PENGARUH MEDIA TANAM DAN ZAT PENGATUR...
-
Upload
trinhkhanh -
Category
Documents
-
view
235 -
download
12
Transcript of PENGARUH MEDIA TANAM DAN ZAT PENGATUR...
PENGARUH MEDIA TANAM DAN ZAT PENGATUR
TUMBUH SITOKININ (BA) TERHADAP PERBANYAKAN
TUNAS PISANG RAJA BULU (Musa paradisiaca L. ) DARI
CACAHAN BONGGOL
GUSTI EMAN AYU SASMITA JATI
A240800185
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
ABSTRACT
Banana is the important and the highest production of Indonesian fruits.
The propagation of banana using corm pieces known as the cheap and effective
method, that also gives diseases resistance to shoots. Furthermore, this research
aimed to determine the effect of growing media types and doses of BA to increase
the healthy shoots and to make the propagation of Raja bulu banana from corm
pieces faster. Research used Randomize Complete Block Design (RKLT) with
two factors. The first factor were cytokines (BA) with four dosages (A1:10 ppm,
A2:10 ppm, A3:20 ppm, and A4:30 ppm). The second factor was growing media
composition consisting of B1: soil, B2: husk charcoal, B3: husk charcoal + soil,
B4: and husk charcoal + cow manure. The results showed that no interaction
between media and cytocines, except from dead corm percentage at 9 weeks after
planting. The media's treatment only affected the variable number of buds on the
hump, number of roots, number of root corms, number of roots of the root corms,
and the dead corm percentage. The most number of buds on the hump was
obtained from the husk charcoal + cow manure media at 2 weeks after planting.
The highest of roots on 9 weeks after planting, the highest of root corms on
7 weeks after planting, and the highest of roots of the root corms on 9 weeks after
planting were obtained from the husk charcoal media. The highest dead corm
percentage was obtained from the soil media at 9 weeks after planting. Cytokines
BA did have no significant influence to plantain bud multiplication of Raja bulu
banana from corm pieces.The pests and diseases in the soil were reduced by using
of husk charcoal + cow manure media. Hence, it was suggested to use husk
charcoal + cow manure media without application of cytokines to produce Raja
bulu banana’s shoots.
RINGKASAN
GUSTI EMAN AYU SASMITA JATI. Pengaruh Media Tanam dan Zat
Pengatur Tumbuh Sitokinin (BA) terhadap Perbanyakan Tunas Pisang Raja
Bulu (Musa Paradisiaca L.) dari Cacahan Bonggol. (Dibimbing oleh Dr. Ir.
SOBIR, Msi dan ENDANG GUNAWAN, SP, MSi)
Buah-buahan merupakan komoditas penting untuk memenuhi kebutuhan
gizi masyarakat. Buah pisang memiliki tingkat permintaan yang tinggi baik di
dalam maupun di luar negeri. Kebutuhan akan tersedianya bibit pisang yang
berkualitas dalam jumlah banyak, murah, cepat dan dapat diaplikasikan oleh
petani menuntut adanya teknologi budidaya yang dapat membantu dalam upaya
pembibitan tanaman pisang. Beberapa teknologi terdahulu seperti pembibitan
konvensional dengan anakan dan kultur jaringan memiliki beberapa kelemahan
sehingga perlu dikembangkan teknologi budidaya yang dapat mengatasi
kelemahan-kelemahan tersebut. Perbanyakan bibit pisang menggunakan cacahan
bonggol dengan bantuan zat pengatur tumbuh dan media tanam yang sesuai
menjadi salah satu teknologi yang sedang dikembangkan
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan jenis media, dosis sitokinin BA,
dan interaksi keduanya dalam perbanyakan pisang Raja bulu dari cacahan bonggol
untuk menghasilkan bibit yang sehat dalam jumlah banyak, cepat, murah, dan
dapat diaplikasikan oleh petani. Penelitian dilaksanakan di Kebun Penelitian IPB
Tajur, Bogor, selama 3 bulan, yaitu pada bulan April 2012 – Juli 2012.
Penelitian menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT)
dua faktor, yaitu: pemberian BA dan jenis media tanam dengan masing-masing
empat taraf perlakuan sehingga akan didapatkan 16 kombinasi perlakuan. Taraf
media tanam terdiri dari tanah (B1), arang sekam (B2), arang sekam + tanah (B3),
dan arang sekam + pupuk kandang sapi (B4).Taraf dosis BA, yaitu: 0 ppm (A1),
10 ppm (A2), 20 ppm (A3), dan 30 ppm (A4). Setiap perlakuan terdiri atas tiga
ulangan sehingga terdapat 48 satuan unit penelitian.
Pengamatan dilakukan dari 2-33 HST (1–9 MST) dengan mengamati
5 tanaman contoh per unit perlakuan. Peubah yang diamati yaitu: jumlah tunas
tiap bonggol, jumlah bonggol bertunas, jumlah tunas dari bonggol bertunas,
jumlah tunas yang dapat dipanen, jumlah tunas majemuk, tinggi bibit, jumlah
daun bibit, jumlah akar, jumlah bonggol berakar, jumlah akar dari bonggol
berakar, waktu muncul tunas ke permukaan, periode pertumbuhan tunas hingga
panen, waktu muncul akar, dan persentase bonggol mati.
Hasil penelitian ini didapatkan bahwa tidak ada interaksi antara media dan
sitokinin, kecuali pada persentase bonggol mati. Perlakuan media tanam
memberikan pengaruh yang nyata terhadap perbanyakan tunas pisang Raja bulu
dari cacahan bonggol. Perlakuan media hanya berpengaruh pada peubah jumlah
tunas di bonggol, jumlah akar, jumlah bonggol berakar, jumlah akar dari bonggol
berakar, dan persentase bonggol mati. Sitokinin BA tidak memberikan pengaruh
terhadap perbanyakan tunas pisang Raja bulu dari cacahan bonggol.
Hasil uji lanjut BNT untuk interaksi perlakuan menghasilkan persentase
bonggol mati tertinggi pada perlakuan sitokinin BA 10 ppm + media tanah
terhadap jumlah bonggol mati pada 9 MST, yaitu sebanyak 10%. Perlakuan media
terhadap jumlah tunas di bonggol menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang
nyata pada taraf 1% untuk 2 MST. Jumlah tunas rata-rata di bonggol yang
tertinggi diperoleh dari perlakuan media arang sekam + pupuk kandang sapi, yaitu
sebanyak 0.3 pada 2 MST, sementara media media arang sekam dan media arang
sekam + tanah memberikan jumlah tunas rata-rata di bonggol yang terendah, yaitu
0.05 pada 2 MST. Jumlah akar rata-rata yang tertinggi diperoleh dari perlakuan
media arang sekam, yaitu sebanyak 3.117 pada 9 MST, sementara media tanah
memberikan jumlah akar rata-rata yang terendah, yaitu 1.833 pada 9 MST. Media
arang sekam memberikan hasil bonggol berakar dan jumlah akar dari bonggol
berakar tertinggi, sementara media tanah memberikan hasil terendah pada peubah
tersebut. Persentase bonggol mati rata-rata yang tertinggi diperoleh dari perlakuan
media tanah, yaitu sebanyak 5.417% pada 9 MST, sementara media arang sekam
dan arang sekam + pupuk kandang sapi memberikan persentase bonggol mati
rata-rata yang terendah, yaitu 1.250% pada 9 MST.
Faktor lain yang ikut mempengaruhi hasil penelitian seperti adanya hama
dan penyakit yang menyerang dan faktor lingkungan yang mempengaruhi
perkembangan tanaman. Media tanah menghasilkan jumlah tunas di bonggol
cukup baik, namun rawan akan hama dan penyakit yang ada di tanah. Media arang
sekam baik untuk perakaran tetapi masih kurang kandungan hara. Media
campuran tanah + arang memberikan hasil yang kurang optimum untuk jumlah
akar dan tunas di bonggol. Media campuran arang sekam + pupuk kandang sapi
merupakan media terbaik untuk perbanyakan pisang Raja bulu dari cacahan
bonggol karena menghasilkan jumlah akar dan jumlah tunas yang baik, selain itu
media ini juga dapat membantu meminimumkan kerusakan akibat penularan
penyakit tular tanah.
i
PENGARUH MEDIA TANAM DAN ZAT PENGATUR
TUMBUH SITOKININ (BA) TERHADAP PERBANYAKAN
TUNAS PISANG RAJA BULU (Musa paradisiaca L.) DARI
CACAHAN BONGGOL
Skripsi sebagai salah satu syarat
Untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
GUSTI EMAN AYU SASMITA JATI
A240800185
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
ii
Pembimbing I
Prof. Dr. Ir. Sobir, MSi
NIP. 19640512 198903 1 002
Pembimbing II
Endang Gunawan, SP, MSi
NIP. 19770314 200810 1 001
Judul : PENGARUH MEDIA TANAM DAN ZAT PENGATUR
TUMBUH SITOKININ (BA) TERHADAP
PERBANYAKAN TUNAS PISANG RAJA BULU
(Musa paradisiaca L.) DARI CACAHAN BONGGOL
Nama : GUSTI EMAN AYU SASMITA JATI
NIM : A24080185
Menyetujui,
Mengetahui,
Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura
Fakultas Pertanian IPB
Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr
NIP. 19611101 198703 1 003
Tanggal Lulus :
iii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur pada tanggal 01
Agustus 1989. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan
Almarhum Bapak Cecep Yanurianto dan Ibu Niluh Chandra Widjayati.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Sidokumpul II,
Gresik pada tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 01
Gresik selama tiga tahun dan menamatkan pendidikan menengah atas di SMA
Negeri 01 Gresik pada tahun 2008. Kemudian pada tahun yang sama penulis
diterima sebagai mahasiswa jurusan Agronomi dan Hortikultura Fakultas
Pertanian di Institut Pertanian Bogor pada tahun akademik 2008/2009 melalu jalur
SNMPTN.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai organisasi yang
dimulai sejak TPB sebagai anggota organisasi daerah (OMDA) Himasurya Plus
(Himpunan Mahassiwa Surabaya Gresik Mojokerto dan Sidoarjo) dan anggota
organisasi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Panahan. Pada tahun kedua di IPB,
penulis juga berkesempatan aktif sebagai sekretaris umum selama 2 tahun
berturut-turut pada organisasi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Di departemen
penulis bergabung dengan AGROHOTPLATE sebagai anggota divisi PSDM dan
menjadi penerima hibah Program Kreativitas Mahasiswa di bidang percobaan
pada tahun 2010/2011. Penulis juga menjadi asisten praktikum biologi bagi
mahasiswa TPB pada semester ganjil 2010/2011. Selain itu penulis aktif dalam
berbagai kegiatan kepanitiaan yang diadakan oleh departemen, BEM A, dan
mengikuti berbagai seminar serta mengajar sebagai guru bagi siswa SD-SMP di
luar kampus.
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat
dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir berupa skripsi yang ber-
judul “Pengaruh Media Tanam dan Zat Pengatur Tumbuh Sitokinin (BA)
terhadap Perbanyakan Tunas Pisang Raja Bulu (Musa Paradisiaca L.) dari
Cacahan Bonggol” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Pertanian di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Istitut
Pertanian Bogor.
Penulis bermaksud menyampaikan terima kasih kepada:
1. Mama, Almarhum Ayah, Sita, Hera, dan seluruh keluarga yang telah memberi
semangat dan doa yang tiada henti-hentinya kepada penulis.
2. Dr. Ir. Sobir, MSi dan Endang Gunawan, SP, MSi. Selaku dosen pembimbing
skripsi yang telah memberikan saran, bimbingan, dan arahan selama proses
pembuatan skripsi.
3. Ir. Megayani S. Rahayu, MS selaku dosen pembimbing akademik.
4. Dr. Ni Made Armini, MS selaku dosen penguji sidang.
5. Dr Ir Dhamayanti Adidharma selaku dosen PTN yang membantu kelancaran
pembutan skripsi.
6. SEAMEO BIOTRAP dan PKHT atas izin percobaan dan bantuan fasilitas
selama penulis melakukan percobaan, tidak lupa penulis ucapkan terima kasih
terutama kepada Bapak Ibram, Mas Awang, Bu Yuyun, dan Mas Agus yang
telah banyak membantu selama pelaksanaan percobaan di lapang.
7. Keluarga besar Departemen Agronomi dan Hortikultura terutama dosen yang
telah memberikan pelajaran berharga selama penulis melaksanakan studi di
IPB.
8. Teman-teman seperjuangan di lapang: Firza dan Ana, terima kasih atas
bantuan, semangat, kebersamaan, kekompakannya, suka dan dukanya.
9. Sahabat-sahabatku: Ayu, Imanda, Agis, Fani, Rizqa, Desy, Dara, Juju, Lulu,
Sailormoon Teams (Yunita, Riany, Indra, Gita, Indah, Akfia, Indira, dan
Febry), Meyrinda, Gita, Nia, Fira, Fathin, Alma, Septy, Ray, Sule, Hilal,
Yusak, Aries, Pipit, teman-teman Indigenous 45 dan AGH seluruhnya,
v
keluarga besar UKM PANAHAN IPB, teman-teman OMDA HIMASURYA+,
teman-teman kostan sekalian (special:Mbk Alisa, Mbk Ade, Mbk Wely dan
Wulan), serta seluruh bimbingan Dr. Ir. Sobir, MSi dan Endang Gunawan, SP,
MSi.
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan khususnya di bidang pertanian.
