PENGAWASAN DAN PENDUGAAN DAMPAK KUALITAS LINGKUNGAN.doc

37
PENGAWASAN DAN PENDUGAAN KUALITAS LINGKUNGAN MAKALAH Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Pencemaran Lingkungan yang dibina oleh Ibu Frida Kunti Setiowati, S.T., M.Si. Oleh Kelompok 2: Kelompok 2/Kelas GK-HK/ Offering G-H Arifah Fikriya Z. M. (130342615339) Erni Widya Ningtiyas (130342615334) Nafisatuzzamrudah (130342615327) Nanda Agus A. T. (130342615351)

Transcript of PENGAWASAN DAN PENDUGAAN DAMPAK KUALITAS LINGKUNGAN.doc

Page 1: PENGAWASAN DAN PENDUGAAN DAMPAK KUALITAS LINGKUNGAN.doc

PENGAWASAN DAN PENDUGAAN KUALITAS LINGKUNGAN

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Pencemaran Lingkungan

yang dibina oleh Ibu Frida Kunti Setiowati, S.T., M.Si.

Oleh Kelompok 2:

Kelompok 2/Kelas GK-HK/ Offering G-H

Arifah Fikriya Z. M. (130342615339)

Erni Widya Ningtiyas (130342615334)

Nafisatuzzamrudah (130342615327)

Nanda Agus A. T. (130342615351)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

JURUSAN BIOLOGI

April 2016

Page 2: PENGAWASAN DAN PENDUGAAN DAMPAK KUALITAS LINGKUNGAN.doc

PENGAWASAN DAN PENDUGAAN DAMPAK KUALITAS LINGKUNGAN

Kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan

perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, serta pemanasan global yang semakin

meningkat yang mengakibatkan perubahan iklim dan hal ini akan memperparah penurunan

kualitas lingkungan hidup. Untuk itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan.

PENGAWASAN DAMPAK KUALITAS LINGKUNGAN

Hukum merupakan instrumen dari “sosial kontrol”, dan “sarana perubahan sosial atau

sarana pembangunan, maka pengaturan hukum diperlukan guna mencegah dan

menanggulangi dampak negatif dari pembangunan. Kebutuhan terhadap pengaturan hukum

secara komprehensif menjadi alasan bagi istilah “pengaturan hukum” sebagai bagian dari

keseluruhan judul penelitian ini. Pengaturan hukum menurut Alvi Syahrin (1999)

mencerminkan bagaimana suatu bangsa berupaya menggunakan hukum sebagai instrumen

mencegah dan menanggulangi dampak negatif dari pembangunan.

Hukum lingkungan merupakan bidang ilmu yang masih muda yang perkembangannya

baru terjadi pada dua dasawarsa terakhir ini. Apabila dikaitkan dengan peraturan perundang-

undangan yang mengatur berbagai aspek lingkungan, maka panjang atau pendeknya sejarah

tentang peraturan tersebut tergantung daripada apa yang dipandang sebagai “environmental

concern” (perhatian terhadap lingkungan)(Hardjasoemantri,1999).

Menurut Siti Sundari Rangkuti, bahwa “hukum lingkungan sebagai hukum yang

fungsional yang merupakan potongan melintang bidang-bidang hukum klasik sepanjang

berkaitan dan/atau relevan dengan masalah lingkungan hidup”.13 Artinya, hukum lingkungan

mencakup aturan-aturan hukum administrasi, hukum perdata, hukum pidana dan hukum

internasional sepanjang aturan-aturan itu mengenai upaya pengelolaan lingkungan hidup.

Pencakupan beberapa bidang hukum ke dalam hukum lingkungan berdasarkan pemikiran

para pakar ekologi, bahwa “masalah lingkungan harus dilihat dan diselesaikan berdasarkan

pendekatan menyeluruh dan terpadu”.

Law enforcementatau penegakan hukum lingkungan terhadap pencemar dan perusak

lingkungan diperlukan sebagai salah satu jaminan untuk mewujudkan dan mempertahankan

kelestarian fungsi lingkungan. Oleh karena itu, meningkatnya kepatuhan pelaku

pembangunan untuk menjaga kualitas fungsi lingkungan menjadi sasaran prioritas di bidang

penaatan lingkungan. Program-program di bidang penaatan lingkungan ini mencakup:

Page 3: PENGAWASAN DAN PENDUGAAN DAMPAK KUALITAS LINGKUNGAN.doc

pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan dan pengembangan kapasitas

pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu

dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan

perizinan. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu

dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten

terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi. Sehingga perlu

dikembangkan satu sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang

jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi

perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam serta kegiatan pembangunan lain

(Patterson,1963).

Di bidang pengendalian pencemaran, penegakan hukum pidana dan administrasi

lingkungan menjadi salah satu kegiatannya. Indikatornya adalah meningkatnya efektifitas

penegakan hukum pidana dan administrasi lingkungan, terlaksananya advokasi litigasi kasus

pidana lingkungan, pembinaan dan optimalisasi, peningkatan jumlah dan kapasitas Pejabat

Pengawas Lingkungan Hidup dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil, serta terselenggaranya

sistem penegakan hukum satu atap di daerah.

Masih dalam lingkup pengendalian pencemaran, penegakan hukum perdata dan

penyelesaian sengketa di luar pengadilan merupakan kegiatan utamanya. Indikator kegiatan

ini adalah meningkatnya efektifitas penegakan hukum perdata dan penyelesaian sengketa

lingkungan di luar pengadilan, terbentuknya jaringan antara ahli, organisasi non politik

(LSM), pengacara dalam penanganan gugatan lingkungan, Penaatan hukum di bidang

lingkungan hidup oleh para pelaku kegiatan di bidang lingkungan hidup mutlak diperlukan

untuk mencegah dampak negatif dari kegiatan yang dilakukan. Menurut struktur

ketatanegaraan di era otonomi daerah, koordinasi pengelolaan lingkungan termasuk penaatan

hukum berada di tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten dan Kota. Karena itu diperlukan kerja

sama yang baik antara institusi di tingkat pusat, dalam hal ini Kementerian Negara

Lingkungan Hidup dengan Badan Lingkungan Hidup Provinsi, utamanya dalam hal

penguatan kapasitas kelembagaan di bidang penegakan hukum.

Dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32

tahun 2009, disebutkan bahwa untuk mewujudkan kualitas lingkungan hidup yang lebih baik,

diperlukan adanya fungsi pengawasan, pemantauan dan penyidikan. Pengawasan dan

penyidikan merupakan salah satu komponen penting dalam penegakan hukum baik hukum

administrasi, perdata maupun pidana.

Page 4: PENGAWASAN DAN PENDUGAAN DAMPAK KUALITAS LINGKUNGAN.doc

Dalam melaksanakan pengawasan dan pemantauan kualitas lingkungan hidup di

daerah, Pemerintah Indonesia memiliki Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah yang

disingkat dengan (PPLHD) seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009 bahwa dalam melaksanakan

pengawasan, Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota menetapkan pejabat pengawas

lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional. Peranan, fungsi dan kedudukan serta

kewenangan PPLHD dimaksud lebih dipertegas lagi dengan Keputusan Menteri Negara

Lingkungan Hidup RI Nomor 58 Tahun 2002 tentang Tata Kerja Pejabat Pengawas

Lingkungan Hidup di Provinsi/Kabupaten/Kota.

