PENGARUH FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA) DAN...
Transcript of PENGARUH FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA) DAN...
-
i
PENGARUH FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA)
DAN MEDIA TUMBUH TERHADAP PERTUMBUHAN PLANTLING GAHARU
(Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke) HASIL MULTIPLIKASI IN-VITRO
KUSRINER F. MBAUBEDARI
SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM STUDI ILMU PENGETAHUAN KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
-
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Fungi Mikoriza Arbuskula
(FMA) dan Media Tumbuh terhadap Pertumbuhan Plantling Gaharu (Gyrinops versteegii
(Gilg) Domke) Hasil Multiplikasi In-vitro adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana
pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2008
Kusriner Fernando Mbaubedari
NRP. E051060201
-
iii
ABSTRACT
KUSRINER F. MBAUBEDARI. The Effect of Arbuscular Mycorrhizal Fungi
(AMF) Indigenous Papua and Plantling Media to The Growth of Agarwood
(Gyrinops versteegii (gilg) Domke) Plantling from In-vitro Multiplication. Under
academic supervision of IRDIKA MANSUR and SUPRIYANTO
These research works were begun with field observation in Asai Natural Forest in
July 2010, and experiments were conducted at Silviculture Laboratory, SEAMEO
BIOTROP, Bogor, from November 2010 to June 2011. Acclimatization method was
designed using completely randomized factorial design with four level planting media and
three level AMF factors, and using three replicates. The objectives were to identify the
species of AMF associated with Gyrinops versteegii collected from Asai Natural Forest,
West Papua, to observe the compatibility of indigenous AMF Papua to G. versteegii
plantling from in-vitro multiplication, on some media combination. The results showed
that there were 7 species of AMF found from 5 sampling plots from Asai Natural Forest
which are associated with G. versteghii; there were Glomus mossae, G. fasciculatum, G.
aggregatum, Glomus sp.1, Glomus sp.2, Glomus sp.3, and Acaulospora longula.
Application of AMF significantly affected to some growth parameters such as the survival
percentage of plantling, height and diameter of stem, fresh weight of top and root, roots
geometry, vigor, and plantling quality index as well as the presence of stomata. AMF
consortium inoculums from Asai Natural Forest gave a better response to the growth of
Gyrinops plantlings compared to Gigaspora margarita.
Keywords : Plantling, Gyrinops versteegii, AMF Consortium, symbiose
-
iv
RINGKASAN
KUSRINER F. MBAUBEDARI. Pengaruh Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)
Indigenous Papua dan Media Tumbuh terhadap Pertumbuhan Plantling Gaharu
(Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) Hasil Multiplikasi In-vitro.
Untuk mendapatkan pohon penghasil gubal gaharu yang baik, harus menggunakan
bibit dari pohon gaharu potensial, yaitu bibit unggul dari pohon inang yang telah terbukti
menghasilkan gubal gaharu di alam. Namun demikian produktifitas benih yang rendah
menyebabkan kesulitan memperoleh anakan pohon gaharu dalam jumlah banyak di alam,
padahal untuk tujuan budidaya yang luas sangat diperlukan bibit berkualitas dalam jumlah
cukup dan tersedia tepat waktu. Di sisi lain, selama ini bibit yang digunakan berasal dari
biji atau semai hutan alam dimana jumlah bibit terbatas, kualitas bibit rendah dan peluang
memperoleh gubal gaharu setelah penanaman relatif kecil karena bibit yang digunakan
belum tentu berasal dari induk yang berpontesi menghasilkan gubal gaharu.
Kendala lain yang umumnya dihadapi adalah tidak semua pohon gaharu
menghasilkan buah setiap tahun, belum adanya kebun bibit unggul dan kebun benih serta
biji gaharu bersifat rekalsitran, selain itu adanya penebangan pohon induk dewasa di alam
oleh pencari gaharu menyebabkan hilangnya sumber benih. Rendahnya daya berbunga
dan produktifitas berbuah menyebabkan masalah regenerasi secara generatif, sementara
itu pembiakan secara vegetatif menggunakan stek dan cangkok membutuhkan bahan
induk yang banyak, maka kultur in vitro gaharu menjadi alternatif teknologi perbanyakan
gaharu unggul secara masal dan cepat.
Selain dapat menghasilkan bibit berkualitas dalam jumlah yang memadai, teknik
ini berpotensi mempertahankan sifat genetis dari pohon induk penghasil gaharu. Namun
demikian, ditemukan kendala dalam kultur jaringan gaharu yaitu memerlukan waktu yang
lama untuk menginduksi akar plantlet baik secara in vitro maupun ex vitro di green
house, sementara akar yang terbentuk umumnya relatif kecil, jumlahnya sedikit serta sulit
berkembang. Problem lain adalah tahapan aklimatisasi plantling gaharu hasil in vitro ke
media aklimatisasi merupakan tahapan kritis yang masih menjadi masalah karena
plantling telah terbiasa tumbuh pada kondisi lingkungan dengan kelembaban tinggi
sementara apabila diadaptasikan secara ex vitro dengan temperatur tinggi plantling akan
mengalami dehidrasi, layu dan mati dikarenakan mekanisme buka tutup stomata yang
rendah dan stomata tidak berfungsi optimal. Lingkungan tumbuh in vitro bersifat steril
mengakibatkan imunitas plantling rendah dan lebih rentan terhadap serangan hama dan
-
v
penyakit busuk akar oleh jamur pembusuk akar (lodoh). Akibatnya tingkat kematian
plantling gaharu sangat tinggi, yaitu 75 % dari plantlet yang diadaptasikan ke media
pertumbuhan plantling di green house. Kondisi ini menyebabkan kegagalan produksi
bibit gaharu potensial asal kultur in vitro. Penyebab lainnya yaitu lapisan kutikula
plantling tipis dan terbiasa menerima cahaya konstan, sedangkan pada ex vitro plantling
mendapatkan cahaya tidak konstan dan intensitas cahaya tinggi. Faktor lainnya ialah
dalam media in vitro nutrisi tersedia optimal sehingga plantlet bersifat heterotrop,
sedangkan diluar media kultur plantling dituntut bersifat autotrop. Selain itu, plantling
asal in vitro memiliki lignifikasi batang rendah sehingga cenderung bersifat vitrious
(sukulen).
Aplikasi FMA pada plantling gaharu akan memacu ramifikasi akar dan batang
plantling karena mikoriza memproduksi auksin IAA untuk menstimulir akar plantling
serta menghasilkan enzim phospatase untuk pembentukan lignin. Hal tersebut dapat
tercermin dari geometri akar yang terbentuk, dengan demikian diharapkan plantling
menjadi lebih tahan dan vigor bibit meningkat, sedangkan bio-charcoal akan berperan dalam
menyerap zat-zat toksis, pembenah media dalam menejemen unsur hara tanah dan memberikan
efek gelap di sekitar akar plantling sehingga auksin IAA di akar tidak rusak oleh cahaya dan IAA
akan berperan optimal mendukung perkembangan akar adventif plantling. Sementara itu dengan
adanya lignit maka asam humat akan berperan menyediakan nutrisi hara secara autotropik bagi
plantling di media pertumbuhan.
Sejauh ini pemanfaatan FMA, kompos, bio-charcoal, dan lignit untuk perbaikan
dan peningkatkan pertumbuhan bibit gaharu G. versteegii hasil multiplikasi in vitro yang
mampu beradaptasi di greenhouse dan di lapangan belum dilakukan. Kerjasama sinergis
beberapa perlakuan diharapkan dapat membuat terobosan baru dalam penyediaan bibit
gaharu yang berkualitas (genetik, fisik dan fisiologis). Tuiuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui jenis-jenis Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) indigenous yang
bersimbiosis dengan G. versteegii asal Papua dan uji kompatibilitas FMA indigenous
Papua terhadap plantling Gyrinops versteegii hasil multiplikasi in-vitro pada berbagai
kombinasi media. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sejumlah data dan
informasi keragaman FMA indigenous yang bersimbiosis dengan pohon G versteegii dan
mendapatkan kombinasi FMA indigenous dengan kompos, bio-charcoal dan lignit yang
efektif untuk produksi bibit gaharu bermutu serta peningkatan kualitas pertumbuhannya.
-
vi
Hasil isolasi dari trapping menunjukkan bahwa jumlah spora FMA alami
bervariasi dari 2 hingga 5 spora /10 gram sampel tanah. Ditemukan 7 spesies FMA dari 5
plot pengambilan sampel di hutan alam Asai yang bersimbiosis dengan G. Versteegii,
yaitu Glomus mossae, Glomus fasciculatum, Glomus aggregatum, Glomus sp1, Glomus
sp2, Glomus sp3. dan Acaulospora longula. Tingkat kolonisasi FMA alam pada akar
semai G. Versteegii sebesar 30 % hingga 80 % atau tingkat kolonisasi rendah hingga
tinggi. Struktur kolonisasi FMA yang ditemui berupa hifa internal, vesikula, dan spora
dalam akar. Inokulum FMA konsorsium asal Hutan Alam Asai memberikan respon positif
terhadap parameter pertumbuhan plantling Gyrinops lebih baik dari pada FMA
Gigasspora margarita. FMA berpengaruh nyata pada semua parameter diamati yaitu
kolonisasi, persentase hidup, tinggi, diameter, jumlah akar primer dan sekunder, panjang
akar primer dan sekunder, berat basah pucuk, berat basah akar, dan kekokohan bibit.
Media berpengaruh nyata terhadap kolonisasi, tinggi, diameter, jumlah akar primer,
panjang akar primer dan kekokohan bibit. Interaksi antara media dan FMA tidak
berpengaruh terhadap semua parameter yang diamati. Namun demikian FMA konsorsium
memberikan kontribusi relatif lebih baik dibanding FMA G. margarita maupun tanpa
pemberian FMA (kontrol). Besarnya kontribusi FMA konsorsium memberikan pengaruh
nyata terhadap berbagai parameter yang diamati diduga disebabkan karena secara alami
FMA konsorsium telah membangun simbiosis dengan tanaman inang G. versteegii.
Dalam penelitian ini keeratan hubungan antara FMA konsorsium dengan inang G.
versteegii dapat dilihat dari besarnya nilai persentase kolonisasi FMA konsorsium (32,8
%) sedangkan G. margarita (18,7 %), PGR FMA konsorsium (7,1 %) sedangkan G.
Margarita (2,1 %) dan DPU untuk FMA konsorsium (5,4 %) sedangkan DPU G.
Margarita (1,5 %). Indikator lain yang dapat dipakai untuk untuk melihat hubungan
simbiosis ini adalah nilai serapan hara P, dimana FMA konsorsium meningkatkan serapan
hara P pada jaringan tanaman plantling G. versteegii lebih baik dari G. margarita..
Penggunaan inokulum konsorsium alami lebih menjanjikan untuk pertumbuhan suatu jenis
yang diperbanyak secara in-vitro. Geometri akar menunjukan bahwa FMA berpengaruh
terhadap panjang dan jumlah akar primer. FMA konsorsium menghasilkan panjang akar
primer (7 cm) sedangkan G. Margarita (3.1 cm). FMA konsorsium menghasilkan jumlah
akar primer (16,2 akar) sedangkan G. Margarita (11, 1 cm). Berdasarkan nilai kekokohan
dan indeks mutu benih maka media tanah, pasir, kompos, bio-charcoal dan batu bara
muda menghasilkan bibit G. Versteegii lebih siap di lapangan.
