PENGARUH PEMBERIAN NUTRISI ENTERAL KONTINYU … · Stay (LOS) (p = 0,03) pada nutrisi enteral...

157
PENGARUH PEMBERIAN NUTRISI ENTERAL KONTINYU DIBANDINGKAN DENGAN BOLUS TERHADAP SKOR APACHE II DAN LENGTH OF STAY PADA PASIEN GERIATRI DENGAN SEPSIS DI RUANG PERAWATAN INTENSIF RSUD DR.MOEWARDI TESIS Oleh : Fatnan Setyo Hariwibowo NIM S961408005 PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET/ RSUD DR.MOEWARDI 2018

Transcript of PENGARUH PEMBERIAN NUTRISI ENTERAL KONTINYU … · Stay (LOS) (p = 0,03) pada nutrisi enteral...

PENGARUH PEMBERIAN NUTRISI ENTERAL KONTINYU

DIBANDINGKAN DENGAN BOLUS TERHADAP SKOR APACHE II

DAN LENGTH OF STAY PADA PASIEN GERIATRI DENGAN SEPSIS DI

RUANG PERAWATAN INTENSIF RSUD DR.MOEWARDI

TESIS

Oleh :

Fatnan Setyo Hariwibowo

NIM S961408005

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET/

RSUD DR.MOEWARDI

2018

ii

PENGARUH PEMBERIAN NUTRISI ENTERAL KONTINYU

DIBANDINGKAN DENGAN BOLUS TERHADAP SKOR APACHE II

DAN LENGTH OF STAY PADA PASIEN GERIATRI DENGAN SEPSIS DI

RUANG PERAWATAN INTENSIF RSUD DR.MOEWARDI

TESIS

Disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Spesialis Penyakit

Dalam dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis I Penyakit Dalam Fakutas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh

Fatnan Setyo Hariwibowo

NIM S961408005

PEMBIMBING:

dr. Arifin, SpPD-KIC, FINASIM

dr. Fatichati B, Sp.PD-KGer, FINASIM

Drs. Sumardi, MM

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET/

RSUD DR.MOEWARDI JAWA TENGAH

2018

iii

LEMBAR PENGESAHAN

Telah Disetujui Dan Disahkan Oleh Pembimbing Tesis Program Pendidikan

Spesialis I Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Surakarta, Hasil Penelitian Yang Berjudul

PENGARUH PEMBERIAN NUTRISI ENTERAL KONTINYU

DIBANDINGKAN DENGAN BOLUS TERHADAP SKOR APACHE II

DAN LENGTH OF STAY PADA PASIEN GERIATRI DENGAN SEPSIS DI

RUANG PERAWATAN INTENSIF RSUD DR.MOEWARDI

Telah diuji dan dipresentasikan pada

Hari/tanggal : Senin, 27 Agustus 2018

iv

Telah diuji dan diseminarkan pada hari Senin 27 Agustus 2018 di bagian Ilmu

Penyakit Dalam RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Penelitian dan Tugas Akhir yang berjudul:

PENGARUH PEMBERIAN NUTRISI ENTERAL KONTINYU

DIBANDINGKAN DENGAN BOLUS TERHADAP SKOR APACHE II

DAN LENGTH OF STAY PADA PASIEN GERIATRI DENGAN SEPSIS DI

RUANG PERAWATAN INTENSIF RSUD DR.MOEWARDI

Ketua Program Studi PPDS I Ilmu Penyakit Dalam

FK UNS / RSUD Dr. Moewardi Surakarta

dr. Wachid Putranto, Sp.PD-KGH, FINASIM

NIP.197202262005011001

Kepala Bagian Ilmu Penyakit Dalam

FK UNS / RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Prof. Dr. dr. H.M. Bambang Purwanto, Sp.PD-KGH, FINASIM

NIP. 194807191976091001

v

Telah diuji pada

Hari Senin, 27 Agustus 2018

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : dr. T.Y Pramana, Sp.PD KGEH FINASIM

Anggota :

1. dr. Arifin, Sp.PD KIC FINASIM

2. dr. Fatichati Budiningsih, Sp.PD-KGer FINASIM

3. Drs. Sumardi, MM

vi

PERNYATAAN KEASLIAN DAN PERSYARATAN PUBLIKASI

Penulis menyatakan dengan sebesar-besarnya bahwa:

1. Tesis yang berjudul “Pengaruh Pemberian Nutrisi Enteral Kontinyu

Dibandingkan Dengan Bolus Terhadap Skor APACHE II Dan Length of

Stay Pada Pasien Geriatri Dengan Sepsis di Ruang Perawatan Intensif

RSUD Dr.Moewardi” ini adalah karya penelitian penulis sendiri dan tidak

terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk

memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis dengan

acuan yang disebutkan sumbernya, baik dalam naskah karangan dan daftar

pustaka. Apabila ternyata di dalam naskah tesis ini dapat dibuktikan

terdapat unsur-unsur plagiasi, maka penulis bersedia menerima sanksi,

baik tesis beserta gelar magister penulis dibatalkan serta diproses sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi tesis pada jurnal forum ilmiah

harus menyertakan tim promotor sebagai author dan PPs UNS sebagai

institusinya. Apabila penulis melakukan pelanggaran dari ketentuan

publikasi ini, maka penulis bersedia mendapatkan sanksi akademik yang

berlaku.

Surakarta, Juli 2018

Fatnan Setyo Hariwibowo

NIM S961408005

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillaahirabbil’aalamin penulis panjatkan ke hadirat

Allah SWT atas segala limpahan kasih sayang, rahmat dan hidayah-Nya

sehingga penyusunan tesis yang berjudul: “Pengaruh Pemberian Nutrisi

Enteral Kontinyu Dibandingkan Dengan Bolus Terhadap Skor APACHE

II Dan Length of Stay Pada Pasien Geriatri Dengan Sepsis di Ruang

Perawatan Intensif RSUD Dr.Moewardi” ini dapat terselesaikan dengan

baik. Penelitian ini untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh

gelar Spesialis Penyakit Dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis I

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan

penghargaan yang tinggi kepada:

1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret

Surakarta yang telah memberikan kemudahan penulis dalam

melaksanakan program pendidikan PPDS I Ilmu Penyakit Dalam.

2. Prof. Dr. Hartono, dr., M.Si selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan

kemudahan dan dukungan kepada penulis selama menjalani pendidikan

PPDS I Ilmu Penyakit Dalam.

3. Dr. dr. Suharto Wijanarko,Sp.U sebagai Plt. Direktur RSUD Dr.

Moewardi beserta seluruh jajaran staf direksi yang telah berkenan dan

mengijinkan untuk menjalani program pendidikan PPDS I Ilmu Penyakit

Dalam.

4. Prof. Dr. HM. Bambang Purwanto, dr., SpPD, KGH, FINASIM selaku

Kepala Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNS/ RSUD Dr Moewardi

yang telah memberikan ijin, bimbingan dan pengarahan dalam

penyusunan usulan tesis ini, serta memberikan kemudahan penulis dalam

melaksanakan program pendidikan PPDS I Ilmu Penyakit Dalam.

viii

5. dr. Wachid Putranto, SpPD, KGH, FINASIM selaku Ketua Program

Studi PPDS I Ilmu Penyakit Dalam yang telah memberikan ijin,

bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan usulan tesis ini, serta

memberikan kemudahan penulis dalam melaksanakan program

pendidikan PPDS I Ilmu Penyakit Dalam.

6. dr. Arifin, SpPD-KIC, FINASIM dan dr. Fatichati Budiningsih, SpPD-

KGer, FINASIM selaku pembimbing yang telah memberikan ijin,

bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan usulan tesis ini.

7. Drs. Sumardi, MM selaku pembimbing/ konsultan statistik penelitian, yang

dengan kesabaran telah membimbing dan memberikan pengarahan dalam

penyusunan tesis.

8. dr. T.Y. Pramana, Sp.PD KGEH, FINASIM, selaku penguji tesis, terima

kasih telah bersedia menguji, membimbing dan memberikan pengarahan

dalam penyusunan perbaikan tesis.

9. Seluruh Staf Pengajar Ilmu Penyakit Dalam FK UNS/ RSUD Dr Moewardi

Surakarta. Prof. Dr. HA Guntur Hermawan, dr., SpPD-KPTI FINASIM

(alm), Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan,dr., SpPD-KR,FINASIM, Prof.Dr.

Djoko Hardiman, dr., SpPD-KEMD FINASIM(alm), dr. Suradi Maryono,

SpPD-KHOM FINASIM, dr. Sumarmi Soewoto SpPD-KGER FINASIM,

dr. Tatar Sumandjar, SpPD-KPTI FINASIM, dr. Tantoro Harmono, SpPD-

KGEH FINASIM (alm), dr. Tri Yuli Pramana SpPD-KGEH FINASIM, dr.

Supriyanto Kartodarsono, SpPD-KEMD FINASIM, dr. Supriyanto

Muktiatmojo, SpPD FINASIM (alm), dr. Dhani Redhono, SpPD-KPTI

FINASIM, dr. Wachid Putranto, SpPD-KGH FINASIM, dr. Arifin, SpPD-

KIC FINASIM, dr. Fatichati Budiningsih, SpPD-KGer FINASIM, dr.

Agung Susanto,SpPD FINASIM, dr. Arief Nurudin SpPD FINASIM, dr.

Agus Joko S,SpPD, FINASIM, dr. Yulyani Werdiningsih, SpPD

FINASIM, dr.Sri Marwanta SpPD Mkes, dr.Aritantri D SpPD MSc, dr.

Bayu Basuki Wijaya SpPD Mkes, dr.R. Satriyo SpPD Mkes, dr. Evi

Nurhayatun SpPD Mkes, dr. Eva N SpPD Mkes, dr. Ratih Tri K SpPD, dr.

ix

Yudhi Hadjianto Sp.PD Mkes, dr. Agus Jati, Sp.PD, dr. Nurhasan Agung,

SpPD Mkes, dr. Aryo Suseno, SpPD Mkes, dan dr. Ratih Arianita, SpPD

Mkes, dr. Didik Prasetyo, Sp.PD Mkes, dan dr. Warigit Dri Atmoko,

Sp.PD Mkes, dr. Kun Salimah, Sp.PD MBiomed yang telah memberi

dorongan, bimbingan dan bantuan dalam segala bentuk sehingga penulis

bisa menyelesaikan penyusunan tesis.

10. Ayahanda dan Ibunda tercinta Muhammad Amir Fatah dan Isnaningsih,

Bapakku Musbikun dan Ibu Eko Istiyati, Istriku tercinta dr. Dina Nur

Faiza, ketiga buah hatiku Kaysan Arda Maghfaza Hariwibowo (mas arda),

Sakhi Imtiyaz Arfa Hariwibowo (mas sakhi) dan Kaina Rifda Qurrota

A’yun (dik rifda) yang telah memberikan kasih sayang dan semangat

dengan sabar dan tulus memberikan dukungan moril dan materiil dalam

penyelesaian tesis ini dan proses menjalani program pendidikan PPDS I

Ilmu Penyakit Dalam.

11. Keluargaku yang selalu membantu dan mendukung, kakakku mas Ritchie

Swandageni (mas Cicik), mbak ending, adikku Fauzan Ihsani dan istri dik

Hida, dan yang lain yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.

12. Dr. Makiy, dr. Indah Prianti, dan seluruh teman sejawat seperjuangan

Residen Ilmu Penyakit Dalam yang telah memberikan dukungan dan

bantuan kepada penulis dalam penelitian ini dan selama menjalani

pendidikan, terkhusus

13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah

membantu penulis baik dalam menjalani pendidikan maupun dalam

persiapan penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan tesis ini

masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu penyusun mohon maaf dan sangat

mengharapkan saran serta kritik dalam rangka perbaikan penulisan tesis ini.

Surakarta, Juli 2018

Penulis

x

RINGKASAN

PENGARUH PEMBERIAN NUTRISI ENTERAL KONTINYU

DIBANDINGKAN DENGAN BOLUS TERHADAP SKOR APACHE II

DAN LENGTH OF STAY PADA PASIEN GERIATRI DENGAN SEPSIS

DI RUANG PERAWATAN INTENSIF RSUD DR.MOEWARDI

Fatnan Setyo Hariwibowo

Sepsis dinyatakan sebagai salah satu penyebab kematian terbesar di

rumah sakit di dunia. Nutrisi enteral pada pasien sepsis menjadi salah satu pilar

utama terapi non farmakologis selain pemberian secara parenteral. Namun, usia

tua dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi absorbsi nutrisi pasien

sepsis. Teknik pemberian nutrisi merupakan tatalaksana penting karena kondisi

malnutrisi secara signifikan meningkatkan mortalitas, dapat dilakukan dengan

cara bolus, intermiten, maupun kontinyu. Penelitian terbaru terdapat efek positif

pemberian nutrisi enteral kontinyu terhadap mortalitas. APACHE II saat ini

merupakan sistem skor yang paling banyak digunakan di seluruh dunia dalam

penilaian derajat keparahan suatu penyakit dan LOS berhubungan dengan angka

mortalitas.

Penelitian ini bertujuan membuktikan pengaruh pemberian nutrisi enteral

secara kontinyu dibandingkan bolus dengan outcome evaluasi skor APACHE II

dan length of stay (LOS) pada pasien geriatri dengan sepsis. Penelitian ini

merupakan penelitian kohort , eksperimental dengan randomized control trial,

dimulai pada 1 Mei 2017 – 31 Mei 2018.

Empat puluh empat pasien geriatri dengan sepsis diberi nutrisi enteral

dibagi menjadi 2 kelompok (n = 22 masing-masing) dan dihitung skor APACHE

II pada hari pertama perawatan. Nutrisi enteral diberikan sebagai bolus 1 jam

setiap 4 jam (Kelompok I), atau terus menerus selama 24 jam (Kelompok II)

selama periode perawatan intensif. Setelah 3 hari, semua pasien dihitung skor

APACHE II. LOS dihitung dari hari pertama masuk ruang rawat intensif hingga

keluar dari ruang rawat intensif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan skor APACHE II pada

nutrisi enteral kontinyu (55,75 %, mean 11,68 + 3,96) lebih besar daripada bolus

(13,65%, mean 4,73 + 6,89) signifikan (p < 0,001). Ada perbedaan Length of

Stay (LOS) (p = 0,03) pada nutrisi enteral kontinyu (6,64 + 2,74) dibandingkan

dengan bolus (8,45 + 2,65) pada pasien geriatri dengan sepsis di ruang rawat

intensif.

Dapat disimpulkan bahwa nutrisi enteral kontinyu dan bolus terbukti

sama – sama menurunkan Skor APACHE II. Namun nutrisi enteral kontinyu

lebih besar dalam menurunkan Skor APACHE II dibandingkan bolus. Nutrisi

enteral kontinyu lebih besar menurunkan LOS dibandingkan bolus.

Kata kunci : nutrisi enteral, geriatric dengan sepsis, APACHE II, LOS

xi

SUMMARY

THE EFFECT OF ADMINISTRATION CONTINYU ENTERAL

NUTRITION COMPARED TO BOLUS ON APACHE II SCORES AND

LENGTH OF STAY IN GERIATRIC PATIENTS WITH SEPSIS IN

INTENSIVE CARE UNIT OF DR. MOEWARDI HOSPITAL

Fatnan Setyo Hariwibowo

Sepsis is stated as one of the biggest causes of death in hospitals in the

world. Enteral nutrition in septic patients is one of the main pillars of non-

pharmacological therapy in addition to parenteral administration. However, old

age can be a factor that influences the absorption of nutrients from septic

patients. Nutritional administration techniques are an important treatment

because malnutrition conditions significantly increase mortality, can be done by

bolus, intermittent, or continuous. Recent studies have a positive effect on

continuous enteral nutrition for mortality. APACHE II is currently the most

widely used scoring system in the world in assessing the severity of a disease

and LOS associated with mortality rates.

This study aims to prove the effect of continuous enteral nutrition versus

bolus with the evaluation of APACHE II scores and length of stay (LOS) in

geriatric patients with sepsis. This study is a cohort study, experimental with

randomized control trial, starting on May 1st 2017 - May 31st 2018.

Forty-four geriatric patients with sepsis were given enteral nutrition

divided into 2 groups (n = 22 each) and APACHE II scores were calculated on

the first day of treatment. Enteral nutrition is given as a bolus 1 hour every 4

hours (Group I), or continuously for 24 hours (Group II) during the intensive

care period. After 3 days, all patients were calculated for APACHE II scores.

LOS is calculated from the first day of entering the intensive care unit until

leaving the intensive care room.

The results showed that a decrease in APACHE II score on continuous

enteral nutrition (55.75%, mean 11.68 + 3.96) was greater than bolus (13.65%,

mean 4.73 + 6.89) significant (p < 0.001). There was a difference in Length of

Stay (LOS) (p = 0.03) in continuous enteral nutrition (6.64 + 2.74) compared to

bolus (8.45 + 2.65) in geriatric patients with sepsis in intensive care.

It can be concluded that continuous enteral and bolus nutrition has been

shown to reduce APACHE II score equally. However, continuous enteral

nutrition is greater in reducing the APACHE II score than in bolus. Continuous

enteral nutrition greater decreases LOS than bolus.

Keywords: enteral nutrition, geriatric with sepsis, APACHE II, LOS

xii

Fatnan Setyo Hariwibowo. S961408005. Pengaruh Pemberian Nutrisi Enteral

Kontinyu Dibandingkan Dengan Bolus Terhadap Skor APACHE II dan Length

Of Stay Pada Pasien Geriatri Dengan Sepsis di Ruang Perawatan Intensif RSUD

Dr.Moewardi. Tesis. Pembimbing I : dr. Arifin, Sp.PD-KIC, FINASIM,

Pembimbing II : dr. Fatichati B, Sp.PD-KGer, FINASIM. Program PPDS I Ilmu

Penyakit Dalam. Universitas Sebelas Maret Surakarta.

ABSTRAK

Latar Belakang : Nutrisi enteral dengan metode kontinyu dibandingkan bolus

pada pasien geriatri dengan sepsis masih kontroversial. Dengan tujuan

mengidentifikasi perubahan skor APACHE II dan LOS pada subjek pasien

geriatric dengan sepsis di ruang perawatan intensif, dilakukan penelitian

prospective randomized controlled.

Tujuan Penelitian : Penelitian ini bertujuan untuk menentukan apakah ada

perubahan skor APACHE II dan LOS pada pasien yang diberikan nutrisi enteral

dengan metode kontinyu dibandingkan bolus.

Metode Penelitian : Penelitian eksperimental dengan prospective randomized

controlled trial dilakukan pada pasien geriatric dengan sepsis di ruang rawat

intensif. Dimulai pada 1 Mei 2017 – 31 Mei 2018. Empat puluh empat pasien

geriatri dengan sepsis diberi nutrisi enteral dibagi menjadi 2 kelompok (n = 22

masing-masing) dan dihitung skor APACHE II pada hari pertama perawatan.

Nutrisi enteral diberikan sebagai bolus 1 jam setiap 4 jam (Kelompok I), atau

terus menerus selama 24 jam (Kelompok II) selama periode perawatan intensif.

Setelah 3 hari, semua pasien dihitung skor APACHE II. LOS dihitung dari hari

pertama masuk ruang rawat intensif hingga keluar dari ruang rawat intensif.

Hasil Penelitian : Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan skor

APACHE II pada nutrisi enteral kontinyu (55,75 %, mean 11,68 + 3,96) lebih

besar daripada bolus (13,65%, mean 4,73 + 6,89) signifikan (p < 0,001). Ada

perbedaan Length of Stay (LOS) (p = 0,03) pada nutrisi enteral kontinyu (6,64 +

2,74) dibandingkan dengan bolus (8,45 + 2,65) pada pasien geriatri dengan

sepsis di ruang rawat intensif..

Kesimpulan : Nutrisi enteral kontinyu dan bolus terbukti sama – sama

menurunkan Skor APACHE II. Namun nutrisi enteral kontinyu lebih besar

dalam menurunkan Skor APACHE II dibandingkan bolus. Nutrisi enteral

kontinyu lebih besar menurunkan LOS dibandingkan bolus.

Kata kunci : nutrisi enteral, geriatri dengan sepsis, APACHE II, LOS

xiii

ABSTRACT

Background: Enteral nutrition with a continuous method compared to bolus in

geriatric patients with sepsis is still controversial. With the aim of identifying

changes in APACHE II and LOS scores in subjects with geriatric patients with

sepsis in the intensive care setting, a prospective randomized controlled study

was conducted.

Objective: This study aimed to determine whether there were changes in

APACHE II and LOS scores in patients given enteral nutrition with a continuous

method compared to boluses.

Methods: A prospective randomized controlled trial was conducted in geriatric

patients with sepsis in intensive care. Starting May 1st 2017 until May 31st 2018.

Forty-four geriatric patients with sepsis were given enteral nutrition divided into

2 groups (n = 22 each) and APACHE II scores were calculated on the first day

of treatment. Enteral nutrition is given as a bolus 1 hour every 4 hours (Group I),

or continuously for 24 hours (Group II) during the intensive care period. After 3

days, all patients were calculated for APACHE II scores. LOS is calculated from

the first day of entering the intensive care room until leaving the intensive care

room.

Results: The results showed that a decrease in APACHE II scores on continuous

enteral nutrition (55.75%, mean 11.68 + 3.96) was greater than bolus (13.65%,

mean 4.73 + 6.89) significant (p <0.001). There was a difference in Length of

Stay (LOS) (p = 0.03) in continuous enteral nutrition (6.64 + 2.74) compared to

bolus (8.45 + 2.65) in geriatric patients with sepsis in intensive care. .

Conclusion: Continuous enteral and bolus nutrition was shown to reduce

APACHE II score equally. However, continuous enteral nutrition is greater in

reducing the APACHE II score than in bolus. Continuous enteral nutrition

greater decreases LOS than bolus.

Keywords: enteral nutrition, geriatric with sepsis, APACHE II, LOS

xiv

DAFTAR ISI

Halaman Judul .....................................................................................................i

Lembar Pengesahan ............................................................................................iii

Pernyataan Keaslian dan Persyaratan Publikasi ..................................................vi

Kata Pengantar ....................................................................................................vii

Ringkasan ............................................................................................................x

Abstrak ………………………………………………………………………..xii

Daftar Isi ………………………………………………………………………xiv

Daftar Tabel …………………………………………………………………..xvii

Daftar Gambar dan Bagan ……………………………………………………xix

Daftar Singkatan..................................................................................................xx

BAB 1. Pendahuluan... ........................................................................................1

BAB 2. Tinjauan Pustaka ....................................................................................7

2.1. Sepsis ..................................................................................................7

2.1.1.Definisi Sepsis ...........................................................................7

2.1.2.Kriteria Diagnosis ......................................................................7

2.1.3. Etiologi .....................................................................................7

2.1.4. Patogenesis ...............................................................................8

2.1.5. Gagal Organ Multipel Pada Sepsis ...........................................14

2.1.6. Stress Related Intestinal Mucosal Damage …………………. 25

2. 1.7. Skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) ...............29

2.2. Skor Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) 30

2.3. Perubahan Fisiologis Saluran Pencernaan Pada Geriatri …………...34

2.4. Nutrisi Enteral pada Pasien Sepsis ....................................................37

2.4.1.Pengertian Nutrisi Enteral .........................................................37

2.4.2.Persyaratan Nutrisi Enteral ........................................................41

2.4.3. Indikasi Nutrisi Enternal ...........................................................44

2.4.4. Kontraindikasi Nutrisi Enternal ................................................45

xv

2.4.5. Metode Pemberian Nutrisi enteral ............................................45

2.5. Pengaruh Pemberian Nutrisi Enteral Pada Pasien Sepsis ................47

2.6. Pengaruh Teknik Pemberian Nutrisi Enteral Pada Pasien Sepsis .... 49

BAB 3. Kerangka Konseptual Dan Hipotesis Penelitian ..................................52

3.1. Kerangka Konseptual..........................................................................52

3.2. Hipotesis Penelitian ............................................................................56

BAB 4. Metode Penelitian ..................................................................................57

4.1. Jenis Penelitian .......................................................................................57

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................57

4.3. Populasi dan Sampel ..............................................................................57

4.3.1. Populasi ...........................................................................................57

4.3.2. Pengambilan Sampel .......................................................................58

4.3.3. Besar Sampel ...................................................................................58

4.3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ...........................................................59

4.4. Variabel Penelitian .................................................................................60

4.4.1. Variabel Bebas .................................................................................60

4.4.2. Variabel Tergantung ........................................................................60

4.5. Definifisi Operasional ............................................................................61

4.5.1. Nutrisi Enteral bolus feeding ...........................................................61

4.5.2. Nutrisi Enteral Kontinyu .................................................................61

4.5.3. Skor APACHE II (Acute Physiology and Chronic Health

Evaluation) ……………………………………………………....62

4.5.4. Leght of Stay (=LOS) .......................................................................63

4.6. Bahan dan Alat penelitian ......................................................................63

4.6.1. Bahan Penelitian ..............................................................................62

4.6.2. Alat Penelitian .................................................................................64

4.7. Rancangan Penelitian ..............................................................................65

4.8. Analisis Hasil ..........................................................................................67

4.9. Prosedur Pengumpulan Data ...................................................................68

4.10. Alur Penelitian ………………………………………………………..70

xvi

BAB 5. Hasil Penelitian ……………………………………………………….71

5.1. Karakteristik Objek Penelitian ……………………………………….. 71

5.2. Pengujian Variabel Utama …………………………………………… 78

BAB 6. Pembahasan …………………………………………………………. 89

6.1. Berdasarkan Pendekatan Prinsip Ontology ……………………………… 89

6.2. Berdasarkan Pendekatan Prinsip Epistomologi ………………………… 91

6.3 Berdasarkan Prinsip Aksiologi …………………………………………. 96

6.4 Nilai Kebaruan Penelitian ………………………………………………. 96

6.5. Keterbatasan Penelitian …………………………………………………. 97

BAB 7. Penutup ………………………………………………………………. 99

7.1. Kesimpulan ……………………………………………………………. ..99

7.2. Saran ……………………………………………………………………. 99

Daftar Pustaka ………………………………………………………………...101

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Jenis organisme dan kultur positif dari pasien dan hubungannya

dengan risiko kematian di rumah sakit ……………………………....8

Tabel 2.2. Skor SOFA ………………………………………………………… 30

Tabel 2.3. Skor APACHE II ………………………………………………….. 32

Tabel 2.4. Diet sonde lengkap RSUD Dr.Moewardi Surakarta ……………… 43

Tabel 2.5. Indikasi nutrisi enteral …………………………………………….. 44

Tabel 4.1. Jadwal Penelitian ………………………………………………….. 57

Tabel 4.2.. Skor APACHE II ..............................................................................62

Tabel 4.3. Diet sonde sepsis ...............................................................................63

Tabel 5.1. Deskripsi dan Pengujian Homogenitas Variabel Karakteristik

Kuantitatif pada Kelompok Sampel yang Diberi Nutrisi Enteral Bolus dan

Kelompok Sampel yang diberi Nutrisi Kontinyu …………………………….. 74

Tabel 5.2. Deskripsi dan Pengujian Homogenitas Variabel Jenis Kelamin pada

Kelompok Sampel yang Diberi Nutrisi Enteral Kontinyu dan Kelompok Sampel

yang diberi Nutrisi Enteral Bolus……………………………………………... 75

Tabel 5.3. Deskripsi dan Pengujian Homogenitas Variabel Vasepresor pada

Kelompok Sampel yang Diberi Nutrisi Enteral Kontinyu dan Kelompok Sampel

yang diberi Nutrisi Enteral Bolus……………………………………………... 76

Tabel 5.4. Deskripsi dan Pengujian Homogenitas Variabel ARF pada Kelompok

Sampel yang Diberi Nutrisi Enteral Kontinyu dan Kelompok Sampel yang diberi

Nutrisi Enteral Bolus………………………………………………………….. 77

Tabel 5.5. Perbandingan Skor APACHE II pada Kelompok yang Diberi Nutrisi

Enteral Kontinyu dan kelompok yang Diberi Nutrisi Enteral Bolus pada Kondisi

Sebelum Pemberian Nutrisi Enteral …………………………………………... 81

Tabel 5.6. Perbandingan Skor APACHE II Sebelum dan Sesudah Pemberian

Nutrisi Enteral pada Kelompok Yang Diberi Secara Kontinyu dan Kelompok

yang Diberi Secara Bolus………………………………………………………82

xviii

Tabel 5.7.Perbandingan Skor APACHE II pada Kelompok Yang Diberikan

Nutrisi Enteral Kontinyu dan Kelompok Yang Diberikan Nutrisi Enteral Bolus

pada Kondisi Sesudah Pemberian Nutrisi

Enteral……………………………………………………………………...….. 84

Tabel 5.8. Perbandingan Delta-APACHE pada Kelompok yang Diberikan

Nutrisi Enteral Kontinyu dan Kelompok yang Diberikan Nutrisi Enteral

Bolus…………………………………………………………………………... 87

Tabel 5.9. Perbandingan LOS pada Kelompok yang Diberikan Nutrisi Enteral

Kontinyu dan kelompok yang Diberikan Nutrisi Enteral Bolus………………. 88

xix

DAFTAR GAMBAR DAN BAGAN

Gambar 2.1. Proses intraseluler pada sistem pertahanan alamiah ...........................10