Meskipun sudah lewat tujuh tahun dari proses perubahan terakhir UUD 1945 pada

tahun 2002, belum banyak pihak-pihak yang menaruh perhatian atas kajian konstitusi yang

bersentuhan dengan permasalahan lingkungan hidup. Padahal ketentuan hasil perubahan

membawa makna penting sekaligus secercah harapan bagi tersedianya jaminan konstitusi atas

keberlangsungan lingkungan di alam khatulistiwa ini. Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat

(4) UUD 1945 merupakan ketentuan kunci tentang diaturnya norma mengenai lingkungan di

dalam konstitusi. Secara berturut turut kedua Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28H ayat (1) : “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat

tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh

pelayanan kesehatan”.

Pasal 33 ayat (4) : “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi

ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan

lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan

ekonomi nasional”

Berdasarkan kedua Pasal tersebut di atas maka sudah jelas bahwa UUD 1945 juga

telah mengakomodasi perlindungan konstitusi (constitutional protection) baik terhadap warga

negaranya untuk memperoleh lingkungan hidup yang memadai maupun jaminan terjaganya

tatanan lingkungan hidup yang lestari atas dampak negatif dari aktivitas perekonomian

nasional.

Ketentuan ini mengandung pengertian bahwa setiap warga negara berhak dan

memperoleh jaminan konstitusi (constitutional guranteee) untuk hidup dan memperoleh

lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk tumbuh dan berkembang. Perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) adalah

upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan

Page 5: PENGAWASAN DAN PENDUGAAN DAMPAK KUALITAS LINGKUNGAN.doc

mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi

perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

Pengendalian dampak lingkungan hidup merupakan upaya untuk melakukan tindakan

pengawasan terhadap suatu aktivitas yang dilakukan oleh setiap orang terutama perusahaan-

perusahaan yang menimbulkan dampak besar tehadap lingkungan. Dalam hal ini dampak

lingkungan hidup diartikan sebagai pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yng

diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan(Santosa,2004).

Oleh karena itu upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi

kewajiban bagi negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan dalam pelaksanaan

pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber

dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain.

Ketentuan Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menetapkan bahwa pembangunan

berkelanjutan sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup,

sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan

hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan

generasi masa depan.

Pengelolaan lingkungan hidup memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya

serta perlu dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi,

serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan, sehingga

lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas

tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan.

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan

makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,

kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Upaya

pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup adalah pengelolaan

dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap

lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang

penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

PENDUGAAN KUALITAS LINGKUNGAN

Pasal 3 huruf g Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlidungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup menjelaskan bahwa perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup bertujuan untuk menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas

Page 6: PENGAWASAN DAN PENDUGAAN DAMPAK KUALITAS LINGKUNGAN.doc

lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia. Artinya bahwa orang perseorangan,

kelompok orang, atau badan hukum berhak untuk menikmati lingkungan hidup yang tertata

apik (asri) dan memenuhi syarat-syarat kesehatan, sehingga terwujud lingkungan yang

harmoni dimana manusia Indonesia dapat berkembang dalam keselarasan, keserasian, dan

keseimbangan yang dinamis. Secara tidak langsung, pemerintah mempunyai kewajiban untuk

mewujudkan suatu

lingkungan yang baik dan sehat tersebut.

Dengan adanya hak asasi sosial atau hak subjektif ini, maka setiap warga negara

berhak menuntut negara untuk mewujudkan suatu lingkungan yang baik dan sehat. Heinhard

Steiger dengan tulisan “The Fundamental Right to a Decent Environment” dalam “Trends in

Environmental Policy and Law” menyatakan bahwa “apa yang dinamakan hak-hak subjektif

(subjective right) adalah bentuk yang paling luas dari perlindungan seseorang”.

Dengan hak-hak subjektif tersebut akan diberikan kepada yang mempunyainya suatu

tuntutan yang sah guna meminta kepentingannya akan suatu lingkungan hidup yang baik dan

sehat itu dihormati, suatu tuntutan yang dapat didukung oleh prosedur hukum, dengan

perlindungan hukum oleh pengadilan dan perangkat-perangkat lainnya. Tuntutan tersebut

mempunyai 2 (dua) fungsi yang berbeda, yaitu fungsi pertama, adalah yang dikaitkan pada

hak membela diri terhadap gangguan dari luar yang menimbulkan kerugian pada

lingkungannya, sedangkan fungsi yang kedua dikaitkan pada hak menuntut dilakukannya

sesuatu tindakan agar lingkungannya dapat dilestarikan, dipulihkan atau diperbaiki.

Penegakan peraturan perundang-undangan perlu sekali bagi perlindungan hukum

lingkungan hidup seseorang. Perlindungan ini biasanya dilaksanakan melalui proses

peradilan.

Akan tetapi, adapula kemungkinan-kemungkinan lain guna penegakan hukum

lingkungan, sepeti misalnya hak untuk berperan serta dalam prosedur administratif atau untuk

mengajukan permohonan banding kepada lembagalembaga administratif yang lebih tinggi.

Apabila hak atas lingkungan yang baik dan sehat dihubungkan dengan kewajiban memelihara

kelestarian fungsi lingkungan hidup, berarti lingkungan hidup beserta dengan sumber daya

yang terdapat di dalamnya merupakan milik bersama dan dengan sendirinya tidak hanya

melindungi kepentingan individual, kelompok orang atau badan hukum saja, tetapi juga

melindungi kepentingan bersama secara menyeluruh dari orang yang mendiami lingkungan

hidup tersebut. Karena itu, masyarakat atau individu dapat mengajukan gugatan ganti

kerugian dan/atau tuntutan melakukan tindakan tertentu terhadap individu, kelompok orang

atau badan hukum yang telah melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup,

Page 7: PENGAWASAN DAN PENDUGAAN DAMPAK KUALITAS LINGKUNGAN.doc

yang membawa akibat pada terganggunya kelestarian fungsi lingkungan hidup yang baik dan

sehat tersebut. Guna mencegah terjadi permasalahan dalam pengelolaan lingkungan hidup

diperlukan sebuah pengawasan yang eligible (memenuhi syarat) dan dilengkapi dengan

perangkat-perangkat hukum sebagai dasar pengawasan itu sendiri. Secara terminologi

menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI Nomor 7 Tahun 2001 bahwa pengawasan

lingkungan hidup adalah kegiatan yang dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung

oleh PPLH dan PPLHD untuk mengetahui tingkat ketaatan penanggung jawab usaha dan atau

kegiatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan pengendalian pencemaran dan

atau kerusakan lingkungan hidup.

Ironisnya, meskipun konstitusi dan Undang-Undang berikut peraturan perundang-

undangan lainnya telah mengamanatkan bahwa pemerintah mempunyai

kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan dan/atau usaha, namun dalam

kenyataannya pengawasan dimaksud belum dapat berjalan dengan optimal.

Masih banyak kendala yang dihadapi oleh pemerintah yang dalam hal ini dijalankan

oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup

Daerah (PPLHD) untuk melakukan pengawasan dalam rangka perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup.

LICHEN

Menurut Permen Lingkungan Hidup No 12 Tahun 2010, pencemaran udara adalah

masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien

oleh kegiatan manusia, sehingga melampaui baku mutu udara yang telah ditetapkan. Zat,

energi dan/atau komponen lain tersebut disebut polutan. Polutan tersebut jika terlalu banyak

di lingkungan akan merusak lingkungan yang ada di sekitarnya baik itu manusia, hewan, dan

tumbuhan.

