PENGARUH FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA) DAN … · menghasilkan gubal gaharu di alam. Namun...

106
PENGARUH FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA) DAN MEDIA TUMBUH TERHADAP PERTUMBUHAN PLANTLING GAHARU (Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke) HASIL MULTIPLIKASI IN-VITRO KUSRINER F. MBAUBEDARI SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI ILMU PENGETAHUAN KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

Transcript of PENGARUH FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA) DAN … · menghasilkan gubal gaharu di alam. Namun...

i

PENGARUH FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA)

DAN MEDIA TUMBUH TERHADAP PERTUMBUHAN PLANTLING GAHARU

(Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke) HASIL MULTIPLIKASI IN-VITRO

KUSRINER F. MBAUBEDARI

SEKOLAH PASCASARJANA

PROGRAM STUDI ILMU PENGETAHUAN KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Fungi Mikoriza Arbuskula

(FMA) dan Media Tumbuh terhadap Pertumbuhan Plantling Gaharu (Gyrinops versteegii

(Gilg) Domke) Hasil Multiplikasi In-vitro adalah karya saya dengan arahan dari komisi

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana

pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar

Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2008

Kusriner Fernando Mbaubedari

NRP. E051060201

iii

ABSTRACT

KUSRINER F. MBAUBEDARI. The Effect of Arbuscular Mycorrhizal Fungi

(AMF) Indigenous Papua and Plantling Media to The Growth of Agarwood

(Gyrinops versteegii (gilg) Domke) Plantling from In-vitro Multiplication. Under

academic supervision of IRDIKA MANSUR and SUPRIYANTO

These research works were begun with field observation in Asai Natural Forest in

July 2010, and experiments were conducted at Silviculture Laboratory, SEAMEO

BIOTROP, Bogor, from November 2010 to June 2011. Acclimatization method was

designed using completely randomized factorial design with four level planting media and

three level AMF factors, and using three replicates. The objectives were to identify the

species of AMF associated with Gyrinops versteegii collected from Asai Natural Forest,

West Papua, to observe the compatibility of indigenous AMF Papua to G. versteegii

plantling from in-vitro multiplication, on some media combination. The results showed

that there were 7 species of AMF found from 5 sampling plots from Asai Natural Forest

which are associated with G. versteghii; there were Glomus mossae, G. fasciculatum, G.

aggregatum, Glomus sp.1, Glomus sp.2, Glomus sp.3, and Acaulospora longula.

Application of AMF significantly affected to some growth parameters such as the survival

percentage of plantling, height and diameter of stem, fresh weight of top and root, roots

geometry, vigor, and plantling quality index as well as the presence of stomata. AMF

consortium inoculums from Asai Natural Forest gave a better response to the growth of

Gyrinops plantlings compared to Gigaspora margarita.

Keywords : Plantling, Gyrinops versteegii, AMF Consortium, symbiose

iv

RINGKASAN

KUSRINER F. MBAUBEDARI. Pengaruh Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)

Indigenous Papua dan Media Tumbuh terhadap Pertumbuhan Plantling Gaharu

(Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) Hasil Multiplikasi In-vitro.

Untuk mendapatkan pohon penghasil gubal gaharu yang baik, harus menggunakan

bibit dari pohon gaharu potensial, yaitu bibit unggul dari pohon inang yang telah terbukti

menghasilkan gubal gaharu di alam. Namun demikian produktifitas benih yang rendah

menyebabkan kesulitan memperoleh anakan pohon gaharu dalam jumlah banyak di alam,

padahal untuk tujuan budidaya yang luas sangat diperlukan bibit berkualitas dalam jumlah

cukup dan tersedia tepat waktu. Di sisi lain, selama ini bibit yang digunakan berasal dari

biji atau semai hutan alam dimana jumlah bibit terbatas, kualitas bibit rendah dan peluang

memperoleh gubal gaharu setelah penanaman relatif kecil karena bibit yang digunakan

belum tentu berasal dari induk yang berpontesi menghasilkan gubal gaharu.

Kendala lain yang umumnya dihadapi adalah tidak semua pohon gaharu

menghasilkan buah setiap tahun, belum adanya kebun bibit unggul dan kebun benih serta

biji gaharu bersifat rekalsitran, selain itu adanya penebangan pohon induk dewasa di alam

oleh pencari gaharu menyebabkan hilangnya sumber benih. Rendahnya daya berbunga

dan produktifitas berbuah menyebabkan masalah regenerasi secara generatif, sementara

itu pembiakan secara vegetatif menggunakan stek dan cangkok membutuhkan bahan

induk yang banyak, maka kultur in vitro gaharu menjadi alternatif teknologi perbanyakan

gaharu unggul secara masal dan cepat.

Selain dapat menghasilkan bibit berkualitas dalam jumlah yang memadai, teknik

ini berpotensi mempertahankan sifat genetis dari pohon induk penghasil gaharu. Namun

demikian, ditemukan kendala dalam kultur jaringan gaharu yaitu memerlukan waktu yang

lama untuk menginduksi akar plantlet baik secara in vitro maupun ex vitro di green

house, sementara akar yang terbentuk umumnya relatif kecil, jumlahnya sedikit serta sulit

berkembang. Problem lain adalah tahapan aklimatisasi plantling gaharu hasil in vitro ke

media aklimatisasi merupakan tahapan kritis yang masih menjadi masalah karena

plantling telah terbiasa tumbuh pada kondisi lingkungan dengan kelembaban tinggi

sementara apabila diadaptasikan secara ex vitro dengan temperatur tinggi plantling akan

mengalami dehidrasi, layu dan mati dikarenakan mekanisme buka tutup stomata yang

rendah dan stomata tidak berfungsi optimal. Lingkungan tumbuh in vitro bersifat steril

mengakibatkan imunitas plantling rendah dan lebih rentan terhadap serangan hama dan

v

penyakit busuk akar oleh jamur pembusuk akar (lodoh). Akibatnya tingkat kematian

plantling gaharu sangat tinggi, yaitu 75 % dari plantlet yang diadaptasikan ke media

pertumbuhan plantling di green house. Kondisi ini menyebabkan kegagalan produksi

bibit gaharu potensial asal kultur in vitro. Penyebab lainnya yaitu lapisan kutikula

plantling tipis dan terbiasa menerima cahaya konstan, sedangkan pada ex vitro plantling

mendapatkan cahaya tidak konstan dan intensitas cahaya tinggi. Faktor lainnya ialah

dalam media in vitro nutrisi tersedia optimal sehingga plantlet bersifat heterotrop,

sedangkan diluar media kultur plantling dituntut bersifat autotrop. Selain itu, plantling

asal in vitro memiliki lignifikasi batang rendah sehingga cenderung bersifat vitrious

(sukulen).

Aplikasi FMA pada plantling gaharu akan memacu ramifikasi akar dan batang

plantling karena mikoriza memproduksi auksin IAA untuk menstimulir akar plantling

serta menghasilkan enzim phospatase untuk pembentukan lignin. Hal tersebut dapat

tercermin dari geometri akar yang terbentuk, dengan demikian diharapkan plantling

menjadi lebih tahan dan vigor bibit meningkat, sedangkan bio-charcoal akan berperan dalam

menyerap zat-zat toksis, pembenah media dalam menejemen unsur hara tanah dan memberikan

efek gelap di sekitar akar plantling sehingga auksin IAA di akar tidak rusak oleh cahaya dan IAA

akan berperan optimal mendukung perkembangan akar adventif plantling. Sementara itu dengan

adanya lignit maka asam humat akan berperan menyediakan nutrisi hara secara autotropik bagi

plantling di media pertumbuhan.

Sejauh ini pemanfaatan FMA, kompos, bio-charcoal, dan lignit untuk perbaikan

dan peningkatkan pertumbuhan bibit gaharu G. versteegii hasil multiplikasi in vitro yang

mampu beradaptasi di greenhouse dan di lapangan belum dilakukan. Kerjasama sinergis

beberapa perlakuan diharapkan dapat membuat terobosan baru dalam penyediaan bibit

gaharu yang berkualitas (genetik, fisik dan fisiologis). Tuiuan dari penelitian ini adalah

untuk mengetahui jenis-jenis Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) indigenous yang

bersimbiosis dengan G. versteegii asal Papua dan uji kompatibilitas FMA indigenous

Papua terhadap plantling Gyrinops versteegii hasil multiplikasi in-vitro pada berbagai

kombinasi media. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sejumlah data dan

informasi keragaman FMA indigenous yang bersimbiosis dengan pohon G versteegii dan

mendapatkan kombinasi FMA indigenous dengan kompos, bio-charcoal dan lignit yang

efektif untuk produksi bibit gaharu bermutu serta peningkatan kualitas pertumbuhannya.

vi

Hasil isolasi dari trapping menunjukkan bahwa jumlah spora FMA alami

bervariasi dari 2 hingga 5 spora /10 gram sampel tanah. Ditemukan 7 spesies FMA dari 5

plot pengambilan sampel di hutan alam Asai yang bersimbiosis dengan G. Versteegii,

yaitu Glomus mossae, Glomus fasciculatum, Glomus aggregatum, Glomus sp1, Glomus

sp2, Glomus sp3. dan Acaulospora longula. Tingkat kolonisasi FMA alam pada akar

semai G. Versteegii sebesar 30 % hingga 80 % atau tingkat kolonisasi rendah hingga

tinggi. Struktur kolonisasi FMA yang ditemui berupa hifa internal, vesikula, dan spora

dalam akar. Inokulum FMA konsorsium asal Hutan Alam Asai memberikan respon positif

terhadap parameter pertumbuhan plantling Gyrinops lebih baik dari pada FMA

Gigasspora margarita. FMA berpengaruh nyata pada semua parameter diamati yaitu

kolonisasi, persentase hidup, tinggi, diameter, jumlah akar primer dan sekunder, panjang

akar primer dan sekunder, berat basah pucuk, berat basah akar, dan kekokohan bibit.

Media berpengaruh nyata terhadap kolonisasi, tinggi, diameter, jumlah akar primer,

panjang akar primer dan kekokohan bibit. Interaksi antara media dan FMA tidak

berpengaruh terhadap semua parameter yang diamati. Namun demikian FMA konsorsium

memberikan kontribusi relatif lebih baik dibanding FMA G. margarita maupun tanpa

pemberian FMA (kontrol). Besarnya kontribusi FMA konsorsium memberikan pengaruh

nyata terhadap berbagai parameter yang diamati diduga disebabkan karena secara alami

FMA konsorsium telah membangun simbiosis dengan tanaman inang G. versteegii.

Dalam penelitian ini keeratan hubungan antara FMA konsorsium dengan inang G.

versteegii dapat dilihat dari besarnya nilai persentase kolonisasi FMA konsorsium (32,8

%) sedangkan G. margarita (18,7 %), PGR FMA konsorsium (7,1 %) sedangkan G.

Margarita (2,1 %) dan DPU untuk FMA konsorsium (5,4 %) sedangkan DPU G.

Margarita (1,5 %). Indikator lain yang dapat dipakai untuk untuk melihat hubungan

simbiosis ini adalah nilai serapan hara P, dimana FMA konsorsium meningkatkan serapan

hara P pada jaringan tanaman plantling G. versteegii lebih baik dari G. margarita..

Penggunaan inokulum konsorsium alami lebih menjanjikan untuk pertumbuhan suatu jenis

yang diperbanyak secara in-vitro. Geometri akar menunjukan bahwa FMA berpengaruh

terhadap panjang dan jumlah akar primer. FMA konsorsium menghasilkan panjang akar

primer (7 cm) sedangkan G. Margarita (3.1 cm). FMA konsorsium menghasilkan jumlah

akar primer (16,2 akar) sedangkan G. Margarita (11, 1 cm). Berdasarkan nilai kekokohan

dan indeks mutu benih maka media tanah, pasir, kompos, bio-charcoal dan batu bara

muda menghasilkan bibit G. Versteegii lebih siap di lapangan.

vii

@Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu

masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

viii

PENGARUH FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA)

DAN MEDIA TUMBUH TERHADAP PERTUMBUHAN PLANTLING GAHARU

(Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) HASIL MULTIPLIKASI IN-VITRO

KUSRINER F. MBAUBEDARI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA

PROGRAM STUDI ILMU PENGETAHUAN KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

ix

Judul Penelitian : Pengaruh Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan Media Tumbuh

terhadap Pertumbuhan Plantling Gaharu (Gyrinops versteegii

(Gilg) Domke) Hasil Multiplikasi In-Vitro

Nama : Kusriner F. Mbaubedari

NRP : E051060201

Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Irdika Mansur, M. For. Sc Dr. Ir. Supriyanto, DEA

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc. Agr

Tanggal Ujian: 1 Agustus 2011 Tanggal Lulus : 1 Agustus 2011

x

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, M.S.

xi

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas Rahmat-Nya sehingga saya dapat

menghasilkan tesis berjudul Pengaruh Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan Media

Tumbuh terhadap Pertumbuhan Plantling Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg) Domke)

Hasil Multiplikasi In-vitro) ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Rektor Universitas

Negeri Papua atas kesempatan yang diberikan untuk melanjutkan studi ke Program Studi

Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Terima kasih

juga disampaikan kepada Direktor Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen DIKTI) atas

program pendidikan Pascasarjana BPPS T.A. 2006-2008 dan Pemerintah Propinsi Papua

atas Program Beasiswa Otonomi Khusus T. A. 2009-2010.

Ucapkan terima kasih serta penghargaan yang tulus disampaikan kepada Dr. Ir.

Irdika Mansur, M.For.Sc dan Dr. Ir. Supriyanto, DEA selaku komisi pembimbing yang

telah membantu mengarahkan, memberikan semangat dan perhatian khusus sejak awal

penentuan topik penelitian tesis hingga penyelesaian karya ilmiah ini. Pada kesempatan

ini, penulis juga menyampaikan terima kasih yang tulus kepada Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R,

M.S selaku penguji luar komisi yang karena kesediaannya sebagai penguji sehingga ujian

tesis saya dapat terselenggarakan dengan baik.

Semoga Karya Ilmiah ini dapat bermanfaat untuk perkembangan teknik silvikultur

gaharu dan mikoriza di Indonesia.

Bogor, 1 Agustus 2011

Kusriner Fernando Mbaubedari

xii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Serui, Kecamatan Yapen Selatan, Kabupaten Yapen

Waropen, Propinsi Papua pada tanggal 17 Februari 1975. Penulis merupakan anak

pertama dari tujuh bersaudara dari ayah Fredrik Mbaubedari dan ibu Benselina Reba .

Tahun 1995 penulis lulus dari SMUN 417 Serui, pada tahun yang sama lulus seleksi

masuk Universitas Cenderawasih melalui jalur seleksi lokal siswa berpotensi. Penulis

memilih Program Studi Budidaya Hutan, Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian

Universitas Cenderawasi (UNCEN). Penulis menamatkan pendidikan Sarjana tahun 2001.

Selama menjadi mahasiswa S1, penulis bekerja sebagai asisten pada mata kuliah Silvika

dan Ilmu Tanah Hutan, dan aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan. Pada tahun

2003, penulis diterima sebagai pengajar pada Universitas Papua di Manokwari, Papua

Barat,.

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA ------------------------------------------------------------------------------- xi

DAFTAR ISI ---------------------------------------------------------------------------- xiii

DAFTAR TABEL ------------------------------------------------------------------------ xv

DAFTAR GAMBAR ------------------------------------------------------------------ xvi

DAFTAR LAMPIRAN ----------------------------------------------------------------- xvi

PENDAHULUAN ----------------------------------------------------------------------- 1

Latar Belakang -------------------------------------------------------------------- 1

Perumusan Masalah --------------------------------------------------------------- 3

Tujuan ------------------------------------------------------------------------------ 5

Manfaat ---------------------------------------------------------------------------- 5

Hipotesis --------------------------------------------------------------------------- 5

Kerangka Pemikiran -------------------------------------------------------------- 6

TINJAUAN PUSTAKA ---------------------------------------------------------------- 7

Gaharu ------------------------------------------------------------------------------- 7

Proses Pembentukan Gaharu ------------------------------------------------- 8

Gaharu Unggul ---------------------------------------------------------------- 10

Perbanyakan Pohon Penghasil Gaharu -------------------------------------- 10

Manfaat dan Nilai Ekonomi Gaharu ---------------------------------------- 11

Mikoriza ----------------------------------------------------------------------------- 12

Fungi Mikoriza Arbuskula --------------------------------------------------------- 14

Manfaat Mikoriza ------------------------------------------------------------------- 16

Mikoriza dan Gaharu G. versteegii ----------------------------------------------- 17

Bio-charcoal ------------------------------------------------------------------------ 17

Lignit (Batu Bara Muda) ----------------------------------------------------------- 19

METODE PENELITIAN ------------------------------------------------------------- 21

Tempat dan Waktu ---------------------------------------------------------------- 21

Bahan dan Alat --------------------------------------------------------------------- 21

Metode ------------------------------------------------------------------------------ 21

Prosedur Pelaksanaan --------------------------------------------------------- 22

Isolasi dan Identifikasi FMA ------------------------------------------------- 22

Produksi Inokulum FMA ----------------------------------------------------- 25

Aplikasi FMA, Kompos, Bio-charcoal dan Lignit pada Plantling -------- 25

Pengamatan dan Pengukuran ------------------------------------------------- 25

Analisa Data ------------------------------------------------------------------------ 27

HASIL ------------------------------------------------------------------------------------ 28

Kondisi Lokasi Pengambilan Sampel ------------------------------------------ 28

Vegetasi ------------------------------------------------------------------------- 28

Keadaan Tanah ----------------------------------------------------------------- 30

Keadaan Iklim ------------------------------------------------------------------ 30

xiv

Potensi Fungi Mikoriza Arbuskular Alami di Semai G. versteegii di Hutan

Alam Asai --------------------------------------------------------------------------- 31

Keberadaan jenis FMA -------------------------------------------------------- 31

Kolonisasi FMA alami pada semai G. versteegii --------------------------- 34

Aplikasi FMA pada Plantling Gaharu G. versteegii --------------------------- 36

Kondisi stomata plantlet dan plantling G. verstegii ----------------------- 36

Rekapitulasi hasil uji F terhadap berbagai parameter pengamatan ------- 37

Kolonisasi akar pada plantling G. versteegii ------------------------------- 39

Respon plantling G. versteegii terhadap mikoriza (percentage growth

respon, PGR) -------------------------------------------------------------------- 43

Ketergantungan plantling G. versteegii bermikoriza terhadap fosfor

(dependency of P uptake, DPU) ---------------------------------------------- 44

Persentase hidup plantling G. versteegii ------------------------------------- 46

Pertambahan tinggi plantling G. versteegii ---------------------------------- 48

Pertambahan diameter plantling G. versteegii ------------------------------ 51

Geometri akar ------------------------------------------------------------------- 53

Berat basah pucuk dan akar --------------------------------------------------- 57

Kekokohan plantling G. versteegii ------------------------------------------- 59

Hubungan antara kolonisasi FMA dengan parameter pertumbuhan

plantling G. versteegii ---------------------------------------------------------- 61

Searapan hara makro N, P dan K --------------------------------------------- 61

Indeks mutu bibit -------------------------------------------------------------- 63

PEMBAHASAN ------------------------------------------------------------------------- 64

Pengaruh FMA --------------------------------------------------------------------- 64

Pengaruh Media ------------------------------------------------------------------- 68

Pengaruh interaksi media tumbuh dengan FMA -------------------------- ------ 69

SIMPULAN DAN SARAN ------------------------------------------------------------- 70

DAFTAR PUSTAKA -------------------------------------------------------------------- 71

LAMPIRAN ------------------------------------------------------------------------------- 75

xv

DAFTAR TABEL

NO. Halaman

Teks

1. Keberadaan G. versteegii dan vegetasi lain dan pada lokasi pengambilan

sampel ------------------------------------------------------------------------------ 28

2. Hasil analisis tanah di lokasi penelitian ----------------------------------------- 30

3. Dokumentasi jenis spora FMA yang bersimbiosis dengan semai G.

versteegii dari hutan alam Asai, Manokwari Papua Barat ------------------ 32

4. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh FMA terhadap pertumbuhan plantling

G. versteegii ------------------------------------------------------------------------ 38

5. Hasil análisis korelasi antara kolonisasi FMA dengan beberapa parameter

pertumbuhan plantling G. versteegii -------------------------------------------- 61

xvi

DAFTAR GAMBAR

NO. Halaman

Teks

1. Kerangka pemikiran pengembangan bibit gaharu potensial ----------------- 6

2. Distribusi pohon penghasil gaharu Aquilaria spp. dan Gyrinops spp. di

Papua, Indonesia dan dunia ------------------------------------------------------- 8

3. Empat faktor yang mempengaruhi terbentuknya gubal gaharu -------------- 9

4. Skema hirarki yang terdiri dari tipe-tipe mikoriza dan kategori interaksi

tumbuhan dengan cendawan lainnya ------------------------------------------- 14

5. Pohon gaharu G. versteegii dan vegetasi lain yang tumbuh disekitar G.

versteegii (a) dan keberadaan semai G. Versteegii --------------------------- 29

6. Sebaran jumlah spora FMA per plot pengambilan sampel --------------------- 34

7. Struktur kolonisasi FMA dengan akar semai G. versteegii --------------------- 35

8. Stomata di daun muda (a) dan di daun tua (b) pada planlet G. versteegii asal

kultur in-vitro dalam keadaan membuka dan sedikit ---------------------------- 37

9. Stomata daun muda (a) dan daun tua (b) pada plantling G. versteegii

dalam keadaan menutup dan jumlahnya lebih banyak ------------------------ 37

10. Visualisasi persentase kolonisasi FMA dengan plantling G. versteegii ----- 39

11.` Hasil Uji Duncan persentase kolonisasi FMA pada akar G. versteegii

(angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan antar FMA yang

dicobakan pada α=0,05) ---------------------------------------------------------- 40

12. Hasil uji Duncan pengaruh media terhadap persentase kolonisasi pada akar

plantling G. versteegii (angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada

perbedaan antar FMA yang dicobakan pada α=0,05) ------------------------- 40

13. Visualisasi struktur kolonisasi FMA pada akar plantling G. versteegii ---- 41

14. Visualisasi respon plantling G. versteegii terhadap mikoriza --------------- 43

15. Hasil Uji Duncan PGR pada plantling G. versteegii (angka diikuti huruf

yang sama berarti tidak ada perbedaan antar FMA yang dicobakan pada

α=0,05). ------------------------------------------------------------------------------ 44

16. Visualisasi ketergantungan plantling G. versteegii bermikoriza terhadap

fosfor ------------------------------------------------------------------------------- 45

17. Hasil Uji Duncan DPU pada plantling G. versteegii (angka diikuti huruf

yang sama berarti tidak ada perbedaan antar FMA yang dicobakan pada

α=0,05) ------------------------------------------------------------------------------- 45

xvii

18. Visualisasi persentase hidup plantling G. versteegii sampai minggu ke-8 -- 46

19. Visualisasi kematian plantling G. versteegii akibat serangan busuk akar - 47

20. Hasil Uji Duncan hidup plantling G. versteegii (angka diikuti huruf yang

sama berarti tidak ada perbedaan antar FMA yang dicobakan pada α=0,05) 47

21. Visualisasi keadaan tinggi plantling G. versteegii pada berbagai kombinasi

media yang dicobakan ------------------------------------------------------------ 48

22. Hasil Uji Duncan terhadap tinggi plantling G. versteegii (angka diikuti

huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan antar FMA yang dicobakan

pada α=0,05) ----------------------------------------------------------------------- 49

23. Hasil uji Duncan pengaruh media tumbuh terhadap tinggi plantling G.

versteegii. (angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan antar

FMA yang dicobakan pada α=0,05) --------------------------------------------- 49

24. Pengaruh kombinasi media tumbuh terhadap pertambahan tinggi plantling

G. Versteegii ----------------------------------------------------------------------- 50

25. Keragaan pertumbuhan tinggi plantling G. versteegii ------------------------ 50

26. Keragaan pertumbuhan plantling G. versteegii umur 8 MST dari semua

kombinasi perlakuan -------------------------------------------------------------- 51

27. Hasil Uji Duncan pengaruh FMA terhadap pertumbuhan diameter plantling

G. versteegii (Angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan

antar FMA yang dicobakan pada α=0,05) -------------------------------------- 51

28. Hasil uji Duncan pengaruh media tumbuh terhadap diameter plantling G.

versteegii --------------------------------------------------------------------------- 52

29. Visualisasi pertambahan diameter plantling G. versteegii pada berbagai

kombinasi media tumbuh --------------------------------------------------------- 53

30. Hasil Uji Duncan pengaruh FMA terhadap jumlah akar primer dan

sekunder plantling G. versteegii (Angka diikuti huruf yang sama berarti

tidak ada perbedaan ----------------------------------------------------------------- 53

31. Hasil Uji Duncan pengaruh media terhadap jumlah akar primer plantling G.

versteegii (Angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan antar

FMA yang dicobakan pada α=0,05) --------------------------------------------- 54 53

32. Visualisasi pengaruh kombinasi FMA dan media tumbuh terhadap panjang

akar primer dan sekunder plantling G. Versteegii ----------------------------- 55

xviii

33. Hasil Uji Duncan pengaruh FMA terhadap panjang akar primer dan

sekunder plantling G. versteegii (Angka diikuti huruf yang sama berarti

tidak ada perbedaan antar FMA yang dicobakan pada α=0,05) ------------- 55

34. Hasil Uji Duncan pengaruh media terhadap panjang akar primer plantling

G. versteegii (Angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan

antar FMA yang dicobakan pada α=0,05) -------------------------------------- 56

35. Visualisasi pengaruh kombinasi FMA dan media tumbuh terhadap panjang

akar primer dan sekunder plantling G. Versteegii ----------------------------- 56

36. Keragaan panjang akar primer (A) dan akar sekunder (B) plantling G.

Versteegii --------------------------------------------------------------------------- 57

37. Hasil Uji Duncan terhadap berat basah akar dan pucuk plantling G.

versteegii (angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan antar

FMA yang dicobakan pada α=0,05) --------------------------------------------- 58

38. Visualisasi pengaruh kombinasi FMA dan media tumbuh terhadap berat

basah akar dan pucuk plantling G. Versteegii ---------------------------------- 58

39. Hasil Uji Duncan pengaruh FMA terhadap kekokohan plantling G.

versteegii (angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan antar

FMA yang dicobakan pada α=0,05) --------------------------------------------- 59

40. Hasil Uji Duncan pengaruh media terhadap kekokohan plantling G.

versteegii --------------------------------------------------------------------------- 59

41. Visualisasi pengaruh FMA dan media terhadap kekokohan plantling G.

versteegii --------------------------------------------------------------------------- ` 60

42. Hasil analisis serapan hara makro N pada jaringan tanaman plantling G.

Versteegii --------------------------------------------------------------------------- 62

43. Hasil analisis serapan hara makro P pada jaringan tanaman plantling G.

Versteegii -------------------------------------------------------------------------- 62

44. Hasil analisis serapan hara makro K pada jaringan tanaman plantling G.

Versteegii --------------------------------------------------------------------------- 62

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Persentase kolonisasi FMA hasil isolasi dari sampel tanah

komposit semai pohon penghasil gaharu G. versteegii dari hutan

alam Asai Kabupaten Manokwari, Propinsi Papua Barat ------------ 75

Lampiran 2. Rekapitulasi Uji Signifikasi terhadap PGR dan DPU plantling G.