Bogor, 9 Januari 2013
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. viii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... x
PENDAHULUAN .................................................................................. 1
Latar Belakang ............................................................................ 1
Tujuan Percobaan ........................................................................ 3
Hipotesis ...................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 4
Tanaman Pisang .......................................................................... 4
Pisang Rajabulu ........................................................................... 5
Syarat tumbuh ............................................................................. 5
Pembibitan ................................................................................... 5
Perbanyakan dengan Bonggol (Mini Bit) .................................... 6
Media Tanam ............................................................................... 6
Zat Pengatur Tumbuh Sitokinin .................................................. 8
BAHAN DAN METODE ....................................................................... 11
Tempat dan Waktu ...................................................................... 11
Bahan dan Alat ............................................................................ 11
Metode Percobaan ....................................................................... 11
Pelaksanaan Percobaan ............................................................... 12
Pengamatan ................................................................................. 14
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 16
Hasil ............................................................................................ 16
Pembahasan ................................................................................. 30
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 41
Kesimpulan ................................................................................. 41
Saran ........................................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 42
LAMPIRAN ............................................................................................ 48
vii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh media dan sitokinin
terhadap pertumbuhan dan perkembangan bibit pisang .............. 19
2. Pengaruh jenis media terhadap rata-rata jumlah tunas di
cacahan bonggol pisang pada 2 minggu setelah tanam............... 20
3. Pengaruh jenis media terhadap rata-rata jumlah akar
cacahan bonggol pisang pada 9 minggu setelah tanam............... 26
4. Interaksi perlakuan antara jenis media dan konsentrasi
sitokinin terhadap persentase cacahan bonggol pisang mati
pada 9 minggu setelah tanam ...................................................... 29
viii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Struktur kimia BAP ..................................................................... 10
2. Anakan dan bonggol pisang yang digunakan dalam percobaan . 13
3. Hama dan penyakit yang menyerang cacahan bonggol dan
bibit pisang selama percobaan .................................................... 18
4. Pertumbuhan rata-rata jumlah tunas di cacahan
bonggol pisang periode 1-9 MST ............................................... 21
5. Total jumlah cacahan bonggol pisang bertunas periode
1-9 MST ...................................................................................... 21
6. Rata-rata jumlah tunas dari cacahan bonggol pisang
bertunas pada periode 1-9 MST .................................................. 21
7. Rata-rata jumlah tunas panen dari cacahan bonggol pisang
periode 1-9 MST ......................................................................... 22
8. Tunas tunggal dan tunas majemuk .............................................. 23
9. Rata-rata jumlah tunas majemuk di cacahan bonggol
pisang periode 1-9 MST .............................................................. 23
10. Rata-rata tinggi bibit pisang dari cacahan bonggol pisang
periode 1-9 MST ......................................................................... 24
11. Rata-rata jumlah daun bibit pisang dari cacahan bonggol
periode 1-9 MST ......................................................................... 25
12. Rata-rata jumlah akar cacahan bonggol pisang periode
1-9 MST ...................................................................................... 26
13. Pengaruh media terhadap total jumlah cacahan bonggol
pisang berakar periode 1-9 MST ................................................. 26
14. Jumlah total cacahan bonggol pisang berakar periode 1-9 MST 27
15. Pengaruh media terhadap rata-rata jumlah akar dari cacahan
bonggol pisang berakar periode 1-9 MST .................................. 27
16. Rata-rata jumlah akar dari cacahan bonggol pisang berakar
periode 1-9 MST ........................................................................ 27
17. Rata-rata waktu muncul tunas, periode pertumbuhan tunas
hingga panen, dan waktu muncul akar pada cacahan bongggol
pisang .......................................................................................... 28
ix
18. Persentase total cacahan bonggol pisang mati periode
1-9 MST ...................................................................................... 29
19. Rayap Macrotermes sp. Family Termitidae, rayap pada
cacahan bonggol, dan Gejala bonggol berlubang dan rapuh
oleh rayap selama percobaan ...................................................... 40
x
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Layout percobaan pengaruh media tanam dan zat pengatur
tumbuh sitokinin (BA) terhadap perbanyakan tunas pisang
Raja bulu dari cacahan bonggol .................................................. 49
2. Rata-rata suhu dan kelembaban di Kota Bogor selama bulan
April – Juni 2012 ........................................................................ 50
3. Pelaksanaan percobaan pengaruh media tanam dan zat
pengatur tumbuh sitokinin (BA) terhadap perbanyakan tunas
pisang Raja bulu dari cacahan bonggol ...................................... 50
4. Pemanenan bibit pisang dari cacahan bonggol ............................ 51
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Buah-buahan adalah salah satu kelompok komoditas pertanian yang penting
di Indonesia. Buah-buahan memiliki tingkat permintaan yang tinggi. Permintaan
domestik terhadap komoditas buah-buahan cukup tinggi, ditandai dengan
banyaknya buah-buahan impor yang banyak di pasar modern maupun tradisional
Indonesia. Nilai ekspor buah-buahan pada tahun 2008 menunjukkan kenaikan
ekspor sebesar 10.81% (BPS, 2008). Perkembangan ekspor buah-buahan
Indonesia pada tahun 2011 dapat mencapai 66,777.905 ton (BPS, 2011). Pisang
merupakan salah satu komoditas tanaman buah dengan tingkat permintaan yang
tinggi karena memiliki banyak manfaat. Konsumsi buah pisang penduduk
Indonesia pada tahun 2008 baru mencapai 7,728 kg per kapita setahun (BPS, 2008)
sementara jumlah impor buah pisang ke Indonesia pada tahun 2005 rata-rata dapat
mencapai 590,364 ton (BPS, 2005).
Tingkat produksi buah pisang di Indonesia berada di atas komoditas buah-
buahan lainnya. Produksi pisang pada tahun 2010 mencapai 5,755,073 ton. Hasil
produksi ini lebih rendah daripada produksi tahun 2009 yang dapat mencapai
6,373,533 ton. Dibandingkan dengan produksi buah-buahan lain di Indonesia pada
tahun 2010, pisang menempati urutan pertama diikuti buah jeruk (2,028,904 ton),
nanas (1,406,445 ton), dan mangga (1,287,287 ton) (BPS, 2010). Tingkat
produksi yang tinggi ini terdiri dari berbagai macam jenis pisang yang ada di
Indonesia.
Produktivitas pisang yang dikembangkan di masyarakat masih rendah,
seperti produktivitas buah pisang di Lampung hanya 10-15 ton/ha sementara
potensi produktivitasnya dapat mencapai 35-40 ton/ha. Kendala produksi pisang
tersebut dapat disebabkan oleh teknik budidaya yang kurang tepat serta tingginya
gangguan hama dan penyakit. Kendala tersebut dapat diatasi dengan penerapan
teknologi teknik budidaya, penggunaan varietas unggul dan perbaikan varietas
(Mulyani et al., 2008). Produksi buah pisang akan terus ditingkatkan oleh
Departemen Pertanian dengan mengadakan kegiatan pengembangan kawasan
tanaman buah pada tahun 2012 (Deptan, 2012), sehingga perlu adanya pengadaan
2
bibit pisang bernilai ekonomi tinggi yang sehat dalam jumlah banyak, cepat,
murah, dan dapat dikembangkan oleh petani.
Salah satu teknologi teknik budidaya yang dikembangkan untuk
meningkatkan produktivitas pisang adalah penggunaan bibit unggul. Masyarakat
pada umumnya menggunakan anakan pisang untuk perbanyakan tetapi
mendapatkan bibit yang sehat tidak mudah karena ketersediaannya yang terbatas.
Kultur jaringan muncul sebagai solusi pembibitan konvensional yang dapat
menghasilkan bibit unggul bebas hama dan penyakit dengan jumlah banyak dalam
kurun waktu tertentu. Pembibitan pisang melalui kultur jaringan ternyata memiliki
kelemahan, yaitu adanya variasi somaklonal yang sering muncul, harga bibit
mahal, dan tidak banyak petani yang mampu melakukannya.
Perbanyakan pisang dengan cacahan atau pecahan bonggol merupakan salah
satu teknologi pembibitan yang mulai banyak dikembangkan. Kelebihan bonggol
pisang antara lain, dapat menghasilkan bibit pisang dengan jumlah yang lebih
banyak serta lebih sehat dibandingkan dengan anakan pisang. Bonggol pisang
juga lebih murah dan mudah diaplikasikan ke petani daripada penggunaan teknik
kultur jaringan. Pencacahan bonggol diharapkan dapat memecah dormansi mata
tunas sehingga lebih banyak tunas dapat dihasilkan dari satu bonggol. Percobaan
dalam pembibitan pisang menggunakan cacahan bonggol masih tergolong sedikit,
apalagi penggunaannya dalam kombinasi jenis media tanam dan zat pengatur
tumbuh.
Media tanam merupakan salah satu faktor penentu kualitas pertumbuhan
tanaman. Media tanam yang baik dapat memberikan cukup hara, air, udara, dan
tempat bertumpunya akar dengan baik. Tanah adalah media tanam bagi tumbuhan
darat (Hardjowigeno, 2010). Arang sekam bersifat remah dan berpori sehingga
baik untuk absorbsi air maupun sinar matahari karena berwarna hitam. Pupuk
kandang sapi merupakan bahan organik yang baik untuk menambah hara,
memperbaiki sifat fisik tanah, dan biologi tanah (Hartatik dan Widowati, 2006).
Beberapa percobaan menyebutkan bahwa pemberian berbagai zat pengatur
tumbuh (ZPT) penting dalam perbanyakan tanaman karena mampu merangsang
pembentukan akar maupun tunas (Sitawati, 1989). Pemberian ZPT ini dapat
diaplikasikan pada kondisi laboratorium maupun lapangan. ZPT yang digunakan
3
untuk menumbuhkan tunas adalah dari golongan sitokinin. Sitokinin yang paling
banyak digunakan dalam kultur jaringan, yaitu: kinetin, benziladenin (BA atau
BAP), dan zeatin (Zulkarnain, 2009).
Tujuan Percobaan
Menentukan jenis media, dosis sitokinin BA, dan interaksi antar keduanya
dalam perbanyakan pisang Raja bulu dari cacahan bonggol untuk menghasilkan
bibit sehat dalam jumlah banyak, cepat, murah, dan dapat diaplikasikan oleh
petani.
Hipotesis
1. Terdapat jenis media tanam terbaik untuk perbanyakan pisang Raja bulu dari
cacahan bonggol.
2. Terdapat dosis BA terbaik untuk meningkatkan jumlah dan kecepatan tumbuh
tunas pisang Raja bulu dari cacahan bonggol.
3. Terdapat satu kombinasi perlakuan terbaik antara media tanam dan dosis BA
untuk perbanyakan pisang Raja bulu dari cacahan bonggol.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman pisang
Pisang adalah tanaman buah berupa herba yang berasal dari kawasan di Asia
Tenggara (termasuk Indonesia). Tanaman ini kemudian menyebar ke Afrika
(Madagaskar), Amerika Selatan dan Tengah (Menegristek, 2000). Nenek moyang
pisang adalah M. Acuminata Colla, diploid dan berbiji yang merupakan nenek
moyang dari segala jenis pisang meja yang ada sekarang. Terjadi persilangan
secara alami terus-menerus dengan jenis pisang M. Balbasiana Colla yang juga
diploid. Persilangan tersebut membentuk pisang jenis baru (tetraploid, triploid,
dan sebagainya) yang lebih tahan panas dan beberapa penyakit. Taksonomi pisang
yang dikenal sekarang masih belum jelas karena kebanyakan merupakan hasil
hibrida dari M. Acuminata Colla dengan kromosom A dan M. Balbasiana Colla
dengan kromosom B (Ashari, 2006).
Menurut Simmonds (1959) tanaman pisang diklasifikasikan sebagai berikut:
divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, keluarga
Musaceae, genus Musa, dan spesies Musa spp. Genus Musa terbagi menjadi
empat golongan berdasarkan lokasi, yaitu Australimusa, Callimusa, Eumusa, dan
Rhodochlamys. Australimusa memiliki jumlah kromosom sepuluh, tersebar di
daerah Queensland hingga Filipina, terdapat sekitar lima hingga enam spesies
yang kebanyakan dimanfaatkan untuk diambil serat dan buahnya. Callimusa
memiliki jumlah kromosom yang sama dengan Australimusa, tersebar di daerah
dataran Indochina hingga Indonesia, terdapat sekitar lima hingga enam spesies
yang kebanyakan dimanfaatkan sebagai ornamental atau pisang hias. Eumusa
memiliki jumlah kromosom sebelas, tersebar di daerah India Selatan hingga
Jepang dan Samoa, terdapat sekitar sembilan hingga sepuluh spesies yang
kebanyakan dimanfaatkan untuk disayur, diambil buah, dan seratnya.
Rhodochlamys memiliki jumlah kromosom yang sama dengan Eumusa, tersebar
di daerah india hingga Indochina, terdapat sekitar lima hingga enam spesies yang
kebanyakan pemanfaatannya sama dengan Callimusa sebagai pisang hias.
5
Pisang Raja bulu
Pisang Raja bulu merupakan jenis pisang yang bernilai ekonomi tinggi.
Menurut PKBT (2005) pisang Raja bulu merupakan jenis pisang dengan genom
AAB. Bentuk buahnya silindris melengkung dengan warna daging buah kuning
kemerahan. Umur tanam hingga panen mencapai 10-12 bulan sementara umur
berbunga hingga panennya 2.5-3 bulan. Bobot tandan berkisar 10-12.5 kg, jumlah
sisir/tandang 5-7 sisir, dan rata-rata jumlah buah/sisir 14-15 buah. Panjang buah
dapat mencapai 12-17 cm, bobot 170-180 gram/buah dengan diameter buah ± 4.40
cm. Derajad kemanisan mencapai 28-30obrix dengan pH 5.2-5.4 dan indeks
glikemiks 54%.