Beberapa tumbuhan dapat memberikan respon yang kurang baik terhadap adanya

pencemaran di udara misalnya lumut kerak. Lumut kerak dapat digunakan sebagai

bioindikator adanya pencemaran udara karena mudah menyerap zat -zat kimia yang ada di

udara dan dari air hujan. Hadiyati, dkk (2013) menyatakan bahwa talus lumut kerak tidak

memiliki kutikula sehingga mendukung lumut kerak dalam menyerap semua unsur senyawa

di udara termasuk SO2 yang akan diakumulasikan dalam talusnya. Kemampuan tersebut

yang menjadi dasar penggunaan lumut kerak untuk pemantauan pencemaran udara.

Selanjutnya, Hardini (2010) menyatakan bahwa lumut kerak adalah spesies indikator terbaik

yang menyerap sejumlah besar kimia dari air hujan dan polusi udara. Adanya kemampuan ini

Page 8: PENGAWASAN DAN PENDUGAAN DAMPAK KUALITAS LINGKUNGAN.doc

menjadikan lumut kerak sebagai bioindikator yang baik untuk melihat adanya suatu kondisi

udara pada suatu daerah yang tercemar atau sebaliknya.

Menurut Richardson (1988, dalam Wijaya, 2010), lumut kerak sangat berguna dalam

menunjukkan beban polusi yang terjadi dalam waktu yang lama. Untuk melihat apakah udara

pada suatu daerah telah tercemar atau tidak, dapat di lihat dari pertumbuhan lumut kerak yang

menempel di pohon-pohon atau batu. Lumut kerak yang berada pada suatu daerah yang telah

tercemar akan menunjukkan respon pertumbuhan yang kurang baik dibandingkan dengan

lumut kerak yang tumbuh subur di daerah yang tidak tercemar. Hardini (2010) menyatakan

bahwa pertumbuhan dan kesuburan lumut kerak kurang baik bila daerahnya telah mengalami

perubahan kondisi lingkungan akibat pencemaran udara, yang secara langsung atau tidak

langsung, dapat menyebabkan beberapa hal yang dapat menghambat pertumbuhan atau

keberadaan suatu jenis lumut kerak.

Lichen merupakan tumbuhan epifit pada pohon-pohon, di atas tanah, terutama di

daerah tundra di sekitar kutub utara. Tergolong tumbuhan perintis yang berperan dalam

pembentukan tanah. Tidak memerlukan syarat hidup yang tinggi dan tahan kekurangan air

dalam jangka waktu yang lama dan pertumbuhan talus sangat lambat. Lichen adalah spesies

indikator terbaik yang menyerap sejumlah besar kimia dari air hujan dan polusi udara.

Sensitif terhadap racun sehingga berguna sebagai indikator peringatan dini untuk memantau

kesehatan lingkungan. Distribusi dan kerapatan lichen berguna untuk mengidentifikasi daerah

yang terkontaminasi.

Lichen digunakan sebagai bahan penelitian, dengan melihat secara morfologi dan

fisiologis, karena tumbuhan ini berpotensi untuk menunjukkan adanya polusi udara.

Penelitian lainnya menggunakan bioindikator lichen yaitu Leprariasp yang tumbuh pada

pohon mahoni (Swietenia macrophyllaKing.) untuk mengetahui tingkat pencemaran Pb

di udara akibat emisi kendaraan bermotor. Peningkatan volume kendaraan akan diikuti

dengan peningkatan konsentrasi Pb pada Lepraria sp.

Pada daerah dimana pencemaran udara telah terjadi jumlah jenis yang ada akan

sedikit dan jenis yang peka sekali akan hilang. Ketiga genus tersebut Lecidea, Parmeliadan

Lecanora, merupakan genus yang resisten terhadap tampak Lecideapaling banyak

ditemukan. Umumnya Lichen tahan terhadap perubahan temperature dan kekeringan,

tetapi ada juga yang tidak tahan. Banyak diantara lichen tidak dapat bertahan terhadap polusi

udara, sensitif terhadap sulfur dioksida dan racun udara lainnya. Kematian Lichen dan

peningkatan dalam jumlah spesies yang lebih tahan dalam suatu daerah dapat dijadikan

peringatan dini akan kualitas udara yang sedang memburuk.

Page 9: PENGAWASAN DAN PENDUGAAN DAMPAK KUALITAS LINGKUNGAN.doc

Lichen sebagai tumbuhan fotosintetik membutuhkan CO2 sampai batas tertentu. Jika

kadar CO2 telah melampaui batas yang dibutuhkan, justru menurunkan laju fotosintetik.

Dengan meningkatkan SO2, CO, dan CO2 di udara akan meningkatkan suhu udara disekitar

lingkungan tersebut. Suhu yang tinggi akan meningkatkan laju respirasi dan menurunkan laju

fotosintesis. Jika hal tersebut terus berlangsung akan menyebabkan kematian lichen.

Perubahan lingkungan menyebabkan lumut kerak berubah dalam keanekaragamannya,

morfologinya, fisiologinya, genetik, dan kemampuan mengakumulasi zat pencemar udara

(Hardini,2010).

Berikut ini adalah beberapa jenis spesies yang sering ditemui sebagai bioindikator.

1. Physcia aipolia

Physcia aipolia merupakan jenis lumut kerak dari suku Physciaceae dengan ciri-ciri

melekat pada kayu, memiliki tipe talus foliose, terdapat soredia pada talusnya dan

permukaan atas dengan titik putih.

2. Parmelia sulcata

Parmelia sulcata memiliki ciri-ciri memiliki talus foliose yang berwarna hijau,

terdapat isidia dan soredia tetapi tidak memiliki lobus tidak tetap, permukaan atas

talus tanpa pori -pori dengan permukaan bagian bawah hitam. Permukaan talus

soredia bawah berwarna hitam, terdapat garis putih pada permukaan atas, dan

permukaan atas soredia tepi jarang pada batas.

3. Dirinaria picta

Dirinaria picta adalah talusnya memiliki soredia dengan bentuk membulat dan biasa,

serta terdapat lobus berlainan. Dirinaria picta ini memiliki tipe talus foliose.

Penggunaan lichen sebagai bioindikator dinilai lebih efisien dibandingkan

menggunakan alat atau mesin indikator ambien yang dalam pengoperasiannya memerlukan

biaya yang besar dan penanganan khusus (Loopi et al. 2002). Lumut kerak atau lichen

adalah salah satu organisme yang digunakan sebagai bioindikator pencemaran udara.

Page 10: PENGAWASAN DAN PENDUGAAN DAMPAK KUALITAS LINGKUNGAN.doc

Kematian lichen yang sensitif dan peningkatan dalam jumlah spesies yang lebih tahan

dalam suatu daerah dapat dijadikan peringatan dini akan kualitas udara yang memburuk

(Cambell, 2003).

PEMBAHASAN TERMINAL

Menurut Sani (2010), transportasi adalah perpindahan orang atau barang dari satu

tempat ke tempat lainnya atau dari tempat asal ke tempat tujuan dengan menggunakan sebuah

wahana yang digerakkan manusia, hewan, atau mesin. Transportasi bertujuan untuk memper-

cepat dan mempermudah perpindahan orang atau barang ke suatu tempat. Menurut Sani

(2010) fungsi transportasi terdiri dua hal, yakni: sebagai penggerak pembangunan (the

promotion function) dan melayani kegiatan nyata (the servicing function). Selain itu,

menurut Adisasmita (2011) terdapat fungsi trans-portasi yang lain. Pertama, transportasi

sebagai sektor penunjang terhadap peng-embangan kegiatan sektor-sektor lain. Kedua, fungsi

trans-portasi sebagai pendorong, artinya berfungsi untuk menyediakan jasa transportasi yang

efektif untuk menghubungkan daerah-daerah terpencil dengan daerah berkembang yang

berada di luar wilayahnya, sehingga terjadi interaksi pemba-ngunan antar kedua daerah

tersebut (Ekawati,2014).