Versteegii ----------------------------------------------------------------- 76

Lampiran 3. Uji Signifikasi terhadap PGR dan DPU plantling G. Versteegii --- 78

Lampiran 4. Hasil Uji Duncan persentase kolonisasi FMA pada plantling G.

versteegii ----------------------------------------------------------------- 78

Lampiran 5. Hasil Uji Duncan terhadap Nilai PGR plantling G. versteegii -- 78

Lampiran 6. Hasil Uji Duncan terhadap Nilai DPU plantling G. versteegii --- 79

Lampiran 7. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap persentase hidup

plantling G. versteegii --------------------------------------------------- 79

Lampiran 8. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Tinggi plantling G.

Versteegii ------------------------------------------------------------------ 79

Lampiran 9. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Diameter plantling G.

versteegii ----------------------------------------------------------------- 80

Lampiran 10. Hasil Uji Duncan t Pengaruh FMA terhadap Jumlah Akar Primer

plantling G. Versteegii ------------------------------------------------- 80

Lampiran 11. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Jumlah Akar

Sekunder plantling G. versteegii -------------------------------------- 80

Lampiran 12. Hasil Uji Duncan Pengaruh media terhadap Jumlah Akar Primer

plantling G. versteegii -------------------------------------------------- 80

Lampiran 13. Hasil Uji Duncan pengaruh media terhadap Panjang Akar Primer

plantling G. Versteegii -------------------------------------------------- 81

Lampiran 14. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Panjang Akar primer

plantling G. Versteegii -------------------------------------------------- 82

Lampiran 15. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Panjang Akar

Sekunder plantling G. versteegii --------------------------------------- 83

Lampiran 16. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Berat Basah Akar

plantling G. Versteegii --------------------------------------------------- 83

xx

Lampiran 17. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Berat Basah Pucuk

plantling G. versteegii ---------------------------------------------------- 83

Lampiran 18. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Kekokohan Bibit

plantling G. versteegii ---------------------------------------------------- 84

Lampiran 19. Indeks Mutu Bibit berdasarkan rata-rata diameter plantling G.

versteegii menggunakan sitem skoring ------------------------------- 84

Lampiran 20. Indeks Mutu Bibit berdasarkan rata-rata tinggi plantling G.

versteegii menggunakan sistem skoring ----------------------------- 85

Lampiran 21. Indeks Mutu Bibit berdasarkan rata-rata tingkat kekokohan

plantling G. versteegii menggunakan sitem skoring ---------------- 85

Lampiran 23. Nilai serapan hara N, P dan K pada plantling G. Versteegii -------- 86

Lampiran 24. Hasil Analisis Media Tumbuh Plantling G. versteegii -------------- 87

Lampiran 25. Hasil analisis jaringan plantling G. versteegii pada kombinasi

perlakuan media tumbuh ----------------------------------------------- 87

21

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gaharu merupakan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) bernilai ekonomi tinggi,

berwarna khas, mengandung aroma resin wangi jika dibakar dan dapat digunakan untuk

bahan parfum, dupa, obat-obatan, sabun mandi, kosmetik, dan pengharum ruangan.

Dengan demikian gaharu merupakan Hasil Hutan Bukan Kayu memiliki nilai ekonomi

yang tinggi.

Permintaan gaharu dunia saat ini diperkirakan 4000 ton pertahun namun Indonesia

hanya mampu menyediakan 200 ton pertahun dari potensi gaharu Indonesia yang

diperkirakan sebesar 600 ton pertahun. Potensi sebesar ini diambil dari hutan alam Papua,

Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Sumatera meliputi 98% dan sisanya 2%

berasal dari perkebunan gaharu. Harga gaharu di Indonesia berkisar Rp 100.000-

150.000.000 per kg tergantung kualitasnya. Sementara itu harga gaharu super di China

dapat mencapai Rp 400 juta per kilogram dan 300 juta per kilogram di Timur Tengah

(Mashur, 2011). Total ekspor gaharu Indonesia dalam lima tahun terakhir berkisar 170-

573 ton/tahun dengan perkiraan perolehan devisa negara pada tahun 2006 sebesar

26.086.350 USD meningkat menjadi 85.987.500 USD pada tahun 2010. Menurut Menteri

Kehutanan RI, untuk memenuhi permintaan pasar dunia, maka eksport gaharu Indonesia

akan ditingkatkan menjadi 1000 ton/tahun yang didukung oleh pembangunan hutan

tanaman gaharu (Zulkifli, 2011).

Indonesia telah dikenal sebagai salah satu negara penghasil gaharu di dunia, karena

mempunyai lebih dari 25 jenis pohon penghasil gaharu yang tersebar di Sumatera,

Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. G versteegii, Gyrinops

ladermanii dan Aquilaria filaria merupakan spesies penghasil gaharu yang dapat

ditemukan di New Guinea (The State Papua New Guinea and West Papua in Indonesian)

dan telah dikenal di dunia (Gunn et al., 2003).

Beragamnya permintaan produk berbahan baku gaharu dan tingginya harga gaharu

diperdagangan internasional menyebabkan perburuan gaharu (Aquilaria filaria dan G.

versteegii) menyebar sampai hutan-hutan alam Papua yang masih tersisa. Penebangan

pohon secara tidak selektif menyebabkan pohon yang tidak mengandung gaharu pun

ditebang. Hal tersebut disebabkan karena sulitnya mendekteksi keberadaan gubal gaharu

pada pohon gaharu yang masih hidup. Untuk memproleh satu pohon penghasil gubal

gaharu, pemburu gaharu dapat menebang 10 pohon gaharu. Sisa pohon gaharu di daerah-

22

daerah penghasil utama gaharu semakin lama semakin menipis antara lain Sumatera

(26%), Kalimantan (27%), Nusa Tenggara (5%), Sulawesi (4%), Maluku (6%), dan Papua

(37%) (Asgarin 2011). Semakin sulitnya mendapatkan gaharu di hutan alam

mengakibatkan Aquilaria spp. dan Gyrinops spp. dimasukkan dalam Apendix II (produksi

gaharu harus berasal dari perkebunan gaharu) pada konvensi CITES (Convention on

International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) di Bangkok (Cites,

2004). Kekuatiran akan punahnya spesies gaharu di Indonesia, menyebabkan Kementerian

Kehutanan Indonesia sejak tahun 2005 menurunkan kuota ekspor gaharu menjadi hanya

125 ton/tahun.

Eksploitasi gaharu tanpa upaya budidaya menyebabkan potensi gaharu di hutan

alam semakin berkurang. Pola ini dapat diperbaiki melalui upaya konservasi,

pembangunan hutan tanaman gaharu yang didukung dengan tersedianya bibit unggul dan

teknologi bioproses gaharu yang efektif serta aplikasi bioteknologi pupuk hayati dan

bahan organik dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman di lapangan melalui produksi

bibit berkualitas.

Pohon berpotensi menghasilkan gaharu dapat diperbanyak melalui kultur jaringan

dan dikembangkan dengan mikoriza untuk memacu pertumbuhannya pada media yang

tepat. Media tersebut dapat berupa, kompos, bio-charcoal dan lignit (batubara muda).

FMA diketahui berperan mengurangi stress yang disebabkan karena minimnya hara, aerasi

tanah kurang baik, struktur tanah padat, pH rendah, salinitas tinggi dan logam beracun

(Sieverding, 1991). Meningkatkan penyerapan unsur hara makro P, N dan beberapa hara

mikro (Baghel et al., 2009). Hifa mikoriza mampu memfilter logam berat dan tidak

meneruskannya ke tanaman (Smith and Read, 1997), melindungi perakaran tanaman dari

patogen berbahaya (Liu, 1991), perlindungan dari senyawa-senyawa radio nuklir (Pfleger

and Linderman, 1996) dan salinitas tanah (Delvian et al, 2001) serta memproduksi hormon

pertumbuhan seperti auksin, sitokinin dan gibberelin bagi tanaman. Dengan adanya auksin

proses penuaan akar menjadi lambat.

Bio-charcoal adalah arang yang dibuat dari material biologis dan diolah melalui

proses pirolisis. Teknologi ini telah lama digunakan oleh suku Indian Maya ribuan tahun

silam. Manfaat bio-charcoal adalah untuk menurunkan emisi rumah kaca, meningkatkan

simpanan karbon dalam tanah, soil conditioner dan soil managment, meningkatkan

porositas tanah dan aktifitas mikroba tanah, menyerap kontaminan toksis, menetralkan

keasaman tanah serta mencegah penyakit busuk akar yang disebabkan oleh serangan

patogen jamur (Steiner, 2007 ; Lehman, 2007 ; Supriyanto, 2010), sedangkan lignit

23

(batubara muda) adalah batubara tidak bernilai ekonomis yang ditimbun di lokasi tambang

sebagai limbah. Diduga lignit mengandung zat-zat humat (asam humat) sebagai unsur

organik dari proses dekomposisi tumbuhan dalam tanah, sedimen rawa dan gambut

sehingga dapat memperkaya media pertumbuhan bibit. Adanya peran potensial dari

mikoriza, kompos, bio-charcoal dan lignit, maka berpotensi dapat dimanfaatkan untuk

memperkaya media pertumbuhan plantling gaharu G. versteegii.

Perumusan Masalah

Untuk mendapatkan pohon penghasil gubal gaharu yang baik, harus menggunakan

bibit dari pohon gaharu potensial, yaitu bibit unggul dari pohon inang yang telah terbukti

menghasilkan gubal gaharu di alam, artinya sangat dipengaruhi oleh sifat genetik,

kemudian diperbanyak sebagai bibit unggul (clone) untuk kepentingan budidaya. Namun

demikian produktifitas benih yang rendah menyebabkan kesulitan memperoleh anakan

pohon gaharu dalam jumlah banyak di alam, padahal untuk tujuan budidaya yang luas

sangat diperlukan bibit berkualitas dalam jumlah cukup dan tersedia tepat waktu. Di sisi

lain, selama ini bibit yang digunakan berasal dari biji atau semai hutan alam dimana

jumlah bibit terbatas, kualitas bibit rendah dan peluang memperoleh gubal gaharu setelah

penanaman relatif kecil karena bibit yang dipakai belum tentu berasal dari induk yang

berpontesi menghasilkan gubal gaharu.

Kendala lain yang umumnya dihadapi adalah tidak semua pohon gaharu

menghasilkan buah setiap tahun, belum adanya kebun bibit unggul dan kebun benih serta

biji gaharu bersifat rekalsitran, selain itu adanya penebangan pohon induk dewasa di alam

oleh pencari gaharu menyebabkan hilangnya sumber benih. Rendahnya daya berbunga dan

produktifitas berbuah menyebabkan masalah regenerasi secara generatif, sementara itu

pembiakan secara vegetatif menggunakan stek dan cangkok membutuhkan bahan induk

yang banyak, maka kultur in vitro gaharu menjadi alternatif teknologi perbanyakan gaharu

unggul secara masal dan cepat.

Selain dapat menghasilkan bibit berkualitas dalam jumlah yang memadai, teknik

ini berpotensi mempertahankan sifat genetis dari pohon induk penghasil gaharu. Namun

demikian, ditemukan kendala dalam kultur jaringan gaharu yaitu memerlukan waktu yang

lama untuk menginduksi akar plantlet baik secara in vitro maupun ex vitro di green house,

sementara akar yang terbentuk umumnya relatif kecil, jumlahnya sedikit serta sulit

berkembang. Problem lain adalah tahapan aklimatisasi plantling gaharu hasil in vitro ke

media aklimatisasi merupakan tahapan kritis yang masih menjadi masalah karena

24

plantling telah terbiasa tumbuh pada kondisi lingkungan dengan kelembaban tinggi

sementara apabila diadaptasikan secara ex vitro dengan temperatur tinggi plantling akan

mengalami dehidrasi, layu dan mati dikarenakan mekanisme buka tutup stomata yang

rendah dan stomata tidak berfungsi optimal. Lingkungan tumbuh in vitro bersifat steril

mengakibatkan imunitas plantling rendah dan lebih rentan terhadap serangan hama dan

penyakit busuk akar oleh jamur pembusuk akar (lodoh). Akibatnya tingkat kematian

plantling gaharu sangat tinggi, yaitu 75 % dari plantlet yang diadaptasikan ke media

pertumbuhan plantling di green house. Kondisi ini menyebabkan kegagalan produksi bibit

gaharu potensial asal kultur in vitro. Penyebab lainnya yaitu lapisan kutikula plantling

tipis dan terbiasa menerima cahaya konstan, sedangkan pada ex vitro plantling

mendapatkan cahaya tidak konstan dan intensitas cahaya tinggi. Faktor lainnya ialah

dalam media in vitro nutrisi tersedia optimal sehingga plantlet bersifat heterotrop,

sedangkan diluar media kultur plantling dituntut bersifat autotrop. Selain itu, plantling

asal in vitro memiliki lignifikasi batang rendah sehingga cenderung bersifat vitrious

(sukulen).

Aplikasi FMA pada plantling gaharu akan memacu ramifikasi akar dan batang

plantling karena mikorhia memproduksi auksin IAA untuk menstimulir akar plantling

serta menghasilkan enzim phospatase untuk pembentukan lignin. Dengan demikian

diharapkan plantling menjadi lebih tahan dan vigor bibit meningkat, sedangkan bio-

charcoal akan berperan dalam menyerap zat-zat toksis, pembenah media dalam menejemen unsur

hara tanah dan memberikan efek gelap disekitar akar plantling sehingga auksin IAA di akar tidak

rusak oleh cahaya dan IAA akan berperan optimal mendukung perkembangan akar adventif

plantling. Sementara itu dengan adanya lignit maka asam humat akan berperan menyediakan

nutrisi hara secara ototropik bagi plantling di media pertumbuhan.

Sejauh ini pemanfaatan FMA, kompos, bio-charcoal, dan lignit untuk perbaikan

dan peningkatkan pertumbuhan bibit gaharu G. versteegii hasil multiplikasi in vitro yang

mampu adaptasi di green house dan lapangan belum dilakukan. Kerjasama sinergis

beberapa komponen perlakuan diharapkan dapat membuat terobosan baru dalam

penyediaan bibit gaharu yang berkualitas (genetik, fisik dan fisiologis). Dari uraian di atas,

dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut :

25

1. Bagaimana keragaman jenis Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) indigenous yang

bersimbiosis dengan gaharu G. versteegii asal Papua?

2. Bagaimana kompatibilitas FMA indigenous Papua terhadap plantling G. versteegii

hasil multiplikasi in-vitro.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

(1) Mengetahui jenis-jenis Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) indigenous yang

bersimbiosis dengan G. versteegii asal Papua.

(2) Uji kompatibilitas FMA indigenous Papua terhadap plantling G. versteegii hasil

multiplikasi in-vitro pada berbagai kombinasi media.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sejumlah data dan informasi

keragaman FMA indigenous yang bersimbiosis dengan pohon G. versteegii dan

mendapatkan kombinasi FMA indigenous dengan kompos, bio-charcoal dan lignit yang

efektif untuk produksi bibit gaharu bermutu serta peningkatan kualitas pertumbuhannya.

Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, ditetapkan hipotesis

sebagai berikut :

a. Ditemukan lebih dari satu jenis FMA indigenous yang bersimbiosis dengan gaharu

alami G. versteegii di Papua.

b. Kompatibilitas FMA indigenous Papua dapat meningkatkan daya hidup dan

pertumbuhan plantling gaharu Gyrinops versteegii hasil multiplikasi in vitro pada

berbagai kombinasi media.

26

Kerangka Pemikiran

POTENSI GAHARU

KELANGKAAN & TERANCAM PUNAH

KONSERVASI EX-SITU & IN-SITU (PERKEBUNAN GAHARU)

VEGETATIF KONVENSIONAL (STEK, CANGKOK )

GENERATIF/IN PLANTA BIJI & SEMAI

PROBLEM PERAKARAN; AKLIMATISASI;

PERTUMBUHAN LAMBAT PERSENTASE HIDUP

RENDAH

PERKEBUNAN GAHARU POTENSIAL/UNGGUL

BIBIT BERKUALITAS (GENETIK, FISIK, FISIOLOGIS)

JUMLAH BESAR

PERMINTAAN & HARGA PASAR TINGGI

PENEBANGAN TIDAK SELEKSTIF

KUOTA DIKUARANGI 125 TON/THN DEPHUT, 2005

APPENDIKS II CITES, 2004

PROBLEM PERAKARAN ; PROBLEM PERBANYAKAN

INPUT MEDIA (KOMPOS; BIO-CHARCOAL & LIGNIT)

VEGETATIF BIOTEK KULTUR JARINGAN

INPUT BIOFERTILIZER (FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR)

PRODUKSI BIBIT UNGGUL DALAM JUMLAH BESAR

JUMLAH ANAKAN ALAM RENDAH; BIJI DAN BIBIT TIDAK UNGGUL;

REKALSITRAN;

Gambar 1. Kerangka pemikiran pengembangan bibit gaharu potensial

27

TINJAUAN PUSTAKA

Gaharu

Gaharu berasal dari bahasa Sangsekerta disebut “aguru” yang artinya

“tenggelam” atau bahasa Melayu yang artinya “harum” (Sumarna, 2007). Dalam

perdagangan internasional dikenal dengan nama ”agarwood, eaglewood, aloeswood”

(Gunn et al., 2003), yaitu sebutan untuk hasil hutan non kayu yang berupa damar wangi

(aromatic resin) dari genus Aquilaria dan genus lain pada famili Thymelaeaceae,

sedangkan gubal gaharu adalah substansi aromatik berupa gumpalan kayu berwarna coklat

muda, coklat kehitaman sampai hitam yang terbentuk pada pohon gaharu akibat infeksi

mikroorganisme penyebab penyakit.

Family Thymelaceae ini terdiri dari Gonystyloideae, Aquilariodeae,

Thymelaeiodeae, Gilgiodaphniodeae. Beberapa genus anggota Thymeleaceae penghasil

gaharu adalah Aetoxylon sp, Aquilaria spp., Enkleia sp, Gonystilus sp dan Wilkstromeia sp

(Hou, 1960). Diantara genus pohon tersebut, Aquilaria spp. diketahui sebagai penghasil

gubal gaharu yang terbaik, demikian juga 2 jenis Gyrinops spp., yaitu G. versteegii dan

G. ledermanii (Rahayu & Sitomorang, 2004).

Telah diketahui ada 24 spesies Aquilaria spp. tersebar di hutan tropis Asia mulai

dari Banglades, India, Pakistan, Myanmar, Laos, Thailand, Singapura, Kamboja, Cina

Selatan, Malaysia, Philipina dan Indonesia. Enam spesies diantaranya yaitu Aquilaria

beccariana, A. cumingiana, A. filaria, G. versteegii, A. malaccensis, A. microcarpa dan A.

hirta ditemukan di wilayah Indonesia Asia (Hou, 1960; Cites, 2004), sedangkan 7 spesies

Gyrinops spp., 6 diantaranya terdapat di Indonesia timur dan satu spesies terdapat di

Srilangka, 20 spesies Gonystilus tersebar di Asia Tenggara mulai dari Malaysia, Serawak,

Sabah, Philipina, Indonesia, Kepulauan Salomon dan Kepulauan Nikobar (Parman dan

Mulyaningsih, 1996).

Pohon penghasil gaharu Gyrinops spp. memiliki distribusi yang cukup luas pada ras

geografi. G. moluccana ditemukan di Maluku dan Halmahera, G. Versteegii ditemukan di

Nusa Tenggara Timur, Nusa Tengara Barat dan Propinsi Papua, sedangkan G. ladermanii,

G. salicifolia, G. audate dan G. podocarpus ditemukan di Propinsi Papua dan Papua New

Guinea. Di Pulau Papua sendiri distribusi populasi G. ladermanii lebih banyak ditemukan

di Papua New Guinea, sedangkan G. versteegii populasi terbanyak di propinsi Papua

Indonesia (Hou, 1960) (Gambar 1).

28

Gambar 2. Distribusi pohon penghasil gaharu Aquilaria spp. dan Gyrinops spp. di Papua,

Indonesia dan dunia.

Proses Pembentukan Gubal Gaharu

Gubal gaharu sering disebut dengan istilah “gaharu” adalah substansi aromatik

berupa gumpalan berwarna coklat muda, coklat kehitaman sampai hitam (Hou, 1960).

Proses terbentuknya gaharu pada pohon penghasil gaharu diduga sebagai akibat proses

patogenesis yang diawali dengan rangsangan luka pada batang pohon, cabang atau ranting

dan pengaruh fisik lainnya. Menurut Goodman et al. (1986) gubal gaharu diduga terkait

dengan mekanisme ketahanan inang terhadap rangkaian proses yang terjadi pada

patogenis tumbuhan berupa metabolit sekunder dari golongan senyawa aromatik.

Metabolit beraroma harum ini umumnya dari golongan sesquiterpenoid dapat terbentuk

pada pohon gaharu akibat adanya luka atau induksi dari mokroorganisme yang

menginfeksinya atau interaksi faktor biotik dan abiotik.