Syarat tumbuh
Pisang membutuhkan iklim panas terutama di daerah tropis. Tanaman
pisang membutuhkan matahari penuh dan peka terhadap angin kencang. Curah
hujan bulanan yang dibutuhkan antara 200-220 mm. Kapasitas lapang tidak boleh
di bawah 60-70% sehingga pengairan dianjurkan pada musim kemarau. Tanah
yang baik adalah tanah gembur, kaya bahan organik (3%), berdrainase baik, dan
pH antara 4.5-8.5 sedangkan pH optimumnya 6.0 (Ashari, 2006).
Pembibitan
Salah faktor yang menentukan keberhasilan usaha tani pisang adalah
tersedianya bibit yang berkualitas, yaitu bibit yang bebas hama penyakit dan
sehat. Jumlah bibit juga harus mencukupi dan jenis pisangnya sesuai dengan yang
diinginkan. Untuk menyediakan bibit pisang adalah dengan memanfaatkan
rumpun pisang sehat. Bibit bisa diperoleh dari tunas, anakan, bonggol dan bit
yang diperbanyak secara tradisional maupun kultur jaringan. Teknologi
perbanyakan dengan kultur jaringan hanya dapat dilakukan oleh perusahaan besar
karena biaya investasi awal yang sangat mahal dan belum dapat memenuhi
kebutuhan varietas lokal yang beragam jumlahnya. Sehingga pembibitan secara
6
sederhana dipandang masih layak diterapkan. Ada 3 macam cara perbanyakan
bibit pisang secara sederhana dengan memanfaatkan bagian rumpun pisang, yaitu:
perbanyakan pisang dengan anakan, perbanyakan pisang dengan bit
anakan/minibit, dan bonggol dari tanaman yang telah dipanen
(Mulyani et al., 2008).
Perbanyakan dengan bonggol (mini bit)
Pada produksi buah pisang hanya boleh disisakan dua anakan dalam
budidayanya, sehingga anakan lain yang dibuang, bonggolnya dapat digunakan
untuk perbanyakan bibit. Perbanyakan dengan bonggol (mini bit) merupakan
perbanyakan pisang yang didapatkan dari anakan yang telah dipisahkan dari
rumpun kemudian diinduksi lebih dahulu untuk menghasilkan tunas aksilar (tunas
samping). Titik tumbuh anakan dipotong untuk menghilangkan dominasi apikal
sehingga merangsang pertumbuhan mata tunas samping. Anakan ini kemudian
disebut bonggol yang akan ditanam hingga tumbuh tunas di permukaannya.
Tunas-tunas baru hasil cacahan bonggol akan dipisahkan dan dipindahkan pada
polybag dengan media tanam yang kemudian diletakkan di bawah naungan hingga
siap dipasarkan (Santoso, 2008).
Media tanam
Media tanaman adalah media tumbuh bagi tanaman yang dapat memasok
sebagian unsur-unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Media tanaman (media
tumbuh) merupakan salah satu unsur penting dalam menunjang pertumbuhan
tanaman secara baik. Sebagian besar unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman
didapatkan melalui media tanaman yang selanjutnya diserap oleh perakaran dan
digunakan untuk proses fisiologis tanaman (BBPP, 2010). Media memiliki tiga
fungsi yang primer: pertama untuk menyediakan unsur hara, kedua menyimpan
air, dan ketiga sebagai tempat berpegang dan bertumpunya akar sehingga tanaman
tetap tegak. Media tanam yang baik menentukan kualitas tanaman. Dengan media
7
perakaran yang baik, dapat diwujudkan bibit tanaman yang juga baik
(Harjadi, 1996).
Syarat media tanam yang baik antara lain: (1) memiliki sifat fisik remah
untuk memudahkan akar berkembang serta untuk aerasi dan drainase yang baik;
(2) tidak mengandung bahan-bahan beracun; (3) tingkat kemasaman sesuai
dengan toleransi tanaman; (4) tidak mengandung hama dan penyakit; (5) memiliki
daya pegang air yang cukup, selain itu media tanam yang baik juga harus mudah
didapat, murah, dan tidak berdampak negatif pada tanaman (Ashari, 2006).
Tanah
Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat mendukung
pertumbuhan tanaman, sehingga merupakan alat produksi pertanian. Untuk
menjamin pertumbuhan yang maksimal, diperlukan keseimbangan, faktor-faktor
pertumbuhan tanaman yang terdapat pada tanah, mineralogi tanah, mikrobiologi
tanah, kesuburan tanah, genesa klasifikasi tanah, morfologi tanah, konservasi
tanah, dll (Hidayat, 2001). Tanah berasal dari hasil pelapukan batuan keras yang
melapuk atau dari bahan yang lebih lunak seperti abu vulkan atau bahan endapan
baru. Bahan-bahan tersebut bercampur dengan sisa-sisa bahan organik dan
organisme yang hidup di atas maupun di dalamnya. Selain itu di dalam tanah
terdapat pula udara dan air (Hardjowigeno, 2010). Media campuran tanah dan
pasir baik untuk pertumbuhan vegetatif dan cocok dikembangkan untuk
pembibitan pisang susu asal bonggol pada lokasi lahan kering di Sambelia,
Lombok Timur, NTB (Tri et al., 2006).
Arang sekam
Arang sekam merupakan hasil pengolahan limbah padi (sekam padi) dengan
cara diasapi hingga menjadi arang berwarna hitam. Menurut Wuryaningsih dan
Darliah (1994), karakteristik arang sekam sangat ringan, kasar, berpori, dan
efektif mengabsorbsi sinar matahari karena warnanya yang hitam. Arang sekam
sudah umum digunakan dalam komposisi media tanam. Di sisi lain penggunaan
arang sekam saja tanpa media lain tidak dianjurkan karena sifat fisik arang sekam
tidak memungkinkan tanaman dapat tegak sempurna. Media arang sekam
8
mempunyai kelebihan antara lain: harganya relatif murah, bahannya mudah
didapat, ringan, sudah steril, dan mempunyai porositas yang baik. Kekurangannya
yaitu: jarang tersedia di pasaran, yang umum tersedia hanya bahannya
(sekam/kulit gabah) saja, dan hanya dapat digunakan dua kali (BBPP, 2010).
Pupuk kandang kotoran sapi
Pupuk kandang kotoran sapi berasal dari kotoran sapi. Pupuk ini biasanya
berbentuk padat. Pupuk kandang sapi memiliki kadar serat yang tinggi seperti
selulosa, hal ini sesuai dengan parameter C/N rasio yang cukup tinggi >40.
Tingginya kadar C mengharuskan adanya pengkomposan dalam penggunaan
pupuk kandang sapi hingga rasio C/N di bawah 20. Pemanfaatan pupuk kandang
sapi secara langsung berkaitan dengan kadar air yang tinggi. Kadar air yang tinggi
akan menyebabkan kebutuhan tenaga kerja lebih banyak serta proses pelepasan
amoniak masik berlangsung (Hartatik dan Widowati, 2006). Penggunaan
campuran komposisi media tanam tanah + pasir + arang sekam memeberi hasil
yang tidak berbeda nyata dengan komposisi media tanam tanah + pasir + pupuk
kandang sapi, tetapi hasil keduanya lebih baik dibandingkan dengan media tanam
tanah saja (Asmarawati, 2011).
Zat Pengatur Tumbuh Sitokinin
Tumbuhan mengandung senyawa-senyawa yang mendorong inisiasi
proses-proses biokimia yang akhirnya mengakibatkan pembentukan organ dan
aspek-aspek tumbuh lainnya. Senyawa-senyawa ini digolongkan dalam
kelompok-kelompok auksin, giberelin, sitokinin, dan fenolik, selain itu juga ada
etilen dan asam absisik. Ada senyawa untuk mengatur pertumbuhan disebut
fitohormon yang mendorong inisiasi reaksi-reaksi biokimia dan perubahan-
perubahan komposisi kimia dalam tumbuhan (Prawiranata, 1981).
Menurut Sitawati (1989) pemberian berbagai zat pengatur tumbuh (ZPT)
penting dalam perbanyakan tanaman karena mampu merangsang pembentukan
akar maupun tunas. Prawiranata (1981) menyatakan bahwa ZPT sitokinin
memainkan peranan dalam sebagian fase dari metabolisme asam nukleik atau
9
metabolisme protein sehingga sitokinin penting dalam berbagai fase tumbuh dan
perkembangan. Beberapa senyawa dengan aktivitas sitokinin telah dapat diisolasi
dari sejumlah tumbuhan dan telah dapat dikenali, misalnya zeatin, ribosilzeatin,
dan rebosilzeatin dengan gugusan fosfat. Sitokinin berpengaruh sangat luas pada
proses-proses fisiologis dalam tumbuhan. Aktivitas utamanya adalah pendorong
pencacahan sel, penghambat sel meristem pada akar, membantu perkembangan
teratur dari embryo pada perkembangan biji, mendorong pembesaran sel dari
lempeng daun dan kotiledon, menghambat perombakan klorofil pada daun yang
dipetik dan reaksi-reaksi degradatif lainnya, serta menghambat penuaan pada
tumbuhan utuh.
Jenis sitokinin yang sering dipakai adalah BA (Benzyl Adenine) dan BAP
(Benzyl Amino Purine), dikarenakan efektifitasnya tinggi, harganya murah, dan
bisa disterilisasi (Andriana, 2005). Pada percobaan mikropropagasi Curcuma
xanthorhyz menunjukkan bahwa media kultur pada percobaan pertama yang
menggunakan 1.5 ppm BA dan 0.1 NAA memiliki jumlah tunas terbanyak tetapi
induksinya lambat. Pada percobaan kedua diketahui bahwa induksi tunas optimum
terdapat pada konsentrasi 3 ppm BA dengan menghasilkan 5 tunas dalam 2 bulan
sehingga mikropropagasi yang terbaik adalah dengan menggunakan ½ MS media
padat dengan penambahan 3 ppm BA dan 0.1 NAA (Wardiayati, 2012). Interaksi
antara BA dan kultivar krisan berpengaruh nyata terhadap waktu inisiasi tunas
secara in vitro. Konsentrasi BA juga berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah
tunas kultivar krisan yang terbentuk. Jumlah tunas terbanyak didapatkan dari
perlakuan BA 6.66 ìM dengan jumlah tunas 8.71, sedangkan jumlah tunas terkecil
didapatkan dari perlakuan tanpa BA (kontrol) (Syaifan, 2010).
Inisiasi tunas mikro pisang Raja bulu terbanyak didapatkan dari media
padat yang mengandung BAP 9 mg/l + IAA 1 mg/l sementara untuk eksplan
anakan dipadatkan dari media BAP 7 mg/l + IAA 3 mg/l (Ernawati et al., 2005).
Perlakuan terbaik untuk pertumbuhan mata tunas aksilar tanaman aglaonema
Pride of Sumatera, yaitu perlakuan 10 mg/l BAP + 2 mg/l 2,4-D karena
menghasilkan jumlah dan panjang mata tunas aksilar tertinggi (Agung, 2011). BA
memiliki susunan formula molekul C12H11N5 dengan struktur kimia sebagai
berikut:
11
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Tajur, Bogor.
Pembuatan larutan perlakuan BA dilakukan di Laboratorium Pusat Kajian
Hortikultura Tropika (PKHT), Bogor. Analisis organisme penyakit tanaman
dilakukan di Klinik Tanaman Depeartemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,
IPB. Percobaan dilaksanakan pada bulan April 2012 – Juli 2012.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah bonggol yang berasal
dari anakan pedang pisang Raja bulu yang diambil dari Kebun Percobaan IPB
Tajur, Bogor. Media tanam yang digunakan, yaitu: tanah, arang sekam, dan pupuk
kandang sapi. Pembuatan larutan perlakuan BA menggunakan sitokinin BA,
NaOH 4%, dan aquades. Pestisida yang digunakan adalah dithane M-45 dan agrep
dengan dosis masing-masing 2 g/l. Bahan lainnya, yaitu: polybag hitam ukuran
20 cm x 20 cm, dan bahan laboratorium. Alat yang digunakan, yaitu: pisau atau
cutter, ember, sarung tangan, masker, gembor, alat pertanian, alat laboratorium,
dan alat tulis.
Metode Percobaan
Percobaan ini menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak
(RKLT) dua faktor, yaitu: pemberian BA dan jenis media tanam dengan masing-
masing empat taraf perlakuan sehingga akan didapatkan 16 kombinasi perlakuan.
Taraf media tanam terdiri dari tanah (B1), arang sekam (B2), arang sekam + tanah
(B3), dan arang sekam + pupuk kandang sapi (B4). Taraf dosis BA, yaitu: 0 ppm
(A1), 10 ppm (A2), 20 ppm (A3), dan 30 ppm (A4).
Tiap perlakuan terdiri atas tiga ulangan sehingga terdapat 48 satuan
percobaan. Masing-masing satuan percobaan terdiri atas 20 pecahan bonggol
dengan berat rata-rata 1-2 gram, sehingga populasi pisang Raja bulu seluruhnya
12
adalah 960 bonggol. Perlakuan diatur pada bedengan dengan pengambilan
contoh sebanyak 5 cacahan bonggol.
Model statistika untuk rancangan yang diajukan adalah:
Yij = µ + βi + Bj + Ak + (AB)ijk + εijk
Yijk = Pertumbuhan tanaman dari komposisi media ke-i dan dosis BA ke-j
µ = Nilai rataan umum hasil pengamatan
βi = Pengaruh aditif dari ulangan ke-i (i = 1, 2, 3,)
Bj = Pengaruh media pada faktor pertumbuhan ke-j (j = 1, 2, 3, 4, 5)
Ak = Pengaruh aditif dari dosis BA ke-k (k = 1, 2, 3, 4, 5)
(AB)ijk = Pengaruh interaksi media ke-j dan dosis BA ke-k
εijk = Pengaruh acak dari komposisi media ke-j dan dosis BA ke-k
Data analisis mengunakan analisis ragam (uji F) pada taraf 5%. Apabila
hasilnya berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut BNJ dan BNT untuk melihat
perbandingan rata-rata tiap peubah yang diamati antar lokasi
(Gomez dan Gomez, 2007).