Seiring dengan tingginya tingkat mobilisasi dan kebutuhan sarana transportasi yang

mudah, murah dan aman maka tingkat penggunaan kendaraan bermotor juga akan meningkat.

Hal ini jelas berkaitan erat dengan pencemaran udara. Sumber pencemaran udara dapat

terjadi dimana mana baik itu berasal dari sumber tidak bergerak seperti aktivitas industri,

proses alam maupun lainnya dan sumber bergerak yakni buangan emisi kendaraan bermotor

(Ramli,2015).

Menyadari pentingnya peranan moda transportasi umum, maka moda transportasi

umum atau angkutan jalan harus ditata dalam satu tempat yang terpadu. Salah satu

infrastruktur transportasi ialah terminal sedangkan berdasarkan Keputusan Menteri

Perhubungan Nomor 31 Tahun 1995, Terminal penumpang berdasarkan fungsi pelayanannya

dibagi lagi menjadi Terminal Penumpang Tipe A yang berfungsi melayani kendaraan umum

untuk angkutan antar kota dalam/antarpropinsi, angkutan kota dan angkutan pedesaan. Tipe

B untuk kendaraan umum angkutan antar kota dalam propinsi dan atau pedesaan serta tipe C

untuk kendaraan umum angkutan pedesaan. Terminal memegang peranan untuk membantu

memperlancar kegiatan transportasi terutama dalam proses pendistribusian penumpang.

Terminal terdapat di setiap kota atau kabupaten untuk menghubungkan antar kota atau antar

provinsi (Adhitama,2014). Terminal merupakan sebuah prasarana transportasi jalan untuk

Page 11: PENGAWASAN DAN PENDUGAAN DAMPAK KUALITAS LINGKUNGAN.doc

keperluan menaik turunkan penumoang, perpindahan intra dan atau antar moda transportasi

serta mengatur kedatangan dan pemberangkatan angkutan umum.

Terminal Gadang adalah salah satu dari tiga terminal besar di Kota Malang. Terminal

jenis A ini dulunya menjadi terminal penghubung Kota Malang dengan kawasan Malang

selatan, dan daerah Malang timur. Tak hanya angkot, Terminal Gadang juga menjadi tempat

transit bagi angkutan desa (angkudes). Ada jalur K1 (Gadang – Kepanjen – Karangkates), GS

(Gadang – Sumbersuko, Wagir), Gadang – Wajak, Gadang – Bululawang – Tumpang,

Gadang – Bululawang – Kepanjen, Gadang – Gondanglegi – Bantur, GWK (Gadang –

Wadung – Kepanjen), Gadang – Kepanjen – Karangkates – Ngliyep, Gadang – Kepanjen –

Pagak – Ngliyep, Gadang – Turen – Sendangbiru, TTG (Turen – Tirtosari – Gadang), dan

lain-lain.

Agak ke barat, tepatnya di depan pos polisi Gadang, yang berada di Jalan Satsuit

Tubun, terdapat pangkalan khusus angkot GL, LG, GA dan GML. Pangkalan ini memakan

halaman sebuah ruko dan dealer kendaraan bermotor. Sementara itu, di jalan kembar menuju

ke Pasar Induk Gadang, biasa menjadi pangakalan bagi bus-bus ke arah Dampit, Lumajang,

Blitar, Tulungagung, dan Trenggalek. Sementara di pojokan jalan perempatan yang menuju

ke selatan biasa dihuni oleh angkudes jalur Wajak, Gondanglegi, Bantur, serta bison jurusan

Dampit.

Pada terminal gadang, jumlah kendaraan yang keluar sebanyak 33 buah dan yang

masuk sebanyak 18 buah selama 2 jam dengan presentase perkiraan jelaga 5%. Tidak

terdapat lichen yang menempel pada pohon. Berdasarkan jumlah kendaraan yang masuk,

diperkirakan bahwa pada tiap jam terdapat 9 kendaraan yang masuk dan 17 kendaraan keluar.

Jumlah yang cukup sedikit mengingat pengamat melakukan pengamatan pada pukum 10.30-

12.45 dimana aktivitas berjalan normal dan tidak dalam keadaan ramai.

Page 12: PENGAWASAN DAN PENDUGAAN DAMPAK KUALITAS LINGKUNGAN.doc

Udara merupakan suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi

bumi. Udara merupakan komponen kehidupan yang sangat penting untuk kelangsungan

hidup manusia maupun makhluk lainnya seperti tumbuhan dan hewan (Fardiaz,

1992).Pencemaran udara adalah salah satu komponen yang mempengaruhi pencemaran

lingkungan. Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya mahkluk hidup,

zat, energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia

sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan tidak

berfungsi sesuai peruntukkannya.

Data dari Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) tahun 2010 menyebutkan polusi

udara dari kendaraan bermotor bensin menyumbang 70% karbon monoksida (CO), 100%

Plumbum (Pb), 60% hidro karbon (HC) dan 60% oksida nitrogen (NOX). Bahkan beberapa

daerah yang tingg kepadatan lalu lintasnya menunjukkan bahan pencemar seperti Pb, ozon

(O), dan CO melebihi ambang batas yang ditetapkan. Dengan tingginya tingkat penggunaan

kendaraan bermotor, tidak terkecuali angkutan umum baik luar maupun dalam provinsi

trayek angkutan kota dalam provinsi, angkutan kota dan angkutan dengan perbandingan

jumlah armada 29% jenis kendaraan umum dan 71% kendaraan pribadi maka jumlah

penumpang akan berbanding lurus dengan banyaknya jumlah kendaraan. Dengan demikian

penggunaan kendaraan bermotor dikawasan terminal juga akan meningkat yang berakibat

pencemaran udara juga ikut meningkat (Ramli,2015). Jumlah kendaraan di terminal Gadang

tidak sebanyak jumlah kendaraan yang keluar masuk di terminal yang lain. Maka dari itu,

dapat dikatakan bahwa tingkat pencemaran udara di terminal Gadang lebih rendah dari

terminal lainnya dilihat dari jumlah kendaraan yang masuk dan keluar.

Perkembangan transportasi menyebabkan masalah lalu lintas di perkotaan, antara lain:

kecelakaan, kurangnya lahan parkir untuk kendaraan pribadi, dan kongesti lalu lintas.

Kemacetan lalu lintas kendaraan bermotor menimbulkan dampak negatif dalam berbagai

aspek. Menurut Adisasmita dan Adisasmita (2011) berdasarkan waktu, kemacetan lalu lintas

akan mengurangi kelancaran lalu lintas perkotaan, sehingga waktu tempuh perjalanan lebih

lama. Berdasarkan biaya, waktu perjalanan lama dan tidak mematikan mesin kendaraan akan

mengkonsumsi bahan bakar lebih banyak. Artinya pembelian bahan bakar menjadi lebih.

Berdasarkan lingkungan, kemacetan lalu lintas akan menimbulkan polusi udara. Jumlah

kendaraan yang sedikit akan meminimalisir tingkat kemacetan sekaligus terjadi pengurangan

polusi udara yang terjadi.