-
vii
@Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak cipta dilindungi undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
-
viii
PENGARUH FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA)
DAN MEDIA TUMBUH TERHADAP PERTUMBUHAN PLANTLING GAHARU
(Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) HASIL MULTIPLIKASI IN-VITRO
KUSRINER F. MBAUBEDARI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM STUDI ILMU PENGETAHUAN KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
-
ix
Judul Penelitian : Pengaruh Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan Media Tumbuh
terhadap Pertumbuhan Plantling Gaharu (Gyrinops versteegii
(Gilg) Domke) Hasil Multiplikasi In-Vitro
Nama : Kusriner F. Mbaubedari
NRP : E051060201
Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Irdika Mansur, M. For. Sc Dr. Ir. Supriyanto, DEA
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc. Agr
Tanggal Ujian: 1 Agustus 2011 Tanggal Lulus : 1 Agustus 2011
-
x
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, M.S.
-
xi
PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas Rahmat-Nya sehingga saya dapat
menghasilkan tesis berjudul Pengaruh Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan Media
Tumbuh terhadap Pertumbuhan Plantling Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg) Domke)
Hasil Multiplikasi In-vitro) ini dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Rektor Universitas
Negeri Papua atas kesempatan yang diberikan untuk melanjutkan studi ke Program Studi
Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Terima kasih
juga disampaikan kepada Direktor Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen DIKTI) atas
program pendidikan Pascasarjana BPPS T.A. 2006-2008 dan Pemerintah Propinsi Papua
atas Program Beasiswa Otonomi Khusus T. A. 2009-2010.
Ucapkan terima kasih serta penghargaan yang tulus disampaikan kepada Dr. Ir.
Irdika Mansur, M.For.Sc dan Dr. Ir. Supriyanto, DEA selaku komisi pembimbing yang
telah membantu mengarahkan, memberikan semangat dan perhatian khusus sejak awal
penentuan topik penelitian tesis hingga penyelesaian karya ilmiah ini. Pada kesempatan
ini, penulis juga menyampaikan terima kasih yang tulus kepada Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R,
M.S selaku penguji luar komisi yang karena kesediaannya sebagai penguji sehingga ujian
tesis saya dapat terselenggarakan dengan baik.
Semoga Karya Ilmiah ini dapat bermanfaat untuk perkembangan teknik silvikultur
gaharu dan mikoriza di Indonesia.
Bogor, 1 Agustus 2011
Kusriner Fernando Mbaubedari
-
xii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Serui, Kecamatan Yapen Selatan, Kabupaten Yapen
Waropen, Propinsi Papua pada tanggal 17 Februari 1975. Penulis merupakan anak
pertama dari tujuh bersaudara dari ayah Fredrik Mbaubedari dan ibu Benselina Reba .
Tahun 1995 penulis lulus dari SMUN 417 Serui, pada tahun yang sama lulus seleksi
masuk Universitas Cenderawasih melalui jalur seleksi lokal siswa berpotensi. Penulis
memilih Program Studi Budidaya Hutan, Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian
Universitas Cenderawasi (UNCEN). Penulis menamatkan pendidikan Sarjana tahun 2001.
Selama menjadi mahasiswa S1, penulis bekerja sebagai asisten pada mata kuliah Silvika
dan Ilmu Tanah Hutan, dan aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan. Pada tahun
2003, penulis diterima sebagai pengajar pada Universitas Papua di Manokwari, Papua
Barat,.
-
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA ------------------------------------------------------------------------------- xi
DAFTAR ISI ---------------------------------------------------------------------------- xiii
DAFTAR TABEL ------------------------------------------------------------------------ xv
DAFTAR GAMBAR ------------------------------------------------------------------ xvi
DAFTAR LAMPIRAN ----------------------------------------------------------------- xvi
PENDAHULUAN ----------------------------------------------------------------------- 1
Latar Belakang -------------------------------------------------------------------- 1
Perumusan Masalah --------------------------------------------------------------- 3
Tujuan ------------------------------------------------------------------------------ 5
Manfaat ---------------------------------------------------------------------------- 5
Hipotesis --------------------------------------------------------------------------- 5
Kerangka Pemikiran -------------------------------------------------------------- 6
TINJAUAN PUSTAKA ---------------------------------------------------------------- 7
Gaharu ------------------------------------------------------------------------------- 7
Proses Pembentukan Gaharu ------------------------------------------------- 8
Gaharu Unggul ---------------------------------------------------------------- 10
Perbanyakan Pohon Penghasil Gaharu -------------------------------------- 10
Manfaat dan Nilai Ekonomi Gaharu ---------------------------------------- 11
Mikoriza ----------------------------------------------------------------------------- 12
Fungi Mikoriza Arbuskula --------------------------------------------------------- 14
Manfaat Mikoriza ------------------------------------------------------------------- 16
Mikoriza dan Gaharu G. versteegii ----------------------------------------------- 17
Bio-charcoal ------------------------------------------------------------------------ 17
Lignit (Batu Bara Muda) ----------------------------------------------------------- 19
METODE PENELITIAN ------------------------------------------------------------- 21
Tempat dan Waktu ---------------------------------------------------------------- 21
Bahan dan Alat --------------------------------------------------------------------- 21
Metode ------------------------------------------------------------------------------ 21
Prosedur Pelaksanaan --------------------------------------------------------- 22
Isolasi dan Identifikasi FMA ------------------------------------------------- 22
Produksi Inokulum FMA ----------------------------------------------------- 25
Aplikasi FMA, Kompos, Bio-charcoal dan Lignit pada Plantling -------- 25
Pengamatan dan Pengukuran ------------------------------------------------- 25
Analisa Data ------------------------------------------------------------------------ 27
HASIL ------------------------------------------------------------------------------------ 28
Kondisi Lokasi Pengambilan Sampel ------------------------------------------ 28
Vegetasi ------------------------------------------------------------------------- 28
Keadaan Tanah ----------------------------------------------------------------- 30
Keadaan Iklim ------------------------------------------------------------------ 30
-
xiv
Potensi Fungi Mikoriza Arbuskular Alami di Semai G. versteegii di Hutan
Alam Asai --------------------------------------------------------------------------- 31
Keberadaan jenis FMA -------------------------------------------------------- 31
Kolonisasi FMA alami pada semai G. versteegii --------------------------- 34
Aplikasi FMA pada Plantling Gaharu G. versteegii --------------------------- 36
Kondisi stomata plantlet dan plantling G. verstegii ----------------------- 36
Rekapitulasi hasil uji F terhadap berbagai parameter pengamatan ------- 37
Kolonisasi akar pada plantling G. versteegii ------------------------------- 39
Respon plantling G. versteegii terhadap mikoriza (percentage growth
respon, PGR) -------------------------------------------------------------------- 43
Ketergantungan plantling G. versteegii bermikoriza terhadap fosfor
(dependency of P uptake, DPU) ---------------------------------------------- 44
Persentase hidup plantling G. versteegii ------------------------------------- 46
Pertambahan tinggi plantling G. versteegii ---------------------------------- 48
Pertambahan diameter plantling G. versteegii ------------------------------ 51
Geometri akar ------------------------------------------------------------------- 53
Berat basah pucuk dan akar --------------------------------------------------- 57
Kekokohan plantling G. versteegii ------------------------------------------- 59
Hubungan antara kolonisasi FMA dengan parameter pertumbuhan
plantling G. versteegii ---------------------------------------------------------- 61
Searapan hara makro N, P dan K --------------------------------------------- 61
Indeks mutu bibit -------------------------------------------------------------- 63
PEMBAHASAN ------------------------------------------------------------------------- 64
Pengaruh FMA --------------------------------------------------------------------- 64
Pengaruh Media ------------------------------------------------------------------- 68
Pengaruh interaksi media tumbuh dengan FMA -------------------------- ------ 69
SIMPULAN DAN SARAN ------------------------------------------------------------- 70
DAFTAR PUSTAKA -------------------------------------------------------------------- 71
LAMPIRAN ------------------------------------------------------------------------------- 75
-
xv
DAFTAR TABEL
NO. Halaman
Teks
1. Keberadaan G. versteegii dan vegetasi lain dan pada lokasi pengambilan
sampel ------------------------------------------------------------------------------ 28
2. Hasil analisis tanah di lokasi penelitian ----------------------------------------- 30
3. Dokumentasi jenis spora FMA yang bersimbiosis dengan semai G.
versteegii dari hutan alam Asai, Manokwari Papua Barat ------------------ 32
4. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh FMA terhadap pertumbuhan plantling
G. versteegii ------------------------------------------------------------------------ 38
5. Hasil anlisis korelasi antara kolonisasi FMA dengan beberapa parameter
pertumbuhan plantling G. versteegii -------------------------------------------- 61
-
xvi
DAFTAR GAMBAR
NO. Halaman
Teks
1. Kerangka pemikiran pengembangan bibit gaharu potensial ----------------- 6
2. Distribusi pohon penghasil gaharu Aquilaria spp. dan Gyrinops spp. di
Papua, Indonesia dan dunia ------------------------------------------------------- 8
3. Empat faktor yang mempengaruhi terbentuknya gubal gaharu -------------- 9
4. Skema hirarki yang terdiri dari tipe-tipe mikoriza dan kategori interaksi
tumbuhan dengan cendawan lainnya ------------------------------------------- 14
5. Pohon gaharu G. versteegii dan vegetasi lain yang tumbuh disekitar G.
versteegii (a) dan keberadaan semai G. Versteegii --------------------------- 29
6. Sebaran jumlah spora FMA per plot pengambilan sampel --------------------- 34
7. Struktur kolonisasi FMA dengan akar semai G. versteegii --------------------- 35
8. Stomata di daun muda (a) dan di daun tua (b) pada planlet G. versteegii asal
kultur in-vitro dalam keadaan membuka dan sedikit ---------------------------- 37
9. Stomata daun muda (a) dan daun tua (b) pada plantling G. versteegii
dalam keadaan menutup dan jumlahnya lebih banyak ------------------------ 37
10. Visualisasi persentase kolonisasi FMA dengan plantling G. versteegii ----- 39
11.` Hasil Uji Duncan persentase kolonisasi FMA pada akar G. versteegii
(angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan antar FMA yang
dicobakan pada =0,05) ---------------------------------------------------------- 40
12. Hasil uji Duncan pengaruh media terhadap persentase kolonisasi pada akar
plantling G. versteegii (angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada
perbedaan antar FMA yang dicobakan pada =0,05) ------------------------- 40
13. Visualisasi struktur kolonisasi FMA pada akar plantling G. versteegii ---- 41
14. Visualisasi respon plantling G. versteegii terhadap mikoriza --------------- 43
15. Hasil Uji Duncan PGR pada plantling G. versteegii (angka diikuti huruf
yang sama berarti tidak ada perbedaan antar FMA yang dicobakan pada
=0,05). ------------------------------------------------------------------------------ 44
16. Visualisasi ketergantungan plantling G. versteegii bermikoriza terhadap
fosfor ------------------------------------------------------------------------------- 45
17. Hasil Uji Duncan DPU pada plantling G. versteegii (angka diikuti huruf
yang sama berarti tidak ada perbedaan antar FMA yang dicobakan pada
=0,05) ------------------------------------------------------------------------------- 45
-
xvii
18. Visualisasi persentase hidup plantling G. versteegii sampai minggu ke-8 -- 46
19. Visualisasi kematian plantling G. versteegii akibat serangan busuk akar - 47
20. Hasil Uji Duncan hidup plantling G. versteegii (angka diikuti huruf yang
sama berarti tidak ada perbedaan antar FMA yang dicobakan pada =0,05) 47
21. Visualisasi keadaan tinggi plantling G. versteegii pada berbagai kombinasi
media yang dicobakan ------------------------------------------------------------ 48
22. Hasil Uji Duncan terhadap tinggi plantling G. versteegii (angka diikuti
huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan antar FMA yang dicobakan
pada =0,05) ----------------------------------------------------------------------- 49