Patogenesis tumbuhan adalah pertarungan antara inang dengan pathogen yang

kompatibel dimana menurut Agrios (1997) keberhasilan proses infeksi oleh suatu pathogen

sehingga dapat menginduksi gaharu dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor : 1). Inang yang

rentan, yaitu jenis pohon gaharu; 2) Patogen yang virulen, artinya organisme pathogen

yang potensial menyebabkan penyakit pada pohon inang gaharu; 3) Lingkungan yang

mendukung dan 4) Peranan manusia dalam memodifikasi lingkungan, patogen dan pohon

inang.

29

Seperti layaknya flora lain yang dapat mempertahankan diri, pohon gaharupun akan

mempertahankan diri dengan cara memperbaiki luka yang ada dan menyembuhkan

jaringan yang sakit atau rusak dengan memproduksi resin atau menangkal cendawan.

Proses ke arah tersebut merupakan upaya mempertahankan diri sehingga akan

menyebabkan terjadinya gubal gaharu yang mengandung damar wangi (Soehartono, 2001).

Gubal gaharu sebenarnya adalah resin pohon yang tidak dieksudasikan keluar

melainkan terdeposit dalam jaringan kayu. Resin yang terdeposit ini mengakibatkan kayu

yang seratnya lepas dan berwarna putih berubah menjadi kompak dan hitam serta wangi.

Resin ini dari golongan sesquiterpen yang mudah menguap (Ishihara et al., 1991) dan

merupakan senyawa fitoaleksin, yaitu senyawa yang dibentuk oleh tumbuhan sebagai

respon terhadap gangguan misalnya infeksi mikroorganisme (Kunoh, 1990).

Gambar 3. Empat faktor yang mempengaruhi terbentuknya gubal gaharu (Agrios, 1997)

Umumnya di alam pohon akan menghasilkan gubal gaharu setelah berumur lebih

dari 20 tahun, karena pada umur ini diameter batang pohon sudah cukup besar dan struktur

batangpun sudah cukup permanen dan baik untuk produksi gubal gaharu. Menurut Giano

(1986) dalam Zinch and Compton (2001), pada umur ini hanya 10 persen dari batang

tanaman atau pohon yang dapat menghasilkan gaharu, sedangkan menurut Sumarna

(2007), gaharu potensial yang ditanam sudah dapat diinokulasi mikroba untuk

pembentukan gubal pada umur 5 tahun atau pada saat telah terbentuk organ reproduktif

(berbunga dan berbuah).

MANUSIA

(pohon gaharu)

INANG

MANUSIA

WAKTU

30

Gaharu Unggul

Gaharu unggul adalah pohon gaharu yang terbukti di alam memiliki gubal gaharu

yang kemudian akan diperbanyak sebagai bibit unggul (clone) untuk kepentingan budidaya

(Sitorus, 2006). Kegiatan ini meliputi seleksi, baik seleksi in planta (pada pohon) dan

seleksi in vitro di laboratorium. Seleksi in planta pada pohon gaharu di alam telah terbukti

menghasilkan gubal gaharu yang dapat digunakan untuk keperluan breeding dan

perbanyakan bibit unggul secara in vitro, stek atau cangkok.

Hal ini penting karena berdasarkan hasil studi yang telah dilakukan oleh

PUSLITBANG Kehutanan dan SEAMEO BIOTROP di hutan alam pada beberapa daerah

penghasil gaharu di Indonesia seperti Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, Maluku, Nusa

Tenggara dan Papua menunjukan bahwa tidak semua pohon penghasil gaharu di hutan

alam dapat menginduksi gaharu. Pada umumnya dari pohon-pohon gaharu dewasa

berumur 25 – 50 tahun di hutan-hutan alam hanya 10 % saja yang dapat memproduksi

gubal gaharu (Isnaini, 2003).

Sementara itu, jumlah ekspor gaharu Indonesia pada tahun 1985 sekitar 1487 ton,

namun pada tahun 1995 ekspor gaharu Indonesia kurang menjadi 300 ton sehingga

CITES telah memasukan A. malaccensis ke dalam daftar appendix II (Barden, 2000)

akibatnya kuota ekspor gaharu dibatasi 250 ton/tahun. Namun demikian sejak tahun 2000

Indonesia hanya mampu memasok gaharu 15 % dari kuota CITES.

Semakin sulitnya mendapatkan gaharu di hutan alam mengakibatkan Aquilaria spp.

dan Gyrinops spp dimasukkan dalam Apendix II pada konvensi CITES tahun 2004 di

Bangkok (CITES, 2004). Kekuatiran akan punahnya spesies gaharu di Indonesia,

menyebabkan Departemen Kehutanan Indonesia sejak tahun 2005 menurunkan kuota

ekspor gaharu menjadi hanya 125 ton/tahun.

Perbanyakan Pohon Penghasil Gaharu

Bibit gaharu untuk kepentingan budidaya dapat diperoleh dari semai di alam,

perkecambahan biji, stek, cangkokan dan kultur jaringan (Sumarna, 2007). Kendala utama

yang dihadapi dalam upaya pengembangan gaharu melalui upaya budidaya di Indonesia

adalah produktifitas benih di alam rendah. Produktifitas benih yang rendah menyebabkan

kesulitan memperoleh anakan pohon gaharu dalam jumlah banyak di alam padahal untuk

tujuan budidaya yang luas sangat diperlukan bibit berkualitas dalam jumlah cukup dan

tersedia tepat waktu, oleh karena itu model perkembangbiakan vegetatif melalui stek pucuk

dan kultur jaringan merupakan alternative yang baik untuk perbanyakan gaharu unggul.

31

Kendala lain yang umumnya terdapat hampir disebagian besar daerah di Indonesia dan

Papua adalah tidak semua pohon gaharu menghasilkan buah setiap tahun, belum adanya

kebun bibit unggul dan kebun benih (Sitomorang, 2000). Rendahnya daya berbunga dan

produktifitas berbuah menyebabkan masalah regenerasi secara generatif, sementara itu

pembiakan secara vegetatif dengan menggunakan stek dan cangkok membutuhkan bahan

induk yang banyak. Kultur jaringan merupakan salah satu teknik alternatif perbanyakan

gaharu secara masal dan cepat.

Manfaat dan Nilai Ekonomi Gaharu

Gaharu telah dimanfaatkan oleh manusia menjadi komoditi perdagangan sekitar

800 tahun yang lalu karena memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Pohon gaharu

memiliki nilai ekonomi karena produk kayunya, gubal gaharu yang mengandung resin

wangi, kemendangan, serpih/ ampas gaharu dan serbuk gaharu. Minyak gaharu merupakan

produk gaharu yang paling mahal di Amerika, Eropa, Timur Tengah, India, Tibet dan

China.

Gaharu memiliki berbagai ragam manfaat, namun pada dasarnya gaharu dapat

dikelompokan ke dalam 4 manfaat besar, yaitu :

1. Manfaat dibidang industri parfum dan kosmetik, seperti : gas parfum dan minyak

gaharu, sabun, sampo dan bedak serta pengharum ruangan (Hayne, 1987; Barden et al.,

2000; Boruah & Singh, 2000).

2. Manfaat dibidang kesehatan dan obat-obatan, seperti : anti asmatik, anti mikrobia,

stimulant kerja saraf dan pencernaan, liver, hepatitis, penghilang rasa sakit, kanker,

paru-paru, rematik, cacar, malaria, sakit perut, obat kuat pada masa kehamilan dan

bersalin serta perangsang birahi (Hayne, 1987; Barden et al., 2000; Boruah & Singh,

2000).

3. Manfaat di bidang agama dan kepercayaan, seperti : upacara-upacara religius pada

umat Hindu, Budha dan Islam, pengharum ruangan sembayang, abu dan batang

kemenyan dibakar ketika melakukan ritual kepercayaan, benda-benda rohani seperti

rosario dan tasbih (Barden et al., 2000).

4. Manfaat lain : kayu gaharu kualitas kemedangan untuk perabot rumah tangga seperti

meja, kursi, rak buku, hiasan dinding, ukiran serta kulit kayu untuk pembuatan pakaian

adat, noken dan cawat pada sebagian masyarakat di Papua (Sumarna, 2007).

Harga gubal gaharu bervariasi dari Rp 5.000.000 - 15.000.000,-/kg tergantung dari

kualtitas, bentuk dan corak, warna dan aroma. Gaharu kemedangan bervariasi dari Rp

32

50.000 – 500.000,-/kg ; bubuk gaharu atau ampas gaharu yang diperoleh dari sisa

pembersihan gubal gaharu bervariasi dari Rp 10.000,- sampai Rp 50.000,-/kg.

Bervariasinya harga juga ditentukan berdasarkan rantai perdagangan dan negara pemesan

(Sumarna, 2007). Menurut Mashur (2011) harga gaharu di Indonesia berkisar Rp 100.000-

150.000.000 per kg tergantung kualitasnya. Sementara itu harga gaharu super di China

dapat mencapai Rp 400 juta per kilogram dan 300 juta per kilogram di Timur Tengah.

Total ekspor gaharu Indonesia dalam lima tahun terakhir berkisar 170-573 ton/tahun

dengan perkiraan perolehan devisa negara pada tahun 2006 sebesar 26.086.350 USD

meningkat menjadi 85. 987.500 USD pada tahun 2010 (Zulkifli, 2011).

Mikoriza

Mikoriza berasal dari kata Myces artinya cendawan dan Rhiza artinya akar

(Sieverding, 1991). Brundrett et. al (2004) menyarankan definisi baru mikoriza sebagai

suatu asosiasi simbiotik yang esensial bagi kedua partner, antara suatu cendawan

(terspesialisasi untuk hidup dalam tanah dan tumbuhan) dan akar (atau organ yang

mengadakan kontak-substrat lainnya) dari suatu tumbuhan hidup, yang terutama

bertanggungjawab untuk transfer hara. Mikoriza terjadi dalam suatu organ tumbuhan yang

terspesialisasi dimana hubungan kontak yang dekat berasal dari perkembangan cendawan-

tumbuhan yang tersinkronisasi.

Menurut Sylvia (2004) mikoriza merujuk pada suatu asosiasi atau simbiosis antara

tumbuhan dan cendawan yang mengkoloni korteks akar selama periode pertumbuhan aktif.

Simbiosis ini dicirikan oleh pergerakan hara dua arah (bi-directional movement) yaitu

karbon mengalir dari tumbuhan ke cendawan dan hara inorganik dari cendawan ke

tumbuhan dalam suatu linkage antara akar dan tanah yang mengindikasikan adanya peran

kritis bagi tanaman terutama pada kondisi lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhan

yang optimal.

Mikoriza memberikan manfaat berupa bahan materi dan jasa. Materi yang

diberikan yaitu unsur hara, sedangkan jasa yang diberikan yaitu perlindungan terhadap

patogen, perlindungan terhadap kekeringan, perlindungan dari logam berat dan senyawa-

senyawa radio nuklir serta dalam membantu pembentukkan struktur tanah (Pfleger and

Linderman, 1996).

Langkah awal dalam pengembangan cendawan mikoriza adalah melakukan seleksi

untuk mendapatkan isolat yang infektif yaitu mampu menembus dan menyebar ke dalam

akar dan efektif yaitu mampu mempertinggi pertumbuhan atau toleransi tanaman terhadap

33

tekanan lingkungan. Hal ini disebabkan karena individu isolat FMA secara genetik sangat

bervariasi dalam sifatnya sehingga perlu screening isolat untuk keefektifan dengan

mengombinasi inang dan media tumbuh yang kompatibel dengan sistem produksi

pembibitan. Sumber isolat FMA tersebar seluruh kondisi tanah yang bervegetasi.

Pengambilan tanah-akar di bawah tegakan tanaman/pohon (daerah rhizosfer) yang diduga

terkoloni oleh FMA merupakan cara yang sering dilakukan untuk mendapatkan inokulum

FMA. Dalam suatu campuran tanah-akar ini belum dapat diketahui secara pasti baik jenis,

jumlah, potensi kualitas maupun pengaruhnya terhadap tanaman, sehingga perlu

identifikasi, pemurnian, dan uji efektifitasnya. Selanjut menurutnya untuk membedakan

antara spesifiksitas (specificity) yaitu kemampuan bawaan (innate ability) untuk

mengkoloni, keinfektifan (infectiveness) yaitu jumlah kolonisasi, dan keefektifan

(effectiveness) yaitu respon tumbuhan terhadap kolonsiasi. Dengan demikian penilaian

haruslah didasarkan atas faktor-faktor ini (Sylvia, 2004).

Menurut Brundrett et al. (2004), mikoriza harus merupakan asosiasi mutualistik

“balanced”, dimana cendawan dan tumbuhan mengubah bahan pokok yang diperlukan

untuk pertumbuhan dan daya hidupnya. Selanjutnya Brundrett (2004) mengusulkan

skema klasifikasi hirarkis simbiosis mikoriza sebagaimana pada Gambar 3.

Asosiasi mutualistik menempati kuadran saling menguntungkan (++), dan berbeda

dengan kuadran relatif menguntungkan (+) dan berbahaya (-). Pada kuadran atas (++)

BERMANFAAT BAGI

CENDAWAN

BERMANFAAT BAGI

TUMBUHAN

BERBAHAYA BAGI

TUMBUHAN

BERBAHAYA BAGI

CENDAWAN

+

+ + –

En

dop

hy

tism

e

Fakultatif obligat

Cen

daw

an

An

tag

on

is

+ –

– –

Ek

splo

itat

if

B

alan

ced

Antagonisme

tumbuhan

Parasitisme

Mikoriza

Gambar 4. Skema hirarki yang terdiri dari tipe-tipe mikoriza dan kategori interaksi

tumbuhan dengan cendawan lainnya (Brundrett et al., 2004).

34

merupakan ketergantungan tanaman yang meningkat, dimulai dari mikoriza fakultatif dan

tumbuhan non-mikoriza dengan titik kulminasinya pada tumbuhan berasosiasi mikoriza

obligat, sedangkan garis kedua searah sumbu vertikal mewakili sifat berbahaya atau

menguntungkan terhadap cendawan. Parasitik dan asosiasi antagonistik menempati dua

kuadran lainnya dengan tumbuhan-cendawan.

Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)

Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) sering disebut juga endomikoriza, ada juga yang

menggunakan istilah Vesicular-Arbuskula Mikoriza (V-AM). Istilah FMA digunakan

untuk membedakan tipe mikoriza ini dari ektomikoriza, karena disini biasanya tidak ada

sarung (sheath) miselium cendawan di sekitar akar seperti yang terdapat pada sekeliling

akar ektomikoriza. Fungi Mikoriza Arbuskula merupakan cendawan yang penyebarannya

sangat luas di dunia mulai dari daerah padang pasir, temperit, tropika dan dapat berasosiasi

lebih dari 90% tanaman yang ada di bumi. VAM telah diketahui di dalam akar tanaman

lebih dari 100 tahun yang lalu, tetapi struktur reproduktifnya baru diketahui 30 tahun

terakhir. Cendawan VA mikoriza telah berhasil diekstraksi dan ditumbuhkan pada tanaman

hidup di pot kultur (Gardeman, 1963). Diversitas FMA tidak mengikuti

keanekaragaman tanaman namun keanekaragaman spesies tanaman mungkin diatur oleh

tipe FMA. Alasan mengapa FMA dapat meningkatkan penyerapan hara dalam tanah

(Abbott & Robson, 1992), karena hifa dari FMA dapat menjangkau dan mengambil hara

dari dalam tanah dan selanjutnya mensuplai hara ke tanaman melalui akarnya,

meningkatkan penyerapan hara dan konsentrasi hara pada permukaan penyerapan,

merubah secara kimia sifat-sifat hara sehingga memudahkan penyerapannya ke dalam akar

tanaman. Dengan demikian menyebabkan terjadinya peningkatan penyerapan unsur hara,

kondisi ini banyak terjadi pada tanaman yang mempunyai akar yang kasar, tersebar tipis

dan sedikit rambut akarnya. Kapasitas pengambilan hara dapat ditingkatkan jika terjadi

kolonisasi mikoriza pada akar karena akar yang dikolonisasi diperpanjang, ukuran

percabangan serta diameter akar diperbesar dan luas permukaan absorpsi akan diperluas.

Hormon pertumbuhan seperti auksin, sitokinin dan gibberelin bagi tanaman dapat juga

meningkat. Akar sebagai penyerap unsur hara dan air akan bertahan lebih lama karena

dengan meningkatnya auksin, maka proses penuaan akar menjadi lambat (Karagiannidis et

al., 1995).

Resistensi terhadap kekeringan lebih baik pada tanaman yang bermikoriza daripada

yang tidak bermikoriza. Tanaman bermikoriza akan cepat kembali pulih setelah periode

35

kekeringan berakhir karena hifa FMA masih mampu menyerap air pada pori-pori tanah

pada saat akar tanaman sudah tidak mampu. Hifa dapat mengambil air relatif lebih banyak

karena penyebarannya di dalam tanah sangat luas.

Menurut Daniels dan Menge (1981) dan Abbott & Robson (1992), kemampuan

meningkatkan penyerapan hara dan pertumbuhan tanaman berbeda antara spesies dan

strain FMA, setiap spesies FMA mempunyai innate effectiveness atau kemampuan

spesifik. Keefektivan diartikan sebagai kemampuan FMA dalam meningkatkan

pertumbuhan tanaman pada kondisi tanah yang kurang menguntungkan. Beberapa faktor

yang berhubungan dengan keefektivan dari suatu spesies FMA, yaitu FMA mampu untuk

membentuk hifa yang ekstensif dan penyebaran hifa yang baik di dalam tanah, FMA

mampu untuk membentuk infeksi yang ekstensif pada seluruh sistem perakaran yang

berkembang dari suatu tanaman, FMA mempunyai hifa yang mampu menyerap fosfor dari

larutan tanah.

Manfaat Mikoriza

Manfaat mikoriza di alam ini sudah tidak dapat disangkal lagi karena telah banyak

ditulis para pakar. Menurut Brundrett et al. (1996), manfaat dari mikoriza dapat

dikelompokan menjadi tiga, yaitu manfaat bagi tanaman, manfaat bagi ekosistem dan

manfaat bagi manusia

a. Manfaat mikoriza bagi tanaman

Meningkatkan pasokan unsur hara tanaman dengan memperbesar volume tanah yang

dapat dikelolah oleh akar tanaman, meningkatkan pasokan hara dengan jalan menyerap

bentuk-bentuk hara yang secara normal tidak tersedia bagi tanaman, beberapa jenis

cendawan ektomikoriza dan ericoid memiliki kapasitas untuk membongkar senyawa-

senyawa fenolik yang ada dalam tanah (Smith and Read, 1997), senyawa fenolik diyakini

dapat mengganggu berlangsungnya serapan hara oleh tanaman, kolonisasi akar oleh

ektomikoriza dan FMA dapat memberikan perlindungan terhadap serangan cendawan

parasitik dan nematoda memungkinkan terjadinya perpindahan hara dari tanaman yang

sudah mati ke tanaman yang masih hidup.

b. Manfaat mikoriza bagi ekosistem

Hifa-hifa yang ada di dalam tanah berperan penting dalam pendauran hara dengan cara

membantu mencegah kehilangan hara dari sistem, khususnya ketika akar tanaman sedang

tidak aktif, hifa merupakan saluran yang digunakan untuk memindahkan karbon dari akar

tanaman ke jazad renik lainnya yang terlibat dalam proses daur hara. Dengan kata lain

36

bekerjasama dengan anggota lain dari rantai pangan dekomposisi tanah, cendawan

mikoriza dapat menyumbangkan simpanan karbon dalam tanah dengan jalan mengubah

kualitas dan kuantitas bahan organik tanah (hifa mikoriza berperan penting dalam

memperbaiki struktur tanah (Grifftiths et. al., 1992), FMA juga dapat bersinergis dengan

mikroba potensial lainnya, seperti bakteri penambat N bebas dan bakteri pelarut fosfat

(Barea et al. 1992). Serta sinergis dengan jasad – jasad renik selulotik seperti Trichoderma

sp. Berdasarkan kemampuan tersebut, maka FMA dapat berfungsi untuk meningkatkan

biodiversitas mikroba potensial di sekitar perakaran tanaman.

c. Manfaat mikoriza bagi umat manusia

Cendawan ektomikoriza secara ekonomis dan nutrisi merupakan sumber pangan

yang penting artinya bagi umat manusia. Tubuh Buah dari fungi ektomikorhiza

Scleroderma sinnamariense yang bersimbiosis dengan tanaman melinjo dapat dijadikan

sebagai bahan pangan. Jamur ektomikoriza juga telah digunakan sebagai obat-obatan dan

pewarna alami. Cendawan juga memiliki nilai keindahan/estetika dan merupakan bagian

penting dalam budaya, tradisi dan cara menghargai alam oleh umat manusia (Mansur,

2010). Keragaman cendawan merupakan bio-indikator kualitas lingkungan, cendawan

yang telah beradaptasi dengan kondisi tanah lokal diperlukan untuk pertanian, hortikultura

dan kehutanan.

Mikoriza dan Gaharu G. versteegii

Sejauh ini kajian mengenai keberadaan Fungi Mikoriza Arbuskula pada G.

versteegii asal Papua baru dilaporkan oleh Worabai (2009) yang telah berhasil

mengidentifikasikan 3 jenis spora indigenous yakni Glomus sp., Acaulospora sp., dan

Scutellospora sp. dengan persen kolonisasi akar tertinggi 16,84% dan terendah adalah

8,77%. Sementara itu, uji pemanfaatan FMA untuk memacu pertumbuhan tanaman

penghasil gaharu ini belum pernah dilakukan.

Pemanfaatan FMA pada gaharu oleh Sumarna, 2007 melaporkan bahwa aplikasi

mikorhiza ternyata menghasilkan bibit tanaman gaharu lebih cepat mencapai kondisi siap

tanam dalam kisaran waktu 2–3 bulan sejak proses perkecambahan benih. Selain itu bibit

yang diperoleh relatif lebih sehat, tahan gangguan penyakit dan hama akar dibanding

tanpa perlakuan mikorhiza. Bibit bermikorhiza memiliki kemampuan hidup di lapangan

jauh lebih tinggi dibandingkan bibit tak bermikorhiza. Hal ini didukung hasil penelitian

Karyaningsih (2009), dimana pemberian FMA jenis G. margarita mampu membentuk

37

kolonisasi, sporalisasi dan berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan semai gaharu

A. crassna.

Sampai saat ini aplikasi FMA untuk pertumbuhan plantling gaharu Papua G

versteghii belum pernah dilakukan. Untuk itu perlu dilakukan uji pemanfaatan FMA untuk

memacu dan meningkatkan pertumbuhan bibit gaharu ini.

Bio-Charcoal

Bio-charcoal adalah arang yang dibuat dari material biologis atau bahan organik

apapun yang diolah melalui proses pirolisis (pembakaran dengan suplai oksigen yang

minimal). Bio-charcoal telah digunakan untuk kegiatan pertanian dalam rangka

meningkatkan produktifitas lahan dalam budidaya pertanian yang berkelanjutan sejak suku

Indian Maya menggunakan teknik tebang, cincang dan bakar (Steiner et al., 2004). Baru-

baru ini, telah diteliti oleh banyak peneliti bahwa bio-charcoal mampu menurunkan emisi

gas rumah kaca dari tanah dan dapat meningkatkan produksi padi (IRRI), jagung

(University of Georgia di Atlanta), Singkong (Terra Pretta, Brazil), karena bio-charcoal

dapat berfungsi sebagai manajer tanah dan pembenah tanah (Steiner, 2007).

Fungsi dari penambahan bio-charcoal tersebut di dalam tanah adalah untuk

meningkatkan kesuburan tanah (pembenah tanah), meningkatkan aktifitas mikroba tanah

dan menurunkan emisi karbon ke udara. Lehman (2007) telah menunjukkan hasil

penelitiannya bahwa bio-charcoal dapat digunakan untuk meningkatkan struktur dan

kesuburan tanah yang pada gilirannya meningkatkan produksi biomassa.

