PENGATURAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI …digilib.unila.ac.id › 61932 › 3 › SKRIPSI TANPA BAB...
Transcript of PENGATURAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI …digilib.unila.ac.id › 61932 › 3 › SKRIPSI TANPA BAB...
PENGATURAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI KEPADA PROFESI
NOTARIS DI KOTA BANDAR LAMPUNG
Skripsi
Oleh
SANDRA APRILIAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
i
ABSTRAK
PENGATURAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI KEPADA PROFESI
NOTARIS DI KOTA BANDAR LAMPUNG
Oleh
SANDRA APRILIAN
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang utama bagi
pelaksanaan dan peningkatan pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Salah satu jenis pajak yang mempunyai
peranan besar dalam penerimaan negara adalah Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ).
PPN diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009
Dalam Undang-Undang ini diatur bahwa Notaris adalah salah satu Pengusaha
Kena Pajak atas setiap jasa yang diberikannya kepada masyarakat. Dengan adanya
pembebanan Pajak Pertambahan Nilai kepada profesi notaris, maka perlu
diketahui bagaimanakah Pengaturan jasa notaris yang dikategorikan sebagai Jasa
Kena Pajak Pertambahan Nilai juga kendala apa saja yang dihadapi dalam
pemungutan PPN atas jasa notaris tersebut.
Untuk mengkaji dan menjawab permasalahan tersebut di atas maka penulisan
skripsi ini mempergunakan pendekatan hukum normatif empiris. Sumber data
terdiri dari data primer yang di kumpulkan dengan wawancara dan dokumentasi
Analisi data menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Lokasi penelitian
dilakukan di wilayah Kota Bandar Lampung.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 197/PMK.03/2013 menyebutkan yang dikategorikan sebagai
jasa kena Pajak Pertambahan Nilai adalah Notaris yang penghasilan brutonya
selama satu tahun buku melebihi Rp. 4.800.000.000. adapun kendala notaris yang
terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kota Bandar Lampung adalah tidak
dapat melakukan pelaksanaan pemungutan PPN terhadap kliennya yang datang.
Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu adanya keberatan dari klien atas
pembayaran PPN. Dengan demikian, upaya yang dilakukan Notaris yaitu Notaris
membuat sendiri dan menghitung jumlah PPN yang harus dibayar klien dan
memasukkannya ke dalam jumlah harga pembuatan akta atau penggunaan
jasanya.
Disarankan kepada Pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Pajak hendaknya
jasa hukum yang diberikan oleh seorang Notaris tidak dimasukkan sebagai jasa
yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana yang juga diberikan
terhadap beberapa jenis jasa lainnya yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan
Nilai.
Kata Kunci : Pajak Pertambahan Nilai, Jasa Notaris.
ii
ABSTRACT
THE VALUE ADDED TAX REGULATION FOR THE NOTARY
PROFESSION IN BANDAR LAMPUNG CITY
By
SANDRA APRILIAN
Tax is one of the main income of the country for implementation and improvement
of the development which are aimed to improve the prosperity and welfare of the
people. One of the kinds of taxes which has a great role in the incomes of the state
revenue is Added Values Tax ( PPN ). PPN stipulated based on the Laws No. 42
of 2009 In this law is arranged that Notary is one of the intrepreneur hit lease to
the each, every given services it to society. By the existence of the burden of
Added Values Tax on the notary profession, then it is necessary to know the
regulation of the services of Notary can be categorized as the Service Levied by
Addes Values Tax and what obstacles which are faced in the collection of Added
Values Tax on the service of Notary.
To analyze and answer the above mentioned problems then the writer of this
Essay uses empirical normative approach. This data source consist of secondary
data and primary data collected through interviews and documentation analysis
of data using descriptive qualitative analysis. The location of the research is the
region of Bandar Lampung City
The results of this study indicate that Regulation of the Minister of Finance of the
Republic of Indonesia Number 197 / PMK.03 / 2013 states that categorized as
Taxable Value-Added Services is a Notary whose gross income for one financial
year exceeds Rp. 4,800,000,000. as for the notarial constraints who are
registered as Added Values Levied Entrepenurs at Bandar Lampung City cannot
perform Added Values Taxes collection on their clients. It is caused by some
matters, such as the objection of the clients to paying Added Values Tax. Thus, the
efforts made by notaries that they make and calculate the ammount of Added
Values Tax which should paid by clients and put it in the amount of the price of
making deeds or using their services.
It is suggested that the government, especially Directorate General of Tax the
provider of legal service the service provided by notary are not included as the
service which are levied with Added Values Tax as those provided on other kinds
of services which are not levied with Added Values Tax.
Keywords : Added Values Tax, The Service of Notary.
iii
PENGATURAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI KEPADA PROFESI
NOTARIS DI KOTA BANDAR LAMPUNG
Oleh
SANDRA APRILIAN
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Pada
Bagian Hukum Administrasi Negara
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
iv
Judul Skripsi : PENGATURAN PAJAK PERTAMBAHAN
NILAI KEPADA PROFESI NOTARIS DI
KOTA BANDAR LAMPUNG
Nama Mahasiswa : Sandra Aprilian
No. Pokok Mahasiswa : 1612011338
Bagian : Hukum Administrasi Negara
Fakultas : Hukum
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Yuswanto, S.H., M.Hum. Nurmayani, S.H., M.H.
NIP. 19620514 198703 1 003 NIP. 19611219 198803 2 002
2. Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara
Syamsir Syamsu, S.H., M.Hum.
NIP. 19610805 198903 1 005
5
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua Penguji : Prof. Dr. Yuswanto, S.H., M.Hum. ..……………
Sekretaris/Anggota : Nurmayani, S.H., M.H. ..……………
Penguji Utama : Upik Hamidah, S.H., M.H. ..……………
2. Dekan Fakultas Hukum
Prof. Dr. Maroni, S.H., M.Hum.
NIP. 19600310 198703 1 002
Tanggal Lulus Ujian Skripsi : 27 Februari 2020
vi
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertandatangan dibawah ini:
Nama : Sandra aprilian
Nomor Induk Mahasiswa : 1612011338
Bagian : Hukum Administrasi Negara
Fakultas : Hukum
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Pengaturan Pajak
Pertambahan Nilai Kepada Profesi Notaris Di Kota Bandar Lampung”
adalah hasil karya saya sendiri.Semua hasil tulisan yang tertuang dalam skripsi ini
telah mengikuti kaidah penulisan karya ilmiah Universitas Lampung. Apabila
kemudian hari terbukti bahwa skripsi ini merupakan hasil salinan atau dibuat oleh
orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan
akademik yang berlaku.
Bandar Lampung, 27 Februari 2020
Pembuat Pernyataan
Sandra Aprilian
NPM. 1612011338
vii
RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap penulis adalah Sandra Aprilian .Penulis
dilahirkan di Pringsewu pada tanggal 12 April 1998.Penulis
adalah anak keempat dari empat bersaudara, buah hati dari
pasangan Bapak Abdul Hanan dan Ibu Amalita.
Pendidikan formal yang penulis tempuh dan selesaikan adalah Sekolah Dasar
(SD) Yayasan Al-kautsar Bandar Lampung lulus pada tahun 2010, Sekolah
Menengah Pertama (SMP) Yayasan Al-kautsar Bandar Lampung lulus pada tahun
2013, Sekolah Menengah Atas (SMA) Yayasan Al-kautsar Bandar Lampung lulus
pada tahun 2016. Penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Lampung pada tahun 2016. Penulis juga telah mengikuti program
pengabdian langsung kepada masyarakat yaitu Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa
Pempen, Kecamatan Gunung Pelindung, Kabupaten Lampung Timur, selama 40
hari sejak bulan Januari sampai dengan bulan Februari 2019.
viii
MOTTO
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan”
(Q.S: Al-Insyirah Ayat 5 )
“Balas dendam terbaik adalah dengan memperbaiki dirimu”
(Ali Bin Abi Thalib)
“Tidak ada yang lebih bernilai bagi manusia sebagai manusia
melainkan apa yang didapatkannya dengan bersusah payah”
(Max Weber)
ix
PERSEMBAHAN
Dengan segala ketulusan hati kupersembahkan karya Skripsi ini kepada:
Papa dan Mama
Ayahanda Abdul Hanan dan Ibunda Amalita yang selalu memberikan cinta, kasih
sayang, do’a, dukungan moral, spiritual yang tak pernah berhenti dan takkan
mampu terbalas yang akan terus hadir melengkapi perjalanan hidup ini.
Kakak-kakak yang ku banggakan
Terimakasih atas segala canda dan tawa
serta yang selalu memotivasi, melindungi, memberi bantuan, dan memberikan
doa untuk keberhasilanku.
Sahabat-sahabatku, terima kasih atas kasih sayang tulus yang diberikan, semoga
Allah membalas segala budi yang kalian berikan di dunia maupun di akhirat.
Almamater tercinta Universitas Lampung
Sebagai langkah awal untukku belajar dan berkarya agar lebih baik dan
membanggakan
x
SAN WACANA
Alhamdulillahirabbil „alamin, Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang
berjudul “Pengaturan Pajak Pertambahan Nilai Kepada Profesi Notaris Di
Kota Bandar Lampung” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penyusunan skripsi dengan
terselesaikannya skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan
terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Yuswanto, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I, yang
telah membimbing, memberikan arahan, dan masukan sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini;
2. Ibu Nurmayani, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan, ilmu serta saran dan masukan dalam proses
pembuatan skripsi ini;
3. Ibu Upik Hamidah, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I yang telah
memberikan kritik, saran dan masukan dalam proses perbaikan skripsi ini;
4. Ibu Eka Deviani, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas II yang telah
memberikan kritik, saran dan masukan dalam proses perbaikan skripsi ini;
xi
5. Bapak Prof. Dr. Karomani, M.Si selaku Rektor Universitas Lampung
6. Bapak Prof. Dr. Maroni, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung;
7. Bapak Syamsir Syamsu, S.H., M.Hum. selaku Ketua Bagian Hukum
Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung;
8. Bapak Budi Rizki Husin, S.H., M.H. selaku dosen Pembimbing Akademik
yang telah membimbing penulis selama ini dalam perkuliahan.