23. Hasil uji Duncan pengaruh media tumbuh terhadap tinggi plantling G.
versteegii. (angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan antar
FMA yang dicobakan pada =0,05) --------------------------------------------- 49
24. Pengaruh kombinasi media tumbuh terhadap pertambahan tinggi plantling
G. Versteegii ----------------------------------------------------------------------- 50
25. Keragaan pertumbuhan tinggi plantling G. versteegii ------------------------ 50
26. Keragaan pertumbuhan plantling G. versteegii umur 8 MST dari semua
kombinasi perlakuan -------------------------------------------------------------- 51
27. Hasil Uji Duncan pengaruh FMA terhadap pertumbuhan diameter plantling
G. versteegii (Angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan
antar FMA yang dicobakan pada =0,05) -------------------------------------- 51
28. Hasil uji Duncan pengaruh media tumbuh terhadap diameter plantling G.
versteegii --------------------------------------------------------------------------- 52
29. Visualisasi pertambahan diameter plantling G. versteegii pada berbagai
kombinasi media tumbuh --------------------------------------------------------- 53
30. Hasil Uji Duncan pengaruh FMA terhadap jumlah akar primer dan
sekunder plantling G. versteegii (Angka diikuti huruf yang sama berarti
tidak ada perbedaan ----------------------------------------------------------------- 53
31. Hasil Uji Duncan pengaruh media terhadap jumlah akar primer plantling G.
versteegii (Angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan antar
FMA yang dicobakan pada =0,05) --------------------------------------------- 54 53
32. Visualisasi pengaruh kombinasi FMA dan media tumbuh terhadap panjang
akar primer dan sekunder plantling G. Versteegii ----------------------------- 55
-
xviii
33. Hasil Uji Duncan pengaruh FMA terhadap panjang akar primer dan
sekunder plantling G. versteegii (Angka diikuti huruf yang sama berarti
tidak ada perbedaan antar FMA yang dicobakan pada =0,05) ------------- 55
34. Hasil Uji Duncan pengaruh media terhadap panjang akar primer plantling
G. versteegii (Angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan
antar FMA yang dicobakan pada =0,05) -------------------------------------- 56
35. Visualisasi pengaruh kombinasi FMA dan media tumbuh terhadap panjang
akar primer dan sekunder plantling G. Versteegii ----------------------------- 56
36. Keragaan panjang akar primer (A) dan akar sekunder (B) plantling G.
Versteegii --------------------------------------------------------------------------- 57
37. Hasil Uji Duncan terhadap berat basah akar dan pucuk plantling G.
versteegii (angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan antar
FMA yang dicobakan pada =0,05) --------------------------------------------- 58
38. Visualisasi pengaruh kombinasi FMA dan media tumbuh terhadap berat
basah akar dan pucuk plantling G. Versteegii ---------------------------------- 58
39. Hasil Uji Duncan pengaruh FMA terhadap kekokohan plantling G.
versteegii (angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan antar
FMA yang dicobakan pada =0,05) --------------------------------------------- 59
40. Hasil Uji Duncan pengaruh media terhadap kekokohan plantling G.
versteegii --------------------------------------------------------------------------- 59
41. Visualisasi pengaruh FMA dan media terhadap kekokohan plantling G.
versteegii --------------------------------------------------------------------------- ` 60
42. Hasil analisis serapan hara makro N pada jaringan tanaman plantling G.
Versteegii --------------------------------------------------------------------------- 62
43. Hasil analisis serapan hara makro P pada jaringan tanaman plantling G.
Versteegii -------------------------------------------------------------------------- 62
44. Hasil analisis serapan hara makro K pada jaringan tanaman plantling G.
Versteegii --------------------------------------------------------------------------- 62
-
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Persentase kolonisasi FMA hasil isolasi dari sampel tanah
komposit semai pohon penghasil gaharu G. versteegii dari hutan
alam Asai Kabupaten Manokwari, Propinsi Papua Barat ------------ 75
Lampiran 2. Rekapitulasi Uji Signifikasi terhadap PGR dan DPU plantling G.
Versteegii ----------------------------------------------------------------- 76
Lampiran 3. Uji Signifikasi terhadap PGR dan DPU plantling G. Versteegii --- 78
Lampiran 4. Hasil Uji Duncan persentase kolonisasi FMA pada plantling G.
versteegii ----------------------------------------------------------------- 78
Lampiran 5. Hasil Uji Duncan terhadap Nilai PGR plantling G. versteegii -- 78
Lampiran 6. Hasil Uji Duncan terhadap Nilai DPU plantling G. versteegii --- 79
Lampiran 7. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap persentase hidup
plantling G. versteegii --------------------------------------------------- 79
Lampiran 8. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Tinggi plantling G.
Versteegii ------------------------------------------------------------------ 79
Lampiran 9. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Diameter plantling G.
versteegii ----------------------------------------------------------------- 80
Lampiran 10. Hasil Uji Duncan t Pengaruh FMA terhadap Jumlah Akar Primer
plantling G. Versteegii ------------------------------------------------- 80
Lampiran 11. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Jumlah Akar
Sekunder plantling G. versteegii -------------------------------------- 80
Lampiran 12. Hasil Uji Duncan Pengaruh media terhadap Jumlah Akar Primer
plantling G. versteegii -------------------------------------------------- 80
Lampiran 13. Hasil Uji Duncan pengaruh media terhadap Panjang Akar Primer
plantling G. Versteegii -------------------------------------------------- 81
Lampiran 14. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Panjang Akar primer
plantling G. Versteegii -------------------------------------------------- 82
Lampiran 15. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Panjang Akar
Sekunder plantling G. versteegii --------------------------------------- 83
Lampiran 16. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Berat Basah Akar
plantling G. Versteegii --------------------------------------------------- 83
-
xx
Lampiran 17. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Berat Basah Pucuk
plantling G. versteegii ---------------------------------------------------- 83
Lampiran 18. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Kekokohan Bibit
plantling G. versteegii ---------------------------------------------------- 84
Lampiran 19. Indeks Mutu Bibit berdasarkan rata-rata diameter plantling G.
versteegii menggunakan sitem skoring ------------------------------- 84
Lampiran 20. Indeks Mutu Bibit berdasarkan rata-rata tinggi plantling G.
versteegii menggunakan sistem skoring ----------------------------- 85
Lampiran 21. Indeks Mutu Bibit berdasarkan rata-rata tingkat kekokohan
plantling G. versteegii menggunakan sitem skoring ---------------- 85
Lampiran 23. Nilai serapan hara N, P dan K pada plantling G. Versteegii -------- 86
Lampiran 24. Hasil Analisis Media Tumbuh Plantling G. versteegii -------------- 87
Lampiran 25. Hasil analisis jaringan plantling G. versteegii pada kombinasi
perlakuan media tumbuh ----------------------------------------------- 87
-
21
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Gaharu merupakan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) bernilai ekonomi tinggi,
berwarna khas, mengandung aroma resin wangi jika dibakar dan dapat digunakan untuk
bahan parfum, dupa, obat-obatan, sabun mandi, kosmetik, dan pengharum ruangan.
Dengan demikian gaharu merupakan Hasil Hutan Bukan Kayu memiliki nilai ekonomi
yang tinggi.
Permintaan gaharu dunia saat ini diperkirakan 4000 ton pertahun namun Indonesia
hanya mampu menyediakan 200 ton pertahun dari potensi gaharu Indonesia yang
diperkirakan sebesar 600 ton pertahun. Potensi sebesar ini diambil dari hutan alam Papua,
Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Sumatera meliputi 98% dan sisanya 2%
berasal dari perkebunan gaharu. Harga gaharu di Indonesia berkisar Rp 100.000-
150.000.000 per kg tergantung kualitasnya. Sementara itu harga gaharu super di China
dapat mencapai Rp 400 juta per kilogram dan 300 juta per kilogram di Timur Tengah
(Mashur, 2011). Total ekspor gaharu Indonesia dalam lima tahun terakhir berkisar 170-
573 ton/tahun dengan perkiraan perolehan devisa negara pada tahun 2006 sebesar
26.086.350 USD meningkat menjadi 85.987.500 USD pada tahun 2010. Menurut Menteri
Kehutanan RI, untuk memenuhi permintaan pasar dunia, maka eksport gaharu Indonesia
akan ditingkatkan menjadi 1000 ton/tahun yang didukung oleh pembangunan hutan
tanaman gaharu (Zulkifli, 2011).
Indonesia telah dikenal sebagai salah satu negara penghasil gaharu di dunia, karena
mempunyai lebih dari 25 jenis pohon penghasil gaharu yang tersebar di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. G versteegii, Gyrinops
ladermanii dan Aquilaria filaria merupakan spesies penghasil gaharu yang dapat
ditemukan di New Guinea (The State Papua New Guinea and West Papua in Indonesian)
dan telah dikenal di dunia (Gunn et al., 2003).
Beragamnya permintaan produk berbahan baku gaharu dan tingginya harga gaharu
diperdagangan internasional menyebabkan perburuan gaharu (Aquilaria filaria dan G.
versteegii) menyebar sampai hutan-hutan alam Papua yang masih tersisa. Penebangan
pohon secara tidak selektif menyebabkan pohon yang tidak mengandung gaharu pun
ditebang. Hal tersebut disebabkan karena sulitnya mendekteksi keberadaan gubal gaharu
pada pohon gaharu yang masih hidup. Untuk memproleh satu pohon penghasil gubal
gaharu, pemburu gaharu dapat menebang 10 pohon gaharu. Sisa pohon gaharu di daerah-
-
22
daerah penghasil utama gaharu semakin lama semakin menipis antara lain Sumatera
(26%), Kalimantan (27%), Nusa Tenggara (5%), Sulawesi (4%), Maluku (6%), dan Papua
(37%) (Asgarin 2011). Semakin sulitnya mendapatkan gaharu di hutan alam
mengakibatkan Aquilaria spp. dan Gyrinops spp. dimasukkan dalam Apendix II (produksi
gaharu harus berasal dari perkebunan gaharu) pada konvensi CITES (Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) di Bangkok (Cites,
2004). Kekuatiran akan punahnya spesies gaharu di Indonesia, menyebabkan Kementerian
Kehutanan Indonesia sejak tahun 2005 menurunkan kuota ekspor gaharu menjadi hanya
125 ton/tahun.