Peranan bio-charcoal sebagai soil conditioner meliputi perbaikan sifat fisika, kimia

dan biologi. Pengaruh bio-charcoal terhadap sifat fisik tanah antara lain meningkatkan

stabilitas struktur dan peningkatan kandungan air tanah, peningkatan porositas dan aerase

tanah, menjadikan media lebih porous serta meningkatkan kapasitas luasan permukaan.

Peranan pada sifat kimia tanah akibat penambahan bio-charcoal ke dalam tanah yaitu

peningkatan pH tanah, Kapasitas Tukar Kation, Kejenuhan Basa dan penurunan ion Al+

dan H+. Adapun pengaruh bio-charcoal terhadap aktifitas biologi tanah antara lain sebagai

aktifator mikoriza dan rhizobium. Pemberian arang sekam terhadap bakteri penambat

nitrogen dan cendawan mikoriza mampu meningkatkan jumlah bintil akar pada tanaman

leugum, meningkatkan jumlah spora dan tingkat kolonisasi Glomus etunicatum (Ogawa,

1994; Glaser at al., 2002 ; Braida et al., 2003 diacu Ahmad, 2006).

Di Indonesia teknologi bio-charcoal juga telah digunakan pada system perladangan

berpindah, namun teknik tersebut hanya menghasilkan 2% arang karena dibakar dengan

38

suplai oksigen yang berlebihan (tempat terbuka). Pemanfaatan bio-charcoal dibidang

kehutanan telah dilakukan oleh Badan Litbang Kehutanan Indonesia pada tanamaan Acacia

mangium, Shorea leprosulla dan Pinus merkusii berumur 2,5-3 tahun menunjukan

pengaruh sangat nyata terhadap indikator pertumbuhan (tinggi, diameter, biomasa dan akar

tanaman) (Siregar, 2010). Sementara itu hasil uji coba pemanfaatan bio-charcoal untuk

produksi FMA menggunakan inang Shorgum bicolour menunjukan pengaruh yang

signifikan terhadap jumlah spora (Supriyanto, 2010).

Lignit (Batubara Muda)

Lignit disebut juga batubara muda atau batubara cokelat, tidak ekonomis digunakan

sebagai bahan bakar. Lignit memiliki kelembaban yang tinggi dan kandungan karbon yang

rendah. Dengan adanya masalah tersebut, apabila terdapat lapisan batubara lignit dalam

penambangan batubara, maka penambang hanya mengambil lapisan yang berkualitas

tinggi, sedangkan lignit akan disingkirkan atau ditimbun kembali di lokasi tambang.

Batubara dengan mutu yang rendah, seperti lignit dan sub-bitumen biasanya lebih lembut

dengan materi yang rapuh, berwarna suram seperti tanah dan memiliki kelembaban tinggi

dengan demikian energinya rendah.

Lignit (batu bara muda) mengandung zat-zat humat (asam humat) sebagai unsur

organik utama yang banyak terdapat dalam air alami, bahan-bahan yang tahan degradasi

yang dihasilkan selama dekomposisi dari tumbuhan yang terjadi sebagai endapan dalam

tanah, sedimen rawa. Asam humat adalah salah satu senyawa yang terkandung dalam

humat substance yang merupakan hasil dekomposisi bahan organik, utamanya bahan

nabati yang terdapat dalam batu bara muda, tanah gambut, kompos atau humus (Senn dan

Kigman, 1973).

Asam humat merupakan hasil akhir proses dekomposisi bahan organik, berwarna

hitam, kecoklatan, relatif tahan terhadap degradasi serta mengandung muatan negatif yang

dapat dipengaruhi pH (Stevenson, 1994). Proses pembentukan batubara muda dapat

melalui dekomposisi flora dan fauna yang merupakan bagian dari transformasi biokimia

organik sebagai titik awal. Dalam pertumbuhan gambut, sisa tumbuhan akan mengalami

perubahan baik secara fisik maupun kimiawi. Setelah tumbuhan mati, proses degradasi

biokimia lebih berperan. Proses pembusukan akan terjadi oleh kerja mikrobiologi (bakteri

anaerob). Bakteri ini bekerja dalam suasana tanpa oksigen menghancurkan bagian yang

lunak dari tumbuhan seperti selulosa, protoplasma dan pati. Melalui proses itu terjadi

perubahan dari kayu menjadi lignit dan batubara berbitumen. Dalam suasana kekurangan

39

oksigen terjadi proses biokimia yang berakibat keluarnya air (H2O) dan sebagian unsur

karbon akan hilang dalam bentuk karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO) dan

methan (CH4).

Indonesia termasuk negara dengan sumber tambang batubara terbesar di dunia.

Cadangannya diperkirakan 36 ton. Hanya saja 50 – 85 persennya berkualitas rendah. Ini

dilihat dari nilai kalori pembakarannya yang rendah, dan kadar sulfur serta airnya yang

tergolong tinggi ( Sukandarrumudi, 2006).

Asam humat merupakan komponen organik, yang dapat berasosiasi menjadi ion

yang aktif serta bersiaft kolodial dan relatif stabil. Berperan besar dalam memperbaiki

kesuburan tanah, baik secara kimia, fisika dan biologi tanah. Memperbaiki strukjtur tanah,

meningkatkan kapasitas memegang air dan Kapasits Tukar Kation (KTK) tanah,

menurunkan kalarutan unsur beracun seperti Fe dan Al karena muatan negatif dan gugus

fungsional karboksil (- COOH) dan hidroksil (-OH).

Pemanfaatan batubara muda sebagai pembenah tanah telah dilakukan oleh

Karyanigsih, 2009 dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pemanfaatan batubara

muda dan Glomus margarita sebagai pembenah tanah dalam media pertumbuhan

berpengaruh sangat nyata terhadap peningkatan pertumbuhan semai gaharu A. crassna,

kolonisasi dan jumlah spora G. margarita.

40

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Survey pohon penghasil gaharu G. versteegii untuk kajian keragaman FMA

indigenous, dilaksanakan dalam bulan Juli 2010 pada hutan alam di daerah Asai

Kabupaten Manokwari Papua Barat. Survey dilakukan bersama-sama dengan

masyarakat pencari gaharu dengan cara jelajah lokasi penelitian sejauh 1 km. Setiap

pohon induk gaharu yang ditemukan dalam jarak pandang 10 meter kiri dan kanan jalan

dijadikan sebagai plot pengambilan contoh semai dan tanah untuk isolasi dan

identifikasi keberadaan mikorizanya. Dalam survey ini juga dicatat vegetasi lain yang

tubuh pada radius 2 meter dari pohon induk gaharu.

Kegiatan isolasi FMA, identifikasi, multiplikasi FMA dilakukan pada

Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB. Aplikasi FMA, bio-charcoal,

kompos dan lignit pada plantling gaharu dilaksanakan di Laboratorium Mikoriza dan

greenhouse SEAMEO BIOTROP. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Penelitian

dan Uji Tanah, Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari awal Nopember 2010

sampai dengan bulan Juni 2011.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan adalah inokulum FMA komposit hasil trapping

asal Manokwari, Papua Barat. Plantlet G. versteegii asal Papua yang telah

dikembangkan di SEAMEO BIOTROP melalui teknik kultur jaringan, Pueraria

(Pueraria javanica), kompos, lignit (batubara muda) asal Desa Sukajaya Kabupaten

Sukabumi, zeolit, tanah, pasir, KOH 1%, KOH 10%, HCl 2%, H2O2 2%, Glyserin 50 %,

Acid Fushin 0,02 %, larutan PVLG, larutan Melzer’s reagen, aquades, pot plastik hitam,

polybag 10 x 15 cm, kertas nitroselulosa, sungkup plastik, paranet dan label.

Alat-alat yang digunakan meliputi: camera digital, pH-fertility meter,

mikroskop binokuler/dissecting microscope, sentrifus, termohydrometer, saringan

berukuran 425 μm, 125 μm, 60 μm dan 45 μm, pinset spora, cawan petri, gelas becker,

kaca obyek dan cover glass, pipet, jarum ose, timbangan analitik, oven, autoclave,

magnetic stirrer, pacul, ayakan tanah 1 mm, dan alat tulis.

41

Metode

Penelitian ini dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola

faktorial 2 faktor (4x3). Perlakuan dan taraf perlakuan yang diberikan sebagai berikut.

I. Faktor Perlakuan 1 ; Media (M)

Mo Tanah : Pasir (control) (v/v) 1 : 1

M1 Tanah : Pasir : Kompos (v/v) : Bio-Charcoal (v/v) 1 : 1 : 0,5 : 0,2

M2 Tanah : Pasir : Lignit (v/v) : Bio-Charcoal (v/v) 1 : 1 : 0,4 : 0,2

M3 Tanah : Pasir : Kompos:Lignit (v/v) : Bio-Charcoal 1 : 1 : 0,5 : 0,4 : 0,2

II. Faktor Perlakuan 2 ; FMA (F)

F0 Tanpa Inokulum FMA 0

F1 Inokulum FMA indigenous (konsorsium) 10 g

F2 Inokulum FMA spora tunggal(Gigaspora sp) 10 g

Dari taraf perlakuan yang diberikan, diperoleh 12 kombinasi perlakuan. Masing-

masing perlakuan diulang 3 kali sehingga diperlukan 36 bibit hasil kultur jaringan.

Kombinasi media merupakan hasil uji pendahuluan untuk mengukur parameter tingkat

kesuburan dan tingkat keasaman kombinasi lignit, bio-charcoal, kompos dan tanah

menggunakan alat ukur pH-fertility meter. Media disterilkan menggunakan autoclave

dengan tekanan 15 atm pada suhu 120 0C selama 2 jam. Lignit yang digunakan, terlebih

dahulu digerus lalu diayak menjadi tepung menggunakan ayakan berukuran 10 mm.

Sebelum ditanam, media disiram dengan air hingga kapasitas lapang lalu diperam selama

satu minggu. Khusus untuk kombinasi media yang menggunakan lignit, media disiram

dengan KOH 1% sebanyak 10 ml untuk mempercepat pelarutan asam humat dari lignit

Prosedur Pelaksanaan

Isolasi dan Identifikasi FMA

a. Pengambilan Sampel Tanah dari Semai G. versteegii

Pengambilan sampel tanah komposit dari bawah tegakan G. verstegii sebanyak 5

(lima) plot. Dari setiap plot diambil satu sampel rizosfer tanah untuk ekstraksi FMA dan

satu sampel tanah untuk analisis sifat tanah, masing-masing sebanyak 1 kg dengan

kedalaman 0 – 20 cm. Semai G. veerstegii yang diambil berukuran tinggi 75 – 100 cm.

b. Ekstraksi Spora FMA dengan Teknik penyaringan basah (Metode Gardeman and

Nicholson, 1963 ) dan Metoda Sentrifugasi (Brundrett et al., 1996)

42

Tanah yang telah diambil dari lapangan ditimbang sebanyak 10 gr, lalu dimasukkan ke

dalam gelas piala 500 atau 1000 ml atau bekas botol air mineral 1 L dan ditambahkan

500 ml air, agregat tanah dipecahkan dan tanah tersebut diaduk dengan tangan agar

spora terbebas dari tanah.

Larutan dibiarkan selama kurang lebih 15-30 detik tergantung tekstur tanahnya sampai

partikel-partikel tanah mengendap, selanjutnya supernatant dituang ke dalam penyaring

bersusun berturut-turut 425 μm, 125 μm, 69 μm, 45 μm. Tanah pada penyaring

disemprot dengan air mengalir. Penyemprotan dilakukan dengan hati-hati agar tidak

merusak struktur spora.

Akar-akar dipisahkan dari tanah jika ada, untuk kemudian diamati kemungkinan

adanya spora pada akar atau kolonisasi infeksi perakaran melalui pewarnaan (staining)

akar.

Supernatant keruh hasil penyaringan dari penyaring dengan ukuran 45 dan 69 µm

masing-masing dimasukkan ke dalam tabung sentrifusi. Kemudian larutan sukrosa 60

% ditambahkan ke dalam tabung sentrifusi dengan perbandingan supernatant keruh dan

sukrosa adalah 3 : 1 (v/v), kemudian disentrifusikan pada kecepatan putar 1200-1300

rpm selama 5 menit.

Hasil sentrifusi dituangkan ke penyaring yang sesuai, lalu dibilas dengan air perlahan-

lahan agar tidak terjadi plasmolisis spora. Selanjutnya supernatant dituang pada kertas

saring, lalu dikeringanginkan dan diamati di bawah mikroskop. Jumlah spora dihitung

dan diidentifikasi jenis FMA-nya.

c. Pewarnaan akar (staining) (Metode Phillips dan Hayman, 1970 hasil modifikasi

Supriyanto, 2009).

Sampel akar diambil dan dipotong akar kecil diameter ≤ 2 mm yaitu akar serabut/akar

rambut sebanyak kurang lebih 2 gram

Akar dicuci hingga bersih untuk menghilangkan kotoran berupa tanah, serasah,

kompos, pasir dan lain-lain.

Fiksasi akar dilakukan dengan cara merendam potongan akar dalam larutan FAA

Bilas larutan fiksator (FAA) dalam air mengalir hingga larutan fiksator hilang.

Hilangkan komponen tanin dan fenol dalam akar dengan merendam dalam larutan

KOH 10% (v/v) dengan cara dipanaskan selama 5-10 dihitung sejak mendidih.

Pindahkan akar-akar tersebut dalam saringan plastik dan bilas dengan air mengalir

untuk menghilangkan larutan KOH 10 %, tanin dan fenol.

43

Rendam akar-akar yang sudah dihilangkan tanin dan fenolnya dalam hydrogen

peroksida (H2O2 2% w/v) selama 5-10 menit.

Bilas akar-akar tersebut dengan air mengalir untuk menghilangkan larutan hydrogen

peroksida dengan menggunakan saringan plastik.

Rendam akar-akar tersebut dalam larutan HCl 2% (v/v) selama 10-30 menit atau

sampai akar berwarna putih. Larutan HCl digunakan untuk penjernih (clearing)

komponen sitoplasma.

Staining akar-akar tersebut dalam larutan asam fushin 0,2 % dan larutan lacto-glycerol,

lalu dipanaskan selama 5-10 menit dihitung sejak mendidih.

Akar-akar tersebut dibilas dengan air mengalir hingga larutan asam fushin hilang.

Kemudian akar direndam dalam larutan destaining glyserin 50 % untuk menghilangkan

kelebihan larutan staining asam fushin 0,2 %

Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop binukuler untuk mengetahui keberadaan

hifa, vesikula, spora intra radikal dan arbuskula

Untuk pembuatan preparat awetan, maka akar-akar tersebut dipotong dengan ukuran 1

cm dan letakan di atas kaca preparat yang sudah ditetesi larutan PVLG kemudian

ditutup dengan cover glass. Spesimen dibiarkan hingga kering lalu diamati dan

dilakukan pemotretan dengan dissecting microscope/stereo

Kolonisasi perakaran dilihat berdasarkan kolonisasi oleh struktur FMA (hifa eksternal,

hifa internal, spora intradikal, vesikula dan arbuskula).

d. Identifikasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)

Identifikasi dilakukan berdasarkan karakter morfologi spora hasil ekstraksi. Peubah

yang diamati dalam mendeskripsikan spora meliputi bentuk spora, ukuran spora, warna

spora, ornamen/asesoris permukaan spora, substanding hifa dan Bulbous suspensor;

Pembuatan preparat spora untuk identifikasi menggunakan glass slide, cover glass,

polyvinyl alcohol-lactic acid-glycerol (PVLG) dan larutan pewarna Melzer’s. Pengamatan

dilakukan menggunakan mikroskop yang dihubungkan dengan kamera CCTV dan USB

converter untuk dapat diamati di komputer, dan dapat dilakukan pengambilan gambar

(capturing).

Produksi Inokulum FMA

Teknik penangkaran/trapping yang digunakan mengikuti metoda Brundrett et al.,

(1996), menggunakan pot plastik dengan media tanah contoh dari bawah tegakan gaharu

sebanyak 100 gram dan zeolit steril. Pueraria javanica digunakan sebagai tanaman inang.

44

Masing-masing sampel tanah diulang 2 kali. Propagul diamati setelah penangkaran

berumur 3 bulan lalu penyiraman dihentikan selama 2 minggu (stressing agent) kemudian

propagul FMA diisolasi, diidentifikasi dan pendugaan potensi inokulum untuk aplikasi

perlakuan.

Aplikasi FMA, Kompos, Bio-Charcoal dan Lignit pada Plantling Gaharu

Penanaman

1) Media tanah, FMA dengan bio-charcoal, kompos dan batu bara muda dicampur sesuai

taraf perlakuan dan dimasukan ke dalam polybag berukuran 10 x 15 cm.

2) Polybag berisi media tanam dibuat lobang tanam sedalam ± 5 cm, kemudian

diinokulasi dengan spora FMA konsorsium (bentuk granular) hasil trapping dan FMA

spora tunggal hasil trapping ke dalam polybag sesuai perlakuan yang dicobakan.

3) Bibit ditanam tepat di atas granular, lalu ditutup kembali dengan media.

4) Pada setiap polybag ditutup dengan sungkup plastik transparan untuk mencegah

terjadinya transpirasi berlebihan dan mempertahankan kelembaban udara di sekitar

bibit.

5) Selanjutnya ditempatkan di dalam rumah kaca secara random menurut kaidah RAL.

Pemeliharaan

Pemeliharaan meliputi penyiraman secara teratur sesuai kebutuhan dan kondisi

tanaman, pembersihan dari gulma serta pemeliharaan terhadap serangan hama dan

penyakit.

Pengamatan dan Pengukuran

Parameter utama yang dipakai dalam menjawab tujuan penelitian :

1. Parameter Keragaman Jenis (bentuk spora, ukuran spora, warna spora,

ornamen/asesoris permukaan spora, substanding hifa dan bulbous suspensor).

2. Parameter Kompatibilitas (Persentase kolonisasi akar, Percentage growth respon

(PGR), Dependency of P uptake (DPU).

3. Parameter Pertumbuhan (Persentase plantling hidup, pertambahan tinggi dan diameter,

berat kering tanaman dan Indeks Mutu Bibit).

Peubah yang diamati dan diukur dalam penelitian ini meliputi :

1) Kolonisasi akar. Menggunakan Metode Slide berdasarkan bidang pandang terinfeksi

(+) dan tidak terinfeksi (-) terhadap 10 potong akar dalam 3 kali ulangan dengan

rumus:

45

Jumlah potongan akar yang terinfeksi

% Kolonisasi = x 100 %

Jumlah seluruh potongan akar yang diamati

2) Respon tanaman terhadap mikoriza ditentukan berdasarkan percentage growth respon

(PGR) menurut Hetrik dan Wilson (1993), sebagai berikut :

BK tanaman terinokulasi – BK tanaman tidak terinokulasi

PGR = x 100 %

BK tanaman tidak terinokulasi

3) Ketergantungan tanaman bermikoriza terhadap fosfor atau dependency of P uptake

(DPU) ditentukan dengan rumus Tawaraya, Tokarin dan Wagatsuma (2001) yang

diacu Asmarahman (2008) sebagai berikut :

Kandungan P Tan bermikoriza – Kandungan P Tan Tidak bermikoriza

DPU = x 100 %

Kandungan P Tanaman bermikorhiza

4) Plantling hidup pada umur 8 MST; dihitung dengan rumus :

Jumlah plantling hidup

% bibit hidup = x 100 %

Jumlah plantling yang ditanam

5) Pertambahan Tinggi Bibit (cm). Pengukuran tinggi bibit dilakukan dengan

menggunakan mistar mulai dari pangkal batang (diberi tanda batas) hingga titik

tumbuh tunas pucuk semai setelah tinggi awal ditentukan. Pengukuran dilakukan satu

minggu sekali selama 3 bulan.

6) Pertambahan Diameter Bibit (mm). Pengukuran diameter bibit dilakukan

menggunakan mini kaliper, di atas pangkal batang. Pengukuran dilakukan satu

minggu sekali selama 3 bulan.

7) Biomasa Kering Tanaman. Dilakukan setelah pengamatan tinggi dan diameter selesai.

Sampel tanaman dipotong, bagian pucuk dan akarnya dibungkus kertas secara

terpisah, kemudian dioven pada suhu 80 0C selama 2 x 24 jam. Penimbangan

dilakukan setelah mencapai berat kering konstan.

8) Indeks Mutu Bibit (IMB) diukur pada umur 3 bulan. Nilai IMB ditentukan melalui

parameter pertumbuhan yang sesuai menggunakan sistem skoring.

9) Analisa serapan hara tanaman meliputi serapan nitrogen, fosfor dan kalium yang

dilakukan di Laboratorium Penelitian dan Uji Tanah, Balai Besar Litbang

Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor.

Setelah diperoleh N dan P pada setiap tanaman maka serapan hara tanaman dihitung

46

dengan mengalikan berat kering tanaman terhadap kadar haranya (Harjono dan

Warsito 1992).

P serapan = P kandungan x BK

N serapan = N kandungan x BK

11). Analisis histologi stomata plantlet. Analisis dilakukan untuk mengetahui keberadaan

stomata plantlet dan plantling.

12) Geometri akar, dihitung berdasarkan jumlah dan panjang baik akar primer maupun

akar sekunder.

13) Parameter pendukung: analisa awal keadaan tanah alam dari plot-plot pengambilan

sampel FMA, keadaan tanah pada media tanam meliputi kandungan N, P, K, pH, KB

dan KTK; suhu (oC) dan kelembaban (% RH) harian ditempat percobaan.

Analisis Data

Data hasil pengamatan pada setiap peubah dianalisis dengan uji F, melalui program

SPSS. Perbedaan antar perlakuan diuji dengan menggunakan Duncan’s Multiple Range

Test (DMRT) pada slang kepercayaan 95 %. Untuk mengetahui hubungan persentase

kolonisasi FMA terhadap parameter pertumbuhan dilakukan uji korelasi Pearson pada

selang kepercayaan 99%.

47

HASIL

1. Kondisi Lokasi Pengambilan Sampel

Vegetasi

Kondisi lokasi pengambilan sampel dicatat berdasarkan data primer dan data

sekunder meliputi keberadaan G. versteegii dan vegetasi lain yang tumbuh di sekitar G.

versteegii, sifat fisik dan kimia tanah. Keberadaan G. versteegii dan vegetasi lain pada

lokasi pengambilan sampel disajikan pada Table 1.

Tabel 1. Keberadaan Gyrinops versteegii dan vegetasi lain dan pada lokasi pengambilan

sampel.

Nomer

Plot

Jumlah

Pohon

G.

versteegii

Tinggi

(m)

Diameter

(cm)

Jumlah

Semai G.

versteegii

Vegetasi lain Keterangan

1 1 8 20 1 Gnetum

gnemon,

Pandanus sp. Calamus sp.,

Pometia sp.

Ketinggian 150 m

dpl,

lahan miring

2 2 9 21 2 Myristica sp,

Pandanus sp. Calamus sp

Ketinggian 200 m

dpl, lahan datar

3 2 10 23 3 Pometia sp,

Calamus sp, Myristica sp

Ketinggian 200 m

dpl, lahan datar

4 2 7 15 2 Intsia sp.,

Pandanus sp.

Calamus sp

Ketinggian 300 m

dpl lahan

bergelombang

5 1 8 20 2 Pometia sp,

Pandanus sp

Ketinggian 250 m

dpl, lahan

bergelombang

Sumber : Data Primer 2010.

Hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa G. versteegii tumbuh secara alami

pada ketinggian 100 m – 300 m dpl, menyebar tidak merata berbentuk spot-spot berjarak

150 m – 200 m. Pada setiap spot terdapat 1 – 2 pohon induk gaharu dengan tinggi 7 m

sampai dengan 10 m dan diameter 15 cm hingga 23 cm (Gambar 7a). Jumlah anakan di

bawah pohon induk gaharu sebanyak 1-3 semai dengan tinggi semai 75 cm s.d 150 cm

(Gambar 7b). Vegetasi lain yang tumbuh dalam radius 2 meter di sekitar G. versteegii

adalah Pometia sp., Intsia sp., G. gnemon, pala (Myristica sp.), Pandanus sp., rotan

(calamus sp.) dan vegetasi herba lainnya. Pandanus sp dan Calamus sp dijumpai hampir

pada seluruh plot.