Tidak ditemukan lichen pada terminal Gadang. Lichen merupakan tumbuhan epifit

pada pohon-pohon, di atas tanah, terutama di daerah tundra di sekitar kutub utara. Tergolong

Page 13: PENGAWASAN DAN PENDUGAAN DAMPAK KUALITAS LINGKUNGAN.doc

tumbuhan perintis yang berperan dalam pembentukan tanah. Tidak memerlukan syarat hidup

yang tinggi dan tahan kekurangan air dalam jangka waktu yang lama dan pertumbuhan talus

sangat lambat. Lichen adalah spesies indikator terbaik yang menyerap sejumlah besar kimia

dari air hujan dan polusi udara. Lichen sensitif terhadap racun sehingga berguna sebagai

indikator peringatan dini untuk memantau kesehatan lingkungan. Distribusi dan kerapatan

lichen berguna untuk mengidentifikasi daerah yang terkontaminasi. Lichen digunakan

sebagai bahan penelitian, dengan melihat secara morfologi dan fisiologis, karena tumbuhan

ini berpotensi untuk menunjukkan adanya polusi udara.

Pada daerah dimana pencemaran udara telah terjadi jumlah jenis yang ada akan

sedikit dan jenis yang peka sekali akan hilang. Ketiga genus tersebut Lecidea, Parmelia dan

Lecanora, merupakan genus yang resisten terhadap pencemaran. Dari ketiga genus tersebut

tampak Lecidea paling banyak ditemukan. Umumnya Lichen tahan terhadap perubahan

temperature dan kekeringan, tetapi ada juga yang tidak tahan. Banyak diantara lichen tidak

dapat bertahan terhadap polusi udara, sensitif terhadap sulfur dioksida dan racun udara

lainnya. Kematian Lichen dan peningkatan dalam jumlah spesies yang lebih tahan dalam

suatu daerah dapat dijadikan peringatan dini akan kualitas udara yang sedang memburuk.

Lichen sebagai tumbuhan fotosintetik membutuhkan CO2 sampai batas tertentu. Jika

kadar CO2 telah melampaui batas yang dibutuhkan, justru menurunkan laju fotosintetik.

Dengan meningkatkan SO2, CO, dan CO2 di udara akan meningkatkan suhu udara disekitar

lingkungan tersebut. Suhu yang tinggi akan meningkatkan laju respirasi dan menurunkan laju

fotosintesis. Jika hal tersebut terus berlangsung akan menyebabkan kematian lichen.

Perubahan lingkungan menyebabkan lumut kerak berubah dalam keanekaragamannya,

morfologinya, fisiologinya, genetik, dan kemampuan mengakumulasi zat pencemar

udara(Haridini,2010). Berdasarkan keberadaan lichen maka dapat dikatakan bahwa kualitas

udara di Terminal Gadang cukup buruk. Terdapat kandungan polusi dan tingkat pencemaran

yang tinggi sehingga lichen tidak bisa hidup. Walaupun jumlah kendaraan keluar dan masuk

di terminal Gadang sangat sedikit, tetapi tidak memperbaiki kualitas udara. Mengingat bahwa

terminal Gadang terletak pada jalan raya dan jalan lintas kota maka tidak heran bahwa

kualitas udara yang ada akan semakin buruk karena adanya polusi udara berlebih. Selain itu,

konsentrasi jelaga sebanyak 5% merupakan indikasi bahwa terdapat pencemaran di terminal

Gadang. Sumber pencemaran yang cukup besar berasal dari Industri Metalurgi Petrochemical

Tekstil, Pusat Tenaga Listrik, yang terdiri dari : Aldehida, Amoniak, Arsen, Florin, Sulfur

Dioksida, juga hasil buangan industri ini berupa padatan partikulat yang berbaur dengan

udara, seperti debu, jelaga yang dapat membentuk smog dan fog, sehingga cahaya matahari

Page 14: PENGAWASAN DAN PENDUGAAN DAMPAK KUALITAS LINGKUNGAN.doc

terhalang masuk menyinari tanaman sepenuhnya (Foy dalam Rumawas, 1971). Karbon

monoksida (CO), Nitrogen dioksida (NO2), Sulfur dioksida (SO2), Partikulat (asap atau

jelaga), Chlorofluorocarbon (CFC), Timbal (Pb), karbon dioksida (CO2) merupakan bahan

pencemar udara.

Pada terminal landungsari, diperoleh total jumlah kendaraan yang masuk sebanyak

468 buah dan jumlah kendaraan yang keluar sebanyak 584 buah. Pengamatan dilakukan

selama 2 jam, dengan jenis kendaraan yang diamati antara lain bis, angkutan umum, taksi,

maupun sepeda motor dan mobil pribadi. Diperoleh hasil persentase jelaga pada tisu sebesar

±36%. Persentase lichen pada tumbuhan di sekitar terminal sebesar ±80%. Banyaknya

kendaraan yang keluar dan masuk yaitu dengan total 1.052 mengindikasikan bahwa di

lingkungan terminal landungsari mobilitasnya padat dan dapat dikatakan ramai. Jumlah

kendaraan bermotor yang banyak mengindikasikan bahwa, tingkat pencemaran di sekitar

terminal landungsari juga tinggi. Jenis kendaraan yang berbahan bakar solar, yaitu seperti

bus, angkutan dan kendaraan pribadi dapat menambah tingginya tingkat pencemaran di

sekitar terminal landungsari. Hal tersebut dikarenakan, kendaraan yang berbahan bakar solar

umumnya menimbulkan emisi gas buang (gas CO) yang lebih besar. Emisi gas CO

merupakan salah satu penyebab terjadinya pencemaran lingkungan. Jelaga yang timbul akibat

menempelnya partikel gas buang dari knalpot kendaraan bermotor pada tissue yang disebar di

sekitar terminal landungsari menunjukkan presentase sedang yaitu berkisar kurang lebih

36%, hal ini karena tidak semua jelaga dapat menempel pada tissue yang disebar, beberapa

jelaga dapat bercampur dengan udara dan diterpa oleh angina sehingga tidak mengenai tissue.

Kondisi lichen di sekitar terminal landungsari juga sangat banyak, hal ini terlihat dari pohon

di beberapa lokasi yang berbeda di sekitar terminal landungsari, yaitu dengan presentase

80%.

Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam kehidupan perlu dipelihara

dan ditingkatkan kualitasnya sehingga dapat memberikan daya dukungan bagi mahluk hidup

untuk hidup secara optimal. Oleh karena itu, tumbuhan dapat digunakan sebagai bioindikator

yang akan menunjukan perubahan keadaan, ketahanan tubuh, dan akan memberikan reaksii

sebagai dampak perubahan kondisi lingkungan yang akan memberikan informasi tentang

perubahan dan tingkat pencemaran lingkungan (Kovacs, 1992).

Tumbuhan yang ada, terutama di sekitar pencemaran udara terjadi, dapat berguna

sebagai biological monitoring. Beberapa tumbuhan tersebut dapat memberikan respon khusus

yang sensitif terhadap adanya pencemaran di udara misalnya Lichens. Lichens dapat

digunakan sebagai bioindikator adanya pencemaran udara karena mudah menyerap zat-zat

Page 15: PENGAWASAN DAN PENDUGAAN DAMPAK KUALITAS LINGKUNGAN.doc

kimia yang ada di udara dan dari air hujan (Usuli dkk, 2013). Talus Lichens tidak memiliki

kutikula sehingga mendukung Lichens dalam menyerap semua unsur senyawa di udara,

dinyatakan dalam Hadiyati dkk, 2013. Unsur senyawa di udara, terutama keberadaan zat

pencemar udara yang melebihi ambang batas tersebut kemudian diakumulasikan dalam

talusnya. Hardini (2010) juga menyatakan bahwa Lichens adalah spesies indikator terbaik

yang menyerap sejumlah besar kimia dari air hujan dan polusi udara. Adanya kemampuan ini

menjadikan Lichens sebagai bioindikator yang baik untuk pemantauan pencemaran udara

dalam melihat adanya suatu kondisi udara pada suatu daerah yang tercemar atau sebaliknya.

