PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

73
PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI BATUBARA SUBBITUMINUS MENGGUNAKAN KAPANG Phanerochaete chrysosporium ARINA FINDO SARI PROGAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013 M / 1434 H

Transcript of PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

Page 1: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI

BATUBARA SUBBITUMINUS MENGGUNAKAN KAPANG

Phanerochaete chrysosporium

ARINA FINDO SARI

PROGAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2013 M / 1434 H

Page 2: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI

BATUBARA SUBBITUMINUS MENGGUNAKAN KAPANG

Phanerochaete chrysosporium

Oleh:

ARINA FINDO SARI

NIM 109095000013

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Sarjana Sains Bidang Biologi

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2013 M/1434 H

Page 3: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...
Page 4: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...
Page 5: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR

HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI

SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU

LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, 30 September 2013

Arina Findo Sari

109095000013

Page 6: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

ABSTRAK

Arina Findo Sari. Pengaruh Iradiasi Gamma Terhadap Biosolubilisasi Batubara

Subbituminus Menggunakan Kapang Phanerochaete chrysosporium. Dibawah

bimbingan Irawan Sugoro dan Megga Ratnasari Pikoli.

Biosolubilisasi adalah teknologi untuk mengubah batubara dari fase padat menjadi cair

dengan bantuan mikroorganisme. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

pengaruh perlakuan iradiasi gamma terhadap biosolubilisasi batubara subbituminus

dengan menggunakan isolat kapang Phanerochaete chrysosporium. Metode yang

digunakan adalah kultur terendam dengan perlakuan A (media MSS + batubara

subbituminus mentah + P. chrysosporium) dan perlakuan B (media MSS + batubara

subbituminus steril + P. chrysosporium). Kultur diinkubasi selama 21 hari pada suhu

ruang dan agitasi 120 rpm. Parameter yang diukur adalah pH, kolonisasi, produk hasil

biosolubilisasi berdasarkan nilai absorbansi λ 250nm untuk senyawa fenolik dan λ450nm

untuk senyawa aromatik, uji protein ekstraseluler, analisis FDA terhidrolisis dan

analisis GC-MS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapang P. chrysosporium dapat

tumbuh dengan baik dalam medium batubara subbituminus mentah (A) dan steril (B).

pH medium kedua perlakuan mengalami kondisi asam selama inkubasi. Perlakuan A

memiliki pH lebih rendah dari B, laju produksi senyawa fenolik, aromatik, analisis

protein ekstraseluler dan analisis GC-MS A lebih tinggi dari B. Hasil inkubasi hari ke-

6 pada perlakuan A dapat menghasilkan senyawa yang setara dengan bensin, diesel

(solar) dan kerosin, sebesar 58,59%, 82,62% dan 23,25% area.

Kata Kunci : Biosolubilisasi, batubara subbituminus, iradiasi gamma, Phanerochaete

chrysosporium

Page 7: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

ABSTRACT

Arina Findo Sari. Effect of Gamma Irradiation Against Biosolubilization

Subbituminous Coal Using Fungus Phanerochaete chrysosporium. Advisor Irawan

Sugoro dan Megga Ratnasari Pikoli.

Biosolubilization is a technology to convert coal from a solid phase to a liquid by using

microorganisms. The purpose of this study was to determine the effect of gamma

irradiation on biosolubilization of subbituminus coal by fungi of Phanerochaete

chrysosporium. The method was submerged culture with treatment of A (MSS+ + raw

subbituminus coal + P. chrysosporium) and B (MSS+ + irradiated subbituminus coal +

P. chrysosporium). Cultures were incubated for 21 days at room temperature and

agitation of 120 rpm. The parameters were pH, colonization, and the products of

biosolubilization based on absorbance value of λ250nm for phenolic compounds and

λ450nm for aromatic compounds, extracellular protein test, analysis of FDA hydrolyzed

and GC-MS analysis. The results showed that the fungus P. chrysosporium growth

well in a medium of raw subbituminus coal (A) and irradiated (B). Both of treatment

have a acidic medium during incubation. A treatment has a lower pH than B, the rate of

production of phenolic compounds, aromatic, extracellular protein analysis and GC-

MS analysis of A was higher than B. The results of the 6th day of incubation at A

treatment can produce a compound equivalent to gasoline, diesel and kerosene was

58.59% 82.62%, and 23.25% respectively.

Key words : Biosolubilization, subbituminous coal, gamma irradiation, Phanerochaete

chrysosporium

Page 8: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang selalu memberikan nikmat yang

tiada terhingga hingga dengan segala nikmat-Nya penyusun dapat menyelesaikan

penulisan skripsi yang berjudul “Pengaruh Iradiasi Gamma Terhadap

Biosolubilisasi Batubara Subbituminus Menggunakan Kapang

Phanerochaete chrysosporium” dalam rangka Tugas Akhir sebagai syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Sains pada Program Studi Biologi di Fakultas Sains dan

Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih karena adanya

dukungan dari banyak pihak yang terkait, untuk itu penulis berterimakasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Orang Tua yang selalu mendoakan, nasihat serta memberikan dukungan baik

moril maupun materil kepada penulis.

2. Dr. Irawan Sugoro, M.Si selaku pembimbing I yang memberikan kesempatan,

bimbingan, saran, nasihat dan pengarahan dari awal penelitian hingga

penulisan skripsi.

3. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si selaku pembimbing II yang senantiasa

memberikan informasi-informasi serta saran dan pengarahan dalam

melakukan penelitian dan penulisan skripsi.

4. Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Dasumiati, M.Si selaku Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan

Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Ir. Etyn Yunita, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Biologi Fakultas Sains

dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 9: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

ii

7. Mbak Wulan dan Avika yang telah mendoakan dan menjadi motivasi Penulis.

8. Dr. Mirzan T. Razzak, M.Eng,APU, Reno Fitri, M.Si dan Dra. Nani Radiastuti,

M .Si selaku penguji seminar proposal dan hasil serta Dr. Fahma Wijayanti,

M.Si dan Priyanti, M.Si selaku penguji sidang/munaqasah terimakasih atas

saran dan nasehat yang telah diberikan.

9. Seluruh Dosen-Dosen Program Studi Biologi yang telah memberi ilmu yang

bermanfaat bagi Penulis.

10. Staf PATIR – Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Pasar Jumat serta

Pusat Penelitian dan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (LEMIGAS) Jakarta

yang telah membantu.

11. Dinda, Ninda, Kamal Tamasuki serta teman-teman Biologi angkatan 2009

atas dukungan, bantuan dan memberikan semangat.

12. Dita, Ayya, Nia dan Gyo yang telah membantu selama penelitian.

13. Teman-teman dari Dapur Seni dan Himpunan Mahasiswa Biologi yang telah

membantu dan mengingatkan.

14. Dan semua yang telah terlibat hingga penulisan ini dapat terselesaikan.

Penulis berharap bahwa skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi

Penulis dan umumnya bagi para pembaca.

Jakarta, September 2013

Penulis

Page 10: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

iii

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar .................................................................................................... i

Daftar Isi.............................................................................................................. iii

Daftar Gambar ..................................................................................................... v

Daftar Tabel ........................................................................................................ vii

Daftar Lampiran .................................................................................................. viii

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1

1.2 Perumusan Masalah ............................................................................ 4

1.3 Hipotesis ............................................................................................. 4

1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................ 4

1.5 Manfaat Penelitian .............................................................................. 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batubara .............................................................................................. 6

2.1.1 Pembentukan Batubara ............................................................. 6

2.1.2 Klasifikasi Batubara ................................................................. 7

2.2 Biosolubilisasi Batubara ..................................................................... 11

2.3 Iradiasi Gamma ................................................................................... 12

2.4 Phanerochaete chrysosporium ………... ........................................... 12

2.5 Minyak Bumi ...................................................................................... 14

2.6 Spektrofotometer UV-VIS .................................................................. 14

2.7 GC-MS (Gas Chromatography Mass Spectrometry)......................... 16

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................. 18

3.2 Alat dan Bahan ................................................................................... 18

3.3 Metode Kerja ..................................................................................... 18

3.3.1 Sterilisasi Alat ........................................................................ 18

3.3.2 Perlakuan Batubara ................................................................. 19

3.3.2.1 Persiapan Serbuk Batubara ............................................. 19

3.3.2.2 Sterilisasi Batubara dengan Iradiasi Gamma .................. 19

3.3.2.3 Penentuan Dosis Steril .................................................... 19

3.3.3 Pembuatan Media ................................................................... 20

3.3.3.1 Pembuatan Media Sabroud Dextros Agar (SDA) dan

Plate Count Agar (PCA) ................................................. 20

3.3.3.2 Pembuatan Media MSS ................................................. 20

3.3.3.3 Pembuatan Media MSS +.............................................. 20

3.3.4 Biosolubilisasi Batubara menggunakan Kapang

P.chrysosporium ..................................................................... 20

Page 11: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

iv

3.3.5 Analisis Biosolubilisasi Batubara Subbituminus

menggunakan Kapang P.chrysosoporium .............................. 21

3.3.5.1 Pengukuran pH Media .................................................... 21

3.3.5.2 Kolonisasi Miselia Kapang pada Batubara..................... 21

3.3.5.3 Analisis Uji Protein Ekstraseluler dengan Metode

Lowry Penentuan Dosis Steril ....................................... 21

3.3.5.4 Analisis Aktifitas Enzim dengan Fluorescein

Diacetate (FDA) ............................................................ 22

3.3.5.5 Pengukuran Spektrofotometer UV-Vis ......................... 22

3.3.5.6 Analisis Produk dengan GC-MS .................................... 23

3.3.5.7 Analisis Data .................................................................. 23

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sterilisasi Batubara Hasil Iradiasi Gamma ......................................... 24

4.2 Analisis Hasil Biosolubilisasi Batubara dengan Kapang P.

chrysosporium .................................................................................... 25

4.2.1 Perubahan pH Media ............................................................... 25

4.2.2 Kolonisasi Miselium Kapang P.chrysosporium pada

Batubara .................................................................................. 28

4.2.3 Analisis Senyawa Fenolik dan Aromatik Terkonjugasi .......... 32

4.2.4 Hasil Scanning Spektrofotometer (200-600 nm) Senyawa

Fenolik dan Aromatik ............................................................. 35

4.2.5 Hasil Analisis Uji Protein Ekstraseluler .................................. 37

4.2.6 Hasil Pengukuran FDA (Fluorescein Diacetate)

Terhidrolisis ............................................................................ 38

4.2.7 Hasil Biosolubilisasi dengan Analisis GC-MS ........................ 40

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 46

3.2 Saran ................................................................................................... 46

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 47

LAMPIRAN ....................................................................................................... 52

Page 12: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

v

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 : Proses Pembentukan Batubara ......................................................... 7

Gambar 2 : Batubara Antrasit ............................................................................. 8

Gambar 3 : Batubara Bittuminus ........................................................................ 9

Gambar 4 : Batubara Subbituminus .................................................................... 10

Gambar 5 : Batubara Lignit ................................................................................ 11

Gambar 6 : Phanerochaete chrysosporium ......................................................... 13

Gambar 7 : Bagan Susunan Alat Spektrofotometer ............................................ 16

Gambar 8 : Nilai pH pada Perlakuan MSS++ Batubara Mentah + P.

chrysosporium (A) dan Media MSS++ Batubara Steril + P.

chrysosporium .................................................................................. 26

Gambar 9 : Nilai Absorbansi pada Pengukuran Senyawa Fenolik dengan

Panjang Gelombang 250 nm Hasil Biosolubilisasi Kapang

P. chrysosporium .............................................................................. 33

Gambar 10: Nilai Absorbansi Pada Pengukuran Senyawa Aromatik dengan

Panjang Gelombang 450 nm Hasil Biosolubilisasi Kapang

P. chrysosporium .............................................................................. 34

Gambar 11: Kadar Protein Ekstraseluler pada Uji Lowry Kapang P.

chrysosporium .................................................................................. 37

Gambar 12: Hasil Hidrolisis FDA pada Panjang Gelombang 490 nm kapang

P. chrysosporium ............................................................................. 39

Page 13: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

vi

Gambar 13 : Persentase Area Hasil Senyawa Solar,Bensin dan Kerosin pada

Perlakuan A (Batubara mentah+ Kapang P.chrysosporium) dan

B (Batubara Steril + Kapang P. chrysosporium) dengan Agitasi

120 rpm saat Inkubasi 6 hari ............................................................ 44

Page 14: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

vii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1: Jumlah Bakteri dan Fungi dengan Berbagai Dosis Iradiasi .................. 24

Tabel 2: Pengamatan Kolonisasi pada Batubara Mentah + P. chrysosporium

(A) dan Media MSS++ Batubara Steril + P. chrysosporium (B)

dengan Perbesaran 1000x ................................................................... 29

Tabel 3: Scanning 200-600 nm pada Media Perlakuan MSS+ + Batubara

Mentah + P. chrysosporium (A) dan Media MSS+ + Batubara Steril

+ P. chrysosporium.(B) ......................................................................... 36

Tabel 4: Senyawa pada Hasil Biosolubilisasi Batubara Subbituminus dengan

GC-MS .................................................................................................. 41

Page 15: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1: Kerangka Berpikir .......................................................................... 52

Lampiran 2: Skema Penelitian ............................................................................ 53

Lampiran 3: Inokulum Kapang P. chrysosporium .............................................. 54

Lampiran 4: Sampel Uji ...................................................................................... 55

Lampiran 5: GC-MS Shimadzu .......................................................................... 56

Lampiran 6: Nilai Rata-rata Produk Hasil Biosolubilisasi .................................. 57

Page 16: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Seiring bertambahnya jumlah penduduk meningkatnya pertumbuhan

ekonomi dan tingginya tingkat konsumsi, maka kebutuhan energi akan semakin

meningkat. Energi yang biasa digunakan adalah bahan bakar fosil seperti minyak

bumi. Produksi minyak bumi Indonesia tahun 2010 sebesar 344,9 juta barel dan

produksi 5 tahun terakhir minyak mentah menunjukkan kecenderungan penurunan

(BPS Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, 2010).