Pelaksanaan Percobaan
Pembutan larutan perlakuan BA
Larutan NaOH 4% dibuat dengan cara melarutkan 4 gram NaOH dengan
100 ml aquades. Larutan perlakuan BA dibuat dengan melarutkan 0.6 mg BA
dengan larutan NaOH 4% dan ditambahkan aquades hingga mencapai volume 1
liter.
Persiapan media
Bedengan diolah dan disiapkan dengan perbandingan 1:1 (v/v/v) untuk
media campuran. Bedengan berukuran 1 x 50 meter dibuat sesuai layout
percobaan dengan jarak antar perlakuan 30 cm dalam tiap perlakuan (Lampiran 3).
Masing-masing perlakuan berisi bonggol dengan jarak tanam 5 cm x 5 cm tiap
cacahan bonggol.
13
Perbanyakan
Anakan yang digunakan merupakan anakan pedang dan rebung dengan
berat 1–2 kg, tinggi 40-150 cm dan berdiameter 7-12 cm, sehat, tidak terserang
hama dan penyakit, bentuk pertumbuhan normal, dan tidak cacat. Anakan diambil
dari rumpunnya menggunakan linggis dengan hati-hati agar tidak rusak. Anakan
dibersihkan dari tanah dan akar, kemudian dipotong hingga tidak ada titik
tumbuhnya sama sekali. Bonggol dicuci bersih menggunkan air, dibelah menjadi
empat hingga delapan bagian dengan berat masing-masing 1-2 gram, kemudian
cacahan bonggol dipotong bagian lancipnya agar tidak bergoyang sehingga lebih
mudah ditanam di lahan. Cacahan bonggol dicelupkan ke dalam larutan fungisida
dithane-M45 5 g/l dan bakterisida agrep 5 g/l. Setelah dikeringanginkan segera
direndam dalam larutan perlakuan BA selama 20–30 menit kemudian ditanam
pada bedengan (Lampiran 3).
Gambar 2. Anakan dan bonggol pisang yang digunakan dalam percobaan; anakan
pedang (a), anakan rebung (b) dan bonggol yang telah dipotong titik
tumbuhnya (c).
Pemeliharaan
Pemeliharaan selama percobaan yang dilakukan adalah penyiraman, penyiangan,
dan pengendalian hama penyakit yang dilakukan secara manual. Aplikasi
penyiraman dengan air dilakukan setiap dua hari sekali dengan dosis sesuai
kapasitas lapang pada masing-masing komposisi media.
c
a
b
14
Panen dan pindah tanam
Panen tunas dilakukan setelah memenuhi kriteria panen, yaitu: tunas
muncul akar dan minimal terdapat dua daun yang telah terbuka lebar. Bonggol
dibongkar secara berlahan-lahan kemudian dipotong sekecil mungkin mendekati
tunas yang akan dipanen dengan menyertakan sedikit akarnya. Potongan
membujur dari permukaan atas bonggol sampai dasar sebanyak tunas yang
tumbuh memenuhi kriteria panen. Setelah dipotong langsung pindahkan ke dalam
ember yang berisi larutan fungisida. Polybag 20 cm x 20 cm disiapkan dengan
media tanam berisi campuran tanah, sekam dan pupuk kandang sapi dengan
perbandingan 1:1:1 (v/v/v). Tunas yang telah dipanen ditanam dalam polybag
yang diberi 5 gram pupuk NPK pada 5 cm di sekitar akar kemudian siram dengan
larutan fungisida. Bibit dipindahkan ke tempat yang teduh dengan paranet
berintensitas 65% (Lampiran 4).
Pengamatan
Pengamatan dimulai 2–33 HST (Hari Setelah Tanam) atau sama dengan
1–9 MST (Minggu Setelah Tanam). Peubah yang diamati antara lain:
1. Jumlah tunas di bonggol.
Jumlah tunas yang muncul dari bonggol dihitung 2 hari sekali.
2. Jumlah Bonggol Bertunas
Jumlah bonggol yang mengeluarkan tunas dari setiap satuan percobaan
dihitung 2 hari sekali.
3. Jumlah Tunas dari Bonggol Bertunas
Rata–rata jumlah tunas dari bonggol yang mengeluarkan tunas dihitung
2 hari sekali.
4. Jumlah tunas yang dapat dipanen.
Jumlah tunas yang dapat dipanen sesuai dengan kriteria panen.
5. Jumlah tunas majemuk.
Jumlah tunas di bonggol yang berjumlah lebih dari satu dan
bergerombol dihitung 2 hari sekali.
15
6. Tinggi bibit
Pengukuran tinggi bibit diukur dari permukaan tanah hingga titik
tumbuh bibit diukur selama 1 bulan dari pindah tanam ke polybag.
7. Jumlah daun pada bibit
Jumlah daun yang dimiliki bibit pisang selama 1 bulan dari pindah
tanam ke polybag.
8. Jumlah akar.
Jumlah akar yang muncul dari bonggol dihitung 2 hari sekali.
9. Jumlah Bonggol Berakar
Jumlah bonggol yang mengeluarkan akar dari setiap satuan percobaan
dihitung 2 hari sekali.
10. Jumlah Akar dari Bonggol Berakar
Rata–rata jumlah akar dari bonggol yang mengeluarkan akar dihitung 2
hari sekali.
11. Waktu munculnya tunas ke permukaan.
Waktu munculnya tunas diukur mulai dari 2 HST satu kali untuk setiap
bonggol pada tiap perlakuan.
12. Waktu muncul tunas ke permukaan tanah hingga siap panen
Waktu muncul tunas ke permukaan tanah hingga siap panen dihitung
saat pertama kali tunas muncul hingga memenuhi kriteria panen.
13. Waktu munculnya akar.
Waktu munculnya akar diukur mulai dari pertama kali akar muncul dari
setiap bonggol pada tiap perlakuan.
14. Persentase bonggol mati.
Persentase bonggol mati pada saat percobaan dihitung 2 hari sekali.
16
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kondisi Umum
Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Tajur, Bogor. Lahan
yang digunakan untuk percobaan merupakan lahan bekas pembibitan nanas
dengan media tanam sekam dan paranet 65%. Percobaan dilakukan pada bulan
April 2012 dan berakhir pada bulan Juli 2012. Kondisi cuaca pada saat percobaan
rata-rata sebagai berikut: curah hujan berkisar 227.7 mm/bulan dengan temperatur
25.520-26.38
0C, kelembaban udara 84%, dan intensitas penyinaran matahari
sebesar 254.7 cal/cm2
(Lampiran 2). Masing-masing pH dari perlakuan media,
yaitu: media tanah sebesar 5.1, media arang sekam sebesar 4.9, media arang
sekam + tanah sebesar 4.8, dan media arang sekam + pupuk kandang sapi sebesar
4.8. Greenhouse tempat menyimpan bibit pisang yang telah dipanen ditutupi
dengan paranet 65% dan atap fiber.
Curah hujan yang cukup tinggi menyebabkan masa persiapan percobaan
membutuhkan waktu yang cukup lama. Hal ini menimbulkan beberapa kesulitan
seperti adanya bonggol anakan yang membusuk dan beberapa prosedur persiapan
percobaan yang menjadi terganggu. Pada saat pengamatan ditemukan beberapa
bonggol membusuk di lapangan kemudian mati pada pengamatan ke-17 (34 HST)
(Gambar 3). Pada pengamatan di Greenhouse beberapa bibit mengalami nekrosis
di bagian ujung, sisi pinggir dan tengah daunnya. Nekrosis terjadi dengan gejala
awal daun menguning hingga coklat dan mengering (Gambar 3). Terdapat bibit
yang mengalami nekrosis dengan gejala serangan yang tinggi pada seluruh daun
yang dimiliki hingga mengakibatkan kematian (Gambar 3). Menurut hasil
identifikasi diakhir pengamatan, gejala ini disebabkan oleh nematoda Radopholus
similis (Gambar 3). Nematoda tersebut hidup di dalam tanah yang lembab dan
merusak jaringan akar sehingga mengakibatkan gejala defisiensi hara pada
daunnya (Mustika, 2003). Nematoda ini biasanya berinteraksi sinergis dengan
cendawan Fusarium oxysporum dan Rhizoctonia solani yang kemungkinan besar
17
cendawan-cendawan ini yang lebih banyak menimbulkan kerusakan pada tanaman
(Feakin, 1971).
Terdapat serangan hama dengan gejala bonggol berlubang (Gambar 3).
Hama penyebab berlubangnya bonggol tersebut tidak dapat ditemukan, namun
serangan dengan gejala tersebut diduga disebabkan oleh kumbang penggerek
pisang (Cosmopolites sordidus) (Gambar 3). Hama ini berasal dari Asia Tenggara,
tetapi telah tersebar ke semua areal penanaman pisang. Larvanya dari hama ini
menggerek bonggol dan menjadi pupa di lorong-lorong yang dibuatnya. Sebagian
besar jaringan bonggol akan rusak, akibatnya akan menurunkan kemampuan
pengambilan air dan hara, juga kemampuan tertancapnya tanaman. Serangga
dewasanya meletakkan telur pada jaringan-jaringan bonggol atau di sekitarnya
(Hanum, 2008). Pengendalian khusus terhadap hama kumbang penggerek pisang
tidak dilakkan.
Gulma yang tumbuh pada lahan percobaan tidak mengganggu pertumbuhan
tanaman. Pengendalian tetap dilakukan dengan cara manual, yaitu mencabut dan
membuang dari lingkungan tumbuh bibit agar tidak terjadi persaingan yang dapat
merugikan atau menghambat pertumbuhan bibit dalam hal persaingan unsur hara,
cahaya dan air.
18
Gambar 3. Hama dan penyakit yang menyerang cacahan bonggol dan bibit pisang
selama percobaan; bonggol yang membusuk (a), gejala nekrosis pada
daun pisang (b), bibit pisang yang mati (c), bonggol yang terserang
kumbang penggerek pisang (d), hama penggerek pisang
(Cosmopolites sorsidus), dan nematoda Radopholus similis (f).
Rekapitulasi Sidik Ragam
Rekapitulasi hasil sidik ragam dari data yang diperoleh disajikan pada
Tabel 1. Interaksi antara perlakuan media tanam dengan konsentrasi BA hanya
terdapat pada persentase bonggol mati 9 MST. Perlakuan media tanam
berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah tunas di bonggol pada 2 MST, peubah
jumlah akar pada 5–6 MST dan 8–9 MST, jumlah akar dari bonggol berakar
5 MST dan 9 MST, serta persentase bonggol mati pada 6–9 MST. Selain itu,
perlakuan media berpengaruh nyata pada peubah jumlah akar 3–4 MST, jumlah
bonggol berakar 7 MST, serta jumlah akar dari bonggol berakar 3 MST dan
6 MST. Perlakuan sitokinin tidak memberikan pengaruh yang nyata pada setiap
peubah.
a b c
d e f
19
Tabel 1. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh media dan sitokinin terhadap
pertumbuhan dan perkembangan bibit pisang.
No. Peubah Pengamatan
Interaksi
Sitokinin
dan
Media
Media Sitokinin
1 Jumlah Tunas di Bonggol 1 MST
dan 3 - 9 MST tn tn tn
Jumlah Tunas di Bonggol 2 MST tn ** tn
2 Jumlah Bonggol Bertunas 1 - 9 MST tn tn tn
3 Jumlah Tunas dari Bonggol Bertunas
1 - 9 MST tn tn tn
4 Jumlah Tunas Panen tn tn tn
5 Jumlah Tunas Majemuk tn tn tn
6 Tinggi Bibit tn tn tn
7 Jumlah Daun Bibit tn tn tn
8 Jumlah Akar 1 - 2 MST dan 7 MST tn tn tn
Jumlah Akar 3 - 4 MST tn * tn
Jumlah Akar 5 - 6 MST
dan 8 - 9 MST tn ** tn
9 Jumlah Bonggol Berakar 1-6 MST
dan 8 - 9 MST tn tn tn
Jumlah Bonggol Berakar 7 MST tn * tn
10 Jumlah Akar dari Bonggol Berakar
1 - 2 MST, 4 MST, dan 7 - 8 MST tn tn tn
Jumlah Akar dari Bonggol Berakar
3 MST dan 6 MST tn * tn
Jumlah Akar dari Bonggol Berakar
5 MST dan 9 MST tn ** tn
11 Waktu Tunas Muncul tn tn tn
12 Waktu Tunas Muncul Hingga Panen tn tn tn
13 Waktu Akar Muncul tn tn tn
14 Persentase Bonggol Mati 1 - 5 MST tn tn tn
Persentase Bonggol Mati 6 - 8 MST tn ** tn
Persentase Bonggol Mati 9 MST ** ** tn
Keterangan: seluruh data merupakan hasil transformasi ; (tn) tidak
berpengaruh signifikan; (*) berpengaruh nyata pada taraf 5%; (**)
berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%.