Gambar 2.2. Imunopatogenesis sepsis ...................................................................12

Gambar 2.3. Respon Host pada kondisi Sepsis ………………………………….. 14

Gambar 2.4. Gut Hypothesis .................................................................................19

Gambar 2.5. Gagal organ pada sepsis dan disfungsi endotelium vaskular dan

mitokondria ……………………………………………………….. 21

Gambar 2.6 Fotomikrograf mukosa gaster tikus muda dan tua …………………. 26

Gambar 2.7 Mikroskop Transmisi Elektron Mukosa Lambung Tua …………….. 27

Gambar 2.8. Kerangka teori sepsis, hipoperfusi splanknik, dan gagal organ

multipel .............................................................................................33

Gambar 2.9. Gambar skematik sekuen asam amino procalcitonin .........................34

Gambar 2.10. Efek penuaan fisiologis pada saluran pencernaan ………………….36

Gambar 2. 11. Hipotesa mekanisme peranan CCK pada kondisi respon inflamasi

sitemik ………………………………………………………………. 39

Gambar 2.12. Kolesistokinin dilepaskan oleh sel enteroendokrin spesifik yang saat

makanan masuk ke dalam duodenum ………………………………. 40

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian .............................................................55

Gambar 4.1. Alur Penelitian .................................................................................70

Gambar 5.1. Perbandingan Skor APACHE II Sebelum dan Sesudah Pemberian

Nutrisi Enteral Secara Kontinyu dan Bolus ………………………… 85

xx

DAFTAR SINGKATAN

α7-nAch : α7-nicotinic achetylcolin

Ala : alanine

ALI : acute lung injury

APACHE : Acute Physiology and Chronic Health Evaluation

APC : Antigen Presenting Cell

ARDS : acute respiratory distress syndrome

B cell : Sel Beta

C3a :

proteins yang terbentuk dari cleavage of complement component

3

C5a :

proteins yang terbentuk dari cleavage of complement component

5a

C7a :

proteins yang terbentuk dari cleavage of complement component

7a

CARS : compensatory anti inflammatory syndrom

CCK-1 : Cholecystokinin -1

CCK-2 : Cholecystokinin -2

CD11b : cluster of differentiation 11b, kode genetik

CD14 : cluster of differentiation 14, kode genetik

CD18 : cluster of differentiation 18, kode genetik

CLRs : C-type lectin receptors

COX2 : cyclooxygenase-2,

CRH : corticotrophin releasing hormone

CSF : Colony Stimullating Factors

CUP : Charles University of Prague

DAMPs : damage-associated molecular patterns

DKA : Diabetic Ketoasidosis

EISCM

The European Society of Intensive Care Medicine

EN : Enteral Nutrition

FFA : Free Fatty Acid

GALT : Gut Associated Lymphoid Tissue

GD : Glukosa Darah

GIP : gastric inhibitory peptide

GLP-1 : glucose-like peptide-1

Glu : glutamine

GLUT : Glucose transporter type

GM-CFS : GM-Colony Stimullating Factors

xxi

HDL : high-density lipoprotein

HEC : hyperinsulinemic ecuglycemic clamp

HLA-DR : Human Leukocyte Antigen - antigen D Related

HMGB-1 : high-mobility group protein 1

HPA : Hipothalamic-pituitary-adrenal

HSP : heat shock factor/Heat shock protein

ICAM : intercelullar cell adhesion molecule

ICU : Intensive Care Unit

IFNγ-1β : Interferon γ-1β

IHT : Insulin Harian Total

IKK : inhibitor κB kinase

IL-1 : Interleukin-1

IL-10 : Interleukin-10

IL-13 : Interleukin-13

IL-1 : Interleukin-1

IL-6 : Interleukin-6

IL-8 : Interleukin-8

iNOS : Inducible nitric oxide synthase

Ins : Insulin

IR : Insulin receptor

IR-A : Insulin receptor-A subunit

IR-B : Insulin receptor-B subunit

IRS : insulin receptor substrate

IV : Intravena

IκB : inhibitor κB

JNK : Jun N-terminal Kinase

LBP : lipopolysaccharide binding protein

LC/NE : locus ceruleus norepinephrine system

LDL : low-densitiy lipoprotein

LOS : Legth of Stay

LPS : lipopolysaccharide

MARS : Mixed Antagonis Respon Syndrome

MHC II : Major Histocompatibility Complex Class II

MODS : Multiple Organ Disfunction

MOF : multiple organ failure

m-RNA : messenger RNA

MUG : Medinische Universitast Graz

MyD88 : Myeloid differentiation primary response gene 88

NADP : Nicotinamide adenine dinucleotide phosphate

xxii

NETs : neutrophil extracellular traps

NF-KB : nuclear factor kappa B. NICE

SUGAR :

Normoglycemia in Intensive Care Evaluation and Surviving Using

Glucose Algorithm Regulation

NLRs : nucleotide-binding oligomerization domain–like receptors

NO : nitric oxide

N-ProCt : Amino-terminal Procalcitonin Cleavage Peptide

PAI-1 : Plasminogen Activators Inhibitors-1

PAMPs : Pathogen-accociated molecular pattern

PGE2 : Prostaglandin E2

PI3K : phosphoinositol system

PICC : Peripherally inserted central catheter

PKC : protein kinase C

PN : Parenteral Nutrition

POC : Point of Care

PRRs : pattern recognition receptors

PVN : paraventricular nucleus

RBH : Royal Brompton Hospital London

RCT : Randomized Control Trials

ROS : Reactive oxygen species

S6K1 : S6 kinase 1

SAPS : Simplified Acute Physiology Score

Sepsis-3

:

the Third International Consensus Definitions for Sepsis and

Septic Shock

SES

Sel endotel sinusoidal

SH2 : Src homology 2

SIRS : systemic inflammatory response syndrome

SK : Sub kutan

SK : sel Kupffer

SOCS : suppressors of cytokine signaling

SOFA : Sequential Organ Failure Assessment

TCR : T-cell receptor

TGF β : Transforming growth factor beta

TH : T Helper

TLR2 : Toll-like receptor-2

TLR4 : Toll-like receptor-4

TLRs : Toll-like receptor

TNF-α : Tumor Necrosis Factors-α

TPN : Total Parenteral Nutrition

xxiii

UPMC : University of Pitssburg Medical Center

VCAM : Vascular Cell Adhesion Molecule

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam

jiwa yang disebabkan oleh disregulasi respons host terhadap infeksi.

Disfungsi organ bisa diidentifikasi sebagai perubahan yang akut dengan

total skor SOFA 2 sebagai kosekuensi terhadap terjadinya infeksi

(Singer et al 2016). Sepsis dinyatakan sebagai salah satu penyebab

kematian terbesar di rumah sakit di Amerika Serikat (Gaieski et al.

2013). Penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr.

Moewardi Surakarta tahun 1997, 130 (97%) dari 135 pasien sepsis

meninggal dunia (Hermawan 2001). Penelitian lain di bagian Penyakit

Dalam RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 2004, 74 (83,1%) dari 89

pasien sepsis meninggal (Arifin & Hermawan 2005). Secara umum

kematian yang terjadi di Rumah Sakit sekitar 30% terjadi pada pasien

sepsis berat dan sekitar 50-60% terjadi pada pasien syok sepsis (Angus

et al. 2001; Annane et al. 2003).

Nutrisi enteral pada pasien sepsis menjadi salah satu pilar

utama terapi non farmakologis selain pemberian secara parenteral.

Namun, usia tua dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi

absorbsi nutrisi pasien sepsis karena adanya penurunan fungsi

2

intestinal. Penuaan dikaitkan dengan efek beragam pada usus besar

termasuk perubahan dalam pertumbuhan mukosa sel, diferensiasi,

metabolisme, dan kekebalan. Penyerapan dan sensitivitas Vitamin D,

asam folat, vitamin B-12, kalsium, tembaga, seng, asam lemak, dan

kolesterol secara signifikan terganggu pada tikus tua (Hall, 2016).

Kondisi rusaknya mukosa dapat mengganggu absorbsi di unsus

dibuktikan penelitian Swaid F et al (2013) yang menyimpulkan bahwa

kerusakan mukosa intestinal akibat injury akan menggangu absorbs

nutrisi di usus. (Swaid et al 2013)

Teknik pemberian nutrisi merupakan tatalaksana penting pada

pasien geriatri dengan sepsis karena kondisi malnutrisi secara

signifikan meningkatkan mortalitas (Valeska et al. 2012). Nutrisi

enteral (EN) adalah pilihan pertama karena lebih murah daripada

parenteral (PN) dan secara fisiologis lebih baik. Pemberian nutrisi

secara enteral dapat dilakukan dengan cara bolus, intermiten, maupun

kontinyu. Cara pemberian nutrisi enteral berperan penting agar target

jumlah nutrisi dapat tercapai, karena pada pasien geriatri dengan sepsis

terjadi gangguan motilitas saluran cerna yang dapat disebabkan karena

gangguan saraf enterik dan fungsi otot polos, kondisi hiperglikemi,

inflamasi, gangguan elektrolit, interaksi dengan obat (Elke et al, 2014).

Mazaherpur (2016) membuktikan adanya efek positif

pemberian nutrisi enteral kontinyu terhadap keseimbangan nitrogen,

drfatnan
Rectangle

3

penurunan status hiperkatabolik dan pemeliharaan protein tubuh jika

dibandingkan dengan pemberian nutrisi enteral seacara intermitten

pada subjek pasien dengan trauma otak. Selain itu, penelitian yang

dilakukan oleh Evans (2016) membuktikan bahwa pemberian nutrisi

kontinyu meningkatkan kemampuan pasien untuk mobilisasi,

menurunkan masa rawat dan mortalitas.

APACHE II saat ini merupakan sistem skor yang paling banyak

digunakan di seluruh dunia dalam penilaian derajat keparahan suatu

penyakit. APACHE II sebagai prediktor mortalitas pasien yang dirawat

di instalasi perawatan intensif. (Knaus etal 1985). Di lain pihak Moitra

etal (2016) meneliti bahwa Length of stay pada pasien geriatri di ICU

berhubungan dengan angka mortalitas, semakin lama pasien di ICU

maka akan semakin meningkat angka mortalitasnya. (Moitra etal 2016)

Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai pemberian

nutrisi enteral kontinyu dengan outcome skor APACHE II dan Length

of Stay (LOS) di RSUD Dr. Moewardi. Pemberian nutrisi enteral di

RSUD Dr. Moewardi selama ini menggunakan metode bolus. Sehingga

peneliti menganggap perlu dilakukan suatu penelitian mengenai

manfaat pemberian nutrisi enteral kontinyu pada pasien geriatri dengan

sepsis di ruang rawat intensif RSUD DR. Moewardi dengan outcome

melihat adanya perbaikan pada skor APACHE II dan LOS yang lebih

pendek.

4

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apakah ada pengaruh pemberian nutrisi enteral bolus

dibandingkan enteral kontinyu terhadap skor APACHE II pada

pasien geriatri dengan sepsis di ruang perawatan intensif RSUD

Dr. Moewardi?

1.2.2 Apakah ada pengaruh pemberian nutrisi enteral bolus

dibandingkan enteral kontinyu terhadap skor Length of Stay

(LOS) pada pasien geriatri dengan sepsis di ruang perawatan

intensif RSUD Dr. Moewardi

1.2.3 Apakah ada perbedaan pengaruh pemberian nutrisi enteral bolus

dibandingkan enteral kontinyu terhadap skor APACHE II dan

Length of Stay (LOS) pada pasien geriatri dengan sepsis di ruang

perawatan intensif RSUD Dr. Moewardi

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan umum

Mengkaji pemberian nutrisi enteral secara kontinyu

dibandingkan dengan pemberian nutrisi enteral secara bolus

dengan outcome evaluasi skor APACHE II dan length of stay

(LOS) pada pasien geriatri dengan sepsis di ruang perawatan

intensif RSUD Dr.Moewardi.

5

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Menganalisis pengaruh pemberian nutrisi enteral secara

kontinyu dibanding bolus pada skor APACHE II pada

pasien geriatri dengan sepsis di ruang perawatan intensif

RSUD Dr.Moewardi.

b. Menganalisis pengaruh pemberian nutrisi enteral secara

kontinyu dibanding bolus pada LOS pada pasien geriatri

dengan sepsis di ruang perawatan intensif RSUD

Dr.Moewardi.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan bukti empirik

terdapat perbedaan pengaruh pemberian nutrisi enteral secara

bolus dibanding kontinyu terhadap skor APACHE II dan LOS

pasien geriatri dengan sepsis di ruang perawatan intensif

RSUD Dr.Moewardi.

1.4.2. Aspek praktis

a. Metode pemberian nutrisi enteral mempengaruhi skor

APACHE II pasien geriatri dengan sepsis, sehingga dapat

menjadi masukan dan rekomendasi dalam meningkatkan

mutu pelayanan dengan menerapkan evidence based

6

kepada pasien khususnya pasien geriatri dengan sepsis di

ruang perawatan intensif RSUD Dr.Moewardi.

b. Penelitian ini diharapkan bisa digunakan sebagai dasar

penelitian lanjutan dalam rangka pengembangan teknik

pemberian nutrisi enteral pada pasien geriatri dengan

sepsis di ruang perawatan intensif RSUD Dr.Moewardi.

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sepsis

2.1.1.Definisi Sepsis

Definisi sepsis menurut the Third International Consensus

Definitions for Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3) adalah adanya disfungsi

organ yang mengancam jiwa yang disebabkan adanya disregulasi respon

host terhadap infeksi (Singer 2016).

2.1.2.Kriteria Diagnosis

Disfungi organ dilihat dari adanya perubahan akut kondisi pasien,

dinilai dengan skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA), terdiri

atas penilaian 6 sistem organ, yaitu sistem saraf pusat, respirasi,

kardiovaskuler, liver, koagulasi, dan ginjal. Masing-masing mempunyai

nilai antara 0– 4 berdasarkan derajat disfungsinya. Jika nilai yang diperoleh

lebih besar dari 2 dapat dikatakan sepsis (Singer et al. 2016).

2.1.3. Etiologi

Sepsis berasal dari infeksi dan didapatkan di komunitas maupun di

RS. merupakan penyebab terbanyak, mencapai 50% kasus disusul dengan

infeksi intraabdomen dan saluran urogenital (Vincent 2009).

Kultur darah positif hanya didapatkan dari 1/3 insiden.

Staphylococcus aureus dan Streptococcus Pneumonia merupakan penyebab

terbanyak dari bakteri gram positf, sedangkan Esc herichia coli, Klebsiella

8

species dan Pseudomonas aeruginosa merupakan penyebab dari gram

negatif (Gaiesky 2013).

Tabel 2.1. Jenis organisme dan kultur positif dari pasien dan

hubungannya dengan risiko kematian di rumah sakit (Vincent 2009)

Frequency (%) OR (95% CI)

Gram-positive 46.8

Staphylococcus aureus 20.5 0.8 (0.6–1.1)

MRSA 10.2 1.3 (0.9–1.8)

Enterococcus 10.9 1.6 (1.1–2.3)

S. epidermidis 10.8 0.9 (0.7–1.1)

S. pneumoniae 4.1 0.8 (0.5–1.4)

Other 6.4 0.9 (0.7–1.2)

Gram-negative 62.2

Pseudomonas species 19.9 1.4 (1.2–1.6)

Escherichia coli 16.0 0.9 (0.7–1.1)

Klebsiella species 12.7 1.0 (0.8–1.2)

Acinetobacter species 8.8 1.5 (1.2–2.0)

Enterobacter 7.0 1.2 (0.9–1.6)

Other 17.0 0.9 (0.7–1.3)

Anaerobes 4.5 0.9 (0.7–1.3)

Other bacteria 1.5 1.1 (0.6–2.0)

Fungi

Candida 17.0 1.1 (0.9–1.3)

Aspergillus 1.4 1.7 (1.0–3.1)

Other 1.0 1.9 (1.0–3.8)

Parasites 0.7 1.3 (0.5–3.3)

Other organisms 3.9 0.9 (0.6–1.3)

2.1.4.Patogenesis

Patogenesis sepsis sangat kompleks akibat dari interaksi antara

produk bakteri yang berupa toksin, baik endotoksin maupun eksotoksin

sebagai super antigen, virus, parasit, kerusakan jaringan (faktor

eksternal) dengan faktor penjamu yang disebut respon imun meliputi

faktor pertahanan humoral dan seluler (Guntur 2006).

Sistem imun secara tradisional dibagi menjadi sistem imun

alamiah atau nospesifik (natural/innate/native) dan didapat atau spesifik

(adaptive/acquired), di mana tiap-tiap sistem imun tersebut memiliki

9

fungsi dan peran yang berbeda-beda dalam pertahanan penjamu dari

agen-agen yang infeksius (Baratawidjaja 2006). Untuk menghalangi

masuknya mikroorganisme infeksius, sistem imun alamiah

mengembangkan berbagai reseptor yang disebut pattern recognition

receptors (PRRs) (sebagai contoh, toll-like reseptor [TLRs]), yang

mempunyai kemampuan untuk mengenali secara spesifik bentuk molekul

dari patogen (Pathogen-accociated molecular pattern/PAMPs), sehingga

sistem imun alamiah mampu membedakan struktur molekul self

ataupun non-self (Guntur 2006).

TLRs dilibatkan dalam pertahanan penjamu terhadap invasi

patogen, berfungsi sebagai sensor utama dari produk mikrobial dan

mengaktifkan jalur signaling yang menginduksi ekspresi gen imun dan

proinflamasi. Dengan demikian, TLRs juga berimplikasi pada sejumlah

penyakit inflamasi dan penyakit yang dimediatori oleh sistem imun

(Guntur 2006).

CD14 merupakan anggota spesifik dari sistem imun alamiah

yang termasuk dalam PRRs. Clusters of differentiation-14 (CD14)

merupakan reseptor glikosilfosfatidilinositol 55 kd yang mengikat LPS

dengan afinitas tinggi dan sangat berperan dalam memperantarai

respon terhadap Lipopolisakarida (LPS)yang ada di dinding luar dari

kuman gram negatif dan memiliki peran penting untuk terjadinya sepsis

akibat kuman gram negatif (Guntur 2006).

Penelitian Medzhitov dan teman-teman, TLR4 menunjukkan

aktivasi nuclear factor Kappa Beta (NF-κB) dan menginduksi ekspresi

10

sejumlah sitokin proinflamasi sebagai respon terhadap LPS. Penelitian-

penelitian yang telah dilakukan telah memberikan informasi kritis

tentang reseptor membran LPS dan CD14 serta pemberian sinyal

transmembran melalui TLR4 (Guntur 2006).

Gambar 2.1. Proses intraseluler pada sistem pertahanan alamiah

Skema di atas menggambarkan beberapa proses intraseluler yang terjadi pada sepsis.

Penanda dari luar yang berasal dari mediator akan diikat oleh CD11b yang

merupakan reseptor yang berada pada permukaan sel, yang selanjutnya akan memacu

serangkaian proses reaksi kinase intraseluler melalui Toll-like receptors (TLR). Sebagian

dari aktivasi awal ini akan meningkatkan regulasi ekspresi CD11b/CD18 pada

permukaan sel. Inflamasi sendiri akan memacu stress oksidatif intraseluler yang dapat

menyebabkan perubahan potensial membran mitokondria. Stres oksidatif akan

mengaktifkan NF-κB melalui pemecahan fosforilasi dari inhibitory sub-unit I-κB. I-κB

yang telah didegradasi melalui proses fosforilasi dan obiquinasi akan menyisakan

produk aktif bebas p50-p65 dimer yang akan berpindah ke inti sel di mana melalui

ikatan dalam reseptor pada inti sel akan meningkatkan sintesis mRNA untuk gen-gen

spesifik yang akan mengkode sintesis mediator pro-inflamasi (seperti TNF-α, IL-1,

IL-8, iNOS, COX2). Stres oksidatif intraseluler juga akan mengaktifkan heat shock

factor (Hsp), yang seperti NF-κB akan berpindah ke dalam inti sel di mana akan

terikat dalam inti sel yang selanjutnya akan menambah pengkodean mRNA untuk

sintesa Hsp. Hsp70 akan menurunkan regulasi aktivitas NF-κB baik melalui

pembatasan oksidasi mitokondria berikutnya maupun dengan cara membatasi fosforilasi

NF-κB. Hsp70 dengan cara membatasi stres oksidatif mitokondria juga meminimalisasi

pengeluaran sitokrom sehingga akan menurunkan stres apoptosis.

Dikutip dari : Pinsky, M.R., 2004, ‘Dysregulation of the immune response in severe sepsis’,

Am J Med Sci, Oct, 328(4), 220-229

Ikatan antara TLRs dengan epitop mikroorganisme akan

menstimulasi signaling intraseluler, meningkatan transkripsi molekul pro-

11

inflamasi seperti tumor necrosis factor α (TNF-α) dan interleukin-1β (IL-

1β), demikian juga sitokin anti-inflamasi seperti IL-10. Sitokin pro-

inflamasi akan meningkatkan regulasi molekul adhesi pada neutrofil dan sel

endotel. Aktivasi neutrofil selain akan membunuh mikroorganisme, juga

menyebabkan cidera pada endotel dengan meningkatkan mediator yang

akan meningkatkan permeabilitas vaskuler, menyebabkan aliran cairan yang

kaya protein ke paru dan jaringan-jaringan lain. Selain itu, aktivasi sel

endotel menyebabkan pengeluaran nitric oxide (NO), yang berpotensi

menyebabkan vasodilator di mana merupakan mediator utama untuk

terjadinya syok septik (Guntur 2006).

Sepsis yang dihasilkan bakteri gram positif berbeda dengan

gram negatif, di mana organisme gram positif memerlukan

serangkaian respons dari penjamu dengan pembunuhan intraseluler

dengan neutrofil dan makrofag. Hal ini berbeda dengan kuman patogen

gram negatif, yang mungkin siap dibunuh dalam ruang ekstraseluler oleh

antibodi dan komplemen (Guntur 2006).

12

Gambar 2.2. Imunopatogenesis sepsis

Dikutip dari Guntur A., 2001, Perbedaan Respons Imun yang Berperan Pada

Sepsis dan Syok Septik Suatu Pendekatan Imunopatobiologik Sepsis dan Syok

Septik pada Immunocompromise dan non Immunocompromise, Disertasi Program

Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya.

Gambar 2.2 menjelaskan imunopatogenesis sepsis, baik dari

endotoksin gram negatif maupun eksotoksin gram positif. Endotoksin gram

negatif dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama dengan

antibodi dalam serum darah penderita membentuk lipopolysaccharide

binding protein (LBP). LBP yang berada dalam darah penderita akan

bereaksi dengan makrofag melalui TLR-4 sebagai reseptor transmembran

dengan perantaraan reseptor CD14, selanjutnya melalui pemberian sinyal

transmembran makrofag akan mengekspresikan berbagai macam

imunomodulator. Eksotoksin yang diproduksi bakteri gram positif bertindak

sebagai superantigen bakteri, sebagai molekul protein yang berpotensi untuk

menstimulasi sel-T. Superantigen dapat secara langsung mengadakan ikatan

dan menstimulasi aktivasi limfosit T tanpa melalui makrofag atau monosit

13

sebagai antigen presenting cell (APC) terlebih dahulu. Superantigen akan

mengaktifkan hingga 20% limfosit tubuh dan dapat menstimulasi produksi

berbagai jenis mediator inflamasi termasuk IL-2, IFN- dan colony

stimulating factor (CFS) yang kemudian akan menstimulasi makrofag.

Makrofag akan mengeluarkan IL-1β, IL-6 dan TNF-α, juga sederetan enzim

(protease netral, misalnya kolagenase dan elastase) yang dapat merusak

jaringan ikat, molekul prokoagulan (faktor jaringan dan faktor VII) yang

dapat menyebabkan koagulasi lokal melalui jalur koagulasi ekstrinsik dan

aktivator plasminogen. GM-CFS akan mengaktifkan neutrofil dan

komponen C3, C3a dan C5a. Neutrofil akan beradesi dengan sel sasaran

yaitu endotel pembuluh darah, disertai dengan gumpalan darah akibat

endapan fibrin, maka fungsi pembuluh darah terganggu. Superantigen ini

bisa menginduksi sindrom syok toksik dan sewaktu-waktu dapat

menyebabkan terjadinya multiple organ failure (MOF) (Guntur 2008,

2011).

Respon host pada kondisi sepsis dirangkum oleh Finfer & Vincent

(2013) pada ilustrasi di bawah ini :

14

Gambar 2.3. Respon Host pada kondisi Sepsis

Dikutip dari Finfer, S.R., Vincent, J.L., 2013, ‘Severe sepsis and Septic Shock’, N Engl J

Med, 369, 9, 840-850

2.1.5. Gagal Organ Multipel Pada Sepsis

Konsep tentang patogenesis sepsis dapat menjelaskan bahwa

ada 5 tahapan terjadinya multiple organ dysfunction syndrome (MODS)

pada sepsis, yaitu stadium reaksi lokal, respon sistemik awal, inflamasi

sistemik masif, imunosupresi masif dan imunologi dissonance (Bone et

al. 1997; Bosmann & Ward 2013). Respon awal tubuh adalah

menginduksi mediator pro-inflamasi untuk menghancurkan jaringan

yang rusak, benda asing, kuman dan merangsang pertumbuhan

jaringan baru. Kompensasi mediator antiinflamasi segera muncul untuk

mencegah agar proinflamasi tidak terlalu destruktif. IL-4, IL-10, IL-11,

IL-13, reseptor TNF-α terlarut, antagonis reseptor IL-1, tumor growth

15

factor (TGF)-β dan mediator lainnya bertujuan mengurangi ekspresi

major histocompability complex (MHC) kelas II, menurunkan aktivitas

antigen precipaiting cell (APC), dan menurunkan aktivitas sel untuk

memproduksi sitokin pro-inflamasi. Semua reaksi ini berlangsung lokal

tanpa reaksi sistemik berlebihan. Bila mediator proinflamasi didapatkan

dalam sirkulasi menandakan bahwa kerusakan/kuman tidak dapat dikontrol

oleh reaksi lokal saja. Mediator proinflamasi bertujuan membantu menarik

neutrofil, sel limfosit T, dan B, trombosit dan faktor koagulasi untuk datang

ke daerah cidera atau infeksi. Reaksi ini merangsang respons kompensasi

sistemik anti-inflamasi. Tetapi respons ini akan segera menurunkan respons

sistemik proinflamasi. Manifestasi klinis akan muncul tetapi tidak berat dan

jarang menimbulkan disfungsi organ (Bosmann & Ward 2013).

Pada stadium inflamasi sistemik masif terjadi kehilangan

mekanisme regulasi respon proinflamasi sehingga timbul manifestasi

klinis SIRS. Hal ini terjadi akibat dari : (1) progresivitas disfungsi

endotel sehingga terjadi peningkatan permiabilitas mikrokapiler; (2)

trombosit yang memblok mikrosirkulasi sehingga timbul iskemia atau

injuri reperfusi dan menginduksi heat shock protein (HSP); (3) aktivasi

sistem koagulasi dan gangguan jalur inhibisi protein C dan protein S; (4)

adanya vasodilatasi dan maldistribusi aliran darah sehingga pasien jatuh

pada fase syok. Pada stadium ini merupakan ancaman terjadinya

disfungsi organ dan MOF bila homeostasis tidak segera diatasi (Pinsky

2004; Bosmann & Ward 2013). Namun jika pro dan anti-inflamasi

seimbang, maka tubuh dalam keadaan homeostasis yang disebut

16

mixed antagonis respon syndrome (MARS) (Bone, Grodzin & Balk

1997; Guntur 2006).