Hasil dari minyak bumi yang mengalami penurunan mendorong para

peneliti untuk mencari sumber energi lain yang memiliki potensial tinggi seperti

batubara. Jumlah sumber daya batubara Indonesia tahun 2005 berdasarkan

perhitungan Pusat Sumber Daya Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya

Mineral adalah sebesar 61,366 miliar ton (Pusat Litbang Teknologi Mineral dan

Batubara, 2006). Batubara yang digunakan dalam bentuk padatan akan

menimbulkan polusi yang tinggi. Oleh karena itu diperlukan teknologi untuk

menghasilkan batubara dalam jumlah besar namun tidak menimbulkan polusi

yang tinggi.Salah satu teknologinya adalah biosolubilisasi.

Biosolubilisasi yaitu teknologi yang menggunakan mikroorganisme untuk

dapat mengubah batubara padat menjadi batubara cair yang dapat digunakan

sebagai pengganti bahan bakar minyak (Yin dkk., 2009). Hal tersebut diperkuat

dengan adanya penelitian sebelumnya oleh Willmann & Fakoussa (1997) yang

Page 17: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

2

mengatakan bahwa biosolubilisasi batubara dengan bantuan mikroba dapat

menjadi metode alternatif untuk memproduksi batubara cair yang dapat bernilai.

Mikroba yang dapat digunakan dalam proses biosolubilisasi salah satunya

adalah fungi. Jenis fungi yang telah diketahui memiliki kemampuan sebagai agen

biosolubilisasi batubara adalah Coriolus versicolor, Aspergillus sp., Candida

sp.,Paecilomyces sp., Phanerochaete chrysosporium, Penicillum sp.,dan

Geosmithia argillacea (Klasson dkk., 1993). Penelitian biosolubilisasi batubara di

Indonesia telah diperoleh sejumlah kapang yang berpotensi sebagai agen

biosolubilisasi batubara seperti Trichoderma sp. dan Penicillium sp. dari filum

Ascomycota (Sugoro dkk., 2009). Produk yang dihasilkan setara dengan minyak

bumi, tetapi masih dalam jumlah yang sangat kecil dengan kisaran 3 - 8 %

(Sugoro dkk., 2011).

Penelitian ini menggunakan kapang Phanerochaete chrysosporium yang

termasuk filum Basidiomycota hasil isolasi dari pertambangan batubara di

Sumatera Selatan. Isolat ini diketahui memiliki kemampuan sebagai agen

biosolubilisasi batubara. Kapang P. chrysosporium merupakan fungi pelapuk

putih yang mampu mendegradasi lignin dan mineral (Istikowati & Marsoem,

2012). Menurut Oktadianti (2010), kapang P. chrysosporium mampu

menghasilkan enzim ekstraseluler untuk mendegradasi senyawa polimer aromatik

lignin seperti peroksidase, mangan peroksidase (MnP), lakase dan lignin

peroksidase (LiP).

Dalam penelitian ini digunakan batubara steril hasil iradiasi gamma.

Perlakuan ini merupakan salah satu cara untuk peningkatan kinerja biosolubilisasi.

Page 18: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

3

Batubara yang digunakan adalah jenis subbituminus berasal dari pertambangan di

Sumatera Selatan. Iradiasi gamma dapat mempengaruhi kelarutan batubara karena

adanya oksidasi yang berasal dari radiolisis air sehingga dapat mempengaruhi

dekomposisi batubara. Kenaikan hasil solubilisasi disebabkan oksidasi bahan

organik dan pengurangan tingkat polimerisasi. Radiasi juga dapat membantu

memecah senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana (Rahayu

dkk., 2009). Menurut Aditiawati dkk. (2011) iradiasi batubara akan menyebabkan

terputusnya ikatan kompleks dan dapat meningkatkan site adsorpsi enzim.

Penggunaan iradiasi gamma di awal perlakuan batubara diketahui dapat

meningkatkan biosolubilisasi batubara dengan menggunakan kapang Trichoderma

sp. (Sugoro dkk., 2011). Selain itu, menurut penelitian Yuslida (2011) bahwa

biosolubilisasi dengan media MSS + batubara steril 5% + kapang Trichoderma sp.

inkubasi hari ke-2 mampu menghasilkan solar 25%.

Berdasarkan hal di atas, maka akan dilakukan penelitian untuk melihat

perbedaan biosolubilisasi antara batubara subbituminus mentah dan hasil iradiasi

gamma oleh kapang P. chrysosporium dengan menggunakan kultur terendam.

Penelitian diawali dengan penentuan dosis sterilisasi dengan dosis iradiasi gamma

yang digunakan adalah dosis 2,5; 5; 10; 20 dan 40 kGy. Selanjutnya batubara

steril digunakan untuk pengujian biosolubilisasi dengan pembanding batubara

mentah yang mengandung mikroba indigenus. Analisis yang dilakukan untuk

mengetahui hasil biosolubilisasi yaitu uji pH media, kolonisasi miselium kapang

P.chrysosporium pada batubara, analisis senyawa fenolik dan aromatik

Page 19: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

4

terkonjugasi serta scanning pada panjang gelombang 200-600 nm, uji protein

ekstraseluler, pengukuran FDA terhidrolisis dan uji GC-MS.

1.2. Perumusan Masalah

1. Apakah terjadi perbedaan biosolubilisasi antara batubara subbituminus

mentah dengan hasil perlakuan iradiasi gamma (batubara steril)

menggunakan kapang P. chrysosporium?

2. Bagaimana karakteristik produk hasil dari biosolubilisasi antara batubara

subbituminus mentah dengan hasil perlakuan iradiasi gamma (batubara

steril) menggunakan kapang P. chrysosporium?

1.3. Hipotesis

1. Biosolubilisasi batubara subbituminus menggunakan kapang

P.chrysosporium antara batubara mentah dan perlakuan dengan iradiasi

gamma (batubara steril) memiliki perbedaan.

2. Produk biosolubilisasi batubara subbituminus mentah memiliki

karakteristik produk hasil lebih baik dan lebih berpotensi dijadikan sumber

bahan bakar minyak daripada perlakuan iradiasi gamma (batubara steril)

menggunakan kapang P. chrysosporium.

1.4. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh hasil perlakuan iradiasi gamma terhadap

biosolubilisasi batubara menggunakan P. chrysosporium.

2. Mengetahui karakteristik produk hasil dari biosolubilisasi antara batubara

subbituminus mentah dengan hasil perlakuan iradiasi menggunakan

kapang P. chrysosporium.

Page 20: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

5

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian mengenai biosolubilisasi batubara subbituminus hasil perlakuan

iradiasi gamma menggunakan kapang P. chrysosporium diharapkan dapat

memberikan pengetahuan mengenai pemanfaatan iradiasi gamma untuk

biosolubilisasi batubara subbituminus oleh kapang P. chrysosporium.

Page 21: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batubara

Pembentukan batubara dimulai sejak Carboniferous Period (Periode

Pembentukan Karbon) dikenal sebagai zaman batubara pertama yang berlangsung

antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Mutu dari setiap endapan

batubara ditentukan oleh jenis vegetasi, suhu dan tekanan serta lama waktu

pembentukan, yang disebut sebagai maturitas organik (World Coal Institute,

2009).

2.1.1. Pembentukan Batubara

Batubara adalah bahan bakar hidrokarbon padat yang terbentuk dari

tumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen yang dipengaruhi oleh panas dan

tekanan yang berlangsung lama di alam dengan komposisi yang komplek (Hadi

dkk., 2012). Endapan batubara adalah endapan yang mengandung hasil akumulasi

material organik yang berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang telah melalui proses

litifikasi untuk membentuk lapisan batubara. Material tersebut telah mengalami

kompaksi dan ubahan kimia oleh peningkatan panas dan tekanan selama periode

geologis. Bahan-bahan organik yang terkandung dalam lapisan batubara

mempunyai berat lebih dari 50% (Badan Standardisasi Nasional, 1999).

Gambar 1 menunjukkan terbentuknya batubara yaitu proses awal batubara

adalah gambut berubah menjadi lignit (batubara muda) atau batubara coklat. Ini

adalah batubara dengan jenis kandungan bahan organik rendah. Dibandingkan

Page 22: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

7

dengan batubara jenis lainnya, batubara muda agak lembut dan warnanya

bervariasi dari hitam pekat sampai kecoklat-coklatan. Mendapat pengaruh suhu

dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun, batubara muda mengalami

perubahan yang secara bertahap menambah kandungan bahan organiknya dan

mengubah batubara muda menjadi batubara subbituminus. Perubahan kimiawi dan

fisika terus berlangsung hingga batubara menjadi lebih keras, warnanya lebih

hitam dan membentuk bituminus atau antrasit. Dalam kondisi yang tepat,

peningkatan kandungan bahan organik yang semakin tinggi terus berlangsung

hingga membentuk antrasit (World Coal Institute, 2009).

Gambar 1. Proses pembentukan batubara.

(Sumber :http://www.wellsitebatubara.com/en/node/20)

2.1.2 Klasifikasi Batubara

Semakin tinggi tingkat pembatubaraan, maka kadar karbon akan

meningkat, sedangkan hidrogen dan oksigen akan berkurang. Tingkat

pembatubaraan secara umum dapat diasosiasikan dengan mutu atau kualitas

batubara, maka batubara dengan tingkat pembatubaraan seperti lignit dan

Page 23: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

8

subbituminus biasanya lebih lembut dengan materi yang rapuh dan berwarna

suram seperti tanah, memiliki tingkat kelembaban yang tinggi dan kadar karbon

yang rendah, sehingga kandungan energinya juga rendah.

Semakin tinggi mutu batubara, umumnya akan semakin keras dan

kompak, serta warnanya semakin hitam mengkilat. Selain itu, kelembaban pun

akan berkurang sedangkan kadar karbonnya akan meningkat, sehingga kandungan

energinya juga semakin besar (Anam, 2008).

Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan,

panas dan waktu, batubara umumnya dibagi dalam empat jenis, yaitu: antrasit,

bituminus, subbituminus dan lignit.

a. Antrasit

Antrasit adalah kelas batubara tertinggi. Batubara dengan mutu yang lebih

tinggi umumnya lebih keras dan kuat, seringkali berwarna hitam cemerlang

seperti kaca (World Coal Institute, 2009). Memiliki kadar karbon tertinggi, antara

86 sampai 98 persen dengan kadar air kurang dari 8%, dan nilai panas yang

dihasilkan hampir 15.000 British Thermal Unit (BTU) per pon. Paling sering

digunakan dalam alat pemanas rumah. Kurang dari satu persen dari batubara yang

ditambang pada tahun 2008 adalah antrasit (Secondary Energy Infobook, 2009).