48

Jika dilihat dari jumlah anakan yang tumbuh maka jumlahnya tidak banyak

mengingat diameter pohonnya sudah cukup besar. Hal ini karena benih G. versteegii

termasuk jenis rekalsitran atau cepat kehilangan daya kecambah. Disisi lain kadang-

kadang ditemukan juga semai yang tumbuh menggerombol karena benih yang jatuh

mengelompok dalam satu tempat yang berdekatan. Gyrinops versteegii juga mampu

menghasilkan trubusan yang tumbuh seperti semai normal. Hal ini penting jika ditebang

diharapkan akan menghasilkan individu baru yang berasal dari trubusan (Gambar 7.a).

Ketika dilakukan survey pada bulan Juli 2010 tidak ditemukan bunga dan benih G.

versteegii atau kulit buahnya di lantai hutan, dengan demikian musim berbunga dan

berbuah G. versteegii terjadi pada bulan-bulan yang lain.

Kondisi lantai hutan lembab dan ditutup oleh serasah setebal 5-10 cm. Dalam

kondisi seperti ini buah G. versteegii akan cepat membusuk sehingga jumlah semai yang

dijumpai juga sangat sedikit.

Pada Gambar 5a nampak ada bekas luka pengecekan terjadinya gaharu oleh pencari

gaharu. Luka tersebut dibiarkan dengan harapan akan terbentuk gaharu dikemudian hari.

Hal ini berarti pencari gaharu telah mengenal proses pembentukan gaharu dengan cara

melukai pohon G. versteegii yang tumbuh di hutan.

a b

Gambar 5. Pohon gaharu Gyrionops versteegii dan vegetasi lain yang tumbuh

disekitar Gyrionops versteegii (a) dan keberadaan semai Gyrionops

versteegii

49

Keadaan Tanah

Jenis tanah di lokasi pohon G. versteegii termasuk jenis ultisol dengan bahan induk

batuan kapur dan tebal solum 10-20 cm. Tanah berwarna kuning hingga coklat kemerahan

dengan tekstur lempung berliat hingga liat. Contoh tanah diambil dari setiap plot yang

ditemukan semai. Contoh tanah kemudian dibagi dua untuk keperluan analisis sifat kimia

tanah dan sebagian digunakan sebagai sumber inokulum FMA alami. Hasil analisis sifat

kimia tanah disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil analisis sifat kimia tanah di lokasi penelitian

No. Plot Contoh pH H20 N (%) P (%) K (%) C/N

P tersedia (ppm)

KTK (cmol/kg) KB

Plot 1 5.8 0.24 60 9 16 9.3 16.32 99

Plot2 5.7 0.35 58 31 12 13 17.2 100

Plot3 5.6 0.35 26 23 9 2.8 27.82 100

Plot4 5.6 0.25 27 8 14 7.3 17.3 100

Plot5 6.0 0.42 74 8 25 8.8 19.19 100

Sumber : Data Primer tahun 2010 (hasil olahan)

Hasil analisis contoh tanah di lokasi Asai (Tabel 2) menunjukkan bahwa tanah

tempat tumbuh G. versteegii memiliki sifat kemasaman tanah yang bervariasi yaitu 5,6

hingga 6,0 (bersifat agak masam), C/N rasio yang rendah hingga tinggi (9-25), P tersedia

sangat rendah sedangkan P potensial tinggi dan KTK tanah sedang. C/N rasio yang

mencirikan bahwa keadaan tanah pada hutan alam Asai mengandung bahan organik tinggi.

Plot nomer 4 memiliki kandungan unsur hara yang paling rendah karena terletak di tempat

yang lebih tinggi daripada plot lainnya. Dalam keadaan kandungan P tersedia yang rendah

sementara P potensial tinggi menyebabkan tanaman inang G. versteegii harus membangun

simbiosis dengan FMA. Apabila dikaitkan antara data tanah dan pertumbuhan pohon induk

G. versteegii maupun kehadiran semai G. versteegii maka keadaan tanah pada Hutan

Alam Asai relatif subur sehingga sangat baik mendukung pertumbuhan G. versteegii.

Keadaan Iklim

Berdasarkan data dari Badan Meteorogi dan Geofisika Kabupaten Manokwari

Tahun 2010, iklim di daerah Asai termasuk tipe iklim A. Temperatur rata-rata bulanan 26,6

– 27,7 0c, kelembaban rata-rata bulanan 82-87 (%.), curah hujan berkisar antara 43,6 mm–

364,9 mm per bulan. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Maret (364,9 mm) dan

terendah pada bulan November (43,6 mm), sedangkan suhu tertinggi pada bulan Mei (27,7

0C) dan terendah pada bulan Januari (26,6

0c) (Lampiran 2).

50

Berdasarkan data iklim tersebut maka lokasi pengambilan contoh termasuk

memiliki curah hujan yang tinggi dan sering tergenang oleh air hujan. Hal ini juga terkait

erat dengan kemampuan regenerasi G. versteegii. Dalam kondisi seperti ini maka benih

G. versteeigii akan mudah busuk sehingga tingkat regenerasi alaminya rendah.

2. Potensi Fungi Mikoriza Arbuskular Alami di semai G. versteegii di Hutan Alam

Asai

Keberadaan Jenis FMA

Untuk mengetahui potensi FMA alami, dilakukan trapping untuk memicu

sporulisasi FMA di green house menggunakan inang Pueraria javanica dan media zeolit

selama 3 bulan. Informasi potensi FMA alami diperlukan untuk pembibitan G. versteegii di

greenhouse atau untuk penanaman di lapangan. Jika potensinya rendah maka perlu

dilakukan inokulasi.

Hasil isolasi dari trapping menunjukkan bahwa jumlah spora FMA alami

bervariasi dari 2 hingga 5 spora /10 gram sampel tanah. Identifikasi berdasarkan karakter

morfologi FMA antara lain ukuran diameter spora, warna spora, ornamen/asesoris

permukaan spora, substanding hifa dan bulbous suspensor sehingga di lokasi penelitian

ditemukan 7 spesies yang berasosiasi dengan semai G. versteegii, yaitu Glomus mossae,

Glomus fasciculatum, Glomus aggregatum, Glomus sp1, Glomus sp2, Glomus sp3 dan

Acaulospora sp1 (Tabel 3).

51

Tabel 3. Dokumentasi jenis spora FMA yang bersimbiosis dengan semai G. versteegii

dari hutan alam Asai, Manokwari, Papua Barat.

Plot Contoh

Gambar Jenis Jumlah Spora/

10 gr

tanah

Deskripsi

Plot 1

Glomus mossae

1

- Bentuk spora bulat

- Berwarna kuning

kecoklatan

- Ukuran spora 50-80 µm - Memiliki subsending

hifa

- Permukaan spora ada halus

Glomus sp1

1

- Bentuk spora lonjong

- Berwarna kuning kecoklatan

- Ukuran spora Panjang

150 µm, lebar 60 µm - Memiliki substending

hifa

- Halus

Plot 2

Glomus

fasciculatum

2

- Bentuk spora bulat

- Berwarna coklat

- Ukuran spora 80-100 µm

- Memiliki substending

hifa - Permukaan spora ada

halus

Acaulospora sp1

2

- Bentuk spora bulat - Berwarna putih

kekuningan

- Ukuran spora 90-150 µm

- Tidak memiliki

substending hifa

- Permukaan kasar

60 µm µm µm

150 µm

80 µm mmµm

100 µm

52

Plot 3

Glomus

fasciculatum

1

- Bentuk spora bulat

- Berwarna coklat

kemerahan - Ukuran spora 60-80 µm

- Memiliki substending

hifa - Permukaan spora ada

halus

Glomus sp2.

2

- Bentuk spora lonjong - Berwarna coklat

kemerahan

- Ukuran spora 60-100 µm

- Substending hifa : -

- Permukaan spora ada

halus

Plot 4

Glomus fasciculatum.

2

- Bentuk spora bulat

- Berwarna coklat tua - Ukuran spora 60-80 µm

- Memiliki substending

hifa

- Permukaan spora ada halus

Glomus Agregatum

1

- Bentuk spora bulat - Berwarna coklat

kemerahan

- Ukuran spora 40-80 µm

- Memiliki substending hifa

- Permukaan spora ada

agregat

Plot 5

Glomus sp3.

3

- Bentuk spora bulat

- Berwarna kuning tua

- Ukuran spora 60-80 µm

- Memiliki substending hifa

- Permukaan spora halus

Glomus

fasciculatum

2

- Bentuk spora bulat

- Berwarna coklat

kemerahan

- Ukuran spora 50-80 µm - Memiliki substending

hifa

- Permukaan spora ada halus

Apabila dilihat dari jumlah spora yang ditemukan di setiap plot (Tabel 3) maka G.

fasciculatum memiliki sebaran hidup lebih luas dibandingkan FMA jenis yang lain. Hal ini

60 µm

100 µm

100 µm

80 µm

60 µm

80 µm

50 µm 50 µm

53

dapat dilihat dari jumlah plot yang ditemukannya jenis ini. Sebaran hidup G. fasciculatum

yang lebih luas menunjukkan G. fasciculatum mampu beradaptasi dan bertahan pada

berbagai kondisi habitat. Sebaran jumlah spora FMA per plot pengambilan sampel

disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Sebaran jumlah spora FMA per plot pengambilan sampel

Kolonisasi FMA alami pada semai G. versteegii

Hasil pengamatan kolonisasi FMA pada perakaran semai G. versteegii asal Asai

disajikan pada Gambar 7. Dari hasil pewarnaan akar ditemukan adanya struktur kolonisasi

FMA pada akar semai G. versteegii dari hutan alam Asai. Hal ini menunjukkan bahwa

secara alami FMA telah bersimbiosis dengan G. versteegii. Perhitungan persentase

kolonisasi menunjukkan bahwa simbiosis FMA dengan G. versteegii bervariasi dari 30 %

hingga 80 % dengan rata-rata persentase kolonisasi perakaran 62 % (Lampiran 1). Dengan

demikian berdasarkan klasifikasi O’ Connor et al., (2001) simbiosis alami antara FMA

dengan G. versteegii di hutan alam Asai termasuk kategori tinggi.

Simbiosis antara FMA dan suatu tanaman inang umumnya ditandai dengan adanya

struktur kolonisasi oleh hifa, vesikula, arbuskular dan spora intra radikula atau salah satu

diantaranya. Simbiosis yang terbentuk antara FMA dengan G. versteegii melalui kolonisasi

perakaran dapat dilihat pada Gambar 7.

54

Kolonisasi FMA pada G. versteegii diawali dengan hifa eksternal masuk ke akar G.

versteegii (Gambar 7a) melalui entry point kemudian hifa berkembang di dalam akar

membentuk jaringan hifa intra radikula (Gambar 7b). Di dalam akar hifa tersebut

membentuk vesikula yang berisi cadangan makanan (Gambar 7c). Di dalam organ akar

selain selain ditemukan vesikula juga ditemukan spora intra radikula (Gambar 7d).

Dalam simbiosis ini tidak ditemukan adanya struktur arbuskula. Diduga tidak

terdapatnya arbuskula pada kolonisasi ini karena arbuskula belum terbentuk atau

kemungkinan telah terbentuk tetapi arbuskula tersebut telah rusak dan menghilang pada

jangka waktu tertentu. Spora intra radikula diduga berasal dari Glomus agregatum atau

Glomus fasciculatum. Hal ini sesuai pernyataan Kamadibrata, 1993 yang mengatakan

bahwa endomikoriza yang dapat membentuk spora dalam akar inang adalah Glomus

agregatum dan Glomus fasciculatum.

Hifa Ekstra radikula Entry Point

Hifa Intra radikula

Vesikel

Spora intra radikula

Gambar 7. Struktur kolonisasi FMA dengan akar semai G. versteegii

a

c

b a

d

Hifa ekstra radikula

55

3. Aplikasi FMA pada plantling gaharu G. versteegii

Kondisi Stomata plantlet dan plantling G. versteegii

Stomata merupakan bagian dari organ daun yang sangat penting dalam serapan C02

ke dalam tanaman. Mekanisme buka tutupnya stomata dipengaruhi faktor lingkungan dan

fisiologis tanaman. Mekanisme buka tutup stomata berpengaruh terhadap kinerja

fotosintesis. Bibit yang dikembangkan melalui kultur jaringan mempunyai beberapa

masalah ketika dipindahkan ke kondisi autotropik yaitu mudah layu karena transpirasi

sangat besar yang tidak diimbang serapan air yang memadai. Stomata pada hasil kultur

jaringan pada umumya dalam keadaan selalu membuka karena hidup dalam kondisi

kelembaban tinggi, nutrisi selalu terpenuhi, kondisi media yang aseptik, intensitas cahaya

yang selalu terkontrol dan konstan.

Secara visual terdapat perbedaan keadaan bentuk, kerapatan dan letak stomata pada

permukaan daun plantlet gaharu G. versteegii asal kultur in-vitro dengan plantling gaharu

G. versteegii pada percobaan di greenhouse. Plantling adalah bibit hasil in-vitro yang

sudah diaklimatisasi. Hasil pemotretan menunjukkan bahwa stomata plantlet asal kultur in-

vitro berjumlah sedikit, letak stomata tenggelam pada permukaan daun dan stomata pada

plantlet dalam keadaan terbuka sempurna (Gambar 8 a dan b), sedangkan di daun plantling

G. versteegii pada percobaan di greenhouse menunjukkan bahwa stomata berjumlah

banyak dan muncul di atas permukaan daun dalam keadaan tertutup atau tidak terbuka

penuh (Gambar 9 a & b). Diduga perbedaan ini disebabkan karena adaptasi fisiologis dan

morfologi dari tanaman untuk meningkatkan kinerja fotosintesis dengan keadaan

lingkungan.

56

Pembesarx Pembesaran 400 x

Gambar 8. Stomata di daun muda (a) dan di daun tua (b) pada planlet G. versteegii asal

kultur in-vitro dalam keadaan membuka dan sedikit jumlahnya.

Gambar 9. Stomata daun muda (a) dan daun tua (b) pada plantling G. versteegii dalam

keadaan menutup dan jumlahnya lebih banyak.

Dengan demikian dalam proses organogenesis daun G. versteegii dari plantlet ke

plantling mengalami perubahan bentuk dan jumlah stomata.

Rekapitulasi hasil uji F terhadap berbagai parameter pengamatan

Hasil Uji statistik terhadap seluruh parameter pengamatan menunjukkan bahwa

dan interaksi antara media tumbuh dengan FMA tidak berbeda nyata terhadap parameter

tetapi FMA berpengaruh nyata terhadap parameter yang diamati. Pada persentase hidup

plantling baik media maupun FMA tidak berpengaruh terhadap parameter. Namun

demikian pada persentase kolonisasi, tinggi, diameter dan panjang akar primer, jumlah

akar primer dan kekokohan bibit menunjukkan bahwa media tumbuh dan FMA

berpengaruh nyata terhadap parameter. Rekapitulasi sidik ragam terhadap parameter

plantling G. versteegii dan kolonisasinya disajikan pada Tabel 4.

a b

a b

400X 400X

400X 400X

57

Tabel 4. Rekapitulasi sidik ragam terhadap parameter pertumbuhan plantling G.

versteegii

Parameter Sumber

Keragaman

db Jumlah

kuadrat

Kuadrat

tengah

F. hitung Sig.

Kolonisasi FMA

Media

Media*FMA

2

3

6

6.334

8.442

1.526

3.167

2.809

0.254

18.017**

15.971**

1.447

0.00

0.00

0.53

Persentase hidup FMA

Media

Media*FMA

2

3

6

0.015

0.008

0.045

0.008

0.003

0.007

1.000tn

0.333tn

1.000tn

0.38

0.80

0.44

Tinggi FMA

Media

Media*FMA

2

3

6

0.632

0.998

0.147

0.211

0.449

0.25

8.444**

20.018**

0.983tn

0.00

0.00

0.05

Diameter FMA

Media

Media*FMA

2

3

6

1.402

1.718

0.474

0.701

0.573

0.079

45.777**

37.409**

5.162

0.00

0.00

0.06

Jumlah akar primer FMA

Media

Media*FMA

2

3

6

77.167

27.417

42.167

38.583

9.139

7.028

13.618**

3.225**

0.052tn

0.00

0.00

0.05

Jumlah akar

sekunder

FMA

Media

Media*FMA

2

3

6

748.222

105.556

185.778

374.111

35.185

30.963

17.675*

1.662tn

1.463tn

0.00

0.20

0.23

Panjang akar

primer

FMA

Media

Media*FMA

2

3

6

120.167

22.778

40.056

7.593

60.083

6.676

18.974**

2.398**

2.108tn

0.00

0.00

0.09

Panjang akar

sekunder

FMA

Media

Media*FMA

2

3

6

12.056

1.799

2.056

6.028

0.600

0.343

25.528*

2.539tn

1.451tn

0.00

0.08

0.23

Berat basah pucuk FMA

Media

Media*FMA

2

3

6

0.113

0.039

0.74

0.057

0.013

0.012

5.120*

1.166tn

1.119tn

0.01

0.34

0.38

Berat basah akar FMA

Media

Media*FMA

2

3

6

0.012

0.014

0.017

0.006

0.005

0.003

3.604*

2.973tn

1.779tn

0.04

0.05

0.14

Kekokohan bibit FMA

Media

Media*FMA

2

3

6

6.334

8.422

1.525

3.167

2.807

0.524

18.017**

15.971**

1.447tn

0.00

0.00

0.53

Keterangan :

* = Berbeda nyata pada P-value <0.01

** = Berbeda sangat nyata pada p-value > 0.05

tn = Tidak berbeda nyata

58

Kolonisasi Akar pada plantling G. versteegii

Tabel 4. menunjukkan bahwa kolonisasi FMA dipengaruhi oleh inokulum FMA

dan media tumbuh, Interaksi FMA dan media tumbuh tidak mempengaruhi kolonisasi di

akar plantling G. versteegii. Hasil Uji Duncan persentase kolonisasi FMA pada akar G.

versteegii disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10. Hasil Uji Duncan kolonisasi FMA pada akar G. versteegii (angka diikuti

huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan antar FMA yang dicobakan

pada α=0,05)

Hasil uji Duncan (Gambar 10) menunjukkan bahwa inokulasi FMA konsorsium

dan G. margarita berpengaruh nyata terhadap persentase kolonisasi pada akar plantling G.

versteegii. FMA konsorsium menghasilkan persentase kolonisasi tertinggi (32,8% ) pada

plantling G. versteegii apabila dibandingkan dengan G. margarita dan kontrol. Namun

demikian pada kontrol masih terdapat kolonisasi dari FMA liar. Dalam hal ini berarti

bahwa FMA konsorsium lebih mudah membangun simbiosis dengan plantling G.

versteegii dibandingkan dengan G. margarita. Mudahnya FMA konsorsium bersimbiosis

dengan plantling G. versteegii dikarenakan secara alami FMA konsorsium telah

membentuk simbiosis secara spesifik dengan tanaman inang gaharu G. versteegii. Hal ini

sesuai dengan pendapat Leake et a.l (2004) yang menyatakan bahwa di alam terdapat

spesifitas jenis FMA dengan jenis tanaman inangnya.

Untuk melihat pengaruh media terhadap persentase kolonisasi FMA di akar G.

versteegii dilakukan uji Duncan. Hasil uji Duncan media terhadap persentase kolonisasi

disajikan pada Gambar 11. Dari Gambar 11 diketahui bahwa ke empat media tumbuh

memberikan pengaruh berbeda nyata antara media satu terhadap media lainnya. Media M0

memberikan pengaruh kolonisasi yang tertinggi dibandingkan media M1, media M2, dan

media M3. Kondisi media M0 yang miskin hara dibandingkan media lain yang kaya hara

59

karena diperkaya dengan kompos dan batubara muda menyebabkan plantling G. versteegii

secara fisologis lebih aktif memberikan signal untuk membangun simbiosis dengan FMA

dalam upaya mendapatkan hara dari media untuk proses pertumbuhannya.

Gambar 11. Hasil uji Duncan pengaruh media terhadap kolonisasi pada akar plantling G.

versteegii (angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan antar

FMA yang dicobakan pada α=0,05)

Tabel 4 menunjukkan bahwa interaksi antara FMA dengan media tidak

mempengaruhi kolonisasi FMA pada plantling G. versteegii. Namun dari Gambar 12

diketahui bahwa kolonisasi tertinggi diperoleh pada M0F1 (65%), diikuti M1F1 (45%),

M0F2 (25%), M2F2 (21%); M2F1 (20%) dan M3F1 (20%); M1F2 (16%), dan M3F2

(9%), sedangkan infeksi terendah terlihat pada M0F0, M1F0, M2F0, M3F0 masing-

masing sebesar 0%. Berdasarkan klasifikasi O’ Connor et al. (2001) maka kolonisasi FMA

pada M0F1 dan M1F1 termasuk kategori kolonisasi tinggi, sedangkan kolonisasi FMA

pada M0F0, M1F0, M2F0 dan M3F0 termasuk kategori tidak bermikoriza. Interaksi FMA

dan media tidak berbeda nyata terhadap kolonisasi FMA disebabkan oleh pengaruh yang

kuat dari M1, M2 dan M3 yang cenderung menghasilkan tingkat kolonisasi yang rendah.

Gambar 12. Visualisasi kolonisasi FMA dengan plantling G.

versteegii

60

Simbiosis yang terbangun antara FMA dengan akar plantling G. versteegii dapat

diketahui melalui struktur kolonisasi yang terbentuk pada akar tersebut dapat dilihat dari

kehadiran hifa, vesikula, arbuskula dan spora intrradikula atau salah satu diantaranya.

Visualisasi struktur kolonisasi FMA dengan plantling G. versteegii disajikan pada Gambar

13.

M0F0. Pembesaran 100 x M0F1. Pembesaran 100x

M0F2. Pembesaran 400 x M1F0. Pembesaran 100 x

Gambar 13. Visualisasi struktur kolonisasi FMA pada akar plantling G. versteegii

Vesikel

Hifa

Vesikel

Hifa

61

M1F1. Pembesaran 400 x M1F2. Pembesaran 100 x

M2F0. Pembesaran 100 x M2F1. Pembesaran 400 x

M2F2. Pembesaran 400 x M3F0. Pembesaran 100 x

Gambar 13 (lanjutan). Visualisasi struktur kolonisasi FMA pada akar plantling G.

versteegii

Vesikel

spora

Hifa Internal

Hifa

62

M2F2. Pembesaran 100 x M3F0. Pembesaran 100 x

M3F1. Pembesaran 400 x M3F2. Pembesaran 400 x

Gambar 13 (lanjutan). Visualisasi struktur kolonisasi FMA pada akar plantling G.

versteegii

Respon plantling G. versteegii terhadap mikoriza (Percentage Growth Respon/ PGR)

Peranan fungi mikoriza arbuskula (FMA) terhadap tanaman inang tidak hanya

dilihat dari kemampuan tanaman tersebut dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman

inang, akan tetapi perlu juga diketahui bagaimana tingkat respon tanaman itu sendiri

terhadap FMA. PGR adalah tingkat ketergantungan suatu jenis tanaman terhadap mikoriza

pada tingkat kesuburan tanah tertentu. Visualisasi respon plantling G. versteegii terhadap

mikoriza disajikan pada Lampiran 3 dan Gambar 14.

Gambar 14. Visualisasi respon plantling G. versteegii terhadap mikoriza

Vesikel

Vesikel

63

Respon tanaman terhadap mikoriza (PGR) dipengaruhi oleh tanaman inang dan

jenis FMA yang diinokulasikan. Gambar 14 menunjukkan bahwa nilai respon plantling G.

versteegii terhadap FMA paling tinggi dihasilkan oleh FMA konsorsium pada media M0

(19 %), sedangkan respon terendah diperoleh dari PGR FMA G. margarita pada media

M0 dan Media M2 masing-masing 0 %. Respon PGR terbesar diperoleh pada FMA

konsorsium pada media. Hal ini dikarenakan di alam tanaman G. versteegii telah

membangun simbiosis dengan FMA. Faktor penyebab lainnya adalah media tanam M0

memiliki kandungan P tersedia lebih rendah dari media tanam M1, M2, dan M3 serta

memiliki P potensial lebih tinggi dari media lainnya. Rendahnya P tersedia pada media M0

menyebabkan plantling G. versteegii lebih responsif terhadap FMA. Hasil Uji statistik dan

Duncan PGR pada plantling G. versteegii disajikan pada Lampiran 5 dan Gambar 15.