Pada stadium imunosupresif masif terjadi reaksi antiinflamasi

kompensasi yang tidak efektif dan menyebabkan terjadinya

imunodefisiensi/ immune paralysis atau CARS. Pada suatu penelitian

didapatkan bahwa pada pasien dengan SIRS dan CARS didapatkan

ekspresi Human Leucocyte Antigen (HLA)-DR monosit menurun kurang

dari 30%. Penambahan interferon (IFN)γ-1β dapat meningkatkan ekspresi

HLA-DR pada permukaan monosit sehingga memperbaiki fungsi

monosit dan sekresi IL-6 dan TNF-α sehingga kondisi pasien membaik

(Cavaillon et.al. 2004; Russell 2006).

Stadium akhir dari sepsis adalah imunologi dissonance, terjadi

ketidaksesuaian atau sistem imunomodulator berada di luar

keseimbangan. Keadaan ini sering dianggap sebagai keadaan yang

persisten sehingga mempunyai angka kematian yang tinggi (Bone et

`al. 1997; Russell 2006). Kondisi patologis pada keadaan sepsis (sepsis

berat atau syok septik) dapat mempengaruhi pada hampir setiap komponen

sel sirkulasi mikro, termasuk sel endotel, sel otot polos, lekosit, eritrosit, dan

jaringan. Jika tidak dapat dikoreksi secara tepat, suplai aliran darah yang

jelek dapat menyebabkan distress respirasi pada jaringan dan sel, dan lebih

lanjut lagi menyebabkan disfungsi sirkulasi yang hasil akhirnya adalah

kegagalan organ. Sirkulasi menjamin ketersediaan oksigen untuk tiap sel

dan jaringan, menjadi penentu organ berfungsi baik atau tidak. Disfungsi

sirkulasi yang terjadi selama beberapa waktu dapat menjadi penggerak

17

utama kondisi patologis sepsis yang berakibat pada kegagalan organ yang

kemudian dapat terjadi kegagalan multi organ (Russell 2006).

Penyebab akhir kematian pada pasien dengan sepsis adalah

kegagalan organ multipel. Disfungsi progresif dari sistem organ yang

menjadi karakteristik dari MODS pada umumnya mengikuti urutan yang

dijabarkan pada SOFA yang dirumuskan pada pertemuan konsensus The

European Society of Intensive Care Medicine (EISCM) (2016) menjadi 4

fase sebagai berikut:

Fase pertama : peningkatan kebutuhan volume dan alkalosis

respiratorik ringan yang diikuti dengan oliguria, hiperglikemia, dan

peningkatan kebutuhan insulin.

Fase kedua : pasien menjadi takipnea, hipokapnia, dan hipoksemia,

kemudian berkembang menjadi disfungsi hati dan abnormalitas hematologi.

Fase ketiga : pasien jatuh ke dalam kondisi syok dengan azotemia

dan gangguan asam basa, dengan abnormalitas koagulasi yang signifikan.

Fase keempat: pasien dengan vasopressor dependent dan oliguria

atau anuria, kemudian berkembang menjadi ischemic colitis dan asidosis

laktat.

Fase tersebut dapat dijelaskan dengan beberapa hipotesis yang

menginisiasi MODS antara lain :

a. Gut Hypothesis

Gut Hypothesis saat ini adalah teori paling populer untuk

menjelaskan berkembangnya MODS pada pasien kritis. Hipoperfusi

splanknik seringkali dijumpai pada pasien multiple trauma, sepsis, syok

18

sepsis, atau luka bakar. Endotoksin menyebabkan pengurangan yang

dose dependent terhadap diameter arteriole sentral villus. Organ usus

sangat rentan untuk kehilangan perfusi jaringan dan oksigenasi karena

cadangan oksigen yang dimiliki sangat minimal dibandingkan dengan

organ lain dan organ vital. Iskemia pada organ usus menyebabkan

terjadinya perubahan struktur dan penurunan fungsi selular. Endotoksin

juga menyebabkan cedera mukosa dengan menghasilkan reactive

oxygen species (ROS) dan menghambat respirasi mitokondria di

enterosit. Cedera pada mukosa usus meningkatkan permeabilitas usus,

menurunkan fungsi imum usus, dan meningkatkan translokasi bakteri.

Karena disfungsi hepar, toksin bakteri dapat masuk ke sirkulasi sistemik

dan mengaktifasi respon inflamasi, yang memicu terjadinya cedera dan

disfungsi organ (Swank 1996). Hipotesa ini didukung dengan

serangkaian penelitian yang menemukan adanya hubungan antara

translokasi bakteri, penurunan pH gaster intramukosa dengan kejadian

MODS (Deitch 2012).

19

Gambar 2.4. Gut Hypothesis

Dikutip dari :Ackland, G., Grocott, M.O., Mythen, M.G.. 2000, ‘Understanding

Gastrointestinal Perfusion in Critical Care: So Near, and Yet So Far’,Crit Care Med, 4,

269-281.

b. Endotoxin-Macrophage Hypothesis

Pada pasien dengan MODS, infeksi mikroorganisme gram negatif

seringkali dijumpai, sehingga endotoksin dianggap sebagai mediator

kunci pada sindrom ini. Setelah terjadinya kejadian awal sebagai pemicu

(contoh: sepsis, pankreatitis, trauma), MODS muncul sebagai akibat dari

produksi dan lepasnya sitokin dan mediator lain oleh makrofag yang

diaktifasi oleh endotoksin. Tumor Necrosis Alpha (TNF-alpha),

Interleukin 1 (IL-1), Interleukin 6 (IL-6), Thromboxane а2, prostacyclin,

platelet activating factor, dan nitric oxide (NO) adalah mediator

proinflamasi yang terlibat pada proses terjadinya MODS. Mediator

inflamasi tersebut pada akhirnya akan memicu terjadinya inflamasi

20

sistemik yang akan menyebabkan terjadinya kerusakan endotelial yang

menyebabkan kebocoran pada kapiler pembuluh darah dan terbentuknya

thrombus di sepanjang endotel yang rusak yang akan memicu

hipoperfusi pada end organ dan gangguan koagulasi (Bone 1997; Guntur

2008).

c. Tissue Hypoxia-Microvascular Hypothesis

Pasokan oksigen yang tidak adekuat dapat terjadi akibat dari

perubahan vaskular baik mikro maupun makro. Hipovolemia, anemia,

hipoksemia gagal jantung akan menyebabkan penurunan oxygen

delivery. Pada pasien sepsis juga terjadi gangguan homeostasis yang

menyebabkan terjadinya trombus mikrovaskular yang akan

memperburuk hantaran oksigen ke jaringan (Bone 1997; Guntur 2008;

Bosmann dan Ward 2013).

d. Integrated Hypothesis

Pada sebagian besar pasien dengan MODS, terjadinya sindrom ini

tidak dapat dikatakan hanya berasal dari satu penyebab saja melainkan

adalah hasil akhir dari berbagai mekanisme yang ada (Bone 1997;

Guntur 2008; Bosmann & Ward 2013).

Kegagalan organ pada sepsis diilustrasikan oleh Finfer & Vincent

(2013) sebagai berikut :

21

Gambar 2.5. Gagal organ pada sepsis dan disfungsi endotelium

vaskular dan mitokondria

Dikutip dari : Finfer, S.R., Vincent, J.L., 2013, ‘Severe sepsis and Septic Shock’, N Engl

J Med, 369, 9, 840-850

Pada gambar 2. Dijelaskan bahwa sepsis berhubungan dengan

trombosis mikrovaskular yang disebabkan teraktivasinya sistem koagulasi

(yang dimediasi oleh tissue factor) dan gangguan pada mekanis

antikoagulan yang mengakibatkan menurunnya aktivitas antikoagulan

endogen (dimediasi protein C teraktivasi, antitrombin, inhibitor jalur tissue

factors) ditambah dengan terganggunya fibrinolisis yang tampaknya

meningkatkan pelepasan plasminogen activator inhibitor type 1 (PAI-1).

Kemampuan untuk menmproduksi protein C teraktivasi akan terganggu jika

ada penurunan ekspresi dari 2 reseptor endotel yaitu trombomodulin (TM)

22

dan reseptor protein C endotel. Pembentukan trombus selanjutnya akan

difasilitasi oleh neutrophil extracellular traps (NETs) yang dilepaskan dari

netrofil yang mati. Pembentukan trombus sebenarnya merupakan hasil dari

hipoperfusi jaringan yang merupakan kumpulan dari kondisi vasodilatasi,

hipotensi dan deformabilitas sel darah merah. Oksigenasi jaringan

selanjutnya akan dipengaruhi kondisi hilangnya fungsi pelindung endotel

(loss of barrier junction), tingginya kadar angiopoetin 2 dan terganggunya

keseimbangan sphingosine-1 phosphate receptor (SIP1) dan SIP3 dalam

dinding vaskular, sehingga paling tidak akan terjadi induksi SIP3 melalui

protease activated receptor 1 (PARI) sebagai hasil dari turunnya rasio

protein C teraktivasi menjadi trombin. Penggunaan oksigen akan

terpengaruh pada level subselular karena adanya kerusakan mitokondria

yang diakibatkan oleh stres oksidatif (Finfer & Vincent 2013).

Beberapa kegagalan organ yang terjadi pada sepsis dapat berupa :

a. Kegagalan fungsi hati

Disfungsi hepatik awal dan lanjut terkait dengan perubahan global

dan mikrosirkulasi perfusi hati. Sepsis dapat menyebabkan perubahan

besar pada peredaran darah mikrosirkulasi pada semua organ splanknik

yang tidak dapat diprediksikan dari perubahan aliran darah regional atau

sistemik. Redistribusi peredaran darah intrahepatik mengalirkan darah

menjauhi pembuluh darah yang terkontraksi menuju ke pembuluh darah

yang terdilatasi, menyebabkan terjadinya penurunan daerah total

sinusoidal yang terperfusi. Sel endotel sinusoidal (SES) dan sel Kupffer

(SK) membentuk garis kontak utama untuk bakteri, produk bakterial dan

23

debris mikrobial yang dihantarkan oleh darah portal dan arteri hepatika.

Respons mikrovaskular hepar terhadap zat-zat ini berkorelasi dengan

keadaan aktivasi, jumlah dan distribusi SK di dalam lobulus hepar. Setelah

terstimulasi, SK melepaskan berbagai macam mediator-mediator

inflamatorik, toksik dan vasoaktif yang semuanya dapat menyebabkan

kerusakan jaringan baik secara langsung maupun tidak langsung. Sel

endotel sinusoidal memproduksi zat-zat vasoaktif, seperti prostasiklin dan

oksida nitrat, yang memodulasi tonus vaskular baik pada makro dan

mikrosirkulasi hepar. Sel endotel sinusoidal mengalami perubahan

struktural dan fungsional signifikan. Pembengkakan, distensi dan

gangguan SES menyebabkan kebocoran albumin, plasma dan sel

inflamatorik ke dalam interstitium, menyebabkan kerusakan jaringan

secara langsung. Sel endotel sinusoidal mengalami kehilangan sifat

antikoagulan dan mengekspresikan molekul-molekul adhesi permukaan

sehingga menarik sejumlah besar trombosit dan leukosit. Pada akhirnya,

sinusodi menjadi tersumbat dengan bekuan fibrin dan kelompok-kelompok

sel darah merah. Penurunan aliran darah ini akan memperberat keadaan

hipoperfusi sinusoidal. Pada keadaan inflamasi tidak terkendali dan

koagulopati terus menerus, proses di atas akan menyebabkan iskemia

dan disfungsi mikrovaskular yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan

dan kegagalan hepatoselular (Ramalho et.al. 2006; Spapen 2008).

b. Disfungsi miokardial pada sepsis

Penelitian dengan menggunakan ekokardiografi telah

mendemonstrasikan adanya gangguan fungsi sistolik dan diastolik

24

ventrikel kiri pada pasien sepsis. Penelitian pada manusia, sesuai dengan

penelitian eksperimental mulai dari level selular sampai ke penelitian

menggunakan jantung terisolasi dan juga pada model hewan in vivo, telah

memperlihatkan secara jelas adanya penurunan kontraktilitas dan

gangguan komplians miokardial sebagai faktor utama yang menyebabkan

disfungsi miokardium pada sepsis. Mekanisme utama yaitu hiporesponsif

kardiomiosit terhadap regulasi reseptor β adrenergik dan depresi jalur

sinyak post-reseptor. Mekanisme lain yaitu injuri cardiomiosit dapat

dirangsang oleh toksin, komplemen, damage-associated molecular

patterns (DAMPs), neutrophil extracellular traps (NETs). Tanpa melihat

perbedaan struktural dan fungsional antara ventrikel kiri dan kanan,

perubahan fungsional yang sama dengan didiskusikan di atas juga dapat

ditemukan pada ventrikel kanan, yang menimbulkan dugaan bahwa

disfungsi ventrikel kanan pada sepsis mirip dengan disfungsi ventrikel kiri.

Meskipun demikian, kontribusi relatif ventrikel kanan terhadap

kardiomiopati sepsis belum diketahui (Kakihana et.al. 2016).

c. Kerusakan paru

Fase akut dari kerusakan paru akut (acute lung injury – ALI) dan

sindrom distres pernapasan akut (acute respiratory distress syndrome –

ARDS) dikarakteristikkan dengan aliran masuk cairan edema kaya protein

ke dalam ruang udara sebagai akibat dari peningkatan permeabilitas

pembatas alveolar-kapiler. Derajat kerusakan epitel alveolar merupakan

prediktor penting sepsis. Epitelium alveolar normal terdiri atas dua tipe

sel. Sel tipe I meliputi 90% area permukaan alveolar dan mudah cedera.

25

Sel kuboidal tipe II meliputi 10 persen sisanya dan lebih tahan terhadap

cedera; fungsi mereka termasuk menghasilkan surfaktan, transpor ion dan

proliferasi serta diferensiasi menjadi sel tipe I setelah kerusakan terjadi.

Kehilangan integritas epitelial pada ALI dan ARDS mempunyai beberapa

akibat. Pertama, pada keadaan normal, pembatas epitelial lebih kurang

permeabel dibandingkan dengan pembatas endotel. Sehingga, kerusakan

epitel dapat berkontribusi terhadap kebanjiran alveolar. Kedua, kehilangan

integritas epitel dan kerusakan sel tipe II mengganggu transpor cairan

epitel normal yaitu pengeluaran cairan edema dari ruang alveolar. Ketiga,

kerusakan sel tipe II menurunkan produksi dan perputaran surfaktan.

Keempat, kehilangan pembatas epitel dapat menyebabkan syok sepsis

pada pasien dengan pneumonia bakterial. Pada akhirnya bila kerusakan

terhadap epitel alveolar berat, perbaikan epitel yang tidak teratur ataupun

tidak adekuat dapat menyebabkan terjadinya fibrosis. Penelitian klinis

dan eksperimental telah memberikan bukti adanya kerusakan yang

diperantarai neutrofil pada ALI dan ARDS. Penelitian histologik dari

spesimen paru yang diperoleh pada awal kelainan menunjukkan akumulasi

nyata netrofil. Netrofil mendominasi komponen selular cairan edema

pulmonar dan lavase bronkoalveolar yang diperoleh pada pasien serta

banyak model hewan ALI sangat tergantung netrofil (Kim 2016).

2.1.6 Stress Related Intestinal Mucosal Damage

2.1.6.1 Kenaikan suseptibilitas mukosa intestinal terhadap injury pada

usia tua

Hasil studi eksperimental oleh Tarnawzky (2014)

26

menunjukkan bahwa mukosa lambung tikus tua terbukti

meningkat kerentanannya terhadap cedera oleh berbagai agen

perusak seperti etanol, aspirin, dan NSAID lainnya, garam

hipertonik, asam empedu, induksi dingin bertekanan, sepsis dan

faktor lainnya.

Dalam penelitian sebelumnya Tarnawzky et al (2014)

menganalisis perubahan struktural pada mukosa gaster tikus yang

menua (vs muda) dengan histologi kuantitatif. Penelitian itu

menunjukkan atrofi parsial kelenjar lambung dan penggantinya

dengan peningkatan jaringan ikat di basal sepertiga dari mukosa

(Gambar 4A). Kuantifikasi jaringan ikat pada sepertiga bawah

mukosa lambung menunjukkan peningkatan sekitar 3 kali lipat

jaringan ikat yang menggantikan sel kelenjar pada tikus yang

menua (Gambar 4B). Temuan ini secara independen

dikonfirmasikan kemudian oleh Kang J etal (2010).

Gambar 2.6 Fotomikrograf mukosa gaster tikus muda dan tua

27

Dalam sebuah studi terpisah lain yang menggunakan transmisi

elektron mikroskop (TEM) Tarnawzky et al (2012) menunjukkan

perubahan histologis dan ultrastruktural yang menonjol pada

mukosa lambung tikus tua termasuk fibril kolagen yang tidak

teratur dalam jaringan ikat yang berbatasan langsung dengan

pembuluh darah kapiler (Gambar 5B) sehingga disimpulkan

bahwa perubahan ini dapat mengganggu transportasi nutrisi dan

oksigen dan karenanya menyebabkan hipoksia serta akumulasi

racun metabolit. (Tarnawski et al 2012).

Gambar 2.7 Mikroskop Transmisi Elektron Mukosa Lambung Tua

2.1.6.2 Kerusakan mukosa pada usia tua saat kondisi sepsis

Perkembangan syok septik dan kegagalan organ multiple

dijelaskan oleh fenomena kompleks, termasuk hipovolemia akibat

peningkatan permeabilitas pembuluh darah, vasokonstriksi

pathologic dan vasodilatasi, hilangnya thromboresist, koagulasi

intravaskular, dan disfungsi miokard yang mendalam. Proses-

proses ini menyebabkan kerusakan aliran darah mikrovaskuler di

jaringan dan organ, menyebabkan cedera iskemik. Organ yang

28

sebagian besar terkena termasuk ginjal, paru-paru, dan organ

splanknik (Pathan 2003).

Sel mukosa usus yang matang sangat rentan terhadap

hipoperfusi dan iskemia. Kerusakan mukosa usus dapat

menyebabkan peradangan lokal, gangguan fungsi penghalang, dan

kemudian berpotensi untuk translokasi mikroorganisme. Gatt

(2007). Translokasi tersebut dapat meningkatkan peradangan lokal

dan kemudian menghasilkan respons inflamasi sistemik, seperti

yang ditunjukkan pada penelitian pada hewan (Yang et al 2003 &

Rostein et al 2000). Studi pada orang dewasa yang sakit kritis juga

menunjukkan bahwa kerusakan usus yang disebabkan oleh

hipoperfusi splanchnic dikaitkan dengan transisi dari sindrom

respon inflamasi sistemik menjadi sepsis dan syok septik. (Rotstein

2007). Hipoperfusi splanknik pada fase awal sepsis perut

berkorelasi kuat dengan kerusakan mukosa usus. Selain itu,

peningkatan nilai I-FABP plasma saat masuk ke ICU dikaitkan

dengan hasil yang buruk pada pasien dengan sepsis perut. (Thuijls,

2011)

Pada orang tua saat kondisi sepsis, studi Tarnawski 2014

menjelaskan secara detail analisis dari perubahan mukosa yang

menua (aging mucosa) secara bertahap : (1) terjadi penurunan

aliran darah mukosa dan gangguan pengiriman oksigen

menyebabkan hipoksia, yang menyebabkan aktivasi faktor

transkripsi EGR-1; (2) EGR-1 aktif pada gilirannya mengatur

29

regulasi PTEN, yang menginduksi aktivasi yang dimediasi

pembelahan dari protease pro-apoptosis, caspase-3 dan caspase-9.

Selain itu, PTEN yang teregulasi memberikan tindakan pro-

apoptosis dengan mengurangi ekspresi protein antiapoptosis,

survivin; dan (3) Ketidakseimbangan antara faktor pro dan anti-

apoptosis menghasilkan peningkatan apoptosis dan peningkatan

kerentanan terhadap cedera. (Tarnawski et al 2014). Penelitian

Swaid F et al (2013) menyimpulkan bahwa kerusakan mukosa

intestinal akibat injury akan menggangu absorbs nutrisi di usus.

(Swaid F et al 2013)

2.1.7 Skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA)

Sepsis-related Organ Failure Assessment, yang kemudian

dikenal dengan Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) dan

diperkenalkan pada tahun 1994 (Vincent et al., 1996). Menurut Surviving

Sepsis Campaigne 2016, pada pasien sepsis keparahan disfungsi organ

dinilai dengan sistem penilaian yang mengukur kelainan sesuai dengan

temuan klinis, data laboratorium, atau intervensi terapeutik dipakai Skor

SOFA. (Singer et al 2016)

Skor SOFA terdiri atas penilaian 6 sistem organ, masing-masing

mempunyai nilai antara 0 – 4 berdasarkan derajat disfungsinya. Penetapan

nilai masing-masing sistem organ didasarkan atas satu atau lebih variabel.

Dengan total 12 variabel, skor SOFA mempunyai variabel lebih sedikit

dibanding sistem penilaian tingkat keparahan penyakit di ICU yang

lainnya, seperti APACHE II dan SAPS II.

30

Tabel 2.2. Skor SOFA (Vincent,1996)

Sistem Skor

0 1 2 3 4

Respirasi

PaO2/FiO2, mmHg

(kPA)

400

(53,3)

< 400

(53,3)

< 300 (40) < 200 (26,7)

dengan

bantuan

respirasi

< 100 (13,3)

dengan

bantuan

respirasi

Koagulasi

Platelet, x 103/L

150 < 150 < 100 < 50 < 20

Liver

Bilirubin, mg/dL

(mol/L)

<1,2

(20)

1,2-

1,9

(20-

32)

2,0-5,9

(33-101)

6,0-11,9

(102-204)

>12,0 (204)

Kardiovaskuler MAP

70

mmHg

MAP

< 70

mmHg

Dopamine

<5

atau

dobutamin

(dosis

berapapun)

Dopamine <5

atau epinefrin

≤ 0,1

Atau

Noreepinefrin

≤ 0,1

Dopamine >5

atau epinefrin

>0,1

Atau

Noreepinefrin

> 0,1

Sistem Syaraf Pusat

Glasglow Coma Scale

15 13-14 10-12 6-9 < 6

Renal

Creatinin , mg/dL

<1,2

(110)

1,2-

1,9

(110-

170)

2,0-3,4

(171-299)

3,5-4,9 (300-

40)

>5 (440)

Urin output, mL/hari < 500 < 200

Keterangan: Norepi = norepineprin; dop = dopamin FiO2 = fraction

of inspiration oxygen

2.2 Skor Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE)

Beberapa tahun terakhir ini telah dikembangkan beberapa model

penilaian untuk menggambarkan tingkat keparahan penyakit pada pasien

yang dirawat di ruang intensif atau untuk meramalkan outcome perawatan

intensif. Sebagai contohnya adalah Acute Physiology and Chronic Health

Evaluation (APACHE) yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1981,

dan dikembangkan sistem APACHE II tahun 1985 (Knaus et al, 1985).

Pada sebuah studi retrospektif dari 396 pasien oleh Peter et al 2013,

performa dari skor APACHE II, SAPS II, MPM II, dan Poisoning Severity

Score (PSS) dievaluasi, mereka menemukan bahwa meski pada pasien

31

kasus keracunan, akurasi sistem skor APACHE-II dan SAPS II melebihi

PSS. Studi yang dilakukan Saleh et al. pada 110 pasien ARDS dalam

perawatan ICU juga menunjukkan signifikansi skor APACHE II yang lebih

baik dalam memprediksi mortalitas dibandingkan skor SAPS II dan SOFA

(Peter et al 2013 & Saleh et al. 2015)

Saat ini APACHE II merupakan sistem skor yang paling banyak

digunakan di seluruh dunia dalam penilaian derajat keparahan penyakit.

Dalam APACHE II, digunakan 12 variabel fisiologis, efek umur dan

kondisi kesehatan/penyakit kronis diintegrasikan dalam satu model,

diberikan rasio sesuai dengan pengaruh relatif pada penyakit, dengan nilai

maksimum 71 pada hasil akhir penjumlahan. Diagnosis utama sebagai

kriteria masuk rawat intensif dapat ditambahkan dalam kategori penyulit

sehingga mortalitas terprediksi adalah hasil perhitungan komputer untuk

skor APACHE II pasien dan diagnosis utama saat masuk ruang intensif.

Oleh karena itu diagnosa utama memegang perana penting dalam prediksi

mortalitas, bahkan ketika status kesehatan dan derajat disfungsi fisiologis

akut cenderung seragam. Namun dalam penelitian ini, karena diagnosis

utama dikhususkan pada sepsis, maka kategori penyulit tidak penulis

perhitungkan.

32

Tabel 2.3. Skor APACHE II

Gambar berikut menerangkan mengenai kerangka teori sepsis yang akan

menyebabkan hipoperfusi splanknik sehingga akan memperberat terjadinya gagal

organ multipel.

33

Gambar 2.8. Kerangka teori sepsis, hipoperfusi splanknik, dan gagal

organ multipel

Diadaptasi dari :Ackland, G., Grocott, M.O., Mythen, M.G.. 2000, ‘Understanding

Gastrointestinal Perfusion in Critical Care: So Near, and Yet So Far’,Crit Care Med, 4,

269-281

Selain itu, direkomendasikan penggunaan marker sepsis untuk

membantu diagnosis dan monitoring terapi dengan menggunakan

prokalsitonin yang merupakan protein fungsional yang terdiri dari 114-116

asam amino (polipeptida) prekusor hormon kalsitonin dan disintesis secara

fisiologi oleh sel-sel tiroid C. Prokalsitonin terdiri dari 3 bagian yaitu amino

terminal (N-ProCt), kalsitonin imatur dan katakalsin (Meisner 2010) dengan

gambar sebagai berikut :

34

Gambar. 2.9. Gambar skematik sekuen asam amino procalcitonin

Dikutip dari : Meisner M, 2010, Procalcitonin-biochemistry and clinical diagnosis, Uni

Med Science, Bremen.

2.3 Perubahan Fisiologis Saluran Pencernaan Pada Geriatri

Penurunan pembersihan cairan lambung telah didokumentasikan

pada pasien yang lebih tua, dan dapat diperburuk oleh obat antikolinergik.

Penuaan juga berkaitan dengan penurunan persepsi distensi lambung yang

diukur dengan subjektifitas rasa penuh selama tes inflasi barostat balon

lambung. Tertundanya pengosongan dapat memperpanjang waktu kontak

lambung terhadap agen berbahaya, seperti obat antiinflamasi nonsteroid

(NSAID). Sebagian kecil memiliki hyposecretion asam yang parah

(achlorhydria) terkait dengan gastritis atrofi. (Hall, 2016)

Usus kecil memiliki kapasitas cadangan fungsional yang besar,

karena luas permukaan mukosa substansial yang tersedia untuk sekresi dan

penyerapan. Luas permukaan usus tidak berubah pada tikus setelah usia 6

minggu. Belum jelas apakah aktivitas spesifik disakaridase dan amino-

peptidases usus dipengaruhi oleh penuaan, karena aktivitas keduanya lebih

35

tinggi dan lebih rendah telah dilaporkan pada hewan yang tua dibandingkan

dengan kontrol muda. Tertunda pematangan dan ekspresi enzim pada sel

epitel vili usus kecil selama migrasi kriptovili tampaknya menjadi

penyebab. Namun, penyerapan laktosa, manitol, dan lipid pada individu usia

lebih dari 60 tahun tidak terpengaruh. Penyerapan dan sensitivitas Vitamin

D, asam folat, vitamin B-12, kalsium, tembaga, seng, asam lemak, dan

kolesterol secara signifikan terganggu pada tik\us tua. Zat besi adalah salah

satu nutrisi yang biasanya melimpah pada diet untuk orang tua. Pasien yang

lebih tua mungkin berisiko penyakit seperti kelebihan besi di hati (terutama

pada individu yang monozigot untuk hemochromatosis), dan kelebihan zat

besi terlibat dalam beberapa model stres oksidatif. Laki-laki tua dan wanita

menopause tidak memerlukan zat besi tambahan kecuali ada ditumpangkan

kehilangan darah atau gangguan sumsum tulang. (Hall, 2016)

Ada beberapa bukti bahwa orang yang lebih tua beresiko

terganggunya penyerapan makronutrients tanpa adanya penyakit tumpangan

atau reseksi bedah usus kecil. Penuaan dapat merubah kemosensitivitas

visceral atau respon hormonal, karena peningkatan efek mengenyangkan

terhadap konsumsi karbohidrat yang melewati usus halus melalui infus yang

dilaporkan pada pria yang lebih tua. Efek minor penuaan pada motilitas usus

kecil telah dijelaskan meskipun ada laporan bahwa beberapa subtipe

neuronal (substansi P, VIP, somatostatin-, dan nitrat oksida yang

mengandung) yang menurun pada model hewan tua. Dalam penelitian

bersubjek manusia, waktu transit usus kecil diukur dengan napas hidrogen

(breath hydrogen) yang lebih pendek pada laki-laki tu. Pembatasan kalori

36

hingga 70% dari asupan yang normal mencegah hilangnya neuron myenteric

ileum pada tikus SpragueDawley sampai usia 30 bulan, mirip dengan efek

menguntungkan dari pembatasan kalori pada perubahan lain saat penuaan.

