
Objek pengawasan lainnya Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kabupaten Cirebon dalam produksi garam beryodium adalah pengemasan
dan pelabelan. Sesuai dengan SK Menteri Perindustrian
No.77/.M/SK/5/1995, untuk menjamin ketepatan berat isi kemasan yang
ditentukan, pengisian dan penimbangan dilakukan dengan menggunakan
92
mesin pengisi dan penimbang otomatis, sedangkan untuk memenuhi
syarat pengemasan maka penutupan dilakukan secara mekanis atau semi
otomatis. Syarat-syarat label antara lain :
1) Label garam beryodium harus memenuhi ketentuan yang berlaku. 2) Pada kemasan garam beryodium harus tertera keterangan-
keterangan yang jelas sebagai berikut : a) Nama makan “ Garam Beryodium” b) Nama / merek dagang c) Kandungan KIO3 > 30 ppm d) Berat bersih yang dinyatakan dalam system matrik e) Kode produk f) Nomor pendaftaran dari Departemen Kesehatan g) Nama dan Alamat Perusahaan h) Komposisi makanan/garam yang dikemas
Pengawasan juga dilakukan dalam segi standar mutu, pelaku usaha
garam untuk konsumsi masyarakat, wajib mengedarkan garam yang
memenuhi standar mutu garam konsumsi beryodium sesuai persyaratan
SNI. Dalam hal garam beryodium untuk konsumsi masyarakat tidak
memenuhi standar mutu, maka dilakukan penarikan, penyitaan dan
pemusnahan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Penarikan,
penyitaan dan pemusnahan garam dilaksanakan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pengawasan selanjutnya juga terdapat dalam bentuk
prefentif yaitu perizinan.
Pengawasan Dinas Perindustrian dan Perdagangan terhadap garam
beryodium dapat digambarkan dalam mekanisme sebagai berikut :
93
Mekanisme Pengawasan Berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999
Pengawasan
Pemerintah (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten
Cirebon)
Masyarakat
Objek Pengawasan a. Kendali mutu b. Pengolahan c. Pengemasan dan
pelabelan d. Standar mutu e. Perizinan
Pengujian Penelitian Survei
Tidak ditemukan pelanggaran
Ditemukan Pelanggaran
Penindakan langsung
Penarikan, penyitaan dan pemusnahan garam
94
Pengawasan Dinas Perindustrian dan Perdagangan terhadap standar
mutu suatu produk merupakan salah satu upaya pemerintah dalam
menjamin kepastian hukum bagi konsumen, sehingga dapat mencegah
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Pelaku
usaha sebagai produsen senantiasa harus diawasi supaya mereka bertindak
sesuai dengan aturan yang berlaku, sehingga pelaku usaha benar-benar
memenuhi kewajibannya.
Pengawasan diperlukan, mengingat bahwa kecenderungan untuk
melakukan kewajiban dipandang ada pada setiap orang. Oleh karena itu,
tindakan untuk menghilangkan atau mempersempit kemungkinan adanya
pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dengan
pengawasan diharapkan pemenuhan hak-hak konsumen dapat terjamin
dan sebaliknya pemenuhan kewajiban-kewajiban pelaku usaha dapat
dipastikan.
2. Tanggungjawab Dinas Perindustrian dan Perdagangan Apabila
Terjadi Ketidak Sesuaian Dalam Pengawasan Produksi Garam
Rakyat di Kabupaten Cirebon.
Sekarang ini penggunaan garam beryodium sedang digalakkan oleh
pemerintah, guna mengurangi timbulnya penyakit gondok, penurunan
fungsi mental, dan perkembangan fisik. Yodium sendiri merupakan salah
95
satu mineral yang penting bagi kehidupan manusia, mengingat
pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan fungsi otak.67
Dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui
pembangunan kesehatan dengan mendorong kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang, maka perlu mewujudkan
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya karena merupakan
investasi bagi pembangunan di Daerah. Gangguan akibat kekurangan
yodium merupakan masalah kesehatan khususnya gizi masyarakat dan
berdampak pada kelangsungan hidup dan sumberdaya manusia pada aspek
kecerdasan, pengembangan sosial dan ekonomi. Untuk melindungi
kesehatan melalui peningkatan gizi masyarakat sebagaimana dimaksud
maka pemerintah pusat dan daerah dalam hal ini mengeluarkan peraturan-
peraturan yang meenjamin ketersediaan garam beryodium bagi kebutuhan
masyarakat.