Lichen merupakan hasil asosiasi simbiotik dari fungi dan alga. Jenis alga yang

bersimbiosis yaitu Cyanobacteriae atau Chlorophyceae, sedangkan fungi yang bersimbiosis

biasanya merupakan Ascomycetes, dan terkadang juga berasal dari Basidiomycetes atau

Phycomycetes. Alga merupakan bagian yang mengandung nutrient, nutrient inilah yang

memuat krolofil, sementara fungi berfungsi memberikan alga supply air dan mineral (Conti,

2001).

Umumnya, Lichen hidup sebagai epifit pada pohon-pohonan tapi dapat juga hidup di

atas tanah bahkan dapat hidup di daerah yang ekstrim, sehingga Lichens sering disebut

dengan organisme perintis Lichen sebagai tumbuhan perintis yang hidup tumbuh dialam pada

kondisi yang tidak menguntungkan. Lichen tersebut memulai pembentukan tanah dengan

melapukkan pohon dan batu-batuan serta dalam proses terjadinya tanah. Lichen sangat tahan

terhadap kekeringan. Jenis-jenis Lichens yang hidup pada bebatuan pada musim kering

berkerut sampai terlepas alasnya tetapi organisme tersebut tidak mati dan hanya berada dalam

hidup laten/dormancy. Jika segera mendapat air maka tubuh tumbuhan yang telah kering

tersebut mulai menunjukkan aktivitasnya kembali (Hasnunidah,2009) Jenis tumbuhan

perintis berpengaruh terhadap sebagian besar sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah

(Prawito, 2009). Lichens sangat sensitif terhadap pencemaran udara dan cepat menghilang

pada daerah yang mempunyai kadar polusi udara yang berat. Salah satu yang menyebabkan

ini terjadi Lichen dapat menyerap dan mengendapkan mineral dari air hujan dan udara dan

tidak dapat mengeluarkannya sehingga konsentrasi senyawa yang mematikan seperti SO2

sangat mudah masuk. Lichen melalui perannya sebagai tumbuhan perintis menjadikan dirinya

mempunyai kemampuan regenerasi yang tinggi. Dalam artian Lichen bisa tumbuh kembali

apabila kondisi udara di ekosistem tempatnya tumbuh sudah mulai pulih.

Penggunaan lichen sebagai bioindikator dinilai lebih efisien dibandingkan

menggunakan alat atau mesin indikator ambien yang dalam pengoperasiannya memerlukan

biaya yang besar dan penanganan khusus (Loopi et al. 2002). Lumut kerak atau lichen adalah

Page 16: PENGAWASAN DAN PENDUGAAN DAMPAK KUALITAS LINGKUNGAN.doc

salah satu organisme yang digunakan sebagai bioindikator pencemaran udara. Kematian

lichen yang sensitif dan peningkatan dalam jumlah spesies yang lebih tahan dalam suatu

daerah dapat dijadikan peringatan dini akan kualitas udara yang memburuk (Cambell, 2003).

Lichen diketahui merupakan tumbuhan yang peka terhap pencemaran udara. Jika

kulitas udara di suatu lingkungan telah menurun maka beberapa jenis lichen akan menghilang

seiring dengan meningkatnya konsentrasi polusi di udara. Lichen dapat mengindikasikan atau

mencirikan polusi udara khususnya yang berasal dari emisi kendaraan bermotor. Dengan

adanya pencemar di udara akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan lichen. Selain itu,

terjadi juga penurunan jumlah jenis (genus) lichen yang dapat dijadikan indikator

pencemaran udara. Beberapa jenis lichen yang dapat dijadikan bioindikator pencemaran

udara misalnya Parmelia, Hypogymnia dan Strigula(Pratiwi, 2006). Berdasarkan studi kasus

yang dilakukan di Thailand (Conti & Cecchett i, 2001), mengindikasikanbahwa ada 7 jenis

lichen dari sekitar 20 pohon yang dijadikan sampel untuk meneliti jenis lichen yang

ditemukan di daerah yang terpolusi yaitu Buelia punctata, Laurera bengaulensis, Lecanora

paliida, D. picta, Trypethelium tropicum, Graphis liberta, dan Cryptothecia sp.

Page 17: PENGAWASAN DAN PENDUGAAN DAMPAK KUALITAS LINGKUNGAN.doc

Gambar 1. Lichen di beberapa titik (Terminal Landungsari)

Gambar 2. Situasi Terminal Landungsari

Page 18: PENGAWASAN DAN PENDUGAAN DAMPAK KUALITAS LINGKUNGAN.doc

Makrozaoobentos Sebagai Indikator Pencemaran Sungai di Sekitar FMIPA (Sungai deket lepangan tenis gracak sampai belakang GLB)

Bioindikator adalah salah satu cara untuk mengetahui tingkat pencemaran dalam suatu

perairan. Menurut (Bahri,2007) menjelaskan bahwa komponen biotik dapat memberikan

gambaran mengenai kondisi fisika, kimia dan biologi dalam suatu perairan. Salah satu biota

yang dapat digunakan sebagai parameter biologi dalam menentukan kondisi suatu perairan

adalah hewan makrozoobentos. Sebagai organisme yang hidup di perairan, hewan makro

bentos sangat peka terhadap perubahan kualitas air tempat hidupnya sehingga akan

berpengaruh terhadap komposisi dan kelimpahannya.

Menurut Lee et al (1978) dalam Asra (2009), bahwa klasifikasi ekologis rendah (1,0

≤ H’ ≤ 1,59), berarti bahwa komunitas bersangkutan dalam kondisi tidak stabil dan sangat

rendah, sedangkan jika nilai H’< 1,0 itu berarti bahwa komunitas bersangkutan dalam kondisi

sangat tidak stabil. Perbedaan nilai indeks keanekaragaman jenis tersebut dipengaruhi oleh

faktor fisika, yaitu arus dan kedalaman, selain itu ketersediaan makanan bagi hewan

makrobentos tersebut.