20
Tunas
Terdapat tiga peubah tunas yang diamati, yaitu: jumlah tunas di bonggol,
jumlah bonggol bertunas, dan jumlah tunas dari bonggol bertunas. Interaksi
perlakuan terhadap peubah tunas tidak ada. Hasil uji lanjut BNJ untuk perlakuan
media terhadap jumlah tunas di bonggol (Tabel 2) yang menunjukkan bahwa
perlakuan media arang sekam + pupuk kandang sapi memberikan hasil rata-rata
yang tertinggi, sementara media arang sekam dan arang sekam + tanah
memberikan hasil rata-rata yang terendah terhadap jumlah tunas di bonggol pada
2 MST. Perlakuan sitokinin tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
jumlah tunas di bonggol. Pertumbuhan rata-rata jumlah tunas disajikan pada
Gambar 4. Pengaruh media dan sitokinin terhadap jumlah bonggol yang bertunas
tidak berpengaruh nyata, begitu pula dengan pengaruh media dan sitokinin
terhadap rata–rata jumlah tunas dari bonggol yang bertunas. Total jumlah cacahan
bonggol pisang bertunas disajikan pada Gambar 5 dan rata-rata jumlah tunas dari
cacahan bonggol pisang bertunas disajikan pada Gambar 6.
Tabel 2. Pengaruh jenis media terhadap rata-rata jumlah tunas di cacahan
bonggol pisang pada 2 minggu setelah tanam.
Media 2 MST
Tanah 0.133 ab
Arang sekam 0.050 b
Arang sekam + Tanah 0.050 b
Arang sekam + Pupuk Kandang Sapi 0.300 a
Hasil Uji F **
(kk transformasi: 13.041%)
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan
memberikan hasil yang berbeda nyata menurut uji BNJ taraf 5%.
21
Gambar 4. Pertumbuhan rata-rata jumlah tunas di cacahan bonggol pisang periode
1-9 MST.
Gambar 5. Total jumlah cacahan bonggol pisang bertunas periode 1-9 MST.
Gambar 6. Rata-rata jumlah tunas dari cacahan bonggol pisang bertunas pada
periode 1-9 MST.
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Ju
mla
h T
un
as
di
Bo
ng
go
l
MST
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Ju
mla
h B
on
gg
ol
Ber
tun
as
MST
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Ju
mla
h T
un
as
da
ri B
on
gg
ol
Ber
tun
as
MST
22
Jumlah Tunas Panen
Tunas yang dipanen merupakan tunas yang telah memenuhi kriteria panen,
yaitu: memiliki akar dan terdapat minimal dua daun yang telah terbuka lebar
sehingga dapat dijadikan bibit. Interaksi perlakuan terhadap jumlah tunas panen
tidak ada. Perlakuan jenis media dan sitokinin tidak memberikan pengaruh yang
nyata terhadap jumlah tunas panen pada setiap minggunya. Panen dilakukan lima
kali selama masa penelitan. Panen pertama dilakukan pada 4 MST dengan jumlah
perlakuan terpanen sebanyak dua, panen kedua dan ketiga dilakukan pada 6 MST
dengan jumlah perlakuan terpanen sebanyak tiga belas. Panen keempat dilakukan
pada 7 MST dengan jumlah perlakuan terpanen sebanyak sepuluh. Panen kelima
dilakukan pada 8 MST dengan jumlah perlakuan terpanen sebanyak tiga belas.
Secara umum tunas dapat dipanen setelah berumur satu bulan setelah tanam. Rata-
rata jumlah tunas panen dari cacahan bonggol pisang disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Rata-rata jumlah tunas panen dari cacahan bonggol pisang periode
1-9 MST.
Jumlah Tunas Majemuk
Terdapat tunas majemuk sebanyak 3.958% dari total bonggol yang
ditanam selama masa percobaan. Sebanyak 10 tunas majemuk didapatkan dari
perlakuan sitokinin 0 ppm pada 9 MST. Masing-masing dua dari perlakuan media
tanah serta media arang sekam. Sisanya, masing-masing tiga dari perlakuan media
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0.14
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Ju
mla
h T
un
as
Pa
nen
MST
23
arang sekam + tanah serta media arang sekam + pupuk kandang sapi. Tunas
majemuk merupakan tunas di bonggol yang berjumlah lebih dari satu dan tumbuh
bergerombol (Gambar 8). Interaksi perlakuan terhadap jumlah tunas majemuk
tidak ada. Perlakuan media dan sitokinin tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap jumlah tunas majemuk pada setiap minggunya. Menurut uji statistik
perlakuan media dan sitokinin tidak menyebabkan munculnya tunas majemuk.
Rata-rata jumlah tunas majemuk di cacahan bonggol pisang disajikan pada
Gambar 9.
Gambar 8. Tunas tunggal (atas) dan tunas majemuk (bawah)
Gambar 9. Rata-rata jumlah tunas majemuk di cacahan bonggol pisang periode
1-9 MST.
0
0.05
0.1
0.15
0.2
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Ju
mla
h T
un
as
Ma
jem
uk
MST
24
Tinggi Bibit
Tinggi bibit didapatkan dari rata–rata tinggi tunas yang memenuhi kriteria
panen dan telah dipindahtanamkan ke greenhouse. Interaksi perlakuan terhadap
rata-rata tinggi bibit pisang tidak ada. Perlakuan media dan sitokinin tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi bibit pada setiap minggunya.
Secara umum perlakuan media dan sitokinin tidak menaikkan tinggi bibit. Rata-
rata tinggi bibit pisang dari cacahan bonggol pisang disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10. Rata-rata tinggi bibit pisang dari cacahan bonggol pisang periode
1-9 MST.
Jumlah Daun Bibit
Sama halnya dengan tinggi bibit, jumlah daun pada bibit didapatkan dari
rata–rata jumlah daun tunas yang memenuhi kriteria panen dan telah
dipindahtanamkan ke greenhouse. Interaksi perlakuan terhadap rata-rata jumlah
daun bibit pisang tidak ada. Perlakuan media dan sitokinin tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap rata-rata jumlah daun bibit pisang pada setiap
minggunya. Secara umum perlakuan media dan sitokinin tidak meningkatkan
jumlah daun pada bibit. Rata-rata jumlah daun bibit pisang dari cacahan bonggol
disajikan pada Gambar 11.
0
1
2
3
4
5
6
1 2 3 4
Tin
gg
i B
ibit
(cm
)
MST
25
Gambar 11. Rata-rata jumlah daun bibit pisang dari cacahan bonggol periode
1-9 MST.
Akar
Terdapat tiga peubah akar yang diamati, yaitu: jumlah akar, jumlah
bonggol berakar, dan jumlah akar dari bonggol berakar. Interaksi perlakuan
terhadap ketiga peubah akar tidak ada. Hasil uji lanjut BNJ untuk perlakuan media
terhadap jumlah akar pada 9 MST dapat dilihat pada Tabel 3. Perlakuan media
arang sekam memberikan hasil rata-rata yang tertinggi, sementara media tanah
memberikan hasil rata-rata yang terendah terhadap jumlah akar pada akhir
percobaan. Pada Gambar 13 disajikan bahwa jumlah bonggol berakar paling
tinggi berasal dari media arang sekam, begitu pula dengan rata–rata jumlah akar
dari bonggol yang berakar (Gambar 15). Sitokinin tidak berpengaruh nyata
terhadap jumlah akar, jumlah bonggol berakar, dan jumlah akar dari bonggol
berakar pada setiap minggunya. Rata-rata jumlah akar cacahan bonggol pisang
disajikan pada Gambar 12, jumlah total cacahan bonggol pisang berakar disajikan
pada Gambar 14, dan rata-rata jumlah akar dari cacahan bonggol pisang berakar
disajikan pada Gambar 16.
1.35
1.4
1.45
1.5
1.55
1.6
1.65
1 2 3 4
Ju
mla
h D
au
n B
ibit
MST
26
Tabel 3. Pengaruh jenis media terhadap rata-rata jumlah akar cacahan
bonggol pisang pada 9 minggu setelah tanam.
Media 9 MST
Tanah 1.833 b
Arang sekam 3.117 a
Arang sekam + Tanah 2.750 ab
Arang sekam + Pupuk Kandang Sapi 1.867 b
Hasil Uji F **
(kk transformasi: 15.925%)
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan
memberikan hasil yang berbeda nyata menurut uji BNJ taraf 5%.
Gambar 12. Rata-rata jumlah akar cacahan bonggol pisang periode 1-9 MST.
Gambar 13. Pengaruh media terhadap total jumlah cacahan bonggol pisang
berakar periode 1-9 MST.
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Ju
mla
h A
ka
r
MST
0
2
4
6
8
10
12
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Ju
mla
h B
on
gg
ol
Ber
ak
ar
MST
Tanah Arang sekam
Arang sekam + Tanah Arang sekam + Pupuk kandang sapi
27
Gambar 14. Jumlah total cacahan bonggol pisang berakar periode 1-9 MST.
Gambar 15. Pengaruh media terhadap rata-rata jumlah akar dari cacahan bonggol
pisang berakar periode 1-9 MST.
Gambar 16. Rata-rata jumlah akar dari cacahan bonggol pisang berakar periode
1-9 MST.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Ju
mla
h B
on
gg
ol
Ber
ak
ar
MST
0
1
2
3
4
5
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Ju
mla
h
Ak
ar
da
ri B
on
gg
ol
Ber
ak
ar
MST
Tanah Arang sekam
Arang sekam + Tanah Arang sekam + Pupuk kandang sapi
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Ju
mla
h A
ka
r d
ari
Bo
ng
go
l
Ber
ak
ar
MST
28
Waktu Muncul Tunas, Periode Petumbuhan Tunas hingga Panen, dan
Waktu Muncul Akar
Waktu yang diamati pada percobaan ini, yaitu: waktu muncul tunas,
periode pertumbuhan tunas hingga dipanen, dan waktu muncul akar. Interaksi
perlakuan terhadap ketiga peubah waktu tidak ada. Perlakuan media dan sitokinin
tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap ketiga peubah waktu terhadap
waktu muncul tunas, periode pertumbuhan tunas hingga dipanen, dan waktu
muncul akar. Perlakuan media dan sitokinin tidak mempengaruhi cepat atau
lambatnya tunas dan akar muncul dari bonggol, serta tidak mempengaruhi periode
pertumbuhan tunas hingga dipanen. Rata-rata waktu muncul tunas, periode
pertumbuhan tunas hingga panen, dan waktu muncul akar disajikan pada
Gambar 17.
Gambar 17. Rata-rata waktu muncul tunas, periode pertumbuhan tunas hingga
panen, dan waktu muncul akar pada cacahan bongggol pisang.
Persentase Bonggol Mati
Interaksi perlakuan 9 MST dapat dilihat pada Tabel 4. Pada 9 MST
kombinasi perlakuan tanah dan sitokinin BA 10 ppm menunjukkan hasil tertinggi
untuk persentase bonggol mati. Hasil uji lanjut BNJ untuk perlakuan media
terhadap persentase bonggol mati dapat dilihat pada Tabel 4. Perlakuan media
tanah memberikan hasil rata-rata yang tertinggi, sementara media arang sekam
28.7
12.58
4.44
0
5
10
15
20
25
30
35
Waktu Muncul Tunas Periode Pertumbuhan
Tunas hingga Panen
Waktu Muncul Akar
Wa
ktu
(H
ari
Set
ela
h T
an
am
)
29
dan media arang sekam + pupuk kandang sapi memberikan hasil rata-rata yang
terendah terhadap persentase bonggol mati pada 9 MST. Persentase bonggol mati
diakibatkan oleh adanya hama dan penyakit pada media tanam, yaitu: nematoda
Radopholus similis (57.69%), rayap Macrotermes sp. (26.92%), dan penggerek
bonggol (15.38%). Persentase total cacahan bonggol pisang mati disajikan pada
Gambar 18.
Tabel 4. Interaksi perlakuan antara jenis media dan konsentrasi sitokinin
terhadap persentase cacahan bonggol pisang mati pada 9 minggu
setelah tanam.
Perlakuan
Persentase bonggol mati (%)
Tanah Arang
sekam
Arang
sekam +
Tanah
Arang sekam
+ Pupuk
Kandang Sapi
BA 0 ppm 3.33 bc 0.00 c 8.33 ab 3.33 bc
BA 10 ppm 10.00 a 0.00 c 0.00 c 0.00 c
BA 20 ppm 3.33 bc 5.00 abc 0.00 c 1.67 c
BA 30 ppm 5.00 abc 0.00 c 5.00 abc 0.00 c
Rata-rata 5.42 A 1.25 B 3.33 AB 1.25 B
Keterangan : angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada baris dan kolom yang sama
pada tiap faktor tidak berbeda nyata pada uji lanjut BNT taraf 5% (kolom
jenis media dan baris konsentrasi sitokinin); angka yang diikuti huruf besar
yang sama pada baris rata-rata persentase bonggol mati (%) yang sama
pada tiap faktor tidak berbeda nyata pada uji lanjut BNJ taraf 5%.
Gambar 18. Persentase total cacahan bonggol pisang mati periode 1-9 MST.
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Per
sen
tase
Bo
ng
go
l M
ati
(%
)
MST
30
Pembahasan
Interaksi perlakuan media dan sitokinin hanya terdapat pada persentase
bonggol mati. Perlakuan media hanya memberikan berpengaruh nyata pada
jumlah akar, jumlah bonggol berakar, jumlah akar dari bonggol berakar, jumlah
tunas di bonggol, dan persentase bonggol mati. Perlakuan sitokinin tidak
berpengaruh nyata terhadap seluruh peubah, yaitu: jumlah akar, jumlah bonggol
berakar, jumlah akar dari bonggol berakar, jumlah tunas di bonggol, jumlah
bonggol bertunas, jumlah tunas dari bonggol bertunas, jumlah tunas panen,
jumlah tunas majemuk, pesrsentase bonggol mati, tinggi bibit, jumlah daun pada
bibit, waktu muncul akar, waktu muncul tunas, dan waktu muncul tunas hingga
panen. Interaksi antar perlakuan media dan sitokinin tidak ada, kecuali pada
persentase bonggol mati. Hal ini diduga disebabkan oleh perlakuan sitokinin yang
tidak berpengaruh nyata pada seluruh peubah pengamatan.