9. Seluruh dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah
berdedikasi dalam memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama
menempuh studi;
10. Para staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung, terutama
Bapak Yani dan Mbak Dewi terima kasih selalu membantu penulis dalam
berjalannya proses pembuatan skripsi ini;
11. Teristimewa kepada kedua orang tuaku Ayahanda Abdul Hanan dan Ibunda
Amalita yang telah mencintai, membesarkan, mendidik, dan memberikan
segala dukungan kepadaku semoga Allah selalu memberikan kebaikan dan
kebahagiaan untuk ibu dan bapak di dunia maupun di akhirat kelak;
12. Kepada kakak-kakak ku tercinta, Tetra Permana , Zela Iriana, Arlen Padila.
terima kasih atas segala canda tawa, motivasi, kasih sayang dan juga untuk
selalu siaga melindungi adikmu serta kepada seluruh keluarga besar yang
telah mendo‟akanku.
13. Sahabatku Alma Wulandari, Bimanta Indra, Dewi Shinta, Dinilia Apriliani,
Lailatul Khasanah, Ridho Rahmandana, Rizky Suryo, Sahidanty Zulkarima
yang telah menghabiskan waktu bersamaku dalam setiap petualangan,
xii
perdebatan, pertikaian, kebahagian, kesedihan dan segala hal yang terjadi
selama ini, walaupun masih banyak impian yang belum tercapai aku yakin
kita bisa menggapainya bersama;
14. Sahabat seperjuanganku di Softball Lampung, Anggota Grup “Dolphin”;
Dany Prayoga, Luthfi Arif Rahman, Maulana Kelvin, Miftahul Risko, yang
sudah menemaniku semenjak awal sampai akhirnya skripsi ini dapat
diselesaikan, terima kasih atas persahabatan tanpa pengkhianatan yang indah,
kekompakan, canda tawa dan keseruan selama ini. Semoga kita semua meraih
kesuksesan dan masih bisa meluangkan waktu untuk berkumpul bersama;
15. Kepada rekan Annisa, Bela Muhdayani, Gilang Ramadhan, Ratu Putri
Fredicia, Rodhatul Nashikin, Salsabila Hanifah, syafriko, Singgih Sutandiyo,
Veni Miranda dan Teman-Teman bagian Hukum Administrasi Negara serta
seluruh teman-teman angkatan 2016 yang tidak dapat saya sebutkan satu-
persatu, terima kasih telah memberikan banyak pengalaman dan pertemanan
yang sangat berkesan;
16. Kepada teman-teman seperjuangan KKN Desa Pempen, Kabupaten Lampung
Timur; Anna, Andestya, Anita, Asyara, Elita Handika, dan seluruh teman
KKN dari Kecamatan Gunung Pelindung, terima kasih atas pengalaman
pengabdian yang luar biasa selama 40 hari dalam kesedihan maupun
kebahagiaan, penulis meminta maaf jika ada salah dan kekurangan ketika
bersama kalian, dan penulis berharap kebahagiaan dan kesuksesan adalah
masa depan kita semua;
17. Terimakasih kepada seluruh pihak yang telah berperan di dalam kehidupan
penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
xiii
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas bantuan dan dukungan yang telah
diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk
menambah wawasan keilmuan bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis
pada khususnya.
Bandar Lampung, 27 Februari 2020
Penulis
Sandra Aprilian
NPM. 1612011338
xiv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................... i
ABSTRACT ......................................................................................................... ii
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... iii
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................... iv
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ v
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ vi
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. vii
MOTTO ............................................................................................................... viii
PERSEMBAHAN ................................................................................................ ix
SANWACANA .................................................................................................... x
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
1.2. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian .................................... 6
1.2.1. Permasalahan .......................................................................... 6
1.2.2. Ruang Lingkup ....................................................................... 7
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian........................................................ 7
1.3.1. Tujuan Penelitian .................................................................... 7
1.3.2. Kegunaan Penelitian ............................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 9
2.1. Tinjauan Tentang Pajak ...................................................................... 9
2.1.1. Pengertian Pajak dan Ciri-Ciri Pajak ...................................... 9
2.1.2. Fungsi Pajak ........................................................................... 11
2.1.3. Prinsip-Prinsip Pemungutan Pajak ......................................... 12
2.1.4. Pemungutan Pajak .................................................................. 14
2.1.5. Sistem Pemungutan Pajak ...................................................... 15
2.1.6. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai ...................................... 17
2.1.7. Subyek dan Obyek PPN ......................................................... 21
2.1.8. Dasar Pengenaan PPN ............................................................ 26
2.1.9. Sistem dan Mekanisme PPN di Indonesia .............................. 27
2.1.10. Sifat PPN di Indonesia ........................................................... 32
2.2. Profesi Notaris Dari Segi Perpajakan ................................................. 33
2.2.1. Jabatan Notaris ....................................................................... 33
2.2.2. Notaris Sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi .......................... 39
2.2.3. Notaris Sebagai Pengusaha Kena Pajak ................................. 43
xv
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 47
3.1. Pendekatan Masalah ........................................................................... 47
3.2. Jenis Data ........................................................................................... 48
3.3. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data .................................... 49
3.4. Analisis Data ...................................................................................... 50
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................... 51
4.1. Pengaturan Pajak Pertambahan Nilai Kepada Profesi Notaris ........... 51
4.1.1. Kriteria Jasa Notaris Yang Dibebankan PPN ......................... 56
4.1.2. Dasar Hukum Pengenaan Pajak dan Tarif PPN Atas Jasa
Notaris .................................................................................... 61
4.1.3. Surat Pemberitahuan Masa PPN ............................................. 63
4.1.4. Cara Pemungutan PPN Dari Notaris ...................................... 65
4.2. Faktor Penghambat Dalam Pemungutan PPN Kepada Profesi
Notaris ................................................................................................ 67
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 72
5.1. Kesimpulan ........................................................................................... 72
5.2. Saran ..................................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara yang besar dan
berdaulat yang menjadi rumah bagi berbagai macam suku bangsa, etnis dan
budaya. Indonesia juga memiliki kewajiban untuk melayani kebutuhan dari
masyarakatnya melalui berbagai macam bentuk penyelenggaraan tugas negara.
Untuk mencapai hidup sejahtera, negara membutuhkan dana yang tidak sedikit
untuk membiayai berbagai keperluan pembangunan. Penyelenggaraan tugas
negara tersebut memerlukan biaya yang identik dengan uang. Untuk mendapatkan
uang, selain mencetak sendiri atau meminjam dari luar negeri, banyak jalan yang
ditempuh oleh Pemerintah, salah satunya dalam Anggaran Pendapatan Belanja
Negara (APBN) yang menyebutkan bahwa pajak merupakan salah satu sumber
pendapatan negara guna pembiayaan negara baik bagi kegiatan rutin maupun
kegiatan pembangunan. Bahkan pajak sudah merupakan sumber pembiayaan
utama, sehingga keberadaannya merupakan suatu keharusan, terutama dalam
melakukan pembangunan termasuk di negara Indonesia.
Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma
umum, dan yang dapat dipasalkan, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat
2
ditunjukan dalam hal yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai
pengeluaran pemerintah. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang
tergantung oleh pribadi atau berarti yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-
Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi keakmuran rakyat.1
Ketentuan pajak telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Pasal
23 A menyatakan bahwa “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur oleh Undang-Undang”. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bahwa
:” Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Salah satu jenis pajak yang mempunyai peran besar dalam sumber penerimaan
negara yaitu Pajak Pertambahan Nilai. Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang
dikenakan terhadap penyerahan atau impor Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak yang dilakukan Oleh Pengusaha Kena Pajak, dan dapat dikenakan berkali-
kali setiap ada pertambahan nilai dan dapat dikreditkan.2
Pajak Pertambahan Nilai diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas
1 Yuswanto.Hukum Pajak Daerah, Program Pasca Sarjana Program Magister Hukum Fakultas
Hukum Universitas Lampung. Bandar Lampung. hlm. 9 2 Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsya. 2015. Pokok-Pokok Hukum Perpajakan.
Yogyakarta: Pustaka Yustisia. Hlm. 88.
3
Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah untuk selanjutnya disebut dengan Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai 2009.
Berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Nomor 42 Tahun 2009,
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena pajak dan Jasa
Kena pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak. Suatu kegiatan
penyerahan jasa dapat dikenakan Pajak Pertambahan nilai sepanjang memenuhi
syarat :
a. jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak;
b. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
c. penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak
yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara
Cuma-Cuma.3
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 2009 memberikan kriteria-kriteria jasa
yang dapat dibebankan Pajak pertambahan nilai yaitu jasa yang diberikan oleh
pengusaha Kecil. Hal tersebut termaksut dalam pasal 3A ayat I yang berbunyi:
Jasa yang dapat dibebankan Pajak Pertambahan Nilai yaitu jasa yang diberikan
oleh bukan Pengusaha kecil. Batasan pengusaha kecil tersebut ditetapkan oleh
Menteri Keuangan. Menteri Keuangan menggolongkan Pengusaha Kecil yaitu
3 Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, LN. No. 150 Tahun 2009, TLN No. 5069, Pasal 4 huruf c
4
pengusaha yang berpenghasilan Bruto Rp. 4.800.000.000,00 (empat Milyar
delapan ratus juta rupiah) dalam satu tahun, Sebagaimana yang termaksut dalam
Peraturan Menteri Keuangan NOMOR 197/PMK.03/2013 yang menyebutkan
bahwa:
Pengusaha kecil merupakan pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan
jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Pasal 4 ayat (1)
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 197/PMK.03/2013
menyebutkan bahwa:
Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah
peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Undang-undang menggolongkan Notaris Sebagai Pengusaha Kena Pajak,
sehingga Notaris yang bukan tergolong Pengusaha Kecil menurut Menteri
Keuangan tersebut diatas, wajib melaporkan kegiatan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, sehingga jasa- jasa yang diberikannya
dibebankan Pajak Pertambahan Nilai.
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan
memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini
5
atau berdasarkan undang-undang lainnya.4 Notaris adalah sebagai Pejabat Umum
yang berwenang untuk menjalankan sebagian kekuasaan negara dalam bidang
pelayanan jasa pembuatan akta otentik dan tugas-tugas lain yang dibebankan
kepada Notaris yang menjadi tugas dan kewenangannya.