Gambar 15. Hasil Uji Duncan PGR pada plantling G. versteegii (angka diikuti huruf yang

sama berarti tidak ada perbedaan antar FMA yang dicobakan pada α=0,05).

Gambar 15 menunjukkan bahwa FMA konsorsium G. versteegii memiliki nilai

PGR pada plantling G. versteegii berbeda nyata dengan nilai PGR tanpa FMA. Namun

demikian FMA konsorsium memberikan pengaruh terhadap nilai PGR pada plantling G.

Versteegii lebih baik daripada G. margarita.

Ketergantungan plantling G. versteegii bermikoriza terhadap fosfor

(Dependency of P uptake/(DPU)

Ketergantungan tanaman bermikoriza terhadap fosfor dipengaruhi oleh jenis

tanaman inang itu sendiri, FMA yang diinokulasikan serta keadaan fosfor dalam tanah atau

media tumbuh. Visualisasi ketergantungan plantling G. versteegii bermikoriza terhadap

fosfor disajikan pada Gambar 16.

64

Gambar 16. Visualisasi ketergantungan plantling G. versteegii bermikoriza terhadap

fosfor

Gambar 16 menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan tertinggi plantling G.

versteegii terhadap fosfor diperoleh pada media M1 yaitu sebesar 40 % oleh FMA

Konsorsium dan ketergantungan terhadap fosfor yang terendah oleh FMA konsorsium dan

FMA G. margarita pada media M2 dan M3 masing-masing sebesar 10 %. Rendahnya

ketergantungan plantling G. versteegii bermikoriza terhadap fosfor pada media M2 dan

M3 diduga disebabkan karena tingginya kandungan bahan organik pada media tumbuh

M2 dan M3 yang diperkaya melalui penambahan kompos dan batubara muda yang

mengandung asam humat. Hasil Uji Duncan PGR dan DPU pada plantling G. versteegii

disajikan pada Gambar 17.

Gambar 17. Hasil Uji Duncan DPU pada plantling G. versteegii (angka diikuti huruf yang

sama berarti tidak ada perbedaan antar FMA yang dicobakan pada α=0,05).

Gambar 17 menunjukkan bahwa FMA konsorsium G. versteegii memiliki nilai

DPU pada plantling G. versteegii berbeda nyata dengan nilai DPU tanpa FMA. Namun

65

demikian FMA konsorsium memberikan pengaruh terhadap nilai DPU pada plantling G.

Versteegii lebih baik daripada G. margarita.

Persentase hidup plantling G. versteegii

Persentase hidup plantling dihitung pada umur 8 minggu setelah tanam (MST)

berdasarkan plantling yang hidup dan segar serta tidak memperlihatkan gejala kematian.

Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa 9 kombinasi perlakuan mencapai persentase

hidup 100 %, sedangkan 3 kombinasi perlakuan lainnya, yaitu M0F2U3, M1F0U3 dan

M3F0U3 masing-masing memiliki persentase plantling hidup 66,67 %. Visualisasi

persentase hidup plantling G. versteegii gaharu disajikan pada Gambar 18.

Gambar 18. Visualisasi persentase hidup plantling G. versteegii sampai minggu ke-8

Pengamatan secara visual menunjukkan bahwa kematian plantling disebabkan

karena serangan penyakit lodoh (busuk akar) oleh jamur patogen terhadap plantling G.

versteegii yang ditanam pada kombinasi media M0F2, M1F0 dan M3F0. Gejala serangan

ditandai dengan adanya spora berwarna putih disekitar perakaran kemudian perakaran

plantling membusuk dan gejala busuknya akar bergerak secara sistematis dari perakaran

dalam tanah menuju batang sampai ke daun dan pucuk sehingga terjadi kematian pada

plantling (Gambar 19). Hal ini berarti bahwa plantling yang tidak diinokulasi dengan FMA

mudah terserang penyakit lodoh, sementara itu plantling yang diinokulasi dengan

kolonisasi FMA alami memiliki persentase hidup yang lebih baik. Dalam hal ini media dan

interaksi FMA dengan media tidak mempengaruhi persentase hidup karena kehadiran

FMA lebih penting daripada media tumbuh atau interaksinya.

66

Gambar 19. Visualisasi kematian plantling G. versteegii akibat serangan busuk akar.

Hasil uji Duncan (Gambar 20) terhadap persentase hidup plantling menunjukkan

bahwa secara statistik tidak ada pengaruh perlakuan terhadap hidup plantling. Namun

demikian Gambar 18 menunjukkan bahwa persentase hidup plantling G. versteegii

tertinggi diperoleh pada media yang diinokulasi FMA konsorsium 100 % .

Gambar 20. Hasil Uji Duncan hidup plantling G. versteegii (angka diikuti huruf yang

sama berarti tidak ada perbedaan antar FMA yang dicobakan pada α=0,05)

67

Pertambahan tinggi plantling G. versteegii

Parameter tinggi dan diameter digunakan sebagai indikator parameter pertumbuhan

plantling G. versteegii untuk menduga pengaruh lingkungan atau perlakuan yang

dicobakan. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa FMA dan media berpengaruh terhadap

pertambahan tinggi plantling G. Versteegii (Tabel 4). Visualisasi dinamika pertumbuhan

tinggi plantling G. versteegii sampai akhir pengamatan disajikan pada Gambar 21.

Gambar 21. Visualisasi keadaan tinggi plantling G. versteegii pada berbagai kombinasi

media yang dicobakan

Hasil uji Duncan pengaruh FMA (Gambar 22) menunjukkan bahwa secara statistik

ada perbedaan pengaruh FMA yang dicobakan terhadap pertumbuhan tinggi plantling,

yaitu perlakuan dengan FMA konsorsium memberikan pengaruh lebih baik daripada

dengan G. margarita dan tanpa FMA begitu pula perlakuan dengan G. margarita

memberikan pengaruh lebih tinggi dengan tanpa FMA. Hal ini berarti FMA alami lebih

baik daripada FMA G. margarita.

C

B A

D

68

Gambar 22. Hasil Uji Duncan terhadap tinggi plantling G. versteegii (angka diikuti huruf

yang sama berarti tidak ada perbedaan antar FMA yang dicobakan pada

α=0,05)

Uji F (Tabel 4) menunjukkan bahwa ada pengaruh media terhadap pertumbuhan

tinggi plantling G. versteegii. Hasil uji Duncan pengaruh media tumbuh terhadap tinggi

plantling G. versteegii disajikan pada Gambar 23.

Gambar 23. Hasil uji Duncan pengaruh media tumbuh terhadap tinggi plantling G.

versteegii. (angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan antar

FMA yang dicobakan pada α=0,05)

Gambar 23 menunjukkan bahwa ada perbedaan nyata antara media tumbuh yang

dicobakan terhadap tinggi plantling G. versteegii. Media tumbuh M3 memberikan

pengaruh lebih baik terhadap pertumbuhan tinggi G. versteegii pada taraf 5 % dibanding

media tumbuh M2, M1 dan M0. Demikian media tumbuh M2 memberikan pengaruh yang

lebih baik dibandingkan dengan media tumbuh M1 dan M0. Sementara itu pada media

tumbuh M1 dan M0 tidak ada pengaruh terhadap plantling G. versteegii. Pengaruh

kombinasi FMA dan media tumbuh terhadap pertambahan tinggi plantling G. Versteegii

disajikan pada Gambar 24.

69

Gambar 24. Pengaruh kombinasi FMA dan media tumbuh terhadap pertambahan

tinggi plantling G. versteegii

Gambar 24 menunjukkan bahwa plantling G. versteegii yang diberi perlakuan

FMA konsorsium (F1) memiliki pertumbuhan tinggi relatif lebih baik dibandingkan FMA

G. margarita (F2) maupun tanpa FMA (F0) pada berbagai kombinasi media tumbuh.

Berdasarkan komposisi media maka kombinasi M3F1 memiliki pertumbuhan plantling G.

versteegii relatif lebih tinggi, yaitu 3,4 cm daripada kombinasi media dengan FMA G.

Margarita (Gambar 22). Pertumbuhan tinggi plantling paling rendah dihasilkan oleh

kombinasi media M0F0 tanpa perlakuan FMA, yaitu 2,6 cm. Keragaan pertumbuhan

paling tinggi dan terendah pada plantling G. versteegii yang dicobakan disajikan pada

Gambar 25 dan Gambar 26.

Gambar 25. Keragaan pertumbuhan tinggi plantling G. versteegii umur 8 MST pada

media M0F0 dan M3F1

70

Gambar 26. Keragaan pertumbuhan plantling G. versteegii umur 8 MST dari semua

kombinasi perlakuan

Pertambahan diameter plantling G. versteegii

Hasil uji Duncan pengaruh FMA terhadap pertumbuhan diameter plantling G.

versteegii menunjukkan bahwa secara statistik perlakuan FMA konsorsium memberikan

pengaruh berbeda nyata dengan G. margarita dan tanpa FMA. Demikian juga FMA G.

margarita memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap pertumbuhan diameter plantling

G. versteegii dibandingkan terhadap tanpa inokulasi mukoriza. Hasil Uji Duncan pengaruh

FMA terhadap pertumbuhan tinggi plantling G. versteegii disajikan pada Gambar 27.

Gambar 27. Hasil Uji Duncan pengaruh FMA terhadap pertumbuhan diameter plantling

G. versteegii (Angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan

antar FMA yang dicobakan pada α=0,05)

71

Dari sidik ragam (Tabel 4) diketahui bahwa media berpengaruh terhadap

pertumbuhan diameter. Untuk mengetahui besarnya pengaruh media terhadap diameter

plantling, maka dilakukan uji Duncan. Hasil uji Duncan pengaruh media tumbuh terhadap

diameter plantling G. versteegii disajikan pada Gambar 28.

Gambar 28. Hasil uji Duncan pengaruh media tumbuh terhadap diameter plantling G.

versteegii

Gambar 28 menunjukkan bahwa media M1, M2 dan M3 menghasilkan

pertumbuhan diameter plantling G. versteegii lebih baik daripada dengan media M0,

namun demikian media M1, M2 dan M3 tidak berbeda satu dan lainnya terhadap diameter

plantling G. Versteegii karena media tersebut kaya bahan organik (kompos dan asam

humat).

Pengaruh kombinasi media tumbuh terhadap pertumbuhan diameter plantling G.

versteegii disajikan pada Gambar 29. Dari Gambar 29 dapat dilihat bahwa kombinasi

media M3F1 memberikan pertumbuhan lebih baik terhadap diameter plantling G.

versteegii dari pada media kombinasi media tumbuh lainnya, yaitu 1,73 mm, sedangkan

pertumbuhan diameter terkecil dihasilkan oleh kombinasi media M0F0 yaitu 0,63 mm.

Visualisasi pertambahan diameter plantling G. versteegii pada berbagai kombinasi media

tumbuh disajikan pada Gambar 29.

72

Gambar 29. Visualisasi pertambahan diameter plantling G. versteegii pada berbagai

kombinasi media tumbuh.

Geometri Akar

Geometri akar dihitung berdasarkan jumlah akar primer dan sekunder serta panjang

akar primer dan sekunder. Dari sidik ragam (Tabel 4) diketahui bahwa FMA berpengaruh

terhadap pertumbuhan jumlah akar primer. Hasil Uji Duncan pengaruh FMA terhadap

jumlah akar primer dan sekunder plantling G. versteegii disajikan pada Gambar 30.

Gambar 30. Hasil Uji Duncan pengaruh FMA terhadap jumlah akar primer dan sekunder

plantling G. versteegii (Angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada

perbedaan antar FMA yang dicobakan pada α=0,05)

Berdasarkan hasil uji Duncan (Gambar 30) terlihat bahwa FMA konsorsium

memberikan pengaruh berbeda nyata dengan G. margarita dan tanpa FMA terhadap

jumlah akar primer dan sekunder, sedangkan FMA G. margarita memberikan pengaruh

tidak berbeda nyata dengan tanpa FMA. Hal ini berarti bahwa inukulasi dengan FMA

73

konsorsium lebih efektif meningkatkan panjang akar primer dan sekunder dibanding G.

margarita dan tanpa FMA.

Dari sidik ragam (Tabel 4) diketahui bahwa media berpengaruh terhadap

pertumbuhan jumlah akar primer. Hasil Uji Duncan pengaruh FMA terhadap jumlah akar

primer plantling G. versteegii disajikan pada Gambar 31.

Gambar 31. Hasil Uji Duncan pengaruh media terhadap jumlah akar primer plantling G.

versteegii (Angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan antar

FMA yang dicobakan pada α=0,05)

Gambar 31 menunjukkan bahwa media M1, M2 dan M3 menghasilkan

pertumbuhan jumlah akar primer plantling G. Versteegii lebih baik daripada dengan media

M0, namun demikian media M1, M2 dan M3 tidak berbeda satu dan lainnya terhadap

jumlah akar primer plantling G. Versteegii karena media tersebut relatif sama

mengandung bahan organik (kompos dan asam humat). Apabila dilihat berdasarkan

kombinasi FMA dan media tumbuh maka Gambar 32 menunjukkan bahwa kombinasi

media M0F1 mengahasilkan jumlah rata-rata akar primer tertinggi 7 akar, sedangkan

kombinasi perlakuan M2F2 menghasilkan jumlah rata-rata akar primer terpendek 0,33

akar. Kombinasi media M2F1 menghasilkan jumlah rata-rata akar sekunder tertinggi 16

akar, sedangkan kombinasi perlakuan M2F2 menghasilkan jumlah rata-rata akar sekunder

terendah 0.0. Visualisasi pengaruh kombinasi FMA dan media tumbuh terhadap jumlah

akar primer dan sekunder plantling G. versteegii disajikan pada Gambar 32.

74

Gambar 32. Visualisasi pengaruh kombinasi FMA dan media tumbuh terhadap jumlah akar

primer dan sekunder plantling G. versteegii

Selain jumlah akar, geometri akar juga dapat dilihat pada panjang akar primer dan

sekunder plantling G. versteegii. Panjang akar menunjukkan kemampuan tanaman

menjangkau hara disekitar risofir untuk pertumbuhan tanaman. Hasil Uji Duncan pengaruh

FMA terhadap panjang akar primer dan sekunder plantling G. versteegii disajikan pada

Gambar 33.

Gambar 33. Hasil Uji Duncan pengaruh FMA terhadap panjang akar primer dan sekunder

plantling G. versteegii (Angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada

perbedaan antar FMA yang dicobakan pada α=0,05)

Berdasarkan hasil uji Duncan terlihat bahwa FMA konsorsium memberikan

pengaruh berbeda nyata dengan G. margarita dan tanpa FMA terhadap panjang akar

primer dan sekunder, sedangkan FMA G. margarita memberikan pengaruh tidak berbeda

nyata dengan F0. Hal ini berarti bahwa inukulasi dengan FMA konsorsium lebih efektif

meningkatkan panjang akar primer dan sekunder dibanding G. margarita dan tanpa FMA.

Hal ini mengindikasikan inokulasi dengan inokulum konsorsium alami lebih efektif

meningkatkan pemanjangan akar primer dan sekunder. Kemampuan FMA dalam

75

meningkatkan pertumbuhan akar sangat dipengaruhi oleh auksin yang distimulasi oleh

FMA (Karagiannidis et al, 1995).

Dari sidik ragam (Tabel 4) diketahui bahwa media berpengaruh terhadap

pertumbuhan panjang akar primer. Hasil Uji Duncan pengaruh FMA terhadap panjang

akar primer plantling G. versteegii disajikan pada Gambar 34.

Gambar 34. Hasil Uji Duncan pengaruh media terhadap panjang akar primer plantling G.

versteegii (Angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan antar

FMA yang dicobakan pada α=0,05)

Gambar 34 menunjukkan bahwa media M1, M2 dan M3 menghasilkan

pertumbuhan panjang akar lebih baik daripada media M0. Namun demikian tidak ada

perbedaan pengaruh antara M1, M2 dan M3 terhadap panjang akar plantling G. versteegii .

Gambar 35. Visualisasi pengaruh kombinasi FMA dan media tumbuh terhadap panjang

akar primer dan sekunder plantling G. versteegii

76

Apabila diilihat dari kombinasi perlakuan maka panjang akar primer dan akar

sekunder terpanjang dihasilkan oleh kombinasi M2F1 akar primer terpanjang (9 cm),

sedangkan kombinasi perlakuan M2F2 memiliki akar primer terpendek (0 %). Akar

sekunder terpanjang dihasilkan oleh M1F1 (2,3 cm) dan akar sekunder terpendek

dihasilkan oleh kombinasi M0F2 dan M2F2 masing-masing 0 cm. Visualisasi panjang akar

primer dan sekunder disajikan pada Gambar 35. Secara umum FMA konsorsium

memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap panjang akar primer nyata dengan tanpa

mikoriza. Berdasarkan hasil uji Duncan (Gambar 33) terlihat bahwa FMA konsorsium

memberikan pengaruh berbeda nyata dengan G. margarita dan tanpa FMA terhadap

perpanjangan akar primer dan sekunder, sedangkan FMA G. margarita memberikan

pengaruh tidak berbeda nyata dengan F0. Hal ini berarti bahwa inukulasi dengan FMA

konsorsium lebih efektif meningkatkan pemanjangan akar primer dan sekunder dibanding

G. margarita dan tanpa FMA. Keragaan panjang akar primer dan akar sekunder disajikan

pada Gamabr 36.

Gambar 36. Keragaan panjang akar primer (A) dan akar sekunder (B) plantling G.

versteegii

Berat Basah Pucuk dan Akar

Berat basah pucuk adalah berat segar pada saat tanaman uji dipanen caranya

dengan memisahkan antara pangkal batang dengan akar tanaman. Hasil sidik ragam

menunjukan bahwa FMA berpengaruh terhadap berat basah pucuk akar. Hasil Uji Duncan

terhadap berat basah akar dan pucuk plantling G. versteegii disajikan pada Gambar 37.

A B

77

Gambar 37. Hasil Uji Duncan terhadap berat basah akar dan pucuk plantling G. versteegii

(angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan antar FMA yang

dicobakan pada α=0,05)

Hasil pengujian secara statistik (Gambar 37) menunjukkan bahwa FMA

konsorsium memberikan pengaruh berbeda nyata dengan G. margarita maupun tanpa

FMA terhadap berat segar akar maupun berat segar pucuk. G. margarita memberikan

pengaruh tidak berbeda nyata dengan tanpa FMA. Visualisasi pengaruh kombinasi FMA

dan media tumbuh terhadap berat basah akar dan pucuk plantling G. Versteegii disajikan

pada Gambar 38. Dari Gambar 38 menunjukkan bahwa berat segar pucuk dihasilkan pada

perlakuan M2F1 (0,35 g) memiliki berat basah pucuk lebih tinggi dan berat basah pucuk

paling rendah pada perlakuan M0F2, M0F2 dan M1F2 masing-masing 0,1 g. Sedangkan

berat basah akar tertinggi dihasilkan oleh perlakuan M2F2 (0,14 g) dan berat basa akar

terendah di hasilkan oleh M0F0, M0F2, M1F0, dan M3F0 masing-masing (0,01 g).

Gambar 38. Visualisasi pengaruh kombinasi FMA dan media tumbuh terhadap berat basah

akar dan pucuk plantling G. Versteegii

78

Kekokohan plantling G. versteegii

Kekokohan plantling mengindikasikan kemampuan plantling untuk dapat tumbuh

dan berkembang pada lingkungan tumbuh tertentu. Hasil Uji Duncan pengaruh FMA

terhadap kekokohan plantling G. versteegii disajikan pada Gambar 39.

Gambar 39. Hasil Uji Duncan pengaruh FMA terhadap kekokohan plantling G. versteegii

(angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan antar FMA yang

dicobakan pada α=0,05)

Hasil uji statistik Duncan pada Gambar 39, menunjukkan bahwa FMA

konsorsium memberikan pengaruh berbeda nyata dengan G. margarita dan tanpa FMA

terhadap nilai kekokohan plantling. Sementara itu G. margarita memberikan pengaruh

tidak berbeda nyata dengan tanpa FMA. Secara visual pemberian FMA konsorsium pada

media M3 menghasilkan bibit dari plantling G. versteegii yang lebih baik.

Dari sidik ragam (Tabel 4) diketahui bahwa media berpengaruh terhadap

kekokohan plantling G. versteegii. Hasil Uji Duncan pengaruh media terhadap kekokohan

plantling G. versteegii disajikan pada Gambar 40.

Gambar 40. Hasil Uji Duncan pengaruh media terhadap kekokohan plantling G. versteegii

79

Gambar 40 menunjukkan bahwa media M3 dan M2 menghasilkan nilai

kekokohan plantling lebih baik daripada media M0 dan M1. Namun demikian tidak ada

perbedaan pengaruh antara M3 dan M2 terhadap kekokohan plantling G. versteegii. Hal ini

disebabkan karena media M3 dan M2 mengandung hara organik relatif sama akibat

penambahan kompos dan asam humat dari lignit dalam media M3 dan M2. Visualisasi

pengaruh FMA dan media terhadap kekokohan plantling G. versteegii disajikan pada

Gambar 41.

Gambar 41. Visualisasi pengaruh FMA dan media terhadap kekokohan plantling G.

versteegii

Gambar 41 menunjukkan bahwa nilai kekokohan plantling tertinggi dicapai oleh

perlakuan M3F1 dengan nilai kekokohan plantling 4,7 dan nilai kekokohan terendah oleh

M0F0 dengan nilai kekokohan 20,50. Jika dilihat dari kombinasi media dan mikorizanya

maka kontribusi FMA konsorsium yang dikombinasikan dengan media M3 relatif

meningkatkan nilai kekokohan plantling G. versteegii dibanding G. margarita.

80

Hubungan antara kolonisasi FMA dengan parameter pertumbuhan plantling G.

versteegii

Untuk mengetahui hubungan kolonisasi FMA dengan parameter pertumbuhan pada

tanaman dilakukan uji korelasi Pearson pada taraf 1% (Tabel 5).

Tabel 5. Hasil analisis korelasi antara kolonisasi FMA dengan beberapa parameter

pertumbuhan plantling G. versteegii

Korelasi

Nilai Kofisien

Korelasi (r)

Kriteria

hubungan

Persentase kolonisasi dengan Diameter 0.47 Sedang

Persentase kolonisasi dengan Tinggi 0.60 Sedang

Persentase kolonisasi Jumlah Akar Primer 0.30 Lemah

Persentase kolonisasi Jumlah Akar Sekunder 0.26 Lemah

Persentase kolonisasi Panjang Akar Primer 0.45 Sedang

Persentase kolonisasi Panjang Akar Sekunder 0.22 Lemah

Persentase kolonisasi Berat Basah Pucuk 0.17 Lemah

Persentase kolonisasi Berat Basah Akar 0.26 Lemah

Persentase kolonisasi kekokohan plantling 0.50 sedang

Persentase kolonisasi Hidup Planting 0.14 Lemah

Analisis hubungan antara kolonisasi dengan berbagai parameter pertumbuhan

plantling G. versteegii (Tabel 5). Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa hubungan antara

kolonisasi FMA dengan parameter diameter semai, tinggi semai, panjang akar primer,

kekokohan plantling merupakan hubungan yang sedang. Sedangkan hubungan kolonisasi

FMA dengan parameter jumlah akar primer, jumlah akar sekunder, panjang akar sekunder,

berat basah pucuk, berat basah akar, persentase hidup plantling merupakan hubungan yang

lemah.

Serapan Hara Makro N, P dan K

Analisis hara N, P dan K pada jaringan tanaman plantling G. versteegii dilakukan

untuk mengetahui kandungan unsur hara makro N, P dan K dalam jaringan tanaman yang

diserap dari media tumbuh. Hasil analisis serapan hara makro N, P dan K pada jaringan

tanaman plantling G. versteegii disajikan pada Gambar 42, 43 dan 44.