Menurut Siahan (2012) menyatakan bahwa suatu komunitas dikatakan mempunyai

keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu

masing-masing relatif merata.Berdasarkan indeks keanekaragaman jenis dari hewan

makrobentos pada masing-masing lokasi penelitian yang diamati, dapat diketahui tingkat

pencemarannya. Menurut Anggoro (1988), kriteria tingkat kondisi perairan berdasarkan

indeks keanekaragaman jenis tersaji dalam tabel berikut :

Nilai H’ Indikasi

<1,0 Pencemaran berat, Kesuburan sulit dimanfaatkan

1 – 1,5 Pencemaran sedang sampai berat, Kesuburan sulit

dimanfaatkan

1,5 – 2 Pencemaran ringan sampai sedang, Kesuburan dapat

dimanfaatkan

>2,0 Pencemaran ringan atau belum tercemar, Kesuburan dapat

dimanfaatkan

Page 19: PENGAWASAN DAN PENDUGAAN DAMPAK KUALITAS LINGKUNGAN.doc

Sumber: (Anggoro, 1988)

Berdasarkan data hasil pengamatan yang diperoleh dapat diketahui adanya perbedaan

jumlah total individu yang sangat berbeda diantara stasiun 1 dan stasiun 2 (Dari sungai dekat

lapangan tenis gracak sampai kimia) ,3 dan 4 ( sungai belakang GLB) hal ini terjadi karena

perbedaan lokasi wilayah tempat pengamatan. Berikut adalah hasilnya :

Pada stasiun 1 ditemukan 3 spesies yaitu kepiting sungai (Parathelphusa

convexa),larva mutu penggigit dan siput berpintu dengan nilai indeks keanekaragamannya

1,04 dengan total individu yang paling sedikit daripada dua stasiun lainnya semua spesies

sebanyak 4 individu. Pada stasiun 2 ditemukan lebih banyak spesies dengan total 5 spesies

dengan rincian larva nyamuk, cacing (Tanytarsus sp.), siput kolam, kepiting sungai

(Parathelphusa convexa) dan tungau air dengan nilai indeks keanekaragamannya sebesar

1,41316 dengan total individu dari semua spesies sebanyak 9 individu. Pada stasiun 3

ditemukan 4 macam spesies yaitu larva mrutu biasa (Chironomidae Sp.), limpet air tawar,

nimfa lalat sehari (Leptoplebiidae Sp.) dan cacing (Tanytarsus sp.)dengan total individu

sebanyak 65 individu dengan nilai indeks keanekaragaman sebesar 0,65. Pada stasiun

terakhir yaitu stasiun 4 ditemukan 4 macam spesies juga dan hampir sama jenisnya seperti

pada stasiun 3 yaitu Larva mrutu biasa (Chironomidae Sp.),kepiting sungai ,limpet air tawar

dan larva lalat dengan total individu 44 dengan nilai indeks keanekaragaman sebesar 0,67.

Berdasarkan hasil perhitungan indeks keanekaragaman jenis hewan makrobentos yang

didapatkan pada Stasiun 1 sebesar 1,04, pada Stasiun 2 sebesar 1,41316, pada Stasiun 3

sebesar 0,65 dan pada stasiun 4 sebesar 0,67. Indeks keanekaragaman jenis pada Stasiun 1

dan Stasiun 2 termasuk dalam kategori rendah, sedangkan pada stasiun 3 dan 4 termasuk

dalam kategori sangat rendah. Hasil tersebut diperkuat dengan pernyataan Lee et al (1978)

dalam Sinaga (2009), bahwa klasifikasi ekologis rendah (1,0 ≤ H’ ≤ 1,59), berarti bahwa

komunitas bersangkutan dalam kondisi tidak stabil dan rendah, sedangkan kondisi ekologis

sangat rendah jika nilai H’< 1,0 itu berarti bahwa komunitas bersangkutan dalam kondisi

sangat tidak stabil. Perbedaan nilai indeks keanekaragaman jenis tersebut dipengaruhi oleh

faktor fisika, yaitu arus dan kedalaman, selain itu ketersediaan makanan bagi hewan

makrobentos tersebut.

Indeks keanekaragaman pada kategori rendah tersebut mungkin disebabkan oleh

keberadaan individu atau spesies pada semua stasiun pengamatan relatif tidak merata. Hal ini

diperkuat oleh Brower et al (1990) dalam Sinaga (2009) yang menyatakan bahwa suatu

Page 20: PENGAWASAN DAN PENDUGAAN DAMPAK KUALITAS LINGKUNGAN.doc

komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat

banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing relatif merata. Indeks

keanekaragaman jenis paling tinggi terdapat pada Stasiun 1 dan 2 yaitu sebesar 1,04 dan

1,41316 sedangkan indeks keanekaragaman jenis paling rendah terdapat pada Stasiun 3 dan

stasiun 4 yaitu sebesar 0,65 dan 0,67.

Jika ditinjau dari jumlah total individu dari semua spesies di keempat stasiun,

terdapat ketimpangan antara jumlah total individu semua spesies yang terdapat pada

stasiun 1 dan stasiun 2 yaitu 4 dan 9 individu dengan stasiun 3 dan 4 sebanyak 65 individu

dan 44 individu. Perbedaan jumlah ini sangat jauh sekali. Namun spesies yang mendominasi

dari keempat stasiun adalah sama yaitu larva mrutu biasa atau Chironomus sp yang berwarna

merah.

Berdasarkan indeks keanekaragaman jenis dari hewan makrozoobentos pada masing-

masing lokasi penelitian yang diamati, dapat diketahui tingkat pencemarannya.

Berdasarkan kategori tingkat kondisi perairan berdasarkan bioindikator makrobentos

dan data yang diperoleh dapat diketahui bahwa Stasiun 1 (H’=1,04) dan stasiun 2 (H’ =

1,41316) terindikasi pencemaran sedang hingga berat dan kesuburan sulit dimanfaatkan.

Stasiun 3 (H’=0,65) dan stasiun 4 (H’= 0,67) terindikasi pencemaran berat dan kesuburan

sulit dimanfaatkan. Pencemaran berat yang terjadi pada stasiun 3 dan 4 diduga akibat dari

gedung GLB, serta pemukiman penduduk yang dekat dengan sungai membuang limbahnya

ke dalam sungai sehingga mempengaruhi keanekaragaman hewan makrobentos.

Perbedaan jumlah total individu yang sangat berbeda diantara stasiun 1 dan satsiun 2

dengan stasiun 3 dan 4 ini terjadi karena perbedaan lokasi wilayah pengamatan. Stasiun 1 dan

2 tercemar sedang sampai berat karena lokasi stasiun satu terletak dibelakang kimia yang

merupakan gedung khusus mahasiswa kimia untuk praktikum saja sedangkan untuk teori

mahasiwa kimia kebanyakan berada di gedung 03 (GKB) sehingga walaupun terdapat

buangan limbah sisa praktikum tapi tidak terlalu banyak sehingga tingkat pencemaran

tergolong sedang sampai dengan berat. Sedangkan stasiun 3 dan 4 tercemar berat karena

kedua stasiun ini terletak tepat dibelakang Gedung Laboraturium Bersama (GLB) yang

notabene gedung ini merupakan tempat belajar sekaligus praktikum, sehingga sedikit banyak

limbah kimia dibuang ke dua stasiun ini. Pembuangan limbah kimia organik dan non organik

ini sangat berpengaruh terhadap keberadaan makrozoobentos yang hidup di dalamnya.

Stasiun 1, 2,3 dan 4 keseragamannya (E) didominasi oleh spesies larva mrutu biasa.

Larva mrutu biasa merupakan hewan dari kelas Hexapoda yaitu Chironomus sp. Hewan ini

Page 21: PENGAWASAN DAN PENDUGAAN DAMPAK KUALITAS LINGKUNGAN.doc

mengindikasikan bahwa perairan tersebut telah mengalami pencemaran bahan organik.

Menurut Fadli (2012), Chironomus sp. merupakan organisme yang termasuk dalam golongan

organisme dan merupakan indikator kunci dalam tingkat pencemaran disuatu perairan.