Terdapat jasa-jasa yang diberikan oleh profesi-profesi lain selain Notaris menurut
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Nomor 42 Tahun 2009, tidak dapat
dibebankan Pajak Pertambahan Nilai adalah Jasa pelayanan medis dan jasa
pelayanan sosial tersebut yaitu jasa Dokter, jasa kebidanan, jasa psikolog dan
masih terdapat beberapa jasa lainnya.5 hal tersebut menimbulkan rasa
ketidakadilan terhadap profesi Notaris karena fungsinya sama-sama melakukan
pelayanan kepada masyarakat untuk menjalankan sebagian kekuasaan Negara.
Dalam praktek yang terjadi di Bandar Lampung sekarang ini, terdapat Notaris di
Bandar Lampung yang tidak memungut PPN atas jasa hukum yang diberikannya,
namun terdapat pula yang memungut PPN atas jasa hukum yang diberikannya.
Apabila memperhatikan adanya ketidakseragaman mengenai pemungutan PPN
tersebut, hal ini menimbulkan pertanyaan yang mengaitkan dengan rasa keadilan
dalam masyarakat. Jasa hukum yang seharusnya melayani segala macam lapisan
masyarakat untuk memperoleh keadilan dan perlindungan hukum namun tetap
dibebankan dengan pungutan PPN. Bila masyarakat kecil dan tidak mampu yang
menggunakan jasa Notaris tetap dibebankan PPN, apakah hal ini tidak semakin
menambah beban masyarakat yang sedang mengupayakan mendapat keadilan dan
4 Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatn Notaris 5 pasal 6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 144 Tahun 2000 Tentang Jenis Barang
Dan Jasa Yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
6
kepastian hukum. Dapat pula dimungkinkan sebagian masyarakat akan memilih
menggunakan jasa Notaris yang tidak mengenakan PPN atas jasa Notaris
sehingga hal ini dapat semakin meningkatkan persaingan antar Notaris dalam
memberikan jasanya, Sehingga dikhawatirkan menimbulkan kecurangan antara
sesama notaris untuk tidak mengkukuhkan dirinya sebagai Pengusaha Wajib
Pajak.
Oleh karena hal-hal tersebut di atas, Pemungutan PPN oleh Notaris terhadap jasa
yang diberikannya merupakan hal yang menarik untuk diteliti lebih lanjut.
Terlebih lagi dengan mengingat bahwa Indonesia adalah negara hukum dengan
sistem perpajakan yang menganut sistem self assessment di mana Wajib Pajak
diberi kepercayaan menghitung, memperhitungkan dan melaporkan pajak
terutangnya yang bila tanpa adanya kesadaran yang penuh, dapat saja terjadi
Wajib Pajak mungkin akan berusaha agar ia membayar pajak terutangnya
serendah mungkin.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis akan melaksanakan penelitian dan
menuangkannya ke dalam Skripsi yang berjudul: “Pengaturan Pajak Pertambahan
Nilai Kepada Profesi Notaris Di Kota Bandar Lampung”.
1.2 Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian
1.2.1 Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas. permasalahan yang akan
dianalisis dalam penelitian ini secara terperinci, dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan dalam pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
Kepada Profesi Notaris di Bandar Lampung?
7
2. Faktor-faktor apakah yang menjadi penghambat dalam pemungutan Pajak
Pertambahan Nilai Kepada jasa Notaris Sekarang ini?
1.2.2 Ruang Lingkup
Ruang lingkup bidang ilmu dalam penelitian adalah Hukum Administrasi Negara
yang dibatasi pada kajian mengenai Optimalisasi Pemungutan Pajak Pertambahan
Nilai kepada Profesi Notaris. Ruang lingkup lokasi penelitian adalah di Kota
Bandar Lampung dan waktu penelitian dilaksanakan pada Tahun 2019.
1.3 Tinjauan dan Kegunaan Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaturan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Kepada
Profesi Notaris di Bandar Lampung
2. Untuk mengetahui faktor penghambat pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
Kepada Profesi Notaris di Bandar Lampung
1.3.2 Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam menambah wawasan dan
kajian Hukum Administrasi Negara, khususnya Hukum Pajak yang berkaitan
dengan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Kepada Profesi Notaris.
8
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan berguna sebagai berikut: .
a. Bagi Penyelenggara Pemungut Pajak, sebagai sumbangan pemikiran dan
kontribusi ilmiah dalam mengoptimalkan penerimaan Pajak Pertambahan
Nilai Profesi Notaris
b. Bagi Notaris, sebagai salah satu referensi dalam pelaksanaan pembayaran
PPN sesuai dengan peraturan yang ada
c. Bagi masyarakat, sebagai salah satu sumber informasi mengenai
pelaksanaan pemungutan PPN dari Profesi Notaris.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tentang pajak
2.1.1 Pengertian dan Ciri-Ciri Pajak
Menurut bahasa, kata pajak dikenal sebagai tax (Inggris), import contribution,
droit (Prancis), steuer, abagade, gebuhr (Jerman), tributo, gravamen, tasa
(Spanyol), Belasting (Belanda). Beberapa para sarjana mengemukakan
pendapatnya mengenai pengertian pajak, salah satunya ialah Dr. Soeparman
Soemahamidjaja. Menurut Dr. Soep arman Soemahamidjaja, Pajak adalah iuran
wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-
norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif
dalam mencapai kesejahteraan umum.6
Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh
kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang untuk menutup belanja
pemerintah. Pajak sebagai bantuan uang secara insidental atau secara periodik
(dengan tidak ada kontraprestasinya), yang dipungut oleh badan yang bersifat
umum (negara), untuk memperoleh pendapatan, di mana terjadi suatu tatbestand
6 Yuswanto, dkk,Op.Cit., hlm. 3-4
10
(sasaran pemajakan), yang karena Undang-Undang telah menimbulkan hutang
pajak.7
Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang pada penguasa
(menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum) tanpa kontraprestasi dan
semata-mata digunakan untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran umum. Uang
pajak digunakan untuk produksi barang dan jasa, jadi benefit diberikan kepada
masyarakat hanya tidak mudah ditunjukkannya apalagi secara perorangan.8
Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa
berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang
dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. Pajak merupakan
prestasi kepada pemerintah yang terhutang melalaui norma-norma umum dan
yang dapat dipaksakan tanpa adakalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan
dalam hal yang individual untuk membiayai pengeluaran pemerintah.
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang
langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum. Dapat dipaksakan berarti bila utang pajak tidak dibayar maka utang itu
dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan, seperti surat paksa dan sita, dan
juga penyanderaan.9
7 Siti Resmi. Perpajakan: Teori dan Kasus. Edisi Pertama. Salemba Empat, Jakarta , 2008. hlm.3 8 Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu. Perpajakan: Konsep, Teori, dan Isu. Kencana, Jakarta
2006. hlm. 12. 9 Yuswanto, Nurmayani, Marlia Eka Putri dan Eka Deviani. Hukum Pajak. PKKPUU FH Unila.
Bandar Lampung. 2013. hlm. 3.
11
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang
langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum.10
2.1.2 Fungsi Pajak
Pajak mempunyai fungsi penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam
pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara
untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Pajak
mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut: .
1. Fungsi anggaran (budgetair)
sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara
dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini
dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk
pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan
lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari
tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran
rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai
kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini
terutama diharapkan dari sektor pajak.
10 Waluyo dan Wirawan B. Ilyas. Perpajakan Indonesia. Salemba Empat, Jakarta, 2007. hlm. 12.
12
2. Fungsi mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan
pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk
mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal,
baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas
keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri,
pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
3. Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan
kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat
dikendalikan, hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur
peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang
efektif dan efisien.
4. Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai
semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan
sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat.11
2.1.3 Prinsip-Prinsip Pemungutan Pajak.
Pemungutan pajak dipungut harus berdasarkan undang- undang sebagaimana
ketentuan Pasal 23 UUD 1945, bahwa segala pajak untuk keperluan negara
berdasarkan undang-undang. Sebab pajak merupakan beban yang harus dipikul
11 Direktorat Jenderal Pajak. Masalah Pajak di Indonesia. Jakarta. 2005. hlm 2-3
13
masyarakat, sehingga perumusan macam, jenis berat dan ringannya tarif pajak
harus pula keikutsertaan rakyat yang diwakili oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Karena bentuknya berupa undang-undang maka pajak dapat dipaksakan kepada
wajib pajak. Pelanggaran atas peraturan perpajakan akan menyebabkan wajib
pajak dapat dikenakan sanksi. Hal ini merupakan konsep negara hukum yang
menganut asas legalitas, sehingga setiap tindakan negara (pemerintah) harus
didasarkan oleh hukum dalam bentuknya sebagai peraturan.12
Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi,
masyarakat akan enggan membayar pajak, namun bila terlalu rendah, maka
pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar tidak
menimbulkan berbagai masalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi
beberapa prinsip sebagai berikut:
a. Pemungutan pajak harus adil Seperti halnya produk hukum pajak pun
mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak.
Adil dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya.
Contohnya adalah dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak,
pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai
wajib pajak dan sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum
sesuai dengan berat ringannya pelanggaran.
b. Pengaturan pajak harus berdasarkan undang-undang Pasal 23A UUD 1945
menjelaskan bahwa pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara
diatur dengan Undang-Undang. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
12 Yuswanto, Hukum Pajak Daerah, Posisi Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Edisi Revisi). Indepth Publishing. Bandar
Lampung. 2015. hlm. 9
14
dalam penyusunan UU tentang pajak, yaitu pemungutan pajak yang dilakukan
oleh negara yang berdasarkan UU tersebut harus dijamin kelancarannya
c. Jaminan hukum Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak
diperlakukan secara umum. Jaminan hukum akan terjaganya kerasahiaan bagi
para wajib pajak
d. Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian Pemungutan pajak harus
diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian,
baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan
sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha
masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah.
e. Pemungutan pajak harus efesien Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka
pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima
lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu,
sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan.