Gambar 2.Batubara antrasit

Sumber :http://www.unicontrol-inc.com/COAL-CHEMISTRY.html

Page 24: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

9

b. Bituminus

Bitumen/bituminus digunakan terutama untuk menghasilkan listrik dan

membuat kokas untuk industri baja. Pasar batubara yang tumbuh paling cepat

untuk jenis ini, meskipun masih kecil digunakan untuk memasok energi dalam

proses industri. Bituminus memiliki kandungan karbon mulai 45 sampai 86 persen

karbon dan berkadar air 8-10% dari beratnya, serta memiliki nilai panas 10.500

sampai 15.500 BTU per pon. Jenis ini merupakan kelas batubara yang paling

banyak ditambang di Australia. Empat puluh delapan persen dari batubara yang

ditambang pada tahun 2008 adalah batubara bituminus (Secondary Energy

Infobook, 2009).

Gambar 3.Batubara bituminus

Sumber :www.promma.ac.th/main/chemistry/boonrawd_site/kind_of_coal.htm

c. Subbituminus

Peringkat dibawah bituminus adalah subbitumen/subbituminus. Batubara

dengan kandungan karbon 35-45 persen dan nilai panas antara 8.300 hingga

13.000 BTU per pon, mengandung sedikit karbon dan banyak air, dan oleh

karenanya menjadi sumber panas yang kurang efisien dibandingkan dengan

bituminus. Meskipun nilai panasnya lebih rendah, batubara ini umumnya

memiliki kandungan belerang yang lebih rendah daripada jenis lainnya, yang

Page 25: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

10

membuatnya disukai untuk dipakai karena hasil pembakarannya yang lebih bersih.

Empat puluh enam persen dari batubara yang ditambang pada tahun 2008 di

Amerika Serikat adalah subbituminus (Secondary Energy Infobook, 2009),

sedangkan di Indonesia 83% batubara adalah batubara lignit – subbituminus (jenis

kualitas rendah), < 20% termasuk bituminus dan antrasit (Indonesian Commercial

Newsletter, 2010).

Gambar 4.Batubara Subbituminus.

Sumber : Dokumen Pribadi, 2013

d. Lignit (Batubara muda)

Lignit adalah batubara cokelat yang sangat lunak yang mengandung air 35-

75% dari beratnya, merupakan batubara geologis muda yang memiliki kandungan

karbon terendah, 25-35 persen dan nilai panas berkisar antara 4.000 dan 8.300

BTU per pon. Kadang-kadang disebut brown coal, jenis ini umumnya digunakan

untuk pembangkit tenaga listrik. Sekitar enam persen dari batubara yang

ditambang pada tahun 2008 adalah lignit di AS (Secondary Energy Infobook,

2009).

Page 26: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

11

Gambar 5. Batubara Lignit

Sumber :http://www.unicontrol-inc.com/COAL-CHEMISTRY.html

2.2 Biosolubilisasi Batubara

Biosolubilisasi adalah proses pelarutan batubara dalam suatu medium

dengan bantuan mikroorganisme. Biosolubilisasi dapat berupa upaya untuk

mencairkan batubara yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan bakar

pengganti minyak bumi. Disamping untuk mencairkan batubara, biosolubilisasi

dapat pula digunakan untuk mengurangi kandungan sulfur atau logam toksik pada

batubara (Faison dkk., 1989).

Teknologi yang lebih menjanjikan adalah solubilisasi mikroba dari lignit

yang berlangsung pada suhu kamar dan tekanan (Tao dkk., 2009). Faktor-faktor

yang dapat mempengaruhi proses biodegradasi batubara dengan mikroba dapat

berupa suhu, aerasi, agitasi, jenis batubara, pH, ukuran partikel, praperlakuan,

konsentrasi batubara, jenis medium, surfaktan, ion logam, sumber karbon, sumber

nitrogen, dan konsentrasi inokulum, perlakuan awal terhadap batubara, nutrisi,

lamanya waktu proses, dan sebagainya (Selvi dkk., 2009).

Page 27: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

12

2.3 Iradiasi Gamma

Radiasi adalah pemancaran dan perambatan energi menembus ruang atau

substansi tertentu dalam bentuk gelombang atau partikel (Boel, 2009). Iradiasi

gamma dapat menimbulkan efek secara langsung maupun tidak langsung. Efek

langsung yaitu terjadi kerusakan pada DNA sel, sedangkan efek secara tidak

langsung terjadi karena materi pada sel terbanyak adalah air, sehingga apabila

terkena sinar gamma akan mengalami radikal bebas yang menyebabkan kerusakan

DNA sel.

Penelitian Sugoro dkk. (2011) menyatakan bahwa iradiasi gamma dapat

meningkatkan biosolubilisasi batubara dengan menggunakan kapang Trichoderma

sp. Pertumbuhan fungi akan lebih baik pada batubara yang diiradiasi

dibandingkan batubara yang mentah berdasarkan kolonisasi miselianya (Sugoro

dkk., 2012). Iradiasi gamma memiliki pengaruh terhadap jumlah batubara yang

terjebak dalam matriks kapang karena iradiasi batubara akan menyebabkan

terputusnya ikatan kompleks dan dapat meningkatkan site adsorpsi enzim

(Aditiawati dkk., 2011).

2.4 Phanerochaete chrysosporium

Mikroorganisme yang mampu mengkonversi batubara padat menjadi

produk cair salah satunya adalah kapang Phanerochaete chrysosporium yang

merupakan fungi pelapuk putih yang mampu mendegradasi lignin dan mineral

(Istikowati & Marsoem, 2012).

Kapang yang digunakan memiliki ciri-ciri aitu memiliki miselia berwarna

putih seperti kapas, memiliki tubuh buah yang menyerupai seperti kerak,

Page 28: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

13

memanfaatkan bahan organik sebagai substratnya, ukurannya yang besar dapat

dilihat dengan kasat mata, serta dapat tumbuh pada pH rendah. Phanerochaete

chrysosporium memiliki klasifikasi sebagai berikut: Kingdom: Fungi; Filum:

Basidiomycota; Kelas: Basidiomycetes; Ordo: Polyporales; Famili:

Phanerochaeteceae; Genus: Phanerochaete; Spesies: Phanerochaete

chrysosporium (Kartasasmita dkk., 2011)

Gambar 6. Phanerochaete chrysosporium

Sumber : Dokumen Pribadi, 2013

Jamur P. chrysosporium dapat mendegradasi lignin dan berbagai polutan

aromatik selama fase pertumbuhan stationary yang dipacu oleh kekurangan nutrisi

dalam substrat (Aisah, 2009). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Reddy &

Trevor (1994) bahwa enzim LiP dan MnP merupakan metabolisme sekunder dari

kapang P. chrysosporium dan produksinya sangat ditekan saat keadaan kelebihan

sumber nitrogen dan karbon.

Lignin dapat merubah ikatan kompleks menjadi ikatan sederhana, selain

itu lignin juga bersifat heterogen dan bentuknya amorf. Hanya fungi pelapuk putih

yang dapat mendegradasi lignin ke CO2 dan H2O dengan baik. Enzim yang

dipercaya memiliki respon untuk mendegradasi lignin dari fungi pelapuk putih

adalah lignin peroksidase, mangan peroksidase serta lakase (Ralph & Catcheside,

Spora

Sporangium

Page 29: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

14

1997) dan lignin peroksidase dari Phanerochaete chrysosporium ini dapat

melarutkan batubara dalam air (Diptha, 2010) sehingga bermanfaat untuk proses

biosolubilisasi.

2.5 Minyak bumi

Minyak dan gas disebut juga protoleum merupakan komplek hidrokarbon

(senyawa dari unsur kimia hidrogen dan karbon) yang terjadi secara alami di

dalam bumi yang terperangkap dalam batuan kerak bumi. Wujudnya dapat

bermacam-macam dari padat, cair atau gas. Bentuk padat dikenal seperti aspal,

bitumen dan lainnya. Bentuk cair dikenal sebagai minyak mentah dan dalam

bentuk gas yaitu gas alam (Nandi, 2006).

Senyawa utama yang terdapat pada bensin adalah n-butana, n-pentana, n-

hexana, n-heptana, 2-metilbutana, 2,2-dimetilpropana, 2,2-dimetilbutana,

2,2dimetilpentana, 2,2-trimetilbutana, 2,2,4-trimetilpentana, 1-pentana, 2-metil-2

butana, 3-metil-2-pentana, 2,4,5-trimetil-1-pentana, siklopentana,

metilsiklopentana, sikloheksana, 1,2-dimetilsikloheksana, 1,4-

dimetilsikloheksana, benzena, toluena, m-xilen, etilbenzena, propilbenzena,

isopropilbenzena, sedangkan kandungan utama yang terdapat dalam diesel adalah

dekana (C10H22), undekana (C11H24), oktadekana (C18H38) dan eikosana (C20H42).

2.6 Spektrofotometer UV-VIS

Prinsip kerja spektrofotometer UV-VIS adalah interaksi sinar tampak

dengan molekul sampel. Cara kerja alat spektrofotometer UV-Vis yaitu sinar dari

sumber radiasi UV-VIS diteruskan menuju monokromator, cahaya dari

monokromator diarahkan terpisah melalui sampel dengan sebuah cermin berotasi,

Page 30: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

15

detektor menerima cahaya dari sampel secara bergantian secara berulang - ulang,

sinyal listrik dari detektor diproses, diubah ke digital dan dilihat hasilnya,

perhitungan dilakukan dengan komputer yang sudah terprogram (Underwood &

Day, 1980 dalam Sudarman, 2012) menyebutkan bahwa terdapat beberapa

komponen pada spektrofotometer yaitu:

a. Sumber Sinar UV-VIS

Sumber sinar pada spektrofotometer UV-VIS berdasarkan panjang

gelombang terbagi menjadi 2, yaitu lampu deuterium dan tungsten. Lampu

deuterium menghasilkan sinar 160-500 nm. Lampu tungsten digunakan di daerah

sinar tampak 350-2500 nm. Sumber radiasi dikatakan ideal jika memancarkan

spektrum radiasi yang kontinu, intensitas tinggi dan stabil pada semua panjang

gelombang.

b. Monokromator

Monokromator berfungsi menghasilkan sinar dengan 1 panjang

gelombang. Monokromator terdiri atas beberapa bagian: celah masuk (slit), filter,

prisma, kisi dan celah keluar.

c. Kuvet

Kuvet (tempat analit) harus transparan agar sinar dapat berinteraksi dengan

analit tanpa berkurang intensitasnya. Kuvet dibentuk dari kaca kuarsa dan kaca

silika. Kuvet dari kaca silika banyak dipakai karena dapat digunakan untuk

panjang gelombang 350-2000 nm.

Page 31: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

16

d. Detektor

Detektor dapat memberikan respons terhadap radiasi pada berbagai

panjang gelombang.

e. Rekorder

Dalam rekorder signal direkam sebagai spektrum yang berbentuk puncak-

puncak.

Gambar 7. Bagan Susunan Alat Spektrofotometer.

Keterangan

A = sumber cahaya. D = detektor.

B = monokromator. E = meter atau rekorder.

C = sel absorpsi (tempat larutan).

C1 = contoh. C2

= pelarut.

(Triyati, 1985).

2.7 GC-MS (Gas Chromatography Mass Spectrometry)

GC hanya dapat memisahkan senyawa volatil (senyawa yang mudah

menguap) dan semivolatil dengan resolusi besar, tetapi tidak dapat

mengidentifikasinya. MS dapat memberikan informasi struktural rinci pada

kebanyakan senyawa tersebut dan dapat tepat mengidentifikasinya, tetapi tidak

dapat dengan mudah memisahkan senyawa tersebut, sehingga dilakukan

kombinasi dua teknik tersebut tak lama setelah pembuatan GC dipertengahan

Page 32: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

17

1950-an. Sampel yang digunakan adalah senyawa organik dalam bentuk larutan

untuk dapat diinjeksikan ke dalam kromatografi gas (Hites, 1982)

Page 33: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

18

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari 2013 hingga April 2013.

Tempat penelitian dilaksanakan di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN)

Pasar Jumat - Jakarta Selatan dan Pusat Penelitian dan Teknologi Minyak dan Gas

Bumi (LEMIGAS) Jakarta.

3.2. Alat dan Bahan

Alat utama yang digunakan adalah shaker incubator Precision®,

mikroskop Novel® dan radiator gamma Irpasena. Alat yang digunakan untuk

analisis produk biosolubilisasi batubara adalah pH meter Hanna®, GC-MS

Shimadzu® dan Spektrofotometer UV-VIS Shimadzu®.