Eksploitasi gaharu tanpa upaya budidaya menyebabkan potensi gaharu di hutan
alam semakin berkurang. Pola ini dapat diperbaiki melalui upaya konservasi,
pembangunan hutan tanaman gaharu yang didukung dengan tersedianya bibit unggul dan
teknologi bioproses gaharu yang efektif serta aplikasi bioteknologi pupuk hayati dan
bahan organik dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman di lapangan melalui produksi
bibit berkualitas.
Pohon berpotensi menghasilkan gaharu dapat diperbanyak melalui kultur jaringan
dan dikembangkan dengan mikoriza untuk memacu pertumbuhannya pada media yang
tepat. Media tersebut dapat berupa, kompos, bio-charcoal dan lignit (batubara muda).
FMA diketahui berperan mengurangi stress yang disebabkan karena minimnya hara, aerasi
tanah kurang baik, struktur tanah padat, pH rendah, salinitas tinggi dan logam beracun
(Sieverding, 1991). Meningkatkan penyerapan unsur hara makro P, N dan beberapa hara
mikro (Baghel et al., 2009). Hifa mikoriza mampu memfilter logam berat dan tidak
meneruskannya ke tanaman (Smith and Read, 1997), melindungi perakaran tanaman dari
patogen berbahaya (Liu, 1991), perlindungan dari senyawa-senyawa radio nuklir (Pfleger
and Linderman, 1996) dan salinitas tanah (Delvian et al, 2001) serta memproduksi hormon
pertumbuhan seperti auksin, sitokinin dan gibberelin bagi tanaman. Dengan adanya auksin
proses penuaan akar menjadi lambat.
Bio-charcoal adalah arang yang dibuat dari material biologis dan diolah melalui
proses pirolisis. Teknologi ini telah lama digunakan oleh suku Indian Maya ribuan tahun
silam. Manfaat bio-charcoal adalah untuk menurunkan emisi rumah kaca, meningkatkan
simpanan karbon dalam tanah, soil conditioner dan soil managment, meningkatkan
porositas tanah dan aktifitas mikroba tanah, menyerap kontaminan toksis, menetralkan
keasaman tanah serta mencegah penyakit busuk akar yang disebabkan oleh serangan
patogen jamur (Steiner, 2007 ; Lehman, 2007 ; Supriyanto, 2010), sedangkan lignit
-
23
(batubara muda) adalah batubara tidak bernilai ekonomis yang ditimbun di lokasi tambang
sebagai limbah. Diduga lignit mengandung zat-zat humat (asam humat) sebagai unsur
organik dari proses dekomposisi tumbuhan dalam tanah, sedimen rawa dan gambut
sehingga dapat memperkaya media pertumbuhan bibit. Adanya peran potensial dari
mikoriza, kompos, bio-charcoal dan lignit, maka berpotensi dapat dimanfaatkan untuk
memperkaya media pertumbuhan plantling gaharu G. versteegii.
Perumusan Masalah
Untuk mendapatkan pohon penghasil gubal gaharu yang baik, harus menggunakan
bibit dari pohon gaharu potensial, yaitu bibit unggul dari pohon inang yang telah terbukti
menghasilkan gubal gaharu di alam, artinya sangat dipengaruhi oleh sifat genetik,
kemudian diperbanyak sebagai bibit unggul (clone) untuk kepentingan budidaya. Namun
demikian produktifitas benih yang rendah menyebabkan kesulitan memperoleh anakan
pohon gaharu dalam jumlah banyak di alam, padahal untuk tujuan budidaya yang luas
sangat diperlukan bibit berkualitas dalam jumlah cukup dan tersedia tepat waktu. Di sisi
lain, selama ini bibit yang digunakan berasal dari biji atau semai hutan alam dimana
jumlah bibit terbatas, kualitas bibit rendah dan peluang memperoleh gubal gaharu setelah
penanaman relatif kecil karena bibit yang dipakai belum tentu berasal dari induk yang
berpontesi menghasilkan gubal gaharu.
Kendala lain yang umumnya dihadapi adalah tidak semua pohon gaharu
menghasilkan buah setiap tahun, belum adanya kebun bibit unggul dan kebun benih serta
biji gaharu bersifat rekalsitran, selain itu adanya penebangan pohon induk dewasa di alam
oleh pencari gaharu menyebabkan hilangnya sumber benih. Rendahnya daya berbunga dan
produktifitas berbuah menyebabkan masalah regenerasi secara generatif, sementara itu
pembiakan secara vegetatif menggunakan stek dan cangkok membutuhkan bahan induk
yang banyak, maka kultur in vitro gaharu menjadi alternatif teknologi perbanyakan gaharu
unggul secara masal dan cepat.
Selain dapat menghasilkan bibit berkualitas dalam jumlah yang memadai, teknik
ini berpotensi mempertahankan sifat genetis dari pohon induk penghasil gaharu. Namun
demikian, ditemukan kendala dalam kultur jaringan gaharu yaitu memerlukan waktu yang
lama untuk menginduksi akar plantlet baik secara in vitro maupun ex vitro di green house,
sementara akar yang terbentuk umumnya relatif kecil, jumlahnya sedikit serta sulit
berkembang. Problem lain adalah tahapan aklimatisasi plantling gaharu hasil in vitro ke
media aklimatisasi merupakan tahapan kritis yang masih menjadi masalah karena
-
24
plantling telah terbiasa tumbuh pada kondisi lingkungan dengan kelembaban tinggi
sementara apabila diadaptasikan secara ex vitro dengan temperatur tinggi plantling akan
mengalami dehidrasi, layu dan mati dikarenakan mekanisme buka tutup stomata yang
rendah dan stomata tidak berfungsi optimal. Lingkungan tumbuh in vitro bersifat steril
mengakibatkan imunitas plantling rendah dan lebih rentan terhadap serangan hama dan
penyakit busuk akar oleh jamur pembusuk akar (lodoh). Akibatnya tingkat kematian
plantling gaharu sangat tinggi, yaitu 75 % dari plantlet yang diadaptasikan ke media
pertumbuhan plantling di green house. Kondisi ini menyebabkan kegagalan produksi bibit
gaharu potensial asal kultur in vitro. Penyebab lainnya yaitu lapisan kutikula plantling
tipis dan terbiasa menerima cahaya konstan, sedangkan pada ex vitro plantling
mendapatkan cahaya tidak konstan dan intensitas cahaya tinggi. Faktor lainnya ialah
dalam media in vitro nutrisi tersedia optimal sehingga plantlet bersifat heterotrop,
sedangkan diluar media kultur plantling dituntut bersifat autotrop. Selain itu, plantling
asal in vitro memiliki lignifikasi batang rendah sehingga cenderung bersifat vitrious
(sukulen).
Aplikasi FMA pada plantling gaharu akan memacu ramifikasi akar dan batang
plantling karena mikorhia memproduksi auksin IAA untuk menstimulir akar plantling
serta menghasilkan enzim phospatase untuk pembentukan lignin. Dengan demikian
diharapkan plantling menjadi lebih tahan dan vigor bibit meningkat, sedangkan bio-
charcoal akan berperan dalam menyerap zat-zat toksis, pembenah media dalam menejemen unsur
hara tanah dan memberikan efek gelap disekitar akar plantling sehingga auksin IAA di akar tidak
rusak oleh cahaya dan IAA akan berperan optimal mendukung perkembangan akar adventif
plantling. Sementara itu dengan adanya lignit maka asam humat akan berperan menyediakan
nutrisi hara secara ototropik bagi plantling di media pertumbuhan.
Sejauh ini pemanfaatan FMA, kompos, bio-charcoal, dan lignit untuk perbaikan
dan peningkatkan pertumbuhan bibit gaharu G. versteegii hasil multiplikasi in vitro yang
mampu adaptasi di green house dan lapangan belum dilakukan. Kerjasama sinergis
beberapa komponen perlakuan diharapkan dapat membuat terobosan baru dalam
penyediaan bibit gaharu yang berkualitas (genetik, fisik dan fisiologis). Dari uraian di atas,
dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut :
-
25
1. Bagaimana keragaman jenis Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) indigenous yang
bersimbiosis dengan gaharu G. versteegii asal Papua?
2. Bagaimana kompatibilitas FMA indigenous Papua terhadap plantling G. versteegii
hasil multiplikasi in-vitro.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk :
(1) Mengetahui jenis-jenis Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) indigenous yang
bersimbiosis dengan G. versteegii asal Papua.
(2) Uji kompatibilitas FMA indigenous Papua terhadap plantling G. versteegii hasil
multiplikasi in-vitro pada berbagai kombinasi media.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sejumlah data dan informasi
keragaman FMA indigenous yang bersimbiosis dengan pohon G. versteegii dan
mendapatkan kombinasi FMA indigenous dengan kompos, bio-charcoal dan lignit yang
efektif untuk produksi bibit gaharu bermutu serta peningkatan kualitas pertumbuhannya.
Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, ditetapkan hipotesis
sebagai berikut :
a. Ditemukan lebih dari satu jenis FMA indigenous yang bersimbiosis dengan gaharu
alami G. versteegii di Papua.
b. Kompatibilitas FMA indigenous Papua dapat meningkatkan daya hidup dan
pertumbuhan plantling gaharu Gyrinops versteegii hasil multiplikasi in vitro pada
berbagai kombinasi media.
-
26
Kerangka Pemikiran
POTENSI GAHARU
KELANGKAAN & TERANCAM PUNAH
KONSERVASI EX-SITU & IN-SITU (PERKEBUNAN GAHARU)
VEGETATIF KONVENSIONAL (STEK, CANGKOK )
GENERATIF/IN PLANTA BIJI & SEMAI
PROBLEM PERAKARAN; AKLIMATISASI;
PERTUMBUHAN LAMBAT PERSENTASE HIDUP
RENDAH
PERKEBUNAN GAHARU POTENSIAL/UNGGUL
BIBIT BERKUALITAS (GENETIK, FISIK, FISIOLOGIS)
JUMLAH BESAR
PERMINTAAN & HARGA PASAR TINGGI
PENEBANGAN TIDAK SELEKSTIF
KUOTA DIKUARANGI 125 TON/THN DEPHUT, 2005
APPENDIKS II CITES, 2004
PROBLEM PERAKARAN ; PROBLEM PERBANYAKAN
INPUT MEDIA (KOMPOS; BIO-CHARCOAL & LIGNIT)
VEGETATIF BIOTEK KULTUR JARINGAN
INPUT BIOFERTILIZER (FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR)
PRODUKSI BIBIT UNGGUL DALAM JUMLAH BESAR
JUMLAH ANAKAN ALAM RENDAH; BIJI DAN BIBIT TIDAK UNGGUL;
REKALSITRAN;
Gambar 1. Kerangka pemikiran pengembangan bibit gaharu potensial
-
27
TINJAUAN PUSTAKA
Gaharu
Gaharu berasal dari bahasa Sangsekerta disebut aguru yang artinya
tenggelam atau bahasa Melayu yang artinya harum (Sumarna, 2007). Dalam
perdagangan internasional dikenal dengan nama agarwood, eaglewood, aloeswood
(Gunn et al., 2003), yaitu sebutan untuk hasil hutan non kayu yang berupa damar wangi
(aromatic resin) dari genus Aquilaria dan genus lain pada famili Thymelaeaceae,
sedangkan gubal gaharu adalah substansi aromatik berupa gumpalan kayu berwarna coklat
muda, coklat kehitaman sampai hitam yang terbentuk pada pohon gaharu akibat infeksi
mikroorganisme penyebab penyakit.