(Hall, 2016)

Penuaan dikaitkan dengan efek beragam pada usus besar termasuk

perubahan dalam pertumbuhan mukosa sel, diferensiasi, metabolisme, dan

kekebalan. Pengurangan neuron oksida yang mengandung nitrat yang terkait

usia pada pleksus myenteric yang terlibat dalam relaksasi reseptif telah

dilaporkan. Sisa neuron myenteric secara fungsional kemungkinan

terganggu. Pengamatan lain termasuk lambatnya transit usus dan

peningkatan frekuensi kontraksi segmentasi, mengakibatkan peningkatan

resorbsi air dan kerasnya kotoran. Penurunan asupan serat kemungkinan

juga berkontribusi terhadap produksi feses yang keras dan tegang. Penelitian

lain menunjukkan bahwa penambahan serat menurunkan tekanan

intraluminal di usus besar. (Hall, 2016)

Gambar 2.10. Efek penuaan fisiologis pada saluran pencernaan (Hall, 2016)

37

2.4. Nutrisi Enteral pada pasien sepsis

2.4.1. Pengertian Nutrisi Enteral

Nutrisi enteral/ Enteral Nutrition (EN) adalah nutrisi yang diberikan

pada pasien yang tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisinya melalui rute

oral, formula nutrisi diberikan melalui tube ke dalam lambung (gastric tube),

nasogastric tube (NGT), atau jejunum yang dapat dilakukan secara manual

maupun dengan bantuan pompa mesin (gastrostomy dan jejunum

percutaneous) (Dietitisan Association of Australia/DAA 2011). Menurut

DAA Nutrition Support Interest Group (2011), nutrisi enteral merupakan

salah satu teknik pemberian makanan di rumah sakit untuk pasien kritis dan

pada pasien-pasien yang tidak dapat makan secara oral atau dengan intake

oral yang tidak adekuat dengan keadaan saluran gastrointestinal yang

berfungsi dengan baik.

Nutrisi enteral sebaiknya diberikan pada semua pasien kritis kecuali

pasien mengalami distensi abdomen, perdarahan gastrointestinal, diare dan

muntah. Nutrisi enteral yang diberikan pada pasien dengan gangguan

gastrointestinal dapat menyebabkan ketidakcukupan pemenuhan nutrisi dan

berisiko terjadi malnutrisi. (Ziegler 2009).

EN adalah pilihan pertama karena lebih murah daripada PN dan secara

fisiologis lebih baik. Efek menguntungkan lain dari EN adalah fungsi

perlindungan pada penghalang dinding usus (intestinal wall barrier) dan

pencegahan terhadap adanya translokasi bakteri (Jacobi et al. 2012; Ellger et

al. 2006).

38

EN juga meningkatkan aliran darah splanknik. Namun, proses ini

mungkin memprovokasi sebuah fenomena yang disebut “steal

phenomenon”/fenomena pencurian (aliran darah diarahkan atau dicuri dari

organ yang tidak memproses makanan ke usus) aliran usus yang rendah akan

menimbulkan nekrosis non-oklusif pada usus. Masih dibutuhkan penelitian

RCT untuk menilai keselamatan dan efektifitas beberapa dosis yang berbeda

dari EN pada pasien dengan hemodinamik yang lemah (misalnya, yang

memerlukan obat vasopresor) karena insiden nekrosis usus non-oklusif yang

rendah (0,1- 0,3%). (Jacobi et al. 2012; Ellger et al. 2006).

Penelitian dengan hewan coba (tikus) yang dilakukan oleh Saia et al.

(2013) mengenai peranan cholesistokinin (CCK) pada kondisi syok

endotoksemia. Saia et al. menjelaskan bahwa CCK bisa mencegah lepasnya

TNF-alfa, IL1- dan terbentuknya iNOS sehingga proses vasodilatasi, hipotensi,

hipoperfusi dan hipoksia jaringan bisa dicegah keberklanjutannya. Gambar

berikut merupakan hipotesis pada penelitian Saia et al (2013) tersebut :

Gambar 2. 11. Hipotesa mekanisme peranan CCK pada kondisi respon

inflamasi sitemik

Dikutip dari Saia, R.S., Bertozi, G., Mestriner, L., Rodrigues, J.A., Cunha, F.Q., Carnio,

E.C., 2013,’Cardiovascular and inflammatory response to Cholecystokinin during

endotoxemic shock’, Shock, 39, 1, 104-112

39

Sebagaimana diketahui bahwa CCK disekresi oleh sel enteroendocrine

(sel I) yang berada di mukosa duodenum, jejunum, dan ileum proksimal,

aferent vagal dan pleksus myenterik dan berimplikasi terhadap fungsi

pengosongan dan distensi gaster, kontraksi kandung empedu, sekresi

pankreas dan motilitas usus. CCK pada saluran pencernaan ini mempunyai

reseptor CCK-1 (Chandra & Liddle 2007). Berikut adalah gambar mekanisme

pelepasan CCK :

Gambar 2.12. Kolesistokinin dilepaskan oleh sel enteroendokrin

spesifik yang saat makanan masuk ke dalam duodenum

Cholecystokinin (CCK) dilepaskan dalam darah atau berefek lokal pada nervus enterik

yang akan mengakibatkan respon posprandial yang terkoordinir. CCK akan mengaktivasi

reseptor CCK-1 yang terletak pada fundus gaster dan sphincter pylorus dan mengakibatkan

40

relaksasi lambung dan komtraksi sphincter yang secara bersama-sama menurunkan jumlah

makanan yang akan masuk ke duodenum. CCK akan mempengaruhi pancreas untuk

mengekskresi eksokrin dan sekresi endokrin. Pada islet pankreas, CCK menstimulasi

lepasnya insulin release dan proliferasi sel beta namun juga menpunyai efek menimbulkan

rasa kenyang dan menurunkan insulin-induced hyperphagia (hiperfagia yang diinduksi

insulin). CCK juga akan menstimulai kontraksi kandung empedu yang akan mengalirkan

empedu ke dalam usus yang akan berkurang dengan lepasnya CCK. Yang menarik adalah,

meningkatnya kadar CCK dalam darah dan turunnya ekspresi reseptor CCK-1 pada pasien

dengan batu empedu dan terganggunya pengosongan kandung empedu. Lepasnya CCK

juga akan menstimulasi motilitas usus halus dan bermanifestasi pada gejala irritable

bowel syndrome (IBS). Di otak, CCK akan mengaktivasi nucleus of tractus solitarius

(NTS) untuk menimbulkan rasa kenyang dan akan berkurang dengan perasaab lapar dengan

efek memodulasi ghrelin, dan membloking sinthesis orexin dan melanin-concentrating

hormone (MCH) mRNA di hipotalamus.

Dikutip dari Chandra, R., Liddle, R.A., 2007, ‘Cholecystokinin’, Curr Opin Endocrinol

Diabetes Obes, 14,63-67

Penelitian oleh Jonqueira et al. (2012) merekomendasikan pemberian

nutrisi enteral pada pasien kritis jika hemodinamik pasien telah stabil. Namun,

penelitian observasional skala kecil menunjukkan bahwa EN layak dan aman

diberikan pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil (Jacobi et al.

2012; Ellger et al. 2006).

Penggunaan nutrisi enteral juga dapat meningkatkan status nutrisi

pasien, hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kim dan

Kwon (2011) pada 48 pasien ICU yang diberi nutrisi enteral adekuat berupa

energi selama 7 hari. Status nutrisi pasien-pasien tersebut meningkat jika

dibandingkan dengan pasien yang diberi nutrisi enteral dibawah kebutuhan.

Selama perawatan dengan pemberian nutrisi enteral yang adekuat terdapat

penurunan nilai Body Mass Index (BMI), prealbumin dan Percent Ideal Body

Weight (PIBW) (Kim & Kwon 2011).

2.4.2 Persyaratan nutrisi enteral

Nutrisi enteral memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi

(Hasir 2013) yaitu :

a. Memiliki kepadatan kalori tinggi. Kepadatan kalori yang ideal adalah 1

41

kkal/ml cairan.

b. Kandungan makanannya harus seimbang. Kandungan makanan harus

mengandung semua komponen zat gizi esensial seperti protein, asam

amino, lemak, vitamin, mineral, dan element lain yang memenuhi jumlah

kebutuhan.

c. Memiliki osmolalitas yang sama dengan osmolalitas cairan tubuh.

Osmolalitas yang ideal untuk nutrisi enteral adalah 350-400 mOsm sesuai

dengan osmolalitas cairan tubuh ekstraseluler.

d. Mudah diresorbsi. Bahan baku pembuat nutrisi enteral sebaiknya terdiri

dari komponen-komponen yang siap diabsorbsi atau paling tidak hanya

sedikit memerlukan kegiatan pencernaan untuk dapat diabsorbsi.

e. Tanpa atau kurang mengandung laktosa. Menghindari terjadinya

intoleransi laktosa yang sering terjadi pada penderita malnutrisi. Paling

tinggi kandungan laktosanya hanya 0,5% dari total hidrat arangnya.

Imunonutrisi adalah kumpulan beberapa nutrien spesifik seperti

arginin, glutamin, nukleotida dan asam lemak omega 3, yang diberikan sendiri

ataupun kombinasi, memiliki pengaruh terhadap parameter imunologik dan

inflamasi yang telah terbukti secara klinis dan laboratoris (Heyland 2001).

Trauma berat, sepsis, luka bakar akan mengancam kehidupan penderita dengan

terjadinya disregulasi imunologik dengan berbagai manifestasi klinik.

Inflamasi atau infeksi merupakan komplikasi klinik yang sangat berbahaya

dan menyebabkan kematian sebesar 40% – 80% (Houdijk 1999).

Imunomodulasi saat ini dikembangkan pada pencegahan sepsis / penyakit kritis

berhasil menurunkan angka kematian. Salah satu enteral nutrisi adalah :

42

Enteral Feeding supplement dengan nutirisi yang terdiri dari glutamin, n-3

polian staturasi asam lemak dan nukliotide (Immunonutritions). Dikatakan

demikian sebab kelainan GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) imuno

respon merupakan kontribusi disfungsi intestinum (usus halus) dalam keadaan

sepsis. Telah dilakukan penelitian dengan metode Double Blind Cross Over

Design pada penderita sepsis yang diberikan imunonutrisi dibandingkan

dengan kontrol (penderita sepsis yang tidak diberi imunonutrisi) terdapat

perbedaan yang bermakna (p< 0,05). Pada penderita sepsis dengan

imunonutrisi terjadi perkembangan penyakit yang membaik, terjadi penurunan

komplikasi , jangka waktu perawatan dan kematian (Senkal 1999). Dari hasil

penelitian ini diharapkan imunonutrisi merupakan salah satu faktor terapi

support pada sepsis / penyakit kritis.

Formulasi diit untuk penderita dengan infeksi kritis yaitu diit

imunonutrisi menggunakan lemak jenuh. Komposisi diit ini diberikan nama

“Diit sonde sepsis RSUD Dr. Moewardi” Komposisi diit ini dapat berupa cair

“Pada diit bentuk cair setiap 1 cc mengandung 1 kalori; komposisinya adalah

sebagai berikut (Tim Gizi 2017):

Tabel 2.4. Diet sonde sepsis RSUD Dr.Moewardi Surakarta

BAHAN Per 1000 ml

Wortel 80 g

Tempe 80 g

Ikan 40 g

Tepung beras 20 g

Tepung Susu 25 g

Gula pasir 75 g

Telur ayam 25 g

Miyak Jagung 20 g

43

Susu skim 40 g

Air 800 cc

Nilai Gizi

Energi 1056, 2 kkal

Protein 45,8 g

Lemak 34,4 g

Karbohidrat 145,7 g

Kalium 844,9 mg

Natrium 194,1 mg

Kolesterol 129,9 mg

Peraturan pemberian sonde

1. Pagi pukul 07.00 dan malam pukul 21.00

Peptisol® per 200 cc (4 sendok takar = 63 g)

Nilai Gizi

Energi 240 kkal

Protein 14 g

Lemak 3 g

Karbohidrat 45 g

Kalium 130 mg

Natrium 100mg

Kolesterol 0 mg

2. Pukul 09.00, 12.00, 15.00, 17.30

menggunakan standard sonde lengkap per 200 cc

Formulasi modern untuk nutrisi enteral (EN) dan nutrisi parenteral (PN)

lengkap terdiri dari semua makronutrisi dan mikronutrisi penting. (Jacobi et al.

2012; Ellger et al. 2006).

2.3.3. Indikasi Nutrisi Enternal

Nutrisi enteral diindikasikan bila ada gangguan mengunyah dan

menelan dan adanya suatu kondisi pasien yang tidak aman untuk menelan

makanan sendiri seperti terjadi penurunan kesadaran. Indikasi nutrisi

enteral secara rinci disajikan pada tabel di bawah ini :

44

Tabel 2.5. Indikasi nutrisi enteral (Stroud et al. 2005)

Indikasi nutrisi enteral Keterngan/contoh

Pasien tidak sadar Cidera kepala, pasien dengan ventilator

gangguan menelan (neuromuskuler) Post stroke, multipel sklerosis, penyakit

motor neuron

Anoreksia fisiologis Kanker, sepsis, penyakit hepar

Obstruksi saluran gastrointestinal bagian

atas

striktur/tumor oro-faringeal/esofageal

Disfungsi gastrointestinal/malabsorbsi Ileus post operasi, short bowel

Kebutuhan nutrisi yang meningkat Cystic fibrosis, penyakit ginjal

Masalah psikologis Depresi berat, anoreksia nervosa

Terapi spesifik Inflamatory bowel disease

2.4.4. Kontraindikasi Nutrisi Enternal

Obstruksi usus, gangguan perfusi saluran cerna (instabilitas

hemodinamik, syok sepsis) (DAA 2011).

2.4.5. Metode Pemberian Nutrisi enteral

Dietititans Association of Australia menyatakan bahwa pemberian

nutrisi enteral terdiri dari beberapa metode antara lain (DAA 2011):

a. Continous feeding

Di unit perawatan intensif (ICU), continous feeding adalah

metode yang paling banyak digunakan dalam enteral feeding dan

direkomendasikan dalam pedoman praktik klinis yang didasarkan pada

beberapa tinjauan sistematis dan dalam panduan lain yang didasarkan

pada saran ahli (Williams TA & Leslie GD 2004), contohnya di

guideline enteral feeding di Spanyol (SENPE 1998). Continous feeding

adalah metode pemberian makan selama 24 jam terus menerus baik

melalui tetes gravitasi atau dengan pompa infus, dapat dimulai dengan

50 cc per jam selama 3-4 jam, 1 jam istirahat jika toleransi baik dapat

ditingkatkan 100-200 cc/jam. Keuntungan pemberian nutrisi dengan

continous feeding adalah memungkinkan laju umpan per jam terendah

45

untuk memenuhi kebutuhan gizi, toleransi yang lebh baik pada

pencernaan karena tingkat umpan yang lebih rendah, kontrol yang lebih

baik pada kadar glukosa darah akibat masukan karbohidrat secara

kontinyu. Kekurangan metode ini yaitu mempengaruhi psikososial,

biaya peralatan tinggi (pompa dan 1 set peralatannya).

b. Intermittent feeding

Intermittent feeding adalah metode pemberian nutrisi dengan

melakukan pemberhentian pemberian makanan jangka waktu 4-16 jam

per hari baik siang hari atau malam hari. Keuntungan metode ini yaitu

memungkinkan mobilitas yang besar bagi pasien (dapat meningkatkan

kualitas hidup), memungkinkan istirahat untuk kegiatan fisik, untuk

pemberian obat yang kompatibel dengan feeding dan untuk mendorong

asupan oral jika berlaku berguna dalam transisi dari berkesinambungan

untuk makan bolus atau dari tabung ke intake oral, dapat mengurangi

resiko aspirasi jika dapat mempertahankan elevasi kepala 30º.

Kekurangan metode ini yaitu apabila dibandingkan dengan makan

terus-menerus, tingkat infus lebih tinggi diperlukan untuk menyediakan

volume yang sama sehingga kurang ditoleransi dengan risiko yang

lebih tinggi dari masalah seperti refluks, aspirasi, distensi abdomen,

diare dan mual.

c. Bolus feeding

Bolus feeding didefinisikan sebagai pemberian makan yang

cepat dengan menggunakan tabung (biasanya oleh bantuan gravitasi

tanpa plunger), diberikan sebanyak 100-400 ml selama 15-60 menit

46

secara berkala. Volume lambung yang banyak mengakibatkan motilitas

dan pengosongan lambung menjadi lambat, dan pada akhirnya residu

dalam lambung meningkat. Pasien harus memiliki esofagus yang

kompeten atau tidak ada gangguan napas untuk meminimalkan risiko

aspirasi. Keuntungan metode ini yaitu secara fisiologis mirip dengan

pola makan yang khas, memungkinkan mobilitas pasien yang lebih

besar, dapat digunakan untuk melengkapi asupan oral, dapat menjadi

fleksibel sesuai dengan gaya hidup pasien dan meningkatkan kualitas

hidup, dapat memfasilitasi transisi ke asupan oral, menghindari

penggunaan peralatan mahal. Kekurangan metode ini yaitu bolus yang

besar mungkin buruk ditoleransi, terutama bagi usus kecil,

membutuhkan waktu yang lebih dari perawat dibandingkan dengan

pemberian melalui drip, resiko aspirasi tertinggi, refluks, perut

kembung, diare dan mual.

2.5. Pengaruh Nutrisi Enteral Pada Pasien Sepsis

Fisiologi sirkulasi splanknik sangat komplek sebagai dasar untuk

memahami dan menilai perubahan yang terjadi pada pasien kritis dengan

ketidakstabilan hemodinamik. Saat beristirahat dan kondisi normal, 20-25%

dari curah jantung terletak di sirkulasi splanknik. Aktivitas metabolik di

daerah ini menyumbang 30% dari konsumsi oksigen tubuh secara

keseluruhan. Aliran di zona ini saat makan menjadi 2 kali lipat karena

fenomena yang dikenal sebagai respon hyperemic postprandial (Cresci & Cue

2008).

47

Jika terjadi keadaan dehidrasi, infeksi, sepsis, dan pemberian obat

vasoaktif dapat menyebabkan penurunan perfusi splanknik. Pada organ

splanknik, hipoperfusi dapat dikarenakan sebagai kompensasi tubuh untuk

menjaga aliran darah ke otak (Cresci & Cue 2008; Sinaga, Sutanto & Syam

2013). Konsekuensi penurunan perfusi ini terjadi penurunan gradien oksigen

jaringan dari dasar ke ujung vili, hipoksia di dalam sel, dan berikutnya akan

terjadi iskemia dan nekrosis. Hipoperfusi menyebabkan penurunan gradient

oksigen jaringan dari dasar ke ujung vili, sehingga mengakibatkan ujung vili

sangat sensitif terhadap hipoksia jaringan. Hal ini menyebabkan

ketidakseimbangan rasio suplai dan kebutuhan oksigen di tingkat intestinal

yang akan mengakibatkan iskemia. Selanjutnya akan menyebabkan

menipisnya cadangan ATP seluler, dengan ruptur tight junction antar sel

epitel, sehingga gradient konsentrasi zat terlarut antara kompartemen apikal

dan basolateral hilang, terjadi edema intraseluler, nekrosis dan apoptosis.

Hasil akhir dari gangguan mikrosirkulasi usus adalah pecahnya barrier epitel

intestinal yang akan menyebabkan terjadinya translokasi bakteri. Respon

inflamasi yang terus menerus dan berkembang secara progresif ke arah

sindrom gangguan multipel organ yang pada akhirnya hipoperfusi splanknik

semakin memberat (Cresci & Cue 2008; Puleo et.al. 2011).

Manfaat pemberian nutrisi enteral yaitu : (1) memperbaiki

permeabilitas dinding usus sehingga mencegah translokasi bakteri,

endotoksin, serta antigen masuk ke dalam sirkulasi, (2) mencegah atrofi

jaringan limfoid usus (GALT) yang merupakan mekanisme utama sistem

kekebalan mukosa usus, dimana efek tropik mencegah atrofi mukosa usus

48

yaitu melindungi fungsi barrier usus, (3) memperbaiki fungsi limfosit Sel T

dan sel B, meningkatkan aktivitas kemotaksis leukosit dan fungsi fagositosis

sehingga menurunkan pertumbuhan bakteri (bacterial overgrowth) (Cresci &

Cue 2008; Puleo et.al. 2011). Manfaat lain adalah meningkatkan aliran darah

di saluran cerna, memberikan sumber energi yang tepat bagi usus pada waktu

sakit, mengurangi proses katabolik, menurunkan resiko komplikasi infeksi

secara bermakna, mempercepat penyembuhan luka, biaya lebih murah

dibandingkan dengan pemberian nutrisi parenteral, lama perawatan rumah

sakit lebih pendek dibandingkan dengan pemberian nutrisi parenteral

(McClave at al. 2016).

Pemberian nutrisi pada pasien sepsis dengan hiperglikemi

membutuhkan pengkajian nutrisi individual yang berdasarkan kondisi/tingkat

keparahan penyakit dimana target glikemik juga harus diimbangi dengan

asupan energi yang adekuat (Ellger et al. 2006). Tujuan pemberian nutrisi

adalah untuk memberikan nutrisi esensial yang menghasilkan energi,

homeostasis metabolik, fungsi organ dan kapasitas fungsional (Ellger et al.

2006; Hirasawa 2009).

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemberian nurisi

karena jika kalori yang diberikan tidak adekuat, maka akan membawa kondisi

malnutrisi. Namun disisi lain, pemberian makanan secara berlebihan juga

akan membawa kondisi tidak tercapainya target glikemik yang sesuai.

Hiperglikemia akibat pemberian makanan berlebih akan menghasilkan

katabolisme, imunosupresif dan proinflamasi, serta menghambat

pengosongan lambung (Ellger et al. 2006).

49

2.6. Pengaruh Teknik Pemberian Nutrisi Enteral Pada Pasien Sepsis

Cara pemberian nutrisi enteral berperan penting agar target jumlah

nutrisi dapat tercapai, karena pada pasien sepsis terjadi gangguan motilitas

saluran cerna yang dapat disebabkan karena gangguan saraf enterik dan

fungsi otot polos, kondisi hiperglikemi, inflamasi, gangguan elektrolit,

interaksi dengan obat (Elke et al. 2014).

Lane et al (1998) melakukan penelitian efek interval dan tipe

pemberian nutrisi enteral terhadap hemodinamik splanknik pada bayi baru

lahir dan membuktikan bahwa perfusi spanknik dipengaruhi secara signifikan

oleh interval dan tipe nutrisi enteral. Nutrisi enteral dengan kandungan lemak

yang tinggi mengakibatkan kondisi hyperemia splanknik pada arteri

mesenterik superior, serupa halnya dengan intervensi pemberian makan tiap 1

jam sekali. Namun sayangnya, penelitian ini tidak mempublikasikan metode

pemberian nutrisi dan kandungan nutrisi enteral yang diberikan secara rinci.

McClave (2016) berpendapat bahwa pemberian nutrisi enteral

dengan metode kontinyu dengan kecepatan 10-20 mg/jam bisa mencegah

atrofi mukosa akibat hipoperfusi splaknik. Naftarilofa (2013) melakukan

penelitian dengan metode evidenced based practiced pada pasien post

gastrektomi dengan pemberian nutrisi enteral kontinyu untuk menghindari

gejala refluk gastroesofageal dan membuktikan bahwa nutrisi enteral

kontinyu bisa mencegah kejadian refluk gastroesofageal seperti yang telah

dilakukan sebelumnya oleh Bowling dan Wright (2008). Penelitian oleh

Serpa et al. mengenai pengaruh nutrisi enteral kontinyu dan bolus pada pasien

kritis menunjukkan tidak ada pengaruh signifikan diantara keduanya (Serpa et

50

al. 2003). Hal tersebut serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh

Abdelsalam (2012) dan Maurya et al. (2011) dengan mengukur outcome

pemenuhan nutrisi dan efek samping pada subjek pasien ICU.

Mahezepur (2016) membuktikan adanya efek positif pemberian

nutrisi enteral kontinyu terhadap keseimbangan nitrogen, penurunan status

hiperkatabolik dan pemeliharaan protein tubuh jika dibandingkan dengan

pemberian nutrisi enteral secara intermitten pada subjek pasien dengan

trauma otak. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Evans (2016)

membuktikan bahwa pemberian nutrisi kontinyu meningkatkan kemampuan

pasien untuk mobilisasi, menurunkan masa rawat dan mortalitas jika

dibandingkan dengan bolus.

Hasir (2013) melakukan penelitian pengaruh pemberian nutrisi

enteral intermitten terhadap kadar gula darah sewaktu pada pasien cedera otak

berat pascabedah secara observatif dengan pendekatan prospective study.

Penelitian tersebut membuktikan bahwa pemberian nutrisi enteral secara

intermitten tidak memberikan perubahan pada kadar gula darah tetapi

menggambarkan absorpsi makanan lebih baik. Sedangkan McLoad (2007)

melakukan penelitian secara prospective randomized control trial dan

membuktikan bahwa pasien trauma yang diberi nutrisi enteral intermitten

mencapai target kebutuhan nutrisi lebih cepat jika dibandingkan dengan

metode kontinyu. Namun kelemahan pada penelitian ini adalah adanya

kondisi terganggunya pemberian nutrisi kontinyu saat operasi sehingga

pemberian nutrisi kontinyu tidak efektif.

51

Kontroversi efektivitas nutrisi enteral kontinyu dibanding bolus

pada pasien dengan kondisi kritis masih diperdebatkan. Marik (2015)

berpendapat bahwa pemberian nutrisi pada kondisi kritis sebaiknya dilakukan

secara intermiten karena dianggap lebih fisologis dibandingkan secara

kontinyu dengan melihat outcome atrofi otot yang tampaknya lebih minimal

pada pasien dengan nutrisi enteral intermiten. Sementara itu, Chowdury A et

al (2016) melakukan penelitian pada pemberian nutrisi enteral dengan bolus

pada orang dewasa sehat dengan hasil adanya peningkatkan volume gaster,

meningkatkan aliran darah pada arteri mesenterik superior dan velositinya jika

dibandingkan dengan pemberian nutrisi enteral secara kontinyu.

Shahriari et al. (2015) melakukan penelitian mengenai pemberian

nutrisi enteral kontinyu vs bolus pada pasien ICU dan membuktikan bahwa

nutrisi enteral kontinyu dapat menurunkan kadar gula darah dan meningkatkan

konsentrasi prealbumin dibandingkan dengan bolus. Sebagai kontrol adalah

pemberian nutrisi bolus yang merupakan prosedur standar di RS Isfahan, Iran .

Pemberian bolus dilakunan sebanyak 6 kali dalam 24 jam. Pemberian nutrisi

bolus diberikan selama 10-20 menit dengan syringe dan ditingkatkan 50 cc

setelah pasien bisa mentoleransi nutrisi dan dievaluasi residu gaster (<150 cc)

tiap 6 jam hingga target kalori yang ditentukan. Pada pemberian nutrisi enteral

secara kontinyu, pemberian nutrisi selama 24 jam dan dinaikkan bertahap 20-

50 cc tiap 4-6 jam hingga memenuhi target kalori yang ditentukan. Monitoring

residu gaster dilakukan tiap 4 jam.