Media tanah pada percobaan ini cenderung liat. Jumlah tunas di bonggol
memberikan hasil yang cukup baik pada media tanah, hal ini dapat disebabkan
oleh hara yang terkandung dalam tanah mendukung terbentuknya tunas baru
walaupun masih belum optimum, sementara jumlah akar yang dihasilkan rendah
pada tanah dengan tekstur liat. Partikel tanah liat bermuatan negatif sehingga aktif
bermuatan listrik dan menarik ion–ion yang bermuatan positif, seperti: H+, K
+,
Ca++
, Mg++
, dll (Harjadi, 1996). Penambahan bahan organik dapat memperbaiki
struktur dan menambah hara pada media tanah sehingga dapat meningkatkan
jumlah akar dan tunas di bonggol.
Media arang sekam dapat digunakan dua kali (BBPP, 2010). Media arang
sekam yang digunakan dalam percobaan ini merupakan media bekas pembibitan
nanas, namun kualitas jumlah tunas di bonggol dan jumlah akar menunjukkan
hasil yang cukup baik. Persentase bonggol mati pada media arang sekam pun
paling rendah diantara perlakuan media lainnya. Menurut Douglas (1985)
keuntungan arang sekam sebagai media adalah tingginya hasil pertanaman dengan
kualitas baik, meminimumkan kerusakan karena penyakit, hampir 100% dalam
penggunaan, dan ekonomis dalam penggunaan air. Media ini menghasilkan
jumlah tunas yang terendah bersamaan dengan media campuran tanah + arang
sekam. Hal ini kemungkinan karena kurangnya hara tersedia untuk pembentukan
31
tunas. Valentino (2012) menyatakan bahwa kekurangan dari arang sekam adalah
cenderung miskin hara.
Media campuran tanah + arang sekam memberikan hasil terendah untuk
jumlah tunas di bonggol dan hasil yang cukup baik untuk jumlah akar. Media
tanah + arang sekam dapat digunakan untuk mengurangi penyakit tular tanah
karena menghasilkan persentase bonggol mati terbanyak kedua setelah media
tanah. Pemilihan jenis tanah sebagai campuran media harus dipertimbangkan
karena teksturnya dapat mempengaruhi kandungan hara yang tersedia dapat
mempengaruhi pertumbuhan jumlah tunas di bonggol serta pertumbuhan akar.
Menurut Harjadi (1996) bila salah dalam penggunaan tanah maka tanaman
menjadi kurang produktif.
Pengaruh media arang sekam + pupuk kandang sapi menghasilkan jumlah
tunas di bonggol yang tinggi dan jumlah akar yang cukup baik. Kemungkinan
besar disebabkan oleh kandungan hara yang cukup tersedia bagi pertumbuhan
bonggol pisang. Miller dan Donahue (1990) menyatakan bahwa rata-rata bahan
kering jenis pupuk kandang mengandung 3% N, 0.8% P (1.8% P2O5),
2% K (2.4% K2O), 25% karbon organik, dan bermacam-macam sejumlah unsur-
unsur lain yang penting untuk pertumbuhan tanaman, sedangkan Sutedjo (1994)
menyatakan bahwa pupuk kandang sapi mengandung 0.40% N, 0.20% P2O5, dan
0.10% K2O. Menurut Rismunandar (2001) pada umumnya tanaman pisang
membutuhkan zat mineral tertentu dalam jumlah yang banyak, yaitu kalium,
diikuti nitrogen dan kapur (CaO), kemudian fosfat.
Perlakuan sitokinin yang tidak memberikan pengaruh terhadap seluruh
peubah pengamatan dapat disebabkan oleh jenis sitokinin, konsentrasi, dan teknik
aplikasi yang kurang tepat. Menurut Abidin dan Lontoh (1984) pada pemakaian
praktis perlu diperhatikan sifat–sifat zat tumbuh yang digunakan, cara pemberian,
dan konsentrasinya untuk jenis–jenis tanaman yang akan dibiakkan agar
memberikan respon pada tanaman seperti yang diharapkan.
Jenis sitokinin tertentu akan memberikan pengaruh yang berbeda pada
setiap jenis tanaman. Hal ini dapat disebabkan oleh struktur molekul kimia yang
berbeda–beda pada setiap jenis sitokinin. Struktur kimia sitokinin adalah turunan
adenine (BAP/BA, kinetin, zeatin) dan turunan fenilurea (TDZ). Adenine dan
32
TDZ mempunyai respon fisiologi yang sama, yaitu: berperan dalam regulasi
pembelahan sel, diferensiasi dan pertumbuhan jaringan, organ serta biosintesis
klorofil (Gaba, 2005). Kecocokan penggunaan jenis sitokinin terhadap jenis
tanaman tertentu akan memberikan hasil yang diinginkan. Menurut Fratini dan
Ruiz (2002) efektivitas sitokinin pada tanaman lentil (Lensculinaris medik)
memberikan hasil bahwa dalam menginduksi tunas di kultur jaringan, efektivitas
TDZ > BA > kinetin > zeatin, sementara untuk pemanjangan tunas berlaku
sebaliknya TDZ < BA < kinetin < zeatin.
Kesalahan teknik aplikasi yang salah dapat memberikan pegaruh yang
buruk pada tanaman. Perendaman sitokinin dapat dilakuan lebih lama agar
meresap hingga ke jaringan atau sel bonggol pisang. Abidin dan Lontoh (1984)
menemukan bahwa lama perendaman bonggol pisang dengan IBA selama 16 jam
lebih baik daripada 24 jam terhadap waktu munculnya tunas, saat daun mulai
membuka, persentase tumbuh, tinggi tanaman, lingkar batang, dan indeks luas
daun. Cacahan bonggol yang terlalu basah saat ditanam di lahan dengan media
yang tidak disterilkan terlebih dahulu akan memudahkan tanaman terserang
penyakit lewat bekas sayatan pada bonggol. Pada daerah yang terdapat penyakit
cendawan pisang dalam tanah, penggunaan cacahan bonggol sebagai bibit
merupakan cara yang kurang baik karena potongan bonggol yang terluka mudah
menjadi sarang penyakit cendawan (IKAPI, 1985). Teknik aplikasi yang kurang
tepat dapat mempengaruhi daya serap tanaman terhadap zat pengatur tumbuh.
Hasil percobaan Rabani (2009) menunjukkan bahwa penyemprotan pada bonggol
pisang diduga menjadi salah satu penyebab kurangnya respon bonggol terhadap
BA pada teknik toping. Jika zat pengatur tumbuh tidak terserap dengan baik maka
hasil yang diinginkan tidak akan didapatkan.
Konsentrasi sitokinin dapat ditinjau kembali. Abidin dan Lontoh (1984)
menemukan bahwa semakin besar taraf IBA maka semakin lambat saat keluarnya
tunas dari bonggol pisang Hasil percobaan Rabani (2009) menunjukkan bahwa
perlakuan pemberian BA pada taraf konsentrasi 0 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm tidak
meningkatkan hasil perbanyakan benih pisang dengan teknik toping pada jenis
klon pisang yang berasal dari anakan maupun kultur jaringan. Bonggol pisang
diduga memproduksi sitokinin secara endogen sehingga perlakuan dengan
33
konsentrasi sitokinin yang rendah (0 ppm dan 10 ppm) masih dapat menghasilkan
sejumlah tunas yang tidak berbeda jauh dengan konsentrasi sitokinin yang tinggi
(20 ppm dan 30 ppm). Menurut Hendaryono (1994) mata tunas yang dorman
menghasilkan sitokinin dan ujung akar merupakan tempat penting biosintesis
sitokinin. Bonggol pisang pada dasarnya terdiri dari jaringan parenkim yang
mengandung zat tepung. Bagian pinggir bawah bonggol merupakan tempat
tumbuhnya akar dan bagian pinggir atas merupakan tempat tunas muda akan
muncul (Simmonds, 1959). Dalam kondisi normal tanpa perlakuan, hormon–
hormon pertumbuhan terdapat dalam jumlah yang cukup untuk memunculkan
akar dan tunas pada bonggol pisang.
Pengaruh media terhadap jumlah tunas di bonggol terlihat sangat nyata di
awal percobaan. Jumlah tunas di bonggol terbanyak terdapat pada media arang
sekam + pupuk kandang sapi. Hal ini dapat dikarenakan media arang
sekam + pupuk kandang sapi menyediakan hara dengan jumlah yang lebih dari
media lain untuk menghasilkan tunas. Pupuk kandang adalah sumber beberapa
hara seperti nitrogen, fosfor, kalium, dan lainnya. Nitrogen adalah salah satu hara
umum yang dibutuhkan tanaman yang dapat diperoleh dari pupuk kandang
(Hartatik dan Widowati, 2006). Media arang sekam + pupuk kandang sapi
menghasilkan jumlah tunas terbanyak, walaupun jumlah akar yang dihasilkan
tidak begitu tinggi. Hasil tersebut cukup baik karena menurut Simmond (1959)
bonggol yang sehat memiliki 2–300 akar serta hasil percobaan
Abidin dan Lontoh (1984) menunjukkan bahwa beberapa bibit cacahan bonggol
ada yang belum membentuk akar walaupun sudah mempunyai tunas setinggi 3 cm.
Bonggol pisang terbungkus oleh bekas lapisan daun yang saling
menumpuk dengan jarak yang pendek. Bekas ini membentuk lingkaran dan berisi
banyak mata tunas yang posisinya saling tidak beraturan. Tunas tumbuh dari
bagian tengah hingga atas dari bonggol. Tunas akan tumbuh dekat dan mendekati
permukaan tanah hingga akhirnya muncul dan tumbuh di atas permukaan tanah.
Masing–masing tunas akan kesulitan untuk tumbuh jika terdapat tunas lain di
dalam tanah dalam satu bonggol. Setiap tunas yang telah mencapai permukaan
akan mengalami perubahan pada jaringannya. Masing-masing pangkal daun
berhubungan dengan tunas, beberapa dari mereka akan tumbuh dan jarang
34
terdapat lebih dari tiga atau empat tunas terlihat muncul tanpa mikroskop dalam
satu bonggol (Simmonds, 1959).
Jumlah tunas yang muncul di bonggol mencapai setengah dari total yang
ditanam dan jumlah yang dapat dipanen hanya sedikit selama dua bulan
percobaan. Jumlah ini masih dapat bertambah karena banyak tunas dan bibit
pisang di lapangan yang belum terhitung akibat keterbatasan waktu percobaan.
Menurut Simmonds (1959) masing–masing tunas akan kesulitan untuk tumbuh
jika terdapat tunas lain di dalam tanah dalam satu bonggol. Hasil percobaan
Rabani (2009) menunjukkan bahwa tunas yang belum tumbuh menjadi bibit
diduga terjadi karena persaingan dengan tunas lain dalam pertumbuhannya.
Tunas majemuk akan tumbuh seperti tunas tunggal lainnya, namun seiring
pertumbuhannya beberapa tunas akan mati dan yang lainnya akan tumbuh dengan
baik. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh persaingan cadangan makanan dalam
pertumbuhannya. Tunas yang dapat bertahan kebanyakan berkisar dua hingga tiga
tunas dengan kecepatan tumbuh yang berbeda–beda. Masing–masing tunas akan
kesulitan untuk tumbuh jika terdapat tunas lain di dalam tanah dalam satu bonggol
(Simmonds, 1959). Tunas majemuk ini jika memenuhi syarat untuk dipanen
menjadi bibit, akan sulit dalam menjalankan prosedur pemanenannya. Letak tunas
yang saling berdekatan satu dengan yang lain membuat pemisahan tunas yang
memenuhi syarat dan yang tidak menjadi sulit, jika tidak berhati–hati maka akan
menggangu dan merusak pertumbuhan tunas yang belum siap panen. Kesulitan
juga didapatkan ketika akan menyertakan sedikit akar untuk tunas yang akan
dipindahkan karena letak akar yang berjauhan dengan tunas tersebut. Terdapat
bibit yang terdiri dari dua tunas karena tidak jika dipisahkan justru akan merusak
bibit tersebut. Terbentukanya tunas majemuk ini diduga disebabkan oleh
pemecahan dormansi mata tunas yang hampir bersamaan dan berdekatan dalam
satu bonggol serta adanya proliferasi tunas, walaupun jumlahnya sangat sedikit.
Pemecahan dormansi mata tunas dapat terjadi karena pencacahan bonggol atau
dikarenakan pengaruh sitokinin. Terdapatnya tunas majemuk pada perlakuan
sitokinin 0 ppm dapat dikarenakan yang adanya sejumlah sitokinin di dalam
media tanam. Menurut Hanafiah (2007) akar tanaman akan menyerap nutrisi dari
tanah baik berupa ion-ion organik (N, P, K, dan lain-lain), senyawa organik
35
sedehana, serta zat-zat pemacu tumbuh, seperti vitamin, hormon, dan asam-asam
organik. Bahan organik tanah dan aktivitas mikroba dapat menghasilkan zat
pengatur tumbuh dalam tanah. Hal ini diduga juga berlaku dengan perlakuan
media lainnya.
Perlakuan tidak berpengaruh pada tinggi dan jumlah daun pada bibit
pisang yang telah dipindahkan ke greenhouse. Hal ini menunjukkan bahwa setiap
perlakuan media dan sitokinin dalam percobaan ini memberikan pengaruh yang
hampir sama untuk tinggi dan jumlah daun bibit pisang. Perlakuan khusus pada
bibit setelah dipindahtanamkan ke greenhouse tidak ada, sehingga diduga menjadi
salah satu peneyebab dari tidak adanya respon lanjutan dari perlakuan. Hasil
percobaan Rabani (2009) menunjukkan bahwa jenis klon berpengaruh sangat
nyata terhadap tinggi benih pisang dengan teknik toping yang dipanen 5-8 MST.