Family Thymelaceae ini terdiri dari Gonystyloideae, Aquilariodeae,
Thymelaeiodeae, Gilgiodaphniodeae. Beberapa genus anggota Thymeleaceae penghasil
gaharu adalah Aetoxylon sp, Aquilaria spp., Enkleia sp, Gonystilus sp dan Wilkstromeia sp
(Hou, 1960). Diantara genus pohon tersebut, Aquilaria spp. diketahui sebagai penghasil
gubal gaharu yang terbaik, demikian juga 2 jenis Gyrinops spp., yaitu G. versteegii dan
G. ledermanii (Rahayu & Sitomorang, 2004).
Telah diketahui ada 24 spesies Aquilaria spp. tersebar di hutan tropis Asia mulai
dari Banglades, India, Pakistan, Myanmar, Laos, Thailand, Singapura, Kamboja, Cina
Selatan, Malaysia, Philipina dan Indonesia. Enam spesies diantaranya yaitu Aquilaria
beccariana, A. cumingiana, A. filaria, G. versteegii, A. malaccensis, A. microcarpa dan A.
hirta ditemukan di wilayah Indonesia Asia (Hou, 1960; Cites, 2004), sedangkan 7 spesies
Gyrinops spp., 6 diantaranya terdapat di Indonesia timur dan satu spesies terdapat di
Srilangka, 20 spesies Gonystilus tersebar di Asia Tenggara mulai dari Malaysia, Serawak,
Sabah, Philipina, Indonesia, Kepulauan Salomon dan Kepulauan Nikobar (Parman dan
Mulyaningsih, 1996).
Pohon penghasil gaharu Gyrinops spp. memiliki distribusi yang cukup luas pada ras
geografi. G. moluccana ditemukan di Maluku dan Halmahera, G. Versteegii ditemukan di
Nusa Tenggara Timur, Nusa Tengara Barat dan Propinsi Papua, sedangkan G. ladermanii,
G. salicifolia, G. audate dan G. podocarpus ditemukan di Propinsi Papua dan Papua New
Guinea. Di Pulau Papua sendiri distribusi populasi G. ladermanii lebih banyak ditemukan
di Papua New Guinea, sedangkan G. versteegii populasi terbanyak di propinsi Papua
Indonesia (Hou, 1960) (Gambar 1).
-
28
Gambar 2. Distribusi pohon penghasil gaharu Aquilaria spp. dan Gyrinops spp. di Papua,
Indonesia dan dunia.
Proses Pembentukan Gubal Gaharu
Gubal gaharu sering disebut dengan istilah gaharu adalah substansi aromatik
berupa gumpalan berwarna coklat muda, coklat kehitaman sampai hitam (Hou, 1960).
Proses terbentuknya gaharu pada pohon penghasil gaharu diduga sebagai akibat proses
patogenesis yang diawali dengan rangsangan luka pada batang pohon, cabang atau ranting
dan pengaruh fisik lainnya. Menurut Goodman et al. (1986) gubal gaharu diduga terkait
dengan mekanisme ketahanan inang terhadap rangkaian proses yang terjadi pada
patogenis tumbuhan berupa metabolit sekunder dari golongan senyawa aromatik.
Metabolit beraroma harum ini umumnya dari golongan sesquiterpenoid dapat terbentuk
pada pohon gaharu akibat adanya luka atau induksi dari mokroorganisme yang
menginfeksinya atau interaksi faktor biotik dan abiotik.
Patogenesis tumbuhan adalah pertarungan antara inang dengan pathogen yang
kompatibel dimana menurut Agrios (1997) keberhasilan proses infeksi oleh suatu pathogen
sehingga dapat menginduksi gaharu dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor : 1). Inang yang
rentan, yaitu jenis pohon gaharu; 2) Patogen yang virulen, artinya organisme pathogen
yang potensial menyebabkan penyakit pada pohon inang gaharu; 3) Lingkungan yang
mendukung dan 4) Peranan manusia dalam memodifikasi lingkungan, patogen dan pohon
inang.
-
29
Seperti layaknya flora lain yang dapat mempertahankan diri, pohon gaharupun akan
mempertahankan diri dengan cara memperbaiki luka yang ada dan menyembuhkan
jaringan yang sakit atau rusak dengan memproduksi resin atau menangkal cendawan.
Proses ke arah tersebut merupakan upaya mempertahankan diri sehingga akan
menyebabkan terjadinya gubal gaharu yang mengandung damar wangi (Soehartono, 2001).
Gubal gaharu sebenarnya adalah resin pohon yang tidak dieksudasikan keluar
melainkan terdeposit dalam jaringan kayu. Resin yang terdeposit ini mengakibatkan kayu
yang seratnya lepas dan berwarna putih berubah menjadi kompak dan hitam serta wangi.
Resin ini dari golongan sesquiterpen yang mudah menguap (Ishihara et al., 1991) dan
merupakan senyawa fitoaleksin, yaitu senyawa yang dibentuk oleh tumbuhan sebagai
respon terhadap gangguan misalnya infeksi mikroorganisme (Kunoh, 1990).
Gambar 3. Empat faktor yang mempengaruhi terbentuknya gubal gaharu (Agrios, 1997)
Umumnya di alam pohon akan menghasilkan gubal gaharu setelah berumur lebih
dari 20 tahun, karena pada umur ini diameter batang pohon sudah cukup besar dan struktur
batangpun sudah cukup permanen dan baik untuk produksi gubal gaharu. Menurut Giano
(1986) dalam Zinch and Compton (2001), pada umur ini hanya 10 persen dari batang
tanaman atau pohon yang dapat menghasilkan gaharu, sedangkan menurut Sumarna
(2007), gaharu potensial yang ditanam sudah dapat diinokulasi mikroba untuk
pembentukan gubal pada umur 5 tahun atau pada saat telah terbentuk organ reproduktif
(berbunga dan berbuah).
MANUSIA
(pohon gaharu)
INANG
MANUSIA
WAKTU
-
30
Gaharu Unggul
Gaharu unggul adalah pohon gaharu yang terbukti di alam memiliki gubal gaharu
yang kemudian akan diperbanyak sebagai bibit unggul (clone) untuk kepentingan budidaya
(Sitorus, 2006). Kegiatan ini meliputi seleksi, baik seleksi in planta (pada pohon) dan
seleksi in vitro di laboratorium. Seleksi in planta pada pohon gaharu di alam telah terbukti
menghasilkan gubal gaharu yang dapat digunakan untuk keperluan breeding dan
perbanyakan bibit unggul secara in vitro, stek atau cangkok.
Hal ini penting karena berdasarkan hasil studi yang telah dilakukan oleh
PUSLITBANG Kehutanan dan SEAMEO BIOTROP di hutan alam pada beberapa daerah
penghasil gaharu di Indonesia seperti Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, Maluku, Nusa
Tenggara dan Papua menunjukan bahwa tidak semua pohon penghasil gaharu di hutan
alam dapat menginduksi gaharu. Pada umumnya dari pohon-pohon gaharu dewasa
berumur 25 50 tahun di hutan-hutan alam hanya 10 % saja yang dapat memproduksi
gubal gaharu (Isnaini, 2003).
Sementara itu, jumlah ekspor gaharu Indonesia pada tahun 1985 sekitar 1487 ton,
namun pada tahun 1995 ekspor gaharu Indonesia kurang menjadi 300 ton sehingga
CITES telah memasukan A. malaccensis ke dalam daftar appendix II (Barden, 2000)
akibatnya kuota ekspor gaharu dibatasi 250 ton/tahun. Namun demikian sejak tahun 2000
Indonesia hanya mampu memasok gaharu 15 % dari kuota CITES.
Semakin sulitnya mendapatkan gaharu di hutan alam mengakibatkan Aquilaria spp.
dan Gyrinops spp dimasukkan dalam Apendix II pada konvensi CITES tahun 2004 di
Bangkok (CITES, 2004). Kekuatiran akan punahnya spesies gaharu di Indonesia,
menyebabkan Departemen Kehutanan Indonesia sejak tahun 2005 menurunkan kuota
ekspor gaharu menjadi hanya 125 ton/tahun.
Perbanyakan Pohon Penghasil Gaharu
Bibit gaharu untuk kepentingan budidaya dapat diperoleh dari semai di alam,
perkecambahan biji, stek, cangkokan dan kultur jaringan (Sumarna, 2007). Kendala utama
yang dihadapi dalam upaya pengembangan gaharu melalui upaya budidaya di Indonesia
adalah produktifitas benih di alam rendah. Produktifitas benih yang rendah menyebabkan
kesulitan memperoleh anakan pohon gaharu dalam jumlah banyak di alam padahal untuk
tujuan budidaya yang luas sangat diperlukan bibit berkualitas dalam jumlah cukup dan
tersedia tepat waktu, oleh karena itu model perkembangbiakan vegetatif melalui stek pucuk
dan kultur jaringan merupakan alternative yang baik untuk perbanyakan gaharu unggul.
-
31
Kendala lain yang umumnya terdapat hampir disebagian besar daerah di Indonesia dan
Papua adalah tidak semua pohon gaharu menghasilkan buah setiap tahun, belum adanya
kebun bibit unggul dan kebun benih (Sitomorang, 2000). Rendahnya daya berbunga dan
produktifitas berbuah menyebabkan masalah regenerasi secara generatif, sementara itu
pembiakan secara vegetatif dengan menggunakan stek dan cangkok membutuhkan bahan
induk yang banyak. Kultur jaringan merupakan salah satu teknik alternatif perbanyakan
gaharu secara masal dan cepat.
Manfaat dan Nilai Ekonomi Gaharu
Gaharu telah dimanfaatkan oleh manusia menjadi komoditi perdagangan sekitar
800 tahun yang lalu karena memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Pohon gaharu
memiliki nilai ekonomi karena produk kayunya, gubal gaharu yang mengandung resin
wangi, kemendangan, serpih/ ampas gaharu dan serbuk gaharu. Minyak gaharu merupakan
produk gaharu yang paling mahal di Amerika, Eropa, Timur Tengah, India, Tibet dan
China.
Gaharu memiliki berbagai ragam manfaat, namun pada dasarnya gaharu dapat
dikelompokan ke dalam 4 manfaat besar, yaitu :
1. Manfaat dibidang industri parfum dan kosmetik, seperti : gas parfum dan minyak
gaharu, sabun, sampo dan bedak serta pengharum ruangan (Hayne, 1987; Barden et al.,
2000; Boruah & Singh, 2000).