52

BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

Nutrisi di splanknik akan meningkatkan aliran darah yang dikenal

sebagai mekanisme postprandial hyperaemia. Peningkatan aliran darah

setelah makan yang terjadi di splanknik kurang lebih 58-250%.

Peningkatan ini berlangsung selama 2-3 jam, mencapai puncak 5-60 menit

setelah pemberian. Perbedaan cara pemberian nutrisi enteral akan

memberikan pengaruh yang berbeda pada peningkatan dan durasi

postprandial hyperaemia. Pemberian nutrisi enteral secara kontinyu

dengan kecepatan yang rendah dapat meningkatkan 10% aliran darah ke

splanknik dan 10% penurunan mean arterial pressure (MAP) yang paralel

dengan penurunan resistensi vaskuler sistemik tanpa perubahan denyut

jantung. Pemberian nutrisi enteral secara kontinyu dengan kecepatan yang

rendah juga meningkatkan kemampuan absorbsi, menurunkan

permeabilitas splanknik, dan mencegah terjadinya cidera reperfusi dari

mukosa intestinal (Ackland, 2000).

Ikatan LPS dengan TLR ini akan mengawali terjadinya aktivasi

sinyal transduksi, dengan bantuan molekul kostimulatornya yaitu CD14

53

dan MyD88 akan mengaktivasi IKK. Aktivasi enzim IKK ini akan

melepaskan ikatan IB dengan NfB yang berada di sitoplasma. Dalam

keadaan tidak aktif, NfB (heterodimer dari p65 dan p50) terikat dalam

sitoplasma oleh IκB. Selanjutnya NfB akan bertranslokasi kedalam

nukleus yang akan terikat pada daerah promotor gen mediator inflamasi

dan selanjutnya meningkatkan transkripsi, sementara IB yang berada di

sitoplasma akan didegradasi. Sehingga aktivasi NfB ini akan

menghasilkan sejumlah sitokin pro-inflamasi (TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8, dan

IL-17), alarmin (HMGB-1), dan peptida hipotensif ataupun vasodilator

kuat (adrenomedulin) (Ackland 2000).

Pada saat pemberian nutrisi enteral, akan terjadi motilitas

lambung. Kontraksi antrum akan diikuti kontraksi pilorus dan duodenum.

Hal ini akan memicu keluarnya hormon kolesistokinin yang berasal dari sel

enteroendokrin duodenum. Kolesistokinin akan terikat di reseptor CCK-1

di saluran cerna dan CCK-2 yang terletak di sentral atau di perifer serabut

afferent vagal. Kolesistokinin dapat berperan sebagai antiinflamasi melalui

jalur anti inflamasi kolinergik, merupakan interaksi antara sistem saraf dan

imun dalam mengatur respon inflamasi. Aktivasi reseptor kolesistokinin

akan menyebabkan stimulasi saraf parasimpatis, sinyal kemudian akan

diteruskan ke serabut vagal efferent dan akan mengaktivasi keluarnya

54

asetilkolin, neurotransmitter utama parasimpatis. Peningkatan asetilkolin

ini akan diikat oleh reseptor α7-nicotinic achetylcolin (α7-nAch) yang

terdapat pada makrofag. Selanjutnya akan terjadi penghambatan fosforilasi

IB dari NfB sehingga aktivasi NfB terhambat, yang akan menyebabkan

penurunan produksi sitokin pro inflamasi, sehingga menurunkan

kemungkinan terjadinya gagal organ multipel. Pemberian nutrisi secara

kontinyu akan lebih memaksimalkan motilitas lambung, sehingga terjadi

perangsangan saraf parasimpatis yang terus menerus sehingga

kolesistokinin dikeluarkan secara kontinyu meskipun dalam jumlah yang

lebih sedikit (Ackland 2000; Honiden & Inzucchi 2015; Saia 2013).

55

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan:

: mengaktivasi : nutrisi enteral bolus

: menghambat : nutrisi enteral kontinyu

56

3.2. Hipotesis Penelitian

3.2.1. Ada pengaruh pemberian nutrisi enteral bolus dibandingkan enteral

kontinyu terhadap skor APACHE II pada pasien geriatri dengan

sepsis di ruang perawatan intensif RSUD Dr. Moewardi.

3.2.2 Ada pengaruh pemberian nutrisi enteral bolus dibandingkan enteral

kontinyu terhadap skor Length of Stay (LOS) pada pasien geriatri

dengan sepsis di ruang perawatan intensif RSUD Dr. Moewardi.

3.2.3 Ada perbedaan pengaruh pemberian nutrisi enteral bolus

dibandingkan enteral kontinyu terhadap skor APACHE II dan

Length of Stay (LOS) pada pasien geriatri dengan sepsis di ruang

perawatan intensif RSUD Dr. Moewardi

.

57

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, dengan

perlakuan nutrisi enteral secara randomized control trial.

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di ruang perawatan intensif ICU/HCU di

Rumah Sakit DR Moewardi. Waktu pelaksanaan penelitian yaitu mulai 1 Mei

2017 - 1 Mei 2018.

Tabel 4.1. Jadwal Penelitian

Bulan ke 1 2 5 6 8 12 13 Minggu ke 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3 4 1 2 3 4

Persiapan:

mengumpulkan

kepustakaan,

diskusi, membuat

log book,

perijinan, alat dan

bahan penelitian

Pelaksanaan

penelitian dan

pengumpulan data

di HCU/ICU RS

dr. Moewardi

Surakarta

Analisis data dan

uji statistik

Penyusunan tesis

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1. Populasi

Populasi target penelitian ini adalah pasien sepsis. Populasi

terjangkau adalah pasien geriatri dengan sepsis yang dirawat di ruang

58

rawat intensif ICU/HCU Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi

mulai 1 Mei 2017 sampai jumlah sampel terpenuhi.

4.3.2. Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive

sampling yaitu pengumpulan sampel dilakukan berdasarkan ciri-ciri

yang telah ditentukan dan memenuhi kriteria inklusi, sampai jumlah

sampel terpenuhi, dan teknik pembagian sampel dalam penelitian ini

adalah secara random yang mendapatkan nutrisi entral bolus atau

kontinyu.

4.3.3.Besar Sampel

Penentuan besar sampel (sample size) melibatkan parameter

tingkat kesalahan (error term) atau α dan tingkat kekuatan pengujian

(power test) atau 1 – ß. Formulasi besar sampel dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut : (Dahlan, 2013)

n = (Z 1-α + Z 1-β)2 σ 2

2

Keterangan:

n : Besarnya sampel

Z 1-α : nilai standar normal tingkat kesalahan, jika α = 0,05 maka Z

1-α = 1,96

Z 1-ß : nilai standar normal power test, jika 1-ß = 0,90 maka Z 1-ß =

1,282

ᵟ: selisih yang diinginkan (difference of interest)

σ : besarnya penyimpangan (standar deviasi) yang bisa ditolerir.

59

Karena untuk kelompok sampel berpasangan berlaku ᵟ2 = σ2 = 1,

sehingga :

n = (Z 1-α + Z 1-β)2

Maka dengan kondisi diatas , penelitian ini menggunakan ukuran

sampel minimal adalah :

n = (1,96 + 1,282)2 = 10,51 dibulatkan jadi 11.

Besar sampel disesuaikan dengan jenis penelitian yang

dilakukan. Besar sampel minimal untuk penelitian eksperimental yang

disarankan adalah 11 subjek tiap kelompok. Penelitian ini terdiri dari

2 kelompok perlakuan. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan

mempertimbangkan kemungkinan terjadi drop out sebesar 10%

(Kasjono danYusril, 2013).

4.3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

a. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu

1. Skor SOFA ≥2

2. Berumur > 60 tahun

3. Dirawat di ICU/HCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta

4. Pasien/ keluarga bersedia ikutserta dalam penelitian

(menandatangani inform consent)

b. Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah :

1. Pasien/keluarga tidak bersedia diikutsertakan pada penelitian

60

2. Koma irreversibel

3. Kanker/keganasan

4. CKD stage V

5. Infark miokard akut,

6. Meninggal atau pulang paksa kurang dari 72 jam

7. Pankreatitis akut yang berat

8. Fistula pada proksimal saluran cerna dengan high output

9. Tidak bisa dilakukan akses dengan nutrisi enteral

10. Muntah dan diare berat dan gangguan absorbsi saluran cerna.,

11. Ileus

12. Obstruksi saluran pencernaan

13. Perdaraahan saluran cerna yang berat.

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1. Variabel Bebas :

a. Pemberian nutrisi enteral secara kontinyu

b. Pemberian nutrisi enteral secara bolus

4.4.2. Variabel Tergantung :

a. skor APACHE II (Acute Physiology and Chronic Health Evaluation)

b. LOS

61

4.5. Definisi Operasional

4.5.1.Nutrisi enteral bolus feeding

Didefinisikan sebagai pemberian makan yang cepat dengan

menggunakan jarum suntik biasa (biasanya oleh gravitasi tanpa

plunger), kebutuhan nutrisi harian dibagi 5 porsi diberikan dengan

frekuensi 5 kali / 24 jam dengan satu kali pemberian masing –

masing selama 15-20 menit secara berkala. Digunakan diet sonde

sepsis (Tim gizi, 2017)

Jenis data : nominal

Skala data : Numerik

4.5.2. Nutrisi enteral kontinyu

Pemberian nutrisi enteral kontinyu adalah metode pemberian makan

selama 24 jam terus menerus baik melalui tetes gravitasi atau dengan

pompa infus merk Aplix®, dapat dimulai dengan 50 cc per jam

selama 3-4 jam. Setelah toleransi baik dapat ditingkatkan 100-200

cc/jam. Satu jam istirahat tiap 3 jam pemberian nutrisi. Dilakukan

pengecekan residu gaster tiap 4 jam. Dilakukan irigasi tiap 4 jam

dengan air sebanyak 20-60 ml. Digunakan diet sonde sepsis (Tim

gizi, 2017)

Jenis data : nominal

Skala data : Numerik

62

4.5.3. Skor APACHE II (Acute Physiology and Chronic Health

Evaluation)

Skor APACHE II yang lebih baik dalam memprediksi mortalitas dan

derajar keparahan penyakit (Saleh et al. 2015). Skor APACHE II

sebagai berikut :

Tabel 4.2. Skor APACHE II

Jenis data : kontinyu

Skala data : kategorik

63

4.5.5. Lenght of Stay (=LOS)

Adalah periode waktu pasien dirawat-inapkan/lama pasien

menginap di rumah ruang ICU/HCU RSUD dr.Moewardi berdasarkan

kriteria keluar ICU. Penghitungan 1 hari = 24 jam.

Jenis data : kontinyu

Skala data : kategorik

4.6. Bahan dan Alat penelitian

4.6.1. Bahan Penelitian

Diet bernama diet sonde sepsis, dengan komposisi diit ini berupa

cair .Pada diit bentuk cair setiap 1 cc mengandung 1 kalori;

komposisinya adalah sebagai berikut (Tim Gizi 2017):

Tabel 4.3. Diet sonde sepsis

BAHAN Per 1000 ml

Wortel 80 g

Tempe 80 g

Ikan 40 g

Tepung beras 20 g

Tepung Susu 25 g

Gula pasir 75 g

Telur ayam 25 g

Miyak Jagung 20 g

Susu skim 40 g

Air 800 cc

Nilai Gizi

Energi 1056, 2 kkal

Protein 45,8 g

Lemak 34,4 g

Karbohidrat 145,7 g

Kalium 844,9 mg

64

Natrium 194,1 mg

Kolesterol 129,9 mg

Peraturan pemberian sonde

1. Pagi pukul 07.00 dan malam pukul 21.00

Peptisol® per 200 cc (4 sendok takar = 63 g)

Nilai Gizi

Energi 240 kkal

Protein 14 g

Lemak 3 g

Karbohidrat 45 g

Kalium 130 mg

Natrium 100mg

Kolesterol 0 mg

2. Pukul 09.00, 12.00, 15.00, 17.30

menggunakan standard sonde lengkap per 200 cc

4.6.2. Alat Penelitian

1. Peralatan nutrisi enteral :

Feeding tube

Extension sets

Feeding pump/enteral pumps merk Aplix ®

Nutritional bag/containers

2. Nutrisi parenteral dengan : Kabiven® atau Nutriflex®

3. Formulir isian untuk data pasien, kriteria keluar HCU, catatan skor

SOFA, APACHE II

65

4.7. Rancangan Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan dengan melewati tahap sebagai berikut :

a. Pemilihan sampel

Sampel merupakan pasien geriatri dengan sepsis yang dirawat di

HCU/ICU RSUD dr. Moewardi. Sampel memenuhi kiteria inklusi

sebagaimana pada point 4.3.4.

b. Penghitungan skor APACHE II pada pasien

Dilakukan penghitungan skor APACHE II pada sampel.

c. Penghitungan kebutuhan nutrisi enteral

Nutrisi enteral pada pasien dihitung berdasarkan rumus dari guideline

ESPEN 2006, yaitu banyaknya kebutuhan kalori pada kondisi fase akut

dan inisial yaitu 20 – 25 kkal/BB/hari pada kondisi kritis. Pada pasien

yang mentolerir nutrisi enteral dan dapat diberi makan mendekati ke

nilai target, tidak ada tambahan nutrisi parenteral yang harus diberikan.

Pada pasien yang tidak dapat diberi nutrisi cukup secara enteral,

ditunjukkan dari gastric residual volume (GRV) defisit kalori harus

diberikan secara parenteral tetapi tidak melebihi kebutuhan nutrisi

pasien untuk menghindari overfeeding. (Kreyman etal 2006 &

Kuppinger 2013) Nutrisi parenteral yang dipakai pada penelitian ini

adalah Kabiven ® 1440 cc (̴1000 kkal) atau Nutriflex ®.1440 cc (̴1000

kkal). Nutrisi parenteral menggunakan kabiven® atau Nutriflex ®

dengan kebutuhan kalori yang dihitung berdasarkan selisih dari

kebutuhan kalori pasien per hari dikurangi kalori nutrisi enteral per hari.

d. Pemberian nutrisi enteral secara bolus / kontinyu

66

Kelompok yang diberi nutrisi enteral bolus dilakukan dengan teknik:

1. Cek residu gaster, jika kurang kari 100 cc, dikembalikan lagi ke

gaster,

2. Diberikan nutrisi sebanyak 100-400 ml selama 15-60 menit secara

berkala

3. Dimulai dengan laju 200 -300 ml dalam 30-60 menit

4. Ditingkatkan dengan dosis terbagi 60 mL bolus hingga volume

yang diinginkan

5. Dilakukan tiap 4-6 jam

6. Dilakukan irigasi tiap sebelum dan selesai pemberian makan

diberikan flush dengan air sebanyak 20-60 ml

Kelompok yang diberi nutrisi enteral kontinyu dilakukan dengan

teknik:

1. Dimulai dengan laju 30 -50 ml/jam selama 3-4 jam, 1 jam istirahat

jika toleransi baik dapat ditingkatkan 100-200 cc/jam.

2. Dilakukan pengecekan residu gaster tiap 4 jam

3. Dilakukan irigasi tiap 4 jam dengan air sebanyak 20-60 ml

e. Pengukuran gastric residual volume (Pullen 2004 & Hurt 2010) dengan

cara :

1. Menjelaskan prosedur pada pasien dan keluarga

2. Memastikan letak selang pada posisi tepat, beri tanda selang yang di

luar hidung untuk dibandingkan setelah perhitungan.

3. Menilai pasien apakah terdapat distensi abdomen, mual, muntah.

67

4. Masukkan spuit 50 cc, dan aspirasi 20 cc. Cek warna, konsistensi,

dan pH untuk mengkonfirmasi letak selang. pH 1-5 mengindikasikan

isi lambung, >6 mengindikasikan letak di intestinal. Cairan dari

saluran nafas jika pH >7.

5. Mengaspirasi seluruh isi lambung. Jika spuit terisi sebelum selesai,

tulis jumlah, dan buang di gelas ukur / container ukur. Pasang

kembali spuit dan aspirasi kemudian hitung jumlahnya, dilakukan

berulang kali hingga tidak bias diaspirasi.

6. Memasang spuit dan flush dengan 20-30 cc air jika jumlah aspirasi

sudah sesuai untuk irigasi.

7. Cek residu volume tiap 4-6 jam untuk kontinyu feeding dan tepat

sebelum bolus feeding.

f. Penghitungan skor APACHE II di hari ketiga dan LOS pasien akhir

perawatan di ruang intensif.

4.8. Analisis Hasil

Analisis data dilakukan dengan memakai SPSS v.23. Dilakukan uji

normalitas menggunakan shapiro-wilk (untuk sampel < 50) pada data awal

dan akhir pada masing-masing kelompok. Uji beda skor APACHE II awal

(pre) dan skor APACHE II akhir (post) antar kelompok perlakuan (uji beda

sampel independen) dilakukan dengan independent samples t test (apabila

memenuhi syarat normalitas) atau mann-whitney test (apabila tidak

memenuhi syarat normalitas). Selisih skor APACHE II (post – pre) pada

masing-masing kelompok dilakukan uji beda menggunakan paired samples t

68

test (apabila memenuhi syarat normalitas) dan dilakukan uji wilcoxon signed

rank test (apabila tidak memenuhi syarat normalitas) (Dahlan 2013).Untuk

mengetahui perbedaan skor APACHE II dan LOS pada pasien geriatri dengan

sepsis yang diberikan terapi nutrisi enteral bolus dibanding nutrisi enteral

kontinyu, digunakan uji MANOVA (French 2016).

Batas kemaknaan: Nilai p ≤ 0,05: bermakna.

4.9. Prosedur Pengumpulan data

a. Seluruh subyek mendapatkan terapi dasar sepsis sesuai dengan panduan

terapi dari surviving sepsis campaign 2016.

b. Data awal diperoleh dengan anamnesis termasuk skor CCI (Charlson

Comorbidity Index, Bartel index, CHS (Cardiovascular Health Study),

pemeriksaan cek GCS, tekanan darah, analisa gas darah, laboratorium

darah (Hematokrit, leukosit, creatinine, elektrolit natrium, kalium,

prokalsitonin) dan urin output.. Hitung jumlah skor APACHE II awal

c. Dilakukan penghitungan kebutuhan kalori tiap pasien, kebutuhan 25

cc/KgBB/hari.

d. Pada kelompok nutrisi enteral secara bolus diberikan nutrisi sebanyak

100-400 ml selama 15-60 menit secara berkala selama 6 hari

e. Pada kelompok nutrisi enteral kontinyu diberikan nutrisi enteral selama

24 jam terus menerus baik melalui tetes gravitasi atau dengan pompa

infus Aplix®, dapat dimulai dengan 50 cc per jam selama 3-4 jam, 1

jam istirahat jika toleransi baik dapat ditingkatkan 100-200 cc/jam

selama 3 hari. dimulai dengan 50 cc per jam selama 3-4 jam, Setelah

69

toleransi baik dapat ditingkatkan 100-200 cc/jam. Satu jam istirahat tiap

4 jam pemberian nutrisi. Dilakukan pengecekan residu gaster tiap 4

jam. Dilakukan irigasi tiap 4 jam dengan air sebanyak 20-60 ml.

f. Evaluasi adakah efek samping seperti diare, mual, muntah

g. Pada hari ketiga dilakukan penilaian Bartel Index, cek GCS, tekanan

darah, analisa gas darah, laboratorium darah (Hematokrit, leukosit,

creatinine, elektrolit natrium, kalium, prokalsitonin) dan urin output.

Evaluasi skor APACHE II hari ketiga.

h. Dicatat LOS pasien di ruang perawatan intensive pada kedua kelompok

70

4.10.Alur Penelitian

Gambar 4.1. Alur Penelitian

Bolus (28 orang)

3 hari

Minimal 500 cc /

hari, jika kurang

di eksklusi : 3

orang

Minimal 500 cc,

jika kurang di

eksklusim : 3 orang

Analisis statistik

Kesimpulan

Skor APACHE II

Pasien ICU/HCU (959 orang)

Sepsis (Skor SOFA 2) : 532 orang

Pemberian nutrisi enteral (53 orang)

Memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

Kontinyu (25 orang)

Skor APACHE II

Random (53 orang)

LOS di

ICU/HCU

LOS di

ICU/HCU

Tambahan nutrisi

perenteral Kabiven®

/ Nutriflex® jika

kebutuhan kalori per

hari kurang

Tambahan nutrisi

perenteral

Kabiven® /

Nutriflex® jika

kebutuhan kalori/

perhari kurang

Non Sepsis : 427 orang

Usia < 60 tahun : 240

CKD, Sirosis,

Malignansi, tidak

bersedia, meniggal <

72 jam, perdarahan

saluran cerna berat,

ileus : 239

Pernah Dirawat ICU

sebelumnya saat mondok

dalam 1 episode: 3 orang

Skor APACHE II

Skor APACHE II

71

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1. Karakteristik Objek Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh pemberian nutrisu

kontinyu dibandingkan dengan pemberian nutrisi enteral bolus terhadap Skor

APACHE II dan Length of Stay (LOS) pada pasien geriatri dengan sepsis di ruang

perawatan intensif RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Obyek penelitian berjumlah 44

orang dibagi dalam dua kelompok sampel yaitu kelompok sampel yang diberi

nutrisi kontinyu dan kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus masing-

masing sebanyak 22 orang.

Sebelum melakukan analisis lebih lanjut, lebih dahulu dijelaskan

karakteristik obyek penelitian untuk masing-masing kelompok sampel. Selain

deskripsi singkat tentang karakteristik objek penelitian, sekaligus dilihat sejauh

mana tingkat homogenitas karakteristik obyek penelitian itu berdasarkan kelompok

sampel. Karakteristik penelitian yang berupa variabel kualitatif, uji homogenitas

dilakukan menggunakan uji Chi Square. Karakteristik penelitian yang berupa

variabel-variabel kuantitatif, uji homogenitas dilakukan menggunakan uji beda 2

mean dimana jenis ujinya didasarkan pada distribusi data variabel karakteristik itu.

Jika distribusi data variabel bersifat normal, maka uji beda 2 mean menggunakan

jenis analisis statistik parametrik yaitu uji t untuk beda 2 mean sampel independent.

Namun apabila distribusi data bersifat tidak normal, maka uji beda 2 mean

menggunakan jenis analisis statistik non parametrik yaitu uji Mann-Whitney.

72

Pengujian normalitas data untuk variabel kuantitatif dilakukan dengan uji Shapiro

Wilk.

Variabel karakteristik dalam penelitian ini yang bersifat kuantitatif yaitu

umur, CCI (Charlson Comorbidity Index), BI (Bartel Index), CHS (Cardiovascular

Health Study), Laktat, dan Procalsitonin. Sebelum dilakukan pengujian

homogenitas atas variable-variabel karakteristik yang bersifat kuantitatif tersebut

lebih dahulu dilakukan pengujian normalitas data masing-masing variabel

karakteristik tersebut. Setelah masing-masing variabel diuji normalitas datanya,

kemudian dilanjutkan uji homogenitas variabel itu pada kelompok sampel yang

menerima nutrisi kontinyu dan kelompok sampel yang menerima nutrisi enteral

bolus dengan uji beda 2 (dua) mean (rata-rata).

Hasil pengujian normalitas data didapatkan bahwa variabel karakteristik

yang memiliki distribusi data yang bersifat normal pada kelompok sampel yang

diberi nutrisi enteral bolus, namun berdistribusi tidak normal pada kelompok

sampel yang diberi nutrisi kontinyu adalah CCI dan BI, sedangkan varibel yang

memiliki distribusi tidak normal pada kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral

bolus, namun berdistribusi data normal pada kelompok sampel yang diberi nutribusi

kontinyu adalah Laktat. Variabel-variabel kuantitatif selebihnya memiliki distribusi

data tidak normal baik pada kelompk sampel dengan pemberian nutribusi kontinyu

maupun kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus. Setelah dilakukan

pengujian secara keseluruhan sampel (kelompok yang diberi nutrisi bolus dan yang

diberi nutrisi kontinyu) didapatkan bahwa variabel-variabel umur dan CCI memiliki

data dengan distribusi normal sedangkan variabel-variabel BI, CHS, Laktat dan

Procalsitonin masing-masing berdistribusi data tidak normal.

73

Dengan demikian variabel-variabel karakteristik Umur dan CCI dilakukan

pengujian homogenitas dengan uji beda 2 (dua) mean uji t untuk sampel

independent (tidak berhubungan). Selebihnya yaitu variabel-variabel BI, CHS,

Laktat, dan Procalsitonin karena memiliki distribusi data yang tidak normal, maka

pengujian homogenitas atas variabel-variabel di atas dapat menggunakan uji Mann

Whitney.

Hasil pengujian homogenitas variabel karakteristik yang bersifat kuantitatif

tersebut di atas didapatkan bahwa semua variabel karakteristik kuantitatif itu

bersifat homogen karena perbedaan rata-rata variabel-variabel karakteristik tersebut

pada dua kelompok sampel yaitu kelompok sampel yang diberi nutrisi eneteral

kontinyu dan kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus tidak signifikan

pada derajat signifikansi 5 persen (p > 0,05), kecuali variabel Procalsitonin yang

memiliki perbedaan rata-rata yang signifikan antara kelompok sampel dengan

nutrisi enteral bolus dan nutrisi kontinyu dengan tingkat signifikansi 5 persen (p <

0,05).

Dengan demikian variabel-variabel karakteristik Umur, dan CCI yang diuji

menggunakan uji beda dua mean uji t untuk sampel independent dan variabel-

variabel BI, CHS, dan Laktat yang diuji dengan menggunakan uji Mann Whitney

semuanya bersifat homogen. Hanya variabel Procalsitonin yang diuji dengan uji

Mann Whitney bersifat tidak homogen. Deskripsi dan Hasil Pengujian

Homogenitas variabel karakteristik kuantitatif dalam penelitian ini dapat disajikan

dalam tabel berikut:

74

Tabel 5.1. Deskripsi dan Pengujian Homogenitas Variabel Karakteristik Kuantitatif

pada Kelompok Sampel yang Diberi Nutrisi Enteral Bolus dan Kelompok Sampel

yang diberi Nutrisi Kontinyu.

Variabel Nutrisi Enteral Bolus Nutrisi Enteral Kontinyu Uji Beda 2 Mean

Rata-rata Std Deviasi Rata-rata Std Deviasi Nilai Statistik P value

Umur 66,27 5,33 63,27 4,77 t = 1,967 0,056

CCI 6,05 2,21 5,82 1,82 t = 0,372 0,712

BI 76,14 16,76 82,73 6,85 Z = -1,637 0,102

CHS 3,73 1,16 3,36 1,14 Z = -1,142 0,253

Laktat 4,54 3,52 3,27 1,42 Z = -0,200 0,842

Procalsitonin 5,15 5,85 10,73 11,71 Z = -2,991 0,003**

Keterangan: *) Signifikan pada derajat signifikansi 5 persen (p < 0,05).

**) Signifikan pada derajat signifikansi 1 persen (p < 0,01)

Variabel prokalsitonin diuji dengan uji Mann Witney karena bersifat tidak

homogen dan untuk menilai apakah variable prokalsitonin berhubungan dengan

variable utama atau tidak. Didapatkan nilai p=0,043 terhadap LOS, p = 0,099,

terhadap skor APACHE II-pre, p=0,202 terhadap skor APACHE II-post, dan

p=0,307 terhadap delta-APACHE II. Berdasarkan hasil pengujian tersebut dapat

diambil kesimpulan bahwa prokalsitonin tidak berhubungan dengan variable utama

yaitu APACHE II dan LOS.

Variabel karakteristik yang bersifat kualitatif dalam penelitian ini adalah

jenis kelamin, Vasopresor, dan ARF (Acute Renal Failure) maka uji homogenitas

atas variabel jenis kelamin, vasopressor dan ARF ini digunakan uji Chi Kuadrat.

Kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral kontinyu terdiri dari 11 orang laki-laki

dan 11 orang perempuan atau masing-masing sebesar 50,00 persen. Sedangkan

kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus juga terdiri dari 11 orang laki-

75

laki dan sebanyak 11 orang perempuan atau masing-masing sebesar 50,0 persen

juga.