81

Gambar 42. Hasil analisis serapan hara makro N pada jaringan tanaman plantling G.

versteegii

Gambar 43. Hasil analisis serapan hara makro P pada jaringan tanaman plantling G.

versteegii

Gambar 44. Hasil analisis serapan hara makro K pada jaringan tanaman plantling G.

versteegii

Gambar 42, 43 dan 44 menunjukkan bahwa serapan hara makro N tertinggi pada

jaringan tanaman plantling G. versteegii oleh kombinasi perlakuan M2F1 (N= 1,38 %,

P=0,13 %; dan K= 0,71%) dan serapan hara makro N terendah adalah M0F0 (0,17 %),

serapan hara makro P terendah adalah M0F0 (0,03%) dan serapan hara K terendah adalah

M0F0 (0,13%). Hal ini berarti serapan hara N, P dan K lebih dipengaruhi oleh FMA.

82

Secara umum pemberian inokulasi FMA meningkatkan penyerapan hara makro terutama

N, P dan K pada jaringan tanaman plantling G. versteegii.

Indeks mutu bibit

Kualitas bibit tanaman dicirikan dengan perakaran dan pertumbuhan yang baik

sehingga apabila bibit-bibit tersebut dipindahkan dari persemaian ke lapangan dapat

tumbuh dan berkembang menjadi bibit yang mampu bertahan hidup pada kondisi lapang.

Kemampuan daya tahan hidup ini dapat diukur dengan indek mutu bibit (IMB). Indeks

mutu bibit dihitung menggunakan teknik skoring terhadap parameter tinggi, diameter dan

kekekohan plantling G. versteegii. Nilai hasil kualitas indeks mutu bibit plantling G.

versteegii menggunakan system skoring disajikan pada Lampiran 20, 21 dan 22. Dari

Lampiran 20 dan 21 menunjukkan bahwa berdasarkan nilai rata-rata tinggi dan diameter

maka indeks mutu bibit tertinggi adalah M2F1, M3F2 dan M3F1, sedangkan indeks mutu

bibit terendah adalah M0F0. Tingginya kualitas bibit plantling G. versteegii pada

kombinasi media M2F1, M3F2 dan M3F1 disebabkan karena adanya penyerapan hara

yang lebih baik dari FMA konsorsium maupun G. margarita serta tingginya kandungan

bahan organik pada media ini akibat diperkaya dengan bahan organik menggunakan

kompos dan batubara. Apabila dilihat berdasarkan nilai kekokohan bibit (Lampiran 22)

menunjukkan bahwa indeks mutu bibit tertinggi adalah M3F1 sedangkan indeks mutu bibit

terendah adalah M0F0, M0F2 dan M1F0. Secara visual tingginya kualitas bibit plantling

G. versteegii pada kombinasi media M3F1 disebabkan karena adanya pertambahan

pertumbuhan tinggi dan diameter plantling G. versteegiii oleh FMA konsorsium pada

media yang diperkaya kompos, batubara muda dan arang sekam.

83

PEMBAHASAN

Pengaruh FMA

Secara statistik aplikasi FMA memberikan pengaruh nyata terhadap semua

parameter yang diamati (Tabel 4). FMA konsorsium memberikan kontribusi relatif lebih

baik dari FMA G. margarita maupun tanpa pemberian FMA (kontrol). Besarnya kontribusi

FMA konsorsium memberikan pengaruh nyata terhadap berbagai parameter yang diamati

disebabkan karena secara alami FMA konsorsium telah membangun simbiosis dengan

tanaman inang G. versteegii. Dalam penelitian ini keeratan hubungan antara FMA

konsorsium dengan inang G. versteegii dapat dilihat dari besarnya nilai persentase

kolonisasi FMA, PGR dan DPU. Indikator lain yang dapat dipakai untuk untuk melihat

hubungan simbiosis ini adalah nilai serapan hara P, dimana FMA konsorsium

meningkatkan serapan hara P pada jaringan tanaman plantling G. versteegii lebih baik dari

G. margarita.

Pertumbuhan primer yang terjadi disebabkan aktifitas meristem pada ujung batang

tanaman. Aktifitas meristem yang selalu melakukan pembelahan sangat dipengaruhi oleh

fosfor. Fosfor merupakan bagian esensial dari banyak gula fosfat yang berperan dalam

nukleotida, seperti RNA dan DNA, serta bagian dari fosfolipid pada membran. Fosfor

berperan penting pula dalam metabolisme energi, karena keberadaannya dalam ATP, ADP,

AMP dan pirofosfat (Ppi) (Salisbury dan Ross 1995). Dengan demikian apabila kadar P

meningkat maka aktifitas meristem pada ujung batang pun meningkat sehingga batang

bertambah tinggi.

Keuntungan FMA pada tanaman akan meningkatkan penyerapan P karena

keberadaan hifa eksternalnya yang menyebar luas ke dalam tanah. Selain P, keberadaan

FMA juga dapat membantu meningkatkan penyerapan kalsium (Widiastuti dan Tahardi

1993) yang berperan dalam pembelahan dan pemanjangan sel (Gardner et al.1991).

Pertambahan tinggi tanaman juga dipengaruhi oleh aktifitas beberapa hormon

seperti giberalin dan sitokinin (Goldsworthy dan Fisher 1992). Menurut Anas dan Santosa

(1993), FMA pada akar tanaman dapat menghasilkan sejumlah hormon pengatur tumbuh

seperti giberalin dan sitokinin sehingga keberadaan FMA pada akar tanaman dapat

berperan dalam proses pemanjangan batang. Klein (2000) juga melaporkan bahwa banyak

mikroba di dalam rizosfer yang dapat menghasilkan campuran organik komplek seperti

giberalin yang dapat mengubah morfologi dan fisiologi tumbuhan. Dengan demikian

keberadaan FMA dapat meningkatkan rata-rata pertambahan tinggi tanaman secara lebih

baik dari pada kontrol (tanpa perlakuan).

84

Pertambahan diameter sangat dipengaruhi oleh fotosintat sebagai penyusun

kerangka karbon untuk dan suplai H2O untuk memperlancar semua proses fisiologis dan

metabolisme di dalam jaringan tanaman (Kramer dan Kozlowski 1960). Keberadaan FMA

membantu meningkatkan suplai H2O dengan bantuan hifa eksternal yang dapat masuk

kedalam rongga tanah yang diameternya lebih kecil daripada diameter akar (Fakuara

1994). Pertambahan diameter merupakan pertumbuhan sekunder yang juga dipengaruhi

oleh nitrogen untuk pembentukan sel-sel baru (Goldsworthy dan Fisher 1992). Dengan

adanya FMA maka kadar N pun meningkat dan akhirnya berperan dalam pertambahan

diameter. Serapan N lebih besar pada tanaman bermikoriza dari pada tanaman tanpa

mikoriza. Hal ini terbukti dari hasil analisis jaringan yang dilakukan pada plantling G.

versteegii.

Kolonisasi FMA diakar juga mempengaruhi geometri akar yang disebabkan oleh

peran auksin yang dihasilkan oleh FMA. Geometri akar divisualisasi berdasarkan jumlah

akar primer dan sekunder serta panjang akar primer dan sekunder. Aplikasi FMA

memberikan pengaruh terhadap panjang akar primer dan sekunder dan jumlah akar primer

dann sekunder plantling G. versteegii dibandingkan tanpa aplikasi FMA. Namun FMA

konsorsium lebih efektif meningkatkan pertumbuhan akar primer dan sekunder termasuk

jumlah akar primer dan jumlah akar sekunder plantling G. versteegii.

Garcia-Garrido dan Ocampo (2002) menyatakan bahwa interaksi FMA dan

tanaman inang melibatkan pengenalan sinyal molekul spesifik agar tercipta hubungan

simbiosis mutualisme. Keberadaan FMA dapat berpengaruh terhadap pengenalan akar

tanaman inang serta berpengaruh pula terhadap daya penerimaan akar melalui signal

eksudat yang dikeluarkan oleh plantling G. versteegii untuk membangun simbiosis.

Perbedaan kemampuan FMA dalam meningkatkan pertumbuhan akar sangat dipenagruhi

oleh auksin yang dihasilkan oleh FMA.

Secara statistik FMA konsorsium lebih efektif menginduksi terbentuknya akar

primer dan akar sekunder pada media tanah dan pasir (kontrol). Diduga hal ini disebabkan

karena media tersebut miskin akan hara sehingga plantling G. versteegii pada media ini

lebih aktif memproduksi eksudat sebagai signal untuk membangun simbiosis dengan FMA.

Dengan adanya simbiosis yang terbentuk maka FMA membantu inang plantling G.

versteegii menginduksi akar dengan cara mengeluarkan auksin IAA yang mempengaruhi

pembelahan dan pemanjangan sel akar tanaman pada daerah merismatik.

Berdasarkan hasil sidik ragam pada taraf 5% menunjukkan bahwa berat tajuk akar

dipengaruhi oleh inokulasi FMA konsorsium. Penyerapan H2O lebih optimal dilakukan

85

oleh FMA yang memiliki hifa yang panjang. Dari hasil penelitian terlihat bahwa tanaman

yang mendapat perlakuan FMA mempunyai nilai rata-rata berat segar yang lebih tinggi

bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa FMA (kontrol).

Nitrogen sangat dibutuhkan oleh tanaman, sebagai penyusun asam amino, protein

dan komponen lainnya. Nitrogen juga sangat penting dalam respirasi, meningkatkan reaksi

enzimatik, dan meningkatkan metabolisme sel. Nitrogen diserap akar dalam bentuk

amonium atau ion nitrat. Nitrogen yang dapat terikat oleh tanaman akan selalu dibutuhkan,

sedangkan mengenai jumlahnya tergantung pada kebutuhan tanaman itu sendiri.

Berdasarkan hasil sidik ragam pada taraf 5% untuk parameter serapan hara N, serapan hara

P inokulasi FMA konsorsium menunjukkan pengaruh nyata pada jaringan plantling G.

versteegii. Jumlah unsur hara yang dapat diserap tanaman inang merupakan jumlah unsur

hara yang terlarut dan tersedia dalam larutan tanah. FMA mampu memanfaatkan unsur

hara yang relatif tidak tersedia untuk tanaman dan kemudian mengalirkannya ke tanaman

inang (Bornner dan Galston 1952).

Inokulasi FMA meningkatkan pertumbuhan tanaman dan serapan hara seperti N, P

dan K (Johansson et al. 2004). Setiap jenis FMA mempunyai kemampuan yang berbeda

dalam meningkatkan serapan P. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan

gerakan P dalam hifa sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan efisiensi antara jenis

FMA dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman (Anas dan Santosa 1993). Keberhasilan

semai dicirikan memiliki perakaran dan pertumbuhan yang baik, yang apabila bibit-bibit

tersebut dipindahkan dari persemaian ke lapangan dapat tumbuh dan berkembang menjadi

bibit, yang mampu bertahan hidup pada kondisi lapang. Kemampuan daya tahan hidup ini

dapat diukur dengan indek mutu bibit (IMB).

Pada plantling G. versteegii inokulan FMA konsorsium dan G. Margarita dapat

meningkatkan nilai indeks mutu bibit plantling G. versteegii pada parameter tinggi,

diameter dan kekokohan bibit dibandingkan dengan tanpa FMA pada kombinasi media

yang diberikan kompos, arang sekam dan batubara muda. Dengan demikian pemanfaatan

FMA dan kombinasi media tanah, pasir, kompos, arang sekam dan batubara muda pada

plantling G. versteegii akan menghasilkan bibit yang lebih siap dipindahkan ke lapangan

akan mampu bertahan hidup pada kondisi lapang .

Kolonisasi berhubungan erat dengan jenis FMA dan jenis tanaman inang. Dengan

demikian, translokasi nutrisi dan pemanfaatan karbon oleh tanaman inang pun berbeda-

beda. Kolonisasi mikoriza di dalam akar dan panjang miselium di dalam tanah merupakan

parameter yang menentukan peningkatan serapan fosfor. Dari hasil penelitian diketahui

86

bahwa FMA dapat berasosiasi dengan plantling G. versteegii simbiosis dimulai pada saat

propagul FMA merespon keberadaan akar di dalam tanah. Penetrasi terjadi pada saat hifa

FMA membentuk apresorium yang berlekatan dengan sel epidermis akar. Hifa kemudian

menyebar didalam ruang antar sel dan masuk ke dalam sel (Brundrett et al. 1996).

Hasil sidik ragam pada taraf 1% menunjukkan bahwa inokulasi FMA konsorsium

dan G. margarita berpengaruh nyata terhadap kolonisai FMA pada plantling G. versteegii.

Hal ini menunjukkan bahwa kedua FMA memiliki kemampuan dalam mengkolonisasi akar

tanaman inang. Menurut Johansson et al. (2004) fenomena kecocokan interaksi antara

tanaman inang dengan FMA terdapat pada tingkat biokimia dan genetik. Dengan demikian

interaksi antara FMA dan inang plantling G. versteegii yang cocok akan menghasilkan

pertumbuhan tanaman inang secara lebih baik.

Kolonisasi FMA pada akar tanaman dapat diamati dari keberadaan beberapa

struktur FMA, seperti hifa internal, arbuskula, vesikula dan spora. Menurut Smith dan

Read (1997), bahwa hifa internal berfungsi sebagai alat translokasi unsur hara, eksternal

berfungsi menyerap unsur hara dan air, vesikula berfungsi sebagai tempat cadangan

makanan terutama lipid, sedangkan arbuskula merupakan struktur infeksi yang sangat

penting dalam simbiosis FMA, karena arbuskula berfungsi dalam proses transfer unsur

hara antara kedua simbion (fungi dengan akar tanaman).

Perhitungan kolonisasi FMA di dalam akar hanya menentukan ada atau tidaknya

FMA yang mengkoloni akar dan melewatkan hifa-hifa eksternal yang tersebar di dalam

tanah (Hart dan Reader 2002). Besar kecilnya kolonisasi FMA di dalam akar hanya

mencerminkan sebagian kemampuannya dalam membantu penyerapan nutrisi bagi

tanaman (Hart dan Reader 2002). Hifa internal FMA di dalam akar berperan dalam proses

transfer nutrisi dari hifa ekternal ke dalam sel - sel akar tanaman inang. Namun demikian

pertumbuhan hifa dan akar inang sangat dipengaruhi oleh media tumbuh yang digunakan.

Pengaruh Media

Penggunaan media berupa tanah, kompos, bio-charcoal dan lignit (batubara muda)

digunakan sebagai upaya mendapatkan kombinasi media yang cocok untuk produksi

bibit gaharu yang diperbanyak menggukan teknik kultur jaringan. Penambahan kompos

menguntungkan karena mengandung bahan organik terdekomposisi sehingga mudah

diserap oleh tanaman, disamping itu dengan penambahan kompos akan meningkatkan

porositas dan menjadikan media tidak kompak sehingga memudahkan perkembangan akar

plantling.

87

Dalam penelitian ini penambahan bio-charcoal diharapkan dapat fungsi sebagai

soil conditioner dan soil managment, meningkatkan porositas tanah dan aktifitas mikroba

tanah, menyerap kontaminan toksis, menetralkan keasaman tanah serta mencegah penyakit

busuk akar yang disebabkan oleh serangan patogen jamur (Steiner, 2007 ; Lehman, 2007 ;

Supriyanto, 2010), memberikan efek gelap di sekitar akar plantling sehingga auksin IAA

di akar tidak rusak oleh cahaya dan IAA akan berperan optimal mendukung

perkembangan akar adventif plantling. Peran lain yang diberikan oleh bio-charcoal adalah

berperan dalam menyerap zat-zat toksis dalam media tumbuh dan memberikan efek gelap

disekitar akar plantling sehingga auksin IAA di akar tidak rusak oleh cahaya dan IAA

akan berperan optimal mendukung perkembangan akar adventif plantling. Penggunaan

lignit (batubara muda) dalam media dimanfaatkan sebagai pembenah media karena

batubara muda mengandung asam humat sehingga dapat berperan menyediakan nutrisi

hara secara ototropik bagi plantling di media pertumbuhan.

Secara statistik media memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap

parameter lainnya namun pada parameter persentase kolonisasi media tumbuh

berpengaruh nyata terhadap parameter. Meskipun media memberikan pengaruh tidak

nyata terhadap beberapa parameter yang diuji secara statistik menggunakan uji Duncan,

namun bila dilihat berdasarkan nilai rata-rata maka media dengan penambahan kompos,

arang sekam dan batubara muda ternyata memberikan keragaan plantling yang baik.

Kombinasi media kompos, arang sekam dan batubara muda memberikan nilai kokokohan

bibit lebih baik untuk dapat dipindahkan ke lapangan dibandingkan dengan media

kontrol dari tanah dan pasir.

Pengaruh Interaksi media tumbuh dengan FMA

Hasil sidik ragam (Tabel 4) menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara media

tumbuh dan FMA yang diberikan terhadap parameter diamati, namun jika dilihat dari nilai

indeks mutu bibit dan kekokohan bibit maka kombinasi media tanah, pasir, kompos bio-

charcoal dan lignit menghasilkan bibit tanaman dari plantling G. versteegii yang relatif

lebih siap untuk disapih ataupun ditanam di lapangan. Penambahan kompos dan lignit

berati menambahkan unsur hara organik dalam media tumbuh untuk meningkatkan

ketersediaanya dalam media dengan harapan tersedia cukup hara yang dapat diserap oleh

akar plantling.

Inokulasi FMA diharapkan memicu terbentuknya akar serta membantu akar dalam

menyerap hara dari media tubuh. Sementara itu dengan adanya kompos dan lignit maka

88

akan menambah hara organik yang dapat diserap akar plantling yang dibantu oleh adanya

FMA. Penambahan bio-charcoal diharapkan memberikan efek gelap sehingga auksin pada

akar plantling dapat berfungsi optimal dalam ramifikasi akar. Selain itu dengan adanya

bio-charcoal maka media tumbuh akan menjadi lebih poros sehingga aerasi dalam media

akan lebih baik untuk perkembangan perakaran plantling. Adanya pori-pori pada bio-

biocharcoal menjadi tempat berkembang dan berlindung organisme tanah. Bio-charcoal

juga meningkatkan kelembaban di sekitar akar plantling sehingga mendukung kehidupan

organisma tanah dalam hal ini adalah FMA.

Analisis statistik yang dipakai menggunaka pada taraf α0.05 ternyata tidak dapat

mendeteksi pengaruh interaksi antara FMA dan media tumbuh, namun demikian apabila

taraf α dinaikan menjadi 0.1. ternyata dapat mendeksi pengaruh interaksi antar FMA dan

media. Diduga interaksi ini tidak nyata disebabkan karena waktu pengamatan yang relatif

singkat. Hal ini berarti bahwa jika umur pertumbuhan plantling G. versteegii pada media

dilanjutkan diatas waktu 3 bulan, maka interakasi antara FMA dan media tumbuh akan

memberikan pengaruh nyata pada parameter yang diamati.

89

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Secara alami FMA telah membangun simbiosis dengan gaharu alam yang dibuktikan

dengan adanya persentase kolonisasi yang terbangun dengan kategori tinggi

2. Dalam penelitian ini ditemukan 7 spesies FMA dari 5 plot pengambilan sampel di

hutan alam Asai yang bersimbiosis dengan G. versteegii, yaitu G. mossae, G.

fasciculatum, G. aggregatum, Glomus sp1, Glomus sp2, Glomus sp3. dan Acaulospora

sp.1

3. Inokulum FMA konsorsium asal Hutan Alam Asai secara signifikan meningkatkan

pertumbuhan plantling G. versteegii lebih baik dari pada FMA Gigasspora margarita

dan plantling yang tidak diinokulasi mikoriza. Hal ini berarti kompatibilitas FMA

alami lebih tinggi daripada FMA G. Margarita.

4. Berdasarkan nilai kekokohan dan indeks mutu benih maka media tanah dengan

perbandingan 1 : 1 (v/v) yang dicampur dengan, kompos, bio-charcoal dan batu bara

muda masing-masing 0,5:0,4:0,2 (v/v) menghasilkan bibit G. versteegii lebih baik

dibandingkan kombinasi media lainnya.

Saran

Dalam upaya meningkatkan kualitas bibit gaharu asal kultur perlu disesuaikan

kondisi plantlet yang tepat saat aplikasi FMA. Penggunaan inokulum konsorsium alami

yang dikombinasikan dengan tanah, pasir, kompos, bio-charcoal dan lignit lebih

menjanjikan untuk pertumbuhan suatu jenis yang diperbanyak secara in-vitro.

90

DAFTAR PUSTAKA

Abbott L.K. & Robson A.D, Jasper D. A, and Gezey C., 1992. What is the role of VA

mycorrhizal Soil? Hal : 37 – 41.

Agrios GN. 1988. Plant Pathology. Third edition. San diego, California: Academic Press,

Inc.

Ahmad A. G, 2006. Pengaruh Arang Kayu dan Cendawan Endomikoriza terhadap Proses

Biokimia karbon Pada Semai Manglit (Michellia Montana Blue). Tesis Pascasarjana

IPB.

Anas I, Santosa DA. 1993. Mikoriza Vesikular-Arbuskular. Di dalam: Anas I. Pupuk

Hayati (Biofertilizer). Bogor: Laboratorium Biologi Tanah, Jurusan Tanah Fakultas

Pertanian Institut Pertanian Bogor.

ASGARIN (Asosiasi Pengusaha Ekspotir Gaharu Indonesia). 2001. Masalah/Kendala

Pengusahaan Kayu Gaharu. Direktorat Bina Usaha Perhutanan Rakyat. Ditjen RLPS

Departemen Kehutanan, Jakarta

Asmarahman C, 2008. Pemanfaatan Mikoriza dan Rhizobium Untuk Meningkatkan

Pertumbuhan Semai Kayu Energi Pada Media Tanah Bekas Tambang Semen. (Tesis).

Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.

Baghel RK, Sharma R, Pandey AK. 2009. Actifity of Phosphatase in the ectomycorrhizal

fungus Cantarellus tropicialis under controlled conditions. Journal of Tropical Forest

Science, 21 : 218-222.

Barden A, Awang N. A, Mulliken T, and Song M, 2000. Hearth of the Matter: Agarwood

Use and Trade and Cites Implementation for Aquilaria malaccensis. A Traffic

Network Report. Traffic Internasional. Cambridge, UK.

Barea JM, Azcon-Aguilar C. 1992. Interactions between Mycorrhizal Fungi and Other

Rhizosphere Microorganisms. In: Allen, M.F. (Ed). Micorrhizal Functioning. An

Integrative Plant-Funggal Process. New York: Chamman & Hall, Inc.

Bickelhaupt DH. 1980. Nursery Soil and Seedling Analysis Methodology. Proc. North

American Forest Tree Nursery Soil. Workshop. New york: July 28 August 1980: 237-

260.

Boruah P. and Singh R.S., 2000. Unraveling the secret of agar formation in agarwood. Di

dalam : Anonim, editor. Souvenir on a Seminar on Agar Scope and Dimension of Agar

(Aquilaria spp). Plantation in The NE Region ; Guwahati, India 22-23 November

2000. Assam : AATMA. Hal 1-2.

Boyce JS. 1948. Forest Pathology. Second Edition. New York: McGrraw - Hill Book

Company, Inc.

Brundrett M, Bougher N, Dell B, Grove T, Malajczuk N. 1996. Working with Mycorrhizas

in Forestry and Agriculture. 1996. Australian Centre for International Agricultural

Research (ACIAR). Diambil dari

http://www.ffp.csiro.au/research/mycorrhiza/index.html.[15 Desember 2006].

Brundrett, M. 2004. Diversity and classification of mycorrhizal associations.

Biol.Rev.2004.79.pp.473-495.©Cambridge Philosophical Society. (Edisi Revisi 20

Juni 2003).

CITES, 2004. Convention on International Trade in endangered Species of Wild Fauna

and flora : Amandements to Appendices I and II of CITES.

http://www.cites.org/common/cop/13/raw/ props/ID-Aguilaria-Gyrinops.pdf.