Dengan demikian, wajib pajak tidak 20 akan mengalami kesulitan dalam
pembayaran pajak baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu.13
2.1.4 Pemungutan Pajak
Pemungutan pajak adalah kegiatan atau aktivitas mengambil pajak yang harus
dibayarkan oleh wajib pajak oleh petugas atau lembaga yang memiliki
kewenangan memungut pajak, sebagai pembayaran atas imbalan atas penggunaan
13 Joseph R. Kaho. Keuangan di Era Otonomi Daerah. Rineka Cipta. Jakarta. 2007. hlm 46-47
15
fasilitas atau jasa yang diberikan terhadapnya. Pembayaran tersebut bersifat wajib
karena si pembayar telah memanfaatkan fasilitas atau jasa dari orang lain.14
Pemungutan pajak adalah kegiatan mengambil pajak sebagai kewajiban dari wajib
pajak atas penggunaan fasilitas, pelayanan/jasa atau bidang pekerjaan tertentu
yang digunakan oleh seseorang untuk kepentingannya.15
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka yang dimaksud dengan
pemungutan pajak dalam penelitian ini adalah kegiatan atau aktivitas mengambil
pajak dari wajib pajak atas fasilitas atau bidang pekerjaan yang ditekuninya
sebagai sebuah profesi. .
2.1.5 Sistem Pemungutan Pajak
Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban
pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para
wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya,
jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar
pajak.
Keberhasilan reformasi administrasi perpajakan kedepan adalah kapasitas
administrasi perpajakan dalam mengimplementasikan struktur perpajakan secara
efisien dan efektif. Hal ini meliputi pengembangan sumber daya manusia,
teknologi informasi, struktur organisasi, proses dan prosedur, serta sumber daya
finansial dan insentif yang cukup.
14 Mardiasmo, Perpajakan, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2012.hlm.7 15 Kunarjo, Hukum Perpajakan Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta. 2008. hlm. 56
16
Sasaran administrasi pajak yaitu meningkatkan kepatuhan para pembayar pajak,
dan melaksanakan ketentuan perpajakan secara seragam untuk penerimaan
maksimal dengan biaya yang optimal. Efektivitas administrasi pajak bukanlah
satusatunya indikator kepatuhan pajak, di negara-negara yang memiliki derajat
ketidakpatuhan wajib pajaknya tinggi, kemampuan administrasi pajak untuk
memungut pajak yang efektif merupakan kunci pembentukan perilaku pembayar
pajak. Sistem pemungutan pajak bersifat dinamik sebagai upaya peningkatan
penerapan kebijakan perpajakan yang efektif. Kriteria fisibilitas administrasi
menuntut agar sistem pajak baru meminimalisir biaya administrasi (administrative
cost) dan biaya kepatuhan (compliance cost) serta menjadikan administrasi pajak
sebagai bagian dari kebijakan pajak.16
Elemen dasar sistem perpajakan adalah komitmen politik yang berkelanjutan, staf
yang mampu berkonsentrasi terhadap pekerjaan dalam jangka panjang, strategi
yang tepat, pendidikan dan pelatihan pegawai serta tersedianya dana dan sumber
daya lain yang cukup. Dua tugas utama reformasi administrasi perpajakan adalah
untuk mencapai efektivitas yang tinggi, yaitu kemampuan untuk mencapai tingkat
kepatuhan yang tinggi dan efisiensi berupa kemampuan untuk membuat biaya 22
Ibid. hlm 53 23 Gunadi, Ketentuan Pajak Penghasilan, Penerbit Salemba Empat,
Jakarta, 2008, hlm. 85 22 admninistrasi per unit penerimaan pajak sekecil-
kecilnya. Efektivitas dan efisiensi menciptakan kontradiksi sehingga diperlukan
koordinasi, diperlukan ukuran khusus untuk meningkatkan efektivitas dan
efisiensi administrasi perpajakan.
16 Gunadi, Ketentuan Pajak Penghasilan, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2008, hlm. 85
17
2.1.6 Pengertian Pajak Pertambahan Nilai
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi yang dikenakan atas
pengeluaran yang ditujukan untuk konsumsi. Menurut John F. Due dan Ann F.
Friedlaender, pajak atas konsumsi dapat dibagi menjadi:
1. Pendekatan langsung
Dim aksudkan disini adalah sebagai pajak atas pengeluaran (expenditure tax),
yaitu pajak yang berlaku untuk seluruh pengeluaran yang terjadi untuk
konsumsi, yang merupakan hasil penjumlahan seluruh penghasilan dikurangi
pengeluaran untuk tabungan dan pembelian aktiva.
2. Pendekatan tidak langsung
Dimaksudkan di sini adalah sebagai pajak atas komoditi, yaitu pajak
dikenakan atas penjualan komoditi yang dipungut terhadap pengusaha yang
melakukan penjualan, dengan demikian pajak ini kemudian dialihkan kepada
Pembeli selaku pemikul beban pajak.17
Dengan demikian yang termasuk dalam pajak atas konsumsi ini, bukan saja
dikenal sebagai PPN, akan tetapi yang termasuk dalam kelompok ini juga antara
lain adalah Pajak Penjualan, Pajak Peredaran dan Cukai. Sedangkan berdasarkan
tingkat pengenaannya, pajak atas konsumsi, khususnya PPN, Pajak Penjualan,
Pajak Peredaran, dapat dibedakan ke dalam dua tingkat pengenaan, yaitu:
1. Single Stage Tax
2. Multi Stage Tax, yang terdiri dari:
17 John F. Due and Ann F. Friedlaender, Government Finance¸ diterjemahkan
oleh Ellen Gunawan dan Rudy Sitompul dengan judul Keuangan Negara Perekonomian Sektor
Publik, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1984), hal. 332
18
a. A dual stage tax
b. An all stage tax
Penjelasan dari perbedaan tingkat pengenaan tersebut akan diuraikan sebagai
berikut:
1. Single stage tax
Merupakan suatu jenis pajak atas konsumsi yang pengenaannya dilakukan
hanya pada salah satu mata rantai jalur produksi atau jalur distribusi.
Berdasarkan mekanisme produksi dan distribusi barang, maka pajak atas
konsumsi yang termasuk single stage tax, dapat dibagi ke dalam tiga tingkat
pengenaan, yaitu:
a. Manufacturer’s tax
Merupakan suatu pajak atas konsumsi yang dikenakan hanya pada
tingkat pabrikan, kelebihan yang dimiliki oleh sistem ini adalah jumlah
WP relatif sedikit, sehingga bagi fiskus lebih mudah dibina dan diawasi
serta biaya pemungutannya relatif murah. Kelemahan sistem ini yakni
dapat terjadinya pengenaan pajak berganda yang cukup besar. Hal seperti
ini dapat terjadi karena pajak yang dibayar oleh satu pabrikan kepada
pabrikan lain dibebankan sebagai biaya yang kemudian menjadi unsur
harga pokok barang hasil produksi yang atas penyerahannya dikenakan
pajak. Contoh: seorang pengusaha membeli bahan baku, bahan pembantu
dan barang modal dari pabrikan lain. Para pabrikan ini termasuk dalam
mekanisme sistem pengenaan pajak manufacturer’s tax.
19
c. Wholesale tax
Kewajiban notaris Merupakan suatu pajak atas konsumsi yang dikenakan
hanya pada tingkat pedagang besar. Kelebihan yang dimiliki oleh
wholesale tax adalah distorsi terhadap persaingan antara pedagang besar
dengan pedagang eceran lebih kecil apabila dibandingkan dengan
manufacturer’s tax. Hal ini disebabkan oleh karena semakin dekat
dengan tingkat retailer, semakin mudah menghitung dasar pengenaan
pajak yang besarnya tidak terlalu jauh berbeda dengan dasar pengenaan
pajak yang terdapat pada tingkat pedagang eceran, apabila pada saat-saat
tertentu pedagang besar menjual barang dagangannya langsung kepada
konsumen.
Meskipun demikian, seperti halnya manufacturer’s tax, wholesale tax ini
juga memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
- Hampir sama dengan manufacturer’s tax, netralitasnya juga tidak dapat
dijamin.
- Apabila pedagang besar secara langsung menjual barang dagangannya
kepada konsumen, pengusaha ini harus meneliti harga jual dan profit
margin yang dipakai oleh pedagang eceran, Hal ini jelas merupakan
usaha yang cukup sulit, meskipun tingkat kesulitannya tidak sama
dengan yang dialami oleh pabrikan. Lebih-lebih harga jual antar para
pedagang eceran seringkali tidak selalu sama.
- Wholesale tax tidak dapat mencakup penyerahan jasa, padahal pajak
atas konsumsi tidak ingin mengecualikan penyerahan jasa yang
dilakukan oleh pengusaha jasa.
20
c. Retail sales tax
Retail sales tax tidak hanya mengenakan pajak atas penyerahan barang yang
dilakukan oleh pedagang eceran, melainkan juga mencakup penyerahan yang
dilakukan oleh setiap pengusaha yang menyerahkan barang langsung kepada
konsumen. Oleh karena itu, sangat dimungkinkan bila retail sales tax juga
menjangkau pabrikan atau pedagang besar, dalam hal pengusaha-pengusaha ini
melakukan penyerahan barang kepada konsumen.
Kelebihan retail sales tax adalah secara umum beban pajak yang dipikul oleh
konsumen dapat dihitung dengan pasti, karena yang digunakan sebagai dasar
pengenaan pajak adalah harga jual secara eceran. Meskipun demikian retail sales
tax juga mengandung beberapa kelemahan, yaitu:
- Untuk mengenakan pajak yang benar, diperlukan pembukuan atau catatan
yang tertib dan teratur dari para WP, sedangkan kebanyakan pedagang eceran
tidak mampu menyelenggarakannya.
- Penjualan kepada pengusaha tidak dikenakan pajak sepanjang tidak untuk
tujuan konsumsi. Untuk mengetahui apakah seorang pengusaha yang
membeli barang dari pedagang eceran akan digunakan untuk tujuan produksi
atau hanya untuk konsumsi, merupakan pekerjaan yang tidak mudah.
- Jumlah WP sangat banyak sehingga memerlukan pengelolaan yang cermat.
Hal ini merupakan beban yang cukup berat bagi fiskus.
2. Multi stage tax
Adalah suatu jenis pajak atas konsumsi yang pengenaannya dilakukan pada
setiap mata rantai jalur produksi dan jalur distribusi Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak. Kelebihan dari multi stage tax adalah bahwa jumlah pajak
21
yang dapat dipungut cukup besar hanya dengan tarif yang relatif cukup
rendah. Sedangkan kelemahannya adalah jumlah wajib pajak yang sangat
besar sehingga menimbulkan permasalahan di bidang pengawasannya.