Karena proporsi jenis kelamin laki-laki dan perempuan pada kelompok yang

diberi nutrisi kontinyu sama persis dengan kelompok yang diberi nutrisi enteral

bolus, maka hasil pengujian homogenitas variabel jenis kelamin dengan

menggunakan analisis Chi Kwadrat didapatkan nilai Chi Kwadrat (ꭓ2) sebesar 0,001

dengan probabilitas sebesar p = 1,000, yang berarti perbedaan proporsi jenis

kelamin laki-laki maupun perempuan antara kelompok sampel yang diberi nutrisi

eneteral kontinyu dan bolus tidak berbeda secara meyakinkan pada derajat

signifikansi sebesar 5 persen (p > 0,05). Hal itu dapat ditegaskan bahwa variabel

karakteristik kualitatif jenis kelamin bersifat homogen. Deskripsi dan Hasil

Pengujian Homogenitas variabel karakteristik kualitatif jenis kelamin dalam

penelitian ini dapat disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 5.2. Deskripsi dan Pengujian Homogenitas Variabel Jenis Kelamin pada

Kelompok Sampel yang Diberi Nutrisi Enteral Kontinyu dan Kelompok Sampel

yang diberi Nutrisi Enteral Bolus.

Variabel Nutrisi Enteral Bolus Nutrisi Enteral Kontinyu Uji Beda 2 Mean

Jumlah Persen Jumlah Persen Nilai Statistik P value

Jenis Kelamin

Laki-laki 11 50,0 11 50,0 ꭓ2 = 0,001 1,000

Perempuan 11 50,0 11 50,0

Keterangan: *) Signifikan pada derajat signifikansi 5 persen (p < 0,05).

**) Signifikan pada derajat signifikansi 1 persen (p < 0,01)

Variabel karakteristik yang bersifat kualitatif kedua adalah Vasepresor,

dimana responden dibagi menjadi dua, yaitu responden yang dinyatakan “ya” dan

responden yang dinyatakan “tidak”. Pada kelompok sampel yang diberi nutrisi

76

bolus, jumlah responden yang dinyatakan memiliki vasepresor “ya” adalah

sebanyak 4 orang atau sebesr 18,2 persen, dan selebihnya sebanyak 18 orang

dinyatakan “tidak” atau sebesar 81,8 persen. Sementara pada kelompok sampel

yang diberi nutrisi kontinyu memiliki vasepresor yang dinyatakan “ya” sebanyak 6

orang atau 27,3 persen dan selebihnya sebanyak 16 orang dinyatakan “tidak” atau

sebesar 72,7 persen.

Hasil pengujian homogenitas variabel vasepresor dengan menggunakan

analisis Chi Kwadrat didapatkan nilai Chi Kwadrat (ꭓ2) sebesar 0,518 dengan

probabilitas sebesar p = 0,472, yang berarti perbedaan proporsi vasepresor yang

dinyatakan “ya” ataupun “tidak” pada kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral

bolus dan kelompok sampel yang diberi nutrisi kontinyu tidak berbeda secara

meyakinkan pada derajat signifikansi sebesar 5 persen (p > 0,05). Hal itu dapat

ditegaskan bahwa variabel karakteristik kualitatif vasepresor bersifat homogen.

Deskripsi dan Hasil Pengujian Homogenitas variabel karakteristik kualitatif

vasepresor dalam penelitian ini dapat disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 5.3. Deskripsi dan Pengujian Homogenitas Variabel Vasepresor pada

Kelompok Sampel yang Diberi Nutrisi Enteral Kontinyu dan Kelompok Sampel

yang diberi Nutrisi Enteral Bolus.

Variabel Nutrisi Enteral Bolus Nutrisi Enteral Kontinyu Uji Beda 2 Mean

Jumlah Persen Jumlah Persen Nilai Statistik P value

Vasepresor

Ya 4 18,2 6 27,3 ꭓ2 = 0,518 0,472

Tidak 18 81,8 16 72,7

Keterangan: *) Signifikan pada derajat signifikansi 5 persen (p < 0,05).

**) Signifikan pada derajat signifikansi 1 persen (p < 0,01)

77

Variabel karakteristik yang bersifat kualitatif selanjutnya adalah ARF,

dimana responden dibagi menjadi dua, yaitu responden yang dinyatakan “ya” dan

responden yang dinyatakan “tidak”. Pada kelompok sampel yang diberi nutrisi

bolus, jumlah responden yang dinyatakan memiliki ARF “ya” adalah sebanyak 14

orang atau sebesr 63,6 persen, dan selebihnya sebanyak 8 orang dinyatakan “tidak”

atau sebesar 36,4 persen. Sementara pada kelompok sampel yang diberi nutrisi

kontinyu memiliki ARF yang dinyatakan “ya” sebanyak 16 orang atau 72,7 persen

dan selebihnya sebanyak 6 orang dinyatakan “tidak” atau sebesar 27,3 persen.

Hasil pengujian homogenitas variabel ARF dengan menggunakan analisis

Chi Kwadrat didapatkan nilai Chi Kwadrat (ꭓ2) sebesar 0,419 dengan probabilitas

sebesar p = 0,517, yang berarti perbedaan proporsi ARF yang dinyatakan “ya”

ataupun “tidak” pada kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus dan

kelompok sampel yang diberi nutrisi kontinyu tidak berbeda secara meyakinkan

pada derajat signifikansi sebesar 5 persen (p > 0,05). Hal itu dapat ditegaskan bahwa

variabel karakteristik kualitatif ARF bersifat homogen. Deskripsi dan Hasil

Pengujian Homogenitas variabel karakteristik kualitatif ARF dalam penelitian ini

dapat disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 5.4. Deskripsi dan Pengujian Homogenitas Variabel ARF pada Kelompok

Sampel yang Diberi Nutrisi Enteral Kontinyu dan Kelompok Sampel yang diberi

Nutrisi Enteral Bolus.

Variabel Nutrisi Enteral Bolus Nutrisi Enteral Kontinyu Uji Beda 2 Mean

Jumlah Persen Jumlah Persen Nilai Statistik P value

ARF

Ya 14 63,6 16 72,7 ꭓ2 = 0,419 0,517

Tidak 8 36,4 6 27,3

Keterangan: *) Signifikan pada derajat signifikansi 5 persen (p < 0,05).

78

**) Signifikan pada derajat signifikansi 1 persen (p < 0,01)

Dengan demikian seluruh variabel karakteristik baik yang kuantitatif

maupun yang kualitatif dalam penelitian ini bersifat homogen, kecuali variabel

Procalsitonin. Selanjutnya analisis penelitian ini dapat diteruskan pada pengujian

variabel utama yaitu menguji perbedaan pengaruh pemberian nutrisi enteral

kontinyu dan bolus terhadap variabel utama Skor APACHE II dan Length of Stay

(LOS).

5.2. Pengujian Variabel Utama

Pembuktian hipotesis ada perbedaan pengaruh pemberian nutrisi enteral

kontinyu dan bolus terhadap Skor APACHE II dilakukan dengan langkah-langkah

sebagai berikut, yaitu:

1. Menguji beda 2 mean variabel Skor APACHE II antara kelompok sampel yang

diberi nutrisi enteral kontinyu dan kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral

bolus pada kondisi sebelum pemberian nutrisi dengan uji beda 2 mean sampel

independent. Dengan langkah ini diharapkan pada kondisi sebelum pemberian

nutrisi enteral itu tidak akan terjadi perbedaan mean yang signifikan antara

kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral kontinyu dan kelompok sampel

yang diberi nutrisi enteral bolus. Hal itu berarti pada awal analisis didapatkan

kondisi yang sama atau homogen pada kelompok sampel yang diberi nutrisi

enteral kontinyu dan kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus, karena

kondisi ini sama-sama belum diberikan nutrisi enteral.

2. Menguji beda 2 (dua) mean Skor APACHE II sebelum dan sesudah dilakukan

pemberian nutrisi enteral untuk masing-masing kelompok sampel yaitu pada

79

kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral kontinyu dan kelompok sampel

yang diberi nutrisi enteral bolus dengan uji beda 2 (dua) mean untuk sampel

berpasangan. Dengan langkah ini diharapkan pada kelompok yang diberi nutrisi

enteral kontinyu akan terjadi perbedaan yang signifikan, demikian pula pada

kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus juga didapatkan perbedaan

yang signifikan, namun pada kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral

kontinyu memiliki perbedaan yang lebih besar dibandingkan perbedaan pada

kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus.

3. Menguji beda 2 mean variabel Skor APACHE II antara kelompok sampel yang

diberi nutrisi enteral kontinyu maupun yang diberi nutrisi enteral bolus pada

kondisi sesudah pemberian nutrisi enteral dengan uji beda 2 mean sampel

independent. Dengan langkah ini diharapkan pada kondisi sesudah pemberian

nutrisi enteral akan terjadi perbedaan mean yang signifikan antara kelompok

yang diberi nutrisi enteral kontinyu maupun yang diberi nutrisi enteral bolus.

Hal itu berarti pada akhir analisis didapatkan kondisi yang tidak sama atau tidak

homogen pada kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral kontinyu dan

kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus, karena setelah diberikan

nutrisi enteral dengan cara yang berbeda terjadi perbedaan yang lebih besar

pada kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral kontinyu dari pada kelompok

sampel yang diberi nutrisi enteral bolus.

4. Menguji beda 2 mean variabel perubahan Skor APACHE II (delta-APACHE)

dengan uji beda 2 mean untuk sampel independent. Dengan langkah ini

diharapkan ada perbedaan signifikan beda 2 mean kedua variabel perubahan

skor APACHE II tersebut (delta-APACHE) antar kelompok sampel yang diberi

80

nutrisi enteral kontinyu dan kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus,

karena kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral kontinyu diharapkan

mengalami perubahan lebih besar setelah pemberian nutrisi enteral

dibandingkan kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus.

Sementara itu untuk membuktikan pengaruh pemberian nutrisi enteral kontinyu dan

pemberian nutrisi enteral bolus terhadap variabel LOS, hanya dilakukan satu

langkah saja yaitu menguji beda 2 mean variabel LOS antara kelompok sampel

yang diberi nutrisi enteral kontinyu dan kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral

bolus. Cara pengujian yang berbeda terhadap variabel LOS ini dikarenakan variabel

LOS hanya dilakukan pengukuran satu kali pada masing-masing kelompok sampel

yang berbeda yaitu kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral kontinyu dan

kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus. Sehingga variabel LOS tidak

ada sebelum dan sesudah pemberian nutrisi enteral yang ada adalah LOS pada

pemberian nutrisi enteral kontinyu dan LOS pada pemberian nutrisi enteral bolus.

Sebelum dilakukan pengujian beda 2 mean variabel Skor APACHE II dan LOS itu,

terlebih dahulu juga dilakukan pengujian normalitas data variabel utama untuk

memastikan jenis uji statistik yang akan digunakan untuk pengujian beda 2 mean

dimaksud.

Langkah Pertama, variable Skor APACHE II pada kelompok sampel yang

diberi nutrisi enteral kontinyu maupun kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral

bolus pada kondisi sebelum diberikan nutrisi enteral (APACHEII_pre) masing-

masing memiliki data yang berdistribusi tidak normal. Maka diputuskan bahwa uji

beda 2 mean Skor APACHE II kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral

81

kontinyu dan kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus tersebut

menggunakan uji beda 2 mean uji t untuk sampel independent.

Hasil pengujian beda 2 mean kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral

kontinyu dan kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus untuk variabel Skor

APACHE II pada kondisi sebelum pemberian nutrisi enteral (APACHE_pre)

menunjukkan hasil pengujian yang tidak signifikan pada derajat signifikansi 5

persen (p > 0,05). Dengan demikian variabel Skor APACHE II untuk kelompok

sampel dengan pemberian nutrisi enteral kontinyu dan kelompok sampel dengan

pemberian nutrisi enteral bolus pada kondisi sebelum pemberian nutrisi enteral

tidak berbeda secara meyakinkan atau sama. Hal ini dapat diartikan bahwa analisis

ini dimulai dari Skor APACHE II yang homogen pada kedua kelompok sampel

yang diberi nutrisi enteral yang berbeda yaitu kelompok yang diberi nutrisi enteral

kontinyu dan kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus.

Perbandingan nilai rata-rata dan standar deviasi variabel Skor APACHE II

tersebut dan hasil pengujian perbedaan pada kelompok sampel yang diberi nutrisi

enteral kontinyu dan kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus sebelum

pemberian nutrisi enteral adalah sebagai berikut:

Tabel 5.5. Perbandingan Skor APACHE II pada Kelompok yang Diberi Nutrisi

Enteral Kontinyu dan kelompok yang Diberi Nutrisi Enteral Bolus pada Kondisi

Sebelum Pemberian Nutrisi Enteral.

Variabel Nutrisi Enteral Bolus Nutrisi Enteral Kontinyu Uji Beda 2 Mean

Rata-rata Std Deviasi Rata-rata Std Deviasi Nilai Statistik P value

Skor

APACHE II 22,00 6,98 20,95 4,96 t = 0,573 0,570

Keterangan: *) Signifikan pada derajat signifikansi 5 persen (p < 0,05).

**) Signifikan pada derajat signifikansi 1 persen (p < 0,01)

82

Langkah kedua, variable Skor APACHE II sebelum maupun sesudah

pemberian nutrisi enteral pada kelompok yang diberikan nutrisi enteral kontinyu

sama-sama berdistribusi normal, sehingga uji beda 2 mean untuk sampel

berpasangan dapat dilakukan dengan uji beda 2 mean uji t untuk sampel

berpasangan. Variable Skor APACHE II sebelum maupun sesudah pemberian

nutrisi enteral pada kelompok yang diberikan nutrisi enteral bolus juga sama-sama

berdistribusi normal, sehingga uji beda 2 mean untuk sampel berpasangan dapat

dilakukan dengan uji beda 2 mean uji t untuk sampel berpasangan. Deskripsi dan

hasil pengujian beda rata-rata sebelum dan sesudah pemberian nutrisi enteral pada

masing-masing kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral kontinyu dan

kelompok sampel yang diberi nutrisi enteral bolus dapat disajikan dalam tabel

berikut:

Tabel 5.6. Perbandingan Skor APACHE II Sebelum dan Sesudah Pemberian Nutrisi

Enteral pada Kelompok Yang Diberi Secara Kontinyu dan Kelompok yang Diberi

Secara Bolus.

Variabel Sebelum Sesudah Uji Beda 2 Mean

Rata-rata Std Deviasi Rata-rata Std Deviasi Nilai Statistik P value

Bolus 22,00 6,98 17,27 7,05 t = 3,219 0,004**

Kontinyu 20,95 4,96 9,27 4,33 t = 13,848 0,001**

Keterangan: ** Signifikan pada Derajat Signifikansi 1 persen.

* Signifikan pada Derajat Signifikansi 5 persen.

Hasil pengujian beda 2 mean atas variabel Skor APACHE II sebelum dan

sesudah pemberian nutrisi enteral pada kelompok sampel yang diberikan nutrisi

enteral secara kontinyu menghasilkan beda yang signifikan pada derajat

signifikansi sebesar 5 persen (p < 0,05). Demikian pula pengujian beda 2 mean atas

variabel Skor APACHE II sebelum dan sesudah pemberian nutrisi enteral pada

83

kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral bolus menghasilkan beda yang

signifikan pada derajat signifikansi sebesar 5 persen (p < 0,05). Hal ini berarti

bahwa baik pada kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral kontinyu maupun

kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral bolus, pemberian nutrisi enteral itu

dapat menurunkan variabel Skor APACHE II secara meyakinkan (signifikan).

Perubahan rata-rata Skor APACHE II pada kelompok sampel yang

diberikan nutrisi enteral kontinyu menurun dari 20,95 sebelum pemberian nutrisi

enteral menjadi 9,27 sesudah pemberian nutrisi enteral, jadi menurun sebesar 11,68

atau 55,75 persen. Sementara perubahan rata-rata Skor APACHE II pada kelompok

sampel yang diberikan nutrisi enteral bolus menurun dari 22,00 sebelum pemberian

nutrisi enteral menjadi sebesar 17,27 sesudah pemberian nutrisi enteral, jadi

menurun sebesar 2,73 atau sebesar 13,65 persen. Nampak penurunan Skor

APACHE II pada pemberian nutrisi enteral kontinyu cenderung lebih besar

dibandingkan dengan penurunan Skor APACHE II pada pemberian nutrisi enteral

bolus.

Langkah ketiga, variable Skor APACHE II pada kelompok sampel yang

diberikan nutrisi enteral kontinyu maupun pada kelompok sampel yang diberikan

nutrisi enteral bolus pada kondisi sesudah pemberian nutrisi enteral

(APACHE_post) masing-masing memiliki distribusi data normal. Untuk itu maka

uji beda 2 mean variabel Skor APACHE II kelompok yang diberikan nutrisi enteral

kontinyu dan kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral bolus sesudah

pemberian nutrisi enteral (APACHE_post) tersebut menggunakan uji beda 2 mean

uji t untuk sampel independent.

84

Hasil pengujian beda 2 mean kelompok sampel yang diberikan nutrisi

enteral kontinyu dan kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral bolus pada

kondisi sesudah pemberian nutrisi enteral (APACHE_post) menunjukkan hasil

pengujian yang signifikan pada derajat signifikansi sebesar 5 persen (p < 0,05). Hal

itu berarti setelah pemberian nutrisi enteral secara kontinyu maupun secara bolus

memiliki rata-rata Skor APACHE II yang berbeda secara meyakinkan (signifikan).

Hal ini dapat diartikan bahwa setelah masing-masing kelompok sampel

diberikan nutrisi enteral baik yang diberikan secara kontinyu maupun secara bolus

sama-sama dapat menurunkan Skor APACHE II secara meyakinkan, bahkan pada

kelompok sampel yang diberikan nutrisi secara kontinyu penurunan Skor APACHE

II itu jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kelompok sampel yang diberikan

nutrisi secara bolus. Sehingga akibatnya Skor APACHE II pada kondisi sesudah

pemberian nutrisi enteral (APACHE_post) tersebut antara kelompok sampel

dengan nutrisi kontinyu dan kelompok sampel dengan nutrisi bolus memiliki

perbedaan yang meyakinkan (signifikan).

Perbandingan nilai rata-rata dan standar deviasi variabel Skor APACHE II

tersebut dan hasil pengujian perbedaan pada kelompok yang diberikan nutrisi

enteral kontinyu dan kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral bolus sesudah

pemberian nutrisi enteral adalah sebagai berikut:

Tabel 5.7.Perbandingan Skor APACHE II pada Kelompok Yang Diberikan Nutrisi

Enteral Kontinyu dan Kelompok Yang Diberikan Nutrisi Enteral Bolus pada

Kondisi Sesudah Pemberian Nutrisi Enteral.

Variabel Nutrisi Enteral Bolus Nutrisi Enteral Kontinyu Uji Beda 2 Mean

Rata-rata Std Deviasi Rata-rata Std Deviasi Nilai Statistik P value

Skor

APACHE II 17,27 7,05 9,27 4,33 t = 4,533 0,001**

Keterangan : ** Signifikan pada derajat signifikansi 1 persen.

85

* Signifikan pada derajat signifikansi 5 persen

Perbandingan rata-rata Skor APACHE II sebelum dan sesudah

mendapatkan nutrisi enteral masing-masing kelompok sampel dapat digambarkan

sebagai berikut:

Gambar 5.1. Perbandingan Skor APACHE II Sebelum dan Sesudah Pemberian

Nutrisi Enteral Secara Kontinyu dan Bolus

Langkah Keempat, melakukan pengujian terhadap variabel perubahan Skor

APACHE II (delta-APACHE). Variabel perubahan skor APACHE II (delta-

APACHE) merupakan selisih Skor APACHE II sebelum perlakuan pemberian

nutrisi enteral dengan Skor APACHE II sesudah perlakuan pemberian nutrisi

enteral. Maka apabila rata-rata variabel perubahan (delta) itu positif menunjukkan

adanya penurunan setelah ada perlakuan pemberian nutrisi enteral, dan sebaliknya

jika rata-rata variabel perubahan (delta) itu negatif berarti setelah ada perlakuan

pemberian nutrisi enteral variabel itu mengalami peningkatan.

Variabel delta-APACHE pada kelompok sampel yang diberikan nutrisi

enteral kontinyu maupun kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral bolus

keduanya memiliki data yang berdistribusi normal, sehingga pengujian beda dua

20.95 22.00

9.27

17.27

-

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

Nutrisi Ent Kontinyu Nutrisi Ent Bolus

Sebelum Sesudah

86

mean delta-APACHE untuk kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral

kontinyu dan kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral bolus dapat

menggunakan uji beda 2 mean uji t untuk sampel independent.

Hasil perhitungan uji beda 2 mean dengan uji t untuk sampel independent

variable delta-APACHE menunjukkan bahwa variabel perubahan skor APACHE

itu (delta-APACHE) berbeda secara meyakinkan pada derajat signifikansi 5 persen

(p < 0,05). Kondisi ini menunjukkan bahwa pemberian nutrisi enteral yang

diberikan secara kontinyu maupun secara bolus sama-sama dapat menurunkan Skor

APACHE secara meyakinkan (signifikan), namun dampak penurunan variable Skor

APACHE tersebut setelah pemberian nutrisi enteral secara kontinyu jauh lebih

besar secara meyakinkan dibandingkan pemberian nutrisi secara bolus.

Dengan langkah-langkah analisis tersebut diatas maka hipotesis pertama yang

menyatakan bahwa “Ada pengaruh pemberian nutrisi enteral kontinyu dan

pemberian nutrisi enteral bolus terhadap Skor APACHE II pada pasien Geriatri

dengan sepsis di ruang perawatan intensif RSUD Dr. Moewardi”, dapat dibuktikan

kebenarannya. Pemberian nutrisi enteral dengan cara kontinyu maupun dengan cara

bolus sama-sama sudah dapat menurunkan Skor APACHE II secara meyakinkan,

namun pemberian nutrisi enteral dengan cara kontinyu cenderung menurunkan skor

APACHE II jauh lebih besar jika dibandingkan pemberian nutrisi enteral dengan

cara bolus.

Perbandingan variabel delta_APACHE pada kelompok sampel yang

diberikan nutrisi enteral kontinyu dan kelompok sampel yang diberikan nutrisi

enteral bolus disajikan dalam tabel berikut:

87

Tabel 5.8. Perbandingan Delta-APACHE pada Kelompok yang Diberikan Nutrisi

Enteral Kontinyu dan Kelompok yang Diberikan Nutrisi Enteral Bolus.

Variabel Nutrisi Enteral Bolus Nutrisi Enteral Kontinyu Uji Beda 2 Mean

Rata-rata Std Deviasi Rata-rata Std Deviasi Nilai Stat. P value

Delta-APACHE 4,73 6,89 11,68 3,96 t = -4,106 0,001**

Keterangan : * Signifikan pada Derajat Signifikansi 5 persen.

** Signifikan pada Derajat Signifikansi 1 persen.

Selanjutnya untuk membuktikan pengaruh pemberian nutrisi enteral

kontinyu dan nutrisi enteral bolus terhadap LOS dilakukan pengujian beda 2 mean

variabel LOS pada kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral kontinyu dan

kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral bolus. Variabel LOS pada

kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral bolus memiliki data dengan

distribusi tidak normal, namun pada kelompok sampel yang diberikan nutrisi

enteral kontinyu berdistribusi normal. Setelah dilakukan pengujian pada

keseluruhan data baik kelompok sampel dengan nutrisi bolus maupun kelompok

sampel dengan nutrisi kontinyu ternyata variabel LOS memiliki distribusi normal.

Untuk itu maka pengujian beda 2 mean variabel LOS pada kedua kelompok sampel

itu dapat menggunakan uji beda 2 mean uji t untuk sampel independent. Hasil

pengujian beda 2 mean dengan Uji t untuk sampel independent itu didapatkan

bahwa ada perbedaan rata-rata variabel LOS pada kelompok sampel yang diberikan

nutrisi enteral kontinyu dengan kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral

bolus pada derajat signifikansi sebesar 5 persen (p < 0,05). Dengan demikian

hipotesis kedua yang berbunyi : “Ada pengaruh pemberian nutrisi enteral bolus

88

dan pemberian nutrisi enteral kontinyu terhadap Length of Stay (LOS) pada pasien

geriatri dengan sepsis di ruang perawatan intensif RSUD Dr. Moewardi”, dapat

dibuktikan kebenarannya.

Tabel 5.9. Perbandingan LOS pada Kelompok yang Diberikan Nutrisi Enteral

Kontinyu dan kelompok yang Diberikan Nutrisi Enteral Bolus.

Variabel Nutrisi Ent Bolus Nutrisi Ent Kontinyu Uji Beda 2 Mean

Rata-rata Std Deviasi Rata-rata Std Deviasi Nilai Statistik P value

LOS 8,45 2,65 6,64 2,74 t = 2,239 0,030*

Keterangan : * Signifikan pada Derajat Signifikansi 5 persen.

** Signifikan pada Derajat Signifikansi 1 persen.

Dengan demikian hipotesis ketiga yang berbunyi “Ada perbedaan pengaruh

pemberian nutrisi enteral kontinyu dan pemberian nutrisi enteral bolus terhadap

skor APACHE II dan length of stay (LOS) pada pasien geriatri dengan sepsis di

ruang perawatan intensif RSUD Dr. Moewardi”, benar-benar terbukti secara

meyakinkan.

89

BAB 6

PEMBAHASAN

6.1 Berdasarkan Pendekatan Prinsip Ontologi

Definisi sepsis menurut the Third International Consensus

Definitions for Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3) adalah adanya disfungsi

organ yang mengancam jiwa yang disebabkan adanya disregulasi respon

ehost terhadap infeksi (Singer et al. 2016).

Patogenesis sepsis sangat kompleks akibat dari interaksi antara

produk bakteri yang berupa toksin, baik endotoksin maupun eksotoksin

sebagai super antigen, virus, parasit, kerusakan jaringan (faktor eksternal)

dengan faktor penjamu yang disebut respon imun meliputi faktor

pertahanan humoral dan seluler (Hermawan 2001, 2002). Konsep

tentang patogenesis sepsis menjelaskan 5 tahapan terjadinya multiple

organ dysfunction syndrome (MODS) pada sepsis, yaitu stadium reaksi

lokal, respon sistemik awal, inflamasi sistemik masif, imunosupresi masif

dan imunologi dissonance (Bone, Grodzin & Balk 1997; Bosmann & Ward

2013).

Penyebab akhir kematian pada pasien dengan sepsis adalah

kegagalan organ multipel. Respon inflamasi yang terjadi terus menerus akan

berkembang secara progresif ke arah sindroma gangguan multipel organ

sehingga hipoperfusi splanknik semakin memberat (Cresci & Cue 2008;

Puleo et.al. 2011).

90

Disfungi organ dilihat dari adanya perubahan akut kondisi pasien,

dinilai dengan skor SOFA, terdiri atas penilaian 6 sistem organ, yaitu sistem

saraf pusat, respirasi, kardiovaskuler, liver, koagulasi, dan ginjal. Masing-

masing mempunyai nilai antara 0– 4 berdasarkan derajat disfungsinya. Jika

nilai yang diperoleh lebih besar dari 2 dapat dikatakan sepsis (Singer et al.

2016). APACHE II merupakan sistem skor yang paling banyak digunakan di

seluruh dunia dalam penilaian derajat keparahan penyakit. Dalam APACHE

II, digunakan 12 variabel fisiologis, efek umur dan kondisi

kesehatan/penyakit kronis diintegrasikan dalam satu model, diberikan rasio

sesuai dengan pengaruh relatif pada penyakit

Terapi nutrisi enteral merupakan bagian penting pada tatalaksana

pasien sepsis. Manfaat pemberian nutrisi enteral yaitu: (1) memperbaiki

permeabilitas dinding usus sehingga mencegah translokasi bakteri,

endotoksin, serta antigen masuk ke dalam sirkulasi, (2) mencegah atrofi

jaringan limfoid usus (GALT) yang merupakan mekanisme utama sistem

kekebalan mukosa usus, dimana efek tropik mencegah atrofi mukosa usus

yaitu melindungi fungsi barrier usus, (3) memperbaiki fungsi limfosit Sel T

dan sel B, meningkatkan aktivitas kemotaksis leukosit dan fungsi fagositosis

sehingga menurunkan pertumbuhan bakteri (bacterial overgrowth) (Cresci &

Cue 2008; Puleo et.al. 2011). Manfaat lain adalah meningkatkan aliran darah

di saluran cerna, memberikan sumber energi yang tepat bagi usus pada waktu

sakit, mengurangi proses katabolik, menurunkan resiko komplikasi infeksi

secara bermakna, mempercepat penyembuhan luka, biaya lebih murah

91

dibandingkan dengan pemberian nutrisi parenteral, lama perawatan rumah

sakit lebih pendek dibandingkan dengan pemberian nutrisi parenteral

(McClave et al. 2016).