Jumlah daun dan peningkatannya pada tanaman pisang ditentukan oleh umur dan
jenis klonnya (Suhardiman, 2004). Umur bibit pisang pada percobaan ini hampir
sama dan jenis klon yang digunakan pun sama, sehingga menghasilkan tinggi dan
jumlah daun yang hampir sama untuk semua perlakuan.
Perlakuan media memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah akar,
seperti jumlah akar, jumlah bonggol berakar, dan jumlah akar dari bonggol
berakar. Perlakuan media sekam memberikan hasil terbaik. Suri (2000)
menyatakan bahwa arang sekam baik untuk dijadikan media karena teksturnya
yang remah, bahan organiknya tinggi, dan mudah didapat. Valentino (2012)
menambahkan bahwa arang sekam mudah mengikat air, mudah menggumpal dan
memadat sehingga mempermudah pertumbuhan akar tanaman. Menurut
Rismunandar (2001) akar tanaman pisang merupakan akar serabut yang keluar
dari umbi bagian samping dan tumbuh mendatar hingga 4–5 meter, sedangkan
yang dari bagian bawah akan tumbuh ke bawah dengan kedalaman 75–150 cm.
Dengan tekstur sekam yang demikian akan baik untuk perkembangan perakaran
pisang yang dangkal.
Perlakuan media tanah memberikan hasil paling rendah terhadap jumlah
akar, jumlah bonggol berakar, dan jumlah akar dari bonggol berakar. Tanaman
pisang yang membutuhkan tanah yang gembur dan kaya bahan organik untuk
tumbuh akan menghasilkan akar yang kurang baik dengan kondisi tanah di
36
lapangan dengan tekstur liat. Tanah dengan tekstur liat tinggi akan sulit ditembus
oleh akar – akar muda tanaman pisang, selain itu jika bonggol ditanam terlalu
dalam di tanah liat maka mata tunas akan sulit menembus permukaan tanah
(IKAPI, 1985). Tanah liat yang pori–porinya penuh terisi air akan kekurangan
oksigen dan dapat menghambat pertumbuhan akar (Harjadi, 1996). Penyebaran
akar tanaman pisang menjadi kurang optimal pada tanah padat, lapisan tanah
kedap air, dan tanah liat (Suhardiman, 2004).
Jumlah akar mengalami peningkatan tetapi tidak stabil. Penurunan ini
dapat diakibatkan oleh serangan nematoda Radopholus similis yang merusak akar,
jika tingkat serangan parah bonggol pisang tidak akan dapat menghasilkan akar
baru sehingga lama–kelamaan akan mati. Penyebab turunnya jumlah akar juga
dapat disebabkan oleh gangguan berupa intensitas pembongkaran bonggol yang
tinggi saat pengamatan yang dapat menghambat pertumbuhan tunas pisang.
Jumlah akar yang menurun akibat intensitas pembongkaran ini akan naik lagi
dua–tiga minggu kemudian. Akar merupakan bagian penting tumbuhan untuk
pembentukan tunas. Pada percobaan ini, struktur morfologi yang pertama kali
muncul pada mayoritas bonggol saat ditanam adalah akar. Setelah akar cukup
banyak untuk mengumpulkan kebutuhan tanaman, maka tunas akan muncul dan
dapat tumbuh dengan baik. Menurut Hartman et al. (1990) dalam perbanyakan
vegetatif melalui stek pertumbuhan akar merupakan faktor awal yang sangat
penting selama pertumbuhan tanaman. Valentino (2012) menambahkan bahwa
tumbuh kembang akar sebagai salah satu unsur vital tanaman sangat dipengaruhi
oleh media tumbuh. Semakin baik kualitas tempat tumbuh, maka semakin baik
akar yang berkembang yang kemudian mendukung pekembangan bagian lain dari
tanaman seperti batang, daun, dan sebagainya.
Waktu muncul tunas, periode pertumbuhan tunas hingga panen, dan waktu
muncul akar memberikan hasil tidak nyata pada seluruh perlakuan. Hal ini
menunjukkan bahwa setiap perlakuan media dan sitokinin dalam percobaan ini
memberikan pengaruh yang hampir sama untuk setiap peubah waktu pada
bonggol pisang. Rata–rata waktu muncul tunas cukup lama, yaitu berkisar
27–28 hari (3–4 MST). Menurut Zaedin (1985) dalam jangka waktu 1–2 MST
tunas akan mulai keluar dari bonggol dan setelah 4–6 MST dengan tinggi tunas
37
20–30 cm sudah dapat dipindahkan sebagai bibit. Hasil percobaan Rabani (2009)
menunjukkan bahwa benih pisang dengan teknik toping dapat dipanen pada
5– 6 MST. Pada percobaan ini pemanenan dilakukan rata–rata pada 6 MST. Tunas
yang belum dapat dipanen menyebabkan periode pertumbuhan tunas hingga
panen menjadi lebih lama. Simmonds (1959) dan Rabani (2009) menyatakan
bahwa tunas yang belum tumbuh menjadi bibit diduga terjadi karena persaingan
dengan tunas lain dalam pertumbuhannya. Rata–rata kemunculan akar dari
percobaan ini cukup baik, yaitu berkisar 3-4 hari. Penyebaran perakaran dimulai
15 hari setelah tanam, berjumlah 14–20 akar sepanjang 10–50 cm dan
pembentukan akar berlangsung sampai tanaman berumur 75–90 hari
(Suhardiman, 2004).
Interaksi perlakuan media dan sitokinin terhadap persentase bonggol mati
terdapat pada 9 MST. Interaksi yang baru muncul pada 9 MST diduga karena
sitokinin membutuhkan waktu untuk bereaksi. Interaksi yang menunjukkan hasil
tertinggi didapatkan dari perlakuan media tanah, hal ini diduga karena adanya
penularan penyakit black had topling disease. Perlakuan media yang tidak
terdapat tanah dalam perlakuannya, hasil interaksi cenderung rendah. Sementara
pada perlakuan sitokinin sulit untuk melihat pada konsentrasi berapa sitokinin
berperan dalam matinya bonggol karena hasil uji yang tidak nyata.
Perlakuan media juga memberikan pengaruh yang sangat nyata pada
persentase bonggol mati. Media tanah merupakan perlakuan yang memberikan
hasil persentase bonggol mati tertinggi, sementara media arang sekam serta media
arang sekam + pupuk kandang sapi menghasilkan persentase bonggol mati
terendah. Di lapangan ditemukan tiga gejala matinya bonggol, yaitu: bonggol mati
karena adanya bekas penggerek, bonggol busuk, dan karena keropos. Penyebab
kematian bonggol ini dikarenakan adanya organisme pengganggu tanaman yang
habitatnya berada dalam media tanam, sehingga pemilihan media penting untuk
menghasilkan bibit pisang yang sehat dari cacahan bonggol. Kematian bonggol ini
kemungkinan saling berkaitan satu sama lain. Terlihat gejala terserangnya
bonggol oleh penggerek Cosmopolites sordidus dan ditemukannya nematoda
Radopholus similis yang dapat menyebabkan patogen lain merusak ke bonggol
sampai mengakibatkan kematian, sehingga timbul gejala lain seperti serangan
38
rayap yang sebenarnya hanya memakan jaringan mati tanaman sehingga bonggol
keropos.
Bonggol mati karena penggerek Cosmopolites sordidus dapat disebabkan
oleh terowongan yang dibuat oleh larva dan merupakan tempat untuk masuknya
patogen lain seperti Fusarium, sehingga dapat menyebabkan kerusakan dan
busuknya jaringan bonggol pisang. Pada serangan berat, bonggol pisang dipenuhi
lubang gerekan yang kemudian menghitam dan membusuk. Kerusakan yang
diakibatkan oleh hama ini menyebabkan tanaman muda mati, lemahnya sistem
perakaran, transportasi zat makanan terhambat, daun menguning, dan ukuran
tandan berkurang sehingga produksi menurun (Direktorat Perlindungan
Hortikilturan, 2012).
Bonggol mati karena busuk diakibatkan oleh nematoda Radopholus similis
dimana penyebarannya melalui media yang tidak steril dan bibit yang sudah telah
terserang sebelumnya. Nematoda yang masuk ke bagian–bagian tanaman dapat
melukai jaringan tanaman secara luas sehingga mengakibatkan busuk pada
jaringan tersebut. Busuknya bonggol ini kemungkinan juga disebabkan oleh
organisme lain yang masuk ketika nematoda merusak (Mustika, 2003). Penyakit
yang disebabkan oleh nematoda Radopholus similis adalah black had topling
disease. Gejala penyakit ini mulai terlihat pada akar yang rusak hingga mati
sehingga tanaman tidak mampu mensuplai hara. Akar pisang yang awalnya
berwarna putih akan berubah menjadi kuning kemudian menghitam dan mati.
Pada bonggol akan ditemukan tanda–tanda kerusakan berwarna hitam diikuti
garis–garis merah. Tanaman yang terserang tidak akan merespon pemupukan,
pengairan, atau perlakuan budidaya lainya. Daun pisang akan mengalami klorosis
karena defisiensi hara yang disebabkan oleh kerusakan akar akibat nematoda
(Feakin, 1971). Nematoda Radopholus similis (Burrowing Nematoda) hidup di
dalam tanah yang menyerang epidermis akar, rambut akar, sel–sel korteks atau
sel–sel di dekat stele. Radopholus similis merupakan endoparasit migrator yang
dapat berpidah dari akar sakit ke akar yang sehat. Masuknya Radopholus similis
dapat melalui luka. Radopholus similis dapat menjadi patogen penyebab penyakit
dan sebagai organisme yang membuat tanaman menjadi lebih mudah terserang
oleh patogen lainnya (Mustika, 2003). Serangan nematoda dapat dikurangi dengan
39
merendam bahan tanam dalam air hangat selama 15-20 menit atau menggunakan
akarisida dan nematosida sesuai dosis dan aplikasi pemakaian.
Bonggol mati karena keropos kemungkinan besar disebabkan oleh
serangan nematoda Radopholus similis yang menyebabkan jaringan bonggol rusak
dan rayap memakan bagian yang rusak tersebut sehingga terlihat seakan-akan
bonggol keropos seperti terserang rayap. Rayap ini merupakan jenis
Macrotermes sp. Family Termitidae ditemukan yang pertama kali ditemukan di
bonggol pada 1 MST (Gambar 19). Rayap bukan merupakan hama penting
tanaman pisang karena biasanya rayap hanya memakan jaringan–jaringan rusak
atau mati pada tanaman. Terdapat bonggol berlubang dan rapuh yang merupakan
gejala serangan rayap ditemukan pertama kali pada 4 MST (Gambar 19).
Terdapatnya gejala serangan rayap merupakan salah satu indikasi bahwa bonggol
telah terserang oleh nematoda Radopholus similis sejak 1–4 MST yang membuat
jaringannya rusak atau mati sehingga diserang oleh rayap.
Lingkungan juga berpengaruh terhadap pembibitan pisang dari cacahan
bonggol. Pisang membutuhkan matahari penuh dengan curah hujan bulanan antara
200–220 mm dan pH antara 4.5-8.5, dengan pH optimumnya 6.0 (Ashari, 2006).
Menurut Sunarjono (2003) tanaman pisang merupakan tanaman dengan tipe iklim
basah. Suhu yang dibutukan berkisar antara 22o–35
oC dengan suhu optimal 26
o–
30oC. Mulyanti et al. (2008) menyatakan bahwa curah hujan yang baik paling
tidak 100 mm/bulan, sementara suhu optimum untuk pertumbuhan adalah 27oC
dan suhu maksimumnya 38oC. Curah hujan pada saat percobaan cukup tinggi
berkisar 227.7 mm/bulan. Pada saat persiapan percobaan beberapa bonggol yang
merupakan bahan tanam banyak mengalami kebusukan. Bonggol anakan
sebaiknya ditanam satu minggu setelah diambil dari tanah dan disimpan di tempat
yang teduh dan kering sehingga akan terhindar dari kebusukan karena curah hujan
yang tinggi. Suhu rata–rata di lapangan saat percobaan adalah 26.1oC dengan
kelembaban udara 84%, intensitas penyinaran matahari sebesar 254.7 cal/cm2, dan
pH masing-masing media berkisar 4.8-5.1 memberikan lingkungan yang cukup
baik bagi pertumbuhan bibit pisang di lapangan selama percobaan.
Pada percobaan pembibitan pisang dengan cacahan bonggol ini dapat
menghasilkan rata-rata hingga tiga tunas untuk setiap bonggolnya, tergantung
40
ukuran bonggol. Dari tunas yang tumbuh dapat dipanen satu hingga dua bibit
pisang dalam kurun waktu dua bulan. Anakan pohon pisang dapat mencapai
2-4 anakan dalam waktu 6 bulan (Tri et.al, 2006). Dari jumlah tersebut, jika
dijadikan bibit hanya akan menghasilkan 2 bibit pisang dari anakan dalam waktu
6 bulan, sementara dengan menggunakan cacahan bonggol akan didapatkan
3-6 bibit siap tanam dalam waktu 6 bulan. Dibandingkan dengan kultur jaringan
metode ini tergolong murah dan mudah dilakukan oleh petani karena menurut
percobaan ini cukup membutuhkan media yang baik dalam aplikasinya, walaupun
dari segi jumlah dan kecepatan produksi kultur jaringan masih lebih unggul.