Bahan yang digunakan adalah batubara subbituminus yang berasal dari

Sumatera Selatan. Media untuk pertumbuhan fungi adalah Sabroud Dextrose Agar

(SDA), media Plate Count Agar (PCA), media Mineral Salt Solution (MSS) ,

bacto agar, urea serbuk batubara hasil perlakuan iradiasi gamma, minyak imersi,

larutan Lowry 1 dan larutan Lowry 2.

3.3 Metode Kerja

3.3.1 Sterilisasi Alat

Alat yang akan digunakan dibersihkan terlebih dahulu dan dibungkus

dengan menggunakan kertas alumunium foil, kemudian disterilisasi menggunakan

Page 34: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

19

autoklaf pada suhu 121 °C dengan tekanan 1 atm selama 15 menit sedangkan alat

yang tidak tahan panas disterilisasi dengan menggunakan alkohol 70 %.

3.3.2 Perlakuan Batubara

3.3.2.1 Persiapan Serbuk Batubara

Batubara yang berasal dari Sumatera Selatan digerus dengan menggunakan

mortal dan disaring dengan menggunakan penyaring 70 mesh, lalu diayak sampai

menjadi serbuk batubara. Sampel batubara sebanyak 5 g dimasukkan tiap plastik

dan diberi label untuk proses iradiasi gamma.

3.3.2.2 Sterilisasi Batubara dengan Iradiasi Gamma

Proses sterilisasi dilakukan dengan cara memasukkan sebanyak 5 g

batubara yang telah ditimbang ke dalam plastik polyetilen, kemudian diiradiasi

sinar gamma dengan dosis 2,5;5;10;20 dan 40 kGy menggunakan radiator gamma

Irpasena.

3.3.2.3 Penentuan Dosis Steril

Penentuan uji sterilisasi untuk bakteri dan fungi ini dilakukan untuk

mengetahui dosis dimana mikroba (bakteri dan fungi) tidak dapat tumbuh

sehingga akan didapatkan dosis steril. Masing-masing sampel pada tiap dosis

iradiasi (0;2,5;5;10;20 dan 40 kGy) ditimbang sebanyak 0,1 g dan dimasukkan ke

dalam yellow tube, setelah itu dimasukkan NaCl sampai batas tera 10 ml

kemudian divortex, lalu sampel diteteskan dengan mikro pipet sebanyak 0,1 μl

tiap dosis iradiasinya pada media PCA (untuk bakteri) dan SDA (untuk fungi),

kemudian dilihat pertumbuhannya pada tiap dosis.

Page 35: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

20

3.3.3 Pembuatan Media

3.3.3.1 Pembuatan Media Sabroud Dextros Agar (SDA) dan Plate Count

Agar (PCA)

Media SDA dan PCA dibuat dengan menimbang media masing-masing

sebanyak 6 g pada Erlenmeyer dan dimasukkan 3 g bacto agar, kemudian

ditambahkan aquades sampai batas tera 200 ml selanjutnya di sterilisasi

menggunakan autoklaf 1 atm dengan suhu 121oC selama 15 menit.

3.3.3.2 Pembuatan Media MSS

Media MSS dibuat dengan menimbang sebanyak 0,52 g MgSO4.7H2O;

0,005 g ZnSO4.7H2O pH 5,5; 5 g KH2PO4; 0,005 g FeSO4, 0,05 g MnCl2 dan 1 g

NH4(SO4) lalu ditambah 500 liter aquades sampai batas tera, kemudian dilarutkan

sampai homogen.

3.3.3.3 Pembuatan Media MSS+

Media MSS+ dibuat dari media MSS yang ditambahan sukrosa 0,1 %

(sumber karbon sederhana), urea 0,1 % (sumber nitrogen) serta 5% serbuk

batubara, kemudian disterilisasi menggunakan autoklaf 1,5 atm dengan suhu

121oC selama 15 menit. Menurut Oktadianti (2010) penambahan urea memberikan

hasil biosolubilisasi batubara terbaik.

3.3.4 Biosolubilisasi Batubara menggunakan Kapang P.chrysosporium

Sebanyak 10 % v/v(108 spora/ml) kultur inokulum spora diinokulasikan ke

dalam 200 ml media MSS+ + serbuk batubara 5%, kemudian diinkubasi pada

suhu ruang menggunakan shaking incubator dengan kecepatan 120 rpmselama 21

hari. Pencuplikan sampel kultur dilakukan pada hari ke-0, 3, 6, 9, 12, 15, 18 dan

Page 36: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

21

21 hari untuk diamati pola pertumbuhan biomassa kapang, pH media yang diukur

berdasarkan solubilisasi dan kolonisasi miselia kapang terhadap batubara.

3.3.5 Analisis Biosolubilisasi Batubara Subbituminus menggunakan

Kapang P.chrysosoporium

3.3.5.1 Pengukuran pH Media

Pengukuran pH media dilakukan pada hari ke-0, 3, 6, 9, 12, 15, 18 dan 21

hari inkubasi dengan menggunakan pH meter.

3.3.5.2 Kolonisasi Miselia Kapang pada Batubara

Pengamatan spora/miselium/hifa kapang, batubara dan bakteri yang

bergerak secara mikroskopis bertujuan untuk melihat kolonisasi serta

pertumbuhan kapang dalam substrat batubara. Sampel tiap pencuplikan diambil

dengan menggunakan pipet steril kemudian diletakkan di atas kaca objek bersih

lalu ditutup kaca penutup. Pengamatan dilakukan dengan cara meneteskan minyak

imersi ke atas kumpulan miselia kemudian diamati menggunakan mikroskop

cahaya dengan perbesaran 1000 kali. Terdapat tiga kriteria untuk menentukan

kerapatan miselium/hifa dari bidang pandang yaitu +++ untuk > 75%, ++ untuk

50-75% dan + untuk <50%.

3.3.5.3 Analisis Uji Protein Ekstraseluler dengan Metode Lowry

Uji Lowry ini bertujuan untuk mengetahui kandungan protein ekstraseluler

yang mengindikasikan seberapa besar enzim ekstraseluler yang dihasilkan pada

tiap tahap pencuplikan sampling (Yin dkk., 2009). Terdapat larutan Lowry 1 dan

2. Larutan Lowry 1 terdiri dari Na2CO3 50ml; KNatartat 0,5 ml; CuSO4 0,50 ml

dan Larutan Lowry 2 terdiri dari Folin 3 ml dan aquades 3 ml.

Dimasukkan masing-masing sampel 0,5 ml ke dalam tabung reaksi,

kemudian dimasukkan larutan Lowry 1 sebanyak 2,5 ml ditunggu 10 menit, lalu

Page 37: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

22

dimasukkan larutan Lowry 2 sebanyak 0,25 ml. Dishaker selama 1 menit,

ditunggu 30 menit dan dianalisis menggunakan spektofotometer UV-VIS dengan

panjang gelombang 750 nm.

3.3.5.4 Analisis Aktifitas Enzim dengan Fluorescein Diacetate (FDA)

Analisis pengukuran FDA terhidrolisis bertujuan untuk mengetahui

aktivitas enzim ekstraseluler hasil metabolism dengan menggunakan reagen FDA.

Pembuatan kurva standar dengan prosedur yaitu ditimbang 0,02 g FDA dalam 10

ml air kemudian larutan tersebut dipipet ke dalam tabung reaksi dengan masing-

masing 0,1 ml ; 0,2 ml dan 0,3 ml. Ditambahkan aseton proanalis masing-masing

0,4 ml ; 0,3 ml dan 0,2 ml kemudian ditambahkan bufer KH2PO4 60 mM pH 7,6

sebanyak 2 ml dan diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer dengan

panjang gelombang 490 nm.

Pengukuran FDA terhidrolisis dengan cara dimasukkan sampel sebanyak

250 µl dan ditambahkan 1 ml KH2PO4 kemudian ditambahkan FDA sebanyak

0,02 g dan 5 ml aseton lalu diagitasi selama 24 jam. Setelah 24 jam diberi aseton

sebanyak 2 ml dan diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer dengan

panjang gelombang 490 nm.

3.3.5.5 Pengukuran Spektrofotometer UV-Vis

Supernatan pencuplikan hari ke-0, 3, 6, 9, 12, 15, 18 dan 21 hari diambil

untuk melihat tingkat solubilisasi batubara dengan cara diukur nilai absorbansinya

menggunakan Spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 250 nm dan

450 nm serta dilakukan scanning panjang gelombang 200-600 nm yang

menggunakan media MSS sebagai blangko. Pengukuran absorbansi pada panjang

Page 38: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

23

gelombang 250 nm bertujuan untuk mendeteksi adanya gugus fenolik dan

pengukuran pada panjang gelombang 450 nm bertujuan untuk mendeteksi gugus

aromatik (Selvi dkk., 2009). Tingkat solubilisasi yang tinggi akan berbanding

lurus dengan nilai absorbansinya dan akan digunakan untuk menyeleksi isolat

kapang. Supernatan dengan nilai absorbsi tertinggi akan diuji lanjut menggunakan

GC-MS.

3.3.5.6 Analisis Produk dengan GC-MS

Supernatan sampel hari ke-6 dimasukkan ke dalam micro tube untuk di uji

produk dengan GC-MS. Supernatan dan pelarut dicampurkan dengan

perbandingan 1:1, pelarut yang digunakan adalah benzena : heksana : dietil eter

dengan perbandingan 3:1:1. Campuran tersebut dimasukkan ke dalam corong

Buchner lalu diaduk sampai bercampur kemudian didiamkan beberapa saat

sampai terbentuk fase atas dan bawah, fase atas dipakai untuk mengidentifikasi

jenis senyawa dan menentukan kadar hasil solubilisasi batubara dengan

menggunakan GC-MS. Data persentase area digunakan untuk menentukan produk

dari senyawa hidrokarbon yang setara dengan bensin (C7-C11), diesel (C10-C24)

dan kerosin (C12-C15) yang disajikan dalam diagram batang.

3.3.5.7 Analisis Data

Data yang telah didapat dari pengujian yaitu pH media dan nilai

absorbansi dianalisis dengan statistik menggunakan uji T dengan bantuan program

SPSS 20.

Page 39: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

24

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Uji Sterilisasi Batubara Hasil Iradiasi Gamma

Hasil pengujian sterilisasi menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis

iradiasi gamma menyebabkan semakin rendah pertumbuhan bakteri dan fungi

pada batubara (Tabel 1). Dosis 5 kGy telah mampu membunuh bakteri, sedangkan

dosis untuk fungi yang diperlukan adalah 20 kGy. Berdasarkan hasil tersebut

dosis yang akan digunakan untuk sterilisasi batubara adalah 20 kGy dan

digunakan untuk penelitian selanjutnya.

Tabel 1. Jumlah bakteri dan fungi dengan berbagai dosis iradiasi.

Dosis

(kGy)

Jumlah

Bakteri

(CFU/g)

Fungi

(Propagul/g)

0 6,47 x 1014

2,17x 10 13

2,5 3,84 x 1012

3,84 x 1012

5 0 1,24 x 1015

10 0 2,17 x 10 13

20 0 0

40 0 0

Adanya perbedaan dosis iradiasi antara bakteri dan fungi disebabkan

karakteristik morfologi sel yang berbeda. Bakteri yang merupakan sel prokariot

tidak memiliki inti sel serta kromosomnya terletak bebas di dalam sitoplasma,

sedangkan fungi yang termasuk eukariot memiliki inti sel yang strukturnya

dikelilingi oleh membran inti, selain itu fungi memiliki zat kitin yang terdapat

pada dinding selnya. Ukurannya pun berbeda yaitu bakteri (prokariot) lebih kecil

daripada fungi (eukariot) yaitu 0,1-10µm sedangkan fungi (eukariot) 10-100 µm

Page 40: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

25

(Campbell dkk., 2002). Bakteri dan fungi dalam batubara bersifat dorman dalam

bentuk spora.Spora dan sel hidup dapat dinonaktifkan oleh iradiasi gamma karena

rusaknya struktur penyusun sel dan DNA (Sugoro dkk., 2009).

Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang diperoleh oleh Sugoro

(2012) menggunakan batubara lignit, dimana dosis radiasi untuk sterilisasi fungi

10 kGy dan bakteri yaitu 20 kGy. Kemungkinan karena batubara yang digunakan

jenisnya berbeda. Jumlah mikroba pada batubara subbituminus lebih sedikit

daripada batubara lignit sehingga dosis iradiasi yang digunakan lebih kecil

(Sugoro, 2012). Hal tersebut karena struktur batubara subbituminus yang lebih

komplek daripada batubara lignit menyebabkan sedikit mikroba dapat hidup dan

dipengaruhi pula kondisi fisika dan kimia saat proses pembatubaraan.

4.2. Analisis Hasil Biosolubilisasi Batubara dengan Kapang P. chrysosporium

4.2.1. Perubahan pH Media

pH media hasil biosolubilisasi dengan kapang P. chrysosporium

menunjukkan pola yang mirip, tetapi dengan nilai berbeda untuk kedua perlakuan

(Gambar 8). pH media perlakuan yang menggunakan batubara steril (B) memiliki

nilai lebih tinggi dibandingkan batubara mentah (A). Kisaran nilai pH media

perlakuan batubara steril adalah 4,13 sampai 4,42, sedangkan batubara mentah

berkisar 4,08 sampai 4,29. Hasil analisis statitistik dengan uji T menunjukkan

bahwa kedua perlakuan memiliki perbedaan nyata pH media (P≤ 0,05).

Page 41: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

26

Gambar 8. Nilai pH pada perlakuan MSS++ batubara mentah + P.

chrysosporium (A) dan media MSS++ batubara steril + P.

chrysosporium (B).

Kebanyakan kapang mampu tumbuh pada kisaran pH yang luas yaitu 2

sampai 8,5 (Pelczar & Chan, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Saputra

(2011) menunjukkan pH media pada substrat batubara subbituminus untuk

pertumbuhan P. chrysosporium adalah 2,68 sampai 4,8. Proses solubilisasi yang

dilakukan oleh hampir seluruh jamur akan cenderung menghasilkan pH asam

(Holker dkk., 1999).

Nilai pH awal perlakuan batubara mentah (A) lebih tinggi dibandingkan

batubara steril (B). Hal ini karena iradiasi gamma juga menyebabkan penurunan

pH menjadi lebih asam, karena iradiasi dapat memotong rantai kompleks

hidrokarbon menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga menyebabkan

terlepasnya asam-asam organik seperti asam humat, asam fulvat, dan asam

karboksilat (Ying dkk., 2010).

4.05

4.1

4.15

4.2

4.25

4.3

4.35

4.4

4.45

0 3 6 9 12 15 18 21

Ab

sorb

an

si (

nm

)

Waktu (Hari)

0 kGy

20 kGy

Page 42: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

27

Penurunan pH pada media dapat terjadi karena proses desulfurisasi pada

batubara. Proses desulfurisasi adalah merupakan hilangnya sulfur selama proses

solubilisasi (Baek dkk., 2002). Pelarutan sulfur saat desulfurisasi yaitu dalam

bentuk ion sulfat (SO42-

) ke dalam media cair yang menyebabkan terbentuknya

asam sulfat (Hammel, 1996). Keasaman media juga disebabkan dalam proses

biosolubilisasi batubara terbentuk produk berupa fenol, aldehid dan gugus keton

(Shi dkk., 2009). Keberadaan senyawa asam organik terkait erat dengan aktivitas

degradasi kapang yang melibatkan enzim diantaranya lignin peroksidase, fenol

oksidase, dan mangan peroksidase (Sugoro dkk., 2011).

Nilai pH perlakuan batubara mentah (A) mengalami penurunan hingga

hari ke-3 yaitu 4,08. Setelah itu mengalami kenaikan hingga hari ke-12 (pH 4,22)

dan mengalami penurunan hingga hari ke-15. Kemudian meningkat hingga akhir

inkubasi pada hari ke-21. Hal tersebut mirip dengan perlakuan batubara steril (B).

Penurunan pH ini dapat menunjukkan aktivitas P. chrysosporium yang sedang

aktif tumbuh untuk membentuk biomassa. Penurunan nilai pH pada media kultur

disebabkan adanya penambahan inokulum spora P. chrysosporium sehingga

menciptakan kondisi lebih asam.

Perlakuan batubara mentah (A) memiliki pH yang lebih asam

dibandingkan dengan perlakuan batubara steril (B) (Gambar 8). Hal tersebut

disebabkan adanya metabolisme dari kapang P. chrysosporium dan interaksi

antara mikroba indigenus (mikroba yang ada pada batubara) dengan kapang P.

chrysosporium. pH media perlakuan B lebih tinggi akibat proses solubilisasi yang

Page 43: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

28

terjadi hanya dilakukan oleh kapang P.chrysosporium, karena mikroba indigenus

telah mengalami kematian saat proses sterilisasi batubara.

Kenaikan pH pada masa inkubasi karena sumber nutrisi di media telah

mulai habis dipergunakan oleh mikroba untuk biosolubilisasi dan telah banyak

sel-sel dari bakteri indigenus serta kapang P. chrysosporium yang mati karena

terbentuknya zat metabolit yang bersifat racun. Hal tersebut disebabkan adanya

mikroba yang saling bersaing untuk mendominasi di dalam substrat (Pelczar &

Chan, 2005). Sel yang mati di dalam media, kemudian digunakan sebagai sumber

nitrogen untuk metabolisme mikroba yang masih bertahan sehingga terjadi efek

buffering (Kirk, 1986).

4.2.2. Kolonisasi Miselium Kapang P. chrysosporium pada Batubara

Kolonisasi kapang P. chrysosporium pada batubara terlihat berbeda pada

tiap pengamatan (Tabel 2). Kolonisasi kapang pada batubara steril (B) di akhir

inkubasi mengalami peningkatan daripada batubara mentah (A). Namun

pengamatan perlakuan A dan B dihari ke-0 setelah penambahan inokulum spora

kapang P. chrysosporium terlihat sama yaitu terdapat spora yang teramati dan

belum ada hifa yang tumbuh. Spora yang teramati berwarna transparan atau

bening.

Page 44: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

29

Tabel 2. Pengamatan kolonisasi pada batubara mentah + P.

chrysosporium (A) dan media MSS++ batubara steril + P.

chrysosporium (B) dengan perbesaran 1000x.

Waktu

(Hari)

(A)

0 kGy

(B)

20 kGy

0

Tumbuh spora dan ada

bakteri indigenus

Tumbuh spora dan tidak

ada bakteri indigenus

3

Sudah mulai tumbuh hifa

dan ada bakteri indigenus

Sudah mulai tumbuh hifa

dan tidak ada bakteri

indigenus

6

Tumbuh koloni miselia

(+++) dan terlihat bakteri

indigenus

Tumbuh koloni miselia

(+++) dan tidak ada

bakteri indigenus

Page 45: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

30

Waktu

(Hari)

(A)

0 kGy

(B)

20 kGy

9

Terjadinya penurunan

kumpulan miselia

(+) dan ada bakteri indigenus

Terjadi kenaikan kumpulan

miselia

(++) dan tidak ada bakteri

indigenus

12

Terlihat hifa yang melekat

pada batubara

(+) dan ada bakteri indigenus

Terlihat hifa yang melekat

pada batubara

(+) dan tidak ada bakteri

indigenus

15

Terlihat banyak kumpulan

miselia (+++) dan ada bakteri

indigenus

Terlihat hifa yang

bertambah (+) dan tidak

ada bakteri indigenus

Page 46: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

31

Keterangan : Batubara Spora/miselium Bakteri

+++ > 75% ++ 50-75% + <50%

Hifa terlihat pada media setelah hari ke-3 inkubasi dan pada hari ke-6

sudah mulai tumbuh miselium kapang P. chrysosporium. Kumpulan miselium

lebih sedikit pada hari ke-12 dibandingkan dengan hari sebelumnya. Diduga

bahwa kapang telah mengalami masa eksponensial atau sudah mulai banyak

mikroba yang mati. Hal tersebut sesuai dengan data pH yang mengalami

kenaikan. Hari ke-15 sudah mulai terlihat pertumbuhan kapang kembali, yaitu

Waktu

(Hari)

(A)

0 kGy

(B)

20 kGy

18

Terlihat hifa yang melekat

pada batubara (+) dan ada

bakteri indigenus

Terlihat kumpulan miselia

(+++) dan tidak ada bakteri

indigenus

21

Terlihat hifa yang melekat

pada batubara (++) dan ada

bakteri indigenus

Terlihat kumpulan miselia

(+++) dan tidak ada bakteri

indigenus

Page 47: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

32

dilihat dari kumpulan miselianya yang semakin banyak dibandingkan di hari ke-

12.

Kapang dapat tumbuh dengan baik sampai hari ke-21 dan diduga kapang

dapat mendegradasi batubara dengan terlihatnya kumpulan miselia yang melekat

pada permukaan batubara. Iradiasi gamma juga berpengaruh dalam

pendegradasian batubara karena dosis iradiasi yang tinggi akan memudahkan bagi

kapang untuk menguraikan batubara menjadi partikel yang lebih kecil. Iradiasi

gamma memiliki pengaruh terhadap jumlah batubara yang terjebak dalam matriks

kapang (Aditiawati dkk., 2011).Semakin banyak dan panjangnya hifa maka akan

semakin banyak batubara yang terperangkap pada kapang.

Pengamatan secara mikroskopis menunjukkan adanya bakteri (panah

berwarna ungu) selain kapang (panah berwarna biru) pada media A (Tabel 2). Hal

tersebut mengindikasikan penurunan nilai pH karena adanya aktivitas kapang dan

mikroba indigenus pada batubara. Terjadinya kolonisasi membuktikan bahwa

kapang menggunakan substrat batubara untuk proses metabolismenya dengan

bantuan enzim yang mengakibatkan terjadinya biosolubilisasi.

4.2.3 Analisis Senyawa Fenolik dan Aromatik Terkonjugasi

Senyawa fenolik dan aromatik hasil biosolubilisasi dengan kapang P.

chrysosporium menunjukkan pola yang sama dan berfluktuatif untuk kedua

perlakuan (Gambar 9 dan 10). Analisis senyawa fenolik yang menggunakan

batubara mentah (A) memiliki laju yang lebih tinggi dibandingkan dengan

batubara steril (B). Laju senyawa fenolik batubara mentah (A) adalah

0,113/hari,sedangkan perlakuan batubara steril berkisar 0,095/hari yang terjadi

Page 48: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

33

pada hari ke-3. Gambar 9 juga menunjukkan nilai absorbansi produk tertinggi

yaitu hari ke-12 sebesar 0,7 yang terjadi pada perlakuan batubara mentah (A).

Perlakuan batubara mentah (A) yang memiliki hasil solubilisasi yang lebih tinggi

dibandingkan batubara steril (B). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Selvi dkk.,

(2009), bahwa apabila nilai absorbansi yang dihasilkan semakin tinggi maka

diindikasikan produk biosolubilisasi yang dihasilkan semakin banyak.

Gambar 9. Nilai absorbansi pada pengukuran senyawa fenolik menggunakan

Spektrofotometer UV-VIS pada panjang gelombang 250 nm hasil

biosolubilisasi kapang P. chrysosporium.

Hasil uji sesuai dengan supernatan yang diambil saat pencuplikan yang

menunjukkan warna yang berbeda pada saat hari ke-0 sampai hari ke-21. Terlihat

bahwa sampel awal lebih bening sedangkan hari ke-21 sedikit keruh, sampel yang

diambil lebih pekat dan kental dibandingkan hari inkubasi awal. Menandakan

bahwa telah terjadinya proses biosolubilisasi batubara.

Nilai pH berbanding terbalik dengan nilai solubilisasi. Dilihat bahwa saat

nilai solubilisasi tinggi, maka nilai pH rendah. Hal tersebut sesuai dengan

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0 3 6 9 12 15 18 21

Ab

sorb

an

si (

nm

)

Waktu (Hari)

0 kGy

20 kGy

Page 49: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

34

penelitian Selvi & Banerjee (2007) bahwa sampel yang menghasilkan solubilisasi

tertinggi memiliki nilai pH rendah. Sebaliknya, nilai solubilisasi berbanding lurus

dengan koloni yang teramati pada perlakuan batubara mentah (A) maupun

batubara steril (B). Dilihat bahwa saat nilai solubilisasi tinggi maka koloni miselia

yang teramati juga tinggi (Tabel 2).

Analisis senyawa aromatik juga memperlihatkan hasil yang fluktuatif.