2. Manfaat dibidang kesehatan dan obat-obatan, seperti : anti asmatik, anti mikrobia,
stimulant kerja saraf dan pencernaan, liver, hepatitis, penghilang rasa sakit, kanker,
paru-paru, rematik, cacar, malaria, sakit perut, obat kuat pada masa kehamilan dan
bersalin serta perangsang birahi (Hayne, 1987; Barden et al., 2000; Boruah & Singh,
2000).
3. Manfaat di bidang agama dan kepercayaan, seperti : upacara-upacara religius pada
umat Hindu, Budha dan Islam, pengharum ruangan sembayang, abu dan batang
kemenyan dibakar ketika melakukan ritual kepercayaan, benda-benda rohani seperti
rosario dan tasbih (Barden et al., 2000).
4. Manfaat lain : kayu gaharu kualitas kemedangan untuk perabot rumah tangga seperti
meja, kursi, rak buku, hiasan dinding, ukiran serta kulit kayu untuk pembuatan pakaian
adat, noken dan cawat pada sebagian masyarakat di Papua (Sumarna, 2007).
Harga gubal gaharu bervariasi dari Rp 5.000.000 - 15.000.000,-/kg tergantung dari
kualtitas, bentuk dan corak, warna dan aroma. Gaharu kemedangan bervariasi dari Rp
-
32
50.000 500.000,-/kg ; bubuk gaharu atau ampas gaharu yang diperoleh dari sisa
pembersihan gubal gaharu bervariasi dari Rp 10.000,- sampai Rp 50.000,-/kg.
Bervariasinya harga juga ditentukan berdasarkan rantai perdagangan dan negara pemesan
(Sumarna, 2007). Menurut Mashur (2011) harga gaharu di Indonesia berkisar Rp 100.000-
150.000.000 per kg tergantung kualitasnya. Sementara itu harga gaharu super di China
dapat mencapai Rp 400 juta per kilogram dan 300 juta per kilogram di Timur Tengah.
Total ekspor gaharu Indonesia dalam lima tahun terakhir berkisar 170-573 ton/tahun
dengan perkiraan perolehan devisa negara pada tahun 2006 sebesar 26.086.350 USD
meningkat menjadi 85. 987.500 USD pada tahun 2010 (Zulkifli, 2011).
Mikoriza
Mikoriza berasal dari kata Myces artinya cendawan dan Rhiza artinya akar
(Sieverding, 1991). Brundrett et. al (2004) menyarankan definisi baru mikoriza sebagai
suatu asosiasi simbiotik yang esensial bagi kedua partner, antara suatu cendawan
(terspesialisasi untuk hidup dalam tanah dan tumbuhan) dan akar (atau organ yang
mengadakan kontak-substrat lainnya) dari suatu tumbuhan hidup, yang terutama
bertanggungjawab untuk transfer hara. Mikoriza terjadi dalam suatu organ tumbuhan yang
terspesialisasi dimana hubungan kontak yang dekat berasal dari perkembangan cendawan-
tumbuhan yang tersinkronisasi.
Menurut Sylvia (2004) mikoriza merujuk pada suatu asosiasi atau simbiosis antara
tumbuhan dan cendawan yang mengkoloni korteks akar selama periode pertumbuhan aktif.
Simbiosis ini dicirikan oleh pergerakan hara dua arah (bi-directional movement) yaitu
karbon mengalir dari tumbuhan ke cendawan dan hara inorganik dari cendawan ke
tumbuhan dalam suatu linkage antara akar dan tanah yang mengindikasikan adanya peran
kritis bagi tanaman terutama pada kondisi lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhan
yang optimal.
Mikoriza memberikan manfaat berupa bahan materi dan jasa. Materi yang
diberikan yaitu unsur hara, sedangkan jasa yang diberikan yaitu perlindungan terhadap
patogen, perlindungan terhadap kekeringan, perlindungan dari logam berat dan senyawa-
senyawa radio nuklir serta dalam membantu pembentukkan struktur tanah (Pfleger and
Linderman, 1996).
Langkah awal dalam pengembangan cendawan mikoriza adalah melakukan seleksi
untuk mendapatkan isolat yang infektif yaitu mampu menembus dan menyebar ke dalam
akar dan efektif yaitu mampu mempertinggi pertumbuhan atau toleransi tanaman terhadap
-
33
tekanan lingkungan. Hal ini disebabkan karena individu isolat FMA secara genetik sangat
bervariasi dalam sifatnya sehingga perlu screening isolat untuk keefektifan dengan
mengombinasi inang dan media tumbuh yang kompatibel dengan sistem produksi
pembibitan. Sumber isolat FMA tersebar seluruh kondisi tanah yang bervegetasi.
Pengambilan tanah-akar di bawah tegakan tanaman/pohon (daerah rhizosfer) yang diduga
terkoloni oleh FMA merupakan cara yang sering dilakukan untuk mendapatkan inokulum
FMA. Dalam suatu campuran tanah-akar ini belum dapat diketahui secara pasti baik jenis,
jumlah, potensi kualitas maupun pengaruhnya terhadap tanaman, sehingga perlu
identifikasi, pemurnian, dan uji efektifitasnya. Selanjut menurutnya untuk membedakan
antara spesifiksitas (specificity) yaitu kemampuan bawaan (innate ability) untuk
mengkoloni, keinfektifan (infectiveness) yaitu jumlah kolonisasi, dan keefektifan
(effectiveness) yaitu respon tumbuhan terhadap kolonsiasi. Dengan demikian penilaian
haruslah didasarkan atas faktor-faktor ini (Sylvia, 2004).
Menurut Brundrett et al. (2004), mikoriza harus merupakan asosiasi mutualistik
balanced, dimana cendawan dan tumbuhan mengubah bahan pokok yang diperlukan
untuk pertumbuhan dan daya hidupnya. Selanjutnya Brundrett (2004) mengusulkan
skema klasifikasi hirarkis simbiosis mikoriza sebagaimana pada Gambar 3.
Asosiasi mutualistik menempati kuadran saling menguntungkan (++), dan berbeda
dengan kuadran relatif menguntungkan (+) dan berbahaya (-). Pada kuadran atas (++)
BERMANFAAT BAGI
CENDAWAN
BERMANFAAT BAGI
TUMBUHAN
BERBAHAYA BAGI
TUMBUHAN
BERBAHAYA BAGI
CENDAWAN
+
+ +
En
dop
hy
tism
e
Fakultatif obligat
Cen
daw
an
An
tag
on
is
+
Ek
splo
itat
if
B
alan
ced
Antagonisme
tumbuhan
Parasitisme
Mikoriza
Gambar 4. Skema hirarki yang terdiri dari tipe-tipe mikoriza dan kategori interaksi
tumbuhan dengan cendawan lainnya (Brundrett et al., 2004).
-
34
merupakan ketergantungan tanaman yang meningkat, dimulai dari mikoriza fakultatif dan
tumbuhan non-mikoriza dengan titik kulminasinya pada tumbuhan berasosiasi mikoriza
obligat, sedangkan garis kedua searah sumbu vertikal mewakili sifat berbahaya atau
menguntungkan terhadap cendawan. Parasitik dan asosiasi antagonistik menempati dua
kuadran lainnya dengan tumbuhan-cendawan.
Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)
Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) sering disebut juga endomikoriza, ada juga yang
menggunakan istilah Vesicular-Arbuskula Mikoriza (V-AM). Istilah FMA digunakan
untuk membedakan tipe mikoriza ini dari ektomikoriza, karena disini biasanya tidak ada
sarung (sheath) miselium cendawan di sekitar akar seperti yang terdapat pada sekeliling
akar ektomikoriza. Fungi Mikoriza Arbuskula merupakan cendawan yang penyebarannya
sangat luas di dunia mulai dari daerah padang pasir, temperit, tropika dan dapat berasosiasi
lebih dari 90% tanaman yang ada di bumi. VAM telah diketahui di dalam akar tanaman
lebih dari 100 tahun yang lalu, tetapi struktur reproduktifnya baru diketahui 30 tahun
terakhir. Cendawan VA mikoriza telah berhasil diekstraksi dan ditumbuhkan pada tanaman
hidup di pot kultur (Gardeman, 1963). Diversitas FMA tidak mengikuti
keanekaragaman tanaman namun keanekaragaman spesies tanaman mungkin diatur oleh
tipe FMA. Alasan mengapa FMA dapat meningkatkan penyerapan hara dalam tanah
(Abbott & Robson, 1992), karena hifa dari FMA dapat menjangkau dan mengambil hara
dari dalam tanah dan selanjutnya mensuplai hara ke tanaman melalui akarnya,
meningkatkan penyerapan hara dan konsentrasi hara pada permukaan penyerapan,
merubah secara kimia sifat-sifat hara sehingga memudahkan penyerapannya ke dalam akar
tanaman. Dengan demikian menyebabkan terjadinya peningkatan penyerapan unsur hara,
kondisi ini banyak terjadi pada tanaman yang mempunyai akar yang kasar, tersebar tipis
dan sedikit rambut akarnya. Kapasitas pengambilan hara dapat ditingkatkan jika terjadi
kolonisasi mikoriza pada akar karena akar yang dikolonisasi diperpanjang, ukuran
percabangan serta diameter akar diperbesar dan luas permukaan absorpsi akan diperluas.
Hormon pertumbuhan seperti auksin, sitokinin dan gibberelin bagi tanaman dapat juga
meningkat. Akar sebagai penyerap unsur hara dan air akan bertahan lebih lama karena
dengan meningkatnya auksin, maka proses penuaan akar menjadi lambat (Karagiannidis et
al., 1995).
Resistensi terhadap kekeringan lebih baik pada tanaman yang bermikoriza daripada
yang tidak bermikoriza. Tanaman bermikoriza akan cepat kembali pulih setelah periode
-
35
kekeringan berakhir karena hifa FMA masih mampu menyerap air pada pori-pori tanah
pada saat akar tanaman sudah tidak mampu. Hifa dapat mengambil air relatif lebih banyak
karena penyebarannya di dalam tanah sangat luas.
Menurut Daniels dan Menge (1981) dan Abbott & Robson (1992), kemampuan
meningkatkan penyerapan hara dan pertumbuhan tanaman berbeda antara spesies dan
strain FMA, setiap spesies FMA mempunyai innate effectiveness atau kemampuan
spesifik. Keefektivan diartikan sebagai kemampuan FMA dalam meningkatkan
pertumbuhan tanaman pada kondisi tanah yang kurang menguntungkan. Beberapa faktor
yang berhubungan dengan keefektivan dari suatu spesies FMA, yaitu FMA mampu untuk
membentuk hifa yang ekstensif dan penyebaran hifa yang baik di dalam tanah, FMA
mampu untuk membentuk infeksi yang ekstensif pada seluruh sistem perakaran yang
berkembang dari suatu tanaman, FMA mempunyai hifa yang mampu menyerap fosfor dari
larutan tanah.