Gambar 19. Rayap Macrotermes sp. Family Termitidae (a), rayap pada cacahan
bonggol (b), dan Gejala bonggol berlubang dan rapuh oleh rayap
selama percobaan(c).
a b c
41
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Media tanam yang berbeda berpengaruh nyata pada peubah jumlah akar,
jumlah tunas di bonggol, dan jumlah bonggol mati. Jumlah tunas di bonggol
terbanyak didapatkan dari media arang sekam + pupuk kandang sapi, jumlah akar
terbanyak didapatkan dari media arang sekam, dan jumlah bonggol mati
terbanyak didapatkan dari media tanah. Jenis media tanam terbaik untuk
perbanyakan pisang Raja bulu dari cacahan bonggol adalah media arang sekam +
pupuk kandang sapi yang menghasilkan jumlah tunas di bonggol terbanyak.
Perbedaan konsentrasi sitokinin BA tidak berpengaruh terhadap semua
peubah pertumbuhan dan perkembangan pisang raja bulu dari cacahan bonggol.
Interkasi perlakuan media dan sitokinin berpengaruh terhadap persentase bonggol
mati pada akhir penelitian dengan perlakuan tertinggi didapatkan dari sitokinin
10 ppm dan media tanah.
Saran
Penggunaan media campuran arang sekam + pupuk kandang sapi
merupakan media terbaik untuk perbanyakan pisang Raja bulu dari cacahan
bonggol karena selain menghasilkan jumlah tunas dan akar yang cukup baik,
media ini juga akan membantu meminimumkan kerusakan akibat penularan
organisme pengganggu tanaman yang berhabitat di dalam tanah, sehingga
menghasilkan bibit yang sehat.
42
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, A.S., dan A. P. Lontoh. 1984. Usaha Perbanyakan Tanaman Secara Cepat
dengan Teknik Pembiakan Vegetatif dan Pemakaian Zat Tumbuh. Lapaoran
Percobaan Kelompok. Proyek Peningkatan atau Pengembangan Perguruan
Tinggi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 77 hal.
Agung, L. 2011. Induksi Pertumbuhan Mata Tunas Aksilar Aglaonema Pride of
Sumatra secara In Vitro melalui Penambahan BAP dan 2,4-D. Skripsi.
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 36 hal.
Andriana, D. 2005. Pengaruh Konsentrasi BAP terhadap Multiplikasi Tunas dan
Giberelin terhadap Kualitas tunas Pisang FHIA-17 In Vitro. Skripsi.
Program Studi Hortikulturan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 35 hal.
Ashari, S. 2006. Hortikultura Aspek Budidaya Edisi Revisi. UI Press. Jakarta. 485
hal.
Asmarawati, M. 2011. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh terhadap Pertumbuhan
Bibit Pisang (Musa Paradisiaca L.) Kultivar Kepok Kuning Asal Cacahan
Bonggol (BIT) pada berbagai Media Tanam. Skripsi. Progaram Studi
Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas PGRI Yogyakarta.
Yogyakarta. 11hal.
BBPP. 2010. Media tanaman hidroponik dari arang sekam. www2.bbpp-
lembang.info. [01 Maret 2012]
BPS. 2005. Buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri (Import). Badan Pusat
Statistik. Jakarta. 161 hal.
____. 2008. Analisa Komoditi Ekspor 2002-2008. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
140 hal.
____. 2010. Produksi buah-buahan di Indonesia 1995-2010. http://www.bps.go.id.
[ 20 Februari 2012].
43
____. 2011. Buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri; Ekspor. Badan Pusat
Statistik. Jakarta. 116 hal.
Deptan. 2012. Buku pedoman peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu
produk tanaman buah berkelanjutan 2012.
http://www.hortikultura.go.id/home/?q=node/286. [ 20 Februari 2012]
Direktorat Perlindungan Hortikultura. 2012. Penggerek Bonggol.
http://ditlin.hortikultura.go.id. [18 November 2012].
Douglas, J. S. 1985. Advanced Guide to Hydroponics. Pelham Books. London. 61
– 82 p.
Ernawati, A., A. Purwito, dan J. M. Pasaribu. 2005. Perbanyakan tunas mikro
pisang rajabulu (Musa AAB Group) dengan eksplan anakan dan jantung.
Bul. Agron. (33) (2): 31-38.
Feakin, S.D. 1971. Nematodes, p. 77-84. In B.Steele, A.Ward, and S.J. Maclay
(Eds.). Pest Control in Bananas. Pans. London.
Fratini, R., Ruiz MS. 2002. Comparative study of different cytokinin in the
induction of morphogenesis in lentil (Lensculinaris medik). In Vitro Cell
Dev. Biol. Plant. 38:46-51.
Gaba VP. 2005. Plant Growth Regulators in Plant Tissue Culture and
Developmant, p. 87-99. In Trigiano RN, and Gray JD (Eds.). Plant
Development and Biotechnology. CRC Press. New York.
Gomez, K.A. dan A.A. Gomez. 2007. Prosedur Statistika untuk Percobaan
Pertanian (diterjemahkan dari : Statistical Procedures for Agricultural
Research, penerjemah : E. Sjamsudin dan J.S. Baharsjah). Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. 698 hal.
Hanafiah, K. A. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta. 360 hal.
44
Hanum, C. 2008. Teknik Budidaya Tanaman. Jilid 2. Direktorat Pembinaan
Sekolah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. 549 hal.
Harjadi, M.M.S.S. 1996. Pengantar Agronomi. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta. 197 hal.
Hardjowigeno, S. 2010. Ilmu Tanah. CV Akademika Pressindo. Jakarta. 288 hal.
Hartatik, W. dan L.D. Widowati. 2006. Pupuk kandang, p.59-82. Dalam R.D.M.
Simanungkalit, D.A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini, dan W.
Hartatik (Eds). Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Percobaan
dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Hartman, H.T., Davies F.T., and D. E. Kester. 1990. Plant Propagation: Principles
and Practices. 5st ed. Prentice Hall Inc. New Jersey. 759 p.
Hendaryono, Daisy dan Arie W. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Kanisius.
Yogyakarta. 144 hal.
Hidayat, A. 2001. Menyiapkan Media Tanam. Departemen Pendidikan Nasional.
Bandung. 59 hal.
IKAPI. 1985. Bertanam Pohon Buah-buahan 2. Kanisius. Yogyakarta. 79 hal.
Isnaeni, N. 2008. Pengaruh TDZ terhadap Inisiasi dan Multiplikasi Kultivar In
Vitro Pisang Raja bulu (Musa paradisiaca L. AAB Group). Skripsi.
Program Studi Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 47 hal.
Menegristek. 2000. Pisang. Kementrian Negara Riset dan Teknologi, Bidang
Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu dan Teknologi. Jakarta. 13 hal.
Miller, R.W. and R.L. Donahue. 1990. Soils an Introduction to Soil and Plant
Growth. Prentice Hall, Inc., Eaglewood Cliffs. New Jersey. 768 p.
45
Mulyanti, N., Suprapto, dan J. Hendra. 2008. Teknologi Budidaya Pisang. Agro
Inovasi. Bogor. 28 hal.
Mustika, I. 2003. Penyakit – penyakit Utama yang Disebabkan oleh Nematoda.
Pelatihan Identifikasi dan Pengelolaan Nematoda Parasit Utama Tanaman.
PKPHT-HPT, IPB. Bogor. 30-63 hal.
PKBT. 2005. Laporan Akhir Riset Unggulan Nasional Pengembangan Buah-
buahan Unggulan Indonesia. IPB.Bogor.
Prawiranata, W., S. Harran, dan P. Tjondronegoro. 1981. Dasar-Dasar Fisiologi
Tumbuhan. Jilid II. Departemen Botani, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 224 hal.
Rabani, B. 2009. Aplikasi Teknik Topingpada Perbanyakan Benih Pisang (Musa
paradisiaca L.) dari Benih Anakan dan Kultur Jaringan. Skripsi.
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut
Pertaninan Bogor. Bogor. 42 hal.
Rismunandar. 2001. Bertanam Pisang. Sinar Baru Algensindo. Bandung. 91 hal.
Santoso, P. J. 2008. Produksi benih pisang dari rumpun in situ. Iptek Hortikultura
4:25-33.
Rizqi, M. 2011. Cosmopolites sordidus (Penggerek Bonggol Pisang).
www.labscorner.org [18 November 2012].
Simmonds, N. W. 1959. Bananas. Longman Ltd. London. 512p.
Sitawati dan N. Soewarno. 1989. Pengaruh panjang turus dan pemberian zat
tumbuh terhadap pertumbuhan turus apel liar (Malus sp.). Agrivita vol.12
no.1:1-3.
Suhardiman, P. 2004. Budidaya Pisang Cavendish. Kanisius. Yogyakarta. 79 hal.
Sunarjono, H. 2003. Ilmu Produksi Tanaman Buah – buahan. Sinar Baru
Algensindo. Bandung. 209 hal.
46
Supramana. 2003. Identifikasi Nematoda Parasit Utama Tumbuhan. Pelatihan
Identifikasi dan Pengelolaan Nematoda Parasit Utama Tanaman. PKPHT-
HPT, IPB. Bogor. 73-88 hal.
Suri, F. V. 2000. Pengaruh Media Tanam dan Larutan Nutrisi Tanaman terhadap
Produksi Stek Mini Kentang (Solanum tuberosum L.). Skripsi. Jurusan
Budi Daya Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
40 hal.
Suriadikarta, D.A. dan R.D.M. Simanungkalit. 2006. Pendahuluan, p.1-10.
Dalam R.D.M. Simanungkalit, D.A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini,
dan W. Hartatik (Eds). Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar
Percobaan dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Sutedjo, M. M. 1994. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Citra. IKAPI. Jakarta.
165 hal.
Syaifan, U. 2010. Pengaruh Benzyl Adenine (BA) terhadap Pertumbuhan Eksplan
Dua Kultivar Krisan (Dendranthema grandiflora Tzelev Syn.) secara In
Vitro. Skripsi. Program Studi Agronomi, fakultas Pertanian Bogor. Bogor.
51 hal.
Tri, R. E., Awaludin, A. Susanto. 2006. Pengaruh media terhadap pertumbuhan
bibit pisang susu asal bonggol di Sambelia, Lombok Timur, NTB. BPTP
NTB. Lombok Timur.
____. 2006. Pengaruh asal bibit terhadap pertumbuhan beberapa jenis pisang di
lahan kering. BPTP NTB. Lombok Timur.
Valentino, N. 2012. Pengaruh Pengaturan Kombinasi Media terhadap
Pertumbuhan Anakan Cabutan Tumih [Combretocarpus rotundatus (Miq.)
Danser]. Skripsi. Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 47 hal.
Wardiyati, T. et al. 2012. Micropropagation of Curcuma xanthorhyza.
http://tatiekw.lecture.ub.ac.id/2012/03/micropropagation-of-curcuma-
xanthorhyza. [24September 2012]
47
Wuryaningsih, S. dan Darliah. 1994. Pengaruh media sekam padi terhadap
pertumbuhan tanaman hias pot Spathiphyllum. Buletin Percobaan Tanaman
Hias 2(2): 119-129.
Zaedin, O. 1985. Membuat dan Melipatgandakan Bibit Pohon Buah-buahan. PT
Intemasa. Jakarta. 51 hal.
Zulkarnain, H. 2009. Kultur Jaringan Tanaman. Bumi Aksara. Jakarta. 249 hal.
49
Lampiran 1. Layout percobaan pengaruh media tanam dan zat pengatur tumbuh
sitokinin (BA) terhadap perbanyakan tunas pisang Raja bulu dari
cacahan bonggol.
KELOMPOK
1
KELOMPOK
2
KELOMPOK
3
A4B1
A3B3
A1B4
A2B4
A3B1
A4B4
A2B1
A2B4
A2B3
A2B2
A4B1
A2B4
A4B4
A3B4
A1B1
A3B1
A2B1
A3B4
A1B1
A2B3
A2B2
A4B3
A4B2
A3B3
A1B4
A3B2
A4B3
A3B3
A1B2
A1B3
A1B3
A4B4
A3B1
A1B2
A1B4
A4B2
A4B2
A4B3
A2B1
A3B2
A1B1
A4B1
A2B3
A1B3
A1B2
A3B4
A2B2
A3B2
Keterangan arah mata angin
U
Keterangan:
Media:
B1 : Tanah
B2 : Arang sekam
B3 : Arang sekam + tanah
B4 : Arang sekam + pupuk
kandang sapi
Konsentrasi BA:
A1 : 0 ppm
A2 : 10 ppm
A3 :20 ppm
A4 : 30 ppm
50
Lampiran 2. Rata-rata suhu dan kelembaban di Kota Bogor selama bulan April –
Juni 2012.
Bulan Suhu (°C) RH (%)
Pagi Siang Pagi Siang
April 26.38 32.31 88.15 75.38
Mei 25.52 33.55 88.45 59.19
Juni 25.78 34.67 78.00 58.33
Lampiran 3. Pelaksanaan percobaan pengaruh media tanam dan zat pengatur
tumbuh sitokinin (BA) terhadap perbanyakan tunas pisang Raja bulu
dari cacahan bonggol.
.
Keterangan:
1. Pengolahan tanah.
2. Bonggol dipotong hingga beratnya sekitar 1-2 gram.
3. Bonggol direndam dalam larutan perlakuan, fungisida, dan bakterisida.
4. Bonggol ditanam di lahan dengan jarak tanam 5 cm x 5 cm.
5. Bonggol ditutup dengan media.
1 2 3
4 5
51
Lampiran 4. Pemanenan bibit pisang dari cacahan bonggol.
Keterangan:
1. Pilih tunas yang telah memenuhi kriteria panen.
2. Potong tunas dengan menyisakan sedikit bonggol dan akar.
3. Sisa bonggol ditanam kembali.
4. Bibit siap yang dipindahkan ke polybag.
5. Bibit dipindah ke dalam polybag dengan media tanah, sekam dan pupuk
kandang.
6. Bibit siap salur.
1 2
3 4 6 5