Delvian, Setiadi Y, Soedarmadi. 2001. Korelasi antara Salinitas Tanah dan Distribusi,

Populasi dan Dinamika Musiman Fungi Mikoriza Arbuskula di Hutan Pantai. Makalah

disampaikan pada Seminar Nasional dan Workshop Pemanfataan Mikoriza pada

Pertanian dan Rehabilitasi Lahan. Bengkulu 11- 13 Juni 2001. Bengkulu. Universitas

Bengkulu.

91

Fakuara Y. 1994. Peranan Mikoriza dalam Peredaran Hara dan Peningkatan Kualitas

Bibit. Di dalam: Laporan Program Penelitian Biologi dan Bioteknologi mikoriza.

Bogor: SEMEO BIOTROP. hlm 174-179.

Garcia-Garrido JM, Ocampo JA. 2002. Regulation of the Plant Defence Response in

Arbuscular Mycorrhizal Symbiosis. Journal of Experimental Botany 53 (373): 1377-

1386.

Gardeman J. W. And T. H. Nicholson, 1963. Spores of Mycorrhizal Endogene Spcies

Extraced from Soil by West Sieving and Decanting. The British Mycological Society

46 : 235-224.

Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Jakarta: UI

Press.

Goodman R. N, Kiraly Z. Wood K. R., 1986. The Biochemistry and Physiology of Plant

Disease. Colombia: University of Missouri. Press.

Gunn and P. Stevens; M. Singadan; l. Sunnari and P. Chatterton, 2003. Eaglewood in

Papua New Guinea Tropical Rein Forest Project Vietnam. Working Paper No. 51.

Hetrick BAD, Wilson GWT.1993. Mycorrhizal Dependences of Modern Wheat Cultivar

and Ancestors; a Synthesis Can.J. Bot. 71: 512-518.

Hou D., 1960. Thymelaeaceae. Dalam Van Steenis, C. G. G. J (ed.). Flora Melasiana.

Gronigen: Walters-Noordhoff Publishing (1): 1-48.

Ishihara M, T. Tsuneya, M. Shiga and K. Uneyama, 1991. Three Sesquiterpenes from

Agarwood. Phytochemistry 30 (2) : 563-566.

Isnaini, 2003. Respon Tunas Gaharu (Aquilaria cressna dan A. filaria) terhadap Inokulasi

Acremonium pada Tiga Konsentrasi Medium Kultur. Makalah disampikan pada

Kongres XVII Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Bandung 6 – 8

Agustus 2003.

Johansson JF, Paul LR and Finlay RD. 2004. Microbial Interactions in the

Mycorrhizosphere and Their Significance For Sustainable Agriculture. FEMS

Microbial Ecology. hlm 1-10.

Karagiannidis N, Nikolaou N and Mattheou A., 1995. Influence of vesicular-arbuscular

mycorrhizal species on the growth and nutrient uptake of 3 grappevine rootstocks and

one table grape cultivar. Vitis. 34 (2) : 85-89.

Karyaningsih E., 2009. Pembenah Tanah dan Fungi Mikorhiza Arbuskula (FMA) untuk

Peningkatan Kualitas Bibit Tanaman Kehutanan pada Areal Bekas Tambang Batubara.

[Tesis Pascasarjana IPB].

Klein DA. 2000. The Rhizosphere. In: Lederberg J. (ed) Encyclopedia of Microbiology.

Second Edition. Vol. IV. USA: Academic Press. hlm 177.

Kramer PJ, Kozlowski TT. 1960. Physiology of Tree. USA: McGraww Hill. Book

Company.

Kunoh H, 1990. Ultrastucture and Mobilization of ions near infection sites. In Ann. Rev.

Phythopathol 28:93-111.

Leake JR, Jhonson D, Donnelly DP, Muckle GE, Boddy L, Read DJ. 2004. Networks of

power and influence : the role of mycorrhizal mycelium in controlling plant

communities and agroecosystem functioning. Can J Bot. 82: 1016-1045.

Lehman, J. 2007. A handful of carbon, Nature Vol. 447.

Linderman RG, Pfleger EL. 1994. Mycorrhizae and Plant Health. St Paul: APS Press. The

American Phytopathologycal Society.

Liu R. J, 1995. Effect of vesicular-arbuscular mycorrhizal fungi on Verticullium wilt of

cotton. Mycorrhiza 5 : 293-297.

Mashur, 2011. Indonesia Ekspor Gaharu ke China. Ekonomi Suara Karya, 15 Maret 2011.

http://www.bataviase.co.id/node/602572. [20 April 2011]

92

Parman T, Mulyaningsih dan M. Y. A Rahman, 1996. Studi Ekologi Gubal Gaharu pada

Pohon Ketimunan (A. Filaria). Temu Pakar Gaharu. Kanwil Dephut. Propinsi NTB,

11-12 April 1996.

Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid I. Bandung: Institut Teknologi

Bandung.

Samingan T. 1983. Dendrologi. Jakarta: PT Gramedia. 90 hal.

Senn, T.L., and A.R. Kingman, 1973. A Review of Humus and Humic Acids. Research

Series Report No. 145. South Carolina Agricultural Experiment Station, Clemson.

Setiadi Y. 1990. Cross Inoculant Studies and Screening Rhizobial Isolates for Acacia

mangium Willd. IUC-BIOTEK-IPB.

Setiadi Y. 1992. Petunjuk Laboratorium Mikrobiologi Tanah Hutan. Bogor: Pusat Antar

Universitsas. Institut Pertanian Bogor.

Sieverding, E. 1991. Vesicular Arbuscular Mycorrihzal Management in Tropical

Agrosystem. Technical Cooperation Federal Republic of Germany. Eschborn. p. 37-76.

Siregar C. A, 2010. Pemanfaatan Arang Sekam Sebagai Soil Conditioner untuk

Memperbaikai Kualitas Tanah. Makalah Pelatihan Teknologi Bio-Charcoal Untuk

Budidaya Tanaman Kehutanan dan Pertanian Yang Berkelanjutan. SEAMEO

BIOTROP, 29 November 2010.

Smith, S.E., Read, D.J. 1997. Mycorrhizal Symbiosis. Second Eds. San Diego California.

Academic Press. Harcourt Brace and Company Publ.. p.34-160.

Steiner C. 2007. Charcoal as soil amandement : carbon negative energy and soil

restoration, UNFCC, Bali.

Stevonson, F.J. 1994. Humus Chemictry, Genesic, Composition, Reactions. A Wiley-

Interscience & Sons. New York. 496 pp.

Suhartono T. R, dan Newton, 2001. Status and Disribution of Aquilaria spp in Indonesia

and the Sustainebility of the Gaharu [Phd], Edinburg: Institut of Ecology and resource

Management.

Sumarna, Y. 2007. Budidaya Gaharu. Seri Agribusines. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sumiasri N, Harmastini. 1990. Prospek Sengon (Paraserianthes falcataria(L) Fosberg) di

Jawa Barat. Bogor. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen

Kehutanan. hlm 7–9.

Supriyanto, 2009. Modifikasi Teknik Pewarnaan Akar Terkolonisasi Cendawan

Endomikorhiza. Makalah Pelatihan Dasar Isolasi dan Inokulasi Mikoriza untuk

Tanaman Pertanian dan Kehutanan. SEAMEO-BIOTROP, 24-25 Juni 2009.

Supriyanto, 2010. Pemanfatan Bio-Charcoal untuk Kultur Endomikoriza. Makalah

Pelatihan Teknologi Bio-Charcoal Untuk Budidaya Tanaman Kehutanan dan Pertanian

Yang Berkelanjutan. SEAMEO BIOTROP, 29 November 2010.

Sutedjo MM, Kartasapoetra AG, Sastroatmodjo RDS. 1996. Mikrobiologi Tanah. Jakarta.

PT. Rineka Cipta.

Sylvia, D.M. 2006. Overview of mycorrhizal symbiosis : Based on a chapter in Prinsples

and Application of Soil Microbiology. http://Cropsoil.psu.edu/sylvia/mycorrhiza.htm.

Tawaraya K, Tokarin K, Wagatsuma T. 2001. Dependence of Allium fistulosum Cultivar

on the Arbuscular Mycorrhizal Fungu, Glomus fasciculatum. Applied Soil Ecology 17:

119-134.

Tawaraya K, Tokarin K, Wagatsuma T. 2001. Dependence of Allium fistulosum Cultivar

on the Arbuscular Mycorrhizal Fungu, Glomus fasciculatum. Applied Soil Ecology 17:

119-134.

Turnbull JW, Martenz PN, Hall N. 1986. Notes on Lesser-Known Australian Trees and

Shrubs with Potential for Wood and Agroforestry. In: Multipurpose Australian Trees

and Shrubs, Lesser Known Spezies for Fuelwood and Agroforestry. (Turnbull, J.W.ed).

ACIAR Canbera. hlm.81-90.

93

Umboh M.I.J, Rahayu G, Affandi A, 2000. Upaya Peningkatan Produksi Gubal Gaharu:

Mikropropagasi Aquilaria Species dan Upaya Peningkatan Bioproses Gubal Gaharunya

[Laporan Penelitian RUT V] Jakarta. Menristek-Dewan Riset Nasional.

Worabay, D. 2009. Identifikasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Pada Pohon Penghasil

Gaharu Gyrinops versteghii Gilg (domke). Di Kampung Asai Kabupaten Manokwari

(Skripsi Sarjana Kehutanan UNIPA).

Wulan T. 2006. Pengaruh Inokulasi Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) dan Beberapa

Isolat Rhizobakteri terhadap Pertumbuhan Bibit Aquilaria malacensis Lamk. Dan A.

microcarpa Baill. Dipersemaian. [Skripsi]. Jatinangor. Jurusan Biologi Fakultas

FMIPA. Universitas Padjajaran.

Yudhy HB. 2006. Pemanfaatan CMA dan Bradirhizobium dalam Meningkatkan

Produktifitas Kedelai pada Sistem Agroforestri Kayu Bawang (Scorodocarpus

bornensis, Burm. F) Di Ultisol [Disertasi]. Bogor. Sekolah Pascasarjana, Institut

Pertanian Bogor.

Zich F, Compton I. 2001. The Final Frontier: Toward Sustainable Management of Papua

New Guinea’s Agarwood Resource. Sydney: TRAFFIC Oceania and the WWF South

Pacific Programme.

Zulkifli, 2011. Indonesia Kini Ekspor Gaharu langsung ke Tiongkok. Investor Daily

Indonesia. Senin, 14 Maret 2011.http://www.investor.co.id/agribusiness/ indonesia-

kini-ekspor-gaharu-langsung-ke-tiongkok/7628. [ 20 April 2011].

94

Lampiran

95

Lampiran 1. Persentase kolonisasi FMA hasil isolasi dari sampel tanah komposit

semai pohon penghasil gaharu Gryrinops verteegii dari hutan alam

Asai Kabupaten Manokwari, Propinsi Papua Barat.

Sampel gaharu Bidang pandang

Jumlah 1 2 3 4 5

G1 1 + + + + + +

2 + - + + - +

3 - + + + + +

4 + - + + - +

5 + + - - - -

6 + - - + + +

7 + + + + + +

8 + - - - - -

9 - - + + + +

10 + + + + + +

Jumlah 8

% Kolonisasi 80 %

G2 1 + - - - + -

2 - - + + + +

3 + - - - + -

4 - - + + + +

5 - + - - - -

6 - - - + - -

7 - + + - - -

8 - - - - - -

9 - + - - - -

10 + + - - - -

Jumlah 3

% kolonisasi 30 %

G3 1 + - + - - -

2 + - + + + +

3 + - - - - -

4 + + + - + +

5 - + + + - +

6 + + + + + +

7 - - + - - -

8 + + + + + +

9 - + + + - +

10 + - + + + +

Jumlah 7

% kolonisasi 70 %

G4 1 - + + + + +

2 - + + + + +

3 + + + - + +

4 + + + + + +

5 + + + + + +

6 + + + + - +

7 - + + - - -

96

8 + + - - - -

9 - + + + + +

10 + + + + + +

Jumlah 8

% kolonisasi 80 %

G5 1 + + + + + +

2 + + - - - -

3 + - - - - -

4 + + + + - +

5 - - - + - -

6 + + + + + +

7 + - + + - +

8 - - - + + -

9 - + + + - +

10 - - - + + -

Jumlah 5

% kolonisasi 50 %

Lampiran 2. Rekapitulasi koefisien keragaman pertumbuhan plantling G. versteegii

Parameter pertumbuhan Uji F KK (%)

Persentase kolonisasi FMA pada umur 12 MST * 20,90

Percentage growth respon (PGR) FMA

Konsorsium

* 61.99

Percentage growth respon (PGR) FMA G.

Margarita

* 110.13

Dependency of P uptake (DPU) FMA

Konsorsium

* 45.76

Dependency of P uptake (DPU) FMA G.

Margarita

* 86.07

Persentase hidup plantling pada umur 8 MST ts 0

Tinggi plantling pada umur 12 MST * 8,16

Diameter plantling pada umur 12 MST * 27,23

Jumlah akar primer pada umur 12 MST * 76,32

Jumlah akar sekunder pada umur 12 MST * 128,71

Panjang akar primer pada umur 12 MST * 82.82

Panjang akar sekunder pada umur 12 MST * 43,76

Berat basah pucuk pada umur 12 MST * 73,56

Berat basah akar pada umur 12 MST * 162,06

Nisbah kekokohan bibit pada umur 12 MST * 20,90

Keterangan : Ts = tdak berbeda nyata,

* = berbeda nyata KK = Koefisien keragaman

97

Lampiran 3. Uji Signifikasi terhadap PGR dan DPU plantling G. versteegii

Independent Samples Test

KK P-value

PGR F1 Equal variances assumed 61,99 0.04

PGR F2 Equal variances assumed 110.13 0.02

DPU F1 Equal variances assumed 45,76 0.03

DPU F2 Equal variances assumed 86.07 0.04

P-value (0.04) < 0.05, artinya Pada Mikoriza PGR terdapat perbedaan nyata antara F1dan F2 pada taraf

5%.

P-value < DPU terdapat perbedaan yang nyata antara F1 dengan F2 pada taraf 5%.

Lampiran 4. Hasil Uji Duncan persentase kolonisasi FMA pada plantling G. versteegii

FMA N

Subset

1 2 3

F0 12 3.9167a

F2 12 18.6667b

F1 12 32.7500c

Sig. 1.000 1.000 1.000

F1 berbeda dengan F2,F0

Lampiran 5. Hasil Uji Duncan terhadap Nilai PGR plantling G. versteegii

PGR N Subset

1 2 3

PGR

F0 4 1.0120a

F2 4 2.1250b

F1 4 7.0417c

Sig. 0.699 1

F1 berbeda dengan F2

98

Lampiran 6. Hasil Uji Duncan terhadap Nilai DPU plantling G. versteegii

DPU N Subset

1 2 3

F0 4 0.0112a

F2 4 1.5000b

F1 4 5.4167c

F1 berbeda dengan F2dan F0

Lampiran 7. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap persentase hidup plantling

G. versteegii

FMA N

Subset

1

F0 12 .9500a

F2 12 .9750a

F1 12 1.0000a

Sig. .194

Tidak ada perbedaan antar FMA

Lampiran 8. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Tinggi plantling G. versteegii

FMA N

Subset

1 2 3

F0 12 2.6592a

F2 12 2.8267b

F1 12 3.0650c

Sig.

1.000 1.000 1.000

F1 berbeda dengan F2,F0

99

Lampiran 9. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Diameter plantling G.

versteegii

FMA N

Subset

1 2 3

F0 12 .7683a

F2 12 1.0142b

F1 12 1.2517c

Sig. 1.000 1.000 1.000

F1 berbeda dengan F2,F0

Lampiran 10. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Jumlah Akar Primer

plantling G. versteegii

FMA

Subset

1 2

F2 12 3.0833a

F0 12 4.6667a

F1 12 16.1667b

Sig. .491 1.000

F1 berbeda dengan F2,F0

Lampiran 11. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Jumlah Akar Sekunder

plantling G. versteegii

FMA N

Subset

1 2

F0 12 1.5000a

F2 12 1.8333a

F1 12 11.3333b

Sig. .861 1.000

F1 berbeda dengan F2,F0

100

Lampiran 12. Hasil Uji Duncan Pengaruh media terhadap Jumlah Akar Primer

plantling G. versteegii

Media N

Subset

1 2

M0 9 4.5556a

M1 9 8.1111b

M2 9 9.4444b

M3 9 9.7778b

Sig. .078

M1, M2 dan M3 berbeda dengan M0

101

Lampiran 13. Hasil Uji Duncan Pengaruh media terhadap Panjang Akar primerer

plantling G. versteegii

Media N

Subset

1 2

M0 9 2.2889a

M3 9 4.2222b

M2 9 5.1111b

M1 9 6.1111b

Sig. .391 .158

M1, M2 dan M3 berbeda dengan M0

Lampiran 14. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Panjang Akar Primer

plantling G. Versteegii

FMA N

Subset

1 2

F2 12 1.7917a

F0 12 2.1250a

F1 12 7.0417b

Sig. .699 1.000

F1 berbeda dengan F2,F0

102

Lampiran 15. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Panjang Akar Sekunder

plantling G. versteegii

FMA N

Subset

1 2

F2 12 .2917a

F0 12 .5417a

F1 12 1.6250b

Sig. .220 1.000

F1 berbeda dengan F2,F0

Lampiran 16. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Berat Basah Akar

plantling G. versteegii

FMA N

Subset

1 2

F0 12 .0150a

F1 12 .0267a .0267b

F2 12 .0575b

Sig. .483 .072

F0 berbeda dengan F2

Lampiran 17. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Berat Basah Pucuk

plantling G. versteegii

FMA N

Subset

1 2

F0 12 .1300a

F2 12 .1617a

F1 12 .2617b

Sig. .468 1.000

F1 berbeda dengan F2,F0

103

Lampiran 18. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Kekokohan Bibit plantling

G. versteegii

FMA N

Subset

1 2 3

F1 12 3.5967b

F2 12

2.9742a

F0 12

2.5775a

Sig. 1 1 1

Lampiran 19. Hasil Uji Duncan Pengaruh media terhadap kekokohan plantling G.

versteegii

Media N

Subset

1 2 3

M0 9 2.5744

M1 9 2.6511

M2 9 3.1944

M3 9 3.7778

Sig. .702 1.000 1.000

M3 berbeda dengan M0,M1 dan M2

Lampiran 20. Indeks Mutu Bibit berdasarkan rata-rata diameter plantling G.

versteegii menggunakan sitem skoring

Perlakuan Diameter rata2 selang Nilai Selang Score

M0F0 0.63 0.11 0.63-0.0.74 1

M0F2 0.79 0.11 0.74-0.86 2

M1F0 0.84 0.11 0.86-0.97 3

M0F1 0.86 0.11 0.97-1.07 4

M2F0 0.91 0.11 1.07-1.19 5

M1F2 0.91 0.11 1.19-1.30 6

M2F2 1.04 0.11 130-1.41 7

M1F1 1.06 0.11 1.41-1.52 8

M3F0 1.21 0.11 1.52-1.63 9

M2F1 1.36 0.11 1.63-1.74 10

M3F2 1.40 0.11

M3F1 1.73 0.11

104

Lampiran 21. Indeks Mutu Bibit berdasarkan rata-rata tinggi plantling G. versteegii

menggunakan sistem skoring

Perl Tinggi rata2 selang Nilai selang score

M3F1 1.98 0.26 1.98-2.24 1

M3F2 2.14 0.26 2.24-2.52 2

M2F1 2.23 0.26 2.52-2.78 3

M2F2 2.73 0.26 2.78-3.04 4

M1F1 2.81 0.26 3.04-3.31 5

M2F0 2.99 0.26 3.31-3.57 6

M1F2 3.07 0.26 3.57-3.83 7

M0F1 3.29 0.26 3.83-4.09 8

M3F0 3.33 0.26 4.09-4.36 9

M0F0 4.07 0.26 4.36-4.62 10

M0F2 4.21 0.26

M1F0 4.61 0.26

Lampiran 22. Indeks Mutu Bibit berdasarkan rata-rata tingkat kekokohan plantling

G. versteegii menggunakan sitem skoring

Perlakuan

Nilai

Kekokohan

rata2 selang Nilai selang Score

M3F1 1.98 0.26 1.98-2.24 10

M3F2 2.14 0.26 2.24-2.52 9

M2F1 2.23 0.26 2.52-2.78 8

M2F2 2.73 0.26 2.78-3.04 7

M1F1 2.81 0.26 3.04-3.31 6

M2F0 2.99 0.26 3.31-3.57 5

M1F2 3.07 0.26 3.57-3.83 4

M0F1 3.29 0.26 3.83-4.09 3

M3F0 3.33 0.26 4.09-4.36 2

M0F0 4.07 0.26 4.36-4.62 1

M0F2 4.21 0.26

M1F0 4.61 0.26

105

Lampiran 23. Hasil Analisis Media Tumbuh Plantling G. versteegii

No. Parameter

Pengujian Metoda Satuan

Nomor dan Kode Contoh

2712 2713 2714 2715

M0 M1 M2 M3

1 *pH

H2O SNI 03-6787-2002

5.0 5.9 4.6 5.3

CaCl2 4.6 5.7 4.4 5.1

2 *C Org SNI 13-4720-1998 (Walkey &

Black) % 0.57 3.04 3.22 3.83

3 *N Total SNI 13-4721-1998 (Kjeldahl) % 0.08 0.19 0.23 0.28

4 Rasio C/N 7.1 16.0 14.0 13.7

5 P Tersedia SL-MU-TT-05 (Bray I/II) ppm 4.53 75.22 7.40 19.68

6 P2O5 Total SL-MU-TT-06 (HCl 25%) mg/100g 136.11 123.97 97.39 131.89

Kation-kation dapat ditukar

7 KTK SL-MU-TT-07 e (Ekstrak

Penyangga NH4OAc 1,0 N pH 7,0) cmol/kg 12.61 19.04 16.54 19.99

Keterangan :

- Contoh uji dihitung terhadap contoh kering 1050C

- cmol/kg me/100g

- * Telah terakreditasi oleh KAN dengan No. LP-221-IDN

106

Lampiran 24. Nilai serapan hara N, P dan K pada plantling G. versteegii

M0 F0 M0 F1 M0 F2 M1 F0 M1 F1 M1 F2 M2 F0 M2 F1 M2 F2 M3 F0 M3 F1 M3 F2

N Total 0.17 1.16 0.21 0.33 0.96 0.35 0.43 1.38 0.44 0.51 0.66 0.90

P Total 0.03 0.10 0.04 0.04 0.08 0.05 0.06 0.13 0.05 0.10 0.08 0.09

K Total 0.13 0.55 0.23 0.33 0.57 0.32 0.46 0.71 0.29 0.36 0.40 0.48

Lampiran 25. Hasil analisis jaringan plantling G. versteegii pada kombinasi perlakuan media tumbuh

No. Parameter

Pengujian Metoda Satuan

Nomor dan Kode Contoh

2716 2717 2718 2719 2720 2721 2722 2723 2724 2725 2726 2727

M0 F0 M0 F1 M0 F2 M1 F0 M1 F1 M1 F2 M2 F0 M2 F1 M2 F2 M3 F0 M3 F1 M3 F2

1

Biomasa

(Bobot

kering)

Oven 600C, 48 jam,

(Grafimetri) g 0.0655 0.1876 0.0437 0.0901 0.1886 0.0858 0.1292 0.3394 0.1136 0.1200 0.1385 0.1907

2 N Total (Kjeldahl) % 4.08 4.05 6.19 4.72 3.66 5.09 4.05 3.36 4.06 3.88 4.27 4.74

3 P Total

SL-MU-TT-14

(HNO3-HClO4, Spektrofotometri)

% 0.75 0.54 0.99 0.45 0.45 0.55 0.43 0.38 0.40 0.80 0.55 0.49

4 K Total

SL-MU-TT-14

(HNO3-HClO4,

Flamefotometri)

% 3.58 2.95 3.35 3.70 3.01 3.75 3.54 2.09 2.55 2.96 2.88 2.54

Keterangan : Contoh uji dihitung terhadap contoh kering 1050C