Senyawa aromatik pada perlakuan batubara mentah (A) memiliki nilai laju lebih

tinggi dibandingkan dengan batubara steril (B). Kisaran laju senyawa aromatik

batubara mentah (A) paling tinggi pada hari ke-6 yaitu 0,02/hari, sedangkan

batubara steril (B) berkisar 0,013/hari. Produk tertinggi juga pada hari ke-6

sebesar 0,21 yang terjadi diperlakuan batubara mentah (A). Hasil analisis

statitistik dengan uji T menunjukkan bahwa kedua perlakuan memiliki perbedaan

tidak nyata kandungan senyawa fenolik dan aromatik (P≤0,05).

Gambar 10. Nilai absorbansi pada pengukuran senyawa aromatik menggunakan

Spektrofotometer UV-VIS pada panjang gelombang 450 nm hasil

biosolubilisasi kapang P. chrysosporium.

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0 3 6 9 12 15 18 21

Ab

sorb

an

si (

nm

)

Waktu (Hari)

0 kGy

20 kGy

Page 50: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

35

Terjadinya penurunan nilai absorbansi pada senyawa fenolik disebabkan

produk hasil biosolubilisasi batubara yang sudah melarut kemudian mengalami

penguraian komponen senyawa yang lebih sederhana (Saputra, 2011).Hal tersebut

disebabkan adanya aktivitas dari kapang dan mikroba indigenus pada batubara.

Senyawa fenolik dan aromatik terkonjugasi merupakan produk hasil

biosolubilisasi (Selvi dkk., 2009). Nilai absorbansi pada senyawa aromatik

terkonjugasi mengalami peningkatan disebabkan terjadinya pelepasan senyawa

seperti asam humat yang terdapat pada permukaan batubara oleh aktifitas kapang

Trichoderma sp. (Sugoro dkk., 2011).

4.2.4 Hasil Scanning Spektrofotometer(200-600 nm) Senyawa Fenolik dan

Aromatik

Pengukuran scan pada percobaan ini dilakukan dengan panjang

gelombang 200-600 nm terlihat hasil yang kurang baik. Hari inkubasi ke-3 dan

ke-6 merupakan laju tertinggi hasil absorbansi untuk pengukuran senyawa fenolik

dan senyawa aromatik (gambar 9 dan 10), sehingga scan ini hanya dilakukan

untuk kedua sampel tersebut. Hasil scan dari sampel A dan B hari ke-3 dan ke-6

berkisar pada panjang gelombang 538 nm yang merupakan senyawa aromatik

(Tabel 3). Hasil absorbansi paling tinggi adalah sampel A hari ke-6 yaitu 0,275

dan yang terendah adalah sampel A hari ke-3 yaitu 0,048, sedangkan B adalah

hari ke-3 yaitu 0,085 dan yang terendah hari ke-18 yaitu 0,023.

Penentuan puncak (peak) terlihat sama pada semua panjang gelombang.

Hasil absorbansi dari uji menunjukkan adanya keberadaan senyawa yang dapat

dilihat dari munculnya pita absorbsi lebar pada daerah panjang gelombang yang

Page 51: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

36

telah ditentukan yaitu 200-600 nm (Fessenden & Fessenden, 1986). Nilai tertinggi

absorbansi menandakan adanya senyawa aromatik yang terdapat pada batubara.

Tingginya nilai tersebut menunjukkan bahwa kapang P. chrysosporium dan

mikroba indigenus yang terdapat pada media telah dapat melakukan solubilisasi

dengan memecah senyawa kompleks yang terdapat pada batubara menjadi

senyawa yang lebih sederhana.

Tabel 3. Scanning 200-600 nm menggunakan Spektrofotometer UV-VIS

pada media perlakuan MSS+ + batubara mentah + P.

chrysosporium (A) dan media MSS+ + batubara steril + P.

chrysosporium.(B).

No

Perlakuan

Scanning 200-600 nm

1 A

Absorbansi 538 nm

Absorbansi 538 nm

2 B

Absorbansi 538 nm

Absorbansi 538 nm

Page 52: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

37

4.2.5 Hasil Analisis Uji Protein Ekstraseluler

Kadar protein ekstraseluler pada kapang P. chrysosporium dengan

batubara mentah dan batubara steril memiliki pola yang fluktuatif dan berbeda

untuk kedua perlakuan (Gambar 11). Dilihat bahwa pada sampel A di hari ke-18

merupakan hasil tertinggi yaitu 0,42 dan hari ke-15 0,40 di sampel B. Peningkatan

nilai absorbansi menunjukkan kadar protein ekstraseluler yang meningkat karena

kapang mengekskresikan enzim ekstraseluler dan terjadi degradasi batubara oleh

kapang (Sugoro dkk., 2009). Hasil analisis statitistik dengan uji T menunjukkan

bahwa kedua perlakuan memiliki perbedaan tidak nyata kandungan protein

ekstraseluler (P≤ 0,05).

Gambar 11. Kadar protein ekstraseluler menggunakan Spektrofotometer UV-

VIS pada uji lowry kapang P. chrysosporium

Tingginya nilai protein ini juga sebanding dengan banyaknya kumpulan

miselia pada tabel 2, yang menandakan bahwa tingginya pertumbuhan kapang

maka tinggi pula protein ekstraseluler yang dihasilkan oleh kapang tersebut.

0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

0.30

0.35

0.40

0.45

0 3 6 9 12 15 18 21

Ab

sorb

an

si (

nm

)

Waktu (Hari)

0 kGy

20 kGy

Page 53: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

38

Kapang dapat memanfaatkan urea yang terdapat pada media untuk dapat

menghasilkan protein. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Indrayani (2006)

bahwa mikroba memanfaatkan karbon sebagai sumber energi dan nitrogen sebagai

sumber protein dan pertumbuhan sel.

Meskipun nilai protein ekstraseluler tinggi, namun nilai pH media

mengalami kenaikan. Hal tersebut tidak berbeda dengan penelitian sebelumnya

yang dilakukan Fauziyah (2012), dimana pH media perlakuan yang ditambahkan

kapang Trichoderma sp. memiliki nilai tinggi ketika protein ekstraseluler juga

tinggi, salah satu penyebabnya adalah lisisnya sel.

4.2.6 Hasil Pengukuran Fluorescein Diacetat (FDA)Terhidrolisis

Pengukuran FDA terhidrolisis pada penelitian ini untuk mengetahui

aktivitas enzim esterase selama proses biosolubilisasi (Breeuwer, 1996). Kadar

FDA terhidrolisis pada kedua perlakuan memiliki pola yang berbeda (Gambar 12).

Sampel B memiliki hasil FDA terhidrolisis lebih tinggi daripada sampel A.

Produk tertinggi hasil dari hidrolisis FDA oleh kapang terjadi pada hari

ke-15 dengan nilai 0,055 untuk sampel A dan hari ke-12 0,105 pada sampel B,

sedangkan laju tertinggi dari hidrolisis FDA yaitu 0,40/hari terjadi hari ke-12

yaitu 2,33/hari untuk batubara mentah (A) dan hari ke-15 yaitu 2/hari untuk

batubara steril (B). Isolat kapang sampel A mengalami penurunan di hari ke-3

lalu mengalami kenaikan di hari ke-6 sampai hari ke-12, setelah itu mengalami

penurunan kembali sampai hari ke-21. Untuk isolat kapang sampel B mengalami

kenaikan pada hari ke-3 sampai hari ke-15 lalu mengalami penurunan pada hari

Page 54: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

39

ke-21. Hasil analisis statitistik dengan uji T menunjukkan bahwa kedua perlakuan

memiliki perbedaan tidak nyata kandungan enzim (P≤ 0,05).

Gambar 12. Hasil hidrolisis FDA pada panjang gelombang 490 nm kapang P.

chrysosporium.

Diketahui bahwa semakin tinggi nilai absorbansi yang terukur

menunjukkan semakin tinggi konsentrasi fluorescein yang secara tidak langsung

menunjukkan tingkat aktivitas enzimatik mikroba (Sidharta dkk., 2007).

Konsentrasi enzim yang terukur pada pengukuran enzim dengan metode FDA

merupakan enzim yang berperan dalam proses biosolubilisasi batubara (Breeuwer,

1996).

Hasil hidrolisis FDA yang mengalami fluktuasi karena adanya enzim

ekstraseluler yang dihasilkan oleh kapang dan bakteri untuk dapat menghidrolisis

molekul kompleks dari substrat. FDA yang terhidrolisis pada hari ke-6 mulai

mengalami kenaikan. Hal tersebut karena terdapat hasil degradasi batubara yang

terlarut di dalam media, sesuai dengan hasil uji pH bahwa tingginya aktivitas

isolat di dalam media ditandai dengan pH yang rendah pada hari ke-15. Penurunan

0

0.02

0.04

0.06

0.08

0.1

0.12

0 3 6 9 12 15 18 21

Ab

sorb

an

si (

nm

)

Waktu (Hari)

0 kGy

20 kGy

Page 55: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

40

hasil FDA karena substrat kompleks tersebut telah diuraikan menjadi senyawa

yang lebih sederhana sehingga kinerja enzim ekstraseluler akan berkurang

(Sidharta dkk., 2007).

4.2.7 Uji Hasil Biosolubilisasi dengan Analisis GC-MS

Uji GC-MS ini dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa yang

terdapat pada hasil biosolubilisasi. Sampel yang digunakan adalah yang memiliki

nilai absorbansi tertinggi pada panjang gelombang 250-450 nm yaitu hari ke-6

untuk kedua perlakuan. Pemilihan nilai absorbansi tertinggi diharapkan dapat

menghasilkan produk yang setara dengan bensin dan diesel (solar).

Hasil GC-MS menunjukkan bahwa terdapat 20 senyawa pada sampel A

dan 30 senyawa pada sampel B (Tabel 4). Sampel B memiliki jumlah senyawa

lebih banyak daripada A. Hal tersebut karena adanya pengaruh dari hasil iradiasi

gamma yang diketahui dapat memecah ikatan kompeks menjadi ikatan sederhana,

sehingga lebih memudahkan kapang untuk mendegradasi batubara subbituminus.

Senyawa yang terdeteksi merupakan senyawa hidrokarbon. Senyawa

hidrokarbon adalah senyawa organik yang memiliki unsur karbon dan hidrogen

pada tiap molekulnya. Nilai tertinggi pada sampel A didominansi oleh naftalena

yaitu 38,29%. Naftalena (C10H8) termasuk hidrokarbon alifatik yang biasa

terdapat pada batubara dan minyak bumi, naftalena ini juga memiliki sifat yang

aditif bensin serta memiliki pembakaran yang baik. Sampel B didominasi oleh

senyawa tetrapentakontana (C54H110) yaitu 16,33%.