2.1.7 Subyek dan Obyek PPN
1. Subyek PPN
Subyek PPN adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pengusaha adalah orang
pribadi atau badan dalam bentuk apapun dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari
luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari
luardaerah pabean.
Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan barang
kena pajak atau jasa kena pajak yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN,
tidak termasuk usaha kecil yang batasannya ditetapkan dengan keputusan
Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha dapat berupa orang pribadi atau badan. Badan adalah sekumpulan
orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk
apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,
22
yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang
sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
Subyek PPN dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a. Pengusaha Kena Pajak (PKP) Termasuk dalam kelompok ini adalah
pengusaha yang melakukan kegiatan sebagaimana diatur dalam Pasal 4
huruf a yaitu menyerahkan BKP, Pasal 4 huruf c yaitu menyerahkan JKP
dan Pasal 4 huruf f UU PPN 1984 yaitu mengekspor BKP, serta bentuk
kerja sama operasi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000. Sedangkan pengertian PKP
dirumuskan dalam Pasal 1 angka 15 UU PPN yang kemudian disesuaikan
oleh Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 143 Tahun 2000 yaitu pengusaha yang
sejak semula bermaksud melakukan penyerahan BKP dan atau penyerahan
JKP atau ekspor BKP.
b. Bukan PKP
Pengusaha bukan PKP yang menjadi subjek PPN meliputi pengusaha yang
melakukan kegiatan mengimpor BKP, memanfaatkan BKP tidak Berwujud
dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, memanfaatkan JKP dari
luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, dan atas kegiatan
membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri
atau digunakan pihak lain.
23
2. Obyek PPN
Obyek PPN adalah penyerahan atau kegiatan yang dilakukan oleh Pengusaha
kena pajak (PKP). Kegiatan PKP yang dikenakan sebagai obyek pajak
adalah:
a. Penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan
oleh pengusaha. Kegiatan Penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan
pengusaha meliputi pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha
Kena Pajak maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak. Penyerahan barang yang dikenakan pajak harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a) Barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena pajak.
b) Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena
Pajak tidak berwujud.
c) Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean, dan
d) Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau
pekerjaannya.
b. Impor Barang Kena Pajak
Pajak juga dipungut pada saat impor barang. Pemungutan dilakukan
melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Berbeda dengan penyerahan
Barang Kena Pajak, maka siapa pun yang memasukkan Barang Kena
Pajak ke dalam Daerah Pabean tanpa memperhatikan apakah dilakukan
dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya atas juga tidak. Demikian
juga dengan Impor Barang Kena Pajak yang berdasarkan ketentuan
perundangan-undangan kepabeanan dibebaskan dari pungutan Bea Masuk,
24
pajak yang terutang tetap dipungut, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri
Keuangan.
c. Penyerahan Jasa Kena Pajak di Dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha. Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
a) Jasa yang diserahkan merupakan jasa kena pajak.
b) Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean, dan
c) Penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaan pengusaha
yang bersangkutan.
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari Luar Daerah Pabean
Untuk dapat memberikan perlakuan pengenaan pajak yang sama dengan
Impor Barang Kena Pajak, maka atas Barang Kena Pajak tidak berwujud
yang berasal dari Luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan di dalam Daerah
Pabean juga di kenakan pajak.Contoh: Pengusaha “A” yang berkedudukan
di Jakarta memperoleh hak menggunakan merek yang dimiliki oleh
pengusaha “B” yang berkedudukan di Hongkong. Atas pemanfaatan merek
tersebut oleh pengusaha “A” di dalam daerah pabean, maka terutang PPN.
e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di DalamDaerah
Pabean atau terhadap jasa yang berasal dari luar DaerahPabean yang
dimanfaatkan di dalam daerah pabean dikenakan pajak menurut Undang-
undang PPN. Contoh: Pengusaha Kena Pajak “C” di Surabaya
memanfaatkan Jasa Kena Pajak atas sewa gedung kantor dari pengusaha
“B” yang berkedudukan di Singapura. Atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak
tersebut, maka terutang PPN.
25
f. Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. Atas penyerahan
Barang Kena Pajak dari dalam Daerah pabean ke luar daerah Pabean
dikenakan pajak menurut Undang-undang PPN.
g. Kegiatan membangun sendiri yang tidak dilakukan dalam kegiatan usaha
atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan. Menurut pasal 16C UU PPN
bahwa PPN dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang tidak
dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau
badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan oleh pihak lain
yang batasan dan tata caranya ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
h. Penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menurut tujuan
semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang
dibayar pada saat perolehannya dikreditkan. Penyerahan mesin, bangunan,
peralatan, perabotan, atau aktiva lain yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan oleh PKP dikenakan pajak sepanjang memenuhi
persyaratan, yaitu bahwa PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat
dikreditkan. Penyerahan aktiva tersebut tidak dikenakan pajak apabila PPN
yang dibayar pada waktu perolehannya tidak dapat dikreditkan, kecuali
jika PPN tersebut tidak dapat dikreditkan karena bukti pengkreditannya
tidak memenuhi syarat administratif, misalnya faktur pajaknya diisi tidak
lengkap.
26
2.1.8 Dasar Pengenaan PPN
Untuk menghitung besarnya pajak yang terutang, diperlukan adanya Dasar
Pengenaan Pajak (DPP). Pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan
tarif pajak dengan DPP. DPP adalah jumlah harga jual atau penggantian atau nilai
impor atau nilai ekspor atau nilai lain yang ditetapkan dengan keputusan Menteri
Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak terutang. Yang
dimaksud dengan:
1. Harga Jual.
Adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak
termasuk PPN yang dipungut menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak.
2. Penggantian.
Adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan jasa kena pajak, tidak termasuk
pajak yang dipungut menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak.
3. Nilai Ekspor.
Adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang seharusnya diminta oleh
eksportir. Nilai ekspor dapat diketahui dari dokumen ekspor. Misalnya harga
yang tercantum dalam Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB).
4. Nilai Impor.
Adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk
ditambah pungutan lainnya dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan
27
perundang-undangan pabean untuk impor barang kena pajak, tidak termasuk
PPN yang dipungut menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.1.9 Sistem dan Mekanisme PPN di Indonesia
Undang-Undang nomor 8 tahun 1983 tentang PPN dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah, dikeluarkan untuk menggantikan Undang-Undang Darurat
Nomor 19 tahun 1951 yang mulai berlaku tanggal 1 Oktober 1951, yang
kemudian ditingkatkan menjadi undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 35
Tahun 1953 yang lebih dikenal sebagai Undang-Undang Pajak Penjualan. Ditinjau
dari tingkat pemungutannya, Undang-Undang Pajak Penjualan ini merupakan
single stage tax pada tingkat pabrikan, sehingga dapat juga dinamakan a
manufacturer’s sales tax.
Dalam perjalanan operasionalnya, Undang-Undang Pajak Penjualan 1951
mengalami perluasan Objek Pajak. Perluasan yang pertama kali adalah dengan
mengenakan Pajak Penjualan atas penyerahan 18 jenis jasa, sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang nomor 20 Prp Tahun 1959 dan Nomor 21 Prp Tahun
1959. Selanjutnya perluasan yang kedua kalinya adalah dengan mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 2 tahun 1968, yang mengenakan Pajak Penjualan atas
Pemasukan Barang dari luar negeri ke dalam daerah pabean, yang sebelumnya
untuk Pajak Penjualan atas impor ini dikenal dengan nama Pajak Masuk, yang
diatur dengan Undang-Undang Nomor 33 Prp tahun 1960 yang dengan demikian
dinyatakan dihapus.
Pada saat pelaksanaan program reformasi perpajakan nasional, yang dilaksanakan
pada tahun 1983 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak
28
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Pajak ini termasuk
dalam kelompok non cumulative multi stage sales tax, yang mulai berlaku pada
tanggal 1 April 1985. Sifat non kumulatif dari PPN terletak pada mekanisme
pemungutannya yang dikenakan pada nilai tambah (added value) dari Barang
Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak. Diharapkan dengan sifat seperti ini akan
mengurangi hasrat para Wajib Pajak untuk menghindari bahkan menyelundupkan
Pajak Pertambahan Nilai yang menjadi kewajibannya.
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah tersebut telah mengalami perubahan yakni diubah dengan Undang-
Undang Nomor 18 tahun 2000 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang
Nomor 42Tahun 2009. Sejak tahun 1983 sampai dengan sekarang, diberlakukan
PPN di Indonesia.
Pemberlakuan ini berdasarkan Undang–Undang nomor 8 tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPN dan PPnBM), yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 1984.
Undang-undang ini lazim disebut dengan Undang-Undang PPN.
Bahwa diberlakukannya Undang-Undang ini adalah untuk mengganti sistem
perpajakan yang ada pada Undang-Undang Pajak Penjualan yang sudah tidak
memadai untuk menampung kegiatan masyarakat dan belum mencapai sasaran
kebutuhan pembangunan, antara lain untuk meningkatkan penerimaan negara,
mendorong ekspor, dan pemerataan pembebanan pajak. Dasar pemikiran
pengenaan pajak ini pada dasarnya adalah untuk mengenakan pajak pada tingkat
kemampuan masyarakat untuk berkonsumsi yang pengenaannya dilakukan secara
tidak langsung kepada konsumen. Pajak ini dikenakan kepada pengusaha yang
29
menyerahkan barang atau jasa kepada konsumen, sehingga pengusaha yang
menyerahkan barang atau jasa kepada konsumen akan memperhitungkan pajaknya
sehingga PPN dikenal dengan sebutan pajak atas konsumsi (tax on consumption).