Lane et al. (1998) melakukan penelitian efek interval dan tipe

pemberian nutrisi enteral terhadap hemodinamik splanknik pada bayi baru

lahir dan membuktikan bahwa perfusi spanknik dipengaruhi secara signifikan

oleh interval dan tipe nutrisi enteral. McClave (2016) berpendapat bahwa

pemberian nutrisi enteral dengan metode kontinyu dengan kecepatan 10-20

mg/jam bisa mencegah atrofi mukosa akibat hipoperfusi splaknik.

Pada penelitian ini peneliti ingin melihat adakah pengaruh pada skor

APACHE II dan LOS pasien geriatri dengan sepsis yang diberi nutrisi enteral

kontinyu dibandingkan dengan yang diberi nutrisi enteral bolus.

6.2 Berdasarkan Pendekatan Prinsip Epistomologi

Analisa awal pada penelitian ini ini diawali dengan menguji

homogenitas dari seluruh variabel karakteristik dasar (baseline). Hasil

pengujian beda 2 mean atas variabel Skor APACHE II sebelum dan sesudah

pemberian nutrisi enteral pada kelompok sampel yang diberikan nutrisi

enteral secara kontinyu menghasilkan beda yang signifikan pada derajat

signifikansi sebesar 5 persen (p < 0,05). Demikian pula pengujian beda 2

mean atas variabel Skor APACHE II sebelum dan sesudah pemberian nutrisi

enteral pada kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral bolus

menghasilkan beda yang signifikan pada derajat signifikansi sebesar 5

92

persen (p < 0,05). Hal ini berarti bahwa baik pada kelompok sampel yang

diberikan nutrisi enteral kontinyu maupun kelompok sampel yang diberikan

nutrisi enteral bolus, pemberian nutrisi enteral itu dapat menurunkan

variabel Skor APACHE II secara meyakinkan (signifikan).

Perubahan rata-rata Skor APACHE II pada kelompok sampel

yang diberikan nutrisi enteral kontinyu menurun dari 20,95 sebelum

pemberian nutrisi enteral menjadi 9,27 sesudah pemberian nutrisi enteral,

jadi menurun sebesar 11,68 atau 55,75 persen. Sementara perubahan rata-

rata Skor APACHE II pada kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral

bolus menurun dari 22,00 sebelum pemberian nutrisi enteral menjadi sebesar

17,27 sesudah pemberian nutrisi enteral, jadi menurun sebesar 2,73 atau

sebesar 13,65 persen. Nampak penurunan Skor APACHE II pada pemberian

nutrisi enteral kontinyu cenderung lebih besar dibandingkan dengan

penurunan Skor APACHE II pada pemberian nutrisi enteral bolus.

Hasil pengujian beda 2 mean kelompok sampel yang diberikan

nutrisi enteral kontinyu dan kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral

bolus pada kondisi sesudah pemberian nutrisi enteral (APACHE_post)

menunjukkan hasil pengujian yang signifikan pada derajat signifikansi

sebesar 5 persen (p < 0,05). Hal itu berarti setelah pemberian nutrisi enteral

secara kontinyu maupun secara bolus memiliki rata-rata Skor APACHE II

yang berbeda secara meyakinkan (signifikan).

Hasil perhitungan uji beda 2 mean dengan uji t untuk sampel

independent variable delta-APACHE menunjukkan bahwa variabel

93

perubahan skor APACHE II (delta-APACHE) berbeda secara meyakinkan

pada derajat signifikansi 5 persen (p < 0,05). Kondisi ini menunjukkan

bahwa pemberian nutrisi enteral yang diberikan secara kontinyu maupun

secara bolus sama-sama dapat menurunkan Skor APACHE secara

meyakinkan (signifikan), namun dampak penurunan variable Skor

APACHE tersebut setelah pemberian nutrisi enteral secara kontinyu jauh

lebih besar secara meyakinkan dibandingkan pemberian nutrisi secara bolus.

Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Serpa et al.

(2003) mengenai pengaruh nutrisi enteral kontinyu dan bolus pada pasien

kritis menunjukkan tidak ada pengaruh signifikan diantara keduanya. Hal

tersebut serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Abdelsalam (2012)

dan Maurya et al. (2011). Voort PH dan Zandstra DF (2001) juga meneliti

perbedaan hasil akhir pada pasien kritis dengan posisi supine dan pronasi

bergantian tiap 6 jam yang mendapatkan nutrisi enteral, cenderung lebih

baik hasil jika skor APACHE II rendah pada saat awal masuk ruang intensif.

Pada penelitian ini, hasil pengujian beda 2 mean dengan Uji Mann

Whitney itu didapatkan bahwa ada perbedaan rata-rata variabel LOS pada

kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral kontinyu (4,83±3,16)

dengan kelompok sampel yang diberikan nutrisi enteral bolus (7,92±3,63)

pada derajat signifikansi sebesar 5 persen (p < 0,05) yaitu p=0,012.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Evans (2016), pemberian nutrisi kontinyu meningkatkan kemampuan pasien

untuk mobilisasi, menurunkan masa rawat dan mortalitas jika dibandingkan

94

dengan bolus. Pada penelitian Rutledge et al (1991) dan Agarwal et al (2017)

pada pasien bedah karena peritonitis, didapatkan skor APACHE II secara

statistik terkait dengan semua variabel yang diperiksa, semakin baik

membaik skor APACHE II maka akan porgnosisnya lebih baik. Sedangkan

Khan et al (2002) meneiliti APACHE II saat masuk inap dan 48 jam post-

inap pada pasien pancreatitis akut berat dengan outome jelek, menunjukkan

perbaikan nilai APACHE II memiliki prediksi yang lebih baik pada kasus

tersebut. Perburukan skor APACHE II pada kasus pancreatitis akut berat

tersebut dapat diduga pasien akan mengalami komplikasi yang lebih berat.

Pada beberapa penelitian sebelumnya, LOS dan mortalitas pasien

merupakan outcome yang sering diukur pada pasien sepsis yang diruang

rawat intensif (Singer et. al. 2016; Raith et. al.2016; Shukeri et.al. 2018, Lie

et.al 2018; Ferreira et. al. 2001). LOS merupakan outcome yang penting

untuk dinilai karena merupakan alat prognostik terhadap mortalitas di

samping keuntungan cost-effective.

Untuk saaat ini, beberapa organisasi seperti ASPEN, ESPEN,

SCCM, AJG dan konsensus Asia Pacific dan Middle East region mengenai

terapi nutrisi pada pasien dengan sakit kritis merekomendasikan nutrisi

enteral kontinyu untuk metode pemberian nutrisi pasien di ruang rawat

intensif untuk perbaikan outcome (dinilai dengan LOS dan mortalitas).

Pemberian nutrisi enteral secara kontinyu dianggap lebih aman untuk

mencegah splachnic steal akibat hiperemia post prandial sehingga tidak

mengganggu hemodinamik ataupun memperberat instabilitas hemodinamik

95

yang sudah ada (Jacobi et al. 2012). Selain itu, McClave (2016) berpendapat

bahwa pemberian nutrisi enteral dengan metode kontinyu dengan kecepatan

10-20 mg/jam bisa mencegah atrofi mukosa akibat hipoperfusi splaknik.

Namun terapi tersebut sebaiknya digunakan sebagai bridging therapy untuk

pemberian nutrisi standar yang adekuat (25 kcal/BB/hari) (ASPEN 2016,

ESPEN 2006, konsensus Asia Pacific dan Middle East region).

Di lain sisi, pemberian nutrisi secara kontinyu masih kontroversi

dikalangan beberapa ahli nutrisi (Marik 2015; Patel 2017; Barnes 2018)

karena dianggap tidak fisiologis dibandingkan pemberian nutrisi secara

intermitten ataupun bolus.

Pada penelitian ini, hasil pengujian beda 2 mean didapatkan

bahwa ada perbedaan rata-rata variabel LOS pada kelompok sampel yang

diberikan nutrisi enteral kontinyu dengan kelompok sampel yang diberikan

nutrisi enteral bolus pada derajat signifikansi sebesar 5 persen (p < 0,05).

Hasil ini didukung oleh penelitian Mazaherpur et al (2016) yang meneliti

pada pasien dengan trauma kepala yaitu bahwa kontinyu feeding memiliki

LOS yang lebih pendek dibandingkan jika diberikan secara bolus feeding.

Penelitian Rosa et al (2012) menyimpulkan bahwa pemakaian kontinyu

feeding lebih efektif dibandingkan bolus feeding pada pasien dewasa dengan

di ruang rawat intensif dan dapat menurunkan LOS. Chen et al (2006) dari

Departemen Keperawatan Klinik Umum Veteran Taipei, di Taiwan,

melakukan uji klinis acak yang membandingkan bolus dengan kontinyu.

Sebanyak 107 peserta secara acak dengan enteral kontinyu feeding (51

96

pasien) dan bolus feeding (56 pasien). Tidak ada perbedaan yang signifikan

dalam lamanya tinggal di rumah sakit antara kedua kelompok tersebut.

Pada penelitian ini dilakukan randomization untuk meminimalkan

bias dan menguatkan kesimpulan dari hasil akhir analisis statistiknya.

6.3 Berdasarkan Prinsip Aksiologi

Berdasarkan prinsip aksiologi, secara keseluruhan manfaat hasil

penelitian ini adalah metode pemberian nutrisi enteral kontinyu

memperbaiki skor APACHE II dan memperpendek LOS di ruang intensif

pada pasien geriatri dengan sepsis.

Hasil penelitian ini membuka peluang untuk mengembangkan

penilitian berbasis bukti (evidence base) mengenai metode pemberian nutrisi

enteral pada pasien geriatri dengan sepsis yang dirawat di ruang intensif.

6.4 Nilai Kebaruan penelitian

Nilai-nilai kebaruan dari penelitian ini adalah :

6.4.1. Solusi baru. Kerangka konsep dan hasil penelitian ini merupakan

solusi baru dengan pemberian nutrisi enteral secara kontinyu pada

pasien geriatri dengan sepsis terbukti menurunkan LOS di ruang

intensif sehingga perawatan sepsis lebih cost-effective.

6.4.2. Strategi baru. Hasil penelitian ini akan memberikan suatu

informasi, bahwa metode pemberian nutrisi enteral kontinyu pada

pasien geriatri dengan sepsis mempersingkat LOS di ruang rawat

97

intensif.

6.4.3. Perspektif baru. Hasil penelitian ini dapat digunakan,

dikembangkan lebih lanjut dalam usaha manajemen pasien geriatri

dengan sepsis di ruang rawat intensif.

6.4.4. Kondisi baru. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai terapi

nutrisi pada geriatri dengan sepsis sehingga diharapkan LOS di ruang

rawat intensif dan angka mortalitas akan semakin menurun.

6.5. Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini masih ada keterbatasannya, yaitu

6.5.1. Jumlah sampel yang masih sedikit. Disarankan untuk memperbesar

sampel penelitian sehingga dapat menguatkan hipotesis dan kekuatan

penelitian selanjutnya.

6.5.2. Pada penelitian ini, faktor pengkajian nutrisi pada geriatri tidak

dilakukan pengukuran dan pengkajian lanjutan dikarenakan tidak

semua pasien terdapat data pengkajian nutrisi awal, karena terkendala

masalah pendamping / caregiver dan kondisi social ekonomi.

Disarankan untuk dilakukan pengkajian nutrisi dan homogenitas

sampel penelitian untuk menguatkan hipotesisnya.

6.5.3. Adanya variasi dalam komposisi dan bentuk nutrisi cair yang

diberikan di ruang rawat intensif mempengaruhi pemberian nutrisi

secara kontinyu. Disarankan untuk memakai nutrisi cair berbentuk

polimer terstandar (ASPEN, ESPEN, konsensus Asia Pacific dan

98

Middle East region). Nutrisi cair dari makanan yang diblender sudah

tidak direkomendasikan oleh ASPEN, namun masih digunakan di

RSUD dr. Moewardi. Kondisi makanan cair yang diblender hanya

bertahan maksimal selama 2 jam sehingga harus diganti dengan yang

baru. Selain itu, nutrisi cair yang diblender terlalu kental sehingga

menyulitkan untuk melewati selang applix pada pemberian nutrisi

enteral kontinyu. Hal ini tentu saja mempengaruhi keakuratan

pemberian nutrisi enteral kontinyu.

99

BAB 7

PENUTUP

7.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil - hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut :

7.1.1 Nutrisi enteral kontinyu dan bolus terbukti sama – sama menurunkan Skor

APACHE II pada pasien geriatri dengan sepsis di ruang perawatan intensif.

7.1.2 Nutrisi enteral kontinyu lebih besar dalam menurunkan Skor APACHE II

dibandingkan bolus pada pasien geriatri dengan sepsis di ruang perawatan

intensif

7.1.3 Nutrisi enteral kontinyu lebih besar menurunkan LOS dibandingkan enteral

bolus pada pasien geriatri dengan sepsis di ruang perawatan intensif.

7.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka ada beberapa saran, yaitu :

7.2.1 Dierlukan penelitian yang melibatkan senter lain/multisenter.

7.2.2 Diperlukan penelitian dengan subjek geriatri dengan sepsis

melibatkan pengkajian lanjutan terhadap komponen MNA, CCI,

Barthel Index dan CHS apakah berkontribusi terhadap outcome

APACHE II dan LOS.

7.2.3 Diperlukan standarisasi jenis nutrisi enteral cair untuk memenuhi

kebutuhan pemberian nutrisi dengan metode kontinyu.

7.2.4 Evaluasi pemberian nutrisi enteral pada pasien geriatric dengan sepsis

di ruang rawat intensif memerlukan kerjasama dengan ahli gizi klinik

100

/tim nutrisi klinis di ruang rawat intensif.

7.2.5 Perlunya pedoman pemberian nutrisi pada pasien geriatri dengan

sepsis di ruang rawat intensif RS Dr. Moewardi yang mengacu pada

pedoman nasional/internasional.

100

DAFTAR PUSTAKA

Abdelsalam, Y. (2012) ‘Continuous versus bolus infusion of enteral nutrition in

intensive care unit’, AAMJ, Sep, 10(3), Suppl-2, 154-168.

Ackland, G., Grocott, M.O., Mythen, M.G. (2000) ‘Understanding Gastrointestinal

Perfusion in Critical Care: So Near, and Yet So Far’,Crit Care Med, 4,

269-281

Agarwal, A., Choudhary, G.S., Bairwa, M., Choudhary, A. (2017) ‘Apache II

scoring in predicting surgical outcome in patients of perforation

peritonitis’, Int Surg J. Jul, 4(7), 2321-2325

Angus, D., Linde-Zwirble, WT., Lidicker, J., Clermont, G., Carcillo, J., Pinsky,

MR, et.al. (2001) ‘Epidemiology of Severe Sepsis in The United States:

Analysis of Incidence, Outcome, and Associated Costs of Care’, Crit Care

Med. 29,1303-10.

Annane, D., Aegerter, P., Jars-Guincestre, MC., Guidet, B. (2003) Current

Epidemiology of Septic Shock: The CUB-Rea Network, Am J Resp Crit

Care Med. 168,165-72.

Arifin & Hermawan, A.G. (2005) Prevalensi Sepsis di Rumah Sakit Dr. Moewardi

Surakarta Tahun 2004. Dalam: Guntur A, Pramana TY, Prasetyo DH,

editors. Kumpulan Makalah Lengkap Konas PETRI XI, PERPARI VII,

PKWI VIII dan PIT PAPDI Cab. Surakarta. Surakarta. P.105-110.

Baratawidjaja, G.K. (2006) Imunologi dasar, edisi 7, Balai Penerbit Universitas

Indonesia, Jakarta.

102

Barnes, J. L. (2018) ‘Enteral Nutrients and Gastrointestinal Physiology’, Journal of

Infusion

Nursing, 41(1), pp. 35–42. doi: 10.1097/NAN.0000000000000260.

Bone, R.C., Grodzin, C.J., Balk, R.A. (1997) ‘Sepsis: A New Hypothesis For

Pathogenesis Of The Disease Process’, Chest , 112, 235-24

Bosmann, M., Ward, P.A. (2013) ‘The Inflammatory Response in Sepsis’, Trends

Immunol., 34(3), 129–136

Bowling, TE., and Cliff, B. (2008) ‘The Effect of Bolus and Continous Nasogastric

Feeding on Gastro-oesophageal Reflux and Gastric Emptying in Healthy

Volunteers: a Randomised Three-way Crossover Pilot Study’, Nottingham

University, Nottingham. Clin Nutr. Aug, 27(4), 608-13.

Cavaillon, J.M., Adib-Conquy (2007) ‘Determining the Degree of

Immunodysregulation in Sepsis’, In: Bellomo, R.C., J.A., Kellum (eds.),

Acute Kidney Injury. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 156, pp 101-111

Chandra, R., Liddle, R.A. (2007) ‘Cholecystokinin’, Curr Opin Endocrinol

Diabetes Obes, 14,63-67

Chen, Y.C., Chou, S.S., Lin, L.H., Wu, L.F. (2006) ‘The effect of intermittent

nasogastric feeding on preventing aspiration pneumonia in ventilated

critically ill patients’. J Nurs Res. Sep, 14(3), 167-80.

Chowdhury, A.H., Murray, K., Hoad, C.L., Costigan, C., Marciani, L., Macdonald,

I.A., et.al. (2016) ‘Emptying, Small Bowel Water Content, Superior

Mesenteric Artery Blood Flow, and Plasma Hormone Concentrations in

Healthy Adults A Randomized Crossover Study’, Annals of Surgery, 263,

3, 450-457

103

Cresci, G., Cúe, J. (2008) ‘The Patient with Circulatory Shock: To Feed or Not To

Feed?’. Nutr Clin Pract. 23501-, 9.

DAA (Dietititans Association of Australia Nutrition Support Interest Group).

(2011) Enteral nutrition manual for adults in health care facilities.

Melbourne: Dietititans Association of Australia Nutrition Support Interest

Group.

Dahlan, M.S. (2013) Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam

Penelitian Kedokteran dan Kesehatan.Edisi ke 3.Jakarta: Salemba

Medika, hal 16-19.

Deitch, E.A. (2012) ‘Gut Origin Sepsis : Evolution of a Concept’ . Surgeon.

December, 10(6), 350-56.

Derikx, J.P., Poeze, M., van Bijnen, A.A, Buurman, W.A., Heineman, E. (2007)

‘Evidence for intestinal and liver epithelial cell injury in the early phase of

sepsis’. Shock; 28:544–548

Elke, G., Wang, M., Weiler, N., Day, A.G., Heyland, D.K. (2014) ‘Close to

recommended caloric and protein intake by enteral nutrition is associated

with better clinical outcome of critically ill septic patients: secondary

analysis of a large international nutrition database’, Crit. Care, 18, R29,1-

8.

Ellger, B., Debaveye, Y., Vanhorebeek, I., Langouche, L., Giulietti, A., Etten, E.V.,

et.al. (2006) ‘Survival Benefits of Intensive Insulin Therapy in Critical

Illness : impact of maintaining normoglycemic versus glycemic-

independent actions of insulin’, J diabetes, 55, 1096-1104.

104

Evans, D.C., Forbes, R., Jones, C., Cotterman, R., Njoku, ., Thongrong, C., et.al.

(2016) ‘Continuous versus bolus tube feeds: Does the modality affect

glycemic variability, tube feeding volume, caloric intake, or insulin

utilization?’, Int J Crit Illn Inj Sci , 6, 9-15.

Ferreira F.L., Bota, D.P. & Bross, A., 2001, ‘Serial evaluation of the SOFA score

to predict outcome in critically ill patients’, JAMA, 286(14), 1754-1758.

Finch, H., French, B. (2013) ‘A Monte Carlo comparison of robust MANOVA test

statistics’, J of Modern Applied Statistical Methods, November, 12 (2), 35-

81.

Finfer, S.R., Vincent, J.L. (2013) ‘Severe sepsis and Septic Shock’, N Engl J Med,

369, 9, 840-850

Gaieski, D.F., Edwards, J.M., Kallan, M.J., Carr, B.G. (2013). Benchmarking The

Incidence and Mortality of Severe Sepsis in the United States’. Crit Care

Med.41(5), 1167-74.

Gatt, M., Reddy, B.S., MacFie, J. (2007) ‘Review article: bacterial translocation in

the critically ill— Evidence and methods of prevention’. Aliment

Pharmacol Ther, 25, 741–757

Hall, K.E. (2016) Effect of Aging on Gastrointestinal Function. In : Halter JB,

Ouslander JG, Tinetti ME, Studenski S, High KP, Astana S, Hazzard WR

(editors) Hazzard’s Geriatric Medicine And Gerontology 7th Edition. New

York : Mc Graw Hill.C89. p:1059-1064

Hasir, J., 2013, Pengaruh pemberian nutrisi enteral intermitten terhadap kadar gula

darah sewaktu pada pasien cedera otak berat pascabedah, Tesis,

105

Konsentrasi Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu, Universitas

Hasanuddin, Makassar.

Hermawan, A.G. (2002) Respons Imune Sepsis and Septic Shock. World Congres

Immuno Pathogenesis, Singapura.

Hermawan, A.G. (2001)Perbedaan Respons Imun yang Berperan Pada Sepsis dan

Syok Septik Suatu Pendekatan Imunopatobiologik Sepsis dan Syok Septik

pada Immunocompromise dan non Immunocompromise. Disertasi

Program Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya.

Hermawan, A.G. (2001) Perbedaan Respons Imun yang Berperan pada Sepsis dan

Syok Septik. Tesis Program Pascasarjana Unair Surabaya

Hermawan, A.G. (2014) Sepsis. Dalam: Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang.

Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti, editors. Buku ajar ilmu

penyakit dalam. Edisi VI. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu

Penyakit Dalam FKUI. p.1840-3.

Heyland, D.K., Novak, F., Drover, J.W., Jain, M., Su, X., Suchner, U. (2001)

‘Should Immunonutrition Become Routine in Critically ill Patients ?’

JAMA, August 22/29 – vol 286. No.8.

Hirasawa, H., Oda, S., Nakamura, M., (2009) ‘Blood Glucose Control In Patients

With Severe Sepsis and Septic Shock’, W J Gastroenterol., Sept, 15(33),

4132-4136.

Houdijk, A.P., Nijveldt, R.J., van Leeuwen, P.A. (1999) ‘Glutamin Enriched

Enteral Feeding in Trauma Patients : Reduced infections Morbidity is not

Related to Changes in Endocrine and Metabolic Responses’. Jour

Parenteral Enteral Nutr. 23, (5 suppl):S52-8.

106

Hurt, R.T., McClave, S.A. (2010) ‘Gastric Residual Volumes in Critical Illness:

What Do They Really Mean?’, Crit Care Clin, 26,481–490

Jacobi, J., Bircher, N., Krinsley, J., Agus, M., Braithwaite, S.S., et al. (2012)

‘Guidelines for use of

an insulin for the management of hyperglycemia in critically ill patients’,

J Crit Care Med.,

40(12), 3251-3271

Jonqueira, L.A., Daurea, A.De-Souza. (2012) ‘Enteral Nutrition Therapy For

Critically Ill Adult Patients; Critical Review And Algorithm Creation’.

Nutr Hosp. 27(4), 999-1008

Kakihana, Y., Ito, T., Nakahara, M., Yamaguchi, K., Yasuda, T. (2016) ‘Sepsis-

induced Myocardial Dysfunction : Pathophysiologi and Management’.

Journal of Intensive Care. 4(22), 33-8.

Kang, J.M., Kim, N., Kim, J.H., Oh, E., Lee, B.Y., Lee, B.H., et.al. (2010) ‘Effect

of Aging on Gastric Mucosal Defense Mechanisms: ROS, Apoptosis,

Angiogenesis, and Sensory Neurons’. Am J Physiol Gastrointest Liver

Physiol 2010,299, G1147-G1153

Karnen, G.B. (2000) Imunologi Dasar. Edisi 5. Balai Penerbit FKUI.

Kasjono, H.S. & Yasril. (2013) Teknik Sampling Untuk Penelitian Kesehatan.

Graha Ilmu. Yogyakarta. Hal 16

Khan, A.A, Parekh, D., Cho, Y., Ruiz, R., Selby, R.R.,Jabbour, N., et.al. (2002)

‘Improved Prediction of outcome in patients with severe acute pancreatitis

by the APACHE II score at 48 hours after hospital admission compared

107

with the APACHE II score at Admission’, Arch Surg, Vol 137, Okt, 1136

- 1140

Kim, H., Kwon, C. (2011) ‘Changes In Nutritional Status In ICU Patients Receiving

Enteral Tube Feeding: A Prospective Descriptive Study’. Journal of

Intensive and Critical Care Nursing. 27,194—201.

Knaus, W.A., Wagner, D.P., Draper, E.A., Zimmerman, J.E., Bergner, M., Bastos,

P.G., et.al. (1985) ‘The APACHE III Prognostic System. Risk Prediction

of Hospital Mortality for Critically Ill Hospitalized Adults’, Chest, 1006,

1619-1636.

Kreymann, K. G., Berger, M. M., Deutz, N. E. P., Hiesmayr, M., Jolliet, P.,

Kazandjiev, G.,

Nitenberg, G., Berghe, G. Van Den and Wernerman, J. (2006) ‘ESPEN

GUIDELINES

ESPEN Guidelines on Enteral Nutrition : Intensive care $’, Clinical

Nutrition, 25, pp. 210–

223. doi: 10.1016/j.clnu.2006.01.021.

Lane, A.J.P., Coombs, R.C., Evans, D.H., Levin, R.J. (1998) ‘Effect of feed interval

and feed type on spanchnic haemodynamics’, Arch.Dis.Child Fetal

Neonatal Ed., 79, 1349-1353

Lie, K. C., Lau, C., Chau, N. V. V., West, T. E. and Limmathurotsakul, D. (2018)

‘Utility of SOFA

score , management and outcomes of sepsis in Southeast Asia : a

multinational multicenter

prospective observational study’. Journal of Intensive Care, pp. 1–8.

108

MacLeod, J.B., Lefton, J., Houghton, D., Roland, C., Doherty, J., Cohn, S.M., et.al.

(2007) ‘Prospective randomized control trial of intermittent versus

continuous gastric feeds for critically ill trauma patients’. J Trauma. Jul,

63(1), 57-61

Marik, P.E. (2015) ‘Feeding critically ill patients the right ‘whey’ : thinking outside

of the box. A personal view’, Annals of Intensive Care, 5, 11, 1-8.

Maurya, I., Pawar, M., Garg, R., Kaur, M., Sood, R. (2011) ‘Comparison of

respiratory quotient and resting energy expenditure in two regimens of

enteral feeding-continuous vs. intermittent in head-injured critically ill

patients’, Saudi Journal of Anaesthesia, 5, 2, 195.

Mazaherpur, S., Khatony, A., Abdi, A., Pasdar, Y., Najafi, F. (2016) ‘The Effect of

Continuous Enteral Nutrition on Nutrition Indices, Compared to the

Intermittent and Combination Enteral Nutrition in Traumatic Brain Injury

Patients’. Journal of Clinical Diagnostic and Research. Oct,10(10), JC01–

JC05.

McClave, S.A., Taylor, B.E., Martindale, R.G., Warren,M.M., Johnson, D.R.,

Braunschweig, C., (2016) ‘Guidelines for the Provision and Assessment

of Nutrition Support Therapy in the Adult Critically Ill Patient: Society of

Critical Care Medicine (SCCM) and American Society for Parenteral and

Enteral Nutrition (A.S.P.E.N.)’, J Parenter Nutr., February, 40(2), 159–

211

Meisner, M., (2010) Procalcitonin-biochemistry and clinical diagnosis, Uni Med

Science, Bremen. 1st edition, pp128

109

Montejo, J.C. (2010) ‘Gastric Residual Volume During Enteral Nutrition In ICU

Patients: The REGANE Study’. Intensive Care Med. 36, 1386–93.