Page 56: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

41

Tabel 4. Senyawa pada hasil biosolubilisasi batubara subbituminus dengan GC-

MS

N

O Senyawa

% Area

Perlakuan

0 kGy

(A)

20

kGy

(B)

Produk

1 Toluena (C7H8) 0,49 0,23 B

2 2,4-Dimetil-1-heptana (C7H16) 3,33 1,80 B

3 Stirena (C8H8) - 0,06 B

4 Etilbenzena (C8H10) - 0,04 B

5 4-Metilheptana (C8H18) 0,49 0,37 B

6 n-Oktana (C8H18) - 0,05 B

7 4-Metiloktana (C9H20) 13,07 1,31 B

8 3-Etil-2-metilheksana (C9H20) - 5,62 B

9 2,3,3-Trimetilheksana (C9H20) - 0,59 B

10 2,3,5-Trimetilheksana (C9H20) - 0,29 B

11 Naftalena (C10H8) 38,29 - B dan D/S

12 Azulena (C10H8) - 9,25 B dan D/S

13 2,4,6-Trimetilheptana (C10H22) - 0,07 B dan D/S

14 3,3,5-Trimetilheptana (C10H22) 0,68 - B dan D/S

15 3,4,5-Trimetilheptana (C10H22) 1,38 - B dan D/S

16 3,3,6-Trimetil Heptana (C10H22) - 0,54 B dan D/S

17 4-Metildekana (C11H24) 0,86 - B dan D/S

18 5,6-Dimetildekana (C12H26) 0,52 - B, D/S dan K

19 3,7-Dimetildekana (C12H26) 10,06 8,86 B, D/S dan K

20 5-Metilundekana(C12H26) 1,36 - B, D/S dan K

21 n-Dodekana (C12H26) 0,74 - B, D/S dan K

22 5-Butilnonana (C13H28) 1,3 0,62 B, D/S dan K

23 4-Butil-2-Metil- Oktana (C13H28) 4 - B, D/Sdan K

24 5-Isobutilnonana (C13H28) 2,25 0,36 B, D/S dan K

25 n-Tetradekana (C14H30) 3,02 1,67 B, D/Sdan K

26 Undesiklopentana (C16H32) - 2,29 B dan D/S

27 n-Heksadekana (C16H34) - 5,84 B dan D/S

28 2-Metilheksadekana (C17H36) - 1,83 B dan D/S

29 n-Heptadekana (C17H36) - 1,83 B dan D/S

30 8-Metilheptadekana (C18H38) 7,65 5,82 B dan D/S

31 n-Oktadekana (C18H38) 4,13 6,27 B dan D/S

32 n-Nonadekana (C19H40) 3,69 - B dan D/S

33 2,6,11,15-Tetrametilheksadekana (C20H42) - 4,28 B dan D/S

34 n-Eikosana (C20H42) - 2,74 B dan D/S

35 n-Dokosana (C22H46) 2,69 1,35 B dan D/S

36 n-Tetrakosana (C24H50) - 5,27 B dan D/S

37 n-Heksatriakontana (C36H74) - 7,56

Page 57: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

42

N

O Senyawa

% Area

Perlakuan

0 kGy

(A)

20

kGy

(B)

Produk

38 Tetrakontana (C40H82) - 6,71

39 Tetrapentakontana (C54H110) - 16,33

Total % area 100 100

Jumlah Senyawa 20 30

Ket:

B = Bensin

D/S = Diesel/Solar

K = Kerosin

Senyawa yang terdapat di perlakuan batubara mentah (A) dan tidak

terdapat di perlakuan batubara steril (B) yaitu naftalena (C10H8), 3,3,5-

trimetilheptana (C10H22), 3,4,5-trimetilheptana (C10H22), 4-metildekana (C11H24),

5,6-dimetildekana (C12H26), 5-metilundekana(C12H26), n-dodekana (C12H26), 4-

butil-2-metil- oktana (C13H28) dan n-nonadekana (C19H40), sedangkan senyawa

yang terdapat di perlakuan batubara steril (B) dan tidak terdapat di perlakuan

batubara mentah (A) yaitu stirena (C8H8), etilbenzena (C8H10), n-oktana (C8H18),

3-etil-2-metilheksana (C9H20), 2,3,3-trimetilheksana (C9H20), 2,3,5-

trimetilheksana (C9H20), azulena (C10H8), 2,4,6-trimetilheptana (C10H22), 3,3,5-

trimetilheptana (C10H22), 3,3,6-trimetil heptana (C10H22), undesiklopentana

(C16H32), n-heksadekana (C16H34), 2-metilheksadekana (C17H36), n-heptadekana

(C17H36), 2,6,11,15-tetrametilheksadekana (C20H42), n-eikosana (C20H42), n-

tetrakosana (C24H50), n-heksatriakontana (C36H74), tetrakontana (C40H82) dan

tetrapentakontana (C54H110).

Senyawa yang dihasilkan (Tabel 4) menunjukkan pendegradasian dari

senyawa kompleks menjadi senyawa lebih sederhana. Hal tersebut menandakan

Page 58: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

43

bahwa pendegradasian tersebut berasal dari aktivitas agen penyolubilisasi yaitu

kapang dan mikroba indigenus. Dilihat pada tabel 4 bahwa terdapat senyawa

karbon dengan rantai pendek, sesuai dengan penelitian Selvi dkk. (2009), bahwa

senyawa karbon dengan rantai pendek dapat digunakan oleh kapang untuk

melakukan biosolubilisasi dan senyawa karbon dengan rantai pendek merupakan

hasil dari pemecahanan iradiasi gamma yang memecah ikatan kompeks menjadi

ikatan sederhana.

Selain terdapat hidrokarbon aromatik, terdapat pula hidrokarbon alifatik.

Adanya senyawa hidrogen alifatik menandakan bahwa terdapat reaksi enzimatik

yang dilakukan oleh agen penyolubilisasi kapang P. chrysosporium. Lignin

peroksidase yang dihasilkan oleh agen penyolubilisasi akan memutus ikatan lignin

nonfenolik sehingga struktur lignin terbuka. Enzim mangan peroksidase berfungsi

untuk mendegradasi ikatan fenolik pada lignin batubara (Saputra, 2011).

Hasil biosolubilisasi dapat menghasilkan senyawa yang setara dengan

bensin (C7-C11), diesel (C10-C24) dan kerosin (C12-C15). Perlakuan A yang

mengindikasikan adanya bensin yaitu 58,59%, sedangkan B hanya 20,22% diesel

(solar) adalah 82,62% sedangkan B yaitu 58,89% dan untuk kerosin sebesar

23,25% (A) dan 11,51% (B). Persentase dari hasil semua senyawa menunjukkan

bahwa perlakuan A memiliki nilai lebih tinggi daripada B (Gambar 13). Penelitian

dengan kapang P. chrysosporium tanpa perlakuan iradiasi yang dilakukan Saputra

(2011) menghasilkan produk yang hanya setara dengan solar yaitu sebesar 46,58%

dengan masa inkubasi hari ke-9.

Page 59: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

44

Penelitian Diptha (2010) menunjukkan hasil biosolubilisasi batubara yang

telah dilakukan sebelumnya menggunakan kapang Trichoderma sp. menghasilkan

produk yang berpotensi sebagai energi alternatif pengganti bahan bakar bensin

yaitu pada dosis iradiasi 20 kGy dengan masa inkubasi 28 hari yang menghasilkan

persentase area 59,12 %, sedangkan dosis iradiasi yang baik untuk pembentukan

solar adalah dosis 5 kGy inkubasi 21 hari.

Gambar 13. Persentase area hasil senyawa bensin, diesel/solar, dan kerosin

pada perlakuan A (batubara mentah+kapang P. chrysosporium)

dan B (batubara steril + kapang P. chrysosporium) dengan agitasi

120 rpm saat inkubasi 6 hari.

Penelitian menggunakan kapang Penicillium sp. yang dilakukan oleh Ana

(2010) menghasilkan produk biosolubilisasi yang setara dengan bensin sebesar

73,24% pada dosis 10 kGy dengan masa inkubasi pada hari ke-7, sedangkan

produk setara solar pada dosis 5 kGy yaitu sebesar 48,05%. Dilihat gambar 13

bahwa hasil penelitian yang telah dilakukan lebih baik yaitu menghasilkan produk

biosolubilisasi yang setara bensin 58,59%, 82,62% diesel (solar), dan kerosin

58.59

20.22

82.62

58.89

23.25

11.51

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

A (0 kGy) B (20 kGy)

% A

rea

Perlakuan

C7-C11 ( Bensin)

C10-C24 (Diesel/Solar)

C12-C15 (Kerosin)

Page 60: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

45

sebesar 23,25% untuk perlakuan batubara mentah (A) dengan menggunakan

kapang P. chrysosoporium. Hasil dari produk biosolubilisasi memiliki perbedaan

yang dipengaruhi oleh jenis kapang, batubara dan perlakuannya.

Hasil perlakuan batubara steril (B) memiliki persentase area yang lebih

sedikit dari perlakuan batubara mentah (A). Hal tersebut karena pada perlakuan

batubara steril (B) hanya kapang P. chrysosoporium saja yang berperan sebagai

penyolubilisasi. Jumlah senyawa yang dihasilkan lebih banyak dari perlakuan

batubara mentah (A), karena adanya pengaruh dari iradiasi gamma yang

memotong ikatan kompleks menjadi ikatan sederhana, sehingga kapang

mendegradasi batubara lebih mudah daripada perlakuan batubara mentah (A).

Perlakuan batubara mentah (A) memiliki persentase area yang lebih besar

dan memiliki jumlah senyawa lebih sedikit. Hal tersebut karena batubara memiliki

senyawa komplek yang sulit untuk didegradasi, namun karena pada perlakuan A

terdapat kapang P. chrysosoporium yang berkonsorsium dengan mikroba

indigenus, maka proses solubilisasi lebih cepat dan menghasilkan produk yang

lebih tinggi.

Page 61: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

47

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Perlakuan batubara subbituminus dengan iradiasi gamma tidak

mempengaruhi biosolubilisasi dengan menggunakan kapang

Phanerochaete chrysosoporium. Tingkat biosolubilisasi batubara

subbituminus hasil perlakuan iradiasi gamma lebih rendah dibandingkan

batubara mentah dilihat dari laju senyawa aromatik, fenolik, uji protein,

uji enzim dan uji produk bensin, diesel (solar) serta kerosin dengan GC-

MS.

2. Produk biosolubilisasi batubara subbituminus mentah menggunakan

kapang Phanerochaete chrysosporium yang dilihat dari jumlah senyawa

karbonnya setara dengan diesel (solar), bensin dan kerosin sebesar

82,62%, 58,59%, dan 23,25% lebih tinggi dibandingkan hasil perlakuan

iradiasi gamma sebesar 58,59%, 20,22% dan 11,51%.

5.2. Saran

Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh iradiasi gamma

menggunakan jenis kapang dan batubara yang berbeda untuk mengetahui hasil

maksimal dari solubilisasi batubara.

Page 62: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

47

DAFTAR PUSTAKA

Aditiawati, P., Irawan. S, D. Sasongko, & D. I. Astuti. 2011. Biosolubilisasi

Batubara Hasil Iradiasi Gamma oleh Kapang Trichoderma sp. Jurnal

Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi – BATAN. 7 : 1.

Aisah, A. R. 2009. Pretreatment dengan Phanerochaete chrysosporium dalam

Hidrolisis Asam Encer Sludge Kertas. Skripsi: Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian. Bogor.

Ana, Astri. 2010. Biosolubilisasi Batubara Hasil Iradiasi Gamma dalam Berbagai

Dosis Oleh Kapang Penicillium sp. Skripsi: Fakultas Sains Dan

Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.

Anam, Ahsonul. 2008. Dimethyl Ether Dari Batubara Sebagai Bahan Bakar Gas

Alternatif Selain LPG. Jurnal Ilmu Tek. Energi. 1 (7) : 37-57.

Badan Standardisasi Nasional. 1999. Klasifikasi Sumber Daya Dan Cadangan

Batu Bara SNI 13-6011-1999 : 16 hlm. Diakses 11 Januari, pukul 06.03.

Baek, K., C. S. Kim., H. H. Lee, H. J. Shin & J. W. Yang. 2002. Microbial

Desulfurization of Solubilized Coal. Biotechnology Letters. 24: 401-405.

Boel, Trelia. 2009. Dental Radiologi : Prinsip dan Teknologi. Penerbit USU

Press. Medan

Breeuwer, P. 1996. Assesment of Viability of Microorganism Employing

Fluorescene

Techniques. Wageningen

BPS Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. 2010. Statistik Pertambangan Minyak

dan Gas Bumi 2006-2010 : 72 hlm. http://www.bps.go.id. Diakses 11

Januari 2013, pukul 06.30.

Campbell, N.A, Reece J.B & Mitchell L.G. 2002. Biologi Edisi Ke 5 Jilid 1.

Penerbit Erlangga. Jakarta.

Diptha, R. M. 2010. Biosolubilisasi Batubara Hasil Iradiasi Sinar Gamma oleh

Kapang Trichoderma sp. Skripsi: Fakultas Sains Dan Teknologi,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.

Faison, B.D., C.D. Scott & B.H. Davidson. 1989. Biosolubilization of Coal in

Aqueous and Non-Aqueous Media. Biotechnol. Bioeng. Symp. Ser : 540-

547.

Page 63: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

48

Fakoussa, R.M. dan M. Hofrichter. 1999. Biotechnology and Microbiology of

Coal Degradation. Appl Microbiol Biotechnol. 52: 25–40.

Fauziyah, F. 2012. Optimasi Umur Inokulum pada Biosolubilisasi Batubara oleh

Kapang Trichoderma sp. Skripsi: Fakultas Sains Dan Teknologi,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.

Fessenden, R. J dan Fessenden, J.S. 1986. Kimia Organik. Penerbit Erlangga.

Jakarta

Hadi, A. I., Refrizon & E. Susanti. 2012. Analisis Kualitas Batubara Berdasarkan

Nilai HGI dengan Standar ASTM. Jurnal Ilmu Fisika Indonesia. 1 (1D) :

37-41.