Manfaat Mikoriza
Manfaat mikoriza di alam ini sudah tidak dapat disangkal lagi karena telah banyak
ditulis para pakar. Menurut Brundrett et al. (1996), manfaat dari mikoriza dapat
dikelompokan menjadi tiga, yaitu manfaat bagi tanaman, manfaat bagi ekosistem dan
manfaat bagi manusia
a. Manfaat mikoriza bagi tanaman
Meningkatkan pasokan unsur hara tanaman dengan memperbesar volume tanah yang
dapat dikelolah oleh akar tanaman, meningkatkan pasokan hara dengan jalan menyerap
bentuk-bentuk hara yang secara normal tidak tersedia bagi tanaman, beberapa jenis
cendawan ektomikoriza dan ericoid memiliki kapasitas untuk membongkar senyawa-
senyawa fenolik yang ada dalam tanah (Smith and Read, 1997), senyawa fenolik diyakini
dapat mengganggu berlangsungnya serapan hara oleh tanaman, kolonisasi akar oleh
ektomikoriza dan FMA dapat memberikan perlindungan terhadap serangan cendawan
parasitik dan nematoda memungkinkan terjadinya perpindahan hara dari tanaman yang
sudah mati ke tanaman yang masih hidup.
b. Manfaat mikoriza bagi ekosistem
Hifa-hifa yang ada di dalam tanah berperan penting dalam pendauran hara dengan cara
membantu mencegah kehilangan hara dari sistem, khususnya ketika akar tanaman sedang
tidak aktif, hifa merupakan saluran yang digunakan untuk memindahkan karbon dari akar
tanaman ke jazad renik lainnya yang terlibat dalam proses daur hara. Dengan kata lain
-
36
bekerjasama dengan anggota lain dari rantai pangan dekomposisi tanah, cendawan
mikoriza dapat menyumbangkan simpanan karbon dalam tanah dengan jalan mengubah
kualitas dan kuantitas bahan organik tanah (hifa mikoriza berperan penting dalam
memperbaiki struktur tanah (Grifftiths et. al., 1992), FMA juga dapat bersinergis dengan
mikroba potensial lainnya, seperti bakteri penambat N bebas dan bakteri pelarut fosfat
(Barea et al. 1992). Serta sinergis dengan jasad jasad renik selulotik seperti Trichoderma
sp. Berdasarkan kemampuan tersebut, maka FMA dapat berfungsi untuk meningkatkan
biodiversitas mikroba potensial di sekitar perakaran tanaman.
c. Manfaat mikoriza bagi umat manusia
Cendawan ektomikoriza secara ekonomis dan nutrisi merupakan sumber pangan
yang penting artinya bagi umat manusia. Tubuh Buah dari fungi ektomikorhiza
Scleroderma sinnamariense yang bersimbiosis dengan tanaman melinjo dapat dijadikan
sebagai bahan pangan. Jamur ektomikoriza juga telah digunakan sebagai obat-obatan dan
pewarna alami. Cendawan juga memiliki nilai keindahan/estetika dan merupakan bagian
penting dalam budaya, tradisi dan cara menghargai alam oleh umat manusia (Mansur,
2010). Keragaman cendawan merupakan bio-indikator kualitas lingkungan, cendawan
yang telah beradaptasi dengan kondisi tanah lokal diperlukan untuk pertanian, hortikultura
dan kehutanan.
Mikoriza dan Gaharu G. versteegii
Sejauh ini kajian mengenai keberadaan Fungi Mikoriza Arbuskula pada G.
versteegii asal Papua baru dilaporkan oleh Worabai (2009) yang telah berhasil
mengidentifikasikan 3 jenis spora indigenous yakni Glomus sp., Acaulospora sp., dan
Scutellospora sp. dengan persen kolonisasi akar tertinggi 16,84% dan terendah adalah
8,77%. Sementara itu, uji pemanfaatan FMA untuk memacu pertumbuhan tanaman
penghasil gaharu ini belum pernah dilakukan.
Pemanfaatan FMA pada gaharu oleh Sumarna, 2007 melaporkan bahwa aplikasi
mikorhiza ternyata menghasilkan bibit tanaman gaharu lebih cepat mencapai kondisi siap
tanam dalam kisaran waktu 23 bulan sejak proses perkecambahan benih. Selain itu bibit
yang diperoleh relatif lebih sehat, tahan gangguan penyakit dan hama akar dibanding
tanpa perlakuan mikorhiza. Bibit bermikorhiza memiliki kemampuan hidup di lapangan
jauh lebih tinggi dibandingkan bibit tak bermikorhiza. Hal ini didukung hasil penelitian
Karyaningsih (2009), dimana pemberian FMA jenis G. margarita mampu membentuk
-
37
kolonisasi, sporalisasi dan berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan semai gaharu
A. crassna.
Sampai saat ini aplikasi FMA untuk pertumbuhan plantling gaharu Papua G
versteghii belum pernah dilakukan. Untuk itu perlu dilakukan uji pemanfaatan FMA untuk
memacu dan meningkatkan pertumbuhan bibit gaharu ini.
Bio-Charcoal
Bio-charcoal adalah arang yang dibuat dari material biologis atau bahan organik
apapun yang diolah melalui proses pirolisis (pembakaran dengan suplai oksigen yang
minimal). Bio-charcoal telah digunakan untuk kegiatan pertanian dalam rangka
meningkatkan produktifitas lahan dalam budidaya pertanian yang berkelanjutan sejak suku
Indian Maya menggunakan teknik tebang, cincang dan bakar (Steiner et al., 2004). Baru-
baru ini, telah diteliti oleh banyak peneliti bahwa bio-charcoal mampu menurunkan emisi
gas rumah kaca dari tanah dan dapat meningkatkan produksi padi (IRRI), jagung
(University of Georgia di Atlanta), Singkong (Terra Pretta, Brazil), karena bio-charcoal
dapat berfungsi sebagai manajer tanah dan pembenah tanah (Steiner, 2007).
Fungsi dari penambahan bio-charcoal tersebut di dalam tanah adalah untuk
meningkatkan kesuburan tanah (pembenah tanah), meningkatkan aktifitas mikroba tanah
dan menurunkan emisi karbon ke udara. Lehman (2007) telah menunjukkan hasil
penelitiannya bahwa bio-charcoal dapat digunakan untuk meningkatkan struktur dan
kesuburan tanah yang pada gilirannya meningkatkan produksi biomassa.
Peranan bio-charcoal sebagai soil conditioner meliputi perbaikan sifat fisika, kimia
dan biologi. Pengaruh bio-charcoal terhadap sifat fisik tanah antara lain meningkatkan
stabilitas struktur dan peningkatan kandungan air tanah, peningkatan porositas dan aerase
tanah, menjadikan media lebih porous serta meningkatkan kapasitas luasan permukaan.
Peranan pada sifat kimia tanah akibat penambahan bio-charcoal ke dalam tanah yaitu
peningkatan pH tanah, Kapasitas Tukar Kation, Kejenuhan Basa dan penurunan ion Al+
dan H+. Adapun pengaruh bio-charcoal terhadap aktifitas biologi tanah antara lain sebagai
aktifator mikoriza dan rhizobium. Pemberian arang sekam terhadap bakteri penambat
nitrogen dan cendawan mikoriza mampu meningkatkan jumlah bintil akar pada tanaman
leugum, meningkatkan jumlah spora dan tingkat kolonisasi Glomus etunicatum (Ogawa,
1994; Glaser at al., 2002 ; Braida et al., 2003 diacu Ahmad, 2006).
Di Indonesia teknologi bio-charcoal juga telah digunakan pada system perladangan
berpindah, namun teknik tersebut hanya menghasilkan 2% arang karena dibakar dengan
-
38
suplai oksigen yang berlebihan (tempat terbuka). Pemanfaatan bio-charcoal dibidang
kehutanan telah dilakukan oleh Badan Litbang Kehutanan Indonesia pada tanamaan Acacia
mangium, Shorea leprosulla dan Pinus merkusii berumur 2,5-3 tahun menunjukan
pengaruh sangat nyata terhadap indikator pertumbuhan (tinggi, diameter, biomasa dan akar
tanaman) (Siregar, 2010). Sementara itu hasil uji coba pemanfaatan bio-charcoal untuk
produksi FMA menggunakan inang Shorgum bicolour menunjukan pengaruh yang
signifikan terhadap jumlah spora (Supriyanto, 2010).
Lignit (Batubara Muda)
Lignit disebut juga batubara muda atau batubara cokelat, tidak ekonomis digunakan
sebagai bahan bakar. Lignit memiliki kelembaban yang tinggi dan kandungan karbon yang
rendah. Dengan adanya masalah tersebut, apabila terdapat lapisan batubara lignit dalam
penambangan batubara, maka penambang hanya mengambil lapisan yang berkualitas
tinggi, sedangkan lignit akan disingkirkan atau ditimbun kembali di lokasi tambang.
Batubara dengan mutu yang rendah, seperti lignit dan sub-bitumen biasanya lebih lembut
dengan materi yang rapuh, berwarna suram seperti tanah dan memiliki kelembaban tinggi
dengan demikian energinya rendah.
Lignit (batu bara muda) mengandung zat-zat humat (asam humat) sebagai unsur
organik utama yang banyak terdapat dalam air alami, bahan-bahan yang tahan degradasi
yang dihasilkan selama dekomposisi dari tumbuhan yang terjadi sebagai endapan dalam
tanah, sedimen rawa. Asam humat adalah salah satu senyawa yang terkandung dalam
humat substance yang merupakan hasil dekomposisi bahan organik, utamanya bahan
nabati yang terdapat dalam batu bara muda, tanah gambut, kompos atau humus (Senn dan
Kigman, 1973).
Asam humat merupakan hasil akhir proses dekomposisi bahan organik, berwarna
hitam, kecoklatan, relatif tahan terhadap degradasi serta mengandung muatan negatif yang
dapat dipengaruhi pH (Stevenson, 1994). Proses pembentukan batubara muda dapat
melalui dekomposisi flora dan fauna yang merupakan bagian dari transformasi biokimia
organik sebagai titik awal. Dalam pertumbuhan gambut, sisa tumbuhan akan mengalami
perubahan baik secara fisik maupun kimiawi. Setelah tumbuhan mati, proses degradasi
biokimia lebih berperan. Proses pembusukan akan terjadi oleh kerja mikrobiologi (bakteri
anaerob). Bakteri ini bekerja dalam suasana tanpa oksigen menghancurkan bagian yang
lunak dari tumbuhan seperti selulosa, protoplasma dan pati. Melalui proses itu terjadi
perubahan dari kayu menjadi lignit dan batubara berbitumen. Dalam suasana kekurangan
-
39
oksigen terjadi proses biokimia yang berakibat keluarnya air (H2O) dan sebagian unsur
karbon akan hilang dalam bentuk karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO) dan
methan (CH4).
Indonesia termasuk negara dengan sumber tambang batubara terbesar di dunia.
Cadangannya diperkirakan 36 ton. Hanya saja 50 85 persennya berkualitas rendah. Ini
dilihat dari nilai kalori pembakarannya yang rendah, dan kadar sulfur serta airnya yang
tergolong tinggi ( Sukandarrumudi, 2006).
Asam humat merupakan komponen organik, yang dapat berasosiasi menjadi ion
yang aktif serta bersiaft kolodial dan relatif stabil. Berperan besar dalam memperbaiki
kesuburan tanah, baik secara kimia, fisika dan biologi tanah. Memperbaiki strukjtur tanah,
meningkatkan kapasitas memegang air dan Kapasits Tukar Kation (KTK) tanah,
menurunkan kalarutan unsur beracun seperti Fe dan Al karena muatan negatif dan gugus
fungsional karboksil (- COOH) dan hidroksil (-OH).