Berdasarkan Pasal 29 UUPK dapat diketahui bahwa, pembinaan
dalam rangka perlindungan konsumen yang diselenggarakan oleh
pemerintah merupakan upaya untuk menjamin diperolehnya hak
konsumen. Oleh sebab itu, untuk semakin menguatkan tugas pemerintah
terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen terdapat Pasal 30
UUPK tentang pengawasan yang ketentuan peraturan perundang-
67 I Dewa Nyoman S, Penentuan Status Gizi, EGC, Jakarta, 2002, hal. 163.
96
undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Berdasarkan hal tersebut
dapat diketahui bahwa, pemerintah bersifat sebagai penegak hukum yang
memiliki tanggung jawab terhadap kinerja pengawasan.
Berdasarkan data sekunder nomor 1.6.1 mengenai tanggungjawab
Pemerintah Daerah dalam pengendalian produksi dan peredaran garam,
data sekunder nomor 1.6.2 mengenai jaminan ketersediaan garam
beryodium dan garam tidak beryodium, data primer nomor 2.11 mengenai
tanggungjawab Dinas Perindustrian dan Perdagangan terhadap konsumen
dapat diketahui bahwa, secara umum tanggungjawab pemerintah terhadap
ketersediaan garam beryodium di daerah antara lain :
a. pengaturan ketersediaan garam beryodium yang memenuhi persyaratan SNI di Daerah;
b. pelarangan produksi dan peredaran garam tidak beryodium untuk konsumsi;
c. pengkoordinasian kegiatan dalam menjamin produksi dan peredaran garam yang memenuhi peryaratan SNI;
d. peningkatan kualitas garam untuk produktivitas dan kesejahteraan petani garam;
e. pengintegrasian upaya penanggulangan pencegahan gangguan akibat kekurangan yodium dengan program pembangunan di Daerah; dan
f. advokasi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota mengenai pengendalian dan pelarangan produksi serta peredaran garam tidak beryodium.
Untuk menjamin ketersediaan garam beryodium dan garam tidak
beryodium, Pemerintah Daerah melaksanakan fasilitasi, pemberian
97
bimbingan, supervisi, konsultansi, koordinasi pengawasan antar daerah,
pendidikan dan pelatihan, serta monitoring dan evaluasi.
98
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dipaparkan penulis pada Bab IV
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengawasan yang dilakukan Dinas Perindustrian dan Perdagangan
terhadap produksi garam rakyat di Kabupaten Cirebon telah melibatkan
masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat,
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
2. Tanggungjawab Dinas Perindustrian dan Perdagangan apabila terjadi
ketidak sesuaian dalam pengawasan produksi garam rakyat di Kabupaten
Cirebon adalah melakukan upaya-upaya guna menanggulangi
penyimpangan yang ditemukan dalam pengawasan produksi garam
rakyat misalnya pemberian bimbingan, supervisi, konsultasi, koordinasi
pengawasan antardaerah, pendidikan, pelatihan, monitoring, evaluasi
ataupun penarikan garam dari pasaran sampai dengan pencabutan izin.
99
B. Saran
Tanggungjawab pemerintah sebagai pelaku pengawasan dimasa
mendatang seharusnya dirumuskan secara jelas dalam peraturan perundang-
undangan, baik akibat hukum maupun bentuk tanggungjawabnya sehingga ada
landasan hukum yang pasti dan tegas.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur Buku :
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. 2010. Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers.
Jakarta.
A.Z Nasution. 2006.Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Diadit Media. Jakarta
Barkatullah, Abdul Halim. 2010. Hak-Hak Konsumen. Nusa Media. Bandung.
Febriana, Titik Triwulan Tutik dan Shita. 2010. Perlindungan Hukum bagi Pasien. PT.
Prestasi Pustakaraya. Jakarta.
Kansil, C.S.T. 1985. Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia. Aksara Baru.
Jakarta.
Kristiyanti, Celina Tri Siwi. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen. Sinar Grafika. Jakarta.
Komalawati, Veronika. 1989. Hukum dan Etika dalam Praktek dokter. Pustaka Sinar
Harapan. Jakarta.
Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT.Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta, 2006
Soemitro, Ronny Hanintijo. 1990. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia
Indonesia. Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1981. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.
Zulvadi, Dudi. 2010. Etika dan Manajemen Kebidanan. Cahaya Ilmu. Yogyakarta.
Literatur Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999Tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 Tentang
Izin Penyelenggaraan Praktik Bidan.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 369/MENKES/SK/III/2007 Tentang
Standar Profesi Bidan.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 900/Menkes/Sk/Vii/2002 tentang
Registrasi Dan Praktik Bidan
Literatur Website :
http://bidanshop.blogspot.com/2010/04/kematian-di-tangan-bidan.html
http://www.fakultashukum-universitaspancasakti.com