Hites, R.A. 1982. Handbook of Instrumental Techniques for Analytical Chemistry

Chapter 31: Gas Chromatography Mass Spectrometry . Indiana

University School Of Public And Environmental Affairs And

Department Of Chemistry

Hammel, K.E. 1996. Extracelluler Free Radical Biochemistry Of Ligninolytic

Fungi. New J Chem. 20: 195-198.

Holker, U., S. Ludwig, T. Scheel, and M.Hofer.1999. Mechanisms of Coal

Solubilization by Deuteromycetes Trichoderma atroviridae and

Fusarium oxysporum. App, Microbiol. Biotechno. 52: 57 – 59.

http://www.wellsitebatubara.com/en/node/20.Diakses 23 Agustus 2013, pukul.

07.20 WIB

http://www.unicontrol-inc.com/COAL-CHEMISTRY.html. Diakses 23 Januari

2013, pukul. 01.25 WIB

http://www.promma.ac.th/main/chemistry/boonrawd_site/kind_of_caol.htm. Diakses 23 Januari 2013, pukul. 01.30 WIB

Indrayani, N. 2006. Bioremediasi Lahan Tercemar Profenofos Secara Ex-Situ

dengan Cara Pengomposan. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut

Pertanian Bogor. Bogor

Indonesian Commercial Newsletter. 2010 . Industri Pertambangan Batubara di

Indonesia. http://www.datacon.co.id/Batubara-2010Pertambangan.html.

Diakses 11 januari, pukul.12.00 WIB

Page 64: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

49

Istikowati, W & Marsoem, S. 2012. Phanerochaete chrysosporium Burds

Inoculation to Improve The Physical Properties of Kapok Pulp. Sains dan

Terapan Kimia. 6 (1) : 87-92.

Kirk, T. K., S. Croan, M. Tien, K. E. Murtagh & R. L. Farrell. 1986. Production

of Multiple Ligninases by Phanerochaete chrysosporium : Effect of

Selected Growth Conditions and Use of Mutant Strain. Enzyme

Microbiology Technology 8: 27-32

Klasson, K., M. Ackerson, M. D. Ackerson, E. C. Clausen & J. L. Gaddy. 1993.

Biological Conversion of Coal and Coal-Derived Synthesis Gas. Fuel. 72

(12) : 1673-1678.

Mawardi, K., A. Solikhin & M. Alfajri. 2011. Potensi Jamur Melanotus sp. dan

Phanerochaete chrysosporium sebagai Biodelignifikasi Ramah

Lingkungan dalam Proses Pulping. Program Kreativitas Mahasiswa.

Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nandi. 2006. Handsout Geologi Lingkungan: Minyak Bumi dan Gas. Universitas

Pendidikan Bandung. Bandung

Oktadianti, A. 2010. Optimisasi Sumber Nitrogen Pada Proses Biosolubilisasi

Batubara Lignit oleh Kapang Phanerochaete chrysosporium. Skripsi:

Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung.

Bandung.

Pelczar, M.J. dan E.C.S. Chan. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi. UI-Press.

Jakarta.

Pusat Litbang Teknologi Mineral dan Batubara.2006. Batubara Indonesia : 10

hlm. http://www.tekmira.esdm.go.id. Diakses 11 Januari 2013, pk. 10.29

WIB.

Rahayu, L.F., M.R. Pikoli & I. Sugoro.2009. Pengaruh Tapioka Hasil Iradiasi

Sinar Gamma Terhadap Pertumbuhan Khamir. Jurnal Radiasi 1:1-7.

Ralph, J.P & D.E.A. Catcheside. 1997. Transformations Of Low Phanerochaete

chrysosporium Fungi Rank Coal by And Other Wood-Rot. Fuel

Processing Technology. 52 : 79-93.

Reddy, C. A & Trevor, M.D. 1994. Physiology And Molecular Biology of The

Lignin Peroxidases of Phanerochaete chrysosporium. FEMS

Microbiology Reviews. 13 : 137–152

Saputra, B. 2011. Pengaruh Variasi Waktu Penambahan Batubara pada

Biosolubilisasi Batubara dengan Metode Kultur Cair oleh Phanerochaete

Page 65: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

50

crysosporium. Skripsi: Program Studi Mikrobiologi. Sekolah Ilmu dan

Teknologi Hayati. Institut Teknologi Bandung.

Secondary Energy Infobook - Fact Sheets About The Major Energy Sources,

Electricity, Consumption, Efficiency, Conservation, Transportation, And

Emerging Technologies. 2009. Manassas – Virginia : 80 hlm.

http://www.need.org. Diakses 11 Januari 2013, pk. 11.17 WIB.

Selvi, V.A. and R. Banerjee. 2007. Bio-conversion of Different Rank Indian Coal

for The Extraction of Liquid Fuel and Fertilizer. Coal Biotechnology.

25:1713–1720.

Selvi, A.P., R.B. Banerjee, L.C. Ram & G. Singh. 2009. Biodepolymerization

Studies Of Low Rank Indian Coals. World J. Microbiol. Biotechnol. 25:

1713-1720.

Sudarman, A. 2012. Uji Kinerja Spektrofotometer Untraviolet-Tampak Berkas

Ganda Terhadap Pengukuran Ambroksol HCl pada Tabel Ekspektoran.

Skripsi: Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam Institut Pertanian Bogor.

Shi Kai Yi, Tao Xiu-xiang, Yin Su-dong, Du Ying dan Lv Zuo-peng. 2009.

Bioliquefaction of Fushun Lignite : Characterization of Newly Isolated

Lignite Liquefying Fungus and Liquefaction Products. The 6th

International Conference on Mining Science dan Tech. Procedia Earth

end Planetary Science. 627-633.

Sidharta, M.L., Jamilah, D. Karamita, W. Brianno & A. Hamid. 2007.

Pemanfaatan Limbah Cair Sebagai Sumber Energi Listrik Pada Microbial

Fuel Cell. Lomba Karya Ilmiah Mahasiswa ITB Bidang Energi

Penghargaan PT. Rekayasa Industri. Bandung.

Sugoro. I., T. Kuraesin, M. R. Pikoli, S. Hermanto, & P. Aditiawati. 2009. Isolasi

dan Seleksi Fungi Pelaku Solubilisasi Batubara Subbituminous. Jurnal

Biologi Lingkungan. 3 (2).

Sugoro, I., S. Hermanto, D. Sasongko, D. I. Astuti & P. Aditiawati. 2011.

Bioliquefaksi Hasil Interaksi Mikroba Indigenos Dengan Trichoderma

asperellum. Prosiding Seminar Nasional Biologi: Inovasi Biologi Dan

Pembelajaran Biologi.

Sugoro, I., Hermanto S., Sasongko, S., Indriani, dan D., Aditiawati, P. 2011.

Karakterisasi Produk Biosolubilisasi Lignit oleh Kapang Indigenus dari

Tanah Pertambangan Batubara di Sumatera Selatan. Jurnal Biologi

Indonesia 7 (2): 299-308.

Page 66: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

51

Sugoro, I., D. Sasongko, D. I. Astuti & P. Aditiawati. 2012. Comparison Of

Gamma Irradiated and Raw Lignite in Bioliquefaction Process By

Fungus T5. Atom Indonesia. 38 (2) : 51 – 56.

Sugoro, I. 2012. Biosolubilisasi Batubara oleh Trichoderma asperellum.

Disertasi: Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi

Bandung. Bandung.

Tao. X., Pan L., Shi. K., Chen. H., Yin. S., & Luo. Z. 2009. Biosolubilization of

Chinese Lignite I: Extracellular Protein Analysis. Mining Science and

Technology. 19 : 0358–0362.

Triyati, E. 1985. Spektrofotometer Ultra-violet Dan Sinar Tampak Serta

Aplikasinya dalam Oseanologi. Oseana Volume X. 1 : 39 - 47.

Willmann, G & R. M. Fakoussa. 1997. Extracellular Oxidative Enzymes of Coal-

Attacking Fungi. Fuel Processing Technology. 52 : 27-4.

World Coal Institute. 2009. Sumber Daya Batu Bara: Tinjauan Lengkap

Mengenai Batu Bara. www.worldcoal.org. Diakses 10 Januari pukul

23.39 WIB.

Yin, S., X. Tao, K. & Shi, K. 2009. Bio-solubilization of Chinese Lignite II:

Protein Adsorption on to The Lignite Surface. Mining Science and

Technology. 19 : 0363–0368.

Ying D, T Xiuxiang, K Shi, and L Yang. 2010. Degradation of Lignite Model

Compounds by The Action of White Rot Fungi. Mining Science and

Technology 20: 0076–0081.

Yuslida, R. 2011. Biosolubilisasi Batubara Lignit Hasil Interaksi Kapang

Trichoderma sp. dengan mikroba Indigenus. Skripsi: Program Studi

Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah. Jakarta

Page 67: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

52

Lampiran 1. Kerangka Berpikir

BatubaraSubbituminus

Peningkatan kualitas batubara

Biosolubilisasimenggunakan

kapang P. chrysosporium

Peningkatan biosolubilisasi dengan

perlakuan iradiasi gamma

Bahan bakar minyak

Page 68: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

53

Lampiran 2. Skema Penelitian

Sampel Batubara

Subbituminus

Serbuk batubara ≤ 70 mesh

150 g

0 kGy / kontrol

(B)

5 kGy 2,5kGy 10 kGy 20 kGy 40 kGy

Uji sterilisasi

-PCA

-SDA

Diperoleh dosis steril (A)

Biosolubilisasi

Phanerochaete

chrysosporium

pH

Biosolubilisasi pada:

(λ) 250 dan 450 nm serta scanning 200-600 nm

Kolonisasi, Lowry

FDA

GCMS

Analisis Data

Page 69: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

54

Lampiran 3. Inokulum Kapang P. chrysosporium

Inokulum kapang P. chrysosporium A. Kultur Murni, B. Spora Perbesaran 1000x

Page 70: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

55

Lampiran 4. Sampel Uji

Keterangan:

13-14 = Hari ke-0

15-16 = Hari ke-3

17-18 = Hari ke-6

19-20 = Hari ke-9

21-22 = Hari ke-12

23-24 = Hari ke-15

25-26 = Hari ke-18

27-28 = Hari ke-21

Page 71: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

56

Lampiran 5. GC-MS Shimadzu

Page 72: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

57

Lampiran 6. Nilai Rata-rata Produk Hasil Biosolubilisasi

Nilai pH

Hari

ke-

Dosis

0 kGy 20 kGy

0 4,29 4,27

3 4,08 4,13

6 4,15 4,23

9 4,17 4,23

12 4,22 4,42

15 4,14 4,26

18 4,17 4,37

21 4,22 4,32

Nilai Analisis Senyawa Fenolik

Hari

ke-

Dosis Laju (/hari)

0 kGy 20 kGy 0 kGy 20 kGy

0 0,285 0,36 0 0

3 0,625 0,645 0,113333 0,095

6 0,64 0,66 0,059167 0,05

9 0,65 0,62 0,040556 0,028889

12 0,7 0,68 0,034583 0,026667

15 0,58 0,54 0,019667 0,012

18 0,57 0,46 0,015833 0,005556

21 0,38 0,37 0,004524 0,000476

Nilai Aromatik Senyawa Aromatik

Hari

ke-

Dosis Laju (/hari)

0 kGy 20 kGy 0 kGy 20 kGy

0 0,09 0,1 0 0

3 0,08 0,13 -0,00333 0,01

6 0,21 0,18 0,02 0,013333

9 0,13 0,08 0,004444 -0,00222

12 0,085 0,15 -0,00042 0,004167

15 0,2 0,195 0,007333 0,006333

18 0,045 0,035 -0,0025 -0,00361

21 0,02 0,035 -0,00333 -0,0031

Page 73: PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP BIOSOLUBILISASI ...

58

Nilai Kandungan Protein

Nilai Kadar Protein

Hari ke- Dosis

0 kGy 20 kGy

0 0,27 0,30

3 0,26 0,28

6 0,30 0,30

9 0,34 0,31

12 0,41 0,31

15 0,40 0,40

18 0,42 0,29

21 0,32 0,28

Nilai Kadar FDA Terhidrolisis

Hari ke- Dosis

0 kGy 20 kGy

0 0,02 0,005

3 0,012 0,021

6 0,02 0,04

9 0,03 0,05

12 0,09 0,05

15 0,055 0,105

18 0,02 0,08

21 0,018 0,015

Uji T