Pemanfaatan batubara muda sebagai pembenah tanah telah dilakukan oleh
Karyanigsih, 2009 dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pemanfaatan batubara
muda dan Glomus margarita sebagai pembenah tanah dalam media pertumbuhan
berpengaruh sangat nyata terhadap peningkatan pertumbuhan semai gaharu A. crassna,
kolonisasi dan jumlah spora G. margarita.
-
40
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Survey pohon penghasil gaharu G. versteegii untuk kajian keragaman FMA
indigenous, dilaksanakan dalam bulan Juli 2010 pada hutan alam di daerah Asai
Kabupaten Manokwari Papua Barat. Survey dilakukan bersama-sama dengan
masyarakat pencari gaharu dengan cara jelajah lokasi penelitian sejauh 1 km. Setiap
pohon induk gaharu yang ditemukan dalam jarak pandang 10 meter kiri dan kanan jalan
dijadikan sebagai plot pengambilan contoh semai dan tanah untuk isolasi dan
identifikasi keberadaan mikorizanya. Dalam survey ini juga dicatat vegetasi lain yang
tubuh pada radius 2 meter dari pohon induk gaharu.
Kegiatan isolasi FMA, identifikasi, multiplikasi FMA dilakukan pada
Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB. Aplikasi FMA, bio-charcoal,
kompos dan lignit pada plantling gaharu dilaksanakan di Laboratorium Mikoriza dan
greenhouse SEAMEO BIOTROP. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Penelitian
dan Uji Tanah, Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari awal Nopember 2010
sampai dengan bulan Juni 2011.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah inokulum FMA komposit hasil trapping
asal Manokwari, Papua Barat. Plantlet G. versteegii asal Papua yang telah
dikembangkan di SEAMEO BIOTROP melalui teknik kultur jaringan, Pueraria
(Pueraria javanica), kompos, lignit (batubara muda) asal Desa Sukajaya Kabupaten
Sukabumi, zeolit, tanah, pasir, KOH 1%, KOH 10%, HCl 2%, H2O2 2%, Glyserin 50 %,
Acid Fushin 0,02 %, larutan PVLG, larutan Melzers reagen, aquades, pot plastik hitam,
polybag 10 x 15 cm, kertas nitroselulosa, sungkup plastik, paranet dan label.
Alat-alat yang digunakan meliputi: camera digital, pH-fertility meter,
mikroskop binokuler/dissecting microscope, sentrifus, termohydrometer, saringan
berukuran 425 m, 125 m, 60 m dan 45 m, pinset spora, cawan petri, gelas becker,
kaca obyek dan cover glass, pipet, jarum ose, timbangan analitik, oven, autoclave,
magnetic stirrer, pacul, ayakan tanah 1 mm, dan alat tulis.
-
41
Metode
Penelitian ini dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola
faktorial 2 faktor (4x3). Perlakuan dan taraf perlakuan yang diberikan sebagai berikut.
I. Faktor Perlakuan 1 ; Media (M)
Mo Tanah : Pasir (control) (v/v) 1 : 1
M1 Tanah : Pasir : Kompos (v/v) : Bio-Charcoal (v/v) 1 : 1 : 0,5 : 0,2
M2 Tanah : Pasir : Lignit (v/v) : Bio-Charcoal (v/v) 1 : 1 : 0,4 : 0,2
M3 Tanah : Pasir : Kompos:Lignit (v/v) : Bio-Charcoal 1 : 1 : 0,5 : 0,4 : 0,2
II. Faktor Perlakuan 2 ; FMA (F)
F0 Tanpa Inokulum FMA 0
F1 Inokulum FMA indigenous (konsorsium) 10 g
F2 Inokulum FMA spora tunggal(Gigaspora sp) 10 g
Dari taraf perlakuan yang diberikan, diperoleh 12 kombinasi perlakuan. Masing-
masing perlakuan diulang 3 kali sehingga diperlukan 36 bibit hasil kultur jaringan.
Kombinasi media merupakan hasil uji pendahuluan untuk mengukur parameter tingkat
kesuburan dan tingkat keasaman kombinasi lignit, bio-charcoal, kompos dan tanah
menggunakan alat ukur pH-fertility meter. Media disterilkan menggunakan autoclave
dengan tekanan 15 atm pada suhu 120 0C selama 2 jam. Lignit yang digunakan, terlebih
dahulu digerus lalu diayak menjadi tepung menggunakan ayakan berukuran 10 mm.
Sebelum ditanam, media disiram dengan air hingga kapasitas lapang lalu diperam selama
satu minggu. Khusus untuk kombinasi media yang menggunakan lignit, media disiram
dengan KOH 1% sebanyak 10 ml untuk mempercepat pelarutan asam humat dari lignit
Prosedur Pelaksanaan
Isolasi dan Identifikasi FMA
a. Pengambilan Sampel Tanah dari Semai G. versteegii
Pengambilan sampel tanah komposit dari bawah tegakan G. verstegii sebanyak 5
(lima) plot. Dari setiap plot diambil satu sampel rizosfer tanah untuk ekstraksi FMA dan
satu sampel tanah untuk analisis sifat tanah, masing-masing sebanyak 1 kg dengan
kedalaman 0 20 cm. Semai G. veerstegii yang diambil berukuran tinggi 75 100 cm.
b. Ekstraksi Spora FMA dengan Teknik penyaringan basah (Metode Gardeman and
Nicholson, 1963 ) dan Metoda Sentrifugasi (Brundrett et al., 1996)
-
42
Tanah yang telah diambil dari lapangan ditimbang sebanyak 10 gr, lalu dimasukkan ke
dalam gelas piala 500 atau 1000 ml atau bekas botol air mineral 1 L dan ditambahkan
500 ml air, agregat tanah dipecahkan dan tanah tersebut diaduk dengan tangan agar
spora terbebas dari tanah.
Larutan dibiarkan selama kurang lebih 15-30 detik tergantung tekstur tanahnya sampai
partikel-partikel tanah mengendap, selanjutnya supernatant dituang ke dalam penyaring
bersusun berturut-turut 425 m, 125 m, 69 m, 45 m. Tanah pada penyaring
disemprot dengan air mengalir. Penyemprotan dilakukan dengan hati-hati agar tidak
merusak struktur spora.
Akar-akar dipisahkan dari tanah jika ada, untuk kemudian diamati kemungkinan
adanya spora pada akar atau kolonisasi infeksi perakaran melalui pewarnaan (staining)
akar.
Supernatant keruh hasil penyaringan dari penyaring dengan ukuran 45 dan 69 m
masing-masing dimasukkan ke dalam tabung sentrifusi. Kemudian larutan sukrosa 60
% ditambahkan ke dalam tabung sentrifusi dengan perbandingan supernatant keruh dan
sukrosa adalah 3 : 1 (v/v), kemudian disentrifusikan pada kecepatan putar 1200-1300
rpm selama 5 menit.
Hasil sentrifusi dituangkan ke penyaring yang sesuai, lalu dibilas dengan air perlahan-
lahan agar tidak terjadi plasmolisis spora. Selanjutnya supernatant dituang pada kertas
saring, lalu dikeringanginkan dan diamati di bawah mikroskop. Jumlah spora dihitung
dan diidentifikasi jenis FMA-nya.
c. Pewarnaan akar (staining) (Metode Phillips dan Hayman, 1970 hasil modifikasi
Supriyanto, 2009).
Sampel akar diambil dan dipotong akar kecil diameter 2 mm yaitu akar serabut/akar
rambut sebanyak kurang lebih 2 gram
Akar dicuci hingga bersih untuk menghilangkan kotoran berupa tanah, serasah,
kompos, pasir dan lain-lain.
Fiksasi akar dilakukan dengan cara merendam potongan akar dalam larutan FAA
Bilas larutan fiksator (FAA) dalam air mengalir hingga larutan fiksator hilang.
Hilangkan komponen tanin dan fenol dalam akar dengan merendam dalam larutan
KOH 10% (v/v) dengan cara dipanaskan selama 5-10 dihitung sejak mendidih.
Pindahkan akar-akar tersebut dalam saringan plastik dan bilas dengan air mengalir
untuk menghilangkan larutan KOH 10 %, tanin dan fenol.
-
43
Rendam akar-akar yang sudah dihilangkan tanin dan fenolnya dalam hydrogen
peroksida (H2O2 2% w/v) selama 5-10 menit.
Bilas akar-akar tersebut dengan air mengalir untuk menghilangkan larutan hydrogen
peroksida dengan menggunakan saringan plastik.
Rendam akar-akar tersebut dalam larutan HCl 2% (v/v) selama 10-30 menit atau
sampai akar berwarna putih. Larutan HCl digunakan untuk penjernih (clearing)
komponen sitoplasma.
Staining akar-akar tersebut dalam larutan asam fushin 0,2 % dan larutan lacto-glycerol,
lalu dipanaskan selama 5-10 menit dihitung sejak mendidih.
Akar-akar tersebut dibilas dengan air mengalir hingga larutan asam fushin hilang.
Kemudian akar direndam dalam larutan destaining glyserin 50 % untuk menghilangkan
kelebihan larutan staining asam fushin 0,2 %
Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop binukuler untuk mengetahui keberadaan
hifa, vesikula, spora intra radikal dan arbuskula
Untuk pembuatan preparat awetan, maka akar-akar tersebut dipotong dengan ukuran 1
cm dan letakan di atas kaca preparat yang sudah ditetesi larutan PVLG kemudian
ditutup dengan cover glass. Spesimen dibiarkan hingga kering lalu diamati dan
dilakukan pemotretan dengan dissecting microscope/stereo
Kolonisasi perakaran dilihat berdasarkan kolonisasi oleh struktur FMA (hifa eksternal,
hifa internal, spora intradikal, vesikula dan arbuskula).
d. Identifikasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)
Identifikasi dilakukan berdasarkan karakter morfologi spora hasil ekstraksi. Peubah
yang diamati dalam mendeskripsikan spora meliputi bentuk spora, ukuran spora, warna
spora, ornamen/asesoris permukaan spora, substanding hifa dan Bulbous suspensor;
Pembuatan preparat spora untuk identifikasi menggunakan glass slide, cover glass,
polyvinyl alcohol-lactic acid-glycerol (PVLG) dan larutan pewarna Melzers. Pengamatan
dilakukan menggunakan mikroskop yang dihubungkan dengan kamera CCTV dan USB
converter untuk dapat diamati di komputer, dan dapat dilakukan pengambilan gambar
(capturing).
Produksi Inokulum FMA
Teknik penangkaran/trapping yang digunakan mengikuti metoda Brundrett et al.,
(1996), menggunakan pot plastik dengan media tanah contoh dari bawah tegakan gaharu
sebanyak 100 gram dan zeolit steril. Pueraria javanica digunakan sebagai tanaman inang.
-
44
Masing-masing sampel tanah diulang 2 kali. Propagul diamati setelah penangkaran
berumur 3 bulan lalu penyiraman dihentikan selama 2 minggu (stressing agen