Hewan makrobentos yang menjadi indikator pencemaran suatu perairan selain Chironomus

sp. adalah Tubifex sp., Limnodrillus sp., dan Nais sp. Hewan makrobentos dari kelas

Oligochaeta tersebut merupakan biota toleran terhadap pencemaran bahan organik. Hal ini

diperkuat dengan pendapat Michael (1984) dalam Sinaga (2009), air yang terpolusi oleh

bahan organik yang cukup berat, hanya mengandung bakteri, jamur dan hewan yang tahan

seperti cacing Tubifex dan larva Chironomid, selanjutnya Sastrawijaya (2000) dalam

Sinaga (2009), menjelaskan bahwa keberadaan Chironomus sp. dan Tubifex sp. ,

menandakan bahwa pemanfaatan perairan untuk kegiatan domestik oleh masyarakat di sekitar

sungai, termasuk kakus. Jenis Chironomus sp. dan Tubifex sp., bersifat toleran dan memiliki

kemampuan osmoregulasi yang baik, sehingga organisme tersebut dapat menyesuaikan diri

terhadap kondisi ekstrim yang ada di sekitarnya.

Kesimpulan

Berdasarkan kategori tingkat kondisi perairan berdasarkan bioindikator makrobentos

dan data yang diperoleh dapat diketahui bahwa Stasiun 1 (H’=1,04) dan stasiun 2 (H’ =

1,41316) terindikasi pencemaran sedang hingga berat dan kesuburan sulit dimanfaatkan.

Stasiun 3 (H’=0,65) dan stasiun 4 (H’= 0,67) terindikasi pencemaran berat dan kesuburan

sulit dimanfaatkan.

Stasiun 1, 2,3 dan 4 keseragamannya (E) didominasi oleh spesies larva mrutu biasa.

Larva mrutu biasa merupakan hewan dari kelas Hexapoda yaitu Chironomus sp. Hewan ini

mengindikasikan bahwa perairan tersebut telah mengalami pencemaran bahan organik

Saran :

1. Lebih teliti saat menghitung makrozoobentos karena ukurannya kecil

2. Mengambil pasir dengan arah yang berlawanan dengan air

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, Sakti Adji. 2011. Perencanaan Pembangunan Transportasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Adhitama, Muhammad Okto dan Imam Hanafi. 2014. Dampak Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Di Kota Malang. Jurnal Reformasi Vol.4(1): 23–27

Page 22: PENGAWASAN DAN PENDUGAAN DAMPAK KUALITAS LINGKUNGAN.doc

Ekawati,Natalia Niken, Mochammad Saleh Soeaidy, Heru Ribawanto. 2014. Kajian Dampak Pengembangan Pembangunan Kota Malang Terhadap Kemacetan Lalu Lintas (Studi Pada Dinas Perhubungan Kota Malang). Jurnal Administrasi Publik (Jap) Vol. 2(1):129-133

Fardiaz, Srikandi. 1992. Polusi Udara dan Air. Yogyakarta: KanisiusHardini,Yunita. 2010. Keanekaragaman Lichen di Denpasar Sebagai Bioindikator

Pencemaran Udara. Seminar Nasional Biologi 2010Ramli, Isran, Muralia Hustim dan Yasti Nurul. 2015. Analisis Tingkat Pencemaran Udara

Pada Kawasan Terminal Malengkeri Di Kota Makassar. Program Studi Teknik Lingkungan Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Makassar

Rumawas, F. 1971. Bahan Bacaan Mata Ajaran Ekologi Tanaman Pertanian Program Pascasarjana. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Sani, Zulfar. 2010. Transportasi (Suatu Pengantar). Jakarta: UI-PressUndang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Syahrin,Alvi.1999.Pembangunan Berkelanjutan(Perkembangannya, Prinsip-Prinsip dan

Status Hukumnya). Medan: Fakultas Hukum USU Hardjasoemantri,Koesnadi.1999.Hukum Tata Lingkungan.PressYogyakarta: , Gadjah Mada

University,Santosa,Mas Achmad.2004.Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan, Makalah,

Training Pengelolaan Lingkungan Hidup Bagi Eksekutif. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup

Patterson,Edwin.1963.Law In A Scientific Age. University Press, New York : Columbia Bačkor, M. and Loppi, S. (2009) Review: Interactions of lichens with heavy metals. Biologia

Plantarum 53(2): 214-222. Conti, M.E dan Cecchetti, G (2001). Biological monitoring: lichens as bioindicators of air

pollutan assessment-a review. Environmental Pollution, 114 Hal 471-492. Jamhari, Mohammad (2014). Hubungan Kandungan Timbal (Pb) Di Udara Dengan Pb Dalam

Talus Lichen Xanthoparmelia Xanthofarinosa. Seminar Nasional VIII Pendidikan Biologi

Jovan, Sarah. (2008). Lichen Bioindication of Biodiversity, Air Quality, and Climate: Baseline Results From Monitoring in Washington, Oregon, and California. United States Department of Agriculture, Portland

Gerhardt, A (2014). Bioindicator Species and Their Use in Biomonitoring. Environmental Monitoring, Vol 1

Hasnunidah, Neni.2009.Botani Tumbuhan Rendah. Bandarlampung:Unila Mizwar, Andy (2013). Bioremediasi Bahan Pencemar Logam Berat di Udara. Institut

Sepuluh Nopember, Surabaya. Nimis, P.L., dan Tretiach, M (1995). The Lichen of Italy – a phytoclimatical outline. Crypt.

Bot. 5, 199-208. Notter, M (1988). Radionuclides in the environment around Swedish nuclear power stations,

1983. Govt. Reports announce,ents & Index Issue 11. Nurjanah, Siti., Anitasari, Yousep., Mubaidullah, Shofa dan Bashri, Ahmad (2014).

Keragaman Dan Kemampuan Lichen Menyerap Air Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara Di Kediri. Universitas Nusantara PGRI, Kediri.

Panjaitan, Desi Maria., Fitmawati dan Martina, Atria (2014). Keanekaragaman Lichen Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara Di Kota Pekanbaru Provinsi Riau. Keanekaragaman Lichen Sebagai Bioindikator Pencemaran, Volume 01: Hal 01-17.

Page 23: PENGAWASAN DAN PENDUGAAN DAMPAK KUALITAS LINGKUNGAN.doc

Prawito, P. 2009. Pemanfaatan Tumbuhan Perintis Dalam Proses Rehabilitasi Lahan Paskatambang Di Bengkulu. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 9 No. 1 p: 7-12. Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu

Sanità di Toppi, L., Pawlik-Skowrońska, B., Vurro, E., Vattuone, Z., Kalinowska, R., Restivo, F.M., Musetti, R., and Skowroński, T. (2008) First and second line mechanisms of cadmium detoxification in the lichen photobiont Trebouxia impressa (Chlorophyta). Environmental Pollution 151: 280-286

Saulovic, Durdja., Blocanin, Rade dan Rodriguez, Bibiana (2014). Bioindicators In Human Environment. Professional peper, University of Belgrede, Serbia.

Schumacher, M,. Domingo, J.L,. Liobet, J.M,. Muller, L dan Jager, J (1997). Levels of PCDD/Fingrasses and weeds collectednear a manucipal waste incinerator (1996-1997). Science Total Enviro, 218 (2-13). 175-183.

Triulzi, C., Marzino, F.N dan Vaghi, M (1996). Important alpha, beta and gamma-emitting radionuclides in lichens and mosses collected in different world areas. Annali di Chimics (86) 11-12. 699-704.

Usuli, Yuliani., Uno.D, Wirnangsi dan Baderan, Dewi W. K (2013). Lumut Kerak Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara. Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo.

Zambrano, A dan A, Nash III, T.H (2000). Lichen responses to short-term transplantation in Desierto de los Leones, Mexico city. Environmental Pollution 107, 407-417.