Apabila ditelusuri sejarahnya, pada jaman kekaisaran Romawi ternyata telah
diterapkan Pajak Penjualan atas Barang-barang yang dijual di pasar atau melalui
pelelangan. Oleh orang-orang Romawi lalu sistem perpajakan ini ditransfer ke
Mesir, Perancis, dan Spanyol. Di Asia, Vietnam merupakan negara yang pertama
menerapkannya pada tahun 1973 disusul dengan Korea tahun 1977 dan China
tahun 1984. Sedangkan Indonesia dalam perjalanan sejarahnya, penerapan PPN
terjadi melalui beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut:
a. Masa Pajak Pembangunan I (PPb I). Pada mulanya pajak ini dipungut secara
sukarela, namun pada tahun 1947 dipungut secara resmi atas penginapan, dan
penyerahan jasa di rumah-rumah makan. Awalnya pajak ini merupakan jenis
pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat. Namun kemudian berdasarkan
Undang–Undang Nomor 32 tahun 1956 dilimpahkan ke Pemerintah Daerah
(Pemda);
b. Masa Pajak Peredaran, Pajak peredaran ini dikenakan atas penyerahan barang
dengan proses jasa yang pemungutannya dilakukan secara bertingkat pada
setiap mata rantai jalur produksi dan jalur distribusi, Ketentuan ini diatur
dalam Undang-Undang Pajak Peredaran tahun 1950.
c. Masa Pajak Penjualan. Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Darurat
Nomor 19 Tahun 1951 yang kemudian ditingkatkan menjadi UndangUndang
Nomor 35 Tahun 1953.
30
d. Masa PPN, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Dalam
Undang-Undang diatur dua hal yaitu pengenaan PPN dan pengenaan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yaitu penjualan suatu jenis barang yang
tergolong mewah. Penggolongan jenis barang yang mewah atau tidak mewah
diatur lebih lanjut oleh peraturan Menteri Keuangan.
Pengenaan PPN atas nilai tambah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang
diserahkan Pengusaha Kena Pajak. Nilai tambah ini adalah selisih harga jual dan
harga pokok barang tersebut. Ada 3 (tiga) metode untuk mengetahui besarnya
pajak yang terutang atas nilai tambah, yaitu:
a. Addition Method.
Bahwa PPN dihitung dari tarif kali seluruh penjumlahan nilai tambah. Pada
metode ini diisyaratkan bahwa setiap PKP harus mempunyai pembukuan
yang tertib dan rinci atas biaya yang dikeluarkan.
b. Subtraction Method.
Bahwa PPN yang terutang dihitung dari tarif kali selisih antara harga
penjualan dengan harga pembelian.
c. Credit Method.
Metode ini hampir sama dengan Addition Method dan Subtraction Method.
Pada Credit Method ini harus mencari selisih antara pajak yang dibayar saat
pembelian dengan pajak yang dipungut saat penjualan. Metode ini hasilnya
lebih akurat karena dimungkinkan komponen harga beli terdapat komponen
tidak terutang PPN.
31
Adapun mekanisme pengenaan PPN berdasarkan UU PPN adalah sebagai berikut:
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP), wajib memungut PPN dari
pembeli/penerima BKP/JKP yang bersangkutan dengan membuat Faktur
Pajak.
2. PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak tersebut merupakan Pajak Keluaran
(Output Tax) bagi PKP Penjual BKP/JKP yang sifatnya sebagai pajak yang
harus dibayar (hutang pajak).
3. Pada waktu PKP tersebut melakukan pembelian/perolehan BKP/JKP yang
dikenakan PPN, PPN tersebut merupakan Pajak Masukan (Input Tax), yang
sifatnya sebagai pajak yang dibayar di muka, sepanjang BKP/JKP yang dibeli
tersebut berhubungan langsung dengan kegiatan usahanya.
4. Untuk setiap masa pajak (setiap bulan), apabila jumlah Pajak Keluaran lebih
besar daripada Pajak Masukan, selisihnya harus disetor ke Kas Negara
selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa
pajak. Sebaliknya, apabila jumlah Pajak Masukan lebih besar daripada Pajak
Keluaran selisih tersebut dapat diminta kembali (restitusi) atau dikompensasi
ke masa pajak berikutnya.
5. Pengusaha Kena Pajak Wajib menyampaikan Laporan Perhitungan PPN
setiap bulan (SPT Masa PPN) ke Kantor Pelayanan Pajak terkait,
selambatlambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah terakhirnya Masa
Pajak.
32
2.1.10 Sifat PPN di Indonesia
Pajak Pertambahan Nilai mempunyai beberapa sifat pemungutan antara lain:
a. PPN sebagai pajak obyektif
Pemungutan PPN ini didasarkan pada obyeknya tanpa memperhatikan
keadaan diri Wajib Pajak.
b. PPN sebagai Pajak Tidak Langsung
Secara ekonomis beban PPN dapat dialihkan kepada pihak lain, namun dari
segi yuridis tanggung jawab penyetoran pajak tidak berada pada penanggung
pajak.
c. Pemungutan PPN Multi Stage Tax Pemungutan PPN dilakukan pada setiap
mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi dari pabrikan, pedagang
besar, sampai dengan pengecer.
d. PPN dipungut dengan menggunakan alat bukti faktur Credit Method sebagai
metode yang digunakan sebagai konsekuensi Pengusaha Kena Pajak harus
menerbitkan Faktur Pajak sebagai bukti pemungutan pajak. Menurut Pasal 1
Angka 23 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, sebagaimana
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 bahwa Faktur
pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh pengusaha Kena Pajak
yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena
Pajak atau bukti pungutan pajak karena Impor Barang Kena Pajak yang
digunakan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
e. PPN bersifat Netral
Netralisasi ini dapat dibentuk karena adanya 2 (dua) faktor yaitu:
33
1. PPN dikenakan atas konsumsi barang atau jasa.
2. PPN dipungut menggunakan prinsip tempat tujuan.
f. PPN tidak menimbulkan pajak ganda
Hal ini karena pajak masukan dapat dikreditkan. Menurut Pasal 1 Angka 24
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, sebagaimana
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 bahwa Pajak
masukan adalah PPN yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena
Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau penerimaan Jasa Kena
Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar
daerah Pabean dan atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah
Pabean dan atau Impor Barang Kena pajak.
g. PPN sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri
Penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak dilakukan atas konsumsi
dalam negeri.
2.2 Profesi Notaris Dari Segi Perpajakan
2.2.1 Jabatan Notaris
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 1 Undang-
Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya akan disebut
dengan UUJN).18 Pejabat Umum adalah orang yang menjalankan sebagian fungsi
publik dari negara, khususnya di bagian hukum perdata.
18 Indonesia, Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris, UU No. 30 Tahun 2004, Pasal 1 Butir 1
34
Notaris menjalankan tugas utamanya untuk membuat alat bukti tertulis yaitu akta
otentik sebagai alat bukti yang sempurna agar tercipta kepastian hukum. Tugas
pokok Notaris adalah sebagai pejabat umum yang membuat akta otentik sebagai
alat bukti yang sempurna (Pasal 1870 KUHPer). Sedangkan yang dimaksud Akta
Otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-
Undang atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat di
mana akta itu dibuat (Pasal 1868 KUHPer) dalam hal ini pejabat umum
merupakan suatu pekerjaan dengan keahlian khusus yang menuntut pengetahuan
luas serta tanggung jawab yang berat untuk melayani kepentingan umum.
Syarat wajib untuk menjadi seorang Notaris diatur dalam ketentuan Pasal 3
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yakni:
1. Warga Negara Indonesia;
2. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3. Berumur minimal 27 tahun;
4. Sehat jasmani dan rohani;
5. Berijazah Sarjana Hukum dan lulus jenjang strata dua Kenotariatan;
6. Telah menjalani magang atau telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam
waktu 12 bulan;
7. Tidak merangkap jabatan.19
Selain itu wewenang seorang Notaris diatur secara jelas oleh UUJN khususnya
dalam Pasal 15 UUJN yaitu:
1. Membuat akta otentik atas semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki
19 Indonesia, Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris, UU No. 30 Tahun 2004, Pasal 1
35
oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin
kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse,
salinan dan kutipan akta, semua sepanjang pembuatan akta itu tidak
diwajibkan kepada pejabat lain atau orang lain sesuai oleh undang-undang;
2. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah
tangan dengan mendaftar di buku khusus (legalisasi);
3. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus (waarmerking);
4. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;
5. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan;
7. Membuat akta Risalah Lelang;
8. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
9. Membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada
minuta akta yang telah ditandatangani dengan membuat berita acara dan
memberikan catatan tentang hal tersebut pada minuta akta asli dengan
menyebutkan tanggal dan nomor BA pembetulan, dan salinan akta yang
berisi berita acara tersebut disampaikan pada para pihak.
Sedangkan kewajiban dari seorang Notaris juga ditegaskan dalam UUJN yaitu
dalam Pasal 16 UUJN antara lain :
1. Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban:
36
a. Bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan
pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. Membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian
dari Protokol Notaris;
c. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan
Minuta Akta;
d. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam UndangUndang ini,
kecuali ada alasan untuk menolaknya;
e. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji
jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
f. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang
memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak
dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari
satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun
pembuatannya pada sampul setiap buku;
g. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berharga;
h. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu
pembuatan akta setiap bulan;
i. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar
nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen
yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5
(lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;
37
j. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap
akhir bulan;
k. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia
dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat
kedudukan yang bersangkutan;
l. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit
2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap,
saksi, dan Notaris;
m. Menerima magang calon Notaris.
2. Menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak
berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta dalam bentuk originali.
3. Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat 2 adalah akta:
a. Pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;
b. Penawaran pembayaran tunai;
c. Protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;
d. Akta kuasa;
e. Keterangan kepemilikan; atau
f. Akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
4. Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih dari 1
(satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan
ketentuan pada setiap akta tertulis kata-kata ”berlaku sebagai satu dan satu
berlaku untuk semua.”
5. Akta originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya
dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap.
38
6. Bentuk dan ukuran cap/stempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k
ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
7. Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l tidak wajib
dilakukan jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena
penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan
ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap
halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi dan Notaris.
8. Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l dan ayat (7)
tidak dipenuhi, akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
9. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak berlaku untuk pembuatan
akta wasiat.20
Notaris sebagai pejabat umum yang tugasnya melayani masyarakat diharapkan
dapat memberikan sumbangan bagi pembangunan hukum nasional dituntut untuk
memiliki moral dan mental yang andal, sehingga Notaris tidak menyalahgunakan
wewenang yang ada padanya. Notaris wajib menjaga martabatnya sebagai seorang
pejabat umum yang ikut melaksanakan kewibawaan pemerintah. Oleh karena
itulah, UUJN juga mengatur tentang apa saja yang merupakan larangan bagi
Notaris, sebagaimana termuat dalam Pasal 17 UUJN, yakni :
a. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-
turut tanpa alasan yang sah;
c. Merangkap sebagai pegawai negeri;
20 Ibid, Pasal 16.
39
d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
e. Merangkap jabatan sebagai advokat;
f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai Badan Usaha Milik
Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau Badan Usaha Swasta;
g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah
jabatan Notaris;
h. Menjadi Notaris Pengganti; atau
i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama,
kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan
martabat jabatan Notaris.21
2.2.2 Notaris Sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi
Wajib Pajak (WP) adalah Orang Pribadi atau Badan yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan Perpajakan ditentukan untuk melakukan
kewajiban Perpajakan, termasuk pemungut Pajak atau pemotong Pajak tertentu,
atau dengan perkataan lain Wajib Pajak merupakan Orang Pribadi atau Badan
yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.
Orang Pribadi yang menjadi Subjek Pajak dalam Negeri adalah Orang Pribadi
yang bertempat tinggal di Indonesia, Orang Pribadi yang berada di Indonesia lebih
dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, atau Orang Pribadi yang dalam suatu tahun Pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
21 Ibid, Pasal 17.
40
Subjek Pajak Dalam Negeri dapat menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima
atau memperoleh penghasilan. Subjek Pajak Dalam Negeri Orang Pribadi dalam
memenuhi kewajiban subjektifnya dimulai saat dilahirkan dan berakhir saat
meninggal, juga dimulai saat berada di Indonesia dan berakhir saat meninggalkan
Indonesia selama-lamanya. Sedangkan kewajiban objektif dimulai saat menerima
atau memperoleh penghasilan. Oleh karena hal tersebut di atas, maka Notaris
memenuhi unsur-unsur sebagai Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.
Notaris sebagai Subjek Pajak Orang Pribadi memiliki hak dan kewajiban sebagai
Wajib Pajak Orang Pribadi yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Kewajiban Notaris sebagai Wajib Pajak
b. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP);
c. Melakukan sendiri penghitungan pembayaran pajak terutangnya;
d. Membayar Pajak terutangnya;
e. Melaporkan Pajak terutangnya dalam bentuk Surat Pemberitahuan (SPT);
f. Menyelenggarakan Pembukuan atau Pencatatan.
2. Hak Notaris sebagai Wajib Pajak
a. Menerima tanda bukti penerimaan Surat Pemberitahuan (SPT);
b. Mengajukan permohonan penundaan penyampaian Surat Pemberitahuan
(SPT);
c. Restitusi (pengembalian kelebihan pembayaran Pajak), apabila Wajib
Pajak merasa bahwa jumlah Pajak atau kredit Pajak yang dibayar lebih
besar daripada jumlah Pajak yang terutang atau telah dilakukan
41
pembayaran Pajak yang tidak seharusnya terutang, dengan catatan Wajib
Pajak tidak punya hutang Pajak lain.
Berdasarkan sistem pemungutan pajak di Indonesia yaitu self assessment system,
Notaris selaku Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri diberikan kepercayaan
dan tanggung jawab untuk menghitung, memperhitungkan,memotong, membayar
dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harusdibayarkan dan dilaporkan
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Notaris dalam melaksanakan jabatannya, atas jasa-jasa yang diberikankepada
masyarakat yang memerlukannya, menerima imbalan berupa honorariumuntuk
sejumlah uang tertentu dan dengan demikian ia akan mempunyaipenghasilan yang
dapat dikenakan pajaknya. Atas penghasilan yang diterimaberupa honorarium
tersebut harus dihitung berapa besarnya pajak yang harusdibayar, serta
menyetorkannya kepada kas negara melalui kantor-kantorpenerimaan pembayaran
pajak yaitu pada bank-bank persepsi yang ditunjuk, yangbiasanya terdiri dari
bank-bank milik negara atau bank-bank swasta yang dapatmelakukan penerimaan
pembayaran pajak atas kerjasama yang dilakukan denganDirektorat Jenderal
Pajak atau di Kantor Pos dan Giro.
Setelah pajak disetor maka kewajiban Notaris sebagai WP adalah melaporkannya
ke Kantor Pelayanan Pajak tempat di mana ia terdaftar sebagai WP untuk setiap
bulannya, yang disebut sebagai Laporan Massa dan setiap tahunnya yang disebut
sebagai Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan). Akan tetapi, atas
honorarium dari pemberian jasa oleh Notaris, tidak hanya akan terutang Pajak
42
Penghasilan saja namun juga PPN yang dihitung berdasarkan setiap jumlah
penghasilan bruto dikalikan dengan tarif pajaknya.
Dengan adanya kewajiban perpajakan yang harus dilakukan oleh Notaris, maka
sudah seharusnya Notaris mengetahui tentang peraturan perpajakan yang
berkenaan dengan pelaksanaan tugas jabatannya itu. Sosialisasi ketentuan atau
peraturan perundang-undangan dalam bidang perpajakan menjadi sangat penting
bagi Notaris, guna membentuk, menumbuhkembangkan dan meningkata
wawasan Notaris di bidang perpajakan. Dengan meningkatnya wawasan,
pengertian dan pemahaman atas ketentuan perpajakan dapat meningkatkan
kepedulian dan kesadaran mereka terhadap perpajakan.
Untuk pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan oleh WP termasuk Notaris,
maka yang bersangkutan harus mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
yang digunakan sebagai identitas dalam administrasi kantor pajak tempat di mana
ia terdaftar sebagai WP, dan atau ia juga dikukuhkan sebagai PKP.
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, bahwa yang dimaksud dengan
NPWP adalah nomor yang diberikan kepada WP sebagai sarana dalam
administrasi perpajakan yang digunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas
WP dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan. Tata cara Pendaftaran
dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, adalah:
43
a. WP yang akan mendaftarkan diri wajib mengisi Formulir Pendaftaran WP;
b. Pengisian dan penandatanganan formulir dapat dilakukan oleh WP sendiri
atau orang lain yang diberi kuasa khusus;
c. Penyampaian Formulir Pendaftaran WP yang telah diisi dan ditandatangani,
dapat dilakukan oleh WP sendiri atau orang lain yang diberi kuasa penuh.
Dalam penyampaian Formulir Pendaftaran WP yang telah diisi tersebut, WP
yang dalam hal ini adalah Notaris atau calon Notaris harus melampirkan fotokopi
Kartu Tanda Penduduk dan atau Kartu Keluarga
2.2.3 Notaris Sebagai Pengusaha Kena Pajak
Notaris adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta
otentik. Pasal 4 dan Pasal 5 UUJN, mengatur bahwa Notaris sebelum memangku
jabatannya harus mengangkat sumpah menurut agamanya di hadapan Menteri
atau pejabat yang ditunjuk dalam waktu paling lambat 2 (dua) bulan terhitung
sejak tanggal keputusan pengangkatan sebagai Notaris.
Setelah diterimanya Surat Keputusan mengenai Pengangkatan Notaris, seorang
Notaris sebelum menjalankan tugas jabatannya itu wajib mengangkatsumpah
jabatan terlebih dahulu di hadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk dari tempat
kedudukan Notaris, demikian pula halnya dengan para Notaris pengganti
diharuskan mengucapkan sumpah yang sama seperti yang ditentukan bagi para
Notaris, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 4 UUJN.
44
Setelah pengangkatan dan pengucapan sumpah jabatan, maka Notaris yang
bersangkutan telah dapat menjalankan tugas jabatannya, yaitu membuat akta-akta
otentik. Dengan demikian ia mulai memberikan jasa-jasanya yang merupakan jasa
hukum yang tidak termasuk sebagai jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN,
sehingga Notaris tersebut dapat mengajukan permohonan untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha kena Pajak.
Pengusaha kena Pajak adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang
dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor
barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan
barang tidak berwujud di luar daerah Pabean, melakukan usaha jasa atau
memanfaatkan jasa dari luar daerah Pabean yang melakukan penyerahan barang
kena pajak dan atau penyerahan jasa kena pajak yang dikenakan pajak
berdasarkan UU PPN 2009 dan perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil
yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali
Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP.
Tempat pendaftaran untuk dikukuhkan sebagai PKP adalah di Kantor Direktorat
Jenderal Pajak yakni pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal orang pribadi, tempat kedudukan badan atau tempat
kegiatan usaha WP yang bersangkutan. Jika tempat tinggal atau tempat
kedudukan WP berada pada 2 (dua) atau lebih wilayah kerja kantor Direktorat
Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Pajak menetapkan tempat tinggal atau tempat
kedudukan WP. Notaris juga tidak diperbolehkan mempunyai kantor cabang di
tempat-tempat lain, walaupun kantor tersebut berada di dalam Daerah jabatannya.
Pasal 19 UUJN melarang adanya kantor atau kantor-kantorcabang bagi Notaris.
45
Kewajiban PKP diatur dalam Pasal 3A UU PPN juncto Pasal 6 Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 yang menentukan bahwa PKP wajib
memungut, menyetor dan melaporkan PPN atau PPnBM yang terutang atas
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya.
Terdapat kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP bila
kegiatan usaha atau pekerjaannya menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak dan atau mengekspor Barang Kena Pajak.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000, Jasa Notaris dan
PPAT adalah jasa yang atas penyerahannya terutang PPN, maka oleh karena itu
Notaris harus dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Konsekuensi dari
peraturan tersebut yakni Notaris wajib melaporkan kegiatan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai PKP sebelum melakukan tugas jabatannya, yaitu pembuatan
akta-akta otentik yang diperlukan oleh masyarakat umum, yang dikategorikan
sebagai pemberian jasa hukum. Namun Peraturan yang mewajibkan Notaris
sebagai PKP tersebut di atas telah dinyatakan tidak berlaku melalui sebagaimana
termuat dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah nomor 1 tahun 2012 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Sebagaimana
Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
Kewajiban Notaris untuk dikukuhkan sebagai PKP sekarang ini dilihat dari
jumlah penerimaan bruto yang diterima oleh Notaris selama 1 (satu) tahun buku
atau sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku penerimaan atas penyerahan
Jasa Notaris telah melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta
Rupiah). Kewajiban tersebut dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah
46
bulan saat penerimaan brutonya melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat milyar
delapan ratus juta Rupiah). Namun Notaris yang penerimaan brutonya belum
mencapai jumlah tersebut di atas dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak.22
22 Peraturan Menteri Keuangan nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha
Kecil Pajak Pertambahan Nilai, Pasal 1 (1) jo Pasal 4
47
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
normatif dan empiris. Yaitu penelitian hukum yang objek kajiannya meliputi
ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta penerapannya pada peristiwa
hukum.