Murphy, P., Chudleigh, V. (2013) Adult Nasogastric and Gastrostomy Tube

Feeding Guidelines Version No 1:6, Plymouth Hospitals NHS Trust and

Plymouth Community Healthcare, 1-56

Murti, B., (2010) Desain dan ukuran sampel untuk penelitian kuantitatif dan

kualitatif di bidang kesehatan, edisi ke-2, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta

Naftarilofa, L. (2013) Pemberian nutrisi melalui continous feeding untuk

menghindari gejala gastro-oesophageal reflux pada klien dengan

gastrektomi, Karya Ilmiah Akhir, Fakultas Ilmu keperawatan, Universitas

Indonesia, Depok.

Nguyen, N.Q., Fraxer, R.J., Chapman M. (2006) ‘Proximal Gastric Respon to Small

Intestin Nutroents in Abnormal in mechanically Ventilated Patient’. World

JGastroeterol.12 (27), 4383-8.

O'Neill, L.A.J., Golenbock, D., Bowie, A.G. (2013) ‘The History of Toll-like

receptors Redefining Innate Immunity’,Nature Reviews Immunology.

13,453–60.

Pasinato, V.F., Berbigier, M.C., Rubin, B.A., Castro, K., Moraes, R.B., Perry I.D.S.

(2013) ‘Enteral nutritional therapy in septic patients in the intensive care

unit: compliance with nutritional guidelines for critically ill patients’, Rev

Bras Ter Intensiva, 5(1), 17-24.

Pathan, N., Faust, S.N., Levin, M. (2003) ‘Pathophysiology of meningococcal

meningitis and septicaemi’. Arch Dis Child.88, 601–607

110

Peter, J.V., Thomas, L.,Graham, P.L., Moran, J.L., Abilash, K.P., Jasmine, S.,

Iyyadura, R. (2013) ‘Performance of clinical scoring systems in acute

organophosphate poisoning’, Journal of Clinical Toxicology.

Philadelphia, Nov,51(9), pp 850-4.

Pinsky, M.R., (2004) ‘Dysregulation of the immune response in severe sepsis’, Am

J Med Sci, Oct, 328(4), 220-229

Puleo, F., Arvanitakis, M., Gossum, A.V., Preiser, J.C. (2011) ‘Gut Failure in the

ICU’. Semin Respir Crit Care Med, 32, 626-38

Pullen, R.L. (2004). ‘Measuring gastric residual volume’. Nursing, Volume 34,

Number 4. p 18

Raith, E. P., Udy, A. A., Bailey, M., Mcgloughlin, S., Fracp, B., Macisaac, C., et.al.

(2017)

‘Prognostic Accuracy of the SOFA Score, SIRS Criteria, and qSOFA

Score for In-Hospital

Mortality Among Adults With Suspected Infection Admitted to the

Intensive Care Unit’,

JAMA, 317(3), pp. 290–300. doi: 10.1001/jama.2016.20328

Ramalho, FS., Fernandez-Monteiro, I., Rosello-Catafau, J., Peralta, C. (2006)

‘Hepatic Microcirculatory Failure’. Acta Cir Bras;21 Suppl 1:48-53.

Rhodes, A., Evans, L.E., Alhazzani, W., Levy, M.M., Antonelli, M., Ferrer, R.,

et.al. (2017) ‘Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for

Management of Sepsis and Septic Shock: 2016’. Intensive Care Medicine.

Vol 43.(3). pp 304–377

111

Rosa, A.M., Emilia, R.O., Concha, C.M., Jose, F.M., Dolores, S.V., Jesus, B.N.

(2011) Enteral

Feeding via Nasogastric Tube. Effectiveness of continuous versus

intermittent administration

for greater tolerance in adult patients in Intensive Care: A systematic

review, JBI Library of

Systematic Reviews: 2012, Volume 9, Issue 16, p 1–17

Rotstein, O.D.(2000) ‘Pathogenesis of multiple organ dysfunction syndrome: Gut

origin, protection, and decontamination’. Surg Infect (Larchmt), 1, 217–

223

Russell, J.A., 2006, ‘Management of Sepsis’, N Engl J Med., 355, 1699-1713

Rutledge, R., Fakhry, S.M., Rutherford, E.J., Muakkassa, F., Baker, C.C., Koruda,

M., et.al. (1991) ‘Acute Physiology and Chronic Health Evaluation

(APACHE II) score and outcome in the surgical intensive care unit: an

analysis of multiple intervention and outcome variables in 1,238 patients’.

Crit Care Med. Aug, 19(8),1048-53.

Saia, R.S., Bertozi, G., Mestriner, L., Rodrigues, J.A., Cunha, F.Q., Carnio, E.C.

(2013)’Cardiovascular and inflammatory response to Cholecystokinin

during endotoxemic shock’, Shock, 39, 1, 104-112.

Saleh, A., Ahmed, M., Sultan, I., Abdel-lateif, A. (2015) ‘Comparison of the

mortality prediction of different ICU scoring systems (APACHE II and III,

SAPS II, and SOFA) in a single-center ICU subpopulation with acute

respiratory distress syndrome’. Egyptian Journal of Chest Diseases and

Tuberculosis.Vol 64.pp 843–848

112

Senkal, M., Zumtobel ,V., Bauer, K.H., Marpe, B., Wolfram, G., Frei, A., e. al.

(1999) ‘Outcome and Cost-effectiveness of Perioperative Enteral

Immunonutrition in Patients undergoing Effective Upper Gastrointestinal

Tract Surgery’. Arch Surg,134 , 1309 – 1316..

Serpa, L.F., Kimura, M., Faintuch, J., Ceconello, I. (2003) ‘Effects of Continuous

Versus Bolus Infusion of Enteral Nutrition in Critical Patients’, Rev Hosp

Clin Fac Med S Paulo, 58(1), 9-14.

Shukeri, W.F.W.M, Ralib A.M., Abdulah N.Z, Mat-Nor, M.B., (2018) ‘Sepsis

mortality score for the prediction of mortality in septic patients’, Journal

of Critical Care. Elsevier Inc., 43, pp. 163–168. doi:

10.1016/j.jcrc.2017.09.009.

Sinaga, W., Sutanto, L.B., Syam, A.F. (2015) ‘Splanchnic Hypoperfusion and

Enteral Feeding’. The Indonesian Journal of Gastroenterology,

Hepatology and Digestive Endoscopy. Vol.14(1).Pp 35-38

Singer, M., Deutschman, C.S., Seymour, C.W., Shankar-Hari, M., Annane, D.,

Bauer, M., et.al.(2016) ‘The Third International Consensus Definitions for

Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3)’, JAMA. February 23, 315(8), 801–810

Sioson, M. S., Martindale, R., Abayadeera, A., Abouchaleh, N., Aditianingsih, D.,

Bhurayanontachai, R., et. al. (2018) ‘Clinical Nutrition ESPEN Nutrition

therapy for critically ill patients across the Asia e Paci fi c and Middle East

regions : A consensus statement’, Clinical Nutrition ESPEN. Elsevier Ltd,

24, pp. 156–164. doi: 10.1016/j.clnesp.2017.11.008.

Sociedad Española de Nutrición Parenteral y Enteral (SENPE). (1998) Protocolos

para la prescripción de Nutrición Parenteral y Enteral ; 2-A-EP:12-32

113

Spapen, H. (2008) ‘Liver Perfusion in Sepsis, Septic Shock, and Multiorgan

Failure’. Anat Rec (Hoboken), 291, 714-20.

Stroud, M., Baldwin, C., Bradnam, V., Cartwright, A, Coleman, G., Ditchburn, L.,

et al. (2005) Nutrition support in adults: oral supplements, enteral and

parenteral feeding, National Collaborating Centre for Acute Care,

London.

Swaid, F., Sukhotnik, I., Matter, I., Berkowitz, D., Hadjittofi, C., Pollak, Y., et.al.

(2013) ‘Dietary glutamine supplementation prevents mucosal injury and

modulates intestinal epithelial restitution following acetic acid induced

intestinal injury in rats’. Nutrition & Metabolism. 2013, 10, 53, p 1-9

Swank, G.M., Deitch, E.A., (1996) ‘Role of the Gut in Multiple Organ Failure:

Bacterial Translocation and Permeability Changes’, World J. Surg., 20,

411– 417

Tarnawski, A.S., Ahluwalia, A., Jones, M.K. (2014) ‘Increased susceptibility of

aging gastric mucosa to injury: The mechanisms and clinical implications’,

World J Gastroenterol, April 28, 20(16), 4467-4482

Tarnawski, A.S., Ahluwalia, A., Jones, M.K. (2012) ‘The mechanisms of gastric

mucosal injury: focus on microvascular endothelium as a key target’. Curr

Med Chem. 012,19(1),4-15

Tarnawski, A.S., Pai, R., Deng, X., Ahluwalia, A., Khomenko, T., Tanigawa, T.,

et.al. (2007) ‘Aging gastropathy-novel mechanisms: hypoxia, up-

regulation of multifunctional phosphatase PTEN, and proapoptotic

factors’, Gastroenterology, 133, 1938-1947

114

Thuijls, G., Derikx, J.P.M., Grootjans, J., Buurman, W.A., Waardenburg, D.A.

(2011) ’Intestinal barrier loss in sepsis’, Neth J Crit Care - Volume 15 -

No 4 - August 2011, p 199-203

Tim Gizi, (2010) Standard Pemberian Sonde Lengkap, Instalasi gizi RSUD

Dr.Moewardi. Januari, Hal 1

Vincent, J.L., Moreno, R., Takala, J., Willatts, S., Bruining , H., Reinhart, CK.,

et.al. (1996). ‘Working Group on Sepsis-Related Problems of the

European Society of Intensive Care Medicine. The SOFA (Sepsis-related

Organ Failure Assessment) score to describe organ dysfunction/failure’.

Intensive Care Med. 22(7), 707-10.

Vincent, J.L.,Rello, J., Marshall, J., Silva, E., Anzueto,A., Martin, et al. (2009)

‘International Study of the Prevalence and Outcomes of Infection in

Intensive Care Units’. JAMA. 302,44-9.

Voorth, P.H., Zandstra, D.F., (2001) 'Enteral feeding in the critically ill: comparison

between the supine and prone positions: a prospective crossover study in

mechanically ventilated patients', Critical Care, 20015, p216

Wei, J., Chen, W., Zhu, M., Cao, W., Wang, X., Shi, H., et.al. (2015) ‘Guidelines

for parenteral and enteral nutrition support in geriatric patients in China’.

Asia Pac J Clin Nutr, 24(2),336-346

Williams, T.A, Leslie, G.D. (2004) A review of the nursing care of enteral feeding

tubes in critically ill adults: part I Intensive Crit Care Nurs, 20, 330-343.

Yang, R., Han, X., Uchiyama, T., Watkins, S.K., Yaguchi, A., Delude, R.L., et.al.

(2003) ‘IL-6 is essential for development of gut barrier dysfunction after

115

hemorrhagic shock and resuscitation in mice’. Am J Physiol Gastrointest

Liver Physiol, 285, G621–G629

Ziegler, T.R. (2009) Parenteral Nutrition in the Critically Ill Patient. NEJM. 361;11-

7.

LAMPIRAN 1

LAMPIRAN 2

LAMPIRAN 3

BLANGKO PENELITIAN (HALAMAN A)

BLANGKO PENELITIAN (HALAMAN B)

LAMPIRAN 4

LAMPIRAN 5

LAMPIRAN 6 HASIL ANALISA STATISTIK Summarize

Case Processing Summary

Cases

Included Excluded Total

N Percent N Percent N Percent

Umur Responden * Kelompok

Sampel 44 100.0% 0 .0% 44 100.0%

CCI * Kelompok Sampel 44 100.0% 0 .0% 44 100.0%

BI * Kelompok Sampel 44 100.0% 0 .0% 44 100.0%

CHS * Kelompok Sampel 44 100.0% 0 .0% 44 100.0%

Laktat * Kelompok Sampel 44 100.0% 0 .0% 44 100.0%

Procalsitonin * Kelompok Sampel 44 100.0% 0 .0% 44 100.0%

Case Summaries

Kelompok Sampel

Umur

Responden CCI BI CHS Laktat Procalsitonin

Cara Bolus N 22 22 22 22 22 22

Mean 66.2727 6.0455 76.1364 3.73 4.5409 5.1464

Std. Deviation 5.32900 2.21418 16.75679 1.162 3.52145 5.85168

Median 66.5000 6.0000 77.5000 4.00 3.1500 3.0000

Minimum 60.00 2.00 30.00 Selected .70 1.00

Maximum 76.00 9.00 100.00 5 12.10 23.32

Cara

Kontinyu

N 22 22 22 22 22 22

Mean 63.2727 5.8182 82.7273 3.36 3.2727 10.7273

Std. Deviation 4.77276 1.81623 6.85344 1.136 1.42233 11.71154

Median 62.0000 6.0000 80.0000 4.00 3.0500 7.5000

Minimum 60.00 3.00 65.00 Selected 1.20 1.00

Maximum 77.00 11.00 95.00 5 6.70 58.00

Total N 44 44 44 44 44 44

Mean 64.7727 5.9318 79.4318 3.55 3.9068 7.9368

Std. Deviation 5.22456 2.00462 13.08363 1.150 2.73048 9.57475

Median 62.5000 6.0000 80.0000 4.00 3.1000 5.5000

Minimum 60.00 2.00 30.00 Selected .70 1.00

Maximum 77.00 11.00 100.00 5 12.10 58.00

Explore Kelompok Sampel

Case Processing Summary

Kelompok

Sampel

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Umur

Responden

Cara Bolus 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%

Cara Kontinyu 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%

CCI Cara Bolus 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%

Cara Kontinyu 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%

BI Cara Bolus 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%

Cara Kontinyu 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%

CHS Cara Bolus 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%

Cara Kontinyu 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%

Laktat Cara Bolus 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%

Cara Kontinyu 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%

Procalsitonin Cara Bolus 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%

Cara Kontinyu 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%

Tests of Normality

Kelompok

Sampel

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Umur

Responden

Cara Bolus .198 22 .025 .897 22 .026

Cara Kontinyu .258 22 .001 .651 22 .000

CCI Cara Bolus .174 22 .083 .914 22 .056

Cara Kontinyu .212 22 .011 .886 22 .016

BI Cara Bolus .155 22 .184 .916 22 .063

Cara Kontinyu .254 22 .001 .853 22 .004

CHS Cara Bolus .275 22 .000 .863 22 .006

Cara Kontinyu .258 22 .001 .894 22 .023

Laktat Cara Bolus .207 22 .015 .857 22 .004

Cara Kontinyu .174 22 .081 .919 22 .073

Procalsitonin Cara Bolus .239 22 .002 .719 22 .000

Cara Kontinyu .287 22 .000 .598 22 .000

a. Lilliefors Significance

Correction

NPar Tests

Descriptive Statistics

N Mean

Std.

Deviation

Minim

um Maximum

Umur Responden 44 64.7727 5.22456 60.00 77.00

CCI 44 5.9318 2.00462 2.00 11.00

BI 44 79.4318 13.08363 30.00 100.00

CHS 44 3.55 1.150 1 5

Laktat 44 3.9068 2.73048 .70 12.10

Procalsitonin 44 7.9368 9.57475 1.00 58.00

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Umur

Responden CCI BI CHS Laktat

Procalsit

onin

N 44 44 44 44 44 44

Normal Parametersa Mean 64.7727 5.9318 79.4318 3.55 3.9068 7.9368

Std. Deviation 5.22456 2.00462 13.08363 1.150 2.73048 9.57475

Most Extreme Differences Absolute .202 .150 .222 .267 .218 .234

Positive .202 .115 .131 .142 .218 .229

Negative -.180 -.150 -.222 -.267 -.138 -.234

Kolmogorov-Smirnov Z 1.341 .995 1.472 1.773 1.448 1.555

Asymp. Sig. (2-tailed) .055 .276 .026 .004 .030 .016

a. Test distribution is Normal.

T-Test

Group Statistics

Kelompok Sampel N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Umur Responden Cara Bolus 22 66.2727 5.32900 1.13615

Cara Kontinyu 22 63.2727 4.77276 1.01756

CCI Cara Bolus 22 6.0455 2.21418 .47206

Cara Kontinyu 22 5.8182 1.81623 .38722

Independent Samples Test

Levene's Test

for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig.

(2-

taile

d)

Mean

Differen

ce

Std.

Error

Differen

ce

95% Confidence

Interval of the

Difference

Lower Upper

Umur

Responde

n

Equal variances

assumed 3.483 .069 1.967 42 .056 3.00000 1.52520

-

.07799 6.07799

Equal variances

not assumed 1.967 41.500 .056 3.00000 1.52520

-

.07909 6.07909

CCI Equal variances

assumed 1.116 .297 .372 42 .712 .22727 .61056

-

1.0048

9

1.45944

Equal variances

not assumed .372 40.453 .712 .22727 .61056

-

1.0062

9

1.46083

NPar Tests

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

BI 44 79.4318 13.08363 30.00 100.00

CHS 44 3.55 1.150 1 5

Laktat 44 3.9068 2.73048 .70 12.10

Procalsitonin 44 7.9368 9.57475 1.00 58.00

Kelompok Sampel 44 1.5000 .50578 1.00 2.00

Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok Sampel N Mean Rank Sum of Ranks

BI Cara Bolus 22 19.41 427.00

Cara Kontinyu 22 25.59 563.00

Total 44

CHS Cara Bolus 22 24.61 541.50

Cara Kontinyu 22 20.39 448.50

Total 44

Laktat Cara Bolus 22 22.89 503.50

Cara Kontinyu 22 22.11 486.50

Total 44

Procalsitonin Cara Bolus 22 16.73 368.00

Cara Kontinyu 22 28.27 622.00

Total 44

Test Statisticsa

BI CHS Laktat Procalsitonin

Mann-Whitney U 174.000 195.500 233.500 115.000

Wilcoxon W 427.000 448.500 486.500 368.000

Z -1.637 -1.142 -.200 -2.991

Asymp. Sig. (2-tailed) .102 .253 .842 .003

a. Grouping Variable: Kelompok Sampel

Crosstabs

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Jenis Kelamin * Kelompok Sampel 44 100.0% 0 .0% 44 100.0%

Vasepresor * Kelompok Sampel 44 100.0% 0 .0% 44 100.0%

ARF * Kelompok Sampel 44 100.0% 0 .0% 44 100.0%

Jenis Kelamin * Kelompok Sampel

Crosstab

Kelompok Sampel

Total Cara Bolus Cara Kontinyu

Jenis

Kelamin

Laki-laki Count 11 11 22

% within Kelompok Sampel 50.0% 50.0% 50.0%

Perempuan Count 11 11 22

% within Kelompok Sampel 50.0% 50.0% 50.0%

Total Count 22 22 44

% within Kelompok Sampel 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig.

(2-sided)

Exact Sig.

(2-sided)

Exact Sig.

(1-sided)

Pearson Chi-Square .000a 1 1.000

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .000 1 1.000

Fisher's Exact Test 1.000 .618

Linear-by-Linear Association .000 1 1.000

N of Valid Casesb 44

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11,00.

b. Computed only for a 2x2 table

Vasepresor * Kelompok Sampel

Crosstab

Kelompok Sampel

Total Cara Bolus Cara Kontinyu

Vasepresor Ya Count 4 6 10

% within Kelompok Sampel 18.2% 27.3% 22.7%

Tidak Count 18 16 34

% within Kelompok Sampel 81.8% 72.7% 77.3%

Total Count 22 22 44

% within Kelompok Sampel 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig.

(2-sided)

Exact Sig.

(2-sided)

Exact Sig.

(1-sided)

Pearson Chi-Square .518a 1 .472

Continuity Correctionb .129 1 .719

Likelihood Ratio .520 1 .471

Fisher's Exact Test .721 .360

Linear-by-Linear Association .506 1 .477

N of Valid Casesb 44

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,00.

b. Computed only for a 2x2 table

ARF * Kelompok Sampel

Crosstab

Kelompok Sampel

Total Cara Bolus Cara Kontinyu

ARF Ya Count 14 16 30

% within Kelompok Sampel 63.6% 72.7% 68.2%

Tidak Count 8 6 14

% within Kelompok Sampel 36.4% 27.3% 31.8%

Total Count 22 22 44

% within Kelompok Sampel 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig.

(2-sided)

Exact Sig.

(2-sided)

Exact Sig.

(1-sided)

Pearson Chi-Square .419a 1 .517

Continuity Correctionb .105 1 .746

Likelihood Ratio .420 1 .517

Fisher's Exact Test .747 .373

Linear-by-Linear Association .410 1 .522

N of Valid Casesb 44

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7,00.

b. Computed only for a 2x2 table

Correlations

Correlations

Procal

sitonin

Long

of Stay

Skor

ApacheII_pre

Skor

ApacgeII_post

Delta

ApacheII

Procalsitonin Pearson Correlation 1 .043 .099 -.202 .307*

Sig. (2-tailed) .780 .522 .189 .042

N 44 44 44 44 44

Long of Stay Pearson Correlation .043 1 .002 .270 -.288

Sig. (2-tailed) .780 .989 .077 .058

N 44 44 44 44 44

Skor ApacheII_pre Pearson Correlation .099 .002 1 .504** .373*

Sig. (2-tailed) .522 .989 .000 .013

N 44 44 44 44 44

Skor ApacgeII_post Pearson Correlation -.202 .270 .504** 1 -.614**

Sig. (2-tailed) .189 .077 .000 .000

N 44 44 44 44 44

Delta ApacheII Pearson Correlation .307* -.288 .373* -.614** 1

Sig. (2-tailed) .042 .058 .013 .000

N 44 44 44 44 44

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-

tailed).

MAIN ANALYSIS

Summarize

Case Processing Summary

Cases

Included Excluded Total

N Percent N Percent N Percent

Long of Stay * Kelompok Sampel 44 100.0% 0 .0% 44 100.0%

Skor ApacheII_pre * Kelompok

Sampel 44 100.0% 0 .0% 44 100.0%

Skor ApacgeII_post * Kelompok

Sampel 44 100.0% 0 .0% 44 100.0%

Delta ApacheII * Kelompok

Sampel 44 100.0% 0 .0% 44 100.0%

Case Summaries

Kelompok Sampel

Long of

Stay

Skor

ApacheII_pre

Skor

ApacgeII_post Delta ApacheII

Cara Bolus N 22 22 22 22

Mean 8.4545 22.0000 17.2727 4.7273

Std. Deviation 2.64984 6.97615 7.05206 6.88810

Median 8.0000 21.0000 17.5000 4.5000

Minimum 5.00 11.00 6.00 -7.00

Maximum 14.00 38.00 34.00 22.00

Cara Kontinyu N 22 22 22 22

Mean 6.6364 20.9545 9.2727 11.6818

Std. Deviation 2.73505 4.96154 4.33350 3.95675

Median 6.0000 21.0000 9.0000 12.5000

Minimum 2.00 13.00 3.00 5.00

Maximum 13.00 30.00 19.00 19.00

Total N 44 44 44 44

Mean 7.5455 21.4773 13.2727 8.2045

Std. Deviation 2.81569 6.00577 7.05910 6.57189

Median 7.0000 21.0000 11.0000 9.0000

Minimum 2.00 11.00 3.00 -7.00

Maximum 14.00 38.00 34.00 22.00

Explore Kelompok Sampel

Case Processing Summary

Kelompok Sampel

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Long of Stay Cara Bolus 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%

Cara Kontinyu 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%

Skor ApacheII_pre Cara Bolus 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%

Cara Kontinyu 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%

Skor ApacgeII_post Cara Bolus 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%

Cara Kontinyu 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%

Delta ApacheII Cara Bolus 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%

Cara Kontinyu 22 100.0% 0 .0% 22 100.0%

Tests of Normality

Kelompok Sampel

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Long of Stay Cara Bolus .191 22 .035 .904 22 .037

Cara Kontinyu .174 22 .080 .915 22 .059

Skor ApacheII_pre Cara Bolus .216 22 .009 .921 22 .080

Cara Kontinyu .114 22 .200* .965 22 .602

Skor ApacgeII_post Cara Bolus .117 22 .200* .967 22 .649

Cara Kontinyu .128 22 .200* .947 22 .281

Delta ApacheII Cara Bolus .073 22 .200* .973 22 .780

Cara Kontinyu .130 22 .200* .956 22 .412

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

NPar Tests

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

Long of Stay 44 7.5455 2.81569 2.00 14.00

Skor ApacheII_pre 44 21.4773 6.00577 11.00 38.00

Skor ApacgeII_post 44 13.2727 7.05910 3.00 34.00

Delta ApacheII 44 8.2045 6.57189 -7.00 22.00

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Long of

Stay

Skor

ApacheII_pre

Skor

ApacgeII_post

Delta

ApacheII

N 44 44 44 44

Normal Parametersa Mean 7.5455 21.4773 13.2727 8.2045

Std. Deviation 2.81569 6.00577 7.05910 6.57189

Most Extreme Differences Absolute .168 .150 .149 .101

Positive .168 .150 .149 .072

Negative -.092 -.067 -.073 -.101

Kolmogorov-Smirnov Z 1.112 .994 .988 .671

Asymp. Sig. (2-tailed) .168 .276 .283 .758

a. Test distribution is Normal.

T-Test

Group Statistics

Kelompok Sampel N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Long of Stay Cara Bolus 22 8.4545 2.64984 .56495

Cara Kontinyu 22 6.6364 2.73505 .58312

Skor ApacheII_pre Cara Bolus 22 22.0000 6.97615 1.48732

Cara Kontinyu 22 20.9545 4.96154 1.05780

Skor ApacgeII_post Cara Bolus 22 17.2727 7.05206 1.50351

Cara Kontinyu 22 9.2727 4.33350 .92391

Delta ApacheII Cara Bolus 22 4.7273 6.88810 1.46855

Cara Kontinyu 22 11.6818 3.95675 .84358

Independent Samples Test

Levene's Test

for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig.

(2-

tailed)

Mean

Differen

ce

Std.

Error

Differen

ce

95% Confidence

Interval of the

Difference

Lower Upper

Long of

Stay

Equal

variances

assumed

.050 .824 2.239 42 .030 1.81818 .81190 .17969 3.45667

Equal

variances not

assumed

2.239 41.958 .030 1.81818 .81190 .17964 3.45672

Skor

ApacheII_

pre

Equal

variances

assumed

.778 .383 .573 42 .570 1.04545 1.82512 -2.63779 4.72870

Equal

variances not

assumed

.573 37.916 .570 1.04545 1.82512 -2.64958 4.74049

Skor

ApacgeII_

post

Equal

variances

assumed

4.464 .041 4.533 42 .000 8.00000 1.76469 4.43871 11.56129

Equal

variances not

assumed

4.533 34.880 .000 8.00000 1.76469 4.41705 11.58295

Delta

ApacheII

Equal

variances

assumed

4.838 .033 -4.106 42 .000 -6.95455 1.69359 -10.37236 -3.53673

Equal

variances not

assumed

-4.106 33.498 .000 -6.95455 1.69359 -10.39824 -3.51085

T-Test _ Cara Bolus

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Pair 1 Skor ApacheII_pre 22.0000 22 6.97615 1.48732

Skor ApacgeII_post 17.2727 22 7.05206 1.50351

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1 Skor ApacheII_pre & Skor

ApacgeII_post 22 .518 .014

Paired Samples Test

Paired Differences

t df

Sig.

(2-

tailed) Mean

Std.

Deviation

Std.

Error

Mean

95% Confidence

Interval of the

Difference

Lower Upper

Pair 1 Skor ApacheII_pre -

Skor ApacgeII_post 4.72727 6.88810 1.46855 1.67326 7.78128 3.219 21 .004

T-Test

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation

Std. Error

Mean

Pair 1 Skor ApacheII_pre 20.9545 22 4.96154 1.05780

Skor ApacgeII_post 9.2727 22 4.33350 .92391

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1 Skor ApacheII_pre &

Skor ApacgeII_post 22 .645 .001

Paired Samples Test

Paired Differences

t df

Sig. (2-

tailed) Mean

Std.

Deviatio

n

Std.

Error

Mean

95% Confidence

Interval of the

Difference

Lower Upper

Pair 1 Skor ApacheII_pre -

Skor ApacgeII_post 11.68182 3.95675 .84358 9.92749 13.43614 13.848 21 .000