Pendekatan secara normatif, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara
mengumpulkan dan mempelajari peraturan-peratuan hukum yang berlaku yang
erat kaitannya dengan permasalah penelitian yang meliputi peraturan perundang-
undangan, dokumen-dokumen resmi, dan sumber lain yang erat kaitannya dengan
permasalahan yang diteliti.
Pendekatan empiris, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara melihat pada
kenyataan langsung atau sesungguhnya, terhadap pihak yang berkompeten di
lokasi penelitian dan mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan
permasalahan yang diteliti23
23 Soerjono Soekanto, 1983, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 14
48
3.2 Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua kelompok yaitu data
primer dan data sekunder, yaitu sebagai berikut:
Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan
penelitian dengan cara melakukan wawancara kepada Responden untuk
mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian. Informan yang dijadikan
responden dalam penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Notaris Yang Ada di Bandar Lampung
b. Kantor Pelayanan Pajak wilayah Bandar Lampung
c. Majelis Pengawas Notaris
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan (library
research), dengan menelaah dan mengutip dari bahan kepustakaan dan melakukan
pengkajian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bahasan. Data
sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan
b. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
c. Peraturan Menteri Keuangan NOMOR 197/PMK.03/2013
d. Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2010 Tahun 2010
tentang Pelaksanaan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib
Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
49
Data tersier adalah bersumber dari berbagai sumber pendukung bahan seperti
kamus hukum dan sumber dari internet.
3.3 Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan
langkahlangkah sebagai berikut:
1) Studi pustaka (library research),
Adalah pengumpulan data dengan menelaah dan mengutip dari bahan
kepustakaan dan melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan bahasan
2) Studi lapangan (field research),
Dilakukan sebagai usaha mengumpulkan data secara langsung di lapangan
penelitian guna memperoleh data yang dibutuhkan. Studi lapangan
dilaksanakan dengan wawancara secara langsung (interview), kepada
responden penelitian.
Data yang telah diperoleh selama pelaksanaan penelitian selanjutnya diolah
dengan tahapan sebagai berikut:
1. Seleksi Data, data yang terkumpul diperiksa untuk mengetahui kelengkapan
data selanjutn ya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti
2. Klasifikasi Data, Penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah
ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan
akurat untuk kepentingan penelitian.
50
3. Penyusunan Data, Penempatan data yang saling berhubungan dan merupakan
satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sesuai
sistematika yang ditetapkan untuk mempermudah interpretasi data.
3.4 Analisis Data
Analisis data yang dipergunakan adalah analisis deskriptif kualitatif. Yaitu
pembahasan skripsi ini dengan cara memaparkan dalam bentuk uraian-uraian
kalimat dan memberikan interprestasi data dalam bentuk kalimat secara
sistematis, sehingga dapat ditarik kesimpulan dari permasalahan yang diteliti
dalam penulisan ini. Proses penarikan kesimpulan dimulai dari bahan yang
bersifat umum dari hasil penelitian yang menyebabkan kesimpulan tersebut dapat
menghasilkan saran atau jika mungkin melahirkan teori-teori baru.
72
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan yaitu
sebagai berikut :
1. Jasa yang diberikan oleh Notaris merupakan jasa hukum sehingga termasuk
dalam jasa yang dikenakan PPN sehingga atas jasa yang diberikannya wajib
dikenakan PPN. Namun guna memenuhi asas kemudahan, kesederhanaan dan
keadilan, undang-undang memberikan pengecualian bagi subyek Pajak yang
belum memenuhi penghasilan bruto dalam batas tertentu tidak wajib untuk
mengenakan PPN. Hal ini berlaku bagi Notaris yang penghasilan brutonya
selama satu tahun buku belum melebihi Rp 4.800.000.000,00 tidak
diwajibkan dan tidak berhak untuk memungut PPN terhadap jasa yang
diberikannya namun Notaris tersebut dapat memilih untuk dikukuhkan
sebagai PKP. Adanya pilihan untuk menjadi PKP ini dapat didasarkan pada
kepentingan Notaris tersebut demi kepentingan klien dan atau agar dapat
mengkreditkan Pajak Masukan Notaris tersebut.
73
2. Kendala yang dihadapi dalam pemungutan PPN atas Jasa Notaris ini yaitu
Notaris pada umumnya :
a. Kurang terbuka terhadap pelaporan pembukuan atau administrasi mereka
sehingga menyulitkan petugas pajak untuk melihat jumlah penyerahan
Jasa Kena Pajak yang sebenarnya.
b. Klien tidak senang dan tidak bersedia membayar PPN atas jasa notaris,
karena dianggap sudah termasuk dalam honorarium notaris tersebut.
Bagi notaris yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, yang
Penghitungan PPh-nya menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto,
wajib menyelenggarakan pencatatan jumlah peredaran brutonya saja secara
teratur, yang akan digunakan sebagai Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung
pajak terutang. Sebenarnya penggunaan brutonya saja itu, sangat menyenangkan
bagi notaris dan dapat menghindari persengketaan diantara pada notaris sebagai
Wajib Pajak dengan Petugas Pajak. Karena biasanya notaris tidak menguasai ilmu
pembukuan (akuntansi), sehingga mempunyai kesulitan dalam menyelenggarakan
pembukuan, dan terdapat biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam pelaksanaan
tugasnya, padahal pengeluaran itu tidak dapat atau sulit untuk dibuktikan, atau
mendapatkan tanda bukti pembayarannya. Dengan demikian upaya yang
dilakukan oleh petugas pajak yaitu menghimbau kepada para notaris untuk
mencatat peredaran bruto mereka dalam pembukuan.
74
5.2 Saran
Melihat praktek yang terjadi selama ini yang menyangkut pelaksanaan
pemungutan PPN atas jasa hukum khususnya jasa Notaris, penulis dapat
memberikan beberapa saran:
1. Sebaiknya terdapat keseragaman dalam hal pemungutan PPN atas jasa
hukum, di mana sebaiknya jasa hukum dikecualikan sebagai Obyek PPN. Hal
ini dikarenakan jasa hukum yang diberikan oleh Notaris adalah jasa hukum
publik yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat banyak guna mendapatkan
kepastian hukum dan perlindungan hukum sehingga didasarkan pada rasa
keadilan bagi masyarakat pengguna jasa Notaris khususnya masyarakat kecil
dan untuk menghindari adanya persaingan harga yang tidak sehat antar
Notaris yang PKP dan non PKP karena ketidakseragaman status Notaris
sebagai PKP dan non PKP, sebaiknya atas jasa hukum khususnya jasa Notaris
tidak dikenakan PPN. Apabila jasa Notaris ini dikecualikan dari pengenaan
PPN, untuk menjaga agar penerimaan negara tidak terganggu dapat dilakukan
dengan lebih mengintensifkan pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) dan
dilakukannya pengawasan yang lebih mendalam terhadap pelaporan dan
pembayaran pajak Notaris. Selain itu, perlu dilakukan pula perbaikan pada
pendataan Kantor Pelayanan Pajak mengenai identitas Wajib Pajak agar lebih
akurat, khususnya mengenai profesi Wajib Pajak.
2. Kepada para notaris hendaknya melengkapi pembukuan mereka dengan
mencatat perincian Penyerahan Jasa Kena Pajak ke dalam jumlah peredaran
bruto mereka dengan jujur. Kepada Pemerintah, hendaknya ada ketentuan
yang mengatur lebih lanjut mengenai jenis jasa-jasa notaris apa saja yang
75
harus dikenakan PPN dan Pengawasan dalam pemungutan Pajak
Pertambahan Nilai khususnya pada Notaris perlu ditingkatkan guna
meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak. dan Perlu diadakannya
edukasi lebih mendalam kepada masyarakat akan pentingnya melaksanakan
kewajibannya untuk membayar pajak, termasuk pajak pertambahan nilai,
karena kepedulian masyarakat dalam perpajakan sangat mempengaruhi
pendapatan negara.
DAFTAR PUSTAKA
A.Buku-Buku
Angger, Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsya. 2015. Pokok-Pokok Hukum
Perpajakan. Yogyakarta: Pustaka Yustisia
Brotodihardjo, R. Santoso. 2009. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung Refika
Aditama
Direktorat Jenderal Pajak. 2005. Masalah Pajak di Indonesia. Jakarta
Gunadi. 2008. Ketentuan Pajak Penghasilan. Jakarta: Penerbit Salemba Empat
Ilyas, Wirawan B dan Richard Burton. 2001. Hukum Pajak. Jakarta: Penerbit
Salemba Empat
Lotulung, Paulus Effendie. 2003. Perlindungan Hukum Notaris Selaku Pejabat
Umum Dalam Menjalankan Tugasnya. Notariat
Manan, Bagir. 2004. Perkembangan Undang- Undang Dasar 1945. Yogyakarta:
Penerbit FH UII Press
Nurmantu, Safri. 2003. Pengantar Perpajakan. Jakarta: Penerbit Granit
Nurmayani. 2015. Hukum Administrasi Daerah. Bandar Lampung: Universitas
Lampung
Pudyatmoko, Sri.2002 Pengantar Hukum Pajak. Yogyakarta: Penerbit Andi
Tobing, G.H.S Lumban. 1983 Peraturan Jabatan Notaris, cet.3. Jakarta: Penerbit
Erlangga
Waluyo. 2013. Perpajakan di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
Yuswanto, Nurmayani, Marlia Eka Putri dan Eka Deviani. 2013. Hukum Pajak.
PKKPUU FH Unila. Bandar Lampung.
Yuswanto. 2015. Hukum Pajak Daerah. Posisi Undang-Undang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Edisi
Revisi)..Bandar Lampung: Indepth Publishing
B. Perundangan-Undangan
Undang-Undang No. 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan;
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2012 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa
Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa
Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 144 Tahun 2000 Tentang Jenis
Barang Dan Jasa Yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/PMK.03/2013
tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 197/PMK.03/2013
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan
Nilai
Keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor KEP-05/PJ./1994 tentang
Perluasan/Penambahan Kelompok Pengusaha Jasa Yang Dikenakan PPN